Makalah Hukum Hipotik (Kapal Laut)
Transcript of Makalah Hukum Hipotik (Kapal Laut)
Makalah Hukum Kebendaa: Tinjauan Yuridis terhadap HipotikKapal Laut
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
HIPOTIK KAPAL LAUT[1]
Oleh: Bayu Arsita Mandreana[2]
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang mengatur
hipotik kapal tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para
pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank
sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang
mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan pembiayaan perbankan.
Dalam beberapa kesempatan, pastinya perusahaan perkapalan
membutuhkan tambahan modal kerja dalam jumlah yang cukup banyak.
Dan tentunya kebutuhan modal kerja yang cukup banyak itu dapat
terpenuhi melalui suatu perjanjian kredit antara perusahaan
perkapalan dengan lembaga perbankan seperti bank.
Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai
kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini
menambahkan perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian
pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan perkapalan
merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian tambahannya
dapat berupa perjanjian hipotik atas kapal.
Bank sebagai pemberi kredit (kreditur), dalam rangka
pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati
(prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan
milik bank sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat
dalam bentuk simpanan masyarakat. Oleh karena itu, dalam
memberikan pembiayaan kepada debitur, bank harus meminimalkan
risiko dengan membuat perjanjian hipotik atas kapal tadi.
Salah satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini bisa
dilakukan dengan membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian
hipotik atas kapal. Ini merupakan salah satu bentuk jaminan
kebendaan, dimana jaminan ini biasa disebut dengan agunan atau
kolateral.
Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai
jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi
dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda
tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak
tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek
hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor
sekurang-kurangnya 20 m3.
Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan konvensi internasional yang
telah diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional
tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993. Selain itu, pengaturan
hipotek yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut. Dalam KUHD, diatur
bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan
hipotek.
Selanjutnya diatur pula tentang tingkatan di antara segala
hipotek satu sama lain, yang ditentukan berdasarkan hari
pembukuan. Hipotek yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai
tingkat yang sama pula. KUHD mengatur pula bahwa apabila sebuah
kapal tidak lagi merupakan sebuah kapal Indonesia, maka segala
piutang hipotek menjadi dapat ditagih walaupun piutang tersebut
belum jatuh tempo. Piutang-piutang yang dimaksud, sampai saat
dilunasinya, tetap dapat diambilkan pelunasannya dari kapal
tersebut, secara mendahulukannya dari pada piutang-piutang yang
terbit kemudian, biarpun piutang-piutang yang belakangan ini
didaftarkan di luar wilayah Indonesia. Apabila kapal yang
dihipotekkan dilelang-sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal
itu tidak dibebaskan dari hipotek yang diletakkan di atasnya.
1.2 Permasalahan
Dari bab pendahuluan di awal, timbul beberapa permasalahan yang
akan dibahas dan dipecahkan dalam bab pembahasan. Adapun rumusan
masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah jaminan kebendaan itu?
2. Bagaimana kedudukan hipotik setelah keluarnya Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah?
3. Bagaimana kedudukan hukum bagi jaminan hipotik kapal?
2. Pembahasan
2.1 Jaminan Kebendaan
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa
hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai
hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat
dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan
dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan
lain-lain).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena
sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-
undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang
melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau
bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai
atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak
berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta
Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-
1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas
suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk
mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan
kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; Undang-Undang No.4 Tahun 1996, yaitu
jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan
dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap
kreditur lain.
3) Fiducia, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, yaitu hak jaminan
atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama pada
kreditur terhadap kreditur lain.
[3]Adapun jaminan-jaminan kebendaan di atas bersifat assesor dari
perjanjian pokok atau dengan kata lain hanya “jaminan tambahan”
semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan
atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.
2.2 Kedudukan Hipotik Setelah Keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun
1996
Sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang
disebutkan dengan hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No. 5 Tahun
1960. Adapun bunyi dari Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai
berikut:
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam
pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-
ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam
Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan
Staatsblad 1937 No. 190.
Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan
hipotik.
[4]Dalam pasal 24 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
ditetapkan ketentuan sebagai berikut:
Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini,
yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband
berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanjutnya
berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang ini
sampai dengan berakhirnya hak tersebut.
Adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam
Pasal 24 ayat 1 sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, pelaksanaan ekskusi dan
pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20
dan Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
setelah Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan yang
bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut
UU No. 4 Tahun 1996 dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang
ini yang berbunyi sebagai berikut:
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai
eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini,
berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Dengan demikian,berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan
ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian sesuai dengan apa
yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.
