KAPASITAS BIOSORBSI BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii TEHADAP ION LOGAM Cu(II)

56
KAPASITAS BIOSORBSI BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii TEHADAP ION LOGAM Cu(II) PRAPROPOSAL OLEH JIMMY PRAWIRA JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN 1

Transcript of KAPASITAS BIOSORBSI BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii TEHADAP ION LOGAM Cu(II)

KAPASITAS BIOSORBSI BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii

TEHADAP ION LOGAM Cu(II)

PRAPROPOSAL

OLEH

JIMMY PRAWIRA

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

1

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2014

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya suatu daerah biasanya

diikuti pula dengan perkembangan bidang industri, di

samping akan menghasilkan produk yang bermanfaat juga

menghasilkan produk sampingan yang sangat mempengaruhi

keseimbangan lingkungan. Sejak kasus kecelakaan merkuri

di Minamata, Jepang tahun 1953, isu pencemaran logam

berat meningkat sejalan dengan pengembangan berbagai

penelitian yang mulai diarahkan pada penerapan teknologi

untuk menangani pencemaran lingkungan. Provinsi

Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan dengan tingkat

pertumbuhan industri yang cukup tinggi berpotensi

mengalami kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh

logam berat.

2

Logam berat adalah logam-logam dan metaloid yang

memiliki massa atom antara 63,5 dan 200,6 g/mol serta

memiliki densitas lebih dari 4,5 g/cm3 (Shah, 2008).

Logam berat pencemar lingkungan terdiri atas beberapa

unsur yang dikategorikan atas pencemar prioritas tinggi,

sedang dan rendah yang umumnya terlarut dalam air dalam

berbagai senyawa. Logam berat tidak dapat dihancurkan

oleh mikroorganisme dan dapat terakumulasi dalam tubuh

manusia serta mengakibatkan kerusakan organ-organ tubuh

(Sembodo, 2006). Logam berat menyebabkan pencemaran yang

serius karena toksisitasnya dan tidak dapat terdegradasi

dalam lingkungan (Pekey, 2006).

Metode konvensional yang biasa digunakan untuk

menghilangkan dan memurnikan logam berat antara lain

pengendapan, oksidasi reduksi, pertukaran ion, filtrasi,

penguapan, osmosiss balik dan ekstraksi pelarut. Tetapi,

metode-metode ini memiliki kekurangan seperti pemurnian

logam yang tidak sempurna, selektivitas yang rendah,

membutuhkan energi yang tinggi, menghasilkan produk

endapan dan air beracun sebagai hasil sampingan (Hsuang-

3

Liang et.al, 2003). Selain itu, metode-metode ini mahal

dan tidak efisien (Kratochvil et.al 1997 dalam Nuhoglu

et.a;, 2002). Masalah pencemaran air oleh logam berat

menghadirkan suatu tantangan dan biosorpsi dapat menjadi

solusi dari masalah tersebut (Viera dan volesky, 2000).

Biosorpsi merupakan salah satu teknik alternatif

untuk pengolahan limbah melalui penyerapan logam-logam

berat oleh materi biologi dari larutannya dalam air.

Metode ini kompetitif, murah dan juga efektif (Bayhan

et.al (2001); Volesky (2001) dalam Ucun et.al, 2002).

Pengambilan logam berat oleh sel-sel mikrobial, yang

dikenal sebagai biosorpsi adalah pengambilan pasif dan

tidak ada energi yang diperlukan (Valdman et.al, 2001

dalam Nuhoglu et.al, 2002) serta recovery logam sangat

mungkin dilakukan karena logam dapat dengan segera

dipisahkan dari biomassa dan diperoleh kembali. Adapun

fenomena biosorpsi terjadi karena interaksi antara ion

logam dengan gugus fungsi dalam polimer organik pada

permukaan sel. Hal ini dapat terjadi karena polimer

organik mempunyai gugus fungsi seperti karboksil, amina,

4

fosfat, dan amida yang dapat mengikat logam dalam

larutan.

Istilah biosorpsi digunakan untuk menjelaskan

penghilangan logam berat melalui pengikatan pasif pada

biomassa tumbuhan atau mikroorganisme yang tidak hidup

dari larutannya dalam air (Davis et.al, 2003). Biomassa

yang hidup atau mati dapat digunakan untuk menghilangkan

logam berat, tetapi menjaga biomassa tetap hidup selama

adsorpsi logam sulit karena suplai nutrien yang terus-

menerus diperlukan dan toksisitas logam terhadap

biomassa dapat terjadi (Yan dan Viraraghavan, 2003).

Oleh karena itu biomassa yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah biomassa yang telah mati yakni

biomassa lamun.

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri

untuk hidup di bawah permukaan air laut. (Dahuri dkk,

2001).

Lamun merupakan salah satu dari tumbuhan macrophyta,

tumbuhan yang mempunyai akar (rhizome dan serabut akar),

5

batang, daun, bunga dan beberapa spesies berbuah (Kasim,

2005). Berdasarkan penelitian Keskinkan dkk (2004),

tumbuhan macrophyta yaitu Ceratophyllum demersum dapat

digunakan sebagai biosorben untuk ion logam Pb(II),

Cu(II) dan Zn(II). Beberapa peneliti (Wang dkk, 1996 ;

Schneider dan Rubio, 1999 ; Schneider dkk, 1999 dalam

Keskinkan dkk, 2004), menunjukkan bahwa beberapa logam

berat dapat terakumulasi oleh beberapa tumbuhan

macrophyta ; Potamogeton lucens, Salvinia herzogoi, Eichhornia

crassipes, Myriophyllum brasillensis, Cabomba sp., Myriophyllum

spicatum. Oleh karena itu, lamun berpotensi untuk

menghilangkan ion-ion logam berat dari larutannya. Jenis

lamun yang digunakan dalam penelitian ini adalah Thalassia

hemprichii

Thalassia hemprichii merupakan spesies lamun yang akan

digunakan karena jenis lamun ini banyak terdapat di

perairan pesisir Kabupaten Bintan. Tingkat persentase

luas tutupan lamun Thalassia hemprichii mencapai 48,06% yang

tersebar pada Perairan Bintan bagian Timur (BAPEDDA

Kabupaten Bintan 2012).

6

Logam berat Cu (tembaga) merupakan bahan pencemar

yang potensial berada di sekitar kawasan perairan

pesisir atau pantai karena daerah ini merupakan tempat

bermuaranya berbagai macam limbah termasuk limbah logam

berat, dimana keberadaan logam Cu dalam perairan berasal

dari sumber-sumber alamiah dan dari aktivitas yang

dilakukan oleh manusia. Logam Cu sebagian besar berasal

dari kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga,

serta limbah dan buangan industri. Meskipun

konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan

logam berat telah diketahui bersifat akumulatif dalam

sistem biologis. Dengan semakin meningkatnya aktifitas

dan tuntutan kesejahteraan manusia akan berdampak pada

peningkatan pencemaran berbagai macam logam berat,

diantaranya adalah Cu. Disamping itu, materi terlarut

seperti logam dapat terakumulasi sepanjang perairan,

bahkan dapat terjadi beberapa kilometer setelah sumber

polusi (Obolewski, dkk., 2006). Kadar logam berat yang

melebihi ambang batas akan menimbulkan efek negatif

berupa racun yang sangat berbahaya bagi biota laut dan

7

akhirnya akan sampai pada manusia melalui proses rantai

makanan (Palar, 1994).

