BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB

15
1 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI A. PENGANTAR Pada tanggal 2 September 2014 penulis menerima sebuah email dari Mukri Friatna, Manajer Desk Bencana Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas Walhi). Mukri mengajak diskusi kecil untuk membahas topik itu bersama berbagai pihak terkait penanggulangan bencana (PB) dan lingkungan hidup (LH). Isi email Mukri adalah sebagai berikut: Di Seknas WALHI saya mengusulkan agar isu bencana khususnya Bencana Ekologis menjadi perhatian pemerintahan baru 2014. Ada beberapa hal dalam pandangan kami yang sekiranya perlu didorong. Pertama, bencana ekologis tidak secara eksplisit dijelaskan dalam UUPB. Kedua, bencana ekologis semakin meningkat frekwensi, intensitas, dampak dan risikonya. Ketiga, kelembagaan (BNPB) belum memiliki pengaruh yang kuat di tingkat intitusi negara, sehingga terkesan rekomendasi BNPB diabaikan. Sebagai contoh, ketika BNPB menerbitkan peta kawasan rentan bencana, semestinya dalam penyusunan TR, kawasan tersebut dirujuk agar tidak menjadi objek eksploitasi. Kelima potensi pelanggaran HAM sangat terbuka sekurangya dalam pelayanan terhadap penyintas dan secara khusus masyarakat yg tinggal dan terpapar pada areal bencana jika tidak mendapat pelayanan.Penulis tidak dapat menghadiri acara diskusi tersebut karena mengikuti kegiatan lain yang sudah terjadual sebelumnya. Akan tetapi, sejak itu topik “ bencana ekologis” ini terus berkumandang di benak penulis. Penulis melihat ada perbedaan pandang antara para pelaku PB dan pelaku LH dalam memaknai bencana ekologis. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain: Bagaimana pengertian bencana dan bencana ekologis menurut para pelaku PB dan pelaku LH? Bagaimana menjembatani kesenjangan pengertian antara kedua pelaku itu? Dan bagaimana melakukan advokasi agar bencana ekologis mendapatkan perhatian yang selayaknya oleh para pelaku PB dan pelaku LH di Indonesia? Mari kita bahas bersama permasalahan ini. B. PENGERTIAN BENCANA EKOLOGIS OLEH PELAKU LH “Kitab suci” para pelaku LH di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Transcript of BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB

1 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

BENCANA EKOLOGIS: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB

Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

A. PENGANTAR

Pada tanggal 2 September 2014 penulis menerima sebuah email dari Mukri Friatna,

Manajer Desk Bencana Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

(Eknas Walhi). Mukri mengajak diskusi kecil untuk membahas topik itu bersama

berbagai pihak terkait penanggulangan bencana (PB) dan lingkungan hidup (LH). Isi

email Mukri adalah sebagai berikut:

“Di Seknas WALHI saya mengusulkan agar isu bencana khususnya Bencana

Ekologis menjadi perhatian pemerintahan baru 2014. Ada beberapa hal

dalam pandangan kami yang sekiranya perlu didorong. Pertama, bencana

ekologis tidak secara eksplisit dijelaskan dalam UUPB. Kedua, bencana

ekologis semakin meningkat frekwensi, intensitas, dampak dan risikonya.

Ketiga, kelembagaan (BNPB) belum memiliki pengaruh yang kuat di tingkat

intitusi negara, sehingga terkesan rekomendasi BNPB diabaikan. Sebagai

contoh, ketika BNPB menerbitkan peta kawasan rentan bencana, semestinya

dalam penyusunan TR, kawasan tersebut dirujuk agar tidak menjadi objek

eksploitasi. Kelima potensi pelanggaran HAM sangat terbuka sekurangya

dalam pelayanan terhadap penyintas dan secara khusus masyarakat yg

tinggal dan terpapar pada areal bencana jika tidak mendapat pelayanan.”

Penulis tidak dapat menghadiri acara diskusi tersebut karena mengikuti kegiatan lain

yang sudah terjadual sebelumnya. Akan tetapi, sejak itu topik “bencana ekologis” ini

terus berkumandang di benak penulis.

