Hukum Jual Beli
-
Upload
uin-malang -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Hukum Jual Beli
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling
membutuhkan satu sama lain, supaya mereka saling tolong
menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan seperti
jual beli, sewa menyewa bercocok taman atau sebagainya.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur
dan subur dan pertalian satu dengan yang lainnyapun semakin
teguh. Akan tetapi selalu ada sifat tama’ dari manusia, suka
mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing dapat
dipenuhi.
Oleh sebab itu agama memberikan aturan yang sebaik-
baiknya dalam hal muamalah seperti jual beli agar jual beli
yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan syariah islam.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa,
murabahah, salam dan istishna’) ?
b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah Muntahiyyah
bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ?
C. Tujuan
a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa,
murabahah, salam dan istishna’) ?
b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah
Muntahiyyah bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 JUAL BELI
Pengertian Jual beli
Jual beli atau dalam bahasa arab al-bai menurut
etimologi adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang
lain.Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual
beli adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang
dengan barang,barang dengan uang atau sebagainya.
Dalam pengertian syara’terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama madzab.dari beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama madzab dapat diambil intisrinya
yaitu :
1. Jual beli adalah akad mu’awadhah , yakni akad yang
dilakukan oleh dua pihak, dimana pihak pertama
menyerahkan barang dan pihak kedua menyerahkan imbalan,
baik berupa uang atau barang.
2
2. Syafi’iyah dan hanabilah mengemukakan bahwa objek jual
beli bukan hanya barang (benda) tetapi juga manfaat.
Dasar Hukum Jual beli
Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan al
Qur’an, Sunnah dan ijma’ para ulama.Dilihat dari aspek
hukum jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang
dilarang oleh syara’. Adapun dasar hukum dari al Qur’an
antara lain :
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba
fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan
demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya
seperti orang kemasukan syaitan.
3
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini,
boleh tidak dikembalikan.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
(QS Al Baqarah [2]:275)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan.jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.( QS Al-Baqarah [2] : 282)
Dasar hukum dari sunnah :
Dari Rifa’ah ibnu rafi’ bahwa Nabi Muhammad SAW ditanya usaha apakah yang
paling baik? Nabi menjawab : Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang mabrur.(diriwayatka oleh Al bazzar dan
dishahihkan oleh Al-hakim)
4
Dari ayat-ayat Al-qur’an dan hadist yang dikemukakan
diatas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan
yang halal dan mulia.
Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada 4 yaitu :
1. Penjual
2. Pembeli
3. Shighat
4. Ma’qud alaih (Objek akad)
Syarat-syarat Jual beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli,
yaitu :
1. Syarat terjadinya akad (In’iqad)
Syarat in’iqad adalah syarat yang harus dipenuhi agar akad
jual beli dipandang sah menurut syara’.Apabila syarat ini
tidak dipenuhi maka akad jual beli menjadi batal.
2. Syarat sah jual beli
Syarat sah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat
umum dan syarat khusus.Syarat umum adalah syarat yang harus
ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut
dianggap sah menurut syara’.Secara global akad jual beli
harus terhindar dari 6 macam aib.
a. Ketidakjelasan
5
b. Pemaksaan
c. Pembatasan dengan waktu
d. Penipuan
e. Kemudaratan
f. Syarat-syarat yang merusak
3. Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat nafadz)
Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai
berikut :
a. Kepemilikan atau kekuasaan
b. Pada benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain.
4. Syarat Mengikatnya Jual Beli (Syarat Luzum)
Untuk mengikatnya jual beli disyaratkan akad jual beli
terbebas dari salah satu jenis khiyar yang membolehkan
kepada salah satu pihak untuk membatalkan jual beli seperti
khiyar syarat, khiyar ru’yah dan khiyar aib. Apabila
didalam akad jual beli terdapat salah satu jenis khiyar ini
maka akad tersebut tidak mengikat kepada orang yang
memiliki hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual
beli atau meneruskan atau menerimanya.
