Men-Teroris-Kan Tuhan!

278
Men-Teroris-Kan Tuhan! Gerakan Sosial Baru

Transcript of Men-Teroris-Kan Tuhan!

Men-Teroris-Kan Tuhan!Gerakan Sosial Baru

KATA PENGANTARProf. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Kajian terorisme berbasis Islam akhir-akhir ini telah mendapatkan perhatian para sarjana secara serius pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat. Peristiwa tersebut menandai era baru pasca perang dingin yang menganggap bahwa terorisme identik dengan Islam. Gerakan terorisme bukan lagi organisasi-organisasi sekuler semacam Japanese Red Army/JRA, Macan Tamil di Srilangka, Brigade Merah di Italia dan lain-lain, sebalik-nya gerakan terorisme kini identik dengan Islam seperti al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Gerakan terorisme berbasis Islam tersebut kini menjadi ancaman nyata di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Terorisme hakikatnya mengandung motif dan tujuan politik, klaim politik dan perjuangan politik. Terorisme adalah paham yang dalam rangka mencapai tujuan seringkali menghalalkan berbagai cara termasuk kekerasan, intimidasi hingga pembunuhan. Patut kita

Men-Teroris-Kan Tuhan!

vi

bertanya mengapa dan bagaimana seseorang tega dan nekat melakukan aksi yang tergolong sadis. Korban kejahatan terorisme seringkali jasadnya tidak bisa dike-nali, hancur bahkan terburai karena serangan bom yang mematikan. Manusia macam apakah yang terlibat keja-hatan terorisme seperti itu?

Eksistensi kehidupan manusia memang sejak awal penuh dengan pertumpahan darah. Pertumpahan darah dilakukan dalam rangka keberlangsungan kehidupan manusia. Manusia yang satu bagaikan srigala bagi ma-nusia lainnya. Lebih jauh, dalam kitab suci al-Qur’an ke-tika Allah hendak menciptakan manusia para malaikat melakukan protes atas penciptaan manusia karena ma-nusia dianggap hanya akan merusak bumi dengan per-tumpahan darah.

Terorisme hakikatnya tidak semata-mata didasarkan oleh faktor agama tetapi juga aspek lain menyangkut ekonomi, politik dan sejarah yang bertaut erat dalam pencarian identitas di tengah arus modernisasi dan glo-balisasi. Karena itu, tidak heran jika kemudian orang Jawa yang dikenal sopan atau lembut di tengah arus de-ras globalisasi dan modernisasi yang terkadang “mem-bingungkan” membentuk karakter sisi lain sebagian se-hingga orang Jawa yang lebih keras menjadi teroris.

Orang Jawa memang dikenal dengan kesopanan dan kelembutan, namun ia juga punya nilai-nilai sifat kehidupan yang disebut dengan “3 nga” yaitu ngalah, ngalih dan ngamuk. Karena itu, mengapa dalam bu-daya masyarakat Jawa senjata keris selalu disisipkan di belakang bukan di depan seperti masyarakat Madura. Keris di belakang menunjukkan sifat tidak arogan, keris hanya akan digunakan ketika merasa terancam. Lebih jauh, sejatinya masyarakat Indonesia sangat erat dengan budaya kekerasan. Hal ini dapat dilihat hampir semua

Kata Pengantar

vii

lambang daerah/kota di seluruh Indonesia memuat unsur-unsur kekerasan misalnya, Keris, Celurit, Panah, Tombak, Jangkar dan lain-lain.

Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia, mobilisa-si atau rekrutmen simpatisan gerakan terorisme sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Rekrutmen gerak-an terorisme sudah mengarah kepada generasi muda atau anak muda dalam lingkaran organisasi terorisme. Meski mobilisasi gerakan terorisme cenderung bersifat bawah tanah, tetapi dalam beberapa kasus internalisasi nilai-nilai radikal dalam lingkungan anak muda sering-kali melalui institusi pendidikan yang bersifat non for-mal. Lembaga pendidikan menjadi instrumen strategis bagi upaya melahirkan generasi baru dalam lingkaran gerakan terorisme.

Hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamai-an (LaKIP) tentang radikalisme (Oktober 2010 hingga Januari 2011), terhadap siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, menunjukkan ham-pir 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikal demi aga-ma. Hasil riset itu merupakan indikasi awal yang cukup kuat, bagaimana bibit-bibit radikalisme yang mengu-sung keislaman, patut diwaspadai sekaligus dicegah dari pembiaran. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa aga-ma merupakan faktor utama radikalisme, tetapi agama dijadikan landasan motifasional yang dimaknai dengan semangat anti perbedaan sehingga melahirkan generasi baru yang siap mati untuk Islam dalam bentuk kejahatan terorisme.

Para individu-individu yang terlibat dalam gerakan terorisme nampaknya digarap melalui pendekatan non akademis. Sejauh ini belum ada satu pun Pesantren se-bagai lembaga pendidikan agama Islam yang menga-jarkan langsung paham radikalisme agama. Kitab-kitab

Men-Teroris-Kan Tuhan!

viii

yang dikaji dalam Pondok Pesantren umumnya tidak ada yang eklusif secara khusus mengajarkan nilai-nilai radikal serta menganjurkan untuk melakukan aksi terorisme.

Demikian pula dengan lembaga pendidikan tinggi semacam IAIN/UIN, perguruan tinggi berbasis Islam di Indonesia tidak mengajarkan pendidikan agama yang mengarah pada aksi radikalisme. Kalaupun ada oknum mahasiswa IAIN/UIN yang terlibat dalam aksi terorisme bisa dipastikan bahwa itu dibentuk melalui pendidikan non akademis melalui perkawanan, kekera-batan dan proses lain diluar tanggung jawab Kampus.

Aksi terorisme nampaknya juga bukan merupakan bagian dari konspirasi Amerika dan sekutunya seba-gaimana yang sering dituduhkan. Amerika memiliki kepentingan terhadap Indonesia di mana pasar ekono-mi Indonesia sangat menggiurkan. Karena itu, sangat mustahil jika kemudian Amerika merusak kepentingan-nya dengan menjadi dalang di balik fenomena terorisme di Indonesia.

Di luar perdebatan tersebut, fenomena terorisme di Indonesia yang muncul secara massif sejak reformasi 1998 telah memunculkan kembali perdebatan klasik menyangkut hubungan Islam dan demokrasi. Refor-masi yang melahirkan keterbukaan sistem politik jus-tru melahirkan perpecahan dan terorisme makin kuat. Atas nama kebebasan dan demokrasi, beberapa oknum menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang mereka yakini. Paradoks ini mengulas kembali apakah Islam tidak sejalan dengan demokrasi atau demokrasi itu sendiri tidak sejalan dengan logika Islam. Lebih jauh, apakah sistem politik otoriter atau demokrasi yang lebih menyuburkan tumbuh dan berkembangnya aksi-aksi terorisme.

Kata Pengantar

ix

Buku dengan judul Men-Teroris-Kan Tuhan!: Gerakan Sosial Baru yang merupakan hasil penelitian tesis ma-hasiswa Pascasarjana UIN Jakarta ini, dengan segala keterbatasannya merupakan upaya mendiskusikan per-debatan apakah rezim otoriter atau demokratis yang cenderung melahirkan gerakan terorisme yang oleh pe-nulis disebut sebagai politik penentangan (contentious politics) non-institusional. Lebih dari itu, buku ini secara tidak langsung juga berusaha menjawab apakah aksi terorisme berbasis Islam semata-mata dilandaskan pada faktor agama atau agama hanya dijadikan sebagai fram-ing untuk pembenaran dan landasan motifasional.

Dengan mengggunakan pendekatan gerakan so-sial dalam melihat aksi terorisme, penulis telah beru-saha memperkaya sudut pandang pemahaman wacana; memberikan cakrawala baru; membuka ruang-ruang interpretasi terhadap fenomena aksi terorisme berbasis Islam yang menjadi ancaman serius di seluruh dunia dan termasuk di Indonesia.

Karya semacam ini jelas masih sangat langka dalam literatur kajian Islam. Karena itu, ia jelas merupakan kontribusi penting pada pengayaan pendekatan dalam kajian Islam khususnya menyangkut fenomena teror-isme berbasis Islam.

Jakarta, 9 April 2014Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.

KATA PENGANTAR

Buku dengan judul “Men-Teroris-Kan Tuhan!: Gerakan Sosial Baru” merupakan buku yang berangkat dari penelitian Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini berusaha mengungkap sejauh manakah watak rezim pemerin-tahan memberikan insentif dalam kemunculan dan ke-berhasilan gerakan terorisme. Perdebatan ini dengan sendirinya mengantarkan pada kesimpulan bahwa aksi terorisme berbasis Islam tidak semata-mata dilandaskan pada faktor agama. Agama hanya dijadikan alat pem-bingkaian gagasan, wacana dan aksi untuk mendapatkan pembenaran, mobilisasi dukungan serta tujuan politik.

Sebagaimana diketahui, terorisme sejak peristiwa 11 September 2001 menjadi isu seksi baik di Indonesia maupun di dunia Internasional. Aksi teror 11 September 2001 di Amerika Serikat menandai era baru gerakan terorisme pasca perang dingin adalah gerakan terorisme

Men-Teroris-Kan Tuhan!

xii

berbasis Islam. Islam menjadi sorotan dunia karena dalam kenyataannya aksi-aksi terorisme melibatkan sejumlah individu atau organisasi yang mengandung makna Islam. Dengan kata lain, simbol-simbol Islam melekat dalam beberapa aksi serangan terorisme.

Fenomena terorisme berbasis Islam merupakan ba-gian dari gerakan Islam politik non-institusional. Aksi terorisme berbasis Islam muncul salah satunya di-dasarkan ketidakberdayaan gerakan Islam politik in-stitusional dalam mempengaruhi kebijakan politik baik dalam level nasional atau politik dunia. Hal ini mem-buka ruang bagi sebagian kelompok untuk bergerak secara non-institusional melalui aksi-aksi yang disebut sebagai terorisme.

Singkat kata, terorisme berbasis Islam dapat di-pahami sebagai gerakan Islam politik yang mencoba mencari identitas di tengah-tengah pusaran demokrasi, modernisasi dan globalisasi dengan membajak serpihan agama dan sejarah Islam. Oleh karena itu, menghadapi persoalan terorisme sebagai gejala sosial politik, penu-lis menggunakan pendekatan integratif gerakan sosial dalam rangka memahami bagaimana gerakan terorisme menjalankan aksi dan gagasan dengan berusaha menge-sampingkan pemahaman umum yang didasari pada fa-natisme agama, kemiskinan dan pengangguran sebagai sebagai sebab utama kemunculan dan perkembangnya gerakan terorisme berbasis Islam.

Dalam penyelesaian buku ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang baik lang-sung maupun tidak langsung turut membantu proses penulisan buku ini hingga selesai. Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. M. Bambang Pranowo yang telah bersedia memberikan arahan dan masuk-an kepada penulis dalam proses penelitian tesis yang

Kata Pengantar

xiii

kini menjadi buku, keluarga besar Lembaga Penelitian CONCERN; Mas Ubay, Mas Marno, Mbah Supriyadi, Cupe, Mas Hamid, Mas Ndos, Mas Agus, Bagus, Taufiq, Aris dan Syakir, di tempat inilah penulis banyak men-dapatkan ilmu dalam upaya peningkatan kualitas diri.

Terimakasih saya juga kepada Mas Anick HT dan Istrinya serta kawan-kawan dalam jajaran pengurus LAPMI PB HMI, terimakasih tidak terhingga kepada keluarga besar K.H Zaim Ahmad Ma’shoem, Prof. (Ris) Hermawan Sulistyo, Ph.D, Arif Rahman Roesdy dan H. Mudjiono yang telah memberikan dukungan penuh dalam rangka peningkatan kualitas diri untuk terus melanjutkan pendidikan. Akhirnya, sebagai pungkasan dari faktor yang membakar semangat penulis adalah doa kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan sabar dalam meniti kehidupan ini bersama-sama.

Di atas semua itu, kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian buku ini. Penulis ucap-kan terimakasih dan semoga Allah mencatat sebagai amal shaleh, amin ya robbal alamin.[]

Jakarta, Agustus 2014Ali Asghar

GLOSARI

Depolitisasi Agama : Menghapuskan kegiatan politik keagamaan dengan mengguna-kan kekuatan atau kekuasaan pemerintah.

Framing : Proses konstruksi sosial guna menciptakan dan menggelinding-kan wacana yang dapat bergema di antara mereka yang menjadi target mobilisasi.

Gerakan sosial : Gerakan sosial (social movement) adalah aksi kolektif bergerak se-cara informal berbentuk organi-sasi dengan jumlah partisipan atau individu dalam jumlah be-sar yang secara spesifik berfokus pada isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak

Men-Teroris-Kan Tuhan!

xvi

atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial

Islamisme : istilah yang berkaitan erat dengan gerakan politik tertentu yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Cita-cita gerakan Islam-isme adalah terwujudnya negara yang berdasarkan ideologi Islam.

Islam politik : Aktifitas politik yang dilakukan oleh kelompok Islam baik dalam saluran institusional berupa partai politik, ormas dan atau dilakukan secara non-institusional seperti aksi terorisme berbasis Islam.

Jihad : Kata jihad berasal dari kata kerja Bahasa Arab “jahada”, yang memiliki arti ‘perjuangan’ atau ‘usaha sungguh-sungguh’. Secara definisi, jihad berarti melakukan yang terbaik untuk menegakkan hukum Allah, membangun dan menyebarkannya. Dalam sudut pandang syariah, jihad berarti melawan mereka yang tidak ber-iman dengan Islam. Karena itu, jihad ini terkenal dengan nama jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).

Kesempatan politik : Dimensi-dimensi lingkungan po-litik yang memberikan insentif bagi keberlangsungan gerakan.

Khilafah : sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam se-

Glosari

xvii

bagai Ideologi serta undang-un-dangnya mengacu pada Al-Quran dan Hadist.

Mobilisasi : Tindakan pengerahan atau peng-gunaan sumber daya yang di-miliki untuk mempertahankan kesinambungan gerakan hingga berhasil.

Radikalisme : Paham atau aliran yg mengingin-kan perubahan atau pembaharu-an sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Sekularisme : Paham pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa mengurangi peran agama dalam pemerintahan, mengganti hukum keagamaan dengan hu-kum sipil.

Teroris : Adalah orang yang mengguna-kan kekerasan untuk menimbul-kan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.

Terorisme : Paham penggunaan kekerasan, fisik, psikologis atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut ter-hadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersi-fat massal.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARProf. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) v

KATA PENGANTAR xi

GLOSARI xv

BAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang 1B. Tinjauan Pustaka 20C. Kerangka Teori 28D. Metodologi Penulisan 31E. Sistematika Penulisan 32

BAB II GERAKAN SOSIAL & TERORISME: TINJAUAN TEORITIS 35

Men-Teroris-Kan Tuhan!

xx

A. Teori Gerakan Sosial 36B. Definisi dan Karakteristik Terorisme 71C. Terorisme sebagai Gerakan Sosial 83

BAB III BATAS TOLERANSI POLITIK: PENJELASAN SITUASI POLITIK ATAS KEKERASAN AKTIVISME ISLAM 105A. Terorisme dan Struktur Kesempatan Politik Orde Lama 106B. Terorisme dan Kesempatan Politik Orde Baru 135C. Terorisme dan Kesempatan Politik Pasca Suharto 158

BAB IV ISLAM ADALAH SOLUSI: PEMBINGKAIAN TERORISME BERBASIS ISLAM 181

A. Framing Gerakan Terorisme 182

BAB V MOBILISASI SUMBER DAYA GERAKAN TERORISME 211

A. Struktur Organisasi dan Kepemimpinan 212B. Sumber Pendanaan Gerakan 230

BAB VI PENUTUP 241A. Kesimpulan 241B. Rekomendasi 243

DAFTAR PUSTAKA 245

INDEKS 263

BIODATA PENULIS 267

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasca serangan teror yang meluluhlantahkan menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001, persoalan keamanan dunia dan perdamaian men-jadi isu seksi dalam satu dasawarsa terakhir ini.Tragedi tersebut mampu mengubah konstelasi politik global akibat kebijakan Presiden Amerika George Walker Bush yang kontroversial.1 Bush mengatakan bahwa negara-negara di dunia yang tidak membantu Amerika melawan teroris maka akan menjadi musuh Amerika.2

1 Robert Jervis, “At Interim Assesment of September 11: What Has Changed and What Has Not,” Political Science Quaterly Vol. 117. No.1 (2002), 37-54. www.columbia.edu/itc/sipa/S6800/courseworks/Jervis_terror.pdf (diakses 22 April 2013)

2 Freek Colombijn,“The War Againts Terrorism In Indonesia: Amien Rais on US Foreign Policy and Indonesia’s Domestic Problems,” IIAS News Letter No. 28 (Agustus 2002), 2. www.iias.nl/iiasn/28/

Men-Teroris-Kan Tuhan!

2

Kebijakan politik luar negeri Amerika pasca tragedi 11 September seolah menguatkan wacana benturan per-adaban Barat dan Islam.3

Setelah peristiwa 11 September, Presiden Amerika George Walker Bush di depan Kongres dan Masyarakat Amerika (Joint Session of Congress and the American People) pada 20 September 2001 menyampaikan pidato yang berjudul “The Nature of The Terrorist Threat Today”. Dalam pidato tersebut, Bush menegaskan serta menga-rahkan wacana terorisme di abad 21 pasca perang dingin adalah kelompok-kelompok garis keras Islam seperti al-Qaeda. Karena itu, tidak heran jika kemudian Robert W. Hefner mengatakan politik dunia pada pergantian mi-lenium baru telah memunculkan kembali isu etnis dan agama dalam ruang publik.4

Dalam konteks Indonesia, aksi-aksi terorisme mulai muncul secara massif di era pasca Suharto. Era pasca Suharto tidak saja memunculkan fenomena serang-kaian aksi teror, tetapi juga menjadi momentum bagi kebangkitan Islam politik baik dalam bentuk organisasi partai politik atau organisasi keagamaan. Misalnya, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad (LJ). Mereka mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan di ruang publik serta tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyam-paikan aspirasi.5

IIASN28_amienrais.pdf (diakses 22 April 2013)3 Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of

World Order (London: Touchstone Book,1998).4 Robert W. Hefner, Civil Islam:Muslims and Democratization in

Indonesia (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000), 3.

5 Azyumardi Azra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia” dalam Virginia Hooker and Amin Saikal, eds. Islamic Perspektives

Pendahuluan

3

Episode penuh kekerasan ini mencapai puncaknya ketika terjadi serangan teror bom Bali pada tahun 2002 yang menewaskan sekitar 185 orang dari 20 negara di dunia.6 Serangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2000 diyakini oleh beberapa pengamat dan peneliti dilakukan oleh organisasi Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Abu Bakar Baasyir (ABB) yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda.7 Meski demikian, sampai saat ini ABB masih mengingkari bahwa ia sebagai ba-gian atau pimpinan organisasi JI.

Salah satu diskursus yang muncul setelah tragedi 11 September dan bom Bali di Indonesia adalah berkaitan dengan persoalan religio-politik yaitu radikalisme Islam.8 Ada beberapa literatur yang kemudian muncul untuk menjelaskan fenomena terorisme berbasis Islam. Di samping radikalisme Islam, terdapat istilah funda-mentalisme, Islamisme, revivalisme, neo-fundamen-talisme dan istilah yang muncul belakangan ini adalah aktivisme Islam (Islamic activism).9 Istilah-istilah tersebut memiliki tafsiran berbeda-beda tetapi merujuk pada satu fenomena kebangkitan Islam politik.

on the New Millenium, (Singapore:ISEAS Publishing, 2004), 133-149.6 Hermawan Sulistyo, ed. Bom Bali: Buku Putih Tidak Resmi Investigasi

Teror Bom Bali, (Jakarta: Pensil 324, 2002), 110.7 ICG Indonesia Briefing Paper, “Indonesia: Violence and Radical

Muslims,” (10 Oktober 2001),1.8 Sebagaimana dikatakan Robert W. Hefner, sejak tahun 2000

politik dunia diwarnai oleh dua diskursus mengenai isu etnis dan agama dalam ruang publik seperti, Nasionalisme Hindu di India, Islam dan Kewarganegaraan di Perancis, Perang Budaya di Amerika Serikat, atau Gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim. Lihat selanjutnya dalam Robert W. Hefner, Civil Islam:Muslims and Democratization in Indonesia, 3-20.

9 Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, (Bloomington & Indianapolis : Indiana University Press)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

4

Nazih Ayubi menyebut Islam politik merupakan fenomena atau gerakan yang meyakini bahwa Islam merupakan sebuah teori politik dan negara.10 Oliver Roy menafsirkan Islam politik sebagai gerakan kelom-pok-kelompok yang meyakini Islam tidak sekedar aga-ma semata tetapi merupakan sebuah ideologi politik.11 Demikian pula dengan Saiful Mujani menggunakan istilah “Islamisme” untuk menyebut Islam politik yang didefinisikan sebagai sikap dan pandangan hidup yang tidak hanya dalam konteks ibadah, organisasi atau iden-titas sosial, tetapi juga politik yakni kesatuan agama dan politik.12

Adapun Quintan Wiktorowicz menggunakan istilah “aktivisme Islam” (Islamic activism) untuk menyebut Islam politik yang dipahami sebagai mobilisasi per-seturuan sebagai upaya mendukung kepentingan dan tujuan politik kelompok Islam. Aktivisme Islam dalam hal ini dipahami sebagai tindakan protes dengan meng-gunakan kekuatan massa dan menggunakan simbol-simbol Islam dalam wacana, aksi dan gerakan.13

Oleh karena itu, Islam politik sering kali digunakan sebagai pisau analisis memahami fenomena terorisme berbasis Islam. Hal ini seturut dengan logika terorisme sebagai konsep politik yang mengandung motif, tujuan, klaim dan perjuangan politik. Demikian pula dengan

10 Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1991), 1-3.

11 Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12 dan 75.

12 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 89.

13 Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. 1-9

Pendahuluan

5

terorisme berbasis Islam, ia merupakan varian dari ge-rakan politik Islam yang memiliki karakter fundamental.

Sebagaimana diungkapkan Bassam Tibi, fundamen-talisme agama mempunyai agenda politisasi agama yang agresif untuk mencapai tujuan dan fundamental-isme baik di dalam Islam maupun agama lain meru-pakan bentuk superfisial dari terorisme atau ekstrim-isme.14 Selanjutnya, terorisme berbasis Islam sebagai gerakan Islam politik menawarkan gagasan Islam se-bagai solusi atas kegagalan sistem demokrasi sebagai landasan ideologi negara.

Paradigma Islam sebagai solusi yang ditawarkan kelompok Islamisme mendapatkan kritik tajam dari Muhammad Sa’id Al-Ashmawi. Menurutnya, para-digma Islam adalah solusi merupakan paradigma yang tidak memiliki konsep yang jelas untuk menjadi solusi atas krisis yang sedang dialami umat Islam dalam ber-bagai aspek. Kelompok Islam Politik, bagi Al-Ashmawi, tidak mengemukakan solusi dan konsepsi yang bisa di-terima secara rasional serta realistis dan tidak memiliki agenda politik yang jelas terhadap krisis yang melanda. Konsep Islam adalah solusi, justru lebih mengemukakan romantisme sejarah Islam pada masa Nabi yang telah mempraktekkan sebuah komunitas yang diatur dengan hukum Islam.15

Penting dicatat bahwa istilah terorisme agama per-tama kali dimunculkan oleh David C. Rapoport dalam “Fear and Treambling: Terrorism in Three Religious Traditions”. Dalam pandangannya, terorisme tidak

14 Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and The New World Disorder (California: The Regent of University of California, 1998), X.

15 Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, Al-Islām Al-Siyāsī (Cairo: Sina li al-Nasyr,1987), 76.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

6

saja terjadi di dalam agama Islam tetapi juga muncul di beberapa agama lain seperti agama Hindu, Islam dan Yahudi. Namun demikian, Rapoport mengakui bahwa adanya perbedaan aksi terorisme dalam doktrin dan karakteristik di dalam masing-masing agama tersebut.16

Terorisme agama atau terorisme berbasis keagamaan kini muncul kembali sebagai diskursus yang lahir sejak peristiwa 11 September. Andrew Silke sebagaimana dikutip oleh Richard Jackson menyebutkan bahwa sejak peristiwa 11 September buku-buku yang membahas terorisme diterbitkan setiap enam jam dalam bahasa Inggris di samping artikel, laporan penelitian, dan disertasi.17

Perhatian para pengamat dan masyarakat dunia ter-hadap Islam tumbuh pesat untuk memahami terorisme berbasis Islam dan tantangan serta masa depan teror-isme di dunia. Ada dua aliran atau kelompok sebagai pendekatan dalam memahami fenomena terorisme ber-basis Islam yaitu aliran ideasional dan aliran psikologis. Kedua pendekatan ini sangat mendominasi dalam be-berapa literatur kajian tentang terorisme berbasis Islam.

Pendekatan ideasional adalah pendekatan dalam memahami terorisme berbasis Islam dengan pene-kanan pada aspek ideologi. Pendekatan ini cenderung menganggap pikiran radikal dalam aksi teror didasar-

16 David C. Rapoport, “Fear and Treambling: Terrorism in Three Religious Traditions,” The American Political Science Review, Vol. 78, No. 3 (September 1984), 658-677. www.international.ucla.edu/cms/files/fear(diakses 11 April 2013)

17 Richard Jackson, “The Study of Terrorism after 11 September 2001: Problems, Challenges and Future Developments,” Political Studies Review, Vol. 7 (2009), 171–184 http://www.olympiaseminars.org/2012/readings/Cycle_C/Jackson_Study%20of%20Terrorism.pdf(diakses 22 Februari 2013)

Pendahuluan

7

kan pada tekstualitas teks-teks agama.18 Dengan kata lain, kekerasan dalam aksi teror bersumber dari tradisi keagamaan. Model penjelasan seperti ini menekankan pada ideologi keagamaan sebagai pusat analisis yang membentuk pikiran radikal seseorang.

Dominasi perspektif ideasional dalam melihat fenomena gerakan terorisme berbasis Islam bisa dilihat dari beberapa artikel, jurnal atau buku. Misalnya, Mark Sedgwick dalam “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism” menjelaskan fenomena gerakan al-Qaeda se-bagai tesis tentang terorisme berbasis agama. Sedgwick mencoba memahami tujuan langsung dan tujuan akhir aksi teror al-Qaeda. Tujuan langsung al-Qaeda adalah upaya memprovokasi Amerika, sedangkan tujuan akhir dari aksi terorisme berbasis agama adalah implementasi dari ajaran agama.19

Selanjutnya Quintan Wiktorowicz dalam “A Ge-nealogy of Radical Islam” mencoba melacak akar pe-mikiran radikalisme Islam. Menurutnya, radikalisme Islam bersumber dari pemikiran Mawlana Abul A’la Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Ibn Taimia. Pemikiran radikalisme tersebut mengilhami doktrin jihad dan terorisme sebagaimana dilakukan al-Qaeda. Ide dan gagasan tokoh intelektual muslim tersebut diyakini menjadi dasar legitimasi pembenaran aksi-aksi kekerasan berbasis Islam di dunia termasuk aksi kekerasan berbasis Islam di Indonesia.20

18 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Geneologi dan Teori (Yogjakarta: Suka-Press, 2012), vii.

19 Mark Sedgwick, “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism,” Terrorism and Political Violence, Vol. 16, No.4 (2004), 95–814.http://ipac.kacst.edu.sa/eDoc/2006/158222_1.pdf (diakses 24 April 2013)

20 Quintan Wiktorowicz, “A Genealogy of Radical Islam,”Middle East Policy, Vol. VIII, NO. 4, (December 2001),75-97.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

8

Di Indonesia, hal yang sama terhadap kecenderungan menggunakan penjelasan ideologi dalam memahami terorisme berbasis Islam juga sangat mendominasi. Pen-jelasan ideologi ini dapat dipahami dalam dua kerangka yaitu aspek geneologi pemikiran dan penafsiran agama. Namun demikian, kedua kerangka tersebut memiliki titik temu sama-sama menekankan aspek ideologi seba-gai pusat analisis.

Penjelasan ideologi dengan penekanan pada aspek geneologi pemikiran dapat dilihat dalam pemikiran Azyumardi Azra. Azyumardi Azra mengkaitkan aksi radikalisme dan terorisme berbasis Islam di Indonesia bertalian erat dengan beberapa ideologi politik Timur Tengah. Azra memakai istilah radikal-salafi untuk me-nyebut mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan terorisme berdasarkan konsep atau ideologi. Fenomena kekerasan berbasis agama yang dilakukan kelompok or-ganisasi Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra terpengaruh oleh gerakan salafi di Timur Tengah seperti Wahabi.21

Argumen Azyumardi Azra tersebut juga diung-kapkan oleh van Bruinesen. Menurutnya, Islam radikal di Indonesia secara geneologi dapat dilacak melalui keberadaan gerakan Darul Islam dan Partai Politik Majlis Syuro Indonesia (Masyumi) yang memiliki aliansi jaringan dengan kelompok gerakan di Timur Tengah seperti Wahabi (Arab Saudi), Ikhwanul Muslimin (Mesir), dan Hizbut Tahrir (Yordania-Palestina).22 Dua organisasi tersebut yakni Darul Islam dan Masyumi

21 Azyumardi Azra, “Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia,”Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2 (2012), 233-244.

22 Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia,”,South East Asia Research, Vol. 10, No. 2 (2002), 117-154.

Pendahuluan

9

menjadi agensi pemikiran Islam garis keras di Indonesia yang melahirkan generasi baru dalam kancah gerakan Islam di Indonesia pasca Suharto.

Adapun penjelasan ideologi dengan penekanan pada aspek penafsiran salah satunya dapat dilihat dalam pemikiran Muhammad Hanif Hassan. Hassan mengu-raikan ambigu penafsiran agama yang dilakukan para pelaku teror bom Bali seperti Imam Samudra. Dari per-spekif ini, meskipun mengakui adanya pandangan sem-pit dalam penafsiran sumber doktrinal Islam oleh para pelaku teror, tetapi tetap saja menempatkan ideologi pada pusat analisis dalam memahami persoalan teror-isme berbasis Islam.23

Pendekatan kedua yang sangat mendominasi dalam memahami persoalan terorisme berbasis Islam ada-lah model penjelasan psikologis. Perspektif psikologis menekankan aspek pada latar belakang individu yang terlibat dalam gerakan terorisme sebagai pusat analisis. Perspektif psikologis mencoba memahami latar bela-kang demografis yang membentuk pikiran radikal in-dividu sehingga mampu melakukan tindakan ekstrim dan sadis. Meskipun menekankan pada upaya mema-hami latar belakang demografis individu-individu tero-ris, tetapi analisis seperti ini tidak bisa dilepaskan pada aspek keagamaan di balik pikiran radikal para teroris.

Penjelasan psikologis ini salah satunya dikemukakan oleh Sarlito Wirawan Sarwono dalam Terorisme di Indo-nesia; dalam Tinjauan Psikologi. Penelitian ini mencoba menguraikan psikologi para teroris; pandangan ideolo-gi, politik, karakter, kehidupan sehari-hari serta moti-vasi melakukan tindakan kekerasan. Lewat wawancara 23 Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad

Sesat Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

10

dengan para tersangka teroris, Sarlito menarik kesim-pulan ada pemahaman fundamental keagamaan yang didukung oleh goncangan psikologis sehingga melahir-kan pikiran radikal melakukan aksi-aksi kekerasan.24

Penjelasan psikologis sangat sedikit untuk bisa me-mahami kompleksitas persoalan aksi terorisme. Seba-gaimana diungkapkan oleh Mohammad M. Hafez dan Quintan Wiktorowicz. Menurut mereka, ada beberapa hal yang menunjukkan kelemahan penjelasan psikologis dengan memahami akar-akar demografis para teroris.25 Pertama, kelompok Islam radikal dan moderat memiliki banyak kesamaan dalam hal karakter, termasuk dalam pendidikan. Karena itu, mengapa mereka mengguna-kan cara kekerasan sementara sebagian menggunakan cara-cara damai.

Kedua, karakteristik demografis tidak mampu menje-laskan variansi kekerasan dalam waktu tertentu. Kelom-pok Islam radikal dalam beberapa kasus tidak menegas-kan sejak awal pilihan untuk melakukan kekerasan. Pilihan kekerasan digunakan sehubungan dengan kondisi batas toleransi politik pada saat-saat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang demografis para teroris tidak mampu menjelaskan pilihan waktu di mana mereka menggunakan cara-cara kekerasan.

Di luar perdebatan tersebut, salah satu perdebatan yang turut mewarnai diskursus tentang fenomena terorisme berbasis Islam adalah persoalan Islam dan demokrasi. Perdebatan seperti ini sangat mendominasi

24 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 29-30.

25 Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as Contention in the Egyptian Islamic Movement” dalam Quintan Wiktorowicz ,ed. Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach, (Bloomington : Indiana University Press, 2004), 65.

Pendahuluan

11

dalam beberapa literatur dalam merespon fenomena ke-bangkitan Islam politik. Misalnya, Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia, 2007; dan Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011.

Perdebatan-perdebatan semacam itu hanya akan ber-muara pada satu titik temu mengenai anakronisme seja-rah yakni menilai masa lampau dengan standar norma dan nilai-nilai masa kini, atau sebaliknya menilai masa kini dengan standar dan nilai masa lalu. Karena itu, ia tidak lebih dari sekedar perdebatan dalam tataran wa-cana daripada memberikan langkah kongkrit untuk memberikan solusi terhadap persoalan terorisme berba-sis Islam.

Dalam hal ini, Asef Bayat memberikan kritik tajam terhadap pendekatan-pendekatan kultural ideasional dalam memahami gejala terorisme atau radikalisme berbasis Islam. Menurutnya, terorisme sebagai gerak-an Islam jika cenderung dipahami dengan pendekatan ideasional sama halnya memperlakukan gerakan Islam sebagai sesuatu yang statis dan membeku dalam wacana, bukan sebagai sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu, Bayat mengusulkan untuk memahami dimensi-dimensi luar gerakan Islam guna mengungkap agenda tersem-bunyi di balik simbol-simbol Islam yang melekat seba-gai kekuatan inti gerakan Islam politik.26

Berdasarkan perdebatan tersebut, buku ini mencoba memahami dimensi luar yakni dialektik antara gagasan dan kondisi sosial dalam memberikan insentif bagi ke-munculan politik kekerasan dengan mengambil studi 26 Asef Bayat, “Islamisme and Social Movement Theory,”Third World

Quarterly, 26,6 (2005), 891-908.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

12

kasus gerakan terorisme. Gerakan terorisme sebagai ge-jala sosial memiliki kompleksitas persoalan. Terorisme tidak lahir dalam ruang hampa, banyak faktor yang mempengaruhinya dan bukan hanya faktor tunggal saja tetapi beberapa faktor saling mempengaruhi satu sama lain, baik konteks lokal nasional atau global.

Penekanan pada dimensi luar dalam menjelaskan fenomena terorisme berbasis Islam tidak bermaksud menganggap pendekatan ideologi dan psikologi tidak relevan tetapi variabel strategis dalam memahami gejala terorisme berbasis Islam adalah dengan memahami di-mensi luar berkenaan dengan konteks politik.

Salah satu intelektual yang mencoba memahami dimensi luar dalam menjelaskan kekerasan berbasis Islam adalah Vedi R. Hadiz dalam “Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia”.27 Hadiz berpendapat bahwa terorisme dan kekerasan berbasis Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan warisan sejarah panjang sosial politik Indonesia yang menyangkut antara lain; Pertama, adanya warisan seja-rah ketegangan politik antara Negara dan Islam politik di awal kemerdekaan dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Kedua, peran yang dimainkan oleh kelompok Islam dalam memunculkan isu-isu ketidakadilan sosial sehubungan dengan kontradiksi pembangunan kapitalis. Ketiga, peran yang dimainkan oleh Islam politik dalam menempuh arah dan tujuan di masa Perang Dingin. Namun demikian, menurut hemat penulis Hadiz gagal menjelaskan bagaimana pilihan waktu digunakan dalam melakukan aksi-aksi kekerasan dalam bentuk terorisme atau kekerasan berbasis Islam.

27 Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia,” Journal of Contemporary Asia, Volume 38, Issue 4, (November 2008), 638-647.

Pendahuluan

13

Dalam konteks global, pandangan tersebut sejalan dengan Robert A. Pape yang menekankan pengaruh kebijakan luar negeri Amerika terhadap negara-negara Islam memicu kemunculan aksi terorisme. Pape kemu-dian menarik kesimpulan bahwa faktor di balik aksi-aksi kekerasan dalam bentuk terorisme bom bunuh diri bu-kanlah didorong oleh semata-mata faktor fundamental-isme agama, sebaliknya justru lebih didorong oleh motif sekuler yaitu nasionalisme dalam bentuk politik penen-tangan mengusir pendudukan Amerika di negara-ne-gara Islam.28 Tesis Pape ini menjadi penting untuk men-jelaskan apakah terorisme bertalian erat dengan idelogi agama, namun jawabannya adalah tidak. Gerakan te-rorisme pada umumnya adalah gerakan politik penen-tangan terhadap ketidakadilan sosial politik dibawah kendali negara Amerika.

Paralel dengan apa yang diungkapkan Robert A. Pape, Faisal Devji dalam The Terorist in Search of Humanity : Militant Islam and Global Politics mencoba mendiskusi-kan dan mempertanyakan representasi Islam sebagai motif dari aksi terorisme. Terorisme menurut Devji bu-kan bersumber dari faktor keagamaan tetapi lebih dari suatu bentuk protes terhadap tatanan dunia global yang tidak adil di bawah kendali negara Amerika.29

Sebagaimana diungkapkan Noorhaidi Hasan bahwa penelitian Devji tentang al-Qaeda tidak bermaksud ingin menjustifikasi aksi-aksi kekerasan yang dilaku-kan kelompok terorisme, tetapi berusaha menunjuk-kan betapa paradoks dunia yang semakin mengglobal.30

28 Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism (New York : Random House, 2005), 4.

29 Faisal Devji, The Terorist in Search of Humanity: Militant Islam and Global Politics (New York: Columbia University Press, 2008)

30 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,

Men-Teroris-Kan Tuhan!

14

Paradoks-paradoks tersebut dengan sendirinya memun-culkan kelompok terorisme yang lebih identik sebagai gerakan moral dalam upaya mewujudkan perubahan.

Al-Qaeda bagi Devji sebagaimana diungkapkan oleh Stephan Clauss adalah gerakan protes terhadap kebi-jakan politik Amerika Serikat yang paradoks terhadap negara-negara Arab. Devji menganggap al-Qaeda adalah gerakan moral menentang “arogansi” Amerika daripada sekedar gerakan politik.31 Bagi Devji, apa yang dilakukan Amerika dengan mengklaim telah berhasil membunuh Osama bin Laden tidak lebih dari sebuah pemenuhan strategi pendahulunya untuk menegaskan posisi Amerika dalam pemegang politik global pasca perang dingin serta bagian dari strategi untuk meningkatkan dukungan politik nasional terhadap Obama.32

Namun demikian, upaya yang dilakukan oleh Pape, Hadiz dan Devji tidak menyinggung bagaimana sebuah gerakan diorganisasikan, bagaimana proses mobilisasi massa dan bagaimana mereka memilih waktu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan serta hubungan antara perilaku gerakan perlawanan dengan rezim pemerin-tahan yang sah. Hal-hal ini sedikit sekali mendapatkan perhatian dalam memahami fenomena gerakan teror-isme atau kekerasan berbasis Islam.

Genealogi dan Teori (Yogjakarta : SUKA-Press, 2012), 29.31 Stephan Clauss, “Faisal Devji, Landscapes of the Jihad, Militancy,

Morality, Modernity,”Archives de sciences sociales des religions, 136 (octobre - décembre 2006) http://assr.revues.org/3913?lang=en (diakses 28 April 2013)

32 Faisal Devji, “Politics After Al-Qaeda,” Policy Paper Conflicts Forum, (July 2011)http://conflictsforum.org/briefings/DrFaisalDevji-PolicyPaper-July2011.pdf (diakses 28 April 2013).

Pendahuluan

15

Oleh karena itu, secara teoritis ada dua perdebatan mengenai korelasi watak sistem pemerintahan dengan perilaku gerakan. Pertama, beberapa ahli menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang lebih ekslusif dan represif akan menghambat kemunculan dan keber-hasilan aksi-aksi penentangan. Paradigma seperti ini nampak dalam pemikiran David Snyder dan Charles Tilly dalam “Hardship and collective Violence in France 1830 to 1960”.33 Dukungan terhadap paradigma tersebut juga dapat dilihat melalui pemikiran Douglas A. Hibbs, JR dalam Mass Political Violence: A Cross-National Causal Analysis.34

Kedua, paradigma pemikiran yang menyatakan bahwa watak sistem pemerintahan yang represif, diktator atau otoriter akan memberikan insentif bagi keberlangsungan gerakan politik penentangan dengan cara kekerasan. Paradigma seperti ini nampak dalam beberapa pemikiran seperti, Robert W. White dalam “From Peaceful Protest to Guerrilla War: Micromobilization of the Provisional Irish Republican Army”.35 Demikian pula yang ditunjuk-kan oleh William A. Gamson, Bruce Fireman dan Steven Rytina dalam “Encounters with Unjust Authority”. Mereka menjelaskan korelasi hubungan negara yang

33 David Snyder and Charles Tilly, “Hardship And Collective Violence In France 1830 to 1960,” American Sociological Review, 37, 5 (Oktober), 520-532. deepblue.lib.umich.edu/...42/.../72.pdf (diakses 16 Maret 2014)

34 Douglas A. Hibbs, JR, Mass Political Violence: A Cross-National Causal Analysis (York: wiley-interscience publication, 1973)

35 Robert W. White dalam “From Peaceful Protest to Guerrilla War: Micromobilization of the Provisional Irish Republican Army,”American Journal of Sociology, Vol. 94, No. 6 (May, 1989), 1277-1302. www.offiziere.ch/wp-content/uploads/1989-2780960.pdf‎ (diakses 16 Maret 2014)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

16

cenderung otoriter akan memberikan insentif bagi upaya perlawanan dengan cara-cara kekerasan.36

Buku ini dengan menggunakan studi kasus terorisme berbasis Islam di Indonesia dimaksudkan tidak untuk mendukung kedua argumen tersebut. Sebaliknya, buku ini merumuskan sebuah paradigma bahwa aksi-aksi politik kekerasan yakni terorisme muncul tidak menge-nal watak sistem pemerintahan. Dengan kata lain, baik model pemerintahan yang otoriter, represif atau demok-ratis sama-sama mencetuskan gelombang gerakan teror-isme. Oleh karena itu, watak rezim pemerintahan tidak menjadi satu determinan utama dalam memberikan insentif bagi kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme.

Paradigma tersebut di atas, nampak dalam pemikiran Mohammed M. Hafez dan Quintan Wiktorowicz ketika menjelaskan politik kekerasan di Mesir pada dekade 1990-an dalam “Violence as Contention in the Egyptian Islamic Movement”. Politik kekerasan di Mesir dalam dekade tersebut menunjukkan bahwa iklim politik yang otoriter atau demokrasi sama-sama memberikan insentif bagi kemunculan aksi-aksi politik penentangan dengan cara-cara kekerasan.37

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Marwan Khawaja dalam “Repression and Popular Collective Action: Evidence From the West Bank”. Penelitian Khawaja menunjukkan bahwa dalam kondisi sistem rezim yang

36 William A. Gamson, Bruce Fireman and Steven Rytina, “Encounters with Unjust Authority,”Social Forces, Vol. 63, No. 1 (Sep 1984), 288-290. http://www.jstor.org/stable/2578884 (diakses 16 Maret 2014)

37 Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as Contention in the Egyptian Islamic Movement” dalam Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach (Bloomington: Indiana University Press, 2004), 61-88.

Pendahuluan

17

kondusif terbukti tidak bisa menekan atau menghambat kemunculan gerakan kolektif penentangan dengan cara kekerasan, demikian juga dengan rezim yang represif.38 Karena itu, aksi-aksi politik penentangan dengan cara kekerasan tidak menyangkut ideologi dan watak rezim pemerintahan, tetapi lebih menyangkut tentang kemam-puan mengukur batas toleransi politik.

Batas toleransi politik memberikan makna dimen-si struktur kesempatan politik yang oleh Hafez dan Wiktorowicz dicirikan oleh dua fitur yang melekat di dalamnya yaitu; aksesibilitas sistem politik dan ting-kat represi negara.39 Sistem politik dikatakan aksesibel jika sistem tersebut terbuka bagi sebuah gerakan untuk menyampaikan aspirasi melalui saluran formal atau informal dan jika sistem politik cenderung eklusif bagi upaya memberikan pengaruh kebijakan negara maka ia tidak bisa dikatakan aksesibel.

Aksesibilitas sistem politik menjadi suatu variabel untuk memahami batas toleransi politik bagi sebuah gerakan untuk melakukan perlawanan. Namun de-mikian, dalam beberapa kasus sistem politik yang ter-buka tidak menjadi satu determinan utama untuk men-jelaskan kemunculan aksi kekerasan. Karena itu, para teoretikus dengan tidak mengesampingkan peranan aksesibilitas sistem politik mencoba memahami tingkat represi negara. Tingkat represi negara dianggap bisa memahami kemunculan politik kekerasan secara mas-

38 Marwan Khawaja, “Repression and Popular Collective Action: Evidence From the West Bank,” Sociological Forum, Vol. 8, No. 1 (1993), 47-71.

39 Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as Contention in the Egyptian Islamic Movement”.66-67.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

18

sif dan menjelaskan bagaimana sebuah gerakan mampu bertahan lama.40

Karena itu, politik kekerasan yang melekat dalam aksi terorisme tidak harus dibaca dalam konteks watak rezim pemerintahan, apalagi kultural ideologis. Aksi kekerasan dalam bentuk terorisme bisa dipahami dalam konteks sejauh mana sebuah gerakan mampu mengukur tingkat toleransi sistem politik. Batas toleransi inilah yang menentukan sebuah gerakan perlu tidaknya mengambil jalan kekerasan sebagai saluran penen-tangan dan mampu bertahan.

Berdasarkan perdebatan akademik tentang apa yang melandasi gerakan terorisme di Indonesia khususn-ya dan pada umunya di dunia. Buku ini ditulis untuk mengungkap apakah sistem pemerintahan otoriter atau demokratis yang cenderung memberi peluang bagi kemunculan dan keberhasilan aksi-aksi terorisme di Indonesia serta apakah gerakan terorisme berbasis Islam dilandaskan oleh faktor agama semata atau menyang-kut persoalan sosial politik. Buku ini berasumsi bahwa sistem pemerintahan otoriter atau demokratis secara empiris di Indonesia sama-sama memberikan insentif bagi keberlangsungan aksi-aksi perlawanan dengan ja-lan kekerasan atau terorisme dan aksi terorisme berbasis agama tidak semata-mata dilandaskan oleh faktor aga-ma tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya baik sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Berdasarkan hal tersebut, buku ini ditulis untuk men-dukung pendapat Mohammed M. Hafez dan Quintan Wiktorowicz, demikian pula dengan pendapat Marwan Khawaja. Studi mereka menunjukkan bahwa orientasi 40 Edward N. Muller, “Income Inequality, Regime Repressiveness,

and Political Violence,”American Sociological Review, Vol. 50, No. 1 (Feb., 1985), 47-61.

Pendahuluan

19

ideologis dan latar belakang demografis tidak dengan sendirinya memicu kekerasan. Politik kekerasan seperti halnya aksi-aksi terorisme menunjukkan konteks yang lebih luas dari peluang dan hambatan yang membuat sebuah gerakan melakukan mobilisasi perlawanan.

Peluang dan hambatan merupakan dimensi politik yang turut memberikan insentif bagi sebuah gerakan. Dimensi politik tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengambil manfaat dan pembenaran aksi-aksi kekerasan dalam bentuk terorisme sebagai pilihan ra-sional. Akhirnya, dengan menganggap kekerasan se-bagai pilihan rasional diharapkan dapat menghindari kekaburan terhadap pemahaman terorisme sebagai ge-jala sosial politik.

Oleh karena itu, penelitian tentang terorisme berba-sis Islam dalam buku ini mengambil pendekatan yang berbeda. Penelitian dalam buku ini dibangun dengan menggunakan pendekatan integratif teori gerakan so-sial. Pendekatan integratif teori gerakan sosial dipilih karena dianggap tepat untuk membaca kasus terorisme berbasis Islam tidak hanya dari sudut pandang ideologi dan demografis, tetapi juga aspek ekonomi-politik, so-siologis dan aktivisme Islam sehingga tidak mereduksi kompleksitas persoalan terorisme.

Lebih dari itu, sebagaimana dikatakan oleh Donatella della Porta bahwa gerakan terorisme memiliki hubungan erat dengan organisasi gerakan sosial karena pada umumnya gerakan terorisme yang bersifat klandestin merupakan produk sampingan dari organisasi gerakan sosial dan sebagian besar militan dari organisasi teroris memiliki pengalaman sebelumnya dalam organisasi gerakan sosial.41

41 Donatella della Porta, “Some Reflection on the Relationship between Terrorism and Social Movement?,” mobilizingideas (16

Men-Teroris-Kan Tuhan!

20

Di atas semua itu, sekali lagi argumentasi yang ingin dikembangkan dalam buku ini adalah bahwa sistem kekuasaan otoriter atau demokratis sama-sama mereda-kan dan memicu kemunculan gerakan terorisme seba-gai politik penentangan.

B. Tinjauan Pustaka

Terorisme di dunia bukan merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peris-tiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Oleh karena itu, banyak tulisan yang terkait dengan isu ini, meskipun demikian, sebagian tulisan dan pemikiran telah disebut pada latar belakang.

Diketahui bahwa awal kontroversi yang kemudian melahirkan perdebatan yang hingga kini belum usai adalah tulisan Samuel P.Huntington dalam “The Clash of Civilizations”, Foreign Affairs. Volume 72, No.3, 1993.42 Tulisan tersebut dianggap kontroversial terhadap sen-sitivitas persoalan agama, sosial, budaya dan politik pasca-perang dingin. Menurut Huntington, ketegangan politik pasca-perang dingin adalah benturan peradaban antara Barat dan Non-Barat.

Adalah Islam dalam pandangan Huntington diang-gap sebagai ancaman terhadap Barat (Amerika) karena peradaban Islam secara kultural, sosial dan ideologi me-

April 2012).42 Tulisan tersebut kemudian disempurnakan dalam bentuk buku

untuk menjelaskan secara terperinci terhadap persoalan-persoalan didalamnya dengan maksud menjawab kritikan karena dianggap “provokatif” yang kemudian ditulis dalam buku , Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (London: Touchstone Book,1998)

Pendahuluan

21

miliki perbedaan mendasar dengan Barat. Karena itu, Islam akan bangkit untuk menantang kekuatan, nilai-nilai dan kepentingan Barat. Tesis Huntington tersebut semakin hangat dibicarakan karena menemukan kebe-naran atau relevansinya sejak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Teror 11 September seturut logika Huntington, beberapa pakar menjelaskan peristi-wa tersebut secara ideologi dan Islam menjadi tertuduh sebagai agama teroris.

Berbeda dengan Huntington, Fawaz A. Gergez dalam America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash of Interrest? menemukan temuan yang berbeda dengan Huntington. Buku tersebut menyinggung debat tentang benturan peradaban Huntington. Menurutnya, pergolak-an dewasa ini bukanlah sesuatu yang berada pada bing-kai peradaban tetapi lebih pada benturan kepentingan politik Amerika di negara-negara Arab. Pemerintahan Bush (senior) dan Clinton misalnya, menurut Gergez sangat memuji agama Islam dan budayanya.43

Dalam konteks terorisme di Indonesia, Greag Fealy dalam “Local Jihad: Radical Islam and terrorism in Indonesia” mengatakan bahwa fenomena terorisme di Indonesia bukanlah hal baru. Menurutnya, Islam radi-kal di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1780-an oleh sekelompok yang disebut dengan kaum Padri di Sumatera Barat yang menerapkan hukum Islam se-cara ketat sehingga memicu kekerasan berbasis Islam. Demikian pula “kekerasan” berbasis Islam dapat dilihat dalam sejarah Perang Jawa (1825-1830) di mana adanya penggunaan simbol-simbol Islam seperti, jihad seba-

43 Fawaz A. Gergez, America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash of Interrest? (New York : Cambridge University Press, 1999)1-19

Men-Teroris-Kan Tuhan!

22

gai pembingkaian dalam rangka perlawanan terhadap penjajah.44

Geneologi sejarah Islam radikal dan terorisme ber-basis Islam di Indonesia juga dapat dilihat melalui pe-nelitian Martin van Bruinessen dalam “Geneologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”. Menurutnya, secara geneologis kemunculan gerakan Islam radikal di era pasca Suharto Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor gerakan Darul Islam di awal kemerdekaan Indonesia dan peran Masyumi melalui Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok Islam radikal Timur Tengah.45

Gerakan Islam radikal Timur Tengah sebagaimana di-ungkapkan Quintan Wiktorowicz dalam “ A Genealogy of Radical Islam” menemukan relevansinya dalam pe-mikiran beberapa Ulama seperti, Mawlana Abul A’la Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayid Qutb, Muhammad bin ‘Abdal Wahab dan Ibn Taimia. Pandangan keagamaan yang dirumuskan oleh beberapa Ulama tersebut menjadi landasan pembenaran terhadap kelompok teroris ber-basis Islam di dunia.46

Pandangan seperti itu semakin menemukan rele-vansinya dalam beberapa laporan yang ditulis oleh Sidney Jones melalui organisasi International Crisis Group (ICG). ICG secara berkala memberikan analisis-analisis 44 Greag Fealy and Aldo Borgu, “Local Jihad: Radical Islam and

terrorism in Indonesia,”ASPI: Australian Strategic Policy Institute (September 2005),16-18. www.humansecuritygateway.com (diakses 10 Mei 2013).

45 Martin van Bruinessen, “Geneologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia,”South East Asia Research, Vol. 10, No.2 (2002), 117-154.

46 Quintan Wiktorowicz, “A Genealogy of Radical Islam,”Middle East Policy, Vol. VIII, NO. 4, (December 2001),75-97.

Pendahuluan

23

atau laporan berkenaan dengan fenomena kekerasan dan aksi terorisme di Indonesia. Misalnya dalam laporan “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of The “Ngruki Network” in Indonesia” yang menegaskan keterlibatan JI dan Abu Bakar Baa’syir dengan organisasi al-Qaeda.47

Analisis Sidney Jones semakin terbukti ketika terjadi teror bom Bali pada 12 Oktober 2002. Peristiwa tersebut disikapi ICG dan Sidney Jones dalam “Impact of the Bali Bombings”. Menurutnya, bom Bali merupakan bukti Indonesia berada pada ancaman terorisme dan Sidney menganjurkan untuk waspada terhadap organisasi radi-kal Islam seperti Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah (JI) yang diyakini memiliki hubungan dengan al-Qaeda.48 Laporan-laporan ICG selanjutnya berhasil menjadi arus utama dalam membumikan wacana terorisme di Indonesia dan juga menjadi arus utama sebagai referen-si dalam memahami fenomena terorisme oleh beberapa peneliti.

Salah satu perdebatan akademik menyangkut fenomena terorisme berbasis Islam adalah hubungan antara Islam dan demokrasi. perdebatan ini muncul seiring dengan wacana kebangkitan gerakan Islam politik yang menawarkan sebuah gagasan Islam sebagai ideologi negara dalam memberi solusi atas kegagalan demokrasi sebagai ideologi sistem pemerintahan. Para-digma ini sangat umum dalam gerakan Islam di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

47 Sidney Jones, “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of The “Ngruki Network” in Indonesia,” ICG Indonesia Briefing Paper, (8 Agustus 2002) 1-23. www.crisisgroup.org › ... › Asia › South East Asia › Indonesia (diakses 10 Mei 213)

48 Sidney Jones, “Impact of the Bali Bombings,”ICG Indonesia Briefing Paper, (24 Oktober 2002) www.crisisgroup.org › ... › Asia › South East Asia › Indonesia (diakses 10 Mei 2013)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

24

Salah satu penelitian menyangkut hubungan antara Islam dan demokrasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Penelitian tersebut berusaha membantah pan-dangan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Bernard Lewis, Ernes Gellner, Elie Kedourie, dan Samuel Huntington. Kesim-pulan Mujani dimulai dengan upaya membedakan atau redefinisi secara ketat terhadap konsep Islam, keislaman, Islamisme dan budaya demokrasi.49

Perdebatan Islam dan Demokrasi juga nampak dalam beberapa buku seperti, Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; dan Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011; Bahtiar Effendy, Is-lam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Di Indonesia, 1998. Meskipun perdebatan tersebut ditulis dengan karakter, studi kasus dan sudut pandang yang berbeda-beda dari tiap penulis tetapi memiliki titik temu mengenai hubungan Islam dan Demokrasi.

