KUMPULAN ARTIKEL DARI RESONANSI REPUBLIKA

106
Prof. Ahmad Syafii Maarif Asma Nadia Nasihin Masha Azyumardi Azra Yudi Latif Ikhwanul Kiram Mashuri

Transcript of KUMPULAN ARTIKEL DARI RESONANSI REPUBLIKA

Prof. Ahmad Syafii Maarif Asma Nadia Nasihin Masha

Azyumardi Azra Yudi Latif Ikhwanul Kiram Mashuri

1. Patriotisme ………………………………………………………………..…………………………………………………… 3

2. Terusiknya kedaulatan kita ………………………………………………………………... 6 3. Mentri susi yang fenomenal…………….…………………………………………………… 9

4. Suatu hari di kampong tartar …………….……………………………………………….. 14 5. Budaya Politik Indonesia……………………………………………………………………….. 17

6. ISIS Menyasar Mahasiswa Al Azhar Kairo…………………………………………….. 20 7. Pahlawan dan Kita ………………………………………………………………………………….. 25

8. Mobil Amien Rais Ditembak……………………………………………………………………….28 9. Masjid Cordova……………………………………………………………………………………………32

10. Tukang Cat ………………………………………………………………………………………………35 11. Bravo Swedia! …………………………………………………………………………………………38

12. Sumpah Pemuda dan Bola Indonesia……………………………………………………..41 13. Kabinet Kerja Keras…………………………………………………………………………………44

14. Kajian Islam CUHK (1)…………………………………………………………………………….48

15. Kajian Islam CUHK (2)…………………………………………………………………………….52 16. Presiden Baru, Harapan Baru………………………………………………………………….55

17. Solusi BBM dengan Mobil Listrik……………………………………………………………..59 18. 'Revolusi Payung' dan Muslimin Hong Kong……………………………………………62

19. Restorasi GBHN………………………………………………………………………………………..65 20. Danau Dendam tak Sudah……………………………………………………………………….69

21. Nobel Perdamaian Buat Sweet Seventeen………………………………………………71 22. Ebola, Virus yang tak Memandang Kewarganegaraan……………………………76

23. Winners Take All ……………………………………………………………………………………..79 24. Basis Karakter Kemajuan…………………………………………………………………………82

25. Basis Karakter Kemajuan (2}…………………………….……………………………………93 26. Basis Karakter Kemajuan (3)……………………………………………………………….…97

27. Basis Karakter Kemajuan (4)……………………………………………………………….100 28. Islam dalam krisis (1) …………………………………………………………………….103

28. Reference sites ………………………………………………………………………………….. 106

Patriotisme Tuesday, 18 November 2014, 06:00 WIB Sumber : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/17/nf6t6m-patriotisme

Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Syafii Maarif

Menurut Wikipedia, patriotisme sebagai kata benda abstrak baru muncul di

Eropa awal abad ke-18. Hulu konsep patriotisme bisa dilacak kepada bahasa

Latin abad ke-6 patriota atau bahasa Yunani kuno patriotes yang bermakna

warga senegeri atau sebangsa. Maka patriotisme tidak lain keterikatan

kultural kepada sebuah tanah air atau pengabdian kepada sebuah negeri

dengan penuh cinta.

Jika nasionalisme merupakan sebuah konsep atau ideologi politik radikal

yang bertujuan untuk mengubah keadaan suatu bangsa kepada sesuatu

yang dibayangkan lebih baik, maka patriotisme lebih bersifat konsep

kultural, tetapi tidak bisa dipisahkan dengan nasionalisme. Seorang

nasionalis pastilah seorang patriot, tetapi seorang patriot belum tentu

seorang nasionalis.

Di kalangan kaum nasionalis Muslim Indonesia, telah lama dikenal

diktumhubbu 'l-watan min al-iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman),

sebagaimana pernah saya dengar dari almarhum Roeslan Abdoelgani. Ini

bukti bahwa umat Islam Indonesia adalah patriot dan sekaligus nasionalis.

Saya tidak tahu dari mana sumbernya ungkapan ini, tetapi tentunya bukan

dari literatur hadis. Adalah sebuah fakta keras sejarah, patriotisme dan

nasionalisme umat Islam nusantara untuk melawan pihak asing, jauh

sebelum nama Indonesia muncul, sudah dirasakan sangat tinggi, sekalipun

cakupannya lebih terbatas kepada satu suku bangsa atau kerajaan tertentu.

Barulah pada 1920-an berkat kerja keras Perhimpunan Indonesia (PI) di

negeri Belanda, kemudian disusul oleh Sumpah Pemuda 1928 di Tanah Air,

gagasan keindonesiaan semakin mengental dan mengarah kepada cita-cita

kemerdekaan.

Dalam tradisi politik umat Islam sebagaimana terbaca dalam karya Ibn

Taimiyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah (halaman 139) juga ada diktum yang

tidak kurang seramnya: Inna 'l-Sultan dillu Allah fi 'l-ard, sittuna sanat min

imam jair aslah min lailatin. (Sesungguhnya sultan/penguasa adalah

bayangan Tuhan di muka bumi, 60 tahun di bawah pemerintahan sultan

yang jahat lebih baik daripada semalam tanpa sultan).

Bagi saya ungkapan-ungkapan yang membela penguasa yang jahat dan

culas tidaklah layak bagi dunia beradab. Apalagi dari sisi pandangan

Alquran, seorang patriot-nasionalis tidak hanya bertugas memerintahkan

yang baik-baik (al-ma'ruf), tetapi juga sekaligus mencegah kemungkaran

(al-munkar) dengan segala daya dan upaya. Sebab, tanpa itu semua,

sebuah masyarakat yang hendak ditegakkan atas landasan nilai-nilai moral

dan etika menjadi tidak mungkin. Indonesia yang berpenduduk mayoritas

Muslim itu sudah lama tersesat dalam kubangan amoral yang sarat dengan

kemungkaran ini.

Maka ke depan, tugas dan kewajiban utama para patriot-nasionalis adalah

membebaskan bangsa dan negara ini dari kelakuan anak-anaknya yang

curang dan mati rasa, sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan

oleh semua.

Pertanyaan saya: berapa persen di antara elite dan penjabat negara kita

yang masih yang mendasarkan laku dan tindakannya kepada patriotisme?

Boleh jadi jumlahnya semakin meredup. Bagi saya, masalah patriotisme ini

menjadi sangat serius untuk ditancapkan kembali ke dalam jiwa bangsa ini.

Terusiknya Kedaulatan Kita

Minggu, 16 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/14/nf17sj-terusiknya-kedaulatan-kita

Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Hari Pahlawan baru saja berlalu, tetapi berita yang mengiringi peringatan

para pahlawan pendahulu yang memperjuangkan kedaulatan justru berisi

kenyataan yang mengusik rasa nasionalisme kedaulatan kita.

Satu kabar memilukan datang dari Desa Kinokot, Nunukan, Kalimantan

Utara, di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Seluruh warga desa

memilih pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Mereka

memilih Malaysia karena merasa lebih diperhatikan Pemerintah Malaysia.

Dari negeri jiran tersebut mereka mendapat gaji, fasilitas pendidikan, dan

kebutuhan lain.

"Warga desa ini seluruhnya 100 persen memilih menjadi warga negara

Malaysia," kata Ramli, anggota DPRD yang mendapat laporan setelah

mengunjungi kawasan perbatasan bersama kolega dari DPRD Nunukan.

Risiko jangka panjang yang mengkhawatirkan adalah desa yang masuk

wilayah Indonesia itu bisa diklaim sebagai bagian Malaysia karena berada di

zona perbatasan dan penduduknya memilih menjadi warga negara Malaysia.

Bukankah Sipadan dan Ligitan hilang dari kedaulatan Indonesia dengan

pertimbangan Malaysia dimenangkan karena sudah membangun

infrastruktur lebih dahulu di sana? Lalu, apa tindakan kita? Selamatkan

saudara-saudara di perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan dan

perhatian, bukan dengan kekerasan.

Berita lain yang juga mengusik kedaulatan adalah tercatatnya warga negara

Indonesia (WNI) dalam wajib militer Singapura. Ketika TNI dan Singapura

mengadakan latihan bersama di Magelang, dua prajurit yang didaftarkan

untuk ikut latihan adalah WNI. Mereka ternyata permanent resident di

Singapura dan wajib harus ikut dalam wajib militer.

Sedangkan dari sisi hukum Indonesia, berdasarkan Undang-Undang

Kewarganegaraan 2006, WNI bisa kehilangan kewarganegaraannya jika

yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa mendapat izin

terlebih dahulu dari Presiden. Akibatnya, kedua WNI tersebut dideportasi

kembali ke Singapura dan tidak ikut berpartisipasi dalam latihan bilateral.

Berita ketiga terkait pelanggaran kedaulatan negara yang cukup membuat

kita miris. Sebuah pesawat asing melanggar wilayah udara Indonesia,

melintas tanpa izin. Setelah dipaksa mendarat, pesawat tersebut didenda Rp

60 juta dan terbang kembali.

Apa yang memprihatinkan? Untuk mengejar pesawat tersebut, TNI AU harus

menerbangkan dua jet Sukhoi yang sekali terbang, masing-masing pesawat

memakan biaya operasional Rp 400 juta. Artinya, untuk force

down (memaksa turun) saja biayanya mencapai Rp 800 juta, tapi pelanggar

hukum hanya didenda Rp 60 juta. Padahal, hukum yang berlaku

memungkinkan pesawat tersebut didenda sampai Rp 2 miliar.

Pesawat yang tidak memiliki flight approval, yang merupakan salah satu

syarat terbang antarnegara, adalah milik pemerintahan Arab Saudi yang

melintasi Indonesia menuju Australia guna mempersiapkan kunjungan raja

Saudi ke Benua Kanguru tersebut.

Perizinan seperti ini seharusnya tidak memakan waktu lama karena

persahabatan Indonesia dan Arab Saudi sudah terjalin baik, tapi mengapa

mereka tidak mengurus perizinan sejak awal? Mengapa juga denda yang

dikenakan begitu kecil, mengingat negara pelanggar juga mempunyai

sumber dana untuk membayarnya? Mengapa pula bangsa Indonesia yang

harus menanggung biaya yang diakibatkan pelanggaran bangsa asing?

Semua berita di atas seharusnya menyentak seluruh rakyat untuk kembali

kepada spirit perjuangan pada masa lalu demi mempertahankan kedaulatan.

Hanya saja jika dulu mempertahankan kedaulatan dengan kekuatan militer,

kini selain kekuatan militer, kita harus memperjuangkan kedaulatan dengan

kekuatan ekonomi, kekuatan kesejahteraan, kekuatan persatuan, diplomasi,

dan kekuatan apa pun yang kita miliki.

Jika Indonesia kuat dan sejahtera, tidak hanya bangsa sendiri yang bangga

dan menghargai, bangsa lain pun akan ikut menghormati.

Menteri Susi yang Fenomenal

Friday, 14 November 2014, 06:00 WIB

Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Matanya selalu berbinar dan tajam. Pertanda cerdas dan percaya diri.

Suaranya ngebas, pertanda perokok berat. Rambutnya selalu diikat di

belakang, di bagian depan dibiarkan tak rapi. Pertanda energik. Langkahnya

pun cepat. Pertanda gesit dan cekatan.

Itulah Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan. Susi adalah menteri

yang paling fenomenal, dilihat dari kontroversi personalnya maupun

gebrakan awalnya.

Selama ini publik lebih mengenal Susi sebagai pemilik maskapai

penerbangan Susi Air. Ia juga dikenal sebagai pemilik usaha perikanan,

terutama lobster. Nama Susi juga banyak disebut ketika ada musibah

tsunami Aceh. Namanya sangat harum. Bagi publik yang pernah

berhubungan dekat dengan Susi pasti akan banyak mengenal pribadi Susi.

Susi adalah fenomena khas anak reformasi, seperti halnya Jokowi, sang

presiden.

Walau bisnisnya sudah dilakukan selama 25 tahun, tapi reformasi telah

melahirkan apa pun, termasuk melejitkan usaha dari sudut Pantai

Pangandaran, Jawa Barat. Susi tak pernah menutupi simpatinya kepada

PDIP dan kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri.

Susi berijazah SMP. Pendidikannya terhenti saat kelas dua SMA di

Yogyakarta. Ada musibah. Kepalanya terbentur saat terjatuh. Namun,

langkahnya untuk berhenti sama sekali dari sekolah tak urung membuat

ayahnya sewot. Susi mengaku tak diajak bicara oleh ayahnya selama satu

tahun. Jenjang pendidikan inilah yang sempat mencuatkan tanggapan

miring.

Namun, banyak orang sukses yang tak lulus perguruan tinggi. Apalagi,

teman SMA-nya yang bergelar profesor di perguruan tinggi ternama

bertestimoni bahwa Susi sudah mahir berbahasa Inggris sejak SMA, bahkan

biasa melahap buku-buku berat sejak SMA. Saat presentasi di depan para

pemimpin redaksi, Susi tak bisa menutupi bahwa ia lebih fasih

mengekspresikan ide-idenya dalam bahasa Inggris. Bukan “Inggris-Jawa”

atau “Inggris-Indonesia”, susunan kalimatnya benar-benar seperti orang

yang sejak lahir berbahasa ibu bahasa Inggris. Banyak orang yang pernah

tinggal lama di luar negeri tapi bahasa Inggrisnya tetap saja Inggris-

Indonesia-sesuatu yang wajar sebetulnya.

Orang tuanya bukan termasuk miskin. Ayahnya, H Ahmad Karlan, pensiunan

PNS. Ibunya, Hj Suwuh Lasminah, adalah anak H Ireng yang dikenal

memiliki banyak tanah. Tak heran jika Susi bisa memilih sekolah terbaik di

Yogyakarta, SMAN 1, dan bukan di Pangandaran.

Susi adalah anak pertama dari empat bersaudara, ia juga memiliki saudara

tiri. Sebelum menikah dengan ibunya, H Karlan adalah duda. Namun, saat

merintis usahanya, Susi tak menggantungkan pada kekayaan orang tuanya.

Ia membanting tulang. Performa tubuhnya dan rahangnya menunjang Susi

menjadi “wanita macho”.

Ia mengendarai sendiri truk ikannya di jalanan pantura, saat ia boyongan

bersama anaknya ke Cirebon-setelah pernikahannya yang pertama kandas.

Pernikahannya yang kedua pun-dengan pria bule-kandas. Ia tipikal wanita

mandiri dan petarung. Garis di wajahnya menunjukkan dirinya sebagai

orang yang keras pada pendirian.

Cara jalan, gerak tubuh, dan gaya bicaranya menunjukkan bahwa ia orang

yang cuek. Tak mengherankan jika kemudian ia mengukir betis kanannya

dengan tato. Sebuah lukisan bergambar burung phoenix. Tato itu dibuat di

Bali. Merokok dan bertato adalah kontroversi yang mengusik perasaan

publik.

Bagi sebagian orang, merokok itu bukan simbol yang baik. Iklan rokok pun

diembeli ancaman penyakit dan gambar organ tubuh yang rusak akibat

merokok. Karena itu, ketika ia tertangkap merokok di Istana, itu menjadi

berita besar. Ia lupa bahwa dirinya sudah menjadi pejabat.

Bagi para pendukungnya, ia dibela dengan menjajarkan Susi dengan figur

korup seperti Ratu Atut yang bahkan berjilbab. Sesuatu yang tak bijak dan

sama sekali keluar dari konteks. Publik berhak menuntut kesempurnaan dari

para pejabatnya. Salah satu faktor paling penting dalam membangun

masyarakat adalah hadirnya keteladanan. Keteladanan selalu dekat dengan

tuntutan kesempurnaan. Kita bersyukur bahwa kemudian Susi menyatakan

akan menghilangkan kebiasaan merokoknya di depan umum. Ia juga lebih

sering bercelana panjang untuk menutupi tatonya.

Namun, Jokowi tentu memiliki alasan mengapa memilih Susi. Jokowi atau

mungkin Megawati sadar atas pilihannya ini. Nama Kabinet Kerja sangat

sahih dinisbatkan ke Susi. Ia model ideal untuk kerja keras. Susi pun

membuktikannya. Ia menghibahkan gajinya sebagai menteri untuk premi

asuransi nelayan.

Menurutnya, problem perikanan adalah illegal fishing, unreported fishing,

dan unregulated fishing. Ia juga mencatat Indonesia adalah satu-satunya

negara di dunia yang mengizinkan lautnya dipanen nelayan asing. Di sini

pun ada ironi. Nelayan kecil dikenakan banyak pungutan, untuk nelayan

asing malah sebaliknya. Mereka hanya dikenakan pungutan Rp 8.000

pergross ton. “Lebih murah dari rokok saya,” kata Susi.

Ada ribuan kapal asing yang berkeliaran di laut Indonesia. Mereka dari

Thailand, Taiwan, Vietnam, Cina. Tak heran jika pendapatan dari sini hanya

Rp 250 miliar per tahun. Ia menargetkan untuk naik 508 persen, menjadi Rp

1,277 triliun. Ia juga melakukan moratorium kapal asing. Kita berharap Susi

akan menggebah nelayan asing dari laut Indonesia.

Ada terlalu banyak ironi dalam pengelolaan laut kita: regulasi yang

menguntungkan nelayan asing dan menghisap nelayan lokal, jumlah kapal

patroli milik TNI dan Polri terlalu sedikit dan yang bisa operasi pun cuma 30

persen (itu pun digunakan secara bergilir), penegakan hukum yang lemah,

subsidi BBM nelayan sebagian sangat besar diambil nelayan asing, jumlah

kapal asing lebih banyak dari yang diizinkan. “Kita kasih mati orang kita

sendiri,” katanya geram.

Susi yakin jika dikelola dengan baik, pendapatan negara dari laut bisa

menggantikan pendapatan dari migas. Ia akan bekerja dengan cara yang ia

biasa lakukan. Menurutnya, kini bukan saatnya lagi rezim anggaran tapi

rezim kerja. Susi mengaku tak menerima amanat sebagai menteri jika

bukan karena faktor Jokowi.

Kitab Assiyasatus-Syar'iyyah fi Ishlahir-Ra'iy war-Ra'iyah adalah kitab paling

penting dalam khazanah Islam tentang politik. Kitab karya Ibnu Taimiyah ini

diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Bulan Bintang dengan

judul Pedoman Islam Bernegara. Ia membuka bukunya dengan judul

kepemimpinan. Pada bagian ini ia menekankan tentang pentingnya

kecakapan dalam mengangkat seseorang. Jika pengangkatan itu atas dasar

kedekatan maupun harta, sesungguhnya itu adalah pengkhianatan. Jabatan

juga jangan diberikan kepada orang yang menuntut jabatan itu.

Memilih yang cakap pun tak mudah. Karena itu, Ibnu Taimiyah mengusulkan

untuk memilih yang terbaik dari yang ada. Pilihlah yang lebih utama sesuai

jabatannya, dengan dua rukun: kuat dan bisa dipercaya. Kata kuat bisa

disesuaikan dengan jenis bidangnya. Jika masih sulit mendapatkannya,

carilah yang paling bisa memberikan manfaat di bidang yang akan

dipimpinnya.

Pada akhirnya, semuanya menjadi sempurna jika kita mengetahui motif dan

metode yang akan dilakukan seorang pemimpin. Di sinilah pentingnya visi

kita dalam berbangsa dan bernegara. Jokowi sudah mencanangkan Trisakti

dan Nawacita. Mari kita nilai para menteri ini atas dasar ideologi (motif dan

metode) ini.

Susi, buktikan bahwa Anda adalah pilihan terbaik bagi negeri ini, yang

memberi manfaat bagi khalayak. Amanah ini adalah jalan menuju

kesempurnaan dan keteladanan.

Suatu Hari di Kampung Tatar

Thursday, 13 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/12/nexo2r-suatu-hari-di-kampung-

tatar

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Orang-orang Tatar agaknya merupakan salah satu bangsa yang paling

terpencar di muka bumi ini sejak waktu lama. Kini bermukim di berbagai

negara, tidak ada angka pasti berapa jumlah mereka, walau berbagai

estimasi memperkirakan jumlah mereka sekitar 10 juta jiwa pada 2000.

Suku Tatar belakangan ini menjadi bagian dari berita krisis di Ukraina ketika

bagian tenggara negara ini sejak akhir Februari 2014 berusaha melepaskan

diri dengan bantuan Rusia. Suku Tatar yang bermukim di Semenanjung

Krimea ibarat terjepit di antara dua kekuatan: pemerintah pusat Ukraina di

Kiev yang memerangi kaum separatis di Donetsk.

Secara tradisional, mereka menjadi sasaran kecurigaan Moskow. Bahkan,

pada 1944 atas perintah Joseph Stalin, secara massal mereka diusir dari

Semenanjung Krimea walaupun kemudian mereka direpatriasi.