2.2 MURABAHAH
Pengertian Murabahah Dan dasar hukumnya
Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan
pembeli dimana keduanya sepakat soal harga perolehan dan
keuntungannya (margin). Penjual membeli barang dari pihak
lain dan menjualnya kepada pembeli dengan memberi tahu
6
harga pembelian dan keuntungan yang diperoleh dari
penjualan tersebut.
Dasar HukumMurabahah :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS An
Nisa [4] :29)
Hadist Nabi Muhammad SAW :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rosulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR al Baihaqi dan Ibnu
majah)
Syarat-Syarat Murabahah
a. Mengetaui harga pertama (harga pembelian)
b. Mengetahui jumlah keuntungan yang diminta penjual.
c. Modal yang dikeluarkan hendaknya berupa barang mitsliyat
(barang yang memiliki varian serupa )
d. Transaksi yang pertama hendaknya sah.
7
2.3 SALAM
Pengertian Salam
Salam atau salaf mempunyai arti yang sama. Dalam kamus
Al-Mu’jam al-wasith disebutkan As-salaf diartikan dengan
“jual beli salam”. Pengertian salaf atau istalafa :
iqtaradha yang artinya “berutang”.
Menurut pendapat Al-Jazairi bahwa jual beli dengan system
inden (salam) ialah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri
tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Pendapat
lain dikemukakan oleh Zuhaili, jual beli system pesanan
merupakan transaksi jual beli barang pesanan diantara
pembeli (musalam) dan penjual (musalam alaih). Spesifikasi
dan harga pesanan harus sudah disepakati di awal transaksi,
sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka secara penuh.
Menurut pendapat ulama safiyiyah dan hanailah, salamadalah
transaksi atas pesanan dengan spesifikasi tertentu yang
ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu yang
pembayarannya dilakukan secara tunai di majlis akad.
Dasar Hukum Salam
Jual beli dengan sistem pesanan (salam) diperbolehkan,
berlandaskan pada firman Allah pada firman Allah SWT :
8
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu
itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya.dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
9
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”(QS Al-Baqarah [2] :282)
Rukun dan Syarat-syarat Salam
Rukun salam menurut jumhur ulama rukun salam meliputi:
a) Aqid, yaitu pembeli atau al-muslim atau rabbusalam, dan
penjual atau al-muslam ilaih.
b) Ma’qud alaih yaitu muslam fih (barang yang dipesan) dan
aharga atau modal salam (ra’s al-mal as-salam)
c) Shighat yaitu ijab dan qobul.
Secara umum ulama-ulama madzab sepakat bahwa ada 6 syarat
yang harus dipenuhi agar salam menjadi sah, yaitu :
a) Jenis muslam fih harus diketahui
b) Sifatnya diketahui
c) Ukuran atau kadarnya diketahui
d) Masanya tertentu
e) Mengetahui kadar ra’s al-amal (modal/harga)
f) Menyebutkan tempat pemesanan/penyerahan.
2.4 ISTISHNA’
Pengertian Istishna’ dan Dasar Hukumnya
Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’a artinya “meminta
untuk dibuatkan sesuatu”. Pengertian Istishna’ menurut
istilah tidak jauh berbeda dengan pengertian menurut
10
bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut
istilah sebagai berikut ini:
Definisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang
produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam
perjanjian yakni akad untuk membeli sesuatu yang akan
dibuat oleh seorang produsen, dan barang serta pekerjaan
dari pihak produsen tersebut.
Landasan Hukum Istishna’ secara tekstual memang tidak
ada. Bahkan menurut logika, Istishna itu tidak
diperbolehkan , karena objek akadnya tidak ada. Namun,
menurut hanafiah, akad ini dibolehkan berdasarkan istihsan,
karena sudah sejak lama istishna’ ini dilakukan oleh
masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga dengan
demikian hukum kebolehannya itu bisa digolongkan kepada
ijma’. Mengenai ijma’ ini Anas bin Malik meriwayatkan bahwa
Rosulullah Muhammad SAW bersabda :
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat untuk kesesatan, apabila
kamu melihat adanya perselisihan, maka ikutilah kelompok yang banyak.
