Isu Kebijakan tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dalam Pemberitaan Media Online

61
Penulis: Ana Nadhya Abrar Budiyono Emmy Poentarie Nur Zaini Daru Nupikso Inasari Widiyastuti Puji Rianto Editor : Dr. Restu Sukesti, M.Hum.

Transcript of Isu Kebijakan tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dalam Pemberitaan Media Online

Penulis:

Ana Nadhya Abrar

Budiyono

Emmy Poentarie

Nur Zaini

Daru Nupikso

Inasari Widiyastuti

Puji Rianto

Editor :

Dr. Restu Sukesti, M.Hum.

Katalog Dalam Terbitan (KDT) Demokrasi Bermedia Online

Tiara Wacana Lokus: Nopember 2014: Yogyakarta vi + 238 hlm, ISBN 9786027664401 Penulis : Ana Nadhya Abrar Budiyono Emmy Poentarie Nur Zaini Daru Nupikso Inasari Widiyastuti Puji Rianto Penanggung jawab : Kepala Balai Pengkajian dan

Pengembangan Komunikasi dan Informatika Yogyakarta

Ketua Dewan Redaksi : Budiyono, SH., MA. Dewan Redaksi : Drs. Topohudoyo, MPA Dra. Emmy Poentarie, MA Darmanto, S.Pd., MPA Suwarta, SH., MPA Mitra Bestari : Dr. Ana Nadhya Abrar, Ph.D Puji Rianto, SIP. Editor : Dr. Restu Sukesti, M.Hum. Ketua Redaksi Pelaksana : RM. Agung Harimurti, M.Kom Desain Grafis : Novian Anata Putra, S.I.Kom Sekretariat : Vieka Aprilya Intanny, ST. Penerbit:

Tiara Wacana Lokus Jl. Kaliurang Km. 7,8 Kopen Utama No. 16 Yogyakarta Hp. 081392712176, 0274-6651615 Anggota IKAPI Dicetak : CV. Haksoro

Sanksi pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta terkait dengan Bab XIII, Ketentuan Pidana 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,-[satu juta rupiah, atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum satu ciptaan dan barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Nur Zaini

83

Isu Kebijakan tentang Penanganan

Situs Internet Bermuatan Negatif

dalam Pemberitaan Media Online

Nur Zaini

PENDAHULUAN

Hingga Desember 2013, telah terdata sebanyak

811.190 database Trust+Positif hasil aduan dari masya-

rakat melalui [email protected]. Hal ini

disampaikan oleh Gatot S. Dewa Broto Gatot (Saat itu

sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemente-

rian Komunikasi dan Informatika). Database yang terus

bertambah dari bulan ke bulan ini menjadi panduan

bagi Kementerian Kominfo dan para Internet Service Pro-

vider (ISP) untuk secara otomatis melakukan pemblo-

kiran. Jumlah pengaduan masyarakat pun terus

meningkat meskipun fluktuatif. Pada Januari 2013,

jumlah yang mengadukan sebanyak 401 dan terus

meningkat hingga Maret 2013 (584 pengadu), tetapi

turun drastis pada bulan Juli 2013 (hanya 116

pengadu) yang mungkin karena bulan Ramadhan.

Setelah itu, pengaduan meningkat lagi secara intensif

hingga November 2013 (sebanyak 716 pengadu).

Pada tahun 2013, jenis konten yang diadukan

juga beragam. Konten negatif menduduki peringkat per-

tama (101 aduan pada Januari 2013). Berikutnya ada-

lah konten SARA (19 pengadu), penipuan (17 pengadu)

dan berikutnya judi online ada 9 pengadu. Demikian

pula di bulan Januari 2014, data pemblokiran dan

database Trust + Positif terus meningkat. Data Januari

2014 menunjukkan bahwa ada 301 jumlah aduan

dengan 1.096 situs yang terdiri dari 156 aduan

pornografi di 1.055 situs, perjudian 13 aduan di 10

situs, 1 aduan SARA di 1 situs, 10 aduan penipuan di

26 situs, 95 aduan yang dinormalisasi di 4 situs, dan

26 aduan yang lain.

Menyadari bahwa permasalahan konten negatif

tersebut makin tetap marak, Kementerian Kominfo se-

jak awal tahun 2013 telah berinisiatif untuk menyusun

suatu Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang dapat

menjadi tata cara dan prosedur tetap dalam penangan-

an konten negatif di internet (http:// kominfo. go.id/

index.php/content/detail/3881/Kemkominfo+dan+Pol-

ri+Minta+Seluruh+Penyelenggara+ISP+Serius+Blokir+Ko

nten+Negatif/0/ berita_satker). Pada tanggal 17 Juli

2014, RPM tersebut telah diundangkan sebagai Pera-

turan Menteri (Permen) Kominfo, yakni Nomor 19 Ta-

hun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Ber-

muatan Negatif.

Uji publik RPM tersebut dilaksanakan pada

tanggal 3 sampai dengan 15 Maret 2014. Kritisi yang

muncul antara lain dari Institute for Criminal Justice

Reform (ICJR). Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W.

Eddyono, mengatakan bahwa materi RPM Kominfo

tersebut tidak tepat jika diatur dalam bentuk Peraturan

Nur Zaini

85

Menteri, tetapi seharusnya diatur dalam bentuk

undang-undang. Supriyadi menegaskan bahwa RPM ini

memuat materi yang melakukan pembatasan terhadap

hak asasi manusia sehingga materi pembatasan dalam

bentuk apapun haruslah diatur berdasarkan Pasal 28J

ayat 2 UUD 1945, yaitu dengan menggunakan Undang-

Undang (http://www. hukumpedia. com/ ham/ henti-

kan-pembahasan-rancangan-permen-kominfo-tentang-

penanganan-konten-negatif-hk53638d56a418a.html).

Namun, bagi pihak yang pro, RPM tersebut

sebaiknya juga dapat dipahami sebagai turunan dari

peraturan perundang-undangan di atasnya (Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infor-

masi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi) agar pem-

batasan yang sudah diatur dalam undang-undang

dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh

kementerian yang berwenang sehingga perlu dipahami

bahwa RPM ini hanya mengatur tata cara dan prosedur

baku penanganan konten negatif (http://teknologi.

kompasiana.com/ internet/ 2014/ 03/ 06/ dukung-

rpm- kemkominfo- mengenai- penanganan- situs-

internet-bermuatan-negatif-636701.html).

Setelah ditandatangani oleh Menteri Kominfo,

Permen tersebut juga mendapat tanggapan kritis dari

berbagai kelompok masyarakat. Aliansi masyarakat sipil

yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers,

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),

Information and Communication Technology (ICT) Watch,

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan

menolak Permen tersebut. Direktur Eksekutif ICT

Watch, Donny B. Utoyo menilai Permen Kominfo itu

tidak memiliki tiga hal dalam mengeluarkan kebijakan,

yaitu tidak memiliki legitimasi, tidak sesuai prosedur

yang memadai, dan tidak transparan. Selama ini,

praktik pemblokiran terhadap konten internet di

Indonesia telah aktif dilakukan oleh ISP atas perintah

Kominfo tanpa berdasarkan aturan dan prosedur yang

memadai. Direktur LBH Pers Nawawi, mengatakan

Permen Kominfo itu bertentangan dengan hukum dan

mencederai proses penegakan hak asasi. Rumusan

peraturan tersebut juga memiliki implikasi serius

terhadap penegakan hak asasi. Salah satunya adalah

tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud

dengan 'konten bermuatan negatif'. Permen itu dapat

membatasi konten apapun yang ada di internet, karena

rumusan cakupan pengaturannya sangat luas dan tidak

spesifik (http://nasional.news.viva.co.id/ news/ read/

527678-aliansi- masyarakat- sipil- tolak- permen-

kominfo). Pada pemberitaan lain, Direktur Eksekutif ICT

Watch, Donny B. Utoyo menyatakan bahwa dampak

dari Permen tersebut, antara lain, sejumlah situs

diblokir tanpa prosedur yang jelas, misalnya www.

bfmodneo.com/BreastMassageVideo.aspx, yang meru-

pakan situs yang memuat konten tentang edukasi bagi

Ibu menyusui (ASI), situs yang memuat informasi bagi

difabel (tuna netra) dengan alasan kontennya tak jelas.

Selain itu, ada juga situs tentang program edukasi

anak/ remaja, dan tentang wisata di Mentawai juga

diblokir tanpa prosedur yang jelas (http://nasional.

Nur Zaini

87

news.viva.co.id/news/read/527694-efek-permen-komin

fo situs-edukasi-ibu-menyusui-diblokir).

Salah satu anggota Komisi I DPR RI, Helmy

Fauzi, juga mengkritisi Permen tersebut. Dia bahkan

meminta Menteri Kominfo untuk mencabut permen itu

karena disinyalir rentan disalahgunakan. Dia selanjut-

nya juga menyatakan bahwa tidak jelasnya definisi

situs negatif sama saja memberi cek kosong pemerintah

untuk membatasi gerak warga di dunia siber

(http://inet.detik.com/read/ 2014/ 08/ 11/ 082737/

2658189/399/dpr-minta-permen-situs-negatif-dicabut).

ICJR melalui Ketua Badan Pengurus, Anggara,

merekomendasikan agar pertemuan National Dialogue

yang diselenggarakan oleh Forum Tata Kelola Internet

Indonesia (ID-IGF) membahas secara serius keberadaan

peraturan menteri yang jelas mengancam kebebasan

hak sipil dan hak politik masyarakat di Internet.

Anggara menegaskan bahwa ICJR segera mengajukan

judicial review Permen tersebut ke Mahkamah Agung

(http://inet.detik.com/read/2014/08/08/174519/2657

239/399/permen-konten-negatif-langsung-diancam-ju-

dicial-review).

Munculnya RPM dan Permen tersebut memang

banyak mendapat tanggapan dari masyarakat, dan

menjadi bahan pemberitaan oleh media. Media online

nasional yang memuat berita terkait substansi RPM dan

Permen tersebut antara lain www.kompas.com memuat

7 berita, dan www.detik.com memuat 8 berita. Berita

yang dimuat di media merupakan hasil konstruksi

media dari realita yang menjadi sumber berita. Tindak-

an membuat berita merupakan tindakan mengonstruksi

realita, bukan penggambaran realita (Tuchman dalam

Severin dan Tankard, 2011: 400). Dalam pemberitaan di

media, ada penonjolan aspek tertentu dibanding aspek

lain yang disebut dengan framing atau pembingkaian.

Dalam hal framing, peristiwa yang sama dapat meng-

hasilkan konstruksi berbeda jika dilakukan oleh media

berbeda. Sebagai sebuah teknik analisis, framing bertu-

juan untuk mengetahui bagaimana realita (peristiwa,

aktor, kelompok, apa saja) dibingkai oleh media

(Eriyanto, 2008: 3). Untuk itu, penelitian tentang isu

kebijakan penanganan situs internet bermuatan negatif

dalam pemberitaan media, khususnya terkait framing

media, menarik untuk dilakukan agar memberikan

gambaran tentang hasil konstruksi media. Selain itu,

isu yang diangkat oleh media online tersebut adalah

tentang kebijakan komunikasi, maka pembahasan

tentang muatan teks berita dalam perspektif kebijakan

komunikasi juga perlu dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut, ada dua masalah da-

lam penelitian ini antara lain bagaimana isu kebijakan

penanganan situs internet bermuatan negatif dalam

pemberitaan media online, dan bagaimana muatan teks

berita dalam perspektif kebijakan komunikasi. Sebagai

tujuannya, penelitian ini untuk mendeskripsikan isu

kebijakan penanganan situs internet bermuatan negatif

dalam pemberitaan media online, dan bagaimana muat-

an teks berita dalam perspektif kebijakan komunikasi.

