MEKANISME
Transcript of MEKANISME
MEKANISME GERAK TUMBUHAN
tubuh yang tersusun atas sel-sel yang saling berdekatan dan berhubungan. Binding sel tumbuhan umumnya mengalami penebalan, tetapi ada bagian tertentu dari sel itu tidak menebal , sehingga seolah-olah ada celah disebut noktah. Melalui celah inilah plasmasel yang satu dengan sel tetangganya yang dihubungkan oleh benang-benang plasma disebut plasmodesma.
1.GERAK HIGROSKOPISyaitu gerak yang ditimbulkan oleh pengaruh perubahan kadar air yang tidak merata pada bagian tubuh tumbuhanMisalnya:• gerak membuka dan menutupnya anulus pada kotak spora.• pecahnya buah tanaman polong.• Membuka dan menutupnya gigi peristom pada sporangium lumutBila buah polong misalnya buah bunga merak terkena sinar matahari, maka bagian yang terkena sinar matahari akan kehilanganair lebih banyak dari bagian yang tidak terkena sinar. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar air pada kedua sisibuah polong ini. Perbedaan kadar air ini menyebabkan mengembang dan mengerutnya kulit buah tidak seimbang, akibatnya sisi yang ikatanya kurang kuat akan pecah mendadak. Biji yang ada didalamnya akan melenting.Pada gerak higroskopis kehilangan air yang tidak merata menyebabkan kadar air yang tidak merata pada seluruh bagian organtubuh. Akibatnya berkerut dan berkembangnya bagian organ tubuh tersebut juga tidak merata. Dampak selanjutnya akan terjadi tank menarik antara bagian yang akan berkerut dan bagian yang akan berkembang. Bagian yang kuat akan menentukan arah gerak bagian tubuh tersebut.
2.GERAK ENDONOMGerak endonom adalah yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam tubuh tumbuhan sendiri. Ada pakar yang menyebutkannya dengan gerak spontan atau gerak karena kemauan sendiri sehingga sering disebut gerak autonom. Contoh gerak ini antara lain gerak sitoplasma, gerak kloroplas pada sel-sel daun lidah buaya dan
selaput umbi bawang merah, serta gerak melilitnya batang kacang panjang, gadung dan umbi.3.GERAK ESIONOMGerak esionom adalah: gerak tumbuhan yang disebabkan adanya rangsangan dari luar. Rangsangan itu dapat berupa cahaya , gravitasi bumi, sentuhan , senyawa kimia, air dan sebagainya .Gerak esionom dibedakan menjadi tiga yaitu:1. gerak nasti2. gerak tropisme3. gerak taksis
1. Gerak NastiGerak nasti adalah: gerak sebagian tumbuhan sebagai tanggapan terhadap rangsangan dan gerak ini tidak dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan. Tetapi ditentukan oleh tumbuhan itu sendiriyaitu yang dipengaruhi oleh sentuhan cahaya, kelembaban, maupun suhu lingkungan. Berdasarkan jenis rangsangnya,gerak nasti dibagimenjadi beberapa macam yaitu :a. SeismonastiGerak seismonasti adalah: gerak membuka dan menutupnya daun majemuk yang disebabkan adanya getaran atau sentuhan. Mekanisme dari gerak ini disebabkan oleh perubahan turgor pada pulvini, sama seperti pada prinsip gerak tidur. Contoh : Gerak menutup daun putrid malu (Mimosa Pudica) saat disentuh.b. NiktinastiGerak menutupnya daun pda banyak spesies leguminoceae pada waktu malam hari . gerak ini terjadi kareana timbulnya perubahan turgorsuatu jaringan yang memiliki syruktur khusus pada persendian tangkai daun yang disebut pulvinus. Jaringan ini tersusun atas sel-sel khusus (sel motor) yang berfungsi sebagai pemompa ion K+ dari satu bagian ke bagian lainnya dengan demikian akan menubah potensial air pada sel-sel tertentuBila ion K+ dipompa keluar dari sel-sel motor pada pulvini, maka akan diikuti mengalirnya air keluar dari sel-sel itu. Hal itu mnyebabkan turunnya tekanan turgor pada jaringan pulvini di persendian daun sehinga tangkai daun menuju kebawah dan terjadilah gerak tidur. Contohnya terdapat pada flamboyan, turi, lamtorung, dan sebagainya.c. Termonasti
Gerak termonasti adalah: gerak nasti karena adanya pengaruh suhu,misalnya bunga tulip didaerah dingin yang membuka karena pegaruh temperatur . bumga ini akan mengembang kembali bila mendadak mengalami kenaikan temperatur . dan akan menutup kembali bila temperatur menurund. Fotonasti Fotonasti adalah: gerak nasti karena pengaruh cahaya. Gerak ini dijumpai pada banyak tumbuhan , seperti gerak mekarnya bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) pada sore dan pagi hari dan menguncup pada malam hari, bunga waru, bunga mentimun dan sebangsanya.Bunga-bunga tanaman tanaman tersebut tidak dapat setiap saat mekar. Mekarnya hanya pada jam-jam tertentu saja , yaitu sekitar pukul 16.00-17.00. Sebenarnya bukan tidak semata-mata cahaya tetap ada faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap membuka dan menutupnya bunga tersebut. Seperti suhu maupun kelembaban udara.e. Gerak kompleksGerak kompleks yaitu gerak nasti yang terjadi karena berbagai faktor rangsang yang bekerja sama.Yang termasuk gerak kompleks misalnya gerak membuka, menutupnya sel penutup pada stoma atau mulut daun. Berbagai faktor yang mengatur membuka menutupnya mulut daun adalah o cahaya (foto)o suhu (termo)o air (hidro) dan o zat kimia atau enzim (kemo).2. Gerak TropismeGerak tropi atau tropisme adalah gerak bagian tubuh tumbuhan akibat adanya pertumbuhan yang arahnya mendekati atau menjauhi sumber rangsang, kegiatan tersebut karena dipengaruhi rangsang dari luar seperti:o cahaya matahario gravitasi bumio kelembaban o air dano sentuhanJika arahnya mendekati sumber rangsang disebut tropisme positif. Sedangkan arahnya menjauhi sumber rangsang disebut tropisme negatif. Contoh :gerak batang mendekati matahari. Berdasarkan
macam perangsangannya gerak tropisme dibedakan menjadi:a. gerak fototropismeb. gerak geotropic. gerak tigmotropid. gerak hidrotropie. gerak kemotropif. gerak termotropig. gerak calvanotropia. Gerak Fototropisme atau HeliotropismeFototropisme atau heliotropisme adalah gerak tidak bebas bagian hidup mendekati atau menjauhi rangsangan yang berupa cahaya matahari. Hal ini dapat kita lihat pada tanaman pot yang kita tempatkan dekat jendela yang cahayanya hanya datang dari satu sisi.Gerak Fototropisme atau heliotropisme dapat dibedakan menjadi: Fototropisme atau heliotropisme positif dan Fototropisme atau heliotropisme negatif. Gerak tumbuh ujung batang menuju kearah datangnya cahaya adalah contoh gerak Fototropisme atau heliotropisme positif , sedangkan gerak pertumbuhan akar menjauhisumber cahaya disebut Fototropisme atau heliotropisme negatifOrang pertama yang melakukan eksperimen untuk mempelajari pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan batang adalah Charles darwin(ahli biologi dari inggris yang amat terkenal dalam mempelajari evolusi).Darwin malakukan percobaan pada perkecambahan kacang ijo. Perkecambahan dilakukan tiga kali myaitu pada saat biji kacang ijo sudah berkecambah 1. ujung batang tidak ditutup atau dibiarkan2. ujung batang ditutup dengan kertas karbon3. seluruh batang ditutup dengan kertas karbonPercobaan lain untuk menyelidiki fototropi ini dengan menggunakanklinostat. Tumbuhan yang ditewmpatkan pada klinostat ini diletakkan mendatar dan diputar secara perlahan- lahan sehingga bagian tumbuhan tersebut mendapatkan cahaya secara merata. Akibatnya batang dan akar tumbuhan itu akan tetap mendatarb. Gerak GeotropiGeotropi adalah gerak tropisme yang menuju ke pusat bumi karena dipengaruhi oleh gravitasi. Gerak ini juga dapat dibedakan menjadi gerak tubuh akar menuju ke bumi (geotropisme positif),
kalau gerakan akar menjauhi bumi seperti akar tumbuhan bakau disebut geotropisme negatif. Contoh gerak geotropi yang lain adalah pada saat bunga belum mekar, arah geraknya tegak ke atas, berarti geotropi negatif, sedangkan setelah terjadi pembuahan arah geraknya sejajar dengan gaya gravitasi bumi berarti gaya geotropi positif.c. Tigmotropi atau HaptotropiTigmotropi adalah gerak membeloknya arah pertumbuhan bagian tubuhtumbuhan karena adanya rangsangan yang berupa sentuhan. Contohnyaadalah gerak ujung sulur pada tumbuhan famili Cucurbiaceae seperti belingo, markisa dll.Bila ujung sulur menyentuh ranting atau batanf tumbuhan lain padasisi kirinya maka sulur akan membelok melilit kearah kiri. Bila tidak tersentuh ujung sulur akan yumbuh lurus. Bila tersentuh pada sisi kananya maka ujung ulur akan melilit memutar ke kanand. HidrotropiGerak hidrotropi adalah: gerak bagian tubuh tumbuhan ke arah lingkungan yang lembab atau karena rangsang air.arah gerak pertumbuhan akar menuju lapisan tanah yang cukup air juga merupakan contoh gerak ini. Contohnya: gerakan akar yang selalu berusaha menjangkau daerah yang cukup air.e. KemotropiKemotropi adalah gerak bagian tubuh tumbuhan karena pengaruh bahan kimia, misalnya, gerak ujung akar menuju lapisan tanah yangkaya unsur hara,gerak buluh serbuk sari yang menuju tempat pembentukan sel telur dan gerak akar napas menuju ketempat yang cukup O2. f. termotropiTermotrop adalah gerak bagian tubuh tumbuhan karena pengaruh panas atau suhug. Calvanotropi. Calvanotropi adalah gerak tropi yang disebabkan oleh pengaruh listrik. Sedangkan reotropi adalah gerak bagian tubuh tumbuhan karena pengaruh aliran air.3. Gerak TaksisBerbeda dengan gerak tropi dan nasti di mana keduanya merupakan gerak tidak bebas, gerak taktis adalah gerak bebas atau pindah tempat seluruh tubuh tumbuhan menuju atau menjauhi sumber rangsang. Jika arahnya mendekati sumber rangsang disebut taktis
positif, jika arah geraknya menjauhi sumber rangsang disebut taktis negatif.Taktis hanya dijumpai pada tumbuhan rendah atau bagian tumbuhan tinggi secara keseluruhan tidak pernah dijumpai. Berdasarkan Jenis-jenis rangsangan gerak taktis a. fototaksisb. kemotaksisa. FototaktisFototaktis adalah gerak bebas tumbuhan yang disebabkan oleh rangsangan cahaya. Gerak ini dijumpai pada tumbuhan hijau bersel satu dan spora jamur jenis tertentu. Contoh gerak fototaktis terdapat pada Euglena, pada pagi hari saat matahari mulai menampakkan sinarnya, Euglena bergerak mendekati sumber sinar.b. KemotaktisKemotaktis adalah gerak bebas tumbuhan karena rangsangan zat kimia. Gerak ini dijumpai pada berbagai bakteri yang bersifat aerob dan organisme satu sel lainnya misalnya gerak spermatozoid yang tertarik sukrosa atau asam maleat pada arkegonium tumbuhan lumut atau paku dan gerakan bakteri aerob menuju tempat yang banyak O2RANGKUMAN1. Gerak pada tumbuhan dapat dibedakan menjadi gerak higrokopis, gerak endonom (tanpa pengaruh dari luar) dan gerak esionom (karena pengaruh rangsang dari luar)2. Gerak esionom dibedakan menjadi gerak nasti, tropisme dan taksis.3. Nasti adalah gerak sebagian tubuh tumbuhan sebagai respon terhadap rangsang dan arah gerah tidak ditentukan oleh suatu rangsang.4. Berdasarkan jenis perangsangnya gerak nasti dapat digolongkan menjadi nik tinasti, seismenasti, fotonasti, termonasi dan gerak kompleks.5. Tropisme atau tropi adalah gerak tumbuh bagian tubuh tumbuhan dengan arah gerak yang ditentukan oleh arah oleh arah datangnya rangsang dan tropisme negatif bila manjauhi arah datangnya rangsang.6. Gerak tropisme berdasarkan jenis perangsangnya dapat dibedakanmenjadi fototropi, geotropi, tigmotropi, kemotropi dan hidrotopi.7. Gerak takis adalah gerak pindah tempat keseluruhan tubuh
tumbuhan atau bagian tubuh tumbuhan yang arahnya ditentukan oleh rangsang.8. Gerak taksis berdasarkan jenis perangsangnya dapat dibedakan menjadi fototaksis dan kemotaksis
Sering jaringan yang berbeda dalam tumbuhan yang sama mempunyai suhu utama yang berlainan. Contoh klasik yang mudah ditunjukkan adalah perbedaan suhu pertumbuhan optimum untuk permukaan atas dan bawah tepal tulip atau bunga crocus (tepal adalah akronim untuk petal [daun bunga] dan sepal [daun kelopak] yang tampak serupa, khususnya pada anggota famili Liliaceae). Kajian di Jerman, sejak penelitian Julius von Sachs tahun 1863, telah menunjukkan bahwa suhu rendah (3 sampai 7°C) paling baik untuk pertumbuhan permukaan bawah jaringan Suhu tersebut menyebabkan tulip atau bunga crocus menutup, sedangkan suhu lebih tinggi (10 sampai 17°C) paling baik bagi pertumbuhan permukaan atas jaringan tepal, menyebabkan bunga membuka (gambar 22.2). Perubahan suhu mendadak sekecil 0,2 sampai 1°C pun sering menyebabkan pcrtumbuhan yang cepat serta terjadinya pembukaan dan penutupan bunga crocus dan tulip, walaupun suhu pertumbuhan optimum untuk kedua sisi tepal itu berbeda sekitar 10°C. Gerak tepal yang diakibatkan suhu ini (gerak nastik, bab-19), yang disebabkan oleh pertumbuhan, disebut termonati.