2.3 Kedudukan Hukum Bagi Hipotik Kapal
Salah satu bentuk dari jaminan hipotik di Indonesia adalah
hipotik atas kapal laut. Keberadaan jaminan hipotik ini sangat
membantu perusahaan perkapalan dalam memenuhi dan menjalankan
modal kerjanya agar dapat menyelenggarakan kegiatan
operasionalnya.
Tentunya, hipotik atas kapal laut ini akan melibatkan dua pihak.
Dua pihak itu adalah perusahaan perkapalan sebagai debitur dan
lembaga perbankan, seperti bank, sebagai kreditur.
Hubungan hukum antara perusahaan perkapalan dan lembaga
perbankan, dalam hal ini adalah bank, perlu ditetapkan suatu
ketentuan hukum. Dengan adanya ketentuan hukum, maka terdapat
aturan baku dalam melaksanakan perbuatan hukum di antara kedua
belah pihak.
[5]Pada tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor
17 tahun 2008, tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur
mengenai hipotik kapal, namun peraturan pelaksananya belum
dibuat. Mengenai Hipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam
Pasal 314 ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, hipotik dapat
dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal,
kapal-kapal dalam pembuatan. Adapun bunyi dari Pasal 314 ayat 3
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ini adalah:
[6]Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-
kapal dalam pembukuan, dan andil-andil dalam kapal-kapal dan
kapal-kapal dalam pembuatan itu dapat diletakkan hipotik.
Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
[7]Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan
dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang
berdiri, terlepas dari benda-benda sejenis itu merupakan benda
bergerak.
Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaftar, statusnya bukanlah
benda bergerak, karena menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal yang didaftarkan dalam
register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor minimal
20 m³. Dengan demikian kapal dengan kondisi seperti ini
dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dan jika dijaminkan,
lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk kapal-
kapal yang tidak terdaftar menggunakan lembaga jaminan gadai atau
fidusia, karena merupakan benda bergerak.
[8]Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk
dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan
dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh:
sekoci, rantai, jangkar.
[9]Langkah-langkah dalam pendaftaran hipotik kapal laut adalah
sebagai berikut:
1. Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga
pembiayaan) dalam suatu Perjanjian Kredit dengan menyatakan
menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan pelunasan
hutangnya.
2. Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama
debitur atau bank sendiri berdasarkan Surat Kuasa memasang
Hipotik menghadap Pejabat Pendaftar Kapal dan minta dibuatkan
akta Hipotik Kapal.
Adapun dokumen yang diperlukan:
-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai
penjaminan;
-Grosse Akta Pendaftaran Kapal;
-Surat Kuasa Memasang Hipotik.
3. Akta Hipotik didafatarkan dalam buku daftar. Saat selesainya
pendafataran maka hak Pemegang Hipotik lahir.
Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan hari
pembukuan. Apabila dibukukan pada hari yang sama mempunyai
tingkat yang sama. Dengan lahirnya hak hipotik, pemegang
hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas kapal itu, di
tangan siapapun kapal itu berada.
Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan
hipotik di syahbandar dengan membawa dokumen:
-surat permohonan roya;
-surat tanda lunas dari kreditur;
-grosse akta pendaftaran hipotik; dan
-grosse akta pendaftaran kapal.
Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai
debitur gagal mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada
bank, ketentuan saat ini yang mengatur tentang eksekusi kapal
laut adalah:
1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur
bahwa gross atau copy pertama yang otentik dari akte hipotek
mempunyai status yang sama dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek dapat
meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas
obyek hipotek;
2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku untuk
hipotek atas kapal laut disebutkan bahwa pemegang hipotek
dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek hipotek yang
prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum.
Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, secara hukum
penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek hipotek tidak
terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan
nilai penjaminannya merupakan hal yang relatif sulit dilakukan
sehingga butuhkan adanya price stability untuk jual beli kapal.
[10]Dalam draft RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang
dibahas oleh Depkumham, diatur bahwa Sertifikat hipotek mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak
pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan
eksekusi atas obyek tersebut dan sertifikat hipotek tersebut
berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek.
[11]Berkaitan dengan itu, draft RUU Hipotek Kapal memberikan
kebebasan kepada kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk
memperjanjikan dalam akta hipotek tentang hak untuk menjual atas
kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor
yang bersangkutan ingkar janji.
Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek
Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat
kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka
oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum
melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU
Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek
dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut
dapat diperoleh harga yang tertinggi.
Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai
agunan, khusus untuk perbankan dalam kaitannya dengan penentuan
kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu kepemilikan atas agunan
yang diambil alih. Selain itu, bank juga harus melakukan
penilaian kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan
net realizable value dari agunan dimaksud yang dilakukan pada saat
pengambilalihan agunan.
Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan
biaya pengambilalihan dan pemeliharaan agunan yang diambil alih,
dan oleh karena itu kiranya diperlukan mekanisme yang dapat
mempercepat penjualan agunan.
Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu
pemilikan atas agunan yang diambil alih akan berpengaruh terhadap
biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya pemeliharaan
agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank
karena akan menurunkan kualitas aktiva produktif bank dan
terjadinya peningkatan pencadangan yang harus dibentuk oleh bank.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar
segera menjual agunan yang diambil alih, karena bank sebagai
institusi keuangan yang memiliki fungsi intermediasi seyogianya
tidak memiliki agunan yang diambil alih.
[12]Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya
pengaturan prosedur eksekusi kapal yang menjadi obyek hipotek
sebagaimana diatur dalam draft RUU Hipotek Kapal adalah sama
dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin
timbul dalam lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar
lelang yang sangat sulit.
Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan
sangat penting dan menjadi salah satu faktor dalam penilaian
proposal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur.
Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan
yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal eksekusi jaminan
fidusia, akta jaminan fidusia juga memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga akta
tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebelum melakukan
eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum, tetap
diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi
terlebih dahulu yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang.
Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan
jaminan hipotik musnah, pastinya akan menimbulkan suatu akibat
hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek
disebabkan karena:
a) hapusnya perikatan pokoknya;
b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan
c) karena penetapan hakim.
Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam
hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada
pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal
laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya
dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada
perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian
kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian
tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal, maka
dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai
jaminan terhadap pembayaran utang debitur.
[13]Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan
kepada menteri yang berwenang untuk melakukan dan merumuskan
kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh
perusahaan pelayaran nasional, dan/atau kapal bekas/kapal
baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar
negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib
diasuransikan sekurang-kurangnya untuk “Hull & Machineries”
(rangka kapal);
2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan
pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;
3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi
nasional untuk bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk
menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi
perkapalan internasional.
Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi
perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat
memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur
dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan
tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya
sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur
harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi
dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.
[14]Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga
diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek
kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait
dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang
menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan
sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap
jaminan kreditur.
3. Penutup
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena
sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-
undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang
melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau
bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai
atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak
berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.
Sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, kita baru bisa menggunakan
ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian.
Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal, maka kapal yang
dibeli akan dijadikan agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek
kapal). Hal ini merupakan suatu tuntutan untuk memenuhi rasio
kecukupan modal.
Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk
dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan
dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh:
sekoci, rantai, jangkar.
Prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur
dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian
yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi
dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang
pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga
diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di
bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga
yang tertinggi.
Sebelum memutuskan untuk menyetujui hipotik kapal, pihak bank
harus memperhitungkan nilai agunan yang diajukan dalam pengajuan
proposal untuk memberikan pinjaman bagi pembiayaan modal kerja
perusahaan perkapalan. Perhitungan nilai agunan itu erat
kaitannya dengan penentuan harga dasar lelang. Sehingga, dengan
adanya kemudahan dalam penilaian agunan, akan sangat penting bagi
bank. Namun, hal ini juga turut menambah risiko meningkatnya
biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih
lama sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan di kemudian hari, apabila kapal yang
dijaminkan dalam hipotik musnah, ditetapkan suatu pengaturan
mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud
di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian
pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’
terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan
bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka
kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah
nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran
seluruh kewajiban debitur. Ketentuan ini tercantum dalam Inpres
No. 5 Tahun 2005.
Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi
perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat
memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur
dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan
tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya
sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur
harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi
dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.
Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur
bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal
berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan
kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai
kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu
tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan
kreditur.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Ginting, ramlan. Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 6 (2) : 26-34.
Giovani, Grace. 2008. Hipotik Kapal. http://notarisgracegiovani.com
[10 June 2009]
Satrio, J. 1998. Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
dan Undang-Undang Kepailitan. Cetakan ke-31. Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
Subekti dan Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Cetakan ke-29. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No.4 Tahun 1996
Undang-Undang No.42 Tahun 1999
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005
[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Kebendaan
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum, Jurusan Hukum, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
[3] Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal. 69-70
[4] Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303
[5] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]
[6] Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, cetakan ke-31, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 94.
[7] Subekti dan Tjitrosudibio,1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-29, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 159-160.
[8] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]
[9] ibid
[10] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.
[11] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.
[12] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 28
[13] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 29.
[14] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 30.