BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA Salacca (Arecaceae)

91
BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA Salacca (Arecaceae) ZUMAIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Transcript of BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA Salacca (Arecaceae)

BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA

Salacca (Arecaceae)

ZUMAIDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Beberapa Gatra

Biosistematika Salacca (Arecaceae) adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Zumaidar

NIM G363100021

RINGKASAN

ZUMAIDAR. Beberapa Gatra Biosistematika Salacca (Arecaceae). Dibimbing

oleh TATIK CHIKMAWATI, ALEX HARTANA, MIEN A RIFAI, dan SOBIR.

Salak adalah tumbuhan asli daerah tropis yang tergolong ke dalam marga

Salacca. Marga ini tersebar di Burma, Indocina, Thailand, Semenanjung Malaya,

Sumatra, Borneo, Philipina, dan Jawa. Berdasarkan struktur pada kulit buah yang

bersisik, maka marga ini dianggap berada pada tahap yang lebih primitif

dibandingkan Calamus, Daemonorops, dan marga lain dari Lepidocaryeae.

Namun sampai saat ini belum ada literatur yang mendeskripsikan seluruh jenis

salak yang tersebar di dunia. Peluang besar untuk mendapatkan jenis baru dari

salak disebabkan karena perbungaan salak dioesis sehingga proses spesiasi diduga

masih terus berlangsung hingga saat ini. Penelitian mengenai keanekaragaman

salak yang ada di Indonesia juga masih terbatas.

Penelitian ini mencakup jenis salak liar dan budi daya. Tujuan penelitian ini

adalah menyajikan deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia dan

persebarannya serta membuat kunci identifikasi jenis dan kultivar; menganalisis

keanekaragaman molekuler salak Jawa dan salak Bali; menganalisis

keanekaragaman morfologi dan molekuler salak Sidempuan; dan mengidentifikasi

salak potensial di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan khususnya penemuan jenis baru dan

deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia. Jenis-jenis salak liar merupakan

sumber plasma nutfah bagi pengembangan salak budi daya. Keanekaragaman

morfologi dan genetik salak Sidempuan (Salacca sumatrana) serta genetik salak

Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) dan salak Bali (Salacca zalacca var.

amboinensis) dapat menggambarkan variasi dari kultivar kedua jenis tersebut.

Hasil analisis molekuler diharapkan dapat memberikan indikasi ada tidaknya

pemisahan antara salak Jawa dan salak Bali.

Revisi marga salak didasarkan pada pengamatan spesimen herbarium yang

mewakili 19 jenis salak yang berasal dari Herbarium Bogoriense, Bogor;

Herbarium Leiden, Belanda; Herbarium Kewense, Inggris dan pustaka jenis-jenis

salak. Keanekaragaman salak budi daya diamati pada dua jenis yaitu S. zalacca

dan S. sumatrana, sedangkan pencarian salak potensial diamati pada lima jenis

salak budi daya. Pengamatan morfologi pada seluruh tanaman salak meliputi

karakter organ vegetatif dan generatif. Pengamatan molekuler dilakukan dalam

beberapa tahapan yang terdiri atas isolasi, restriksi dan ligasi, preamplifikasi, dan

amplifikasi menggunakan penanda AFLP dengan dua kombinasi primer yaitu

EcoRI- ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya yaitu EcoRI- ACC dan

Mse1-CTT. Analisis data morfologi dan molekuler diolah dengan menggunakan

metode UPGMA melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and

Multivariate System) versi 2.02. Data mengenai rasa, warna daging buah, kadar

gula dan kandungan tanin dianalisis dengan menggunakan Program R.3.0.

Jumlah salak (Salacca) yang terdapat di dunia saat ini adalah 23 jenis yang

terbagi ke dalam dua seksi dari marga Salacca. Seksi Leiosalacca terdiri atas dua

jenis dan seksi Salacca terdiri atas 21 jenis. Salacca acehensis adalah jenis baru

yang ditemukan di Sumatra, khususnya Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Borneo

memiliki 11 jenis salak dan merupakan pusat keanekaragaman salak dunia. Jenis

yang paling kecil perawakannya adalah S. acehensis dan yang paling besar

perawakannya adalah S. wallichiana. Salacca zalacca adalah jenis yang paling

luas sebarannya dan pusat keanekaragamannya terdapat di Jawa. Jenis ini terdiri

atas dua varietas yaitu S. zalacca var. zalacca dan S. zalacca var. amboinensis.

Beberapa ciri morfologi pada perawakan, duri, bunga, dan biji menunjukkan

bahwa salak Bali berbeda dengan salak Jawa. Secara genetik salak Bali

memberikan indikasi pemisahan dengan salak Jawa melalui penanda AFLP.

Salacca sumatrana memiliki banyak variasi ciri morfologi. Ciri perawakan

dan duri yang paling besar serta daging dari buah berwarna merah adalah ciri khas

yang dimiliki oleh S. sumatrana. Karakter yang paling menonjol dari salak

Sidempuan terdapat pada warna daging buah. Pengembangan kultivar salak

Sidempuan yaitu S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. sumatrana ‘ Sidempuan

putih’ hanya dapat dilakukan melalui anakan bukan melalui biji.

Penanda AFLP mampu menghasilkan banyak data fragmen yang bersifat

polimorfik pada S. sumatrana dan S. zalacca. Kombinasi primer EcoRI- ACC dan

Mse1-CTT lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan

Mse1-CAT. Kemampuan bersilang tanaman salak tidak hanya terjadi di dalam

jenis bahkan antar jenis dengan bantuan manusia. Salacca affinis ‘Lonjong’,

mewakili salak potensial yang memiliki ciri yang ideal. Kultivar ini memiliki ciri

kadar gula tinggi, kandungan tanin rendah, rasa manis, warna daging buah

kekuningan, warna kulit buah jingga, dan tekstur daging buah lembut karena

kandungan airnya tinggi.

Kata kunci: jenis baru, kultivar, morfologi, penanda AFLP, Salacca

SUMMARY

ZUMAIDAR. Several Aspecs of Salacca (Arecaceae) Biosystematic. Supervised

by TATIK CHIKMAWATI, ALEX HARTANA, MIEN A RIFAI, dan SOBIR.

Salak is a tropical plant that belongs to the genus Salacca. This genus

distributed in Burma, Indochina, Thailand, Malay Peninsula, Sumatra, Borneo,

Philippines, and Java. Based on the scale structure of the fruit skin, this genus was

considered to be more primitive compared to Calamus, Daemonorops, and other

genera of Lepidocaryeae. However until now there was no literature describing all

species of salak. Since salak has dioecious inflorescence it is a big chance to get

new species of salak so it is expected that speciation process still on going now a

days. However, research on the salak diversity in Indonesia was still limited.

This study covers the wild and cultivated salak. The study aimed to present

a species description of salak that exists in the world and its distribution, and to

construct identification key of salak species and cultivars; analyze molecular

diversity of salak Jawa and salak Bali; analyze the morphological and molecular

diversity of salak Sidempuan; and identify salak potential in Indonesia. Results of

this study will benefit to provide a new contribution to science, especially the

discovery of new species and species descriptions of salak in the world. The wild

salak is a source of germplasm for the development of salak cultivation. The

morphological and genetic diversity of salak Sidempuan (Salacca sumatrana),

salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) and salak Bali (Salacca zalacca var.

amboinensis) could show a variety of cultivars of both species. Molecular analysis

results were expected to provide an indication of whether there was a genetic

separation between salak Jawa and salak Bali.

Revision of Salacca was based on observations of 19 salak species of

herbarium specimens deposited at Herbarium Bogoriense, Bogor; Herbarium

Leiden, the Netherlands; Herbarium Kewense, England. Diversity of cultivated

salak was observed on two species: S. zalacca and S. sumatrana, while searching

of potential salak was observed from five species of cultivated salak.

Morphological observation on the entire salak plant included vegetative and

generative organ characters. Molecular observations were carried out in several

stages consisting of DNA isolation, restriction and ligation, preamplification, and

amplification. Salak DNS was amplified using AFLP marker with two primer

combinations: EcoRI-ACT and Mse1-CAT and also EcoRI- ACC and Mse1-CTT.

Morphological and molecular data analysis were processed using UPGMA

method performed with NTSYS program (Numerical Taxonomy and Multivariate

System) version 2:02. Data of flavor, flesh color, sugar, and tannin content were

analyzed using R.3.0 Program.

There are 23 species of Salacca in the world that were classified into two

sections: Leiosalacca section consisted of two species and Salacca section

consisted of 21 species. Salacca acehensis was a new species found in Sumatra,

particularly in the province of Aceh and North Sumatra. Borneo has 11 salak

species and is considered as central of diversity. Salacca acehensis was the most

dwarf habit, while S. wallichiana was the biggest habit. Salacca zalacca was the

most widespread species, and its center diversity was in Java. This species has

two varieties namely S. zalacca var. zalacca and S. zalacca var. amboinensis.

Some morphological characters of habit, thorns, flowers, and seeds of salak Bali

are different from salak Jawa. Based on AFLP markers, salak Bali are genetically

separated from salak Jawa. Salacca sumatrana has many morphological

variations. The largest habit and thorn, fruit with red sarcotesta are typical

characters of S. sumatrana. The most prominent character of salak Sidempuan is

in sarcotesta color. Cultivar development of salak Sidempuan namely S.

sumatrana 'Sidempuan merah' and S. sumatrana 'Sidempuan putih' can only be

propagated through bud.

AFLP markers resulted a lot of data fragments that are polymorphic in S.

sumatrana and S. zalacca. The primer combinations of EcoRI-ACC and Mse1-

CTT was more effective than the primer combination of EcoRI-ACT and Mse1-

CAT. Crossing ability of salak plant was not only occurred within species but also

between species with human assistance. Salacca affinis 'Lonjong', was a result of

representing a potential salak that has ideal characteristic for consumers. This

cultivar is characterized by high sugar content, low tannin content, sweet taste,

yellowish flesh color, orange fruit skin, and soft sarcotesta.

Keywords: AFLP markers, cultivar, morphological, new species, Salacca

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA

Salacca (Arecaceae)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

ZUMAIDAR

viii

Penguji pada Ujian Tertutup dan Promosi Terbuka:

1. Dr Ir Utut Widyastuti, MSi

2. Dr Himmah Rustiami, SP MSc

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah

keanekaragaman salak, dengan judul Beberapa Gatra Biosistematika Salacca

(Arecaceae).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati MSi, Prof Dr

Ir Alex Hartana MSc, Prof Dr Mien A Rifai, dan Prof Dr Ir Sobir MSi selaku

pembimbing; Pihak Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kesempatan

untuk menempuh Program Doktoral; Dikti sebagai penyandang dana BPPS

selama empat tahun menempuh studi; Pembimbing penelitian pada Program

Sandwich: Dr Finn Borchsenius dari Science Museums Universtitas Aarhus

Denmark, Dr John Dransfield dan Dr William J Baker dari Herbarium Kewense,

Inggris, dan Dr Peter van Welzen dari Herbarium Leiden, Belanda; Dr Rugayah

MSc, Dr Elizabeth Widjaja MSc, Dr Himmah Rustiami MSc, Dr Marlina Ardiani

MSc, dan Dr Kusumadewi Sri Yulita MSc untuk waktu diskusi dan idenya; Dr.

Fitmawati MSi, Tri Harsono MSi, dan Dr Saleha Hanum MSi untuk segala

kebaikannya dalam membantu koleksi dan diskusi yang mencerahkan. Di samping

itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Gregory Garnadi Hambali dan

staf di Taman Buah Mekar Sari, Pihak Herbarium Bogoriense dan Kebun Raya

Bogor, Bapak Camat Krido beserta staf di Kebun Salak Nusantara yang telah

membantu selama pengumpulan koleksi dan penyimpanan spesimen salak.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada seluruh

keluarga besar, ibu, ayah, mertua, kakak, adik, khususnya suami dan anak-anak

atas segala doa dan kasih sayangnya; guru dan teman-teman UKA 301, Program

Doktoral BOT angkatan 2010 khususnya Dr Etti Sartina Siregar MSi, Priyanti,

MSi, Dr M Alfarabi MSi, Retno Lestari MSi, Siti Ifadatin MSi, Pieter Riupassa,

MSi, Asri Pirade MSi, teman-teman BOT dan BSH angkatan 2011, adik-adik

Program Master di Lab. Taksonomi Tumbuhan dan yang lainnya, Sulasih MP.

dan Pipit di Lab. PKHT IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Zumaidar

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 3

1.3 Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Jenis-Jenis Salak 5

2.2 Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) 7

2.3 Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) 8

2.4 Salak Sidempuan (Salacca sumatrana) 9

2.5 Penggunaan Data Morfologi dan Molekuler 10

2.6 Kegunaan Salak 12

3 METODE 13

3.1 Bahan Tanaman 13

3.2 Prosedur Penelitian 16

3.2.1 Pengamatan morfologi 16

3.2.2 Pengamatan karakter molekuler 16

3.2.3 Pengujian rasa buah 19

3.2.4 Pengujian kadar gula buah 19

3.2.5 Pengujian kandungan tanin buah 19

3.2.6 Kriteria warna daging buah 20

3.3 Analisis Data 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

4.1 Revisi Marga Salacca 21

4.1.1 Morfologi marga Salacca 21

4.1.2 Persebaran jenis salak 25

4.1.3 Deskripsi marga Salacca 26

4.1.4 Deskripsi jenis Salacca 28

4.2 Kekerabatan Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)

dan Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) 42

4.2.1 Ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali 42

4.2.2 Ciri molekuler salak Jawa dan salak Bali 46

4.2.3 Analisis fenetik 47

4.3 Keanekaragaman Morfologi dan Molekuler Salak Sidempuan

(Salacca sumatrana) 49

4.3.1 Perawakan 49

4.3.2 Daun 49

4.3.3 Perbungaan 51

xii

4.3.4 Buah 52

4.3.5 Analisis kemiripan morfologi salak Sidempuan 54

4.3.6 Analisis kemiripan molekuler salak Sidempuan 58

4.4 Pencarian Salak Potensial 61

5 KESIMPULAN 67

5.1 Simpulan 67

5.2 Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 75

RIWAYAT HIDUP 91

vi

xiii

DAFTAR TABEL

1 Spesimen salak yang diamati 13

2 Nomor dan asal koleksi Salacca zalacca yang diamati 14

3 Nomor dan asal koleksi Salacca sumatrana yang diamati 15

4 Jenis dan asal koleksi buah salak yang digunakan untuk identifikasi

salak potensial 16

5 Perbedaan ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali 43

6 Data molekuler salak Jawa dan salak Bali 47

7 Perbedaan ciri morfologi Salacca sumatrana dan Salacca zalacca 54

8 Daftar ciri kuantitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak

Sidempuan (Salacca sumatrana) 55

9 Daftar ciri kualtitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak

Sidempuan (Salacca sumatrana) 55

10 Variasi kadar gula dan kandungan tanin buah pada lima jenis salak budi

daya 62

11 Nilai korelasi antara empat ciri terpilih pada buah salak budi daya 64

xiv

DAFTAR GAMBAR

1 Contoh elektrofenogram data genetik Salacca zalacca dari metode

AFLP 19

2 Perawakan salak: a) batang tegak, b) batang merunduk, c) akar udara 22

3 Persebaran jenis salak di dunia 25

4 Variasi ciri morfologi salak Jawa: a) tangkai daun berduri, b) tangkai

daun tidak berduri, c) perbungaan jantan d) rakila bunga jantan, e) diad

rakila bunga jantan: 1-2=bunga jantan, f) perbungaan betina, g) rakila

bunga betina, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga betina, 2=bunga

jantan, i-j) perbuahan, k-l) buah, m-n) warna daging buah, o-p) biji 43

5 Variasi ciri morfologi salak Bali: a) duri, b) perbungaan jantan, c)

rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’, d) diad rakila bunga jantan kultivar

‘Kate’: 1-2=bunga jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina,

g, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga betina, 2=bunga jantan, i)

bagian-bagian bunga betina, j) bagian-bagian bunga jantan, k) warna

daging buah, l) tonjolan pada biji 45

6 Warna daging buah salak Sidempuan (Salacca sumatrana): a) warna

daging buah utuh, b) bagian buah yang dipotong 46

7 Dendrogram data molekuler kultivar salak Jawa dan salak Bali (Salacca

zalacca) menggunakan metode UPGMA, kelompok kultivar salak Bali

ditandai angka 1, 2, 3 48 8 Ciri organ vegetatif salak Sidempuan (S. sumatrana): a) alur jelas, b)

alur tidak jelas, c) duri soliter, d) duri berkelompok, e) warna duri:

1=abaksial duri berwarna abu-abu, 2=adaksial duri berwarna keputihan,

f) indumentum bersisik warna kehitaman, g) indumentum berambut

warna coklat, h) indumentum bersisik warna keputihan, i) anak daun

berhadapan, j) anak daun berseling, k) 8 anak daun menyatu, l) 3 anak

daun menyatu, m) 5 anak daun menyatu 50 9 Ciri organ generatif salak Sidempuan (S. sumatrana): a) perbungaan

jantan, b) rakila bunga jantan, c) bunga jantan pada rakila, d) bunga

jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina, g) bunga betina

tersusun diad, h) pasangan bunga betina, i) bakal buah, j-m) variasi

warna daging buah, n) buah masir, o) buah tidak masir, p) permukaan

daging buah, q) bentuk buah, r) duri pada buah, s-u) bentuk biji.

1=bunga jantan mekar, 2=braktea pasangan bunga jantan, 3=kelopak

bunga jantan, 4=mahkota bunga jantan, 5=bunga jantan, 6=bunga

hermafrodit, 7=alur duri lurus, 8=alur duri spiral, 9=duri pada buah 53 10 Dendrogram ciri kuantitatif dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 56

11 Dendrogram ciri kualitatif terpilih dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 58

12 Dendrogram ciri molekuler dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 60

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salak adalah tumbuhan asli daerah tropis yang tergolong ke dalam marga

Salacca. Jumlah spesies salak terbanyak dan keanekaragaman morfologi terbesar

ditemukan di wilayah Semenanjung Malaya dan Borneo (Dransfield et al. 2008).

Sejak tahun 1605, Clusius telah mendeskripsikan buah salak yang berasal dari

Bali (Mogea 1978). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa budi daya

tanaman salak telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat di Indonesia.

Marga Salacca pertama sekali dideskripsikan oleh Reinwardt (1825). Marga

ini terdapat di Burma, Indocina, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo,

Filipina, dan Jawa (Dransfield et al. 2008). Beberapa jenis ditemukan tersebar

luas, seperti S. affinis Griffith dan S. zalacca (Gaertn.) Voss, namun kebanyakan

jenis salak ditemukan pada daerah yang terbatas (Dransfield 2009).

Berdasarkan struktur sisik kulit buah yang berduri, maka marga ini dianggap

berada pada tahap yang lebih primitif dibandingkan dengan Calamus,

Daemonorops, dan marga lain dari Lepidocaryeae. Berdasarkan struktur buah

daging buah marga ini lebih tebal dan dapat dimakan. Dari eksplorasinya,

Rhumpius menemukan tanaman ini di Indonesia bagian timur dan menduga

tanaman ini didatangkan dari Bali bukan merupakan tanaman asli dari Ambon.

Sejauh ini tidak juga terdapat bukti bahwa jenis ini tumbuh liar di Celebes

(Furtado 1949).

Secara umum daun salak merupakan daun majemuk menyirip dengan ujung

yang berbentuk kipas, namun ditemukan juga daun majemuk yang seluruhnya

menyirip hingga ke ujung daun, atau daun tunggal berbentuk kipas (Dransfield et

al. 2008, Mogea 1980). Perbungaan salak seluruhnya adalah pleonantik, hanya

dua jenis yang bersifat hapaksantik yaitu S. secunda dan S. griffithii (Henderson

2008). Ciri yang paling unik dari marga ini adalah perbungaan muncul menembus

bagian abaksial pelepah sehingga pangkal pelepah terbelah (Dransfield et al.

2008). Perbungaan salak berumah dua (dioesis) sehingga perbungaan jantan

terdapat pada pohon yang berbeda dengan perbungaan betina. Oleh karenanya

penyerbukan yang terjadi pada salak adalah penyerbukan silang. Beberapa salak

memiliki perbungaan yang panjang, misalnya pada perbungaan jantan S. flabellata

mencapai 2 m (Furtado 1949). Perbungaan panjang dan menjulur di tanah, serta

berfungsi sebagai stolon, terdapat pada S. stolonifera (Hodel 1997).

Peluang untuk mendapatkan jenis baru dari marga ini masih sangat besar

(Uhl dan Dransfield 1987, Dransfield et al. 2008) karena perbungaan salak yang

bersifat dioesis menyebabkan proses spesiasi diduga masih terus berlangsung

hingga saat ini. Penelitian mengenai keanekaragaman salak yang ada di Indonesia

masih terbatas. Pengenalan jenis salak penting dilakukan, khususnya pada salak

liar yang merupakan sumber plasma nutfah yang sangat dibutuhkan guna merakit

bibit unggul salak Indonesia.

Di dalam buku Genera Palmarum: A Classification of Palms disebutkan

bahwa Salacca memiliki 15 jenis yang tersebar di dunia (Uhl dan Dransfield

1987). Lebih dari dua dekade berikutnya, jumlah jenis marga ini telah meningkat

namun dengan catatan masih banyak jenis yang belum dideskripsikan (Dransfield

2

et al. 2008, Dransfield 2009). Hingga saat ini belum ada sebuah literatur yang

menyajikan perincian seluruh jenis salak yang tersebar di dunia. Penelitian ini

perlu dilakukan untuk membuat konspektus jenis salak beserta deskripsi jenis dan

kunci identifikasinya. Berdasarkan spesimen salak yang terdapat di Herbarium

Bogoriense, masih banyak koleksi yang belum diidentifikasi. Saat ini jumlah jenis

marga ini diduga masih mungkin meningkat karena besarnya peluang menemukan

jenis baru. Penelitian tentang taksonomi Salacca perlu dilakukan untuk

mengetahui jumlah jenis, persebaran jenis, dan menemukan jenis baru salak yang

masih tersebar di wilayah Indonesia.

Di antara jenis salak yang ada di Indonesia, dua jenis budi daya telah

dikenal oleh masyarakat yaitu Salacca zalacca dan S. sumatrana. Budi daya

Salacca zalacca saat ini telah tersebar di seluruh pulau di Indonesia dari Sumatra

hingga Ambon (Mogea 1978).

Salacca zalacca terdiri atas dua varietas yaitu varietas zalacca dan varietas

amboinensis. Oleh masyarakat di pulau Jawa khususnya varietas zalacca disebut

salak Jawa, disebabkan domestikasinya tersebar di daerah Jawa. Penyematan

nama amboinensis dideskripsikan dari spesimen yang berasal dari Ambon. Salak

yang proses pengembangan budi dayanya terdapat di pulau Bali kemudian dikenal

sebagai salak Bali, yang memiliki banyak kemiripan morfologi dengan salak yang

berasal dari Ambon (Mogea 1982).

Pusat keanekaragaman S. zalacca terdapat di Jawa dan Bali karena variasi

morfologi jenis ini banyak ditemukan di kedua wilayah tersebut. Sejak lama di

beberapa daerah di Indonesia, masyarakat secara tradisional telah mengenal

tumbuhan salak dengan baik. Melalui pengetahuan tradisional sebagian

masyarakat telah membudidayakan dan telah dapat membedakan salak dalam

beberapa kultivar lokal. Di Bali, masyarakat mengenal 12 kultivar lokal dengan

ciri khas masing-masing (Suter 1988). Masyarakat Madura mengenal sebanyak 12

kultivar salak yang dibedakan berdasarkan karakter buahnya (Harsono dan

Hartana 2003).

Perbedaan antara salak Jawa dan salak Bali secara tradisional telah dikenal

oleh masyarakat melalui pengetahuan lokalnya. Secara morfologi terlihat adanya

perbedaan antara salak Bali dan salak Jawa seperti pada ukuran dan warna buah.

Variasi morfologi sangat erat kaitannya dengan variasi genetik untuk menentukan

ciri-ciri penanda khusus suatu takson. Secara molekuler menggunakan penanda

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), antara kultivar salak Jawa dan

salak Bali menunjukkan tidak adanya pemisahan yang jelas. Variasi genetik dari

kultivar S. zalacca di Jawa juga sudah dideskripsikan dengan menggunakan

penanda molekuler RAPD (Kaidah 1999; Nandariyah et al. 2004), tetapi penanda

RAPD memiliki kelemahan, di antaranya adalah hasil amplifikasi yang kurang

konsisten dan sedikit peluang mendapatkan data polimorfik (Kaidah 1999). Kajian

molekuler menggunakan penanda lain yang memberikan peluang hasil lebih baik

perlu dilakukan pada salak Jawa dan salak Bali, untuk mengetahui ada tidaknya

pemisahan yang lebih meyakinkan. Selama ini penanda AFLP belum digunakan

untuk menggambarkan keanekaragaman genetik pada tanaman salak,

pemanfaatannya perlu dilakukan pada S. zalacca untuk mengetahui

keanekaragaman genetik antara kultivar dan melihat perbedaan kultivar salak Bali

dan salak Jawa secara genetik.