BAB II
PEMBAHASAN
RESPONS PERTUMBUHAN TERHADAP SUHU
Pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi suhu- kelemahan yang
sudah lama diketahui. Sering perubahan beberapa derajat saja
sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan.
Pada tahap tertentu dalam daur hidupnya dan pada kondisi kajian
tertentu, tiap spesies atau varietas mempunyai suhu minimun
(rentang) suhu optimum, dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum
ini tumbuhan tak akan tumbuh; pada rentang suhu optimun, laju
tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu maksimum, tumbuhan
tidak tumbuh dan bahkan mati. Gambar 22.1 memperlihatkan kurva
laju tumbuh sebagai fungsi suhu. Pertumbuhan berbagai spesies
Iazimnya menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan alaminya.
Spesies alpin dan spesies kutub utara mempunyai suhu minimum,
optimum, dan maksimum yang rendah; spesies tropika mempunyai
suhu utama yang jauh lebih tinggi. Tumbuhan yang tumbuh mendekati
suhu minimum atau maksimumnya akan sering mengalami cekaman yang
dibahas pada bab 26.
Sering jaringan yang berbeda dalam tumbuhan yang sama mempunyai
suhu utama yang berlainan. Contoh klasik yang mudah ditunjukkan
adalah perbedaan suhu pertumbuhan optimum untuk permukaan atas
dan bawah tepal tulip atau bunga crocus (tepal adalah akronim
untuk petal [daun bunga] dan sepal [daun kelopak] yang tampak
serupa, khususnya pada anggota famili Liliaceae). Kajian di
Jerman, sejak penelitian Julius von Sachs tahun 1863, telah
menunjukkan bahwa suhu rendah (3 sampai 7°C) paling baik untuk
pertumbuhan permukaan bawah jaringan Suhu tersebut menyebabkan
tulip atau bunga crocus menutup, sedangkan suhu lebih tinggi (10
sampai 17°C) paling baik bagi pertumbuhan permukaan atas jaringan
tepal, menyebabkan bunga membuka (gambar 22.2). Perubahan suhu
mendadak sekecil 0,2 sampai 1°C pun sering menyebabkan
pcrtumbuhan yang cepat serta terjadinya pembukaan dan penutupan
bunga crocus dan tulip, walaupun suhu pertumbuhan optimum untuk
kedua sisi tepal itu berbeda sekitar 10°C. Gerak tepal yang
diakibatkan suhu ini (gerak nastik, bab-19), yang disebabkan oleh
pertumbuhan, disebut termonati.
Namun, suhu tidak hanya mepengaruhi pertumbuhan jaringan.
Sering selang suhu tertentu mengawali tahap kritis pada daur
hidup tumbuhan: perkecambahan biji, awal pembungaan, dan induksi
atau berakhirnya dormansi pada tumbuhan tahunan. Respons
perkembangan itu sering dipengaruhi oleh faktor lingkungan selain
suhu, antara lain tingkat cahaya, lama cahaya, dan kelembapan.
Interaksi ini beragam dan rumiit, sehingga topik dalam bab ini
kadang agak menyimpang dan tema utama, yaitu respons tumbuhan
terhadap suhu, khususnya suhu rendah.
22.1 DILEMA SUHU-ENZIM
Pada waktu memperkirakan respons pertumbuhan terhadap suhu,
sering kita mendalilkan berlangsungnya reaksi enzim yang
dipengaruhi oleh dua faktor berlawanan: Kenaikan suhu
meningkatkan energi kinetik molekul yang bereaksi, dan ini
meningkatkan laju reaksi; tapi, kenaikan suhu juga meningkatkan
laju denaturasi enzim. Selisih antara kurva reaksi dan kurva
perombakan menghasilkan kurva tak-setangkup (gambar 22.3) yang
mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum (suh utama)
sendiri. Kurva tersebut berlaku untuk respirasi, fotosintesis,
dan berbagai respons tumbuhan lainnya, di samping pertumbuhan.
Ketika membahas nilai Q10 pada pasal 2.3, telah kita lihat
bahwa kenaikan suhu yang sama kecilnya menyebabkan laju berbagai
reaksi kimia meningkat beberapa kali laju pada suhu yang lebih
rendah. Jadi, jika Q10 = Z maka laju reaksi kurang lebih berlipat
dua untuk tiap kenaikan suhu 10°C. Dan data beberapa reaksi yang
mengikuti kaidah ini, Svante Arrhenius (ahli kimia berbangsa
Swedia, 1859—1927, pemenang Hadiah Nobel tahun 1903 bidang kimia)
mendapatkan hubungan berikut ini pada tahun 1889, yang dinamakan
persamaan Arrhenius:
dengan k1 dan k2 adalah laju reaksi pada suhu T1 dan T2, serta A
adalah konstanta. Dan persamaan itu, Arrhenius mendapatkan suatu
persamaan yang agak Iebih rumit, dengan bentuk sebagai berikut
(baca buku ajar kimia fisika untuk persamaan yang lebih rinci
dengan log k adalah logaritme laju reaksi, T adalah suhu mutlak
kelvin, dan a dan b merupakan konstanta. Persamaan itu merupakan
garis lurus bila log k dirajah sebagai fungsi kebalikan suhu
kelvin (1/7) pada bagan Arrhenius. Persamaan mi telah diterapkan
pada banyak sekali proses fisiologi atau reaksi enzimatik,
seperti pada contoh gambar 22.4. Kemiringan garis ditunjukkan
oleh konstanta b, dan memang mungkin mendapatkan energi kerja
(Ea) dan kemiringan itu.
Gambar 22.3 Aktivitas enzim dan suhu. I. Laju reaksi dengan Q10 =
2, khas untuk berbagai reaksi kimia, termasuk yang (pada suhu
rendah) dikendalikan oleh enzim. II. Reaksi dengan Q10 = 6, khas
untuk denaturasi protein. IlI Kurva perkiraan yang merupakan
selisih antara kurva untuk laju reaksi yang dikendalikan oleh
enzim (I) den kurva denaturasi enzim (II). Kurva ini khas untuk
respons reaksi yng dikendalikan oleh enzim terhadap rentang suhu
yang’1mum untuk reaksi itu. Energi kerja adalah energi minimum
yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses yang sedang diukur.
Gambar 22.4 Bagan Arrhenius sebagal cara untuk menganalisisefek suhu terhadap berbagai proses, termasuk reaksi metabolik,reaksi Iainnya, perkecambahan, atau respons tumbuhan atau hewan.(a) Bagan Arrhenius sederhana mengenai respirasi akar Ranunculus(R), Carex (C), Dupontia (D), dan Eriophorum (E). Angka padakurva menunjukkan energi kerja yang nyata dalam kJmor-1. Padabagan itu, kordirnat merupakan logaritma respons (dalam hal iniadalah respirasi), dan absis merupakan kebalikan dan suhu mutlak.(Suhu dalam derajat Celsius juga dipertihatkan: perhatikan bahwapada bagan kebalikan ini, suhu rendah terlihat di sebelah kanan,bukan sebelah kin). (Dan Eamshaw, 1981, dengan izin). (b)Pengaruh suhu perkecambahan terhadap massa basah sumbu kecambahdan dua kultivar kedelai. (Garis tegak menunjukkan simpanganbaku). (c) Bagan Arrhenius dan data pada b. Perubahan D, dalammassa basah per hari (laju tumbuh) dipenlihatkan pada c. (DanHenspn dkk, 1980, dengan izin)
Untuk proses yang berlangsung dalam oganisme, bagan
Arrhenius umumnya merupakan garis lurus dalam rentang suhu yang
memungkinkan suatu organisme untuk hidup selama jangka waktu agak
lama. Setiap belokan, patahan, atau perubahan dalam bagan
Arrhenius menunjukkan perubahan kepekaan proses yang sedang
diukur terhadap suhu. Penurunan yang tajam memperlihatkan
denaturasi protein yang terjadi di batas atas suhu pada bagan,
dan sebuah ketidaksambungan (patahan) atau infleksi (perubahan
kemiringan) dapat terjadi di batas suhu bawah pada bagan.
Infleksi atau patahan seperti itu dalam bagan Arrhenius
menunjukkan bahwa proses yang sedang dikaji peka terhadap suhu
rendah. Peningkatan kemiringan bagan di bawah suhu infleksi
menunjukkan bahwa energi keria (Ea) telah meningkat dan menjadi
lebih terbatas pada kecepatan maksimum (Vmaks, laju maksimum
proses pada kondisi tertentu) dibandingkan dengan pada suhu di
atas suhu infleksi. Keadaanini umum ditemui dalam proses
fisiologi dan reaksi enzimatik tumbuhan yang peka terhadap suhu
rendah (baca pasal 26.5). Bagan Arrhenius dan kultivar yang
berbeda dalam spesies yang sama dapat sangat berlainan untuk
proses yang sama, misalnya pertumbuhan setelah perkecambahan
seperti yang dirajah pada gambar 22.4b.
Setelah kita mengenal adanya respons positif bila suhu
meningkat dan minimum ke optimum, sangatlah mengejutkan untuk
mengetahui bahwa beberapa proses tertentu ternyata meningkat bila
suhu menurun mendekati titik beku. Pada vernalisasi, pemajanan
tumbuhan tertentu pada suhu rendah selama beberapa minggu
menyebabkan tumbuhan mampu berbunga, biasanya setelah
dikembalikan ke suhu normal. Suhu rendah pada musim gugur sering
menyebabkan atau membantu berlangsungnya dormansi pada banyak
biji, tunas, atau organ bawah tanah. Suhu rendah pada musim semi
dapat membantu berakhirnya dormansi pada organ yang sama.
Paradoks yang menarik tentang respons terhadap suhu rendah adalah
bahwa suhu rendah mula-mula menyebabkan dormansi dalam tumbuhan,
tapi suhu rendah yang berkelanjutan akan mengakhiri dorman. Bila
kita terlalu cepat menyimpulkan bahi dormansi adalah pelambatan
negatif sederhana dan proses tumbuhan pada suhu yang menurun,
maka kita tentulah harus memandang berakhirnya dormansi dalam
pengertian positif yang berlawanan. Ini merupakan dilema yang
menarik tentang respons terhadap suhu-rendah.
Akan dibahas lima respons positif yang berbeda terbadap suhu
rendah. Yang pertama, vernalisasi, telah banyak dikaji, sehingga
merupakan topik awal yang baik. Yang kedua; juga telah
dipelajari dengan mendalam, adalah berakhirnya dormansi biji
dengan memajankan biji lembap pada suhu rendah. Perlakuan ini
sering dinyatakan sebagai stratifikasi, tapi istilah prechilling
(perlakuan awal suhu rendah) saat ini lebih populer karena Iebih
jeIas. Kita akan lebih banyak berbincang tentang dominansi biji
dan perkecambahan daripada tentang respons biji terhadap suhu.
Proses ketiga sangat berkaitan: berakhirnya dormansi musim dingin
pada tunas tumbuhan berkayu tahunan. Proses keempat kurang
dikaji: pengaruh suhu-rendah pada perkembangan organ penyimpan
bawah tanah, seperti umbi, subang, dan bulbi. Proses kelima juga
kurang dikaji: pengaruh suhu rendah terhadap pembentukan dan
pertumbuhan vegetatif tumbuhan tertentu.
Pada setiap proses itu, yang terutama kita perhatikan adalah
efek penundaan (kadang disebut efek induktif) pada beberapa
proses perkembangan tanaman. Efek seperti itu, yaitu, responsnya
baru terIihat beberapa waktu setelah berakhirnya stimulus, juga
dijumpai pada respons terhadap faktor lingkungan lain, seperti
panjang hari (fotoperiodisme). Pada kenyataannya efek suhu-
rendah dan panjang-hari sering saling berhubungan dalam kelima
respons tersebut. Akhirnya, respons terhadap suhu-rendah dapat
mempengaruhi kerja gen khusus, yaitu pergantian program
morfogenetik akibat suhu rendah. Dapatkah gen itu menanggapi suhu
rendah secara langsung? Jika tidak, bagian apa dalam sel yang
sebetulnya tanggap, meneruskan isyarat suhu-rendah menjadi
perubahan fisiologi? Apakah transduser (sensor) terletak di
sitoplasma atau di inti sel, tempat program itu diatur-ulang?
Atau di sel lain? Hanya ada sedikit jawaban untuk semua
pertanyaan tersebut, tapi berbagai jawaban itu dapat menjadi
panduan untuk penelitian lebih lanjut.
22.2 VERNALISASI
Proses vernalisasi (bukan istilahnya) dijelaskan pada
sedikitnya 11 terbitan di Amerika Serikat selama pertengahan abad
19 dan awal abad 20 (misalnya, di New American Farm Book tahun
1849), tapi vernalisasi benar-benar diabaikan oleh ilmu ‘mapan’,
dan baru mendapat perhatian pada tahun 1910 dan 1918, ketika J
Gustav Gassner (baca makalahnya tahun 1918) di Jerman menguraikan
vernalisasi tumbuhan bebijian. Banyak kajian awal tentang
perkembangan tumbuhan berlangsung di Eropa; Amerika Serikat dan
Kanada tampaknya tengah sibuk menaklukkan daerah perbatasan.
Pada tahun 1920an, istilah vernalisasi diciptakan oleh Trofim
Denisovich Lysenko, yang oleh perintah Stalin diizinkan memegang
kendali politik mutlak terhadap ilmu genetika di Soviet. Dalam
proses itu ia mengharuskan ahli genetika berbangsa Soviet
menerima dogma tentang pewarisan sifat yang diperoleh (baca
Caspari dan Marshak, 1965). Vernalisasi, dan kata Latin,
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘pemusim-semian’,
menunjukkan bahwa kultivar musim dingin diubah menjadi kultivar
musim semi atau kultivar musim panas oleh perlakuan suhu rendah.
Sekarang kita tahu, walaupun Lysenko saat itu tidak menyadari,
bahwa susuan genetik tidak berubah oleh perlakuan suhu rendah.
