KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIK DARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD

8
KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIK DARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD) Ferriawan Yudhanto 1) Dosen Program Vokasi Teknik Mesin Otomotif dan Manufaktur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 1) Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183 Telp. (0274) 387656 (hunting) Fax.(0274) 387646 E-Mail : [email protected] Abstrak Dalam perencanaan suatu ruang diperlukan pengertian terhadap bising (noise) yang mungkin terjadi pada suatu ruang tertutup. Salah satu kebisingan yang sering terjadi adalah dengung. Dengung oleh suara frekuensi rendah dapat menyebabkan terjadinya penyelubungan pada semua jangkauan frekuensi. Karena itu peredaman bising pada frekuensi rendah merupakan faktor penting dalam perencanaan ruang. Bentuk peredam bunyi yang efektif pada frekuensi rendah adalah menggunakan disain resonator Helmholtz. Dimensi sekat rongga resonator dan diameter lubang leher resonator merupakan variabel penting dalam mendisain resonator Helmholtz. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi sekat rongga resonator dan diameter leher resonator terhadap serapan bising sel akustk. Resonator Helmholtz yang didisain menggunakan kayu olahan (engineering wood) yaitu papan partikel sebagai bahan dasarnya. Sekat rongga resonator didisain berbentuk persegi empat dengan lebar sisi 20x20 dan 50x50 mm. Sedangkan ketinggian sekat rongga resonator yang didisain adalah 10, 20, dan 30 mm. Variabel lain yang digunakan adalah diameter leher resonator 4 dan 10 mm. Penambahan acoustic fill pada rongga resonator dari bahan serat alam yaitu agave, kapas, dan sabut kelapa. Pengujian serapan bising resonator dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien Serapan Bising (NAC) kayu olahan memiliki hasil yang optimal pada rentang frekuensi rendah. Peningkatan NAC dapat diperoleh dengan cara mendisain resonator Helmholtz. Nilai NAC yang tinggi (sampai dengan 0.90) diperoleh pada frekuensi 700-800 Hz yaitu dengan mendisain Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan dimensi pxl 50 mm dan ketinggian sekat 30 mm dengan tambahan diameter leher resonator sebesar 10 mm. Penambahan volume sekat rongga resonator dengan menambah tinggi menyebabkan kenaikan harga NAC yang cukup signifikan pada frekuensi yang lebih rendah. Penambahan besar diameter lubang leher resonator akan mengakibatkan harga NAC yang tinggi pada frekuensi tertentu dan penambahan acoustic fill akan menyebabkan pergeseran frekuensi ke arah frekuensi yang lebih rendah disertai peningkatan nilai NAC. Penambahan acoustic fill yang paling baik yaitu dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena sabut kelapa memiliki nilai massa jenis terkecil yaitu 1,03 g/cm 3 sehingga mampu mereduksi bunyi secara optimal karena jumlah serat yang masuk ke dalam rongga semakin banyak. Kata Kunci : Resonator Helmholtz, Koefisien Serapan Bising (NAC), Kayu Olahan, Acoustic Fill, Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) Pendahuluan International Labour Office (ILO, 1984) dan Chanlet (1979), mendefinisikan kebisingan sebagai suara yang tidak menyenangkan atau tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kesehatan ataupun kenyamanan. Rentang tingkat suara yang masih dapat didengar oleh suara manusia normal adalah 0 dB (suara terlemah), yang disebut threshold of hearing, hingga 120 dB yaitu tingkat kebisingan suara di mana sistem pendengaran manusia mulai merasa kesakitan (threshold of pain). Pengaruh kebisingan terhadap manusia dapat berbeda-beda, dari hanya sekedar ketidaknyamanan sampai dengan masalah kesehatan. Berada dalam lingkungan yang bising dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan pendengaran (Hearing Loss). Untuk itu diperlukan suatu aturan yang dapat menjamin kesehatan ataupun kenyamanan orang-orang yang berada disekitar sumber kebisingan.