3

Informasi salak budi daya jenis S. sumatrana lebih sedikit dibandingkan

dengan S. zalacca. Salacca sumatrana dikenal sebagai salak Sidempuan dan

menjadi salah satu jenis dari 21 jenis yang tergolong seksi Salacca karena

memiliki ciri bunga betina yang tersusun secara diad dengan bunga jantan dan

sisik pada kulit buah berduri. Jenis ini telah dibudidayakan di Sumatra Utara,

dengan daerah pengembangan budi dayanya terletak di Kabupaten Tapanuli

Selatan dan Kota Padang Sidempuan. Budi daya salak Sidempuan telah dilakukan

selama hampir 2 abad (Mogea 1978). Masyarakat Sumatra Utara menamakan

kultivar lokal salak berdasarkan lokasi penanamannya, yaitu salak Sitinjak, salak

Hutalambung, salak Sibakua, salak Siamporit, salak Hutakonje, salak

Sibongbong, dan salak Lobulayan (Jenimar 1995). Masyarakat mengenal jenis ini

melalui daging buah yang tebal dan memiliki warna daging buah yang berbeda

dibandingkan dengan salak lainnya, karena salak Sidempuan biasanya berwarna

kemerahan (Mogea 1978).

Mengingat lamanya waktu budi daya salak Sidempuan dan didukung oleh

sistem penyerbukan silang pada tanaman salak, munculnya variasi ciri morfologi

diduga sangat mungkin terjadi. Pengenalan fenetik maupun genetik penting

dilakukan untuk memperjelas batasan konsep antara satu jenis dengan jenis

lainnya (Rustiami et al. 2011) atau satu kultivar salak dengan kultivar lainnya.

Makin banyak kultivar salak yang dikenal makin beraneka ragam ciri fenetik yang

diperoleh. Keanekaragaman ciri fenetik merupakan bahan baku yang sangat

berguna bagi para pemulia tanaman salak. Oleh karena itu penelitian tentang

variasi morfologi dan molekuler salak Sidempuan perlu dilakukan untuk

mengenal kultivar salak Sidempuan.

Saat ini salak Jawa, salak Bali, dan salak Sidempuan telah memiliki nilai

ekonomi tinggi. Buah salak merupakan salah satu komoditas buah unggulan

nasional. Produksi buah salak menempati urutan kelima setelah pisang, mangga,

nanas, dan jeruk (BPS 2014). Pada umumnya mutu buah ditentukan oleh beberapa

persyaratan yaitu ukuran, warna, bentuk, kondisi, tekstur, citarasa, dan nilai nutrisi

(Santosa dan Hulopi 2011). Buah salak yang disukai konsumen adalah berdaging

tebal, citarasa manis, sedikit rasa sepat, waktu penyimpanan lama, dan sisik pada

kulit buah tidak berduri atau gundul (Mogea 1990). Warna daging buah yang

menarik juga akan mempengaruhi keinginan konsumen. Daging buah dari salak

Jawa dan salak Bali berwarna putih, kekuningan hingga merah (Schuiling dan

Mogea 1992, Harsono dan Hartana 2003, Sudjijo 2009) sedangkan salak

Sidempuan berwarna putih hingga merah (Mogea 1978, Harsono 1994, Jenimar

1995). Berdasarkan beberapa persyaratan mutu buah maka perlu dilakukan kajian

identifikasi salak potensial menyangkut kadar gula, kandungan tanin, warna

daging buah, dan rasa buah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mencakup jenis salak liar dan budi daya. Tujuan penelitian ini

adalah menyajikan deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia dan

persebarannya serta membuat kunci identifikasi jenis dan kultivar; menganalisis

keanekaragaman molekuler salak Jawa dan salak Bali; menganalisis

3

4

keanekaragaman morfologi dan molekuler salak Sidempuan; dan mengidentifikasi

salak potensial di Indonesia.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baru bagi

ilmu pengetahuan khususnya penemuan jenis baru dan deskripsi jenis-jenis salak

yang ada di dunia. Jenis-jenis salak liar merupakan sumber plasma nutfah bagi

pengembangan salak budi daya. Keanekaragaman morfologi dan genetik salak

Sidempuan (Salacca sumatrana) serta genetik salak Jawa (Salacca zalacca var.

zalacca) dan salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) dapat menggambarkan

variasi dari kultivar kedua jenis tersebut. Hasil analisis molekuler diharapkan

dapat memberikan indikasi ada tidaknya pemisahan antara salak Jawa dan salak

Bali untuk menguatkan takson keduanya pada tingkat varietas.

Pencarian salak potensial menyajikan informasi menyangkut syarat mutu

buah yang didasarkan pada kebutuhan konsumen. Informasi tersebut diharapkan

dapat memudahkan pemulia tanaman dalam merakit bibit unggul salak Indonesia

yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar nasional maupun internasional.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jenis-Jenis Salak

Salak adalah tumbuhan palem yang tergolong ke dalam marga Salacca,

anak suku Calamoideae, suku Arecaceae. Marga ini dideskripsikan oleh

Reinwardt (1825) didasarkan pada jenis Salacca edulis. Sebelumnya di tahun

1791 Gaertner mendeskripsikan Calamus zalacca berdasarkan organ buah dari

koleksi Thunberg yang ternyata adalah S. edulis Reinw. (Mogea 1982). Nama

Salacca Reinw. merupakan publikasi yang valid untuk marga salak namun pada

beberapa publikasi lainnya nama marga ini seringkali masih ditulis Zalacca.

Sebanyak lima jenis Salacca Reinw. yang disebutkan Burkill (1935)

memiliki buah dapat dimakan, empat jenis berupa tumbuhan liar dan satu jenis

merupakan tanaman budi daya. Kelima jenis tersebut tersebar dari timur laut India

ke Semenanjung Malaya. Dari lima jenis tersebut, satu jenis bukan jenis salak

tetapi merupakan kerabatnya, yang dikenal dengan nama daerah asam payo

(Sumatra), yaitu Eleiodoxa conferta (Griff.) Burret, ditemukan di Sumatra,

Semenanjung Malaya, dan Borneo. Empat jenis lainnya adalah: Salacca affinis

Blume dengan nama daerah linsum (Sumatra), ditemukan di Sumatra, dan

Semenanjung Malaya; S. edulis Reinw. dengan nama daerah salak pasir (Jawa),

sebagai jenis yang dibudidayakan atau sebagai tumbuhan liar, ditemukan di

Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya; S. glabrescens Griff. dengan nama

daerah pokok rengam (Melayu), ditemukan di Pulau Penang, Negeri Sembilan;

dan S. wallichiana Mart. dengan nama daerah salak kumbar (Melayu), ditemukan

dari Myanmar, Thailand hingga ke selatan Sumatra dan Semenanjung Malaya.

Enam jenis Salacca dideskripsikan oleh Whitmore (1973) dalam Palms of

Malaya beserta daerah sebarannya. Empat jenis yang disebutkan Burkill (1953)

juga terdapat dalam buku tersebut kecuali S. wallichiana, dan tambahan dua jenis

lain yaitu S. flabellata Furtado dan S. conferta. Di antara enam jenis, hanya dua

jenis yang tidak disebut salak dalam bahasa daerah, yang secara tersirat oleh

Whitmore dianggap sebagai jenis yang tidak dapat dimakan buahnya. Dari enam

jenis yang disebutkannya hanya empat jenis yang sekarang dianggap tergolong

marga salak yaitu S. affinis, S. edulis, S. flabellata, dan S. glabrescens.

Di dalam Flora of Java, Salacca edulis Reinw. disebut sebagai jenis yang

dibudidayakan karena buahnya dapat dimakan (Backer dan Bakhuizen van den

Brink 1968). Jenis ini dikaji aspek fenologinya secara mendalam dari koleksi

hidup di Kebun Raya Bogor, Pasar Rebo Jakarta, dan Manonjaya Jawa Barat

(Mogea 1973). Empat jenis salak juga disebutkan oleh Heyne (1950) telah

dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia khususnya organ daun, buah, dan biji.

Penelitian tentang salak yang bernilai ekonomi telah dilakukan di wilayah

Asia Tenggara (Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, Jawa, Madura,

dan Bali). Lima jenis Salacca telah dibudidayakan yaitu S. zalacca (Gaertn.) Voss,

S. sumatrana Becc., S. affinis Griff., S. glabrescens Griff., dan S. wallichiana

Mart. Dua jenis yang dibudidayakan pada kondisi semi liar adalah Salacca

wallichiana dan S. affinis. Jenis yang secara sporadik dibudidayakan di Thailand

bagian selatan adalah S. wallichiana sehingga jenis ini hanya populer di Thailand.

Salacca affinis juga dibudidayakan di bagian timur Semenanjung Malaya dan

6

Borneo. Dua jenis yang secara tradisional dibudidayakan sangat intensif di

Sumatra Utara (Padang Sidempuan) dan Semenanjung Malaya (Trengganu)

adalah S. sumatrana dan S. glabrescens (Hambali et al. 1989, Polprasid dan

Salakphetch 1989, Polprasid 1992).

Salacca zalacca tidak diketahui daerah asalnya namun tumbuh liar di Jawa

Barat Daya dan Sumatra Selatan. Jenis ini juga dibudidayakan di Thailand,

Malaysia, Indonesia, dan telah diintroduksikan ke New Guinea, Philipina,

Queensland (Australia), Pulau Ponape (Kepulauan Caroline), dan Pulau Fiji

(Schuiling dan Mogea 1992). Jenis ini memiliki daerah budi daya paling luas

(Hambali et al. 1989). Kultivar lokal jenis ini yang sudah dikenal oleh masyarakat

di Jawa dan Bali berjumlah lebih dari dua puluh.

Jumlah jenis dari marga ini yang telah dikenal sekitar 20 jenis dan masih

banyak jenis yang belum dideskripsikan (Dransfield et al. 2008, Dransfield 2009).

Catatan tentang banyaknya jenis dari marga ini yang belum dideskripsikan di

dalam Genera Palmarum A Classification of Palms dan Genera Palmarum The

Evolution and Classification of Palms mengindikasikan adanya peluang besar

untuk menemukan jenis baru dari marga ini. Kajian taksonomi marga salak perlu

dilakukan untuk merinci nama-nama jenis yang telah divalidasi dan membuat

kunci identifikasi jenis.

Beberapa ciri dapat digunakan untuk membedakan jenis salak. Daun pada

bentuk dan warna permukaan daun bagian atas dan bawah, perbungaan jantan

tegak atau panjang, perbungaan betina tersusun soliter atau diad, bentuk buah dan

keberadaan duri pada sisik kulit buah digunakan oleh Beccari (1918) sebagai

penciri untuk membedakan 13 jenis yang dideskripsikannya. Ukuran daun dan

ukuran perbungaan jantan menjadi dasar pengenalan jenis-jenis salak berdaun

kipas yang terdapat di Borneo dan Semenanjung Malaya (Mogea 1980).

Perbungaan salak sangat unik dan tidak ditemukan pada tanaman lain.

Perbungaan muncul pada ketiak daun namun menembus pelepah daun yang

mengapitnya sehingga pangkal pelepah terbelah di bagian tengahnya karena

perbungaan menembus bagian adaksial hingga ke bagian abaksial pelepah. Secara

umum perbungaan pada salak bersifat dioesis karena terpisah antara tanaman

jantan dan tanaman betina. Pada tanaman jantan maupun tanaman betina, pada

rakilanya bunga tersusun diad namun bedanya pada tanaman jantan tersusun dari

dua bunga jantan sedangkan pada tanaman betina tersusun dari satu bunga

hermafrodit dan satu bunga jantan. Oleh karenanya tanaman betina adalah

andromonoesis (Mogea 1973, Schuiling dan Mogea 1992, Darmadi et al. 2002,

Dransfield et al. 2008).

Di Indonesia tiga salak yang terkenal karena buahnya yang enak dimakan

adalah salak Jawa, salak Bali, dan salak Sidempuan. Ketiga salak tersebut sejak

lama telah dibudidayakan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat

di Indonesia. Beberapa daerah perkebunan ketiga salak tersebut terdapat di

Sumatra Utara (Padangsidempuan), Jawa (Condet, Depok, Batujajar, Manonjaya,

Sleman, Pasuruan, dan Bangkalan-Madura), Sulawesi Utara (Pangu dan

Pagulandang), dan Bali (Karang Asem) (Mogea 1978).

7

2.2 Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)

Perkebunan salak Jawa (S. zalacca var. zalacca) ditemukan di Sumatra,

Jawa, Madura, Kalimantan, dan Sulawesi. Varietas ini disebut sebagai salak Jawa,

disebabkan domestikasinya terutama tersebar di daerah Jawa. Pusat

keanekaragaman jenis ini berada di pulau Jawa ditandai oleh berkembangnya

kultivar salak Jawa yang banyak ditemukan di daerah ini. Dari 27 varietas salak

yang telah dilepas oleh pemerintah, 23 varietas berasal dari jenis S. zalacca.

Berdasarkan banyaknya variasi jenis ini yang ditemukan di Jawa maka dapat

disimpulkan bahwa jenis ini berasal dari Jawa.

Salak Jawa yang dikenal oleh Masyarakat Madura berjumlah 12 kultivar,

meliputi ‘Sinase’, ‘Kerbau’, ‘Penjalin’, ‘Nenas’, ‘Apel’, ‘Manggis’, ‘Air’,

‘Manalagi’, ‘Cocor’, ‘Pisang’, ‘Rasyid’ dan ‘Doren’. Kultivar lokal tersebut

dibedakan berdasarkan karakter buahnya yaitu warna kulit, ukuran, rasa, aroma,

dan tekstur daging buah yang masir dan tidak masir. Munculnya variasi-variasi

tersebut semata-mata didasarkan pada ciri morfologi dan organoleptik yang

seringkali bersifat subjektif. Penamaan salak lokal oleh masyarakat berbeda

dengan penelitian ilmiah yang mengunakan dasar-dasar yang lebih konsisten dan

objektif. Berdasarkan analisis gabungan ciri morfologi, anatomi, dan pola pita

isozim, 12 kultivar lokal salak yang dikenal Masyarakat Madura dapat

dikelompokkan menjadi 9 kultivar yaitu ‘Penjalin’, ‘Apel’, ‘Manalagi’, ‘Kerbau’,

‘Rasyid’, ‘Air’, ‘Sinase’, ‘Manggis’, dan ‘Nenas’ (Harsono dan Hartana 2003).

Penelitian tentang perbungaan salak Jawa memberikan informasi bahwa

waktu mekar antara satu bunga dengan yang lainnya tidak bersamaan, tergantung

pada umur dan posisi bunga. Bunga pada bagian pangkal akan lebih dahulu

mekar dibandingkan dengan bunga yang terletak di ujung rakila. Bunga salak

mekar setelah muncul pada rakila selama 2-3 hari, sekitar pukul 02.00-05.00 pagi.

Bunga jantan mekar dengan waktu yang lebih lama hingga pukul 09.00 pagi.

Perbedaan waktu mekar ini karena adanya hubungan antara kelembaban dan

bentuk hiasan bunga. Bunga betina lebih besar dan lebih tebal sehingga

memerlukan kelembaban yang tinggi untuk mekar sedangkan bunga jantan, hiasan

bunganya lebih tipis sehingga untuk mekar tidak memerlukan kelembaban yang

tinggi seperti halnya bunga betina. Kepala putik masih tampak segar selama 1-3

hari setelah mekar sehingga waktu ini diperkirakan sebagai waktu reseptif bagi

kepala putik. Adanya air hujan yang mengenai kepala putik sering menyebabkan

kebusukan. Setelah masa mekar selesai kepala putik menjadi kaku dan kering.

Salak mulai berbunga setelah berumur 3-4 tahun. Perbungaan salak sepanjang

tahun setidaknya 4 kali secara teratur dengan puncak panen pada bulan Desember

sampai Februari, musim menengah pertama pada bulan Maret sampai Mei, bulan

Juni sampai Agustus, dan musim panen kedua pada bulan September hingga

November. Hal ini memberi peluang besar secara ekonomi untuk memperoleh

hasil produksi yang optimal sepanjang tahun (Mogea 1973).

Serangga yang ditemukan pada perbungaan salak Jawa adalah Trigona sp.

(Hymenoptera), Rhynchophora palmarum L. (Coleoptera), kumbang kecil

berukuran panjang 1 mm, dan kumbang curculionid (Curculionidae). Diptera

ditemukan sepanjang hari hanya pada perbungaan jantan tetapi tidak ditemukan

pada perbungaan betina pada saat mekar. Serangga bergerak aktif dari satu

perbungaan ke perbungaan lainnya antara pukul 07.00 dan 21.00. Serangga

7

8

paling banyak ditemui antara pukul 19.00 dan 21.00 terkait dengan saat mekar

bunga betina. Bunga betina mekar sepanjang malam dimulai dari matahari

tenggelam pukul 18.00 hingga pagi dini hari. Serangga mengisap sekresi yang

mirip madu dari bagian dasar mahkota, menyebabkan mahkota bunga betina

menjadi rusak. Jumlah serangga semakin menurun seiring dengan jumlah bunga

yang rusak (Mogea 1978).

Jumlah kromosom pada S. zalacca adalah n=14 (Sarkar 1970). Dari bibit

salak ‘Pondoh’ yang berasal dari Kecamatan Turi kabupaten Sleman, Yogyakarta

diperoleh jumlah kromosomnya 2n=28 (Parjanto et al. 2003) sehingga sama

dengan sitologi marga Salacca 2n=28 (Dransfield et al. 2008) dan kultivar salak

Madura (Harsono 1994). Panjang kromosom salak berkisar antara 1.15 ± 0.13 µm

sampai dengan 2.38 ± 0.24 µm. Lengan pendek kromosom berkisar antara 0.36 ±

0.06 µm sampai dengan 1.11 ± 0.15 µm. Lengan panjang kromosom berkisar

antara 0.08 ± 0.07 µm sampai dengan 1.27 ± 0.12 µm. Pada sel yang berbeda

dapat terjadi perbedaan ukuran panjang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat

kondensasi kromosom (Parjanto et al. 2003).

2.3 Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis)

Salak di Indonesia telah dibudidayakan sejak lama, bahkan tahun 1605

Clusius telah mendeskripsikan buah salak yang sampai di Eropa, yang berasal dari

Bali (Mogea 1982). Salacca zalacca var. amboinensis (Becc.) Mogea dikenal

sebagai salak Bali karena pengembangan budi dayanya terluas terdapat di pulau

Bali. Varietas ini juga dibudidayakan di Ambon dan beberapa pulau di sebelah

timur Bali (Hambali et al. 1989).

Berdasarkan pengetahuan lokal, sebagian masyarakat yang

membudidayakan salak telah membedakan salak Bali ke dalam beberapa kultivar

lokal. Di Bali, masyarakat mengenal 12 kultivar lokal salak Bali dengan ciri khas

masing-masing, yaitu ‘Nenas’, ‘Nangka’, ‘Maong’, ‘Putih’, ‘Gula pasir’,

‘Gondok’, ‘Sepet’, ‘Boni’, ‘Cengkeh’, ‘Nyuh’, ‘Injin’, dan ‘Pada’. Kultivar-

kultivar salak tersebut terdapat di perkebunan salak milik masyarakat yang

tersebar di daerah Banjar Dukuh, Delod Wates, Karang Anyar, dan Telaga yang

termasuk Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karang Asem, Bali

(Suter 1988, Darmadi et al. 2002).

Petani salak di Bali mengenal salak Muani yang berarti salak dengan

kelamin jantan. Pada setiap perkebunan salak Bali, masyarakat mengenal adanya

tanaman salak Muani. Pengetahuan ini diperoleh petani salak di Bali secara turun

temurun, sehingga diketahui pula bahwa pola menanam salak Muani ini tidak

sebanyak jenis salak yang berkelamin betina. Petani lokal mengetahui bahwa

salak Muani tidak pernah menghasilkan buah. Secara morfologi perbungaan salak

Muani yang bersifat steril tidak berbeda dengan perbungaan pada tanaman salak

fertil lainnya (Darmadi et al. 2002).

Pada bunga salak Bali tidak ditemukan serangga, sehingga tidak ada

polinator yang membantu proses penyerbukan (Hutauruk 1999). Informasi ini

memunculkan dugaan terjadi agamospermi pada salak Bali. Biji yang dihasilkan

salak Bali bukan berasal dari hasil proses fertilisasi. Hal ini terbukti dengan

adanya embrio dalam bakal biji bunga betina sebelum mekar dan tidak adanya

serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Bukti tersebut menunjukkan

9

bahwa reproduksi salak Bali selain secara aseksual dengan tunas juga dengan biji

tanpa dibuahi (agamospermi). Embrio dalam biji berasal dari reproduksi aseksual

atau apomiksis, dan diduga apomiksis yang terjadi adalah apomiksis sporofitik

yaitu embrio berasal dari perkembangan jaringan nuselus dekat mikrofil. Pendapat

ini didasarkan pada tidak adanya kantong embrio lebih dari satu dan

perkembangan telur lebih lanjut pada kantong embrio (Kriswiyanti et al. 2008).

Masa pembentukan buah salak Bali dari bunga sampai menghasilkan buah masak,

berlangsung selama enam bulan (Hutauruk 1999).

Perkebunan salak Bali di sebagian besar daerah kecamatan Bebandem dan

kabupaten Karang Asem menggunakan biji untuk perbanyakannya. Reproduksi

secara vegetatif menggunakan tunas yang tumbuh pada ketiak dari pelepah daun.

Pohon salak dewasa menghasilkan 2-7 tunas. Umumnya tunas tidak digunakan

sebagai bibit tetapi dibiarkan tumbuh dan digunakan sebagai penyangga bakal

buah sampai bakal buah benar-benar kuat untuk tumbuh menjadi buah, kemudian

tunas akan dipotong. Apabila bunga tidak menjadi buah maka tunas sering

dipotong dan digunakan untuk sayur oseng-oseng (Kriswiyanti et al. 2008).

2.4 Salak Sidempuan (Salacca sumatrana)

Di Sumatra Utara, jenis salak yang dikenal oleh masyarakat adalah salak

Sidempuan (Salacca sumatrana Becc.) telah lama dibudidayakan (Mogea 1978),

khususnya di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan.

Masyarakat mengenal salak Sidempuan pada karakter ukuran dan warna daging

buah. Salak Sidempuan memiliki ukuran buah paling besar dibanding dengan

salak lainnya. Warna daging buah salak Sidempuan berkisar dari putih hingga

merah (Mogea 1978; Harsono 1994; Jenimar 1995). Sumatra Utara merupakan

daerah kedua yang memproduksi salak di Indonesia setelah Jawa Tengah (BPS

2014).

Jika pada salak Bali dan salak Jawa dikenal beberapa kultivar lokal maka

informasi keberadaan kultivar lokal salak Sidempuan juga dapat diperoleh dari

masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal mengenai salak Sidempuan di

antaranya adalah bahwa salak Sidempuan memiliki daging buah yang berwarna

putih dan merah yang disebut salak Sidempuan putih dan salak Sidempuan merah.

Selain salak Sidempuan putih, masyarakat juga mengenal salak Sibakua yang

memiliki warna daging buah putih. Tiga kultivar lokal salak tersebut berasal dari

daerah Tapanuli Selatan dan satu kultivar salak lain, yaitu salak Deli serdang

berasal dari Deli Serdang, Sumatra Utara yang telah dilepas oleh pemerintah

(PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015). Salak dengan daging buah berwarna

putih memiliki rasa lebih manis dibandingkan salak dengan daging buah berwarna

merah atau sebagian merah. Informasi sebaliknya adalah bahwa salak Sidempuan

dengan daging buah berwarna merah memiliki rasa yang lebih asam dibandingkan

salak dengan daging buah berwarna sebagian merah atau putih. Pengetahuan lokal

petani terhadap ciri khas kultivar tersebut hanya dapat dikenal jika buah dibuka,

tetapi belum dikenal dari ciri luar buah lainnya seperti warna kulit buah, sisik

pada kulit buah, ukuran dan bentuk buah. Berbeda dengan salak Jawa dan salak

Bali, variasi morfologi dan kultivar salak Sidempuan masih sangat sedikit

diungkapkan.

9

10

Penelitian mengenai pengenalan salak Sidempuan yang berasal dari tiga

desa di Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa tingkat kemiripannya

secara morfologi tinggi yaitu pada nilai koefisien kemiripan 63.7 %. Dari 22 ciri

yang diamati, 12 ciri memiliki variasi dan sisanya 10 ciri memiliki kesamaan.

