Hukum Jual Beli

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka saling tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan seperti jual beli, sewa menyewa bercocok taman atau sebagainya. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur dan pertalian satu dengan yang lainnyapun semakin teguh. Akan tetapi selalu ada sifat tama’ dari manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing dapat dipenuhi. Oleh sebab itu agama memberikan aturan yang sebaik- baiknya dalam hal muamalah seperti jual beli agar jual beli yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan syariah islam. B. Rumusan Masalah a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa, murabahah, salam dan istishna’) ? b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah Muntahiyyah bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ? C. Tujuan a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa, murabahah, salam dan istishna’) ? b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah Muntahiyyah bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ? 1

Transcript of Hukum Jual Beli

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling

membutuhkan satu sama lain, supaya mereka saling tolong

menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan seperti

jual beli, sewa menyewa bercocok taman atau sebagainya.

Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur

dan subur dan pertalian satu dengan yang lainnyapun semakin

teguh. Akan tetapi selalu ada sifat tama’ dari manusia, suka

mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing dapat

dipenuhi.

Oleh sebab itu agama memberikan aturan yang sebaik-

baiknya dalam hal muamalah seperti jual beli agar jual beli

yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan syariah islam.

B. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa,

murabahah, salam dan istishna’) ?

b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah Muntahiyyah

bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ?

C. Tujuan

a. Apa yang dimaksud dengan Jual beli barang (Jual beli biasa,

murabahah, salam dan istishna’) ?

b. Apa yang dimaksud Jual beli jasa (Ijarah dan ijarah

Muntahiyyah bittamlik, hiwalah, wakalah, kafalah) ?

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 JUAL BELI

Pengertian Jual beli

Jual beli atau dalam bahasa arab al-bai menurut

etimologi adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang

lain.Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual

beli adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang

dengan barang,barang dengan uang atau sebagainya.

Dalam pengertian syara’terdapat beberapa definisi yang

dikemukakan oleh ulama madzab.dari beberapa definisi yang

dikemukakan oleh para ulama madzab dapat diambil intisrinya

yaitu :

1. Jual beli adalah akad mu’awadhah , yakni akad yang

dilakukan oleh dua pihak, dimana pihak pertama

menyerahkan barang dan pihak kedua menyerahkan imbalan,

baik berupa uang atau barang.

2

2. Syafi’iyah dan hanabilah mengemukakan bahwa objek jual

beli bukan hanya barang (benda) tetapi juga manfaat.

Dasar Hukum Jual beli

Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan al

Qur’an, Sunnah dan ijma’ para ulama.Dilihat dari aspek

hukum jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang

dilarang oleh syara’. Adapun dasar hukum dari al Qur’an

antara lain :

275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian

itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual

beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan

dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya

apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan

urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),

Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di

dalamnya.

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah

pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba

fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi

lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan

demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan

sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat

ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya

seperti orang kemasukan syaitan.

3

[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini,

boleh tidak dikembalikan.

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba”

(QS Al Baqarah [2]:275)

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan

janganlah penulis dan saksi saling sulit

menyulitkan.jika kamu lakukan (yang demikian), Maka

Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada

dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;

dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.( QS Al-Baqarah [2] : 282)

Dasar hukum dari sunnah :

Dari Rifa’ah ibnu rafi’ bahwa Nabi Muhammad SAW ditanya usaha apakah yang

paling baik? Nabi menjawab : Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan

setiap jual beli yang mabrur.(diriwayatka oleh Al bazzar dan

dishahihkan oleh Al-hakim)

4

Dari ayat-ayat Al-qur’an dan hadist yang dikemukakan

diatas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan

yang halal dan mulia.

Rukun Jual Beli

Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada 4 yaitu :

1. Penjual

2. Pembeli

3. Shighat

4. Ma’qud alaih (Objek akad)

Syarat-syarat Jual beli

Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli,

yaitu :

1. Syarat terjadinya akad (In’iqad)

Syarat in’iqad adalah syarat yang harus dipenuhi agar akad

jual beli dipandang sah menurut syara’.Apabila syarat ini

tidak dipenuhi maka akad jual beli menjadi batal.

