ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (Pengantar Ilmu Sosial Budaya Dasar
DIKTE POSITIVISME HUKUM ; INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Mawardi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of DIKTE POSITIVISME HUKUM ; INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Mawardi
DIKTE POSITIVISME HUKUM ;INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Mawardi
A. PENDAHULUAN
“Hukum ibarat sebuah pisau” memberi makna bahwa hukum
sangat tajam bila ditegakkan bagi rakyat kecil, tetapi
tumpul bila ditegakkan untuk kaum elite. Perumpamaan
semacam ini menggambarkan bahwa phenomena berhukum
telah bergeser dari upaya memenuhi rasa keadilan
menuju memenuhi kepentingan bagi kelompok tertentu,
apalagi term “keadilan” sangatlah abstrak dan sulit
diukur secara pasti dan tepat. Telah banyak definisi
dan pemaknaan yang diberikan oleh para filosuf, pakar
hukum, praktisi hukum, penegak hukum bahkan oleh
rakyat kecil namun tetap saja tidak berada dalam ruang
dan persepektif generasi yang berbeda-beda satu sama
lain dan saling mendikotomi dalam berbagai aliran dan
mazhab berhukum sehingga mempengaruhi praktek berhukum
pada era masing-masing, mulai dari zaman klasik,
pertengahan, bahkan sampai era modern saat ini.
Pada zaman klasik, hukum banyak dipengaruhi oleh
doktrin-doktrin hukum alam yang memformulakan konsep
dan teorinya pada nilai-nilai universal seperti hukum
yang dilihat sebagai tatanan kebajikan oleh secrates,
1 | makalah sosiologi hukum, 2012
sarana keadilan oleh plato, hingga hukum rasa sosial
etis oleh aristoleles. Hukum bagi Socrates adalah
tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan
hukum, bukan aturan yang dibuat untuk melanggengkan
hawa nafsu dan bukan pula untuk memenuhi naluri
hedonism diri1. Sedangkan bagi Plato secara riil
merumuskan bahwa hukum (i) merupakan tatanan terbaik
untuk menangani dunia phenomena yang penuh
ketidakadilan, (ii) aturan hukum yang harus dihimpun
dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum,
(iii) UU harus didahului oleh motif dan tujuan UU
terseut (iv) tugas hukum adalah membimbing para warga
(lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna,
(v) orang yang melanggar UU harus di hukum, tetapi
hukumannya bukan balas dendam2. Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa hukum berada dalam konteks individu
sebagai warga negara (polis) yang kemudian
mengarahkannya pada nilai-nilai moral yang rasional,
maka hukum itu harus adil.3
Teori dan praktek berhukumpun terus berkembang
seiring dengan perkembangan zaman dan realitas sosial
masyarakatnya, setiap zaman terus mencari makna1 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 30.2 Ibid. h. 403 Ibid.h. 44
2 | makalah sosiologi hukum, 2012
berhukum yang ideal untuk memenuhi rasa keadilan itu.
Pada zaman pertengahan sampai abad ke-19 teori dan
praktek berhukum harus berhadapan dengan fakta-fakta
sosial yang sangat problematis.Thomas Aquinas berteori
tentang hukum sebagai tatanan nilai ilahi yaitu sebuah
teori yang mengkonfigurasikan tata hukum dari lex aterna
(hukum dan kehendak tuhan), lex naturalis (prinsip umum
hukum alam), lex devina (hukum tuhan dalam kitab suci),
dan lex humane ( hukum buatan manusia yang sesuai dengan
hukum alam). Jadi, menurutnya, hukum (lex humane) tidak
menjadi benar jika mengabaikan kebaikan masyarakat,
mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya,
berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang,
diskriminatif terhadap rakyat apalagi jika
bertentangan dengan nilai moral hukum alam dan Tuhan.4
Kuatnya pengaruh fakta-fakta sosial lah yang
memberikan dan melahirkan berbagai teori hukum dan
mengkritik hukum dan implementasinya. Di abad ke-19,
kritik radikal atas hukum pada masa itu hadir dari
muaknya para filosof akan realitas hukum pada masa
itu, mulai kritik Karl Marx yang menjustifikasi bahwa
hukum itu adalah kepentingan orang berpunya karena
realitas sosial telah memotret hukum hanya untuk
4 Ibid. h. 52
3 | makalah sosiologi hukum, 2012
kepentingan kapitalis/kekuatan ekonomi, atau refleksi
oleh Savigny atas realitas hukum yang harus kembali
melihat dimensi-dimensi jiwa rakyat sebagai karakter
dalam berhukum untuk melawan upaya kodifikasi hukum
jerman yang akan mendikte rakyat dan cenderung berefek
negative dan diskriminatif, atau bahkan Emile Durkhaim
yang menguatkan moral sosial sebagai pijakan dalam
interpretasi dan implementasi hukum sebagai ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu
masyarakat.
Uraian di atas mengisyaratkan dan mejelaskan bahwa
“keadilan”diorientasikan pada prinsip-prinsip
kebijaksanaan, kebahagiaan, kesesuaian dengan moral,
nilai-nilai-nilai ilahi, dan bahkan ada dan tumbuh
dalam kesadaran sosial masyarakat. Hukum tidak akan
memberikan keadilan jika tidak berorientasi pada
prinsip-prinsip di atas, sehingga makna keadilan pun
menjadi beragam dan sangatlah absurd. Makna keadilan
akan terus berbeda pada setiap konteks dan realitas
zaman dan ia sangatlah beragam bentuk dan sifatnya.
Untuk itu, hukum harus terbebas dari sikap
diskriminatif, menindas, eksploitatif dan sebagainya
dan ia harus selaras dengan nilai-nilai yang terserak
dalam ragam realitas sosial masyarakat.
4 | makalah sosiologi hukum, 2012
Jika, pada zaman klasik, pertengahan dan abad ke-
19, dominasi nilai-nilai dan fakta sosial mempengaruh
perubahan-perubahan hukum pada masa itu, maka berbeda
halnya dengan abad ke-20 yang diinspirasi oleh Imanuel
Kant dan diteruskan oleh Neo Kantian seperti Austin,
Ernst Bierling, Rudolf Stamler, Hans Kelsen, Gustav
Radburch dan sebagainya telah memberi warna yang
berbeda dengan abad sebelumya. Pada era ini, hukum
memulai babak barunya dalam trend positivism hukum
yang sampai saat ini masih tetap mendominasi dan
bahkan menjadi kekuatan penguasa/negara untuk mengatur
dan menertibkan kehidupan manusia. Melihat hukum
secara normative, hukum secara murni dan realitas
sosial adalah persoalan yang berbeda, dengan kekuatan
undang-undang sebagai pijakan dalam implementasi
berhukum adalah corak khas dari positivism hukum ini.
Konsepsi positivisme hukum ini menempatkan nilai
keadilan yang sangat berbeda dengan era sebelumnya.
