Hubungan Fe dan Malaria
Transcript of Hubungan Fe dan Malaria
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang
sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta
dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta
manusia di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran
malaria berbeda-beda dari satu Negara dengan Negara
lain dan dari satu kabupaten atau wilayah dengan
wilayah lain.
Di Indonesia malaria merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang mempengaruhi Angka Kematian
Bayi, Anak dan Ibu melahirkan serta dapat menurunkan
produktivitas kerja. Angka kesakitan penyakit ini
masih cukup tinggi terutama dikawasan timur Indonesia.
Penyakit Malaria adalah penyakit yang disebabkan
oleh sporozoa plasmodium dan ditularkan oleh spesies
Anopeles. Salah satu publikasi mengemukakan penyakit
malaria menjadi masalah di 100 negara di dunia,
menimpa lebih dari 2 juta penduduk. Diperkirakan dalam
setahun malaria menyerang 300 juta penduduk, 90% dari
jumlah ini di Negara tropis di Afrika. Angka kematian
karena penyakit malaria diperkirakan sekitar 1 juta
1
setahunnya, terutama penderita berusia anak-anak.
Malaria menyerang daerah pedesaan dimana fasilitas
kesehatan kurang memadai dan transportasi masih sukar1.
Pada tahun 2011, jumlah kasus malaria di Indonesia
terdata sebanyak 256.592 orang dari 1.322.451 kasus
suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya.
Dengan angka Annual Parasite Insidence (API) 1,75 per
seribu penduduk, artinya dalam setiap 1.000 penduduk
di daerah endemis terdapat 2 orang terkena malaria.
Dampaknya sangat nyata terhadap penurunan kualitas
sumber daya manusia yang mengakibatkan berbagai
masalah sosial, ekonomi bahkan berpengaruh terhadap
ketahanan nasional. Oleh karena itu malaria adalah
satu di antara penyakit yang menjadi target pemerintah
untuk dieleminasi secara bertahap dan ditargetkan
Indonesia bebas malaria pada 2030.
Infeksi malaria tidak selalu memperlihatkan gejala
atau penyakit yang jelas. Anak-anak yang mengalami
infeksi malaria tetapi tidak memperlihatkan gejala-
gejala akut, disebut memiliki parasitemia
asimptomatik. Malaria sangat umum ditemukan pada
1 Yatim, Faisal.2007. Macam-macam Penyakit Menular
dan Cara Pencegahannya.Jilid 2, Ed 1. Yayasan Obor
Indonesia . Jakarta
2
wilayah endemic. Sejauh ini, sebagian besar penelitian
telah menandai adanya hubungan antara malaria dengan
berbagai indikator kekurangan gizi. Status gizi
ternyata berinteraksi secara sinergis dengan daya
tahan tubuh.
Hubungan kausal antara status gizi dan malaria
merupakan hal yang rumit. Sebagian hasil penelitian
menunjukkan bahwa kekurangan gizi meningkatkan
kerentanan terhadap malaria dan pada sisi yang lain,
hasil penelitian menunjukkan bahwa malaria
meningkatkan kemungkinan terjadinya gizi kurang/gizi
buruk. Selain faktor infeksi, berbagai macam faktor
lain turut berkontribusi terhadap status gizi pada
wilayah endemik malaria seperti pola konsumsi pangan
dan tingkat sosial ekonomi.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang apa itu malaria
2. Untuk mengetahui macam-macam penyebab penyakit
malaria dan cara penularannya.
3. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit
malaria.
4. Untuk mengetahui hubungan penyakit malaria dengan
gizi.
3
5. Untuk mengetahui gejala klinis dari penyakit
malaria.
6. Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit
malaria.
7. Untuk mengetahui tingkat kebutuhan zat besi
terhadap penderita malaria
8. Untuk mengetahui bagaimana imunitas pada
penderita penyakit malaria
9. Untuk mengetahui beberapa kontroversi tentang
hubungan malaria dengan zat besi.
10. Untuk mengetahui titik tangkap ataupun hubungan
penyakit malaria dengan zat besi
1.3 Manfaat
Agar dapat mengetahui tentang penyakit malaria,
penyebab penyakit malaria, cara penularan dan
pencegahan penyakit malaria, hubungan antara penyakit
malaria dengan gizi, gejala klinis penyakit malaria,
bagaimana cara pengobatan penyakit malaria, bagaimana
tingkat kebutuhan zat besi terhadap penderita malaria,
bagaimana imunitas pada penderita penyakit malaria,
dan beberapa kontroversi tentang hubungan malaria
dengan zat besi, serta titik tangkap ataupun hubungan
penyakit malaria dengan zat besi
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi, Penyebab, dan Penularan Malaria
2.1.1Definisi Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Penyakit ini menyerang sel-sel darah merah yang
ditularkan ke manusia melalui air liur.. Kata
malaria berasal dari bahasa Italia yaitu mala aria
yang berarti “udara buruk”. Kata malaria pertama kali
digunakan dalam bahasa Inggris tahun 1740 oleh H.
Walpole.dengan gambaran penyakit berupa demam yang
sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan
berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya
pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.
Penyakit ini menyerang semua kalangan baik laki-laki
ataupun perempuan dan pada semua umur baik dari
bayi, anak-anak sampai dengan orang dewasa. Hanya
Anopheles betina yang menghisap darah dan membawa
6
Sporozoit Plasmodium dalam kelenjar ludahnya yang
menyebabkan Malaria2.
Penyakit malaria besifat endemik di lingkungan
tropis dan subtropis, penyakit ini bersifat akut dan
dapat menjadi kronik disertai serangan berulang-
ulang yang menyebabkan kelemahan Penyakit ini juga
mempunyai nama lain seperti demam roma, demam rawa,
demam tropik, demam pantai, demam charges, demam
kura dan paludisme3.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan
Indonesia (2006) Penyakit malaria adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh plasmodium falsifarum,
plasmodium vivax, plasmodium malariae, plasmodium
ovale dan yang mix atau campuran yang penularannya
melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Berdasarkan pengertian diatas penyakit malaria
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
protozoa dan genus plasmodium yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles, masa inkubasi
penyakit dapat beberapa hari sampai beberapa bulan.
2 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara3 Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:
EGC
7
2.1.2Penyebab Penyakit malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh bibit penyakit
yang hidup di dalam darah manusia. Bibit penyakit
tersebut tergolong amoeba (Plasmodium). Kerja
plasmodium adalah merusak sel-sel darah merah.
Dengan perantara nyamuk anopheles, plasodium masuk
ke dalam darah manusia dan berkembang biak dengan
membelah diri.
Ada 4 jenis plasmodium yang menjadi penyebab
malaria pada manusia antara lain :
1.Plasmodium falciparum
p. falciparum menyebabkan malaria falsiparum
atau malaria tropika atau malaria tersiana
maligna. yang sering menjadi malaria cerebral,
dengan angka kematian yang tinggi. p. falciparum
ditemukan di daerah tropik, terutama di Afrika
dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia
parasit ini tersebar di seluruh pulau. Infeksi
oleh spesies ini menyebabkan parasitemia yang
meningkat jauh lebih cepat dibandingkan spesies
lain dan merozitnya menginfeksi sel darah merah
dari segala umur (baik muda maupun tua). Masa
8
inkubasi pada penularan secara alamiah
plasmodium falciparum adalah 12 hari.
2. Plasmodium vivax
Manusia merupakan hospes perantara
pemyakit ini, sedangkan hospes definitifnya
adalah nyamuk Anopheles betina. Pada spesies ini
cenderung menginfeksi sel – sel darah merah
yang muda. P. vivax menyebabkan malaria tertiana
ringan. P. vivax paling sering ditemukan dalam
kasus penyakit malaria di seluruh dunia. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah P. vivax
adalah 12-17 hari.
3.Plasmodium malariae
P. malariae adalah penyebab malaria malariae
atau malaria kuartana, karena serangan demam
berulang pada tiap hari keempat. Pada spesies
ini mempunyai kecenderungan untuk menginfeksi
sel – sel darah merah yang tua. Masa inkubasi
pada infeksi P. malariae berlangsung selama 18
hari dan kadang-kadang sampai 30-40 hari.
4. Plasmodium ovale
P. ovale adalah penyebab penyakit malaria
Ovale Prediksinya terhadap sel – sel darah
9
merah mirip dengan p. vivax yaitu dengan
menginfeksi sel – sel darah muda. Namun spesies
ini jarang dijumpai di Indonesia, karena
umumnya banyak kasusnya yang terjadi di Afrika
dan Pasifik Barat. Masa inkubasi pada
penularan secara alamiah plasmodium ovale
adalah 13-17 hari4.
