etno judul dan Latar belakang

31
ETNOLINGUISTIK UNGKAPAN TRADISIONAL JAWA Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Etnolinguistik Dosen Pengampu : Dr. Wakit Abdullah, M. Hum. Oleh Chintya Kusumawardhani (C0111009)

Transcript of etno judul dan Latar belakang

ETNOLINGUISTIK

UNGKAPAN TRADISIONAL JAWA

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Etnolinguistik

Dosen Pengampu : Dr. Wakit Abdullah, M. Hum.

Oleh

Chintya Kusumawardhani (C0111009)

Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni

Rupa

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan yang merupakan kompleks nilai-nilai dan gagasan

manusia terhadap lingkungan. Kehidupan manusia di suatu selalu

berusaha mengadaptasikan dan melawan keadaan lingkungan. Oleh

sebab itu kebudayaan juga merupakan usaha manusia untuk merubah

alam lingkungannya. Suatu perubahan kebudayaan (cultural change)

cepat atau lambat, sangat tergantung dengan manusia sebagai

pendukungnya. Perubahan tersebut tergantung dengan sikap

masyarakat terhadap kebudayaan itu dan bagaimana cara masyarakat

menanggapi kebudayaan. Makin cinta dan merasa kebudayaan itu

menjadi miliknya sendiri, makin  bertanggung jawablah terhadap

kebudayaan itu. Sehingga kebudayaan itu dapat hidupp dan

berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Akan tetapi

masyarakat di dalam menciptakan kebudayaannya tersebut sebenarnya

merupakan hasil dua proses. Proses pertama terjadi sebagai akibat

hubungan manusia dengan lingkungannya. Di dalam proses tersebut

manusia cenderung untuk selalu menyesuaikan (adaptasi) dengan

cara memberi tanggapan secara aktif dalam waktu yang relatif

lama. Akhirnya terciptalah suatu kebudayaan. Proses yang ke dua

yaitu bagaimana manusia itu mengembangkan kebudayaannya. Di dalam

proses ini, menyangkut kemampuan manusia berpikir secara

metaforik; yaitu kemampuan manusia untuk memperluas atau

mempersempit interpretasi arti lambang-lambang. Oleh sebab itu

dikatakan, bahwa kebudayaan itu tidak lain adalah suatu pemahaman

terhadap lambang-lambang yang dapat diwariskan dari generasi ke

generasi, sebagai suatu media sosial. Salah satu lambang yang

dipergunakan sebagai media sosial tadi dapat dikemukakan di sini

ialah ungkapan tradisional. Ungkapan berkembang di dalam

masyarakat secara oral atau lisan, artinya berkembang dari mulut

ke mulut. Biasanya ungkapan ini dipergunakan sebagai suatu cara,

bagaimana orang Jawa menyampaiakn norma-normanya dengan tidak

secara langsung. Norma-norma ini dipergunakan sebagai sistem

dalam proses sosialisasi dan sistem pengendalian sosial yang efe 

suatu prinsip keselarasan yang meliputi ketenangan dan

keteraturan yang telah dinyatakan dalam suatu semboyan tata

tentrem keta raharja

. Jika diterjemahkan secara harafiah berbunyi teratur, damai,

makmur, nasib baik. Khusus kata teratur sebenarnya memberi

pernyataan kesanggupan untuk memberi kehidupan, memelihara suatu

kerapian yang sempurna. Orang Jawa yakin bahwa dengan

mempertahankan hal tersebut akan terhindar dari kekacauan tidak

akan terjadi. Ungkapan tradisional Jawa sebagai suatu media,

sudah barang tentu mempunyai nilai yang baik dan tidak baik. Di

sini ungkapan yang mempunyai nilai tidak baik berlaku sangat

relatif, berhubungan dengan ruang waktu berlakunya. Nilai yang

baik dijadikan pegangan sedangkan yang tidak baik dikesampingkan.

Nilai yang mengandung fungsi pokok sebagai  penegak norma sosial

yang dipergunakan untuk pegangan perilaku masyarakat. Makna yang

ada dalam ungkapan tradisional yang dimiliki orang Jawa bersifat

metafora dan ada yang secara wajar atau lugu, semuanya dapat

diperlajari dengan seksama sehingga dapat dipergunakan untuk

melihat aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu

peneliti memilih ungkapan tradisional Jawa sebagai topik

pembahasan.

B. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan supaya tidak terlalu luas, perlu

dijelaskan objek kajian. Dalam penelitian ini, penulis membatasi

pada ungkapan tradisional masyarakat Jawa  pada keluarga Daniel

Murtopo, Danukusuman, Serengan, Solo dalam makna leksikal, makna

kultural dan fungsi. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan

penelitian dan mempermudah dalam menganalisis.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka

permasalahan dalam  penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna leksikal dan makna kultural dalam ungkapan

tradisional masyarakat Jawa? 2. Bagaimana fungsi ungkapan

tradisional masyarakat Jawa?