Penulis melihat ada perbedaan pandang antara para pelaku PB dan pelaku LH

dalam memaknai bencana ekologis. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain:

Bagaimana pengertian bencana dan bencana ekologis menurut para pelaku PB dan

pelaku LH? Bagaimana menjembatani kesenjangan pengertian antara kedua pelaku

itu? Dan bagaimana melakukan advokasi agar bencana ekologis mendapatkan

perhatian yang selayaknya oleh para pelaku PB dan pelaku LH di Indonesia?

Mari kita bahas bersama permasalahan ini.

B. PENGERTIAN BENCANA EKOLOGIS OLEH PELAKU LH

“Kitab suci” para pelaku LH di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009)

yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

2 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997). Pasal 1 UU No. 32/2009 mendefinisikan

lingkungan hidup sebagai “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,

dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam

itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk

hidup lain.” Untuk itu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dengan artian sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain diuraikan dalam

Pasal 3 UU No. 32/2009 sebagai berikut:

1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

2. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.

3. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.

4. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

5. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.

6. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan.

7. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai

bagian dari hak asasi manusia.

8. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.

9. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

10. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Esensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup

yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara. Upaya perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup itu terutama ditujukan untuk melindungi dan

mengatasi dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Dalam Penjelasan Pasal 15

Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009 menguraikan mengenai dampak dan/atau risiko

lingkungan hidup antara lain sebagai berikut:

1. Perubahan iklim.

2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati.

3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan,

dan/atau kebakaran hutan dan lahan.

4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam.

5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan.

6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan

penghidupan sekelompok masyarakat.

7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Dalam UU No. 32/2009 sama sekali tidak disinggung mengenai bencana ekologis.

Terminologi bencana ekologis pada awalnya digunakan oleh para aktivis Wahana

3 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sejak awal tahun 2000-an. Hingga sekarang ini

bencana ekologis menjadi kata-kata yang sering diucapkan oleh aktivis-aktivis

organisasi non pemerintah (ornop) seperti Greenpeace, World Wide Fund for Nature

(WWF), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan lain-lain. Bahkan Menteri

Lingkungan Hidup pun belakangan ini dalam pidatonya banyak menggunakan kata

bencana ekologis.

Apa itu bencana ekologis? Kata bencana ekologis berasal dari kata bencana dan

ekologis, sedangkan kata ekologis itu sendiri berasal dari kata dasar ekologi yang

mendapat imbuhan huruf “s”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

bencana berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian,

atau penderitaan; kecelakaan; bahaya.1 Kata ekologi berarti ilmu tentang hubungan

timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).2

Dalam bahasa Indonesia, akhiran huruf “s” menyatakan sifat dari kata awal yang

diimbuhinya. Jadi kata ekologis berarti bersifat ekologi.3 Jadi secara sederhana

dapat dikatakan bahwa bencana ekologis berarti sesuatu yang menyebabkan

(menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang bersifat ekologi.

Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2005-2008

mendefinisikan bencana ekologis sebagai “akumulasi krisis ekologis yang

disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah

mengakibatkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat.”4 Pada dasarnya

bencana ekologis terjadi karena ulah manusia yang menyebabkan kerusakan

lingkungan hidup.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2012-sekarang

membedakan secara jelas antara bencana alam dengan bencana ekologis. Bencana

alam disebabkan oleh alam, dan bencana ekologis disebabkan oleh tindakan

manusia yang tidak menghargai lingkungan. Dengan mengambil contoh banjir

Jakarta pada awal tahun 2014, Abet berpendapat bahwa banjir itu bukanlah

bencana alam, melainkan bencana ekologis yang disebabkan tindakan manusia.

