LAPORAN AKHIR RISET - ITB
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of LAPORAN AKHIR RISET - ITB
LAPORAN AKHIR RISET
Riset Unggulan 2007
Semiotika Humour dalam Drama Tradisional Indonesia:
Studi Kasus Ludruk dan Ketoprak
Periset Utama:
Dr. Yasraf A. Piliang MA
Nama KK/P/PP:
Pusat Penelitian Seni Rupa & Desain (PP-SRD)
Riset ini dibiayai oleh ITB berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan
Penelitian No.: 0020/KO1.03.2/PL2.1.5/I/2007, tanggal 10 bulan Januari 2007
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
November 2007
I. HALAMAN IDENTITAS 1. Judul : ”.Semiotika Humour dalam Drama ”
Trasional Indonesia: Studi Kasus
Ludruk dan Ketoprak”
2. Jenis Riset : Unggulan
3. Waktu Pelaksanaan : Januari – November 2007
4. Tim Riset
a. Nama Lengkap Ketua Tim : Dr. Yasraf A. Piliang MA
b. N I P : 131646601
c. Pangkat/Golongan : IV A/Lektor Kepala
d. Jabatan : Ketua KK
e. Fakultas/Sekolah & Prodi : FSRD
f. Kelompok Keahlian : Ilmu Desain & Budaya Visual
g. Alamat Kantor/Telp/Fax/E-mail : Jln. Ganesha 10
Bandung/2514832/
http://kkiidbv.fsrd.itb.ac.id
h. Alamat Rumah/Telp/Fax/E-mail : Ciwastra Indah Estate Blok C/24,
Bandung 40286/022-7505960/
5.1 Anggota Tim Riset:
No Nama dan Gelar
Akademik
Bidang
Keahlian Instansi
Alokasi Waktu
Jam/Mg Bulan
1. Irma Damajanti, M.Sn. Ilmu Seni Rupa FSRD 2.5 11
2. Dr. Achmad Syarief, M.DS. Desain Produk FSRD 2.5 11
5.2 Asisten Peneliti/Mahasiswa:
No Nama dan Gelar
Akademik
Bidang
Keahlian Instansi
Alokasi Waktu
Jam/Mg Bulan
1. A. Rikrik Kumara Msn Seni Rupa FSRD 2 10
2. Ferry Darmawan Komunikasi UNISBA 2 10
5.3 Biaya yang disetujui oleh ITB : Rp 80.000.000,-
Mengetahui, Bandung, 30 November 2007
Ketua Kelompok Keahlian Ketua Tim Riset,
Ilmu-ilmu Desain & Budaya Visual
(Dr. Yasraf A. Piliang MFA) (Dr. Yasraf A. Piliang MA)
NIP: 131646601 NIP: 131646601
Ketua Pusat Penelitian SRD
(Dr. Setiawan Sabana MFA)
NIP: 130704110
II: EXECUTIVE SUMMARY
1. TITLE OF RESEARCH
Semiotics of Indonesian Traditional Humour: Case Studies of Ludruk and
Ketoprak
2. HEAD OF RESEARCH TEAM : Dr. Yasraf A. Piliang MA
3. TEAM MEMBERS : Dra. Irma Damayanti MSn
Dr. Achmad Syarief
4. OFFICIAL ADDRESS
Research Group ”Design and Visual Cultural Sciences”
Email address: http://kkiidbv.fsrd.itb.ac.id
5. EXTENDED ABSTRACT :
The object of research is Indonesian traditional humour, with a case study of ludruk
and ketoprak. The aim of the research is to obtain a semiotic structure of humour and its
methodological implications. The method employed in this research is a ’textual
analysis’, an interpretative method that focus on the ’text’ itself as a sets of
representation of humourous expressions in a particular media. The object is restricted
to a representation of humour in a video form.
The semiotic analysis of ludruk and ketoprak is focused on the understanding of
elements of signs that become the main sources of funniness, humour, parody or
ludicrousness. The result of analysis is a set of ’semiotic principles’ used intensively in
traditional humourous expressions: repetition, opposition, difference, incongruity,
metaphor, intertextuality, parody and superlativity. Although the principles at first
glance are seen relatively ’general’ in their character, however there are some ’local
contents ‘in the principles, which are contextual to their cultural values. ’A semiotics of
repetition’ is one of the main principles in ludruk and ketoprak, which are highly
complex in its structure, content and meaning. There are several forms of semiotic
repetition, which produce different effects of hum or and fun: 1) a static repetition, 2)
dynamic repetition and 3) climax repetition. Semiotics of opposition is another principle
that local in its character. In contradistinction to the general form of opposition, a
semiotics of opposition in ludruk and ketoprak is ambiguous in its character, which can
be termed as a ’stratified contradiction’, that is, a ’contradiction within a contradiction’.
The conclusion of the research is, that there are several semiotic principles of
Indonesian traditional humour, which are local in their character, which are contextual
to a local philosophy of culture, as shown clearly in the analysis of ludruk and ketoprak.
6. DESCRIPTION OF RESEARCH AND RESULTS
The research about a semiotics of local Indonesian culture can be regarded as a pilot
research, which is in a very early phase. The primary aim of the research is to obtain a
semiotic principle of Indonesian traditional humour and to make a more general implication
of the principle to a semiotic model of humour analysis. The main result of the research is a
set of semiotic principles of traditional humour and several implications of the principle to
the semiotic method of analysis. The aspects of the method can be employed as an
alternative method of local cultural studies.
III. EVALUASI DIRI
1. CAPAIAN:
a. TUJUAN YANG TERTULIS DI PROPOSAL
(1) Menganalisis kondisi aktual untuk memperoleh gambaran tentang penerapan
metoda semiotika dalam penelitian seni rupa, desain dan kria.
(2) Mendeskripsikan metoda semiotika beserta obyek kajian dan tingkatan
penelitiannya.
b. TUJUAN YANG TELAH DICAPAI:
Penerapan metode semiotika dalam penelitian struktur semiotika humor (ludruk
dan ketoprak), serta implikasinya terhadap metode penelitian semiotika humor
pada umumnya.
c. TUJUAN YANG BELUM DICAPAI:
Penerapan semiotika untuk bidang-bidang seni rupa, desain dan kriya yang lebih luas,
serta implikasinya terhadap metode penelitian semiotika seni, desain dan kriya.
2. PRODUK RISET
Yang Dijanjikan Pada Proposal Yang Dihasilkan Pada Penelitian
Publikasi Jurnal Internasional Publikasi
1 Artikel di Jurnal Internasional
“Journal of Semiotics”, perkiraan
submitted Februari 2008
Propototipe
HAKI
3. KEGIATAN DISEMINASI HASIL RISET:
Seminar Semiotika Humor di dalam rangkaian ”Seminar Semiotika Kritis”, mulai
Januari 2008
4. SINERGI DENGAN KEGIATAN DAN PROYEK RISET LAIN:
Riset tentang semiotika ini bersinergi dengan kegiatan-kegiatan diskusi dan Focus
Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD-
ITB.
5. KEMANFAATAN PROYEK RISET:
1 orang mahasiswa S3 : A. Rikrik Kumara MSn
2 orang mahasiswa S2: Ferry Darmawan
M. Juneidi
Kelompok keahlian yang mendukung riset:
KK Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual
KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni
6. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DAN SARAN PERBAIKAN:
Permasalahan birokrasi dana penelitian. Perlu ada perbaikan dalam manajemen
dana penelitian, agar tidak terlalu rumit dan birokratis.
7. RENCANA KELANJUTAN PENELITIAN:
Di masa mendatang riset tentang semiotika humor ini akan dilanjutkan pada riset
semiotika terhadap bidang-bidang seni rupa, desain dan kriya lainnya dalam konteks
semiotika nusantara.
ACKNOWLEDMENT
Penelitian Ini Dibiayai oleh Riset ITB No: 0020/KO1.03.2/PL2.1.5/I/2007,
tanggal 10 bulan Januari 2007
DAFTAR ISI
BAB I . PENDAHULUAN
I.1.Tujuan ……………………………………………………………………………...
I.2. Metodologi dan Referensi ……………………………………………….………..
BAB II. METODOLOGI DAN KERANGKA TEORITIS
II.1. Tingkat Penelitian Semiotika Humor …………………………………………..
II.2. Humor dan Sistem Tanda ………………………………………………………
II.3. Sintaktis Humor …………………………………………………….………..….
II.4. Denotasi dan Konotasi Humor …………………………………………………
II.5. Metafora dan Metonimi Humor ……………………………….……………….
II.6. Semiotika Tubuh dan Humor …………………………………………………..
II.7. Semiotika Narasi ………………………………………………...………....……
II.8. Semiotika, Humor dan Parodi ………………………………………………..….
BAB III. STRUKTUR SEMIOTIKA LUDRUK DAN KETOPRAK HUMOR
III. 1. Semiotika Oposisi …………………………..…………………………………...
III. 2. Semiotika Repetisi …………………………….………….……………………..
III. 3. Intertekstualitas Humor ………………………..….…….…………..………….
III. 4. Metafora Berlapis ………………………………………….……………………
III. 5. Semiotika Superlatif ……………………………………….……………………
BAB IV. IMPLIKASI TERHADAP METODE ANALISIS SEMIOTIKA HUMOR ………
BAB V. KESIMPULAN ……………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..
LAMPIRAN
2
2
3
4
6
8
8
13
16
19
22
26
33
34
41
42
44
46
Bab I
Pendahuluan
Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh semakin penting
sejak empat dekade yang lalu, tidak saja sebagai ‘metoda kajian’ (decoding), akan tetapi juga
sebagai ‘metoda penciptaan’ (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi sebuah ‘model’
atau ‘paradigma’ bagi bidang-bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-
cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika
kedokteran (medical semiotics), semiotika arsitektur, semiotika seni, semiotika fesyen, semiotika
filem, semiotika sastra, semiotika televisi, dan termasuk semiotika desain.
Di dalam bidang seni rupa, desain dan kria, semiotika digunakan sebagai sebuah
‘paradigma’—baik dalam ‘pembacaan’ (reading) maupun ‘penciptaan’ (creating)—disebabkan
ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana seni rupa, desain dan kria untuk melihat obyek-
obyek seni rupa, desain dan kria sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat
tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code),
serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subyek bahasa (audience, reader, user).
Berdasarkan pada perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai
sebuah ‘metoda’ dalam penelitian seni rupa, desain dan kria haruslah berangkat dari sebuah
prinsip, bahwa seni rupa, desain dan kria sebagai sebuah ‘obyek penelitian’ tidak saja
mengandung di dalamnya berbagai aspek fungsi personal, utilitas, teknis, produksi dan
ekonomis, akan tetapi juga aspek komunikasi dan informasi, yang di dalamnya karya seni rupa,
desain dan kria berfungsi sebagai medium komunikasi.
Roadmap Penelitian PP Seni Rupa dan Desain ITB memiliki 4 (empat) matra, yaitu 1) Riset
Media (Bahan dan Teknik) Budaya Nusantara; 2) Riset Fungsi dalam Konteks Budaya
Nusantara; 3) Riset Sains dan Teknologi Nusantara, dan 4) Riset Budaya Visual Nusantara.
Salah satu target dari matra ke-4, Riset Budaya Visual Nusantara, di tahun 2007 adalah riset
tentang metoda dan metodologi penelitian di bidang seni rupa, desain dan kria. Berkenaan
dengan hal tersebut maka riset ini merupakan upaya untuk mengkaji salah satu metoda penelitian
di bidang seni rupa, desain dan kria dan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana metoda
semiotika dan metoda-metoda perluasannya dapat digunakan dalam penelitian seni rupa, desain
dan kria, yang di dalamnya dikombinasikan aspek-aspek ’obyektif’ (content) dan ’subyektif’
(meaning) atau aspek ’empiris’ dan ’interpretatif, dalam rangka mendukung pencapaian output
dan autcome PP Seni Rupa & Desain, yaitu pembangunan capacity building masyarakat bangsa
melalui seni, desain dan kriya.
Riset ini memiliki peran penting, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk
pengembangan metoda pendidikan, penelitian dan pengembangan produk seni rupa, desain dan
kria. Sesuai dengan visi ITB untuk menjadi Perguruan Tinggi berbasis riset, sudah menjadi
suatu keharusan bagi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB untuk memiliki dan mengembangkan
kompetensi keilmuan seni rupa, desain dan kria yang tinggi, khususnya di bidang metoda.
Apalagi bila kita amati bahwa sampai saat ini metoda-metoda seni rupa dan desain khususnya
masih kita impor dari luar sementara pada kenyataannya tidak seluruh kebutuhan kita dapat
terpenuhi, terutama yang menyangkut pengetahuan tentang lingkungan budaya kita, sehingga
informasi tentang penerapan semiotika sebagai sebuah metoda penelitian menjadi penting untuk
membahas masalah-masalah seni rupa, desain dan kria yang ada di Indonesia.
Di dalam riset ini, beberapa pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1) apa yang
dimaksud dengan semiotika?, 2) bagaimana identifikasi, sistematisasi dan deskripsi tentang
metoda semiotika?, 3) bagaimana penerapan metoda semiotika dalam penelitian seni rupa, desain
dan kria, khususnya humor?, dan 4) apa implikasi analisis semiotika humor terhadap metode
analisis humor?
I.1 Tujuan
I.1.1 Menganalisis kondisi aktual untuk memperoleh gambaran tentang penerapan
metoda semiotika dalam penelitian seni rupa, desain dan kria.
I.1.2. Memperoleh struktur tanda dalam humor tradisional Indonesia, dengan studi
kasus ludruk dan ketoprak humor
I.1.3. Mendapatkan relasi dan implikasi struktur tanda terhadap metode analisis
semiotikdalam bidang seni rupa, desain dan kriya.
I.2 Metodologi dan Referensi
Di dalam proposal, metode penelitian yang direncanakan digunakan adalah metode Focus Group
Discussion (FGD), yaitu metode diskusi kelompok intensif terstruktur, yang melibatkan 15-20
orang pakar di bidang semiotika dan dipandu oleh seorang moderator. Akan tetapi, ada berbagai
kendala dalam penggunaan metode FGD ini, terutama kesulitan dalam menemukan pakar di
bidang semiotika, yang masih langka keberadaannya di Indonesia. Di samping itu, ada kendala
dalam mengorganisir waktu pelaksanaan diskusi, yang intensif.
Sebagai pengganti metode FGD, di dalam penelitian ini digunakan salah satu metode penting
dalam pendekatan semiotika, yaitu metode ‘analisis teks’(textual analysis). ‘Analisis teks’adalah
sebuah metode yang memfokuskan perhaiannya pada ‘teks’(text) itu sendiri, yaitu pada tulisan,
gambar, atau obyek itu sendiri, untuk memahami satruktur tandanya, sistem pertandaannya
(syntagm dan paradigm), tingkatan pertandaannya (denotation dan connotation), relasi antar
tanda (metaphor dan metonymy), serta kode-kode semiotika dan kultural yang digunakan
(semiotic codes). (Fiske, 1992: 85-100). Analisis teks digunakan untuk membuat deskripsi
tentang sistem tanda dari karya humor tradisional secara sistematis, faktual dan akurat, yaitu
analisis terhadap sejumlah dokumen humor, berupa rekaman vcd dari sejumlah sampel
pertunjukan ludruk dan ketoprak. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
kepustakaan (library research), analisis visual (visual analysis), yang diperkuat dengan diskusi.
Bab II
Metodologi dan Kerangka Teoritis
Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh semakin penting
sejak empat dekade yang lalu, tidak saja sebagai ‘metoda kajian’ (decoding), akan tetapi juga
sebagai ‘metoda penciptaan’ (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi sebuah ‘model’
atau ‘paradigma’ bagi bidang-bidang keilmuan yang sangat luas, termasuk humor. ‘Semiotika
humor’ (semiotics of humor) adalah salah satu cabang dari ‘semiotika umum’(general semiotics).
Semiotika umum mempelajari prinsip dan konsep-konsep umum tentang tanda (sign). Semiotika
humor adalah semiotika khusus yang mempelajari tanda-tanda di dalam aneka karya humor.
Humor, berdasarkan pandangan semiotika, dapat dilihat sebagai tanda atau rangkaian
tanda-tanda, yang digunakan di dalam aneka ekspresi humor. Ragkaian tanda-tanda itu
membangun humor sebagai sebuah ‘bahasa’, yaitu ‘bahasa humor’. Sebagai sebuah sistem
bahasa, humor melibatkan sesuatu yang bersifat ‘konkrit’ (tubuh, benda, ruang, media), dan yang
bersifat abstrak (konsep, ide, gagasan, pesan). Dengan perkataan lain, humor dibangun oleh
komponen materi dan komponen idea. Kedua komponen bahasa humor ini merupakan dua
fondasi utama dari semiotika humor.
Sebagai sebuah bentuk semiotika khusus, semiotika humor dibangun oleh elemen-elemen
tanda, struktur tanda, pertandaan (signification), pesan, konvensi atau kode-kode (codes) yang
khusus. Oleh karena humor mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai sebuah bentuk
komunikasi (communication) dan pertandaan (signification), maka semiotika humor melibatkan
aneka medium komunikasi dan pertandaan. Sebagai fungsi komuniasi, humor adalah sarana
untuk mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu (message) dari sebuah sumber pengirim
(sender) kepada kelompok sasaran penerima (receiver). Sebagai sarana signifikasi, humor
digunakan untuk membangun makna (meaning) tertentu, untuk menghasilkan pengalaman
tertentu.
II. 1 Tingkat Penelitian Semiotika Humor
Semiotika humor tidak dapat dilepaskan dari semiotika umum, terutama dalam hal prinsip,
konsep dan struktur yang digunakan. ‘Semiotika’ (semiotics) didefinisikan oleh Ferdinand
deSaussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial” (Saussure, 1990: 15). Implisit dalam definisi Saussure
adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode
sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya
secara kolektif. Humor sebagai fenomena semiotika mempunyai aturan main dan kode-kode
sendiri, yang menjadi fokus dalam penelitian ini.
Pendekatan di dalam penelitian semiotika humor adalah pendekatan ‘strukturalisme’,
yaitu pendekatan dalam mempelajari ‘struktur tanda’dan kode-kode yang mengatur humor itu
sendiri. Pendekatan ‘strukturalisme’ terhadap ungkapan humor, adalah pendekatan yang melihat
‘struktur’ bahasa dari ekspresi humor. Apa yang ditekankan dalam semiotika struktural
(structural semiotics) adalah melihat relasi di antara elemen-elemen tanda yang membangun
sebuah ungkapan humor, termasuk ketoprak dan ludruk, baik elemen-elemen body language,
gesture, physiognomie, tanda obyek dan unsur-unsur visual lainnya. Termasuk ke dalamnya
adalah relasi-relasi antar tanda yang digunakan, sepaerti ‘metafora’ (metaphor) dan
‘metonimi’(metonymy)
II. 2 Humor dan Sistem Tanda
Di dalam kajian tanda ahli bahasa Saussure, ia menekankan pentingnya kajian terhadap
keseluruhan sistem tanda, daripada melakukan analisis individual. Ia menyatakan bahwa tanda
mendapatkan makna dan signifikasinya dari cara ia berinteraksi dengan tanda-tanda lain di dalam
sistem. Khususnya, ia melihat bahwa konsep tidak diartikan dalam hal kandungan isinya, tetapi
secara negatif melalui kontras dengan item-item lain di dalam sistem yang sama.
Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main (rule), semacam mesin untuk
memproduksi makna. Akan tetapi, seperti setiap mesin, hanya terdapat kemungkinan yang
terbatas orang menggunakannya. Anda tidak dapat mengendarai mobil dengan menekan pedal
rem, atau menyetir dengan tongkat kopling. Oleh karena itu, anda harus mematuhi aturan main
grammar jika anda ingin memproduksi makna dalam bahasa. Dalam hal ini, kita dapat
mengatakan bahwa seorang anak kecil mempelajari bahasa yang selalu ada sebelum anak
tersebut dapat menggunakannya, yang ‘selalu telah tersedia’ untuk digunakannya.
Di dalam strukturalisme, individu disebut sebagai ‘subyek’ (subject), disebabkan ia mempunyai
pengalaman subyektif dan karena ia merupakan subyek dari aturan main bahasa. Subyek
merupakan ‘agen’ dari bahasa, ‘operator bahasa’, ‘pekerja’ did alam pabrik makna ketimbang
pencipta makna itu sediri. Aturan main pertama analisis sinkronik adalah, bahwa di dalam
bahasa hanya ada pembedaan (difference) (Saussure). Misalnya, tidak ada hubungan keharusan
antara huruf-huruf ‘topi’ dan sesuatu yang anda pakai sebagai penutup kepala anda: apa yang
memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan antara ‘topi’ ‘tapi’, ‘tepi’, ‘kopi’, dst.
Kata-kata mempunyai makna disebabkan di antara kata-kata tersebut ada ‘perbedaan’,
disebabkan mereka berada di dalam relasi (relationship) perbedaan. Jadi, yang pertama-tama
dilihat di dalam strulturalisme adalah ‘relasi’, dan ‘obyek’ (kata, suara, tuturan) merupakan hal
yang kedua.
Salah satu alasan bagi konsentrasi Saussure pada ‘sistem hubungan perbedaan’ adalah bahwa
bahasa tidak pernah hadir sebagai keseluruhan sistem pada satu waktu aygn sama: tidak ada
sebuah kalimat yang mangandugn di dalamnya keseluruhan bahasa. Jadi sistem tidak daapt
dilahirkan (pandangan idealis dalam studi bahasa): sistem harus dikonstruksi dari kajian secara
individu contoh-contoh dan hubungan di antara mereka. Jelas di sini bahwa contoh-contoh
etrsebut dikonstruksi di dalam sistem yang diatur oleh aturan main. Kita dapat melihat
bagaimana di dalam strukturalisme, subyek dan obyek dikonstruksi, dan bagaimana keduanya
beroperasi di dalam hubungannya satu sama lainnya.
(1) ‘tanda lingusitik’ (the linguistic sign), kata Saussure, ‘menyatukan’ tidak sesuatu dan
namanya, akan tetapi ‘konsep’ dan ‘citar suara’ (sound image) (Saussure, 1990: 66). ‘Citar suara’
adalah urusan material emnciptakan tanda-tanda; menggunakan suara ucapan atau kata-kata
tertulis untuk memproduksi makna. Unsur tanda ini disebut penanda (signifier). Adalah penanda
yang mengikuti aturan main tentang hubungan perbedaan : disebabkan penanda berbeda satu
sama lainnya yang memungkinkan sistem bahasa. Konsep adalah citra mental yang tercipta lewat
penggunaan penanda, yang tidak mempunyai hubungan langsung atau harus dengan dunia
kenyataan. Citra ini disebut petanda (signified). Dapat juga dicatat, bahwa makna hanay akan ada
dengan menjadi berbeda satu sama lainnya.
Contohnya adalah kata ‘pohon’. Di atas garis adlah kata ‘pohon’, yang terdiri dari huruf
p-o-h-o-n, adalah penanda. Di bawah agris adalah petanda, citar mental dari pohon: perlu dicatat
ia bukanlah pohon yang nyata, melainkan konsep pohon yang digeneralisir. Adil untuk
mengatakan, bahwa sketsa pohon itu sendiri juga sebuah tanda, konsep ‘kepohon-an’ yang
direpresentasikan lewat gambar dua dimensi yang sama sekali tidak sama dengan sebatang
pohon yang nyata,selain dari kesepakatan yang bersifat konvensional di antaar orang-orang di
dalam mesyarakat kita, bahwa gambar pohon dapat ‘mewakili’ sebatang pohon. Contoh gambar
tersebut mulai dapat memperlihatkan bagaimana strukturalisme mengambil konsep tanda dan
menerapkannya ke daerah-daerah yang melampaui bahasa itu sendiri.Saussure sendiri mencatat,
bahwa di dalam tanda, penanda dan petanda adalah satu, seperti dua bidang dari selembar kertas,
yang merubah salah satu bidangnya akan merubah bidang yang lain. Misalnya menggambar
ulang pohon di atas dengan hanya menggunakan satu agris vertikal, menghasilkan citra sebatang
pohon yang lebih muda, lebih muda dari pohon yang pertama.
(2) Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (semaunya); atau dengan
perkataan lain, ‘tanda linguistik bersifat arbiter’. Tidak ada hubungan keharusan, alamiah atau
permanen di antara sebuah suara dan konsepnya.
Roland Barthes dapat dianggap sebagai bagian pembangun dari gerakan intelektual yang dikenal
sebagai strukturalisme (structuralism), yang menjadi kecenderungan dominan dalam ebrbagai
bidang pemikiran sejak awal tahun enam-puluhan. ‘Strukturalisme’, sebagaimana yang tampak
dari namanya, menaruh perhatian pada pembentangan struktur berbagai aspek pemikiran dan
tingkah laku manusia, termasuk aspek bahasa. Strukturalisme adalah sebuah cara berpikir
tentang dunia yang lebih menaruh perhatian pada persepsi dan deskripsi struktur, sebuah dunia
yang terbangun oleh ‘relasi’ ketimbang ‘sesuatu’ itu sendiri.
“Dalam pengertian yang paling sederhana ia mengklaim bahwa sifat setiap elemen di dalam
setiap situasi yang ada tidak memiliki signifikasi pada dirinya sendiri, dan pada kenyataannya
ditentukan oleh relasinya dengan setiap unsur-unsur lain yang terlibat di dalam situasi tersebut.
Singkatnya, signifikasi penuh entitas atau pengalaman manapun tidak dapat diperoleh kecuali
dan sampai ia terintegrasi ke dalam struktur yang di dalamnya ia merupakan bagian” (Hawkes,
1983).
Hakikat dari metoda strukturalis manapun adalah bahwa ia berurusan dengan sebuah totalitas
yang kompleks—yaitu, seperangkat unsur-unsur yang saling ebrkaitan yang di dalamnya setiap
unsur dapat dipahami hanya dari sudut situasinya di dalam sebuah perangkat total.
Strukturalisme memutuskan rantainya dengan problem-problem sebelumnya yang merupakan
konsentrasi dari pendekatan-pendekatan sebelumnya, disebabkan:
a. Strukturalisme menganggap kurang penting peran individu, dan justeru lebih menaruh
perhatian pada sistem yang di dalamnya individu beroperasi. Roland Barthes menulis
sebuah esai pada tahun 1968, yang berjudul La Mort de l’Auteur, yang di dalamnya ia
mengemukakan tentang pengabaian istilah auteur (Author) yang menganggap terlalu
penting mitos pencipta (kreator) individual, dan menggantinya dengan scripteur
(Reader), orang yang oleh atau melaluinya ecriture dapat menemukan eksistensinya.
b. Strukturalisme menganggap kurang penting problem kausalitas (causality). Ketimbang
menanyakan sifat atau hakikat sebuah fenomena, ia membatasi dirinya sendiri pada studi
strukturnya. Bila para ahli antropologi sebelumnya mencurahkan banyak waktu dan
enerji pada pertanyaan “Apa itu totemisme?”, para ahli antropologi struktural
mempersoalkan—tidak jelas apakah secara temporer atau permanen—dalam rangka
untuk menjawab “Bagaimana fenomena totemisme itu disusun?”.
c. Strukturalisme menganggap kurang penting pertanyaan tentang sejarah atau perubahan.
Ia berkonsentrasi pada kajian tentang inter-relasi seperangkat elemen di dalam sebuah
sistem yang ada pada sebuah momen waktu yang ada.
Berbagai alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan tentang diminansi strukturalisme di
dalam pemikiran modern Perancis. Satu pandangan adalah, bahwa sementara eksistensialisme
menjawab kebutuhan dan problem-problem Resistensi (Resistance) yang berkembang pada
periode Pasca Perang, masa perubahan pilihan-pilihan individu yang keras, strukturalisme lebih
sesuai dengan sejenis masyarakat yang berkembang pada tahun enam-puluhan: sebuah
masyarakat kapitalisme terencana (planned capitalism), yang di dalamnya pilihan-pilihan
individu tersubordinasi oleh beroperasinya struktur yang bersifat impersonal. Aspek lain yang
mungkin penting adalah perhatian strukturalisme pada bahasa dan komuniaksi. Metodanya
secara khusus lebih sesuai untuk pemahaman peran komunikasi dan media massa dalam
masyarakat modern, yang di dalam beberapa kasus secara langsung mempunyai peran politis,
misalnya penggunaan televisi dalam pembentukan siatem politik Orde Baru.
II. 3 Sintaktis Humor
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan
tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem.
Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab)
melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule of combination), yang terdiri dari dua
aksis, yaitu aksis paradigmatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti
kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-
tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehinga dapat menghasilkan sebuah ekspresi
bermakna.
Cara pengkombinasian tanda-tanda biasanya dilandasi oleh kode (code) tertentu yang berlaku di
dalam sebuah komunitas bahasa. ‘Kode’ adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang
di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan
dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain. ‘Kode’, menurut Umberto Eco, di dalam A
Theory of Semiotics, adalah “. . .aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan
konkritnya di dalam hubungan komunikasi” (Eco, 1979: 48). Implisit dalam pengertian kode
tersebut di atas adalah adanya ‘kesepakatan sosial’ di antara ‘anggota komunitas bahasa’ tentang
kombinasi seperangkat tanda-tanda dan maknanya.
Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam mesin untuk
memproduksi makna. Akan tetapi, seperti setiap mesin, hanya terdapat kemungkinan yang
terbatas bagi setiap orang dalam menggunakannya. Kita tidak dapat menjalankan mobil dengan
cara menekan pedal rem, atau mengerem mobil menggunakan tongkat kopling. Mobil
mempunyai aturan mainnya sendiri. Bahasa juga begitu. Dalam bahasa kita harus mematuhi
aturan main bahasa (gramar, sintak) jika kita ingin menghasilkan sebuah ekspresi yang
bermakna.
Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Saussure adalah, bahwa di dalam bahasa hanya ada
prinsip perbedaan (difference). Misalnya, tidak ada hubungan keharusan antara kata ‘topi’ dan
sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya
hubungan adalah perbedaan antara ‘topi’ ‘tapi’, ‘tepi’, ‘kopi’, dst. Kata-kata mempunyai makna
disebabkan di antara kata-kata tersebut ada ‘perbedaan’, disebabkan mereka berada di dalam
‘relasi perbedaan’. Jadi, yang pertama-tama dilihat di dalam kajian strulturalisme bahasa adalah
‘relasi’, bukan ‘hakikat’ tanda itu sendiri.
‘Perbedaan’ dalam bahasa, menurut Saussure hanya dimungkinkan lewat beoperasinya dua aksis
bahasa yang disebutnya aksis paradigms dan aksis syntagms. ‘Paradigms’ adalah adalah satu
perangkat tanda (kamus, perbendaharaan kata) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya
satu unit dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Syntagms adalah kombinasi tanda dengan tanda
lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan
bermakna (Sausure, 1990: 190-192).
Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan Saussure tersebut, Roland Barthes
mengembangkan sebuah ‘model relasi’ antara apa yang disebutnya system, yaitu perbendaharaan
tanda (kata, visual, gambar, benda) dan syntagm, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan
aturan main tertentu (Barthes, 1967: 125).
II. 4 Denotasi dan Konotasi Humor
Cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya memungkinkan untuk
dihasilkannya makna sebuah teks. Oleh karena hubungan antara sebuah penanda dan petanda
bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi,
maka sebuah penanda pada dasarnya membuka berbagai peluang petanda atau makna.
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi
(denotation) dan konotasi (connotation). ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna yang ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning),
dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah
Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
‘Konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya
terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang
terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi
atau keyakinan. Misalnya, tanda ‘bunga’ mengkonotasikan ‘kasih-sayang’ atau tanda ‘tengkorak’
mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning).
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih
bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam
pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya
arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (Barthes, 1967) . Berbagai
Gramar Humor
Vocabulary Humor
tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, oleh karena ia dapat digunakan
sebagai model dalam membongkar berbagai makna desain (iklan, produk, interior, fashion) yang
berkaitan secara implisit dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spiritual. Tingkatan tanda
dan makna Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Signs denotation connotation (codes) myth
II. 5 Metafora dan Metonimi Humor
Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga berupaya mengungkap interaksi di antara tanda-
tanda. Meskipun bentuk interaksi di antara tanda-tanda ini sangat terbuka luas, akan tetapi ada
dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora (metaphor) dan metonim (metonymy).
‘Metafora’ adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah
sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya. Misalnya
penggunaan metafora ‘kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau dirubah
pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang kini banyak digunakan di dalam
berbagai desain produk dan desain komunikasi visual. ‘Metonim’ adalah interaksi tanda, yang di
dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan
bagian (part) dengan keseluruhan (whole). Misalnya, tanda ‘botol’ (bagian) untuk mewakili
‘pemabuk’ (total). Atau, tanda ‘mahkota’ untuk mewakili konsep tentang ‘kerajaan’. Relasi
metafora dan metonim ini banyak digunakan di dalam iklan sebagai dua figure of speech, untuk
menjelaskan makna-makna secara tidak langsung.
Metafora digunakan dengan berbagai cara. Metafora digunakan, misalnya, untuk meciptakan
citra pertentangan atau oposisi biner di antara dua hal atau keadaan yang bertentangan. Misalnya,
kontras atau pertentangan di antara dua orang atau figur, digunakan metafora siang dan malam,
bidadari dan nenek sihir. Di sini metafora menciptakan pertentangan baik dalam hal relasi ruang
maupun mode interaksi. Kontras sering menjadi makna inti dari sebuah humor, misalnya kontras
di antara individu, di antara kelas sosial, status, gender, suku, ras, dan bangsa, dsb. Metafora
menciptakan dua ruang, yaitu ruang target (target space) dan ruang sumber (source space).
Struktur metafora dapat dilihat pada gambar berikut, di mana ada ‘ruang sumber’ (source space)
dan ‘ruang target’ (target space), ang di antaranya ada ‘ruang pencampuran’ (blended space):
Source
Space
Target
Space
Generic
Space
Blended
Space
Source
Space
Target
Space
Di dalam metafora ruang sumber (politik internasional) dan ruang sasaran keduanya disebut
ruang input (input spaces), karena keduanya menyumbang terhadap ruang percampuran (blended
space). Perlu dicatat bahwa selain ruang percampuran, terdapat ruang generik (generic space),
yang tujuannya adalah untuk mendefinisikan pada tingkat yang sangat tinggi sifat struktur yang
bersifat internal terhadap tiga ruang lainnya. Ruang percampuran itu dapat berupa percampuran
genre (wayang, dangdut), bahasa (Inggeris, Indonesia, Jawa), pencampuran waktu (masa lalu,
masa kini, masa depan), gender (pria, wanita).
Pencampuran ulang sering terjadi di dalam humor, disebabkan ia membentuk pembingkaian
ganda (multi-frame). Kandungan semantika di dalam metafora dilihat sebagai sebuah jejaring
ruang mental (mental spaces) yang dibangun di dalam proses konstruksi makna. Ada
keuntungan metodologis dalam mengkaji contoh-contoh humor ketika berupaya menjelaskan
mekanisme kognitif yang terlibat di dalam konstruksi makna, di dalam mana humor
mengeksploitasi cara-cara yang tersedia untuk mengkomunikasikan makna yang diharapkan
melalui cara sehingga yang diharapkan itu dikontradiksikan, yang sebaliknya menjadikan
harapan, yang merupakan dasar dari komunikasi lebih tampak. Orang yang menganalisis dipaksa
menambah mekanisme agar dapat menjelaskan apa yang membuat sesuatu tampil secara humor,
yaitu, bagaimana ia tampak lucu.
Ucapan seperti ‘mengocok’, ‘tumpah’, dan ‘nikmat’ adalah ucapan percampuran metafora,
sebagai contoh dari pencampuran ruang mental (antara minum dan seksualitas). Ada proses
bolak-balik antara konotasi ‘minum’ dan konotasi ‘seksualitas’, di mana ruang mental dianggap
sebagai representasi dari sebuah skenario yang dibayangkan. Ketika keseluruhan representasi
macam ini berbeda dalam status ontologisnya, ketika satu skenario dibayangkan sebagai fiktif,
hipotetis atau fakta tandingan dan yang lain dibayangkan sebagai memfakta, maka ruang terpisah
dapat dibangun. Jejaring ruang mental standar diusulkan, yang di dalamnya dua ruang input
dibangun, dihubungkan, dikembangkan dan diproyeksikan ke dalam sebuah ruang virtual, yang
merupakan “percampuran”. Relasi di antara dua ruang input ini bersifat asimetri: satu ruang
bersifat referential (reference space), yang lainnya presentasional (presentational space). Dalam
kasus khusus ini, karena kitaberhubungan dengan metafora, ruang referensi mengandung hal
yang khusus (particular) sementara kandungan isi dalam ruang presentasi bersifat generik. Ini
adalah sifat umum dari percampuran metaforis. Di dalam percampuran, peran generik agen di
dalam skenario adalah diisi oleh individu khusus (S1) yang ,emjadirujukan metafora (yang
merupakan sasaran prediket).
Ruang referensi dan ruang presentasi dibangun di dalam situasi khusus yang di dalamnya
berkembang kognisi. Ruang semiotika (semiotic space) adalah ruang yang darinya pembangunan
ruang berikutnya berlangsung; adalah dalam pengertian dasar bagi pembangunan ruang di dalam
proses berpikir pribadi, atau dalam hal ini, merupakan contoh dari komunikasi interpersonal.
Dalam pengertian ini, dasar (base) adalah konseptualisasi partisipan sebagai agen semiotik
(semiotic agents) dan pertukaran semiotik (semiotic exchanges) yang berlangsung. Para
partisipan menyadari berlangsungnya pertukaran dan konteks sekitarnya, termasuk wacana yang
ada sebelumnya, dengan cara yang sama kita menyadasinya ketika kita mengamati apa yang
terjadi dan menginterpretasikan interaksi sebagai sebuah pertukaran semiotika, yang kita
upayakan memahami maknanya.