Keadilan bermakna legalitas, ia menjelaskan diri pada
suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar
diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya,
peraturan ini harus diterapkan. Dan, suatu peraturan
umum adalah tidak “adil” jika diterapkan pada satu
kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang
5 | makalah sosiologi hukum, 2012
serupa. Keadilan dalam makna legalitas harus sesuai
dengan, dan diharuskan oleh, setiap hukum positif,
baik itu tatanan hukum kapitalistik maupun komunistik,
demokratik maupun otokratik.5 Jadi, keadilan ini
merupakan pemeliharaan atas tatanan hukum positif
melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan
jiwa dari tatanan hukum positif tersebut dan keadilan
itu adalah keadilan berdasarkan hukum positif yang
terserak dalam logika dan interpretasi ragam undang-
undang dan peraturan-peraturan yang terkodifikasi.
Dikte positivism hukum atas keadilan pun masih
berkeliaran dalam prakteknya sekarang ini, hukum
menjadi buta akan fakta-fakta sosial yang ada dalam
masyarakat, hukum tidak lagi mengedepankan subtsansi
hukumnya, tetapi lebih pada kesahihan logika dan nalar
undang-undang yang sangat proseduralis dan jika boleh
dikatakan “sangat refresif”. Di Indonesia, implementasi
hukum positif seringkali mendapat perlawanan dari
berbagai kekuatan-kekuatan sosial yang ada, karena
keadilannya bersifat diskriminatif, eksploitatif dan
menindas kaum lemah, tetapi sebaliknya, menyokong
kepentingan penguasa/negara, kapitalisme, kolonialisme
5 Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara, diterjemahkandari buku Hans Kelsen “General Theory of law and State”, Bandung, Nusa Media,2009, h. 17
6 | makalah sosiologi hukum, 2012
dan sejinisnya sehingga memaksa kehidupan sosial
berubah atas keinginan hukumnya.
Pergulatan paradigma di atas, antara positivism
hukum dengan hukum dalam realitas sosial terus saling
mempengaruhi yang berunjung pada orientasi dan
kepentingan perubahan yang diinginkan. Satu sisi
menginginkan perubahan pentingnya keadilan diukur dari
nilai dan prinsip yang ada dalam realitas sosial, dan
sisi lainnya menginginkan perubahan keadilan yang
diukur secara ketat dan tegas oleh positivism hukum.
Atau bahkan keduanya saling mempengaruhi perubahan
hukum dan perubahan sosial. Berkaitan dengan itu, maka
tulisan ini ingin menguak secara mendalam pada focus
persoalan dikte positivism hukum sebagai hukum yang
memihak kepada interest kekuasaan, dan responnya atas
perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam prilaku
hukum masyarakat khususnya di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Dalam tulisan “Dikte Positivisme Hukum ; Interest
kekuasaan dan perubahan sosial” ini mefokuskan
pembahasannya pada 3 (tiga) pokok persoalan yaitu :
pertama, Apa substansi konsep positivism hukum,
kekuasaan dan perubahan sosial dalam berhukum ?.,
7 | makalah sosiologi hukum, 2012
Kedua, Kenapa positivism hukum dan kekuasaan saling
berkepentingan ?., dan Ketiga, Bagaimana positivism hukum
menfasilitasi dan mengakomodir perubahan-perubahan
sosial ?.
Ketiga persoalan ini, ingin digambarkan secara
sistematis mulai dari konsepsi,, korelasi dan
implementasi serta refleksi atas kiprah postivisme
hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan dan perubahan
sosial sehingga didapatkan uraian yang memadai dalam
memahami positivism hukum, khususnya di Indonesia.
C. PEMBAHASAN
a. Positivisme Hukum, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial
Positivisme Hukum
Secara etimologis, kata positivisme dalam bahasa
inggris “positivism” berasal dari bahasa latin : ponerre
– posui – positus yang berarti meletakkan.6 Istilah
positivism lahir dari pengembaraan filsafat dalam
merasionalisasikan berbagai pemikiran-pemikiran
keilmuan yang oleh Auguste Comte (1798-1857)
merupakan akhir dari bentuk pengembaraan pemikiran
teologi, metafisika dan filsafat. Istilah positif
6 Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,2002, cet. 3, h. 858.
8 | makalah sosiologi hukum, 2012
oleh comte didefinisikan dalam beberapa pengertian,
yaitu :
1) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangbersifat khayal, maka pengertian “positif”pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatuyang nyata;.
2) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidakbermanfaat, maka pengertian “positif” sebagaipenafsiran sesuatu yang bermanfaat;
3) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangmeragukan, maka pengertian “positif” diartikansebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti;
4) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur,maka pengertian “positif” diartikan sebagaipensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.
5) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangnegative, maka pengertian “positif” dipergunakanuntuk menunjukkan sifat-sifat pandanganfilsafatnya yang selalu menuju ke arah penataandan penertiban.7
Konsepsi “positif” merambah segala bidang pemikiran
keilmuan termasuk ilmu hukum yang selanjutnya
dikenal dengan istilah Positivisme hukum, yang oleh
Immanuel Kant menyebutnya “hukum produk akal praktis”,
Austin menyebutnya “tata hukum”, Ernst Bierling
menyebutnya “Aturan positif”, Stammler menyebutnya
“Kehendak Yuridis”, dan Kalsen menyebutnya “hukum murni”.
H.L.A. Hart telah mengidentifikasi cirri-ciri yang7 F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche”,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 204 – 205.
9 | makalah sosiologi hukum, 2012
merupakan esensi dari positivisme dalam ilmu hukum
sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah;2. Tidak ada suatu kebutuhan untuk mengaitkan atau
menghubungkan antara hukum dengan moral atauhukum sebagaimana adanya (law as it is) dengan hukumsebagaimana seharusnya (law as ought to be);
3. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsephukum adalah suatu studi yang penting, (analisisatau studi tadi) harus dibedakan dari studisejarah, studi sosiologis, dan penilaian kritisdalam makna moral, tujuan-tujuan sosial, danfungsi-fungsi sosial;
4. Sistem hukum adalah suatu system tertutup yanglogis, yang merupakan putusan-putusan yang tepatserta dapat dideduksikan dari aturan-aturan yanada sebelumnya; dan
5. Pertimbangan secara moral tidak dapatdipertahankan, kecuali dengan argument rasional,fakta-fakta atau bukti.8
Teorisasi positivisme hukum ini menegaskan
dirinya sebagai salah satu mazhab yang
berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-
undang dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan
intervensi moral, realitas sosial, dan bahkan
tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak.
Akibatnya, undang-undang dan keseluruhan peraturan-
8 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentang PerkembanganPemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010,h. 68
10 | makalah sosiologi hukum, 2012
peraturan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat
hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal
menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis
dan linear untuk menyelesaikan permasalahan
masyarakat sesuai bunyi undang-undang.
Dalam perkembangannya, mazhab positivisme
mempengaruhi negara-negara system kodifikasi dengan
undang-udang sebagai satu-satunya sumber yang pasti.