Berasal dari nenek moyang bangsa Turki, orang-orang Tatar kini paling

banyak bisa ditemukan di Republik Tatarstan yang merupakan bagian

Federasi Rusia. Pernah berkunjung pada Juni 2009 ke Kazan, ibu kota

Republik Tatarstan, penulis Resonansi ini menyaksikan lanskap yang

berbeda dengan wilayah Federasi Rusia lain: di mana-mana terlihat banyak

masjid dan madrasah, bahkan juga universitas Islam. Warga Tatar adalah

kaum Muslim wasathiyyah.

Penulis Resonansi ini juga menemukan kampung Tatar Muslim di Polandia.

Bersama delegasi Dialog Antaragama Indonesia-Polandia III awal November

2014, Ahad (2/11), penulis mengunjungi dua masjid Tatar di kawasan

Provinsi Bialystok, sebelah timur laut Warsawa, ibu kota Polandia. Komunitas

Muslim Tatar ini adalah komunitas Muslim yang sudah berusia panjang —

melewati berbagai perang dan pergolakan politik, tapi tetap bertahan. Kini

mereka menjadi bagian terbesar dari sekitar 5.000 Muslim Polandia.

Orang-orang Tatar mulai datang dari kawasan Volga dan menetap di wilayah

Polandia sejak 1379. Banyak di antara mereka semula adalah prajurit Tatar

yang ikut berperang melawan Kerajaan Tetonik dalam pertempuran

Grunwald 1410 di Malbork, wilayah utara Polandia sekarang. Perlahan tapi

pasti mereka membentuk komunitas distingtif setidaknya di dua desa di

Provinsi Podlaskie, sekitar 180 kilometer arah timur laut Warsawa.

Komunitas Muslim Tatar sering berjuang membela Kerajaan Polandia

sehingga mereka dianugerahi tanah oleh Raja Polandia untuk membangun

desa. Dalam Perang Dunia II banyak warga Tatar Polandia diusir Jerman ke

Siberia, seusai perang mereka berimigrasi ke Inggris, Amerika Serikat, dan

Australia.

Secara jumlah, Muslim Tatar Polandia tidak signifikan karena jika bicara

tentang „agama‟ di Polandia, yang dimaksud adalah Katolik yang berjumlah

sekitar 90 persen dari 39 juta penduduk. Apalagi Paus Johanes Paul II

(1920-2005) berasal dari Polandia. Namun, kaum Muslim Tatar cukup solid.

Sejak 1936 mereka mendirikan Persatuan Muslim Polandia.

Salah satu distingsi kaum Muslim Tatar Polandia adalah masjid yang bukan

hanya menjadi tempat ibadah, tapi juga pusat komunitas. Ada tiga masjid

Tatar di Polandia: Kruszyniany, Bohoniki, dan Gdansk —yang pernah

menjadi pusat organisasi buruh Solidaritas pimpinan Lech Walensa.

Masjid pertama didirikan pada 1768-1795 di Desa Kruszyniany, sekitar 50

kilometer dari Bialystok, ibu kota Provinsi Podlaskie. Berkunjung ke masjid

tua ini terlihat masih kokoh. Dapat menampung sekitar 100 jamaah, bagian

dalam masjid kecil ini juga memiliki „mezanine‟ yang biasanya digunakan

untuk Muslimah. Masjid yang ini meski memiliki dua menara yang sedikit

lebih tinggi, tidak tinggi dari bangunan utama, mirip gereja dan rumah

tradisional. Meski kecil, bangunan ini memang betul-betul masjid, lengkap

dengan mihrab dan mimbar.

Masjid Tatar kedua terletak di Desa Bohoniki, dekat Kota Sokolta, sebelah

timur laut Bialystok. Menurut penuturan komunitas Tatar yang tinggal di

sekelilingnya, masjid ini didirikan pada pertengahan akhir abad ke-17 atau

awal abad ke-18. Masjid Bohoniki yang sedikit lebih kecil daripada Masjid

Kruszyniany memiliki kubah mini dan ruangan untuk jamaah laki-laki dan

jamaah perempuan di bagian belakang. Masjid ini juga memiliki mimbar dan

mihrab kecil sehingga juga digunakan untuk ibadah shalat Jumat.

Lingkungan Tatar di Bohiniki juga dilengkapi makam khusus untuk Muslim

yang terletak sekitar 400 meter dari masjid. Makam ini diperkirakan sudah

digunakan sejak abad ke-18. Sebagian makam hanya ditandai batu-batu

agak besar tanpa nama orang yang dimakamkan di sana. Sedangkan

kuburan untuk masa pasca-Perang Dunia II, kelihatan lebih „wah‟ yang

hampir sepenuhnya ditutup dengan batu pualam beserta nisan yang

dilengkapi dua kalimah syahadah dan nama almarhum atau almarhumah.

Kompleks pemakaman ini terlihat terawat dan bersih. Cukup banyak di atas

kuburan terdapat ikatan bunga yang masih segar. Kelihatannya kaum

Muslim Tatar juga baru berziarah ke makam mengikuti tradisi warga

Polandia lain yang ziarah ke kuburan dalam rangka merayakan „Hari Santo

Kudus‟ (All Holy Saints Day) yang merupakan hari libur nasional Polandia.

Komunitas Muslim Tatar terlihat merupakan masyarakat paguyuban, di

mana satu warga akrab dengan yang lain. Mereka hidup dari pertanian dan

peternakan, mulai dari kuda sampai ayam yang terlihat bergerak bebas.

Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah mereka kian berkurang karena

pindah ke perkotaan.

Budaya Politik Indonesia

Tuesday, 11 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/10/netyus-budaya-politik-indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam arti longgar, budaya politik (political culture) bertalian dengan

serangkaian sikap dan praktik yang dipegang oleh sejumlah orang yang

membentuk perilaku politiknya. Termasuk di dalamnya pertimbangan moral,

mitos politik, kepercayaan, dan gagasan tentang apa yang dapat membuat

sebuah masyarakat itu menjadi baik

Dengan kata lain, kebaikan buat semua adalah esensi dari budaya politik

yang sehat. Pertanyaannya untuk Indonesia sekarang, apakah budaya politik

yang sedang berlangsung pada tahun ini menyiratkan harapan untuk

kebaikan bangsa ini secara keseluruhan jika ditempatkan dalam parameter

Pancasila dan nilai-nilai luhurnya?

Jika jawabannya positif, berarti bangsa dan negara ini sudah berjalan di atas

rel yang benar. Namun, jika jawaban itu negatif, maka apa yang salah

dengan budaya politik kita? Analisis di bawah memberikan kebebasan bagi

pembaca untuk menentukan pertimbangan masing-masing.

Sebenarnya budaya politik itu lebih dikendalikan oleh kaum elite. Rakyat

biasa pada umumnya tinggal mengikuti saja, sadar atau karena bujukan

uang. Di Indonesia kontemporer, apa yang dikenal dengan politik uang

sudah bukan berita lagi. Hampir semua lini kegiatan partai plus elitenya, dan

perorangan untuk berebut posisi sebagai anggota DPD (Dewan Perwakilan

Daerah), empat orang pada tiap-tiap provinsi, permainan uang itu sudah

mewabah.

Jumlahnya bergantung pada isi kandung para pemain. Bohong besar jika

para pemain itu mengatakan bebas dari politik uang. Seorang politikus

berbakat dari sebuah partai ketika saya tanyakan mengapa dia gagal ke

Senayan, jawabannya polos: “Kalah uang.” Dengan demikian tuan dan puan

jangan terlalu berharap kepada mereka yang berhasil duduk menjadi

anggota DPR (pusat atau daerah) benar-benar akan menyuarakan aspirasi

rakyat. Sebagian mereka itu hanyalah mewakili isi kantongnya, baik melalui

utang atau harta pribadi bagi mereka yang kaya.

Adapun mengenai pertimbangan moral pada umumnya sudah dilumpuhkan

oleh pragmatisme politik yang konyol. Dari pantauan saya, hanyalah sedikit

sekali di antara para “wakil” itu yang benar-benar bermental patriot-

petarung untuk membela kepentingan bangsa dan negara secara

keseluruhan.

Memang ada juga bentuk pertarungan lain di Senayan, tetapi jangan salah

nilai, mereka bertarung bukan untuk kepentingan rakyat. Pertarungan

mereka hanyalah didorong oleh politik kekuasaan tanpa pertimbangan akal

sehat dan sikap adil. Mereka yang tersudut dalam pertarungan tampaknya

kehilangan keseimbangan, lalu membentuk kekuatan tandingan, sesuatu

yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Siapa yang dirugikan oleh akrobatik politik yang menyebalkan ini? Bukan

mereka karena mereka tetap digaji saban bulan yang diambilkan dari APBN.

Yang pasti celaka adalah rakyat karena kelakuan politisi Senayan itu bisa

menghambat program-program pemerintah yang bertujuan untuk

memperbaiki kualitas kehidupan rakyat yang sudah sekian lama kurang

mendapat perhatian.

Di sisi lain, Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dibentuk di bawah slogan

profesionalisme, dalam kenyataannya fenomena politik dagang sapi tidak

dapat dihindarkan. Politik inilah yang menyebabkan ada kekuatan moral

masyarakat sipil yang tidak punya saluran partai dianggap sebagai aksesoris

belaka. Bagi saya, semuanya ini menunjukkan bahwa peradaban politik

Indonesia yang dikembangkan masih belum naik kelas.

Budaya politik yang serbainstan dan nyaris tidak terkait dengan masa depan

bangsa dan negara harus dihentikan sekarang dan untuk selama-lamanya

jika memang Indonesia mau dibangun di atas pilar keadilan tanpa

diskriminasi. Kekuatan sipil yang secara masif telah membantu bangsa dan

negara harus diperlakukan dengan wajar dan proporsional. Tidak perlu

dimanjakan. Sebab, kekuatan ini lahir dan telah berbuat sesuatu yang

sangat strategis untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan menyantuni

manusia telantar, jauh sebelum Indonesia sebagai negara muncul ke peta

dunia.

Mengabaikan kekuatan ini sama artinya dengan membiarkan mereka

terluka, sekalipun mereka tidak akan pernah berhenti beramal untuk

kepentingan sesama. Di tengah pertarungan pragmatisme politik, seorang

negarawan tidak boleh hanyut di dalamnya. Kompas moral wajib selalu

dikedepankan sebagai acuan yang benar. Di luar itu, budaya politik

Indonesia masih akan terus digerogoti virus yang siap mengancam rasa

keadilan publik.

ISIS Menyasar Mahasiswa Al Azhar Kairo

Senin, 10 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/09/nerxok-isis-menyasar-mahasiswa-

al-azhar-kairo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Waspada! Inilah yang bisa disimpulkan ketika membaca laporan investigasi

media As Sharq Al Awsat edisi Kamis pekan lalu, terkait aktivitas para

propagandis ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Mereka bukan hanya

merekrut para pemuda asing dari negara-negara Barat, seperti yang

menjadi perhatian dunia selama ini. Kini para kaki-tangan ISIS juga

langsung menusuk ke jantung dunia Islam: Universitas Al Azhar di Kairo,

Mesir.

Al Azhar merupakan universitas Islam tertua di dunia. Usianya lebih dari

seribu tahun (970 M) dan hingga kini terus berkembang pesat. Jumlah

mahasiswanya berkisar 323 ribu orang dari berbagai negara, termasuk

sekitar 5 ribu mahasiswa dari Indonesia. Ini belum termasuk jumlah siswa di

tingkat SD, SMP, dan SMA yang juga dikelola Al Azhar.

Universitas yang didirikan oleh Panglima Jauhar As Siqilli atas perintah

Khalifah Muiz Lidinillah dari Daulat Fatimiyah ini merupakan salah satu poros

pemikiran Islam, politik, dan ilmu-ilmu agama di dunia. Ia juga menjadi

benteng Ahli Sunnah wal Jamaah yang mempromosikan Islam sebagai

agama yang moderat, teleran, dan rahmatan lil alamim.

Sikapnya yang moderat dan toleran inilah yang kemudian bisa diterima oleh

berbagai pihak. Kini hampir semua negara yang ada umat Islamnya selalu

mengirimkan mahasiswanya untuk belajar ke Al Azhar, termasuk dari

negara-negara Barat.

Moderasi dan toleransi Al Azhar, terutama para alumni dan mahasiswanya,

kini bisa saja „terganggu‟ dengan hadirnya para propagandis ISIS. Para kaki

tangan Abu Bakar Al Baghdadi -- yang telah mendeklarasikan dirinya

sebagai khalifah di Negara Islam di Irak dan Suriah ini --, menurut laporan

media berbahasa Arab yang bermarkas di London, Al Sharq Al Awsat,

muncul di berbagai kawasan yang jadi tempat aktivitas mahasiswa Al

Azhar. Mereka mengendap-endap bagaikan hantu mencari mangsa.

Kawasan Husein, Kairo, adalah salah satunya. Terutama di Masjid Al Azhar

dan Masjid Husein yang berada di kawasan itu. Dua masjid ini posisinya

berseberangan dan tidak jauh dari kantor pusat Al Azhar dan kampus Al

Azhar.

Berikut adalah percakapan singkat di halaman Masjid Al Azhar antara

seseorang yang diperkirakan propagandis ISIS dan „calon mangsanya‟ yang

sempat direkam Al Sharq Al Awsat.

„„Assalamu „alaikum... Perkenalkan, nama saya Ahmad, saudaramu sesama

Muslim. Bolehkah saya berkenalan dengan Anda?‟‟

„„Nama saya Muhammad. Saya belajar di Universitas Al Azhar.‟‟

„„Anda sering datang ke Masjid Al Azhar ini?‟‟

„‟Ya...‟‟

„‟Baiklah, kita bertemu lagi pada waktu yang lain, untuk membela dan

menegakkan agama Islam di muka bumi.‟‟

Seorang yang mengaku bernama Ahmad diduga merupakan propagandis

ISIS. Yang seorang lagi adalah mahasiswa dari Mali yang baru saja

mengikuti pelajaran tambahan di bidang fikih di Masjid Al Azhar.

Menurut investigasi Al Sharq Al Awsat, bila „si mangsa‟ dianggap tak

berkenan, sang propagandis pun menghilang. Namun, bila „si mangsa‟

terlihat menyambut baik maka percakapan akan dilanjutkan di waktu lain.

Bisa melalui pertemuan langsung atau lewat media sosial (facebook, twitter,

dll). Pertemuan atau pembicaraan lanjutan ini bisa saja sampai pada

kesepakatan bagaimana cara dan ditail „si mangsa‟ bisa mencapai Irak atau

Suriah melalui jalan-jalan tikus perbatasan Turki-Suriah.

Selain Masjid Al Azhar, para propagandis Al Baghdadi juga banyak mencari

mangsa di Masjid Husein yang berada di seberang Masjid Al Azhar.

Sasarannya kali ini para pemuda yang kuliah di Al Azhar, baik mahasiswa

Mesir maupun asing. Atau para pemuda Mesir pengangguran yang

„menginap‟ di Masjid Husein.

Al Sharq Al Awsat tidak menjelaskan apakah para propagandis ISIS itu

warga Mesir atau orang asing. Di kawasan Husein bercampur baur manusia

dari berbagai bangsa. Selain terdapat Masjid Husein, Masjid Al Azhar,

kampus Al Azhar, dan kantor pusat Al Azhar, juga terdapat pasar dan jalan

memanjang yang di kanan kirinya bejejer toko-toko penjual berbagai

souvenir khas Mesir.

Namun, berdasarkan sumber intelijen Mesir, di antara para propagandis itu

terdapat orang-orang asing dari berbagai negara yang menyamar sebagai

mahasiswa Universitas Al Azhar. Mereka tinggal di asrama mahasiswa yang

bernama Islamic Student City (Madinatul Bu‟uts Al Islamiyah) di kawasan Al

„Abbasiyah, sekitar 6 km dari kampus Al Azhar. Sekitar 4 ribu mahasiswa

asing tinggal dan berbaur di asrama mahasiswa ini, termasuk mahasiswa

dari Indonesia.

Menurut Al Sharq Al Awsat, mengutip sumber tidak resmi, orang-orang Mesir

yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah berjumlah sekitar seribu

orang. Sedang sumber kemanan Mesir menyebut jumlah 8 ribu orang telah

menjadi anggota ISIS, Alqaida, dan organisasi garis keras lainnya di

sejumlah negara Arab.

Di antara jumlah tersebut bahkan ada yang menjadi pemimpin organisasi

radikal ini, seperti Aiman Al Zawahiri yang menjadi orang nomor satu di

Alqaida, menggantikan Usamah bin Ladin yang telah dibunuh pasukan AS.

Juga empat „ulama‟ Mesir yang kini menjadi referensi hukum atau undang-

undang ISIS.

Mereka adalah Hilmi Hasyim dengan nama alias Syakir Ni‟amullah, Abu

Muslim Al Misri (hakim agung ISIS), Abu Al Haris Al Misri, dan Abu Syu‟aib.

Fatwa-fatwa empat „ulama‟ dari Mesir inilah yang dijadikan dasar hukum

semua sepak terjang ISIS, termasuk diperbolehkannya membunuh,

menyiksa, merampas harta pihak-pihak yang dianggap musuh, dan tindakan

kekerasan lainnya. Pemenggalan kepala wartawan dan warga Barat yang

dipertontonkan di video yang dirilis ISIS juga bersumber dari fatwa-fatwa

mereka ini.

Hingga kini belum belum ada data berapa mahasiswa Indonesia di Mesir

yang telah terpincut dengan para propagandis Abu Bakar Al Baghdadi ini dan

pergi bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Sejauh ini baru Wildan

Mukhollad yang diketahui telah bergabung dengan ISIS dan tewas di Irak

ketika melakukan bom bunuh diri pada awal tahun ini. Wildan, 19 tahun,

berasal dari Lamongan, Jawa Timur, dan diketahui belajar di Dirasah Khosoh

Al Azhar sebelum berangkat ke Suriah dan Irak.

Melihat kondisi seperti itu, seperti yang pernah saya tulis dalam buku „ISIS:

Jihad atau Petualangan‟ yang baru diterbitkan oleh Penerbit Republika

(Pustaka Abdi Bangsa), saya khawatir atas pengaruh negatif ISIS dan

paham radikal lainnya pada para mahasiswa kita di Mesir dan negara-negara

Arab lainnya. Pengaruh itu bukan di kampus, tapi bisa saja didapat di luar

kuliah di universitas. Apalagi sebagian besar aktivitas mahasiswa berada di

luar kampus.

Ini bukan berari kita harus melarang anak-anak muda kita belajar di Timur

Tengah. Yang harus menjadi perhatian kita -- terutama Kedutaan Besar RI

di Mesir, Kementerian Luar Negeri dan Agama, aparat keamanan/intelijen,

DPR, dan para ulama -- adalah memantau dan membina para mahasiswa itu

agar tidak membawa pengaruh negatif/paham radikal ketika pulang ke

Indonesia.

Pahlawan dan Kita

Saturday, 08 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/07/neo60y-

pahlawan-dan-kita

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Apa itu pahlawan?

Siapakah yang pantas menyandang sebutan demikian?

Apakah seseorang harus meninggal terlebih dahulu baru bisa menjadi

pahlawan?

Apakah seseorang harus menjadi tua dulu untuk layak disebut pahlawan?

Bagaimana cara terbaik menghargai jasa pahlawan?

Namanya Mochammat Achiyat. Usianya saat itu baru menginjak 17 tahun.

Remaja ini mungkin tidak mengira tindakannya pada malam 30 Oktober

1945 telah mengubah sejarah Indonesia, dan mewarnai sejarah dunia.

Atas perannya, Brigadir Jenderal Mallaby tewas. Komandan Brigade 49

dengan kekuatan 6.000 Infanteri ini tewas hanya 5 hari setelah

menginjakkan kakinya di Surabaya.

Tewasnya sang jendral memicu kemarahan sekutu yang melancarkan

serangan lebih besar pada 10 November 1945 dan melahirkan hari pahlawan

yang kemudian diperingati setiap tahun.

Surabaya memang akhirnya jatuh, setelah beberapa minggu pertempuran,

tetapi perang di kota ini justru membuka mata sekutu bahwa kekuatan

Indonesia tidak bisa diremehkan.

Tanpa peristiwa Surabaya, mungkin sejarah tidak akan sama. Indonesia

harus menunggu lebih lama untuk mendapat pengakuan kemerdekaan.

Pertempuran di Surabaya adalah perang besar pertama bagi sekutu setelah

perang dunia ke-2 berakhir. Di mana-mana ketika sekutu datang, semua

takut dan tunduk, hanya di Surabaya mereka mendapat tantangan berat.