(HR Riwayat Ibnu Majah)
Rukun Dan Syarat-syarat Istishna’
Menurut jumhur ulama rukun istishna’ada 3 yaitu :
Aqid, yaitu shani (orang yang membuat/produsen) atau
penjual dan mustashni (orang yang memesan/konsumen) atau
pembeli.
Ma’qud alaih yaitu amal (pekerjaan), barang yang dipesan
dan harga atau alat pembayaran.
11
Shighat atau ijab dan Kabul
Adapun syarat-syarat istishna adalah sebagai berikut :
Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam,
kadar dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang
yang dijual.
Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku
muamalat diantara manusia seperi bejana, sepatu dan
lain-lain.
Tidak ada ketentuan mengenai waktu tempo penyerahan
barang yang dipesan.
2.5IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYYAH BITTAMLIK
Ijarah
a. Pengertian Ijarah
Sewa (Ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ganti, upah
atau menjual manfaat.Secara istilah syariah,menurut ilmu
fikih, antara lain disebutkan oleh Al-Jazairi , sewa
(ijarah) sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk
masa tertentu dengan harga tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh zuhaili , ia mengatakan
bahwa sewa adalah transaksi pemindahan hak guna atas
barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui
pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak
pemilikan atas barang.
b. Landasan Hukum Ijarah
12
Sewa (ijarah) dalam hukum islam diperbolehkan
berdasarkan firman Allah SWT beserta dalil-dalil sebagai
berikut :
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak
mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
(QS Al –Kahfi [18] : 77)
“Dari Ibnu Umar RA, Berkata bahwa Rosulullah SAW. Telah bersabda :
“Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering “
(Riwayat Ibnu Majah)
c. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat Ijarah adalah sebagai
berikut :
1) Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang melakukan akad sewa-
sewanya atau upah-mengupah. Mu’jir adalah orang yang
menerima upah dan yang menyewakan, Musta’jiradalah orang
yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang
13
menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan
musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan
tasyaruf (mengendalikan harta) dan saling meridhai.
2) Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab
Kabul sewa-menyewa.
3) Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua
belah pihak, baik dala sewa-menyewa maupun dalam
upah-mengupah.
4) Objek sewa (Ma’jur)
Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Ijarah Muntahiyyah Bit-tamlik adalah ijarah yang diakhiri
dengan peralihan kepemilikan di akhir masa sewa. Peralihan
kepemilikan dapat dilakukan dengan cara menghibahkan dari
pemberi sewa kepada penyewa atau dengan cara menjual barang
tersebut di akhir periode sewa.
2.6 HIWALAH
Pengertian Hiwalah dan Dasar Hukumnya
Menurut bahasa, hiwalah adlah al-intiqal dan al-tahwil,
yang artinya mengalihkan atau memindahkan. Sedangkan
menurut istilah, hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang
dari orang yang berutang kepada orang yang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatka da
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda; Menunda-nunda
pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila
salah seorang diantara kamu diikuti (dipindahkan) kepda
14
orang yang punya, maka ikutilah.(HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Rukun dan Syarat Hiwalah
Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah menurut menurut Hanafiyah hanya satu, yaitu
ijab dari orang yang memindahkan (al-muhil) dan qabul dari
orang yang dipindahkan (al-muhal) dan orang yang dipindahi
utang (al-muhal ‘alaih). Sedangkan menurut jumhur selain
ulama Hanafiyah memiliki enam rukun, yaitu:
1. Muhiil atau pihak yang berutang kepada pihak yang muhaal.
2. Al-muhaal (pihak yang berpiutang atau dengan kata lain
pihak yang memberi utang).
3. Muhal ‘alaih (pihak yang berkeharusan unutk membayar
utang kepad pihak al-Muhaal).
4. Muhaal bihi (utang pihak Muhiil kepad pihak Muhaal dan
utang pihak Muhaal ‘alaihi kepada pihak Muhiil).
5 dan 6.Shigat (ijab qabul).
