Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes - Webs

59
Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098 i Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes JURNAL PENELITIAN KESEHATAN SUARA FORIKES Diterbitkan oleh: FORUM ILMIAH KESEHATAN (FORIKES) Penanggungjawab: Ketua Forum Ilmiah Kesehatan Pemimpin Redaksi: Subagyo, S.Pd, M.M.Kes Anggota Dewan Redaksi: H. Trimawan Heru Wijono, S.K.M, S.Ag, M.Kes H. Sukardi, S.S.T, M.Pd Hj. Rudiati, A.P.P, S.Pd, M.M.Kes Penyunting Pelaksana: Budi Joko Santosa, S.K.M, M.Kes Handoyo, S.S.T Suparji, S.S.T, S.K.M, M.Pd Sekretariat: Hery Koesmantoro, S.T, M.T Ayesha Hendriana Ngestiningrum, S.S.T Sri Martini, A.Md Alamat: Jl. Cemara RT 01 RW 02 Ds./Kec. Sukorejo, Ponorogo Kode Pos: 63453 Telepon: 085235004462 Jl. Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Serangan, Sukorejo, Ponorogo Kode Pos: 63453 Telepon: 081335718040 E-mail dan Website: [email protected] dan www.suaraforikes.webs.com Terbit setiap tiga bulan, terbit perdana bulan Januari 2010 Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume V Nomor 3 Halaman 120 - 175 Juli 2014 ISSN 2086-3098

Transcript of Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes - Webs

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

i Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

JURNAL PENELITIAN KESEHATAN SUARA FORIKES

Diterbitkan oleh: FORUM ILMIAH KESEHATAN (FORIKES)

Penanggungjawab:

Ketua Forum Ilmiah Kesehatan

Pemimpin Redaksi: Subagyo, S.Pd, M.M.Kes

Anggota Dewan Redaksi:

H. Trimawan Heru Wijono, S.K.M, S.Ag, M.Kes H. Sukardi, S.S.T, M.Pd

Hj. Rudiati, A.P.P, S.Pd, M.M.Kes

Penyunting Pelaksana:

Budi Joko Santosa, S.K.M, M.Kes Handoyo, S.S.T

Suparji, S.S.T, S.K.M, M.Pd

Sekretariat: Hery Koesmantoro, S.T, M.T

Ayesha Hendriana Ngestiningrum, S.S.T Sri Martini, A.Md

Alamat:

Jl. Cemara RT 01 RW 02 Ds./Kec. Sukorejo, Ponorogo Kode Pos: 63453 Telepon: 085235004462

Jl. Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Serangan, Sukorejo, Ponorogo Kode Pos: 63453 Telepon: 081335718040

E-mail dan Website:

[email protected] dan www.suaraforikes.webs.com

Terbit setiap tiga bulan, terbit perdana bulan Januari 2010 Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume V

Nomor 3

Halaman 120 - 175

Juli 2014

ISSN 2086-3098

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

ii Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

EDITORIAL PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

Salam dari Redaksi

Selamat berjumpa kembali dengan

kami ”Suara Forikes” pada

penerbitan Volume V Nomor 3,

Bulan Juli 2014.

Kali ini kami tampilkan sepuluh

artikel hasil penelitian dalam bidang

kesehatan buah karya para sejawat

dari Kediri, Magetan, Malang,

Semarang, Demak, Medan,

Tangerang, dan Bandung.

Sebagian dari penulis merupakan

pendatang baru yang kami

harapkan akan terus berpartisipasi

untuk menyuburkan jurnal ini. Kami

menyambut gembira dengan

adanya analisis multivariat

menggunakan SEM yang masih

jarang tampil dalam jurnal ini,

semoga ini akan menjadi stimulus

bagi para peneliti lain untuk

melakukan analisis secara lebih

kompleks seperti halnya SEM, path

analysis, analisis diskriminan dan

sebagainya.

Akhirnya, kami sampaikan

perhargaan yang setinggi-tingginya

atas partisipasi para sejawat,

dengan harapan peranserta Anda

akan lebih meningkat, tentunya

dengan karya yang lebih

berkualitas, sehingga dapat

berkontribusi dalam meningkatkan

kualitas penelitian kesehatan di

tanah air.

Jika ingin mendapatkan keterangan

lebih jauh, silakan menghubungi

kami melalui surat, telepon, atau e-

mail. Isi jurnal ini dapat diunduh

pada www.suaraforikes.webs.com,

serta portal PDII LIPI. Terimakasih,

sampai berjumpa kembali pada

bulan Oktober 2014.

Redaksi

Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau

tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah

dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau

halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang,

harus ada kesepakatan urutan peneliti yang

ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi

berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang

masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan

kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang

mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna

yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya

mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.)

harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama.

Persyaratan artikel adalah sebagai berikut:

1. Diketik dengan huruf Arial 9 dalam 2 kolom, pada kertas HVS A4 dengan margin kiri, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3,5 cm.

2. Jumlah maksimum adalah 10 halaman, berbentuk softcopy (flashdisk, CD, DVD atau e-mail).

Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut:

1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah.

2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawahnya ditulis institusi asal penulis.

3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dicetak miring. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci.

4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.

5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.

6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah.

7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan .

8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Simpulan dan saran disajikan secara naratif.

9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka mengacu pada Sistim Harvard.

Redaksi

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

iii Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

DAFTAR JUDUL

No

Judul dan Penulis

Halaman

1 HUBUNGAN CARA MENETEKI YANG BENAR DENGAN KENAIKAN BERAT BADAN PADA BAYI USIA (2 MINGGU-1 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGU KABUPATEN KEDIRI Eny Sendra, Susanti Pratamaningtyas, Lila Rofika

120 - 122

2 GAMBARAN PRAKTEK CUCI TANGAN PAKAI SABUN (CTPS) DENGAN KEJADIAN DIARE PADA MURID TK PANCASILA DESA CEPOKO KECAMATAN PANEKAN MAGETAN Tutiek Herlina

123 – 126

3 HUBUNGAN PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR TENTANG INFEKSI TOXOPLASMA DENGAN PENERAPAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA TATANAN RUMAH TANGGA Anindya Hapsari

127 – 132

4 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TETANUS NEONATORUM DI INDONESIA Ricat Hinaywan Malik, Tjatur Sembodo, Agus Suprijono

133 – 140

5 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEINGINAN WANITA USIA SUBUR DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT (IVA) DI KLINIK ROMAULI KEC. MEDAN MARELAN Ardiana Batubara

141 – 148

6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI SUAMI DALAM KELUARGA BERENCANA DI POSYANDU MELATI I KELURAHAN SUKAMULYA, CIKUPA, TANGERANG Catur Erty Suksesty

149 – 153

7 PERBEDAAN PERKEMBANGAN BALITA USIA 12-15 BULAN ANTARA ANAK SULUNG DENGAN ANAK BUNGSU Nurlailis Saadah

154 – 157

8 KORELASI ANTARA KADAR HEMOGLOBIN IBU INPARTU DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI Haspeita Elvidian Mahareshi, Nurweningtyas Wisnu, Astuti Setiyani

158 - 162

9 MINI-PROJECT PROGRAM PENCEGAHAN ISPA INTERVENSI DAN ANALISIS DI KELURAHAN SINGOREJO KABUPATEN DEMAK AGUSTUS 2013 Ricat Hinaywan Malik, Elok Faiqoh, Bekti Setiawan, Selvi Risma

Amalia, Shaher Banun, Siti Amanah, Siti Hardianti, Yuanita Sofia Kamsidi, Nura Ma‟shumah

163 - 170

10 PENGARUH KOMPETENSI DAN KINERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT DI PUSKESMAS PASIRKALIKI KOTA BANDUNG

Washudi

171 - 175

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

120 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

HUBUNGAN CARA MENETEKI YANG BENAR DENGAN KENAIKAN BERAT

BADAN PADA BAYI USIA (2 MINGGU-1 BULAN) DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS PAGU KABUPATEN KEDIRI

Eny Sendra (Prodi Kebidanan Kediri,

Poltekkes Kemenkes Malang) Susanti Pratamaningtyas (Prodi Kebidanan Kediri,

Poltekkes Kemenkes Malang) Lila Rofika

(Prodi Kebidanan Kediri, Poltekkes Kemenkes Malang)

ABSTRAK

Latar belakang: Sangat penting bagi seorang ibu baru untuk segera pada hari pertama kelahiran, dipandu untuk melakukan pelekatan secara benar oleh seorang yang benar-benar mengerti mengenai teknik pelekatan atau menyusui yang tepat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan cara meneteki yang benar dengan kenaikan berat badan pada bayi (2 minggu - 1 bulan). Metode: Populasi penelitian cross sectional ini adalah ibu yang menyusui bayinya (2 minggu - 1 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Pagu, Kediri, dengan besar populasi 30 orang. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling. Data cara meneteki dikumpulkan melalui observasi, sedangkan data kenaikan berat badan dikumpulkan dengan mengukur berat badan bayi. Hasil: Sebanyak 78,6% ibu telah menerapkan cara meneteki yang baik dan 75% bayi memiliki berat badan optimal. Fisher Probability Exact Test menghasilkan nilai p = 0,0012. Kesimpulan: Ada hubungan antara cara meneteki yang benar dengan kenaikan berat badan pada bayi usia 2 minggu sampai 1 bulan. Saran: Bagi tenaga kesehatan diharapkan agar setelah bayi lahir segera disusukan kepada ibunya dan mengajarkan pada ibu tentang teknik meneteki yang benar, dilakukan rawat gabung dan memberikan pendidikan kesehatan tentang laktasi. Kata kunci: Meneteki, berat badan, bayi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menyusui adalah suatu proses alamiah,

berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahwa ibu yang buta hurufpun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah. Menyusui adalah seni yang harus dipelajari kembali. Untuk keberhasilan menyusui tidak diperlukan alat-alat khusus dan biaya yang mahal. Yang diperlukan hanyalah kesabaran waktu, sedikit pengetahuan tentang menyusui, dan dukungan dari lingkungan terutama suami (Roesli, Utami 2000).

Perlu diketahui bahwa seorang ibu dengan bayi pertamanya akan mengalami berbagai masalah hanya karena tidak mengetahui cara-cara menyusui yang benar. Walaupun sebenarnya cara itu sangatlah sederhana (Soetjiningsih, 1998).

Hampir semua wanita menghasilkan ASI lebih dari cukup, bahkan sering timbul permasalahan pasokan ASI yang berlebihan. Seorang bayi yang kenaikan berat badannya lambat, atau bahkan cenderung mengalami kehilangan berat badan, seringkali bukan disebabkan karena ibunya tidak cukup menghasilkan ASI, tetapi bayi tersebut tidak berhasil untuk mengeluarkan dan minum ASI yang diberikan oleh ibu tersebut. Biasanya hal ini disebabkan oleh pelekatan. Yaitu posisi mulut bayi pada payudara ibu yang kurang tepat. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang ibu baru untuk segera pada hari pertama kelahiran, dipandu untuk melakukan pelekatan secara benar oleh seorang yang benar-benar mengerti mengenai teknik pelekatan atau menyusui yang tepat (http://www.aimi.com/Berbagai mitos seputar menyusui).

Berdasarkan praktek kerja lapangan di Desa kambingan Wilayah Kerja Puskesmas Pagu pada tanggal 10-29 Maret 2008 didapatkan dari 3 ibu menyusui (usia1 bulan) 2 orang masih mengalami kesulitan dalam menyusui, ini dikarenakan karena posisi ibu saat menyusui yang salah sehingga mulut bayi tidak dapat menutupi seluruh bagian areola. Dari 3 ibu menyusui tersebut 1 diantaranya berat badan bayinya tidak menunjukkan berat badan yang optimal yakni berat badan yang seharusnya bertambah minimal 1 kg untuk usia bayi 1 bulan pada setiap bulannya, ini hanya mencapai 500 gram dari berat badan saat lahir dan belum diketahui penyebabnya.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

121 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Hasil studi pendahuluan pada tanggal 9 April diperoleh ibu menyusui (usia 1 bulan) yang berkunjung ke posyandu sebanyak 4 orang, 3 diantaranya tidak ada yang mengalami kesulitan dalam menyusui bayinya serta kenaikan berat badan bayinya optimal yaitu pertambahan lebih dari 1 kg dari berat badan saat lahir. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan cara

meneteki yang benar dengan kenaikan berat badan pada bayi (2 minggu - 1 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Pagu. METODE PENELITIAN

Desain dalam penelitian ini adalah Cross Sectional yaitu merupakan suatu penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk efek & resiko diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang menyusui bayinya (2 minggu - 1 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Pagu. Besar populasi dalam penelitian ini adalah 30 responden. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling yang dilakukan secara lotre.

Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data tentang cara meneteki yang benar dengan menggunakan lembar observasi yang langsung diamati oleh peneliti. Lembar observasi ini diisi oleh peneliti sendiri secara langsung. Untuk data kenaikan berat badan peneliti mengukur berat badan bayi sebanyak 2 kali, kemudian hasilnya diklasifikasikan sesuai pertambahan berat badan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah tentang observasi cara meneteki yang benar dan pengukuran langsung berat badan bayi.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi frekuensi Hubungan Cara

Meneteki yang benar dengan Kenaikan Berat Badan Pada Bayi Yang Diperoleh

A. Berat Badan Optimal

Berat Badan Tidak

Optimal

Jumlah

Cara Meneteki yang baik

20 2 22

Cara Meneteki yang buruk

1 5 6

Jumlah 21 7 28

Dari hasil analisis menggunakan Fisher

Probability Exact Test didapatkan p = 0,0012. Ternyata p lebih kecil dari 0,05,

sehingga Ho ditolak, maka dinyatakan ada hubungan antara cara meneteki yang benar dengan kenaikan berat badan pada bayi usia 2 minggu sampai 1 bulan. PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian tentang cara meneteki yang benar di wilayah kerja Puskesmas Pagu sudah cukup baik, yaitu dari 28 responden yang diobservasi bagaimana ia meneteki 6 responden (21,4%) mempunyai perilaku yang buruk, 22 responden (78,6 %) mempunyai perilaku yang baik tentang cara meneteki. Hasil observasi yang dilakukan sebagian besar responden cara meneteki baik, Namun masih terdapat cara meneteki yang kurang benar, dikarenakan masih ada langkah dalam lembar observasi yang tidak dilakukan ibu, karena ibu masih kurang mendapatkan informasi tentang cara meneteki dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan posisi yang nyaman untuk ibu dan bayinya. Dalam hal ini bidan juga kurang menginformasikan kepada ibu-ibu menyusui tentang cara meneteki yang benar. Sebenarnya menyusui khususnya yang eksklusif merupakan cara pemberian makan yang alamiah. Namun, seringkali ibu-ibu kurang mendapatkan informasi yang salah bagaimana cara meneteki yang benar, dan apa yang harus dilakukan bila timbul kesukaran dalam meneteki bayinya. Hal inilah yang menyebabkan masih adanya bayi yang kenaikan berat badannya kurang optimal. Cara menyusui yang benar pada umumnya dipengaruhi oleh seberapa besar pengetahuan ibu menyusui tahu tentang teknik menyusui yang benar. Ibu yang mempunyai pengetahuan atau informasi yang cukup tentang menyusui akan cenderung menunjukkan cara yang baik seperti yang dikemukakan oleh (Rusli, 2000) bahwa pengetahuan yang memadai diharapkan dapat membuat sikap positif terhadap kemampuan ibu dalam memberi ASI

Dari hasil penelitian tentang kenaikan berat badan bayi usia 2 minggu – 1 bulan diketahui dari 28 bayi yang berat badannya optimal sebanyak 21 bayi (75%), dan yang berat badannya kurang optimal sebanyak 7 bayi (25%). Dari 21 bayi yang berat badannya optimal sebagian besar kenaikan berat badannya bertambah 200 gram/minggu dan dari 7 bayi yang kenaikan berat badannya kurang optimal sebagian besar yaitu 100 gram/minggu. Masalah yang sering timbul pada bayi usia 2 minggu sampai 1 bulan adalah kenaikan berat badan. Hal ini disebabkan oleh cara

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

122 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

meneteki yang salah, bukan karena ibunya tidak cukup menghasilkan ASI, melainkan posisi mulut bayi pada payudara yang kurang tepat. Perubahan berat badan bayi (naik atau turun) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan. Seorang ibu dengan bayi pertamanya akan mengalami berbagai masalah hanya karena tidak mengetahui cara-cara meneteki yang benar. Walaupun sebenarnya cara itu sangatlah sederhana, tetapi ibu-ibu yang baru melahirkan anak kedua, ketiga dan seterusnya terkadang masih kesulitan untuk menyusui. Seperti pendapat (Rusli, 2000) untuk keberhasilan menyusui tidak diperlukan alat khusus dan biaya yang mahal yang diperlukan hanyalah kesabaran, waktu, pengetahuan dan dukungan dari lingkungan.

Berdasarkan data di atas, nampak bahwa cara meneteki yang benar mempengaruhi perubahan berat badan bayi,selain itu pemenuhan nutrisi yang cukup juga berpengaruh untuk produksi ASI ibu. Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pagu Kediri menunjukkan bahwa rata-rata bayi yang cara menetekinya baik peningkatan berat badanya optimal. Hal tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan ibu tentang meneteki sangatlah penting dan gizi yang cukup akan meningkatkan produksi ASI sehingga kenaikan berat badan bisa optimal.

Menurut Suradi (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan bayi, antara lain: adat, kepercayaan tentang menyusui di daerah masing-masing, pengalaman menyusui pada anak sebelumnya, kebiasaan menyusui dalam keluarga atau dikalangan kerabat, pengetahuan ibu dan keluarganya tentang cara meneteki. Hal tersebut menggambarkan bahwa pemberian ASI saja / ekslusif cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Semakin sering bayi menyusu maka semakin banyak produksi ASI yang dihasilkan. Menyusui juga tanpa harus dijadwal (on demand) sehingga kebutuhan bayi bergantung sepenuhnya pada bayi bukan pada ibunya. Bayi yang mendapat cukup ASI, berat badannya akan terus meningkat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah 78,6% (22 responden) berperilaku baik tentang cara meneteki, Bayi yang berat badannya optimal 75% (21 responden), dan ada hubungan cara meneteki yang benar dengan kenaikan berat badan pada bayi usia

(2 minggu – 1 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Pagu Kabupaten Kediri.

Saran yang disampaikan Bagi tenaga kesehatan agar setelah bayi lahir segera disusukan kepada ibunya dan mengajarkan pada ibu tentang teknik meneteki yang benar, dilakukan rawat gabung dan memberikan pendidikan kesehatan tentang laktasi.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta. Budiarto, Eko. 2001: Biostatistik untuk

kedokteran dan kesehatan masyarakat: Jakarta: EGC

Departemen Kesehatan RI. 2005: Manajemen Laktasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Dinas Kesehata Propinsi Jawa Timur. 2000. Buku Bina Sehat: Acuan Untuk Kader, Motivator, dan Pemuka Masyarakat. Jakarta: Dinas Kesehatan Jawa Timur bekerja sama dengan UNICEF

Fakultas Kedokteran UI. 2005:Kapita selekta: Jilid 2. Jakarta: media Aesculapius.

Frances, Williams. 2003:baby Care For Beginner, (1

st ed), R.Kamah, W (2003)

(Alih Bahasa), Jakarta: Erlangga Hasan, I. 2004: Analisis Data Penelitian

Dengan Statistik Jakarta. Sinar Grafika. Nursalam. 2003: Konsep Penerapan Ilmu

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. _________. 2005: Konsep Penerapan Ilmu

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Soekidjo N. 2003: Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. _________. 2005: Metodologi Penelitian

Kesehatan Jakarta: Rineka Cipta. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang

Anak. Jakarta: EGC. Sugiono. 2006. Metodologi Penelitian

Administrasi. Bandung: Alfabeta. Supariasa. IDN, 2001, Penilaian Status Gizi

Buku Kedokteran. Jakart: EGC Suradi, R. 2004. Manajemen laktasi edisi 2.

Jakarta: Perinasia. Utami R. 2000.Mengenal ASI eksklusif.

Jakarta: Trubus Agriwidya. Yupi S. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar

Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. http//www. aimi. Com/ Berbagai Mitos

Seputar Menyusui on Monday, March 5th

2008. 19.00 am http//www geocities com

/Yosemite/rapids1744/cklbbmkbrg. Ktml on Monday, 5 March 5

th 2008. 20.00 am

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

123 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

GAMBARAN PRAKTEK CUCI TANGAN

PAKAI SABUN (CTPS) DENGAN KEJADIAN DIARE PADA MURID TK

PANCASILA DESA CEPOKO KECAMATAN PANEKAN MAGETAN

Tutiek Herlina

(Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Latar belakang: Angka ketidakhadiran anak karena sakit yang disebabkan oleh penyakit diare menurun setelah dilakukan intervensi dengan CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun). Namun demikian, konsekuensinya terhadap kesehatan belum sepenuhnya dipahami masyarakat secara luas, dan praktiknya pun masih belum banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan: Penelitian ini hendak mendeskripsikan praktek CTPS dan kejadian diare pada murid TK Pancasila Desa Cepoko, Panekan, Magetan. Metode: Populasi penelitian deskriptif ini adalah murid TK Pancasila Desa Cepoko, Panekan, Magetan pada bulan Juni 2014 sebesar 34 anak. Pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan observasi. Analisa data dengan statistik deskriptif. Hasil: Sebagian besar (64,77%) praktek CTPS yang dilakukan murid TK Pancasila Cepoko tidak benar, dan 35,23% sudah benar. Praktek yang tidak benar dilakukan pada 86,36% dari langkah-langkah CTPS dan yang terbanyak (86,36%) pada langkah akhir yaitu mematikan aliran air dengan tangan yang sudah dicuci secara langsung. Frekuensi CTPS dalam sehari sebagian besar (79,41%) sering yaitu lebih dari 3 kali, dan 20,59% jarang yaitu hanya 2sampai 3 kali sehari saat mandi dan setelah bermain. Frekuensi diare dalam satu tahun hanya 17,65% anak yang tidak pernah diare, dan 82,35% pernah diare, rata-rata 2 kali. Kesimpulan: Praktek cuci tangan murid TK Pancasila sebagian besar tidak benar. Sebagian besar murid TK Pancasila pernah menderita diare, dan rata-rata 2 kali dalam satu tahun. Saran: Mengingat bahaya diare dan keuntungan CTPS dalam pencegahan diare pada anak, sebaiknya disediakan sarana yang tepat untuk praktek cuci tangan pakai sabun di rumah maupun di fasilitas umum. Kata kunci: Cuci tangan, sabun, diare

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, terutama pada balita (Sinthamurniwaty, 2005). Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau, atau dapat pula bercampur lendir (Ngastiyah, 2005). Penyebab utama diare adalah virus, bakteri atau toksinnya, serta parasit. Patogen-patogen ini menimbulkan penyakit dengan menginfeksi sel-sel, menghasilkan enterotoksin atau kritotoksin yang merusak sel, atau melekat pada dinding usus. Pada gastroenteritis akut, usus halus adalah alat pencernaan yang paling sering terkena. Gastroenteritis akut ditularkan melalui rute fekal-oral dari orang ke orang. Beberapa kasus ditularkan melalui air dan makanan yang terkontaminasi (Sowden, 2003).

Pada tahun 2013, angka kesakitan diare pada balita di Kecamatan Panekan sebesar 302 kasus atau 9,15% dari seluruh kasus di Kabupaten Magetan (Dinkes Magetan, 2013). Laporan Tahunan Puskesmas Panekan tahun 2013, menunjukkan dari 17 desa, Desa Cepoko termasuk dalam lima besar yaitu 6,78% dari seluruh kasus.

Pencegahan diare yang efektif dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan seperti kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, dan kebersihan dari makanan yang kita makan (Qauliyah, 2010). Angka ketidakhadiran anak karena sakit yang disebabkan oleh penyakit diare menurun setelah dilakukan intervensi dengan CTPS. Namun demikian, konsekuensinya terhadap kesehatan belum sepenuhnya dipahami masyarakat secara luas, dan praktiknya pun masih belum banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku CTPS yang tidak benar masih tinggi ditemukan pada anak usia 10 tahun ke bawah. Maka dibutuhkan peningkatan kesadaran mereka atau pengasuhnya akan pentingnya CTPS ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI, 2009).