Lebih buruk lagi, momentum di Surabaya merupakan kekalahan pertama

dan terburuk dalam sejarah sekutu setelah menaklukkan Jerman dan

Jepang. Seluruh pasukan sekutu di Surabaya hampir disapu bersih pada

pertempuran gelombang pertama. Padahal mereka pasukan khusus yang

mempunyai spesialisasi perang kota dan persenjataan berat, dan telah

memenangkan pertempuran melawan Jepang di Birma sampai Semenanjung

Malaya, serta memenangkan perang melawan tentara Jerman di Afrika

Yang lebih memalukan, tidak hanya Mallaby, Inggris juga kehilangan satu

jendral lain, seorang penerbang, dalam pertempuran di Surabaya.

Pertempuran beberapa hari di Surabaya menewaskan prajurit dan jendral

lebih banyak dari perang tahunan di Eropa.

Achiyat, hanya satu dari ribuan pemuda Surabaya yang siap meregang

nyawa demi mempertahankan kemerdekaan.

Bung Tomo, tokoh penggerak perlawanan di Surabaya juga masih sangat

muda ketika itu. Usianya baru menginjak 25 tahun.

Apa yang dilakukan para pemuda Surabaya saat itu sudah memberikan

jawaban pada bahwa kita tidak perlu menunggu tua untuk menjadi

pahlawan.

Lalu apakah menjadi pahlawan harus menunggu kematian menjemput?

Ketika masih hidup, Bung Tomo adalah pahlawan bagi masyarakat

Surabaya, bahkan Indonesia. Ia menjadi sumber inspirasi, motivasi dan

panutan bagi banyak orang. Dengan kata lain, setiap kita mampu menjadi

pahlawan bagi masyarakat tanpa harus menunggu mati.Lalu siapakah yang

layak di sebut pahlawan?

Apakah peristiwa 10 November menjadi hari pahlawan karena jumlah

korban yang tewas?

Tidak, masih ada peristiwa lain seperti bencana alam yang menewaskan

lebih banyak korban.

Peristiwa Surabaya menjadi hari pahlawan bukan karena jumlah korban,

melainkan karena korban-korban tersebut gugur dalam rangka

memperjuangkan hak, membela kemerdekaan, dan mempertahankan

kebebasan.

Perjuangan, satu kata itu yang membuat mereka layak disebut pahlawan.

Lalu bagaimana cara kita menghargai jasa pahlawan?

Mengingat jasa mereka, merupakan hal paling biasa yang dilakukan.

Mendoakan, akan jauh lebih baik.

Tapi yang terbaik adalah meneladani mereka. Karena setiap kebaikan yang

kita lakukan atas inspirasi yang mereka berikan akan menjadi amal jariyah

bagi para pahlawan dan memberi manfaat bagi masyarakat banyak.

Di antara semua pertanyaan di atas, sebenarnya masih tersisa pertanyaan

terpenting.

Apakah Anda ingin menjadi pahlawan?

Pejuang bagi keluarga, bagi anak dan istri?

Bagi masyarakat?

Pahlawan bagi bangsa?

Atau pahlawan bagi peradaban?

Alangkah indah jika hidup tak hanya untuk diri sendiri. Mungkin pilihan

bijak jika rakyat yang kini menikmati kemerdekaan karena jasa para

pejuang, berpikir untuk tidak sekedar mengingat pengorbanan para

pahlawan, tapi juga mulai memantaskan diri menjadi satu dari deret

mereka yang berjuang.

Mobil Amien Rais Ditembak

Jumat, 07 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/06/nemd5o-mobil-amien-rais-

ditembak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Ini cerita lama. AH Nasution, sang jenderal besar, suatu kali berkisah, dalam

sebuah perbincangan di sore hari. Seusai suatu acara di istana, DN Aidit

tiba-tiba meminta berfoto bersama dirinya. Pimpinan tertinggi PKI itu

memanggil para wartawan. Esoknya, foto Nasution bersama Aidit

terpampang di halaman satu koran. Itulah perjumpaan terakhir Nasution

dengan Aidit sebelum terjadi geger besar.

"Mungkin semacam pesan. Kenang-kenangan terakhir," kata Nasution. Pada

30 September 1965 dini hari, segerombolan orang dari pasukan Cakrabirawa

menggeruduk rumah Nasution di Jalan Teuku Umar-lebih tepat rumah milik

mertuanya karena sampai akhir hayatnya ia tak memiliki rumah sendiri.

Mereka memberondongkan tembakan. Nasution diminta kabur oleh istrinya,

Johana Sunarti. Malang tak dapat ditolak, anaknya, Ade Irma (5 tahun),

gugur dalam gendongan.

Cerita ini memang tak simetris. Namun, wajah teror mulai menggelayut.

Pada Kamis (6/11) dini hari, diduga dua orang berboncengan sepeda motor.

Mereka menembakkan senjata dan mengenai mobil milik M Amien Rais.

Sejak reformasi, Amien mengaku sudah tiga kali mendapat teror.

Sebelumnya, dua kali kaca mobilnya dilempar batu. Namun, baru kali ini ada

teror dengan senjata berapi. Amien adalah figur seksi untuk dijadikan

target. Perannya yang cenderung antagonis memudahkan dirinya untuk

dijadikan objek permusuhan.

Hingga kini belum bisa dipastikan siapa pelaku penembakan tersebut. Kita

juga tak bisa sembarang berspekulasi ihwal motif di baliknya. Pelakunya bisa

siapa saja. Bisa saja ini terdesain. Ada orang yang mengail di air keruh,

menciptakan iklim adu domba. Atau, ada orang yang ingin membangun efek

takut pada Amien maupun PAN.

Tak pelak, peristiwa ini mengingatkan peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Amien disebut pernah berjanji, jika Jokowi menang pilpres, Amien akan

berjalan kaki dari Jakarta ke Yogyakarta. Jokowi ternyata menang. Maka ada

orang dari Malang, Giman, yang mengajak Amien untuk jalan kaki bersama

menuju Jakarta. Giman menyambangi rumah Amien, tapi tuan rumah tak

ada di tempat.

Tak hanya itu, sejumlah orang melakukan ruwatan di depan rumah Amien.

Pada titik ini mulai muncul perlawanan. Sejumlah aktivis organisasi

kepemudaan Muhammadiyah melaporkan mereka ke polisi dengan tuduhan

penghinaan, fitnah, dan menciptakan rasa benci serta permusuhan.

Hingga kini belum ada kejelasan kelanjutan pengaduan dari IMM, IPM, PM,

dan Kokam. Apakah kasus penembakan kali ini masih satu rangkaian

dengan dua peristiwa itu? Kita tunggu hasil penyelidikan dan penyidikan

polisi.

Saya sendiri ragu polisi akan menuntaskan kasus ini. Yang pasti, kasus

penembakan ini telah menimbulkan reaksi dari aktivis Muhammadiyah,

bukan hanya PAN. Amien adalah tokoh Muhammadiyah. Ia pernah menjadi

ketua umum ormas keagamaan ini.

Di Koalisi Merah Putih (KMP), Amien Rais hanyalah salah satu tokoh saja. Di

sini ada figur Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, dan

Hidayat Nur Wahid. Figur sentralnya adalah Prabowo karena dia

pengantinnya dan dari partai terbesar kedua di koalisi ini.

Namun, Amien justru yang menjadi sasaran tembaknya. Dia memang yang

tertua, dia juga gemar diwawancara. Pernyataannya artikulatif, tak jarang

bernada sengit. Peran antagonisnya di masa lalu menjadikan Amien mudah

dijadikan musuh bersama. Dialah lokomotif gerakan reformasi. Dia berada di

baris depan melawan rezim Soeharto. Ia pula yang menggagas Poros

Tengah yang berhasil mempresidenkan Gus Dur dengan mengalahkan

Megawati Soekarnoputri sang pemenang pemilu. Namun, Amien pula yang

memiliki peran tak kecil dalam melengserkan Gus Dur dan menaikkan

Megawati untuk menjadi presiden.

Di masa lalu, Muhammadiyah lekat dengan Masyumi. Partai ini memiliki

sejarah perseteruan panjang dengan PNI dan Bung Karno. Perseteruan itu

seolah dibawa terus hingga di era Reformasi, walaupun pada Pilpres 2014

Din Syamsuddin, yang merupakan ketua umum Muhammadiyah, ada

kecenderungan mendukung Jokowi. Karena itu, ia berhasil memasukkan

satu nama untuk menjadi menteri, yaitu Nila Moeloek. Namun PAN, partai

yang didirikan dengan restu resmi dari Muhammadiyah, justru mendukung

Prabowo. Amien adalah pendiri, mantan ketua umum, dan kini ketua Majelis

Pertimbangan Partai PAN.

Perseteruan pendukung Jokowi dan Prabowo hingga kini belum berakhir

benar. Di parlemen muncul pimpinan DPR tandingan-setelah KMP menguasai

pimpinan DPR dan pimpinan komisi serta badan-badan lain di DPR. Di media

sosial, perseteruan itu juga masih sering muncul.

Karena itu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang mendukung Jokowi, kecewa.

Mereka berharap di lembaga wakil rakyat ini mereka ikut diberi tempat. Dari

64 posisi, mereka hanya meminta 16 posisi saja. Namun, tuntutan itu tak

dipenuhi. KIH pun membuat “lelucon serius”, membentuk pimpinan DPR

tandingan.

Sebetulnya, Jokowi dan Prabowo mengusung tema yang sama: kemandirian,

kedaulatan, pemerataan, dan nasionalisme. Yang membedakan mereka

adalah langgam politik, aktor politik, basis dan akar sosial pendukungnya,

serta para penyandang dananya.

Hal ini, misalnya, sangat berbeda dengan persaingan Demokrat dan Republik

di Amerika Serikat atau Liberal dan Buruh di Australia. Mereka memiliki visi

yang berbeda. Karena itu, siapa pun yang menang-Jokowi atau Prabowo-

adalah kemenangan kaum nasionalis. Ini akan banyak mengubah lanskap

Indonesia ke depan karena berbeda dengan masa Orde Baru maupun masa

SBY.

Semua pihak harus menanggalkan sentimen masa pilpres dan bergerak

maju menuju cita-cita. Saat ini Indonesia sedang memasuki periode emas.

Indonesia sedang memasuki masa surplus demografi yang banyak

membawa keuntungan. Peta geoplitik dan geoekonomi juga sedang berada

di Asia Pasifik. Momentum seperti ini tak datang dua kali. Dalam periode ini,

Indonesia akan menghadapi pilihan untuk mewujudkan revolusi sosial dan

revolusi ekonomi atau kita terjebak pada oligarki elite di segala bidang.

Kita harus mengawal pemerintahan Jokowi agar tetap di visi awal. Jangan

biarkan dia dibajak kaum komprador dan dikendalikan elite politik maupun

para penyandang dana. Pertarungan politik sudah selesai. Pertarungan

sesungguhnya ada di level ekonomi.

Kita tahu, sebelum tragedi G30S/PKI, teror politik sering terjadi. Tokoh-

tokoh oposisi mendapat teror fisik maupun mental. Presiden Sukarno pun

berkali-kali mendapat serangan mematikan. Kita tak ingin sejarah berulang.

Masjid Cordova

Kamis, 06 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/05/neka26-masjid-cordova

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Ingat Cordova, pastilah ingat Andalusia—Spanyol sekarang. Tapi Cordova

yang satu ini bukan terletak di Spanyol, tapi di Slovakia, Eropa Tengah.

Meski beda lokasi, hal yang pasti sama adalah keduanya terkait dengan

Islam. Walaupun demikian, Cordova Spanyol pernah menjadi simbol

kejayaan Islam di Eropa Barat, sedang Cordova, di Bratislava, Ibu Kota

Slovia, masih bakal menempuh perjuangan panjang dan sulit untuk

pengakuan eksistensial Islam dari negara.

Kulturne Centrum Cordova, pusat kebudayaan Islam Cordova, sekaligus

merupakan satu-satunya „masjid‟ di Bratislava. „Masjid‟ harus diletakkan

dalam tanda kutip karena bangunannya bukanlah masjid seperti yang biasa

dikenal. „Masjid‟ Cordova ini tidak lain adalah „apartemen‟ berlantai dua;

lantai bawah terdapat ruangan yang biasa dibuat menjadi enam shaf,

dengan masing-masing shaf bisa diisi sekitar delapan jamaah. Kemudian

ruang atas dengan sekitar empat shaf. Walhasil, dalam kalkulasi penulis

Resonansi ini ketika melaksanakan ibadah Jumat di „masjid‟ Cordova pada

akhir Oktober lalu (31/10), ruangan „masjid‟ ini nampaknya bisa

menampung sekitar 60-an jamaah.

Atas dasar kenyataan ini, menurut berbagai laporan media Eropa, Slovakia

merupakan satu-satunya negara di benua ini yang tidak memiliki masjid.

Lukas Ondercanin misalnya, dalam artikelnya “Muslim Community Believes,

Even Without Mosque‟ (The Slovak Spectator, 28 Oktober 2013)

menyatakan, Slovakia kini satu-satunya negara di Uni Eropa yang tidak

memiliki satu masjid pun.

Muhammad Safwan Hasna (44 tahun), Ketua Yayasan Islam Slovakia

(didirikan pada 1999) yang mengelola Kulturne Centrum Cordova

menyatakan kepada delegasi Dialog AntarAgama Indonesia telah cukup lama

mengajukan izin pembangunan sebuah masjid, karena lahannya sudah

tersedia di Patronka, di pinggir pusat kota Bratislava, sejak beberapa tahun

lalu.

Untuk mendapatkan izin pembangunan, harus ada persetujuan 20 ribu

warga setempat di mana masjid akan dibangun. Mereka ini umumnya adalah

penganut Katolik yang tidak selalu memiliki persepsi benar dan akurat

terhadap Islam dan kaum Muslimin. Safwan menjelaskan, pengurus Cordova

berusaha menjalin hubungan baik dengan pimpinan gereja Katolik, tetapi

tidak selalu berhasil. Masjid Cordova misalnya mengundang pimpinan gereja

dalam kesempatan iftar (berbuka puasa bersama, namun respon mereka

tidak seperti yang diharapkan.

Dengan keadaan seperti ini, tidak mudah mendapat persetujuan mereka—

apalagi untuk mendirikan masjid. Selain itu, penyebab utama tidak turunnya

izin pembangunan masjid juga terkait dengan kenyataan, belum adanya

pengakuan pemerintah Slovakia terhadap Islam sebagai agama terdaftar

yang juga dianut sebagian warganya. Sejauh ini hanya Katolik bersama

puluhan denominasi Kristianitas lain dan agama Yahudi yang telah lama

terdaftar dan dengan demikian mendapat pengakuan negara.

Populasi Muslim di Slovakia memang sedikit. Dari sekitar 5,4 juta penduduk

Slovakia, sekitar 62 persen adalah Katolik; 12 persen Protestan dan

denominasi Kristen lain. Kaum Muslim menurut Yayasan Islam berjumlah

sekitar 5.000an; sedangkan Pew Research Institute (2013) memperkirakan

sekitar 10.600 orang.

Menurut Imam Hasna, sejak abad 9 Masehi Islam sudah sampai ke Slovakia,

dibawa para pedagang. Kemudian sepanjang abad 16-17 Slovakia dikuasai

Dinasti Turki Utsmani. Merupakan wilayah dengan penganut Katolik yang

teguh, sepanjang masa ini, nampaknya tidak terjadi konversi penduduk lokal

ke dalam Islam. Karena itu, kebanyakan warga Muslim adalah keturunan

Albania dan Bosnia. Belakangan juga terdapat sejumlah Muslim asal Arab

dan Asia Selatan.

Kalangan Muslim aktivis berusaha memperkenalkan Islam dalam bahasa

Slavik, misalnya melalui majalah Islam yang pertama kali diterbitkan pada

1937. Tetapi sejak akhir Perang Dunia II, rejim komunis tidak membenarkan

keagamaan apapun. Meski demikian, pada 1972, seorang akademisi, Ivan

Hrebek menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Czech—yang juga

dipahami warga Slovakia; belakangan Hrbek dilaporkan memeluk Islam.

Meski Islam belum merupakan agama terdaftar, Imam Hasna yang hijrah

dari Syria untuk pendidikan tingginya menyatakan, kaum Muslimin Slovakia

tidaklah tertindas. Sebaliknya, mereka menikmati kebebasan yang bahkan

tidak mereka temukan di negara berpemerintahan Muslim di Timur Tengah

dan Asia Selatan.

Walaupun demikian, kaum Muslimin Slovakia bukan tidak jarang menjadi

sasaran kecurigaan pemerintah dan kalangan masyarakat lokal. Berbagai

peristiwa kekerasan dan teror yang melibatkan para pelaku Muslim,

membuat upaya mereka memperkenalkan wajah Islam yang damai sangat

sulit. Penangkapan seorang remaja laki-laki (14 tahun) di Bandara Vienna

sehari sebelumnya (30 Oktober) yang terduga membawa bom, “membuat

kami ketar-ketir”, ujar Hasna.

Hasna menyesalkan kalangan Muslim yang konon ingin „memperjuangkan‟

Islam, tetapi dengan cara-cara yang justru merusak citra Islam dan kaum

Muslimin. “Dengan tindakan seperti itu, mereka bukan menolong Islam dan

kaum Muslim, tetapi sebaliknya mencemarkan agama Allah”.

Tukang Cat Tuesday, 04 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/03/neh0m1-tukang-cat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sampai Sabtu, 1 November 2014, tukang cat ini telah bekerja di rumah

kami di Nogotirto, Yogyakarta, selama tiga minggu, sekalipun tidak

semuanya bisa masuk penuh. Inisialnya adalah W, M, S, dan D.

Pekerjaannya sangat rapi, tertib, dan fokus. Di antara keempatnya, M

adalah yang paling menarik. Bawaannya lucu dan ceria. Tubuhnya kurus,

rambut panjang. Saya memanggilnya seniman.

Sepeda motor Yamaha M keluaran 1977 persis sama dengan tahun

kelahirannya. Warna merah, STNK-nya sudah tidak diurus lagi. Di saat

kondisi motornya masih agak baik, pernah ditangkap polisi, lalu dibayar Rp

90 ribu. Lepas.

Tetapi setelah tua renta, masih ditangkap lagi karena pelanggaran lalu

lintas. Minta uang rokok. Karena tidak punya uang, polisi melepaskan begitu

saja. Mungkin ada rasa iba melihat sepeda yang sudah berusia hampir 40

tahun itu. Rem tangan tidak ada, kabel-kabelnya seperti berkeliaran tak

teratur, tetapi fungsional. Spionnya tanpa kaca. Katanya kecepatan tertinggi

masih sekitar 60 km per jam.

Di atas sadel sepeda tua inilah M hilir mudik sebagai pekerja harian, entah

untuk berapa lama lagi. Tetapi tuan dan puan harus bangga, mereka ini

adalah anak-anak bangsa sebagai pekerja keras dengan penghasilan UMR

(upah minimal regional).

Adapun pemberi kerja yang baik hati, pasti diberi tambahan dan bonus. M

pernah bekerja di Kalimantan dan Jakarta, sekarang tidak boleh oleh

mertuanya pergi terlalu jauh. Karena terlambat kawin, M baru punya anak

satu. Dia memang berjanji belum akan berumah tangga sampai ibunya

sembuh dari sakitnya. Adapun W, S, dan D berpenampilan kalem tetapi

kadang-kadang dengan kocak menggoda M dengan kalimat-kalimat jenaka.

Kami pun tertawa bersama. Saya menikmati bergaul dengan mereka.

Pembicaraan lepas kami tidak pernah menyinggung DPR atau anggotanya

yang angkat meja karena berseteru. Andaikan disinggung, mereka

tampaknya tidak berminat, bikin pusing kepala saja. Apalagi ada DPR

tandingan yang baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Indonesia

merdeka. Konsentrasi mereka adalah pada pekerjaan yang ditekuninya,

demi melangsungkan hidup berkeluarga. Disiplin kerja tukang cat ini

demikian tinggi. Saya salut pada mereka semua.

Sejak hari-hari terakhir ini, W membawa burung tacer jawa (semacam

murai) ke tempat kerja yang baru dibeli dua bulan lalu. Kicauannya yang

tanpa henti menjadi hiburan bagi mereka dalam suasana panas yang

menyengat.

Burung dengan warna hitam putih itu itu seperti tak mengenal susah,

sekalipun terkurung dalam sangkar. Kerjanya melompat ke sana kemari

sambil bernyanyi. Suaranya jauh lebih merdu dibandingkan nyanyian

sumbang sebagian anggota DPR dalam suasana peradaban politiknya yang

masih rendah. Kicauan burung adalah untuk hiburan pendengarnya, suara

anggota DPR yang lantang tetapi culas menyakitkan telinga rakyat.