Kondisi dingin yang dibuat oleh peneliti hanyalah untuk
menggantikan suhu rendah alami musim dingin, seperti untuk
tanaman bebijian musim dingin yang ditanam pada musim gugur,
misalnya gandum atau beras belanda.
Istilah vernalisasi telah digunakan secara luas dengan
pengertian yang salah. Semua respons tumbuhan terhadap suhu
rendah kadang dinyatakan sebagai vernalisasi, termasuk juga
peningkatan pembungaan akibat perlakuan apa aja (bahkan akibat
panjang hari). Kita akan membatasi istilah vernalisasi sebagai
peningkatan pembungaan oleh suhu rendah.
Jenis respons
Terdapat banyak respons vernalisasi, yang tidak hanya
bergantung pada spesies, tapi sering bergantung pada varietas dan
kultivar dalam spesies yang sama. Dalam pengelompokan jenis
respons, terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, kita harus membedakan respons tertunda dengan tak-
tertunda. Sebagian besar tumbuhan yang telah dikaji memberikan
respons setelah suatu penundaan, walaupun beberapa di antaranya
(contohnya, kubis brussel) membentuk bunga saat berlangsungnya
perlakuan suhu rendah itu sendiri.
Cara yang tepat untuk mengelompokkan jenis respons adalah
menurut umur saat tumbuhan peka terhadap suhu rendah. Tanaman
setahun musim dingin. khususnya rumput bebijian, dikaji selama
tahun 1930an dan 1940an, khususnya di Uni Soviet dan oleh
FrederickG Gregory dan O Nora Purvis (baca Purvis, 1961) Imperial
College di London. Respons tumbuhan terhadap suhu rendah telah
ada semenjak fase bibit, bahkan fase biji, asal saja cukup
tersedia oksigen dan kelembapan. Benih beras belanda (Secale
cereale) Petkus umumnya ditanam pada musim dingin, pada waktu
benih biasanya berkecambah, dan melewati musim dingin sebagai
bibit kecil. Atau, benih lembab dapat diberi perlakuan suhu
rendah dalam ruang dingin selama beberapa minggu. Tanaman akan
berbunga pada suhu normal sekitar tujuh minggu setelah pentumbuha
dimulai di musim semi. Tanpa perlakuán suhu rendah diperlukan 14
sampai 18 minggu untuk membentuk bunga, walaupun akhirnya bunga
mekar juga. Karena kebutuhan akan suhu rendah bersifat
kuantitatif atau fakultatif (suhu rendah menyebabkan pembungaan
lebih cepat), tapi bukan bersifat kualitatif atau mutlak
(pembungaan bergantung sepenuhnya pada suhu rendah), maka kita
mempunyai dasar lain untuk klasifikasi. Sebagian besar tumbuhan-
setahun musim dingin menunjukkan respons yang tertunda atau
bersifat kuantitatif, walaupun ada juga (misalnya-gandum Lancer)
yang benar-benar membutuhkan suhu rendah.
Terdapat dua masalah menarik pada beras belanda Petkus.
Perlakuan hari-pendek dapat menggantikan suhu rendah dalam batas
tertentu dan pembungaan tanaman yang divernalisasi sebelumnya,
ditingkatkan secara nyata oleh hari-panjang. Semua tumbuhan-
setahun musim dingin, sejauh yang sudah dikaji, meningkat akibat
suhu rendah, tapi juga akibat hari panjang di akhir musim semi
dan awal musim panas berikutnya.
Tumbuhan dwi-tahun hidup dalam dua musim pertumbuhan,
kemudian berbunga dan mati (pasal 16.2). Contohnya meliputi
beberapa kultivar bit gula, kubis, wortel, dan seledri. Tumbuhan
ini berkecambah di musim semi, nembentuk tumbuhan vegetatif yang
Iazimnya berbentuk roset (gambar 22.5, kanan bawah). Daunnya
sering mengering pada musim gugur, tapi kematiannya pada dasar
melindungi mahkota dengan meristem apikalnya. Dengan datangnya
musim semi kedua, daun baru terbentuk, dan terjadi pemanjangan
pucuk bunga dengan cepat: proses ini dinamakan bolting. Pemajanan
pada suhu rendah musim dingin antara dua musim pertumbuhan
menyebabkan pembungaan. Sebagian besar tumbuhan dwi-tahun harus
mengalami suhu sedikit di atas titik beku selama beberapa hari
sampai beberapa minggu untuk pembungaan berikutnya; tumbuhan itu
mutlak perlu suhu rendah, berlawanan dengan tumbuhan setahun
musim dingin fakultatif. Tanaman bit gula dapat dipertahankan
tetap vegetatif selama beberapa tahun dengan tidak memajankannya
pada suhu rendah (gambar22.6). Pembungaan tumbuhan dwi-tahun juga
meningkat dengan dialaminya hari panjang setelah suhu rendah, dan
beberapa di antaranya mutlak memerlukan perlakuan ini (contohnya,
Hyoscyamus niger, gambar 22.5). Tumbuhan dwi-tahun lainnya
memerlukan hari netral setelah vernalisasi.
Gambar 22.5 Respons pembüngaan Hyoscyamus niger, spesies
yang lazim berbentuk roset, terhadap penyimpanan pada suhu tinggi
atau rendah diikuti dengan perlakuan hari-panjang atau hari-
pendek. Hanya suhu rendah yang diikuti hari-panjang yang
menyebabkan pembungaan.
Banyak spesies tumbuhan yang memerlukan suhu rendah tidak
begitu saja termasuk kategori tumbuhan setahun musim dingin atau
tumbuhan dwi-tahun. Sebagai contoh, perbungaan beberapa rumput
tahunan ditingkatkan oleh suhu rendah. Beberapa di antaranya,
kemudian, memerlukan hari-pendek untuk pembungaan. Krisan
merupakan tanaman tahunan hari pendek yang telah banyak dikaji
karena respons fotopeniodismenya. Kebutuhan akan suhu rendah ini,
yang harus diperoleh sekali sebelum dapat memberikan respons
terhadap hari pendek, telah diabaikan karena tanaman diperbanyak
secara vegetatif, dan steknya membawa pergi efek vernalisasi.
Beberapa tumbuhan berkayu tahunan mempunyai kebutuhan akan suhu
rendah untuk pembungaannya (Chouard, 1960), dan beberapa sayuran
kebun setahun akan berbunga agak Iebih awal pada musim itu jika
terpajan pada perlakuan vernalisasi singkat (Thompson, 1953).
Sebagai rangkuman: Berbagai spesies dibuat berbunga oleh
beberapa kali perlakuan suhu rendah. Pada beberapa tumbuhan
terdapat respons kuantitatif, dan pada beberapa tanaman lainnya
terdapat respons kualitatif. Pembungaan pada banyak spesies juga
memerlukan atau ditingkatkan oleh panjang hari yang sesuai.
Respons terhadap lingkungan itu mempersiapkan tanaman untuk daur
iklim setahun. Kita tidak berurusan dengan waktu endogenous
seperti pada bab sebelumnya, tapi dengan sistem yang kompleks;
pada sistem ini, tumbuhan memberikan respons terhadap satu musim
dengan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi musim berikutnya.
Lokasi respons suhu-rendah
Adalah tunas, mungkin meristem, yang lazimnya memberikan
respons terhadap suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi.
Hanya jika tunas diberi suhu rendahlah, tumbuhan akan berbunga.
Embrio atau bahkan meristem yang diisolasi dari biji beras
belanda juga mengalami vernalisasi. Dengan cara lain, berbagai
bagian tanaman yang mengalami vernalisasi dienten ke tanaman yang
tak mengalami vernalisasi. Jika meristem yang mengalami
ditranspalantasikan, tanaman itu akhirnya akan berbunga. Tetapi,
jika meristem tanaman yang tidak mengalami vernalisasi dienten
ketanaman yang mengalami vernalisasi setelah meristem yang
mengalami vernalisasi dibuang, maka pertumbuhan meristem yang
dienten tetap vegetatif.
SJ Wellensiek (1964) di Belanda menyatakan bahwa
vernalisasi memerlukan sel yang terbelah. Beberapa kajian
mendukung kesimpulannya, walaupun ada biji yang memberikan
respons pada suhu beberapa derajat dibawah titik beku, saat tidak
terjadi pembelahan sel dan pengamatan dengan mikroskop tidak
berhasil menunjukkan hal itu. Bila pembelahan sel atau replikasi
DNA pada sel tak terbelah itu memang perlu, maka hal tersebut
merupakan temuan yang berarti. DNA harus mengalami replikasi
sebelum terjadi diferensiasi sel, mungkin bila hanya DNA
dipisahkan sementara dari protein kromosom, maka pengaktifan atau
penonaktifan gen dapat berlangsung.
Percobaan Fisiologi
Ada satu penelitian fisiologi vernalisasi yang menentukan
suhu optimum bagi prose situ. Laju maksimum vernalisasi terjadi
pada rentang suhu yang cukup lebar (bergantung pada spesies), dan
vernalisasi bahkan berlangsung pada beberapa derajat dibawah
titik beku. Biasanya batas bawah ditentukan oleh pembentukan
Kristal es didalam jaringan. Lazimnya terdapat rentang suhu
optimum yang lebar (sekitar 0 sampai 10° C) dan beberapa efek
telah teramati pada sushu sampai setinggi 18 sampai 22° C. jenis
lain kajian fisiologi adalah menentukan waktu vernalisasi yang
paling efektif. Panjang minimum untuk berbagai efek yang teramati
beragam dari 4 hari sampai 8 minggu. Bergantung pada spesies.
Waktu jenuh beragam antara 3 minggu untuk gandum musim dingin
sampai 3 bulan untuk henbane.
Jika setelah perlakuan vernalisasi tanaman akan segera
terpajan pada suhu tinggi, tanaman itu sering tidak berbunga.
Kebalikan ini disebut sebagai devernalisasi. Supaya efektif, suhu
devernalisasi harus sekitar 30°C atau lebih untuk beras belanda
musim dingin, dan diberikan selama beberapa hari dan dalam waktu
4 atau 5 hari setelah suhu rendah (agak lebih lama pada spesies
lain). Kenyataannya beberapa vernalisasi dapat diamati bila
tanaman dipajankan pada semua suhu diatas suhu yang menyebabkan
vernalisasi. Pada beras belanda musim dingin, 15°C merupakan suhu
netral, suhu dibawaah itu akan mempercepat pembungaan, dan suhu
diatas itu akan menunda pembungaan. Kondisi anaerobik setelah
vernalisasi juga menyebabkan devernalisasi, bahkan juga pada suhu
netral. Setelah devernalisasi, sebagian besar tumbuhan dapat
divernalisasi ulang dengan perlakuan suhu rendah.
Vernalisasi Dan Giberelin
Jika meristem apikal itu sendiri memberikan respon terhadap
suhu rendah, stimulus atau hormone pembuangan yang diangkut
tampaknya tidak memberika respons. Pada sebagian besar kejadian,
efek vernalisasi tidak ditranslokasikan dari satu meristem
kemeristem lain, baik dalam tanaman yang sama maupun bila tunas
atau tanaman yang divernalisasi dienten ketanaman tanpa
vernalisasi. Namun terdapat perkecualian, seperti sudah pernah
dilaporan pada tahun 1937 oleh Georg Melchers di Jerman (diulas
oleh Lang, 1965b). Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di
Uni Soviet. Saat Meichers menyambung tanaman henbane yang
divernalisasi ke tanaman penerima yang tak pernah mendapat
perlakuan suhu rendah, tanaman itu berbunga. Jenis respons tak
serupa juga mengirimkan stimulus pembungaan melewati tautan
enten; misalnya, tanaman yang perlu suhu rendah dapat diinduksi
untuk berbunga tanpa mengalami suhu rendah dengan dienten pada
varietas yang tak perlu suhu rendah. Yang sebaliknya juga dapat
terjadi, walau tak begitu jelas. Namun, perlu ditegaskan bahwa
pengiriman hanya terbatas untuk beberapa spesies. Sebagian besar
pengiriman lewat tautan enten tidak berhasil.
Agar percobaan berhasil, tautan enten yang hidup mesti
terbentuk antara dua tanaman; kondisi yang mendukung pengangkutan
karbohidrat juga mendukung pengangkutan stimulus. Jika tanaman
penerima mengering, sedangkan daun yang berfotosintesis tinggal
pada tanaman donor, tanaman penerima tentulah mendapat hara dan
tanaman donor, yang memacu pengangkutan stimulus vernalisasi
melewati tautan enten.
Meichers menduga ada stimulus vernalisasi hipotetis yang
dinamakannya vernalin. Tentulah yang perlu dilakukan adalah
mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa itu. Banyak usaha sia-
sia yang telah dilakukan, tapi hasil penelitian dengan
menggunakan giberelin menunjukkan bahwa sifat giberelin serupa
dengan dugaan sifat vernalin. Anton Lang (1957) menemukan bahwa
giberelin yang diberikan pada tanaman dwitahun tertentu
menyebabkan tanaman itu berbunga tanpa perlakuan suhu rendah
(gambar 22.8). Peneliti lain (misalnya Purvis, 1961) menginduksi
tumbuhan-setahun musim-dingin dengan memberikan giberelin pada
benihnya. Ternyata giberelin alami dibentuk dalam spesies yang
memerlukan suhu-rendah selama spesies itu terpajan pada suhu
rendah. Jadi, giberelin jelas terlibat dalam vernalisasi.
Apakah giberelin sama dengan vernalin? Banyak alasan yang
menyebabkan ahli fisiologi tumbuhan enggan menjawab ya. Bila
giberelin (terutama hanya GA3) diberikan pada tanaman roset yang
perlu suhu rendah, respons pertama yang teramati adalah
pemanjangan pucuk vegetatif, diikuti oleh perkembangan tunas
pembungaan pada pucuk itu. Tapi, bila tanaman diinduksi untuk
berbunga dengan perlakuan suhu rendah, tunas pembungaan mulai
membengkak. Jika respon pembungaan terhadap perlakuan giberelin
tidak dapat disamakan dengan induksi alami pembungaan, beberapa
pertanyaan dapat diajukan: Dapatkah giberelin menyebabkan
perubahan dalam tanaman sehingga terjadi pembungaan atau bahkan
menghasilkan vernalin? Dapatkah beberapa molekul yang berbeda
mempengaruhi program morfogenetik dengan cara yang pada dasarnya
sama?