Burhanuddin Muhtadi mungkin dapat dikatakan di antara sedikit peneliti yang membahas hubungan antara Islam dan Demokrasi dalam sudut pandang gerakan sosial. Pandangan Muhtadi dituliskan dalam buku Dilema PKS: Suara dan Syariah. Dengan meng-gunakan teori gerakan sosial, ia membedah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk melihat dialektik inter-aksi gagasan PKS dan kondisi demokratisasi politik di Indonesia. Buku tersebut menunjukkan perjuangan PKS kerapkali mengalami dilema dalam merespon

49 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)

Pendahuluan

25

perubahan perpolitikan di Indonesia sehingga harus memenuhi tuntutan pasar politik daripada tetap kukuh pada pendirian ideologi Islamisme.

Hal yang sama juga dapat dilihat dalam buku yang ditulis Noorhaidi Hasan. Hasan dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru menemukan temuan tentang bagaimana mo-bilisasi dengan menggunakan simbol-simbol agama digunakan organisasi Islam radikal seperti organisasi Forum Komunikasi Ahlusunnah Wajama’ah (FKAWJ) dan organisasi Laskar Jihad (LJ) untuk memobilisasi relawan dalam aksi jihad di Maluku.50

Dalam konteks perdebatan mengenai paradoks anta-ra sistem pemerintahan otoriter atau demokratis dalam meredakkan dan memicu aksi politik kekerasan atau terorisme, dapat dilihat dalam beberapa penelitian yang telah disebutkan sebelumnya dalam latar belakang. Di samping itu, juga nampak dalam beberapa karya seper-ti, Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, 1970; Mark Lichbach and Ted R. Gurr, The Conflict Process: A Formal Model, 1981;Edward N. Muller, “Income Inequality, Regime Repressiveness and Political Violence” (1985). Penelitian-penelitian tersebut memfokuskan pada upaya melihat tingkatan represif—terlalu besar atau terlalu kecil—bagi keberlangsungan aksi-aksi kekerasan atau terorisme.

Sementara itu, sebagian peneliti gerakan sosial atau politik kekerasan lebih menekankan pada upaya meli-hat pilihan waktu kekerasan dilakukan; David Snyder dalam “Theoretical and Methodological Problems in the Analysis of Govermental Coercion and Collecvtive Vio-lence.” (1976), konteks kelembagaan; Gupta, Singh dan Sprague dalam “Government Coercion of Dissidents: 50 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian

Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta:LP3ES, 2008)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

26

Deterrence or Provocation?” (1993), atau kombinasi di antara kedua variabel tersebut; Donatella Della Porta, Social Movements, Political Violence and the State:A Comparative Analysis of Italy and Germany, 1995.

Penelitian yang cukup relevan dalam membedah ge-rakan terorisme di Indonesia selain disebut di atas adalah persoalan implikasi kebijakan negara Amerika terhadap negara-negara Islam. Hal ini nampak dalam beberapa buku seperti, Suzaina Kadir “Mapping Muslim poli-tics in Southeast Asia after September 11”. Menurutnya, Islam politik di Asia Tenggara adalah sudah menjadi persoalan yang kompleks sebelum tragedi 11 September 2001. Namun, tragedi 11 September makin mempersu-lit persoalan akibat kebijakan koersif Amerika terhadap Islam politik. Hal tersebut menurut Kadir sangat meru-sak tujuan meredam terorisme internasional.51

Sedangkan Bellamy dalam “Is the War on Terror Just?” menganggap cara-cara yang digunakan Presiden Amerika Bush tidak mencerminkan sebagai negara demokrasi. Menurutnya, apakah mungkin menegak-kan demokrasi dan perdamaian dengan cara yang tidak demokratis, malah identik dengan kekerasan?. Karena itu, kebijakan yang diambil Bush tidaklah mencermin-kan demokrasi itu sendiri. Dia hanya fokus pada pe-numpasan terorisme daripada menangkap siapa pelaku teror.52

Hal yang sama juga disampaikan oleh Gabriel Lele dalam “Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global,

51 Suzaina Kadir, “Mapping Muslim politics in Southeast Asia after September 11,”The Pacific Review, Vol. 17 No. 2 (June 2004), 199–222.

52 Alex J. Bellamy, “Is the War on Terror Just?,”International Relations, Vol. 19, No.3 (2005): 275-296. www.sagepub.com/banks/articles/08/Bellamy_CH08.pdf (diakses 22 Februari 2013)

Pendahuluan

27

Solusi Lokal”. Menurutnya, cara-cara yang dilakukan Amerika dalam menangani fenomena terorisme pasca 11 September tidak mencerminkan prinsip demokrasi. lebih dari itu, Lele mengkritik Amerika yang katanya negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi tetapi menghancurkan demokrasi itu sendiri dengan melakukan invasi ke negara Islam dengan membunuh banyak warga sipil.53

Karena itu, secara umum implikasi kebijakan Amerika terhadap negara-negara Islam semakin memberikan insentif bagi kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme. Hal ini nampak dalam pemikiran Robert Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism, 2005. Pape menunjukkan bahwa aksi terorisme bunuh diri merupakan pilihan rasional yang dilakukan dengan pertimbangan strategis untuk mengusir pendudukan tentara Amerika dari negara-negara Islam.54

Di atas semua itu, betapapun terorisme itu adalah ancaman nyata terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Gerakan terorisme tidak lantas disikapi se-cara berlebihan. Sikap berlebihan hanya akan semakin menghidupkan semangat aksi kekerasan dalam bentuk terorisme. Mengapa demikian, dalam kenyataannya jumlah kelompok Islam garis keras di seluruh dunia tidaklah banyak dan tidak semua negara yang terdapat kelompok Islam garis keras rentan akan serangan te-roris. Di samping itu, jumlah korban terorisme sangat kecil dibandingkan korban penyakit HIV, kelaparan, kemiskinan dan kecelakaan. Paradigma seperti ini

53 Gabriel Lele, “Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal,”Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol. 9, No.1, (Juli 2005), 71-90.

54 Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism (New York : Random House, 2005)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

28

nampak dalam pemikiran Charles Kurzman, The Missing Martyrs: Why There Are So Few Muslim Terrorists, 2011.55

C. Kerangka Teori

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah upaya dalam rangka mengeksplorasi dan me-maparkan teori-teori dari perspektif keilmuan tertentu yang akan digunakan untuk kajian ini.

Pendekatan utama dalam penelitian ini adalah pendekatan integratif teori gerakan sosial. Pendekatan integratif yang diracik Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald digunakan untuk menjelaskan relasi antara gerakan terorisme dan politik penentangan ter-hadap golongan elite, penguasa dan kelompok lawan.56 Dalam hal ini, tiga konsep utama dalam pendekatan teori gerakan sosial menjadi penting yaitu struktur kesempatan politik (Political opportunity structure), pem-bingkaian (Framing) dan struktur mobilisasi (Mobilizing structure). Ketiga hal tersebut diintegratifkan satu sama lain untuk memahami kerangka gerakan terorisme.

Adalah Wiktorowicz dalam Islamic Activism A Social Movement Theory Approach sebagai sarjana pertama yang mengkoordinir upaya-upaya memahami gerakan Islam politik termasuk terorisme berbasis Islam. Wiktorowicz memberikan suatu perspektif baru bahwa gerakan teror-isme berbasis Islam tidak semata-mata bersumber dari doktrin agama, tetapi ia lahir dalam konteks dinamika 55 Charlez Kurzman, The Missing Martyrs: Why There Are So Few

Muslim Terrorists (New York : Oxford University Press, 2011)56 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, eds.

Comparative Perspektives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Struktures and Cultural Framings (New York: Cambridge University Press, 1996).

Pendahuluan

29

sosial politik menyangkut batas toleransi politik yang memungkinkan atau tidak untuk mengambil manfaat politik penentangan dengan jalan kekerasan. Karena itu, politik penentangan dalam hal ini dimaknai sebagai aktivisme keislaman (Islamic activism) yakni mobilisasi perseturuan untuk mendukung kepentingan dan tujuan Islam.57

Kelebihan dari teori gerakan sosial adalah anggapan bahwa kekerasan dalam sebuah gerakan merupakan pilihan rasional dengan pertimbangan strategis untuk meraih tujuan. Di samping itu, mekanisme kerja anali-sis integratif teori gerakan sosial dilakukan tidak secara sempit yang berfokus pada satu disiplin keilmuan yang terpisah-pisah (politik, sosio-ekonomi dan budaya) tetapi menggabungkan faktor-faktor tersebut dalam kerangka satu kesatuan yang tidak terpisah sehingga membuat mobilisasi tidak terelakkan.

Karena itu, Asef Bayat dalam “Islamism and Social Movement Theory” menjelaskan bagaimana emosi, gagasan, visi dan aktivitas bisa menjadi seragam pada-hal mereka datang dari lapisan dan latar belakang berbeda. Dalam konteks ini, Asef Bayat menawarkan konsep “solidaritas bayangan” (Imagined solidarity) yang diadopsi dari Ben Anderson tentang “komunitas bayangan” (Imagined community).58 Solidaritas bayangan menurut Bayat adalah terbentuknya konsensus bersama dalam gerakan sosial untuk mewujudkan kepentingan dan nilai yang dijunjung bersama.

Terorisme berbasis Islam merupakan bagian dari aktivisme keislaman. Teror merupakan sebuah konsep

57 Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach (Bloomington : Indiana University Press, 2004)

58 Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory,” Third World Quarterly, Vol. 26, No. 6 (2005), 891-908

Men-Teroris-Kan Tuhan!

30

aksi politik untuk mencapai tujuan.59 Karena itu, dalam perspektif gerakan sosial, terorime tidak cukup dijelas-kan dengan pendekatan ideasional (ideologi) semata. Terorisme merupakan konsep politik dan tujuan politik yang dilakukan sekelompok individu rasional dengan membentuk identitas kolektif untuk sebuah tujuan.

Dalam perspektif teori gerakan sosial, Framing atau pembingkaian memiliki ciri khas tersendiri dalam me-mahami terorisme berbasis Islam. Pembingkaian mam-pu membuka dan menguji apakah simbol-simbol Islam yang melekat dalam terorisme berbasis Islam murni sebagai implementasi ajaran agama atau merupakan strategi perjuangan guna mendapatkan dukungan pub-lik masyarakat Islam. Mengapa demikian, karena pada kenyataannya framing adalah sesuatu yang lebih penting dari pada ideologi itu sendiri dalam aktivisme keislam-an. Framing memiliki peran sentral dalam aksi-aksi radi-kalisme berbasis Islam sehingga publik kerap disuguhi tontonan kekerasan bernuansa agama, sehingga muatan politis dalam gerakan terkesan kabur karena dibingkai dengan simbol-simbol agama.

Oleh karena itu, dalam konteks gerakan sosial, framing dalam aktivisme keislaman digunakan untuk memproduksi wacana membentuk binkai-ketidakadilan sehubungan dengan berbagai penyakit sosial, pening-katan pengangguran dan ketidakadilan dunia. Argu-mennya adalah bahwa solusi untuk persoalan-persoalan tersebut adalah negara Islam yang dilandaskan pada ideologi syari’ah. Karena itu, radikalisme Islam atau terorisme berbasis Islam kerap muncul sebagai bagian dari strategi wacana dan bersifat penentangan sebagai

59 Charles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists,” Sociological Theory, Vol.22, No. 1 (Maret 2004), 5-13.

Pendahuluan

31

simpul perlawanan terhadap paradoks-paradoks nilai kehidupan politik nasional atau politik dunia.

D. Metodologi Penulisan

Metodologi yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah kualitatif dengan model analisis deskriptif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pen-dekatan integratif teori gerakan sosial untuk menjelas-kan relasi antara gerakan terorisme dan politik penen-tangan serta digunakan untuk menjelaskan interaksi dialektik gerakan terorisme dengan kondisi sosial yang bisa memungkinkan untuk melakukan aksi kekerasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, penelitian ini bertu-juan untuk memberikan perspektif gerakan sosial dalam memahami aksi-aksi gerakan terorisme berbasis Islam.

Sumber data dalam penulisan buku ini adalah pustaka dan lapangan. Penelitian pustaka dilakukan dengan meneliti sejumlah buku, laporan penelitian, jurnal, artikel, dan semacamnya. Di samping itu, peneli-tian pustaka juga dilakukan dengan eksplorasi elek-tronik atau internet dan majalah atau surat kabar yang berhubungan dengan subyek studi ini.

Sumber data selain disebut di atas adalah infor-masi utama dari para aktor atau partisipan yang ter-libat dalam aksi gerakan terorisme seperti, wawancara, laporan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa teroris, dokumen atau buku yang ditulis langsung oleh para pelaku aksi terorisme serta ucapan-ucapan atau statemen langsung para pelaku terorisme yang tersebar di beberapa majalah, koran, buku dan juga video.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

32

E. Sistematika Penulisan

Bab I membahas lanskap masalah dan latar belakang serta analisis teori yang digunakan dalam memahami gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia sebagai studi kasus. Bab tersebut merupakan pendahuluan yang memuat rumusan masalah kajian teoritis serta pen-dekatan yang digunakan dalam membahas persoalan fenomena terorisme berbasis Islam di Indonesia.

Adapun bab dua adalah terorisme dan gerakan Sosial:tinjauan teoretis. Bab ini terdiri dari tiga bab yaitu: teori gerakan sosial, definisi dan karakteristik terorisme dan terorisme sebagai gerakan sosial. Bab ini ditulis di-maksudkan untuk memberikan pemahaman tentang konsep dan definisi gerakan sosial dan terorisme serta keterkaitan di antara keduanya. Lebih dari itu, bab ini merupakan hipotesis teori terorisme sebagai gerakan sosial.

Sedangkan bab tiga akan membahas batas toleransi politik: penjelasan situasi politik atas kekerasan ak-tivisme Islam. Bab ini akan menjelaskan teori struktur kesempatan politik sekaligus menjelaskan kaitannya dengan kemunculan dan keberhasilan gerakan teror-isme di Indonesia. Struktur kesempatan politik akan memberikan pemahaman dinamika lingkungan politik baik dalam konteks lokal nasional atau global yang turut serta memicu kemunculan aksi terorisme.

Adapun bab empat adalah Islam adalah solusi: pem-bingkaian terorisme berbasis Islam di Indonesia. Bab ini membahas bagaimana para aktor gerakan terorisme mengkonstruksi persoalan sosial politik dalam bingkai agama. Lebih dari itu, bab ini akan memberikan pema-haman bahwa pembingkaian lebih penting dari ideologi

Pendahuluan

33

itu sendiri karena proses pembingkaian menjadi satu kunci utama bagi kemunculan dan keberlangsungan aksi gerakan terorisme berbasis Islam.

Adapun bab lima adalah mobilisasi sumber daya gerakan terorisme. Bab ini ditulis dalam rangka mem-berikan penjelasan mengenai bangunan insfrastruktur organisasi gerakan terorisme. Dalam rangka itu, analisis mobilisasi sumber daya gerakan teroris di dalam bab ini akan menjelaskan dua kategori mobilisasi sumber daya, yaitu sumber daya material dan immaterial yang meli-puti aspek organisasi dan kepemimpinan serta sumber pendanaan organisasi gerakan.

Adapun bab lima adalah penutup. Bab ini terdiri dari dua bab yaitu kesimpulan dan rekomendasi. Bab ini ditulis dimaksudkan untuk memberikan kesimpulan secara menyeluruh atas penelitian yang dilakukan dan dimaksudkan untuk menjadi bahan acuan rekomen-dasi kebijakan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.[]

BAB IIGERAKAN SOSIAL & TERORISME:TINJAUAN TEORITIS

Bab ini membahas tentang gerakan sosial dan ter-orisme secara teoritis. Pembahasan berkutat di seputar konsep, teori dan geneologi gerakan sosial dan teror-isme yang dikemukakan oleh para ahli untuk kemudian diambil kesimpulan tersendiri. Lebih dari itu, bab ini merupakan upaya mencari hipotesis bagaimana teror-isme bisa dikatakan sebagai gerakan sosial, sebagaima-na gerakan sosial pada umumnya. Terorisme sebagai gerakan politik penentangan merupakan gejala sosial politik yang melibatkan beberapa individu atau parti-sipan rasional dengan pertimbangan strategis sehingga mereka dengan latar belakang berbeda bersedia berga-bung dalam lingkaran organisasi terorisme untuk men-capai tujuan yang diharapkan.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

36

A. Teori Gerakan Sosial

Teori gerakan sosial dikonseptualisasikan secara teoritis dimulai pada tahun 1940-an dan terus mengala-mi perkembangan yang luar biasa hingga sekarang. Robert Mirsel sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin mengungkapkan fase perkembangan gerakan sosial. Menurutnya, periode pertama dalam studi gerakan sosial dimulai tahun 1940-an hingga tahun 1960, periode kedua dimulai tahun 1960-an dan periode ketiga dimu-lai tahun 1970-an.1

Pada periode pertama studi gerakan sosial lebih me-nekankan aspek irasional dengan kata lain gerakan so-sial merupakan gerakan yang menjijikkan. Pada periode kedua studi gerakan sosial memfokuskan pada pema-haman bahwa gerakan kemasyarakatan (civil society) sebagai perilaku rasional di dalam struktur masyarakat, sedangkan periode ketiga studi gerakan sosial melaku-kan dekonstruksi gerakan sosial sebagai upaya memfor-mulasikan pendekatan-pendekatan teori gerakan sosial secara integratif.

Studi gerakan sosial dalam perkembangannya tidak saja didominasi sebagai bagian dari analisis ilmu sosial-politik tetapi juga menjadi perangkat dalam khaza-nah teoritis dalam studi terorisme, studi perdamaian, psikologi dan mulai masuk pada wilayah studi keis-laman sebagaimana dilakukan oleh Wiktorowicz.2 Lebih dari itu, studi gerakan sosial tidak saja dilakukan di 1 Hasanuddin, “Dinamika Dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial”,

Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda, Vol.10, No. 15, (2011). http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIPN/search/titles (diakses 10 September 2013)

2 Quintan Wiktorowicz, ed., Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach (Bloomington &Indianapolis : Indiana University Press, 2004).

Gerakan Sosial & Terorisme

37

wilayah basis kemunculan teori gerakan sosial seperti di Amerika dan Eropa. Akan tetapi sebagaimana dilakukan Wiktorowicz gerakan sosial menjadi fokus kajian di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara terkait dengan fenomena gerakan-gerakan yang dilakukan oleh aktivis keislaman.

Perkembangan studi gerakan sosial baik lintas disip-lin keilmuan ataupun lintas negara sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari situasi dunia di beberapa negara yang menuntut ke arah demokratisasi yang lebih baik. Gerakan sosial dan demokrasi memiliki suatu variabel yang saling berhubungan. Gerakan sosial muncul di-dasarkan atas adanya beberapa ketimpangan dalam sis-tem kehidupan sosial politik. Pada titik inilah gerakan sosial mewujudkan dirinya sebagai gerakan perlawanan terhadap tatanan kehidupan yang dirasa tidak berjalan sebagai mestinya. Karena itu, gerakan sosial menjadi instrumen dalam menciptakan demokrasi dalam suatu negara atau pemerintahan.

Catatan gerakan reformasi di Indonesia yang di-lakukan Hermawan Sulistyo, menunjukkan bahwa ge-rakan sosial yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat dalam menentang rezim otoriter Orde Baru, baik ka-rena faktor-faktor sosial, politik maupun ekonomi telah melahirkan perubahan signifikan dalam struktur sosial politik dan harapan baru dalam kemandirian, kebebasan dan penguatan sistem demokrasi negara Indonesia.3

Hal yang sama juga terjadi dalam gerakan revolusi Perancis yang telah mengubah negara Perancis menjadi kekuatan dunia di Eropa. Gerakan Rusia juga mengan-tarkan menjadi negara maju dalam militer serta bebera-pa gerakan sosial yang terjadi pasca perang dunia kedua 3 Hermawan Sulistyo, Lawan!: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan

Suharto (Jakarta:Pensil 324, 2002)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

38

seperti China, China mampu menjadi kekuatan negara Asia yang patut diperhitungkan dalam percaturan poli-tik dunia.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa gerakan sosial menjadi kekuatan civil society yang mengartikulasikan tuntutan dalam sistem pemerintahan yang berlandas-kan pada prinsip good governance. Gerakan sosial mun-cul ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh elite penguasa atau negara. Namun demikian, tidak semua gerakan sosial mengalami ke-berhasilan, pada titik tertentu justru melahirkan kon-flik berkepanjangan akibat perseteruan kepentingan di antara aktor mobilisasi gerakan sosial. Gerakan sosial di beberapa negara Timur Tengah misalnya, menunjuk-kan bagaimana aksi gerakan sosial di Mesir, Yaman dan Tunisia mengalami kegagalan dan melahirkan konflik berkelanjutan.

Oleh karena itu, gerakan sosial pada umumnya lahir ketika situasi politik mengalami sebuah keadaan yang ditandai ketidakstabilan (disorder) dan keacakan (ran-domness), baik akibat pengaruh kondisi internal suatu negara atau faktor eksternal politik global. Dalam kon-teks ini, kondisi ketidakstabilan akan memicu lahirnya solidaritas bersama membentuk wacana terbayangkan tentang tatanan masyarakat yang ideal yang sesuai dengan cita-cita. Rasa solidaritas para aktor bergerak memunculkan gerakan kemasyarakatan (civil society) menuntut perubahan politik dan suksesi pergantian kepemimpinan.

Dalam konteks keislaman, wacana gerakan sosial Islam mendapatkan kekhasan ciri yang membedakan dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Perbedaan tersebut setidaknya dapat dilihat dari penggunaan sim-bol-simbol agama dalam gerakan sosial Islam. Karena

Gerakan Sosial & Terorisme

39

itu, pendekatan gerakan sosial menjadi tawaran untuk memahami fenomena kemunculan dan perkembangan gerakan sosial Islam yang sejauh ini cenderung dipa-hami dalam perspektif ideologis.

Gerakan sosial Islam memiliki keterkaitan dengan Islamisme. Islamisme adalah paham ideologi kegamaan yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan se-cara total dan integral di segala lini kehidupan termasuk politik sebagai bagian dari ajaran agama yang tidak bisa dipisahkan.4 Islamisme muncul di ruang publik mena-warkan konsep ideologi sebagai alternatif sehubungan dengan keyakinan bahwa sistem ideologi barat telah gagal mengatur tatanan dunia pada umumnya dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia khususnya.

Sejalan dengan dinamika zaman yang mengikuti dialektika global, gerakan-gerakan dalam spektrum Islam politik berkembang dalam berbagai bentuk, pola dan tidak jarang menggunakan kekerasan dalam bentuk aksi terorisme. Terorisme merupakan varian dari gerak-an sosial Islam klandestin yang membentuk identitas kolektif bersama untuk menuntut perubahan. Terorisme sebagai gerakan sosial Islam setidaknya dapat dilihat dari partisipan gerakan yang merupakan individu atau aktor rasional.

Rasionalitas di sini memiliki pengertian bahwa indi-vidu yang terlibat dalam gerakan sosial bukanlah indi-vidu yang mengalami gangguan jiwa, kekecewaan dan penyakit psikologi lain, tetapi justru sebaliknya mereka adalah individu rasional yang memiliki kesadaran atas keterlibatan mereka dalam aksi-aksi mobilisasi perse-teruan. Partisipan gerakan sosial memiliki pertimban-4 Quintan Wiktorowicz, “A Geneology of Radical Islam”, Middle East

Policy, Vol. VIII, No. 4 (Desember 2001)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

40

gan strategis dalam melakukan aksi-aksi mobilisasi perseturuan, baik dalam bentuk aksi jalanan hingga aksi-aksi yang cenderung ekstrim atau terorisme. Akhir-nya, tragedi 11 September dan bom Bali adalah puncak dari gerakan sosial Islam yang memakan korban nyawa tidak berdosa.

Penjelasan terhadap fenomena gerakan terorisme cenderung berasumsi bahwa gerakan tersebut merupa-kan penyimpangan dari arus utama Islam akibat frusta-si, gangguan kejiwaan dan pribadi yang sadis. sehing-ga dianggap tidak rasional. Studi yang dilakukan oleh Sarlito Wirawan Sarwono menunjukkan bahwa para pelaku tindakan teror merupakan invidu rasional bah-kan cerdas, hanya saja mereka memiliki ideologi yang dianggap paling benar dan ideologi lain dianggap salah sehingga harus diperangi.5 Gerakan terorisme merupa-kan potret pencarian identitas politik di tengah-tengah arus deras modernisasi dan globalisasi. Paradigma se-perti itu jarang menjadi perbincangan di kalangan sar-jana Islam.

Oleh karena itu, teori gerakan sosial muncul dalam rangka memberikan analisis lintas disiplin keilmuan terhadap kompleksitas persoalan gerakan terorisme. Pemahaman terhadap fenomena gerakan terorisme berbasis Islam memerlukan sebuah pisau analisis yang tidak saja hanya bertumpu pada perbincangan ideologis semata dan kecenderungan mengabaikan aspek ekono-mi, politik, sosial dan aktivisme.6 Hal ini dimungkinkan mengingat tidak ada faktor tunggal sebagai pemicu aksi

5 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 54.

6 Quintan Wiktorowicz, ed., Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach (Bloomington &Indianapolis : Indiana University Press, 2004),3.

Gerakan Sosial & Terorisme

41

terorisme. Akhirnya, di atas semua itu, kekayaan dalam teori gerakan sosial menganggap gerakan terorisme merupakan pilihan rasional bukan tidak rasional atas tindakan dan strategi dalam melancarkan aksi gerakan.

1. Konsep dan Definisi Gerakan Sosial

Sejauh menyangkut pendefinisian gerakan sosial dalam perkembangannya, belum ada definisi tunggal tentang pengertian gerakan sosial sebagai suatu gejala sosial. Paul Wilkinson mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang disengaja untuk mem-promosikan perubahan di segala arah dengan cara apapun termasuk dengan cara kekerasan dan revolusi.7 Sedangkan John McCarty dan Mayer Zald mendefini-sikan gerakan sosial sebagai seperangkat pendapat dan keyakinan di dalam kelompok yang mempresentasikan tuntutan perubahan yang bernilai sosial di beberapa elemen dalam struktur sosial.8 Anthony Giddens men-definisikan gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama atau kepentingan bersama melalui aksi kolektif.9

Dalam hal pendefinisian, penulis lebih cenderung mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Sidney Tarrow. Sidney Tarrow merumuskan gerakan sosial adalah aksi penentangan kolektif yang memiliki tujuan dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan

7 Sebagaimana dikutip Charles Tilly, “Social Movement and National Politics” CRSO Working Paper No. 197 ( May 1979)

8 John McCarty dan Mayer Zald, “Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory” The American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 6 (May, 1977), 1212-1241.

9 Anthony Giddens, Sociology (Oxford :Polity Press, 1993),642.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

42

kelompok elite, penguasa dan lawan.10 Definisi ini me-miliki cakupan yang cukup luas dengan menambahkan istilah tantangan atau penentangan (contentious) dalam gerakan sosial.

Penentangan merupakan konsep yang paling melekat dalam gerakan sosial, tanpa adanya penentangan kecil sekali muncul aksi gerakan sosial. Di samping itu, definisi Tarrow mencakup pengertian bagaimana gerakan sosial dilakukan dalam konteks interaksi berkelanjutan. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan gerakan sosial dalam menuntut perubahan harus dilakukan secara berkelanjutan tidak bisa dalam waktu sekali aksi.

Gerakan-gerakan sosial merupakan bentuk paling modern politik penentangan (contentious politics) dalam era demokrasi keterbukaan. Politik penentangan muncul dalam bentuk gerakan sosial ataupun revolusi. Politik penentangan muncul jika adanya insentif sehubungan dengan kesempatan politik yang ada dan terdapat ke-luhan-keluhan dari masyarakat yang kemudian diman-faatkan oleh para aktor untuk memobilisasi melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau pemangku kebi-jakan yang dianggap lawan.

Politik penentangan dilakukan untuk merumuskan tuntutan baru atas sebuah perubahan yang bisa diterima dan dilakukan sebagai pilihan rasional yang didasarkan atas solidaritas sosial untuk mencapai tujuan.11 Politik penentangan dengan saluran non-institusional muncul karena keterbatasan sumber daya untuk menentang golongan yang lebih kuat.

10 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, second edition. (New York:Cambridge University Press,1998),4.

11 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. 1-6

Gerakan Sosial & Terorisme

43

Dengan definisi yang demikian rupa, maka men-jadi penting untuk membedakan antara gerakan sosial, kelompok kepentingan (interest groups) dan partai po-litik. Gerakan sosial bergerak tidak bersifat birokratis, sementara kelompok kepentingan dan partai politik bergerak secara organisatoris. Hal ini misalnya, di dalam organisasi asosiasi buruh menunjukkan suatu gerakan yang didasarkan atas kepentingan anggota. Sementara itu, gerakan sosial dalam hal kepentingan memiliki cakupan yang luas tidak hanya untuk kepentingan anggota tetapi memberikan suatu perspektif perubahan secara makro yaitu sejauh itu menyangkut kepentingan masyarakat sipil yang tertindas.

Dalam hal tujuan mungkin amat kabur untuk mem-bedakan kelompok kepentingan dengan gerakan sosial ataupun partai politik, tetapi mekanisme kerja yang ber-sifat organisatoris terstruktur secara birokratis adalah hal yang memungkinkan untuk membedakan antara gerakan sosial dari kelompok kepentingan. Sementara itu, perbedaan gerakan sosial dengan kelompok kepen-tingan dan partai politik adalah partai politik memiliki tujuan ingin berkuasa secara langsung, berbeda dengan gerakan sosial dan kelompok kepentingan yang menun-tut perubahan kebijakan dan tidak harus dilalui mela-lui mekanisme kerja yang bersifat politik institusional dalam bentuk partai politik.

Oleh karena itu, bagaimana suatu gerakan disebut gerakan sosial sehingga menjadi berbeda dengan gerak-an kelompok kepentingan ataupun partai politik. Seba-gaimana diungkapkan oleh Tarrow,12 gerakan sosial me-miliki beberapa karakteristik sebagaimana berikut:

12 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, second edition.5-6

Men-Teroris-Kan Tuhan!

44

a. Tantangan Kolektif

Aksi gerakan sosial selalu ditandai dengan adanya tantangan yang secara kolektif dilakukan sebagai ba-gian dari konflik perseturuan. Tantangan kolektif ini diterjemahkan dalam bentuk perlawanan dengan elite penguasa atau pemegang otoritas, kelompok lawan atau aturan-aturan budaya tertentu.

Oleh karena itu, tantangan kolektif sebagai bagian dari gerakan sosial digunakan dalam rangka meng-ganggu, menghalangi aktifitas kelompok-kelompok lain yang berseberangan. Aksi-aksi tantangan kolektif dilakukan dengan simbol-simbol berupa slogan, model pakaian, musik atau dilakukan dengan penamaan ulang terhadap objek tertentu dengan simbol yang terdengar familiar sangat berbeda ataupun baru. Hal tersebut di-lakukan untuk mencirikan tujuan kolektif mereka dari para partisipan gerakan sosial.

Tantangan kolektif merupakan satu-satunya sumber daya yang bisa dimiliki sekaligus sebagai karakteristik umum gerakan sosial. Hal ini disebabkan oleh keter-batasan sumber daya baik secara finansial, organisasi ataupun akses terhadap pemerintah. Sehingga tantang-an kolektif menjadi alat dari para partisipan gerakan sosial dalam memperoleh dukungan atau perhatian dari lawan atau pemerintah sebagai otoritas pembuat kebijakan.

b. Tujuan Bersama

Partisipan gerakan sosial memiliki arah tujuan ber-sama. Mereka merupakan individu rasional yang sadar dengan beberapa pertimbangan strategis bersedia turut bergabung dalam sebuah aksi gerakan sosial untuk me-

Gerakan Sosial & Terorisme

45

nyuarakan tuntutan-tuntutan klaim bersama melawan pemerintah, lawan atau para elite. Tujuan bersama me-rupakan artikulasi dari nilai-nilai dan kepentingan ber-sama dalam gerakan sosial sebagai basis aksi bersama.

c. Solidaritas dan Identitas Kolektif

Gerakan sosial berakar dari rasa solidaritas atau iden-titas kolektif. Para partisipan memiliki pertimbangan strategis yang harus diperjuangan sehingga dari seke-dar potensi menjadi aksi gerakan sosial. Solidaritas atau identitas kolektif ini biasanya digali dari identitas na-sional, etnisitas atau agama. Mereka membentuk iden-titas kolektif untuk mengkonstruksikan diri yang mem-bedakan dengan kelompok lawan atau musuh dengan wacana-wacana anti-ketidakadilan, tuntutan perubahan dan sebagainya.

d. Memelihara Politik Penentangan

Keberhasilan aksi gerakan sosial sangat bergantung pada sejauh mana para aktor gerakan sosial mampu me-melihara wacana penentangan dengan pihak lawan. Se-baliknya, jika tidak mampu memelihara wacana perse-teruan hingga menjadi aksi maka hanya akan menjadi kebencian individu. Karena itu, memelihara politik pe-nentangan akan dapat merubah dari potensi secara in-dividual menjadi aksi solidaritas bersama melakukan gerakan sosial.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

46

2. Dinamika Teoritis dalam Gerakan Sosial

a. Gerakan Sosial Lama (old social movement)

Robert Mirsel sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin melakukan klasifikasi teori gerakan sosial.13 Mirsel mengklasifikasikan teori gerakan sosial pada dekade 1940-an sampai dengan 1950-an berangkat dari tindak-an irasional yang mendorong tindakan kolektif dalam bentuk kekerasan. Streotipe negatif terhadap gerakan sosial pada periode sebelum 1960-an diakibatkan oleh dominasi paradigma fungsionalisme yang menekan-kan pada keseimbangan harmonis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi pilihan logis karena pada periode ini memang kekuatan gerakan anti demokrasi seperti Nazisme di Jerman atau Fasisme di Jepang dan Italia menjadi kekuatan geopolitik utama dunia.

Sebagaimana diungkapkan Walter Laqueur, gerakan fasisme yang dianut oleh Musollini dan Hitler, merupa-kan gerakan yang menganut paham terorisme baik ke-tika ia menjadi pihak oposisi ataupun ketika berkuasa. Mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk me-rebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Poli-tik kekerasan merupakan dasar filosofi mereka sehingga fasisme saat itu berhasil menjadi kekuatan geopolitik utama dunia.14

Atas dasar kecenderungan politik kekerasan pada dekade tersebut, teori gerakan sosial kemudian mem-fokuskan pada analisa partisipan gerakan. Pertanyaan yang kemudian diajukan untuk melakukan analisis ter-hadap fenomena gerakan sosial adalah mengapa para 13 Hasanuddin, “Dinamika Dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial”,

Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda, Vol.10, No. 15, (2011). 14 Walter Laqueur, Fascism: Past, Present, Future (Oxford:Oxford

University Press, 1996), 50.

Gerakan Sosial & Terorisme

47

individu bersedia bergabung dalam gerakan dan faktor-faktor apa yang memunculkan gerakan sosial. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut para sarjana sosial merumuskan beberapa teori atau paradigma se-bagai pisau analisis gerakan sosial.

Jason Bradley Defay dalam “The Sociology of Social Movement” sebagaimana dikutip oleh Sadikin meng-ungkapkan, ada tiga paradigma teori dalam analisis gerakan sosial antara lain; teori fungsionalisme (Emile Durkheim), Marxisme (Karl Marx), dan liberal indivi-dualism seperti John Lock, Thomas Hober, John Stuart Mill dan Adam Smith. Tiga paradigma teori tersebut sangat dominan dalam menjelaskan fenomena gerakan sosial dan mengapa individu turut serta bergabung ter-libat dalam aksi-aksi gerakan sosial.15

Perspektif fungsionalisme mengidentifikasi kehidup-an secara struktural fungsionalis di mana sistem ke-hidupan dalam masyarakat diharapkan bekerja dan berfungsi secara teratur. Dalam perspektif ini, setiap individu-individu dalam masyarakat dituntut agar da-pat menjaga fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat supaya berjalan secara teratur. Ketidakteraturan fungsi sistem dalam masyarakat akan dapat mengancam sta-bilitas sosial. Kondisi tersebut merupakan bentuk dari penyimpangan yang harus segera disembuhkan.

Fungsionalisme memandang gerakan sosial dari sudut pandang sosio-psikologis yaitu adanya ketidak-teraturan fungsi dalam masyarakat. Karena itu, analisis pendekatan aksi kolektif pada periode ini cenderung bersifat fungsionalis struktural yaitu asas ketidakadilan sehingga mengakibatkan kekecewaan menjadi landasan motif yang mendorong seseorang melakukan gerakan.15 Sadikin, “Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial”,

Jurnal Analisis Sosial, Vol. 10, No. 1 (Juni 2005)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

48

Berbeda dengan fungsionalisme, perspektif Marxis lebih menekankan pada pertentangan kelas. Dalam kon-teks Marxisme, gerakan sosial disebabkan karena ada-nya pertentangan kelas di mana terjadi eksploitasi anta-ra kelas penguasa (borjuis) dan kelas masyarakat biasa (proletar). Gerakan sosial dalam analisis Marxisme meru-pakan penentangan kelompok proletar melawan kaum borjuis dan merupakan ekspresi kelas yang kontradiktif.

Hubungan kontradiktif di antara keduanya akan membentuk konsensus bersama di kalangan kelom-pok proletar sehubungan dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang ada sehingga memicu aksi-aksi pe-nentangan terhadap kaum penguasa guna menghapus kehidupan masyarakat tanpa kelas.16

Perspektif liberal-individual merupakan konsep ke-hidupan sosial yang menekankan kebebasan individu dan rasionalitas. Perspektif ini menekankan pada kebe-basan individu dalam kehidupan sosial yang harus men-dapatkan jaminan dari negara sebagai bagian hak-hak individu. Kehidupan sosial berjalan sesuai dengan motif para individu tanpa mengindahkan aspek kebersamaan. Karena itu, gerakan sosial dalam perspektif ini karena adanya kepentingan pribadi setiap individu yang tidak memperhatikan aspek-aspek secara sosial. Kepentingan yang dimaksud dalam perspektif ini lebih pada kepen-tingan ekonomi dan kekuasaan.17

16 Indriaty Ismail & Mohd Zuhaili Kamal Basir, “Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial”, International Journal of Islamic Thought, Vol. 1, (Juni 2012), 27-33. http://www.ukm.my/ijit/IJIT%20Vol%201%202012/4Indriaty.pdf (diakses 15 Maret 2014)

17 Ridha Aida, “Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas” Demokrasi, Vol. IV, No. 2 (2005), 95-106. ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/.../1063/896‎ (diakses 15 Maret 2014)

Gerakan Sosial & Terorisme

49

Berdasarkan hal tersebut, analisis pendekatan peri-laku kolektif sebagai gerakan sosial pada periode lama mengabaikan persoalan gerakan sosial sebagai sebuah fenomena terorganisir yang terjalin erat dengan aktor, struktur dan konteks serta bagaimana mereka mampu mengorganisasi ketidakpuasan menjadi mobilisasi mas-sa yang didasarkan atas solidaritas sosial sebagai pilihan rasional partisipan untuk mencapai tujuan. Studi gerak-an sosial lama mengabaikan semangat perubahan yang diinginkan partisipan gerakan sosial, mereka cenderung memfokuskan pada upaya memahami psikologi indi-vidu yang tergabung dalam gerakan sosial.

Teori gerakan sosial sebagai perilaku kolektif pada masa periode klasik dapat disimpulkan bahwa analisis perilaku kolektif dipahami dalam konstruksi paradig-ma psikologi-sosial. Beberapa konsep yang kemudian muncul dalam analisa perilaku kolektif pada periode ini antara lain, ketegangan (strain), stress (stress), massa (mass society) dan ketidakrasional (irrationality). Konsep-konsep tersebut kemudian dijadikan alat untuk mema-hami individu sebagai obyek analisis pendekatan peri-laku kolektif.

Pada dekade 1960-an beberapa sarjana mulai me-munculkan wacana gerakan sosial sebagai tindakan rasional. Berbeda dengan beberapa sarjana sebelumnya yang menganggap gerakan sosial sangat menjijikkan dan irasional maka pada periode ini mereka sangat sim-patik dengan gerakan sosial dan menganggapnya se-bagai aksi rasional untuk mencapai tujuan. Paradigma seperti ini muncul pasca berakhirnya perang dunia kedua yang melahirkan kekuatan demokrasi sebagai geopolitik utama kekuatan dunia.

Studi gerakan sosial pada tahun 1960-an dan sete-rusnya mulai memfokuskan pada gerakan-gerakan ter-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

50

organisasi dan bagaimana mereka memainkan strategi dalam aksi. Pandangan-pandangan tersebut memun-culkan apa yang disebut dengan teori mobilisasi sum-ber daya dan gerakan sosial baru. Pemahaman gerakan sosial pada periode ini tidak cenderung pada upaya memahami individu-individu yang terlibat dalam aksi gerakan.

b. Teori Mobilisasi Sumber Daya dan Gerakan Sosial Baru

Teori gerakan sosial baru (new social movement theory) dan teori mobilisasi sumber daya (resources mobilization theory) merupakan dua pendekatan teori yang men-dominasi studi gerakan sosial kontemporer. Perbedaan kedua teori ini terletak pada basis teori gerakan sosial baru di Eropa Barat, sedangkan teori mobilisasi sumber daya berbasis di Amerika Serikat.18 Di samping itu, dua pendekatan ini memiliki perspektif berbeda dalam me-mandang gerakan sosial.

Teori mobilisasi sumber daya kelahirannya didasar-kan pada kritiknya terhadap analisis Durkheimian yang memandang gerakan sosial sebagai perilaku kolektif me-nyimpang. Adapun gerakan sosial baru didasarkan atas kritiknya terhadap analisis Marxisme yang memandang gerakan sosial semata-mata hanya tentang pertentang-an kelas.19 Kedua paradigma teori tersebut melakukan kritik terhadap teori-teori perilaku kolektif (collective be-haviour) atas kegagalan menjelaskan fenomena gerakan

18 Eduardo Canel, “New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory:The Need for Integration”. www.inp.uw.edu.pl/.../New_Social_Movement_ (diakses 10 September 2013)

19 Steven M.Buechler, “New Social Movement Theories”, Sociological Quarterly, 36:3.(1995: Summer) 442.

Gerakan Sosial & Terorisme

51

sosial di dunia barat saat itu yang cenderung bertumpu pada analisis psikologi.20

Teori mobilisasi sumber daya (TMSD) mencoba un-tuk menjelaskan gerakan sosial dengan melihat individu sebagai aktor rasional yang terlibat dalam aksi gerakan dengan menggunakan organisasi formal untuk menga-mankan sumber daya dan mobilisasi.21 TMSD dapat dipecah menjadi dua bagian. Pertama, TMSD mencoba menjelaskan individu yang bergabung dalam gerakan sosial dengan teori aktor rasional. Kedua, TMSD men-coba menjelaskan tindakan organisasi gerakan sosial yang dibentuk oleh aktor-aktor rasional dengan melihat organisasi gerakan sebagai organisasi yang berfungsi untuk pelestarian diri dan memasarkan produk untuk mencapai tujuan.

TMSD melihat bahwa individu yang terlibat dalam gerakan sosial merupakan partisipan rasional dengan pertimbangan keuntungan yang didapat dalam aksi mobilisasi kolektif. Aksi mobilisasi dapat mengurangi biaya jika harus dilakukan secara bersama daripada se-cara individu untuk memasarkan harapan atau tujuan yang diinginkan. TMSD berusaha mendalami minat dan kepentingan partisipan gerakan serta bagaimana strategi-strategi yang dimainkan dalam melakukan aksi gerakan untuk menuntut perubahan dengan melihat in-sentif, keuntungan, mekanisme mengurangi biaya dan tujuan bersama dalam aksi kolektif.20 Gary T. Marx and Douglas McAdam, Collective Behavior and Social

Movements: Process and Structure (Prentice Hall : New Jersey, 1994) 72. Lihat juga ulasan singkat Collective Behavior and Social Movements: Process and Structure di http://web.mit.edu/gtmarx/www/cbchap1.html (diakses 6 September 2013)

21 John D. McCarthy and Mayer N. Zald, “Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory”, The American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 6 (May, 1977),1212-1241.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

52

Analisis gerakan sosial dalam TMSD memfokuskan pada upaya-upaya analisis manfaat biaya dan sumber daya dari gerakan sosial. Ketidakpuasan individu bu-kanlah pemicu kemunculan dari aksi gerakan sosial. Keluhan atau kekecewaan hanyalah menjadi latar be-lakang bukan sebagai pemicu utama dari munculnya gerakan sosial. Lebih dari itu, keluhan-keluhan bisa saja dimanipulasi dengan membentuk organisasi gerakan oleh individu yang memiliki kepentingan. Karena itu, Gerakan sosial muncul ketika para aktor memiliki sum-ber daya yang tersedia untuk memobilisasi kelompok dalam suatu wadah organisasi gerakan yang memiliki pemimpin dan ideologi.

Keberhasilan dan kegagagalan dari gerakan sosial dalam TMSD sangat ditentukan oleh faktor eksternal ketersediaan sumber daya dalam organisasi. Karena itu, aktor organisasi berperan penting dalam membentuk wacana yang memungkinkan seseorang untuk dapat bergabung dalam sebuah organisasi. Organisasi gerak-an sosial sering merupakan bagian dari kepentingan elite penguasa sehingga gerakan sosial dalam mencapai tujuan sedikit sekali bertentangan dengan penguasa ka-rena memang pada dasarnya tujuan dari gerakan sosial untuk melanggengkan kekuasaan.

Harus diakui memang bahwa TMSD melangkah lebih jauh sebagai sebuah teori untuk memahami gerak-an sosial dengan memfokuskan pada partisipan gerakan dan organisasi. TMSD tidak melihat partisipan gerakan sosial sebagai individu yang irasional sebagaimana analisis gerakan sosial sebelumnya tetapi merupakan pilihan rasional yang dilakukan invidu dengan mem-pertimbangan keuntungan-keuntungan dalam gerakan sosial secara kolektif.

Gerakan Sosial & Terorisme

53

Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Beuchler bahwa TMSD memiliki satu masalah karena hanya memfokuskan pada organisasi gerakan sosial pa-dahal terdapat beberapa gerakan sosial baru tidak me-miliki organisasi mereka terhimpun atas dasar sebuah komunitas gerakan sosial.22

TMSD mengabaikan identitas kolektif yang terbentuk dalam gerakan sosial. Identitas kolektif penting untuk menjaga kepentingan bersama yang harus diperjuang-kan daripada sekedar kepentingan-kepentingan indi-vidu yang secara makro hanya menguntungkan kepen-tingan elite sebagai aktor organisasi yang menyediakan sarana, fasilitas dan mekanisme lain dalam gerakan so-sial. Atas dasar itulah, TMSD dianggap mengalami ke-sulitan untuk menjelaskan kemunculan gerakan sosial baru yang terhimpun atas dasar identitas kolektif ka-rena hanya fokus pada internal organisasi dan individu yang terlibat dalam gerakan.

Pada titik inilah muncul paradigma baru yang disebut dengan teori gerakan sosial baru untuk menjelaskan iden-titas kolektif dari sebuah gerakan yang dibangun karena memang gerakan sosial tidak lahir dalam ruang hampa, ada dimensi sosial dan politik yang melingkupinya.

Gerakan sosial baru (GSB) merupakan pendekatan baru di antara beberapa teori gerakan sosial yang ber-usaha memperbaiki kelemahan-kelemahan teori sebe-lumnya. Upaya teoritisasi gerakan sosial baru paling berpengaruh diberikan oleh tokoh sosiologi Perancis, Alain Touraine dan sosiolog Italia Alberto Melucci.23

22 Lihat selanjutnya dalam Steven M. Buechler, “Beyond Resource Mobilization?; Emerging Trends in Social Movement Theory”, The Sociological Quarterly, Vol. 34, 2 (Mei 1993)217-315.

23 Alberto Melucci, “The new social movements: A theoretical approach”, Social Science Information, vol. 19 no. 2 (Mei 1980)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

54

Gerakan sosial baru merupakan paradigma baru yang muncul pasca revolusi industri negara Amerika dan Eropa Barat sehingga bisa dikatakan bahwa kemun-culan GSB adalah upaya kritiknya terhadap dominasi Marxisme yang lebih menekankan pertentangan kelas dari sebuah gerakan sosial.

GSB memberikan paradigma baru tentang gerakan sosial yang lebih bersifat lintas ideologis, lintas etnis sehingga karakteristik umum gerakan sosial baru lebih tertarik pada masalah ide atau nilai seperti gerakan feminisme, gerakan lingkungan, gerakan hak asasi ma-nusia dan lain-lain.24 Karena itu, GSB memiliki tujuan lebih luas dan universal. Tujuan GSB tidak hanya untuk kepentingan sesaat dan kepentingan para partisipan ge-rakan, tetapi ia menuntut perubahan kehidupan yang di-rasa merugikan bagi hubungan kehidupan masyarakat.

Paradigma analisis gerakan sosial baru dengan penambahan istilah “new” dalam gerakan sosial mene-kankan pada dua aspek yaitu makro-historis dan mik-ro-historis gerakan sosial.25 Pada tingkat makro, para-digma GSB memfokuskan pada kontradiksi hubungan antara gerakan-gerakan sosial kontemporer dan struk-tur ekonomi yang lebih besar serta peran budaya yang melekat dalam gerakan tersebut.

Pada tingkat mikro, GSB menyediakan pemahaman bagaimana individu-individu membentuk identitas kolektif terikat dalam sebuah gerakan sosial untuk se-

199-226; Alain Touraine, “An Introduction to the Study of Social Movements”, Social Research ,Vol. 52, No. 4 (1985). 749-787.

24 Steven M. Buechler, “New Social Movement Theories”, Sociological Quarterly, 36:3, (1995:Summer)441-442. hetorics-of-social-change.wikispaces.com/.../New (diakses 9 desember 2103)

25 Nelson A. Pichardo, “New Social Movements: A Critical Review”, Annual Review of Sociology, Vol. 23, (1997),411-430. http://identities.org.ru/readings/pichardo.htm (diakses 9 Desember 2013)

Gerakan Sosial & Terorisme

55

buah tujuan. Dua perspektif ini memberikan petunjuk bahwa bahwa gerakan sosial baru mengajukan klaim penentangan dalam cakupan yang lebih luas tidak saja kepentingan anggota tetapi kepentingan masyarakat sehubungan dengan adanya ketidakdilan. Lebih dari itu, GSB berusaha memahami kerangka gerakan ten-tang bagaimana individu terlibat dan faktor-faktor yang memicu kemunculan dan keberhasilan melakukan aksi-aksi gerakan sosial.

Pada dasarnya perubahan dalam dinamika ma-syarakat Amerika dan Eropa dari masa industri ke era post industrial membentuk wacana tidak saja berkaitan dengan kontradikasi kelas ekonomi tetapi kontradiksi perubahan kebudayaan seiring dengan perubahan ke masyarakat post industrial. Perubahan nilai-nilai kebu-dayaan dalam masyarakat menjadi paradigma tersendiri untuk menjadikan isu dalam aksi gerakan sosial.

Perubahan tersebut memberikan insentif untuk me-lakukan mobilisasi penentangan terhadap kelompok elite, penguasa atau otoritas terkait. Hal inilah yang membedakan dengan gerakan sosial sebelumnya. Se-bagaimana diungkapkan Pichardo, gerakan sosial baru memiliki karakteristik dalam hal ideologi dan tujuan, taktik, struktur dan partisipan atau aktor.

a. Ideologi dan Tujuan

Ideologi dan tujuan merupakan hal yang prinsip dalam gerakan sosial baru. Ideologi membentuk iden-titas yang diartikulasikan dalam bentuk wacana dan strategi untuk mencapai tujuan. Karena itu, GSB tidak lagi dilandaskan pada pertentangan kelas sebagaimana gerakan sosial klasik. GSB menghadirkan perbedaan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

56

yang mendasar dengan gerakan sebelumnya di era masyarakat industri.

GSB tidak lagi fokus pada persoalan redistribusi ekonomi, melainkan lebih fokus dengan persoalan kualitas hidup (quality of life) dan gaya hidup (life-style). Dengan demikian, GSB mempertanyakan tujuan matrealistik yang menjadi orientasi dalam kehidupan masyarakat industri. Di samping itu, GSB memperta-nyakan struktur demokrasi yang membatasi masukan warga dan partisipasi dalam pemerintahan.

GSB menawarkan sebuah wacana identitas dalam bentuk gerakan sosial yang melakukan penentangan. Karena itu, isu identitas merupakan ciri khas di dalam gerakan sosial kontemporer. Politik identitas mengung-kapkan keyakinan dan ekspresi sebagai landasan kerja politik dalam menuntut perubahan. Ideologi sebagai identitas kolektif menjadi basis landasan gerakan se-hingga partisipan memiliki kesamaan dalam hal tujuan. Lebih dari itu, ideologi merefleksikan kesadaran tentang apa yang sedang diperjuangkan.

Namun demikian, Klandermens sebagaimana diung-kapkan oleh Pichardo bahwa terdapat adanya temuan di lapangan yang menunjukkan perbedaan tidak adanya korelasi antara ideologi dengan keberhasilan gerakan. Hal ini didasarkan pada temuan keragaman identitas di dalam gerakan perdamaian Belanda sebagai represen-tasi dari beragam keanggotaan organisasi malah pada gilirannya menyebabkan mereka meninggalkan gerak-an itu sendiri.

Dengan kata lain, apa yang diperjuangkan dalam gerakan, banyak bertolak belakang dengan pilihan sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, klaim “politik identitas” yang bersumber dari pandangan mengenai

Gerakan Sosial & Terorisme

57

“personal is political” dalam beberapa hal masih perlu dikaji ulang.

b. Taktik

Taktik atau strategi yang diusung dalam GSB mencer-minkan orientasi ideologis yang mereka usung. Dalam hal taktik, GSB lebih menekankan pada strategi non-in-stitusional. GSB lebih menyukai saluran di luar politik resmi dan memakai taktik pengacauan serta memobili-sir opini publik untuk meraih pengaruh politik. Taktik yang digunakan GSB cenderung menampilkan aksi-aksi dramatik dengan mengenakan pakaian dan representasi simbolik dalam aksi-aksi politiknya.

Meskipun demikian, Pichardo mengungkapkan tidak semua gerakan sosial baru menolak masuk dalam sistem. Beberapa gerakan sosial baru malah membentuk sebuah partai politik dan terlibat dalam pemilu. Misal-nya, Green Party atau Partai Hijau,26 sebuah partai di Jerman yang pada awalnya sebuah pergerakan sosial masyarakat yang menginginkan pembaharuan dalam kebijakan politik yang lebih ramah lingkungan, kemu-dian terbentuklah sebuah gerakan yang disebut Green Movement. Pada perkembangannya, di tahun 1993, Green Party melebur dengan Grup Politik beraliran non-komu-nis yang dinamakan Bündnis 90/Die Grünen di Jerman.

26 lihat selanjutnya tentang Green Party dalam Ingolfur Bluhdorn, “Reinventing Green Politics: On the Strategic Repositioning of the German Grenn Party”, German Politics, Vol. 18, No. 1, (Maret 2009), 36-54.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

58

c. Struktur

Struktur gerakan sosial baru anti kelembagaan. GSB mengorganisir diri dengan gaya yang tidak terlalu or-ganisatoris. Mereka mengganti kepemimpinan secara rutin dan mengambil suara secara komunal dalam me-nyikapi isu-isu yang dihadapi. Pola struktur gerakan yang lebih menekankan anti-birokrasi dengan sendi-rinya mencerminkan suatu bentuk perlawanan terha-dap sistem birokrasi modern yang dianggap memiliki mental otoritarian. Di samping itu, pola seperti ini juga diharapkan dapat meminimalisir terkait adanya inter-vensi dan kooptasi kepentingan luar.

d. Partisipan

Dalam hal keanggotaan, anggota GSB bersifat lintas kelas. Partisipan yang terlibat adalah mereka yang me-miliki kesamaan ide dan tujuan. Karena itu, partisipan dengan latar belakang berbeda bisa melakukan mobi-lisasi bersama tanpa melihat status, kelas dan jabatan. Partisipan yang terlibat dalam gerakan tidak saja me-nyuarakan isu-isu lokal tetapi juga isu-isu yang me-nyangkut dunia internasional seperti, kebebasan hak asasi manusia, lingkungan hidup, gerakan anti nuklir dan lainnya.

