INFO KOMODITI FURNITUR

125
i INFO KOMODITI FURNITUR

Transcript of INFO KOMODITI FURNITUR

i

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

INFO KOMODITIFURNITUR

ii

Niki Barenda Sari

SANKSI PELANGGARAN

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 20021. Barang siapa dengan segaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

iii

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

INFO KOMODITI

EDITOR:

Zamroni Salim, Ph.D

Ernawati Munadi, Ph.D

FURNITUR

iv

Niki Barenda Sari

Judul:Info Komoditi Furnitur

Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D

Copyright © 2017Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Hak Cipta dilindungi Undang-UndangAll rights reserved

Diterbitkan olehBadan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Diterbitkan pertama: September 2017Desain Cover: Piter Prihutomo

x, 115 hlm, 16,5 x 25 cm

Pengarah:Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Penanggung Jawab:Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Redaksi Pelaksana:1. Puspita Dewi, SH, MBA2. Maulida Lestari, SE, ME3. Reni K. Arianti, SP, MM4. Primakrisna T, SIP, MBA5. Dwi Yulianto, S.Kom

v

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Bunga Rampai Info Komoditas Furnitur merupakan satu dari serial Bunga Rampai

Info Komoditi (BRIK) terbitan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

(BPPP). Serial Bunga Rampai ini berisi kompilasi singkat data statistik dan analisis

terkait dengan produksi, konsumsi, perdagangan dalam negeri, perdagangan luar

negeri serta peluang dan tantangan pengembangan komoditas tertentu. Dalam

setiap topik yang dibahas tersebut juga disertakan pembahasan secara detil terkait

dengan kebijakan dan isu-isu utama yang dihadapi. Buku ini dibuat dengan harapan

bisa dijadikan sebagai bahan referensi yang mampu memberikan pemahaman yang

komprehensif dari sebuah komoditas. Pemahaman yang komprehensif ini bukan saja

sangat penting bagi sebuah proses pengambilan keputusan kebijakan perdagangan

yang efektif, namun juga bagi pengembangan dan pemahaman dalam rangka

meningkatkan daya saing Indonesia.

Terkait dengan komoditas furnitur, pemahaman yang sangat mendalam terkait

dengan kondisi produksi dan konsumsi furnitur di Indonesia beserta permasalahan-

permasalahan yang dihadapi sangat diperlukan. Pemahaman ini sangat krusial,

khususnya bagi pengambil kebijakan dan masyarakat secara umum dalam menyikapi

pengembangan sektor furnitur di Indonesia. Menarik untuk dicermati misalnya,

Indonesia yang memiliki potensi kekayaan alam untuk produksi furnitur, ternyata baru

mampu berkontribusi sebesar 1% dari total produksi dunia. Angka ini tentu saja sangat

jauh tertinggal dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang nilainya mencapai

41% dari total produksi dunia pada tahun 2015. Peluang di pasar dalam negeri yang

besarpun belum mampu sepenuhnya dimanfaatkan oleh industri furnitur dalam negeri,

sehingga 45% kebutuhan domestik masih mengandalkan pada furnitur impor. Apalagi

saat ini sebagai negara eksportir furnitur, posisi Indonesia semakin jauh dari eksportir

utama. Hal itu karena peringkat Indonesia pada tahun 2015 hanya berada diurutan ke

25, dari sebelumnya urutan ke 5 pada tahun 2000. Peringkat ini jauh di bawah Vietnam

(ke-8) dan Malaysia (ke-17).

Pemahaman yang komprehensif terkait dengan kondisi perdagangan furnitur baik di

pasar dalam negeri maupun pasar internasional serta pemahaman prospek di masa yang

akan datang juga sangat berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan

daya saing furnitur Indonesia di pasar global. Dengan pemahaman yang komprehensif

terkait aspek-aspek tersebut, yang secara mendalam dibahas dalam Bunga Rampai ini,

diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu menciptakan iklim usaha

yang kondusif bagi semua stakeholders yang terlibat dalam industri furnitur di Indonesia

serta tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu.

KATA PENGANTAR

vi

Niki Barenda Sari

Oleh karena itu, Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur ini diharapkan mampu

memainkan peran penting dalam membantu peneliti, analis kebijakan dan pihak-pihak

lain yang berkepentingan. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan analisis serta

kebijakan yang dibuat menjadi lebih efektif dan bernilai strategis. Kebijakan tersebut

selanjutnya dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif sehingga

menguntungkan konsumen dan produsen Indonesia. Kami tentu berharap bahwa

pembaca akan mendapatkan manfaat dari buku ini dan kami juga menyambut setiap

komentar dan saran agar buku ini lebih informatif dan berguna.

Jakarta, September 2017 Editor

vii

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................vDaftar Isi .....................................................................................................viiDaftar Gambar ........................................................................................... viiiDaftar Tabel ................................................................................................ix

BAB I FURNITUR, PRODUK BERDAYA SAING YANG BUTUH PERHATIANErnawati Munadi ......................................................................................... 1

BAB II PRODUKSI FURNITUR INDONESIARiska Pujiati ................................................................................................ 7

BAB III KONSUMSI FURNITURFitri Tri Budiarti ......................................................................................... 37

BAB IV PERDAGANGAN FURNITUR DI DALAM NEGERIDian Dwi Laksani ...................................................................................... 53

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI FURNITURSelfi Menanti ............................................................................................. 67

BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN PRODUK FURNITUR INDONESIANiki Barenda Sari ...................................................................................... 86

BAB VII INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN PRODUK FURNITUR INDONESIAZamroni Salim ...................................................................................... 105

Indeks ......................................................................................................111

Biografi Singkat Penulis ...........................................................................113

viii

Niki Barenda Sari

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2009 ......................................9Gambar 2.2 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2015 ......................................9Gambar 2.3 Kinerja Industri Furnitur Kayu, 2010-2014 ...............................................12Gambar 2.4 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Rotan .................................14Gambar 2.5 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Bambu ...............................15Gambar 2.6 Kinerja Industri Furnitur Rotan dan Bambu, 2010-2014 ......................... 16Gambar 2.7 Kinerja Industri Furnitur Logam, 2010-2014 ............................................17Gambar 2.8 Kinerja Industri Furnitur Plastik, 2010-2014 ............................................17Gambar 2.9 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Kayu ..................................18Gambar 2.10 Zona Industri Furnitur dan Kerajinan Indonesia ......................................22Gambar 3.1 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Berdasarkan Kawasan ....................... 39Gambar 3.2 Proyeksi Konsumsi Furnitur, 2017 .......................................................... 40Gambar 3.3 Konsumsi per Kapita pada Negara Berpendapatan Rendah/ Menengah ................................................................................................40Gambar 3.4 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia .................................................... 42Gambar 3.5 Belanja Furnitur Konsumen Indonesia (USD Ribu) .................................43Gambar 3.6 Peran Logistik dalam Rantai Nilai Furnitur ............................................. 45Gambar 3.7 Garis Besar Rantai Nilai Furnitur .............................................................46Gambar 4.1 Supply Chain Industri Furnitur Kayu Keras di Indonesia ........................ 56Gambar 4.2 Top Brand Index Pangsa Pasar Furnitur Knock-Down ........................... 57Gambar 5.1 Kinerja Ekspor-Impor Furnitur, 2007-2016 ............................................. 68Gambar 5.2 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk ........................... 69Gambar 5.3 Impor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk ..............................69Gambar 5.4 Ekspor Furnitur Berdasarkan Bahan Baku ..............................................70Gambar 5.5 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2015 ............... 71Gambar 5.6 Ekspor Furnitur Indonesia ke Negara-Negara ASEAN ............................72Gambar 5.7 Impor Furnitur Negara-Negara ASEAN ke Indonesia ............................. 73Gambar 5.8 Negara Eksportir Furnitur Dunia, 2015 ................................................... 74Gambar 5.9 Negara Importir Furnitur Dunia, 2015 ..................................................... 75Gambar 5.10 Negara Tujuan Ekspor Furnitur Indonesia, 2015 .................................... 76Gambar 6.1 Rekapitulasi Proyeksi Pertumbuhan Industri Mebel dan Kerajinan ......................................................................................... 88Gambar 6.2 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah Indonesia .................................................................................. 95Gambar 6.3 Perkembangan Top Brand Index (TBI) Produk Furnitur Knock-Down .......................................................................................... 96Gambar 6.4 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Dunia Berdasarkan Segmen ................................................................................................ 100Gambar 6.5 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah di Beberapa Negara ................................................................. 101

ix

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Pertumbuhan Furnitur Dunia di Negara Maju dan Berkembang, Kuartal I dan II Tahun 2016 .......................................................8Tabel 2.2 Peraturan Tentang SVLK ............................................................................. 25Tabel 2.3 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Industri Furnitur .......................32Tabel 3.1 Konsumsi Furnitur Dunia, 2003-2012 .......................................................... 38Tabel 3.2 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Dunia, 2003-2012 .................................... 38Tabel 3.3 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia Berdasarkan Letak Geografis. ..........42Tabel 3.4 Distribusi Nilai Tambah dalam setiap Tahapan Rantai Nilai ..........................48Tabel 4.1 Perkembangan Top Brand Index Produk Furnitur Knock-Down, 2006-2015 .................................................................................................. 58Tabel 4.2 Struktur Pasar Industri Furnitur di Kabupaten Jepara ...................................59Tabel 4.3 Kontribusi Sektor Industri Terhadap PDB Tahun 2015 atas Tahun Dasar 2010 ........................................................................................ 62Tabel 5.1 Ekspor Furnitur Indonesia, 2011-2016 (Kg) .................................................. 76Tabel 5.2 Produk Furnitur Indonesia yang Berdaya Saing di Dunia, 2013-2015 ................................................................................................... 77Tabel 5.3 Daya Saing Produk Furnitur RRT di Dunia ...................................................79

x

Niki Barenda Sari

Foto: Piter (2010)

Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

1

Ernawati Munadi

Furnitur merupakan salah satu komoditas strategis bagi ekonomi Indonesia. Beberapa kriteria yang menjadikan furnitur sebagai komoditas strategis karena furnitur merupakan produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. Produk furnitur Indonesia berdaya saing karena tidak saja Indonesia memiliki sumber bahan baku alami yang melimpah dan berkelanjutan, namun juga didukung oleh keragaman corak dan desain yang berciri khas lokal serta ditunjang oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup kompeten. Melimpahnya bahan baku yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi keunggulan yang tak dimiliki negeri lain, berupa kayu, rotan maupun bambu. Tingginya daya saing furnitur Indonesia juga karena desain yang unik serta bahan baku yang khas seperti rotan, bambu, dan kayu jati dibandingkan furnitur yang diproduksi oleh negara lain.

1.1 Nilai Strategis FurniturSalah satu nilai strategis komoditas furnitur karena industri furnitur

merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Di Kabupaten Indramayu misalnya, industri furnitur yang mencapai 300 unit usaha di tahun 2014, menyerap 1.203 tenaga kerja dan menyumbang kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah di urutan ke-2 terbesar setelah sektor pertambangan. Di Jawa Tengah, 374 perusahaan yang bergerak di bidang furnitur mampu menyerap 46.786 tenaga kerja. Jepara yang merupakan sentra produksi furnitur berbahan baku kayu mampu memproduksi 3,9 juta furnitur dengan nilai produksi sebesar Rp 1,9 miliar, dengan melibatkan 5.471 unit usaha dan 223 eksportir dengan total tenaga kerja yang terserap sebesar 72 ribu tenaga kerja (AMKRI, 2015).

Secara nasional industri furnitur di Indonesia mampu menyerap tenaga kerja sebesar 500 ribu tenaga kerja langsung dan 2,5 juta tenaga kerja tidak langsung atau sebesar 19,6% dari total tenaga kerja sektor industri yang berkontribusi sebesar 13,3% tenaga kerja nasional atau mencapai 15,3 juta orang. Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) memperkirakan bahwa setiap pertumbuhan ekspor furnitur sebesar USD 1 miliar dapat menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja (AMKRI, 2015). Namun sayangnya, jika dilihat dari kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB IFURNITUR, PRODUK BERDAYA SAING YANG

BUTUH PERHATIAN

Ernawati Munadi

2

industri, kontribusi industri furnitur dari tahun 2012-2015 hanya mampu menyumbangkan sebesar 0,26% di tahun 2012 meningkat menjadi 0,27% di tahun 2015 (Kementerian Perindustrian, 2015).

Di Indonesia, industri furnitur yang mengolah bahan baku berupa kayu, rotan, atau bahan baku lainnya untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang lebih tinggi terdapat hampir di seluruh propinsi. Namun demikian, konsentrasi produsen furnitur terbanyak ada di daerah Jepara, Klaten, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, dan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) (AMKRI, 2015).

1.2 Peran Furnitur Indonesia di Pasar Dunia Masih KecilBerdasarkan pada bahan bakunya, furnitur dapat terbuat dari kayu, logam,

plastik, rotan dan bahan baku lainnya. Produksi furnitur kayu mencapai 80% dari total seluruh produksi, sedangkan furnitur yang berbahan baku rotan dan bambu berkontribusi sebanyak 11%, furnitur logam mencapai 8% dan furnitur plastik hanya mencapai 2% dari keseluruhan produksi furnitur Indonesia (Kementerian Perindustrian, 2011).

Potensi industri furnitur yang dimiliki Indonesia belum dieksploitasi secara maksimal seperti yang tergambar dalam perdagangan furnitur dunia. Peran Indonesia sebagai negara penghasil furnitur di dunia masih sangat minim dengan kontribusi kurang dari 1% terhadap pasar global industri furnitur yang mencapai USD 440 miliar untuk tahun 2013. Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara penghasil furnitur lainnya seperti Brazil, Vietnam dan Polandia yang masing-masing mencapai 2%-nya, apalagi Tiongkok yang mampu menyumbang 31% produksi mebel dunia di tahun 2011 (Bisnis.liputan 6.com, 2014).

Dalam pasar furnitur dunia, kawasan Asia Pasifik merupakan produsen furnitur terbesar dengan kontribusi yang mencapai 55%, diikuti oleh Amerika (26%), dan Eropa (14%). Sisanya sebesar 5% di produksi di kawasan lain (CSIL, 2016). Di Kawasan Asia Pasifik, produsen furnitur di dominasi oleh negara-negara seperti Tiongkok, Malaysia, India, Thailand dan Indonesia. Kelima negara tersebut juga merupakan produsen furnitur terbesar di dunia, namun dengan dominasi yang sangat besar dari Tiongkok yang mencapai 41% dari total produksi dunia. Data World Integrated Trade Solution (2017) menunjukkan bahwa perdagangan internasional furnitur berbahan baku kayu memiliki kontribusi yang dominan dibandingkan furnitur berbahan baku lain hingga mencapai 71%. Sementara itu, kontribusi furnitur logam sebesar 22%, furnitur plastik hanya 3%, dan sisanya sebanyak 4% merupakan perdagangan furnitur berbahan baku lainnya. Bukan hanya kurang mampu berkiprah di

Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

3

pasar Internasional, di pasar dalam negeripun ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh produksi dalam negeri. Permintaan furnitur Indonesia yang saat ini mencapai Rp 10 triliun per tahun, hanya 55%-nya yang mampu dipenuhi oleh furnitur produk dalam negeri. Sisanya sebanyak 45% masih dikuasai produk impor setara dengan Rp 4,5 triliun–Rp 5 triliun, bahkan disinyalir pada tahun 2016 pangsa pasar asing naik menjadi 55% dengan nilai impor menjadi Rp 5,5 triliun – Rp 6 triliun (Industri Bisnis, 2015).

Sangat ironis memang melihat perkembangan industri furnitur Indonesia. Pada tahun 2000 Indonesia merupakan negara eksportir terbesar ke-5 di dunia, menurun pada urutan ke 18 pada tahun 2013 dan bahkan hanya berada pada urutan ke 25 pada tahun 2015 dengan total nilai ekspor yang mencapai USD 1,81 miliar dari total ekspor furnitur dunia yang mencapai USD 240 milliar. Peringkat Indonesia sebagai negara eksportir ini jauh di bawah peringkat Vietnam yang berada di posisi ke-8 dan Malaysia di posisi ke-17. Nilai ekspor furnitur Indonesia ini berada di urutan ke-21 produk ekspor Indonesia, lebih rendah dari tahun sebelumnya dengan ekspor sebesar USD 1,9 miliar (CSIL, 2016). Ekspor furnitur Indonesia ini masih didominasi oleh furnitur berbahan baku kayu yang nilai ekspornya mencapai USD 1,2 miliar, furnitur berbahan baku rotan USD 262,5 juta, furnitur bambu sebesar USD 1,8 juta, furnitur berbahan baku metal USD 43,7 juta, furnitur berbahan baku plastik USD 49,7 juta dan produk furnitur berbahan baku lainnya mencapai USD 311 juta (Koran tempo, 2017).

Eksportir terbesar furnitur di dunia saat ini adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di peringkat pertama dengan nilai ekspor sebesar 55% atau senilai USD 98,73 miliar dan Jerman berada pada urutan ke dua dengan pangsa pasar sebesar 9% atau senilai USD 16,29 miliar. Negara-negara yang juga merupakan eksportir terbesar furnitur setelah RRT dan Jerman adalah Italia dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 7% atau senilai USD 12,81 miliar dan USD 11,55 miliar, Polandia dan Meksiko 6% dengan nilai masing-masing USD 10,91 miliar, dan USD 9,90 miliar, Vietnam dan Kanada masing-masing sebesar 3% dengan nilai USD 5,48 miliar, dan USD 5,27 miliar, serta Republik Ceko dan Belanda masing-masing sebesar 2% atau senilai USD 4,26 miliar dan USD 4,30 miliar (Trademap, 2016).

1.3 Peluang yang Belum TermanfaatkanMasih banyak potensi lain yang harus benar-benar digarap secara

serius oleh Indonesia yang secara alami sudah berdaya saing dalam industri furnitur, pasar dalam negeri yang terus mengalami peningkatan merupakan salah satunya. Data menunjukkan bahwa permintaan akan produk furnitur di

Ernawati Munadi

4

dalam negeri terus mengalami peningkatan terutama karena berkembangnya perumahan dan properti, berkembangnya pasar untuk perusahaan, lembaga-lembaga pemerintahan, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Badan Usaha Miilik Daerah (BUMD) yang jumlahnya mencapai ratusan. Terkait dengan pasar dalam negeri sendiri masih tersedia 45% yang saat ini diisi oleh produk impor. Pertumbuhan impor untuk produk furnitur di Indonesia bisa mencapai 10%-15% per tahun sehingga jika terus dibiarkan pasar dalam negeri bisa diambil oleh produk impor. Impor furnitur Indonesia didominasi oleh RRT yang mampu tumbuh hingga 17% pada periode 2011-2014, meskipun mengalami penurunan tahun 2015 sebesar 4% (Trademap, 2016).

Belum lagi pasar furnitur di pasar internasional yang diperkirakan juga terus tumbuh dengan pertumbuhan yang diprediksi moderat 4% hingga akhir tahun 2020. Namun mengingat pangsa pasar Indonesia yang masih sangat rendah dan pertumbuhan pasar internasional yang terus meningkat, maka perlu diimbangi dengan target pertumbuhan ekspor yang harus cukup signifikan untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Apalagi dengan perubahan pola perilaku belanja konsumen yang cenderung meningkat melalui pembelian secara online, dimana pada tahun 2016 saja, furnitur dan perlengkapan rumah memiliki kontribusi sebesar USD 199 juta dari total USD 1.179 juta dan diprediksi meningkat menjadi USD 342,8 juta pada tahun 2021. Prediksi pertumbuhan permintaan furnitur secara online diperkirakan mampu berkontribusi 11,5% per tahun terhadap total pertumbuhan e-commerce sebesar 12,3% per tahun (Statista, 2016).

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri banyaknya kendala yang dihadapi oleh industri furnitur di Indonesia. Salah satu faktor disinyalir justru merupakan penghambat bagi perkembangan industri furnitur dalam negeri adalah regulasi pemerintah yang dirasa bukan hanya menghambat masuknya investasi, namun juga ekspor furnitur. Tingginya biaya logistik di Indonesia yang diperkirakan mencapai 25% terhadap total PDB juga menjadi salah satu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Tingginya biaya bunga bank yang mencapai 12% jauh diatas Malaysia yang hanya 4% dan Thailand 7% juga disinyalir menjadi salah satu kendala masuknya investasi di Indonesia termasuk industri furnitur (Kementerian Perdagangan, 2015). Ketergantungan impor bahan penunjang produksi furnitur juga merupakan kendala lain dalam pengembangan industri furnitur yang pada akhirnya menyebabkan industri ini tidak mampu bersaing dengan negara lain khususnya RRT. Tidak tersedianya bahan baku penunjang ini bukan hanya membuat pengusaha harus mengimpor, namun juga harus mengimpornya dalam jumlah banyak mengingat untuk imporpun perlu waktu yang cukup lama sehingga pada saat diperlukan bahan baku penunjang

Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

5

tersebut tersedia. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan saya saing furnitur Indonesia.

Terkait dengan kebijakan pemerintah, saat ini kebijakan wajib Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dirasa sangat menyulitkan bagi sebagian pengusaha furnitur. Hal itu karena bukan hanya biaya untuk mendapatkan sertifikat bagi pengusaha yang sebagian pengusaha kecil terasa besar, namun juga syarat mengurus dokumen tersebut rumit. Kebijakan ini bahkan dianggap kontraproduktif untuk mendorong ekspor. Apalagi melihat kenyataan bahwa tidak ada negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia yang mewajibkan SVLK. Kebijakan SVLK yang diterapkan bukan hanya di hulu, namun juga di hilir industri furnitur dirasa tidak tepat sasaran. Banyak negara lain yang juga tidak menerapkan kebijakan SVLK justru nilai ekspornya tumbuh jauh di atas Indonesia. Uni Eropa dan Australia tidak mewajibkan SVLK sebagai satu-satunya syarat wajib produk kayu masuk ke wilayahnya. Upaya untuk menciptakaan ilkim usaha yang kondusif dengan menghilangkan regulasi yang bersifat menghambat dan menciptakan regulasi yang mendorong pertumbuhan industri perlu dipikirkan.

Beberapa poin penting tersebut adalah gambaran singkat tentang furnitur yang dibahas dalam Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur. Berbagai poin penting tersebut selanjutnya dibahas secara lebih mendalam dalam setiap bab mulai dari Bab II hingga Bab VI. Pembahasan pada Bab II difokuskan pada pembahasan terkait dengan produksi furnitur beserta kendala yang dihadapi. Bab III membahas tentang konsumsi furnitur dan dilanjutkan dengan Bab IV yang secara mendalam membahas tentang perdagangan dalam negeri furnitur. Bab V mendiskusikan tentang perdagangan luar negeri furnitur bukan hanya dari sisi Indonesia, namun juga yang terjadi secara umum dalam perdagangan furnitur dunia. Peluang dan Tantangan pengembangan furnitur kemudian dibahas di Bab VI dan diakhiri dengan bagian penutup di Bab VII yang merangkai bab-bab sebelumnya. Buku ini disajikan dengan harapan semoga tulisan ini dapat memberikan masukan kepada berbagai stakeholder furnitur di Indonesia dan menambah wawasan pembaca tentang furnitur.

DAFTAR PUSTAKAAsosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). (2015). Roadmap Industri

Mebel dan Kerajinan Indonesia “Target Pencapaian Ekspor 5 Milyar USD”. Jakarta.

Ernawati Munadi

6

Bisnis.liputan 6.com (2014). RI Ingin Kuasai 5% Pasar Mebel Dunia dalam 10 Tahun. Diunduh tanggal 10 Mei 2017 melalui http://bisnis.liputan6.com/read/2106415/ri-ingin-kuasai-5-pasar-mebel-dunia-dalam-10-tahun.

Centre for Industrial Studies (CSIL). (2016). World Furniture Market. Diunduh dari https://www.iffs.com.sg/industry-news/current-status-asias-fur-niture-production-markets/.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2011). Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.kemenperin.go.id/index.php/ download/category/1-p?download=2% 3Ap.

Industri Bisnis. (2015, 19 Januari). Omzet Pasar Furnitur & Kerajinan Dalam Negeri Rp 10 Triliun Per Tahun. Diunduh tanggal 21 September 2016 dari http://industri.bisnis.com.

Kementerian Perdagangan (2015). Kajian Pengembangan Jasa Pergudan-gan di Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. Badan Pengembangan Kebijakan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan. Kementerian Perdagangan.

Kementerian Perindustrian (2015). Laporan Kinerja Kementerian Perindustri-an. Biro Perencanaan, Kementerian Perindustrian.

Koran Tempo (2017, 6 April). HIMKI dan Kemenperin Cari Solusi Industri Meb-el. Diunduh tanggal 20 Mei 2017 dari https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/ 04/06/090863081/himki-dan-kemenperin-cari-solusi-in-dustri-mebel.

Sobur, Ahmad. (2016). Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, Jakarta.

Statista (2016). E-commerce: Furnitur & Appliances. Statista Digital Market Outlook.

Trademap. (2016). Trade statistics for international business development. Diunduh tanggal 7 September 2016 dari http://http://www.trademap.org/Index.aspx.

Produksi Furnitur Indonesia

7

BAB IIPRODUKSI FURNITUR INDONESIA

Riska Pujiati

2.1 PendahuluanFurnitur merupakan terminologi yang dipakai untuk perabotan rumah

tangga yang berfungsi untuk menyimpan barang, sebagai tempat duduk, tempat tidur, tempat untuk menulis sesuatu berupa meja atau tempat meletakkan sesuatu di atasnya. Sebagai contoh, furnitur yang berfungsi untuk menyimpan pada umumnya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, seperti lemari buku, lemari pakaian, dll. Furnitur biasanya memiliki tekstur dan warna yang indah yang disebabkan oleh proses akhir yang halus (Bank Indonesia, 2008a).

Industri furnitur merupakan industri yang mencakup pengolahan bahan baku berupa kayu, rotan, atau bahan baku lainnya yang diproses untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang lebih tinggi menjadi produk barang jadi furnitur (AMKRI, 2015). Indonesia merupakan salah satu produsen utama furnitur dunia yang memiliki potensi bahan baku yang besar dan bervariasi

Produk furnitur Indonesia dikenal memiliki daya saing yang cukup tinggi di pasar internasional. Daya saing tersebut berupa desain yang unik dan produk furnitur dengan bahan baku yang khas seperti rotan, bambu, dan kayu jati dibandingkan furnitur yang diproduksi oleh negara lain. Daerah produksi furnitur terdapat hampir di seluruh propinsi, dengan konsentrasi produsen yang cukup tinggi terletak di daerah Jepara, Klaten, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, dan Jabodetabek (AMKRI,2015).

Tulisan dalam bab ini akan membahas gambaran umum produksi furnitur dunia dan gambaran produksi furnitur Indonesia seperti jenis furnitur berdasarkan bahan baku, rantai nilai dan produksi furnitur kayu, daerah sentra industri furnitur, kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam mengembangkan industri furnitur Indonesia, dan kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap produksi furnitur Indonesia.

2.2 Gambaran Umum Produksi Furnitur Dunia Pertumbuhan output produksi furnitur dunia pada kuartal II tahun

2016 mengalami peningkatan sebesar 2,6% bagi negara berkembang dan 1,5% bagi negara maju bila dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Bagi negara berkembang, angka ini menurun sebesar 0,8%,

Riska Pujiati

8

namun meningkat tajam bagi kelompok negara maju yaitu sebesar 2,6% (UNIDO, 2016). Tabel 2.1 berikut ini menggambarkan pertumbuhan industri furnitur dunia dibandingkan dengan total industri.

Tabel 2.1 Perbandingan Pertumbuhan Furnitur Dunia di Negara Maju dan Berkembang, Kuartal I dan II Tahun 2016

Sektor Kuartal II 2016 Kuartal I 2016

Negara Negara Maju Negara Negara Maju Berkembang (%) (%) Berkembang (%) (%)

Furnitur 2,6 1,5 3,4 -1,1

Semua Sektor 4,9 0,2 4,8 0,1

Sumber: UNIDO (2016)

Nilai produksi furnitur dunia pada tahun 2015 mencapai USD 406 miliar, tumbuh sebesar 16% dari USD 350 miliar pada tahun 2009 (CSIL, 2009). Saat ini negara yang memiliki kontribusi terbesar dalam produksi furnitur yaitu Tiongkok yang mencapai USD 166 miliar (41%), dimana pada tahun 2009, kontribusi Tiongkok baru mencapai 20% atau sebesar USD 70 miliar. Produksi furnitur Tiongkok telah tumbuh sebesar 137% selama periode tahun 2009-2015. Selain Tiongkok, tercatat juga produksi furnitur Amerika Serikat sebesar USD 49 miliar (12%), Jerman (5%), Italia (4%), India (4%), Polandia (3%), Jepan (2%), Kanada (2%), Korea Selatan (2%), dan proporsi negara lain mencapai 21%. Indonesia sendiri berkontribusi terhadap produksi furnitur dunia sebesar USD 2 miliar (2%) (CSIL,2017).

Saat ini telah terjadi pergeseran pusat produksi furnitur dunia. Berdasarkan data dari CSIL (2016), kontribusi kawasan Asia Pasifik dalam produksi furnitur dunia mencapai 55%, disusul oleh kawasan Eropa (14%), Amerika (26%), dan kawasan lain mencapai 5%. Pusat produksi furnitur telah bergeser ke negara-negara berkembang (emerging countries) termasuk Indonesia. Kondisi ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan tahun 2009, dimana proporsi negara maju dalam produksi furnitur dunia mencapai 61% (CSIL, 2009). Berikut ini adalah gambaran proporsi negara produsen furnitur dunia pada tahun 2009 dan 2015 (Gambar 2.1 dan 2.2).

Produksi Furnitur Indonesia

9

Gambar 2.1 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2009.Sumber: CSIL (2009)

Gambar 2.2 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2015.Sumber: CSIL (2017)

2.3 Jenis Furnitur berdasarkan Bahan BakuBerdasarkan bahan baku yang digunakan, jenis furnitur yang diproduksi

di Indonesia dapat dibedakan menjadi furnitur kayu dan kayu olahan, furnitur rotan dan bambu, dan furnitur dari bahan lainnya. Berdasarkan data dari

Riska Pujiati

10

Kementerian Perindustrian (2017), produksi furnitur kayu tahun 2014 mencapai 80% dari total seluruh produksi, sedangkan furnitur yang berbahan baku rotan dan bambu mencapai 11%, furnitur logam mencapai 7% dan furnitur plastik hanya mencapai 2% dari keseluruhan produksi furnitur Indonesia. Sub bab ini akan membahas produksi furnitur terhadap tiga komponen utama yaitu kayu dan kayu olahan, rotan dan bambu, dan bahan lainnya (logam dan plastik).

2.3.1 Furnitur Kayu dan Kayu Olahan Furnitur yang berbahan dasar kayu menjadi mayoritas furnitur yang

diproduksi di Indonesia dan memiliki nilai produksi tertinggi dibandingkan bahan lain. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi produksi kayu tropis yang sangat besar, dengan produksi kayu bulat mencapai 29,4 juta m3 pada tahun 2015. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis seluas 126,09 juta hektar, dengan alokasi hutan produksi mencapai + 68,99 juta Ha. Hutan produksi tersebut terbagi menjadi Hutan Produksi Terbatas seluas 26,8 Ha, Hutan Produksi Tetap seluas 29,25 juta Ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 12,94 juta Ha (KLHK, 2015). Untuk memenuhi kebutuhan industri furnitur, bahan baku kayu berasal dari berbagai sumber, yaitu Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) sebesar 0.85 juta Ha dan Hutan Alam/Hutan Tanaman Industri sebesar 34.3 juta Ha (DPHP, 2016). Kayu memiliki keunggulan untuk dibuat menjadi berbagai macam furnitur, antara lain mudah diolah, memiliki pola dan tekstur yang baik, dan permukaannya dapat diukir untuk meningkatkan nilai estetikanya.

Secara garis besar, terdapat dua kelompok industri pengolahan kayu hilir, yaitu solid wood (kayu padat) dan plywood (kayu lapis), termasuk block board, medium density fibreboard (mdf), dan particle board. Perbedaan bahan baku ini akan mempengaruhi harga jual furnitur. Furnitur yang terbuat dari bahan baku kayu keras memiliki harga jual lebih tinggi bila dibandingkan jenis bahan baku lainnya. Mayoritas furnitur yang terbuat dari kayu keras diproduksi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang jumlahnya mencapai sekitar 95% dari total produksi furnitur. Sementara itu, perusahaan besar umumnya mengkhususkan diri pada produksi furnitur campuran panel dan kayu keras, hal itu disebabkan oleh tingginya biaya modal yang diperlukan untuk menghasilkan furnitur yang berbahan baku kayu panel (Ewasechko, 2005).