Dari penelitian ini, akan diperoleh informasi

tentang kapasitas biosorpsi dari biomassa lamun Thalassia

Hemprichii sebagai upaya untuk mendapatkan adsorben yang

efektif terhadap ion logam-logam berat, khususnya ion Cu

(II).

B. Identifikasi Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dari penelitian

ini adalah :

1. Berapakah waktu kontak optimum biosorpsi ion Cu(II)

oleh biomassa lamun Thalassia hemprichii ?

2. Berapakah pH optimum biosorpsi ion Cu(II) oleh

lamun Thalassia hemprichii ?

3. Berapakah kapasitas biosorpsi ion Cu(II) oleh

biomassa lamun Thalassia hemprichii ?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian

eksperimental ini dibatasi pada kapasitas biosorpsi ion

8

Cu(II) oleh Biomassa lamun Thalassia hemprichii yang terdapat

pada Kawasan Konservasi Padang Lamun Kabupaten Bintan.

Prinsip yang digunakan adalah sistem batch, dimana

biomassa lamun dikontakkan dengan larutan analit

(larutan logam) selama waktu tertentu dalam suatu wadah.

Variable-variabel bebas yang digunakan untuk penelitian

ini adalah tingkat keasaman (pH) larutan logam, jumlah

biomassa dan waktu kontak antara larutan logam dengan

biomassa. Analisis logam berat dilakukan dengan SSA

(Spektrofotometer Serapan Atom) nyala udara-asetilen,

kapasitas biomassa sebagai biosorben digambarkan dengan

kesetimbangan biosorpsi isotherm Langmuir.

D. Rumusan Masalah

Saat ini, pengolahan secara biologis untuk

mengurangi ion logam berat dari air tercemar menjadi

teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan

mengingat pemisahan logam-logam berat dari perairan

dengan cara kimia dan fisika dinilai kurang ekonomis.

Salah satu di antaranya adalah biosorpsi yang

9

memanfaatkan kemampuan pertukaran ion, pembentukan

kompleks dan penyerapan mikroorganisme untuk menyerap

logam berat.

Beberapa peneliti telah mencoba menggunakan

material biologi atau limbah hasil pertanian sebagai

material penyerap. Namun, berbagai kajian terus

dilakukan untuk menemukan adsorben yang efektif dengan

cara membandingkan kapasitas biosrobsi satu adsorben

dengan adsorben lainnya. Salah satu sumber daya alam di

kawasan pesisir yang cukup potensial digunakan sebagai

bahan penyerap (adsorben) adalah lamun mengingat

vegetasinya merupakan salah satu ekosistem yang berperan

sebagai stabilisator nutrient dan bahan pencemar.

Kemampuan biomassa lamun dalam menyerap ion-ion logam

berat dikarenakan adanya gugus-gugus fungsional yang

terdapat di permukaan luar dan dalam sel lamun yang

berikatan dengan ion logam. Pada penelitian kali ini

dipelajari biosorpsi ion logam Cu2+ melalui simulasi di

Laboratorium dengan variasi jumlah biomassa, pH awal,

dan waktu kontak.

10

E. Tujuan Penelitian

Untuk memecahkan masalah yang dirumuskan di atas,

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan waktu kontak optimum biosorpsi ion-ion

Cu(II) oleh biomassa lamun Thalassia Hemprichii

2. Menentukan pH optimum biosorpsi ion-ion Cu(II) oleh

biomassa lamun Thalassia Hemprichii

3. Menentukan kapasitas biosorpsi ion-ion Cu(II) oleh

biomassa lamun Thalassia Hemprichii

F. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi awal mengenai kapasitas

biosorpsi ion-ion Cu(II) oleh biomassa lamun

Thalassia hemprichii yang dapat digunakan untuk

pengelolaan ekosistem pesisir dan laut khususnya

dalam penanganan pencemaran oleh logam berat.

2. Sebagai upaya untuk menemukan biosorben yang

efektif dengan memberikan informasi tentang kondisi

optimum dan kapasitas biosorpsi dari biomassa lamun

11

Thalassia Hemprichii terhadap ion Cu(II). Data yang

diperoleh dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam

pengolahan air buangan yang terkontaminasi oleh ion

logam berat

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Vegetasi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di

dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup

tinggi. Lamun umumnya hidup pada perairan dangkal di

kawasan pesisir dekat terumbu serta mampu hidup hingga

kedalaman maksimal 90 meter. Lamun merupakan tumbuhan

yang mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsinya

hampir sama dengan tumbuhan daratan. Secara morfologi

lamun juga memiliki akar, batang, daun, bunga dan buah

(Azkab, 2006). Larkum et al. (2006) menyebutkan

karakteristik lamun yang membuat lamun unik dibandingkan

Angiospermae lainnya, yaitu:

1. Hidup di lingkungan muara atau laut, dan di tempat

lain.

2. Penyerbukan di dalam air dengan serbuk sari “khusus”.

3. Menghasilkan benih di dalam air yang dapat disebarkan

oleh agen biotik maupun abiotik.

13

4. Memiliki daun khusus dengan sedikit kutikula dan

epidermis yang tidak memiliki stomata yang merupakan

jaringan utama dalam proses fotosintesis.

5. Memiliki rhizome yang penting sebagai penahan.

6. Memiliki akar yang mampu hidup dalam kondisi anoksida

dan tergantung pada transportasi oksigen dari daun

dan rhizome, akar penting dalam transfer nutrisi.

7. Lamun mampu berkembang biak secara generatif dan

vegetatif (Azkab, 2006).

Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih,

dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi

diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen,

serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah

padang lamun (DenHartog 1970). Hampir semua tipe

substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat

berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas

lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang

tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.

Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang

terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut

14

ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup

lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering

juga dijumpai di terumbu karang (Den Hartog, 1970).

Tomascik et al. (1997) menguraikan peranan penting

lamun sebagai habitat pemeliharaan (nursery ground) bagi

spesies komersil seperti udang, ikan dan moluska.

Selain itu, lamun juga berperan sebagai penghubung dan

penyangga antara ekosistem mangrove dan ekosistem

terumbu karang. Pentingnya lamun telah terangkum dalam

satu set aksioma, yang sering disebut sebagai ‘jasa

ekosistem (Costanza et al., 1997). Peranan lamun yang

sangat penting antara lain adalah:

1. Lamun merupakan produsen primer yang penting bagi

kehidupan di laut.

2. Lamun menyuplai makanan organik untuk berbagai

organisme yang tergantung pada jejaring makanan (food

webs).

