jembatan merah - Repositori Kemdikbud - Kementerian ...

113
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TIMUR JEMBATAN MERAH J U R N A L I L M I A H P E N G A J A R A N B A H A S A D A N S A S T R A ISSN 1907-1779 Jembatan Merah Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra Vol. 23 Sidoarjo, Juni 2021 Hlm.1−100 ISSN 19071779 Volume 23, Edisi Juni 2021 Pemahaman Materi dan Respons Siswa Kelas X IPS 5 SMA Negeri 1 Kutorejo terhadap Penggunaan Aplikasi Whatsapp untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia Lus Kusumaning Diah Proses Pengembangan Strategi “Madani Bisa” untuk Memperkuat Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda Ardi Wina Saputra Students' Perspectives toward Teacher's Written Corrective Feedback: A Voice from Upper Secondary School Students in Surabaya Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis, Fajar Susanto Penerapan Keterampilan 4C dalam Pembelajaran Teks Anekdot dengan Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro Abdul Jalil Online Peer Feedback during Covid-19 Pandemic: Indonesian EFL Teachers' Perspectives and Responds Dodi Erwin Prasetyo Pembelajaran Bahasa Jawa untuk Siswa Sekolah Dasar dengan Memanfaatkan Aplikasi Let's Read Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Annisa Permatasari

Transcript of jembatan merah - Repositori Kemdikbud - Kementerian ...

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASAKEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TIMUR

JEMBATAN MERAHJ U R N A L I L M I A H P E N G A J A R A N B A H A S A D A N S A S T R A

ISSN 1907-1779

Jembatan MerahJurnal PengajaranBahasa dan Sastra

Vol. 23Sidoarjo,Juni 2021

Hlm.1−100 ISSN 1907−1779

Volume 23, Edisi Juni 2021

PemahamanMateridanResponsSiswaKelasXIPS5SMANegeri1Kutorejoterhadap

PenggunaanAplikasiWhatsappuntukPembelajaranBahasaIndonesia

LusKusumaningDiah

ProsesPengembanganStrategi“MadaniBisa”untukMemperkuatBahasaIndonesia

diKalanganGenerasiMuda

ArdiWinaSaputra

Students'PerspectivestowardTeacher'sWrittenCorrectiveFeedback:AVoice

fromUpperSecondarySchoolStudentsinSurabaya

AriestaAjengLudiParamitaHingis,FajarSusanto

PenerapanKeterampilan4CdalamPembelajaranTeksAnekdotdenganVideoStandUp

CommedySMAN1Bojonegoro

AbdulJalil

OnlinePeerFeedbackduringCovid-19Pandemic:IndonesianEFLTeachers'Perspectives

andResponds

DodiErwinPrasetyo

PembelajaranBahasaJawauntukSiswaSekolahDasardenganMemanfaatkan

AplikasiLet'sRead

Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah

Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Annisa Permatasari

i

PRAKATA

Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021 menyajikan tujuh tulisan berbentuk artikel kajian ilmiah, aplikasi teori, dan gagasan konseptual. Tulisan pada edisi ini sebagian besar membahas konsep, strategi, dan model pembelajaran di kelas dengan menggunakan beberapa teknik membaca teks. Beberapa tulisan membahas kajian ilmiah penelitian tindakan kelas, khususnya peningkatan keterampilan berbahasa dengan melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah, pengembangan model pembelajaran, dan penggunaan teknologi aplikasi.

Ketujuh tulisan tesebut dapat dilihat pada artikel berikut. Lus Kusumaning Diah dalam Pemahaman Materi dan Respons Siswa Kelas X IPS 5 SMA Negeri 1 Kutorejo terhadap Penggunaan Aplikasi Whatsapp untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa ada tiga aspek untuk meningkatkan kemampuan penguasaan materi pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu kebermaknaan (meaningfulnes), dampak atau pengaruh (impact), dan kompetensi (competence). Ardi Wina Saputra dalam Proses Pengembangan Strategi “Madani Bisa” untuk Memperkuat Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda menjelaskan bahwa kolaborasi strategi “Madani Bisa” dan materi kepemimpinan atau literasi politik bagi generasi muda merupakan sarana alternatif dalam upaya pengutamaan bahasa Indonesia. Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis, Fajar Susanto dalam Students’ Perspectives toward Teacher’s Written Corrective Feedback: A Voice from Upper Secondary School Students in Surabaya menjelaskan bahwa perspektif siswa terhadap Written Corrective Feedback (WCF) mampu meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap kesalahan menulis dan meningkatkan perhatian guru terhadap siswa dalam proses belajar. Abdul Jalil dalam Penerapan Keterampilan 4C dalam Pembelajaran Teks Anekdot dengan Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro menjelaskan bahwa observasi penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy, mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro tahun pelajaran 2019/2020. Dodi Erwin Prasetyo dalam Online Peer Feedback during Covid-19 Pandemic: Indonesian EFL Teachers’ Perspectives and Responds menjelaskan bahwa mayoritas guru (30%) setuju bahwa peer feedback daring menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan siswa dalam pembelajaran menulis selama pandemi covid-19. Dan dapat diakses dengan mudah kapan dan di mana pun. Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah dalam Pembelajaran Bahasa Jawa untuk Siswa Sekolah Dasar dengan Memanfaatkan Aplikasi Let’s Read menjelaskan bahwa Pembelajaran bahasa Jawa akan lebih menarik dan aplikatif apabila memanfaatkan aplikasi Let’s Read sebagai penunjang pembelajaran sekaligus kegiatan literasi. Selain memiliki desain gambar yang menarik, mudah diakses, aplikasi ini juga sesuai dengan perkembangan usia siswa SD, Annisa Permatasari dalam Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa digitalisasi merupakan upaya kritis, kreatif, serta aktif untuk memperoleh sumber-sumber, data-data digital, kepraktisan, aplikasi penunjang yang sesuai dengan kualitas pendidikan. Redaksi,

ii

DAFTAR ISI

Pemahaman Materi dan Respons Siswa Kelas X IPS 5 SMA Negeri 1 1--15 Kutorejo terhadap Penggunaan Aplikasi Whatsapp untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia Lus Kusumaning Diah Proses Pengembangan Strategi “Madani Bisa” untuk Memperkuat 16--26 Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda Ardi Wina Saputra Students’ Perspectives toward Teacher’s Written Corrective Feedback: 27--39 A Voice from Upper Secondary School Students in Surabaya Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis, Fajar Susanto Penerapan Keterampilan 4C dalam Pembelajaran Teks Anekdot 40--54 dengan Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro Abdul Jalil Online Peer Feedback during Covid-19 Pandemic: Indonesian EFL 55--72 Teachers’ Perspectives and Responds Dodi Erwin Prasetyo Pembelajaran Bahasa Jawa untuk Siswa Sekolah Dasar dengan 73--84 Memanfaatkan Aplikasi Let’s Read Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika 85--100 Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Annisa Permatasari

iii

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Volume 23,, Edisi Juni 2021 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak

Lus Kusumaning Diah (SMAN 1 Kutorejo) Pemahaman Materi dan Respons Siswa Kelas X IPS 5 SMA Negeri 1 Kutorejo terhadap Penggunaan Aplikasi Whatsapp untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia Jembatan Merah, Volume 23,, Edisi Juni 2021, hlm. 1--15 Perkembangan teknologi sangat pesat dan memengaruhi dunia pendidikan. Salah satu bentuk perkembangan teknologi adalah aplikasi whatsapp. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan respons siswa terhadap penggunaan aplikasi whatsapp selama proses pembelajaran daring bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan skala likert. Penelitian ini ditujukan untuk kelas X IPS 5 di SMAN 1 Kutorejo. Penelitian ini meneliti tiga aspek penting terkait respons siswa kelas X IPS 5 terhadap penggunaan aplikasi whatsapp untuk pembelajaran bahasa Indonesia antara lain kebermaknaan (meaningfulnes), dampak atau pengaruh (impact), dan kompetensi (competence). Terdapat 83,3% siswa menunjukkan respons positif bahwa whatsapp dan internet membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan penguasaan materi pembelajaran bahasa Indonesia. Hal lain untuk meningkatkan pemahaman mereka terkait materi pembelajaran adalah koreksi guru.

Ardi Wina Saputra (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun) Proses Pengembangan Strategi “Madani Bisa” untuk Memperkuat Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 16--26 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi “Madani Bisa” lengkap dengan desain pengembangannya. Strategi “Madani Bisa” diperlukan sebagai alternatif untuk mengutamakan bahasa Indonesia, khususnya bagi generasi muda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pengembangan dan mengambil modifikasi model penelitian ADDIE. Penelitian ini menghasilkan empat tahap strategi “Madani Bisa”, yaitu (1) peka terhadap kesalahan berbahasa, (2) memantapkan diri untuk mengubah kesalahan berbahasa, (3) menggunakan peranti dari Badan Bahasa Indonesia, dan (4) menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Diharapkan strategi “Madani Bisa” dapat dikolaborasikan dengan materi kepemimpinan atau literasi politik bagi kaum muda sehingga Indonesia kelak memiliki pemimpin yang mampu mengutamakan bahasa Indonesia.

iv

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Volume 23,, Edisi Juni 2021 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak

Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis, Fajar Susanto (Universitas PGRI Adi Buana Surabaya) Students’ Perspectives toward Teacher’s Written Corrective Feedback: A Voice from Upper Secondary School Students in Surabaya Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 27--39 This study aims to illustrate the students’ perspective toward the teacher’s written corrective feedback (WCF) given by the English teacher to the students’ writing. This study is conducted in the frame of qualitative case study in which 10 students of a Private Senior High School were involved to collect the data. Semi-structured interview was conducted to those students and the data obtained were analyzed using thematic analysis. The results of the current study illustrated that WCF raises the students’ self-awareness to the writing mistakes, and becomes a medium for the teacher to give more attentions to students in the learning process. WCF is also the guidance for students to write better. But the teacher should be careful to give WCF to the certain students who are categorized as lazy students. This study is expected to give valuable information for English teachers that WCF is needed by the students in writing leaning process.

Abdul Jalil (SMA Negeri 1 Bojonegoro) Penerapan Keterampilan 4C dalam Pembelajaran Teks Anekdot dengan Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 40--54 Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang tidak mudah bagi peserta didik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan menulis meliputi berbagai aspek kemampuan berbahasa yang harus dipenuhi. Kemampuan menulis teks anekdot yang sesuai dengan struktur dan kebahasaan yang tepat menjadi momok bagi peserta didik SMA Negeri 1 Bojonegoro. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Hasil yang dinilai adalah penerapan 4C dalam penyusunan teks anekdot menggunakan media video stand up commedy. Penelitian ini menggunakan dua kali tes. Tes awal sebagai acuan kemampuan peserta didik dan tes akhir sebagai pembeda penerapan 4C dan media video stand up commedy. Hasil yang diperoleh penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro tahun pelajaran 2019/2020.

v

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Volume 23,, Edisi Juni 2021 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak

Dodi Erwin Prasetyo (Universitas Negeri Surabaya) Online Peer Feedback during Covid-19 Pandemic: Indonesian EFL Teachers’ Perspectives and Responds Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 55--72 Researches on the issues of Indonesian teachers’ perspectives toward online peer feedback for writing are rarely done. Therefore, this research aimed at findings on what the teachers’ perspectives toward online peer feedback for teaching writing, why and how they used online peer feedback, what were the strengths of online peer feedback and on how it affected their teaching of writing. The researcher collected the data through questionnaire. It was categorized into three sections. First, it was used to gather the backgrounds of the participants. Second, was multiple sections that consist of five question that used to analyse the teachers’ perspective. Third, was open-ended sections that used to gather the deep and comprehensive data. Based on the findings, majorities of teachers (30%) agreed that online peer feedback solves students’ problems in writing. Most of them also argued that it easily accessed everywhere for learning. This research suggests that online peer feedback should be regulated in the curriculum.

Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah (Universitas PGRI Madiun) Pembelajaran Bahasa Jawa untuk Siswa Sekolah Dasar dengan Memanfaatkan Aplikasi Let’s Read ,Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 73--84 Pada era society 5.0 ini, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar juga harus mampu mengikuti perubahan, baik dari segi substansi maupun konsepsi. Pembelajaran bahasa Jawa lebih aplikatif dengan memanfaatkan teknologi sehingga akan lebih mudah diterima oleh siswa karena lebih menarik. Salah satu aplikasi digital yang bisa digunakan sebagai penunjang pembelajaran sekaligus kegiatan literasi bahasa Jawa siswa adalah aplikasi Let’s Read. Penelitian ini berupaya untuk memaparkan desain pembelajaran bahasa Jawa di SD dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read. Selain memiliki desain gambar yang menarik, aplikasi ini juga sesuai dengan perkembangan usia siswa SD, dan ketersediannya yang terjangkau, yakni cukup memanfaatkan Android. Penelitian ini berpendekatan kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan menghimpun berbagai kalimat yang terdapat dalam cerita pada aplikasi. Data dianalisis dengan deskriptif induktif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read, siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar membaca dan menulis teks berbahasa Jawa.

vi

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Volume 23,, Edisi Juni 2021 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak

Annisa Permatasari (SMP Labschool Unesa 2, Surabaya, Indonesia) Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Jembatan Merah, Volume 23, Edisi Juni 2021, hlm. 85-100

Terdapat berbagai problematika dalam penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menjadi dasar atas penulisan artikel ini. Artikel ini berpijak pada hipotesis atas pengarakteran dalam digitalisasi mampu menjadi solusi atas problematika tersebut. Pengarakteran dalam digitalisasi adalah upaya kritis, kreatif, serta aktif untuk menghasilkan pencarian sumber-sumber yang berkualitas yang sesuai dengan pendidikan. Artikel ini menggunakan pendekatan literatur dengan deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah berbagai literatur yang ada termasuk analisis soal mata pelajaran bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah pengarakteran dalam digitalisasi dapat memberikan manfaat bagi pendidik, pembelajaran, dan peserta didik dengan penjabaran, 1) soal-soal mengalami pembaruan karena memliki pembanding dengan file soal sebelumnya, 2) data-data dalam digital secara aktif memperbarui sebagai pertimbangan bahan soal, 3) mampu mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif karena telah melalui riset yang matang, 4) kemampuan motorik dapat dipantau melalui kepraktisan dalam berbagai kanal, dan 5) tingkat kesulitan soal sesuai dengan jenjangnya dengan menggunakan aplikasi penunjang sesuai zaman.

vii

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Vol. 23, Edition June 2021 Key words are extracted from articles Abstract may be reproduced without permission

Lus Kusumaning Diah (SMAN 1 Kutorejo) Students of X IPS5’s Materials Comprehensions and Reponds toward the use of Whatsapp for the Online Learning of Indonesia Language Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 1--15

Technology improves so fast and influences the education field. One of the improvements of technology is Whatsapp. This research aimed to investigate X IPS 5 students’ responds toward the use of Whatsapp during the learning of Indonesia language. This research applied descriptive quantitative with Likert scale. It analysed three aspects, due to students of X IPS 5’s responds toward the use of Whatsapp during the learning of Indonesia language. Those were meaningfulness, impact, and competence. Most of the students (83.3%) revealed positive responds that Whatsapp and internet facilitated them to enhance their competences toward Indonesia Language learning Material. The teacher’s correction also was to improve their comprehension toward learning materials.

Ardi Wina Saputra (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun) The "Madani Bisa" Strategy to Strengthen Indonesian Among the Young Generation Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 16--26 This study aims to describe the complete Madani Bisa strategy with its development design. Civic Strategy Can be needed as an alternative to prioritizing Indonesian, especially for the younger generation. The method used in this research is the development research method, and takes a modification of the ADDIE research model. This study resulted in four stages of the Madani Bisa strategy, namely (1) being sensitive to language errors, (2) establishing oneself to change language errors, (3) using tools from the Indonesian Language Agency, and (4) socializing the correct use of Indonesian in the world. real and virtual world. It is hoped that the Madani Bisa strategy can be collaborated with leadership materials or political literacy for young people so that Indonesia will have a leader who is able to prioritize Indonesian language

viii

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Vol. 23, Edition June 2021 Key words are extracted from articles Abstract may be reproduced without permission

Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis, Fajar Susanto (Universitas PGRI Adi Buana Surabaya) Perspektif Siswa Terhadap Written Corrective Feedback (WCF): Suara dari Siswa SMA di Surabaya Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 27--39

Tujuan dari penelitian ini adalah mengilustrasikan perspektif siswa terhadap written corrective feedback (WCF) yang diberikan oleh guru bahasa Inggris terhadap tulisan mereka. Penelitian ini dilakukan dengan kerangka studi kasus kualitatif di mana 10 siswa Sekolah Menengah Atas Swasta di Surabaya dilibatkan untuk mengambil data. Interview semi-terstruktur dilakukan pada siswa-siswa tersebut dan data yang diperoleh di analisis menggunakan analisi tematik. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa WCF meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap kesalahan menulis dan menjadi sarana bagi guru untuk memberikan banyak perhatian kepada siswa dalam proses belajar. WCF juga panduan bagi siswa untuk menulis lebih baik. Akan tetapi guru harus berhati-hati untuk memberikan WCF kepada siswa yang dikategorikan malas. Kajian ini diharapkan memberikan informasi penting bagi guru-guru bahasa Inggris bahwa WCF dibutuhkan oleh siswa dalam proses belajar menulis.

Abdul Jalil (SMA Negeri 1 Bojonegoro) Implementation Of 4C Skills In Learning Anecdot Text With Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 40--54 Writing ability is an ability that is not easy for students. This is because writing skills cover various aspects of language skills that must be fulfilled. Kem Perempuan writing anecdotal texts that are in accordance with the proper structure and language is a scourge for students of SMA Negeri 1 Bojonegoro. This research is an experimental research. The results assessed were the application of 4C in composing anecdotal texts and using stand-up commedy video media. This study used two tests. The pre-test as a reference for students' abilities and the final test as a differentiator for the implementation of 4C and stand-up commedy video media. The results obtained by the application of 4C in learning to compile anecdotal texts using video stand-up commedy media have a significant effect on the learning outcomes of class MIPA-6 students of SMA Negeri 1 Bojonegoro in the 2019/2020 school year..

ix

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Vol. 23, Edition June 2021 Key words are extracted from articles Abstract may be reproduced without permission

Dodi Erwin Prasetyo (Universitas Negeri Surabaya) Peer Feedback Daring Selama Pandemi Covid-19: Persepktif dan Respons Guru Bahasa Inggris Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 55--72 Penelitian tentang perspektif guru terhadap peer feedback untuk menulis di Indonesia sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk meneliti apa perspektif guru terhadap peer feedback daring di dalam pembelajaran menulis, mengapa dan bagaiamana mereka menggunakan peer feedback daring, apa kelebihan peer feedback daring dan bagaimana peer feedback daring mempengaruhi proses pembelajaran menulis. Peneliti mendapatkan data melalui angket yang dikategorikan dalam tiga bagian. Pertama untuk mendapatkan data tentang latar belakang partisipan. Kedua berisi lima pertanyaan untuk menganalisis perspektif guru terhadap peer feedback daring. Ketiga untuk memperoleh data lebih mendalam dan komprehensif melalui seksi tanya jawab. Berdasarkan hasil penelititan, mayoritas guru (30%) setuju bahwa peer feedback daring menyelesaikan permasalahan siswa dalam pembelajaran menulis. Kebanyakan dari mereka berargumen bahwa peer feedback daring mudah untuk diakses di mana pun. Penelitian ini menyarankan untuk meregulasikan peer feedback daring di dalam kurikulum.

Endang Sri Maruti, Nur Samsiyah (Universitas PGRI Madiun) Javanese Language Learning for Elementary School Student with Let’s Read Application Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 73--84 In this era of society 5.0, learning Javanese in elementary schools must also be able to keep up with changes, both in terms of substance and conception. Learning Javanese language is more applicable by utilizing technology, besides that it will also be easily accepted by students because it is more interesting. One of them is by utilizing digital applications that can be used to support learning as well as students' Javanese language literacy activities is the Let's Read application. This study seeks to describe the design of Javanese language learning in elementary schools by utilizing the Let's Read application. Besides having an attractive image design, this application is also in accordance with the age development of elementary school students, and its availability is affordable, which is enough to use Android. This research has a descriptive qualitative approach. Data is collected by collecting various sentences contained in the story in the application. Data were analyzed by inductive descriptive. The results of data analysis showed that by utilizing the Let's Read application, students became more motivated to learn to read and write Javanese text

x

JEMBATAN MERAH ISSN : 1908--1889 Vol. 23, Edition June 2021 Key words are extracted from articles Abstract may be reproduced without permission

Annisa Permatasari (SMP Labschool Unesa 2, Surabaya, Indonesia) Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Jembatan Merah, Volume 23, Edition June 2021, p. 85-100

There are various problems in the composing question of Indonesian language subject matter so that it becomes the basis for writing this article. This article rests on the hypothesis that ultivating character in digitization can be a solution to these problems. Cultivating character in digitization is a critical, creative, and active effort to produce quality sources that are suitable for education. This article uses a descriptive qualitative literature approach. Sources of data used are a variety of existing literature including analysis of Indonesian language subjects. The results in this study are that cultivating character in digitization can provide characterful benefits for educators, learning, and students with elaboration, 1) the questions have been updated because they have a comparison with the previous question files, 2) data in digital is actively updating as consideration of question material, 3) able to develop critical and creative thinking because it has been through thorough research, 4) motor skills can be monitored through practicality in various channels, 5) the level of difficulty of the questions will be in accordance with the level by using supporting applications according to the times.

PEMAHAMAN MATERI DAN RESPONS SISWA KELAS X IPS 5 SMA NEGERI 1 KUTOREJO TERHADAP PENGGUNAAN APLIKASI WHATSAPP UNTUK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Students of X IPS 5’s Materials Comprehensions and Reponds toward the use of Whatsapp for the Online Learning of Indonesia Language

Lus Kusumaning Diah

SMAN 1 Kutorejo [email protected]

Abstrak: Perkembangan teknologi sangat pesat dan memengaruhi dunia pendidikan. Salah satu bentuk perkembangan teknologi adalah aplikasi whatsapp. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan respons siswa terhadap penggunaan aplikasi whatsapp selama proses pembelajaran daring bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan skala likert. Penelitian ini ditujukan untuk kelas X IPS 5 di SMAN 1 Kutorejo. Penelitian ini meneliti tiga aspek penting terkait respons siswa kelas X IPS 5 terhadap penggunaan aplikasi whatsapp untuk pembelajaran bahasa Indonesia antara lain kebermaknaan (meaningfulnes), dampak atau pengaruh (impact), dan kompetensi (competence). Terdapat 83,3% siswa menunjukkan respons positif bahwa whatsapp dan internet membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan penguasaan materi pembelajaran bahasa Indonesia. Hal lain untuk meningkatkan pemahaman mereka terkait materi pembelajaran adalah koreksi guru. Kata kunci: respons, whatsapp, pembelajaran bahasa Indonesia Abstract: Technology improves so fast and influences the education field. One of the improvements of technology is Whatsapp. This research aimed to investigate X IPS 5 students’ responds toward the use of Whatsapp during the learning of Indonesia language. This research applied descriptive quantitative with Likert scale. It analysed three aspects, due to students of X IPS 5’s responds toward the use of Whatsapp during the learning of Indonesia language. Those were meaningfulness, impact, and competence. Most of the students (83.3%) revealed positive responds that Whatsapp and internet facilitated them to enhance their competences toward Indonesia Language learning Material. The teacher’s correction also was to improve their comprehension toward learning materials. Keywords: Respond, Whatsapp, Indonesia Language Learning

1

PENDAHULUAN Menulis mempunyai peranan yang sangat krusial dalam peningkatan kemampuan berbahasa. Menulis sebagai kemampuan untuk menyampaikan pesan ke pembaca tersebut berada sehingga menulis bersifat permanen di dalam merekam ide dan menulis, tetapi juga menjadi refleksi dan koreksi bagi penulis (Brown, 2007; Richards & Renandyaa, 2002).

Menulis sebagai salah satu keahlian produktif di dalam berbahasa. Harmer (2007) mendefinisikan menulis sebagai kemampuan memproduksi bahasa. Westwood (2008) menegaskan bahwa menulis merupakan proses yang sangat lengkap melibatkan banyak aspek antara lain topik, target pembaca, kohesi, pemilihan kata, organisasi isi kepenulisan, kejelasan, keruntutan, dan transkripsi. Oleh karena itu, kemampuan menulis sangat diperlukan oleh setiap siswa.

Pembelajaran salah satunya pembelajaran menulis merupakan hal yang sangat penting. Brown (2007) menjelaskan pentingnya pembelajaran berbahasa. Pertama, adanya transfer ilmu dari pengajar ke murid. Kedua, adanya retensi atau mengingat ilmu yang diampaikan. Ketiga, mengingat ilmu atau retensi melibatkan memori dan kognitif proses. Keempat, pembelajaran harus berfokus pada materi ajar. Kelima, pembelajaran bersifat terus menerus atau kontinu. Keenam, pembelajaran juga tidak hanya teori tapi juga praktik. Ketujuh, pembelajaran berdampak positif pada perilaku murid. Di era sekarang, teknologi mempunyai peranan yang sangat besar dan

menyebar di setiap aspek kehidupan. Penggunaan internet juga menjadi potensi yang besar dalam kegiatan pembelajaran (Fukushima, 2006; Zhao, 2003). Banyak penelitian mengungkapkan penggunaan internet menjadi sangat berguna dalam pembelajaran karena siswa menjadi lebih percaya diri dan menjadi lebih aktif terlibat diskusi, bahkan lebih simultan untuk mengembangkan ide–ide mereka dibanding menggunakan metode konvensional tatap muka (Freiermuth, 2001; Jarrel, 2005; Jepson, 2005). Interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa merupakan hal yang sangat penting sebagai capaian akhir di dalam pembelajaran bahasa di era modern tidak hanya terkait dengan tatap muka langsung tapi juga melalui penggunaan teknologi, salah satunya gawai (gadget). Beberapa penelitian mengungkapkan fakta bahwa murid menjadi lebih segan di dalam berkontribusi selama proses pembelajaran tatap muka langsung (Alberth, 2009; Sweeney, O'Donoghue, & Whitehead, 2004). Hal itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran konvensional dengan tatap muka tidak langsung membuat semua siswa aktif terlibat karena keraguan mereka untuk menyampaikan ide. Freiermurth (2001) juga mengungkapkan hasil penelitian bahwa siswa lebih aktif terlibat selama proses pembelajaran daring daripada tatap muka karena faktor kultur dan norma sosial. Oleh karena itu, penggunaan teknologi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran untuk meminimalisasi keraguan para siswa agar lebih aktif terlibat selama proses pembelajaran (Jarrel, 2005).

2

Salah satu penggunaan teknologi dan internet dalam proses pembelajaran adalah melalui aplikasi whatsapp. Fattah (2015) juga meneliti penggunaan whatsapp sebagai sarana pembelajaran menulis. Dia mendapatkan hasil bahwa penggunaan aplikasi whatsapp dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa, terutama dalam hal tata bahasa. Alsaleem (2013) menelaah penggunaan aplikasi whataspp dan kemampuan menulis. Didapatkan hasil bahwa penggunaan aplikasi whatsapp dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa. Penelitian lain, yaitu oleh Salikin dan Tahir (2017). Penelitian ini tentang penggunaan sosial media terhadap kemampuan menulis deskriptif. Hasil yang didapatkan adalah penggunaan media sosial dan kemampuan menulis siswa mempunyai korelasi yang sangat erat. Artinya media sosial facebook dan whatsapp mampu meningkatkan kemampuan menulis deskriptif.

Penelitian lain mengungkapkan hal yang serupa mengenai penggunaan whatsapp dalam proses pembelajaran. Mistar dan Embi (2016) mendapatkan hasil bahwa aplikasi whatsapp meningkatkan kemampuan menulis siswa. Mohesh dan Meerasa (2016) mengungkapkan hasil penelitian penggunaan aplikasi whatsapp meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran dan mempunyai keuntungan berkurangnya penggunaan kertas selama proses pembelajaran. Di dalam aplikasi whatsapp sendiri mempunyai beberapa fitur antara lain suara dan

panggilan video atau voice and video calls atau laman dan dekstop atau web and desktop, obrolan grup atau group chat, dokumen atau documents, dan lain lain. Selama masa pandemi Covid 19, proses pembelajaran konvensional tatap muka dialihkan dalam bentuk pembelajaran daring sehingga penggunaan internet dan teknologi tepat untuk diaplikasikan, khususnya penggunaan whatsapp.

Banyak penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai penggunaan aplikasi whatsapp dalam peningkatan kemampuan menulis, tetapi masih belum ada yang meneliti respons siswa terhadap penggunaan aplikasi whatsapp terutama untuk konteks pembelajaran bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas. Oleh karena itu, penelitian ini untuk menelaah respons siswa terhadap penggunaan aplikasi whatsapp dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X IPS 5 SMAN 1 Kutorejo. Peneliti memilih sampel data kelas X IPS 5 karena keberadaan peneliti sebagai pengajar bahasa Indonesia di kelas tersebut.

METODE PENELITIAN Data penelitian dianalisis dari siswa tingkat Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kutorejo, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 30 siswa kelas X IPS 5. Sebelumnya, peneliti telah melibatkan semua siswa untuk menggunakan whatsapp selama proses belajar mengajar bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan angket yang

3

diadaptasi dari Yujing (2015) dengan beberapa modifikasi. Angket tersebut menyangkut beberapa aspek, yaitu kebermaknaan atau meaningfulnes, dampak atau pengaruh atau impact, dan kompetensi atau competence. Peneliti menggunakan skala Likert untuk menginvestigasi persepsi para siswa di dalam pembelajaran Indonesia menggunakan whatsapp. Skala Likert terdiri atas pernyataan sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju. Untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif, peneliti menggunakan wawancara dan observasi selama proses pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp, serta menginvestigasi keaktifan siswa selama proses diskusi dan pembelajaran melalui whatsapp.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini direpresentasikan dalam tiga aspek. Pertama, tentang persepsi siswa terhadap kebermaknaan pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp. Kedua, menganalisis tentang persepsi para siswa dan pengaruh pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp. Ketiga, menelaah persepsi siswa tentang pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp. A . Kebermaknaan (Meaningfulnes)

Data yang pertama dibahas adalah kebermaknaan para siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp. Ada lima poin untuk mengukur persepsi siswa sejauh mana menurut mereka pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp sangat berguna atau sebaliknya.