2.1.3Penularan Malaria
Penularan penyakit malaria dari orang yang
sakit kepada orang sehat, sebagian besar melalui
gigitan nyamuk. Bibit penyakit malaria dalam darah
manusia dapat terhisap oleh nyamuk, berkembang biak
di dalam tubuh nyamuk, dan ditularkan kembali kepada
orang sehat yang digigit nyamuk tersebut.
Jenis-jenis vektor (perantara) malaria yaitu:
1. Anopheles Sundaicus, nyamuk perantara
malaria di daerah pantai
4 Sutanto, Inge dkk (aku gak ngerti kalo 4
pengarang gimana, nama pengarangnya : inge
sutanto, is suhariah ismid, pudji k. Sjahrifuddin,
saleha sungkar). 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
10
2. Anopheles Aconitus, nyamuk perantara malaria
daerah persawahan.
3. Anopheles Maculatus, nyamuk perantara
malaria daerah perkebunan, kehutanan dan
pegunungan.
Cara penularan penyakit malaria dapat di
bedakan menjadi dua macam yaitu Penularan secara
alamiah (natural infection) dan Penularan non-
alamiah (not natural infection)
Penularan penyakit malaria secara alamiah
adalah penularan yang terjadi melalui gigitan nyamuk
anopheles betina yang mengandung parasit malaria.
Nyamuk ini jumlahnya kurang lebih ada 80 jenis dan
dari 80 jenis itu, hanya kurang lebih 16 jenis yang
menjadi vector penyebar malaria di Indonesia5.
Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan
menjelang malam hari. Beberapa vector mempunyai
waktu puncak menggigit pada tengah malam dan
menjelang fajar. Saat menggigit nyamuk mengeluarkan
sporosit yang masuk ke peredaran darah tubuh manusia
sampai sel – sel hati manusia. Setelah nyamuk
Anopheles betina mengisap darah yang mengandung5 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara
11
parasit pada stadium seksual (gametosit), gamet
jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut
nyamuk yang kemudian menembus di dinding perut
nyamuk dan membentuk kista pada lapisan luar dimana
ribuan sporozoit dibentuk. Sporozoit-sporozoit
tersebut siap untuk ditularkan. Setelah satu sampai
dua minggu digigit, parasit kembali masuk ke dalam
darah dan mulai menyerang sel darah merah dan mulai
memakan haemoglobin yang membawa oksigen dalam
darah. Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi
plasmodium ini menyebabkan timbulnya gejala demam
disertai menggigil dan menyebabkan anemia.
Nyamuk Anopheles betina yang menggigit orang
sehat, maka parasit itu dipindahkan ke tubuh orang
sehat dan jadi sakit. Seorang yang sakit dapat
menulari 25 orang sehat sekitarnya dalam waktu musim
penularan (3 bulan di mana jumlah nyamuk
meningkat)6.
6 Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan
Penyakit Menular Tahun 1998/1999-2003. 2004.
Departemen Kesehatan Kerjasama Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta
12
Sedangkan penularan non-alamiah terjadi jika
bukan melalui gigitan nyamuk anopheles. Beberapa
penularan malaria secara non alamiah antara lain :
malaria bawaan (Kongenital) adalah malaria pada bayi
baru lahir yang ibunya menderita malaria.
Penularannya terjadi karena adanya kelainan pada
sawar plasenta (selaput yang melindungi plasenta)
sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu
kepada janinnya. Gejala pada bayi baru lahir berupa
demam, iritabilitas (mudah terangsang sehingga
sering menangis dan rewel), pembesaran hati dan
limpa, anemia, tidak mau makan atau minum, serta
kuning pada kulit dan selaput lendir. Keadaan ini
dibedakan dengan infeksi kongenital lainnya.
Pembuktian pasti dilakukan dengan deteksi parasit
malaria pada darah bayi. Selain itu Transfusion
malaria yakni infeksi malaria yang ditularkan
melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi
malaria, pemakaian jarum suntik secara bersama- sama
pada pecandu narkoba atau melalui transplantasi
organ7
7 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara
13
2.2 Patologi, Klinis, dan Pencegahan Malaria
2.2.1Patologi dan Klinis Malaria
Patologi Klinik. Penyakit malaria diawali dengan
gejala prodromal yang tidak spesifik diantaranya lesu,
sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus, bahkan
terjadi demam yang tidak teratur. Baru kemudian
diikuti gejala demam yang khas diikuti dengan
splenomegali dan anemi yang dikenal sebagai trias
malaria seperti diuraikan dibawah ini :
a. Demam malaria
Setelah melewati masa tunas intrinsic, muncul
gejala utama malaria yaitu demam. Masa tunas
intrinsic dimulai dengan masuknya sporozoit melalui
gigitan vector dan berakhir dengan timblnya serangan
pertama (first attack). Tiap serangan terdiri atas
beberapa serangan demam yang merupakan gejala utama
dari penyakit malaria. Demam timbul secara periodic
bersamaan dengan sporulasi. Jenis demam pada malria
menurut ulangan demamnya ada 2 jenis utama, yaitu
tertian dan kuartana. Demam paroksimal tertiana,
yaitu demam yang berulang setiap 48 jam atau setiap
hari ketiga, terjadi pada malaria vivax, falciparum
dan ovale ; sedangkan demam paroksimal kuartana,
14
yaitu demam yang berulang setiap 72 jam atau setiap
hari keempat, terjadi pada malaria malariae.
Disamping iu mungkin ditemukan demam paroksimal
subtertiana, yaitu serangan demam yang puncaknya
pada hari kedua, misalnya terjadi pada malaria
falciparum. Pembagian demam lainnya (menurut puncak
demam), yaitu demam intermitte (febris
intermittens), demam remitten (febris remittens)
atau demam kuotidiana. Demam remiten, yaitu
berulangnya demam tanpa ditemukan periode suhu
normal; demam intermitten jika diantara serangan
demam tersebut terdapat periode suhu normal,
sedangkan demam kuotidiana jika demam terjadi setiap
hari. Munculnya demam juga tergantung kepada jumlah
parasit. Berat infeksi pada seseorang ditentukan
dengan menghitung parasit pada sediaan darah.
Serangan demam malaria terjadi selama 2-12 jam.
Demamnya khas terdiri atas 3 stadium, yaitu stadium
rigoris (menggigil), penderita menggigil seperti
kedinginan walaupun suhu terus naik; stadium ini
berlangsung selama 15-60 menit. Stadium acme (puncak
demam), pada stadium ini suhu tetap tinggi mencapai
41 derajat celcius dan berlangsung slama 2-6 jam.
Stadium sudoris, suhu mulai turun disertai banyak
15
keringat, sampai mencapai suhu normal; berlangsung
selama 2-4 jam. Penderita merasa enak, seolah-olah
telah sembuh. Kemudian dilanjutkan dengan stadium
tanpa demam/stadium apyrexia (suhu normal). Dua atau
tiga hari kemudian teruang kembali serangan demam
dengan stadium-stadium seperti diatas. Lamaya
serangan demam pada penyakit malaria, antara lain
dihubungkan dengan sporulasi (pecahnya eritrosit dan
keluarya merozoit ke dalam cairan darah) sehingga
parasit beserta partikel lainnya yang merupakan
antigen akan masuk cairan darah yang akan diikuti
reaksi antigen-antibodi maka terjadilah demam
tersebut. Malaria dengan serangan demam diatas
bersifat akut, akan tetapi dapat menjadi menahun
(kronis) dengan eksaserbasi akut.
b. Splenomegali dan hepatomegali
Terjadinya kongesti aliran darah serta
hipertrofi dan heperplasi system retikuloendotelial
(RES) menyebabkan pembesaran limpa (splenomegali),
terkadang disertai pembesaran hati (hepatomegali).
Sel makrofag dalam darah bertambah, terjadi
monositosis. Pembesaaran limpa pada awalnya lunak,
mudah pecah dan nyeri sehingga perabaan limpa
tersebut harus hati-hati.
16
c. Anemi
Anemi ini memiliki tipe hemolitik, normokrom,
normositer yang disebabkan oleh hancurnya eritrosit
pada waktu sporulasi; derajat fagitosis RES
meningkat, akibatnya lebih banyak eritrosit yang
dihancurkan; umur eritrosit menjadi lebih pendek dan
depresi eritropoesis (pembentukan eritrosit
berkurang)8.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit
dan yang tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun
memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit
normal yang tidak mengandung parasit tidak
dapat hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam
pembentukan eritrosit karena depresi
eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit
8 Natadisastra, Djaenudin. 2005. Parasitologi
Kedokteran :Ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta :
EGC
17
tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah
perifer.
2.2.2Pencegahan Malaria
1. Usahakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan
cara: tidur dengan kelambu, rumah anti nyamuk
dengan memakai kawat kasa, pemakaian obat nyamuk
bakar, penyemprotan ruang tidur, dan lain
sebagainya. Atau kombinasi keduanya (obat dan
kelambu adalah cara terbaik cegah gigitan nyamuk
malaria). Cara-cara pengobatan pendahuluan,
pengobatan sempurna dan pencegahan (untuk
bermacam-macam parasit malaria dan golongan)
umumnya dapat ditanyakan petugas lapangan
Puskesmas9.
