DIKTE POSITIVISME HUKUM ; INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Mawardi

45
DIKTE POSITIVISME HUKUM ; INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Mawardi A. PENDAHULUAN Hukum ibarat sebuah pisau” memberi makna bahwa hukum sangat tajam bila ditegakkan bagi rakyat kecil, tetapi tumpul bila ditegakkan untuk kaum elite. Perumpamaan semacam ini menggambarkan bahwa phenomena berhukum telah bergeser dari upaya memenuhi rasa keadilan menuju memenuhi kepentingan bagi kelompok tertentu, apalagi term “keadilan” sangatlah abstrak dan sulit diukur secara pasti dan tepat. Telah banyak definisi dan pemaknaan yang diberikan oleh para filosuf, pakar hukum, praktisi hukum, penegak hukum bahkan oleh rakyat kecil namun tetap saja tidak berada dalam ruang dan persepektif generasi yang berbeda-beda satu sama lain dan saling mendikotomi dalam berbagai aliran dan mazhab berhukum sehingga mempengaruhi praktek berhukum pada era masing-masing, mulai dari zaman klasik, pertengahan, bahkan sampai era modern saat ini. Pada zaman klasik, hukum banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin hukum alam yang memformulakan konsep dan teorinya pada nilai-nilai universal seperti hukum yang dilihat sebagai tatanan kebajikan oleh secrates, 1 | makalah sosiologi hukum, 2012

Transcript of DIKTE POSITIVISME HUKUM ; INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Mawardi

DIKTE POSITIVISME HUKUM ;INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh : Mawardi

A. PENDAHULUAN

“Hukum ibarat sebuah pisau” memberi makna bahwa hukum

sangat tajam bila ditegakkan bagi rakyat kecil, tetapi

tumpul bila ditegakkan untuk kaum elite. Perumpamaan

semacam ini menggambarkan bahwa phenomena berhukum

telah bergeser dari upaya memenuhi rasa keadilan

menuju memenuhi kepentingan bagi kelompok tertentu,

apalagi term “keadilan” sangatlah abstrak dan sulit

diukur secara pasti dan tepat. Telah banyak definisi

dan pemaknaan yang diberikan oleh para filosuf, pakar

hukum, praktisi hukum, penegak hukum bahkan oleh

rakyat kecil namun tetap saja tidak berada dalam ruang

dan persepektif generasi yang berbeda-beda satu sama

lain dan saling mendikotomi dalam berbagai aliran dan

mazhab berhukum sehingga mempengaruhi praktek berhukum

pada era masing-masing, mulai dari zaman klasik,

pertengahan, bahkan sampai era modern saat ini.

Pada zaman klasik, hukum banyak dipengaruhi oleh

doktrin-doktrin hukum alam yang memformulakan konsep

dan teorinya pada nilai-nilai universal seperti hukum

yang dilihat sebagai tatanan kebajikan oleh secrates,

1 | makalah sosiologi hukum, 2012

sarana keadilan oleh plato, hingga hukum rasa sosial

etis oleh aristoleles. Hukum bagi Socrates adalah

tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan

hukum, bukan aturan yang dibuat untuk melanggengkan

hawa nafsu dan bukan pula untuk memenuhi naluri

hedonism diri1. Sedangkan bagi Plato secara riil

merumuskan bahwa hukum (i) merupakan tatanan terbaik

untuk menangani dunia phenomena yang penuh

ketidakadilan, (ii) aturan hukum yang harus dihimpun

dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum,

(iii) UU harus didahului oleh motif dan tujuan UU

terseut (iv) tugas hukum adalah membimbing para warga

(lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna,

(v) orang yang melanggar UU harus di hukum, tetapi

hukumannya bukan balas dendam2. Sedangkan Aristoteles

berpendapat bahwa hukum berada dalam konteks individu

sebagai warga negara (polis) yang kemudian

mengarahkannya pada nilai-nilai moral yang rasional,

maka hukum itu harus adil.3

Teori dan praktek berhukumpun terus berkembang

seiring dengan perkembangan zaman dan realitas sosial

masyarakatnya, setiap zaman terus mencari makna1 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang

dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 30.2 Ibid. h. 403 Ibid.h. 44

2 | makalah sosiologi hukum, 2012

berhukum yang ideal untuk memenuhi rasa keadilan itu.

Pada zaman pertengahan sampai abad ke-19 teori dan

praktek berhukum harus berhadapan dengan fakta-fakta

sosial yang sangat problematis.Thomas Aquinas berteori

tentang hukum sebagai tatanan nilai ilahi yaitu sebuah

teori yang mengkonfigurasikan tata hukum dari lex aterna

(hukum dan kehendak tuhan), lex naturalis (prinsip umum

hukum alam), lex devina (hukum tuhan dalam kitab suci),

dan lex humane ( hukum buatan manusia yang sesuai dengan

hukum alam). Jadi, menurutnya, hukum (lex humane) tidak

menjadi benar jika mengabaikan kebaikan masyarakat,

mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya,

berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang,

diskriminatif terhadap rakyat apalagi jika

bertentangan dengan nilai moral hukum alam dan Tuhan.4

Kuatnya pengaruh fakta-fakta sosial lah yang

memberikan dan melahirkan berbagai teori hukum dan

mengkritik hukum dan implementasinya. Di abad ke-19,

kritik radikal atas hukum pada masa itu hadir dari

muaknya para filosof akan realitas hukum pada masa

itu, mulai kritik Karl Marx yang menjustifikasi bahwa

hukum itu adalah kepentingan orang berpunya karena

realitas sosial telah memotret hukum hanya untuk

4 Ibid. h. 52

3 | makalah sosiologi hukum, 2012

kepentingan kapitalis/kekuatan ekonomi, atau refleksi

oleh Savigny atas realitas hukum yang harus kembali

melihat dimensi-dimensi jiwa rakyat sebagai karakter

dalam berhukum untuk melawan upaya kodifikasi hukum

jerman yang akan mendikte rakyat dan cenderung berefek

negative dan diskriminatif, atau bahkan Emile Durkhaim

yang menguatkan moral sosial sebagai pijakan dalam

interpretasi dan implementasi hukum sebagai ekspresi

solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu

masyarakat.

Uraian di atas mengisyaratkan dan mejelaskan bahwa

“keadilan”diorientasikan pada prinsip-prinsip

kebijaksanaan, kebahagiaan, kesesuaian dengan moral,

nilai-nilai-nilai ilahi, dan bahkan ada dan tumbuh

dalam kesadaran sosial masyarakat. Hukum tidak akan

memberikan keadilan jika tidak berorientasi pada

prinsip-prinsip di atas, sehingga makna keadilan pun

menjadi beragam dan sangatlah absurd. Makna keadilan

akan terus berbeda pada setiap konteks dan realitas

zaman dan ia sangatlah beragam bentuk dan sifatnya.

Untuk itu, hukum harus terbebas dari sikap

diskriminatif, menindas, eksploitatif dan sebagainya

dan ia harus selaras dengan nilai-nilai yang terserak

dalam ragam realitas sosial masyarakat.