2. Syarat sah jual beli

Syarat sah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat

umum dan syarat khusus.Syarat umum adalah syarat yang harus

ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut

dianggap sah menurut syara’.Secara global akad jual beli

harus terhindar dari 6 macam aib.

a. Ketidakjelasan

5

b. Pemaksaan

c. Pembatasan dengan waktu

d. Penipuan

e. Kemudaratan

f. Syarat-syarat yang merusak

3. Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat nafadz)

Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai

berikut :

a. Kepemilikan atau kekuasaan

b. Pada benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain.

4. Syarat Mengikatnya Jual Beli (Syarat Luzum)

Untuk mengikatnya jual beli disyaratkan akad jual beli

terbebas dari salah satu jenis khiyar yang membolehkan

kepada salah satu pihak untuk membatalkan jual beli seperti

khiyar syarat, khiyar ru’yah dan khiyar aib. Apabila

didalam akad jual beli terdapat salah satu jenis khiyar ini

maka akad tersebut tidak mengikat kepada orang yang

memiliki hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual

beli atau meneruskan atau menerimanya.

2.2 MURABAHAH

Pengertian Murabahah Dan dasar hukumnya

Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan

pembeli dimana keduanya sepakat soal harga perolehan dan

keuntungannya (margin). Penjual membeli barang dari pihak

lain dan menjualnya kepada pembeli dengan memberi tahu

6

harga pembelian dan keuntungan yang diperoleh dari

penjualan tersebut.

Dasar HukumMurabahah :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di

antara kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu;

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS An

Nisa [4] :29)

Hadist Nabi Muhammad SAW :

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rosulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jual

beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR al Baihaqi dan Ibnu

majah)

Syarat-Syarat Murabahah

a. Mengetaui harga pertama (harga pembelian)

b. Mengetahui jumlah keuntungan yang diminta penjual.

c. Modal yang dikeluarkan hendaknya berupa barang mitsliyat

(barang yang memiliki varian serupa )

d. Transaksi yang pertama hendaknya sah.

7

2.3 SALAM

Pengertian Salam

Salam atau salaf mempunyai arti yang sama. Dalam kamus

Al-Mu’jam al-wasith disebutkan As-salaf diartikan dengan

“jual beli salam”. Pengertian salaf atau istalafa :

iqtaradha yang artinya “berutang”.

Menurut pendapat Al-Jazairi bahwa jual beli dengan system

inden (salam) ialah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri

tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Pendapat

lain dikemukakan oleh Zuhaili, jual beli system pesanan

merupakan transaksi jual beli barang pesanan diantara

pembeli (musalam) dan penjual (musalam alaih). Spesifikasi

dan harga pesanan harus sudah disepakati di awal transaksi,

sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka secara penuh.

Menurut pendapat ulama safiyiyah dan hanailah, salamadalah

transaksi atas pesanan dengan spesifikasi tertentu yang

ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu yang

pembayarannya dilakukan secara tunai di majlis akad.

Dasar Hukum Salam

Jual beli dengan sistem pesanan (salam) diperbolehkan,

berlandaskan pada firman Allah pada firman Allah SWT :

8

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah

seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah

mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah

orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis

itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan

janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika

yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka

hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka

(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-

saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang

seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan

(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah

kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai

batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di

sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat

kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu

itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu

jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,

(jika) kamu tidak menulisnya.dan persaksikanlah apabila kamu

berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit

9

menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka

Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan

bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.”(QS Al-Baqarah [2] :282)

Rukun dan Syarat-syarat Salam

Rukun salam menurut jumhur ulama rukun salam meliputi:

a) Aqid, yaitu pembeli atau al-muslim atau rabbusalam, dan

penjual atau al-muslam ilaih.

b) Ma’qud alaih yaitu muslam fih (barang yang dipesan) dan

aharga atau modal salam (ra’s al-mal as-salam)

c) Shighat yaitu ijab dan qobul.

Secara umum ulama-ulama madzab sepakat bahwa ada 6 syarat

yang harus dipenuhi agar salam menjadi sah, yaitu :

a) Jenis muslam fih harus diketahui

b) Sifatnya diketahui

c) Ukuran atau kadarnya diketahui

d) Masanya tertentu

e) Mengetahui kadar ra’s al-amal (modal/harga)

f) Menyebutkan tempat pemesanan/penyerahan.