2. Mengurangi pembawa gametosit
Dikatakan menjadi sumber infeksi, sebagai
pembawa gametosit seorang penderita harus
mengandung gametosit dalam jumlah besar di dalam
darahnya. Dengan demikian, nyamuk dapat menghisap
dan menularkan kepada orang lain. Hal ini dapat
dicegah dengan jalan mengobati penderita malaria
akut, dalam hal ini sebagai sumber penularan.
9 Werner, David. 2010. Apa yang Anda kerjakan Bila Tidak Ada
Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica (YEM)
18
Dengan pengobatan yang efektif diharapkan
gametosit tidak sempat terbentuk, dpat dipakai
jenis obat yang secara spesifik dapat membunuh
gametosit (gametosida)10.
3. Usaha pengobatan dan pencegahan secara berkala,
terutama di daerah-daerah endemis malaria dengan
obat dari Puskesmas, dari toko-toko obat seperti
kina, chloroquine dan sebagainya, dengan obat-obat
tradisional seperti daun johar, daun kates dan
meniran atau obat pahit yang lain.
4. Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk,
seperti membersihkan ruang tidur , semak-semak
skitar rumah, air tergenang, kandang-kandang
ternak dan sebagainya. Manajemen lingkungan dan
pembasmian jentik-jentik nyamuk dapat dipakai
dalam lingkungan ekologi tertentu, tergantung
spesies vector (nyamuk). Pemakaian kelambu yang
diredam insektisida merupakan cara efektif untuk
mrncegah malaria, terutama untuk kelompok yang
paling rawan yaitu ibu hamil dan anak-anak di
bawah usia lima tahun.
10 Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta : PT
Elex Media Komputindo
19
5. Memperbanyak jumlah ternak seperti sapi,
kerbau,kambing,kelinci ,dan sebagainya, dengan
menempatkan ternak-ternak tersebut diluar rumah
dekat nyamuk bertelur.
6. Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti
kolam, sawah, dan parit. Atau dengan memberi
sedikit minyak pada air yang tergenang.
7. Penananaman padi secara serempak atau diselingi
dengan tanaman kering atau pengeringan sawah
secara berkala.
8. Usaha penyemprotan dengan DDT yang diusahakan oleh
Pemerintah. Usaha ini tidak jarang menimbulkan
keluhan dari penduduk, karena mereka harus menutup
semua alat-alat rumah tangga dan menjauhkan
makanan agar tidak terkena DDT. Tetapi, hendaknya
penduduk membantu usaha yang baik ini dengan
menerima petugas dan merelakan rumahnya untuk
disemprot, mengingat pentingnya pencegahan
terhadap penyakit malaria.11
9. Melindungi dengan obat antimalaria
Obat pencegahan (profilaksis) terhadap malaria
dapat dilakukan, dengan tujuan agar tidak terjaadi
11 Werner, David. 2010. Apa yang Anda kerjakan Bila Tidak Ada
Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica (YEM)
20
infeksi, serta timbul gejala malaria. Hal ini
sebaiknya dilakukan pada orang-orang yang
melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria.
Orang yang akan mengunjungi daerah endemis ini
harus minum obat antimalaria sekurangnya seminggu
sebelum berangkat, sampai empat minggu setelah
orag yang bersangkutan meninggalkan daerah endemis
malaria12.
2.3 Pengobatan Malaria dan Definisi Zat Besi
2.3.1Pengobatan Malaria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular
yang mempengaruhi angka kematian bayi, anak, dan
melahirkan, serta dapat menurunkan produktivitas
kerja. Untuk mengetahui dengan pasti seseorang telah
terinfeksi malaria, yaitu dengan menemukan parasit
malaria di dalam darahnya melalui pemeriksaan
mikroskop.
12 Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta : PT
Elex Media Komputindo
21
Ada beberapa obat yang digunakan untuk
pengobatan malaria. Berikut ini penggolongan obat
antimalaria.
1. Skizontisida jaringan primer (contohnya,
Proguanil dan Pirimetamin).
2. Skizontisida jaringan sekunder (contohnya,
Primakuin).
3. Skizontisida darah (contohnya, kina, Klorokuin,
dan Amodiakuin).
4. Gametosida (contohnya, Primakuin, kina,
Klorokuin, dan Amodiakuin).
5. Sporontosida (contohnya, Primakuin, dan
Proguanil).
Berikut ini beberapa cara pengobatan malaria13.
1. Pengobatan untuk mencegah (profilaksis)
Pemberian obat antimalaria bertujuan untuk
mencegah timbulnya infeksi atau gejala-gejala
penyakit malaria.
2. Pengobatan terapeutik (kuratif)
13 Prabowo, Arlan. 2004. Malaria: Mencegah dan
Mengatasinya. Jakarta: Niaga Swadaya
22
Obat antimalaria digunakan untuk penyembuhan
infeksi malaria yang telah ada, penanggulangan
serangan malaria akut, serta pengobatan radikal.
Pengobatan. Pemberian obat pada penyakit
malaria ditujukan untuk menghilangkan atau
mengurangi gejala (obat simptomatis) dan obat yang
ditujukan pada parasitnya (obat anti malaria).
Maksud pemberian obat anti malaria, yaitu sebagai
profilaksis, sebagai terapeutik atau untuk mencegah
transmisi.
Profilaksis. Obat profilaksis, yaitu obat
mencegah sesorang terkena malaria atau timbulnya
gejala klinis, misalnya sesorang yang akan
mendatangi daerah endemi malaria. Untuk maksud ini
dikenal beberapa golongan. Profilaksis absolut,
yaitu membasmi sporozoit yang baru ditularkan oleh
Anopheles (obat demikian belum ada). Profilaksis
kausal, yaitu membasmi parasit stadium dini dalam
jaringan hati, sebelum merozoit hati dilepaskan ke
dalam darah. Yang termasuk ke dalam obat ini, yaitu
kelompok skizontisida jaringan primer. Profilaksis
klinis (supresif), yaitu mengurangi/menekan
parasitemia sedemikian rendah sehingga tidak
23
menimbulkan gejala klinik selama meminum obat dalam
dosis adekuat. Termasuk ke dalamnya semua obat
skizontisida darah.
Terapeutik atau kuratif. Yaitu pengobatan pada
penderita malaria untuk menyembuhkan infeksi,
pengobatan serangan akut juga untuk pengobatan
radikal. Pada pengobatan serangan akut diberikan
obat-obat skizontisida. Pengobatan radikal diberikan
kombinasi skizontisida darah dengan kombinasi hati
(anti relaps). Mencegah transmisi, yaitu obat-obat
yang efektif terhadap gametosit sehingga dapat
mencegah infeksi pada Anopheles atau memengaruhi
proses sporogoni dalam nyamuk. Yang termasuk obat-
obat ini, yaitu gametosida atau sporontosida.
Penggolongan obat anti malaria. Pengobatan
penyakit malaria yang tepat, tergantung dimana
parasit berada dalam siklus hidupnya, obat anti
malaria ini digolongkan pada:
1. Skizontisida atau disebut juga skizontisida darah,
bekerja terhadap Plasmodium sp. yang berada di dalam
eritrosit. Yang termasuk kelompok ini yaitu:
klorokuin, amodiakuin, dan kina, juga proguanil,
dan pirimetamin.
24
2. Skizontisida jaringan primer sebagai profilasis
kausal, mencegah masuknya parasit ke dalam
eritrosit. Obat-obatnya, yaitu: pirimetamin dan
proguanil.
3. Anti-relapse bekerja terhadap Plasmodium sp. yang
berada di luar eritrosit terutama dalam stadium
hipnozoit. Disebut juga sebagai skizontisida
jaringan sekunder, atau skizontisida hati, yaitu:
primakuin, pamakuin, dan kuinakrin.
4. Gametosida bekerja terhadap gametosit, yaitu:
primakuin, amodiakuin atau kina (tidak dapat
diberikan untuk Plasmodium falciparum
5. Sporontosida, bekerja mencegah sporogoni di dalam
nyamuk, yaitu proguanil, primakuin.
6. Pengobatan radikal, kombinasi dari skizonisida
dengan anti-relaps.
7. Pencegahan dengan obat skizontisida sekali
seminggu.
Obat-obat anti malaria menurut pengelompokan
secara kimiawi terdiri atas Alkaloid kina, yaitu
kina (kuinin dan kuinidin). 4-aminokuinolin, yaitu
klorokuin, amodiakuin. 8-aminokuinolin, yaitu
primauin. Diamino pirimidin, yaitu pirimetamin.
