BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB
1 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB
Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
A. PENGANTAR
Pada tanggal 2 September 2014 penulis menerima sebuah email dari Mukri Friatna,
Manajer Desk Bencana Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Eknas Walhi). Mukri mengajak diskusi kecil untuk membahas topik itu bersama
berbagai pihak terkait penanggulangan bencana (PB) dan lingkungan hidup (LH). Isi
email Mukri adalah sebagai berikut:
“Di Seknas WALHI saya mengusulkan agar isu bencana khususnya Bencana
Ekologis menjadi perhatian pemerintahan baru 2014. Ada beberapa hal
dalam pandangan kami yang sekiranya perlu didorong. Pertama, bencana
ekologis tidak secara eksplisit dijelaskan dalam UUPB. Kedua, bencana
ekologis semakin meningkat frekwensi, intensitas, dampak dan risikonya.
Ketiga, kelembagaan (BNPB) belum memiliki pengaruh yang kuat di tingkat
intitusi negara, sehingga terkesan rekomendasi BNPB diabaikan. Sebagai
contoh, ketika BNPB menerbitkan peta kawasan rentan bencana, semestinya
dalam penyusunan TR, kawasan tersebut dirujuk agar tidak menjadi objek
eksploitasi. Kelima potensi pelanggaran HAM sangat terbuka sekurangya
dalam pelayanan terhadap penyintas dan secara khusus masyarakat yg
tinggal dan terpapar pada areal bencana jika tidak mendapat pelayanan.”
Penulis tidak dapat menghadiri acara diskusi tersebut karena mengikuti kegiatan lain
yang sudah terjadual sebelumnya. Akan tetapi, sejak itu topik “bencana ekologis” ini
terus berkumandang di benak penulis.
Penulis melihat ada perbedaan pandang antara para pelaku PB dan pelaku LH
dalam memaknai bencana ekologis. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain:
Bagaimana pengertian bencana dan bencana ekologis menurut para pelaku PB dan
pelaku LH? Bagaimana menjembatani kesenjangan pengertian antara kedua pelaku
itu? Dan bagaimana melakukan advokasi agar bencana ekologis mendapatkan
perhatian yang selayaknya oleh para pelaku PB dan pelaku LH di Indonesia?
Mari kita bahas bersama permasalahan ini.
B. PENGERTIAN BENCANA EKOLOGIS OLEH PELAKU LH
“Kitab suci” para pelaku LH di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009)
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
2 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997). Pasal 1 UU No. 32/2009 mendefinisikan
lingkungan hidup sebagai “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.” Untuk itu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dengan artian sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain diuraikan dalam
Pasal 3 UU No. 32/2009 sebagai berikut:
1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
3. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.
4. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
6. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan.
7. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
8. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
9. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
10. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Esensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara. Upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup itu terutama ditujukan untuk melindungi dan
mengatasi dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Dalam Penjelasan Pasal 15
Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009 menguraikan mengenai dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup antara lain sebagai berikut:
1. Perubahan iklim.
2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati.
3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan,
dan/atau kebakaran hutan dan lahan.
4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam.
5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan.
6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat.
7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
Dalam UU No. 32/2009 sama sekali tidak disinggung mengenai bencana ekologis.
Terminologi bencana ekologis pada awalnya digunakan oleh para aktivis Wahana
3 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sejak awal tahun 2000-an. Hingga sekarang ini
bencana ekologis menjadi kata-kata yang sering diucapkan oleh aktivis-aktivis
organisasi non pemerintah (ornop) seperti Greenpeace, World Wide Fund for Nature
(WWF), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan lain-lain. Bahkan Menteri
Lingkungan Hidup pun belakangan ini dalam pidatonya banyak menggunakan kata
bencana ekologis.