Transcript of KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIK DARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD

KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIKDARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD)

Ferriawan Yudhanto1)

Dosen Program Vokasi Teknik Mesin Otomotif dan Manufaktur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta1)

Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183Telp. (0274) 387656 (hunting) Fax.(0274) 387646

E-Mail : [email protected]

AbstrakDalam perencanaan suatu ruang diperlukan pengertian terhadap bising (noise) yang mungkin terjadi

pada suatu ruang tertutup. Salah satu kebisingan yang sering terjadi adalah dengung. Dengung oleh suarafrekuensi rendah dapat menyebabkan terjadinya penyelubungan pada semua jangkauan frekuensi. Karenaitu peredaman bising pada frekuensi rendah merupakan faktor penting dalam perencanaan ruang. Bentukperedam bunyi yang efektif pada frekuensi rendah adalah menggunakan disain resonator Helmholtz.Dimensi sekat rongga resonator dan diameter lubang leher resonator merupakan variabel penting dalammendisain resonator Helmholtz. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi sekat ronggaresonator dan diameter leher resonator terhadap serapan bising sel akustk.

Resonator Helmholtz yang didisain menggunakan kayu olahan (engineering wood) yaitu papanpartikel sebagai bahan dasarnya. Sekat rongga resonator didisain berbentuk persegi empat dengan lebarsisi 20x20 dan 50x50 mm. Sedangkan ketinggian sekat rongga resonator yang didisain adalah 10, 20, dan30 mm. Variabel lain yang digunakan adalah diameter leher resonator 4 dan 10 mm. Penambahan acousticfill pada rongga resonator dari bahan serat alam yaitu agave, kapas, dan sabut kelapa. Pengujian serapanbising resonator dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien Serapan Bising (NAC) kayu olahan memiliki hasilyang optimal pada rentang frekuensi rendah. Peningkatan NAC dapat diperoleh dengan cara mendisainresonator Helmholtz. Nilai NAC yang tinggi (sampai dengan 0.90) diperoleh pada frekuensi 700-800 Hzyaitu dengan mendisain Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan dimensi pxl 50 mm dan ketinggian sekat30 mm dengan tambahan diameter leher resonator sebesar 10 mm. Penambahan volume sekat ronggaresonator dengan menambah tinggi menyebabkan kenaikan harga NAC yang cukup signifikan padafrekuensi yang lebih rendah. Penambahan besar diameter lubang leher resonator akan mengakibatkanharga NAC yang tinggi pada frekuensi tertentu dan penambahan acoustic fill akan menyebabkan pergeseranfrekuensi ke arah frekuensi yang lebih rendah disertai peningkatan nilai NAC. Penambahan acoustic fillyang paling baik yaitu dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena sabut kelapamemiliki nilai massa jenis terkecil yaitu 1,03 g/cm3 sehingga mampu mereduksi bunyi secara optimal karenajumlah serat yang masuk ke dalam rongga semakin banyak.

Kata Kunci : Resonator Helmholtz, Koefisien Serapan Bising (NAC), Kayu Olahan, Acoustic Fill, SelAkustik Kayu Olahan (SAKO)

Pendahuluan

International Labour Office (ILO, 1984) dan Chanlet (1979), mendefinisikan kebisingan sebagai suara yangtidak menyenangkan atau tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kesehatan ataupun kenyamanan. Rentang tingkatsuara yang masih dapat didengar oleh suara manusia normal adalah 0 dB (suara terlemah), yang disebut threshold ofhearing, hingga 120 dB yaitu tingkat kebisingan suara di mana sistem pendengaran manusia mulai merasa kesakitan(threshold of pain).

Pengaruh kebisingan terhadap manusia dapat berbeda-beda, dari hanya sekedar ketidaknyamanan sampai denganmasalah kesehatan. Berada dalam lingkungan yang bising dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguanpendengaran (Hearing Loss). Untuk itu diperlukan suatu aturan yang dapat menjamin kesehatan ataupun kenyamananorang-orang yang berada disekitar sumber kebisingan.

Untuk mendapatkan suatu ruang yang bebas dari kebisingan diperlukan material yang mampu meredamkebisingan. Penggunaan material porous dari bahan sintetis seperti PVC, poliester, dan polipropilen telah banyakdigunakan sebagai panel peredam bising. Walaupun bahan-bahan ini telah mampu meredam bising dengan baik, tetapibahan-bahan ini tidak ramah lingkungan karena limbahnya tidak dapat terurai secara alami. Oleh karena itu diperlukanbahan alternatif yang dapat menggantikan bahan-bahan sintetis tersebut.