Sulfonamid dan sulfon; sulfonamid, yaitu
25
sulfadoksin, sulfadiazin, sulfalen; sulfon yaitu
dapson serta DDS (diamino diphenyl sulfon). 9-
aminoakridin, yaitu mepakrin, atebrin. Biguanid,
yaitu proguanil, loroguanil, sikloguanil. 4-kuinolin
metanol, yaitu meflokuin. Antibiotika, yaitu
tetrasiklin14.
2.3.2Zat Besi
Zat besi merupakan salah satu dari mikroelemen
yang esensial bagi tubuh. Selama ini zat besi banyak
dikaitkan dengan suplemen penambah darah karena
memang zat besi membantu tubuh dalam pembentukan sel
darah merah. Oleh karena itu kekurangan zat besi
dalam jumlah banyak dapat menyebabkan anemia
difisiensi besi. Selain itu kekurangan zat besi juga
dapat menimbulkan gangguan kesehatan lainnya seperti
tubuh manusia dewasa mengandung 3000-4000 mg zat
besi. Dalam satu hari, tubuh hanya kehilangan 1 mg
zat besi yang harus digantikan melalui asupan
makanan. Hati merupakan salah satu makanan sehari-
hari yang banyak mengandung zat besi. Kebanyakan zat
besi yang dibutuhkan oleh tubuh didapatkan dengan14 Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009.
Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang.
Jakarta: EGC
26
cara mengubah kembali sel darah merah yang sudah
rusak.
Besi menjadi elemen ke 26 dalam tabel periodik
yang termasuk dalam salah satu dari 4 mineral yang
paling banyak ditemukan di kerak bumi. Besi memiliki
berat atom 56. Pada zaman neolitikum, orang-orang
mulai menambang besi dan membuat peralatan dari
besi. Orang romawi menggunakan besi sebagai tambahan
makanan tetapi pengakuan besi sebagai nutrisi
penting untuk tubuh belum terbukti sampai abad ke
17. Sydenham adalah orang pertama yang mengatakan
bahwa klorosis (suatu penyakit pada wanita remaja,
ditandai dengan warna kulit pucat) adalah karena
anemia kekurangan zat besi. Dia menunjukkan bahwa
garam-garam besi merupakan pengobatan yang efektif.
Pada 1713, Remerry dan Jeffrey menunjukkan
adanya besi dalam bahan mineral darah dan pada tahun
1852 Funke menunjukkan bahwa mineral ini terkandung
oleh sel darah merah. Besi dan jumlah sel darah
merah yang terkait dan fungsi sel darah merah
membawa oksigen tergantung terhadap kadar
hemoglobinnya.
27
Besi dalam tubuh manusia terbagi menjadi 3
bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi
cadangan/simpanan dan besi transport. Besi
fungsional meliputi besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh, terdiri dari hemoglobin,
mioglobin dan berbagai jenis enzim. Bentuk yang
kedua adalah besi simpanan yang terdiri dari feritin
dan hemosiderin. Kedua senyawa ini merupakan bentuk
besi yang akan digunakan saat asupan gizi melalui
diet berkurang. Bentuk besi yang terakhir yaitu besi
transport atau transferin. Bentuk yang ketiga ini
merupakan besi yang berikatan dengan protein
tertentu yang berguna untuk mengangkut besi ke
seluruh tubuh15.
Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi.
Sebelum diabsorpsi, di dalam lambung besi dibebaskan
dari ikatan organik, seperti protein. Sebagian besar
besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk
fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam
lambung dengan adanya HCI dan vitamin C yang
terdapat di dalam makanan.
15 Rahfiludin, M. Zen. 2013. Buku Ajar Gizi Mikro. Semarang:
UPT UNDIP Press
28
Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus
halus (duodenum) dengan bantuan alat angkut protein
khusus. Ada dua jenis alat angkut protein di dalam
sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan besi,
yaitu transferin dan feritin. Transferin, protein
yang disintesis di dalam hati, terdapat dalam dua
bentuk. Transferin mukosa mengangkut besi dari
saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya
ke transferin reseptor yang ada di dalam sel mukosa.
Trnsferin mukosa kemudian kembali ke rongga saluran
cerna untuk mengikat besi lain, sedangkan transferin
reseptor mengangkut besi melalui darah ke semua
jaringan tubuh. Dua ion feri diikatkan pada
transferin untuk dibawa ke jaringan-jaringan tubuh.
Banyaknya reseptor transferin yang terdapat pada
membran sel bergantung pada kebutuhan tiap sel.
Kekurangan besi pertama dapat dilihat pada tingkat
kejenuhan transferin.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-
hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin
makanan hewan, dan besi-nonhem dalam makanan nabati.
Besi-hem diabsorpsi ke dalam sel mukosa sebagai
kompleks porfirin utuh. Cincin perfirin di dalam sel
mukosa kemudian dipecah oleh enzim khusus
29
(hemoksigenase) dan besi dibebaskan. Besi-hem dan
nonhem kemudian melewati alur yang sama dan
meninggalkan sel mukosa dalam bentuk yang sama
dengan menggunakan alat angkut yang sama. Absorpsi
besi-hem tidak banyak dipengaruhi oleh komposisi
makanan dan sekresi saluran cerna serta oleh status
besi seseorang. Besi-hem hanya merupakan bagian
kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang
lebih 5% dari besi total makanan), terutama di
Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat
mencapai 25% sedangkan nonhem hanya 5%.16
Zat besi mempunyai peran vital bagi tubuh kita.
Salah satu fungsi utamanya adalah transportasi utama
dalam mendistribusikan oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Untuk mengangkut oksigen, zat besi
harus bergabung dengan protein membentuk hemoglobin
di dalam sel darah merah dan mioglobin di dalam
serabut otot. Bila bergabung dengan protein di dalam
sel zat besi membentuk enzim yang berperan di dalam
pembentukan energi di dalam sel. Zat besi juga
berperan dalam pembentukan hemoglobin sebagai
pembentuk utama sel darah merah.16 Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
30
Hemoglobin dan mioglobin merupakan sumber
protein utama untuk mendapatkan heme besi. Sumber
heme besi dapat diperoleh dari daging, ikan, hati,
udang. Heme besi dalam daging merupakan sumber
penting dari konsumsi besi, tidak hanya karena
“faktor daging” mempertinggi ketersediaan non-heme
besi dari konsumsi harian.
Kekurangan zat besi merupakan masalah kekurangan
nutrien yang paling banyak terjadi di dunia. Hal ini
terjadi karena selain penyerapan zat besi dalam
tubuh sangat rendah juga dikarenakan makanan yang
umum dikonsumsi memiliki kandungan zat besi yang
relatif rendah. Gejala-gejala yang biasa ditemukan
pada orang yang mengalami defisiensi besi antara
lain terganggunya respon kekebalan tubuh, sistem
pencernaan yang tidak normal, perubahan pada
epidermal, gangguan thermogenesis, perubahan
metabolisme tiroid, perubahan pada pergantian
catecolamine.
Makanan seperti gandum dan kacang-kacangan hanya
mengandung zat besi nonheme yang sangat rendah
tingkat penyerapannya. Anak-anak dan wanita lebih
berisiko mengalami kekurangan zat besi. Secara
31
klinis kekurangan zat besi terbagi menjadi 3
tingkatan, yaitu:
1. Ketersediaan zat besi yang menurun dikarenakan
pengurangan serum feritin tanpa kehilangan
senyawa besi yang penting bagi tubuh. Pada
kondisi ini tubuh belum menunjukkan tanda-tanda
terjadinya anemia.
2. Kekurangan zat besi dalam tahap kedua ditandai
dengan perubahan biokimia dimana terjadi
penurunan penyerapan oleh transferin dan
penambahan eritrosit protopirin. Zat besi dalam
keadaan ini hanya cukup untuk produksi normal
hemoglobin dan komponen besi lainnya.
3. Munculnya tanda-tanda nemia dengan penurunan
produksi hemoglobin dan perubahan volume
corpuscular pada sel darah merah. Hal ini
ditandai dengan gejala klinis seperti lemah dan
muka pucat.
Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan tubuh
mengalami gangguan kesehatan. Salah satunya yang
disebabkan oleh karena kekurangan zat besi ini
adalah gangguan pada fungsi imunitas tubuh.
Kekurangan zat besi secara akut dapat mempengaruhi
imunitas tubuh baik imunitas humoral maupun imunitas
32
seluler. Kemudian kekurangan zat besi ini akan
menyebabkan penurunan fungsi sel polimorfonuklear
terutama neutrofil, penurunan jumlah dan fungsi
limfosit T, penurunan aktivitas sel natural killer,
serta penurunan aktivitas limfosit dan makrofag.