Mikhail Chailakhyan (1968) di Uni Soviet mengemukakan bahwa
terdapat dua senyawa yang terlibat dalam pembentukan bunga: yang
pertama adalah giberelin atau senyawa lir-giberelin, dan yang
kedua adalah senyawa yang dinamakana antesin. Tanaman yang V
memerlukan suhu rendah dan/atau hari panjang mungkin tak
mengandung cukup giberelin bila tidak terpajan pada lingkungan
penginduksi, sedangkan tanaman hari-pendek mungkin mengandung
cukup giberelin, tapi kekurangan antesin. Chailakhyan sependapat
bahwa tanaman yang perlu suhu rendah memproduksi vernalin
Melchers sebagai - respons terhadap suhu rendah, tapi vernalin
kemudian diubah selama hari panjang menjadi giberelin, paling
tidak pada tanaman yang memerlukan hari panjang setelah suhu
rendah.
Penelitian yang dilakukan puluhan tahun yang lalu oleh
Melchers (1937) mendukung pandangan dua-senyawa itu. Tanaman
hari-pendek tanpa induksi (tembakau Maryland Mammoth) dienten ke
tanaman perlu suhu-rendah tanpa induksi (henbane), menyebabkan
tanaman henbane berbunga. Tampaknya, kedua tanaman itu masing-
masing mengandung satu senyawa esensial untuk proses pembungaan,
tapi harus mendapatkan satu senyawa lagi dan tanaman yang
dientenkan padanya. Fenomena ini berlaku untuk henbane, tapi
tidak untuk tembakau.
Vernalisasi Dan Fase Induksi
Pembungaan lazimnya terjadi beberapa hari atau minggu
setelah perlakuan suhu rendah. Seberapa tetapkah fase induksi
ini, yatu kondisi tanaman tervernalisasi, sebelum berbunga? Untuk
berbunga, salah satu varietas henbane memerlukan suhu rendah yang
diikuti oleh hari panjang. Setelah vernilisasi, pembungaan dapat
ditunda dengan hanya memberi hari pendek (lihat gambar 22.5).
StimuIus vernalisasi tidak hilang pada tanaman seperti itu
setelah 190 hari, walaupun semua daun awal yang terpajan pada
suhu rendah telah mall. Barulah setelah 300 hari kondisi
vernalisasi mulai hilang. Pada banyak spesies tumbuhan, fase
induksi tampak sangat stabil. Misalnya, benih tanaman bebijian
tertentu dapat diIembabkan (sampai 40 persen air, kadar yang
sangat rendah bagi perkecambahan), divernalisasi, dan kemudian
dikeringkan dan dipertahankan selama beberapa bulan sampai
beberapa tahun tanpa kehilangan kondisi vernalisasi. Kami
perhatikan bahwa kisaran yang diperbanyak dengan stek
mempertahankan kondisi vernalisasi awalnya. Namun, fase induksi
jauh kurang permanen pada beberapa spesies lainnya.
22.3 DORMANSI
Fenomena
Hanya sedikit tumbuhan yang berfungsi aktif pada suhu
mendekati titik beku. Karena itu, bagaimana tumbuhan dapat hidup
di daerah dengan suhu mendekati atau di bawah titik beku selama
beberapa minggu atau bulan setiap tahunnya? Lazimnya tumbuhan
seperti itu menjadi dorman atau kuisen, yaitu tetap hidup, tapi
aktivitas metaboliknya rendah. Daun dan tunas tumbuhan-tetap-
hijau menurun aktivitasnya selama musim dingin, sedangkan
tumbuhan-gugur-daun tahunan menggugurkan daunnya dan membentuk
tunas tak-aktif yang khusus. Biji sebagian besar spesies di
daerah dingin mengalami dorman atau kuiseñ lama musim dingin.
Perubahan tertentu terjadi di dalam sel biji tersebut yang
memungkinkannya bertahan pada suhu di bawah titik beku (baca bab
26).
Mungkin suhu itu sendiri mempunyai peran mengendalikan
kelangsungan hidup tumbuhan di daerah dingin. Kondisi dorman atau
kuisen dan daun dan tunas tumbuhan-tetap-hijau sering terbentuk
sebagai respons terhadap suhu rendah, efek yang lazimnya
diperkuat oleh hari pendek. Pertumbuhan berikutnya pada musim
semi sering bergantung pada lamanya pemajanan tunas dan biji
dorman pada suhu rendah musim dingin. Tunas atau biji menumpuk
atau menjumlahkan periode pajanan pada suhu rendah. Jadi, tanaman
mengukur panjang musim dingin dan memperkirakan musim semi, kapan
saat yang aman untuk mulai tumbuh dan melonggarkan pertahanan.
Seperti yang sering kita simak dalam pembahasan, situasinya
menjadi semakin rumit. Tumbuhan umumnya memberikan respons
terhadap berbagai isyarat Iingkungan. Perkecambahan biji,
misalnya, dipengaruhi tidak hanya oleh suhu, tapi juga
(bergantung pada spesies) oleh cahaya, pemecahan kulit biji agar
radikula dapat menerobos keluar dan oksigen dan/atau air dapat
masuk, penghilangan zat penghambat kimiawi dan pematangan embrio.
Konsep Dan Tata Nama Dormansi
Ahli fisiologi benih biasanya menetapkan perkecambahah
sebagai kejadian yang dimulai dengan imbibisi dan diakhiri ketika
radikula (akar lembaga; atau pada beberapa biji,
kotiledon/hipokotil) memanjang atau muncul melewati kulit biji
(Bewley dan Black, 1982, 1984; Mayer, 1974). Biji dapat tetap
viabel (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena
beberapa alasan: kondisi luar atau kondisi dalam. Situasi-dalam
yang mudah dipahami adalah embnio yang belum mencapai kematangan
morfologi untuk mampu berkecambah (misalnya, pada beberapa
anggota Orchidaceae, Orobanchaceae, atau genus Ranunculus). Hanya
waktulah yang memungkinkan kematangan ini berkembang.
Perkecambahan biji tumbuhan liar sering terhambat oleh situasi-
dalam ini, tapi perkecambahan biji berbagai tumbuhan budidaya
mungkin hanya terhambat oleh kurangnya kelembaban dan/atau suhu
hangat.
Untuk membedakan, kedua keadaan yang berlainan itu, ahli
fisiologi benih menggunakan dua istilah: Kuisen, yaitu kondisi
biji saat tidak mampu berkecambah hanya karena kondisi-luamya
tidak sesuai (misalnya, biji terlalu kering atau terlalu. Dingin)
dan dormansi, yaitu kondisi biji yang gagal berkecambah karena
kondisi-dalam, walaupun kondisi-luar (misalnya suhu, kelembaban,
dan atmosfer) sudah sesuai.
Ada masalah pada tata-nama itu. Biji dorman sering diinduksi
untuk berkecambah oleh beberapa perubahan khusus di lingkungan,
seperti cahaya atau periode suhu rendah. Di mana kita dapat
menarik garis pemisah pada kondisi yang dinyatakan sebagai
‘kondisi-luar yang sesuai’? Lagi pula, ada pengertian bahwa
kondisi-dalamlah yang selalu merupakan pembatas. (Jika air
merupakan pembatas, maka terjadi kekurangan air dalam sel embrio
di biji). Dengan kata lain, kondisi-luar hanya memingkinkan
perkecambahan dengan mempengaruhi kondisi-dalam. Kita bahkan
lebih tepat mengatakan kondisi dasar saja daripada bergantung
pada kata sesuai. Jadi, kita dapat menyebut dormansi sebagai
kondisi biji saat biji gagal untuk berkecambah walaupun (1)
tersedia cukup banyak kelembaban luar, (2) biji dipajankan ke
kondisi atmosfer yang lazim ditemukan pada tanah beraerasi baik
atau pada permukaan tanah, dan (3) suhu berada dalam rentang yang
biasanya berkaitan dengan aktivitas fisiologi (katakanlah 10—
30°C). (Seorang ahli fisiologi benih dapat menetapkan kondisi
yang lebih tepat). Karena itu, kuisen merupakan kondisi biji yang
gagal berkecambah kecuali bila kondisi tadi diciptakan (Jann dan
Amen, 1977). Konsep dormansi mencerminkan konsep induksi; hampir
pada semua kejadian, perkecambahan tidak berlangsung selama ada
perlakuan yang mengakhiri dormansi, tapi justru sesudahnya.
Seperti telah dinyatakan secara singkat pada pasal 20.6,
Lang dkk (1982; baca juga Salisbury, 1986) menyarankan untuk
menggunakan istilah ekodormansi dalam pengertian dormansi di
sini, dan endodormansi dalam pengertian kuisen. Mereka juga
menyatakan paradormansi sebagai suatu bentuk dormansi yang
dikendalikan oleh bagian tumbuhan selain dan bagian yang sedang
dorman itu (misalnya, dormansi tunas yang dikendalikan oleh daun
di dekatnya). Jika saran ini dipakai, mungkin dapat menghilangkan
kebingungan yang meliputi tata nama dormansi.
Ada satu istilah lain yang kerap digunakan para penulis
dalam bidang kajian ini yaitu pascapematangan yang menunjukkan
semua perubahan yang berlangsung di dalam biji (atau tunas)
selama berakhirnya dormansi. Penulis lain (misalnya, Leopold dan
Kniedemann, 1975) menggunakan istilah itu dalam pengertian yang
lebih tepat, terbatas pada perubahan kematangan yang terjadi di
dalam embrio selama penyimpanan. Kita dapat menganggap pasca
pematangan sebagai perubahan berakhirnya dormansi yang terjadi
dalam biji seiring dengan berjalannya waktu, tapi tanpa perlakuan
khusus lainnya (Bewley dan Black, 1984).
22.4 MASA HIDUP DAN PERKECAMBAHAN BIJI
Merupakan hal yang menarik bahwa organisme hidup dapat
memasuki keadaan semacam mati suri, yaitu tetap hidup, meskipun
tidak tumbuh selama jangka waktu yang lama, dan baru mulai tumbuh
aktif bila kondisinya sudah sesuai. Ada laporan tentang
keberhasilan perkecambahan gandum Emmer dan lumbung kuno makanan
ternak di Fayum (disimpan sekitar 6400 tahun yang lalu) atau dari
makam Tutankhamen di Thebes (4000 atau 5000 tahun yang lalu).
Penyelidikan pada biji itu menunjukkan bahwa biji tersebut tidak
hanya mati, tapi juga tidak memiliki komponen asam nukleat yang
bobot molekulnya besar (baca Osborne, 1980). Bewley dan Black
(1982, 1984) menyatakan bahwa paling tidak salah satu di antara
laporan itu (dan tahun 1843; diproduksi-ulang dalam bahasan
mereka) pasti bualan belaka. Meskipun demikian, lama hidup
beberapa biji memang sangat tinggi, beberapa di antaranya
melebihi masa hidup manusia (Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1989).
Tabel 22.1 mencantumkan lama hidup beberapa biji. Mimosa
glormerata mempunyai kemungkinan lama hidup 221 tahun, tapi masa
hidup biji yang lazim adalah antara 10 sampai 50 tahun. Biji
mampu-tumbuh lupine (Lupinus arcticus) ditemukan dalam liang tikus
(bersama dengan sisa tikus) terbenam jauh di dalam lumpur beku
permanen dan masa Plaeistocene di Yukon Tengah (Porsild dkk,
1967). Bahan yang membuns biji ditentukan dengan teknik radio-
karboñ, dan ternyata berumur 14.000 tahun, tapi tak ada bukti
bahwa biji tersebut berumur setua itu (Bcwley dan Black, 1982).
Bjji, mampu-tumbuh teratai (Nelumbo nucifera) \ ditemukan dalam
gambut di danau kering di lembah sungai Pulantien, Manchuria
Selatan, diperkirakan berumur sangat muda (hasil penentuan dengan
radio-karbon), tapi mungkin juga berumur 1000 atau 2000 tahun
(penentuan secara arkeologi dari gambutnya). Biji teratai serupa
ditemukan di sebuah perahu di danau dekat Tokyo, dan perahu itu
ditentukan dengan radio-karbon, dan diperkirakan berumur 300Q
tahun; di sini pun tidak disebut-sebut umur bijinya. Namun,
Priestly dan Posthumus (1982), dengan menggunakan radio-karbon,
menetapkan umur sebagian biji mampu-tumbuh teratai dari
Pulantien, dan ternyata umurnya sekitar 466 tahun pada sadit
berkecambah. Dan biji mampu-tumbuh yang umurnya ditentukan dengan
bukti tak-langsung semata-mata, umur Canna compacta mungkin yang
paling tepat dipercaya (Lerman dan Cigliáno, 1971). Tampaknya,
biji itu dimasukkan ke dalam buah muda kenari yang sedang tumbuh,
dan pada saat buah matang, buah itu pulih kembali, menghasilkan
suara berderak. Biji tersebut tertutup rapat di dalam kulit yang
mengeras. Umur bahan kulit biji ditentukan dengan radlo-karbon:
620 ± 60 tahun.
Kondisi penyimpanan selalu mempengaruhi daya hidup biji.
Meningkatnya kelembaban biasanya mempercepat hilangnya daya
hidup, tapi beberapa biji dapat hidup lama bila terendam dalam
air (misalnya, Juncus sp. Terbenam selama tujuh tahun atau
lebih). Berbagai biji lokal, seperti biji kapri dan kedelai,
tetap mampu-tumbuh lebih lama bila kandungan airya diturunkan dan
biji disimpan pada suhu rendah. Penyimpanan dalam pot atau di
udara terbuka pada suhu sedang sampai tinggi biasanya menyebabkan
biji kehilangan air, dan sel akan pecah bila biji diberi air.