Produksi Furnitur Indonesia

11

Berikut ini adalah penjelasan untuk jenis-jenis kayu yang digunakan dalam industri furnitur:a. Kayu padat Kayu padat merupakan jenis kayu terkuat yang memiliki sifat tahan lama

dibandingkan dengan kayu olahan sehingga membuat harga jualnya lebih tinggi dibandingkan furnitur berbahan kayu olahan. Pembuatan furnitur berbahan baku kayu padat membutuhkan keterampilan khusus dan pengeringan harus dilakukan secara sempurna untuk mengindari sifat muai susut kayu. Jenis kayu padat yang biasa dipakai di Indonesia sebagai bahan furnitur adalah kayu jati, kayu nyatoh, kayu sungkai, mahoni, pinus, ramin dan cedar.

b. Kayu Lapis Kayu lapis (plywood) adalah kayu olahan yang dibentuk dari lembaran-

lembaran kayu yang direkatkan dengan cara diberikan tekanan tinggi, dan memiliki ketebalan dari 3 mm sampai dengan 18 mm.Kayu lapis banyak digunakan sebagai bahan baku untuk membuat lemari, meja, tempat tidur dan kitchen set. Sesudah menjadi furnitur, permukaan kayu lapis biasanya diberikan pelapis tambahan seperti PVC ataupun melamin. Harga dari kayu lapis pada umumnya lebih murah dari kayu padat akan tetapi lebih mahal daripada kayu olahan lainnya.

c. Block Board Block Board adalah potongan–potongan kayu kotak dalam ukuran kecil-

kecil yang dipadatkan menggunakan mesin serta pada kedua sisinya diberi pelapis venner (irisan kayu tipis) sehingga menyerupai sebuah papan lembaran.Biasanya block board dibuat dengan menggunakan kayu lunak sehingga tidak sekuat kayu lapis. Block board dapat digunakan untuk membuat cabinet, kitchen set atau rak.

d. Medium Density Fibreboard (MDF) MDF terbuat dari serbuk kayu halus yang direkatkan dengan bahan

kimia resin dan dipadatkan melalui suhu dan tekanan yang tinggi. MDF lebih ramah lingkungan disebabkan terbuat dari serbuk kayu sisa perkebunan ataupun bambu. Versi MDF yang lebih kuat dan lebih padat biasanya dikenal dengan nama High Density Fibreboard (HDF). MDF mudah dibentuk tetapi lebih berat daripada kayu lapis dan particle board karena mengandung resin. Jenis finishing yang dapat digunakan pada MDF sangat bervariasi mulai dari PVC, cat kayu, venner, ataupun paper laminate.

Riska Pujiati

12

Biaya Bahan Baku Nilai Produksi Input Output Nilai Tambah2010 3,768 10,923 4,366 11,945 7,5792011 7,840 15,398 8,832 17,258 8,4252012 6,945 13,061 8,672 14,551 5,8782013 5,684 12,739 6,770 14,920 8,1502014 6,179 17,779 7,620 25,461 17,841

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

(Rp M

iliar)

Gambar 2.3 Kinerja Industri Furnitur Kayu, 2010-2014.

2.3.1 Furnitur Rotan dan BambuIndonesia memiliki potensi sumber daya alam berupa bahan baku

rotan dan bambu yang besar. Wilayah penghasil rotan di Indonesia adalah

Sumber: Kemenperin (2017), diolah

e. Particle Board Particle board terbuat dari partikel sisa pekerjaan kayu seperti serpihan

kayu, serbuk gergaji dengan direkatkan menggunakan bahan kimia resin oleh mesin tekanan tinggi dan kemudian dikeringkan. Perbedaan antara particle board dan MDF adalah bahan yang digunakan untuk MDF adalah serbuk yang lebih halus dan seragam, sedangkan particle boad lebih kasar dan tidak beraturan. Particle board memiliki harga yang paling murah dibandingkan kayu olahan lainnya. Particle board tidak boleh terkena air karena kekuatannya akan hilang bila basah. Selain itu apabila menahan beban yang berat maka particle board dapat melengkung. Permukaan particle board tidak boleh diberikan cat atau coating karena tekstur yang kasar. Permukaan particle board biasanya dilapisi dengan lapisan veneer, laminate, atau fancy laminate yang direkatkan.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian/Kemenperin (2017), industri furnitur berbahan dasar dari kayu memiliki kinerja yang paling bagus dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur kayu tumbuh sebesar 62,7% selama periode 2010 – 2014. Pada tahun 2010, nilai produksi furnitur kayu mencapai Rp 10,923 miliar dan meningkat menjadi Rp 17,779 miliar pada tahun 2014. Seiring peningkatan nilai produksi, output dan nilai tambah industri furnitur kayu Indonesia juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 113,2% dan 135,4% selama periode 2010 – 2014. Gambar 2.3 menunjukkan kinerja industri furnitur kayu Indonesia pada tahun 2010-2014.

Produksi Furnitur Indonesia

13

Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Daerah-daerah tersebut memiliki kemampuan produksi rotan antara 250.000 ton sampai dengan 600.000 ton per tahunnya (Indrawati,2015). Rotan dan bambu digunakan sebagai bahan baku pembuatan furnitur karena memiliki sifat elastis dan kuat sehingga furnitur yang dihasilkan tersebut bersifat tahan lama dan mudah dibentuk.

Rotan memiliki sifat elastis dan fleksibel untuk diolah menjadi berbagai produk furnitur. Selain itu, rotan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kayu, antara lain ringan, kuat, dan murah. Saat ini, industri yang berbasis tanaman rotan terbagi ke dalam 2 kelompok besar, yaitu sebagai sebagai pemasok bahan baku dan produsen kerajinan dan mebel. Berdasarkan tingkat pengolahannya, rotan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut (Indrawati, 2015):1. Rotan Mentah, yaitu rotan yang diambil dari hutan, rotan tersebut masih

basah dan mengandung air getah rotan, warna hijau atau kekuning-kuningan (lapisan berklorofil), belum digoreng dan belum dikeringkan.

2. Rotan Asalan, yaitu rotan yang telah mengalami proses penggorengan, penjemuran, dan pengeringan. Permukaan kulit berwarna coklat kekuning-kuningan, masih kotor belum dicuci, bergetah kering, permukaan kulit berlapisan silikat.

3. Rotan Natural Washed & Sulphured (W/S), yaitu rotan bulat natural yang masih berkulit, sudah mengalami proses pencucian dengan belerang (sulphure), ruas/tulang sudah dicukur maupun tidak dicukur (trimmed atau untrimmed), biasanya kedua ujungnya sudah diratakan, sudah melalui sortasi ukuran diameter maupun kualitas.

4. Rotan Poles, yaitu rotan bulat yang telah dihilangkan permukaan kulit bersilikatnya dengan menggunakan mesin poles rotan, dan melalui tiga tahap amplas yang berbeda, yaitu tahap poles kasar, tahap pembersihan, dan tahap poles halus. Rotan menjadi salah satu komoditas perdagangan hasil hutan non-kayu

yang memiliki nilai ekspor tinggi. Rotan yang diperdagangkan di dalam negeri berbentuk rotan asalan, rotan setengah jadi dan produk olahan rotan. Di pasar internasional, ekspor rotan mentah Indonesia berlangsung selama periode 2005 – 2011. Pada periode tersebut Tiongkok menjadi salah satu negara tujuan utama ekspor rotan Indonesia. Rotan mentah tersebut kemudian diolah menjadi produk furnitur dan kemudian diekspor kembali sehingga menyebabkan ekspor furnitur rotan asal Tiongkok merajai pasar ekspor dunia. Selama periode tersebut, produk furnitur rotan asal Indonesia sendiri kalah bersaing dengan produk yang berasal dari Tiongkok (Indrawati, 2015). Saat ini, ekspor rotan mentah telah dilarang sejak dikeluarkannya

Riska Pujiati

14

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang Tata Cara Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Industri furnitur rotan di dalam negeri mengalami tantangan terkait daya saing yang diakibatkan tingkat ketersediaan bahan baku rotan di dalam negeri yang semakin menurun, dan timbulnya produk rotan sintetis dengan harga yang lebih murah (Setyawan dkk, 2016).

Proses produksi furnitur berbahan baku rotan dilakukan dengan menggabungkan dua proses, yaitu proses mekanik berupa pemotongan dan pemolaan rotan, dan proses pengerjaan seni tradisional berupa pembentukan produk jadi secara manual. Dalam proses pembuatannya dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) pemotongan rotan sesuai dengan ukuran model produk, 2) pembentukan model-model produk dengan alat cetak, 3) pengikatan, 4) memaku/sekrup, 5) pengamplasan dan 6) pengeringan (Bank Indonesia, 2008b).

Gambar 2.4 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Rotan.Sumber: Bank Indonesia (2008b)

Bambu merupakan salah satu bahan baku furnitur disamping rotan dan kayu. Penggunaan bambu semakin berkembang disebabkan beberapa hal, antara lain mudah didapat dan mudah dalam pengerjaannya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan varietas bambu dengan 143 jenis bambu yang dapat tumbuh. Bambu yang dipakai untuk furnitur antara lain bambu bitung, bambu mayan, bambu cendani, dan bambu hitam. Furnitur bambu untuk pasar ekspor menggunakan sistem bongkar pasang (knock down) sehingga menghemat ruang. Proses produksi yang dilakukan dalam kegiatan usaha kerajinan mebel bambu hanya memerlukan peralatan yang sederhana karena lebih banyak memanfaatkan keahlian/keterampilan tangan manusia untuk menghasilkan produk kerajinan furnitur bambu (Bank Indonesia, 2008c). Pembuatan furnitur bambu dapat digambarkan melalui tahapan sebagai berikut:

Produksi Furnitur Indonesia

15

Gambar 2.5 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Bambu.Sumber: Bank Indonesia (2008c)

Foto: Piter (2010).

Riska Pujiati

16

Industri furnitur berbahan dasar dari rotan dan bambu memiliki kinerja yang berfluktuasi bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur rotan dan bambu paling tinggi sebesar Rp 5.239 miliar pada tahun 2011 selama periode 2010–2014. Pada tahun 2010, nilai output furnitur rotan dan bambu mencapai Rp 3.609 miliar dan meningkat menjadi Rp 4.182 miliar pada tahun 2014. Gambar 2.6 menunjukkan kinerja industri furnitur rotan dan bambu Indonesia selama periode 2010-2014.

Gambar 2.6 Kinerja Industri Furnitur Rotan dan Bambu, 2010-2014.Sumber: Kemenperin (2017), diolah

2.3.2 Furnitur Logam dan PlastikBahan baku logam seperti stainless steel, kuningan, aluminium dan

besi saat ini semakin banyak digunakan sebagai bahan baku untuk furnitur modern. Furnitur dengan bahan baku besi harus dicat atau diberikan lapisan luar supaya tidak berkarat, oleh karena itu bahan baku jenis stainless steel ataupun aluminium lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan baku furnitur karena tidak memerlukan lapisan luar tambahan. Furnitur dengan bahan baku logam biasanya sangat kuat dan memiliki durabilitas yang lebih tahan lama. Pada umumnya dalam satu furnitur bahan baku logam dikombinasikan dengan bahan baku lainnya seperti kayu atau plastik. Furnitur dengan bahan baku logam dapat digunakan sebagai furnitur di dalam atau di luar ruangan.

Industri furnitur berbahan dasar logam memiliki kinerja yang berfluktuasi bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur logam paling tinggi sebesar Rp 2.844 miliar pada tahun 2012 selama periode

Produksi Furnitur Indonesia

17

2010 – 2014. Pada tahun 2010, nilai produksi furnitur logam mencapai Rp 2.248 miliar dan turun menjadi Rp 1.753 miliar pada tahun 2014. Gambar 2.7 menunjukkan kinerja industri furnitur logam Indonesia selama periode 2010-2014.

Sumber: Kemenperin (2017), diolah

Gambar 2.7 Kinerja Industri Furnitur Logam, 2010-2014.

Industri furnitur berbahan dasar plastik memiliki kinerja yang berfluktuasi bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur plastik paling tinggi sebesar Rp 636 miliar pada tahun 2013 selama periode 2010 – 2014. Pada tahun 2010, nilai produksi furnitur plastik mencapai Rp 311 miliar kemudian meningkat menjadi Rp 362 miliar pada tahun 2014. Nilai tambah industri furnitur plastik meningkat sebesar 50% dari Rp 118 miliar di tahun 2010 menjadi Rp 176 miliar pada tahun 2014. Gambar 2.8 menunjukkan kinerja industri furnitur plastik Indonesia selama periode 2010-2014.

Gambar 2.8 Kinerja Industri Furnitur Plastik, 2010-2014.Sumber: Kemenperin (2017), diolah

Riska Pujiati

18

2.4 Rantai Nilai dan Produksi Furnitur KayuSebelum sampai di tangan konsumen, terdapat beberapa tahapan

yang harus dilalui produsen dalam membuat furnitur berbahan baku kayu. Kayu bagi produksi furnitur diperoleh dari hutan atau perkebunan. Saat ini, kayu perkebunan juga digunakan sebagai bahan furnitur disamping untuk menghasilkan bubur kertas dan kertas. Pabrik furnitur yang memiliki skala besar mencari bahan baku kayu dari hutan, karena mereka memerlukan kayu dengan volume tinggi dan memiliki dana cukup untuk membiayai hak kelola, perizinan hutan dan iuran. Berbeda dengan pabrik furnitur dengan skala kecil yang harus bergantung kepada pasokan dari perkebunan.

Kayu yang digunakan pada produksi furnitur dalam negeri diangkut ke Pulau Jawa dari pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jenis kayu yang menjadi bahan baku furnitur untuk pasar dalam negeri tersebut adalah kayu meranti, nyatoh, bintangor, balam, dan bangkerai. Kayu jati menjadi satu-satunya kayu yang berasal dari pohon yang di tanam di perkebunan, sejak reformasi dan implementasi otonomi daerah, kawasan hutan jati semakin berkurang dan membuat harga kayu jati menjadi tinggi untuk dipakai sebagai bahan baku furnitur pasar dalam negeri. Untuk furnitur dengan pasar ekspor, produksi menggunakan kayu yang berasal dari dalam negeri dan kayu impor seperti kayu karet, akasia, albasia dan pinus radiata (USAID-SENADA, 2007). Berikut adalah alur proses produksi untuk furnitur kayu yang dilakukan oleh UMKM (Bank Indonesia, 2008a):

Gambar 2.9 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Kayu.Sumber: Bank Indonesia (2008a)

Produksi Furnitur Indonesia

19

Proses produksi furnitur kayu yang dilakukan oleh UKM menggunakan teknologi proses sederhana secara manual untuk pekerjaan kecil dan rinci. Untuk pemrosesan kayu yang lebih berat sudah menggunakan teknologi proses semi modern, yaitu dalam proses pemotongan, penyerutan dan penghalusan untuk bidang-bidang yang lebih luas. Proses pembuatan furnitur kayu merupakan gabungan beberapa proses mekanik (pemotongan, pengeboran dan pemolaan kayu) dan pengerjaan seni (pembentukan akhir sesuai contoh model). Furnitur kayu yang dihasilkan merupakan produk yang mempunyai kandungan seni menurut model dan fungsi produk yang dikehendaki. Proses pembuatan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pemotongan kayu gelondongan menjadi bentuk kaso, papan dan balok yang dilakukan di tempat penjual kayu. Selanjutnya bahan tersebut dilakukan pemotongan sesuai dengan ukuran produk, pembentukan model-model produk dengan mesin bubut, pengukiran bentukan produk jadi, pengunaan ampelas, pewarnaan dan finishing. Pewarnaan dilakukan dengan memberikan warna alami kayu, penguatan warna sesuai selera konsumen, biasanya cenderung kepada warna terang, kuning sampai kecoklatan, atau warna agak gelap, yaitu coklat sampai kehitaman, namun beberapa konsumen yang menginginkan warna lain seperti warna keemasan atau perak. Bahan pelarut warna dan perekat warna dapat dipilih antara politur dan melamin (Bank Indonesia, 2008a). Setelah itu, furnitur didistribusikan ke pembeli, baik melalui pedagang besar maupun pengecer.

2.5 Daerah Sentra Industri FurniturDaerah-daerah penghasil furnitur tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Masing-masing daerah memiliki ciri antara satu dengan yang lain, yang diakibatkan oleh sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut (AMKRI, 2015). Gambaran sentra industri furnitur di beberapa daerah sebagai berikut:1. Sumatera Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di pulau Sumatera adalah

Aceh, Medan dan Palembang. Furnitur yang berasal dari daerah Sumatera ini pada umumnya merupakan furnitur yang terbuat dari kayu dan rotan. Daerah Sumatera memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu akasia 20 juta m3, ekaliptus 1,7 juta m3, kayu karet 0,5 juta m3, kayu rimba campuran 0,2 juta m3, kayu lainnya 4 juta m3, rotan 970 ton, dan bambu 242.206 batang (BPS, 2016).

2. Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta Daerah Jawa Barat juga merupakan sentra produksi furnitur terutama

daerah Bandung, Cirebon, dan Indramayu. Furnitur yang berasal dari

Riska Pujiati

20

Jawa Barat pada umumnya adalah furnitur yang terbuat dari kayu padat (solid wood), kayu panel, rotan serta bambu. Berdasarkan data dari BPS (2016), industri furnitur di Kabupaten Indramayu menduduki peringkat kedua setelah sektor pertambangan dalam hal kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Pada tahun 2014 diketahui ada 300 unit usaha Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang ada di Indramayu dan telah menyerap 1.203 tenaga kerja. Para pengrajin di Kabupaten Indramayu hanya memasarkan produknya pada taraf lokal ataupun pesanan individual atau dari daerah lain. Mereka memasarkannya kepada para tengkulak yang nantinya akan memasarkan produk mereka ke pasar domestik. Sementara itu, daerah Banten merupakan produsen furnitur yang terbuat dari kayu padat, kayu panel dan rotan, sedangkan daerah Jakarta merupakan salah satu sentra industri furnitur dengan hasil produksinya banyak terbuat dari kayu panel dan kayu padat.

3. Jawa Tengah dan Yogyakarta Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di Jawa Tengah adalah

Jepara, Semarang dan Solo. Furnitur yang dihasilkan biasanya merupakan furnitur yang terbuat dari kayu padat dan bambu (HIMKI, 2016). Provinsi Jawa Tengah memiliki 374 perusahaan yang bergerak di bidang furniture dengan 46.786 tenaga kerja. Daerah yang terkenal akan produksi furnitur adalah Kabupaten Jepara. Pada awalnya, seni ukir Jepara dirintis pada abad ke 7 (Kerajaan Kalingga) dalam pembuatan rumah tradisional dan kapal. Industri seni ukir kemudian berkembang pesat menjadi industri furnitur yang memiliki ciri khas seni ukir jepara pada abad ke 19. Seiring makin meningkatnya permintaan dari dalam dan luar negeri, industri ini menjadi sentra industri yang sangat berpengaruh bagi perkembangan perekonomian wilayah Jepara. Di Jepara, industri kecil berkelompok dalam suatu sentra pengrajin yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan. Berdasarkan data dari BPS (2015b), pada tahun 2014, industri furnitur mampu memproduksi 3,9 juta buah dengan nilai produksi sebesar Rp 1,9 miliar dan melibatkan 5.471 unit usaha dan 223 eksportir dengan total tenaga kerja yang terserap sebesar 72 ribu tenaga kerja. Dengan jumlah produksi yang demikian besar, dibutuhkan bahan baku yang cukup besar untuk mencukupi produksi tersebut, mencapai 114.727 M3/tahun. Jenis kayu yang digunakan industri furnitur di Jepara cukup beragam, antara lain kayu Jati, Mahoni, Sono dan Mindi. Sebagian besar sumber bahan baku berasal dari Perum Perhutani (unit Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan sebagian dari hutan/hutan rakyat dari daerah Sumatra,Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Daerah produsen

Produksi Furnitur Indonesia

21

furnitur di Yogyakarta adalah Kabupaten Bantul dengan mayoritas furnitur yang diproduksi terbuat dari kayu padat.

4. Jawa Timur Furnitur yang berasal dari daerah Jawa Timur pada umumnya merupakan

furnitur yang berbahan baku kayu padat, kayu panel dan rotan. Daerah yang terkenal sebagai penghasil produk furnitur di Jawa Timur adalah Pasuruan. Industri furnitur di Pasuruan mulai berkembang pada tahun 1990-an. Industri furnitur berkontribusi terhadap PDRB sebesar 50,73% dengan rata-rata pertumbuhan 6,12% per tahun (BPS, 2015c). Bahan baku kayu berasal dari luar daerah, seperti Tuban, Bojonegro, Banyuwangi dan Kalimantan. Sementara itu, kayu asli Pasuruan sendiri sangat sedikit digunakan. Umumnya kayu yang digunakan adalah Kayu Jati. Produk furnitur yang dihasilkan dari sentra industri kayu ini antara lain: meja, kursi, tempat tidur. Meskipun masih dalam skala kecil, Pasuruan dapat menghasilkan produk yang berkualitas ekspor. Beberapa produk telah dapat memasarkan produknya ke pasar mancanegara terutama ke Malaysia, Jepang dan Prancis untuk produk-produk kerajinan kayu, furnitur dan kayu olahan.

5. Bali dan Nusa Tenggara Daerah Bali, Nusa Tengara Timur dan Nusa Tenggara Barat juga

merupakan sentra industri furnitur. Selain produksi furnitur, daerah-daerah tersebut juga banyak meproduksi kerajinan yang terbuat dari kayu padat. Daerah Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu rimba campuran 9.000 m3,kayu sengon 5.000 m3, jati 3.000 m3, kayu cendana karet 2.000 m3, kayu lainnya 19.000 m3, dan bambu 6.144.476 batang (BPS, 2016).

6. Kalimantan Furnitur yang berasal dari Kalimantan merupakan furnitur yang memiliki

bahan baku kayu padat dan rotan. Daerah Kalimantan memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu akasia 2,7 juta m3, kayu meranti 3,7 juta m3, kayu ekaliptus 0,4 juta m3, kayu lainnya 2,3 juta m3, rotan 1.756 ton (BPS, 2016).

7. Sulawesi Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di Sulawesi adalah kota

Palu dan Mamuju. Furnitur yang dihasilkan dari daerah tersebut pada umumnya merupakan furnitur yang terbuat dari rotan. Daerah Sulawesi memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu rimba campuran 0,1 juta m3, kayu jati 0,03 juta m3, kayu indah 0,02 juta m3, kayu lainnya0,08 juta m3, bambu 185.240 batang, dan rotan 13.836 ton (BPS, 2016).

Riska Pujiati

22

8. Papua Meskipun belum terlalu banyak industri furnitur, tetapi daerah Papua

merupakan daerah yang berpotensi menjadi sentra industri terbesar. Saat ini Papua merupakan sentra industri kerajinan. Daerah Papua memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu meranti 0,5 juta m3, kayu rimba campuran 0,3 juta m3, kayumerbau 0,3 juta m3,kayu indah 0,02 juta m3, dan kayu lainnya 0,5 juta m3 (BPS, 2016).

Sumatera, Aceh, Medan, & Palembang Kayu, Rotan, dan Kerajinan

KalimantanKayu, rotan, dan kerajinan

Jawa Tengah (Semarang, Solo, Jepara) Kayu solid, kayu panel, rotan, bambu, dan kerajinan

Banten, Jawa Barat Cirebon, Indramayu, Bandung), DKI JakartaKayu solid, kayu panel, rotan, bambu, dan kerajinan

Yogyakarta Kayu solid, kayu panel, rotan, bambu, dan kerajinan

Jawa TimurKayu solid, kayu panel, rotan, bambu

Bali, NTB, NTTKerajinan

Sulawesi, Palu MamujuRotan, dan kerajinan

PapuaKerajinan Tradisional

Gambar 2.10 Zona Industri Furnitur dan Kerajinan Indonesia.Sumber: Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) (2016)

2.6 Kendala Dalam Produksi Furnitur Menurut Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) (2015),

terdapat empat pilar yang menentukan daya saing produk ekspor furnitur Indonesia yaitu, bahan baku, proses produksi, desain dan inovasi, serta pemasaran. Terkait dengan bahan baku, faktor yang mempengaruhi adalah standardisasi kualitas bahan baku, stabilitas harga, kepastian pasokan, efisiensi mata rantai distribusi, teknologi pengelolaan, keberlangsungan jangka panjang, infrastruktur.

Untuk pilar proses produksi, faktor yang berpengaruh adalah ketersediaan tenaga kerja, pendidikan formal dan pelatihan teknis produksi, teknologi produksi, standar produk, efisiensi produksi, infrastruktur, peraturan pemerintah, lembaga keuangan, dan kemampuan manajemen. Selain itu, beberapa faktor dalam desain/inovasi yang menentukan daya saing antara lain pendidikan formal dan pelatihan desain, research and development, lembaga desain, teknologi, benchmarking, kaderisasi sumber daya manusia, lembaga hukum (paten). Daya saing furnitur kayu Indonesia saat ini berada di

Produksi Furnitur Indonesia

23

bawah Malaysia dan Vietnam. Berdasarkan data dari HIMKI, dari 20 negara eksportir produk mebel dunia, Indonesia berada di peringkat ke-17.

Pada tahun 2016 tercatat bahwa transaksi ekspor mebel di pasar internasional mengalami peningkatan sebanyak 9,4%, namun perkembangan industri furnitur tentu juga tidak lepas dari beberapa faktor yang menjadi kendala, baik eksternal maupun internal. Beberapa kendala yang muncul antara lain (AMKRI, 2015):

2.6.1 PermodalanIndustri furnitur membutuhkan modal yang cukup besar. Modal tersebut

diperlukan untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti tempat/lokasi usaha, mesin/alat produksi, tenaga kerja, bahan baku, perizinan serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ukuran furnitur yang besar mengakibatkan kebutuhan tempat usaha yang cukup luas untuk kegiatan produksi, menyimpan bahan baku maupun untuk tempat penyimpanan sementara produk yang sudah jadi. Industri furnitur membutuhkan mesin-mesin untuk pengolahan bahan baku/bahan setengah jadi maupun untuk finishing. Furnitur pada umumnya merupakan industri padat karya, sehingga industri furnitur membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak untuk memproduksi furnitur dalam waktu singkat. Selain itu biaya untuk pengadaan bahan baku merupakan salah satu faktor biaya utama dalam industri furnitur disamping biaya-biaya lainnya.

Saat ini, produsen furnitur skala kecil mengalami persaingan dengan pengusaha asing yang memiliki modal yang besar. Salah satu contohnya yaitu produsen furnitur di Jepara, berdasarkan data dari Pemerintah Kab. Jepara pada tahun 2014, terjadi peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Rp 640 miliar menjadi Rp 3,15 triliun pada tahun 2016. Besarnya PMA yang datang menimbulkan trade off berupa terpinggirkannya pengrajin lokal yang disebabkan karena para pengusaha asing dengan modal besar tersebut banyak yang melakukan usaha dari hulu ke hilir. Saat ini, banyak eksportir furnitur lokal menjadi sub eksportir dari pengusaha asing di Jepara, sedangkan pengrajin dan pemasok skala kecil menjadi buruh di pabrik industri asing (Kompas, 2017b)

2.6.2 Suku Bunga Pinjaman yang TinggiIndustri furnitur yang pada umumnya terdiri dari usaha kecil atau

menengah seringkali mengalami kendala dalam permodalan. Pengembangan usaha membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu banyak pelaku usaha dalam industri furnitur mengajukan kredit permodalan usaha untuk mengembangkan usahanya. Indonesia memiliki suku bunga kredit yang

Riska Pujiati

24

tinggi, dengan dasar suku bunga pinjaman mencapai 11,9% bila dibandingkan dengan Malaysia yang hanya mencapai 4,5% dan Tiongkok 4,3% (World Bank, 2017).

2.6.3 Kemampuan Manajemen yang RendahDalam industri furnitur, banyak pelaku usaha yang tidak memiliki

kemampuan manajemen yang cukup untuk memproduksi furnitur secara efisien. Kemampuan manajemen tersebut terdiri dari manajemen produksi dan manajemen keuangan. Manajemen produksi meliputi kemampuan untuk mengontrol persediaan bahan baku, jangka waktu produksi, serta proses produksi. Kemampuan manajemen produksi dapat meningkatkan efisiensi pelaku usaha dari segi biaya maupun waktu dalam memproduksi furnitur.

2.6.4 Teknologi yang Sudah UsangPada umumnya industri furnitur masih menggunakan mesin serta alat

produksi yang sudah digunakan untuk waktu yang relatif lama. Pelaku usaha furnitur merasa enggan untuk mengganti mesin dan alat produksi yang lama dengan mesin dan alat produksi yang baru dengan kinerja yang lebih baik. Peralatan yang lebih modern dan lebih canggih sebenarnya akan membantu pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi furnitur dari segi biaya dan waktu. Selain itu, kinerja mesin dan alat baru yang lebih baik juga akan meningkatkan pilihan desain furnitur yang akan diproduksi dimana desain tersebut sebelumnya tidak bisa diproduksi karena keterbatasan kemampuan mesin dan alat yang sudah lama.

Pelaku usaha industri furnitur merasa ragu untuk melakukan peremajaan peralatan produksi karena harga dari mesin dan alat produksi lainnya sangat mahal. Selain itu selama mesin dan alat produksi tersebut masih bisa digunakan, pelaku usaha merasa lebih efisien untuk memperbaiki mesin dan alat produksi tersebut.

2.6.5 Kelangkaan Bahan Baku dan Illegal LoggingFurnitur berbahan dasar kayu saat ini menghadapi masalah berupa

kelangkaan bahan baku yang disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah pembalakan liar (illegal logging) dan deforestasi hutan. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah hutan yang luas, namun selama ini, kayu yang ditebang secara ilegal yang berasal dari hutan Indonesia dikirim ke negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia (Salam, 2013). Praktek illegal logging mengakibatkan industri furnitur kesulitan dalam memperoleh bahan baku kayu karena bahan baku kayu dapat langsung dijual tanpa terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi.

Produksi Furnitur Indonesia

25

Untuk mengatasi illegal logging tersebut, pemerintah Indonesia telah merancang satu sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) atau Timber Legality Assurance Standar (TLAS), dan sistem ini diberlakukan sejak tahun 2009. Dasar Hukum mengenai SVLK tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 38/Menhut-II/2009 tentang Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak. Peraturan Menteri Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.6/VI-Set/2009 tentang Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu. Tabel berikut adalah peraturan lengkap terkait SVLK :

Tabel 2.2 Peraturan tentang SVLK

• Pasal 125 ayat (3) bahwa keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dari kinerja pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH).

• Pasal 100 pemanfaatan hutan rakyat bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal dengan tidak mengurangi fungsinya.

• Pasal 119 setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan sahnya hasil hutan.

• Dalam rangka menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), serta penerapan tata kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya, perlu ditetapkan Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau pada Hutan rakyat, dengan Peraturan Menteri Kehutanan.

• Untuk lebih menjamin kepastian hukum dan usaha.

• Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat ( IUPHHK-HTR), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK-HKm), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Desa (IUPHHK-HD), Ijin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas sampai dengan 2.000 m3 per tahun, Tanda Daftar Industri (TDI), termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor, atau pemilik hutan rakyat, dapat mengajukan verifikasi legalitas kayu (LK) secara kolektif.

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Rakyat.

Perubahan Atas Permenhut Nomor P.38/Menhut-II/2009 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Rakyat.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.

Permenhut Nomor P.38/ Menhut-II/2009.

Permenhut Nomor P.68/ Menhut-II/2011.

1.

2.

3.

No Peraturan Perihal Deskripsi

Riska Pujiati

26

• Untuk mendukung hilirisasi industri kehutanan perlu sumber bahan baku legal dan dikelola secara lestari.

• Ekspor dapat dilaksanakan oleh industri yang terdaftar dalam Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK).

• Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas.

Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku hutan rakyat, wajib memfasilitasi pemilik hutan rakyat untuk memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). S-LK tersebut berlaku selama 10 tahun dan dilakukan penilikan 24 bulan sekali.

Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHKHD, IUIPHHK hingga 2.000 m3/thn, TDI, Ijin Usaha Industri (IUI) dengan investasi sampai Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor, mengajukan verifikasi LK secara kelompok.

• Pelaksanaannya pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode ke-1 (anggaran KLHK) dilakukan secara berkelompok.

• Sertifikat PHPL bagi pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Alam/Hutan Tanaman/Restorasi Ekosistem (IUPHHK-HA/HT/RE/) pemegang hak pengelolaan berlaku selama 5 tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.

Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/hak pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, pedagang ekspor, hutan rakyat dan Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) berlaku selama 3 tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.

• Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah tangga/pengrajin berlaku 6 tahun dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 24 bulan sekali.

• Berdasarkan hasil evaluasi dan untuk lebih menjamin kepastian hukum maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan rakyat.

Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Perubahan Kedua atas Permenhut Nomor P.38/Menhut-II/2009 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Rakyat.

Perubahan Ketiga Atas Permenhut Nomor P.38/ Menhut-II/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Rakyat.

Permendag Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012.

Permenhut Nomor P.45/ Menhut-II/2012.

Permenhut Nomor P.42/ Menhut-II/2013.

4.

5.

6.

Produksi Furnitur Indonesia

27

• Penyesuaian terhadap kesiapan pelaksanaan SVLK.

• Kewajiban kelompok industri A melengkapi dokumen V legal 1 Januari 2013.

• Kewajiban kelompok industri B melengkapi dokumen V legal 1 Januari 2015.

• Perkembangan kinerja pengelolaan hutan produksi hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan rakyat.

• Terdapat hambatan bagi industri kecil dan menengah.

• Pemilik hutan rakyat, IUIPHHK kapasitas sampai 6.000 m3/tahun, Industri Kecil Menengah ( IKM), TPT, Industri Rumah Tangga/Pengrajin diberikan kesempatan untuk memperoleh pembinaan dan fasilitasi pemerintah (ketrampilan teknis, pembinaan, sertifikasi berkelompok, pembiayaan sertifikasi dan penilikan pertama).

• Pemegang ETPIK IKM Mebel yang belum atau sudah memiliki S-LK yang bahan baku produk olahannya belum memiliki S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok ( DKP), untuk ekspor menggunakan Deklarasi Ekspor sampai dengan 31 Desember 2015.

• Deklarasi Ekspor adalah pernyataan dari IKM pemilik ETPIK bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku yang telah memenuhi persyaratan legalitas.

• Definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp 10 miliar.

• Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas serta furniture dan kerajinan untuk pelaku usaha besar. Untuk IKM furnitur menggunakan Deklarasi Ekspor.

• Penetapan ulang standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu : industri rumah tangga/pengrajin, TDI/IUI <500 juta, IUPHHK<2.000m3, IUPHHK 2.000-6.000 m3, IUI dan IUPHHK >6.000 m3, dan TPT.

• Permendag ini memungkinkan pengekspor cukup hanya memiliki Deklarasi Ekspor (DE) untuk melakukan ekspor tanpa batas waktu.

Perubahan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pemilik Hutan Rakyat.

Perubahan atas Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pemilik hutan rakyat.

Perubahan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Perubahan Permenhut Nomor P.13/Menhut-II/2013 tentang Standar Biaya Penilaian KinerjaPengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Perubahan beberapa ketentuan Permendag RI No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Permendag Nomor81/M-DAG/ PER/12/2013.

Permenhut Nomor P.43/ Menhut-II/2014.

PermenLHK Nomor P.95/Menhut-II/2014.

Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014.

PermenLHKNomor P.96/Menhut-II/2014.

PermendagNomor66/M-DAG/PER/8/2015.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Riska Pujiati

28

• Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas serta tidak untuk furnitur dan kerajinan.

• Mengurangi hambatan pelaku usaha seperti jangka waktu sertifikasi, pemenuhan kewajiban bahan baku sertifikasi dan peningkatan penerimaan pasar.

• Furniture dan kerajinan wajib dokumen V legal.

Perubahan beberapa ketentuan Permendag RI No. 97/M-DAG/ PER/12/2014 jo Permendag Nomor 66/M-DAG/PER/8/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Penilaian Kinerja Pengelolaan hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang Izin, Hak Pengelolaan atau Hutan Hak

Perubahan atas Permendag Nomor 89/M-DAG/PER/10/ 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Permendag Nomor89/M-DAG/PER/10/2015.

PermenLHK Nomor P30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016.

Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/4/2016.

13.

14.

15.

Sumber: Suryandari, dkk (2017)

Pemberlakuan SVLK tersebut memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, membenahi penerapan tata kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar (illegal logging) dan tata kelola perdagangan kayu. Selain itu, SVLK memberi kepastian bagi pembeli di pasar internasional seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal. Namun, di satu sisi, penerapan SVLK membebani produsen furnitur, terutama produsen furitur yang memiliki skala usaha kecil dan menengah disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat SVLK ini cukup tinggi. Tingginya harga kayu yang telah disertifikasi akan menyebabkan kenaikan pada harga jual produk furnitur.

Selain disebabkan illegal logging, kelangkaan bahan baku untuk industri furnitur disebabkan oleh tidak ada alokasi produksi kayu khusus bagi industri furnitur, mayoritas kayu yang diproduksi hutan rakyat maupun pemerintah digunakan untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Tidak adanya alokasi khusus ini menyebabkan pengusaha industri furnitur kesulitan untuk memperoleh kayu dari produksi dalam negeri sebagai bahan baku.

2.6.6 Sumber Daya Manusia dan Regulasi Ketenagakerjaan Industri furnitur merupakan industri padat karya, yang terbagi atas

pekerja tetap dan pekerja dari sub kontrak/outsourcing. Produsen furnitur masih menghadapi kendala berupa tenaga kerja yang ada belum terampil dan produktivitasnya masih rendah. Selain itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebabkan biaya upah yang tinggi bagi pengusaha kerena kewajiban pemberian pesangon apabila karyawan berhenti bekerja, sehingga menyebabkan banyak pengusaha hanya berani mempekerjakan tenaga kerja dengan status kontrak (outsourcing). Status

Produksi Furnitur Indonesia

29

kontrak ini menyebabkan loyalitas yang rendah sehingga tenaga kerja yang ada tidak memaksimalkan potensinya dalam pengerjaan produk furnitur. Selain itu, tenaga kerja yang berprofesi sebagai penganyam dan pengukir kurang diminati karena pekerjaan yang berat dan memiliki pendapatan yang sama bila menjadi penjaga toko.

2.6.7 Harga Listrik yang MahalProduksi furnitur menggunakan mesin-mesin dan alat produksi yang

menggunakan listrik. Penggunaan listrik yang cukup besar menjadikan listrik menjadi salah satu faktor yang secara signifikan menentukan biaya produksi. Harga listrik di Indonesia yang cukup mahal turut mengakibatkan kurangnya daya saing produk furnitur Indonesia di pasar internasional.

2.6.8 Infrastruktur yang Kurang MemadaiPada setiap industri, infrastruktur merupakan faktor penting yang dapat

menentukan efisiensi produksi. Selain itu, infrastruktur merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi nilai produk furnitur. Tantangan yang dihadapi oleh produsen furnitur terkait kondisi infrastruktur di daerah sentra industri adalah belum merata dan memadainya infrastruktur khususnya jalan dan listrik. Infrastruktur jalan yang kurang memadai mengakibatkan terhambatnya logistik bahan baku dan barang jadi yang akan dipasarkan. Infrastruktur jalan dan transportasi berpengaruh terhadap efisiensi waktu dan biaya angkut yang harus dibayarkan oleh produsen. Infrastruktur listrik berperan penting dalam kelangsungan proses produksi, listrik merupakan komponen utama dalam proses produksi, agar proses produksi dapat berkelanjutan, ketersediaan pasokan listrik yang stabil mutlak diperlukan (AMKRI,2015).

2.6.9 Pengenaan Pajak terhadap Impor Barang Contoh Bagi produsen furnitur yang biasa menerima barang contoh dari pembeli

di luar negeri, masalah yang dihadapi adalah tingginya biaya yang harus ditanggung ketika memperoleh barang contoh dari calon pembeli. Hal ini disebabkan barang contoh yang dikirimkan oleh calon pembeli ketika masuk ke Indonesia diperlakukan tidak jauh berbeda seperti barang impor pada umumnya sehingga barang contoh tersebut harus membayar bea masuk dan berbagai jenis pajak. Berbagai beban bea masuk dan pajak terhadap barang contoh dikeluhkan produsen furnitur karena bebannya sangat besar dan dikenakan pada produk yang tidak diperdagangkan. Kebijakan impor barang contoh yang diperlakukan sebagai sebagaimana produk impor lainnya menimbulkan biaya tambahan hingga 68% dari harga barang dan biaya pengiriman (freight cost) (USAID-SENADA, 2007).

Riska Pujiati

30

2.6.10 Desain Berdasarkan data dari HIMKI, terdapat sekitar 5.000 pengusaha mebel di

Indonesia, dan baru tiga persen yang memiliki merek dagang sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pengusaha mebel dan kerajinan memproduksi furnitur sesuai dengan desain yang sudah ditentukan (Kompas,2017a). Selain itu, produk furnitur Indonesia yang dibuat produsen lokal saat ini menghadapi persaingan dengan furnitur yang diproduksi oleh perusahaan asing yang memiliki desain yang lebih bervariasi. Saat ini, produk furnitur menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga konsumen cenderung memilih furnitur dengan desain modern dan minimalis. Inovasi dalam desain produk dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan daya saing produk furnitur di pasar domestik dan internasional.

2.7 Global Value Chain dalam Industri FurniturJaringan Produksi Global atau Global Value Chain (GVC) merupakan

sebuah sistem produksi dimana produksi dan distribusi suatu barang diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Dalam GVC, satu tahapan produksi dari satu kesatuan proses produksi diselenggarakan di satu negara sedangkan tahapan berikutnya dilakukan di negara lain. GVC dimungkinkan karena adanya perkembangan teknologi komunikasi dan logistik serta makin menurunnya hambatan perdagangan antar negara yang membuat barang dan jasa dapat berpindah nyaris tanpa hambatan dari satu negara ke negara lain (EU-Indonesia TCF, 2015).

Aplikasi GVC pada furnitur yang berbahan dasar kayu adalah rantai nilai yang didorong oleh pembeli (buyer driven chains), dimana industri furnitur akan memproduksi jenis furnitur berdasarkan tiga pembeli utama yaitu multi store retailer, one store retailer, dan specialized medium buyer. Multi store retailer dan specialized medium buyer memperoleh produk dari banyak pemasok di berbagai negara yang tersebar baik di negara maju maupun negara berkembang. One store retailer hanya memperoleh barang dari sejumlah pemasok di beberapa negara, proses manufaktur mengandalkan produsen dari negara berkembang (Kaplinsky, et al, 2003).

Pembeli global melayani segmen pasar yang berbeda, dengan selera yang juga berbeda. Multi store retailer memiliki keunggulan dalam menyediakan furnitur dengan harga yang murah dan memilik kualitas produk tinggi dan variasi yang banyak. Hal tersebut, membuat produsen furnitur lebih mudah melayani one store retailer, dan specialized medium buyer. Produsen furnitur Indonesia memiliki keunggulan yaitu dalam produksi massal dan ketelitian dalam membuat produk sesuai dengan desain yang diminta. Selain itu,

Produksi Furnitur Indonesia

31

produsen di Indonesia tidak menerapkan kewajiban pembelian minimum seperti di Tiongkok, hal ini membuat furnitur indonesia menjadi pilihan bagi pembeli skala kecil (Ewasechko, 2005).

Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam GVC, khususnya dalam industri pengolahan kayu yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu industri primer pengolahan kayu di penggergajian (sawmill) dan industri sekunder yaitu produksi furnitur (UNIDO, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bernhardt & Pollack (2015), keterlibatan Indonesia dalam GVC di sektor furnitur kayu berada dalam tingkat menengah, masih kalah bila dibandingkan Tiongkok dan Vietnam yang telah berada dalam tingkat atas. Hal ini terlihat dari kenaikan dalam pangsa pasar dan nilai ekspor relatif bagi Vietnam dan Tiongkok, sedangkan Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar ekspor, dan sedikit kenaikan dalam nilai ekspor relatifnya.

Khusus untuk industri furnitur, pengembangan konsep GVC dapat dilakukan dengan menerapkan ciri khas berupa pengembangan seni dan ukiran. Produk furnitur Indonesia yang memiliki desain yang unik akan lebih diminati oleh pembeli dibandingkan produk standar yang banyak beredar di pasaran. Keterlibatan Indonesia dalam GVC sektor furnitur masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan GVC pada sektor lain.

2.8 Kebijakan Pemerintah Industri furnitur merupakan industri yang padat karya dan mayoritas

terdiri dari usaha kecil dan menengah. Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan industri furnitur Indonesia. Sebagai contoh kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), apabila diterapkan dengan baik, maka produsen furnitur akan mendapat banyak manfaat seperti kemudahan dalam hal logistik. Lebih lanjut, kebijakan yang berpengaruh terhadap industri furnitur dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Foto: Piter (2010)

Riska Pujiati

32

No.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Perundang Undangan

Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014 Tentang Program Restrukturisasi Mesin Dan/Atau Peralatan Industri Kecil dan Industri .

UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.05/2010 MOU – 102/MK/2010 Tentang Kredit Usaha Rakyat.

UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/M-DAG/PER/11/2011 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/11/2015 Tentang Ketentuan Impor Produk Kehutanan.

Keterangan

Regulasi ini membantu produsen furnitur dalam memperbaharui alat dan mesin produksi. Pemerintah memberikan potongan harga sebesar 45% bagi industri kecil dan 35% bagi industri menengah. Program restrukturasi dilakukan dengan cara memberikan bantuan paling besar senilai Rp 500 juta rupiah.

Keberadaan UU ini bertujuan untuk melindungi hak pekerja, namun di sisi lain, UU ini memberikan beban bagi pengusaha karena cenderung menganggap sama kapasitas keuangan perusahaan dalam memberikan upah dan tunjangan sehingga kewajiban pemberian tunjangan bagi karyawan memiliki jumlah dan presentase yang sama.

Peraturan ini dibentuk agar pengusaha dengan skala kecil dan menengah mendapatkan permodalan dengan bunga yang ringan. Modal dapat disalurkan langsung kepada pengusaha oleh bank pelaksana secara langsung dan tidak langsung.

UU ini bertujuan untuk memberikan keringanan bagi perusahaan yang kegiatannya berada di kawasan ekonomi khusus sehingga mendapatkan beberapa manfaat berupa: a. Fasilitas pajak penghasilan, b. Tambahan fasilitas PPh, dan c. Impor barang ke KEK bebas PPh impor

Kebijakan larangan ekspor rotan mentah memiliki tujuan untuk mengamankan bahan baku rotan dan mengembangkan industri rotan dalam negeri. Dampak dari penerapan peraturan ini adalah timbulnya over supply bahan baku rotan dan kurangnya penyerapan rotan oleh industri domestik (BPPP Kemendag, 2013).

Salah satu tujuan dari peraturan ini adalah untuk mengatur impor bahan baku furnitur berupa kayu non tropis. Produsen furnitur dapat mengimpor kayu non tropis dengan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tabel 2.3 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Industri Furnitur

Sumber: AMKRI (2015) dan Kemendag (2017), diolah

2.9 Penutup Furnitur Indonesia merupakan produk yang memiliki daya saing yang

cukup tinggi di pasar internasional, hal ini disebabkan oleh Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terdapat berbagai jenis varietas kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan furnitur. Selain kayu, produksi furnitur saat ini semakin berkembang dengan penggunaan bahan lain seperti rotan, bambu, metal dan plastik. Industri furnitur Indonesia memiliki nilai produksi yang bervariatif dan berfluktuasi selama periode 2010 – 2014. Daerah produksi furnitur di Indonesia tersebar hampir di semua pulau, namun

Produksi Furnitur Indonesia

33

masih terpusat di Pulau Jawa, yaitu Indramayu, Jepara, dan Pasuruan. Dalam mengembangkan industri furnitur, pelaku usaha menghadapi banyak tantangan, antara lain semakin langkanya bahan baku sehingga menyebabkan biaya produksi furnitur semakin tinggi dan tenaga kerja yang kurang kompeten. Dalam rangka mengembangkan industri furnitur Indonesia, pemerintah perlu mengambil beberapa kebijakan, antara lain dengan menekan biaya produksi furnitur dengan cara memberikan insentif dan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja yang bekerja di sektor ini agar lebih terampil dan loyal. Selain itu, koordinasi antar kementerian diperlukan agar kebijakan yang dibuat dapat dilaksanakan dan dimanfaatkan secara optimal oleh pengusaha furnitur.

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). (2015). Roadmap Industri

Mebel dan Kerajinan Indonesia “Target Pencapaian Ekspor 5 Milyar USD”. Jakarta.

Bank Indonesia. (2008a). Pola Pembiayaan Usaha Kecil (Ppuk) Furnitur Kayu. Jakarta.

Bank Indonesia. (2008b). Pola Pembiayaan Industri Kerajinan Rotan. Jakarta. Bank Indonesia. (2008c). Pola Pembiayaan Industri Kerajinan Bambu. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a). Kabupaten Indramayu Dalam Angka

2015. Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://indramayukab.bps.go.id.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Kabupaten Jepara Dalam Angka 2015. Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://jeparakab.bps.go.id/.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2015c). Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015. Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://pasuruankota.bps.go.id/.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Statistik Produksi Kehutanan 2015. Diunduh tanggal 11 Mei 2017 dari https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Produksi-Kehutanan-2015--.pdf.

Bernhardt, T, Pollack, R. (2015). Economic and Social Upgrading Dynamics in Global Manufacturing Value Chains: A Comparative Analysis. FIW Working Paper No 150. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://www.fiw.ac.at/fileadmin/Documents/ Publikationen/Working_Paper/N_150_BernhardtPollak.pdf.

Centre for Industrial Studies (CSIL). (2016). World Furniture Market. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.iffs.com.sg/industry-news/current-status-asias-furniture-production-markets/.

Centre for Industrial Studies (CSIL). (2017). World Furniture Outlook on Global Markets 2017. Diunduh tanggal 13 Juni 2017 dari http://www.furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-outlook-on-global-markets.php.

Riska Pujiati

34

CSIL. (2009). World Furniture Outlook Summary. Diunduh tanggal 07 Juli 2017 dari https://www.csilmilano.com/docs/Outlook_04_09.pdf

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. (2009). Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.kemenperin.go.id/index.php/ download/category/1-p?download=2%3Ap pada 3 Oktober 2016.

EU-Indonesia Trade Cooperation Facility (TCF). (2015). Indonesia Dan Global Value Chain (GVC). Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://www.euind-tcf.com/id/indonesia-dan-global-value-chain-gvc/.

Ewasechko A.C.(2005). Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A Value-Chain Approach. Manila, ILO.

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). (2016). 10 Langkah Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan di Pasar Global. Jakarta.

Indrawati, I. (2015). Posisi Pemerintah Indonesia dalam Shifting Perdagangan Rotan. POLINTER, 1(2). Diunduh dari http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/polhi/article/viewFile/307/158.

Kaplinsky, R, Memedovic,O, Morris, M. (2003). The Global Wood Furniture Value Chain: What Prospects For Upgrading By Developing Countries. UNIDO. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.unido.org/uploads/tx_templavoila/ Global_wood_furniture_value_chain.pdf.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2015). Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015. Diunduh tanggal 11 Mei 2017 dari www.menlhk.go.id/downlot.php?file=Statistik_KLHK_tahun_2015.pdf.

Kementerian Perindustrian. (2017). Data Statistik Industri Furnitur. JakartaKompas. (2017a, 8 Agustus). Inovasi Produk Bisa Jadi Solusi. JakartaKompas. (2017b, 27 Maret). Saat Ukir Jepara Digenggam Asing. Diunduh

tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170327/ 281479276245668.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Perubahan atas Permendag Nomor 89/M-DAG/PER/10/ 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, Permendag No. 25 Tahun 2016.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Impor Produk Kehutanan, Permendag No. 97 Tahun 2015.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, Permendag No. 35 Tahun 2011.

Produksi Furnitur Indonesia

35

Setyawan, R.E, Daryanto, H.K, Oktaviani, R. (2016). Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 13 No. 3, November 2016. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr Nomor DOI: 10.17358/JMA.13.3.169.

Suryandari, E.Y, Djaenufin, D, Astaa,s, Alviya,I. (2017). Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu Terhadap Keberlanjutan Industri Kayu Dan Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017: 19-37.

United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). (2016). World Manufacturing Production Statistics for Quarter II, 2016. Diunduh dari https://www.unido.org/fileadmin/user_media/Publications/Research_and_statistics/Branch_publications/Research_and_Policy/Files/Reports/World_Manufacturing_Production_Reports/World_manufacturing_production_2016_Q2.pdf pada 07 Juli 2017

UNIDO. (2015). Global Value Chains and Development UNIDO’s Support towards Inclusive and Sustainable Industrial Development. Diunduh dari https://www.unido.org/fileadmin/user_media/Research_and_Statistics/GVC_ REPORT_FINAL.PDF. pada 07 Juli 2017

USAID-SENADA. (2007). Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Mebel: Mekanisme Operasi dan Antarhubungan Perusahaan dalam RNI Mebel. USAID - SENADA.

World Bank. (2017). Lending Interest Rate. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://data.worldbank.org/indicator/ FR.INR.LEND.

Fitri Tri Budiarti

36

Foto: Piter (2010).

Konsumsi Furnitur

37

BAB IIIKONSUMSI FURNITUR

Fitri Tri Budiarti

3.1 Pendahuluan Sebagai salah satu kebutuhan bagi setiap rumah tangga, furnitur

menjadikan interior rumah menjadi lebih hidup dan hangat. Industri furnitur juga sangat penting bagi perekonomian negara karena mampu menyerap banyak tenaga kerja. Indonesia dikenal dunia sebagai negara penghasil furnitur dan kerajinan tangan berkualitas tinggi yang dilatarbelakangi tradisi sejarah yang kuat dalam pengerjaan kerajinan kayu dan kerajinan lainnya (Tambunan, 2006). Indonesia juga memiliki sumber daya rotan terbesar di dunia dan jenis kayu lainnya yang digunakan sebagai bahan pembuatan furnitur.

Melimpahnya sumber daya dan sifatnya yang padat karya membuat industri furnitur di Indonesia dipandang sebagai industri yang mempunyai kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi domestik furnitur Indonesia mencapai Rp 9 triliun pada tahun 2013. Namun, persaingan semakin ketat seiring dengan meningkatnya impor furnitur dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pasca implementasi ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA). Konsumen menengah saat ini mempunyai pilihan lebih luas lagi dengan masuknya Informa dan ACE Hardware pada tahun 2004 serta masuknya IKEA, raksasa furnitur Swedia pada 18 September 2014. Masuknya perusahaan-perusahaan tersebut telah menggeser preferensi furnitur dan selera konsumen dari furnitur tradisonal ukir kayu ke produk yang menawarkan fungsi, kenyamanan, desain minimalis yang lebih besar dan tidak mewakili investasi jangka panjang, sehingga memungkinkan mereka untuk memperbarui dekorasi rumah mereka secara berkala (Global Business Guide Indonesia, 2016).

Potensi furnitur di Indonesia menjadikan komoditi ini menjadi magnet bagi investor asing untuk bisa memperluas pasarnya di Indonesia seiring dengan peningkatan konsumsi furnitur setiap tahunnya. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen domestik untuk dapat tetap mempertahankan pangsanya dan tetap menjadi pilihan konsumen di dalam negeri, juga untuk dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan pasarnya di luar negeri.

Tulisan dalam Bab III ini akan membahas mengenai konsumsi furnitur, yang mencakup konsumsi furnitur dunia, perkembangan konsumsi furnitur dunia, konsumsi furnitur dalam negeri, distribusi nilai tambah furnitur, dan

Fitri Tri Budiarti

38

perilaku konsumen. Secara umum, bab ini membahas komoditi furnitur di Indonesia yang dilihat dari konsumsi komoditi tersebut dan isu-isu yang terkait.

3.2 Konsumsi Furnitur DuniaSetelah krisis pada tahun 2008, pasar furnitur global kini kembali bergairah.

Peluang pasar semakin berkembang di berbagai wilayah dunia dengan munculnya pasar di negara-negara berkembang yang ikut memainkan peran penting di samping pasar tradisional1 yang telah ada. Tabel 3.1 memperlihatkan konsumsi furnitur dunia tumbuh dari USD 251,1 miliar pada tahun 2003 menjadi USD 312,2 miliar pada tahun 2007. Sempat menurun saat masa krisis berlangsung. Pada tahun 2010 konsumsi furnitur kembali meningkat dan mencapai USD 385,6 miliar pada tahun 2012. Konsumsi ini tumbuh 4% pada tahun 2014 dan 3,4% pada tahun 2015.Konsumsi furnitur dunia mencapai USD 455 miliar pada 2014, dengan peningkatan sekitar USD17 miliar di tahun 2013. Pada tahun 2015 konsumsi furnitur tumbuh di kisaran 2,8% (furnitureandfurnishing.com, 2015).

Tabel 3.1 Konsumsi Furnitur Dunia2, 2003–2012

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

1 Menurut Sabaruddin (2015) dalam tulisan Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional vs Pasar Non-Tradisional, pasar tradisional merupakan negara mitra dagang Indonesia yang dinilai telah memiliki hubungan kerjasama ekonomi yang kuat dan menjadi tujuan pasar ekspor Indonesia sejak lama seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan negara-negara kawasan Eropa Barat .

2 Konsumsi dalam hal ini merupakan apparentconsumption,dimana nilainya dihitung berdasarkan produksi dikurangi ekspor dan ditambah impor. Nilai konsumsi dinyatakan dengan harga produksi, tidak termasuk ritel mark-up.

Tabel 3.2 memperlihatkan pertumbuhan konsumsi furnitur dunia, dimana peningkatan disposable income dan terbukanya akses pasar di negara-negara berkembang untuk produk furnitur dunia menyebabkan peran negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi untuk produk furnitur sebesar 47% pada tahun 2012 (dari 18% pada tahun 2003).

Tabel 3.2 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Dunia, 2003–2012

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

Konsumsi per kapita furnitur pada negara-negara berpendapatan rendah/ menengah berada di kisaran USD 44 per tahun, sedangkan untuk negara-

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Miliar USD 251.1 258.9 281.1 302.2 312.2 308.9 290.0 327.8 348.9 385.6 Pertumbuhan 3.10% 8.50% 7.60% 3.40% -1.00% -6.20% 13.20% 6.30% 10.40%

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Negara Berpendapatan Tinggi 82% 80% 78% 75% 72% 68% 61% 59% 56% 53%

Negara Berpendapatan Rendah/Menengah 18% 20% 22% 25% 28% 32% 39% 41% 44% 47%

Konsumsi Furnitur

39

negara berpendapatan tinggi konsumsi per kapita furnitur berada pada kisaran USD 193. Di seluruh dunia konsumsi per kapita furnitur memiliki rata-rata USD 73,7 per tahun. Kesenjangan antara kedua kelompok masih lebar, akan tetapi menyusut dari tahun ke tahun (Center for European Policy Studies, 2014). Proyeksi konsumsi furnitur pada 70 negara3 (yang dikelompokkan berdasarkan kawasan) adalah sebagai berikut:

3 Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Romania, Slovakia, Slovenia plus Norwegia, Swis dan Islandia (30 negara).

Eropa Timur dan Tengah di luar Uni Eropa& Rusia: Bosnia Herzegovina, Rusia, Serbia, Turki, dan Ukraina (5 negara). Asia dan Pasifik: RRT, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Kazakhstan, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Vietnam, Australia, Selandia Baru (15 negara).

Timur Tengah dan Afrika: Algeria, Bahrain, Mesir, Israel, Libanon, Kuwait, Moroko, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Afrika Selatan (12 negara).

Amerika Utara: Kanada, Meksiko, Amerika Serikat (3 negara). Amerika Selatan: Argentina, Brasil, Chile, Kolombia, Venezuela (5 negara)

Amerika Selatan

UE (28)+Norwegia, Swis dan Islandia

Eropa Timur-Tengah di luar UE+Rusia

Timur Tengah dan Afrika

Amerika Utara

Asia dan Pasifik

Dunia (70 Negara)

Gambar 3.1 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur berdasarkan Kawasan.Sumber: www.furnitureandfurnishing.com (2017)

Konsumsi furnitur dunia diproyeksikan tumbuh mencapai 2,7% pada 2017. Pertumbuhan terbesar akan dialami kawasan Asia dan Pasifik, walaupun konsumsi di RRT mengalami perlambatan. Pertumbuhan konsumsi di Amerika Utara akan lebih menjanjikan dibandingkan dengan kawasan Eropa, sedangkan Amerika Selatan mengalami perlambatan. Pertumbuhan terbesar di kawasan Asia Pasifik terus meningkat, dimana pada tahun 2010 tumbuh sebesar USD 118 miliar dan berkembang menjadi USD 117 miliar pada tahun 2016 (International Furniture Fair Singapore, 2017).

Foto: Olimpic.com (2009)

Fitri Tri Budiarti

40

Gambar 3.2 Proyeksi Konsumsi Furnitur, 2017.Sumber: International Furniture Fair Singapore (2017)

Gambar 3.3 menggambarkan tren konsumsi per kapita furnitur selama satu dekade terakhir. Gambar tersebut memperlihatkan pesatnya pertumbuhan konsumsi per kapita furnitur pada negara-negara berpenghasilan menengah/rendah bila dibandingkan negara-negara berpenghasilan tinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai dampak dari peningkatan disposable income dan terbukanya akses pasar di negara-negara berkembang untuk produk furnitur dunia. Hal ini menunjukkan bahwa negara berkembang merupakan pasar potensial bagi industri furnitur seiring dengan meningkatnya pendapatan di negara-negara berkembang dan kebutuhan akan furnitur baik di segmen residensial, maupun di segmen bisnis seperti hotel, perkantoran, restoran, dan sebagainya.

Gambar 3.3 Konsumsi Per Kapita pada Negara Berpendapatan Tinggi dan Negara Berpendapatan Rendah/Menengah.

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014)

Konsumsi Furnitur

41

3.3 Perkembangan Konsumsi Furnitur DuniaPasar furnitur dunia berkembang dengan terbukanya banyak pasar baru

di berbagai belahan dunia. Berkembangnya pasar furnitur didorong oleh berbagai faktor, seperti: penurunan tarif, ekspansi dari rantai distributor besar di level internasional, perkembangan pasar negara berkembang, kemitraan antara distributor besar dan supplier asing, perbaikan dalam infrastruktur dan logistik (khususnya di negara berkembang), penurunan konsumsi per kapita furnitur (di negara maju), dan peningkatan permintaan pada produk furnitur dengan harga murah (umumnya diproduksi di Asia) (Center for European Policy Studies, 2014).

Industri furnitur Indonesia mengalami berbagai kendala yang berimbas pada penurunan daya saing. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi & Hubungan Antar Lembaga Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur mengungkapkan bahwa ada beberapa regulasi yang menghambat berkembangnya industri furnitur di Indonesia, antara lain masih tingginya suku bunga kredit bagi industri (kisaran 11,5%) bila dibandingkan dengan negara-negara produsen furnitur lainnya di dunia seperti RRT dan Vietnam; pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di hilir yang menyebabkan tambahan ongkos produksi secara total sekitar USD 40 juta; infrastruktur yang belum memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi yang masih tinggi.

Indonesia dapat belajar dari RRT dalam pengembangan industri furniturnya4. RRT mendapatkan dukungan pemerintah dengan penerapan clustering dalam memasarkan furnitur. Cluster tersebut berupa kawasan khusus yang menampilkan produk-produk furnitur dari berbagai jenis bahan, model, dan kegunaan. Dalam kawasan khusus ini juga terdapat komponen pendukung industri furnitur, seperti bahan baku, aksesoris, logistik, dan ruang pameran. Hal tersebut akan meningkatkan efisiensi industri furnitur dalam hal ketersediaan bahan baku, pengerjaan, distribusi, dan pemasaran.

Kawasan khusus furnitur ini akan memudahkan konsumen dalam memilih dan membeli furnitur yang mereka inginkan. Konsumen akan diberikan banyak pilihan jenis dan model furnitur dengan harga yang bersaing. Bagi konsumen luar negeri, kawasan khusus ini akan memberikan efisiensi dalam bertransaksi, karena mereka tidak perlu mengunjungi berbagai daerah di Indonesia untuk membeli jenis furnitur yang berbeda.

Peran Indonesia saat ini di industri furnitur global masih relatif sedikit mengingat produksi furnitur Indonesia kurang dari 1% dari porsi pasar global

4 Disampaikan oleh Au Bintoro (Presiden Direktur PT. Cahaya Sakti Multi Intraco) selaku produsen Olympic Furnitur dalam FGD FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengemban-gan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

Fitri Tri Budiarti

42

industri furnitur yang mencapai USD 440 miliar (tahun 2013), dibandingkan dengan Brazil, Vietnam dan Polandia yang masing-masing mencapai 2%-nya, apalagi RRT yang mampu menyumbang 31% produksi mebel dunia di tahun 2011. Namun demikian, industri furnitur di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan beberapa tahun

Gambar 3.4 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia.Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014)

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa penetrasi impor furnitur yang merupakan rasio impor dengan konsumsi furnitur dunia berada di level tertingginya pada tahun 2007 yaitu di level 29,5%. Pada tahun 2008, penetrasi impor furnitur mengalami penurunan dan drastis menurun pada tahun 2009 sebagai akibat adanya krisis ekonomi global. Untuk selanjutnya penetrasi impor furnitur mengalami fluktuasi sampai tahun 2012.