Kayu olahan yang sering dikenal sebagai engineering wood merupakan upaya memaksimalkan pemanfaatankayu yang dibuat di pabrik, yang didesain dan dibentuk dengan tujuan tertentu agar mencapai sifat dan kekuatanstructural yang diinginkan. Papan partikel (Particle board) merupakan salah satu jenis engineering wood yang terbuatdari partikel-partikel kayu yang kecil dan berasal dari kelas kayu yang berbeda-beda. Partikel tersebut dipres dandirekatkan menjadi panel. Dengan melakukan disain tertentu, dinding partisi kayu dapat mempunyai kinerja akustikyang cukup tinggi. Salah satu disain yang bisa digunakan adalah dengan mendisain sel akustik yang berfungsi sebagaiperedam bising. Dengan melakukan disain sel akustik tersebut maka kayu dapat berfungsi sebagai dinding partisi dansekaligus sebagai peredam bising, sehingga mampu menciptakan ruang yang memenuhi syarat kesehatan sekaliguskenyamanan.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam banyak memiliki lahan produktif sebagai penghasilserat alam. Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, agave dan sabut kelapa)sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkanpenggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagaiacoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat tuntutan untuk mendapatkan lingkungan yang bebas dari masalahkebisingan. Untuk mendapatkan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan maupun kenyamanan dari masalahkebisingan maka diperlukan peredam kebisingan. Indonesia sebagai negara agraris dengan sumber kayu yang berlimpahmempunyai potensi untuk mengembangkan sel akustik berbahan dasar kayu olahan (engineering wood). Oleh karena itudiperlukan adanya riset untuk menghasilkan sel akustik berbahan dasar kayu sebagai peredam bising dengan koefisienredaman bising (noise absorption coeffficient / NAC) yang optimum. Penelitian ini bertujuan untukmenyelidiki serapan bising kayu olahan yaitu papan partikel, pengaruh dimensi rongga resonator terhadap koefisienserapan bising, menyelidiki pengaruh lubang leher resonator terhadap koefisien serapan bising, dan melakukan analisiskomparasi pengaruh dimensi rongga resonator dan diameter lubang leher resonator terhadap NAC sel akustik kayuolahan yaitu papan partikel sehingga menghasilkan sel akustik yang optimum.

Lee dan Joo (2003) mengklasifikasikan material penyerap bunyi menjadi 3, yaitu porous, resonator, dan panel.Ketiga jenis material ini menerapkan teori transformasi energi, yaitu adanya perubahan energi dari energi bunyi menjadienergi panas. Pengujian dilakukan dengan menggunakan serat poliester daur ulang yang diikat dengan low meltingpoint polyester (LMP). Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan kadar fiber akan meningkatkan harga noiseabsorption coefficient (NAC), lihat gambar 1a. Sedangkan peningkatan kadar LMP akan menurunkan harga NAC lihatgambar 1b. Hal ini diakibatkan oleh penurunan ketebalan serat dan adanya coincident effect. Poliester LMP tersebutmenyebabkan penyusutan pada struktur jaringan serat sehingga merusak porositas serat.

(a) (b)

Gambar 1. (a). Pengaruh kandungan serat poliester terhadap NAC (b). Pengaruh kandungan LMP terhadap NAC (Lee dan Joo, 2003)

Siregar dkk (2006) meneliti pengaruh perubahan panjang dan lebar sekat rongga resonator terhadap NoiseAbsorption Coeficient (NAC) sel akutik kayu dari bahan kayu sengon laut. Penambahan panjang (p) dan lebar (l) sekatrongga resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator, sehingga kekakuan efektif sistem turun.Turunnya kekakuan efektif udara di dalam sekat rongga resonator menyebabkan frekuensi resonansi SAK (Sel AkustikKayu) bergeser dari frekuensi tinggi 800 Hz menuju frekuensi rendah yaitu 500 Hz.