Tabel 1. Respons Siswa terhadap Kebermaknaan Pembelajaran Bahasa Indonesia Menggunakan Whatsapp No. Data Sangat

Setuju Setuju Netral Tidak

setuju Sangat Tidak Setuju

1 Tugas yang saya kerjakan selama proses pembelajaran bahasa Indonesia melalui whatsapp sangat berguna untuk saya

25 (83.33%)

5 (16,67%)

2 Tugas yang saya lakukan selama proses pembelajaran bahasa

18 (60%) 12 (40%)

4

Indonesia melalui whatsapp hanya membuang waktu

3 Aktivitas selama proses pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan whatsapp menambah pemahaman saya terhadap poin dan konsep materinya

21 (70%) 9 (30%)

4 Membaca materi sebelum proses belajar berlangsung dapat meningkatkan kesiapan saya selama proses pembelajara berlangsung

17 (56,67%)

13 (43,33%)

5 Meskipun membaca materi sebelum proses belajar berlangsung, Saya tidak melihat adanya peningkatan kesiapan saya selama proses pembelajaran berlangsung

22 (73,33%)

8 (26,67%)

Data menunjukkan bahwa sebanyak 25 siswa atau 83,33% sangat setuju bahwa proses pembelajaran melalui whatsapp untuk mengerjakan tugas

pembelajaran bahasa Indonesia sangat berguna meningkatkan pemahaman terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia.

5

Diikuti kemudian oleh 16,67% siswa setuju bahwa tugas yang mereka kerjakan melalui aplikasi whatsapp membantu meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi bahasa Indonesia. Sebanyak 80 atau 60% siswa tidak setuju jika pembelajaran bahasa Indonesia melalui whatsapp membuang waktu. Sebanyak 12 siswa atau 40% siswa sangat tidak setuju jika pembelajaran melalui aplikasi whatsapp hanya membuang waktu. Aktivitas pembelajaran melalui whatsapp menambah pemahaman siswa terhadap poin dan konsep materi sebanyak 70% siswa sangat setuju dan 30% siswa setuju. Sebanyak 56,67% siswa sangat setuju saat mereka membaca materi sebelum proses belajar berlangsung. Hal itu dapat meningkatkan kesiapan mereka untuk menghadapi proses pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan media whatsapp. Sebanyak 43,33% siswa setuju bahwa kesiapan mereka untuk menghadapi proses pembelajaran bahasa Indonesia terbantu melalui membaca materi sebelum proses belajar berlangsung. Sebanyak 73,33% siswa tidak setuju

terhadap adanya peningkatan kesiapan mereka, jika mereka membaca materi sebelum proses pembelajaran berlangsung dan sisanya 26,67% siswa sangat tidak setuju akan hal yang sama.

Secara garis besar, para siswa dapat memahami materi pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan media whatsapp dan mereka berpendapat bahwa pembelajaran melalui media whatsapp juga sangat berguna. Hal ini tentunya menumbuhkan semangat siswa untuk belajar materi bahasa Indonesia untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif di dalamnya. Penggunaan internet dalam aplikasi whatsapp juga dapat dimanfaatkan siswa untuk terus mencari berbagai pengetahuan tambahan terkait materi pelajaran mereka dan penggunaan aplikasi whatsapp juga dapat membuat interaksi antarsiswa lebih aktif dan tidak canggung. Oleh karena itu, internet dan teknologi sangat berperan penting dalam proses pembelajaran (Yang & Cheng, 2007; Steap-Greany, 2002).

Tabel 2. Respons Siswa terhadap Dampak Pembelajaran Bahasa Indonesia Menggunakan Whatsapp No. Data Sangat

Setuju Setuju Netral Tidak

setuju Sangat Tidak Setuju

1 Saya tidak dapat mempengaruhi apa yang terjadi di dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia

3 (10%) 17 (56,67%)

8 (26,67%)

2(6,66%)

6

menggunakan whatsapp

2 Saya mempunyai kemampuan untuk membuat suatu ide yang berbeda selama proses pembelajaran berlangsung

4 (13,33%)

5 (16,67%)

7 (23,33%)

14 (46,67%)

3 Saya percaya kemampuan saya untuk mengerjakan tugas pembelajaran

8 (26,67%)

15 (50%) 4 (13,33%)

3 (10%)

4 Partisipasi saya sangat penting untuk kesuksesan selama proses pembelajaran

2 (6,67%)

19 (63,33%)

9 (30%)

5 Saya percaya kemampuan saya untuk membantu teman yang lain selama proses pembelajaran berlangsung

4 (13,33%)

9 (30%)

10 (33,33%)

7 (23,33%)

Berdasarkan data tersebut,

dampak siswa terhadap pembelajaran melalui whatsapp menunjukkan hasil bahwa sebagian besar siswa 56,67% berargumen bahwa mereka setuju tidak dapat mempengaruhi apa yang terjadi terkait proses pembelajaran melalui whatsapp dan 10% siswa sangat setuju terkait hal yang sama. Respons berbeda ditunjukkan oleh beberapa siswa yang bersikap netral. Sejumlah 6,66% siswa berpendapat bahwa mereka dapat

mempengaruhi apa yang terjadi selama proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan hanya sebagian kecil siswa yang benar benar mempersiapkan diri dengan belajar sebelum proses pembelajaran berlangsung, sehingga hal itu memotivasi mereka untuk menyampaikan pemikiran atau ide mereka terkait materi pembelajaran melalui whatsapp. Sebagian besar mereka mempersiapkan diri dengan belajar mencari materi pembelajaran sendiri melalui

7

internet. Internet menyediakan banyak sumber belajar yang mudah diakses (Gutierrez, Coulter & Goodwin, 2002).

Sebanyak 14 siswa atau 46,67% dari keseluruhan siswa berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membuat ide yang berbeda terkait materi pelajaran bahasa Indonesia yang dibahas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri siswa untuk menyampaikan ide mereka selama proses pembelajaran berlangsung. Sebanyak tujuh siswa atau 23,33% siswa bersikap netral terkait hal yang sama. Hanya sebagian kecil siswa, yaitu sebanyak empat orang siswa sangat setuju dan lima orang siswa setuju dan mempunyai kepercayaan diri untuk membuat ide yang berbeda selama pengerjaan tugas atau selama proses pembelajaran, tentunya ide tersebut masih relevan dengan materi pembelajaran. Motivasi sangat berperan penting dalam proses pembelajaran (Dörnyei, 2001; Gardner, 2007). Kepercayaan diri tentunya timbul dari motivasi.

Sebagian besar siswa dengan jumlah 15 siswa setuju bahwa dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepada mereka. Selanjutnya, diikuti oleh delapan siswa yang menyatakan sangat setuju dapat mengerjakan tugas sesuai dengan kemampuan mereka. Sebanyak 10% siswa tidak setuju terkait kemampuan mengerjakan tugas yang diberikan kepada mereka, sedangkan empat siswa bersikap netral. Untuk itu, peranan guru sangat penting untuk meningkatkan pemahaman siswa terkait materi pembelajaran, termasuk

meningkatkan motivasi siswa selama proses pembelajaran bahasa Indonesia (Loima & Vibulphol, 2014; Niemiec & Ryan, 2009; Urhahne, 2015)

Sebanyak 63,33% siswa setuju bahwa keikutsertaan mereka dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia melalui whatsapp sangat mempengaruhi kesuksesan proses pembelajaran. Ada sembilan siswa bersikap netral dan dua siswa sangat setuju terkait keikutsertaan mereka selama proses pembelajaran dan ikut andil mempengaruhi kesuksesan proses pembelajaran melalui whatsapp. Berkaitan dengan kemampuan siswa untuk membantu siswa yang lain selama proses pembelajaran ada berbagai respons. Sebagian besar menyatakan tidak setuju terkait hal tersebut, yakni sepuluh siswa atau sekitar 33,33%. Terdapat 30% siswa bersikap netral dan 23,33% sangat tidak setuju akan hal itu. Hanya sebagian kecil yang setuju dengan jumlah 13,33% siswa. Oleh karena itu, peranan guru sangat penting untuk membuat siswa menjadi lebih sadar dan aktif tentang pentingnya pembelajaran bahasa Indonesia. Guru harus membuat siswa paham dengan menghubungkan keuntungan suatu tugas pembelajaran dengan kehidupan nyata dan capaian diri mereka sendiri terutama di dunia karir (Assor, Kaplan, & Roth, 2002; Jang, 2008)

8

Tabel 3. Respons Siswa terkait Kompetensi Mereka terhadap Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Menggunakan Whatsapp No. Data Sangat

Setuju Setuju Netral Tidak

setuju Sangat Tidak Setuju

1 Saya bisa mengerjakan tugas bahasa Indonesia dengan baik selama menggunakan media whatsapp

6 (20%) 17 (56,67%)

7 (23,33%)

2 Saya percaya diri terhadap kemampuan saya sendiri untuk mengerjakan tugas bahasa Indonesia dengan baik selama menggunakan media whatsapp

8 (26,67%)

20 (66,67%)

2 (6,67%)

3 Koreksi guru sangat membantu saya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia dengan baik selama menggunakan media whatsapp

27 (90%) 3 (10%)

4 Saya dengan mudah mengerti penjelasan materi oleh guru melalui media whatsapp

8 (26,67%)

17 (56,67%)

5 (16,67%)

5 Saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk meningkatkan penguasaan materi bahasa Indonesia saya melalui media whatsapp.

23 (76,67%)

7 (23,33%)

9

Respons siswa terhadap pengerjaan tugas yang diberikan oleh mereka ada beberapa macam. Terdapat 20% siswa sangat setuju bahwa mereka mengerjakan tugas dengan baik selama menggunakan media whatsapp. Ada 56,67% siswa setuju terhadap hal yang sama tersebut dan sisanya netral. Sebanyak 66,67% siswa percaya akan kemampuan diri mereka sendiri untuk mengerjakan tugas menggunakan media whatsapp. Terdapat 26,67% siswa sangat percaya kemampuan mereka sendiri untuk mengerjakan tugas melalui media whatsapp. Sejumlah besar siswa, yakni 6,67% siswa bersikap netral.

Respons siswa ada dua macam terkait koreksi guru sangat membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia dengan baik selama menggunakan media whatsapp. Mereka sangat setuju jika koreksi guru sangat membantu meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia mereka, hal ini ditunjukkan sebanyak 90% siswa menyatakan sangat setuju hal tersebut dan hanya 10% siswa menyatakan setuju. Sejumlah 56,67% siswa menyatakan setuju bahwa mereka memahami penjelasan materi oleh guru melalui media whatsapp. Ada 26,67% siswa menyatakan sangat setuju akan hal tersebut dan 16,67% siswa bersikap netral. Terdapat 76,67% siswa menyatakan sangat setuju jika mereka memahami apa yang harus mereka lakukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam penguasaan materi bahasa Indonesia melalui media whatsapp dan 23,33% setuju hal yang sama.

PEMBAHASAN Perkembangan proses pembelajaran seiring dengan laju teknologi, terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia di era masa pandemi COVID-19 terjadi pergeseran paradigma proses pembelajaran dari konvensional beralih total menggunakan media daring, salah satunya adalah whatsapp. Sebagian siswa dapat dengan mudah mengerjakan tugas mereka melalui whatsapp dan tugas yang mereka kerjakan melalui aplikasi whatsapp sangat berguna untuk meningkatkan pemahaman mereka. Melalui internet siswa juga dapat dengan mudah untuk saling bertukar informasi terkait materi pembelajaran dan mencari berbagai referensi tambahan sebagai bahan pembelajaran. Selain itu, melalui media internet dapat terjadi interaksi yang lebih aktif antara siswa dengan siswa atau guru dengan siswa (Gutierrez, Coulter & Goodwin, 2002, Godwin-Jones, 2003 & Salaberry, 2001). Melalui media internet juga dapat dilakukan interaksi dengan banyak siswa, pertukaran pemahaman dan ide, kolaborasi kerja kelompok agar lebih produktif, pengonstruksian pemahaman dengan memberikan ide-ide alternatif dan interpretasi setiap ide tersebut (Lock & Redmond, 2006).

Media whatsapp yang digunakan selama proses pembelajaran sangat menunjang siswa meningkatkan pemahaman materi dan konsep pembelajaran yang mereka lakukan karena siswa tidak malu untuk mengungkapkan ide mereka saat interaksi. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk terus belajar. Motivasi sangat berperan

10

penting yang juga mempengaruhi ketercapaian dalam proses pembelajaran (Dornyei, 2001 & Warden & Lin, 2000). Dampak negatif dari tidak percaya diri siswa akan berdampak negatif juga terhadap kurangnya motivasi siswa dan kurangnya pemahaman siswa terkait materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru (Elkhafaifi, 2005; Gregersen, 2003; Gregersen & Horwitz, 2002). Oleh karena itu, media whatsapp dapat menjadikan siswa lebih percaya diri untuk berinteraksi selama proses pembelajaran, tanpa melalui proses tatap muka langsung.

Partisipasi siswa selama proses pembelajaran melalui whatsapp memengaruhi juga kefektifan proses pembelajaran melalui media whatsapp. Siswa yang cenderung malu selama proses pembelajaran akan kurang berkontribusi selama proses pembelajaran, kurang aktif menjawab pertanyaan atau mengajukan pertanyaan jika ada materi yang belum dipahami (Crozier, 2003). Siswa yang malu cenderung mempunyai kompetensi akademik yang kurang baik. Karena itu, penting adanya evaluasi dan observasi di dalam proses pembelajaran oleh guru (Lao, Akseer, Bosacki, & Coplan, 2013). Penggunaan media whatsapp bisa menjadi alternatif belajar untuk mengatasi rasa malu siswa dalam proses belajar sehingga siswa lebih aktif dalam berpartisipasi di dalam proses pembelajaran.

Tugas yang dikerjakan oleh siswa mendapat koreksi dari siswa dan guru untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam belajar. Menurut Yang, Badger, dan Yu

(2006) menyatakan bahwa koreksi membantu siswa untuk membangun proses berpikir kritis mereka dan meningkatkan sosial interaksi di antara mereka. Proses pembelajaran korektif melalui koreksi dari guru sangat penting untuk menilai hail kerja siswa. Beberapa penelitian menyatakan bahwa koreksi guru sebagai transmisi proses, yakni guru menyatakan bagian-bagian mana sajakah yang benar dan mana yang salah terkait hasil kerja siswa. Selanjutnya, guru menyatakan kekurangan dan kelebihan hasil tugas siswa untuk meningkatkan performa mereka dan pemahaman mereka di dalam belajar (Boud, 2000; Yorke, 2003). Untuk itu peranan guru juga sangat penting di dalam proses pembelajaran daring Bahasa Indonesia melalui media whatsapp.

SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83% siswa sangat setuju terhadap penggunaan whatsapp dalam proses belajar karena sangat bermanfaat untuk proses pembelajaran. Mayoritas siswa, yakni 23% mampu menghasilkan ide baru selama proses pembelajaran menggunakan whatsapp. Sebanyak 66,67% siswa sangat termotivasi dengan adanya pembelajaran menggunakan media whatsapp. Penelitian ini menyarankan dua hal, pertama untuk guru, siswa, dan peneliti lainnya. Bagi guru, penggabungan media whatsapp di dalam pembelajaran daring sangat diperlukan. Oleh karena itu, guru harus menyusun ulang penggunaan media tersebut di dalam rencana pembelajaran. Hal itu untuk

11

mencapai hasil belajar yang lebih efektif dan maksimal. Untuk siswa, pembelajaran menggunakan media whatsapp memberikan peluang bagi siswa untuk tetap berdiskusi, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi landasan penelitian ke depan tentang media daring dan pembelajaran menulis untuk dieksplorasi lebih jauh dan komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Alberth. (2009). How effective are

technology enhanced teaching techniques in the EFL classroom? Paper presented at the 56th TEFLIN International Conference, Malang.

Alsaleem, B. I. A. (2013). “The Effect of WhatsApp Electronic Dialogue Journaling on Improving Writing Vocabulary Word Choice and Voice of EFL Undergraduate Saudi Students” Journal of Education, Vol. 4 No. 3 Hlm. 213--225.

Assor, A., Kaplan, H., Kanat-Maymon, Y., & Roth, G. (2005). “Directly Controlling Teacher Behaviors as Predictors of Poor Motivation and Engagement in Girls and Boys: The Role of Anger and Anxiety” Learning and Instruction Journal, Vol. 15, Hlm. 397--413.

Brown, H.D. (2007). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (3rd ed.). New York: Pearson Education.

Boud, D. (2000). “Sustainable Assessment: Rethinking Assessment for The Learning Society” Studies in Continuing

Education Journal, Vol. 22, No. 2, Hlm. 151--167.

Crozier, W. R (2003). Shyness in the Classroom. Proceedings from British Education Research Association Annual Conference, Heriot-Watt University, Edinburgh, 11--13 September 2003.

Dornyei, Z. (2001). “New Themes and Approaches in Second Language Motivation Research” Annual Review of Applied Linguistics Journal, Vol. 21 Hlm. 43--59

Dörnyei, Z. (2001). Teaching and Researching Motivation. Essex, England: Pearson Education Limited.

Elkhafaifi, H. (2005). “Anxiety and The True Beginner-False Beginner Dynamic in Beginning French and Spanish Classes”. Modern Language Journal Vol. 89 No.2 Hlm. 206--220

Fattah, S. (2015). “The Effectiveness of Using WhatsApp Messenger as One of Mobile Learning Techniques to Develop Students’ Writing Skill”, Education and Practice Journal Vol.6 No. 32 Hlm.115--127

Freiermuth, M. R. (2001). “Native Speakers or Non-Native Speakers: Who Has The Floor? Online and Face-to-Face Interaction in Culturally Mixed Small Groups” Computer Assisted Language Learning Journal, Vol.14 No.2 Hlm.169--199.

Fukushima, T. (2006). A Student-Designed Grammar Quiz on The Web: A Constructive Mode of Grammar Instruction.

12

Educational Media International, 43(1), 75--85.

Gardner, R. (2007). “Motivation and Second Language Acquisition” Porta Linguarum Journal, Vol. 8 Hlm. 9--20.

Godwin - Jones, R. (2003). Optimising Web Course Design for Language Learners. In Felix, U. (Ed.). Language learning online: Towards best practice (Hlm.43--56). Lisse: Swets & Zeitlinger.

Gregersen, T., & Horwitz, E. K. (2002). “Language Learning and Perfectionism: Anxious and Non-Anxious Language Learners’ Reactions to Their Own Oral Performance” Modern Language Journal, Vol."86, Hlm. 562--570

Gregersen, T. (2003). “To err is human: A Reminder to Teachers of Language-Anxious Students” Foreign Language Annals Journal, Vol. 36 No. 1 Hlm. 25--32

Gutierrez, M., Coulter, B., and Goodwin, D. R. (2002), “Natural Disasters Workshop Integrating Hands-on Activities, Internet-Based Data, and GIS” Journal of Geoscience Education, Vol. 50 No.4 Hlm. 437--443

Harmer, Jeremy. 2007. How to Teach Writing. Essex: Pearson Education Limited

Jang, H. (2008). “Supporting Students’ Motivation, Engagement, and Learning During an Uninteresting Activity” Journal of Educational Psychology, Vol. 100 No.4 Hlm. 798--811

Jarrel, D. (2005). “The Motivational Power of Internet Chat” RELC Journal, Vol. 36 No. 1 Hlm. 59--72.

Jepson, K. (2005). “Conversation and Negotiated Interaction in Text and Voice Chat Rooms” Language Learning and Technology Journal Vol. 9 No.3 Hlm. 79--98.

Lao, M. G., Akseer, T., Bosacki, S., and Coplan, R. J. (2013). “Self-Identified Childhood Shyness and Perceptions of Shy Children: Voices of Elementary School Teachers” International Electronic Journal of Elementary Education Vol. 5 Hlm. 269--284

Lock J. & Redmond, P. (2006). “International Online Collaboration: Modeling Online Learning and Teaching” MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, Vol.2 No. 4 Hlm. 233--47.

Loima, J., & Vibulphol, J. (2014). “Internal interest or external performing? A Qualitative study on motivation and learning of 9th graders in Thailand basic education” Journal of Education and Learning, Vol. 3 No.3 Hlm. 194--203

Mistar, I., & Embi, A. M. (2016). “Students’ Perception on the Use of WhatsApp as a Learning Tool in ESL Classroom” Journal of Education and Social Sciences, Vol. 4 No. 6 Hlm.96--104.

Mohesh, G., & Meerasa, S. S. (2016). “Perceptions on M-Learning through WhatsApp Application” Journal of

13

Education Technology in Health Sciences Vol. 3 No.2 Hlm. 57--60.

Niemiec, C. P., & Ryan, R. M. (2009). “Autonomy, Competence, and Relatedness in The Classroom: Applying Self-Determination Theory to Educational Practice” Theory and Research in Education Journal Vol. 7 No.2 Hlm. 133--144.

Richards, Jack C. and Willy A. Renandya. (2002). Methodoloy in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Salaberry, M.R. (2001). “The Use of Technology for Second Language Learning and Teaching: A Retrospective” The Modern Language Journal, Vol. 85 No.1 Hlm. 39--56.

Salikin, H., & Tahir, S. Z. (2017). “The Social Media Based Approach in Teaching Writing” International Journal of English Linguistics, Vol. 7 No.3 Hlm.46--57.Stepp-Greany, J. (2002). “Student Perceptions on Language Learning in a Technological Environment: Implications for The New Millennium” Language Learning and Technology Journal, Vol.6 No.1 Hlm.165--180.

Sweeney, J., O'Donoghue, T., & Whitehead, C. (2004). “Traditional Face-to-Face and Web-Based Tutorials: A study of University Students' Perspectives on The Roles of Tutorial Participants” Teaching in Higher Educatio

Journal, Vol. 9 No. 3 Hlm. 311-- 323

Urhahne, D. (2015). Teacher Behavior as a Mediator of The Relationship Between Teacher Judgment and Students’ Motivation and Emotion. Teaching and Teacher

Education Journal Vol. 45 Hlm. 73--82.

Warden, C. A., & Lin, H. J. (2000). “Existence of integrative Motivation in an Asian EFL Setting” Foreign Language Annals Journal Vol. 33 No.5 Hlm. 535--547

Westwood, P. (2008). What Teachers Need to Know about Reading and Writing Difficulties. Victoria: ACER Press.

Yang, M., Badger, R., & Yu, Z. (2006). “A Comparative Study of Peer and Teacher Feedback in a Chinese EFL Writing Class” Journal of Second Language Writing, Vol. 15, Hlm. 179--200.

Yang, Sh., & Chen, Y. (2007). Technology-Enhanced Language Learning: A Case Study. Computers in Human Behavior Journal Vol. 23 Hlm. 860--879.

Yorke, M (2003). “Formative Assessment in Higher education: Moves Towards Theory and The Enhancement of Pedagogic Practice” Higher Education Journal, Vol. 45 No. 4 Hlm. 477-–501.

Yujing, N. (2015). “Influence of Flipped Classroom on Learner's Empowerment-a Study Based on English Writing Courses in China”

14

Journal of Literature, Languages and Linguistics Vol 12 No. 1 Hlm. 1--7.

Zhao, Y. (2003). “Recent developments in Technology

and Language Learning: A Literature Review and Meta-analysis” CALICO Journal, Vol. 21 No. 1 Hlm. 7--27.

15

PROSES PENGEMBANGAN STRATEGI “MADANI BISA” UNTUK MEMPERKUAT BAHASA INDONESIA DI KALANGAN

GENERASI MUDA

The "Madani Bisa" Strategy to Strengthen Indonesian Among the Young Generation

Ardi Wina Saputra

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi “Madani Bisa” lengkap dengan desain pengembanganya. Strategi “Madani Bisa” diperlukan sebagai alternatif untuk mengutamakan bahasa Indonesia, khususnya bagi generasi muda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pengembangan dan mengambil modifikasi model penelitian ADDIE. Penelitian ini menghasilkan empat tahap strategi “Madani Bisa”, yaitu (1) peka terhadap kesalahan berbahasa, (2) memantapkan diri untuk mengubah kesalahan berbahasa, (3) menggunakan peranti dari Badan Bahasa, dan (4) menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Diharapkan strategi “Madani Bisa” dapat dikolaborasikan dengan materi kepemimpinan atau literasi politik bagi kaum muda sehingga Indonesia kelak memiliki pemimpin yang mampu mengutamakan bahasa Indonesia. Kata kunci: Madani Bisa, bahasa Indonesia, generasi muda Abstract: This study aims to describe the complete Madani Bisa strategy with its development design. Civic Strategy Can be needed as an alternative to prioritizing Indonesian, especially for the younger generation. The method used in this research is the development research method, and takes a modification of the ADDIE research model. This study resulted in four stages of the Madani Bisa strategy, namely (1) being sensitive to language errors, (2) establishing oneself to change language errors, (3) using tools from the Indonesian Language Agency, and (4) socializing the correct use of Indonesian in the world. real and virtual world. It is hoped that the Madani Bisa strategy can be collaborated with leadership materials or political literacy for young people so that Indonesia will have a leader who is able to prioritize Indonesian language. Keywords: Madani Bisa, Indonesian Language, young generation

16

PENDAHULUAN Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan yang kedua sebagai Presiden Republik Indonesia menegaskan bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2045. Latar belakang utamanya adalah Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi. Banyaknya penduduk usia muda menyebabkan bonus demografi menjadi potensi yang bisa dioptimalkan semaksimal mungkin. Persiapan yang paling utama adalah menyiapkan generasi muda untuk siap menjadi pemimpin di masa depan. Pendidikan saja tidak cukup untuk menyiapkannya, diperlukan kemampuan literasi politik yang harus mendarah daging sejak usia muda. Literasi politik dibutuhkan karena Indonesia membutuhkan pemimpin yang literat tidak hanya sekadar pintar. Saryono (2019) mengatakan bahwa literat berarti cakap dan mampu menyatukan seluruh kemampuan dalam dirinya. Berbicara tentang kemampuan, Wagner (2010) mengatakan bahwa kemampuan dasar yang membedakan antara negara maju dengan negara berkembang hanya dua, yaitu kemampuan berimajinasi dan kemampuan berpikir kritis. Imajinasi dan berpikir kritis dapat terwujud apabila seseorang memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Permasalahan yang timbul adalah ketika generasi muda ini tergagap-gagap dengan bahasanya sendiri.

Permasalahan tersebut sekilas terlihat sepele, tapi berdampak luar biasa. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu tinggi, dicetuskan oleh M. Tabrani dalam Kongres Pemuda I dan disahkan pada Kongres Pemuda

II, 28 Oktober 1928. Pengesahan ini berdampak pada kebangkitan kesadaran kultural para pemuda dari berbagai pulau untuk bersatu. Kesadaran tersebut mampu menyatukan perbedaan, perselisihan, dan kesombongan masing-masing agar dapat keluar dari cengkeraman penjajahan. Imajinasi (mimpi) bersama yang dibentuk saat itu adalah kemerdekaan. Melalui bahasa Indonesia, para pemuda dapat berkomunikasi satu sama lain untuk semakin mempererat tekad, berkonsolidasi, dan berkolaborasi demi kemerdekaan. Konsolidasi dan kolaborasi sesungguhnya tidak hanya terjadi saat perusaaah rintisan awal (start up) mulai berkembang seperti sekarang. Para pendahulu bangsa ini sudah melakukan sejak dahulu. Berkumpul, berserikat, dan berkirim surat menggunakan bahasa Indonesia (saat itu Melayu).

Seiring berjalannya waktu, bahasa Indonesia semakin disempurnakan. Berbagai ejaan muncul, dikaji, dikembangkan, dan diaplikasikan oleh badan bahasa. Ejaan hingga kosa kata baru mulai bermunculan seiring perkembangan zaman. Bahasa memiliki sifat yang arbitrer, tidak kaku, demikian pula bahasa Indonesia. Respons terhadap perubahan zaman merupakan keharusan agar bahasa ini berkembang tanpa meninggalkan kesadaran kulturalnya. Nasionalisasi perusahaan asing yang dilakukan saat era Soekarno berhasil memukul mundur kolonialisme dari Republik Indonesia. Saat itu ada perubahan nama besar-besaran perusahaan asing untuk disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Rasa cinta tanah air dan kesadaran berbangsa yang

17

satu semakin meletup di hati para pemuda Indonesia. Bagi kaum kolonialis, pilihannya hanya dua, yaitu kembali ke negaranya atau tetap di Indonesia dan menjadi bagian dari Indonesia, tentunya dengan mampu berbahasa Indonesia. Banyak yang memilih untuk pulang, tetapi juga tak sedikit yang masih tinggal di sini. Mereka yang memilih tetap tinggal, harus belajar bahasa Indonesia. Ternyata hal ini berdampak baik, mereka akhirnya ikut mencintai Indonesia.

Pada tahun 1980-an saat negara dipimpin oleh Presiden Soeharto, kesadaran bahasa Indonesia mulai sedikit dilupakan. Saat itu, presiden dengan tegas mengajak menteri pariwisata dan para akademisi untuk menertibkan kembali bahasa Indonesia. Penertiban pun dilakukan. Meskipun terkesan otoriter dan pemaksaan, tapi bahasa Indonesia sangat disegani. Indonesia berhasil dijuluki sebagai “macan ASEAN”, tidak jarang para akademisi dari negara-negara Asia Tenggara, menempuh pendidikan tinggi di Indonesia.

Seiring berkembangnya waktu, bahasa Indonesia mulai disepelekan. Pengawasan memang sudah tidak seketat dahulu dan era otoritarianisme sudah selesai. Saat ini eranya adalah era kesadaran. Renjana merupakan dasar bagi seseorang untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang seutuhnya. Namun, ada hal yang tertinggal untuk membentuk kesadaran generasi muda ini. Hal itu adalah kesadaran mengutamakan bahasa Indonesia, setidaknya di negeri sendiri.

Hegemoni globalisasi dan kapitalisme model baru yang hadir

melalui konektivitas internet semakin membuat generasi muda lupa pada dasar kultural pemersatu bangsa ini, yaitu bahasa Indonesia. Mental terjajah (kebarat-baratan) ternyata masih melekat dan mengakar kuat dalam benak generasi bangsa. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa Indonesia yang semakin lama semakin memudar di ruang publik. Bahasa Indonesia seolah tidak mendapat tempat yang layak, tergerus, tergusur, dan terabaikan begitu saja dilindas berbagai istilah asing yang dihidupkan kembali dan merajai negeri sendiri. Fenomena ini menurut Lanin (2018) dinamakan sebagai Xenoglosofilia atau kecintaan terhadap bahasa asing yang berlebihan.