Apa itu bencana ekologis? Kata bencana ekologis berasal dari kata bencana dan
ekologis, sedangkan kata ekologis itu sendiri berasal dari kata dasar ekologi yang
mendapat imbuhan huruf “s”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
bencana berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian,
atau penderitaan; kecelakaan; bahaya.1 Kata ekologi berarti ilmu tentang hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).2
Dalam bahasa Indonesia, akhiran huruf “s” menyatakan sifat dari kata awal yang
diimbuhinya. Jadi kata ekologis berarti bersifat ekologi.3 Jadi secara sederhana
dapat dikatakan bahwa bencana ekologis berarti sesuatu yang menyebabkan
(menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang bersifat ekologi.
Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2005-2008
mendefinisikan bencana ekologis sebagai “akumulasi krisis ekologis yang
disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah
mengakibatkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat.”4 Pada dasarnya
bencana ekologis terjadi karena ulah manusia yang menyebabkan kerusakan
lingkungan hidup.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2012-sekarang
membedakan secara jelas antara bencana alam dengan bencana ekologis. Bencana
alam disebabkan oleh alam, dan bencana ekologis disebabkan oleh tindakan
manusia yang tidak menghargai lingkungan. Dengan mengambil contoh banjir
Jakarta pada awal tahun 2014, Abet berpendapat bahwa banjir itu bukanlah
bencana alam, melainkan bencana ekologis yang disebabkan tindakan manusia.
Bencana ekologi dapat diatasi dengan tiga tindakan, yaitu (1) Kesadaran
masyarakat perlu dibina agar mau menjaga lingkungan, (2) Kebijakan pemerintah
harus ditegakkan, dan (3) Penegakan hukum tentunya harus dikedepankan.5
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., Menteri Lingkungan Hidup pada masa Kabinet
Bersatu II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan dalam acara
peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2014, “Apabila saat ini masih
1 Bencana. http://kbbi.web.id/bencana. Diakses tanggal 11 September 2014. 2 Ekologi. http://kbbi.web.id/ekologi. Diakses tanggal 11 September 2014. 3 Ekologis. http://kbbi.web.id/ekologis. Diakses tanggal 11 September 2014. 4 Artikel Merdeka dari Bencana Ekologis oleh Chalid Muhammad di harian Sinar Harapan, 15 Agustus 2006.
Kliping dapat diakses di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-15-009-0001-003-05-
0901.pdf. File diakses tanggal 9 September 2014. 5 Walhi: Banjir Bencana Ekologis http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/14/01/18/mzlu9b-walhi-banjir-bencana-ekologis. Diakses tanggal 9 September 2014.
4 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
ditemukan berbagai bencana ekologis di sekitar kita, maka hal itu disebabkan oleh
pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Oleh
karenanya perlu dilakukan koreksi mendalam agar pengelolaan dan
pemanfaatannya dapat mensejahterakan masyarakat dan tidak menimbulkan
bencana. Konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan keseimbangan
antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup merupakan satu-
satunya pilihan yang wajib kita wujudkan.”6
Dengan demikian pengertian dari bencana ekologis menurut para pelaku LH
tersebut sesuai dengan isi Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009
tentang dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan
telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah Indonesia. Selain topografi alami di suatu
wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi,
praktik pertambangan, dan monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia.
Merujuk data riset Walhi 2007 yang memperkirakan potensi bencana ekologis di
Indonesia sebesar 83%. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada penelitian
lima tahun kemudian yakni pada 2012, di mana angka potensi bencana tersebut
meningkat menjadi 90%.7
Pada akhir tahun 2013 Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Lampung mengadakan seminar akhir tahun dengan topik "Bencana Ekologi Akibat
Investasi Rakus Ruang".8 Dalam seminar itu dibahas hal-hal penting mengenai
bencana ekologis.
Penguasaan lahan dan ekspansi pemilik modal selama ini yang tidak mencerminkan
keutuhan sistem ekologi lingkungan serta keadilan bagi rakyat sebagai pemilik
sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, telah menimbulkan bencana ekologis
yang mengancam umat manusia. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati
manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam
menjalani proses kehidupan, namun saling berinteraksi dan membutuhkan.
Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur
merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi lingkungan
hidup sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dibicarakan secara parsial atau terbagi-
bagi.