Terlepas dari derajad yang terhadapnya ucapan tiruan secara teatrikal dimainkan, penampilan
teatrikal maksud komunikatif, yang saya kemukakan sangat penting bagi ironi, yang melibatkan
apa yang saya sebut ucapan virtual (virtual enunciation): ucapan fiktif (the fictive enunciation)
menandai ucapan sesungguhnya yang hadir sebagai sejenis ucapan bayangan di belakang apa
yang sebenarnya diekspresikan. Perbedaan antara ironi dan olok-olok verbal (verbal mocking),
berdasarkan pandangan ini, adalah bahwa dalam ironi, ucapan fiktif dianggap menjadi milik
pengucap—suara, pesan dan disposisi (mudah ditipu atau naif, misalnya, atau dalam hal ini, iri
dengki) dianggap milik pembicara sendiri; sedangkan di dalam ucapan olok-olok (mis.
impersonations), ucapan fiktif dianggap milik orang lain. Di dalam ironi, ucapan referensial
(referential enunciation) menjadi milik pengucap, dan ucapan presentasional (presentational
enunciation) menjadi milik si pengucap. Di dalam ucapan olok-olok, referensi adalah beberapa
disposisi atau keadaan yang diklaim menjadi bagian dari orang lain, atau dalam kasus olok-olok
diri sendiri, milik si pengucap sendiri, dan presentasi adalah kutipan fiktif—atau dalam beberapa
kasus kutipan memfakta—yang mengalami teatrikalisasi (misal: perubahan tekanan suara) sesuai
dengan perspektif yang asing terhadap perspektif referen sendiri. Jadi bila individu yang diolok-
olok adalah orang lain, pengucap dapat menghadirkan kutipan dari erspektifnya sendiri, dan bila
individu yang diolok-olok adalah pengucap sendiri, ia akan menghadirkan keadaan yang diolok-
olok seakan-akan dilihat dari luar dirinya, seakan-akan sebagaimana dilihat oleh orang lain. Di
dalam model umum integrasi semiotika ini, tanda, apakah ia berupa lexeme, metafora atau
tindak bicara, ada di dalam tindak lognisi atau komunikasi yang berlangsung di dalam beberapa
situasi tertentu yang mempunyai konsekuensi pada produksi tanda, dan dari sudut pandang
penafsiran, terhadap makna tanda. Hubungan antara apa yang dihadirkan (representamen) dan
apa yang dirujuk (object) terletak pada relasi tanda yang relevan (interpretant) sebagaimana
dijelaskan Peirce. Relevansi ditentukan oleh maksud yang memproduksi tanda, atau, dari sudut
pandang interpretasi, oleh pencarian terhadap maksud produser tanda yang memenuhi syarat,
misalnya, hubungan kausal antara agen yang mempunyai maksud dan produksi tanda.
Bila ditempatkan dalam istilah pedagogis, ruang semiotika adalah sebuah tempat, di mana
referensi adalah ‘apa’ (what), presentasi adalah ‘bagaimana’(how), dan relasi tanda yang relevan
adalah ‘mengapa’ (why). Latar (ground) adalah situasi kontekstual dalam produksi tanda, dan
lebih luas lagi norma-norma dan harapan-harapan intersubyektif yang memandu interaksi
komunikatif (yang jelas merupakan aspek dari Ruang Semotika). Dengan menempatkan
semantika kognitif sebagai paradigma yang konsisten, kita harus mengakui relasi yang berbelit-
belit antara makna ((meaning) dan komunikasi (communication); bila ekspresi mengandung arti
sebagaimana adanya karena seseorang memaknainya sebagai sesuatu (interpretant). Ucapan
tidak bermakna di dalam dirinya sendiri, tanpa ada orang yang memberinya makna. Metafora,
humor danfenomena ekspresif lainnya muncul di dalam interaksi komunikasional yang dientuk
situasi.
Humor juga menggunakan prinsip metonim (metonymy). Metonim didefinisikan sebagai sebuah
kiasan yang di dalamnya satu kata digunakan untuk yang lainnya yang menjelaskannya. Contoh
yang jelas adalah penggunaan karikatur para pemimpin berbagai negara. Misalnya, Saddam
Husein, sebagai individu yang berbahaya bagi Amerika Serikat, ia mewakili senjata pemusnah
massa negara Irak. `residen Bush merupakan contoh menarik kaena ia merepresentasikan dirinya
secara langsung sebagai pembuat kebijakan, tetapi dalam hal bahaya dari Irak, mewakili
Amerika Serikat. Metonim secara luas digunakan di dalam humor, dan membantu untuk
menjelaskan gaya karikaturnya.
Jelaslah, bahwa ketika seseorang menciptakan metafora, ia secara harafiah, berbohong (lying),
sebagaimana semua orang tahu. Tetapi, seseorang yang mengungkapkan metafora tidak
berbicara secara ‘harafiah’: ia berpretensi membuat pernyataan, tetapi ingin menyatakan secara
serius sesuatu yang melampaui kebenaran harafiah. (Eco, 1984: 89). Metafora didefinisikan
sebagai jalan lain ke arah sebuah nama dari type lain, atau sebagai pentranferan (transferring)
kepada satu obyek sebuah nama kepunyaan obyek lain, sebuah cara kerja yang dapat
berlangsung melalui ‘pemindahan’ (displacement) dari genus ke spesies, dari spesies ke genus,
dari spesies ke spesies, atau melalui analogi (analogy) (Eco, 1984: 91)
Cara lain dalam menjelaskan metafora adalah degan melihat relasi antara yang ‘memetaforakan’
(vehicle) dan yang dimetaforakan (tenor), yang di antaranya adalah istilah penengah
(intermediary term), atau genus dari reference, menghasilkan sebuah ‘ruang semiotika’ (semiotic
space), yang memungkinkan tidak terjadinya ambiguitas.
“Kaki gunung” menjelaskan, pemindahan ‘kaki manusia’ (vehicle) sebagai tanda untuk
menjelaskan ‘bagian bawah gunung’ (tensor), dengan istilah tengah sebagai genus sesuatu yang
mempunyai “tapak” (genus). Di dalam teori metafora model ‘porphyrian tree’ digunaan dalam
menjelaskan relasi dari elemen-elemen metafora.
genus
spesies spesies
mengambil
memotong menarik
x y Z
Sharp
Peak Tooth
Sharp
Tooth Peak
Production Interpretation
Ada lima aturan dalam membaca metafora:
(a) coba memberikan representasi komponensial tentatif dan parsial pertama dari sememe
yang memetaforakan (vehicle). Representasi ini harus mengambil sememe atau sifat-sifat
yang dianggap relevan oleh teks-pembantu (co-text). Upaya pertama ini adalah upaya
abduktif (abductive).
(b) Lihat secara abduktif di dalam ensiklopedia sememe yang lain yang mungkin memiliki
bersama berbagai sifat-sifat utama dari sememe pertama, sambil memperlihatkan sifat-
sifat berbeda lainnya yang menarik. Sememe baru ini menjadi kandidat bagi peran
sememe yang dimetaforakan (tenor). Dengan ‘sifat-sifat berbeda yang menarik’ kita
maksudkan adalah sifat yang dapat direpresentasikan oleh interpretan yang tidak hanya
berbeda satu sama lainnya, tetapi dapat pula dipertentangkan sesuai dengan
inkompabilitas overkode (seperti terbuka/tertutup, hidup/mati, dst.)
(c) Pilih satu atau lebih sifat-sifat yang secara mutual berbeda dan bangun di atasnya satu
atau lebih pohon Porphyrian agar pasangan bertentangan ini dapat diikat oleh simpul
lebih tinggi.
(d) Tenor dan vehicle memperlihatkan relasi yang menarik ketika sifat-sifat mereka yang
berbeda secara mutual bertemu pada titik simpul Porphyrian yang setinggi mungkin.
(e) Periksa apakah pada latar belakang metafora yang ‘diabduksikan’, relasi-relasi baru dapat
diimplementasikan, untuk memperkaya kekuatan kognitif metafora.
Jean Cohen, menggunakan istilah ‘ketakterkaitan semantika’ (semantic impertinence), untuk
menjelaskan pelanggaran kode keterkaitan atau relevansi yang mengatur asal muasal prediket
dalam penggunaannya yang biasa. Pernyataan metaforik bekerja sebagai reduksi penyimpangan
sintagmatik (syntagmatic deviance) dengan membangun kaitan semantika yang baru. Kaitan
semantika baru ini dijaga melalui produksi penyimpangan leksikal (lexical deviance), yang
merupakan sebuah penyimpangan paradigmatik yaitu, semacam penyimpangan yang dijelaskan
oleh ahli teori klasik (Sacks, 1978:144)
Adalah aspek ini yang dimaksudkan di dalam perbedaan yang dibuat I.A.Richard antara tenor
dan vehicle. Perbedaan ini tidak seluruhnya terserap ke dalam perbedaan yang dibuat Black
antara bingkai (frame) dan fokus (focus). Bingkai dan fokus hanya menjelaskan setting
kontekstual—katakanlah, kalimat secara keseluruhan—dan istilah yang menjadi pembawa
pergeseran makna, sementara tenor dan vehicle menjelaskan impor konseptual dan selubung
gambar (pictorial envelope). Fungsi pertama imajinasi adalah memberikan harga pada permainan
bingkai/fokus; fungsi keduanya adalah memberikan harga pada perbedaan tingkat antara tenor
dan vehicle, atau, dengan perkataan lain, tentang cara yang di dalamnya inovasi semantika tidak
saja diskemakan tetapi digambarkan.
II. 6 Semiotika Tubuh dan Humor
Di dalam dunia humor, tubuh adalah salah satu sumber tanda, yang dieksplorasi aneka potensi
semiotikanya, untuk menghasilkan efek-efek kelucuan, atau parodi. Bahasa tubuh, gesture dan
physiognomie adalah tiga bahasa semiotika tubuh yang sering dieksplorasi untuk menghasilkan
efek-efek humor. Melalui humor ada pembongkaran terhadap konvensi-konvensi sosial tentang
tubuh tidak hanya berlangsung pada tingkat fisik dan relasi sosial, melainkan juga pada tingkat
tanda atau semiotika. Postmodernisme dekonstruktif mendekonstruksi aturan, norma, tabu,
kebiasaan, dan kode-kode pada tingkat pertandaan (signification). Kode-kode sosial tentang
tubuh dan bahasa tubuh (body language) dibiarkan dalam kondisi mencair, dalam rangka
membuka ruang bagi sebuah ‘permainan bebas tanda-tanda’ tentang tubuh (free play of bodily
signs).
II. 6. 1 Gestur dan Humor
Penggunaan tangan dan wajah atau kombinasi keduanya sebagai tanda dalam komuniaksi non-
verbal. Di luar bahasa formal, gesture digunakan di kalangan binatang, orang primitif, tuna
netra.
Expressive Gesture
Gestur ekspresif adalah gestur yang berasal dari ekspresi bagian-bagian dari wajah dan tangan
(biological gesture), yang menunjukkan sebuah kualitas perasaan, emosi atau suasana hati.
Gestur ekspresif, dengan demikian, bersifat indeksikal (indexical), yaitu ekspresi biologis, yang
menunjukkan atau relasi sebab-akibat (causal) antara ekspresi biologis dan suasana hati di
dalam. Berbagai ekspresi biologis, seperti senyum, ejek, angkat bahu, tertawa, mengerinyit,
merah muka, pucat, angguk, mendelik adalah di antara ekspresi biologis yang menjelaskan
suasana hati di dalam.
Mimic Gesture
Gestur mimik (mimic gesture) adalah gesture yang merupakan ekspresi peniruan atau imitasi
atau pengkopian sesuatu melalui ekspresi wajah atau tangan, dalam rangka merepresentasikan
maknanya. Imitasi dapat berupa imitasi obyek, orang, tindakan atau kondisi.
Pertama, mimikri sosial (social mimicry), yaitu yaitu ekspresi wajah (seperti senyum, marah,
sedih) dalam rangka menyesuaikan diri dengan suasana yang sesuai dengan konvensi sosial yang
ada. Misalnya, senyum para hostes, pemandu sorak atau sales girls. Peniruan sosial semacam ini
menggunakan tanda yang dapat dikatakan sebagai tanda palsu (pseudo sign) atau indeks palsu
(pseudo index), di mana tanda atau indeks (senyum, ketawa, sedih) tidak ‘menunjuk’ pada
suasana hati yang sebenarnya (yang mungkin suasananya adalah sebaliknya), tetapi
disembunyikan dalam rangka memenuhi kepatutan sosial yang ada (misalnya: di dalam upacara
kematian mesti bersedih, meskipun sebenarnya sedang bergembira; atau di dalam sebuah pesta
mesti senyum, meskipun sebenarnya sedang bersedih)
Kedua, mimikri teatrikal (theatrical mimicry), yaitu mensimulasi sesuatu untuk hiburan. Di sini
ada peran tertentu yang dimainkan, yaitu peran seakan-akan (as if). Ada dua bentuk mimikri
teatrikal: 1) partial mimicry, yaitu meniru tak sempurna: burung, hujan, pesawat terbang, bedil,
pestol), 2) vacum mimicry, yaitu mimikri dari obyek yang absen, menirukan menyuap nasi,
menirukan menyapu lantai.
Schematic Gesture
Ringkasan dari sebuah mimicry. Misalnya, dua jari di atas kepala berarti “sapi”.
Symbolic Gesture
Kualitas abstrak yang tdk ada ekivalen dalam dunia obyek dan gerak (mood+idea). Misalnya,
tanda bodoh dinyatakan oleh ‘jempol ke bawah’, tanda pintar melalui ‘tunjuk kening’, tanda gila
melalui ‘tujuk kening secara miring’. Gestur simbolik ini sangat bersifat kultural.
Technical Gesture
Digunakan secara terbatas untuk kegiatan khusus tertentu/spesialis. Misalnya, di studio televisi,
seorang kameramen menggesek jempol dengan tunjuk untuk menyatakan “OK”; tangan disilang
di leher untuk menyetakan “CUT”. Gesture teknis digunakan di berbagai bidang: pemadam
kebakaran, pengendara crane, pemandu bandara, kasino, lelang, restoran, penjaga pantai.
Coded Gesture
Coded gesture adalah gesture yang dibangun berdasarkan sistem formal, sistem yang
direncanakan, sistem yang bersifat struktural. Misalnya, bahasa oranag tunanetra yang
menggunakan struktur tangan
II. 6. 2 Body Language
Tanda Tak Suka
Adalah seperangkat tanda-tanda tubuh untuk menyatakan bebagai sikap: tak tertarik, bosan, tak
sabar, superioritas, mengejek, menolak, atau tak nyaman.
Tanda Ancaman
Tanda ancaman adalah tanda-tanda yang digunakan untuk menyatakan ancaman. Misalnya,
tunjuk, unjuk tinju, pegang leher.
Obscene Sign
Tanda kecabulan (obscene sign) adalah tanda-tanda yang digunakan untuk menghasilkan efek-
efek kecabulan, yang dianggap bersifat kotor, vulgar, usil, tanda phallus, genital, tanda setubuh,
masturbasi atau meraba.
II.7 Semiotika Narasi
Narasi dalam konteks kesusasteraan berarti cerita, seperti novel, dongeng, atau mitos. Narasi
menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa di dalam dunia realitas direpresentasikan
berdasarkan urut-urutan waktu tertentu. Perbedaan cerita menyiratkan perbedaan narasi, yaitu
perbedaan memperlakukan atau menafsirkan relasi antara ruang dan waktu. Ruang dan waktu
yang sama seringkali dinarasikan dengan model narasi yang berbeda-beda, sehingga inti dari
narasi adalah menghasilkan ‘perbedaan’ itu sendiri. Narasi membangun perbedaan dengan
narasi-narasi lain, meskipun semuanya sama-sama merespons ruang-waktu yang sama.
Gerard Genette, di dalam Narrative Discourse: An Essay in Method menjelaskan setidak-
tidaknya tiga makna narasi. Pertama, makna narasi yang paling umum, yang menunjuk pada
‘pernyataan naratif’ (narrative statement), wacana oral atau tertulis, yang fungsinya adalah
menceritakan peristiwa atau rangkaian peristiwa. Kedua, makna narasi yang menunjuk pada
‘urut-urutan peristiwa’ (succession of events) dalam wacana tertentu , baik nyata maupun fiktif,
yang di dalamnya ada relasi-relasi hubungan, oposisi, repetisi, dsb. Dalam hal ini, ‘analisis
narasi’ berarti analisis tentang totalitas tindakan (actions) dan situasi yang dipahami dalam
dirinya sendiri, tanpa pertimbangan terhadap medium, bahasa, dsb., yang melaluinya
pengetahuan tentang totalitas itu sampai pada kita. Ketiga, makna narasi yang menunjuk pada
peristiwa, akan tetapi, bukan peristiwa yang diceritakan kembali, tetapi peristiwa yang di
dalamnya seseorang menceritakan sesuatu, yaitu tindak narasi yang dipahami secara tersendiri
(Genette, 1980: 25-26).
Christian Metz menjelaskan ‘narasi’ sebagai “. . . waktu dari sesuatu yang diceritakan dan waktu
narasi (waktu petanda dan waktu penanda). Dualitas ini tidak hanya memberi kemungkinan pada
distorsi waktu di dalam narasi (tiga tahun kehidupan pahlawan diringkas ke dalam dua kalimat
novel atau ke dalam beberapa shot montase filem, dsb.)” (Genette, 1980: 33). Definisi narasi
semacam ini memberikan pemahaman tentang salah satu fungsi narasi sebagai cara untuk
menemukan satu skema waktu dalam kaitannya dengan skema waktu yang lainnya. Menemukan
‘skema waktu narasi’ dalam kaitannya dengan ‘skema waktu dunia’
Paul Ricoeur, Di dalam Time and Narrative Vol.1, melihat ketidakterpisahan antara konsep
narasi dengan perbincangan tentang waktu (time). Narasi, urut-urutan peristiwa atau cerita
tentang dunia hanya mungkin diceritakan kembali di dalam garis waktu. Sebaliknya, waktu
hanya mungkin dipahami dan dicerap oleh kesadaran melalui berbagai bentuk artikulasi, yang
salah satunya adalah melalui narasi. Narasi dan waktu saling menentukan secara timbal balik.
Dalam kaitannya dengan narasi, Ricoeur membedakan antara ‘waktu dunia’ dan ‘waktu manusia’
(human time). Waktu dunia menjadi waktu manusia ketika ia diartikulasikan melalui sebuah
mode narasi, dan narasi mendapatkan maknanya yang lengkap ketika ia menjadi sebuah kondisi
bagi eksistensi mewaktu (Ricoeur, 1984: 52).
Berdasarkan beberapa definisi narasi di atas dapat dilihat, bahwa narasi dan tindak narasi
merupakan ‘wadah’ dari cerita atau peristiwa-peristiwa dunia. Tanpa wadah tidak akan ada isi
wadah. Wadah menyiratkan isi, dan isi menyiratkan wadah. Begitu juga, tanpa tindak narasi,
tidak ada pernyataan, tidak ada isi narasi (narrative content). Akan tetapi, lebih jauh lagi, tanpa
ada waktu, tidak ada pula narasi, sebuah problematika yang menjadi perhatian khusus Ricoeur,
sebagaimana akan dijelaskan di belakang. Meskipun tidak secara khusus mengaitkan narasi
dengan waktu, Genette menggunakan pengertian narasi yang lebih luas, yaitu narasi sebagai
wacana narasi (narrative discourse), yang menghasilkan teks narasi (narrative text) (Genette,
1980: 113). Wacana narasi menjelaskan relasi-relasi peristiwa dan pertukaran bahasa di dalam
waktu. Di satu pihak, ada relasi antara wacana dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskannya
(narasi dalam pengertian kedua); di pihak lain, ada relasi antara wacana dan tindak narasi baik
aktual maupun fiktif (narasi dalam pengertian ketiganya). Berdasarkan pemahaman waktu dan
narasi itu, Genette melihat beberapa bentuk hubungan di dalam narasi.