Namun demikian, tidak mudah untuk memahami gerakan sosial. GSB sebagai paradigma baru dalam me-mandang gerakan sosial juga mendapat kritikan seba-gaimana dilakukan oleh Pichardo. Dalam pandangan Pichardo, dua asumsi dominan mengenai perbedaan gerakan sosial baru dengan gerakan sosial sebelumnya telah menyajikan ke hadapan kita bahwa ciri-ciri ge-rakan sosial baru tidaklah benar-benar diskontinue dengan gerakan sebelumnya. Selain isu identitas, tidak

Gerakan Sosial & Terorisme

59

ada perbedaan yang prinsip di antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial kontemporer.27

Di atas semua itu, penentangan-penentangan di dalam sebuah paradigma keilmuan adalah sebuah ke-niscayaan seperti halnya dalam literatur pendekatan gerakan sosial. Teori gerakan sosial dibingkai dalam format penentangan mengandung makna bahwa teori baru akan melakukan kritik terhadap teori lama sebagai bagian dari dinamika keilmuan. Oleh karena itu, dalam perkembangannya beberapa teoritisasi gerakan sosial melakukan studi integratif terhadap teori gerakan sosial untuk melengkapi kelemahan-kelemahan yang ada.

3. Pendekatan Integratif Teori Gerakan Sosial

Kompleksitas persoalan gerakan sosial sangat luas. Penjelasan terhadap fenomena gerakan sosial tidak bisa dilakukan dengan pendekatan yang terpotong-potong. Karena itu, mulai berkembang usaha-usaha menjelas-kan gerakan sosial secara multidimensional. Pendekatan muldimensional mengandung maksud tidak saja dalam satu perspektif teori dalam studi gerakan sosial tetapi melakukan pendekatan integratif terhadap beberapa teori gerakan sosial yang telah ada. Upaya ini dimung-kinkan untuk mendapatkan ide yang lebih lengkap ten-tang bagaimana gerakan sosial itu muncul dan faktor-faktor apa saja serta dampak dari gerakan sosial.

Beberapa peneliti gerakan sosial seperti McAdam, McCarthy dan Zald melakukan pendekatan integratif

27 lihat selanjutnya kritikan Pichardo terhadap gerakan sosial baru (GSB)dalam “New Social Movements: A Critical Review”, Annual Review of Sociology, Vol. 23, (1997),411-430.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

60

terhadap teori gerakan sosial.28 McAdam dkk menge-luarkan manifesto rekonsiliasi dalam melakukan analisis studi gerakan sosial. Menurut mereka, hanya dengan melakukan penggabungan pemikiran konseptual baru dan lama dalam teori gerakan sosial dapat membantu memberikan pemahaman menyeluruh tentang dinamika gerakan sosial.

Lebih dari itu, tujuan pendekatan integratif dari ge-rakan sosial adalah sebagai upaya menolak penjelasan gerakan sosial dengan kacamata satu perspektif, baik perspektif struktural maupun perspektif yang mene-kankan pada kondisi eksternal gerakan sosial.29

Pendekatan integratif dalam gerakan sosial seba-gaimana dimaksud oleh McAdam dkk adalah upaya menggabungkan tiga faktor dalam menganalisis tum-buh dan berkembangnya gerakan sosial. Tiga faktor tersebut adalah (1) struktur kesempatan politik dan beberapa kendala yang dihadapi gerakan; (2) bentuk-bentuk organisasi (informal atau formal) yang tersedia untuk mengacau, dan (3) proses kolektif penafsiran, memberi atribut dan mengkonstruksi sosial sebagai jembatan antara kesempatan politik dan aksi. Tiga fak-tor tersebut dalam pemahaman konvensional lebih dikenal dengan istilah kesempatan politik (political op-portunities), struktur mobilisasi (mobilization structures), dan proses pembingkaian (framing processes).30

28 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements: political opportunities, mobilizing structures, and cultural framings (New York:Cambridge University Press, 1996)

29 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements: political opportunities, mobilizing structures, and cultural framings. 354

30 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, “Introduction” dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and

Gerakan Sosial & Terorisme

61

Dalam perspektif integratif gerakan sosial, analisis gerakan sosial tidak saja bertumpu pada struktur or-ganisasi ataupun para partisipan tetapi menggabungkan keduanya dan menambahkan analisis gerakan sosial terhadap partisipan secara kontekstual baik konteks kesempatan politik yang melingkupinya, nilai-nilai keyakinan, maupun kalkulasi rasional sehingga dapat memahami kenapa seseorang bersedia ikut bergabung dalam gerakan sosial.

a. Kesempatan Politik (Political opportunity)

Political Opportunity atau dalam bahasa Indonesia adalah kesempatan politik merupakan konsep untuk menjelaskan bahwa kemunculan gerakan sosial sering kali dipicu oleh faktor perubahan besar dalam struktur politik. Perubahan struktur politik membuka kesem-patan politik terhadap aktor-aktor gerakan untuk mem-prakarsai politik penentangan hingga membuka peru-bahan dan fase baru politik.

Dalam pandangan McAdam, ada empat dimensi dalam struktur kesempatan politik, yaitu (1) keterbu-kaan dan ketertutupan relatif sistem politik; (2) stabili-tas atau instabilitas jejaring keterikatan elite; (3) adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elite; dan (4) kapasitas atau kecenderungan negara untuk melakukan represi.31 Struktur kesempatan politik pada umumnya muncul ketika sistem politik lebih terbuka dengan kata lain bahwa iklim politik yang terbuka memungkinkan suatu

Mayer N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements: political opportunities, mobilizing structures, and cultural framing. 2.

31 Doug McAdam, “Conceptual origins, current problems, future direction”, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements. 27.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

62

gerakan sosial muncul dibandingkan dengan sistem politik yang tertutup.

Sistem politik yang tertutup biasanya dicirikan oleh kekuatan otoriter pemimpin sehingga tiada celah terbu-ka untuk melakukan penentangan. Sistem tertutup men-jadi kendala dalam bertumbuh kembangnya gerakan sosial. Namun demikian, Eisinger sebagaimana dikutip oleh Burhanudin Muhtadi bahwa gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik yang dicirikan oleh percampuran antara faktor-faktor keterbukaan dan ketertutupan.32 Oleh karena itu, tidak mudah memberi-kan ukuran hubungan situasi politik dengan kemuncul-an dari gerakan sosial.

Pada tataran elite politik, terbukanya kesempatan struktur politik cenderung melahirkan konflik di kalang-an elite yang berebut kekuasaan. Karena itu, politik itu seperti siapa makan siapa. Konflik politik sebagaimana dijelaskan Donatella della Porta dan Mario Diani, konflik politik secara tradisional berkaitan dengan model aksi kolektif di mana para aktor gerakan berjuang satu sama lain untuk melindungi materi serta kepentingan politik dan mendefinisikan diri mereka dalam sebuah anggota kelompok untuk melancarkan kepentingannya.33

Perubahan struktur politik tersebut memunculkan elite-elite politik untuk berperan sebagai pelindung masyarakat guna mendapatkan kedudukan dalam per-saingan lawan politik. Karena itu, perebutan kedudukan ketika kesempatan politik mulai terbuka dibutuhkan dukungan dari kelompok eksternal tidak cukup hanya

32 Burhanudin Muhtadi, “Demokrasi zonder Toleransi Potret Islam Pasca Orde Baru”, Komunitas Salihara, (Januari 2011),9.

33 Donatella della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction, second edition. ( Australia : Blackwell Publishing, 2006), 36.

Gerakan Sosial & Terorisme

63

dukungan internal politik. Pada titik ini, seorang aktor diuji untuk dapat menjalin dan merawat jejaring ko-munikasi dengan elemen-elemen massa yang telah dibangun untuk digunakan alat sebagai penyokong ke tangga kekuasaan.

Fakta perubahan politik di beberapa negara di dunia selalu memakan korban tidak kecil, baik korban materi maupun nyawa manusia. Gejolak politik di Indonesia pada tahun 1998 dan beberapa negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Suriah, Irak dan Maroko adalah contoh nyata tentang bagaimana perubahan struktur politik memakan banyak korban. Terbukanya struktur politik yang baru tidak lantas dapat memberikan ja-minan kestabilan kondisi negara dan rasa aman warga negara sebagaimana terjadi di beberapa negara Timur Tengah yang masih mengalami konflik berkepanjangan.

Hal tersebut dikarenakan struktur politik yang ter-buka melahirkan konflik kepentingan elite politik seba-gai aktor gerakan yang mengakibatkan masyarakat dan negara menjadi labil. Karena itu, peluang politik terse-dia dalam kondisi ketidakstabilan negara akan memicu kemunculan gerakan sosial secara kontinuitas dan mas-sif dari kelompok-kelompok yang tidak mendapatkan kedudukan untuk mendapatkan tujuan.

Konsep kesempatan politik sebagaimana dijelaskan oleh Tarrow, lebih menekankan kekuatan mobilisasi sum-ber daya eksternal di luar kelompok elite politik karena kelompok luar yang terlibat dalam aksi kolektif adalah mereka yang mampu melahirkan persepsi struktur ke-sempatan politik dengan memperhitungkan perubahan struktural yang akan terjadi, berubahnya peta kekuatan politik, represi dan ancaman yang akan dihadapi.34

34 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, 2nd Edition. 77.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

64

Oleh karena itu, konsep kesempatan politik dapat membantu memahami kerangka dan strategi bagaimana kekuatan elite politik yang kecewa mampu memobilisa-si massa kepada mereka yang memiliki tingkat kekece-waan lebih rendah atau kelompok-kelompok terping-girkan. Keberhasilan menyebarnya mobilisasi massa tersebut ditentukan dengan mangajukan atau membikin wacana atas klaim-klaim penentangan terhadap pihak pemegang kebijakan negara dengan melahirkan kon-sepsi “masyarakat tertindas”. Keberhasilan gerakan so-sial memobilisasi massa melakukan penentangan terha-dap pemerintah akan memancing kelompok-kelompok lain untuk bergabung di dalamnya sehingga memberi-kan kekuatan gerakan sosial dengan jumlah partisipan sangat besar.

Keberhasilan gerakan sosial membuka struktur kesempatan politik harus dilakukan secara kontinuitas atau dengan kata lain aksi-aksi itu tidak merupakan single event. Harus dilakukan rangkaian aksi secara berkesinambungan, minimal selama satu bulan terus-menerus tiap hari. Juga, harus ada tokoh pemimpin yang mampu menggalang stamina massa. Bayangkan, berapa dana yang harus dibuang untuk mengobarkan aksi gerakan sosial agar berhasil. Namun demikian, dalam teori gerakan sosial, keberhasilan menggelar aksi-aksi kolektif di jalanan lebih banyak ditentukan oleh kondisi kesempatan politik daripada faktor ekonomi, sosial dan budaya.

Terbukanya struktur politik melahirkan tahapan-tahapan baru bagi gerakan sosial, dimulai dari proses perencanaan ke tahap pembentukan dan konsolidasi untuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan upaya mobilisasi untuk menarik dukungan massa dan proses framing. Framing

Gerakan Sosial & Terorisme

65

merupakan skema pembentukan identitas kolektif yang dikonstruksikan untuk mengandaikan siapa lawan dan musuh yang harus dihadapi.

b. Pembingkaian (framing)

Konsep pembingkaian atau framing pertama kali muncul diperkenalkan oleh Gregory Bateson di dalam “A theory of Play and Fantasy”.35 Framing digunakan Bateson untuk menggambarkan hubungan antara ko-munikator dan komunikan saat melakukan komunikasi. Di dalam teori gerakan sosial, framing atau pembingkai-an merupakan skema penafsiran di mana aktor gerakan sosial menciptakan dan menyampaikan wacana yang dapat didengar dan bergema di antara mereka yang menjadi target mobilisasi.36

David Snow dan Robert Benford memberikan pen-jelasan tentang fungsi utama dari pembingkaian dalam gerakan sosial. Tiga fungsi tersebut adalah (1) fungsi diagnostik yakni kemampuan mengidentifikasi masalah dan penanggung jawab target kesalahan; (2) fungsi prognostik memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam bentuk strategi, taktik dan target; (3) memberikan alasan untuk melahirkan dukungan guna melakukan tindakan kolektif.37

35 Lihat Katie Salen and Eric Zimmerman, eds. The Game Design Reader : a Rules of Play Anthology (London : The MIT Press, 2006) 314 -327.

36 David A. Snow, E. Burke Rochford, Steven K. Worden, dan Robert D. Benford, “Frame Alignment Process, Micromobilization, and Movement Participation,” American Sociological Review, Vol. 51, No. 4 (Aug., 1986), 464-48.

37 David Snow and Robert Benford, “Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization,” International Social Movement Research, Volume: 1, Issue: 1, 1998, Publisher: JAI Press, Pages: 197-217.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

66

Selanjutnya, Framing sebagai skema penafsiran ter-dapat dua konsepsi di dalamnya, antara lain: Pertama, konsepsi psikologis yaitu bagaimana seseorang meng-gunakan struktur kognitifnya dalam memandang dunia dalam pandangan atau perspektif tertentu. Kedua, per-spektif sosiologis, framing berfungsi membuat realitas menjadi teridentifikasi, dimengerti dan dipahami dalam label tertentu. Oleh karena itu, framing menawarkan pe-nafsiran atas berbagai realitas sosial yang terjadi.

Proses skema penafsiran ini menjadi penting untuk menyebarkan penafsiran gerakan guna dapat memobi-lisasi massa dan dukungan. Gerakan sosial tanpa mam-pu memproduksi wacana yang akan dijadikan skema penafsiran arah gerakan tidak akan berhasil. Posisi fram-ing dalam gerakan sosial merupakan landasan ideologis gerakan. Nilai-nilai ideologi gerakan merupakan cara pandang bagaimana dan di mana gerakan sosial itu di-jalankan.

Dalam teori gerakan sosial berkaitan dengan framing yang tidak bisa ditinggalkan adalah apa yang disebut dengan frame resonance (gaung bingkai), yaitu kemam-puan skema penafsiran untuk merubah mobilisasi po-tensial menjadi mobilisasi aktual. Gaung bingkai dalam gerakan sosial menjadi dasar pembentukan identitas kolektif mereka yang bersandar pada simbol-simbol, bahasa serta identitas budaya lokal yang melekat pada partisipan.

Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Robert Benford dan David Snow, gaung bingkai tidak hanya bergantung pada konsistensi terhadap narasi-narasi budaya yang melekat tetapi juga faktor konsis-tensi bingkai (frame consistency), kredibilitas empiris (em-pirical credibility) dan kredibilitas artikulator (credibility

Gerakan Sosial & Terorisme

67

articulators).38 Konsistensi dalam mengartikulasikan wa-cana dan isu sebagai identitas kolektif yang diperjuang-kan membantu dalam keberhasilan dan keberlang-sungan aksi-aksi gerakan sosial. Konsistensi menjadi penting karena gerakan sosial untuk mencapai tujuan yang diinginkan tidak berlangsung sekali event tetapi harus dilakukan secara berkesinambungan, tidak sekali aksi saja.

Konsistensi bingkai mengacu pada konsistensi anta-ra keyakinan, klaim dan tindakan yang diartikulasikan dalam gerakan sosial. Sedangkan kredibilitas empiris mengacu pada kecocokan skema pembingkaian dengan kejadian atau problematika yang terjadi. Di samping itu, kredibilitas artikulator adalah reputasi individu atau kelompok yang bertanggung jawab mengartikulasikan bingkai. Konsistensi ini menjadi penting agar gerakan tidak saja memperkuat massa gerakan sosial tetapi juga bisa mempengaruhi individu-individu lain untuk ber-gabung dalam gerakan sosial. Karena itu, dibutuhkan kemampuan jaringan rekruitmen mobilisasi.

c. Struktur Mobilisasi (mobilizing structure)

Teori gerakan sosial memfokuskan pada kelompok sebagai basis analisis maka keberadaan sruktur mo-bilisasi menjadi hal yang tidak bisa dianggap remeh dalam memahami gerakan sosial. Struktur mobilisasi merupakan alat untuk memahami aksi kolektif yang di dalamnya melibatkan organisasi, jaringan dan bagaima-na mereka merancang taktik dan strategi yang dapat

38 Robert Benford dan David Snow, “Framing processes and social movements: An overview and assessment,” Annual Review of Sociology, (26, 2000) 611-639. http://200.41.82.27/220/ (diakses 8 September 2013)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

68

bergaung di antara partisipan.39 Singkatnya, struktur mobilisasi adalah kendaraan atau organisasi, baik for-mal atau informal yang digunakan untuk memobilisasi masyarakat untuk terlibat di dalam aksi kolektif.40

Mobilisasi berkaitan dengan kekuatan jaringan rek-ruitmen dalam mempengaruhi individu atau kelompok untuk bergabung melakukan aksi solidaritas gerakan sosial. Dimensi-dimensi struktur mobilisasi dalam me-lakukan rekruitmen anggota sering kali memanfaatkan jaringan-jaringan organisasi dan aktor organisasi yang tersedia sebelumnya seperti, perkawanan, kekeluar-gaan, komunitas, tempat kerja dan lainnya.41

Di dalam gerakan sosial, sekalipun faktor kesempatan politik tersedia namun jika kekuatan kapasitas dan je-jaring organisasi sebagai instrumen mobilisasi tidak ter-sedia gerakan sosial tidak akan cukup melakukan aksi. Proses mobilisasi umumnya bertalian erat dengan gaung bingkai dalam skema penafsiran yang diajukan untuk merayu kelompok-kelompok yang sepaham untuk di-rekrut dan dimobilisasi. Karena itu, tiga infrastruktur pendukung struktur mobilisasi, antara lain: basis keang-gotaan, jejaring komunikasi dan tokoh gerakan.

Mobilisasi gerakan sosial melakukan rekruitmen ter-hadap organisasi-organisasi atau masyarakat yang meng-alami kekecewaan untuk menerjemahkannya menjadi suatu pernyataan yang terorganisasi dalam aksi kolektif, kekecewaaan jika hanya dinyatakan tidak secara kolektif 39 John D. McCarthy “Constraints and Opportunities in Adopting,

Adapting, and Inventing” dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, eds., Comparative Perspektives on Social Movements, 141.

40 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, eds., Comparative Perspektives on Social Movements, 3.

41 John D. McCarthy “Constraints and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, 145.

Gerakan Sosial & Terorisme

69

maka hanya akan menjadi kekecewaan individual, yang memang tidak memiliki pengaruh terhadap pengambil kebijakan untuk melakukan perubahan.

Jejaring gerakan sosial pada umumnya merupakan organisasi-organisasi binaan para aktor gerakan. Proses ini memungkinkan menjalin hubungan ikatan emo-sional dan rasa solidaritas yang tinggi dengan para ak-tor gerakan. Di dalam gerakan sosial, jejaring organisasi yang tersedia lebih memungkinkan bersifat informal agar tidak mudah dilacak atau dikontrol oleh pemerin-tah. Karena itu, jejaring organisasi dalam struktur mo-bilisasi merupakan gerakan bawah tanah untuk meng-hindari tindakan represif pemerintah.

Penggunaan jejaring organisasi informal dalam struktur mobilisasi gerakan sosial lazim digunakan dalam gerakan terorisme. Hal ini bisa dilihat dalam salah satu laporan ICG dalam “Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia”. Laporan ICG tersebut menunjukkan bahwa proses mo-bilisasi anggota gerakan Darul Islam hingga gerakan JI seringkali bersifat informal seperti, mobilisasi anggota melalui hubungan kekeluargaan dan perkawanan.42 Hal ini dilakukan untuk menghindari kejaran pemerintah.

Dalam kasus tertentu di mana ketersediaan sumber daya bagi aksi kolektif terbatas maka akan ada inter-vensi pihak ketiga untuk memberikan insentif berupa material, solidaritas dan lain lain yang memungkinkan mobilisasi gerakan sosial berjalan. Pada konteks inilah, intervensi pihak ketiga merupakan bagian dari skema politisasi gerakan oleh elite politik untuk memuluskan kepentingannya. Para elite politik kerap kali mem-

42 “Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia”, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 Februari 2005)

Men-Teroris-Kan Tuhan!

70

produksi wacana yang menjadi kekecewaan masyarakat untuk memobilisasi massa melawan rezim pemerintah.

Pengalaman dari sejumlah organisasi-organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak saja melaku-kan kerja ideologis menuntut keadilan tetapi mereka juga mendapatkan insentif material dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan propaganda berupa seminar, kajian publik, pemberitaan media massa serta aksi jalanan. Beberapa organisasi kerap kali melakukan program masyarakat yang belum tersentuh oleh pemerintah, tidak saja melakukan kerja sosial tetapi merupakan proses rekruitmen mobilisasi untuk mena-namkan pesan-pesan atau ideologi gerakan.

Asef Bayat meminjam istilah komunitas terbayang-kan (Imagined community) Benedict Anderson, mem-perkenalkan konsep solidaritas bayangan (Imagined solidarity). Konsep ini digunakan Bayat untuk melihat bagaimana individu-individu partisipan gerakan sosial dengan latar belakang berbeda dan pikiran berbeda akan tetapi memiliki kesamaan kekecewaan terhadap peme-rintah sehingga mereka membentuk konsensus bersama melakukan aksi kolektif.43 Solidaritas bayangan dalam pandangan Bayat adalah konsensus bersama di antara aktor-aktor gerakan sosial dalam menjunjung nilai-nilai yang dijunjung bersama untuk diperjuangkan.

Oleh karena itu, struktur mobilisasi sebagai bagian dari instrument gerakan sosial menjadi penting. Struk-tur mobilisasi tidak saja untuk memahami bagaimana proses, model dan dinamika rekruitmen anggota dalam gerakan, tetapi juga menjadi hal yang penting untuk memahami gerakan sosial dalam spektrum Islam poli-tik. Gerakan sosial Islam memiliki ciri khas tersendiri 43 Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory,” Third World

Quarterly, 26, 6, (2005), 891-908.

Gerakan Sosial & Terorisme

71

yang jarang dimiliki gerakan sosial lain di mana mereka mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan dengan penafsiran yang tendensius dan radikal untuk memenuhi agenda politik mereka.

Di atas semua itu, pendekatan integratif gerakan sosial merupakan upaya memahami gerakan sosial se-cara menyeluruh terintegrasi dalam tiga pendekatan utama yaitu kesempatan politik, framing dan mobilisasi. Dengan demikian, pemahaman terhadap gerakan sosial tidak didapatkan secara terpotong-potong yang menim-bulkan bias penafsiran.

B. Definisi dan Karakteristik Terorisme

Istilah terorisme akhir-akhir ini menjadi sering diu-capkan dan didiskusikan dari berbagai kalangan, baik pejabat pemerintah, akademisi, kaum ningrat hingga masyakat biasa. Mereka membicarakan teroris dan perkembangan. Wacana terorisme yang terus bergema di kalangan masyarakat sejalan dengan munculnya serangkaian aksi-aksi teror dengan pemberitaan me-dia yang berlebihan. Media menjadikan tragedi teror sebagai hard news di halaman pertama tidak saja untuk mengejar rating media, tetapi juga dalam waktu bersa-maan dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk me-nyampaikan pesan.44

Istilah teroris dalam masyarakat memiliki penger-tian sederhana sebagai “musuh”. Pengertian seperti ini sangat membumi di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai permainan anak-anak, teroris sering di-

44 Nunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor I, (Juli 2004), 37-52.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

72

asumsikan sebagai musuh yang harus dibunuh. Penger-tian seperti ini tidak bisa dikatakan salah namun juga tidak bisa dikatakan betul seluruhnya.

Persoalannya apakah masyarakat memahami betul apakah terorisme itu. Terorisme cenderung dipahami sebagai orang yang melakukan pengeboman di ber-bagai tempat misalnya, bom Bali, bom Kuningan, bom Marriot dan bom WTC. Definisi terorisme tidak semu-dah itu, sejauh ini definisi terorisme belum ada kesepa-katan di antara pakar atau ahli. Namun demikian, dapat dipahami bahwa terorisme bukan sekedar peledakan bom. Terorisme merupakan sebuah konsep yang memi-liki makna sensitif karena mengakibatkan korban warga sipil tidak berdosa.45

Terorisme adalah sebuah kata dan konsep yang cukup polemik dan telah lama menimbulkan perbedaan interprestasi dalam komunitas internasional. Definisi-definisi yang telah muncul kerap kali mengandung am-biguitas moral tentang apa itu terorisme. Kesulitan pen-definisian terorisme karena subyektifitas yang melekat. Ada perbedaan yang kontras dalam berbagai persepsi bagi mereka yang berkuasa, penonton, opini publik dan korban atau pelaku.

Namun demikian, dalam dunia internasional ada kesepakatan perjanjian-perjanjian tentang konsep teror-

45 Terorisme dalam lembaran sejarah manusia telah diwarnai oleh tindakan-tindakan teror mulai dari perang psikologis yang ditulis oleh Xenophon (431-350 SM), Kaisar Tiberius (14-37 SM) dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi telah mempraktekkan terorisme dalam penyingkiran atau pembuangan, perampasan harga benda dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (1758-1794) meneror musuh-musuhnya dalam masa Revolusi Perancis. Setelah perang sipil Amerika terikat, muncul kelompok teroris rasialis yang dikenal dengan nama Ku Klux Klan. Demikian pula dengan Hitler dan Joseph Stalin.

Gerakan Sosial & Terorisme

73

isme di mana aspek eksternal aksi terorisme seperti kekerasan terhadap individu, penyanderaan, pembu-nuhan dan penyerangan terhadap properti orang lain merupakan kejahatan terorisme.46

Definisi terorisme hingga saat ini belum ada pema-haman yang digunakan secara universal. Meskipun demikian, untuk memperoleh gambaran tentang teror-isme maka penting kiranya untuk mengetahui suatu definisi dari beberapa negara, lembaga atau para ahli guna memperoleh pemahaman tentang terorisme secara komprehensif.

Mengutip definisi yang diberikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, James JF Forest menuliskan terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang telah diperhitungkan untuk memuncul-kan ketakutan; bertujuan untuk memaksa atau mengin-timidasi pemerintah atau masyarakat untuk mencapai tujuan politik, agama dan ideologi.47

Adapun Federal Bureau of Investigation (FBI) seba-gaimana dikutip oleh Hendropriyono mendefinisikan terorisme adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan di luar hukum terhadap manusia dan harta benda un-tuk menakut-nakuti suatu pemerintahan, masyarakat sipil atau elemen-elemen lain untuk mencapai tujuan sosial politik.48 Definisi yang diberikan Departemen Per-tahanan Amerika Serikat dan FBI ini mengindikasikan cakupan motif terorisme sangat luas. Terorisme tidak 46 Gilbert Guillaume, “Terrorism and International Law.” The

International and Comparative Law Quarterly, Vol. 53, (Juli 2004), 537-548. http://uniset.ca/terr/art/guilla (diakses 9 september 2013)

47 James JF Forest, ed., Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century:International Perspectives, Vol 1-3 (London: Praeger Security International, 2007), ix-x.

48 A.M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), 27.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

74

saja dilandaskan pada motif politik tetapi juga sosial dan agama.

Indonesia mendefinisikan terorisme sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau an-caman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menim-bulkan korban yang bersifat massal. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.

Sementara itu, beberapa ahli memberikan definisi tentang terorisme dan memberikan kategorisasi tindak-an terorisme untuk mempermudah pemahaman terha-dap pengertian terorisme. Paul Wilkinson dalam “The Strategic Implications of Terrorism” menyatakan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menca-pai tujuan politik.

Wilkinson menambahkan bahwa terorisme bukanlah sebuah filsafat atau gerakan politik melainkan sebuah senjata atau metode yang telah digunakan sepanjang sejarah oleh agen negara atau kelompok sub nasional untuk mencapai tujuan politik.49

Karakteristik terorisme menurut Wilkinson antara lain, (a) direncanakan dan bertujuan untuk menciptakan iklim ketakutan ekstrim atau teror; (b) diarahkan pada khalayak yang lebih luas atau target langsung korban kekerasan; (c) bersifat acak dan simbolik termasuk war-ga sipil; (d) tindakan kekerasan yang dilakukan terlihat oleh masyarakat dan melanggar aturan norma sehingga 49 Paul Wilkinson, “The Strategic Implications of Terrorism,” dalam

M.L. Sondhi. Terrorism & Political Violence: a sourcebook (New Delhi : Har-Anand Publications, 2000) 19. www.comw.org/rma/fulltext/00sondhi.pdf (diakses 10 September)

Gerakan Sosial & Terorisme

75

masyarakat marah; (e) dan terorisme umumnya digu-nakan untuk mencoba untuk mempengaruhi perilaku politik.

Jack Gibbs menyatakan bahwa terorisme adalah suatu kejahatan atau suatu ancaman langsung terha-dap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu.50 Ciri-ciri perbuatan yang bisa disebut sebagai aksi terorisme menurut Gibbs merujuk pada hal-hal berikut ini; (1) perbuatan dilaksanakan atau ditujukan dengan mak-sud untuk mengubah atau mempertahankan suatu nilai atau ideologi (2) bersifat bawah tanah (3) tidak menetap pada suatu area tertentu (3) tidak merupakan suatu ben-tuk perang karena mereka menyembunyikan identitas mereka termasuk lokasi penyerangan, ancaman dan pergerakan mereka (4) terorganisir secara sistematis baik dalam aksi, gerakan dan ideologi (5) militan dalam membela dan memperjuangkan suatu nilai atau ideolo-gi yang dianggap benar tanpa memperhitungkan keru-sakan atau akibat yang ditimbulkan.

Terorisme menurut Bruce Hoffman adalah pen-ciptaan eksploitasi ketakutan yang dilakukan dengan sengaja melalui kekerasan atau ancaman kekerasan dalam rangka mencapai perubahan politik.51 Dengan de-mikian, terorisme adalah paham penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dirancang secara khu-sus terorganisasi dan diharapkan dapat memiliki efek psikologis untuk menanamkan rasa takut atau intimi-dasi secara luas dengan tujuan tertentu.

50 Jack P. Gibbs, “Concepualization of Terrorism”, American Sosiological Review, Vol.54, No.3. (Juni.,1989) 329-340. http://people.uncw.eduConceptualization%20of%20Terrorism%20by%20Jack%20Gibbs.pdf (diakses 10 September 2013)

51 Bruce Hoffman, Inside Terrorism (New York: Columbia University Press, 1998), 13-44.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

76

Efek psikologis ini digunakan untuk mengintimidasi target suatu kelompok, negara, partai politik, agama dan opini publik pada umumnya. Kekerasan yang di-gunakan dalam aksi terorisme diharapkan dapat mem-berikan pengaruh perubahan politik nasional maupun dunia internasional. Oleh karena itu, karakteristik paling mendasar dari terorisme menurut Hoffman adalah te-rorisme itu direncanakan, dihitung dan memang tin-dakan sistematis untuk mengejar kekuasan yang ber-sifat politik.

C.A.J. Coady mendefinisikan terorisme sebagai peng-gunaan kekerasan terorganisir untuk menyerang warga sipil tak berdosa (innocent people) atau dalam arti khusus properti mereka untuk tujuan politik.52 Coady meng-gunakan istilah agak berbeda dalam penyebutan target serangan teroris sebagai innocent people. Istilah innocent people digunakan oleh Coady dalam membandingkan antara pengistilahan non-kombatan dengan orang-orang tidak bersalah sebagai korban dari aksi terorisme.

Pengistilahan non-kombatan kurang tepat untuk menyebut target terorisme karena non-kombatan juga digunakan dalam teori perang dan hal ini jelas berbeda karena aksi terorisme cenderung menjadikan target ma-nusia yang tidak tahu menahu sebagai korban. Karena itu, definisi terorisme dalam pandangan Coady lebih ke-pada political thriller (kekerasan politik).

Hudson menawarkan definisi terorisme sebagai aksi yang tidak disangka terjadi di tempat umum dengan target serangan orang atau kelompok non kombatan serta terjadi pada situasi damai dan memiliki tujuan psikologis untuk mendapatkan perhatian kalayak ra-52 C.A.J Coady, “Terrorism, Morality, and Supreme Emergency”

Ethics 114 ( Juli 2004), 772–789. www.kean.edu/~gkahn/PS4130/Coady.pdf‎ (diakses 5 Oktober 2013)

Gerakan Sosial & Terorisme

77

mai.53 Hudson juga mengidentifikasi bahwa motivasi tindakan teror disebabkan oleh situasi politik dan juga masalah keagamaan untuk diperjuangkan.

Para pelaku teror biasanya dilakukan oleh kelompok maupun agen-agen yang mempersiapkan secara cermat dan tertutup. Selanjutnya Hudson menjelaskan bahwa karakteristik terorisme atas dasar latar belakang politik dan ideologi terdapat empat tipologi kelompok teroris, yaitu: nasional-separatis, religius fundamentalis, reli-gius baru, dan revolusi sosial.54

Nasional separatis merujuk pada kelompok teroris yang melakukan penentangan terhadap pemerintahan yang sah seperti kelompok pembabasan Macan Tamil di Srilangka, IRA di Irlandia, etnis Kurdi di Turki. Reli-gious fundamentalis merujuk pada kelompok terorisme yang dilatarbelakangi oleh pamahaman fundamental atas ajaran agama tertentu.

Adapun religius baru merujuk pada kelompok aga-ma yang baru, dengan kata lain memiliki “Nabi” yang juga baru yang memberikan doktrin kepada pemeluk-nya untuk melakukan tindakan teror dalam upayanya menjalankan perintah langsung dari Tuhan sedangkan revolusi sosial merujuk pada kelompok teroris yang dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman sosial radi-kal terutama oleh ideologi Marxis-Leninis.

Tipologi tersebut diteliti Hudson berdasarkan bioda-ta teroris yang tertangkap untuk mencari karakteristik umum bagi para pelakunya. Namun demikian, metode ini dianggap sangat kurang relevan, hal ini disebabkan 53 Rex A. Hudson, The Sociology and Psychology of Terrorism: Who

Becomes a Terrorist and Why? (Washington: Federal Research Division, Library of Congress,1999), 20.

54 Rex A. Hudson, The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why?. 22-23

Men-Teroris-Kan Tuhan!

78

begitu beragamnya kasus terorisme baik dari bentuk aksi, pengorganisasian, serta motivasinya.

Sementara itu Charles Tilly mendefinisikan “teror” sebagai strategi politik yaitu ancaman dan kekerasan secara asimetris terhadap musuh dengan menggunakan cara-cara tidak lazim atau di luar bentuk perjuangan politik secara institusional.55 Teror sebagai strategi poli-tik dalam pandangan Tilly merupakan bentuk tindakan intermiten atau kontinu yang dilakukan sebuah kelom-pok sebagai modus operasi khusus.

Definisi dan karakteristik yang beraneka ragam dari berbagai perspektif tentang terorisme sangat sulit untuk dapat memberikan pengertian secara subtansial tentang apa itu terorisme. Terorisme telah ada dalam seja-rah kehidupan manusia sepanjang zaman. Pengertian terorisme memiliki sudut pandang sendiri bagi korban, pelaku dan opini publik.

Karena itu, Walter Laquer mengemukakan bahwa tidak ada definisi terorisme yang memungkinkan untuk dapat mencakup segala macam aksi terorisme yang per-nah muncul dalam kehidupan manusia bahkan Laquer dengan tegas mengatakan definisi terorisme tidak akan pernah ada dan tidak akan bisa diramalkan di masa depan.56

Terorisme tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pe-perangan baik perang gerilya, perang revolusioner ataupun perang konvensional. Perang gerilya merupa-kan perang revolusioner yang menimbulkan kerusakan fisik, perang konvensional menimbulkan kerusakan ma-55 Charles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists”, Sociological Theory,

Vol. 22, No. 1,(Maret 2004).56 Walter Laquer, “Terrorism A Brief History”, Walter Laqueur. Web.

http://www.laqueur.net/index2.php?r=2&id=71 (diakses 5 Oktober 2013).

Gerakan Sosial & Terorisme

79

nusia maupun materi, sedangkan terorisme cenderung menimbulkan kerusakan secara psikologis.

Oleh karena itu, terorisme tidak bisa dikatakan se-bagai konsep perang karena ia tidak memiliki unsur-unsur dalam sebuah peperangan. Meskipun demikian, kesulitan menemukan definisi terorisme bukan berarti terorisme tidak dapat dipelajari hingga ditemukan definisi yang tepat tentang apa itu terorisme.

Kemunculan terorisme telah ada dalam lintasan seja-rah kehidupan manusia dan berkembang seiring peru-bahan zaman. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kemunculan terorisme yang melibatkan berbagai disip-lin ilmu seperti sosiologi, politik, hukum, kriminologi dan ilmu lainnya. Dinamika perubahan zaman melahir-kan strategi baru tentang aksi dan pola terorisme serta motif yang berubah sehingga sulit untuk mendefinisi-kan terorisme secara universal. Keberagaman arti teror-isme menunjukan bahwa definisi terorisme bersifat sub-yektif hanya pribadi seseorang yang dapat menentukan bahwa sesuatu itu terorisme atau bukan.

Namun demikian, pengertian terorisme setidaknya memuat tiga variabel yang saling terhubung yaitu tu-juan politik, tindakan kekerasan tanpa pilih dan komu-nikasi suatu pesan. Tujuan politik mengandung maksud bahwa aksi terorisme merupakan bentuk politik penen-tangan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai la-wan atau musuh.

Tindakan kekerasan merupakan konse-kuensi dari aksi terorisme. Kekerasan bisa terjadi tanpa teror tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Hal ini menjadi ciri yang membedakan kejahatan terorisme dengan kejahatan bia-sa.57 Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang di-

57 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,

Men-Teroris-Kan Tuhan!

80

landaskan pada ide dan pikiran. Tidak disebut terorisme jika dilakukan tidak secara sistematis dan terorganisir.

Adapun variabel terakhir yaitu aksi terorisme meru-pakan strategi penyampaian pesan. Aksi terorisme seper-ti teror bom merupakan sarana untuk menyampaikan pesan dan merupakan senjata paling lemah oleh kelom-pok atau individu yang tidak berdaya untuk melakukan perubahan yang dikehendaki. Karena itu, tindakan teror dilakukan dalam rangka menimbulkan efek psikologis agar tuntutan dan tujuannya didengar oleh pemerin-tah, penguasa atau masyarakat dunia. Pada titik ini ada hubungan simbiosis antara media massa dan teroris. Di satu sisi, pihak media mendapatkan berita aktual tetapi di pihak kelompok teroris dimanfaatkan sebagai sarana menyampaikan pesan yang dapat menimbulkan efek psikologis.

Di atas semua itu, pengertian terorisme dapat disim-pulkan sebagai paham penggunaan kekerasan sebagai bentuk politik penentangan dalam rangka mencapai tu-juan politik.

Selanjutnya, pasca serangan teror 11 September 2001. Ada pergeseran paradigma terorisme yang meng-arah kepada terorisme keagamaan. Terorisme tidak lagi sekelompok organisasi atau individu yang bersifat sekuler baik dalam klaim, tujuan dan wacana aksi. Pada dekade sekarang ini terorisme bermakna agama dan Islam menjadi sorotan dunia karena dalam beberapa kasus teror di mana para aktor, individu dan organisasi yang terlibat dalam serangan terorisme dilakukan oleh kelompok Islam.

Geneologi, dan Teori (Yogjakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2012),23.

Gerakan Sosial & Terorisme

81

Terorisme berbasis Islam adalah paham penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dengan mengusung sim-bol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan. Hal ini bisa dilihat dalam deklarasi jihad Osama bin Laden pada tahun 1998 yang telah menabuh genderang perang bertajuk “Front Dunia Islam untuk Berjihad Melawan Kaum Yahudi dan Salibis”.58 Penggunaan simbol-simbol Islam dalam deklarasi jihad Osama bin Laden semakin menemukan relevansinya dalam al-Qur’an di mana jika dipahami secara tekstual akan menemukan pembe-naran. Misalnya dalam Q.S al-Baqarah: 120, berikut ini:

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengeta-huan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.

Demikian pula dengan para pelaku teror bom Bali. Dalam laporan berita acara pemeriksaan tersangka Imam Samudra misalnya, ia terinspirasi oleh ayat terse-but sehingga mengatakan bahwa tindakan teror di Bali merupakan bagian dari jihad global terhadap kaum Yahudi dan Nasrani di seluruh bumi negara-negara Muslim.59

Kekerasan dalam aksi terorisme berbasis Islam sering-kali dipoles atas nama jihad. Jihad dimaknai perang ter-hadap orang-orang kafir. Kata jihad sendiri berasal dari kata bahasa Arab di mana secara etimologis yaitu dari kata kerja jahada-yajhadu-jahdan-ijtihadan yang memiliki

58 Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda, Global Network of Terror (New York: Berkley Publishing Group, 2003), 45.

59 Lihat selanjutnya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) a.n. Imam Samudra, tanggal 28 November 2002.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

82

arti bersungguh-sungguh.60 Adapun secara definisi, ji-had berarti melakukan yang terbaik untuk menegakkan hukum Allah, membangun dan menyebarkannya.61

Namun saat ini, istilah jihad lebih banyak dikonota-sikan dengan serangkaian tindakan kekerasan yang di-lakukan kelompok muslim garis keras (hard liner) dalam upaya melawan pihak-pihak yang dianggap mendza-limi umat Islam. Kelompok jihadis meyakini bahwa kehidupan dunia sekarang ini serat akan pengingkaran terhadap hukum Allah. Karena itu, perjuangan melaku-kan perubahan dengan jalan kekerasan menjadi suatu kewajiban bagi tiap-tiap individu. Pada titik inilah mere-ka merumuskan konsep jihad sebagai alat pembenaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan.

Christopher Coker sebagaimana dikutip oleh Jeffrey B. Cozzens mengungkapkan bahwan tujuan utama dari gerakan global jihad adalah “instrumental” dan “expresive”.62 Tujuan instrumental adalah strategi poli-tik untuk mengusir pendudukan Amerika di negara-ne-gara Islam, menjatuhkan rezim yang otoriter terhadap Islam serta membangun khilafah Islam yang memben-tang dari Asia Tenggara hingga Spanyol.

Adapun tujuan ekspresif adalah menjamin keber-langsungan semangat perlawanan, kewajiban individu terhadap musuh Islam, pelembagaan budaya martir, jihad sebagai bagian dari identitas Islam, membangun solidaritas Islam, menciptakan kesengsaraan terhadap 60 Ibn Manzu>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz III (Bairut: Dar Sadr, TT), 133.61 Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan

Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), 11.

62 Jeffrey B. Cozzens, “The Culture of Global Jihad: Character, Future Challenges and Recommendations”, International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR), (Oktober 2008), 6. www.edenintelligence.com/events/JeffCozzensPaper.pdf‎

Gerakan Sosial & Terorisme

83

kaum Yahudi dan Salibis, memperoleh kemenangan Islam dan mendapatkan pahala dari aksi jihad.

Pemahaman terorisme dewasa ini yang cenderung dipahami sebagai konsep keagamaan merupakan ba-gian dari hegemoni wacana terorisme yang digerakkan Amerika pasca serangan 11 September 2001. Terorisme jelas bukan merupakan gejala keagamaan tetapi ia me-rupakan konsep politik. Terorisme mengandung motif dan tujuan politik, klaim politik dan perjuangan politik. Karena itu, terorisme lebih mirip dengan gerakan politik penentangan terhadap paradoks-paradoks kehidupan.

Di atas semua itu, fenomena terorisme telah menjadi musuh masyarakat global karena secara nyata telah me-nimbulkan kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan. Karakter umum dari terorisme adalah menghalalkan serta membenarkan kekerasan dan pada tingkat ter-tentu menghilangkan banyak nyawa tanpa memandang siapa korbannya, hal ini berarti merampas hak asasi ma-nusia melalui aksi yang mengarah kepada tindakan anti kemanusiaan.

C. Terorisme sebagai Gerakan Sosial

Terorisme adalah bentuk politik penentangan (con-tentious politics). Politik penentangan merupakan sintesis terakhir dari pendekatan integratif dalam teori gerakan sosial yaitu kesempatan politik, framing dan mobilisa-si.63 Pendekatan integratif teori gerakan sosial melihat gerakan politik penentangan sebagai bagian dari keke-cewaan yang bermetamorfosis menjadi mobilisasi pe-nentangan yang disertai dengan kekerasan. Pemaham-63 McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly, Dynamics of Contention,

(Cambridge: Cambridge University Press, 2004),124-190.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

84

an terorisme sebagai politik penentangan akan dapat membantu mengungkap strategi atau taktik, gerakan dan aktor-aktor yang terlibat dalam lingkaran gerakan terorisme.

Charles Tilly memberikan definisi terorisme adalah strategi dan model penentangan dalam perjuangan poli-tik.64 Terorisme sebagai gerakan politik penentangan, aksi terorisme dilakukan atas dasar pilihan rasional, terorganisasi dan memiliki tujuan.65 Kekerasan politik yang melekat dalam aksi terorisme merupakan bentuk politik penentangan yaitu tantangan kolektif sebagai strategi oleh mereka yang tidak berkuasa atau lemah yang didasarkan atas solidaritas sosial untuk mencapai tujuan dan bagian dari strategi untuk menentang elite, musuh dan otoritas penguasa.66 Dalam konteks inilah pentingnya melihat bahwa aksi terorisme seperti bom bunuh diri dengan target orang-orang tidak berdosa di-lakukan atas dasar pilihan rasional untuk mencapai tu-juan bukan sekedar ekspresi kekecewaan akibat frustasi.

Oleh karena itu, pada bagian ini penulis memberikan penjelasan bagaimana gerakan terorisme bisa dikatakan sebagai gerakan rasional dan sosial. Terorisme sebagai gerakan sosial setidaknya dapat dijelaskan atau dipa-hami dalam dua aspek yang melekat dalam aksi-aksi gerakan terorisme. Dua aspek tersebut adalah pilihan rasional dan mobilisasi. Dua aspek tersebut menjadi per-timbangan rasional untuk mengatakan bahwa gerakan 64 Charles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists”, Sociological Theory.

5-6.65 Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An

Introduction, Second Edition (Oxford:Blackwell Publishing, 2006),1-9.

66 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics, Second Edition. (Cambridge: Cambridge University Press,1998),1-6.

Gerakan Sosial & Terorisme

85

terorisme bukan merupakan gejala frustasi atau gang-guan kejiwaan yang tidak memiliki landasan jelas.

Aksi-aksi terorisme berangkat dari pemahaman strategis yang telah diperhitungkan secara matang, sis-tematis dan terorganisir. Terorisme sebagai aksi gerakan sosial merupakan upaya memahami bahwa partisipan yang terlibat dalam organisasi teroris merupakan indi-vidu rasional yang bergabung dalam rangka menyuara-kan aspirasi secara kolektif dengan cara kekerasan atau teror ketika sumber daya yang dimiliki memiliki keter-batasan.

Namun demikian, mobilisasi atau kolektifitas dalam gerakan terorisme dilakukan secara klandestin atau bawah tanah karena politik kekerasan yang melekat di dalamnya. Hal inilah yang membedakan terorisme dengan gerakan sosial pada umumnya.

1. Pilihan Rasional

Paradigma pilihan rasional (rational choice) telah memberikan teoritisasi yang signifikan sehubungan dengan bertumbuhnya aksi-aksi gerakan sosial. Para-digma ini menawarkan sebuah gagasan bahwa aksi-aksi gerakan sekalipun ia cenderung ekstrimis, bukan merupakan ekspresi mentalitas sekelompok orang yang irasional atau bentuk anomie dan deprivasi, melainkan sebaliknya sebagai aksi rasional dengan pertimbangan kalkulasi strategis untuk mencapai tujuan.

Mancur Olson sebagai sarjana yang mengembangkan paradigma pilihan rasional menjelaskan bahwa sebuah insentif dalam keterbukaan sistem politik akan memberi-kan stimulasi seorang individu terlibat di dalam kelom-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

86

pok organisasi gerakan dengan pertimbangan strategis.67 Aspek rasional yang dikembangkan oleh Mancur Olson memberikan perspektif sudut pandang untuk melihat aksi kolektif dalam konteks kalkulasi untung rugi.

Pertimbangan rasionalitas dilakukan jika para parti-sipan atau individu yang terlibat di dalam aksi gerakan telah memiliki kesepakatan tentang ukuran sebuah ra-sionalitas. Ukuran rasionalitas merupakan konstruksi sosial yang tergantung pada bagaimana para partisi-pan mengenali dirinya sendiri, mengetahui aksi yang dilakukan dan mengenali lingkungan di luar dirinya sehingga dapat memperhitungkan sejauh mana keber-hasilan aksi-aksi penentangan dilakukan.

Lebih dari itu, Olson memberikan pemahaman kepentingan-kepentingan para aktor gerakan bisa diru-muskan secara rasional untuk mencapai suatu common interest, dan memang keberadaan kekuatan kelompok kepentingan ini sangat signifikan. Namun demikian, keadaan ini sangat ditentukan sejauh mana situasi dan kondisi dapat dimanfaatkan oleh para aktor dengan per-timbangan faktor jumlah partisipan yang terlibat, insen-tif dan unsur paksaan dalam aksi gerakan.

Dalam perspektif ini, maka gerakan terorisme harus dipahami sebagai sebuah strategi di dalam sekelompok orang atau organisasi dengan pertimbangan untung rugi guna mencapai tujuan. Aksi-aksi teror yang iden-tik dengan kekerasan sesungguhnya dilakukan bukan tanpa alasan, bukan juga sebuah perilaku menyimpang yang tida bisa dipertanggungjawabkan. Mereka para pelaku teror sadar akan pilihan-pilihan yang diam-bil, meskipun harus menghilangkan nyawa sekalipun. 67 Mancur Olson, the Logic of Collective Action: Public Goods and The

Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 60-61.

Gerakan Sosial & Terorisme

87

Gerakan terorisme merupakan pilihan rasional dari se-buah gerakan politik perlawanan atau penentangan un-tuk mencapai tujuan.

Penjelasan pilihan rasional dalam konteks gerakan terorisme memberikan pemahaman pada korelasi antara teroris dan target teror. Sementara para aktor terorisme melancarkan serangan, dan saat bersamaan target teror juga bergerak seiring dengan adanya serangan teror. Hal ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara teroris dan target teror dalam aspek kesamaan-kepen-tingan, konflik-kepentingan, dan pola interaksi di antara keduanya. Teroris maupun target teror dipandang seba-gai aktor rasional dan strategis. Mereka rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua tindakannya mencerminkan tujuan mereka. Mereka strategis dalam arti pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah yang sudah dan yang akan dilakukan aktor lainnya yakni lawan dan hambatan-hambatan sehubungan dengan serangan teror yang melahirkan kebijakan kontra terorisme.68

Robert Pape memberikan bukti petunjuk bagaimana aksi teror dalam bentuk bom bunuh diri dilakukan dengan pertimbangan strategis.69 Pape melakukan pe-nelitian 315 kasus teror bom bunuh diri di seluruh dunia dari tahun 1980-2003. Menurut Pape, serangan bom bunuh diri adalah senjata terakhir yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya dengan tujuan utama mengusir tentara yang menduduki

68 Anies Rasyid Baswedan, “Menganalisa Terorisme: Kultural dan Rasional”, Senin, 11 Agustus 2008. http://aniesbaswedan.blogspot.com/2008/08/menganalisa-terorisme-kultural-dan.html (diakses 10 November 2013)

69 Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism (New York : Random House, 2005).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

88

wilayah-wilayah tertentu yang dianggap para sponsor aksi terorisme sebagai tanah air mereka.70 Terorisme dalam bentuk bom bunuh diri dalam perspektif Pape merupakan pilihan rasional dengan pertimbangan strategis nasionalisme mengusir pendudukan Amerika.

Temuan Pape ini menjadi penting untuk menguji tesis apakah benar ada keterkaitan antara terorisme dan ge-rakan sosial, sekaligus memberikan petunjuk bagaima-na aksi-aksi teror dilakukan dengan kalkulasi untung rugi. Aksi bom bunuh diri meskipun harus menghilang-kan nyawa sendiri merupakan pilihan rasional bagi sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Dimensi sosial budaya dalam hal ini lingkungan di mana para aktor terlibat wacana di dalamnya ikut menentukan ukuran rasionalitas sehingga apapun cara biarpun tidak mengenal kompromi, usaha-usaha dalam mencapai tujuan akan dilakukan.

Penelitian Pape ini menunjukkan bahwa aksi bom bunuh diri sebagai serangan teror merupakan upaya “interaksi” dengan target teror yakni Amerika agar me-menuhi tuntutan mereka. Korelasi hubungan keduanya memandang pilihan bom bunuh diri merupakan strategi rasional untuk mencapai tujuan dan konsisten dilaku-kan. Pilihan bom bunuh diri merupakan implikasi dari tindakan teror sebelumnya yang kemungkinan kurang dipahami. Dalam hal ini, pilihan bom bunuh diri da-pat dipahami sebagai senjata terakhir bagi sekelompok atau organisasi yang terlibat dalam perlawanan ketika ketidakberdayaan menghadapi Amerika dan sekutunya.

Robert Brym dalam “What is the relationship between terrorism and social movement” memberikan dukungan terhadap tesis Pape. Robert Brym memberikan catatan 70 Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide

Terrorism. 21.

Gerakan Sosial & Terorisme

89

bahwa pertimbangan strategis, kekuatan budaya, opini publik, dan tanggapan emosional terhadap penduduk-an tentara Amerika melahirkan solidaritas sosial untuk menghasut beberapa anggota untuk terlibat dalam serangan bunuh diri.71

Oleh karena itu, Robert Brym memandang, aksi te-rorisme bom bunuh diri adalah strategi yang digunakan oleh suatu gerakan sosial dalam keadaan lemah seba-gaimana strategi yang digunakan oleh aktivis gerakan sosial untuk memunculkan tanggapan dari pihak ber-wenang. Strategi serangan bunuh diri maupun bentuk-bentuk tertentu merupakan upaya untuk mencapai tu-juan yang dilakukan atas dasar pilihan rasional.

Noorhaidi Hasan menjelaskan konteks situasional so-sial politik menjadi pertimbangan rasional untuk mela-hirkan gerakan. Dalam hal ini kemunculan Laskar Jihad mengambil momentum di saat runtuhnya rezim otoriter Orde Baru sebagai pertimbangan rasional dan saat bersamaan menemukan momentumnya sehubungan dengan meletusnya konflik Ambon-Poso.72

Laskar Jihad atau gerakan semacamnya menun-jukkan kalkulasi strategis para aktor gerakan di mana ada saatnya gerakan Islam bergerak secara klandestin untuk menghindari represi rezim. Namun sebaliknya ketika situasi politik berubah, mereka berubah haluan dari gerakan dakwah ke pola kekerasan ketika situasi politik memungkinkan. Hal ini menunjukkan pilihan pada bentuk gerakan merupakan pilihan dengan per-

71 Robert Brym, “What is the relationship between terrorism and social movement”, mobilizingideas, (2 April 2012).

72 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militancy, and the Quest for Identity in post-New Order Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 2006).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

90

timbangan peluang dan hambatan sehubungan dengan keberlangsungan dan keberhasilan aksi gerakan.

Gerakan Dakwah yang meningkat di masa rezim otoriter Suharto mencerminkan bagaimana aktivis Islam harus mengambil langkah strategis dan rasional se-hubungan dengan perlakuan represif dari rezim peme-rintah terhadap kegiatan Islam politik. Lebih dari itu, di masa Orde Baru gerakan Islam memilih jalan strategis dengan meninggalkan tempat kelahiran yang dipa-hami sebagai hijrah, dan pada saat bersamaan mencoba memobilisasi dukungan terhadap dunia internasional dengan mengikuti program mujahidin Afghanistan.

Pasca tumbangnya rezim Orde Baru mereka meng-ambil langkah strategis dan rasional untuk kembali me-nyuarakan tuntutan Islam politik. Gerakan dakwah ke-mudian mengambil kebijakan revitalisasi Islam politik di ruang publik dan memiliki kecenderungan radikal hingga ke tahap aksi terorisme.73 Mereka mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan.