Bencana ekologi dapat diatasi dengan tiga tindakan, yaitu (1) Kesadaran

masyarakat perlu dibina agar mau menjaga lingkungan, (2) Kebijakan pemerintah

harus ditegakkan, dan (3) Penegakan hukum tentunya harus dikedepankan.5

Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., Menteri Lingkungan Hidup pada masa Kabinet

Bersatu II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan dalam acara

peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2014, “Apabila saat ini masih

1 Bencana. http://kbbi.web.id/bencana. Diakses tanggal 11 September 2014. 2 Ekologi. http://kbbi.web.id/ekologi. Diakses tanggal 11 September 2014. 3 Ekologis. http://kbbi.web.id/ekologis. Diakses tanggal 11 September 2014. 4 Artikel Merdeka dari Bencana Ekologis oleh Chalid Muhammad di harian Sinar Harapan, 15 Agustus 2006.

Kliping dapat diakses di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-15-009-0001-003-05-

0901.pdf. File diakses tanggal 9 September 2014. 5 Walhi: Banjir Bencana Ekologis http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-

nasional/14/01/18/mzlu9b-walhi-banjir-bencana-ekologis. Diakses tanggal 9 September 2014.

4 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

ditemukan berbagai bencana ekologis di sekitar kita, maka hal itu disebabkan oleh

pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Oleh

karenanya perlu dilakukan koreksi mendalam agar pengelolaan dan

pemanfaatannya dapat mensejahterakan masyarakat dan tidak menimbulkan

bencana. Konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan keseimbangan

antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup merupakan satu-

satunya pilihan yang wajib kita wujudkan.”6

Dengan demikian pengertian dari bencana ekologis menurut para pelaku LH

tersebut sesuai dengan isi Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009

tentang dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan

telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah Indonesia. Selain topografi alami di suatu

wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi,

praktik pertambangan, dan monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia.

Merujuk data riset Walhi 2007 yang memperkirakan potensi bencana ekologis di

Indonesia sebesar 83%. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada penelitian

lima tahun kemudian yakni pada 2012, di mana angka potensi bencana tersebut

meningkat menjadi 90%.7

Pada akhir tahun 2013 Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Lampung mengadakan seminar akhir tahun dengan topik "Bencana Ekologi Akibat

Investasi Rakus Ruang".8 Dalam seminar itu dibahas hal-hal penting mengenai

bencana ekologis.

Penguasaan lahan dan ekspansi pemilik modal selama ini yang tidak mencerminkan

keutuhan sistem ekologi lingkungan serta keadilan bagi rakyat sebagai pemilik

sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, telah menimbulkan bencana ekologis

yang mengancam umat manusia. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati

manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam

menjalani proses kehidupan, namun saling berinteraksi dan membutuhkan.

Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur

merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi lingkungan

hidup sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dibicarakan secara parsial atau terbagi-

bagi.

6 Sambutan Daerah Materi Lingkungan Hidup Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia, 5 juni 2014.

http://www.menlh.go.id/sambutan-daerah-materi-lingkungan-hidup-pada-peringatan-hari-lingkungan-hidup-se-

dunia-5-juli-2014/. Diakses tanggal 9 September 2014. 7 90% Wilayah Indonesia Terancam Bencana Ekologi

http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/22/3/124993/90-Wilayah-Indonesia-Terancam-

Bencana-Ekologi. Diakses tanggal 9 September 2014. 8 Walhi Lampung Bahas Bencana Ekologi http://www.jambura-online.com/kategori/lingkungan/walhi-lampung-

bahas-bencana-ekologi.html#.VA-1C6PfjH5. Diakses tanggal 9 September 2014.

5 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

Lingkungan hidup harus dipandang secara holistik menyeluruh serta meletakkan

semua komponennya dengan setara. Dalam banyak definisi, lingkungan hidup

masih ditafsirkan secara konvensional yang dianggap sebagai penunjang

kehidupan. Perspektif ini melihat lingkungan sebagai objek eksploitasi untuk

penunjang kehidupan.

Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Sumber

daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan

sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Penerapan prinsip-prinsip

pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat

utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan.