Pecahnya sel melukai embrio dan melepaskan hara yang merupakan
bahan yang , baik bagi pertumbuhan patogen. Tingkat oksigen
normal umumnya merugikan masa, hidup biji. Kehilangan daya-hidup
terbesar terjadi bila biji disimpan pada udara lembab dengan suhu
35°C atau Iebih. Kehilangan daya-hidup dapat disebabkan oleh
patogen-dalam. Beberapa biji tetap hidup lebih lama jika
dibenamkan dalam tanah dibandingkan dengan bila disimpan dalam
botol di rak laboratoniurn mungkin karena perbedaan cahaya, 62,
CO2, kelembaban, dan etilen.
Beberapa biji mempunyai masa hidup yang amat pendek. Biji
Acer saccharin urn, Zizana aquatica, Salix japonica,. dan S. pierotti kehilangan
daya-tumbuhnya dalam seminggu jika diletakkan di udara terbuka.
Bila spesies lainnya tetap dapat-tumbuh hanya selama beberapa
bulan sampai kurang dan satu tahun; dinamakan rekalsitran.
Sering biji tersebut mati hanya karena kelembabannya sedikit
hilang, atau biji tidak mampu bertahan pada suhu rendah
(misalnya, biji tanaman pepohonan tropika). Hail ini merupakan
besar dalam penyimpanan biji dalam cairan nitrogen dengan tujuan
pengawetan genetic (seperti di Laboratorium Benih Nasional di
Fort Collins, Colorado).
Bagaimana cara biji umur-panjang tetap mampu-tumbuh demikian
lama? Selama biji tetap hidup, biji mempertahankan bahan pangan
cadangannya di dalam sel; segera setelah biji mati, bahan itu
mulai bocor keluar. Biji yang dorman, tapi yang mampu-tumbuh,
dapat tetap menempel pada kertas saring basah selama berbulan-
bulan; setelah mati, biji itu akãn segera tertutupi bakteri dan
hifa fungi yang tumbuh pada makanan yang bocor keluar. Sudah
terbukti bahwa biji mampu-tumbuh menghasilkan antibiotik yang
mencegah serangan patogen. Namun, apakah yang mempertahankan
keutuhan membran? Tak seorang pun tahu.
Apa yang tetadi selama perkecambahan? Walaupun masih terlalu
disederhanakan, ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap:
(1) hidrasi atau imbibisi; selama kedua periode tersebut, air
masuk ke dalam embrio dan membasahi protein dan koloid lain, (2)
pembentukan atau pengaktifan enzim, yang menyebabkan peningkatan
aktivitas metabolik, (3) pemanjangan sel radikel, diikuti
munculnya radikel dan kulit biji (perkecambahan yang sebenarnya),
dan (4) pertumbuhan kecambah selanjutnya. Lapisan yang membungkus
embrio, yaitu endosperma, kulit biji, dan kulit buah, dapat
mengganggu masuknya air dan/atau oksigen. Lapisan itu pun
bertindak sebagai penghalang mekanis agar radikula tidak muncul
(pasal 20.6). Pàda biji lain, lapisan itu mencegah bocornya
senyawa penghambat dati embrio atau mengandung senyawa penghambat
itu sendiri. Apakah penyebab dormansi, apakah keuntungan ekologis
dan mekanisme dormansi, dan bagaimanakah berbagai bentuk dormansi
diakhiri agar perkecambahan dapat berlangsung?
22.5 DORMANSI BIJI
Goncangan Dan Skarifikasi
Contoh paling mudah mengenai dormansi adalah adanya kulit
biji yang keras yang menghalangi penyerapan oksigen atau air.
Kulit biji yang keras itu lazim terdapat pada anggota famili
Fabaceae (Leguminosae), walaupun tidak terdapat pada buncis atau
kapri, yang menunjukkan bahwa dormansi tidak umum pada spesies
yang dibudidayakan. Pada beberapa spesies, air dan oksigen tidak
dapat menembus biji tertentu karena jalan masuk dihalangi oleh
sumpal seperti-gabus (sumpal strofiolar) pada lubang kecil (lekah
strofiolar) di kulit biji. Bila biji digoncang-goncang, kadang
sumpal itu lepas sehingga dapat berlangsung perkecambahan.
Perlakuan itu dinamakan goncangan, dan telah diterapkan pada biji
Melilotus alba (semanggi manis), Trigonella arabica, dan Crotallaria egyptica.
Albizzia lophantha merupakan tumbuhan kacangan berukuran kecil
di Australia Barat bagian barat daya (Dell, 1980). Sebagian besar
biji berkecambah hanya di lapisan tebal abu setelah terjadi
kebakaran padang; kurang dan 5 persen yang dapat berkecambah
tanpa panas. Ternyata, masuknya air ke dalam biji dihalangi oleh
sumpal strofiolar sampai sumpal itu terpental keluar bila biji
itu kena panas. Jadi, penyebaran tumbuhan ini terhambat bila
tidak ada kebakaran dan dengan adanya sumpal strofiolar.
Pemecahan penghalang kulit biji dinamakan skarifikasi atau
penggoresan. Untuk itu digunakan pisau, kikir, dan kertas amplas.
Di alam, goresan tersebut mungkin terjadi akibat kerja mikroba,
ketika biji melewati alat pencernaan pada burung atau hewan lain,
biji terpajan pada suhu yang berubah-ubah, atau terbawa air
melintasi pasir atau cadas. Di laboratonium dan di bidang
pertanian (bila perlu) digunakan alkohol atau pelarut lemak lain
(yang menghilangkan bahan berlilin yang kadang menghalangi
masuknya air) atau asam pekat. Sebagai contoh, perkecambahan biji
kapas dan berbagai tanaman kacangan tropika dapat sangat dipacu
dengan merendam biji terlebih dahulu dalam asam sulfat selama
beberapa menit sampai satu jam, dan selanjutnya dibilas untuk
menghilangkan asam itu.
Skarifikasi secara ekologis sangat penting. Waktu yang
diperlukan untuk menuntaskan skanifikasi secara alami dapat
mencegah terjadinya perkecambahan dini pada musim gugur atau
selama periode panas yang tak lazim pada musim dingin.
Skanifikasi dalam alat pencernaan burung atau hewan lain
menyebabkan perkecambahan biji setelah biji tersebar lebih luas.
Biji yang tercuci selama terbawa aliran air di gurun tidak hanya
mengalami skarifikasi, tapi sering berakhir di tempat yang banyak
mengandung air. Dean Vest (1972) memperlihatkan hubungan
simbiosis dan mutualistis antara fungi dan biji Atriplex confertifolia
yang tumbuh di gurun Great Basin. Fungi tumbuh di kulit biji,
merekahkan kulit itu sehingga perkecambahan dapat berlangsung.
Pertumbuhan fungi terjadi hanya bila kondisi suhu dan kelembapan
sesuai baginya selama awal musim semi, yaitu waktu yang
paling .,tepat bagi kecambah untuk dapat bertahan hidup.
Seperti telah dinyatakan sehubungan dengan Albizzia,
kebakaran padang merupakan cara alami lain yang sangat penting.
Beberapa biji, khususnya dalam kondisi seperti pada vegetasi
semak pada iklim Mediteran (contohnya California Selatan),
mengalami skarifikasi dengan baik akibat kebakaran yang lazim
terjadi di sana. Hasilnya, terjadi pemulihan yang cepat di
wilayah itu setelah terjadi kebakaran. Kebakaran padang
juga ,memusnahkan tajuk daun yang umumnya menyerap cahaya merah
yang menyebabkan spektrum cahaya menjadi kaya akan cahaya merah-
jauh yang menghambat perkecambahan biji (baca pasal 20.7).
Senyawa Penghambat Osmotik Dan Kimia
Apakah yang menyebabkan biji pada buah tomat yang masak
tidak berkecambah di dalam buah? Padahal, suhunya biasanya
sangat- sesuai, dan kelembaban serta oksigennya pun cukup. Jika
biji dikeluarkan dan buah, dikeringkan, dan ditanam, biji itu
segera berkecambah; ini menunjukkan bahwa biji itu sudah cukup
matang untuk berkecambah. Memang, biji itu bahkan bisa
berkecambah jika diambil langsung dan buah dan dibiarkan
mengambang di permukaan air. Di dalam buah, potensial osmotik air
buah terlalu negatif untuk perkecambahan (Bewley dan Black,
1984). Zat penghambat khusus mungkin juga ada, persis seperti ABA
dalam endosperma yang sedang berkembang dan biji alfalfa, yang
berfungsi sebagai penghambat perkecambahan embrio. Buah lain
menyaring panjang gelombang yang diperlukan untuk perkecambahan.
(Sebagian besar dari kita telah mengetahui bahwa ada biji yang
berkecambah di dalam buah jeruk; jadi, memang terjadi vivipari
seperti yang dibahas pada pasal 18.5).
Senyawa penghambat kimia sering juga terdapat di dalam biji,
dan sering penghambat ini harus dikeluarkan lebih dulu sebelum
perkecambahan dapat berlangsung. Di alam, bila terdapat cukup
curah hujan yang dapat mencuci penghambat dari biji, tanah akan
cukup basah bagi kecambah baru untuk bertahan hidup (Went, 1957).
Hal ini khususnya penting di gurun, karena kelembaban lebih
menentukan daripada faktor lain seperti suhu. Vest (1972)
mendapatkan bahwa biji Atriplex mengandung cukup banyak natrium
klorida untuk menghambat perkecambahan biji secara usmotik (baca
juga Koller, 1957). Biasanya senyawa penghambat lebih rumit
daripada garam dapur (Evenari, 1957; Ketring, 1973), dan
penghambat mewakili berbagai macam kelompok senyawa organik.
Beberapa di antaranya adalah kompleks pelepas-sianida (khususnya
di biji Rosaceae), sedangkan lainnya adalah senyawa pelepas-
amonia. Minyak sawi umum terdapat pada Brassicaceae (Cruciferae).
Bahan organik penting lainnya meliputi asam organik, Iakton tak-
jenuh (khususnya kumarin, asam parasorbat, dan protoanemonin),
aldehid, minyak esensial, alkaloid, dan senyawa fenol. ABA sering
terdapat pada biji dorman, tapi kebanyakan sudah hilang jauh
sebelum dormansi berakhir (Bewley dan Black, 1984; Walton, 1977).
Jadi, ABA mungkin merupakan penghambat kuat bagi perkecambahan
bila senyawa tersebut ada, tapi pastilah masih banyak penghambat
lain yang menyebabkan dormansi biji.
Penghambat perkecambahan tidak hanya terdapat di biji; tapi
juga di daun, akar, dan bagian tumbuhan lain. Bila terbawa keluar
tumbuhan atau dilepaskan selama pembusukan sampah, senyawa
penghambat dapat menghambat perkecambahan biji atau perkembangan
akar di sekitar tanaman induk. Senyawa yang dihasilkan oleh suatu
tumbuhan yang mengganggu tumbuhan lain dinamakan alelopati (bab
15). (Tentu saja, alelopati tidak menyebabkan dormansi dalam
pengertian biasa). Bahkan ada beberapa bahan yang dihasilkan oleh
organisme lain yang bentindak sebagai pemacu perkecambahan.
Sebagai contoh, nitrat adalah pemacu perkecambahan yang lazim
digiinakan di laboratorium fisiologi benih dan senyawa ini
dihasilkan oleh pembusukan sisa tumbuhan atau hewan.
Sebelum beralih dari topik ini, perlu diingat bahwa banyak
senyawa yang sudah kita kenal yang bukan produk alam dapat sangat
mempengaruhi perkecambahan dengan berbagai cara. Senyawa sintetik
antara lain berbagai senyawa pengatur tumbuh yang saat ini
penting secara komersil (contohnya, Dalapon). Tiourea digunakan
di laboratorium sebagai pemacu perkecambahan, dan nitrat serta
nitrit sering digunakan untuk merangsang perkecambahan berbagai
biji gulma, khususnya spesies rumputan.
Perlakuan Awal Suhu-Rendah Atau Pendinginan Awal
Banyak biji, terutama biji spesies Rosaceae seperti buah-
batu (persik, prem, ceri), berbagai pohon gugur-daun lainnya,
beberapa konifer, dan beberapa herba spesies Polygenum tdak akan
berkecambah kalau bijinya tidak terpajan pada suhu dan oksigen
rendah dalam kondisi lembab selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan (gambar 22.9). Crocker dan Barton (1953)
mencantumkan 62 spesies seperti itu, dan banyak, lagi yang
ditemukan sejak itu. Amat jarang, -biji lembab tanggap terhadap
suhu tinggi, dan beberapa biji memberikan respons terbaik bila
suhu harian bergantian antara tinggi dan rendah. Tindakan
meletakkan biji selama musim dingin di dalam wadah berisi pasir
dan gambut lembab dinamakan stratifikasi. Karena biji dalam wadah
harus diberi suhu rendah sebelum mereka mau berkecambah, istilah
yang lebih populer dan jelas daripada stratifikasi saat ini
adalah perlakuan awal suhu-rendah atau pendinginan awal
(prechilling). Pendinginan awal di laboratorium benih dan untuk
percobaan fisiologi biasanya dilakukan dalam inkubator atau ruang
tumbuh. Di alam, kebutuhan akan suhu-rendah menyebabkan biji
tidak berkecambah dini di musin gugur atau selama periode panas
yang tak biasa di musim dingin.
Apakah perubahan yang berlangsung dalam biji selama
pendinginan awal, yang memungkiñkan biji selanjutnya berkecambah
bila kondisi sudah sesuai? Sebagian besar biji, termasuk yang
memerlukan suhu rendah, kaya akan lemak dan protein, tapi
mengandung sedikit pati (Nikolaeva, 1969; Lang, 1965a). Selama
pendinginan awal, embrio beberapa spesies tumbuh sangat cepat
dengan memindahkan senyawa karbon dan nitrogen darl sel
penyimpan-makanan. Gula terhimpun, dan hal ini mungkin diperlukan
sebagai sumber energi dan untuk menarik air secara osmosis, yang
selanjutnya menyebabkan perkecambahan. Bahkan pada biji yang
perlu suhu rendah seperti Fraxinus excelsior, yang embrionya sudah
berkembang penuh sebelum stratifikasi, perombakan besar-besaran
lemak terjadi dalam embrio itu sendiri selarma suhu rendah.