Adapun hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan wawasan tentang penggunaan

analisis framing model Robert N. Entman untuk

menganalisis isu kebijakan penanganan situs internet

bermuatan negatif dalam pemberitaan media online,

Nur Zaini

89

serta dapat digunakan sebagai masukan bagi Direktorat

Jenderal Aplikasi dan Informatika (APTIKA), Kementeri-

an Kominfo terkait isu kebijakan penanganan situs

internet bermuatan negatif dalam pemberitaan media

online dan muatan teks berita dalam perspektif kebi-

jakan komunikasi.

Penelitian sebelumnya terkait kebijakan pemerin-

tah telah dilakuakan oleh beberapa peneliti. Pertama,

penelitian berjudul “Media dan Konstruksi Realitas

(Analisis Framing Terhadap Pemberitaan SKB Menteri

Tentang Ahmadiyan di Indonesia pada Suratkabar Hari-

an Suara Pembaruan dan Republika)” yang dilakukan

oleh Karman (2013: 173 – 186). Dari judulnya sudah

terlihat bahwa penelitian tersebut menggunakan pende-

katan kualitatif dengan metode analisis framing, dan

model yang dipakai adalah sebagaimana dikemukakan

oleh Gerald Zongdang dan Pan Kosicki. Fokus penelitian

terkait sikap media massa tentang masalah Ahmadiyah

dengan mengacu pada teori konstruksi realitas. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Suara Pembaruan me-

mandang bahwa persoalan Ahmadiyah menyangkut

persoalan Hak Asasi Manusia (HAM)/ kebebasan ber-

agama. Republika memandang sebaliknya bahwa

aktivitas Ahmadiyah sebagai bentuk penistaan, peleceh-

an, penyimpangan, serta penodaan terhadap pokok-

pokok ajaran Islam.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Suwito

dkk (2011: 15-27) dengan judul “Keberadaan Etnis

Tionghoa dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai

Berita Imlek 2011 di Metro TV)”. Penelitian ini juga

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

framing model Gerald Zongdang dan Pan Kosicki.

Namun, teks berita yang dianalisis tidak terkait

langsung dengan isu kebijakan pemerintah. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa Metro TV mem-

bingkai etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa

Indonesia, Metro TV membingkai peristiwa dengan baik

dalam perangkat yang ada, nilai-nilai pribadi jurnalis

dan ideologi media ikut terlibat dalam meliput peristiwa.

Di samping itu, para jurnalis yang merupakan bagian

dari komunikator memiliki strategi tertentu dalam

meliput berita dan membingkai peristiwa tersebut

dengan nilai-nilai jurnalistik yang ada.

Ketiga, penelitian tentang pemberitaan rencana

kedatangan Lady Gaga ke Indonesia. Penelitian yang

dilakukan oleh Didik Haryadi Santosa ini (2013: 103-

110) juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode analisis framing. Analisis framing yang dipakai

adalah model yang dikemukakan oleh Urs Dahinden.

Penelitian ini mencoba mengkaji serta mendiskusikan

tentang bagaimana media massa mengulas dan mem-

bingkai pemberitaan pro-kontra kedatangan Lady Gaga

pada Kompas online dan Republika online. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa berita tentang keda-

tangan Lady Gaga di Kompas online diulas meng-

gunakan frame etika dan hukum yang sangat dominan

dengan frame konflik, ekonomi dan personalisai.

Berbeda dengan Kompas online, Republika online

cenderung dominan menggunakan frame moral, etika

dan hukum. Tema selanjutnya yaitu tema penolakan

individu. Republika online menggunakan frame perso-

nalisasi dari berbagai tokoh agama dan Negara dari

berbagai Negara guna mendapat legitimasi moral.

Nur Zaini

91

Dalam hal pendekatan dan metode, penelitian ini

sama dengan tiga penelitian sebelumnya, yakni kuali-

tatif dengan metode analisis framing. Namun, penelitian

ini berbeda dengan penelitian sebelumnya terkait model

framing yang digunakan. Penelitian pertama dan kedua

menggunakan model yang sama, yakni model Gerald

Zongdang dan Pan Kosicki. Penelitian ketiga mengguna-

kan model Urs Dehinden, dan penelitian ini mengguna-

kan model Robert N. Entman. Penelitian ini juga ber-

beda dengan penelitian sebelumnya terkait isu pem-

beritaan dan media yang memberitakannya. Selain itu,

penelitian ini juga membahas muatan teks media dalam

persepektif kebijakan komunikasi. Dengan demikian,

penelitian ini berada posisi yang berbeda dibanding

penelitian sebelumnya sehingga hasilnya menarik dan

penting untuk diketahui.

TEORI

Analisis Framing

Dalam perspektif komunikasi, framing adalah

kegiatan mengonstruksi realitas yang dilakukan oleh

media. Sebagai teknik analisis, framing dipakai untuk

membedah cara-cara atau ideologi media dalam

mengonstruksi realitas. Istilah konstruksi sosial atas

realitas (social construction of reality) diperkenalkan

oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann melalui

bukunya yang berjudul “The Social Construction of

Reality, a Teatise in the Sociological of Knowledge”.

Mereka menggambarkan proses sosial melalui tin-

dakan dan interaksinya, yang mana individu men-

ciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang

dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin,

2008: 193).

Dalam pandangan Berger dan Luckman, realitas

sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian

yang hidup dan terus berkembang di masyarakat

seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik

sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas itu tidak

dibentuk secara ilmiah, dan tidak juga sesuatu yang

diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk

dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini,

realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa

mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu

realitas (Eriyanto, 2008: 15).

Menurut Erving Goffman secara sosiologis kon-

sep frame analysis memelihara kelangsungan kebiasa-

an dalam mengklasifikasi, mengorganisasi dan meng-

interpretasi secara aktif atas pengalaman-pengalaman

hidup kita untuk dapat memahaminya. Schemata

interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan

individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifi-

kasi, dan memberi label terhadap peristiwa - peristiwa

serta informasi (Sobur, 2009:163).

Analisis framing merupakan salah satu metode

analisis teks yang berada dalam kategori penelitian

konstruksionis yang berarti termasuk ke dalam para-

digma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai

posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan

teks berita yang dihasilkannya. Menurut pandangan

ini, konsentrasi analisis adalah menemukan bagai-

mana peristiwa atau realitas dikonstruksi, dengan

cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2008: 37).

Nur Zaini

93

Selain itu, analisis framing adalah sebuah cara untuk

mengetahui bagaimana peristiwa disajikan oleh media.

Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan

bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu dan

membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu reali-

tas. Media menghubungkan dan menonjolkan peris-

tiwa sehingga makna dari peristiwa tersebut lebih

mudah diingat oleh khalayak. Realitas yang kompleks

dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.

Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah

suatu kondisi yang cair dan mudah berubah melalui

interaksi manusia dalam kehidupan sehari–hari

(Mulyana, 2006: 34).

Sebagai metode analisis teks, analisis framing

berbeda dengan analisis isi kuantitatif. Analisis isi

kuantitatif lebih menitikberatkan pada metode peng-

uraian fakta secara kuantitatif dengan mengkate-

gorisasikan isi pesan teks media. Dalam analisis

framing, hal yang ditekankan adalah bagaimana

peristiwa itu dibingkai. Analisis framing lebih mem-

perhatikan pada pembentukan pesan dari teks.

Framing, terutama, melihat bagaimana pesan/ peris-

tiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan

mengkonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada

masyarakat (Eriyanto, 2008:10-11).

Beberapa model analisis framing yang dapat

digunakan untuk menganalisa teks media antara lain

diperkenalkan oleh Murray Edelman, Robert N.

Entman, William A. Gamson, serta Zhongdang Pan dan

Gerald M. Kosicki. Penelitian ini menggunakan model

Entman. Menurut Entman bahwa apa yang kita

ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung

pada bagaimana kita membingkai dan menafsirkan

realitas tersebut. Entman melihat framing dalam dua

dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau

penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.

Framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu

tertentu dan mengabaikan isu yang lain. Framing

adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana

perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh

wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita

(Eriyanto, 2008: 187) seperti tampak pada tabel

berikut.

Tabel 1. Dua Unsur Framing Media Model Entman Sumber: Eriyanto, 2008: 187.

Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemi-

lihan fakta. Dari realitas yang kom-

pleks dan beragam itu, aspek mana

yang diseleksi untuk ditampilkan?

Dari proses ini selalu terkandung di

dalamnya ada bagian berita yang

dimasukkan (included), tetapi ada

juga berita yang dikeluarkan (exclude-

ed). Tidak semua aspek atau bagian

dari isu ditampilkan, wartawan

memilih aspek tertentu dari suatu

dari suatu isu.

Penonjolan aspek

tertentu dari

suatu isu

Aspek ini berhubungan dengan

penulisan fakta. Ketika aspek tertentu

dari suatu peristiwa/isu tersebut

dipilih, bagaimana aspek tersebut

ditulis? Hal ini sangat berkaitan

dengan pemakaian kata, kalimat,

gambar dan citra tertentu untuk

ditampilkan kepada khalayak.

Nur Zaini

95

Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh

media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabai-

kan isu lain, serta menonjolkan aspek isu tertentu dan

menggunakan pelbagai strategi wacana serta penem-

patan yang mencolok (menempatkan di headline, di

halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan,

pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat

penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggam-

barkan orang atau peristiwa yang diberitakan. Kata

penonjolan (salience) didefinisikan sebagai membuat

sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan

berkesan (Eriyanto, 2008: 187).

Pembingkaian yang dilakukan media dapat

diketahui melalui perangkat framing yang dapat meng-

gambarkan bagaimana sebuah peristiwa dimaknai dan

ditandakan oleh wartawan. Entman membagi perang-

kat framing ke dalam empat elemen seperti pada Tabel

1. yang penjelasannya sebagai berikut (Eriyanto, 2008:

189-191).

Define Problems (pendefinisian masalah).

Elemen ini merupakan bingkai yang paling utama. Ia

menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh

wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagai-

mana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa

yang sama dapat dipahami secara berbeda. Ketika ada

demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan ben-

trokan, bagaimana peristiwa ini dipahami. Peristiwa ini

bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa,

bisa juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.

Diagnose Causes (memperkirakan penyebab

masalah). Elemen kedua ini merupakan elemen

framing yang digunakan untuk membingkai siapa

yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa.

Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa

juga berarti siapa (who). Pemahaman terhadap peris-

tiwa menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai

sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang

dipahami secara berbeda, maka penyebab masalahnya

akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain,

pendefinisian sumber masalah ini menjelaskan siapa

yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang menjadi

korban dalam kasus tersebut.