Tabel 3.3 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia Berdasarkan Letak Geografis

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

Tabel 3.3 menunjukkan rasio impor/konsumsi berdasarkan letak geografi yang mengindikasikan tingkat keterbukaan pasar furnitur di suatu negara. Dapat dilihat dari Tabel 3.3 bahwa penetrasi impor di negara maju, seperti kawasan Amerika Utara dan Uni Eropa memiliki tingkat penetrasi impor berkisar 40%, begitu pula dengan kawasan Timur Tengah dan Afrika. Bahkan, Norwegia, Swiss dan Islandia memiliki tingkat penetrasi impor sebesar 76%. Kawasan Eropa di luar EU memiliki tingkat penetrasi impor yang lebih rendah sebesar 33%. Tingkat penetrasi impor di negara berkembang lebih rendah, yaitu sebesar 8% untuk kawasan Asia Pasifik dan 10% untuk kawasan Amerika Selatan.

Kawasan Rasio Impor/ Konsumsi (%)Asia Pasifik 8%Amerika Utara 40%Uni Eropa (EU 28) 47%Norwegia, Swiss, dan Islandia 76%Eropa lainnya diluar EU (termasuk Rusia) 33%Amerika Selatan 10%Timur Tengah dan Afrika 49%

Konsumsi Furnitur

43

3.4 Konsumsi Furnitur Dalam NegeriPermintaan furnitur Indonesia saat ini bisa dipenuhi oleh produksi furnitur

domestik sebesar 55%, sedangkan sisanya dikuasai oleh produk impor. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi & Hubungan Antar Lembaga Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur mengatakan omzet pasar furnitur dan kerajinan di dalam negeri setidaknya Rp 10 triliun per tahun. Dengan 45% pasar dikuasai produk impor, maka nilai impor setara dengan Rp 4,5 triliun–Rp 5 triliun. Ketika pangsa pasar asing naik menjadi 55% pada tahun ini maka nilai impor menjadi Rp 5,5 triliun – Rp 6 triliun (Industri Bisnis, 2015).

Gambar 3.3 menunjukkan pengeluaran konsumen di Indonesia untuk belanja furnitur selama periode 2011-2016. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi furnitur mengalami lonjakan pesat pada tahun 2016 setelah lima tahun sebelumnya mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Furnitur merupakan produk yang wajib dimiliki di setiap rumah. Seiring dengan semakin bervariasinya furnitur yang tersedia di pasar, semakin menarik keinginan konsumen, terutama kelas menengah ke atas untuk membeli dan memperbarui furnitur mereka. Membeli furnitur baru merupakan opsi yang dinilai lebih murah jika dibandingkan memperbarui furnitur lama mereka. Walaupun begitu, pertumbuhan konsumsi furnitur masih sangat bergantung oleh tumbuhnya sektor properti dan daya beli konsumen. Dua faktor ini yang mendorong tumbuhnya konsumsi furnitur setelah tahun 2015, ketika pasar properti mulai bangkit kembali. Implementasi ASEAN Economic Community (AEC) juga memberikan peluang bagi investor furnitur asing seperti IKEA untuk masuk dan bersaing di pasar furnitur Indonesia. Hal ini mencatatkan pertumbuhan penjualan ritel furnitur sebesar 7% pada tahun 2015 (Euromonitor, 2016). Masuknya perusahaan asing menyebabkan persaingan di pasar furnitur Indonesia semakin ketat.

Gambar 3.5 Belanja Furnitur Konsumen Indonesia (USD Ribu).Sumber: Euromonitor Internasional (2017), diolah

2011 2012 2013 2014 2015 2016

540.000,00

530.000,00

520.000,00

510.000,00

500.000,00

490.000,00

480.000,00

470.000,00

460.000,00

486.537,60

508.925,50 509.068,20

498.626,30

484.843,40

528.176,10

Fitri Tri Budiarti

44

Perusahaan lokal furnitur di Indonesia masih memegang pangsa furnitur yang cukup besar, seperti PT. Cahaya Sakti Multi Intraco sebagai produsen furnitur Olympic yang mempunyai pangsa pasar domestik 5%. Merek lain yang berasal dari luar negeri masih terpaut jauh dari merek di atas. Data penjualan untuk IKEA belum bisa didapatkan karena IKEA baru masuk ke Indonesia pada akhir 2014. Walaupun begitu, merek asing seperti IKEA, Zara Home, dan JYSK mampu menyedot perhatian konsumen menengah ke atas sehingga kehadirannya dapat mengancam produsen lokal. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya penjualan IKEA dalam kurun 2014-2015, tumbuhnya penjualan Zara Home walau di skala yang lebih kecil dan semakin mampunya JYSK mengadopsi kebutuhan lokal dengan melakukan adaptasi desain furniturnya (Euromonitor Internasional, 2017).

Konsumsi furnitur di pasar lokal dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen, dan bisnis ke pemerintah. Secara rata-rata, bisnis ke bisnis mengambil 55% dari struktur segmen, diikuti oleh bisnis ke konsumen sebesar 42% dan bisnis ke pemerintah sebesar 1,2% (Ziraga dan Wandeburi, 2015). Bisnis ke bisnis di pasar Indonesia merupakan permintaan furnitur untuk industri pariwisata dan restoran. Segmen konsumsi furnitur dibagi menjadi dua, yaitu residensial dan bisnis. Residensial merujuk kepada rumah tangga (konsumen), sedangkan bisnis antara lain terdiri dari hotel, restoran, perkantoran, dan sebagainya.

Permintaan bisnis ke bisnis mengambil jumlah yang besar dari segi kuantitas, namun dengan harga lebih rendah daripada bisnis ke konsumen. Di sisi lain, permintaan bisnis ke konsumen relatif rendah dalam hal kuantitas, akan tetapi harganya 200%-450% lebih tinggi dibandingkan dengan bisnis ke bisnis. Kerumitan produk sebagian besar dihasilkan dari permintaan segmen bisnis ke bisnis dibanding segmen bisnis ke konsumen. Dalam segmen bisnis ke bisnis sebagian besar klien meminta untuk modifikasi pada produk, apakah desain, warna, atau rincian produk. Pada segmen bisnis ke konsumen, pelanggan lokal cenderung mencari furnitur yang paling murah tetapi dengan kualitas yang wajar. Biaya yang lebih rendah adalah kebutuhan umum pelanggan. Pasar Indonesia masih sangat rendah dalam hal internasionalisasi, yaitu membuat produk furnitur yang sesuai dengan kebutuhan di pasar internasional. Desain lebih banyak ditentukan oleh pemesan luar negeri, sehingga pengusaha kurang mampu mengembangkan inovasi dan kreativitasnya.Di banyak industri termasuk furnitur, bisnis mengikuti tren internasional untuk memprediksi kepentingan permintaan pasar.

Konsumsi Furnitur

45

3.5 Distribusi Nilai Tambah FurniturKonsumen dapat menikmati produk furnitur setelah melalui perjalanan

panjang dari rantai yang memroses bahan baku menjadi sebuah produk dengan nilai tambah yang diinginkan. Rantai ini melibatkan beberapa sektor yang terbagi dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan melibatkan beberapa sumber daya dan proses yang mengubah bahan baku furnitur menjadi produk yang sesuai dengan preferensi konsumen. Logistik mempunyai peran yang sangat penting dalam rantai nilai ini, meliputi segala aspek perpindahan dan penyimpanan material dan produk, dari awal proses produksi sampai ke akhir dari proses produksi.

Gambar 3.6 Peran Logistik dalam Rantai Nilai Furnitur.Sumber: European Comission Joint Research Center (2013)

Setelah menyelesaikan produksi, pabrik furnitur harus mendistribusikan barang ke pembeli. Untuk pasar dalam negeri, furnitur diangkut oleh truk ke gudang pengecer besar (Carrefour, Giant) atau ke gudang pedagang grosir untuk dibongkar dan disimpan sementara oleh pedagang. Jumlah furnitur yang lebih kecil diantar dari pedagang grosir dan gudang pengecer besar ke toko pengecer menggunakan armada truk sendiri. Setelah sampai di tempat pengecer, barang dibongkar dan dipajang untuk dijual kepada konsumen akhir. Untuk proses ekspor tahapannya dimulai setelah seorang wakil dari perusahaan pembeli (contoh: Pier One, IKEA) memeriksa contoh barang yang akan dikapalkan. Jika dapat diterima, pabrikan furnitur menghubungi perusahaan logistik (contoh: PT. Maersk, PT. Forin Antarbuana Flyindo, PT. Schenker Petrolohampag Utama) untuk mengatur jadwal dan semua dokumentasi yang diperlukan bagi pengapalan.

Fitri Tri Budiarti

46

Berdasarkan kesepakatan, peti kemas kosong dari perusahaan logistik dibawa ke gudang yang dimiliki pabrik dan diisi dengan furnitur. Setelah penuh, truk menuju ke pelabuhan, kemudian peti kemas dimasukkan ke kapal. Ini merupakan titik di mana pembeli bertanggungjawab dalam proses pengapalan, disebut juga free on board (FOB). Pengiriman barang lewat laut memakan waktu sekitar 4-5 minggu untuk sampai di pelabuhan penerima (misalnya: Eropa, Amerika Serikat) dan dibongkar di dermaga. Setelah selesai urusan kepabeanan, barang dimuat ke truk dan diantar ke gudang pembeli untuk pengantaran akhir ke toko-toko pengecernya. Biaya pengantaran di negara tujuan akhir beragam bergantung pada apakah perusahaan pengantar barang atau pembeli yang menanggungnya (USAID-SENADA, 2007).

Gambar 3.7 Garis Besar Rantai Nilai Furnitur.Sumber: USAID-SENADA (2007)

Produk furnitur untuk kebutuhan ekspor dan domestik mempunyai perbedaan dari segi kualitas dan harga. Hal ini disebabkan karena persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh produsen agar dapat

Konsumsi Furnitur

47

mengekspor produknya ke luar negeri. Sebagai contoh, untuk ekspor ke Uni Eropa, furnitur khususnya yang terbuat dari kayu harus dapat memenuhi berbagai persyaratan, yaitu (Kementerian Perdagangan, 2014): 1. Persyaratan wajib, yang meliputi berbagai persyaratan, seperti EU

Timber Regulation, mengontrol keabsahan asal kayu yang diekspor ke Uni Eropa;

2. Persyaratan Umum, yaitu menajemen keberlangsungan hutan lestari, 3. Persyaratan khusus.

Secara khusus untuk produk Olympic, menurut Au Bintoro selaku Presiden Direktur PT. Cahaya Sakti Multi Intraco selaku produsen Olympic, furnitur kualitas dan desain furnitur yang ditujukan untuk pasar ekspor lebih baik dibandingkan kualitas dan desain furnitur untuk pasar domestik5. Perbedaan kualitas dan desain tersebut berpengaruh terhadap harga jual produk. Berbeda halnya dengan IKEA, dimana produk untuk pasar domestik dan luar negeri mempunyai kualitas dan desain yang sama. Tony Mampuk selaku Head of Government Relation IKEA Indonesia6 menyampaikan perbedaan harga di tiap negara lebih kepada besaran pajak yang dikenakan. Sebagai contoh, produk IKEA di Indonesia mempunyai harga yang lebih tinggi dari produk IKEA yang sama di negara lain. Hal ini disebabkan komponen bea masuk yang ditetapkan di Indonesia lebih tinggi. Produk IKEA yang diimpor dari pabrik IKEA (Tiongkok, Swedia, Polandia) dikenakan pajak impor berkisar 10–25%, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 40%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) 7,5%. Tahun 2015 PPnBM dihapuskan, akan tetapi pajak impornya naik. Hambatan non tarif juga berpengaruh terhadap penentuan harga, seperti Preshipment Verification Inspection yang mengharuskan IKEA mengeluarkan biaya tambahan untuk melalui proses tersebut.

Proses pengerjaan bahan baku menjadi furnitur yang siap untuk dipasarkan tidak terlepas dari pihak yang terlibat dalam rantai nilai furnitur dimana pada setiap tahapan dilakukan proses tertentu yang dapat memberikan nilai tambah. Permasalahan yang ada saat ini adalah distribusi dari nilai tambah yang tercipta terdistribusi tidak seimbang antar pelaku yang terlibat (Kementerian Kehutanan, 2010).

5 Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

6 Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

Fitri Tri Budiarti

48

Tabel 3.4 Distribusi Nilai Tambah dalam setiap Tahapan Rantai Nilai

Sumber: Policy Brief, Kementerian Kehutanan (2010)

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa nilai tambah kayu semakin tinggi di hilir rantai distribusi. Petani mendapatkan nilai tambah paling sedikit, yaitu sebesar 6,5%, sedangkan nilai tambah terbesar dinikmati industri mebel besar dengan persentase 58,2%. Adapun industri mebel kecil dan menengah memperoleh nilai tambah yang juga tidak besar, sehingga dikuatirkan dapat mempengaruhi kelangsungan industri tersebut dikarenakan insentif yang diterima tergolong kecil.

Rendahnya nilai tambah yang diterima oleh petani antara lain disebabkan tidak adanya keseimbangan informasi mengenai pasar kayu, penjualan dalam bentuk pohon berdiri membuat harga pohon lebih rendah dan petani yang bersifat subsisten. Para pembuat mebel setengah jadi umumnya menghasilkan produk berdasarkan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli, yaitu industri mebel besar atau pengecer, dimana seringkali harga jualnyapun lebih dikendalikan oleh pembeli tersebut. Hal ini disebabkan terjadinya informasi yang asimetris mengenai informasi pasar sehingga para aktor yang mendapatkan lebih banyak informasi cenderung mendapatkan lebih banyak keuntungan (Kementerian Kehutanan, 2010).

3.6 Perilaku KonsumenFurnitur Indonesia memiliki ciri khas dalam hal penggunaan bahan baku,

ragam, corak, dan ukir. Corak dan ukir yang unik didapat dari keahlian pengrajin dalam mengukir furnitur sesuai dengan budaya daerah asalnya. Desain adalah ujung tombak industri furnitur Indonesia karena industri ini merupakan industri kreatif. Salah satu keunggulan furnitur Indonesia disamping bahan baku yang berkualitas adalah desain yang unik yang tidak dimiliki furnitur dari negara lain. Keunggulan ini belum ditunjang dengan efisiensi dalam

Konsumsi Furnitur

49

produksi dan pembaruan teknologi dalam produksi, menyebabkan harga yang ditawarkan menjadi tinggi7. Produksi furnitur dengan kualitas atas sebagian besar diperuntukan untuk ekspor, sedangkan furnitur domestik didominasi oleh furnitur rakitan atau furnitur dengan kualitas di bawahnya. Konsumen domestik dari kalangan menengah ke bawah cenderung mencari furnitur dengan fungsi yang mereka inginkan tanpa banyak mempertimbangkan kualitas bahan baku furnitur tersebut, sedangkan kalangan menengah ke atas lebih menyukai furnitur produksi luar negeri karena faktor gengsi.

Segmen konsumen menengah ke bawah didominasi dengan konsumsi furnitur rakitan yang harganya terjangkau dengan Olympic menjadi salah satu produsen yang menguasai pasar domestik dengan nilai penjualan mencapai Rp 1 triliun pada tahun 20158. Produsen besar domestik lainnya adalah Vivere dan Vinoti dengan produk furnitur dengan kualitas yang lebih baik dengan desain yang mewah dan menyasar segmen konsumen menengah atas.

Industri furnitur Indonesia tumbuh 4% di tahun 2015 dengan omset sekitar Rp 6 triliun, dimana 40% dikuasai produk impor. Investasi asing yang masuk ke Indonesia di industri furnitur ini mampu membawa alternatif pilihan bagi konsumen dalam hal ragam dan corak tanpa meninggalkan fungsi dari furnitur tersebut. Kehadiran IKEA, Informa, Zara Home, dan JYSK menggeser selera konsumen ke arah penggunaan furnitur yang menawarkan fungsi, kenyamanan, desain minimalis yang lebih besar dan tidak terlalu memikirkan mengenai daya tahan furnitur dalam waktu lama sehingga memungkinkan mereka untuk memperbarui dekorasi rumah mereka secara teratur.

Konsumen membeli furnitur melalui internet atau datang langsung ke toko. Konsumen umumnya masih lebih menyukai untuk melihat dan menyentuh furnitur sebelum memutuskan untuk membelinya. Walaupun begitu, pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia dapat mendorong penjualan furnitur secara daring (online) dengan semakin maraknya situs penjualan furnitur melalui internet (e-commerce). E-commerce memungkinkan terjadinya pergeseran perilaku konsumen untuk membeli furnitur secara online. Peningkatan transaksi online akan mendorong semakin maraknya perusahaan yang menjual furnitur secara online.

Pasar furnitur Indonesia saat ini berkembang mengikuti selera konsumen yang menjadikan furnitur sebagai barang fesyen dan ke depannya menuju arah consulting (jasa konsultasi dekorasi interior), dimana konsumen memerlukan saran pemilihan furniturnya kepada konsultan dengan desain yang modern dan umur furnitur yang tidak tahan lama sehingga mereka dapat memperbarui furnitur mereka secara berkala. Oleh karena itu, produsen

7 Bernardus Arwin. Wakil Ketua Umum Bidang Promosi & Pemasaran. Pada jumpa pers HIMKI di Trade Expo Indonesia ke-31. 13 Oktober 2016

8 Abdul Sobur. Pada jumpa pers HIMKI di Trade Expo Indonesia ke-31. 13 Oktober 2016.

Fitri Tri Budiarti

50

furnitur harus dapat menangkap peluang ini untuk dapat mengembangkan basis konsumen mereka.

3.7 PenutupFurnitur merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia

karena industri furnitur mampu menyerap banyak tenaga kerja. Indonesia juga memiliki sumber daya yang melimpah dan berkualitas baik sebagai bahan baku furnitur. Kemampuan pengrajin furnitur Indonesia dalam membuat furnitur berkualitas tinggi membuat furnitur Indonesia banyak diminati, baik domestik maupun internasional.

Industri furnitur menghadapi tantangan untuk dapat bertahan dengan semakin ketatnya persaingan seiring dengan meningkatnya impor furnitur, seperti dari RRT dan swedia dengan masuknya IKEA, Informa, Zara Home, JYSK, dan lainnya. Furnitur impor membuat konsumen menengah saat ini mempunyai pilihan yang lebih luas dan menggeser selera konsumen dari furnitur tradisonal ukir kayu kepada produk yang menawarkan fungsi, kenyamanan, desain minimalis dan tidak mewakili investasi jangka panjang, sehingga memungkinkan mereka untuk memperbarui dekorasi rumah mereka secara berkala.

Merek furnitur lokal masih memiliki pangsa yang cukup besar di pasar domestik, sedangkan merek luar negeri (impor) masih jauh tertinggal. Akan tetapi, kehadiran mereka membuka prespektif baru bagi konsumen dalam hal memilih furnitur. Pertumbuhan penjualan furnitur impor meningkat setiap tahunnya. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen dalam negeri untuk semakin meningkatkan inovasi dalam memasarkan furnitur agar dapat mempertahankan bahkan meningkatkan pangsanya.

Berbagai tantangan lain yang dihadapi industri ini diantaranya regulasi yang menghambat berkembangnya industri furnitur di Indonesia; infrastruktur yang belum memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi yang masih tinggi. Tidak seimbangnya distribusi nilai tambah juga menjadi tantangan bagi industri ini dimana petani, pedagang, industri kayu kecil/menengah, industri mebel kecil/menegah mendapatkan porsi nilai tambah relatif kecil dari keseluruhan pelaku yang terlibat. Keuntungan terbesar didapat oleh industri mebel besar. Hal ini dikuatirkan dapat mempengaruhi kelangsungan industri tersebut dikarenakan insentif yang diterima para pelaku usaha tersebut tergolong kecil.

Hadirnya produk furnitur impor membuat konsumen mempunyai lebih banyak pilihan untuk kebutuhan furniturnya. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini juga mampu mengubah perilaku konsumen dalam membeli

Konsumsi Furnitur

51

furnitur dengan maraknya e-commerce yang menawarkan furnitur secara daring. Perilaku konsumen ini harus mampu ditangkap pelaku industri furnitur agar produk furnitur domestik dapat bertahan maupun baik di pasar domestik dan internasional.

Perilaku konsumen Indonesia yang dinamis seiring dengan berkembangnya properti dan tren furnitur di negara berkembang lainnya memungkinkan permintaan furnitur semakin meningkat di tahun-tahun mendatang. Kesempatan ini harus dapat ditangkap oleh produsen furnitur lokal sehingga dapat terus bertahan dalam industri ini. Kecenderungan berkembangnya jasa konsultasi dekorasi interior dapat ditangkap oleh para produsen untuk mengembangkan basis konsumen mereka.

DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik. (2015). Statistik Industri Besar dan Sedang. Diunduh

8 September 2016 dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/896.

Centre for European Policy Studies. (2014). The EU Furniture Market Situation and a Possible Furniture Products Initiative. Final Report.Centre for Industrial Studies.Brussels.

EU Business Avenues in South East Asia. (2016). Market Opportunity in ASEAN.Contemporary European Design.

Euromonitor Internasional. (2016). Home Furnishings in Indonesia. Diunduh 9 Mei 2017 dari http://www.portal.euromonitor.com/portal/analysis/tab.

Furniture & Furnishing Export International. World Furniture Outlook on Global Markets. Diunduh tanggal 8 Mei 2017 dari http://www.furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-outlook-on-global-markets.php.

Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017). Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur Indonesia.

Global Business Guide Indonesia. (2013). Indonesia’s Furniture & Homeware Sector. Diunduh tanggal 7 September 2016 dari http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_furniture_and_homeware_sector.php.

Industri Bisnis. (2015, 19 Januari). Omzet Pasar Furnitur & Kerajinan Dalam Negeri Rp10 Triliun Per Tahun. Diunduh tanggal 21 September 2016 dari http://industri.bisnis.com.

Fitri Tri Budiarti

52

International Furniture Fair Singapore. (2017). World Furniture Outlook 2017: An Abstract. Diakses Diakses tanggal 8 Mei 2017 dari http://www.furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-outlook-on-global-markets.php.

Kementerian Kehutanan. (2010). Policy Brief. Volume 4 No. 7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Kementerian Perdagangan. (2014). Warta Ekspor Industri Produk Kayu, Pulp, dan Furniture Menuju Perdagangan Legal Dunia. Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional.

Kementerian Perindustrian. (2012). Laporan Kinerja Sektor Industri dan Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2012.

Kementerian Perindustrian. (2015).Program Pengembangan Industri Hasil Hutan dan Perkebunan. Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan.

Sabaruddin, S., S. (2015). Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional Vs Pasar Non-Tradisional. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sana’a. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Tambunan,T. (2006). The Growth And Competitiveness Of Indonesia’s Wood Furniture Export. Kadin Indonesia – Jetro.

Trademap. (2016). Trade statistics for international business development. Diunduh 7 September 2016 dari http://http://www.trademap.org/Index.aspx.

Ziraga, T.E., Wandebori, H. (2015).Strategic Assessment of Indonesian Furniture Industry. Journal of Business and Management, Vol. 4 No. 6. 644-662.Institut Teknologi Bandung.

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

53

BAB IVPERDAGANGAN FURNITUR DI DALAM NEGERI

Dian Dwi Laksani

4.1 PendahuluanProspek pasar furnitur dalam negeri Indonesia memiliki potensi dan peluang

yang besar, mengingat makin bertumbuhnya bisnis perhotelan, restoran, perumahan termasuk bangunan-bangunan komersial lainnya. Selain itu, industri pariwisata di Indonesia yang tengah berkembang memicu investasi di sektor perhotelan juga ikut tumbuh. Jumlah penduduk yang mencapai 258 juta jiwa (Factbook, 2017) dan perekonomian Indonesia yang makin membaik membuat sejumlah produsen furnitur dalam negeri mulai membangun pasar dalam negeri. Sebagai contoh produsen furnitur asal Klaten, Jawa Tengah, Otazen, mulai tahun 2016 akan fokus menggarap pasar dalam negeri. Sebelumnya produsen ini hanya fokus ke pasar luar negeri seperti Karibia dan Eropa. Saat ini sudah 6% dari produknya dipasarkan ke dalam negeri (Casedemont, 2016). Produsen furnitur dalam negeri lain yaitu Melody Furnitur, yang awalnya fokus pada pasar luar negeri dengan perbandingan mencapai 90% berbanding 10%. Namun, selama empat tahun belakangan, mulai fokus menggarap pasar lokal dengan perbandingan ekspor dan lokal antara 50:50 dari total produksi (Pratikno, 2016).

Permintaan akan produk furnitur di dalam negeri tiap tahun terus mengalami peningkatan. Dalam lima tahun terakhir pasar domestik Indonesia besarnya berkali lipat, sama seperti kendaraan bermotor. Pertumbuhan ini karena banyak perumahan dan properti lain yang dibangun, dan setiap yang dibangun butuh mebel dan kerajinan. Pasar dalam negeri sangat besar, terutama pasar untuk perusahaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ada sekitar 34 Kementerian, 500 Kabupaten dan 119 BUMN di Indonesia yang membutuhkan permebelan untuk perkantoran mereka. Namun sayangnya, permintaan yang tinggi ini tidak mampu diisi seluruhnya dari produk furnitur dalam negeri (Sobur, 2016). Walaupun data peta perdagangan dalam negeri belum ada dan BPS belum memiliki datanya, namun Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI, 2016) mencatat potensi pasar dalam negeri sekitar Rp 10 triliun dalam setahun. Pada tahun 2015, 45% atau setara dengan Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun pasar domestik diambil oleh produk dari negara lain.

Pertumbuhan produk furnitur impor bisa mencapai 10%-15% per tahun sehingga jika terus dibiarkan pasar dalam negeri bisa diambil oleh produk impor. Salah satu pemain di pasar lokal Indonesia, yaitu Republik Rakyat

Dian Dwi Laksani

54

Tiongkok (RRT). Impor RRT untuk produk furnitur naik sebesar 17% pada periode 2011-2014, tetapi di tahun 2015 impor RRT turun sebesar 4% (Trademap, 2016). Produk furnitur RRT diproduksi dengan biaya yang rendah dan efisien, sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen juga relatif murah dengan pilihan produk yang beragam, tetapi produk-produk RRT yang masuk ke Indonesia adalah produk pasar kelas bawah yang mudah rusak dan banyak mengandung toksin racun (Tjahyono, 2011). Selain itu, dengan hadirnya retail peralatan rumah tangga seperti IKEA (Swedia) dan Informa (Swiss) juga merebut pasar domestik Indonesia.

Dilihat dari segi bahan baku, perdagangan furnitur Indonesia masih didominasi oleh bahan baku kayu (65,6%), rotan (12%), plastik (2,7%), metal (2,45), bamboo (0,1%), panel dan lain-lain (17,15%) (Kementerian Perindustrian, 2011). Mengenai pasar dalam negeri, tidak tersedia data nasional yang bisa digunakan, tetapi HIMKI menaksir bahwa penjualan dalam negeri itu berkisar 25% penjualan ekspor, bernilai seluruhnya USD 450 juta dolar.

Furnitur dalam negeri umumnya memiliki rancang-bangun tradisional, dan dapat dikelompokkan sebagai kamar tidur (30%), ruang tamu (30%), dapur (20%) dan lemari barang, seperti lemari buku, lemari pajang, dan lemari baju (20%). Semua produk ini biasanya dibuat di bengkel-bengkel kecil dan dijual langsung ke konsumen, atau untuk pesanan besar melalui perantara. Kemudahan dalam mencari sumber kayu dan bahan lain dalam jumlah kecil, kecilnya biaya penanaman modal untuk permesinan (kurang dari USD 1000 dolar pada kebanyakan kasus) dan ketersediaan buruh tidak mahir namun dapat dilatih, semuanya menjadi penggerak utama model produser/penjual skala kecil. Satu kecenderungan penting di pasar dalam negeri adalah meningkatnya furnitur impor, khususnya lewat kehadiran pasar raya (hypermarket, superstore) yang membeli langsung dari pengimpor skala besar atau pabrikan asing (ASMINDO, 2007).

Nilai pasar furnitur dalam negeri mencapai Rp 9 triliun pada tahun 2013 (Global Business Guide Indonesia, 2015), didominasi oleh merek-merek furnitur lokal Indonesia, tetapi penjualan produk furnitur dari RRT meningkat setelah adanya perjanjian kerjasama ASEAN-China FTA yang telah menciptakan persaingan harga yang ketat. Masuknya toko furnitur asal Swedia yaitu IKEA pada tahun 2014 juga mengancam produk lokal Indonesia, konsumen Indonesia beralih dari mebel ukir tradisional menjadi membeli produk furnitur yang menawarkan fungsi, kenyamanan dan desain minimalis yang dapat diperbaharui secara teratur dan selalu mengikuti tren terbaru. Produsen furnitur lokal harus mengembangkan produk dan desain

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

55

serta bergerak dalam rantai nilai perdagangan agar dapat bersaing dengan produk impor.

Dalam Bab IV ini akan dibahas lebih mendalam pola pemasaran dan distribusi industri furnitur, perkembangan industri furnitur di dalam negeri serta strategi dan kebijakan pemerintah terkait perdagangan dalam negeri furnitur.

4.2 Pola Pemasaran dan Distribusi Industri FurniturIndustri furnitur termasuk salah satu sektor unggulan yang memberikan

kontribusi cukup besar bagi penerimaan negara. Selain berorientasi ekspor, industri ini sarat dengan nilai tambah sehingga nilainya cukup tinggi di pasaran. Industri Furnitur merupakan bagian dari budaya Indonesia, terutama di Jawa dan Bali. Industri furnitur Indonesia terdiri atas produk-produk kayu (kayu karet, mahogani, jati, akasia), bambu dan rotan serta logam/plastik baik untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Menurut Asmindo (2007), kayu furnitur menyumbang tiga perempat dari total ekspor furnitur Indonesia. Sementara itu, perusahaan besar umumnya mengkhususkan diri pada campuran panel dan kayu keras, sedangkan produsen kecil-menengah fokus pada furnitur kayu keras. Furnitur kayu terkonsentrasi di Jawa. Di pulau Jawa, industri ini terkonsentrasi di Jawa Tengah, menyumbang sekitar 26,5% produksi nasional dan sekitar 27,8% dari jumlah produksi. Klaster Jepara memiliki posisi khusus karena memiliki pangsa terbesar dalam total nilai produksi Jawa Tengah, termasuk jumlah pekerja dan banyaknya eksportir (Zainuri et.al, 2012)

4.2.1 Furnitur Kayu Keras (solid-wood)Untuk furnitur kayu keras (solid-wood) merupakan sektor dimana usaha

kecil dan menengah (UKM) memiliki peran penting. Sekitar 95% furnitur dibuat dengan melibatkan UKM. Mata pencaharian jutaan orang di Jawa, Indonesia bergantung pada industri furnitur dan rantainya (Ewasechko, 2005).

Karakteristik industri furnitur yang memiliki beragam tahapan penyelesaian proses produksi, juga memiliki peran yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan identifikasi pelaku, supply chain industri furnitur tersebut terutama furnitur kayu keras, model supply chain industri furnitur Indonesia dapat disusun seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

Dian Dwi Laksani

56

Gambar 4.1 Supply Chain Industri Furnitur Kayu Keras di Indonesia.Sumber: Widodo dkk (2010)

Industri furnitur sangat bergantung pada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Menurut Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan (2013), berdasarkan utilisasi kapasitasnya, kebutuhan industri furnitur kayu pada tahun 2013 sebesar 6,8 juta m3. Jenis hasil hutan yang digunakan sebagai bahan baku industri furnitur adalah kayu bulat dari berbagai sumber, yaitu hutan alam, kawasan konservasi, hutan tanaman (Perum Perhutani), hutan tanaman industri, dan sumber lainnya.

Hasil hutan tersebut kemudian diolah di sentra-sentra industri tidak hanya di industri furnitur tetapi juga di industri lain seperti industri kayu gergajian, industri pulp dan kertas, industri kayu lapis dan industri yang memanfaatkan hasil hutan. Pada tahun 2013, unit usaha industri furnitur dari kayu di Indonesia ada sekitar 938 unit usaha dengan nilai produksi sebesar Rp 12.739 miliar dan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 126.479 orang (Kementerian Perindustrian, 2013).

Produk furnitur Indonesia sebagian besar diekspor dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Selain dari produksi dalam negeri, konsumen juga memperoleh produk furnitur dari impor. Ekspor produk furnitur tahun 2015 adalah sebesar USD 1.708.348 ribu. Sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri termasuk impor di tahun 2015 sebesar USD 361.543 ribu sebagai tambahan (Trademap, 2017).