Pertama, ‘tatanan narasi’ (narrative order), yaitu hubungan antara tatanan waktu (temporal
order) dari urut-urutan peristiwa di dalam cerita dan ‘tatatan waktu-palsu’ (pseudo-time) di
dalam susunan narasi. Tatanan narasi menjelaskan tatanan di mana peristiwa-peristiwa atau
segmen-segmen waktu ditata di dalam wacana narasi dalam hubungannya dengan tatanan urut-
urutan dari peristiwa-peristiwa atau segmen-segmen waktu yang sama di dalam cerita; dalam
pengertian, bahwa susunan cerita secara eksplisit ditandai oleh narasi itu sendiri atau oleh
petanda-petanda (clue) tertentu. Narasi dapat menceritakan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
di masa lalu (retrospective), atau peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang (prospective).
Narasi dapat mempunyai susunan atau urutan-urutan yang sama dengan peristiwa nyata, bisa
juga berbeda dengannya.
Kedua, ‘durasi narasi’ (narrative duration), yaitu hubungan antara durasi peristiwa dan durasi-
palsu (pseudo-duration) dalam penceritaannya di dalam narasi, yang dapat dilihat dari panjang
teks. ‘Kecepatan narasi’ (narrative speed) menjelaskan ‘kepadatan waktu’ dalam cerita, yaitu
hubungan antara dimensi waktu dan dimensi ruang, yang dijelaskan melalui relasi antara durasi
(yaitu cerita, yang diukur dalam detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun) dan panjang (yaitu teks,
diukur dalam baris atau halaman). Narasi melingkupi ragam variasi, dari 150 halaman untuk tiga
jam peristiwa sampai pada tiga baris untuk dua belas tahun peristiwa; dari mulai satu halaman
untuk satu menit peristiwa sampai pada satu halaman untuk satu abad peristiwa. Terdapat pula
‘evolusi internal’ narasi, ketika narasi bergerak menuju akhir cerita, sebuah evolusi yang di
dalamnya terdapat perlambatan narasi secara gradual, melalui semakin pentingnya adegan yang
sangat panjang, yang diceritakan di dalam waktu cerita yang sangat pendek
Keempat, ‘frekeuensi narasi’ ((narrative frequency), yaitu relasi antara kapasitas repetitif cerita
dan narasi. Frekuensi narasi menjelaskan tingkat pengulangan atau repetisi dari karakter atau
peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Sebuah peristiwa tidak hanya dapat terjadi; ia juga dapat
terjadi lagi, atau diulang dan diulang lagi: matahari terbit setiap pagi, dan terbenam sore hari di
dalam mode pengulangan dan repetisi. ‘Repetisi’ adalah konstruksi mental, yang memberikan
gambaran mental tentang ‘peristiwa-peristiwa identik’ atau ‘kemunculan kembali peristiwa yang
sama’, berupa rangkaian beberapa peristiwa yang sama yang dinilai dalam hal keserupaannya
dengan peristiwa sebelumnya, misalnya ‘matahari terbit setiap pagi’, meskipun terbitnya
matahari itu sesungguhnya berbeda-beda bentuk, posisi atau intensitasnya (Genette, 1980: 113).
Paul Ricoeur melihat kaitan kuat antara narasi, waktu dan perbedaan dalam pengalaman
manusia. Ada hubungan yang tak dapat dipisahkan antara pengalaman, kesadaran manusia dan
waktu. Dan, oleh karena esensi waktu—dan pengalaman serta kesadaran manusia di dalamnya—
adalah perbedaan itu sendiri, maka perbedaan narasi tak lain dari perbedaan waktu itu sendiri.
Karena kesadaran dan pengalaman manusia mempunyai karakter mewaktu, maka ia sekaligus
mempunyai karakter perbedaan. Ricoeur menegaskan perbedaan dan kemewaktuan pengalaman
manusia ini di dalam Time & Narrative: Volume 1. Dunia yang dibentangkan oleh setiap karya
narasi selalu dunia yang mewaktu. Di dalam narasi, ‘waktu dunia’ (world time) menjadi ‘waktu
manusia’ (human time), yang di dalamnya waktu dunia ditata dan diorganisasikan menurut
sebuah model narasi. Sebaliknya, narasi selalu melukiskan sifat-sifat pengalaman yang mewaktu
itu. Sebagaimana dikatakan Ricoeur, “. . .waktu menjadi waktu manusia, dalam pengertian,
bahwa ia diartikulasikan melalui sebuah mode narasi, dan narasi mendapatkan maknanya yang
lengkap ketika ia menjadi sebuah kondisi bagi eksistensi mewaktu” (Ricoeur, 1984: 52).
Kesadaran mewaktu dalam narasi diperlihatkan oleh fenomena ‘kehadiran’ waktu itu sendiri di
dalam kesadaran manusia, sehingga manusia dapat menghadirkan sesuatu yang bersifat masa lalu
dalam format memori; kehadiran sesuatu yang bersifat masa kini berupa persepsi langsung, dan
kehadiran sesuatu yang bersifat masa depan berupa ekspektasi (expectation). Kehadiran masa
lalu, masa kini, dan masa depan secara bersama-sama di dalam kesadaran menunjukkan, bahwa
kesadaran itu sendiri ada dalam bentuk ‘narasi’. Pikiran manusia bekerja melalui tiga kapasitas
ini: ekspektasi, persepsi dan memori. Melalui mekanisme waktu itulah, masa depan yang
diekspektasikan, hadir di dalam kesadaran, melalui persepsi masa kini, menuju ke arah masa
lalu, yang diingatnya melalui memori.
Peristiwa-peristiwa berlangsung tidak saja di dalam ruang, tetapi juga di dalam waktu. Oleh
karena itu, dapat dikatakan, bahwa setiap peristiwa adalah narasi, karena ia hanya ada di dalam
waktu. Maka, ketika peristiwa-peristiwa yang mewaktu itu diceritakan kembali di dalam bingkai
‘waktu manusia’, apa yang terjadi adalah, bahwa di dalamnya manusia mencoba ‘merekam’
kembali pengalaman mewaktu didunia nyata itu melalui waktu yang dikonstruksi di dalam
narasi. Ada sebuah proses ‘pembayangnan ulang’ pengalaman waktu dunia ke dalam waktu
narasi. Apapun bentuk komposisi ‘narasi kehidupan’ di dalam medan pengalaman mewaktu kita,
komposisi dan plot narasi itu berlandaskan pada penafsiran dunia tindakan, struktur
bermaknanya, sumber-sumber simboliknya, dan karakter mewaktunya yang telah ada
sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Ricoeur, “[K]ita . . .mengikuti takdir waktu yang telah
dibayangkan sebelumnya, yang menjadi waktu yang dibayangkan ulang melalui mediasi waktu
yang disusun (di dalam narasi) (Ricoeur, 1984: 54). Duduk di hadapan sebuah televisi, lama-
lama kita menyadari, bahwa kita berhadapan dengan dua model pengalaman mewaktu, dengan
perkataan lain dua model narasi. Pertama, pengalaman ‘waktu dunia’, yaitu alur waktu yang kita
ikuti menyangkut televisi (menghidupkan, melihat, makan snack, minum, mematikan, dst.).
Dengan menonton televisi, artinya kita mengikuti sebuah ‘narasi kehidupan’, yang di dalamnya
ada pengalaman mewaktu dunia. Kedua, pengalaman ‘waktu layar’, yaitu waktu dunia yang
diceritakan kembali di dalam ‘waktu layar’, sebuah pengalaman mewaktu yang dikonstruksi di
dalam televisi itu sendiri, yaitu urutan-urutan peristiwa di dalam layar televisi (berdasarkan
model plot tertentu), yang boleh jadi berbeda dengan urut-urutan waktu dunia.
II. 8 Semiotika, Humor dan Parodi
Tanda-tanda digunakan tidak saja sebagai cara menyampaikan pesan atau makna tertentu, tetapi
juga sebagai cara dalam menghasilkan efek-efek kelucuan atau homor. Semiotika dengan
demikian melibatkan tanda-tanda ironi (ironic sign)
Parodi adalah satu cara dalam menghasilkan kelucuan, di samping kritik, dan permainan. Tujuan
dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman
berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Dalam kaitan ini, parodi
menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya. Satu teks,
karya atau gaya dihadapkan dengan teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir atau
membuat lelucon darinya. The Oxford English Dictionary mendefinisikan parodi sebagai:
Sebuah komposisi dalam prosa atau puisi yang di dalamnya kecenderungan-
kecenderungan pemikiran dan ungkapan karakteristik dalam diri seorang
pengarang atau kelompok pengarang diimitasi sedemikian rupa untuk
membuatnya tampak absurd, khususnya dengan melibatkan subyek-subyek
lucu dan janggal, imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya kurang lebih
mendekati aslinya, akan tetapi disimpangkan arahnya, sehingga menghasilkan
efek-efek kelucuan.
Hutcheon mendefinisikan parodi sebagai “…satu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang
dicirikan oleh kecenderungan ironik…”(Hutcheon,1985: 6). Parodi adalah pengulangan yang
dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan ketimbang persamaan. Parodi
adalah titik berangkat dari kritik, sindirian, kecaman—sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau
sekedar ungkapan rasa humor. Hutcheon, selanjutnya melihat parodi sebagai “…sebuah relasi
formal atau struktural antara dua teks.” (Hutcheon, 1985: 22) Sebuah teks baru dihasilkan
sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau unsur lelucon dari bentuk, format atau struktur
dari teks rujukan. Sebuah teks atau karya parodi biasanya menekankan aspek penyimpangan atau
plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya bersifat serius. Parodi adalah sebuah bentuk
representasi, akan tetapi representasi yang lebih ditandai oleh pelencengan, penyimpangan dan
plesetan makna—representasi palsu (false representation). Sifat dan metoda dalam
menghasilkan pelencengan makna dan lelucon tersebut sangat kaya dan beranekaragam. Parodi
adalah satu bentuk dialogisme tekstual (textual dialogism), yaitu dua teks atau lebih bertemu dan
berinteraksi satu sama lain dalam bentuk dialog. Dialog ini bisa berupa kritik serius, polemik,
sindiran atau hanya sekadar permainan atau lelucon dari bentuk bentuk yang ada.
Dengan demikian, parodi selalu mengambil keuntungan dari teks atau karya yang menjadi
sasarannya (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyhurannya)—parodi sebagai
satu bentuk diskursus selalu memperalat diskursus pihak lain, untuk menghasilkan efek makna
yang berbeda. Sebagai satu bentuk representasi palsu, dalam diskursus parodi terdapat dua suara
yang berperan. Dua suara ini tidak saja direpresentasikan dalam diskursus parodi, akan tetapi
juga menunjuk pada dua konteks pengungkapan yang berbeda, yaitu pengungkapan yang ada
sekarang dan pengungkapan yang sebelumnya. Pengungkapan yang terdahulu ini digunakan
oleh penulis atau seniman untuk tujuan ekspresi pribadinya.
Dua diskursus, dua suara, dua gaya ini dalam parodi saling bersilangan—bahasa yang
memparodi dan bahasa yang diparodi saling berdialog satu sama lain. Akan tetapi,
kecenderungan dalam parodi adalah bahasa yang pertama mengontrol bahasa yang kedua.
Oleh sebab itu, dalam parodi tampak dengan jelas adanya unsur-unsur kesengajaan dalam
menyilangkan dua bahasa, sebagaimana halnya dua gaya, dua sudut pandang bahasa dan
akhirnya dua subyek yang berbicara. Dengan kata lain, dialog dalam parodi terjadi secara
disengaja. Dua bahasa, dua gaya yang secara sengaja dipertemukan dalam satu dialog parodi
menghasilkan bahasa atau gaya ketiga—bahasa atau gaya hibrida.
Bab III
Data dan Analisis:
Struktur Semiotika Ludruk dan Ketoprak Humor
Humor di dalam kebudayaan etnis di Indonesia mempunyai bentuk, ekspresi dan gaya yang
bermacam-macam, sesuai dengan pluralitas dan perbedaan yang membangun kebudayaan
Nusantara. Masing-masing etnis mempunyai tradisi humor yang berbeda-beda, dengan bentuk-
bentuk ungkapan, bahasa dan media yang berbeda-beda pula. ‘Ludruk’dan ‘ketoprak’adalah dua
bentuk ekspresi humor dalam bentuk ‘drama tradisional’ dalam kebudayaan Jawa, khususnya
Jawa Timur.
Ludruk dan ketoprak dapat digolongkan ke dalam drama tradisional, yang di dalamnya terdapat
muatan-muatan humor. Meskipun terdapat perbedaan antara ludruk dan ketoprak, ada berbagai
kesamaan, baik dalam struktur, cara ungkap, bahasa visual (bahasa tubuh, gesture, atau tanda
visual lainnya) dan rujukan-rujukan kebudayaan yang digunakan. Ludruk dan ketoprak adalah
bagian dari kesenian rakyat, yang sama-sama merupakan respons terhadap problematika
kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan sosial, eknonomi dan politik. Dalam berbagai aspek,
ludruk dan ketoprak adalah sebuah bentuk kritik sosial, yang dimuati dengan unsur-unsur komik
dan kelucuan.
Ada berbagai sumber kelucuan (fun) yang dibangun di dalam ludruk dan ketoprak, yang sebagian
menggunakan pola umum, tetapi sebagian merupakan ciri khas dari kebudayaan Jawa,
khususnya Jawa Timur. Untuk memahami sistem tanda dan struktur semiotika dari ludruk dan
ketoprak dilakukan analisis tekstual (textual analysis) terhadap 10 sampel vcd ludruk dan 14
sampel vcd ketoprak. Tujuan utama pembacaan dan analisis adalah untuk memahami struktur
tanda dan kode-kode semiotika (semiotic code) yang digunakan di dalamnya, serta tanda-tanda
yang menjadi sumber kelucuan dan efek-efek komikal lainnya. Berdasarkan pembacaan dan
analisis tersebut, dapat diketahui berbagai sumber kelucuan itu di antaranya adalah dari: oposisi,
repetisi, perbedaan, ketaksesuaian (incongruity), metafora, interteks, parodi
KELUCUAN
Oposisi
Repetisi Perbedaan
Ketaksesuaian Metafora
Intertekstualitas
Parodi Superlatif
III. 1. Semiotika Oposisi
Salah satu sumber kelucuan yang dibangun di dalam acara humor seperti ketoprak dan ludruk
adalah kelucuan yang timbul dari permainan oposisi biner (binary opposition). Melalui oposisi
biner, kesenjangan yang muncul di antara dua sifat atau keadaan yang dipertentangkan
menimbulkan kegelian. Akan tetapi, berbeda dengan prinsip opoisis biner pada umumnya, di
dalam ketoprak dan ludruk, sistem oposisi biner lebih kompleks, karena melibatkan berbagai
tingkat atau lapisan pertentangan dan oposisi. Di balik sebuah unsur yang dipertentangkan dalam
mode oposisi biner, terdapat lagi sub oposisi biner, di dalam sebuah sistem oposisi biner
bertingkat atau berlapis (a stratified binary opposition).
Model ‘oposisi biner berlapis’ini dapat dilihat di antaranya di dalam ketoprak “Labuh Tresno”,
yang di dalamnya seorang figur (Bagyo) dipertentangkan karakternya dengan dua tokoh lain
(Kholiq, Kirun). Dalam hal ini, ‘aku’(Bagyo) dipertentangkan dengan ‘sang lain’atau other
(Kholik + Kirun). Oposisi biner di antara dua pihak ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Berdasarkan struktur oposisi biner di atas, dapat dilihat, bahwa masing-masing pihak
membangun sendiri sistem indeks (indexical signs), yang secara semi diametrikal
dipertentangkan dengan sistem indeks pihak lain (others). Dalam hal ini, benda sehari-hari,
properti dan hak milik lainnya dapat dilihat sebagai ‘indeks’(index), yaitu tanda yang
menunjukkan (keadaan, kondisi, status, kedudukan, posisi) di dalam relasi sosial yang lebih luas.
Masing-masing indeks adalah sub-penanda (sub-signifier) dari totalitas penanda yang
membangun teks, yang mempunyai peran metoimik (metonymic) dalam relasinya dengan subyek
yang memerankannya. Relasi oposisi biner tersebut secara semiotik dapat digambarkan melalui
skema berikut:
Kirun + Satpam Gaji 1 juta Isteri Cina Mobil Kijang
Kalung emas 24 karat
Kholiq Mandor 500 ribu Isteri Bugis Sepeda motor
Kalung emas 18 karat
Bagyo kuli 25 ribu Isteri orang pinggiran Naik truk Kalung seng
vs
Skema di atas dapat disederhanakan ke dalam bentuk segmentasi ‘ruang semiotika’(semiotic
space), yang dibangun di antara pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat di dalam oposisi
biner. Masing-masing pihak membangun ‘ruang semiotika’, yang di dalamnya diisi dengan
tanda-tanda yang bersifat homolog dengan strata sosialnya. Homologi tanda (homology of sign)
adalah dalam pengertian. Bahwa tanda-tanda yang ditampilkan oleh seorang atau sebuah
kelompok sosial mempunyai karakter atau kelas yang sama. Misalnya, pekerjaan sebagai
mandor, gaji lima ratus ribu rupiah, isteri orang Bugis, kendaraan sepeda motor, dan harta kalung
emas 18 karat adalah tanda atau indeks-indeks yang dibangun oleh Kholik di dalam ruang
semiotikanya, yang bersifat homolog satu sama lainnya.
Ruang semiotika yang dibangun oleh setiap pihak dalam kaitannya dengan ruang-ruang
semiotika pihak-pihak lain sebagai ‘sang lain’(other), membangun sebuah relasi antara ruang
semiotika. Di satu pihak, ada relasi kesamaan (similitude) dan homologi (homology) yang
dibangun secara internal di dalam sebuah ruang semiotika. Di dalam ruang semiotika dibangun
tanda dan indeks-indeks yang bersifat homolog, sebagai ‘identitas’seseorang atau sebuah
kelompok. Di pihak lain, relasi perbedaan (difference) di antara ruang-ruang semiotika yang
dipertentangkan secar oposisi biner. Akan tetapi, di dalam ludruk dan ketoprak, oposisi biner
dibangun secara berlapis, sehingga perbedaan tidak saja di antara seseorang dengan ‘sang
lain’(others) di dalam lingkup ruang semiotik yang lebih kecil, akan tetapi di antara kumpulan
orang atau kelompok di dalam ruang semiotik itu, yang kini ada dalam posisi ‘Aku’(I), yang
secara bersama-sama dipertentangkan secara oposisi biner dengan ‘SANG LAIN’(OTHER), di
dalam lingkup ruang semiotika yang lebih besar.