Kejadian infeksi dan inflamasi berhubungan dengan
kekurangan zat besi, hal ini digambarkan dengan
perubahan kadar feritin serum, zat besi serum, dan
saturasi transferin pada saat fase akut17.
17 Rahfiludin, M. Zen. 2013. Buku Ajar Gizi Mikro. Semarang:
UPT UNDIP Press
33
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebutuhan Besi Terhadap Penderita Malaria
Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal
berkisar antara 3 – 5 gr tergantung dari jenis
kelamin, berat badan dan haemoglobin. Besi di dalam
tubuh terdapat dalam haemoglobin sebanyak 1,5 – 3,0 gr
dan sisa lainnya terdapat di dalam plasma dan
jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan protein
yang disebut “transferin” yaitu sebanyak 3 – 4 gr.
Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status
esensial dan bukan esensial18.
Anemia defisiensi besi pada daerah endemis malaria
akan menyebabkan kematian terutama pada anak dan ibu
hamil. Anak di bawah 5 tahun di daerah endemis malaria
juga akan berisiko untuk menderita malnutrisi energi
protein serta defisiensi mikronutrien termasuk seng.
Defisiensi besi yaitu berkurangnya total kandungan
besi dalam tubuh yang dibagi dalam 3 tahap. Gangguan
keseimbangan besi akan menyebabkan deplesi besi
ditandai dengan total besi dalam tubuh berkurang
18 Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
34
tetapi tidak mempengaruhi sintesis hemoglobin. Bila
asupan besi pada sumsum tulang tidak adekuat maka akan
terjadi tahap berikutnya yaitu defisiensi besi pada
eritropoesis.
Akhirnya jika besi sangat kurang untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin yang normal maka
akan timbul anemia defisiensi besi. Terdapat beberapa
bukti bahwa parasitemia yang menetap dan berulang
menyebabkan defisiensi besi walaupun mekanismenya
masih belum jelas. Terdapat penurunan absorbsi besi
pada fase akut penyakit. Kadar haptoglobin yang
rendah, karena adanya hemolisis intravaskular, yang
akan mengurangi pembentukan kompleks haptoglobin/
hemoglobin serta penurunan penggunaan besi. Terjadinya
immobilisasi besi di dalam kompleks hemazoin (pigmen
malaria).
Anemia malaria berat lebih sering ditemukan pada
daerah dengan penyebaran malaria yang tinggi dan
sebagian besar ditemukan pada anak-anak dan wanita
hamil19. Prevalensi anemia yang didefinisikan sebagai
kadar hematokrit (Hct) lebih tinggi dari 0,33, pada
daerah endemic malaria di Afrika, bervariasi antara
19 Greenwood BM. 1997. The Epidemiology of Malaria.
Ann Trop Med Parasitol 91 : 763-769
35
31% dan 91% pada anak-anak dan antara 60% dan 80% pada
wanita hamil20 21.
Malaria adalah suatu penyakit yang mengancam jiwa
yang menyerang sekitar setengah dari populasi dunia
yang seringkali menjadi penyakit parah yang mengancam
jiwa. Malaria menyebabkan perubahan distribusi besi
dari penyimpanan. Konsentrasi serum besi, ironbinding
capacity dan saturasi serum transferin semuanya menurun,
tetapi kebalikannya pada defisiensi besi kosentrasi
serum feritin meningkat, hitung retikulosit normal
atau meningkat. Hitung retikulosit digunakan untuk
menilai kecepatan reaksi sumsum tulang terhadap
anemia. Setelah pengobatan respon retikulosit dapat
dilihat dalam 48-72 jam, dengan respon maksimal hari
ke 5-10. Retikulosit meningkat sedikit setelah
pemberian suplementasi besi tapi tidak berbeda
bermakna dan tampak nilainya lebih tinggi pada
20 Menendez C. Fleming AF, Alonso PL. 2000. Malaria-
Related Anemia. Parasitol Today , 16 : 469-47621 Schellenberg J. R. M. A. C. G. Victora, A. Mushi,
D. De Savigny , D. Schellenberg, H. Mshinda, and J.
Bryee. 2003. “Inequities among the Verry Poor :
Health Care Children in Rural Southern Tanzania,”
Lancet 361 :561-66
36
pemberian besi ditambah plasebo. Infeksi, inflamasi,
dan penyakit keganasan menyebabkan kerusakan pada
mukosa sehingga dapat menyebabkan peningkatan
kecepatan sintesis di retikuloendotelial sistem dan
terjadi peningkatan konsentrasi serum feritin. Infeksi
akibat parasit malaria akan menyebabkan turunnya kadar
hemoglobin sehingga terjadi anemia akibat defisiensi
besi sedangkan kadar serum feritin akan mengalami
peningkatan.
Cukup sulit untuk menentukan jumlah kasus anemia
berat yang disebabkan oleh malaria sebagaimana
defenisi WHO mengenai anemia malaria berat (kadar
haemoglobin [Hb] < 50 g/L [5 g/dL] atau Hematokrit
[Hct] < 0,15, dalam keadaan adanya parasitemia >
10.000 per mikroliter [µL), dan sebuah lapisan darah
yang normocytic) dapat mengeluarkan proporsi
pertimbangan dari anak anemia berat yang memiliki
37
asupan darah negatif untuk parasit malaria tetapi
merespon terhadap pengobatan antimalaria22 23.
Kemungkinan akan sulit untuk menghubungkan anemia
dengan sebuah penyebab tunggal karena penyebab anemia
malaria di daerah endemic biasanya kompleks dan
defisiensi hematinin, sifat genetic, dan infeksi
berulang kesemuanya itu berkontribusi terhadap
anemia24. Namun demikian, sebuah randomized placebo-
controlled trial profilaksis malaria dan suplementasi
besi pada bayi, pada sebuah daerah endemic, telah
22 Menendez, C. Kahigwa E, Hirt R et al. 1997.
Randomized placebo controlled trial of iron
supplementation and malaria chemoprophylazis for
prevention of severe anaemis and malaria in
Tanzanian infants. Lancet , 350 : 844 – 85023 Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and
complicated malaria. In: World Health Organization
Division of Control of Tropical Diseases, Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene, London
199024 Roberts DJ, Casals-Pascul C, Weatherall DJ The
clinical and pathophysiological features of
malarial anemia. Curr Trop Microbiol Immunol 2005;
295:137–167
38
memperihatkan bahwa infeksi malaria merupakan faktor
etiologi utama yang mendasari terjadinya anemia25
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam
edisi terbaru jurnal Cell Host & Mikroba, Miguel
Soares dan timnya di Instituto de Ciencia Gulbenkian
(IGC) Portugal, menemukan bahwa pengembangan bentuk
parah malaria dapat dicegah dengan mekanisme sederhana
yang mengontrol akumulasi zat besi dalam jaringan dari
sel yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa ekspresi
gen yang menetralkan zat besi dalam sel, yang bernama
H-Feritin, mengurangi stres oksidatif mencegah
kerusakan jaringan dan kematian dari sel yang
terinfeksi. Ini mekanisme perlindungan memberikan
strategi terapi baru terhadap malaria.
Ada strategi pertahanan yang memberikan toleransi
penyakit malaria, mengurangi keparahan penyakit tanpa
menargetkan parasite. Miguel Soares dan kolaborator
dalam jurnal Science. yang telah diterbitkan dalam
jurnal Cell Host & Mikroba menunjukkan bahwa strategi
25 Schellenberg D, Menendez C, Kahigwa E, et al.
Intermittent treatment for malaria and anaemia
control at time of routine vaccinations in
Tanzanian infants : a randomised, placebo-
controlled trial. Lancet. 2001: 1471-1477
39
pertahanan bertindak melalui pengaturan metabolisme
zat besi dalam inang yang terinfeksi.
Diketahui bahwa membatasi ketersediaan besi untuk
patogen dapat mengurangi virulensi parasit plasmodium,
yaitu kemampuan mereka untuk menyebabkan penyakit.
Namun, teknik ini mempunyai dampak buruk, yaitu
akumulasi zat besi beracun dalam jaringan dan organ
dari host yang terinfeksi. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, lebih pada meningkatkan daripada
mencegah keparahan penyakit. Dalam karya eksperimental
oleh Raffaella Gozzelino, menunjukkan bahwa sel
terinfeksi mengatasi masalah ini dengan menginduksi H-
Feritin, yang mendetoksifikasi zat besi. Dampak
perlindungan dari H-Feritin adalah mencegah
perkembangan ke bentuk parah dan sering mematikan dari
malaria.