3. Lamun dapat menstabilkan arus dan sedimen dasar laut.

15

4. Lamun menyusun dasar laut menjadi sebuah lingkungan

yang kompleks dengan menyediakan tempat hidup bagi

banyak organisme.

5. Lamun sebagai tempat pemeliharaan (nursery ground) bagi

banyak spesies organisme dengan nilai ekonomis

penting.

Lamun tidak memiliki spesies yang cukup banyak di

seluruh dunia, sekitar

50 spesies dalam 12 genera. Lamun diklasifikasikan ke

dalam empat famili yaitu

Posidoniaceae, Cymodoceaceae, Zosteraceae, dan Hydrocharitaceae

(Kuo dan den

Hartog, 2006). Sebagian besar spesies lamun lebih

banyak terdapat di kawasan tropis dibandingkan di

kawasan subtropis, meskipun sebaran lamun tidak terbatas

hanya pada daerah tropis atau subtropis saja. Indonesia

sebagai negara tropis memiliki tujuh genus lamun dari 12

genus yang ada di dunia yaitu Enhalus, Thalassia dan

Halophila dari famili Hydrocharitaceae, serta empat genus

16

lainnya dari famili Cymodoceaceae yaitu Cymodoceae,

Syringodium, Halodule dan Thalassodendron (Kuo dan den Hartog,

2006; Tomascik et al., 1997).

B. Gambaran Umum Spesies Lamun Thalassia hemprichii

Lamun dugong (Thalassia hemprichii) merupakan salah satu

tumbuhan dari kelas Angiospermae. Lamun jenis ini

memiliki ciri-ciri daun lurus sampai sedikit melengkung,

tepi daun tidak menonjol dengan panjang 10 sampai 20 cm

dan lebar mencapai 1 cm, seludang daun tampak keras

dengan panjang berkisar 3 sampai 6 cm. rimpang keras,

menjalar, ruas-ruas rimpang mempunyai seludang

(Susetiono 2004). Buahnya berduri. Satu buah berisi 9

biji, diameternya sekitar 0,6 mm (Waycott et al., 2004).

Lamun dugong memiliki jumlah yang cukup berlimpah

dan sering dominan pada padang lamun campuran. Lebar

kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25 m. Kecepatan

tumbuh daun lamun dugong adalah 4,51 mm hari-1 untuk

daun baru maupun daun lama (Dahuri 2003).

17

Gambar 6. Thallasia hemprichii

(http://www.plantsystematics.org/imgs/)

Berikut klasifikasi Thalassia hemprichii menurut Ehrenberg:

Domain : Eukaryota

Divisio : Plantae

Phylum : Tracheophyta

Class : Spermatopsida

Order : Alismatales

Family : Hydrocharitaceae

Genus : Thalassia

Spesies : Thalassia

hemprichii

Lamun dugong mampu tumbuh dan berkembang dalam

kondisi tak beroksigen (anoxia) atau berkadar oksigen

rendah yang merupakan sifat habitat pasang surut yang

18

dangkal. Hal ini disebabkan karena lamun ini mempunyai

strategi metabolisme (dengan mikrozoma akar aerobik)

sehingga mampu berkoloni di habitat laut dangkal dengan

berhasil dan mengusir sebagian kelompok tumbuh-tumbuhan

lainnya (Romimohtarto dan Juwana 2007).

19

C. Tinjauan Umum Logam

Dalam sistem berkala periodik, ada 94 dari 106

unsur tergolong dalam unsur logam. Logam itu sendiri

digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu logam berat

dan logam ringan. Menurut seorang ahli kimia, logam

berat ialah logam yang mempunyai berat 5 gram atau

lebih untuk setiap cm3 dan bobot ini beratnya lima kali

dari berat air. Dengan sendirinya logam yang beratnya

kurang dari 5 gram termasuk logam ringan.

Logam dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada

makhluk hidup. Hal ini terjadi jika sejumlah logam

mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu sangat

berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam

lingkungan (dalam air, tanah dan udara), karena logam

tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh

makhluk hidup. Cemaran lingkungan oleh logam-logam

berbahaya dapat terjadi jika orang atau pabrik yang

menggunakan logam tersebut untuk proses produksinya

tidak memperhatikan keselamatan lingkungan.

20

Di samping hal tersebut di atas, beberapa logam

berat sangat diperlukan dalam proses kehidupan makhluk

hidup. Berdasarkan sudut pandang toksikologi logam dapat

di bagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Logam Esensial adalah logam yang sangat membantu

dalam proses fisiologis makhluk hidup dengan jalan

membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari

makhluk yang bersangkutan. namun dalam jumlah yang

berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh

logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain

sebagainya

2. Logam Non Esensial adalah logam yang peranannya

dalam tubuh makhluk hidup belum

diketahui/kandungannya dalam jaringan hewan sangat

kecil, dan apabila kandungannya tinggi akan dapat

merusak organ-organ tubuh makhluk yang bersangkutan

seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain

Logam-logam baik esensial maupun non esensial,

secara normal selalu ditemukan dalam lingkungan, tetapi

jumlahnya sangat sedikit. Dalam air tawar maupun air

21

laut, logam itu selalu hadir dan masih di bawah ambang

untuk membahayakan kehidupan organisme air dan

sekitarnya. Jika kandungan logam dalam air naik sedikit

demi sedikit karena ulah manusia, maka logam itu dapat

terserap dalam jaringan organisme tersebut (ikan, Udang

atau kerang) dan tertimbun dalam jaringan hewan

tersebut. Penimbunan logam dalam jaringan organisme air

berjalan sedikit demi sedikit dan tidak menimbulkan apa-

apa pada hewan air tersebut jika ikan itu dimakan oleh

manusia, mungkin tidak menimbulkan pengaruh, tetapi

sejak saat itu logam sudah masuk dalam tubuh orang yang

bersangkutan dan mulai tertimbun. Apabila orang tersebut

makan ikan yang tercemar terus menerus ia akan mengalami

keracunan secara kronis

D. Toksisitas Logam Berat

Logam berat adalah semua jenis logam yang mempunyai

berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3, sedangkan yang

mempunyai berat jenis kurang dari 5 g/cm3 dikenal

sebagai logam ringan. Ada beberapa jenis logam berat

yang digolongkan sebagai logam berat esensial misalnya

22

tembaga, besi, seng dan sebagainya. Unsur-unsur ini

sangat dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang terbatas,

namun dalam jumlah besar atau melebihi nilai toleransi,

maka justru akan menjadi toksik bagi tubuh. Logam berat

mempunyai nomor atom antara 22 sampai 92, terletak dalam

periode tiga sampai tujuh dalam susunan berkala kimia.

Konsentrasi logam berat yang tinggi berbahaya bagi

makhluk hidup karena efek toksiknya . Efek toksisitas

logam berat disebabkan oleh proses penggantian ion

esensial dalam sel, perusakan membran sel melalui reaksi

logam dengan gugus-SH, dan reaksi logam berat dengan

gugus fosfat dari ATP dan ADP , logam berat mampu

berikatan kuat dengan ligan biologis seperti fosfat,

purin, pirimidin, dan asam nukleat.