6 Sambutan Daerah Materi Lingkungan Hidup Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia, 5 juni 2014.
http://www.menlh.go.id/sambutan-daerah-materi-lingkungan-hidup-pada-peringatan-hari-lingkungan-hidup-se-
dunia-5-juli-2014/. Diakses tanggal 9 September 2014. 7 90% Wilayah Indonesia Terancam Bencana Ekologi
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/22/3/124993/90-Wilayah-Indonesia-Terancam-
Bencana-Ekologi. Diakses tanggal 9 September 2014. 8 Walhi Lampung Bahas Bencana Ekologi http://www.jambura-online.com/kategori/lingkungan/walhi-lampung-
bahas-bencana-ekologi.html#.VA-1C6PfjH5. Diakses tanggal 9 September 2014.
5 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
Lingkungan hidup harus dipandang secara holistik menyeluruh serta meletakkan
semua komponennya dengan setara. Dalam banyak definisi, lingkungan hidup
masih ditafsirkan secara konvensional yang dianggap sebagai penunjang
kehidupan. Perspektif ini melihat lingkungan sebagai objek eksploitasi untuk
penunjang kehidupan.
Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Sumber
daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan
sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Penerapan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat
utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan.
Ada beberapa permasalahan pokok persoalan lingkungan hidup, seperti terus
menurunnya kondisi hutan, kerusakan daerah aliran sungai, habitat ekosistem
pesisir dan laut semakin rusak, citra pertambangan yang merusakan lingkungan,
ancaman atas keanekaragaman hayati makin tinggi, kelemahan penegakan hukum
maupun sistem mitigasi bencana alam yang belum dikembangan. Konflik
pengelolaan sumberdaya alam-bencana ekologis hampir terjadi di semua daerah di
Indonesia.
Walhi mencatat penyebab bencana ekologis di perkotaan adalah karena minimnya
ruang terbuka hijau, ketiadaan drainase, tersumbat saluran pembuangan air, dan
posisi daerah yang berada di dataran rendah. Di perdesaan, bencana ekologis itu
disebabkan karena alih fungsi hutan pada dataran tinggi, kehilangan hutan
mangrove (bakau), dan pendangkalan serta penyempitan sungai. Kesemuanya ini
bermuara pada penataan ruang yang tidak terkendali sehingga menyebabkan
terganggu keseimbangan ekosistem yang berdampak menimbulkan bencana alam.9
Dengan demikian ada korelasi yang sangat erat antara kerusakan lingkungan hidup
yang menyebabkan terjadinya bencana ekologis dengan kejadian bencana alam.
C. PENGERTIAN BENCANA OLEH PELAKU PB
“Kitab suci” para pelaku PB di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007). Pasal 1 UU No. 24/2007
mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
9 Walhi: 3.846 Desa Indonesia Dilanda Bencana Ekologis
http://regional.kompas.com/read/2013/06/03/03140443/Walhi.3.846.Desa.Indonesia.Dilanda.Bencana.Ekologis.
Diakses tanggal 9 September 2014.
6 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
Pengertian bencana ini fokus pada dampak kepada manusia, yaitu korban jiwa
manusia, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Walaupun ada kata
“kerusakan lingkungan” pada definisi di atas, dalam praktiknya tidak terlalu
diperhatikan oleh para pelaku PB. Misalkan saja ada bencana longsor di hutan
Aceh, sepanjang kejadian longsor itu tidak menimbulkan korban jiwa manusia dan
kerugian harta benda maka kejadian tersebut bukanlah kategori bencana; longsor itu
hanya kejadian alamiah biasa. Akan tetapi, apabila kejadian longsor itu
menimbulkan korban jiwa manusia atau kerusakan rumah/bangunan maka segera
akan disebut sebagai bencana.