Dari perspektif ini, gerakan terorisme di Indonesia merupakan gerakan rasional dengan pertimbangan strategis. Gerakan-gerakan terorisme di Indonesia dari gerakan DI/TII hingga gerakan Jamaah Islamiah (JI) merupakan sekumpulan individu-individu yang me-miliki kesadaran atas apa yag mereka lakukan. Ada pertimbangan-pertimbangan strategis pilihan memilih jalan anti-sistem dalam menyuarakan aspirasinya. Gerakan terorisme berbasis Islam dengan memilih jalan anti-sistem atau non-institusional karena keterbatasan akses sumber daya dan ketidakmampuan para elite poli-tik Islam dalam mengambil langkah politik bagi umat Islam serta memanfaatkan momentum yang tersedia.73 M. Imdaddun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme

Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005).

Gerakan Sosial & Terorisme

91

Gerakan DI/TII misalnya, ketidakmampuan elite poli-tik Islam dalam perundingan ideologi negara memben-tuk konsensus di antara individu-individu yang merasa dirugikan untuk melakukan perlawanan. Perlawanan dalam bentuk gerakan teroris atau pemberontakan me-rupakan pilihan strategis akibat konstruksi realitas ling-kungan sosial politik yang menciptakan insentif bagi terselanggaranya aksi-aksi kekerasan, radikal dan teror-isme. Gerakan terorisme dalam hal ini dipahami sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasi disaat elite politik Islam tidak berdaya, baik dalam perundingan ideologi negara maupun perundingan perjanjian dengan pihak penjajah Belanda (baca: perjanjian Renville dan Linggar Jati). Dua pertimbangan ini menjadi pilihan rasional mengapa Kartosuwiryo sebagai pimpinan gerakan DI/TII mengambil jalan perlawanan bersenjata.

Pilihan Kartosuwiryo dalam menggalang gerakan perlawanan bersenjata bukan tanpa pertimbangan stra-tegis. Keberadaan elite politik Islam dalam jalur kelem-bagaan tidak mampu sementara elite politik dari kelom-pok nasionalis cenderung meminggirkan kalangan Islam politik. Di sisi lain, visi politik Kartosuwiryo yang anti kolonialisme memberikan landasan rasional untuk mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat mengingat pemerintah membiarkan Belanda menguasai wilayah Jawa Barat. Karena itu, Gerakan DI/TII harus dipahami dalam bingkai rasional bukan dipahami se-cara kultural yang menekankan pada aspek agama se-bagai motif di balik gerakan DI/TII. Agama dalam hal ini hanya menjadi landasan motifasional dan mobilisasi dukungan bagi kelompok-kelompok Islam yang merasa terpinggirkan.

Begitu juga dengan gerakan JI, aksi-aksi serangan peledakan bom di beberapa tempat merupakan pilihan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

92

rasional dengan beberapa pertimbangan. Serangan teroris yang ditujukan kepada simbol-simbol Amerika dan sekutunya menujukan korelasi bagaimana serangan teroris dan target teror mengambil kebijakan. Bagi pihak pertama menuntut adanya interaksi berupa tuntutan ke-pada target teror, sementara dipihak sasaran teror mem-berikan kebijakan seiring dengan tuntutan kelompok teroris.

Lebih dari itu, di abad teknologi dengan ditandai perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gerakan terorisme mencoba mengambil ke-untungan untuk membawa identitas Islam di ruang publik ketika saat bersamaan hegemoni Barat meman-faatkan kemajuan teknologi berusaha menguasai sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam hal ini wacana global jihad memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mem-bawa atau melawan hegemoni barat di ruang publik.74

Karena itu, pemahaman rasional dalam memandang gerakan teroris harus dipahami sebagai gerakan penen-tangan untuk mencapai tujuan. Dari perspektif ini juga dapat dipahami sebagai langkah strategis bagi program kontra terorisme, artinya pemahaman rasional terhadap aksi terorisme memandang aktor teroris adalah rasional. Mereka menyampaikan tuntutan dengan cara kekerasan sehubungan dengan ketidakmampuan mereka mengha-dapi musuh atau lawan.

Pertimbangan strategis dalam aksi terorisme dapat juga dipahami dari adanya perubahan pola serangan. Pola target terorisme belakangan ini yang cenderung berubah mengindikasikan adanya kalkulasi strategis

74 A. Safril Mubah, “The Symbiosis of Globalization and Terrorism: Revealing the Relations of Globalization and Terrorism in the Contemporary Era” Journal Unair, Volume 3, Nomer 2, (2011), 51-57.

Gerakan Sosial & Terorisme

93

sehubungan dengan melemahnya sumber daya, baik sumber daya anggota atau sumber daya finansial. Serangan teror yang ditujukan kepada institusi pemerin-tahan khususnya anggota Polri, menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya menjadi perhitungan untung rugi bagaimana harus memilih pola serangan. Serangan dengan pola penembakan terhadap anggota polisi me-rupakan pertimbangan rasional karena tidak membu-tuhkan biaya banyak daripada harus menggunakan bom dengan biaya tinggi untuk menghasilkan bom dengan kekuatan daya ledak besar.

Pola serangan ini juga menunjukkan upaya balas dendam sehubungan banyaknya anggota gerakan teror-isme ditangkapi dan mati tertembak oleh aparat kepoli-sian khususnya Densus 88.75 Dari perspektif ini maka menjadi rasional jika pola serangan cenderung spo-radis tidak terkontrol. Di samping itu, target serangan terhadap institusi pemerintahan juga dapat dipahami sebagai langkah strategis sebagai upaya protes atau penentangan terhadap pemangku kebijakan atas kega-galan menjalankan amanah rakyat.

Pada sisi lain para elite politik Islam juga gagal mem-bawa aspirasi umat Islam. Hal ini bisa dilihat bagaima-na perkembangan dan pertumbuhan kejahatan korupsi oleh para elite pemerintah pasca reformasi, baik dilaku-kan oleh kelompok nasionalis atau Islam politik yang tergabung dalam partai politik Islam. Dari perspektif ini menunjukan adanya korelasi antara pola serangan teror-is dan target teror yang “mendialogkan” kondisi-konsidi tersebut dengan saluran non-institusional alias aksi teror.

75 Lihat sepak terjang prestasi Densus 88 dalam menumpas gerakan terorisme dalam Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror (Yogyakarta:Penerbit Narasi, 2010), 89-90.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

94

Dalam perspektif pilihan rasional, terorisme meru-pakan gerakan yang berangkat dari emosi, gagasan, dan aktivitas yang saling terhubung melahirkan sebuah gerakan terorisme. Teroris tidak dilahirkan dalam ruang hampa. Terorisme merupakan produk sebuah kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak stabil sehingga melahirkan mobilisasi perseteruan melakukan penentangan yang terdiri dari berbagai macam latar be-lakang lapisan simpatisan untuk menjadi bagian dari sebuah gerakan.

Para partisipan gerakan terorisme juga bukan me-rupakan korban “cuci otak” sebagai bagian dari pola rekruitmen terorisme. Pemahaman seperti ini tidak sera-tus persen benar mengingat para aktor terorisme adalah orang yang rasional bahkan memiliki kecerdasan.76 Fak-ta dari beberapa teroris yang sudah tertangkap adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, ada dari UGM, ITB, UIN dan sebagainya. Ada yang ahli teknis, ada yang ahli kedokteran hewan, sehingga harus dipahami bah-wa bom bunuh diri bukan karena frustrasi melainkan sebuah gerakan politik penentangan atas ketidakadilan sehingga memaksa mereka untuk melakukan pengor-banan yang ideal sebagai upaya tuntutan perubahan.

Dalam perspektif ini, Asef Bayat menjelaskan kondisi tersebut dengan istilah imagined solidarity (solidaritas ter-bayang) yaitu adanya solidaritas bersama untuk mem-bayangkan secara subyektif nilai-nilai dan kepentingan yang harus diperjuangkan.77 Karena itu, terorisme dalam 76 Lihat profil para tersangka teror bom Bali di mana mereka

bukanlah individu yang mengalami gangguan jiwa tetapi aksi teror merupakan pilihan rasional ketika mengalami ketidakberdayaan untuk melakukan perubahan dalam Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 8-43.

77 Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory”, Third World

Gerakan Sosial & Terorisme

95

konteks Islam atau terorisme berbasis Islam sering meng-gunakan simbol-simbol Islam dengan mengusung ide atas nama solidaritas muslim mereka melakukan propa-ganda mengandaikan musuh-musuh Islam.

Pengandaian musuh dalam hal ini merupakan proses dari penafsiran (framing) untuk memuluskan jalan dan tujuan. Simbol Islam merupakan strategi wacana untuk membawa Islam di ruang publik dan saat bersamaan dijadikan tawaran sebagai solusi terhadap ketidakber-dayaan pemerintah dalam menjalankan roda pemerin-tahan yang memenuhi prinsip-prinsip good governance.

Di atas semua itu, dalam rangka pencegahan tindakan terorisme. Pihak-pihak yang menjadi target atau sasaran teror mestinya mengambil langkah kebijakan rasional dengan mempertimbangkan kondisi yang memunculkan. Pemahaman kultural dengan mengedepankan aspek agama sebagai motif di balik aksi terorisme berbasis Islam hanya kecil kemungkinan untuk mendapatkan solusi. Penjelasan kultural semacam itu hanya akan membuat kekaburan terorisme sebagai gejala sosial.

2. Mobilisasi Gerakan

Studi gerakan sosial sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya menekankan pentingnya dimen-si mobilisasi sumber daya di dalam pengorganisasian keberlangsungan aksi gerakan sosial. Gerakan terorisme sebagaimana gerakan sosial lainnya, dimensi mobilisasi memainkan peranan penting dalam keberlangsungan dan keberhasilan aksi terorisme. Mobilisasi individu ke dalam gerakan terorisme berlangsung secara ekslusif dalam lingkungan tertutup.

Quarterly, 26,6 (2005).891-908.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

96

Mobilisasi sumber daya berfungsi sebagai sarana atau wahana kolektif, baik formal maupun informal, di mana individu-individu dimobilisasi dan terlibat aktif dalam aksi gerakan.78 Mobilisasi sumber daya mencakup upaya-upaya rekruitmen partisipan untuk terlibat di dalam organisasi gerakan dan upaya-upaya mobilisasi sumber pendanaan. Keberhasilan mobilisasi individu terlibat dalam jejaring gerakan terorisme sangat diten-tukan bagaimana isu-isu dimainkan dalam bentuk pem-bingkaian yang dapat bergaung di antara para anggota gerakan.

Dalam konteks gerakan terorisme, aksi terorisme me-merlukan perencanaan yang matang. Para aktor gerak-an terorisme membutuhkan biaya besar dalam rangka melangsungkan kegiatan terorisme serta membutuhkan waktu relatif lama untuk mempersiapkan individu se-bagai anggota kelompok teror dalam proses rekruitmen anggota gerakan. Di samping itu, organisasi gerakan te-rorisme membutuhkan persiapan sumber pendanaan untuk menjalankan keberlangsungan gerakan, baik sum-ber pendanaan secara legal maupun illegal yang juga membutuhkan resiko besar.

Gerakan DI/TII Kartosuwiryo misalnya, mereka me-mobilisasi individu atau kelompok ke dalam organisasi gerakan membutuhkan waktu dan momentum yang tepat. Daud Beureuh, Kahar Muzakkar, Amir Fatah dan lain-lain masuk dalam gerakan DI/TII dimobilisasi dengan skema pembingkaian atas keluhan-keluhan yang mereka hadapi. Karena itu, mobilisasi sumber daya kerap kali memanfaatkan keluhan atau kekece-waan dari para individu-individu untuk terlibat aktif di dalamnya. Begitu juga dengan gerakan Komando Jihad, para aktor gerakan Komando Jihad memobilisasi 78 McAdam, McCarthy & Zald , eds., Comparative Perspektive, 3.

Gerakan Sosial & Terorisme

97

para anggota gerakan DI/TII di tahun 1976 dengan skema pembingkaian akan kebangkitan komunisme di Indonesia setelah perang Vietnam. Hal yang sama juga terjadi dalam gerakan JI, mereka menggaungkan global jihad akibat hegemoni Barat terhadap negara-negara Islam sebagai skema menarik individu di dalam ling-karan gerakan terorisme.

Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya mobilisasi individu dalam lingkaran gerakan terorisme tidak se-lalu bermula dari ideologi. Mobilisasi dilakukan dengan membingkai wacana ketidakadilan dengan narasi yang beresonansi dalam dinamika politik identitas yang serat dengan sentimen atau emosi lokal. Karena itu, keluhan-keluhan atau kekecewaan kerapkali menjadi alat para aktor gerakan untuk melibatkan individu terlibat dalam gerakan terorisme.

Bentuk-bentuk mobilisasi sebagaimana disebut di atas merupakan pola umum yang sering dipakai oleh gerakan sosial pada umumnya. Mereka menciptakan skema penafsiran yang bergaung agar meyakinkan para individu-individu terlibat secara aktif dalam organisasi gerakan. Namun demikian, mobilisasi dalam gerakan sosial bawah tanah seperti terorisme, proses rekruit-men anggota gerakan berlangsung secara tertutup dan ekslusif. Pada umumnya mobilisasi dilakukan melalui jaringan perkawanan, kekeluargaan dan komunitas.79

Proses rekrutmen jaringan teroris dilakukan pada kalangan pemuda yang baru beranjak dewasa. Kelom-pok umur ini sangat potensial direkrut karena belum memiliki kepribadian yang kuat dan tengah mencari tokoh panutan. Dalam lanskap persoalan sosial politik yang menyertainya, peluang anak-anak muda terlibat 79 “Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan

Australia”, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 Februari 2005).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

98

dalam lingkaran terorisme dan kekerasan sangatlah ter-buka lebar. Apalagi mobilisasi gerakan terorisme telah tumbuh di mana-mana seperti, di sel-sel rahasia sekolah, kampus, majalah dan internet.

Organisasi gerakan terorisme dengan segenap sum-ber daya yang dimiliki masuk ke dalam sistem tersendiri dan mengidentikkan dirinya dengan kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Mereka melakukan aksi tero-ris secara legal organisatoris dan aturan hukum di dalam batasan yang ditentukan oleh sistem untuk mencapai tu-juan bersama secara kolektif. Kolektif bawah tanah yang dimainkan organisasi gerakan terorisme merupakan se-buah strategi dan taktik menghindari tindakan represif rezim pemerintah.

Karakteristik yang melekat dalam gerakan teror-isme pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa terorisme sebagai gerakan sosial. Sebagaimana diung-kapkan Donatella della Porta, menurutnya, ciri khas yang melekat dalam terorisme yaitu kekerasan politik klandestin (clandestine political violence).80 Menurut dia, studi gerakan sosial dalam menganalisa gerakan teror-isme sangat afirmatif karena beberapa pertimbangan yaitu, (1) penelitian sebelumnya tentang gerakan so-sial telah menunjukkan bahwa kekerasan politik sering menyebar selama gelombang protes. Ia berkembang di dalam gerakan sosial dan memang meskipun tidak sering paling tidak terlihat kekerasan politik merupakan produk sampingan dari gerakan sosial.

Lebih dari itu, Donatella della Porta melihat kecen-derungan organisasi-organisasi klandestin merupakan pecahan dari organisasi gerakan sosial dan beberapa 80 Donatella della Porta, “Some Reflection on the rekationship

between terrorism and social movement?”, mobilizingideas, (16 April 2012).

Gerakan Sosial & Terorisme

99

militan organisasi bawah tanah memiliki pengalaman dalam gerakan sosial. Karena itu, gerakan sosial dan kekerasan politik tidak terjadi begitu saja. Proses radi-kalisasi sering ditemukan di dalam organisasi gerakan sosial.81 (2) konsep studi gerakan sosial sangat berguna dalam memahami asal-usul, perkembangan dan bahkan kekerasan kolektif bawah tanah.

Organisasi klandestin adalah mereka para aktor poli-tik yang memiliki dilema persoalan sehingga mereka beradaptasi membentuk sebuah organisasi sebagai strategi untuk memobilisasi basis dukungan dan meme-nangkan perseteruan dengan musuh. Oleh karena itu, organisasi klandestin sebagai wadah aktualisasi organi-sasi terorisme dalam kemunculan dan keberhasilannya bertalian erat dengan bagaimana mereka melakukan mobilisasi sumber daya, kesempatan politik dan fram-ing. Pendekatan integratif gerakan sosial bisa melacak mengapa organisasi klandestin bergerak bawah tanah karena keterbasan sumber daya dan pilihan mereka di-batasi oleh kondisi eksternal sebagai organisasi politik penentangan.

Colin J. Beck dalam “The Contribution of Social Movement Theory to Understanding Terrorism” mem-berikan petunjuk alasan-alasan mengapa studi gerakan sosial dapat menjelaskan gerakan terorisme.82 Colin J. Beck melihat terorisme merupakan bagian dari politik

81 Lihat Quintan Wiktorowicz , ed., Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach. Dalam buku tersebut setidaknya mampu menjelaskan bagaimana radikalisasi gerakan sosial melahirkan gerakan terorisme. Wiktorowicz menggunakan studi gerakan sosial dalam menganalisa kekerasan politik klandestin di Timur Tengah.

82 Colin J. Beck, “The Contribution of Social Movement Theory to Understanding Terrorism”, Sociology Compass 2/5 (2008): 1565–1581.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

100

penentangan. Karena itu, Colin J. Beck menggunakan pendekatan tripartite gerakan sosial (The tripartite social movement approach) yaitu mobilisasi, kesempatan politik dan framing sebagai dasar untuk mengkonseptualisasi-kan terorisme sebagai gerakan sosial.

Menurut pandangan Colin J. Beck bahwa terorisme lebih dari sekedar aksi kolektif partisipatif. Ia adalah gerakan yang membutuhkan biaya tinggi. Sebuah or-ganisasi teroris dalam menjalankan gerakan dia mem-butuhkan sumber daya dan dukungan untuk melaku-kan kampanye berkelanjutan. Misalnya terorisme bom bunuh diri jelas tidak membutuhkan biaya kecil. Oleh karena itu, organisasi teroris menghadapi dilema seba-gaimana yang dihadapi oleh gerakan sosial lainnya.

Organisasi teroris harus mampu mengelola sumber daya dan adanya aktor pemimpin yang mampu menye-diakan kerangka aksi untuk meyakinkan pengikutnya. Beberapa organisasi kelompok terorisme seperti Hamas, Macan Tamil di Sri Langka dan Hizbullah telah meng-gunakan mobilisasi sumber daya dan repertoire aksi un-tuk mengendalikan basis dukungan gerakan.

Di samping mobilisasi, kesempatan politik (political opportunity) sangat menentukan kemunculan dan keber-hasilan gerakan terorisme. Terorisme sangat tergantung pada kondisi lingkungan eksternal jadi kelompok teror-isme beroperasi bukan hanya dikuatkan oleh kondisi in-ternal. Misalnya, pada kondisi pemerintahan yang tidak stabil para militan terorisme mampu bergerak secara aman, menarik dukungan mobilisasi dan melakukan penyerangan.

Karena itu, organisasi terorisme seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiah dan beberapa organisasi teroris lainnya muncul bukan karena kekecewaan sumber daya tetapi

Gerakan Sosial & Terorisme

101

karena Amerika melakukan invasi ke negara-negara Islam sehingga menciptakan kesempatan baru untuk mobilisasi dan ancaman serangan.

Kekerasan politik juga tergantung pada kondisi eksternal begitu juga dengan strategi terorisme seperti bom bunuh diri, bom mobil, penculikan dan sebagainya. Atas dasar itu, kesempatan politik berperan besar dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme. Hal yang sama terjadi di dalam organisasi gerakan sosial lainnya. Kemunculan gerakan sosial kerap kali tergan-tung kepada lingkungan sosial politik yang menentukan bagaimana gerakan sosial mengambil bentuk gerakan.

Pendekatan akhir dari model tripartit memfokus-kan pada sisi retorika dan simbolik dari pertentangan politik. Dalam studi gerakan sosial hal tersebut disebut dengan framing atau pembingkaian. Framing adalah suatu proses di mana aktor gerakan terorisme mencipta-kan dan memproduksi wacana yang bergema di antara mereka yang menjadi target mobilisasi. Framing lebih tepat sebagai kerangka aksi pembenaran daripada se-buah mobilisasi dukungan.

Framing di dalam organisasi terorisme digunakan untuk melakukan pembenaran dan penjelasan terha-dap tindakan mereka. Manifesto ideologi, pernyataan-pernyataan, jurnal, buletin dan pidato kepada para pen-dukung serta pendukung potensial acap kali diarahkan sebagai propaganda untuk menjelaskan pembenaran tindakan terorisme. Framing juga bisa bekerja sebagai bagian dari target serangan untuk menimbulkan efek psikologis di mana kelompok terorisme melakukan serangan terhadap simbol-simbol musuh seperti bom gedung WTC di Amerika.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

102

Akhirnya, dengan memahami teori gerakan sosial, upaya memahami terorisme akan dapat terhindar dari simplikasi yang berlebihan. Organisasi terorisme seba-gaimana organisasi gerakan sosial lain memiliki dina-mika dan dilema yang serupa. Kemunculan terorisme berkaitan dengan batas toleransi politik menyangkut watak represi negara dan aksesibilitas sistem politik. Dalam konteks terorisme berbasis Islam, mereka mena-warkan Islam sebagai solusi atas ketidakadilan dalam bentuk syari’ah.83

Para aktor organisasi terorisme terus terlibat dalam proses pembingkaian atau framing untuk pembenaran tindakan mereka dan mengartikulasikan tujuan mereka. Organisasi terorisme memiliki identitas kolektif yang membedakan identitas mereka dengan kelompok lain bahkan identitas kolektif ini melintas batas antar negara atau transnasional dengan mengusung paham solidari-tas Islam.84

Hal yang harus diperhatikan dalam gerakan sosial bahwa radikalisasi dalam gerakan sosial merupakan produk dari sifat represif negara dan keterbatasan sum-ber daya. Dengan demikian, terorisme sebagai gerakan sosial mungkin terlihat seperti penelitian yang ada pada 83 Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi,

54.84 Lihat misalnya penjelasan gerakan terorisme transnasional dalam

Quintan Wiktorowicz, “The New Global Threat:Transnational Salafis And Jihad”, Middle East Policy, Vol. VIII, No. 4, (Desember 2001). Menurut dia, radikal “jihadis” adalah bagian dari komunitas Salafi Transnasional yang terhubung karena kesamaan spritualitas dan ideologi sehingga mampu menghubungkan mereka untuk mendukung gerakan jihad melawan Amerika dan sekutunya. Karena itu, Amerika pasca serangan 11 September 2001 mengkonseptualisasikan Osama bin Laden dan para pengikutnya sebagai operasi gerakan dalam komunitas transnasional yang lebih luas dari aktivisme Islam.

Gerakan Sosial & Terorisme

103

politik penentangan (contentious politics), yakni terorisme merupakan model politik penentangan untuk menuntut perubahan.

Di atas semua itu, terorisme sebagai gerakan sosial adalah upaya memahami bahwa terorisme merupakan gerakan politik penentangan terhadap ketidakadilan dan merupakan penentangan terhadap paradoks nilai-nilai dalam kehidupan. Warna Islam yang kini identik dengan terorisme sesungguhnya hanya sebagai bagian dari strategi wacana yang memungut serpihan-serpihan dari sejarah, politik serta doktrin-doktrin agama seperti jihad, syahid dan khilafah dengan memberikan makna tendensius dan contentious sesuai dengan agenda politik mereka.[]

BAB IIIBATAS TOLERANSI POLITIK:PENJELASAN SITUASI POLITIK ATAS KEKERASAN AKTIVISME ISLAM

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan dan mene-rapkan teori gerakan sosial untuk menjelaskan dinami-ka gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia. Bab ini akan menjelaskan teori struktur kesempatan politik sekaligus menjelaskan kaitannya dengan kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme di Indonesia. Struk-tur kesempatan politik akan memberikan pemahaman terhadap dinamika lingkungan politik baik dalam kon-teks lokal nasional atau global yang turut serta memicu kemunculan aksi terorisme.

Dalam konteks terorisme di Indonesia, pemahaman dinamika struktur politik akan dijelaskan menurut pe-riodisasi perjalanan negara Indonesia, baik di masa Orde Lama, Orde Baru dan Pasca Suharto. Lebih dari itu, bab ini akan menguji apakah rezim otoriter atau demokrasi yang memicu kemunculan gerakan terorisme dan apa-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

106

kah keduanya sama-sama meredakan dan memicu ke-munculan dan keberhasilan gerakan terorisme.

A. Terorisme dan Struktur Kesempatan Politik Orde Lama

Kekuatan dan keberhasilan gerakan terorisme tidak saja didukung oleh bagaimana organisasi terorisme mampu memobilisasi gerakan serta membuat identitas kolektif dalam satu rasa dan satu tujuan yang akan diper-juangkan. Akan tetapi diperlukan suatu kondisi politik secara makro yang memungkinkan atau tidak memung-kinkan aktor gerakan terorisme untuk bergerak. Di-mensi politik makro ini bisa terjadi secara tertutup dan terbuka.

Kondisi politik yang tertutup menjadi hambatan dalam melakukan gerakan. Namun sebaliknya, jika kondisi politik semakin terbuka menjadi peluang bagi keberhasilan dan kemunculan gerakan mobilisasi per-seturuan atau penentangan. Namun demikian, kesem-patan untuk melakukan gerakan mobilisasi perseteruan bisa saja terjadi dalam kondisi kesempatan politik ter-tutup. Dalam ilmu gerakan sosial kondisi politik ini di-sebut dengan struktur kesempatan politik.

Sidney Tarrow mendefinisikan kesempatan politik (political opportunity) sebagai situasi politik yang mem-beri insentif bagi orang-orang yang terlibat di dalam aksi kolektif guna membentuk ekspektasi gerakan dalam mengalami kesuksesan dan kegagalan.1 Oleh karena itu, struktur kesempatan politik merupakan konsep untuk

1 Sidney Tarrow, Power in Movement:Social Movements and Contentious Politics, 2nd Edition (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 76-77.

Batas Toleransi Politik

107

menjelaskan bahwa kemunculan gerakan sosial sering kali dipicu oleh faktor perubahan besar dalam struktur politik.

Perubahan struktur politik membuka kesempatan politik terhadap aktor-aktor gerakan yang memprakar-sai politik penentangan hingga membuka perubahan dan fase baru politik. Sebagaimana dikatakan Sidney Tarrow ketika suatu akses institusi telah terbuka, ter-jadi perpecahan di dalam elite pemerintah, terben-tuknya pihak lawan, dan negara menjadi lemah maka saat itulah penantang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan tuntutannya dan apabila potensi gerakan tersebut kemudian menjadi aksi nyata maka kesempat-an politik tersebut pada akhirnya akan menghasilkan bentuk perlawanan.2

Singkatnya, analisis tentang struktur kesempatan politik memberikan pemahaman kepada kita dalam konteks hambatan dan peluang yang lebih luas terkait aktor-aktor gerakan dalam meraih dan mengalokasikan sumber daya untuk aksi kolektif perlawanan. Peluang dan hambatan di lingkungan politik memberikan pe-tunjuk kenapa dan mengapa serta bagaimana sebagian gerakan memilih jalan kekerasan, pemberontakan dan terorisme, tetapi sebagian memilih jalan damai.

Pilihan kekerasan masuk dalam pilihan rasional keti-ka akses ke dalam sistem politik terlembagakan terbatas dan tingkat represi negara. Dua fitur tadi menjadi pen-jelas dalam analisis struktur kesempatan politik kenapa gerakan memilih jalan kekerasan, pemberontakan dan pada tingkat tertentu muncul dalam aksi terorisme.

2 Sidney Tarrow, Power in Movement:Social Movements and Contentious Politics, 2nd Edition, 71.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

108

Orde Lama merupakan istilah yang merujuk pada masa kepemimpinan pertama Presiden Indonesia yaitu Sukarno. Kepemimpinan Sukarno di awal kemerdekaan menghadapi beberapa persoalan pemberontakan atau terorisme dari berbagai golongan, baik Islam, komunis dan kolonial liberalisme.

Pada masa ini gerakan terorisme disebut dengan is-tilah kelompok bersenjata atau pemberontak. Namun demikian, hakikat antara pemberontak dan terorisme memiliki kesamaan. Mereka sama-sama mengguna-kan kekerasan dalam mencapai tujuan baik kekerasan terhadap pemerintah ataupun masyarakat sipil yang menghalangi.

Kelompok bersenjata atau terorisme di masa Orde Lama setidaknya tercatat dalam sejarah seperti, gerak-an Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), gerakan Kapten Andi Aziz, gerakan PKI dan gerakan DI/TII Kartosuwiryo.3 Gerakan terorisme di Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan aksi separatisme yang bertujuan untuk mendirikan negara yang lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemunculan gerakan terorisme pada masa Orde Lama terjadi karena tidak semua pihak

3 Di samping beberapa gerakan tersebut, ada pula gerakan yang mengatasnamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta. Kelompok ini sengaja tidak dimasukkan oleh penulis sebagai gerakan pemberontakan atau terorisme karena gerakan ini masih mengakui keberadaan negara Indonesia. Gerakan ini lebih merupakan upaya protes yang dilakukan oleh beberapa pejabat Militer saat itu yang dipimpin oleh Letnal Kolonel Ahmad Husen di Padang dan Letkol Ventje Sumual. Lihat mengenai gerakan PRRI/Permesta dalam Hadi Soebadio, Keterlibatan Asutralia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).

Batas Toleransi Politik

109

dapat terakomodasi kepentingannya dalam terben-tuknya Negara Republik Indonesia.

Gerakan PKI muncul pertama kali pada tahun 1948 dengan tujuan membangun negara berhaluan komunis pada tanggal 14 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia. Penyebab pem-berontakan adalah jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang didukung oleh PKI sehingga PKI menjadikan diri sebagai oposisi yang melakukan penentangan ter-hadap pemerintah dengan membentuk organisasi Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Gerakan pemberontakan komunis Indonesia muncul untuk yang kedua kali pada akhir kepemimpinan Orde Lama Sukarno yaitu peristiwa yang dikenal dengan G 30 S PKI atau gerakan 30 September 1965. Gerakan 30 September merupakan peristiwa di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang ke-mudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Namun demikian, keterlibatan PKI dalam gerakan tersebut masih misterius dan selanjutnya setelah peris-tiwa pembunuhan beberapa jenderal, terjadi kekerasan politik dengan pembantaian simpatisan PKI di beberapa daerah sepanjang tahun 1965-1966 dan diperkirakan ada sekitar 78.000 hingga 3.000.000 dibantai semena-mena tanpa proses hukum yang pasti.4

Gerakan lain yang turut serta memberikan perla-wanan bersenjata terhadap pemerintah adalah gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Gerakan ini di-pimpin oleh Kapten Raymond Westerling yang me-

4 Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jakarta: Pensil 324, 2011)1-33.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

110

lakukan kudeta pada tanggal 23 Januari 1950. Gerakan ini telah menewaskan sekitar 94 anggota TNI dari Divisi Siliwangi, termasuk Letnan Kolonel Lembong. Gerakan APRA mendapatkan dukungan dari Belanda dengan motif mengamankan kepentingan ekonomi di Indonesia dan mempertahankan Negara Pasundan di Jawa Barat.

Pada tahun 1950 tepatnya pada tanggal 5 April, mun-cul Gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh kapten Andi Azis, seorang mantan komandan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Kemunculan gerak-an ini lebih disebabkan kekecewaan Andi Azis terhadap kebijakan pemerintah pusat sehubungan dengan peng-aturan pasukan keamanan yang dianggap diskriminasi. Pemberontakan ini tidak berlangsung lama karena pada tanggal 26 April 1950 pasukan TNI di bawah komando kolonel A.E Kawilarang menumpas habis pemberontak-an Andi Azis.

Selanjutnya, gerakan perlawanan muncul dalam bentuknya yang primordialisme. Gerakan ini dike-nal dengan Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada tanggal 25 April 1950 oleh Dr. Soumokil, seorang mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Peristiwa pemberontakan ini merupa-kan suatu konflik yang bersumber dari sikap ekspresi chauvinism yang didukung oleh Belanda. Pasukan TNI kehilangan Letnal Kolonel Slamet Riyadi dalam upaya penumpasan gerakan RMS dan pada tanggal 2 Desember 1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap dan diadili.

Gerakan pemberontakan APRA, Andi Azis atau-pun RMS terjadi pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Pemberontakan tersebut merupakan salah satu dari gerakan terorisme yang berupaya meng-ganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dilakukan oleh perwira Belanda dan perwi-

Batas Toleransi Politik

111

ra KNIL. Gerakan-gerakan tersebut muncul menjelang RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 sehingga sifat gerakan tersebut lebih pada separatis kolonial yang tidak menghendaki terbentuknya NKRI.

Berdasarkan paparan di atas, negara Indonesia yang masih cukup muda di bawah kepemimpinan Sukarno mengalami serangkaian pertumpahan darah karena per-bedaan hasrat kepentingan ideologi, politik, agama dan chauvinism. Beberapa kepentingan politik tersebut pada akhirnya melahirkan gelombang perlawanan berupa pemberontakan dari berbagai kelompok. Pemberon-takan hakikatnya adalah terorisme itu sendiri. Mereka sama-sama memaksakan idealisme yang pada akhirnya melahirkan kekerasan.

Dari beberapa gerakan terorisme atau pemberontak-an pada masa Sukarno tersebut, gerakan yang dilakukan oleh kelompok Islam memiliki kekuatan paling besar. Hal ini terjadi karena kepentingan politik Islam tidak cukup terakomodasi dalam pembentukan ideologi ne-gara Indonesia meski Islam memainkan peranan pen-ting dalam masa kolonialisme Belanda. Kelompok Islam mampu menjadi lokomotif penggerak utama menyatu-kan elemen beberapa gerakan untuk bersatu melawan penjajahan Belanda.5 Kekecewaan ini pada akhirnya melahirkan gerakan perlawanan bagi sebagian aktiv-isme Islam yang tergabung dalam organisasi DI/TII.

Kebesaran kekuatan gerakan DI/TII setidaknya da-pat dilihat bagaimana mereka mampu bertahan selama tiga belas tahun sejak diproklamirkan pada tahun 1949 hingga tewasnya Imam Kartosuwiryo pada tahun 1962. Lebih dari itu, gerakan DI/TII setidaknya hingga saat

5 George Mc.Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Itacha: Cornell University Press, 1952), 38.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

112

ini masih menjadi arus utama geneologi gerakan teror-isme berbasis Islam di Indonesia.

Peta kekuatan gerakan DI/TII telah menyebar ke be-berapa wilayah Indonesia. Misalnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah Wijayakusuma bergabung dengan DI/TII pada tahun 1950. Pada tahun 1951, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan juga mendekla-rasikan penggabungan kekuatan perlawananya dalam organisasi DI/TII.

Demikian pula dengan, Kahar Muzakkar tokoh dari Sulawesi Selatan pada tahun 1952 juga menyatakan mendukung dan ikut bergabung dengan gerakan perla-wanan yang dikumandangkan oleh SM Kartosuwiryo. Pada tahun 1953, di Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh mendeklarasikan bahwa Aceh bergabung dengan NII.

Dalam masa tersebut, Gerakan DI/TII beberapa kali melakukan serangan terhadap Sukarno seperti penem-bakan Mortir Kahar Muzakar pada saat Presiden Soekarno dalam kunjungan kerja ke Sulawesi tahun 1960, Granat Cimanggis yaitu ketika Presiden Soekarno dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta mendapat serangan geranat dari gerombolan DI/TII pada tahun 1964 dan penembakan Idul Adha di Masjid Baiturahim pada tanggal 14 Mei 1962.

Puncak kekerasan yang dilakukan para terorisme pada masa Sukarno adalah peledakan bom di Cikini pada 30 November 1957 yang menewaskan 10 orang dan 100 orang mengalami luka-luka, peledakan bom Cikini diketahui dilakukan oleh Tasrif, Saadun dan Yusuf Ismail yang tergabung dalam Gerakan Anti Komunis dan bertujuan memperjuangkan berdirinya

Batas Toleransi Politik

113

negara Islam serta terindikasi berkait erat dengan gerak-an DI/TII.6

Peledakan bom Cikini merupakan awal pertama kasus peledakan bom yang menjadikan masyarakat sipil sebagai target serangan. Kelompok ini bisa diang-gap sebagai teroris generasi pertama yang secara massif melakukan serangan terhadap masyarakat sipil. Ada-pun Permesta pada 9 Maret 1960 pernah melancarkan serangan penembakan Istana Presiden yang dilakukan oleh Pilot Daniel Maukar.

Berdasarkan hal di atas, maka karakteristik pola gerakan di masa Orde Lama memiliki kecenderungan mengusung isu tentang separatisme. Gerakan terorisme pada periode tersebut memiliki tiga bentuk: Pertama, gerakan terorisme yang ingin membentuk negara sendi-ri dengan ideologi politik tertentu, misalnya; gerakan PKI tahun 1948 yang dimotori oleh Muso dan Amir Syarifuddin, dan D.N.Aidit pada tahun 1965, serta gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Aceh.

Kedua, gerakan terorisme yang dilandasi semangat chauvinism akibat kebijakan yang tidak berimbang antara Jawa dan luar Jawa, misalnya; Republik Maluku Selatan. Ketiga, gerakan terorisme separatisme karena kedekatan hubungan dengan Belanda. Misalnya, Republik Maluku Selatan (RMS) yang dimotori oleh Dr. Soumokil, J.H. Manuhutu serta Johan Manusama. Di samping RMS adalah Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang di-motori oleh Kapten Westerling (perwira Belanda), dan Kapten Andi Aziz (perwira KNIL dari Negara Indonesia Timur).6 Lihat selanjutnya Arifin Suryo Nugroho, Tragedi Cikini: Percobaan

Pembunuhan Presiden Sukarno (Yogyakarta:Penerbit Ombak, 2013),19-34.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

114

Tabel 1.Organisasi, Aktor dan Karakteristik Terorisme

Pada Masa Orde Lama

No Nama Organisasi Aktor Terorisme Karakteristik Terorisme

1 Pemberontakan PKI Madiun 1948

Muso dan Amir Syarifuddin

Ideologi komunisme

2 DI/TII, Jawa Barat 1949 Kartosuwiryo Islam politik

3Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), 1950

Westerling Separatisme kolonial

4 Republik Maluku Selatan, 1950 Dr. Soumokil Separatisme

kolonial

5 DI/TII, Sulawesi Selatan, 1952 Kahar Muzakkar Islam politik

6 DI/TII, Aceh Daud Bereuh Islam politik

7 Gerakan Anti Komunis, 1957

Kolonel Zulkifli Lubis

Separatisme liberal

Jumlah korban pergolakan pemberontakan selama periode awal kemerdekaan hingga berakhirnya kekua-saan Orde Lama Sukarno dapat diperkirakan sangat banyak. Jumlah yang selama ini berhasil dicatat hanya sebagian yang mungkin dapat ditemukan, di luar itu banyak beberapa keluarga yang merasa kehilangan ang-gota keluarga karena beberapa sebab yang tidak jelas.

Namun demikian, jumlah korban dalam kasus ge-rakan pemberontakan selama masa periode Orde Lama setidaknya dapat disimpulkan sementara seperti terlihat dalam tabel berikut ini:

Batas Toleransi Politik

115

Tabel. 2 Kasus Pemberontakan dan Jumlah Korban Masa Orde Lama

NoKasus Pemberontakan/Tokoh

Tahun Daerah Jumlah korban tewas

1 DI/TII R.M. Kartosuwiryo 1949 - 1962 Jawa Barat 428 (1951/52)

2447 (1957)

2 DI/TII Ibnu Hajar 1950-1954 Kalimantan Selatan

1.055 tewas, diculik dan luka

3 DI/NII Kahar Muzakkar 1952-1953 Sulawesi

Selatan 750

4 DI/TII Amir Fatah, Brebes 1951-1954 Jawa Tengah 700

5 DI/TII Daud Beureueh 1953-1959 Aceh

6 Pemberontakan Andi Azis 5-4-1950 Sulawesi

Selatan

7Republik Maluku Selatan/Dr. Soumokil

25-4-1950 Maluku Selatan

9 Pemberontakan PKI 1965-1966 Di beberapa

daerah 78.000 – 3.000.000

Sumber: Diolah dari berbagai sumber dan hasil laporan Mestika Zed7

1. Struktur Kesempatan Politik dan Perlawanan dengan Kekerasan Aktivisme Islam

Perlawanan dengan kekerasan atau terorisme oleh aktivisme Islam semakin bisa diterima menyangkut per-ubahan lingkungan politik di masa Orde Lama. Tiga

7 Mestika Zed, “Hidden History: Sejarah Kebrutalan dan Kejahatan Negara Melawan Kemanusiaan. Isu-isu dan Strategi dalam Konteks Sejarah Indonesia,” Jurnal Demokrasi & HAM, Vol.2,No.1, (Februari-Mei 2002) 6-37.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

116

perubahan lingkungan politik yang dihadapi aktivisme Islam yang secara langsung memperkuat aktivisme Islam untuk mengorganisasi dan memobilisasi gerakan penentangan dalam bentuk aksi terorisme. Tiga hal yang dimaksud adalah: kekalahan dan marginalisasi Islam politik, perjanjian renville dan liberalisasi politik.

a. Kekalahan dan Marginalisasi Islam Politik

Perubahan paling mendasar dalam struktur kesem-patan politik bagi gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia adalah kegagalan Islam politik dalam perun-dingan seputar perumusan ideologi negara. Ketegang-an perumusan ideologi negara tidak saja melibatkan kelompok Nasionalis dan Islam, akan tetapi turut serta di dalamnya kelompok Kristen.8 Kekalahan Islam politik dalam perumusan ideologi negara ini menjadi penting karena memberikan pengaruh kuat dalam kemunculan aksi terorisme berbasis Islam di bawah kepemimpinan Kartosuwiryo.

Kekalahan Islam politik dalam perundingan peru-musan ideologi negara berawal dari setelah Jepang menyerah terhadap tentara Sekutu dan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia tanggal 1 Maret 1945. Dalam rangka tersebut, maka dibentuklah Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat dengan anggota sekitar 62 orang. Komposisi anggota BPUPKI pada sidang pertamanya, dari 62 anggota hanya terda-pat sepuluh wakil anggota Islam. Dominannya kelom-

8 Amos Sukamto, “Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik,” Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli 2013), 25-47.

Batas Toleransi Politik

117

pok sekuler dalam komposisi anggota BPUPKI karena pemerintah Jepang menganggap kelompok sekuler dianggap lebih mampu mengawal kedaulatan bangsa Indonesia dalam bentuk negara modern.9

Dominannya kelompok sekuler dalam komposisi anggota BPUPKI membawa dampak pada upaya-upaya penolakan gagasan negara Islam. Setelah berhasil me-nyepakati bentuk negara, maka sidang selanjutnya membahas dasar konstitusi negara Indonesia. Konsti-tusi negara Indonesia berakhir mencapai kesepakatan dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia Pada hari terakhir sidang tepatnya tanggal 1 Juni 1945.

Van Dijk sebagaimana dikutip Yudi Latif mengung-kapkan, pada saat Sukarno menyampaikan Pidato Pancasila berkenaan dengan prinsip demokrasi terli-hat bahwa dia menolak gagasan Islam untuk dijadikan dasar negara Indonesia meskipun jumlah umat Islam di Indonesia lebih banyak. Sukarno lebih lanjut mengata-kan bahwa tidak semua penganut agama Islam mentaati ajarannya sehingga mereka lebih cocok negara sekuler daripada negara Islam.10

Ketegangan tersebut berakhir dengan kesepakatan Pancasila dijadikan dasar negara. Namun demikian, keberadaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditentang oleh kelompok Islam. Mereka menuntut penambahan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan kata tersebut yang dikenal dengan istilah “tujuh kata”

9 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital (Jakarta:Democracy Project, 2012),361.

10 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital. 362.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

118

menimbulkan perdebatan sengit. Kelompok Nasiona-lis, termasuk kelompok Kristen tidak menghendaki ke-beradaan tujuh kata tersebut. Karena itu, dibentuklah panitia 9 untuk merundingkan perdebatan-perdebatan tersebut.11

Panitia 9 kemudian berhasil merumuskan Pembu-kaan Undang-Undang Dasar yang dinamakan Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta, tujuh kata yang berbu-nyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tetap dipertahankan. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi kelompok Islam masih terakomodasi dan bisa dianggap sebagai kemenangan politik kelompok Islam.

Namun demikian, keputusan tersebut tidak lantas mengakhiri perdebatan yang ada. Beberapa kelompok dari Kristen seperti, Latuharhary dan kelompok Na-sionalis Islam seperti, Hoesein Djajadiningrat bersama Wongsonegoro menolak keputusan itu. Penolakan tersebut pada akhirnya terdapat upaya-upaya untuk meminggirkan kelompok Islam. Hal ini bisa dilihat dalam komposisi panitia PPKI (Panitia Persiapan Ke-merdekaan Indonesia).

Sementara keanggotaan BPUPKI didasarkan pada latar belakang ideologis, kriteria utama dari kom-posisi anggota PPKI ialah berdasarkan kedaerahan. Konsekuensinya, beberapa anggota kunci BPUPKI seper-ti, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Masjkur, Ahmad Sanusi, Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro dan Mohammad Yamin tak termasuk anggota PPKI.12

11 Panitia 9 diketuai oleh Sukarno dengan anggota Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, dan Maramis (sebagai wakil kubu sekuler), Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasjim, dan Abikusno Tjokrosujoso (sebagai wakil kubu Islam).

12 Anderson sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif dalam Intelegensia

Batas Toleransi Politik

119

Hal ini mengakibatkan suara aspirasi kelompok Islam tidak cukup terakomodasi dalam sidang PPKI.

Pada titik tersebut, dapat dipahami jika kemudian muncul sebuah misteri di mana draft UUD yang disu-sun sebelumnya oleh BPUPKI yakni Tujuh Kata Piagam Jakarta yang disetujui PPKI tiba-tiba dibatalkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembu-kaan UUD 1945.

Peristiwa terhapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta menyebabkan sebagian kelompok Islam merasa dikhianati. Hal ini menandai kekalahan serta kelemah-an wakil-wakil Islam dalam perpolitikan Indonesia. Kekalahan Islam politik ini menjadi semacam bara dalam sekam yang memberikan landasan empiris ter-pinggirnya Islam politik di masa awal pembentukan ne-gara Indonesia.13

Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital.364. PPKI terdiri dari 21 anggota, (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Namun jika diklasifikasikan berdasarkan ideologi maka dari 21 anggota hanya dua dari wakil Islam yaitu, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Wachid Hasjim dari NU. Selebihnya yaitu, 12 para pemimpin nasionalis sekuler generasi tua. Sembilan lainnya terdiri dari dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, satu dari wakil Peta, dan satu dari minoritas ke turunan Cina.

13 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta:GemaInsani Press, 1997),50-58; Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta:LP3ES, 1985).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

120

Marginalisasi Islam politik tidak berhenti dalam pe-rundingan ideologi negara dan persiapan kemerdekaan. Lebih dari itu, sebagaimana diungkapkan Anderson yang dikutip oleh Yudi Latif, mengungkapkan domi-nannya kelompok sekuler dalam PPKI mengakibatkan gagasan kelompok Islam untuk membentuk Departe-men Agama ditolak.

Kelompok Kristen yang diwakili Latuharhary me-nentang gagasan tersebut atas dasar alasan gagasan itu akan menjadi sumber perselisihan antara umat Islam dan Kristen.14 Karena itu, mulai dari Kabinet Presiden-sial Sukarno pertama (31Agustus-14 November 1945) sampai Kabinet Parlementer Sjahrir pertama (14 No-vember 1945-12 Maret 1946), Departemen Agama tidak ada.

Kekalahan Islam politik semakin nampak jelas dalam komposisi kabinet pemerintahan Sukarno. Dalam ka-binet Sukano pertama yang dibentuk pada tanggal 31 agustus, dari empat belas jabatan menteri, kubu Islam hanya mendapat dua jabatan menteri yaitu Abikusno Tjokrosujoso sebagai menteri komunikasi dan Wachid Hasjim sebagai menteri negara tanpa portofolio, yang bertugas sebagai penasihat urusan-urusan agama.

Demikian pula dalam susunan keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).15 Jumlah anggota wakil dari Islam tidak cukup terakomodasi dibanding-kan dengan jumlah dari kelompok selain Islam. KNIP

14 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital. 366-367.

15 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk pada tanggal 22 Agustus yang bertindak sebagai lembaga penasihat pemerintah yang baru, lembaga ini kelak dalam perkembangannya lebih lanjut akan menjadi lembaga legislatif bagi Republik Indonesia yang baru berdiri.

Batas Toleransi Politik

121

terdiri dari 137 anggota, dari jumlah tersebut 85 orang berasal dari kalangan Jawa abangan sedangkan kelom-pok Islam kurang dari 20. Selebihnya adalah kelompok nasionalis, pangreh praja, dan orang-orang profesional yang pernah diangkat memegang jabatan tinggi diber-bagai organisasi pendudukan Jepang.

Berdasarkan hal tersebut, Islam politik di awal ke-merdekaan Indonesia hingga masa pemerintahan Sukarno mengalami kekalahan dan marginalisasi poli-tik. Kemerdekaan dari kolonialisme tidak serta mem-berikan ruang kebebasan politik bagi umat Islam. Meskipun kelompok Islam memainkan peran penting dalam artikulasi penentangan terhadap Belanda. Hal tersebut tidak serta merta memberikan dampak positif untuk bisa mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok Islam dalam memberikan pengaruh kebijak-an politik dalam proses pendirian negara Indonesia.

Pada tahap ini, identitas-identitas kolektif nasionalis yang tercipta di masa kolonialisme menjadi pudar dan berubah menjadi identitas-identitas politik yang saling bertegangan satu sama lainnya. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

Kelompok Islam terbelah menjadi dua. Sebagian tetap berjuang secara institusional untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara yang diwakili oleh partai Masyumi dan sebagian berjuang secara non-institusional dalam bentuk gerakan kelompok perlawanan bersenjata atau terorisme di bawah komando Kartosuwiryo dengan DI/TII yang memiliki cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

122

b. Perjanjian Renville

Di tengah-tengah kekalahan Islam politik yang masih menjadi ingatan buruk. Negara Indonesia yang dipimpin Sukarno mengalami kegagalan diplomasi dengan pihak Belanda ketika terjadi agresi militer. Beberapa Perundingan dan Perjanjian dengan Belanda dirasa sangat merugikan Indonesia. Kegagalan diplo-masi dengan Belanda ini nampak dalam hasil keputusan Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville dengan keputusan bahwa wilayah RI cuma tinggal Yogyakarta dan 8 Karesidenan, kekuatan pasukan Republik ditarik dari kantong-kantong gerilya untuk berhimpun di Yogyakarta. Hal ini memberikan insentif kekecewaan terhadap pemerintah sehingga bagi aktivisme Islam dijadikan momentum untuk memobi-lisasi perlawanan terhadap pemerintahan Sukarno.

Kondisi kekosongan kekuasan akibat perjanjian Renville dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk mengembalikan peran Islam politik dengan mengorgani-sasikan dan memobilisasi massa dalam bentuk gerakan perlawanan terhadap pemerintah.16 Kartosuwiryo men-jadi artikulator utama mewakili aspirasi kelompok Islam dalam menentang perjanjian tersebut. Kartosuwiryo bersama barisan Bambu Runcing, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Laskar Hizbullah dan Sabilillah 16 Ada beberapa gerakan yang berangkat dari kekecewaan terhadap

penandatanganan perjanjian Renville selain gerakan DI/TII, antara lain: (1)gerakan plebisit dari Ali Budiarjo; (2) gerakan kaum Republikein yang dipimpin oleh Syafei Oya Sumantri di Keresidenan Jakarta dan (3) gerakan Murba dan Laskar Rakyat yang berkuasa di daerah Cirebon, Jakarta dan Bogor. Diantara beberapa gerakan tersebut, gerakan DI dianggap paling terhebat dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah Jawa Barat. Lihat DR.A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 7 Periode Renville (Bandung:Penerbit Angkasa,1978)145.

Batas Toleransi Politik

123

memilih bertahan di Jawa Barat melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda.17

Selanjutnya, tangal 7 Agustus 1949 gerakan DI/TII Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Cisayong Tasikmalaya dengan dihadiri pengikut setia Kartosuwiryo seperti Ghazali Tusi, Sanusi Partawidjaja, R. Oni dan Toha Arsyad. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari tindak lanjut dari konfren-si Cisayong pada tanggal 10 Februari 1948 yang diikuti 160 perwakilan organisasi Islam. Salah satu keputusan-nya adalah semua organisasi Islam termasuk Masyumi melebur menjadi satu di dalam Majelis Umat Islam dan mengangkat Kartosuwiryo sebagai Panglima Tinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pasca bubarnya perundingan Renville pemerintah-an Indonesia kembali ke Jakarta dan pasukan Divisi Siliwangi selaku personel resmi pemerintah RI turut serta kembali ke Jawa Barat. Selanjutnya, pemerintah 17 Gerakan perlawanan perang gerilya pasukan Kartosuwiryo pada

awalnya kompak menjalin kerjasama dengan pasukan TNI di bawah komando Letnan Satu Cucu Adiwinata, Cucu Adiwinata tidak saja bekerjasama dengan kelompok Kartosuwiryo tetapi juga gerilyawan lain seperti pasukan Jaya Pangrengot/Kutawaringin pimpinan Sugih Arto; pasukan SP-88 pimpinan Sumantri di Bendul, Purawakarta; pasukan pangeran Papak pimpinan Jumhana dan Abu Bakar di Wanaraja, Garut, pasukan Bambu Runcing pimpinan Muhidin Nasution di Cibinong, Bogor; pasukan Tirtayasa pimpinan S.Hadi di Buahdua, Sumedang; pasukan Kalipaksi pimpinan Enoh di Wanaraja; pasukan Bahureksa di Cipaku; pasukan Darussalam pimpinan Ajengan Yusuf Taujiri di Wanaraja, Garut; pasukan sabilililah pimpinan Oni di Lemahputih, Gunung Cupu; dan pasukan Jayabaya pimpinan Rahmat Slamet di Tasikmalaya dan beberapa gerilyawan lainnya. Dengan bersatunya beberapa pasukan maka pertempuran di Jawa Barat terhadap Belanda berlangsung sengit dan terus. Lihat DR.A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 7 Periode Renville (Bandung:Penerbit Angkasa,1978),225.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

124

meminta pasukan TII Kartosuwiryo menyerah dan me-nyerahkan daerah yang dikuasainya kepada pemerintah RI melalui Divisi Siliwangi.

Permintaan tersebut tidak digubris oleh gerakan DI/TII Kartosuwiryo dengan alasan secara de facto Jawa Barat sudah menjadi bagian dari NII setelah ditinggalkan pemerintah ke Yogyakarta. Permintaan tersebut menim-bulkan kekecewaan bagi pimpinan NII Kartosuwiryo yang menganggap pemerintah RI tidak konsisten.

Karena itu, Kartosuwiryo selaku Imam NII menge-luarkan maklumat sebagai seruan perang terhadap pemerintah RI. Isi maklumat sebagaimana berikut:

“Sebagaimana tuan-tuan dan saudara-saudara su-dah ketahui setelah daerah Republik diserang oleh Belanda, maka dari itu datanglah berduyun-duyun Tentara pelarian dari Yogyakarta terutama termasuk dari Tentara Siliwangi;mereka itu datang kemari men-jadi Tentara liar yang mengacau di daerah Negara Islam Indonesia. Mereka sama sekali tak menghargai dan tunduk pada pimpinan Negara Islam Indonesia; maka kami memerintahkan kepada semua tentara yang datang dari Yogyakarta ke Negara Islam Indonesia, supaya Tentara Islam (Angkatan Perang Negara Islam Indonesia) harus siap sedia menghancurkan tentara liar itu. Kita jangan ragu-ragu, bahwa kita tidak tahu perin-tah mana-mana, hanya kita bernegara Islam Indonesia. Republik sudah dihapus, tak berkuasa lagi. Maka dari itu semua kekuasaannya terutama angkatan perangnya harus kita hancurkan, jangan dikasih ampun lagi, teru-tama Tentara Siliwangi yang menjadi tentara liar itu. Hancurkan kekuatan mereka itu, lucutilah seberapa bisa. Diperintahkan kepada Angkatan Perang Negara Islam Indonesia, kepada Padi,18 BKN, dan rakyat Indonesia”.

18 Padi = Pahlawan Darul Islam, BKN = Badan Keamanan Negara.

Batas Toleransi Politik

125

Berdasarkan maklumat tersebut, Darul Islam me-nyatakan perang terhadap pemerintah. Negara Islam Indonesia adalah harga mati yang harus diperjuang-kan. Pada akhirnya hubungan Kartosuwiryo dengan Republik Indonesia Serikat memburuk pada tanggal 29 Desember 1949. Setelah RIS diresmikan berubah men-jadi RI, dan pada waktu yang bersamaan DI diposisikan sebagai pemberontak.