Industri furnitur Indonesia terdiri atas produk-produk kayu (kayu karet, furnitur, jati, akasia), furnitur dan rotan serta logam baik untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Sementara itu, perusahaan besar umumnya mengkhususkan diri pada campuran panel dan kayu keras, sedangkan produsen kecil-menengah berfokus pada furnitur kayu keras. Hal itu

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

57

disebabkan oleh tingginya biaya modal yang diperlukan untuk menghasilkan furnitur berlapis panel. Bagi produsen kecil-menengah, biaya panel yang dibeli sebagai bahan baku masih tinggi, sebagaimana harga pasar produk-produk ini tercermin pada permintaan dalam negeri dan ekspor terhadap kayu lapis, papan partikel, dan papan serat kepadatan sedang.

4.2.2 Furnitur Kayu PanelFurnitur kayu panel atau yang biasa disebut knock-down, yaitu furnitur

praktis yang dapat dengan mudah dibongkar pasang sehingga mudah untuk dipindah-pindah, terbuat dari serbuk partikel kayu yang dipadatkan. Kelemahan furnitur ini yang perlu diperhatikan yaitu kurang awet, yang diterjemahkan konsumen sebagai produk tidak tahan air, kayu cepat keropos, mudah hancur, dan tidak tahan lama. Situasi persaingan pasar dalam negeri di bisnis furnitur kayu panel (knock-down) sangat kompetitif dengan kehadiran lebih dari 100 merek furnitur knock-down ditambah produk impor seperti IKEA. Dari ratusan merek furnitur tersebut, Olympic Furnitur berhasil mempertahankan pasarnya lebih dari 50%.

Berdasarkan data Top Brand Index (2015) untuk kategori furnitur knock down, pangsa pasar terbesar dimiliki oleh merek Olympic yang mengusung produk berkualitas dengan harga terjangkau dengan pangsa pasar lebih dari 50%, disusul Ligna yaitu hanya 11,2% di tahun 2015. Jika dilihat tren tahun 2006-2015, merek Olympic memperoleh tren tertinggi di tahun 2011 sebesar 80,4% sementara di tahun yang sama merek Ligna yang diurutan kedua dengan tren 5,6%. Keberhasilan Olympic memenangi persaingan bisnis dikarenakan dapat meningkatkan kinerja merek, sehingga berhasil dikenal luas dan tertanam dipikiran para konsumen (Gunawan, 2013).

Gambar 4.2 Top Brand Index pangsa pasar Furnitur Knock Down.Sumber: Top Brand Index (2015)

Dian Dwi Laksani

58

Tabel 4.1 Perkembangan Top Brand Index Produk Furnitur Knock-Down, 2006–2015

Merek Pangsa PasarOlympic 67,0%

Ligna 11,2%

Family 6,2%

Solid 3,4%

Olympia 3,1%

Fortuna 1,5%

Active 1,3%

Fuji 1,1%Sumber: Top Brand Index (2015)

Dari data persaingan berbagai merek tersebut, Olympic memang sebagai market leader, sementara merek-merek berikutnya sangat ketat bersaing memperebutkan posisi kedua dan ketiga. Dari delapan merek teratas produk furnitur Indonesia, merek Solid dan Olympia merupakan anak perusahaan yang sama dengan merek Olympic yaitu milik PT. CASMI. Merek ini tidak terlalu menonjol Top Brand Index-nya, bersaing di pasar level berikutnya di luar tiga merek yang muncul di Gambar 4.5. Portofolio merek yang banyak dikeluarkan PT. CASMI berfungsi untuk melindungi posisi market leader, yaitu merek Olympic.

Persaingan di pasar dalam negeri dapat dikatakan sebagai persaingan bebas, karena pemasok dan pembelinya banyak, bahkan pemasok dari luar negeri bebas memasuki pasar Indonesia, namun selama masyarakat memiliki motto “Aku Cinta Produk Indonesia”, maka furnitur Indonesia bisa menjadi tuan di negerinya sendiri.

4.2.3 Analisis Structure-Conduct-Performance Industri Furnitur Studi Kasus di Kabupaten Jepara

Industri mebel Jepara merupakan salah satu sektor yang menjadi unggulan perekonomian Kabupaten Jepara. Namun industri ini mengalami penurunan disebabkan karena kurangnya ketersediaan bahan baku dan persaingan dengan industri sejenis. Zainuri, et.al meneliti mengenai struktur pasar industri, perilaku industri dan kinerja industri mebel Kabupaten Jepara atau bisa disebut Structure-Conduct-Performance (SCP). Dalam penelitiannya, struktur pasar (market structure) dapat dilihat dari beberapa komponen yaitu jumlah dan besarnya distribusi penjual, jumlah dan besarnya distribusi pembeli, diferensiasi produk, halangan memasuki pasar, struktur biaya, integrasi vertikal dan konglomerasi.

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

59

Tabel 4.2 Struktur Pasar Industri Furnitur di Kabupaten Jepara

No Komponen Hasil Struktur Pasar (market structure)

1 Jumlah dan besarnya distribusi penjual Banyak 2 Jumlah dan besarnya distribusi pembeli Banyak 3 Diferensiasi produk Diferensiasi Pasar Persaingan Monopoli4 Halangan memasuki pasar Ada halangan 5 Struktur biaya Ya, ada 6 Integrasi vertikal Ya, ada 7 Konglomerasi Sumber: Zainuri, et.al (2012)

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah penjual dan pembeli banyak, produk terdiferensiasi, terdapat halangan memasuki pasar, terdapat integrasi vertikal dan terdapat bidang usaha lain yang dilakukan pengusaha mebel sehingga struktur pasar disebut pasar persaingan monopolistik. Sedangkan untuk perilaku (conduct) industri menurut penelitian Zainuri, et.al dapat dilihat dari aktivitas (product pricing, product strategy, research & innovation dan advertising), hasil penelitian yaitu industri furnitur skala kecil dan menengah berada pada kriteria lemah, sebab kurang dari 50% pelaku (pengusaha) melakukan aktivitas tersebut. Komponen terakhir dari SCP yaitu kinerja (performance) dapat dilihat dari aspek profitabilitas, vallue added dan efisiensi. Kinerja industri skala besar yang diukur dengan rasio profitabilitas, R/C, nilai tambah dan efisiensi hasilnya adalah baik, tingkat daya saing industri kecil dan menengah rendah (kurang dari 50%) sedangkan untuk yang berskala besar tinggi (lebih dari 50%). Strategi untuk meningkatkan industri furnitur dalam penelitian ini yaitu prioritas daya saing perlu diberikan untuk usaha kecil dan menengah terutama aspek produksi dan distribusi. Aspek distribusi meliputi promosi penjualan, insentif pajak dan penguatan pasar sementara aspek produksi memerlukan pinjaman modal dengan suku bunga rendah, ketersediaan bahan baku dan peraturan pemerintah yang mudah dan tidak rumit.

4.3 Perkembangan Industri FurniturLuasnya hutan Indonesia yang besar, sumber daya manusia yang banyak

dan iklim investasi yang berpotensi untuk dikembangkan tidak menjamin industri furnitur Indonesia dapat tumbuh dengan pesat. Minimnya dukungan regulasi, seperti sulitnya bahan baku, izin ekspor dan suku bunga pinjaman yang tinggi membuat industri furnitur Indonesia terpuruk. Industri kecil furnitur dan kerajinan ukir Jawa Tengah juga mengalami dampaknya. Harga bahan baku yang terus melambung dan tenaga kerja yang semakin menyusut menjadi salah satu permasalahan terpuruknya industri furnitur di Jawa Tengah.

Dian Dwi Laksani

60

Berdasarkan data Ketua Kelompok Perajin Ukir dan Mebel di Jepara, omset 250 pengrajin kecil turun dalam beberapa tahun terakhir. Omset berkisar sebesar Rp 5 juta-Rp 20 juta per pekan turun dibandingkan tahun 2008 berkisar sebesar Rp 5 juta-15 juta per hari atau mencapai Rp 100 juta per pekan. Berdasarkan data HIMKI Jepara, pada tahun 2010 jumlah industri furnitur mencapai 5000 usaha, saat ini hanya 700-1200 unit usaha kecil, menengah ataupun besar.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ketua Umum Koperasi Industri Kerajinan Mebel DKI Jakarta, Ade Firman. Permasalahan yang dihadapi oleh industri furnitur di Indonesia yaitu sulitnya menembus aturan-aturan dan regulasi dari pemerintah seperti perbankan, permodalan yang tersendat-sendat dalam mendapatkan (Kredit Usaha Rakyat) KUR serta suku bunga pinjaman yang tinggi. Selain itu juga dalam hal pengadaan bahan baku yang masih sulit.

4.4 Strategi Membangkitkan Industri Furnitur IndonesiaZona dan potensi industri furnitur Indonesia tersebar di Sulawesi Barat

(Rotan), Sulawesi Tengah (rotan), Jawa Timur (rotan dan Kayu), Yogyakarta (Kayu), Jawa Tengah (Jepara, Semarang dan Solo) yaitu panel padat dan bambu, Jawa Barat (Kayu Padat, panel, rotan dan bambu), Jakarta (kayu padat dan panel), Banten (kayu padat dan rotan), Kalimantan (kayu dan rotan), Sumatera Utara (kayu dan rotan), Sumatera Selatan (kayu dan rotan) serta Aceh (kayu dan rotan). Keterpurukan industri furnitur saat ini mengancam potensi-potensi daerah tersebut. Strategi pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu akan membawa masalah tersebut ke dalam rapat terbatas karena banyak kebijakan lintas kementerian dan lembaga yang mempengaruhi kinerja industri furnitur di dalam negeri (Kompas, 2017). Permasalahan suku bunga perbankan yang tinggi, mengakibatkan industri furnitur dalam negeri tidak kompetitif sehingga skema pembiayaan yang tepat seperti memetakan perusahaan, negara tujuan ekspor serta besaran dan skema pembiayaan yang dibutuhkan industri furnitur akan sangat membantu pengusaha lokal (Direktorat Jenderal Industri Agro, 2017).

Pemerintah juga mendorong penggunaan produk mebel dan kerajinan dalam negeri seperti di tahun 2012, ketika pemerintah mendorong perusahaan swasta atau badan usaha milik negara menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan berupa meja kursi berbahan rotan ke sekolah dasar di sekitar perusahaan. Selain itu pemerintah dalam hal ini Koperasi Industri Kerajinan Mebel DKI Jakarta telah bekerjasama dengan pemda dengan melatih UKM agar bisa masuk pasar ke rumah-rumah minimalis, selain itu juga dikembangkan kerajinan seperti kursi ukir dan sofa ukir (Ketua Umum Koperasi Industri Kerajinan Mebel DKI Jakarta, 2017).

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

61

Pengusaha lokal juga bisa mengandalkan strategi pemasaran dengan penggunaan informasi teknologi atau dikenal dengan penjualan online. Supplier di Indonesia lebih memungkinkan untuk mengenal lebih banyak buyer dan buyer pun lebih bisa mengenal lebih banyak supplier.

Strategi lainnya menurut HIMKI, yaitu (1) Tersedianya bahan baku dan bahan penolong secara kontinyu. HIMKI sudah bekerja sama dengan Perusahaan Perdagangan Indonesia (TPI) untuk menjadi penyedia bahan baku dan bahan penolong, aksesoris di sentra industri; (2) Fasilitas program restrukturisasi mesin dan peralatan industri mebel dan kerajinan dalam rangka meningkatkan efisiensi; (3) Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) industri mebel dan kerajinan melalui pelatihan teknik produksi dan disain di sentra-sentra industri serta sertifikasi kompetensi SDM bidang industri, serta pembentukan Colllege Product Furniture; (4) Tersedianya design center di sentra-sentra industri. Selama ini design center yang difasilitasi oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan belum optimal karena apa yang disediakan pemerintah belum tentu dibutuhkan oleh pengusaha; (5) Perlunya standar untuk menjamin kualitas produk, bukan hanya untuk konsumen tapi juga dari sisi produksinya; (6) Fasilitasi promosi melalui keikutsertaan pameran baik di Luar Negeri maupun di dalam negeri; (7) Peningkatan penggunaan produk mebel dalam negeri bagi Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN, Hotel dan Properti. HIMKI mengusulkan kepada BUMN agar menggunakan produk dalam negeri, karena masih banyak BUMN yang furniturnya impor; (8) regulasi yang kondusif, tidak terfokus hanya pada SVLK (Yuwono, 2017).

4.5 Kebijakan Perdagangan Dalam NegeriDilihat dari kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri,

kontribusi industri furnitur dari tahun 2012-2015 terlihat tidak begitu besar, hanya sebesar 0,26% di tahun 2012 meningkat menjadi 0,27% di tahun 2015 (Kementerian Perindustrian, 2015). Industri lain yang mendukung sektor industri furnitur yaitu industri kayu, barang dari kayu dan gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya. Kontribusi sektor tersebut menurun dari 0,70% di tahun 2012 menjadi 0,67% di tahun 2015. Kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk industri pulp, furnitur kayu, dan wood working terus meningkat. Menurut Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan (2013), tegakan yang siap panen di areal HPH mencapai 14 juta m3 pada 2013 dan yang terealisasi hingga November 2013 tercatat hanya 2,69 juta m3 atau 635.973 batang kayu log. Hasil ini tidak memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu pertukangan yang diproyeksikan 13,9 juta pada 2013 dan naik menjadi 15,4 juta pada 2014.

Dian Dwi Laksani

62

Tabel 4.3 Kontribusi Sektor Industri terhadap PDB Tahun 2015 atas tahun dasar 2010

(persen)

No Lapangan Usaha 2012 2013 2014* 2015**1 Industri Makanan dan Minuman 5,31 5,14 5,32 5,612 Industri Pengolahan Tembakau 0,92 0,86 0,91 0,943 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 1,35 1,36 1,32 1,214 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 0,25 0,26 0,27 0,275 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya 0,70 0,70 0,72 0,676 Industri Kertas dan Barang dari Kertas: Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 0,86 0,78 0,80 0,767 Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 1,67 1,65 1,70 1,818 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 0,89 0,80 0,76 0,749 Industri Barang Galian bukan Logam 0,73 0,73 0,73 0,7210 Industri Logam Dasar 0,75 0,78 0,78 0,7811 Industri Barang Logam: Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik 1,89 1,95 1,87 1,9612 Industri Mesin dan Perlengkapan 0,29 0,27 0,31 0,3213 Industri Alat Angkutan 1,93 2,02 1,96 1,9114 Industri Furnitur 0,26 0,26 0,27 0,2715 Industri Pengolahan Lainnya: Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 0,19 0,17 0,18 0,18 Industri Non Migas 17,99 17,72 17,90 18,18 Industri Pengolahan 21,45 20,98 21,01 20,84Sumber: Kementerian Perindustrian (2015)

Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian dalam Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian tahun 2015, visi dari industri furnitur yaitu mewujudkan industri furnitur yang berdaya saing kuat, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Arah pengembangan untuk mencapai visi ini, yaitu:1. Pengembangan industri furnitur dilakukan melalui pendekatan klaster

industri, dengan inti industri furnitur yang terkait dengan industri pendukung (supporting industry) dan lokus pengembangannya untuk furnitur kayu di pulau Jawa.

Jika dibandingkan dengan industri furnitur di RRT, pemerintah RRT sangat mendukung melalui kebijakannya yang bersahabat dan tidak menjadi penghambat bagi pengusaha. Walaupun RRT tidak memiliki bahan baku tetapi tetap unggul. Salah satu kebijakannya yaitu mempunyai industri berbentuk cluster. Setiap kota besar mempunyai cluster untuk furnitur, tas, sepatu, dan pakaian, baik dari perdagangan maupun industrinya. Jika industrinya ada di satu kota, yaitu Kota Sunte maka di sepanjang jalan tersebut adalah toko dan pabrik furnitur (Bintoro, 2017). Hal ini sebenarnya sama dengan yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dengan membuat cluster seperti di Jepara dengan ukirannya, dan cirebon dengan rotannya, tetapi seiring dengan perkembangan waktu cluster-cluster ini tidak dipelihara, aspek pemasarannya lebih membiarkan masing-masing pengusaha mengikuti pameran sendiri tanpa koordinasi dan dukungan pemerintah (Bintoro, 2017).

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

63

2. Pengembangan industri furnitur ditumbuhkembangkan, baik skala menengah maupun skala kecil (IKM) serta diusahakan bermitra dengan penyedia bahan baku (industri Saw Mill dan Industri Panel Kayu), termasuk dengan daerah pemasok bahan baku.

Selain itu, dalam Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian tahun 2015, upaya yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Agro untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada adalah melalui program dan kebijakan serta pelaksanaan kegiatan yang mendorong peningkatan daya saing industri agro terutama industri furnitur, yaitu:1. Memperkuat struktur industri dengan mendorong investasi di bidang

industri hilir agro melalui promosi investasi dan usulan pemberian insentif untuk investasi di bidang industri agro tertentu maupun di daerah tertentu serta disinsentif (seperti larangan ekspor bahan baku rotan).

2. Mengurangi beban biaya energi, logistik dan distribusi dengan berpartisipasi aktif mengusulkan perbaikan infrastruktur (pelabuhan dan jalan) dan efisiensi pelayanan (jasa pelabuhan, transportasi).

3. Meningkatkan penerapan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada industri pengolahan kayu dan rotan, industri pengolahan kertas dan industri furnitur serta pemberlakuan SNI Wajib Industri Agro.

4. Meningkatkan promosi investasi dan kerjasama industri agro melalui Pameran dan Buyers Night di beberapa negara tujuan ekspor industri agro yaitu Jerman, Shanghai, Hongkong dan Amerika Serikat.

5. Mendorong pemberlakuan regulasi Permendag No.64/2012 tentang hasil hutan dan pertanian dari voluntari menjadi mandatori untuk produk kertas agar direvisi karena dikhawatirkan menganggu kinerja industri agro secara keseluruhan.

6. Melakukan kampanye atas negative campaign terhadap komoditi industri agro melalui penyusunan Buku Putih dan sosialisasi di media cetak dan media elektronik.

4.6 PenutupProspek pasar furnitur dalam negeri Indonesia memiliki potensi dan peluang

yang besar, mengingat makin bertumbuhnya bisnis perhotelan, restoran, perumahan termasuk bangunan-bangunan komersial lainnya. Permintaan produk furnitur di dalam negeri tiap tahun terus mengalami peningkatan. Namun, permintaan yang tinggi ini tidak mampu diisi seluruhnya dari produk furnitur dalam negeri. Salah satu pemain di pasar lokal Indonesia yaitu RRT. Selain itu, dengan hadirnya ritel modern peralatan rumah tangga seperti IKEA (Swedia) dan Informa (Swiss) juga merebut pasar domestik Indonesia.

Dian Dwi Laksani

64

Perkembangan industri furnitur hingga saat ini masih terkendala sejumlah masalah seperti minimnya dukungan regulasi, seperti sulitnya bahan baku, izin ekspor dan suku bunga pinjaman yang tinggi. Harga bahan baku yang terus melambung dan tenaga kerja yang semakin menyusut menjadi salah satu permasalahan terpuruknya industri furnitur di Jawa Tengah. Strategi pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu akan membawa masalah tersebut ke dalam rapat terbatas karena banyak kebijakan lintas kementerian dan lembaga yang mempengaruhi kinerja industri furnitur di dalam negeri, selain tentunya juga terus mendorong penggunaan produk furnitur dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKAAsosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO). (2007). Indonesian Furniture Directory

2007.Casedemont, David. (2016). CEO Otazen Furnitur. Hasil wawancara pada

Trade Expo Indonesia. JakartaDirektur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan dalam Syafriani,

Yunida et.al. 2015. Jurnal usu.ac.id Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2011).

Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.kemenperin.go.id/index.php/download/category/1-p?download=2% 3Ap.

Ewasechko AC. (2005). Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A Value-Chain Approach. Manila, ILO.

Factbook. (2017). Data Penduduk Indonesia. Diunduh tanggal 24 Februari 2017 dari http://www.cia.gov.

Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017). Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur Indonesia.

Gunawan, Eddy. (2013). Memperkuat Merk dengan Tiga Jurus Pamungkas. Diunduh tanggal 20 Oktober 2016 dari www.marketing.co.id.

Global Business Guide Indonesia. (2017). Indonesia’s Furniture Sector: Sitting Comfortably. Diunduh tanggal 10 Januari 2017 dari www.gbgindonesia.com.

HIMKI. (2016). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, JakartaKementerian Kehutanan. (2013). Statistik Kehutanan Indonesia. Kementerian

Kehutanan. JakartaKementerian Perindustrian. (2013). Statistik Industri. Kementerian

Perindustrian. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari www.kemenperin.go.id/Laporan-Kinerja-Kementerian-Perindustrian-Tahun-2015.

Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

65

Kementerian Perindustrian. (2015). Kontribusi Sektor Industri terhadap PDB tahun 2015 atas tahun dasar 2010. Diunduh tanggal 3 Oktober 2017 dari www.kemenperin.go.id/Laporan-Kinerja-Kementerian-Perindustrian-Tahun-2015.

Kompas. (2017, 27 Maret). Industri mebel Terpuruk.Kompas. (2017, 29 Maret). Industri mebel dibawa ke Ratas.Pratikno, Yoseph. (2016). Manager Marketing Melody Furnitur. Hasil

wawancara pada Trade Expo Indonesia. Jakarta Sobur, Ahmad. (2016). Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia

(HIMKI). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, JakartaTjahyono, Ambar dalam Agrofarm. (2011). Diunduh tanggal 8 Desember 2016

dari http://www.agrofarm.co.id/m/imperium/168/ambar-tjahyono-kita-berperang-melawan-china/#.WHBLAL67KfQ.

Top Brand Index. (2015). Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari www.topbrand-award.com/article/persaingan_furnitur_knock-down.html.

Trademap. (2017). Data Ekspor dan Impor Furnitur Indonesia. Diunduh tanggal 24 Februari 2017 dari http://www.trademap.org.

Widodo, et al. (2010). Sistem Dinamis Industri Furniture Indonesia dari Perspektif Supply Chain Management yang Berkelanjutan. Agritech Vol. 30 No. 2 Mei 2010.

Zainuri, et.al. (2012). The Performance and Prospect of Small Medium Enterprises of Furniture Industry in Jepara Regency, Central Java, Indonesia. International Proceedings of Economics Development and Research (IPEDR) Vol. 46.19.2012

66

Foto: Piter (2010).

67

BAB VPERDAGANGAN LUAR NEGERI FURNITUR

Selfi Menanti

5.1 Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir utama furnitur di

dunia karena memiliki bahan baku yang berlimpah. Produk furnitur termasuk dalam empat komoditas ekspor utama Indonesia diluar migas bersama dengan minyak sawit, tekstil dan karet (Purnomo,et. al.,2011). Industri furnitur adalah industri yang mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi dari kayu, rotan, dan bahan baku alami lainnya menjadi produk barang jadi. Industri furnitur tersebar hampir di seluruh propinsi, dengan sentra-sentra yang cukup besar terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jabodetabek dan lain-lain (Daniel Dimas, 2013). Indonesia Produk furnitur yang paling banyak diminati baik domestik maupun internasional adalah furnitur berbahan baku kayu dan rotan, walaupun tidak menutup kemungkinan permintaan ekspor furnitur dari bahan baku plastik dan metal.

Pada tahun 2016 nilai perdagangan atau peluang ekspor furnitur dan kerajinan dunia mencapai USD 131 miliar, namun peranan Indonesia dalam mengisi pangsa pasar dunia baru ±1,2 %, dimana ekspor Indonesia tahun 2016 sebesar USD 1,6 miliar. Eksportir terbesar furnitur adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), diikuti Jerman, Italia, Amerika Serikat, dan Polandia (Sobur, 2016). Penurunan peringkat Indonesia dalam ekspor furnitur ke dunia menggambarkan bahwa dalam industri ini tidak hanya menyimpan potensi, akan tetapi juga tengah menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang berdampak pada penurunan ekspor furnitur Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.

Dalam bab ini yang dibahas adalah Kinerja Ekspor Impor Furnitur dan Produk Olahannya, Ekspor Furnitur Indonesia berdasarkan Propinsi, Ekspor Impor Furnitur Indonesia dan ASEAN, Peta Perdagangan Furnitur Internasional, Daya Saing Furnitur Indonesia, Kebijakan Terkait Furnitur dan Kendala Ekspor Furnitur.

5.2 Kinerja Ekspor Impor Furnitur dan Produk Olahannya Selama 10 tahun terakhir kinerja ekspor impor furnitur di Indonesia

mengalami pasang surut dimana pada tahun 2007 sampai dengan 2008

68

ekspor rata-rata yaitu sebesar USD 1,9 miliar, namun sempat jatuh di tahun 2009 sebesar USD 1,7 miliar atau menurun sebesar 14,07% dengan neraca sebesar 11,83%. Hal ini disebabkan karena pada bulan september 2008 terjadi krisis keuangan global (Kompas, 2013). Pada tahun 2010 pernah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dengan angka USD 2,02 miliar atau meningkat sebesar 18,13%. Hal ini juga berkontribusi positif terhadap neraca perdagangan yaitu sebesar USD 1,69 miliar atau meningkat sebesar 13,42% dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun 2011 nilai ekspor furnitur menurun kembali menjadi USD 1,8 miliar. Kondisi ini disebabkan akibat perekonomian di Eropa dan Amerika yang merupakan pasar utama furnitur sedang tidak bagus (Kompas, 2013).

Gambar 5.1 Kinerja Ekspor – Impor Furnitur, 2007-2016.Sumber: Trademap (2017), diolah

Bila dilihat berdasarkan Gambar 5.2, yang paling tinggi nilai ekspornya adalah furnitur dan bagiannya (tidak termasuk kursi dan medis, bedah, gigi atau hewan) (HS 9403), dimana nilai ekspor pada tahun 2011 sebesar USD 1,16 juta dan meningkat lagi sebesar USD 1,25 juta di tahun 2014. Peningkatan ini di sebabkan oleh pemintaan dunia yang semakin meningkat. Disusul setelahnya adalah produk Kursi (dapat atau tidak dapat dikonversi ke tempat tidur dan bagian-bagiannya (tidak termasuk medis) (HS 9401) dengan nilai ekspor adalah USD 518,18 ribu, produk Kasur (tidak termasuk interior musim semi untuk kursi), dan Tempat Tidur dan perabotan yang serupa (HS 9404) sebesar USD 43,8 ribu.

69

Gambar 5.2 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk.Sumber: Trademap (2016), diolah

Impor furnitur Indonesia dari dunia berdasarkan jenis produk jika dilihat dari Gambar 5.3, yaitu Kursi (HS 9401) mengalami fluktuasi periode tahun 2011 sampai dengan 2015. Bila dilihat angkanya, tahun 2011 sebesar USD 167,52 juta, meningkat ditahun 2013 yaitu USD 231,42 juta tetapi terjadi penurunan di tahun 2015. Hal ini juga terjadi pada nilai impor Furnitur dan bagiannya (HS 9403), dimana tahun 2011 sebesar USD 115,96 juta, naik di tahun 2013 sebesar USD 146,39 juta, dan anjlok di tahun 2015 USD 134,88 juta.

Gambar 5.3 Impor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk.Sumber: BPS (2016), diolah

70

Ekspor furnitur dengan bahan baku kayu mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Berdasarkan Gambar 5.4, pada tahun 2012 nilai ekspornya USD 1,1 miliar atau 18% dan meningkat di tahun 2015 menjadi USD 1,3 miliar atau naik 22%. Sementara untuk rotan, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011, maka ekspor rotan jenis rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S dan rotan setengah jadi dilarang untuk di ekspor. Hal ini dilakukan agar pesaing industri furnitur Indonesia khususnya rotan dan bambu tidak berkembang dengan pesat (Yudi Satria, 2014). Namun ternyata, walaupun kebijakan ini diterapkan, industri furnitur rotan tidak terlalu berkembang karena daerah penghasil rotan dan daerah industri furnitur rotan tidak berdekatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil ekspor rotan dan bambu yang berfluktuasi. Pada tahun 2011 nilai ekspor rotan sebesar USD 199,81 juta, meningkat di tahun 2013 menjadi USD 220,02 juta, namun nilai ekspor anjlok di tahun 2015 sebesar USD 104,92 juta. Dengan demikian, walaupun harga rotan mentah naik, namun tidak berpengaruh terhadap nilai ekspor rotan dan bambu periode 2011-2015.

Sementara itu, nilai ekspor furnitur metal walaupun cukup besar di tahun 2011 sebesar USD 316,81 juta, namun terus menurun selama 4 tahun menjadi USD 107,08 juta tahun 2015 atau sebesar -66,20%. Berbanding terbalik, furnitur plastik justru meningkat dari tahun 2011 sebesar USD 24,21 juta menjadi USD 26,78 juta di tahun 2015 atau naik sebesar 10,63%. Bahan baku ekspor furnitur Indonesia selama ini masih didominasi kayu, metal, rotan dan bambu, plastik, dan bahan lainnya.

Gambar 5.4 Ekspor Furnitur Berdasarkan Bahan BakuSumber: Trademap (2016), diolah.

5.3 Ekspor Furnitur Indonesia berdasarkan PropinsiHampir seluruh propinsi di Indonesia memiliki bahan dasar pembuatan

furnitur, namun tidak semua daerah ini dapat melakukan pengolahan dari

71

bahan baku menjadi hasil akhir atau furnitur untuk diekspor karena dibutuhkan keterampilan khusus dan skill serta kemampuan dan kemauan yang tinggi. Ada daerah-daerah tertentu yang sudah dari dulu mampu menghasilkan furnitur dengan model dan corak yang unik dan disukai oleh para importir dan ini karena adanya budaya turun temurun dan warisan dari orang tua atau nenek moyang.

Kabupaten Jepara adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang memiliki sejarah yang cukup panjang dalam industri furniturnya. Seni Ukir Jepara sendiri telah dirintis sejak abad ke 7 (Kerajaan Kalingga) dalam pembuatan rumah tradisional dan kapal. Industri seni ukir berkembang pesat menjadi industri furnitur yang berciri khas seni ukir jepara pada abad ke 19. Seiring makin meningkatnya permintaan dari dalam dan luar negeri, industri ini menjadi sentra industri yang sangat berpengaruh bagi perkembangan perekonomian wilayah Jepara. Di Jepara, industri kecil berkelompok dalam suatu sentra pengrajin yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan.

Pada tahun 2004, industri furnitur mampu menyerap investasi sebesar 159 miliar dengan total produksi sebesar 787 miliar, dengan melibatkan 3,776 unit usaha dan 408 eksportir. Dengan total tenaga kerja yang terserap sebesar 60 ribu tenaga kerja. Sepanjang tahun 2015, nilai ekspor ke Amerika Serikat mencapai USD 26,9 juta. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara di benua Amerika yang masuk ke dalam 10 besar negara tujuan ekspor furnitur Jepara. Selain itu, tujuan utama ekspor furnitur Jepara adalah lima negara Eropa, yaitu Inggris (USD 15,3 juta), Belgia (USD 13,9 juta), Belanda (USD 13 juta), Jerman (USD 8,4 juta), dan Prancis (USD 8 juta). Empat negara lain adalah Korsel (USD 14,6 juta), Australia (USD 11,9 juta), Taiwan (USD 7,1 juta), dan RRT (USD 6,1 juta) (Bisnis.com, 2016).

Gambar 5.5 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2015.Sumber: BPS (2016), diolah

72

Jawa Tengah adalah salah satu propinsi di Indonesia yang melakukan ekspor dengan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan propinsi lain. Hal ini dikarenakan propinsi ini memiliki bahan baku kayu dan juga sumber daya manusia yang terampil. Nilai ekspor Jawa Tengah di tahun 2015 adalah USD 510,80 juta. Urutan berikutnya adalah Jawa Timur (USD 540,80 juta), DKI Jakarta (USD 416 juta), Sumatera Utara (USD 41,20 juta), dan Kepulauan Riau (USD 18,4 juta). Sisanya sebesar 1% atau sebesar USD 10,63 juta.

5.4 Ekspor Impor Furnitur Indonesia dan ASEANAssociation of South East Asia Nations (ASEAN) adalah satu organisasi di

Asia Tenggara yang terdiri dari negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu untuk menyatukan negara-negara yang berada di Kawasan Asia Tenggara melalui suatu bentuk kerjasama dalam bidang ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi maupun untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari negara tersebut. Salah satu kerjasama di bidang ekonomi adalah ekspor-impor furnitur antar negara anggota ASEAN. Indonesia merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang melakukan perdagangan ekspor impor produk furnitur.

Dalam Gambar 5.6 dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke ASEAN pada tahun 2011 sebesar USD 77,8 juta dan mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar USD 80,33 juta atau sebesar 2,53% dan meningkat lagi di tahun 2015 sebesar 87,55 juta atau sebesar 7,22%. Sementara itu, ekspor Indonesia ke negara non ASEAN sebesar USD 1,6 miliar pada tahun 2011, meningkat di tahun 2013 sebesar USD 1,7 miliar atau sebesar 0,1% sampai dengan tahun 2015 dengan nilai ekspor yang sama.