Dari 12 ciri yang menunjukkan variasi, hanya empat ciri kualitatif yaitu bentuk

buah, rasa buah, tekstur buah dan warna daging buah, sisanya delapan ciri

kuantitatif (Harahap et al. 2013)

Pengembangan budi daya salak Sidempuan masih dilakukan dengan cara

yang sederhana dan belum menerapkan teknik budi daya yang lebih baik. Petani

menanam salak melalui biji sehingga rasio tumbuh individu betina dan jantan

tidak dapat diperkirakan. Sampai saat ini tumbuhan jantan atau betina belum dapat

ditentukan pada tahap pembibitan. Banyak tumbuhan jantan salak Sidempuan

ditebang ketika sudah mencapai tahap perbungaan. Perbanyakan salak Sidempuan

melalui biji juga menghasilkan buah yang beraneka ragam (Jenimar 1995).

2.5 Penggunaan Data Morfologi dan Molekuler

Pengenalan kultivar salak melalui ciri morfologi yang mudah dilihat

merupakan hal penting bagi petani, konsumen, bahkan peneliti. Meskipun ciri

morfologi kurang efektif dibandingkan ciri molekuler pada kajian filogenetik

namun variasi morfologi merupakan cerminan banyak gen yang dipengaruhi oleh

lingkungannya. Variasi morfologi mendasari pemahaman bagaimana tumbuhan

dapat hidup dan bereproduksi di lingkungannya (Stueessy dan Funk 2013),

sehingga beberapa jenis salak ditemukan pada daerah yang terbatas persebarannya

(Dransfield 2009).

Pengenalan konsep di bawah jenis seperti kultivar salak tidak mudah

dilakukan secara morfologi. Analisis fenetik salak Sidempuan perlu dilakukan

untuk dapat menjelaskan pertanyaan yang menyangkut variasi salak Sidempuan

pada tingkat spesies maupun populasi. Analisis fenetik idealnya mengungkapkan

sejumlah karakter dengan pembobotan yang sama dari beberapa pendekatan untuk

mengidentifikasi spesies dan mengindikasikan kemiripan antar jenis yang dapat

menggambarkan hubungan kekerabatannya (Sokal dan Crovello 1970). Analisis

fenetik dapat menggunakan data kualitatif maupun data kuantitatif. Hasil yang

diperoleh akan dapat menggambarkan kedekatan hubungan di antara takson atau

individu didasarkan pada kemiripan karakter (Rustiami et al. 2011). Studi

mikromorfologi daun tidak cukup baik ketika digunakan untuk memisahkan 13

kultivar salak Bali meskipun dapat menggambarkan dua pengelompokan yang

terdiri dari 9 kultivar dan 4 kultivar lainnya (Gari 2011).

Penggunaan data molekuler berfungsi mendukung data morfologi

khususnya untuk kategori infraspesies. DNA plastid dari suku Arecaceae secara

evolusi diketahui berkembang dengan perlahan (Wilson et al. 1990). Penggunaan

penanda RAPD telah dilakukan pada sepuluh genotipe salak dari empat jenis salak

yaitu S. sumatrana, S. zalacca, S. sarawakensis, dan S. multiflora. Sepuluh

genotipe salak tersebut dapat dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok yang

berbeda menggunakan tujuh primer pada tingkat kemiripan 0.75 (Kaidah 1999).

Penanda Amplified Fragment Length Polymorfism (AFLP) merupakan salah

satu penanda DNA yang dapat digunakan untuk mengenali hubungan kekerabatan

11

antar genotipe yang sangat dekat, perbedaan antar klon dalam satu kultivar,

melihat variasi di dalam dan antar jenis, keanekaragaman yang disebabkan oleh

mutasi yang sangat sedikit atau adanya perbedaan genetik yang sangat kecil

(Cabrita et al. 2001, Mueller dan Wolfenbarger 1999, Cai et al. 2005), juga untuk

melihat variasi genetik secara alami dan pada populasi tanaman budi daya

(Andersen dan Lübberstedt 2003). Sistem penanda pada AFLP dapat

memperlihatkan data polimorfik yang dapat membedakan setiap kultivar. Penanda

AFLP dianjurkan penggunaannya untuk mengidentifikasi kultivar, duplikasi dan

campuran individu, pemisahan kekerabatan genetik di antara sumber gen yang

diintroduksikan, kajian ulang identitas genetik, dan kajian strain genetik dalam

kultivar yang sama (Cao and Chao 2002).

Penanda AFLP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penanda

molekuler lainnya. Kelebihan AFLP di antaranya adalah tidak memerlukan

informasi urutan DNA dari setiap organisme yang diteliti, kaya informasi karena

kemampuannya menganalisis sejumlah besar lokus polimorfik secara bersamaan

dengan kombinasi primer pada gen tunggal dibandingkan dengan RAPD, RFLP

dan mikrosatelit (Semagn et al. 2006).

Identifikasi keanekaragaman tanaman dengan menggunakan AFLP telah

banyak dilakukan, di antaranya keanekaragaman genetik nenas dan jarak pagar.

Pada tanaman nenas, penanda AFLP dan gabungan data morfologi menghasilkan

tingkat kemiripan 67 %, tingginya nilai tersebut disebabkan oleh tanaman nenas

yang diperbanyak melalui organ vegetatif (Surtiningsih 2008). Analisis penanda

AFLP dapat menghasilkan dua kelompok jarak pagar yang berasal dari 10 individu

pada koefisien kemiripan 0.66 (Dewi 2008).

Penanda AFLP juga telah digunakan untuk melihat keanekaragaman genetik

pada sejumlah tanaman palem. Penanda AFLP berhasil mengenali variasi

morfologi dan genetik dari tanaman sagu (Metroxylon sagu) yang membentuk

pola distribusi secara geografis di Papua Niu Guini (Kjær et al. 2004). Penanda

AFLP juga telah berhasil mengenal sejumlah kultivar dari Phoenix dactylifera di

California (Cao dan Chao 2002).

Penggunaan penanda molekuler AFLP pada salak Bali, salak Jawa, dan

salak Sidempuan diharapkan dapat memberikan informasi keanekaragaman

genetik pada tanaman salak. Data molekuler dari penanda AFLP juga dapat

digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan dari kultivar lokal salak

Sidempuan. Pada salak Jawa dan salak Bali, data AFLP dapat digunakan untuk

menganalisis hubungan kekerabatan kultivar-kultivar yang dapat mendukung

pengungkapan pemisahan salak Bali dan salak Jawa (Zumaidar et al. 2015).

Keanekaragaman morfologi dan genetik dalam populasi salak sangat

penting dipahami dan dipertahankan dalam upaya konservasi plasma nutfah salak

Indonesia. Keanekaragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu

populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan

sekitarnya (Damayanti 2007). Informasi mengenai hubungan kekerabatan dari

kultivar lokal salak Sidempuan diharapkan dapat menunjang dan mempercepat

proses perbaikan salak Sidempuan di masa yang akan datang.

Pengetahuan tentang keanekaragaman genetik tanaman dapat digunakan

untuk keperluan evaluasi dan seleksi tanaman yang akan dibudidayakan.

Informasi filogeni berdasarkan data molekuler sangat penting dalam rangka

memperjelas kedudukan sistematika (klasifikasi), konservasi, dan menjadi data

11

12

dasar keanekaragaman genetik untuk penangkar tanaman dalam rangka perakitan

tanaman unggul Indonesia (Fitmawati 2008).

2.6 Kegunaan Salak

Beberapa pemanfaatan salak telah dilakukan oleh masyarakat di Indonesia

pada S. sumatrana dan S. zalacca karena buahnya yang enak dimakan sehingga

memiliki nilai jual tinggi, Salacca glabrescens di Burma dan S. wallichiana di

Thailand juga bernilai ekonomi (Mogea 1984). Salak tidak hanya dimakan sebagai

buah segar pencuci mulut, tetapi saat ini juga sudah dikembangkan lebih

bervariasi. Diversifikasi pemanfaatan salak dapat berupa dodol salak, manisan,

asinan salak baik dalam bentuk basah maupun kering (Mogea 1973). Di Bali,

salak juga dibuat menjadi minuman (Nazaruddin dan Kristiawati 1996).

Pemanfaatan tanaman salak dapat dilakukan pada semua organ tanaman.

Buah yang belum matang dapat digunakan dalam rujak, yaitu semacam salad

pedas terdiri dari campuran buah-buahan yang belum matang. Di Tapanuli Selatan

buah salak digunakan sebagai obat diare (Nazaruddin dan Kristiawati 1996). Biji

salak Pondoh yang masih muda dapat dimakan. Di Cina, bunga dari tanaman

salak digunakan sebagai obat batuk (Burkill 1935).

Batang pohon salak dapat disusun dan ditanam dalam jarak yang rapat

sehingga membentuk pagar pelindung yang tidak tergoyahkan. Daunnya yang

tajam dan runcing juga dapat digunakan dalam pembuatan pagar. Masyarakat

tradisional di Thailand memanfaatkan daun salak sebagai bahan untuk pembuatan

atap rumah. Tangkai daun salak dipakai sebagai bahan yang dapat dianyam untuk

pembuatan tikar secara tradisional (Mogea 1973, Schuiling dan Mogea 1992,

Dransfield et al. 2008). Kulit buah salak yang selama ini terbuang juga telah

dimanfaatkan pada produk keramik dan kerajinan seni lainnya (Hendri 2012,

Hendri dan Arianingrum 2010).

Masyarakat Desa Condet, Pasar Rebo, Jakarta, menanam salak bersama-

sama dengan jenis tumbuhan lain di antaranya Sandoricum koetjape, Arenga

pinnata, Lansium domesticum, Parkia speciosa, Durio zibethinus, Gnetum

gnemon, Artocarpus heterophyllus. Demikian juga halnya dengan Masyarakat

Desa Cilangkap, Manonjaya, Tasikmalaya Jawa Barat, menanam salak dengan

beberapa jenis lainnya di antaranya Durio zibethinus, Moringa oleifera,

Artocarpus heterophyllus (Mogea 1973). Ditinjau dari segi konservasi jenis,

sistem pengembangan perkebunan salak secara tumpangsari sangat

menguntungkan bagi ketahanan jenis tanaman khususnya terhadap serangan hama

dan penyakit. Selain itu sistem tumpangsari juga berguna bagi konservasi lahan,

karena serapan hara tidak hanya didominasi oleh unsur tertentu saja tetapi

bervariasi selaras dengan jumlah jenis tanaman yang ada. Bahkan jika

memungkinkan sistem tumpangsari tanaman salak ini dikembangkan sebagai

model perkebunan di daerah konservasi khususnya untuk daerah penyangga yang

tidak hanya menguntungkan untuk perlindungan daerah inti tetapi juga

mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan.

13

3 METODE

3.1 Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini berupa spesimen

herbarium salak yang berasal dari Herbarium Bogoriense, Bogor; Herbarium

Leiden, Belanda; dan Herbarium Kewense, Inggris; tanaman salak yang dikoleksi

dari Aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi

Utara, koleksi hidup dari Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekar Sari, dan kebun

pribadi Gregory Garnadi Hambali.

Bahan yang digunakan untuk merevisi marga Salacca adalah seluruh

spesimen herbarium salak yang berasal dari tiga herbarium, berjumlah 500 lembar

mewakili 19 jenis salak dari 22 jenis salak yang pernah dilaporkan sebelumnya

(Tabel 1); dan tanaman salak yang dikoleksi untuk pembuatan herbarium yang

berasal dari enam provinsi. Tiga jenis salak tidak ditemukan spesimen

herbariumnya yaitu Salacca flabellata, S. sarawakensis, dan S. stolonifera

sehingga pengamatan dilakukan pada gambar tipe dari protolog, yang secara

taksonomi telah diterima oleh para peneliti Arecaceae.

Tabel 1 Spesimen salak yang diamati No Nama Jenis Daerah Koleksi Asal Herbarium

1 S. affinis Sumatra, Semenanjung Malaya,

Jawa, Borneo

Bogoriense

2 S. bakeriana Borneo Kewense

3 S. clemensiana Mindanao Kewense

4 S. dolicholepis Borneo Bogoriense

5 S. dransfieldiana Borneo Bogoriense

6 S. glabrescens Semenanjung Malaya Bogoriense, Kewense

7 S. graciliflora Semenanjung Malaya Bogoriense

8 S. griffithii Thailand Kewense

9 S. lophospatha Borneo Kewense, Leiden

10 S. magnifica Borneo Bogoriense

11 S. minuta Semenanjung Malaya Kewense

12 S. multiflora Semenanjung Malaya Kewense

13 S. ramosiana Borneo Bogoriense

14 S. rupicola Borneo Kewense

15 S. scunda India Kewense

16 S. sumatrana Jawa, Sumatra Bogoriense, Kewense, Leiden

17 S. vermicularis Borneo Bogoriense

18 S. wallichiana Thailand Bogoriense

19 S. zalacca Jawa Bogoriense

Pengoleksian sampel salak budi daya yaitu Salacca sumatrana dan S.

zalacca berasal dari Aceh (Aceh Tenggara), Sumatra (Padang Sidempuan dan

Tapanuli Selatan), Jawa Barat (Bogor, Tasikmalaya, Sumedang), Yogyakarta

(Sleman), Jawa Tengah (Magelang), dan Sulawesi (Minahasa). Spesimen tanaman

salak yang dikoleksi seluruhnya disimpan di Herbarium Bogoriense, LIPI

Cibinong. Pemilihan individu salak yang dikoleksi untuk pembuatan spesimen

herbarium mewakili kultivar yang dimaksud oleh petani. Masing-masing kultivar

salak diambil sebanyak 3 individu pada setiap lokasi.

14

Bahan tanaman S. zalacca digunakan untuk menganalisis molekuler salak

Jawa dan salak Bali, dikoleksi dari lapangan dan berjumlah 91 individu meliputi

kultivar lokal berasal dari Jawa Barat: Bogor (Kebun Raya Bogor, Kebun Pribadi

Gregory Hambali, dan Taman Buah Mekar Sari), Sumedang, Tasikmalaya; Jawa

Tengah, Yogyakarta, Sulawesi, dan Aceh (Tabel 2). Dari 91 individu salak,

seluruhnya termasuk dalam 22 kultivar, terdiri atas 11 kultivar yang telah dilepas

dan 11 kultivar lokal. Adapun kultivar yang telah dilepas adalah Condet, Salak

Tanpa Duri, Pondoh, Gading, Slebong, Jawa Lokal, Nglumut, Gula pasir, Bali,

Manggala, dan Madu (Kaidah 1999, PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015).

Dari 22 kultivar tersebut, 6 kultivar termasuk dalam kelompok salak Bali dan 16

kultivar termasuk dalam kelompok salak Jawa.

No Nomor Koleksi Nama Kultivar Asal Koleksi

Desa Kecamatan Kabupaten/

Kota

Provinsi

1 ZM 01 Bongkok Bongkok Paseh Sumedang Jawa Barat

2 ZM 02-ZM03 Slebong Bongkok Paseh Sumedang Jawa Barat

3 ZM 04 Manonjaya Lokal Cilangkap Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat

4 ZM 05 Pontas Cilangkap Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat

5 ZM 08 Kembang Arum Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

6 ZM 09 Tanpa Duri Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

7 ZM 10 Gading Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

8 ZM 11 Manggala Hijau Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

9 ZM 12 Ciamis Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

10 ZM 13 Bali Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

11 ZM 14 Totok Lebar Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

12 ZM 15 Totok Kecil Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

13 ZM 16 Gula pasir Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

14 ZM 17 Super Hijau Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

15 ZM 18; ZM 22 –

ZM 23

Pondoh Kuning Taman Salak

Nusantara

Turi Sleman Yogyakarta

16 ZM 19 Nglumut Nglumut Magelang Jawa Tengah

17 ZM 20-ZM 21 Madu Baleranti Turi Sleman Yogyakarta

18 ZM 24 Jawa Lokal Babatan Turi Sleman Yogyakarta

19 ZM 25 Pondoh Kuning Babatan Turi Sleman Yogyakarta

20 ZM 26 Pondoh Hitam Babatan Turi Sleman Yogyakarta

21 ZM 27-ZM 28 Madu Soko Turi Sleman Yogyakarta

22 ZM 43-ZM 47 Bali Jawa Taman Buah Mekar

Sari

Cileungsi Bogor Jawa Barat

23 ZM 48-ZM 49 Condet Taman Buah Mekar

Sari

Cileungsi Bogor Jawa Barat

24 ZM 61-ZM 63;

ZM 126

Pondoh - - Minahasa Sulawesi

25 ZM 69-ZM 73 Pondoh - - Aceh

Tenggara

Aceh

26 ZM 77-ZM 78 Jawa Kebun Raya Bogor Bogor Utara Bogor Jawa Barat

27 ZM 80-ZM 83 Gading Kebun Raya Bogor Bogor Utara Bogor Jawa Barat

Tabel 2 Nomor dan asal koleksi Salacca zalacca yang diamati

15

Bahan tanaman S. sumatrana digunakan untuk menganalisis

keanekaragaman morfologi dan molekuler, berasal dari Aceh yaitu Aceh

Tenggara; Jawa Barat di Bogor yaitu di Taman Buah Mekar Sari, Kebun Raya

Bogor, Kebun GG Hambali; Sumatra Utara yaitu di Kota Padang Sidempuan dan

Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 5 desa yaitu Desa Sitaratoit, Batubujur,

Sigemuruh, Sitinjak dan Sabungan Jae. Di Sumatra Utara, masing-masing desa

diwakili oleh satu perkebunan salak Sidempuan milik masyarakat dan dianggap

sebagai satu populasi. Masing-masing populasi diwakili oleh 8-10 individu.

Pemilihan individu sebagai sampel salak yang dikoleksi untuk pembuatan

spesimen herbarium didasarkan pada warna buah yang mewakili kultivar yang

dimaksud oleh petani. Masing-masing kultivar warna buah salak diambil

sebanyak 3-5 individu pada setiap populasi. Tanaman salak Sidempuan yang

dikoleksi berjumlah 91 individu (Tabel 3).

Tabel 2 (Lanjutan)

No Nomor Koleksi Nama

Kultivar

Asal Koleksi

Desa Kecamatan Kabupaten/

Kota

Provinsi

28 ZM 84-ZM 86 Jawa Lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

29 ZM 87-ZM 89 Bali Sedikit

Duri

Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

30 ZM 90-ZM 92 Kate Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

31 ZM 93- ZM 95 Bali Lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

32 ZM 96-ZM 98 Gula pasir Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

33 ZM 99-ZM 101 Gading Bali Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

34 ZM 102-ZM 103 Sedikit Duri

Asal Batujajar

Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

35 ZM 104-ZM 109 Mawar Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

36 ZM 110-ZM 112;

ZM 185-ZM 195

Pondoh Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

37 ZM 113-ZM 114 Gading Jawa Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

38 ZM 115 Jawa lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat

Tabel 3 Nomor dan asal koleksi Salacca sumatrana yang diamati

No Nomor Koleksi Status

Salak

Jumlah

tanaman

Asal Koleksi

Desa Kecamatan Kabupa

ten/Kota

1 ZM29-ZM 42 Budi daya 14 Taman Buah

Mekar Sari

Cileungsi Bogor

2 ZM 52–ZM 60 Budi daya 9 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang

Sidempuan

3 ZM64-ZM 68 Budi daya 5 - - Aceh Tenggara

4 ZM 74–ZM 76 Budi daya 3 Kebun Raya

Bogor

Bogor Utara Bogor

5 ZM116-ZM 117 Budi daya 2 Kebun GG

Hambali

Bogor Timur Bogor

6 ZM 127- ZM 135 Budi daya 9 Sitaratoit Angkola Barat Tapanuli Selatan

7 ZM 136- ZM 143 Budi daya 8 Batubujur Angkola Barat Tapanuli Selatan

8 ZM 144- ZM 151 Budi daya 8 Sigumuru Angkola Barat Tapanuli Selatan

9 ZM 152- ZM 161 Budi daya 10 Sitinjak Angkola Barat Tapanuli Selatan

10 ZM 162- ZM 170 Budi daya 9 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang

Sidempuan

11 ZM 171-ZM 172 Budi daya 2 Taman Buah

Mekar Sari

Cileungsi Bogor

12 ZM 173-ZM 184 Budi daya 12 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang

Sidempuan

15

16

Bahan tanaman berupa buah salak segar dari lima jenis salak budi daya

digunakan untuk mengidentifikasi salak potensial, berasal dari Sumatra Utara dan

Jawa Barat. Buah salak segar yang diamati berjumlah 61 (Tabel 4).

Tabel 4 Jenis dan asal koleksi buah salak yang digunakan untuk identifikasi salak

potensial Nama Jenis Nama Kultivar Asal Koleksi Jumlah

Koleksi Lokasi Daerah

S. affinis Kehitaman Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

Kuning Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

Merah Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

Lonjong Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

S. glabrescens Hitam Kebun GG Hambali Jawa Barat 3

S. sumatrana Sidempuan putih Padang Sidempuan Sumatra Utara 3

Sidempuan merah Padang Sidempuan Sumatra Utara 10

Sidempuan hibrid Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

S. wallichiana Hibrid Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

Kuning Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3

S. zalacca Pondoh Pasar Bogor Jawa Barat 11

Kate Kebun GG Hambali Jawa Barat 3

Mawar Kebun GG Hambali Jawa Barat 2

Jawa lokal Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Bali Kebun GG Hambali Jawa Barat 3

Gading Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Kurang duri Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Batujajar Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Gula pasir Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Boni Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

Madu Kebun GG Hambali Jawa Barat 1

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pengamatan morfologi

Pengamatan morfologi dilakukan untuk merevisi marga salak, mengetahui

perbedaan morfologi salak Jawa dan salak Bali, dan menganalisis

keanekaragaman morfologi salak Sidempuan. Ciri morfologi pada seluruh

tanaman salak mengacu pada kriteria yang digunakan oleh Rifai (1976), Vogel

(1987), Sculling dan Mogea (1992), Haris dan Haris (2013), PPVT (2006), dan

Dransfield et al. (2008).

Tahapan pengerjaan revisi (Vogel (1987): seluruh spesimen salak

dikelompokkan berdasarkan kemiripan morfologi; masing-masing kelompok

dianggap sebagai satu takson; setiap takson dirinci ciri morfologinya khususnya

ciri generatif jika tersedia tanpa melihat nama yang ada pada label spesimen;

analisis didasarkan pada deskripsi pada pengukuran, perawakan dan bagian bunga,

persebaran, catatan ekologi dan kolektor; ciri yang dideskripsikan menjadi acuan

untuk merujuk pada publikasi jenis salak yang sudah divalidasi di World Checklist

of Selected Plant Families; ciri morfologi pada takson yang tidak merujuk pada

jenis yang sudah divalidasi merupakan peluang untuk mendapatkan jenis baru.

Pembuatan kunci identifikasi didasarkan pada ciri pembeda antar jenis salak.

17

3.2.2 Pengamatan molekuler

Pengamatan molekuler dilakukan dengan menganalisis kekerabatan salak

Jawa dan salak Bali, dan keanekaragaman salak Sidempuan. Beberapa tahapan

dilakukan pada pengamatan molekuler, terdiri atas isolasi, restriksi dan ligasi,

preamplifikasi, dan amplifikasi. Primer yang digunakan adalah kombinasi EcoRI-

ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya yaitu EcoRI- ACC dan Mse1-CTT.

1. Isolasi DNA

Isolasi genom DNA seluruh sampel salak menggunakan E.Z.N.A TM SP

Plant DNA Mini Kit Product No. D5511-00 5 preps, D5511-01 50 preps, D5511-

02 200 preps Juni 2008. Isolasi sampel DNA dikerjakan dengan memotong

sampel daun kering atau segar sebanyak 10-30 mg dan selanjutnya digerus hingga

halus menggunakan mortal. Daun yang telah halus selanjutnya ditambahkan

Buffer SP1 sebanyak 600 μl, dituangkan ke dalam tabung ukuran 1.5 ml yang

sebelumnya telah diberi nomor sampel dan dimasukkan Rnase sebanyak 5 μl.

Tabung dikocok menggunakan tangan atau pipet sehingga larutan dapat tercampur

dengan baik. Selanjutnya tabung berisi sampel daun dicampur dengan

menggunakan vortex selama 10 detik dan dimasukkan ke dalam inkubator pada

suhu 65 oC selama 60 menit, dan setiap 15 menit larutan dalam tabung dicampur

dengan menggunakan vortex, sehingga selama satu jam larutan dalam tabung

dicampur dengan menggunakan vortex sebanyak 4-5 kali.

Setelah satu jam diinkubator, tabung sampel ditambah 210 μl Buffer SP2

lalu dikocok dan diletakkan di atas es selama 5 menit, selanjutnya larutan

dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 10

menit. Secara hati-hati supernatan diambil lalu dipindahkan ke dalam tabung

Omega Homogenizer Column yang ditempatkan dalam tabung koleksi 2 ml, dan

larutan dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm

selama 2 menit.

Tabung HiBind DNA Mini Column disiapkan dan ditempatkan dalam

tabung koleksi 2 ml, ditambahkan 200 μl Equilibration Buffer lalu larutan

dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 30-

60 detik. Tabung sampel 1.5 ml diberi nomor sampel lalu supernatan dimasukkan

sebanyak 600 μl lalu ditambahkan 900 μl Buffer SP3 dan dikocok segera dengan

tangan agar larutan menjadi homogen. Larutan sebanyak 700 μl dimasukkan ke

dalam HiBind DNA Mini Column lalu larutan dipisahkan dengan menggunakan

sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.