Ada beberapa permasalahan pokok persoalan lingkungan hidup, seperti terus

menurunnya kondisi hutan, kerusakan daerah aliran sungai, habitat ekosistem

pesisir dan laut semakin rusak, citra pertambangan yang merusakan lingkungan,

ancaman atas keanekaragaman hayati makin tinggi, kelemahan penegakan hukum

maupun sistem mitigasi bencana alam yang belum dikembangan. Konflik

pengelolaan sumberdaya alam-bencana ekologis hampir terjadi di semua daerah di

Indonesia.

Walhi mencatat penyebab bencana ekologis di perkotaan adalah karena minimnya

ruang terbuka hijau, ketiadaan drainase, tersumbat saluran pembuangan air, dan

posisi daerah yang berada di dataran rendah. Di perdesaan, bencana ekologis itu

disebabkan karena alih fungsi hutan pada dataran tinggi, kehilangan hutan

mangrove (bakau), dan pendangkalan serta penyempitan sungai. Kesemuanya ini

bermuara pada penataan ruang yang tidak terkendali sehingga menyebabkan

terganggu keseimbangan ekosistem yang berdampak menimbulkan bencana alam.9

Dengan demikian ada korelasi yang sangat erat antara kerusakan lingkungan hidup

yang menyebabkan terjadinya bencana ekologis dengan kejadian bencana alam.

C. PENGERTIAN BENCANA OLEH PELAKU PB

“Kitab suci” para pelaku PB di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007). Pasal 1 UU No. 24/2007

mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

9 Walhi: 3.846 Desa Indonesia Dilanda Bencana Ekologis

http://regional.kompas.com/read/2013/06/03/03140443/Walhi.3.846.Desa.Indonesia.Dilanda.Bencana.Ekologis.

Diakses tanggal 9 September 2014.

6 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

Pengertian bencana ini fokus pada dampak kepada manusia, yaitu korban jiwa

manusia, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Walaupun ada kata

“kerusakan lingkungan” pada definisi di atas, dalam praktiknya tidak terlalu

diperhatikan oleh para pelaku PB. Misalkan saja ada bencana longsor di hutan

Aceh, sepanjang kejadian longsor itu tidak menimbulkan korban jiwa manusia dan

kerugian harta benda maka kejadian tersebut bukanlah kategori bencana; longsor itu

hanya kejadian alamiah biasa. Akan tetapi, apabila kejadian longsor itu

menimbulkan korban jiwa manusia atau kerusakan rumah/bangunan maka segera

akan disebut sebagai bencana.

Pengertian tentang bencana yang cukup berbeda disajikan oleh United Nations

International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), yaitu “Sebuah gangguan

serius terhadap berfungsinya sebuah komunitas atau masyarakat yang

mengakibatkan kerugian dan dampak yang meluas terhadap manusia, materi,

ekonomi dan lingkungan, yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat

yang terkena dampak tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber

daya mereka sendiri.” (UNISDR, 2009)

Menurut UNISDR, bencana seringkali digambarkan sebagai satu hasil gabungan

dari: keterpaparan terhadap satu bahaya (hazard), kondisi kerentanan yang ada,

dan kurangnya kapasitas atau langkah-langkah untuk mengurangi atau bertahan

terhadap potensi konsekuensi negatif. Dampak bencana antara lain adalah

hilangnya nyawa, cedera, penyakit dan efek-efek negatif lainnya terhadap fisik,

mental dan kesejahteraan sosial manusia, dibarengi dengan kerusakan harta benda,

kehancuran aset, hilangnya layanan, gangguan sosial dan ekonomi dan degradasi

lingkungan. Disini secara singkat dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya

bencana (risiko bencana) sangat dipengaruhi oleh bahaya, kerentanan dan

kapasitas.

Dalam pengertian ini suatu kejadian baru disebut bencana bila masyarakat yang

terkena dampaknya sudah tidak dapat mengatasinya. Apa bila masyarakat yg

terdampak kejadian itu dapat mengatasinya dengan kemampuannya sendiri maka

kejadian itu adalah kejadian biasa saja. Tapi apabila komunitas itu sudah tidak bisa

menanganinya sendiri maka baru mereka minta bantuan orang/lembaga lain utk

membantu.