Di Indonesia, menurut Widodo, bahwa psotivis hukum
Indonesia dipengaruhi oleh ajaran legisme9 yang
dikembangkan di Hindia Belanda yang dapat dibaca
dalam pasal 15 Algemene Bapelingen van Wetgeving yang
antara lain berbunyi “Terkecuali penyimpangan-
penyimpangan yang ditemukan bagi orang-orang Indonesia dan
mereka dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, maka
kebiasaan bukanlah hukum, kecuali menghendakinya”. Bahkan
pengaruh legisme ini terasa dalam lapangan hukum
pidana Indonesia dalam pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :”Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar
9 Aliran legisme berkeyakinan bahwa undang-undang merupakanobat mujarab yang mampu menyelesaikan segala persoalan sosial. Carapandang ajaran legisme mirip dengan positivisme hukum..lihat WidodoDwi Putro,”Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum”, Yogyakarta, GentaPublishing, 2011, h. 26 – 27.
11 | makalah sosiologi hukum, 2012
peraturan berkekuatan undang-undang yang terlebih
dahulu ada dari perbuatan tersebut.”.
Hukum pada setiap pasal dalam undang-undang
dimaknakan secara “tekstual”. Sebagai teks, hukum
ditafsirkan maknanya secara semantik dan diyakini
maknanya dapat mengantarkan manusia kepada keadilan
yang dibawa oleh hukum. Positivisme hukum hanya
menafsirkan hukum sebagai teks yang terdiri dari
serangkaian huruf dan kalimat, melihat teks secara
diskursif sebagai sebuah symbol, terlebih symbol
cultural tidak menjadi bahasan yang serius, hukum
hanya dilihat sebagai sebuah teks harfiah yang
ditafsirkan “semata-mata” dengan type penafsiran
gramatikal.10
Dalam konteks positivise hukum, hukum tidak
dipandang secara ideologis apalagi melihat hukum
dalam perspektif sosiologis, atau ragam hukum yang
tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh,
jika dalam undang-undang “dilarang mencuri”, maka hukum
tidak melihat aspek dosa dalam mencuri, mencuri
dapat merusak moral public dan keadilan, mencuri itu
mengurangi hak orang lain, tetapi ia lebih
10 Lihat Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,2009, h. 293
12 | makalah sosiologi hukum, 2012
dimaknakan sebagai sebuah larangan untuk mengambil
barang orang lain dan dapat dipidana seperti yang
termaktub dalam teks KUHP pasal 362 “Barang siapa
mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
memilikinya secara melawan hukum diancam karena
pencurian dengan pidana paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak Sembilan ratus ribu
rupiah”.11
Jadi, positivisme hukum ini menegaskan dirinya
sebagai salah satu mazhab yang berorietasikan pada
kemurnian hukum dalam undang-undang dan menolak
berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral,
realitas sosial, dan bahkan tuntutan perubahan-
perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah
dilupakan, aspek ekonomi diabaikan dan peran politik
pun ditolak.
Kekuasaan
Term kekuasaan menjadi factor dominan dan
penentu tegaknya hukum,, tanpanya hukum tidak
bermakna apa-apa, ia menyentuh segala aspek dan11 Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana &
Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Negara”, JakartaSelatan, Visimedia, 2010, h. 86.
13 | makalah sosiologi hukum, 2012
dimensi kehidupan manusia baik dalam persepktif
sosiologis maupun positivis. Bahkan tidak jarang,
kekuasaan diperebutkan oleh banyak kekuatan-
kekuatan, baik secara individual maupun kelompok.
Wikipedia menjelaskan bahwa kekuasaan dimaknakan
sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang
atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut
sesuai dengan kewenangan yang diberikan.12 Makna
kekuasaan sangatlah beragam dengan pola dan metode
perolehannya yang berbeda-beda, sehingga siring
didengar bahwa “raja” adalah symbol kekuasaan bagi
negara monarki, presiden adalah symbol kekuasaan
bagi negara republik, perdana menteri, senator,
pejabat, adalah symbol-simbol kekuasan dalam satu
negara dan kekusaan adalah negara.
Kekuasan dalam negara telah lama diperdebatkan
dan telah melahirkan konsep-konsep kekuasaan negara
dengan segala bentuk dan variannya. Zaman klasik
ditunjukkan dengan kekuasaan para raja dan
aristokrat, abad pertengahan kekuasaan ditunjukkan
oleh dominasi agama, abad 19 kekuasaan ditunjukkan
oleh totaliterianisme, kapitalisme dan sosialisme,
dan abad ke-20 hingga abad modern ini, kekuasaan
12 Id.wikipedia.org.
14 | makalah sosiologi hukum, 2012
ditunjukkan oleh demokrasi sehingga banyak
melahirkan konsep-konsep negara, seperti negara
hukum, negara kesejahteraan (walfere state) dan lain
sebagainya. Semua konsep negara diatas dilegitimasi
oleh kekuasaan. Konsep kekuasaan tersebut yang oleh
Max Weber menyebutnya sebagai “prestise kekuasaan” yang
dalam praktiknya berarti kejayaan kekuasaan atas
komunitas-komunitas lain, berdasarkan kekuasaan ini
para anggota bisa berpretensi pada suatu “prestise”
khusus dan pretense mereka mungkin mempengaruhi
tingkah laku eksternal struktur kekuasaan.
Pengalaman mengajarkan bahwa klaim atas “prestise”
selalu menjadi penyebab pecahya perang.13
Menurut teori konstitusi, terdapat dua macam
pendistribusian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu
kekuasaan vertical dan kekuasaan yang horizontal.14
Negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat,
yang hidup dalam suatu bagian permukaan bumi
tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu dengan13 Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in Sosiology”
oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, h. 192.14 Distribusi kekuasaan vertical mengajarkan tentang pembagian
kekuasaan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkandistribusi kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang adadi tingkat pusat maupun yang ada ditingkat daerah, yang pembagiannyasering disebut sebagai Trias Politica yang berisi distribusikekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Lihat Munir Fuaidy,Teori Negara Modern…op.cit. h. 103.
15 | makalah sosiologi hukum, 2012
kedaulatan sebagai cirri definitive dari kekuasaan.15
Kekuasaan yang didapat oleh negara, yang oleh
Montesquieu dalam trias politica ini harus diberikan
kepada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk
menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar,
menumpuknya tiga kekuasaan ini pada satu tangan
adalah sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
inefesiensi, korupsi dan kesewenang-wenangan.