Gambar 5.6 Ekspor Furnitur Indonesia ke Negara-Negara ASEAN.Sumber: BPS (2016), diolah

73

Gambar 5.6 menunjukkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN yang paling tinggi adalah ke Malaysia sebesar USD 41,4 juta pada tahun 2011 dengan pangsa pasar sebesar 53%, namun sempat turun menjadi USD 31,8 juta atau sebesar 39% pada tahun 2014 dan mengalami kenaikan kembali sebesar USD 39 juta di tahun 2015. Ekspor ke Singapura sebesar USD 24,1 juta dengan pangsa pasar 31% pada tahun 2011 dan terus mengalami kenaikan pada tahun 2015 sebesar USD 26,8 juta, diikuti Thailand sebesar USD 13,7 juta pada tahun 2015, Vietnam USD 4,4 juta, Filipina USD 2,4 juta, Brunei Darussalam sebesar USD 430 ribu, Kamboja USD 2,5 juta dan Laos USD 8,9 ribu.

Gambar 5.7 Impor Furnitur Negara-Negara ASEAN ke Indonesia.Sumber: BPS (2016), diolah

Impor furnitur Indonesia dari negara-negara ASEAN pada tahun 2011 seperti pada Gambar 5.7 menunjukkan bahwa Indonesia terbesar mengimpor dari Thailand dengan nilai impor sebesar USD 29,4 Juta. Terjadi peningkatan impor dari Thailand pada tahun 2013 sebesar USD 46,6 juta atau sebesar 0,59% dan pada tahun 2015 terjadi pengurangan impor dengan nilai sebesar USD 37,11 juta atau setara dengan -0,2%. Urutan setelahnya adalah Malaysia sebesar USD 11,8 juta di tahun 2011, naik di tahun 2013 menjadi USD 15,6 juta atau terjadi peningkatan sebesar 0,32%, tetapi menurun di tahun 2015 menjadi USD 11,9 juta. Impor dari Vietnam juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2011 sebesar USD 928,5 ribu, meningkat menjadi USD 1,56 juta di tahun 2013 dan pada tahun 2015 menjadi USD 3,24 juta. Impor Indonesia dari Filipina justru menurun, dimana pada tahun 2011 sebesar USD 7,5 juta, menurun ke USD 3,2 juta walaupun sempat meningkat di tahun 2014 menjadi USD 7,5 juta, namun di tahun 2015 turun menjadi USD

74

2,8 juta. Berdasarkan data tersebut juga terlihat Indonesia tidak mengimpor dari Kamboja dan Laos. Data juga menunjukkan impor negara-negara ASEAN untuk Indonesia trennya semakin menurun.

5.5 Peta Perdagangan Furnitur Internasional Data BPS pada tahun 2016 memperlihatkan bahwa nilai ekspor furnitur

Indonesia pada tahun 2015 mencapai USD 1,81 miliar dan menduduki peringkat ke-21 produk ekspor Indonesia, lebih rendah dari tahun sebelumnya dengan ekspor sebesar USD 1,9 miliar.

Dari sepuluh negara besar eksportir dunia (Gambar 5.8), RRT berada di posisi pertama tahun 2015 dengan nilai ekspor sebesar 55% atau senilai USD 98,73 miliar, diikuti oleh Jerman dengan pangsa pasar sebesar 9% atau senilai USD 16,29 miliar, Italia dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 7% atau senilai USD 12,81 miliar dan USD 11,55 miliar, Polandia dan Meksiko dengan pasang pasar masing-masing sebesar 6% dengan nilai sebesar USD 10,91 miliar dan USD 9,90 miliar, Vietnam dan Kanada masing-masing sebesar 3% dengan nilai USD 5,48 miliar dan USD 5,27 miliar, serta Republik Ceko dan Belanda masing-masing sebesar 2% dengan nilai USD 4,26 miliar dan USD 4,30 miliar (Trademap, 2016)

Walaupun RRT tidak memiliki bahan baku kayu dan kualitas kayu yang lebih unggul dan lebih variatif seperti Indonesia, namun negara ini mampu mengekspor furnitur dalam jumlah yang tinggi karena pemerintah RRT sangat mendukung ekspor furnitur. Dukungan tersebut dari aspek regulasi, pengembangan teknologi, pengembangan dunia usaha, kualitas hasil produk furnitur yang sangat komprehensif (Detikfinance, 2014).

Gambar 5.8 Negara Eksportir Furnitur Dunia, 2015Sumber: Trademap (2016), diolah

75

Dari sisi impor dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara importir furnitur dari dunia yang berada di urutan pertama dengan pangsa ekspor tahun 2015 sebesar 45% atau senilai USD 61,16 miliar, diikuti Jerman sebesar 14% atau senilai USD 19 miliar, Inggris sebesar 8% atau senilai USD 11,45 miliar, Perancis dan Kanada dengan nilai sebesar 7% atau setara USD 9,60 miliar dan USD 9,74 miliar, Jepang sebesar 6% atau senilai USD 7,50 miliar, Belanda 4% atau sebesar USD 5,68 miliar, Swiss, Australia dan Spanyol masing-masing sebesar 3% atau sebesar USD 4,07 miliar, USD 4,38 miliar dan USD 4,07 miliar (Trademap, 2016).

Gambar 5.9 Negara Importir Furnitur Dunia, 2015.Sumber: Trademap (2016), diolah

Berdasarkan data ekspor Indonesia, negara tujuan ekspor furnitur indonesia yang berada di posisi pertama adalah Amerika Serikat dengan nilai ekspor 37% atau sebesar USD 675,76 juta dari total ekspor ke dunia sebesar USD 1,6 miliar. Produk furnitur Indonesia memang menjadi favorit pembeli dari negara ini karena desain-desain Indonesia masih menjadi favorit mereka, pemilihan warna produk juga cocok dengan kriteria mereka dan juga harga yang masih kompetitif (Kemenperin, 2016d). Negara tujuan kedua adalah Jepang sebesar 10% USD 189,966 juta, diikuti oleh Inggris sebesar 5%, Belanda, Jerman, Perancis dan Australia masing-masing sebesar 4%, sedangkan Belgia dan Korea Selatan sebesar 3% dan RRT 2% dan 24% merupakan nilai ekspor Indonesia untuk 197 negara lainnya.

76

Gambar 5.10 Negara Tujuan Ekspor Furnitur Indonesia, 2015.Sumber: Trademap (2016), diolah

Data Trademap pada Tabel 5.1 menunjukkan perkembangan ekspor furnitur pada periode 2011-2016, dimana lebih dari 73% produk furnitur Indonesia yang di ekspor pada tahun 2016 masuk dalam kategori furnitur kayu atau HS 9403609000. Volume ekspor untuk furnitur kayu sebesar 260.821 ton atau sebesar 73,58% dari total ekspor Indonesia. Sementara itu furnitur kayu yang terdiri dari HS 9403300000, HS 9403400000, HS 9403500000, dan HS 9403601000 memiliki volume ekspor sebesar 72.499 ton (20,45%). Untuk furnitur rotan volume ekspor sebesar 6.610 ton (1,91%). Furnitur metal juga memiliki volume ekspor yaitu sebesar 4.776 ton (1,35%) diikuti furnitur plastik dengan volume ekspor sebesar 3.527 ton (0,99%) dan barang lainnya dari furnitur sebesar 6.254 ton (1,77%).

Tabel 5.1 Ekspor Furnitur Indonesia, 2011-2016 (Kg)

Kode HS Produk Furnitur Volume Ekspor Furnitur Indonesia (Kg) Pangsa

2011 2012 2013 2014 2015 2016 (%)FURNITUR 99.788.740 425.215.114 403.776.165 411.371.866 384.626.315 354.491.275

Furnitur Kayu

9403300000 Furnitur kayu dari 7.021.307 11.541.569 12.477.474 13.164.122 10.702.869 12.814.033 3,61

jenis yang di gunakan

di kantor

9403400000 Furnitur kayu dari jenis 14.036.402 20.577.435 21.792.631 21.605.421 16.083.491 15.241.130 4,30

yang di gunakan di

dapur

9403500000 Furnitur kayu dari jenis 57.679.041 62.886.261 58.721.256 52.557.614 45.756.195 44.436.959 12,54

yang di gunakan

di kamar tidur

9403601000 Perabotan kayu lainnya 0 14.181.973 2.118.324 165.359 1.862.699 7.825 0,00

9403609000 Perabotan kayu lainnya 0 283.736.363 283.276.531 299.791.715 289.761.206 260.821.911 73,58

selain kursi

77

Rotan

9403810010 Kamar tidur, ruang 6237.026 10.523.719 9.071.196 7.801.875 6.212.944 5.672.790 1,60

makan set rotan

9403810020 Set kamar tidur dan 0 1.390.025 851.890 565.940 590.439 709.695 0,20

ruang makan dari

bahan lainnya

9403810030 Furnitur plas dari jenis 624.629 83.953 58.198 112.054 17.201 19.384 0,05

yang di gunakan dalam

taman

9403810090 Perabotan lainnya 13.373.246 552.474 242.258 465.779 265.234 208.744 0,06

dari bambu atau rotan

Metal

9403100000 Furnitur logam dari jenis

yang digunakan di kantor 817.089 926.644 1.088.853 934.296 1.032.870 909.884 0,26

9403209000 Furnitur logam lainnya 0 7.747.509 6.715.076 5.510.332 3.372.871 3.866.910 1,09

Plastik

9403701000 Perabotan plastik 0 62.352 25.016 13.326 32.452 4.469 0,00

untuk alat bantu bayi

berjalan

9403702000 Furnitur plastik untuk 0 6.064 7.650 141 350 66 0,00

lemari asap

9403709000 Furnitur plastik lainnya 0 6.222.767 5.174.340 6.367.040 3.790.443 3.523.251 0,99

Barang lainnya dari Furnitur

9403901000 Furnitur bagian lainnya 0 194.394 96.086 13.020 1.889 24.231 0,01

dari alat bantu bayi

berjalan

9403909000 Bagian lain dari furnitur 0 4.581.612 2.059.386 2.303.832 5.143.162 6.229.993 1,76

Sumber: BPS (2017), diolah

5.6 Daya Saing Furnitur Indonesia Untuk mengetahui tingkat daya saing produk furnitur indonesia di pasar

internasional, adalah dengan menggunakan perhitungan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengukuran metode ini adalah dengan menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara di bandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia.

Tabel 5.2 Produk Furnitur Indonesia yang Berdaya Saing di Dunia, 2013-2015

Produk RCAKode 2013 2014 2015HS Total 1 1 1

Furnitur kayu

940360 Furnitur kayu 3.161 3.294 3.604

940169 Kursi dengan bingkai kayu 6.595 7.756 11.062

940330 Furnitur kayu untuk kantor 0.914 0.931 0.817

940340 Furnitur kayu untuk dapur 0.699 0.642 0.635

940350 Furnitur kayu untuk kamar tidur 1.77 1.49 1.42

940161 Kursi dengan bingkai kayu, kain nes 6.596 7.765 11.062

78

Furnitur rotan

940151 Kursi dari bambu atau rotan 60.123 63.517 59.314

940159 Kursi tebu, osier, atau bahan yang serupa (berurut bambu atau rotan) 76.19 71.091 39.313

Furnitur metal, plastik dan lain-lain

940171 Kursi dengan rangka logam, di lapis, diluar HS 9402 0.161 0.198 0.194

940179 Kursi dengan rangka logam lainnya 0.998 1.149 1.308

940180 Kursi lainnya di luar HS 9402 0.184 0.258 0.495

940190 Bagian dari kursi di luar HS 9402 0.22 0.203 0.244

940310 Furnitur kantor dari logam nes 0.277 0.259 0.22

940320 Furnitur logam 0.255 0.295 0.227

940370 Furnitur plastik 1.311 1.907 1.395

940380 Furnitur berbahan lain termasuk bamboo dan lainnya 0 0 0

940389 Furnitur dari batang tumbuhan tak bercabang (bukan dari bamboo dan rotan) 2.461 2.081 0.703

940390 Bagian furnitur 0.035 0.043 0.095

Furnitur kedokteran

940210 Furnitur kedokteran, dokter gigi, cukur atau serupa kursi dan bagiannya, 0.059 0.024 0.013

940290 Furnitur kedokteran, bedah, perawatan gigi atau kedokteran hewan 0.608 0.61 0.59

Furnitur lainnya

940110 Kursi pesawat 0 0.032 0.137

940120 Kursi kendaraan bermotor 1.294 0.945 0.059

940130 Kursi putar dan dapat di atur ketinggian 0 0.008 0

940140 Kursi selain kursi taman atau peralatan kemah 0.038 0.033 0.001

940150 Kursi dari tebu, osier, bambu, atau bahan yang serupa 0 0 0

Sumber: Trademap (2016), diolah

Jika dilihat berdasarkan Tabel 5.2, produk furnitur Indonesia yang berdaya saing atau bernilai ≥ 1 di pasar dunia pada tahun 2013 adalah furnitur dari bahan kayu dan furnitur rotan. Furnitur dari bahan kayu meliputi furnitur kayu (HS 9403.60), kursi dengan bingkai kayu (HS 9401.69),Kursi dengan bingkai kayu kain (HS 9401.61) dan furnitur rotan yaitu kursi dari bambu atau rotan (HS 9401.51), Kursi tebu osier atau bahan yang serupa (berurut bambu atau rotan) (HS 9401.59).

Produk furnitur Indonesia yang berdaya saing di pasar global dengan nilai indeks yang paling besar di tahun 2013 adalah furnitur rotan HS 9401.59 (Kursi dari bambu atau rotan)d engan nilai indeks 76,19. Namun nilai indeksnya menurun di tahun 2015 sebesar 39,313. Begitu juga dengan HS 9401.51 (Kursi dari bambu atau rotan) ditahun 2013 nilai indeks 60,123, menurun ditahun 2015 sebesar 59.314. Sementara itu, produk furnitur kayu Indonesia yang berdaya saing di pasar global adalah HS 9401.69 (Kursi dengan bingkai kayu) dengan nilai indeks 6.595 pada tahun 2013 dan meningkat menjadi sebesar 11.062 pada tahun 2015. Peningkatan yang sama juga terjadi pada HS9401.61(Kursi dengan bingkai kayu, kain nes).

79

Tabel 5.3 Daya Saing Produk Furnitur RRT di Dunia Produk RCAKode 2013 2014 2015HS Total 1 1 1

Furnitur kayu 940360 Furnitur kayu 0.168 0.199 0.172940169 Kursi dengan rangka kayu 0.175 0.225 0.174940330 Furnitur kantor kayu 0.335 0.439 0.382940340 Furnitur dapur kayu 0.276 0.293 0.268940350 Furnitur kamar tidur kayu 0.158 0.178 0.117940161 Kursi dengan rangka kayu 0.177 0.199 0.172

Furnitur rotan 940151 Kursi dari bambu atau rotan 0.123 0.232 0.283940159 Kursi tebu, dll, di luar kursi bamboo-rotan 0.073 0.118 0.493 Furnitur metal, plastik dan lain-lain940171 Kursi dengan rangka logam, di lapis, diluar HS 9402 0.166 0.188 0.207940179 Kursi dengan rangka logam lainnya 0.172 0.338 0.268940180 Kursi lainnya di luar HS 9402 0.625 0.711 0.641940190 Bagian dari kursi di luar HS 9402 0.322 0.431 0.578940310 Furnitur kantor dari logam 1.572 1.908 1.842940320 Furnitur logam 0.537 0.694 0.594940370 Furnitur plastik 0.881 0.966 0.849940380 Furnitur berbahan lain termasuk bamboo dan lainnya 0 0 0940389 Furnitur dari batang tumbuhan tak bercabang (bukan dari bamboo dan rotan) 0.192 0.153 0.21940390 Bagian furnitur 0.323 0.434 0.407

Furnitur kedokteran 940210 Furnitur kedokteran, dokter gigi, cukur atau serupa kursi dan bagiannya, 0.482 0.579 0.388940290 Furnitur kedokteran, bedah, perawatan gigi atau kedokteran hewan 1.363 1.645 1.374

Furnitur lainnya 940110 Kursi Pesawat 14.848 16.629 16.335940120 Kursi kendaraan bermotor 1.5 1.676 1.208940130 Kursi putar dan dapat di atur ketinggian 0.408 0.428 0.455940140 Kursi selain kursi taman atau peralatan kemah 0.062 0.072 0.0985940150 Kursi dari tebu, osier, bambu, atau bahan yang serupa 0 0 0

Sumber: Trademap (2016), diolah

Produk furnitur RRT di pasar internasional yang berdaya saing atau ≥ 1 jika di lihat berdasarkan tabel 5.3 diatas adalah jenis produk furnitur lainnya HS 940110 (kursi pesawat), dimana terjadi peningkatan dari tahun 2013 dengan nilai indeks 14,848, meningkat lagi menjadi 16,69 pada tahun 2014 dan sempat menurun di tahun 2015 menjadi 16,335 namun masih tetap unggul bila di bandingkan dengan tahun 2013.

Berdasarkan perhitungan RCA ini kita bisa melihat bahwa indonesia memiliki daya saing yang tinggi dari produk furnitur berbahan baku kayu dan rotan di pasar internasional. Sementara itu, nilai indeksnya rendah pada produk furnitur berbahan baku plastik, metal, dan furnitur lainnya. Jika dibandingkan dengan RRT, Indonesia lebih unggul karena RRT memiliki nilai indeks yang rendah di hampir semua produk furnitur. Hanya satu yang memiliki nilai indeks tinggi di RRT yaitu furnitur lainnya HS 940110 (seats aircraft/kursi pesawat).

80

5.7 Kebijakan Legalitas Kayu untuk Perdagangan FurniturPerusakan hutan masih terus berlangsung hingga kini. Selama kurun waktu

15 tahun terakhir kerusakan hutan dunia mencapai 148 juta hektar, dimana Indonesia di posisi ke dua setelah Brazil dengan kerusakan hutan sebesar 28 juta hektar (Antara News, 2015). Hal ini membuat kayu dan hasil olahannya tidak mau di terima oleh negara-negara di dunia, oleh karena itu pemerintah merancang satu sistem yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau Timber Legality Assurance Standard (TLAS). SVLK adalah Sistem yang di terapkan oleh pemerintah untuk memastikan keberlanjutan hutan indonesia melalui perdagangan produk kayu secara legal dan mencegah terjadinya penebangan liar (illegal logging), SVLK ini di kembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan di Indonesia, di mana SVLK mulai berlaku sesuai dengan penjelasan dalam pasal 20 Peraturan Menteri Kehutanan No. 38/menhut-II 2009 peraturan ini berlaku pada saat diundangkan 12 Juni 2009 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 September 2009.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Manfaat SVLK yaitu membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar, SVLK juga memberikan kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang di produksi oleh Indonesia merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal, menjadikan SVLK sebagai satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia, karena selama ini di mata dunia khususnya negara-negara Uni Eropa tidak mau menerima kayu Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.6/VI-Set/ 2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Hak Hutan.

SVLK harus dikembangkan guna mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. SVLK memberantas illegal logging dan meningkatkan daya saing produk serta meningkatkan penerimaan produk Indonesia di pasar luar negeri. Secara umum, Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/2/2017 berisi tentang pengelompokan produk yang wajib menggunakan dokumen V-Legal, dimana semua kelompok jenis olahan kayu telah diwajibkan menggunakan dokumen V-Legal. Penerbitan V-Legal merupakan hak bagi

81

semua pelaku usaha yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK). Indonesia memasuki babak baru, konsistensi pemerintah Indonesia dalam membangun dan menerapkan sertifikasi legal untuk semua produk kayu. Implikasi dari kebijakan ini adalah semua pelaku usaha kayu wajib memiliki sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) merupakan kebijakan Uni Eropa terhadap masalah pembalakan liar dan perdagangan produk hasil hutan yang terjadi secara global. Indonesia merupakan negara pertama yang memiliki lisensi FLEGT. Dimana setelah melalui proses selama sembilan tahun dan akhirnya berlaku pada tahun 2016 bulan November, dengan sertifikasi ini produk kayu Indonesia tidak perlu lagi mengikuti uji kelayakan yang ketat yang di terapkan oleh Uni Eropa dan hal ini di perkirakan akan meningkatkan ekspor produk kayu Indonesia ke negara-negara Uni Eropa.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan mengalami perubahan beberapa kali diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan No. 81/M-DAG/PER/12/2013, Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, Peraturan Menteri Perdagangan No. 66/M-DAG/PER/8/2015, Peraturan Menteri Perdagangan No. 84/M-DAG/PER/12/2016 dan di lakukan perubahan lagi dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/2/2017 tentang ketentuan ekspor produk industri kehutanan. Setelah di berlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan ini volume ekspor produk industri kehutanan ke Uni Eropa pada tahun 2016 mencapai USD 868.850 juta, sementara pada periode januari hingga mei 2017, nilai lisensi FLEGT yang sudah di terbitkan mencapai USD 590.562 juta atau lebih dari separuh pencapaian ekspor tahun lalu dan hal ini akan berpengaruh pada peningkatan ekspor furnitur.

5.8 Kendala Ekspor FurniturIndonesia memiliki potensi besar terkait penjualan furnitur luar negeri.

Melimpahnya bahan baku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menjadi keunggulan yang tak dimiliki negara lain. Namun masih ada beberapa hambatan yang menghambat perkembangan industri furnitur untuk tumbuh lebih besar. Bila kita melihat dari 280 anggota Asmindo, 80% merupakan anggota UKM dan hal ini membedakan dengan negara-negara lainnya yang merupakan industri besar.

Hambatan yang menghambat ekspor furnitur adalah biaya logistik yang tinggi di Indonesia karena biaya logistik yang tinggi secara otomatis

82

berpengaruh terhadap biaya trasportasi pada saat pengiriman barang ekspor dan pengiriman biaya bahan baku dari daerah terbilang mahal, adanya ketergantungan terhadap tingkat perekonomian dunia dan juga tingginya biaya bunga bank bagi mereka yang mau berinvestasi di Indonesia, dimana bunga bank dalam negeri mencapai 12% sedangkan di Malaysia hanya 5%. Banyaknya regulasi yang dinilai menghambat ekspor furnitur juga dikeluhkan oleh pengusaha dari berbagai daerah. Selain itu hingga saat ini belum ada pusat penyedia perlengkapan furnitur.

Kebijakan yang menghambat lainnya antara lain persoalan perizinan. Saat ini para pengusaha furnitur resah sebab lokasi produksi mereka tidak lagi masuk dalam kawasan industri sehingga pengusaha kesulitan ketika ingin memenuhi persyaratan sertifikasi kualifikasi ekspor. Salah satu syarat kualifikasi ekspor dimulai dari izin penggunaan lahan, dan karena izin mendirikan bangunan dalam penggunaan lahan sulit, maka pengurusan sertifikasi ekspor seperti sertifikat verifikasi legal kayu (SVLK) juga terhambat. Akibatnya, mereka akan mengalami hambatan dalam melakukan ekspor. Dampaknya, kinerja ekspor mebel dan kerajinan tahun 2016 menjadi stagnan (okezone.com, 2016).

5.9 PenutupIndonesia harusnya menjadi negara pengekspor furnitur terbesar karena

memiliki hutan yang luas dengan kekayaan ragam kayu dan rotan serta serat alam sehingga Indonesia berpotensi menghasilkan desain yang unik. Tenaga kerja furnitur Indonesia mulai dari yang terampil hingga tidak terampil tersedia dan tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan tenaga kerja sejenis di negara lain. Hal ini memungkinkan furnitur Indonesia juga bisa bersaing dalam harga. Namun, produk furnitur Indonesia di pasar Internasional, nampaknya belum terlalu menonjol. RRT, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat masih menjadi pemasok utama produk furnitur di dunia selama lima tahun terakhir.

Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK) harus di kembangkan guna mendukung peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. Adanya lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) yang dikeluarkan oleh Uni Eropa di Brussels, Belgia pada 28 November 2016, mendorong agar keunggulan komparatif produk kayu asal Indonesia bisa dimanfaatkan untuk meraih pasar yang lebih besar di Uni Eropa.

Para pengrajin dan pengusaha juga harus melihat selera konsumen dari segi desain dan harga. Selain itu dibutuhkan inovasi, teknologi yang canggih serta kreativitas dan bahan yang digunakan. Industri furnitur memerlukan

83

perhatian khusus dari pemerintah, diantaranya dengan penurunan suku bunga kredit menjadi single digit, bantuan alat-alat produksi secara merata sehingga menopang terjadinya proses produksi yang lebih cepat dan efisien sehingga indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lainnya. Pemerintah juga harus membuka pasar-pasar ekspor baru tujuan ekspor furnitur sebagai pasar alternatif yang berada di kawasan Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur.

DAFTAR PUSTAKAAntaranews (2015). Kerusakan hutan Indonesia nomor dua di dunia. Di unduh

pada 19 Juni 2017 melalui http://www.antaranews.com/berita/495645/kerusakan-hutan indonesia-nomor-dua-di-dunia

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (2015). Road Map Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia. Diambil pada buku Road Map Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Target pencapaian Ekspor 5 Milyar USD.

Bisnis. (2016). Hebat, Mebel Ukir Jepara Andalan Ekspor ke Amerika. Diunduh pada 27 April 2017 melalui http://industri.bisnis.com/read/ 20160223/87/521885/hebat-mebel-ukir-jepara-andalan-ekspor-ke-amerika

Daniel Dimas (2013). Bab 1 pendahuluan 1.1 Latar Belakang Industri Furnitur. Di unduh pada 16 September 2016 melalui http://e-journal.uayj.ac.id/4450/2/1EP17948.pdf. http://indonesia-product.com/forum/index.php?topic=2278.0

ETD UGM (2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia. Di unduh pada 30 Mei 2017 melalui etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/97927/.../S1-2016-318738-Chapter1.pdf

Detik finance (2014). Mengurai Penyebab Kalahnya Ekspor Produk Kayu RI dari China. Diunduh pada 19 Juni 2017 melalui https://finance.detik.com/industri/2522487/mengurai-penyebab-kalahnya-ekspor-produk-kayu-ri-dari-china

Jusufkalla.info (2016). Pesaingan Industri Furnitur Semakin Ketat, harus lebih kreatif. Diunduh pada 28 oktober 2016 melalui http:// jusufkalla.info/archives/2016/03/11/persaingan-industri-furnitur-ketat-harus-lebih-kreatif.

Kementerian Perdagangan (2017). Permendag No 12/M-DAG/PER/2/2017. Di unduh pada 19 juni 2017 http://peraturan.bcperak.net/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-12m-dagper22017.

84

Kementerian Perindustrian (2012a).Laporan Kinerja Sektor Industri dan Kinerja Kementerian Perindustrian. Di unduh pada 18 November melalui https://www.google.com/search?q=Laporan+Kinerja+Sektor+Industri+dan+Kinerja+Kementerian+Perindustrian+Tahun+2012.+Kementerian+Perindustrian.&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab.

Kementerian Perindustrian. (2015b). Industri Mebel Optimis Kuasai ASEAN. Di unduh pada 16 mei 2017 melalui http://www.kemenperin.go.id/artikel/9642/Industri-Mebel-Optimis-Kuasai-ASEAN

Kementerian Perindustrian. (2017c). Kondisi Industri Furnitur di Indonesia. Hasil Pembahasan Info Komoditi Furnitur. Jakarta

Kementerian perindustrian (2016d). Ekspor Furnitur dan Kerajinan Dibidik US$ 2,8 Miliar. Di unduh pada 15 Juni 2017 http://www.kemenperin.go.id/artikel/14771/Ekspor-Furnitur-dan-Kerajinan-Dibidik-US$-2,8-Miliar

Kompas. (2017a). Industri Mebel Terpuruk. Di unduh pada 7 juni 2017 melalui https://kompas.id/baca/utama/2017/03/27/industri-mebel-terpuruk/

Kompas. (2017b). Positif, Dampak Lisensi Legalitas Kayu ke Uni Eropa. Di unduh pada 7 juni 2017 melalui https://kompas.id/baca/nusantara/.../positif-dampak-lisensi-legalitas-kayu-ke-uni-eropa.

Kompas. (2017c). Produk kayu Indonesia Berlisensi tiba di London. Di unduh pada 13 Februari 2017 melalui http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/17/180000626/produk.kayu.indonesia.berlisensi.tiba.di.london.

Kompas. (2013d). Ekspor Furnitur 2012 Membaik. Di unduh pada 15 Juni 2017 melalui http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/11/13272139/Ekspor.Furnitur.2012.Membaik

MuriaNewsCom. (2014). Ekspor Mebel Terjun ke Urutan 18. Di unduh pada 17 Mei 2017 melalui http://www.murianews.com/2014/08/23/5825/ekspor-mebel-terjun-ke-urutan-18.html Indonesia bisnis.Potensi Bisnis Furnitur di Indonesia (2012). Di unduh pada 28 November melalui http://indonesia-product.com/forum/index.php?topic=2278.0

Okezone. (2016). Pertumbuhan Ekspor Mebel masih Stagnan. Di unduh pada 15 April melalui http://economy.okezone.com/read/2016/08/26/320/1473607/pertumbuhan-ekspor-mebel-masih-stagnan

Republika (2015a). Ini sejumlah kendala Ekspor Furnitur Indonesia. Di unduh pada 21 Maret 2017 melalui http://www.republika.co.id/ berita/ekonomi/ makro/15/03/17/ nlcpzr-ini-sejumlah-kendala-ekspor-furniturindonesia

85

Republika (2017b). Di Hadapan Presiden, HIMKI Keluhkan Hambatan Ekspor Furnitur . Di unduh pada 23 Maret melalui http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/03/11/omngg6415-di-hadapan-presiden-himki-keluhkan-hambatan-ekspor-furnitur

Sindonews (2016) Dapat Lisensi FLEGT Produk Kayu Indonesia Makin di Minati Uni Eropa. Di unduh pada 3 Maret 2017 melalui https://ekbis.sindonews.com/read/1159254/34/dapat-lisensi-flegt-produk-kayu-indonesia-makin-diminati-uni-eropa-1480439143

Sofiana, Yunida.(2011). Analisis Strategi Peningkatan Produksi Mebel di Sentra Industri Kayu. Diunduh pada 23 Maret melalui http://research-dashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceeding/Humaniora/Vol .%202%20No.%201%20Apri l%202011/01%20-20Yunida%20Sofiana%20-%20OK.pdf

Trade Map. (2016a). Data Ekspor dan Impor data Dunia. Di unduh tanggal 7 September 2016 melalui http://www.trademap.org

Trade Map (2017b). Data Negara tujuan Ekspor Indonesia. di unduh tanggal 19 Juni 2017 melalui http://www.trademap.org

Yudi Satria (2014). Jurnal Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Rotan Mentah Terhadap Industri Furnitur Rotan Indonesia 2011-2012. Diunduh pada 7 Juni 2017 melalui https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/ viewFile/2439/2375

86

Niki Barenda Sari

BAB VIPELUANG DAN TANTANGAN PRODUK FURNITUR

INDONESIANiki Barenda Sari

6.1 PendahuluanProduk furnitur Indonesia dapat dikatakan sebagai sektor andalan bagi

Indonesia, baik sebagai penghasil devisa negara maupun sebagai penyerap tenaga kerja. Sebagai penghasil devisa negara, ekspor furnitur termasuk dalam 20 besar dalam deretan industri penyumbang devisa negara pada tahun 2015 (BPS, 2016). Salah satu faktor pendukungnya adalah karena mudahnya memperoleh bahan baku. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, seperti kayu dan rotan yang digunakan sebagai bahan baku utama furnitur. Indonesia termasuk negara penghasil kayu dan rotan terbesar di dunia. Dengan posisi tersebut, Indonesia mampu memproduksi produk kayu dan turunannya, termasuk furnitur.

Sebagai penyerap tenaga kerja, dapat dikatakan bahwa industri furnitur memberikan kontribusi cukup signifikan bagi penyediaan lapangan pekerjaan di sektor industri. Dilihat dari jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama, sektor industri secara keseluruhan menyerap 13,3% tenaga kerja nasional atau mencapai 15,3 juta orang. Industri furnitur merupakan industri padat karya yang berkontribusi menciptakan lapangan pekerjaan bagi 500 ribu tenaga kerja dan 2,5 juta tenaga kerja tidak langsung atau sebesar 19,6% dari total tenaga kerja sektor industri. Selain itu, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) mencatat setiap pertumbuhan ekspor USD 1 miliar dapat menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja (AMKRI, 2015). Artinya, penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur masih terus dapat didorong dengan menguatkan peran ekspor.