2.4 ISTISHNA’

Pengertian Istishna’ dan Dasar Hukumnya

Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’a artinya “meminta

untuk dibuatkan sesuatu”. Pengertian Istishna’ menurut

istilah tidak jauh berbeda dengan pengertian menurut

10

bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut

istilah sebagai berikut ini:

Definisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang

produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam

perjanjian yakni akad untuk membeli sesuatu yang akan

dibuat oleh seorang produsen, dan barang serta pekerjaan

dari pihak produsen tersebut.

Landasan Hukum Istishna’ secara tekstual memang tidak

ada. Bahkan menurut logika, Istishna itu tidak

diperbolehkan , karena objek akadnya tidak ada. Namun,

menurut hanafiah, akad ini dibolehkan berdasarkan istihsan,

karena sudah sejak lama istishna’ ini dilakukan oleh

masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga dengan

demikian hukum kebolehannya itu bisa digolongkan kepada

ijma’. Mengenai ijma’ ini Anas bin Malik meriwayatkan bahwa

Rosulullah Muhammad SAW bersabda :

Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat untuk kesesatan, apabila

kamu melihat adanya perselisihan, maka ikutilah kelompok yang banyak.

(HR Riwayat Ibnu Majah)

Rukun Dan Syarat-syarat Istishna’

Menurut jumhur ulama rukun istishna’ada 3 yaitu :

Aqid, yaitu shani (orang yang membuat/produsen) atau

penjual dan mustashni (orang yang memesan/konsumen) atau

pembeli.

Ma’qud alaih yaitu amal (pekerjaan), barang yang dipesan

dan harga atau alat pembayaran.

11

Shighat atau ijab dan Kabul

Adapun syarat-syarat istishna adalah sebagai berikut :

Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam,

kadar dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang

yang dijual.

Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku

muamalat diantara manusia seperi bejana, sepatu dan

lain-lain.

Tidak ada ketentuan mengenai waktu tempo penyerahan

barang yang dipesan.

2.5IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYYAH BITTAMLIK

Ijarah

a. Pengertian Ijarah

Sewa (Ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ganti, upah

atau menjual manfaat.Secara istilah syariah,menurut ilmu

fikih, antara lain disebutkan oleh Al-Jazairi , sewa

(ijarah) sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk

masa tertentu dengan harga tertentu.

Pendapat lain dikemukakan oleh zuhaili , ia mengatakan

bahwa sewa adalah transaksi pemindahan hak guna atas

barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui

pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak

pemilikan atas barang.

b. Landasan Hukum Ijarah

12

Sewa (ijarah) dalam hukum islam diperbolehkan

berdasarkan firman Allah SWT beserta dalil-dalil sebagai

berikut :

“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai

kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada

penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak

mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam

negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr

menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,

niscaya kamu mengambil upah untuk itu".

(QS Al –Kahfi [18] : 77)

“Dari Ibnu Umar RA, Berkata bahwa Rosulullah SAW. Telah bersabda :

“Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering “

(Riwayat Ibnu Majah)

c. Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun-rukun dan syarat-syarat Ijarah adalah sebagai

berikut :

1) Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang melakukan akad sewa-

sewanya atau upah-mengupah. Mu’jir adalah orang yang

menerima upah dan yang menyewakan, Musta’jiradalah orang

yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang

13

menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan

musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan

tasyaruf (mengendalikan harta) dan saling meridhai.

2) Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab

Kabul sewa-menyewa.

3) Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua

belah pihak, baik dala sewa-menyewa maupun dalam

upah-mengupah.

4) Objek sewa (Ma’jur)

Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

Ijarah Muntahiyyah Bit-tamlik adalah ijarah yang diakhiri

dengan peralihan kepemilikan di akhir masa sewa. Peralihan

kepemilikan dapat dilakukan dengan cara menghibahkan dari

pemberi sewa kepada penyewa atau dengan cara menjual barang

tersebut di akhir periode sewa.

2.6 HIWALAH

Pengertian Hiwalah dan Dasar Hukumnya

Menurut bahasa, hiwalah adlah al-intiqal dan al-tahwil,

yang artinya mengalihkan atau memindahkan. Sedangkan

menurut istilah, hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang

dari orang yang berutang kepada orang yang lain yang

dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.

Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatka da

Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda; Menunda-nunda

pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila

salah seorang diantara kamu diikuti (dipindahkan) kepda

14

orang yang punya, maka ikutilah.(HR. Al-Bukhari dan

Muslim).