Intensitas campur kode dalam ruang publik, tipografi penulisan bahasa asing yang lebih dominan, dan masifnya istilah asing pada industri dan teknologi membuat masyarakat Indonesia merasa tergusur dalam diri sendiri. Hal ini kelihatanya sepele, tapi jika ditelusuri maka dampaknya bukan main. Beberapa industri besar sudah jarang menggunakan istilah pimpinan, kepala bagian, hubungan masyarakat, produser. Istilah-istilah yang sering muncul adalah Head Executive, Director, HRD, PR Manager, dan jabatan lain. Berdasarkan data tersebut menujukkan adanya dominasi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia. Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak pimpinan besar perusahaan di negeri ini adalah orang asing, sedangkan warga negara Indonesia hanya berada di bagian akar rumput saja.

18

Inilah yang disebut dengan kolonialisme model baru.

Dalam bidang teknologi pun, istilah asing sederhana seperti online, ofline, download, upload, hingga start up didominasi oleh bahasa asing. Menanggapi fenomena ini, Badan Bahasa dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tidak bisa disalahkan begitu saja. Upaya pembuatan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara luring dan pengkajian kosakata baru untuk dimasukkan dalam kamus telah dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Di sisi lain, Kementerian Pendidikan Kebudayaan terus menggenjot gerakan literasi yang menonjolkan aspek pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik. Namun sayang, ketidakpedulian generasi muda Indonesia menjadi hambatan yang luar biasa dalam mengatasi fenomena miris bahasa ini. Apabila hal ini tidak segera diatasi maka generasi muda Indonesia akan mudah sekali terkena wabah campur kode sejak dalam berbahasa. Ketika hal itu terjadi maka kesadaran kultural berbangsa dan bertanah air akan dengan sendirinya tercerabut sehingga generasi muda Indonesia menjadi generasi yang niridentitas. Imajinasi untuk mewujudkan Indonesia emas dan pola pikir kritis dapat rusak seutuhnya karena sistem otak yang memproses penggunaan bahasa benar-benar telah terganggu bahkan rusak. Betapa mengerikannya apabila Indonesia dengan bonus demografi dihuni oleh generasi muda yang bimbang, sejak dalam menentukan identitasnya. Permasalahan ini perlu segera

diatasi. Diperlukan pemimpin muda yang mampu membangkitkan kembali kesadaran kultural melalui pengaplikasian pembelajaran bahasa Indonesia di masyarakat. Kesadaran tersebut dapat diperoleh melalui strategi kepemimpinan Maju dan Berani Berbahasa Indonesia (Madani Bisa).

Penelitian sebelumnya yang menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian berjudul “Pembelajaran Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat 5.0”. Penelitian ini dilakukan oleh Eka Suci Hidayati, dan Puput Andani. Dipublikasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang pada Januari 2020. Hasil dari penelitian ini adalah aspek pembelajaran bahasa Indonesia dalam Perspektif Era Masyarakat 5.0, ditinjau dari peran siswa, pendidik, bahan ajar, dan pembelajaran (Hidayati, dan Andani, 2020). Meskipun penelitian ini telah membahas strategi pembelajaran bahasa Indonesia pada era masyarakat 5.0, tetapi objek penelitianya masih sekolah dan belum tertuju pada masyarakat.

Penelitian kedua yang menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian berjudul “Tantangan dan Solusi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Covid 19”, penelitian ini dilakukan oleh Sujinah dari Universitas Muhammadyah Surabaya dan dipublikasikan dalam Jurnal Stilistika pada tahun 2020. Hasil dari penelitian ini ada empat, yaitu (1) tidak semua pendidik vokasi berlatar belakang bahasa Indonesia, (2) kreativitas pendidik dalam memecahkan persoalan bahasa Indonesia kurang, (3) rendahnya persepsi peserta didik

19

dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan (4) solusi yang dilakukan berupa pembuatan video materi terhadap berbagai pembelajaran genre teks bahasa Indonesia (Sujinah, 2020). Penelitian ini sudah memberikan solusi, tapi sama dengan penelitian pertama yaitu objek yang diambil adalah pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.

Berdasarkan dua penelitian kontemporer tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran bahasa Indonesia di masyarakat masih minim sehingga perlu untuk dilakukan. Keduanya memang membahas strategi pembelajaran bahasa Indonesia dengan objek penelitian generasi muda, tetapi ada batasan sekolah atau pendidikan formal. Oleh sebab itu, peneliti melakukan penelitian berjudul “Strategi Madani Bisa untuk Memperkuat Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda”. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan strategi “Madani Bisa” lengkap dengan desain pengembanganya.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan, yaitu menggunakan model pengembangan ADDIE (dalam Molenda, 2003). Langkah-langkah dalam model pengembangan ini adalah: (1) analisis, (2) desain, (3) pengembangan, (4) implementasi, dan (5) evaluasi.

Berdasarkan kebutuhan penelitian maka metode ini dimodifikasi hingga pada tahap implementasi. Ada dua fokus utama dalam penerapan strategi “Madani Bisa”, yaitu penerapan pada dunia

maya dan penerapan pada dunia nyata. Masing-masing, fokus dilakukan dengan tiga tahap metode penelitian pengembangan ADD. Ketiga tahapan ini sesungguhnya merupakan pengembangan gagasan dalam menerapkan strategi “Madani Bisa” dalam masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi kepemimpinan “Madani Bisa” dapat diterapkan oleh politikus muda atau kaum muda yang berniat untuk terjun ke dunia politik. Tidak mudah dan dibutuhkan keberanian untuk mau menggunakan bahasa Indonesia di ranah publik dan sesama kaum muda. Strategi “Madani Bisa” bukan berarti mengembalikan kondisi berbahasa masyarakat seperti era Orde Baru dan membuat ragam bahasa menjadi ragam formal seutuhnya. Strategi ini juga mengakomodasi penggunaan bahasa gaul yang dicetuskan oleh generasi muda Indonesia. Bahasa gaul bukan berarti harus berbahasa asing. Jargon-jargon baru seperti “petrus (pepet terus)”, “santuy”, “jakandor (jangan kasih kendor)”, dan sebagainya merupakan ragam kosakata bahasa Indonesia itu sendiri. Setiap daerah, setiap generasi, dan setiap kelompok penutur memiliki bahasa gaulnya masing-masing dan ini juga termasuk dalam ragam bahasa Indonesia. Sangatlah baik dan bijak jika para politikus muda mampu mengangkat bahasa Indonesia dan juga sesekali mengangkat kosakata gaul yang tidak kebarat-baratan melalui strategi “Madani Bisa”. Secara spesifik, strategi “Madani Bisa” diterapkan dengan dua cara yaitu, (1) Madani Bisa dalam dunia

20

maya dan (2) Madani Bisa dalam dunia nyata. Madani Bisa dalam Dunia Maya Berdasarkan data yang dihimpun dari laman statistik dan survei dari laman lembaga statistik internetworldstats.com (2019) tercatat sebanyak kurang lebih 171.260.000 masyarakat Indonesia menggunakan internet hingga Juni 2019. Data tersebut menunjukkan bahwa ada sekitar 63,5 % penduduk Indonesia menggunakan internet. Berdasarkan jumlah tersebut, sekitar 130.000.000 orang tercatat menggunakan jejaring sosial facebook. Temuan ini menandakan bahwa komunikasi masyarakat Indonesia juga dilakukan dalam realitas maya berupa media sosial.

Berbicara tentang media sosial, data mutakhir yang dikalkulasi oleh laman statistik wearesocial.com pada Oktober 2019 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia selalu terlibat aktif dalam berbagai media sosial populer. Data tersebut mencatat jumlah pengguna media sosial khususnya facebook, instagram, twitter, Snapchat, dan Linkedin. Hasilnya adalah Indonesia selalu masuk dalam peringkat 20 besar pengguna media sosial terbanyak di dunia. Tiga dari lima media sosial yang disurvei menunjukkan dominasi Indonesia dengan menduduki peringkat sepuluh besar pengguna terbanyak di dunia.

Pada tahap analisis data, peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat tiga sebagai negara pengguna facebook terbanyak di dunia. Data menunjukkan setidaknya ada 123.000.000 warga Indonesia menggunakan facebook.

Hal itu berarti 57% populasi Indonesia memiliki akun facebook.

Pada tahap analisis data, peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat 4 dunia dalam hal pengguna instagram. Terdapat 60.000.000 masyarakat Indonesia menggunakan instagram. Hal itu berarti 28% populasi Indonesia adalah pengguna instagram.

Pada tahap analisis data, peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat 8 dunia dalam hal pengguna Linkedin. Terdapat 14.000.000 masyarakat Indonesia menggunakan Linkedin. Hal itu berarti 7% populasi Indonesia adalah pengguna Linkedin.

Pada tahap analisis data, peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat 11 dunia dalam hal pengguna twitter. Terdapat 6.490.000 masyarakat Indonesia menggunakan twitter. Hal itu berarti 3% populasi Indonesia adalah pengguna twitter.

Pada tahap analisis data, peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat 14 dunia dalam hal pengguna snapchat. Terdapat 6.300.000 masyarakat Indonesia menggunakan Linkedin. Hal itu berarti 3% populasi Indonesia adalah pengguna instagram.

Data yang telah dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat aktif mengunjungi realitas virtual atau realitas maya melalui internet. Hasil survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia membutuhkan waktu 3--4 jam per hari dalam mengakses internet.

21

Keberadaan politikus muda yang mampu menyasar dunia maya, khususnya media sosial merupakan kunci untuk memberikan pengaruh pada masyarakat. Pada kesempatan inilah strategi “Madani Bisa” mulai dimainkan. Politikus muda yang memiliki rasa cinta pada negara Indonesia akan berani menyosialisasikan program-programnya dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui laman dan media sosial sudah melakukan hal ini. Kosakata baru dan pengetahuan kebahasaan dikemas secara inovatif melalui meme, video pendek, dan infografis kebahasaan. Namun, tidak banyak yang menyambutnya. Ketika generasi muda, khususnya politisi muda, mampu menganggap hal ini sebagai peluang, maka itulah dasar dari wujud keberanian mengangkat harkat dan martabat negaranya. Namun sebaliknya, unggahan oleh generasi muda, didominasi oleh campur kode, sehingga dapat dipastikan bahwa konsistensi dan rasa percaya diri terhadap negeri sendiri patut dipertanyakan.

Konsistensi para politisi muda terhadap pemenuhan visi misi dan janji politik, tidak hanya dilihat dari seberapa besar tujuan yang hendak dicapai, melainkan dari hal yang paling sederhana, yaitu penggunaan bahasa Indonesia. Mengutamakan bahasa Indonesia dalam setiap unggahan merupakan representasi pemikiran orang muda yang berani, percaya diri, dan konsisten pada visi misinya. Namun sebaliknya, apabila ditemukan banyak sekali campur kode dalam setiap unggahan akun media sosial politisi muda,

konsistensi pemikiran hingga kebanggaan pada bangsa dan negara patut diragukan.

Madani Bisa dalam Dunia Nyata Setelah merepresentasikan diri dalam realitas maya, maka perlu gerakan nyata untuk megaktualisasikan kemampuan strategi “Madani Bisa” dalam kehidupan sehari-hari. Percaya diri merupakan kunci dari kesuksesan strategi ini. Kaum muda sering merasa malu menggunakan bahasa Indonesia dalam mengungkapkan gagasan politiknya. Inilah wujud mental inferior atau Nietzche (dalam Wibowo, 2017) menyebutnya sebagai mental budak. Mental budak merupakan mental terjajah (inlander) yang memosisikan diri di bawah tuannya. Kolonialisme yang berkepanjangan dan rasa merdeka yang belum seutuhnya merdeka membentuk alam bawah sadar masyarakat Indonesia bermental budak atau berkesadaran magis. Pakar pendidikan Brazil, Paulo Freire mengatakan bahwa diperlukan kesadaran kritis untuk keluar dari kesadaran magis ini (2016). Kesadaran kritis dapat dibentuk melalui bahasa.

Berbicara tentang kesadaran kritis bahasa, Jepang dapat dijadikan sebagai contoh. Salah satu negara maju di Asia ini berani memasarkan produknya menggunakan bahasanya sendiri. Pada tahun 2000-an, Jepang melakukan ekspansi mainan anak-anak dengan produk tamiya. Ekspansi tersebut juga sampai di Indonesia dan digemari oleh anak-anak dalam negeri. Uniknya, Jepang menjual produk mainan ini dalam bentuk belum terakit. Pembeli diminta merakit sendiri mobil-

22

mobilan tamiya yang dibeli. Panduan dalam merakit mainan tersebut berbahasa Jepang, ditulis menggunakan huruf Jepang. Di Indonesia, sangat sedikit sekolah dasar yang mengajarkan bahasa Jepang, tetapi hal itu tidak melunturkan daya beli anak-anak Indonesia pada produk tamiya. Di sisi lain, Jepang sangat percaya diri dalam berbahasa.

Kondisi di Indonesia sebaliknya, ketidakpercayaan diri masyarakat tecermin sejak dalam tipografi huruf. Semakin lama semakin sering kita menemukan papan nama atau penunjuk tempat di ruang publik berbahasa asing dan ditulis dengan ukuran yang lebih besar daripada bahasa Indonesia. Bahasa asing menjadi prioritas dan mendapat tempat serta ukuran spesial di ruang publik.

Strategi “Madani Bisa” dapat menjadi solusi untuk membuat generasi muda di negeri ini bermental pemimpin (bermental tuan). Pengutamaan bahasa asing di ruang publik adalah solusinya. Membuat baliho, pamflet, hingga ruang kerja kreatif yang kaya akan bahasa Indonesia menjadi menarik. Mengakomodasi berbagai bahasa gaul dari berbagai wilayah di Indonesia serta mengolaborasikan dengan bahasa Indonesia adalah wujud nyata membuat anak bangsa semakin percaya diri.

Politikus muda ini juga harus mampu membuat produk dalam kampanye politiknya dan menyosialisasikan produk unggulan tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Satu hal lagi yang sering disepelekan adalah pidato di ruang publik. Anak muda sering ingin terlihat pintar dengan cara berpidato

dengan mencampur aduk bahasanya. Padahal ini menunjukkan bahwa pola pikir penutur sangat acak dan tidak konsisten. Salah satu solusi yang tepat adalah berpidato menggunakan bahasa Indonesia. Boleh sesekali disisipi bahasa gaul, tapi bukan bahasa asing. Apabila ingin berpidato menggunakan bahasa asing maka dari awal hingga akhir pidato harus berbahasa asing agar konsisten dalam menyampaikan pendapat. Strategi “Madani Bisa” dalam realitas nyata dapat diimplementasikan sejak dalam bertutur, dalam rapat, hingga dalam pidato atau kampanye di ruang publik. Semakin sering politikus muda berbahasa Indonesia di ruang publik maka semakin konsistenlah dia dalam memajukan bangsa dan negaranya. Desain dan Pengembangan

Pada dasarnya ada empat tahap mengembangkan desain “Madani Bisa”. Pertama, generasi muda harus peka terhadap kesalahan berbahasa. Selain peka terhadap kesalahan berbahasa, generasi muda harus mampu menyaring antara penggunaan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Generasi muda tidak boleh terjebak Xenoglosofilia atau kecintaan terhadap bahasa asing yan berlebihan.

23

Kedua, generasi muda memantapkan diri untuk berani mengubah kesalahan berbahasa di sekitarnya.

Ketiga, generasi muda harus akrab menggunakan piranti dari Badan Bahasa seperti instagram dan laman Badan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan Tesaurus Bahasa Indonesia.

Keempat, generasi muda berani menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat baik melalui media sosial (dunia maya) dan melalui forum diskusi tatap muka (dunia nyata).

Penerapan strategi “Madani Bisa” ini harus diimplementasikan pada masyarakat dan dalam ajang kepemimpinan kaum muda. Bahkan, hendaknya strategi ini dielaborasikan dengan pembekalan jiwa kepemimpinan kaum muda sehingga ke depan, Indonesia memiliki pemimpin yang sadar berbahasa Indonesia.

Implementasi Sebelum diimplementasikan, Strategi “Madani Bisa” divalidasi oleh validator terlebih dahulu. Validator dalam penelitian ini ada dua. Validator pertama adalah Wenny Wijayanti, M.Pd., dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun. Validator kedua adalah Gamal Kusuma Zamahsari, M.Pd., dosen Bahasa Indonesia Keilmuan di Universitas Bina Nusantara Malang. Kedua validator merupakan dosen yang memiliki kepakaran dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia dan pengalaman mengajar lebih dari tiga tahun.

Secara umum hasil validasi dari kedua ahli ini menyepakati bahwa

Strategi “Madani Bisa”, layak untuk diterapkan. Meskipun demikian, terdapat beberapa aspek yang perlu dibenahi untuk proses pengembangan lebih lanjut.

Validator pertama memberikan saran pada aspek ketiga. Berdasarkan hasil validasi, saran dari validator pertama adalah perlunya langkah spesifik menggunakan peranti kebahasaan dari Balai Bahasa. Hal ini disebabkan oleh tidak semua generasi muda akrab dengan peranti-peranti tersebut.

Validator kedua memberikan saran pada aspek keempat. Berdasarkan hasil validasi, saran dari validator keempat adalah perlunya tambahan langkah konkret berupa aksi nyata penggunaan bahasa Indonesia yang tepat bagi pengguna strategi ini. Pengguna Strategi “Madani Bisa” diminta untuk menjadi model sekaligus contoh bagi orang-orang disekelilingnya dalam berbahasa Indonesia secara tepat.

Implementasi awal Strategi “Madani Bisa” dalam penelitian ini dilaksanakan di Universitas Katolik Widya Mandala, Kampus Madiun dalam kegiatan Orasi Calon Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa tahun 2021--2022. Objek penelitian ini ada empat, terbagi dalam dua pasangan calon ketua badan eksekutif mahasiswa.

Berdasarkan implementasi awal, Strategi “Madani Bisa” terbukti efektif karena pasangan calon ketua BEM mengungkapkan visi, misi, dan jawaban mereka menggunakan bahasa Indonesia secara tepat. Ketika dianalisis lebih lanjut, terdapat 5% kesalahan berbahasa selama orasi. Kesalahan tersebut didominasi oleh xenoglosofilia

24

bahasa Inggris sebanyak 3%, campur kode bahasa Jawa 1% dan bahasa gaul 1%.

Terdapat tujuh kosakata yang tidak sesuai dengan ketepatan bahasa Indonesia, yaitu event, image, online, offline, enggak, dan banget. Selain itu, mahasiswa mampu mengomunikasikan orasi dan menjawab pertanyaan dari moderator menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Implementasi dan hasil validasi tersebut menjadi koreksi bagi peneliti untuk dapat menyempurnakan proses pengembangan Strategi “Madani Bisa”. Proses ini terus dikembangkan sehingga semakin layak untuk dapat diimplementasikan pada masyarakat, khususnya bagi generasi muda dalam segala bentuk forum kepemimpinan. SIMPULAN Indonesia saat ini berada dalam bonus demografi. Kondisi ini menjadi gemilang jika dikembangkan dengan optimal dan menjadi bumerang jika diabaikan. Salah satu upaya untuk mengembangkan adalah memperkuat penggunaan bahasa Indonesia dalam literasi politik kaum muda. Sumpah pemuda yang menjadi cikal bakal terwujudnya negara kesatuan Republik Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mampu membentuk kesadaran kultural kaum muda untuk menjadi merdeka. Kesadaran kultural yang perlahan sirna oleh penindasan bahasa asing harus diatasi. Strategi Maju Berani Berbahasa Indonesia (Madani Bisa) adalah solusinya. Strategi ini digunakan oleh kaum muda yang ingin terjun dan melibatkan diri

dalam perpolitikan. Strategi “Madani Bisa” dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) Madani Bisa dalam Dunia Maya dan (2) Madani Bisa dalam Dunia Nyata. Kedua strategi ini harus berjalin berkelindan satu sama lain untuk merebut kembali rasa bangga dan rasa cinta berbangsa dan bernegara para kaum muda. Untuk menyelaraskannya, diperlukan desain pengembangan strategi “Madani Bisa”. Ada empat tahap dalam desain pengembangan tersebut. Strategi “Madani Bisa” harusnya diintegrasikan dengan literasi politik kaum muda sehingga dapat menjadi kunci menuju Indonesia emas 2045. DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia. (2018). Laporan Survei: Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Jakarta: APJII.

Freire, Paulo (2016). Pendidikan Kaum Tertindas. Depok: LP3S.

Lanin, Ivan. (2018). Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Gramedia.

Saryono, Djoko. (2019). Literasi: Episentrum Kemajuan Kebudayaan dan Peradaban. Malang: Pelangi Sastra Malang.

Wagner, Tony. (2010). The Global Achievement Gap. New York: Basic Books.

Wibowo, Setyo A. (2017). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.

Hidayati, Eka Suci dan Puput Andani. 2020. “Pembelajaran Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat 5.0”. Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana

25

Universitas PGRI Palembang. 10 Januari 2020, hlm 877--888.

Sujinah. 2020. “Tantangan dan Solusi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Covid 19”. STILISTIKA: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Vol 13, No2, Juli 2020, hlm 256--271. Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Internetwordstats.com. 2019. Asia Internet Use, Population Data and Facebook Statistics June 30-2019. (https://www.internetworldstats.com/stats3.htm).

Molenda, M (2003) In Search Of The Elusive ADDIE Model. Diperoleh pada 5 Desember 2012. (htttp://www.Comp. Dit.Ie/dgordon/courses/ILT/ITL0004/In Search Of Elusive ADDIE.Pdf.

Wearesocial.com. 2019. Largest Facebook, Instagram, Linkedin. Twitter, Snapchat Advertising Audience. (https://wearesocial.com/blog/2019/10/the-global-state-of-digital-in-october-2019

26

STUDENTS’ PERSPECTIVES TOWARD TEACHER’S WRITTEN CORRECTIVE FEEDBACK: A VOICE FROM UPPER SECONDARY

SCHOOL STUDENTS IN SURABAYA

Perspektif Siswa Terhadap Written Corrective Feedback (WCF): Suara dari Siswa SMA di Surabaya

Ariesta Ajeng Ludi Paramita Hingis Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

Fajar Susanto Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected] Abstract: This study aims to illustrate the students’ perspective toward the teacher’s written corrective feedback (WCF) given by the English teacher to the students’ writing. This study is conducted in the frame of qualitative case study in which 10 students of a Private Senior High School were involved to collect the data. Semi-structured interview was conducted to those students and the data obtained were analyzed using thematic analysis. The results of the current study illustrated that WCF raises the students’ self-awareness to the writing mistakes, and becomes a medium for the teacher to give more attentions to students in the learning process. WCF is also the guidance for students to write better. But the teacher should be careful to give WCF to the certain students who are categorized as lazy students. This study is expected to give valuable information for English teachers that WCF is needed by the students in writing leaning process. Keywords: students’ perspectives, corrective feedback, written corrective feedback Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah mengilustrasikan perspektif siswa terhadap written corrective feedback (WCF) yang diberikan oleh guru bahasa Inggris terhadap tulisan mereka. Penelitian ini dilakukan dengan kerangka studi kasus kualitatif di mana 10 siswa Sekolah Menengah Atas Swasta di Surabaya dilibatkan untuk mengambil data. Interview semi-terstruktur dilakukan pada siswa-siswa tersebut dan data yang diperoleh di analisis menggunakan analisi tematik. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa WCF meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap kesalahan menulis dan menjadi sarana bagi guru untuk memberikan banyak perhatian kepada siswa dalam proses belajar. WCF juga panduan bagi siswa untuk menulis lebih baik. Akan tetapi guru harus berhati-hati untuk memberikan WCF kepada siswa yang dikategorikan malas.

27

Kajian ini diharapkan memberikan informasi penting bagi guru-guru bahasa Inggris bahwa WCF dibutuhkan oleh siswa dalam proses belajar menulis. Kata-kata kunci: perspektif siswa, corrective feedback, written corrective feedback INTRODUCTION Corrective feedback in English as Foreign Language (EFL) writing plays an important role in showing the evidence of errors of language form made by students in their writing. According to Ellis (2009), corrective feedback provides a justification or a correction to the students’ work or assignment. While Poulos & Mahony (2008) asserted that corrective feedback implemented by the teacher gives effective impacts to enhance their learning and to facilitate the students to increase their knowledge.

In addition, corrective feedback also has some impacts not only to develop the students write but also to learn many vocabularies. It is an accordance with Ferris, et al. (2013) in which the corrective feedback can direct the students learn how to write and to learn many vocabularies. However, this corrective feedback according to Ferris, et al. (2013) takes more time for teacher to give comments to the students writing. Moreover, Amrhein & Nassaji (2010) asserted that many students did not understand the corrective feedback given because of the unclear comments. Therefore, the students did not revise their writing as suggested by their teacher.

From the explanation above, it can be emphasized that there are two consequences of corrective

feedback for students when a teacher does WCF, that is, positive and negative impact. The positive impact of written corrective feedback (WCF), according to Ferris (2010), is that, WCF can facilitate the students to a better understanding of the language system when they write a paragraph and they can write the paragraph effectively. While, Bithcener & Knoch (2008) testified that WCF can make the ESL students write a paragraph better.

The negative impact of WCF was reported by Lee (2013) that WCF has made the students unmotivated to correct their writing because the students needed a direct feedback from their teacher in the classroom to understand the mistakes and can revise the mistakes in the class. In addition, written corrective feedback that is arbitrary has made the students get difficulties to understand the feedback suggested by the teacher.

Looking at some perspectives presented above, it is still important to explore WCF from the students’ perspective. In this article, the students’ perspectives toward the teacher’s written corrective feedback: a voice from upper secondary school students will be discussed. As stated before, written corrective feedback not only enhances the students’ writing skill but also motivates the students to write better, as well as influence

28

students’ cognitive, behavioral and affective engagement with the written corrective feedback.

REVIEW OF RELATED LITERATURE Feedback to Teaching Writing One aspect in the writing skill is about how the students can write coherently. This thing becomes one aspect that is sometimes difficult to learn in terms of connecting ideas, especially in learning foreign language such as English. Therefore, the appropriate teaching method is needed to be applied in the writing teaching processes. Alharbi (2017) claimed that a method taught to students has to contain a common writing instruction that can help the students’ difficulties in writing especially in their contact with foreign language. The writing instructions given in teaching writing are guidance for the students to develop their writing. While corrective feedback is the follow-up to the students’ work. In other words, corrective feedback to students’ writing is an approach to teaching writing to develop the writing specially to write sentences grammatically and coherently.

This approach is expected to make a positive progress for students to write. The students are expected to produce a good writing in which according to Pincas (1982b) in Badger & White (2012) the writer should consider an aspect of writing, that is, the role of linguistic knowledge especially in the use of appropriate vocabularies, syntax and cohesive devices.

Feedback can be done to repair some mistakes to linguistic aspects written by the students in

their writing. The role of teacher in this phase is crucial to improve their knowledge of the linguistic aspects and the students can make some revisions. This approach is a manner for teacher to help students move forward in their learning.

Written Corrective Feedback (WCF) Corrective feedback is a way in which the teacher gives some comments to students’ writing in order that there are some changes or corrections toward their writing mistakes (Mack, 2009). The mistakes and errors conducted in the students’ writing must be identified and showed to the students. It is asserted by Ellis (2009) that corrective feedback is a justification or correction of students' work. Corrective feedback is required not only to enhance students' ability in writing but also to give more knowledge in the use of language, such as ability in linguistic system, in making sentences, and in combining ideas. While, according to Poulos & Mahony (2008), corrective feedback is effective for the students to enhance their learning and to facilitate them to increase their knowledge. Feedback can be done by directly writing some comments to the students’ work in the class or after the class. This way is called written corrective feedback in which the teacher can write some notes or comments to the students’ work and afterward the students learn to revise and correct the mistake showed.

Ferris (2010) stated that WCF conducted by a teacher has two positive impacts to the students. One side, this activity has

29

facilitated the students to understand the linguistic system better so that they can compose a paragraph better and the other side, written corrective feedback also makes the effectiveness of text written by the students. According to Zheng & Yu (2018), students are engaged and influenced by written corrective feedback because the revision done by the students in their writing affect them to understand where the mistakes are made, so that they remember and have less chance to make the same mistake in the future. This research has applied for 12 students writing class in China.

However, the students also find some difficulties to understand what teacher means in the feedback. This happens because the written corrective feedback given to the students is mostly done by the teacher outside the classroom. In other words, comments, notes and suggestions given to the students are not conducted together with the students in the classroom. Therefore, this situation, Lee (2013) described, has made the students not respond to the feedback and they are unmotivated to revise the mistakes in their writing.

In conclusion, Farjadnasab & Khodashenas (2017) stated that WCF certainly have a greater effect to the students’ accuracy in their writing and they can produce better progress in their writing. The implementation of written corrective feedback in the learning process can be adjusted to objectives of learning and competence that is going to be achieved. The increase of ability to write can be directed to the long-

term improvement of the students’ skills.

Types of Corrective Feedback There are three types of feedback in English writing implemented by a teacher when they are teaching writing, that is, form-focused feedback, meaning-based feedback, and integrated feedback (Park, 2006). The first is form-focused feedback in which this feedback focuses on the use of grammar in the sentences. English is different from Indonesian language in manifesting tense and aspect so that it makes English learners in Indonesia get difficulties to use grammar well (Fajar, 2011). Therefore, some students do some mistakes and errors in using English grammar and the teacher should give more attentions to these problems when teaching writing. The second is meaning-based feedback. This category emphasizes on the content of students’ writing, how the students can compose the sentences into a relevant meaning and how the students can make sense the sentence as unity into paragraph. The last of this type is integrated feedback. It is the combination of the first type and the second type. Grammar correction and content-related feedback can be done at the same time to give some comments to the writing students, in enhancing their writing.

Grammatical System in English Sentences According to Beaugrande & Dressler (1981) linguistic system is as unit beyond sentence. It means that linguistic system contains some rules used to make a text such as

30

grammatical category, language style and functional sentence perspective. This system made in order to produce meaningful text so that the reader understands what the text talks about.