 

 D. Tujuan Penelitian

1.Mendeskripsikan maknal leksikal dan makna kultural ungkapan

tradisional masyarakat Jawa. 2.Mendeskripsikan fungsi ungkapann

tradisional masyarakat Jawa.

 

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Etnolinguistik

Istilah etnolinguistik berasal dari kata etimologi yang berarti

ilmu yang mempelajari tentang suku-suku dan linguistik yang

berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian

manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9), yang

lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa

dilakukan oleh para ahli etnologi dengan  pendekatan linguistik

(Shri Ahimsa, 1997:3).

Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah

(1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan

masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan,

bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang

linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap

kebahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang

sangat menonjol ialah masalah relavitas  bahasa. Relativitas

bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang

menentukan  pandangan dunianya melalui ketegori gramatikal dan

klasifikasi semantik yang ada dalam  bahasa itu dan yang dikreasi

bersama kebudayaan (Hari murti Kridalaksana, 1983:145). Menurut

Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik

yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa,

klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial

dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan

lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan

praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat.

B. Ungkapan Tradisional

Menurut KBBI ungkapan tradisional adalah kalimat perkataan yang

tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang

sesuai dengan sikap dan cara berpikir serta  bertindak yang

selalu berpegang teguh pada norma, adat dan kebiasaan yang turun

temurun dalam sekelompok masyarakat.

C. Makna

  Pengertian  sense ‘makna’ dalam semantik dibedakan dalam

meaning ‘arti’. Sense ‘makna’ adalah pertautan yang ada diantara

unsur -unsur bahasa itu sendiri. Mengkaji dan memberikan makna

suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan

dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda

dari kata-kata lain. Sedangkan meaning ‘arti’ menyangkut makna

kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat

dalam kamus sebagai leksikon. Makna erat kaitannya dengan

semantik, oleh karena itu istilah ungkapan tradisional Jawa akan

dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural.

1. Makna leksikal

Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem atau

makna kata yang  berdiri sendiri, baik dalam bentuk leksem

atau berimbuhan. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:133)

menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur

bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain, makna

leksikal ini mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari

penggunaannya atau konteksnya. Sedangkan menurut Fatimah

Djajasudarma (1993:13) makna leksikl adalah makna kata-kata

yang dapat berdiri sendiri, baik dalam  bentuk tuturan maupun

dalam bentuk kata dasar.

2. Makna kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat

dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999:3)

Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.

Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada

sesuatu. Simbol adalah objek atau peristiwa yang merujuk pada

sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita

rasakan. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nama

orang Jawa pada mahasiswa bidang Linguistik Sastra Daerah

angkatan 2011. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa makna

kultumurti Kridalaksana, 1983:145). Menurut Wakit Abdullah

(2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh

perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa,

wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan

budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan

lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan

praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat sekitar.

 

 

D. FUNGSI

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia

untuk saling  berkomunikasi atau berhubungan, baik leawat

tulisan, lisan ataupu gerakan (bahasa isyarat) dengan tujuan

menyampaikan maksud hati atau kemampuan kepada lawan bicaranya.

Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat

istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat dan sekaligus mudah

membaurkan dirinya dengan segaa bentuk masyarakat. Bahasa

menunjukkan cerimanan pribadi seseorang. Karakter, watak atau

pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia

ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun,

sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi

penuturnya berbudi. Bahasa memang memiliki peran sentral dalam

perkembangan intelektual sosial dan emosional. Bahasa dalam

ungkapan tradisional Jawa memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi

nasehat (ajaran, dorongan) dan larangan dalam masyarakat.

1. Nasihat  

Nasihat adalah suatu didikan yang diberikan berdasarkan

kebenaran dengan maksud untuk menegur dan membangun seseorang

dengan tujuan yang baik. Nasehat selalu bersifat mendidik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasihat berarti (1)

ajaran atau  pelajaran baik; ujaran petunjuk, peringatan,

teguran yang baik. (2) amanat yang terkandung dalam suatu cerita

2. Larangan

Larangan adalah perintah atau aturan yang melarang suatu

perbuatan karena berbagai faktor yang melatar belakangi. Salah

satunya karena melangga norma adat istiadat atau etika yang

menjadi patokan dalam suatu masyarakat.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik

yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara

menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode  penelitian

mencakup kesatuan dan keserangkaian proses penentuang kerangka

pikir,  perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik

pengumpulan data, klasifikasi dan teknik analisi data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji ungkapan tradisional