Pengertian tentang bencana yang cukup berbeda disajikan oleh United Nations
International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), yaitu “Sebuah gangguan
serius terhadap berfungsinya sebuah komunitas atau masyarakat yang
mengakibatkan kerugian dan dampak yang meluas terhadap manusia, materi,
ekonomi dan lingkungan, yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat
yang terkena dampak tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber
daya mereka sendiri.” (UNISDR, 2009)
Menurut UNISDR, bencana seringkali digambarkan sebagai satu hasil gabungan
dari: keterpaparan terhadap satu bahaya (hazard), kondisi kerentanan yang ada,
dan kurangnya kapasitas atau langkah-langkah untuk mengurangi atau bertahan
terhadap potensi konsekuensi negatif. Dampak bencana antara lain adalah
hilangnya nyawa, cedera, penyakit dan efek-efek negatif lainnya terhadap fisik,
mental dan kesejahteraan sosial manusia, dibarengi dengan kerusakan harta benda,
kehancuran aset, hilangnya layanan, gangguan sosial dan ekonomi dan degradasi
lingkungan. Disini secara singkat dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya
bencana (risiko bencana) sangat dipengaruhi oleh bahaya, kerentanan dan
kapasitas.
Dalam pengertian ini suatu kejadian baru disebut bencana bila masyarakat yang
terkena dampaknya sudah tidak dapat mengatasinya. Apa bila masyarakat yg
terdampak kejadian itu dapat mengatasinya dengan kemampuannya sendiri maka
kejadian itu adalah kejadian biasa saja. Tapi apabila komunitas itu sudah tidak bisa
menanganinya sendiri maka baru mereka minta bantuan orang/lembaga lain utk
membantu.
Berdasarkan UU No. 24/2007 pula dikenal adanya tiga kelompok bencana, yaitu
bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah
bencana yang disebabkan oleh faktor alam, seperti gempabumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam
adalah bencana yang diakibatkan oleh faktor nonalam, seperti gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh faktor manusia, seperti konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Sampai sekarang masih terjadi
7 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
perdebatan panjang di antara para pelaku PB mengenai apa saja yang termasuk
bencana gagal teknologi dan bencana gagal modernisasi.
Dalam bagian Penjelasan UU No. 24/2007 ada contoh-contoh jenis bencana yang
sedikit rinci, antara lain:
1. Bencana alam: gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan,
tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama
penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian
antariksa/benda-benda angkasa.
2. Bencana nonalam: kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan
nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
3. Bencana sosial: kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang
sering terjadi.
Dalam UU No. 24/2007 sama sekali tidak disinggung mengenai bencana ekologis.
Bahkan di kalangan para pelaku PB pun kurang dikenal terminologi bencana
ekologis, tapi di antara para pelaku PB dengan latar belakang aktivitas bidang
lingkungan hidup sebelumnya banyak mewacanakan bencana ekologis agar setaraf
dengan ketiga jenis bencana di atas. Bagi para pelaku PB pada umumnya lebih
melihat bencana ekologis atau dampak dan/atau risiko lingkungan hidup (UU No.
32/2009) sebagai aspek kerentanan. Kerentanan ini sangat berpengaruh bagi risiko
bencana di samping adanya bahaya bencana dan kapasitas.
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 24/2007 tujuan penanggulangan bencana adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
2. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
3. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
4. Menghargai budaya lokal.
5. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
6. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.
7. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Untuk mencapai tujuan penanggulangan bencana itu dilakukan penyelenggaraan
penanggulangan bencana (disaster management). Disini pengertian
penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana
dilakukan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka
8 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak
bencana.
Visi penanggulangan bencana yang dijabarkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah untuk mewujudkan ketangguhan bangsa
dalam menghadapi bencana. Sedangkan misi penanggulangan bencana antara lain:
1. Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui pengurangan risiko bencana.
2. Membangun sistem penanggulangan bencana yang handal.
3. Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa visi-misi di atas adalah untuk mencapai
masyarakat Indonesia yang tahan bencana. Pengertian masyarakat tahan bencana
antara lain:
1. Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang
menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi.
2. Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-
struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan
malapetaka.