4 | makalah sosiologi hukum, 2012

Jika, pada zaman klasik, pertengahan dan abad ke-

19, dominasi nilai-nilai dan fakta sosial mempengaruh

perubahan-perubahan hukum pada masa itu, maka berbeda

halnya dengan abad ke-20 yang diinspirasi oleh Imanuel

Kant dan diteruskan oleh Neo Kantian seperti Austin,

Ernst Bierling, Rudolf Stamler, Hans Kelsen, Gustav

Radburch dan sebagainya telah memberi warna yang

berbeda dengan abad sebelumya. Pada era ini, hukum

memulai babak barunya dalam trend positivism hukum

yang sampai saat ini masih tetap mendominasi dan

bahkan menjadi kekuatan penguasa/negara untuk mengatur

dan menertibkan kehidupan manusia. Melihat hukum

secara normative, hukum secara murni dan realitas

sosial adalah persoalan yang berbeda, dengan kekuatan

undang-undang sebagai pijakan dalam implementasi

berhukum adalah corak khas dari positivism hukum ini.

Konsepsi positivisme hukum ini menempatkan nilai

keadilan yang sangat berbeda dengan era sebelumnya.

Keadilan bermakna legalitas, ia menjelaskan diri pada

suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar

diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya,

peraturan ini harus diterapkan. Dan, suatu peraturan

umum adalah tidak “adil” jika diterapkan pada satu

kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang

5 | makalah sosiologi hukum, 2012

serupa. Keadilan dalam makna legalitas harus sesuai

dengan, dan diharuskan oleh, setiap hukum positif,

baik itu tatanan hukum kapitalistik maupun komunistik,

demokratik maupun otokratik.5 Jadi, keadilan ini

merupakan pemeliharaan atas tatanan hukum positif

melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan

jiwa dari tatanan hukum positif tersebut dan keadilan

itu adalah keadilan berdasarkan hukum positif yang

terserak dalam logika dan interpretasi ragam undang-

undang dan peraturan-peraturan yang terkodifikasi.

Dikte positivism hukum atas keadilan pun masih

berkeliaran dalam prakteknya sekarang ini, hukum

menjadi buta akan fakta-fakta sosial yang ada dalam

masyarakat, hukum tidak lagi mengedepankan subtsansi

hukumnya, tetapi lebih pada kesahihan logika dan nalar

undang-undang yang sangat proseduralis dan jika boleh

dikatakan “sangat refresif”. Di Indonesia, implementasi

hukum positif seringkali mendapat perlawanan dari

berbagai kekuatan-kekuatan sosial yang ada, karena

keadilannya bersifat diskriminatif, eksploitatif dan

menindas kaum lemah, tetapi sebaliknya, menyokong

kepentingan penguasa/negara, kapitalisme, kolonialisme

5 Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara, diterjemahkandari buku Hans Kelsen “General Theory of law and State”, Bandung, Nusa Media,2009, h. 17

6 | makalah sosiologi hukum, 2012

dan sejinisnya sehingga memaksa kehidupan sosial

berubah atas keinginan hukumnya.

Pergulatan paradigma di atas, antara positivism

hukum dengan hukum dalam realitas sosial terus saling

mempengaruhi yang berunjung pada orientasi dan

kepentingan perubahan yang diinginkan. Satu sisi

menginginkan perubahan pentingnya keadilan diukur dari

nilai dan prinsip yang ada dalam realitas sosial, dan

sisi lainnya menginginkan perubahan keadilan yang

diukur secara ketat dan tegas oleh positivism hukum.

Atau bahkan keduanya saling mempengaruhi perubahan

hukum dan perubahan sosial. Berkaitan dengan itu, maka

tulisan ini ingin menguak secara mendalam pada focus

persoalan dikte positivism hukum sebagai hukum yang

memihak kepada interest kekuasaan, dan responnya atas

perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam prilaku

hukum masyarakat khususnya di Indonesia.

B. PERMASALAHAN

Dalam tulisan “Dikte Positivisme Hukum ; Interest

kekuasaan dan perubahan sosial” ini mefokuskan

pembahasannya pada 3 (tiga) pokok persoalan yaitu :

pertama, Apa substansi konsep positivism hukum,

kekuasaan dan perubahan sosial dalam berhukum ?.,

7 | makalah sosiologi hukum, 2012

Kedua, Kenapa positivism hukum dan kekuasaan saling

berkepentingan ?., dan Ketiga, Bagaimana positivism hukum

menfasilitasi dan mengakomodir perubahan-perubahan

sosial ?.

Ketiga persoalan ini, ingin digambarkan secara

sistematis mulai dari konsepsi,, korelasi dan

implementasi serta refleksi atas kiprah postivisme

hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan dan perubahan

sosial sehingga didapatkan uraian yang memadai dalam

memahami positivism hukum, khususnya di Indonesia.

C. PEMBAHASAN

a. Positivisme Hukum, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial

Positivisme Hukum

Secara etimologis, kata positivisme dalam bahasa

inggris “positivism” berasal dari bahasa latin : ponerre

– posui – positus yang berarti meletakkan.6 Istilah

positivism lahir dari pengembaraan filsafat dalam

merasionalisasikan berbagai pemikiran-pemikiran

keilmuan yang oleh Auguste Comte (1798-1857)

merupakan akhir dari bentuk pengembaraan pemikiran

teologi, metafisika dan filsafat. Istilah positif

6 Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,2002, cet. 3, h. 858.

8 | makalah sosiologi hukum, 2012

oleh comte didefinisikan dalam beberapa pengertian,

yaitu :

1) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangbersifat khayal, maka pengertian “positif”pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatuyang nyata;.

2) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidakbermanfaat, maka pengertian “positif” sebagaipenafsiran sesuatu yang bermanfaat;

3) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangmeragukan, maka pengertian “positif” diartikansebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti;

4) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur,maka pengertian “positif” diartikan sebagaipensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.

5) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yangnegative, maka pengertian “positif” dipergunakanuntuk menunjukkan sifat-sifat pandanganfilsafatnya yang selalu menuju ke arah penataandan penertiban.7

Konsepsi “positif” merambah segala bidang pemikiran

keilmuan termasuk ilmu hukum yang selanjutnya

dikenal dengan istilah Positivisme hukum, yang oleh

Immanuel Kant menyebutnya “hukum produk akal praktis”,

Austin menyebutnya “tata hukum”, Ernst Bierling

menyebutnya “Aturan positif”, Stammler menyebutnya

“Kehendak Yuridis”, dan Kalsen menyebutnya “hukum murni”.

H.L.A. Hart telah mengidentifikasi cirri-ciri yang7 F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche”,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 204 – 205.

9 | makalah sosiologi hukum, 2012

merupakan esensi dari positivisme dalam ilmu hukum

sebagai berikut :

1. Hukum adalah perintah;2. Tidak ada suatu kebutuhan untuk mengaitkan atau

menghubungkan antara hukum dengan moral atauhukum sebagaimana adanya (law as it is) dengan hukumsebagaimana seharusnya (law as ought to be);

3. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsephukum adalah suatu studi yang penting, (analisisatau studi tadi) harus dibedakan dari studisejarah, studi sosiologis, dan penilaian kritisdalam makna moral, tujuan-tujuan sosial, danfungsi-fungsi sosial;

4. Sistem hukum adalah suatu system tertutup yanglogis, yang merupakan putusan-putusan yang tepatserta dapat dideduksikan dari aturan-aturan yanada sebelumnya; dan

5. Pertimbangan secara moral tidak dapatdipertahankan, kecuali dengan argument rasional,fakta-fakta atau bukti.8

Teorisasi positivisme hukum ini menegaskan

dirinya sebagai salah satu mazhab yang

berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-

undang dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan

intervensi moral, realitas sosial, dan bahkan

tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak.