Jawa adalah  penilitian deskriptif kualitatif. Ditegaskan oleh

Edi Subroto bahwa penelitian kualitatif terutama yang dipakai

untuk meneliti ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Maksud dari

penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena

yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta

hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angga

atau koefisien tentang hubungan antara variable. Dalam penelitian

ini data yang dikumpulkan berbentuk kalimat bukan angka. Selain

itu penelitian kualitatif lebih mengutamakan proses dari pada

hasil. Metode  penelitian terhadap suatu masalah yang tidak

didesain atau dirancang melalu prosedur statistik oleh karena itu

penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan

yang diperoleh dari sumber data tertulis yang berwujud kata-kata,

kalimat-kalimat atau bentuk yang lain, selanjutnya dikerjakan

dengan cermat sehingga menghasilkan penafsiran yang kuat dan

objektif.

B. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 6), data dalam

penelitian ini berupa data lisan tentang ungkapan tradisional

Jawa. Sumber data adalah si penghasil atau pencipta  bahasa yang

sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang

dimaksud, biasanya disebut narasumber. Sumber data lisan didapat

dari keluarga Daniel Murtopo, kelurahan Danukusuman, kecamatan

Serengan, Surakarta.

C. Alat Penelitian  

 Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama

dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Adapun alat bantu

penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-ex, buku catatan,

sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer dan flashdisk.

D. Populasi

Populasi adalah objek penelitian yang pada umunya merupakan

keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto,

1992: 32). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua

kalimat yang memuat tentang ungkapan tradisional Jawa.

E. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek

penelitian secara langsung yang mewakili populasi atau mewakili

populasi secara keseluruhan(Edi Subroto, 1992: 32). Pengambilan

sampel pada penelitian ini menggunakan

 purposive sampling yaitu pengambilan sampel secara selektif dan

benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian

berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1992: 25). Sampel data

dalam penelitian ini adalah kalimat yang mengandung ungkapan

tradisional Jawa pada sumber data.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisi dan menjelaskan

fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Teknik yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dasar dan teknik

lanjutan. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik

wawancara, yaitu bertanya kepada narasumber untuk memperoleh data

(Edi Subroto, 1992: 42). Kemudian teknik lanjutannya adalah

teknik sadap dan teknik catat. Adapun langkah-langkahnya adalah

pertama, peneliti mewawancara narasumber yang dapat dijadikan

data. Setelah itu peneliti menyadap sumber data yang dapat

dijadikan data tersebut. Selanjutnya teknik catat yakni berupa

pencatatan data pada buku catatan berupa kalimat yang mengandung

ungkapan tradisional.

G. Klasifikasi Data

Dalam penelitian ini setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan

klasifikasi data  berdasarkan karakteristik yang sama mengenai

fungsi dan makna.

1. Makna terdiri dari :

a.Makna leksikal

 b.Makna kultural

2. Fungsi yang terdiri dari :

a.Nasihat dalam bersosialisasi/bergaul

 b. Nasihat dalam etika moral

c.Nasihat dalam menjalani hidup

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data ini merupakan upaya peneliti menangani

langsung masalah yang terkandung pada data. Dalam menganalisis

data penulis menggunakan metode padan. 1. Metode Padan Metode

padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan

identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu di

luar bahasa (Sudaryanto, 1992: 13). Metode padan dibedakan atas

lima sub jenis berdasarkan macam alat penentunya, antara lain

sebagai berikut :

a.Metode padan referensial dengan penentunya kenyataan yang

ditunjuk bahasa atau sebagai referen bahasa.  

b.Metode padan fonetis artikulasi dengan alat penentunya oragna

bicara atau pembentu  bahasa. c.Metode padan translasional dengan

penentuk bahasa atau langue lain.

d.Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan.

e.Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra wicara.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan

referensial dan metode  padan pragmatis. Penelitian ini analisis

data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan

memepertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan

ungkapan tradisional Jawa. Metode ini digunakan untuk

menganalisis fungsi dan makna ungkapan tradhisional jawa.

BAB IV

PEMBAHASAN

1. Makna Leksikal dan Makna Kultural

1. Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad

Aja : jangan

Bungah : gembira

ing : pada,

oleh  pangalem : pujian

aja : jangan

susah : susah

ing : pada,

oleh  panacad : celaan

Arti yang tersirat dalam ungkapan itu sama dengan arti yang

tersurat yaitu jangan gembira oleh pujian dan jangan susah oleh

celaan. Makna kultural ungkapan itu mengandung nilai pendidikan

ke arah pemilikan jiwa yang besar seperti ungkapan aja mongkok

ing pambombong, aja nglokro ing penyendhu. Orang yang berjiwa

besar tidak menjadi lupa daratan karena pujian dan tidak berkecil

hati karena ccelaan. Orang yang berjiwa besar selalu sadar bahwa

setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan, pujian merupakan

bantuan atau solidaritas yang menunjukkan kelebihan, sedangan

celaan merupakan solidaritas yang menunjukkan kelemahan.