Larutan pada bagian bawah tabung dibuang lalu ditambahkan lagi sisa

larutan dari tabung sampel sebanyak 800 μl dan selanjutnya larutan dipisahkan

dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.

Larutan di bagian atas dipindahkan ke dalam tabung baru kemudian ditambah 650

μl larutan SPW Wash Buffer yang sudah dielusi dengan etanol, lalu larutan

dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1

menit. Larutan di dasar tabung dibuang lalu ditambahkan lagi 650 μl larutan SPW

Wash Buffer, lalu larutan dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada

kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Larutan di dasar tabung kembali dibuang

selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000

rpm selama 2 menit.

Tahapan terakhir isolasi adalah tabung HiBind DNA Mini Column

ditempatkan pada tabung sampel 1.5 ml lalu dimasukkan 60 μl Elution Buffer

17

18

yang telah terlebih dahulu disimpan di inkubator pada suhu 65 oC. Tabung larutan

dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 2

menit. DNA yang berada dalam tabung sampel 1.5 ml siap digunakan.

2. Proses restriksi dan ligasi

Proses selanjutnya adalah pemotongan DNA dengan enzim EcoRI dan MseI.

Adaptor yang disiapkan adalah adaptor untuk enzim EcoRI dan MseI. Campuran

reaksi restriksi dan ligasi untuk 10 sampel terdiri atas: 22.62 μl H2O, 10 μl 5x

ligase buffer, 10 μl NaCl 0.5 M, 2.5 μl EcoRI adaptor, 2.5 μl MseI adaptor, 0.63

μl EcoRI (20 U/μl), 1.25 μl MseI (10 U/μl), 0.5 μl T4 DNA Ligase (400 U/μl)

sehingga volume campuran berjumlah 50 μl. Setelah dicampur diatas es maka

disiapkan tabung yang berisi 5 μl sampel DNA ditambah 5 μl campuran enzim

sehingga total volume tabung 10 μl, diinkubasi selama semalam.

3. Proses Preamplifikasi

Pada proses ini primer EcoRI ditambah satu selektif basa A dan primer

Mse1 ditambahkan satu selektif basa C. Campuran untuk preamplifikasi 10

sampel adalah 100 μl master mix merah, 10 μl primer EcoRI-A, 10 μl primer

Mse1-C, dan 60 μl H2O. Campuran preamplifikasi sebanyak 18 μl dan 2 μl DNA

restriksi dan ligasi diamplikasi menggunakan PCR dengan tahapan sebagai

berikut: 72 °C selama 2 detik, dan 20 siklus terdiri atas: 94 °C selama 1 detik,

56 °C selama 30 detik, 72 °C selama 2 detik dan yang terakhir 60 °C selama 30

detik.

4. Proses Amplifikasi

DNA hasil preamplifikasi digunakan sebagai cetakan dengan campuran

bahan dan volume yang sama namun dengan penambahan 3 selektif basa pada

masing-masing primer yaitu EcoRI- ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya

yaitu EcoRI- ACC dan Mse1-CTT. Amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR

berlangsung dengan tahapan sebagai berikut. Tahap preamplifikasi 5 menit pada

suhu 96oC, tahap pemisahan utas 1 menit pada suhu 96

oC, tahap penempelan

primer 1 menit pada suhu 47oC, tahap sintesis 1 menit pada suhu 72

oC, tahap

pasca amplifikasi 10 menit pada suhu 72oC (Trout et al. 1997) dengan sedikit

modifikasi pada suhu penempelan primer. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35

siklus.

5. Visualisasi

Fragmen DNA hasil amplifikasi dilapis pada gel poliakrilamida

menggunakan mesin sekuen ABI 377, yang dapat membedakan tiga label yang

berbeda pada primer. Penempelan primer memungkinkan sinar laser dalam mesin

sekuen mengukur kekuatan floresensi pada ukuran tertentu untuk masing-masing

sampel. Tampilan floresensi pada ukuran tertentu dari kedua kombinasi primer

disebut elektrofenogram (Gambar 1).

Pembacaan elektrofenogram pada sisi kiri menunjukkan nomor koleksi

salak. Secara vertikal pada setiap baris, ada tidaknya puncak pada panjang basa

tertentu menjadi dasar penentuan ciri molekuler untuk setiap nomor koleksi. Jika

pada baris di setiap satu nomor koleksi terdapat puncak maka diberi lambang

angka 1 dan jika tidak ada puncak diberi lambang angka 0. Lambang angka 1 dan

0 dari seluruh ciri molekuler pada setiap nomor koleksi disusun dalam bentuk

matrik.

19

Gambar 1 Contoh elektrofenogram data molekuler Salacca zalacca dari metode

AFLP

3.2.3 Pengujian rasa buah

Uji rasa buah salak dilakukan pada 61 sampel buah salak segar dari lima

jenis salak untuk mengidentifikasi salak potensial. Pengujian rasa buah

menggunakan responden sebanyak 3 orang. Setiap sampel salak yang dikoleksi

diuji rasa buahnya oleh masing-masing responden. Buah salak yang dirasa adalah

buah yang telah matang ditandai oleh susunan sisik yang jarang pada kulit buah.

Kriteria rasa buah salak adalah manis, manis sepat, sepat, sedikit sepat, asam,

asam sepat, asam manis, hambar. Rasa buah selanjutnya dikuantitatifkan dengan

angka, hambar = 0; sepat = 1; asam = 2; manis sepat, sedikit sepat, asam sepat,

dan asam manis = 3; manis = 4.

3.2.4 Pengujian kadar gula buah

Pengujian kadar gula dilakukan untuk mengidentifikasi salak potensial.

Secara kualitatif kadar gula ditentukan dengan menggunakan metode/ alat uji Brix

pada 61 sampel buah salak. Buah segar yang matang digerus sehingga berair, air

buah tersebut diteteskan sebanyak dua tetes di atas kolom Brix yang telah

dihidupkan sebelumnya. Kadar gula dibaca pada monitor Brix dalam bentuk

persentase.

3.2.5 Pengujian kandungan tanin buah

Kandungan tanin diuji secara kualitatif pada 61 sampel buah salak untuk

mengidentifikasi salak potensial. Buah segar yang matang digerus sehingga berair

dan ditambahkan air sebanyak 2 ml, karena tanin dapat larut dalam air (Sax &

Lewis 1989, Farida et al. 2000). Air buah sebanyak 3 ml dimasukkan ke dalam

tabung reaksi lalu diteteskan FeCl3 0.5 M sebanyak 5 μl. Hasil uji dengan warna

hijau kebiruan menunjukkan adanya kandungan tanin. Data tanin ditandai dengan

- = tidak ada kandungan tanin; + = kandungan tanin rendah; ++, +++ = kandungan

tanin sedang; ++++, +++++ = kandungan tanin tinggi. Kandungan tanin yang

memiliki kategori sama namun kode berbeda disebabkan karena warna yang

19

20

muncul pada sampel berbeda. Kandungan tanin dikuantitatifkan dengan angka, - =

0, + = 1, ++ = 2, +++ = 3, ++++ = 4, +++++ = 5.

3.2.6 Kriteria warna daging buah

Warna daging buah didata dari 61 sampel buah salak segar untuk

mengidentifikasi salak potensial. Gradasi warna daging buah dikuantitatifkan

dengan angka, putih = 0, kekuningan =1, kuning jingga = 2, jingga = 3, sebagian

merah = 4, dan merah =5.

3.3 Analisis Data

Analisis data morfologi dan molekuler diolah dengan menggunakan

program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate System) versi 2.02.

Matrik data kualitatif disusun dalam bentuk NT Edit (Rohlf 1998). Analisis

kemiripan data dilakukan dengan menggunakan prosedur SIMQUAL (Similarity

for Qualitative Data) dan menggunakan koefisien SM (Simple Matching).

Dendrogram dihasilkan dari analisis dengan SAHN (sequential agglomerative

hierarchical and Nested Clustering) dan metode UPGMA (Unweighted Pair-

Group Method Arithmetic Average).

Data menyangkut rasa, kadar gula, kandungan tanin, dan warna daging buah

dibuat dalam bentuk matrik. Data matrik dianalisis dengan menggunakan Uji

Korelasi Kendall pada Program R.3.0 (Ihaka dan Gentleman 1996).

21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini hasil penelitian yang diperoleh berupa batasan marga, seksi,

dan jenis-jenis salak yang ada di dunia. Cakupan tersebut diuraikan pada subbab

Revisi marga Salacca. Revisi marga Salacca dibuat berdasarkan pengamatan

terhadap 22 jenis salak yang sudah divalidasi namanya dan satu jenis baru yang

sudah dipublikasikan. Seluruh spesimen yang diamati berasal dari tiga herbarium

yaitu Herbarium Bogoriense, Herbarium Leiden, dan Herbarium Kewense,

berjumlah 500 lembar. Pada subbab-subbab berikutnya dibahas hasil penelitian

mengenai salak budidaya yaitu salak Jawa dan salak Bali, salak Sidempuan, dan

identifikasi salak potensial.

4.1 Revisi Marga Salacca

Tiga anak marga yang diusulkan oleh Beccari (1918) yaitu Euzalacca,

Leiozalacca, dan Eleiodoxa, menjadi dasar pengelompokan Salacca ke dalam dua

seksi (Dransfield et al. 2008), yaitu seksi Salacca dan Leiosalacca. Seksi Salacca

memiliki ciri bakal buah dan buah yang ditutupi sisik dengan ujung berduri, rakila

bunga betina tersusun diad yang terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu

bunga jantan; seksi Leiosalacca dengan ciri bakal buah dan buah yang ditutupi

sisik tanpa duri, dan rakila bunga betina hanya terdiri atas satu bunga betina.

Jumlah jenis Salacca saat ini berdasarkan validasi nama yang sah adalah 22

jenis (Govaerts et al. 2013) dan satu jenis baru (Zumaidar et al. 2014), sehingga

jenis salak yang ada di dunia saat ini berjumlah 23 jenis. Dari hasil penelitian

revisi marga Salacca telah diusulkan Salacca acehensis Zumaidar & Mogea

sebagai jenis baru yang ditemukan di Sumatra, khususnya di daerah Aceh

Tenggara dan Sumatera Utara yang berada di kawasan Ekosistem Leuser.

Berdasarkan hasil pengamatan seluruh spesimen herbarium marga Salacca, jenis

ini sangat spesifik karena bentuknya yang kerdil sehingga berbeda dengan jenis-

jenis salak lainnya. Nama jenis baru tersebut telah disematkan oleh Johanes Palar

Mogea pada spesimen herbarium yang dikoleksi oleh dirinya sendiri maupun

koleksi J. Dransfield, namun belum pernah dipublikasikan. Peneliti yang paling

banyak menyumbang karyanya mengenai keberadaan jenis-jenis salak adalah Dr.

J.P. Mogea.

Pembagian seksi Salacca pada subbab di bawah ini mengacu pada dua seksi

yang diusulkan oleh Uhl dan Dransfield (1987). Pengamatan 23 jenis salak

menghasilkan pengelompokkan bahwa hanya dua jenis yang dikelompokkan ke

dalam seksi Leiosalacca dan 21 jenis dikelompokkan ke dalam seksi Salacca

termasuk di dalamnya jenis baru.

4.1.1 Morfologi marga Salacca

Habitat

Dari 14 jenis salak yang diteliti dan satu jenis baru, ditemukan bahwa

habitat salak bervariasi. Salak ditemukan di punggung bukit, sisi bukit atau

lembah hutan dipterocarpa dataran rendah, bukit batu kapur, juga daerah rawa,

mata air, dan aliran sungai. Pada daerah danau juga ditemukan salak (Beccari,

22

1909). Habitat salak memiliki kisaran ketinggian yang luas dari 10-1700 m dpl,

namun kebanyakan terdapat pada dataran rendah. Salacca affinis adalah jenis

yang berada pada ketinggian paling rendah sedangkan S. dolicholepis ditemukan

pada daerah paling tinggi dari permukaan laut. Jenis yang memiliki kisaran

ketinggian paling luas adalah S. dolicholepis dan S. acehensis yaitu pada

ketinggian 200-1700 m dpl dan 200-1200 m dpl. Salak juga ditemukan di daerah

terbuka dari hutan sekunder atau hutan yang terganggu hingga hutan primer, dari

daerah batu kapur, tanah alluvial, hingga tanah humus yang sangat subur. Di hutan,

daun muda dari tanaman salak menjadi makanan yang diincar oleh gajah.

Perawakan

Semua jenis salak tumbuh berkelompok, tidak berbatang pada sebagian

jenis salak, jika ada batang sangat pendek ditutupi oleh pelepah daun, namun pada

pohon yang berumur lebih dari 25 tahun batang tegak (Gambar 2a) atau merunduk

(Gambar 2b). Bentuk batang yang pendek atau merunduk pada pohon yang

berumur lebih tua juga ditemui pada S. lophospatha (Dransfield dan Mogea 1981).

Diameter batang berkisar dari 3-60 cm termasuk pelepah. Diameter batang paling

besar dimiliki oleh S. ramosiana. Batang memiliki jarak antar ruas 3-5 cm,

sebagian batang dengan akar udara yang mencolok (Gambar 2c). Tinggi pohon

berkisar dari 0.75 m hingga 16 m. Pohon yang sangat pendek adalah S. zalacca

sedangkan yang sangat tinggi adalah S. wallichiana. Salacca acehensis memiliki

perawakan yang sangat kecil sehingga sangat berbeda dibandingkan dengan jenis

lainnya.

Gambar 2 Perawakan salak, a) batang salak: 1= tegak, 2= batang merunduk,

b) akar udara

Daun

Daun berukuran kecil hingga besar, berjumlah 5-21 per pohon, berupa daun

majemuk berbentuk menyirip atau dengan ujung berbentuk kipas, atau daun

tunggal berbentuk kipas. Daun terdiri atas anak daun yang banyak pada dua

sisinya. Daun memiliki panjang 0.6-18 m. Daun yang paling pendek dimiliki oleh

a b

1

2

23

S. dolicholepis sedangkan daun yang paling panjang dimiliki oleh S. wallichiana.

Daun dari jenis baru, S. acehensis, sangat mirip dengan S. rupicola yaitu anak

daun menyirip dengan ujung menyatu. Perbedaan keduanya terdapat pada jumlah

anak daun yang menyatu diujung daun, 2 anak daun pada S. acehensis dan 8 anak

daun pada S. rupicola.

Pelepah daun memeluk batang, panjang 0.05-1.4 m, terbuka di bagian

tengah hingga ujung pada daun yang dewasa, membulat dan bulat hanya pada

dasar, hijau muda, padat ditutupi indumentum, tersusun membentuk saluran di

atas pangkal, berwarna coklat pucat hingga coklat, beralur dekat pangkal, bundar

pada potongan melintang di bagian distal, permukaan berkerut, bagian abaksial

berduri. Bekas menempel duri saat daun muda disebut ridges, sangat jelas karena

adanya indumentum pada pelepah. Indumentum akan semakin berkurang seiring

bertambahnya umur tanaman. Pelepah maupun tangkai daun jika dipotong akan

mengeluarkan getah yang berwarna kekuningan.

Panjang tangkai daun berkisar 0.12-1.5 m, diameter 1-2 cm, dengan

indumentum sama seperti pada pelepah. Bagian tengah tangkai daun pada

potongan melintang berbentuk bulat berdiameter 2.5 cm, pada sisi yang lebih

rendah agak pipih berduri.

Helaian daun berukuran panjang 0.4-6 m. Pada daun majemuk maupun daun

tunggal bagian paling lebar terdapat di bagian tengah, namun pada daun tunggal

bagian paling lebar juga ditemukan di bagian ujung daun. Permukaan atas daun

berwarna hijau mengkilap, permukaan bawah berwarna keputihan atau agak abu-

abu. Helaian daun berbentuk kipas berukuran panjang 80-120 cm, lebar 40-70 cm,

memiliki lekukan di ujung daun, panjang sekitar 4 cm. Rakis daun memiliki

indumentum yang sama seperti pada pelepah, panjang rakis mencapai 4.5 m,

diameter pangkal rakis 1-2.5 cm, bagian abaksial berduri tetapi bagian adaksial

tidak berduri, berbentuk elip pada potongan melintang di bagian pangkal.

Duri terdapat pada pelepah, tangkai daun, bahkan di bagian pinggir daun

dan beberapa pada tulang daun bagian atas. Ukuran duri bervariasi dari pendek

hingga panjang, kisaran panjang 0.2-12 cm, lebar 0.5-2 cm, dan tebal 0.3 mm,

soliter atau berkelompok dalam susunan yang tidak beraturan, pada rakis biasanya

soliter atau berkelompok dengan jumlah 2-4 kadang berupa kait, dengan jarak 7

cm. Jumlah duri berkelompok pada pelepah berkisar 4-17, juga terdapat duri

soliter. Ukuran duri terpanjang biasanya terdapat di daerah pangkal hingga bagian

tengah pelepah dengan panjang berkisar 3-10 cm dan lebar 0.2-1.5 cm.

Anak daun berjumlah 15-50 pada sisi rakis, tersusun berseling dan atau

berhadapan, bahkan ada yang terdapat di bagian atas rakis. Anak daun memiliki

ukuran yang berbeda pada bagian pangkal, tengah dan ujung daun, berukuran

panjang 14-90 cm, lebar 1.5-8 cm, anak daun biasanya soliter di bagian pangkal

atau ujung, atau berkelompok 2-4 di bagian tengah, biasanya di bagian ujung

berbentuk kipas dengan 2-10 lekukan. Urat daun sangat jelas dan terang. Tepi

anak daun berduri kecil yang berbentuk kait dengan ukuran panjang 2-3 mm

berjarak 3-10 mm.

Perbungaan

Perbungaan jantan memiliki posisi tegak, muncul dari ketiak daun, kadang

melengkung, bahkan menjulur di atas permukaan tanah seperti cambuk, berstolon,

bercabang atau tidak. Perbungaan jantan berukuran panjang 7-400 cm, lebar 4 cm,

23

24

termasuk braktea, kadang menghasilkan tumbuhan baru, berakar dan tumbuh di

bagian ujung perbungaan, membentuk koloni dengan jarak 2-4 m, berdiameter 3-4

mm dengan jarak panjang antar buku 5-10 cm. Perbungaan biasanya dilindungi

oleh braktea yang saling menindih namun juga ada perbungaan yang tidak saling

menyatu dalam braktea. Tangkai perbungaan jantan berukuran panjang 1-15 cm,

berdiameter 0.2-10 cm. Satu perbungaan terdiri atas 2-25 rakila, silindris,

berukuran panjang 1.5-24 cm, lebar 1.5-11 cm, berdiameter 0.4-1.5 cm dengan

tangkai rakila yang pendek. Brakteola berjumlah 2-3, memiliki sedikit rambut

hingga banyak di bagian abaksial, panjang 3 cm. Bunga jantan tersusun sepasang

dalam brakteola yang lebar di bagian dasar dan pipih, tinggi hingga 0.75 mm,

berukuran panjang 6 mm dan lebar 4 mm, dengan sekelompok rambut yang

transparan berukuran panjang 1-2 mm dari pinggir brakteola. Bunga tersusun

sangat rapat sehingga letaknya yang pertama tidak jelas, kuncup di bagian ujung

ada yang tidak berkembang. Bunga jantan berukuran panjang 5-8 mm, lebar 2-4

mm, daun kelopak berjumlah 3 saling lepas atau menyatu pada pangkal hingga ¾,

tinggi 3 mm, berukuran panjang 4-5 mm dan lebar 1 mm, mahkota panjang 5 mm,

menyatu di bagian pangkal hingga 3 mm; daun mahkota berjumlah 3 saling

berlekatan dari pangkal hingga setengah bagian panjangnya; benang sari

berjumlah 6, 3 melekat di bagian tengah masing-masing daun mahkota dan 3

lainnya terletak di antara daun mahkota yang saling berlekatan, tangkai sari

berwarna merah, berukuran panjang 6 mm dan lebar 2 mm, berwarna putih,

kepala sari berwarna kuning berukuran panjang 1 mm. Bunga mekar dimulai dari

bagian pangkal menuju bagian ujung rakila.

Perbungaan betina memiliki posisi tegak, bentuk lebih atau sedikit silindris,

lebih pendek, sama, atau lebih panjang dari perbungaan jantan; berukuran panjang

15-200 cm, lebar 5.5-7 cm, berjumlah 2-7 pada satu pohon. Perbungaan betina

yang panjang dan menjulur di atas permukaan tanah tidak menghasilkan

tumbuhan baru di bagian ujungnya. Braktea berjumlah lebih dari satu, semakin ke

dalam semakin panjang ukurannya, berbentuk perahu, berukuran panjang 2.5-40

cm, di bagian pangkal lebarnya 7 cm. Tangkai perbungaan berukuran panjang 8

cm, diameter 1.5 cm tertutup oleh braktea. Rakila berjumlah 1-10, berukuran

panjang 1.5-17 cm, lebar 1.3-3 cm, diameter 10-35 mm. Bunga berjumlah 15-40

pada rakila, tersusun soliter yaitu satu bunga hermafrodit atau diad terdiri atas satu

bunga jantan dan satu bunga hermafrodit dalam satu atau dua brakteola yang

saling menindih. Brakteola pasangan bunga berukuran panjang 8-9 mm dan lebar

5-6 mm, permukaan abaksial kasar karena adanya alur-alur yang lurus dari

pangkal hingga ujung brakteola dan memiliki indumentum berupa sisik atau

rambut berwarna putih hingga coklat, sedangkan bagian adaksial licin. Bunga

hermafrodit berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan bunga jantan. Bakal

buah ditutupi oleh sisik seperti duri yang berjumlah sangat banyak lebih dari 40.

Catatan: Perbungaan pada salak disebut dioesis karena bunga jantan dan

bunga betina terdapat pada tanaman yang berbeda. Umumnya pengertian yang

dimaksud tanaman berbeda pada dioesis adalah pada satu tanaman terdapat bunga

dengan kelamin betina saja sedangkan pada tanaman lain terdapat bunga dengan

kelamin jantan saja. Kenyataannya pada salak tidaklah demikian. Perbungaan

betina yang umum dikenal pada tanaman salak sebenarnya adalah bunga

andromonoesis, tersusun diad terdiri atas bunga hermafrodit dan bunga jantan,

benangsari pada kedua bunga bersifat steril karena tidak menghasilkan serbuksari.

25

Pada perbungaan jantan bunga tersusun diad terdiri atas dua bunga jantan yang

menghasilkan serbuksari. Jika istilah dioesis masih digunakan pada tanaman salak

maka pengertiannya diarahkan untuk menunjukkan bahwa bunga yang berfungsi

sebagai kelamin betina dan kelamin jantan berada pada tanaman yang berbeda.

Perbungaan betina juga tepat digunakan jika masih menggunakan istilah dioesis.

Jika perbungaan betina diganti dengan andromonoesis maka istilah dioesis tidak

tepat digunakan. Saat ini belum ada istilah lain yang dapat digunakan

menggambarkan perbungaan tanaman yang memiliki kelamin jantan dan

andromonoesis pada tanaman yang berbeda.

Buah

Buah bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna kulit, keberadaan duri pada

sisik, susunan sisik, dan jumlah biji. Buah berbentuk bulat, membulat, atau

lonjong, berukuran panjang 4-8 cm, berdiameter 3-8 cm. Kulit buah berwarna

hitam, coklat, coklat kemerahan, jingga, atau kekuningan. Sisik pada kulit buah

tidak berduri atau berduri, dengan arah susunan vertikal atau spiral. Biji berjumlah

1-3 dalam satu buah.

4.1.2 Persebaran jenis salak

Salak tersebar dari Burma, di bagian tengah dan selatan Thailand, dan di

banyak provinsi di Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa, Bali, Borneo,

Sulawesi, Ambon, hingga Filipina (Gambar 3). Borneo adalah daerah paling

tinggi keanekaragaman jenis salak, ditemukan 11 jenis salak. Urutan kedua

ditemukan di daerah Semenanjung Malaya sebanyak 8 jenis. Setengah dari jumlah

jenis salak yang terdapat di Semenanjung Malaya sangat penting dikonservasi

untuk keberlangsungan plasma nutfah salak karena tersebar pada daerah yang

terbatas yaitu S. flabellata, S. minuta, S. multiflora, dan S. graciliflora. Jenis yang

paling luas sebarannya karena dibudidayakan adalah S. zalacca.

Gambar 3 Persebaran jenis salak di dunia

25

26

4.1.3 Deskripsi marga Salacca

Salacca Reinw.

Salacca Reinw., Syll. Ratisb. 2: 3 (1826 [‘1828’]). Tipe: S. edulis Reinw. =

Salacca zalacca (Gaertn.) Voss.

Lophospatha Burret, Notizbl. Bot. Gart. Berlin-Dahlem 15: 752 (1942).