Rukun dan Syarat Hiwalah

Rukun Hiwalah

Rukun hiwalah menurut menurut Hanafiyah hanya satu, yaitu

ijab dari orang yang memindahkan (al-muhil) dan qabul dari

orang yang dipindahkan (al-muhal) dan orang yang dipindahi

utang (al-muhal ‘alaih). Sedangkan menurut jumhur selain

ulama Hanafiyah memiliki enam rukun, yaitu:

1. Muhiil atau pihak yang berutang kepada pihak yang muhaal.

2. Al-muhaal (pihak yang berpiutang atau dengan kata lain

pihak yang memberi utang).

3. Muhal ‘alaih (pihak yang berkeharusan unutk membayar

utang kepad pihak al-Muhaal).

4. Muhaal bihi (utang pihak Muhiil kepad pihak Muhaal dan

utang pihak Muhaal ‘alaihi kepada pihak Muhiil).

5 dan 6.Shigat (ijab qabul).

Syarat-Syarat Hiwalah

Syarat-syarat hiwalah yang berkaitan dengna rukun, yaitu

Muhiil, Muhaal, Muhal ‘alaih, Muhaal bihi, dan Shigat.

1. Ada dua syarat untuk muhiil, yaitu:

a. Muhiil harus mempunyai kecakapan untuk melakukan akad,

yaitu ia harus berakal dan baligh.

b. Persetujuan Muhiil, maksudnya atas kemauan sendiri

tidak dalam keadaan dipaksa.

2. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi oleh pihak Muhaal,

yaitu:

15

a. Muhaal harus mempunyai kecakapan untuk melakukan akad,

yaitu ia harus berakal dan baligh.

b. Persetujuan Muhaal. Apabila Muhaal tidak menyetujui

dengan pemindahn tersebut maka hiwalahnya tidak sah.

c. Qabul dari pihak Muhaal yang harus diucapkan di dalam

majelis akad.

3. Syarat-syarat Muhaal ‘alaih:

a. Muhaal ‘alaih harus mempunyai kecakapan untuk melakukan

akad, yaitu ia harus berakal dan baligh.

b. Muhaal ‘alaih setuju atas pemindahan utang tersebut.

c. Qabul dari pihak Muhaal ‘alaih yang harus diucapkan di

dalam majelis akad.

4. Syarat-syarat Muhaal Bihi, diantaranya:

a. Muhaal Bihi harus berupa ad-Dain (harta yang berupa

utang), maksudnya pihak Muhiil memang memiliki

tanggungan utang kepada pihak Muhaal.

b. Tanggungan utang yang ada sudah positif dan bersifat

mengikat (laazim), seperti utang dalam akad pinjaman

utang.

5. Syarat sihgat

Ijab dan qabul disyaratkan harus dilakukan di majelis

akad dan akad yang ada disyaratkan harus final, sehingga

di dalamnya tidak berlaku khiyar majlis maupun khiyar

syarat.

Beberapa Hukum (ketentuan) tentang Hiwalah

Apabila akad hiwalah telah dilaksanakan maka timbullah

akibat-akibat hokum sebagai berikut:

16

1. Pihak Munhiil terbebas dari tanggungan utang yang ada

(Munhaal Bihi). Apabila akad hawalah telah sempurna

dengan adanya qabul (persetujuan), maka menurut mayoritas

ulama, pihak Munhiil secara otomatis terbebas dari

tanggungna utang yang ada, dan bentuk-bentuk jaminan yang

berupa gadai dan penjamin tidak ikut berpindah, akan

tetapi statusnya ikut berakhir atau selelsai.

2. Tetapnya kekuasaan penuntut bagi Muhaal atas Muhaal

‘alaih terhadpa utang yang ada dalam tanggungannya.

3. Tetapnya hak mulazamah bagi Muhaal ‘alaih atas Muhiil,

apabila Muhiil terkait dengan Muhaal.

Berakhirnya akad Hiwalah

Hiwalah berakhir karena beberapa hal, yaitu sebagai

berikut:

1. Adanya pembatalan dan penganuliran (al-Faskh) terhadap

akad hawalah.

2. Hak Muhaal (utang) sulit untuk dapat kembali karena

muhaal ‘alaih meninggal dunia, boros atau yang lainnya.

3. Pihak Muhaal ‘alaih telah menyerahkan pembayaran utang

kepada pihak Muhaal.