Make Moral Judgement (membuat pilihan

moral). Elemen framing yang dipakai untuk mem-

benarkan argumentasi pada pendefinisian masalah

yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan dan

penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan

argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan

tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan

sesuatu yang dikenal oleh khalayak.

Treatment Recommendation (menekankan

penyelesaian). Elemen framing yang dipakai untuk

menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan atau

jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.

Penyelesaian tersebut tentunya sangat tergantung

pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang

dianggap sebagai penyebab masalah.

Berita

Beberapa definisi berita yang disampaikan para

pakar jurnalsitik sangat bervariasi. Sedia Willing Barus

(2010: 26) telah menyimpulkan bahwa berita adalah

“segala laporan mengenai peristiwa, kejadian, gagasan,

Nur Zaini

97

fakta yang menarik perhatian dan penting untuk

disampaikan atau dimuat dalam media massa agar

diketahui atau menjadi kesadaran umum”. Lebih lanjut

Barus menjelaskan bahwa dari beberapa definisi berita,

dapat dikatakan pada dasarya berita mengandung:

1. suatu peristiwa, kejadian, gagasan, pikiran, fakta

yang aktual;

2. menarik perhatian karena ada faktor yang luar biasa

(extraordinary) di dalamnya;

3. penting;

4. dilaporkan, diumumkan, atau dibuat untuk menjadi

kesadaran umum supaya menjadi pengetahuan bagi

orang banyak (massa);

5. laporan itu dimuat di media tertentu (Barus, 2010:

27).

Barus juga menyebutkan bahwa jenis berita

dibagi berdasarkan tiga hal, yaitu sifat kejadian, jarak

geografis, dan persoalan (Barus, 2010: 39). Berita ten-

tang penanganan situs internet bermuatan negatif

termasuk dalam jenis berita berdasarkan persoalan.

Dilihat dari bidangnya, berita tersebut termasuk dalam

bidang hukum dan peradilan karena isinya lebih

banyak terkait dengan keabsahan produk hukum, yakni

Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014.

Kebijakan Komunikasi

Berbicara tentang kebijakan komunikasi, ada

baiknya uraian dikaitkan dengan makna dan tujuan

kebijakan komunikasi, jenis-jenis kebijakan komu-

nikasi, dan proses pembuatan kebijakan komunikasi.

1. Makna dan Tujuan Kebijakan Komunikasi

Pendapat L. Sommeriad yang dikutip oleh Kuo

dan Chen (dalam Abrar, 2008: 9) memuat pemahaman

tentang makna kebijakan komunikasi sebagai:

“The ways in which communication is used, the networks through which it flows, the structures of media system, the regulatory framework for the system, and the decision of people who operate it, are all the outcome of communication policies.”

Makna diatas memperlihatkan bahwa begitu banyak

dan beragamnya produk kebijakan dalam bidang komu-

nikasi dari mulai cara-cara berkomunikasi, jaringan

yang digunakan untuk berkomunikasi, struktur system

media, kerangka regulasi untuk system tersebut, dan

keputusan orang-orang yang menggunakan komuni-

kasi. Adapun menurut UNESCO, kebijakan komunikasi

merupakan kumpulan prinsip-prinsip dan norma-

norma yang sengaja dibuat untuk mengatur perilaku

sistem komunikasi.

Pembuatan kebijakan komunikasi tentunya

mengandung tujuan. Secara sosiologis, kebijakan ko-

munikasi dibuat untuk menempatkan proses komu-

nikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak

merugikan masyarakat karena masyarakatlah yang

mengendalikan proses komunikasi di antara mereka.

Untuk itu, dalam pembuatan suatu kebijakan komu-

nikasi, peran pemerintah sebatas sebagai fasilitator dan

perumus kebijakan yang dikehendaki masyarakat.

Selain itu, kebijakan komunikasi harus menjamin

bahwa masyarakat berperan serta secara aktif dalam

Nur Zaini

99

mengendalikan perkembangan komunikasi yang terjadi

di antara mereka (Abrar, 2008: 17).

2. Jenis-Jenis Kebijakan Komunikasi

Menurut James E. Anderson yang dikutip oleh

Islamy (dalam Abrar, 2008: 11), sebagai kebijakan

publik, kebijakan komunikasi harus dirumuskan oleh

pemerintah. Hal ini selaras dengan pendapat Thomas

Dye (dalam Subarsono, 2012: 2) bahwa kebijakan

publik dibuat oleh badan pemerintah (bukan organisasi

swasta), dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang

harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan

pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah merujuk pada

lembaga tertentu yang merumuskan kebijakan tersebut.

Undang-Undang (UU) disusun oleh DPR dengan perse-

tujuan Presiden. Peraturan Pemerintah (PP) ditetapkan

oleh Presiden untuk menjalankan UU. Surat Keputusan

Menteri merupakan peraturan perundangan yang

dikeluarkan oleh menteri, dengan isi yang lebih spesifik

dan mengatur hal-hal yang praktis. Peraturan Daerah

adalah peraturan perundangan yang dibuat oleh DPRD

dengan persetujuan kepala daerah. Keputusan Presiden

dibuat oleh presiden, tetapi bukan untuk menjalankan

UU. Keputusan Presiden dapat mengacu pada pera-

turan pemerintah (Abrar, 2008: 20).

3. Proses Pembuatan Kebijakan Komunikasi

Seperti halnya kebijakan publik, proses

pembuatan kebijakan komunikasi oleh pemerintah juga

melalui beberapa tahap. Menurut William Dunn (dalam

Abrar 2008: 47), proses dimulai dari penyusunan

agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, imple-

mentasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Penyusun-

an agenda meliputi tiga kegiatan. Pertama, membangun

persepsi di kalangan stakeholders bahwa ada persoalan

komunikasi yang harus diselesaikan. Apabila persoalan

tersebut tidak diselesaikan, akan menimbulkan keka-

cauan. Kedua, membuat batasan masalah. Ketiga,

memobilisasi dukungan agar persoalan itu masuk

dalam agenda pemerintah.

Menurut James Anderson (dalam Subarsono,

2012: 12), menetapkan proses kebijakan publik antara

lain mencakup tahap-tahap sebagai berikut:

a. Formulasi masalah, Apa masalahnya dan apa yang

membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan?

Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam

agenda pemerintah?

b. Formulasi kebijakan, Bagaimana mengembangkan

pilihan-pilihan umtuk memecahkan masalah terse-

but? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi

kebijakan?

c. Penentuan kebijakan, Bagaimana alternative ditetap-

kan? Apa persyaratan atau kriteria yang harus dipe-

nuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan?

Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan

kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah

ditetapkan?

d. Implementasi, Siapa yang terlibat dalam imple-

mentasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa

dampak dari isi kebijakan?

e. Evaluasi, Bagaimana tingkat keberhasilan atau

dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi

kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi

Nur Zaini

101

kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan

perubahan atau pembatalan?

METODE PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah berita tentang isu

penanganan situs internet bermuatan negatif yang

dimuat pada www.kompas.com, dan www.detik.com,

dan diakses pada Agustus 2014. Peneliti memilih 3

berita dari masing-masing media online sehingga kese-

luruhan berita berjumlah 6 teks. Bentuk penelitian ini

adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan

kualitatif. Penelitian ini digunakan untuk menggam-

barkan aspek tertentu dari realitas isu penanganan

situs internet bermuatan negatif yang dibingkai oleh

www.kompas.com, dan www.detik.com menjadi berita

yang kemudian dijadikan sebagai realitas media. Data

dikumpulkan dengan cara mengakses dua media

online tersebut melalui penelusuran, dan mengguna-

kan kata kunci “penanganan situs internet bermuatan

negatif”. Peneliti mengambil berita yang dimuat pada

halaman pertama dengan pertimbangan bahwa berita

tersebut di-posting paling akhir. Untuk bahan

pembahasan, peneliti melakukan wawancara menda-

lam dengan narasumber. Selain itu, untuk bahan

lainnya, peneliti juga melakukan wawancara terstruk-

tur dengan 20 responden. Data penelitian ini Diana-

lisis dengan menggunakan analisis framing model

Robert N. Entman melalui perangkat framing yang

mencakup empat elemen. Perangkat framing Entman

akan membantu dalam mendefinisikan objek peneli-

tian yang diungkap oleh media dan memperkirakan

penyebab dari masalah itu. Selanjutnya, perangkat ini

akan membantu peneliti dalam mencari tahu kepu-

tusan moral yang diangkat oleh media. Kemudian

pada tahap akhir, perangkat framing ini akan mem-

bantu dalam mencari tahu rekomendasi seperti apa

yang dikemukakan oleh media. Perangkat framing ini

menjadi acuan analisis dan meliputi elemen Define

Problemss, Diagnose Causes, Make Moral Jugdment,

dan Treatment Recommendation yang deskripsinya

antara lain seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Perangkat Framing Model Entman

Define Problemss

(pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa/ isu

dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai

masalah apa?

Diagnose Causes

(memperkirakan

masalah atau sumber

masalah)

Peristiwa itu disebabkan oleh apa?

Apa yang dianggap sebagai penyebab

dari suatu masalah? Siapa (aktor)

yang dianggap sebagai penyebab

masalah?

Make Moral Judgement

(membuat keputusan

moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk

menjelaskan masalah? Nilai moral

apa yang dipakai untuk melegitimasi

atau mendelegitimasi suatu

tindakan?

Nur Zaini

103

Treatment

Recommendation

(menekankan

penyelesaian)

Penyelesaian apa yang ditawarkan

untuk mengatasi masalah / isu?

Jalan apa yang ditawarkan dan

harus ditempuh untuk mengatasi

masalah?

Sumber: Eriyanto, 2008: 189

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengawali deskripsi pada bab ini, uraian

mencakup deskripsi objek penelitian yang meliputi isu

penanganan situs internet bermuatan negatif yang

dimuat pada www.kompas.com dan www.detik.com.

Uraian berikutnya merupakan inti dari hasil dan

pembahasan yang memuat tentang frame www.

kompas.com, frame www.detik.com, dan pemabahsan

tentang muatan teks media dalam perspektif kebijakan

komunikasi.

Deskripsi Objek Penelitian

1. Isu Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif

pada www.kompas.com

Situs www.kompas.com memuat berita tentang

penanganan situs internet bermuatan negatif antara

lain pada 8 Agustus 2014 yang terdiri dua berita

dengan judul “Resmi, Ini Isi Peraturan Blokir Konten

Negatif” dan “Peraturan Blokir Internet Disebut

Melanggar HAM”, serta pada 11 Agustus 2014 dengan

judul “Masyarakat Tolak Peraturan Menkominfo tentang

Blokir Situs”. Isi garis besar tentang tiga berita tersebut

seperti diuraikan sebagai berikut.

Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informatika tentang Penanganan Situs Internet

Bermuatan Negatif telah resmi disahkan menjadi

Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 pada 7

Juli 2014 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan

HAM pada 17 Juli 2014. Ini artinya, pemerintah sudah

mempunyai dasar hukum atas kewenangan memblokir

situs-situs yang dianggap bermuatan negatif, seperti

situs porno, situs perjudian, situs yang mengandung

unsur SARA, dan lainnya. Kementerian atau lembaga

pemerintah dapat memblokir situs internet bermuatan

negatif sesuai dengan kewenangannya dan daftar

alamat situs yang bermuatan negatif akan disusun oleh

Direktur Jenderal Kominfo dalam Trust+Positif. Meski

demikian, seperti tercantum dalam Bab III Pasal 7,

masyarakat dapat berpartisipasi atau melaporkan situs-

situs negatif untuk dimasukkan dalam Trust+Positif.