Berbeda dengan Montesquieu, Van Volenhoven justeru
medsitribusikan kekuasaan pada empat pilar penting
dalam negara, yaitu 1) regeling (legislative), 2)
bestuur (eksekutif), 3) rechtspraak (yudikatif), dan 4)
politie, yaitu sebuah badan yang bertugas menjaga tata
tertib untuk mengawasi agar semua cabang
pemerintahan dapat menjalankan fungsinya dengan
baik.16
Distribusi kekuasaan di atas merupakan salah
satu cirri dari konsep negara hukum (rechtsaat) yang
kini banyak dianut oleh negara-negara demokrasi saat
ini. Negara hukum menjadi batasan dari sebuah
kekuasaan. Ide pembatasan ini dianggap mutlak harus
ada , karena sebelumnya semua fungsi kekuasaan
negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu15 Hans Kelsen, Teori Umum..op.cit. h.36016 Munir Fuaidy, Teori negara..op.cit. h. 105
16 | makalah sosiologi hukum, 2012
orang, yaitu ditangan raja atau ratu yang memimpin
negara secara turun temurun. Bagaimana mungkin
kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung
kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut
tanpa adanya control yang jelas agar kekuasaan itu
tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebas
rakyat.17
Harus di akui, bahwa kekuasaan dengan system
monarki telah berabad-abad terhapus dalam konteks
kekuasaan saat ini, dan kini tinggal sisa-sisa yang
tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikans
dalam mengatur dan mengelola kehidupan
bermasyarakat, toh, jika pun masih ada, tatanan
hukumnya pun sudah mengalami perubahan yang
mendasar. Di Indonesia, kekuasaan oleh raja kini
sudah terhapus semenjak kolonialisme belanda sampai
pada era sekarang ini, namun posisi dan strata raja
dan ratu di Indonesia masih dihormati sebagai khas
dan penyangga budaya bangsa. Bahkan, di Inggris yang
memiliki raja pun tetap mengenal system distribusi
kekuasaan walaupun tidak setegas negara demokrasi.
Namun, kebijakan dan praktek hukumnya telah ada
dalam konstitusi. Aristoteles pun pernah berpendapat17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2010, h. 282
17 | makalah sosiologi hukum, 2012
bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang
bukan merupakan pemerintahan yang konstitusional.
Jadi, Kekuasaan adalah bagian penting dalam
upaya penegakan hukum, tanpanya hukum tidak akan
mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok
membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan
mempengaruhi kelompok lain. Namun, dalam negara
modern saat ini, kekuasan bukan berarti kekuasaan
yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum,
akan tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-
batasan yang seimbang dengan kekuasaan lainnya agar
satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan
mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan
sebagainya dapat dihindari.
Perubahan Sosial
Jika, positivisme menganggap bahwa ia merupakan
akhir dari segalanya, karena kemajuan abad ke-19
telah menemui puncaknya sehingga tidak ada yang
perlu diperdebatkan lagi dalam berbagai realitas
perubahan sosial. Maka, justeru sebaliknya, bahwa
kemajuan yang dicapai pada era positivisme ini
bukanlah akhir dari segalanya, masyarakat terus
bergerak dan berinteraksi dalam problematikanya yang
18 | makalah sosiologi hukum, 2012
sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai
kekuatan-kekuatan yang tumbuh dan ada di dalam suatu
masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, Perubahan-perubahan
dalam masyarakat menampilkan perkembangan baru yang
menggugat masa kebebasan abad ke-19. Negara semakin
mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan
yang aktif, struktur politik juga telah mengalami
perubahan besar, kaum pekerja makin memainkan
peranan penting dalam politik dan memperluas
demokrasi politik, cara-cara penanganan hukum yang
didominasi oleh kepentingan kaum borjuis digugat
oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi konsituen
dalam penggung politik.18 Sehingga hukum tidak lagi
dapat mempertahankan lebih lama politik isolasinya
dengan menjadikan dirinya sebagai institusi yang
steril dan murni dari pemikiran-pemikiran sosial,
ekonomi, dan politik.
Institusi hukum yang steril dari berbagai
kekuatan-kekuatan kultur, sosial, ekonomi, maupun
politik sangatlah tidak dapat dielakkan,
bagaimanapun kekuatan tersebut tetap saling
berinteraksi dan mempengaruhi dalam struktur sosial18 Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode dan Pilihan
Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 11
19 | makalah sosiologi hukum, 2012
masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kultur yang
berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga
penerimaan atas hukum pun menjadi berbeda-beda pula,
dan jika dipaksakan maka justeru akan melahirkan
Konflik-konflik yang tidak berkesudahan.
Merespon perubahan sosial ini, Reberto M. Urger
menggambarkan bahwa selama ini, masayarakat terkotak
dalam 3 tipelogi masyarakat yaitu 1) masyarakat
kesukuan, 2) masyarakat liberal, dan 3) masyarakat
aristokratis. Ketiga bentuk masyarakat ini berbeda-
beda karakter dalam merespon perubahan yang sesuai
dengan kehidupan sosial masing-masing. Namun,
persoalan yang kerap dihadapi adalah pandangan
tentang apa yang ideal dan pengalaman kenyataan yang
sesungguhnya.19
Pada masyarakat kesukuan, hanya ada kemungkinan
bahwa konsesnsus komunitas akan bercerai berai dan
memungkinkan munculnya kepercayaan-kepercayaan yang
menentang cara-cara yang sudah lazim. Kemungkinan
ini jarang terwujud, namun, kalau toh sempat muncul
perubahan, umumnya cenderung tidak ebertubi-tubi dan
tidak disadari. Perubahan structural lebih pada
19 Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, 2008,h. 205
20 | makalah sosiologi hukum, 2012
suatu penyimpangan kebiasaan daripada takdir yang
wajar.
Pada masyarakat liberal, selalu ada Konflik
nyata antara apa yang diharapkan manusia dari
masyarakat dengan apa yang sesungguhnya yang mereka
dapatkan darinya. Konflik ini memuncak dengan adanya
kebutuhan kuat akan kekuasaan yang mengatur,
ditambah dengan ketidakmampuan untuk meyangga jenis
kekuasaan apapun. Dikarenakan ada Konflik dari
banyak segi antara ideal dan kenyataan ini, maka
perubahan di masyarakt liberal berlangsung amat
cepat dan luas.
Sedangkan pada masyarakat aristokratis, hubungan
antara ideal dan pengalaman dirasakan lebih akrab.
Namun, masih ada gap yang cenderung tersembunyi.
Ambisi golongan-golongan nonaristokratis tidak
mungkin diselaraskan dengan tatanan sosial, visi
moral atau religious masyarakat tampaknya
membenarkan sekaligus mengutuk hirarki-hirarki yang
sudah mapan. Dalam masyarakat ini, perubahan bisa
berlangsung lebih lambat dan kurang nyata daripada
perubahan dalam masyarakat liberalism.
Dari ragam corak masyarakat di atas, maka dapat
diamati proses perubahan sosialnya yang oleh
21 | makalah sosiologi hukum, 2012
Satjipto Raharjo, dibedakan dalam tiga irama
perubahan, yaitu, 1) perubahan yang beringsut, 2)
perubahan yang luas dan serba meliputi, dan 3)
perubahan revolusioner).20 Perubahan yang beringsut
memberikan tambahan-tambahan pada keadan semula
tetapi tanpa mengadakan perubahan dalam substansi
maupun strukturnya, selain bentuk penambahan
tersebut bisa juga berupa pengurangan, peniadaan
atau modifikasi terhadap substansi yang ada, namun
demikian tetap tidak menimbulkan perubahan pada
keadaan semua.