Para peneliti juga meneliti apakah ada korelasi
antara keparahan malaria dan ekspresi feritin pada
manusia. Bersama dengan Bruno Bezerril Andrade (saat
ini di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Infeksi,
NIH, USA), Nivea Luz dan Manoel Barral-Netto (di
Fundação Oswaldo Cruz dan Faculdade de Medicina,
Universidade Federal da Bahia, Brazil) mereka
menganalisis sampel dari individu yang terinfeksi
40
dengan Plasmodium di Rondônia, di bagian utara-barat
Brasil. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa, di
antara orang yang terinfeksi, mereka dengan tingkat
ferritin yang lebih tinggi mengalami kerusakan
jaringan lbih sedikit. Bersama dengan data eksperimen
yang diperoleh pada tikus, pengamatan ini
mengungkapkan bahwa feritin memberikan perlindungan
terhadap malaria, tanpa mengganggu langsung parasit
yang menyebabkan penyakit.
Miguel Soares mengatakan, individu yang mempunyai
tingkat yang lebih rendah dari Feritin dan mungkin
berada pada risiko yang lebih tinggi terserang bentuk
parah dari malaria. Selain itu, penelitian Miguel
Soraes juga mendukung sebuah teori yang menjelaskan
bagaimana perlindungan terhadap malaria, serta
penyakit menular lainnya, dapat beroperasi tanpa
penargetan langsung agen penyebab penyakit, yaitu
Plasmodium. Sebaliknya, strategi ini bekerja dengan
melindungi sel-sel, jaringan dan organ dalam tubuh
yang terinfeksi, sehingga membatasi tingkat keparahan
penyakit.
3.2 Imunitas
41
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari
lingkungan yang mengandung mikroba patogen di
sekelilingnya. Tubuh manusia akan selalu terancam oleh
paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan
polusi. Salah satu parasit yang dapat menyerang tubuh
kita adalah Plasmodium palcifarum yang dapat mengakibatkan
penyakit malaria. Malaria merupakan penyakit infeksi
parasitis yang terpenting di dunia, dengan prakiraan
satu miliar orang berisiko tertular penyakit ini.
Sepanjang sejarah malaria telah terbukti menjadi
ancaman signifikan terhadap kesehatan manusia. Antara
300 dan 500 juta kasus klinis terjadi setiap tahun di
seluruh dunia, sekitar 2 juta kasus adalah fatal,
terutama pada anak-anak26
Di daerah malaria dengan endemisitas tinggi,
sebagian besar anak mengalami lebih dari satu episode
klinik dengan berbagai tingkat keparahan yang berbeda-
beda sebelum mereka mengalami kekebalan parsial
(partial immunity) terhadap infeksi parasit ini.
26 Artavanis-Tsakonas, K., J E Tongren, dan E M
Riley. The war between the malaria parasite and the immune
system: immunity, immunoregulation and immunopathology. Clin
Exp Immunol. Aug 2003; 133(2): 145–152.
42
Infeksi sering terjadi lebih berat pada anak dan
balita. Hal tersebut disebabkan karena sistem imun
atau sistem kekebalan protektif yang belum matang pada
usia muda. Anak-anak, yang belum mengembangkan
mekanisme kekebalan protektif dengan demikian berisiko
lebih besar untuk menderita malaria klinis, penyakit
parah dan kematian dibandingkan orang dewasa27
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem
perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme.
Biasanya kita dilindungi oleh system pertahanan tubuh,
sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup
lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Jika
sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus,
serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain
dalam tubuh. Kelebihan tantangan negatif,
bagaimanapun, dapat menekan imunitas tubuh dan dapat
mengakibatkan berbagai penyakit fatal. Jika sistem
kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga27 Artavanis-Tsakonas, K., J E Tongren, dan E M
Riley. The war between the malaria parasite and the immune
system: immunity, immunoregulation and immunopathology. Clin
Exp Immunol. Aug 2003; 133(2): 145–152.
43
berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk
virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang
dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan
pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem
ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
Sistem imun menyediakan kekebalan terhadap suatu
penyakit yang disebut imunitas. Imunitas menurut
Corwin adalah keadaan seseorang yang terlindung dari
pembentukan penyakit. Imunitas dapat bersifat
inheren/bawaan (innate), pasif, atau didapat setelah
pajanan terhadap suatu mikroorganisme28
Hal ini juga dikemukakan oleh Efendi dalam
bukunya, Keperawatan Kesehatan Komunitas, tiga jenis
imunitas yang dimiliki manusia adalah imunitas adalah
imunitas yang didapat, imunitas aktif, dan imunitas
pasif. Imunitas didapat diperoleh karena pernah
menderita suatu penyakit yang menstimulasi sistem
perubahan alami tubuh atau karena pernah menderita
suatu penyakit yang menstimulasi sitem perubahan alami
tubuh atau karena sengaja (secara buatan) menstimulasi
28 Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
44
sistem pertahanan melalui imunisasi. Imunisasi aktif,
tubuh membentuk antibodinya sendiri. Hal ini dapat
dilakukan melalui pemberian vaksin atau karena harus
merespons patogen penyakit tertentu yang menginvasi
tubuh29
Menurut Corwin, imunitas ini terjadi karena
resistensi alami organisme. Imunitas inheren mencakup
sawar terhadap infeksi yang dihasilkan oleh kulit,
asam lambung atau usus, air mata serta mediator-
mediator peradangan yang nonspesifik
Lain lagi dengan imunitas pasif. Dalam bukunya,
Corwin mengatakan bahwa imunitas pasif mengacu kepada
imunitas yang diberikan kepada seserang melalui
transfer antibody dari orang lain atau pemberian
suatu antitoksin yang telah dipersiapkan30. Imunitas
pasif didapat melalui transfer transplasental imunitas
ibu terhadap penyakit ke janinnya. Imunitas pasif juga
29 Efendi, Ferry., dan Makhfudli. 2009. Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika30 Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
45
dapat diperoleh dengan memasukkan antibodi yang sudah
terbentuk dalam penderita yang rentan31
Semua bagian sistem imun ini bekerja sama dalam
melawan masuknya virus, bakteri, jamur, cacing, dan
parasit lain yang memasuki tubuh melalui kulit,
hidung, mulut, atau bagian tubuh lain. Sistem imun
kita tersebar di seluruh tubuh dan tidak berada di
bawah perintah otak, tetapi bekerja melalui rangkaian
informasi pada tiap bagian dari sistem imun. Jumlah
sel-sel imun lebih banyak 10 kali lipat dari sistem
saraf dan mengeluarkan empat puluh agen imun yang
berbeda-beda untuk melindungi tubuh dari penyakit.
Sistem pertahanan tubuh pada manusia atau lebih kita
kenal sebagai sistem imun sering diartikan sebagai
suatu efektor dalam menghalau ‘musuh’ yang terdiri
atas zat asing yang akan memasuki tubuh.
3.3 Kontroversi
1. Dampak Suplementasi Besi dan Seng dalam
Meningkatkan Eritropoiesis pada Malaria Anak yang
Diberi Obat Anti Malaria di Daerah Endemis
31 Efendi, Ferry., dan Makhfudli. 2009. Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
46
Pada suatu penelitian dilakukan pembuktian
dampak suplementasi besi dan seng dalam
meningkatkan eritropoiesis pada malaria anak di
daerah endemis yang diberi obat anti malaria.
Anemia defisiensi besi terdapat pada hampir
setengah dari seluruh anak dan wanita hamil pada
negara berkembang dan lebih dari 500 juta kasus
anemia ada di seluruh dunia. Anemia defisiensi besi
pada daerah endemis malaria akan menyebabkan
kematian terutama pada anak dan ibu hamil. Anak di
bawah 5 tahun di daerah endemis malaria juga akan
berisiko untuk menderita malnutrisi energi protein
serta defisiensi mikronutrien termasuk seng.
Defisiensi besi yaitu berkurangnya total
kandungan besi dalam tubuh yang dibagi dalam 3
tahap. Gangguan keseimbangan besi akan menyebabkan
deplesi besi ditandai dengan total besi dalam tubuh
berkurang tetapi tidak mempengaruhi sintesis
hemoglobin. Bila asupan besi pada sumsum tulang
tidak adekuat maka akan terjadi tahap berikutnya
yaitu defisiensi besi pada eritropoesis. Akhirnya
jika besi sangat kurang untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin yang normal maka akan timbul
anemia defisiensi besi.
47
Terdapat beberapa bukti bahwa parasitemia yang
menetap dan berulang menyebabkan defisiensi besi
walaupun mekanismenya masih belum jelas, tetapi
diduga,
1. Terdapat penurunan absorbsi besi pada fase akut
penyakit.
2. Kadar haptoglobin yang rendah, karena adanya
hemolisis intravaskular, yang akan mengurangi
pembentukan kompleks haptoglobin/hemoglobin serta
penurunan penggunaan besi.
3. Terjadinya immobilisasi besi di dalam kompleks
hemazoin (pigmen malaria).
Masukan seng dapat mempengaruhi proses masuknya
atau pelepasan besi dari feritin. Pada keadaan
normal, seng seperti juga besi akan bergabung
dengan besi selama tahap akhir biosintesis heme.