Tipe: Lophospatha borneensis Burret (= Salacca lophospatha J. Dransf. &

Mogea).

Tumbuhan berkelompok, dioesis atau monoesis, pleonantik atau

hapaksantik, batang pendek, berduri. Batang banyak buku, permukaan kasar agak

keras, coklat muda keputih-putihan. Daun tunggal bentuk kipas atau majemuk

menyirip atau dengan ujung bentuk kipas; pelepah daun saling menindih

membentuk tabung; tangkai daun membulat di bagian abaksial, adaksial dan

abaksial berduri; rakis bentuk segitiga; anak daun kadang soliter di pangkal atau

ujung, berkelompok di tengah, atau menyatu diujung; tulang utama anak daun 1-3,

tulang halus banyak; warna permukaan atas dan bawah daun sama atau berbeda,

jika berbeda, di bagian atas hijau sampai hijau tua, bagian bawah keputih-putihan.

Perbungaan muncul dari tengah-tengah adaksial hingga menembus abaksial,

membelah pangkal pelepah, bercabang, tegak, menjuntai atau menjulur di atas

permukaan tanah, jika menjuntai bersifat sebagai stolon atau tidak; rakila bunga

jantan lebih ramping dan lebih panjang dari rakila bunga betina; bunga tersusun

diad dalam 2 brakteola tertutup indumentum bagian abaksial, daun kelopak 3,

daun mahkota 3, benang sari 6, putik 1, kepala putik 3. Buah bulat, membulat,

atau lonjong; bagian dasar meruncing, bagian ujung membulat, terdapat bekas

kepala putik; kulit buah bersisik, berduri tajam atau tumpul, kekuning-kuningan

hingga coklat kehitaman, daging buah putih, kekuningan, jingga hingga merah.

Biji keras, coklat kehitam-hitaman, bentuk menyerupai segitiga hingga bulat, 1-3.

Kunci seksi Salacca

A. Perbungaan betina tersusun soliter yaitu bunga hermafrodit, sisik pada kulit

buah tanpa duri, permukaan sisik halus….............................Seksi Leiosalacca

B. Perbungaan betina tersusun diad terdiri atas bunga hermafrodit dan bunga

jantan, sisik pada kulit buah berduri, permukaan sisik kasar……Seksi Salacca

A. Seksi Leiosalacca (Beccari) Uhl & Dransfield

Seksi Leiosalacca (Beccari) Uhl & Dransfield, Genera Palmarum, 251

(1987). Tipe: Salacca affinis Griff.

Seksi ini terdiri atas dua jenis yaitu S. affinis dan S. ramosiana yang tersebar

di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Borneo. Ciri yang menyatukan seksi ini

adalah rakila bunga hermafrodit tersusun soliter; kulit buah tersusun dari sisik

dengan ujung yang tumpul, permukaan sisik halus dan mengkilat.

Kunci jenis seksi Leiosalacca

1. Anak daun dengan ujung berlekuk…………………………….S. ramosiana

2. Anak daun dengan ujung tidak berlekuk …………………………..S. affinis

27

B. Seksi Salacca

Uhl & Dransfield, Genera Palmarum, 251 (1987). Tipe: Salacca zalacca

(Gaertn.) Voss.

Seksi ini terdiri atas 21 jenis yaitu S. acehensis, S. bakeriana, S.

clemensiana, S. dolicholepis, S. dransfieldiana, S. flabellata, S. glabrescens, S.

graciliflora, S. griffithii, S. lophospatha, S. magnifica, S. minuta, S. multiflora, S.

rupicola, S. sarawakensis, S. secunda, S. stolonifera, S. sumatrana, S.

vermicularis, S. wallichiana, dan S. zalacca. Jenis-jenis ini tersebar dari Cina,

Myanmar, Thailand, India, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa, Bali,

Borneo, Sulawesi, Ambon, hingga ke Filipina. Ciri yang menyatukan seksi ini

adalah perbungaan bunga betina tersusun diad, terdiri atas satu bunga hermafrodit

dan satu bunga jantan; kulit buah tersusun dari sisik dengan ujung runcing yang

melengkung seperti duri, permukaan sisik kasar.

Kunci jenis seksi Salacca

1 a Daun majemuk 2

b Daun tunggal 16

2 a Perawakan kerdil, tinggi batang ≤ 15 cm 3

b Perawakan sedang hingga besar, tinggi batang ≥ 20 cm 4

3 a Anak daun di ujung menyatu hingga 10 bagian S rupicola

b Anak daun di ujung menyatu hanya 2 bagian S acehensis

4 a Perbungaan hapaksantik 5

b Perbungaan pleonantik 6

5 a Anak daun berseling S. secunda

b Anak daun berhadapan S. griffithii

6 a Perbungaan berfungsi sebagai stolon 7

b Perbungaan tidak berfungsi sebagai stolon 8

7 a Batang tinggi hingga 70 cm, diameter 5-8 cm S. stolonifera

b Batang tinggi hanya 20 cm, diameter 2.5 cm S. graciliflora

8 a Terdapat anak daun di atas rakis S. wallichiana

b Tidak terdapat anak daun di atas rakis 9

9 a Perbungaan jantan menjulur di tanah S. bakeriana

b Perbungaan jantan menjuntai atau tegak 10

10 a Perbungaan jantan menjuntai S. glabrescens

b Perbungaan jantan tegak 11

11 a Brakteola berambut 12

b Brakteola bersisik 13

12 a Brakteola berambut jarang S. lopospatha

b Brakteola berambut banyak 14

13 a Rakila bunga jantan ≥ 15 S. vermicularis

b Rakila bunga jantan ≤ 13 15

14 a Panjang rakila bunga jantan 5-7 cm S. clemensiana

b Panjang rakila bunga jantan 12 cm S. dolicholepis

15 a Tinggi pohon hingga 10 m, panjang anak daun

hingga 110 cm

S. sumatrana

b Tinggi pohon hingga 8 m, panjang anak daun

hingga 69 cm

S. zalacca

27

28

16 a Perawakan besar, tinggi pohon hingga 6.5 m,

panjang daun hingga 6 m

S. magnifica

b Perawakan sedang, tinggi pohon hingga 3 m,

panjang daun kurang dari 3 m

17

17 a Permukaan daun bawah dan atas berwarna sama S. sarawakensis

b Permukaan daun bawah dan atas berbeda warna 18

18 a Perbungaan jantan menjulur di tanah 19

b Perbungaan jantan tegak 20

19 a Panjang perbungaan jantan hingga 2 m S. flabellata

b Panjang perbungaan jantan 1.5 m S. minuta

20 a Perbungaan jantan memiliki rakila berukuran ≤ 2.5 cm S. multiflora

b Perbungaan jantan memiliki rakila berukuran 7 cm S. dransfieldiana

4.1.4 Deskripsi jenis Salacca

1. Salacca acehensis Zumaidar & Mogea sp. nov.

Salacca acehensis Zumaidar & Mogea, Phytotaxa 159(4): 287-290 (2014).

Tipe: Indonesia, Sumatra, Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Tenggara, Gunung

Kemiri, lereng hutan dipterocarpa, 900 m dpl., 18 November 1975, J.P.Mogea

568 (Holotipe BO!; Isotipe K!, L!).

Pohon kerdil, pleonantik, dioesis, berkelompok, tinggi 1.5–2 m. Batang,

panjang 10–15 cm, diameter 3–5 cm, jelas terlihat bekas daun. Daun 5–12 per

batang, panjang 1–2.5 m; pelepah 5–6 cm lebar di dasar, abaksial tertutup

indumentum coklat, bagian tengah dikelilingi duri berbentuk sisir, setiap

kelompok 4–5 duri, segitiga, kekuningan, panjang 25 mm, lebar 2 mm di dasar,

duri pendek juga terdapat dalam kelompok; semua duri tertutup indumentum di

adaksial; tangkai daun pipih, panjang 75–125 cm, diameter 9 mm di dasar,

diameter 5 mm di tengah, segitiga, tertutup indumentum, coklat pucat hingga

coklat gelap, duri berkelompok atau soliter; anak daun 10–12 di tiap sisi daun,

berseling, berkelompok 2–3 dekat dasar, pangkal membulat, ujung meruncing,

tepi daun terdapat duri, panjang 0.5 mm, jarak 3–5 mm, ujung melengkung,

adaksial hijau gelap, tertutup indumentum coklat, abaksial kuning keabuan,

indumentum coklat gelap di dasar dan tepi; anak daun di bagian tengah panjang

32 cm, lebar 6 cm, dengan 3 tulang daun, jarak 1–2 cm, tulang halus 4–7, adaksial

dengan tulang vena, jelas; ujung anak daun lebar 10 cm di tiap sisi, gabungan 2

anak daun. Perbungaan di ketiak daun, muncul dari daun pelepah. Perbungaan

jantan panjang 7 cm, ramping, tegak, satu hingga 3 cabang, panjang 5 cm, bunga

diad, brakteola pendek; bunga jantan dengan daun kelopak 3, berambut, panjang 3

mm, lebar 2 mm, bagian dasar menyatu, tertutup indumentum rapat; daun

mahkota 3, m, kemerahan di bagian luar, menyatu di setengah bagian, abaksial

memutih, panjang 2 mm, lebar 1 mm; benang sari 6, panjang 1 mm, tangkai sari

merah, kepala sari panjang 1 mm, serbuk sari kuning. Perbuahan muda panjang

10 cm, cabang 1 atau 2, tertutup beberapa braktea; buah muda panjang 7 mm,

lebar 8 mm, tertutup sisik, panjang 3.5 mm, lebar 1 mm.

Persebaran: Sumatra.

Habitat: Dataran rendah hutan dipterocarpa, ketinggian 200-1200 m dpl.

29

Spesimen yang diamati: Sumatra; Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh

Tenggara, Gunung Kemiri, dekat bukit hutan dipterocarpa dan hutan dataran

rendah, dekat sungai, 1200 m dpl., 27 August 1971, J. Dransfield and D. Saerudin

1983 (K); lokasi yang sama, dekat bukit hutan dipterocarpa, 900 m dpl., 18

November 1975, J.P. Mogea 569 (BO), 570 (BO), 572 (BO), 573 (BO), 574

(BO); Provinsi Sumatra Utara, Bukit Lawang Bahorok, Langkat, dekat bukit

hutan dipterocarpa, 200 m dpl., 25 February 1973, J. Dransfield 3310 (BO)

Catatan: Jenis ini sangat mirip dengan S. rupicola dari Borneo. Perbedaan

keduanya terdapat pada perawakan, penyatuan anak daun di ujung daun, dan

perbungaan. Namun S. acehensis memiliki perawakan yang kerdil, penyatuan

anak daun di ujung lebih sedikit jumlahnya, dan ukuran perbungaan lebih pendek

dibandingkan dengan S. rupicola. Jenis ini memiliki perawakan paling kecil di

antara jenis salak lainnya yang berdaun majemuk. Publikasi lengkap dari jenis ini

terdapat pada Lampiran 1.

2. Salacca affinis Griff.

Salacca affinis Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 9 (1845). Tipe: Semenanjung

Malaya, Ching dekat Malaka Emanuel Fernandez sn. (K!).

Salacca affinis var. borneensis (Becc.) Furtado, Gard. Bull. Singapore 12:

399 (1949). Tipe: Borneo, Sarawak, Kuching, Beccari sn. (SING).

Pohon tumbuh berkelompok. Daun berukuran panjang 3.6-8 m; pelepah

daun panjang hingga 1-2 m, duri yang tersusun melingkar dan ditutupi

indumentum berwarna coklat; tangkai daun panjang 3 m, dipenuhi duri; helaian

daun panjang 1.75-4 m; anak daun berjumlah 50 pasang, berkelompok 2-4,

berukuran panjang 35-45 cm, lebar 6-10 cm; duri sangat panjang, soliter atau

berkelompok dalam susunan yang tidak beraturan, berwarna coklat kekuningan.

Perbungaan jantan panjang 50-100 cm; perbungaan betina panjang 30-50 cm.

Sisik pada buah tidak berduri dengan arah susunan vertikal, rasa buah sangat asam.

Biji berjumlah 1-3 dalam satu buah.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Ching dekat Malaka, Borneo, Sumatra.

Habitat: Hutan primer, hutan primer dipterocarpa dataran rendah, dekat

sungai, rawa-rawa hutan sekunder, hutan hujan tropis, ketinggian10-500 m dpl.

Nama daerah: Salak batool, salak utan, salak hutan, buah salak, pokok

ramgam (Melayu).

Spesimen yang diamati. Jawa, Bogor: Kebun Raya Bogor, 1910, CHB

VG.22 Beccari 271 (BO); lokasi yang sama, April-Mei 1936, C.X. Furtado sn.

(BO, K); Borneo, Kalimantan Timur: Kutai Barat, 16 September 1925, Endert

3353 (BO); Camp Tikah ACTR Longbagun, 30 Juni 1975, 100 m dpl., Harry

Wiriadinata 697 (BO); Tabang, Tapele, di kaki Gunong Batukenye sepanjang

Sungai Belayan, 10 Januari 1979, 120 m dpl., J.P. Mogea: JPM 1592, JPM 1595

(BO); Sakatak, Tarakan Barat, 2 Februari 1979, J.P. Mogea, Gen Murata, Kunio

Iwatsuki & Masahiro Kato: B 1645 (BO); 3 Desember 1979, Afandi Ma’roef: AM

318; Balik Papan, LPH Wanariset, 16 September 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea:

JPM 2587 (BO); Ma Ancalong, Ma Lun, Sungai Kelinjau, September 1980, 150

m dpl., J.P. Mogea: JPM 2673 (BO); Kabupaten Pujungan, Cagar Alam Kayan

Mentarang, Sungai Gong, 25 Juni 1992, 425-450 m dpl., J.A. Mc Donald &

Ismail: 3465 (BO); Kalimantan Selatan: Kiu Pegunungan Meratus, Gunung

Besar Barabai, 2 Oktober 1972, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 2794 (BO); lokasi

29

30

yang sama, 14 Oktober 1972, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 2793 (BO); Sumatra,

Sumatra Selatan: Palembang, Koeboertreken, 1917, W. Grashoff: W 630 (BO);

Rasau, Wai Kambas, 13 Februari 1971, 10 m dpl., J. Dransfield: JD 1248 (BO);

Batu Seburong, Negeri Batin, Muara dua, 15 Maret 1972, 350 m dpl., J.

Dransfield & D. Saerudin: 2449, 2450 (BO); Sumatra Barat: Padang, Hutan

Lindung Panti, 2 November 1975, 50 m dpl., J.P. Mogea: JPM 419 (BO); Jambi:

Kaki Gunung Penetai, sepanjang Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, 21 Juli 1972,

300 m dpl., J. Dransfield: JD 2609 (BO); lokasi yang sama, 500 m dpl., 23 Juli

1972, 500 m dpl., J. Dransfield: JD 2648 (BO); Semenanjung Malaya, Malaysia

Timur: Kedah, Sungai Labong, 31 Mei 1959, C.X. Furtado: 33058 (BO).

Catatan: Jenis ini merupakan tipe dari seksi Leiosalacca. Ciri yang ada pada

jenis ini sangat spesifik khususnya ketiadaan duri di ujung sisik pada kulit buah.

3. Salacca bakeriana J. Dransf.

Salacca bakeriana J. Dransf., Palms 53: 168 (2009). Tipe: Borneo,

Sarawak: Kuching Division, Baker & J. Dransfield WJB 724 (Holotipe: K!;

Isotipe: KEP, SAN, SAR, SING).

Perawakan sedang, pohon berkelompok, berduri, dioesis, pleonantik. Batang

diameter 6 cm. Daun tegak, panjang 3.5 m; pelepah diameter sekitar 12 cm, anak

daun tersusun pada sisi rakis. Perbungaan jantan dan betina sama panjang hingga

1.2 m; tangkai perbungaan jantan panjang 2 cm, diameter 0.7 cm, menjulur di atas

permukaan tanah, bunga jantan tersusun sepasang. Rakila perbungaan betina

berukuran panjang hingga 5 cm, lebar 1.3 cm; tersusun diad terdiri dari satu bunga

jantan dan satu bunga hermafrodit.

Persebaran: Borneo, Sarawak, Kuching Selatan.

Habitat: Tepi curam di atas sungai dari hutan yang terganggu.

Spesimen yang diamati: Borneo, Sarawak: Kuching Division, Baker & J.

Dransfield WJB 724 (K).

Catatan: Kata penunjuk jenis salak ini berasal dari nama kolektor spesimen

yang juga ahli palem yaitu William J Baker yang disematkan oleh J Dransfield.

Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. stolonifera dan S. graciliflora pada

perbungaannya yang panjang. Namun perbungaan pada S. bakeriana tidak

berfungsi sebagai stolon.

4. Salacca clemensiana Becc.

Salacca clemensiana Becc., Philipp. J. Sci., C 4: 618 (1909). Tipe:

Mindanao, Danau Lanao, Camp Keithley, Mary Strong Clemen 1109, Juni 1907

(F).

Perawakan besar, pleonanik. Daun berukuran sangat besar hingga lebih dari

5 m; bagian tangkai daun penuh dengan duri; anak daun tersusun dalam kelompok

3-4, berukuran panjang 65 cm, lebar 6-6.5 cm, sisi anak daun bagian tengah

hingga ke ujung memiliki duri, permukaan bagian bawah anak daun berwarna

keputihan. Perbungaan jantan berukuran panjang 60-90 cm, dengan beberapa

cabang terdiri atas 7-8 rakila, tegak; rakila berukuran 5-7 cm, lebar 10-11 cm

dengan tangkai rakila yang pendek, rakila tidak saling menyatu dalam braktea.

Perbungaan betina lebih pendek dari perbungaan jantan, rakila panjang 3-4 cm.

Persebaran: Filipina, Mindanao, Borneo Utara.

Habitat: Danau, dekat aliran sungai, ketinggian 1000 m dpl.

31

Spesimen yang diamati: Filipina, Mindanao: Danau Lanao, Camp Keithley,

Mary Strong Clemen 1109, Juni 1907 (K).

Catatan: Kata penunjuk jenis salak ini berasal dari nama kolektor spesimen

yaitu Mary Strong Clemen yang disematkan oleh Beccari. Salacca clemensiana

sangat mirip dengan S. lopospatha, perbedaan keduanya hanya terdapat pada

brakteola. Salacca clemensiana memiliki rambut yang sangat banyak pada

brakteola sedangkan S. lopospatha memiliki rambut yang jarang.

5. Salacca dolicholepis Burret

Salacca dolicholepis Burret, Notizbl. Bot. Gart. Berlin-Dahlem 15: 731

(1942). Tipe: Borneo, Kinabalu, Tenompok 5.000 FuB J. et M. S. Clemens n.

28819 (F).

Perawakan sedang, pleonantik. Daun berukuran panjang 60 cm, lebar 4.5 cm,

anak daun tersusun 2-3 dalam kelompok pada sisi rakis. Perbungaan tidak

berfungsi sebagai stolon. Rakila pada perbungaan jantan berukuran panjang 11.5

cm, diameter 1.5 cm, tegak. Buah berbentuk bulat, panjang 4 cm. Biji berjumlah 2

dalam satu buah.

Persebaran: Borneo, Kinabalu.

Habitat: hutan pegunungan dataran rendah, lembah, ketinggian 20-1700 m

dpl.

Nama daerah: Tarintin (Kadazan).

Spesimen yang diamati. Borneo, Kinabalu: Tenompok, 27 Maret 1932,

500 kaki, J & M.S. Clemens: 24191(BO); Sabah, Kinabalu, Ranau, Liwagu, 28

September 1979, 1700 m dpl., J. Dransfield et al.: JD 5704 (BO).

Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. clemensiana pada brakteola

yang berambut banyak. Perbedaan keduanya terdapat pada perbungaan jantan, S.

dolicholepis memiliki rakila bunga jantan yang lebih panjang dibandingkan S.

clemensiana.

6. Salacca dransfieldiana Mogea

Salacca dransfieldiana Mogea, Reinwardtia 9: 463 (1980). Tipe: Borneo,

Kalimantan Selatan, Datar Alai, Pegunungan Meratus di kaki Gunung Besar,

lembah bawah hutan dipterocarpa dataran rendah tanah alluvial, ketinggian 350 m

dpl. (Isotipe: BO!, K!, L!; Ekotipe: BO!).

Pohon berkelompok, tinggi 1.5 m. Batang sangat pendek, diameter 3 cm.

Daun seluruhnya berbentuk kipas dan berduri, berjumlah 8, panjang 1.3 m;

pelepah panjang 20 cm; tangkai daun panjang sekitar 40-125 cm, diameter 1 cm;

helaian daun panjang 68-80 cm, bagian yang paling lebar terdapat di ujung

berukuran 24-40 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilap, permukaan

bawah berwarna keputihan; duri panjang hingga 3.5 cm, lebar 0.5 mm, dan tebal

0.3 mm, tersebar di pelepah, soliter atau tersusun dua tetapi pada rakis daun soliter

dengan jarak 7 cm. Perbungaan jantan tegak, kadang melengkung, panjang 20 cm

hingga 3 m, bagian ujung tumbuh tunas, di dekat dasar termasuk braktea lebar 1

cm; rakila berbentuk silindris, berjumlah 1-6, berukuran panjang 7 cm, diameter

10 mm; tangkai perbungaan panjang 1 cm, diameter 2 mm, tertutup oleh braktea.

Satu populasi berjumlah 20-30 pohon.

Persebaran: Borneo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan.

31

32

Habitat: Tanah aluvial di lembah hutan dipetocarpa dataran rendah, dekat

sungai, ketinggian 150-500 m dpl.

Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Timur: Ma Ancalong, Ma

Lun, Sungai Kelinjau,10 September 1980, J.P. Mogea: JPM 2725 (BO); lokasi

yang sama, 29 September 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea: JPM 2627 (BO); lokasi

yang sama, 4 Oktober 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea: JPM 2718 (BO);

Kalimantan Selatan: Barabai, Datar Alai, Batang Alai, 5 Juli 1976, 350 m dpl.,

J.P. Mogea: JPM 749 (BO); di kaki Gunong Besar, Ratan Aral, 500 m dpl., 20

Februari 1979, J.P. Mogea, Gen Murata & Masahiro Kato: 1702, 1703, 1704 (BO).

Catatan: Kata penunjuk jenis dari salak ini diambil dari nama ahli palem

John Dransfield yang disematkan oleh JP Mogea sebagai penghormatan. Salacca

dransfieldiana merupakan salah satu jenis salak yang memiliki daun tunggal

berbentuk kipas. Jenis ini memiliki kemiripan ciri dengan S. multiflora pada

perbungaan jantannya namun S. dransfieldiana memiliki ukuran perbungaan

jantan lebih panjang.

7. Salacca flabellata Furtado

Salacca flabellata Furtado, Gard. Bull. Singapore 12: 387 (1949). Tipe:

Malaya, Kemaman, Sungei Nipah, di sisi bukit dan rawa dekat sungai, Corner

30.525 (SING).

Perawakan sedang, pleonantik. Batang kecil. Daun dengan ukuran pelepah

yang pendek hanya 5 cm; tangkai daun panjang 1-2.3 m; helaian daun berbentuk

kipas dangan ukuran panjang 80-100 cm, lebar 40-45 cm, permukaan daun bawah

dan atas berbeda warna. Perbungaan jantan panjang 1-2 m, kadang di bagian

ujung menghasilkan tumbuhan baru, diameter 3-4 mm dengan jarak panjang antar

buku 5-10 cm; rakila berjumlah 2-4, panjang 1.5-3 cm, diameter 10-12 mm;

tangkai perbungaan panjang 4-5 cm, diameter 1 mm. Perbungaan betina seperti

perbungaan jantan tetapi tidak menghasilkan tumbuhan baru di bagian ujungnya;

rakila panjang 2 cm, diameter 10-12 mm; bunga betina berjumlah 15-20 pada

rakila.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Kemaman, Sungei Nipah.

Habitat: Sisi Bukit dan rawa dekat sungai.

Nama daerah: Salak chabang.

Catatan: Berdasarkan pengamatan pada gambar tipe, jenis ini merupakan

kelompok salak yang memiliki daun tunggal berbentuk kipas, sangat mirip dengan

S. minuta. Perbedaan keduanya terdapat pada perbungaan jantan. Salacca

flabellata memiliki ukuran perbungaan jantan lebih pendek dari S. minuta.

8. Salacca glabrescens Griff.

Salacca glabrescens Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 14 (1845). Tipe:

Semenanjung Malaya, Penang Lewis sn. (K!).

Perawakan besar, tinggi pohon 7 m, pleonantik. Batang berukuran pendek.

Daun sangat besar, panjang 4-5 m; tangkai daun panjang 1-1.25 m; duri pada

pelepah panjang 3-5 cm; anak daun berkelompok 2-3, paling besar berukuran

panjang 30-35 cm, lebar 5-6.5 cm, tersusun pada sisi rakis. Perbungaan jantan

panjang 25-40 cm, tidak berfungsi sebagai stolon. Perbungaan betina lebih pendek

dan kecil, berukuran panjang 7-13 cm, lebar 2-2.25 cm. Buah panjang 4-5 cm,

diameter 3-4 cm. Biji berjumlah 2-3 dalam satu buah.