Sesekali para tukang ini saya ajak makan siang bersama dengan suguhan

gulai dan satai kambing masakan Jawa yang terkenal. M tidak ikut, takut

kepalanya terganggu. Bisa pening katanya. Ke warung Padang, dia mau

sekali. Semuanya tidak ada yang pantang.

Makan bersama dengan para tukang ini sungguh menyenangkan.

Suasananya egaliter, tanpa ada sekat sama sekali. Sebagai anak kampung,

saya adalah bagian dari mereka. Tetapi, saya tidak kuat bekerja fisik seperti

mereka yang tahan banting itu. Mereka mesti disapa dan disantuni dalam

batas-batas kemampuan kita.

Tanpa mereka, banyak sekali keperluan hidup ini yang akan terbengkalai.

Para pekerja adalah tiang ekonomi yang sangat vital bagi desa dan kota.

Jika mereka bekerja dengan penuh keceriaan, itu adalah pertanda mereka

senang. Panas terik seperti dibawa lalu saja, karena hatinya gembira. Maka

adalah sebuah kemuliaan sekiranya bos-bos besar perusahaan menyapa

para pekerjanya dengan sapaan kemanusiaan yang tulus yang dapat

mempertalikan hati dengan hati. Semoga demikian!

Bravo Swedia!

Senin, 03 November 2014, 16:32 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/03/negiik-bravo-swedia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Awal Oktober lalu masyarakat internasional dikejutkan dengan pengumuman

Swedia yang akan segera mengakui Palestina sebagai sebuah negara

merdeka dan berdaulat. Pengumuman itu disampaikan Stefan Lofven dalam

pidato pelantikannya sebagai Perdana Menteri (PM) Swedia yang baru di

depan parlemen pada 3 Oktober 2014. Lofven menggantikan PM

sebelumnya, Fredrik Reinfeldt, yang telah berkuasa selama delapan tahun.

Keterkejutan masyarakat internasional itu lantaran „tidak ada angin dan

tidak ada hujan‟ tiba-tiba Sang PM Swedia yang baru dilantik itu mendukung

penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Apalagi ia

tak sedang mengumbar janji-janji pemilu. Keterkejutan yang kemudian

mengundang pertanyaan atau tepatnya keraguan, apakah pengumuman itu

benar-benar akan dilaksanakan?

Pertama, sebagai negara anggota Uni Eropa, politik luar negeri Swedia tentu

akan segaris lurus dengan negara-negara Eropa lainnya, atau minimal

sehaluan dengan negara-negara Eropa Barat yang selama ini mempunyai

pengaruh besar terhadap stabilitas di kawasan Timur Tengah. Dalam hal

konflik Israel-Palestina, negara-negara Eropa pada umumnya cenderung

mendukung kepentingan negara dan bangsa Israel.

Kedua, selama ini peran Amerika Serikat (AS) dan masyarakat Zionis

internasional sangat kuat mempengaruhi politik luar negeri Uni Eropa,

terutama terhadap negara-negara di Timur Tengah. Ketiga, Swedia boleh

dikatakan tidak mempunyai kepentingan yang berarti dengan negara-negara

Arab. Sebagai misal, Swedia merupakan negara yang paling minim

mengambil keuntungan ekonomi dalam hubungannya dengan dunia Arab

dibadingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Negara-negara Arab tidak

termasuk 10 besar patner bisnis Swedia.

Keempat, di Swedia tidak ada masyarakat Arab yang bisa memberi

pengaruh atau kekuatan menekan kepada pemerintah negara itu. Kelima,

Swedia termasuk negara kaya. Jumlah penduduknya hanya sepertiga

keseluruhan warga Arab Saudi, namun besaran APBN kedua negara hampir

sama. Dengan begitu ia tidak perlu bantuan dari negara lain, terutama dari

negara-negara Arab.

Karena itu, ketika Swedia -- lewat menteri luar negerinya, Margot Wallstrom

-- pada 30 Oktober lalu benar-benar mengakui kemerdekaan dan kedaulatan

negara Palestina, kita pun perlu mengacungkan jempol, seraya

meneriakkan, „‟Bravo Swedia!‟‟

Menurut Wallstrom, pengakuan resmi negaranya terhadap kemerdekaan dan

kedaulatan negara Palestina merupakan sumbangan bagi masa depan yang

lebih baik di kawasan yang telah lama diwarnai kehancuran dan frustasi. Ia

mengatakan pengakuan terhadap negara Palestina karena mereka telah

memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara berdasarkan hukum

internasional. Yaitu: ada wilayah, rakyat, dan pemerintah.

Wallstrom menolak reaksi AS yang mengatakan sikap negaranya terlalu

cepat. Sebaliknya, ia justeru menegaskan pengakuan terhadap

kemerdekaan dan kedaulatan negara Palestina sudah sangat terlambat.

Karena itu, Wallstrom pun berharap sikap negaranya akan diikuti oleh

negara-negara Eropa lainnya.

Sebelum pengakuan ini pun, Swedia sebenarnya telah menunjukkan

pembelaannya terhadap nasib bangsa Palestina. Salah seorang perdana

menterinya, Sven Olof Joachim Palme (30 Januari 1927-28 Februari 1986),

beberapa kali mengecam kebiadaban Zionis Israel terhadap bangsa

Palestina. Ia pun tewas ditembak menjelang tengah malam pada 28 Februari

1986.

Kini Swedia telah melangkah lebih jauh lagi, yaitu mengakui secara resmi

kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Pengakuan ini jelas merupakan

peringatan keras kepada PM Israel Benjamin Netanyahu, bahwa para

pemimpin dunia yang „waras dan mempunyai hari nurani„ seperti halnya PM

Swedia Stefan Lofven akan selalu menentang kesewenang-wenangan Zionis

Israel. Pemimpin seperti Lofven tidak akan bisa ditekan oleh siapa pun,

termasuk intimidasi yang sering dilakukan oleh lobi-lobi Zionis

internasional.

Sejauh ini Swedia merupakan negara maju pertama anggota Uni Eropa yang

mengakui kemerdekaan Palestina. Sedangkan negara lain di Eropa yang

sudah mengakui kemerdekaan Palestina adalah Islandia, Malta, dan Siprus.

Namun, ketiga negara ini merupakan negara kecil yang tidak banyak

pengaruhnya dalam percaturan politik dunia.

Kini Swedia masuk dalam jajaran 135 negara yang telah mengakui

kemerdekaan Palestina. Pengakuan yang diharapkan bisa segera

merealisasikan kemerdekaan Palestina yang berdaulat di wilayah Tepi Barat

dan Gaza. Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Palestina ini juga

sekaligus sebagai kekuatan penekan kepada Israel untuk segera mengakui

negara Palestina.

Tanpa pengakuan terhadap negara Palestina, PM Benjamin Netanyahu dan

penguasa Israel selanjutnya akan terus menjajah wilayah Palestina dan

menjadikannya sebagai bagian dari Israel. Watak bangsa Israel yang

ekspansionis hanya bisa diberhentikan dengan kekuatan besar dari

masyarakat internasional. Pengakuan internasional ini sekaligus

membuktikan bahwa Negara Palestina betul-betul ada dan eksis di muka

bumi, sehingga Zionis Israel tidak bisa berbuat semena-mena terhadap

bangsa dan negara Palestina.

Bila mereka terus menjajah dan tidak mengakui kemerdekaan Palestina,

maka mereka akan berhadapan dengan kekuatan masyarakat internasional.

Inilah arti penting dari pengakuan Swedia dan bangsa-bangsa waras lainnya

terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Sekali lagi, bravo Swedia!

Sumpah Pemuda dan Bola Indonesia

Sabtu, 01 November 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/31/neb6a4-sumpah-pemuda-dan-bola-

indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Bukan harapan semu jika bangsa Indonesia menaruh harapan agar tim

sepak bola U-19 bisa sampai ke jenjang tertinggi Piala Dunia U-20. Harapan

ini tentu saja beralasan karena kesebelasan yang dilakoni pemuda Indonesia

ini sudah pernah mengukir sejarah dengan meraih juara AFF U-19 tahun

2013.

Tidak hanya mencapai juara, asuhan Indra Sjafri ini bahkan berhasil

memecah kebuntuan prestasi Indonesia di ajang sepak bola. Puasa gelar

selama lebih dari 22 tahun bagi Indonesia telah diakhiri Evan Dimas dan

kawan-kawan.

Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Tim U-19 harus bertekuk lutut dalam

babak kualifikasi tanpa memperoleh kemenangan sekali pun. Hilang sudah

harapan Indonesia? Tidak, Indonesia tidak hilang harapan. Tanah Air

tercinta masih punya banyak kesempatan.

Timnas U-19 mungkin tidak berhasil menembus U-20 tahun depan, tetapi

masih ada banyak kompetisi lain yang bisa mereka lakoni. Selain itu tak

terhitung generasi muda yang meniti karier dan ingin berprestasi juga

seperti mereka.

Potensi anak muda di Indonesia begitu banyak. Masalahnya seberapa kita

memberi jalan bagi mereka?

Saya teringat ketika Juventus datang ke Indonesia. Tidak main-main, tim

juara Seri A Italia tersebut mendatangkan pemain-pemain super sekelas

Pirlo, Buffon, dan lain-lain yang sudah malang melintang di dunia sepak bola

internasional.

Kalau ada yang kemudian saya sayangkan atas kedatangan mereka adalah

mengapa bukan U-19 yang diturunkan untuk menghadapi? Jika bukan

timnas senior, U-19 adalah lawan paling tepat untuk kepentingan masa

depan sepak bola di Tanah Air.

Alih alih mereka, justru saat itu orang asing yang bermain di Indonesia yang

mendapat kesempatan emas bertanding melawan Juventus. Ketika gawang

Buffon dijebol dalam waktu teramat singkat, sejarah tersebut tidak diukir

bangsa Indonesia melainkan pemain asing yang sedang bermain di

Indonesia.

Sayang sekali, peluang sedemikian berharga sebagian justru diberikan

kepada pihak asing. Padahal anak bangsa begitu dahaga atas kesempatan

serupa. Bermain dengan tim papan atas Eropa jelas merupakan pengalaman

langka.

Karena itu saya sangat mengerti ketika sang pelatih membawa U-19 ke

Spanyol. Hanya saja di sana mereka tidak bisa bertemu pemain senior kelas

A, hanya kelas B atau bahkan C, sebab memang sangat sulit untuk bisa

bertanding dengan tim kelas A di Eropa.

Kejadian ini kembali mengantarkan saya pada penyesalan, sekali lagi,

mengapa kedatangan Juventus tidak diberikan pada timnas atau U-19 atau

setidaknya untuk anak bangsa.

Sementara menilik ke belakang, pemuda Indonesia adalah bangsa yang

mempunyai darah kepeloporan. Sumpah Pemuda, misalnya, dicanangkan

oleh pemuda di Tanah Air yang usianya tidak jauh berbeda dengan para

pemain U-19. Usia para penyelenggara Sumpah Pemuda ketika itu bervariasi

antara 19 hingga 30 tahunan.

Bahkan buku "Gara-Gara Indonesia" karya Agung Pribadi mengungkapkan,

salah satu peserta kongres dari Jong Sulawesi, Johanna Tumbuan, masih

berusia 18 tahun ketika mengikuti. Sama dengan usia rata-rata anggota

timnas U-19, generasi muda yang punya semangat mengharumkan nama

bangsa. Mereka sudah membuktikan dan masih punya kesempatan lagi

untuk membuktikan. Di bawah U-19 masih banyak remaja dan anak-anak

yang juga ingin mengharumkan nama Indonesia melalui sepak bola.

Tidak berhenti di sepak bola, sebagian anak muda berjuang mengharumkan

nama bangsa di Asian Games yang baru saja berlalu. Beberapa keping

medali emas berhasil dibawa pulang, juga perak dan perunggu.

Prestasi yang sangat membanggakan, tapi tidak disambut antusias segenap

bangsa. Tidak ada antusiasme ketika mereka pulang, tidak ada sambutan

gegap gempita, tidak banyak pemberitaan. Seolah tidak ada bedanya

mereka pulang dengan menyabet emas atau tanpa apa-apa. Miris.

Seharusnya seluruh lapisan memberi apresiasi yang pantas bagi perjuangan

anak-anak muda di Tanah Air. Juga membuka sebanyak-banyaknya

kesempatan atas berbagai peluang yang ada. Prestasi yang menurun bisa

jadi merupakan teguran untuk bangsa.

Tugas segenap pihak di Tanah Air untuk terus memberi dukungan penuh

atas segala usaha dan jerih payah pemuda kita demi menjadikan Indonesia

bercahaya, hingga mereka tahu mereka tak sendiri berjuang.

Kabinet Kerja Keras

Friday, 31 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/30/ne9ma2-kabinet-kerja-keras

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Hari itu, Rabu (22/10), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar jumpa

pers di halaman belakang Istana Merdeka. Di bawah pohon trembesi. Inilah

jumpa pers perdana. Jumpa pers yang ganjil. Ia tidak didampingi Wakil

Presiden Jusuf Kalla.

Saat itu, publik sedang menunggu pengumuman susunan kabinet. Jokowi

hanya menyebutkan bahwa ada delapan nama calon menteri yang masuk

daftar merah KPK dan PPATK sehingga pengumuman kabinet belum bisa

dilakukan. Namun, ada satu hal yang menarik dalam jumpa pers yang

sangat singkat itu, Presiden didampingi Panglima TNI, tiga kepala staf

angkatan, Kepala Polri, dan Kepala BIN. Bahkan, Panglima TNI dan KSAD

mengenakan baret.

Hari itu memang ada eskalasi politik di sekitar kekuasaan. Muncul beragam

rumor. Para wartawan yang bertugas di istana, pada sore harinya, bahkan

bergerak ke Tanjung Priok. Mereka dalam koordinasi istana. Pasukan

Pengamanan Presiden juga bersiap-siap. Panggung dan tata cahaya

disiapkan. Katanya, akan ada pengumuman susunan kabinet pada malam

itu.

Rumor berseliweran. Sehari sebelumnya, Wapres bertemu pemimpin oposisi

Prabowo Subianto, ketua umum Gerindra. Wapres juga bertemu Aburizal

Bakrie, ketua umum Golkar, dua hari berikutnya. Di lingkungan PDIP dan

seputar Megawati Soekarnoputri juga ada dinamika.

Dinamika yang sama terjadi di partai pengusung lainnya. Tentu saja,

kelompok-kelompok kepentingan yang berada dalam barisan pendukung

Jokowi-JK juga ikut ramai. Sesuatu yang wajar. Mereka sedang bertarung

dalam perebutan kursi di kabinet. Drama yang cukup panjang, bahkan

cenderung panas.

Akhirnya, pada Ahad (26/10) sore, Presiden mengumumkan susunan

kabinet. Ada 34 menteri. Sama dengan jumlah menteri era SBY periode

kedua. Reaksi pasar dan publik relatif datar terhadap susunan kabinet. Tidak

jelek, tapi juga tidak bagus-bagus amat. Sebuah reaksi yang spontan.

Tentang kualitas yang sesungguhnya hanya bisa dibuktikan oleh kinerja.

Kita butuh waktu untuk menilai dengan objektif. Beri kesempatan kepada

mereka untuk bekerja.

Paling banter kita hanya pada taraf menilai berdasarkan statistik dan hal-hal

yang sifatnya kasat mata. Ada menteri-menteri yang ditempatkan tak sesuai

keahliannya, bahkan cenderung 'tertukar' --mirip judul serial sinetron “Putri

yang Ditukar”.

Kehadiran Ryamizard Ryacudu (kelahiran 1950) sebagai menteri pertahanan

yang lebih senior dari Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno (kelahiran

1952) merupakan catatan tersendiri. Jumlah menteri perempuan merupakan

yang terbanyak dalam sejarah, sebuah pertanda bagus. Latar belakang sipil-

militer, agama, persebaran usia, latar belakang pendidikan (kecuali

kehadiran Susi Pudjiastuti), dan persebaran provinsi relatif sama dengan

susunan menteri kabinet SBY yang kedua. Relatif lambatnya pengumuman

menunjukkan tak mudahnya Jokowi menyusun kabinet. Ini karena Jokowi

bukan figur sentral di partainya.

Tim ekonomi terlihat tak begitu solid. Ada terlalu banyak warna. Visi Trisakti

tak begitu menonjol. Bahkan, ada menteri yang masuk kategori neolib,

sebuah pandangan ekonomi yang berseberangan dengan Trisakti yang

menjadi ideologi PDIP.

Selain itu, ada menteri-menteri yang di lapangan bisa masuk dalam satu

rangkaian dalam proses perizinan, tapi berasal dari partai yang sama. Hal ini

sangat berbahaya, rawan vested interest, dan tak menciptakan

mekanisme checks and balances. Duduknya orang-orang partai di

kementerian-kementerian tertentu juga mengundang kecurigaan ada

agenda kepartaian.

Alotnya penyusunan kabinet juga bukan semata faktor pertarungan partai di

pemerintahan, melainkan juga karena hadirnya kelompok-kelompok

kepentingan. Duduknya orang-orang itu di pemerintahan, pada akhirnya, tak

lepas dari siapa pengusulnya-mirip oligarki.

Yang paling menonjol dari kabinet ini adalah hadirnya figur-figur gila kerja

(workaholic), seperti Susi Pudjiastuti (menteri kelautan dan perikanan),

Rudiantara (menkominfo), Ignasius Jonan (menhub), Anies Baswedan

(menteri kebudayaan pendidikan dasar dan menengah), dan Siti Nurbaya

(menteri lingkungan hidup dan kehutanan). Kita berharap masih ada figur-

figur lain yang pekerja keras seperti mereka-kita masih butuh informasi lagi

soal ini.

Hal ini sesuai dengan nama kabinet yang diumumkan Jokowi: Kabinet Kerja.

Nama ini meleset dari perkiraan sebelumnya bahwa kemungkinan bernama

Kabinet Trisakti. Namun, dua nama ini sama-sama dinisbahkan pada Bung

Karno. Kabinet Kerja adalah nama yang digunakan Bung Karno dalam masa

Demokrasi Terpimpin, mulai 1959. Tiga kabinet kerja (I, II, dan III) dipimpin

Djuanda Kartawidjaja, sedangkan Kabinet Kerja IV dipimpin Subandrio.

Bung Karno menamakan kabinet kerja karena dipimpin oleh profesional dan

umumnya berisi orang-orang nonpartai.

Kehadiran figur-figur pekerja keras akan menjadi warna pemerintahan

Jokowi. Mereka akan lari cepat, birokrasi harus mengikuti irama sang

menteri. Mereka akan fokus pada target. Mirip dengan cara kerja institusi

bisnis. Kata-kata Jokowi saat mengenalkan menteri untuk “berlari” menuju

barisan merupakan sinyal kuat soal itu.

Perbedaan politik, visi pembangunan, bahkan pertarungan saat penyusunan

kabinet diharapkan akan tenggelam oleh capaian-capaian kinerja para

menteri. Figur-figur pekerja keras juga biasanya akan pragmatis dan

moderat selama tak mengganggu target. Hal ini akan mengurangi friksi

dengan parlemen, yang kali ini dikuasai oposisi.

Asal mereka tak terpeleset pada komunikasi politik, tak tersandung

birokrasi, dan bisa menghindar dari aspek personalitas yang negatif, maka

kabinet ini akan sesuai namanya, yaitu Kabinet Kerja. Kita lihat dalam tiga

bulan ke depan, setelah itu baru kita memberikan penilaian.

Kajian Islam CUHK (1) Kamis, 23 Oktober 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/22/ndurfj-kajian-islam-cuhk-1

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Sino-Islamic cultural sphere, ranah budaya Islam Cina yang secara

sederhana mencakup seluruh kawasan Asia Timur, dalam kerangka yang

saya bangun, adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam secara

keseluruhan. Tujuh ranah budaya Islam lain: Nusantara (Asia Tenggara),

Anak Benua India, Persia (Iran), Arab, Turki, Afrika Hitam (Sub-Sahara

Afrika), dan belahan dunia Barat (Western hemisphere).

Setiap ranah budaya Islam memiliki distingsi sendiri dalam ekspresi sosial,

budaya dan politik, dan pengamalan keislaman. Karakter dan distingsi ranah

budaya Sino-Islamic menjadi subjek pembicaraan penulis “Resonansi” ini

dalam ceramah di Chinese University of Hong Kong (CUHK) pada 8 Oktober

2014 lalu.

Distingsi itu, misalnya, paling terlihat jelas dalam arsitektur masjid khas

Cina berwarna merah yang bukan tidak mirip “kelenteng”. Ceramah agama,

khutbah Jumat, bacaan al-Fatihah, dan doa dalam bahasa Arab ketika shalat

terasa kental dengan aksen vernakular-bahasa lokal.