Untuk melakukan pemblokiran, Peraturan Menteri ini

mewajibkan Penyelenggara Jasa Akses Internet (ISP-

internet service provider) untuk berperan aktif. Ada

sanksi sesuai peraturan perundang-undangan untuk

ISP jika tidak melakukan pemblokiran.

Peraturan menteri sejatinya ini menuai kritikan

dari berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti

Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN),

ICT Watch, ELSAM, SAFENET dan PAMFLET. Peraturan

itu dianggap tidak sesuai dengan Pasal 28 huruf J

Undang-Undang Dasar 1945 dan juga pasal 19 Kovenan

Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi lewat

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Direktur ICT

Watch Donny BU menyoroti ketidakjelasan asal muasal

Trust+Positif ini. Dia menilai pemberian mandat

Nur Zaini

105

penyusunan database Trust+Positif ini tidak transparan

dan tidak akuntabel.

Peraturan baru tersebut oleh Ketua Badan

Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),

Anggara, dinilai merugikan masyarakat dan mengekang

kebebasan hak asasi manusia. Di samping melanggar

aturan pembatasan yang diamanatkan dalam UUD

1945, materi muatan dari peraturan menteri ini dinilai

justru berpotensi menimbulkan iklim negatif di

masyarakat. Pengertian 'konten negatif' sangat luas

dan multitafsir, tidak ada indikator yang jelas dan

pengertian serta definisi yang memadai, dan ujungnya

berpotensi besar dalam melanggar hak asasi manusia.

Anggara juga menilai bahwa kewenangan Kementerian

Kominfo dalam hal ini sangat besar dan luas karena

kementerian tersebut diposisikan sebagai pelapor,

pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar penilai-

an, sekaligus penilai dan eksekutor dalam menerapkan

kebijakan pemblokiran dan penyaringan.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan

Hukum Pers Nawawi Bahrudin, hal itu terjadi karena

peraturan tersebut tidak merinci seperti apa kriteria

negatif. Dalam Bab III hanya tertulis, situs internet

bermuatan negatif adalah yang mengandung unsur

pornografi dan kegiatan ilegal yang diatur undang-

undang. Ia juga mengungkapkan, seharusnya Kemen-

kominfo membagi peran untuk mengatasi masalah.

Dicontohkan, pengaduan situs bermasalah sebenarnya

bisa diberikan kepada pengadilan atau bisa ke

pemerintah untuk membentuk badan independen yang

mengurusi pengaduan, sementara Kemenkominfo hanya

bertugas mengeksekusi pemblokiran situs yang

diperiksa. Wahyudi Djafar, peneliti Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, menuntut agar permen tersebut

dicabut. Selain isinya dapat mengancam kebebasan

berekspresi di dunia maya, kehadirannya juga dinilai

tidak tepat. Tidak etis menteri mengeluarkan peraturan

strategis di masa transisi seperti sekarang ini. Sebab,

hal ini akan membebani pemerintahan baru.

2. Isu Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif

pada www.detik.com

Situs www.detik.com menampilkan berita terkait

penanganan situs internet bermuatan negatif antara

lain pada 8 Agustus 2014 dengan judul “Permen Konten

Negatif Langsung Diancam Judicial Review”, pada 10

Agustus berjudul “Ini Penjelasan Kominfo Soal Kisruh

Permen Situs Negatif”, dan pada 11 Agustus 2014

dengan judul “Ini Alasan Peraturan Sensor Internet

Perlu Ditolak”. Secara garis besar, isi tentang tiga berita

tersebut seperti deskripsi sebagai berikut.

Masih seumur jagung, Peraturan Menteri

(Permen) Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Pe-

nanganan Situs Internet Bermuatan Negatif langsung

digoyang. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

bahkan merekomendasikan Forum Tata Kelola Internet

untuk membahasnya secara serius, sambil juga meng-

ajukan Judical Review ke Mahkamah Agung (MA). Dari

sejak awal, Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR,

mengatakan bahwa materi Penanganan Situs Internet

Bermuatan Negatif tidak tepat jika diatur dalam bentuk

Peraturan Menteri, seharusnya diatur dalam bentuk

undang-undang. Selain melanggar aturan pembatasan

Nur Zaini

107

yang diamanatkan dalam UUD 1945, materi muatan

dari Peraturan Menteri ini menurutnya sangat merugi-

kan masyarakat, dan berpotensi justru menimbulkan

iklim negatif pengekangan kebebasan hak asasi oleh

negara.

Sejumlah LSM dan pelaku industri internet

menolak Peraturan Menteri Kominfo no 19 Tahun 2014

tentang Penanganan Situs Internet Bermuataan Negatif.

Tentu saja ada sejumlah alasan mereka menolaknya.

Diungkapkan Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa

Internet Indonesia (APJII) Semmy Pangerapan peraturan

menteri seperti ini pernah ditolak pada tahun 2009.

Namun, filtering tetap dilanjutkan oleh Kementerian

Kominfo, malahan ISP (Internet Service Provider) yang

tidak mengikuti kemauan pemerintah izinnya dicabut.

Dengan adanya peraturan tersebut, terjadi 'kesalahan'

wewenang di ISP. Sebab, menurutnya, ISP bukanlah

melakukan filtering, tetapi mengoreksi. Karena mem-

blokir situs, merupakan pelanggaran hak asasi

pelanggan.

Sejumlah LSM itu menjabarkan ada 4 poin yang

perlu disikapi dari peraturan tersebut:

1. Menolak Permen Kominfo tentang Penanganan Situs

Internet Bermuataan Negatif.

2. Mempersiapkan langkah sesuai prosedur hukum

dengan mengajukan judicial review atas Permen

Kominfo ke Mahakamah Agung (MA).

3. Memintah kepada pemerintah baru, untuk segera

mengambil inisiatif guna melakukan amandemen

terhadap UU ITE.

4. Mendorong tata kelola internet yang transparan,

akuntanbel dan professional dengan dialog dan

pelibatan aktif pemangku kepentingan majemuk

(multi-stakeholder), dalam hal ini pemerintah,

masyarakat sipil, sektor bisnis/swasta, akademis

dan komunitas teknis.

Kementerian Komunikasi dan Informatika

(Kominfo), melalui Dirjen Aplikasi dan Informatika,

Bambang Heru Tjahjono, mencoba meluruskan ramai-

ramai soal Peraturan Menteri no 19 Tahun 2014

tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.

Menurut Kominfo, ada beberapa definsi yang salah

kaprah tentang Permen tersebut. Permen no 19 Tahun

2014 tersebut sebetulnya adalah tata cara melaporkan

terkait situs yang dianggap mengganggu untuk dikehen-

daki ditutup. Dia mencontohkan, bila ada aduan terkait

masalah situs yang mengandung pornografi, masya-

rakat bisa melaporkannya dengan landasan Permen

Kominfo No. 19 Tahun 2014 melalui acuan UU

Pornografi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik

(ITE). Bila kasusnya adalah di luar pornografi maka bisa

memanfaatkan undang-undang yang terkait. Sehingga

secara jelas, peraturan menteri itu sifatnya hanya

mengatur cara pelaporan.

Bingkai Media Online

1. Bingkai www.kompas.com: Masalah Hukum dan

Politik

Situs www.kompas.com memuat berita tentang

penanganan situs internet bermuatan negatif antara

lain pada 8 Agustus 2014 yang terdiri dua berita

dengan judul “Resmi, Ini Isi Peraturan Blokir Konten

Nur Zaini

109

Negatif” dan “Peraturan Blokir Internet Disebut

Melanggar HAM”, serta pada 11 Agustus 2014 dengan

judul “Masyarakat Tolak Peraturan Menkominfo tentang

Blokir Situs”. Tiga berita tersebut secara garis besar

memuat informasi tentang telah diberlakukannya dasar

hukum, Permen. No. 19 Tahun 2014, atas kewenangan

pemerintah untuk memblokir situs-situs yang dianggap

bermuatan negatif, munculnya kritik terhadap kebija-

kan tersebut, dan penolakan pemberlakuan kebijakan

tersebut. Untuk melihat bagaimana www.kompas.com

membingkai isu tersebut, uraian berikut mengacu pada

perangkat framing model Entman.

Define Problems. Awalnya isu dalam 3 berita ini

ditarik ke masalah hukum dengan uraian terkait

disyahkannya Rancangan Peraturan Menteri (RPM)

tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif

menjadi Peraturan Menteri (Permen) No. 19 Tahun 2014

yang ditandantangani oleh Menteri Komunikasi dan

Informatika pada 7 Juli 2014, dan diundangkan oleh

Menteri Hukum dan HAM pada 17 Juli 2014. Berdasar-

kan Permen tersebut, “pemerintah sudah mempunyai

dasar hukum atas kewenangan memblokir situs-situs

yang dianggap bermuatan negatif, seperti situs porno,

situs perjudian, situs yang mengandung unsur SARA,

dan lainnya” (www.kompas.com.a, 8 Agustus 2014).

Seperti diberitakan, Permen itu menuai kritik dari

beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kritik

terkait bidang hukum bahwa Permen itu memiliki

kekurangan karena tidak menjelaskan secara rinci pro-

sedur pembatasan laman internet, tidak menjelaskan

prosedur pemblokiran, dan penggunaan Trust+Positif

yang menjadi acuan daftar situs yang dilarang

beroperasi dinilai tidak memiliki tahapan penentuan

yang jelas. Namun, pada bagian tengah dan penutup

berita, masalah kemudian ditarik ke wilayah politik

yang mengarah pada praktik kekuasaan pemerintah,

dalam hal ini Kemkominfo terhadap masyarakat. Pada

bagian ini, isi lebih banyak mengekpos kritik dari LSM

antara lain bahwa Permen tersebut “memuat materi

yang melakukan pembatasan terhadap hak asasi

manusia sehingga materi pembatasan dalam bentuk

apa pun haruslah diatur berdasarkan Pasal 28 J UUD

1945, yakni dengan menggunakan undang-undang”

(www.kompas.com.b, 8 Agustus 2014). Kritik berikut-

nya terkait kewenangan Kemkominfo yang dinilai sangat

besar dan luas. Kementerian tersebut diposisikan seba-

gai pelapor, pengadu, penyidik, penuntut, pembuat

standar penilaian, sekaligus penilai dan eksekutor

dalam menerapkan kebijakan pemblokiran dan penya-

ringan. Kritik lainnya menyangkut masalah pengertian

‘konten negatif’ yang dianggap multitafsir dan tidak

jelas. Selain itu, pemberian kewenangan kepada Penye-

dia Layanan Internet (ISP) untuk melakukan pemblo-

kiran dinilai mengkhawatirkan.