Akibatnya, undang-undang dan keseluruhan peraturan-

8 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentang PerkembanganPemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010,h. 68

10 | makalah sosiologi hukum, 2012

peraturan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat

hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal

menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis

dan linear untuk menyelesaikan permasalahan

masyarakat sesuai bunyi undang-undang.

Dalam perkembangannya, mazhab positivisme

mempengaruhi negara-negara system kodifikasi dengan

undang-udang sebagai satu-satunya sumber yang pasti.

Di Indonesia, menurut Widodo, bahwa psotivis hukum

Indonesia dipengaruhi oleh ajaran legisme9 yang

dikembangkan di Hindia Belanda yang dapat dibaca

dalam pasal 15 Algemene Bapelingen van Wetgeving yang

antara lain berbunyi “Terkecuali penyimpangan-

penyimpangan yang ditemukan bagi orang-orang Indonesia dan

mereka dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, maka

kebiasaan bukanlah hukum, kecuali menghendakinya”. Bahkan

pengaruh legisme ini terasa dalam lapangan hukum

pidana Indonesia dalam pasal 1 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :”Tiada

suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar

9 Aliran legisme berkeyakinan bahwa undang-undang merupakanobat mujarab yang mampu menyelesaikan segala persoalan sosial. Carapandang ajaran legisme mirip dengan positivisme hukum..lihat WidodoDwi Putro,”Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum”, Yogyakarta, GentaPublishing, 2011, h. 26 – 27.

11 | makalah sosiologi hukum, 2012

peraturan berkekuatan undang-undang yang terlebih

dahulu ada dari perbuatan tersebut.”.

Hukum pada setiap pasal dalam undang-undang

dimaknakan secara “tekstual”. Sebagai teks, hukum

ditafsirkan maknanya secara semantik dan diyakini

maknanya dapat mengantarkan manusia kepada keadilan

yang dibawa oleh hukum. Positivisme hukum hanya

menafsirkan hukum sebagai teks yang terdiri dari

serangkaian huruf dan kalimat, melihat teks secara

diskursif sebagai sebuah symbol, terlebih symbol

cultural tidak menjadi bahasan yang serius, hukum

hanya dilihat sebagai sebuah teks harfiah yang

ditafsirkan “semata-mata” dengan type penafsiran

gramatikal.10

Dalam konteks positivise hukum, hukum tidak

dipandang secara ideologis apalagi melihat hukum

dalam perspektif sosiologis, atau ragam hukum yang

tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh,

jika dalam undang-undang “dilarang mencuri”, maka hukum

tidak melihat aspek dosa dalam mencuri, mencuri

dapat merusak moral public dan keadilan, mencuri itu

mengurangi hak orang lain, tetapi ia lebih

10 Lihat Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,2009, h. 293

12 | makalah sosiologi hukum, 2012

dimaknakan sebagai sebuah larangan untuk mengambil

barang orang lain dan dapat dipidana seperti yang

termaktub dalam teks KUHP pasal 362 “Barang siapa

mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

memilikinya secara melawan hukum diancam karena

pencurian dengan pidana paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak Sembilan ratus ribu

rupiah”.11

Jadi, positivisme hukum ini menegaskan dirinya

sebagai salah satu mazhab yang berorietasikan pada

kemurnian hukum dalam undang-undang dan menolak

berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral,

realitas sosial, dan bahkan tuntutan perubahan-

perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah

dilupakan, aspek ekonomi diabaikan dan peran politik

pun ditolak.

Kekuasaan

Term kekuasaan menjadi factor dominan dan

penentu tegaknya hukum,, tanpanya hukum tidak

bermakna apa-apa, ia menyentuh segala aspek dan11 Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana &

Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Negara”, JakartaSelatan, Visimedia, 2010, h. 86.

13 | makalah sosiologi hukum, 2012

dimensi kehidupan manusia baik dalam persepktif

sosiologis maupun positivis. Bahkan tidak jarang,

kekuasaan diperebutkan oleh banyak kekuatan-

kekuatan, baik secara individual maupun kelompok.

Wikipedia menjelaskan bahwa kekuasaan dimaknakan

sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang

atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut

sesuai dengan kewenangan yang diberikan.12 Makna

kekuasaan sangatlah beragam dengan pola dan metode

perolehannya yang berbeda-beda, sehingga siring

didengar bahwa “raja” adalah symbol kekuasaan bagi

negara monarki, presiden adalah symbol kekuasaan

bagi negara republik, perdana menteri, senator,

pejabat, adalah symbol-simbol kekuasan dalam satu

negara dan kekusaan adalah negara.

Kekuasan dalam negara telah lama diperdebatkan

dan telah melahirkan konsep-konsep kekuasaan negara

dengan segala bentuk dan variannya. Zaman klasik

ditunjukkan dengan kekuasaan para raja dan

aristokrat, abad pertengahan kekuasaan ditunjukkan

oleh dominasi agama, abad 19 kekuasaan ditunjukkan

oleh totaliterianisme, kapitalisme dan sosialisme,

dan abad ke-20 hingga abad modern ini, kekuasaan

12 Id.wikipedia.org.

14 | makalah sosiologi hukum, 2012

ditunjukkan oleh demokrasi sehingga banyak

melahirkan konsep-konsep negara, seperti negara

hukum, negara kesejahteraan (walfere state) dan lain

sebagainya. Semua konsep negara diatas dilegitimasi

oleh kekuasaan. Konsep kekuasaan tersebut yang oleh

Max Weber menyebutnya sebagai “prestise kekuasaan” yang

dalam praktiknya berarti kejayaan kekuasaan atas

komunitas-komunitas lain, berdasarkan kekuasaan ini

para anggota bisa berpretensi pada suatu “prestise”

khusus dan pretense mereka mungkin mempengaruhi

tingkah laku eksternal struktur kekuasaan.

Pengalaman mengajarkan bahwa klaim atas “prestise”

selalu menjadi penyebab pecahya perang.13

Menurut teori konstitusi, terdapat dua macam

pendistribusian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu

kekuasaan vertical dan kekuasaan yang horizontal.14

Negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat,

yang hidup dalam suatu bagian permukaan bumi

tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu dengan13 Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in Sosiology”

oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, h. 192.14 Distribusi kekuasaan vertical mengajarkan tentang pembagian

kekuasaan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkandistribusi kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang adadi tingkat pusat maupun yang ada ditingkat daerah, yang pembagiannyasering disebut sebagai Trias Politica yang berisi distribusikekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Lihat Munir Fuaidy,Teori Negara Modern…op.cit. h. 103.