Dari hubungan yang tidak lagi harmonis tersebut, anggota DI selalu melakukan gerakan-gerakan makar terhadap negara selama 13 tahun dibawah komando Kartosuwiryo. Namun akhirnya, Kartosuwiryo berhasil ditangkap di tempat persembunyian di lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geger dan pada tanggal 5 September 1962 Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo diek-sekusi mati di Teluk Jakarta.19

Sebagian peneliti menganggap perseturuan peme-rintah Indonesia dengan gerakan Kartosuwiryo karena adanya konspirasi dunia Internasional yang dikenda-likan Belanda untuk menjadikan gerakan Kartosuwiryo berhadap-hadapan dengan pemerintah Republik Indonesia, yang oleh SM Kartosuwiryo disebut “Perang Segi Tiga Pertama di Indonesia.20

Pada titik ini, Tentara Indonesia selanjutnya me-lakukan tindakan represif memerangi pasukan TII Kartosuwiryo. Lebih dari itu, peperangan tidak saja ter-19 Pandangan berbeda tentang kematian Kartosuwiryo diuangkap-

kan Fadli Zon. Menurutnya eksekusi penembakan terhadap Kartosuwiryo dilakukan pada 12 September 1962. Data tersebut didapatkan dari buku tentang Kartosuwiryo yang ditulis oleh Pinardi H.Z.A dan Gerakan Operasi Militer VI Penumpasan DI/TII. Lihat Fadli Zon, Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII (Jakarta : Fadli Zon Library, 2012).

20 Lihat Al-Chaidar, Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita, Edisi Digital (Jakarta: Madani Press, 2008).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

126

jadi antara Divisi Siliwangi dengan TII, dalam waktu bersamaan divisi Siliwangi juga menghadapi tentara Belanda. Perang tersebut baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.

Kebijakan pemerintah RI yang tidak kenal kompromi terhadap gerakan Kartosuwiryo menciptakan pertem-puran sesama pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kartosuwiryo memilih jalan mempertahan-kan wilayah Jawa Barat sebagai bagian dari NII meski-pun harus berhadap-hadapan dengan pasukan pemerin-tah RI. Kartosuwiryo selanjutnya melakukan mobilisasi dukungan dan perlawanan di beberapa daerah selama 13 tahun dan berakhir setelah tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962.

Kartosuwiryo menjadi aktor utama yang menginspi-rasi perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia, sebuah gagasan membumikan ideologi Islam dalam pemerintahan. Perjuangan Islam politik Kartosuwiryo dengan saluran non-institusional merupakan pilihan rasional. Hal itu dilakukan karena ketidakmampuan kelompok Islam politik dalam saluran institusional un-tuk membawa aspirasi politik Islam terhadap kebijakan politik pemerintah Indonesia.

c. Liberalisasi Politik

Orde Lama di bawah rezim Sukarno, ketegangan politik seputar perumusan ideologi negara sejak awal kemerdekaan menciptakan polarisasi ideologi dalam kancah politik praktis dan kehidupan sosial masyarakat. Pada level politik praktis, beberapa partai didirikan lebih menonjolkan aspek ideologi dan dijadikan alat untuk memperjuangkan misi ideologi. Kelompok nasionalis mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), kelompok

Batas Toleransi Politik

127

Islam mendirikan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), kelompok sosialis mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada level kehidupan sosial, polarisasi ideologi ini nampak dalam dikotomi kehidupan antara santri, abangan dan priyayi.21 Polarisasi ideologi yang demikian mengakibatkan dalam dinamika sosial sering ditemukan pola-pola konflik yang bersumber dari garis demarkasi ideologi yang menegasikan satu sama lain. Pemisahan sosial masyarakat berdasarkan garis ideologi mencip-takan iklim yang tidak sehat dalam bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara.

Di tengah-tengah kehidupan sosial-politik yang dipi-sahkan oleh garis ideologi. Indonesia menganut sistem demokrasi liberal. Hal ini ditandai dengan banyaknya partai politik yang bermunculan tidak kurang dari 172 partai. Namun demikian, masa demokrasi liberal sta-bilitas politik tidak tercapai. Pemerintahan Sukarno sepanjang tahun 1945 hingga 1965 banyak dihadapkan beberapa persoalan, khususnya upaya pemberontak-an oleh beberapa kelompok yang belum terakomodir kepentingannya.

Kondisi demikian menciptakan stabilitas nasional terancam sehingga dalam rangka mempertahankan ke-daulatan nasional dan stabilitas nasional pemerintah sering bongkar pasang susunan kabinet pemerintahan. Dalam catatan sejarah, pemerintahan Sukarno melaku-kan 25 kali pergantian kabinet dan tidak ada satupun kabinet yang dapat bertahan dalam waktu 2 tahun.

Bongkar pasang kabinet pemerintahan dilakukan dalam rangka menjaga kondisi stabilitas keamanan na-

21 Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1960).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

128

sional dan kedaulatan bangsa. Sebagaimana diungkap-kan Hudson dan Taylor, sepanjang 1948-1967 telah ter-jadi 45 kali demonstrasi-protes, 82 kali kerusuhan, 7.900 kali serangan bersenjata, dan 615.000 orang terbunuh karena sebab kekerasan politik.22

Krisis politik ditataran elite politik pada akhirnya menciptakan kondisi instabilitas politik secara makro dan melahirkan krisis sosial berupa sikap primodialisme dan ekslusivisme bernuansa SARA di beberapa daerah. Misalnya, pemberontakan lokal pada tahun 1950-an di Maluku Selatan yang dikenal dengan RMS, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA/PRRI dan gerakan-gerakan berbasis etnis di Aceh, Riau, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan Papua. Gerakan-gerakan tersebut muncul dalam bentuknya sebagai gerakan pemberon-takan akibat beberapa faktor seperti ketimpangan pem-bangunan ekonomi, konfrontasi ideologi dan kepentin-gan elit lokal.

2. Gerakan DI/TII sebagai Pilihan Rasional

Perlawanan gerakan DI/TII dengan jalan kekerasan menjadi repertoar protes bawah tanah (klandestin) makin bisa diterima karena beberapa pertimbangan menyang-kut struktur kesempatan politik.

Pertama, revolusi politik pasca kolonialisme. Ke-merdekaan yang diraih bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 memberi langkah jelas ke arah kebe-basan menentukan arah kedepan bangsa Indonesia baik pada level politik maupun kehidupan sosial masyarakat. Kemerdekaan ini diharapkan menentukan gerakan

22 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995).

Batas Toleransi Politik

129

Islam politik untuk berperan dalam menentukan kebi-jakan sistem kenegaraan setelah lepas dari masa pen-jajahan. Namun demikian, peran signifikan umat Islam Indonesia dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak mendapatkan penghargaan.23

Hal tersebut tercermin dari kekalahan politik Islam dalam perumusan ideologi negara dan marginalisasi politik Islam dalam sistem pemerintahan. Kekalahan politik Islam ini menjadi cikal bakal lahirnya perseteru-an kelompok Islam dengan pemerintah. Lebih dari itu, kegagalan politik Islam tersebut telah memunculkan diskursus wacana hubungan antara Islam dan Negara akibat ketidakmampuan elite politik nasional dalam me-negosiasikan dan mendamaikan perbedaan-perbedaan pandangan.24

Kekalahan elite politik Islam dalam perundingan pe-rumusan dasar negara memberikan ingatan buruk bagi kelompok Islam yang menginginkan Indonesia ber-dasarkan Syariat Islam. Kekalahan ini menjadi dasar le-23 Kelompok Islam adalah artikulator utama isu-isu keadilan

yang dimainkan dalam hubungannya dengan kontradiksi masa kolonialisme di Indonesia. Adalah kenyataan bahwa Islam menjadi lokomotif utama dalam perlawanan terhadap tentara Belanda selama masa penjajahan (Kahin, 1952). Hal ini bisa dilihat dalam catatan sejarah seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Gerakan rakyat di Cicalengka, Bandung, pada 1891, pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888. Gerakan-gerakan tersebut adalah upaya mobilisasi politik melawan kolonialisme Belanda dengan menggunakan istilah-istilah keagamaan seperti ‘perang fisabilillah’. Lebih dari itu, gerakan tersebut menandai sebuah era baru dimana agama dan politik telah saling terkoneksi satu dengan yang lain dan menjadi inspirasi serta klaim bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari peran umat Islam Indonesia, dan karena itu sudah seharusnya jika negara Indonesia berlandaskan pada Islam sebagai ideologi.

24 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 66.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

130

gitimasi untuk melakukan perjuangan non-institusional sebagaimana dilakukan gerakan DI/TII karena alasan penghianatan atas dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan Pancasila dijadikan ideologi dasar negara Indonesia.

Kedua, kekalahan RI dalam perjanjian Renville. Per-janjian tersebut diyakini sangat merugikan Indonesia. Gerakan DI/TII kemudian memanfaatkan kekosongan kekuasaan akibat perjanjian Renville untuk mendeklara-sikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Kekosong-an ini juga didukung pada situasi politik dimana pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda.

Kondisi tersebut diterjemahkan kelompok gerakan DI/TII sebagai upaya propaganda tamatnya riwayat Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Karena itu, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosuwiryo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasuk-an dan kekuatan lain termasuk tentara resmi yang me-lewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan NII.

Ketiga, kegagalan rezim Sukarno dengan ditandai sering bongkar pasangnya kabinet pemerintahan aki-bat liberalisasi politik. Bongkar pasangnya kabinet pada akhirnya menciptakan instabilitas politik secara makro sehingga membuka ruang terhadap kelompok-kelom-pok yang selama ini merasa dirugikan untuk melaku-kan perlawanan dalam bentuk mobilisasi perseturuan bersenjata dengan pemerintah.

Lebih dari itu, kebijakan Orde Lama yang cenderung sentralistik dengan memusatkan pembangunan di dae-rah Jawa membawa pada dampak mobilisasi primor-dialisme dengan jalan perlawanan bersenjata. Andrew

Batas Toleransi Politik

131

Vincent sebagaimana dikutip oleh Firman Noor meng-ungkapkan bahwa gerakan perlawanan berbasis senti-men primordialisme tidak saja sebagai bagian dari di-namika internal yang wajar tetapi sudah pada tahap titik nadir mempertanyakan keabsahan nasionalisme Indonesia.25

Ketiga peristiwa tersebut memberikan akses kesem-patan politik untuk mengembalikan peranan politik Islam pasca kekalahan dalam perumusan ideologi ne-gara serta memberikan insentif bagi keberlangsungan gerakan perlawanan atau terorisme. Pada tahap ini, ketidakstabilan negara akibat ketegangan elite politik nasional dan kelompok kepentingan telah memuncul-kan Islam dalam bentuknya yang politik. Islam politik memandang agama bukan hanya sebagai pedoman hidup dalam hubungannya dengan Tuhan tetapi meru-pakan teori politik dan negara.26

Islam politik dalam Orde Lama menemukan ben-tuknya dalam gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Gerakan DI/TII dibentuk sebagai reaksi dari beberapa kelompok milisi yang menganggap para pemimpin Islam tidak sanggup membawa aspirasi umat Islam untuk menjadi-kan Islam sebagai dasar negara. Di samping itu, kegagal-an Sukarno dalam mengawal pembangunan Indonesia memberikan ruang bagi kebangkitan Islam politik. Hal ini menjadi landasan empiris terhadap kelompok Islam radikal untuk berjuang melalui jalan non institusional.25 Firman Noor, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas

Primordialisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 2.26 Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World

(London: Routledge, 1991) 1-3; Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994): 12 dan 75; Azyumardi Azra, “Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2 (2012):233-244.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

132

Mobilisasi perseturuan gerakan DI/TII melawan re-zim pemerintah muncul dalam bentuknya yang destruk-tif dan terang-terangan melakukan pemberontakan. Pemberontakan adalah terorisme itu sendiri, dan tidak ada pemberontakan tanpa aksi teror karena pemberon-takan seringkali berbentuk kekerasan yang terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Oleh karena itu, gerakan DI/TII merupakan bentuk superfi-sial dari terorisme atau ekstrimisme berbasis Islam per-tama kali di Indonesia dan sekaligus menjadi inspirasi aktivis Islam radikal hingga sekarang.

Ketiga hal di atas memberikan petunjuk mengapa gerakan Islam memilih jalan kekerasan berupa pembe-rontakan sebagai bentuk perlawanan. Pemberontakan bukanlah jalan satu-satunya namun ketika sumber daya terbatas dan akses saluran politik tidak mampu, ditam-bah tindakan represif pemerintah terhadap gerakan DI/TII pasca kembalinya pemerintahan RI ke Jakarta sete-lah pindah di Yogjakarta. Maka hal tersebut membuka peluang perlunya upaya kekerasan untuk meraih tu-juan. Ketiga hal tersebut sekaligus menunjukkan waca-na yang mendasari Gerakan DI/TII tidaklah berangkat dari persoalan keagamaan tetapi persoalan yang lebih krusial bersumber dari adanya akses dan kesempatan politik yang diberikan pada masa awal kemerdekaan di bawah pemerintahan Orde Lama.

Hal ini mengandung pengertian bahwa di tengah transisi politik pasca kolonialisme yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif. Pilihan yang dilakukan gerakan DI/TII dengan melakukan mobilisasi perseturuan baik dengan Belanda dan pemerintah RI cukup rasional. Oleh karena itu, gerakan DI/TII merupakan pilihan rasional

Batas Toleransi Politik

133

dengan pertimbangan strategis berkaitan dengan prob-lem transisi politik yang seringkali membingungkan.

Mereka menawarkan alternatif pemecahan meng-usung ide Negara Islam Indonesia atau lebih dikenal dengan NII. Faktor-faktor tersebut dimanfaatkan oleh gerakan DI/TII untuk melakukan mobilisasi politik dan menyediakan akses serta kesempatan elite politik Islam yang terpinggirkan untuk memberi makna baru keha-diran mereka dalam politik.

Selanjutnya, di tingkat permukaan, gerakan DI/TII mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, transformasi gagasan untuk memobilisasi konsensus seringkali, bahkan sebagian besar, bersifat non-keagamaan tetapi memanfaatkan isu disparitas pembangunan untuk melakukan mobilisasi konsensus dukungan terhadap gerakan DI/TII di Aceh,27 Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Jawa Tengah.

Gerakan DI/TII Aceh yang dipimpin Daud Beureueh menunjukkan kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke-dalam provinsi Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Penghapusan status otonomi Aceh tersebut telah membawa dampak yang cukup besar, bukan hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga ketegangan. Kebijakan tersebut diinterpretasikan oleh para pemim-pin Aceh sebagai wujud pengkhianatan Pemerintah Pusat terhadap pengorbanan rakyat Aceh selama masa revolusi.

Di samping itu, penghapusan otonomi juga ber-dampak pada kesatuan militer dimana Komando Terito-27 Irine Hiraswari Gayatri “Talik Ulur Keindonesiaan dan Keacehan”

dalam Firman Noor, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen Primordial di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2008), 44-45.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

134

rium Aceh digabungkan ke dalam Komando Teritorim I yang berpusat di Medan terhitung 1 Februari 1951 se-hingga kesatuan militer Aceh dibawah kendali kesatu-an pasukan militer di Medan akibatnya menimbulkan kekecewaan beberapa pejuang revolusi kemerdekaan, dampak dari penghapusan otonomi juga adanya mutasi pegawai beberapa tokoh pejuang Aceh.28

Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar turut bergabung dengan gerakan DI/TII kare-na merasa kecewa dengan kebijakan internal Angkatan Darat terkait dengan penanganan Corps Tjadangan Nasional (CTN), begitu juga dengan gerakan DI/TII di Kalimantan ibn Hajar serta Amir Fatah di Jawa Tengah yang sama-sama berangkat dari kekecewaan terha-dap kebijakan pemerintah pusat. Keluhan atau keke-cewaan tersebut dijadikan akses kesempatan politik Kartosuwiryo untuk melakukan mobilisasi konsensus.

Keluhan menjadi instrumen bagi terselenggaranya gerakan sebagai sebuah permintaan (demand) protes secara kolektif dan memungkinkan bagi persediaan (supply) akses terselenggaranya gerakan penentangan dengan membentuk identitas kolektif.29 Identitas kolektif terbentuk dengan adanya aspek kultural dan ideologi. Dua aspek tersebut semakin menemukan relevansinya ketika akses kesempatan politik terbuka untuk me-lakukan mobilisasi perlawanan. Hal inilah yang men-jadi landasan kebangkitan Islam politik sebagaimana

28 Ti Aisyah, Subhani dan Al-Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964 (Lhokseumawe NAD : Unimal Press, 2008),123-134.

29 Bert Klandermans, “The demand and supply of participation: Social psychological correlates of participation in social movements”, www.uni-kiel.de/psychologie/ispp/.../klandermans_demand_supply.pdf‎ (diakses 21 Desember 2013).

Batas Toleransi Politik

135

dilakukan Kartosuwiryo dengan mengatasnamakan ge-rakan DI/TII.

Dari perspektif ini, perlawanan gerakan DI/TII le-wat kekerasan dan penyerangan terhadap negara bukan merupakan hasil dari faktor ideasional murni. Dengan kata lain faktor agama bukanlah menjadi sebab utama. Namun demikian, Islamlah yang menjadi perekat di antara pemimpin-peminpin untuk membentuk sebuah front persatuan perlawanan yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia.30 Di samping itu, kondisi daru-rat dari luar yang diciptakan oleh kebijakan negara juga andil memberikan peluang untuk melakukan tindakan pemberontakan melawan ketidakadilan pembangunan.

Tindakan pemberontakan dengan jalan kekerasan bagi DI/TII dilakukan dengan perhitungan rasional. Hal ini tidak saja didasarkan pada keterbukaan sistem politik, tetapi juga kondisi sumber daya yang minimal menjadi dasar legitimasi kekerasan. Ketidakmampuan elite politik Islam dalam memunculkan identitas Islam melalui saluran institusional mempengaruhi pilihan gerakan bawah tanah dengan cara kekerasan.

B. Terorisme dan Kesempatan Politik Orde Baru

Pasca tumbangnya rezim Sukarno dan digantikan Suharto sebagai kepala pemerintahan, kelompok Islam memiliki harapan besar bagi upaya kiprah Islam politik di pentas nasional. Harapan besar tersebut setidaknya dilandaskan pada peran kelompok Islam bersama kekuatan Suharto dalam menjatuhkan Sukarno.

30 “Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia”.Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005);6.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

136

Namun demikian, harapan itu hanyalah pepesan ko-song yang tidak tersampaikan. Pemerintah Orde Baru mengambil sikap tegas terhadap Islam politik dengan beberapa pertimbangan menyangkut stabilitas kea-manan nasional dan stabilitas kekuasaan Suharto. Islam politik di masa pemerintahan Suharto makin tidak bisa bergerak dalam menyuarakan aspirasi politik.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, para politi-si Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Muslim Indonesia, terus menggelindingkan usaha pemberlakuan kembali Piagam Jakarta.31 Namun usaha tersebut tidak menda-patkan hasil. Orde Baru mengambil sikap tegas terhadap Islam politik karena nampaknya ingatan buruk seputar kekalahan Islam politik dalam perumusan ideologi ne-gara masih menjadi arus utama gerakan Islam politik un-tuk mengislamkan negara.

Usaha-usaha tuntutan kembali Piagam Jakarta me-nimbulkan babak baru ketegangan antara pemerintah dengan kelompok Islam. Kondisi tersebut menimbulkan ketegangan di antara kedua belah pihak. ketegangan antara negara dan kelompok Islam politik secara terus-menerus mewarnai belantika perpolitikan di Indonesia di masa Orde Baru sejak pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Pertarungan dan ketegangan tersebut hingga mengarah ke dalam aksi-aksi kekerasan dalam bentuk terorisme sebagai politik penentangan.

Dalam catatan sejarah sepanjang pemerintahan Orde Baru, beberapa gerakan perlawanan yang pernah mun-cul adalah sebagai berikut32:

31 Lihat selanjutnya dalam Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993),xv-xx; Anas Saidi, ed. Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (Depok: Desantara, 2004).

32 M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan,

Batas Toleransi Politik

137

1. Komando Jihad, gerakan terorisme yang kenda-likan salah satunya oleh Haji Ismail Pranoto. Ge-rakan Komando Jihad mulai melakukan aksi-aksi teror pada sekitar tahun 1976.

2. Front Pembebasan Muslim Indonesia, sebuah gerakan di Aceh yang dipimpin oleh Hassan Tiro dengan motif ketidakadilan pembangunan dan tindakan represif pemerintah terhadap umat Mus-lim di Aceh.

3. Protes terhadap kebijakan Orde Baru terhadap Islam politik juga melahirkan gerakan yang di-pimpin oleh Abdul Qadir Djaelani pada sekitar tahun 1976.

4. Perlawanan terhadap rezim Orde Baru juga di-lakukan Kelompok Warman, sebuah kelompok yang punya afiliasi dengan Komando Jihad.

5. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Imran dengan mengatasnamakan “Dewan Revo-lusioner Islam Indonesia” melakukan serangkain aksi-aksi kekerasan sebagai bagian dari protes ke-bijakan Orde Baru terhadap Islam politik.

Gerakan Komando Jihad aktif sekitar tahun 1968–1980-an. Gerakan ini melakukan serangan di beberapa tempat seperti, peledakan bom di Masjid Nurul Iman, Padang pada tanggal 11 November 1976. Serangan Pembajakan Pesawat Garuda Indonesia pada tanggal 28 Maret 1981, pada Januari 1979, mereka juga membunuh Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo. Korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiah kepada otoritas pemerintah dan bertanggung jawab atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar

Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008), 66-67.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

138

Ba’asyir. Pembunuhan dilakukan oleh Warman, Hasan Bauw, Abdullah Umar, dan Farid Ghozali.

Dalam pandangan Busyro Muqoddas, komando jihad merupakan gerakan terorisme buatan pemerintah Orde Baru dalam konteks penghancuran politik umat Islam pasca pemusnahan komunisme PKI.33 Namun demikian, terlepas apakah Komando Jihad merupakan skenario pemerintah yang pasti Komando Jihad telah muncul dalam sejarah Orde Baru sebagai gerakan teroris berba-sis Islam dengan melakukan serangkaian serangan teror.

Gerakan Hasan Tiro merupakan gerakan kebangkit-an nasional lokal yang disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).34 Gerakan ini dideklarasikan pada 4 Desember 1976. GAM sebagai gerakan separatis juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Tujuan gerakan ini adalah gerakan pem-bebasan (liberation movement) yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari belenggu ketidakadilan pemerintah Indonesia.

Gerakan ini tidak saja merupakan bentuk kebang-kitan nasional lokal atas ketidakadilan pembangunan tetapi juga adanya warisan perjuangan dari tokoh se-belumnya seperti Daud Beureuh dengan Negara Islam Indonesianya yang dijadikan landasan historis pembe-rontakan bahwa Aceh harus menjadi negara tersendiri berdasarkan hukum Islam. Ketidakadilan pembangun-an menjadi sejarah pemicu lahirnya gerakan terorisme di Aceh. Ia tidak saja didasarkan atas landasan doktrinal agama semata tetapi nilai-nilai sekuler dalam bentuk konflik kepentingan, kekuasaan dan ekonomi-politik

33 Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: sisi gelap peradilan komando jihad (Yogyakarta:Pusham UII, 2011).

34 Otto Syamsuddin Ishak dkk, Hasan Tiro:Unfinishid Story of Aceh (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010).

Batas Toleransi Politik

139

menjadi pemicu keberhasilan dan kemunculan gerakan radikalisme teroris.35

Perlawanan dengan jalan kekerasan juga dilakukan oleh Amir Biki yang memiliki basis dukungan kekuatan di sekitar Jakarta dan sekitarnya. Kelompok ini terkenal dengan peristiwa kerusuhan Tanjung Priok pada tang-gal 12 September 1984. Peristiwa tersebut berawal dari protes sehubungan dengan tindakan represif pasukan TNI di Markas Polres Jakarta Utara yang memakan kor-ban 23 orang tewas akibat ditembak aparat keamanan.36

Peristiwa Tanjung Priok melahirkan kesadaran atas nama solidaritas umat Islam sehubungan dengan tin-dakan represif pemerintah dalam menanggapi protes kelompok Amir Bikri dengan munculnya berbagai aksi protes bernuansa kekerasan seperti yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ka’bah.

Gerakan pemuda Ka’bah melakukan peledakan kan-tor BCA di beberapa tempat pada tahun 1984 secara bersamaan. Pada tanggal 4 Oktober 1984 BCA di Kom-pleks Pertokoan Glodok, Jakarta. Pelaku Chairul Yunus alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin dan peledakan kantor BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pu-sat. Pelaku diketahui angggota Gerakan Pemuda Ka’bah bernama Edi Ramli.37

35 Lihat uraian bagaimana konflik kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan menjadi embrio atas keberhasilan dan kemunculan gerakan-gerakan penentangan yang disebut penguasa sebagai terorisme, Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta:LP3ES, 2005)103-272.

36 Tempo Interaktif, “Kerusuhan Tanjung Priok Direkonstruksi”, Jum’at, 04 Juni 2004 http://tempo.co.id/hg/nasional/2004/06/04/brk,20040604-21,id.html(diakses 4 November 2013).

37 Lihat selanjutnya terkait bom BCA dalam Rachmat Basoeki Soeropranoto, Kasus Peledakan BCA 184:Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di Indonesia (Jakarta:Fame Press,2000) lihat

Men-Teroris-Kan Tuhan!

140

Gerakan protes terhadap kasus kerusuhan Tanjung Priok juga diimplementasikan dalam peledakan bom Borobudur yang terjadi pada 20 Januari 1985 dan bom Pemudi Ekspress Banyuwangi pada 16 Maret 1985. Pelaku peledakan tersebut adalah dua bersaudara Abdul Kadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi. Namun demikian, aktor intelektual dari peledakan bom Borobudur adalah “Ibrahim” alias Mohammad Jawad alias “Kresna”.

Kemudian di tahun 1989 terjadi gerakan terorisme berbasis Islam di Lampung yang digerakkan oleh sim-patisan anggota gerakan DI/TII. Gerakan ini dipimpin oleh tokoh utama Anwar atau Warsidi yang memiliki hubungan dengan sisa-sisa kelompok gerakan Darul Islam. Kelompok Warsidi tidak mengakui sebagai warga Negara Indonesia mereka telah mempersiapkan konfrontasi bersenjata dengan pemerintah Orde Baru. Gerakan Warsidi untuk kemudian memunculkan trage-di berdarah yang terkenal dengan tragedi Talangsari, Lampung.38

Gerakan terorisme pada masa Orde Baru tidak saja diwarnai oleh terorisme berbasis Islam tetapi juga gerak-an terorisme separatis. Gerakan ini teraktualisasi dalam gerakan pembebasan Timor-Timur yang memiliki wa-dah organisasi Fretelin’s (Frente Revolucionária de Ti-mor-Leste Independente). Gerakan terorisme separatisme Timor-Timur menjadi perhatian dunia internasional ter-

juga dalam liputan Tempo Interaktif, “Teror Bom di Indonesia (Beberapa di Luar Negeri) dari Waktu ke Waktu”, Sabtu, 17 April 2004. http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/04/17/tml,20040417-01,id.html (diakses 1 November 2013).

38 Lihat Widjiono Wasis, Geger Talangsari: Serpihan Gerakan Darul Islam. dan lihat pula tentang gerakan Warsidi dalam Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, penerjemah Farid Wajidi dan Rika Iffati (Yogyakarta:Penerbit Gading, 2013), 248-249.

Batas Toleransi Politik

141

masuk PBB karena banyaknya jumlah korban dari keru-suhan masal yang terjadi yaitu lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal.

Table 3. Organisasi, Aktor dan Karakteristik Terorisme

Pada Masa Orde Baru

No Organisasi Aktor Karakteristik

1 Komando JihadH. Ismail Pranoto, Dodo Katosuwiryo dan Adah Djaelani

Islam politik

2Fretelin’sTimor-Timur,1975

Xanana Separatisme liberal

3 Gerakan Aceh Merdeka, 1977 Hasan Tiro Islam politik

4Dewan Revolusi Islam Indonesia, 1980-1981

Imron bin Muhammad Zein Islam politik

5 Kasus Tanjung Priok Amir Bikri Islam politik

6 Pengajian Warsidi, Lampung, 1989. Warsidi Islam politik

Gerakan Fretelin’s merupakan bentuk kebangkitan nasional lokal yang tentu saja memiliki akar sejarah dimana Timor-Timur secara historis bukan merupa-kan bagian dari kekuasan Hindia-Belanda yang setelah merdeka menyatu dalam NKRI dan adanya ketidakadil-an pemerataan pembangunan sebagai faktor pemicu la-hirnya gerakan penentangan. Gerakan separatis Timor-Timur pernah tertangkap melakukan aksi peledakan bom di Demak, Jawa tengah pada 13 September 1997. Bom tersebut meledak tanpa disengaja saat berupaya melakukan mobilisasi perlawanan terhadap pemerin-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

142

tah. Bom tersebut terindikasi dilakukan oleh tiga pemu-da Timor Timur dan adanya indikasi keterlibatan warga negara Australia bernama Geofrey.39

Selanjutnya, ketika rezim bersikap tegas terhadap gerakan Islam politik maka aktivis Islam menghindari tindakan represif rezim dengan jalur dakwah. Gerakan dakwah di masa Orde Baru berkembang pesat seiring tiadanya ruang politik bagi aktivis Islam. Kebijakan Orde Baru yang tegas terhadap Islam Politik menjadi-kan struktur kesempatan politik tertutup bagi upaya-upaya perlawanan dan koalisi oposisi dalam melakukan perlawanan.

Perlawanan dengan jalan kekerasan di dalam gerakan Islam di masa Orde Baru semakin bisa diterima karena beberapa pertimbangan menyangkut struktur kesempat-an politik, antara lain: demobilisasi politik dan depoliti-sasi agama melalui asas tunggal Pancasila.

1. Demobilisasi Politik

Struktur kesempatan politik pada masa pemerintahan Orde Baru sangat tertutup. Akses kesempatan politik pada masa ini cenderung ekslusif dan tidak menerima ruang terhadap golongan lain. Hal ini merupakan impli-kasi dari sistem politik demobilisasi masyarakat secara luas yang diterapkan Orde Baru.

Demobilisasi politik pada intinya merupakan meka-nisme kontrol sosial politik untuk menciptakan stabili-tas keamanan dan sebagai alat melanggengkan kekua-saan. Demobilisasi politik tersebut sangat nyata dan

39 GATRA, “Bom Meledak di Demak, Gerakan Teroris Itu Terbongkar”, 25 Oktober 1997.http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/11/01/0060.html(diakses 1 November 2013).

Batas Toleransi Politik

143

khususnya terhadap kelompok Islam. Orde baru begitu berkuasa bersikap tegas terhadap kekuatan politik Islam yang terimplementasi baik dalam bentuk partai politik maupun organisasi kemasyarakatan.

Dalam rangka demobilisasi secara luas, rezim Orde Baru Suharto menjadikan kekuatan militer ABRI seba-gai kekuatan dalam menyokong stabilitas keamanan na-sional guna menyokong kekuasaannya. Militer Indonesia ditangan Suharto berhasil memonopoli sejarah dan mengontrol isinya dengan tujuan memvalidasi peran politik angkatan bersenjata, mengutuk komunisme dan mempromosikan nilai-nilai militer dengan membangun beberapa monumen simbol-simbol militer dan museum sejarah peranan militer ABRI.40

Rezim Orde Baru adalah sebuah potret pemerintah-an otoriter sebagaimana diungkapkan oleh Budiman dan Tornquist. Otoritarian rezim Orde Baru dibangun atas empat kategori. Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme), adanya pemaksaan se-cara fisik terhadap kekuatan lain yang dianggap meng-hambat kelanggengan kekuasaan. Kedua, negara men-jelma sebagai kekuatan korporasi (state corporatisme), Orde Baru membangun jaringan institusi untuk meru-muskan kebijakan dan peraturan yang bertujuan pada kekuasaannya.

Ketiga, negara menjadi penguasa opini publik (state discourse), Orde Baru menjadi penguasa opini publik untuk melakukan pembenaran wacana atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Keempat, negara klien (state clientilisme), adanya jaringan bisnis yang dikuasai oleh rezim Orde Baru sehingga mampu membangun

40 Katharine E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past (Singapore: NUS Press, 2007), 27.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

144

kebijakan-kebijakan pasar yang menguntungkan jaring-an bisnis rezim penguasa dan para kroni-kroninya.41

Dalam pandangan William Liddel, sebagaimana diungkapkan oleh Bahtiar Effendy bahwa piramida kekuasaan Orde Baru terakumulasi dalam tiga kekuat-an politik yaitu kantor kepresidenan, militer dan bi-rokrasi sebagai pusat pengambil kebijakan. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan Liddel, Bahtiar Effendy menyebut tiga piramida kekuasaan tersebut meliputi Birokrasi, ABRI dan Partai Golkar. Ketiga kekuasaan tersebut saling berinteraksi dan menghasilkan kekua-saan yang sangat kuat di segala lini kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya.42

Dalam konteks demobilisasi politik Islam, kebijakan tersebut diambil dengan alasan bahwa setelah komunis maka yang dianggap ancaman terhadap stabilitas poli-tik Orde Baru adalah Islam. Islam politik menjadi satu-satunya kekuatan di Indonesia yang memiliki potensi untuk memobilisasi diri melakukan perlawanan.

Islam politik dianggap sebagai ancaman tidak saja karena merupakan agama yang dianut mayoritas pen-duduk Indonesia sehingga memiliki kekuatan yang ter-organisir dengan basis akar rumput yang kuat, tetapi juga warisan sejarah bangsa Indonesia seputar ketegang-an perumusan ideologi negara yang masih menyisakan pendukung fanatis menghendaki Islam sebagai ideologi negara. Oleh karena itu, praktis hanya kelompok Islam

41 Lihat selanjutnya dalam Arief Budiman, Olle Tornquist. Aktor Demokrasi : Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (Jakarta:Institut Studi Arus Informasi, 2001).

42 Bahtiar Effendy,”Merumuskan Kembali Posisi Birokrasi, Militer dan Partai Politik: Sebuah Pengantar masalah”, dalam Zainuddin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi (Yogyakarta:Galang Press, 2000)xxiii-xI.

Batas Toleransi Politik

145

setelah komunis yang dianggap mampu memobilisasi perlawanan.

Demobilisasi politik Islam semakin nyata ketika Parmusi sebagai salah satu wadah aspirasi partai poli-tik kelompok Islam ditolak keberadaannya pada akhir 1960-an. Penolakan Parmusi merupakan intervensi pemerintah dalam upaya melanggengkan kekuasaan. Parmusi dianggap sebagai pesaing serius bagi Golkar yang merupakan kendaraan politik Orde Baru.

Selanjutnya, Orde Baru membentuk partai lain bagi kalangan Muslim yang disebut PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Partai ini berfungsi layaknya sebagai wadah pemilu bagi umat Islam tetapi dengan berbagai cara pemerintah mempersulit pergerakannya agar jauh dari popularitas masyarakat.

Kebijakan pemerintah mereduksi partai politik men-jadi tiga (Golkar, PDIP dan PPP) merupakan bagian dari strategi pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan dengan membatasi pergerakan partai poli-tik.43 Meskipun demikian, keberadaan PPP tidak bisa di-anggap representasi politik Islam sebab semua struktur

43 Bandingkan dengan peta kekuatan partai politik pada zaman Orde Lama (1945-1965) yang sangat bervariasi termasuk partai Islam. Peta politik model aliran seperti yang pernah dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castles terakumulasi dalam lima aliran politik yaitu nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokrasi dan Komunisme. Lima aliran pemikiran politik itu kemudian selanjutnya mewujudkan diri kedalam lima bentuk partai politik. Nasionalisme radikal mewujudkan diri kedalam Partai Nasional Indonesia (PNI); Islam meleburkan diri kedalam MASYUMI (sosialisme-demokratik) dan Nahdatul Ulama (NU); Sosialisme demokratikmewujudkan diri kedalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) sedangkan komunisme mewujudkan diri kedalam Partai Komunis Indonesia (PKI); dan yang terakhir aliran tradisonalisme-Jawa satu-satunya yang tidak membentuk diri.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

146

politik kepartaian dikendalikan rezim otoritarian Orde Baru.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Liddle, selama masa pemerintahan Orde Baru partai politik di-pinggirkan dan keberadaan partai politik di luar Golkar yakni PDI dan PPP dibiarkan tetapi eksistensinya hanya pelengkap partai pemerintah.44Lebih dari itu, dua tahun di awal kekuasaan Orde Baru, Suharto telah melarang lebih dari seratus organisasi aliran kepercayaan dan ke-batinan dan beberapa organisasi sosial-politik yang ber-haluan PKI dan anti-Islam.45

Demobilisasi politik Islam membawa dampak terha-dap peranan kelompok Islam di dalam jajaran peme-rintahan. Pada level birokrasi akses saluran institusional semakin tertutup bagi kalangan Muslim dengan mening-katnya pengaruh kalangan Abangan dan Kristen di jajar-an birokrasi dan militer. Birokrasi Orde Baru menjadi alat kontrol kekuasaan rezim yang tidak memberikan ruang bagi kelompok luar khususnya aktivisme Islam.

Pada level pembangunan ekonomi, saluran aktivitas perekonomian bagi kelompok Islam juga mengalami kebuntuan ketika pemerintah lebih memberikan akses secara terbuka hubungan bisnis dengan kelompok etnis China. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi pada pasar bebas dan modal asing telah memberi ke-sempatan kepada kelompok pengusaha China Indonesia untuk berkembang secara pesat, suatu keadaan yang be-lum pernah dialami pada masa kolonial maupun masa Sukarno.

44 William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta: LP3ES, 1992).

45 Anas Saidi, ed., Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan AgamaOrde Baru (Depok:Desantara, 2004),14-16.

Batas Toleransi Politik

147

Kebijakan-kebijakan di masa Orde Baru mendapat-kan legitimasi pembenaran melalui dukungan lem-baga CSIS (Centre for Strategic and International Studies). CSIS merupakan lembaga think thank, badan pemikir atau badan analis yang berorientasi pada kebijakan, di bawah kendali jenderal Ali Moertopo. CSIS menjadi pu-sat produksi kajian akademis untuk mendukung setiap kebijakan Orde Baru.46

Oleh karena itu, demobilisasi politik secara luas yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru terakumu-lasi dalam tiga kekuatan institusi besar yaitu Birokrasi, ABRI dan Golkar yang menjalankan urutan kemak-muran (the order of prosperity) yang dinikmati oleh elite politik Orde Baru sebagai ujung tombak sehingga secara sistemik dan terstruktur pemerintah Orde Baru mampu membangun kharismanya.47 Selanjutnya, tiga kekuatan tersebut membentuk sebuah sistem kerja yang menjadi alat kontrol sosial pemerintah guna melanggengkan kekuasaan.

2. Depolitisasi Agama melalui Asas Tunggal Pancasila

Dalam konteks Indonesia di bawah rezim Orde Baru, kebijakan represif pemerintah Orde Baru baik mela-lui peraturan perundang-undangan maupun tindakan menjadikan struktur kesempatan politik menjadi eklusif dan tertutup. Lebih dari itu, kampanye pemikiran Nurcholis Masjid tentang jargon “Islam yes, Partai Islam

46 Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 38, No.4, (November 2008),638-647.

47 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 288.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

148

no” pada saat itu juga turut serta mengeliminasi Islam politik dalam pentas perpolitikan Orde Baru.

Depolitisasi agama melalui proyek asas tunggal Pancasila merupakan puncak dari demobilisasi Islam politik Orde Baru. kebijakan ini diawali dari keputusan pemerintah tanggal 19 Februari 1985 dengan persetujuan DPR, telah mengeluarkan Undang-Undang No. 3/1985 yang berisi penegasan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya asasnya.

Kemudian menyusul empat bulan kemudian pada tanggal 17 Juni 1985 telah mengeluarkan Undang-Un-dang No. 8/1985 tentang Ormas, dimana seluruh organi-sasi sosial yang ada juga harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Hal ini juga berlaku terhadap organisasi kemahasiswaan seperti, organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pemberlakuan aturan tersebut menimbulkan perpecahan di dalam tubuh HMI, seba-gian memilih bertahan dengan membentuk organisasi HMI MPO dan sebagian memilih jalan kooperatif yang tergabung dalam HMI DIPO.48

Pemaksaan pemberlakuan asas tunggal Pancasila mencerminkan gaya politik predator Orde Baru. Orde Baru menjadikan kekuasaan sebagai alat kontrol pihak oposisi yang dianggap akan memobilisasi perlawanan terhadap pemerintah. Gaya politik Orde Baru telah ber-dampak pada dinamika kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang tidak ada hal kemajuan yang didapat selain menjadi konsumen dungu kebijakan pemerintah dalam rangka melanggengkan kekuasaan.

48 Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan Intelektual (Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013).

Batas Toleransi Politik

149

Kebijakan otoriter Orde Baru telah membawa dampak dan menentukan wajah Islam selama Orde Baru. Dampak pertama menyangkut jaringan disisentif Islam politik dalam bentuk gerakan dakwah dan kedua menyangkut ketegangan religio politik yang melahirkan kekerasan sebagai puncak kejenuhan kebijakan Orde Baru. Pada titik ini gerakan penentangan dalam bentuk kekerasan lahir atas dasar sikap represif rezim yang mu-lai dirasakan masyarakat sangat berlebihan.

Disisentif melahirkan gerakan dakwah sebagai pilih-an utama bagi aktivisme Islam akibat sikap koersif dan represif pemerintah terhadap Islam politik. Pada titik ini, Masjid menjadi pusat aktifitas para elite politik Islam tidak saja sebagai tempat dakwah tetapi sebagaimana dicatat oleh Raillon bahwa masjid dengan segala fasili-tasnya dimaksudkan tidak hanya untuk mendukung kegiatan keagamaan tetapi juga sebagai promosi budaya dan politik sehari-hari; klinik, kultural, tempat tidur, kantin, toko, tempat percetakan, perpustakaan, tempat berolahraga dan sebagainya.49 Mekanisme dakwah men-jadi saluran protes bagi kelompok Islam serta pusat ke-hidupan sosial keagamaan bagi aktivisme Islam.

Selanjutnya, di kalangan intelektual mahasiswa gerakan dakwah muncul dalam bentuknya sebagai gerakan dakwah kampus yang awal mulanya lahir di lingkungan mahasiswa ITB di Masjid Salman. Gerakan dakwah kampus ini menjadi cikal bakal terhadap gelom-bang pertama embrio transformasi gagasan Islam politik Timur Tengah di Indonesia.50

49 Francois Raillon, “The New Order and Islam, or the Imbroglio of Faith and Politics”, Indonesia, 57, 1994; 211.

50 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 81-83.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

150

Gerakan dakwah yang dimotori kalangan mahasiswa dengan menggunakan pendekatan usroh di kemudian hari menjadi cikal bakal kelahiran gerakan Dakwah Tarbiyah yang kemudian menjadi Partai Keadilan Se-jahtera, Hizbut Tahrir Indonesia dan Dakwah Salafi. Sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa awal pemerintahan Orde Baru hingga awal 80-an, Islam poli-tik mengambil bentuk kritik yang terekspresikan mela-lui pengajian-pengajian dan khotbah-khotbah agama.

Dalam studi mobilisasi sumber daya, kekuatan koer-sif dan represi yang diterapkan Orde Baru menjadi ken-dala dan hambatan bagi keberlangsungan gerakan pe-nentangan karena biaya mahal yang harus ditanggung jika memaksa untuk melakukan politik perlawanan. Aksi kolektif merupakan mekanisme mobilisasi penen-tangan untuk mengurangi biaya, sehingga jika pengua-sa atau lawan cenderung bersikap represif hanya akan meningkatkan biaya dan sangat sedikit partisipan un-tuk bergabung karena resiko yang dihadapi jika harus melawan penguasa yang reaktif dalam menyikapi aksi protes.

Oleh karena itu, jaringan disinsentif Islam politik mengambil jalan dalam bentuk gerakan-gerakan dakwah bawah tanah dengan sistem organisasi kepemimpinan rahasia dan organisasi non-formal sebagai upaya untuk menghindari kontrol dan represi rezim.51 Selanjutnya, wacana ketidakadilan sosial menjadi tema sentral dalam pengajian-pengajian dan khotbah keagamaan yang cen-derung mencerminkan sebuah bentuk radikalisme reto-ris yang ditujukan kepada pemerintah.

51 Burhanuddin Muhtadi, “Demokrasi Zonder Toleransi:Potret Islam Pasca Orde Baru”, Komunitas Salihara, Makalah Diskusi 1 Januari 2011;8.

Batas Toleransi Politik

151

Gerakan dakwah yang dilakukan oleh aktivis Islam sebagai akibat sikap tegas pemerintah terhadap Islam sesungguhnya menciptakan insentif terhadap upaya-upaya pemaknaan diri terhadap realitas yang mendis-kriminasikan kelompok Islam. Pada level ini, radikal-isme retoris yang tercermin dalam pengajian-pengajian keagamaan secara tidak langsung semakin menciptakan identitas kolektif akan ketidakadilan yang dialami se-hingga membentuk solidaritas Islam untuk melakukan perlawanan terhadap rezim. Gerakan dakwah menjadi mekanisme mobilisasi dengan membingkai ketidakadil-an sebagai alat melakukan penentangan.

Namun demikian, aktivitas Islam politik tidak hanya muncul dalam bentuk dakwah. Perjuangan dalam ben-tuk kekerasan yang lebih terbuka sebagai reaksi terha-dap Orde baru juga terjadi. Ketegangan religio politik telah melahirkan kekerasan sebagai puncak dari keje-nuhan aktivis Islam terhadap kebijakan Orde Baru yang telah meminggirkan Islam politik dalam pentas perpoli-tikan Indonesia. Ketegangan tersebut telah mendorong lahirnya Gerakan Komando Jihad. Komando Jihad me-rupakan perwujudan pembaharuan dari gerakan DI di masa Orde Lama setelah kekalahannya di tahun 1960-an. Melalui beberapa loyalis pimpinan DI, mereka berusaha membangkitkan perlawanan melawan pemerintah.52

Mereka terinspirasi oleh pesan terakhir Kartosuwirjo yang menyebutkan bahwa perjuangan DI pada waktu itu memasuki fase Hudaibiyah.53 Para anggota gerakan DI percaya bahwa DI akan bangkit dan kemenangan

52 Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia.Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005);10-12.

53 Periode perjanjian gencatan senjata sebelum pasukan Islam berhasil menaklukkan kota Mekkah pada masa perjuangan Nabi Muhammad.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

152

sudah dekat. Selanjutnya, Komando Jihad digambarkan dalam propaganda Orde Baru sebagai organisasi bawah tanah yang bertujuan mengambil alih kekuasaan dengan cara-cara kekerasan dengan tujuan mendirikan negara Islam.

Komando Jihad kemudian menjadi sangat terkenal sebagai penggambaran dari beragam kelompok Islam garis keras yang dirujuk dalam pemberitaan pers pada periode tersebut. Lebih dari itu, kemunculan Komando Jihad merupakan gerakan terorisme berbasis Islam per-tama kali pada masa Orde Baru.

Beberapa aksi yang dilakukan kelompok Komando Jihad pertama-tama dilakukan secara serentak di wilayah provinsi Sumatera seperti di Sumatera Utara, serang-an granat yang gagal meledak dilemparkan di acara Musabaqoh Tilawatil Quran di kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kemudian serangan bom di Rumah Sakit Baptis Immanuel di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada Oktober 1976 dan peledakan bom di Masjid Nurul Iman pada 11 November 1976. Menyusul beberapa aksi terorisme lainnya seperti di Medan seperti bom Bar Apollo, bioskop Riang, Gereja Metodis dan pembajakan pesawat Garuda Indonesia pada 28 Maret 1981.

Namun demikian, keberadaan Komando Jihad hing-ga sekarang masih dilingkupi misteri, sebagaimana di-ungkapkan Busyro Muqoddas bahwa Komando Jihad merupakan bentukan pemerintah sebagai upaya peng-hancuran politik Islam.54 Klaim Komando Jihad sebagai bentukan pemerintah juga diamini oleh Haji Wahyudin, salah seorang guru agama yang dipenjara pada 1980an, yang dituduh terlibat dalam kelompok Teror Warman.

54 Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad (Yogyakarta:Pusham UII, 2011).

Batas Toleransi Politik

153

Menurut Wahyudin, Komando Jihad “diciptakan” untuk memberangus kaum Muslim yang dianggap Orde Baru sebagai ancaman. Skemanya adalah keterli-batan mereka dalam operasi Moertopo yang “mengun-dang” aktivis Muslim untuk bekerjasama dalam koalisi melawan komunis yang mereka percayai sedang dalam proses membangun kembali kekuatannya pasca kega-galan di tahun 1960-an.55 Hal senada juga dipaparkan oleh Crisis Group yang menyebutkan Komando Jihad sebagai “ciptaan Ali Moertopo” yang memanfaatkan ja-ringan anggota DI.

Kemunculan Komando jihad pada akhir tahun 1970-an hingga 1980-an dalam lintasan gerakan Islam Orde Baru menandai babak baru tentang mobilisasi terbuka penentangan terhadap rezim. Pada pertengahan 1980-an dan seterusnya aktivis Islam mulai melakukan gerakan perlawanan secara terbuka. Sejumlah insiden kekerasan muncul pada periode ini, dimulai dengan tragedi Tanjung Priok 1984 kemudian peledakan bom BCA pada tahun 1984, yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong, pengu-saha Cina tersukses yang dekat dengan Suharto dan teror bom Candi Borobudur di Jawa Tengah pada 1985.

Sejumlah kekerasan yang muncul pada sekitar tahun 80-an bersamaan dengan ketegangan hubungan antara Islam politik dan Negara terkait dengan kebijakan azas tunggal Pancasila. Kebijakan ini memberikan kekuatan memaksa agar semua organisasi harus menerima Pan-casila sebagai landasan ideologi gerakan dan bagi yang menolak akan dibubarkan oleh pemerintah. Kebijakan yang bertujuan memperketat kontrol terhadap kegiatan politik dalam masyarakat ini pada akhirnya melahirkan

55 Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 38, No.4, (November 2008);638-647.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

154

ruang untuk memobilisasi melawan represif rezim dengan kekerasan.

Periode tahun 1980-an menunjukkan siklus perubah-an gerakan Islam yang mulai melakukan mobilisasi per-lawanan terbuka. Hal ini menunjukkan sebuah bentuk gerakan yang berbeda dengan periode awal rezim Orde Baru hingga awal 70-an dimana kelompok Islamis terli-bat dalam sedikit sekali tindakan oposisi politik di luar saluran institusi. Pada masa itu, aktivisme Islam terbatas hanya dalam kegiatan dakwah di masjid-masjid, protes mahasiswa dan kegiatan ilmiah diskusi kampus bagi kalangan mahasiswa.

Hal ini menunjukkan bahwa represi negara dengan berbagai kebijakannya menciptakan kondisi politik bagi munculnya perlawanan melawan represif rezim dengan kekerasan. Pemerintahan eklusif dan diktator tidak menjadi satu determinan utama bagi upaya meng-hambat kemunculan gerakan perlawanan. Kekerasan dalam politik penentangan pada akhirnya tergantung pada sejauh mana sebuah gerakan mampu mengukur batas toleransi politik.

Oleh karena itu, dua aspek struktur kesempatan poli-tik bagi gerakan aktivisme Islam setidaknya meliputi keterbatasan akses sistem politik dan watak represi ne-gara. Sistem politik masa Orde Baru tidak memberikan ruang bagi kelompok Islam. Hal yang sama juga terjadi di masa Orde Lama. Kedua rezim tersebut sama-sama tidak memberikan ruang terhadap gerakan Islam politik meski dengan cara berbeda. Orde Lama menggunakan “politik sebagai panglima”, sedangkan Orde Baru meng-gunakan “pembangunan ekonomi sebagai panglima”

Batas Toleransi Politik

155

dalam mendiskriminasikan Islam politik dengan jalan birokrasi sebagai pemain tunggal pengatur kekuasaan.56

Orde Baru memberikan kontrol ketat terhadap ak-tivisme Islam karena beranggapan kelompok Islam merupakan kelompok yang bisa memobilisasi politik untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Un-tuk itu, dibuatlah beberapa kebijakan demobilisasi poli-tik Islam seperti halnya pembubaran Parmusi dan azas tunggal Pancasila bagi semua organisasi kemasyarakat-an. Azas tunggal Pancasila merupakan praktek kekua-saan ideologis yang diterapkan guna memberikan kon-trol dan kepatuhan tertib politik guna melanggengkan kekuasaan.

Praktek demobilisasi secara luas ini menghambat proses demokrasi sehingga akses saluran institusional menjadi terhambat. Demobilisasi menjadikan kekuatan civil society sebagai nyawa proses demokratisasi men-jadi lemah. Sebagaimana diungkapkan Cornelis Lay, lemahnya kekuatan civil society selama Orde Baru ka-rena praktek dua kecenderungan yang diterapkan Orde Baru yaitu, politik penghancuran yang keras atau seba-liknya dan politik kooptasi.57

Orde Baru menekan beberapa gerakan civil society jika tidak mau bersifat kooperatif dengan pemerintah. Korporatisme negara merupakan mekanisme interven-si pengaturan politik yang memberikan hak monopoli pada sebuah organisasi dengan kompensasi mengizin-kan negara untuk turut campur dalam urusan internal, terutama menyangkut pemilihan pemimpin. Dalam kondisi demikian, saluran akses terlembagakan menjadi

56 Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan Ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia (Jakarta: Pensil 324, 2011), 57.

57 Cornelis Lay, Antara Anarki & Demokrasi (Jakarta:Pensil 324, 2004); 40-41.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

156

terhambat kecuali bagi pihak-pihak yang mau beker-jasama dengan rezim Orde Baru.

Di samping akses terlembagakan tertutup, watak represi rezim Orde Baru juga melahirkan gelombang perlawanan dengan kekerasan. Misalnya, kasus tragedi Tanjung Priok. Tragedi Tanjung Priok berawal ketika sekelompok Orang Islam melakukan protes sehubungan dengan penangkapan beberapa tokoh Islam dengan alasan tidak jelas. Protes tersebut disikapi berlebihan oleh sejumlah pasukan TNI sehingga menimbulkan korban warga sipil dalam jumlah banyak akibat tem-bakan pasukan TNI pada 12 September 1984.58

Tragedi Tanjung Priok menandai sebuah pembentuk-an bingkai-anti sistem yang memicu tindakan pembalas-an. Serangan teror bom BCA pada tanggal 4 Oktober 1984 dan serangan teror bom Borobudur 20 Januari 1985 menunjukkan watak represi negara cenderung memicu serangan kekerasan balasan oleh kelompok Islamisme sebagai korban demobilisasi politik Orde Baru.

Meski secara makro, struktur kesempatan politik ter-jadi hambatan tetapi tindakan secara terbuka kekerasan oleh negara dalam tragedi Tanjung Priok membuka kesadaran bingkai ketidakadilan untuk melakukan pe-nentangan. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam kondisi sturuktur kesempatan politik yang tertutup. Rezim yang dicirikan dengan gaya otoriter akan cende-rung membuka ruang terhadap aksi-aksi politik penen-tangan dengan kekerasan.

Tipologi kekerasan politik di masa Orde Baru dapat dipahami dilakukan oleh dua struktur, yaitu negara 58 Lihat selanjutnya kronologi tragedi Tanjung Priok dan tindakan

represif aparat keamanan dalamTeam Pembela Kasus Mubaligh/Pidana Politik, Pembelaan Kasus Priok???? (Jakarta: LBH Jakarta, 1985).

Batas Toleransi Politik

157

dan masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh nega-ra masuk dalam kategori state violence. Dalam kategori ini, kekerasan yang dilakukan oleh negara berlangsung secara institusional melalui lembaga birokrasi peme-rintahan seperti birokrasi militer (aparat keamanan), pengadilan, penjara dan individu yang disewa oleh pemerintah untuk melakukan tindak kekerasan terha-dap warga negara dalam rangka menciptakan stabilitas nasional dan stabilitas kekuasaan.59

Kategori kedua adalah kekerasan yang dilaku-kan oleh masyarakat. Jenis kekerasan yang dilakukan masyarakat ini lebih pada upaya kekerasan dilakukan sehubungan tindakan represif rezim yang dirasa berle-bihan. Karena itu, masyarakat melawan represif rezim dengan cara-cara kekerasan.