Berdasarkan UU No. 24/2007 pula dikenal adanya tiga kelompok bencana, yaitu

bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah

bencana yang disebabkan oleh faktor alam, seperti gempabumi, tsunami, gunung

meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam

adalah bencana yang diakibatkan oleh faktor nonalam, seperti gagal teknologi, gagal

modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah

bencana yang diakibatkan oleh faktor manusia, seperti konflik sosial antarkelompok

atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Sampai sekarang masih terjadi

7 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

perdebatan panjang di antara para pelaku PB mengenai apa saja yang termasuk

bencana gagal teknologi dan bencana gagal modernisasi.

Dalam bagian Penjelasan UU No. 24/2007 ada contoh-contoh jenis bencana yang

sedikit rinci, antara lain:

1. Bencana alam: gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan,

tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama

penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian

antariksa/benda-benda angkasa.

2. Bencana nonalam: kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia,

kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan

nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.

3. Bencana sosial: kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang

sering terjadi.

Dalam UU No. 24/2007 sama sekali tidak disinggung mengenai bencana ekologis.

Bahkan di kalangan para pelaku PB pun kurang dikenal terminologi bencana

ekologis, tapi di antara para pelaku PB dengan latar belakang aktivitas bidang

lingkungan hidup sebelumnya banyak mewacanakan bencana ekologis agar setaraf

dengan ketiga jenis bencana di atas. Bagi para pelaku PB pada umumnya lebih

melihat bencana ekologis atau dampak dan/atau risiko lingkungan hidup (UU No.

32/2009) sebagai aspek kerentanan. Kerentanan ini sangat berpengaruh bagi risiko

bencana di samping adanya bahaya bencana dan kapasitas.

Berdasarkan Pasal 4 UU No. 24/2007 tujuan penanggulangan bencana adalah

sebagai berikut:

1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.

2. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

3. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,

terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

4. Menghargai budaya lokal.

5. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.

6. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.

7. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Untuk mencapai tujuan penanggulangan bencana itu dilakukan penyelenggaraan

penanggulangan bencana (disaster management). Disini pengertian

penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang

meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,

kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Dan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

dilakukan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka

8 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak

bencana.

Visi penanggulangan bencana yang dijabarkan oleh Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah untuk mewujudkan ketangguhan bangsa

dalam menghadapi bencana. Sedangkan misi penanggulangan bencana antara lain:

1. Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui pengurangan risiko bencana.

2. Membangun sistem penanggulangan bencana yang handal.

3. Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,

terkoordinasi dan menyeluruh.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa visi-misi di atas adalah untuk mencapai

masyarakat Indonesia yang tahan bencana. Pengertian masyarakat tahan bencana

antara lain:

1. Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang

menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi.

2. Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-

struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan

malapetaka.

3. Kapasitas untuk memulihkan diri atau „melenting balik‟ setelah suatu kejadian.

D. DASAR PIJAK YANG SAMA

Adanya perbedaan pandang dalam menyikapi bencana oleh para pelaku PB dan

pelaku LH merupakan suatu hal yang yang wajar dan normal. Hal ini disebabkan

karena perbedaaan latar belakang, fokus perhatian, keilmuan, dan lain-lain.

Walaupun ada perbedaan tersebut, ada dasar pijak yang sama yang dapat

menyatukan dan menyelaraskan langkah para pelaku LH dan pelaku PB di bidang

kebencanaan ini.

1. Warga Negara (Manusia) Indonesia sebagai Fokus Perhatian

Upaya perlindungan dan pengelolaan LH sesuai dengan UU No. 32/2009 adalah

untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi

setiap warga negara. Warga negara dilindungi dari dampak dan/atau risiko

lingkungan hidup. Dengan demikian, adanya lingkungan hidup yang baik dan

sehat akan memberikan perlindungan warga negara dari risiko bencana sesuai

dengan isi esensi UU No. 24/2007. Maka dari itu ada korelasi yang sangat erat

antara UU No. 32/2009 dengan UU No. 24/2007. Tujuan utama para pelaku LH

dan pelaku PB di bidang kerja masing-masing adalah kesejahteraan dan

keamanan warga negara (manusia) Indonesia.