Logam berat akan terakumulasi dalam tubuh manusia

melalui rantai makanan, sehingga dapat menyebabkan

kerusakan saraf (Neurotoksisitas), nefrotoksisitas,

kerusakan gen (genotoksisitas), dan karsinogenesis pada

manusia. Unsur Pb, Co dan Cu merupakan logam berat yang

beracun karena sifat-sifat fisika dan kimianya. Logam-

23

logam tersebut paling banyak ditemukan pada perairan

yang tercemar logam berat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi daya racun

(toksisitas) dari logam-logam berat yang larut dalam

perairan antara lain bentuk logam dalam air, keberadaan

logam-logam lain, fisiologi dari biota (organisme) dan

kondisi biota (Palar, 1994). USEPA (U.S.Environmental

Agency) mencatat ada 13 elemen logam berat yang

merupakan elemen utama polusi yang berbahaya seperti

antimoni, arsenik, berillium, kadmium,, kromium,

tembaga, timbal, merkuri, nikel, selenium, perak,

talium, seng (Novotny, 1995).

Menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109

unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi

sebagai jenis logam berat. Logam berat ini dapat

menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada

bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh.

Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang

kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus.

Lebih jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai

24

penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi

manusia.

E. Toksisitas Logam Tembaga (Cu)

Tembaga dengan nama kuprum dilambangkan dengan Cu.

Unsur ini memiliki sifat fisika berbentuk kristal dengan

warna kemerahan, dapat ditempa, sangat lunak sehingga

dapat digulung dalam bentuk lembaran kawat, melebur pada

suhu 1083,4oC, serta pengantar kalor dan listrik. Dalam

tabel sistem periodik tembaga terletak pada golongan IB

periode ke 4 dengan nomor atom (NA) 29 dan bobot atom

(BA) 63,546, densitas 8,9 g/cm3 (Palar, 1994).

Sebagai logam berat tembaga berbeda dengan logam-

logam berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat

Cu digolongkan ke dalam logam berat essensial, artinya

meskipun tembaga merupakan logam berat, unsur ini sangat

dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit.

Toksisitas yang dimiliki oleh Cu baru akan bekerja dan

memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini masuk ke dalam

tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi batas

toleransi organisme tersebut.

25

Kebutuhan manusia terhadap logam Cu cukup tinggi.

manusia dewasa membutuhkan sekitar 30 µg Cu perkilogram

berat tubuh. Pada anak-anak jumlah Cu yang dibutuhkan

adalah 40 µg perkilogram berat tubuh. Sedangkan pada

bayi dibutuhkan 80 µg Cu perkilogram berat tubuh.

Konsumsi Cu yang baik bagi manusia adalah 2,5 mg/kg

berat tubuh/ hari untuk orang dewasa dan 0,05 mg/kg

berat tubuh/ hari untuk anak-anak dan bayi. (WHO, 1973-

cit. Fribeg – 1977 dalam Palar 1994).

Logam berat Cu yang masuk ke dalam tatanan

lingkungan perairan dapat berasal dari peristiwa-

peristuwa alami dan sebagai efek samping dari aktivitas

yang dilakukan oleh manusia. Secara alami, Cu masuk ke

dalam badan perairan akibat dari peristiwa erosi atau

pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di

atmosfir yang dibawa turun oleh air hujan, diperkirakan

mencapai 325.000 ton per tahun.

Aktivitas manusia, seperti buangan industri,

pertambangan Cu, industry galangan kapal merupakan salah

satu jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan

26

kelarutan Cu dalam badan perairan. Kehadiran tembaga

pada limbah industri biasanya dalam bentuk ion bivalen

Cu(II) sebagai produk hidrolitik (Nora dkk, 1998).

Dalam kondisi normal, keberadaan Cu dalam perairan

ditemukan dalam bentuk senyawa ion CuCO3+, CuOH+, dan

lain-lain. Biasanya jumlah ion Cu yang terlarut dalam

badan perairan laut adalah 0,002 ppm sampai 0,005 ppm.

Bila dalam perairan terjadi pelarutan Cu yang melebihi

ambang batas maka akan terjadi peristiwa

‘biomagnifikasi” terhadap biota-biota perairan (Palar,

1994).

Kelarutan ion Cu(II) yang mencapai 0,01 ppm, akan

mengakibatkan kematian bagi fitoplankton. Jenis

Crustaceae akan mengalami kematian bila konsentrasi ion

Cu(II) terlarut berada dalam kisaran 0,17 sampai 1,00

ppm. Biota jenis Molussca akan mengalami kematian bila

ion Cu(II) yang terlarut dalam badan perairan berada

dalam kisaran 0,16 sampai 0,5 ppm. Konsentrasi ion

Cu(II) yang berada dalam kisaran 2,5 sampai 3,0 ppm

dalam perairan akan dapat membunuh ikan-ikan. (Jackins

27

et.al, 1970 : Bryan (1976) dan Reisch et.al, 1979 dalam

Palar, 1994).

F. Biosorpsi

Biosorpsi adalah terakumulasi dan terkontaminasinya

logam berat dari suatu larutan (bahkan yang encer

sekalipun) oleh biomassa tumbuhan atau mikroorgsnisme

yang tidak hidup (Kumar, 2004). Biosorpsi merupakan

kemampuan material biologi untuk mengakumulasi ligand

logam berat melalui medan metabolisme atau jalur psiko-

kimia. Proses ini terjadi karena adanya material biologi

yang disebut biosorben dan larutan yang mengandung logam

berat (dengan afinitas yang tinggi) sehingga mudah

terikat pada biosorben (Fourest dan Roux, 1992).

Hasil-hasil penelitian tentang biosorpsi logam

berat menunjukkan kapasitas pengikatan dari biomassa

tertentu sebanding dengan resin penukar kation sintetik

komersil (Wase dan Foster, 1997 dalam Ahluwia dan Goyal,

2006). Proses biosorpsi terjadi ketika ion logam berat

mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda,

pertama pertukaran ion dimana ion monovalen dan divalent

28

seperti Na, Mg dan Ca pada dinding sel digantikan oleh

ion-ion logam berat dan kedua adalah formasi kompleks

antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional

seperti karbonil, amino, tiol, hidroksi, fosfat dan

hidroksi-karbonil yang berada pada dinding sel

(Suhendrayatna, 2001).

Volesky dan Holan (1995) telah mempelajari mikroba-

miktroba secara mendalam dan kapasitas pengikatan

logamnya. Kapasitas sorpsi selanjutnya dievaluasi dengan

isotermal sorpsi yang diberikan oleh model Langmuir dan

Freundlich. Efisiensi biosorpsi bergantung pada beberapa

faktor seperti kapasitas, afinitas dan spesifikasi dari

biosorben serta kondisi fisik dan kimianya dalam efluen.