15 | makalah sosiologi hukum, 2012

kedaulatan sebagai cirri definitive dari kekuasaan.15

Kekuasaan yang didapat oleh negara, yang oleh

Montesquieu dalam trias politica ini harus diberikan

kepada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk

menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar,

menumpuknya tiga kekuasaan ini pada satu tangan

adalah sangat berbahaya dan dapat menyebabkan

inefesiensi, korupsi dan kesewenang-wenangan.

Berbeda dengan Montesquieu, Van Volenhoven justeru

medsitribusikan kekuasaan pada empat pilar penting

dalam negara, yaitu 1) regeling (legislative), 2)

bestuur (eksekutif), 3) rechtspraak (yudikatif), dan 4)

politie, yaitu sebuah badan yang bertugas menjaga tata

tertib untuk mengawasi agar semua cabang

pemerintahan dapat menjalankan fungsinya dengan

baik.16

Distribusi kekuasaan di atas merupakan salah

satu cirri dari konsep negara hukum (rechtsaat) yang

kini banyak dianut oleh negara-negara demokrasi saat

ini. Negara hukum menjadi batasan dari sebuah

kekuasaan. Ide pembatasan ini dianggap mutlak harus

ada , karena sebelumnya semua fungsi kekuasaan

negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu15 Hans Kelsen, Teori Umum..op.cit. h.36016 Munir Fuaidy, Teori negara..op.cit. h. 105

16 | makalah sosiologi hukum, 2012

orang, yaitu ditangan raja atau ratu yang memimpin

negara secara turun temurun. Bagaimana mungkin

kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung

kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut

tanpa adanya control yang jelas agar kekuasaan itu

tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebas

rakyat.17

Harus di akui, bahwa kekuasaan dengan system

monarki telah berabad-abad terhapus dalam konteks

kekuasaan saat ini, dan kini tinggal sisa-sisa yang

tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikans

dalam mengatur dan mengelola kehidupan

bermasyarakat, toh, jika pun masih ada, tatanan

hukumnya pun sudah mengalami perubahan yang

mendasar. Di Indonesia, kekuasaan oleh raja kini

sudah terhapus semenjak kolonialisme belanda sampai

pada era sekarang ini, namun posisi dan strata raja

dan ratu di Indonesia masih dihormati sebagai khas

dan penyangga budaya bangsa. Bahkan, di Inggris yang

memiliki raja pun tetap mengenal system distribusi

kekuasaan walaupun tidak setegas negara demokrasi.

Namun, kebijakan dan praktek hukumnya telah ada

dalam konstitusi. Aristoteles pun pernah berpendapat17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Raja

Grafindo Persada, 2010, h. 282

17 | makalah sosiologi hukum, 2012

bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang

bukan merupakan pemerintahan yang konstitusional.

Jadi, Kekuasaan adalah bagian penting dalam

upaya penegakan hukum, tanpanya hukum tidak akan

mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok

membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan

mempengaruhi kelompok lain. Namun, dalam negara

modern saat ini, kekuasan bukan berarti kekuasaan

yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum,

akan tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-

batasan yang seimbang dengan kekuasaan lainnya agar

satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan

mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan

sebagainya dapat dihindari.

Perubahan Sosial

Jika, positivisme menganggap bahwa ia merupakan

akhir dari segalanya, karena kemajuan abad ke-19

telah menemui puncaknya sehingga tidak ada yang

perlu diperdebatkan lagi dalam berbagai realitas

perubahan sosial. Maka, justeru sebaliknya, bahwa

kemajuan yang dicapai pada era positivisme ini

bukanlah akhir dari segalanya, masyarakat terus

bergerak dan berinteraksi dalam problematikanya yang

18 | makalah sosiologi hukum, 2012

sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai

kekuatan-kekuatan yang tumbuh dan ada di dalam suatu

masyarakat.

Menurut Satjipto Raharjo, Perubahan-perubahan

dalam masyarakat menampilkan perkembangan baru yang

menggugat masa kebebasan abad ke-19. Negara semakin

mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan

yang aktif, struktur politik juga telah mengalami

perubahan besar, kaum pekerja makin memainkan

peranan penting dalam politik dan memperluas

demokrasi politik, cara-cara penanganan hukum yang

didominasi oleh kepentingan kaum borjuis digugat

oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi konsituen

dalam penggung politik.18 Sehingga hukum tidak lagi

dapat mempertahankan lebih lama politik isolasinya

dengan menjadikan dirinya sebagai institusi yang

steril dan murni dari pemikiran-pemikiran sosial,

ekonomi, dan politik.

Institusi hukum yang steril dari berbagai

kekuatan-kekuatan kultur, sosial, ekonomi, maupun

politik sangatlah tidak dapat dielakkan,

bagaimanapun kekuatan tersebut tetap saling

berinteraksi dan mempengaruhi dalam struktur sosial18 Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode dan Pilihan

Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 11

19 | makalah sosiologi hukum, 2012

masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kultur yang

berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga

penerimaan atas hukum pun menjadi berbeda-beda pula,

dan jika dipaksakan maka justeru akan melahirkan

Konflik-konflik yang tidak berkesudahan.

Merespon perubahan sosial ini, Reberto M. Urger

menggambarkan bahwa selama ini, masayarakat terkotak

dalam 3 tipelogi masyarakat yaitu 1) masyarakat

kesukuan, 2) masyarakat liberal, dan 3) masyarakat

aristokratis. Ketiga bentuk masyarakat ini berbeda-

beda karakter dalam merespon perubahan yang sesuai

dengan kehidupan sosial masing-masing. Namun,

persoalan yang kerap dihadapi adalah pandangan

tentang apa yang ideal dan pengalaman kenyataan yang

sesungguhnya.19

Pada masyarakat kesukuan, hanya ada kemungkinan

bahwa konsesnsus komunitas akan bercerai berai dan

memungkinkan munculnya kepercayaan-kepercayaan yang

menentang cara-cara yang sudah lazim. Kemungkinan

ini jarang terwujud, namun, kalau toh sempat muncul

perubahan, umumnya cenderung tidak ebertubi-tubi dan

tidak disadari. Perubahan structural lebih pada

19 Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, 2008,h. 205

20 | makalah sosiologi hukum, 2012

suatu penyimpangan kebiasaan daripada takdir yang

wajar.

Pada masyarakat liberal, selalu ada Konflik

nyata antara apa yang diharapkan manusia dari

masyarakat dengan apa yang sesungguhnya yang mereka

dapatkan darinya. Konflik ini memuncak dengan adanya

kebutuhan kuat akan kekuasaan yang mengatur,

ditambah dengan ketidakmampuan untuk meyangga jenis

kekuasaan apapun. Dikarenakan ada Konflik dari

banyak segi antara ideal dan kenyataan ini, maka

perubahan di masyarakt liberal berlangsung amat

cepat dan luas.

Sedangkan pada masyarakat aristokratis, hubungan

antara ideal dan pengalaman dirasakan lebih akrab.

Namun, masih ada gap yang cenderung tersembunyi.

Ambisi golongan-golongan nonaristokratis tidak

mungkin diselaraskan dengan tatanan sosial, visi

moral atau religious masyarakat tampaknya

membenarkan sekaligus mengutuk hirarki-hirarki yang

sudah mapan. Dalam masyarakat ini, perubahan bisa

berlangsung lebih lambat dan kurang nyata daripada

perubahan dalam masyarakat liberalism.