9 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

2. Perangkat Analisis Umum

Di kalangan para pelaku PB dikenal perangkat untuk melakukan analisis risiko.

Secara singkat risiko dipengaruhi oleh faktor bahaya, kerentanan dan kapasitas.

Perangkat analisis risiko ini secara prinsip juga mirip dengan analisis pohon

masalah, analisis logical framework, dan analisis strengths, weaknesses,

opportunities, and threats (SWOT). Pada dasarnya semua perangkat analisis itu

mengkaji mengenai kekurangan (kelemahan, kerentanan, kerawanan) dan

kelebihan (kapasitas, sumberdaya).

Sebenarnya analisis risiko ini adalah sebuah perangkat kerja yang umum, tapi di

kalangan para pelaku PB lebih dikenal dan digunakan secara terus menerus

sehingga menjadi analisis risiko bencana. Risiko bencana adalah potensi

kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu

tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa

aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan

masyarakat. Risiko bencana akan semakin meningkat apabila ada bahaya

bencana, kerentanannya tinggi dan kapasitasnya rendah. Untuk memperkecil

risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan upaya penyadaran publik

mengenai bahaya bencana, mengurangi kerentanan serta meningkatkan

kapasitas.

Dengan tetap berpegang pada tujuan utama, yaitu kesejahteraan dan keamanan

warga negara (manusia) Indonesia, maka analisis risiko dapat digunakan sebaga

perangkat kerja bersama antara para pelaku LH dan pelaku PB. Dalam

prakteknya dibutuhkan kebesaran hati dan empati para pelaku LH dan pelaku PB

agar perangkat analisis risiko itu dapat digunakan dengan baik. Untuk

penyamaan terminologi mengenai risiko, bahaya, kerentanan, kapasitas, dan

lain-lain dapat mengacu kepada terminologi dari UNISDR.10

Conntohnya adalah dalam memaknai degradasi lingkungan. Menurut UNISDR

degradasi lingkungan adalah menurunnya kapasitas lingkungan untuk memenuhi

tujuan dan kebutuhan sosial dan ekologi. Disini degradasi lingkungan dapat

mengubah frekuensi dan intensitas bahaya alam dan meningkatkan kerentanan

masyarakat. Ada berbagai jenis degradasi yang disebabkan ulah manusia,

antara lain penyalahgunaan lahan, erosi dan hilangnya tanah, penggurunan,

kebakaran lahan liar, hilangnya keragamanhayati, penggundulan hutan,

kehancuran bakau, polusi tanah, air dan udara, perubahan iklim, naiknya

permukaan laut, dan menipisnya lapisan ozon.

10 Lihat 2009 UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. File dapat diunduh di:

http://unisdr.org/files/7817_UNISDRTerminologyEnglish.pdf. File versi bahasa Indonesia dapat diunduh di:

http://www.unisdr.org/files/7817_isdrindonesia.pdf.

10 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

3. Perencanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB

Baik UU No. 32/2009 maupun UU No. 24/2007 memandatkan kepada

pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) agar membuat sebuah perencanaan

di bidang lingkungan hidup ataupun penanggulangan bencana. Perencanaan itu

terintegrasi dengan perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka

menengah. Selanjutnya oleh masing-masing sektor perencanaan itu mewarnai

bidang kerja mereka masing-masing dan diimplementasikan ke dalam

perencanaan dan penganggaran tahunan.