Nor dkk (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan serabut kelapa, seperti yang dapat dilihat padagambar 3. Pada penelitian digunakan berbagai model pemasangan serabut kelapa. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwaadanya rongga udara dibelakang serabut kelapa akan meningkatkan NAC material pada frekuensi rendah.

Gambar 2. Pengaruh rongga udara dibelakang serabut kelapa (Nor dkk, 2004)

Neithalath dkk (2002) melakukan pengujian NAC dengan menggunakan komposit semen berserat selulosa(cellulose-cement composite). Terdapat 3 macam bentuk serat selulosa yang digunakan, yaitu macro nodules, discretefibers, dan petite nodules seperti yang terlihat pada gambar 3a, 3b, dan 3c.

Gambar 3. Serat selulosa (a) macro nodules, (b) discrete fibers, dan (c) petite nodules (Neithalath dkk, 2002)

Dari hasil pengukuran porositas diketahui bahwa penggunaan macro nodules menghasilkan komposit dengan porositaspaling besar dibandingkan dengan discrete fibers dan petite nodules. Akibatnya komposit dengan macro nodulesmempunyai harga NAC paling tinggi.

Koefisien absorpsi (α) suatu material didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang diserap materialdengan total energi yang mengenai material. Karena energi mempunyai nilai yang proporsional dengan kuadrat daritekanan bunyi, maka :

(1)

Dengan menggunakan tabung impedansi maka pengukuran rasio antara tekanan maksimum dan minimum (n) akanmudah dilakukan.

(2)

(3)

Dengan memasukkan persamaan (3) kedalam persamaan (1) maka koefisien absorpsi suatu material dapat diukurdengan menggunakan tabung impedansi.

(4)

Resonator Helmholtz Resonator Helmholtz tersusun atas suatu rongga dengan volume V yang mempunyai leher resonator dengan

panjang L dan luas area S, seperti yang terlihat pada gambar 4.

Gambar 4. Resonator Helmholtz

2

1

A

B

BA

BA

p

pn maks

min

1

1

n

n

A

B

2

1

11

n

n

Fluida pada leher resonator bergerak sebagai satu kesatuan dan berfungsi sebagai elemen massa (m), adanyatekanan akustik pada rongga resonator berfungsi sebagai elemen kekakuan (s), dan adanya resistansi pada lubang leherresonator berfungsi sebagai elemen resistansi (Rm).

Gambar 5. Resonator Helmholtz

Metodologi PenelitianMaterial yang digunakan sebagai bahan sel akustik adalah kayu olahan yaitu papan partikel yang didisain dalam

bentuk sel akustik kayu. Serat alam (Natural Fibre) yang digunakan sebagai acoustic fill pada rongga resonator SelAkustik Kayu Olahan (SAKO) yaitu serat kapas, agave dan sabut kelapa.

Gambar 6. Bentuk lembaran papan partikel

Pengujian dilakukan di Laboratorium Getaran dan Akustik, Universitas Gadjah Mada. Peralatan penelitian yangdigunakan adalah tabung impedansi satu mikropon dan peralatan pendukung lainnya measuring amplifier, microphonecarriage, specimen holder dan sine generator.

Pengujian serapan bising dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon, seperti yang terlihatpada gambar 7.

Gambar 7. Tabung impedansi satu mikropon

Spesimen diletakkan pada ujung kiri tabung impedansi. Sine generator akan menghasilkan gelombangsinusoidal dengan frekuensi yang dapat diatur. Ketika gelombang bunyi mengenai spesimen uji maka gelombang bunyidapat diserap ataupun dipantulkan. Dengan menggeser posisi dari mikropon (microphone carriage) maka harga tekananakustik gelombang bunyi dapat diukur. Dari hasil pengukuran tekanan akustik maksimum dan minimum ini maka hargaNAC pada SAKO (Sel Akustik Kayu Olahan) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4). Variabel pengujianyaitu panjang (p) x lebar (l) dan tebal (t) sekat rongga resonator, dengan variasi lubang leher resonator 4 dan 10 mm.

Gambar 8. Sel Akustik tanpa lubang leher resonator (a), dan dengan lubang leher resonator (b)

f(t)

sm

Rm

1

25

4 3

Keterangan Gambar :

1.

Measuring Amplifier

2.

Sine Generator

3.