Dari ragam corak masyarakat di atas, maka dapat

diamati proses perubahan sosialnya yang oleh

21 | makalah sosiologi hukum, 2012

Satjipto Raharjo, dibedakan dalam tiga irama

perubahan, yaitu, 1) perubahan yang beringsut, 2)

perubahan yang luas dan serba meliputi, dan 3)

perubahan revolusioner).20 Perubahan yang beringsut

memberikan tambahan-tambahan pada keadan semula

tetapi tanpa mengadakan perubahan dalam substansi

maupun strukturnya, selain bentuk penambahan

tersebut bisa juga berupa pengurangan, peniadaan

atau modifikasi terhadap substansi yang ada, namun

demikian tetap tidak menimbulkan perubahan pada

keadaan semua.

Perubahan ini tampak pada corak masyarakat

kesukuan, dimana perubahan yang terjadi tidak sampai

merubah keadaan yang semua, norma-norma yang ada

pada masyarakat kesukuan ini dapat dikuragi atau

dimodifikasi substansinya karena normanya tumbuh dan

hidup di dalam masyarakat dan tidak tertulis secara

nyata. Sehingga norma-norma yang baru hadir

dihadapan mereka dapat diterima sebagai tambahan

atau bahkan dapat ditolak atau dikurangi jika itu

menimbulkan perubahan pada keadaan semula. Jika,

norma – norma hukum positif bertentangan dengan

20 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritisserta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, Genta Publishing,2009, h. 39

22 | makalah sosiologi hukum, 2012

kultur dan budaya mereka maka mereka cenderung

mengabaikannya atau bahkan menolaknya dan tidak

menggunakannya sebagai hukum di dalam masyarakat.

Sedangkan, irama perubahan yang luas dan serba

meliputi ini sama dengan perubahan beringsut tetapi

memiliki jangkauan yang lebih luas, perubahan ini

bisa tampak pada masyarakat aristokratis karena

masyarakatnya justeru berada pada gabungan antara

masyarakat kesukuan dan masyarakat liberalism,

sehingga dampak perubahannya pun bisa menyentuh

masayakat kesukuan maupun liberalism, walaupun

proses perubahannya akan terjadi secara lambar,

karena ada kepentingan yang berbeda di dalam

masyarakat aristokratis namun mereka saling

menghormati.

Terakhir, adalah perubahan revolusioner, yaitu

perubahan yang meliputi penggantian suatu tipe norma

secara menyeluruh oleh yang lain dan merupakan

penolakan atas tingkah laku yang sama. Perubahan ini

tampak pada corak masyarakat liberalism, seperti

perubahan yang pernah dilakukan oleh kapitalisme

liberal, karena menolak segala bentuk tatanan norma

yang telah lama dan tidak seirama dengan

23 | makalah sosiologi hukum, 2012

perkembangan zaman baik itu dalam kompetisi ekonomi,

politik dan sebagainya.

Jadi, perubahan sosial tidak pernah terhenti di

dalam masyarakat oleh karena positivisme hukum, dan

perubahan tidak pernah memandang bahwa positivis

adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat.

Banyak perubahan-perubahan sosial yang terjadi di

dalam masyarakat, karena sesungguhnya masyarakat

sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi

tang berbeda-beda dalam merespon berbagai persoalan,

termasuk persoalan positivisme hukum.

b. Positivisme Hukum dan Kekuasaan saling

Berkepentingan

Hukum dan kekuasaan dalam percaturan sejarahnya,

yang oleh para filosuf dan pemikir-pemikirnya

diposisikan sebagai pranata yang saling membutuhkan

satu sama lainnya, khususnya oleh kaum positivisme

hukum. Kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk

mengatur tata kehidupan masyarakat yang tunduk

terhadapnya membutuhkan peraturan-peraturan yang

dapat menertibkan dan mencitakan perdamaian bagai

masyarakatnya. Untuk itu, hukum sangatlah

membutuhkan negara, dan negara sangatlah membutuhkan

24 | makalah sosiologi hukum, 2012

hukum bahkan penyadingan keduanya dikenal dengan

istilah negara hukum.

Dalam negara hukum, hukum memainkan peranannya

yang sangat penting dan berada di atas kekuasaan dan

politik. Di dalam negara-negara yang memberlakukan

common law, maka pemerintahannya didasarkan atas

hukum dan bukan atas kehendak manusia (government by

law, not by men) atau bukan system pemerintahan yang

berdasarkan rule of law bukan rule of men. Sedangkan,

dalam negara-negara yang memberlakukan system hukum

anglo saxon, maka pemerintahannya pun di dasarkan atas

hukum sehingga di kenal dengan itilah rechtstaat, bukan

mathstaat atau “negara kekuasaan”. Dalam bahasa

Prancis di sebut “Etat de Droit”, Italia menyebutnya

“Stato di Dirtto” dan Indonesia meyebutnya “negara

hukum”.21

Teori negara hukum, menegaskan bahwa hukum

memberikan batasan-batasan yang riel atas kekuasaan,

yang dalam trias politica Montesquieu membaginya dalam

kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.

Berangkat dari sinilah, dapat diurai secara lebih

rinci bentuk saling berkepentingannya hukum dengan

kekuasaan. Hukum masuk dalam ranah kekuasaan untuk

21 Lihat Munir Fuaidy, “Teori…”, op.cit. h. 2

25 | makalah sosiologi hukum, 2012

dirumuskan dan disepakati dalam legislasi, dan

dilaksanakan oleh eksekutif dan dikontrol dan

ditegakkan oleh yudikatif. Begitu juga sebaliknya,

kekuasaan masuk dalam ranah hukum untuk melegitimasi

kekuasaan dan kewenangan yang diberikan untuk

kemudian dapat dijadikan sebagai pijakan dan dasar

untuk memaksa dan mengikat masyarakat yang tundak

terhadap kekuasaannya.

Dalam uraian positivisme hukum dan kekuasaan,

dan telah dijelaskan bahwa Hans Kelsen memandang

bahwa “kekuasaan” dalam arti negara mesti berupa

validitas dan efektifitas tatanan hukum nasional,

jika kedaulatan dipandang sebagai satu kualitas dari

kekuasaan itu. Sebab, kedaulatan hanya bisa menjadi

kualitas dari tatanan normative sebagai kekuasaan

yang merupakan sumber hak dan kewajiban. Untuk itu

menjelaskan berbagai fungsi hukum atas kekuasaan

menjadi sangat penting untuk dapat mengurai saling

bekepentingannya hukum dengan kekuasaan yang

berdasar pada teori distribusi kekuasaan oleh

Montesquieu tersebut, seperti dijelaskan berikut ini

:

a. Fungsi eksekutif

26 | makalah sosiologi hukum, 2012

Menurut Hans Kelsen, berbicara mengenai eksekutif

yang berarti pelaksanaan, kita harus bertanya apa

yang dilaksanakan. Tidak ada jawaban lain kecuali

pernyataan bahwa yang dilaksanakan itu adalah

norma-norma umum, konstitusi, dan hukum-hukum

yang dibuat oleh legislative. Namun, fungsi

eksekutif ini seringkali dibedakan lagi menjadi

dua fungsi yaitu fungsi administrative dan fungsi

politik.22

Fungsi politik,biasanya menunjuk pada tindakan-

tindakan tertentu yang bertujuan memberikan

arahan bagi pelaksanaan dan dengan demikian

memiliki makna politik, sedangkan fungsi

administrative ini diejawantahkan dalam tindakan-

tindakan organ administrasiv dalam eksekutif

seperti kepala negara, menteri, kepala daerah dan

sebagainya. Namun, tidak ada satu kebijakan yang

dapat melepaskan suatu tindakan eksekutif dari

karakternya sebagai tindakan pelaksanaan hukum.