Dalam UU No. 32/2009 ada Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (RPPLH). RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi,

masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam

kurun waktu tertentu. RPPLH disusun oleh pemerintah di tingkat nasional,

pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Begitu pula dalam UU No. 24/2007 ada Rencana Penanggulangan Bencana

(RPB). RPB adalah komitmen dari pemerintah dan pemerintah yang memuat

upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi

tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program-

program kegiatan dalam Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi

penanggulangan bencana serta rencana tindakan yang harus diambil sesuai

dengan manajemen risiko bencana. RPB disusun oleh pemerintah (Rencana

Nasional PB/Renas PB), pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

4. Perangkat Analisis Perencanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB

Untuk menyusun RPPLH sesuai dengan UU No. 32/2009 disyaratkan ada

instumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan analisis dampak

lingkungan hidup (Amdal). KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,

menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan

berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu

wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Sedangkan Amdal

adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Sedangkan untuk menyusun RPB sesuai dengan UU No. 24/2007 disyaratkan

ada analisis risiko bencana. Di kalangan pelaku PB, implementasi analisis ini

secara teknis dapat dibaca pada Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum

Pengkajian Risiko Bencana (Perka BNPB No. 2/2012).11 Mirip dengan Amdal,

11 File Perka BNPB No. 2/2012 dapat diunduh di: http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/30.pdf.

11 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

pada bidang penanggulangan bencana pun pada setiap kegiatan pembangunan

yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan

analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana

sesuai dengan kewenangannya (Pasal 40 Ayat 3 UU No. 24/2007). Dalam

bagian Penjelasan Pasal 40 Ayat 3 UU No. 24/2007 disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi

menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan

terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata

nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan. Tentu

saja contoh-contoh itu baru sebagian kecil dari kegiatan pembangunan berisiko

tinggi, contoh-contoh yang lain pastinya sangatlah banyak.

5. Pendanaan Pembangunan pada Bidang LH dan PB

Pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 24/2007 menjelaskan tentang tanggung jawab

pemerintah pada bidang pendanaan penanggulangan bencana, yaitu

pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN) yang memadai serta pengalokasian anggaran

penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. Sementara itu di

tingkat pemda diatur dalam Pasal 8 huruf d, yaitu pengalokasian dana

penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) yang memadai.

Di bidang pendanaan penanggulangan bencana diatur secara khusus melalui PP

No. 22/2008. Pada Pasal 4 PP No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana

penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah

dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana penanggulangan bencana

berasal dari APBN, APBD, masyarakat. Dalam pendanaan penanggulangan

bencana ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap pakai (on call), dan dana

bantuan sosial berpola hibah.

Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan

pada tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang

ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat.

Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran

penanggulangan bencana yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam

anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan

kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah

disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi

dan rekontruksi).

Pendanaan berbasis lingkungan hidup diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU

No. 32/2009. Dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR RI) serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

12 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

Daerah (DPRD) wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk

membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta

program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Pemerintah juga

wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang

memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Dalam rangka pemulihan kondisi

lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau

kerusakan pada saat undang-undang itu ditetapkan, pemerintah dan pemda

wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

6. Kelembagaan LH dan Kelembagaan PB

UU No. 24/2007 mengamanatkan untuk membentuk kelembagaan

penanggulangan bencana. Di tingkat nasional lembaga ini disebut Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD

Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).

Kelembagaan di bidang lingkungan hidup antara lain Kementerian Negara

Lingkungan Hidup di tingkat nasional yang merupakan kementrian non-

departemental yang bertanggung jawab kepada Presiden (dijabat oleh Menteri

Negara Lingkungan Hidup). Tugasnya adalah merumuskan kebijakan pemerintah

di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan melakukan koordinasi dengan

berbagai instansi terkait. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada Kantor atau

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Kantor PLH). Tugasnya adalah

melaksanakan kebijakan pemerintah daerah bidang lingkungan hidup dan

melakukan koordinasi dengan Kemen-LH serta dinas-dinas terkait di daerah.