Dalam konteks aksi terorisme, kemunculan aksi teror-isme merupakan produk dari kondisi lingkungan poli-tik dan watak represi negara yang serampangan dalam menghadapi kelompok oposisi. Rezim pemerintahan yang diktator dan represif akan membentuk konsensus di antara kelompok oposisi untuk menerjemahkan reali-tas dengan bingkai ketidakadilan.

Kasus gerakan terorisme berbasis Islam yang muncul di masa Orde Baru ini menunjukkan bukti terbukanya akses kesempatan politik bukan menjadi kondisi satu-satunya untuk memungkinkan melakukan mobilisasi perlawanan atau gerakan terorisme. Negara otoriter juga sangat rentan dengan politik penentangan dengan kekerasan.

59 Hermawan Sulistyo “Pemilu dan Kekerasan Politik: Acuan Teoretik dan Pengalaman Indonesia” dalam Hermawan Sulistyo, koordinator., Pemilu dan Kekerasan Politik (Jakarta: LIPI Press, 1999), 1.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

158

C. Terorisme dan Kesempatan Politik Pasca Suharto

Pada kasus-kasus gerakan teroris sebelumnya di Indonesia, gerakan terorisme lebih pada gerakan se-paratis (Orde Lama) dan penentangan rezim otoriter (Orde Baru) serta terjadi tidak secara massif. Namun pada masa pasca Suharto, serangan bom targetnya ada-lah simbol-simbol kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya serta tempat ibadah seperti Gereja. Target teror belakangan juga telah mengarah kepada institusi pemerintah seperti Polri.

Gerakan terorisme di masa Pasca Suharto mengambil bentuk sebagai gerakan Global Jihad. Karena itu, gerak-an terorisme di masa ini bersifat transnasional artinya memiliki dukungan terhadap dunia internasional khu-susnya kelompok-kelompok terorisme berbasis Islam. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh International Crisis Group (ICG) bahwa serangan teror bom Bali dilakukan oleh kelompok yang tergabung dengan organisasi JI yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa terbentuknya jaringan JI dan al-Qaeda melalui tokoh kunci utamanya yaitu Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.60

Abu Bakar Ba’asyir adalah tokoh utama di balik ke-beradaan JI yang bertanggung jawab atas serangkain aksi teror bom sejak tahun 2000 yang telah memakan banyak korban. Polri dalam salah satu laporannya me-nunjukkan selama kurun waktu tahun 2000- 2010 se-banyak 298 orang tewas dan 838 orang luka-luka akibat serangan jaringan teroris di Indonesia. Sementara itu, 60 ICG, “Indonesia Backgrounder: How the Jemaah Islamiyah

Terrorist Network Operates,” Asia Report N°43, (Jakarta/Brussels: International Crisis Group, 2002).

Batas Toleransi Politik

159

jumlah anggota Polri yang tewas dalam operasi pem-berantasan teroris di tanah air sebanyak 19 orang me-ninggal dunia dan 29 orang luka-luka.61

Table 4.Peristiwa Peledakan Bom yang Dilakukan JI

No Tanggal Peristiwa Lokasi Jumlah

KorbanJumlah

Korban Luka1 1 Agustus 2000 Kediaman Duta

Besar Filipina, Jakarta

2 orang 21 orang

2 24 Desember 2000

Sejumlah Gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, Kudus dan Mataram

16 orang 16 orang

3 1 Januari 2002 Gerai KFC Makasar - -4 12 Oktober

2002Paddy’s Pub dan Sari Club di Kuta Bali

202 orang 300 orang

5 5 Desember 2002

Gerai McDonald di Makassar

3 orang 11 orang

6 5 Agustus 2003 Hotel JW Marriott 11 orang 152 orang7 10 Januari 2004 Café di Palopo

Sulawesi Selatan4 orang -

8 9 September 2004

Kedutaan Besar Australia

9 orang 161 orang

9 12 Desember 2004

Gereja Immanuel - -

10 1 Oktober 2005 Raja’s Bar and Restaurant di Bali

22 orang 102 orang

61 Republika, “298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, Sabtu, 25 September 2010.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

160

11 31 Desember 2005

Pasar Tradisional di Palu, Sulawesi Tengah

8 orang 45 orang

12 17 Juli 2009 Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta

9 orang -

Sumber: Petrus Golose sebagaimana dikutip Dikdik M. Arief Mansur62

Dalam pandangan Nasir Abas, JI merupakan gerak-an yang dilakukan oleh sisa-sisa anggota Darul Islam Kartosuwiryo dengan tujuan melanjutkan perjuangan Negara Islam Indonesia. Pimpinan tertinggi JI disebut “Amir” dan Amir Jamaah Islamiah pertama kali adalah Abdullah Sungkar dan setelah meninggal digantikan oleh Abubakar Ba’asyir.63 Peta kekuatan jaringan JI meli-puti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, dan Kamboja. Mereka memiliki misi untuk mendirikan negara kekalifahan Islam di Asia Tenggara.

Di atas semua itu, adalah kenyataan bahwa JI menjadi ancaman keamanan di kawasan Asia Tenggara dan khu-susnya di Indonesia yang bertanggung jawab sebagai otak dan pelaku aksi-aksi terorisme di Indonesia antara tahun 2000-2005 seperti bom Natal tahun 2000, 81 bom dan 29 peledakan di Jakarta pada tahun 2001, bom Bali I tahun 2002, bom Marriot tahun 2003, bom Kedutaan Be-sar Australia tahun 2004 serta bom Bali II tahun 2005.64

62 Dikdik M. Arif Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri: Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Pensil-324, 2012), 177-178.

63 Selanjutnya tentang Jamaah Islamiyah lihat dalam Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI ((Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2006)92-137.

64 Sukawarsini Djelantik, “Terrorism in Indonesia: The Emergence of West Javanese Terrorists.”International Graduate Student Conference Series, No. 22, (East-West Center, 2006), 2. www.eastwestcenter.org/.../3256/.../IGSCwp022.p (diakses 10 November 2013).

Batas Toleransi Politik

161

Setelah beberapa tokoh JI ditangkap dalam perkem-bangannya JI pecah menjadi beberapa organisasi teroris seperti Laskar Hisbah, Tauhid Wal Jihad dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).65 Perpecahan ini disebabkan ketidakcocokan para kader-kader JI dengan Abu Bakar Baa’syir yang tidak mengakui atau menyangkal keterli-batannya dengan organisasi JI yang terlibat serangkaian aksi serangan teror. Padahal ada banyak fakta-fakta ke-terlibatan Abu Bakar Ba’asyir di dalam organisasi JI, baik pengakuan beberapa terdakwa teroris maupun lapor-an-laporan lain, salah satunya pengakuan Abu Bakar Baas’syir sendiri yang dimuat dalam majalah sabili, se-bagaimana nampak dalam gambar berikut:

Sumber: Majalah Sabili No. 6 Th. VIII 6 Sep 2000 (hal. 45).65 Kelompok Laskar Hisbah ini dipimpin Abu Hanifah yang bekerja

bersama Badri Hartono alias Toni, yang diketahui adalah anak buah dari Bagus Budi Pranoto alias Urwah yang merupakan pengikut Noordin Mohammad Top. Tauhid Wal Jihad adalah kelompok yang dibentuk oleh Aman Abdul Rahman. Kelompok Tauhid Wal Jihad dikumpulkan atau direkrut oleh Aman Abdul Rahman dari mantan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan JAT yang tidak puas dengan kelompok mereka masing-masing. Tauhid Wal Jihad menjadi pusat perhatian ketika Polri mengaitkannya dengan penggerebekan teroris di Sukoharjo yang menewaskan Sigit Qurdowi dan pengawalnya Hendro. M Syarif, pelaku pengeboman di masjid Mapolresta Cirebon pada tanggal 15 April 2011. Sedangkan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok yang dibentuk oleh Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008, yang telah menggantikan Jemaah Islamiyah (JI).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

162

Namun demikian, setelah meletusnya tragedi Bom Malam Natal pada Desember 2000, dimana pihak ke-polisian mengkaitkan JI sebagai pelaku dan pengakuan al-Faruq di majalah Time.66 Abu Bakar Baasyir tetap saja menyangkal keterlibatannya di dalam organisasi JI. Hal tersebut memicu perpecahan di kalangan aktivis orga-nisasi JI.67 Meskipun beberapa petinggi JI telah banyak ditangkap dan terjadi perpecahan dikalangan aktivis JI, aksi-aksi serangan teror masih terus berlangsung meski-pun tidak dalam satu wadah organisasi jihadis. Oleh karena itu, ada tiga kelompok sel-sel jaringan terorisme setelah JI, antara lain:

1. Gerakan terorisme yang dikendalikan secara or-ganisatoris, diantaranya: Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), maupun Jamaah Tauhid wal Jihad. Kelompok tersebut melakukan serang-kaian aksi teror dengan aturan sesuai dengan pedoman aturan organisasi.

66 Pada 23 September 2002 majalah tersebut menurunkan artikel berjudul Confessions of an Al Qaeda Terrorist yang memuat pengakuan Umar Al-Faruq. Umar al-Faruq merupakan warga negara Yaman yang tertangkap di Bogor pada Juni 2002. Faruq pernah melatih kelompok teroris di Ambon dan Poso sekitar tahun 2000-2001. Sebelum tertangkap Faruq juga pernah menikahi Mira Agustina, anak tokoh di Ambon.

67 Lihat selanjutnya tentang “pembohongan” yang dilakukan Abu Bakar Baas’syir hingga berbuntut perpecahan dikalangan JI dalam Khairul Ghazali, Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham Tentang Thagut (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2011) dan Khairul Ghazali, Kabut Jihad (Malang:Pustaka Bayan, 2012). Perlu diketahui, Khairul Ghazali merupakan salah satu tersangka kasus perampokan CIMB Niaga Medan yang dilakukan sebagai upaya pendananan kegiatan terorisme di Indonesia. Ia ditangkap pada 19 September 2010 di Tanjung Balai, Sumut.

Batas Toleransi Politik

163

2. Pasca penangkan beberapa aktor organisasi JI setelah peledakan bom Bali I. Gerakan terorisme bergerak secara terpisah atau tidak dilandaskan pada aturan organisasi. Kelompok ini diken-dalikan oleh Noordin M Thop. Noordin M Top melakukan mobilisasi sendiri untuk melakukan aksi teror, seperti bom Marriot 1 2003, Kedutaan Australia 2004, bom Bali 2 pada tahun 2005 dan bom Marriot 2009.

3. Pasca berakhirnya aksi-aksi teror yang dikenda-likan oleh Noordin M Top, maka tidak ada lagi tokoh utama gerakan JI. Pada titik ini penerus perjuangan dilanjutkan oleh para simpatisan yang bergerak tidak secara organisatoris tetapi militan dalam aksi-aksi teror. Indikasi adanya kelompok ini setidaknya dapat dilihat dalam latihan militer di Aceh pada tahun 2010. Pelatihan militer ini di-ikuti oleh para simpatisan aksi-aksi jhad yang me-libatkan beberapa organisasi Islam Radikal, seperti MMI, JAT, FPI dan sejenisnya.

Meskipun kelompok terakhir ini merupakan kelom-pok kecil tapi mereka sangat militan dengan melibatkan beberapa partisipan baru dari proses rekruitmen eks-klusif. Ansya’ad Mbai, sebagai pimpinan BNPT menga-takan bahwa semua jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia meskipun memiliki nama-nama yang ber-beda pada dasarnya saling berkaitan dan berhubungan.

Lebih jauh Ansya’ad Mbai mengungkapkan, peru-bahan sasaran teroris dari semula objek-objek yang di-identikkan dengan simbol Barat menjadi anggota polisi dan rumah ibadah tidak bisa dikatakan sebagai suatu pergeseran target karena target kelompok teroris terse-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

164

but sudah jelas yaitu mengubah ideologi dan konstitusi Indonesia serta mendirikan negara baru.68

Kemunculan dan berkembangnya gerakan terorisme berbasis Islam pasca Suharto serta gerakan-gerakan Islam radikal lainnya merupakan sebuah pertanyaan besar terhadap motif di balik gerakan tersebut. Pelaku terorisme di Indonesia, tampaknya digarap melalui pen-dekatan intens non akademis yang bersifat sangat per-sonal. Meskipun lahirnya teroris tidak disiapkan secara akademis, namun patut disadari bahwa ancaman teror-isme di Indonesia memang benar adanya.

Kemunculan gerakan terorisme yang semakin massif pada masa pasca Suharto tentunya bukan sebuah pesan-an Amerika Serikat dan sekutunya, seperti yang sering dituduhkan berbagai kalangan sebagai sebuah teori kon-spirasi. Amerika dan sekutunya justru sangat berkepen-tingan dengan keamanan dan keutuhan Indonesia sebagai negara, karena pertimbangan keamanan dan terutama kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi mereka sangat besar, di antaranya diwakili oleh peru-sahaan multi-nasionalnya yang beroperasi di Indonesia. Mereka juga berkepentingan dengan potensi pasar Indonesia yang sangat menggiurkan. Adalah rugi, jika mereka merusak kepentingannya sendiri di sini.

Fenomena terorisme berbasis Islam nampaknya akan terus mengalami perkembangan tidak saja di Indonesia tetapi di beberapa negara di dunia Islam. Menguatnya gerakan terorisme berbasis Islam pada masa pasca Suharto bukanlah semata-mata disebabkan oleh kian menguatnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai fun-damental agama. tetapi merupakan fenomena global akan kebangkitan Islam politik dalam bentuk terorisme.68 “BNPT: Target Teroris Tak Pernah Berubah”, Republika.co.id, Kamis

2 Januari 2014.

Batas Toleransi Politik

165

Oleh karena itu, seiring dengan tuntutan perkem-bangan jaman yang mengarah ke demokrasi dan pene-gakan hak asasi manusia, upaya penangkapan terduga teroris hendaknya tidak melanggar HAM. Menegakkan hukum hendaknya tidak dilakukan dengan melanggar hukum, sejauh pertimbangan di lapangan memung-kinkan, penangkapan terduga teroris hendaknya dengan membawa surat perintah penangkapan. Namun de-mikian, jika pelaku ditengarai membawa atau memiliki senjata atau bom, prosedur normal ini dapat dipahami kalau terpaksa dilanggar.

Bisa dipahami, bagaimana psikologi petugas yang sudah mengintai berbulan-bulan, yang menemukan tersangka gembong terorisme, pastilah tidak sabar untuk menangkapnya termasuk dengan pendekatan hard-approach. Tetapi, prinsip hak asasi manusia harus menjadi pijakan dasar bagi upaya penanggulangan aksi terorisme di Indonesia. Untuk itulah, penanggulangan masalah terorisme harus dilakukan secara komprehen-sif dan seimbang antara kebutuhan untuk menjaga kea-manan nasional (national security) dan jaminan terhadap kebebasan masyarakat sipil (civil liberties).69

Di atas semua itu, fenomena gerakan terorisme berba-sis Islam yang semakin massif di masa rezim pemerintah-an pasca Suharto bukan semata-mata didasarkan pada landasan ideologi. Lingkungan eksternal berupa sistem politik juga turut mendorong kemunculan gerakan teror-isme. Sistem politik dalam hal ini adalah deliberalisasi politik pasca Suharto dan kegagalan demokratisasi pasca reformasi 1998, serta situasi politik global menyangkut Islam.

69 Hermawan Sulistyo, Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society (Jakarta; Pensil 324, 2009), 65-67.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

166

1. Deliberalisasi Politik dan Kegagalan Demokratisasi

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, situasi politik di Indonesia mengalami perubahan secara drastis. Kejatuh-an penguasa Orde Baru melalui gerakan sosial civil so-ciety melahirkan reformasi politik yang membawa ke-terbukaan pada struktur dan sistem politik yang ada. Reformasi pada tahun 1998 membawa ke arah liberal-isasi politik, sosial, budaya dan ekonomi.

Reformasi digambarkan menjadi ajang kebebasan segala aktivitas politik. Hal ini ditandai dengan masuk-nya peran civil society dengan bermacam-macam cara seperti, pembentukan partai politik, media/pers, organ-isasi massa, serikat pekerja dan beberapa organisasi ke-masyarakatan lainnya. Aktifitas sosial politik di era ini dijamin kebebasannya sebagai bagian dari usaha men-ciptakan struktur dan sistem politik yang lebih terbuka.

Reformasi 1998 telah menghasilkan sejumlah regu-lasi peraturan perundang-undangan yang memberikan tatanan baru sistem politik terbuka antara elite, partai politik dan kelompok kepentingan. Salah satu peraturan yang menopang demokrasi politik antara elite, partai politik dan kelompok kepentingan adalah diterbitkan-nya Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (UU Partai Politik) dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentangPemilihan Umum (UU Pemilu).

Kedua Undang-Undang tersebut memberikan ruang yang menjadi ajang kompetitif bagi sirkulasi elite politik. Dinamika politik yang lebih kompetitif ini mengubur-kan sistem politik yang bersifat tunggal sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.

Batas Toleransi Politik

167

Terbukanya struktur kesempatan politik pasca Suharto. Jelaslah, sistem politik tidak lagi bersifat koersif dan represif dalam rangka mempertahankan hegemoni kekuasaan. Hal ini berbeda dengan era Orde Baru, Orde Baru dalam rangka menjaga stabilitas sosial politik un-tuk melanggengkan kekuasaanya lebih mengedepan-kan pendekatan represif.

Kondisi yang demikian kini tidak lagi ditemukan di era reformasi pasca Suharto. Pasca Suharto kondisi poli-tik mengalami keterbukaan sehingga memungkinkan bagi setiap elemen masyarakat mengekspresikan di-rinya berkumpul, berpendapat, melakukan demonstrasi dan mengkritik pemerintah tanpa harus takut dengan tindakan represif pemerintah. Kondisi ini juga diman-faatkan betul oleh kelompok Islam baik dalam bentuk partai politik maupun ormas keagamaan setelah di masa Orde Baru aktivisme Islam dibekukan.

Sejak reformasi 1998, terdapat beberapa partai Islam atau ormas muncul dipermukaan dan tidak kurang ada 11 partai Islam mengikuti pemilu 1999, seperti PBB (Par-tai Bulan Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII 1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi), PP (Par-tai Persatuan) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Namun demikian, secara garis besar peta kekuat-an Islam politik pasca Suharto dapat dikelompokkan menjadi tiga faksi besar. Pertama, kelompok yang ter-gabung dalam organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kelompok ini merupakan faksi yang berada di belakang masa transisi Habibie dan men-dukung pemerintahan Presiden Habibie.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

168

Kedua, jaringan individu yang memiliki koneksi kuat di dalam lingkungan bisnis, birokrat dan masyarakat. Kelompok ini merupakan mantan aktivis organisasi HMI yang tergabung dalam wadah Korps Alumni Him-punan Mahasiswa Islam (KAHMI). Ketiga, adalah mere-ka yang berasal dari organisasi kemasyarakatan seperti, NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini banyak melahirkan beberapa kader yang turut serta mewakili Islam politik dalam pentas perpolitikan Indonesia pasca Suharto.70

Di samping dalam bentuk partai politik, aspirasi umat Islam juga muncul dalam beberapa organisasi sosial Islam, seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKASWJ) beserta sayap militernya Laskar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Islamiyah (JI).

Gerakan-gerakan tersebut muncul dipermukaan dan memiliki kecenderungan mengarah kepada radikalisme dan terorisme. Realitas tersebut menunjukkan bahwa ke-jatuhan rezim tidak saja dimanfaatkan oleh elite politik untuk melakukan perubahan, tetapi juga dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan radikal berbasis Islam.71 Aktiv-isme Islam memanfaatkan terbukanya sistem politik un-tuk menyampaikan aspirasi Islam di ruang publik tanpa harus khawatir akan tindakan represif rezim penguasa.

Meski demikian, terbukanya sistem politik bukanlah merupakan satu-satunya situasi politik yang memung-kinkan bagi kemunculan gerakan terorisme ataupun gerakan Islam radikal. Hal ini didasarkan pada kemun-

70 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Suharto (Jakarta:LP3ES, 2003),9.

71 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002);181.

Batas Toleransi Politik

169

culan aksi-aksi kekerasan hingga terorisme di masa Orde Baru yang telah lebih bermunculan. Gerakan ter-orisme berbasis Islam telah muncul di akhir tahun 1970-an meskipun tidak begitu sporadis dan bergerak bawah tanah.

Oleh karena itu, terbukanya struktur kesempatan politik hanya sebuah dimensi yang memberikan insentif bagi gerakan teroris dan juga gerakan lain tentunya un-tuk berkembang dan muncul dipermukaan yang sebe-lumnya tidak bisa dilakukan di masa Orde Baru karena akses kesempatan politik yang tertutup.

Deliberalisasi politik pasca Suharto penting, tetapi tidak menjadi satu landasan utama dalam menjelaskan fenomena kebangkitan Islam politik di Indonesia. Kega-galan mengawal demokratisasi pasca reformasi 1998, juga menyumbang pada legitimasi perlawanan dengan cara-cara kekerasan seperti gerakan terorisme.

Kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam atau organisasi radikal berbasis Islam di masa transisi demo-krasi merupakan ekspresi politik penentangan non-institusional. Sebagaimana diungkapkan Hermawan Sulistyo, kekerasan merupakan salah satu sarana untuk menekan lawan politik supaya menuruti kemauan pihak yang melakukan tindak kekerasan, sehingga tujuannya tercapai.72

Oleh karena itu serangan teror yang bermunculan pasca Suharto merupakan respons rasional terhadap kegagalan elite pemerintah membawa reformasi ke arah yang diharapkan. Liberalisasi politik yang tidak mampu mengantarkan perubahan signifikan menjadi kalkulasi

72 Hermawan Sulistyo, “Kata Pengantar” dalam Cornelis Lay, Antara Anarki & Demokrasi. v.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

170

mengapa kekerasan digunakan bagi sekelompok orang yang merasa terpinggirkan.

Oleh karena itu, gerakan terorisme berbasis Islam se-cara bersamaan menawarkan Islam sebagai solusi atas kegagalan sistem sekuler yang dianut negara dan ber-tanggung jawab atas krisis multidimensional yang me-landa negara Indonesia. Reformasi 1998 bagi sebagian aktivisme Islam dianggap gagal membawa perubahan signifikan sehingga membuka ruang pada upaya-upaya perlawanan.

Pasca Suharto terhitung sejak kejatuhan Presiden RI ke 2 tahun 1998, maka kurang lebih 16 tahun Indonesia menjalani proses transisi demokrasi. Proses transi-si demokrasi telah melahirkan beberapa tokoh yang dipercaya untuk memimpin bangsa Indonesia. Pasca Suharto kepemimpinan dilanjutkan oleh BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hing-ga Susilo Bambang Yudhoyono. Namun demikian, es-tafet kepemimpinan tersebut belum mampu mengem-ban amanah negara dalam rangka pemerintahan yang melindungi, kesejahteraan masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga ketertiban dunia.

Transisi demokrasi telah gagal setidaknya bisa dilihat bagaimana tingkat pengangguran semakin bertambah, kemiskinan juga semakin bertambah. Data yang dilansir BPS menyatakan, angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta jiwa.73 Lebih dari itu, Tingkat Peng-angguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2013 sebesar 5,92

73 Laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia sampai bulan Agustus 2013.

Batas Toleransi Politik

171

persen dan dibandingkan TPT Agustus 2012 meningkat 6,14 persen.

Di samping tingkat pengangguran dan kemiskinan yang semakin bertambah, prinsip demokrasi juga teran-cam punah akibat meningkatnya skandal korupsi yang melibatkan elite pejabat birokrasi pemerintahan. Data yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan kasus korupsi semakin meningkat. Pada tahun 2013 KPK melakukan penyelidikan 81 perkara, penyidikan 70 perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht 40 perkara, dan eksekusi 44 perkara.

Total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2013 adalah penyelidikan 585 perkara, penyi-dikan 353 perkara, penuntutan 277 perkara, inkracht 243 perkara, dan eksekusi 247 perkara.74 Kondisi demikian memunculkan pertanyaan tentang mau dibawah kema-na nasib demokratisasi yang katanya prinsip demokrasi dapat melahirkan tatanan pemerintahan yang ideal.

Kegagalan demokratisasi pasca Suharto sesungguh-nya lebih disebabkan oleh runtuhnya moral para elite pejabat negeri ini yang hanya memikirkan kuasa dan “perut” tanpa mengindahkan pesan kontrak sosial yang mengikat antara negara dan rakyat. Hal ini disebabkan akan lemahnya komitmen para elite bangsa untuk mem-buat sistem yang disepakati berjalan dan berhasil. Ka-rena itu, kegagalan transisi demokratisasi pasca Suharto setidaknya disebabkan oleh tiga persoalan yaitu, per-soalan sistemik, institusional dan persoalan kultural.75

74 Laporan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia per 31 Desember 2013.

75 Adi Prayitno, “Gagalnya Berdemokrasi”, (Desember 2011) http://www.zulkieflimansyah.com/in/baca/564/gagalnya-berdemokrasi.html.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

172

Persoalan sistemik menyangkut keseluruhan sistem yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru.Tantang-an utamanya adalah serangkaian masalah sistemik yang menjadi hak milik pemerintahan otoriter dan kemu-dian diwariskan kepada pemerintahan penggantinya. Serangkaian masalah ini telah mengental dalam struktur dan kultur yang diciptakan dengan kokoh selama rezim otoritarian dan kemudian menjadi persoalan pemerin-tahan setelahnya.

Misalnya Gus Dur, seorang intelektual yang men-junjung tinggi nilai-nilai demokrasi sebelum ia menjadi seorang Presiden, tetapi pada akhirnya harus terseret pada logika politik Orde Baru yang dalam rangka melanggengkan kekuasaaannya ia harus menghadapi aparat birokrasi, militer, peradilan, partai politik dan parlemen yang dinamikanya ditentukan oleh praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta upaya peng-gunaan uang dan kekerasan untuk memajukan partai politik.

Dari perspektif ini bisa dipahami mengapa negara ga-gal dalam mengawal demokratisasi yang telah berjalan lebih dari 10 tahun dikarenakan warisan logika otoritari-an Orde Baru telah mengakar kuat dalam elite partai, birokrasi dan pemerintahan. Logika otoritarian Orde Baru membentuk jejaring bawah tanah dalam sistem bi-rokrasi pemerintahan dan sistem demokrasi guna men-jadi predator politik guna melanggengkan kekuasaan.76

Dalam persoalan institusional, derasnya arus waris-an Orde Baru secara sistemik telah membentuk mental birokrat yang korup dan predator politik. Meski harus diakui program reformasi birokrasi pemerintah sudah agak berjalan dengan ditandainya upaya-upaya penga-76 Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi, Politik Indonesia Pasca

Suharto (Jakarta: LP3ES, 2005),255-271.

Batas Toleransi Politik

173

wasan dan pengawalan melalui beberapa lembaga yang lahir dari rahim reformasi seperti KPK (Komisi Pembe-rantasan Korupsi). Namun demikian, hal ini masih saja belum berjalan maksimal dan menyeluruh. Hambatan utamanya adalah jabatan birokrasi pemerintah masih di-tentukan melalui mekanisme jual beli. Demokrasi dalam perspektif ini lebih dicirikan oleh kekuasaan dengan sistem jual beli di mana uang menjadi alat utama untuk memegang kendali kekuasaan melalui sistem pemilu dan sebagainya.77

Atas persoalan tersebut maka dibutuhkan upaya pendekatan kultural bagaimana pemerintahan berjalan sesuai prinsip-prinsip good governance yang ditopang oleh seluruh elemen masyarakat secara keseluruhan tanpa terkecuali. Hal ini bisa dilakukan jika pemerintah sebagai elite penguasa harus memberikan contoh terha-dap upaya-upaya penegakan hukum dalam ketertiban dan stabilitas nasional. Jika hal ini sudah bisa berjalan semestinya maka persoalan kultural menyangkut moral dan mental individu akan dengan sendirinya memben-tuk kekuatan pendukung demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks terorisme, serangan terorisme yang bermunculan di masa pasca Suharto sesungguhnya merupakan akibat dari kegagalan pemerintah mem-berikan jaminan kesejahteraan sesuai prinsip kontrak antara negara dan masyarakat. Hal ini bisa dilihat bagaimana gerakan-gerakan “jihad” mengorganisasi-kan diri menjadi pengganti pemerintah dalam mena-ngani kerusuhan berbasis agama di Maluku pada ta-hun 1999-2000. Gerakan ini lebih dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk bertindak dan memberikan jaminan keamanan di masyarakat, sehingga individu-individu 77 Ibrahim Z Fahmi Badoh dan Abdullah Dahlan, Korupsi Pemilu di

Indonesia (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2010), 3-5.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

174

bertindak sendiri membentuk identitas untuk berjalan melalui jalur non-institusional melakukan serangkaian kekerasan atas dasar solidaritas sesama Islam.78

Konflik di Maluku sepanjang tahun 1998-2000 menun-jukkan bagaimana gerakan radikal berbasis Islam seperti FKAWJ, LJ, JI dan MMI, AMIN dan KOMPAK memo-bilisasi massa mengambil alih “tugas” negara karena dianggap gagal dalam melindungi warga masyarakat dari dampak krisis pasca reformasi. Di samping itu, serangkaian aksi serangan teror bom Gereja secara seren-tak pada tahun 2000 menunjukkan pesan-pesan empiris sehubungan dengan kasus konflik berbasis agama yang terjadi di Maluku. Ada korelasi antara target teror dan pelaku teror. Dalam kasus bom Gereja menemukan titik temu sehubungan dengan sasaran teror yang menga-rah ke Gereja akibat krisis konflik sosial antar agama di Maluku.

Serangan teror terhadap Gereja di tahun 2000, kurang lebih 38 bom meledak di 11 kota. Serangan yang menghentikan suasana hening saat doa memulia-kan Allah bukan tidak punya maksud, tetapi ia meru-pakan pesan. Target serangan bom Gereja merupakan buah dari dampak pembiaran konflik berbasis agama di Maluku yang kemudian melahirkan nilai-nilai solidari-tas sehingga diterjemahkan untuk menyerang identitas-identitas “musuh” di manapun berada seperti Gereja di Jakarta, Mojokerto, Sumatera dan beberapa tempat yang menjadi target serangan bom Gereja di Malam Natal ta-hun 2000.

Hal yang sama harus dipahami bagaimana pola serangan teroris kini sejak tahun 2009 mengarah kepa-78 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,

Geneologi dan Teori (Yogjakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), 170-177.

Batas Toleransi Politik

175

da institusi pemerintah seperti, Polri dalam kasus bom Mapolresta Cirebon, bom Mapolres Poso dan penembak-an langsung terhadap polisi di Jakarta dan sekitarnya. Persoalan ini menyangkut bukan sekedar melemahnya jaringan teroris akibat kurangnya sumber daya, melain-kan pesan protes melalui jalan kekerasan atau terorisme atas kegagalan pemerintah.

Sementara serangan teror mengarah ke Polri, dan saat bersamaan institusi tersebut terlibat skandal korup-si bahkan salah satu institusi pemerintah yang kurang dipercaya oleh masyarakat.79 Lebih dari itu, Polri meru-pakan institusi yang paling “dibenci” oleh para teroris akibat upaya penangkapan dan penembakan terhadap para terorisme.

Serangan teror terhadap institusi Polri merupakan kasus yang bisa dipahami di mana seragan teror sudah mengarah kepada pemerintah secara umum bukan seke-dar institusi Polri. Hal ini menunjukkan gerakan teror-isme telah membangun kekuatan untuk menyerang tar-get simbol pemerintahan yang dibangun dengan bingkai “thogut” untuk menggambarkan penguasa yang meno-lak tunduk pada syari’ah.80

Di atas semua itu, sejauh negara dalam hal ini elite pemerintah selaku pemegang kendali roda organisasi pemerintahan belum memberikan dan berperan maksi-mal dalam mengemban amanah reformasi 1998 menuju perubahan yang maksimal dalam rangka meningkat-kan kesejahteraan rakyat, maka sejauh itu pula gelom-bang kekerasan atau terorisme akan bermunculan di

79 Hasil riset Transparency International Indonesia(TII) melalui Global Corruption Barometer (GCB) pada tahun 2013 menyebutkan bahwa intitusi kepolisian dianggap sebagai lembaga terkorup dalam kaitan dengan pelayanan publik.

80 Wawancara dengan Nasir Abas di Jakarta, 25 Oktober 2013.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

176

tengah transisi demokrasi yang tidak menentu. Karena itu, diperlukan upaya reformasi secara menyeluruh, tidak saja reformasi dalam tataran perubahan politik tetapi juga reformasi birokrasi sebagai perangkat sistem pemerintahan.81

Transisi demokrasi yang kerap kali membawa masyarakat pada keputusasaan akibat kondisi politik yang tidak menentu melahirkan krisis ekonomi, sosial dan politik akan melahirkan generasi baru yang siap lahir dalam lingkaran kekerasan atau terorisme. Gagal-nya demokrasi akibat moral para elite pejabat dengan meningkatnya kasus korupsi semakin memberikan pesan empiris terhadap kelompok Islam radikal untuk menawarkan Islam sebagai solusi alternatif atas kega-galan tersebut dengan membentuk aliansi-aliansi baru melakukan perlawanan.

Namun demikian, pemerintah justru berlindung di balik kesalahan dengan menjelaskan fenomena teror-isme akibat doktrinal agama yang dipahami secara sem-pit. BNPT selaku institusi pemerintah bahkan dalam si-tus resminya menampilkan sebuah talk line “terorisme adalah musuh semua agama”. BNPT seolah memberikan pesan bahwa aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama. Agama menjadi penyebab di balik kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam. Hal yang sama juga dilakukan oleh Hassan yang mengkritik Imam Samudra dengan pendekatan agama.82

81 Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan Ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia (Jakarta: Pensil 324, 2011).

82 Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok Jihad Radikal (Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2007).

Batas Toleransi Politik

177

2. Situasi Global Politik Islam

Selain kondisi domestik kegagalan transisi demokra-si, situasi internasional pada masa pasca Suharto juga berperan dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme di Indonesia. Sejak tahun 2000, beberapa si-tuasi internasional menjadi elemen penting dalam mela-hirkan gerakan terorisme. Pada tahun 2001 dan 2003 misalnya, invasi Amerika ke negara Afghanistan dan Irak menimbulkan efek yang kuat bagi sebagian kelom-pok Islam di Indonesia terhadap lahirnya sentimen anti Amerika.

Invasi Amerika dan sekutunya tersebut telah secara langsung menimbulkan perasaaan solidaritas sesama muslim untuk mengkonstruksikan identitas dalam bingkai ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan Amerika terhadap negara-negara Islam. Invasi terse-but telah membangunkan para mantan mujahidin Afghanistan untuk melakukan perlawanan terhadap Amerika dan sekutunya. Amerika menjadi terget seran-gan terorisme berbasis Islam sehubungan dengan nilai-nilai paradoks yang ditampilkan Amerika.

Dalam konteks serangan teror di Indonesia, target serangan teror yang mengarah kepada simbol-simbol Amerika bukanlah merupakan kebetulan saja. Teror-isme sebagai politik penentangan menjalankan fungsi sebagai pengantar pesan. Pesan tersebut ditujukan ke-pada Amerika Serikat sehubungan dengan nilai-nilai paradoks yang ditampilkan. Nilai-nilai tersebut menjel-ma menjadi bingkai ketidakadilan dan membentuk ke-sadaran kolektif bagi aktivisme Islam yang menganggap Amerika Serikat sebagai musuh yang harus diperangi.

Dari perspektif ini, pengamatan terhadap target serangan teror yang dimunculkan secara sporadis pas-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

178

ca reformasi 1998 akan dengan mudah menemukan benang merah yang sama, yakni simbol-simbol Barat. Target serangan yang Restoran KFC dan Mc. Donald Makasar (2002), Bom Kedutaan Filipina (2002), Bom Bali I (12 Oktober 2002), BomHotel J.W. Marriott (5 Agustus 2003), Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia(9 September 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom Hotel Ritz Carlton danJ.W. Marriott II (17 Juli 2009). Serangan-serangan tersebut merupakan upaya protes terhadap Amerika yang dirasa bertanggung jawab atas ketidakadilan sosial yang dialami umat Islam di dunia.

Serangan teror yang mengarah kepada simbol-sim-bol Barat dan representasi dunia internasional meru-pakan upaya untuk untuk menarik perhatian dunia. Dalam kasus terget teror bom Bali dan bom JW Marriott dan Ritz-Carlton dilakukan untuk menarik perhatian dunia dan mengantar pesan yang ingin disampaikan sehubungan dengan pendudukan Amerika di beberapa negara Islam seperti Afghanistan dan Irak. Hal ini me-nunjukkan bahwa aksi gerakan terorisme berbasis Islam itu dilakukan seturut kondisi internasional menyangkut negara Islam.

Karena itu, serangan terhadap simbol-simbol Barat dan Amerika Serikat sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni Amerika yang telah merugikan umat Islam. Amerika menampilkan para-doks-paradoks demokrasi dengan melakukan serangan terhadap Irak dan Afghanistan serta beberapa negara Islam lain. Paradoks tersebut pada akhirnya melahir-kan gelombang protes dari aktivisme Islam dan cende-rung mengarah kepada aksi-aksi terorisme. Demikian pula dengan penyerangan dan rencana serangan yang kini mengarah kepada tempat ibadah Vihara berkenaan dengan krisis politik yang terjadi di Myanmar dalam

Batas Toleransi Politik

179

kasus Rohingya. Solidaritas Muslim Rohingya memben-tuk bingkai ketidakadilan yang dilakukan umat Budha Myanmar terhadap Islam.

Aksi-aksi solidaritas Islam merupakan bentuk paling khas dari terorisme berbasis Islam. Hal tersebut jarang ditemui dalam kasus terorisme lain. Gerakan terorisme berbasis Islam memiliki kekhasan yang bersifat teologis sebagai skema pembingkaian untuk mendapatkan pem-benaran seperti pembingkaian solidaritas Islam.

Konflik berbasis agama di Myanmar tersebut kini telah menyebar dan diketahui seluruh dunia, termasuk Indonesia. Konflik berbasis agama di Myanmar ini se-perti halnya konflik berbasis agama di Ambon-Poso. Konflik yang melibatkan warga Muslim ini kerap kali memicu lahirnya gerakan mobilisasi bawah tanah untuk melakukan perlawanan atas dasar solidaritas Islam.83 Solidaritas Islam ini juga telah terjadi di Myanmar sendiri, di mana terjadi aksi balas dendam dengan jalan kekerasan terhadap umat Budha di Myanmar.

Kasus serangan teror terhadap simbol umat Budha sehubungan dengan krisis di Myanmar ini menjadi sinyalemen bahwa situasi internasional sehubungan dengan Islam akan memicu lahirnya gerakan terorisme berbasis Islam. Atas nama solidaritas Islam, aksi-aksi terorisme berbasis Islam akan terus bermunculan jika negara-negara Islam diperangi tanpa alasan jelas.

Kebangkitan Islam politik tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan gerakan protes atas nilai-nilai paradoks kehidupan baik dalam konteks politik global maupun nasional. Penggunaan kekerasan dalam aksi terorisme berbasis Islam merupakan bagian dari poli-

83 Wawancara dengan Nasir Abas di Jakarta 25 Oktober 2013.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

180

tik penentangan ketika dilakukan oleh sebuah gerakan yang mengalami keterbatasan sumber daya.

Struktur kesempatan politik memberikan suatu pemahaman secara kompleks mengapa Islam politik mengambil bentuk kekerasan atau teror. Kesempatan politik yang muncul di masa transisi menunjukkan kontradiksi-kontradiksi pembangunan demokratisasi. Dalam hal ini, negara gagal dalam menyusun agenda perubahan reformasi 1998. Islam politik menjadikan momentum tersebut untuk melakukan mobilisasi per-lawanan dengan gerakan terorisme sebagai tindakan protes. Namun demikian, negara justru menghindar dari tanggung jawab membawa reformasi ke arah yang lebih baik dengan memunculkan isu agama di balik ke-munculan gerakan terorisme berbasis Islam.[]

BAB IVISLAM ADALAH SOLUSI:PEMBINGKAIAN TERORISME BERBASIS ISLAM

Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam bertalian erat dengan situasi politik menyangkut struk-tur kesempatan politik. Sistem politik terbuka dan ter-tutup telah menunjukkan sama-sama meredakan dan memicu kemunculan gerakan terorisme. Gerakan teror-isme muncul berkenaan dengan kemampuan mengukur batas toleransi politik baik dalam situasi politik otoriter ataupun demokrasi.

Namun demikian, kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam tidak saja berkaitan dengan situasi poli-tik. Kemunculan gerakan terorisme juga didukung oleh kemampuan aktor gerakan terorisme dalam mengkon-septualisasikan gagasan, kepercayaan dan pemaknaan yang memungkinkan dapat bergema di antara parti-sipan gerakan. Dengan kata lain, gerakan terorisme membutuhkan konstruksi sosial untuk menjaga keber-

Men-Teroris-Kan Tuhan!

182

langsungan dan keberhasilan aksi terorisme. Dalam te-ori gerakan sosial, proses mengaktualisasikan gagasan dan konstruksi sosial ini disebut dengan pembingkaian (framing).

A. Framing Gerakan Terorisme

Gerakan terorisme tida saja dibentuk oleh kondisi eksternal politik tetapi keberhasilan aksi gerakan teror-isme memerlukan proses pengemasan ideologi untuk dapat meyakinkan dan dapat diterima di kalangan par-tisipan gerakan terorisme. Proses ini disebut collective ac-tion frames yang merupakan bagian dari skema proses framing dalam teori gerakan sosial.

Singkat kata, framing adalah skema penafsiran un-tuk mendapatkan keyakinan dan makna yang memiliki orientasi pada legitimasi aksi dalam sebuah gerakan. Dalam hal ini, proses framing merupakan penafsiran yang dilakukan aktor gerakan untuk menciptakan dan menyampaikan wacana yang dapat didengar dan berge-ma di antara mereka yang menjadi target mobilisasi.1

Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow menyebutkan tiga hal mengenai fungsi dari framing. Pertama, fungsi diagnostik, yaitu proses pemahaman tentang situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Proses ini lebih merupakan upaya mencari kesalahan sehingga membutuhkan upaya tanggung jawab peru-bahan. Dengan demikian, aktor gerakan harus mampu mendefinisikan dan merumuskan permasalahan yang

1 Robert D. Benford and David A. Snow, “Framing Processes and Social Movements: An Overview and Assessments”, Annual Reviews of Sociology, 26, (2000), 611-639.

Islam adalah Solusi

183

diangkat untuk menjadi isu utama yang membuat mere-ka melakukan mobilisasi gerakan protes.

Kedua, fungsi prognostik, yaitu memberikan solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktivitas prognos-tik ini, gerakan sosial merumuskan strategi, taktik dan target dalam aksi gerakan. Ketiga, motivational, proses upaya memberikan alasan mengapa sebuah gerakan harus dilakukan. Ketiga hal tersebut menjadi kunci dalam memahami gerakan terorisme berbasis Islam ka-rena tiga hal tersebut memuat tujuan, motif dan konsep.

Terorisme sebagai gerakan sosial bawah tanah memi-liki framing sebagai penafsiran ideologi. Framing meru-pakan hal yang lebih penting dari ideologi itu sendiri bagi gerakan terorisme, karena proses framing akan membentuk keyakinan untuk melakukan apa yang di-sebut dalam terorisme berbasis Islam sebagai jihad. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan bagaimana framing melahirkan ideologi dan keyakinan dikalangan internal atau partisipan organisasi sehingga bersedia bergabung dalam gerakan terorisme.

Analisis framing di sini akan menjelaskan dinamika penafsiran bagi gerakan terorime sepanjang lintasan sejarah negara Indonesia dari mulai Orde Lama, Orde Baru dan Pasca Suharto. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, setiap periodisasi perjalanan bangsa Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan terorisme. Orde Lama menghadapi gerakan terorisme DI/TII, Orde Baru menghadapi gerakan teroris Komando Jihad dan pasca Suharto gerakan terorisme diyakini dilaku-kan oleh organisasi Jamaah Islamiah.

Dalam setiap periodisasi tersebut, gerakan teror-isme tidak lahir dalam ruang hampa terdapat dinamika

Men-Teroris-Kan Tuhan!

184

politik di dalamnya. Dinamika politik yang ada pada zamannya menjadi alat dalam proses pembingkaian untuk merumuskan ideologi dan keyakinan. Namun demikian, pada umumnya ada titik temu yang sama terkait proses pembingkain bagi gerakan terorisme ber-basis Islam yaitu isu marginalisasi Islam politik.

Wacana marginalisasi Islam politik menjadi arus uta-ma bagi aktivis terorisme berbasis Islam untuk dijadikan dasar perlunya melakukan perlawanan dan menjadikan Islam sebagai solusi. Selanjutnya, analisis framing akan mengikuti alur berpikir yang dirumuskan oleh David Snow dan Robert D. Benford yang meliputi diagnostik, prognostik dan motifasional.

1. Peminggiran Islam Politik

Peminggiran Islam politik dalam sejarah politik Indonesia terjadi antara masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Dalam catatan sejarah kedua rezim pemerintahan tersebut tidak cukup memberikan ruang aktualisasi Islam politik. Peminggiran Islam politik ini semakin nyata di masa rezim pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya, pada pembahasan ini akan dibahas secara berurutan pembingkaian gerakan terorisme dengan memanfaatkan peminggiran Islam politik dalam pentas perpolitikan di Indonesia sepanjang rezim Orde Lama dan Orde Baru.

Pembingkaian peminggiran Islam politik menjadi isu utama yang dimainkan oleh gerakan DI/TII di masa Orde Lama. Pembingkaian ini menjadi sangat mencolok dibandingkan proses pembingkaian yang dilakukan oleh gerakan terorisme di masa berikutnya. Penafsiran kontruksi sosial yang dirumuskan oleh Kartosuwiryo

Islam adalah Solusi

185

dengan membungkus pemingggiran Islam politik dengan simbol-simbol agama mampu bergaung dan bertahan serta menjadi inspirasi generasi berikutnya.

Kartosuwiryo menjadi aktor utama artikulasi gerakan DI/TII sekaligus perumus ideologi dan cita-cita sehingga mampu memobilisasi individu-individu ke dalam gerak-an bersenjata melawan pemerintahan dengan mengu-mumkan suatu “seruan jihad”. Proses pembingkaian yang dilakukan Kartosuwiryo mampu mengilhami ge-rakan-gerakan terorisme di masa-masa berikutnya. Seba-gaimana diungkapkan dalam laporan International Crisis Group, kemunculan gerakan terorisme baik di masa Orde Baru maupun pasca Suharto merupakan daur ulang dari kebangkitan DI Kartosuwiryo.2 Gerakan terorisme ber-basis Islam di Indonesia dapat ditelusuri melalui sel-sel jaringan DI/TII Kartosuwiryo.

Dalam perspektif diagnosic framing, salah satu kom-ponen penting dalam pembingkaian gerakan DI/TII se-bagai persoalan adalah penggunaan Pancasila sebagai dasar negara karena dianggap sekuler. Konstruksi ga-gasan seperti ini merupakan ungkapan kekecewaan atas kekalahan Islam politik ketika perumusan ideologi dan pembentukan negara Indonesia di awal kemerdekaan. Pada umunya secara politik, kepentingan kelompok Islam tidak cukup terakomodasi dalam pembentukan negara Indonesia.

Peminggiran Islam politik ini semakin terlihat ketika Presiden Sukarno membangun basis kepolitikan na-sional di atas tiga pilar, yaitu NASAKOM, singkatan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Namun dalam prakteknya, Sukarno hanya membangun keseimbangan kepolitikan nasional antara dirinya sendiri dengan TNI 2 “Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan

Australia”,Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005), 10-12.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

186

dan PKI.3 Strategi tersebut mengakibatkan Islam politik semakin terpinggirkan dalam memberikan dan menen-tukan arah kebijakan negara.

Berdasarkan hal tersebut, Kartosuwiryo menjadi arti-kulator utama isu-isu peminggiran Islam politik. Selan-jutnya, Kartosuwiryo melakukan proses pembingkaian terhadap upaya mengambalikan Islam politik dalam konteks perpolitikan nasional. Dalam Haluan Politik Islam,4 Kartosuwiryo menjelaskan mengenai penting-nya politik bagi umat Islam. Politik adalah halal bagi muslim untuk diperjuangkan setelah kemerdekaan. Politik tidaklah haram sebagaimana stigma yang diberi-kan di masa penjajahan karena mereka (baca:penjajah) tahu betul bahwa Islam politik memiliki kekuatan yang dapat melakukan perlawanan. Hal tersebut dikatakan Kartosuwiryo dalam pidatonya sebagaimana berikut:

“Sudah setahun lamanya kita memerintah negara kita sendiri. Oleh sebab itu, maka tiap-tiap warga negara seharus dan sewajibnya tahu dan sadar dalam hal politik (politik-bewust). Tahu dan sadar, bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sepenuh-penuhnya untuk ikut memegang ke-mudi pemerintah negeri. Sifat, “masa bodoh”, seperti pada zaman Belanda dan Jepang, haruslah dihalaukan sejauh-jauhnya dari pikiran dan amal-perbuatan kita.

3 Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia, 54.

4 Buku ini adalah kumpulan pidato yang dibawakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada sebuah rapat lengkap Partai Politik Islam Masyumi daerah Priangan di awal Ramadlon 1365 H, satu tahun setelah dikumandangkannya proklamasi 17 Agustus 1945. Buku tersebut menjelaskan visi-misi pemikiran politik Kartosuwiryo tentang keharusan mendirikan negara Islam Indonesia. Kumpulan pidato tersebut kemudian diterbitkan ulang dalam, Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam (Depok:Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial (EMPIRIS), 2006);

Islam adalah Solusi

187

Politik, yang dulu pada zaman Belanda dan Jepang “dibenci dan ditakuti”, maka sekarang pada zaman merdeka “dicinta dan disukai”.

Pemikiran Kartosuwiryo tentang Islam politik mem-berikan petunjuk tentang prinsip-prinsip Islam ber-kenaan doktrin penyatuan antara agama dan politik. Bingkai semacam itu mendorong umat Islam untuk memandang partisipasi politik sebagai suatu kewa-jiban keagamaan yang menuntut pengorbanan diri dan komitmen secara terus menerus terhadap perjuangan transformasi keagamaan.

Penerimaan bingkai tersebut di kalangan partisipan gerakan tidak saja terletak pada fungsi daya tarik in-trinsik pembingkaian tersebut. Namun demikian, harus didukung oleh kondisi di luar menyangkut situasi Islam politik, antara lain (1) adalah fakta Islam politik semakin terpinggirkan secara sistemik dan terstruktur oleh tokoh nasionalis-sekuler dengan dijadikannya Pancasila sebagai ideologi negara; (2) partai Komunis sebagai koalisi bersama penopang pemerintahan rezim yang tidak memberikan ruang terhadap kelompok Islam; dan (3) artikulasi utama peran yang dimainkan umat Islam sehubungan kontradiksi pembangunan ka-pitalis di masa penjajahan Hindia-Belanda, yang disebut Kartosuwiryo sebagai Revolusi Nasional (perlawanan terhadap penjajah). Pengalaman ini menjadi tuntutan untuk seharusnya Islam politik mendapatkan aspirasi-nya. Sebagaimana diungkapkan Kartosuwiryo:

“Ummat Islam adalah sebagian dari pada Rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh sebab itu, kita pun akan mengambil bagian yang besar pula dalam menyelesai-kan Revolusi Nasional”.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

188

Keberhasilan pembingkaian yang dilakukan Kartosuwiryo dengan mempertimbangkan kondisi ketidakadilan terhadap Islam politik tersebut mampu memberikan dasar bagi perlawanan politik yang cen-derung radikal, baik terhadap penjajah maupun peme-rintah Republik yang dianggap berkhianat terhadap kelompok Islam.

Di samping persolan tersebut, ada empat persoalan lain yang cukup penting, sebagaimana diungkapkan oleh Cornelis Van Djik dalam penelitiannya tentang Gerakan Darul Islam. Pertama, kebencian akan pengaruh kekuatan Tentara Republik yang dianggap tidak meng-hargai para pasukan Gerilya. Ada ketidakadilan terkait posisi pasukan Gerilya saat diberlakukan penyatuan pasukan ke dalam barisan Tentara Republik setelah kemerdekaan.

Peminggiran pasukan gerilya yang sebagian berasal dari organisasi Islam dari satuan pasukan tentara Re-publik menjadi alat untuk melakukan perlawanan. Hal inilah yang kemudian mendasari bergabungnya Kahar Muzakkar, Ibnu Hajar, Amir Fatah dan Daud Beureueh. Mereka kecewa terhadap kebijakan penyatuan tentara Republik yang tidak menempatkan para pasukan ge-rilya dalam komposisi pasukan pemerintah RI dari be-berapa laskar.

Kedua, bertambahnya pengawasan pemerintah Re-publik atas beberapa provinsi segera sesudah kema-juan Tentara Republik. Kebijakan ini menempatkan beberapa personil Tentara masuk hingga ke desa-desa, sehingga mempersempit ruang gerak kelompok Islam. Ketiga, menyangkut perubahan norma dan nilai menge-nai kepemilikan tanah. Kebijakan ini mendasarkan pada prinsip kepemilikan tanah harus didasarkan pada ke-sejahteraan sosial dan mengesampingkan kepemilikan

Islam adalah Solusi

189

individu, dan keempat, yaitu terpinggirnya peranan agama dalam pranata kehidupan sosial, budaya hingga pemerintahan.5

Gerakan DI/TII Kartosuwiryo mendapatkan momen-tumnya untuk melakukan gerakan politik penentangan terhadap pemerintah semenjak ditandatangani Perjan-jian Renville. Ketidakmampuan para elite pemerintah dalam negosiasi dengan Belanda menjadikan kelompok Islam semakin kecewa. Perjanjian tersebut menandai berakhirnya kemerdekan 17 Agustus 1945 sebagai nega-ra yang berdaulat atas wilayah bumi bangsa Indonesia. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi.

Krisis kepercayaan terhadap pemerintah atas per-setujuan perjanjian Renville semacam ini menjadi pra-kondisi bagi meletusnya konflik kepentingan. Gerakan DI/TII Kartosuwiryo mengambil momentum tersebut untuk mengkontekstualisasikan ideologi dan fakta-fakta yang terjadi dengan bingkai agama. Keberhasilan pembingkaian diagnostik terhadap persoalan bangsa yang dihadapi seperti kekecewaan beberapa kelompok terhadap sikap Indonesia yang baru merdeka, kebijakan tuntutan pihak Belanda di masa Agresi Militer I dan II, maupun terhadap kegagalannya memberi pengakuan kepada pasukan gerilya di beberapa wilayah untuk ditempatkan didalam barisan tentara nasional yang baru dibentuk menjadi artikulasi utama isu-isu peminggiran Islam politik dan kegagalan pemerintahan Republik.

Selanjutnya, isu-isu tersebut dibingkai dalam per-spektif agama untuk memobilisasi dukungan dari be-5 Cornelis van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (Jakarta:

Penerbit Grafiti Press, 1983, Edisi Pertama),321-324.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

190

berapa kelompok Islam yang merasa terpinggirkan. Pembingkain dengan isu-isu tersebut mampu memper-luas aliansi dan jaringan di beberapa wilayah, seperti Kalimantan Selatan (1950); Sulawesi Selatan (1952) di bawah Kahar Muzakkar, dan di Aceh (1953) dibawah Daud Beureueh. Lebih dari itu, gerakan DI/TII juga me-nyebar hingga ke wilayah Timur Indonesia seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Halmahera.6

Oleh karena itu, gerakan DI/TII melakukan pem-bingkaian prognostik dalam menghadapi persoalan kebobrokan umat dan peminggiran sistematis terhadap Islam politik di Indonesia, dengan menawarkan Islam sebagai solusi dalam bentuk Negara Islam Indonesia (NII). Dalam pandangan Kartosuwiryo, masyarakat Indonesia dapat terjamin keselamatannya baik yang menyangkut hidup maupun penghidupannya hanya dengan hidup di dalam naungan Islam yaitu, Negara Islam Indonesia.