Penjelasan ini menegaskan bahwa fungsi-fungsi

negara terbukti identik dengan fungsi-fungsi

esensial hukum, karena eksektuif tidak terlepas

22 Hans Kelsen, Teori umum…, op.cit. h. 361

27 | makalah sosiologi hukum, 2012

dari karakter hukum, dan hukum tidak berjalan

tanpa ada eksekutif.

b. Fungsi Legislatif

Fungsi ini memiliki karakter yang berbeda dengan

fungsi eksekutif dan yudikatif dan bergantung

pada sisten negara yang dianut. Dalam system

negara hukum, fungsi legislative bertugas untuk

membuat undang-undang yang dirumuskan dari norma-

norma umum yang berlaku di dalam masyarakat,

untuk kemudian menjadi pijakan dan pedoman

pelaksanaan kekuasaan oleh eksekutif dan

yudikatif. Namun, fungsi ini juga dijalankan oleh

eksekutif dan yudikatif dalam bentuk lebih khusus

dan memberi penjelasan atas undang-undang yang

bersifat umum, tetapi berbentuk peraturan atau

ordonansi.23 Jadi, fungsi legistlatif ini juga

menegaskan bahwa hukum melegitimasi kekuasaan dan

hukum memberi ruh pada kekuasaan.

c. Fungsi yudikatif

Salah satu tugas utama dari fungsi yudikatif

adalah membuat norma-norma khusus berdasarkan

norma-norma umum yang dilahirkan oleh undang-

undang dan kebiasaan, dan menerapkan sanksi-

23 Ibid.h.362

28 | makalah sosiologi hukum, 2012

sanksi yang ditetapkan oleh norma-norma umum dan

norma-norma khusus ini.24 Penerapan sanksi

merupakan pelaksanaan hukum dalam arti yag lebih

sempit dan terbatas dan diwujudkan dalam melalui

lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman. Jadi, hukum

melalui fungsi ini ditegakkan dan kekuasaan

melalui fungsi ini dijaga.

.Ketiga fungsi tersebut diatas memberikan

gambaran yang jelas bahwa positivisme hukum

merupakan salah satu kekuatan untuk mendukung dan

melegitimasi kekuasaan, dan mensterilkan kekuasaan

dari berbagai kritik sosial dan hukum atasnya,

karena hukum telah memberikan jaminan yang

berkekuatan dan menundukkan segala kekuasaan yang

bisa saja hadir dari berbagai individu atau

kelompok, dalam satu kekuasaan negara.

Di Indonesia, telah menganut doktrin pemisahan

kekuasaan ini secara nyata, khususnya setelah UUD

1945 mengalami empat kali perubahan. Namun,

pembagian kekuasannya dikelompokkan dalam beberapa

lembaga tinggi negara seperti presiden, DPR, DPD,

MK, dan MA. Ada beberapa bukti yang menunjukkan

bahwa Indonesia menganut doktrin distribusi

24 Ibid. h. 364

29 | makalah sosiologi hukum, 2012

kekuasaan ini yang satu sama lainnya menunjukkan

saling berkepentingan antara hukum dan kekusaaan

tersebut, yaitu :

1) Adanya pergeseran kekuasaan legislative daritangan presiden ke DPR. Ketentuan pasal 5 ayat(1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelahperubahan menegaskan bahwa kekuasaan untukmembentuk undang-undang yang sebelumnya beradapada tangan presiden, sekarang beralih ke DPR;

2) Diadopsikannya system pengujian konstitusionalatas undang-undang sebagai produk legislativeoleh Mahkamah konstitusi. Sebelumnya tidakdikenal adanya mekanisme semacam itu, karena padapokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugatdimana hakim hanya dapat menerapkan undang-undangdan tidak boleh menilai undang-undang;

3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaultan rakyatitu tidak hanya sebatas MPR, melainkan semualembaga negara baik secara langsung maupun tidaklangsung merupakan penjelmaan dari kedaulatanrakyat. Semua lembaga tinggi negara berdaulatatas rakyat;

4) MPR tidak lagi berstatus sebagai lembagatertinggi negara, melainkan merupakan lembagatinggi negara yang sama derajatnya dengan lembagatinggi negara lainnya; dan

5) Hubungan-hubungan antar lembaga tinggi negara itubersifat saling mengendalikan satu sama lainsesuai dengan prinsip checks and balances.25

25 Jimli Assiddiqie, Pengantar…, op.cit. h. 291 -292

30 | makalah sosiologi hukum, 2012

Berdasarkan perubahan-perubahan prinsip

kekuasaan yang sangat mendasar di Indonesia ini,

memberikan ruang perubahan sosial dalam realitasnya,

jika dulu, hukum positive mengenkang partisipasi

masyarakat dalam lembaga kekuasaan, maka kini,

partisipasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi

dan membentuk dan menemukan hukum menjadi terbuka,

masyarakat dapat berpartisipasi melakukan control

terhadap kekuasaan dan kekuasaan tunduk pada

kedaulatan rakyat. Namun, dalam persepektif hukum,

positivisasi atasnya telah menutup ruang atas

interpretasi ruang-ruang sosial atas hukum, dan

bahkan terlihat kaku dan anti atas perubahan-

perubahan sosial yang muncul. Ia bisa dirubah dan

diinterpretasi jika telah melalui mekanisme yang

sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara.

Jadi, positivisme hukum dan kekuasaan adalah

saling berkepentingan satu sama lainnya, hukum

terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana

oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan

terlegitimasi oleh hukum, dan dikuatkan oleh norma-

normanya yang dapat menundukkan setiap warga negara

atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum

dan kekuasaan terejawantah dalam fungsi-fungsi

31 | makalah sosiologi hukum, 2012

kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan

menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa

dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan atau bahkan

sebaliknya kekuasaan mempengaruhi kepentingan hukum.

Dalam persepektif sosiologi hukum, maka

sesungguhnya hukum dan kekuasaan memiliki

interdependensi antara keduanya. Jika hukum memiliki

input yang lemah maka kekuasaan akan menjadi lebih

dominan dan hukum dalam diabaikan oleh kekuasaan,

tetapi sebaliknya jika input huku menguat atas

kekuasaan, maka kekuasaan akan tunduk pada hukum,

dan pada penguatan hukum inilah konsep negara hukum

dapat ditegakkan, karena sesungguhnya perubahan

sosial dalam kelangsungan hidup individu, kelompok

atau rakyat banyak bergantung pada kuatnya hukum

bukan pada kuatnya kekuasaan.

c. Perubahan Sosial Kritik atas Positivisme Hukum

Akhir-akhir ini, phenomena dominasi kekuasaan

atas hukum ditunjukkan oleh berbagai fakta-fakta

hukum yang menyelimuti setiap kebijakan pengausa,

ada banyak Konflik norma yang terjadi antara undang-

undang yang satu dengan yang lainnya, norma-normanya

dikaburkan untuk kepentingan penguasa dan kapitalis,

32 | makalah sosiologi hukum, 2012

banyak norma yang tidak terakomodir dalam

positivisasi hukum bahkan rakyat kecil seringkali

ditebas oleh hukum.