Microphone Carriage

(a) (b)

Gambar 9. Sekat rongga resonator SAK (a) 20x20 mm, dan (b) 50x50 mm

Proses pembuatan sel akustik diawali dengan pemotongan papan partikel menjadi potongan-potongan kecil dankemudian disusun berdasarkan disain awal rancangan penelitian. Dimensi panjang (p) x lebar (l) sekat rongga resonatoryang diuji adalah 20 x 20 mm (Gambar 9 a) dan 50x50 mm (Gambar 9 b) dengan diameter spesimen uji 100 mm.Diameter 100 mm disesuaikan dengan Spesiment Holder pada alat uji Kundts Tube Impedance. Sel Akustik KayuOlahan (SAKO) yang dibuat diistilahkan dengan sistem sándwich yaitu terdiri dari layer atas, sekat rongga resonatordan kemudian layer bawah atau dengan pengertian lain yaitu sekat rongga resonator yang diapit oleh dua lapisan.

Hasil dan Perancangan

Pengaruh Perubahan Tinggi Sekat Rongga Resonator Terhadap NAC

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sekat rongga resonator dan dimensi sekatrongga resonator terhadap NAC material. Dimensi disain pertama sel akustik yaitu (panjang x lebar) 20 mmdiistilahkan SAKO 20 dan untuk disain kedua dengan dimensi (panjang x lebar) 50 mm distilahkan dengan SAKO 50.Hasil NAC (Noise Absorption Coefficient) pada Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan diameter leher resonatorditemui hal serupa seperti SAKO tanpa leher resonator yaitu dengan kenaikan tebal sekat rongga resonator akanmenggeser nilai NAC ke frekuensi yang lebih rendah yaitu efektif pada frekuensi 300 Hz sampai dengan 900 Hz. Padafrekuensi 100 sampai dengan 200 Hz cenderung memiliki frekuensi yang sama, hal ini disebabkan adanya frekuensiresonansi yang sering terjadi pada frekuensi yang sangat rendah. Yudhanto dkk (2007) melakukan penelitian terhadappanel akustik kayu dengan sekat rongga resonator dan didapatkan nilai frekuensi resonansi untuk ketebalan sekat 10mm yaitu 182,3 Hz dan untuk sekat resonator dengan ketebalan 20 mm yaitu 134,34 Hz. Dibawah ini dapat dilihatpengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 20 tanpa leher resonator akan menggeser nilai NAC sebesar 10% darifrekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NAC tertinggi berada pada frekuensi 600 Hzdengan harga NAC 0,54 (Gambar 10.a). Penambahan ukuran tinggi sekat rongga resonator menyebabkan penambahanvolume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NAC yang semakin baik kearah frekuensi yanglebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 20 dengan lubang leher resonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO20 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendahdengan kenaikan sebesar 17% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz dengan nilai 0,82 (Gambar 10.b). Pada SAKO 20dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendahdengan kenaikan sebesar 18,5% dan nilai tertinggi berada di 1100 Hz dengan nilai 0,89 (Gambar 10.c).

Gambar 10. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20

Dibawah ini juga dapat dilihat pengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 50 tanpa leher resonator akanmenggeser nilai NAC sebesar 15% dari frekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NACtertinggi berada pada frekuensi 600 Hz dengan harga NAC 0,6 (Gambar 11.a). Penambahan ukuran tinggi sekat ronggaresonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NACyang semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 50 dengan lubang leherresonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin

Tebal sekat (t)

pl

a b c

(a) (b)

baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 900 Hz dengan nilai0,81 (Gambar 11.b). Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baikkearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz-800 Hz dengannilai 0,9 (Gambar 11.c).

Gambar 11. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50

Pengaruh Perubahan Diameter Rongga Resonator Terhadap NAC

Hasil pengukuran NAC berdasarkan variasi tanpa dan dengan diameter lubang leher resonator dapat dilihat padagambar 12 dibawah ini. SAKO 20 tanpa lubang resonator diberi simbol d = 0, SAKO dengan lubang resonator 4 mmdiberi simbol d = 4 mm dan SAKO dengan lubang resonator 10 mm diberi simbol atau legenda d = 10.