Tujuan penelitian

Mendeskripsikan praktek CTPS dan kejadian diare pada murid TK Pancasila Desa Cepoko, Panekan, Magetan. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Populasi adalah murid TK Pancasila Desa

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

124 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Cepoko pada bulan Juni 2014 sebesar 34 anak. Variabel penelitian adalah praktek cuci tangan pakai sabun dan kejadian diare. Pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan observasi. Analisis data dengan statistik deskriptif. Penyajian data dalam bentuk diagram dan tabel distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN

Dari 34 murid TK Pancasila Desa Cepoko Kecamatan Panekan, 12 anak (35,23%) cuci tangan dengan benar, dan sebanyak 22 anak (64,77%) cuci tangan tidak benar. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi Praktek CTPS

Murid TK Pancasila Desa Cepoko, Panekan

Praktek cuci tangan pakai sabun yang tidak benar terdapat pada 13 langkah dari 15 langkah keseluruhan. Praktek terbanyak pada langkah mematikan aliran air dengan tangan secara langsung setelah cuci tangan. Rincian praktek yang tidak benar dapat dijabarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Praktek CTPS Yang Tidak Benar

pada Murid TK Pancasila Desa Cepoko, Panekan, Magetan

Cuci Tangan f %

Tidak ada sabun 0 0

Wadah sabun tidak berlubang 2 9,1

Tidak ada handuk/ lap/ tissue/ pengering

4 18,2

Tidak menggunakan air bersih 0 0

Tidak menggunakan air mengalir 1 4,55

Tidak menggunakan sabun 4 18,2

Tidak menggosok tangan selama 15-20 detik

8 36,36

Tidak membersihkan pergelangan tangan

6 27,21

Tidak membersihkan punggung tangan

3 13,64

Tidak membersihkan sela jari 5 22,73

Tidak membersihkan kuku 6 27,21

Tidak membasuh dengan air mengalir 1 4,55

Tidak mengeringkan tangan 1 4,55

Mematikan aliran air dengan tangan secara langsung setelah cuci tangan

19 86,36

Frekuensi cuci tangan murid TK Pancasila Desa Cepoko Kecamatan Panekan, dari 34 anak, 20,59% frekuensi cuci tangan pakai sabun jarang dilakukan (2-3 kali sehari) yaitu saat mandi dan setelah bermain. Sebanyak 27 anak (79,41%) frekuensi cuci tangan pakai sabun sering ( lebih dari 3 kali sehari) selain saat mandi juga setelah bermain dan akan makan.

Berdasarkan laporan orang tua murid, 6 murid (17,65%) tidak pernah menderita diare selama satu tahun dan 82,35% pernah menderita diare rata-rata dua kali. Pada murid yang pernah menderita diare, 34,48% sudah melakukan cuci tangan dengan benar. PEMBAHASAN

Praktek CTPS yang benar menurut Ditjen PPPL (2010) adalah cuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun, tidak harus sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk cairan, menggosok tangan setidaknya selama 15-20 detik, membersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari, dan kuku, membasuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir, mengeringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.

Kurangnya dukungan dan fasilitas dari lingkungan keluarga untuk pelaksanaan cuci tangan yang benar seperti memberi contoh pada anak untuk membiasakan diri melakukan cuci tangan yang baik dan menyediakan peralatan, menyebabkan banyak anak melakukan cuci tangan semaunya sendiri tanpa memperhatikan langkah-langkah cuci tangan yang baik sesuai dengan ilmu yang didapatkan dari sekolahnya masing-masing. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari keluarga dengan memberikan contoh pada anak dan menyediakan fasilitas untuk cuci tangan yang baik, sehingga anak akan terbiasa untuk melakukan praktek cuci tangan dengan baik.

Pada penelitian ini diperoleh hasil 82,35% murid TK Pancasila Desa Cepoko pernah mengalami kejadian diare, rata-rata sebanyak 2 kali selama 1 tahun terakhir. Schmieg (2009) menyatakan bahwa penyakit diare sering menyerang bayi dan balita setiap tahunnya. Kejadian diare dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor karakteristik individu, yaitu umur balita < 24 bulan, status gizi balita, umur pengasuh balita, tingkat pendidikan pengasuh balita; faktor perilaku pencegahan meliputi perilaku mencuci tangan sebelum makan, mencuci peralatan makan sebelum digunakan, mencuci bahan makanan, mencuci tangan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

125 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

dengan sabun setelah BAB, merebus air minum dan kebiasaan memberi makan anak diluar rumah; faktor lingkungan yaitu kepadatan perumahan, ketesediaan Saluran Air Bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih, ketersediaan Jamban Keluarga (JAGA), pemanfaatan JAGA (Sinthamurniwaty 2005).

Dampak negatif kejadian diare pada bayi dan anak-anak antara lain dapat menghambat proses tumbuh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup anak di masa depan. Jika tidak segera diobati, dalam waktu singkat (+ 48 jam) penderita akan meninggal. Kematian ini disebabkan, karena hilangnya cairan elektrolit tubuh akibat adanya dehidrasi (Afriadi, 2008). Oleh karena itu sebagai salah satu upaya pencegahan diare, diperlukan peningkatan perilaku cuci tangan pakai sabun yang benar sehingga dapat menghindarkan anak dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh diare.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Praktek cuci tangan murid TK Pancasila

sebagian besar tidak benar. 2. Sebagian besar murid TK Pancasila

pernah menderita diare, dan rata-rata 2 kali dalam satu tahun.

Saran

1. Diharapkan institusi pelayanan kesehatan meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya cuci tangan yang benar dan bahaya penyakit diare.

2. Mengingat bahaya diare dan keuntungan cuci tangan pakai sabun dalam pencegahan diare pada anak, sebaiknya disediakan sarana yang tepat untuk praktek cuci tangan pakai sabun di rumah maupun di fasilitas umum.

DAFTAR PUSTAKA

Afriadi, Riana. 2008. Penyakit Perut.

Bandung: Puri Delco. Anas, Sudijono. Pengantar Statistik

Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi VI.

Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Saifuddin. 2008. Sikap Manusia

Teori dan Pengukuran edisi 2. Jakarta: Pustaka Pelajar.

-------. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Budiartha, Putu. 2009. Biasakan Mencuci Tangan. Http://nursingbegin.

com/biasakan-mencuci-tangan/ (diakses tanggal 24 maret 2011 pukul 08.20 WIB).

Depkes RI. 2009. Panduan Penyelenggaraan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (Hctps) Kedua 15 Oktober 2009. Jakarta: Depkes RI.

-------. 2007. Buku paket pelatihan kader kesehatan dan tokoh masyarakat dalam pengembangan desa siaga untuk fasilitator. Jakarta: Depkes RI.

Dhina, Hermin. 2006. Gambaran Perilaku Ibu dalam Penanganan Diare pada Anak Balita di BPS Pristi Wahyuni Bendo Magetan. KTI. Prodi Kebidanan Magetan.

Dinkes Jatim. 2010. Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2009. Surabaya: Dinkes Jatim.

Dinkes Magetan. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten Magetan dalam Angka Tahun 2013. Magetan: Dinkes Magetan.

Ditjen PPPL. Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia 2010: Perilaku Sederhana Berdampak Luar Biasa 2010. http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=berita&m=fullview&id=34. (diakses tanggal 24 Maret 2011 pukul 08.27 WIB).

Hiswani. Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang kejadiannya sangat erat dengan keadaan sanitasi lingkungan. 2003. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3693/1/fkm-hiswani7.pdf (diakses tanggal 24 Mei 2011 pukul 17.30 WIB)

Jayanthi. SAP Cara Mencuci Tangan. http://rentalhikari. wordpress. com/2009/11/06/sap-cara-mencuci-tangan/. (diakses tanggal 24 Maret 2011pukul 09.15 WIB).

Lestari. 2008. Mencuci Tangan Cara Mudah Menghindari Infeksi. Http://n-lestari.blogspot.com/2008/05/mencuci-tangan-cara-mudah-menghindari.html (diakses tanggal 9 Maret 2011pukul 19.00 WIB).

Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit edisi 2. Jakarta: EGC,2005.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

-------. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Peter dkk. 2005. Buku Ajar Fundamental

Keperawatan Volume 3. Jakarta: EGC. Qauliyah. 2010. Patofisiologi, Gejala Klinik

Dan Penatalaksanaan Diare. http://astaqauliyah.com/2010/06/artikel-

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

126 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

kedokteran-patofisiologi-gejala-klinik-dan-penatalaksanaan-diare/. (diakses tanggal 24 Maret 2011 pukul 08.05 WIB).

Riduwan. 2009. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta.

Schmieg, Sebastian.2009. Diare Cara Pengobatan dan Pencegahannya. http:// murtaqicomunity. wordpress.com/2009/07/07/diare-cara-pengobatan-dan-pencegahannya/. (diakses tanggal 24 Mei 2011 pukul 17.15 WIB)

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sinthamurniwaty. 2005. Faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada balita (studi kasus di kabupaten semarang). www.pdffactory.com. (Diakses tanggal 8 Maret 2011 pukul 14.45 WIB).

Sowden, dkk. 2003. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Supari, fadilah. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 852/menkes/sk/ix/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta: Depkes RI.

Suriadi. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Yulianti, fitri. Diare Penyebab Kematian Balita Kedua di Dunia. 2010. http://hileud.com/hileudnews?title=diare%2c+penyebab+kematian+kedua+balita+di+dunia&id=100283. (diakses tanggal 24 Maret 2011 pukul 08.11WIB).

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

127 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

HUBUNGAN PENGETAHUAN WANITA

USIA SUBUR TENTANG INFEKSI TOXOPLASMA DENGAN PENERAPAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT

PADA TATANAN RUMAH TANGGA

Anindya Hapsari (Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Jurusan Ilmu Kesehatan, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang)

ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi toxoplasma atau toxoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh protozoa intraseluler yang disebut Toxoplasma gondii. Penyakit ini tidak memiliki gejala yang khas, tetapi apabila diderita oleh wanita hamil akan membahayakan janin yang dikandungnya. Penyakit ini juga ditengarai sebagai salah satu penyebab ketidaksuburan pada wanita dan dihubungkan pula dengan seringnya terjadi abortus. Toxoplasmosis dapat menyerang siapa saja, tetapi karena yang lebih sering terkena dampak negatifnya adalah wanita usia subur, maka penyakit ini sering diidentikkan dengan penyakit wanita. Sumber penularan utama adalah melalui makanan terkontaminasi kista toxoplasma yang dimasak kurang matang dan juga melalui ookista yang dikeluarkan kucing bersama tinjanya. Salah satu cara pencegahan penyakit ini adalah dengan memutus rantai penularan penyakit yang dapat dilakukan dengan selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb, Desa Klinterejo, Sooko, Mojokerto. Metode: Jenis penelitian adalah analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dari populasi wanita usia subur yang memeriksakan diri di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb pada tanggal 20-26 Januari tahun 2014. Hasil: ada hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga.

Kata kunci: Toxoplasmosis, wanita usia subur, PHBS

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi toxoplasma atau toxoplasmosis

merupakan infeksi yang disebabkan oleh protozoa intraseluler yang disebut Toxoplasma gondii. Penyakit ini ditemukan pada manusia hampir di seluruh dunia. Mammalia digolongkan sebagai hospes perantara, sedangkan kucing sebagai hospes definitif (Prawita, 2013).

Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monosit dan sel-sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ tubuh, seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru, otak, ginjal, atau jantung (Hiswani, 2008).

Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia belum diketahui pasti. Tetapi, berdasarkan hasil penelitian Sayoga, dari 288 ibu hamil yang diperiksa, angka kejadian ibu hamil yang di dalam darahnya positif terinfeksi Toxoplasma adalah 14,25%. Dari ibu-ibu yang terinveksi itu didapatkan, 4 persalinan prematur dan 1 kasus dengan kelainan saat lahir. Hasil survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan Hartono pada 1995 menemukan angka prevalensi zat anti terhadap toxoplasma pada wanita-wanita hamil sebesar 60,01%. Sedangkan jumlah penderita penyakit pada hewan-hewan yang hidupnya dekat dengan manusia dagingnya dikonsumsi manusia menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yakni 15-75% (Subadiyasa, 2009).

Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk, yaitu bentuk trofozoit, kista, dan ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 µm dan dapat menginvasi semua sel mammalia yang memiliki inti sel. Bentuk trofozoit dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Trofozoit yang aktif membelah disebut tachizoit. Bila infeksi menjadi kronis, trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan

disebut bradizoit (Alonemisery, 2010). Kista dibentuk di dalam sel hospes apabila tachizoit yang membelah telah membentuk dinding dan kista ini dapat ditemukan terutama di dalam jaringan otak, otot jantung dan otot bergaris hospes seumur hidup. Di otak, kista jaringan akan berbentuk oval sedangkan di sel otot bentuk kista jaringan akan mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada S dkk, 2004).

Bentuk yang ketiga adalah bentuk ookista yang berukuran 10-12 µm. Ookista terbentuk

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

128 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feses kucing. Kucing yang terinfeksi Toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan mengeluarkan jutaan ookista dalam fesesnya (Alonemisery, 2010).

Infeksi dari parasit ini pada manusia dapat melalui berbagai cara. Cara yang pertama sering disebut toxoplasmosis kongenital atau diturunkan dari ibu kepada anaknya. Transmisi parasit ini kepada janin terjadi in utero melalui plasenta apabila ibu mendapat infeksi primer pada saat kehamilan. Cara penularan yang kedua adalah toxoplasmosis aquisita. Infeksi ini dapat terjadi apabila manusia mengkonsumsi daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista atau tachizoit parasit ini atau melalui tertelannya ookista yang dikeluarkan bersama feses oleh kucing pengidap toxoplasmosis. Kemungkinan yang ketiga adalah infeksi di laboratorium melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi oleh parasit ini, serta kemungkinan keempat adalah melalui transplantasi organ dari donor yang merupakan penderita toxoplasmosis laten (Gandahusada S dkk, 2004).

Melihat cara penularan diatas, maka kemungkinan paling besar untuk terkena infeksi Toxoplasma gondii adalah melalui makanan daging yang mengandung ookista dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan kedua adalah melalui hewan peliharaan yang mengidap toxoplasmosis (Alonemisery, 2010).

Sekitar 80%-90% penderita toxoplasmosis tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimptomatik). Pada beberapa penderita biasanya didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher (cervical lymphadenopathy). Beberapa penderita juga dapat mengalami sakit kepala, demam (biasanya di bawah 400C), lemah, dan lesu. Sebagian kecil penderita mungkin mengalami nyeri otot (myalgia), nyeri tenggorokan, nyeri pada bagian perut, dan kemerahan pada kulit. Gejala-gejala tersebut dapat menghilang dalam waktu beberapa minggu, kecuali pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher yang dapat bertahan selama beberapa bulan. Jika penyakit berlanjut, maka dapat menimbulkan komplikasi berupa radang paru (pneumonia), radang pada jaringan otot jantung (miokarditis), radang pada selaput luar jantung (perikarditis), dan lainnya. Bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita toxoplasmosis mempunyai risiko yang tinggi untuk menderita toxoplasmosis kongenital. Anak dengan toxoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala kelainan

neurologis seperti hidrosefalus, mikrosefalus, retardasi mental dan kelainan pada mata (korioretinitis). Selain itu dapat juga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan persalinan berupa abortus, lahir mati, atau lahir cacat (Kurniawan, 2011).

Karena toxoplasmosis tidak menampakkan gejala yang jelas, sebagian besar penderita tidak menyadari apabila dirinya mengidap penyakit ini. Penderita, terutama penderita wanita biasanya baru memeriksakan diri setelah mengalami keluhan kesuburan atau sering mengalami keguguran. Oleh karena sebagian besar yang memeriksakan diri adalah wanita, sebagian besar penderita toxoplasmosis yang diketahui adalah wanita, terutama wanita usia subur yang masih memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Wanita usia subur adalah wanita yang berusia antara 15-49 tahun yang berada dalam masa reproduksi dan mulai ditandai dengan timbulnya haid yang pertama kali (menarche) dan diakhiri dengan masa menopause. Pada masa ini terjadi perubahan fisik, seperti perubahan warna kulit, perubahan payudara, pembesaran perut, pembesaran rahim, dan mulut rahim. Pada masa ini terjadi ovulasi kurang lebih 450 kali. Menstruasi pada masa ini paling teratur dan sangat memungkinkan terjadinya kehamilan. Pada usia di bawah 30 tahun, wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil. Pada usia 30-an tahun prosentasenya menurun hingga 90%. Sedangkan memasuki usia 40 tahun, kesempatan hamil berkurang menjadi 40%. Setelah usia 40 tahun, wanita hanya punya maksimal 10% kesempatan untuk hamil (Kumalasari dan Andhyantoro, 2012).

Toxoplasmosis pada manusia sebenarnya dapat dicegah dengan memutus rantai penularannya atau dengan mencegah tertelannya kista ataupun ookista. Sebagaimana telah diketahui, kista kemungkinan terdapat pada daging ataupun jaringan hewan mammalia pengidap toxoplasmosis. Untuk mematikan kista ini, salah satunya dapat dilakukan dengan memasak daging hingga matang menggunakan air bersih. Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan (Hiswani, 2008). Sedangkan tertelannya ookista yang terdapat pada kotoran kucing dapat dicegah dengan rajin mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun. Mencuci tangan serta penggunaan air bersih dalam aktifitas rumah tangga merupakan beberapa indikator dari penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada tatanan rumah tangga.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan paradigma sehat

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

129 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

dalam budaya perorangan, keluarga, dan masyarakat yang berorientasi sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan melindungi kesehatannya baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau, dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan kemandirian di bidang kesehatan, baik pada masyarakat maupun pada keluarga, artinya harus ada komunikasi antara kader dengan keluarga/masyarakat untuk memberikan informasi dan melakukan pendidikan kesehatan. Terdapat 10 indikator PHBS dalam tatanan rumah tangga, yakni: persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi asi eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air bersih dalam kehidupan sehari-hari, mencuci tangan pakai sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik di rumah sekali seminggu, mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktifitas fisik setiap hari, dan tidak merokok di dalam rumah (Depkes, 2013).

Oleh karena toxoplasmosis ini merupakan penyakit yang cukup berbahaya bagi kesuburan wanita dan memiliki efek fatal bagi bayi yang tertular dan karena salah satu pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan menerapkan PHBS di tatanan rumah tangga, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga. Penelitian ini dilaksanakan pada pasien yang memeriksakan diri di BPM Anis Nurlaily F, Amd.Keb di desa Klinterejo, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelasional. Penelitian korelasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengkaji hubungan antar variabel (Nursalam, 2008). Sedangkan pendekatan penelitian ini adalah penelitian cross sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya pada satu kali saja pada satu saat (Nursalam, 2008). Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,2006). Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang

memeriksakan diri di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb pada tanggal 20-26 Januari tahun 2014 sebanyak 98 orang, Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,2006). Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini, seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi.

Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan checklist. Kuesioner digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang infksi toxoplasma. Sedangkan checklist digunakan untuk mengetahui penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga.

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dilakukan penyebaran kuesioner tertutup. Data yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah secara manual dengan proses: editing, coding, scoring dan tabulating. Variasi jawaban kuesioner sebagai berikut :

Jawaban “benar”, diberikan nilai 1

Jawaban “salah” diberikan nilai 0 Interpretasi data dengan menggunakan

kriteria kualitatif sebagai berikut: apabila nilai yang didapat responden antara 75%-100%, dikatakan bahwa responden memiliki pengetahuan yang baik. Apabila nilai yang didapatkan antara 56%-75%, maka pengetahuan responden dikategorikan cukup. Sedangkan apabila nilai yang didapat ≤55%, maka pengetahuan responden tentang infeksi toxoplasma dikategorikan kurang (Nursalam, 2008).

Sedangkan, untuk mengetahui gambaran penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga dilakukan penyebaran checklist. Data yang diperoleh dari hasil checklist diolah secara manual dengan proses: editing, coding, scoring dan tabulating.

Variasi jawaban checklist adalah sebagai

berikut: jawaban “tidak pernah” diberikan

nilai 1, “kadang-kadang” diberikan nilai 2, “sering” diberikan nilai 3, sedangkan jawaban “selalu” diberi nilai 4.

Langkah-langkah dalam menganalisis data yang ada yaitu sebagai berikut (Wawan, 2010):

Positif : Jika hasil skor T : > 50

Negatif : Jika hasil skor T : < 50 Hasil penelitian diuji menggunakan

Spearman rho dengan keputusan pengujian hipotesis penelitian didasarkan pada taraf

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

130 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

signifikan 0,05. Uji dilakukan dengan taraf

signifikan 0,05 yang berarti jika < α (0,05) maka H1 diterima, dan berarti ada hubungan antara pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat di Desa Klinterejo Kecamatan Sooko

Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi, apabila > α (0,05), maka H1 ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat di Desa Klinterejo Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto. Untuk memudahkan penarikan kesimpulan digunakan perangkat komputer dengan program SPSS versi 17. HASIL PENELITIAN

Tabel 1.Distribusi Frekuensi Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Infeksi

Toxoplasma

Pengetahuan Frekuensi Persen

Kurang Cukup Baik

61 28 9

62.2 28.6 9.2

Jumlah 98 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada

Tatanan Rumah Tangga

PHBS Frekuensi Persen

Negatif Positif

61 37

62.2 37,8

Jumlah 98 100

Tabel 3. Distribusi Penerapan PHBS pada Tatanan Rumah Tangga

Berdasarkan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Infeksi Toxoplasma di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb,

Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto Tahun 2014

Pengeta huan

Penerapan PHBS

Negatif Positif Total

f % f % f %

Kurang 61 62.2 0 0 61 62.2

Cukup 0 0 28 28.6 28 28.6

Baik 0 0 9 9.2 9 9.2

Jumlah 61 62.2 37 37.8 98 100

Sig. 0.000, α = 0.05, n = 98

Hasil penelitian pengetahuan tentang infeksi toxoplasma menunjukkan dari 98 responden sebagian besar berpengetahuan kurang yaitu sebanyak 61 responden

(62,2%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik yaitu sebanyak 9 responden (9,2%).

Hasil penelitian penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga menunjukkan dari 98 responden sebagian besar berperilaku negatif, yaitu sebanyak 61 responden (62,2%). Sedangkan sebagian kecil berperilaku positif, yaitu sebanyak 37 responden (37,8%).

Hasil tabulasi silang hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto menunjukkan paling banyak adalah responden yang berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif yaitu sebanyak 61 responden (62,2%). Hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman rho ditemukan sig.0.000 < α (0.05). Dengan demikian H1 diterima dan H0 ditolak, yang artinya ada hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto PEMBAHASAN Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Infeksi Toxoplasma

Hasil penelitian pengetahuan tentang

infeksi toxoplasma menunjukkan dari 98 responden sebagian besar berpengetahuan kurang yaitu sebanyak 61 responden (62,2%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik yaitu sebanyak 9 responden (9,2%).

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain. Semenjak adanya sejarah kehidupan manusia telah berusaha mengumpulkan fakta. Dari fakta-fakta ini kemudian disusun dan disimpulkan menjadi berbagai teori, sesuai dengan fakta yang dikumpulkan tersebut (Nursalam, 2008).

Pengetahuan adalah kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan kurang tentang infeksi toxoplasma yang meliputi definisi infeksi toxoplasma, etiologi, siklus hidup, cara penularan, gejala, pencegahan dan pengobatan infeksi toxoplasma.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

131 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Tatanan Rumah Tangga

Perilaku merupakan respons atau reaksi

seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus > Organisme > Respons, sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” (stimulus-organisme-respons). Perilaku adalah merupakan keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal tersebut. Perilaku seseorang adalah sangat kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas (Wawan, 2010).

Hasil penelitian penerapan

perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga menunjukkan dari 98 responden sebagian besar berperilaku negatif, yaitu sebanyak 61 responden (62,2%) dan sebagian kecil berperilaku positif, yaitu sebanyak 37 responden (37,8%). Hubungan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Infeksi Toxoplasma Dengan Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada tatanan Rumah Tangga

Hasil tabulasi silang hubungan

pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto menunjukkan paling banyak adalah responden yang berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif yaitu sebanyak 61 responden (62,2%). Hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman rho ditemukan sig.0.000 < α (0.05). Dengan demikian H1 diterima dan H0 ditolak, yang artinya ada hubungan antara pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, yaitu bahwa responden terbanyak adalah yang berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif. Kurangnya pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dan jarangnya mereka menerapkan perilaku

hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga menyebabkan mereka rentan terinfeksi toxoplasma. Infeksi toxoplasma yang diderita selama kehamilan dapat berakibat fatal pada bayi yang dikandungnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan tentang infeksi toxoplasma pada wanita usia subur di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto menunjukkan dari 98 responden, sebagian besar, yaitu sebanyak 61 responden (62,2%) berpengetahuan kurang. Sedangkan hasil penelitian penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga menunjukkan 61 responden (62,2%) berperilaku negatif dan sebagian kecil berperilaku positif yaitu sebanyak 37 responden (37,8%). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di BPM Anis Nurlaily F, AMd. Keb di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Saran

Bagi wanita usia subur, hasil penelitian ini diharapkan dijadikan masukan untuk lebih meningkatkan pengetahuannya tentang infeksi toxoplasma agar termotivasi untuk senantiasa melaksanakan tindakan pencegahan penularan infeksi, salah satunya dengan selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama di tatanan rumah tangga.