“Apabila penyedia layanan internet diberi kuasa untuk mengatur pemblokiran, mereka bisa dengan mudah menentukan tambahan situs negatif. ICT Watch mencatat, puluhan situs internet yang tidak mengandung unsur porno-grafi dan SARA juga bisa ikut terblokir. Misalnya, situs mengenai edukasi pemberian air susu ibu, situs aksesibilitas difabel, serta situs program edukasi anak-remaja” (www.kompas.com., 11 Agustus 2014).

Nur Zaini

111

Diagnose Causes. Dalam keseluruhan berita di

www.kompas.com., Kemkominfo diposisikan sebagai

pelaku (actor) penyebab masalah, yakni pihak yang

mengakibatkan timbulnya masalah terkait Permen

Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Dengan

adanya Permen tersebut, Kemkominfo telah melampaui

kewenangannya sebagai kementerian. Kemkominfo juga

dianggap telah mengekang kebebasan berekspresi dan

melanggar HAM karena Permen tersebut melanggar

aturan pembatasan yang diamanatkan dalam UUD

1945. Sementara LSM yang mengatasnamakan masya-

rakat disposisikan sebagai korban. Dengan diber-

lakukannya Permen tersebut, masyarakat menjadi tidak

bebas mengakses internet, termasuk situs yang

sebetulnya tidak masuk kategori ‘berkonten negatif’. Hal

ini disebabkan batasan ‘konten negatif’ yang tidak jelas

dalam Permen tersebut. Sesuai Pasal 4 dalam Permen

tersebut, konten negatif hanya dibatasi dua hal.

(1) Jenis situs internet bermuatan negatif yang

ditangani sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 huruf a, yaitu:

a. pornografi; dan

b. kegiatan ilegal lainnya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana di-

maksud pada ayat (1) huruf b merupakan

kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal

dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah

yang berwenang sesuai ketentuan pera-

turan perundang-undangan.

Make Moral Judgement. Penilaian Kemkominfo

sebagai pihak yang menyebabkan masalah tersebut

mengarah pada keberadaan Permen tersebut yang

dianggap tidak sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 dan

Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang

No. 12 Tahun 2005. Pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan

bahwa pembatasan harus dalam bentuk undang-

undang. Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil

dan Politik memuat bahwa setiap orang berhak atas

kebebasan untuk menyatakan pendapat. Hak ini ter-

masuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan

memberikan informasi dan pemikiran apapun. Selain

itu, Kemkominfo juga dinilai telah salah memosisikan

diri dalam menerapkan Permen tersebut sehingga

terkesan mengambil wewenang dari lembaga lain.

“…seharusnya Kemenkominfo membagi peran untuk mengatasi masalah. Dicontohkan, pengaduan situs bermasalah sebenarnya bisa diberikan kepada pengadilan atau bisa ke pemerintah untuk membentuk badan inde-penden yang mengurusi pengaduan, sementara Kemenkominfo hanya bertugas mengeksekusi pemblokiran situs yang diperiksa. Kalau sekarang, seluruh tugas dipegang oleh Kemenkominfo. Ini rawan penyelewengan” (www.kompas.com., 11 Agustus 2014).

Treatment Recommendation. Merunut deskripsi

pada elemen sebelumnya, Permen No. 19 Tahun 2014

dinilai banyak kekurangan oleh beberapa LSM yang

tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil. Pertama,

Permen tersebut dianggap merugikan masyarakat dan

Nur Zaini

113

mengekang kebebasan hak asasi masusia. Kedua, Per-

men tersebut tidak tepat jika digunakan untuk meng-

atur pembatasan bagi masyarakat, yang seharusnya

dalam bentuk undang-undang. Ketiga, pengertian

‘konten negatif’ sangat luas dan multitafsir; tidak ada

indikator yang jelas dan definisi yang memadai.

Keempat, kewenangan Kemkominfo dinilai sangat besar

dan luas. Kementerian tersebut diposisikan sebagai

pelapor, pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar

penilaian, sekaligus penilai dan eksekutor dalam

menerapkan kebijakan pemblokiran dan penyaringan.

Dengan demikian, Kemkominfo memainkan peran yang

begitu besar dengan mengambil kewenangan badan

lain, terutama pengadilan. Berdasarkan adanya 4 keku-

rangan terkait Permen tersebut, posisi Kemkominfo

berada pada pihak yang menyebabkan timbulnya

masalah, sehingga www.kompas.com merekomendasi-

kan agar Kemkominfo mencabut Permen tersebut

melalui pernyataan peneliti dari salah satu LSM yang

mengkritisi Permen tersebut.

2. Bingkai www.detik.com: Masalah Hukum dan

Politik

Situs www.detik.com menampilkan berita terkait

penanganan situs internet bermuatan negatif antara

lain pada 8 Agustus 2014 dengan judul “Permen Konten

Negatif Langsung Diancam Judicial Review”, pada 10

Agustus berjudul “Ini Penjelasan Kominfo Soal Kisruh

Permen Situs Negatif”, dan pada 11 Agustus 2014

dengan judul “Ini Alasan Peraturan Sensor Internet

Perlu Ditolak”. Tiga berita tersebut secara garis besar

memuat informasi tentang kritik LSM yang mengnggap

bahwa Permen tersebut tidak tepat untuk mengatur

pembatasan, adanya penjelasan dari pihak Kemkom-

info, dan telah terjadi kesalahan kewenangan bagi

Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan

filtering. Untuk melihat bagaimana www.detik.com

membingkai isu tersebut, uraian berikut mengacu pada

perangkat framing model Entman.

Define Problems. Dalam 3 berita ini, perma-

salahan juga awalnya mengarah ke masalah hukum,

dan kemudian ditarik ke maslah politik. Namun,

www.detik.com lebih menonjolkan masalah politik

sehingga teks berita lebih menyoroti aspek politik.

Terkait masalah hukum, isi berita diawali dengan

munculnya kritik dari LSM bahwa penanganan situs

internet bermuatan negatif tidak tepat jika diatur

dengan Permen; seharusnya dengan undang-undang.

Pemberitaan kemudian mengarah ke masalah politik,

yakni terkait kritik tentang keberadaan ISP yang diberi

wewenang untuk memblokir situs. Padahal ISP bukan-

lah melakukan filtering, tetapi mengoreksi. Kegiatan

memblokir situs merupakan pelanggaran hak asasi

manusia. Pengertian ‘konten negatif’ juga menjadi

bahan kritik dari LSM. Direktur ICT Watch Donny B.U

menyatakan bahwa implikasi serius terhadap pene-

gakan hak asasi, salah satunya adalah ketiadaan

penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan 'konten

bermuataan negatif'. Tidak adanya penjelasan lebih

spesifik definisi dari pornografi dan konten bermuataan

negatif, Permen ini dapat membatasi konten apa pun

yang ada di internet karena cakupannya luas dan tidak

spesifik (www.detik.com, 10 Agustus 2014).

Nur Zaini

115

Pada berita lain, Kemkominfo memberikan

penjelasan melalui Dirjen Aplikasi dan Informatika

bahwa terjadi salah kaprah pendefinisian tentang

Permen tersebut.

"Jadi Permen No 19 Tahun 2014 tersebut sebetulnya adalah tata cara melaporkan terkait situs yang dianggap mengganggu untuk dikehendaki ditutup. Dia mencontohkan, bila ada aduan terkait masalah situs yang mengan-dung pornografi, maka masyarakat bisa melaporkannya dengan landasan Permen Kominfo no 19 Tahun 2014 melalui acuan UU Pornografi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)” (www.detik.com., 11 Agustus 2014).

Dirjen Aplikasi dan Informatika menambahkan

bahwa bila kasusnya adalah di luar pornografi, maka

bisa memanfaatkan undang-undang yang terkait.

Permen itu sifatnya hanya mengatur cara pelaporan.

Diagnose Causes. Dalam tiga berita yang dimuat

oleh www.detik.com terkait penanganan situs internet

bermuatan negatif, semua memosisikan Kemkominfo

sebagai aktor penyebab timbulnya masalah karena

memberlakukan Permen No. 19 Tahun 2014. Kegiatan

akses internet oleh masyarakat menjadi terganggu.

Permen tersebut bahkan dianggap bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Selain melanggar aturan pembatasan yang diamanatkan dalam UUD 1945, materi muatan-nya sangat merugikan masyarakat, dan berpo-tensi justru menimbulkan iklim negatif

pengekangan kebebasan hak asasi oleh negara” (www.detik.com, 8 Agustus 2014).

Selain itu, produk yang dikeluarkan oleh

Kemkominfo berupa Permen tersebut rawan penyalah-

gunaan karena defifisi pornografi yang dinilai terlalu

luas. Hal ini yang menjadi salah satu poin keberatan

yang dilayangkan oleh beberapa LSM dan komunitas

industri internet sehingga mereka menyatakan sikapnya

untuk menolak keberadaan peraturan itu.

Make Moral Judgement. Penilaian moral terkait

isu ini tentunya ditujukan kepada Kemkominfo sebagai

pihak yang menimbulkan masalah. Apa yang dilakukan

Kemkominfo memberlakukan Permen itu merupakan

tindakan negatif. Permen tersebut sangat merugikan

masyarakat, melanggar kak asasi pelanggan, dan

mengekang kebebasan berekspresi dan mendapatkan

informasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28 F UUD

1945 (www.detik.com, 11 Agustus 2014). Pada berita

tanggal 10 Agustus 2014, secara tersirat, Kemkominfo

dianggap kurang peka dan semena-mena terhadap ISP

karena peraturan seperti Permen tersebut sudah pernah

ditolak pada tahun 2009, tetapi filtering tetap

dilakukan. Selain itu, ISP yang tidak mengikuti

kemauan pemerintah (Kemkominfo), izinnya dicabut

(www.detik.com, 10 Agustus 2014).

Treatment Recommendation. Rekomendasi yang

ditawarkan oleh www.detik.com terkait 3 berita tentang

penanganan situs internet bermuatan negatif melalui

tuntutan dari beberapa LSM dan komunitas industri

internet mencakup 2 hal. Pertama, Permen tersebut

Nur Zaini

117

harus segera ditarik kembali dan atau dibatalkan. Hal

ini terlihat pada sikap sejumlah LSM yang menyatakan:

“Menolak Permen Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuataan Negatif. Tanpa ber-landaskan pada kebijakan dan prosedur yang jelas, Permen Kominfo tersebut sangat mudah disalahgunakan berbagai pihak untuk mela-kukan pengekangan kebebasan berekspresi dan penghambatan memperloleh informasi di internet. Untuk itu kami mendesak peraturan ini segera ditarik kembali dan atau dibatalkan” (www.detik.com, 10 Agustus 2014).

Kedua, sejumlah LSM juga sepakat akan

mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Ung-

kapan tersebut seperti terlihat pada kutipan berikut.

“Mempersiapkan langkah sesuai prosedur hukum dengan mengajukan judicial review atas Permen Kominfo ke Mahakamah Agung (MA). Hal ini mengingat materi yang terkandung dalam permen tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan” (www.detik.com, 10 Agustus 2014).