Grammar is a system of a language that governs how the sentences can be well structured. Therefore, writing that involves a text must be written based on the rules of the language system in order that a text can be arranged meaningfully (Uibu & Liiver, 2015). Grammar is crucially important in writing because it determines how the sentences can be well-structured and the readers can understand well. The ability in the system of language called grammar also influence how the writer writes well based on the system provided by the language. Besides, the grammar is a guide for the users of the language in making meaningful sentences. If a different structure is arranged, different meaning will be obtained although the sentences have the same components. In other case, Kusumawati (2019) showed that the students who learn grammar will tend to be more interested in studying English and also give a positive influence in writing. They can write sentences correctly in their paragraphs. METHOD To capture the students’ perspective toward Written Corrective Feedback (WCF), this study involved ten students of a private Senior High School in Surabaya. The study was designed as qualitative case study. The design was in line with de Silva Joyce and Feez’s definition of a case study (2016: 242) in which “the

information and the data collections are based on the particular participant or a small group”.

The data collection was conducted by collecting all the students’ works that have been given feedback by the teacher. Then, ten students were chosen to be interviewed. The semi-structured interview was conducted using voice recording of WhatsApp in smartphone. The data collected were analyzed using thematic analysis in which based on Braun & Clarke (2006), it includes: (1) becoming familiar with the data, (2) generating initial codes, (3) searching for themes, (4) reviewing themes, (5) defining themes, and (6) writing-up. RESULTS AND DISCUSSION Written Corrective Feedback Raises the Students’ Self-awareness to Writing Mistakes The data findings show that the students’ self-awareness to writing mistakes can be raised through WCF. By implementing WCF, the students can easily be pointed the mistakes they made. Therefore, the students are aware of those mistakes and can repair those mistakes. They also learn more through this process, because not only does the teacher indicate the mistake but the teacher also gives some comments about the mistakes why those are wrong. That’s why the students perceived that WCF is important to develop their knowledge and also to raise their awareness to the mistakes they made during writing process.

The finding not only supports what have shown by Ellis (2009) in which WCF is to justify to the

31

students’ work but it also presents a new perspective pointed out by the students that WCF is significant to raise their awareness to the mistakes made during writing process. The students realized what and where the mistakes they have made in their composition. Therefore, they can easily correct the mistakes pointed out in the feedback. It can be seen from the extracts given below. Extract 1 Mentari : From the feedback

given, I know where mistakes I made and try not to do the same mistakes.

(“Karena melalui feedback yang diberikan saya lebih tahu dimana letak kesalahannya dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi.”)

As can be seen in extract 1,

Mentari asserted that she knew where the mistakes are through written corrective feedback given by her teacher then she was able to fix those mistakes into appropriate one. But one thing that should be considered from this extract is, how she realized her mistakes and understood that the mistake will not happen in the future. This is an interesting finding that the mistake the student made was happened because that student did not know it. The student was also attracted with the mistake showed by her teacher with some comments in their work so that it would give her self-awareness to what has been done. Therefore, it can be efficient to raise the student’s awareness in writing progress. It means that the student is aware of what mistake

did when she/he writes a composition: such as grammar, spelling, and other construction of English language. This written corrective feedback has given impact to the appropriate use of language and system of grammar of the language in the writing. The student can write a better composition with less mistakes and comprehensive composition.

Another student named Venus also explicitly stated that he realized that he has done some mistakes in constructing appropriate word-choice into sentences after being given written corrective feedback by his teacher. WCF much helped him to produce a meaningful sentence. It indicated that his self-awareness to the mistakes was constructed because of written corrective feedback given in his writing. The excerpt of the data can be seen from the following extract.

Extract 2 Venus : Yes, mam. I think written

corrective feedback is important to me especially in writing skill because I know where and which mistake, I have in order to construct appropriate word.

(“Ya, bu. Saya rasa written corrective feedback itu penting bagi saya khususnya dalam keahlian menulis, karena saya menjadi tahu dimana dan kesalahan yang mana telah saya buat dalam menyusun penempatan kata yang tepat”)

This excerpt of data presents

that WCF is able to construct the

32

students’ self-awareness to writing mistakes because they knew what and where mistakes they had through their teacher’s written corrective feedback, so that the students were able to correct those mistakes appropriately. This finding supports what have shown by Ellis (2009) that WCF was important for students to enhance the students’ writing competence, especially their self-awareness to the mistakes when they write.

Written Corrective Feedback is a Teachers’ Attention to the Students’ Work The finding pointed out that WCF is related to teacher’s care and attention to students. According to the students, WCF can be the form of attention of teacher to the students work. The students felt that WCF is very needed by the students not only as the form of attention given by a teacher to the students but also as the kindness of the teacher to help the students in their learning, in their writing process. Therefore, the students do like this manner because they have been paid more attention whether or not they have written a good work.

This attention also concerned in students’ psychological emotion in which the students felt that the teacher and students have a good relationship during their learning. Students thought that the teacher giving a feedback in the students’ writing means that the teacher really gives more attention and facilitate to the students in their learning. Furthermore, the teacher’s attention by giving feedback is not only as a teacher’s care but also as guidance for students to revise their

writing as well as a good communication also bind up with the teacher and student. The excerpts data can be seen as follows. Extract 3 Star : Yes miss, in my opinion, the

teacher who gives feedback to the students’ work looks like they care and help the students, not a teacher who just let the students whether they understand or not.

(“Iya kak menurut saya kayak gurunya peduli gitu sama murid jadi diberikan pembetulan, nggak kayak guru yang diem-diem aja gitu kayak nggak peduli paham atau nggak muridnya itu kak.”)

From the extract, it can be interpreted that the students need more attentions from their teacher and WCF can be one of teacher’s attentions given to the students. In other words, the teacher not only give written corrective feedback but also give more attention in the progress of learning his/her students. The students can motivate themselves when they have more attentions from their teacher. Therefore, it can affect their motivation in writing because they feel that their teacher helps them when they have difficulties in writing or when they make some mistakes.

The students also perceive that written corrective feedback is the form of communication between the teacher and his/her students. The communication between them happens in learning processes in or out of the class. The communication conducted in the written form in the students’ work is able to give

33

conducive learning process in writing class. Less students can initiate to communicate with their teacher during the class and written corrective feedback has been a bridge for them in the learning process in negotiating what they learn in the class.

In addition, similar with the student in extract 3, the other student also perceived that written corrective feedback is one of teachers’ attention to the students that the teacher willing to give the right correction to the students’ mistakes so that the student did not make the same mistakes and motivated the students to write more confident later on. Venus also argued that WCF can make a good relationship between the teacher and student in the learning process. Communication between teacher and student happen through this feedback in which they are interacting in a process of learning to achieve the same goal, namely, learning achievement in writing. It can be proven from the extracts below. Extract 4 Venus : That is right, Miss. For me,

giving feedback is one of attention given by a teacher to the student then it makes their relationship better.

(“Betul,Miss. menurut saya ketika guru memberikan feedback kepada murid itu merupakan suatu perhatian kepada muridnya, sehingga hubungan murid dengan guru menjadi baik.”)

Based on the excerpt data, WCF

proved that there is a gap between teacher and students in relation to

communication in the class during learning process. Not all students can communicate their problems to their teacher. Therefore, WCH becomes a bridge for teacher and students in their communication. The students who are difficult to communicate with their teacher can be motivated to have a better communication in terms of their work after giving feedback by their teacher. The mistakes shown by teacher through the feedback become topics for their communication, students are encouraged to ask about what to do and they can do revision based on what suggested by their teacher.

Furthermore, WCF has built a better relationship between teacher and students because they shared knowledge each other. Han (2017) revealed that the frequency of the interaction between students and teacher can transform the students’ cognitive, behavior and affective in learning process. In relation to this finding, communication that is built up indicated that teachers’ attention with written corrective feedback influenced students’ cognitive, behavior and affective such as students are motivated to fix their writing mistakes because the teacher guides them and they were confident to write.

Written Corrective Feedback is Guidance for Students to Write Better It is interesting finding that written corrective feedback not only justifies the students’ work but becomes a guidance for the students to write better under teacher’s feedback. It means that teacher is really a facilitator for students in

34

their learning, especially in writing learning. The students perceived that they are able to produce the comprehensive writing because of the written corrective feedback given by their teacher. The feedback given has opened the students understanding about what mistakes they have made in their writing and appropriate correction was done based on the teacher feedback in their writing. It can be seen from the extract below how the student, Bumi, perceived that he got a significant impact from the written corrective feedback. Extract 5 Bumi : Feedback brings significant

effect in my writing skill, that is, I know how to write well and orderly. Afterwards, I try to learn how to write better based on the English standard.

(“Feedback itu sangat significan dampaknya dalam tulisan saya, yaitu saya tau penulisan yang benar itu seperti ini dan semakin rapi juga, selebihnya saya mulai memperbaiki cara menulis saya dengan baik dan sesuai standar penulisan dalam bahasa inggris.”)

As can be seen in extract 5, Bumi perceived implicitly that written corrective feedback brought significant improvement to the students’ writing in which the feedback given by the teacher has revealed and guided the students to repair their writing. The result of this feedback is the students can create a well and orderly writing.

The same perception comes from Virgo, one of the students who got written corrective feedback

from his teacher. He said that written corrective feedback motivated him to write better and to write carefully. It is in line with what Sheen (2007) delivered that written corrective feedback becomes important to contribute to development of language. It gradually improves the students’ language in writing. That’s why the written corrective feedback really becomes the guidance for students to write orderly and comprehensive with well-structured sentences in the English standard. The extract can be seen below. Extract 6 Virgo : Yes, it is right, mam! I get

the positive thing from the written corrective feedback in my writing skill in which the feedback gives the appropriate justification and motivates me to write better and carefully. (“Betul bu, Saya mendapatkan hal positif dari written corrective feedback dalam menulis karena memberikan pembenaran yang tepat dan memotivasi saya untuk menulis dengan teliti dan benar.”)

From the data presented, Virgo perceived that WCF is explicitly guidance for him to know the mistakes made in his writing and WCF gives a positive thing for him to write carefully, avoid the mistakes in composing sentences. The justification given through the WCF has motivated him to write better. In line with Mackey, et al. (2008) and Armhein & Nassaji (2010), WCF showed the students’ mistakes and what the right correction they have

35

to do. The feedback helped him improve the accuracy of the draft he wrote. In addition, another positive thing that is found in this finding is that the student’s motivation to learn better and better. This indicates that the accuracy of the use of language becomes the consideration of teacher to correct the mistakes and errors made by the student. The student is easily led how to compose well-form sentences by giving constructive feedback and the student can easily do revision. Written Corrective Feedback is a problem for lazy students Based on the findings presented before, the students mostly expressed positive perspectives towards written corrective feedback given by their teacher in their writing. However, written corrective feedback becomes a problem for some students. Not all students can receive written corrective feedback. For instance, Matahari perceived that although the written corrective feedback is good for students, she was not interested in written corrective feedback. In other words, written corrective feedback will not give any impact at all as long as the students are lazy to do some repairs to their writing. Matahari becomes a portrait of a student who is not motivated in her learning. The extract 7 showed how she was no progress to her writing. Extract 7 Matahari : Actually, written

corrective feedback is very good, Miss, because it can make me get good mark, but sometimes I am lazy to

read the feedback so that I don’t repair my writing

(“Sebetulnya dampaknya baik banget mbak bisa jadiin nilai lebih baik tapi kadang aku males buat lihat feedbacknya sehingga saya tidak memperbaiki tulisan saya”)

The effectiveness of WCF in

this context is also influenced by personal factor of the student in learning process. Matahari is one of students that become a portrait of student influenced by inner-self factor, such as laziness. Whatever feedback given will not influence her cognitive and behavior. In line with what Hedgcock and Lefkowitz (1994) in Nagode et al (2014) reported that the foreign language writer was less motivated to receive written corrective feedback because their purpose of writing just fulfills the qualification requirement and may not be highly motivated to learn the language. Therefore, in this context laziness becomes the obstacles for the student to improve her writing although WCF has given to the student’s work.

Different from Matahari in negotiating the written corrective feedback toward impact given, Bulan also pointed out a pessimistic point of view of the effectiveness of WCF in which according to her, WCF did not give a significant impact to the improvement of her writing and also to the communication of the teacher and student. She perceived that some students become difficult to have interaction with their teacher. Even, when the feedback given could not be understood at all by the students. The gab happens in

36

this situation in which the students were difficult to ask about what was commented in their writing. The unclear comments have made some students be lazy to do repairs in their writing. Extract 8 Bulan : Actually, it does not bring

significant effect, Miss, because we did not communicate directly. So, we are reluctant to ask our teacher. Unless the teacher asked whether we understood or not, we braved to ask for the teacher what it was meant in the feedback. (“Kalau menurut saya tidak seberapa kak karena tidak berkomunikasi secara langsung jadi masih sering sungkan kalau mau bertanya kecuali kalau ditanya lagi sudah paham atau belum baru berani bilang.”)

From this extract, it can be interpreted that Bulan is influenced by inner-self factor in which her pessimistic view to WCF, since this process is not directly carried out in the class. And according to this student, a direct communication is needed in relation to how the feedback is delivered in the class and how to correct the mistakes. If there is no direct communication between the teacher and student in this process, WCF will not give a significant effect to the students’ writing. The gap between the teacher and student in having communication becomes a barrier factor for students to build their enthusiasm to write and to revise their mistakes during the learning process.

CONCLUSION This current study illustrates that WCF is very valuable for students to help them raise their self-awareness to what they have written. The students felt that WCF gives positive effects to their writing and also motivates them to write better using the right language. The students also learn from the mistakes how to use the appropriate words and construct them into sentences in English, and much more knowledge they get from this learning process. WCF is needed in writing learning process because the teacher not only teaches the students how to write but the teacher should also help and guide them as well as to give more attentions to the students. WCF is also the form of attention given by the teacher to his/her students to treat and to motivate the students to learn better. WCF must become the bridge between the teacher and students to communicate and interact in the learning process to improve their writing skills. However, inner-self factor such as laziness can make the students difficult to improve their writing to be better because the students unmotivated to correct the mistakes suggested through the feedback given. REFERENCES Alharbi, S., H. (2017). Principle

Eclecticism: Approach and Application in Teaching Writing to ESL/EFL Students. 10(2). doi: 10.5539/elt.vl0n2p33.

Allen, J., D. (1986). Classroom Management: Students’ Perspectives, Goals, and Strategies.

37

doi:10.3102/00028312023003437.

Armhein, H., R. & Nassaji, H. (2010). Written corrective feedback: What do students and teacher prefer and why?.

Badger, R. & White, G. (2012). A process genre approach to teaching writing.

Beaugrande, R., D. & Dressler, W. (1981). Introduction to Text Linguistics.

Bitchener, J. & Knoch, U. (2008). The value of written corrective feedback for migrant and international students. 12(3). doi:10.1177/13621688080809924.

Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2). 77-101.

de Silva Joyce, Helen and Feez, Suzan. 2016. Exploring Literacies: Theory, Research, and Practice. New York: Palgrave Macmillan.

Ellis, Rod. (2009). Corrective Feedback and Teacher Development. 1(1). doi:10.5070/l2.vli1.9054.

Farjadnasab, A., H. & Khodashanas, M., R. (2017). The Effect of Written Corrective Feedback on EFL Students’ Writing Accuracy.

Ferris, D., R. (2010). Second Language writing research and written corrective feedback in SLA: Instructions and Practical Applications. 32(2). 181-201. doi:10.1017/S0272263109996490.

Ferris, D., R. Liu, H. Sinha, A. & Senra, M. (2013). Written corrective feedback for individual L2

writers. 22(3). 307-329. doi:10.1016/j.jslw.2012.09.009.

Han, Y. (2017). Mediating and being mediated: Learner beliefs and learner engagement with written corrective feedback. 69. 133-142. doi:10.1016/j.system.2017.07.003.

Han, Z., H. (2002). Rethinking the role of corrective feedback in communicative language teaching. doi:10.1177/00368820203300101.

Kusumawati, E. (2019). Increasing students’ present continues tense mastery using grammar translation method at eight graders of MTs N 1 East Lampung in academic year 20018/2019.

Kimchi, J. Polivka, B. & Stevenson, J., S. (1991). Triangulation: Operational Definition. 40(6).

Lee, I. (2013). Research into practice: Written Corrective Feedback. 46(1). doi:10.1017/S0261444812000390.

Mack, L. (2009). Issues and Dilemmas: What conditions are necessary for effective teacher written feedback for ESL Learners? Polyglossia, 33-39.

Mackey, A. Al-Khalil, M. Atanassova, G. Hama, M. Logan-Terry, A & Nakatsuka, K. (2008). Teachers’ Intensions and Learners’ Perception about Corrective Feedback in the L2 Classroom. 1(1). 129-152. doi:10.2107/illt047.0.

Nagode, Gabrijela Petra, Pizorn Kamela and Jurisevic, Mojca

38

(2014). The Role of Written Corrective Feedback in Developing Writing in L2. ELOPE English Language Overseas Perspectives and Enquiries. 89-98. Doi:10.4312/elope.11.2.89-98

Park, E. (2006). Review Article on "The Effectiveness of Teacher's Written Feedback on L2 Writing". Retrieved from: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:kC98w3t9Tw0J:sspace.snu.ac.kr/bitstream/10371/2051/1/workingpapers_v5_61.pdf+&cd=1&hl= en&ct=clnk&gl=my&client=firefox-a

Paulos, A. & Mahony, M., J. (2008). Effectiveness of feedback: the students’ perspective. 33(2). 143-154. doi:10.108010260293061127869.

Quintanilla, S., A., R. (2008). Introduction: The meaning of work. 1(2-3). 81-89. doi:10.1080/09602009108408514.

Sheen, Y. (2007). The effect of focused written corrective feedback and language aptitude on ESL learners’ acquisition of articles. TESOL Quarterly, 41, 255-283. https://doi.org/10.1002/j.1545-7249.2007.tb00059.x

Susanto, Fajar (2011). The Translation Tense and Aspect from English into Bahasa Indonesia. Medan Bahasa: Jurnal Ilmiah Kebahasaan. Balai Bahasa Surabaya. Hal. 117-123.

Zheng, Y. & Yu, S. (2018). Students engagement with teachers written corrective feedback in EFL writing: A case study of Chinese lower-proficiency students. 13-24.

39

PENERAPAN KETERAMPILAN 4C DALAM PEMBELAJARAN TEKS ANEKDOT DENGAN VIDEO STAND UP COMMEDY

SMAN 1 BOJONEGORO

Implementation Of 4C Skills In Learning Anecdot Text With Video Stand Up Commedy SMAN 1 Bojonegoro

Abdul Jalil

SMA Negeri 1 Bojonegoro, Jawa Timur email: [email protected]

Abstrak : Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang tidak mudah bagi peserta didik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan menulis meliputi berbagai aspek kemampuan berbahasa yang harus dipenuhi. Kemampuan menulis teks anekdot yang sesuai dengan struktur dan kebahasaan yang tepat menjadi momok bagi peserta didik SMA Negeri 1 Bojonegoro. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Hasil yang dinilai adalah penerapan 4C dalam penyusunan teks anekdot menggunakan media video stand up commedy. Penelitian ini menggunakan dua kali tes. Tes awal sebagai acuan kemampuan peserta didik dan tes akhir sebagai pembeda penerapan 4C dan media video stand up commedy. Hasil yang diperoleh penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro tahun pelajaran 2019/2020. Kata kunci: keterampilan 4C, teks anekdot, video stand up comedy Abstract : Writing ability is an ability that is not easy for students. This is because writing skills cover various aspects of language skills that must be fulfilled. Kem Perempuan writing anecdotal texts that are in accordance with the proper structure and language is a scourge for students of SMA Negeri 1 Bojonegoro. This research is an experimental research. The results assessed were the application of 4C in composing anecdotal texts and using stand-up commedy video media. This study used two tests. The pre-test as a reference for students' abilities and the final test as a differentiator for the implementation of 4C and stand-up commedy video media. The results obtained by the application of 4C in learning to compile anecdotal texts using video stand-up commedy media have a significant effect on the learning outcomes of class MIPA-6 students of SMA Negeri 1 Bojonegoro in the 2019/2020 school year. Keywords : 4C skills, text anecdotes, stand up comedy videos

40

PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dianggap masih memiliki beberapa kelemahan. Menurut Andayani (2015) pembelajaran bahasa Indonesia masih bersifat teoretis dan kurang aplikatif. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa belajar bahasa Indonesia sangatlah sulit. Pandangan yang sama juga terjadi pada beberapa peserta didik yang mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia setengah hati dan hanya sebagai syarat formal kelulusan sehingga berakibat gagalnya peserta didik dalam belajar bahasa Indonesia. Kegagalan peserta didik tersebut ditandai antara lain minimnya prestasi peserta didik dan kurangnya produk atau hasil karya peserta didik dari proses pembelajaran bahasa Indonesia.

Kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Indonesia disebabkan oleh desain pembelajaran yang dirancang oleh guru kurang mengoptimalkan pengembangan kemampuan peserta didik. Selain itu, sarana pendukung berupa buku-buku sumber yang terbatas dan media yang mendukung pembelajaran bahasa Indonesia, seperti LCD, menyulitkan untuk menghasilkan produk-produk pembelajaran.

Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik, antara lain: penyediaan papan majalah dinding sebagai media ekspresi peserta didik, lomba menulis karya ilmiah dan karya sastra, lomba pidato dan sebagainya. Namun, upaya tersebut belum berhasil secara maksimal untuk mengembangkan potensi dan

keterampilan peserta didik melalui pembelajaran.

Belum maksimalnya pembelajaran di Indonesia menyebabkan pendidikan di Indonesia berada pada peringkat 72 dari 77 negara menurut survei Programme for International Student Assessment. Melihat hasil tersebut, pemerintah terus mengupayakan perbaikan sistem pendidikan. Perbaikan tersebut salah satunya adalah dengan mengenalkan pendidikan abad ke-21. Dalam pendidikan abad ke-21 ini, pendidikan tidak hanya sekadar proses transfer ilmu. Abad ke-21 menuntut pendidikan sebagai proses pembelajaran kecakapan hidup. Kecakapan hidup dalam abad ke-21 dinilai, jika peserta didik mampu berpikir kritis, kreatif, mampu bekerja sama, serta komunikatif.

Pembelajaran bahasa Indonesia pun dituntut membentuk peserta didik yang memiliki kecakapan hidup. Salah satu pembelajaran yang menuntut kecakapan hidup peserta didik adalah pembelajaran teks anekdot. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), teks anekdot diartikan suatu bentuk cerita yang berisi kritikan atau sindiran pada seseorang, lembaga atau situasi yang bersifat humor (mengandung kelucuan). Pembelajaran anekdot diharapkan dapat membentuk pola pikir kritis, kreatif, dan komunikatif.

Di dalam buku peserta didik kelas X (2016: 111) dijelaskan bahwa anekdot adalah cerita singkat yang menarik, lucu, dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang

41

sebenarnya. Anekdot bukan sekadar humor lucu yang menimbulkan tawa. Anekdot menyimpan serangkaian pesan yang ingin disampaikan pada pembaca. Pesan tersebut dibalut dalam cerita lucu sehingga lebih mengena tanpa menimbulkan konflik di masyarakat.

Tidak hanya pendidikan dari skala besar yang mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Media pembelajaran pun mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, kita hanya menggunakan buku sebagai satu-satunya informasi pendidikan. Namun, semua itu kini telah berubah. Buku tidak lagi menjadi satu-satunya informasi menuju ilmu pengetahuan. Berbagai media kini dapat digunakan sebagai media informasi pengantar ilmu pengetahuan.

Salah satu media yang mudah dan menyenangkan karena memiliki jangkauan luas bagi peserta didik dengan berbagai karakter belajar adalah video. Media video dapat menggabungkan visual dan auditori. Gabungan berbagai gambar bergerak serta suara, diharapkan mampu merangkul berbagai karakter belajar peserta didik.

Menurut Arsyad (2019), fungsi media video dalam pembelajaran mencakup fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Fungsi atensi adalah mengarahkan perhatian peserta didik untuk berkonsentrasi pada video, sedangkan fungsi afektif adalah menarik emosi peserta didik dari suara dan gambar. Fungsi kognitif adalah memudahkan peserta didik dalam memahami teks dalam

bentuk gambar dan suara dan fungsi kompensatori adalah memudahkan peserta didik dalam mengorganisasikan informasi yang telah diperoleh.

Menurut Sudjana (2019), media video memiliki manfaat dapat menumbuhkan motivasi, menjadikan pesan lebih jelas sehingga dapat dipahami oleh peserta didik, serta memungkinkan terjadinya penguasaan dan pencapaian tujuan

Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis berinisiatif untuk membuat penelitian Penerapan Keterampilan 4C dalam Pembelajaran Teks Anekdot dengan Video Stand Up Comedy Peserta Didik Kelas X SMA Negeri 1 Bojonegoro.

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana hasil penyusunan

teks anekdot tanpa video Stand Up Comedy peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro?

2. Bagaimana hasil penyusunan teks anekdot dengan penerapan keterampilan 4C dan video Stand Up Comedy peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro?

3. Bagaimana perbandingan hasil penyusunan teks anekdot peserta didik dengan dan tanpa penerapan keterampilan 4C kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan hasil

penyusunan teks anekdot tanpa video Stand Up Comedy peserta

42

didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro

2. Mendeskripsikan hasil penyusunan teks anekdot dengan penerapan keterampilan 4C dan video Stand Up Comedy peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro.

3. Mendeskripsikan perbandingan hasil penyusunan teks anekdot peserta didik dengan dan tanpa penerapan keterampilan 4C kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen, yaitu penelitian yang subjeknya diberi perlakuan (treatment) kemudian diukur akibat perlakuan itu pada diri subjek.

Menurut Arikunto (2009:207), penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari ’sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik. Dengan kata lain penelitian eksperimen meneliti ada tidaknya hubungan sebab akibat. Caranya adalah dengan membandingkan satu atau lebih kelompok eksperimen yang diberi perlakuan dengan satu atau lebih kelompok pembanding yang tidak menerima perlakuan.

Populasi dan sampel Populasi Menurut pendapat Arikunto bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto; 130:2011). Peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Bojonegoro berjumlah 263 dengan jumlah kelas sebanyak tujuh kelas.

Namun, populasi yang diambil dalam penelitian ini ialah kelas X IPA 1, X IPA 2, X IPA 3, dan X IPA 6. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh peneliti mengajar pada empat kelas tersebut.

Sampel Data Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik sampel acak, yaitu guru memilih kelas secara acak karena kelas di SMA Negeri 1 memiliki kemampuan yang relatif sama setiap kelasnya. Tidak ada kelas unggulan atau kelas paling tertinggal. Alasan pengambilan sampel secara acak, yaitu masing-masing kelas dalam satu tingkatan mempunyai karakter yang hampir sama. Untuk itu, kelas yang terpilih sebagai sampel dianggap telah cukup mewakili kelas yang lain. Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas dipilih sampel dalam penelitian ini adalah kelas X IPA 2. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 36 peserta didik kelas X IPA 2 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini yang dipakai sebagai instrumen adalah lembar observasi dan soal tes Instrumen observasi 1 adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Instrumen observasi 2 adalah lembar observasi. Tes dilakukan dalam dua tahap, yaitu tes awal sebelum peserta didik memperoleh pembelajaran keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dan tes akhir setelah peserta didik memperoleh pembelajaran keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy.

43

Teknik Analisis Data Sejalan dengan rumusan masalah yang ada, maka teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis kegiatan pembelajaran ialah teknik analisis data lembar observasi aktivitas pembelajaran dan teknik analisis data lembar tes hasil belajar peserta didik.

Data observasi kegiatan pembelajaran dianalisis dengan menggunakan persentase (%), yaitu dengan menghitung banyaknya kejadian yang muncul selama kegiatan pembelajaran dengan frekuensi aktivitas keseluruhan dikalikan 100%

(Indarti, 2008:26)

P = persentase jenis aktivitas pembelajaran F = frekuensi kejadian yang muncul N=jumlah aktivitas keseluruhan

Teknik analisis data lembar tes hasil belajar peserta didik diambil dua kali, yaitu tes awal dan tes akhir hasil menyusun teks anekdot peserta didik. Data tes awal dan tes akhir hasil belajar peserta didik dianalisis dengan menggunakan nilai rerata peserta didik, yaitu dengan menghitung nilai seluruh peserta didik dibagi dengan jumlah seluruh peserta didik yang mengikuti tes awal.

(Hadi, 2004:37)

M = rerata nilai (mean) x = jumlah nilai seluruh peserta didik N = jumlah peserta didik

Perbandingan nilai hasil belajar peserta didik antara tes awal dan tes akhir dianalisis dengan menggunakan rumus harga t:

+

t = harga t

= difference, perbedaan skor tes awal dan skor tes akhir untuk setiap individu

= rerata dari nilai perbedaan

kuadrat dari D

= jumlah subjek penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hasil Analisis data penelitian ini diperoleh dari observasi penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy, tes awal dan tes akhir berupa keterampilan menyusun teks anekdot sebelum dan setelah penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy.

Observasi aktivitas pembelajaran menyusun teks anekdot diperoleh bersama dengan perolehan data tes akhir, yaitu pada penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy yang meliputi komunikasi

44

(communication), kolaborasi/kerja sama (collaborative), berpikir kritis (critical thinking), dan kreativitas (creativity).

Penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy ialah 41. Dengan demikian, rerata nilai penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy

ialah 2,9.

Nilai 2,9 jika dilihat dari kriteria penilaian aktivitas pembelajaran memiliki pengertian bahwa setiap kegiatan dilakukan dengan intensitas kemunculan “sering”.

Data hasil menyusun teks anekdot sebelum diterapkan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy terbagi atas empat kategori. Kategori-kategori tersebut ialah kategori pertama tentang identifikasi struktur teks anekdot, kategori kedua identifikasi kebahasaan teks anekdot, kategori ketiga, penyusunan teks anekdot sesuai kebahasaan, dan kategori keempat penyusunan teks anekdot sesuai struktur.

Nilai Seluruh Kategori Tes Awal

KATE GORI

1 2 3 4 Rerata

nilai JUM LAH 1633,3 2066,66 2380 2300 2094,99

Setelah seluruh nilai pada tiap kategori terkumpul, maka untuk memperoleh nilai akhir pada tes akhir dilakukan dengan menghitung rerata seluruh jumlah

nilai tiap-tiap kategori. Berdasarkan data-data nilai pada setiap kategori dalam tes awal di atas, nilai akhir penulisan teks anekdot peserta didik disajikan tabel sebagai berikut.

Nilai Seluruh Kategori Tes Akhir

KATE GORI

1 2 3 4 Rerata

nilai JUM LAH 2700 2820 2610 3110 2890,01

Grafik yang dapat menggambarkan data nilai tes awal dan tes akhir di atas ialah sebagai berikut.