Perubahan ini tampak pada corak masyarakat
kesukuan, dimana perubahan yang terjadi tidak sampai
merubah keadaan yang semua, norma-norma yang ada
pada masyarakat kesukuan ini dapat dikuragi atau
dimodifikasi substansinya karena normanya tumbuh dan
hidup di dalam masyarakat dan tidak tertulis secara
nyata. Sehingga norma-norma yang baru hadir
dihadapan mereka dapat diterima sebagai tambahan
atau bahkan dapat ditolak atau dikurangi jika itu
menimbulkan perubahan pada keadaan semula. Jika,
norma – norma hukum positif bertentangan dengan
20 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritisserta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, Genta Publishing,2009, h. 39
22 | makalah sosiologi hukum, 2012
kultur dan budaya mereka maka mereka cenderung
mengabaikannya atau bahkan menolaknya dan tidak
menggunakannya sebagai hukum di dalam masyarakat.
Sedangkan, irama perubahan yang luas dan serba
meliputi ini sama dengan perubahan beringsut tetapi
memiliki jangkauan yang lebih luas, perubahan ini
bisa tampak pada masyarakat aristokratis karena
masyarakatnya justeru berada pada gabungan antara
masyarakat kesukuan dan masyarakat liberalism,
sehingga dampak perubahannya pun bisa menyentuh
masayakat kesukuan maupun liberalism, walaupun
proses perubahannya akan terjadi secara lambar,
karena ada kepentingan yang berbeda di dalam
masyarakat aristokratis namun mereka saling
menghormati.
Terakhir, adalah perubahan revolusioner, yaitu
perubahan yang meliputi penggantian suatu tipe norma
secara menyeluruh oleh yang lain dan merupakan
penolakan atas tingkah laku yang sama. Perubahan ini
tampak pada corak masyarakat liberalism, seperti
perubahan yang pernah dilakukan oleh kapitalisme
liberal, karena menolak segala bentuk tatanan norma
yang telah lama dan tidak seirama dengan
23 | makalah sosiologi hukum, 2012
perkembangan zaman baik itu dalam kompetisi ekonomi,
politik dan sebagainya.
Jadi, perubahan sosial tidak pernah terhenti di
dalam masyarakat oleh karena positivisme hukum, dan
perubahan tidak pernah memandang bahwa positivis
adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat.
Banyak perubahan-perubahan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat, karena sesungguhnya masyarakat
sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi
tang berbeda-beda dalam merespon berbagai persoalan,
termasuk persoalan positivisme hukum.
b. Positivisme Hukum dan Kekuasaan saling
Berkepentingan
Hukum dan kekuasaan dalam percaturan sejarahnya,
yang oleh para filosuf dan pemikir-pemikirnya
diposisikan sebagai pranata yang saling membutuhkan
satu sama lainnya, khususnya oleh kaum positivisme
hukum. Kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk
mengatur tata kehidupan masyarakat yang tunduk
terhadapnya membutuhkan peraturan-peraturan yang
dapat menertibkan dan mencitakan perdamaian bagai
masyarakatnya. Untuk itu, hukum sangatlah
membutuhkan negara, dan negara sangatlah membutuhkan
24 | makalah sosiologi hukum, 2012
hukum bahkan penyadingan keduanya dikenal dengan
istilah negara hukum.
Dalam negara hukum, hukum memainkan peranannya
yang sangat penting dan berada di atas kekuasaan dan
politik. Di dalam negara-negara yang memberlakukan
common law, maka pemerintahannya didasarkan atas
hukum dan bukan atas kehendak manusia (government by
law, not by men) atau bukan system pemerintahan yang
berdasarkan rule of law bukan rule of men. Sedangkan,
dalam negara-negara yang memberlakukan system hukum
anglo saxon, maka pemerintahannya pun di dasarkan atas
hukum sehingga di kenal dengan itilah rechtstaat, bukan
mathstaat atau “negara kekuasaan”. Dalam bahasa
Prancis di sebut “Etat de Droit”, Italia menyebutnya
“Stato di Dirtto” dan Indonesia meyebutnya “negara
hukum”.21
Teori negara hukum, menegaskan bahwa hukum
memberikan batasan-batasan yang riel atas kekuasaan,
yang dalam trias politica Montesquieu membaginya dalam
kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.
Berangkat dari sinilah, dapat diurai secara lebih
rinci bentuk saling berkepentingannya hukum dengan
kekuasaan. Hukum masuk dalam ranah kekuasaan untuk
21 Lihat Munir Fuaidy, “Teori…”, op.cit. h. 2
25 | makalah sosiologi hukum, 2012
dirumuskan dan disepakati dalam legislasi, dan
dilaksanakan oleh eksekutif dan dikontrol dan
ditegakkan oleh yudikatif. Begitu juga sebaliknya,
kekuasaan masuk dalam ranah hukum untuk melegitimasi
kekuasaan dan kewenangan yang diberikan untuk
kemudian dapat dijadikan sebagai pijakan dan dasar
untuk memaksa dan mengikat masyarakat yang tundak
terhadap kekuasaannya.
Dalam uraian positivisme hukum dan kekuasaan,
dan telah dijelaskan bahwa Hans Kelsen memandang
bahwa “kekuasaan” dalam arti negara mesti berupa
validitas dan efektifitas tatanan hukum nasional,
jika kedaulatan dipandang sebagai satu kualitas dari
kekuasaan itu. Sebab, kedaulatan hanya bisa menjadi
kualitas dari tatanan normative sebagai kekuasaan
yang merupakan sumber hak dan kewajiban. Untuk itu
menjelaskan berbagai fungsi hukum atas kekuasaan
menjadi sangat penting untuk dapat mengurai saling
bekepentingannya hukum dengan kekuasaan yang
berdasar pada teori distribusi kekuasaan oleh
Montesquieu tersebut, seperti dijelaskan berikut ini
:
a. Fungsi eksekutif
26 | makalah sosiologi hukum, 2012
Menurut Hans Kelsen, berbicara mengenai eksekutif
yang berarti pelaksanaan, kita harus bertanya apa
yang dilaksanakan. Tidak ada jawaban lain kecuali
pernyataan bahwa yang dilaksanakan itu adalah
norma-norma umum, konstitusi, dan hukum-hukum
yang dibuat oleh legislative. Namun, fungsi
eksekutif ini seringkali dibedakan lagi menjadi
dua fungsi yaitu fungsi administrative dan fungsi
politik.22
Fungsi politik,biasanya menunjuk pada tindakan-
tindakan tertentu yang bertujuan memberikan
arahan bagi pelaksanaan dan dengan demikian
memiliki makna politik, sedangkan fungsi
administrative ini diejawantahkan dalam tindakan-
tindakan organ administrasiv dalam eksekutif
seperti kepala negara, menteri, kepala daerah dan
sebagainya. Namun, tidak ada satu kebijakan yang
dapat melepaskan suatu tindakan eksekutif dari
karakternya sebagai tindakan pelaksanaan hukum.