Berdasarkan data Kemen-LH per Desember 2013 secara nasional baru sekitar

314 institusi berbentuk Badan LH, 143 institusi berbentuk Kantor LH dan 28

institusi berbentuk organisasi lainnnya (Dinas Lingkungan Hidup, Bagian dan Sub

Bagian dari Sekretariat Daerah).12

7. Integrasi LH dan PB dalam Rencana Tata Ruang

Baik UU No. 32/2009 dan UU No. 27/2007 memandang sangat penting adanya

integrasi bidang masing-masing ke dalam rencana tata ruang. Pasal 19 UU No.

32/2009 menguraikan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup

dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib

12 Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah dan Piagam Bumi http://www.menlh.go.id/peningkatan-

kapasitas-kelembagaan-lingkungan-hidup-daerah-dan-piagam-bumi/. Diakses tanggal 9 September 2014.

13 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

didasarkan pada KLHS. Perencanaan tata ruang wilayah tersebut ditetapkan

dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Dalam Pasal 15 UU No. 32/2009 diuraikan bahwa pemerintah dan pemda wajib

membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan

telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau

kebijakan, rencana, dan/atau program. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang

wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya.

Sementara itu dalam Pasal 35 UU No. 24/2007 menyebutkan bahwa

penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana

termasuk kegiatan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang. Selanjutnya

pada Pasal 42 diuraikan bahwa pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang

dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan

peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi

terhadap pelanggar. Pemerintah juga secara berkala melaksanakan pemantauan

dan evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar

keselamatan.

8. Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam

implementasi kebijakan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Peran

serta masyarakat dalam lingkungan hidup diatur dalam pasal tersendiri pada UU

No. 32/2009, yaitu Pasal 70. Pasal ini mengatur bahwa masyarakat memiliki hak

dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat

berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,

pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Peran

masyarakat dilakukan untuk:

a. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup.

b. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan.

c. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.

d. Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk

melakukan pengawasan sosial.

e. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka

pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dalam UU No. 24/2007 hak dan peran masyarakat diatur secara khusus pula,

yaitu dalam Pasal 26 dan Pasal 27. Setiap orang berhak:

14 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi

kelompok masyarakat rentan bencana.

b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana.

c. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan

penanggulangan bencana.

d. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan

program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan

psikososial;

e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan

penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan

komunitasnya.

f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas

pelaksanaan penanggulangan bencana.

Selain itu setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan

pemenuhan kebutuhan dasar. Dan setiap orang berhak untuk memperoleh ganti

kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Sedangkan kewajiban setiap orang antara lain:

a. Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara

keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi

lingkungan hidup.

b. Melakukan kegiatan penanggulangan bencana.

c. Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan

bencana.

E. Kesimpulan

Bagaimana melakukan advokasi bencana ekologis baik yang dilakukan oleh pelaku

LH maupun pelaku PB?

Dengan tetap berpedoman pada dasar pijak yang sama di atas, maka para pelaku

LH dan pelaku PB dapat melakukan advokasi agar tujuan masing-masing bidang

dapat dicapai.

--- dp ---

15 | BENCANA EKOLOGI: PERSPEKTIF PELAKU LH DAN PELAKU PB Oleh Djuni Pristiyanto, MPBI

* Djuni Pristiyanto adalah pegiat di bidang kebencanaan dan lingkungan serta

penulis dan editor lepas. Tinggal di Bojong Gede, Bogor. Djuni juga mengelola Milis

Bencana sejak tahun 2007 (https://groups.google.com/forum/?hl=id#!forum/bencana)

yang merupakan milis kebencanaan terbesar dan teraktif dengan jumlah anggota

mencapai 4.681 (per 30/06/2014) serta Milis Lingkungan

(http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/) sejak tahun 1998 dengan anggota

mencapai 4.305 (per 30/06/2014). Djuni terlibat di MPBI sebagai Presidium,

pengurus di Planas PRB, dan pengurus di Forum PRB Bogor.

Kontak:

Email: [email protected]

Facebook: https://www.facebook.com/djuni.pristiyanto

Twitter: https://twitter.com/DjuniP

Linkedin: http://id.linkedin.com/pub/djuni-pristiyanto/35/811/ab4