Grafik 1

Grafik Nilai Tes Awal dan Tes Akhir

Nilai menyusun teks anekdot

peserta didik dibedakan atas empat kategori pada setiap tesnya. Kategori pertama ialah identifikasi struktur teks anekdot yang dilakukan peserta didik. Berikut merupakan data perbedaan nilai kategori pertama tes awal dan tes akhir.

45

Tabel 18 Data Perbedaan Hasil Menyusun Teks Anekdot Kategori pertama

Tes Awal

Tes Akhir D

1633,3 2700,05 -

1066,6 35548,5

Grafik 3

Grafik Penentuan Nilai Signifikansi

Berdasarkan grafik di atas, nilai hasil uji t yang berada pada daerah penolakan menunjukkan hasil yang signifikan. Begitu pula

sebaliknya, jika nilai hasil uji t berada pada daerah tanpa arsiran (daerah penerimaan) menunjukkan hasil yang tidak signifikan.

db = N 1 db = 36 1 db = 35

Dengan harga t0 = 16,74 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96 .

16,74 < 1,96

Harga t0 signifikan dan simpulan dalam kategori ini ialah perbedaan nilai dalam kategori pertama menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam mengidentifikasi struktur teks anekdot pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori kedua mengidentifikasi kebahasaan teks anekdot. Perbedaan Menyusun Teks Anekdot

Kategori Kedua

Tes Awal

Tes Akhir D

2066,66 2820 -

753,34 29646,4

20,96

46

db = N 1 db = 36 1 db = 35

Dengan harga t0 = 6,32 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96 .

6,32 < 1,96

Harga t0 signifikan, dan kesimpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori kedua menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam pengembangan baris-baris pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori ketiga penilaian menyusun teks anekdot sesuai kaidah kebahasaan teks anekdot.

Data Perbedaan Nilai Menyusun Teks Anekdot Kategori Ketiga

Tes

Awal Tes

Akhir D 2380 2610 -230 14500

db = N 1 db = 36 1 db = 35

Dengan harga t0 = 1,98 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96 .

47

1,98 < 1,96

Harga t0 signifikan, dan

kesimpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori ketiga menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam kategori penyusunan bait-bait pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori keempat penilaian menyusun teks anekdot sesuai struktur teks anekdot yang tepat.

Data Perbedaan Nilai Menyusun Teks Anekdot Kategori Keempat

Tes

Awal Tes

Akhir D

2300 3110 -

910 109700

db = N 1 db = 36 1 db = 35

Dengan harga t0 = 3,05 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96 .

3,05 < 1,96

Harga t0 signifikan dan

simpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori keempat menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X IPA 6 SMA Negeri 1 Bojonegoro.

Perbedaan Nilai Tes Awal dan Tes Akhir Berdasarkan data-data nilai tes awal dan nilai tes akhir di atas, data perbedaan nilai tes awal dan nilai tes akhir dapat dilihat dari tabel berikut.

Data Perbedaan Tes Awal dan Tes Akhir Menyusun Teks Anekdot

48

Tes awal

Tes akhir

Beda (D)

Kuadrat Beda

2094,99 2810,01 -723,98 21888,5

db = N 1 db = 36 1 db = 35

Dengan harga t0 = 8,34 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96 .

8,34 < 1,96

Harga t0 signifikan dan simpulan hasil penelitian adalah eksperimen penerapan

keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy mempunyai pengaruh sebab dapat membantu peserta didik terhadap peserta didik kelas X MIPA 6 SMA Negeri 1 Bojonegoro dalam pembelajaran menyusun teks anekdot.

PEMBAHASAN Kegiatan dalam pembelajaran pertama dilakukan dengan mengidentifikasi struktur dan kebahasaan teks anekdot. Setelah peserta didik selesai mengidentifikasi teks anekdot, peserta didik sebagai perwakilan masing-masing kelompok harus membacakan hasil identifikasiannya di hadapan kelompok lain untuk kemudian mendapat tanggapan dari kelompok lain.

Ketika masing-masing perwakilan kelompok membacakan hasil identifikasi mereka, ada beberapa masukan yang disampaikan oleh teman mereka sendiri. Misalnya, ketika Fitriana Aulia Rahma membacakan hasil identifikasi karena ada kekurangan dalam identifikasi itu, maka Adinda Tasya Salsabilla memberikan masukan yaitu tipografi dalam penulisan teks anekdot.

Setelah diskusi tentang unsur-unsur dalam teks anekdot selesai, peserta didik diminta melakukan re-kreasi, yaitu menyusun teks anekdot kembali dengan tema yang sama, tetapi dengan teks anekdot yang berbeda dari teks anekdot yang telah mereka tulis sebelumnya.

Hal terakhir yang dilakukan dalam pembelajaran ini ialah merefleksikan serta menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah

49

dilaksanakan peserta didik dengan hasil teks anekdot terbaik menurut masing-masing kelompok dan kemudian membacakan hasil teks anekdot itu di depan kelompok lain. Selanjutnya, perwakilan peserta didik dari masing-masing kelompok bersama dengan guru menyimpulkan tentang unsur-unsur yang harus ada dalam menyusun teks anekdot.

Berdasarkan penyajian data hasil tes awal dan tes akhir menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA 6 SMA Negeri 1 Bojonegoro, diperoleh hasil sebanyak 30 peserta didik atau 83,33% peserta didik mengalami peningkatan hasil belajar. Terdapat enam peserta didik atau 16,67% peserta didik mengalami penurunan hasil belajar. Penurunan yang terjadi pada peserta didik sebagian besar disebabkan oleh kurang atau lemah pada kebahasaan teks anekdot peserta didik. Mereka kurang menguasai kebahasaan teks anekdot yang digunakan dalam melukiskan sesuatu. Mereka hanya mengidentifikasi kebahasaan teks anekdot yang biasa-biasa saja selayaknya menulis paragraf naratif.

Berdasarkan data hasil menyusun teks anekdot sebelum diterapkan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy, hasil yang diperoleh peserta didik dari tes awal menyusun teks anekdot terbagi atas empat kategori. Kategori-kategori tersebut antara lain kategori pertama tentang identifikasi struktur teks anekdot, kategori kedua pengembangan baris-baris teks anekdot, kategori ketiga, penyusunan teks anekdot sesuai kebahasaan, dan kategori

keempat menyusun teks anekdot sesuai struktur yang tepat.

Nilai menyusun teks anekdot peserta didik dibedakan atas empat kategori pada setiap tesnya. Kategori pertama ialah identifikasi struktur teks anekdot yang dilakukan peserta didik. Berdasar pada penghitungan nilai uji t pada kategori pertama dihasilkan t = 16,74. Dengan harga t0 = 16,74 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96.

16,74 < 1,96

Harga t0 signifikan, dan simpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori pertama menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam mengidentifikasi struktur teks anekdot pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori kedua menyusun teks anekdot peserta didik dalam tes awal dan tes akhir ialah mengidentifikasi struktur teks anekdot. Berdasar pada penghitungan nilai uji t pada kategori pertama dihasilkan t = 6,32.

Dengan harga t0 = 6,32 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96.

6,32 < 1,96

50

Harga t0 signifikan, dan simpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori kedua menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori ketiga penilaian menyusun teks anekdot peserta didik dalam tes awal dan tes akhir ialah penyusunan teks anekdot sesuai kebahasaan yang tepat. Berdasar pada penghitungan nilai uji t pada kategori pertama dihasilkan t = 1,98. Dengan harga t0 = 1,98 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96.

1,98 < 1,96

Harga t0 signifikan dan simpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori ketiga menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam kategori penyusunan teks anekdot sesuai kebahasaan yang tepat peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro. Kategori keempat penilaian menyusun teks anekdot peserta didik dalam tes awal dan tes akhir ialah menyusun teks anekdot sesuai struktur yang tepat. Berdasar pada penghitungan nilai uji t pada

kategori pertama dihasilkan t = 3,05. Dengan harga t0 = 3,05 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96

3,05 < 1,96

Harga t0 signifikan dan simpulan dalam kategori ini ialah, perbedaan nilai dalam kategori keempat menyusun teks anekdot peserta didik pada tes awal dan tes akhir signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penggunaan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy dalam pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro.

Berdasarkan penyajian data pada tes awal dan tes akhir hasil menyusun teks anekdot peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro diperoleh hasil sebanyak 30 peserta didik atau 83,33% peserta didik mengalami peningkatan hasil belajar, sedangkan enam peserta didik atau 16,67% peserta didik mengalami penurunan hasil belajar. Penurunan yang terjadi pada peserta didik sebagian besar disebabkan oleh peserta didik kurang atau lemah pada kebahasaan teks anekdot. Hal ini berarti keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy berpengaruh terhadap pembelajaran menyusun teks anekdot, sebab 83,33% peserta didik telah meningkat hasil tulisannya berdasarkan perbandingan tes awal dan tes akhir.

Berikutnya dibahas tentang uji signifikansi atau tingkat

51

perbedaan data tes awal dan tes akhir yang telah dilakukan. Dengan harga t0 = 8,34 dan db = 35, selanjutnya dengan melihat tabel t diketahui harga t kritik pada ts0,05 (t0,95/ taraf 5%) = 1,96

8,34 < 1,96

Harga t0 signifikan, dan simpulan hasil penelitian adalah eksperimen penerapan keterampilan 4C dengan media video Stand Up Commedy mempunyai pengaruh karena dapat membantu peserta didik terhadap peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro dalam pembelajaran menyusun teks anekdot.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar peserta didik kelas X MIPA-6 SMA Negeri 1 Bojonegoro tahun pelajaran 2019/2020. (1) Penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy memperoleh rerata nilai ialah 2,9. Nilai 2,9 jika dilihat dari kriteria penilaian aktivitas pembelajaran memiliki pengertian bahwa setiap kegiatan dilakukan dengan intensitas kemunculan “sering”. (2) Hasil penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy kategori pertama, rerata nilai pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik ialah 45,37

pada tes awal dan 75 pada tes akhir. Kategori kedua, rerata nilai pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik ialah 57,41 pada tes awal dan 78,33 pada tes akhir. Kategori ketiga, rerata nilai pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik ialah 66,11 pada tes awal dan 72,5 pada tes akhir. Kategori keempat, rerata nilai pembelajaran menyusun teks anekdot peserta didik ialah 63,89 pada tes awal dan 86,39 pada tes akhir. (3) Perbedaan yang ditunjukkan antara hasil penerapan 4C dalam pembelajaran menyusun teks anekdot menggunakan media video stand up commedy dibagi atas dua perbedaan. Tiap-tiap perbedaan tersebut menghasilkan perbedaan yang signifikansi antara tes awal dan tes akhir dalam pembelajaran menyusun teks anekdot. Perbedaan pertama mencakup perbedaan di setiap kategori tes awal dan tes akhir dalam menyusun teks anekdot. Semua kategori menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai tes awal dan nilai tes akhir

DAFTAR PUSTAKA Buku Andayani. 2015. Problema dan

Aksioma: dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.

Anitah, Sri. 2010. Media Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. 2019. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT

52

Rineka Cipta. . 2011. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arsyad, Azhar. 2019, Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Departemen Pendidikan Nasional. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Grmedia Pustaka Utama.

Direktorat Pembinaan SMA. 2017. Panduan Pengembangan Pembelajaran Aktif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik Jilid 1. Yogyakarta: ANDI.

Indarti, Titik. 2008. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Ilmiah Prinsip-Prinsip Dasar, Langkah-Langkah, dan Implementasinya. Surabaya: Lembaga Penerbitan Fkultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X (Edisi Revisi). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jabrohim, dkk. 2009. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jamaludin. 2003. Problematik Bahasa dan Sastra. Yogyakarta. Adicita

Joyce, Bruce. 2016. Model of Teaching Second Edition. New

Jersey: Prentice/Hal International, Inc.

Moehnilabib, dkk. 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2019. Media Pengajaran. Jakarta: Sinar Baru Algensindo

Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Internet Anonim. 2008. pembelajaran Kreatif

dan Produktif. http://www.scribd.com/doc/10957470/Peningkatan-Kualitas-Pembelajaran-4c. Diakses tanggal 28 februari 2019 pukul 15.00 WIB.

Fizriyani, Wilda. 2016. Indonesia Perlu Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/07/o0jz08359-indonesia-perlu-tingkatkan-kualitas-sumber-daya-manusia Diakses tanggal 5 Desember 2018 pukul 15.00 WIB

Viva.co.id. 2019. Survei Pendidikan Dunia, Indonesia Peringkat 72 dari 77 Negara. https://www.viva.co.id/arsip/1249962-survei-pendidikan-dunia-indonesia-peringkat-72-dari-77-negara Diakses tanggal 5 Desember 2018 pukul 15.00 WIB

53

Zuhri, Muhammad. 2017. Arti 4C (communication, collaborative, creativity, dan critical thinking). https://zuhriindonesia.blogs

pot.com/2017/05/arti-4c-communication-collaborative.html. Diakses tanggal 5 Desember 2018 pukul 15.00 WIB

54

ONLINE PEER FEEDBACK DURING COVID-19 PANDEMIC: INDONESIAN EFL TEACHERS’ PERSPECTIVES AND RESPONDS

Peer Feedback Daring selama Pandemi Covid-19: Persepktif dan

Respons Guru Bahasa Inggris

Dodi Erwin Prasetyo Universitas Negeri Surabaya

[email protected] Abstrak: Penelitian tentang perspektif guru terhadap peer feedback untuk menulis di Indonesia sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk meneliti apa perspektif guru terhadap peer feedback daring di dalam pembelajaran menulis, mengapa dan bagaiamana mereka menggunakan peer feedback daring, apa kelebihan peer feedback daring dan bagaimana peer feedback daring mempengaruhi proses pembelajaran menulis. Peneliti mendapatkan data melalui angket yang dikategorikan dalam tiga bagian. Pertama untuk mendapatkan data tentang latar belakang partisipan. Kedua berisi lima pertanyaan untuk menganalisis perspektif guru terhadap peer feedback daring. Ketiga untuk memperoleh data lebih mendalam dan komprehensif melalui seksi tanya jawab. Berdasarkan hasil penelititan, mayoritas guru (30%) setuju bahwa peer feedback daring menyelesaikan permasalahan siswa dalam pembelajaran menulis. Kebanyakan dari mereka berargumen bahwa peer feedback daring mudah untuk diakses di mana pun. Penelitian ini menyarankan untuk meregulasikan peer feedback daring di dalam kurikulum.

Kata – Kata Kunci: Peer Feedback daring, Perspektif Guru Bahasa Inggris, Menulis

Abstract: Researches on the issues of Indonesian teachers’ perspectives toward online peer feedback for writing are rarely done. Therefore, this research aimed at findings on what the teachers’ perspectives toward online peer feedback for teaching writing, why and how they used online peer feedback, what were the strengths of online peer feedback and on how it affected their teaching of writing. The researcher collected the data through questionnaire. It was categorized into three sections. First, it was used to gather the backgrounds of the participants. Second, was multiple sections that consist of five question that used to analyse the teachers’ perspective. Third, was open-ended sections that used to gather the deep and comprehensive data. Based on the findings, majorities of teachers (30%) agreed that online peer feedback solves students’ problems in writing. Most of them also argued that it easily accessed everywhere for learning. This research suggests that online peer feedback should be regulated in the curriculum.

Keywords: Online Peer Feedback, EFL Teacher Perspective, Writing

55

INTRODUCTION Peer feedback is as an important part of writing. Liu & Carless (2006: 280) defined peer feedback is as the communication process among the learner toward their performances in learning. In addition, Nicol & MacFarlane-Dick (2006) stated that peer feedback is to provide the students with objective critical thinking based on standards toward the others students’ works. Hence, it could be transferred as an input for their own works. Students would be engaged to review, and edit among them to improve their writing skill (Shrum & Glisan, 2005). Some study reported peer feedback hold essential role in enhancing the students’ writing skill and their learning achievements (Plutsky & Wilson, 2004; Topping et al, 2000). Liu et al (2001) revealed that specific and critical feedbacks developed students writing skill. Based on Wakabayashi in 2013, he affirmed that peer feedback enhanced critical evaluation of the students. Sadler & Liu (2003) conducted the research about peer feedback on the comparison between the electronic mediated learning environment and traditional one. They confirmed that e-learning made students to give peer feedback more complete of comments rather than the traditional one. Some study discovered that peer feedback encouraged the students to collaborative in writing and reading (Tsui & Ng, 2000), and provided the students to revise their writing results (Min, 2006, Min 2008). These peers enhanced the students writing skills. In addition, Plutsky and Wilson in 2004 found Peer

feedback which supported the students as proficient and fluent writers. Therefore, McLuckie & Topping (2004) provided the suggestion that peer feedback should be involved in social, organizational, interactive learners and teachers also cognitive and evaluative. Those would make the students to become autonomous learners (Maarof et al, 2011).

Peer feedback which is applied in writing is to communicate the ideas to readers. This is in line with Larry (2003) who pinpointed that the writing as the process of thought to deliver the message to readers. Olesova, Richardson, Weasenforth, and Meloni (2011) found that EFL students felt a feedback was more effective with the visual corrections. The study which was conducted by Cavanaugh and Song in 2014 examines about audio peer feedback and written peer feedback. They collected the data through surveys and interviews. They highlighted that teachers tend to give global commentary for audio feedback; meanwhile they give local commentary for a written peer feedback. Wakabayashi (2013) conducted the study on the effects of peer feedback process. He engaged 51 students which divide into two writing classes. Multiple tasks were applied in both classes and questionnaire was utilised to analyse their perceptions. He pinpointed thatstudents who focused on reviewing self-text gather better score than reviewing peer text. He also proved the significance correlations between the score gain and peer text reviewing. However, some study revealed contradictory results

56

toward the use of online peer feedback. Ho (2015) investigated the effects of face to face and computer mediated peer review for EFL comments and revision. He involved 13 university students in Taiwan. He proved that students preferred face to face comments and revision rather than chat via online. Lundstorm and Baker’s (2009) conducted qualitative study virtually in analysing for the benefits of peer feedback which focused on reviewing peer writing. They underlined that providing comments or revision for an essay which were not written by students might have difficulties.

There were many previous studies which observed the feedback, there were still no undertaking the study of online feedback for Indonesia context. Therefore, the researcher composes five research questions to reveal that topic. Those are as follows:

1. What are Indonesia EFL

teachers’ perspectives toward online peer feedback for teaching writing?

2. Why does the teacher use online peer feedback in the teaching of writing?

3. How do they use that feedback in the teaching of writing?

4. What are the strengths of online peer feedback in the teaching of writing?

5. How does online peer feedback affect in the teaching of writing?

METHOD This research focused on Indonesia teachers’ perspectives toward online peer feedback in teaching writing. This was used descriptive

quantitative method. The questionnaire which was administered was categorized into three sections. First was to gather the data about the background of the participants in the teaching. The second one was multiple sections which consisted of five questions to analyse the teachers’ perspective toward online peer feedback. The third one was open-ended sections to gather the comprehensive data on why they used online peer feedback, how they used online peer feedback, what the strengths of online peer feedback are and how online peer feedback affected their teaching of writing. There were 35 English teachers that were participated on this research. They were teachers in public junior high school. They were asked to answer the questionnaire anonymously.

The result for demographic section showed that there were thirteen male teachers and twenty two female teachers. 57.14% teachers had teaching experiences five to nine years. 28.58% taught around ten until fourth teen years. The rest was 14.28% who taught less than five years. All of them have an internet access in their home. Most of them (94.28%) used internet for teaching purposes, meanwhile the rests did not use it. 57.14% of the teachers often used internet for teaching purposes. 17.14% sometime used the internet for teaching, meanwhile 14.28% of the teachers were very often using the internet for teaching purposes. However, there were 11.44% who used the internet for teaching purposes rarely.

The teacher experiences toward peer online feedback

57

revealed that most of them (82.9%) did not have experiences in teaching by using peer online feedback. In the other hand, 17.14% of the teachers had an experience toward peer online feedback. Most of the teachers who had experience toward peer online feedback have ever used email and one teacher has used weblog. The teachers who did not have an experience toward peer online feedback argued that they have limited time to apply it (79.31%). 10.34% of the teachers argue that they have limited computer skills. 6.9% of the teachers gave an argument that they have limited internet access, meanwhile the rest provided an evidence about limited computer facilities. If they have a chance to apply online peer feedback, they wanted to use email (82.75%).

13.8% of the teachers wanted to apply through Facebook, meanwhile 3.44% wanted to use website for peer online feedback. All of the teachers did not an experience toward internet training courses. It was because they had lack of time (71.4%) and they could learn to use internet by their selves (28.6%). FINDING The results will be presented and discussed in this section to answer the research questions. Those deal with teachers’ perspectives toward peer online feedback in teaching writing, and teachers’ responses toward peer online feedback in teaching writing. Teachers Perspectives toward Online Peer Feedback for Teaching Writing

Table. 1

The Teachers’ Perspectives toward peer online feedback in teaching writing Perceptions toward Peer

Online Feedback in Teaching Writing

Strongly Agree

Agree Neither Agree

nor Disagree

Disagree Strongly Disagree

EFL teachers should employ online peer feedback in teaching writing

1 (2.85%)

25 (71.44%)

9 (25.71%)

0 0

Online peer feedback is effective for EFL teachers to correct their students’ essays

5 (14.3%)

23 (65.7%)

7 (20%)

0 0

online peer feedback solves students’ problems in writing skill

0 30 (85.7%)

5 (14.3%)

0 0

online peer feedback is effective for EFL teacher to enhance the writing components (content, organization, vocabulary, grammar, and mechanic) of students.

4 (11.42%)

26 (74.1%)

5 (14.3%)

0 0

online peer feedback motivates teacher to teach a writing skill

0 29 (82.85%)

6 (17.14%)

0 0

58

The result indicated that the teachers mostly agreed to use online peer feedback for teaching writing. 71.44% of the teachers agreed to employ online peer feedback in the teaching of writing. 2.85% strongly agreed to apply it in teaching writing. However, there were 25.71% of the teachers neither agreed nor disagreed to apply online peer feedback for teaching writing.

65.7% of the teachers agreed that online peer feedback supported them to correct their students’ essays. 20% teachers neither agreed nor disagreed to apply online peer feedback in their teaching of writing. However, there were 5% of the teachers who strongly agreed to apply online peer feedback in their teaching of writing. There were 85.7% of the teachers who agree that online peer feedback solved their students’ problems in writing. Meanwhile, 14.3% are neither agreeing nor disagreeing.

74.1% argued that online peer feedback was effective to enhance the writing ability of the students. 14.3% neither agreed nor disagreed toward that. Meanwhile, 11.42% strongly agreed. 82.85% agreed that online peer feedback motivated teaching to teach writing. However, 17.14% neither agreed nor disagreed that online peer feedback motivated teaching to teach writing. The Reasons of Teachers Use Online Peer feedback in the Teaching of Writing Teaching and learning process which were involved online peer feedback potentially affected the students’ achievements in learning. Respondent 3 said:

“Online peer feedback makes effectively and efficiently to correct students essays. It is paperless, students can change only by deleting some corrections parts by pushing delete button on the laptop”.

Another teacher commented

“Online peer feedback increases the students’ motivations in learning because they face new media in their learning especially for a writing activity” (respondent 5).

Writing which is always associated with paper will have different perspective in this digital era. The different is teacher asks the students to submit their work through online media (i.e. email, website, blogging). Those will motivate the students in learning writing because they always feel bored to learn writing in manual media (i.e. paper). Respondent 9 pointed out

“It saves the time. Hence, the students review among them for writing results without collecting one by one as a manual in paper and make quickly the revision from the teacher. Online peer feedback also offers the teacher to save their time without collecting the students writing results one by one”.

Therefore, the utilisation of online peer feedback is effectively for the teaching writing. It is paperless with some detail corrections parts of essays. It also can be easily accessed anywhere, not only learning in class contexts, but also learning in the

59

outside of classroom. This probably is as new innovative activities for teachers and students. They only announce to the students to submit their work in certain deadline and inform them to submit their works through online media such as email, and web blogging. After that, they can check their works. Online peer feedback as transformative media is applicable to teach writing.

“online peer feedback makes the students be familiar with the developments of learning process and technology especially for writing activity” (respondent 6).

The development of technology can be integrated in the teaching process such as online peer feedback. This triggers creativity of teachers to explore more about online peer feedback and further impacts on the teaching. This also develops more familiarity to students which emphasizes that teaching and learning process is not stable ways. However, it is dynamic ways which is meant that it can be integrated with any media including virtual media. Respondent 28 argued:

“Online peer feedback allows the students to learn writing outside of classroom”.

The students can access their writing wherever as long as they have internet access. Another teacher argued:

“The students learn and correct their work each other, these develop their deep comprehensions toward the learning of writing” (respondent 31).

Online peer feedback provides the greater opportunities to students in increasing their comprehension for the writing skill. It is because they gather corrections from teachers and they discuss each other regarding the writing materials. The Implementations of Teacher Use Online Peer Feedback in the Teaching of Writing There were six teachers who have experiences toward online peer feedback. They used email. Through email, the teachers asked the students to write their own essays. They then sent their essay among them to check and correct their own work. In this part the student were triggered to exposure their own critical thinking skill. After that, they had to revise based on the feedback from other students. Finally, all their work must be submitted to teachers’ email to have final feedback as the correct one. Through this activity, the students demanded to write, review, edit and revise to have the better written. It was revealed by one of the teachers as a respondent 5 mentioned

“Email makes easily for me to have the correction from the whole students’ work. I ask them to write and to revise among them before submitting through my email”.

Another teacher added

“I use email for saving my time without collecting the paper of the students” (respondent 3).

Respondent 9 also argued that email saved her time effectively because she could review students’ written result without collecting many

60

papers. Email is effective to exchange the students’ work without any limitation place. Thus, the teaching of writing can apply not only in school but also outside school. Respondent 26 argued that the teaching of writing with online peer feedback employed many written resources to strengthen the students’ arguments in their essays. This teaching method also makes the students to be familiar with it. Therefore, respondents 6 provided an argument that she could teach the students in writing through email by asking them to revise in what parts of errors. It could be done by giving certain sign, then commenting on certain part how the paragraph contain, its chronological, its language features and structures. Then students must be revising based on those revision parts. The students who use email were not anxiety or shame to express their own statement such as asking directly to the teacher, request the detail information toward the errors part, and others. As respondent 31 argued that teaching writing with online media (email) made the students more motivated actively to interact among them also with the teacher. One of the teachers used web blog. Thus, she asked the student to make group consisted on four students. They then were asked to write certain material in their blog. Then, another group reviewed and checked other blog from other group to give comments. After that, they have to revise their written based on other group comments. Finally, the teacher revised one by one of the written in their blogs.

The strengths of online peer feedback Online peer feedback has several benefits. These are based on the purpose of the teachers’ perspectives.

“I think online peer feedback makes the students involves in learning actively because they will be not anxiety” (respondent 9). Thus it will enhance their ability

in writing. Another teacher mentioned:

“Online peer feedback will provide the students with the feedback quickly through the internet access” (respondent 17). Respondent (25) added that

online peer feedback developed critical thinking of the students as long as they review each other. Online peer feedback also reduced some errors in students’ essays (respondent 29, 33, and 35). One of the teachers mentioned that online peer feedback is as a future teaching method which integrates internet access and writing skill (respondent 15).

Strengths of online peer feedback are mentioned based on teachers’ arguments. Respondent 3 argued that online peer feedback solved students anxiety in learning, thus they could give their reviews by writing it in online media. This activity was as an exposure for the students to motivate them in writing activity. One of the teachers provided a comment

“Teaching writing with online media enhance the students’ interactions among them and is as a part of appreciation toward the development of technology

61

with teaching method” (respondent 12).

Online peer feedback affects in the teaching of writing The implementation of technology in teaching and learning process is used in all over of the world. Online peer feedback which is as one of this implementation considers affect the teaching achievement. Although there are few teachers who have ever employed online peer feedback, they mostly argue that online peer feedback affect positively to the students. There are some affects toward the teaching achievements based on teacher’s argument in the interview section. Those are for communication, sources, and effectiveness affections. First is in communication. The teacher and students will use the online media to share their ideas in teaching and learning process for writing skill. This engagement is through chatting in email, web blog, and others internet chatting media. Communication way, students are most actively engaged with technology to discuss particular material for their learning among them. Respondent 31 argues that teaching writing with online media motivated the students actively to interact among them and also with the teachers in teaching and learning writing skill. In second part is sources affection. Online peer feedback which is accessed the internet is taking a potential part for the teachers and students to browse any material and references to support their written. Respondent 26 mentioned that teaching writing with employing the internet led the students’ creativity and made them

easier to search any material from the internet to support their essays. One of the teachers revealed:

“I use email for saving my time without collecting the paper of the students” (respondent 3)

whom was same as respondent 9. Hence, internet with very rich information develops teachers and students’ ideas and creativities for writing skill. The third one is effectiveness, teaching of writing with peer online feedback will save the time and paper. This urges the students to retrench the time and paper. DISCUSSION Teachers Perspectives toward Online Peer Feedback for Teaching Writing Teaching learning process in the modern world cannot be separated with the technology including the use of internet. Such another English skill, writing takes important roles as part within. It also can be integrated with the internet for implementing online peer feedback. Thus affects teaching learning process be more efficient. Mostly teacher argues that EFL teachers have to employ online peer feedback. It is shown by 71.44% agree to apply it. This is in line with Lv & Chen (2010) and Yuan (2001). They explained that guided the student by showing their mistakes in the learning of the writing process should be acted by the teacher to improve their students writing skill including rhetorical features, text organization and students’ motivation. This also made student to write in correct chronological order as supported by Brown (2007:404). Hyland (2003:12)

62

supported the discussion among teacher and students in writing process. Thus the online peer feedback provided easily guiding and leading for the students in writing process. Most of the teachers also responded that online peer feedback was effective to correct students’ essays. They gave a respond that 23 (65.7%) of them agreed to apply it. Brown (2001:335) also supported that the correcting of the results of students written should consider some procedures, those are thinking, drafting and revising. All the procedures could be done by online ways and gadget by giving some notes, points and another. Teachers argued that online peer feedback solve the students’ problems in writing. It proves by 30 (85.7%). Teaching and learning process did lead the student to achieve better goals within. In the same vein with Ojima (2006) who identified that brainstorming in the writing process was eligible. It purposed as scaffolding for the students and also encouraged the students to write in the right chronological order. Brown (2007:404) affirmed that brainstorming assisted the students or writers to arrange their ideas. He added that brainstorming could be done independently or dependently.

