Indische Partij: Sebuah Narasi tentang Indonesia

23
Indische Partij: Sebuah Narasi tentang Indonesia[1] Oleh: Tyo Prakoso[2] “[...] bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahamisebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, [...] rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiripun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.”[3] Imagined Communities, Ben Anderson

Transcript of Indische Partij: Sebuah Narasi tentang Indonesia

Indische Partij:

Sebuah Narasi tentang Indonesia[1]

Oleh: Tyo Prakoso[2]

“[...] bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak

peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang

mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu

sendiri selalu dipahamisebagai kesetiakawanan yang masuk

mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, [...] rasa

persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang,

jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang

lain, merenggut nyawa sendiripun rela demi pembayangan tentang

yang terbatas itu.”[3]

Imagined Communities, Ben Anderson

"Cabut Sistem Korup! Turunkan Pejabat Korup!" | jepretan: @Sprora_UNJ 2013

1

Pengantar: Lintasan Sejarah

“Tugas hidup saya baru mulai, selamat tinggal..”[4] Mungkin,

kurang lebih begitu bunyi surat salah seorang dokter muda, Dr.

Tjipto Mangoenkoesoemo, kepada ayahnya, Mangoenkoesoemo.

Tjipto muda, saat itu berumur 21 tahun, baru saja lulus

dari School Ter Opleiding van Indische Artsen atau lebih dikenal dengan

STOVIA, merasa dirinya terpanggil dalam lintasan sejarah, yang

kelak kita sebut dengan “Zaman Pergerakan Indonesia”. Kurang

lebih, surat yang ditulis Tjipto untuk ayahnya di Semarang itu

mewakili bagaimana keadaan zaman dan tentunya produk zaman

tersebut, yakni para pemuda dan pemudi[5]. Sebagai motor

penggerak dalam laju sejarah di lintasannya.

Zaman Bergerak[6], begitu Takashi Shiraishi menyebutnya; ialah

zaman dimana para motor penggerak, dalam hal ini pemuda dan

pemudi, atau jika mengikuti terminologi Robert van

Niel[7] disebut dengan Kaum Elite Indonesia Baru (Modern Indonesia

Elite), yang dimaksud adalah kaum terpelajar hasil pendidikan

Barat (Educated). Namun harus digaris bawahi juga, tak hanya

pemuda-pemudi yang menggerakkan zaman, namun keadaan zaman yang

memang terus bergerak akibat beberapa peristiwa dan kejadian

yang sempat terekam dalam catatan sejarah. Semisal, peristiwa

Perang Dunia ke-1 dan Revolusi Bolshevik. Dan dalam lintasan

ini pula yang nantinya akan mendorong –secara tidak langsung—

terbentuknya organisasi-organisasi ataupun komunitas-komunitas

yang mencoba berbicara dan menafsirkan tentang Indonesia di

tanah Jajahan Hindia Belanda. Diantaranya, ialah Boedi Oetomo

(selanjutnya akan ditulis: BO) dan Indische Partj (selanjutnya akan

ditulis: IP).

Dalam tulisan ini akan membahas kedua organisasi tersebut.

Untuk Boedi Oetomo, akan dijelaskan secara singkat, pada

fragmen-fregmen dimana keterkaitan BO dengan IP. Semisal,

munculnya Nasionalisme Jawa, terbentuknya BO itu sendiri

hingga terjadi dinamika didalam BO, yang kemudian memunculkan

IP. Sekali tiga uang, memunculkan Nasionalisme Hindia.

Pembahasan tentang BO, didahului oleh sedikit pembahasan

tentang keadaan Jawa pada periode awal abad ke-20. Setidaknya,

pembahasan tentang keadaan Jawa itu mengantarkan kita pada

pemahaman dan gambaran tentang panggungyang menjadi lintasan

sejarah itu sendiri. Agar kita tak terjebak dalam anakronisme

cara berpikir. Selanjutnya, dalam pembahasan lintasan sejarah

ini, kita akan sedikit menyinggung sekolah-sekolah yang

dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda –terlebih STOVIA—

yang menjadi tempat pertemuan tradisi dan budaya Barat dan

Timur, sehingga menjadi salah satu pendorong terbentuk dan

perdebatan tentang penafsiran nasion, yang kelak kita

sebut Indonesia.

Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini, akan tercurah pada

sepak terjang IP. Seperti proses berdiri dan perkembangannya.