Sampai saat ini penelitian biosorpsi merupakan

metode alternatif ideal untuk menghilangkan kontaminan

dari efluen yang mengandung logam berat. Keuntungan

biosporpsi oleh biomassa yang tidak hidup adalah sebagai

berikut (Modak dkk, 1996)

1. Dengan menggunakan biomassa yang tidak hidup,

masalah keterbatasan toksisitas dari sel dapat

29

diatasi. Biaya nutrien yang besar yang diperlukan

untuk pertumbuhan tidak diperlukan lagi. Oleh

karena itu, masalah pembuangan kelebihan nutrien

atau produk metabolik dapat dihindari.

2. biomassa mikroorganisme dapat dihasilkan dari

industri fermentasi yang ada, yang pada dasarnya

merupakan limbah setelah fermentasi.

3. proses tidak ditentukan oleh paksaan fisiologis

dari sel mikroba yang hidup

4. karena biomassa yang bersifat sebagai penukar ion,

proses sangat cepat terjadi antara beberapa menit

sampai beberapa jam

5. karena biomassa tidak hidup, kondisi pemprosesan

tidak dibatasi pada keadaan kondusif untuk

pertumbuhan sel. Dengan kata lain, rentang yang

lebih luas dari kondisi operasi seperti pH, suhu

dan konsentrasi memungkinkan. Proses tidak

memerlukan kondisi aseptik.

6. logam berat dapat didesorpsi dan diperoleh kembali

jika nilai dan jumlah logam signifikan dan jika

30

biomassa berlimpah. Biomassa yang mengandung logam

berat dapat dibakar, dengan demikian diperlakuan

lebih lanjut dapat dieliminasi.

G. Biomassa sebagai Biosorben

Penelitian mengenai kapasitas pengikatan logam oleh

beberapa jenis biomassa telah dilakukan sejak tahun

1985. ternyata beberapa jenis biomassa sangat efektif

dalam mengakumulasi logam-logam berat. Ketersediaan

(availability) merupakan faktor utama yang

diperhitungkan dalam memilih biomassa yang akan

digunakan. Rumput laut, jamur, bakteri, ragi, kulit

kepiting dan biomassa-biomassa yang lain telah diteliti

untuk biosorpsi logam dalam memberikan hasil yang

memuaskan (Viera dan Volesky, 2000).

Biosorben adalah merupakan bahan penyerap yang

berasal dari mikroorganisme atau produk metaboliknya

(Son dkk, 2004). Goyal, dkk (2002) menemukan beberapa

jenis bakteri, khamir dan fungi sebagai biosorben yang

baik. Biosorben yang berasal dari produk metabolik

31

mahluk hidup antara lain: selulosa, alginat, karaginan,

lignin, protein, kitin dan kitosan (Schmuhl, 2001).

Berbagai biosorben telah digunakan untuk

menghilangkan logam berat dari larutannya. Veglio dan

Beolchini (1997) melaporkan bahwa fungi, bakteri dan

ragi telah digunakan sebagai biosorben logam-logam berat

seperti Cr, Co, Ni, Cu, Zn, Cd, Ag, Au, Pb, Th dan U

dengan kapasitas adsorpsi bervariasi dari 0,4 – 450

mg/g.

Penelitian Keskinkan dkk (2004), membuktikan bahwa

Ceratophyllum demersum dapat mengabsorpsi timbal, seng dan

tembaga dari larutannya, kapasitas adsorpsi maksimum

untuk Cu(II) 6,17 mg/g, 13,98 mg/g untuk Zn (II) dan

44,8 mg/g untuk Pb.

Biosorpsi Cd(II), Pb(II) dan Cu(II) pada biomassa

jamur Phanerochaete chrysosporium diteliti dari air limbah

buatan dalam rentang konsentrasi 5-500 mg L-1

(Say,2001). Maksimum biosorpsi dari ion-ion logam yang

berbeda diperoleh pada pH 6 dan kesetimbangan biosorpsi

32

diperoleh setelah 6 jam. Data biosorpsi eksperimental

mengikuti model adsorpsi Langmuir.

Biosorpsi Cu(II), Ni(II) dan Cr (VI) dari

larutannya oleh alga kering Chlorella vulgaris, Scenedesmus

obliquus dan Synechocysis sp diuji pada kondisi laboratorium

sebagai fungsi pH, konsentrasi ion logam dan biomassa

awal (Donmez.dkk, 1999). Hasil menunjukkan bahwa

pengaruh konsentrasi biomassa alga pada penghilangan

logam oleh semua spesies dan kedua model adsorpsi

Freundlich dan Langmuir menunjukkan biosorpsi jangka

pendek.

Serat pisang dievaluasi kemampuannya sebagai sorben

ion logam dari limbah penyepuhan larutan sintesis pada

kondisi batch dan aliran berkesinambungan. Sorpsi diamati

sebagai fungsi pH dan konsentrasi dengan pH 4-5 sebagai

pH optimum. Data kesetimbangan mengikuti model

isothermal Langmuir dengan kapasitas maksimum 8,55 dan

13,46 mg g-1 dari Cu berturut- turut dalam limbah

penyepuhan dan larutan sintetik (Low dkk, 1995).

H. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

33

Spektrofotometri Serapan Atom didasarkan pada

adanya absorbsi radiasi gelombang elektromagnetik oleh

atom-atom. Atom mempunyai dua keadaan tingkat energi,

yaitu energi keadaan dasar (ground state) dan energi

keadaan tereksitasi (excited state).

Atom-atom dalam keadaan energi dasar dapat menjadi

ke keadaan tereksitasi dengan cara mengabsorbsi energi

dari suatu sumber energi. Sebagai contoh ialah atom

Natrium yang mempunyai dua tingkat energi yaitu 2,2 eV

dan 3,6 eV dari keadaan dasarnya. Atom-atom Na jika

mengabsorbsi energi cahaya akan tereksitasi ke tingkat

energi yang lebih tinggi yaitu tingkat energi 1 (2,2 eV)

atau ketingkat energi II (3,6 eV). Tingkat energi I (2,2

eV) didasarkan pada pancaran lampu Na yang panjang

gelombangnya 5890º A dan tingkat energi II (3,6 eV) pada

panjang gelombang 3303 ºA. Atom-atom Na ini hanya

mengabsorbsi energi cahaya yang panjang gelombangnya

tertentu, sedangkan panjang gelombang lain yang tidak

sesuai tidak diabsorbsi.

34

Perbedaan tingkat energi dari keadaan dasar ke

keadaan tereksitasi ini untuk setiap unsur adalah khas,

sehingga panjang gelombang cahaya yang diabsorbsi oleh

setiap unsurpun juga berbeda. Dalam spektrofotometri

Serapan Atom sebagai sumber cahaya digunakan lampu

katoda berongga (Hollow Cathode lamp) yang mempunyai

emisi cahaya dengan panjang gelombang tertentu untuk

setiap unsur. Konsentrasi atom dapat dihitung dengan

cara menghitung besarnya absorbsi cahaya oleh atom-atom

tersebut. Pengukuran dalam spektroskopi serapan atom

(SSA) berdasarkan radiasi yang diserap oleh atom yang

tidak tereksitasi dalam bentuk uap. Dalam spektroskopi

emisi, pengukuran berdasarkan energi yang diemisikan

ketika atom-atom dalam keadaan tereksitasi untuk kembali

ke keadaan dasar.