Muatan Teks Berita dalam Perspektif Kebijakan

Komunikasi

1. Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 sebagai

Kebijakan Komunikasi

Menurut L. Sommeriad, sebuah kebijakan komu-

nikasi dibuat untuk mengatur antara lain cara-cara

berkomunikasi, jaringan yang digunakan untuk berko-

munikasi, struktur sistem media, kerangka regulasi

untuk sistem tersebut, dan keputusan orang-orang

yang menggunakan komunikasi (Abrar, 2008: 9). Sesuai

dengan pemahaman kebijakan komunikasi tersebut,

Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 19 tahun 2014

merupakan produk sebuah kebijakan komunikasi yang

dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika

tentang penanganan situs internet bermuatan negatif.

Permen ini mengandung sebagian unsur dalam

pengertian kebijakan komunikasi seperti yang disam-

paikan oleh L. Sommeriad sebagaimana kutipan terse-

but, yaitu mengatur cara-cara berkomunikasi melalui

jaringan. Namun, isi Permen ini khususnya terkait

dengan jaringan internet, dan khususnya mengatur

situs internet bermuatan negatif. Makna bermuatan

negatif dijabarkan dalam Permen ini pada Pasal 4:

(1) Jenis situs internet bermuatan negatif yang di-

tangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

huruf a, yaitu:

a. pornografi; dan

b. kegiatan ilegal lainnya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang -undangan.

(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan ilegal

yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau

Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari tujuannya, secara sosiologis, sebuah

kebijakan komunikasi untuk menempatkan proses

komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang

tidak merugikan masyarakat (Abrar, 2008 17). Permen

itu tidak merugikan masyarakat. Permen itu digunakan

sebagai dasar bagi Pemerintah dan masyarakat tentang

pemahaman terkait dengan situs internet bermuatan

Nur Zaini

119

negatif dan peran bersama dalam penanganannya.

Dalam hal ini, masyarakat justru diuntungkan karena

mereka menjadi terlindungi dari berbagai macam situs

yang bermuatan negatif, yakni pornografi dan kegiatan

illegal lainnya yang berpotensi berdampak negatif dan

atau merugikan. Hal ini sesuai dengan Tujuan dari

Permen ini yang tercantum pada Pasal 2:

Tujuan Peraturan Menteri ini, yaitu:

a. memberikan dasar bagi Pemerintah dan

masyarakat terhadap pemahaman situs

internet bermuatan negatif dan peran

bersama dalam penanganannya; dan

b. melindungi kepentingan umum dari konten

internet yang berpotensi memberikan

dampak negatif dan atau merugikan.

Dalam kaitannya dengan “peran bersama dalam

penanganannya”, Permen ini memberikan ruang kepada

masyarakat untuk berperan secara aktif terkait pe-

nanganan situs internet bermuatan negatif. Dengan

demikian, sesuai pernyataan Abrar (2008: 17), masya-

rakat juga ikut mengendalikan perkembangan komu-

nikasi diantara mereka. Selain itu, peran masyarakat

sangat penting dan strategis karena peran masyarakat

tersebut disejajarkan dengan peran Pemerintah seperti

tercantum dalam Bab IV yang mencantumkan Peran

Masyarakat dan Pemerintah. Adapun uraian peran

tersebut seperti dimuat pada Pasal 5:

(1) Masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk

meminta pemblokiran atas muatan negatif sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a

kepada Direktur Jenderal.

(2) Kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat

meminta pemblokiran situs internet bermuatan ne-

gatif yang sesuai dengan kewenangannya sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Direktur

Jenderal.

(3) Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Per-

adilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan

negatif sesuai dengan kewenangannya kepada

Direktur Jenderal.

(4) Masyarakat dapat melaporkan situs internet ber-

muatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (1) huruf b kepada kementerian atau lembaga

pemerintah terkait.

2. Pembatasan Harus dalam Bentuk Undang-Undang

Salah satu kritik beberapa LSM yang tergabung

dalam Aliansi Masyarakat Sipil adalah bahwa Permen

ini kurang tepat karena memuat materi terkait dengan

pembatasan. Argumentasi yang menjadi dasar adalah

Pasal 28 J Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang

menyebutkan bahwa semua peraturan yang sifatnya

pembatasan harus diatur melalui Undang-Undang (UU).

Kutipan selengkapnya Pasal 28 J, terutama Ayat (2)

yang terkait dengan pembatasan:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan petimbangan

Nur Zaini

121

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Mencermati isi Pasal 28 J, Ayat (2), apa yang

disampaikan oleh para LSM memang betul. Namun,

menurut hasil wawancara dengan dosen Jurusan Ilmu

Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Ana

Nadhya Abrar, yang mengajar dan menulis buku

tentang Kebijakan Komunikasi, bahwa Permen merupa-

kan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan

Menteri dengan isi yang lebih spesifik dan mengatur

hal-hal yang bersifat praktis. Selain itu, perlu juga dicek

apakah sudah ada UU yang mengatur penanganan situs

internet bermuatan negatif. Kalau memang belum ada,

Permennya dibuat dulu juga tidak bermasalah. Isi

wawancara selengkapnya terkait hal tersebut sebagai

berikut:

“Dari segi hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia (menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004), posisi Undang-Undang (UU) memang lebih tinggi dari pada Peraturan Menteri (Permen) Kominfo. Namun, Permen merupakan peraturan perun-dang-undangan yang dikeluarkan Menteri dengan isi yang lebih spesifik dan mengatur hal-hal yang bersifat praktis. Dalam konteks ini, kita harus melihat Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014. Kalau isi Permen itu sangat spe-sifik dan bersifat praktis, ia sah sebagai sebuah peraturan perundang-undangan. Setelah itu, kita harus mencek lagi, apakah sudah ada UU yang mengatur tentang penanganan internet bermuatan negatif. Kalau belum ada, tidak ada

masalah Permennya muncul lebih dulu. Daripada tidak ada aturan sama sekali, lebih baik ada aturan, sekalipun hanya Permen” (hasil wawancara, 15 September 2014).

Terkait dengan pernyataan Abrar tentang apakah

sudah ada UU yang mengatur penanganan internet ber-

muatan negatif, ada tiga UU yang dapat dicermati dan

juga dijadikan rujukan oleh Permen ini. Pertama, UU

No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) yang juga mengatur tentang muatan

negatif dalam internet, tetapi tidak mengungkap kata-

kata pornografi dan kegiatan illegal secara eksplisit.

Dalam UU ITE, hal-hal dan kegiatan negatif yang diatur

adalah terkait Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektornik yang “melanggar kesusilaan, perjudian,

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, peme-

rasan dan/ atau pengancaman, menyebarkan berita

bohong dan menyesatkan, menimbulkan rasa keben-

cian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasarkan atau SARA, dan berisi

ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang

ditujukan secara pribadi (Pasal 27, 28, dan 29).

Kedua, UU No. 44 tahun 2008 tentang Porno-

grafi yang mengatur masalah pornografi, antara lain

dimuat dalam Bab II tentang Larangan dan Pembatasan

yang meliputi 3 Pasal, yakni Pasal 4, 5, dan 6. Namun,

pasal-pasal tersebut memang tidak menyebutkan media

yang digunakan untuk kegiatan terkait dengan porno-

grafi secara spesifik. Pasal 4 memuat tentang larangan

memproduksi, membuat, memperbanyak, mengganda-

kan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, meng-

ekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,

Nur Zaini

123

atau menyediakan pornografi. Pasal 5 menyebutkan

larangan meminjamkan atau mengunduh pornografi.

Pasal 6 memuat larangan memperdengarkan, memper-

tontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan

produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh

peraturan perundang-undangan.

Ketiga, peraturan perundangan lainnya adalah

UU No. 39 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. UU ini

hanya memuat 2 pasal terkait kegiatan negatif melalui

jaringan telekomunikasi, yakni Pasal 21 dan Pasal 40.

Pasal-pasal tersebut juga tidak menyebutkan media

yang digunakan secara jelas. Pasal 21 menyebutkan

larangan melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan

telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan

umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.

Pasal 40 memuat larangan melakukan kegiatan

penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui

jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun.

Tiga peraturan perundangan tersebut terkait

dengan muatan negatif dalam internet dan kegiatan

illegal lebih pada sisi substansi. Meskipun didalamnya

juga terdapat pasal-pasal terkait sanksi dan pidana

yang akan diberlakukan kepada siapapun yang

melanggar, UU tersebut tidak memuat pasal-pasal

terkait prosedur penerapannya. Berbeda halnya dengan

Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014, seperti dinyata-

kan oleh Abrar, bahwa sebagai Permen, peraturan ini

mengatur hal-hal yang sangat spesifik, yaitu

penganganan situs internet bermuatan negatif. Selain

itu, Permen ini juga bersifat praktis, yakni memuat bab

beserta pasal-pasal yang mengatur mekanisme dan tata

cara. Pasal 5 dan Pasal 6 mengatur mekanisme peran

masyarakat dan pemerintah. Pasal 8 dan 9 mengatur

peran penyelenggara jasa akses internet. Bab VI tentang

Tata Cara Pemblokiran dan Normalisasi Pemblokiran

yang terdiri dari tiga bagian. Bagian kesatu tentang

Penerimaan Laporan yang mencakup Pasal 10 tentang

tata cara penerimaan lapora, dan Pasal 11 tentang

permintaan pemblokiran. Bagian kedua tentang Tindak

Lanjut Laporan yang meliputi Pasal 12 tentang kegiatan

pengelolaan laporan, Pasal 13 tentang tata cara tindak

lanjut laporan dari masyarakat, Pasal 14 tentang tata

cara tindak lanjut laporan dari Kementerian/ Lembaga,

dan Pasal 15 tentang tata cara tindak lanjut laporan

dari lembaga penegak hukum atau lembaga peradilan.

Bagian ketiga tentang Tata Cara Normalisasi yang

memuat satu pasal Pasal 16, dan berisi tentang proses

normalisasi situs internet yang diblokir.

Berdasarkan uraian diatas, sebagai sebuah

Permen, Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang

Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif sudah

memenuhi standar karena sangat spesifik dan praktis.

Penyebutan istilah spesifik dan praktis juga sejalan

dengan pernyataan Direktur Jenderal Aplikasi dan

Informatika Kementerian Kominfo Bambang Heru Tjah-

jono, "Jadi Permen No. 19 Tahun 2014 tersebut sebe-

tulnya adalah tata cara melaporkan terkait situs yang

dianggap mengganggu untuk dikehendaki ditutup", yang

lebih jauh Bambang juga menyatakan bahwa "Jadi

pada dasarnya kita ini bekerja atas aduan dari

masyarakat. Kita tidak mungkin main asal tutup tanpa

ada aduan. Nah, peraturan menteri ini yang mengatur

bagaimana caranya" (www.detik.com, 11/8/2014).

Nur Zaini

125

3. Melanggar Hak Asasi Manusia

Kritik lain yang disampaikan oleh LSM adalah

bahwa Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 merugikan

masyarakat dan mengekang kebebasan hak asasi

manusia, serta melanggar hak asasi manusia

(www.kompas.com, 8/8/2014), mengancam kebebasan

berekspresi di dunia maya (www.kompas.com,

11/8/2014), mengekang kebebasan berekspresi dan

mengekang dalam mendapatkan informasi (www.

detik.com, 11/8/2014), melanggar hak asasi pelanggan

(www.detik.com, 10/8/2014). Inti dari kritik diatas

bahwa Permen tersebut dianggap melanggar hak asasi

manusia. Teks berita yang memuat pernyataan-

pernyataan tersebut memang tidak menyebutkan pasal-

pasal dalam UU No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (HAM) yang dilanggar.