Dan hal yang tak boleh dilupakan, peran ketiga tokoh dibalik

berdirinya organisasi pertama yang dengan lantang meneriakkan

kemerdekaan Hindia ini, yakni Douwes Dekker, Tjipto

Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Terakhir, pada

pembahasan penutup, tulisan ini akan mencoba menyimpulkan

peranan IP dalam lintasan sejarah.

Harus diketahui pula, dalam tulisan ini, tetap menggunakan

beberapa ejaan lama, seperti “Tjipto” untuk Cipto, dan

“Soewardi” untuk Suwardi. Hal ini diharapkan tetap

pada zamannya.

Pada Mulanya adalah Boedi Oetomo:

Nasionalisme Jawa atau Nasionalisme Hindia?[8]

            Boedi Oetomo (selanjutnya ditulis: BO) didirikan

pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para pelajar STOVIA, Batavia.

Nama-namanya seperti Dr. Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo dan

adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo, adalah para pentolan STOVIA

yang menjadi pelopor berdirinya BO disatu sisi. Disisi yang

lain, adanya desakan dari Dr. Wahidin Soedirohoesodo, salah

seorang dokter Jawa, yang juga lulusan STOVIA. Wahidin saat

itu tengah berkeliling Jawa untuk mencarikan dana-dana

bantuan,agar bisa memberikan beasiswa bagi pemuda-pemuda Jawa

yang ingin melanjutkan sekolah di STOVIA.[9]

Harus digaris bawahi, para anggota BO berasal dari kalangan

priyayi. Meminjam penjabaran van Miert[10], sebagian besar

orang Jawa tinggal di pedesaan. Mereka adalah kaum tani, biasa

disebut wong cilik. Kemudian, diatas mereka menurut status

sosialnya adalah priyayi.

Periode pasca Perang Jawa (1830), pemerintahan di Hindia

Belanda berlaku sebuah sistem pemerintahan yang disebut

stelsel dualistik. Dalam pemerintahan ini peranan para priyayi

cukup menentukan. Hal ini nampak dengan pembagian wialayah

Jawa kedalam beberapa keresidenan yang dipimpin oleh seorang

residen. Dan keresidenan itu masih dibagi lagi menjadi

kabupaten-kabupaten yang dipimpin oleh regent. Sementara itu,

dibawah regent pun masih ada patih dan wedana. Jika dilihat

dari titik ini, maka priyayi adalah kepanjangan tangan

kekuasaan kolonial. Apakah dengan demikian BO –yang para

anggotanya adalah priyayi—kepanjangan tangan kekuasaan

kolonial juga?

Harus dicatat, BO tidak bertujuan politik; tujuan pertama dan

yang utama, memajukan negeri dan bangsa Jawa, terutama melalui

pendidikan Barat[11]. Dari sini kita dapat melihat, bahwa BO

adalah organisasi kebudayaan, yang orientasinya

ialahmemajukan bangsa Jawa; Nasionalisme Jawa.

Pengurus pusat BO berada di kota Surakarta dan Yogyakarta.

Sebagian besar pengurus ialah para priyayi menengah dan

tinggi. Harus diakui juga, kedekatan dengan keluarga kerajaan

cukup kuat. Sebagai contoh, ketua BO pada periode 1915 sampai

1916 adalah R.M.A Soerjosoeparto, yang melepaskan jabatannya

pada tahun 1916 dan digantikan oleh pamannya, Prangwedana,

yaitu penguasa pura Mangkoenegaraan[12]. Hal ini, menyiratkan

kedekatan BO pada kerajaan –sekaligus juga kekuasaan kolonial—

bukan rahasia umum, walau masih banyak kalangan yang

mempertanyakannya.

Nasionalisme Jawa, bagi lingkungan kerajaan, pada mulanya

adalah memperjuangan semacam “renaissans” budaya Jawa. Bagi

kalangan priyayi yang sedang mengupayakan Nasionalisme Jawa,

menganggap bahwa budaya Jawa tengah berada dalam krisis

sebagai akibat kemerosotan politik raja-raja dan priyayi Jawa

itu sendiri. Mungkin, hal ini tergambar oleh sajakpujangga

besar terakhir, R.Ng. Ronggowarsito (1802-1873) yang

berjudul Zaman Edan[13];

“Hidup di zaman edan

Gelap jiwa bingung pikiran

Turut edan hati tak tahan

Jika tidak turut

Batin merana dan penasaran

Tertindas dan kelaparan

Tapi janji Tuhan sudah pasti

Seuntung apa pun orang yang lupa daratan

Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.”[14]

Sajak R.Ng. Ronggowarsito menjadi menarik ketika kita letakkan

pada bingkai “kesadaran” budaya Jawa. Walau sang pujangga tak

berujar soal tersebut. Tapi harus digaris bawahi, sang

pujangga adalah abdi keraton Surakarta. Sang pujangga tentu

mendapat dukungan penuh dari para petinggi keraton.