Mengetahui kelebihan maupun kelemahan yang terdapat pada diri

kita mengetahui kelebihan maupun kelemahan yang terdapat pada

diri kita masing-masing merupakan hal positif, sebab  jika kita

mengetahu kelebihan yang terdapat pada diri kita sendiri, kita

akan mengembangkannya lebih lanjut, sedangkan jika kita

mengetahui kelemahan yang terdapat  pada diri kita sendiri, kita

dapat segera mengatasinya. Dunia dan isinya adalah ciptaan Tuhan,

di antara ciptaan Tuhan itu manusia adalah yang termulia, sebab

manusia mempunyai raga, jiwa dan roh, serta terdapat cipta, rasa

dan karsa. Tetapi dibandingkan dengan Tuhan, manusia sama sekali

tidak berarti, sebab manusia masih penuh dengan kelemahan. Karena

itu sudah sepatutnya manusia saling mengingatkan di antara

sesamanya. Jika kita manusia selalu saling mengingatkan antara

satu dengan yang lain, dapat diharapkan bahwa kita akan tetapi di

jalan yang benar.

 

 Pengaruh ungkapan ini pada warga masyarakat menjadi tidak

emosional, baik dicela maupun dipuji tetap tenang-tenang saja,

sebab bagi mereka, baik celaan maupun pujian pada hakekatnya

sama, yaitu sebagai dorongan untuk mawas diri. Meskipun di antara

warga masyarakat tidak semua menghayati nilai yang terkandung

dalam ungkapan Aja bungah ing  pangalem, aja susah ing panacad ,

tetapi karena warga masyarakat yang merupakan  pendukung ungkapan

tadi terutama terdiri dari para tokoh pemerintahan dan tokoh

masyarakat, maka ungkapan tadi telah menyebabkan berlangsungnya

kebijaksanaan yang rasional.

2. Aja dhemen metani alaning liyan

Aja : jangan

Dhemen : senang, suka

Metani : Mencari-cari

Alaning : buruk, jelek

Liyan : orang lain

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini sama dengan artinya yang

tersurat, yaitu agar kita tidak mencari-cari keburuan, kejelekan

atau kesalahan orang lain. Ungkapan Aja dhemen metani alaning

liyan ini mengandng nilai pendidikan ke arah sikap mengekang diri

terhadap kecenderungan yang terdapat di dalam hati masing-masing

untuk mencari-cari atau membicarakan keburukan-keburukan yang ada

pada orang lain seperti ungkapan Aja ngethung becike dhewe.

Jelaslah bahwa pendidikan yang terkandung dalam ungkapan dalam

ungkapan ini amat penting, sebab: (1) membicarakan keburukan-

keburukan orang lain tidak ada gunanya, (2) jika orang yang

menjadi objek itu akhirnya mendengar/mengetahui bahwa kita

membicarakan keburukan-keburukannya, mungkin menjadi marah dan

benci kepada kita, (3) suka membicarakan keburukan orang lain

adalah suatu tanda keburukan pribadi.

Makna kultural falsafah ungkapan ini dalam alam pikiran orang

Jawa, Tuhan digambarkan sebagai zat yang maha tinggi dan maha

agung, pencipta alam semesta beserta seluruh isinya, serta

bersifat rahman dan rahim. Berbeda dengan sifat Tuhan yang

sedemikian itu manusia sebagai makhluk yang paling dicintai Tuhan

ternyata lebih suka membenci daripada mengasihi, lebih suka

mencelalakan daripada membahagiakan, lebih suka memfitnah

daripada mengharumkan nama orang. Tetapi di antara manusia-

manusia di dunia yang semuanya mempunyai kecenderungan kepada

hal-hal yang tidak baik itu terdapat  perbedaan-perbedaan

gradual. Ada manusia yang kecenderungannya kepada hal-hal yang

tidak baik itu besars sekali, tetapi ada pula manusia yang

kecenderungannya semacam itu kurang sekali, hampir tidak ada. Hal

ini tergantung pada kemampuan masing-masing manusia mendidik diri

sendiri dan mengekang diri. Orang yang mampu mendidik diri

sendiri atau mengekang diri kecenderungannya kepada hal yang

tidak baik tentu kecil sekali atau hampir tidak ada. Ungkapan ini

masih sering terdengar dalam percakapan dalam pergaulan sehari-

hari, ungkapan ini mempunyai nilai ajaran ke arah sikap mengekan

diri terhadap kecenderungan hati untuk mencari-cari atau

membicarakan keburukan orang lain, ungkapan ini menyebabkan orang

menjadi lebih sadar bahwa berbicara tentang keburukan orang lain

adalah perbuatan yang tidak terpuji atau perlu dihindari.