Kandungan protein meningkat, dan pati kemudian menghilang.
Mungkin zat penghambat hilang selama pendinginan awal,
dan/atau pemacu tumbuh seperti giberelin atau sitokinin terhimpun
(Khan, 1977). Auksin tidak terlalu berpengaruh pada
perkecambahan, tapi giberelin sering menggantikan semua atau
sebagian pendinginan, sama seperti yang terjadi pada vernalisasi.
Mungkin giberelin terhimpun selama stratifikasi dalam jumlah yang
dapat menanggulangi dormansi, tapi sebagian besar data yang
diperoleh sampai sejauh ini menentang perkiraan ini (Bewley dan
Black, 1982, 1984). Efek sitokinin biasanya kurang jelas dan
kurang tersebar. Dapat dikatakan bahwa bentuk fitokrom penyerap-
merah-jauh (Pfr) merupakan pengatur tumbuh yang diperlukan untuk
perkecambahan berbagai macam biji, seperti dibahas pada bab 20.
Baik hilangnya penghambat maupun terhimpunnya hormon di
dalam biji telah diamati, tapi terdapat banyak pertentangan. Pada
pasal 20.6 dibahas kajian serupa yang menggunakan biji perlu-
cahaya. Disimpulkan bahwa radikelnya harus dianalisis karena
perubahan di bagian lain biji dapat menyebabkan tidak teramatinya
perubahan penting pada radikel berukuran kecil. Arias dan
rekannya (1976) mengukur giberelin di poros embrio dan di sel
kotiledon penyimpan-makanan pada pohon hazel (Corylus avellana), pada
tumbuhan ini giberelin dapat menggantikan kebutuhan akan
pendinginan awal. Walaupun selama pendinginan awal hanya terjadi
sedikit penimbunan giberelin di kedua bagian itu, perlakuan
tersebut - memungkinkan poros embrio mensintesis giberelin bila
dikembalikan ke suhu perkecambahan 20°C. Hal ini tidak terjadi
pada kotiledon yang jauh lebih besar. Konsentrasi GA di poros
embrio menjadi 300 kali lebih tinggi daripada di kotiledon.
Kajian serupa perlu dilakukan dengan biji lain, apalagi sekarang
sudah tersedia metode analisis modern seperti KG-SM dan
pengamatan ion tertentu yang memungklnkan analisis yang peka
terhadap harmon dan senyawa lain di bagian tanaman yang kecil
(simak pasal 17.2).
Dasar-dasar molekuler untuk mengakhiri segala macam dormansi
di biji masih harus terus diteliti, antara lain karena beberapa
laporan tampak saling bertentangan. Sebagai contoh, senyawa yang
menghambat respirasi, seperti nitrit, sianida, azida, malonat,
tiourea, dan tiotreitol, sering dapat mengakhiri dormansi biji.
Sebaliknya, Roberts dan Smith (1977) serta peneliti lain
menunjukkan bahwa peningkatan kadar oksigen, yang seharusnya
meningkatkan respirasi, dapat menyebabkan perkecambahan beberapa
macam biji dorman.
Di manakah letak mekanisme dormansi? Pertimbangkan tiga
kemungkinan: kulit biji mengandung senyawa kimia yang menghambat
pemanjangan radikula; kuilt biji atau endosperma bertindak
sebagai penghalang mekanis bagi pemanjangan; dan/atau radikula
itu sendiri tidak mampu tumbuh bila tidak diberi pendinginan
awal. Embrio berbagai biji, yang telah diberi pendinginan awal,
akan tumbuh bila ditempatkan pada suhu lebih hangat, tapi embrio
tanpa pendinginan awal tidak akan tumbuh. Dalam hal ini, suhu
rendah tentulah bertindak Iangsung pada embrio. Sama halnya,
embrio yang sedang tumbuh di biji walnut yang diberi perlakuan
pendinginan awal dapat memberi tekanan mekanis, setidaknya 1,0
MPa lebih besar daripada yang diberikan oleh embrio tanpa
pendinginan awal yang tak mampu merekahkan kulit biji. Pada
berbagai spesies lilac, termasuk Syringa vulgaris, pendinginan awal
tidak berpengaruh pada ketahanan mekanis endosperma atau
kandungan zat penghambatnya. Tapi, radikula dan embrio yang
mendapat pendinginan awal akan memanjang dalam larutan yang
potensial airnya sekitar 0,5 MPa lebih negatif dibandingkan
dengan potensial air larutan yang memungkinkan embrio tanpa
pendinginan akan tumbah (Junttila, 1973). Jadi, terdapat bukti
yang kuat bahwa embrio itu sendiri tanggap terhadap suhu rendah,
tapi hanya ada sedikit bukti langsung bahwa zat penghambat dalam
kulit biji dipengaruhi, walaupun zat penghambat itu memang sering
dijumpai.
Pendinginan awal pada biji kadang sangat memperlambat
pertumbuhan, selain mengakhiri dormansi. Jika embrio kecambah
persik diambil dan kotiledonnya, embrio itu akan berkecambah
tanpa pendinginan awal, tapi kecambah sering kerdil dan
abnormal., Bila diberi pendinginan awal, embrio itu akan tumbuh
menjadi kecambah normal. Jadi yang menjamin kenormalan adalah
pendinginan awal, bukan karena adanya kotiledon. Karena tumbuhan
kerdil sering kehilangan sifat kekerdilannya bila disemprot
dengan giberelin, maka tumpukan giberelin atau hormon lain selama
pendinginan awal berperan dalam menghilangkan sifat kerdil
tersebut. Atau, pendinginan awal dapat meningkatkan potensi untuk
mensintesis giberelin.
Cahaya
Pada pasal 20.1 dan 20.6 telah dinyatakan bahwa cahaya
mengendalikan perkecambahan berbagai biji, dan dibahas beberapa
kerumitan respons tersebut. Jelas terdapat beberapa isyarat
lingkungan, yang sering saling berinteraksi dengan cara yang
ruwet, yang mengendalikan proses perkecambahan.
22.6 DORMANSI KUNCUP
Di wilayah beriklim sedang, dormansi biji dan kuncup
mempunyai banyak persamaan. Pada kuncup, induksi dormansi sama
pentingnya dengan berakhirnya dormansi. Dormansi kuncup hampir
selalu berkembang sebelum terbentuknya warna pada musim gugur dan
mengeringnya daun. Kuncup berbagai pohon berhenti tumbuh di
tengah musim panas, kadang memperlihatkan sedikit pertumbuhan
kembali di akhir musim panas sebelum memasuki dormansi penuh di
musim gugur. Kuncup bunga yang akan tumbuh pada musim berikutnya
biasanya terbentuk pada pohon buah-buahan di tengah musim panas.
Daun tetap berwarna hijau dan berfotosintesis secara aktif sampai
awal musim gugur ketika daun mulai mengering sebagai respons
terhadap siang hari yang pendek, cerah, dan dingin. Sejalan
dengan hilangnya klorofil, pigmen karotenoid kuning dan jingga
menjadi tampak, dan antosianin (terutama glikosida sianidin)
disintesis. Buah, misalnya apel, sering matang selama waktu ini.
Ketahanan bunga es juga terbentuk sebagai respons terhadap suhu
rendah dan hari pendek musim gugur.
Pada banyak spesies, dormansi kuncup diinduksi oleh suhu
rendah, tapi ada juga respons terhadap panjang hari, khususnya
jika suhu tetap tinggi. Pada beberapa pohon gugur-daun yang
dikaji di Beltsville, Maryland (Downs dan Borthwick, 1956),
perlakuan hari-pendek menyebabkan teradinya pembentukan kuncup
akhir yang dorman dan terhambatnya pemanjangan ruas dan
pembesaran daun, tapi sering daun tidak gugur. Malam yang
panjang, yang setiap kali disela oleh cahaya, mempunyai efek yang
sama seperti siang hari yang panjang. Kuncup pohon birkin (Betula
pubescens) dapat langsung mendeteksi panjang hari, tapi pada
tanaman lain daunlah yang biasanya mendeteksi fotoperiode,
walaupun dormansi terjadi di kuncup (Wareing, 1956). Mungkin
fenomena yang berhubungan ini, seperti fenomena Iainnya,
disebabkan oleh pengatur tumbuh, mungkin asam absisat (pasal
18.5).
Selalu ada interaksi Di Beltsville, kajian yang menggunakan
pohon gugur-daun memperlihatkan bahwa induksi dormansi oleh hari-
pendek teramati pada suhu antara 21°C dan 27°C. Tapi, pada suhu
antara 15° dan 21°C pertumbuhan batang sangat lambat, baik pada
hari panjang maupun hari pendek suhu rendah menghilangkan
pengaruh panjang hari.
Ras genetik yang berbeda dalam satu spesies, dinamakan
ekotipe (simak pasal 25.4), sering mempunyai respons dormansi
yang sangat berbeda. Sebagai contoh, Thomas O Perry dan Henry
Hellmers (1973) mendapatkan bahwa ras utara (Massachusetts) mapel
merah (Acer rubrum) membentuk dormansi musim dingin sebagai
respons terhadap hari pendek dan suhu rendah di dalam ruang
tumbuh, tapi ras selatan dan Florida tidak. Ole M Heide (1974)
mempelajari cemara Norwegia (Picea abies). Cemara dan Austria
(lintang 47°) berhenti memanjang bila panjang hari 15 jam atau
kurang, sedangkan cemara dan Norwegia bagian utara (lmntang 64°)
berhenti memanjang bila panjang hari 21 jam atau kurang. Keduanya
sudah berhenti tumbuh dengan baik sebelum muncul bunga es yang
mematikan. Suhu tidak terlalu berpengaruh, tapi pohon dan dataran
tinggi berhenti memanjang bila panjang hari lebih lama dan yang
diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan pohon pada lintang
yang sama, tapi pada ketinggian yang rendah. Heide juga
mendapatkan bahwa akar tidak memberikan respons terhadap
fotoperiode yang dibenikan pada pucuk. Dengan beberapa
kekecualian, akar terus tumbuh selama hara dan air tersedia,
sampai suhu tanah menjadi terlalu dingin (Kramer dan Kozlowskl,
1979). Jelas bahwa pohon seperti itu beradaptasi dengan baik pada
lingkungan tempatnya tumbuh secara alami. Mapel Florida,
misalnya, hanya tumbuh di iklim selatan yang hangat karena tidak
segeraa mengalami dormansi pada musim gugur.
Tiadanya air sering mempercepat pembentukan dormansi, sama
seperti terbatasnya hara mineral, khususnya nitrogen. Hal ini
mungkin penting bagi spesies yang memasuki dormansi sebelum
terjadinya suhu tinggi dan kekeringan di daerah tropika atau
wilayah beriklim kering. Juga dikenal pembentukan dormansi
sebagai respons terhadap perubahan panjang hari (dan bahkan
perubahan suhu tanah).
Dormansi-kuncup-sebagian berlangsung mendahului dormansi
sejati, dan hal itu dapat dengan mudah dibalik oleh suhu sedang
dan hari panjang (atau cahaya terus menerus). Namun, secara
bertahap upaya untuk menginduksi pertumbuhan aktif gagal dan
kemudian tumbuhan mencapai dormansi sejati yang memerlukan
perlakuan khusus untuk mengakhirinya (Vegis, 1964).
Morfologi berperan penting dalam fenomena dormansi. Kuncup
dorman lazimnya mempunyai ruas sangat pendek dan daun yang secara
khusus berubah (dinamakan sisik kuncup). Sisik itu mencegah
pengeringan, menghalangi kehilangan bahang sebentar, dan
membatasi gerak oksigen ke meristem di bawahnya. Sisik kuncup
juga tanggap terhadap cahaya ruang dan/atau mempunyai fungsi
lain. Boleh dikatakan sisik kuncup dapat disamakan dengan kulit
biji.
Faktor hormon yang terlibat dalam dormansi tidak diketahui,
tapi pada tanaman pepohonan diketahui bahwa asam absisat
berpengaruh (Walton, 1980). Pada pertengahan tahun 1960an,
sekelompok peneliti melaporkan bahwa mereka dapat menginduksi
pembentukan kuncup sehat pada beberapa jenis pohon dengan
memberikan ABA melalui daun, tapi tak seorang pun yang dapat
mengulanginya lagi. Phillips dkk (1980) menyusun daftar berbagai
contoh data yang saling bertentangan tentang apakah ABA terhimpun
pada jaringan dorman. Karena data yang saling bertentangan itu,
saat ini tak mungkin menyimpulkan bahwa ABA umumnya menyebabkan
dormansi.
Dormansi juga berakhir bila terdapat suhu dan/atau panjang
hari tertentu. Efek suhu telah dikaji sejak tahun 1880 (baca
Leopold dan Kniedemann, 1975), tapi efek panjang-hari baru
dikenal sejak akhir 1950an. Karena daun memberikan respon
terhadap panjang-hari yang mempengaruhi induksi dormansi dan
pembungaan, tampaknya masuk akal bahwa daun merupakan satu-
satunya organ tumbuhan yang tanggap terhadap panjang hari. Tapi,
sekarang diketahui bahwa dormansi berakhir bila hari panjang
dialami pohon tanpa-daun misalnya: birkin, beech, larch, yellow
poplar, sweet gum, dan red oak. Kecuali beech, semua spesies
tersebut juga tanggap terhadap periode suhu rendah. Pada spesies
yang lain, suhu rendah harus diikuti oleh hari panjang. Bahkan di
pertengahan musim dingin, spesies tumbuhan gugur-daun tertentu
akan tanggap terhadap perlakuan hari-panjang (terutama cahaya
terus-menerus).
Dormansi di tengah musim panas terjadi pada beberapa spesies
(khususnya tumbuhan tetap-hijau), saat batang berhenti memanjang
selama jangka waktu tertentu. Dormansi ini lazimnya berakhir bila
tumbuhan mengalami lebih banyak hari-panjang.