Pada tahun 1918, Nasionalisme Jawa adalah sebuah

kombinasi perjuangan budaya dan sosial, yaitu sebuah cita-cita

kelahiran kembali budaya Jawa yang adiluhung dan peningkatan

derajat penduduk Jawa, terutama melalui perluasan akses

pendidikan Barat. Para priyayi, sebagai motor utama penggerak

Nasionalisme Jawa yang ditopang oleh kerajaan dan kekuasaan

kolonial, sangat menjunjung tinggi cita-cita tersebut. Yang

terus mengumpayakan dan berlandaskan pada kesatuan etnis-

geografis Jawa yang mereka anggap ada. Dan secara sederhana,

ini yag disebut van Miert sebagai Nasionalisme Jawa.

Harus diakui disini, BO adalah organisasi pribumi pertama di

Hindia Belanda menurut model Barat[15], yaitu sebuah

perhimpunan yang pengurusnya secara periodik diganti, memiliki

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta program

kegiatan, mengadakan rapat-rapat dan kongres-kongres dan

anggotanya memiliki suara. BO adalah mulanya, kemudian banyak

lahir organisasi-organisasi lain. Diatas kita sepakat, BO

adalah anak dari Nasionalisme Jawa.

Tentang bangkitnya Nasionalisme Hindia, van Niel, sangat

gamblang dalam penjabarannya. Bahwa, penggeraknya ialah para

kaum elite Indonesia[16] (pada saat itu disebut Hindia Belanda

atau Boemipoetra). Lalu, apa bedanya dengan kaum elitedengan

priyayi? Dan mengapa kaum elite dan priyayi berbeda

dalam menafsirkan tentang, kelak kita sebut denganIndonesia?

Sebelum menjawab hal tersebut, menurut van Niel, ada beberapa

faktor internasional yang mempengaruhi munculnya kaum elite,

yakni “Kebangkitan Asia”, adalah sebuah gelombang antusiasme

bangsa Asia menyusul kemenangan Jepang terhadap Rusia di tahun

1905. Hal ini, menunjukkan kaum elite dan memberikan keyakinan

bahwa dunia Barat dapat dikalahkandengan senjatanya sendiri. Apa

itu? Ilmu pengetahuan!

Yang kedua, adalah Perang Dunia I yang terjadi di Eropa.

Pembantai manusia dalam peristiwa ini membuat Barat diragukan

sebagai sebuah tanah yang dijanjikan. Kemudian, terinspirasi oleh

pembebasan-pembebasan negara-negara bagian, seperti India,

Afrika Utara dan Irlandia. Hal ini membuat kalangan nasionalis

di Hindia tergerak dan menentukan sikap. Pada titik ini,

Nasionalisme Hindia mulai menemukan bentuknya.

Disisi lain, secara bersamaan, mesti juga dilihat perkembangan

yang terjadi di Hindia Belanda itu sendiri. Secara resmi,

Politik Etis diresmikan pada tahun 1901. Sebuah kebijakan ang

diambil oleh parlemen Belanda di Amsterdam, meminjam istilah

van Miert, “Pengangkatan Kaum Pribumi” ini secara lahir dan

batin dijunjung dan

disahkan oleh kaum

etis. Secara

berangsur-angsur,

perluasan dalam

bidang pendidikan,

mengakibatkan

munculnya,

sebagaimana yang disebut oleh

van Niel, Kaum Elite atau istilah van Miert, Priyayi Baru. Para

“anak haram” politik etis ini, menarik sebuah kesimpulan yang

tak terduga dari pelajaran sejarah tentang Perang 80 tahun,

yakni kemerdekaan Hindia! Artinya, para kaum elite ini muncul

dan berkembang justru ditempat-tempat yang mulanya dimaksudkan

untuk mendidik mereka menjadi orang jajahan; sekolah.