3. Kapasitas untuk memulihkan diri atau „melenting balik‟ setelah suatu kejadian.
D. DASAR PIJAK YANG SAMA
Adanya perbedaan pandang dalam menyikapi bencana oleh para pelaku PB dan
pelaku LH merupakan suatu hal yang yang wajar dan normal. Hal ini disebabkan
karena perbedaaan latar belakang, fokus perhatian, keilmuan, dan lain-lain.
Walaupun ada perbedaan tersebut, ada dasar pijak yang sama yang dapat
menyatukan dan menyelaraskan langkah para pelaku LH dan pelaku PB di bidang
kebencanaan ini.
1. Warga Negara (Manusia) Indonesia sebagai Fokus Perhatian
Upaya perlindungan dan pengelolaan LH sesuai dengan UU No. 32/2009 adalah
untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi
setiap warga negara. Warga negara dilindungi dari dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup. Dengan demikian, adanya lingkungan hidup yang baik dan
sehat akan memberikan perlindungan warga negara dari risiko bencana sesuai
dengan isi esensi UU No. 24/2007. Maka dari itu ada korelasi yang sangat erat
antara UU No. 32/2009 dengan UU No. 24/2007. Tujuan utama para pelaku LH
dan pelaku PB di bidang kerja masing-masing adalah kesejahteraan dan
keamanan warga negara (manusia) Indonesia.
9 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
2. Perangkat Analisis Umum
Di kalangan para pelaku PB dikenal perangkat untuk melakukan analisis risiko.
Secara singkat risiko dipengaruhi oleh faktor bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Perangkat analisis risiko ini secara prinsip juga mirip dengan analisis pohon
masalah, analisis logical framework, dan analisis strengths, weaknesses,
opportunities, and threats (SWOT). Pada dasarnya semua perangkat analisis itu
mengkaji mengenai kekurangan (kelemahan, kerentanan, kerawanan) dan
kelebihan (kapasitas, sumberdaya).
Sebenarnya analisis risiko ini adalah sebuah perangkat kerja yang umum, tapi di
kalangan para pelaku PB lebih dikenal dan digunakan secara terus menerus
sehingga menjadi analisis risiko bencana. Risiko bencana adalah potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat. Risiko bencana akan semakin meningkat apabila ada bahaya
bencana, kerentanannya tinggi dan kapasitasnya rendah. Untuk memperkecil
risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan upaya penyadaran publik
mengenai bahaya bencana, mengurangi kerentanan serta meningkatkan
kapasitas.
Dengan tetap berpegang pada tujuan utama, yaitu kesejahteraan dan keamanan
warga negara (manusia) Indonesia, maka analisis risiko dapat digunakan sebaga
perangkat kerja bersama antara para pelaku LH dan pelaku PB. Dalam
prakteknya dibutuhkan kebesaran hati dan empati para pelaku LH dan pelaku PB
agar perangkat analisis risiko itu dapat digunakan dengan baik. Untuk
penyamaan terminologi mengenai risiko, bahaya, kerentanan, kapasitas, dan
lain-lain dapat mengacu kepada terminologi dari UNISDR.10
Conntohnya adalah dalam memaknai degradasi lingkungan. Menurut UNISDR
degradasi lingkungan adalah menurunnya kapasitas lingkungan untuk memenuhi
tujuan dan kebutuhan sosial dan ekologi. Disini degradasi lingkungan dapat
mengubah frekuensi dan intensitas bahaya alam dan meningkatkan kerentanan
masyarakat. Ada berbagai jenis degradasi yang disebabkan ulah manusia,
antara lain penyalahgunaan lahan, erosi dan hilangnya tanah, penggurunan,
kebakaran lahan liar, hilangnya keragamanhayati, penggundulan hutan,
kehancuran bakau, polusi tanah, air dan udara, perubahan iklim, naiknya
permukaan laut, dan menipisnya lapisan ozon.
10 Lihat 2009 UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. File dapat diunduh di:
http://unisdr.org/files/7817_UNISDRTerminologyEnglish.pdf. File versi bahasa Indonesia dapat diunduh di:
http://www.unisdr.org/files/7817_isdrindonesia.pdf.