Online peer feedback was an effective for EFL teacher to enhance the writing components (content, organization, vocabulary, grammar, and mechanic) of students. 26 (74.1%) of the teachers argued that the increasing of the students comprehension due to the writing components was effective by Online peer feedback. It is supported by

Porter (2002) who revealed that the technology was helpful in writing for both teachers and students. In addition, internet easily was accessible and provides bunch of literacy to empower language skill (Warschauer et al, 2002:7). Online peer feedback motivated teacher to teach a writing skill. Motivation for teaching and learning process emphasizes both teacher and students within. Motivation took crucial roles on how the teaching and learning begins and develops (Boekaerts, 2001; Figueiredo& Silva, 2008; Gardner, 2001). It because triggered both teachers and students to actively be involved in its process. The Reasons of Teachers Use Online Peer feedback in the Teaching of Writing Teaching through online ways is more effective to be easily accessed by teachers and students. As mentioned by respondent 3 which underlined that online peer feedback was paperless. It was in line with Yang and Chen (2007) also mention that online peer feedback can be accessed everywhere. Thus, the limitation of teaching - learning in term of place was solved. Teacher and students actively communicated each other without anxiety in term of sharing their thoughts and ideas (Goodwin-Jone, 2002; Salaberry, 2001; Suh, 2005). Teachers argued that online peer feedback was effective without spending many papers. In conventional method, paper was a must to be used in teaching and learning process. However, in the modern era, the use of paper declines. Mostly teachers and students apply the internet and their gadgets in the teaching and

63

learning activities. Some study proved the use of internet enhance, feedback, autonomy, interactivity, comprehension, and responsibility in the teaching and activity learning (Bikowski and Kessler, 2002; Chen et al, 2004; Sotillo, 2002; Yan and Xiaoqing, 2009). Meanwhile, respondent 9 argued that online peer feedback motivated students. The use of internet for online peer feedback motivated students to learn. Mostly teachers and students are also familiar with the use of gadgets and the internet, moreover they used both things in daily life especially in the teaching and learning activity (Lallali, 2013).

Respondent 6 mentioned that online peer feedback made students be familiar with the process of the learning development. The majority of the teachers agree that online peer feedback affected positively for the teaching of writing. This did lead to teaching achievement. These finding were in the same vein with Ward in 2004. He argued that the teaching of writing through peer feedback enabled students to write correctly in right chronological order because their works would be evaluated and assessed by peers (Ward, 2004). Topping et al (2000) also supported that peer feedback was as essential role to enhance students’ achievement in learning writing. Students would be more motivated to lean writing trough online peer feedback. It also supported by Nicole and Macfarlane-Dick (2006) who stated that peer feedback booster students’ willingness to learn, they exchanged their works among them to evaluate.

The Implementations of Teacher Use Online Peer Feedback in the Teaching of Writing The internet is used to enhance the students’ motivation in learning. Respondent 31 asserts that teaching writing with online media motivates the students actively to interact among them and also with the teachers in teaching and learning writing skill. It is also supported by some researchers (Boekaerts, 2001; Figueiredo & Gardner, 2001; and Silva, 2008). They underlined that motivation was one of the factors which developed the students’ skill in English fluently. Motivation will grow up the confidence of the students in learning process. Motivation could be defined as two parts that the first is instrumental motivation and integrative motivation. Finegan (2008) acknowledged that the integrative motivation was more effective than instrumental motivation. It is because students directly apply English due to its environment and culture. These can be meant that English is effectively whether it is applied directly in daily life, thus it is not limited at school. Motivation also affected the students’ willingness in learning and impacts their cognitive aspects (Al- tamimi and Shuib, 2009). According Margolis and McCabe in 2006, Students with lack of motivation did tend to avoid the task and similar work.

Respondent 6 proved that through email he easily asked them to revise in what parts of errors. It was the same with the perspectives from Wright et al (2013) who confirmed that there were no diversities about comprehension of material between teaching – learning

64

process through conventional media and online media, however the students enjoyed searching any learning material during learning process through online media. E-readers also assisted the students and teachers to search information adequately (Cavus and Ibrahim, 2009; Hung et al, 2013; Kao and Sheu, 2003; Wang et al, 2013). The access of online information leads them to abroad teaching – learning materials. Hence, those materials can be compared to analyse the further of the truth. Online media which were implemented by teachers and students conducted them be more comprehensive and active in the teaching and learning process (Park and Kim, 2011). Miner (2004) supported those students enjoyed in the learning activity by internet. It was because they were familiar to the internet.

Respondent 3 responded that email solved saving their times without directly meeting or face – to face interactions. It also discovered by Albert in 2009. He pinpointed that the problem of teaching and learning process solved especially the embarrassing or anxiety of the students in the learning because they did not need to face to face in communication with the teachers. Wakabayashi (2013) also argued that teaching which always engaged the students will force the students to be active students. Gitsaki and Taylor (2001) revealed that internet facilitates the students to learn and practice their English. As Yang et al (2006) stated that peer feedback enhanced students’ critical thinking.

The strengths of online peer feedback Respondent 9 asserted that students involved actively in the online peer feedback. Students’ comprehensions and their critical thinking increase through online peer feedback. By analysing the material further, students comprehend it through lot of material which can be found in the internet. Critical thinking is one way to solve it. These are in the same vein with two study (Pawlak, 2011 and Zhang, 2009). They argued that, in the critical thinking, there were “intake - reaction” and “input – output”. This critical thinking in peer feedback emphasized not only at commenting, reading, writing, discussing, so forth but also emphasized on how developed the mental and physiological of the student thought being critical (Asikainen, 2014; Lai, 2016; Lee et al, 2016; Pol et al, 2008). Thus, the students and teachers can discuss and analyse all of teaching and learning material in detail such as what the content about, what the purpose about, what the differences among the material, so forth.

Online peer feedback can be done through email. Most of the teacher use email to apply it. They give the students the task through email and asked them to submit their work also through email. It is efficiently due to the time and place because their teaching and learning process are not limited in school time and place. Respondent 17 also explained that the email creates quick responds. Through the email teachers can easily recognize the students writing results by giving the sign at the error parts. This confirmed also that the higher ability

65

of the students helped the lowers by peer feedback (Hsia et al, 2016; Mintzes et al, 2005). The internal factors also affected the success of online peer feedback such as learner cognitions, ability, learner actions, peer pressure, perception, propensities, prejudice, relevant knowledge information, bias, and face-saving also group (Bassham, 2009; Ellis, 2003; Yu et al, 2016).

Online peer feedback affects in the teaching of writing The preference of online media in teaching writing engaged the teachers and students communicate actively. Respondent 26 explained that online peer feedback which integrates with the internet made student easily to search many learning materials in the internet. The same overview came from Rodinadze and Zarbazoia in 2012. They argued that the students did not have anxiety feeling within and avoiding the students’ shy in sharing their ideas. By using online activities, it improved the students’ abilities and proficiencies in EFL learning (Mary & Dina, 2012). It also build positive relations in social context as one of the achievement of the teaching and learning process through technology as its medium. When the teacher and students involved directly in communication in EFL, naturally they built their own natural strategies to have more input for students authentically (Ansarey, 2012).

The online feedback which was assisted with the internet as parts of the technology also was offered bunch material for teaching – learning. The students could obtain their materials in internet to produce

their own essays, projects and so forth. The teachers could explore the material of their teaching and input of information in the internet. The internet provided many advantages for practicing EFL as target language (Grace & Kenny, 2003). Hence, online peer feedback empowered the teachers and students productive and receptive skill in EFL, especially the writing. Solomon et al (2006) argued that technology has important role in contributing with writing skill. They proved that technology and writing associated closely with culture, cognition and literacy. In addition, Hiradhar (2013) found that technology improved student’s proficiency in writing. Lallali (2013) also proved that students were more familiar toward computer and its software for writing. He also revealed only students who used computer were 52%, the rest preferred paper and pen.

Respondent 31 stated that online peer feedback facilitated students to interact actively. It is supported by two study which revealed that the internet facilitated among between teacher and students for interaction in learning (Godwin-Jone, 2003; Suh, 2005). Gitsaki and Taylor (2001) provided the strengths in the use of internet for learning. First, internet and computer facilitated students in enhancing their English achievement. Second, students were be autonomous. Third, students communicated among them to have the feedback. In addition, Kern and Warschauer (2000) found that internet developed students’ English skills and support them to communicate with two or more speakers.

66

CONCLUSION The findings revealed that most of the teachers (30%) agreed to use online peer feedback for their teaching of the writing skill. Most of the teachers argued the reasons in the using online peer feedback that they easily sent corrections of students’ essays and paperless. It also could be accessed everywhere. Most of the teachers also used email by delivering the corrections of the students’ essays by signing some corrected parts. Teacher gave the material and task through online media such email, blog so forth. Then the students did their tasks and search the material further through the internet. After finished it, they submitted their work through online media then teachers revise them. Most of the teachers assumed some benefits of online peer feedback such as actively engaging students in the learning process, quickly giving responds and comments, motivating students because without face-to-face interaction. Online peer feedback affects to the learning writing of students. It leads students to comprehend their own essays and provide wider learning resources in the internet. It offers many advantages in EFL teaching and learning especially for writing skill. From teachers’ arguments above, those can be concluded the reasons of the teachers use online peer feedback. a. Online peer feedback is efficient

because it is without spending much paper

b. It is used to enhance the students’ motivation in learning

c. It is saved time because the teachers can correct the

students’ work not only in class but also in wherever they are

d. It is made the students more familiar with the technology

e. It is developed students’ comprehensions and their critical thinking because they will learn and correct each other. The suggestions are provided for

pedagogical and practical aspects. For the pedagogical, the use of online peer feedback is useful to be applied in the teaching and learning process of EFL skill including writing. It should be integrated as well as possible in the curriculum and lesson plan to gain the better outputs of learning. For the practical aspects, the teachers can maximise the usage of virtual ways to give responds, comments and lead the students in the teaching learning process. The usage of online peer feedback is powerful to handle the teaching and learning problems such as students’ anxiety, students’ boredom in the learning and less learning materials. REFERENCES Al Tamimi, A., & Shuib, M. (2009).

“Motivation and Attitudes in Learning English: A study of petroleum engineering undergraduates at Hadromout University of Sciences and Technology” GEMA online Journal of Language Studies, Vol.9 No.2 Hal.29 – 52

Ansarey, D. (2012). “Communicative Language Teaching in EFL Contexts: Teachers Attitude and Perception in Bangladesh” The Journal of - University of North Carolina Wilmington, Vol 6 Hal. 62-63.

67

Asikainen, H., Virtanen, V., Postareff, L., & Heino, P. (2014). “The validity and students’ experiences of peer assessment in a large introductory class of gene technology” Studies in Educational Evaluation, Vol.43, Hal.197- 205.

Berg, G. A. (2003). The Knowledge Medium: Designing Effective Computer Based Learning Environments. Hershey, PA: Information Science Publishing.

Boekaerts, M. (2001). Context Sensitivity: Activated Motivational Beliefs, Current Concerns and Emotional Arousal”, in S, Volet y S. Jarvela (eds.), Motivation in Learning Context: TheoreticalAdvances and Methodological Implications. Amsterdam: Pergamon, Hal.17-31.

Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles An Interactive Approach to. Language Pedagogy, Second Edition. White Plains: Longman.

Brown, H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. USA: Longman

Cavanaugh, A.J & Song, L. 2014. Audio feedback versus written feedback: instructors' and students' perspectives. Audio Feedback versus Written Feedback: Instructors' and Students' Perspective. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, Vol. 10 No. 1 Hal, 122-138

Cavus, N., & Ibrahim, D. (2009). “m-learning: An experiment in using SMS to support learning new English language words” British Journal of Educational

Technology, Vol. 40 No.1 Hal. 78-91.

Chen, Y., Kao, T., &Sheu, J. (2003). “A mobile learning system for scaffolding bird watching learning” Journal of Computer Assisted Learning, Vol. 19 No.3 Hal. 347–359.

D. Bikowski and G. Kessler. (2002). Making the Most of Discussion Boards in the ESL Classroom TESOL Journal., Vol. 11 No. 3 Hal. 27-30.

David J. Nicol., & Debra Macfarlane‐Dick. (2006). “Formative assessment and self‐regulated learning: a model and seven principles of good feedback practice” Studies in Higher Education, Vol. 31 No.2 Hal. 199-218.

Ellis, R. (2003). The study of second language acquisition. Oxford, UK: Oxford University Press.

Figueiredo, S. and Silva, C. (2008).“The Psychosocial Predisposition Effects in Second Language Learning: Motivational Profile in Portuguese and Catalan Samples”, in Porta Linguarum Vol. 10 Hal. 7-20.

Finegan, E. (2008). Language: It’s Structure and Use. Belmont, CA: Wadsworth Publishing.

G. Yan and Q. Xiaoqing. (2009). Chinese College English Learners’ Attitudes and Behaviors in Computer-Assisted Autonomous Language Learning. The Journal of ASIA TEFL Vol. 6 No.2 Hal. 207-231

Gardner, R. C. (2001). “Language Learning Motivation: The Student, the Teacher, and the Researcher”, in Texas Papers in

68

Foreign Language Education, Vol. 6 Hal. 1–18.

Gitsaki, C., & Taylor, R. (2001). Web-Assisted language learning for EFL. la Scuola che Cambia gennaio. Retrieved August 19, 2016, from http://fds.oup.com/www.oup.com/pdf/elt/it/InternetEnglish.pdf?cc=it

Gutierrez, M., Coulter, B., and Goodwin, D. R. (2002). “Natural disasters workshop integrating hands-on activities, internet-based data, and GIS” Journal of Geoscience Education, Vol. 50 No. 4 Hal. 437-443

Hiradhar, P. P. (2013). “Enhancing ESL learners' writing through technology” International Proceedings of Economics Development and Research (IPEDR), Vol. 68 Hal. 30-36.

Ho, M. (2015). The effects of face-to-face and computer-mediated peer review on EFL writers’ comments and revisions. Australasian Journal of Educational Technology, Vol 31, No. 1 Hal. 1-15.

Hung, P. H., Hwang, G. J., Lin, Y. F., Wu, T. H., & Su, I. H. (2013). “Seamless Connection between Learning and Assessment Applying Progressive Learning Tasks in Mobile Ecology Inquiry” Educational Technology & Society, Vol. 16 No.1 Vol. 194–205.

Hsia, L., Huang, I., & Hwang, G. (2016). “Effects of different online peer-feedback approaches on students’ performance skills, motivation and self-efficacy in a dance course” Computer & Education, Vol.96 Hal.55-71

Hyland, F., & Hyland, K. (2001). “Sugaring the pill: Praise and criticism in written feedback” Journal of Second Language Writing, Vol. 10 No.3 Hal. 185-212.

Hyland, Ken. 2004. Genre and Second Language Writing. London: University of Michigan Press

J. Chen, S. Belkada, and T. Okamoto. (2004). “How a web-based course facilitates acquisition of English for academic purposes” Language Learning & Technology. Vol. 8 No. 2 Hal. 33-49.

Kern, R., & Warschauer, M. (2000). Introduction: Theory and practice of network-based language teaching. In M. Warschauer & R. Kern (Eds.), Network-based language teaching: Concepts and practice. New York: Cambridge University Press.

Lallali, H. (2013). “The Effectiveness of Using the Computer in Improving EFL Students’ Writing” Algeria: Mohamed Kheider University of Biskra

Lee, K.W. (2000). Energizing the ESL/EFL Classroom through Internet Activities. The Internet TESL Journal 6(4). Retrieved on October 11, 2020 from http://iteslj.org/Articles/Lee-InternetActivities.html.

Lai, C. (2016). “Training nursing students’ communication skills with online video peer assessment” Computer & Education, Vol. 97 Hal. 21-30

Liu, E. Z. F., Lin, S. S. J., Chiu, C. H., & Yuan, S. M. (2001). “Web-based peer review: The learner as both adapter and reviewer.

69

IEEE Transactions on Education” Vol. 44 No.3 Hal. 246–251

Liu, J., & Sadler, R. W. (2003). The effect and affect of peer review in electronic versus traditional modes on L2 writing. Journal of English for Academic Purpose, Vol. 2 No.3 Hal. 193-227.

Liu, N. F., & Carless, D. (2006). “Peer feedback: the learning element of peer assessment” Teaching in Higher education, Vol. 11 No.3 Hal. 279-290.

Lundstorm, K., & Baker, W. (2009). To give is better than to receive: The benefits of peer review to the reviewer’s own writing. Journal of Second Language Writing, Vol. 18 No.1 Hal. 30-43.

Maarof, N.; Yamat, H.; Li, K. L. (2011). Role of Teacher, Peer and Teacher-Peer Feedback in Enhancing ESL Students’ Writing. World Applied Sciences Journal 15 (Innovation and Pedagogy for Lifelong Learning): Hal. 29-35

Mary, A. W. & Dina, P. (2012). A Comparison of Two Theories of Learning Behaviorism and Constructivism as Applied to Face-To-Face and Online Learning. USA: National University.

Margolis, H. & McCabe, P. (2006). Intervention in School and Clinic, Vol. 41 No. 4 Hal. 218-227

McLuckie, J. & Topping, K.J. (2004). “Transferable skills for online peer learning” Assessment and Evaluation in Higher Education, Vol. 29 No.5 Hal. 563–584.

Min, H-T. (2006). “The effects of trained peer review on EFL

students’ revision types and writing quality” Journal of Second Language Writing, Vol. 15 Hal. 118-141.

Bassham, G. (2009). Critical thinking: A student’s introduction (4th edition). McGraw- Hill

Min, H-T. (2008). “Reviewer stances and writer perceptions in EFL peer review training” English for Specific Purposes, Vol. 27 Hal. 285-305.

Miner, T. (2004). Using technology to enhance learning: Instructor- or Student-Moderated Discussion Boards: Which are more effective?.Retrieved from http://www.cccone.org/scholars/0405/TomMiner_final_report.pdf

Mintzes, J. J., Wandersee, J. H., & Novak, J. D. (Eds.). (2005). Assessing science understanding: A human constructivist view. London, UK: Academic Press.

Nicol, D. J., & Macfarlane‐Dick, D. (2006). Formative assessment and self‐regulated learning: A model and seven principles of good feedback practice. Studies in Higher Education, Vol. 31 Hal. 199-218

Olesova, L., Richardson, J., Weasenforth, D., & Meloni, C. (2011). Using asynchronous instructional audio feedback in online environments: A mixed methods study. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, Vol. 7 No.1 Hal. 30-42.

Park, H.-R., & Kim, D. (2011). “Reading-strategy use by English as a second language learners in online reading

70

tasks” Computers & Education, Vol. 57 Hal. 2156–2166.

Pawlak, M. (2011). Second language learning and teaching. Springer.

Plutsky, S. & Wilson, B. A. (2004). Comparison of the three methods for teaching and evaluating writing: A quasi-experimental study. The Delta Pi Epsilon Journal, Vol. 46 No. 1 Hal. 50-61.

Pol, J., Berg, B. A. M., Admiraal, W. F., & Simons, P. R. J. (2008). “The nature, reception, and use of online peer feedback in higher education” Computer & Education, Vol. 51 Hal. 1804-1817.

Rodinadze, S. & Zarbazoia, K. (2012). The Advantages of Information Technology in Teaching English Language : Frontiers of Language and Teaching, Vol. 3 Hal. 271-275.

S. M. Sotillo. (2002) Constructivist and collaborative learning in a wireless environment. TESOL Journal. Vol. 11 No. 3 Hal. 16-20.

Shrum, J.L., & Glisan, E.W. (2005). Teacher’s handbook: Contextualized language instruction. (3rd ed.) Boston: Thomson Heinle.

Stern, L. A., & Solomon, A. (2006). Effective faculty feedback: The road less traveled. Assessing Writing, Vol. 11 No. 1 Hal. 22-41

Topping, K., Smith, F.F., Swanson, I., & Elliot, A. (2000). Formative peer assessment of academic writing between postgraduate students. Assessment and Evaluation in Higher Education, Vol. 25 No.2 Hal. 149-169

Tsui, A. B. M., & Ng, M. (2000). “Do secondary L2 writers benefit from peer comments?” Journal of Second Language Writing, Vol. 9 Hal. 2 Hal. 147-170.

Wakabayashi, R. (2013). “The effects of the peer feedback process on reviewer' own writing” English Language Teaching, Vol. 6 No. 9 Hal. 177-192.

Wang, Y. S., Young, S. S. -C., & Jang, J. S. -R. (2013). “Using tangible companions for enhancing learning English conversation” Educational Technology & Society, Vol. 16 No. 2 Hal. 296-309

Ward, J. M. (2004). “Blog assisted language learning (BALL): Push button publishing for the pupils” TEFL Web Journal, Vol. 3 No.1 Hal.1-15.

Ware, P. & O'Dowd, R. (2008). “Peer feedback on language form in telecollaboration” Language Learning & Technology, Vol. 12 No.1 Hal. 43–63.

Wright, S., Fugett, A., &Caputa, F. (2013). “Using E-readers and Internet resources to support comprehension” Educational Technology & Society, Vol. 16 No. 1 Hal. 367–379.

Yang, M., Badger, R., & Yu, Z. (2006). “A comparative study of peer and teacher feedback in a Chinese EFL writing class” Journal of Second Language Writing, Vol. 15 Hal. 179-200.

Yang, Sh., & Chen, Y. (2007). “Technology-enhanced language learning: A case study” Computers in Human Behavior, Vol. 23, Hal. 860-879. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2006.02.015

71

Yu, S., Lee, I., & Mak, P. (2016). “Revisiting Chinese cultural Issues in peer feedback in EFL writing: Insights from a multiple case study” Asia-Pacific Education Research, Vol. 25 No.2 Hal. 295-304.

Zhang, S. (1995). “Re-examining the affective advantages of peer feedback in the ESL writing class” Journal of Second Language Writing, Vol.4 Hal. 209–222.

72

PEMBELAJARAN BAHASA JAWA UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MEMANFAATKAN APLIKASI LET’S READ

Javanese Language Learning for Elementary School Student

with Let’s Read Application

Endang Sri Maruti Universitas PGRI Madiun, Jl. Auri No 6, Kota Madiun,

[email protected]

Nur Samsiyah Universitas PGRI Madiun, Jl. Auri No 6, Kota Madiun,

[email protected]

Abstrak: Pada era society 5.0 ini, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar juga harus mampu mengikuti perubahan, baik dari segi substansi maupun konsepsi. Pembelajaran bahasa Jawa lebih aplikatif dengan memanfaatkan teknologi sehingga akan lebih mudah diterima oleh siswa karena lebih menarik. Salah satu aplikasi digital yang bisa digunakan sebagai penunjang pembelajaran sekaligus kegiatan literasi bahasa Jawa siswa adalah aplikasi Let’s Read. Penelitian ini berupaya untuk memaparkan desain pembelajaran bahasa Jawa di SD dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read. Selain memiliki desain gambar yang menarik, aplikasi ini juga sesuai dengan perkembangan usia siswa SD, dan ketersediannya yang terjangkau, yakni cukup memanfaatkan Android. Penelitian ini berpendekatan kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan menghimpun berbagai kalimat yang terdapat dalam cerita pada aplikasi. Data dianalisis dengan deskriptif induktif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read, siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar membaca dan menulis teks berbahasa Jawa. Kata kunci: literasi bahasa Jawa, Let’s Read Abstract: In this era of society 5.0, learning Javanese in elementary schools must also be able to keep up with changes, both in terms of substance and conception. Learning Javanese language is more applicable by utilizing technology, besides that it will also be easily accepted by students because it is more interesting. One of them is by utilizing digital applications that can be used to support learning as well as students' Javanese language literacy activities is the Let's Read application. This study seeks to describe the design of Javanese language learning in elementary schools by utilizing the Let's Read application. Besides having an attractive image design, this application is also in accordance with the age development of elementary school students, and its availability is affordable, which is enough to use Android. This research has a descriptive qualitative approach. Data is collected by collecting various sentences contained in the story

73

in the application. Data were analyzed by inductive descriptive. The results of data analysis showed that by utilizing the Let's Read application, students became more motivated to learn to read and write Javanese text Keywords: Javanese literacy, Let’s Read PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju, khususnya dalam bidang komunikasi. Dari tahun ke tahun masyarakat dituntut dengan adanya perubahan ekonomi, sosial, dan komunikasi sesuai perkembangan zaman. Adanya perubahan teknologi menjadikan masyarakat harus mengikuti perubahan, mulai dari masyarakat berburu (Masyarakat 1.0), masyarakat pertanian (Masyarakat 2.0), masyarakat industri (Masyarakat 3.0), dan masyarakat informasi (Masyarakat 4.0) hingga masyarakat society (masyarakat 5.0). Masyarakat 5.0 merupakan masyarakat yang berkembang ilmu pengetahuannya sejalan dengan perkembangan sosial, komunikasi atau kemampuan membaca dan keterampilannya. Dalam era society 5.0 ditandai dengan adanya kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang akan mentransformasi big data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (the Internet of things) menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan (Sulaiman & Frizona, 2019). Hal ini akan membantu manusia menjalani kehidupan yang lebih bermakna dengan menggunakan teknologi canggih yang anggotanya saling menghormati satu sama lain, dan

masyarakat yang setiap orang dapat memimpin kehidupan yang aktif dan menyenangkan. Dalam masyarakat informasi masa lalu (society 4.0), orang akan mengakses layanan cloud (database) di dunia maya melalui internet dan mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data (Mahdy, 2017). Pada society 5.0, informasi dari ruang fisik terakumulasi dalam dunia maya sehingga data besar dianalisis oleh kecerdasan buatan dan hasil tersebut akan diumpankan kembali dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk. Dalam era ini orang atau benda serta sistem terhubung di dunia maya dan hasil yang diperoleh dan diolah oleh kecerdasan buatan melebihi kemampuan manusia diberi feedback ke ruang fisik. Proses ini membawa nilai baru bagi industri dan dunia pendidikan dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Dalam menyongsong era society 5.0, guru dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan dalam pembelajaran khususnya. Dunia Pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah dasar yang sebelumnya hanya melihat dan mengamati teknologi mau tidak mau harus menggunakan teknologi dalam pembelajaran, khususnya guru-guru yang harus mengalami perubahan dalam mengajar (Dasmaniar, 2018).

Era society 5.0 tidak akan dapat kita terima jika kita masih jauh dari teknologi. Salah satu teknologi pembelajaran yang digunakan adalah

74

handphone berbasis Android. Android menjadi salah satu benda penting yang wajib dimiliki oleh setiap orang dari kalangan anak-anak sampai dengan masyarakat dewasa. Namun, penggunaan android di kalangan anak, khususnya siswa sekolah dasar terbatas pada media sosial, belum sepenuhnya digunakan pada pembelajaran. Hal ini karena di sekolah guru melarang siswa menggunakan handphone. Ada berbagai pertimbangan atas larangan penggunaan handphone bagi siswa di sekolah. Larangan tersebut berkaitan dengan penggunaan handphone untuk hal-hal yang buruk.

Hal itu sejalan dengan ungkapan Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar saat memberikan sambutan pada acara #GenZBerkreasi: Internet Asyik Bareng Generasi Z di Jakarta “Di era digital seperti saat ini, internet telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak di Indonesia. Dari catatan, ada sekitar 75% anak berusia 10–12 tahun telah menggunakan ponsel dan memiliki media sosial. Sementara anak yang terlahir di atas tahun 2000 sudah terpapar teknologi sejak lahir atau dikenal dengan digital native,”seperti yang dilansir pada Sindo News.com.

Meskipun banyak kasus kekerasan terjadi, anak-anak tidak terlepas dari pengaruh medsos. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kurangnya literasi digital membuat anak rentan menjadi korban di media sosial. Dari data KPAI 2018, terdapat 679 kasus kejahatan yang menimpa anak akibat penggunaan media sosial yang tidak

terkontrol. Penggunaan android atau gadget memang hal yang sangat penting sebagai media komunikasi dan informasi, tetapi sayangnya penggunaan gadget atau android bagi anak tidak dibatasi justru dibebaskan tanpa ada pengawasan ketat dari orang tua. Untuk menghindari pengaruh dan penggunaan medsos yang semakin maju, salah satu alternatif yang dapat ditawarkan adalah memperbanyak literasi baca. Literasi sendiri tidak hanya berkaitan dengan bacaan di buku tulis. Dengan menggunakan android, literasi menjadi sangat mudah dan menarik.

Literasi merupakan sebuah kata yang sering didengar akhir-akhir ini. Kata literasi ramai diperbincangkan orang dalam kaitannya dengan banyak hal, seperti membaca, menulis, komputer, iptek, budaya, politik, teknologi, lingkungan, dan lain-lain. Literasi dapat juga sebagai wujud dari peduli terhadap lingkungan serta mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa. Sebelum mengarahkan peserta didik untuk menulis, diperlukan keterampilan membaca dalam meningkatkan kemampuan berbahasa siswa untuk dikembangkan dalam bentuk tulisan. Hal ini sangat penting dalam proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan seorang guru atau pendidik untuk membelajarkan siswa yang belajar (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, 2011: 128).

Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis atau kadang disebut dengan istilah ‘melek aksara’ atau keaksaraan (Harras, 2011). Isah

75

Cahyani dan Hodijah (2007: 98) menyatakan bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan melalui media kata-kata/bahasa tulis. Literasi menjadi sejarah awal adanya gerakan literasi karena sejarah yang panjang sehingga tidak mengherankan jika literasi berubah maknanya dari waktu ke waktu. Menurut Kemendikbud (2017: 5), literasi diartikan sebagai melek aksara atau tidak buta huruf, berubah maknanya menjadi pemahaman informasi dalam media tulis dan kemudian berkembang menjadi kemampuan berkomunikasi sosial dalam masyarakat sehingga literasi baca tulis sering dianggap sebagai kemahiran berwacana.

Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS (Gerakan Literasi Sekolah) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (Panduan Gerakan Literasi di SD, 2016: 2). Kata literasi telah memiliki berbagai makna baru pada abad ke 21. Secara tradisional, literasi dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis. Orang yang dapat dikatakan literat dalam pandangan ini adalah orang yang mampu membaca dan menulis atau bebas buta huruf. Pengertian literasi selanjutnya menjadi lebih berkembang menjadi kemampuan membaca, menulis, berbicara dan menyimak (Abidin, 2015: 49). Sedangkan literasi kritis adalah sebuah keterampilan berpikir kritis dan keterampilan berpikir kritis

dengan fokus perhatian pada telaah hubungan antara bahasa dan kekuasaan dalam teks (Putri, 2016). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara dengan fokus perhatian antara bahasa dan penguasaan teks.