4. Meninggalnya Muhaal dan Muhaal ‘alaih mewarisi harta

hiwalah.

5. Pihak Muhaal menghibahkan utang yang ada kepada pihak

Muhaal ‘alaih dan ia pun menerimanya hibah tersebut.

6. Pihak Muhaal mensedekahkannya kepada pihak Muhal ‘alaih

dan ia pun menerima sedekah tersebut.

17

7. Pihak Muhaal membebaskan pihak Muhaal ‘alaih dari

tanggungan.

2.7 WAKALAH

Pengertian Wakalah dan Dasar Hukumnya

Wakalah dalam arti bahasa menyerahkan.Wakalah juga

diartikan dengan al-hifzhu, yang artinya menjaga atau

memelihara. Wakalah secara istilah adalah suatu akad di

mana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk

melakukan suatu perbuatan yang bisa digantikan oleh orang

lain pada masa hidupnya denga syarat-syarat tertentu.

Dasar Hukum Wakalah :

Firman Allah

“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara

(Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,

lagi berpengetahuan".(QS Yusuf [12] :55)

Hadist Abu Rafi’ :

Berkata Abu Rafi’ : Nabi Muhammad SAW berutang seekor unta perawan,

kemudian datanglah unta hasil zakat, Nabi kemudian memerintahkan saya

untuk membayar unta tersebut kepada laki-laki (pemiliknya). (HR. Jama’ah

kecuali Al-Bukhari)

Rukun dan Syarat Wakalah

Rukun Wakalah

Menururt jumhur ulama’ rukun wakalah adaempat, yaitu:

a. Muwakkil atau orang yang mewakilkan,

b. Muwakkal atau wakil,

18

c. Muwakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan, dan

d. Shigat atau ijab dan qabul.

Syarat-Syarat Wakalah

Syarat wakalah berkaitan dengan muwakkil, muwakkal,

muwakkal fih, dan sighat.

1. Syarat muwakkil

Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan

melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya kepada

orang lain.

2. Syarat wakil

a. Orang yang mewakili (wakil) harus orang yang berakal.

b. Orang yang mewakili (wakil) harus mengetahui tugas

atau perkara yang diwakilkan kepadanya.

3. Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkil fih)

a. Perkara yang diwakilkan bukan yang meminta uang.

b. Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had

yang tidak disyaratkan pengaduan, seperti had zina.

4. Syarat yang berkaitan edngan sighat

a. Sighat yang khusus

Sighat yang khusus adalah sighat atau lafal yang

menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang khusus.

Misalakan: saya wakil kepadamu untuk membeli rumah

ini.

b. Sighat umum

19

Sighat yang umum adalah setiap lafal yang menunjukkan

pemberian kuasa dalam perkara umum. Misalakan: “kamu

adalah wakilku dalam segala sesuatu”.

Berakhirnya akad Wakalah

Akad wakalah berakhir Karena beberapa hal berikut:

1. Meninggalnya salah seorang dari orang yang melakukan

akad, atau gila.

2. Telah selesainya pekerjaan yang dimaksudkan dengan

wakalah.

3. Pemecatan oleh muwakkil terhadap wakil walaupun ia

(wakil) tidak mengetahuinya.

4. Wakil mengundurkan diri dari tugas wakalah.

5. Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan si

muwakkil.

2.8 KAFALAH

Pengertian Kafalah dan Dasar Hukumnya

Secara bahasa al-kafalah adh-Dhammau (menggabungkan).

Sedangkan menurut istilah adalah menggabungka tangggungan

ke tanggungan yang lain di dalam penagihan atau penuntutan

secara mutlak. Maksudnya adalah menggabungkantanggungan

pihak kafill (penjamin) kepada tanggungan al-madiin (orang

yang menanggung suatu hak, pihak yang dijamin) di dalam

penagihan atau penuntutan hak jiwa.