Other Other Self vs +
Sr 1 Sr 2 Sr 3 vs +
Sr 1 Sr 2 Sr 3 vs +
Sr 1 Sr 2 Sr 3 vs +
Sr 1 Sr 2 Sr 3 vs =
Sr 1 Sr 2 Sr 3 vs =
Sub-Signifier
Sub-Signifier
Sub-Signifier
Sub-Signifier
Sub-Signifier
TEXT
Relasi perbedaan dan kesamaan, atau diferensi dan homologi di antara elemen-elemen tanda
yang dilibatkan di dalam relasi oposisi biner, membangun sebuah relasi oposisi biner yang
berlapis (stratified binary opposition), sebagaimana dilihat pada skema berikut:
Pada lapisan pertama terdapat oposisi biner di antara dua pihak di dalam sebuah narasi kecil
(little narrative), misalnya di kalangan karyawan, petani, buruh, rakyat biasa, sehingga relasi
oposisi biner antara ‘diri’(self) dan ‘sang lian’(other) adalah relasi oposisi di dalam sebuah ruang
‘DIRI’(SELF), sebagai kumpulan diri-diri (selves) yang secara bersama mempertentangkan
Sr Sr Sr Sr Sr
SR SR SR SR SR
Sr Sr Sr Sr Sr
Sr Sr Sr Sr Sr
bo BO
SIM
ILIT
UD
E
DIFFERENCE
‘o
’ ‘s
’’
’’
‘S
’’ ‘O’
OTHER BINARI OPPOSITION
SELF
other self binary opposition
O = OTHER S = ‘AKU’(‘I’) SR = SIGNIFIER Sr = Signifier Bo = binary opposition BO = BINARY OPPOSITION
dirinya dengan SANG LAIN (OTHER), sebagai sebuah kumpulan dari pihak-pihak lain sebagai
oposisi dari ‘diri-diri kecil’ itu, seperti ‘raja’, ‘penguasa’, ‘direktur’, ‘majikan’atau ‘tuan’. Di
dalam ludruk dan ketoprak, oposisi biner ini digunakan untuk menghasilkan efek-efek kelucuan
dan komik lainnya. Dengan memperbadingkan properti di antara dua orang atau kelompok
berbeda efek-efek kelucuan dihasilkan.
Relasi opisisi biner di atas dapat dikembangkan lebih jauh ke dalam bentuk relasi pertandaan
(signification), dengan melihat unsur-unsur yang terlibat di dalam oposisi biner sebagai
rangkaian tanda-tanda. Sehingga, pertentangan atau oposisi kini dapat dilihat sebagai oposisi
biner pada tingkat semiotika, atau disebut ‘oposisi semiotika’(semiotic opposition). Di dalam
opisisi biner semiotik, tanda atau kumpulan tanda-tanda (assemblage of signs) dipertentangkan
secara oposisi biner dengan tanda atau kumpulan-kumpulan tanda lainnya.
Struktur oposisi semiotika di atas lebih jauh lagi dapat dikembangkan menjadi sebuah model
struktur tanda, yaitu struktur tanda oposisi bertingkat (stratified binary opposition). Model tanda
ini dapat menjelaskan karakter ‘bertingkat’(stratified) yang membangun semiotika kebudayaan
Jawa pada umumnya, di mana oposisi biner di antara elemen-elemen tanda di dalam sebuah
sistem (misalnya: sistem tanda rakyar kebanyakan) mempunyai relasi oposisi lebih besar dengan
system tanda yang lain
Di samping oposisi bertingkat di atas, di dalam struktur ludruk dan ketoprak dapat dilihat pula
bentuk oposisi biner yang lain, yang dapat disebut sbagai ‘oposisi biner terbelah’(split binary
opposition). Di dalam relasi pertentangan gender, misalnya, sifat-sifat oposisi biner antara
‘maskulin’dan ‘feminin’tetap diakui; akan tetapi kategori gender ketiga (banci, wadon) tetap
diakui pula, dengan membandingkannya dengan dua kategori gender yang lain (maskulin vs
feminine), tanpa menghilangkan oposisi biner di antara kedua gender itu. Untuk menggambarkan
sifat ‘keterbelahan semiotika’ itu, struktur semiotika berikut dapat digunakan:
MASTER
SIGNFIER BINARI
OPPOSITION
Little Signifier
Signifier 1 Signifier 2 binary
opposition
SR Sr
sr 1 sr 2
><
><
Ada oposisi biner antara identitas laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminine), dengan
menampilkan sifat-sifat yang merupakan stereotip laki-laki, seperti kuat, kasar, gagah, perkasa,
berani, berkuasa, yang dipertentangkan dengan stereotip perempuan: lembut, rampung, lemah,
cantik, penurut. Akan tetapi, tanpa merusak oposisi biner antara laki-laki dan perempuan, ludruk
dan ketoprak menampilkan perbedaan antara laki-laki maupun perempuan dengan kategori seks
ketiga (third sex): banci, wadam atau bencong, dengan karakter yang ambigu. Bila antara laki-
laki dan perempuan diperbedakan dalam format oposisi biner, antara laki-laki maupun
perempuan tidak ditempatkan di dalam bingkai oposisi biner, melainkan murni perbedaan
(difference).
Di dalam humor, terutama ludruk dan ketoprak, sering digunakan kategori jender yang lebih
lentur (flexible), dengan adanya dan diakuinya kategori ‘seks ketiga’ (‘the third sex’). Sehingga,
meskipun ada oposisi biner antara ‘laki-laki’dan ‘perempuan’, da pengakuan implisit terhadap
kategori lainnya.
III. 2. Semiotika Repetisi
Sebagai sebuah ungkapan seni pertunjukan, humor menghasilkan efek-efek kelucuan dari
kemampuan pelawak menghasilkan bentuk-bentuk ungkapan dan ekspresi yang berbeda.
Perbedaan bentuk ungkapan merupakan sumber dari kelucuan, termasuk di dalam ludruk dan
ketoprak. Akan tetapi, ludruk dan ketoprak, sebagaimana ungkapan seni tradisional pada
umumnya, menghasilkan efek-efek kelucuan itu dapat dari pengulangan atau repetisi (repetition).
Repetisi merupakan sebuah strategi semiotik dalam rangka menghasilkan sebuah ungkapan
makna, sekaligus efek-efek kelucuannya. ‘Semiotika repetisi’(semiotics of repetition) adalah
kajian semiotika khusus yang mengkaji struktur repetisi di dalam berbagai sistem pertandaan.
Sr (♀)
Sr (♂) Sr (♀)
binary opposition
other
other
binary
opposition difference
‘Repetisi’ adalah ungkapan sebagaimana ia dilihat di dalam garis waktu, di mana ‘yang asal’
(original) mengulang-ulang dirinya di dalam ‘garis waktu’, yang tidak memberi tempat bagi
perbedaan (deBeistequi, 2003: 52). Repetisi adalah pengulangan secara berurutan sebuah entitas,
peristiwa atau tanda otentik di dalam sebuah momen masa lalu di dalam garis waktu dan sejarah.
Repetisi di sini dilihat sebagai sebuah kategori ‘masa lalu’ (past), sebuah proses reproduksi
sejarah yang menghasilkan kesamaan-kesamaan. Akan tetapi, ada bentuk repetisi bukan sebagai
pengulangan atau reproduksi entitas atau tanda-tanda, melainkan sebuah ‘proyeksi’, yaitu repetisi
untuk menciptakan masa depan yang otentik. Dalam hal ini, repetisi kini dilihat tidak lagi
sebagai kategori masa lalu, akan tetapi masa depan. Repetisi adalah sebuah proses ‘menjadi’,
yang untuk menjadi itu ia harus merepetisi dirinya, tetapi dalam rangka mengubahnya, untuk
menjadi diri yang berbeda dari dirinya yang sebelumnya: sebuah momen pengulangan dari apa
yang tidak membawa lagi sesuatu yang telah ‘masa lalu’
‘Semiotika repetisi’(semiotics of repetition) digunakan di sini untuk menjelaskan semiotika
khusus yang mempelajari bentuk, struktur dan sistem repetisi tanda. Tanda-tanda digunakan
secara berulang-ulang di dalam sebuah ungkapan atau teks untuk menghasilkan efek semiotika
tertentu. Kemunculan kembali tanda (recurrence of sign) di dalam sebuah teks menghasilkan
efek semiotika tertentu, baik untuk mempertegas, memperjelas atau mengukuhkan makna
sebuah tanda.
‘Repetisi’, sebagaimana dijelaskan Gerard Genette, di dalam Narrative Discourse
(Genette,1980:113) adalah “. . .konstruksi mental, yang menghilangkan dari setiap kemunculan
kembali segala sesuatu yang merupakan milik khas dirinya, sehingga hanya memelihara segala
yang dimiliki bersama dengan yang lain di dalam kelas yang sama, yang merupakan abstraksi:
“matahari”, “pagi”, “terbit”. Ini sangat dikenal, dan apa yang kita sebut “peristiwa identik”
(identical events) atau “kemunculan kembali peristiwa yang sama” (recurrence) adalah sebuah
rangkaian beberapa peristiwa yang sama yang dilihat hanya dalam hal keserupaannya
(resemblance). Oleh karena di dalam repetesi terdapat prinsip keserupaan, kemiripan atau
persamaan antara satu tanda dengan tanda lainnya, maka repetisi mesti mempunyai
persinggungan dengan prinsip ikon (icon) dan ikonisitas (iconicity) sebagaimana dikatakan
Morris atau Peirce. Tanda ikonis (iconic sign), menurut Morris adalah “. . .setiap tanda yang
sama dalam beberapa hal dengan apa yang didenotasikannya (denotata). Ikonisitas adalah
persoalan derajad (kesamaan)” (Eco, 1979: 192). Sebagaimana ditegaskan pula oleh Peirce,
sebuah tanda adalah sebuah ikon ketika ia “. . .merepresentasikan obyeknya terutama melalui
kesamaan (similarity)”(Eco, 1979: 195). Buku populer menjelaskan kata similutude, sebagai “”.
. .sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh dua sosok yang serupa dalam segala hal kecuali dalam
ukuran”(Eco, 1979: 195). Bila mengacu pada teori Peirce tentang ikon, maka ikon adalah relasi
keserupaan atau kesamaan (similitude) antara yang menandai (representament) dengan obyek
yang didenotasikan (object).
I
R O Icon
R = Representament O = Object I = Interpretant
Repetisi semiotik mengandung di dalam dirinya unsur-unsur keserupaan, kesamaan atau
ikonisitas, akan tetapi di dalam repetisi relasi keserupaan itu tidak hanya antara yang
mendenotasikan (representament) dan obyek yang didenotasikan (object), tetapi sekaligus
keserupaan antara sebuah totalitas tanda (representament + obyek) dengan totalitas tanda
lainnya. Sebuah representament mempunyai sifat keserupaan dengan representament lainnya,
sementara obyek yang direpresentasikan juga sama. Dalam hal ini, di dalam repetisi tanda kita
mempunyai dua tingkat keserupaan (resemblance). Bila kita menggunakan struktur tanda di
dalam semiotika struktural Saussure dan Barthes, khususnya relasi tanda pada tingkat denotasi,
relasi repetisi tanda dapat digambarkan melalui skema sebagai berikut:
Pada tingkat denotasi, penanda 1 (Sr1) merupakan tiruan tak sempurna, denotatum atau
representasi dari sebuah denotata tau petanda 1 (Sd1), sementara penanda 2 (Sr2) denotasi dari
petanda 2 (Sd 2). Akan tetapi, gabungan petanda dan penanda (Sr1+Sd1) mempunyai unsur
keserupaan dengan gabungan penanda dan petanda lainnya (Sr2+Sd2). Kemunculan kembali
tanda-tanda atau repetisi tanda (repetition of sign) dapat dengan frekuensi (frequence) yang
sangat beragam: satu kali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya.
Repetisi semiotik adalah ‘proyeksi’ tanda ke masa depan, yaitu penggunaan kembali elemen-
elemen tanda secara berulang-ulang, dalam rangka menyampaikan makna tertentu. Akan tetapi,
seperti repetisi pada umumnya, repetisi semiotik bukan pengulangan tanda ‘yang benar-benar
sama’, tetapi memperkenalkan dalam repetisi itu elemen-elemen perbedaan. Elemen tanda
direpetisi, dalam rangka mengubahnya, untuk menghasilkan perbedaan. Dalam hal inilah,
repetisi menjadi landasan bagi produksi ‘perbedaan’dan produktivitas tanda. Repetisi semiotika
bukanlah sebuah kategori masa lalu, melainkan masa depan, karena repetisi menyertai setiap
pergerakan apapun menuju masa depan. Karena repetisi mengandaikan temporalitas di dalam
proyeksi waktu, ia mampu memperkenalkan perbedaan dan membuka gerbang perbedaan.
Repetisi, sebagaimana dikatakan Ricoeur, “. . . membuka potensialitas yang tak-diperhatikan,
yang digagalkan, atau yang direpresi di masa lalu. Ia membentangkan kembali masa lalu dalam
rangka ‘menuju-ke-arah’ (coming-towards)” (Ricoeur, 1984: 77). Oleh karena itu, repetisi
adalah juga sebuah pra-kondisi bagi kemungkinan transformasi dan perubahan. Repetisi
mengandaikan dan memperkenalkan perbedaan, bukan pengulangan yang sama. Segala sesuatu
yang bergerak bersama waktu menuju masa depan, pasti ‘merepetisi’ dirinya, dalam rangka
mengubah dirinya sendiri. Sebagai akibat logis dari pandangan ini: repetisi adalah kategori masa
depan.
Repetisi tidak dapat dibiarkan di dalam bingkai generalitas. Tidak ada repetisi dari sesuatu yang
bersifat genus, misalnya repetisi esensi atau repetisi genus. Repetisi berlangsung pada tataran
singularitas, pada tataran individual entitas. Misalnya, repetisi atraktor dari satu titik pengaruh ke
titik pengaruh berikutnya, yang memproduksi perbedaan obyek. Repetisi berlangsung di dalam
singularitas bukan di dalam yang general, yang melaluinya dihasilkan perbedaan ketimbang
Sr1 Sd1 iconic
Sr2 Sd2 iconic ICONIC
kesamaan. Repetisi bekerja melalui contoh konkrit (instantaneity), bukan ‘ide umum’. Dalam
setiap kasus, repetisi adalah bentuk transgresi (transgression), yaitu terobosan ‘melampaui’ masa
lalu sebuah diri atau entitas. Repetisi mencari jalan keluar terus-menerus dari masa lalunya untuk
menemukan perbedaan-perbedaan konseptual. Repetisi mengekspresikan kekuatan tertentu dari
setiap ‘ada’, yang menolak setiap spesifikasi melalui konsep. Betapapun kita memasuki dunia
konsep, kita “. . .akan selalu mengulang—yaitu, membuat beberapa obyek yang berkaitan
dengannya, atau setidak-tidaknya dua: satu di kiri satu di kanan, satu untuk yang lebih satu untuk
yang kurang, satu untuk positif satu untuk negatif” (Deleuze, 1994: 14).
Ludruk dan ketoprak dibangun oleh berbagai bentuk repetisi, baik repetisi struktur, sistem,
bentuk, genre, bahasa, tanda, cerita dan narasi. Salah satu bentuk repetisi yang paling umum
adalah repetisi pola pertunjukan (performance) itu sendiri. Pertunjukan ludruk dan ketoprak
humor dibangun oleh sebuah pola dan sistem yang bersifat tertutup (a closed system), di mana
pola-pola umum itu diulang-ulang (baca: direpetisi) setiap kali pertunjukan, untuk menjaga
identitasnya sebagai ludruk dan ketoprak. Ludruk, khususnya, dibangun oleh genre-genre yang
sudah baku dan terpola, yang ditampilkan secara berulang atau repetitif, dengan sedikit
kombinasi atau modifikasi pada setiap pertunjukan. Ludruk dibangun oleh genre berikut:
ngremo, dagelan, selingan dan cerita.
‘Ngremo’ yang berarti ‘tarian pesona’(rapture dance), yang merepresentasikan fase-fase
percintaan dari persiapan hingga pelaksanaan. Ngremo selalu berfungsi sebagai pembukaan
ludruk, yaitu sebagai cara “membujuk para penonton untuk menonton pertunjukan”. ‘Dagelan’
adalah pembuka bagi kelucuan-kelucuan, di mana seorang pelawak bernyanyi, bicara sendiri
(soliloquizes), melakukan monolog, atau berdialog dengan pelawak lainnya, yang semuanya
mengeksplorasi segala potensi kelucuan dan komik. Setelah dagelan, para sinden menyanyikan
tembang atau menari, yang berfungsi sebagai selingan. Setelah selingan ‘cerita’dimulai, yang
biasanya merupakan cerita melodrama, dengan beberapa episode yang mengandung unsur
kelucuan dan komik. Selingan-selingan berupa nyanyian atau tarian juga ditampilkan di antara
adegan-adegan di dalam cerita. (Peacock, 1987:62)
Berdasarkan struktur semiotikanya, baik ludruk maupun ketoprak dibangun oleh sebuah struktur
tanda yang berifat umum, yang direpetisi di setiap pertunjukan, dengan sedikit modifikasi,
rekombinasi dan perubahan.
Sr Sd
Narasi
Sr Sd
Pembukaan
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Selingan Selingan Penutup Narasi
Narasi
ngremo ngremo dagelan selingan cerita
Seperti ludruk, ketoprak juga dibangun oleh prinsip repetisi, yaitu pengulangan penanda-
penanda, untuk menghasilkan efek ‘jeda’(break). Baik di dalam ludruk maupun ketoprak
dilibatkan ‘penanda selingan’ (breaking signifier), yaitu penanda-penanda (atau seperangkat
penanda) yang digunakan untuk mengantarai antara satu narasi dengan narasi berikutnya. Pola
ngremo, dagelan, cerita, selingan, cerita merupakan pola umum yang diulang-ulang di dalam
ludruk. Pada ketoprak digunakan pola yang lebih umum : pembukaan, narasi, selingan, narasi,
selingan, narasi.
Selain repetisi pola pertunjukan di atas, ada berbagai bentuk repetisi lainnya di dalam ludruk dan
ketoprak, yang digunakan secara intensif untuk menimbulkan efek-efek kelucuan dan komik.
Ada bebeberapa pola repetisi di dalam ludruk dan ketoprak, untuk memproduksi efek-efek
kelucuan yang berbeda-beda: repetisi statis, repetisi dinamis, repetisi klimaks.
1. Repetisi Statis
Repetisi statis di dalam ludruk dan ketoprak adalah pengulangan ucapan, bahasa tubuh, gesture,
atau elemen-elemen visual lainnya, dalam rangka mengesplorasi sampai maksimal efek-efek
kelucuannya. Contoh repetisi statis ini adalah bahasa tubuh yang digunakan di dalam ludruk
“Trubus Pengemis Palsu”, yang di dalamnya sebuah gerakan khas dari Cak Slamet.