Organ manakah yang tanggap terhadap hari panjang yang
mengakhiri dormansi? Tampaknya sisik kuncup itu sendiri tanggap,
atau cukup banyak cahaya masuk yang dapat menimbulkan respons
dalam jaringan daun primordia di bagian dalam kuncup. Mungkin,
baik induksi pembungaan oleh hari pendek maupun berakhirnya
dormansi oleh hari panjang merupakan respons fitokrom, tapi hal
ini belum jelas. Pada beberapa penelitian tentang induksi hari
pendek, cahaya merah ternyata paling efektif dalam interupsi
malam, dan pengaruhnya agak terbalik oleh pajanan berikutnya pada
cahaya merah-jauh, tapi pembalikan ini tidak berlaku pada
beberapa penelitian lain.
Dormansi pada berbagai kuncup dapat diakhiri dengan memberi
suhu rendah. Suhu rendah di bawah 10°C diperlukan selama beberapa
hari sampai beberapa bulan. Pada pohon buah-buahan, suhu 5 sampai
7°C lebih efektif daripada 0°C. Penelitian yang cukup banyak
telah dilaksanakan pada pohon buah-buahan untuk menentukan
periode suhu rendah tersingkat yang diperlukan untuk mengakhiri
dormansi; periode waktu ini akan menentukan daerah paling selatan
di wilayah lintang utara yang masih memungkinkan tanaman itu
dapat tumbuh. Sebagai contoh, apel memerlukan waktu 1000 sampai
1400 jam pada suhu sekitar 7°C. Telah diperoleh kemajuan dalam
memilih kultivar persik yang membutuhkan periode suhu rendah yang
lebih singkat daripada normal, sehingga dapat ditanam di daerah
yang musim dinginnya lebih hangat. Suhu tinggi yang dialami
setelah suhu rendah ternyata menginduksi kembali dormansi pada
tanaman apel; keadaan ini sama seperti devernalisasi.
Pengaruh pendinginan awal terhadap berakhimya dormansi tidak
diteruskan dalam tumbuhan, tapi terbatas pada setiap kuncup.
Sebagai contoh, semak lilian yang dorman dapat ditempatkan dengan
hanya satu cabangnya menjulur keluar melalui lubang kecil pada
dinding rumah kaca. Cabang yang terpajan pada suhu rendah musim
dingin itu akan berdaun di awal musim semi, sedangkan bagian
tanaman lainnya di sebelah dalam rumah kaca tetap dorman.
Perlakuan beberapa senyawa kimia pada kuncup dapat
mengakhiri dormansi. Misalnya, 2-kloroetanol (ClCH2CH2OH), sering
disebut etilen klorohidrin, telah digunakan dengan berhasil
selama bertahun-tahun. Bila diberikan dalam bentuk uap. senyawa
ini dapat mengakhiri dormansi pohon buah-buahan. Perlakuan lain
yang sederhana tapi efektif adalah perendaman bagian tumbuhan
dalam bak air hangat (40 sampai 50°C) selama 15 detik. Pemberian
giberelin mengakhiri dormansi kuncup pada banyak tumbuhan gugur-
daun, juga mengakhiri dormansi biji yang memerlukan suhu rendah,
dan menyebabkan pembungaan pada tumbuhan yang memerlukan suhu
rendah.
22.7 ORGAN PENYIMPAN BAWAH TANAH
Pada umumnya kondisi suhu akan menginduksi pembentukan organ
penyimpan di dalam tanah seperti bulbi, subang, dan umbi. Pada
beberapa spesies, dormansi juga dapat diakhiri atau pertumbuhan
berikutnya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Pada spesies lain,
panjang hari juga mempengaruhi pembentukan organ tersebut.
Kentang
Umbi kentang terbentuk dari pembengkakkan pada ujung batang
bawah tanah yang disebut stolon, yang berasal dari nodus bagian
pangkal batang dalam tanah. Pembentukan itu dapat berlangsung
pada rentang suhu dan panjang hari yang lebar. Ahli fisiologi
tumbuhan (Vreugdenhil dan Struik, 1989) menguraikan empat tahap
dalam pembentukan umbi: (1) Induksi dan pertumbuhan-awal stolon,
(2) pertumbuhan stolon (pemanjangan dan pembentukan cabang), (3)
terhentinya pertumbuhan membujur pada stolon, dan (4) induksi dan
pertumbuhan-awal umbi, yang menghasilkan pertumbuhan melebar pada
ujung stolon, membentuk umbi. Keempat tahap itu dapat dipisah-
pisahkan secara eksperimen karena tiap tahap dipengaruhi secara
berlainan oleh kondisi lingkungan yang berbeda dan oleh perlakuan
hormon yang berbeda.
Pertumbuhan awal stolon dapat terjadi bahkan sebelum pucuk
berdaun muncul, jadi tidak bergantung pada isyarat dari pucuk.
Tahap ini dapat berlangsung dalam rentang suhu dan panjang hari
yang lebar, tapi perkembangan stolon menjadi umbi biasanya
(bergantung pada kultivar) memerlukan kondisi yang lebih khusus.
Tampaknya, untuk pertumbuhan-awal stolon diperlukan kadar
giberelin yang tinggi dan kadar sitokinin yang tidak terlalu
tinggi. Hari panjang menguntungkan bagi pemanjangan stolon,
sedangkan hari pendek menghentikan pertumbuhan stolon (Champan,
1958). Hari pendek juga mengakibatkan menurunnya kadar giberelin
dalam tumbuhan, dan hal ini mungkin yang menyebabkan stolon
berhenti memanjang. Penghambatan pemanjangan stolon dapat
dilakukan tanpa menghambat pembesarannya (yang membentuk umbi),
tapi lazimnya kedua proses ini berlangsung bersamaan. Etilen
menghentikan pembentukan stolon (contohnya, sebagai respons
terhadap tahanan mekanis dalam tanah), namun etilen juga
menghentikan pembentukan umbi (Mingo-Castel dkk, 1976). Bila
kondisi menguntungkan, umbi mulai tumbuh. Hal ini lebih dan
sekadar, respons terhadap giberelin dan etilen yang lebih rendah,
yang keduanya berpengaruh negatif; terdapat juga bukti yang kuat
tentang adanya senyawa penginduksi umbi yang terbentuk di daun
beberapa kultivar sebagai respons terhadap hari pendek. Dijumpai
semua sifat yang diharapkan pada fotoperiodisme, termasuk malam
kritis dan efek penghambatan akibat pemberian cahaya sebentar-
sebentar selama periode gelap (simak bab 23 dan Champman, 1958).
Terdapat perbedaan nyata antara beberapa kultivar, tapi sebuah
kajian menunjukkan bahwa pembentukan umbi tidak memerlukan hari
pendek, tapi tetap berlangsung pada semua panjang hari (respons
hari netral) bila suhu malam di bawah 20°C. Pembentukan umbi
paling baik pada suhu malam sekitar 12°C. Interaksi antara
fotoperiode dan suhu seperti itu sudah lazim, seperti juga pada
vernalisasi dan dormansi.
Stolon biasanya dinyatakan sebagai batang mendatar di atas
tanah, seperti pada arbei. Batang mendatar di dalam tanah adalah
rimpang. ‘Stolon’ kentang (istilah yang digunakan oleh ahli
fisiologi yang bekerja menekuni kentang) biasanya di dalam tanah,
tapi dapat juga di atas tanah; pada keadaan gelap, kuncup kentang
di atas tanah dapat juga berkembang menjadi stolon.
Pada kultivar yang peka terhadap hari panjang, umbi tidak
terbentuk pada suhu tanah berapa pun kecuali bila pucuk terpajan
pada suhu rendah. Karena itu, daun harus mendeteksi fotoperiode
maupun suhu, dan harus mengirim senyawa penginduksi umbi ke
stolon. Berbagai upaya dilakukan untuk mengisolasi senyawa itu,
dan baru-baru ini Yasunoni Koda dan rekan-rekannya (1980)
berhasil mengisolasi bahan yang sangat aktif dan daun kentang.
Bahan itu menginduksi umbi in vitro (potongan batang satu-nodus)
pada konsentrasi 3 x 10-8 M, yaitu rentang konsentrasi aktif
untuk auksin dan zat pengatur tumbuh lainnya. Terbukti bahwa
senyawa tersebut merupakan molekul kompleks yang serupa dengan
asam jasmonat.
Karena merupakan batang dalam tanah, umbi kentang memiliki
sifat batang. Matanya adalah kuncup samping, dan kuncup itu tetap
tidak aktif bila ada kuncup apikal. Bila kentang dipotong-potong
untuk menghasilkan potongan benih, dominansi apikal akan hilang,
dan kuncup samping tumbuh jika dormansi diakhiri. Terdapat alasan
praktis untuk memperpanjang atau mengakhiri dormansi umbi.
Semakin lama umbi dapat disimpan selama musim dingin dan musim
semi dalam kondisi dorman, semakin tinggi harganya ketika dijual.
Tapi, dalam sertifikat ‘benih’ kentang, diinginkan dormansi dapat
diakhiri dengan segera untuk menguji adanya patogen dalam sampel
umbi. Waktu yang lazim digunakan untuk mengakhiri dormansi agak
lebih singkat bila umbi disimpan pada suhu sekitar 20°C daripada
di suhu lebih rendah, tapi pengaruh suhu tidak tegas. Jelas tidak
ada kebutuhan akan suhu rendah.
Dormansi umbi kentang dapat diakhiri dengan perlakuan kimia
yang efektif dalam mengakhiri dormansi kuncup batang di atas
tanah (misalnya 2-kloroetanol, giberelin, air panas, dan
sebagainya). Tiourea juga dapat menumbuhkan kuncup, tapi dapat
menghasilkan sebanyak delapan kuncup dan mata tunggal, bukannya
satu kuncup seperti lazimnya. Dormansi juga dapat diinduksi atau
diperpanjang dengan menyemprotkan zat pengatur tumbuh seperti
maleat hidrazida atau kloroprofam ke daun sebelum panen atau ke
umbi setelah panen. Suhu penyimpanan juga penting. Pertumbuhan
kuncup umbi terjadi agak dini pada suhu tinggi, dan pda suhu
rendah (sekitar 0 sampai 4°C) pati diubah menjadi gula. Jika
terpaksa digunakan suhu penyimpanan tunggal, komprorni terbaik
tampaknya sekitar 10°C. Namun, sarana pengolahan kentang modern
dapat menyimpan umbi pada suhu yang jauh lebih rendah (sekitar
2°C), dan bila pekerja telah siap untuk memotong dan menggoreng
umbi untuk membuat keripik, mereka memindahkan umbi ke tempat
penyimpanan yang suhunya lebih tinggi selama beberapa hari
sehingga gula diubah balik ke pati. Bila hal itu tidak dilakukan,
gula akan terbakar saat digoreng, menghasilkan warna coklat tua
bahkan hitam yang tidak diinginkan pada keripik kentang.
Bulbi (Umbi Lapis) Dan Subang
Hanya ada sedikit penelitian tentang induksi pembentukan
bulbi, subang, dan rimpang. Namun, banyak penelitian dilakukan di
Belanda yang didukung sebagian besar oleh industri bulbi negara
itu. Penelitian ditujukan untuk menetapkan kondisi penyimpanan
optimum (terutama suhu penyimpanan sebagai fungsi waktu) untuk
pembentukan daun, bunga, dan batang pada waktu yang diinginkan
dan dengan sifat yang dikehendaki. Caranya adalah dengan
mengamati morfologi bulbi dengan cermat di lapang selama musim
normal, dan kemudian mengulangi pengamatan itu pada bulbi yang
disimpan pada suhu yang terkendali dengan tepat. Tujuannya adalah
memendekkan waktu untuk berbunga, suatu proses yang dinamakan
paksaan. Penelitian ini telah dimulai sejak tahun 1920an (baca
Hartsema, 1961; Rees, 1972).
Ada beberapa hal yang umum: Bulbi harus mencapai ukuran
kritis tertentu, yang sering memerlukan waktu dua atau tiga
tahun, sebelum tanggap terhadap suhu penyimpanan dengan membentuk
primordia bunga. Pada beberapa kasus (misalnya tulip), primordia
daun terbentuk sebelum bunga, tapi kadang pembentukan daun dan
bunga hampir bersamaan. Suhu khusus sering diperlukan untuk
pertumbuhan-awal bunga atau pemanjangan batang berikutnya. Pola
perubahan dan suhu optimum biasanya sesuai dengan iklim tempat
asal bulbi.
Ada beberapa pola: Pada beberapa spesies, primordia bunga
terbentuk sebelum bulbi dapat dipanen. Hal ini menyebabkan
pembentukan bunga tidak dapat terlalu dikendalikan selama
penyimpanan, sehingga kajian tentang hal ini hanya sedikit. Pada
spesies lain, primordia bunga terbentuk selama periode
penyimpanan setelah panen di musim panas, tapi sebelum penanaman
ulang di musim gugur, sehingga pengendaliannya lebih mudah.
Gambar 22.10 menunjukkan aturan suhu-penyimpanan yang di rancang
untuk mempercepat pembungaan tulip tepat untuk Natal. Perhatikan
bahwa suhu yang menginduksi pembungaan memang tinggi dibandingkan
dengan suhu yang efektif dalam vernalisasi biji dan seluruh
tanaman. Meskipun demikian, responsnya serupa.
Gambar 22.10 Perlakuan suhu untuk pembungaan awal Tulipa
gesneriana W. Copeland dan Iris xiphium Imperator. Pada tulip,
pertumbuhan-awal bunga mulai dan benlangsung dengan baik selama
pertakuan 20°C. Pemindahan ke ruang penyimpanan pada 8 dan 9°C
akan mempercepat pemekaran, sehingga bunga dihasilkan pada han
Natal. Penlakuan 9°C terus menerus memberikan percepatan yang
sama, tapi mutunya jelek kecuali bile mula-mula diberikan
penlakuan 20°C. Bulbi ditanam di rumah kaca dan sulcu diatur di
tengah-tengah periode pendinginan awal. Mula-mula suhu
ditingkatkan saat pucuk daun mulai terlihat, kemudian saat
panjangnya 3 cm, dan terakhir saat panjangnya 6 cm. Pada iris,
periode singkat suhu tinggi amat penting ntuk pembungaan,
walaupun pertumbuhan-awal nyata primordia buniga tidak terjadi
sampai bulbi djpindahkan dan suhu rendah ke 15°C, saat pan jang
kuncup sekitar 6 cm. Penlakuan 9°C ni untuk menjamin percepatan.