33

Persebaran: Semenanjung Malaya, Penang.

Habitat: Dataran rendah.

Nama daerah: Zalak utan, buah salak, buah kumbah, pokok kumbah

(Melayu).

Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Pahang: Gunong Senyum,

28 Juli 1929, Henderson: 22224 (BO); Singapore, Lawn, 27 Februari 1935, C.X.

Furtado: 20417 (K); Padang Chong, Kroh F.R., 23 Mei 1937, C.X. Furtado:

33.006 (BO); Perak, Kroh, 24 Mei 1937, C.X. Furtado: SFN 33.017 (BO); Kedah,

Weng, 1 Juni 1937, C.X. Furtado: 33062 (BO).

Catatan: Jenis ini adalah satu-satunya jenis salak yang memiliki perbungaan

menjuntai.

9. Salacca graciliflora Mogea

Salacca graciliflora Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 6 (1984).

Tipe: Johor, Hutan lindung Labis, Ulu Endau G. Janing, hutan dipterocarpa

ketinggian 300 m dpl., J. Dransfield 5086 (Holotipe: KEP; Isotipe: K!).

Perawakan sedang, pohon berkelompok, tinggi 1.3 m, pleonantik. Batang

tinggi 20 cm, diameter 2.5 cm. Daun majemuk panjang 1.25 m; pelepah panjang

15 cm; tangkai daun panjang 50-60 cm; anak daun berjumlah 15 pada sisi rakis,

pada pangkal anak daun berukuran panjang 14-18 cm, lebar 1.5-2 cm, pada bagian

tengah rakis anak daun berukuran panjang 21-24 cm, lebar 2.5 cm. Perbungaan

jantan menjulur di atas permukaan tanah, tidak bercabang, panjang hingga 70 cm,

tidak berfungsi sebagai stolon; rakila bunga jantan berukuran panjang 2 cm,

diameter 0.4 cm.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Johor.

Habitat: Lereng bukit, ketinggian 60-300 m dpl.

Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Johor: Ulu Endau,

Gunung Janing, 5 Februari 1986, J.D. Dransfield: JD 6241 (BO).

Catatan: Jenis ini merupakan jenis salak yang memiliki perbungaan yang

menjulur di atas permukaan tanah, memiliki kemiripan dengan S. stolonifera.

Perbedaan keduanya terdapat pada ciri perawakan, S. graciliflora memiliki

perawakan yang lebih kecil dibandingkan dengan S. stolonifera.

10. Salacca griffithii A. J. Hend.

Salacca griffithii A.J. Hend., Makinoa, n.s., 7: 88 (2007 publ. 2008). Tipe:

Thailand, Mae Hong Son: Mae Hong Son, 500 m dpl., 29 Jul 1997, C.

Niyomdham 5120B (Holotipe: BKF; Isotipe: AAU, K!).

Perawakan sedang, pohon berkelompok, hapaksantik. Batang pendek,

tertutup oleh dasar daun. Daun berjumlah 5-15 per batang; pelepah dan tangkai

daun tidak berbeda, panjang hingga 2.9 m, tertutup indumentum pada bagian

abaksial; duri berwarna coklat terang panjang hingga 3 cm, tersebar dalam bentuk

kipas pada arah yang berbeda; rakis daun panjang 4.5 m; anak daun 35-42 pada

tiap sisi daun, berhadapan, anak daun bagian tengah rakis panjang 83-125 cm,

lebar 4-7 cm. Perbungaan jantan panjang 1 m, bercabang dua, tertutup oleh

braktea yang saling menindih; rakila jantan panjang 13-24 cm, diameter 1.5 cm;

bunga jantan tersusun diad. Perbungaan betina terdapat beberapa pada batang,

panjang 30-40 cm; rakila betina panjang 8-12 cm, diameter 2 cm, berjumlah 7-10;

bunga betina tersusun diad terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga

33

34

jantan yang dilindungi oleh dua brakteola yang saling menindih. Bakal buah

tertutup oleh sisik seperti duri. Buah berbentuk obovoid, panjang 6 cm, diameter

6-8 cm. Biji berjumlah 1-3 pada satu buah.

Persebaran: Cina (Yunnan), Myanmar (Kachin), dan Thailand Utara.

Habitat: Hutan dataran rendah atau lebih sering pada daerah yang terganggu,

ketinggian 60-300 m dpl.

Nama daerah: Yone (Myanmar), Kaan haan, Kaa haan, Kha han (Thailand).

Kegunaan: Daun biasanya digunakan untuk atap.

Spesimen yang diamati: Thailand, Mae Hong Son: Mae Hong Son, 500 m

dpl., 29 Jul 1997, C. Niyomdham 5120B (K).

Catatan: Kata penunjuk jenis dari salak ini diambil dari nama ahli palem

Griffith yang disematkan oleh AJ Henderson sebagai penghormatan. Jenis ini

adalah salah satu jenis salak yang memiliki perbungaan hapaksantik.

11. Salacca lophospatha J. Dransf. & Mogea

Salacca lophospatha J. Dransf. & Mogea, Principes 25: 180 (1981). Tipe:

Borneo. Sabah, J. & M.S. Clemens 26380 (Holotipe B(?); Isotipes BM, BO!, K!,

L!, SING).

Lophospatha borneensis Burret in Notizbl. Bot.Gart. Mus. Berlin-Dahlem

15:753. 1942 (non Salacca borneensis Becc. 1886). Tipe: Borneo. Dalas, Sabah, J.

& M.S. Clemens 26380 1931/32. Holotipe B(?); Isotipes BM, BO, K, L, SING.

Perawakan sedang, pohon berkelompok. Batang sangat pendek, pada pohon

lain batang sebagian merunduk atau tegak. Daun panjang 4 m; pelepah dan

tangkai daun tertutup duri hitam; anak daun dengan perbedaan warna mencolok,

adaksial hijau gelap, abaksial keputihan; tersusun pada sisi rakis, ujung daun

dengan dua anak daun menyatu. Perbungaan muncul dari adaksial pelepah, tidak

berfungsi sebagai stolon. Perbungaan betina tidak berbeda dengan jenis Salacca

lainnya. Perbungaan jantan dengan tangkai pendek dalam braktea, tegak, bunga

merah jambu saat antesis.

Persebaran: Borneo, Sabah

Habitat: Perbukitan, Hutan dipterocarpa dataran rendah, 1000 m dpl.

Spesimen yang diamati: Borneo, Sabah: J. & M.S. Clemens 26380 (K).

Catatan: Jenis ini sebelumnya dimasukkan ke dalam marga Lopospatha,

namun karena cirinya sangat mirip dengan salak khususnya pada ciri buah tertutup

sisik dengan ujung berduri, sehingga akhirnya ditetapkan sebagai salah satu jenis

salak. Kata penunjuk jenis adalah nama marga sebelumnya. Salacca lopospatha

sangat mirip dengan S. clemensiana pada braktea rakila bunga jantan. Salacca

lopospatha memiliki braktea dengan sedikit rambut sedangkan S. clemensiana

memiliki braktea dengan banyak rambut.

12. Salacca magnifica Mogea

Salacca magnifica Mogea, Reinwardtia 9: 468 (1980). Tipe: S. 19777

Ashton (L; Holotipe: K!, SAR).

Pohon dengan batang sangat pendek, tegak, tinggi sekitar 6.3 m. Daun kipas,

panjang 6 m; pelepah panjang sekitar 1.3 m, tersusun membentuk saluran di atas

pangkal; tangkai daun panjang sekitar 70 cm, bagian tengah pada potongan

melintang berbentuk bulat, diameter 2.5 cm, pada sisi yang lebih rendah agak

pipih berduri; rakis panjang sekitar 3.5 m, pada pangkal diameter 1.2-1.7 cm;

35

helaian daun bentuk kipas, lekukan di ujung helaian daun sangat dalam, panjang

sekitar 4 cm, bagian paling lebar di bagian atas, panjang 70 cm. Perbungaan

jantan tegak atau kadang-kadang melengkung, bercabang satu hingga tiga,

berukuran panjang 45 cm, lebar 9.5 cm; rakila pada satu perbungaan berjumlah 4-

9, berbentuk silindris, panjang 11-15 cm, diameter (11-)12-13 (-18) mm; tangkai

perbungaan panjang 7-10 cm, diameter 0.4 cm, kadang-kadang tertutup oleh

braktea; bunga jantan pada setiap rakila berukuran panjang 6 cm, lebar 3 mm.

Perbungaan betina tegak, lebih atau sedikit silindris, berukuran panjang 30 cm,

lebar 7 cm; braktea berbentuk perahu panjang 27 cm, di bagian pangkal lebar 7

cm, rakila berjumlah satu pada setiap perbungaan, panjang 11.5 cm, diameter 35

mm; panjang tangkai perbungaan 8 cm, diameter 1.5 cm, tertutup oleh braktea.

Persebaran: Borneo, Sarawak

Habitat: Mata air dekat Rhyodacite pada ketinggian 900 m dpl.

Nama daerah: Lium (Iban); Baroh (Kelabit).

Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Timur: Tarakan, Sekatak,

U.I.F.L., 3 November 1979, J.P. Mogea: JPM 1649, JPM 1650 (BO).

Catatan: Jenis ini merupakan salak berdaun tunggal yang memiliki

perawakan paling besar sehingga menjadi nama penunjuk jenisnya.

13. Salacca minuta Mogea

Salacca minuta Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 11 (1984). Tipe:

Johor, J. Dransfield 5076 (Holotipe: KEP).

Perawakan sedang, pohon tinggi 1 m. Batang sangat pendek bahkan kadang-

kadang tidak berbatang. Daun berbentuk kipas, panjang 0.9 m, di permukaan

bawah daun terdapat indumentum berwarna coklat, permukaan atas berwarna

hijau; pelepah panjang 10 cm, tertutup indumentum yang sangat rapat; duri pada

tangkai daun berukuran kecil dengan jarak 2-3 cm, sangat tajam. Perbungaan

jantan panjang 1.5 m, menjulur di atas permukaan tanah, pada bagian ujung

terdapat tanaman baru; rakila jantan panjang 10 cm, diameter 4 mm.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Johor.

Habitat: Lembah bawah bukit hutan dipterocarpa, ketinggian 200 m dpl.

Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Johor: Labis F.R., Ulu

Endau, Gunung Janing, 16 Juni 1977, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 5079 (K).

Catatan: Salacca minuta adalah jenis salak yang sangat berbeda

perawakannya dengan S. magnifica. Perawakannya yang kecil, di antara jenis

salak lain yang berdaun tunggal, menjadi sebab penamaan penunjuk jenis ini.

14. Salacca multiflora Mogea

Salacca multiflora Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 13 (1984).

Tipe: Trengganu, Besut, Hutan Lindung Ulu Setiu, J. Dransfield 5135

(Holotipe: KEP; Isotipe: K!)

Pohon tegak, tinggi hingga 3.2 m. Daun berbentuk kipas, panjang hingga

3.1 m, lebar 25 cm; pelepah panjang hingga 40 cm; tangkai daun panjang 12-30

cm dengan duri berwarna hijau pucat yang tersusun secara horizontal; helaian

daun panjang 2-2.5 m dengan ujung berlekuk. Perbungaan jantan panjang 25 cm,

bercabang 3; rakila jantan berjumlah hingga 17, panjang 1.5-2.5 cm, diameter 3-6

mm. Perbungaan betina tegak, panjang 5 cm; rakila betina tidak lebih dari 10,

35

36

panjang 1.5 cm, diameter 1 cm; tangkai perbungaan panjang 3 cm, diameter 3 mm,

tertutup oleh braktea.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Trengganu.

Habitat: Lembah bawah dekat aliran sungai, hutan dipterocarpa dataran

rendah pada ketinggian 50 m dpl.

Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Selangor: Besut, Ulu Setiu

FR, kaki Gunung Lawit, 3 Agustus 1977, 50 m dpl., J. Dransfield: JD 5137 (K).

Catatan: Jenis ini merupakan salak yang memiliki daun tunggal dengan

perawakan sedang dan sangat mirip dengan S. dransfieldiana. Perbedaan

keduanya terdapat pada ukuran rakila perbungaan jantan.

15. Salacca ramosiana Mogea

Salacca ramosiana Mogea, Principes 30: 161 (1986). Tipe: Borneo: Sabah,

Sandakan, Elmer 20110 (Holotipe: BO!).

Pohon tinggi 8 m. Batang memiliki ukuran keliling hingga 60 cm termasuk

pelepah. Daun panjang 2.7-5.5 m; pelepah berwarna coklat tertutup indumentum

berwarna coklat pucat; duri panjang, banyak, berwarna coklat; tangkai daun

panjang 1-2 m, beralur dekat pangkal, bundar di bagian distal, diameter 2 cm,

permukaan berkerut, bagian abaksial berduri; rakis panjang sekitar 2.4-4.2 m, di

bagian pangkal berbentuk elip, diameter 2.5 cm, bagian abaksial berduri; anak

daun pada tiap sisi rakis berjumlah hingga 40, tersusun berseling, khusus pada

bagian pangkal terdapat anak daun yang berada di sisi atas rakis, berjarak (2.5-) 4-

8(-11) cm; tepi anak daun berduri kecil, bentuk kait, panjang 2 mm, jarak 3-10

mm; pada pangkal rakis anak daun berukuran panjang 11-15 cm, lebar 2.5-4 cm

dengan 3 lekukan, anak daun dalam kelompok berjumlah 3-4, tersusun berseling,

di ujung rakis anak daun berukuran panjang 35-46 cm, lebar 8-10 cm dengan

jumlah lekukan 5-9. Perbungaan jantan panjang sekitar 30-80 cm, lebar 4 cm,

tegak, bercabang 3; termasuk braktea diameter tangkai perbungaan 1 cm; rakila

berjumlah 25. Perbungaan betina panjang 45-70 cm, lebar 5.5 cm termasuk

braktea, braktea berjumlah banyak, bercabang tiga; rakila panjang 10-16 cm;

bunga betina tersusun soliter. Buah bentuk lonjong, panjang 6 cm, lebar 3 cm;

sisik tidak berduri, ketika masih segar buah berwarna coklat kemerahan

kekuningan.

Persebaran: Borneo, Sabah; Filipina.

Habitat: Rawa air tawar di dataran rendah, hutan mangrove,

ketinggian 50 m dpl.

Nama daerah: Sumsum (Kedayan).

Spesimen yang diamati: Borneo, Sandakan: Sepilok Laut, 4 Oktober 1976,

Ejan Gakial: San. 83454 (BO); Sep-Des. 1920, M. Ramos:1915 (BO); 19 Oktober

1979, 50 m dpl., J. Dransfield: JD 5777 (BO).

Catatan : Jenis ini adalah salah satu dari dua jenis yang termasuk ke dalam

seksi Leiosalacca, sangat mirip dengan S. affinis. Perbedaan kedua jenis tersebut

terdapat pada anak daun, S. ramosiana memiliki anak daun dengan ujung berlekuk

sedangkan S. affinis memiliki anak daun dengan ujung tidak berlekuk.

16. Salacca rupicola J. Dransf.

Salacca rupicola J. Dransf., Bot. J. Linn. Soc. 81: 36 (1980). Tipe: Borneo,

Sarawak: 4th Division, Taman Nasional G. Mulu, Tebing batu kapur dekat G.

37

Buda di ketinggian 300 m dpl, Dransfield, JD 5307 (Holotipe: K!; Isotipes: BH,

L!, SAN, SAR).

Pohon berkelompok, berduri. Batang berdiameter 3.5 cm tanpa pelepah, 7

cm termasuk pelepah, tinggi 8 cm. Daun panjang 2.25 m; tangkai daun panjang 1

m; anak daun berjumlah 15 pada sisi rakis, tersusun 2-3 anak daun dalam satu

kelompok, ujung daun bentuk kipas hingga 10 anak daun yang menyatu, anak

daun di pangkal soliter berukuran panjang 17 cm, lebar 2,2 cm. Perbungaan jantan

panjang 15 cm, satu perbungaan memiliki tiga rakila, panjang 7 cm, lebar 8 mm.

Braktea merah saat antesis.

Persebaran: Borneo, Sarawak.

Habitat: Bukit batu kapur.

Spesimen yang diamati: Borneo, Sarawak: Ditanam di Arboretum

Semengoh, 22 April 1996, W. Baker: WJB710 (K).

Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. acehensis. Jika dilihat pada

bentuk daunnya, bagian daun dari pangkal hingga tengah memiliki anak daun

sedangkan bagian tengah hingga ujung daun memiliki anak daun yang menyatu,

maka jenis ini berada di antara jenis salak berdaun tunggal dan jenis salak yang

berdaun majemuk.

17. Salacca sarawakensis Mogea

Salacca sarawakensis Mogea, Reinwardtia 9: 473 (1980). Tipe: S. 27306

Anderson & Whitmore (Holotipe: SAR).

Perawakan sedang, pleonantik. Daun bentuk kipas, bagian tabung pelepah

panjang sekitar 40 cm; tangkai daun panjang sekitar 87 cm; rakis daun panjang

72.5 cm, pangkal berdiameter 10 mm, tidak berduri; helaian daun panjang 120 cm,

bagian terlebar ada di ujung, berukuran 66 cm, warna permukaan daun bagian atas

dan bawah sama. Perbungaan jantan tidak diketahui. Perbungaan betina

melengkung pada percabangan pertama, panjang 17-20 cm; braktea panjang 2.5-

6.5 cm; rakila pada perbungaan berjumlah 1-2, panjang 2.5 cm, diameter 12 mm;

bunga sekitar 40 pada setiap rakila, tersusun dua, terdiri atas satu bunga

hermafrodit dan satu bunga jantan.

Persebaran: Borneo, Sarawak.

Habitat: Sisi bukit di hutan kerangas.

Catatan: Nama penunjuk jenis salak ini berasal dari daerah saat dikoleksi

spesimennya yaitu Sarawak. Jenis ini merupakan salah satu jenis salak yang

memiliki daun tunggal berbentuk kipas.

18. Salacca secunda Griff.

Salacca secunda Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 12 (1845). Tipe: India,

Upper Assam, Pegunungan Mishmee Griffith sn. (K!).

Perawakan sedang, pohon berkelompok. Daun majemuk; anak daun

berseling. Perbungaan hapaksantik; perbungaan jantan berukuran panjang 60 cm;

rakila panjang 7.5-9 cm, diameter 1.5 cm; braktea bagian luar tertutup rambut-

rambut; bunga tersusun sangat rapat sehingga letak bunga pertama tidak jelas,

kuncup di bagian ujung tidak berkembang.

Persebaran: India.

Habitat: Dataran rendah.

37

38

Spesimen yang diamati: India, Upper Assam: Pegunungan Mishmee,

Griffith sn. (K).

Catatan: Jenis ini merupakan salah satu dari dua jenis salak yang memiliki

perbungaan hapaksantik. Salacca secunda sangat mirip dengan S. griffithii,

perbedaan keduanya hanya terletak pada susunan anak daun. Salacca secunda

memiliki susunan anak daun berseling sedangkan S. griffithii memiliki susunan

anak daun berhadapan.

19. Salacca stolonifera Hodel

Salacca stolonifera Hodel, Palm J. 134: 35 (1997). Tipe: Thailand,

Narathiwat Baratdaya, 600 m dpl, D.R. Hodel, P & R. Vatcharakorn 1629

(Holotipe: BK).

Pohon berkelompok, pleonantik, menyebar melalui perbungaan seperti

cambuk, memiliki stolon, panjang 4 m, berakar dan tumbuh di bagian ujung

perbungaan, membentuk koloni dengan jarak 2-4 m. Batang tinggi 70 cm,

diameter 5-8 cm, merayap pendek hingga tegak; jarak antar ruas 3-5 cm; akar

udara mencolok. Daun berjumlah 6-9, menyirip, panjang hingga 3.5 m; pelepah

panjang 30-60 cm, membulat atau bulat hanya pada dasar, hijau muda, padat

tertutup indumentum; terdapat duri ramping berwarna hitam, panjang sampai 4 cm,

terletak pada garis horizontal, jumlah 3-7, berkelompok atau soliter pada tangkai

daun; tangkai daun panjang hingga 1,2 m, dengan indumentum seperti pada

pelepah; rakis daun panjang 2-2.5 m, dengan indumentum seperti pada pelepah;

duri soliter atau berpasangan, panjang 1.5 cm, memiliki jarak 4-6 cm di

permukaan abaksial; anak daun jumlah 17 setiap sisi rakis, berkelompok,

berbentuk kipas, dalam kelompok anak daun berjumlah 2-3, berukuran panjang 50

cm, lebar 5 cm. Perbungaan jantan panjang hingga 4 m, seperti cambuk; tangkai

perbungaan panjang 15 cm; braktea berjumlah 2-3, panjang 3 cm; rakila panjang 6

cm, bunga jantan tersusun diad dalam brakteola yang lebar di bagian dasar dan

berbentuk pipih, panjang hingga 0.75 mm dengan sekelompok rambut yang

transparan, terletak 1-2 mm dari pinggir brakteola; bunga jantan panjang 5 cm,

lebar 2 mm, kelopak panjang 3 mm, daun kelopak menyatu pada pangkal hingga

¾, mahkota panjang 5 mm, menyatu di bagian pangkal hingga 3 mm, benang sari

6.

Persebaran: Semenanjung Selatan Thailand.

Habitat: Bukit.

Catatan: Berdasarkan pengamatan pada gambar spesimen tipenya, jenis ini

memiliki perbungaan yang dapat berfungsi sebagai stolon sehingga dapat

menghasilkan anakan. Oleh karenanya, penamaan penunjuk jenis disematkan

karena stolon yang terdapat pada perbungaannya. Jenis ini sangat mirip dengan S.

graciliflora, perbedaan keduanya terdapat pada batang. Salacca stolonfera

memiliki batang yang lebih besar dibandingkan dengan S. graciliflora.

20. Salacca sumatrana Becc.

Salacca sumatrana Becc., Ann. Roy. Bot. Gard. (Calcutta) 12(2): 80 (1918).

Tipe: Sumatra Barat Daya di Air Mancur pada ketinggian 360 m dpl. di Provinsi

Padang, Beccari No. 2029 Agustus 1878 (F).

Pohon tinggi antara 6-10 m; tajuk lebar 2-3 m, pleonantik. Batang tegak

atau merunduk pada pohon yang sudah berumur lebih dari 25 tahun. Daun sangat

39

besar, panjang 8-9 m; pelepah panjang 1-1.75 m, warna pelepah kekuningan,

coklat kekuningan hingga coklat gelap; tangkai daun panjang 2.5 m, beralur dan

berduri, ukuran tidak sama, panjang 3-5 cm, lebar 5-10 mm; anak daun sangat

banyak, 50-70 pada kedua sisi rakis, panjang 50-110 cm, lebar 4-7.5 cm, tersusun

dalam kelompok 3-4, setiap kelompok terdiri atas 2-11 anak daun dengan susunan

anak daun berhadapan atau berseling, permukaan bawah anak daun keputihan,

tulang anak daun utama biasanya tiga berada di tengah dan bagian tepi anak daun,

tulang lebih halus 7-16; ujung daun bifid dengan 2-8 anak daun yang menyatu.

Perbungaan jantan panjang mencapai 90 cm, tegak; braktea pada pangkal

perbungaan panjang hingga 38 cm, rakila pada satu perbungaan jantan 13,

silindris, panjang hingga 27 cm, dengan panjang tangkai 7 cm. Bunga mekar

dimulai dari bagian ujung rakila menuju bagian pangkal, brakteola bersisik.

Perbungaan betina dengan rakila panjang 12 cm. Buah panjang 6-7 cm, diameter

4-4.5 cm. Biji 3 pada satu buah.

Persebaran: Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat.

Habitat: Hutan dipterocarpa campuran, dekat sungai, ketinggian 250-700

m dpl.

Nama daerah: Salak sidempuan, salak gunung.

Spesimen yang diamati: Sumatra, Sumatra Barat: Muara Kulampi, 25

Februari 1974, 300 m dpl., J.P. Mogea: JPM 202 (BO); Sumatra Utara:

Sibolangit, 26 November 1927, 250-600 m dpl., Lorzing: 12492 (BO); Sekitar 15

km dari Utara Prapat, 12 Agustus 1971, 800 m dpl., J. Dransfield & D. Saerudin:

1808 (BO); Padang Sidempuan, Kampung Hutakodje, 1 November 1975, 280 m

dpl., J.P. Mogea: JPM 412 (BO); Sibolangit, 3 November 1975, 700 m dpl., J.P.