Lebih jauh, kolega saya dari Universitas Hawaii, Profesor Dru Gladney, yang

merupakan salah satu pakar paling terkemuka tentang Islam Cina,

menyatakan, pusat sosial-keagamaan Muslim Cina selain masjid adalah

kuburan pendahulu. Hal terakhir ini terkait dengan tradisi budaya

masyarakat Cina secara keseluruhan yang sangat menghormati para leluhur.

Sejarah dan tradisi Sino-Islamic sangat panjang. Kaum Muslimin Cina

daratan (mainland) memiliki “ingatan bersama” (collective memory), Islam

sudah menyebar dan berakar kuat di Kanton (kini Guangzhou) dan Pulau

Hainan sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi.

Menurut mereka, Islam dibawa seorang “Saad” yang konon sahabat Nabi

Muhammad. Beberapa waktu lalu saya pernah bertanya kepada pemimpin

Muslim di Guangzhou dan Xi'an, apakah “Saad” itu adalah Saad ibn Abi

Waqqas, mereka tidak bisa menjawab atau memastikannya.

Adanya eksistensi Sino-Islamic sejak abad ke-8 Masehi tampaknya menjadi

dasar bagi munculnya teori Slamet Muljana dalam “Runtuhnya Kerajaan

Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Nusantara” (1968) bahwa

sedikitnya enam orang Wali Songo adalah keturunan ulama Cina. Sebagai

konsekuensinya, Islam Indonesia juga berasal dari Cina. Ia juga

berpandapat, pendiri dan beberapa raja Kerajaan Demak adalah Muslim

keturunan Cina.

Teori Slamet Muljana jelas sangat kontroversial dan karena itu ditolak

banyak sejarawan dan ahli sejarah Islam Indonesia seperti Profesor HAMKA.

Memegangi teori tentang asal usul Islam Indonesia dari Mesir, HAMKA

menolak teori Slamet Muljana. Di tengah suasana masih kuatnya sentimen

anti-Cina-terkait G30S/PKI yang dihubungkan dengan Republik Rakyat Cina

(RRC), pemerintah Orde Baru melarang penerbitan dan pengedaran buku

tersebut.

Bagi penulis “Resonansi” ini yang memperkenalkan teori “mata air” tentang

asal usul Islam Nusantara, sangat boleh jadi Islam juga datang dari Cina-

sebagai sebuah “mata air”. Hal ini sama halnya dengan adanya “mata air”

lain seperti Kelantan, Benggali, Persia, dan Mesir. Tetapi, “mata air” paling

besar adalah dari Arabia yang mencakup Irak, Yaman, sampai Makkah dan

Madinah.

Jadi, dengan adanya sejumlah bukti tentang hubungan Islam Cina dengan

Islam Nusantara, bukan tidak mungkin sebagian penyiar Islam juga datang

dari wilayah Cina ke Nusantara. Hal sangat mungkin karena adanya

hubungan pelayaran dan kehadiran pengembara Cina seperti Laksamana

[Muhammad] Cheng Ho di sejumlah pelabuhan di kepulauan Nusantara.

Dengan adanya wilayah dan tradisi Sino-Islamic yang begitu panjang,

penulis “Resonansi” ini dalam ceramah dan diskusi di CUHK berpendapat,

pembentukan Islamic studies di universitas ini sangat tepat. Selain itu,

perkembangan dan dinamika Islam, baik di Hong Kong sendiri dan wilayah

daratan Cina serta dunia internasional lebih luas, memerlukan pengetahuan

dan pemahaman lebih baik dan lebih akurat tentang Islam dan masyarakat

Muslim.

Karena itu, the Islamic Studies Initiative (ISI, Inisiatif Kajian Islam) yang

diluncurkan di CUHK pada September 2013 merupakan langkah sangat tepat

dan sudah lama ditunggu. Inisiatif ini merupakan hasil dari persetujuan

antara CUHK yang diwakili Research Institute for the Humanities (RIH CUHK)

dengan Islamic Cultural Association (ICA) Hong Kong. Pihak terakhir ini

bertanggung jawab menyediakan dana yang diperlukan untuk pembentukan

dan penguatan Kajian Islam di CUHK.

Dalam bacaan penulis “Resonansi” ini, kerja sama seperti ini agak jarang

terjadi. Pada satu pihak terdapat universitas (CUHK) yang bertumpu pada

pengajaran dan penelitian akademik ilmiah, sedangkan pada pihak lain

adalah ICA yang merupakan organisasi keagamaan, dakwah, dan sosial-

budaya Islam yang bergerak di atas ukuran normatif Islam. Dalam sejumlah

kasus lain, bukan tidak sering kedua belah pihak semacam ini sulit

dipertemukan, dan bahkan terjadi 'ketegangan'.

Kajian Islam jelas merupakan hal baru di lingkungan universitas di Hong

Kong. Subjek mengenai Islam boleh dikatakan absen dalam program

universitas. Barulah pada pertengahan dasawarsa 2000-an, subjek tentang

Islam ditambahkan ke dalam kurikulum sebagai komponen minor dalam

Kajian Agama. Meski bermula sebagai subjek “minor”, perlahan tapi pasti

Kajian Islam di Hong Kong kian menemukan momentum.

Kajian Islam CUHK (2) Thursday, 30 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/29/ne7t1z-kajian-islam-cuhk-2

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Meski sejarah dan tradisi Sino-Islamic cultural sphere, ranah budaya Islam

Cina, khususnya di Hong Kong, telah berlangsung sangat lama, tapi Islam-

Muslimin kawasan ini tak banyak diketahui dunia luar. Memandang cukup

signifikannya jumlah kaum Muslimin Cina dan transformasi ekonomi dan

sosial-budaya yang terus berlangsung di negara ini dalam beberapa

dasawarsa terakhir, sepatutnyalah Islam-Muslimin yang merupakan bagian

integral warganya mendapat perhatian lebih intens.

Pandangan seperti ini terlihat lebih kontekstual di Hong Kong yang —karena

pernah menjadi koloni Inggris selama satu abad sampai 1997— memiliki

sejarah dan tradisi sosial-budaya dan politiknya yang khas. Eks koloni

Inggris ini lebih bebas, kosmopolitan, dan multikultural —termasuk dalam

bidang keagamaan. Karena itu pula, ekspresi Islam dan kaum Muslim dapat

lebih menemukan kebebasannya.

Dalam percakapan penulis Resonansi ini dengan beberapa Muslimah

berjilbab, misalnya, mereka mengakui tidak pernah mengalami pelecehan

(harassement karena pengungkapan identitas keislaman semacam itu.

Mereka merasakan, masyarakat dan Pemerintah Hong Kong memberikan

kebebasan beragama dan toleran dengan perbedaan.

Sejak masa pasca-Inggris yang berlanjut dengan berbagai perkembangan

pada tingkat internasional lebih luas, Islam dan kaum Muslim mendapat

perhatian lebih intens dari berbagai kalangan masyarakat Hong Kong,

khususnya para peneliti, dosen, guru, mahasiswa, dan murid. Sejak waktu

ini pula kunjungan ke masjid-masjid di Hong Kong kian meningkat karena

menjadi salah satu medium untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman

langsung tentang ajaran Islam dan berbagai aspek kehidupan Muslim.

Pada saat yang sama, khususnya sejak pertengahan 2000-an, lima dari

sembilan universitas yang ada di Hong Kong mulai menawarkan mata kuliah

untuk memberikan pengetahuan dasar tentang Islam. Selanjutnya, terlihat

peningkatan minat pada bahasa Arab dan keuangan Islam. Juga terdapat

sejumlah mata kuliah yang termasuk ke dalam antropologi, kajian agama,

ilmu sosial, dan hubungan internasional yang dalam dan satu hal membahas

Islam dan masyarakat Muslim.

Berkat peningkatan minat ini, pada 2012 buku pertama berjudul Islam in

Hong Kong: Muslims and Everyday Life in China‟s World City diterbitkan

Hong Kong University Press. Buku ini terutama membahas kehidupan

keislaman kaum muda Muslim Hong Kong. Penerbitan ini disusul buku kedua

Islam and China‟s Hong Kong: Ethnic Identity, Muslim Networks and the

New Silk Road (Routledge). Karya terakhir ini menampilkan gambaran lebih

lengkap tentang Islam dan keragaman masyarakat Muslim Hong Kong.

Chinese University of Hong Kong (CUHK) agaknya merupakan universitas

paling bersemangat mengembangkan Kajian Islam. Sebelumnya CUHK telah

memiliki program Kajian Agama (religious studies), tetapi tidak mencakup

Kajian Islam. Namun, minat di lingkungan universitas ini terus meningkat,

sehingga pada 2009 dan awal 2013 menyelenggarakan dua konferensi besar

tentang peradaban Islam dan Muslim Cina dengan menghadirkan sejumlah

ahli dari Cina Daratan, Taiwan, Asia Tenggara, dan Hong Kong sendiri.

Karena itulah Prof Hsiung, Pin-Chen yang direktur Research Institute for the

Humanities (RIH) mengambil prakarsa mendirikan The Initiative in Islamic

Studies (ISI) pada akhir 2013 melalui kerja sama dengan Islamic Cultural

Association (ICA) Hong Kong. Perempuan asal Taiwan yang jebolan

Universitas Brown dan Harvard, AS, yakin sudah saatnya Islam dan kaum

Muslimin menjadi bagian integral dari kajian akademik-ilmiah di lingkungan

universitas.

Kajian Islam seperti apa yang ingin dikembangkan CUHK? Penulis Resonansi

ini yang diundang dalam Seminar ISI pada 8 Oktober 2014 menjelaskan

tentang distingsi Kajian Islam di tiga wilayah: dunia Arab, Barat, dan

Indonesia. Kajian Islam di dunia Arab dan Barat memiliki corak, pendekatan,

dan kecenderungan masing-masing yang sering mendapat kritik karena

yang pertama cenderung bersifat normatif, sedangkan yang kedua

cenderung „liberal‟.

Sedangkan kajian Islam Indonesia sedikitnya dalam empat dasawarsa

terakhir telah mengembangkan distingsinya sendiri; sebagiannya dengan

mengambil hal-hal terbaik dalam substansi, pendekatan, dan orientasi

Kajian Islam di dunia Arab dan Barat. Kajian Islam Indonesia selain tetap

mementingkan pendekatan normatif, misalnya, juga menekankan urgensi

pendekatan historis dan sosiologis secara analitis dan komparatif. Dengan

begitu, para pengkaji Islam tidak hanya melihat doktrin teologis dan

normatif Islam, tapi sekaligus melihat Islam sebagai realitas historis dan

sosiologis sehingga dapat memberi cakrawala dan pemahaman intelektual

lebih berimbang.

Pendekatan Kajian Islam model Indonesia bagi saya merupakan bentuk yang

pas bagi ISI CUHK. Dengan pendekatan Kajian Islam Indonesia, universitas-

universitas di Hong Kong dan/atau Cina secara keseluruhan dapat mengkaji

Islam „dari dalam‟ (from within), dan sekaligus „dari luar‟ (from without).

Dengan begitu bisa diperoleh pengetahuan dan pemahaman lebih

komprehensif tentang Islam dan masyarakat Muslim.

Presiden Baru, Harapan Baru

Wednesday, 22 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/21/ndsuyv-presiden-baru-harapan-baru

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan

wakil presiden baru Indonesia disambut dengan antusiasme pesta

kerakyatan yang meriah.

Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah,

kemunculan pemimpin (relatif) autentik dalam pemilihan presiden kali ini

mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini

lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat

perubahan yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di

seluruh pelosok negeri.

Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini

bergerak serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi

kepartaian. Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik

rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.

Kebangkitan musim semi kesukarelaan ini memberi dian pemandu untuk

keluar dari krisis kepercayaan dalam politik. Krisis ini muncul karena warisan

sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenali

sebab-sebabnya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk

menemukan visi dan formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan

resep-resep umum yang telah dikenal.

Bagi siapa saja yang bertekad menghadapinya, krisis yang diwariskan itu

bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka

peluang bagi perubahan fundamental. Dengan sikap demikian, krisis

merupakan kritik alam tentang perlunya kerendahan hati bahwa

kemungkinan historis itu jauh lebih kaya dan beragam ketimbang konsepsi

intelektualitas manusia.

Oleh karena itu, betapa pun krisis bisa membawa tragedi kemanusiaan, kita

tidak boleh kehilangan harapan. Sikap yang diperlukan bukanlah

meremehkan masalah atau mengecilkan hati, melainkan optimisme realistis.

Warisan terbaik para pendiri bangsa ini adalah “politik harapan” (politics of

hope), bukan “politik ketakutan” (politics of fear). Republik ini berdiri di atas

tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita

kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan

memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai

rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan

memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap

menyala.

Akan tetapi, politik harapan harus berjejak pada visi yang diperjuangkan

menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Di sinilah

titik genting politik Indonesia saat ini. Wacana dan perjuangan politik lebih

didorong oleh pertarungan kepentingan ketimbang pertarungan gagasan.

Melemahnya kekuatan visi membuat politik kehilangan responsibilitasnya.

Berbagai kebijakan dan pilihan politik yang dikembangkan sering kali tak

memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip

kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.

Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan

rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan;

adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib

sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat

terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik

kepentingan ketimbang konflik visi, watak politik menjadi narsistik,

mengecilkan harapan banyak orang.

Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang

mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta

keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi

kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan lewat

aktualisasi politik harapan.

Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan

politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme,

apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap

pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan

kepentingan pribadi yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik.

Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan

memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang

dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya justru membuatnya

apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari

pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis dengan

cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama

menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk

memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain

mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan

dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan

kebajikan bersama.

Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan

Hannah Arendt, adalah suatu “ruang penjelmaan” (space of appearance)

yang memungkinkan dan merintangi pencapaian manusia di segala bidang.

Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat

ditentukan oleh warna politik kita.

Para pemimpin harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya

berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung

jawab dan penghormatan pada yang lain. Bermula dari keinsafan para

pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput,

membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.

Solusi BBM dengan Mobil Listrik

Saturday, 18 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/17/ndlgrh-solusi-bbm-dengan-mobil-

listrik

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Sebuah mobil sport sangat elegan bewarna kuning bertengger di salah satu

sudut ruang pameran Jakarta International Motor Show 2014. Tidak seperti

mobil lain yang dipamerkan di ruang terbuka hingga dapat dikagumi banyak

orang, mobil ini terkesan nyempil di sudut sempit ruang beratap terpal.

Pemandangan yang cukup membuat saya bertanya-tanya, bagaimana

mungkin mobil yang terlihat sangat mahal dan elegan, terparkir di tempat

yang tidak strategis?

Ternyata, mobil yang diberi nama Selo tersebut merupakan karya anak

bangsa. Lebih mengagumkan lagi, ia menggunakan bahan bakar listrik.

Selo adalah mobil dengan konsep sport car berbalut warna kuning yang

tampilannya dibuat oleh perajin mobil asal Yogyakarta, 'Kupu-Kupu Malam'.

Mobil rekaan para pionir mobil listrik Indonesia ini memiliki kecepatan

maksimum 200 km/jam, dengan kekuatan baterai yang mampu bertahan

hingga enam jam.

Melihat posisi di mana mobil mendapat tempat di JIMS 2014, saya bisa

menduga bahwa keberadaannya tidak mendapat dukungan sebagaimana

seharusnya, dan ternyata dugaan itu benar.

Tanpa alasan jelas, bahkan mobil yang prototipenya menghabiskan dana

miliaran rupiah ini masih sulit sekali mendapat izin jalan. Jika alasan

keamanan, saya yakin Selo jauh lebih aman dari bajaj buatan India yang

sudah melanglang buana di mana-mana.

Kecelakaan yang sempat terjadi pada prototipe pertama, dalam pendapat

saya, merupakan harga sebuah perkembangan teknologi. Kapal terbang

pertama juga jatuh sebelum jauh mengudara. Tidak diinginkan tentu, tetapi

merupakan bagian dari proses penyempurnaan.

Jika keraguan disebabkan alasan teknologi, meski asli Indonesia, sosok di

belakang pembuatan mobil listik ini, Ricky Elson, justru sudah dikenal

kiprahnya di Negeri Sakura. Pemuda asal Padang tersebut sedikitnya telah

menghasilkan sekitar 14 teori mengenai motor listrik dan telah pula

dipatenkan oleh Pemerintah Jepang.

Di perusahaan lamanya, Nidec Corporation, yang bergerak di bidang

elektronik dan memproduksi elemen motor presisi alias mikromotor, sekitar

80 persen produknya merupakan karya pemuda ini.

Apakah mobil listrik kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak karena

dikhawatirkan jika terwujud keberadaannya bakal mengancam industri

otomotif nasional? Tapi, alasan itu tidak masuk akal sebab jika mobil listrik

sudah sukses, otomotif dunia justru akan menyesuaikan diri karena saat ini

kelangkaan bahan bakar fosil sudah menjadi ancaman dunia.

Mobil listrik seharusnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebab

memiliki banyak alasan logis yang dapat mengangkat harga diri bangsa

indonesia. Pertama, BBM adalah masalah paling utama yang menggerogoti

keuangan negara. Subsidi BBM menghabiskan 40 persen anggaran negara

dan juga tidak tepat sasaran. Harga BBM di Indonesia termasuk termurah,

lebih tepatnya nomor 13 termurah di dunia. Negara lain yang menjual lebih

murah adalah negara pengekspor minyak, sedangkan Indonesia kini adalah

pengimpor minyak. Bahkan, harga BBM kita lebih murah dari Venezuela dan

Uni Emirat Arab yang merupakan penghasil minyak utama di dunia.

Diperkirakan dalam kurun waktu 11 tahun jika tidak ada perubahan gaya

konsumsi BBM maka cadangan di Indonesia yang hanya 0,02 persen minyak

dunia akan habis. Kebutuhan minyak di Tanah Air saat ini sekitar 1,6 juta

liter per hari. Padahal, kilang minyak kita hanya menghasilkan 788 ribu barel

setiap hari. Tanpa perubahan berarti, pada tahun 2018 Indonesia bisa

menjadi pengimpor minyak terbesar di dunia.

Kedua, mobil berbahan bakar listrik adalah energi yang terbarukan dengan

risiko terkecil terhadap kerusakan lingkungan. Ketika Barat mempromosikan

biodiesel, sekalipun kelihatannya ramah lingkungan, kenyataannya banyak

hutan alam yang ditebang untuk menanam tumbuhan untuk biodiesel

tersebut. Kebun sawit diperluas dan hutan alam dibabat. Dengan mobil

listrik kita tidak perlu lagi menebang hutan, cukup menambah sumber listrik

baru.

Ketiga, mobil listrik bebas polusi. Jakarta adalah salah satu kota dengan

polusi udara terbanyak, karenanya akan menjadi solusi yang

menguntungkan lingkungan hidup.

Keempat, mobil listrik bisa menempatkan Indonesia menjadi “pemain” baru

di dunia otomotif karena pada dasarnya kita sebenarnya punya potensi

mendahului bangsa asing.

Dengan begitu banyaknya keuntungan, tidakkah saatnya pemerintah ke

depan, Jokowi dan JK, menjadikan mobil listrik dalam daftar agenda penting

bangsa?

'Revolusi Payung' dan Muslimin Hong Kong

Thursday, 16 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/16/ndhp9f-revolusi-payung-dan-

muslimin-hong-kong

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

„Revolusi Payung‟ alias „Umbrella Revolution‟ —sebuah istilah populer

belakang ini-- mengacu pada gerakan prodemokrasi di Hong Kong.

Terutama didukung para mahasiswa dan aktivis demokrasi, demonstrasi

damai yang muncul sejak 22 September 2014 menyebut diri sebagai „Duduki

[Wilayah] Sentral dengan Cinta dan Perdamaian‟.

Para demonstran membawa payung, tidak hanya untuk menahan panas

matahari dan hujan, tapi juga sebagai tameng perlindungan dari semprotan

cabai halus dan gas air mata yang dilepas polisi Hong Kong dalam usaha

membubarkan mereka. Di luar insiden itu, tidak jelas sampai kapan

pendudukan beberapa ruas jalan di wilayah Sentral Hong Kong berlanjut.

„Revolusi Payung‟ bermula dari meningkatnya kekhawatiran warga Hong

Kong, khususnya kalangan muda, terhadap kian merosotnya kebebasan

yang membedakan kawasan bekas koloni Inggris ini dengan wilayah

Republik Rakyat Cina (PRC) lain. Padahal, ketika Inggris mengembalikan

Hong Kong kepada Beijing (1997), para warganya dijanjikan berada dalam

„satu negara, dua sistem‟ yang menjamin otonomi Hong Kong selama 50

tahun ke depan.