Gambar 12. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20

Pengaruh perubahan diameter lubang leher resonator untuk sekat rongga resonator dengan tinggi 10, 20, dan 30mm akan meningkatkan nilai NAC dan menggeser nilai NAC ke arah frekuensi yang lebih tinggi sedangkan utukSAKO tanpa lubang leher resonator hanya efektif di frekuensi rendah dangan harga NAC yang kecil. Hal ini berartipenambahan besar diameter resonator akan mengakibatkan naiknya nilai NAC sehingga hasil dari pengujian SAKOmenunjukkan diameter 10 mm memiliki hasil yang optimum untuk dapat digunakan sebagai bahan peredam suarakhususnya suara bising yang berada pada frekuensi rendah.

Gambar 13. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50

a b c

ba c

b ca

Perbandingan Nilai NAC SAKO 20 dan SAKO 50 Pada Lubang Resonator Dengan Diameter 10 mm.

Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kundts tube impedance menunjukkan hasil NAC pada SAKO50 memiliki hasil yang jauh lebih baik terutama pada frekuensi rendah. Frekuensi rendah adalah frekuensi yang sangatsulit untuk dicegah atau dihalangi dalam suatu akustika ruang. Pemilihan SAKO 50 dengan diameter lubang leherresonator 10 mm tepat untuk dikembangkan lebih lanjut dari sel akustik menjadi panel akustik peredam bising. Haltersebut dapat dilihat pada gambar 14 dibawah ini, SAKO 50 mamiliki nilai NAC yang paling tinggi yaitu 0,9 danberada pada frekuensi yang rendah yaitu 700 Hz sedangkan SAKO 20 hanya memiliki nilai NAC 0,72 pada frekuensiyang sama. Pada frekuensi 200 Hz sampai dengan 700 Hz SAKO 50 memiliki nilai NAC rata-rata 14% lebih baikdibandingkan dengan SAKO 20.

Gambar 14. Pengaruh panjang dan lebar rongga resonator (SAKO 20 dan SAKO 50) dengan diameter lubang resonator 10 mm terhadap nilai NAC

Hasil pengujian NAC Acoustic Fill

Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, serat agave dan sabut kelapa)sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkanpenggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagaiacoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi.

Gambar 15. Grafik NAC dengan penambahan Acoustic fill dari kapas (a), sabut kelapa (b), dan agave (c)

Penambahan acoustic fill pada sekat rongga resonator adalah sebagai peredam getaran terutama pada frekuensirendah. Pada frekuensi rendah masih dipengaruhi oleh efek resonansi suara yang terjadi pada SAKO dan jugaperambatan gelombang akibat getaran yang merambat melalui struktur partisi (structure borne) sangat sulit untukdiredam. Penambahan serat alam sebagai acoustic fill sebesar 10%. Pemberian acoustic fill pada sekat rongga selakustik maksimum sebesar 10% dari luas volume rongga resonator berdasarkan dari jumlah optimum serat masukdalam sekat rongga resonator dari serat alam. Hasil pengujian SAKO dengan penambahan acoustic fill 10% dilakukanpada 3 jenis serat yang berbeda sehingga memiliki berat dan jumlah serat yang berbeda pula. Berat serat sabut kelapadalam rongga SAKO 50 adalah 5,15 gram, kapas 5,95 gram dan serat agave 7,25 gram. Jumlah serat dalam ronggaresonator akan diisi oleh berat yang paling ringan yaitu sabut kelapa kemudian kapas dan paling sedikit mengisi ronggaresonator yaitu serat agave. Hasil pengujian dari ketiga serat ditampilkan dalam bentuk perbandingan grafik NAC(gambar 15).