Mogea: JPM 437 (BO); Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Angkola Barat,

Desa Sitaratoit, dibudidayakan di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM

127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135 (BO); Desa Batubujur, dibudidayakan

di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM 136, 137, 138, 139, 140, 141,

142, 143 (BO); Desa Sigemuruh, dibudidayakan di kebun petani,16 Februari 2013,

Zumaidar: ZM 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151 (BO); Desa Sitinjak,

dibudidayakan di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM 152, 153, 154,

155, 156, 157, 158, 159, 160, 161 (BO); Kota Padang Sidempuan, Kecamatan

Hutaimbaru, Desa Sabungan Jae, dibudidayakan di kebun petani, 17 Februari

2013, Zumaidar: ZM 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170 (BO); Aceh:

Aceh Tenggara, Kutacane, Kubur Panjang, 28 Februari 1980, 400 m dpl., J.P.

Mogea: JPM 2090 (BO); Jawa, Jawa Barat: Cileungsi, Taman Buah Mekar Sari,

3 April 2013, Zumaidar: ZM 171, 172 (BO).

Catatan: Jenis ini memiliki perawakan yang besar. Kata penunjuk jenis

merupakan daerah asal dari salak ini yaitu Sumatra khususnya Sumatra Utara.

Jenis ini memiliki warna daging buah menarik yaitu merah dan kemerahan.

21. Salacca vermicularis Becc.

Salacca vermicularis Becc., Malesia 3: 66 (1886). Tipe: Borneo, Hutan

primer di Sarawak, tanah yang sangat subur di Kaki Gunung Mattang, Becc. P.B.

No. 2011 (F).

Perawakan besar, pohon berkelompok, pleonantik. Batang dengan akar

tambahan. Daun besar, panjang 7.5 m; pelepah panjang 2.5 m, tertutup

indumentum coklat; tangkai daun panjang 2-3.5 m, ujung tangkai daun duri

39

40

kehitaman, tersebar berpasangan atau tunggal ditepi tangkai daun; permukaan atas

anak daun hijau mengkilap, permukaan bawah anak daun keputihan atau keabu-

abuan, jumlah anak daun 40 pada sisi rakis, berkelompok membentuk kipas,

jumlah 3-5 anak daun, bagian tengah anak daun paling lebar, panjang hingga 90

cm, lebar 7-8 cm; urat daun sangat jelas dan terang. Perbungaan jantan tegak,

muncul dari ketiak daun, panjang sekitar 35 cm, bercabang hingga 7; braktea

paling bawah 12-15 cm; rakila panjang 8-12 cm, lebar 10-11 cm, jumlah lebih dari

15 pada satu perbungaan; bunga jantan panjang 5 mm, brakteola bersisik.

Perbungaan betina lebih pendek dari perbungaan jantan; braktea paling besar

panjang 35-40 cm; rakila panjang 8-10 cm, lebar 2.5 cm.

Persebaran: Borneo (Gunung Kinabalu).

Habitat: Tanah yang sangat subur di hutan primer, ketinggian 100-1250

m dpl.

Nama daerah: Salak hutan.

Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Selatan: 10 November 1971,

100 m dpl., J. Dransfield & D. Saerudin: 2093, 2094 (BO); 14 November 1972,

200 m dpl., J. Dransfield: 2790 (BO); Barabai, 30 Juni 1976, 350 m dpl., J.P.

Mogea: JPM 729 (BO); Kalimantan Timur: Tarakan, Nunukan, Nonember 1945,

W. Meyer: 2140 (BO).

Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. clememsiana dan S.

dolicholepis pada ciri perbungaan jantan. Namun S. vermicularis memiliki jumlah

rakila bunga jantan yang lebih banyak.

22. Salacca wallichiana Mart.

Salacca wallichiana Mart., Hist. Nat. Palm.3: 201 (1838). Tipe: Tab. 118-

119 et 136.

S. beccari Hook. f. Fl. Brit. India 6: 474 (1894). Tipe: Myanmar, Rangoon,

Mc Lelland sn (K!).

S. macrostachya Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 13 (1845). Tipe:

Semenanjung Malaya, Ching dekat Malaka Griffith sn. (K!).

Perawakan besar, pleonantik, tinggi pohon hingga 8 m. Daun panjang 16-18

m; tangkai daun panjang 4-6 m; anak daun bagian tengah panjang 3-4 m dengan

tiga tulang utama, tersusun di sisi dan bagian adaksial rakis. Perbungaan jantan

panjang 1-2 m, benang sari 6, tangkai sari putih. Perbungaan betina panjang 2 m.

Persebaran: Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Singapura.

Habitat: Daerah rawa-rawa.

Nama daerah: Salak kumbar.

Spesimen yang diamati: Thailand, Rayong: Baneselui, Barat Daya

Bangkok, Agustus 1975, J.P. Mogea: JPM 401, 402, 403, 404 (BO).

Catatan: Jenis ini adalah satu-satunya jenis salak yang memiliki anak daun

yang tersusun tidak hanya di sisi rakis tetapi juga di bagian adaksialnya. Jenis ini

juga memiliki perawakan yang yang besar dengan perbungaan yang panjang dan

menjulur di tanah.

23. Salacca zalacca (Gaertn.) Voss

Salacca zalacca (Gaertn.) Voss, Vilm. Blumengärtn. ed. 3, 1: 1152 (1895).

Calamus zalacca Gaertn. Fruct. Sem. Pl. 2 ;267 (1791). Tipe: T. 139 a.

41

Salacca edulis Reinw., Syll. Pl. Nov. 2: 3 (1825). Tipe: A. Cl. Thurnberg sn

(BO!).

Perawakan kecil hingga besar, tinggi pohon 0.75-8 m, pleonantik; tajuk

lebar 2-6 m. Batang tegak atau merunduk pada pohon yang sudah berumur lebih

dari 25 tahun. Daun majemuk menyirip, jumlah 5-21; pelepah panjang 0.12-1.3 m,

ridges sangat jelas, tertutup indumentum, kehitaman, coklat muda, keputihan,

pelepah maupun tangkai daun bergetah kekuningan; duri terdapat di pelepah

hingga ujung daun, soliter maupun berkelompok, duri berkelompok pada pelepah

berkisar 4-17, duri terpanjang biasanya terdapat di pangkal hingga bagian tengah

pelepah, panjang berkisar 3-10 cm, lebar 0.2-1.5 cm; tangkai daun panjang 5-85

cm, diameter 0.6-4.3 cm, hijau, hijau kehitaman, hingga coklat; helaian daun

panjang 0.6-6 m; anak daun 50-100 pada dua sisi rakis. Perbungaan jantan

panjang 15-100 cm, tegak; rakila silindris, panjang 7-13 cm, lebar 1.5-1.8 cm,

jumlah rakila 9-11 pada satu perbungaan; brakteola panjang 6 mm, lebar 4 mm,

brakteola pasangan bunga jantan bagian abaksial tertutup indumentum coklat;

bunga jantan panjang hingga 8 mm, lebar 4 mm; daun kelopak 3, saling lepas,

panjang 4-5 mm, lebar 1 mm; daun mahkota 3, saling berlekatan dari pangkal

hingga setengah bagian panjangnya, merah, panjang 6 mm, lebar 2 mm; benang

sari 6, 3 melekat di bagian tengah masing-masing daun mahkota dan 3 lainnya di

antara daun mahkota yang berlekatan; tangkai sari merah seperti daun mahkota,

panjang 1 mm; kepala sari berwarna kuning, panjang 1 mm. Perbungaan betina

pada satu pohon 2-7, panjang 15-40 cm, percabangan 2-3 rakila; rakila panjang

hingga 17 cm, lebar 3 cm; braktea semakin ke dalam semakin panjang hingga

mencapai 20 cm, brakteola pasangan bunga panjang 8-9 mm, lebar 5-6 mm,

permukaan abaksial brakteola agak kasar dengan alur-alur yang lurus dari pangkal

hingga ujung, bagian adaksial licin; bunga hermafrodit lebih besar dari bunga

jantan.

Persebaran: Jawa, Sumatra, Bali, Ambon, Sulawesi.

Habitat: Dataran rendah hingga dataran tinggi, ketinggian 5-300 m dpl.

Nama daerah: Salak.

Spesimen yang diamati: Jawa, Jakarta: Batavia, November 1904, C.A.

Backer: 34441 (BO); Jawa Barat: 5 April 1928, 250 m dpl., R.C. Bachuizen van

den Brink: 7416 (B)); Tasikmalaya, Cisalanak, Cibatujah, 25 Januari 1971, 5 m

dpl., J. Dransfield: JD 1193 (BO); Gunung Tukung Gede, 3 Oktober 2009, 300 m

dpl., Tuti D. M. Amir & Supriatna: TD 1498 (BO); Sumedang, Kecamatan Paseh,

Desa Bongkok, dibudidayakan di kebun petani, 7 April 2012, Zumaidar: ZM 01.

02 (BO); Tasikmalaya, Kecamatan Manonjaya, Desa Cilangkap, dibudidayakan di

kebun petani, 8 April 2012, Zumaidar: ZM 04, 05 (BO); Bogor, Cileungsi, Taman

Buah Mekar Sari, 20 Juli 2012, Zumaidar: ZM 44, 45, 47, 48, 77, 80, (BO);

Kebun Raya Bogor, 22 Juli 2012, Zumaidar: ZM 77, 80, (BO); Bogor, Kebun GG

Hambali, 3 Agustus 2012, Zumaidar: ZM 84, 87, 88, 90, 91, 93, 94, 96, 97, 99,

101, 102, 103, 112, 113, 115 (BO); Yogyakarta, Kabupaten Sleman:

Kecamatan Turi, Taman Salak Nusantara, 28 April 2012, Zumaidar: ZM 08, 09,

10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, (BO); Desa Baleranti, dibudidayakan di kebun

petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 19 (BO); Desa Babatan, dibudidayakan di

kebun petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 24, 25, 26 (BO); Desa Soko,

dibudidayakan di kebun petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 27 (BO); Jawa

41

42

Tengah: Magelang, Desa Nglumut, dibudidayakan di kebun petani, 29 April 2012,

Zumaidar: ZM 19 (BO).

Kunci varietas Salacca zalacca

1. Tinggi pohon mulai 4 m, pangkal duri saling menyatu hingga satu per empat

dari bagian panjangnya, terdapat tonjolan pada biji………………var. zalacca

2. Tinggi pohon mulai 0.75 m, pangkal duri saling menyatu hingga empat per

lima dari bagian panjangnya, tidak terdapat tonjolan pada

biji…………………………………………………………...var. amboinensis

4.2 Kekerabatan Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)

dan Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis)

Dari 23 jenis Salacca, tiga jenis di antaranya telah lama dibudidayakan,

yaitu S. wallichiana di Thailand, S. zalacca dan S. sumatrana di Indonesia.

Kekerabatan salak Jawa dan salak Bali berdasarkan data molekuler menggunakan

penanda AFLP dibahas secara rinci pada subbab ini. Ciri morfologi didasarkan

pada pengamatan 91 tanaman S. zalacca yang terdiri atas 63 tanaman salak Jawa

dan 28 tanaman salak Bali.

4.2.1 Ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali

Secara morfologi salak Jawa dan salak Bali berbeda pada beberapa organ

tanaman. Salak Jawa (Gambar 4) lebih bervariasi ciri morfologinya daripada salak

Bali. Berdasarkan pengamatan pada 91 individu S. zalacca maka perawakan salak

Jawa umumnya sama dengan salak Bali, tinggi pohon berkisar dari 4-8 m. Satu

kultivar salak Bali sangat berbeda perawakannya dengan kultivar lainnya adalah

kultivar ‘Kate’ yang memiliki perawakan kecil dan kerdil dengan tinggi pohon

hanya 0.75 m. Jumlah daun yang dimiliki salak Jawa lebih sedikit dibandingkan

dengan salak Bali. Salak Jawa umumnya memiliki 5-10 daun pada setiap pohon

sedangkan salak Bali memiliki 8-21 daun pada setiap pohon. Jumlah anak daun

salak Jawa memiliki kisaran yang lebih sempit dibandingkan salak Bali, salak

Jawa berkisar 30-40 pada setiap sisi daun sedangkan salak Bali berkisar 25-50

pada setiap sisi daun. Helaian daun salak Jawa memiliki ukuran lebih panjang

dibandingkan dengan salak Bali, berkisar 2-4 m sedangkan salak Bali berkisar

0.6-3.75 m. Anak daun yang menyatu di ujung daun salak Jawa memiliki kisaran

jumlah yang lebih banyak (2-6) dibandingkan salak Bali (2-4). Duri pada salak

Jawa memiliki ukuran lebih panjang (10 cm) dibandingkan salak Bali (7 cm).

Warna duri salak Bali lebih gelap dibandingkan salak Jawa (Gambar 5a), kecuali

kultivar ‘Gading’ berwarna kekuningan. Secara morfologi terdapat beberapa

perbedaan yang mencolok antara salak Jawa dan salak Bali (Tabel 5).

Beberapa ciri morfologi bunga dan buah salak Bali menunjukkan variasi

yang tidak ditemukan pada salak Jawa. Daun mahkota pada kultivar ‘Kate’

mengalami perubahan jumlah yang biasanya hanya 3 menjadi 7 (Gambar 5i).

Daging buah salak Bali juga ada yang berwarna kemerahan (Gambar 5k). Pada

salak Bali juga ditemukan perkembangan pada biji berupa tonjolan di dekat

embrio, seperti pada kultivar ‘Boni’, kultivar ‘Gula pasir’, dan kultivar ‘Kate’

(Gambar 5l). Kultivar lokal ‘Kate’ adalah kultivar yang belum diusulkan kepada

pemerintah untuk dilepas. Kultivar ini sangat unik dengan bentuknya yang kerdil

sehingga dapat juga dikembangkan sebagai tanaman hias.

43

Tabel 5 Perbedaan ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali

No Ciri Morfologi Salak Jawa Salak Bali 1 Perawakan ≤ 75 cm Tidak ada Ada

2 Jumlah daun pada pohon 5-10 8-21

3 Jumlah anak daun pada satu

sisi daun

30-40 25-50

4 Panjang helaian daun (m) 2-4 0.6-3.75

5 Jumlah anak daun menyatu di

ujung daun

2-6 2-4

6 Warna duri Kekuningan-

coklat kehitaman

Kekuningan-hitam

7 Ukuran duri terpanjang (cm) 10 7

8 Daun mahkota 3 3-7

9 Warna daging buah Putih, kekuningan Putih, kekuningan, sebagian merah

10 Tonjolan pada biji Tidak ada Ada

Gambar 4 Variasi ciri morfologi salak Jawa, a) tangkai daun berduri, b) tangkai

daun tidak berduri, c) perbungaan jantan d) rakila bunga jantan, e)

diad rakila bunga jantan: 1-2=bunga jantan, f) perbungaan betina, g)

rakila bunga betina, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga hermafrodit,

2=bunga jantan, i-j) perbuahan, k-l) buah, m-n) warna daging buah,

o-p) biji

43

2

1

2

1

a

a

b

a

c

a

d

a

e

a

f

a

g

a

h

a

i

a

j

a

k

a

l

a

m

a

n

a

o

a

p

a

44

Salak Bali memperlihatkan perkembangan yang berbeda dengan salak Jawa.

Ciri salak Jawa pada perawakan yang besar, jumlah daun mahkota lebih sedikit,

warna daging buah hanya berwarna putih hingga kekuningan, dan tidak ada

tonjolan pada biji, mengindikasikan bahwa salak Jawa merupakan tetua dari salak

Bali karena memiliki ciri yang lebih primitif.

Secara umum diketahui bahwa perbungaan salak bersifat dioesis, namun

perbungaan salak Bali bersifat monoesis sedangkan salak Jawa dioesis (Schuiling

dan Mogea 1992). Pada satu pohon terdapat perbungaan jantan dengan rakila

jantan tersusun diad dan terdiri atas dua bunga jantan yang menghasilkan serbuk

sari (Gambar 5d). Pada pohon yang lain terdapat perbungaan betina dengan rakila

betina tersusun diad namun berbeda dengan rakila jantan, karena rakila betina

terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga jantan yang tidak menghasilkan

serbuk sari (Gambar 5g). Bunga betina memiliki bakal buah dan juga benang sari

namun tidak juga menghasilkan serbuk sari.

Di Bali masyarakat mengenal salak jantan sebagai salak ‘Muani’. Pola dan

bentuk perbungaan salak Muani sama dengan perbungaan salak Bali yang

menghasilkan buah atau sama dengan perbungaan betina seperti yang terdapat

pada salak ‘Condet’. Salak Bali termasuk tanaman andromonoesis karena

memiliki bunga hermafrodit dan bunga jantan dalam satu tanaman (Darmadi et al.

2002). Pada dasarnya semua jenis salak yang termasuk seksi Salacca memiliki

perbungaan betina seperti halnya salak Bali, yaitu bunga tersusun diad terdiri dari

bunga hermafrodit dan bunga jantan. Istilah perbungaan betina digunakan pada

salak bukan andromonoesis sehingga istilah dioesis tetap tepat untuk dipakai.

Karakteristik karangan bunga salak Bali berumah satu terdapat pada

perbungaan betina. Perbungaan betina adalah bunga majemuk terdiri dari 1-7

rakila, namun yang bertahan hidup dan menjadi buah 1-3 rakila. Masing-masing

rakila ditemukan bunga jantan yang tersusun atas tiga daun kelopak, tiga daun

mahkota, dan enam benang sari, dan bunga hermafrodit tersusun atas tiga daun

kelopak, tiga daun mahkota; dan tiga benang sari dengan tangkai melekat pada

mahkota, tiga benang sari melekat pada perlekatan antara dua daun mahkota, dan

satu putik dengan kepala putik bercabang tiga. Setiap rakila terdiri dari 91-214

bunga, 33-93 bunga hermafrodit, dan 50- 125 bunga jantan (Kriswiyanti et al.

2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan bunga jantan lebih banyak

dari bunga betina, berbeda dengan hasil penelitian salak ‘Bangkok’ ('Nern Wong'

salak) yang menunjukkan perbandingan bunga jantan dan hermafrodit adalah

sama 1:1 (Kimsri 1997).

Penelitian pada kultivar ‘Gading’ dan ‘Gula pasir’ menunjukkan bahwa

proses penyerbukan dan pembuahan terjadi pada salak Bali. Pembentukan buah

terjadi pada kedua kultivar melalui penyerbukan alami dan penyerbukan buatan.

Pada penyerbukan buatan kedua kultivar mampu meningkatkan persentase

pembentukan buahnya (Zaimudin 2002). Kemampuan bersilang secara buatan

salak Bali dan salak Jawa juga terbukti pada beberapa kultivar yang telah dilepas

oleh pemerintah yang berasal dari BPTBT Riau yaitu kultivar ‘Sari Intan 295’

Tahun 2010, ‘Sari Intan 48’ Tahun 2009, dan ‘Sari intan 541’ Tahun 2009

(Ditbenih Hortikultura 2015).

45

Gambar 5 Variasi ciri morfologi salak Bali, a) duri pada tangkai daun, b)

perbungaan jantan, c) rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’, d) diad

rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’: 1-2=bunga jantan, e) perbungaan

betina, f) rakila bunga betina, g-h) diad rakila bunga betina: 1=bunga

hermafrodit, 2=bunga jantan, i) bagian-bagian bunga betina, j) bagian-

bagian bunga jantan, k) warna daging buah, l) tonjolan pada biji

Warna daging buah yang kemerahan pada salak Bali berbeda dengan warna

kemerahan pada salak Sidempuan. Jika pada salak Bali warna kemerahan hingga

ke bagian dalam daging buah tetapi pada salak Sidempuan warna kemerahan

hanya sedikit, terdapat pada bagian dalam daging buah (Gambar 6).

1

2

1

2

1

2

45

a

a

b

a

c

a

d

a

e

a

f

a

g

a

h

a

i

a

j

a

k

a

l

a

46

Gambar 6 Warna daging buah salak Sidempuan (Salacca sumatrana)

a) warna daging buah utuh, b) bagian buah yang dipotong

4.2.2 Ciri molekuler salak Jawa dan salak Bali

Dari 91 individu S. zalacca yang diuji DNAnya, hanya 38 individu

menghasilkan data yang dapat dibaca pada elektrofenogram. Seluruh individu

yang memiliki data molekuler terdiri atas 23 individu salak Jawa dan 15 individu

salak Bali.

Penggunaan penanda AFLP pada salak Jawa dan salak Bali dengan dua

kombinasi primer berbeda, primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT, dan EcoRI-ACC

dan Mse1-CTT, telah menghasilkan 531 ciri molekuler yang bersifat polimorfik.

Individu lainnya tidak memberikan hasil yang baik pada elektrofenogram.

Kombinasi kedua primer memiliki fragmen pada panjang basa 140 hingga 489

pada kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT, dan 140 hingga 447 pada

kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT. Dari total data polimorfik,

kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT menghasilkan runutan data

polimorfik sebanyak 260 (49 %) sedangkan kombinasi primer EcoRI-ACC dan

Mse1-CTT menghasilkan runutan data polimorfik sebanyak 271 (51 %).

Kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT menghasilkan data polimorfik

yang lebih banyak dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-

CAT. Pada tanaman salak kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT

dianggap lebih efisien dibandingkan kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-

CAT. Primer yang menghasilkan data polimorfik dalam jumlah banyak, lebih

efisien dibandingkan primer yang menghasilkan data polimorfik sedikit

(Chikmawati et al. 2005).

Salak Jawa memiliki data polimorfik lebih banyak dibandingkan dengan

salak Bali (Tabel 6). Pada kedua kombinasi primer, salak Jawa juga memiliki data

polimorfik lebih banyak dibandingkan dengan salak Bali. Data polimorfik yang

banyak pada salak Jawa menunjukkan bahwa keanekaragaman molekuler salak

Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan salak Bali menggunakan penanda AFLP.

Keanekaragaman genetik yang tinggi pada salak Jawa disebabkan oleh

kemampuan bersilang salak Jawa karena perbungaannya yang bersifat dioesis.

Perbungaan salak Bali yang bersifat monoesis menyebabkan terjadinya

penyerbukan sendiri pada salak Bali, diduga mengakibatkan keanekaragaman

genetiknya lebih rendah dibandingkan dengan salak Jawa.

Kultivar Kembang Arum memiliki data polimorfik paling banyak (53 %)

pada kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT sedangkan kultivar Bongkok

a

a

b

a

47

memiliki data polimorfik paling banyak (52 %) pada kombinasi primer EcoRI-

ACC dan Mse1-CTT. Dari seluruh data polimorfik, gabungan kedua kombinasi

primer, maka kultivar Bongkok memiliki data polimorfik paling banyak (52 %)

dibandingkan kultivar lainnya.

Tabel 6 Data molekuler salak Jawa dan salak Bali Takson Total Data

Mono

morfik

Data Polimorfik

Data Jumlah % ACT-CAT ACC-CTT

Molekuler Jumlah % Jumlah %

Salak Jawa 531 31 500 94.1 243 45.8 257 48.3

Salak Bali 531 93 438 82.4 198 37.2 240 45.2

4.2.3 Analisis fenetik

Analisis kemiripan genetik dari S. zalacca menghasilkan dendrogram

dengan nilai koefisien kemiripan berkisar dari 0.61 hingga 0.94. Nilai kemiripan

tersebut menunjukkan tingkat kemiripan genetik yang tinggi antara salak Jawa

dan salak Bali karena nilai koefisiennya di atas 50 %. Nilai koefisien yang tidak

mencapai angka 1 menggambarkan bahwa tidak ada satu individu pun yang

memiliki data genetik yang identik dengan individu lainnya. Hanya ada satu

cabang yang menunjukkan data genetik paling mirip pada nilai koefisien 0.94

yaitu dua individu kultivar ‘Kate’ (Gambar 7).

Pada nilai koefisien kemiripan 0.64 dendrogram terbagi atas tiga cabang: A,

B, dan C. Pada cabang B dan C, beberapa kultivar salak Bali memisah dengan

kultivar salak Jawa yaitu kelompok 1 pada nilai koefisien kemiripan 0.84,

kelompok 2 pada nilai koefisien kemiripan 0.83, dan kelompok 3 pada nilai

koefisien kemiripan 0.84. Kelompok 1 terdiri atas tiga kultivar yang berasal dari

Kebun GG Hambali yaitu dua kultivar ‘Gula pasir’ dan satu kultivar ‘Bali Lokal’.

Kelompok 2 terdiri atas tiga kultivar salak ‘Kate’ yang berasal dari lokasi yang

sama yaitu Kebun GG Hambali. Kelompok 3 terdiri atas dua kultivar salak ‘Bali

Sedikit Duri’ dan dua kultivar ‘Gading Bali’ yang berasal dari Kebun GG

Hambali, satu kultivar ‘Gula pasir’ yang berasal dari Taman Salak Nusantara dan

satu kultivar ‘Bali Lokal’ dari Taman Buah Mekar Sari. Pengelompokan ini

menunjukkan adanya kemiripan sejumlah gen yang dimiliki oleh kultivar salak

Bali meskipun berasal dari lokasi yang berbeda.