Para pemrotes juga menolak pemilihan kepala eksekutif (chief executive)

Hong Kong secara tidak langsung oleh semacam dewan pemilih yang

kebanyakan anggota adalah orang-orang pro-Beijing. Hasilnya, chief

executive Hong Kong selalu pro-Beijing daripada prowarga setempat. Karena

itu, mereka menuntut pemilihan langsung oleh warga —satu orang, satu

suara.

Apakah Beijing bakal memenuhi tuntutan para demonstran? Sejarawan

terkemuka Wang Gungwu dalam artikelnya „A Test of Will‟ dalam

HarianSouth China Morning Post (9 Oktober 2014) menyebut yang kini

terjadi di antara para demonstran pada satu pihak dengan polisi dan

Pemerintah Hong Kong pada pihak lain adalah „ujian kemauan‟ —siapa yang

lebih punya semangat bertahan. Sementara itu, pemerintah pusat di Beijing

memilih bersikap „menunggu‟ —mencoba menahan diri tidak terlibat

langsung, sementara berusaha memastikan tak ada campur tangan

kepentingan dan kekuatan luar.

Penulis Resonansi ini berkesempatan selama sepekan (6-12 Oktober 2014)

mengamati „Revolusi Payung‟ ketika kembali ke Hong Kong sebagai Visiting

Professor pada Research Institute of Humanities (RIH), Chinese University of

Hong Kong (CUHK). Bagi kalangan luar yang mengikuti pemberitaan televisi

dan media cetak, Hong Kong secara keseluruhan terlihat tengah bergolak.

Dalam kenyataan, pergolakan dan pendudukan terjadi hanya di kawasan

Sentral, Pulau Hong Kong. Kehidupan di wilayah lain, seperti Kowloon dan

New Territories tetap berlangsung seperti biasa.

Hal yang sama juga terlihat di lingkungan kaum Muslimin Hong Kong. Ketika

berkunjung ke Masjid Ammar di lingkungan Kowloon pada Jumat (10/10),

masjid dengan bangunan gedung berlantai delapan ini terlihat ramai oleh

jamaah. Jika jamaah laki-laki kebanyakan berwajah Pakistan, Bangladesh,

dan India, jamaah perempuan kebanyakan berparas Indonesia.

Muslimin asal Indonesia merupakan kelompok terbesar penganut Islam di

Hong Kong —sekitar 90 persen mereka Muslimat pekerja rumah tangga

(domestic workers) yang juga disebut BMI —buruh migran Indonesia.

Menurut data Pemerintah Hong Kong ada sekitar 140 ribu Muslim Indonesia

dan 30 ribu Muslim Cina yang sebagian besar berasal dari Cina daratan

(mainland). Sisanya dari anak benua India, Timur Tengah, dan Afrika.

Pembentukan Hong Kong sebagai diaspora Muslim bermula ketika kawasan

ini menjadi „koloni‟ Inggris sejak akhir 1880-an yang membawa pasukan dan

pegawai Muslim dari anak benua India. Komunitas Muslimin yang meski

masih kecil jumlahnya, berhasil membentuk Dewan Penyantun yang

kemudian membangun masjid di Shelley Street pada 1890 yang semula

disebut „Mohammedan Mosque‟. Nama masjid ini janggal —karena

sebenarnya tidak ada „Mohammedan mosque‟ atau „Mohammedan religion‟

sehingga pada 1905 diganti menjadi „Masjid Jami‟.

Sejak itu, beberapa masjid lagi didirikan sehingga berjumlah enam masjid

sampai sekarang. Keenam masjid itu adalah Masjid Kowloon, semula

dibangun pada 1896 dan direstorasi sebagai masjid terbesar dan terindah di

Hong Kong pada 1984; Masjid Ammar, pertama kali dibangun pada 1967

dan direhab total pada 1981; Masjid Stanley didirikan pada 1937; Masjid

Chai Wan dibangun pada 1963; dan terakhir Masjid Ibrahim yang dibangun

pada 2013.

Kaum Muslimat asal Indonesia mulai berdatangan ke diaspora Hong Kong

sejak 1980-an. Jumlah mereka terus meningkat pada 1990-an sehingga

menjadi komunitas Muslim terbesar di Hong Kong. Mbak Supartinah asal

Blitar yang sudah bekerja hampir selama 30 tahun di Hong Kong bercerita,

tidak banyak kaum lelaki Muslim Indonesia di Hong Kong —hanya sekitar

50-an orang karena jauh lebih sukar bagi mereka mendapat visa kerja.

Menurut Mbak Tinah yang berjilbab ini, kemudahan lebih banyak diberikan

kepada perempuan domestic workers.

Muslimat Indonesia kebanyakan bergabung dengan Masjid Ammar dan

Masjid Kowloon. Mereka tidak punya organisasi sendiri, tetapi bergabung

dengan Islamic Union yang bermarkas di Masjid Ammar. Mereka hampir

selalu mengafiliasikan diri dengan ormas di Indonesia seperti NU,

Muhammadiyah, misalnya. Para BMI ini menjadi pengirim remittancedalam

jumlah besar ke Indonesia dan sekaligus penopang filantropi Islam yang

tidak bisa diabaikan.

Restorasi GBHN

Wednesday, 15 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/14/ndfvrt-restorasi-gbhn

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Yang menjengkal dari kecenderungan sikap “ahli” dan pelaku politik

kontemporer di negeri ini adalah kegairahan untuk meninggalkan sistem

politik sendiri dengan mencangkokkan sistem dari negara adikuasa, namun

dengan cara tambal sulam.

Lewat empat kali amandemen Konstitusi, kedudukan kedaulatan (locus of

sovereignty) yang semula memusat di MPR dihapuskan. Para pelaku

amandemen mengira bahwa sistem pemerintahan yang meletakkan

kedaulatan di tiga tempat (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti di

Amerika Serikat lebih demokratis ketimbang sistem pemerintahan yang

memusatkan kedaulatannya di satu “lembaga tertinggi” seperti sistem

Westminster di Inggris. Jarang disadari bahwa “kedaulatan” rakyat dalam

demokrasi tidak harus selalu dijalankan dalam bentuk pemisahan kekuasaan

(separation of power) seperti di Amerika Serikat. Yang terjadi di Inggris

malah suatu penggabungan kekuasaan (fusion of power) dengan

memusatkan kedaulatan rakyat di “parlemen”. Parlemen Inggris terdiri dari

3 unsur: Raja/Ratu di Parlemen sebagai unsur eksekutif, House of Commons

(yang dipilih langsung) dan House of Lords (yang ditunjuk) sebagai unsur

legislatif, dan juga mengandung unsur judicial karena law lords yang berada

di House of Lords merupakan “Appellate Committee” (peninjau keputusan

peraturan perundang-undangan).

Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang Dasar

1945 hampir menyerupai Inggris dalam hal memusatkan kedaulatan rakyat

di satu lembaga tertinggi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Bedanya, fungsi dan kekuasaan MPR dalam sistem pemerintahan kita lebih

lemah ketimbang parlemen di Inggris. MPR sebagai parlemen di Indonesia

tidak mengandung unsur eksekutif dan judicial, dan fungsi utamanya hanya

merumuskan dua “norma hukum” tertinggi (UUD dan GBHN) yang dilakukan

oleh tiga unsur parlemen: DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem Amerika

Serikat tetapi “salah arah”, karena tidak mengadopsinya secara konsisten.

Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) di Amerika Serikat hanya

dijalankan oleh lembaga perwakilan saja, yakni Kongres, yang merupakan

gabungan antara house of representatives (DPR) dan senate (DPD).

Resminya, Presiden AS dilarang untuk menyampaikan rancangan undang-

undang ke Kongres. Adapun kekuasaan membuat undang-undang dalam

sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen Konstitusi tidak hanya

dijalankan oleh lembaga perwakilan. Meskipun pasal 20 ayat 1 menyatakan:

“DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang”, tetapi ketentuan ini

dimentahkan oleh ayat 2: “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh

DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Artinya, kita tidak

konsisten menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, karena Presiden

masih ikut dalam pembuatan undang-undang.

Setelah MPR dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi, kewenangannya

dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga ditiadakan.

Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang- Undang. RPJPN ini kemudian

diturunkan ke dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) untuk

periode lima tahunan, dengan memberi kesempatan kepada Presiden untuk

menentukan platform politik pembangunannya tersendiri, sesuai dengan

janji kampanye.

Masalahnya, karena RPJP ini ditetapkan oleh undang-undang, maka Presiden

ikut serta dalam merumuskan ketentuannya. Setelah itu, karena Presiden

juga diberikan kewenangan untuk menetapkan platform pembangunan,

maka Presiden juga yang menjalankan undang-undang itu dan menetapkan

anggarannya. Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme

pertanggungjawaban kepada MPR, maka Presiden juga yang mengawasi

pelaksanannya. Alhasil, jika Presidennya tidak amanah, mudah sekali

kebijakan pembangunan di negeri ini jatuh ke tangan kepentingan

perseorangan, yang dapat merugikan kepentingan nasional.

Hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di

Amerika Serikat. Di sana, meskipun Presiden diberikan wewenang untuk

menetapkan platform kebijakannya, namun fungsi Kongres dalam

menentukan anggaran lebih kuat. Sesuai dengan sistem pemisahan

kekuasaan, baik Senat dan DPR di AS harus sama-sama menyetujui

anggaran, kemudian ditandatangani Presiden Amerika Serikat. Jika Presiden

tidak setuju atas rancangan anggaran yang ditetapkan Kongres, Presiden

bisa memvetonya, dan rancangan anggarannya dikembalikan ke Kongres. Di

Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua per tiga suara menolak.

Oleh karena itu, kerap terjadi dalam sejarah AS, perselisihan dalam Kongres

atau veto Kongres atas veto Presiden berdampak pada penutupan

pemerintahan (shut down), seperti terjadi belum lama ini.

Selain persoalan teknis-instrumental, ada persoalan prinsipil. Dalam

konsepsi negara kekeluargaan, haluan negara sebagai norma dasar itu

mestinya dirumuskan oleh pelbagai representasi kekuatan politik dalam

lembaga tertinggi negara (MPR). Ekses negatif dari kewenangan MPR

sebagai lembaga tertinggi negara di masa lalu sebenarnya bisa saja

dihilangkan. Artinya, Presiden tidak perlu lagi dipilih oleh MPR; dan MPR juga

tidak bisa langsung menjatuhkan Presiden tanpa melalui mekanisme

impeachment yang memerlukan pengajuan DPR dan keputusan Mahkamah

Konstitusi. Namun, dalam ketentuan prosedur impeachment pada UUD

pasca amandemen pun sebenarnya terkandung pengakuan terselubung,

yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Karena MPR-lah yang

diberikan wewenang sebagai pemutus terakhir bisa atau tidaknya Presiden

dimakjulkan. Seturut dengan itu, mestinya tidak perlu ada keraguan untuk

mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN dalam versi

yang lebih disempurnakan dari produk GBHN di masa lampau.

Danau Dendam tak Sudah

Selasa, 14 Oktober 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/13/nde12d-danau-dendam-tak-sudah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya sudah lama penasaran untuk suatu saat bisa mengunjungi DDTS

(Danau Dendam Tak Sudah), sekitar enam km dari Kota Bengkulu, dikitari

oleh empat kecamatan: Teluk Segara, Seleber, Talang Empat, dan Bengkulu

Tengah. Bagi saya nama ini demikian puitis, jika bukan romantis, sekalipun

menurut legenda rakyat memuat cerita tragis-dramatis. Diantar oleh

pimpinan wilayah dan pimpinan UMB (Universitas Muhammadiyah

Bengkulu), pada 8 Okt. siang kerinduan saya untuk menyaksikan dari dekat

DDTS itu menjadi kenyataan sudah. Angan-angan melayang jauh

menyaksikan ombak danau yang damai bersahabat. Cantik nian danau ini,

tetapi namanya tetap saja mengundang tanda tanya yang sarat misteri.

Tiba-tiba nalar politik saya muncul saat menyebut DDTS, melayang ke

Sidang DPR, pada 1-2 Okt. 2014, yang brutal dan main sapu bersih itu.

Tidak satu pun yang tersisa kursi pimpinan DPR untuk parpol yang

berseberangan, sesuatu yang tak elok diteruskan oleh sesama anak bangsa.

Maka di sini berlaku pula dendam tak sudah sebagai ekor dari kekalahan

dalam pilpres pada 9 Juli yang lalu. Berbeda dengan suasana di DPR, proses

pemilihan pimpinan MPR, sekalipun alot selama berjam-jam, terasa lebih

beradab. Bahwa siapa pemenangnya tidak lagi dipersoalkan, karena

perdebatan relatif telah berlangsung dalam iklim demokrasi terbuka tanpa

diselimuti dendam yang menggebu, padahal sebagian besar pemainnya

orang yang sama juga.

Sebelum Sidang MPR, saya kirim SMS kepada pimpinan DPD agar mereka

tampil sebagai negarawan yang sedang inflasi di DPR. SMS saya ditanggapi

positif, sekalipun DPD sendiri tidak kompak mendukung calonnya untuk

diusung menjadi Ketua MPR. Dengan terpilihnya Zulkifli Hasan dari PAN

sebagai Ketua MPR yang baru, suasana politik sedikit berubah ke arah yang

lebih tenang, lebih sejuk, berkat pernyataan singkatnya yang bernada damai

setelah terpilih. Kepada ketua baru ini SMS saya sore 8 Okt. berbunyi:

“Selamat memimpin MPR, semoga diberkati Allah, demi keutuhan bangsa

dan negara.” SMS ini satu menit kemudian dibalas dan diamini oleh yang

bersangkutan sambil mengucapkan terima kasih. Tentu saja ke depan

semua kita tidak boleh membiarkan bangsa dan negara ini terkoyak oleh

perasaan dendam berkepanjangan. Kemenangan dan kekalahan dalam

pertandingan adalah lumrah belaka. Yang tidak lumrah dan tidak sehat

adalah memelihara sikap dendam yang menguras energi secara sia-sia.

Perkataan dendam tidak selalu berkonotasi buruk, tergantung kepada kata

pendampingnya. Ungkapan rindu-dendam adalah suasana batin mereka

yang sedang dimabuk cinta, tetapi dendam-kesumat atau balas dendam bila

dikaitkan dengan perpolitikan Indonesia tercermin dalam Sidang DPR di atas

jelas semakin merusak tatanan demokrasi yang memang sudah rusak.

Taruhannya adalah 250 juta rakyat Indonesia akan menderita dan

tersandera oleh kelakuan elite yang suka balas dendam itu. Jalan ke luarnya

adalah kesediaan membebaskan diri dari virus dendam, demi keutuhan

bangsa dan negara yang sedang oleng ini. Dalam sistem politik demokrasi di

mana pun di muka bumi, kekuatan oposisi sangat diperlukan agar

pemerintah tidak menyimpang dari acuan konstitusi dan amanat rakyat.

Tetapi oposisi yang ingin terus melibas lawan politiknya tanpa nalar bisa

meruntuhkan sistem demokrasi yang dengan susah payah telah dibangun.

Kembali ke DDTS. Setidak-tidaknya ada dua versi tentang asal-usul nama

danau itu. Legenda mengatakan bahwa jauh di masa silam, entah kapan,

ada dua sejoli yang saling jatuh cinta, tetapi terbentur karena dihalangi oleh

orang tua pihak perempuan yang ingin punya menantu peria lain. Dua sejoli

yang telah bersatu hati itu menempuh jalan singkat: bunuh diri dengan

terjun ke dalam danau untuk tidak muncul lagi. Rindu-dendam yang tidak

kesampaian itu diabadikan menjadi DDTS karena di sanalah dua sejoli yang

malang itu berkubur dengan kedalaman sekitar 15 meter.

Versi lain mengatakan bahwa pemerintah kolonial pernah punya rencana

membangun dam untuk menata aliran air danau itu. Sampai usai

penjajahan, dam itu tidak pernah menjadi kenyataan. Entah bagaimana

ceritanya sebelum kata „dam‟ diberi kata „den‟, menjadi dendam. Karena

dam itu tidak pernah disudahkan, maka muncullah ungkapan puitis DDTS.

Bagi saya yang kedua ini sama sulitnya diterima seperti juga asal-usul nama

yang pertama. Lalu?: antahlah yuang, kata orang Minang. Tetapi bagaimana

pun, bagi saya DDST tetap saja menyiratkan nuansa puisi, sedangkan sikap

dendam yang dipertontonkan di Senayan mewakili sosok politisi yang

sedang haus kekuasaan dengan cara menyapu bersih lawan politiknya dari

posisi pimpinan.

Nobel Perdamaian Buat Sweet Seventeen

Senin, 13 Oktober 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/13/ndbrdw-nobel-perdamaian-buat-

sweet-seventeen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Malala namanya. Tepatnya Malala Yousafzai. Usianya baru 17 tahun.Sweet

seventeen, istilahnya. Namun, meskipun masih belia, remaja putri dari

Pakistan ini oleh Komite Nobel -- dalam pengumuman yang disampaikan di

Oslo, Norwegia, pada Jumat (10/10) lalu -- dinyatakan berhak menerima

penghargaan bergengsi Nobel Perdamaian Tahun 2014.

Lalu apa makna Malala bagi dunia sehingga dia disejajarkan dengan nama-

nama besar seperti Martin Luther King Jr, Anwar Sadat, Manachem Begin,

Dalai Lama, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Yasir Arafat, dan Barack

Obama? Nama-nama yang tersebut tadi merupakan di antara tokoh-tokoh

dunia yang pernah menerima Penghargaan Nobel Perdamaian.

Malala memang tidak sendirian menerima Nobel Perdamaian Tahun 2014. Ia

berbagi dengan Kailash Satyarthi. Kedua orang ini mengalahkan 278 calon

lainnya. Malala dan Satyarthi akan menerima hadiah sekitar 1,1 juta dolar

AS.

Satyarthi adalah warga India, 60 tahun. Ia dinilai layak menerima Nobel

Perdamaian karena perjuangannya membela hak-hak anak di negaranya.

Sejak 1990-an ia aktif menentang industri India yang mengekploitasi buruh

anak. Pada 1998 ia memulai sebuah pawai global tahunan untuk menentang

praktek pekerja anak. Komite memuji Satyarthi telah „memelihara tradisi

Gandhi‟ dalam aksi-aksi damai memperjuangkan hak asasi anak-anak.

Bagaimana dengan Malala? Pada 2009, ketika usianya baru 11 tahun, ia

sudah dikenal dunia lewat buku hariannya yang dimuat BBC bahasa Urdu.

Dengan nama samaran Gul Makai, Malala menyerukan tentang pentingnya

anak-anak perempuan di negerinya mendapatkan pendidikan seperti halnya

anak laki-laki. Pada usia 15 tahun, tepatnya 9 Oktober 2012, ia dan teman-

temannya diberondong tembakan saat berada di bus dalam perjalanan

pulang dari sekolah. Belakangan diketahui pelakunya adalah kelompok

Taliban.

Malala tertembak di kepalanya. Untungnya nyawanya masih selamat.

Beberapa waktu kemudian ia diterbangkan ke sebuah rumah sakit di London

untuk menjalani perawatan. Lantas apa hubungan antara buku harian Malala

dengan peristiwa penembakan? Atau lebih tepatnya dengan Taliban?

Dalam buku hariannya, Malala menulis tentang kehidupan di Lembah Swat,

saat wilayah indah yang dijuluki „Swissnya Pakistan‟ itu dikendalikan rezim

Taliban sejak 2007. Lembah Swat berada di barat daya Pakistan, berbatasan

dengan Afghanistan. Taliban berkuasa di daerah itu selama dua tahun

hingga didesak mundur militer Pakistan pada 2009. Selama berkuasa, rezim

Taliban menutup semua sekolah untuk anak perempuan, termasuk sekolah

yang dimiliki oleh ayah Malala, Ziauddin Yousafzai.

Ziauddin adalah seorang guru. Ia mendorong anak perempuannya untuk

bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Namun, keinginan sang bapak dan

anak yang bercita-cita menjadi dokter tampaknya harus tertunda lantaran

Taliban melarang anak gadis bersekolah.

Ketika Taliban keluar dari Swat, Malala pun kembali bersekolah. Tapi,

„dendam‟ Taliban kepada remaja perempuan yang masih berusia 15 tahun

dan terus menyerukan anak-anak perempuan untuk bersekolah itu

tampaknya belum hilang. Puncaknya terjadi pada 9 Oktober 2012 ketika

segerombolan orang-orang Taliban menembaki bus yang ditumpangi Malala

dan teman-temannya dalam perjalanan pulang sekolah.