STOVIA: Pertemuan Budaya Barat dan Timur

            Pada awal abad ke-20, Batavia (sekarang Jakarta)

adalah tempat tujuan bagi sejumlah pemuda pelajar dari Jawa,

Sumatra, Minahasa dan lain-lain. Batavia adalah detak jantung

negeri jajahan. Termasuk detak jantung pendidikan, dalam hal

ini pendidikan Barat. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya,

yang bisa mengakses pendidikan pada periode ini ialah rakyat

Para Penggagas IP: Soewardi, Tjipto

dan Douwes Dekker

dari kalangan kelas bangsawan menengah dan tinggi. Di Batavia

terdapat STOVIA, Rechtsschool (Sekolah Hukum), OSVIA (Sekolah

Pamong Praja). Dalam bagian ini kita akan fokus membahas

STOVIA.

Para pelajar STOVIA tidak hanya sibuk studi, menonton bioskop

dan acara dansa. Acapkali, tidak sedikit pelajar yang berminat

pada politik. Meminjam istilah Miert[17], sekolah-sekolah

kolonial ini yang menjadi tempat sarang

penetasan benih nasionalisme[18].

Di sarang penetasan itu pula, terbentuknya kaum elite pribumi

yang menolak situasi kolonial secara sadar. Hal ini

dimungkinkan dengan lingkungan dan kapasitasnya sebagai

seorang terpelajar, yang melek huruf sekaligus terdidik.

Peranan informasi, dalam hal ini surat kabar, menjadi begitu

relevan. Proses ini tak bisa disangkal dan diabaikan. Ini,

yang disebutanak haram politik etis.

Pendidikan Barat, menyebabkan para terlepajar ini mampu

menyusun dan melihat dunia diluar negerinya, Hindia Belanda.

mereka belajar tentang kemerdakaan Amerika, mereka tersengat

petir Revolusi di Perancis atau mereka mendengar pembentukan

sebuah negara yang bernama Jerman dan Italia. Hal ini, melalui

surat kabar, menjadi keseharian dan santapan mereka setiap

hari.

STOVIA menjadi istimewa. Sekolah kedokteran ini merupakan

tempat dimana sejumlah perhimpunan terbentuk, semisal BO

(sebagaimana sudah dibahasa diatas), Jong Java, Jong Sumaranen

Bond, Studerenden Vereniging Minahasa, dan Jong Ambon.[19]

Dalam ruang dan suasana yang begitu istimewa, dimana para

pelajar saling bertemu dan bertatap wajah dengan suku lain,

ada ironi disana, yakni terbelahnya mereka secara

budaya.  Sebagaimana yang digambarkan oleh salah seorang

pelajar STOVIA, yang juga bergambung pada perhimpunan Jong

Sumatranen Bond, Mohammad Amir;

“Pengaruh para pelajar itu besar, ketika mereka di waktu

liburan kembali ke pulau masing-masing. Mereka tidak lagi

merasa senang di tengah lingkungannya, mereka melihat hal-

hal yang tidak baik, mereka mencita-citakan hal-hal yang lebih jauh

jangkauannya, dan mereka mengalami banyak konflik dengan

keluarganya, misalnya di bidang perkawinan. Tapi bagaimanapun

mereka membawa pulang peradaban baru dari Barat, membawa bentuk-

bentuk pergaulan, cita-cita keluarga, benda-benda, buku-buku,

cerita-cerita, dan pengetahuan yang baru.”[20]

Hal ini menyiratkan, mereka berada di perbatasan antara dua

budaya. Antara timur dan barat, antara tradisionalisme dan

modernisme. Dan hal ini menegaskan suatu gambaran tentang

narasi yang diatas sudah kita singgung; Nasionalisme Jawa dan

Nasionalisme Hindia.

2

Indische Partij[21]: “Hindia untuk Hindia!”[22]

            Setelah Boedi Oetomo (selanjutnya ditulis:

BO), kemudian Indische Partj (selanjutnya ditulis: IP). IP

didirikan oleh Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan

Soewardi Soerjaningrat di Bandung pada tanggal 25 Desember

1912[23]. IP adalah organisasi politik pertama

di Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda). IP suatu

organisasi multietnik kaum Indo-Eropa dan pribumi radikal yang

dengan gagah dan lantang menyerukan kemerdekaan Hindia. Harus

diingat, sebelum membangun dan mendirikan IP bersama Douwes

Dekker, Tjipto dan Soewardi adalah bagian dari BO.