Dari ketiga jenis serat yang digunakan sebagai acoustic fill serat sabut kelapa mempunyai massa jenis yangpaling kecil sehingga serat ini dapat mengisi rongga resonator secara optimal. Penambahan acoustic fill sebesar 10 %pada sekat rongga resonator dengan serat sabut kelapa menghasilkan nilai NAC yang paling besar yaitu sebesar 0,98pada frekuensi 600 Hz. Secara umum pengaruh acoustic fill dari masing-masing serat akan menggeser NAC kefrekuensi yang lebih rendah dan berfungsi sebagai peredam yang merubah energi suara menjadi energi panas di dalam

a b c

rongga resonator dan acoustic fill juga menyebabkan distribusi panas dan getaran gelombang terdistribusi secaramerata. Serat agave atau sisal mempunyai massa jenis yang paling besar yaitu 1,45 g/cm3, hal ini menyebabkan SAKOdengan penambahan serat agave mempunyai nilai serapan bising yang paling rendah yaitu sebesar 0,55, berbeda dengansabut kelapa yang mempunyai massa jenis yang paling kecil yaitu 1,03 g/cm 3 sedangkan pada serat kapas hampirmemiliki nilai NAC yang sama dengan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena kapas memiliki massa jenis yanghampir sama dengan sabut kelapa yaitu sebesar 1,19 g/cm3 .Semakin kecil nilai massa jenis serat maka berat serat akansemakin kecil sehingga serat yang masuk ke dalam rongga resonator akan semakin banyak hal ini menyebabkan SAKOdengan penambahan acoustic fill akan baik digunakan pada frekuensi yang rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penambahan leher resonator menyebabkan peningkatan NAC yangsignifikan dengan disertai pergeseran frekuensi resonansi ke arah frekuensi yang lebih tinggi denganbertambah besarnya diameter leher resonator.

2. SAKO tanpa lubang leher resonator mempunyai nilai NAC sebesar 0,47 sampai dengan 0,58 lebih kecildibandingkan dengan nilai NAC SAKO dengan lubang leher resonator yang berkisar antara 0,6 sampai dengan0,9 pada frekuensi 600-1000 Hz.

3. Penambahan tebal atau ketinggian sekat rongga resonator akan meningkatkan nilai NAC pada frekuensi rendahsebesar 12% sampai dengan 17%. Nilai optimal didapat dari kenaikan nilai NAC pada frekuensi rendahdisertai nilai NAC tertinggi pada frekuensi tertentu. Nilai tersebut didapatkan pada SAKO 50 dengan besardiameter rongga resonator 10 mm dengan nilai NAC 0,9 pada frekuensi 700 dan 800 Hz.

4. Penambahan acoustic fill sebesar 10 % Vf (fraksi volume sekat rongga resonator) pada sekat rongga resonatorsangat efektif hal ini akan mengakibatkan kenaikan nilai NAC dan menggeser kenaikan NAC pada frekuensirendah. Penambahan acoustic fill paling baik didapatkan dengan menggunakan serat sabut kelapa hal inidisebabkan karena massa jenis serat sabut kelapa paling kecil dibandingkan dengan kedua serat lain yaitusebesar 1,03 g/cm3.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM, 1998, “Annual Book of ASTM Standard ”, West Conshohocken.

Doelle, L.L., 1986, “Akustik Lingkungan”, Penerbit Erlangga, Jakarta

Harris, C.M., 1979, “ Handbook of Noise Control ”, 2 edition, Mc Graw Hill Book Company, USA.

Kinsler E.L., Frey A.R., Coppens A.B., dan Sanders J.V.,1982, “Fundamentals of Accoustics”, John Wiley & Sons.

Lord, H.W., Gatley, W.S., Evensen, H.A., 1980, “Noise Control For Engineers” McGraw-Hill Book Company, USA.

Lord, P. dan Templeton, D., 1996, “ Detailling for Acoustics ”.

Lee Y., dan Joo C., 2003, “ Sound Absorption of Recycled Polyester Fibrous Assembly Absorbers “, AUTEX ResearchJournal, Vol. 3, No.2.

Nor M.J.M., Jamaludin N., dan Tamiri F.M., 2004, “ A Preliminary Study of Sound Absorption Using Multi-layerCoconut Coir Fibers ” , Univ. Kebangsaan Malaysia.

Randall, R.B., 1987, ”Frequency Analysis”, Bruel and Kjaer.

Tambunan, S.T.B., 2005, “Kebisingan di Tempat Kerja”, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, Indonesia.

Yudhanto F, Jamasri dan Subagio., 2007, ”Kajian Kinerja Panel Akustik Dari Bahan Kayu Sengon Laut SebagaiInsulasi Bunyi” Berkala Jurnal Penelitian S-2 UGM.