1. Hukum Dasar SSA

SSA merupakan suatu metoda analisis untuk penentuan

unsur-unsur logam berdasarkan absorpsi radiasi oleh

atom-atom netral dari logam tersebut dalam keadaan gas.

35

Penyerapan energi ini berlangsung pada panjang gelombang

tertentu yang khas bagi tiap atom logam. Interaksi

radiasi dengan atom yang mengabsorpsi radiasi tersebut

dinyatakan dengan Lambert Beer (Hunson, 1973).

Hukum Lambert menyatakan bila cahaya monokromatik

melewati medium tembus cahaya, maka intensitas sinar

yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan

medium yang mengabsorbsi (Basset, J.,1994).

Hukum Beer menyatakan bahwa intensitas cahaya

monokromatik berkurang secara eksponensial dengan

bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara Linier

(Basset,J., 1994; Day & Underwood, 1949).

A = log Po/P = a.b.c

Dimana :

A = Serapan (absorbansi)

Po= Intensitas sinar yang masuk

P = Intensitas sinar yang keluar

a = absorspsivitas

b = Tebal medium

c = Konsentrasi larutan

36

Inilah persamaan yang fundamental dari

spektrofotometri dan sering disebut hukum Lambert-Beer.

Nilai a bergantung pada cara menyatakan konsentrasi,

jika c dinyatakan dalam mol per liter dan b dalam

sentimeter, maka a diberi lambang ε dan disebut absorpsi

molar atau absorpsivitas molar (Basset, J., 1994).

2. Atomisasi Sampel

Atom yang dapat mengabsorbsi cahaya adalah atom-

atom yang dalam keadaan bebas. Yang dimaksud atom bebas

disini adalah atom yang tidak bergabung dengan atom lain

menjadi suatu molekul.

Cara yang paling umum digunakan untuk mengatomisasi

ialah dengan energi panas, panas pada temperatur yang

tinggi dapat memutuskan ikatan antar atom sehingga

terbentuk atom yang bebas. Ada beberapa cara yang

digunakan untuk atomisasi yaitu, dengan nyala (flame)

dari pembakar gas, tanpa nyala (flameless) yaitu dengan

cara mereduksi dan panas dari pijarnya batang Grafit

oleh energi listrik (Grafit Furnace).

37

a. Atomisasi dengan Nyala

Molekul-molekul akan teratomisasikan jika dibakar

didalam nyala yang menghasilkan oleh pembakar (burner).

Cara ini sangat banyak digunakan pada hampir seluruh

instrumen AAS.

Berbagai jenis nyala dapat digunakan dalam teknik

ini, hal ini sangat bergantung pada sensitivitas yang

dibutuhkan, keamanannya, mudahnya dioperasikan serta

biaya operasional yang diperlukan. Suhu maksimum

yang dihasilkan oleh berbagai jenis nyala dapat dilihat

di bawah ini.

No Jenis Nyala TemperaturMaksimum

1 Ar – H2 1577oC2 Udara – H2 2045 oC3 Udara – Asetilena 2300 oC4 N2O - Asetilena 2955 oC

Nyala campuran Udara - Asetilena paling banyak

digunakan, sebab mampu mengatomisasikan lebih dari 30

macam unsur. Nyala campuran N2O - Asetilena menghasilkan

temperatur yang paling tinggi, dan paling efektif untuk

38

mengatomisasikan unsur-unsur ”refraktory” misalkan

Aluminium, Vanadium, Titanium dan lain-lain. Unsur jenis

ini oksidanya sangat stabil sehingga sulit

diatomisasikan jika temperatur nyalanya rendah.

Pada temperatur yang tinggi ternyata interferensi

dari unsur-unsur yang lain juga rendah, sehingga kadang-

kadang nyala ini digunakan untuk menganalisis beberapa

jenis unsur dimana jika digunakan nyala Udara –

Asetilena mendapat gangguan yang besar.

Nyala dari campuran Argon – Hidrogen atau Udara –

Hidrogen menghasilkan gangguan lebih rendah jika

dibandingkan dengan udara – asetilen, sehingga sangat

baik untuk menganalisis unsur-unsur yang panjang

gelombang absorbsinya sangat pendek misalnya : Ar, Se,

Zn, Cd dan Sn.

Unsur-unsur yang panjang gelombang absorbansinya

lebih rendah dari 2000ºA misalkan Arsen (1937 ºA) dan

Selenium (1960 ºA) hasilnya akan lebih baik jika

digunakan nyala dari gas Argon – Hidrogen.

b. Atomisasi tanpa Nyala

39

Cara atomisasi tanpa nyala merupakan metode yang

dikembangkan oleh Dr. L’vov dari USSR, dimana pada

atomisasi cara ini digunakan batang grafit yang dialiri

arus listrik sebesar 300 Ampere. Batang grafit tersebut

akan berpijar sehingga menghasilkan temperatur tinggi

sekitar 3000 ºC yang dapat mengatomisasikan unsur-unsur

dalam sampel. Temperatur grafit dapat diubah-ubah dengan

cara mengatur arus listrik yang dilewatkan padanya.

Untuk analisis suatu sampel biasanya perlu dilakukan

beberapa tahapan pengaturan suhu grafit. Tahap pertama

yaitu pengeringan (penguapan pelarut), suhu grafit

diatur sekitar 100 ºC sehingga pelarut sampel (air)

dapat menguap. Tahap kedua yaitu pengabuan, suhu grafit

diatur sekitar 1300 ºC, pada tahap ini zat-zat organik

akan terdegradasi dan unsur-unsur logam akan menjadi

oksidanya.

Tahap ketiga yaitu atomisasi, pada tahap ini suhu

grafit diatur sekitar 2600 ºC sehingga seluruh unsur

yang ada didalam rongga grafit akan teratomisasi, pada

saat inilah pembacaan absorbansi dilakukan. Setelah

40

selesai ketiga tahapan ini lalu dialirkan gas yang inert

(biasanya argon atau Nitrogen ) untuk membersihkan

Rongga grafit dari abu dan kotoran.

3. Instrumentasi AAS

Peralatan pada SSA secara prinsip sama seperti pada

peralatan spektrofotometer yang lain (misalnya pada

spektrometer UV-Vis), tetapi ada beberapa hal khusus

yang menyebabkan sistem pada SSA ini berbeda dari

spektrometer lain:

Prinsip Peralatan SSA

Ket : 1 : Light Source 4 : Detector

2 : Atomizer Unit 5 : Signal

Processing unit

3 : Monochromator 6 : Display

Pada SSA sebagai sumber cahaya digunakan lampu

katoda berongga (hollow Cathode Lamp). Lampu jenis ini

katodanya dilapisi dengan unsur tertentu yang

diinginkan, sehingga panjang gelombang yang dipancarkan

41

1 2 3 5 64

olehnya juga tertentu. Artinya setiap melakukan analisis

untuk logam tertentu, maka lampu yang digunakan harus

disesuaikan. Sebagai contoh, misalkan pada analisis

logam Natrium, maka lampu yang digunakan juga harus

lampu Natrium, jika akan menganalisis Calsium maka

lampunya harus diganti pula dengan lampu calsium.