Konflik norma, tanpak pada norma HGU, HGB, hak

kelola antara undang-undang UU No. 5 tahun 60

tentang pokok-pokok hukum Agraria dengan UU. No. 25

tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 29

UUPA menjelaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 25

tahun sementara pada pasal 22 ayat (1) point a

menegaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 95

tahun. Pasal 35 UUPA menegaskas HGB diberikan dalam

jangka waktu 30 tahun, berbeda dengan pasal 35

penanaman modal diberikan dalam jangka waktu 80

tahun.

Sementara itu, konsep hak menguasai negara

seringkali dikaburkan ketika penguasa hendak

menguasai atas tanah. Kini UUPA harus ditantang

dengan undang-undang lain seperti UU No, 22 tahun

2001 tentang minyak dan Gas Bumi, UU No. 41 tentang

kehutanan, UU No. 31 tentang Perikanan, UU No. 4

tahun 2009 tentang pertambangan. Semua Undang-undang

ini, bermaksud ingin menjelaskan secara lebih rinci

akan makna dari UUPA, tetapi norma-normanya justeru

mengaburkan substansi dari UUPA yang begit populis

33 | makalah sosiologi hukum, 2012

dan beralih pada kepentingan investasi. Akibatnya,

berbagai kasus eksplorasi tambang sering mendapat

penolakan dan protes dari masyarakat, belum lagi

bencana yang harus menimpa masyarakat dan

menghilangkan hak milik masyarakat seperti kasus

perlawanan masyarat Bima atas ekspolasi tambang

diwilayahnya, perlawanan masyarakat Mesuji atas

perampasan tanahnya, serta bencana lapindo yang

tidak pernah bisa berhenti menyengsarakan kehidupan

masyarakat.

Dalam kasus yang berbeda, protes seorang ayah

yang berjalan kaki untuk mencari keadilan kepada

penguasa atas kematian yang menimpa anaknya yang

justeru menjerat dan melibatkan aparat hukum tidak

pernah tuntas diselesaikan karena daluwarsa,

sehingga nyaris keadilan tidak didapatkan secara

substanstif tetapi lebih pada ketakutan aparat hukum

untuk menegakkannya karena menyalahi prosedur-

prosedur yang berliku-liku dalam prosesnya. Belum

lagi, kakunya hukum dalam menyidangkan kasus-kasus

kecil seperti pencurian sanda bolong, pencurian tuga

kakao, dan sebagainya dimana hukum bertindak tegas

atas orang-orang miskin tersebut bagai pisau yang

tajam, sedangkan tumpul untuk memotong berbagai

34 | makalah sosiologi hukum, 2012

kasus besar yang dilakukan oleh penguasa maupun

kapitalis.

Melihat phenomena di atas, maka sesungghunya

positivisme hukum telah mengarahkan rakyat untuk

terjebak dalam aturan-aturan yang kaku dan buta

sehingga banyak nilai dna norma yang tumbuh dalam

kehidupan masyarakt menjadi turut terjerat dan tidak

ingin diakomodir oleh kekuasaan dan positivisme

hukum. Berkaitan dengan itu, Widodo, dalam bukunya

“Kritik atas postivisme hukum” menjelaskan bahwa “paradigm

positivisme hukum klasik yang menempatkan hakim

sebgai tawanan undang-undang, tidak memberikan

kesempatan kepada pengadilan untuk menjadi suatu

institusi yang dapat mendorong perkembangan

masyarakat. Pada era reformasi pun, belum bisa

mengatakan bahwa putusan-putusan hakim berkontribusi

besar bagi perubahan masyarakat di Indonesia”.26

Sebuah paradigm positivistic yang tidak

berorientasi kepada keadilan telah ditunjukkan oleh

keputusan-keputusan hukum yang didedukasikan secara

logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada, tanpa

menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan

serta moralitas. Padalah Mahkamah Agung RI sebagai26 Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”

Yogykarta, Genta Publishing, 2001, h. 1

35 | makalah sosiologi hukum, 2012

badan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman telah

menentukan bahwa putusan hakim harus

mempertimbangkan segala aspek yang berifat yuridis,

filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang

ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan

dalam putusan hakim adalah keadilan yang

beriorientasi pada keadilan hukum (legal justice),

keadilan moral (moral justice), keadilan masyarakat (sosiac

justice).27

Keadilan hukum (Legal Justice) yang dimaksud diatas

adalah keadilan yang berdasarkan hukum dan

perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya

memutuskan perkara berdasarkan hukum positif dan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan, keadilan

moral (Moral Justice) dan keadilan sosial (social justice)

yang dalam penerapannya ditegaskan bahwa “hakim

harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam

masyarakat” seperti yang terdapat dalam vide pasal 5

ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, yang jika dimaknai

secara mendalam hal ini sudah masuk kedalam

perbincangan tentang moral justice dan social justice yang

sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang

hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan kebenaran27 Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact), Kode Etik

Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, h. 2

36 | makalah sosiologi hukum, 2012

dan berkeadilan dengan berpegang kepada hukum,

undang-undang, dan nilai-nilai keadilan di dalam

masyarakat.28

Mencari keadilan inilah yang kemudian terus

menjadi pertaruhan dalam penegakan hukum, termasuk

oleh hasrat dan cita-cita dari positivisme hukum.

Namun, alih-alih memberikan keadilan secara praktis,

dalam dimensi teoritis saja positivisme telah

mengekang dan menganggap dirinya sebagai satu-

satunya mazhab yang paling benar dan akhir dari

pengembaraan ilmu pengetahuan maupun pengembaraan

hukum mencari keadilan. Untuk itu, untuk menggapai

perubahan hukum yang berkeadilan, dan perubahan

sosial yang tunduk atas hukum, maka sinergi hukum

dengan nilai-nilai lainnya yang tumbuh dalam

masyarakat harus dikombinasikan agar tidak saling

menimpangkan dan menindas satu sama lainnya.

Menyikapi persoalan ini, widodo menjelaskan

bahwa ada beberapa alasa penting positivisme hukum

di Indonesia harus dikritik agar dapat memberi

perubahan-perubahan sosial dalam teori dan

prakteknya. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai

berikut :28 Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 127

37 | makalah sosiologi hukum, 2012

1. Di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukumsecara filosofis belum dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum dimulaisama sekali. Ini sangat diperlukan, karena selamaini hakim hanya mengedepankan uniformitaskhususnya dalam hal penafsiran monolitik terhadapmakana norma-norma itu sendiri, sehingga bersifatgramatikal dan cenderung tektual dan leksikal.Padahal penemuan hukum (rechtsvinding) juga dapatdilakukan dengan metode-metode lain sepertikostruksi atau argumentasi.

2. Ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanyasebagai corong undang-undang, tidak memberi ruangkepada hakim sebagai subyek kreatif. Pikiranpositivisme hukum biasanya tepat dan mampubertahan dalam keadaan masyarakat stabil, namunpada msa krisis dimana hukum disiapkan menataproses interaksi dalam masyarakat telah gagalmenjalankan fungsinya.

3. Hukum oleh ajaran positivisme hukum digambarkansebagai wilayah steril, terpisah dari moral.Bahkan doktrin kelsenian menampik keberadaan ilmuhukum yang terkontaminasi dari anasir-anasirsosiologis, politis, ekonomis, historis dansebagainya.

4. Dalam tradisi hukum civil law peran pemerintah danparlemen dominan dalam pembuatan hukum yangberupa peraturan-peraturan tertulis. Kuatnyapengaruh positivisme hukum dalam system hukumIndonesia ditandai dengan melakukan unifikasi dankodifikasi hukum. Padahal, dalam masyarakatIndonesia yang majemuk, penyeragaman hukum demikepastian hukum untuk seluruh wilayah nusantarajusteru dapat menimbulkan resistensi.

5. Ajaran positivisme hukum memberikan pemahamankepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya

38 | makalah sosiologi hukum, 2012

berurusan dengan norma-norma. Cara pandang yangdemikian, membuat positivisme hukum melihatpersoalan secara “hitam putih” sebagaimana teksundang-undang. Padahal, masalah dalam masyarakatterlalu besar untuk dimasukkan dalam pasal-pasalperaturan perundang-undangan.29

Alasan-alasan di atas, menjadi sangat penting

untuk disikapi oleh ajara positivisme hukum, agar

tidak terjebak dalam praktek-praktek hukum yang jauh

dari norma-norma keadilan yang tumbuh, hidup dan

diakui kebenarannya oleh masyarakat. Untuk itulah,

maka positivisme hukum, kekuasaan dan perubahan

sosial harus dilihat secara utuh menjadi satu

kesatuan yang saling berkontribusi untuk menciptakan

keadilan yang seadil-adilnya. Melakukan ini,

diperlukan perubahan cara pandang dari positivism

hukum yang kaku, dan buta harus dirubah dengan cara

pandang pendekatan fungsional imperatif, agar

penegakan hak masyarakat dan perubahan sosial dapat

ditilik dalam hubungannya dengan berbagai fungsi

hukum yang fundamental dalam system kemasyarakatan

pada umumnya.Fungsi imperatif, yang dimaksud di sini

29 Widodo Dwi Putro, Kritik…, op.cit. h. 1 - 8

39 | makalah sosiologi hukum, 2012

adalah fungsi adaptasi, fungsi tujuan tertetu,

fungsi integrative, dan fungsi pemeliharaan pola.30

Fungsi adaptasi, merupakan pengembanga kemamuan

warga masyarakat menyesuaikan diri terhadap

perubahan yang sedang berlangsung. Fungsi pencapaian

tujuan tertentu harus disinergikan dengan

memperhatikan kondisi, kepentingan dan nilai yang

tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Fungsi integrative merupakan upaya pembinaan

kesatuan kelompok masyarakat dengan prasyarat

fungsional dalam mempertahankan keutuhan kehidupan

masyarakat. Serta, pemeliharaan pola dan pembentukan

komitmen terhadap kondisi kehidupan yang serasi,

harmonis dan berkesinambungan menjadi sebuah pola

yang tetap terjaga dan menguatkan sendi-sendi

kehidupan masyarakat.

Akhirnya, paradigm positivisme hukum haru

memperhatikan perubahan-perubahan sosial yang ada

didalam masyarakat, lalu menempatkannya dalam

pertimbangan dan kebijakan hukum yang diterapkannya,

tanpa itu, maka positivisme hukum hanya akan menjadi

alat untuk menjalankan kepentingan penguasa dan

bukan untuk kepentingan keadilan masyarakat yang30 Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”, Yogyakarta, Genta

Publishing, 2009, h. 11

40 | makalah sosiologi hukum, 2012

justeru bertetangan dengan prinsip-prinsip penegakan

hukum sebagaimana yang dicita-citakan positivisme.

Jadi, perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah

bagian dari respon masyarakat terhadap ketidak

adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk

itu, hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat

memberikan perubahan yang positif dan berkeadilan

bagi masyarakat.

D. KESIMPULAN

1. positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai

salah satu mazhab yang berorietasikan pada kemurnian

hukum dalam undang-undang dan menolak berbagai

bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas

sosial, dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan

sosial pun di tolak, dimensi sejarah dilupakan,

aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun

ditolak.

2. Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya

penegakan hukum, tanpanya hukum tidak akan mampu

berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok

membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan

mempengaruhi kelompok lain. Namun, dalam negara

modern saat ini, kekuasan bukan berarti kekuasaan

41 | makalah sosiologi hukum, 2012

yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum,

akan tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-

batasan yang seimbang dengan kekuasaan lainnya agar

satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan

mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan

sebagainya dapat dihindari

3. Perubahan sosial tidak pernah terhenti di dalam

masyarakat oleh karena positivisme hukum, dan

perubahan tidak pernah memandang bahwa positivis

adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat.

Banyak perubahan-perubahan sosial yang terjadi di

dalam masyarakat, karena sesungguhnya masyarakat

sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi

tang berbeda-beda dalam merespon berbagai persoalan,

termasuk persoalan positivisme hukum.

4. Positivisme hukum dan kekuasaan adalah saling

berkepentingan satu sama lainnya, hukum

terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana

oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan

terlegitimasi oleh hukum, dan dikuatkan oleh norma-

normanya yang dapat menundukkan setiap warga negara

atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum

dan kekuasaan terejawantah dalam fungsi-fungsi

kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan

42 | makalah sosiologi hukum, 2012

menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa

dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan atau bahkan

sebaliknya kekuasaan mempengaruhi kepentingan hukum

5. Perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah bagian

dari respon dan kritik masyarakat terhadap ketidak

adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk

itu, hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat

memberikan perubahan yang positif dan berkeadilan

bagi masyarakat.

43 | makalah sosiologi hukum, 2012

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib ManusiaLintas Ruang dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.

Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara,diterjemahkan dari buku Hans Kelsen “General Theory of law andState”, Bandung, Nusa Media, 2009.

Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2002, cet. 3.

F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampaiNietzsche”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentangPerkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta,Genta Publishing, 2010.

Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan OborIndonesia, 2009.

Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, AcaraPidana & Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentangPerubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan denganKejahatan terhadap Negara”, Jakarta Selatan, Visimedia, 2010.

Id.wikipedia.org. Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in

Sosiology” oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, PustakaPelajar, 2009.

Munir Fuaidy, “Teori negara Hukum Modern”, Bandung, RefikaAditama, 2009

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010.

Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode danPilihan Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.

Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, NusaMedia, 2008.

44 | makalah sosiologi hukum, 2012

Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu TinjauanTeoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, GentaPublishing, 2009.

Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”Yogykarta, Genta Publishing, 2001.

Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact),Kode Etik Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI,Jakarta, 2006.

Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam PerspektifHukum Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”,Yogyakarta, Genta Publishing, 2009.

45 | makalah sosiologi hukum, 2012