3. Aja dumeh

Aja : jangan

Dumeh : mentang-mentang

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini jangan mentang-mentang,

jangan mentang-mentang kaya, pandai, berkuasa, berkedudukan

tinggi, keturunan bangsawan. Ungkapan ini mengandung nilai ajaran

atau nasehat, agar orang bersikap wajar tidak  berlebih-lebihan.

Jangan mengagung-agungkan kedudukan tinggi, jangan mengagungkan

kekayaan dan kekuasaannya. Makna kultural/falsafah ungkapan ini

yaitu pandangan hidup orang Jawa yang menekankan sikap sederhana,

tidak memamerkan barang yang dimilikinya. Tidak memamerkan

kekayaan, kelebihan-kelebihan lain, misal kepandaian, kekuasaan,

kekuatan dan sebagainya. Kesemuanya itu diperas menjadi satu

ungkapan yang singkat yaitu aja dumeh. Kalu diuraikan lebih

lanjut dari ungkapan ini dapat luas penggunaannya, misalnya aja

dumeh sugih, aja dumeh pinter, aja dumeh kuwasa, aja dumeh

menang . Ungkapan ini berpengaruh besars terhadap kehidupan

masyarakat dengan adanya ungkapan ini, maka orang memiliki

pengontrol atau pengekang dalam pergaulan sehari-hari, agar tidak

bersikap memamerkan segala kelebihan yang dimiliki.

4. Aja lali marang asale

Aja : jangan

Lali : lupa

Marang: pada

Asale : asalnya

Arti yang tersirat jika keadaan kita sudah menjadi lebih baik

daripada keadaan kita pada waktu yang lalu, janganlah hendaknya

kita mengubah sikap kita terhadap orang lain, misal menjadi

sombong atau congkak. Itulah salah satu arti dari ungkapan aja

lali marang asale. Ungkapan ini dapat pula berarti bahwa kita

harus selalu ingat pada sumber segala kebaikan, yaitu Tuhan. Jika

kita menjadi orang kaya, kita harus ingat bahwa kekayaan yang

kita miliki  berasal dari Tuhan yang sekedar dititipkan kepada

kita. Karena itu, janganlah kekayaan yang kita miliki menyebabkan

kita sombong, sebalinya hendaknya kita lebih berbakti kepada

Tuhan dan menggunakan kekayaan tadi untuk kemuliaan Tuhan.

Demikian pula jika kita menjadi orang pandai, hendaknya kita

tidak menjadi sombong karena kepandaian kita, tetapi kita lebih

banyak beramal dengan kelebihan kita. Ungkapan itu mengingatkan

agar kita tidak menjadi lupa daratan karena kemajuan yang sudah

kita capai dalam kehidupan. Kita diingatkan kepada masa lampau

kita dimana kita pernah mengalami keadaan yang tidak atau kurang

menyenangkan, supaya kita sadar  bahwa nasib setiap manusia pasti

pasang surut. Ungkapan itu juga mengingatkan agar kita semua

manusia pasti pasang surut. Ungkapan itu juga mengingatkan agar

kita semua manusia selalu ingat apa saja yang kita miliki, misal

kekayaan, pangkat atau ilmu, berasal dari Tuhan. Karena itu

semuanya harus kita pakai untuk mengagungkan nama Tuhan. Makna

kultural falsafah masyarakat Jawa terdapat ajaran

cangkramanggilingan, yang menyatakan bahwa kehidupan manusia itu

seperti roda yang selalu berputas. Artinya kehidupan manusia itu

selalu mengalami perubahan. Senang dan susah, sejahtera dan

sengasara silih berganti, kaya gilir gumilir rina lawan wengi

yang artinya: seperti pergantian siang dengan malam. Karena itu

pada waktu sedang hidup senang, supaya kita tidak menjadi lupa

daratan, sebaliknya kita mengingatkan masa yang lampau dimana

kehidupan yang sengsara kita alami. Sementara itu dalam

masyarakat Jawa juga terdapat ajaran yang menyatakan bahwa

kekayaan, pangkat, kepandaian itu berasalh dari Tuhan, sering

diungkapkan dengan ungkapan manungsa mung saderma nggadhuh yang

artinya manusia hanya sekedar meminjam atau memiliki semetara.

Karena kepandaian dan sebagainya jangan menjadi sombong dan

congkak, tetapi hendaknya menggunakan semua kelebihan itu untuk

memuliakan nama Tuhan. Memuliakan nama Tuhan berarti tidak

melanggar larangan Tuhan dan melaksanakan perintah Tuhan.