Islam politik yang ditawarkan Kartosuwiryo terse-but sangat strategis guna menanggapi keluhan-keluhan yang dialami kelompok Islam dan menawarkan Islam sebagai solusi perubahan atas tatanan yang tidak memi-hak kepada mereka. Simbol-simbol Islam yang mencer-minkan kode tentang moral kepatuhan terhadap Tuhan dan kewajiban kesejahteraan umat Islam menjadi gam-baran sebaliknya dari realitas yang ada. Dimensi diag-nostik ini mampu memberi jalan bagi pembingkaian ideologi Islam untuk menjadi tawaran pada kekejaman politik yang dirasakan oleh para partisipan kelompok Islam yang merasa terpinggirkan. Islam sebagai ta-

6 Widjiono Wasis, Geger Talangsari:Serpihan Gerakan Darul Islam (Jakarta:Balai Pustaka, 2001), 174-178.

Islam adalah Solusi

191

waran bagi keluhan tersebut sebagaimana dinyatakan Kartosuwiryo7:

“Beda dengan ideologi-ideologi yang lainnya, maka ideologi Islam tidak hanya menuju kepada keselamatan dunia saja, melainkan juga kesejahteraan akhirat”.

Untuk mencapai hal tersebut, yakni hidup di bawah naungan Islam maka diperlukan dua tahap revolusi.8 Tahap pertama adalah revolusi nasional. Revolusi ini sudah berhasil dilakukan bangsa Indonesia dengan pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Tahapan ini menegaskan pemikiran politik Kartosuwiryo sehubung-an dengan gerakan anti kolonialisme yang melekat dalam dirinya. Selanjutnya revolusi sosial, yaitu bangsa Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mene-rapkan hukum Islam secara menyeluruh.

Tahapan kedua inilah yang kemudian menjadi lan-dasan ideologis bagi Kartosuwiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia sekaligus menemukan hambat-an karena mendirikan negara di dalam negara Indonesia. Meskipun demikian, ada pandangan sinis terhadap pelabelan “pemberontak” terhadap Kartosuwiryo seba-gaimana dilakukan oleh al-Chaidar dalam beberapa bukunya dengan argumen pada saat deklarasi berdi-rinya Negara Islam Indonesia, pemerintah Republik Indonesia telah mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power) akibat menyerahkan sebagian kedau-latan bangsa Indonesia di tangan Belanda sebagai hasil kesepakatan perjanjian Renville.9

7 Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, 14.8 Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, 12.9 Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam

Indonesia, S.M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru (Jakarta: Darul Falah, 1999).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

192

Di atas semua itu, pemahaman terhadap proses pem-bingkaian dapat menjelaskan fungsi agama bukan seke-dar murni sebagai landasan motif di balik kemunculan gerakan terorisme berbasis agama. Namun demikian, agama lebih berperan sebagai strategi wacana dan aksi untuk memobilisasi gerakan. Sebagaimana diungkapkan Van Dicjk misalnya, simbol-simbol Islam yang melekat di dalam gerakan DI/TII bukan sekedar sebagai landasan motifasional, tetapi menjadi legitimasi pembenaran ge-rakan tersebut dalam melakukan pemberontakan terha-dap rezim.

Dalam salah satu laporan ICG, menyebutkan bahwa faktor agama bukan menjadi arus utama terhadap ke-munculan gerakan DI/TII, namun agama dalam hal ini Islam menjadi perekat di antara pemimpin-pemimpin-nya, sehingga mereka sepakat membentuk sebuah front persatuan dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).10

Dalam perspektif framing, strategi pembingkaian me-mainkan peran penting dalam konsensus mobilisasi aksi di antara para partisipan di dalam internal organisasi. Simbol Islam di dalam gerakan DI/TII menjadi legiti-masi pembenaran untuk melakukan gerakan terorisme atau “pemberontakan” DI/TII. Simbol Islam yang me-lekat dalam gerakan DI/TII sekaligus menjadi alat un-tuk mobilisasi dukungan terhadap kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan untuk membentuk konsen-sus melakukan perlawanan terhadap rezim pemerintah-an Orde Lama.

Meski demikian, keberhasilan bingkai itu bukan hanya didasarkan pada gema dakwah Islam politik yang dilakukan Kartosuwiryo. Namun keefektifan agen

10 Lihat “Daur Ulang Militan Indonesia”, ( 22 Februari 2005).

Islam adalah Solusi

193

dan metode juga turut andil pada mobilisasi. Dalam hal ini, Kartosuwiryo memainkan peran ganda dalam keberhasilan gerakan. Ia tidak saja sebagai aktor utama gerakan, tetapi juga berperan sebagai agen transmisi gagasan Islam politik. Ia mampu merebut otoritas pe-nafsiran teks-teks suci di kalangan Masyumi atau Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dengan menyusun konsep “hijrah” partai politik dalam bentuk brosur sebagai ak-tualisasi gagasan pemikiran tentang Islam politik bagi Kartosuwiryo.

Lebih dari itu, posisinya sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia, dimanfaatkan betul untuk membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan ter-hadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nam-pak ia mampu mentafsirkan nilai-nilai agama dalam ke-hidupan realitas. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasio-nalis lewat artikelnya.11

Kemampuan Kartosuwiryo dalam mengkonstruksi pemikiran dan mentransmisi gagasan di kalangan pub-lik memiliki pengaruh yang cukup efektif, apalagi sedikit banyak tokoh-tokoh Islam saat itu yang belum mampu menuliskan pemikiran-pemikirannya dan Kartosuwiryo adalah di antara tokoh Islam yang mampu mengaktual-isasikan gagasan ke dalam tulisan.

Hal tersebut juga menandai kemampuan intelektuali-tas Kartosuwiryo, baik di bidang pemikiran agama mau-pun sosial-politik. Pada saat yang sama, Kartosuwiryo membentuk “Institut Suffah” tidak saja sebagai lembaga 11 Lihat beberapa kumpulan artikel Kartosuwiryo di koran Fadjar

Asia, dalam situs http://alchaidar.blogspot.com/search?updated-min=2006- (diakses 15 Januari 2013).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

194

pendidikan bagi generasi muda, tetapi juga wadah soli-daritas kelompok kecil yang intensif memperkuat komit-men menyebarluaskan gagasan-gagasan Kartosuwiryo.

Institut Suffah ini pada akhirnya menjadi lokomotif utama pendukung gerakan Kartosuwiryo untuk men-jadikan Islam politik sebagai kekuatan terlembagakan dalam bentuk Negara Islam Indonesia. Keberhasilan transmisi gagasan dalam kelompok kecil membentuk aliansi-aliansi dalam jaringan-jaringan kelompok seper-ti laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk berjuang dalam bingkai pemikiran Kartosuwiryo.

Pembingkaian peminggiran Islam politik ini tidak saja dilakukan oleh gerakan DI/TII, tetapi juga terjadi di masa Orde Baru yang memunculkan beberapa aksi teror dan kekerasan berbasis agama. kekerasan atau aksi teror yang terjadi di masa Orde Baru seringkali terjadi karena tindakan represif rezim terhadap aktifitas Islam politik. Kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 yang kemudian diikuti serangkaian aksi teror bom sebagai upaya pem-balasan melawan represif rezim seperti teror bom BCA (1984) dan bom Borobudur (1985).

Namun demikian, meski tidak ada perbedaan dalam proses pembingkaian gerakan terorisme di masa Orde Lama atau Orde Baru tetapi ada sebuah catatan kecil yang membedakan pembingkaian di kedua masa rezim tersebut yaitu menyangkut kebangkitan komunisme di Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan membahas isu tersebut dalam sub bab khusus dengan pertimbangan bahwa isu ini sedikit sekali menjadi acuan dalam pem-bahasan gerakan sosial Islam.

Islam adalah Solusi

195

2. Melawan Kebangkitan Komunisme

Pada pembahasan ini, penulis akan mengungkapkan sebuah catatan yang menujukkan bagaimana gerakan komunis (baca: PKI) menjadi ingatan buruk bagi seba-gian masyarakat. Ingatan buruk tersebut dijadikan alat dalam proses pembingkaian gagasan, pemaknaan dan keyakinan untuk melakukan gerakan terorisme berbasis Islam. Isu kebangkitan komunisme di Indonesia ini ter-ungkap dalam laporan berita acara pemeriksaan dalam kasus gerakan Komando Jihad.

Gerakan Komando Jihad merupakan gerakan teror-isme berbasis Islam yang muncul di masa rezim Orde Baru. Gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para pengikut Kartosuwiryo pasca dieksekusinya Kartosuwiryo pada tahun 1962. Se-belumnya, pada Agustus 1962, beberapa anggota gerak-an DI/TII mendapat amnesti dari pemerintah. Amnesti diberikan kepada 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, termasuk Haji Isma’il Pranoto (Hispran) dan anak buahnya.

Tidak banyak fakta yang diketahui tentang Komando Jihad, beberapa sumber meyakini bahwa Komando Ji-had merupakan organisasi teroris yang terdiri dari eksponen aktivis gerakan Darul Islam. Sumber lain berpendapat bahwa Komando Jihad diciptakan oleh pemerintah Indonesia sebagai perangkap untuk meme-rangi komunisme dan mendiskriminasikan Islam politik guna melanggengkan kekuasaan Orde Baru.12 Dalam hal apapun, Komando Jihad diyakini bertanggung jawab atas beberapa insiden teroris di akhir 1970-an dan awal 1980-an.12 Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan

Komando Jihad.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

196

Dalam hal diagnostik, hampir tidak ada perbedaan dengan gerakan DI/TII di masa Orde Lama. Persoalan klasik menyangkut negara sekuler yang didasarkan pada Pancasila masih menjadi arus utama diagnostik framing. Hal ini bisa dimaklumi karena anggota Komando Jihad merupakan para petinggi dan aktivis gerakan DI/TII. Namun demikian, adalah komunisme sebagai isu uta-ma sebagai persoalan (diagnostik) yang membedakan dengan gerakan sebelumnya. Kebangkitan gerakan ko-munisme yang akan kembali ke Indonesia pasca keka-lahan Amerika dalam perang Vietnam di tahun 1970-an digunakan alat untuk memobilisasi para eks anggota DI/TII.

Dalam wawancara Busyro Muqoddas kepada bebera-pa mantan terpidana kasus Komando Jihad memberi-kan petunjuk beberapa problem diagnostik sehubungan dengan proses pembingkaian menjadi aksi gerakan. Umar Hasan dan Sudimarman Marsudi misalnya,13 menyatakan ada agenda kembalinya gerakan komunisme ke Indonesia sehingga mereka siap untuk melakukan pergerakan. Lebih dari itu, Marsudi menyatakan melalui Hispran dengan dana dari Ali Moertopo agar mengun-dang beberapa anggota DI/TII yang kemudian disebut dengan Komando Jihad untuk bergerak melakukan per-lawanan terhadap kebangkitan Komunisme.

Hal senada juga disampaikan oleh mantan Major Jenderal Himawan Soetanto setelah mendengar laporan dari beberapa anggota Komando Jihad, termasuk Ateng Djaelani dan Hispran yang hendak bersiap melakukan perlawanan terhadap kebangkitan Komunis di Asia

13 Mantan tersangka Komando Jihad, Umar Hasan beroperasi di wilayah Lamongan. Sedangkan Sudriman Marsudi di wilayah Klaten, Solo dan Yogajakarta. Dalam Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 99-100.

Islam adalah Solusi

197

Tenggara dengan mengorganisasikan massa kedalam gerakan informal yang disebut dengan Komando Jihad.14

Diagnostik framing terkait kebangkitan komunisme menjadi isu utama bagi kelompok Islam di dalam meng-organisasi dan memobilisasi gerakan dikarenakan adanya keyakinan di kalangan Islam bahwa komunisme yang berpaham Marxis adalah ateis -tidak atau belum meyakini keberadaan Tuhan-.15 Paham seperti ini bisa dimaklumi karena masyarakat Indonesia sangat sensi-tif terhadap persoalan agama. Di samping itu, ada luka sejarah yang panjang sehubungan dengan ketegangan komunisme di Indonesia (PKI) dengan Islam politik.

Ketegangan antara PKI dan Islam politik nampaknya menjadi ingatan buruk untuk membangkitkan perla-wanan terhadap kebangkitan komunisme. Kebangkitan komunisme ini menjadi strategi pembingkaian karena memang kelompok Islam harus diakui dalam sejarahnya banyak terlibat konfrontasi dengan PKI hingga konfron-tasi dalam bentuk pembantaian massal simpatisan PKI oleh sebagian kelompok Islam.16

Seiring dengan pembingkaian kebangkitan ko-munisme bergulir, beberapa aktivisme Islam mantan simpatisan dan anggota gerakan DI/TII mengorganisasi dan memobilisasi gerakan. Hal ini ditandai dengan di-adakan beberapa pertemuan eks petinggi gerakan DI/

14 Ken Konboy, Intel II : Medan Tempur Kedua (Jakarta: Pustaka Primatama, 2011); 20-21.

15 Ken Konboy, Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (Jakarta: Pustaka Primatama, 2007); 146.

16 Studi yang dilakukan oleh Hermawan Sulistyo menujukkan bagaimana organisasi keagamaan seperti NU terlibat dalam tragedi pembantaian para simpatisan PKI yang digerakkan oleh beberapa tokoh agama di Jawa Timur. Lihat selanjutnya dalam, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembataian Massal yang Terlupakan (Jakarta: Pensil 324, 2011).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

198

TII untuk membahas strategi aksi teror. Keputusan membentuk Komando Jihad mulai didesain pada tahun 1975-1976 oleh Gaos Taufik dan Danu Mohamed Hassan yang didorong Ali Moertopo dan BAKIN.

Meskipun terkesan pertemuan tersebut merupa-kan konspirasi Orde Baru melalui Ali Moertopo. Na-mun demikian, mereka bukan saja sebagai korban lugu konspirasi Orde Baru. Mereka nampak berperan aktif memandang dukungan Ali Moertopo sebagai medan tempur kedua gerakan DI/TII setelah kekalahan pada tahun 1962.

Selanjutnya, pembingkaian prognostik yang di-lakukan tidak ada perbedaan dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo dengan menawarkan gagasan Islam se-bagai solusi. Dalam beberapa dakwah yang dilakukan petinggi Komando Jihad seperti Hispran, sering kali memuat visi memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawancara Busyro Muqoddas dengan H. Wuslam, salah satu tokoh DI di Brebes sehubungan dengan dakwah Hispran, yang mengatakan:

“Bahwa umat Islam harus melawan keberadaan Pancasila di Indonesia. Seakan-akan menurut pak Hispran keberadaan Pancasila ini tidak ada. Ia bermak-sud mendirikan negara yang bersyariat Islam. Jadi, ka-rena itu sebagai ideologi yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist dan dibantu dengan H. Ahmad Dafur yang di Tapal Batas. Pak Hispran pulang di Ponorogo dan di sana juga memberikan satu motivasi bahwa Islamlah yang bisa menyatukan dan menyelamatkan bangsa ini”.17

17 Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 111-112.

Islam adalah Solusi

199

Dalam berita acara pemeriksaan mantan terdakwa beberapa aktivis Komando Jihad juga mengungkap-kan hal yang sama sehubungan dengan pembingkaian prognostik. Misalnya, kesaksian Yusuf al Iskak al Ahyar dalam perkara Abdul Kadir Baraja:

“Yang diperjuangkan Komando Jihad ialah mengingin-kan/mendirikan Negara Islam di Indonesia berdasar-kan al-Qur’an dan Hadist supaya Syari’at Islam tegak di bumi Indonesia sehingga Islam benar-benar menjadi rahmatan lilalamin”.18

Begitu juga dengan laporan berita acara pemeriksaan oleh Dollah BA alias Wisnirahardjo, salah satu terdakwa kasus Komando Jihad di daerah Yogyakarta. Sebaga-maina dipaparkan oleh Busyro:

“Komando jihad menghendaki agar hukum Islam berlaku secara positif di Indonesia sebagaimana dike-hendaki oleh Piagam Jakarta antara lain Ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Menurut pengamatannya bah-wa orang Islam sekarang belum melaksanakan syariat agamanya (Islam) secara benar”.19

Sementara gerakan Komando Jihad mulai melakukan serangkaian aksi kekerasan antara tahun 1975 hingga 80-an, pada saat bersamaan revitalisasi gerakan dakwah salafi juga mulai bermunculan di era tersebut. Gerakan dakwah salafi memiliki kecenderungan visi yang sama

18 Berita Acara Pemeriksaan Abdul Kadir Baraja-terdakwa gerakan Komando Jihad, dalam Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 96. Abdul Qadir Baraja, pertama kali dipenjara atas tuduhan kegiatan Komando Jihad, dan kemudian karena menyediakan bom untuk serangkaian aksi pemboman di tahun 1985.

19 Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 98.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

200

dengan gerakan Komando Jihad, namun fitur kekerasan yang melekat yang membedakan. Gerakan dakwah lebih memilih cara-cara soft dalam menghendaki cita-cita mendirikan negara Islam. Namun demikian, kelom-pok teroris tidak jarang merupakan bagian dari gerakan dakwah salafi atau setidaknya mereka pernah meng-alami internalisasi transmisi gagasan dakwah salafi.

Sebagamana dipaparkan dalam penelitian Imdaddun Rahmat, menunjukan gerakan dakwah disaat bersa-maan digunakan sebagai proses pembingkaian diag-nostik dan prognostik oleh beberapa aktor gerakan Islamisme.20 Mereka mengusung pemikiran-pemikiran Islam politik Timur Tengah seperti Hasan al-Banna dan Sayid Qutb. Lebih dari itu, upaya pembingkaian di-lakukan juga dalam bentuk penerjemahan buku karya pemikiran Hasan al Banna, Sayid Qutb serta beberapa pemikir lain. Beberapa tokoh dari gerakan DI/TII juga masih aktif memberikan ceramah di beberapa masjid dan tempat lain yang memiliki kecenderungan visi ne-gara Islam Indonesia.

Gerakan dakwah mengambil jejaring informal untuk menghidari pengejaran pemerintah yang cenderung represif terhadap kelompok dakwah Islam politik. Pem-bingkaian melalui jalur dakwah ini memberikan insen-tif pembingkaian yang lebih efektif terhadap transmisi gagasan negara Islam di Indonesia. Ketika akses kesem-patan politik terbuka di masa Pasca Suharto, gerakan dakwah mulai berevolusi dalam bentuk gerakan sosial Islam dan dalam hal tertentu mereka cenderung radikal dan teroris.

20 M. Imdaddun Rahmat, Arus Balik Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia.

Islam adalah Solusi

201

3. Dari Hegemoni Barat terhadap Islam ke Negara “Thogut”

Pembingkaian isu-isu global menyangkut dunia Islam dalam proses pembingkaian gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia nampak dalam gerakan terorisme berbasis Islam yang muncul di masa pasca Suharto. Salah satu gerakan teroris yang muncul pada periode pasca Suharto adalah organisasi JI. JI diyakini bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror yang ter-jadi sepanjang era pasca Suharto.

JI didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir pada tahun 1993 sebagai organisasi kumpul-an mujahidin Afghanistan. Selanjutnya, organisasi ini dalam perkembangannya kemudian diyakini bertang-gung jawab atas tragedi serangkaian bom di tanah air. Lebih dari itu, JI merupakan gerakan terorisme yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara, sehingga ke-beradaannya menjadi ancaman tidak saja di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Tenggara.

Dalam hal pembingkaian diagnostik, kemunculan gerakan JI di masa Pasca Suharto tidak hanya mengu-sung isu-isu lokal tetapi turut serta memasukkan isu transnasional terkait dengan posisi umat Islam dalam percaturan politik dunia. Isu transnasional mencoba membawa kedaulatan dan kebangkitan Islam politik yang telah di “cabik-cabik” Amerika Serikat.

Dalam konteks gerakan JI, para aktor organisasi JI dan simpatisan yang terlibat aktif dalam serangkaian aksi teror di Indonesia nampaknya terpengaruh fatwa Osama bin Laden “Front Dunia Islam untuk berjihad melawan kaum Yahudi dan Salibis” yang ditandata-ngani oleh Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri dan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

202

tiga pimpinan Al Qaeda yang lain.21 Fatwa ini menjadi dasar legitimasi aksi kekerasan dalam terorisme berba-sis Islam di Indonesia.

Penulis menganggap masuknya pembingkaian isu transnasional dalam aksi terorisme di Indonesia merupakan konsekuensi dari terjalinnya komunikasi kader-kader JI semasa mengikuti pelatihan dan perang di Afghanistan dengan beberapa milisi Islam dari be-berapa negara, termasuk milisi al-Qaeda.22 Pengalaman di Afghanistan memberikan pengaruh cukup besar se-hubungan dengan posisi umat Islam di beberapa negara terkait dengan kesewenang-wenang Amerika dan seku-tunya. Di samping itu, perkembangan pesat informasi dan teknologi juga berpengaruh dalam penerimaan informasi dunia internasional terkait dengan negara-negara Islam.

Pelaku bom Bali pada tahun 2002 pada umumnya merupakan mujahidin perang Afghanistan seperti Ali Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi dan lain-lain. Pengalaman dan emosional selama mengikuti perang di Afghanistan menjadi luapan emosi pikiran untuk mem-bawa kedaulatan Islam politik di Indonesia. Alumnus

21 Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda, Global Network of Terror (New York: Berkley Publishing Group, 2003), 45.

22 Seperti diketahui angkatan pertama kader JI merupakan alumni perang Afghanistan, dimana di bawah operasi Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar mengirimkan beberapa orang untuk jihad di Afghanistan. Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra terdakwa kasus bom Bali merupakan angkatan pertama veteran perang. Perang Afghanistan berlangsung pada tahun 1979 ketika Uni Soviet menyerbu Afghanistan untuk menopang pemerintah komunis Kabul. Untuk kemudian dengan dukungan Amerika, Saudi dan Pakistan memobilisir ribuan sukarelawan jihad dari berbagai belahan dunia Islam, termasuk beberapa mujahidin Indonesia. Pengalaman di Afghanistan ini membawa hubungan dengan aktivis al-Qaeda bagi aktor gerakan teroris JI.

Islam adalah Solusi

203

Afghanistan tidak saja menjadi artikulator utama isu-isu transnasional, tetapi juga menjadi inspirasi generasi seterusnya untuk berpikir radikal menuntut kedaulatan Islam politik di Indonesia dengan jalan terorisme. Lebih dari itu, veteran mujahidin Afghanistan memiliki kha-risma di kalangan milisi jihadis sehingga mereka men-duduki posisi penting dalam struktur organisasi JI atau organisasi yang berafiliasi dengannya.

Dalam wawancara Asep Adisaputra dengan Imam Samudra memberikan penjelasan pembingkaian diag-nostik sehubungan dengan persoalan yang menimpa umat Islam di dunia. Imam Samudra mengatakan:

“jihad terbesar sekarang ini yaitu jihad memerangi tero-ris Amerika dan sekutunya yang terlibat perang salib memerangi umat Islam di seluruh dunia. Terutama dengan menjatuhkan ribuan ton bom di Afghanistan pada September 2001, tepatnya Ramadhan 1422 H, ter-hadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, muslimah dan anak-anak kecil yang tida berdosa”23

Perkataan Imam Samudra menunjukkan bagaimana pengalaman sebagai milisi perang Afghanistan mem-bawa dimensi pembingkaian diagnostik sehubungan dengan kebiadaban tentara Amerika terhadap warga sipil Afghanistan. Persoalan tertindasnya warga mus-lim Afghanistan mengkonstruksikan dirinya untuk memerangi Amerika dan sekutunya dalam bentuk teror bom Bali. Teror di Bali dilakukan karena Bali merupa-kan tempat berkumpulnya teroris internasional, seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Australia, Israel, Cina Komunis dan lain-lain.24

23 Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta:Pensil 324, 2006)62-63.

24 Berita Acara Pemeriksaan Tersangka (BAP) An. Imam Samudra, tanggal 28 November 2002;7-8.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

204

Selanjutnya di dalam laporan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Imam Samudra menunjukkan bah-wa persoalan-persoalan yang mendasari aksi teror di Bali pada tahun 2002 sehingga melakukan aksi teror bom, diantaranya dalam rangka melawan kebiadaban tentara salib Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris, Australia, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia ortodoks, dan lain-lain), kewajiban seorang Muslim membalas sakit hati 200.000 umat lelaki lemah, wanita lemah dan bayi yang mening-gal tak berdosa, pada saat dijatuhkannya ribuan ton bom pada September 2001 tepatnya Ramadhan 1422 H di Afghanistan, Australia turut campur dalam upaya memisahkan Timor-Timur dari Indonesia yang semua itu merupakan konspirasi salibis internasional, campur tangan pasukan salib bekerjasama dengan pasukan kafir Hindu di India dalam membantai Muslim di Kashmir, pembalasan terhadap kebiadaban dan keterlibatan pasukan Salib dalam skenario konflik di Ambon, Poso, Halmahera dan lain-lain, pembalasan terhadap Muslim Bosnia yang dibantai pasukan Salib, melaksanakan far-du A’in Jihad Global terhadap Yahudi dan Nasrani di seluruh bumi negara Muslim, perwujudan Ukhuwah Islamiyah antar satu Muslim dengan Muslim lainnya yang tidak dibatasi oleh hambatan geografis dan melak-sanakan perintah Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 74-76 yaitu kewajiban membela lelaki lemah dan bayi-bayi yang tidak berdosa yang selalu menjadi sasaran atas kebiadaban teroris Amerika dan sekutunya.

Persoalan kebijakan politik negara Amerika terhadap negara-negara Islam memberi suatu bingkai perlawan-an bagi para aktor gerakan teroris. Aksi teror pelaku Bom Bali 12 Oktober 2002 bukan semata-mata didasar-kan pada landasan doktrin agama, tetapi ketidakadilan global sehubungan dengan kebijakan Amerika yang di-

Islam adalah Solusi

205

rasa tidak adil khususnya terhadap umat Islam. Mereka membingkai persoalan-persoalan tersebut dalam simbol agama. Agama dalam hal ini menjadi landasan motifa-sional dari pada sekedar pembenaran aksi teror.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Bakar Baa’syir (ABB) bahwa jihad adalah wajib hukumnya ketika umat Islam dizalimi. Bom Bali merupakan bentuk perlawan-an terhadap Amerika dan sekutunya. Lebih lanjut ABB mengungkapkan tentang kewajiban berjuang menegak-kan syariat Islam. Haram hukumnya orang Islam diam, wajib hukumnya berjuang merombak sistem menjadi hukum Islam. Meski demikian, Abu Bakar Baa’syir kurang sependapat dengan cara aksi teror bom di Bali yang banyak membunuh warga sipil. Baginya Bali bu-kanlah wilayah perang tetapi secara prinsip penegakan hukum Islam adalah kewajiban bagi negara mayoritas beragama Islam.25

Tujuan dari aksi teror bom Bali sebagaimana ter-ungkap di dalam BAP menunjukkan aksi teror menjadi sebuah gerakan protes atas ketidakadilan atau paradoks nilai kehidupan manusia, yang pada saat bersamaan kelompok Islam mengalami degradasi nilai seiring dengan modernisasi dan sekulerisasi dari proyek per-adaban Barat. Mereka mengkonstruksikan diri sebagai pembela agama Islam dengan menguraikan persoalan yang dihadapi, dan mereka mencoba mentafsirkan iden-titas diri dan mentafsirkan Amerika sebagai musuh. Hal ini juga menunjukkan bahwa ideologi gerakan teror-isme bukan lagi bertumpu pada konsep nation-state, melainkan konsep umat.

Konsep umat dijadikan strategi wacana di tengah-tengah glombang modernisasi dan sekulerisasi yang 25 Wawancara dengan Abu Bakar Baa’syir di Jakarta, 25 Agustus

2013.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

206

cenderung mengikis nilai-nilai budaya lokal dan agama. Hal ini juga menandai terpinggirnya Islam baik karena ketidakmampuan mengejar kemajuan Barat atau mung-kin sebuah gejala dari korban kebijakan Barat dalam proyek peradaban modernisme. Posisi Islam politik dalam politik global yang semakin buram membentuk sebuah nilai-nilai solidaritas untuk membayangkan Islam dalam pentas politik global yang tidak bisa di-singkirkan apalagi didiskriminasikan.

Setelah penangkapan beberapa pelaku bom Bali hingga bom Marriot yang merupakan alumni perang Afghanistan. Isu-isu pembingkaian mulai bergeser ke-pada isu lokal terkait dengan pemerintah sebagai pe-megang kebijakan. Serangan yang mulai mengarah ke-pada pemerintah merupakan respon sebagian aktivisme Islam terhadap kegagalan pemerintah dalam menga-wal demokratisasi pasca reformasi 1998. Tidak ada hal kemajuan yang di dapat pasca reformasi kecuali kon-sumen dungu globalisme dan konsumerisme. Karena itu, sekelompok orang dengan mengatasnamakan jihad mereka melakukan gerakan perlawanan dengan sasaran teror simbol-simbol pemerintah.

Pada kasus-kasus teror bom sebelum serangan dengan institusi pemerintahan, targetnya adalah simbol-simbol kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, tempat umum, entitas bisnis, tempat hiburan, serta tempat ibadah (umumnya gereja, meskipun Masjid Istiqlal juga pernah dibom). Nampaknya target utama dari institusi pemerintah adalah Polri.

Hingga akhir tahun 2013, tercatat setidaknya de-lapan anggota Polri tewas ditembak. Sementara itu, be-berapa kantor kepolisian juga diserang.Dilihat dari segi perkembangan ancaman, aksi di Medan, lalu di Mapol-resta Cirebon, dan serangan sporadis penembakan ter-

Islam adalah Solusi

207

hadap beberapa Polisi, tampak memberi pesan lanjutan, bahwa simbol-simbol negara, seperti instalasi militer/kepolisian, dan presiden, telah menjadi sasaran kelom-pok teroris yang ada di tanah air.

Alasan penyerangan terhadap simbol-simbol nega-ra karena dianggap kafir, mereka melindungi hukum “thogut,” yang memerangi mujahidin (kelompok tero-ris yang melakukan serangan bom), dan kecenderungan pemerintah berkiblat ke Amerika.Pandangan ini sejalan dengan pendirian Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dan kelom-pok Islam garis keras lain.

Konstruksi terorisme terhadap pemerintah seba-gai “thogut” maka seluruh tatanan sistem demokrasi dianggap tidak mencerminkan Islam. Dalam pan-dangan Ansyaad Mbai selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pemilu sebagai pra syarat terlaksananya demokrasi dalam pemilihan kepemimpinan negara maka akan menjadi momentum serangan terorisme karena musuh utama mereka adalah demokrasi dan pemilu.26

Dalam hal ini merujuk pada buku yang ditulis Abu Bakar Baa’syir yaitu Tadzkirah. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang pengertian Thagut adalah penguasa yang memutuskan perkara dengan hukum bukan syariat Islam.27 Pembingkaian yang dilandaskan pada pemahaman bahwa pemerintah adalah kafir merupakan upaya menjadikan target serangan adalah pihak-pihak pengambil kebijakan.

Mereka tidak saja beralasan karena pemerintah khu-susnya, kepolisian telah menghalangi aksi-aksi teror, tetapi juga melemahnya kekuatan gerakan terorisme 26 “BNPT: Ada Ancaman Teroris di Pemilu 2014”. Jurnas.com, Sabtu, 4

Januari 2014.27 Abu Bakar Baa’syir, Tadzkiroh:Nasihat dan Peringatan karena Allah.4.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

208

pasca ditangkapnya beberapa pelaku teror. Bagi Abu Bakar Baa’syir negara dengan mayoritas penduduk ber-agama Islam semestinya wajib menerapkan kebijakan hukum Islam. lebih lanjut, ia mengatakan penerapan hukum Islam bukan berarti mendiskriminasikan kelom-pok agama lain, justru dengan hukum Islam lah keadil-an akan tercapai karena hal ini sudah janji Allah.28

Serangan yang mengacu kepada simbol-simbol pemerintah ini juga menandai sebuah pesan berupa protes atas kegagalan rezim mengawal reformasi yang sudah berjalan 15 tahun. Hal ini ditandai meningkatnya kasus korupsi yang menyeret banyak elite pemerintah. Bingkai-bingkai agama dalam protes aksi teror dijadi-kan sebagai strategi wacana untuk memberikan atau menawarkan prognosa Islam sebagai solusi atas kega-galan rezim.

Prognosa Islam sebagai solusi dalam wacana gerak-an terorisme berbasis Islam di seluruh dunia adalah hal yang masih menjadi perdebatan. Dalam pandangan al-Ashmawi, pengandaian itu tak lebih hanya mimpi yang tak pernah berwujud. Lebih jauh ia mengingatkan bah-wa akan pentingnya memperhatikan dimensi ruang dan waktu atau memperhatikan realitas sejarah terkait ta-waran Islam sebagai solusi yang kerap digaungkan oleh kelompok Islam politik.29 Perspektif yang ditawarkan kelompok Islam radikal sehubungan kegagalan rezim menunjukkan sebuah paham Islam bukan saja sebagai agama tetapi juga konsep negara.

Prognosa semacam itu adalah bagian tujuan dari gerakan terorisme berbasis Islam dari zaman gerakan DI/TII hingga gerakan JI. Di dalam tawaran Islam seba-28 Wawancara Abu Bakar Baa’syir di Jakarta, 25 Agustus 2013.29 Muhammad Sa’id Al-Ashmawi,Al-Islām Al-Siyāsī (Cairo: Sina li al-

Nashr,1987), 176.

Islam adalah Solusi

209

gai solusi sesungguhnya menunjukkan internalisasi ideologi terorisme memiliki jalinan hubungan secara fungsional dengan faktor-faktor struktur sosial ekonomi dan politik baik pada level makro dunia internasional dan mikro dalam tataran negara.

Karena itu, simbol-simbol Islam yang melekat di dalam aksi teror adalah strategi pembingkaian aksi un-tuk mendapatkan dukungan dan pembenaran serta mo-tifasional dari kelompok-kelompok Islam yang merasa didzolimi baik akibat percaturan politik global maupun kebijakan pemerintah. Perkembangan terakhir dari aksi teror yang bergerak secara sporadis dan asimetris yang mengarah kepada target simbol-simbol pemerintahan harus menjadi instropeksi. Hal tersebut dilakukan se-bagai bentuk protes terhadap pemerintah untuk segera melakukan reformasi sistem ketatanegaraan yang di-dasarkan pada prinsip-prinsip good governance, bukan sebaliknya menjadi negara yang koruptif dan manipu-latif.[]

BAB VMOBILISASI SUMBER DAYA GERAKAN TERORISME

Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana struktur kesempatan politik dan pembingkaian berperan penting dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia. Pada bab ini, pe-nulis menjelaskan pentingnya mobilisasi sumber daya sebagai penopang keberlangsungan gerakan terorisme.

Para perumus teori gerakan sosial telah menujuk-kan pentingnya teori mobilisasi sumber daya (resource mobilisation theory) dalam rangka keberhasilan menjalan-kan aksi-aksi sosial protes. Mobilisasi sumber daya ber-fungsi sebagai sarana atau wahana kolektif, baik formal maupun informal, di mana individu-individu dimobi-lisasi dan terlibat aktif dalam aksi gerakan.1 Pendekatan mobilisasi sumber daya mencoba melihat bagaimana sumber daya dijaga dan dirawat dalam rangka keber-langsungan aksi-aksi teror.1 McAdam, McCarthy & Zald , ed., Comparative Perspektive, 3.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

212

Singkatnya, penjelasan mobilisasi sumber daya di dalam gerakan terorisme berusaha mengungkap bangun-an infrastruktur pendukung gerakan. Dalam rangka itu, analisis mobilisasi sumber daya gerakan teroris di dalam bab ini akan menjelaskan dua ketegori mobilisasi sumber daya, yaitu sumber daya material dan immaterial yang meliputi aspek organisasi dan kepemimpinan serta sumber pendanaan organisasi gerakan.

A. Struktur Organisasi dan Kepemimpinan

Organisasi merupakan satu hal yang penting di dalam aksi gerakan. Melalui organisasi individu-indi-vidu yang terlibat di dalam akan bisa dengan mudah di-atur. Organisasi juga sebagai wadah aktualisasi gagasan yang membentuk identitas yang membedakan dengan identitas lain. Organisasi menjadi penting tidak saja se-bagai alat membentuk identitas tetapi berkaitan dengan proses rekruitmen partisipan gerakan. Lebih dari itu, or-ganisasi berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan atau cita-cita di dalam aksi-aksi gerakan.

Pembahasan ini akan diawali dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Gerakan DI/TII yang lahir di periode awal kemerdekaan mengambil bentuk sistem organisasi kemiliteran. Militeristik dalam gerakan ini bisa dimak-lumi karena memang hampir secara keseluruhan ang-gota DI/TII adalah laskar pejuang kemerdekaan dan la-hir dalam kondisi pergolakan bersenjata baik terhadap Belanda maupun Negara Indonesia.

Prinsip militer dibangun berdasarkan prinsip hierar-ki komando. Seluruh tindakan anggota militer harus berdasarkan perintah atasan, sehingga “tidak ada anak buah yang salah, karena yang harus bertanggung jawab

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

213

adalah komandan.” Prajurit hanya melaksanakan perin-tah komandan.

Struktur organisasi dan kepemimpinan di dalam gerakan DI/TII berbentuk jumhuriah, yakni Republik Islam yang disebut dengan Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh seorang Imam.2 Sebagaimana telah dibahas sebelumnya tokoh kunci gerakan ini adalah Kartosuwiryo. Ia perumus ideologi gerakan DI/TII NII, baik sebagai Imam ataupun konseptor Negara Islam Indonesia yang menggagas sistem pemerintahan, model dan konstitusi negara.

Dalam Maklumat Nomor I NII, Kartosuwiryo meru-muskan konsep struktur organisasi kenegaraan dengan membagi urusan sipil pemerintahan dan militer. Pemisahan bidang sipil dan militer ini tidak berlangsung lama, setelah dua bulan proklamasi NII, pada 3 Oktober 1949 konsep pemerintahan disatukan baik urusan administrasi negara maupun militer di bawah satu komando melalui Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor I. Dengan maklumat tersebut, Kartosuwiryo tidak saja menjadi Imam Negara Islam Indonesia, tetapi juga komando atau pemimpin pasukan keamanan yang disebut dengan Tentara Islam Indonesia.

Perubahan bentuk struktur dan konsep organisasi di awal-awal pembentukan merupakan pengkondisian terhadap situasi dan kondisi yang masih gejolak dengan pemerintah NKRI. Selama masa-masa pergolakan setidaknya gerakan NII pernah tiga kali mengalami reformasi struktur organisasi dalam rangka memperta-hankan NII.3

2 “Sejarah Berdirinya NII,” NII Crisis Center, (Jum’at 4 Februari 2011). http://nii-crisis-center.com/home/?option=com_content&view= article&id=97 (diakses 10 Desember 2013).

3 “Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

214

a. Struktur Dewan Imamah (berdasarkan Qonun Asasi)

Konsep Dewan Imamah adalah konsep negara yang akan dipakai oleh Kartosuwiryo ketika cita-cita NII ter-wujud. Dengan kata lain, konsep ini merupakan ran-cangan sistem kenegaraan NII ketika sudah berhasil me-nguasai wilayah Indonesia baik secara de facto maupun de jure. Konsep Dewan Imamah didasarkan pada Qonun Asasi atau Undang-Undang Dasar yang bersumber dari hukum Islam.

Grafik . 1.Struktur Dewan Imamah4

Menurut laman situs nii-crisis-center.com, struktur dewan Imamah yang pertama kali terbentuk sebelum dirumuskan berdasarkan Qonun Asasi adalah Imam se-laku kuasa usaha mencakup sebagai ketua luar negeri

Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia,” http://nii-news document.blogspot.com/2012_04_01_archive.html (diakses 20 November 2013).

4 “Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I)”

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

215

dijabat oleh Kartosuwiryo, ketua majlis pertahanan di-jabat oleh R. Oni Qital, wakil majlis pertahanan dijabat oleh Kamran Hidayatullah, majlis keuangan oleh Sanusi Partawijaya/Khadimuddin, majlis dalam negeri dijabat oleh Sanusi Partawijaya dan majlis penerangan oleh Tata Arsyad.

b. Struktur Komandemen (berdasarkan MKT No.1)

Setelah memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949, gerakan DI/TII praktis menjadi gerakan penentangan atau perlawanan terhadap peme-rintahan rezim yang sah yaitu, Republik Indonesia. Ka-rena itu, tidak ada kata lagi kecuali terjadi pertempuran sehingga untuk mensolidkan barisan pasukan gera-kan DI/TII diperlukan suatu sistem komando. Sistem komando diperlakukan melalui Maklumat Komande-men Tertinggi (MKT) Nomor 1 tentang perubahan struk-tur negara. Maklumat ini menegaskan struktur darurat militer, sehingga komando kekuasaan dipegang penuh oleh militer.

Struktur komandemen militer ini menyatukan dua komponen pemerintahan antara sipil dan militer. Struk-tur sipil tetap berfungsi di daerah wilayahnya masing-masing, akan tetapi seiring terjadinya gejolak di bebera-pa wilayah basis dukungan NII yang dianggap sebagai Darul Harb (daerah perang) maka komando militer ber-hak untuk mendominasi masing-masing wilayah dalam rangka pertahanan.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

216

Grafik. 2Struktur Komandemen5

Pada masa ini gerakan DI/TII telah memiliki basis dukungan melalui mobilisasi gerakan hingga ke be-berapa wilayah. Wilayah gerakan DI/TII meliputi tujuh Komando Wilayah (KW):

- KW1 : Priangan Timur berpusat di Tasikmalaya yang meliputi Jakarta, Purwakarta dan Cirebon.

- KW 2 : Jawa Tengah;- KW 3 : Jawa Timur;- KW 4 : Sulawesi Selatan dan sekitarnya;- KW 5 : Sumatera- KW 6 : Kalimantan;- KW 7 : Serang, Banten, Bogor, Garut, Sumedang

dan Bandung

5 “Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I),”

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

217

Pada sekitar tahun 1970-an terjadi penambahan wilayah territorial NII, yaitu KW 8 Lampung dan KW 9 Jakarta dan sekitarnya.

c. Struktur Sapta Palagan (Berdasarkan MKT 11, Tujuh Medan Tempur)

Struktur Sapta Palagan mulai diperlakukan pada tanggal 7 Agustus 1959. Struktur ini dipersiapkan dalam rangka perlawanan total terhadap pemerintah RI. Pasukan TNI RI di bawah rezim Sukarno bertindak tegas. Mereka mengejar gerakan DI/TII di beberapa wilayah basis dukungan. Karena itu, gerakan DI/TII mulai ter-desak sehingga bersikap siaga membentuk pertahanan, mengkonsolidasikan seluruh partisipan DI/TII dengan mengubah struktur negara NII menjadi semacam struk-tur satuan komando militer yang dibuat dalam rangka perlawanan total terhadap rezim. Struktur Sapta Palagan membagi Struktur Komando Militer menjadi tujuh bagi-an wilayah.

Grafik. 3 Struktur Sapta Plaga6

6 “Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I),”

Men-Teroris-Kan Tuhan!

218

Gerakan DI/TII dengan menerapkan sistem Struktur Palagan, maka sistem pemerintahan tidak berlaku un-tuk sipil. Dalam arti, setiap daerah basis gerakan DI/TII digunakan sebagai kantong-kantong pertahanan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Sukarno. Pada masa ini dan meskipun sebelumnya juga sudah berlaku, semua partisipan gerakan DI/TII tidak melakukan ak-tifitas secara terbuka. Mereka gerilya di hutan-hutan di daerah wilayah basis dukungan gerakan DI/TII.

Seiring dengan perubahan struktur organisasi NII selama tiga kali, maka di dalam sistem pemerintahan pun ikut berubah. Gerakan DI/TII dengan Negara Islam Indonesianya pernah tiga kali menerapkan perubahan sistem kepemerintahan. Di awal pembentukan NII, gerakan DI/TII menggunakan istilah “Imam” sebagai kepala negara. Posisi Imam dalam hal ini tidak saja se-bagai kepala pemerintahan sipil akan tetapi juga seba-gai pemimpin di bidang agama. Isilah Imam ini beru-bah seiring dengan pemberlakuan MKT No. 1, jabatan tertinggi tidak lagi menggunakan Imam tetapi meng-gunakan istilah Panglima Komandemen Tertinggi atau Panglima Komandan Perang Seluruh Indonesia.

Setelah tertangkapnya Kartosuwiryo pada tangal 1 Agustus 1962 dengan beberapa partisipan gerakan DI/TII. Gerakan DI/TII terpecah belah banyak para pengi-kutnya kemudian melarikan diri dari kejaran pemerin-tah RI, sebagian menyerahkan diri kepada pemerintah. Penangkapan Kartosuwiryo sebagai Panglima Perang Seluruh Indonesia tidak memberikan wasiat pengganti siapa yang berhak memimpin bahkan dalam struktur organisasi tidak ada wakil ketua.

Hal tersebut mempersulit bagi loyalis gerakan D/TII untuk melanjutkan kepemimpinan. Akan tetapi sebagian loyalis gerakan DI/TII masih berusaha memperjuang-

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

219

kan Negara Islam Indonesia seperti, Sobari, Bupati DI Priangan Timur daerah Tasik Malaya Jawa Barat. Sobari dan pengikutnya meneruskan perjuangan Kartosuwiryo dengan membentuk Negara Islam Tejamaya pada tahun 1969.7

Dalam hal mobilisasi membangun jaringan organi-sasi gerakan DI/TII. Penting menjadi catatan bahwa gerakan DI/TII sebagai gerakan teroris atau “kelom-pok bersenjata” sejak awal menerapkan sistem militer. Sebuah sistem yang dibangun berdasarkan komando atau perintah. Kartosuwiryo mengharuskan kepatuhan terhadap pemimpin secara total. Karena itu, dalam men-ciptakan partisipan atau anggota biasanya didahului dengan proses bai’at sebuah ritual perjanjian terhadap pemimpin dengan membaca doa-doa dan sumpah janji setia.

Selanjutnya, setelah banyak anggota gerakan DI/TII tertangkap. Organisasi ini tidak berjalan secara terstruk-tur, sebaliknya bergerak secara bawah tanah hingga mampu menambah wilayah yang disebut Komande-men Wilayah 8 & 9. Lebih dari itu, sekitar tahun 1975-1976 ada usaha-usaha untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII. Usaha ini diawali dengan pertemuan eks anggota DI/TII di Jl. Mahoni Jakarta, sehingga di-sebut pertemuan Mahoni. Pertemuan ini memutuskan Daud Beureueh sebagai Imam pengganti Kartosuwiryo.

Pertemuan Mahoni inilah yang kemudian kelak dike-nal dengan Komando Jihad, sebuah gerakan yang dide-sain oleh Ali Moertopo untuk menghidupkan kembali gerakan DI. Setelah pengangkatan Daud Beureueh se-

7 Tejamaya merupakan daerah sekitar Tasikmalaya.Sobari ditangkap rezim Sukarno pada tahun 1978. Lihat selanjutnya dalam Crisis Group Asia Report “Daur Ulang Militan Indonesia, ”(22 Februari 2005), 3.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

220

lanjutnya terjadi banyak perselisihan di antara anggota terlebih pengangkatan Adah Djaelani pada 1979 sebagai pengganti Beureueh banyak menimbulkan perpecahan. Hal terpenting dalam usaha menghidupkan kembali melalui pertemuan Mahoni adalah masuknya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir pada tahun 1976, kelak dua tokoh gerakan DI ini menjadi aktor utama gerakan terorisme di masa pasca Suharto.8

Setelah operasi pemberantasan pasukan Komando Ji-had termasuk Imam NII saat itu Adah Djaelani, kepeng-urusan dilanjutkan oleh Ajengan Masduki pada tahun 1986-1987. Di dalam kepemimpinan inilah nama-nama seperti Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir men-jadi pengurus. Abu Bakar Ba’asyir selaku menteri ke-adilan. Adapun Abdullah Sungkar bertanggung jawab atas urusan luar negeri, terutama dalam rangka mencari dukungan politik dan pendanaan dari luar.

NII di bawah kendali kedua orang tersebut mampu menjalin komunikasi dengan beberapa milisi jihadis dari Timur Tengah. Faktor kemampuan bahasa Arab yang dimilikinya tidak saja mensukseskan upaya-upaya pembentukan aliansi jaringan Timur Tengah, tetapi juga mendominasi peranan Ajengan Masduki selaku Imam NII. Pada titik inilah perpecahan terjadi dan selanjutnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir memilih jalan sendiri dengan membentuk organisasi Jamaah Islamiah (JI).

Misi kepemimpinan Ajengan Masduki adalah mem-bangun dukungan internasional dan memperkuat sis-tem militer gerakan DI/TII. Karena itu, pada tahun 1988

8 Pembai’at-an Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir dilakukan oleh Achmad Hussein asal Kudus, Jawa Tengah, dan Hispran dari Surabaya. lihat selanjutnya dalam Laporan Crisis Group Asia Report “Daur Ulang Militan Indonesia,” (22 Februari 2005), 11.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

221

Masduki bersama Abu Bakar Baas’syir dan Abdullah Sungkar bersama beberapa pengikut lain menjalin ko-munikasi dengan gerakan salafi lain di Pakistan dan Afghanistan, termasuk ideolog utama dan merupakan tokoh al-Qaeda, yaitu Abdullah Azzam.

Misi dukungan internasional hingga melakukan per-jalanan ke Afghanistan membawa dampak perpecahan di antara partisipan gerakan DI/TII. Di Afghanistan Ajengan Masduki dan Abdullah Sungkar terlibat perselisihan yang berbuntut pada keluarnya Sungkar dalam barisan gerakan DI/TII, dan membentuk organi-sasi sendiri yang dikenal dengan Jamaah Islamiah pada 1 Januari 1993.9 Setelah masa kepemimpinan Masduki dan beberapa aktor Komando Jihad mulai dibebaskan per-pecahan mulai muncul secara nyata dan tidak kunjung selesai. Mereka pada umumnya berselisih mengenai sia-pa yang layak jadi Imam DI. Pada masa inilah kemudian disebut dengan masa banyak Imam di dalam gerakan DI/TII.

Perpecahan di kalangan pemimpin gerakan DI/TII pada akhirnya semakin tidak terkendali. Beberapa ang-gota yang tidak percaya lagi dengan petinggi DI mem-buat kelompok-kelompok sendiri. Momentum saat ter-jadi konflik Ambon-Poso pada tahun 1999, dijadikan 9 Perjalanan ke Afghanistan ini juga menimbulkan perdebatan

tentang Konsep Negara Islam Indonesia, pengalaman di Afghanistan telah memperkenalkan konsep negara Islam yang dikenal dengan Khilafah. Konsep Khilafah tidak mengenal batas territorial wilayah sebagaimana NII yang hanya wilayah Indonesia. Konsep khilafah inilah yang kelak diadopsi oleh gerakan JI, untuk membedakan dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Lebih dari itu, muncul juga anggapan konsep Negara Islam Indonesia tidak Islami, ia lebih mirip dengan gagasan nation-state, sebuah konsep yang bukan berasal dari Islam. lihat selanjutnya dalam dalam Laporan Crisis Group Asia Report “Daur Ulang Militan Indonesia,” (22 Februari 2005), 23.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

222

konsolidasi untuk melakukan jihad di Ambon bagi kelompok-kelompok sempalan.

Grafik 4. Estafet Imam Gerakan DI/TII pasca Kartosuwiryo dan

Perpecahannya.

Hal ini nampak dalam beberapa organisasi gerakan jihad di Ambon-Poso pada tahun 1999. Misalnya, kelom-pok Asadullah membentuk organisasi Angkatan Muja-hidin Islam Nusantara10. Demikian pula dengan Agus Dwikarna, ia membentuk barisan milisi jihadis Ambon ke dalam organisasi Republik Persatuan Islam Indonesia

10 AMIN didirikan oleh sempalah gerakan DI/TII yaitu, Yoyok alias Danu, pemimpin geng dari Ring Condet, Zulfikar, dari Tanjung Priok, yang direkrut kedalam DI oleh Yoyok dan dikirim ke Mindanao; Abdullah, seorang veteran Mindanao; danAsadullah alias Yahya alias Ahmad Riyadi. AMIN juga bertanggung jawab atas atas perampokan terhadap sebuah cabang Bank Central Asia (BCA) dan peledakan kecil yang terjadi hampir serentak pada sebuah wartel dekat Hayam Wuruk Plaza di Jakarta tanggal 15 April 1999, dalam rangka menacari dana operasional untuk jihad di Ambon-Poso.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

223

(RPII). RPII merupakan sempalan gerakan DI/TII Kahar Muzakkar dan beberapa sempalan lain.11

Dalam hal mobilisasi, beberapa partisipan yang ter-libat merupakan mantan mujahidin Afghanistan dan Mindanao. Hal ini berpengaruh dalam upaya memper-luas jaringan. Lebih dari itu, gerakan DI/TII sering me-manfaatkan jaringan-jaringan sosial informal yang ter-bangun melalui hubungan-hubungan personal. Hal ini menunjukkan bahwa mobilisasi gerakan DI/TII terjalin secara personil perkawanan dari anggota DI, yang ke-mudian “dibujuk” untuk turut serta menjadi bagian dari perjuangan Islam mendirikan Negara Islam Indonesia.

Setelah membahas struktur organisasi gerakan DI/TII dan jaringan-jaringan kekuatan di beberapa wilayah serta perpecahannya, termasuk di dalamnya organi-sasi Jamaah Islamiah yang menjadi organisasi gerakan teroris di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, menjadi penting untuk membahas mobilisasi organisasi gerakan Jamaah Islamiah.

Organisasi Jamaah Islamiah (JI) didirikan pada tanggal 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar (AS) dan Abu Bakar Baa’syir (ABB). JI didirikan ketiga terjadi perselisihan dengan Imam NII saat itu yaitu, Ajengan Masduki saat berada di Afghanistan. AS dan ABB ke-mudian mendirikan JI dengan mengusung ide negara Islam yang lebih luas daripada konsep NII. Hal ini buah dari pertemuan kedua orang tersebut dengan Osama bin Laden dan Abdullah Azzam.12 Konsep pemerintahan yang dimaksud adalah Khilafah Islamiah, sebuah konsep negara Islam yang menaungi seluruh umat Islam secara keseluruhan dengan didasarkan pada hukum Islam.11 lihat selanjutnya dalam dalam Crisis Group Asia Report, “Daur

Ulang Militan Indonesia,”(22 Februari 2005).26-33.12 Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, 194.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

224

Organisasi JI mulai dikenal publik ketika terjadi peledakan bom di Bali pada tahun 2002, dan beberapa serangan bom di Indonesia. Oleh karena itu, JI secara resmi dimasukkan ke dalam senarai organisasi teroris di PBB pada 23 Oktober 2002. Sebagai sebuah organisa-si gerak-an teroris, JI memiliki struktur organisasi dan jaringan wilayah di kawasan Asia Tenggara yang masing-masing dipimpin oleh seorang yang bertang-gung jawab terhadap daerah operasionalnya.

Dalam buku yang ditulis oleh mantan anggota JI Nasir Abas menyebutkan, struktur organisasi JI terdiri dari beberapa kepenguruasan, antara lain:13

- Amir Jamaah (Pimpinan tertinggi)- Majlis Syuro (Anggota penyusun aturan

organisasi)- Majlis Fatwa (Anggota Cendekiawan Islam)- Majlis Hisbah (Anggota Kontrol Kegiatan)- Majlis Qiyadah (Anggota pimpinan pusat/

Markaziy)- Mantiqi/Mantiqiyah (wilayah gerakan dakwah)- Wakalah (perwakilan)- Saroyah/sariyah (Batalion)- Katibah (Kompi)- Kirdas (Pleton)- Fiah (Regu)- Toifah (Satuan kelompok yang lebih kecil)

Adapun wilayah kerja operasional gerakan JI meling-kupi kawasan/wilayah (mantiqi) Asia Tenggara. Man-tiqi I, meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura. 13 Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan

Anggota JI (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006)113.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

225

Mantiqi ini berperan menyediakan keperluan ekonomi untuk operasi JI. Mantiqi II, meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Mantiqi ini merupakan sasaran jihad. Mantiqi III, meliputi Mindanao, Sabah dan Sulawesi, berperan melaksanakan latihan ketenteraan, dipimpin oleh Mustopa. Mantiqi IV, meliputi wilayah Papua dan Australia, berperan mengumpulkan dana.

Grafik 5. Struktur Organisasi JI

Gerakan JI bergerak secara rahasia, tidak hanya ge-rakannya secara umum dalam melancarkan aksi tetapi juga dalam hal pelantikan pengurus dalam organisasi juga terkesan tidak terbuka. Mereka menanamkan ke-percayaan tinggi terhadap masing-masing anggota. Tidak diperkenankan adanya kecurigaan terhadap sesa-ma anggota karena hanya akan membuat kekuatan ber-sama semakin berkurang. Gerakan terorisme yang ber-sifat bawah tanah menanamkan kebersamaan sesama anggota secara maksimal. Hal ini bisa dipahami karena identitas kolektif yang tumbuh dalam gerakan adalah kunci utama keberhasilan melakukan mobilisasi untuk melakukan perlawanan terhadap musuh.