10 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
3. Perencanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB
Baik UU No. 32/2009 maupun UU No. 24/2007 memandatkan kepada
pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) agar membuat sebuah perencanaan
di bidang lingkungan hidup ataupun penanggulangan bencana. Perencanaan itu
terintegrasi dengan perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka
menengah. Selanjutnya oleh masing-masing sektor perencanaan itu mewarnai
bidang kerja mereka masing-masing dan diimplementasikan ke dalam
perencanaan dan penganggaran tahunan.
Dalam UU No. 32/2009 ada Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH). RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi,
masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam
kurun waktu tertentu. RPPLH disusun oleh pemerintah di tingkat nasional,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Begitu pula dalam UU No. 24/2007 ada Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB). RPB adalah komitmen dari pemerintah dan pemerintah yang memuat
upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi
tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program-
program kegiatan dalam Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi
penanggulangan bencana serta rencana tindakan yang harus diambil sesuai
dengan manajemen risiko bencana. RPB disusun oleh pemerintah (Rencana
Nasional PB/Renas PB), pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
4. Perangkat Analisis Perencanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB
Untuk menyusun RPPLH sesuai dengan UU No. 32/2009 disyaratkan ada
instumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan analisis dampak
lingkungan hidup (Amdal). KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Sedangkan Amdal
adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Sedangkan untuk menyusun RPB sesuai dengan UU No. 24/2007 disyaratkan
ada analisis risiko bencana. Di kalangan pelaku PB, implementasi analisis ini
secara teknis dapat dibaca pada Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana (Perka BNPB No. 2/2012).11 Mirip dengan Amdal,
11 File Perka BNPB No. 2/2012 dapat diunduh di: http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/30.pdf.
11 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
pada bidang penanggulangan bencana pun pada setiap kegiatan pembangunan
yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan
analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana
sesuai dengan kewenangannya (Pasal 40 Ayat 3 UU No. 24/2007). Dalam
bagian Penjelasan Pasal 40 Ayat 3 UU No. 24/2007 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan
terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata
nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan. Tentu
saja contoh-contoh itu baru sebagian kecil dari kegiatan pembangunan berisiko
tinggi, contoh-contoh yang lain pastinya sangatlah banyak.
5. Pendanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB
Pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 24/2007 menjelaskan tentang tanggung jawab
pemerintah pada bidang pendanaan penanggulangan bencana, yaitu
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang memadai serta pengalokasian anggaran
penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. Sementara itu di
tingkat pemda diatur dalam Pasal 8 huruf d, yaitu pengalokasian dana
penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang memadai.
Di bidang pendanaan penanggulangan bencana diatur secara khusus melalui PP
No. 22/2008. Pada Pasal 4 PP No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana
penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah
dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana penanggulangan bencana
berasal dari APBN, APBD, masyarakat. Dalam pendanaan penanggulangan
bencana ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap pakai (on call), dan dana
bantuan sosial berpola hibah.
Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan
pada tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang
ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat.
Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran
penanggulangan bencana yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam
anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan
kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah
disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi
dan rekontruksi).
Pendanaan berbasis lingkungan hidup diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU
No. 32/2009. Dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
12 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
Daerah (DPRD) wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta
program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Pemerintah juga
wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang
memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Dalam rangka pemulihan kondisi
lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau
kerusakan pada saat undang-undang itu ditetapkan, pemerintah dan pemda
wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.
6. Kelembagaan LH dan Kelembagaan PB
UU No. 24/2007 mengamanatkan untuk membentuk kelembagaan
penanggulangan bencana. Di tingkat nasional lembaga ini disebut Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD
Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).