Di sinilah makna penting kehadiran Malala. Ia berani melawan sebuah rezim

yang didominasi kaum laki-laki. Sebuah rezim yang meletakkan kaum

perempuan hanya sebagai „objek‟ atau „pelengkap penderita‟. Malala

memberontak. Ia melawan. Melawan sebuah rezim seperti Taliban yang

pernah berkuasa di Afghanistan antara 1996 hingga 2001.

Kehidupan di Afghanistan era Taliban berkuasa benar-benar didominasi

kaum laki-laki. Kaum perempuan hanya berkegiatan di sekitar rumah.

Sekolah dilarang. Ke pasar atau belanja ditabukan kecuali disertai

muhrimnya. Apalagi terlibat dalam kegiatan sosial, budaya, dan politik.

Pendek kata, peran perempuan hanyalah di rumah dan di rumah: menjadi

istri, melayani suami, melahirkan, merawat anak, dan seterusnya.

Afghanistan era Taliban yang dideklarasikan dengan nama The Islamic

Emirate of Afghanistan jelas merupakan promosi buruk sebagai negara

Islam. Selain diwarnai dengan kekerasan dan konflik internal, Afghanistan

masa Taliban juga tertinggal dalam berbagai bidang, baik ekonomi,

pendidikan, maupun sosial budaya.

Namun, di negeri Malala sendiri, Pakistan, meskipun menolak „paham‟

Taliban, negeri itu sebenarnya menyimpan banyak masalah. Antara sang

kaya dan si miskin terdapat perbedaan mencolok. Panggung politik

didominasi keluarga-keluarga feodal, kaya, dan berpengaruh, semacam

Bhutto, Chaudhry, Zia-ul-Haa, Le-gha ri, Sajjad, Musharraf, Syarif, Gillani,

dan Zardari. Mereka kalau bukan keluarga pengusaha, ya tuan tanah atau

jenderal berpengaruh.

Sedangkan panggung kehidupan sosial kemasyarakatan lebih banyak

diperankan para ulama lokal dengan basis sekolah agama, seperti pesantren

tempat belajar kebanyakan orang miskin. Di sinilah gesekan atau bahkan

konflik internal sering terjadi antara politikus dan ulama. Persoalannya

bukan hanya murni dalih agama atau kepentingan nasional, tapi juga

masalah pribadi atau kelompok. Ini belum termasuk persaingan para

politikus yang sangat keras dalam memperebutkan kekuasaan. Juga,

perebutan pengaruh antarinternal tokoh agama hanya karena beda paham,

aliran, atau pendapat.

Itulah sebabnya, suksesi kekuasaan di Pakistan beberapa kali berjalan tidak

normal. Kudeta kekuasaan sering kali terjadi, baik dengan alasan tuduhan

korupsi maupun penyalahgunaan wewenang/kekuasaan. Bahkan sejumlah

politikus mati terbunuh atau dibunuh. Benazir Bhutto -- pernah menjadi PM

dua kali -- mati terbunuh saat kampanye. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto --

yang juga pernah menjadi presiden dan PM -- mati dihukum gantung oleh

Presiden Muhammad Zia-ul-Hak. Yang terakhir ini, juga tewas dalam

ledakan pesawat udara.

Sedangkan nasib kaum perempuan pun setali tiga uang. Hanya anak-anak

orang kaya dan politikus yang bisa mengenyam pendidikan yang baik.

Benazir Bhutto misalnya, lulusan Oxford dan Harvard. Atau, Hina Rabbani

Khar yang merupakan perempuan termuda yang pernah menjabat menteri

luar negeri Pakistan. Saat dilantik pada Juli 2011, usianya baru 34 tahun.

Hina berasal dari keluarga kelas atas Pakistan. Ayahnya, Ghulam Rabbani

Khar, adalah politikus dan tuan tanah. Hina lulusan Universitas

Massachusetts, AS, bidang manajemen dan bisnis.

Sementara itu, bagi perempuan Pakistan pada umumnya, terutama yang

tinggal di desa-desa, tentu tidak bisa bernasib sebaik Bhutto dan Khar.

Nasib kaum perempuan kebanyakan, jangankan menjadi politikus,

memperoleh pendidikan yang baik pun masih merupakan barang langka.

Di sinilah relevansi penghargaan Nobel Perdamaian buat Malala. Gadis belia

17 tahun ini telah membetot perhatian dunia bahwa masih banyak kaum

perempuan yang bernasib malang. Bukan hanya belum berkesempatan

mengenyam pendidikan yang baik, tapi juga kerap menjadi objek berbagai

kekerasan

Ebola, Virus yang tak Memandang Kewarganegaraan

Sunday, 12 October 2014, 13:32 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/12/ndbjhp-ebola-virus-yang-tak-

memandang-kewarganegaraan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

"Satu orang penderita ebola meninggal!" kalimat Scott Sugawara, salah satu

rekan fotografer yang saat ini sama-sama sedang berburu foto di Amerika.

Sekalipun belum sampai tahap mengkhawatirkan, berita kematian Thomas

Eric Duncan, korban warga negara Liberia ini, diumumkan langsung oleh

Menteri Luar Negeri Amerika. Salah satu kritik media terhadap Rumah Sakit

Texas Health Presbyterian Hospital Dallas adalah bagaimana RS tersebut

mengirim sang pasien pulang, padahal ia baru saja datang dari negeri yang

merupakan salah satu daerah terjangkit ebola terparah. Tiga hari kemudian

sang pasien kembali dan tak lama kemudian meninggal.

Seandainya saja sejak hari pertama memeriksakan diri ia langsung diawasi

sebagai potensial pasien Ebola, tentu hal ini tidak menjadi kekhawatiran

nasional.Diketahui 114 orang di Amerika bertemu dengan sang korban dan 9

di antaranya berada dalam risiko, sekalipun tidak ada gejala terjangkiti

ebola. Duncan sendiri tertular Ebola ketika menolong seorang ibu hamil di

Liberia, dan kemudian sang ibu meninggal akibat Ebola. Konon penyakit ini

menular melalui cairan tubuh yang terjangkiti virus.

Saat ini Amerika dan negara maju lain sedang berpikir keras agar penyakit

tersebut tidak menyebar di wilayah mereka.Apa hikmah yang terkandung

dari peristiwa ini?

Berbicara tentang Ebola, maka kita berbicara tentang virus. Hal-hal yang

kebanyakan orang lupa adalah: virus tidak peduli kebangsaan, hierarki,

rasis, miskin atau kaya, budak atau raja. Virus tidak peduli jika seseorang

berkulit putih, hitam atau merah. Virus hanya bertahan hidup dan

berkembang biak.

Ketika kita memerangi virus dengan begitu banyak keterbatasan dan isu-isu

seperti wilayah, kebangsaan, keuangan, budaya, keuangan dan isu-isu

etnis, maka selamanya tidak akan pernah bisa mengalahkannya.

Sayangnya, itu adalah realitas yang menjangkiti pikiran sebagian besar dari

kita hari ini.

Di Afrika sejak bulan Maret sampai awal Oktober 2014, 7.400 orang

terjangkiti dan sekitar 3.400 orang meninggal karena virus Ebola. Sierra

Leone Liberia, Guinea dan Nigeria adalah negara terparah yang terserang

penyakit ini.

Realitas paling tragis dalam situasi ini adalah perbandingan jumlah dokter

dan penduduk di negara-negara tersebut sangat rendah. Satu dokter di

negara-negara terjangkit ebola harus menangani seratus ribu orang. Dengan

perbandingan 1:100.000 negara-negara ini telanjang menghadapi serangan

virus.

Sierra Leone misalnya, mengambil langkah yang sangat kontroversial untuk

mengurangi penyebarannya. Pemerintah melarang enam juta penduduknya

keluar dari rumah mereka selama tiga hari. Hanya pejabat kesehatan yang

diizinkan melakukan perjalanan. Beberapa warganya kelaparan di rumah

karena tidak memiliki cukup makanan, sementara mereka tidak bisa keluar.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana dunia membiarkan negara-

negara tinggi resiko hanya memiliki satu dokter untuk seratus ribu orang,

tanpa melakukan bantuan berarti untuk memperbanyak jumlah dokter di

wilayah tersebut.

Idealnya satu dokter berbanding 500 orang. Indonesia adalah yang

terburuk di ASEAN dengan perbandingan 1 dokter untuk 3.400 orang,

sementara Amerika Serikat memiliki satu dokter untuk 400 warganya.

Dunia harus ingat bahwa kurangnya jumlah dokter di Afrika, tidak hanya

masalah Afrika. Ingat bahwa virus tidak memiliki kewarganegaraan, setelah

mereka tumbuh dan berkembang biak di Afrika bisa saja menyebar dan

tumbuh di seluruh dunia.

idealnya sejak lama, tanpa menunggu apapun wabah virus, dunia harus

menyediakan lebih banyak dokter di daerah Afrika atau rentan. Jika kita

melakukan itu, kita mungkin akan lebih siap mengantisipasi berbagai situasi.

Hari ini kita memiliki AIDS di seluruh dunia yang dimulai dari Afrika, dan

sekarang Ebola mulai dari Afrika lagi. Dan jika kita tidak memulai tindakan

antisipasi dari sekarang, siapa yang mampu menjamin tidak akan ada lagi

virus dimulai dari Afrika?

Saatnya bertindak, lupakan masalah kebangsaan, etnis dan keterbatasan

lain ketika kita berbicara tentang kesehatan, sebelum terlambat. Untuk

melawan virus, kita harus berada dalam satu visi yakni hanya berbicara

tentang kemanusiaan.Pemerintah semoga tak menunggu virus ini masuk ke

Indonesia baru panik. Sedini mungkin, sejak sekarang seharusnya sudah

ada langkah antisipasi yang bisa diandalkan. Sudahkah?

Winners Take All

Thursday, 09 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/08/nd4tm7-winners-take-all

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Pak Made. Inilah sopir yang mengantar saya bolak balik dari Hotel Amandari

ke venues Ubud Writers and Readers pada awal Oktober 2014 lalu.

Mengenali saya yang katanya „sering dia lihat di TV‟, pak Made secara serta

merta mengungkapkan keluhan dan sekaligus kegusaran dan kemarahannya

mengikuti perkembangan politik Indonesia pasca-Pilpres 9 Juli 2014.

Pak Made seperti banyak masyarakat lapisan bawah Indonesia yang sering

bertemu saya dalam perjalanan ke berbagai pelosok tidak bisa dipandang

remeh (underestimate); mereka sama sekali tidak buta dan tidak tuli,

sebaliknya sangat mawas politik. Mereka menonton televisi dan membaca

koran; mereka menyimak perkembangan politik tanahair baik yang

menyenangkan maupun tidak. Ketika mereka berkeluh kesah, saya sering

tergagap tidak bisa menjelaskan baik dan masuk akal apa yang tengah

terjadi dalam kancah politik Indonesia sekarang.

Pak Made sangat cemas dengan masa depan pemerintahan Jokowi-JK.

Setelah memenangkan Pilpres dengan disahkan KPU dan MK, kubu Jokowi-

JK dan Koalisi PDI-P mengalami kekalahan demi kekalahan berhadapan

dengan kubu koalisi Prabowo sejak dari penetapan UU MD3 yang

menentukan pemilihan pimpinan DPR RI melalui paket lima fraksi dan

penetapan UU Pilkada yang merampas hak rakyat memilih gubernur, bupati

dan wali kota secara langsung. Hasil pemilihan pimpinan DPR RI

berdasarkan UU MD3 sudah jelas; koalisi Prabowo menyapu bersih pimpinan

DPR RI—mereka mewujudkan prinsip winners take all, para pemenang

mengambil semuanya.

Gejala winners take all sebenarnya tidak aneh karena sejumlah negara

demokrasi, seperti Amerika Serikat misalnya, juga pada praktiknya juga

sering menerapkan hal seperti itu. Meski demikian, pemenang yang

menyapu bersih semua posisi di parlemen sering menimbulkan kemacetan

pemerintahan („government shut down‟) seperti hampir selalu pernah

dialami pemerintah Amerika sejak di bawah Presiden Ford, Carter, Reagan,

Clinton sampai Bush dan Obama. „Penutupan Pemerintahan‟ terjadi ketika

Kongres apakah ketika didominasi Partai Republik atau dikuasai Partai

Demokrat menolak menyetujui APBN atau program tertentu yang

memerlukan dana besar yang akhirnya mengakibatkan pelayanan

pemerintah harus ditutup.

Apakah pemerintah Jokowi-JK bakal mengalami shut-down sepanjang

pemerintahannya? Sejauh menyangkut APBN, jika DPR RI yang dikuasai

kubu Prabowo menolak pengesahan anggaran 2016 misalnya, pemerintahan

Jokowi-JK masih dapat menjalankan APBN tahun sebelumnya, 2015 yang

sudah disetujui DPR RI periode 2009-2014. Meski ada „pintu darurat‟

(emergency exit) semacam ini, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi-

JK satu waktu kelak mengalami hambatan DPR RI yang sulit diatasi—yang

pada gilirannya membuat sangat sukar bagi terlaksananya program

pembangunan secara baik.

Winners take all yang merupakan langkah mundur bagi demokrasi Indonesia

jelas adalah semacam show-down—unjuk gigi koalisi Prabowo setelah

menelan kekalahan pahit dalam Pilpres yang belum juga bisa mereka terima

secara legowo. Bisa terasa dan terlihat, gerakan sapu bersih itu

mengandung ill-intention, niat tidak baik untuk membuat pemerintahan

Jokowi-JK tidak bisa atau sulit bergerak.

Tetapi perkembangan winners take all tampak lebih daripada sekadar untuk

„mengganggu‟ pemerintah Jokowi-JK. Sejauh ini, manuver kubu Prabowo

yang kelihatan terus mendapat momentum, telah mengarahkan

pertumbuhan demokrasi dengan dampak jangka panjang yang tidak lain

terus memundurkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Karena itu, setiap

dan seluruh warga yang peduli dengan masa depan demokrasi negeri ini

mesti mencermati agar dapat melakukan respons yang tepat pula.

Hal ini terlihat jelas dalam penetapan UU Pilkada yang merampas hak

demokratis warga untuk secara langsung memilih kepala daerah (gubernur,

bupati, dan wali kota). Sebaliknya melalui UU Pilkada yang baru ini

pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD seperti berlaku pada

masa Orde Baru.

Jika judicial review dari berbagai pihak ke MK untuk pembatalan UU Pilkada

tersebut atau Perppu yang diajukan Presiden SBY di hari-hari akhir masa

kekuasaannya ditolak DPR RI nanti, hampir bisa dipastikan jabatan kepala

daerah merupakan ajang bagi-bagi kekuasaan (horse trading) di antara

partai-partai pendukung Koalisi Prabowo. Seperti pernah dinyatakan Wakil

Ketua KPK Bambang Widjojanto, jika money politics pada Pilkada langsung

lebih merupakan petty corruption—korupsi kelas teri, maka Pilkada lewat

DPRD bakal menimbulkan eksplosi money politics dalam skala yang sulit

dibayangkan.

Dampak jangka panjang manuver kubu Probawo lainnya sudah banyak

dibicarakan publik, di antaranya termasuk upaya melalui MPR untuk tidak

melantik Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih; atau jika

tetap dilantik kemudian dalam perjalanan pemerintahannya berupaya

memakzulkan keduanya; dan juga mengembalikan pemilihan presiden dan

wakil presiden kepada MPR RI seperti terjadi pada masa Orde Lama

khususnya.

Dengan perkembangan dan gejala politik seperti ini Pak Made dan rakyat

tinggal gigit jari; mereka seolah powerless—tidak berdaya apa-apa selain

mengurut dada. Atau bangkit kembali sebagai people power seperti pernah

terjadi pada bulan-bulan awal 1998. Jika hal terakhir ini terjadi, bukan tidak

mungkin biaya yang harus dibayar negara-bangsa Indonesia menjadi sangat

mahal.

Basis Karakter Kemajuan

Rabu, 17 September 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/09/16/nbzykv-basis-karakter-kemajuan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mengisahkan pengalaman yang

menggugah ketika beliau diwisuda di Technische Hoogeschool (Sekarang

Institut Teknologi Bandung). Ketika Rektor menyerahkankan ijazah insinyur

kepada Bung Karno, secara mengejutkan ia berkata, “Ir Soekarno, ijazah ini

suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah,

bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Atas

ucapan tersebut Bung Karno mengatakan, “Kenangan terhadap karakter itu

akan tetap hidup, sekalipun dia mati. Aku tak pernah melupakan kata-kata

ini” (Adam, 2011: 81).

Karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian

seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral,

ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu

proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Sedemikian pentingnya nilai

karakter bagi eksitensi seseorang/sekelompok orang, sehingga dalam

peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when

healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”

Apapun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan,

kekuasaan menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan

tak memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang,

melaikan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah

bangsa. Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa memiliki

karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian

“bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa,

“Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang

persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan

pengalaman.”

Perhatian terhadap variabel budaya terutama karakter, sebagai bagian yang

menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu

masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an

dan 1950-an. Para pengkaji budaya pada periode ini, dengan sederet nama

besar seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel

Almond, Sidney Verba, Lucian Pye dan Seymour Martin Lipset, memunculkan

prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi

negara-negara yang terpuruk pascaperang Dunia kedua.

Namun, seiring dengan gemuruh laju developmentalisme yang menekankan

pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim

kemarau pada tahun 1960-an dan 1970-an.

Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai

perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi

budaya sejak tahun 1980-an. Pada 1985, Lawrence Horrison dari Harvard

Center for International Affairs menerbitkan buku, Underdevelopment Is a

State of Mind: The Latin American Case, yang menunjukkan bahwa di

kebanyakan negara Amerika Latin, budaya merupakan hambatan utama

untuk berkembang.

Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam

kasus negara-negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis

dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekononomi yang sama,

namun sebagian kelompok lebih berhasil dibanding kelompok lainnya.

Ambillah contoh keberhasilan minoritas etnis Tionghoa di Asia Tenggara,

minoritas Jepang di Brazil, Basque di Spanyol, serta Yahudi ke mana pun

mereka bermigrasi.

Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan politik ditunjukkan antara

lain oleh riset yang dilakukan oleh Robert Putnam (1993) dan Ronald

Inglehart (2000). Menurut Putnam, budaya adalah akar dari perbedaan-

perbedaan yang besar antara Italia utara yang bercorak demokratis dan

Italia Selatan yang bercorak otoritarian. Kesimpulan kedua ilmuwan tersebut

mewarisi pemikiran rintisan dari Alexis de Tocqueville (1835), yang

menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika berhasil

adalah kecocokan budayanya dengan demokrasi.

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering

mengajukan pertanyaan yang ia pinjam sejarawan Inggris, H.G. Wells, “Apa

yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia jawab sendiri,

bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa

luas wilayahnya dan sebera banyak penduduknya, melainkan tergantung

pada kekuatan tekad, sebagai pancaran karakternya.

Dalam Amanat Proklamasi, 17 agustus 1956, Bung Karno mengingatkan

pentingnya bangsa memiliki kekuatan karakter yang dibangun atas dasar

kedalaman penghayatan atas pandangan hidup bangsa. ”Bangsa Indonesia

harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai

levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup

dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang

dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai

levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan

bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan

kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya

kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,--tetapi kuatnya adalah

kuatnya kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”

Bangsa yang berkarakter memiliki kepercayaan pada nilai-nilai kepribadian

dan kemandirian bangsa sendiri. Dan kepercayaan ini sangat penting,

karena menurutnya, “Sesuatu bangsa yang tidak memiliki kepercayaan

kepada diri sendiri tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith

cannot stand.”

Beberapa puluh tahun kemudian, seorang intelektual Amerika Serikat, John

Gardner, seperti mengamini pandangan Bung Karno. Beliau menyatakan,

“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak

percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak

mengandung dimensi-dimensi moral yang dapat menopang peradaban besar

“ (Gardner, 1992)

Bagi Bangsa Indonesia, dimensi moral sebagai tumpuan karakter kolektif

yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah

Pancasila. Dalam pandangan Soekarno dikatakan, “...Kecuali Pancasila

adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat

mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari

Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar

Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita

letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat

mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah

kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali,

Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme,

perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang

membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara

berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri,

mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa

sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang

terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam

perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno,

1958)

Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno

pada pidato 1 Juni 1945, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah”

(Philosofische Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung)

negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja

statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus Leitstar (bintang

pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan.

Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia

memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-

prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara

paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan,

antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara

kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara

pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara

ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.

Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa

lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia

telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah

bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan

mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan

pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai

mengabaikannya.