Syarat-Syarat Hiwalah
Syarat-syarat hiwalah yang berkaitan dengna rukun, yaitu
Muhiil, Muhaal, Muhal ‘alaih, Muhaal bihi, dan Shigat.
1. Ada dua syarat untuk muhiil, yaitu:
a. Muhiil harus mempunyai kecakapan untuk melakukan akad,
yaitu ia harus berakal dan baligh.
b. Persetujuan Muhiil, maksudnya atas kemauan sendiri
tidak dalam keadaan dipaksa.
2. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi oleh pihak Muhaal,
yaitu:
15
a. Muhaal harus mempunyai kecakapan untuk melakukan akad,
yaitu ia harus berakal dan baligh.
b. Persetujuan Muhaal. Apabila Muhaal tidak menyetujui
dengan pemindahn tersebut maka hiwalahnya tidak sah.
c. Qabul dari pihak Muhaal yang harus diucapkan di dalam
majelis akad.
3. Syarat-syarat Muhaal ‘alaih:
a. Muhaal ‘alaih harus mempunyai kecakapan untuk melakukan
akad, yaitu ia harus berakal dan baligh.
b. Muhaal ‘alaih setuju atas pemindahan utang tersebut.
c. Qabul dari pihak Muhaal ‘alaih yang harus diucapkan di
dalam majelis akad.
4. Syarat-syarat Muhaal Bihi, diantaranya:
a. Muhaal Bihi harus berupa ad-Dain (harta yang berupa
utang), maksudnya pihak Muhiil memang memiliki
tanggungan utang kepada pihak Muhaal.
b. Tanggungan utang yang ada sudah positif dan bersifat
mengikat (laazim), seperti utang dalam akad pinjaman
utang.
5. Syarat sihgat
Ijab dan qabul disyaratkan harus dilakukan di majelis
akad dan akad yang ada disyaratkan harus final, sehingga
di dalamnya tidak berlaku khiyar majlis maupun khiyar
syarat.
Beberapa Hukum (ketentuan) tentang Hiwalah
Apabila akad hiwalah telah dilaksanakan maka timbullah
akibat-akibat hokum sebagai berikut:
16
1. Pihak Munhiil terbebas dari tanggungan utang yang ada
(Munhaal Bihi). Apabila akad hawalah telah sempurna
dengan adanya qabul (persetujuan), maka menurut mayoritas
ulama, pihak Munhiil secara otomatis terbebas dari
tanggungna utang yang ada, dan bentuk-bentuk jaminan yang
berupa gadai dan penjamin tidak ikut berpindah, akan
tetapi statusnya ikut berakhir atau selelsai.
2. Tetapnya kekuasaan penuntut bagi Muhaal atas Muhaal
‘alaih terhadpa utang yang ada dalam tanggungannya.
3. Tetapnya hak mulazamah bagi Muhaal ‘alaih atas Muhiil,
apabila Muhiil terkait dengan Muhaal.
Berakhirnya akad Hiwalah
Hiwalah berakhir karena beberapa hal, yaitu sebagai
berikut:
1. Adanya pembatalan dan penganuliran (al-Faskh) terhadap
akad hawalah.
2. Hak Muhaal (utang) sulit untuk dapat kembali karena
muhaal ‘alaih meninggal dunia, boros atau yang lainnya.
3. Pihak Muhaal ‘alaih telah menyerahkan pembayaran utang
kepada pihak Muhaal.
4. Meninggalnya Muhaal dan Muhaal ‘alaih mewarisi harta
hiwalah.
5. Pihak Muhaal menghibahkan utang yang ada kepada pihak
Muhaal ‘alaih dan ia pun menerimanya hibah tersebut.
6. Pihak Muhaal mensedekahkannya kepada pihak Muhal ‘alaih
dan ia pun menerima sedekah tersebut.
17
7. Pihak Muhaal membebaskan pihak Muhaal ‘alaih dari
tanggungan.