Kelembagaan di bidang lingkungan hidup antara lain Kementerian Negara
Lingkungan Hidup di tingkat nasional yang merupakan kementrian non-
departemental yang bertanggung jawab kepada Presiden (dijabat oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup). Tugasnya adalah merumuskan kebijakan pemerintah
di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan melakukan koordinasi dengan
berbagai instansi terkait. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada Kantor atau
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Kantor PLH). Tugasnya adalah
melaksanakan kebijakan pemerintah daerah bidang lingkungan hidup dan
melakukan koordinasi dengan Kemen-LH serta dinas-dinas terkait di daerah.
Berdasarkan data Kemen-LH per Desember 2013 secara nasional baru sekitar
314 institusi berbentuk Badan LH, 143 institusi berbentuk Kantor LH dan 28
institusi berbentuk organisasi lainnnya (Dinas Lingkungan Hidup, Bagian dan Sub
Bagian dari Sekretariat Daerah).12
7. Integrasi LH dan PB dalam Rencana Tata Ruang
Baik UU No. 32/2009 dan UU No. 27/2007 memandang sangat penting adanya
integrasi bidang masing-masing ke dalam rencana tata ruang. Pasal 19 UU No.
32/2009 menguraikan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib
12 Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah dan Piagam Bumi http://www.menlh.go.id/peningkatan-
kapasitas-kelembagaan-lingkungan-hidup-daerah-dan-piagam-bumi/. Diakses tanggal 9 September 2014.
13 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
didasarkan pada KLHS. Perencanaan tata ruang wilayah tersebut ditetapkan
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Dalam Pasal 15 UU No. 32/2009 diuraikan bahwa pemerintah dan pemda wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang
wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya.
Sementara itu dalam Pasal 35 UU No. 24/2007 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana
termasuk kegiatan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang. Selanjutnya
pada Pasal 42 diuraikan bahwa pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan
peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi
terhadap pelanggar. Pemerintah juga secara berkala melaksanakan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar
keselamatan.
8. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam
implementasi kebijakan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Peran
serta masyarakat dalam lingkungan hidup diatur dalam pasal tersendiri pada UU
No. 32/2009, yaitu Pasal 70. Pasal ini mengatur bahwa masyarakat memiliki hak
dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat
berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,
pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Peran
masyarakat dilakukan untuk:
a. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
b. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan.
c. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
d. Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial.
e. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dalam UU No. 24/2007 hak dan peran masyarakat diatur secara khusus pula,
yaitu dalam Pasal 26 dan Pasal 27. Setiap orang berhak:
14 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana.
b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
d. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial;
e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya.
f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Selain itu setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar. Dan setiap orang berhak untuk memperoleh ganti
kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Sedangkan kewajiban setiap orang antara lain:
a. Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
b. Melakukan kegiatan penanggulangan bencana.
c. Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan
bencana.
E. Kesimpulan
Bagaimana melakukan advokasi bencana ekologis baik yang dilakukan oleh pelaku
LH maupun pelaku PB?
Dengan tetap berpedoman pada dasar pijak yang sama di atas, maka para pelaku
LH dan pelaku PB dapat melakukan advokasi agar tujuan masing-masing bidang
dapat dicapai.
--- dp ---
15 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI
* Djuni Pristiyanto adalah pegiat di bidang kebencanaan dan lingkungan serta
penulis dan editor lepas. Tinggal di Bojong Gede, Bogor. Djuni juga mengelola Milis
Bencana sejak tahun 2007 (https://groups.google.com/forum/?hl=id#!forum/bencana)
yang merupakan milis kebencanaan terbesar dan teraktif dengan jumlah anggota
mencapai 4.681 (per 30/06/2014) serta Milis Lingkungan
(http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/) sejak tahun 1998 dengan anggota
mencapai 4.305 (per 30/06/2014). Djuni terlibat di MPBI sebagai Presidium,
pengurus di Planas PRB, dan pengurus di Forum PRB Bogor.
Kontak:
Email: [email protected]
Facebook: https://www.facebook.com/djuni.pristiyanto
Twitter: https://twitter.com/DjuniP
Linkedin: http://id.linkedin.com/pub/djuni-pristiyanto/35/811/ab4