Bagi tenaga kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan dijadikan bekal dalam melaksanakan tugasnya dan untuk lebih memacu dalam memberikan penyuluhan kepada penduduk, terutama kepada wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma dan cara pencegahannya yang paling mudah, yaitu dengan selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. DAFTAR PUSTAKA

Alonemisery, 2010. Makalah Toxoplasmosis. www.kesmasunsoed.or.id. Diakses tanggal 10 Januari 2014.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian dan Pendekatan Praktek. Jakarta :Rineka Cipta

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

132 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Depkes. 2013. Bahan Pedoman Umum PHBS. www.promkes.depkes.go.id/bahan/pedoman-umum-PHBS.pdf. Diakses tanggal 12 Januari 2014.

Gandahusada S dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran. Ed 3. Jakarta: EGC.

Hiswani, 2008. Toxoplasmosis Penyakit Zoonosis Yang Perlu Diwaspadai Oleh Ibu Hamil. Tidak diterbitkan: Direktori

Perpustakaan USU. Kumalasari, I., Andhyantoro, I. 2012.

Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Salemba Medika.

Kurniawan, S. 2011. Pemeriksaan Toxoplasmosis dengan Metoda ELISA. http://www.sodiycxacun.web.id/. Diakses tanggal 10 Januari 2014.

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Prawita, I., Kardiwinata, M. 2013. Tingkat Pengetahuan dan Upaya Pencegahan Petugas Kesehatan terhadap Infeksi Toxoplasmosis di Kabupaten Badung. Jurnal Community Health 1 (3): 247-256.

Subadiyasa, I.M.A. 2009. Mengenali dan Mencegah Toxoplasmosis pada Kehamilan. www.balipost.co.id. Diakses 2 Januari 2014.

Wawan A. dkk. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

133 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TETANUS

NEONATORUM DI INDONESIA

Ricat Hinaywan Malik (FK Unissula Semarang)

Tjatur Sembodo (Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

FK Unissula Semarang) Agus Suprijono

(Bagian Patologi Anatomi FK Unissula Semarang)

ABSTRAK

Latar belakang: Di Indonesia, Depkes RI mencatat pada tahun 2008 terjadi 165 kasus tetanus neonatorum dengan kematian sebesar 55,15%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang mempengaruhi kejadian tetanus neonatorum di Indonesia. Metode: Penelitian cross sectional ini menganalisis data sekunder dari Ditjen PP dan PL Depkes RI tahun 2005-2008. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna antara status imunisasi ibu, penolong persalinan, pemotongan tali pusat, dan perawatan tali pusat dalam mempengaruhi kejadian tetanus neonatorum pada tahun 2005-2008; ada hubungan status imunisasi ibu, penolong persalinan, pemotongan tali pusat, dan perawatan tali pusat dengan kejadian tetanus neonatorum; pemotongan dan perawatan tali pusat tidak mempengaruhi hubungan penolong persalinan dengan kejadian tetanus neonatorum; tahun 2006, penolong persalinan secara langsung menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh besar terhadap peningkatan kejadian tetanus neonatorum, dan tahun 2007, penolong persalinan secara langsung menjadi faktor paling mempengaruhi peningkatan kejadian tetanus neonatorum, dan penolong persalinan akan meningkatkan jumlah pemotongan tali pusat yang secara tidak langsung menjadi faktor yang paling mempengaruhi penurunan kejadian tetanus neonatorum; faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian tetanus neonatorum tahun 2005 adalah status imunisasi ibu, sedangkan tahun 2006 dan 2007 adalah penolong persalinan. Kesimpulan: Status imunisasi ibu, penolong persalinan, pemotongan tali pusat, dan perawatan tali pusat mempengaruhi kejadian tetanus neonatorum di Indonesia.

Kata kunci: tetanus neonatorum, imunisasi ibu, penolong persalinan, pemotongan tali pusat, perawatan tali pusat

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pada tahun 2007, jumlah kasus tetanus neonatorum di antara 8 negara ASEAN tertinggi terjadi di Filipina dan Indonesia. Tetanus pada bayi, atau dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan. Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Depkes RI, 2009). Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum di Indonesia. Manfaat penelitian secara praktis memberi rekomendasi langsung kepada tenaga penolong persalinan dan ibu hamil untuk menurunkan kejadian tetanus, serta untuk pengembangan ilmu yaitu memberi masukan dan informasi ilmiah serta menjadi bahan rujukan untuk penelitian yang lebih lanjut. Hipotesis pada penelitian ini adalah status imunisasi ibu, penolong persalinan, pemotongan tali pusat, dan perawatan tali pusat mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum di Indonesia. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah total populasi terjangkau yang bersumber dari Ditjen Pemberantasan Penyakit (PP) dan Penyehatan Lingkungan (PL) Depkes RI tahun 2005-2008. Bahan penelitian berupa data sekunder tahun 2005-2008. Analisis data menggunakan statistik Kruskal-Wallis, Korelasi Bivariat, Korelasi Parsial, Analisis Jalur, dan Regresi Linier Berganda. HASIL PENELITIAN

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 11.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

134 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Tabel 1. Kasus Tetanus Neonatorum pada Berbagai Faktor Risiko yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan di Indonesia Tahun 2005-2008

Tabel 2. Uji Beda Kruskal-Wallis tiap Faktor antara Tahun 2005-2008

Tabel 3. Korelasi Bivariat Variabel yang Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan dengan kejadian Tetanus Neonatorum Tahun 2005, 2006, 2007, 2008,

dan Gabungan Keseluruhan Tahun 2005-2008

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

135 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Tabel 4. Kekuatan Hubungan Faktor Penolong Persalinan yang Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan dengan Tetanus Neonatorum dimana Pemotongan Tali Pusat yang Tidak

Memenuhi Syarat Kesehatan atau Perawatan Tali Pusat yang Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan sebagai Kontrol di Indonesia Tahun 2005-2008

Tabel 5. Kesimpulan Uji Normalitas, Uji Heteroskedastisitas, Uji Linieritas, Uji Multikolinier, & Uji Autokorelasi 3 Prediktor

Tahun Normalitas Heteroskedastisitas Linieritas Multikolinieritas Autokorelasi

2005 Normal Heterogen Linier Tak ada Tak terjadi

2006 Normal Homogen Linier Tak ada Tak terjadi

2007 Normal Homogen Linier Tak ada Tak terjadi

2008 Normal Homogen Linier Ada masalah Tak terjadi

Tabel 6. Dekomposisi Variabel Akhir terhadap Tetanus Neonatorum dengan Nilai Koefisien Jalurnya pada Analisis Jalur Faktor yang Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan Tahun 2006

TS = Tidak Signifikan % = Besarnya sumbangan (pengaruh) efektif yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum dari

pengaruh keseluruhan variabel Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum.

Tabel 7. Dekomposisi Variabel Akhir terhadap Tetanus Neonatorum dengan Nilai Koefisien Jalurnya pada Analisis Jalur Faktor yang Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan Tahun 2007

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

136 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Hasil analisis Kruskal-Wallis didapatkan seluruhnya dengan Sig. > 0,05 sehingga masing-masing faktor (Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, Pemotongan Tali Pusat, dan Perawatan Tali Pusat) yang tidak memenuhi syarat kesehatan tidak terdapat perbedaan bermakna pengaruhnya untuk tahun yang berbeda (2005, 2006, 2007, 2008) terhadap terjadinya Tetanus Neonatorum di Indonesia.

Hasil analisis Korelasi Bivariat didapatkan seluruhnya dengan Sig. < 0,05 dimana keempat faktor memiliki kekuatan hubungan Sangat Kuat yaitu pada tahun 2006, 2007, 2008 dan gabungan keseluruhan tahun 2005-2008. Di tahun 2005 terdapat hubungan yang Kuat yaitu Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan kejadian Tetanus

Neonatorum, sedangkan Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, dan Perawatan Tali Pusat yang ketiganya tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki kekuatan hubungan Sangat Kuat dengan kejadian Tetanus Neonatorum.

Hasil analisis Korelasi Parsial didapatkan seluruhnya dengan Sig. < 0,05 sehingga Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang meningkat akan meningkatkan kejadian Tetanus Neonatorum, baik dipengaruhi Pemotongan Tali Pusat atau Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan ataupun tidak dipengaruhi faktor apapun, untuk tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan gabungan keseluruhan tahun 2005-2008 di Indonesia.

Hasil Analisis Jalur, tahun 2006 dan 2007 memenuhi syarat uji asumsi klasik. Hasil

Tabel 8. Kesimpulan Uji Normalitas, Uji Heteroskedastisitas, Uji Linieritas, Uji Multikolinier, & Uji Autokorelasi 4 Prediktor

Tahun Normalitas Heteroskedastisitas Linieritas Multikolinieritas Autokorelasi

2005 Normal Heterogen Linier Ada masalah Tak terjadi

2006 Normal Homogen Linier Tak ada Tak terjadi

2007 Normal Homogen Linier Tak ada Tak terjadi

2008 Normal Homogen Linier Tak ada Tak terjadi

% = Besarnya sumbangan (pengaruh) efektif yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum dari pengaruh keseluruhan variabel Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum.

Tabel 9. Regresi Linier Berganda metode Stepwise untuk Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Tetanus Neonatorum Tahun 2006

Tabel 10. Regresi Linier Berganda metode Stepwise untuk Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Tetanus Neonatorum Tahun 2007

Tabel 11. Regresi Linier Berganda metode Stepwise untuk Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Tetanus Neonatorum Tahun 2008

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

137 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

analisis tahun 2006, regresi dari Pemotongan dan Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan tidak signifikan (nilai Sig. > 0,05) sehingga Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi satu-satunya faktor yang secara bermakna efektif/besar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Hasil analisis tahun 2007, regresi dari ketiga faktor adalah signifikan (nilai Sig. < 0,05) sehingga Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang secara tidak langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap penurunan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya.

Hasil analisis Regresi Linier Berganda, data tahun 2006, 2007, dan 2008 memenuhi syarat uji asumsi klasik. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kejadian Tetanus Neonatorum (nilai Sig. < 0,05) pada tahun 2006 adalah Status Imunisasi Ibu yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan tahun 2007 dan 2008 adalah Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. PEMBAHASAN

Tidak terdapat perbedaan secara bermakna tiap faktor (Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, Pemotongan Tali Pusat, dan Perawatan Tali Pusat) yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang berpengaruh pada kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia antara tahun 2005-2008. Hal ini dapat dikarenakan perilaku kesehatan masyarakat yang dilakukan, menurut teori Smet (1994) dan Niven (2002) disimpulkan bahwa perilaku kesehatan masyarakat dapat dipengaruhi oleh ancaman, pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian, ketidak-kekebalan yang dirasakan, keseriusan yang dirasakan, petunjuk untuk berperilaku, keinginan, hubungan dengan profesional kesehatan, hubungan dengan keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian, serta berbagai faktor lain.

Ada hubungan faktor yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum, menurut Sutjipto (1992) dapat terjadi karena faktor sterilitas alat pemotong tali pusat, faktor cara perawatan tali pusat, faktor status imunisasi TT, faktor penolong persalinan, dan faktor pemeriksaan kehamilan.

Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang meningkat akan meningkatkan kejadian Tetanus Neonatorum, baik dipengaruhi Pemotongan Tali Pusat atau Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan ataupun tidak, untuk tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan gabungan keseluruhan tahun 2005-2008 di Indonesia. Hal ini sesuai teori dari Ismoedijanto (2002), Harijani dkk (2004), Stoll (2004), Bleck (2005), Anonim (2005b), Anderson dan Philip (2004), dan Anggorodi (2009) yang menyatakan bahwa Penolong Persalinan akan berhubungan dengan sterilitas tangan, Pemotongan dan Perawatan Tali Pusat yang nantinya akan menentukan risiko terjadinya Tetanus Neonatorum.

Pada tahun 2006, Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi satu-satunya faktor yang secara bermakna efektif/besar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Dan pada tahun 2007, Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Pada tahun 2007 didapatkan bahwa Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang secara tidak langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap penurunan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Hal ini dapat dikarenakan praktik higienitas yang diterapkan pada pemotongan dan tata laksana tali pusat dapat membantu menurunkan risiko pada neonatus (Cunningham dkk, 2006; Anonim, 2008). Sitohang (1990), menyatakan bahwa penggunaan alat yang steril dan tidak steril mempunyai resiko yang sama terhadap penyakit Tetanus Neonatorum sehingga tidak ada hubungan yang bermakna antara kesterilan alat dan obat tali pusat dengan Tetanus Neonatorum.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

138 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kejadian Tetanus Neonatorum pada tahun 2006 adalah Status Imunisasi Ibu yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal ini menurut Djaja (2003), menyatakan bahwa CFR (Case Fatality Rate) Tetanus Neonatorum yang sangat tinggi, pengobatannya sulit, namun pencegahan (imunisasi TT ibu hamil) merupakan kunci untuk menurunkan kematian ini, selain persalinan bersih dan Perawatan Tali Pusat yang tepat. Sesuai teori dari Markum (2000), Cunningham dkk (2006) dan Hendrarto (2008) disimpulkan bahwa imunisasi aktif (toksoid tetanus) pada ibu, yaitu imunisasi tetanus minimal 5 kali pada WUS dan pada ibu hamil 2 kali, akan menjadikannya imunisasi pasif pada bayi baru lahir.

Sedangkan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kejadian Tetanus Neonatorum pada tahun 2007 dan 2008 adalah Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal ini dapat dikarenakan spora dapat masuk tubuh pada saat persalinan dan berasal dari tangan Penolong Persalinan (Ismoedijanto, 2002), dukun bersalin dapat melakukan persalinan yang tidak bersih (Stoll, 2004) atau menghindari standar praktis perawatan obstetri (Bleck, 2005). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Tidak terdapat perbedaan secara bermakna tiap faktor (Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, Pemotongan Tali Pusat, dan Perawatan Tali Pusat) yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang berpengaruh pada kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia antara tahun 2005-2008.

Ada hubungan yang bermakna antara faktor Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, Pemotongan Tali Pusat, dan Perawatan Tali Pusat yang keempatnya tidak memenuhi syarat kesehatan dengan kejadian Tetanus Neonatorum, dimana keempat faktor tersebut memiliki kekuatan hubungan Sangat Kuat yaitu pada tahun 2006, 2007, 2008 dan gabungan keseluruhan tahun 2005-2008. Di tahun 2005 terdapat hubungan yang Kuat yaitu Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan kejadian Tetanus Neonatorum, sedangkan Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, dan Perawatan Tali Pusat yang ketiganya tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki

kekuatan hubungan Sangat Kuat dengan kejadian Tetanus Neonatorum.

Faktor Pemotongan dan Perawatan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan tidak ada pengaruh secara bermakna pada hubungan antara faktor Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan kejadian Tetanus Neonatorum.

Tahun 2006, Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi satu-satunya faktor yang secara bermakna efektif/besar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Tahun 2007, Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap peningkatan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya. Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan Pemotongan Tali Pusat yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang secara tidak langsung akan menjadi faktor yang secara bermakna paling efektif/terbesar pengaruhnya terhadap penurunan kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia daripada dengan cara lainnya.

Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia tahun 2006 adalah Status Imunisasi Ibu yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kejadian Tetanus Neonatorum di Indonesia tahun 2007 dan 2008 adalah Penolong Persalinan yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa Status Imunisasi Ibu, Penolong Persalinan, Pemotongan Tali Pusat, dan Perawatan Tali Pusat mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum di Indonesia. Saran

Guna kepentingan praktis dan pengembangan ilmu, maka disarankan: 1. Menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum lebih dari 4 tahun yang dianalisis bersama-sama dengan data setelah tahun 2008.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tetanus Neonatorum per tahun yang dianalisis pada masing-masing provinsi tahun 2005-2008.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tetanus

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

139 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Neonatorum dengan menambah variabel independen, misalnya variabel Pelayanan Ante-natal Care dan variabel Tempat Melahirkan.

4. Tenaga penolong persalinan hendaklah lebih memperhatikan sterilitas alat pemotong dan perawatan tali pusat melalui tindakan yang benar sesuai prosedur kesehatan untuk mencegah kejadian tetanus neonatorum.

5. Ibu hamil hendaklah mengikuti pelayanan ante-natal care, mengikuti imunisasi TT lengkap sebelum persalinan, dan memilih tenaga penolong persalinan yang benar untuk mencegah kejadian tetanus neonatorum.

6. Masyarakat hendaklah membaca lebih banyak mengenai tetanus neonatorum untuk menambahkan pengetahuan dan memperkaya wawasan keilmuan, khususnya dari publikasi ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, JD.M., et Philip, A.G.S., 2004, Neo Reviews: Management of the Umbilical Cord - Care Regimens, Colonization, Infection, and Separation, Vol.5 No.4 2004 e.155, American Academy of Pediatric, Stanford University School of Medicine, Palo Alto, CA, sebagaimana dikutip dari http://neoreviews.aappublications.org/cgi/content/full/5/4/e155 pada 4 Maret 2010.

Anggorodi, R., 2009, Makara Kesehatan:

Dukun Bayi dalam Persalinan oleh Masyarakat Indonesia, Vol.13 No.1 Juni 2009, Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, 9-14, sebagaimana dikutip dari http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_RinaAnggorodi_Layout.pdf pada 20 Februari 2010.

Anonim, 2005b, Tetanus Neonatorum, dalam: Hassan, R. (ed.), Alatas, H. (ed.), Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak,

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 572-573.

Anonim, 2008, Tetanus, dalam: Soedarmo,

S.S.P. (ed.), Garna, H. (ed.), Hadinegoro, S.R.S. (ed.), Satari, H.I. (ed.), Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi Kedua, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 322-329.

Bleck, T.P., 2005, Clostridium tetani (Tetanus), dalam: Mandell, G.L. (ed.),

Bennett, J.E. (ed.), Dolin, R. (ed.), Mandell, Douglas and Bennett’s

Principles and Practice of Infectious Disease, 6

th Edition, Churcill Livingstone

Elsevier, Philadelphia, 2817. Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J.,

Gilstrap III, L.C., Hauth, J.C., et al., 2006, Obstetri Williams (diterjemahkan),

Volume 1, Edisi 21, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 436.

Depkes RI, 2009, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta, 42, 74, 81, 89, 157, Lamp. 3.16 dan 3.16a.

Djaja, S., 2003, Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan Sistem Pelayanan Kesehatan yang Berkaitan di Indonesia, dikutip dari http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2003-sarimawar-881-neonatal&q=%22tetanus+neonatorum%22&PHPSESSID=c2d83c27e873671eb71e6fc13e16571b pada 30 Januari 2011.

Harijani, A.M., Mamahit, E.R.S., Sukowati, S., Sandjaja, Prapti, I.Y., et al., 2004, Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular Tahun 1998 / 1999 – 2003, ____, Jakarta, sebagaimana dikutip dari http://www.nesmd.com/down.asp?q=aHR0cDovL3d3dy5saXRiYW5nLmRlcGtlcy5nby5pZC9kb3dubG9hZC9JQ0RDL1JPLUlDREMucGRm pada 10 Februari 2010.

Hendrarto, T.W., 2008, Imunisasi Pasif, dalam: Ranuh, I.G.N. (ed.), Suyitno, H. (ed.), Hadinegoro, S.R.S. (ed.), Kartasasmita, C.B. (ed.), Ismoedijanto (ed.), et al., Pedoman Imunisasi di Indonesia, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 272-273.

Ismoedijanto, 2002, Tetanus pada Bayi dan Anak (Prinsip Dasar, Masalah Klinik, dan Epidemiologik), Lab / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 3-6, 9-12, 28.

Markum, A.H., 2000, Imunisasi, Edisi Kedua, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 3, 7-11, 22-24.

Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain, Ed. Kedua, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 186-187, 196.

Sitohang, M., 1990, Studi Penyakit Tetanus Neonatorum di Kabupaten Demak (Berdasarkan Kasus yang Ditemukan di RS Dr. Kariadi dan RSU Demak), sebagaimana dikutip dari http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx= 1027 pada 1 Oktober 2010.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

140 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Smet, B., 1994, Psikologi Kesehatan, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 159-160.

Stoll, B.J., 2004, Infections of the Neonatal Infant, dalam: Behrman, R.E. (ed.), Kliegman, R.M. (ed.), Jenson, H.B. (ed.), Nelson Textbook of Pediatric, 17

th

Edition, Elsevier Science, Philadelphia, 633.

Sutjipto, S., 1992, Thesis: Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tetanus Neonatorum, Semarang, sebagaimana dikutip dari http://eprints.undip.ac.id/4124/ pada 30 Oktober 2010.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

141 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGAN KEINGINAN WANITA USIA SUBUR DALAM

MELAKUKAN PEMERIKSAAN INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT (IVA) DI KLINIK

ROMAULI KEC. MEDAN MARELAN

Ardiana Batubara (Jurusan Kebidanan,

Poltekkes Kemenkes Medan)

ABSTRAK Latar belakang: Di negara maju angka kejadian kanker serviks sekitar 4% dari seluruh kejadian kanker pada wanita sedangkan di negara berkembang mencapai diatas 15%. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kanker serviks dan keengganan melakukan deteksi dini menyebabkan lebih dari 70% penderita baru menjalani perawatan medis dalam kondisi lanjut. Pendeteksian kanker serviks yang efesien dan murah ialah dengan pemeriksaan IVA, meski demikian masih banyak WUS yang kurang termotivasi melakukan pemeriksaan IVA. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keinginan WUS dalam melakukan IVA. Metode: Populasi adalah WUS aktif seksual yang datang dengan pengambilan sampel secara accidental sampling. Penelitian ini bersifat survey analitik menggunakan data primer melalui alat bantu kuesioner dengan metode pendekatan cross sectional. Analisa data secara univariat dan bivariat diuji dengan Chi-Square. Hasil: Ada pengaruh umur p 0,037 (<0,05), pendidikan p 0,050 (<0,05), pengetahuan p 0,00 (<0,05) terhadap keinginan melakukan IVA dan tidak ada pengaruh sosial ekonomi p 0,471 (>0,05), paritas p 0,812 (>0,05) terhadap keinginan IVA. Kesimpulan: Umur, pendidikan, pengetahuan berhubungan terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA sedangkan paritas dan sosial ekonomi tidak berhubungan terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA. Oleh sebab itu petugas kesehatan hendaknya meningkatkan informasi dan fasilitas kepada masyarakat agar lebih memahami pentingnya melakukan deteksi dini kanker serviks.

Kata kunci: Inspeksi visual asam asetat (IVA), wanita usia subur, umur, pendidikan, pengetahuan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) diketahui terdapat 493.243 jiwa per tahun penderita kanker serviks baru di dunia dengan angka kematian karena kanker serviks sebanyak 273.505 jiwa per tahun. Di negara maju angka kejadian kanker serviks sekitar 4% dari seluruh kejadian kanker pada wanita sedangkan di negara berkembang mencapai diatas 15%. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, angka insiden kanker serviks telah terjadi penurunan. Hal ini disebabkan oleh alokasi dana kesehatan yang mencukupi, promosi kesehatan yang baik, serta sarana pencegahan dan pengobatan yang mendukung. Kejadian kanker serviks di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 10.500 perempuan dimana 3900 perempuan diantaranya meninggal. Di Asia Pasifik pada tahun 2000 ditemukan 270.000 kasus kanker serviks terdeteksi setiap tahun dan 140.000 kasus perempuan meninggal akibat penyakit tersebut (Emilia, 2010).

Menurut data Globocan 2002 yang didapat dari Yayasan Kanker Indonesia terdapat lebih dari 40.000 kasus baru kanker seriks dengan kisaran angka kematian yang menembus angka 22.000 pada wanita di Asia Tenggara sedangkan menurut data Globocan 2008, Di Asia Tenggara terdapat 188.000 kasus baru kanker serviks dengan sekitar 102.000 kematian (POI, 2010). Di Indonesia diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedangkan kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per tahun. Di Indonesia, kasus baru kanker serviks ditemukan 40–45 kasus perhari. Diperkirakan setiap satu jam, seorang perempuan meninggal karena kanker serviks. Artinya dalam waktu sehari semalam atau 24 jam terjadi kematian sebanyak 24 orang perempuan (Wijaya, 2010).