Di dalam gambar di atas terlihat, gerakan tubuh (body language), dengan menggerakkan dengkul
kaki kea rah luar dan menarik sesuatu di belakang punggung, untuk menirukan gerakan mekanis
wayang atau mainan orang-orangan. Gerakan tubuh yang organis, tetapi kini dijadikan ‘
mekanis’, dengan meniru mainan orang-orangan yang ‘ kaku’, segera menimbulkan efek
kelucuan. Akan tetapi, gerakan ini diulang-ulang sampai beberapa kali, sampai pada satu titik
efek kelucuannya habis. Gerakan bahasa tubuh itu dapat dilihat sebagai sebuah penanda
(signifier), yang dipakai secara berulang-ulang untuk mengeksplorasi sampai habis efek
kelucuannya. Repetisi statis itu dapat digambarkan melalui skema berikut:
Gerak1 Gerak2 Gerak3 Gerak4 GerakN
Sr Sr Sr Sr Sr
Efek kelucuan
2. Repetisi Datar
Repetisi dinamis di dalam ludruk dan ketoprak adalah pengulangan ucapan, bahasa tubuh,
gesture dan elemen-elemen visual lainnya, tetapi pengulangan itu menghasilkan perbedaan-
perbedaan tanda, dan melalui perbedaan itu efek kelucuan diproduksi, tetapi efek kelucuan yang
dihasilkan bersifat relatif ‘datar’(flat), yaitu tidak meningkat atau berkurang.
Pada skema di atas dapat dilihat, bahwa meskipun kata-kata diulang pengucapannya, tetapi ada
perbedaan antara satu ucapan dengan ucapan berikutnya. Antara satu penanda dengan penanda
berikutnya, meskipun mengulang-ulang, tetapi apa yang diulang-ulang itu menghasilkan
perbedaan-perbedaan, dan masing-masing perbedaan ucapan menghasilkan efek kelucuan.
3. Repetisi Klimaks
Repetisi klimaks (climax repetition) adalah sebuah model repetisi yang digunakan di dalam
ludruk dan ketoprak, yang merupakan kombinasi repetisi statis dan repetisi dinamis, baik berupa
repetisi ucapan, bahasa tubuh, gesture dan elemen-elemen bahasa visual lainnya. Berbeda dengan
repetisi statis, di mana tanda diulang-ulang dari awal sampai akhir di dalam sebuah rangkaian
(sets of sign), pada repetisi klimaks rangkaian repetisi statis dari awal diakhiri dengan sebuah
perbedaan ekstrim (extreme difference), yang merupakan sumber utama kelucuan dan humor.
Repetisi klimaks ini dapat dilihat di dalam ludruk “Trubus Pengemis Palsu”, di mana Cak
Jaswari dan Cak Supali bersalaman beberapa kali, tetapi di akhir ditutup dengan salaman
menggunakan sandal, yang menghasilkan efek kelucuan.
Melalui repetisi klimaks, rangkaian penanda yang sama digunakan secara berulang-ulang, yang
pada bagian akhir ditutup oleh sebuah penanda yang berbeda sama sekali, yang menggunakan
menyelikidi menyekilidi menyedikili menyelidiki
Sr Sr’ Sr’’ Sr’’’ Sr’’’’
Efek kelucuan
salaman salaman salaman pakai sandal
salaman salaman
efek-efek kejanggalan, ketidakbiasaan atau ketaklogisan, untuk memproduksi efek kelucuan
pada ujung rangkaian penanda.
Melalui repetisi klimaks, kelucuan dihasilkan tidak di awal dan di dalam rangkaian tindakan dan
ekspresi, ekan tetapi di bagian akhir, yaitu bagian penutup sebuah rangkaian adegan. Dikatakan
sebagai ‘klimaks’, karena efek kelucuan itu dibangun tidak di dalam proses sebuah adegan, tetapi
di dalam penutupan adegan itu, yang merupakan penutup kelucuan.
III. 3. Intertekstualitas Humor
Istilah intertekstualitas (intertertuality) pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang
pemikir postrukturalis Prancis. Kristeva membawa istilah intertekstualitas sebagai satu konsep
kunci dari paham postrukturalisme, yang sekaligus menantang model berpikir struktur,
sinkronik, dan bersistem dari paham strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam sebuah teks
atau karya seni, tidaklah sesederhana relasi-relasi antara bentuk dan makna atau penanda
(signifier) dan petanda (signified), sebagaimana yang dipertahankan oleh semiotika
konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis
teks. Sebuah teks atau karya seni di buat di dalam ruang dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu,
mesti ada relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks dan karya lainnya dalam ruang,
dan antara satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu.
Singkatnya, Kristeva melihat bahwa satu teks atau karya seni tidak berdiri sendiri, tidak
mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri—tidak otonom (Kristeva, 1989)
Intertekstualitas menjelaskan ‘dialog’atau prinsip ‘dialogisme’(dialogism) yang membangun
sebuah teks atau karya, termasuk humor. Bakhtin menjelaskan dialogisme sebagai relasi-relasi
yang harus ada di antara ungkapan-ungkapan dalam diskursus, bahwa tidak ada ungkapan yang
Sr1 Sr1 Sr1 Sr1 SrX
efek kelucuan
tidak berkaitan dengan ungkapan lainnya.35 Sebuah teks atau karya diproduksi dalam suatu ajang
komunikasi ‘antar teks’ di dalam sebuah ajang dialog. Sebuah teks bukanlah sebuah monolog
atau refleksi diri pengarang dalam proses referens-diri (self-reference), sebagaimana lazimnya
pada beberapa teks atau karya-karya abstrak/modernisme. Makna dari suatu teks atau karya
terletak pada relasi-relasi yang internal di dalam teks atau karya itu sendiri, bukan pada relasi-
relasi pertandaan yang eksternal, bahkan juga bukan pancaran jiwa atau suara sang seniman
sendir.36
Intertekstualitas menjelaskan kesalingtergantungan satu teks dengan teks-teks sebelumnya. Bagi
Kristeva, sebuah teks (dalam pengertiannya yang umum) bukanlah sebuah fenomena kebudayaan
yang berdiri sendiri dan bersifat otonom, dalam pengertian, bahwa teks tersebut, eksis
berdasarkan relasi-relasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri, tanpa
dilatarbelakangi oleh sesuatu yang eksternal—melainkan, sebuah permainan dan mosaik dari
kutipan-kutipan, dari teks-teks yang mendahuluinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kristeva, sebuah teks hanya dapat eksis, bila, di dalam ruang teks tersebut, “. . .beranekaragam
ungkapan-ungkapan, yang diambil dari teks-teks lain, silang-menyilang dan saling menetralisir
satu sama lain” (Kristeva, 1979: 36). Intertekstualitas adalah pelintasan dari satu sistem tanda
(sign system) ke sistem tanda lainnya. Istilah transposisi (trasposition) digunakan untuk
menjelaskan pelintasan ini, yang di sepanjangnya satu (atau beberapa) sistem tanda digunakan
untuk merusak satu (atau beberapa) sistem tanda sebelumnya.
Perusakan ini, misalnya, dapat berupa penghapusan bagian dari sistem tanda yang menjadi
referensi, dan menggantinya dengan satu sistem tanda yang baru, sebagaimana halnya dengan
teks alegoris. Perusakan bisa juga dengan semata menghapus, mencoret, atau menyilang bagian
dari sistem tanda teks referensi, sebagaimana umumnya dengan teks dekonstruksi. Dalam
bentuknya yang lebih bernafas politis, perusakan dapat dilakukan dengan cara mendistorsi,
mengubah, atau mempermainkan tanda dari teks referensi untuk tujuan kritis, sinisme atau
sekadar lelucon, sebagaimana halnya dengan teks parodi. Perusakan sistem tanda secara fisik
dari teks referensi, dapat diartikan juga sebagai perusakan makna teks tersebut. Dengan merusak
makna teks yang asli, sebuah teks dapat menghasilkan makna baru, atau bisa juga menjadi
transparan—tak bermakna apa-apa. Dalam proses transposisi menuju satu sistem pertandaan
baru sistem pertandaan referensi dan sistem pertandaan baru bisa saja menggunakan material
yang sama; atau di lain pihak material tersebut dapat dipinjam dari sumber-sumber yang berbeda.
…malang nasibku, semenjak
ditinggal ibu“
“O,o,o,o….oooo. . .
Gatot Kaca Lagu Melayu
intertekstualitas
Sr 1 transposition
Sr 1
Situasi1 Situasi2
Ada pelintasan dari sistem tanda dalam cerita klasik Ramayana yang dialihkan ke dalam sistem
tanda musik Dangdut
III. 4. Metafora Berlapis
Metafora memiliki pengertian yang sangat luas dan karenanya seringkali digunakan sebagai
sebuah ‘payung’ bagi berbagai bentuk gaya bahasa lainnya (seperti misalnya metonimi) yang
secara teknis dapat dibedakan berdasarkan pemakaiannya yang lebih sempit.
Metafora dapat menimbulkan efek kelucuan karena ‘ketakbiasaan’atau ‘kejanggalan’yang
dimuati di dalam strukturnya. Ada berbagai metafora yang digunakan di dalam ludruk dan
ketoprak: 1) metafora suara, 2) metafora visual dan 3) metafora tubuh
Metafora suara
Di dalam ludruk, suara musik gamelan sering digunakan sebagai kendaraan untuk menghasilkan
efek-efek kelucuan. Di sini bekerja prinsip ‘metafora suara’ (sound metaphor), yaitu penggunaan
‘suaran kendang’sebagai kendaraan (sign vehicle) untuk menjelaskan ‘suara manusia’(tenor).
Misalnya, di dalam ludruk “Pengemis Palsu”, perbedaan nada suara kendang digunakan untuk
menghasilkan efek atau ‘analog’suara manusia, yang menghasilkan efek kelucuan yang segera.
[tak] [tung] = tentu
[tung] [tak] [tak] [dam] = Gudang Garam
[ting] [tak] [tok] = minggat to
[tok] [tok] [tak] [tok] = rokok mbako
[tak] [tek] [tik] [to] [to] = Slamet Widodo
Saussure menjelaskan ‘citra suara’(sound image) sebagai penanda (signifier) dari bahasa, yang
dikaitkan dan merupakan kesatuan tak dapat dipisahkan dari ‘konsep’(concept) atau penanda
(signifier). Di dalam metafora suara, citra suara itu menjadi kendaraan (vehicle) untuk
menjelaskan penanda yang lain yaitu ‘kata’, dalam sebuah relasi perpindahan (transposition).
Metafora Visual
Di dalam ludruk sangat intens digunakan metafora tubuh, yaitu tubuh yang diumpamakan seperti
sesuatu yang lain, seperti mesin, mainan atau robot. Tubuh yang bersifat organis dan hidup
(animate) diumpamakan sebagai sesuatu yang mekanis atau tak bernyawa (inanimate), seperti
mesin atau mainan. Gerakan tubuh yang lentur diganti dengan gerakan mesin yang kaku, pasti
dan berulang.
Perumpamaan tubuh sebagai obyek (mesin, mainan, alat) sering ditemukan di dalam ludruk dan
ketoprak. Ada proses pemindahan (transfer) atau transposisi sebuah sistem tanda ke dalam
sistem tanda tubuh (body sign). Misalnya, sifat-sifat mekanis dari sebuah mesin dipinjamkan ke
dalam tanda-tanda tubuh (yang seharusnya ‘organis’), sehingga menghasilkan gerak tubuh yang
‘mekanis’. Cak Slamet di dalam ludruk sering menggunakan gerak tubuh yang mekanis ini
sebagai cara untuk menghasilkan kelucuan.
Metafora Seksual
Ludruk dan ketoprak secara intens mengeksplorasi perbedaan gender sebagai cara untuk
menghasilkan efek kelucuan. Kelucuan dihasilkan dengan mengeksploitasi elemen-elemen tanda
dari tubuh (body sign), dengan memperlihatkan kejanggalan, ketidakbiasaan, pertentangan atau
Sound Image
Cocept
Verbal Image
Cocept
Transposition
Vehicle Tenor
sifat-sifat khusus lainnya. Perbedaan antara karakter laki-laki atau perempuan sering digunakan
untuk memancing kelucuan. Akan tetapi, pada ludruk dan ketoprak, perbedaan gender
menyertakan ‘gender ketiga’(banci) sebagai sebuah cara mengeksplorasi efek kelucuan.
Tanda seksual (sexual sign) digunakan secara intens, dengan memanfaatkan cara-cara ungkapan,
seperti metafora, metonimi atau ironi.
Penggunaan ‘kopi’ sebagai yang memetaforakan atau kendaraan (sign vehicle) dan yang
dimetaforakan (tenor) di dalam bagian dialog ludruk “Supali Juragan Tahu” di atas mengikuti
model metafora pada umumnya, yaitu penggunaan penengah (intermediary term), yang ada
antara ‘kopi’dan ‘susu ibu’, yaitu sesuatu yang berupa ‘cairan’ (liquid) sebagai genus dari
reference, yang menghasilkan sebuah ‘ruang semiotika’ (semiotic space), yang darinya efek-efek
kelucuan dan humor dibangun. Efek kelucuan dihasilkan melalui transposisi di dalam ruang
semiotika antara konsep ‘kopi’dan ‘susu ibu’. Relasi
Feminin lenggang duduk rapat tas dikepit betis disilang rambut panjang lipstik warna kuku anting rok postur tubuh elegan postur tangan lembut bedak sepatu hak tinggi
Maskulin
tegap duduk terbuka
tas dijinjing betis paralel
rambut cepak alamiah alamiah alamiah celana
postur tubuh tegap postur tangan kasar
alamiah sepatu hak rendah
Banci
in between double
kontradiktif
paradoks
genus
spesies spesies
cairan
air kopi susu ibu
KOPI
kental kopi
aduk
seruput
enak
TUBUH
kental susu
peras
hisap
nikmat
tranposition
Akan tetapi, di dalam struktur semiotika ludruk dan ketoprak, relasi metafora tersebut dalam
beberapa kasus ditempatkan di dalam relasi oposisi biner atau bahkan ‘oposisi biner
berlapis’(stratified binary opposition), sebagaimana telah dijelaskan di atas. Contoh penggunaan
metafora di dalam bingkai relasi oposisi biner dapat dijelaskan melalui skema berikut:
Di dalam skema di atas dapat dilihat, bahwa peggunaan genus (alat) untuk menyatukan spesies
‘alat perang’(peluru) dan ‘alat kelamin’(penis) sebagai sebuah metafora yang kemudian
dikaitkan dalam bingkai metafora ‘alat’lain dalam konteks gender berbeda berupa ‘alat
sepeda’(pentil) dan ‘alat menyusu’(puting susu), merupakan sebuah bentuk ‘penumpukan
semiotika’(semiotic assemblage) antara metafora dan oposisi biner.
Di dalam skema tanda di atas, tanda-tanda laki-laki dipertentangkan secara oposisi biner dengan
tanda-tanda perempuan, tetapi relasi antara tanda laki-laki dan tanda ‘banci’, atau tanda-tanda
perempuan dengan banci bukan oposisi, tetapi sekadar relasi ‘perbedaan’(difference), tanpa
mengganggu relasi oposisi biner antara tanda laki-laki dan perempuan. Efek-efek kelucuan
justeru muncul dari kategori ketiga ini, yang dibiarkan dalam sifat-sifat ambiguitas, kekaburan
dan kesamarn jendernya.
menghirup
seruput hisap
puas
enak nikmat
alat (♂)
peluru penis
alat (♀)
pentil puting susu
oposisi biner
alat (♂)
peluru penis
alat (♀)
pentil puting susu
split binary opposition
alat (♀)
peluru/pentil penis/puting
Physiognomie
‘Fisiognomi’adalah tanda-tanda yang digunakan untuk menandakan karakter individu, terutama
karakter yang khas pada ekspresi wajah, yang menghasilkan impresi atribut/sifat yang
membentuk dan membedakan individual (spt: karakter huruf, karakter filem) impresi = imitasi
atau representasi sifat (feature) dalam medium artistik.teater contoh: Oom Pasikom
Di dalam ludruk dan ketoprak ekspresi wakah dan karakter tubuh lainnya ‘diproduksi’ sebagai
sebuah rangkaian ‘teks’ (text), yaitu kumpulan ‘tanda-tanda’, yang dikombinasikan lewat kode-
kode semiotik tertentu (code), yang menghasilkan berbagai makna atau ‘efek makna’ (meaning
effect) serta ‘perbedaan’ (difference), untuk menghasilkan efek kelucuan. Tubuh didekontruksi
menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut, payudara, penis, bahu, tangan,
jari, kuku, perut, pinggul, betis, paha, kaki; pakaian, asesori, perhiasan) yang masing-masing
menjadi sub-sub signifier, dan yang secara bersama-sama membentuk signifier, yang
menghasilkan makna yang tidak konvensional : ambigu, kontroversial, paradoks, eklektik, ironi.
Melalui eksploitasi ‘semiotika tubuh’ di dalam ludruk dan ketoprak, yang dihasilkan adalah apa
yang disebut Roland Barthes di dalam The Pleasure of the Text, sebagai ‘kepuasan teks’
(Barthes, 1976). Artinya, dengan dibebaskannya tubuh dari berbagai represi dan pembatasan,
dari berbagai aturan, norma dan tabu-tabu, serta dengan dilepaskannya berbagai katup potensi
hasratnya, maka dari sanalah diproduksi efek-efek kelucuan. Dengan membebaskan tubuh dari
berbagai pembatasan, maka ia dapat digunakan sebagai bahan baku di dalam sistem pertukaran
tanda (sign exchange), dalam rangka mengembangkan ‘nilai tanda’ (sign value) di dalam sistem
humor. Ludruk dan ketoprak secara maksimal menggunakan kekuatan-kekuatan (power) yang
berasal dari tubuh ini, khususnya kekuatannya sebagai tanda dan bahasa tubuh (body sign), atau
kekuatan yang berasal dari fetishisme tubuh (body fetshism) untuk memproduksi efek kelucuan
(Baudrillard, 1993: 101).
Jean Baudrillard mengemukakan di dalam Seduction, bahwa kekuatan tubuh—khususnya tubuh
wanita—terletak pada kekuatan ‘rayuan’ yang dimilikinya, yaitu kemampuannya untuk
mengeksplorasi secara bebas tanda-tanda dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan pesona.
Dunia rayuan (seduction) kapitalisme adalah sebuah dunia “permainan, tantangan, duel, strategi
penampilan”, yang di dalamnya tubuh dan eksploitasi nilai-nilai tandanya mempunyai peran
yang sangat sentral. Sistem rayuan kapitalisme bertumpu pada ‘penampakan’ (appearance)
tubuh semata, dengan merayakan permainan tanda dan topeng-topeng visual. Penggunaan figur-
figur wanita cantik, seksi, selebritis di dalam ludruk dan ketoprak dapat dilihat sebagai sebuah
bentuk ‘seduksi’ini, yang melalui penampilan tubuh itu muncul pertama-tama ‘hasrat
melihat’(voyeurism), dan kemudian efek-efek kelucuan.
Tubuh—terutama wanita—dengan segala potensi libido dan potensi tandanya, dijadikan sebagai
‘alat tukar’ (currency) di dalam wacana ludruk dan ketoprak, melalui ‘nilai semiotika tubuh’
yang ditawarkannya. Dalam konteks semiotika, sebuah tanda mempunyai ‘nilai’ berdasarkan
kemampuannya menghasilkan ‘makna’ (meaning). Sebagaimana yang dikemukan oleh
Ferdinand deSaussure di dalam Course in General Linguistics. “Nilai sebuah kata terutama atau
pertama-tama dinilai dari kemampuannya merepresentasikan gagasan, ide atau konsep tertentu
(Saussure, 1990: 112). Nilai sebatang tubuh sebagai ‘tanda’ terletak pada kemampuannya
menawarkan makna, ide, konsep atau tema tertentu : sensualitas, erotika, kegairahan, kemolekan,
keseksian, kesegaran, kemudaan, keperawanan, kecantikan. Humor memanfaatkan semua ini
untuk menjadikannya sebagai kendaraan tanda (sign vehicle), untuk menghasilkan efek-efek
kelucuan dan humor.