Kalau mencermati pasal-pasal dalam UU No. 39/

1999, ada tiga pasal yang secara substantif terkait

dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan

mendapatkan informasi, antara lain:

Pasal 12 Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan mening-

katkan kwalitas hidupnya agar menjadi manu-sia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Pasal 13 Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan

martabat manusia demi kesejahteraan pribadi-nya, bangsa dan umat manusia. Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi

dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingku-ngan sosialnya.

(2) Setiap orang berhak untuk mencari, mem-peroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan meng-gunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Dalam kaitannya dengan Permen No. 19 Tahun

2014, sebagai kebijakan komunikasi yang mengatur

proses dan kegiatan komunikasi melalui jaringan

internet, pasal-pasal tersebut dapat dijabarkan sebagai

jaminan bagi setiap orang akan hak-hak atas perlin-

dungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memper-

oleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan mening-

katkan kualitas hidupnya; untuk mengembangkan dan

memperoleh manfaat dari ilmu dan teknologi, seni dan

budaya; untuk berkomunikasi dan memperoleh infor-

masi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi

dan lingkungan sosialnya; serta untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala

jenis sarana yang tersedia. Dalam konteks ini, sarana

yang dimaksud antara lain adalah internet.

Memang terlihat jelas sekali bahwa Pemerintah

harus menjamin hak-hak masyarakat seperti tercantum

pada pasal-pasal tersebut. Namun, masyarakat juga

perlu memahami bahwa setiap orang yang hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga melibat-

Nur Zaini

127

kan orang lain. Dia tidak hanya mementingkan dirinya

sendiri, tetapi juga harus menghormati kepentingan

orang lain, sebagaimana isi UUD 1945, Pasal 28 J, Ayat

(1) bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi

manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasya-

rakat, berbangsa, dan bernegara”. Hal ini juga sesuai

dengan pernyataan Abrar bahwa:

“Soal ekspresi di dunia maya, memang itu hak asasi manusia. Namun, perwujudan hak asasi manusia itu harus dibarengi oleh tanggung jawab. Tanggung jawab apa? Tanggung jawab terhadap orang lain. Dalam filsafat, tanggung jawab terhadap orang lain ini disebut sosialitas. Nah, salah satu dimensi sosialitas itu adalah ‘memberi’. Dengan memberikan sebagian hak-nya manusia berkembang lebih baik. Sebagian hak di sini bisa diartikan sebagian kebebasanya buat orang lain. Tegasnya, dia rela diatur demi kebaikan bersama” (hasil wawancara, 15 September 2014).

Kemudian siapa yang mengatur? Dalam konteks

ini, pemerintah terutama yang mengaturnya sebagai

pembuat kebijakan. Hal ini sesuai bunyi UU No. 39/

1999 tentang HAM, Pasal 8 bahwa “Perlindungan, pe-

majuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”. Untuk

itu, Pemerintah yang dalam hal ini Kemkominfo,

membuat Permen No. 19 Tahun 2014 dalam rangka

perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

hak asasi manusia dalam konteks yang luas, yakni

bangsa Indonesia.

4. Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 Harus

Dicabut

Muara dari tuntutan dari LSM yang tergabung

dalam Aliansi Masyarakat Sipil terhadap Permen

Kominfo No. 19 Tahun 2014, bahwa berdasarkan berba-

gai alasan mereka, Permen tersebut harus dicabut.

Padahal, langkah untuk mencabut Permen tentunya

bukanlah hal yang mudah. Masa mulai berlakunya

juga belum genap satu tahun. Aliansi Masyarakat Sipil

atau siapapun boleh mengajukan kritik, tetapi bagai-

mana dengan masyarakat Indonesia lainnya? Apa

mereka juga menghendaki Permen tersebut dicabut?

Mengacu pernyataan Abrar dalam wawancara,

tidak mudah mencabut sebuah Permen. Dia menye-

butkan bahwa:

“Tidak semudah itu memberikan vonis terhadap Permen No. 19 Tahun 2014. Itulah sebabnya perlu diteliti lebih jauh. Penelitian itu tidak hanya apresiasi khalayak, tetapi isinya. Dari situ kelak akan terlihat konteks, paradigma, dan domain Permen itu. Dari ketiga aspek inilah baru kita bisa menilai apa dan bagai-mana sesungguhnya Permen itu” (hasil wawan-cara, 15 September 2014).

Pembicaraan tentang konteks, domain, dan

paradigma Permen tersebut dapat mengacu pendapat

Paula Chakravartty dan Katharine Sarikakis (dalam

Abrar, 2008: 4) yang menyatakan bahwa kebijakan

komunikasi selalu memiliki konteks, domain, dan para-

digma. Konteks adalah keterkaitan kebijakan komuni-

kasi dengan sesuatu yang melingkupinya, misalnya

politik-eknomi, politik-komunikasi, dan sebagainya.

Nur Zaini

129

Domain berarti muatan nilai yang dikandung kebijakan

komunikasi seperti globalisasi, ekonomi global, dan

lain-lain. Paradigma bermakna kerangka cita-cita yang

ingin dicapai kebijakan komunikasi itu, contohnya

masyarakat informasi, menguatnya civil society, dan

sebagainya.

Isi Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 secara

keseluruhan memuat hal-hal yang mengatur pe-

nanganan situs internet bermuatan negatif. Hal ini

dapat dilihat isi Pasal 3 yang memuat ruang lingkup

Permen tersebut, antara lain:

a. penentuan situs internet bermuatan negatif yang

perlu ditangani;

b. peran Pemerintah dan masyarakat dalam penanga-

nan situs internet bermuatan negatif;

c. peran Penyelenggara Jasa Akses Internet dalam

penanganan situs bermuatan negatif; dan

d. tata cara pemblokiran dan normalisasi pem-

blokiran dalam penanganan situs internet ber-

muatan negatif.

Poin “a dan b” memuat kekuasaan Pemerintah

(dalam hal ini Kemkominfo melalui Ditjen Aplikasi dan

Informatika) untuk menentukan situs yang bermuatan

negatif berdasarkan pengaduan dari masyarakat, Ke-

menterian atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Penegak

Hukum dan atau Lembaga Peradilan. Poin “c” menun-

jukkan peran Penyelenggara Jasa Akses Internet yang

diberi wewenang untuk memblokir situs internet yang

masuk dalam daftar Trust +Posistif. Poin “d” memuat

tata cara pemblokiran dan normalisasi. Berdasarkan

aduan, Pemerintah kemudian melakukan pengelolaan

laporan, dan menindak lanjuti laporan. Dalam hal ini,

jika situs yang dilaporkan adalah bermuatan negatif,

maka kemudian dimasukkan dalam daftar Trust +

Positif, dan meminta Penyelenggara Jasa Internet untuk

melakukan pemblokiran. Selain itu, poin “d” juga

memuat tata cara normalisasi situs internet yang

diblokir.

Secara keseluruhan, Pasal 3 menunjukkan pro-

ses sebelum penentuan situs internet bermuatan negatif

sampai dengan normalisasi situs internet yang diblokir

jika terbukti bukan merupakan situs internet ber-

muatan negatif. Dengan demikian, Permen ini memuat

kekuasaan dan aturan. Kekuasaan adalah dalam

kaitannya dengan Pemerintah yang berkuasa menen-

tukan suatu situs internet bermuatan negatif. Aturan

adalah terkait dengan tata cara penentuan, pem-

blokiran, dan normalisasi situs internet bermuatan

negatif. Pembicaraan tentang kekuasaan termasuk

dalam bidang politik sebagaimana salah satu definisi

politik yang dikutip oleh Nimmo yang berarti

“kekuasaan dan pemegang kekuasaan” (Nimmo, 2011:

8). Sementara bidang ilmu yang membahas aturan

adalah bidang hukum. Hal ini berarti Permen tersebut

memiliki konteks politik-hukum.

Terkait dengan domain Permen ini, pembicaraan

dapat merujuk pada bagian konsideran poin “b” yang

memuat:

bahwa Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalah-gunaan informasi elektronik yang mengganggu

Nur Zaini

131

ketertiban umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Inti dari poin tersebut adalah bahwa pemerintah

berperan dalam hal memfasilitasi dan melindungi ke-

pentingan umum. Memfasilitasi berarti memberi kemu-

dahan yang dalam hal ini terkait pemanfaatan teknologi

informasi dan transaksi elektronik. Melindungi kepen-

tingan umum berarti memberi perlindungan kepada

masyarakat dari segala jenis gangguan sebagai akibat

penyalahgunaan informasi elektronik, khususnya situs

internet bermuatan negatif. Uraian ini diperkuat lagi isi

poin “b”, yakni “bahwa untuk memberikan akses internet

yang bersih dan nyaman dengan memberikan perlin-

dungan kepada masyarakat”. Dengan demikian, domain

Permen ini adalah perlindungan masyarakat.

Paradigma atau cita-cita yang ingin dicapai

dalam pemberlakuan Permen ini adalah masyarakat

menjadi terlindungi dari dampak negatif yang diakibat-

kan oleh konten internet. Ini terlihat dari isi Pasal 2,

Poin “b” yang memuat bahwa tujuan Permen ini

“melindungi kepentingan umum dari konten internet yang

berpotensi memberikan dampak negatif dan atau

merugikan.”

Ketika masyarakat terlindungi berarti kondisi

bangsa dan Negara menjadi aman. Kegiatan akses

internet menjadi sehat dan nyaman, dan bebas dari hal-

hal negatif yang dapat merusak fisik dan psikis

masyarakat. Ketika masyarakat dalam kondisi sehat

dan aman baik secara fisik maupun psikis, diharapkan

kondisi bangsa dan Negara menjadi aman secara

nasional sehingga “… pemerintahan yang terbentuk

akan dapat melaksanakan tugasnya itu hanya apabila

negara, dalam hal ini situasi dan kondisi nasional,

dalam keadaan aman” (Darmono dkk, 2010: 48).

Dengan demikian, paradigma Permen ini adalah

keamanan nasional. Dalam konteks ini, keamanan

nasional dalam arti:

“… sebagai kondisi atau keadaan, yakni keadaan yang bersifat nasional dan menggam-barkan terbebasnya negara, masyarakat dan

warga negara dari segala bentuk ancaman dan atau tindakan baik yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal” (Darmono dkk, 2010: 50).

Berdasarkan uraian tentang konteks, domain,

dan paradigma Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014,

keberadaan Permen ini sangat strategis dalam posisi

sebagai peraturan yang digunakan untuk melindungi

masyarakat dari dampak negatif konten internet dalam

rangka mencapai keamanan nasional. Dengan demi-

kian, tuntutuan LSM bahwa Permen ini harus dicabut,

perlu dipertimbangkan lagi. Apalagi, pemberlakuan

Permen itu juga belum genap satu tahun. Selain itu,

dalam proses pembuatan kebijakan, ada tahap evaluasi

sehingga kalau dalam tahap implementasi nanti terda-

pat ketidaktepatan, Permen itu dapat dievaluasi. Tujuan

tahap evaluasi menurut James Anderson (dalam

Subarsono, 2012: 12), adalah untuk mengetahui

“Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebija-

kan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa

konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah

tuntutan untuk melakukan perubahan atau pem-

batalan?”. Hal ini juga didukung hasil wawancara

Nur Zaini

133

terstruktur dengan 20 responden yeng terdiri dari

pelajar SLTP, pelajar SLTA, orang tua pelajar, dan guru.