Menurut hasil penelitian Ningrum, dkk (2012), mengatakan bahwa pengetahuan, pendidikan, dan status ekonomi memiliki pengaruh terhadap keinginan ibu untuk melakukan tes IVA di Kabupaten banyumas dimana dari 95 sampel yang diteliti ada sebanyak 40,0% ibu yang memiliki pengetahuan baik yang mengikuti tes IVA dan sebesar 80,0% ibu yang memiliki status sosial kurang dari Upah Minimum Regional (UMR) yang termotivasi untuk melakukan tes IVA.

Dari survey awal yang penulis lakukan di Klinik Bersalin Romauli di Kecamata Medan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

142 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Marelan melalui data sekunder dari bulan Juli 2013 – Januari 2014 ada sebanyak 56 wanita yang masih aktif seksual datang memeriksakan diri melakukan deteksi dini kanker leher rahim dimana mereka datang dengan berbagai latar belakang salah satunya karena status kesehatan seperti keputihan. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor yang mendorong keinginan masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker leher rahim.

Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan ibu untuk melakukan deteksi dini kanker serviks yang datang ke Rumah Bersalin Romauli Kec. Medan Marelan

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis hubungan keinginan WUS dalam melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di klinik Romauli Kec. Medan Marelan tahun 2014 berdasarkan umur.

2. Menganalisis hubungan keinginan WUS dalam melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di klinik Romauli Kec. Medan Marelan tahun 2014 berdasarkan tingkat pendidikan.

3. Menganalisis hubungan keinginan ibu dalam melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di klinik Romauli Kec. Medan Marelan tahun 2014 berdasarkan paritas.

4. Menganalisis hubungan keinginan Ibu dalam melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di klinik Romauli Kec. Medan Marelan tahun 2014 berdasarkan tingkat pengetahuan.

METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat survei analitik

yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dimana variabel independent dan variabel dependent diambil dalam waktu bersamaan. Lokasi dan Waktu penelitian.

Lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian adalah Klinik Romauli Kecamatan Medan Marelan, dengan alasan : 1. Belum pernah dilakukan penelitian

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan keinginan Wanita Usia Subur (WUS) dalam melakukan pemeriksaan

IVA di klinik Romauli Kecamatan Medan Marelan.

2. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan akhir bulan Mei 2014 selama 1 Minggu.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh Wanita Usia Subur (WUS) aktif seksual yang datang ke Klinik Romauli Kec. Medan Marelan pada akhir bulan Mei 2014. Data yang didapat dari rekam medik klinik yaitu pada akhir bulan Mei ada sebanyak 110 WUS yang datang ke Klinik Romauli.

Sampel pada penelitian ini yaitu Wanita Usia Subur (WUS) aktif seksual yang datang ke klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014 dengan kriteria WUS sudah pernah berhubungan seksual.

HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penu lis mengenai “Faktor-Faktor yang Berhu bungan Dengan Keinginan Wanita Usia Subur (WUS) dalam Melakukan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Klinik Romauli tahun 2014” sebanyak 53 responden dan didapat hasil distribusi responden berdasar kan umur, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, paritas, dan tingkat pengetahuan yang di sajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Wanita Usia Subur Berdasarkan Usia di Klinik Romauli

No. Umur f %

1. < 20 tahun 4 7,50 2. 20-35 tahun 39 73,60 3. >35 tahun 10 18,90

Jumah 53 100

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa

mayoritas responden pada umur 20-35 tahun sebanyak 39 orang (73,60%), dan minoritas responden berumur < 20 tahun sebanyak 4 orang (7,50%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Wanita Usia Subur Berdasarkan Tingkat Pendidikan

di Klinik Romauli

No Tingkat Pendidikan f %

1 SD/ SLTP 4 7,50

2 SMA/Sederajad 45 84,90

3 Perguruan Tinggi 4 7,50

Jumlah 53 100

Dari Tabel 2 dapat dilihat tingkat pendidikan terakhir yang berhasil

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

143 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

diselesaikan oleh responden mayoritas adalah SMA/ sederajat sebanyak 45 orang (84,90%), dan minoritas responden adalah tingkat Perguruan Tinggi sebanyak 4 orang (7,50%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Wanita Usia Subur Berdasarkan Pendapatan Keluarga

di Klinik Romauli

No Pendapatan keluarga

f %

1 < UMR 20 37,70

2 >UMR 33 62,30

Jumlah 53 100

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa

mayoritas responden memiliki pendapatan keluarga > UMR kota Medan yaitu Rp.1.505.805,- sebanyak 33 orang (62,30%) dan minoritas responden dengan pendapatan < UMR kota Medan sebanyak 20 orang (37,70%).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Wanita Usia

Subur Berdasarkan Paritas di Klinik Romauli

No Paritas f %

1 < 2 orang 11 20,80

2 >2 orang 42 79,20

Jumlah 53 100

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa

mayoritas responden memiliki anak anak > 2 orang sebanyak 42 orang (79,20%) dan minoritas responden memiliki anak < 2 orang sebanyak 11 orang (20,80%).

Tabel 5.Distribusi Frekuensi Wanita Usia Subur Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di

Klinik Romauli

No Tingkat Pengetahuan

f %

1 Baik 36 67,90

2 Cukup 11 20,80

3 Kurang 6 11,30

Jumlah 53 100

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa

mayoritas responden dengan tingkat penetahuan yang baik sebanyak 36 orang (67,90%), dan minoritas responden dengan pengetahuan kurang sebanyak 6 orang (11,30 orang).

Untuk mengetahui hubungan faktor umur, faktor tingkat pendidikan, faktor pendapatan keluarga, faktor paritas, dan faktor tingkat pengetahuan dengan keinginan WUS

melakukan pemeriksaan IVA dapat dilihat melalui Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Tabulasi Silang Umur, Tingkat Pendidikan, Pendapat Keluarga, Paritas, dan

Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur Dengan Keinginan Wanita Usia Subur

(WUS) Dalam Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik Romauli

Variabel Independen

Keinginan WUS Melakukan

Pemeriksaan IVA

Ingin Tidak Ingin

f % f %

Umur < 20 tahun 1 1,88 3 5,66 20-35 tahun 32 60,37 7 13,20 >35 tahun 7 13,20 3 5,66

Tingkat Pendidikan SD/ SLTP 1 1,88 3 5,66 SMA/ Sederajat 36 67,92 9 16,98 PT 3 5,66 1 1,88

Pendapatan Keluarga < UMR 14 26,41 6 11,32 >UMR 26 49,05 7 13,20

Paritas < 2 orang 8 15,09 3 5,66 >2 orang 32 60,37 10 18,86

Tingkat Pengetahuan Baik 36 67,92 0 0,00 Cukup 4 7,54 7 13,20 Kurang 0 0,00 6 11,32

Tabel 7. Hubungan Umur Dengan Keinginan

WUS Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik Romauli

Variabel

Independen Ingin

Melakukan IVA

Tidak Ingin

Melakukan IVA

Jumlah

Umur f % f % Jml %

< 20 tahun 1 1,88 3 5,66 4 7,50 20-35 tahun 32 60,37 7 13,20 39 73,70 >35 tahun 7 13,20 3 5,66 10 18,80

Jumah 40 71,68 13 20,93 53 100,0

X

2 hitung = 6,558 df = 2 α = 0,05 (5,991)

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas

responden berumur 20 tahun - 35 tahun sebanyak 32 orang (60,37%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA, dan minoritas responden yang berumur < 20 tahun sebanyak 1 orang (1,88%) yang memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA.

Hasil uji Chi-Square faktor umur terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA adalah: X

2 hitung (6,558) > X

2 tabel (5,991),

artinya ada hubungan umur dengan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

144 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli.

Tabel 8. Hubungan Tingkat Pendidikan

Dengan Keinginan WUS Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik Romauli

Variabel Independen

Ingin Ikut IVA

Tidak Ingin Ikut

IVA Jumlah

Tingkat Pendidikan

f % f % Jml %

SD/ SLTP 1 1,88 3 5,66 4 7,50 SMA/

Sederajat 36 67,92 9 16,98 45 84,90

Perguruan Tinggi

3 5,66 1 1,88 4 7,50

Jumlah 40 73.57 13 24,52 53 100,0

X

2 hitung = 5,999 df = 2 α = 0,05 (5,991)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat

bahwa mayoritas responden dengan tingkat pendidikan SMA/ sederajat sebanyak 36 orang (67,92%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan minoritas responden dengan tingkat pendidikan SD/SLTP sebanyak 1 orang (1,88%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA.

Hasil uji Chi-Square faktor tingkat pendidikan terhadap keinginan WUS melakukan Pemeriksaan IVA adalah: X

2

hitung (5,999) > X2

tabel (5,991), artinya ada hubungan tingkat pendidikan dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli.

Tabel 9. Hubungan Sosial Ekonomi Dengan

Keinginan WUS Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik.

Variabel

Independen Ingin

Melakukan IVA

Tidak Ingin Melakukan

IVA

Jumlah

Sosial Ekonomi

f % f % Jml %

< UMR 14 26,41 6 11,32 20 37,70 >UMR 26 49,05 7 13,20 33 62,30

Jumlah 40 76,46 13 24,52 53 100,0

X

2 hitung = 0,518 df = 1 α = 0,05 (5,991)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat

mayoritas responden sebanyak 26 (49,05%) dengan sosial ekonomi > UMR kota Medan memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan minoritas responden dengan pendapatan keluarga < UMR kota Medan sebanyak 14 orang (26,41%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA.

Hasil uji Chi-Square faktor pendapatan keluarga terhadap keinginan WUS

melakukan pemeriksaan IVA adalah : X2

hitung (0,518) < X2

tabel (3,841), artinya tidak ada hubungan pendapatan keluarga dengan keinginan melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli.

Tabel 2.5. Hubungan Paritas Dengan

Keinginan WUS Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik Romauli.

No. Variabel

Independen

Ingin Melakukan

IVA

Tidak Ingin Melakukan

IVA Jumlah

Paritas f % f % Jml %

1. < 2 orang 8 15,09 3 5,66 11 20,80 2. >2 orang 32 60,37 10 18,86 42 79,20

Jumlah 40 75,41 13 24,52 53 100,0

X

2 hitung = 0,056 df = 1 α = 0,05 (5,991)

Berdasarkan tabel diatas mayoritas

responden yang memiliki anak > 2 orang sebanyak 32 orang (60,37%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan minoritas responden yang memiliki anak < 2 orang sebanyak 8 orang (15,09) memiliki keinginan melakukan pemeriksaa IVA.

Hasil uji Chi-Square faktor paritas terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA adalah : X

2 hitung (0,056)

< X2

tabel (3,841), artinya tidak ada hubungan paritas dengan keinginan melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli. Table 2.6. Hubungan Tingkat Pengetahuan

Dengan Keinginan WUS Melakukan Pemeriksaan IVA di Klinik Romaul.

No. Variabel Indepen-

den

Ingin Melaku-kan IVA

Tidak Ingin Melakukan

IVA Jumlah

Tingkat

Pengeta-huan

f % f % Jml %

1. Baik 36 67,92 0 0,00 36 67,90 2. Cukup 4 9,43 7 11,32 11 20,80 3. Kurang 0 0,00 6 11,32 6 11,30

Jumlah 41 77,35 12 22,64 53 100,0

X

2 hitung = 39,253 df = 1 α = 0,05 (5,991)

Berdasarkan tabel di atas dapat dlihat

mayoritas responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 36 orang (67,92%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan responden dengan pengetahuan kurang tidak ada yang ingin melakukan pemeriksaan IVA. Hasil uji Chi-Square faktor tingkat pengetahuan terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA adalah: X

2 hitung (39,253) > X

2 tabel (5,991),

artinya ada hubungan tingkat pengetahuan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

145 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

dengan keinginan melakukan pemeriksaan IVA di Klinik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas

responden melakukan pemeriksaan IVA berumur 20 tahun - 35 tahun sebanyak 32 orang (60,37%) dan minoritas responden yang berumur < 20 tahun sebanyak 1 orang (1,88%) yang memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA. Hasil uji statistik Chi-Square pada penelitian yang dilakukan berdasarkan faktor umur terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA didapati X

2 hitung (6,558) > X

2 tabel (5,991), yang

berarti ada hubungan umur dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014.

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja sehingga dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih besar dan dewasa akan lebih di percaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Kanker serviks kebanyakan terdeteksi pada wanita berumur 20-35 tahun, sehingga pada masa inilah hendaknya WUS datang kepelayanan ksehatan untuk memeriksakan diri ataupun melakukan deteksi dini. Pada penelitian ini didapati hasil yaitu adanya hubungan umur dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian Pangesti (2012) dimana mayoritas WUS yang datang melakukan pemeriksaan IVA di Puskesmas Karanganyar ialah WUS yang berumur 20-40 tahun sebanyak 52,6%. Begitu juga hasil penelitian Darnindo (2007) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara WUS denga prilaku WUS melakukan pap Smear di rumah Susun Klender, Jakarta Timur.

Menurut penelitian, hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran WUS tentang kanker serviks pada masa ini semakin meningkat dimana pada usia 20-35 tahun adalah usia dimana seseorang dapat mencerna informasi dengan baik terlebih bila disertai dengan tingkat pendidikan yang baik pula sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat yang mendapat informasi mengenai kanker serviks dan deteksi dini pada usia 20-35 tahun akan lebih mampu menerima informasi dan memiliki keinginan untuk datang kepelayanan kesehatan.

Berdasarkan tabel 2.3. di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden dengan tingkat pendidikan SMA/Sederajat sebanyak 36 orang (67,92%) yang memiliki

keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan minoritas responden yang memiliki tingkat pendidikan SD/SLTP sebanyak 1 orang (1,88%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA. Hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh bahwa X2 = 5,999 > α = 0,05 (5,991), artinya ada hubungan tingkat pendidikan dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014.

Pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya (Mcdens, 2013). Makin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima informasi. Penelitian ini menunjukan ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap keinginan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA dimana 67,92% WUS yang telah menempuh pendidikan menengah (SMA/ Sederajat) memiliki keinginan yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan IVA. Ningrum, dkk (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pendidikan Ibu yang mengiuti deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Kabupaten Banyumas tahun 2012 paling banyak dalam kategori pendidikan menengah yaitu sebanyak 43,2%. Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk membentuk pola hidup, terutama dalam mempengaruhi sikap untuk berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Wanita yang berpendidikan rendah tidak mempunyai kesadaran dalam memperhatikan kesehatannya terutama kesehatan reproduksi, sehingga apabila wanita tersebut melakukan pemeriksaan IVA, kemungkinan karena ikut-ikutan teman atau saudara, tanpa tahu tujuan dan manfaatnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahma, dkk (2011) di Desa Pengabatan, Kabupaten Banyumas dimana dilihat dari segi tingkat pendidikannya WUS yang berpendidikan rendah memiliki minat yang rendah pula terhadap pemeriksaan IVA sebesar 43,8% sedangkan WUS yang telah menempuh pendidikan tinggi memiliki minat yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan IVA sebesar 36,8%.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang mendorong seseorang untuk lebih peduli dan termotivasi untuk meningkatkan derajat kesehatan dirinya dan keluarganya. Pendidikan menjadikan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

146 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

seseorang memiliki pengetahuan yang luas dan pola pikir akan terbangun dengan baik, sehingga kesadaran untuk berperilaku positif dalam hal kesehatan semakin meningkat. Penelitian lain yang dilakukan di Kabupaten Lamongan menunjukkan ada 69,23% WUS yang melakukan pemeriksaan IVA (Safa‟a, 2010) sehingga terlihat jelas bahwa pendidikan sangat mempengaruhi prilaku seseorang untuk peduli terhadap masalah kesehatan yang terjadi yang akan menyebabkan terdorongnya keinginan seseorang untuk datang memeriksakan diri kepelayanan kesehatan.

Menurut penelitian, pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat dan peduli terhadap masalah kesehatan. Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukan bahwa mayoritas wanita yang ada di Kecamatan Marelan telah menyelesaikan sekolah SD hingga SMA sehingga masyarakat tidak terlalu sulit untuk diberikan pendidikan kesehatan mengenai kanker serviks dan deteksi dini untuk mendorong keinginan WUS melakukan deteksi dini.

Berdasarkan table 2.4. di atas sebanyak 26 responden (49,05%) yang tingkat pendapatan keluarganya > UMR kota Medan memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan responden dengan pendapatan keluarga < UMR kota Medan sebanyak 14 orang (26,41%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA. Hasil uji Chi-Square faktor pendapatan keluarga terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA adalah : X2hitung (0,518) < X2tabel (3,841), artinya tidak ada hubungan pendapatan keluarga dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014.

Sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan tindakan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti sandang, pangan dan papan. Penelitian ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi dari segi pendapatan keluarga tidak memiliki hubungan terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Darnindo (2007) yang menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan prilaku perempuan terhadap pap smear. Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa ekonomi adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi prilaku masyarakat, apabila penghasilan masyarakat cukup maka

mereka akan memenuhi kebutuhan dengan maksimal dan sebaliknya apabila kebutuhan masyarakat kurang maka mereka akan mengabaikan kebutuhannya termasuk dalam mencari pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, dkk (2012) yaitu sebanyak 80,0% WUS di Kabupaten Banyumas dengan tingkat ekonomi > UMR (Upah Minimum Regional) memiliki motivasi yang tinggi terhadap pemeriksaan IVA. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Menurut penelitian, hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini kurang mewakili dari jumlah populasi.

Berdasarkan tabel A.2.5. diatas jumlah responden yang memiliki anak > 2 orang sebanyak 32 orang (60,37%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan responden yang memiliki anak < 2 orang sebanyak 8 orang (15,09) memiliki keinginan melakukan pemeriksaa IVA. Hasil uji Chi-Square faktor paritas terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA adalah : X

2 hitung (0,056) < X

2 tabel (3,841), artinya

tidak ada hubungan paritas dengan keinginan melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014.

Menurut BKKbN dalam Saputra (2012), paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita. Paritas merupakan salah satu faktor resiko terkena kanker serviks, semakin tinggi paritas maka resiko kejadian kanker serviks juga tinggi hal ini didukung oleh penelitian dari Prandana (2011) mengatakan salah satu karakteristis dari penderita kanker serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2011 yaitu ibu degan paritas 3-5 dengan persentase tertinggi yaitu 56,1%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis didapati bahwa tidak ada hubungan paritas dengan keinginan WUS untuk melakukan pemeriksaan IVA. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Delmaifanis (2011), mengatakan tidak ada hubungan paritas dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA di Poliklinik Kb Puskesmas Jakarta Barat. Hali ini bertolak belakang dengan penelitian Pangesti, dkk (2012) yang menjelaskan dalam penelitiannya, yaitu responden yang paling banyak melakukan pemeriksaan IVA di Puskesmas Karanganyar ialah responden yang memiliki anak 2 sebesar 26,3%.

Menurut peneliti, masyarakat di Kec. Medan Marelan yang memiliki anak > 2 orang tidak memiliki keinginan dalam melakukan pemeriksaan IVA. Hal ini mungkin disebabkan WUS tidak tertarik

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

147 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

karena mereka masih harus mengurus anak ataupun melengkapi keperluan anak dibandingkan ikut melakukan pemeriksaan IVA di petugas kesehatan.

Berdasarkan tabel 2.6. dapat dilihat jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 36 orang (67,92%) memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA dan minoritas responden dengan tingkat pengetahuan cukup sebanyak 4 orang (7,54%). Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai X

2 = 39,253 lebih

besar dari nilai α = 0,05 (5,991), sehingga dapat disimpulakan bahwa tingkat pengetahuan berhubungan terhadap keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penetahuan yang dicakup dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan, yaitu : tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan hal tersebut tentunya WUS yang telah tahu mengenai kanker serviks dan tes IVA kemudian memahami mengenai perkembangan kanker sampai kepada aplikasi dengan mengikuti tes IVA , analisis, sintesis, dan akhirnya menilai apa yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker serviks. Penelitian ini menunjukan bahwa WUS yang datang melakukan pemeriksaan IVA memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, dkk (2012) yang mengatakan jumlah responden yang datang melakukan pemeriksaan IVA ada 40,0 % di Kabupaten Banyumas tahun 2012. Safa‟a (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada 83,3% WUS yang memiliki pengetahuan yang baik memiliki tingkat motivasi yang tinggi terhadap pemeriksaan IVA.

Tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai pentingnya pemeriksaan IVA disebabkan dari sumber informasi yang diperoleh telah cukup untuk menggerakkan masyarakat datang ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan diri, maka dari itu yang berperan banyak dalam hal ini adalah petugas kesehatan untuk memberikan sumber informasi mengenai deteksi dini dengan tes IVA. Hal ini sejalan dengan penelitian eksperimen yang dilakukan Saraswati (2011) kepada ibu berusi 20-60 tahun di Mojokerto, mengatakan promosi

kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan tentang kanker serviks dan partisipasi wanita dalam program deteksi dini kanker serviks. Penelitain Ismarwati, dkk (2011) juga mengatakan bahwa promosi kesehatan dengan audiovisual dan metode diskusi interaktif dapat meningkatkan pengetahuan terhadap kanker serviks dan sikap positif terhadap deteksi dini pada ibu-ibu anggota pengajian As-Sakinah di Yogyakarta.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai kanker serviks adalah baik sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi pengetahuan WUS maka semakin besar partisipasi WUS untuk melakukan deteksi dini IVA.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Terdapat hubungan umur dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA.

2. Terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA.

3. Tidak terdapat hubungan tingkat pendapatan dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA.

4. Tidak terdapat hubungan paritas dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA.

5. Terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan keinginan WUS melakukan pemeriksaan IVA.

Saran

Adapun saran yang dapat penulis

sampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Disarankan kepada petugas kesehatan

khususnya bidan yang bertugas di Klinik Romauli Kec. Medan Marelan Tahun 2014 untuk lebih memberikan pendidikan kesehatan kepada Wanita Usia Subur (WUS) di Kec. Marelan mengenai pentingnya pemeriksaan IVA.

2. Diharapkan kepada Kepala Klinik Romauli untuk tetap melakukan pemeriksaan IVA dengan biaya yang terjangkau agar masyarakat memiliki keinginan melakukan pemeriksaan IVA

3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan WUS dalam melakukan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

148 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

pemeriksaan IVA dengan variabel yang lebih banyak dan berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Darnindro, dkk. 2007. Pengetahuan Sikap

Prilaku Perempuan yang Sudah Menikah Mengenai Pap Smear dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Rumah Susun Klender Jakarta 2006. Majalah

Kedokteran Indonesia. Nomor 7. Juli 2007

Djaali, H. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi aksara.

Emilia, dkk. 2010. Bebas Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta: MedPress.

Kartikawati, E. 2010. Awas Bahaya Kanker Payudara & Kanker Serviks: Buku Baru. Jakarta.

Ningrum, dkk. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Ibu Mengikuti Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Metode Visual Asam Asetat (IVA) Di Kabupaten Banyumas Tahun 2012. Bidan Prada. Volume 4, No. 3. Edisi Juni 2013.

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pangesti, dkk. 2012. Gambaran Karakteristik Wanita Usia Subur (WUS) yang Melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Puskesmas Karanganyar. Jurnal Ilmiah Kesehatan

keperawatan. Volume 8, No.2. Juni 2012. Perhimpunan Onkologi Indonesia. 2010.

Pedoman Tata Laksana Kanker. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Prawirohardjo, S. 2007. Kanker Serviks. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rahma, dkk. 2011. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Minat WUS (Wanita Usia Subur) Dalam Melakukan Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Dengan Pulasan Asam Asetat) Di Desa Pengabatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas Tahun 2011. Bidan Prada. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Volume 3 No.1. edisi juni 2012.

Sujanto, A. 2009. Psikologi Umum: Bumi Aksara. Jakarta.

Tilong, A. 2012. Bebas dari Ancaman Kanker Serviks. Jogjakarta: Flash Books.

Wijaya, D. 2010. Pembunuh Ganas Itu Bernama Kanker Serviks. Yogyakarta: Sinar Kejora.