Ludruk dan ketoprak seringkali mengeksploitasi tubuh sebagai tanda dalam rangka mencari
‘nilai pembedaan’ (differentiation) tanda tersebut. Citra, gagasan, tema, atau perasaan yang
berkaitan dengan sebatang tubuh yang telah mempunyai ‘makna’ di dalam sebuah masyarakat
(seksualitas, erotika, status, prestise) dipindahkan ke dalam sistem humor, sehingga
membedakannya (diferensi) dari media lain, yang menggunakan tubuh yang lain (Williamson,
1978: 30). Dalam mengeksploitasi tubuh sebagai tanda, ada berbagai mekanisme yang digunakan
ludruk dan ketoprak sehingga aktor-aktor yang berperan di dalamnya dapat dieksploitasi segala
potensi tandanya. Nilai tanda tubuh (wanita) sebagai komoditi, dapat dilihat melalui berbagai
aspek berikut, yang dikonstruksi di dalam humor.
Pertama, tampilan tubuh (body appearance). Seringkali media menekankan aspek umur, yaitu
‘kemudaan’ tubuh yang ditampilkan, khususnya pada wanita. Biasanya ditampilkan wanita
berumur antara 18 dan 35 tahun, yang secara visual mempunyai nilai ‘sensualitas’ yang relatif
tinggi. Meskipun, ada kecenderungan kini untuk menampilkan pula wanita-wanita berumur,
dengan konsep “tua itu juga sensual’. Sex appeal adalah unsur lain yang sering dijadikan sebagai
kekuatan daya tarik tampilan. Selain itu, bentuk tubuh—yang seksi, sensual, ramping, tinggi—
merupakan modal dalam menciptakan makna sensualitas. Meskipun ada kecenderungan akhir-
akhir ini untuk mengatakan, bahwa “gemuk itu juga sensual”.
Kedua, perilaku (manner) merupakan aspek lain yang menentukan relasi tanda tubuh (body sign)
di dalam media, yang dapat dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya dan
kecenderungannya; dari pose, dengan berbagai variasinya, seperti menantang, mempertontonkan,
merayu, menggoda, mengajak, ekstasi, memperlihatkan gairah, dsb; dari pakaian, dengan
berbagai gaya, ukuran dan maknanya, yang mampu memperlihatkan posisi sosial tubuh di dalam
masyarakat—penghibur, eksibisionis, perayu, panantang.
Ketiga, aktivitas tubuh dapat menjadi penanda bagi posisi sosialnya di dalam media. Di antara
aktivitas tersebut adalah : sentuhan (touch), yang dapat memperlihatkan apakah sebatang tubuh
itu pasif, aktif, lemah, berkuasa, dsb. Tangan wanita yang menutup bagian dadanya, (masih)
menunjukkan sikap malu secara sosial; wanita yang mengelus tubuhnya sendiri menunjukkan
sikap narsisisme; atau wanita yang mempertontonkan sensualitas tubuhnya, menunjukkan
kecenderungan eksibisionisme.
Ekspresi, perilaku dan aktivitas tubuh tersebut di atas merupakan elemen-elemen utama yang
dapat menciptakan berbagai ‘tanda tubuh’ (body signs), yang dieksploitasi sebagai komoditi
(commodity signs) di dalam berbagai media kapitalistik, dalam rangka menimbulkan daya tarik
media:
Pertama, ‘tanda kecabulan’ (obscene signs). Kecabulan di dalam media tampak lewat tindak
seksual atau simulasinya yang ditampilkan baik secara langsung maupun tersamar—memegang,
mengelus, meraba, meremas, mendekap, memangku. Tindakan ini secara sosial ‘mengganggu’
orang-orang yang melihat, dengan alasan tabu, larangan, etis, moral, norma agama, dsb.
Kedua, overexposed sign, yaitu cara-cara mengekspose tubuh dan organ-organ tubuh (paha,
betis, payudara, kelamin) sebagai domain tontonan publik, dengan cara memasuki dan menjajah
apa yang selama ini disebut sebagai domain private di dalam sebuah kebudayaan. Penampilan
wanita model (langsing, tinggi, putih, seksi) di dalam ketoprak dan ludruk dimaksudkan untuk
mengeksposes egala potensi tanda nya (body sign), seperti payudara, bibir, betis, pantat, dsb.
Ketiga, ‘tanda seksual’ (sexual signs), yaitu tanda-tanda yang mengarah pada tindakan
hubungan seksual (Morris, 1977). Hubungan seksual baik secara tersamar (misalnya dengan
teknik blurring, raster, pengaburan gambar, ditutupi teks) atau secara eksplisit seringkali
ditampilkan di dalam ludruk dan ketoprak. Penggunaan gerakan-gerakan yang merupakan imitasi
dari gerakan seksual, sering menimbulkan efek-efek kelucuan.
III. 5. Semiotika Superlatif
Ketaklaziman, ketakbiasaan, atau tindakan-tindakan yang berlebihan sering dijadikan sebagai
cara untuk menghasilkan efek-efek kelucuan.
1 2 3
4 5 6
Berbagai tindakan yang ‘melampaui’yang semestinya dilakukan secara alamiah dilakukan, dalam
rangka menghasilkan efek-efek kelucuan. Misalnya, di dalam ludruk “Maling Sepeda”, Cak
Supali mengikat sepedanya dengan tali, agar sepedanya tidak dicuri orang. Akan tetapi, ikatan
sepeda yang melebihi yang semestinya, sehingga ikut mengikat juga badannya sendiri.
Bab IV
Implikasi Terhadap Metode Semiotik
Analisis semiotik terhadap ludruk dan ketoprak humor, dengan menggunakan metode ‘analisis
teks’telah menghasilkan struktur tanda dan prinsip dasar semiotika, di antaranya adalah prinsip
‘semiotika repetisi’(semiotics of repetition), ‘oposisi biner berlapis’(stratified binary opposition)
dan ‘penumpukan semiotik’(semiotic stacking). Berbagai prinsip semiotik tersebut dapat
digunakan sebagai bagian dari metode dan prosedur analisis semiotik, khususnya ekspresi-
ekspresi yang berasal dari budaya tradisional.
Ada dua pertimbangan dasar dalam menyertakan berbagai prinsip semiotika di atas sebagai
bagian dari prosedur analisis semiotika humor. Pertama, kondisi bahwa seni pertunjukan
tradisional dibentuk sangat kuat oleh berbagai kanon, pakem atau kode-kode (codes), yang
diikuti secara ketat, sehingga prinsip-prinsip semiotika di atas penting untuk dipertimbangkan.
Kedua, ekspresi humor di dalam kebudayaan tradisional Jawa, khususnya ludruk dan ketoprak,
merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari masyarakatnya. Sehingga, ungkapan, makna,
nilai dan keyakinan yang diekspresikan di dalamnya merupakan refleksi (mirror image) dari
masyarakat dan kebudayaannya.
Body language/gesture/physiognomy/object/space/time
genderclassstatus
economicpoliticsculture
spiritual
repetisiperbedaan
oposisimetafora
incongruitystacking
ME
DIA
/KN
OW
LEDGE/VALUE/POWER/INTERSUBJETIVITY/INTERTE
XTU
ALIT
Y
SOCIAL STRUCTURE
SEMIOTIC STRUCTURE
Sign Form (SF), Sign Structure (SS), Inter-Sign System Relation (ISR), Semiotic Codes (SC)
SC SS
ISR
Berdasarkan dua pertimbangan di atas, dapat diusulkan sebuah ‘model’ atau ‘paradigma
semiotik’(semiotic paradigm), yang menggambarkan elemen-elemen pertandaan yang terlibat di
dalam analisis semiotika humor tradisional, baik elemen-elemen tanda sosial (social semiotics)
dan ‘semiotika teks’(semiotics of text), serta relasi di antara keduanya. Pertautan antara ‘teks’dan
‘masyarakat’ini sangat penting dipertimbangkan, karena ekspresi humor (teks) di dalam
masyarakat tradisional Jawa menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri (socius).
Bab V
Kesimpulan
V. 1 Kesimpulam
Berdasarkan analisis terhadap sejumlah sampel representasi (vcd) pertunjukan humor dari ludruk
dan ketoprak humor, dengan menggunakan metode analisis teks, dapat ditarik beberapa
kesimpulan berikut:
Pertama, sebagai sebuah pertunjukan bermuatan humor, ludruk dan ketoprak sangat taat pada
pola-pola umum yang sudah menjadi sebuah ‘tradisi’, seperti ngremo, dagelan, selingan, cerita,
selingan, cerita pada ludruk, atau model umum pembukaan, dagelan, narasi, selingan, narasi,
selingan, narasi, penutupan, yang masing-masing mempunyai alternatif variasi yang terbatas. Di
dalam pertunjukan-pertunjukan hanya dilakukan perubahan atau modifikasi minor, yang
merubah sedikit bagian-bagian dari isi cerita, menukar tempat variasi-variasi ngremo, selingan,
dagelan atau cerita, sehingga menghasilkan sedikit perbedaan.
Kedua, dipandang dari struktur umum pertandaan dan ‘gramar visual’(visual grammar), ludruk
dan ketoprak sangat mengandalkan struktur semiotikanya pada ‘semiotika repetisi’ (semiotics of
repetition), dalam rangka menghasilkan efek-efek kelucuan. Repetisi-repetisi tanda, yaitu
pemakaian elemen tanda secara berulang-ulang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan
’menghabiskan’efek-efek kelucuannya. Selama sebuah gerakan tubuh, mimik, gestur, atau body
language tertentu di dalam sebuah dagelan masih dapat menghasilkan efek-efek kelucuan dan
mengundang ketawa, ia akan direpetisi sampai titik jenuh. Repetisi seperti ini juga dilakukan
oleh bintang-bintang lawak modern seperti Tukul Arwana. Meskipun demikian, ada beberapa
pola repetisi yang digunakan: ‘repetisi terkuras’(drainaged repetition), ‘repetisi dinamis’
(dynamic repetition) dan ‘repetisi klimaks’(climax repetition)
Ketiga, di dalam humor prinsip pertentangan atau oposisi biner (binary opposition) secara
intensif digunakan, sebagai cara menghasilkan efek kelucuan dan komik. Berbagai hal
dipertentangkan secara biner: gender, pekerjaan, profesi, suku, status sosial. Akan tetapi, di
dalam seni pertunjukan tradisional oposisi biner dibuat ‘mengambang’, ‘samar-samar’, ‘tak
tegas’dan ‘ambigu’, sebagai manifestasi dari karakter kebudayaan Jawa sendiri, yang lebih
‘lentur’, ‘tak pasti’dan ‘mengambang’. Misalnya, oposisi biner dalam konteks perbedaan jender,
adalah oposisi biner yang dibuat ‘lentur’, di mana pertentangan karakter antara ‘laki-
laki’(maskulin) dan ‘perempuan’(feminin) diakui, tetapi di antara opoisi biner itu ada pengakuan
‘tersamar’akan kategori jender ketiga (third sex), yaitu banci atau bencong.
Ketiga, di dalam humor tradisional, secara intensif digunakan pula berbagai metafora. Akan
tetapi, metafora yang paling menonjol adalah metafora tentang tubuh: tubuh yang dimetaforkan
sebagai obyek, atau obyek sebagai tubuh. Selain itu, di antara aneka metafora tentang tubuh itu,
yang paling menonjol adalah metafora yang berkaitan dengan seks dan seksualitas. Berbagai
bagian tubuh yang merupakan obyek seksual (sexual objects): bibir, mulut, payudara, pantat dan
genital dieksploitasi, dalam aneka metafora, dalam rangka menghasilkan efek-efek kelucuan.
Dalam hal ini, efek kelucuan berbaur dengan efek seksualitas.
Keempat, di dalam humor tradisional, khususnya ludruk dan ketoprak, pada berbagai bagian
digunakan pula pencampuran prinsip semiotika, misalnya pencampuran antara metafora dan
prinsip oposisi biner. Penumpukan ini disebut sebagai ‘penumpukan semiotika’(semiotic
stacking). Misalnya, di dalam ludruk dan ketoprak, metafora tentang jender ‘ditumpuk’dengan
oposisi biner tentang jender di dalam sebuah ruang semiotika yang sama. Dengan demikian, di
dalam sebuah ruang semiotika, dua sistem pertandaan saling bertumpukan, untuk menghasilkan
efek ganda kelucuan.
V.2. Saran
Analisis semiotik terhadap karya-karya humor tradisional ini masih pada tahap awal, yang
memerlukan penelitian lebih lanjut. Di dalam analisis semiotik terhadap ludruk dan ketoprak,
dengan menggunakan metode ‘analisis teks’, analisis masih terbatas pada analisis ‘struktur
tanda’ ludruk dan ketoprak secara umum. Analisis belum sampai pada dimensi-dimensi semiotik
yang lebih khusus dan dalam, seperti analisis makna (meaning), denotasi dan konotasi, ideologi
dan mitos. Selain itu, penelitian juga dibatasi pada aspek-aspek semiotika visual dari humor.
Untuk pemahaman lebih komprehensif tentang semiotika humor, penelitian lebih lanjut dapat
memfokuskan diri pada dimens-dimensi semiotika di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland (1976) The Pleasure of the Text, Jonathan Cape, London.
Barthes, Roland (1967) Elemenf of Semiology, Hill & Wang, New York
Baudrillard, Jean (1993) Symbolic Exchange and Death, Sage Publication, London
Baudrillard, Jean (1990) Seduction, St. Martins Press, New York
deBeistequi, Miquel (2004), Truth and Genesis: Philosophy as Differential Philosophy, The
University of Chicago Press, Ithaca
Deleuze, Gilles (1994) Difference and Repetition, Columbia University Press, New York
Dyer, Gillian (1982) Advertising as Communication, Routledge, London
Eco, Umberto (1979) A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington
Eco, Umberto (1984) Semiotics and the Philosophy of Language, MacMillan Press
Fiske, John (1992) Introduction to Communication Studies, Routledge, London
Genette, Gerard (1980) Narrative Discourse: An Essay in Method, Cornell University Press,
Ithaca
Hawkes, Terence (1983) Structuralism and Semiotics, Methuen, London
Hutcheon, Linda (1985), A Theory of Parody, Methuen, London
Kristeva, Julia (1989) Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, Basil
Blackwell
Leach, Edmund (1970) Levy Strauss, Fontana Press
Morris, Desmon (1977) Manwatching: A Field Guide to Human Behaviour, Harry N. Abrams,
Inc., New York
Noth, Winfried (1995) Handbook of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington
Peacock, James (1987) Rites of Modernisation: Symbols and Social Aspects of Indonesian
Ploretarian Drama, The University of Chicago Press, Itacha
Ricoeur, Paul (1984), Time and Narrative, The University of Chicago Press, Ithaca
Sacks, Sheldon (1978) On Metaphor, The University of Chicago Press, Ithaca
deSaussure, Ferdinand (1990) Course in General Linguistics, Duckworth, London
Williamson, Judith (1978) Decoding Advertisements: Ideology and Meaning in Advertising,
Marion Boyars, London
LAMPIRAN 1: International Journal
Semiotics of Opposition and Repetition
in Indonesian Traditional Comic Dramas
Dr. Yasraf A. Piliang MA
Dr. Achmad Syarief
Dra. Irma Damayanti MSn
The expression of humour is one of interesting parts of Indonesian folk cultures, which is highly
plural in its character, with various languages, ethnic groups, customs, and religions. This
plurality is also manifested in various art forms, including humour. There are various forms,
expression, styles and contents of humour, as an espression of the plurality of culture itself. Each
ethnic groups has its own tradition of humour, with different forms, expression, language and
media. ‘Ludruk’ and ‘ketoprak’are two forms of Javanese traditional folk drama, particularly in
East Java culture, which has intensive comic contents within its expressions.
Although there are several differences between ludruk and ketoprak, both in their structure,
expression, visual language (body language, gesture, and physiognomie), however there a some
similarity between both dramas, especially in their aesthetic structure, semiotic structure, and
cultural contents. As a form of sosial production, ludruk and ketoprak are dramatic response to
various local everyday life, in its relation to social, economic and political problems. In certain
aspect, ludruk and ketoprak are forms of social critic, but a critic with comic and ironic contents.
As forms of comic expression, in ludruk and ketoprak, there are various forms of sign system,
which are the main sources of fun and comic effect. Some of these systems are universal in their
character, however some of these expressions are ingenious, unique and local in their character,
as characteristic part of Javanese folks culture. In the analysis of semiotic structure and meaning
of ludruk and ketoprak, a method of ‘textual analysis’ is employed. In this textual analysis, ten
samples of ludruk vcd and fourtenth samples of ketoprak vcd are read and analysed. The main
aim of the reading is to understand the structure of signs and semiotic codes used in their
expression. Particularly, how these sign expressions produce several comic effects and fun.
Through textual analysis several sources of comic effec and fun are identified: semiotic
opposition, semiotic repetition, incongruity, metaphor and intertextuality.
The Semiotics of Opposition
One of main sources of fun and comic effects in ludruk and ketoprak is a systematic play with a
principle of ‘binary opposition’. Through binary opposition, incongruities that are appeared
between two terms, conditions and characteristics which are opposed to produce certain comic
effects and fun. However, different with a general or universal principle of binary opposition,
ludruk and ketoprak have a more complex binary system of opposition, as they involve several
levels or layers of opposition. Behind a binary opposition of two terms, there is another binary
system, which oppose the first two terms with another term in a more wide semiotic space. What
we have here is a kind of ‘stratified binary opposition’, or ‘an opposition within an opposition’.
This stratified binary opposition can be identified in several performances. For example, in
ketoprak’s performance “Labuh Tresno”, in which a comic figure (A) is opposed to two other
figures (X, Z). In this sense, the ‘I’ (A) is opposed to ‘the others’ (X + Z). Based on the above
structure of binary opposition, it can be seen, that each party in the opposition constructs its
system of indexical signs, which in a semi-diametrical is opposed to the system of indexical
signs of others. In this connection, everyday objects, things and other properties can be seen as
indexes, that is, a set of signs that point to (a state, condition, status, position) in a wider social
relation. Each index is a sub-signifier of a total signifier that constructs a humorous text, which
has a metonymic function in its relation to a subject.
The above semiotic relation can be made more simple in a form of a ‘semiotic space’, which is
built between parties or groups of people involved in the binary opposition. Each party contructs
its own ‘semiotic space’, which is contained with a bundle of signs that is homolog in its nature
with its social character. The homology of signs means that a set of signs presented in the
performance by a party or social group is of one and similar character. For example, a job as a
foremen, a salary of 500 thousand rupiahs, a wife of Bugis ethnic group, a transportation of a
motorcar, and proverty of 18 carats of golden jewelry—are a set of indexical signs built by a
comic figure (Z) in his semiotic space, which on the one hand, are homolog in their character;
and on the other, are different with a set of indexical signs built by another figure (A) in his own
semiotic space.