Sebagaiamana sudah dipaparkan diatas; BO adalah pepanjangan

tangan kekuasaan kolonial sekaligus kerajaan. Untuk yang

belakangan ini, Nasionalisme Jawa adalah tujuan utamanya. Nah,

pada titik ini Tjipto dan Soewardi berseberangan dengan

kalangan konservatif macam Wahidin dan Radjiman.

Dimulai pada bulan Juli tahun 1908, diadakan kongres pertama

BO di Yogyakarta. Saat itu Tjipto menjabat sebagai komisaris.

Pada kongres itu Tjipto ingin mendorong BO menjadi organisasi

politik yang beranggotakan dari berbagai kalangan di Hindia,

bukan hanya milik priyayi Jawa saja. Namun, dalam kongres itu,

Tjipto sebagai juru bicara kalangan ‘radikal’, mendapat

tentangan dari kalangan ‘konservatif’ BO, yakni Wahidin dan

juga Radjiman. Sementara itu, Soetomo dan adiknya Goenawan,

tak bisa berbuat banyak. Pada tahun 1909, saat anggota BO

mencapai 10.000 orang, Tjipto meninggalkan BO. Bagi Tjipto, BO

semakin menjadi organisasi priyayi. Dan kemudian, sahabatnya,

Soewardi ikut keluar pula. Ia bergabung dengan Sarekat Islam.

Setali tiga uang, Douwes Dekker melihat keganjilan-keganjilan

dalam masyarakat kolonial, khususnya diskriminasi antara

keturunan Belanda totok dengan kaum Indo. Menarik disini kita

kutip pendapat Bung Hatta mengenai IP dan Sarekat Islam

(selanjutnya ditulis SI), dalam salah satu ceramahnya di

gedung Kebangkitan Nasional pada tanggal 22 Mei 1972;

“Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politik

dan melarang anggota-anggotanya berpolitik,Indische Partij tegas

menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi

menuntut diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”

IP, dengan tegas menyerukan “Hindia untuk Hindia!” artinya,

kemerdekaan untuk Hindia atas pemerintah kolonial Belanda.

Secara struktural kepengurusan pusat (Hoofdbestuur), IP diketuai

oleh Douwes Dekker dan Tjipto sebagai wakilnya. Tekanan utama

IP adalah kalangan Indo. Harus dicatat, pada tahun 1913,

anggota IP meneyentuh angka 7000-an orang dan sekitar 500-an

orang adalah pribumi.

Pada tahun yang sama, 1913, adalah peristiwa penting bagi IP

dan juga bagi sejarah pemerintahan kolonial Belanda,

bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda

atas penjajahan Perancis, IP merencanakan perayaan yang serupa

bagi Hindia Belanda. menurut IP, perayaan kemerdekaan Belanda

itu sangat tidak logis dan menyayat hati. Bahkan, Soewardi

menganggap itu sebuah penghinaan bagi bangsa Hindia yang masih

terjajah oleh Belanda. IP melawan!

Soewardi menulis karangan berjudul “Als ik een Nederlander was…”

(“Kalau saya seorang Belanda…”). Sebuah karangan yang

melegenda. Dalam tulisan itu Soewardi, dengan nada sarkas,

mengkritik perayaan kemerdekaan Belanda di tanah jajahan yang

belum merdeka, Hindia Belanda. Terlebih, perayaan itu

diselengarakan atas uang bangsa yang belum merdeka. Soewardi

menulis;

“Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan mengadakan

pesta kemerdekaan dalam suatu negeri, sedangkan kita menahan

kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja

tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra

disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu.

Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan

kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan

pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!”

Sementara itu Tjipto, pada tahun yang sama, pada momen yang

sama. Bersama Sutatmo Soerjokoesoemo, Soewardi dan Wignya-

disastra, mendirikan Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands

Honderjarige Vrijheid (Comite Boemi Poetra). Komite ini menerbitkan

pamflet yang menyerang kekuasaan pemerintahan kolonial Hindia

Belanda. Pamflet pertama, diterbitkan 12 Juli 1913, berisi

tuntutan membentuk parlemen Hindia dan dihapuskannya pasal

111Indischestaatregering tentang pembatasan hak berorganisasi bagi

bumiputera. Pamflet kedua, terbit 19 Juli 1913, berisi tulisan

Soewardi, berjudul Als Ik eens Nederlander was... (terjemahan Melayu:

Djika saja Nederlander), yang dicetak sebanyak 5.000

eksemplar. Yang menarik, pada pamflet kedua kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis. Kepada

Moeis yang ragu-ragu, Tjipto mengatakan: “Jangan khawatir,

saya akan mengambil semua tanggung jawab itu.” Dengan

demikian, pamflet ini pun menjangkau pembaca yang lebih luas.