Penjelasan ini menegaskan bahwa fungsi-fungsi
negara terbukti identik dengan fungsi-fungsi
esensial hukum, karena eksektuif tidak terlepas
22 Hans Kelsen, Teori umum…, op.cit. h. 361
27 | makalah sosiologi hukum, 2012
dari karakter hukum, dan hukum tidak berjalan
tanpa ada eksekutif.
b. Fungsi Legislatif
Fungsi ini memiliki karakter yang berbeda dengan
fungsi eksekutif dan yudikatif dan bergantung
pada sisten negara yang dianut. Dalam system
negara hukum, fungsi legislative bertugas untuk
membuat undang-undang yang dirumuskan dari norma-
norma umum yang berlaku di dalam masyarakat,
untuk kemudian menjadi pijakan dan pedoman
pelaksanaan kekuasaan oleh eksekutif dan
yudikatif. Namun, fungsi ini juga dijalankan oleh
eksekutif dan yudikatif dalam bentuk lebih khusus
dan memberi penjelasan atas undang-undang yang
bersifat umum, tetapi berbentuk peraturan atau
ordonansi.23 Jadi, fungsi legistlatif ini juga
menegaskan bahwa hukum melegitimasi kekuasaan dan
hukum memberi ruh pada kekuasaan.
c. Fungsi yudikatif
Salah satu tugas utama dari fungsi yudikatif
adalah membuat norma-norma khusus berdasarkan
norma-norma umum yang dilahirkan oleh undang-
undang dan kebiasaan, dan menerapkan sanksi-
23 Ibid.h.362
28 | makalah sosiologi hukum, 2012
sanksi yang ditetapkan oleh norma-norma umum dan
norma-norma khusus ini.24 Penerapan sanksi
merupakan pelaksanaan hukum dalam arti yag lebih
sempit dan terbatas dan diwujudkan dalam melalui
lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman. Jadi, hukum
melalui fungsi ini ditegakkan dan kekuasaan
melalui fungsi ini dijaga.
.Ketiga fungsi tersebut diatas memberikan
gambaran yang jelas bahwa positivisme hukum
merupakan salah satu kekuatan untuk mendukung dan
melegitimasi kekuasaan, dan mensterilkan kekuasaan
dari berbagai kritik sosial dan hukum atasnya,
karena hukum telah memberikan jaminan yang
berkekuatan dan menundukkan segala kekuasaan yang
bisa saja hadir dari berbagai individu atau
kelompok, dalam satu kekuasaan negara.
Di Indonesia, telah menganut doktrin pemisahan
kekuasaan ini secara nyata, khususnya setelah UUD
1945 mengalami empat kali perubahan. Namun,
pembagian kekuasannya dikelompokkan dalam beberapa
lembaga tinggi negara seperti presiden, DPR, DPD,
MK, dan MA. Ada beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa Indonesia menganut doktrin distribusi
24 Ibid. h. 364
29 | makalah sosiologi hukum, 2012
kekuasaan ini yang satu sama lainnya menunjukkan
saling berkepentingan antara hukum dan kekusaaan
tersebut, yaitu :
1) Adanya pergeseran kekuasaan legislative daritangan presiden ke DPR. Ketentuan pasal 5 ayat(1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelahperubahan menegaskan bahwa kekuasaan untukmembentuk undang-undang yang sebelumnya beradapada tangan presiden, sekarang beralih ke DPR;
2) Diadopsikannya system pengujian konstitusionalatas undang-undang sebagai produk legislativeoleh Mahkamah konstitusi. Sebelumnya tidakdikenal adanya mekanisme semacam itu, karena padapokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugatdimana hakim hanya dapat menerapkan undang-undangdan tidak boleh menilai undang-undang;
3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaultan rakyatitu tidak hanya sebatas MPR, melainkan semualembaga negara baik secara langsung maupun tidaklangsung merupakan penjelmaan dari kedaulatanrakyat. Semua lembaga tinggi negara berdaulatatas rakyat;
4) MPR tidak lagi berstatus sebagai lembagatertinggi negara, melainkan merupakan lembagatinggi negara yang sama derajatnya dengan lembagatinggi negara lainnya; dan
5) Hubungan-hubungan antar lembaga tinggi negara itubersifat saling mengendalikan satu sama lainsesuai dengan prinsip checks and balances.25
25 Jimli Assiddiqie, Pengantar…, op.cit. h. 291 -292
30 | makalah sosiologi hukum, 2012
Berdasarkan perubahan-perubahan prinsip
kekuasaan yang sangat mendasar di Indonesia ini,
memberikan ruang perubahan sosial dalam realitasnya,
jika dulu, hukum positive mengenkang partisipasi
masyarakat dalam lembaga kekuasaan, maka kini,
partisipasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi
dan membentuk dan menemukan hukum menjadi terbuka,
masyarakat dapat berpartisipasi melakukan control
terhadap kekuasaan dan kekuasaan tunduk pada
kedaulatan rakyat. Namun, dalam persepektif hukum,
positivisasi atasnya telah menutup ruang atas
interpretasi ruang-ruang sosial atas hukum, dan
bahkan terlihat kaku dan anti atas perubahan-
perubahan sosial yang muncul. Ia bisa dirubah dan
diinterpretasi jika telah melalui mekanisme yang
sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara.
Jadi, positivisme hukum dan kekuasaan adalah
saling berkepentingan satu sama lainnya, hukum
terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana
oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan
terlegitimasi oleh hukum, dan dikuatkan oleh norma-
normanya yang dapat menundukkan setiap warga negara
atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum
dan kekuasaan terejawantah dalam fungsi-fungsi
31 | makalah sosiologi hukum, 2012
kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan
menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa
dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan atau bahkan
sebaliknya kekuasaan mempengaruhi kepentingan hukum.
Dalam persepektif sosiologi hukum, maka
sesungguhnya hukum dan kekuasaan memiliki
interdependensi antara keduanya. Jika hukum memiliki
input yang lemah maka kekuasaan akan menjadi lebih
dominan dan hukum dalam diabaikan oleh kekuasaan,
tetapi sebaliknya jika input huku menguat atas
kekuasaan, maka kekuasaan akan tunduk pada hukum,
dan pada penguatan hukum inilah konsep negara hukum
dapat ditegakkan, karena sesungguhnya perubahan
sosial dalam kelangsungan hidup individu, kelompok
atau rakyat banyak bergantung pada kuatnya hukum
bukan pada kuatnya kekuasaan.
c. Perubahan Sosial Kritik atas Positivisme Hukum
Akhir-akhir ini, phenomena dominasi kekuasaan
atas hukum ditunjukkan oleh berbagai fakta-fakta
hukum yang menyelimuti setiap kebijakan pengausa,
ada banyak Konflik norma yang terjadi antara undang-
undang yang satu dengan yang lainnya, norma-normanya
dikaburkan untuk kepentingan penguasa dan kapitalis,
32 | makalah sosiologi hukum, 2012
banyak norma yang tidak terakomodir dalam
positivisasi hukum bahkan rakyat kecil seringkali
ditebas oleh hukum.