Let’s read adalah salah satu perpustakaan digital yang sangat berkompeten dalam dunia anak dan sesuai dengan literasi era 5.0. Let’s read diprakarsai oleh Books for Asia, yakni sebuah program literasi yang telah lama berdiri sejak 1954. Program let’s read telah menerima penghargaan U.S Library of Conggres Literacy Awards atas inovasi dalam promosi literasi pada Desember 2017. Misi Let’s Read adalah membudayakan kegemaran membaca anak Indonesia dini melalui (1) digitalisasi cerita bergambar dan (2) pengembangan cerita rakyat yang kaya kearifan lokal.

Di sekolah-sekolah saat ini telah muncul istilah dopari (dongeng di pagi hari), literasi setiap hari, literasi dini, dan lain sebagainya. Kegiatan literasi bertujuan agar peserta didik mulai usia dini dapat melek aksara. Berdasarkan hasil penelitian internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 tentang kemampuan membaca siswa juga menyebutkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Hasil itu lebih rendah dari Vietnam yang menduduki urutan ke-12 dari total negara yang disurvei (Harian Jogja, 2016). Terdapat pemberian fasilitas

76

berupa buku bacaan di tiap kelas dan di perpustakaan.

Di beberapa kegiatan belajar mengajar di kelas, guru juga memberikan kesempatan siswa untuk membaca maupun merangkum isi bacaan. Namun demikian, kegiatan literasi akan lebih menarik dengan menggunakan literasi digital dengan memanfaatkan handphone sebagai medianya. Literasi baca, khususnya di sekolah dasar dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi Let’s Read. Dalam aplikasi tersebut diharapkan siswa dapat meningkatkan kompetensi yang menjadi fokus pendidikan dengan berpikir kritis untuk memecahkan masalah, kreatif, komunikatif dengan cara saling memberi informasi tentang isi cerita, serta kolaborasi dengan teman.

Pada era pembelajaran dalam jaringan (daring) seperti pada saat ini, pemanfaatan aplikasi ini sangat membantu guru untuk melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa dengan inovatif. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana desain pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar secara daring dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read? Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan proses pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar secara daring dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read.

Menurut The National Literacy Strategy (dalam Abidin, 2015: 22) pembelajaran literasi ditujukan agar siswa mampu mencapai kompetensi-kompetensi sebagai berikut: (1) percaya diri, lancer, dan paham dalam keterampilan membaca dan menulis; (2) tertarik pada buku-buku literasi, menikmati kegiatan

membaca, mengevaluasi dan menilai bacaan yang dibaca; (3) mengetahui dan memahami berbagai jenis fiksi dan puisi. (4) memahami dan mengakrabi struktur dasar narasi; (5) memahami dan menggunakan berbagai teks nonfiksi; (6) dapat menggunakan berbagai macam petunjuk baca (fonik, grafis, sintaksis, dan konteks) untuk memonitor dan mengoreksi kegiatan membaca secara mandiri; (7) merencanakan, menyusun draf, merevisi, dan menyunting tulisan secara mandiri; (8) memiliki ketertarikan terhadap kata dan maknanya dan secara aktif mengembangkan kosakata; (9) memahami sistem bunyi dan ejaan dan menggunakannya untuk mengeja dan membaca secara akurat, serta (10) lancar dan terbiasa menulis tulisan tangan.

Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) apa saja materi pembelajaran bahasa Jawa di SD yang dapat diajarkan dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read? dan (2) bagaimana desain pembelajaran bahasa Jawa di SD dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read? Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan (1) materi pembelajaran bahasa Jawa di SD yang dapat diajarkan dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read dan (2) desain pembelajaran bahasa Jawa di SD dengan memanfaatkan aplikasi Let’s Read. METODE PENELITIAN Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif yaitu pendekatan yang menjelaskan hasil

77

penelitian secara rinci dan tersusun dalam bentuk uraian sehingga mendapatkan gambaran yang jelas mengenai hasil penelitian. Bahan atau sumber data penelitian ini adalah teks cerita berbahasa Jawa pada aplikasi Let’s Read. Teknik pengumpulan data berupa dokumentasi dengan teknik simak dan catat. Data yang telah siap dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi dan content analysis. Metode analisis isi merupakan kajian metode penelitian ini yang disajikan dalam bentuk ringkasan untuk menggambarkan inti sari hasil maupun ide pokok penelitian secara ilmiah, teratur, dan kuantitatif tentang konten yang saling berhubungan. Kajian penelitian ini membahas penuh materi literasi bahasa Jawa yang terdapat pada cerita dalam aplikasi Let’s Read. HASIL DAN PEMBAHASAN Materi Pembelajaran Berbasis Cerita Berbahasa Jawa pada Aplikasi Let’s Read Dalam menyongsong era society 5.0 salah satu terobosan dalam dunia pendidikan adalah pengunaan literasi digital untuk menunjang pengetahuan dan aktivitas membaca siswa di sekolah dasar khususnya. Literasi digital merupakan kegiatan literasi dengan memanfaatkan media sosial, seperti handphone atau android yang berisi bacaan menarik sesuai perkembangan usia siswa. Salah satu aplikasi yang bisa dimanfaatkan adalah Let’s Read. Aplikasi ini memiliki fitur bacaan yang lengkap dan mudah diinstal serta tidak perlu membawa buku-buku bacaan yang harus dipahami

isinya dengan mencatat sebagai ringkasannya.

Ratusan cerita bergambar sesuai dengan perkembangan siswa sekolah dasar dapat dibaca, diunduh, disebarkan dan diterjemahkan secara bebas melalui aplikasi Android. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang buku unggulan dan buku-buku tingkat level untuk diajarkan di kelas yang sesuai dengan perkembangan usia dapat membuka instragam Let’s Read dan facebook Let’s Read.

Gambar 1.

Tampilan aplikasi let’s read. Membaca tidak hanya melihat

huruf berjajar, tetapi juga memahami isi tulisan. Membaca tulisan dalam bahasa Jawa juga demikian. Ketepatan membaca atau melafal huruf vokal menjadi sangat penting. Seperti diketahui, huruf vokal dalam bahasa Jawa ada dua jenis, yakni vokal tegak (swara jejeg), yaitu huruf a dibaca o, dan vokal miring (swara miring), yaitu huruf a tetap dibaca a. Untuk membedakan keduanya perlu banyak membaca supaya bisa berlatih dan akhirnya menjadi terbiasa. Bahasa Jawa dikenal dengan huruf Jawa yang tata penulisannya berdasarkan dari cara membaca sehingga bisa disimpulkan bahwa membaca dalam bahasa Jawa

78

justru lebih sulit daripada menulis aksara Jawa. Jika selama ini kita disuguhkan dengan istilah calistung, yang menuntut keterampilan membaca harus lebih dulu dikuasai dibanding keterampilan menulis, maka dalam bahasa Jawa istilah tersebut berubah menjadi liscatung yang menuntut keterampilan menulis harus lebih dahulu dikuasai untuk bisa membaca dengan baik dan benar.

Sampai dengan saat ini, masih banyak ditemui sumber bacaan berbahasa Jawa yang rata-rata masih salah dalam tata tulisnya. Tidak sedikit pula dijumpai teks cerita atau teks wacana dalam buku ajar bahasa Jawa yang sampai dengan saat ini masih salah dalam hal penulisan huruf vokal. Misalkan, kata sapa ‘siapa’ masih sering ditulis sopo. Menghadapi permasalahan tersebut, saat ini kita sudah tidak perlu risau lagi. Di zaman serba modern dan serba online ini, kita diberi banyak kemudahan. Salah satu kemudahan itu adalah hadirnya aplikasi Let’s Read (http://bit.ly/webletsread) dari The Asia Foundation yang sangat mudah diakses. Aplikasi tersebut menyediakan banyak bacaan dari beragam bahasa, genre, dan jenjang bacaan atau tingkat kesulitan. Tidak hanya menyuguhkan bacaan berbahasa resmi PBB saja, tetapi aplikasi ini juga menyediakan bacaan berbahasa daerah, terutama bahasa daerah dari Indonesia yang tergolong masih banyak penuturnya, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Minangkabau, dan masih banyak lagi.

Seperti yang telah disinggung di atas perihal penulisan huruf vokal dalam bahasa Jawa, bacaan dalam aplikasi Let’s Read yang disuguhkan

tentu tidak sembarang. Tulisan yang tersedia telah melalui beberapa tahap, mulai dari tahap pelatihan penerjemahan, sampai dengan tahap penyuntingan yang kemudian direvisi jika memang terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki. Untuk itu, kualitas bacaan, baik tata tulis dari bentuk kata maupun tata kalimatnya sudah terjamin kesahihannya, misalnya dalam cerita Dina Kapisan ing Sekolah. Berdasarkan tingkat kesulitannya, bacaan itu tergolong dalam bacaan tingkat 2.

Gambar 2. Contoh Cerita Berbahasa Jawa pada aplikasi let’s read.

Seperti yang dapat dilihat, kata

pertama dalam judul itu adalah Dina. Dina di sini tidaklah dibaca Dina yang bisa saja merupakan nama seorang anak, tetapi /dina/ harus dibaca /dinͻ/ yang artinya adalah hari dalam bahasa Indonesia. Penulisan huruf vokal a yang dibaca o inilah yang penting untuk diperhatikan oleh pembaca, terutama pembaca anak-anak. Kesalahan dalam membaca tentu akan berakibat fatal dalam pemaknaan isi teks secara keseluruhan.

Dalam cerita itu disebutkan beberapa nama anak dari berbagai binatang yang dalam bahasa Jawa

79

mempunyai sebutan atau nama tersendiri. Jika dalam bahasa Indonesia, anak dari tikus disebut anak tikus, dalam bahasa Jawa tidak demikian. Ada kalimat Ana cindhil, anake bu Tikus. Anak tikus dalam bahasa Jawa disebut cindhil. Tata tulis cindhil inipun berbeda dengan bahasa Indonesia, yaitu ada konsonan dha yang harus dibaca tebal. Jika huruf tegak pada vokal a itu berubah pelafalannya, pada huruf vokal i di sini jika i dibaca e itu tergolong dalam huruf miring. Cindhil dalam cerita di atas harus dibaca cindhel, tetapi dalam tata tulis tetap ditulis cindhil. Inilah salah satu keunikan lain dari membaca teks berbahasa Jawa. Keunikan ini pulalah yang menjadikan banyak kesalahpahaman dalam hal tata tulis, banyak anak yang terbiasa mengucapkan huruf i menjadi e, dan akhirnya dalam menulis bahasa Jawa juga menjadi e.

Gambar 3. Contoh Kalimat dalam Cerita Berbahasa Jawa pada aplikasi

let’s read.

Namun, dalam keseluruhan teks cerita atau bacaan yang berbahasa Jawa dalam aplikasi Let’s Read ini sudah 100% benar karena memang telah melalui beberapa kali proses penulisan. Untuk itu, selain bisa digunakan untuk membedakan pelafalan huruf vokal yang tegak maupun miring, juga untuk membiasakan lidah pembaca khususnya lidah anak-anak untuk bisa melafalkan huruf d dan dh serta huruf t dan th dengan baik dan benar. Seperti diketahui sekarang, lidah anak-anak sudah sangat terbiasa dengan huruf d tebal dalam bahasa Indonesia atau dh dalam bahasa Jawa, sampai akhirnya tidak bisa melafalkan d tipis. Selain huruf d, lidah anak generasi sekarang juga tidak bisa melafalkan huruf t tebal atau th dalam bahasa Jawa. Seperti dalam lanjutan teks cerita Dina Kapisan ing Sekolah, ada kalimat Ana kenthi, anake Pak Klinci. Kenthi di sini pasti banyak dilafalkan hanya dengan kenti saja, huruf t tidak dibaca tebal.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas diharapkan hadirnya aplikasi Let’s Read ini menjadi ajang menjawakan kembali orang Jawa. Dalam satu contoh teks cerita berbahasa Jawa saja didapat banyak pelajaran. Mulai dari tata tulis huruf vokal dan pelafalannya yang bermacam-macam, tata tulis huruf konsonan yang berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi sama dalam pelafalan yang memunculkan kesulitan dalam membaca teks berbahasa Jawa terutama pada anak-anak zaman milenial. Selain itu, adanya penyebutan nama anak binatang yang berbeda dengan penyebutan dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Jawa

80

sangatlah kaya akan kosakata. Aplikasi ini dapat diunduh pada (https://bit.ly/downloadLR2). Desain Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar secara Daring dengan Memanfaatkan Aplikasi Let’s Read Model pembelajaran bahasa Jawa secara daring dengan memanfaatkan cerita berbahasa Jawa pada aplikasi Let’s Read ini berpendekatan ilmiah atau saintifik. Siswa mencoba menemukan permasalahan dari fenomena yang diamati, yakni siswa menemukan permasalahan tentang penulisan huruf vokal maupun konsonan dalam bahasa Jawa yang berbeda dengan penulisan pada bahasa Indonesia. Adapun langkah pembelajarannya seperti tabel di bawah ini.

Tabel 1. Langkah Pembelajaran

Bahasa Jawa secara Daring

Tahap Kegiatan

Bentuk Kegiatan

Penentuan Tujuan Pembelajaran

1. Penentuan topik pembelajaran bahasa Jawa

2. Penentuan materi pembelajaran bahasa Jawa

Penelaahan Kemampuan Siswa

1. Pengembangan RPP

2. Pengembangan lembar penilaian

Proses Pembelajaran

1. Kegiatan Pendahuluan a. Menyiapkan

siswa secara fisik maupun mental

b. Mengajukan pertanyaan tentang

pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari

c. Menjelaskan tujuan pembelajaran

2. Kegiatan Inti a. Guru

menerangkan materi secara global.

b. Siswa mendengarkan voicenote guru melalui aplikasi whatsapp grup saat membacakan naskah cerita Dina Kapisan ing Sekolah.

c. Siswa menulis naskah cerita Dina Kapisan ing Sekolah yang telah disimak. Hasil tulisan siswa difoto lalu dikirimkan kembali ke guru melalui WAG.

d. Siswa mencocokkan hasil tulisannya dengan naskah cerita asli pada aplikasi Let’s Read pada android setiap siswa, atau bagi yang belum bisa

81

membuka aplikasi, guru bisa mengirimkan teks versi pdf kepada siswa.

e. Setelah mengetahui kesalahan maupun kekeliruan penulisan, siswa dapat menjelaskan materi penulisan huruf dalam bahasa Jawa dengan benar.

f. Setelah itu, siswa harus membacakan kembali teks cerita itu dalam bentuk voicenote dan mengirimkan ke WAG untuk mengetahui tingkat penguasaan membaca maupun berbicara bahasa Jawa.

g. Siswa menghubungkan tentang tata cara penulisan dan pelafalan melalui kegiatan menulis dan membaca cerita pada aplikasi Let’s Read.

h. Guru

mengonfirmasi tentang tata cara penulisan dan pelafalan bahasa Jawa yang benar.

i. Siswa berdiskusi terkait permasalahan yang ada dalam teks cerita.

j. Siswa membandingkan permasalahan yang ada dalam teks cerita dengan yang pernah dialami atau ditemui pada teks yang lain.

3. Kegiatan Penutup a. Siswa

melakukan refleksi dengan menyimpulkan hasil pembelajaran

b. Guru memberikan umpan balik

c. Guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran

Penilaian 1. Evaluasi penguasaan materi penulisan dan pelafalan bahasa Jawa.

2. Evaluasi pelaksanaan tata cara penulisan dan pelafalan bahasa Jawa

82

Tidak setiap anak memiliki fasilitas android atau tablet bahkan komputer dengan jaringan internet yang bisa digunakan untuk mengunduh aplikasi Let’s Read. Namun, guru dapat memanfaatkan aplikasi Whatsapp pada handphone guru yang sudah diisi dengan aplikasi Let’s Read dan mengajarkan materi pembelajaran bahasa Jawa baik di kelas maupun secara daring di dunia maya. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, guru dapat meminta siswanya untuk mengunduh aplikasi di handphone masing-masing dan membaca di rumah. Untuk mengetahui siswa membaca atau tidak guru dapat melakukan pengecekan dengan menggunakan buku penghubung yang berisi hasil membaca yang telah diringkas atau menuliskan isi cerita yang telah dibaca dan mengungkapkan kembali di kelas setiap harinya.

SIMPULAN Berkembangnya Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi anak dalam membaca dan menulis melalui pembelajaran berbasis teks, kurikulum ini tidak mematok target minimal buku yang harus dibaca siswa. Melalui aktivitas banyak membaca, para siswa akan mendapat banyak isnpirasi, memiliki gagasan dan wawasan yang kaya, dan sekaligus memperoleh banyak model tulisan yang baik. Salah satu kegiatan membaca adalah dengan literasi digital sehingga tidak ketinggalan dengan era society 5.0. Dengan memanfaatkan Let’s Read, siswa akan belajar secara langsung menggunakan android-nya, tidak hanya bermain game, tetapi belajar memahami sebuah cerita yang

disajikan dengan gambar-gambar menarik. Let’s Read menawarkan pembelajaran literasi era society 5.0 menajdi mudah dan bermutu karena isi bacaan sesuai dengan karakteristik siswa sesuai dengan level membaca dan tingkat kemampuan penguasaan kosakata. Penggunaan aplikasi ini jika di sekolah sudah tersedia komputer atau tablet dengan jaringan internet lancar dapat digunakan secara langsung dengan melihat, membaca, dan menceritakan kembali isi cerita. Jika peralatan internet terbatas, dapat dilakukan dengan menggunakan handphone guru dan menayangkan pada LCD atau meminta siswa menginstal aplikasi Let’s Read dan menceritakan kembali isi cerita yang telah dibacanya. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus. 2015. Pambelajaran

Multiliterasi Sebuah Jawaban atas Tantangan Pendidikan Abad Ke-21 dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Refika Aditama

Dasmaniar. 2018. ‘Survey Tentang Masalah-Masalah Yang Dihadapai Oleh Siswa Kelas Viii Smp Negeri 1 Inuman, Jurnal PAJAR, 1, pp. 65–75.

Isah Cahyani dan Hodijah. 2007. Kemampuaan Berbahasa Indonesia Di SD. Bandung: UPI Press

Harras, Kholid A. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1 Jakarta, IDN Times –

Kemendikbud. 2017. Materi Pendukung Literasi baca (GLN). Jakarta

83

Kemendikbud. 2017. Fliyer Literasi Baca Tulis.pdf

Mahdy, Qin. 2019. Smart Hafiz, Obati Kecanduan Anak pada Gadget. https://hafizfansclub.com/smart-hafiz-obati-kecanduan-anak-pada-gadget/. Diakses pada tanggal 11 Februari 2021

Putri, T. S. .2016. ‘Peningkatan Hasil Belajar Bahasa Jawa Materi Wayang Melalui Penggunaan Media Kartu Kata Bergambar Wayang’, BASIC EDUCATION, 5(34), pp. 3–262.

Sulaiman, Reza & Vessy Frizona. 2019. Keren Banget, Boneka Hafiz Terbaru Kini Dilengkapi Kecerdasan Buatan! https://www.suara.com/lifestyle/2019/10/29/080500/keren-banget-boneka-hafiz-terbaru-kini-dilengkapi-kecerdasan-buatan?page=all. Diakses pada tanggal 11 Februari 2021

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

84

Pengarakteran dalam Digitalisasi dan Solusi: Problematika Penyusunan Soal Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia

Cultivating Character in Digitization for Solutions to Problems in Composing Question in Indonesian Language Subjects

Annisa Permatasari

SMP Labschool Unesa 2, Surabaya, Indonesia ([email protected])

Abstrak: Terdapat berbagai problematika dalam penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menjadi dasar atas penulisan artikel ini. Artikel ini berpijak pada hipotesis atas pengarakteran dalam digitalisasi mampu menjadi solusi atas problematika tersebut. Pengarakteran dalam digitalisasi adalah upaya kritis, kreatif, serta aktif untuk menghasilkan pencarian sumber-sumber yang berkualitas yang sesuai dengan pendidikan. Artikel ini menggunakan pendekatan literatur dengan deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah berbagai literatur yang ada termasuk analisis soal mata pelajaran bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah pengarakteran dalam digitalisasi dapat memberikan manfaat bagi pendidik, pembelajaran, dan peserta didik dengan penjabaran, 1) soal-soal mengalami pembaruan karena memliki pembanding dengan file soal sebelumnya, 2) data-data dalam digital secara aktif memperbarui sebagai pertimbangan bahan soal, 3) mampu mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif karena telah melalui riset yang matang, 4) kemampuan motorik dapat dipantau melalui kepraktisan dalam berbagai kanal, dan 5) tingkat kesulitan soal sesuai dengan jenjangnya dengan menggunakan aplikasi penunjang sesuai zaman.

Kata Kunci: pengarakteran, digitalisasi, penyusunan soal, mata pelajaran bahasa Indonesia

Abstract: There are various problems in the composing question of Indonesian language subject matter so that it becomes the basis for writing this article. This article rests on the hypothesis that ultivating character in digitization can be a solution to these problems. Cultivating character in digitization is a critical, creative, and active effort to produce quality sources that are suitable for education. This article uses a descriptive qualitative literature approach. Sources of data used are a variety of existing literature including analysis of Indonesian language subjects. The results in this study are that cultivating character in digitization can provide characterful benefits for educators, learning, and students with elaboration, 1) the questions have been updated because they have a comparison with the previous question files, 2) data in digital is actively updating as consideration of question material, 3) able to develop critical and creative

85

thinking because it has been through thorough research, 4) motor skills can be monitored through practicality in various channels, 5) the level of difficulty of the questions will be in accordance with the level by using supporting applications according to the times.

Keywords: Cultivating character, digitization, composing question, Indonesian language subjects PENDAHULUAN Berdasarkan era revolusi industri 4.0

dan masyarakat 5.0, timbul adanya istilah digitalisasi. Awal mula, manusia gencar dengan pembentukan teknologi, tetapi menjadi suatu disrupsi ketika manusia dikuasai oleh teknologi. Kemudian muncul gagasan bahwa seharusnya manusia yang memanfaatkan teknologi. Hal inilah yang menjadi acuan hadirnya era masyarakat 5.0.

Pemanfaatan teknologi pada era masyarakat 5.0 adalah memanfaatkan digital. Digitalisasi merupakan proses pemakaian digital terkini adalah internet. Semua orang dapat berselancar dalam mencari hal-hal yang dibutuhkan dalam internet. Kegiatan yang hanya sekali klik tersebut digunakan secara bebas oleh penggunanya, yaitu semua orang. Pengguna internet dapat secara bebas mengakses hal-hal yang dicari ataupun hal-hal yang muncul secara mutakhir. Adanya hal ini, manusia berkemampuan memahami dan mengetahui secara aktif hal yang ada di internet.

Dalam dunia pendidikan, khususnya di masa pandemi sekarang, digital menjadi tokoh utama sebagai penunjang pembelajaran. Esensi pendidikan dalam konteks pandemi Covid-19 dan era digital adalah persoalan

pendidikan mampu membangun daya pikir kritis sehingga dapat menyelesaikan tantangan-tantangan hidup masa depan yang dihadapi.

Urgensi dari artikel ini adalah perbaikan dari problematika penyusunan soal. Saat ini disadari, bahwa pelaksanaan evaluasi berpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sebagian besar masih digunakan sekolah (pada kelas XI dan XII). Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat (1), evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, di antaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan (Winata, Putrayasa, & Sudiara, 2014).

Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif, seperti tes dan skor dan merupakan salah satu alat evaluasi yang digunakan guru adalah tes (Sutaryono, 2016). Kelemahan pokok pengukuran hasil belajar di sekolah pada umumnya tidak terletak pada bentuk butir soal yang digunakan, tetapi terletak pada kemampuan guru untuk mengonstruksi butir soal dengan baik (Hasan & Zainul, 1991).

Salah satu penulisan butir soal yang harus dikuasai oleh pendidik adalah penulisan butir soal pilihan dan uraian. Tes pilihan dilihat dari kriteria menjawab dengan memilih

86

alternatif jawaban yang ada sehingga tes objektif adalah tes yang didapat berdasarkan cara penilaian secara objektif tanpa unsur subjektif penilai (Aini, 2017).

Pada tes objektif atau pilihan ganda, terdapat kunci jawaban sebagai pedoman yang mengikat. Dengan kunci jawaban, siapa pun penilainya, berapa pun nilainya, hasilnya akan sama. Tes yang dinilai secara objektif adalah tes pilihan, karena itulah orang sering menyebut tes pilihan sebagai tes objektif (Winata et al., 2014). Selanjutnya, untuk tes uraian, jawaban yang diberikan bersifat subjektif atau menggunakan kata kunci yang telah ditetapkan.

Penilaian terhadap hasil evaluasi, diperlukan adanya kunci jawaban. Kunci jawaban tersebut berfungsi sebagai patokan atau tolok ukur yang mengikat. Pada tes pilihan ganda, kunci jawaban berupa daftar dari salah satu pilihan yang sesuai dari beberapa opsi yang ada (Sukardi, 2008).

Peran digitalisasi dalam penyusunan soal bahasa Indonesia adalah untuk mengembangkan pola pikir kritis dengan adanya evaluasi konten. Evaluasi konten tersebut dikolaborasikan dengan analisis wacana kritis agar diperoleh pemahaman yang valid dan reliabel.

Artikel ini dibuat bertujuan untuk mengemukakan peran digitalisasi untuk solusi problematika penyusunan soal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Upaya akan dijabarkan dengan bertahap yang kemudian hasilnya akan dipergunakan atau diimplementasikan kepada para pendidik sehingga mampu untuk menyusun soal secara berkualitas,

efektif, dan praktis dengan memanfaatkan perkembangan zaman, yaitu era digitalisasi.

METODE Artikel ini merupakan artikel non- penelitian. Dalam hal ini berupa gagasan untuk membangun karakter melalui digitalisasi untuk solusi problematika penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini berdasarkan pada urgensi dari kondisi soal yang telah dianalisis untuk mendukung penyusunan artikel ini, dibutuhkan pustaka atau artikel terkait yang relevan atau bertopik sama. Hal ini sesuai dengan salah satu metode, yaitu metode kepustakaan. Metode kepustakaan tidak hanya mengumpulkan, membaca, dan mencatat literatur/buku-buku, tetapi juga memperhatikan langkah-langkah dalam meneliti kepustakaan (Khatibah, 2017).

Langkah-langkah dalam metode kepustakaan yang diterapkan pada artikel ini sebagai berikut.

Membuat kerangka berpikir terkait gagasan yang ditulis;

Mencari pustaka yang memiliki topik yang sama;

Memilah informasi yang mendukung dan menentang gagasan;

Mencantumkan pustaka yang mendukung dan argumentasi penulis untuk mengukuhkan gagasan dari pustaka yang menentang gagasan.

Metode penelitian atau pedoman yang digunakan peneliti adalah tentang bagaimana proses suatu penelitian dilakukan. Pedoman dapat menjadi patokan untuk menemukan, membuktikan,

87

dan mengembangkan pengetahuan. Metode yang digunakan peneliti adalah metode kualitatif (Triani & Hermanto, 2020). Definisi dari metode kualitatif adalah satu metode untuk menggambarkan dan mengungkapkan fenomena yang terjadi di lapangan secara alamiah (Sutaryono, 2016).

Sugiyono juga menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Mustika, Tivana, & Ismayani, 2015).

Untuk memperoleh data, tentu diperlukan suatu alat atau instrumen. Instrumen yang digunakan peneliti adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Untuk memperoleh data melalui wawancara, peneliti menggunakan patokan wawancara yang di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh partisipan.

Kemudian untuk mengumpulkan data melalui observasi, peneliti menggunakan pedoman observasi sedangkan melalui dokumentasi dapat diperoleh data dari dokumen soal-soal yang ada pada ujian nasional (UN) dan soal-soal dari MGMP Surabaya. Setelah data yang dibutuhkan peneliti terkumpul, langkah selanjutnya, yakni melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Kemudian data dianalisis dengan teknik analisis

interpretasi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Selama ini, pendidik berkutat pada penyusunan soal yang berkualitas dan efektif. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, disajikan materi sastra dan nonsastra sehingga soal didominasi oleh teks. Teks mampu melatih daya literasi peserta didik, tetapi perlu disesuaikan dengan durasi pengerjaan yang diberikan.

Penyusunan soal merupakan bagian dari evaluasi. Evaluasi di bidang pendidikan ada dua macam, yaitu evaluasi hasil belajar dan evaluasi program pendidikan (Wirawan, 2011). Evaluasi belajar bertujuan untuk mengukur apakah pembelajaran berbagai bidang ilmu mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh kurikulum pembelajaran ilmu tersebut (Minarwati, 2013). Evaluasi ini dilakukan melalui pekerjaan rumah, penilaian umum, serta ujian bertaraf nasional. Evaluasi program pendidikan untuk mengevaluasi berbagai aspek pendidikan misalnya, kurikulum, proses dan metode pembelajaran mata pelajaran, layanan pendidikan, tenaga pendidikan, dan sebagainya (Kemdikbud, 2020).

Kata yang selalu berkaitan dengan kata evaluasi adalah evaluasi (evaluation), pengukuran (measurement), dan penilaian (assessment). Berdasarkan kata-kata tersebut, evaluasi dapat dijabarkan sebagai kegiatan mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan

88

alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan (Eryanto, Marsofiyati & Swaramarinda, 2016).

Evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan (Eryanto et al., 2016). Jadi, evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah berlalu (Sutaryono, 2016).

Evaluasi yang sesuai, membentuk kinerja otak yang aktif, kreatif, dan kritis. Hal ini dapat didukung oleh digitalisasi sehingga kebutuhan soal dapat terpenuhi oleh anak- anak era masyarakat 5.0 saat ini.

Pada masa teknologi digital saat ini, mampu memberikan inovasi terhadap literasi yang ada dalam pendidikan. Inovasi-inovasi tersebut merupakan tantangan atau masalah baru yang perlu dihadapi para pendidik yang ada di negeri ini. Untuk itu, solusi dari tantangan digitalisasi, yaitu melibatkan kreativitas atas pengetahuan, keterampilan, serta strategi dari literasi-literasi pendidikan (dasar, media, teknologi, kritis, digital, dan lain-lain) sehingga menciptakan sebuah inovasi yang efektif (Vogler, dkk., 2013). Dengan hal tersebut maka digitalitasi yang dimanfaatkan dengan optimal dapat memberikan kebebasan atas keterbatasan dalam mengakses suatu hal secara terperinci.