Namun demikian, posisi produk furnitur Indonesia di pasar internasional nampaknya belum terlalu menonjol. RRT, Jerman, Italia, Polandia, dan Amerika Serikat masih menjadi pemasok utama produk furnitur di dunia selama lima tahun terakhir, sementara Indonesia menempati urutan ke-19, bergerak turun dari posisi ke-17 pada tahun 2013. Tentu ke depannya, sektor furnitur Indonesia perlu dimaksimalkan dengan mengentaskan berbagai masalah dan hambatan yang terjadi sehingga sektor ini bisa menjadi alternatif penopang ekspor non migas kita di tengah lesunya perkembangan ekspor produk utama di pasar internasional. Peluang untuk meningkatkan ekspor furnitur pun masih terbuka lebar. Kebutuhan dunia terhadap furnitur cenderung meningkat dari

87

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

tahun ke tahun, hal ini menandakan peluang pasar yang cukup besar di pasar internasional. Selain itu, pasar domestik juga tidak kalah penting. Masuknya berbagai produk furnitur asing di Indonesia menjadi pemicu bagi industri furnitur dalam negeri untuk meningkatkan daya saing dan mempertahankan pasar domestik.

Dalam bab ini selanjutnya dibahas lebih detail mengenai peluang pengembangan furnitur dan peningkatan ekspor furnitur yang dapat dimanfaatkan oleh para stakeholder terkait. Selain itu, juga diulas mengenai berbagai permasalahan dan tantangan dalam pengembangan furnitur, serta kebijakan terkait furnitur yang memiliki pengaruh, baik dalam pengembangan furnitur maupun dalam upaya peningkatan ekspor furnitur di masa yang akan datang.

6.2 Peluang Produk Furnitur Indonesia di Pasar Internasional Masih Terbuka Lebar

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) yang sejak tahun 2016 bergabung dengan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) menjadi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) telah menargetkan pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan nasional dalam lima tahun ke depan sebesar minimum USD 5 miliar, atau rata-rata tumbuh di atas 15%-18% (AMKRI, 2015). Target USD 5 miliar tersebut tentu sebagian besarnya dihasilkan dari ekspor furnitur proporsional dengan kontribusinya terhadap total ekspor furnitur dan kerajinan. Target ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pasar furnitur global yang diprediksi oleh analis dari Riset Pasar Technavio akan tumbuh moderat 4% hingga akhir tahun 2020.

Target yang ditetapkan HIMKI tersebut mencerminkan optimisme industri furnitur dan kerajinan yang perlu disambut dan didukung, khususnya oleh pemerintah, karena sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor non migas Indonesia. Ekspor non migas, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019, ditargetkan tumbuh 11,9% pada tahun 2017 dan 14,3% pada tahun 2019, namun banyak pihak yang meragukan keberhasilan pemerintah dalam mencapai target tersebut mengingat masih lesunya perekonomian global yang tidak hanya terjadi di negara maju namun juga di negara berkembang. Hingga pertengahan tahun 2016, ekspor Indonesia masih tumbuh negatif 4,6% dibanding tahun lalu, yang bersumber dari pertumbuhan ekspor non migas -5,2% dan ekspor migas 2,0%. Namun demikian, industri furnitur, terutama yang berbahan kayu dan rotan, mampu bertahan menjaga kinerja ekspornya tumbuh di angka 6,2% dalam lima tahun

88

Niki Barenda Sari

terakhir. Sementara itu, industri andalan Indonesia seperti Produk Tekstil, Elektronik, Produk Kimia, Mesin-mesin, dan Produk Karet terlihat bergerak melambat sebagai imbas melemahnya permintaan dunia.

Gambar 6.1 Rekapitulasi Proyeksi Pertumbuhan Industri Mebel dan Kerajinan.

Sumber: HIMKI (2016)

Di sisi lain, negara pesaing Indonesia seperti Malaysia juga merespon tingginya peluang eskpor furnitur dengan menetapkan Roadmap Industri Furnitur 2016-2020 dengan tema Furnishing Malaysia with Exciting Diversity and Unlimited Opportunities. Asosiasi Furniture Malaysia, Malaysian Furniture Council (MFC), dalam menetapkan roadmap tersebut berupaya untuk menangkap peluang yang ada dengan meningkatkan kualitas dan inovasi produk melalui 5 aspek, yaitu memperbarui upaya untuk menjaga pasar tradisional, mengkoordinasikan strategi untuk memasuki pasar emerging, mempromosikan keanekaragaman sebagai daya saing utama, meningkatkan pasokan bahan mentah yang berkelanjutan, mengutamakan keseimbangan antara teknologi dan tenaga kerja, melayani usaha kecil menengah dan masyarakat (Malaysian Furniture News, 2016).

6.2.1 Pasar Furnitur di Amerika Serikat Tetap Menjadi AndalanOptimisme industri furnitur Indonesia didorong oleh masih tingginya

permintaan dunia terhadap produk furnitur yang bahkan terus meningkat dengan pertumbuhan sebesar 3,9% selama tahun 2012-2015. Permintaan dunia ini didominasi oleh permintaan dari Amerika Serikat (AS) yang pada tahun 2015 kontribusinya mencapai sebesar 30,6% dari permintaan dunia. Selain kontribusinya yang besar, kebutuhan Amerika Serikat terhadap furnitur juga terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tetap tumbuh positif sebesar 9,8% di tengah turunnya permintaan furnitur dunia pada tahun 2015

89

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

(Trademap, 2016a). Analis Technavio (2016) bahkan memproyeksikan pasar furnitur di Amerika Serikat tumbuh 5,8% selama periode 2016-2020. Tidak hanya berperan penting sebagai penggerak bagi permintaan impor furnitur dunia, Amerika Serikat sendiri telah menjadi pasar ekspor yang penting bagi furnitur Indonesia dengan pangsa 38% dari total ekspor furnitur Indonesia, bahkan pangsa ini terus tumbuh dan meningkat 5,3% per tahun sejak tahun 2012.

Dengan peran pentingnya bagi ekspor furnitur Indonesia, di tengah kelesuan ekonomi global ini Amerika Serikat masih bisa tetap menjadi pasar ekspor utama bagi furnitur Indonesia karena kebutuhannya yang semakin meningkat. Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah kegiatan penjualan sektor perumahan yang terlihat membaik. Dengan semakin membaiknya penjualan rumah maka semakin meningkat pula permintaan terhadap furnitur karena furnitur merupakan produk komplementer bagi pengembangan/pembangunan rumah. Meskipun masih berfluktuasi, perkembangan penjualan rumah telah menunjukkan arah perbaikan yang positif. Penjualan rumah baru di Amerika Serikat meningkat 12,4% di bulan Juli 2016 mencapai 654.000 unit dan merupakan penjualan tertinggi sejak bulan Oktober 2007, serta jauh lebih baik di atas ekspektasi pasar yang diperkirakan hanya mencapai 580.000 unit (Tradingeconomics, 2016a). Capaian bulan Juli tersebut menunjukkan geliat yang baik di industri perumahan Amerika Serikat dan diperkirakan ke depannya akan tetap berlanjut. Sinyal positif ini tentu memberikan harapan baik bagi pasar furnitur karena permintaan furnitur erat kaitannya dan bahkan didorong utamanya oleh permintaan perumahan.

Sebagai salah satu pemasok produk furnitur di Amerika Serikat, peluang Indonesia untuk dapat merebut pangsa pasar di Amerika Serikat sebenarnya sangatlah besar. Sebagai contoh, untuk produk furnitur tertentu seperti tempat tidur kayu, Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat merebut pangsa pasar Amerika Serikat dari pemasok lainnya seperti RRT, Malaysia, dan Vietnam. Tempat tidur kayu merupakan produk furnitur yang banyak diimpor oleh Amerika Serikat, mencapai 8,1% dari total impor furnitur Amerika Serikat pada tahun 2015. Ketika Amerika Serikat mengenakan BMAD atas impor tempat tidur kayu asal RRT, terjadi trade diversion atau pengalihan permintaan tempat tidur kayu dari RRT ke negara lain, termasuk Indonesia. Pangsa impor tempat tidur kayu asal Indonesia meningkat dari 6,0% di tahun 2004 menjadi 8,0% di tahun 2008 (selama pengenaan BMAD berlangsung).

Wan, Sun dan Grebner (2010) yang menganalisis permintaan tempat tidur kayu di AS mengemukakan bahwa permintaan impor tempat tidur kayu bersifat elastis terhadap harga. Pada jangka pendek, tingkat elastisitas harga

90

Niki Barenda Sari

impor tempat tidur kayu lebih tinggi dan ini mengindikasikan bahwa disamping kualitas, harga sangatlah menentukan tingkat permintaan impor tempat tidur kayu. Produk furnitur Indonesia, khususnya tempat tidur kayu, perlu menaruh perhatian lebih pada strategi harga agar dapat merebut pangsa pasar di Amerika Serikat. Selain tempat tidur kayu, berdasarkan hasil analisis tren industri furnitur di Amerika Serikat pada tahun 2015, memang pertumbuhan permintaan furnitur didorong oleh pertumbuhan permintaan produk furnitur untuk kamar tidur dan ruang tamu. Berdasarkan International Sleep Products Association dalam CIT (2015a), penjualan kasur pada bulan Juli 2015 tumbuh 4,2% dibanding tahun lalu. Hal ini dipicu antara lain karena munculnya teknologi baru dan pemain baru di pasar tersebut.

Namun demikian, kita perlu mewaspadai pesaing utama yakni RRT. Masih berdasarkan hasil penelitian yang sama (Wan, Sun dan Grebner, 2010), tingkat elastisitas impor tempat tidur kayu asal RRT sangat rendah atau inelastis. Permintaan impor tempat tidur kayu asal RRT tidak lagi bergantung pada harga, inilah yang menyebabkan permintaan impor asal RRT tetap tinggi meskipun telah dikenakan BMAD.

Hasil analisis tren industri furnitur di Amerika Serikat tahun 2015 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi RRT baru-baru ini dapat memberikan pengaruh baik bagi RRT sebagai pemasok produk furnitur di Amerika Serikat, dan sebaliknya dapat membahayakan posisi Indonesia dan Vietnam sebagai pemasok. Akibat pelemahan nilai tukarnya, produk furnitur RRT menjadi jauh lebih kompetitif dibanding produk furnitur asal Indonesia dan Vietnam. Padahal, beberapa pabrik furnitur di Amerika Serikat telah mengalihkan sumber pasokannya dari RRT ke pemasok asal Indonesia dan Vietnam.

Dengan kembali masuknya produk furnitur asal RRT yang lebih murah, di satu sisi memberi keuntungan bagi konsumen Amerika Serikat karena mendapatkan pasokan yang lebih kompetitif. Namun demikian, keadaan ini justru memberi tekanan bagi produk furnitur Indonesia untuk bersaing dengan lebih ketat dan mempertahankan pangsa pasarnya (CIT, 2015b).

6.2.2 Indonesia Perlu Melirik Pasar Furnitur di Uni Emirat Arab dan Arab Saudi

Permintaan ekspor furnitur Indonesia dari mitra utama seperti Jepang, Perancis, Belanda dan Jerman tengah mengalami kelesuan dalam lima tahun terakhir yang tercermin dari turunnya permintaan furnitur Indonesia di masing-masing negara tersebut sebesar -9,6%, -2,8%, 4,7%, dan 4,1% (Trademap, 2016b). Bukan hanya dari Indonesia, permintaan furnitur secara umum di negara tersebut juga mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun

91

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

2015. Untuk menjaga keberlangsungan ekspor, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pasar tersebut sehingga perlu segera mencari pasar ekspor lain yang memiliki prospek baik ke depannya, yang salah satunya adalah Uni Emirat Arab (UEA). UEA merupakan salah satu pasar yang menjanjikan bagi produk furnitur Indonesia karena permintaan furnitur dan produk kayu di UAE masih mengalami pertumbuhan yang masif pada level 13,5% selama empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, nilai impor furnitur UEA mencapai USD 2,1 miliar, meningkat 24,1% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD 1,7 miliar. Impor furnitur UEA banyak dipasok oleh RRT dan Italia yang pangsanya mencapai masing-masing 34,3% dan 11,7% dari impor furnitur UEA pada tahun 2014.

Pertumbuhan yang pesat ini salah satunya dipicu oleh kebijakan ekonomi UEA yang lebih menitikberatkan pada sektor pariwisata, dan kebijakan yang fokus pada pembangunan ekonomi berbasis real-estate. Pada tahun 2016, UEA memiliki banyak mega proyek yang meliputi proyek pembangunan di sektor pariwisata dan bisnis. Hal ini turut mendorong peningkatan kebutuhan furnitur, terutama furnitur hotel. Selain itu, pembangunan real-estate juga semakin mengakselarasi peningkatan permintaan furnitur di UEA (Abu Dhabi Urban Planning Council, 2007).

Pemerintah UEA sedang membangun Abu Dhabi City dengan konsep struktur perkotaan yang tertuang dalam kerangka pembangunan Plan Capital 2030. Dalam pembangunan ini, juga akan dibangun pusat kota kedua setelah Abu Dhabi City yakni Zayed City. Seiring dengan pembangunan Zayed City, pemerintah juga membangun perkotaan di pinggiran yang akan mengakomodasi perumahan bagi 80.000 orang. Pembangunan Abu Dhabi City juga melingkupi pembangunan Yas, Al Reem, Al Maryah dan Saadiyat Islands. Al Maryah Island difokuskan untuk kegiatan bisnis dan gaya hidup, termasuk akan dibangunnnya Four Seasons Hotel Abu Dhabi dan Al Maryah Central Retail Development. Sementara itu, pembangunan Yas Island difokuskan sebagai pusat hiburan dengan dibangunnya jalur Formula One Track, pusat perbelanjaan terbesar dan hunian mewah. Di sisi lain, pembangunan Saadiyat Island dicanangkan akan menjadi pusat budaya dan pengetahuan dengan membangun tiga museum utama yaitu louvre Abu Dhabi, Guggenheim Abu Dhabi dan Zayed National Museum, serta kampus Saadiyat’s University. Terakhir, pembangunan Al Reem island akan difokuskan sebagai pusat pegembangan real-estate (Abu Dhabi Urban Planning Council, 2007).

Selain tingginya pembangunan real-estate, meningkatnya potensi permintaan furnitur di UEA juga didukung oleh pola konsumsi masyarakatnya

92

Niki Barenda Sari

yang kini lebih mengarah pada belanja untuk produk-produk yang berkaitan dengan rumah, seperti dapur dan kamar mandi. Masyarakat UEA lebih memilih untuk berinvestasi dengan membeli produk-produk berkualitas tinggi sehingga tahan lama. Selera pasar furnitur di UEA juga sangat beragam karena karakteristik demografi UEA yang terdiri dari sekitar 170 kebangsaan. Hal ini membuka peluang yang besar bagi furnitur Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri untuk mengisi kebutuhan pasar furnitur di UEA.

Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, permintaan furnitur yang tinggi juga disebabkan oleh peran UEA sebagai hub bisnis di kawasan Timur Tengah. Kegiatan re-ekspor, sebagaimana di negara hub lainnya, menjadi salah satu kegiatan utama bagi perekonomian UEA. Impor furnitur yang tinggi, tidak serta merta diserap sepenuhnya oleh konsumsi domestik melainkan diekspor kembali ke negara lainnya. Ekspor furnitur UEA, yang tercatat sebagai penghasil devisa yang cukup besar bagi perekonomian UEA, nilainya mencapai USD 215,7 juta pada tahun 2015. Namun nilai ini jauh lebih kecil dibanding ekspor tahun sebelumnya yang mencapai USD 395,2 juta, turun 45,4% atau turun 14,3% selama lima tahun terakhir. Pasar ekspor utama produk furnitur UEA adalah Qatar, Oman, Arab Saudi, Iran, Irak dan Libya (Trademap, 2016c).

Sebagai negara importir sekaligus eksportir utama furnitur dan produk kayu di kawasan arab, UEA berpotensi menjadi hub bisnis furnitur di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Namun, jika dilihat dari kinerja ekspornya tahun 2015 yang mengalami penurunan drastis sementara impornya tumbuh pesat, disinyalir kegiatan re-ekspor beralih ke penyerapan impor furnitur di dalam negeri.

Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini untuk mengembangkan produk furniturnya ke pasar UEA. Hingga saat ini, posisi Indonesia sebagai pemasok furnitur di UAE masih sebesar 2% dari total impor furnitur UEA pada tahun 2014 atau menempati urutan ke-10. Sementara UEA sendiri juga belum menjadi pasar utama bagi ekspor furnitur Indonesia dan menempati urutan ke 17 atau nilainya baru mencapai 1,0% dari total ekspor furnitur Indonesia (Trademap, 2016b).

Selain UEA, pasar ekspor lainnya yang sedang bergeliat adalah Arab Saudi. Permintaan impor furnitur Arab Saudi terus tumbuh pada level 10,9% selama 2011-2015, merupakan pertumbuhan yang tinggi bila dibandingkan dengan negara—negara lain yang justru memperlihatkan pelemahan. Tak heran jika permintaan furnitur Arab Saudi diprediksi akan tumbuh 11% selama 2017-2022 (Decofair, 2017).

93

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Industri furnitur telah menjadi industri yang paling bergairah dan paling cepat pertumbuhannya di kawasan. Pertumbuhan real-estate dan peningkatan permintaan properti perumahan, serta peningkatan investasi di sektor pariwisata, pendidikan, dan kesehatan seiring dengan inisiasi pemerintah untuk membangun infrastruktur sosial-ekonomi, menjadikan pasar furnitur di Arab Saudi semakin terbuka lebar (Decofair, 2017).

Proyeksi permintaan furnitur yang tinggi di Arab Saudi tersebut memberi angin segar bagi industri furnitur Indonesia untuk mengespansi eskpor ke negara alternatif ini. Sama seperti UEA, Arab Saudi bukanlah negara utama tujuan ekspor furnitur Indonesia. Pada tahun 2015, ekspor furnitur Indonesia ke Arab Saudi baru mencapai USD 9,5 juta, menempati urutan ke 21 dari total ekspor furnitur. Capaian ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor furnitur ke Arab Saudi tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran USD 4-5 juta berhasil mendongkrak tren pertumbuhan ekspor ke Arab Saudi dalam lima tahun terakhir tumbuh 12,0% (Trademap, 2016b).

Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia juga belum menjadi pemasok utama furnitur di Arab Saudi. Negara RRT, Italia, Amerika Serikat, Turki, dan Mesir merupakan pemasok utama yang berkontribusi 68,2% terhadap impor furnitur Arab Saudi. Kinerja impor furnitur asal negara tersebut sangat baik dalam lima tahun terakhir. Kecuali impor asal Amerika Serikat yang mengalami penurunan 14,6% di tahun 2015, impor asal negara lainnya meningkat signifikan terutama dari Italia dan Turki yang naik masing-masing 26,1% dan 54,2% dibanding tahun sebelumnya. Impor furnitur asal Indonesia juga masih tumbuh tinggi dalam lima tahun terakhir pada level 19,1%, dan bahkan pada tahun 2015 meningkat tajam 53,4% dibanding tahun sebelumnya (Trademap, 2016d). Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan dan meningkatkan ekspor furnitur ke Arab Saudi dan mengambil pangsa pasar dari negara pemasok lainnya.

6.2.3 Meskipun Lesu, Peluang Pasar Furnitur di Eropa Masih Ada HarapanSebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ekspor furnitur Indonesia

ke beberapa negara tujuan utama sedang mengalami penurunan diantaranya adalah negara-negara di Eropa. Sembilan dari dua puluh negara tujuan utama ekspor furnitur merupakan negara Eropa, yaitu Perancis, Inggris, Belanda, Belgia, Italia, Spanyol, Swedia, Denmark, dan Rusia. Hanya ke empat diantara negara Eropa tersebut yang kinerja ekspor furnitur kita masih menunjukkan pertumbuhan positif yaitu Inggris, Swedia, Denmark, dan Rusia masing-masing tumbuh 1,3%, 3,9%, 11,3%, dan 0,2%, sementara selebihnya menunjukkan tren negatif selama lima tahun terakhir (Trademap,

94

Niki Barenda Sari

2016b). Selain itu, permintaan impor negara-negara tersebut juga memang memperlihatkan kelesuan sebagai imbas belum pulihnya perekonomian global.

Meskipun demikian, peluang meningkatnya ekspor ke negara di Eropa masih memiliki harapan, terutama karena didukung oleh kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diberlakukan secara wajib untuk semua produk berbahan kayu. Kebijakan ini dapat mendorong akses ekspor produk furnitur Indonesia, terutama Uni Eropa. Melalui SVLK, Indonesia meraih lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) pertama di dunia. FLEGT sendiri merupakan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan. Sebelumnya, sesuai ketentuan FLEGT, diperlukan biaya untuk uji tuntas atau due diligence sekitar USD 1.000-2.000 per kontainer ukuran 20-40 feet. Dengan diberlakukannya SVLK, maka kewajiban uji tuntas pun dihilangkan sehingga dapat memangkas biaya ekspor produk furnitur (Kementerian Perindustrian, 2016).

6.2.4 Pasar Domestik Perlu Mendapat Perhatian LebihDi Indonesia, pasar domestik furnitur nampaknya belum menjadi fokus

utama bagi industri furnitur untuk memasarkan produknya. Berdasarkan sebagian besar produksi furnitur Indonesia ditujukan bagi pasar ekspor, sementara sisanya dipasarkan di dalam negeri. Padahal, jumlah penduduk Indonesia yang besar (menduduki posisi ke-4 sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia) menjadi salah satu modal dasar untuk terus berkembangnya pasar domestik.

Meskipun demikian, berdasarkan data Global Business Guide Indonesia (2013) tercatat penjualan furnitur di pasar domestik dan perlengkapan rumah tercatat tumbuh 12,1% selama 2004-2009. Di tahun 2015 lalu, potensi pasar domestik yang cukup besar terlihat dari omzet furnitur secara nasional yang mencapai Rp 4,0 triliun sebagaimana dimuat dalam Radar Semarang (2016). Selain itu, menurut data dari Statista (2016a), pendapatan penjualan furnitur di Indonesia melalui e-commerce mencapai USD 795 juta di tahun 2015, dan diproyeksi terus meningkat hingga mencapai USD 2.076 juta di tahun 2020.

95

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Gambar 6.2 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah Indonesia

Sumber: HIMKI (2016)

Pasar domestik sangat menjanjikan terutama bagi produsen furnitur kontemporer (high-end), furnitur kulit, dan furnitur bergaya Eropa klasik seiring dengan terus berkembangnya konsumen kelas menengah. Potensi ini juga meningkat sejalan dengan berkembangnya industri desain interior sebagai konsumen baru untuk memenuhi kebutuhan sektor properti (Global Business Guide Indonesia, 2013).

Potensi meningkatnya permintaan furnitur di Indonesia juga terindikasi dari tingkat penjualan properti. Harga rumah mengalami perlambatan di tahun 2016. Meskipun indeks Harga Properti Residensial pada periode Triwulan II 2016 naik menjadi 193,13 indeks poin dari 191,90 indeks poin pada Triwulan I 2016 atau tumbuh 0,64%, namun pertumbuhan tersebut lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun lalu yang naik 0,99% (qtq) dan 4,15% (yoy). Perlambatan kenaikan harga rumah ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga pada level 190.54 indeks poin pada Triwulan III 2016 (Tradingeconomics, 2016b). Mulai turunnya Indeks Harga Properti Residensial yang mencerminkan harga properti untuk rumah mulai semakin murah, diperkirakan akan mendorong penjualan rumah kedepannya yang juga mendorong permintaan furnitur. Penjualan properti residensial meningkat seiring dengan perlambatan kenaikan harga rumah. Pertumbuhannya naik dari 1,51% (qtq) menjadi 4,02% (qtq) pada Triwulan II 2016. Peningkatan penjualan properti terjadi untuk semua tipe rumah, terutama tipe rumah kecil yang salah satunya juga dipicu oleh program pemerintah untuk pembangunan rumah murah atau rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Tingginya permintaan domestik tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh industri furnitur dalam negeri untuk menguasai pasar. Kenyataannya, industri kita sedang berebut pasar dengan furnitur asing yang nampaknya lebih kuat. Hingga saat ini, pasar domestik, terutama untuk produk furnitur knock-down,

96

Niki Barenda Sari

dikuasai oleh satu produsen lokal terbesar (Olympic dari PT Cahaya Sakti Multi Intraco (CASMI)). Dilihat dari Top Brand Index (TBI), kategori furnitur knock down didominasi oleh merek Olympic (67%) di tahun 2015, diikuti oleh merek Ligna (11,2%) di posisi kedua. Dalam 10 terakhir, kategori furnitur knock down memang dikuasai oleh Olympic dengan indeks di atas 50%, dan mencapai puncak indeksnya pada tahun 2011 yang mencapai 80,4% (Top Brand Award, 2015). Masuknya produsen asing asal Swedia IKEA, yang juga berada pada kategori furnitur knock down menjadi perhatian tersendiri bagi produsen lokal seperti Olympic dan Ligna. Oleh karena itu, produsen lokal perlu menyiapkan strategi untuk bisa tetap mempertahankan pangsa pasarnya dalam menghadapi pesaing baru.

Gambar 6.3 Perkembangan Top Brand Index (TBI) Produk Furnitur Knock-Down

Sumber: Top Brand Award (2015)

6.3 Tantangan Produk Furnitur IndonesiaLayaknya industri manufaktur lainnya, industri furnitur juga ikut terkena

imbas pelemahan ekonomi global, yang salah satunya tercermin dari penurunan permintaan impor furnitur dari beberapa negara mitra utama kita. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, furnitur Indonesia masih berpeluang besar untuk dikembangkan ekspornya serta didorong penjualan domestiknya. Untuk dapat mengoptimalkan peluang yang ada, industri furnitur harus mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada serta mengatasi permasalahanya yang muncul.

6.3.1 Daya Saing Furnitur Indonesia Perlu DidorongPaska krisis ekonomi global tahun 1997-1998, terjadi pergeseran

perdagangan di dunia yang cenderung lebih memilih produk manufaktur Asia. Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada sektor furnitur Indonesia. Pangsa

97

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

eskpor furnitur Indonesia di pasar dunia justru mengalami penurunan dari 4,9% di tahun 1999 menjadi 4,4% di tahun 2009 (Winkler dan Farole, 2012), bahkan tahun 2015 pangsa ekspor kita hanya sebesar 1,1% (Trademap, 2016e). Penurunan pangsa pasar ekspor furnitur Indonesia terjadi di hampir semua pasar tujuan ekspor kita. Berbeda dengan RRT yang sukses meraih pangsa ekspor dunia dengan meningkatnya pangsa ekspor mencapai 29% di tahun 2009 dari 12% di tahun 1999 (Winkler dan Farole, 2012), bahkan di tahun 2015 pangsanya mencapai 34% (Trademap, 2016e). Sementara itu, industri furnitur Indonesia gagal mengambil pangsa pasar dunia hingga saat ini.

Semakin mengecilnya pangsa ekspor furnitur di pasar dunia mencerminkan masih lemahnya daya saing furnitur Indonesia. Kualitas furnitur yang dihasilkan belum memiliki standard industri yang jelas karena memang belum ada pengaturan standar produk furnitur di Indonesia. Sejauh ini, pengaturan standar baru diterapkan pada bahan baku kayu dengan menerapkan kewajiban SVLK. Kebijakan pemerintah baru-baru ini terkait SVLK setidaknya dapat membantu industri furnitur memperbaiki daya saingnya di tengah persaingan internasional. SVLK diharapkan dapat mengurangi praktik penebangan liar (illegal logging) yang selama ini merugikan produsen furnitur dalam negeri. Penebangan liar telah menjadikan produsen furnitur kesulitan mendapatkan bahan baku, terutama kayu, karena harga menjadi lebih mahal padahal secara jumlah tersedia melimpah. Dengan pemberlakuan SVLK, bahan baku kayu menjadi lebih mudah dan aman di dapat sehingga membantu produsen furnitur mengoptimalkan produksinya dengan menekan biaya produksi.

Disamping optimalisasi biaya produksi, persaingan industri dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan inovasi. Inovasi dibutuhkan untuk dapat mengikuti perkembangan kebutuhan pasar yang bergerak dinamis. Beberapa perusahaan telah berupaya meningkatkan daya saing produknya dengan mengeksplorasi pasar dan meningkatkan nilai tambah produk furniturnya. Selain itu, berdasarkan efisiensi jalur distribusi menjadi faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif produsen furnitur (Pirc dan Vlosky, 2010).

Sebagai contoh keberhasilan industri furnitur yang mengedepankan inovasi dalam rantai pasokannya adalah IKEA. Perusahaan furnitur asal Swedia yang memiliki 351 gerai di 43 negara ini, memiliki sistem rantai pasokan (supply chain) yang unik dan teknik manajemen inventori khusus yang sudah lama mereka praktikkan. Sejalan dengan visi perusahaan untuk menyediakan produk furnitur rumah tangga dengan desain yang baik, fungsional, dengan harga serendah mungkin sehingga bisa dijangkau oleh sebanyak mungkin pelanggan, maka semua fungsi di perusahaan, termasuk operasi supply chain dan manajemen inventori, bekerja bersama untuk menunjang perwujudan visi ini.

98

Niki Barenda Sari

IKEA merancang produk-produk yang unik dan hanya membutuhkan biaya manufaktur rendah. Selain itu, mereka juga memiliki aturan yang ketat terkait fungsi, distribusi efisien, kualitas dan dampak produk terhadap lingkungan. Dalam sebuah studi kasus, sebanyak lebih dari 50% produk dibuat dari material yang tahan lama atau hasil daur ulang. IKEA memang berusaha untuk memakai sesedikit mungkin material untuk memproduksi produknya, tanpa mengorbankan kualitas dan durabilitasnya. Dengan menggunakan sesedikit mungkin material, perusahaan berhasil memangkas biaya transportasi. Makin sedikit material yang harus diangkut, makin sedikit pula biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar, tenaga kerja, dan pengiriman.

Selain itu, mayoritas furnitur IKEA dijual dalam bentuk bagian-bagian untuk dirakit sendiri oleh pembeli. Bagian-bagian tersebut dikemas dengan efisien dalam kemasan yang ringkas dan relatif tipis sehingga mudah dimuat dalam truk pengangkut. Karena jumlah produk yang bisa diangkut dapat dimaksimalkan dalam setiap pengangkutan, IKEA mampu menghemat banyak di sisi transportasi. Kemasan yang unik juga membutuhkan ruang yang lebih sedikit di gudang dan rak penyimpanan, sehingga toko-toko bisa menyimpan stok tambahan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Penghematan yang berhasil dilakukan IKEA untuk bahan bakar dan biaya penyimpanan digunakan untuk hal lain yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan.

6.3.2 Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai Pasar Tunggal dan Basis Produksi

Furnitur Indonesia memiliki kemiripan dengan furnitur yang dihasilkan oleh negara-negara di ASEAN sehingga produksi furnitur di ASEAN saling berkompetisi satu sama lain dan menjadikan produksi furnitur di ASEAN sangat tinggi elastisitas permintaannya. Sebagai contoh, ketika harga produk furnitur Indonesia naik, maka konsumen dapat dengan mudah beralih ke produk furnitur Vietnam atau Malayasia karena desain dan kualitas yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, negara-negara di ASEAN perlu mengambil dan mengukuhkan keunikannya masing-masing, jika tidak maka produk furnitur akan tetap menjadi kurang berkembang dan terbatasi potensi value-chain-nya (Ratnasingam dan Ioras, 2014).

Malaysia, Vietnam, dan Thailand merupakan negara produsen furnitur di ASEAN yang menjadi kompetitor utama Indonesia. Ekspor furnitur Vietnam berkembang signifikan, dari hanya USD 3,3 miliar di tahun 1996 hingga mencapai USD 7,3 miliar di tahun 2015, menjadikannya sebagai negara eksportir furnitur terbesar di ASEAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan nilai tambah produknya, Vietnam lebih memfokuskan pada pengembangan

99

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

sumber daya manusia dan investasi mesin produksi. Sementara itu, industri furnitur Malaysia sangat beriorientasi ekspor-mencapai 85% dari total produksinya. Ekspor furnitur Malaysia mencapai USD 2,3 miliar di tahun 2015, terbesar kedua setelah Vietnam. Terdapat sekitar 3600 perusahaan furnitur di Malaysia dan banyak diantaranya yang telah mengembangkan value chain-nya dari produksi furnitur ready-to-assemble (RTA) menjadi original-designed (ODM) untuk pasar ekspor. Pesaing lainnya adalah Thailand, ekspornya mencapai USD 976 juta di tahun 2015. Industri furnitur di Thailand relatif besar dengan jumlah perusahaan mencapai 5000 dan tenaga kerja yang mencapai 1 juta orang, namun industri ini masih didominasi oleh UKM (Ratnasingam dan Ioras, 2014).