Pada’suhu jauh di atas 15°C selama bagian akhir dan perlakuan,
kadang dihasilkai, bunga abnormal. Tingkat cahaya rendah akan
fnényebabkan bunga ‘mekar’ pada saat itu, khususnya jika suhu
tidak tinggi. Jika suhu yang sangat tinggi (389C) digunakan
selama periode awal induksi bunga, organ bunga ditingkatkan atau
diturunkan, atau dihasilkan bunga dengan mahkota bunga empat,
lima, atau dua. (Data dan Annie M Hartsema, 1961; gambar dan
Salisbury, 1963)
Pada kebanyakan bunga iris berbulbi (gambar 22.10),
primordia bunga yang sesungguhnya akan tampak selama suhu rendah
musim dingin (9 sampi 13°C), tapi praperlakuan suhu tinggi (20
sampai 30°C) penting jika pembentukan bunga harus betul-betul
terjadi. Hal ini merupakan contoh sesungguhnya dan induksi yang
serupa dengan vernalisasi, tapi responsnya terhadap suhu tinggi,
bukan terhadap suhu rendah. Pada setiap contoh, tumbuhan
diadaptasi sehingga pembungaan, pertumbuhan vegetatif, dan
dormansinya sesuai sekali dengan perubahan musiman dari suhu.
Jerry M Baskin dan Carol C Baskin (1990) mengkaji tumbuhan
kecil, Pediomelum subacaule, yang tumbuh di rumpang cedar
dijennessee, Georgia, dan Alabama. Tumbuhan tersebut merupakan
tumbuhan tahunan yang muncul pada awal musim semi, berbunga, dan
menjadi dorman pada akhir Juni dan awal Juli. Pada waktu itu
pucuk dan akar penghisapnya mati, meninggalkan kuncup pucuk kecil
di ujung akar penyimpan berumbi, sekitar 5 cm di bawah permukaan
tanah. Tumbuhan tadi tidak tumbuh di musim panas yang kering.
Pemanjangan kuncup berlangsung pada musim gugur dan akhir musim
dingin, tapi tidak pada masa terdingin di pertengahan musim
dingin (gambar 22.11a).
Gambar 22.11 (a) Pan jang kuncup Pediomelum subacaule
sepanjang tahun, dibandingkan pada sithu maksimum dan minimum.
Tanaman ditumbuhkan pada vermikulit lembap di rumah kaca terbuka
dan tanpa pengaturan suhu. (b) Panjang kuncup Pediomelum, juga di
vermikulit lembap, ditumbuhkan pada suhu siang/mIam yang diatur
sesuai dengan angka pada gambar. Kurva bertanda terusan’ diberi
perlakuan suhu buatan sesuai dengan musim di lapang. Perhatikan
bahwa tanaman pada suhu sedang (khususnya 15/6°C dan 20/10°C)
tumbuh selama percobaan berlangsung, sedangkan tanaman pada suhu
lebih panas tidak pernah tumbuh lebih cepat; tanaman pada suhu
5°C gagal untuk tumbuh pada awalnya, tapi tumbuh cepat setelah 24
minggu. (Dan Baskin dan Baskin, 1991, dengan izin)
Kedua peneliti tersebut membenamkan akar dorman sedalam 5 cm
di bawah permukaan vermikulit lembap, dengan beberapa kombinasi
suhu siang dan malam, seperti tercantum pada gambar 22.11b.
Seperangkat suhu (‘terusan’ pada gambar 22.11b) menyerupai suhu
lapang. Pemanjangan pucuk, yang diukur tiap selang waktu dengan
mengangkat sebentar tumbuhan dan vermikulit, berlangsung sangat
lambat pada suhu tertinggi, sedangkan pada suhu menengah (sejuk)
pemanjangan pucuk terus berlangsung sepanjang tahun. Tumbuhan
yang berada pada suhu terendah (5°C) tidak tumbuh selama 20
minggu, tapi akhirnya tumbuh dengan sangat cepat. Tumbuhan yang
diberi perlakuan serupa dengan suhu lapang akan tumbuh secepat
tumbuhan di lapang. Hasil ini menunjukkan bahwa tumbuhan itu
tidak pernah betul-betul dorman, tapi hanya kuisen sebab tumbuhan
itu akan tumbuh kapan saja jika suhu dan kelembapan sudah sesuai.
Namun, suhu optimum untuk pertumbuhan menurun dengan berjalannya
waktu, sehingga pertumbuhan yang cepat biasanya berlangsung pada
musim gugur dan akhir musim dingin. Perubahan fisiologis yang
mengendalikan respons tumbuhan terhadap suhu menjamin tumbuhan
muncul ke permukaan tanah pada awal musim semi ketika kelembapan
tanah sudah cukup, kemudian menjadi dorman pada musim kering, dan
mengulangi urutan itu pada tahun berikutnya. Tampaknya kuisen
disebabkan oleh kekeringan (datang lebih lambat pada tahun yang
basah), bukannya oleh panjang hari, seperti yang terjadi pada
Anemone coronaria (Kadman-Zahavi dkk, 1984).
22.8 TERMOPERIODISME
Bahasan tentang suhu sejauh ini kebanyakan berkisar pada
daur suhu tahunan. Tapi, Frits Went (1957) menjelaskan tentang
termoperiodisme, suatu fenomena yang menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan/atau perkembangan ditingkatkan oleh suhu siang
dan malam yang bergantian. Kita perhatikan bahwa umbi kentang
terbentuk sebagai respons terhadap suhu malam yang rendah;
pembentukan buah tomat juga ditingkatkan oleh suhu malam
yang rendah. Pemanjangan batang dan pertumbuhan-awal bunga juga
merupakan respons termoperiodik pada beberapa spesies. Bukti awal
dari konsep termoperiodisme adalah bahwa produktivitas tanaman
lebih tinggi pada lingkungan termoperiodik. Bagi spesies
tertentu, termasuk kultivar tomat tertentu, hal itu berlaku, tapi
perubahan suhu siang dan malam tidak penting bagi pertumbuhan
optimum berbagai spesies lainnya. Pada suhu konstan optimum,
tanaman bit gula, gandum, jelai, buncis, dan kapri tumbuh sama
baiknya pada suhu siang dan malam yang beragam. Peneliti harus
hati-hati dalam memperbandingkan berbagai kisaran termoperiodik
dengan suhu konstan optimum, bukan dengan suhu lain (Friend dan
Helson, 1976).
Beberapa tanaman tumbuh lebih baik bila lingkungannya
berfluktuasi dalam daur 24-jam, mungkin bertepatan dengan fase
jam sirkadiannya. Jadi, beberapa spesies tumbuh dengan lambat
bila cahaya dan suhu konstan. Mengubah-ubah suhu dalam daur 24-
jam dapat mencegah atau menghambat kerusakan tanaman tomat yang
disebabkan cahaya dan suhu yang tetap terus-menerus, jika
intensitas cahaya cukup tinggi. Memang banyak respons
termoperiodik berinteraksi dengan lingkungan cahaya, lazimnya
melalui fotoperiodisme dan kemungkinan melalui kesetimbangan
dalam sistem fitokrom.
Salah satu contoh termoperiodisme yang menakjubkan
dilaporkan oleh Went (1957), terjadi pada Laothenia charysostorna
(dulu genus Baeria), tumbuhan Corn positae semusim kecil yang
lazim terlihat selama musim semi di lembah gunung dan kaki bukit
serta kadang di bagian barat Gurun Mojave di California. Tanaman
ini sangat peka terhadap suhu malam. Pada percobaan Went, tanaman
ini ditumbuhkan pada kondisi hari-pendek, dan tanaman bertahan
hidup hanya dua bulan bila suhu malam 20°C. Pada suhu lebih
rendah, tanaman itu tumbuh paling tidak selama 100 hari. Tanaman
segera mati pada suhu malam 26°C. Banyak spesies tidak tumbuh
baik pada suhu malam setinggi itu, tapi bagaimana menjelaskan
kematian pada suhu tersebut? Tanaman Laothenia tumbuh dengan
subur bila suhu siang di atas 26°C, tapi suhu malam harus cukup
rendah. Went melaporkan bahwa tumbuhan lain asli California
bertindak serupa pada percobaannya.
Seperti dikemukaan sebelumnya, mungkin jaringan yang berbeda
dalam tanaman yang sama mempunyai suhu utama yang berbeda. Agar
pertumbuhan dan perkembangan seluruh tumbuhan berlangsung dengan
baik, rentang suhu selama siang seyogianya mencakup suhu sekitar-
optimum untuk pertumbuhan semua jaringan. Lazimnya, suhu tanah
berbeda dengan suhu udara, sehingga tumbuhan mungkin mempunyai
suhu utama yang berlainan untuk akar dan pucuk. Dengan
mempertahankan akar dan pucuk pada suhu yang sama, pertumbuhan
dan perkembangan optimum mungkin tak tercapai.
22.9 MEKANISME RESPONS SUHU-RENDAH
Bagimana kita dapat memahami respons positif tumbuhan
terhadap suhu rendah? Kita mungkin berhadapan dengan semacam
halangan bersifat hormon atau metabolik. Halangan seperti itu
dapat berupa zat penghambat kimia atau kurangnya beberapa bahan
yang diperlukan di dalam tumbuhan, atau keduanya. Pada suhu
rendah zat penghambat dapat hilang, atau zat pengatur tumbuh
muncul yang akan mempengaruhi pembungaan, perkecambahan,
pertumbuhan kecambah selanjutnya, dan sebagainya. Giberelin dan
ABA sering tampak berperan. Apakah mekanisme yang sama berlaku
pada beberapa respons yang telah dijelaskan? Tentu saja sangat
beragam sehingga kita tidak dapat mengharapkan adanya mekanisme
umum, meskipun ada beberapa yang sangat bermiripan.
Ingatkah anda pada paradoks yang dikenalkan pada awal bab
ini? Jika suhu rendah menurunkan laju reaksi kimia, bagaimana
kita dapat menerangkan adanya peningkatan produksi beberapa
pemacu tumbuh atau peningkatan perombakan zat penghambat pada
suhu rendah dibandingkan dengan pada suhu tinggi? Pada tahun
1940an, Meichers dan Lang serta Purvis dan Gregory secara
bersamaan, tapi berdasarkan penelitian yang berlainan,
mengusulkan suatu model (gambar 22.1) yang tidak berbeda dengan
model pada gambar 22.3. Terdapat dua reaksi interaksi hipotetik,
yaitu pertama (I) dengan koefisien suhu (Q10) agak rendah, yang
lain (II) dengan Q10 lebih tinggi. Produk reaksi I masuk ke
reaksi II. Jika laju reaksi I melebihi laju reaksi II, maka
produk (B) dan reaksi I akan menumpuk; jika sebaliknya yang
terjadi, produk (c) reaksi II yang akan menumpuk. Bahkan jika Q10
reaksi I memang rendah, tapi kemajuan reaksi pada suhu rendah
lebih cepat daripada reaksi II, maka kita dapat menerangkan
mengapa terjadi penumpukan B pada suhu rendah. Dengan
meningkatnya suhu, laju reaksi II meningkat jauh lebih cepat
daripada laju reaksi 1, sehingga pada suatu suhu kritis, B akan
digunakan secepat dia diproduksi; jadi, tidak ada penumpukan.
Reaksi II mengalami devernalisasi, dan karena devernalisasi gagal
setelah dua atau tiga hari pada suhu netral, mungkin terjadi
reaksi ketiga (III) yang mengubah B menjadi D, suatu produk akhir
yang stabil. Tentu saja model itu merupakan perkiraan sederhana
karena banyak faktor lain yang dapat berperan: sintesis enzim,
kerja enzim, perubahan permeabilitas membran, perubahan fase,
pengangkutan hara, dan sebagainya. Selama setengah abad tak
seorang pun yang betul-betul menemukan mekanisme seperti itu
dalam organisme, walaupun prinsip tersebut masuk akal dan mungkin
memang begitu adanya.
Gambar 22.12 Kurva contoh yang menunjukkan laju reaksi
hipotetik sebagai fungsi suhu untuk reaksi dengan nilai Q10
sebesar 1,5 atau 4,0. Jika reaksi dengan Q10 = 1,5 dinyatakan
sebagai reaksi I yang teilihat dalam Iingkaran (dibahas pada nas)
dan jika reaksi dengan Q10 = 4,0 dinyatakan sebagai reaksi II,
maka produk hipotetik B akan sebanding dengan selisih kurva II
dan kurva I (ditunjukkan oleh kurva B). Bandingkan bentuk kurva B
dengan kurva pada gambar 22.1, 22.3, dan 22.7. (Dan Salisbury,
1963)
Sistem umpan-balik terkompensasi yang dibahas dalam
hubungannya dengan ketaktergantungan suhu pada jam biologi (pasal
21.6) dapat memberikan suatu reaksi dengan koefisien suhu
negatif. Produk suatu reaksi dapat menghambat laju reaksi
lainnya. Atau, pada suhu rendah, suatu senyawa mungkin menumpuk
karena bahan lain yang menghambat produksinya tidak tersedia.
Juga, mungkin dibutuhkan koefisien-suhu yang - berbeda. Karena
giberelin meningkat pada beberapa biji dan kuncup dengan
berakhirnya dormansi, giberelin mungkin serupa dengan B atau D
pada gambar 22.12., Atau giberelin mungkin bocor keluar dari
wadah penyimpanan bila membran menjadi jauh lebih permeabel pada
suhu rendah (Arias dkk,, 1976). Pada beberapa spesies, sitokinin
atau etilen dapat berperan seperti giberelin.
Bagaimana bila kita menghadapi penghancuran penghambat pada
suhu rendah, bukannya sintesis pemacu? Kita hanya harus membalik
peranan kedua reaksi hipotetik pada model itu. Reaksi
penghancuran (atau pengubahan) mestinya mempunyai laju yang cukup
cepat pada suhu rendah dan Q10 yang rendah. Sebaliknya, sintesis
penghambat harus berjalan lambat pada suhu rendah, tapi harus
mempunyai Q10 yang tinggi.