Digitalisasi tidak hanya hadir untuk mengeksplorasi dunia sekolah, tetapi juga dunia luar

lainnya. Hal praktik tekstual dalam penggunaan digital tidak terbatas pada penggunaan alat dan dapat bergerak menuju integrasi teknologi yang bermakna ke dalam pembelajaran (Jacobs, 2006). Digitalisasi ini bisa memberikan dampak positif terhadap dunia pendidikan dan juga memberikan dampak negatif. Tidak terbatasnya akses dalam teknologi digital harus diiringi dengan kontrol. Dalam hal ini berupa rambu-rambu dalam menggunakan teknologi digital.

Rambu-rambu atau batasan-batasan pada penggunaan teknologi digital terdapat dalam digitalisasi. Digitalisasi bertujuan mengembangkan kemampuan penyerapan suatu informasi dengan cara mencari, mengevaluasi, menyintesis, dan mengomunikasikan (Colwell dkk., 2013). Kemampuan itulah yang menjadi rambu dalam penggunakan teknologi digital. Secara bertahap, pengolahan informasi berguna dalam memberikan keputusan serta inovasi.

Jadi, digitalisasi menjadi suguhan yang potensial terhadap permasalahan terkini. Digitalisasi mampu menjadikan peserta didik untuk mengolah informasi berbasis teknologi digital. Peserta didik dituntut untuk selalu kritis dan tenang dalam menghadapi sebuah informasi.

Pengarakteran atau proses pembangunan suatu karakter bukanlah hal baru di Indonesia, tetapi menjadi hal yang disoroti pemerintah sampai sekarang. Pengarakteran berkaitan erat dengan pendidikan karena dalam implementasinya, pendidikan condong untuk memperbaiki atau

89

mengembangkan hal yang dipunyai peserta didik. Pengarakteran melalui lingkup pendidikan di Indonesia telah melalui beberapa perkembangan yang telah disesuaikan dengan perubahan zaman. Hal tersebut disebabkan oleh pengarakteran merupakan proses yang terus berkelanjutan atau terus melakukan perkembangan sesuai perkembangan diri dan perkembangan sekitar.

Proses pembangunan karakter peserta didik berkaitan dengan banyak aspek, yaitu pengetahuan berdasar pengalaman, kemauan, perasaan, hingga aktivitas yang berkaitan dengan psikologi. Segala aspek tersebut dapat diperoleh melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pengarakteran menyatu dalam proses pembelajaran dengan dilandasi pemahaman serta keaktifan dari pendidik dan peserta didik. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut juga mengakibatkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan problematika yang ada. Oleh karena itu, diperoleh hipotesis bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mampu melakukan pengarakteran pada pembelajarnya. Hal ini didasarkan pada pengkajian empiris dan teoretis.

Pengarakteran merupakan proses pembangunan karakter. Karakter adalah akumulasi dari unsur-unsur nilai, pengetahuan, kepribadian, moral, serta etika. Gabungan dari unsur tersebut mampu menciptakan karakter yang kuat. Hal ini juga diungkapkan Megawangi (2009:74) bahwa

keberhasilan dalam pengarakteran dipengaruhi oleh kematangan emosi-sosial.

Dalam proses pembangunan karakter, kesesuaian antara objek dan subjek juga dicermati. Misalnya, seorang anak TK, belum waktunya dikenalkan dan diajarkan kata “demokrasi”. Tingkat kematangan emosi-sosial seseorang dapat ditinjau dari kemampuan yang telah diperlihatkan seseorang. Apabila cukup matang, karakter dapat terus dikembangkan dalam diri individu tersebut. Karakter adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu yang meliputi intelektual, emosional, sosial, etika dan perilaku (Amri dkk., 2011: 4). Intelektual, emosional, sosial, etika, serta perilaku yang matang akan mampu membuat karakter positif.

Hal ini sejalan dengan pendapat Lickona (2016:81) bahwa pengarakteran merupakan proses menjadikan suatu kebaikan dan mengolah sifat temperamen. Ketika seseorang memiliki kompetensi, keinginan, serta kebiasaan untuk mengendalikan perkembangan emosi serta pengetahuannya, ia telah dianggap berhasil melalui proses pembangunan karakter tersebut. Berdasarkan pendapat Amri dan Lickona, karakter merupakan suatu hal baik dengan kemampuan kontrol diri. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Megawangi tentang kematangan diri seseorang.

Dapat ditarik simpulan bahwa kesiapan seorang individu berbeda-beda sehingga alokasi waktu dalam menerapkan suatu proses pembentukan karakter juga berbeda pula. Hal ini bergantung pada kepribadian, pengetahuan, serta hal-

90

hal yang telah didapat dalam kehidupan bersosial.

Karakter yang dibentuk dan terus dikembangkan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas individu. Kualitas individu yang diperlukan adalah sebagai manusia yang bermartabat dan mampu untuk memajukan bangsa. Megawangi (2009:76) juga mengungkapkan hal tersebut bahwa tujuan akhir dari pengarakteran adalah mampu untuk membentuk manusia yang berperilaku mulia yang berpondasikan kecakapan hidup.

Pondasi kecakapan hidup yang dimaksud adalah pilar-pilar dalam menjalani kehidupan yang rumit sehingga tidak akan mundur saat diterjang problematika kehidupan. Pondasi tersebut akan membentuk individu yang kuat. Dalam hal ini Amri dkk. (2011:94) mengungkapkan bahwa pengarakteran bertujuan untuk mencetak peserta didik yang cerdas secara nilai dan moral. Kecerdasan dalam diri seseorang tidak hanya melihat berdasarkan nilai yang bagus di sekolah atau hasil akhir yang sukses, tetapi juga moral yang berkualitas baik serta kuat.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Lickona (2016:35) bahwa karakter yang menjadi tolok ukur dalam menilai individu dan tolok ukur dalam mengukur keberhasilan suatu negara. Suatu negara dianggap baik apabila masyarakatnya memiliki karakter yang bagus. Karakter menjadi hal yang diperlukan dalam berkehidupan. Ketiga pendapat tersebut saling mendukung dan melengkapi dari berbagai sisi.

Pondasi kecakapan hidup untuk membentuk manusia yang cerdas bertujuan untuk menyukseskan suatu negara. Dapat ditarik suatu simpulan bahwa pilar-pilar kemahiran untuk menjalankan kehidupan tersebut mampu membentuk individu yang berkualitas. Ketika dalam negara tersebut memiliki masyarakat yang berkarakter, maka negara tersebut tidak mudah digoyahkan karena memiliki dasar yang kuat, yaitu masyarakat cerdas.

Hal ini memiliki hubungan dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pembelajaran bahasa dan sastra adalah suatu kesatuan. Bahasa dan sastra merupakan bagian hakikat diri manusia. Hal tersebut merupakan produk pemikiran alamiah yang didasarkan pada kerangka berpikir yang khas dan sikap hidup sehingga memunculkan kecakapan atau kemahiran yang khas dan jati diri yang kokoh (Darma, 2007:95).

Pemikiran ilmiah dari kerangka berpikir khas dan sikap hidup merupakan bentuk dari bahasa dan sastra. Bahasa dan sastra tidak lepas dari kegiatan berbangsa dan bidang lainnya. Setiap bahasa dan sastra memiliki kekhasan masing-masing. Hal tersebut berdasarkan keadaan sosial yang ada di sekitar. Sesuai pendapat Alwasilah (2008:16) bahwa penguasaan bidang studi sosial bergantung pada penguasaan pendidikan bahasa. Tidak hanya bahasa, sastra pun diperlukan.

Kemampuan seseorang dalam menyerap dan menalar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dalam hal ini berupa kemampuan berbahasa dan

91

berbudaya, akan memengaruhi kemampuan dari bidang studi sosial. Hal tersebut karena mediumnya menggunakan bahasa serta penalaran berdasar budaya. Pembelajaran sastra melalui bahasa dan budaya memberikan pengetahuan tentang bahasa sekaligus mengenal budaya bangsa (Rondiyah, 2017). Sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, unsur ekstrinsik dalam membangun suatu sastra tidak dapat diabaikan. Berdasar dari budaya sekitar serta bahasa, sastra tersebut lahir.

Proses berpikir dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah persoalan penjiwaan dan pemikiran. Hakikat pendidikan bahasa dan sastra adalah penghayatan dengan kognisi (Darma, 2007). Kognisi merupakan proses penafsiran. Segala sesuatu yang bersifat penghayatan lebih sulit dirumuskan daripada segala sesuatu yang bersifat kognisi. Keduanya digabungkan untuk memeroleh perkembangan. Hal tersebut menuntut kepekaan dan daya nalar tinggi sehingga terdapat tingkatan atau tahap-tahap untuk memelajari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membuat peserta didiknya menjadi cerdas yang terdiri atas tiga perkara, yaitu 1) realita, 2) pengetahuan, dan 3) nilai (Alwasilah, 2008). Tiga perkara tersebut merupakan suatu kesatuan terhadap standar kecerdasan menurut Alwasilah.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memiliki target atas ketiga hal tersebut agar peserta didik tidak sekadar mendapat nilai bagus sehingga lupa

asal-mula dari hal yang dipelajari dan tidak dapat menghubungkan dengan kehidupan sosial. Rondiyah (2017:145) berpendapat bahwa sastra dan bahasa menjadi identitas khas bangsa yang membentuk karakter masyarakat kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Hal ini disebabkan oleh yang dipelajari pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yaitu menggambarkan kondisi sosial masyarakat sekitar. Ketika seorang individu mampu memahami sastra dan bahasa, ia menjadi orang yang kritis dan peduli terhadap hal-hal kecil di sekitarnya. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia membantu seseorang untuk bersikap cermat sehingga ia mampu menjadi individu yang berguna di kehidupan bermasyarakat. Ketiga pendapat tersebut mengungkapkan hal yang sama bahwa menjadi seseorang yang pintar perlu usaha. Hal-hal yang instan tidak dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan problematika kehidupan.

Pembelajaran bahasa dan

sastra adalah citraan dari kehidupan sosial. Hal tersebut mampu menunjang perkembangan karakter peserta didik. Kriteria pencapaian pengarakteran dalam pembelajaran bahasa dan sastra, yaitu terbentuknya budaya yang telah dipelajari (perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, simbol, serta nilai). Pengarakteran perlu diajarkan di sekolah karena sebagian besar waktu yang dihabiskan anak-anak di Indonesia adalah di sekolah. Proses pembangunan karakter tentunya dapat dilakukan di segala tempat,

92

tetapi agar lebih tertata, pengarakteran dilakukan di sekolah. Berdasarkan kajian-kajian sebelumnya, diperkuat bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mampu untuk mengembangkan karakter peserta didik.

Fungsi dari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran adalah pemahaman dan penalaran terhadap kehidupan bermasyarakat. Peran bahasa dalam hal tersebut adalah untuk memahami fungsi dari komunikasi. Kemampuan berbahasa berguna sebagai jalan terhadap kemampuan saling memahami. Kemudian sastra yang didasarkan dari kehidupan sosial, budaya serta rasa bertujuan untuk peka terhadap sekitar. Pendidikan dalam hal ini menjadi media dalam bahasa dan sastra agar ilmu yang disampaikan dapat teralokasikan dengan baik.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mampu membentuk serta mengembangkan karakter peserta didik karena diajarkan sejak dini. Wawasan yang diterima peserta didik dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia selalu mengalami perkembangan karena terus dipelajari. Hal-hal positif yang diterapkan pada siswa memiliki tingkatan-tingkatan agar peserta didik dapat siap ketika memeroleh proses pengembangan karakter yang lebih tinggi. Peserta didik diajarkan soal baik dan buruk, kontrol diri, olah pikir, serta ketanggapan dalam berperilaku. Semua hal itu dapat dilakukan

ketika pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Tujuan dari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran ini tidak lepas dari keinginan untuk memajukan bangsa. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan usaha nyata agar seseorang mampu peka dan kritis terhadap bangsa. Hal ini disebabkan oleh kemajuan bangsa berbanding lurus dengan kualitas masyarakatnya. Karakter yang hebat adalah ketika seorang individu mampu bersikap seimbang antara intelektual, emosi, dan perilakunya. Dengan cara seperti itu, seorang individu tidak akan mudah untuk digoyahkan karena memiliki pondasi yang kuat.

Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, peserta didik diajarkan untuk bebas, tetapi bertanggung jawab. Berkaitan hal tersebut, diberi kebebasan untuk berpikir, berekspresi, serta berimajinasi. Namun, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memberi batas berupa tanggung jawab dalam hal mengutarakan pendapat, tanggung jawab untuk berpikir logis, serta tanggung jawab untuk mengontrol emosi.

Implementasi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran tidak lepas peran pendidik dan peserta didik. Peran pendidik dalam memberikan ilmu pengarakteran, yaitu dengan menjadi pendidik yang profesional. Pendidik yang profesional adalah pendidik yang berkarakter baik, berkomitmen menegakkan kebenaran, memprioritaskan tujuan pembentukan karakter, menyampaikan sesuatu dengan bijak, dan menciptakan suasana

93

kelas yang berstandar tinggi. Seorang pendidik memiliki dasar-dasar tersebut supaya dalam implementasinya dapat berjalan dengan baik dan sukses. Pendidik yang berkarakter baik adalah pendidik yang telah mampu memahami, menalar, serta bertindak terhadap segala sesuatu berdasarkan nilai, etika, dan moral yang ada. Pendidik tidak hanya perhatian dan tanggung jawab terhadap pembangunan karakter, tetapi juga mampu untuk mempertahankan karakter yang telah dimiliki siswanya. Hal tersebut merupakan tugas yang rumit apabila pendidik tidak memahami arah tujuannya. Pendidik dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki kemampuan menciptakan kelas yang berstandar tinggi. Dalam hal ini meliputi menciptakan kelas yang menyenangkan namun tetap dalam aturan. Standar yang diterapkan adalah standar yang penting untuk diperoleh peserta didik dalam proses pembangunan karakter, yaitu nilai, intelektual, dan emosi.

Peran peserta didik dalam hal ini adalah dengan menjadi peserta didik yang aktif dalam pengambilan keputusan. Peserta didik dituntut untuk mampu menyerap informasi dengan baik, lalu dinalar dan diterapkan. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, peserta didik akan setiap saat diminta untuk berolah pikir dengan baik agar mampu memproses pengarakteran dengan baik. Keaktifan dalam peserta didik merupakan hal mutlak karena salah satu kunci keberhasilan dalam pengarakteran adalah minat individu tersebut. Peserta didik

mendapat pandangan-pangan positif yang kemudian dapat dinalar dan diterapkan dalam kehidupan bersosial. Keaktifan yang dimaksud meliputi pemikiran dan perilaku. Hal tersebut membutuhkan intelegensi serta emosi.

Prosedur dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran adalah dengan cara (1) keseluruhan pihak mendukung adanya pengarakteran, (2) menanamkan nilai kebaikan dan konsep diri, (3) pembelajaran mampu untuk menarik minat peserta didik sehingga peserta didik dapat bersikap melit, (3) memahami kisah-kisah yang mengandung karakter (dari tingkat mudah sampai rumit), (4) bersama-sama membuat himbauan (slogan, iklan, poster) tentang karakter baik, dan (5) pemantauan secara berkelanjutan terhadap kemampuan peserta didik untuk mengetahui capaian pengarakteran. Prosedur yang panjang tersebut diperlukan kerja sama dari segala pihak, yaitu keluarga dan sekolah. Bahkan, pemerintah untuk mendukung kegiatan belajar pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Pendidikan karakter

merupakan hal yang populer di sekolah-sekolah. Pendidikan karakter seharusnya tidak hanya dilakukan secara eksplisit, tetapi juga implisit. Dalam melakukan pendidikan karakter, pembelajaran tidak hanya seputar teori dan nasihat, tetapi juga praktik langsung sehingga memberikan pembiasaan dan pembudayaan agar karakter yang ditanamkan menjadi mengakar. Instruksi yang eksplisit cenderung tidak banyak membantu

94

dan yang implisit mampu memanfaatkan potensi formatif dari pengaruh sosial (Meindl dkk., 2018: 3). Praktik langsung yang dilakukan oleh para peserta didik lebih dianggap mampu menempel pada psikologis mereka. Karakter-karakter positif yang dilakukan oleh lingkungan sekitarnya mampu berperan dalam penanaman karakter.

Salah satu bentuk karakter yang berperan dalam kemampuan peserta didik adalah kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengeksplorasi, mencipta, dan berinovasi. Menurut Redifet, dkk. (2019: 4), teori kreativitas berpengaruh dalam mendorong individu untuk memiliki pandangan tambahan yang dapat menjadi salah satu cara untuk mendukung kinerja peserta didik dalam menghadapi peningkatan beban kognitif. Karakter kreatif tersebut dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan baru. Kekreatifan tidak semerta-merta muncul, berawal dari pengalaman serta riset sehingga mampu memunculkan ide-ide baru yang memperkuat kemampuan kognitif peserta didik.

Rufo (2013:7) berpendapat bahwa karakter kreatif dapat berkembang ketika peserta didik menjadi pembelajar yang aktif sehingga mampu memotivasi dirinya sendiri. Keaktifan peserta didik dalam menggali informasi timbul ketika rasa ingin tahu muncul. Rasa ingin tahu tersebut muncul karena peserta didik diberi waktu menjadi dirinya sendiri dan mengalami sendiri sehingga timbul motivasi.

Jadi, karakter kreatif akan berkembang ketika peserta didik menjadi sosok diri sendiri yang aktif. Hal tersebut disebabkan oleh peserta didik menuntut dirinya sendiri untuk berolah pikir sehingga memunculkan ide-ide baru tanpa terinterferensi ide dari pendidik. Peserta didik diberi waktu tanpa mendapat tuntutan dan batasan dari orang lain agar tidak memagari kekreativitasannya.

Problematika yang ditemukan pada penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia adalah 1) soal tidak mengikuti perkembangan isu yang terbaru, 2) kurang mengembangkan daya pikir kritis, 3) kurang menyoroti kemampuan motorik peserta didik, 4) dominasi teks yang panjang, dan 5) tidak adanya alat ukur atas bobot soal. Berdasarkan problematika tersebut, peran digitalisasi bermanfaat untuk memperbaikinya. Adanya digitalisasi, penyusunan soal, dan evalusi dapat terpantau sehingga file perkembangan di tiap jenjang atau tahunnya tersimpan dengan baik.

Adanya tujuan tersebut, maka digitalisasi dapat menjadi tempat untuk mencari, membandingkan, dan mengukur sebuah soal yang telah dibuat. Juga bisa untuk menjadi wadah dari penyusunan soal. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa aplikasi atau kanal yang dapat digunakan pendidik untuk menyusun soal. Dengan adanya hal tersebut, 1) soal-soal mengalami pembaruan karena memliki pembanding dengan file soal sebelumnya, 2) data-data dalam digital secara aktif memperharui sebagai pertimbangan bahan soal, 3)

95

mampu mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif karena telah melalui riset yang matang, 4) kemampuan motorik dapat dipantau melalui kepraktisan dalam berbagai kanal, 5) tingkat kesulitan soal akan sesuai dengan jenjangnya dengan menggunakan aplikasi yang telah terinput taksonomi bloom. Fokus pendidikan tidak hanya menuntut peserta didik untuk kreatif, tetapi juga pendidiknya.

Pendidik perlu untuk menambahkan tes berbentuk esai jadi tidak hanya tes berbentuk pilihan ganda saja (Suci, Indrawan, Wijoyo, & Kurniawan, 2020). Tujuannya agar peserta didik mampu mengutarakan pendapat sehingga lebih bebas untuk berpikir kreatif, berpikir kritis, dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Selain itu, prosedur penelitian sampai pada tahap penyebaran (disseminate). Tujuannya agar dapat mengetahui potensi atau keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

Penyusunan soal menjadi tantangan setiap tahun supaya memberikan peningkatan dan mbaruan sesuai dengan zamannya. Pendidik yang menginginkan peserta didiknya kreatif, perlu untuk menjadi kreatif pula dalam menyusun inovasi-inovasi terhadap soalnya.

Rendahnya mutu atau kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah selama ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kurikulum, guru, siswa, sarana prasarana, rendahnya pemahaman konsep tentang sastra (Wardani, 2012). Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu solusi, yaitu

jadikan sekolah sebagai lahan sastra, pembelajaran yang inovatif, menggunakan pendekatan pragmatik sastra, pembelajaran praktik bersastra ke teori bersastra, dibutuhkan peran lembaga penyedia guru, sistem evalauasi khusus sastra, dan penerapan dalam konteks di sekolah (Minarwati, 2013).

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan dengan digital, tidak hanya berguna di masa pandemi. Hal tersebut tidak sejalan dengan model pembelajaran dalam pendidikan kritis yang lebih menekankan kepada upaya-upaya jalinan interaksi dan komunikasi dua arah secara langsung. Dalam pendidikan kritis hubungan pendidik dan peserta didik terjadi secara dialogis. Dalam hubungannya dengan pengarakteran melalui digitalisasi seorang pendidik harus melakukan kontrol langsung, yakni dengan ikut serta dalam keanggotaan salah satu pengarakteran melalui digitalisasi. Di situ pendidik dapat memberikan arahan yang baik dalam menyikapi segala sesuatu.

Peserta didik sebagai bagian dari manusia yang memiliki ragam perbedaan, sama halnya dengan manusia lain yang akan dan sedang menghadapi problem- problem hidup yang komplek. Ia harus mampu menyelesaikan problem-problem tersebut dengan kritis. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus menunjukkan ideologi idealismenya, dengan mengutamakan dalam pendidikannya, bagaimana peserta didik memahami, mengkritik, memproduksi dan

96

menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Proses pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kesadaran kritis peserta didik.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mampu menjadi jalan dalam melakukan pengarakteran apabila mendapat dukungan dari semua pihak. Semua pihak yang dimaksud tidak hanya pendidik dan peserta didik, tetapi juga keluarga, sekolah, serta pemerintah. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran mampu membuat peserta didik untuk belajar tentang penghayatan, penalaran, pemikiran luas, kritis, serta tanggap sehingga mampu mengembangkan dan mengontrol diri. Pengarakteran ini berfungsi sebagai dasar dalam kehidupan bersosial agar mampu menjalani hidup yang berkualitas. Materi-materi yang ada dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang berisi tentang hal-hal yang ada di sekitar peserta didik, membuat peserta didik lebih mudah untuk memahami dan mengaitkan terhadap kehidupan yang mereka jalani. Pemahaman yang mereka terima dapat ditinjau melalui perilaku mereka terhadap permasalahan yang ada sehingga para peserta didik ini pun akan mendapat keteraturan hidup.

Adanya tujuan tersebut, maka digitalisasi dapat menjadi tempat untuk mencari, membandingkan, dan mengukur sebuah soal yang telah dibuat. Juga bisa untuk menjadi wadah dari penyusunan soal. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa aplikasi atau

kanal yang dapat digunakan pendidik untuk menyusun soal.

SIMPULAN Problematika yang ditemukan pada penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia adalah, 1) soal tidak mengikuti perkembangan isu yang terbaru, 2) kurang mengembangkan daya pikir kritis, 3) kurang menyoroti kemampuan motorik peserta didik, 4) dominasi teks yang panjang, dan 5) tidak adanya alat ukur atas bobot soal. Berdasarkan problematika tersebut, peran digitalisasi bermanfaat untuk memperbaikinya. Dengan adanya digitalisasi, penyusunan soal dan evaluasi dapat terpantau sehingga file perkembangan di masing-masing jenjang atau tahunnya tersimpan dengan baik.

Pengarakteran dalam digitalisasi dapat menjadi solusi problematika apabila mendapat dukungan dari semua pihak. Semua pihak yang dimaksud tidak hanya pendidik dan peserta didik, tetapi juga keluarga, sekolah, serta pemerintah. Penyusunan soal mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengarakteran yang digital mampu membuat peserta didik untuk belajar tentang penghayatan, penalaran, pemikiran luas, kritis, serta tanggap sehingga mampu mengembangkan dan mengontrol diri.

Pengarakteran ini berfungsi sebagai dasar dalam kehidupan bersosial agar mampu menjalani hidup yang berkualitas. Ketika melakukan penyusunan soal mata pelajaran bahasa Indonesia secara pengarakteran digitalisasi, pendidik mampu untuk berinovasi. Hal ini terkait pemerolehan sumber-

97

sumber yang bermacam-macam. Materi-materi yang ada dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berisi tentang hal-hal yang ada di sekitar peserta didik, membuat peserta didik lebih mudah untuk memahami dan mengaitkan terhadap kehidupan yang mereka jalani. Pemahaman yang mereka terima dapat ditinjau melalui perilaku mereka terhadap permasalahan yang ada sehingga para peserta didik mendapat keteraturan hidup.

Adanya tujuan tersebut, maka digitalisasi dapat menjadi tempat untuk mencari, membandingkan, dan mengukur sebuah soal yang telah dibuat yang berbasis pengarakteran. Hal ini khususnya adalah penyusunan soal. Terdapat beberapa aplikasi atau kanal yang dapat digunakan pendidik untuk menyusun soal. Digitalisasi yang berkarakter, memberikan dampak yang berkarakter juga. Sebuah pengarakteran tersebut menghasilkan guru, pembelajaran, serta peserta didik yang memiliki karakter.

Manfaat yang dapat diberikan oleh digitalisasi dalam penyusunan soal yang berkarakter, yaitu soal-soal mengalami pembaruan karena memiliki pembanding dengan file soal sebelumnya. Data-data dalam digital secara aktif memperbarui sebagai pertimbangan bahan soal, mampu mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif karena telah melalui riset yang matang. Kemampuan motorik dapat dipantau melalui kepraktisan dalam berbagai kanal, serta tingkat kesulitan soal sesuai dengan jenjangnya dengan

menggunakan aplikasi penunjang yang dapat memberikan efisiensi.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Amri, Sofan dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Colwell, Jamie dkk. 2013. Obstacles to Developing Digital Literacy on the Internet in Middle School Science Instruction. Journal of Literacy Reasearch, vol. 45(3) 295--324.

Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.

Aini, N. (2017). Analisis Soal Tes Pilihan Ganda Mata Pelajaran Bahasa Arab di MAN Purbalingga. IAIN Purwokerto.

Eryanto, H., Marsofiyati, & Swaramarinda, D. R. (2016). Evaluasi Program Ujian Nasional (UN) Pada SMK Negeri di Jakarta Selatan. Jurnal Ilmiah Econosains, 14 (2), 26–41. https://doi.org/10.21009/econosains.01 42.03

Kemdikbud. (2020). Desain Pengembangan Soal AKM (1st ed.). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud.

Khatibah. (2017). Penelitian Papua.Pdf. Iqra, 05(01), 36–39.

98

Minarwati. (2013). Tinjauan terhadap Problematika Pembelajaran Sastra Indonesia pada Pendidikan Formal. SMA Yapis, 1(1), 10. Retrieved from https://arxiv.org/pdf/1707.06526.pdf%0Ahttps://www.yrpri.org%0Ahttp://weekly.cnbnews.com/news/article.html?no=124000%0Ahttps://www.fordfoundation.org/%0Ahttp://bibliotecavirtual.clacso.org.ar/Republica_Dominicana/ccp/20120731051903/prep%0Ahttp://we bpc.cia

Suci, I. G. S., Indrawan, I., Wijoyo, H., & Kurniawan, F. (2020). Transformasi Digital dan Gaya Belajar (Vol. 1). Banyumas: CV. Pena Persada.

Sutaryono. (2016). Upaya Meningkatkan Kemampuan Guru dalam Menyusun Soal Tes Tertulis Melalui Kegiatan Supervisi Akademik di SKH Aditya Silih Asih Kabupaten Tangerang. (August).

Triani, D. A., & Hermanto, M. (2020). Implementation of Syawir Method in Improving Critical Thinking Pattern of Santri in Islamic Boarding School Fathul “Ulum Kwagean, Kepung, East Java. Educan : Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 81.

https://doi.org/10.21111/educan.v4i1.3 992

Wardani, O. P. (2012). Pengembangan Perangkat Evaluasi Berdasarkan Taksonomi the Structure of Observed Learning Outcome (Solo) pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia Kompetensi Membaca Peserta Didik Kelas X Sma. Seloka - Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 1(2). https://doi.org/10.15294/seloka.v1i2.6 86

Winata, N. P. S., Putrayasa, I. B., & Sudiara, I. N. S. (2014). Analisis Butir Soal Pilihan Ganda Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK Negeri 3 Singaraja. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Undiksha (JPBSI), 2(1), 1–12. Retrieved from https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/2988/2478

Hasan, Hamid dan Asmawi Zainul. 1991. Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi.

Jacobs, Gloria E. 2006. Fast Times and Digital Literacy: Participation Roles and Portfolio Construction Within Instant Messaging.

Journal of Literacy Research, vol. 38(2), 171--196.

Lickona, Thomas. 2016. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Megawangi, Ratna. 2009. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta Timur: Gapprint.

Meindl, Peter dkk. 2018. Best Practices for School-Based Moral Education. Behavioral and Brain Sciences, vol 5(I) 3--10.

Mustika, I. (2017). Sikap Profesional Pendidikan

99

Bahasa Indonesia sebagai Pendukung Implementasi Kurikulum 2013. Semantik, 2(2), 47--54.

Sukardi, H.M. 2008. Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya. Yogyakarta: PT. Bumi Aksara.

Redlfer, Jenni L. Dkk. 2019. Implict Theories, Working Memory, and Cognitive Load: Impacts on Creative Thinking. SAGE Open, 1--16.

Rondiyah, Arifa Ainun. 2017. Pembelajaran Sastra Melalui Bahasa dan Budaya untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter Kebangsaan di Era Mea. Education and Language International Conference Proceedings Center for

International Language Development of Unissula, hal. 141--147.

Rufo, David. 2013. A Guide to Authentic and Joyful Creative Learning. Power and Education, Vol. 5 Number 2.

Vogler, Jane S. 2013. A Microgenetic Analysis of Classroom Discussion Practices: How Literacy Processes Intermingle in the Negotiation of Meaning in an Online Discussion. Journal of Literacy Research, vol. 45(3) 211--239.

Wirawan. (2011). Evaluasi Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

100