2.7 WAKALAH
Pengertian Wakalah dan Dasar Hukumnya
Wakalah dalam arti bahasa menyerahkan.Wakalah juga
diartikan dengan al-hifzhu, yang artinya menjaga atau
memelihara. Wakalah secara istilah adalah suatu akad di
mana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk
melakukan suatu perbuatan yang bisa digantikan oleh orang
lain pada masa hidupnya denga syarat-syarat tertentu.
Dasar Hukum Wakalah :
Firman Allah
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan".(QS Yusuf [12] :55)
Hadist Abu Rafi’ :
Berkata Abu Rafi’ : Nabi Muhammad SAW berutang seekor unta perawan,
kemudian datanglah unta hasil zakat, Nabi kemudian memerintahkan saya
untuk membayar unta tersebut kepada laki-laki (pemiliknya). (HR. Jama’ah
kecuali Al-Bukhari)
Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun Wakalah
Menururt jumhur ulama’ rukun wakalah adaempat, yaitu:
a. Muwakkil atau orang yang mewakilkan,
b. Muwakkal atau wakil,
18
c. Muwakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan, dan
d. Shigat atau ijab dan qabul.
Syarat-Syarat Wakalah
Syarat wakalah berkaitan dengan muwakkil, muwakkal,
muwakkal fih, dan sighat.
1. Syarat muwakkil
Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan
melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya kepada
orang lain.
2. Syarat wakil
a. Orang yang mewakili (wakil) harus orang yang berakal.
b. Orang yang mewakili (wakil) harus mengetahui tugas
atau perkara yang diwakilkan kepadanya.
3. Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkil fih)
a. Perkara yang diwakilkan bukan yang meminta uang.
b. Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had
yang tidak disyaratkan pengaduan, seperti had zina.
4. Syarat yang berkaitan edngan sighat
a. Sighat yang khusus
Sighat yang khusus adalah sighat atau lafal yang
menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang khusus.
Misalakan: saya wakil kepadamu untuk membeli rumah
ini.
b. Sighat umum
19
Sighat yang umum adalah setiap lafal yang menunjukkan
pemberian kuasa dalam perkara umum. Misalakan: “kamu
adalah wakilku dalam segala sesuatu”.
Berakhirnya akad Wakalah
Akad wakalah berakhir Karena beberapa hal berikut:
1. Meninggalnya salah seorang dari orang yang melakukan
akad, atau gila.
2. Telah selesainya pekerjaan yang dimaksudkan dengan
wakalah.
3. Pemecatan oleh muwakkil terhadap wakil walaupun ia
(wakil) tidak mengetahuinya.
4. Wakil mengundurkan diri dari tugas wakalah.
5. Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan si
muwakkil.
2.8 KAFALAH
Pengertian Kafalah dan Dasar Hukumnya
Secara bahasa al-kafalah adh-Dhammau (menggabungkan).
Sedangkan menurut istilah adalah menggabungka tangggungan
ke tanggungan yang lain di dalam penagihan atau penuntutan
secara mutlak. Maksudnya adalah menggabungkantanggungan
pihak kafill (penjamin) kepada tanggungan al-madiin (orang
yang menanggung suatu hak, pihak yang dijamin) di dalam
penagihan atau penuntutan hak jiwa.
Dasar Hukum Kafalah
20
“penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya".(QS Yusuf [12] :72)
Rukun dan Syarat Kafalah
Rukun Al-Kafalah
Menurut mayoritas ulama’, rukun al-kafalah ada empat yaitu:
a. Dhaamin atau orang yang menjamin (kafiil, yaitu setiap
orang yang sah untuk mentasharufkan hartanya. Maka oleh
itu, tidak sah penjamin atau al-kafalah yang diberikan
oleh anak kecil dan safiih, yaitu orang yang tidak sah
melakukan pentasharufanterhadap hartanya karena tidak
memiliki kempuan mengelola dan membelanjakan hartanya
dengan baik dan benar).
b. Madmuun atau sesuatu yang dijamin (al-makful bihi, yaitu
setiap hak boleh diwakilkan, yaitu utang atau barang
yang statusnya tertanggung. Hal ini berkaitan dengan
harta benda, tidak berkaitan dalam hal hokum had atau
qishash. Karena hokum had tidak tidak boleh diwakilkan).
c. Madmuun ‘anhu atau pihak yang dijamin (setiap orang yang
memiliki tanggungan harta yang harus dibayar, baik ia
masih hidup atau sudah mati).
d. Shiigah atau ijab. Ulama’ syafi’iyyah menambahkan sutu
rukun lagi, yaitu, Madhmuun lahu (yaitu pihak pemilik
hak yang dijamin).