The semiotic space built by each party in its relation to semiotic spaces of other parties,
constructs a relation among semiotic spaces. On the one hand, there is a relation of
‘resemblance’ or ‘homology’ that is built internally in a particular semiotic space. In the space a
set of signs or indexes are homologically constructed, as a set of identities of a person or a social
group. On the other hand, there is a relation ‘difference’ among semiotics spaces, which are
opposed one to another. However, in ludruk and ketoprak’s performance, a binary opposition is
built in several stratas, so that relation of difference is not only between a person with his ‘ in a
much narrower semiotic space, but also between a group of parties in one semiotic space, which
is now in a position of new ‘I’(capital I), which altogether is opposed to OTHER (capital other),
in a much wider semiotic space.
The relation of difference and sameness, or distinction and homology between elements of sign
involved in a relation of binary opposition, constructs a ‘stratified binary opposition’, as can be
seen from the following scheme:
In the first level, there is a binary opposition between two parties in a ‘little space’ or ‘little
narrative’, for example among working class, farmers, ordinary people, in which the relation of
binary opposition between ‘self’ and ‘other’ is a relation in a general space of a communal
“SELF’, as an assemblage of collective ‘selves’, who oppose themselves as a ‘little narrative’ to
‘OTHER’, as an assemblage of others like people of ‘King’, ‘President‘, ‘Director’, ‘Master’. In
ludruk and ketoprak, the binary opposition is used to produce fun and other effects of comic.
Through comparison between properties belong to different class, effects of fun and comic can
be produced.
Sr Sr Sr Sr Sr
SR SR SR SR SR
Sr Sr Sr Sr Sr
Sr Sr Sr Sr Sr
bo BO
SIM
ILIT
UD
E
DIFFERENCE
‘o
’ ‘s
’’
’’
‘S
’’ ‘O’
OTHER BINARI OPPOSITION
SELF
other self binary opposition
O = OTHER S = (‘I’) SR = SIGNIFIER Sr = Signifier Bo = binary opposition BO = BINARY OPPOSITION
The above binary opposition can be developed further into relation of signification, that is, a
semiotic relation, through understanding or reading of elements involved in the binary opposition
as a set of signs. Therefore, contradiction or opposition now can be understood as an opposition
at a level of semiotics, or a ‘semiotic opposition’. In the semiotic of opposition, sign or an
assemblage of signs are opposed to another sign or assemblage of signs.
The above structure of semiotic opposition can be developed further into a model of semiotic
structure or a structure of signs, which can be termed a ‘stratified binary opposition’. What can
be seen in this model of sign structure is a ‘stratification sign systems’, which builds a semiotic
system in Javanese culture, in which the binary opposition between elements of sign in a
particular cultural system (for example: a sign system of ordinary people) has a wider opposition
to other semiotic space in a total cultural system. The complex model of semiotic opposition in
Javanese culture as showed by ludruk and ketoprak can be seen in the following sign structure:
Besides the above stratified binary opposition, there is another form of binary opposition in the
semiotic structure of ludruk and ketoprak, which can be termed a ‘split binary opposition’. In a
gendered system of opposition, for example, the opposition terms between ‘masculine’ and
‘feminine’ is socially acknowledged; however, a third gender category (banci, wadon, bencong)
is also acknowledged as a gender category, by differentiating this category to other opposed
gender categories (masculine vs feminine), without completely remove the binary opposition
between the opposed gender category. This ‘semiotic split’ can be seen in the following semiotic
model:
MASTER
SIGNFIER BINARI
OPPOSITION
Little Signifier
Signifier 1 Signifier 2 binary
opposition
SR Sr
sr 1 sr 2
><
><
Sr (♀)
Sr (♂) Sr (♀)
binary opposition
other
other
As can be seen from the model, there is a binary opposition between ‘masculine’ and ‘feminine’,
by showing characters belong to stereotypes of man, for example: strong, rough, heroic, brave,
courageous, macho, etc., to be opposed to characters belong to the stereotypes of feminine, for
example: weak, soft, supple, beauty, passive, emotional. However, without involved in the
binary opposition between masculine and feminine, ludruk and ketoprak show a relation of ‘pure
difference’ between men or women to the ‘third sex’: banci, wadam, bencong, who has an
ambiguous character. Whereas men and women are differentiated in a format of binary
opposition, men or women and banci are differentiated in a scheme of a ‘pure difference’.
Ludruk and ketoprak intensively exploit difference of gender as main semiotic strategy to
produce fun and other comic effects. Fun and other comic effects are produced by exploiting
elements of body signs, or by showing incongruity, abnormality, opposition and other special
effects. Difference between masculine and feminine is intensively used to provoke funniness.
However, as mentioned previously, the ‘third sex’ is included in the field of gender difference as
a way to explore funniness and other comic sources. The ‘third sex’ creates a ‘contradictive’ or
‘paradoxical semiotic space’, in which the characters of stereotypes of masculinity and
femininity are blended or superimposed to create a kind of a ‘perverse space’.
In ludruk and ketoprak, sexual signs are intensively used, in various forms of metaphor,
metonymy and irony. Metaphor is one of main textual strategy used intensively in ludruk and
ketoprak. One of the metaphors intensively used is a ‘sexual metaphor’, through which body
signs and sexual signs are exploited in order to produce ‘voyeuristic effect’ before comic effects.
The use of pretty girls, sexy popular singers, or sexy fashion models are forms of ‘voyeurism’, in
order to produce eye catching effect or event sexual connotation before effects of comic and fun
are produced.
Femininity weak passive emotional powerless soft lipstik beauty household pink elegant poetry object
Masculinity
strong active
rational powerfull
rough natural gentle
vactory black
macho science subject
Banci
in between double
kontradiktif
paradoks
In the above scheme, the use of ‘coffee’ as a ‘sign vehicle’ of metaphor, which is used as a
metaphor of a ‘woman body’ (tenor) as a parts of ludruk’s performance “Supali Juragan Tahu” is
in line with the principle of metaphor in general, that is, the use of intermediary term, between
‘coffee’ and ‘woman breast’, as something ‘liquid’ in its character as a genus of reference. The
relation between vehicle, tenor and intermediary terms creates a semiotic space, from which
funniness and other comic effects are produced. Comic effects are produced through a
transposition in the semiotic space from a concept of ‘coffee’ as a category of ‘beverage’ and
‘women’s breast’ as a category of human sexuality.
However, in the semiotic structure of ludruk and ketoprak, the metaphoric relation in several
cases is positioned in a relation of binary opposition, particularly in a stratified binary
opposition, as explained previously. An example of the use of sexual metaphor in the frame of
binary opposition can be seen in the following scheme.
COFFEE curldle of coffee
mix
drink
delicious
BODY curdle of milk
squeeze
suck
pleasure
genus
spesies spesies
liquid
coffee breast
draw on
drink suck
transposition
satisfaction
delicious pleasure
device (♂)
bullet penis
device (♀)
valve nipple
binary opposition
From above scheme, it can be seen, that the use of genus (‘device’) to unite two different
species: ‘war device’(bullet) and ‘sexual device’(penis) as a metaphor, which is further
connected to other ‘metaphoric space’, that is, ‘other devices’ in the context of different gender:
‘bicycle device’(valve) and ‘sexual device’(nipple), can be seen as a form of what can be termed
a ‘semiotic stacking’, that is, a stacking of a metaphoric and a binary oppositional principle.
In the above scheme, the ‘signs of men’ are opposed diametrically to the ‘signs of women’.
However, the relation of the sign of man or the sign of woman and the sign of homosexuality, is
not a relation of binary opposition, but merely a relation of ‘difference’, without disturbing the
relation on binary opposition between man and woman. The comic effects are just produced
from this third category, which is kept in its gender ambiguity and vagueness.
Semiotics of Repetition
As an expression of performance art, humour produces comic effects from the ability of the
comedian to create different forms of expression. The difference of expression form is a source
of fun and comic effect, particularly in ludruk and ketoprak. Yet ludruk and ketoprak, like
traditional art expressions in general, produce such comic effects from repetition. Repetition is a
semiotic strategy in the framework of producing an expression of meaning, together with the
comic effects. Semiotics of repetition is a specific semiotic field, which investigates the structure
of repetition within particular sign system.
‘Repetition’ is an expression as seen in an arrow of time, where the ‘original’ repeats itself in the
‘line of time’, which gives no place to difference (deBeistequi, 2003: 52). Repetition is an
ordered loop of an original entity or event of the past in the arrow of time and history. Repetition
is seen here as a category of the ‘past’, a process of the history reproduction that produces some
similarity. Hence, there are some forms of repetition not as a loop or reproduction of entity of
signs, but as a ‘projection’, a repetition that creates an authentic future. In this connection,
repetition is not regarded as a category of the past, but the future. Repetition is a process of
‘being’, where the repetition itself should repeat itself, but in the framework of changing it, to be
device (♂)
bullet penis
device (♀)
valve nipple
split binary opposition
device (♀)
bullet/valve penis/nipple
a different self: a moment of repetition from something that doesn’t bring any thing that passed
by.
The term ‘semiotics of repetition’ is used here to explain a specific semiotic field that studies
form, structure, and system of repetition. Signs are used continuously in an expression or a text
to produce specific semiotic effects. The recurrence of sign within a text is a way of producing
particular semiotics effects, to make clear, to explain, or to produce the meaning of sign.
Repetition is the recurrence of the same event which is seen in its resemblance. (Genette, 113)
Because there is a principle of resemblance or similarity within repetition, repetition must have a
close relation to the principle of icon and iconicity. Iconic sign is every sign that has similarity
to what is denotated. Iconicity is the matter of degree (of similarity) (Eco, 1979: 192).
Semiotic repetition contains some principle of resemblance, similarity, or iconicity, but the
similarity is not only between the things that denotate (representament) and object denotated, but
also between the totality of sign and the other totality of signs. A representament has a
similarity with another representament, while objects represented is also the same. In this
connection, within repetition of signs we have two degrees of resemblance. By refering to the
structure of signs within the structural semiotics of Saussure and Barthes, especially the sign
relations at the level of denotation, the relation of sign repetition can be shown through this
scheme:
At the level of denotation, the first signifier (Sr1) is an imperfect imitation, denotatum or
representation of a denotata or signified 1 (Sd1), while the second signifier (Sr2) is an
denotation of signified 2 (Sd2). Hence, the combination of signifier and signified (Sr1+Sd1) has
some similarity with the combination of the other sets of signifier and signified (Sr2+Sd2). The
recurrence or repetition of signs can occur in several frequences: once, twice, three times, and so
on.
Semiotic repetition is a ‘projection’ of sign to the future, which is the reusing of some elements
of signs repeatedly, in the framework of producing certain meanings. Hence, like repetition in
general, semiotic repetition is not the repetition of sign which is ‘totally similar’, but introducing
some difference elements within the repetition. Elements of sign repeated, in the framework of
changing it, in order to produce difference. In this connection, repetition becomes the foundation
of the production of ‘difference’ and the productivity of signs. Hence, semiotic repetition is not
the category of the past, but the future, because repetition goes together with every single
movement of sign to the future. Repetition, as said by Ricoeur, opens the potentiality that is
unnoticed, made failed, or repressed in the past. It spreads back the past in the framework of
‘coming-towards’ (Ricoeur, 1984b: 77). Repetition as said by deBeistequi, is the repeated which
is also erased in the repetition itself (Deleuze, 1994b: 60).
Sr1 Sd1 iconic
Sr2 Sd2 iconic ICONIC
Ludruk and ketoprak are built by many repetitive principles: structure, system, form, genre,
language, sign, story, and narration. One of the forms of repetition which is intensively used in
ludruk and ketoprak is the repetition of the performance pattern itself. The performance of ludruk
and ketoprak is built by a pattern within a closed system, where the generic patterns are repeated
in each performance, to keep its identity as a ludruk and ketoprak. Ludruk is specifically built by
genres which has been standardized and patterned, which is performed repeatedly, with a minor
combination or modification in each performance. Ludruk is built by the following genre:
ngremo, dagelan, interlude and story.
‘Ngremo’ which means the ‘rapture dance’, which represents the phases of love from the
preparation until the implementation. Ngremo is the opening of ludruk, as a way of “persuading
the audiences to watch the show”. ‘Dagelan’ is the opening performance itself with some
humorous contents, where a comedian sings, soliloquizes, do some monologues, or have a
dialogue with the other comedian, in order to explores every potential of fun and comic effects.
After the Dagelan, the sindens sing a song (tembang) or dance, which functions as the interlude.
After the interlude, the‘story’ begins, which is usually a melodramatic story, which has several
episodes containing several substances of comedy and comic. Interludes in the form of song or
dance are also performed between the stages in the story (Peacock, 1987: 62).
Based on the semiotic structure, both ludruk and ketoprak are built by a generic structure of sign,
which are repeated in every performance, with a minor modification, recombination, and
changes.
Like ludruk, ketoprak is also built by the principle of repetition, which is the repetition of signs,
to produce some ‘breaking’ effect. Both in ludruk and ketoprak ‘breaking signifier’ is involved,
which is the signifier (or a set of signifiers) which is used to separate one narration with another
narration. The pattern of ngremo, dagelan, interlude, and story is the generic pattern which is
repeated within ludruk. In ketoprak the more generic patterns are used: opening, narrative,
interlude, narrative, interlude, narrative.
Besides the repetition of performance patterns as mentioned above, there are other forms of
repetition in ludruk and ketoprak, which are used intensively to produce the effects of humour
Sr Sd
Narration
Sr Sd
Opening
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Sr Sd
Interlude Interlude Closing Narration
Narration
ngremo ngremo dagelan selingan cerita
and comic. There are some patterns of repetition in ludruk and ketoprak, to produce some
different humorous effects: static repetition, dynamic repetition, and climax repetition.
1. Static Repetition
Static repetition in the ludruk and ketoprak is the repetition of body language, gesture, or some
other visual humorous effects. An example of this static repetition is a body language which is
used in the ludruk of “Trubus Pengemis Palsu, where a specific movement of Cak Slamet is
repeated continuously.
In the above picture, it can be seen, that the body language of moving the knee outside and pull it
back repeatedly, is a form of imitation of the mechanical movement of a wayang or doll.
Organic movement of body, now becomes ‘mechanical’, by imitating the stiff of wayang or doll,
in order to produce a humorous effect immediately. Hence, this movement is repeated many
times until the effect of humour is expired and disappeared. The movement of body can be seen
as a signifier, which is used repeatedly to explore the humorous effect until it is disappeared.
Such static repetition can be shown in the following scheme:
Move1 Move2 Move3 Move4 MoveN
Sr Sr Sr Sr Sr
Humour Effect
2. Flat Repetition
Dynamic repetition within ludruk and ketoprak is the repetition of speech, body language,
gesture, and other visual elements, and the repetition produces the difference of signs, and
through the repetition the comic effects are produced, but the effect of humour produced is
relatively flat, neither increasing nor decreasing.
In the scheme above, it can be seen that even though the word ‘menyelidiki’is repeated, there is a
difference between one word and another. Between one signifier and the next signified, even
though it is repeated, what is repeated produces some differences, and each difference produces
the effect of humour.
3. Climax Repetition
Climax repetition is a model frequently used in ludruk and ketoprak, which is the combination of
a static repetition and dynamic repetition, whether it is speech, body language, gesture, and other
visual elements. Different with the static repetition, where the signs are repeated from the
beginning until the end in the sets of signs, in climax repetition a set of static repetitions are
ended with an extreme difference, which is the main source of humour. The climax repetition
can be seen in the ludruk of “Trubus Pengemis Palsu”, where Cak Jaswari and Cak Supali shake
hands several times, but ends with the handshake using a sandal, which produces comic effect.
Through the climax repetition, the set of same signifiers is used repeatedly, which ends with a
much different signifier, which uses several effects of disorder, uncommonness, or illogicalness,
to produce the effect of humour in the end of the sets of signifiers.
menyelikidi menyekilidi menyedikili menyelidiki
Sr Sr’ Sr’’ Sr’’’ Sr’’’’
Efek kelucuan
salaman salaman salaman pakai sandal
salaman salaman
Through the climax repetition, humour is not produced in the beginning and in the set of actions
and expressions, but in the end, which is the closing of the set of stages. It is said as ‘climax,
because the humour effect is not built in the process of stage, but in the closing of the stage,
which is the closing of humour.
From a point of view of semiotic structure and visual grammar, ludruk and ketoprak are semiotic
structures, which use intensively a method of semiotic repetition, as a main source of producing
fun and comic effects. This repetitive model, in fact, is also used intensively in other modern
humour performance, like Srimulat or Tukul Arwana, in which certain expression of body
language, gesture, physiognomie and other languages of body is used repeatedly, in order
ironically to produce different comic effects.
References
Barthes, Roland (1967) Elemenf of Semiology, Hill & Wang, New York
deBeistequi, Miquel (2004), Truth and Genesis: Philosophy as Differential Philosophy, The
University of Chicago Press, Ithaca
Deleuze, Gilles (1994) Difference and Repetition, Columbia University Press, New York
Eco, Umberto (1979) A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington
Genette, Gerard (1980) Narrative Discourse: An Essay in Method, Cornell University Press,
Ithaca
Peacock, James (1987) Rites of Modernisation: Symbols and Social Aspects of Indonesian
Ploretarian Drama, The University of Chicago Press, Itacha
Ricoeur, Paul (1984), Time and Narrative, The University of Chicago Press, Ithaca
deSaussure, Ferdinand (1990) Course in General Linguistics, Duckworth, London
Sr1 Sr1 Sr1 Sr1 SrX
Humour effect
LAMPIRAN 2:
Daftar Sampel VCD Ludruk dan Ketoprak
Ludruk
1. Kesenian Ludruk Karya Budaya, “Trubus Kudu Misuh”
2. Kesenian Ludruk Karya Budaya, “Pengemis Palsu”
3. Kesenian Ludruk Karya Budaya, “Supali Mbeling”
4. Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, “Supali Nganggur”
5. Lawak Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, “Maling Sepeda”
6. Lawak Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, “Supali Juragan Tahu”
7. Gebyar Ludruk Mojokerto Karya Budaya, “Gladak Tuban”
8. Gending dan Lawak Cak Bowo & Supali, “Mayit Gendong Sing Urip”
9. Pagelaran Ludruk Putra Perkasa, “Branjang Kawat”
10. Lawak Sukur Cs, “Sukur SMA”
Ketoprak
1. Depot Seni Kirun, “Tumpeng Gate”
2. Depot Seni Kirun, “Joko Kendil”
3. Depot Seni Kirun, “Wayang Gerr: Gatot Kaca Gandrung”
4. Depot Seni Kirun, “KirunEdan, Bagyo Dadi Ratu”
5. Ketoprak Kreasi Baru Siswo Budoyo, Sri Huning Mustika Tuban”
6. Ketoprak Kreasi Baru, “Aryo Penangsang Mbalela”
7. Ketoprak Kreasi Baru, “Cinde Laras Adu Jago”
8. Ketoprak Kreasi Baru Siswo Budoyo, “Joko Tarub”
9. Ketoprak Kreasi Baru Siswo Budoyo, “Angling Darmo
10. Ketoprak Humor Anom Budoyo, “Panji Remeng”
11. Jula Juli Guyonan Voluma 1, “Misteri Gunung Merapi”
12. Ketoprak Humor Campur Sari, “Labuh Tresno”
13. Dagelan Cak Bowo vs Bagyo, “Penipu”
14. Lawak Cak Bowo Cs, “Supali Gendeng Wedokan”