Dasar Hukum Kafalah

20

“penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja,

dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan

makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin

terhadapnya".(QS Yusuf [12] :72)

Rukun dan Syarat Kafalah

Rukun Al-Kafalah

Menurut mayoritas ulama’, rukun al-kafalah ada empat yaitu:

a. Dhaamin atau orang yang menjamin (kafiil, yaitu setiap

orang yang sah untuk mentasharufkan hartanya. Maka oleh

itu, tidak sah penjamin atau al-kafalah yang diberikan

oleh anak kecil dan safiih, yaitu orang yang tidak sah

melakukan pentasharufanterhadap hartanya karena tidak

memiliki kempuan mengelola dan membelanjakan hartanya

dengan baik dan benar).

b. Madmuun atau sesuatu yang dijamin (al-makful bihi, yaitu

setiap hak boleh diwakilkan, yaitu utang atau barang

yang statusnya tertanggung. Hal ini berkaitan dengan

harta benda, tidak berkaitan dalam hal hokum had atau

qishash. Karena hokum had tidak tidak boleh diwakilkan).

c. Madmuun ‘anhu atau pihak yang dijamin (setiap orang yang

memiliki tanggungan harta yang harus dibayar, baik ia

masih hidup atau sudah mati).

d. Shiigah atau ijab. Ulama’ syafi’iyyah menambahkan sutu

rukun lagi, yaitu, Madhmuun lahu (yaitu pihak pemilik

hak yang dijamin).

Syarat-Syarat Al-Kafalah

21

Di dalam al-kafalah ada bebrapa syarat yang harus dipenuhi,

syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan sighat

(ijab), pihak kafiil, pihak ashiil (al-Makfuul’anhu), pihak

al-Makfuul lahu dan al-Makful bihi.

1. Syarat-syarat shighat

a. Harus ada kata-kata yang menunjukkan pemberian

komitmen, baik secara eksplisit mauppun secara

implisit;

b. Harus implementatif dan pasti, tidak boleh mengambang;

c. Tidak dibatasi dengan waktu, baik dalam al-kafalah

dalam harta, karena yang dimaksudkan dan diinginkan

adalah menunaikan dan membayarkan , maupun dalam al-

kafalah dalam jiwa (badan), karena yang dimaksudkan dan

diinginkan adalah menghadirkan orang yang bersangkutan.

2. Syarat pihak kafiil

a. Berakal dan baligh, yakni memiliki kelayakan untuk

berderma;

b. Merdeka (bukan budak);

c. Tidak mahjur ‘alaih karena boros;

d. Kafil tidak dalam keadaan sakit keras;

e. Tidak dipaksa.

3. Syarat-syarat pihak ashil (al-Makfuul’anhu)

a. Ashiil harus orang yang memiliki kemampuan untuk

menyerahkan al-makfuul bihi (sesuatu yang dijamin),

baik langsunng ia lakukan sendiri maupun oleh

wakilnya;

b. Ashiil haruslah diketahui oleh pihak kafiil.

4. Syarat-syarat untuk al-Makful lahu

22

a. Harus jelas (diketahui), jika da seseorang al-kafalah

atau jaminan kepada al-makful lahu yang tidak jelas

siap orangnya, maka tidak boleh. Karena jika al-makful

lahu tidak diketahui siapa orangnnya, maka tujuan dari

pemberian atas al-kafalah tidak terpenuhi.

b. Ia harus hadir dalam majlis akad al-kafalah.

c. Berakal. Tidak sah persetujuan yang diberikal oleh

orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, karena

dalam kafalah harus ada qabul (penerimaan).

5. Syarat-syarat al-makful bihi

a. Sesuatu yang menjadi tanggungan pihak ashiil, baik itu

berupa ad-Dain (utang), al-‘Ain (barang), jiwa atau

perbuatan.

b. Sesuatu yang harus mampu dipenuhi oleh pihak kafiil,

supaya akad kafalah memang benar-benar memiliki

faedah.

c. Utang yang harus ada benar-benar utang yang statusnya

mengikat dan sah.

Macam-macam Kafalah

Secara Garis Besar Kafalah Dibagi Menjadi Dua Macam

1. Kafalah dengan jiwa (kafalah bi an-nafs)

Kafalah an-nafs adlah kafalah yangsuatu kafalah di mana

objek tanggungannnya mendatangkan orangke hadapan

23

tertanggung. Shigat yang digunakan bias dengan lafal “

saya jamin untuk mendatangkan si Fulan.

Ulama’ syafi’iyah memberikan syarat-syarat untuk kafalah

bin an-nafs sebagai berikut:

a. Makful dan makful lahu harus diketahui.

b. Makful harus disetujui.

c. Harus ada izin (persetujuan) wali apabila makful belum

makfullah.

d. Hak yang berkaitan dengan makful bih adalah hak adami

(manusia/individu), bukan hak Allah.