JI juga menjalin hubungan aliansi-aliansi gerakan terorisme dari beberapa negara. Misalnya, al-Qaeda, MILF (the Moro Islamic Liberation Front), ASG (Abu Sayyaf Group), Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) dan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

226

beberapa organisasi teroris di Asia Tenggara lainnya. MILF dibentuk pada tahun 1977 di Filipina oleh Hashim Salamat. MILF ini ditengarai memiliki hubungan lang-sung dengan jaringan kelompok teroris internasional, Al-Qaeda. Adapun ASG mulai muncul pada tahun 1990 sebagai pecahan dari MILF. Hubungan ini meskipun tidak secara organisatoris tetapi memiliki kesamaan ide tentang cita-cita Daulah Islamiah. Masing-masing kum-pulan mempunyai struktur organisasi yang bersifat in-dependen. Mereka bertemu pada saat mobilisasi pela-tihan perang ke Afghanistan.

Lebih dari itu, aliansi-aliansi jejaring ini juga ikut pelatihan militer bersama yang di adakan di Filipina. JI bersama ASG dan MILF melakukan latihan militer di antara Maguindanao dan Lanao del Sur, yang dinama-kan dengan kem Hudaibiyah. Lebih dari itu, kerjasama bukan hanya dalam pelatihan militer tetapi juga ker-jasama dalam aksi-aksi terorisme di mana dalam aksi teror di Manila pada 30 Desember 2000 ada keterlibatan anggota JI bernama Fathur Rohmah al-Ghozi.14 Aliansi kerjasama tersebut juga ditengarai membuka pelatih-an bersama di Indonesia seperti di Poso, Sulawesi dan Kalimantan.15

Aliansi kerjasama di antara organisasi teroris di Asia Tenggara dan beberapa negara di dunia tidak berdasar-kan organisatoris, dengan kata lain mereka bukan me-rupakan satu kesatuan organisasi tetapi disatukan oleh 14 Zulkifli Haji Mohd Yusoff & Fikri Mahmud, “Gerakan Teroris

dalam Masyarakat Islam: Analisis Terhadap Gerakan Jemaah Islamiyah (JI)”, Jurnal Usuluddin, 21, (Juli 2005),39-62.

15 Rohan Gunaratna, “Understanding Al-Qaeda and its Network in Southeast Asia”, dalam Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore:World Scientific & Institute of Defence and Strategic Studies, 2003), 127.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

227

adanya kesamaan ide dan cita-cita. Mereka tidak saja melakukan pelatihan bersama tetapi turut serta mem-berikan perlindungan dari upaya kejaran aparat peme-rintah. Misalnya, Dulmatin, menjadi buronan karena di-duga terlibat kasus Bom Bali pada tahun 2002. Dulmatin saat itu sempat melarikan diri ke Filipina di bawah per-lindungan gerakan teroris Abu Sayyaf Group. Jejaring informal ini merupakan bagian dari aliansi kekuatan yang bertemu pada titik kesamaan cita-cita.

Hal yang penting untuk dicatat adalah jaringan-jaringan gerakan teroris sangat luas baik itu formal maupun jejaring informal. Sejauh itu memiliki kesamaan ide maka akan membentuk sendirinya kekuatan aliansi-aliansi yang akan menjadikan gerakan teroris semakin kuat. Karena itu, sehubungan dengan meningkatnya gerakan-gerakan teroris berbasis Islam baik di Asia Tenggara maupun di kawasan lain khususnya Timur Tengah, gerakan teroris berbasis Islam merupakan gerakan teroris transnasional. Gerakan transnasional tidak memiliki hubungan secara organisatoris mereka dihubungkan dalam hal kesamaan ide sehingga akan menjalin komunikasi untuk membentuk kekuatan yang maksimal.

Gerakan JI di dalam mobilisasi individu-individu untuk terlibat sering kali membentuk aliansi-aliansi organisasi maupun pendidikan. Misalnya, hal yang su-dah banyak diketahui keberadaan Pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, yang dipimpin oleh Abu Bakar Baa’syir dan Abdullah Sungkar. Terlepas benar tidaknya Pesantren tersebut sebagian bagian dari sum-ber daya organisasi JI, tetapi paling tidak Pesantren tersebut kerap kali melahirkan atau paling tidak bahwa hampir rata-rata pelaku teroris adalah pernah atau sing-gah di Pesantren tersebut. Misalnya, Asmar Latin Sani,

Men-Teroris-Kan Tuhan!

228

dalam pengeboman JW Marriott pada 2003, juga ada Syaifuddin Umar alias Abu Fida (di Ngruki 1990-1994, dipenjara 10 tahun) dan Toni Togar alias Indrawarman (di Ngruki 1987-1990, di penjara 12 tahun). Sedangkan dalam kasus bom Bali 2002, Mukhlas alias Ali Ghufron dan Mubarok alias Hutomo Pamungkas.

Keberadaan Pesantren tersebut menjadi wahana mobilisasi pengkaderan gerakan JI, meski tidak semua pelaku teroris adalah alumni Pesantren Ngruki pimpinan Abu Bakar Baa’syir. Sebagaimana dikatakan oleh Noor Huda Ismail, keterlibatan alumni Ngruki dalam penge-boman lebih dikarenakan adanya kedekatan emosional dan ideologi.16 Ada komunikasi sosial dalam bentuk kedekatan individu, emosional dan saling kenal sehingga internalisasi ideogi jihad dibentuk di luar pesantren.

Di samping Pesantren di Solo ada juga Pesantren lain yang turut menjadi tempat mobilisasi pengkaderan. Misalnya, pesantren Lukmanul Hakim, di Ulu Tiram, Johor, Malaysia. Pesantren ini dibangun tahun 1986 dan sempat digunakan tempat pelarian oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir saat mereka lari dari kejaran polisi Indonesia.

Polisi Diraja Malaysia menutup pesantren tersebut pada tahun 2001 menyusul ledakan bom di Bali. Hal ini dilakukan karena sebagian tersangka pelaku peledakan bom Bali I pernah belajar dan mengajar di Lukmanul Hakim. Beberapa alumni dari Pesatren tersebut misalnya, Dr. Azhari, Noordin Top, Dulmatin, dan Ismail alias M. Ikhwan (pelaku bom JW Marriot).

Kedua Pesantren tersebut yakni Pesantren Ngruki dan Lukmanul Hakim secara tidak langsung menjadi

16 Lihat “Pesantren Ngruki Kembali Disorot” Tempo, Rabu, 22 Juli 2009.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

229

basis mobilisasi rekruitmen bagi partisipan anggota ge-rakan terorisme. Meskipun demikian, mobilisasi tersebut sering kali tidak melalui atau di luar pendidikan formal yang ada di Pesantren. Mobilisasi dan internalisasi dok-trin jihad sering dilakukan secara kelembagaan informal seperti, hubungan kekeluargaan, bisnis dan perkawinan di antara para alumni Pesantren.

Di atas semua itu, organisasi JI merupakan organi-sasi politik yang bergerak secara bawah tanah dengan tujuan mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Or-ganisasi ini memiliki jaringan internasional meskipun secara tidak langsung. Aliansi-aliansi kerjasama dalam melancarkan aksi peledakan bom di Indonesia menjadi bukti bagaimana kelompok-kelompok teroris di ka-wasan Asia Tenggara saling bekerjasama membentuk kekuatan untuk melakukan serangan.

Aliansi-aliansi jaringan organisasi JI juga sering-kali melibatkan beberapa partisipan yang terlibat aktif dalam organisasi sosial Islam yang radikal seperti, FPI, MMI, Laskar Jihad, dan lain-lain. Keterlibatan organisa-si tersebut setidaknya menemukan relevansinya ketika terungkap adanya pelatihan militer di Aceh pada tahun 2010 yang melibatkan beberapa organisasi tersebut.

Organisasi JI dalam tahun terakhir mengalami per-pecahan. Banyak dari beberapa anggota kemudian ter-pecah belah setelah Abu Bakar Baa’syir tidak mengakui bahwa dia adalah bagian dari JI. Meskipun demikian, tidak lantas memupus semangat “jihad”. Sel-sel kelom-pok JI masih tetap aktif dan melakukan gerakan teror terhadap pemerintah. Kelompok yang diduga terkait terorisme terakhir ini adalah dari poros di Aceh-Banten-Jawa Barat.17

17 Lihat misalnya pemetaan jaringan terorisme di Indonesia dalam “Daur Ulang Militan di Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

230

Mereka membentuk aliansi dari sejumlah kelompok yang berideologi serupa. Kelompok ini mengadakan pelatihan militer di Aceh yang diikuti peserta dari ber-bagai wilayah di Indonesia, tak hanya Jawa Barat dan Banten. Kelompok ini meski kecil tapi mereka sangat militan sehingga dari berbagai latar belakang organisa-si bersedia berkumpul dalam agenda pelatihan militer guna mempersiapkan aksi-aksi terorisme di Indonesia.

B. Sumber Pendanaan Gerakan

Organisasi gerakan teroris membutuhkan sumber daya finansial dalam rangka keberlangsungan dan ke-berhasilan memperjuangkan cita-citanya. Sebagai gerak-an politik bawah tanah yang secara aktif melakukan aksi-aksi teror, gerakan terorisme menghadapi tantangan finansial untuk melakukan serangkaian aksi teror. Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi bom dalam kapa-sitas high eksplosive (daya ledak tinggi) tidaklah murah, belum lagi kebutuhan senjata, transportasi, logistik dan lain-lain.

Gerakan terorisme bukanlah gerakan civil society yang dengan mudah mendapatkan dana sosial dari masyarakat atau pemerintah, sumber pendanaan nor-malnya biasanya diberikan oleh aliansi jaringan atau individu yang memiliki kesamaan ide atau cita-cita, ter-masuk usaha perampokan yang diyakini sebagai fa’i.18

Dalam konteks global, gerakan terorisme berbasis Islam al-Qaeda di samping mengandalkan harta ke-kayaan pribadi Osama bin Laden, al-Qaeda juga me-

Australia,” Crisis Group Asia Report, No. 92.18 Khairul Ghazali, Mereka Bukan Thagut:Meluruskan Salah Paham

Tentang Thagut (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2011)

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

231

lakukan perdagangan heroin dan sumbangan para do-natur. Sebagaimana diungkapkan Wawan H. Purwanto, operasi gerakan al-Qaeda sepanjang tahun 1990-an hingga 2000-an berasal dari kekayaan Osama bin Laden yang diperkirakan sekitar US$ 300 juta dan sumbangan yang dihimpun dari berbagai negara oleh Abd al Hamid al Mujil, seorang direktur eksekutif dari international Islamic Relief (IIRO).19

Menurut laman detik.com, sumber pendanaan al-Qaeda juga dilakukan dengan cara merampok. Hal ini terungkap ketika terjadi penyanderaan disertai peram-pokan di sebuah Bank bernama Credit Industrial and Com-mercial (CIC) di Toulouse, Prancis.20 Sumber pendanaan dengan cara-cara merampok ini nampaknya berangkat dari apa yang disebut dengan harta fa’i. Kelompok teror-isme memodifikasi hukum asal fa’i sebagai harta ram-pasan perang, menjadi perampokan dan pembunuhan terhadap harta orang-orang kafir dan serta orang-orang yang dianggap menghalangi aksi teror.

Pasca kematian Osama bin Laden, sumber pen-danaan gerakan terorisme berbasis Islam nampaknya akan sangat tergantung dengan usaha perampokan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat aksi terorisme berbasis Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia sangat bergantung dengan harta kekayaan Osama bin Laden. Osama bin Laden tidak saja menjadi tokoh utama teror-isme berbasis Islam al-Qaeda, tetapi juga menjadi peno-pang pendanaan organisasi terorisme berbasis Islam di seluruh dunia.

19 Wawan H. Purwanto, Satudasawarsa Terorisme di Indonesia (Jakarta: CMB Press, 2012), 221-222.

20 “Militan Al-Qaeda Penyandera 4 Orang di Prancis Berniat Rampok Bank,” detiknews, Rabu, 20 Juni 2012.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

232

Dalam konteks terorisme berbasis Islam di Indonesia, gerakan DI/TII Kartosuwiryo memobilisasi sumber pen-danaan dari anggota. Iuran anggota ini merupakan ke-wajiban pajak warga negara terhadap pemerintah yakni pemeritahan Negara Islam Indonesia. NII sebagai se-buah sistem pemerintahan gerakan DI, menerapkan ke-wajiban atau aturan yang mengikat bagi anggota untuk mengeluarkan uang sebagai pajak terhadap negara.

Karena itu, dalam rangka menunjang gerakan atau operasional pemerintahan NII. Gerakan DI/TII menge-luarkan maklumat Ketetapan Komandemen Tertinggi 17 Oktober 1950. Dalam maklumat tersebut disebutkan mengenai sumber pendanaan yang ditetapkan gerakan DI/TII seperti, infaq, Sidkah tathawu’, zakat, fitrah, ta’zir, harta ma’sum, fa’i, ghanimah dan harta shalab.21 Istilah-istilah tersebut diambil dari sumber hukum Islam

21 Infaq adalah kewadjiban tiap-tiap warga negara terhadap negara, baik berupa harta maupun benda yang harus ditunaikan; Sidkah tathawu’ adalah sedekah secara sukarela; ta’zir adalah denda, maksudnya denda bagi anggota yang melanggar hukum;harta ma’sum adalah hrta-benda kepunyaan seorang Muslim warga-negara (Mujahid) yang: (a) meninggalkan tempat-kedudukanya, karena tugas atau karena tertawan oleh musuh dan (b) tiada orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya;fa’i adalah (a) barang/harta yang dirampas dari musuh, tidak dengan jalan perang; (b) barang/harta penghianat; (c) barang/harta orang yang bersekutu dengan golongan a. dan b.; (d) barang/harta orang murtad kepada Agama dan Negara; (e) barang/harta yang disediakan untuk atau/dan dipergunakan oleh musuh; dan (f) barang/harta orang dzimi (orang kafir yang dibawah perlindungan Pemerintah Negara Islam Indonesia), yang meninggal dunia, sedang dia tidak mempunjai ahli waris. Sedangkan ghanimah adalah harta rampasan perang; dan harta shalab adalah semua barang, kecuali alat perang, yang ada dan melekat pada badan musuh (tentara atau/dan penghianat), ketika dia dibunuh diluar keputusan mahkamah.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

233

yang barang kali sangat asing dalam sumber pendanaan negara dalam konteks sistem pemerintahan modern.

Gerakan DI/TII sebagai “negara”, ia telah mengatur perangkat hukum terkait dengan pendanaan di samping sebagai bentuk kepatuhan hukum anggota terhadap ne-gara, dana-dana tersebut juga digunakan sebagai biaya operasional pergerakan. Perkembangan terakhir tentang sumber pendanaan NII sekarang ini banyak menuai kontroversi. Gerakan DI/TII KW IX dibawah pimpinan Abu Toto lebih terlihat sebagai upaya mengumpulkan harta daripada cita-cita mendirikan negara Islam. Hal ini seiring dengan banyaknya iuran yang harus dibayar bagi anggota yang akan masuk sebagai bagian dari upaya pensucian dosa-dosa.22

Sumber pendanaan yang dilakukan Abu Toto meng-gunakan pembingkaian agama yang didesain sebagai upaya pencucian dosa. Dengan demikian, nampaknya rekruitmen anggota disasarkan kepada anak muda atau orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa berupa rasa bersalah. Perasaan seperti ini sangat mungkin un-tuk bisa dirayu dan dimanfaatkan untuk bergabung dan untuk menyerahkan harta benda guna membiyai gerak-an NII.

Gerakan DI/TII sebagai organisasi teroris memang tidak mudah untuk mendapatkan dana. Karena itu, pasca kematian Kartosuwiryo dan berakhirnya NII, sumber pendanaan mengalami kesulitan. NII yang kini bergerak bawah tanah sangat kesulitan memperoleh dana jika tidak dengan cara melakukan tipu daya terhadap sese-orang maka tidak menutup kemungkinan dengan usaha merampok.22 Al-Chaidar, Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang

Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo (Jakarta: Madani Press, 2000).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

234

Oleh karena itu, gerakan terorisme di masa Orde Baru yang dinamakan Komando Jihad, sebuah gerakan yang dibangun untuk membangkitkan kembali gerakan DI/TII pada tahun 1975-1976. Dalam upaya membang-kitkan kembali gerakan DI/TII, mereka tidak saja men-dapatkan dana dari BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) tetapi juga bersumber dari usaha-usaha peram-pokan yang disebut sebagai fa’i.23

Fa’i di masa gerakan Komando Jihad dilakukan oleh tim pasukan khusus (Pasus) yang dipimpin oleh Warman. Tim Warman sangat terkenal sebagai spesialis perampokan. Sebagaimana dilaporkan oleh ICG, tim Warman bertanggung jawab atas perampokan yang ter-jadi di toko emas “Sinar Jaya” Tasikmalaya pada April 1979. Demikian pula dengan perampokan yang terjadi di Koperasi Simpan Pinjam, Sikijang-Majalengka pada April 1980, kemudian perampokan gaji pegawai dinas P&K Banjarsari-Ciamis pada 5 Mei 1980 dan termasuk perampokan toko emas di Subang pada tanggal 9 Juli 1980 serta beberapa perampokan lain yang dilakukan oleh kelompok Warman.

Dengan demikian, komandan DI dari Jawa Barat di bawah pimpinan Warman adalah orang pertama yang menghalalkan penggunaan fa’i. Praktek tersebut dianut oleh hampir seluruh sempalan dan pecahan DI, termasuk JI. Mereka melakukan pembingkaian agama untuk mendapatkan pembenaran perampokan guna melakukan aksi teror yang diklaim sebagai jihad.

23 BAKIN melalui Danu Mohammad Hasan-anggota DI yang bekerja sebagai aparat BAKIN- memberikan uang sebesar Rp.250,000 ($600) – jumlah yang cukup besar pada saat itu dalam rangka upaya melakukan konsolidasi aktivis gerakan DI guna membantu pemenangan, lihat laporan Crisis Group Asia Report, “Daur Ulang Militan Indonesia”, 4.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

235

Operasi pencarian sumber dana dengan mengan-dalkan strategi fa’i ini seringkali “memperdaya” para preman atau penjahat yang telah dicuci otak agar tobat. Dalam pertobatan ini sering kali di doktrin agar keterampilan merampok itu disalurkan untuk kepent-ingan cita-cita negara Islam. Hal ini menunjukkan ada hubungan simbiosis antara penjahat atau perampok dengan kelompok terorisme.

Bagi kelompok terorisme mereka mendapatkan sum-ber daya baru untuk mendapatkan dana, sedangkan bagi perampok ia mendapatkan kesempatan bertobat dengan memanfaatkan kejahatan yang sama untuk tu-juan baru yang lebih “Islami”. Kerjasama yang saling menguntungkan dengan pembingkaian agama dilaku-kan seiring dengan kesulitan mencari biaya operasional. Aktor terorisme berbasis Islam membingkai perampok-an dengan agama guna meyakinkan para perampok un-tuk bisa membantu usaha-usaha jihad.

Hal yang sama juga terjadi pada gerakan teroris pasca perpecahan DI di masa kepemimpinan Ajengan Masduki. Organisasi AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara) yang terbentuk dalam rangka jihad di Ambon pada tahun 1999-2000 dalam melancarkan pergerakan di Ambon, mereka melakukan teror bom terhadap Bank Central Asia (BCA) dan peledakan kecil yang terjadi hampir serentak pada sebuah wartel dekat Hayam Wuruk Plaza di Jakarta tanggal 15 April 1999. Perampokan itu dilakukan sebagai bagian dari fa’i untuk membiayai operasi Jihad di Ambon-Poso.

Aksi perampokan untuk pendanaan aksi terorisme juga terjadi sepanjang tahun 2010 hingga 2013. Peram-pokan Bank CIMB Niaga Medan yang terjadi pada 18 Agustus 2010, BRI Panongan pada tanggal 24 Desember 2013, BRI di Grobogan dan Batang Jawa Tengah dan

Men-Teroris-Kan Tuhan!

236

beberapa perampokan yang dilakukan kelompok ter-orisme sepanjang tahun tersebut. Hal ini mengindi-kasikan bahwa kelompok terorisme saat ini mengalami krisis keuangan setelah para seniornya banyak yang ditangkap.

Akses pendanaan gerakan terorisme berbasis Islam yang biasanya didapatkan dari donatur di kawasan Timur Tengah kini tidak bisa lagi di dapatkan. Di sam-ping faktor keamanan yang makin ketat juga terbatasnya akses langsung dengan jaringan kawasan Timur Tengah yang tidak dimiliki oleh kelompok sel jaringan teror-isme belakangan ini. Sebagamaina diketahui, sejak tahun 2006 Departemen Keuangan AS dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan upaya-upaya untuk menghalangi aliran dana terhadap gerakan terorisme.24

Di samping sumber pendanaan dari perampokan, pendanaan gerakan teroris juga didapatkan dari be-berapa individu atau kelompok yang sepaham atau sealiran dengan cita-citanya. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan terdakwa tindak pidana terorisme Umar Patek pada tanggal 26 Maret 2012, terungkap adanya aliran dana dari gerakan teroris internasional al-Qaeda Osamah bin Laden un-tuk operasi teror yang dilakukan JI. Osama Bin Laden memberikan uang sebanyak 30.000 dollar Amerika yang diberikan secara bertahap guna pembiayaan bom Bali I pada tahun 2002.25

Dalam aksi bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003 juga mendapatkan suntikan dana dari warga Pakistan bernama Majid Shoukat Khan, uang itu diserah-24 Wawan H. Purwanto, Satudasawarsa Terorisme di Indonesia, 222.25 Kompas.com, “Dana Osama bin Laden Dipakai untuk Bom Bali I”

(Senin, 26 Maret 2012).

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

237

kan kepada gerakan teroris di Thailand sejumlah 50.000 dollah AS untuk kemudian diserahkan kepada anggota jaringan JI di Indonesia.26 Dana tersebut kemudian di-terima Hambali yang diselundupkan melalui perbatasan Malaysia-Riau. Di samping itu, sumber pendanaan juga di dapatkan dari donatur dalam negeri yang memiliki kesamaan ideologis.

Sumber donatur dalam negeri ini terungkap dalam kasus sidang terorisme pelatihan militer di Aceh. Pelatih-an militer yang dilakukan oleh kelompok Tandzim al-Qaeda Aceh pimpinan Abu Tholut ini melibatkan be-berapa organisasi Islam radikal seperti JAT, MMI, JI dan FPI. Pelatihan militer diketahui tidak pernah mengan-tongi izin dari pejabat setempat meskipun telah berlang-sung lebih dari dua minggu.

Pelatihan ini didanai oleh para donatur dalam negeri yang memiliki kesamaan ideologis seperti Syarif Usman, Hariadi Usman, Jaja, Abdul Hakim, Huqbah, Afiz Abdul Haris, Yudho dan Ubaid. Mereka tidak terlibat aktif dalam aksi teror, akan tetapi karena memiliki kesamaan ide dan cita-cita maka dengan keikhlasan bersedia mem-berikan bantuan dana guna melancarkan gerakan. Para donatur pada umumnya memiliki kekayaan dari usaha secara halal alias tidak ada indikasi kekayaan para dona-tur didapat dari usaha tidak halal seperti bisnis heroin, dan sebagainya.

Dalam sidang kasus pelatihan militer di Aceh, terung-kap skema pendanaan dari beberapa orang. Misalnya, Syarif Usman merupakan anggota JAT, ia menyerahkan uang secara dua tahap. Tahap pertama menyerahkan uang 100 Juta pada 9 Februari 2010, dan tahap kedua ter-jadi pada tanggal 17 Februari dengan jumlah uang 100 26 BBC Indonesia, “Penyandang Dana Bom Marriot akan Diadili di

AS”, (16 Februari 2012).

Men-Teroris-Kan Tuhan!

238

juta.27 Penyerahan uang tersebut diketahui dilakukan di kantor Jamaah Anshar Tauhid (JAT).

Hariadi Usman seorang pengusaha asal Bekasi mem-berikan dana 150 juta dalam dua tahap, tahap pertama sejumlah 100 juta dan tahap kedua 50 juta kepada Abdul Haris selaku Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Wilayah Jakarta.28 Sedangkan Jaja merupakan donatur gerakan terorisme kelompok Dulmatin sejak 2003, ia merupakan orang kaya yang memiliki usaha di bidang bisnis ekspedisi, tambak, dan perbengkelan. Semua dana tersebut diketahui untuk membeli sejumlah sen-jata api guna melancarkan aksi-aksi serangan terorisme yang akan direncanakan.

Grafik 1. Skema Aliran Dana para Donatur untuk Pelatihan Militer

di Aceh

Sumber: Mabes Polri

27 “Dokter Syarif Diancam Hukuman Mati” Kompas.com, Selasa, 9 November 2010.

28 “Haris Serahkan Rp 100 Juta ke Ba’asyir”, Kompas.com, Senin, 14 Maret 2011.

Mobilisasi Sumber Daya Terorisme

239

Hal penting sehubungan dengan sumber pendanaan para gerakan teroris belakangan ini yang kerap kali di-hasilkan dari usaha-usaha perampokan adalah adanya krisis finansial akibat berkurangnya bantuan dari du-nia internasional, khususnya setelah kematian Osama bin Laden. Oleh karena itu, ada upaya-upaya dari be-berapa aktor utama gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia merumuskan sebuah konsep pembenaran perampokan dan tindakan kejahatan lain guna menda-nai aksi teror yang diklaim sebagai jihad.

Di atas semua itu, pemerintah perlu mengawasi be-berapa organisasi keislaman yang selama ini cenderung radikal. Organisasi Islam radikal meski tidak sampai pada aksi terorisme, pada umunya cenderung menjadi bangunan jejaring atau aliansi bagi gerakan terorisme berbasis Islam. Dalam beberapa kasus, pelaku terorisme setidaknya pernah aktif dan mengalami internalisasi nilai-nilai radikal dalam gerakan sosial Islam seperti, MMI, FPI dan JAT.[]

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan

Perlawanan dengan kekerasan yang dilakukan oleh aktivisme Islam di Indonesia semakin bisa “diterima” karena beberapa faktor. Pertama, kekalahan dan mar-ginalisasi Islam politik. Ketidakmampuan elite politik Islam dalam membawa aspirasi politik melalui saluran institusional memberikan pesan bagi keberlangsungan gerakan non-institusional atau aksi terorisme bagi seba-gian aktivisme Islam. Kekalahan Islam politik ini terjadi baik di masa awal pembentukan negara Indonesia hing-ga masa rezim Sukarno dan semakin terpuruk di masa rezim diktator Orde Baru Suharto.

Kedua, liberalisasi sistem politik. Perkembangan demokrasi liberal yang terjadi di awal pemerintahan Orde Lama tidak memberikan kemajuan berarti bagi upaya-upaya pembangunan bangsa yang berdaulat.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

242

Demokrasi liberal di masa Orde Lama justru stabilitas keamanan nasional semakin terancam dengan mun-culnya beberapa konflik dan gerakan pemberontakan bersifat kedaerahan. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian aktivisme Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo un-tuk membangkitkan Islam politik dengan memobilisasi dukungan di berbagai wilayah.

Demikian pula dengan deliberalisasi politik di masa pasca Suharto, keterbukaan sistem politik pasca refor-masi 1998 tidak ada hal kemajuan yang didapat kec-uali menjadi konsumen dungu globalisme. Kedaulatan bangsa tercabik-cabik oleh rezim yang manipulatif dan koruptif. Lebih dari itu, reformasi tidak juga dimanfaat-kan oleh elite politik Islam. Beberapa elite politik Islam di dalam saluran institusional justru terjebak dalam sis-tem predator politik yang dalam rangka melanggeng-kan kekuasaan lebih ditentukan oleh permainan uang.

Ketidakmampuan elite politik Islam di masa pasca Suharto pada akhirnya membuka ruang bagi keberlang-sungan protes menyampaikan aspirasi tuntutan terha-dap pemangku kebijakan negara atas kegagalan mem-bangun bangsa oleh sebagian aktivisme Islam dalam bentuk aksi-aksi terorisme. Namun demikian, negara justru menghindar dengan menempatkan wacana agama di balik aksi terorisme berbasis Islam daripada mengang-gap aksi terorisme sebagai politik penentangan terhadap ketidakadilan.

Ketiga, watak represi negara. demobilisasi politik Islam oleh rezim pemerintahan Orde Baru membuka peluang gerakan Islam untuk melawan represi dengan aksi-aksi terorisme. Akhirnya, rezim yang diktator dan represif memberikan insentif meski terbatas bagi upaya-upaya melawan represi dengan kekerasan atau aksi terorisme.

Penutup

243

Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984 adalah bukti tindakan represif rezim membuka jalan bagi keber-langsungan aksi teror seperti, bom BCA (1984), bom Borobudur (1985) dan bom Pemudi Ekspress Banyuwangi (1985). Beberapa teror bom tersebut diketahui dilaku-kan dengan motif balas dendam atas tragedi Tanjung Priok. Demikian pula dengan beberapa kekerasan ber-basis Islam yang terjadi di beberapa wilayah seperti, di Lampung (gerakan Warsidi), Aceh (GAM, Hasan Tiro) dan beberapa kekerasan lain.

Di atas semua itu, temuan-temuan penelitian seba-gaimana disebut di atas memberikan satu kesimpulan secara keseluruhan bahwa “sistem politik otoriter atau demokratis sama-sama meredakan dan memicu kemun-culan gerakan terorisme”. Politik kekerasan dalam aksi terorisme lebih ditentukan pada kemampuan mengukur batas toleransi politik; watak represi negara dan aksesi-bilitas sistem politik. Batas toleransi politik ini menen-tukan sebuah gerakan perlu tidaknya mengambil jalan kekerasan sebagai saluran penentangan.

B. Rekomendasi

Untuk menyempurnakan buku ini penulis menge-mukakan saran sebagai bahan masukan yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan lembaga yang berwenang dalam memahami persoalan terorisme seba-gai gejala sosial:

1. Memperkuat kapasitas Badan Nasional Penang-gulangan Terorisme (BNPT), POLRI dan lembaga pemerintah lainnya dalam memahami terorisme sebagai gejala sosial yang bertalian erat dengan kondisi politik dan sosial.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

244

2. Pemerintah melalui lembaga terkait perlu mene-lusuri situs-situs “Islami” semacam voa-Islam.com, ar-rahman.com dan sejenisnya, mengingat situs-situs tersebut seringkali menjadi alat menye-barluaskan “bingkai ketidakadilan” untuk men-dukung gerakan terorisme berbasis Islam.

3. Perlu usaha berkesinambungan, baik melalui jalur pesantren, sekolah, dan media komunikasi (TV, radio, media cetak dan internet), untuk melawan kampanye anti-politik kekerasan atau terorisme.

4. Pemerintah sebagai penguasa negara sebaiknya tidak melahirkan regulasi atau perundangan-un-dangan yang bersifat “otoriter” yang bisa men-dorong lahirnya gerakan perlawanan dengan ja-lan kekerasan.

5. Dalam konteks global, Indonesia bersama organi-sasi Islam seperti OKI dan Liga Arab harus ber-peran aktif mendorong persatuan dan kesatuan dalam rangka mencegah “arogansi” Amerika dan sekutunya terhadap negara-negara Islam.[]

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abas, Nasir.Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Anggota JI. Jakarta: Grafindo. 2006.

Abegebriel, Maftuh, A. Yani Abeveiro and SR-Ins Team. Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia. Yogjakar-ta: SR-Ins Publishing. 2004.

Adisaputra, Asep. Imam Samudra Berjihad. Jakarta : Pen-sil 324. 2006.

Al-Ashmawi, Muhammad Sa’id. Al-Islām Al-Siyāsī. Cai-ro: Sina li al-Nasyr.1987.

Al-Chaidar. Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Re-alita. Edisi Digital. Jakarta: Madani Press. 2008.

_____. Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo. Jakarta: Madani Press.2000.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

246

_____. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, S.M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru. Jakarta: Darul Falah.1999.

Aly, Rum. Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970. Jakarta: Kasta Hasta Pustaka. 2006.

Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Suharto. Jakarta: LP3ES. 2003.

Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press.1997.

Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas. Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan Intelektual. Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013.

Awwas, Irfan S. Menelusuri Perjalanan Jihad SM. Kartosuwiryo; Proklamator Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. 1999.

Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London: Routledge. 1991.

Badoh, Ibrahim Z Fahmi dan Abdullah Dahlan. Korupsi Pemilu di Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption Watch. 2010.

Basoeki Soepranoto, Rachmat. Kasus Peledakan Bom BCA 1984: Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di Indonesia. Jakarta. Fame Press. 2000.

Budiman, Arif dan Olle Tornquist. Aktor demokrasi: catatan tentang gerakan perlawanan di Indonesia. Jakarta:Institut Studi Arus Informasi. 2001.

Daftar Pustaka

247

Daras, Roso. Total Bung Karno; Serpihan Sejarah yang Tercecer. Jakarta: Imania. 2013.

Devji, Faisal. The Terrorist in Search of Humanity: Militant Islam and Global Politics. New York: Columbia Uni-versity Press. 2008.

della Porta, Donatella dan Mario Diani. Social Movements: An Introduction. second edition. Australia : Blackwell Publishing. 2006.

Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Ne-gara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Edisi Digital. Jakarta:Democracy Project. 2011.

Forest, James JF. ed., Countering Terrorism and Insurgency in the 21th Century:International Perspectives. Vol 1-3. London: Praeger Security International. 2007.

Ghazali, Khairul. Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham Tentang Thagut. Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu. 2011.

_____. Kabut Jihad. Malang:Pustaka Bayan. 2012.Geertz, Clifford. After Facts: Two Countries, Four Decades,

One Antropologist. London: Harvard University Press.1995.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.1960.

Gergez, Fawaz A. America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash of Interrest?. New York: Cambridge University Press. 1999.

Giddens, Anthony. Sociology. Oxford. Polity Press. 1993.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

248

Gunaratna, Rohan. Inside Al Qaeda, Global Network of Terror. New York: Berkley Publishing Group. 2003.

Hadi, Soebadio. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002).

Hasan, Muhammad Hanif.Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok Jihad Radikal. Jakarta: Penerbit Grafindo Khasanah Islam. 2007.

Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad, Islam, Militancy And The Quest For Identity In Post-New Order Indonesia. Belanda: Disertasi di Universitas Utrecht. 2005.

_____. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi dan Teori. Yogjakarta: SUKA-Press. 2012.

Hefner, Robert W. Civil Islam:Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton and Oxford: Princeton University Press. 2000.

Hendropriyono, A. M. Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Kompas. 2009.

Hudson, Rex A. The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why?.Washington: Federal Research Division.Library of Congress.1999.

Huntington, Samuel. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.London: Touchstone Book, 1998.

Hibbs, JR, Douglas A. Mass Political Violence: A Cross-National Causal Analysis. York: wiley-interscience publication.1973

Hoffman, Bruce. “Defining Terrorism,” in Inside Terrorism, New York: Columbia University Press.1998.

Daftar Pustaka

249

Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom Bali, 12 Oktober 2002: Kesadaran & Ungkapan Penyesalan. Jakarta: Penerbit Republika. 2007.

Ishak, Otto Syamsuddin dkk. Hasan Tiro: Unfinished Story of Aceh. Banda Aceh. Bandar Publishing. 2010.

Junaedi, Dedi. Konspirasi di Balik Bom Bali: Skenario Membungkam Gerakan Islam. Jakarta. Bima Wawasan Press. 2003.

Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam. Depok: Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial (EMPIRIS). 2006.

Kahin, George Mc. Turnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Itacha: Cornell University Press. 1952.

Konboy, Ken. Intel II : Medan Tempur Kedua. Jakarta: Pustaka Primatama. 2011.

_____. Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Jakarta: Pustaka Primatama. 2007.

Kurzman, Charlez. The Missing Martyrs: Why There Are So Few Muslim Terrorists. New York : Oxford University Press, 2011.

Latif,Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Edisi Digital. Jakarta : Democracy Project. 2012.

Lay, Cornelis. Antara Anarki & Demokrasi. Jakarta:Pensil 324. 2004.

Liddle, William. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.1992.

Laqueur, Walter. Fascism: Past, Present, Future. Oxford: Oxford University Press. 1996.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

250

Maa’rif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.1985.

Maliki, Zainuddin. Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi. Yogyakarta:Galang Press. 2000.

Mansur, Dikdik M. Arif. Hak Imunitas Aparat Polri: Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme. Jakarta: Pensil-324. 2012.

Manzur, Ibn .Lisan al-‘Arab, Juz III. Bairut: Dar Sadr. TT.McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly. Dynamics

of Contention. Cambridge: Cambridge University Press. 2004.

McAdam, John D. Mc Carthy and Mayer N. Zald (eds), Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings. New York: Cambridge University Press. 1996.

McGregor, Katharine E. History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past. Singapore : NUS Press; National University of Singapore.

Mubarak. M. Zaki. Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES. 2008.

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Rake Sarasin. 2002.

Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta :Gramedia, 2012.

Daftar Pustaka

251

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007

Muqoddas, Busyro. Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. Yogyakarta: Pusham UII. 2011.

Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia;Periode Renville. Bandung:Penerbit Angkasa. 1978.

_____. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia;Pemberontakan PKI. Bandung:Penerbit Angkasa. 1979.

_____. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia; Perang Gerilya Semesta II. Bandung: Penerbit Angkasa. 1979.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.1985.

Noor, Firman, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. 2007.

_____. Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen Primordial di Indonesia: Problematika Etnisitas versus Keindonesiaan. Jakarta: LIPI Press. 2008.

Nugroho, Arifin Suryo. Tragedi Cikini: Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno. Yogyakarta:Penerbit Ombak. 2013.

Olson, Mancur. The Logic of Collective Action: Public Goods and The Theory of Groups. Cambridge, MA: Harvard University Press. 1976.

Pape, Robert A. Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism. New York: Random House. 2005.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

252

Pieris, John. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

Purwanto, Wawan H. Satudasawarsa Terorisme di Indonesia. Jakarta: CMB Press. 2012

Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005.

Rapoport, David C. (ed). Terrorism: Critical Concept in Political Science. 4 Vols. London and New York: Routledge. 2006.

Roy,Olivier. The Failure of Political Islam, Trans. Carol Volk, Cambridge. Massachusetts: Harvard University Press. 1994.

Saidi, Anas.(ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru. Depok:Desantara. 2004.

Salen, Katie and Eric Zimmerman, eds. The Game Design Reader : a Rules of Play Anthology . London : The MIT Press. 2006.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2012.

Soebadio, Hadi. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Soeropranoto, Rachmat Basoeki. Kasus Peledakan BCA 1984: Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di Indonesia. Jakarta: Fame Press. 2000.

Sulistyo, Hermawan. ed. Bom Bali : Buku Putih Tidak Resmi Investigasi Teror Bom Bali. Jakarta : Pensil 324. 2002.

_____. Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan. Jakarta: Pensil 324. 2011.

Daftar Pustaka

253

_____. Lawan!: Jejak-jejak Jalanan dibalik Kejatuhan Suharto. Jakarta. Pensil 324. 2002.

_____. Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia. Jakarta. Pensil 324. 2011.

_____. Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society. Jakarta: Pensil 324. 2009.

Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press.1998.

Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1993.

Ti Aisyah, Subhani dan Al-Chaidar. Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964. Lhokseumawe NAD : Unimal Press. 2008.

Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and The New World Disorder. California: The Regent of University of California. 1998.

Van Dijk, Cornelis. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta. Penerbit Grafiti Press. 1983.

Wasis, Widjiono. Geger Talangsari: Serpihan Gerakan Darul Islam. Jakarta: Balai Pustaka. 2001.

Wiktorowicz,Quintan.ed.Islamic Activism : A Social Movement Theory Approach. Bloomington: Indiana University Press. 2004.

Wiktorowicz,Quintan.ed. Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus, edisi terjemahan. Jakarta: Paramadina, 2012.

Wilkinson, Paul. The Strategic Implications of Terrorism. dalam M.L. Sondhi. Terrorism & Political Violence:

Men-Teroris-Kan Tuhan!

254

a sourcebook.New Delhi : Har-Anand Publications. 2000.

Zon, Fadli. Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII. Jakarta: Fadli Zon Library. 2012.

Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju. 2002.

Jurnal:

Aida, Ridha. Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas. Demokrasi. Vol. IV. No. 2. 2005.

Azra, Azyumardi. Radikalisasi Salafi Radikal. Majalah Tempo. No. 41/XXXI/08-15 Desember 2002.

_____. Indonesian Islam, Mainstream Muslims And Politics.Paper Dipresentasikan Pada konferensi Taiwanese and Indonesian Islamic Leaders Exchange Project. Taipei: 2006.

_____. Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia.Indo-Islamika. Volume 1. Nomor 2. 2012.

Bayat, Asef. Islamism and Social Movement Theory. Third World Quarterly. Vol. 26, No. 6. 2005.

Beck, Colin J.The Contribution of Social Movement Theory to Understanding Terrorism. Sociology Compass 2/5.2008.

Bellamy, Alex J. Is the War on Terror Just?. International Relations, Vol. 19, No.3. 2005.

Benford, Robert dan David Snow. Framing processes and social movements: An overview and assessment. Annual Review of Sociology.26. 2000.

Daftar Pustaka

255

Bluhdorn, Ingolfur. Reinventing Green Politics: On the Strategic Repositioning of the German Grenn Party. German Politics. Vol. 18, No. 1. Maret 2009.

Brym, Robert.What is the relationship between terrorism and social movement. mobilizingideas.2 April 2012.

Bush, George W. The Nature of the Terrorist Threat Today. National Strategy for Combating Terrorism,Februari 2003.

Clauss, Stephan. Faisal Devji, Landscapes of the Jihad, Militancy, Morality, Modernity.Archives de sciences sociales des religions, 136. Octobre - décembre 2006.

C.A.J Coady, C.A.J.“Terrorism, Morality, and Supreme Emergency” Ethics 114. Juli 2004.

Colombijn, Freek. The War Againts Terrorism In Indonesia: Amien Rais on US Foreign Policy and Indonesia’s Domestic Problems.IIAS News Letter, No. 28 Agustus 2002.

Cozzens, Jeffrey B. The Culture of Global Jihad: Character, Future Challenges and Recommendations. International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR). Oktober 2008.

Daniel G. Arce M dan Todd Sandler.Counterterrorism: A game-Theoretic Analysis.Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 2. 2005.

della Porta, Donatella.Some Reflection on the rekationship between terrorism and social movement?.mobilizingideas.

Devji, Faisal. Politics After Al-Qaeda. Policy Paper Conflicts Forum, July 2011.

Djelantik, Sukawarsini. Terrorism in Indonesia: The Emergence of West Javanese Terrorists.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

256

International Graduate Student Conference Series. No. 22, (East-West Center, 2006).

Fealy,Greag. Inside The Laskar Jihad. Inside Indonesia. ii65: Jan-Mar 2001.

Fealy, Greag and Aldo Borgu. Local Jihad: Radical Islam and terrorism in Indonesia. ASPI: Australian Strategic Policy Institute, September 2005.

Gamson, William A. Bruce Fireman and Steven Rytina, “Encounters with Unjust Authority. Social Forces. Vol. 63, No. 1 (Sep 1984), 288-290.

Gibbs, Jack P.Concepualization of Terrorism. American Sosiological Review, Vol.54, No.3. Juni.,1989.

Guillaume, Gilbert.Terrorism and International Law. The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 53,Juli 2004.

Hadiz,Vedi R. Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. CRISE Working Paper, No. 74. Februari 2010.

_____. Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War. Journal of Current Southeast Asian Affairs2011.

Hasanuddin. Dinamika Dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial. Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda. Vol.10, No. 15, (2011).

Hooker, Virginia and Amin Saikal, eds. Islamic Perspektives on the New Millennium.Singapore: ISEAS Publishing, 2004.

ICG Indonesia Briefing Paper. Indonesia: Violence and Radical Muslims. 10 Oktober 2001.

Daftar Pustaka

257

Ismail, Indriaty & Mohd Zuhaili Kamal Basir. Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial. International Journal of Islamic Thought. Vol. 1. (Juni 2012).

Jackson,Richard. The Study of Terrorism after 11 September 2001: Problems, Challenges and Future Developments.Political Studies Review, Vol. 7. 2009.

Jervis, Robert. At Interim Assesment of September 11: What Has Changed and What Has Not. Political Science Quaterly, Vol. 117. No.1. 2002.

Johnson, James Turner. The Distortion of a Tradition; Osama Bin Laden’s Consept of Defensive Jihad.PACEM 5:1. 2002.

Jones, Sidney. Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of The “Ngruki Network” in Indonesia. ICG Indonesia Briefing Paper, 8 Agustus 2002.

_____. Impact of the Bali Bombings. ICG Indonesia Briefing Paper, 24 Oktober 2002.

_____. Indonesia Backgrounder: How the Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates. ICG Indonesia Briefing Paper, No. 43.

Kadir, Suzaina. Mapping Muslim politics in Southeast Asia after September 11.The Pacific Review, Vol. 17 No. 2. June 2004.

Khawaja, Marwan. Repression and Popular Collective Action: Evidence From the West Bank. Sociological Forum. Vol. 8, No. 1 (1993), 47-71.

Laquer, Walter.Terrorism A Brief History. Walter Laqueur. Web

Marshall, Andrew. The Threat of Jaffar. The New York Times Magazine. 10 March 2002.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

258

McCarty, John dan Mayer Zald. Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory. The American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 6 (May, 1977).1212-1241.

Mohd Yusoff, Zulkifli Haji & Fikri Mahmud. Gerakan Teroris dalam Masyarakat Islam: Analisis Terhadap Gerakan Jemaah Islamiyah (JI). Jurnal Usuluddin. 21. (Juli 2005) 39-62.

Muller, Edward N. Income Inequality, Regime Repressiveness, and Political Violence. American Sociological Review. Vol. 50, No. 1 (Feb 1985), 47-61.

Pape, Robert. The Strategic Logic of Suicide Terrorism.American Political Science Review, Vol. 97, No.3. August 2003.

Prajarto, Nunung. Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 8. Nomor I. Juli 2004

Rapoport, David C. Fear and Treambling: Terrorism in Three Religious Traditions.The American Political Science Review, Vol. 78, No. 3. September 1984.

Safrina, Magda. The Jakarta bombing: A lesson in inequality.The Jakarta Post, Friday, August 07 2009.

Sadikin, Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 10, No. 1 (Juni 2005)

Sedgwick,Mark. Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism.Terrorism and Political Violence, Vol. 16, No.4. 2004.

Sikand, Yoginder. American Christian Fundamentalist Leader Calls for Global War.Countercurrents.org, 17 November 2005.

Daftar Pustaka

259

Snyder, David dan Charles Tilly. Hardship And Collective Violence In France 1830 to 1960. American Sociological Review, 37, 5 (Oktober), 520-532.

Snow, David A, E. Burke Rochford, Steven K. Worden, dan Robert D. Benford. Frame Alignment Process, Micromobilization, and Movement Participation. American Sociological Review, Vol. 51, No. 4 (Aug 1986), 464-48.

Snow, David and Robert Benford. Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization. International Social Movement Research, Volume: 1, Issue: 1, 1998, Publisher: JAI Press, Pages: 197-217

Soebardi, S. Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 14, No. 1 (Mar,1983)109-133.

Sukamto, Amos. Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik. Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli 2013) 25-47

Tilly,Charles. Terror, Terrorism, Terrorists. Sociological Theory, Vol.22, No. 1. Maret 2004.

Tilly, Charles. Social Movement and National Politics. CRSO Working Paper No. 197 ( May 1979)

Venkatraman, Amritha. Religious Basic for Islamic Terrorism: The Quran and Its Interpretations. Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 30, Issue 3. 2007.

Wedgwood, Ruth. Al Qaeda, Terrorism, and Military Commissions.The American Journal of International Law, Vol. 96, No. 2. April 2002.

Men-Teroris-Kan Tuhan!

260

White, Robert W. From Peaceful Protest to Guerrilla War: Micromobilization of the Provisional Irish Republican Army. American Journal of Sociology. Vol. 94, No. 6 (May, 1989), 1277-1302

Wiktorowicz, Quintan. Conceptualizing Islamic Activism. ISIM Newsletter, 14 Juni 2004.

_____. A Genealogy of Radical Islam. Middle East Policy, Vol. VIII, NO. 4. December 2001.

_____. The New Global Threat: Transnational Salafis and Jihad.Middle East Policy, Vol. VIII, NO. 4. December 2001.

Zed, Mestika. Hidden History: Sejarah Kebrutalan dan Kejahatan Negara Melawan Kemanusiaan. Isu-isu dan Strategi dalam Konteks Sejarah Indonesia. Jurnal Demokrasi & HAM. Vol.2,No.1, (Februari-Mei 2002) 6-37.

Media:

Jakarta post, 7 Agustus 2009, www.thejakartapost.com/.../the-jakarta-bombing-a-lesson-inequality.html (diakses 10 Mei 2013).

Tempo, 4 Juni 2004, http://tempo.co.id/hg/nasional/2004/06/04/brk,20040604-21,id.html (diakses 4 November 2013).

Tempo, 17 April 2004, http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/ 04/17/tml,20040417-01,id.html (diakses 1 November 2013).

Tempo, 22 Juli 2009, http://www.tempo.co/read/fokus/2009/07/ 22/735/Pesantren-Ngruki-Kembali-Disorot (diakses 13 Oktober 2013).

Daftar Pustaka

261

Gatra, 25 Oktober 1997, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/11/01/0060.html (diakses 1 November 2013).

Republika, 25 September 2010, http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/hukum/10/09/25/136476-298-orang-tewas-akibat-serangan-teroris (diakses 30 Oktober 2013).

Republika, 2 Januari 2014, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/01/02/myrsw0-bnpt-target-teroris-tak-pernah-berubah (diakses 4 Januari 2014).

Jurnal Nasional, 4 Januari 2014, http://demo.jurnas.com/halaman/8/2014-01-04/281603.

Kompas, 26 Maret 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.I (diakses 20Desember 2013).

Kompas, 9 November 2010, http://nasional.kompas.com/read/2010/11/09/17431111/Dokter.Syarif.Diancam.Hukuman.Mati.

Kompas, 14 Maret 2011, http://health.kompas.com/read/2011/03/14/13431198/Haris.Serahkan.Rp.100.Juta.ke.Ba.asyir.

BBC Indonesia, 16 Februari 2012, http://www.yiela.com/view/2261384/penyandang-dana-bom-marriot-akan-diadili-di-as.

Indeks

263

INDEKS

A

Abas, Nasir 160, 175, 179, 224McAdam 28, 51, 59, 60, 61, 68,

83, 96, 211Afghanistan 90, 177, 178,

201–204, 206, 221, 223, 226

aktivisme 3, 4, 19, 29, 30, 32, 40, 102, 111, 115, 116, 122, 146, 149, 154, 155, 167, 170, 177, 178, 197, 206, 241, 242

Amerika v, viii, 1–3, 7, 13, 14, 20, 21, 26, 27, 37, 50, 54, 55, 72, 73, 82, 83, 88, 89, 92, 101, 102, 158, 164, 177, 178, 196, 201–207, 236, 244

APRA 108–110, 113, 114, 128

Al-Ashmawi, Muhammad Sa’id 5, 208

Ayubi, Nazih 4, 131Azra, Azyumardi 2, 8, 131

B

al-Banna, Hasan 7, 22, 200Bateson, Gregory 65Benford, Robert D 65, 182, 184Beureuh, Daud 96, 138Bush, George Walker 1, 2Bayat, Asef 11, 29, 70, 94Ba’asyir, Abu Bakar 137, 158,

161, 207, 220, 228Bom Bali 3, 9, 23, 40, 72, 81, 94,

158, 160, 163, 178, 202, 203, 205, 206, 228, 236

van Bruinessen 8, 22, 140Brym, Robert 88, 89

Men-Teroris-Kan Tuhan!

264

C

McCarty, John 41Al-Chaidar 125, 134, 191, 233Charles Kurzman 28civil society 36, 38, 155, 166, 230contentious politics ix, 42, 83,

103

D

Darul Islam 8, 22, 69, 97, 123–125, 134, 135, 140, 151, 160, 185, 188–191, 195, 229

demobilisasi 142–144, 147, 148, 155, 156, 242

Devji, Faisal 13, 14

E

ekonomi vi, viii, 18, 19, 29, 37, 40, 48, 54–56, 64, 94, 110, 128, 138, 139, 144, 146, 154, 164, 166, 176, 209, 225

F

FBI 73FKAWJ 25, 174FPI 2, 161, 163, 168, 229, 237,

239Framing xi, 28, 30, 64–67, 101,

182, 183

G

gerakan sosial baru 50, 53–55, 57–59

Gibbs, Jack 75globalisasi vi, 40

H

Hadiz, Vedi R 12, 139, 147, 153, 172

Hamas 100Hambali 237Hasan, Noorhaidi 7, 13, 25, 80,

89, 174Hassan, Muhammad Hanif 9,

176Hizbullah 100, 122, 194HTI 2, 168

I

ideasional 6, 7, 11, 30, 135Ikhwanul Muslimin 8imagined solidarity 94Islam politik xii, 2–5, 11, 12,

23, 26, 28, 39, 70, 90, 91, 93, 114, 116, 119–122, 126, 129, 131, 134–137, 141, 142, 144, 148–151, 153–155, 164, 167–169, 179, 180, 184–190, 192–195, 197, 200–203, 206, 208, 241, 242

J

Jamaah Islamiah 90, 100, 137, 160, 183, 220, 221, 223

JAT 161–163, 237–239

K

Kartosuwiryo 91, 96, 108, 111–116, 121–126, 130, 131, 134, 135, 160, 184–195, 198, 212–215, 218, 219, 221, 222, 232, 233, 242

Indeks

265

Khilafah xii, 221, 223Komando Jihad 96, 137, 138,

141, 151–153, 183, 195–200, 219–221, 234

L

Laden, Osama bin 14, 81, 102, 201, 223, 230, 231, 236, 239

M

Melucci, Alberto 53MMI 2, 162, 163, 168, 174, 229,

237, 239mobilisasi vii, xi, xiii, 4, 14,

19, 25, 28, 29, 33, 38–40, 49–51, 55, 58, 60, 63–71, 83–85, 91, 94–101, 106, 126, 129, 130, 132–134, 141, 150, 151, 153, 154, 157, 163, 179, 180, 182, 183, 192, 193, 211, 212, 216, 219, 223, 225–229

movement xi, 46, 50, 88, 89, 98, 100, 138

N

Negara Islam Indonesia 186, 200

O

Olson, Mancur 85, 86

P

Pape, Robert A 13, 27, 87, 88Pichardo 54–59

Q

al-Qaeda v, 2, 3, 7, 13, 14, 23, 158, 202, 221, 225, 230, 231, 236, 237

R

radikalisme vii, viii, 3, 7, 8, 11, 30, 139, 150, 168

revolusi 37, 41, 42, 54, 77, 128, 133, 134, 191

Roy, Oliver 4

S

Suharto 2, 8, 9, 22, 37, 90, 105, 135, 136, 143, 146, 153, 158, 164–173, 177, 183, 185, 200, 201, 220, 241, 242

Sulistyo, Hermawan 3, 37, 109, 155, 157, 165, 169, 176, 186, 197

Sungkar, Abdullah 137, 158, 160, 201, 202, 220, 221, 223, 227, 228

syari’ah xiv, 30, 102, 175

T

Ibn Taimia 7, 22

W

Wahabi 8Wiktorowicz, Quintan 3, 4, 7,

10, 16–18, 22, 29, 36, 39, 40, 99, 102

BIODATA PENULIS

Ali Asghar lahir di Sarang-Rembang-Jawa Tengah, sekalipun tak aktif sebagai jurnalis profesional, peker-jaan Ali Asghar tidaklah jauh dari tulis menulis, baik sebagai editor buku di beberapa penerbit di Jakarta maupun sebagai ghostwriter. Ia juga menekuni riset bidang Polkam dan Public Policy di Lembaga Penelitian Concern. Ali Asghar menamatkan pendidikan sarjana SI Sastra Arab di UIN Sunan Ampel Surabaya (2010) dan menamatkan pendidikan S2 Pemikiran Politik Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014). Ia aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa di HMI sejak menempuh pendidikan sarjana di UIN Sunan Ampel Surabaya dan saat ini menjadi pengu-rus BAKORNAS LAPMI PB HMI (Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam PB HMI). Ali asghar menempuh pendidikan Pondok Pesantren di Kauman Lasem-Rembang dan Pesantren al-Hidayah as-Syakiriyah. Penulis dapat dihubungi di alamat email: [email protected].