Syarat-Syarat Al-Kafalah
21
Di dalam al-kafalah ada bebrapa syarat yang harus dipenuhi,
syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan sighat
(ijab), pihak kafiil, pihak ashiil (al-Makfuul’anhu), pihak
al-Makfuul lahu dan al-Makful bihi.
1. Syarat-syarat shighat
a. Harus ada kata-kata yang menunjukkan pemberian
komitmen, baik secara eksplisit mauppun secara
implisit;
b. Harus implementatif dan pasti, tidak boleh mengambang;
c. Tidak dibatasi dengan waktu, baik dalam al-kafalah
dalam harta, karena yang dimaksudkan dan diinginkan
adalah menunaikan dan membayarkan , maupun dalam al-
kafalah dalam jiwa (badan), karena yang dimaksudkan dan
diinginkan adalah menghadirkan orang yang bersangkutan.
2. Syarat pihak kafiil
a. Berakal dan baligh, yakni memiliki kelayakan untuk
berderma;
b. Merdeka (bukan budak);
c. Tidak mahjur ‘alaih karena boros;
d. Kafil tidak dalam keadaan sakit keras;
e. Tidak dipaksa.
3. Syarat-syarat pihak ashil (al-Makfuul’anhu)
a. Ashiil harus orang yang memiliki kemampuan untuk
menyerahkan al-makfuul bihi (sesuatu yang dijamin),
baik langsunng ia lakukan sendiri maupun oleh
wakilnya;
b. Ashiil haruslah diketahui oleh pihak kafiil.
4. Syarat-syarat untuk al-Makful lahu
22
a. Harus jelas (diketahui), jika da seseorang al-kafalah
atau jaminan kepada al-makful lahu yang tidak jelas
siap orangnya, maka tidak boleh. Karena jika al-makful
lahu tidak diketahui siapa orangnnya, maka tujuan dari
pemberian atas al-kafalah tidak terpenuhi.
b. Ia harus hadir dalam majlis akad al-kafalah.
c. Berakal. Tidak sah persetujuan yang diberikal oleh
orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, karena
dalam kafalah harus ada qabul (penerimaan).
5. Syarat-syarat al-makful bihi
a. Sesuatu yang menjadi tanggungan pihak ashiil, baik itu
berupa ad-Dain (utang), al-‘Ain (barang), jiwa atau
perbuatan.
b. Sesuatu yang harus mampu dipenuhi oleh pihak kafiil,
supaya akad kafalah memang benar-benar memiliki
faedah.
c. Utang yang harus ada benar-benar utang yang statusnya
mengikat dan sah.
Macam-macam Kafalah
Secara Garis Besar Kafalah Dibagi Menjadi Dua Macam
1. Kafalah dengan jiwa (kafalah bi an-nafs)
Kafalah an-nafs adlah kafalah yangsuatu kafalah di mana
objek tanggungannnya mendatangkan orangke hadapan
23
tertanggung. Shigat yang digunakan bias dengan lafal “
saya jamin untuk mendatangkan si Fulan.
Ulama’ syafi’iyah memberikan syarat-syarat untuk kafalah
bin an-nafs sebagai berikut:
a. Makful dan makful lahu harus diketahui.
b. Makful harus disetujui.
c. Harus ada izin (persetujuan) wali apabila makful belum
makfullah.
d. Hak yang berkaitan dengan makful bih adalah hak adami
(manusia/individu), bukan hak Allah.
2. Kafalah dengan harta (kafalah bi al-mal)
Kafala bi al-mal adalah suatu bentuk kafalah di mana
penjamin terikat untuk membayar kewajiban yang bersifat
harta.