2. Kafalah dengan harta (kafalah bi al-mal)

Kafala bi al-mal adalah suatu bentuk kafalah di mana

penjamin terikat untuk membayar kewajiban yang bersifat

harta.

Kafalah bi al-mal terbagi menjadi tiga bagian:

a. Kafalah bi ad-dain, adalah kewajiban penjamin untuk

melunasi utang yang ada dalam tanggung jawab orang

lain. Untuk kafalah bi ad-dain ini disyaratkan:

Utang harus sudah tetap pada saat dilangsungkannya

kafalah, seperti utang pinjaman, utang karena jual

beli, utang karena sewa-menyewa, dan utang karena

mahar.

Utang tersebut harus jelas, tidak majhul, karena bias

menimbulkan gharar (penipuan),

b. Kafalah bi al-‘ain, adalah kewajiban penjamin (kafil)

untuk menyerahkan barang tertentu yang da di tangan

orang lain.

24

c. Kafalah bbi ad-darak, tanggungan terhadap apa yang

timbul atas barang yang dijual, berupa kekhawatiran

berupa karena adanya sebab yang mendahului akad jual

beli.

Berakhirnya Akad Kafalah

1. Berakhirnya kafalah bi al-mal, berakhirnya kafalah ini

dengan dua hal:

a. Telah adanya pembayaran dan pelunasan utang yang ada

kepada pihak ad-Daa’in (pihak yang berpiutang), atau

adanya sesuatu yang berkedudukan hokum seperti

pembayaran dan pelunasan utang.

b. Adanya al-Ibraa’ (pembebasan) atau sesuatu yang

semakna dengannya. Atau bisa juga dikatakan utang

telah dibebaskan atau dibebaskan.

2. Kafalah bi an-nafs, kafalah ini berakhir karena tiga

sebab, yaitu:

a. Penyerahan diri orang yang dituntut (pihak yang

dijamin) kepad pihak penuntut (pihak yang diberi

jaminan, pihak yang memiliki hak) di suatu tempat yang

dimungkinkan untuk menghadirkannya ke majelis

pengadilan, seperti disalah satu kawasan yang

berkependudukan.

b. Adanya al-ibraa’, maksudnya apabila pihak yang

memiliki hak yang meng-ibraa’-kan (membebaskan) pihak

penjamin dari tanggungan dan kewajibannya untuk

menyerahkan menyerahkan pihak tertentu, maka al-

kafalah dianggap selesai.

25

c. Pihak ashiil meninggal dunia. Apabila pihak yang

dijamin (ashiil, pihak yang dituntut), meninggal

dunia, maka pihak kafiil (penjamin) terbebas dari

tanggungan dan kewajibannya untuk menyerahkan pihak

ashiil.

3. Kafalah bi al-‘ain, kafalah ini berakhir karena dua

sebab, yaitu:

a. Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin), apabila

barangnya masih ada, atau persamaanya, atau harganya,

apabila barangnya telah rusak.

b. Pembebasan kafil (penjamin) dari tugas kafalah.

Misalkan pemilik hak berkata, “Saya membebaskan mu

dari tanggungan dan kewajiban al-kafalah yang ada”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jual beli atau dalam bahasa arab al-bai menurut etimologi

adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.Dari

pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli adalah

26

tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan

barang,barang dengan uang atau sebagainya.

Jual beli adalah akad mu’awadhah , yakni akad yang

dilakukan oleh dua pihak, dimana pihak pertama menyerahkan

barang dan pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang

atau barang. Syafi’iyah dan hanabilah mengemukakan bahwa objek

jual beli bukan hanya barang (benda) tetapi juga manfaat.

Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan

pembeli dimana keduanya sepakat soal harga perolehan dan

keuntungannya (margin). Penjual membeli barang dari pihak lain

dan menjualnya kepada pembeli dengan memberi tahu harga

pembelian dan keuntungan yang diperoleh dari penjualan

tersebut.

Pada dasarnya semua adalah sebuah akad dimana di

lakukannya transaksi di dalam syariat islam. Di dalam ilmu dan

studi Fiqih penjelasan antara akad dan proses yang dilakukan

serta hukum-hukum yang ada menjelaskan untuk pembelajaran di

bidang ekonomi atau dalam perdagangan.

27