Makalah Hukum Hipotik (Kapal Laut)

22
Makalah Hukum Kebendaa: Tinjauan Yuridis terhadap Hipotik Kapal Laut TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK KAPAL LAUT[1] Oleh: Bayu Arsita Mandreana[2] 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang mengatur hipotik kapal tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan. Dalam beberapa kesempatan, pastinya perusahaan perkapalan membutuhkan tambahan modal kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Dan tentunya kebutuhan modal kerja yang cukup banyak itu dapat terpenuhi melalui suatu perjanjian kredit antara perusahaan perkapalan dengan lembaga perbankan seperti bank. Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini menambahkan perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan perkapalan

Transcript of Makalah Hukum Hipotik (Kapal Laut)

Makalah Hukum Kebendaa: Tinjauan Yuridis terhadap HipotikKapal Laut

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

HIPOTIK KAPAL LAUT[1]

Oleh: Bayu Arsita Mandreana[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang mengatur

hipotik kapal tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para

pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank

sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang

mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong

pertumbuhan pembiayaan perbankan.

Dalam beberapa kesempatan, pastinya perusahaan perkapalan

membutuhkan tambahan modal kerja dalam jumlah yang cukup banyak.

Dan tentunya kebutuhan modal kerja yang cukup banyak itu dapat

terpenuhi melalui suatu perjanjian kredit antara perusahaan

perkapalan dengan lembaga perbankan seperti bank.

Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai

kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini

menambahkan perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian

pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan perkapalan

merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian tambahannya

dapat berupa perjanjian hipotik atas kapal.

Bank sebagai pemberi kredit (kreditur), dalam rangka

pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati

(prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan

milik bank sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat

dalam bentuk simpanan masyarakat. Oleh karena itu, dalam

memberikan pembiayaan kepada debitur, bank harus meminimalkan

risiko dengan membuat perjanjian hipotik atas kapal tadi.

Salah satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini bisa

dilakukan dengan membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian

hipotik atas kapal. Ini merupakan salah satu bentuk jaminan

kebendaan, dimana jaminan ini biasa disebut dengan agunan atau

kolateral.

Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai

jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi

dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda

tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak

tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek

hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor

sekurang-kurangnya 20 m3.

Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada Kitab

Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan konvensi internasional yang

telah diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional

tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993. Selain itu, pengaturan

hipotek yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut. Dalam KUHD, diatur

bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan

hipotek.

Selanjutnya diatur pula tentang tingkatan di antara segala

hipotek satu sama lain, yang ditentukan berdasarkan hari

pembukuan. Hipotek yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai

tingkat yang sama pula. KUHD mengatur pula bahwa apabila sebuah

kapal tidak lagi merupakan sebuah kapal Indonesia, maka segala

piutang hipotek menjadi dapat ditagih walaupun piutang tersebut

belum jatuh tempo. Piutang-piutang yang dimaksud, sampai saat

dilunasinya, tetap dapat diambilkan pelunasannya dari kapal

tersebut, secara mendahulukannya dari pada piutang-piutang yang

terbit kemudian, biarpun piutang-piutang yang belakangan ini

didaftarkan di luar wilayah Indonesia. Apabila kapal yang

dihipotekkan dilelang-sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal

itu tidak dibebaskan dari hipotek yang diletakkan di atasnya.

1.2 Permasalahan

Dari bab pendahuluan di awal, timbul beberapa permasalahan yang

akan dibahas dan dipecahkan dalam bab pembahasan. Adapun rumusan

masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah jaminan kebendaan itu?

2. Bagaimana kedudukan hipotik setelah keluarnya Undang-Undang

No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah?

3. Bagaimana kedudukan hukum bagi jaminan hipotik kapal?

2. Pembahasan

2.1 Jaminan Kebendaan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa

hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai

hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat

dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan

dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan

lain-lain).

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan

benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena

sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-

undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang

melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau

bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai

atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak

berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta

Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:

1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-

1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas

suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk

mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan

kreditur dari kreditur lain.

2) Hak tanggungan; Undang-Undang No.4 Tahun 1996, yaitu

jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan

dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap

kreditur lain.

3) Fiducia, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, yaitu hak jaminan

atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan

hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama pada

kreditur terhadap kreditur lain.

[3]Adapun jaminan-jaminan kebendaan di atas bersifat assesor dari

perjanjian pokok atau dengan kata lain hanya “jaminan tambahan”

semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan

atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.

2.2 Kedudukan Hipotik Setelah Keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun

1996

Sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang

disebutkan dengan hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No. 5 Tahun

1960. Adapun bunyi dari Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai

berikut:

Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam

pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-

ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam

Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan

Staatsblad 1937 No. 190.

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah, terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan

hipotik.

[4]Dalam pasal 24 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

ditetapkan ketentuan sebagai berikut:

Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini,

yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband

berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanjutnya

berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang ini

sampai dengan berakhirnya hak tersebut.

Adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam

Pasal 24 ayat 1 sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU

No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, pelaksanaan ekskusi dan

pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20

dan Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,

setelah Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan yang

bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud

oleh Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut

UU No. 4 Tahun 1996 dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang

ini yang berbunyi sebagai berikut:

Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,

dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai

eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini,

berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.

Dengan demikian,berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan

ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian sesuai dengan apa

yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah.

2.3 Kedudukan Hukum Bagi Hipotik Kapal

Salah satu bentuk dari jaminan hipotik di Indonesia adalah

hipotik atas kapal laut. Keberadaan jaminan hipotik ini sangat

membantu perusahaan perkapalan dalam memenuhi dan menjalankan

modal kerjanya agar dapat menyelenggarakan kegiatan

operasionalnya.

Tentunya, hipotik atas kapal laut ini akan melibatkan dua pihak.

Dua pihak itu adalah perusahaan perkapalan sebagai debitur dan

lembaga perbankan, seperti bank, sebagai kreditur.

Hubungan hukum antara perusahaan perkapalan dan lembaga

perbankan, dalam hal ini adalah bank, perlu ditetapkan suatu

ketentuan hukum. Dengan adanya ketentuan hukum, maka terdapat

aturan baku dalam melaksanakan perbuatan hukum di antara kedua

belah pihak.

[5]Pada tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor

17 tahun 2008, tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur

mengenai hipotik kapal, namun peraturan pelaksananya belum

dibuat. Mengenai Hipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam

Pasal 314 ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, hipotik dapat

dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal,

kapal-kapal dalam pembuatan. Adapun bunyi dari Pasal 314 ayat 3

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ini adalah:

[6]Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-

kapal dalam pembukuan, dan andil-andil dalam kapal-kapal dan

kapal-kapal dalam pembuatan itu dapat diletakkan hipotik.

Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

[7]Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan

dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang

berdiri, terlepas dari benda-benda sejenis itu merupakan benda

bergerak.

Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaftar, statusnya bukanlah

benda bergerak, karena menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal yang didaftarkan dalam

register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor minimal

20 m³. Dengan demikian kapal dengan kondisi seperti ini

dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dan jika dijaminkan,

lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk kapal-

kapal yang tidak terdaftar menggunakan lembaga jaminan gadai atau

fidusia, karena merupakan benda bergerak.

[8]Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk

dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan

dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh:

sekoci, rantai, jangkar.

[9]Langkah-langkah dalam pendaftaran hipotik kapal laut adalah

sebagai berikut:

1. Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga

pembiayaan) dalam suatu Perjanjian Kredit dengan menyatakan

menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan pelunasan

hutangnya.

2. Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama

debitur atau bank sendiri berdasarkan Surat Kuasa memasang

Hipotik menghadap Pejabat Pendaftar Kapal dan minta dibuatkan

akta Hipotik Kapal.

Adapun dokumen yang diperlukan:

-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai

penjaminan;

-Grosse Akta Pendaftaran Kapal;

-Surat Kuasa Memasang Hipotik.

3. Akta Hipotik didafatarkan dalam buku daftar. Saat selesainya

pendafataran maka hak Pemegang Hipotik lahir.

Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan hari

pembukuan. Apabila dibukukan pada hari yang sama mempunyai

tingkat yang sama. Dengan lahirnya hak hipotik, pemegang

hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas kapal itu, di

tangan siapapun kapal itu berada.

Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan

hipotik di syahbandar dengan membawa dokumen:

-surat permohonan roya;

-surat tanda lunas dari kreditur;

-grosse akta pendaftaran hipotik; dan

-grosse akta pendaftaran kapal.

Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai

debitur gagal mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada

bank, ketentuan saat ini yang mengatur tentang eksekusi kapal

laut adalah:

1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur

bahwa gross atau copy pertama yang otentik dari akte hipotek

mempunyai status yang sama dengan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek dapat

meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas

obyek hipotek;

2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku untuk

hipotek atas kapal laut disebutkan bahwa pemegang hipotek

dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek hipotek yang

prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum.

Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, secara hukum

penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek hipotek tidak

terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan

nilai penjaminannya merupakan hal yang relatif sulit dilakukan

sehingga butuhkan adanya price stability untuk jual beli kapal.

[10]Dalam draft RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang

dibahas oleh Depkumham, diatur bahwa Sertifikat hipotek mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak

pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan

eksekusi atas obyek tersebut dan sertifikat hipotek tersebut

berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek.

[11]Berkaitan dengan itu, draft RUU Hipotek Kapal memberikan

kebebasan kepada kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk

memperjanjikan dalam akta hipotek tentang hak untuk menjual atas

kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor

yang bersangkutan ingkar janji.

Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek

Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat

kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam

jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka

oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang

berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum

melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU

Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek

dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut

dapat diperoleh harga yang tertinggi.

Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai

agunan, khusus untuk perbankan dalam kaitannya dengan penentuan

kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu kepemilikan atas agunan

yang diambil alih. Selain itu, bank juga harus melakukan

penilaian kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan

net realizable value dari agunan dimaksud yang dilakukan pada saat

pengambilalihan agunan.

Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan

biaya pengambilalihan dan pemeliharaan agunan yang diambil alih,

dan oleh karena itu kiranya diperlukan mekanisme yang dapat

mempercepat penjualan agunan.

Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu

pemilikan atas agunan yang diambil alih akan berpengaruh terhadap

biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya pemeliharaan

agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank

karena akan menurunkan kualitas aktiva produktif bank dan

terjadinya peningkatan pencadangan yang harus dibentuk oleh bank.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar

segera menjual agunan yang diambil alih, karena bank sebagai

institusi keuangan yang memiliki fungsi intermediasi seyogianya

tidak memiliki agunan yang diambil alih.

[12]Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya

pengaturan prosedur eksekusi kapal yang menjadi obyek hipotek

sebagaimana diatur dalam draft RUU Hipotek Kapal adalah sama

dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin

timbul dalam lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar

lelang yang sangat sulit.

Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan

sangat penting dan menjadi salah satu faktor dalam penilaian

proposal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur.

Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan

yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal eksekusi jaminan

fidusia, akta jaminan fidusia juga memuat irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga akta

tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebelum melakukan

eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum, tetap

diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi

terlebih dahulu yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

berwenang.

Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan

jaminan hipotik musnah, pastinya akan menimbulkan suatu akibat

hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek

disebabkan karena:

a) hapusnya perikatan pokoknya;

b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan

c) karena penetapan hakim.

Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam

hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada

pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal

laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya

dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada

perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian

kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian

tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal, maka

dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai

jaminan terhadap pembayaran utang debitur.

[13]Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan

kepada menteri yang berwenang untuk melakukan dan merumuskan

kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh

perusahaan pelayaran nasional, dan/atau kapal bekas/kapal

baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar

negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib

diasuransikan sekurang-kurangnya untuk “Hull & Machineries”

(rangka kapal);

2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan

pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri

maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;

3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi

nasional untuk bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk

menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi

perkapalan internasional.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi

perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat

memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur

dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan

tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya

sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur

harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi

dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

[14]Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga

diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek

kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait

dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang

menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan

sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap

jaminan kreditur.

3. Penutup

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan

benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena

sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-

undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang

melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau

bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai

atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak

berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-

Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, kita baru bisa menggunakan

ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian.

Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal, maka kapal yang

dibeli akan dijadikan agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek

kapal). Hal ini merupakan suatu tuntutan untuk memenuhi rasio

kecukupan modal.

Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk

dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan

dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh:

sekoci, rantai, jangkar.

Prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur

dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian

yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1

(satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi

dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang

pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga

diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di

bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga

yang tertinggi.

Sebelum memutuskan untuk menyetujui hipotik kapal, pihak bank

harus memperhitungkan nilai agunan yang diajukan dalam pengajuan

proposal untuk memberikan pinjaman bagi pembiayaan modal kerja

perusahaan perkapalan. Perhitungan nilai agunan itu erat

kaitannya dengan penentuan harga dasar lelang. Sehingga, dengan

adanya kemudahan dalam penilaian agunan, akan sangat penting bagi

bank. Namun, hal ini juga turut menambah risiko meningkatnya

biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih

lama sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan di kemudian hari, apabila kapal yang

dijaminkan dalam hipotik musnah, ditetapkan suatu pengaturan

mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud

di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian

pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’

terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan

bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka

kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah

nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran

seluruh kewajiban debitur. Ketentuan ini tercantum dalam Inpres

No. 5 Tahun 2005.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi

perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat

memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur

dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan

tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya

sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur

harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi

dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur

bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal

berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan

kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai

kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu

tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan

kreditur.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Ginting, ramlan. Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 6 (2) : 26-34.

Giovani, Grace. 2008. Hipotik Kapal. http://notarisgracegiovani.com

[10 June 2009]

Satrio, J. 1998. Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2,

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Subekti dan Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

dan Undang-Undang Kepailitan. Cetakan ke-31. Jakarta: PT Pradnya

Paramita.

Subekti dan Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Cetakan ke-29. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No.4 Tahun 1996

Undang-Undang No.42 Tahun 1999

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005

[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Kebendaan

[2] Mahasiswa Fakultas Hukum, Jurusan Hukum, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

[3] Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal. 69-70

[4] Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303

[5] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[6] Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, cetakan ke-31, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 94.

[7] Subekti dan Tjitrosudibio,1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-29, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 159-160.

[8] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[9] ibid

[10] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[11] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[12] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 28

[13] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 29.

[14] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 30.