Berkaitan dengan persaingan industri furnitur tersebut, pada akhir 2015, negara-negara ASEAN telah menerapkan konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN yang salah satu pilarnya adalah menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 12 Integrasi sektor Prioritas (Priority Integration Sectors/PIS) yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. Produk berbasis kayu menjadi salah satu sektor prioritas dimana Indonesia terpilih menjadi koordinator. Beberapa langkah kebijakan yang akan dijalankan sebagaimana dinyatakan dalam ASEAN Framework Agreement for The Integration of Priority Sectors (2004) antara lain meningkatkan kerjasama dalam produksi kayu, melakukan joint-marketing, meningkatkan investasi industri berbasis kayu dan tanaman hutan, serta mengembangkan sumber daya manusia.

Sebelum penerapan MEA, pada tahun 2013 telah dilakukan penguatan kerjasama, terutama di bidang pemasaran dan investasi di antara pengusaha furnitur ASEAN yang tergabung dalam asosiasi ASEAN Furnitur Industries Council (AFIC). Dalam pertemuan AFIC tersebut, fokus utama penguatan adalah untuk saling memperkuat pasar-pasar furnitur di antara negara-negara Asean agar bisa saling mengisi pangsa pasar yang semakin terbuka lebar. Sebagaimana dimaklumi oleh masing-masing negara, bahwa lawan utama dalam bisnis furnitur saat ini adalah bukan sesama negara ASEAN, melainkan negara lain seperti RRT yang memiliki daya saing tinggi dengan kemampuan produksinya dalam jumlah besar dan harga yang kompetitif.

6.3.3 Berkembangnya Metode Penjualan Furnitur Melalui E-commerceSecara umum, karakteristik konsumen yang berubah menjadi tantangan

tersendiri bagi industri furnitur. Saat ini, konsumen furnitur di dunia didominasi oleh generasi milenial (usia 18-34 tahun) yang memiliki pendekatan berbeda terkait kebutuhan kepemilikan perumahan dan furnitur. Selera dan kebutuhan

100

Niki Barenda Sari

furnitur berubah menjadi produk multifungsi dan hemat ruang, sesuai dengan gaya hidup perkotaan yang dinamis. Furnitur dengan desain ramah lingkungan juga menjadi tren masa kini. Hal ini akan menciptakan tren permintaan baru yang perlu diikuti oleh industri furnitur kita.

Konsumen furnitur, dewasa ini lebih memilih membeli furnitur dan barang lainnya melalui e-commerce. Konsumen yang didominasi oleh generasi milenial identik dengan perkembangan teknologi dan internet. Perilaku berbelanja pun akan semakin mengarah pada bentuk transaksi melalui e-commerce.

Gambar 6.4 di bawah menunjukkan proyeksi pendapatan yang diterima e-commerce di dunia dalam memenuhi kebutuhan konsumen dibeberapa segmen produk termasuk furnitur di dalamnya. Pada tahun 2016, furnitur dan perlengkapan rumah memiliki kontribusi sebesar USD 199 juta dari total USD 1.179 juta dan diprediksi meningkat menjadi USD 342,8 juta pada tahun 2021. Gambar tersebut juga menunjukkan proyeksi pertumbuhan permintaan furnitur secara online sebesar 11,5% per tahun, sedangkan proyeksi pertumbuhan e-commerce secara keseluruhan sebesar 12,3% per tahun .

Gambar 6.4 Proyeksi Pendapatan E-commerce Dunia berdasarkan Segmen

Sumber: Statista (2016b), diolah

Di berbagai negara, penggunaan e-commerce sebagai metode penjualan semakin meningkat. Berdasarkan data Statista (2016c), pendapatan e-commerce furnitur dan perlengkapan rumah di RRT pada tahun 2015 mencapai USD 67,3 Miliar, dan di Amerika Serikat mencapai USD 56,8 miliar. Sementara itu, pendapatan e-commerce furnitur dan perlengkapan rumah di Jepang, Inggris, dan Jerman masih jauh lebih kecil dibanding RRT dan Amerika Serikat masing-masing USD 9,2 miliar, USD 8,7 miliar, serta USD 6,5 miliar. Statista (2016c) memprediksi pendapatan e-commerce ini akan terus meningkat hingga akhir tahun 2020.

101

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Gambar 6.5 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah di Beberapa Negara.

Sumber: Statista (2016c), diolah

Meningkatnya penggunaan e-commerce, merupakan tantangan tersendiri bagi industri furnitur khususnya dalam menentukan strategi pemasaran dan penjualan. Sebagaimana diprediksi oleh Statista bahwa penjualan e-commerce kedepannya akan semakin meningkat dan memperhatikan perilaku konsumen, maka akan semakin banyak pula konsumen yang menggunakan e-commerce dalam membeli furnitur.

Kontribusi segmen Furnitur dan Perlengkapan Rumah sebesar USD 199 miliar atau mencapai 17% terhadap pasar global e-commerce. Pasar untuk segmen tersebut didominasi oleh RRT, Amerika Serikat dan Eropa dengan pangsa secara kumulatif mencapai 86,3%. Rata-rata pertumbuhan global untuk segmen Furnitur dan Perlengkapan Rumah dalam penjualan e-commerce diprediksi akan mencapai 11,5% selama 2016-2021. Diantara tiga pasar utama segemen Furnitur dan Perlengkapan Rumah tersebut, pertumbuhan RRT diprediksi akan lebih tinggi yaitu sebesar 14,5% selama periode yang sama, sementara Amerika Serikat diprediksi tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 7,2%. Adapun Eropa diprediksi oleh Statista (2016b) akan tumbuh pada level 11,3%.

Secara umum, penjualan furnitur secara online melalui e-commerce memang relatif masih kecil dibandingkan dengan penjualan furnitur secara offline. Salah satu pemain utama furnitur di Eropa, IKEA, hanya menghasilkan nilai penjualan melalui e-commerce sekitar 3% dari toal pendapatannya. Namun demikian, penjualan melalui e-commerce memberikan peluang besar bagi banyak startup. Dalam Statista (2016b) dijelaskan bahwa banyak perusahaan baru yang sukses memperoleh pangsa pasar dengan menggunakan metode penjualan melalui e-commerce.

Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah

102

Niki Barenda Sari

Hingga saat ini, banyak perusahaan furnitur di Indonesia yang memiliki website sendiri yang menyajikan berbagai informasi secara detail terkait produk furniturnya, namun masih sedikit yang melayani transaksi melalui e-commerce. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi produsen furnitur, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, untuk mulai menyediakan fasilitas e-commerce agar tidak kehilangan pasar.

6.4 PenutupDalam rangka mempertahankan dan meningkatkan peran industri

manufaktur sebagai penghasil devisa dan penyerap tenaga kerja, beberapa peluang perlu dapat dimanfaatkan dengan optimal serta diantisipasi tantangan-tantangannya.

Peluang furnitur di pasar internasional masih sangat menjanjikan, terutama di beberapa negara non tradisional seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Rencana pembangunan real-estate dan pengembangan pariwisata yang pesat selama 2 dekade ke depan di kedua negara tersebut berpotensi meningkatkan permintaan furnitur. Selain itu, Amerika Serikat sebagai pasar utama furnitur Indonesia tetap perlu dipertahankan mengingat masih tingginya proyeksi permintaan furnitur dan meningkatnya sektor perumahan. Sementara di Uni Eropa, meskipun permintaan furnitur menunjukkan sedikit kelesuan, dengan didukung oleh kebijakan SVLK maka ekspor furnitur Indonesia berpotensi dapat meningkatkan akses ekspor di pasar tersebut.

Di dalam negeri, peluang furnitur kontemporer (high-end), furnitur kulit, dan furnitur bergaya Eropa klasik sangat tinggi mengingat perkembangan konsumen kelas menengah dan industri desain interior. Meningkatnya industri properti juga turut menyumbang andil dalam pasar furnitur di dalam negeri.

Sementara itu, industri furnitur menghadapi beberapa tantangan antara lain mengembangkan inovasi dan teknologi dalam meningkatkan daya saing, menghadapi pasar tunggal dan basis produksi dalam MEA, serta mengakomodasi metode penjualan e-commerce yang semakin pesat. Tantangan tersebut seyogyanya tidak dinilai sebagai hambatan namun justru sebagai pemacu dalam bersaing baik di pasar internasional maupun di pasar domestik. Jika tantangan tersebut dapat dihadapi dengan baik, maka dapat menjadi modal utama bagi industri furnitur untuk dapat mengambil peluang-peluang yang ada.

103

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR PUSTAKAAbu Dhabi Urban Planning Council (2007). Plan Abu Dhabi 2030 Urban

Structure Framework Plan. Diunduh tanggal 23 September 2016 dari http://www.upc.gov.ae/abu-dhabi-2030/capital-2030.aspx?lang=en-US

AMKRI (2015). Roadmap Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.ASEAN (2004). Asean Framework Agreement for the Integration of Priority

Sectors.Bisnis (2013). Masyarakat Ekonomi Asean: Jelang AEC, Industri Mebel

Perkuat Kerjasama. Diunduh tanggal 29 Oktober 2016 dari http://www.bisnis.com/masyarakat-ekonomi-asean-jelang-aec-industri-mebel-perkuat-kerjasama.

BPS (2016). Realisasi Ekspor Indonesia Periode Tahun 2015.CIT (2015a). Sleeping Beauty Needs a New Mattress. Diunduh tanggal 27

September 2016 dari http://www.cit.com/blog/sleeping-beauty-needs-new-mattress/.

CIT (2015b). Furniture Industry Outlook: Growth in Sector Continues to Outpace U.S. Economy. Diunduh tanggal 27 September 2016 melalui http://www.cit.com/thought-leadership/furniture-industry-trends-analysis-2015/.

Decofair (2017, Juni). Saudi Arabia Furniture Industry’s Consumption is Forecasted to Grow at A Rate of 11% during the Period of 2017-2022. Diunduh tanggal 20 Juni 2017 dari http://www.decofair.com/en/news/395.

Global Business Guide Indonesia (2013). Indonesia’s Furniture & Homeware Sector. Diunduh tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_furniture_and_homeware_sector. Php.

Global Business Guide Indonesia (2013). Accupunto Internasional. Diunduh tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing /directory/ accupunto_international/interview.php.

HIMKI (2016). 10 Langkah Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan di Pasar Global. Makalah: Disajikan pada Acara Rapat Informal Pengurus DPP dan DPD-DPD HIMKI pada tanggal 11 Oktober 2016.

Kementerian Perindustrian (2016). Menperin: SVLK Pacu Ekspor Furnitur ke Uni Eropa. Diunduh tanggal 25 September 2016 dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/15246/Menperin:-SVLK-Pacu-Ekspor-Furnitur-ke-Uni-Eropa.

Kompas (2012). IKEA Masuk, Persaingan Pasar Mebel Makin Sengit. Diunduh tanggal 27 September 2016 melalui http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/29/08003136/IKEA.Masuk..Persaingan.Pasar.Mebel.Makin.Sengit

104

Niki Barenda Sari

Malaysian Furniture News (2016, Maret). Five-Year Plan 2016-2020 Furnishing Malaysia with Exciting Diversity and Unlimited Opportunities.

Pirc, Andreja dan Richard Vlosky (2010). A Brief Overview of the U.S. Furniture Industry. Louisiana Forest Products Development Center Working Paper No.89 July 14, 2010.

Radar Semarang (2016). Kebutuhan Furniture Domestik Naik Tajam. Diunduh tanggal 22 September 2016 dari http://www.radarsemarang.com/20160122/ kebutuhan-furniture-domestik-naik-tajam.

Ratnasingam, Jegatheswaran dan Florin Ioras (2014). ASEAN Furniture Industry–The Emerging Furniture Factory for the UK and European Market. Current Issues in Global Furniture-Proceedings of the 2013 Biennial Conference of the Furniture Research Group, National School of Furniture.

Statista (2016a). Indonesia Furniture & Appliances e-commerce revenue. Statista (2016b). E-commerce: Furniture & Appliances. Statista Digital Market

Outlook.Statista (2016c). Home appliances and furniture e-commerce revenue.Technavio (2016). Global Furniture Market 2016-2020. Diunduh tanggal 15

September 2016 dari http://www.technavio.com/report/global-general-retail-goods-and-services-furniture-market.

Top Brand Award (2015). Persaingan Furnitur Knock-Down. Diunduh tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.topbrand-award.com/article/ persaingan_furnitur _knock-down.html.

Trademap (2016a). United States (CIF) Import Statistics Product: Furniture.Trademap (2016a). List of importing markets for a product group exported by

Indonesia.Trademap (2016c). List of importing markets for a product group exported by

United Arab Emirates.Trademap (2016d). List of importing markets for a product group exported by

Saudi Arabia.Trademap (2016e). List of importers for the selected product group.Tradingeconomics (2016a). United States New Home Sales.Tradingeconomics (2016b). Indonesia Residential Property Price Index.Wan, Sun dan Grebner (2010).Analysis of Import Demand for Wooden Beds in

the U.S. Journal of Agricultural and Applied Economics, 42,4 (November 2010):643–658.

Winkler, Deborah dan Thomas Farole (2012). Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector. Worldbank Policy Note 2.

105

Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

BAB VIIINOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN

PRODUK FURNITUR INDONESIAZamroni Salim

Indonesia merupakan salah satu produsen furnitur dunia karena besarnya potensi bahan baku yang ada di dalam negeri. Indonesia dengan potensi yang besar tersebut nampaknya belum mampu menjadi produsen utama furnitur dunia. Bab ini merupakan bab yang merangkai tulisan di bab-bab sebelumnya.

Di dalam bab-bab sebelumnya (Bab II, III, IV V dan VI) diuraikan bagaimana kondisi industri furnitur di Indonesia dengan segala kondisi dan tantangannya yang belum mampu menjadikannya sebagai produsen utama. Bab II menjelaskan mengenai aspek produksi furnitur, jenis dan bahan baku, dan sentra produksi furnitur yang ada di Indonesia. Bab ini juga menjelaskan berbagai kendala yang dihadapi dalam produksi furnitur. Bab III menjelaskan konsumsi, distribusi dan nilai tambah yang tercipta dalam industri furnitur dan secara khusus membahas perilaku konsumen, khususnya konsumen Indonesia.

Selanjutnya, dalam Bab IV dijelaskan mengenai perdagangan dalam negeri, yang meliputi pola pemasaran dan distribusi. Bab V menguraikan tentang perdagangan luar negeri furnitur Indonesia. Secara khusus bab ini memetakan posisi Indonesia dalam perdagangan global furnitur, daya saing dan kendala yang dihadapi dalam ekspor produk furnitur. Bab VI membahas peluang dan tantangan produk furnitur, termasuk di dalamnya tentang optimismeindustri manufaktur di tengah melesunya perekonomian global.

7.1 Kondisi Pasar Furnitur GlobalUrutan negara eksportir utama dunia tahun 2015, menurut Trademap

(2016) adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (sebesar 24%, USD 29 miliar), Singapura (15%, USD 18 miliar), Jepang (11%, USD 13 miliar), Malaysia (7%, USD 8,5 miliar), Korea Selatan (7%, USD 8,4 miliar). Urutan berikutnya adalah Thailand dan Amerika Serikat sekitar 6% dengan nilai masing-masing sebesar USD 8,1 miliar, dan USD 7 miliar. Sementara itu, Indonesia hanya mampu mengekspor sebesar USD 87,55 Juta. Bila dilihat dari sejumlah negara pemain utama dalam perdagangan furnitur dunia, negara-negara tersebut pada dasarnya bukan produsen kayu utama dunia, tetapi mereka mampu menjadi produsen utama. Salah satu alasan utama, khususnya di

106

Zamroni Salim

RRT adalah karena ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk regulasi, pengembangan teknologi, pengembangan dunia usaha, termasuk dukungan pembentukan sentra perdagangan furnitur (HKTDC Research, 2016; Yang et al., 2012). Sebagai contoh sentra industri dan pemasaran furnitur di RRT adalah di Provinsi Guangdong di kota Dongguan yang memiliki showroom furnitur dengan panjang 5 km, sentra furnitur di kota Foshan dan Sunte (Detik, 2016 dan FGD BRIK Kemendag, 2017)

Seperti diuraikan dalam Bab V mengenai perdagangan luar negeri, Indonesia masih belum bisa memanfaatkan ASEAN sebagai pasar yang menjanjikan. Data yang disajikan dalam Bab V (BPS, 2016) menjelaskan bahwa ekspor Indonesia ke negara ASEAN lainnya hanya sebesar USD 87,55 juta dibandingkan ekspor ke negara non-ASEAN sebesar USD 1,7 milyar di tahun 2015. Memang terjadi stagnasi dalam pertumbuhan ekspor produk furnitur seperti diurakan dengan data statistik (dalam bab V). Hal ini juga diakui oleh sejumlah pelaku bisnis furnitur di Indonesia seperti ritel modern IKEA dan produsen Olympic yang mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir ada kelesuan dalam bisnis furnitur Indonesia termasuk ekspor.10

Pada sisi permintaan furnitur di pasar dunia, juga terjadi pergeseran. Seperti diuraikan dalam Bab III, pasar furnitur dunia berkembang yang didorong oleh berbagai faktor global penurunan tarif (melalui berbagai skema misalnya FTA, ekspansi dari global value chain yang melibatkan distributor besar, perbaikan dalam infrastruktur dan logistik peningkatan permintaan pada produk furnitur dengan harga murah.

7.2 Kendala dan Tantangan Industri dan Perdagangan FurniturBerbagai kendala yang belum memungkinkan Indonesia menjadi produsen

utama furnitur diuraikan dalam Bab III dan juga bab lainnya (Bab IV, IV dan IV) baik dari sisi produksi, pemasaran dalam negeri dan ekspor. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah adanya sejumlah regulasi yang menghambat tumbuh kembangnya industri furnitur di Indonesia, antara lain tingginya suku bunga kredit bagi industri, pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di hilir yang menyebabkan tambahan biaya produksi (tentu akan lebih menyulitkan pengusaha kecil); infrastruktur yang belum memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi yang masih tinggi.

Secara khusus, dari sisi ekspor juga masih dijumpai beberapa kesulitan (seperti diuraikan dalam Bab V). Beberapa diantaranya adalah regulasi yang dinilai kurang mendukung (terkait perizinan dan lokasi produksi mereka tidak lagi masuk dalam kawasan industri dan adanya kesulitan dalam memenuhi

10 Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

107

Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

persyaratan sertifikasi kualifikasi ekspor, termasuk dalam hal pengurusan sertifikasi ekspor untuk mendapatkan SVLK.

Di tengah persaingan global yang semakin berat, produsen furnitur di pasar dalam negeri juga dihadapkan pada persaingan yang tidak kalah sulit dengan munculnya berbagai ritel modern (seperti ACE Hardware, Informa, IKEA dan lainnya). Pada satu sisi, kehadiran ritel modern ikut menjadi tempat untuk memasarkan produk lokal (termasuk didalamnya ada kemitraan dengan produsen lokal)11. Namun, pada sisi lain, dalam kenyataannya ritel modern lebih banyak memasarkan produk furnitur impor daripada furniturdomestik. Seperti diuraikan dalam Bab III bahwa masuknya ritel modern tersebut telah menggeser preferensi dan selera konsumen terhadap furnitur tradisional (ukir kayu) ke produk yang menawarkan fungsi dan kenyamanan dengan desain minimalis yang memungkinkan konsumen untuk memperbarui dekorasi rumah secara berkala.

7.3 Upaya Meningkatkan Daya Saing Furnitur: Kreasi dan InovasiSeperti yang dipaparkan oleh Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia

(AMKRI), pertumbuhan ekspor furnitur diprediksi akan tumbuh dalam lima tahun ke depan sekitar 15% - 18% (AMKRI, 2015). Target tersebut tentu merupakan tantangan yang cukup berat di tengah masih belum pulihnya perekonomian global. Bahkan pasar furnitur global diprediksi hanya akan tumbuh sekitar 4% sampai akhir 2020 (Technavio, 2016). Namun demikian, target tersebut bukan berarti tidak mungkin untuk dicapai. AMKRI berharap dengan optimisme tersebut pemerintah hendaknya mampu mendukung tumbuh kembangnya usaha furnitur di Indonesia.

Seperti diuraikan dalam Bab VI, di tengah melesunya ekspor Indonesia ke sejumlah negara tujuan seperti seperti Jepang, Perancis, Belanda dan Jerman dalam lima tahun terakhir (Trademap, 2016), Indonesia harus bisa mencari pasar tambahan/alternatif ke pasar-pasar baru yang selama ini belum begitu diperhatikan (belum menjadi pasar utama). Selain melihat peluang pasar ekspor, Indonesia juga perlu memperhatikan besarnya potensi pasar dalam negeri dengan memperhatikan selera dan permintaan konsumen domestik.

Dalam hal produksi, pola konsumsi dan selera konsumen harus bisa dicermati oleh produsen furnitur di Indonesia. Dalam upaya mendorong industri furnitur selain menyangkut ketersediaan bahan baku, SDM, teknologi, ada hal lain yang harus terus ditumbuhkembangkan yaitu kreasi dan inovasi. Produsen harus bisa melakukan inovasi produk melalui inovasi penggunaan bahan (tidak hanya mengandalkan kayu saja, tetapi juga kombinasi bahan baku lainnya sesuai selera konsumen).

11 Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

108

Zamroni Salim

Di sisi lain dalam kaitannya dengan inovasi produksi adalah desain produk itu sendiri. Sebenarnya, produk furnitur Indonesia mempunyai keunggulan dalam sisi desain yang unik (seperti diuraikan dalam Bab III), namun desain unik tersebut belum didukung dengan adanya efisiensi dalam produksi dan pembaruan teknologi dalam produksi. Akibat dari kealfaan dukungan ini menyebabkan harga jual produk menjadi mahal. Bila dalam era sebelum internet, konsumen tidak melakukan perubahan selera terhadap produk baru dengan cepat, tetapi dengan adanya dukungan teknologi informasi sekarang, perubahan selera konsumen lebih cepat. Perubahan selera ini juga harus diikuti dengan inovasi dalam produksi.

Dalam sebuah acara Focus Group Discussion (FGD) di Kementerian Perdagangan dengan mengundang praktisi bisnis furnitur di Indonesia dan juga ritel modern, dikatakan bahwa pada awalnya konsumen Indonesia tidak menuntut adanya perubahan desain yang cepat, akan tetapi sekarang ini mereka menuntut perubahan desain yang cepat, bahkan kurang satu tahun desain tersebut sudah berubah. Perubahan ini juga harus diikuti oleh perubahan desain produksi. Perubahan desain produksi juga memerlukan kreativitas dan inovasi dari bahan yang digunakannya.

Dalam hal penjualan, produsen furnitur di Indonesia harus bisa memanfaatkan teknologi yang ada sekaligus mampu memanfaatkan perubahan pola/cara beli konsumen yang mulai menggunakan cara belanja online (online shopping), seperti diuraikan dalam Bab IV). Dalam hal ini, produsen/pemasar furnitur dituntut untuk tidak hanya mengandalkan penjualan dengan metode tradisional (dengan membuka showroom/outlet), membuka gerai pada supermarket besar tetapi juga membuka showroom/outlet online. Penjualan online ini bisa dilakukan dengan membuat situs sendiri ditambah dengan menyewa atau mengiklankan produk pada e-commerce yang sudah ada (terkenal di mata publik) seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX dan lainnya; baik e-commerce lokal maupun internasional. Ada interaksi yang lebih dengan menggunakan jalur online diantaranya yaitu baik produsen maupun konsumen mempunyai kesempatan yang lebih untuk melihat produk yang beredar. Sementara itu, bagi produsen juga bisa memantau produk apa yang menjadi andalan pesaingnya.

Berbagai langkah bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mendukung tumbuh kembangnya industri dan perdagangan furnitur di Indonesia. Ada sejumlah hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah (FGD Kemendag, 2017) dengan membentuk sentra pemasaran furnitur. Sentra pemasaran ini tidak hanya menjual atau memamerkan produk furnitur tertentu/berbahan tertentu, tetapi menampilkan seluruh jenis furnitur yang

109

Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

diproduksi di Indonesia. Sentra pemasaran ini juga harus bisa menampung produk dari produsen dengan berbagai skala.

Dengan adanya sentra pemasaran ini, diharapkan ada semacam one stop shopping, dimana pembeli bisa menemukan berbagai produk yang diinginkannya. Sentra furnitur ini ditargetkan menjadi tempat pembeli, tidak hanya pembeli individu, pembelian dengan partai kecil) tetapi juga perusahaan (partai besar). Sentra furnitur ini juga bisa sebagai sarana promosi ekspor dengan menarik pembeli asing (importers) untuk melakukan pemesanan langsung kepada produsen di dalam negeri.

Dalam pembentukan sentra furnitur ini pemerintah bisa menggandeng perusahaan swasta dalam menyiapkan lahan dan juga pengelolaannya. Para pelaku bisnis memerlukan dukungan pemerintah dalam hal kemudahan proses perizinan, fasilitas/kemudahan dalam berdagang di sentra tersebut (bisa berupa dukungan kredit, potongan pajak dan lainnya), sekaligus upaya pemerintah untuk ikut mendorong pemasaran melalui berbagai sarana/institusi yang dimiliki oleh pemerintah.

Bila dalam produksi disertai kemampuan inovasi dari sisi produksi dan pemasaran, maka produsen furnitur lokal bisa menguasai pasar dalam negeri yang begitu besar. Karakter konsumen (secara umum) Indonesia yang lebih cenderung menjadikan harga sebagai pertimbangan utama hendaknya bisa dimengerti dengan lebih baik oleh produsen furnitur Indonesia dibandingkan dengan produsen luar negeri. Kembali pada keunggulan Indonesia dengan sumber daya alam (kayu, dan lainnya) yang melimpah, dan penduduk yang besar (pasar yang besar), Indonesia hendaknya bisa memanfaatkan dua keunggulan tersebut secara bersama.

DAFTAR PUSTAKAAMKRI (2015). Roadmap Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.Badan Pusat Statistik. (2016). Ekspor Impor Indonesia. BPS: JakartaDetik (2016, 25 Maret). 200 Pengusaha Mebel dari China Ingin Relokasi

Pabrik ke RI. Diunduh tanggal 5 Mei 207 dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3173156/200-pengusaha-mebel-dari-china-ingin-relokasi-pabrik-ke-ri.

Technavio (2016). Global Furniture Market 2016-2020. Diunduh tanggal 15 September 2016 dari http://www.technavio.com/report/global-general-retail-goods-and-services-furniture-market.

Trademap. (2016). Data Ekspor dan Impor data Dunia http://www.trademap.org. Di akses tanggal 7 September 2016.

110

Zamroni Salim

Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017). Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur Indonesia.

HKTDC Research.(2016). China’s Furniture Market. Diunduh tanggal 19 Juli 2016 dari http://china-trade-research.hktdc.com/business-news/article/China-Consumer-Market/China-s-Furniture-Market/ccm/en/1/1X000000/ 1X002L63.htm

Yang,Hongqiang; Chunyi Ji; Ning Nie and Yinxing Hong. (2012). China’s wood furniture manufacturingindustry: industrial cluster and export Competitiveness. MPRA Paper No. 44282. Diunduh dari https://mpra.ub.uni-muenchen.de/44282/.

Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

111

INDEKS

A

ACE Hardware, 37, 107

ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA), 37

ASEAN Economic Community (AEC), 43

ASEAN Framework Agreement for The Integration of Priority Sectors, 99

Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO), 54,

55, 64, 81, 87

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia

(AMKRI), 1, 5, 22, 33, 86, 87, 107

B

block board, 10, 11

C

Cluster, 38, 41, 52, 62, 110

Colllege Product Furniture, 61

D

design center, 61

due diligence, 94

E

E-commerce, 4, 6, 49, 51, 94, 95, 99, 100,

101, 102, 104, 108

F

Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT), 81

Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA), 82

free on board (FOB), 46

G

Global Value Chain (GVC), 30, 34

H

High Density Fibreboard (HDF), 11

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan

Indonesia (HIMKI), 6, 22, 34, 41, 43,

65, 87

Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 10

Hutan Kemasyarakatan (HKm), 10

Hutan Desa (HD), 10

I

IKEA, 37, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 54, 57, 63,

96, 97, 98, 101, 103, 106, 107

illegal logging, 24, 25, 28, 80, 97

Informa, 37, 48, 49, 50, 54, 61, 63, 102,

103, 107, 108

J

JYSK, 44, 49, 50

K

knock down, 14, 57, 58, 65, 95, 96, 104

L

Ligna, 57, 58, 96

M

Malaysian Furniture Council (MFC), 88

medium density fibreboard (mdf), 10, 11

Melody Furnitur, 53, 65

multi store retailer, 30

Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

112

O

Olympic, 41, 44, 47, 49, 57, 58, 96, 106

one store retailer, 30

Otazen, 53, 64

P

particle board, 10-12

Pendapatan Domestik Regional Bruto

(PDRB), 20

Plywood, 10, 11

R

Revealed Comparative Advantage (RCA),

77

Rotan Mentah, 13, 32, 70, 85

Rotan Asalan, 13, 70

Rotan Natural Washed & Sulphured (W/S),

13

Rotan Poles, 13

S

Sawmill, 31

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), 5,

25, 41, 63, 80, 81, 82, 94, 106

solid wood, 10, 20, 55

specialized medium buyer, 30

stainless Steel, 16

T

Timber Legality Assurance Standard

(TLAS), 80

Top Brand Index, 57, 58, 65, 96

V

Vinoti, 49

Vivere, 49

Z

Zara Home, 44, 49, 50

Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

113

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Zamroni SalimZamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E),

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh gelar S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New Zealand untuk bidang perdagangan internasional, tahun 2003; dan Gelar PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang international economic and development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah seperti Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS) dan Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan. Zamroni Salim juga merupakan peneliti senior pada the Habibie Center (THC) sejak 2009. Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga pengajar di Department of International Relations, President University, Cikarang Indonesia.

Ernawati MunadiErnawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman

lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan, Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID sebagai ahli di bidang Ekonomi Perdagangan. Sejak itu penulis bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Penelitian yang menjadi keahliannya adalah regionalism, modeling dalam pasar komoditi serta perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff measures) yang telah ditekuninya dalam 7 tahun terakhir. Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas Putra Malaysia pada tahun 2004.

Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

114

Riska PujiatiRiska Pujiati adalah Analis Kebijakan pada Pusat Kebijakan Perdagangan

Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Riska memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Gelar Master of Science in Sustainable International Agriculture area of specialitation International Agribusiness and Rural Development Economics didapatkan dari program double degree antara Institut Pertanian Bogor dan University of Goettingen, Jerman pada tahun 2014. Saat ini penulis menekuni penelitian di bidang perdagangan dalam negeri dengan fokus perlindungan konsumen dan tertib niaga serta spesialis bagi komoditas beras. Area lain yang menjadi minat penelitiannya adalah international trade, sustainable development, and evidence based policy making.

Fitri Tri BudiartiFitri Tri Budiarti adalah pranata komputer pada Pusat Pengkajian Kerjasama

Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2009. Fitri memperoleh gelar S1 Jurusan Informatika dari Universitas Gunadarma pada tahun 2003 dan gelar S2 Magister Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia, Depok pada tahun 2016. Selain menekuni bidang pengolahan data, Fitri juga tertarik dengan dunia penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan perdagangan internasional. Saat ini Fitri menekuni area penelitian bidang bilateral, kerjasama perdagangan Internasional.

Dian Dwi LaksaniDian Dwi Laksani adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama

Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2010. Dian memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Universitas Diponegoro pada tahun 2006 dan gelar S2 Jurusan Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia, pada tahun 2009. Area penelitian yang menjadi bidang kajian adalah kebijakan perdagangan, khususnya perdagangan internasional. Penulis juga banyak mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan di dalam dan luar negeri terkait metode pengolahan data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian di bidang perdagangan. Penulis saat ini aktif dalam kegiatan penelitian, baik yang diselenggarakan oleh BPPP maupun pada proyek penelitian kerjasama antara Kementerian

Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

115

Perdagangan dengan lembaga internasional. Beberapa tulisannya di bidang Ekonomi Perdagangan (Economics of Trade) juga telah diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional yaitu pada Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan serta jurnal lainnya.

Selfi MenantiSelfi Menanti adalah Analis Kebijakan pada Pusat Pengkajian Perdagangan

Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2015. Selfi memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Study Pembangunan (IESP) dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi(STIE) Port Numbay Jayapura pada tahun 2006. Saat ini Selfi menekuni analisis di bidang pelaku dan jasa perdagangan.

Niki Barenda SariNiki Barenda Sari adalah analis perdagangan pada Pusat Pengkajian

Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Niki memperoleh gelar S1 Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia pada tahun 2012 dan saat ini tengah menempuh pendidikan Strata 2 (S2) pada Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE) Universitas Indonesia (UI). Area penelitian yang menjadi minat penulis adalah perdagangan luar negeri, khususnya yang terkait dengan pengamanan dan hambatan perdagangan.