Ungkapan ini mempunyai pengaruh positif terhadap masyarakat dalam

arti dapat menjadi pencegah terhadap sikap lupa daratan yang

mulai atau akan tumbuh pada diri warga masyarakat yang pada masa

lampau mengalami penderitaan sedang pada masa kemudian mengalami

kebahagiaan. Ungkapan ini juga merupakan satu kekuatan yang dapat

menahan kecenderungan kepada sikap melupakan Tuhan sebagai sumber

segalanya.

5. Ana bapang sumimpang

Ana : ada

Bapang : rintangan;

penghalang; hambatan

Sumimpang : menghindar; berganti haluan

Arti yang tersirat kalau menjumpai penghalang atau penghambar

yang membahayakan keselamata atau kesejahteraan, lebih baik

menghindar, menyingkir, menjauhi. Di dalam hidup  bermasyarakat,

lebih baik kita mencari dan memupuk tali persaudaraan dan

menjauhi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan atau

permusuhan Ungkapan ini mengandung nilai pendidikan yang

tujuannya ialah untuk mencapai kerukuan dan kedamaian di dalam

pergaulan, demi terciptanya kesejahteraan bersama. Diskusi,

saling tukar menukar pendapat, sangat baik manfaatnya dan perlu

selalu dilaksanakan, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas

ilmu yang kita kuasai. Itu semua  berjalan baik dan dapat

menelorkan hasil sesuai dengan sasaran yang akan dicapai, bila

semua pihak yang terlibat dapat memahami tujuan yang baik. Kalau

di antara mereka yang terlibat ada yang berpendapat bahwa hal itu

bertujuan untuk mengadu kepandaian, kekuatan serta bersikap tidak

mau musyawarah untuk mufakat, maka hasilnya bukanlah kesatuan dan

kerukunan melainkan perpecahan atau permusuhan. Dalam usaha kita

untuk mncapai cita, tidak jarang menghadapi penghalang. Tujuan

yang baik sering dihambat oleh gangguan-gangguan yang mungkin

dapat mengagalkan tercapainya tujuan itu, misalnya malas belajar.

Makna kultural/falsafah ungkapan ini seperti dadi wong becik iku

akeh godhane (menjadi orang baik itu banyak godaannya). Begitulah

nasihat yang diwariskan oleh orang tua. Godaan-godaan yang

bermacam ragam cara serta wujudnya itu, di dalam perjalanan hidup

tiap orang merupakan batu ujian. Kalau orang dapat menghindarkan

gangguan-gangguan atau godaan itu, kalau ada orang tidak mudah

tergiur atau terpengaruh oleh bujukan dan rangsangan untuk

menyelewengka, maka akan lulus orang itu menempuh ujian hidup.

Dasar pemikiran inilah yang melatar belakangi munculnya ungkapan

yang berbunyi Ana bapang sumimpang. Ungkapan ini memiliki

pengaruh yang posotif terhadap kehidupan masyarakt. Dengan adanya

ungkapan ini, maka orang senantiasa merasa diingat, agar di dalam

perjalanan

 

hidupnya selalu ingat dan waspada menghadapi maksu-maksud jahat,

yang menghambat tercapainya sasaran yang akan dituju.

6.Bibit, bebet, bobot

Bibit : benih

Bebet : kekayaan

Bobot : kepandaian

Arti yang tersirat adalah orang memilih jodoh hendaknya

diperhatikan adanya tiga syarat yaitu bibit, bebet, bobot.

Dimaksudkan oleh ungkapan ini ialah memberi petunjuk kepada calon

mempelai agar perkawinan kelak hari tidak mengalami kesulitan.

Sebab 3 syarat tersebut merupaka modal pokok atau modal dasar

yang harus dimiliki setiap orang. Ungkapan ini mengandung nilai

moral yang artinya perkawinan yang diharapkan hanya sekali seumur

hidup hendaknya dipersiapkan secara baik sebelumnya agar supaya

keturunannya nanti tidak mengalami kesulitan dikelak kemudian

hari. Cacat cela pada keluarga oleh masyarakat dapat terjadi

kalau perkawinan kurang diperhatikan. Makna kultural/falsafah

ungkapan ini di dalam adat pemilihan jodoh, masih berlaku tata

cara meneliti calon pasangan. Biasanya yang menjadi ‘informan’

dalam meneliti adalah orang yang ada hubungannya dengan keluarga

dengan calon pasangan. Dengan cara meneliti ini diharapkan

seseorang dalam mendapat jodoh tidak meleset. Kebiasaan

masyarakat Jawa,  pada waktu orang akan melakukan perkawinan,

orang tua selalu melibatkan diri dalam memberi pertimbangan itu

dikenal dnegan nama ‘persatoan salaki-rabi’ atau petungan dalam

perkawinan, sumber petungan ini lengkapnya terdapat dalam

primbon. Di dalam kehidupan masyarakat, ungkapan bibit, bebet,

bobot masih diperhatikan, tetapi berlaku dan kadarnya berlainan.