Cara ini memang terlihat kurang praktis disamping

itu berarti kita harus memiliki bermacam jenis lampu

agar dapat menganalisis berbagai jenis unsur. Tetapi hal

yang paling menguntungkan dari lampu jenis ini ialah

disamping intensitas yang tinggi, pancaran cahaya yang

dihasilkan monokromatis, sehingga keselektifan dan

sensitivitasnya sangat tinggi.

Letak monokromator agak berbeda, sebab fungsi

monokromator di dalam alat ini bukan untuk

memonokromatiskan cahaya dari sumber sinar, tetapi untuk

cahaya dari nyala pembakarnya. Pada atomisasi dengan

nyala maupun atomisasi tanpa nyala menghasilkan pancaran

cahaya yang spektrumnya sangat lebar, pancaran cahaya

dari sistem atomisasi ini dapat mengganggu detektor.

42

Untuk menghilangkan gangguan ini maka monokromator

dipasang diantara sistem atomisasi dan detektor

I. Adsorbsi Isoterm Freundlich

Persamaan adsorpsi isotherm Freundlich merupakan

persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah zat

yang terserap dengan konsentrasi zat dalam larutan, yang

dinyatakan dengan persamaan :

x/m = k.

C1/n.....................................................

...............................................(1)

dalam hal ini :

x = jumlah zat teradsorpsi (gram)

m = jumlah adsorben (gram)

C = konsentrasi zat terlarut dalam larutan,

setelah tercapai kesetimbangan

Adsorpsik

K, n = Tetapan

Nilai l/n biasanya antara 0,2 dan 0,7.

43

Persamaan tersebut tidak memiliki dasar teoritis

dan bersifat empiris. Kurva tersebut biasanya parabolik,

namun dengan membuatnya dalam bentuk logaritmik,

persamaan berubah menjadi

log x/m = log k + l/n log

C.......................................................

...................(2)

Persamaan dalam bentuk log memberikan kurva garis

lurus. persamaan ini mengungkapkan bahwa bila suatu

proses adsorpsi menuruti isoterm Freundlich, maka aluran

log x/m terhadap log C akan merupakan garis lurus. Dari

garis dapat dievaluasi tetapan k dan n dari derajad

kemiringan (Tim Dosen Kimia Fisika, 2012).

Sedangkan kurva isoterm adsorpsinya disajikan pada

Gambar 2.

44

J. Adsorbsi Isoterm Langmuir

Dalam Oscik (1982), Langmuir menggambarkan bahwa

pada permukaan penyerap terdapat sejumlah tertentu situs

aktif (active sites) yang sebanding dengan luas permukaan

penyerap. Pada setiap situs aktif hanya satu molekul

yang dapat diserap. Ikatan antara zat yang terserap

dengan penyerap dapat terjadi secara fisika (physisorption)

atau secara kimia (chemisorption). Ikatan tersebut harus

cukup kuat untuk mencegah perpindahan molekul yang telah

terserap sepanjang permukaan penyerap. Interaksi antara

molekul-molekul yang terserap dalam lapisan hasil

serapan diabaikan.

Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat

diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya

45

kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi

pada permukaan adsorben dengan molekulmolekul zat yang

tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir

dapat dituliskan sebagai berikut :

C merupakan konsentrasi adsorbat dalam larutan, x/m

adalah konsentrasi adsorbat yang terserap per gram

adsorben, k adalah konstanta yang berhubungan dengan

afinitas adsorpsi dan (x/m)mak adalah kapasitas adsorpsi

maksimum dari adsorben. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir

dapat disajikan seperti pada Gambar 3.

K. Kerangka Pemikiran

46

LogamBerat

PerairanPesisir

Fisika Kimia Biologi

Biosorpsi

Vegetasilamun

Thalassia

.III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di lima tempat

(kuadran) pada bulan Januari 2015 dan di tiga tempat

(kuadran) dengan ukuran kuadran 50 x 50 cm pada bulan

Februari 2015 yang terdapat di kawasan konservasi padang

lamun Desa Malangrapat, terletak sekitar 42 kilometer

sebelah timur Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Pengambilan Sampel Lamun dilakukan pada referensi

geografi 106021’00” – 107059’00” LU dan 0050’00”- 1021’00"

BT.

Analisis Logam Berat Cu(II) dilaksanakan di

Laboratorium Ilmu Kelautan dan Perikanan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali

Haaji Tanjungpinang pada Bulan Februari 2015 hingga

bulan April 2015.

B. Bahan dan Alat yang Digunakan

Adapun alat yang digunakan dalam Penelitian yaitu :

47

No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan

1 Labu Ukur 50, 100 , 1000 ml Membuat larutan analit

2 Erlenmeyer 50, 100 , 1000 ml

Wadah titrasi larutan analit

3 Beaker glass 50, 100 , 1000 ml

Menempatkan larutan analit

4 Spatula Stainlessteel Mengaduk larutan analit

5 Indikator PP Rentang pH 8,00 – 10,00.

Indikator derajat keasaman (pH)

6 Pipet Takar 5, 10, 25 mlMengambil larutan analit dengan volume tertentu

7 Buret 10, 25 ml Titrasi larutan analit

8 Bunsen burner Spiritus Sebagai sumber panas

9 Penangas Air Rentang Suhu 30 – 100OC

Mempertahankan suhu analit

10 Corong Plastik Membantu memindahkan larutan

11 Magnetic Stirrer Tipe RT support

Mengaduk larutan agar homogen

12 Lumpang & Stamfer Porselen Menghaluskan biomassa lamun

13 Neraca Digital 0.0001 g Menghitung bobot logam& biomassa lamun

14 Desikator Silica gel Menyimpan biomassa lamun

15 Kertas Saringan Whatman 42 Memisahkan filtrat danresidu

16 Blender Phillip Menghaluskan biomassa lamun

17 Botol polietilen LDPE Wadah aquabidest & aquadest

18Spektrofotometer serapan atom (SSA)

AMT 3800 Mengukur konsentrasi ion logam

19 Oven ALP9030A Mensterilkan peralatandan mengeringkan lamun

20 Kuadran 50 x 50 cm Sarana Penyamplingan lamun

48

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian

meliputi :

No Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan

1 Biomassa lamun Thalassia Hemprichii 200 gr Sebagai biosorben

2 Cu(NO3)3H2O 05 gr Sebagai bahan baku larutan logam

3 NaOH 50 ml Sebagai pengatur derajat keasaman

4 HNO3 50 ml Sebagai pengatur derajat keasaman

5 Akuabidest 500 ml Sebagai pelarut & pengencer

6 Akuadest 500 ml Sebagai bahan pencuci

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode

eksperimen. Pada metode penelitian ini, percobaan

ditujukan untuk pengamatan kemungkinan adanya sebab-

akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih

kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu

atau lebih kelompok kontrolyang tidak dikenai kondisi

perlakuan (Suryabrata, 1998). Teknik pengambilan data

dilakukan dengan cara observasi langsung, yaitu dengan

cara mengadakan pengamatan secara langsung terhadap

49

gejala-gejala subjek yang diselidiki, baik pengamatan

itu dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun

situasi buatan yang khusus diadakan.

D. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL),

terdiri dari 5 perlakuan perbedaan jumlah biomassa

lamun, yaitu 0 (control), 100 mg, 150 mg, 200 mg dan 250

mg. penentuan jumlah biomassa didasarkan pada penelitian

terdahulu (Nursiah et. al, 2009) yang menunjukkan bahwa

biomassa lamun dapat menyerap ion logam Cu dengan

rentang jumlah biomassa 0 sampai 250 mg. masing masing

perlakuan terdiri dari tiga kali pengulangan. Peubah

yang diamati dalam penelitian ini adalah konsentrasi ion

logam Cu yang terserap oleh larutan biosorben.

E. Prosedur Kerja

1. Persiapan Biosorben Thalassia hemprichii

Biomassa lamun Thalassia hemprichii dikoleksi dari

daerah Konservasi Padang Lamun Desa Malangrapat,

Kabupaten Bintan dengan ukuran kuadran 50 x 50 cm.

50

Biomassa lamun dicuci dengan segera menggunakan akuades

lalu dikeringkan dan ditimbang dalam keadaan basah.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

(ditentukan bobot tetapnya) (Muliadi 2006; Dachlia et.al

2007; Nursiah et.al, 2009, 2010). Lamun yang telah

kering tersebut dihaluskan dengan menggunakan lumpang

dan stamfer. Partikel lamun kering diambil dengan ukuran

lolos saringan antara 100 – 200 mesh (Nursiah et.al,

2009)

2. Pembuatan Larutan Baku Cu

Untuk pembuatan larutan baku Cu(II) 1000 ppm,

sebanyak 3,71565 gram Cu(NO3)23H2O ditimbang kemudian

dilarutkan dengan aquadest dan dimasukkan ke dalam labu

takar 1000 mL kemudian diimpitkan dengan HNO31 %

(Muliadi, 2006).

3. Pembuatan Larutan standar Cu

a) Pembuatan larutan standar Cu 100 mg/l

Dipipet 5 ml larutan induk Cu 1000 mg/l dan

dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, di encerkan

51

dengan aquabidest yang telah diasamkan hingga garis

tanda kemudian di kocok

b) Pembuatan larutan standar Cu 10 mg/l

Dipipet 5 ml larutan induk Cu 100 mg/l dan

dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, di encerkan

dengan aquabidest yang telah diasamkan hingga garis

tanda kemudian di kocok

4. Penentuan Waktu Optimum Biosorpsi Ion Cu(II) oleh

Biomassa Lamun Thalassia Hemprichii

Larutan Cu(II) dengan konsentrasi 10 ppm disiapkan.

Ke dalam tiap-tiap 50 mL larutan ditambahkan 200 mg

biomassa lamun Thalassia hemprichii. Tiap-tiap campuran

dikocok dengan magnetic stirrer selama 5 menit dan disaring

dengan kertas saring whatman 42. Absorbansi filtrat

diukur dengan SSA pada panjang gelombang maksimum.

Percobaan diulangi dengan variasi waktu pengocokan (10,

20, 30, 40 50, 60, 90, 120, 150 menit) (Muliadi,

2006). . Setiap percobaan dilakukan 3 kali pengulangan.

Konsentrasi yang diserap untuk tiap waktu dihitung dari:

52

Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal – konsentrasi

akhir

Cadsorpsi = (Cawal – Cakhir)

Banyaknya ion-ion logam yang teradsorpsi (mg) per

gram adsorben (biomassa lamun Thalassia Hemprichii)

ditentukan menggunakan persamaan:

W = (Co – Ce)V Wa

Dimana :

W = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)

Co = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi

Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi

V = volume larutan ion logam (L)

Wa = jumlah adsorben (g)

Waktu optimum adalah waktu dimana konsentrasi

teradsorpsi (Cadsorpsi) terbesar.

5. Penentuan pH Optimum Biosorpsi Ion Cu(II) oleh

Biomassa Lamun Thalassia Hemprichii

Ke dalam 50 mL larutan ion logam Cu(II) dengan

konsentrasi 10 ppm dan pH 2 ditambahkan 200 mg biomassa

53

Thalassia Hemprichii. Campuran dikocok selama waktu optimum

pada suhu kamar dan disaring dengan kertas saring

whatman 42. Absorbansi filtrate diukur dengan SSA.

Percobaan diatas diulangi pada pH yang berbeda masing-

masing 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 (Muliadi, 2006). setiap

percobaan dilakukan 3 kali pengulangan

Banyaknya ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram

biosorben (biomassa lamun Thalassia Hemprichii) untuk tiap

pH ditentukan dengan menggunakan persamaan 4. pH optimum

adalah pH dimana konsentrasi teradsorpsi (Cadsorpsi)

terbesar.

6. Penentuan Kapasitas Biosorpsi Ion Cu(II) oleh

Biomassa Lamun Thalassia hemprichi

Disiapkan 4 buah Larutan ion logam Cu(II) dengan

konsentrasi 10 ppm sebanyak 50 ml. kedalam tiap-tiap 50

mL larutan tersebut ditambahkan 100 mg, 150 mg, 200 mg

dan 250 mg biomassa Thalassia Hemprichii. Tiap-tiap campuran

dikocok selama waktu optimum kemudianTiap-tiap campuran

disaring dengan kertas saring whatman 42. Absorbansi

54

tiap-tiap filtrate diukur dengan SSA. Setiap percobaan

dilakukan 2 kali pengulangan.

Kapasitas biosorpsi dihitung dari persamaan

Freundlich {log (x/m) = log k + 1/n (log C)] atau

persamaan Langmuir dengan

mengalurkan log (x/m) terhadap log C untuk persamaan

Freundlich atau x/m terhadap C untuk persamaan Langmuir.

Dari intercept persamaan freundlich diperoleh nilai K

(kapasitas adsorpsi) dan dari slope persamaan Langmuir

dapat diperoleh nilai K yang berhubungan dengan

kapasitas biosorpsi

7. Recovery Biomassa

Biomassa lamun yang telah mengadsorpsi logam

dikontakkan dengan 25 ml asam nitrat 0,1 M, kemudian di

kocok selama 60 menit dan di saring. Filtrat yang

didapat diukur konsentrasinya dengan SSA

(Spektrofotometer Serapan Atom).

55

56