Beredarnya pamflet ini tentu saja mengkhawatirkan pemerintah

kolonial.

Pemerintah kolonial kalangkabut. Pamflet itu dibredel.

Aktivitas Comite Boemi Poetra pun dibekukan. Dengan sikap

represif pemerintah kolonial, Tjipto pada tanggal 26 Juli

1913, menulis sebuah artikel di harian De Express, yang dipimpin

oleh sahabatnya, Douwes Dekker. Saat itu Douwes Dekker sedang

berada di Belanda. artikel itu berjudul “Kracht en Vrees”

(Kekuatan dan Ketakutan). Pada artikelnya itu Tjipto

menekankan, semakin pemerintah kolonial bersikap represif pada

komitenya, perlawanan keras akan semakin tumbuh dan

konsekuensinya Comite Boemi Poetra akan terus berjuang; Hindia

untuk Hindia! Pemerintah kolonial bersikap cepat, pada 30

Juli, Tjipto, Soewardi, Sutatmo dan Wignya ditangkap. Dan,

dibuang. 

Saat tiba di Batavia, Douwes Dekker menulis artikel berjudul

“Onze helden” (Pahlawan Kita). Douwess memuji rekannya. Sial,

ia juga ditangkap. Kemudian, Douwes, Tjipto dan Soewardi

dibuang ke Belanda.

Ketiganya dibungkam, meski sementara. IP dilarang, bubar.

Seruan “Hindia untuk Hindia!” berujung dipembuangan. Bukan

berarti kalah. Sejarah tak mengenal kekalahan.

3

Indische Partij: Sebuah Narasi tentang Indonesia

                        Pembubaran IP oleh pemerintah kolonial

Belanda menyisahkan sesak bagi kalangan nasionalis Hindia.

Pembubaran itu berujung dibuangnya “tiga serangkai” ke

Belanda. Pada tahun 1919, ketiganya kembali ke Jawa, kembali

ke papan catur pepolitikan Hindia. Mencoba kembali

menghidupkan setelah enam tahun diasingkan. Ketiganya

bergabung keInsunlide, sebuah organisasi orang Indo yang

didirikan pada tahun 1907. Insulinde adalah sebuah organisasi

yang mirip studi club. Karna terlalu elitis, Insulinde tak

terlalu mendapat simpati. Kemudian, mereka menciptakan Nationale

Indische Partij(NIP, yang juga disebut Sarekat Hindia) pada tahun

1919. Tak terlalu lama, wadah itupun tak berkembang. Bukan

karna disebabkan tak mahirnya “tiga sekawan”, tapi memang

lebih pada terjadinyaa perpecahan gagasan dan tujuan antara

kaum pribumi dan kaum Eropa, serta kaum Indo.[24]

Pada tahun 1920-an, Soewardi bersama Soetatmo, rekan Tjipto

dan Douwes di Comite Boemi Poetra mendirikan Taman Siswa. Hal

ini, setidaknya memperjelas terjadinya perpecahan tersebut.

Tjipto masih dengan sikap pembangkangnya. Ia berhasil

mendorong pemerintahan kolonial menciptakan Volksraad (Dewan

Rakyat)[25].

Pada periode ini pula, sebuah peristiwa menarik terjadi.

Perdebatan intelektuil antara Tjipto dan Soetatmo menjelang

pembukaan kongres Volkskraad pada awal 1918, yang kemudian

dikembangkan dalam kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa, 5-7

Juli 1918[26].

Dalam perdebatan ini, mengingatkan kita pada persoalan

“Nasionalisme Jawa dan Nasionalisme Hindia” yang diawal kita

bahas. Seolah tak berujung, diskusi ini menjadi pembuktian

yang tegas. Bahwa persoalan pada awal abad 20, ialah persoalan

pernafsiran mengenai nasion, yang kelak kita sebut Indonesia. Di

Titik ini kita masih mengenal Tjipto sebagai pembangkang,

sekaligus modernis. Walau tak menanggalkan pakaian khas

Jawanya. Sementara Soetatmo, yang kala itu telah bergabung

bersama Soewardi di Taman Siswa, dengan terbeban oleh

sejarah, mencoba mengais kejayaan masa lalu pada Majapahit

ataupun Mataram.