Pada saat terjadi defisiensi besi, protoporfirin IX
tidak dapat bergabung dengan besi untuk membentuk
heme pada tahap akhir sistesis heme. Akibat tidak
adanya besi, protoporfirin bergabung dengan seng
untuk membentuk free erythrocyte zinc
protoporphyrin (ZPP) yang stabil selama hidup sel
darah merah.
48
Verhoef H dkk menyimpulkan bahwa suplementasi
besi tidak berhubungan dengan risiko efek samping
malaria. Lind T dkk. Pada penelitian yang dilakukan
pada anak di Jawa Tengah, menemukan bahwa
efeksuplementasi gabungan antara besi dan seng
terbukti kurang efikasinya dibandingkan
suplementasi tunggal dalam meningkatkan status besi
dan seng.
Suplementasi besi untuk malaria asimtomatik
dengan konsentrasi serum feritin yang normal atau
tinggi tidak dibutuhkan sebagai pencegahan terhadap
anemia yang disebabkan oleh malaria. Menurut
beberapa literatur pemeriksaan retikulosit baik
digunakan menilai respon awal terhadap suplementasi
besi.
Pada penelitian disebutkan bahwa respon
tersebut belum bermakna karena hanya diperiksa
jumlah retikulosit pada sebelum suplementasi dan 30
hari sesudah suplementasi. Sebaiknya diperiksa juga
jumlah retikulosit pada sebelum suplementasi serta
hari ke-3, hari ke-5, dan hari ke-10 setelah
suplementasi. Sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan
serum transferinreceptor karena pemeriksaan dapat
digunakan untuk mendeteksi defisiensi besi secara
49
dini. Pemeriksaan ini tidak dipengaruhi oleh proses
inflamasi akut atau kronik sehingga baik digunakan
pada daerah dengan prefalensi infeksi yang tinggi32.
2. Malaria dan Anemia Pada Ibu Hamil
Faktor yang juga berperan terhadap kejadian
anemia pada ibu hamil adalah adanya infeksi
malaria. Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel
darah merah yang mengandung parasit. Malaria
merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
mempengaruhi angka kesakitan bayi, anak balita, dan
ibu melahirkan. Secara epidemiologi, malaria
merupakan penyakit menular lokal spesifik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu hamil
yang mengalami malaria sebagian besar akan
mengalami anemia. Ini disebabkan karena infeksi
malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang
mengandung parasit sehingga akan menyebabkan
anemia. Eritrosit berparasit maupun tidak
32 Lubis, Bidasari. 2008.
DampakSuplementasiBesidanSengdalamMeningkatkan
Eritropoiesispada Malaria Anak yang DiberiObat Anti Malaria di
Daerah Endemis.Sari Pediatri, Vo. 10, No. 1, Juni
2008
50
berparasit mengalami hemolisis karena fragilitas
osmotik meningkat. Selain itu juga dapat disebabkan
peningkatan autohemolisis baik pada eritrosit
berparasit maupun tidak berparasit sehingga masa
hidup eritrosit menjadi lebih singkat dan anemia
lebih cepat terjadi . Selama kehamilan, parasit
malaria dalam plasenta dapat menganggu penyaluran
oksigen dan zat nutrisi dari ibu ke janin.
Penanganan penyakit malaria sangat dibutuhkan
terutama pada ibu hamil. Penanganan awal adalah
pemberian obat pencegahan pada wanita hamil di
daerah endemic selama masa kehamilan, dimulai
sedini-dininya dan diteruskan sampai 6 minggu
setelah kelahiran. Pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mendapat pengobatan propilatik,
dimulai dengan dosis terapetik (600 mg
chloroquineatau 800 mg amodiaquine) untuk memberantas
parasit yang sebelumnya mungkin sudah ada. Kemudian
pencegahan dilanjutkan dengan pemberian darapin
satu tablet setiap minggu sampai 6 minggu post
partum. Hal ini diharapkan dapat mengurangi
penderita malaria pada ibu hamil sehingga semakin
berkurang pula ibu hamil yang mengalami anemia.
51
Menurut Persatuan Ahli Gizi kebutuhan besi ibu
hamil perhari adalah 46 mg. Besi yang diperoleh
dari makanan hanya 5-15% yang dapat diabsorbsi
sehingga dibutuhkan suplemen untuk memenuhi
kebutuhan besi ibu hamil. Namun besi tersebut
belum tentu seluruhnya dapat diabsorbsi oleh tubuh.
Sunita Almatsie rmengatakan, ada yang menghambat
penyerapan besi di dalam tubuh yaitu Tannin yang
terdapat di dalam teh atau kopi. Zat tannin tersebut
menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya33.
3.4 Hubungan Malaria dengan Fe
Malaria akan menyebabkan turunnya kadar hemoglobin
sehingga terjadi anemia akibat defisiensi besi.
Infeksi kronis akibat Plasmodium falciparum dapat
terjadi di daerah endemis malaria. Pada gambaran
hematologis dijumpai konsentrasi hemoglobin sedikit
menurun34.
33 MugiatidanMashauraniYamin.2011. HubunganInfeksi Malaria,
Kecacingandan Konsumsi Tablet BesiTerhadapKejadian Anemia
IbuHamil.JurnalKesehatan, Volume II, Nomor 1, April 2011,
hlm. 225-22134 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada
Anemia Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari
52
Anemia defisiensi besi di daerah endemis malaria
dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dan ibu
hamil35. Anemia pada malaria dapat terjadi karena
berbagai penyebab. Pengaruh infeksi plasmodium
terhadap sistem eritropoesis bergantung pada imunitas
pejamu, status kesehatan secara keseluruhan, dan pada
virulensi serta sel target dimana parasit malaria
terlibat. Plasmodium vivax akan menginvasi retikulosit
sedangkan plasmodium falciparum menginvasi di semua umur
eritrosit sehingga mengakibatkan derajat parasitemia
yang lebih berat. Trombositopenia juga sering terjadi
pada malaria akut tetapi tidak terjadi peningkatan
jumlah leukosit. Proses infeksi akan mengganggu
eritropoesis melalui beberapa mekanisme yaitu
penekanan produksi eritropoetin dan gangguan
eritropoesis akibat produksi sitokin pada proses
inflamasi36.Kriteria eksklusi adalah anak menderita
malaria berat yang ditandai dengan malaria serebral,
Pediatri, Vol. 8, No. 335 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada
Anemia Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari
Pediatri, Vol. 8, No. 336 Spivac JR. The blood in systemic disorders. Lancet 2000;
355:1707-12
53
anemia berat, hipoglokemia, renjatan, perdarahan
spontan, atau kejang yang berulang37. Selain
menyebabkan anemia defisiensi besi malaria juga
menyebabkan penurunan eritropoesis, dan pergeseran
distribusi besi dari fungsional ke kompartemen
cadangan. Hal ini terlihat pada beberapa studi yang
menunjukkan patogenesis yang mendasari terjadinya
anemia pada infeksi kronis yang ternyata juga berperan
dalam terjadinya anemia defisiensi besi pada malaria38.
Sebuah studi yang dilakukan di tiga belas negara
tropis endemis malaria di Afrika, melakukan skrining
dan pengobatan pada bayi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pengobatan malaria tidak berhasil
mencegah malaria pada sebagian besar kasus anemia
akibat infeksi kronis yang terjadi. Hal ini karena
adanya cytokine-mediated inflammation yang menyebabkan besi
37 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada
Anemia Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari
Pediatri, Vol. 8, No. 338 Verhoef H, West CE, Kraaijenhagen R. Malarial anemia
leads to adequately increased erythropoiesis in asymptomatic Kenyan
children. Blood 2002; 100:3489 94
54
disimpan dalam makrofag serta menurunkan absorbsi besi
pada usus halus39.
Malaria menyebabkan perubahan distribusi besi dari
penyimpanan. Konsentrasi serum besi, iron binding capacity
dan saturasi serum transferin semuanya menurun, tetapi
kebalikannya pada defisiensi besi kosentrasi serum
feritin meningkat, hitung retikulosit normal atau
meningkat. Hitung retikulosit digunakan untuk menilai
kecepatan reaksi sumsum tulang terhadap anemia40.
INACG (International Nutritional Anemia Consultative Group)
bekerjasama dengan WHO dan UNICEF melakukan pembahasan
terhadap informasi terbaru dari data beberapa
penelitian. Terdapat peningkatan status hematologi
terhadap suplementasi besi secara oral sehingga layak
untuk diterapkan pada daerah endemis malaria.
Ditemukan bahwa gambaran hemogram pada anak yang
menderita malaria falciparum meningkat secara bermakna
39 Crawley J. Reducing the burden of anemia in infants and young
children in malaria – endemic countries of Africa: from evidence to
action. Am J Trop Med Hyg2004; 71 (Supl 2):25-3440 Lubis, Bidasari. 2008. Dampak Suplementasi Besi dan Seng
dalam Meningkatkan Eritropoiesis pada Malaria Anak yang Diberi
Obat Anti Malaria di Daerah Endemis. Sari Pediatri, Vol.