Konflik norma, tanpak pada norma HGU, HGB, hak
kelola antara undang-undang UU No. 5 tahun 60
tentang pokok-pokok hukum Agraria dengan UU. No. 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 29
UUPA menjelaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 25
tahun sementara pada pasal 22 ayat (1) point a
menegaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 95
tahun. Pasal 35 UUPA menegaskas HGB diberikan dalam
jangka waktu 30 tahun, berbeda dengan pasal 35
penanaman modal diberikan dalam jangka waktu 80
tahun.
Sementara itu, konsep hak menguasai negara
seringkali dikaburkan ketika penguasa hendak
menguasai atas tanah. Kini UUPA harus ditantang
dengan undang-undang lain seperti UU No, 22 tahun
2001 tentang minyak dan Gas Bumi, UU No. 41 tentang
kehutanan, UU No. 31 tentang Perikanan, UU No. 4
tahun 2009 tentang pertambangan. Semua Undang-undang
ini, bermaksud ingin menjelaskan secara lebih rinci
akan makna dari UUPA, tetapi norma-normanya justeru
mengaburkan substansi dari UUPA yang begit populis
33 | makalah sosiologi hukum, 2012
dan beralih pada kepentingan investasi. Akibatnya,
berbagai kasus eksplorasi tambang sering mendapat
penolakan dan protes dari masyarakat, belum lagi
bencana yang harus menimpa masyarakat dan
menghilangkan hak milik masyarakat seperti kasus
perlawanan masyarat Bima atas ekspolasi tambang
diwilayahnya, perlawanan masyarakat Mesuji atas
perampasan tanahnya, serta bencana lapindo yang
tidak pernah bisa berhenti menyengsarakan kehidupan
masyarakat.
Dalam kasus yang berbeda, protes seorang ayah
yang berjalan kaki untuk mencari keadilan kepada
penguasa atas kematian yang menimpa anaknya yang
justeru menjerat dan melibatkan aparat hukum tidak
pernah tuntas diselesaikan karena daluwarsa,
sehingga nyaris keadilan tidak didapatkan secara
substanstif tetapi lebih pada ketakutan aparat hukum
untuk menegakkannya karena menyalahi prosedur-
prosedur yang berliku-liku dalam prosesnya. Belum
lagi, kakunya hukum dalam menyidangkan kasus-kasus
kecil seperti pencurian sanda bolong, pencurian tuga
kakao, dan sebagainya dimana hukum bertindak tegas
atas orang-orang miskin tersebut bagai pisau yang
tajam, sedangkan tumpul untuk memotong berbagai
34 | makalah sosiologi hukum, 2012
kasus besar yang dilakukan oleh penguasa maupun
kapitalis.
Melihat phenomena di atas, maka sesungghunya
positivisme hukum telah mengarahkan rakyat untuk
terjebak dalam aturan-aturan yang kaku dan buta
sehingga banyak nilai dna norma yang tumbuh dalam
kehidupan masyarakt menjadi turut terjerat dan tidak
ingin diakomodir oleh kekuasaan dan positivisme
hukum. Berkaitan dengan itu, Widodo, dalam bukunya
“Kritik atas postivisme hukum” menjelaskan bahwa “paradigm
positivisme hukum klasik yang menempatkan hakim
sebgai tawanan undang-undang, tidak memberikan
kesempatan kepada pengadilan untuk menjadi suatu
institusi yang dapat mendorong perkembangan
masyarakat. Pada era reformasi pun, belum bisa
mengatakan bahwa putusan-putusan hakim berkontribusi
besar bagi perubahan masyarakat di Indonesia”.26
Sebuah paradigm positivistic yang tidak
berorientasi kepada keadilan telah ditunjukkan oleh
keputusan-keputusan hukum yang didedukasikan secara
logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada, tanpa
menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan
serta moralitas. Padalah Mahkamah Agung RI sebagai26 Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”
Yogykarta, Genta Publishing, 2001, h. 1
35 | makalah sosiologi hukum, 2012
badan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman telah
menentukan bahwa putusan hakim harus
mempertimbangkan segala aspek yang berifat yuridis,
filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang
ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan
dalam putusan hakim adalah keadilan yang
beriorientasi pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan moral (moral justice), keadilan masyarakat (sosiac
justice).27
Keadilan hukum (Legal Justice) yang dimaksud diatas
adalah keadilan yang berdasarkan hukum dan
perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya
memutuskan perkara berdasarkan hukum positif dan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan, keadilan
moral (Moral Justice) dan keadilan sosial (social justice)
yang dalam penerapannya ditegaskan bahwa “hakim
harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam
masyarakat” seperti yang terdapat dalam vide pasal 5
ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, yang jika dimaknai
secara mendalam hal ini sudah masuk kedalam
perbincangan tentang moral justice dan social justice yang
sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang
hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan kebenaran27 Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact), Kode Etik
Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, h. 2
36 | makalah sosiologi hukum, 2012
dan berkeadilan dengan berpegang kepada hukum,
undang-undang, dan nilai-nilai keadilan di dalam
masyarakat.28
Mencari keadilan inilah yang kemudian terus
menjadi pertaruhan dalam penegakan hukum, termasuk
oleh hasrat dan cita-cita dari positivisme hukum.
Namun, alih-alih memberikan keadilan secara praktis,
dalam dimensi teoritis saja positivisme telah
mengekang dan menganggap dirinya sebagai satu-
satunya mazhab yang paling benar dan akhir dari
pengembaraan ilmu pengetahuan maupun pengembaraan
hukum mencari keadilan. Untuk itu, untuk menggapai
perubahan hukum yang berkeadilan, dan perubahan
sosial yang tunduk atas hukum, maka sinergi hukum
dengan nilai-nilai lainnya yang tumbuh dalam
masyarakat harus dikombinasikan agar tidak saling
menimpangkan dan menindas satu sama lainnya.
Menyikapi persoalan ini, widodo menjelaskan
bahwa ada beberapa alasa penting positivisme hukum
di Indonesia harus dikritik agar dapat memberi
perubahan-perubahan sosial dalam teori dan
prakteknya. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai
berikut :28 Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 127
37 | makalah sosiologi hukum, 2012
1. Di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukumsecara filosofis belum dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum dimulaisama sekali. Ini sangat diperlukan, karena selamaini hakim hanya mengedepankan uniformitaskhususnya dalam hal penafsiran monolitik terhadapmakana norma-norma itu sendiri, sehingga bersifatgramatikal dan cenderung tektual dan leksikal.Padahal penemuan hukum (rechtsvinding) juga dapatdilakukan dengan metode-metode lain sepertikostruksi atau argumentasi.
2. Ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanyasebagai corong undang-undang, tidak memberi ruangkepada hakim sebagai subyek kreatif. Pikiranpositivisme hukum biasanya tepat dan mampubertahan dalam keadaan masyarakat stabil, namunpada msa krisis dimana hukum disiapkan menataproses interaksi dalam masyarakat telah gagalmenjalankan fungsinya.
3. Hukum oleh ajaran positivisme hukum digambarkansebagai wilayah steril, terpisah dari moral.Bahkan doktrin kelsenian menampik keberadaan ilmuhukum yang terkontaminasi dari anasir-anasirsosiologis, politis, ekonomis, historis dansebagainya.
4. Dalam tradisi hukum civil law peran pemerintah danparlemen dominan dalam pembuatan hukum yangberupa peraturan-peraturan tertulis. Kuatnyapengaruh positivisme hukum dalam system hukumIndonesia ditandai dengan melakukan unifikasi dankodifikasi hukum. Padahal, dalam masyarakatIndonesia yang majemuk, penyeragaman hukum demikepastian hukum untuk seluruh wilayah nusantarajusteru dapat menimbulkan resistensi.
5. Ajaran positivisme hukum memberikan pemahamankepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya
38 | makalah sosiologi hukum, 2012
berurusan dengan norma-norma. Cara pandang yangdemikian, membuat positivisme hukum melihatpersoalan secara “hitam putih” sebagaimana teksundang-undang. Padahal, masalah dalam masyarakatterlalu besar untuk dimasukkan dalam pasal-pasalperaturan perundang-undangan.29
Alasan-alasan di atas, menjadi sangat penting
untuk disikapi oleh ajara positivisme hukum, agar
tidak terjebak dalam praktek-praktek hukum yang jauh
dari norma-norma keadilan yang tumbuh, hidup dan
diakui kebenarannya oleh masyarakat. Untuk itulah,
maka positivisme hukum, kekuasaan dan perubahan
sosial harus dilihat secara utuh menjadi satu
kesatuan yang saling berkontribusi untuk menciptakan
keadilan yang seadil-adilnya. Melakukan ini,
diperlukan perubahan cara pandang dari positivism
hukum yang kaku, dan buta harus dirubah dengan cara
pandang pendekatan fungsional imperatif, agar
penegakan hak masyarakat dan perubahan sosial dapat
ditilik dalam hubungannya dengan berbagai fungsi
hukum yang fundamental dalam system kemasyarakatan
pada umumnya.Fungsi imperatif, yang dimaksud di sini
29 Widodo Dwi Putro, Kritik…, op.cit. h. 1 - 8
39 | makalah sosiologi hukum, 2012
adalah fungsi adaptasi, fungsi tujuan tertetu,
fungsi integrative, dan fungsi pemeliharaan pola.30
Fungsi adaptasi, merupakan pengembanga kemamuan
warga masyarakat menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang sedang berlangsung. Fungsi pencapaian
tujuan tertentu harus disinergikan dengan
memperhatikan kondisi, kepentingan dan nilai yang
tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Fungsi integrative merupakan upaya pembinaan
kesatuan kelompok masyarakat dengan prasyarat
fungsional dalam mempertahankan keutuhan kehidupan
masyarakat. Serta, pemeliharaan pola dan pembentukan
komitmen terhadap kondisi kehidupan yang serasi,
harmonis dan berkesinambungan menjadi sebuah pola
yang tetap terjaga dan menguatkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
Akhirnya, paradigm positivisme hukum haru
memperhatikan perubahan-perubahan sosial yang ada
didalam masyarakat, lalu menempatkannya dalam
pertimbangan dan kebijakan hukum yang diterapkannya,
tanpa itu, maka positivisme hukum hanya akan menjadi
alat untuk menjalankan kepentingan penguasa dan
bukan untuk kepentingan keadilan masyarakat yang30 Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2009, h. 11
40 | makalah sosiologi hukum, 2012
justeru bertetangan dengan prinsip-prinsip penegakan
hukum sebagaimana yang dicita-citakan positivisme.
Jadi, perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah
bagian dari respon masyarakat terhadap ketidak
adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk
itu, hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat
memberikan perubahan yang positif dan berkeadilan
bagi masyarakat.
D. KESIMPULAN
1. positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai
salah satu mazhab yang berorietasikan pada kemurnian
hukum dalam undang-undang dan menolak berbagai
bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas
sosial, dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan
sosial pun di tolak, dimensi sejarah dilupakan,
aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun
ditolak.
2. Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya
penegakan hukum, tanpanya hukum tidak akan mampu
berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok
membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan
mempengaruhi kelompok lain. Namun, dalam negara
modern saat ini, kekuasan bukan berarti kekuasaan
41 | makalah sosiologi hukum, 2012
yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum,
akan tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-
batasan yang seimbang dengan kekuasaan lainnya agar
satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan
mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan
sebagainya dapat dihindari
3. Perubahan sosial tidak pernah terhenti di dalam
masyarakat oleh karena positivisme hukum, dan
perubahan tidak pernah memandang bahwa positivis
adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat.
Banyak perubahan-perubahan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat, karena sesungguhnya masyarakat
sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi
tang berbeda-beda dalam merespon berbagai persoalan,
termasuk persoalan positivisme hukum.
4. Positivisme hukum dan kekuasaan adalah saling
berkepentingan satu sama lainnya, hukum
terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana
oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan
terlegitimasi oleh hukum, dan dikuatkan oleh norma-
normanya yang dapat menundukkan setiap warga negara
atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum
dan kekuasaan terejawantah dalam fungsi-fungsi
kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan
42 | makalah sosiologi hukum, 2012
menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa
dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan atau bahkan
sebaliknya kekuasaan mempengaruhi kepentingan hukum
5. Perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah bagian
dari respon dan kritik masyarakat terhadap ketidak
adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk
itu, hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat
memberikan perubahan yang positif dan berkeadilan
bagi masyarakat.
43 | makalah sosiologi hukum, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib ManusiaLintas Ruang dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara,diterjemahkan dari buku Hans Kelsen “General Theory of law andState”, Bandung, Nusa Media, 2009.
Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2002, cet. 3.
F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampaiNietzsche”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentangPerkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta,Genta Publishing, 2010.
Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan OborIndonesia, 2009.
Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, AcaraPidana & Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentangPerubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan denganKejahatan terhadap Negara”, Jakarta Selatan, Visimedia, 2010.
Id.wikipedia.org. Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in
Sosiology” oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, PustakaPelajar, 2009.
Munir Fuaidy, “Teori negara Hukum Modern”, Bandung, RefikaAditama, 2009
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010.
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode danPilihan Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, NusaMedia, 2008.
44 | makalah sosiologi hukum, 2012
Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu TinjauanTeoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, GentaPublishing, 2009.
Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”Yogykarta, Genta Publishing, 2001.
Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact),Kode Etik Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI,Jakarta, 2006.
Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam PerspektifHukum Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”,Yogyakarta, Genta Publishing, 2009.
45 | makalah sosiologi hukum, 2012