Setidaknya, dari perdebatan antara Tjipto dan Soetatmo, kita

mendapat gambaran apa yang disebut Dhont dengan evolusi politik[27].

Bahwa rupanya tak hanya organisasi atau perhimpunan yang

mengalami evolusi (atau dekadensi?), namun secara individual

pun terjadi dekadensi, hal itu nampak jelas pada argumentasi

Soetatmo pada perdebatan itu. lain hal dengan Tjipto, yang

masih setia dengan ‘label’nya; Pembangkang.

Memang, ketika membicarakan Indische Partij (selanjutnya

ditulis: IP), kita tak bisa mengelak membicarakan “tiga

serangkai”. Bukan maksud menegasikan peran civic society, namun

memang kita tak bisa lepas dari ketiga tokoh tersebut. Harus

dicatat mungkin, membicarakan Tjipto, Soewardi, dan Douwes,

tanpa menegasikan keadaan sosial dan civic society,artinya

membicarakan pikiran yang bergerak[28]. Dan dengan hal itulah

ketiganya mencatatkan namanya dalam lintasan sejarah.

Sebagai akhir, perlu dicatat lagi mungkin, kehadiran IP sangat

penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan

politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk Hindia!” sangat

maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering[29].

HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya

pada tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering

IP.[30]

Kedua hal ini, kiranya, menjadikan IP sebuah sebuah narasi

awal untuk kita berbicarakan Nasionalisme. Dan harus

ditegaskan diujung ini, selain dengan istilah Zaman Bergerak,

narasi yang menuju Indonesia ini adalah sebuah bagian dimana

setiap pemuda maupun pemudi mencoba menafsirkan tentang

nasion, kelak kita sebut dengan Indonesia. dan organisasi,

termasuk IP, adalah sebuah gambaran yang coba dibuat atas

tafsir Indonesia tersebut. Bukankah tafsir melulu berkaitan

dengan makna? Dan, makna berkait pula dengan alam ideasional?

Lantas, sampai disini kita menjadi tahu, nasionalisme adalah

soal ideasional belaka.

Jatikramat, 24 Februari 2014

Jakarta, Februari 2014

Tyo Prakoso

Catatan Akhir:

[1] Menyoal penamaan “Indonesia” silakan lihat catatan kaki nomor 4

pada kata pengantar Daniel Dhakidae untukImagined Communities (Yogyakarta:

Pustaka Belajar, 2008) karya Ben Anderson

[2] Mahasiswa Program Sarjana, Program Studi Pendidikan Sejarah,

Fakultas Ilmu Sosial –Universitas Negeri Jakarta

[3] Op cit Ben Anderson..

[4] Dikutip dari 100 Tokoh yang mengubah Indonesia (Jakarta: Narasi, 2006)

[5] Untuk paparan mengenai Perempuan dalam pergerakan Indonesia, lihat

Siti Raisyah “#HerStory: Ketika Perempuan Dibicarakan, Perempuan dalam

Pergerakan” di kedai

@Gerakanaksarahttp://gerakanaksara.blogspot.com/2014/01/herstory-

perempuan-dalam-pergerakan.html [diakses 23/02/14 pukul 22:35]

[6] Lihat Takashi Shirashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926 (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2005)

[7] Robert van  Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia  (Jakarta: Pustaka Jaya,

1984)  hal. 91

[8] Dalam pembahasan bagian ini mengacu pada buku Hans van Miert Dengan

Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930 (Jakarta:

KITLV-Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu, 2003)

[9] Pembahasan lebih rinci menyoal Boedi Oetomo lihat Akira

Nagazumi Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918 (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1989)

[10] Op Cit pada Bab 1 “Priyayi dan Nasionalisme”

[11] Lihat sebagai gambaran umum. AK. Pringgodigdo,  Sejarah Pergerakan Rakyat

Indonesia (Jakarta : Dian

Rakyat, 1970)

[12] Op Cit van Miert...

[13] Dikutip dari Ronggowarsito, Zaman Edan (Yogyakarta: Forum, 2013)

[14] Ibid

[15] Op Cit van Miert..

[16] Bandingkan dengan pemaparan Frank Dhont dalam bukunya Nasionalisme

Baru Intelektual Indonesia tahun 1920-an (Yogyakarta: UGM Press, 2005).