10, No. 1
55
setelah suplementasi besi selama empat minggu di
daerah yang sama dengan penelitian ini41. Anemia pada
malaria terjadi karena lisis sel darah merah yang
mengandung parasit. Pengaruh utama malaria selama
kehamilan adalah terutama pada ibu dan janinnya. Pada
ibu dengan infeksi plasmodium falciparum dapat terjadi
komplikasi berat seperti demam, anemia, hipoglikemia,
malaria otak, edema paru merupakan yang utama
mempengaruhi wanita-wanita dengan kekebalan rendah42.
Jadi, infeksi oleh parasit malaria akan menyebabkan
turunnya kadar hemoglobin sehingga terjadi anemia
akibat defisiensi besi.
3.5
41 Lubis, Bidasari. 2008. Dampak Suplementasi Besi dan Seng
dalam Meningkatkan Eritropoiesis pada Malaria Anak yang Diberi
Obat Anti Malaria di Daerah Endemis. Sari Pediatri, Vol.
10, No. 142 Chahaya, Indra. 2003. Pengaruh Malaria Selama
Kehamilan. Sumatra Utara : USU Digital Library
56
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Anemia defisiensi besi di daerah endemis malaria
dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dan ibu
hamil. Anemia pada malaria dapat terjadi karena
berbagai penyebab. Pengaruh infeksi plasmodium
terhadap sistem eritropoesis bergantung pada imunitas
pejamu, status kesehatan secara keseluruhan, dan pada
virulensi serta sel target dimana parasit malaria
terlibat. Infeksi kronis akibat Plasmodium falciparum
dapat terjadi di daerah endemis malaria.
Anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah
merah yang mengandung parasit. Pada ibu dengan infeksi
plasmodium falciparum dapat terjadi komplikasi berat
seperti demam, anemia, hipoglikemia, malaria otak,
edema paru merupakan yang utama mempengaruhi wanita-
wanita dengan kekebalan rendah. Jadi, infeksi oleh
parasit malaria akan menyebabkan turunnya kadar
hemoglobin sehingga terjadi anemia akibat defisiensi
besi.
4.2 Saran
57
Pencegahan terhadap malaria dengan cara : tidur
dengan kelambu, rumah anti nyamuk dengan memakai kawat
kasa, pemakaian obat nyamuk bakar, penyemprotan ruang
tidur, dan lain sebagainya. Atau kombinasi keduanya
(obat dan kelambu adalah cara terbaik cegah gigitan
nyamuk malaria).
Ada beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan
malaria. Berikut ini penggolongan obat antimalaria.
Diantaranya : Skizontisida jaringan primer ,
Skizontisida jaringan sekunder, Skizontisida darah,
Gametosida dan Sporontosida.
Kekurangan zat besi dalam jumlah banyak dapat
menyebabkan anemia defisiensi zat besi. Pencegahannya
ialah mengonsumsi sayuran yang banyak mengandung zat
besi.
58
DAFTAR PUSTAKA
1 Yatim, Faisal.2007. Macam-macam Penyakit Menular dan
Cara Pencegahannya.Jilid 2, Ed 1. Yayasan Obor
Indonesia . Jakarta
2 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara
3 Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
4 Sutanto, Inge dkk (aku gak ngerti kalo 4 pengarang
gimana, nama pengarangnya : inge sutanto, is
suhariah ismid, pudji k. Sjahrifuddin, saleha
sungkar). 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
5 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara
6 Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan
Penyakit Menular Tahun 1998/1999-2003. 2004.
Departemen Kesehatan Kerjasama Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta
7 Prabowo, Arland dr. 2004. Malaria Mencegah &
Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara
59
8 Natadisastra, Djaenudin. 2005. Parasitologi
Kedokteran :Ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta :
EGC
9 Werner, David. 2010. Apa yang Anda kerjakan Bila Tidak Ada
Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica (YEM)
10 Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah
dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta : PT Elex
Media Komputindo
11 Werner, David. 2010. Apa yang Anda kerjakan Bila Tidak Ada
Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica (YEM)
12 Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah
dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta : PT Elex
Media Komputindo
13 Prabowo, Arlan. 2004. Malaria: Mencegah dan Mengatasinya.
Jakarta: Niaga Swadaya
14 Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009.
Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang.
Jakarta: EGC
15 Rahfiludin, M. Zen. 2013. Buku Ajar Gizi Mikro. Semarang:
UPT UNDIP Press
16 Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
17 Rahfiludin, M. Zen. 2013. Buku Ajar Gizi Mikro. Semarang:
UPT UNDIP Press
60
18 Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
19 Greenwood BM. 1997. The Epidemiology of Malaria. Ann
Trop Med Parasitol 91 : 763-769
20 Menendez C. Fleming AF, Alonso PL. 2000. Malaria-
Related Anemia. Parasitol Today , 16 : 469-476
21 Schellenberg J. R. M. A. C. G. Victora, A. Mushi, D.
De Savigny , D. Schellenberg, H. Mshinda, and J.
Bryee. 2003. “Inequities among the Verry Poor :
Health Care Children in Rural Southern Tanzania,”
Lancet 361 :561-66
22 Menendez, C. Kahigwa E, Hirt R et al. 1997.
Randomized placebo controlled trial of iron
supplementation and malaria chemoprophylazis for
prevention of severe anaemis and malaria in
Tanzanian infants. Lancet , 350 : 844 – 850
23 Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and
complicated malaria. In: World Health Organization
Division of Control of Tropical Diseases, Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene, London
1990
24 Roberts DJ, Casals-Pascul C, Weatherall DJ The
clinical and pathophysiological features of malarial
61
anemia. Curr Trop Microbiol Immunol 2005; 295:137–
167
25 Schellenberg D, Menendez C, Kahigwa E, et al.
Intermittent treatment for malaria and anaemia
control at time of routine vaccinations in Tanzanian
infants : a randomised, placebo-controlled trial.
Lancet. 2001: 1471-1477
26 Artavanis-Tsakonas, K., J E Tongren, dan E M Riley.
The war between the malaria parasite and the immune system:
immunity, immunoregulation and immunopathology. Clin Exp
Immunol. Aug 2003; 133(2): 145–152.
27 Artavanis-Tsakonas, K., J E Tongren, dan E M Riley.
The war between the malaria parasite and the immune system:
immunity, immunoregulation and immunopathology. Clin Exp
Immunol. Aug 2003; 133(2): 145–152.
28 Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
29 Efendi, Ferry., dan Makhfudli. 2009. Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
30 Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
62
31 Efendi, Ferry., dan Makhfudli. 2009. Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
32 Lubis, Bidasari. 2008.
DampakSuplementasiBesidanSengdalamMeningkatkan
Eritropoiesispada Malaria Anak yang DiberiObat Anti Malaria di
Daerah Endemis. Sari Pediatri, Vo. 10, No. 1, Juni
2008
33 MugiatidanMashauraniYamin.2011. HubunganInfeksi Malaria,
Kecacingandan Konsumsi Tablet BesiTerhadapKejadian Anemia
IbuHamil.JurnalKesehatan, Volume II, Nomor 1, April
2011, hlm. 225-221
34 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada Anemia
Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari Pediatri,
Vol. 8, No. 3
35 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada Anemia
Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari Pediatri,
Vol. 8, No. 3
36 Spivac JR. The blood in systemic disorders. Lancet 2000;
355:1707-12
37 Rosdiana,Nelly dkk.2007 Gambaran Hematologis pada Anemia
Akibat Infeksi Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari Pediatri,
Vol. 8, No. 3
63
38 Verhoef H, West CE, Kraaijenhagen R. Malarial anemia
leads to adequately increased erythropoiesis in asymptomatic Kenyan
children. Blood 2002; 100:3489 94
39 Crawley J. Reducing the burden of anemia in infants and young
children in malaria – endemic countries of Africa: from evidence to
action. Am J Trop Med Hyg2004; 71 (Supl 2):25-34
40 Lubis, Bidasari. 2008. Dampak Suplementasi Besi dan Seng
dalam Meningkatkan Eritropoiesis pada Malaria Anak yang Diberi
Obat Anti Malaria di Daerah Endemis. Sari Pediatri, Vol.
10, No. 1
41 Lubis, Bidasari. 2008. Dampak Suplementasi Besi dan Seng
dalam Meningkatkan Eritropoiesis pada Malaria Anak yang Diberi
Obat Anti Malaria di Daerah Endemis. Sari Pediatri, Vol.
10, No. 1
42 Chahaya, Indra. 2003. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan.
Sumatra Utara : USU Digital Library
64