Anonym, 2011. Defenisi dan Pembagian Umur. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Umur ( diakses tanggal 1 Mei 2014)

Kumalasari. 2012. Kanker Serviks. Dalamhttp://www.jurnalperempuan.org/bahaya-kanker-serviks.html (diakses tanggal 20 Februari 2014)

Nofrida. 2013. Tes IVA. Dalam http://nofrida2012.wordpress.com/2013/01/07/tes-iva/ (diakses tanggal 1 Mei 2014)

Prandana, dkk. 2013. Pasien kanker serviks di RSUP haji adam malik medan tahun 2011. E – Journal FK USU. Volume 1 no.2. 2013

Prasettiyo, T. 2012. Psikologi Perkembangan. Dalam http://edukasi.kompa siana.com/2012/05/27/psikologi-perkembangan-465465.html (diakses tanggal 5 Mei 2014)

Rachman. 2014. Inrormasi Upah Minimum Regional dalam http:// allows.wordpress.com/2009/01/12/informasi-upah-minimum-regional-umr/ (diakses tanggal 12 februari 2014)

Saputra, A. 2012. Pengertian Paritas. Dalam http://fourseasonnews.blogspot.com/ 2012/05/pengertian-paritas.html (diakses tanggal 27 Juni 2014)

Sastradina. 2011. Reproduksi Sehat Dalam http://www.ibudanbalita.net/ info/jurnal-maternitas-ca-serviks.html (diakses tanggal 20 Februari 2014)

Sinulingga, E. 2013. Vaksin HPV. Dalam http://health.detik.com/read/ 2013/04/20/154519/2225876/763/mengenal-vaksin-hpv-592894.html (diakses tanggal 16 Maret 2014)

Soebachman. 2011. Fenomena perempuan. Dalam http://www.bascommetro.com/ 2011/09/angka-kejadian-kanker-serviks.html (diakses tanggal 12 Februari 2014)

Waluyo, A. 2011. Penyebab Kanker Leher Rahim. Dalam http://www.jurnalharian .com/2011/11/kanker-serviks.html (diakses tanggal 12 Februari 2014)

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

149 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI SUAMI DALAM KELUARGA BERENCANA DI POSYANDU MELATI I KELURAHAN

SUKAMULYA, CIKUPA, TANGERANG

Catur Erty Suksesty (Program Studi D4 Kebidanan,

Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Tangerang)

ABSTRAK

Latar belakang: Kurang berperannya suami dalam program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi disebabkan oleh pengetahuaan suami mengenai KB secara umum relative rendah. Tujuan: Penelitian ini hendak menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana. Metode: Populasi penelitiaan cross sectional ini adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat tingal di wilayah posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya, Cikupa, Tangerang. Besar sampel 137 orang. Data penelitian merupakan data sekunder yang selanjutnya dianalisis mengunakan uji Chi square pada confidence interval 95%. Hasil: Mayoritas suami (62.8 %) tidak berpartisipasi dalam Keluarga Berencana, sedangkan partisipasi suami berdasarkan pengetahuan, yang terbesar adalah pada pengetahuan yang tinggi yaitu (50.4%), berdasarkan sosial budaya yang terbesar adalah pada tidak mendukung dengan p.value 0.012. Berdasarkan akses pelayanan KB, yang terbesar adalah pada mudah mengakses dengan p.value 0.017 dan berdasarkan kualitas pelayanan KB, yang terbesar adalah pada pelayanan kualitas KB yang baik dengan nilai p.value 0.000. Kesimpulan: Uji statistik menyimpulkan dari keempat variable bebas mempunyai hubungan yang bermakna. Saran: Agar keterpaparan informasi dapat maksimal hendaknya para ibu, khususnya para bapak/suami untuk meningkatkan pengetahuannya tentang keluarga berencana. Peningkatan pengetahuan ini dapat dilakukan dengan membaca buku, majalah, tabloid, pamphlet, dan mengikuti seminar. Kata kunci: Keluarga berencana, partisipasi suami, pengetahuan, social budaya, akses, kualitas

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan Departemen Kesehatan dalam

upaya mempercepat penurunan AKI pada dsarnya mengacu pada intervensi strategis “ Empat Pilar Safe Motherhood”, yaitu pilar pertama keluarga berencana, pilar kedua pelayanan antenatal, pilar ketiga persalinan yang aman, pilar keempat pelayanan obstetri esensial.

Keluarga berencana adalah usaha untuk mengontrol jumlah dan jarak kelahiran anak, untuk menghindari kehamilan yang bersifat sementara dengan mengunakan kontrasepsi sedangkan untuk menghindari kehamilan yang sifatnya menetap yang bias dilakukan dengan cara sterilisasi.

Memasuki era baru program KB di Indonesia diperlukan adanya reorientasi dan reposisi program secara menyeluruhdan terpadu.Reorientasi dimaksudterutama ditempuh dengan jalan menjamin kualitas pelayanan keluarga Berencanadan kesehatan repoduksi yang lebih baik serta menghargaidan melindungi hak-hak repoduksiyang menjadi bagiaan integral dari hak-hak azasi manusia yang bersipat universal. Prisip pokok dalam mewujudkan keberhasilan program KB dimaksunkan adalah peningkatan kualitas di segala bentuk serta kesetaraan dan keadilan gender melalui pemberdayaan perempuaan serta peningkatan partisipasi pria.

Pada awalnya pendekatan keluarga berencana lebih diarahkan pada sapek demografi dengan upaya pokok pengendaliaan jumlah penduduk dan penurunan fertilitas .dimana program Keluarga nasional merupakan salah satu program untuk meningkatkan kualitaf penduduk, mutu sumberdaya manusia, kesehatan dan kesejahteraan social, yang selama ini dilaksanakan melalui pengaturan kelahiran, pendewasaan usia kawin, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga.

Namun demikian, konferensi Internasional tentang kependudukan dan pengembangan The International Conperence On Population and development (ICPD 1994) menyepakati perubahan paradigma, dari pendekatan pengendaliaan populasi dan penurutan fertilitas, menjadi lebih kearah pendekatan kesehatan repoduksi dengan memperhatikan hak-hak dan kesetaraan gender.

Rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi pada dasarnya tidak terlepas dari oprasional program KB yang selama ini

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

150 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

dilaksanakan mengarah kepada wanita sebagai sasaran. Demikiaan juga masalah penyediaan alat kontrasepsi semuanya untuk wanita, maka wanitalah yang harus mengunakan alat kontrasepsi. Oleh sebab itu, semenjak tahun 2000 pemerintah secara tegas telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi melalui kebijakkan-kebijakan yang telah ditetapkan.

Kurang berperannya suami dalam program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi disebabkan oleh pengetahuaan suami mengenai KB secara umum relative rendah, sebagaimana terungkap pada penelitiaan Suhemi, dkk ( 1991) bahwa pria yang mengetahui secara lengkap tentang alat kontrasepsi wanita dan pria hanya 6,2%, itupun hanya diantara pria/suami yang mengunakan alat kontrasepsi. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana

METODE PENELITIAN

Jenis penelitiaan yang digunakan adalah

survey analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di wilayah posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya Kecamatan Cikupa Tangerang. Populasi penelitian adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat tingal di wilayah posyandu Melati I kelurahan sukamulya kecamatan cikupa tangerang. Dari data sekunder Umpan balik Hasil pendataan program KB kelurahan sukamulya Bulan desember 2012 tercatat pria PUS di posyandu melati I sejumlah 436 orang, dengan rinciaan sebagai berikut: pria PUS yang mengunakan kontrasepsi pria 10 orang, pria PUS dan istri yang mengunakan kontrasepsi sejumlah 290 orang, sedangkan pria PUS dengan istri yang tidak mengunakan kontrasepsi sejumlah 136. Dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel 137 yaitu: 3 pada Pria PUS yang mengunakan metode kontrasepsi pria, 91 pada Pria PUS dengan istri yang mengunakan kontrasepsi dan 43 pada pria PUS dengan istri yang tidak mengunakan kontrasepsi. Analisis data mengunakan uji “ Chi Square “ pada tingkat kepercayaan 0.05 dan confidence interval 95% (α = 0,05).

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Partisipasi Suami Dalam Keluarga Berencana

di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya Kecamatan Cikupa Tahun 2012

Partisipasi Suami Frekuensi Persen

Berpartisipasi 51 37.2

Tidak Berpartisipasi 86 62.8

Jumlah 137 100 %

Tabel 1 menunjukkan bahwa Partisipasi

Suami Dalam Keluarga Berencana terhadap 137 responden, yang terbanyak berada pada kategori Tidak berpartisipasi yaitu sebanyak 86 orang (62.8 %).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Terhadap KB di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya Kecamatan Cikupa Tahun 2012

Pengetahuan Frekuensi Persen

Berpartisipasi 68 49.6

Tidak Berpartisipasi 69 50.4

Jumlah 137 100 %

Tabel 2 menunjukkan bahwa

pengetahuan terhadap KB terhadap 137 responden, yang terbanyak berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 69 orang (50.4%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sosial Budaya Terhadap KB di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya Kecamatan CikupaTahun 2012

Sosial Budaya Frekuensi Persen

Berpartisipasi 71 51,8

Tidak Berpartisipasi 66 48,2

Jumlah 137 100 %

Tabel 3 menunjukkan bahwa sosial

budaya terhadap KB terhadap 137 responden, yang terbanyak berada pada kategori tidak mendukung yaitu sebanyak 71 orang ( 51.8%).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Akses Pelayanan KB di Posyandu Melati I

Kelurahan Sukamulya, Cikupa Tahun 2012

Akses pelayanan Frekuensi Persen

Berpartisipasi 51 37,2

Tidak Berpartisipasi 86 62,8

Jumlah 137 100 %

Tabel 4 menunjukkan bahwa akses

pelayanan KB dari 137 responden, terbanyak pada kategori mudah mengakses yaitu sebanyak 86 orang (62.8 %)

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

151 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kualitas Pelayanan KB di Posyandu Melati I

kelurahan Sukamulya, Cikupa Tahun 2012

Kualitas pelayanan Frekuensi Persen

Berpartisipasi 43 31,4

Tidak Berpartisipasi 94 68,6

Jumlah 137 100 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa kualitas pelayanan KB terhadap 137 responden, yang terbanyak berada pada kategori pelayanan baik yaitu 94 orang (68.6 %).

Tabel 6. Pengaruh Pengetahuan Tentang KB Dengan Partisipasi Suami Dalam Keluarga Berencana di Posyandu Melati I Kelurahan

Sukamulya, Cikupa Tahun 2012

Pengeta-huan

Tentang KB

Partisipasi Suami Dalam Keluarga

Berencana

Jumlah

Tidak Ya

f % f %

Rendah 49 72.1 19 27.9 68 (100%)

Tinggi 37 53.6 32 46.4 69 (100%)

Jumlah 86 62.8 51 37.2 137 (100%)

OR= 2.230 (1.096 - 4.538) p value= 0,040

Berdasarkan Tabel 6 dari 68 responden suami berdasarkan pengetahuan terhadap KB yang rendah terbanyak adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 49 orang (72.1 %) dan dari 69 responden suami yang berpengetahuan terhadap KB tinggi adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 37 orang (53.6 %). Jadi yang terbanyak adalah suami yang tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 86 orang ( 62.8 % ). Setelah dilakukan uji statistic dengan menggunakan SPSS versi 17 didapatkan p.value 0.040.

Tabel 7. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap KB Dengan Partisipasi Suami Dalam

Keluarga Berencana di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya, Cikupa Tahun 2012

Sosial Budaya

Terhadap KB

Partisipasi Suami Dalam Keluarga

Berencana

Jumlah

Tidak Ya

f % f %

Rendah 37 52.1 34 47.9 71 (100%)

Tinggi 49 74.2 17 25.8 66 (100%)

Jumlah 86 62.8 51 37.2 137 (100%)

OR= 0.378 (0.183 – 0.777) p value= 0,012

Berdasarkan Tabel 7, dari 71 responden suami berdasarkan sosial budaya terhadap KB yang tidak mendukung terbanyak adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga

berencana sebanyak 37 orang (52.1 %) dan dari 66 responden suami yang mendukung terbanyak adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 49 orang (74.2 %). Dan yang terbanyak adalah suami yang tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 86 orang ( 62.8 % ). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 0.378, artinya sosial budaya yang mendukung terhadap KB mempunyai peluang 0.378 kali berpartisipasi dalam keluarga berencana dibanding suami yang tidak mendukung.

Tabel 8. Pengaruh Akses Pelayanan KB Dengan Partisipasi Suami Dalam Keluarga Berencana di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya Kecamatan Cikupa Tahun 2012

Akses Pelayanan

KB

Partisipasi Suami Dalam Keluarga

Berencana

Jumlah

Tidak Ya

f % f %

Rendah 25 49 26 51 51 (100%)

Tinggi 61 70.9 25 29,1 86 (100%)

Jumlah 86 62.8 51 37.2 137 (100%)

OR= 0.394 (0.192 – 0.809) p value= 0,017

Berdasarkan tabel diatas dari 51 responden suami berdasarkan akses pelayanan KB yang sulit mengakses terbanyak adalah berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 26 orang (51 %) dan dari 86 responden suami yang mudah mengakses terbanyak adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 61 orang (70.9 %). Maka yang terbanyak adalah suami yang tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 86 orang ( 62.8 % ). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 0.394, artinya akses pelayanan KB yang mudah mempunyai peluang 0.394 kali berpartisipasi dalam keluarga berencana dibanding akses pelayanan KB yang sulit.

Tabel 9. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap KB Dengan Partisipasi Suami Dalam

Keluarga Berencana di Posyandu Melati I Kelurahan Sukamulya, Cikupa Tahun 2012

Akses Pelayanan

KB

Partisipasi Suami Dalam Keluarga

Berencana

Jumlah

Tidak Ya

f % f %

Rendah 43 100 0 0 43 (100%)

Tinggi 43 45,7 51 54,3 94 (100%)

Jumlah 86 62.8 51 37.2 137 (100%)

OR= 2.186 (1.754 – 2.724) p value= 0,000

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

152 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Berdasarkan tabel diatas dari 43 responden suami berdasarkan kualitas pelayanan KB yang pelayanan kurang baik terbanyak adalah tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 43 orang (100 %) dan dari 94 responden suami yang mendapatkan pelayanan baik terbanyak adalah berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 51 orang (54.3 %). Maka yang terbanyak adalah suami yang tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 86 orang ( 62.8 % ). Didapatkan p.value 0.000 dan nilai OR = 2.186, artinya kualitas pelayanan KB yang baik mempunyai peluang 2.186 kali berpartisipasi dalam keluarga berencana dibanding kualitas pelayanan yang kurang baik. PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

partisipasi suami dalam keluarga berencana di posyandu melati I kelurahan sukamulya kecamatan cikupa, yang terbanyak berada pada kategori tidak berpartisipasi sebanyak (62.8%). Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah keluarga. Untuk merealisasikan tujuaan tercapainya norma keluarga kecil dan Bahagia sejahtera.( BKKBN 2005).

Sedangkan tingkat pengetahuan suami terhadap KB berdasarkan partisipasi suami dalam keluarga berencana terbanyak berada pada kategori tinggi (50.4 %). Dari hasil uji statistic didapatkan hasil OR = 2.230 dan p.value = 0.040 maka ada hubungan antara pengetahuan suami terhadap KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Keterlibatan pria didefinisikan sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan KB, pengetahuaan pria tentang KB dan pengunaan kontrasepsi pria. Menurut Purwoko ( 2000 ), mengemukakan pendidikan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap tentang metode kontrasepsi. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan suami terhadap KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan sesuai dengan teori Purwoko ( 2000 ).

Pengaruh sosial budaya terhadap KB berdasarkan partisipasi suami dalam keluarga berencana yang terbanyak berada pada kategori tidak mendukung (51.8 %). Dari hasil uji statistic didapatkan hasil OR = 0.378 dan p.value = 0.012, maka ada hubungan antara sosial budaya terhadap KB

dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Menyimak hasil penelitian BKKBN ( 1998 ), tentang factor sosekbud menerangkan bahwa nilai budaya, seperti pandangan terhadap banyak anak adalah banyak rejeki, preperensi jenis kelamin anak, dan pandangan agama yang dianut secara inferensial tidak menunjukan pengaruh yang signifikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara social budaya terhadap KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan sesuai dengan hasil penelitian BKKBN ( 1998 ).

Akses pelayanan KB berdasarkan partisipasi suami dalam keluarga berencana di posyandu melati i kelurahan sukamulya kecamatan cikupa yang terbanyak berada pada kategori mudah mengakses (62.8 %) dengan p.value = 0.017, maka secara signifikan ada hubungnan antara akses pelayanan KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Hal ini sesuai dengan Akses pelayanan KB ( 2005 ), keterjangkauan ini dimaksudkan agar pria dapat memperoleh informasi yang memadai dan pelayanan KB yang memuaskan.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan KB berdasarkan partisipasi suami dalam keluarga berencana di posyandu melati I kelurahan sukamulya kecamatan cikupa yang terbanyak berada pada kategori pelayanan baik (68.6 %). Dari hasil uji statistic didapatkan hasil OR = 2.186 dan p.value = 0.000, maka ada hubungan antara kualitas pelayanan KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. Bruce ( 1990 ), menjelaskan bahwa terdapat enam komponen dalam kualitas pelayanan yaitu : pilihan kontasepsi, informasi yang diberikan, kemampuan tehnikal, hubungan interpersonal,tindak lanjut dan kesinambungan, kemudahan pelayanan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kualitas pelayanan KB dengan partisipasi suami dalam keluarga berencana. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan pada penelitian ini yaitu

Partisipasi suami dalam keluarga berencana terhadap 137 responden, terbanyak berada pada kategori tidak berpartisipasi (62.8 %) sedangkan partisipasi suami dalam keluarga berencana berdasarkan pengetahuan terhadap KB, yang terbesar adalah pada pengetahuan terhadap KB yang tinggi yaitu (50.4%), berdasarkan social budaya yang terbesar adalah pada tidak mendukung dengan p.value 0.012. Berdasarkan akses

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

153 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

pelayanan KB, yang terbesar adalah pada mudah mengakses dengan p.value 0.017 dan berdasarkan kualitas pelayanan KB, yang terbesar adalah pada pelayanan kualitas KB yang baik dengan nilai p.value 0.000. Dari hasil uji statistic dapat disimpulkan dari ke empat variable bebas (Independent Variable) mempunyai hubungan yang bermakna.

Dapat disarankan agar keterpaparan informasi dapat maksimal hendaknya para ibu, khususnya para bapak/suami untuk meningkatkan pengetahuannya tentang keluarga berencana. Peningkatan pengetahuan ini dapat dilakukan dengan membaca buku, majalah, tabloid, pamphlet, dan mengikuti seminar.

DAFTAR PUSTAKA

Asan, A. 2007. Hak Reproduksi sebagai Etika Global dan Implementasinya dalam Pelayanan KB/KR di NTT 2007. BKKBN. NTT.

Azwar, Azrul. 2005.Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia.Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta

Bessinger, R. E., Bertrand, J.T. 2001 Monitoring Quality of Care in Family Planning Program : A Comparison of Observations and Client Exit Interviews, International Family Planning Perspective.

BKKBN. 2000. Pedoman Pengarapan Peningkatan partisipasi Pria. BKKBN.Jakarta.

BKKBN.2001. Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia.BKKBN.Jakarta.

BPPN. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Jakarta : Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Endang. 2002. Buku Sumber Keluarga Berencana , Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. BKKBN & UNFPA. Jakarta.

Hartona.2003 Keluarga Berencana dan kontrasepsi. Pustaka sinar harapan. Jakarta.

Karra. Male Involvement in Family Planning. Acase Study Spanning Five Generation of a South Indian Family ; Studies in Family Planning 28(1) : 24-32. 1997.

Notoatmojo, s. 2002. Metodologi penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Omandhi-Odhiambo. Men's Participation in Family Planning Decision in Kenya. Population Studies. 1997.

Saifuddin, 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan kesehatan Maternal dan Neonatal. JNPKKR – POGI. Jakarta.

Sugiyono, 2002 Statistik untuk Penelitian.Alfabeta. Bandung.

Satria, Yurni. 2005.Isu Gender dalam kesehatan reproduksi. Pusat Penelitian Gender dan peningkatan Kwalitas Perempuan. BKKBN.Jakarta.

Wetson. Para Wanita Mempercayai Pasangan Untuk Menggunakan Kontrasepsi Pria. http://pikas.bkkbn.go.id. 2002.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

154 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

PERBEDAAN PERKEMBANGAN BALITA USIA 12-15 BULAN

ANTARA ANAK SULUNG DENGAN ANAK BUNGSU

Nurlailis Saadah (Prodi Kebidanan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Latar belakang: Kegiatan yang dilaksanakan di Posyandu Desa Pingkuk biasanya lebih diprioritaskan memantau pertumbuhan anak dengan melakukan penimbangan berat badan untuk mengetahui status gizi dan kondisi kesehatan fisiknya. Penelitian ini dilakukan untuk menilai perkembangan anak sesuai dengan usia yang belum pernah dilakukan oleh petugas maupun orang tuanya baik anak sulung maupun anak bungsu. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional dengan variabel perkembangan anak sulung dengan anak bungsu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita anak sulung dan anak bungsu usia 12-15 bulan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. Sampel diambil dengan proporsional simple random sampling sebanyak 28 balita. Data dikumpulkan dengan lembar KPSP sesuai usia balita, observasi dan tanya jawab pada ibu balita kemudian dianalisis dengan menggunakan statistik T-tes untuk sample bebas. Hasil: Sebanyak 15 balita usia 12-15 bulan di Desa pingkuk merupakan anak sulung, sebanyak 5 balita (33,3%) perkembangannya tidak normal, dan sebanyak 10 balita (66,7%) perkembangannya normal. Dari 13 balita usia 12-15 bulan yang sebagai anak bungsu sebanyak 3 balita (23,1%) perkembangannya tidak normal, sedangkan 10 balita (76,9%) perkembangannya normal. Hasil uji statistik adalah p=0,741 yang berarti Ho diterima. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk, Bendo, Magetan. Saran: Perlu pemantauan perkembangan balita dilakukan dari usia 3 bulan sampai usia 72 bulan baik pada anak sulung maupun anak bungsu.

Kata kunci: Perkembangan balita, anak sulung, anak bungsu

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Posisi anak dalam keluarga dapat

mempengaruhi perkembangan khususnya dalam kepribadian. Anak sulung didalam keluarga mempunyai nilai tersendiri, anak sulung dalam keluarga biasanya menjadi pusat perhatian kedua orang tua. Sedangkan anak bungsu adalah anak yang manja karena selain menjadi pusat perhatian orang tua juga diperhatikan oleh keluarga yang lain, maupun kakak-kakaknya, terlebih jika perbedaan usia dengan kakaknya cukup jauh sehingga kedudukan anak bungsu benar-benar menjadi obyek kesenangan anggota keluarga dirumahnya (EYP,2005).

Anak bungsu tergolong anak yang biasanya sebagian mengalami kesulitan dalam perkembangan tetapi ada juga yang sebaliknya walaupun mempunyai kakak yang bisa dijadikan model, kerap merasa inferior (rendah diri), tidak sehebat kakak-kakaknya. Jumlah balita pada Posyandu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo sampai dengan bulan Februari 2008 tercatat sebanyak 96 balita, dari jumlah tersebut balita usia 12-15 bulan sebanyak 30 balita (31,2%). Jumlah anak sulung 16 balita (53,3%) dan 14 balita (46,6%) tercatat sebagai anak bungsu dalam keluarga.

Dari hasil studi awal yang dilakukan oleh peneliti bulan Februari 2008 yang dilakukan terhadap 6 balita menunjukkan 3 balita (50%) mempunyai perkembangan tidak normal, sedangkan 3 balita (50%) mempunyai perkembangan normal. Balita yang mempunyai perkembangan tidak normal adalah 2 balita (66,6%) anak bungsu dan 1 balita (33,3%) anak sulung. Kegiatan yang dilaksanakan di Desa Pingkuk biasanya lebih diperioritaskan untuk memantau pertumbuhan anak dengan melakukan penimbangan berat badan dengan tujuan untuk mengetahui status gizi atau kondisi kesehatan fisiknya. Apabila diketahui pertumbuhan anak terjadi gangguan baru dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Sedangkan kegiatan untuk memantau perkembangan anak sesuai dengan usia belum pernah dilakukan oleh petugas maupun orang tuanya. Untuk penilaian perkembangan balita pada Posyandu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo sampai saat ini belum pernah dilakukan baik oleh petugas kesehatan maupun oleh orang tua dengan menggunakan instrumen yang telah dibakukan.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

155 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi perkembangan anak sulung usia 12-15 bulan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan.

2. Mengidentifikasi perkembangan anak bungsu usia 12-15 bulan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan.

3. Menganalisis perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan.

Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan bagi orang tua agar senantiasa melakukan pemantauan perkembangan anak tanpa memperhatikan posisi anak dalam keluarga.

2. Sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya khususnya untuk perkembangan anak.

3. Penelitian ini bermanfaat sebagai referensi yang dimanfaatkan oleh mahasiswa melalui perpustakaan.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoadmojo,2002:145) dengan tujuan untuk membuktikan adanya perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan.

Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini rancangan yang digunakan adalah Crossectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran / observasi data variable dan independent dinilai secara simultan pada satu saat (Nursalam,2003:85). Pada penelitian ini variabel perkembangan balita usia 12-15 bulan dan urutan anak sulung dan anak bungsu diukur pada saat itu saja.

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan, mulai bulan April sampai bulan Juni 2008.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 12-15 bulan di Desa

Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan sebanyak 30 balita. Sampel dalam penelitian ini adalah balita usia 12-15 bulan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan.

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data tentang perkembangan balita usia 12-15 bulan yang diperoleh dengan instumen KPSP. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data perkembangan balita anak sulung dan anak bungsu usia 12-15 bulan adalah lembar KPSP yang disesuaikan dengan usia balita yang diteliti.

Data perkembangan balita anak sulung dan anak bungsu usia 12-15 bulan diperoleh dengan cara pengamatan langsung pada balita selama 3 bulan di Desa Pingkuk untuk mengetahui kemampuan apa yang sudah dikuasai oleh balita sesuai dengan usianya serta mengadakan tanya jawab dengan ibu tersebut dengan menggunakan lembar KPSP sesuai dengan usia balita.

Pengolahan dan Analisis Data

Apabila penilaian KPSP: 10 atau 9 jawaban Ya berarti perkembangan anak baik (N), apabila penilaian KPSP: 7 atau 8 jawaban Ya berarti meragukan dan anak perlu diperiksa ulang 1 minggu kemudian, dan apabila penilaian KPSP: kurang dari 7 berarti positif, anak perlu dirujuk (TN) (DepKes,1997:18).

Pada tahap analisis deskriptif disajikan data tentang karakteristik ibu meliputi: pekerjaan, dan pendidikan. Karakteristik balita meliputi: usia, jenis kelamin, kedudukan anak dalam keluarga, pengasuh dan perkembangan balita usia 12-15 bulan anak sulung dan anak bungsu.

Pada tahap uji hipotesis, dianalisis perbedaan perkembangan pada balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu digunalkan uji statistik independent sample T-test dengan α = 0,05 dengan bantuan program komputer. HASIL PENELITIAN Jenis Kelamin Balita

Dari 28 balita usia 12-15 bulan sebanyak 18 balita (36%) mempunyai jenis kelamin perempuan, sedangkan 10 balita (64%) mempunyai jenis kelamin laki-laki.

Usia Balita

Dari 28 balita usia 12-15 bulan sebanyak 3 balita (11%) berusia 13 bulan, dan sebanyak 12 balita (43 %) berusia 15 bulan. Balita yang diteliti rata-rata berusia

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

156 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

13,82 bulan. Balita yang diteliti usia termuda 12 bulan sedangkan tertua 15 bulan. Kedudukan Balita dalam Keluarga

Dari 28 balita usia 12-15 bulan sebanyak 15 balita (54%) mempunyai kedudukan dalam keluarga sebagai anak sulung, sedangkan 13 balita (46%) mempunyai kedudukan dalam keluarga sebagai anak bungsu. Pengasuh Balita

Dari 28 balita usia 12-15 bulan sebanyak 2 balita (7%) diasuh bukan orang tuanya sendiri sedangkan sebanyak 26 balita (93%) diasuh orang tuanya sendiri. Pendidikan Ibu

Dari 28 ibu yang mempunyai balita usia 12-15 bulan sebanyak 13 ibu (47%) berpendidikan SMA, ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 4 ibu (14%). Pekerjaan Ibu

Dari 28 ibu yang mempunyai balita usia 12-15 bulan sebanyak 14 ibu (50%) pekerja wiraswasta, sedangkan yang bekerja sebagai PNS sebanyak 1 ibu (4%).

Perkembangan Balita Sulung

Dari 15 balita usia 12-15 bulan yang kedudukan sebagai anak sulung dalam keluarga yang perkembangannya normal sebanyak 10 balita (67%) dan yang mempunyai perkembanganya tidak normal sebanyak 5 balita (33%). Perkembangan Balita Bungsu

Dari 13 balita usia 12-15 bulan anak bungsu yang mempunyai perkembangan normal sebanyak 10 balita (77%) dan mempunyai perkembangan tidak normal sebanyak 3 balita (23%).

Perbedaan Perkembangan Balita Sulung dan Bungsu

Dari hasil uji hipotesis dengan bantuan bantuan program komputer diperoleh nilai p sebesar 0,741 > (α = 0,05). Jadi Ho diterima, sehingga disimpulkan tidak ada perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan tahun 2008. PEMBAHASAN

Dari hasil uji statistik untuk menganalisa perbedaan perkembangan balita usia 12-15

bulan antara anak sulung dengan anak bungsu diperoleh nilai probability (p) sebesar

0,741 > α 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu. Sedangkan dari hasil analisa perkembangan balita usia 12-15 bulan di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan yang dinilai dengan menggunakan KPSP, menunjukkan rata-rata perkembangan anak sulung adalah 9,33 sedangkan rata-rata perkembangan anak bungsu adalah 9,46. Sehingga dari nilai rata-rata perkembangan anak sulung dan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan tidak jauh berbeda.

Hasil penelitian ini tidak sama dengan yang dilakukan oleh EYP (2005), yang menyatakan bahwa anak sulung dengan anak bungsu ada perbedaan karakter yang mengakibatkan posisi / urutan anak dalam keluarga mempengaruhi perkembangan khususnya pada kepribadian anak. Perkembangan anak sulung dan anak bungsu tidak jauh berbeda karena orang tua sudah menyadari secara penuh mengenai peranan menjadi orang tua, banyaknya pengetahuan dan pengalaman dari orang tua akan membawa akibat tersendiri dalam diri anak. Sedangkan menurut Sahabatnestle (2008), menyatakan bahwa urutan kelahiran sesungguhnya tidak memberikan pengaruh langsung pada kepribadian dan perilaku seorang anak. Akan tetapi lebih ditentukan oleh bagaimana orang tua memberi makna pada urutan kelahiran tersebut. Biasanya juga terkait dengan jenis kelamin anak, pengalaman, pendidikan orang tua, latar belakang budaya dan sosial ekonomi.

Dari 6 ibu balita pendidikan SMA yang mempunyai kedudukan sebagai anak sulung dalam keluarga sebanyak 2 balita (33,3%) perkembangannya tidak normal, sedangkan sebanyak 4 balita (66,7%) perkembangannya normal, sedangkan 7 ibu balita yang mempunyai balita kedudukan sebagai anak bungsu dalam keluarga sebanyak 1 balita (14,3%) perkembangannya tidak normal, sedangkan 6 balita (85,7%) perkembangannya normal. Dari 4 ibu balita pendidikan Perguruan Tinggi yang mempunyai kedudukan sebagai anak sulung dalam keluarga sebanyak 2 balita (100%) perkembangannya normal, sedangkan 2 ibu balita yang mempunyai balita kedudukan sebagai anak bungsu dalam keluarga 2 balita (100%) perkembangannya normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (1995), yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

157 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

dengan pendidikan yang baik maka ibu dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan balita yang baik, serta bagaimana menjaga kesehatan dan merawat balitanya. Balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu mempunyai buku KIA. Melalui buku ini ibu lebih mudah memantau pertumbuhan dan perkembangkan anak sesuai dengan usianya. Demikian pula apa yang harus dilakukan oleh ibu apabila pertumbuhan dan perkembangan anak tidak sesuai dengan apa yang tertera pada buku. Dengan perbedaan tingkat pendidikan tersebut menyebabkan ibu yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah memahami segala sesuatu yang dimaksudkan oleh buku KIA tersebut. Selain tidak membedakan anak sulung dan anak bungsu, sehingga perkembangan balitanyapun baik.

Dari 8 ibu balita pekerja wiraswasta yang mempunyai balita kedudukan sebagai anak sulung dalam keluarga sebanyak 2 balita (25%) perkembangannya tidak normal, sedangkan sebanyak 6 balita (75%) perkembangannya normal, sedangkan 6 ibu balita yang mempunyai kedudukan sebagai anak bungsu dalam keluarga sebanyak 2 balita (33,3%) perkembangannya tidak normal, sedangkan 4 balita (66,7%) perkembangannya normal. Dari 14 balita usia 12-15 bulan anak sulung dan anak bungsu yang ibunya bekerja wiraswasta sebanyak 10 balita perkembangannya normal.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Dari 15 balita anak sulung usia 12-15 bulan terdapat 10 balita (66,7%) normal dan 5 balita (33,3%) yang perkembangannya tidak normal

2. Dari 13 balita anak bungsu usia 12-15 bulan terdapat 10 balita (76,9%) normal dan 3 balita (32,1%) yang perkembangannya tidak normal

3. Hasil penelitian ditemukan tidak ada perbedaan perkembangan balita usia 12-15 bulan antara anak sulung dengan anak bungsu di Desa Pingkuk Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan yang peroleh nilai p sebesar 0,741 > α 0,05

Saran

1. Bagi orang tua terutama ibu yang mempunyai anak, disarankan untuk selalu memantau perkembangan anaknya agar anak senantiasa baik.

2. Diharapkan kepada petugas pelayanan kesehatan untuk memberikan penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya memantau perkembangan anak dengan menggunakan instrumen KPSP.

3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut, dan dilakukan lebih dari satu tempat yang berbeda yang belum dilakukan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Kompas Cyber Media, (2005) Kesehatan: Urutan Kelahiran Berpengaruh pada Pencarian Identitas, Update: Jumat, 20 Mei 2005, 13; 32 WIB.

Anonim, Urutan kelahiran & karakter Anak, http://www..sahabatnestle.co.id/homev2/main/dunia-dancow/tksk_balita.asp?id-1510

Anonim, Urutan Kelahiran & personality, http:// namae_wa_dina_blogsport_/2007/04/.htm/,dakses: tanggal 23 Desember 2007.

Bambang, Kedudukan anak dalam keluarga, http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/ava/bambang/tunggal.htm,diaskses tanggal 23 desember 2007.

Budiarto, Eko (2002), Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta, EGC.

Dep.Kes.RI, (1997), Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, Jakarta

EYP, Aji, “PR”,Jalu, (2005), Bedanya Si sulung dan Si bungsu, http/www.pikiran rakyat.com/cetak/0503/24/hikmah/lainnya 05.htm (diakses 1 November 2007).

Harlock, (2002), Psikologi Perkembangan, Jakarta, PT Erlangga, Edisi Kelima Psikologi Perkembangan, Jakarta, PT Erlangga.

Nasir, Moh, (1999), Metodologi Penelitian, Jakarta, Galia Indonesia

Narendra Moersintowati, (2002), Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, buku ajar I, Sagung Seto, Jakarta.

Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika.

Notoatmojo S, (2005), Metodologi Penelitian, Yogyakarta, Rineka cipta.

Soetjiningsih, (1995), Tumbuh Kembang Anak, Jakarta, EGC.

Supartini Yupi, (2004), Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak, Jakarta. EGC.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

158 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

KORELASI ANTARA KADAR HEMOGLOBIN IBU INPARTU

DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI

Haspeita Elvidian Mahareshi (Prodi Kebidanan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya) Nurweningtyas Wisnu

(Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)

Astuti Setiyani (Prodi Kebidanan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Latar belakang: Fungsi hemoglobin pada ibu hamil adalah untuk mempertahankan sirkulasi oksigen dan metabolisme zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan janin. Adanya peningkatan angka BBLR di Indonesia memerlukan penanggulangan dari masalah ini agar AKB bisa ditekan. Tujuan: Penelitian ini hendak menganalisis korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat bayi lahir. Metode: Populasi penelitian cross-sectional ini adalah ibu inpartu di RSUD dr. Sayidiman Magetan periode Januari-Juni 2013, sebesar 166. Besar sampel 118 yang diambil secara simple random sampling. Data dikumpulkan melalui observasi, selanjutnya dianalisis dengan uji Chi-square. Hasil: Ibu bersalin dengan kadar hemoglobin ≥ 11gr% melahirkan BBLR lebih kecil (4,5%) daripada ibu bersalin dengan kadar hemoglobin < 11gr% melahirkan BBLR (16,7%). Sedangkan ibu bersalin dengan kadar hemoglobin ≥ 11gr% melahirkan bayi normal lebih besar (95,5%) daripada ibu bersalin dengan kadar hemoglobin < 11gr% melahirkan bayi normal (83,3%). Hasil analisis uji Chi-square diperoleh signifikansi 0,031 probabilitas lebih kecil dari α 0,05 maka ada korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat badan lahir bayi. Kesimpulan: Ada korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat badan lahir bayi. Saran: Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai oleh pemegang kebijakan untuk menentukan pencegahan dan penanganan BBLR dan ibu hamil yang mengalami kadar hemoglobin < 11 gr% diharapkan untuk lebih intensif melakukan ANC dan memerhatikan asupan nutrisi (terutama Fe), sehingga kemungkinan melahirkan bayi BBLR dapat dikurangi.

Kata kunci: Kadar Hemoglobin, Berat Bayi Lahir.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kementerian Kesehatan memiliki tanggung jawab untuk mensukseskan MDGs, salah satunya menurunkan angka kematian anak. Bayi berat lahir rendah mempunyai resiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Berdasarkan berbagai survei menunjukkan bahwa angka BBLR di Indonesia masih tinggi dan perlu adanya penanggulangan dari masalah ini agar AKB bisa ditekan.

Banyak faktor yang menyebabkan bayi lahir dengan berat badan kurang. sebagian faktor berasal dari ibu yang dialami pada masa kehamilan. Faktor-faktor tersebut antara lain penyakit, usia, gizi, dan berat badan.

Kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl pada kehamilan lanjut merupakan suatu hal yang abnormal dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi zat besi daripada dengan hipervolemia. Jumlah zat besi yang diabsorbsi dari makanan dan cadangan dalam tubuh biasanya tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan sehingga penambahan asupan zat besi dapat membantu mengembalikan kadar hemoglobin (Saifudin, 2008).

Penurunan kadar hemoglobin yang nyata akan mengurangi kapasitas membawa oksigen sehingga terjadi hipoksia jaringan yang kronis. Tidak adekuatnya oksigen, sel akan kehilangan fungsinya dan selanjutnya akan mengakibatkan jaringan dan organ tubuh juga kehilangan fungsinya. Menurut Handerson (2005), janin mampu menerima oksigen yang lebih dari cukup melalui plasenta. Satu-satunya lingkungan yang efektif untuk janin ialah darah ibu, sehingga kadar hemoglobin dalam darah ibu dapat mempengaruhi kelangsungan pertumbuhan janin. Janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

Salah satu permasalahan gizi yang dihadapi bangsa Indonesia yang paling penting adalah memperhatikan gizi ibu. Prioritas pembangunan kesehatan yang dituangkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) adalah penetapan perbaikan status gizi, terutama gizi Ibu hamil (merupakan golongan rawan gizi karena berpotensi mengalami anemia gizi).

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

159 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Pemantauan kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat dilakukan untuk mengetahui kecukupan kebutuhan akan nutrisi zat besi sehingga dapat mencegah terjadinya BBLR dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada generasi selanjutnya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang korelasi antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan berat badan bayi lahir di RSUD dr. Sayidiman Magetan.

Tujuan Penelitian

Mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin ibu dengan berat badan lahir bayi di RSUD dr. Sayidiman Magetan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian adalah analitik korelasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan sejak

penyusunan proposal penelitian bulan Maret - Juli 2013. RSUD dr. Sayidiman Magetan sebagai lokasi penelitian. Populasi penelitian adalah semua ibu inpartu di RSUD dr. Sayidiman Magetan mulai bulan Januari – Juni 2013 dengan usia kehamilan 37-40 minggu, kehamilan tunggal yang diperiksa kadar hemoglobin, parsalinan pervagina, tidak menderita penyakit kronis, dan tidak dengan penyimpangan genetik pada janin (kelainan kongenital). Penelitian menggunakan sampel 118 responden. Variabel independent adalah kadar hemoglobin ibu inpartu. Variabel dependent adalah berat bayi lahir. Pengumpulan data dilakukan dengan pencarian informasi dari bagian rekam medik RSUD dr. Sayidiman Magetan dengan cara pencatatan informasi meliputi data kadar hemoglobin ibu inpartu dan data berat badan lahir bayi. Instrumen yang digunakan adalah format pengumpulan data dalam bentuk tabel. Pengolahan data menggunakan uji statistik korelasi Chi-Square. Analisis uji statistik menggunakan bantuan komputer dengan α = 5% (0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian terhadap ibu inpartu menunjukkan 88 (74,6%) dengan kadar hemoglobin ≥ 11 gr% dan 30 (25,4%) dengan kadar hemoglobin < 11 gr%. Berat badan lahir bayi menunjukkan bahwa 9 (7,6%) mengalami BBLR dan 109 (92,4%) mempunyai berat lahir normal.

Tabel 1 menunjukkan ibu bersalin dengan kadar hemoglobin ≥ 11gr% melahirkan BBLR lebih kecil (4,5%) daripada ibu bersalin dengan kadar hemoglobin <11gr% melahirkan BBLR (16,7%). Sedangkan ibu bersalin dengan kadar

hemoglobin ≥11gr% melahirkan bayi normal lebih besar (95,5%) daripada ibu bersalin dengan kadar hemoglobin <11gr% melahirkan bayi normal (83,3%).

Tabel 1. Distribusi Berat Badan Lahir Bayi Berdasarkan Kadar Hemoglobin Ibu Inpartu

di RSUD dr. Sayidiman Magetan

Kategori ≥ 2500 < 2500 Jumlah

Hb ≥ 11 gr% 84 95,5% 4 4,5% 88 100%

Hb < 11 gr% 25 83,3% 5 16,7% 30 100%

Jumlah 109 92,4% 9 7,6% 118 100%

Hasil analisis korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat bayi lahir menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh signifikansi 0,031. Berdasarkan hasil uji tersebut signifikansi 0,031 probabilitas lebih kecil dari α 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan dari hasil analisa data penelitian adalah ada korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat bayi lahir.

PEMBAHASAN

Kadar Hemoglobin Ibu Inpartu

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD dr. Sayidiman Magetan, diperoleh 25,4% responden dengan kadar hemoglobin <11 gr%. Keadaan ini perlu menjadi perhatian bagi tenaga kesehatan khususnya bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada ibu hamil. Responden dengan kadar hemoglobin <11 gr% kemungkinan disebabkan karena asupan zat besi yang kurang adekuat. Menurut Wiknjosastro (2007), kadar hemoglobin dibawah 11 gr% pada kehamilan lanjut merupakan suatu hal yang abnormal dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi zat besi daripada dengan hipervolemia. Hal ini berkaitan dengan keadaan demografi Kabupaten Magetan yang memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan pangan dari sumber nabati. Sesuai Muaris (2002), bahwa zat besi dalam tumbuh-tumbuhan seringkali sukar dicerna, hal ini disebabkan karena zat besi banyak terikat pada zat lain seperti asam fitat sehingga sukar diserap.

Data badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 35-75% ibu hamil di negara berkembang dan 18% ibu hamil di negara maju mengalami anemia. Menurut Pakar Gizi sekaligus Direktur Micronutrient Initiative Indonesia, prevalensi anemia pada ibu hamil sekitar 40-50% ibu hamil mengalami anemia. Perempuan hamil rentan mengalami anemia seiring meningkatnya kebutuhan zat besi dan nutrisi tubuh.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

160 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Pada awal kehamilan dan menjelang aterm, kadar hemoglobin kebanyakan wanita sehat dengan simpanan zat besi adalah 11 g/dL atau lebih. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan.

Pengaruh anemia terhadap kehamilan dapat terjadi abortus, persalinan prematuritas, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, mudah terjadi infeksi, ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr%), mola hidatidosa, hiperemesis gravidarum, perdarahan antepartum dan ketuban pecah dini (KPD). Bahaya anemia saat persalinan antara lain dapat terjadi gangguan his (kekuatan mengejan), kala pertama dapat berlangsung lama, dan terjadi partus terlantar, kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta dan perdarahan postpartum karena atonia uteri, kala empat dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri (Manuaba, 2010).

Kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr%, dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan Hb ibu akan menjadi 9,5 sampai 10 gr%. Setelah persalinan dengan lahirnya plasenta dan perdarahan, ibu akan kehilangan zat besi sekitar 900 mg. Saat laktasi, ibu masih memerlukan kesehatan jasmani yang optimal sehingga dapat menyiapkan ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dalam keadaan anemia, laktasi tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik.

Hasil penelitian menunjukkan 74,6% responden tidak mengalami anemia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplementasi besi sehingga kebutuhan zat besi selama kehamilan dapat tercukupi dan tidak terjadi anemia. Pencegahan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan suplementasi besi. WHO menganjurkan untuk memberikan 60 mg besi selama 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan fisiologik selama kehamilan (Saifuddin, 2008).

Berat Badan Lahir Bayi

Distribusi frekuensi berat badan lahir bayi menunjukkan 9 bayi (7,6%) mempunyai

berat badan lahir rendah (BBLR). Keadaan ini menjadi perhatian tenaga kesehatan dalam menangani bayi dengan BBLR untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR, salah satunya adalah gizi ibu hamil.

Hasil penelitian menunjukkan angka yang lebih rendah dari angka yang diperkirakan oleh WHO. Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut WHO diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat badan lahir lebih dari 2500 gram. Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain, yaitu berkisar antara 9%-30%. Hasil studi 7 daerah multicenter diperoleh angka BBLR dengan rentang 2,1%-17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5%.

Bayi dengan BBLR merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bayi dengan BBLR hingga saat ini masih merupakan masalah di seluruh dunia karena penyebab kematian pada masa bayi baru lahir.

Di negara berkembang, mayoritas bayi dengan BBLR dilahirkan aterm dan sudah menderita retardasi pertumbuhan intrauteri sebagai akibat dari gizi kurang (Gibney, 2009). Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain: hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia, sindroma gawat nafas, infeksi, perdarahan intraventrikuler, apnea, dan anemia. Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) antara lain: gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, gangguan penglihatan (Retinopati), gangguan pendengaran, penyakit paru kronis, kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit, kenaikan frekuensi kelainan bawaan.

Kadar Hemoglobin Ibu Inpartu dengan Berat Bayi Lahir

Hasil penelitian menunjukkan ibu bersalin dengan hemoglobin ≥ 11 gr% melahirkan BBLR lebih rendah (4,5%) daripada ibu bersalin dengan hemoglobin < 11 gr% melahirkan BBLR (16,7%). Sedangkan ibu bersalin dengan hemoglobin ≥ 11 gr% melahirkan bayi normal lebih tinggi (95,5%) daripada ibu bersalin dengan

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

161 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

hemoglobin < 11 gr% melahirkan bayi normal (83,3%).

Ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11 gr% kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature juga lebih besar (Manuaba, 2010). Secara umum bayi BBLR berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan atau premature, disamping itu juga disebabkan dismaturitas. Artinya, bayi lahir cukup bulan tapi BB lahirnya lebih kecil daripada kehamilannya yaitu tidak mencapai 2500 gram.

Biasanya hal ini terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang salah satunya disebabkan suplai makanan ke bayi berkurang. Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal.

Selama hamil, kebutuhan zat besi ibu hamil meningkat terutama digunakan tubuh dalam proses pembentukan sel darah merah dan mencukupi kebutuhan zat besi janin. Kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir rendah juga berhubungan dengan kadar feritin atau simpanan zat besi dalam tubuh yang rendah, sehingga wanita hamil perlu menambah makanan tinggi zat besi dan jika kurang diharapkan mengonsumsi suplemen. Korelasi antara Kadar Hemoglobin Ibu Inpartu dengan Berat Bayi Lahir

Hasil analisis korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat bayi lahir menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh signifikansi 0,031. Berdasarkan hasil uji tersebut signifikansi 0,031 probabilitas lebih kecil dari α 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan dari hasil analisa data penelitian adalah ada korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat badan lahir bayi.

Hal ini sesuai dengan Manuaba (2010), bahwa janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Salah satu bahaya anemia terhadap janin adalah dapat terjadi gangguan pertumbuhan dalam bentuk berat badan lahir rendah.