Ungkapan yang bersifat ideal ini sudah barang tentu sulit untuk

dipenuhi. Tetapi sebagi suatu ungkapan yang mengandung nasegat,

merupakan  peringatan bagi setiap orang yang akan melaksanakan

hidup berkeluarga. Sehingga dalam sistem memilih jodoh, perlu

diperhatikan pula kualitas manusianya. Sudah barang tentu

ungkapan itu berlakunya sangat relatif, tergantung dengan strata

sosialnya.

7. Digdaya tanpa aji, sugih tanpa bandha, menang tanpa ngasorake

Digdaya : kebal, sakti

Tanpa : tanpa

Aji : benda atau syarat untuk membuat kebal serta sakti

Sugih : kaya

Bandha : harta kekayaan

 Menang : menang

Tanpa : tanpa  

Ngasorake : mengalahkan, menaklukkan

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini yaitu itikat baik

mengalahkan segalanya. Keluhuran  budi itu merupakan bekal hidup

yang sangat tinggi nilainya. Orang yang memiliki keluhuran  budi,

tentu memiliki kewibawaan yang tinggi, ibarat orang yang sakti.

Keluhuran budi diibaratkan sebagai kekayaan yang sangat tinggi

nilainya.  Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini ialah ajaran

atau dorongan agar orang senantiasa beritikat baik dan berbudi

luhur. Sikap demikian itu sangat tinggi nilainya, baik dalam

hidup bermasyarakat, di dalam organisasi sosial maupun di dalam

badan-badan  pemerintah. Seperti pedoman hidup yang dipegang

teguh oleh masyarakat Jawa terpatri dalam ungkapan berbunyi sura

dira jayaningrat lebur dening pangastuti (segala sesuatu,  bahkan

maksud yang tidak baik akan dapat dikalahkan oleh perbuatan baik.

Kemarahan yang meluap akan dapat dikalahkan oleh sikap rendah

hati. Di dalam kehidupan masyarakat, keluhuran budi merupakan

sikap yang ideal. Ungkapan ini berpengaruh terhadap kehidupan

masyarakat. Orang yang sikap dan  perbuatannya tercela dicemooh

kalau tidak berani secara terang-terangan lalu dilakukan dengan

cara tersembunyi, digosipkan. Orang yang sikap dan perbuatannya

terpuji dihargai dalam pergaulan.

8. Kaya mimi lan mintuna

Kaya : seperti

Mimi : ikan (betina)

Lan : dan

Mintuna : ikan (jantan)

Arti yang tersirat yaitu perkawinan yang kekal. Kekekalan

perkawinan oleh orang Jawa dikatakan tekan kaken-kaken ninen-

ninen (sampai tua). Perkawinan yang demikian itu merupakan

keberhasilan dalam rumah tangga atau perjodohan. Sedangkan

kegagalan  perjodohan kalau sampai terjadi perceraian. Ungkapan

ini mengandung nilai pendidikan, yang artinya memberi petunjuk

kepada setiap orang berumah tangga, bahwa arti dan hakekat

perkawinan adalah untuk selamanya,  bukan bersifat sementara.

Karena keluarga adalah ruang sosial yang terkecil, setiap anak

belajar bersosialisasi pertama melalui keluarga, jadi baik

buruknya sosialisasi tergantung  pada keluarga. Jika keluarga

retak maka masyarakat retak.

Makna kultural falsafah ungkapan kaya mimi lan mintuna sebenarnya

berbunyi kaya mimi maituna yang artinya seperti mimi yang sedang

bersetubuh. Persetubuhan di sini melambangkan persatuan total

antara suami istri untuk mencapai kebahagiaan abdi dalam rumah

tangga. Kemudian ungkapan ini berubah menjadi mimi lan mintuna

untuk jenis ikan mimi tidak dibedakan namanya diantara ikan mimi

betina dan jantan. Tetapi untuk lebih menggambarkan keintiman

ikan mimi dibedakan jenis kelaminnya. Lawan jenis yang

dilambangan dengan dua nama tersebut menambah arti dari persatuan

suami istri. Sebagai kenyataan tidak pernah ikan mimi berenang

sendiri tetapi selalu berdua. Di dalam kehidupan masyarakat,

perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang monogami (satu istri

satu suami) yang kekekalannya sangat dijunjung tinggi.

Pertentangan antara suami istri harus dapat diselesaikan, jangan

berakhir dengan perpecahan yang kemudian sampai kepada

perceraian.

9. Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung

Dawa : panjang

Sadawa-dawane : sepanjang-panjangnya, betapun panjangnya

Lurung : lorong, jalan

Isih : masih

Gurung : tenggorokan

Arti yang tersirat yaitu pembicaraan orang dapat tersebar luas

sehingga tak terbatas. Apa yang dituturkan oleh seseorang, lebih-

lebih tentang cela seseorang, mudah sekali tersiar kemana-mana

tanpa mengenal batas. Ungkapan ini mengandung nilai positif,

ialah ajaran atau nasehat agar orang jangan  bersikap dan berbuat

tidak baik. Setiap anggota masyarakat memiliki kebiasaan senang

membicarakan cela orang lain, sehingga perbuatan yang tercela

mudah sekali beritanya tersiar luas. Makna kultural/ falsafah

ungkapan ini, seperti yang pendapat Padmosusastra yang

mengatakan ‘watake wong Jawa dhemen ngrasani tanggane’ artinya

sifat orang Jawa senang

membicarakan/menggosipkan tetangganya. Mungkin sifat senang gosip

itu bukan hanya milik orang Jawa, melainkan dimiliki oleh setiap

orang di seluruh muka bumi. Berdasarkan kenyataan bahwa setiap

orang senang gosip, maka terlahirlah ajaran, nasihat atau pesan

yang terpateri di dalam sebuah ungkapan  sadawa-dawane lurung

isih dawa gurung . Ungkapan ini sangat berpengaruh terhapa

kehidupan masyarakat. Ungkapan ini memagari atau membatasi sikap

dan perbuatan orang untuk tidak berbuat cela. Orang lalu menjadi

berhati-hati, menghindari mencela orang lain agar jangan menjadi

sasaran gosip orang lain. Apalagi suatu berita akan lebih

dibesar-besarkan atau ditambah-tambahi daripada kenyataannya,

seperti ungkapan undhaking pawarta sudaning kiriman.

2. Fungsi

1. Fungsi nasihat ditunjukkan oleh ungkapan :

a.Ana bapang sumimpang

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat perintah jika dilihat dari

konteksnya, walaupun tidak menggunakan tanda seru. Dalam fungsi

sebagai nasihat karena konteks kalimatnya  berisi menasehati agar

menghindari bahaya/ hal buruk.  

b.Bibit, bebet, bobot

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita menggunakan kata

dasar yang sudah memiliki arti. Dalam fungsinya sebagai nasihat

karena menyarankan dalam memilih  pasangan hidup dengan

memperhitungkan dari segala aspek.

c.Kaya mimi lan mintuna

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, yang mengibaratkan

kehidupan manusia melalui hewan (ikan). Dalam fungsinya sebagai

nasihat agar manusia dapat meniru sikap hewan yang setia kepada

pasangan sampai akhir.

d.Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, kalimat tersebut

memperbandingkan  benda satu dengan benda yang lain. Dalam fungsi

sebagai nasihat agar manusia bisa menjaga  bicaranya dengan baik.

2. Fungsi larangan ditunjukkan oleh ungkapan :

a)Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad  

b)Aja dhemen metani alaning liyan

c)Aja dumeh

d)Aja lali marang asale Secara keseluruhan ungkapan larangan

menggunakan kata aja sebagai pewatas dalam melarang yang memberi

peringatan kepada mitra tutur.

 

BAB IV

PENUTUP

Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk lambang

referensial yang  berbentuk bahasa lisan, merupakan lambang yang

membutuhkan pemahaman sendiri. Ungkapan tradisional telah

mencerminkan gambaran hidup orang Jawa cara menghayati

kehidupannya, pranata-pranata masyarakat dapat menjadi pelajaran

yang berarti bagi generasi  penerus bangsa. Karena berisi nasihat

dalam pendidikan, moral, etika, bersosial dll. Ungkapan

tradisional dengan fungsinya sebagai nasihat dan larangan dalam

penelitian ini tidak menunutup kemungkinan terdapat fungsi yang

lain. Ungkapan tradisional Jawa dalam penelitian ini masih sangat

terbatas, masih banyak ungkapan tradisional Jawa yang lain.

 

Data Informan

 Nama : Sri Murni Umur : 68 tahun Pendidikan : SMP  Nama : Daniel

Murtopo Umur : 50 tahun Pendidikan : akademi  Nama : Ninik

Suryani Umur : 46 tahun Pendidikan : SMA

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Imam Sutarjo. 2006.

 Mutiara Budaya Jawa

. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Shri Ahimsa Putra. 1997.

 Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian (makalah).

 Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa, Surakarta : Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Wakit Abdullah.

2013.

 Etnolinguistik : Teori, Metode dan Aplikasinya

. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa.  ____ dkk. 2005.

 Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.

Yogyakarta : Bina Media.  ___ dkk. 1984.

Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan DIY.

 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah: Jakarta. Skripsi Etnolinguistik

www.kamusbesar.com   www.artikata.com