Kafalah bi al-mal terbagi menjadi tiga bagian:
a. Kafalah bi ad-dain, adalah kewajiban penjamin untuk
melunasi utang yang ada dalam tanggung jawab orang
lain. Untuk kafalah bi ad-dain ini disyaratkan:
Utang harus sudah tetap pada saat dilangsungkannya
kafalah, seperti utang pinjaman, utang karena jual
beli, utang karena sewa-menyewa, dan utang karena
mahar.
Utang tersebut harus jelas, tidak majhul, karena bias
menimbulkan gharar (penipuan),
b. Kafalah bi al-‘ain, adalah kewajiban penjamin (kafil)
untuk menyerahkan barang tertentu yang da di tangan
orang lain.
24
c. Kafalah bbi ad-darak, tanggungan terhadap apa yang
timbul atas barang yang dijual, berupa kekhawatiran
berupa karena adanya sebab yang mendahului akad jual
beli.
Berakhirnya Akad Kafalah
1. Berakhirnya kafalah bi al-mal, berakhirnya kafalah ini
dengan dua hal:
a. Telah adanya pembayaran dan pelunasan utang yang ada
kepada pihak ad-Daa’in (pihak yang berpiutang), atau
adanya sesuatu yang berkedudukan hokum seperti
pembayaran dan pelunasan utang.
b. Adanya al-Ibraa’ (pembebasan) atau sesuatu yang
semakna dengannya. Atau bisa juga dikatakan utang
telah dibebaskan atau dibebaskan.
2. Kafalah bi an-nafs, kafalah ini berakhir karena tiga
sebab, yaitu:
a. Penyerahan diri orang yang dituntut (pihak yang
dijamin) kepad pihak penuntut (pihak yang diberi
jaminan, pihak yang memiliki hak) di suatu tempat yang
dimungkinkan untuk menghadirkannya ke majelis
pengadilan, seperti disalah satu kawasan yang
berkependudukan.
b. Adanya al-ibraa’, maksudnya apabila pihak yang
memiliki hak yang meng-ibraa’-kan (membebaskan) pihak
penjamin dari tanggungan dan kewajibannya untuk
menyerahkan menyerahkan pihak tertentu, maka al-
kafalah dianggap selesai.
25
c. Pihak ashiil meninggal dunia. Apabila pihak yang
dijamin (ashiil, pihak yang dituntut), meninggal
dunia, maka pihak kafiil (penjamin) terbebas dari
tanggungan dan kewajibannya untuk menyerahkan pihak
ashiil.
3. Kafalah bi al-‘ain, kafalah ini berakhir karena dua
sebab, yaitu:
a. Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin), apabila
barangnya masih ada, atau persamaanya, atau harganya,
apabila barangnya telah rusak.
b. Pembebasan kafil (penjamin) dari tugas kafalah.
Misalkan pemilik hak berkata, “Saya membebaskan mu
dari tanggungan dan kewajiban al-kafalah yang ada”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli atau dalam bahasa arab al-bai menurut etimologi
adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli adalah
26
tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan
barang,barang dengan uang atau sebagainya.
Jual beli adalah akad mu’awadhah , yakni akad yang
dilakukan oleh dua pihak, dimana pihak pertama menyerahkan
barang dan pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang
atau barang. Syafi’iyah dan hanabilah mengemukakan bahwa objek
jual beli bukan hanya barang (benda) tetapi juga manfaat.
Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan
pembeli dimana keduanya sepakat soal harga perolehan dan
keuntungannya (margin). Penjual membeli barang dari pihak lain
dan menjualnya kepada pembeli dengan memberi tahu harga
pembelian dan keuntungan yang diperoleh dari penjualan
tersebut.
Pada dasarnya semua adalah sebuah akad dimana di
lakukannya transaksi di dalam syariat islam. Di dalam ilmu dan
studi Fiqih penjelasan antara akad dan proses yang dilakukan
serta hukum-hukum yang ada menjelaskan untuk pembelajaran di
bidang ekonomi atau dalam perdagangan.
27