Metabolisme yang tinggi pada ibu hamil memerlukan kecukupan oksigenasi jaringan yang diperoleh dari pengikatan dan pengantaran oksigen melalui hemoglobin di dalam sel darah merah (Saifuddin, 2008). Zat besi penting untuk membuat hemoglobin dan protein di dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke jaringan tubuh lain, membantu mencegah anemia. Zat besi bagi

ibu hamil penting untuk pembentukan dan mempertahankan sel darah merah, sehingga bisa menjamin sirkulasi oksigen dan metabolisme zat gizi yang dibutuhkan janin untuk pertumbuhan di dalam rahim. Bila kadar Hb di dalam darah kurang, sirkulasi oksigen dan metabolisme zat gizi terganggu sehingga pertumbuhan janin dalam rahim terhambat (Proverawati, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) Ibu inpartu dengan kadar hemoglobin ≥ 11 gr% di RSUD dr. Sayidiman Magetan 74,6%. 2) Bayi lahir di RSUD dr. Sayidiman Magetan tidak mengalami BBLR 92,4%. 3) Ibu bersalin dengan kadar hemoglobin ≥ 11 gr% yang melahirkan BBLR lebih rendah (4,5%) daripada ibu bersalin dengan kadar hemoglobin < 11 gr% yang melahirkan BBLR (16,7%). 4) Ada korelasi antara kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat badan lahir bayi di RSUD dr. Sayidiman Magetan. Saran

Berdasar hasil penelitian serta mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat anemia dan BBLR, maka disarankan: 1) Peran aktif tenaga kesehatan terutama dalam kegiatan deteksi dini dan penetalaksanaan secara komprehensif. 2) Ibu hamil dapat mengerti keadaan kesehatannya, dan dapat digunakan untuk mengambil sikap dan tindakan dalam pemantauan keadaan kesehatan selanjutnya. 3) Dapat menggunakan hasil penelitian untuk bahan referensi di perpustakaan guna meningkatkan kualitas pengembangan akdemik, khususnya dalam perbaikan pembelajaran mengenai asuhan kebidanan pada ibu inpartu dengan anemia dan pada bayi dengan berat badan lahir rendah. 4) Peneliti dapat mengaplikasikan hasil penelitian tentang kadar hemoglobin ibu inpartu dengan berat badan lahir bayi. 5) Penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan dengan mengikutsertakan peningkatan berat badan ibu hamil dan ukuran LILA ibu sebagai indikator kesehatan ibu hamil serta dengan jumlah responden yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitan Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta. Arisman, M B. 2010. Gizi dalam Daur

Kehidupan. Jakarta: EGC.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

162 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Arnasari, Ceria. 2010. Hubungan antara Kadar Hemoglobin dengan Tafsiran Berat Janin pada Ibu Hamil TM III di Wilayah Kerja Puskesmas Candirejo Magetan. Magetan: Program Studi Kebidanan Magetan Politeknik Kesehatan Surabaya.

Benson, Ralph C., dan Pernoll, Martin L. 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC.

Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC

Cuningham, F G., dkk. 2006. Obstetri William Vol. 2. Jakarta: EGC.

Damara, Novia. 2012. Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Berat Badan Bayi Lahir di RSUD dr. Moewardi. Surakarta: UNS Fakultas Kedokteran Jurusan Kedokteran.

Depkes R I. 2008. Angka dalam Gizi. Jakarta: Depkes R I.

Gibney, Michael J. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Hartanti, Ani. 2010. Hubungan Anemia Ibu Hamil Trimester III dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Pandan Arang Boyolali. Surakarta: UNS

Fakultas Kedokteran Program Studi DIV Kebidanan.

Henderson, Christine. 2006. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.

Hidayat, A.A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayati, Ratna. 2009. Asuhan Keperawatan pada Kehamilan Fisiologis dan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.

Kusmiyati, Yuni. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya.

Labir, I Ketut. 2013. Anemia Ibu Hamil Trimester I dan Trimester II Meningkatkan Risiko Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah di RSUD Wangaya Denpasar. Denpasar: Universitas Udayana.

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas. Jakarta: EGC.

Manuaba, Ida Ayu Chandranita., IBGF Manuaba, dan IBG Manuaba. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC.

_______. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.

Moehji, Sjahmien. 2003. Ilmu Gizi 2: Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: PT Bhratara Niaga Media.

Nursalam. 2003. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Paath, F. E., Y. Rumdasih dan Heryati. 2005. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi.

Jakarta: EGC.

Proverawati, A., dan S. Asfuah. 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta:

Nuha Medika. Saifuddin, Abdul Bari. 2008. Ilmu Kebidanan.

Jakarta: YBPSP. Setiawan, Anggi. 2011. Hubungan Kadar

Hemoglobin Ibu Hamil Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di Kota Pariaman. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta

_______. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC.

Supariasa, I Dewa Nyoman., Bachyar Bakri, dan Ibnu Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Syafiq, A., dkk. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta: EGC.

Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

163 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

MINI-PROJECT PROGRAM PENCEGAHAN ISPA

INTERVENSI DAN ANALISIS DI KELURAHAN SINGOREJO KABUPATEN

DEMAK AGUSTUS 2013

Ricat Hinaywan Malik Elok Faiqoh

Bekti Setiawan Selvi Risma Amalia

Shaher Banun Siti Amanah Siti Hardianti

Yuanita Sofia Kamsidi (Dokter Internsip Periode 2013-2014

Puskesmas Demak I) Nura Ma’shumah

(Dokter Fungsional Puskesmas Demak I)

ABSTRAK

Latar belakang: Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Pada tahun 2011, ISPA menduduki peringkat 1 dari 10 besar penyakit kunjungan rawat jalan puskesmas Kabupaten Demak. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA di Kelurahan Singorejo bulan Agustus 2013. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik eksperimental dengan rancangan penelitian pretest-posttest group design. Sampel diambil dengan cara simple random sampling sebesar 50 KK (194 orang) pada 1 RT. Analisis data terdiri atas analisis deskriptif, Paired T-Test, dan McNemar test. Hasil: Jumlah penduduk yang mengalami ISPA selama seminggu sebanyak 57 penduduk (29,38%). Setelah dilakukan intervensi, jumlah penduduk yang mengalami ISPA seminggu berikutnya turun menjadi 25 penduduk (12,89%). Hasil uji menunjukkan adanya perbedaan bermakna penduduk sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Kesimpulan: Intervensi yang dilakukan dokter internsip memberikan perubahan perilaku masyarakat Kelurahan Singorejo menjadi lebih baik pada jumlah keluarga yang merokok di dalam rumah, pengetahuan dasar ISPA, dan penggunaan obat anti-nyamuk bakar. Kata kunci: ISPA, perokok, jendela, rumah, makan-minum dingin, pengetahuan, suplemen, anti-nyamuk bakar, kayu bakar.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)

merupakan penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. Hal ini dapat dilihat melalui hasil survey mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi, diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 22,30% dari seluruh kematian bayi. Studi mortalitas pada Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa proporsi kematian pada bayi (post neonatal) karena pneumonia sebesar 23,8% dan pada anak balita sebesar 15,5%. Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu Pneumonia dan bukan Pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu Pneumonia berat dan Pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsillitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan Pneumonia (Depkes RI, 2011).

Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak (Wantania et.al., 2008). Pada tahun 2011, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menduduki peringkat 1 dari 10 besar penyakit kunjungan rawat jalan puskesmas Kabupaten Demak. Peringkat terbesar kedua hingga kelima berturut-turut yaitu Rheumatoid Artritis (lainnya), Gastritis, Influenza (virus tak teridentifikasi), nasofaringitis akut. Hingga tahun 2013 ini, data yang didapatkan 7 bulan pertama tahun 2013 di Puskesmas Demak I (bulan Januari hingga Juli 2013), tercatat ISPA menduduki peringkat pertama dari 5 besar penyakit terbanyak dengan 8.462 kasus, diikuti OA-RA 3.293 kasus, gastritis 1.056 kasus, hipertensi primer 717 kasus, dan diare dengan 327 kasus.

Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA, seperti: lingkungan dan host. Menurut berbagai penelitian sebelumnya, faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ISPA adalah kualitas udara dalam ruangan yang dipengaruhi oleh polusi udara dalam ruangan (indoor air polution). Pencemaran udara dalam ruangan disebabkan oleh aktivitas penghuni dalam rumah, seperti: perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah dan penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam rumah tangga. Sedangkan faktor host yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA antara lain: status imunisasi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan umur. Balita yang memiliki

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

164 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

status imunisasi yang tidak lengkap akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan dengan balita yang memiliki status imunisasi lengkap. Balita BBLR memiliki kekebalan tubuh yang masih rendah dan organ pernapasan masih lemah sehingga balita BBLR lebih mudah terserang penyakit infeksi, khususnya infeksi pernapasan dibandingkan dengan balita tidak BBLR/normal. Hal ini disebabkan karena balita yang lebih muda memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan balita yang lebih tua (Layuk et.al., 2013). Tingginya angka kejadian ISPA pada bayi di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh pengetahuan ibu yang sangat kurang tentang ISPA. Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu sehingga dari pengetahuan tersebut dapat mempengaruhi tindakan ibu terhadap penyakit ISPA. Dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang ISPA maka akan langsung berhubungan dalam menurukan angka kejadian ISPA (Notoatmojo, 2007).

Berdasarkan latar belakang tersebut: (1) belum ditemukannya peneliti yang menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA, padahal angka kesakitan dan kematian kasus ISPA yang ternyata masih tinggi; (2) data dari Puskesmas Demak I dimana terdapat ISPA pada peringkat pertama dari 5 besar penyakit terbanyak 7 bulan pertama 2013; (3) faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA secara teoritis adalah faktor yang tidak memenuhi syarat kesehatan; (4) ISPA merupakan masalah kesehatan utama setelah analisis penentuan masalah dengan metode Hanlon Kualitatif; (5) Kelurahan Singorejo merupakan kelurahan dengan jumlah penduduk paling sedikit dari 6 kelurahan/desa wilayah kerja Puskesmas Demak I (dari studi pendahuluan); dan (6) sesuai permintaan Kemenkes dalam buku Log kumpulan borang internsip, variabel bebas yang akan dianalisis lebih lanjut hanya faktor Perilaku. Oleh karena itu, maka perlu diadakan penelitian dengan menganalisis faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA di Kelurahan Singorejo bulan Agustus 2013. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum

adalah untuk mengetahui faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA di Kelurahan Singorejo bulan Agustus 2013. Sedangkan secara khusus adalah untuk: mengetahui gambaran kejadian ISPA;

mengetahui gambaran faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA (9 faktor yang diteliti yaitu: adanya anggota keluarga perokok, keluarga perokok di dalam rumah, kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membersihkan rumah, kebiasaan makan-minum dingin, pengetahuan dasar ISPA, kebiasaan konsumsi suplemen, penggunaan anti-nyamuk bakar, dan bahan bakar untuk memasak); dan mengetahui pengaruh intervensi perilaku kesehatan dokter internsip terhadap kejadian ISPA dan faktor-faktor perilaku yang mempengaruhinya (9 faktor yang diteliti) di Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian secara praktis:

memberi rekomendasi langsung kepada warga kelurahan Singorejo untuk menurunkan kejadian ISPA dengan memperhatikan perilaku di lingkungan tempat tinggalnya, dan memberi rekomendasi langsung kepada tenaga kesehatan di kelurahan Singorejo untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam upaya kesehatan promotif dan preventif. Manfaat pengembangan ilmu: memberi masukan dan informasi ilmiah untuk menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan keilmuan, dan menjadi bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut. Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

ada hubungan antara Adanya anggota keluarga perokok, Keluarga perokok di dalam rumah, Kebiasaan membuka jendela, Kebiasaan membersihkan rumah, Kebiasaan makan-minum dingin, Pengetahuan dasar ISPA, Kebiasaan konsumsi suplemen, Penggunaan anti-nyamuk bakar, dan Bahan bakar untuk memasak dengan frekuensi kejadian ISPA pada penduduk Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik eksperimental dengan rancangan penelitian pretest-posttest group design.

Variabel bebas yang diteliti ada 9, yaitu: (1) Adanya anggota keluarga perokok, (2) Keluarga perokok di dalam rumah, (3) Kebiasaan tidak membuka jendela, (4) Kebiasaan tidak membersihkan rumah, (5) Kebiasaan makan-minum dingin,

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

165 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

(6) Pengetahuan dasar ISPA buruk, (7) Kebiasaan tidak konsumsi suplemen, (8) Penggunaan anti-nyamuk bakar, (9) Kayu bakar untuk memasak. Variabel tergantung yang diteliti yaitu: ISPA non-pneumonia.

Sampel penelitian adalah data primer wawancara anggota keluarga yang mengalami ISPA non-pneumonia di kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak tanggal 19-26 Agustus 2013 yang diwawancarai pertama tanggal 26-28 Agustus 2013. Metode pengambilan sampel dengan cara simple random sampling. Kriteria inklusi adalah anggota keluarga yang mau diwawancarai & dilakukan survey tempat tinggalnya, diberikan intervensi penyuluhan door-to-door, serta mau dilakukan survey ulang sewaktu-waktu. Kriteria eksklusi adalah anggota keluarga yang tidak mau diwawancarai & tidak mau dilakukan survey tempat tinggalnya, tidak mau diberi intervensi penyuluhan door-to-door, serta

tidak mau dilakukan survey ulang sewaktu-waktu.

Dari perhitungan dengan rumus tersebut, maka jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 39 KK. Sesuai kesepakatan, sejumlah 50 KK akan diambil secara acak pada 1 RT.

Data sekunder dari arsip Laporan Bulanan Data Kesakitan Puskemas Demak I bulan Juli tahun 2013. Data primer pre-test adalah data keadaan penduduk tanggal 19-26 Agustus 2013 yang didapatkan dari hasil wawancara langsung kepada anggota keluarga kelurahan Singorejo, kecamatan Demak, Kabupaten Demak, yang diambil datanya pada tanggal 26-28 Agustus 2013. Data primer post-test adalah data keadaan penduduk tanggal 26 Agustus – 2 September 2013 yang didapatkan dari hasil wawancara langsung kepada anggota keluarga kelurahan Singorejo, kecamatan Demak, Kabupaten Demak, yang diambil datanya pada tanggal 2-3 September 2013.

Tabel 1. Prevalensi Masalah Kesehatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah Intervensi

Masalah Kesehatan

Jumlah sebelum intervensi

Jumlah sesudah intervensi

ISPA 57/194 (29,38%)

25/194 (12,89%)

Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif untuk mengetahui

gambaran kejadian ISPA dan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA (adanya anggota keluarga perokok, keluarga perokok di dalam rumah, kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membersihkan rumah, kebiasaan makan-minum dingin, pengetahuan dasar ISPA, kebiasaan konsumsi suplemen, penggunaan anti-nyamuk bakar, dan bahan bakar untuk memasak) di Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013. Untuk mengetahui pengaruh intervensi perilaku kesehatan dokter internsip terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013, dianalisis menggunakan analisis uji statistik Paired T-Test. Sedangkan pengaruh

intervensi perilaku kesehatan dokter internsip terhadap faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi terjadinya ISPA (adanya anggota keluarga perokok, keluarga perokok di dalam rumah, kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membersihkan rumah, kebiasaan makan-minum dingin, pengetahuan dasar ISPA, kebiasaan konsumsi suplemen, penggunaan anti-nyamuk bakar, dan bahan bakar untuk memasak) di Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013, dianalisis menggunakan analisis uji statistik non-parametrik McNemar.

HASIL PENELITIAN

Tabel 2. Perilaku Kesehatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah Intervensi

Penyebab masalah kesehatan

Jumlah sebelum intervensi

Jumlah sesudah intervensi

Sig.

Anggota keluarga perokok

39 (78%)

38 (76%)

1,000

Keluarga perokok di dalam rumah

37 (74%)

26 (52%)

0,001

Kebiasaan tidak membuka jendela

24 (48%)

21 (42%)

0,250

Kebiasaan tidak membersihkan rumah

1 (2%)

1 (2%)

1,000

Kebiasaan makan-minum dingin

42 (84%)

42 (84%)

1,000

Pengetahuan dasar ISPA (tidak tahu)

42 (84%)

15 (30%)

0,000

Tidak mengkonsumsi suplemen

44 (88%)

44 (88%)

1,000

Penggunaan anti nyamuk bakar

17 (34%)

10 (20%)

0,016

Bahan bakar kayu untuk memasak

21 (42%)

16 (32%)

0,063

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

166 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Pada tabel 1 di atas, dari 50 KK (50 rumah) yang disurvey, didapatkan jumlah penduduk 194 orang. Jumlah penduduk yang mengalami ISPA selama seminggu (tanggal 19 – 26 Agustus 2013) yang disurvey tanggal 26 – 28 Agustus 2013 sebanyak 57 penduduk (29,38%). Setelah dilakukan intervensi perbaikan perilaku kesehatan berupa penyuluhan door-to-door, jumlah penduduk yang mengalami ISPA selama seminggu (tanggal 26 Agustus 2013 – 2 September 2013) yang disurvey tanggal 2 – 3 September 2013 turun menjadi 25 penduduk (12,89%).

Dari analisis uji statistik menggunakan Paired T-Test, menunjukkan angka Sig. = 0,000 yang berarti ada perbedaan bermakna penduduk sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Dengan kata lain, intervensi yang diberikan dokter internsip memberikan pengaruh lebih baik yang bermakna terhadap angka kejadian ISPA penduduk kelurahan Singorejo.

Dari tabel 2, selama seminggu (tanggal 19 – 26 Agustus 2013) yang disurvey tanggal 26 – 28 Agustus 2013, jumlah keluarga yang: merokok sebanyak 39 rumah, merokok di dalam rumah ada 37 rumah, tidak biasa membuka jendela ada 24 rumah, tidak membersihkan rumah minimal 2 kali sehari ada 1 rumah, biasa makan-minum dingin ada 42 rumah, tidak tahu tentang ISPA ada 42 rumah, tidak mengkonsumsi suplemen tiap hari ada 44 rumah, biasa menggunakan obat anti-nyamuk bakar ada 17 rumah, dan yang masih biasa menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak ada 21 rumah.

Setelah dilakukan intervensi perbaikan perilaku kesehatan berupa penyuluhan door-to-door, ketika disurvey tanggal 2 – 3 September 2013, jumlah keluarga yang: merokok sebanyak 38 rumah, merokok di dalam rumah ada 26 rumah, tidak biasa membuka jendela ada 21 rumah, tidak membersihkan rumah minimal 2 kali sehari ada 1 rumah, biasa makan-minum dingin ada 42 rumah, tidak tahu tentang ISPA ada 15 rumah, tidak mengkonsumsi suplemen tiap hari ada 44 rumah, biasa menggunakan obat anti-nyamuk bakar ada 10 rumah, dan yang masih biasa menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak ada 16 rumah.

Dari analisis uji statistik menggunakan McNemar Test, dapat ditarik kesimpulan:

1. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga yang merokok sebelum dan setelah intervensi.

2. Ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga perokok dalam rumah sebelum dan setelah intervensi.

3. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah keluarga yang tidak biasa membuka jendela tiap hari sebelum dan setelah intervensi.

4. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga yang membersihkan rumahnya minimal 2 kali tiap hari sebelum dan setelah intervensi.

5. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga yang makan-minum dingin sebelum dan setelah intervensi.

6. Ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga yang tidak tahu tentang ISPA sebelum dan setelah intervensi.

7. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga yang tidak mengkonsumsi suplemen sebelum dan setelah intervensi.

8. Ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga pengguna obat anti-nyamuk bakar sebelum dan setelah intervensi.

9. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah anggota keluarga pengguna kayu bakar untuk memasak sebelum dan setelah intervensi. Dapat disimpulkan bahwa intervensi

yang dilakukan dokter internsip memberikan perubahan perilaku masyarakat kelurahan Singorejo menjadi lebih baik pada jumlah keluarga yang merokok di dalam rumah, pengetahuan dasar ISPA, dan penggunaan obat anti-nyamuk bakar. PEMBAHASAN

Intervensi yang dilakukan dokter

internsip berupa penyuluhan door-to-door dapat termasuk dalam faktor pelayanan kesehatan tambahan aspek promotif dan preventif. Dengan penyuluhan secara door-to-door ini diharapkan dokter lebih dekat dengan masyarakat, sehingga materi penyuluhan/ilmu yang disampaikan mengenai penyakit ISPA dapat diserap lebih baik oleh masyarakat.

Tampak adanya penurunan angka kejadian ISPA yang signifikan menunjukkan keberhasilan program untuk memperbaiki setidaknya 9 faktor perilaku kesehatan yang mempengaruhi terjadinya ISPA di kelurahan Singorejo, kecamatan Demak, kabupaten Demak bulan Agustus tahun 2013.

Intervensi yang diberikan dokter internsip memberikan perubahan perilaku masyarakat kelurahan Singorejo menjadi lebih baik pada jumlah keluarga yang merokok di dalam rumah, pengetahuan dasar ISPA, dan penggunaan obat anti-nyamuk bakar.

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai adanya anggota keluarga perokok dapat dikarenakan perokok sudah merasa

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

167 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

ketagihan (kecanduan) merokok tiap hari sehingga bila tidak merokok maka perokok akan merasakan rasa yang tidak enak pada mulut mereka. Kebiasaan buruk ini merupakan hal yang sangat sulit untuk dirubah sekalipun masyarakat mengetahui banyak bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh rokok. Tentunya butuh lebih banyak waktu untuk mengubah kebiasaan merokok ini (tidak cukup 1 minggu). Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai adanya anggota keluarga perokok akan berpengaruh terhadap peningkatan kejadian ISPA yang didukung penelitian dari Kusumawati (2010), bahwa ekstrak asap rokok juga mempengaruhi proses alveolar makrofag sehingga asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag untuk dapat membunuh bakteri.

Ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan merokok dalam rumah dapat dikarenakan masyarakat mulai tahu akibat menghirup asap rokok, sehingga bila ada anggota keluarga yang merokok mau untuk menyuruhnya keluar rumah, dan perokok mampu untuk keluar rumah ketika merokok. Ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan merokok dalam rumah akan berpengaruh baik terhadap kejadian ISPA, didukung penelitian dari Kusumawati (2010), bahwa semakin tinggi jumlah perokok dan rokok yang dihisap keluarga, maka akan semakin memperparah episode ISPA yang diderita oleh penderita.

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan membuka jendela dapat dikarenakan masih banyaknya rumah yang tidak memiliki jendela, tidak memenuhi syarat rumah sehat, keadaan ekonomi yang kurang sehingga setelah diberi penyuluhan masih belum mampu untuk menambah jendela di rumahnya. Tidak adanya perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan membuka jendela ini akan meningkatkan kejadian ISPA, yang didukung penelitian dari Sumiyati (2010) bahwa ada hubungan antara pencahayaan, luas ventilasi, kelembaban dan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan membersihkan rumah dapat dikarenakan hampir semua rumah sudah membersihkan rumah > 2 kali sehari. Untuk yang membersihkan rumah < 2 kali sehari dikarenakan kesibukan aktivitas untuk bekerja, sehingga merasa tidak sempat untuk membersihkan rumah sedikitnya 2 kali sehari. Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA (Anonim, 2009c).

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan makan-minum dingin dapat dikarenakan cuaca yang sangat panas sehingga masyarakat berpendapat bahwa dengan minum es maka akan terasa segar dan haus cepat hilang. Menurut Hendrastuti (2013), minum es bisa menyebabkan infeksi saluran pernafasan dan jika terkena debu atau virus maka akan terjadi flu. Hal ini juga dijelaskan oleh Admin (2009) mengenai proses pembuatan es batu, bahwa pedagang “nakal” mengambil air mentah dari keran dan langsung memasukkannya ke dalam kulkas, es balok produksi pabrik terbukti tidak memenuhi standar baku mutu dan tak layak konsumsi karena mengandung bakteri Escherichia coli (E. coli) yang bisa membahayakan sistem pencernaan tubuh manusia, juga salmonella, dan vibrio cholerae yang bisa menyebabkan diare dan panas, demam, batuk hingga infeksi saluran pernafasan (ISPA).

Ada perubahan yang lebih baik mengenai pengetahuan ISPA dapat dikarenakan masyarakat benar-benar mendengarkan dan memahami apa yang disampaikan dokter internsip ketika penyuluhan sehingga ketika diuji saat post-test mereka mampu menjawab pertanyaan dengan cukup baik. Meningkatnya pengetahuan tentang ISPA akan mengurangi risiko kejadian ISPA. Sebaliknya, lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, menyebabkan banyak kasus ISPA yang datang ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA (Anonim, ____b).

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan mengkonsumsi suplemen dapat dikarenakan keadaan ekonomi yang kurang sehingga setelah diberi penyuluhan, masyarakat masih merasa tidak perlu dan belum mampu untuk membeli suplemen yang dikonsumsi tiap hari. Selain itu juga karena kurangnya kesadaran tentang kebutuhan gizi seimbang dan vitamin. Padahal menurut Nurhadi (2007), menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh akan semakin menigkat, sehingga dapat mencegah virus (bakteri) yang akan masuk kedalam tubuh.

Ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar dikarenakan masyarakat mulai tahu akibat penggunaan obat nyamuk

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

168 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

bakar, sehingga masyarakat mau untuk menggantinya dengan lotion anti-nyamuk, bahkan ada yang mampu membeli kelambu untuk tempat tidurnya. Obat nyamuk bakar dapat mempengaruhi kejadian ISPA karena dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan, yang disebabkan oleh asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan. (Anonim, ___a)

Tidak ada perubahan yang lebih baik mengenai kebiasaan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dapat dikarenakan masyarakat masih cukup banyak yang takut menggunakan gas. Selain itu banyak yang tidak punya kompor gas karena ekonomi yang kurang, mahalnya harga gas, bahkan ada yang trauma karena tabung gasnya pernah dicuri orang di rumahnya. Hal ini akan dapat meningkatkan angka kejadian ISPA dikarenakan salah satu penyebab ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan asap rokok. Seperti penelitian yang dilakukan Safwan (2003) di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat, didapatkan hasil bahwa balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar berpeluang menderita ISPA sebesar 2,24 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar gas. (Anonim, ____a)

KESIMPULAN Dari hasil kegiatan mini-project yang

telah dilakukan dapat disimpulkan: Kejadian ISPA di Kelurahan Singorejo,

Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013 masih cukup banyak (29,38%).

Faktor-faktor perilaku yang mempengaruhinya terjadinya ISPA di Kelurahan Singorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013, yaitu: adanya anggota keluarga perokok, keluarga perokok di dalam rumah, kebiasaan makan-minum dingin, pengetahuan dasar ISPA yang buruk dan kebiasaan tidak mengkonsumsi suplemen masih tinggi (> 73%). Faktor kebiasaan tidak membuka jendela, penggunaan anti-nyamuk bakar, dan penggunaan bahan bakar kayu untuk memasak masih cukup tinggi (34-48%). Sedangkan kebiasaan tidak membersihkan rumah rendah (<3%).

Intervensi yang dilakukan dokter internsip memberikan perubahan perilaku masyarakat kelurahan Singorejo, Kecamatan

Demak, Kabupaten Demak bulan Agustus 2013, menjadi lebih baik pada jumlah keluarga yang merokok di dalam rumah, pengetahuan dasar ISPA, dan penggunaan obat anti-nyamuk bakar. Sedangkan jumlah aggota keluarga perokok, kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membersihkan rumah, kebiasaan makan-minum dingin, kebiasaan konsumsi suplemen, dan penggunaan bahan bakar untuk memasak tidak ada perubahan berarti.

SARAN

Kegiatan mini-project ini tentunya punya banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Melihat kendala/kesulitan dari kegiatan yang telah kami lakukan, demi kesempurnaan mini-project selanjutnya maka untuk dokter-dokter internsip selanjutnya yang akan melakukan mini-project disarankan untuk: 1. Lebih lancar dalam berbahasa Jawa

halus, ini karena komunikasi yang baik dapat lebih menyukseskan keberhasilan program.

2. Lebih berkoordinasi dengan perangkat kelurahan/desa (ketua RT/RW) untuk mensosialisasikan kepada warganya bahwa akan dilakukan survey & perbaikan kualitas kesehatan di wilayahnya, sehingga diharapkan seluruh warga mengurangi aktivitasnya di luar rumah dan memperhatikan penyuluhan dengan baik.

3. Lebih menekankan kepada masyarakat bahwa leaflet yang dibagikan adalah untuk dibaca dan di-share kepada anggota keluarga lainnya di rumah bila ada yang tidak hadir dalam penyuluhan.

4. Lebih menekankan kepada masyarakat untuk menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya untuk menekan bias data dan melakukan pemeriksaan fisik sederhana untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan anggota keluarga mengenai sakitnya adalah benar. Pemeriksaan penunjang tentu membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih besar.

5. Membuat kegiatan mini-project terkait 5 besar penyakit terbanyak yang ada di wilayah kerja puskesmas yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2009, Minum Es Bahaya Bagi Anak, Sumatera Utara, sebagaimana dikutip dari http://www.hariansumutpos.com/ arsip/?p=7153 pada 14 September 2013.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

169 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Anonim, _____a, Skripsi: _____ - Bab II Tinjauan Pustaka, Universitas Sumatera

Utara, Medan, sebagaimana dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20483/4/Chapter %20II.pdf pada 21 Juli 2013.

Anonim, _____b, Skripsi: Hubungan antara Ventilasi Ruang Tidur dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Klepu Kecamatan Keling Kabupaten Jepara - Bab II Tinjauan Pustaka, Jepara, sebagaimana dikutip dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-nurhadig2a-6164-2-babii.pdf pada 21 Juli 2013.

Anonim, 2009c, Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999, Yogyakarta, sebagaimana dikutip dari https://eprints.uny.ac.id pada 11 September 2013.

Anonim, _____d, _____, FKUI, Jakarta, sebagaimana dikutip dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=metadata/80813.xml pada 15 September 2013.

Bappeda Kab. Demak, 2013, Penduduk Kabupaten Demak, sebagaimana dikutip dari http://www.demakkab.go.id/ index.php/penduduk pada 11 September 2013.

Depkes RI, 2011, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta, 113. Doktermoez, 2009, ISPA (Infeksi Saluran

Pernafasan Akut), _____, sebagaimana dikutip dari http://www.klinikita.co.id/ 25_ISPA_(_Infeksi_Saluran_Pernapasan_Akut_).html pada 15 September 2013.

Hendrastuti, Asih, 2013, Dinkes Lampung Imbau Warga Waspadai ISPA, Bandar Lampung, sebagaimana dikutip dari http://lampost.co/berita/diskes-lampung-imbau-warga-waspadai-isapa pada 14 September 2013.

Kusumawati, 2010, Skripsi: Hubungan Antara Status Merokok Anggota Keluarga dengan Lama Pengobatan ISPA Balita di Kecamatan Jenawi, Surakarta, sebagaimana dikutip dari http://eprints.uns.ac.id pada 11 September 2013.

Layuk, R.R., Noer, N.N., Wahiduddin, 2013, Skripsi: Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura’, FKM Universitas Hasanudin, Makassar, sebagaimana dikutip dari http://repository.unhas.ac.id/ bitstream/handle/123456789/4279/ RIBKA%20RERUNG%20LAYUK%20(K11109326).pdf?sequence=1 pada 21 Juli 2013.

Mairusnita, 2007, Skripsi: Karakteristik Penderita Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (ISPA) pada Balita yang Berobat ke Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa Tahun 2006, FKM USU, Sumatera Utara, sebagaimana dikutip dari https://www.google.com/ url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F14737%2F1%2F08E01512.pdf&ei=GGw1Uq3lB4GVrAfH3IC4Bg&usg=AFQjCNFDLIU0LMdIfqQbSQGCZH9WWhtuGA&sig2=A6-MlzEXHUPBcVGy254cBA&bvm=bv.52164340,d.bmk pada 15 September 2013.

Mansyur, _____, Skripsi: ISPA Lingkungan, Unimus, Semarang, sebagaimana dikutip dari http://digilib.unimus.ac.id/ files/disk1/108/jtptunimus-gdl-mansyurhid-5396-1-babi.pdf pada 15 September 2013.

Notoatmojo, 2007, Skripsi: Pengetahuan Ibu tentang Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Kelurahan Denai tahun 2010, Universitas Sumatera Utara, Medan, sebagaimana dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23090/5/Chapter%20I.pdf pada 21 Juli 2013.

Nurhadi, 2007, _____, Semarang, sebagaimana dikutip dari http://digilib.unimus.ac.id pada 11 September 2013.

Profil Puskesmas Demak I, 2012. Smeltzer & Bare, 2002, _____,

Penatalaksanaan ISPA, Semarang, sebagaimana dikutip dari http://digilib.unimus.ac.id/ pada 11 September 2013.

B. Sumiyati, 2005, Skripsi: Hubungan Antara Pencahayaan Alami, Ventilasi, Kelembaban dan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sragen Kabupaten Sragen, Semarang, sebagaimana dikutip dari http://eprints.undip.ac.id/28696/ pada 14 September 2013.

Wantania, J.M., Naning, R., Wahani, A., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak: Bab 5 – Infeksi Respiratori Akut, Badan Penerbit IDAI, Jakarta, 268.

C. WHO, 2008, Pedoman Interim WHO: Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan, Jenewa, sebagaimana dikutip dari https://www.google.com/ url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s &source=web&cd=10&cad=rja&ved=0CIsBEBYwCQ&url=http%3A%2F%2Fwww

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

170 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

.who.int%2Firis%2Fbitstream%2F10665%2F69707%2F14%2FWHO_CDS_EPR_2007.6_ind.pdf&ei=wnY0Uu-rKM2krQegh4HYCQ&usg=AFQjCNFuq2Cx2FDIvTd27wRxwrCvEmqunA&sig2=jXTE axtb-FP8Sx_xgLRgPg (note: link dengan tambahan spasi agar paragraf lebih rapi) atau http://www.who.int/ csr/resources/publications/ pada 14 September 2013.

Yusri, 2011, Pencegahan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), _____, sebagaimana dikutip dari http://www.kesehatan123.com/1683/pencegahan-ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut/ pada 15 September 2013.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

171 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

PENGARUH KOMPETENSI DAN KINERJA

PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN

MASYARAKAT DI PUSKESMAS PASIRKALIKI KOTA BANDUNG

Washudi

(Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Bandung)

ABSTRAK

Latar belakang: Salah satu kunci keberhasilan suatu organisasi adalah dengan cara memberikan kualitas pelayanan yang lebih tinggi secara konsisten sehinga dapat memenuhi atau bahkan melebihi harapan kualitas pelayanan penerima pelayanan. Harapan meraka dibentuk oleh pengalaman masa lampaunya terhadap kualitas pelayanan yang pernah diterimanya. Jika pelayanan yang diterimanya dirasakan berada di bawah kualitas pelayanan yang diharapkan, maka dia akan kehilangan kepercayaan terhadap pemberi layanan tersebut. Sebaliknya jika pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka penerima layanan akan menggunakan lagi penyedia jasa tersebut. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besarannya antara kompetensi, kinerja dan kualitas pelayanan petugas kesehatan berdasarkan penilaian pengguna jasa. Metode: Desain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel yang diambil sebesar 75 orang pengunjung Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Metode analisis yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM), menggunakan Smart PLS 2.0 dan SPSS 17. Hasil: Variabel kualitas pelayanan dipengaruhi oleh kompetensi dan kinerja pegawai. Kompetensi secara langsung mempengaruhi sebesar 48,48%. Sedangkan untuk pengaruh tidak langsung kompetensi terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja didapatkan sebesar 81,64%. Pengaruh faktor lain sebesar 22.63%. Saran: Disarankan untuk mengevaluasi kinerja dan kompetensi pegawai dengan cara mengevaluasi efektifitas pelatihan yang cocok dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kata kunci: Kualitas pelayanan, kompetensi, kinerja

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepuasan merupakan tingkat perasaan

dimana seseorang menyatakan hasil perbandingannnya atas kinerja produk/jasa yang diterima dengan yang diharapkan. Salah satu kunci keberhasilan suatu organnisasi adalah dengan cara memberikan kualitas pelayanan yang lebih tinggi secara konsisten sehinga dapat memenuhi atau bahkan melebihi harapan kualitas pelayanan penerima pelayanan.

Harapan meraka dibentuk oleh pengalaman masa lampaunya terhadap kualitas pelayanan yang pernah diterimanya. Jika pelayanan yang diterimanya dirasakan berada di bawah kualitas pelayanan yang diharapkan, maka dia akan kehilangan kepercayaan terhadap pemberi layanan tersebut. Sebaliknya jika pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka penerima layanan akan menggunakan lagi penyedia jasa tersebut.

Maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu apa pengaruh kompetensi dan kinerja terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung Tahun 2013 menurut persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa?” Penelitian ini disusun berdasarkan permasalahan yang ada di Puskesmas Pasirkaliki Bandung. Penulis mencoba menggali dan memecahkan masalah tersebut melalui penelitian yang akan dilakukan, dengan harapan hasil penelitan nanti tahap demi tahap dapat diadopsi untuk perbaikan status kesehatan masyarakat melalui peningkatan kompetensi dan kinerja pelayanan puskesmas. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum

adalah: mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran pengaruh antara kompetensi dan kinerja pegawai terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung Tahun 2013. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah: 1. Pengaruh langsung kompetensi pegawai

terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung Tahun 2013.

2. Pengaruh langsung kinerja pegawai terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung Tahun 2013.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

172 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

3. Pengaruh langsung kompetensi terhadap kinerja pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung Tahun 2013.

Manfaat Penelitian

Secara teoritis Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membangun konsep teori baru. Hasil penelitian ini hanya dapat menjelaskan metode pembuktian penelitian, sehingga penelitian dianggap valid, yaitu menguji antara keterkaitan antar variable kompetensi dan kinerja terhadap kualitas pelayanan, tidak untuk memberikan manfaat baru dalam metodologis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan masukan bagi peneliti yang lain dalam menindaklanjuti penelitian yang berhubungan dengan kompetensi dan kinerja berdasarkan persepsi masyarakat, yang dapat dipergunakan sebagai bahan informasi bagi pengambil keputusan serta penentu kebijakan di Puskesmas Pasirkaliki untuk melakukan evaluasi. METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini menggunakan model studi cross sectional. Untuk mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas digunakan analisis regresi berganda. Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif karena penelitian ini memberikan kemudahan dalam mengidentifikasi hubungan situasi dalam waktu singkat. Pengukuran dan pengamatan dilakukan dalam waktu yang sama dan setiap subjek hanya dilakukan pengukuran satu kali. Penelitian dilakukan untuk mengetahui besar kontribusi variabel eksogen dan endogen.

Sesuai dengan alat analisis yang digunakan yaitu Partial Least Squares Structural Equation Modelling (PLS-SEM) dengan Warp PLS 2.0, maka penentuan besar sampel yang representatif berada pada rentang 30 – 75. Dalam penelitian ini

jumlah sampel ditetapkan sebanyak 75 responden yang diambil berdasarkan jumlah indikator (11 indikator). Teknik pengambilan sampel diambil secara sengaja (purpose sampling), sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan dari 75 responden didapatkan temuan 46 orang (61,3%) adalah berjenis Kelamin Laki-laki, 29 orang (38,7%) berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden adalah berumur 41 – 50 tahun berjumlah 34 orang (45,3%), 13 orang (17,3%) berumur masing-masing 21 – 30 tahun, 31 – 40 tahun dan > 50 tahun, dan yang terakhir 2 orang (2,7%) berumur <= 20 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden berpendidikan SMA sebanyak 33 orang (44,0%), SD sebanyak 17 orang (22,7%), SMP sebanyak 10 orang (13,3%), Perguruan Tinggi sebanyak 8 orang (10,7%), dan D3 sebanyak 7 orang (9,3%).

Berdasarkan distribusi kisaran jawaban pervariabel diperoleh skor rentangan Kompetensi Tenaga Kesehatan antara antara 20 - 54 mendekati kisaran teoritisnya pada nilai tertinggi (13-65) dengan nilai rata-rata 36,91 dan simpangan baku 8,041. Pada variabel kinerja, diperoleh skor rentangan Kinerja Tenaga Kesehatan antara 13 – 40 mendekati kisaran teoritisnya pada nilai tertinggi (9-45) dengan nilai rata-rata 24,84 dan simpangan baku 5,742. Pada variabel kualitas pelayanan diperoleh skor rentangan Kualitas Pelayanan antara 51 – 106 kisaran teoritisnya pada nilai tertinggi (25-125) dengan nilai rata-rata 70,59 dan simpangan baku 14,262.

Analisis Model Pengukuran

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

173 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Berdasarkan model pengukuran didapatkan temuan bahwa nilai koefisien dari setiap indikator lebih besar dari 0,5. Hal itu menunjukkan bahwa setiap indikator memiliki korelasi baik dengan konstruk dan memenuhi syarat convergent validity.

Tabel 1 Evaluasi Perhitungan AVE, Loading dan uji Cronbach Alpha

Antar Variabel Penelitian

Validitas Pengaruh Loading Kriteria >0,70

Composite Reliability

Kinerja 0.892220 Reliabel

Kompetensi 0.886174 Reliabel

Kualitas Pelayanan

0.897314 Reliabel

Cronbach’s Alpha

Kinerja 0.819536 Reliabel

Kompetensi 0.807812 Reliabel

Kualitas Pelayanan

0.856184 Reliabel

Dapat dilihat semua variabel dinyatakan

Reliabel karena memberikan nilai composite reliability diatas 0,70 diperkuat dengan Cronbach’s Alpha yang juga didapatkan nilai

lebih besar dari 0,07. Dapat dikatakan bahwa hasil ini menunjukkan konstruk memiliki reliabilitas baik memenuhi discriminant validity

Tabel 2. Persentase Pengaruh Antar Variabel Terhadap Variabel Kualitas

pelayanan Pada Model

Variabel

LV

Corr

ela

tion

Dir

ect

Rho

Ind

ere

ct

Rho

Dir

ect %

Ind

irect %

Kompetensi

0.8

163

79

0.5

938

41

0.8

163

79

48

.48

59

,20

Kinerja

0.7

375

25

0.3

068

46

0

22

.63

0

Total 71

.11

59

,20

Berdasarkan hasil perhitungan Nilai Q-square berfungsi untuk menilai besaran

keragaman atau variasi data penelitian terhadap fenomena yang sedang dikaji dan hasilnya sebagai berikut: Q

2 = 1-(1-R1) (1-R2)

= 1-(1-0,5260) (1-0,7111) = 0,8631 atau 86,31% Galat Model = 100%-86,31% = 13,69%

Hal tersebut menunjukkan model hasil analisis dapat menjelaskan 86,31% keragaman data dan mampu mengkaji fenomena yang dipakai dalam penelitian, sedangkan 13,69 dijelaskan variabel lain yang tidak ada dalam penelitian ini. PEMBAHASAN

Penelitian ini berisikan suatu model yang menguji tentang Pengaruh Kompetensi dan Kinerja Petugas Kesehatan Terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung dengan menggunakan pengujian hipotesis memakai PLS-Smart. Hasil penelitian ini mendapatkan temuan bahwa kualitas pelayanan dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung oleh kompetensi dan kinerja petugas kesehatan. Penulis menganalisis terdapat pengaruh positif dari kompetensi terhadap kinerja dan kualitas pelayanan.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa, kualitas pelayanan dipengaruhi oleh kompetensi dan kinerja petugas kesehatan. Sehingga Kualitas Layanan Kesehatan merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam melihat kompetensi dan kinerja petugas kesehatan. Berdasarkan temuan tersebut maka penulis menyarankan perlu ditingkatkan kompetensi dan kinerja Petugas Puskesmas Pasirkaliki demi menjaga Kualitas pelayanan kepada Masyarakat dengan dilakukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Akan tetapi karena ditemukan bahwa nilai pengaruh tidak langsung lebih besar daripada pengaruh langsung, maka perlu dilakukan evaluasi efektifitas pelatihan yang sudah diberikan apakah berperngaruh terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, (1998), Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Armstrong, Michael, Angela Baron, (1998), Performance Management The New

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

174 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Realities, London: Institute of Personnel and Development.

Bacal, Robert (alih bahasa Surya Dharma), (2001), Performance Management, Jakarta: PT SUN.

Daft, Richard L., (1998), Organization Theory and Design, 6

th ed., Cicicinnati - Ohio:

South-western College Publishing. Davis, Rogers, (1995), Choosing

Performance Management: A Holistic Approach, CUPA Journal.

Djaenuri, M. Aries, (1998), Manajemen Pelayanan Umum, Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan

Fandy Tjiptono, (1997), Prinsip-Prinsip Total Quality Services, Yogyakarta, Andi

Fits-enz, Jac, (1984), How to Measure Human Resources Management, USA: McGraw-Hill.

Gasperzs, Vincent, (1997), Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Ghozali, Imam, (2008), Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program IBM SPSS 19, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Haynes, Robert J., (1980), Organization Theory and Local Government, London: George Allen & Unwin LTD.

Hodge, Graeme, (1993), Performance Management in Public Sector Agencies,

Australia: Montech Pty Ltd. Hofstede, Geert, (1991), Culture and

Organizations, London: Harper Collins Publishers.

Hampden-Turner, Charles, (1990), Creating Corporate Culture, Addison-Wesley Publishing Company Inc.

Harun Al-Rasyid, (1994), Teknik Penarikan Sampel Dan Penyusunan Skala, Program Pasca Sarjana UNPAD.

Harun Al-Rasyid, (1994), Statistika Sosial, Program Pasca Sarjana UNPAD.

Hoecklin, Lisa, (1995), Managing Cultural Differences, Addison-Wesley Publishing Company Inc.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN), Nomor 81 Tahun 1993, tentang Pedoman Pelayanan Umum.

Keputusan menteri Kesehatan RI Nomor 1202/ Menkes/SK/VIII/2013 tentang Standar pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 828/menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 658/Menkes/SK/IV/2005 tentang

Pedoman Penilaian Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128 Tahun 2004, Kebijakan Dasar Puskesmas

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Kep/25/Pan/2/2004 tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan masyarakat di Unit Pelayanan pada Instansi Pemerintah.

Latan, Hengky dan Ghozali, Imam, 2012, Partial Least Squares: Konsep Metode dan Aplikasi WarpPLS 2.0, Semarang: Badan Penerbit UNDIP

Lovelock, Christoper H, (1992), Managing Service Marketing, Operations and Human Resource, New Jesey, Prentice Hall, Englewood Cliffs

Mangkunegara, A.A.P, (2006), Evaluasi Kinerja Sumber daya Manusia, Cetakan II, Bandung: PT Refika Aditama

Milkovich, Geroge T., John W. Boudreau, (1997), Human Resources Management, Irwin.

Mathis, Robert L,.2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Salemba Empat

Mitrani, Alain., Murray Dalziel and David Fitt, (1992), Competency Based Human Resources Management, London,

Biddles Ltd. Guildford and King‟s Lynn Moenir, H.A.S, (1996), Manajemen

Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara

Nazir, Mohammad, (1988), Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia

Newstrom, Keith Davis, (1993), Organizational Behavior, Human

Behavior at Work, New Jersey: McGraw-Hill.

Normann, Richard, (1991), Service Management, England, Jhon Wiley &

Sons. Prawirosentono, Suyadi, (1999), Manajemen

Sumberdaya Manusia – Kebijakan Kinerja Karyawan, Yogyakarta: BPFE.

Rasyid, M. Ryaas, (1997), kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta: Yarsif Watampone

Romsky K.Judisseno, (2008), Penilaian Kompetensi Terhadap Pegawai,

Bandung: Alfabeta Sedaramayanti, (2011), manajemen Sumber

Daya Manusia, reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil,

Bandung: Refika Aditama Sevilla, Consoello, (1993), Pengantar

Metode Penelitian, Jakarta UI Press. Singarimbun, Masri, 1989, Metode Penelitian

Survey, Yogyakarta: UGM.

Volume V Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 2086-3098

175 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Spencer, Lyle M. Jr., (1993), Competence at Work, Jhon wiley & Sons, Inc.

Saydam, Gouzali (1996), Manajemen Sumber Daya Manusia (Suatu Pendekatan Mikro), Jakarta : Djambatan..

Sudjana, (1996), Metode Statistika, Jakarta: LP3ES

Sugiyono, (1997), Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfatera.

Surat EDARAN Menteri Koordinator Pengawasan Pengembangan dan Pendagunaan Aparatur Negara (MENKO WASBANGPAN) Nomor 56/ MK.WSPAN/ 98, tentang Pelayanan Kepada Masyarakat

Susanto, A.B., (1997), Budaya Perusahaan – Manajemen dan Persaingan Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia.

Taufik Bahaudin, (1999), Brainware Management, Jakarta, Elex Media Komputindo.

Thoha, Miftah, (1999), Perilaku Organisasi – Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ulber Silalahi, (1999), Metode Dan Metodologi Penelitian, Bandung: Bina

Budaya. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,

tentang Pemerintahan Daerah Wiyono, G. (2011). 3 in one Merancang

Penelitian Bisnis dengan Alat Analisis SPSS 17.0 & SmartPLS 2.0. Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Zeitaml, Valerie A, Pasuraman A dan Leonard Berry (1990), Delivering Quality Service Balancing Customer Perceptions and Expectations, New York: The Free Press

Zwell Michael, (2000), Creating A Culture of Competence, Jhon Wiley & Sons, Inc. New York