Setidaknya Dhont menyebutkan ada lima komponen, yakni 1.) Proses

Industrialisasi dan Modernisasi di Wilayah Hindia Belanda 2.) Perkembangan Pendidikan Barat

3.) Krisis Sosial dalam Elit Lama 4.) Evolusi Politik dan 5.) Pengaruh Internasional. Praktis

dari kelima komponen tersebut, empat diantara Dhont mengamini apa yang

ditulis oleh van Niel, semantara pada poin empat Evolusi Politik, Dhont

mencoba lebih mengembangkan dari pembahasan poin nomor tiga, yang luput

oleh pembahasan van Niel. Lihat Bab.2 “Konteks Pada Dekade-dekade Awal

Abad ke-20 di Indonesia”.

[17] Op Cit van Miert

[18] Didalam bukunya Imaged Communities (Pustaka Pelajar, 2008), Ben

Anderson mendefinisikan “nasionalisme” sebagai artefak budaya blue

print sikap politik yang segera diterapkan oleh setiap generasi.

[19] Op Cit van Miert..

[20] Dikutip dari van Miert. Penekanan dengan garis miring oleh

penulis.

[21] Indesche Partij adalah partai politik pertama di Indonesia (saat

itu bernama Hindia Belanda). Lebih lengkap lihat Almanak Abad Partai

Indonesia karya Taufik Rahzen, dkk (Iboekoe: 2008).

[22] Pada bagian ini mengacu pada buku Savitri Scherer Keselarasan dan

Kejanggalan (Depok: Komunitas Bambu, 2012) yang membahas ketika tokoh

dalam tradisi Intelektual Jawa, yakni Soewardi Soerjaningrat, Tjipto

Mangoenkoesoemo dan Soetomo.

[23] Op Cit van Niel..

[24] Op Cit Frank Dhont..

[25] Lihat laman http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120916/cipto-

mangunkusumo-sang-pejuang-kesehatan-rakyat.html [diakses 24/02/14 pukul

2:30]

[26] Lihat artikel Budiawan “Nostalgia atau Utopia? Perdebatan Dua

Priyayi Jawa Awal Abad 20” dalam jurnal kebudayaan Kalam edisi 3-1994

(Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 1994)

[27] Op Cit Frank Dhont..

[28] Istilah Pikiran Yang Bergerak, meminjam pendapat salah seorang kawan.

Artinya, sebuah gagasan dan pemikiran yang “membumi” tapi tak

kehilangan “kecanggihan”annya. Pikiran yang dibuat bergerak ini bukan

sejenis pikiran alafilsuf, melainkan sebuah pikiran atau gagasan yang

berangkat dari realitet.

[29] Istilah Vargedering sebuah rapat akbar ditempat umum, biasanya

lapangan terbuka. Berisi orasi-orasi politik sekaligus propaganda.

Vargedering menjadi salah satu senjata politik pada eranya.

[30] Lihat laman http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120418/douwes-

dekker-dan-perjuangan-nasional-indonesia.html [diakses 24/02/14 pukul

2:54]

Daftar Referensi Bacaan:

Sumber buku:Miert, van Hans. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di

Indonesia, 1918-1930.Jakarta: KITLV-Hastra Mitra-Kalam, 2003.

Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas

Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Press, 2008.

Dhont, Frank. Nasionalisme Baru: Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yogyakarta:

UGM Press, 2005.

Pringgodigdo, AK. Sejarah Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1970.

van  Niel, Robert. Munculnya Elit Modern Indonesia,  Jakarta: Pustaka Jaya,

1984.

Ronggowarsito, Zaman Edan. Yogyakarta: Forum, 2013.

Shirashi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta,

Pustaka Utama Grafiti, 2005.

Nagazumi, Akira. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-

1918, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Siagian, Bernard, Penyunting, dkk. 100 Tokoh yang mengubah

Indonesia, Jakarta: Narasi, 2006.

Scherer, Savitri. Keselarasan dan Kejanggalan, Depok: Komunitas Bambu, 2012.

Rahzen, Taufik, dkk. Almanak Abad Partai Indonesia. Jakarta: Iboekoe, 2008.

            Sumber Artikel dan Laman:Budiawan “Nostalgia atau Utopia? Perdebatan Dua Priyayi Jawa Awal Abad 20” dalam

jurnal kebudayaan Kalam edisi 3-1994, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 1994.

Kedai @Gerakanaksara http://gerakanaksara.blogspot.com/

Laman @BerdikaliOnline http://www.berdikarionline.com/