Alhasil, tantangan bangsa Indonesia adalah bagaimana mencetak nilai-nilai

ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan, melalui pendalaman

pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk

mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan bidang

kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Untuk itu, diperlukan pendekatan

sosialiasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi dimensi

kognitif, afektif dan konatif, yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap

dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Dalam memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tersebut,

hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan

juga bintang pimpinan yang dinamis—yang mesti responsif terhadap

dinamika perkembangan zaman. Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka

bagi proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memperhatikan

semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan

antarsila. Maknanya, keterbukaan pengisian dan penafsiran atas setiap sila

Pancasila itu dibatasi oleh prinsip-prinsip pokoknya dan oleh keharusan

untuk menjaga koherensinya dengan sila-sila yang lain.

Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada

ketaatan dari warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonagoro

(1974), dapat diperinci sebagai berikut:

1.Ketaatan hukum, yang terkandung dalam pasal 27 (1) UUD 1945,

berdasarkan atas keadilan legal.

2.Ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu

kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.Ketaatan keagamaan, berdasarkan atas: sila pertama Pancasila; pasal 29

(1) UUD 1945; berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga

Pembukaan UUD 1945.

4.Ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat daripada

organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam

bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang

dapat menjadi pengalaman daripada manusia. Baik pengalaman tentang

penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian dan

religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis dan sosial-kultural.

Kunci ketaatan tersebut adalah semangat para penyelenggara negara dan

komitmen warga untuk menjungjung tinggi nilai-nilai keadabaan publik

berdasarkan Pancasila. Untuk itu, bukan hanya pembangunan aspek

jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama justru

pembangunan aspek kejiwaan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”

Itulah pesan dari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam

Indonesia bisa memberi kemakmuran kepada bangsa ini; namun di tangan

para penyelenggara negara yang miskin jiwa, sebanyak apapun sumber

kekayaan alam itu tak akan pernah mencukupi kesejahteraan warganya.

Kekayaan budaya Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban

kepada bangsa ini; namun di tangan para penyelenggara negara yang tak

memiliki kepercayaan diri, kekayaan budaya sebanyak apapun tak akan

pernah menjadi kekuatan kerohanian (karakter) bagi kemajuan bangsa.

Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi landasan kehidupan yang

rukun dan saling menyempurnakan; namun di tangan para penyelenggara

negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber pertikaian dan

saling mengucilkan.

Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti

mengantisipasi kemungkinan ini:

Pada hemat saya hal yang menyedihkan ini disebabkan karena manusia

tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang

menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia

(motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam

pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang

aktif,...bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi pro patria per orbis

concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan

otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi

untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.

Dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam

realitas, kita perlu menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti

yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri.

Fitrah pertama adalah semangat ”menuhan” (ketakwaan kepada Tuhan).

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sikap ”ihsan”

dengan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat

rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, menurut Bung

Hatta, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan

suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan

makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul

dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan

sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua,

Tuhan Yang Maha Kuasa.

Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Dalam pidato tentang

Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan:

Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya.

Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam

buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat

Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat

Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga,

dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia

yang tulen, yaitu perkataan „Gotong-royong‟. Negara Indonesia yang kita

dirikan haruslah Negara gotong-royong!

Fitrah ketiga adalah semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil

keputusan yang sulit, seperti dalam menentukan bentuk negara (uni,

federasi atau konfederasi), para pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu

mengheningkan cipta seraya memanjatkan do‟a agar keputusan yang

diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni

dengan penuh keikhlasan.

Fitrah keempat adalah semangat pengabdian dan tanggung jawab. Dalam

membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya

hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak

rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan

daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-

Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak

daripada republik.”

Fitrah kelima adalah semangat menghasilkan yang terbaik. Menanggapi

Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang

sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, ”Saya peringatkan

tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali

lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan

pada kesempurnaan.”

Fitrah keenam adalah semangat keadilan dan kemanusiaan. Dalam

Pancasila, kata „keadilan‟ ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila

sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan

kemanusiaan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan.

Bung Hatta mengingatkan: “Camkanlah, negara Republik Indonesia belum

lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum

sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat

melaksanakan pasal 27, ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”

Fitrah ketujuh adalah semangat kejuangan. Dalam pandangan Bung Hatta,

sebuah bangsa tidaklah eksis dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas

landasan suatu keyakinan, sikap batin yang memancarkan etos kejuangan

yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. “Bagi kami, Indonesia

menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-

citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap

orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Fitrah dasar kehidupan bernegara itu perlu dihidupkan sebagai tenaga batin

dan prasyarat moralitas yang dapat mengangkat marwah bangsa dari

kerendahannya. Dalam peringatan Isra Mi‟raj 7 Februari 1959, Soekarno

mengingatkan:

Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari

nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal,

kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi‟raj—kenaikan ke

atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas.

Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa

yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka

bumi (sirna ilang kertaning bumi).

Demikianlah, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita semangat,

alasan, dan tujuan perjuangan kebangsaan sedemikian terang dan luhurnya.

Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan

ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan kehilangan karakter dan

harga diri, karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. “Aib

terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan

ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah

kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama,

mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tak hanya jadi retorika atau

verbalisme di pentas politik. Karena itu, rejuvenasi Pancasila harus

dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar

falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah,

mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan,

koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan

menjadikannya sebagai karya, kebanggaan dan komitmen bersama.

Marilah kita muliakan nilai-nilai Pancasila sebagai kunci kemajuan bangsa.

Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Pengalaman

menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki

kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena

adanya harapan. Kemarahan, ketakutan dan kesedihan memang tak

tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan semangat tetap menyala.

Harapan yang positif bukanlah khayalan kosong, melainkan harapan yang

berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa

visi bisa membawa kesesatan. Upaya menyemai politik harapan harus

memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu,

peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Dalam

kerangka itulah, penggalian kembali nilai-nilai luhur Pancasila dengan

mempertimbangkan rasionalitas dan aktualisasinya dalam mengatasi

masalah kekinian adalah cara tepat untuk mentransformasikan ketakutan

menjadi harapan.

Indonesia adalah satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut

negerinya dengan „tanah air‟. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari,

dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada

harapan. Selamat berjuang! Ingatlah pesan Bung Karno, ijazah boleh robek

dan hancur, tetapi karakter Pancasila tak boleh lekang. Itulah modal

permanen bagi kehidupan dan kemajuan!

Basis Karakter Kemajuan (2)

Wednesday, 24 September 2014, 10:38 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/09/24/ncdzfg-basis-karakter-kemajuan-2

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Dalam Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1956, Bung Karno mengingatkan

pentingnya bangsa memiliki kekuatan karakter yang dibangun atas dasar

kedalaman penghayatan atas pandangan hidup bangsa.

”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus

mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai

isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa

yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak

mempunyai levensdiepte sama sekali.”

“Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia

mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada

gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-

kadang kuat—tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong

melompong di bagian dalamnya."

“Bangsa yang berkarakter memiliki kepercayaan pada nilai-nilai kepribadian

dan kemandirian bangsa sendiri. Dan kepercayaan ini sangat penting,

karena menurutnya, „Sesuatu bangsa yang tidak memiliki kepercayaan

kepada diri sendiri tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith

cannot stand."

Beberapa puluh tahun kemudian, seorang intelektual Amerika Serikat, John

Gardner, seperti mengamini pandangan Bung Karno. Beliau menyatakan,

“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak

percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak

mengandung dimensi-dimensi moral yang dapat menopang peradaban

besar.“ (Gardner, 1992).

Bagi bangsa Indonesia, dimensi moral sebagai tumpuan karakter kolektif

yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah

Pancasila. Dalam pandangan Soekarno dikatakan, "... Kecuali Pancasila

adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat

mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari

Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar

Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita

letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat

mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah

kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali,

imperialisme.

“Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan

mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak

sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-

tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik

sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai

kepribadian sendiri. Kepribadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam

kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain

sebagainya.” (Soekarno, 1958).

Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno

pada pidato 1 Juni 1945, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah”

(philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung)

negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja

statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus leitstar (bintang

pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan.

Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia

memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-

prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara

paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan,

antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara

kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara

pemerintahan autokratik dan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi

etatisme dan kapitalisme predatoris.

Diperlukan puluhan tahun sejak Perang Dunia II bagi bangsa-bangsa lain

untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah

meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini

memang kerap pandai memulai, tapi gagal memelihara dan mengakhiri.

Tatkala bangsa-bangsa lain mulai menengok warisan pemikiran terbaik

bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.

Alhasil, tantangan bangsa Indonesia adalah bagaimana mencetak nilai-nilai

ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan melalui pendalaman

pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk

mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan bidang

kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Untuk itu, diperlukan pendekatan

sosialisasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi dimensi

kognitif, afektif, dan konatif yang dapat memengaruhi pola pikir, pola sikap,

dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Dalam memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tersebut,

hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan

juga bintang pimpinan yang dinamis—yang mesti responsif terhadap

dinamika perkembangan zaman.

Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka bagi proses pengisian dan penafsiran

baru, dengan syarat memperhatikan semangat dasar yang terkandung di

dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Maknanya, keterbukaan

pengisian dan penafsiran atas setiap sila Pancasila itu dibatasi oleh prinsip-

prinsip pokoknya dan oleh keharusan untuk menjaga koherensinya dengan

sila-sila yang lain.

Basis Karakter Kemajuan (3) Rabu, 01 Oktober 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/09/30/ncpwh9-basis-karakter-kemajuan-3

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada

ketaatan dari warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonagoro

(1974), dapat diperinci sebagai berikut.

Pertama, ketaatan hukum yang terkandung dalam Pasal 27 (1) UUD 1945

berdasarkan atas keadilan legal. Kedua, ketaatan kesusilaan berdasarkan

atas sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketiga, ketaatan keagamaan berdasarkan atas sila pertama Pancasila, Pasal

29 (1) UUD 1945, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga

Pembukaan UUD 1945. Keempat, ketaatan mutlak atau kodrat atas dasar

bawaan kodrat daripada organisasi hidup bersama dalam bentuk

masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran

dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman daripada

manusia. Baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan

hidup kebendaan, kerohanian, dan religius; lingkungan hidup sosial

ekonomis, sosial politis, dan sosial-kultural.

Kunci ketaatan tersebut adalah semangat para penyelenggara negara dan

komitmen warga untuk menjungjung tinggi nilai-nilai keadaban publik

berdasarkan Pancasila. Untuk itu, bukan hanya pembangunan aspek

jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama justru

pembangunan aspek kejiwaan.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Itulah pesan dari lagu

Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam Indonesia bisa memberi

kemakmuran kepada bangsa ini, tapi di tangan para penyelenggara negara

yang miskin jiwa, sebanyak apa pun sumber kekayaan alam itu tak akan

pernah mencukupi kesejahteraan warganya.

Kekayaan budaya Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban

kepada bangsa ini, tapi di tangan para penyelenggara negara yang tak

memiliki kepercayaan diri, kekayaan budaya sebanyak apa pun tak akan

pernah menjadi kekuatan kerohanian (karakter) bagi kemajuan bangsa.

Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi landasan kehidupan yang

rukun dan saling menyempurnakan, tapi di tangan para penyelenggara

negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber pertikaian dan

saling mengucilkan.

Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti

mengantisipasi kemungkinan ini: Pada hemat saya hal yang menyedihkan ini

disebabkan oleh manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin,

ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang

menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan

menerima macam-macam pertanggungjawaban sebagai seorang anggota

masyarakat yang aktif ... bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi, pro patria

per orbis concordiam. Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan karena

latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan

mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang

baik.

Dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam

realitas, kita perlu menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti

yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri. Fitrah

pertama adalah semangat ”menuhan” (ketakwaan kepada Tuhan).

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sikap ”ihsan”

dengan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat

rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, menurut Bung

Hatta, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan

suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan

makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul

dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan

sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua,

Tuhan Yang Maha Kuasa.

Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Dalam pidato tentang

Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan: Kita mendirikan Negara

Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua!

Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan

Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan

Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia --

semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang

tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen,

yaitu perkataan „gotong-royong‟. Negara Indonesia yang kita dirikan

haruslah negara gotong-royong!

Fitrah ketiga adalah semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil

keputusan yang sulit, seperti dalam menentukan bentuk negara (uni,

federasi, atau konfederasi), para pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu

mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil

dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan

penuh keikhlasan. Fitrah keempat adalah semangat pengabdian dan

tanggung jawab

Basis Karakter Kemajuan (4) Wednesday, 08 October 2014, 06:00 WIB

SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/08/nd2yc4-basis-karakter-kemajuan-4

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan,

”Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak

rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan

daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-

Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak

daripada republik.”

Fitrah kelima adalah semangat menghasilkan yang terbaik. Menanggapi

Soepomo yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang

sempurna di masa perang, Sukarno mengingatkan, ”Saya peringatkan

tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali

lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan

pada kesempurnaan.”

Fitrah keenam adalah semangat keadilan dan kemanusiaan. Dalam

Pancasila, kata “keadilan” ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila

sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan

kemanusiaan. Pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan.

Bung Hatta mengingatkan, “Camkanlah, negara Republik Indonesia belum

lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan masyarakat belum

sanggup menaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat

melaksanakan Pasal 27 ayat 2, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34.”

Fitrah ketujuh adalah semangat kejuangan. Dalam pandangan Bung Hatta,

sebuah bangsa tidaklah eksis dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas

landasan suatu keyakinan, sikap batin yang memancarkan etos kejuangan

yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. “Bagi kami, Indonesia

menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-

citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap

orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Fitrah dasar kehidupan bernegara itu perlu dihidupkan sebagai tenaga batin

dan prasyarat moralitas yang dapat mengangkat marwah bangsa dari

kerendahannya. Dalam peringatan Isra Mi'raj 7 Februari 1959, Sukarno

mengingatkan, "Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya

tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa

Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang

ingin Mi'raj-kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya

negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng

untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu dengan sendirinya akan gugur

pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi)."

Demikianlah, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita semangat,

alasan, dan tujuan perjuangan kebangsaan sedemikian terang dan luhurnya.

Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan

ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan kehilangan karakter dan

harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. “Aib

terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan

ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah

kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama,

mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tak hanya jadi retorika atau

verbalisme di pentas politik. Karena itu, rejuvenasi Pancasila harus

dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar

falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah,

mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan,

koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan

menjadikannya sebagai karya, kebanggaan, dan komitmen bersama.

Marilah kita muliakan nilai-nilai Pancasila sebagai kunci kemajuan bangsa.

Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Pengalaman

menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki

kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena

adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak

tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.

Harapan yang positif bukanlah khayalan kosong, melainkan harapan yang

berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa

visi bisa membawa kesesatan. Upaya menyemai politik harapan harus

memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan, baik masa lalu,

peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Dalam

kerangka itulah, penggalian kembali nilai-nilai luhur Pancasila dengan

mempertimbangkan rasionalitas dan aktualisasinya dalam mengatasi

masalah kekinian adalah cara tepat untuk mentransformasikan ketakutan

menjadi harapan.

Indonesia adalah satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut

negerinya dengan “tanah air”. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari,

dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada

harapan. Selamat berjuang! Ingatlah pesan Bung Karno, ijazah boleh robek

dan hancur, tetapi karakter Pancasila tak boleh lekang. Itulah modal

permanen bagi kehidupan dan kemajuan!

Islam Dalam Krisis (1)

Selasa, 09 Desember 2014, 06:00 WIB SUMBER : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/12/08/ng9s7l-islam-dalam-krisis-1

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Professor Ahmad Syafii Maarif

Jika turunnya wahyu pertama pada tahun 610 Masehi sebagai awal kenabian

dapat diterima menjadi tonggak karier Islam di muka bumi, maka karier itu

sudah berlangsung dalam lipatan abad yang panjang. Islam bukan lagi

agama sederhana, ia sudah kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama

terakhir ini sudah berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan mana yang

emas dan mana yang loyang menjadi tidak mudah, kecuali di tangan orang

yang dikurniai „aqlun shaĥîh wa qalbun salîm (minda yang sehat tak terbelah

dan hati yang tulus tanpa cacat), sekalipun tidak pernah sempurna. Alquran

pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas prima ini. Tetapi

manusia tetap manusia dengan segala keterbatasannya, ada saja sisi-sisi

yang lemah yang mengganggu.

Dari sudut pandang relativisme manusia inilah kita harus memahami

mengapa telah berlaku peperangan antara kelompok „Aisyah binti Abû Bakr,

janda nabi, yang dipimpin oleh Thalĥâh bin „Ubaidillâh dan Zubair bin

„Awwâm berhadapan dengan pendukung Khalifah „Alî bin Abî Thâlib (656-

661), sepupu dan menantunya. Menurut hadist, sebagai sahabat nabi,

mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga. Ini

adalah krisis politik pertama yang berdarah dalam sejarah Islam yang

dikenal dengan Perang Onta, terjadi tahun 35 H/656 M, segera setelah

berlaku pembunuhan keji atas diri Khalifah „Ustmân bin „Affân (644-656)

oleh pemberontak Muslim yang menentang kebijakan khalifah yang dinilai

tidak adil.

Krisis kedua yang lebih dahsyat di periode awal itu terjadi dalam perang

Shiffîn (657) antara pasukan‟Ali dan Mu‟awiyyah bin Abû Sufyân, gubernur

Suria yang diangkat Khalifah „Umar bin Kaththâb (632-644) di masa

kekhalifahannya. Dalam perang saudara yang masih dikait-kaitkan dengan

Parang Onta ini, ribuan yang mati dari kedua pihak. Ketika pasukan „Alî

nyaris menang, utusannya Abû Mûsâ al-„Asy‟arî ditipu oleh utusan

Mu‟âwiyah, „Amr bin „Ash yang cerdik, agar peperangan dihentikan dan

berdamai (taĥkîm) di Daumatul Jandal, sebuah oase di lembah Sirhan yang

terletak antara Damaskus dan Madinah.

Peluang ini digunakan dengan licik oleh „Amr bin „Ash untuk mengganti „Alî

sebagai khalifah dengan menobatkan Mu‟âwiyah, idolanya. Tetapi kekuasaan

penuh Mu‟awiyah harus menanti dulu kematian „Ali karena ditikam oleh

mantan pengikutnya di masjid Kufah. Kelompok garis keras ini kemudian

dikenal dalam sejarah sebagai golongan khawarij (yang memisahkan diri)

dari „Ali karena menentang taĥkîm di Daumatul Jandal. Tetapi sebenarnya

yang tetap setia kepada „Ali sampai detik terakhir adalah kaum Anshar.

Adapun orang Iraq dan apa yang dikenal dengan golongan al-Qurra tidak

sepenuh hati mendukung „Ali. Kelemahan ini dibaca dan dimanfaatkan oleh

pihak Mu‟awiyah untuk memecah belah kubu „Ali dan berhasil.

Saya rekamkan kejadian tragis ini bukan untuk membuka luka yang telah

berusia belasan abad, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa

sengketa yang berdarah-darah di atas sepenuhnya adalah gejala Arab,

bukan mewakili Alquran yang dengan tegas memerintahkan agar orang

beriman itu bersaudara dan berdamai. (Lih. Aquran . Al-Ĥujurât: 10).

Ironisnya adalah perpecahan yang bercorak Arab ini kita warisi sampai detik

ini. Seakan-akan kelakuan para sahabat yang terlibat dalam sengketa dan

peperangan itu menjalankan perintah Alquran, sama sekali tidak. Adapun

mereka itu dijamin masuk surga sepenuhnya adalah urusan Allah dengan

mereka, kita tidak tahu.

Dari tragedi Shiffîn inilah kemudian berkembang tiga faksi besar umat yang

tidak pernah berdamai: sunni, syi‟ah, dan khawarij. Sunni yang muncul

sebagai golongan mayoritas merasa diri selalu berada di pihak yang benar

dengan menuduh kelompok syi‟ah dan khawarij sebagai pihak yang salah.

Cara pandang yang semacam ini harus dihalau jauh-jauh dengan

menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Kepentingan

politik sesaat dengan dalil agama sekalipun bagi saya adalah sebuah

pengkhianatan. Sunni, syi‟ah, dan khawarij adalah buah dari perpecahan

politik, mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama

ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam,

termasuk umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan yang budaya

Arab yang suka berpecah belah itu.

Reference sites

1. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/17/nf6t6m-

patriotisme

2. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/14/nf17sj-

terusiknya-kedaulatan-kita

3. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/12/nexo2r-

suatu-hari-di-kampung-tatar

4. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/10/netyus-

budaya-politik-indonesia

5. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/07/neo60y-pahlawan-dan-kita

6. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/06/nemd5o-

mobil-amien-rais-ditembak

7. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/05/neka26-

masjid-cordova

8. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/03/neh0m1-

tukang-cat

9. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/31/neb6a4-

sumpah-pemuda-dan-bola-indonesia

10. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/03/neh0m1-

tukang-cat