Mereka menyatakan bahwa mereka setuju bahwa situs

internet bermuatan negatif harus diatur.

PENUTUP

Simpulan

Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini

dalam rangka untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Pertama, bagaimana isu kebijakan penanganan situs

internet bermuatan negatif dalam pemberitaan media

online (www.kompas.com dan www.detik.com). Kedua,

bagaimana muatan teks berita dalam perspektif

kebijakan komunikasi. Simpulan ini terkait dengan dua

poin tersebut.

Analisis tentang pemberitaan menggunakan

metode analisis framing sehingga hasilnya menun-

jukkan bingkai media. Bingkai dua media online adalah

hampir sama, yakni awalnya isi teks berita dibingkai ke

masalah hukum, dan kemudian digiring ke masalah

politik. Muatan teks diawali tentang kritik beberapa

LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil

terkait dengan isi Permen sebagai peraturan, diikuti

kritik terhadap peran pemerintah (dalam hal ini

Kemkominfo) yang memiliki wewenang memasukkan

suatu situs internet dalam daftar Trust+Positif, dan

wewenang untuk memblokirnya. Selain itu, Penye-

lenggara Jasa Internet juga diberi wewenang untuk

memblokir situs internet yang masuk dalam daftar

Trust+Positif.

Secara keseluruhan, analisis terkait masalah,

penyebab masalah, nilai moral, dan rekomendasi yang

dimuat dalam teks berita hampir sama. Namun, ada

sedikit perbedaan dalam hal penekanan pada elemen

permasalahan dan rekomendasi yang ditawarkan.

www.kompas.com lebih menekankan permasalahan

pada masalah hukum, sedangkan www.detik.com lebih

menonjolkan masalah politik. Pada elemen rekomen-

dasi, www.kompas.com menawarkan satu rekomendasi

bahwa “Permen No. 19 Tahun 2014 dicabut” dengan

mengutip pendapat salah satu peneliti Lembaga Studi

dan Advokasi Masyarakat, sedangkan www.detik.com

memberikan dua rekomendasi bahwa “menolak Permen

No. 19 Tahun 2014, dan mempersiapkan judicial review

ke Mahkamah Agung” dengan mengutip sikap sejumlah

LSM terhadap diberlakukannya Permen tersebut.

Pembahasan tentang muatan teks media dalam

perspektif kebijakan komunikasi meliputi empat hal

yang masing-masing dapat disimpulkan. Pertama,

sebagai kebijakan komunikasi, Permen ini mengatur

cara-cara berkomunikasi melalui jaringan internet.

Sesuai dengan jenisnya sebagai sebuah permen, Permen

itu mengatur situs internet yang bermuatan negatif.

Dilihat dari tujuannya, secara sosiologis, Permen itu

tidak merugikan masyarakat. Masyarakat justru

diuntungkan karena mereka menjadi terlindungi dari

berbagai macam situs yang bermuatan negatif, yakni

pornografi dan kegiatan illegal lainnya yang berpotensi

berdampak negatif dan atau merugikan.

Nur Zaini

135

Kedua, sebagai sebuah permen, Permen Kominfo

No. 19 Tahun 2014 sudah memenuhi standar karena

memuat hal-hal yang sangat spesifik dan praktis.

Permen ini sangat spesifik karena khusus mengatur

penanganan situs internet bermuatan negatif yang

belum diatur dalam peraturan perundangan lain.

Permen ini dikatakan praktis karena memuat tata cara

pengaduan masyarakat, Kementerian/ Lembaga Peme-

rintah, Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga

Peradilan tentang adanya situs internet yang diduga

bermuatan negatif, tata cara pemasukan situs internet

yang masuk dalam daftar Trust + Positif, pemblokiran

situs internet yang masuk dalam daftar Trust + Positif,

dan normalisasi situs internet yang masuk dalam daftar

Trust + Positif.

Ketiga, bunyi UU No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM, Pasal 8 bahwa “Perlindungan, pemajuan, pene-

gakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama

menjadi tanggung jawab pemerintah”. Dengan demikian,

Pemerintah yang dalam hal ini Kemkominfo, membuat

Permen No. 19 Tahun 2014 dalam rangka perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia dalam konteks yang luas, yakni bangsa

Indonesia. Untuk itu, anggapan bahwa pemberlakuan

Permen sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, justru

tidak sesuai dengan Pasal 8, UU No. 39 Tahun 1999

tentang HAM tersebut.

Keempat, konteks Permen Kominfo No. 19 Tahun

2014 adalah politik-hukum. Domain Permen ini adalah

perlindungan masyarakat. Paradigma Permen ini adalah

keamanan nasional. Berdasarkan uraian tentang

konteks, domain, dan paradigma Permen Kominfo No.

19 Tahun 2014, keberadaan Permen ini sangat strategis

dalam posisi sebagai peraturan yang digunakan untuk

melindungi masyarakat dari dampak negatif konten

internet dalam rangka mencapai kemanan nasional.

Terkait dengan penelitian sebelumnya, penelitian

ini tidak hanya membahas tentang pemberitaaan media

online, melainkan juga membahas tentang muatan teks

berita dalam perspektif kebijakan komunikasi. Selain

itu, pembahasan juga dikaitkan dengan peraturan

perundangan lain yang bersinggungan dengan Permen

ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman

komprehensif terkait isi Permen Kominfo No. 19 Tahun

2014 yang menuai banyak kritik dari beberapa LSM.

Saran

Hasil pembahasan muatan teks berita dalam

media online menunjukkan bahwa Permen Kominfo No.

19 Tahun 2014 sudah memenuhi standar sebagai

sebuah kebijakan komunikasi karena memuat hal-hal

yang sangat spesifik dan praktis. Namun, Kemkominfo

(dalam hal ini Ditjen APTIKA), perlu mempertimbangkan

kritik dan masukan dari sejumlah LSM. Pertama,

pengertian pornografi dan kegiatan illegal harus diper-

jelas agar tidak menimbulkan multi tafsir di kalangan

masyarakat. Kedua, pemberian wewenang Penyeleng-

gara Jasa Internet (PJI) untuk melakukan pemblokiran

perlu ditinjau ulang karena PJI bukan melakukan

filtering, tetapi mengoreksi. Ketiga, perlunya tata kelola

internet yang transparan, akuntanbel dan professional

dengan dialog dan pelibatan aktif pemangku kepen-

tingan majemuk (multi-stakeholder), dalam hal ini

Nur Zaini

137

pemerintah, masyarakat sipil, sektor bisnis/swasta,

akademis dan komunitas teknis.

Referensi

Abrar, Ana Nadhya. 2008. Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat dan Praktek. Yogyakarta: Gava Media.

Barus, Sedia Wiiling. 2010. Jurnalistik, Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Darmono dkk. 2010. Keamanan Nasional, Sebuah Kon-sep dan Sistem Keamanan Bagi Bangsa Indo-nesia. Diakses pada 3 Nopember 2014. http://www.dkn.go.id/site/images/publikasi/Kamnas_wantannas.pdf.

Eriyanto. 2008. Analisis Framing: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis.

Karman. “Media Massa dan Konstruksi Realita (Analisis Framing Terhadap Pemberitaaan SKB Menteri Tentang Ahmadiyah di Indonesia pada Surat Ka-bar Harian Suara Pembaharuan dan Republika)”. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 17, No.2 (2013): 173-186. Jakarta: BPPKI Jakarta.

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media. Diterjemahkan oleh Tjun Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Santosa, Didik Haryadi. “Media dan Bingkai Berita: Analisis Framing Kompas Online dan Republika Online dalam Meliput Berita Kedatangan Lady Gaga”. Channel, Vol. 1, No. 2 (2013): 103-110.

Diakses pada 18 September 2014. http://fsastra. uad.ac.id/ download/44/.

Severin, Werner J. dan James W. Tankard. 2011. Teori Komunikasi. Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Dialihbahasakan oleh Sugeng Hariyanto. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Peng-antar Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. Subarsono. 2012. Analisis Kebijakan Publik: Konsep,

Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwito dkk. “Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan

Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek2011 di Metro TV)”. Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanegara, Tahun III/2 (2011): 15-27. Diak-ses pada 18 September 2014. http://journal. tarumanagara.ac.id/ index.php/ FIKOM/ article/ viewFile/1145/1239.

Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang

Telekomunikasi. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (HAM). Sumber Internet: http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3881/

Kemkominfo+dan+Polri+Minta+Seluruh+Penyelenggara+ISP+Serius+Blokir+Konten+Negatif/0/beri-ta _satker, diakses pada 7 Agustus 2014.

http://www. hukumpedia. com/ ham/ hentikan-pembahasan-rancangan-permen-kominfo-tentang

Nur Zaini

139

-penanganan-konten-negatif-hk53638d56a418a. html, diakses pada 7 Agustus 2014.

http://teknologi.kompasiana.com/internet/2014/03/06/dukung-rpm-kemkominfo-mengenai-penangan an-situs-internet-bermuatan-negatif-636701.Ht m l, diakses pada 15 Agustus 2014.

http://nasional.news.viva.co.id/ news/ read/ 527678-aliansi-masyarakat-sipil- tolak- permen-kominfo, diakses pada 11 Agustus 2014.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/527694-efe k -permen-kominfo-situs-edukasi-ibu-menyusui-diblokir, diakses pada 11 Agustus 2014.

http://inet.detik.com/read/2014/08/11/082737/2658189/399/dpr-minta-permen-situs-negatif-dica-but), diakses pada 11 Agustus 2014.

http://inet.detik.com/read/2014/08/08/174519/2657 239/399/permen-konten-negatif-langsung-dian-cam-judicial-review, diakses pada 11 Agustus 2014.

http://tekno.kompas.com/read/2014/08/08/1426022/Resmi.Ini.Isi.Peraturan.Blokir.Konten.Negatif, diakses pada 29 Agustus 2014.

http://nasional.kompas.com/read/2014/08/11/15420961/Masyarakat.Tolak.Peraturan.Menkominfo.tentang.Blokir.Situs, diakses pada 29 Agustus 2014.

http://tekno.kompas.com/read/2014/08/08/17114897/Peraturan.Blokir.Internet.Disebut.Melanggar.HAM, diakses pada 29 Agustus 2014.

http://inet.detik.com/read/2014/08/11/162447/2658940/399/ini-penjelasan-kominfo-soal-kisruh-per-men-situs-negatif, Diakses pada 29 Agustus 2014.

http://inet.detik.com/read/2014/08/10/171517/2658040/399/ini-alasan-peraturan-sensor-internet-perlu-ditolak, diakses pada 29 Agustus 2014.

http://inet.detik.com/read/2014/08/08/174519/2657239/399/permen-konten-negatif-langsung-diancam-judicial-review, diakses pada 29 Agustus 2014.

Ucapan Terimakasih

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan

penulis dan didukung dana dari Balai Pengkajian dan

Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI)

Yogyakarta. Untuk itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada segenap pimpinan BPPKI Yogyakarta.

Nur Zaini

141