Dari sepuluh lokasi perkebunan Salacca zalacca yang diteliti pada

penelitian ini, tiga lokasi ditanami salak Bali yaitu Taman Buah Mekar Sari,

Kebun GG Hambali, dan Taman Salak Nusantara. Pada tiga lokasi tersebut salak

Bali ditanam bersama dengan salak Jawa pohon jantan dan pohon betina. Hal ini

semakin menguatkan bahwa pembuahan salak Bali tidak terjadi secara apomiksis.

Penyerbukan silang yang terjadi pada salak Bali pada ke tiga lokasi penelitian

menyebabkan kultivar salak Bali belum dapat memisah dari salak Jawa sebagai

cabang tersendiri pada dendrogram. Namun pemisahan tiga kelompok salak Bali

dari salak Jawa mengindikasikan adanya peluang pemisahan secara genetik antara

salak Bali dan salak Jawa. Kajian secara molekuler pada tanaman palem, kelapa

sawit, mengemukakan penanda AFLP telah menjadi alat yang berharga untuk

membedakan pada tingkat populasi dan individu (Matthes et al. 2001). Secara

agronomi saat ini masyarakat mengenal perbedaan antara salak Jawa dan salak

Bali khususnya untuk kultivar yang bernilai ekonomi tinggi seperti kultivar

47

48

‘Pondoh’, ‘Gading’, dan ‘Gula pasir’ melalui ukuran, warna, dan rasa buah. Dari

delapan varietas, salak ‘Pondoh’ di Sleman yang mempunyai nilai jual tertinggi

adalah varietas ‘Gading’ dan ‘Manggala’. Kedua varietas tersebut memiliki

ukuran buah relatif lebih besar, rasanya lebih manis dan belum banyak

dikembangkan oleh masyarakat sehingga terkesan eksklusif (Suskendriyati et al.

2000).

Gambar 7 Dendrogram data molekuler kultivar salak Jawa dan salak Bali (Salacca

zalacca) menggunakan metode UPGMA, kelompok kultivar salak Bali

ditandai angka 1, 2, 3

Dengan menggunakan dua kombinasi primer, penanda AFLP telah

mengindikasikan pemisahan salak Bali dan salak Jawa dengan data fragmen

polimorfik yang banyak. Pada kajian tanaman palem lainnya, Metroxylon sagu,

kurangnya data fragmen polimorfik dari penanda AFLP, menyebabkan

pengelompokan 76 individu yang diteliti kurang mampu dikenali (Kjær et al.

2004). Seluruh kultivar salak Bali memang belum mengelompok secara terpisah

dari salak Jawa diduga karena penggunaan primer yang bersifat umum dan

kombinasi primer yang hanya berjumlah dua dianggap belum cukup sehingga

diperlukan rancangan kombinasi primer AFLP yang terpaut dengan tanaman salak.

Analisis molekuler pada salak Sidempuan juga belum mampu memisahkan

kultivarnya. Secara rinci pembahasan keanekaragaman salak Sidempuan diuraikan

pada subbab berikut.

Koefisien Kemiripan0.61 0.69 0.77 0.86 0.94

BalikitGMW

BaliTN BajaMS madusoko condet CiamisTN ponhitjo jakalPG jakalPG GusirTN BaliMS BalikitG BalikitG GadBaPG GadBaPG Jakitjar Jakitjar bongkok pontas gadingTN ManggTN perjauTN nglumut baleran jowoJog bajaMS jawaKRB pondohPG sulawesi gadjaPG kate kate kate Karum baliloPG gulpaPG gulpaPG ponkunjo bongkok

A

B

C

1

3

2

49

4.3 Keanekaragaman Morfologi dan Molekuler Salak Sidempuan

(Salacca Sumatrana)

Variasi morfologi salak Sidempuan didasarkan pada koleksi tanaman yang

berjumlah 91 individu yang berasal dari Aceh, Sumatra Utara, dan Jawa Barat.

Berdasarkan hasil pengamatan koleksi spesimen Salacca sumatrana di

Herbarium Bogoriense, jenis ini tersebar dari Aceh bagian tenggara, Sumatra

Utara hingga Sumatra Barat.

Secara morfologi salak Sidempuan bervariasi pada perawakan; daun

meliputi pelepah, tangkai daun, anak daun, duri, dan indumentum; bunga meliputi

tangkai perbungaan, rakila, braktea, kelopak, mahkota, dan putik; buah meliputi

bentuk, duri pada sisik kulit buah, warna dan tebal daging buah, permukaan buah,

dan biji. Duri memiliki variasi karakter yang paling banyak diamati dibandingkan

dengan yang lainnya.

4.3.1 Perawakan

Salak Sidempuan (S. sumatrana) memiliki perawakan yang besar serupa

dengan S. walichiana dan S. affinis; pohon memiliki ukuran tinggi antara 6-10 m;

lebar tajuk berukuran 2-3 m. Batang sangat pendek dikelilingi daun yang sangat

rapat, namun pada pohon yang sudah berumur lebih dari 25 tahun sebagian batang

dengan buku-buku bekas daun, merunduk di atas tanah. Ukuran tinggi pohon 7 m

dimiliki oleh 17 sampel salak Sidempuan dan diikuti oleh ukuran tinggi pohon10

m yang dimiliki oleh 16 sampel. Hanya satu tanaman yang memiliki ukuran tinggi

pohon 6 m.

4.3.2 Daun

Daun salak Sidempuan berupa daun lengkap yang terdiri atas pelepah,

tangkai dan helaian daun. Daun majemuk berbentuk menyirip, terdiri atas anak

daun yang banyak pada dua sisinya.

Panjang pelepah 1-1.75 m; warna pelepah kekuningan, coklat kekuningan

hingga coklat gelap; terdapat ridges (Gambar 8a-b) yang sangat jelas karena

adanya indumentum. Sebanyak 27 sampel memiliki alur yang sangat jelas pada

pelepah.

Duri terdapat di pelepah hingga ujung daun, soliter maupun berkelompok 3,

4, dan 8 (Gambar 8c-d). Sebanyak 13 sampel memiliki duri berkelompok 4.

Kerapatan duri pada pangkal pelepah pada ukuran pandang 3 cm2 berjumlah 8-16.

Kerapatan duri pada ujung pelepah pada ukuran pandang 3 cm2 lebih banyak

dibandingkan pada pangkal pelepah, yaitu berjumlah 8-23. Duri terpanjang

biasanya terdapat di daerah pangkal hingga bagian tengah pelepah dengan ukuran

panjang berkisar 5-12 cm dan lebar 0.4-2 cm, sedangkan duri terpendek biasanya

terdapat di ujung pelepah hingga bagian tangkai daun dengan ukuran 1-3 mm.

Duri pada abaksial tangkai daun mengarah ke bagian pangkal, tengah dan ujung

daun dengan jarak duri berkisar 2-12 cm. Duri pada tepi daun biasanya berukuran

1 mm tetapi sebagian sampel memiliki duri pada tepi daun yang berukuran > 2

mm.

Warna duri bervariasi, coklat keputihan, coklat keabuan, coklat kekuningan,

coklat kehijauan, dan coklat pucat. Warna duri juga memiliki perbedaan pada

kedua sisi berupa warna abu-abu dan keputihan (Gambar 8e). Warna keputihan

49

50

pada bagian adaksial duri yang terletak di pelepah disebabkan karena adanya

indumentum. Mekanisme pertahanan secara fisik tanaman salak Sidempuan

dimulai sejak tanaman masih muda terlihat oleh adanya duri yang dimiliki mulai

dari pelepah hingga ujung daun. Duri salak Sidempuan berukuran besar, ukuran

panjang berkisar 5-12 cm dan pada bagian pangkal lebar 0.4-2 cm, jika

dibandingkan dengan salak jenis lain misalnya S. zalacca (Mogea 1973) dan S.

acehensis (Zumaidar et al. 2014).

Permukaan organ daun (khususnya bagian pelepah, tangkai daun dan duri),

dan organ perbungaan (khususnya braktea dan brakteola) tertutup oleh

indumentum. Indumentum bervariasi pada tipe, kerapatan, dan warnanya. Tipe

indumentum ada yang berambut dan bersisik. Indumentum yang terdapat pada

organ tanaman yang muda sangat rapat, dan sebagian akan rontok seiring dengan

bertambah umur organ tanaman tersebut. Pada tanaman dewasa, indumentum

yang masih rapat ditemukan pada pelepah maupun pada pangkal duri khususnya

duri dengan ukuran besar. Warna indumentum bervariasi yaitu kehitaman, coklat,

coklat gelap, dan keputihan (Gambar 8f-h).

Bentuk tangkai daun secara umum membulat pada bagian abaksial dan

membentuk segitiga pada bagian adaksial. Tangkai daun berukuran panjang 50-

175 cm; diameter 1.4-2.5 cm. Warna tangkai daun kekuningan hingga coklat pada

spesimen yang sudah dikeringkan.

Panjang helaian daun 6-7 m dengan jumlah anak daun banyak mencapai 50-

70 pada kedua sisi daun. Anak daun berukuran panjang 50-110 cm dan lebar 4-

Gambar 8 Ciri organ vegetatif salak Sidempuan (S. sumatrana) a) alur jelas, b)

alur tidak jelas, c) duri soliter, d) duri berkelompok, e) warna duri:

1=abaksial duri berwarna abu-abu, 2=adaksial duri berwarna keputihan,

f) indumentum bersisik warna kehitaman, g) indumentum berambut

warna coklat, h) indumentum bersisik warna keputihan, i) anak daun

berhadapan, j) anak daun berseling, k) 8 anak daun menyatu, l) 3 anak

daun menyatu, m) 5 anak daun menyatu

1 2

a b c d

e f g h

i j k l m

51

7.5 cm. Anak daun tersusun dalam kelompok 3-5 dengan susunan anak daun

sebagian besar tanaman berhadapan tetapi pada sebagian tanaman berseling

(Gambar 8i-j). Jumlah tulang anak daun utama biasanya tiga berada di tengah dan

bagian tepi anak daun, sedangkan tulang yang lebih halus berjumlah 7-16; ujung

daun berbentuk bifid dengan 2-8 anak daun yang menyatu (Gambar 8k-m).

4.3.3 Perbungaan

Perbungaan salak Sidempuan bersifat dioesis, yaitu perbungaan jantan dan

perbungaan betina terdapat pada pohon yang berbeda. Pada perbungaan jantan dan

betina, bunga tersusun diad sehingga satu brakteola melindungi dua bunga.

Perbedaan susunan bunga pada perbungaan jantan dan betina adalah pada

perbungaan jantan brakteola melindungi dua bunga jantan fertil sedangkan pada

perbungaan betina, brakteola melindungi satu bunga jantan dan satu bunga

hermafrodit.

Perbungaan jantan berukuran panjang mencapai 90 cm (Gambar 9a).

Ukuran ini lebih pendek dibandingkan pada S. walichiana mencapai 1 m

(Polprasid 1992) bahkan pada S. bakeriana mencapai 1,2 m (Dransfield 2009).

Perbungaan salak Sidempuan memiliki braktea bunga yang panjang hingga

menutup seluruh perbungaan meskipun saat bunga mekar rakila masih tertutup

oleh pelepah. Berbeda halnya dengan S. zalacca yang memiliki pelepah terbuka

hingga rakila terlihat utuh saat bunga mekar. Secara umum perbungaan pada salak

dibantu penyerbukannya oleh kelompok serangga yang tergolong ke dalam famili

Curculionidae (Mogea 1978). Namun diduga jenis kumbang yang menyerbuki

salak Sidempuan berbeda dengan kumbang yang menyerbuki salak Jawa. Bentuk

perbungaan yang tertutup oleh pelepah pada salak Sidempuan sangat membatasi

proses penyerbukannya sehingga hanya dilakukan oleh jenis kumbang tertentu.

Braktea pada pangkal perbungaan memiliki panjang hingga 38 cm. Jumlah

rakila pada satu perbungaan jantan mencapai 13. Rakila berbentuk silindris

berukuran panjang hingga 27 cm, dengan panjang tangkai 7 cm. Bunga mekar

dimulai dari bagian ujung rakila menuju bagian pangkal (Gambar 9b).

Bunga jantan pada rakila tersusun diad terdiri atas pasangan bunga jantan

dalam brakteola. Brakteola berukuran lebar 6 mm dan panjang 8 mm. Brakteola

pada bagian abaksial dipenuhi indumentum berwarna coklat dan pada saat bunga

mekar maka warna kuning serbuk sari menempel pada indumentum (Gambar 9c).

Bunga jantan berukuran panjang 5-6 mm dan lebar 2 mm; daun kelopak

berjumlah 3 saling lepas berukuran panjang 5-6 mm dan lebar 1 mm; daun

mahkota berjumlah 3 saling berlekatan hingga setengah bagian panjangnya,

berwarna merah, berukuran panjang 6 mm dan lebar 2 mm, benang sari 6

berwarna kuning berukuran panjang 2-3 mm, 3 melekat di bagian tengah masing-

masing daun mahkota dan 3 lainnya terletak di antara daun mahkota (Gambar 9d).

Perbungaan betina berukuran panjang 35-40 cm dengan percabangan 2-3

rakila (Gambar 9e). Bunga pada perbungaan betina tersusun diad seperti pada

perbungaan jantan. Berbeda dengan susunan pada perbungaan jantan, perbungaan

betina terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga jantan.

Satu rakila berukuran panjang hingga 14 cm (Gambar 9f). Braktea pada

perbungaan betina berjumlah 3 dengan ukuran semakin ke dalam semakin panjang.

Braktea terluar di pangkal perbungaan berukuran kecil panjang 5 cm, sedangkan

braktea kedua berukuran panjang 10 cm dan braktea terdalam berukuran hingga

52

15 cm. Brakteola pasangan bunga berjumlah dua, berukuran panjang 12-13 mm

dan lebar 10 mm yang melindungi satu bunga jantan dan satu bunga hermafrodit

(Gambar 9g).

Bunga hermafrodit berada dalam 2 brakteola yang saling berlekatan di

pangkal, berukuran panjang 9 mm dan lebar 6 mm. Bagian abaksial brakteola

tertutup rambut-rambut berwarna coklat. Bunga hermafrodit berukuran panjang

13-15 mm dan lebar 10 mm. Kelopak berjumlah 3 saling berlekatan pada pangkal,

berukuran panjang 11 mm dan lebar 4-5 mm. Mahkota tersusun atas 3 daun

mahkota, memiliki struktur yang lebih tebal dibandingkan daun kelopak dan sama

seperti pada bunga jantan, berukuran panjang 13-15 mm dan lebar 5-6 mm, daun

mahkota saling berlekatan dari bagian pangkal hingga dua pertiga bagian

panjangnya. Bakal buah berukuran panjang 15 mm dan di bagian pangkal lebar 8

mm, stigma berjumlah 3, berwarna putih dengan permukaan abaksial yang terdiri

atas bulir-bulir kelenjar (Gambar 9i). Rambut pada bakal buah berjumlah sangat

banyak lebih dari 30, berukuran panjang 6-7 mm dan lebar 2 mm. Rambut akan

berkembang menjadi sisik pada kulit buah seperti yang terdapat pada buah muda S.

acehensis (Zumaidar et al. 2014).

Bunga jantan dilindungi oleh 2 brakteola berukuran panjang 9 mm, lebar 2-

3 mm, dan pada bagian ujung berwarna kemerahan (Gambar 9h). Daun kelopak

bunga jantan berjumlah 3, berukuran panjang 11 mm, lebar pada pangkal 2-3 mm,

dan lebar bagian tengah daun kelopak mencapai 5 mm, dari bagian pangkal

hingga sepertiga panjang, daun kelopak saling berlekatan. Struktur daun kelopak

bunga jantan lebih tipis dari daun mahkota. Daun mahkota berjumlah 3, berukuran

panjang 14-16 mm dan bagian tengah lebih lebar (4 mm) dari bagian pangkal (2

mm), berwarna kemerahan. Benang sari steril berjumlah 6, 3 melekat pada bagian

tengah dari masing-masing daun mahkota dan 3 lainnya terletak di antara daun

mahkota.

4.3.4 Buah

Bentuk buah salak Sidempuan bervariasi, bulat, sebagian bulat dan yang

lainnya lonjong (Gambar 9q). Jumlah buah pada satu tangkai mencapai 20 buah

dengan rasa buah asam sepat hingga manis sepat. Alur duri pada kulit buah

tersusun lurus dan spiral ke arah pangkal buah. Warna daging buah bervariasi

yaitu putih, sebagian merah, merah, dan gabungan warna merah dan putih pada

satu buah (Gambar 9j-m). Buah berukuran panjang 3.9-7.3 cm dan lebar 3.4- 6 cm

dengan ukuran panjang duri pada buah 1-4 mm (Gambar 9r), dan tebal daging

buah 4-13 mm. Daging buah salak Sidempuan ada yang masir dan ada yang tidak

masir (Gambar 9n-o). Permukaan daging buah ada yang rata dan ada yang tidak

rata (Gambar 9p). Pada buah salak yang siap dipasarkan duri biasanya telah

dihilangkan dengan menggunakan alat perontok duri, karena buah tanpa duri pada

kulit lebih menarik bagi konsumen di pasaran dan lebih mudah untuk dikonsumsi.

53

Gambar 9 Ciri organ generatif salak Sidempuan (S. sumatrana), a) perbungaan

jantan, b) rakila bunga jantan, c) bunga jantan pada rakila, d) bunga

jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina, g) bunga betina

tersusun diad, h) pasangan bunga betina, i) bakal buah, j-m) variasi

warna daging buah, n) buah masir, o) buah tidak masir, p) permukaan

daging buah, q) bentuk buah, r) duri pada buah, s-u) bentuk biji.

1=bunga jantan mekar, 2=braktea pasangan bunga jantan, 3=kelopak

bunga jantan, 4=mahkota bunga jantan, 5=bunga jantan, 6=bunga

hermafrodit, 7=alur duri lurus, 8=alur duri spiral, 9=duri pada buah

5

3

4

1

6

2

2

9

7 8

5

6

53

a b

c d

e f g h i

j k l m n

o p q

r s t u

54

Berdasarkan warna daging buah dari lima lokasi tanaman yang dikoleksi di

daerah Sumatra Utara diperoleh tiga variasi. Adapun warna daging buah tersebut

adalah merah, sebagian merah, dan putih. Namun yang menarik adalah di antara

buah dengan daging buah putih terdapat bagian buah berwarna merah yang tidak

berkembang dengan baik karena ukurannya kecil dan tidak mengandung biji

(Gambar 9m). Pada buah salak Sidempuan putih lainnya ditemukan bercak

sebagian merah pada bagian daging buahnya. Belum ditemukan warna daging

buah merah atau sebagian merah dengan bagian buah yang putih. Ini

mengindikasikan bahwa warna daging buah merah pada salak Sidempuan lebih

dominan dibandingkan warna daging buah putih. Warna daging buah salak

Sidempuan menunjukkan adanya variasi yang kontinyu. Ciri warna daging buah

adalah ciri yang paling mudah dilihat dibandingkan dengan ciri morfologi lainnya.

Kelebihan yang ada pada ciri morfologi selain cepat dalam proses pengamatan

juga mudah dilakukan dengan menggunakan alat sederhana. Hal ini pula yang

menjadikan ciri morfologi tetap akan menjadi primadona bagi taksonomi

meskipun perkembangan dari kajian lainnya juga terus diadopsi (Zumaidar 2011).

Jumlah biji salak Sidempuan berkisar 1-3, dan jumlah ini umum ditemukan

pada tanaman salak bahkan pada salak liar yang tergolong seksi Leiosalacca

(Henderson 2008). Bentuk biji bervariasi dari bentuk bulat, lonjong bahkan

gepeng (Gambar 9s-u), dengan ukuran panjang 1.7-2.9 cm dan lebar 1.5.-2.4 cm.

Perawakan pohon salak Sidempuan sangat berbeda bila dibandingkan

dengan jenis salak budi daya lainnya (S. zalacca) yang memiliki perawakan lebih

kecil (Tabel 7). Ciri tersebut berkorelasi dengan daun yang berukuran besar pada

salak Sidempuan, daun berjumlah banyak, duri berukuran lebar hingga 8, dan

perbungaan besar dan panjang. Ukuran tanaman yang lebih besar (tinggi tanaman,

panjang tangkai, panjang dan lebar thothok, panjang dan lebar lamina) juga

ditemui pada sejumlah individu salak Sidempuan di Kabupaten Kampar, Sumatra

Barat (Hadiati et al. 2008, Hadiati et al. 2012).

Tabel 7 Perbedaan ciri morfologi Salacca sumatrana dan Salacca zalacca

No Ciri Morfologi Salacca sumatrana Salacca zalacca

1 Perawakan Besar Kecil hingga besar

2 Tinggi pohon (m) 6-10 0.75-7

3 Panjang daun (m) 7-9 3-4

4 Jumlah daun per pohon 8-10 5-7

5 Lebar duri pada pangkal (mm) 8 5

6 Rakila bunga jantan (cm) 27 13

4.3.5 Analisis kemiripan morfologi salak Sidempuan

Sampel salak yang digunakan untuk analisis morfologi maupun molekuler

berjumlah 44 individu. Seluruh sampel berasal dari lima perkebunan salak di

Sumatra Utara yaitu sembilan sampel dari desa Sitaratoit, delapan sampel dari

desa Batubujur, delapan sampel dari desa Sigumuru, sepuluh sampel dari desa

Sitinjak, dan sembilan sampel dari desa Sabungan Jae (Tabel 3). Pengamatan

morfologi menghasilkan ciri yang dapat dikelompokkan pada ciri kuantatif (Tabel

8) dan ciri kuantitatif (Tabel 9).

55

Analisis fenetik dari data kuantitatif salak Sidempuan yang berjumlah 44

individu yang didasarkan warna daging buah telah menghasilkan dendrogram

yang menunjukkan rentang nilai koefisien kemiripan dari 0.28 hingga 1. Nilai

koefisien 1 menunjukkan individu yang memiliki morfologi identik karena tidak

terdapat perbedaan ciri (Gambar 10). Pada nilai koefisien kemiripan 0.36,

dendrogram terbagi ke dalam empat cabang. Kultivar salak Sidempuan tidak

mengelompok pada satu cabang berdasarkan warna daging buah. Cabang I dan

Tabel 8 Daftar ciri kuantitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak

Sidempuan (Salacca sumatrana)

No Ciri No Ciri

1 Tinggi pohon 6-10 m 14 Panjang duri di pelepah 5-12 cm

2 Panjang pelepah 1-1.75 m 15 Lebar duri di pelepah 0.4-2 cm

3 Panjang tangkai daun 0.5-1.75 m 16 Ukuran duri terpendek 1-3 mm

4 Diameter tangkai daun 1.4-2.5 cm 17 Jarak duri pada rakis daun 2-12 cm

5 Panjang helaian daun 6-7 m 18 Panjang duri pada sisik kulit buah 1-4 mm

6 Panjang anak daun 50-110 cm 19 Kadar glukosa15.8-23.2 %

7 Lebar anak daun 4-7.5 cm 20 Panjang buah 3.9-7.3 cm

8 Jumlah anak daun dalam kelompok 3-5 21 Lebar buah 3.4-6 cm

9 Jumlah anak daun menyatu pada ujung

daun 2-8

22 Tebal daging buah 4-13 mm

10 Jumlah tulang halus pada anak daun 7-16 23 Jumlah biji1-3

11 Jumlah duri pada ukuran 3cm2 pada

pangkal pelepah 8-16

24 Panjang biji 1.7-2.9 cm

12 Jumlah duri pada ukuran 3 cm2 pada ujung

pelepah 8-23

25 Lebar biji 1.5-2.4 cm

13 Jumlah duri berkelompok terbanyak di

pelepah 3-8

Tabel 9 Daftar ciri kualitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak

Sidempuan (Salacca sumatrana)

No Ciri Sifat Ciri dan kode

1 Warna pelepah coklat gelap = 1; kekuningan-coklat

kekuningan = 0

2 Indumentum rapat pada 1 cm2 di pelepah ya = 1; tidak = 0

3 Keberadaan rambut pada pelepah ada = 1; tidak = 0

4 Alur pada pelepah ada = 1; tidak = 0

5 Kejelasan alur pada pelepah ya = 1; tidak = 0

6 Susunan anak daun dalam kelompok berseling = 1; berhadapan = 0

7 Bentuk indumentum berambut =1; bersisik = 0

8 Warna indumentum coklat gelap =1; coklat kekuningan = 0

9 Indumentum rapat pada 1 cm2 di pangkal duri ya = 1; tidak = 0

10 Keberadaan rambut di pangkal duri ada = 1; tidak = 0

11 Warna duri berbeda pada dua sisi ya = 1; tidak = 0

12 Warna duri pada pelepah dan tangkai daun coklat kekuningan = 1; coklat = 0

13 Arah duri pada abaxial tangkai daun distal = 1; basal = 0

14 Duri pada tepi anak daun > 2 mm ya = 1; tidak = 0

15 Rasa buah manis sepat = 1; asam sepat = 0

16 Daging buah berwarna ya = 1; tidak = 0

17 Warna daging buah seluruhnya merah ya = 1; tidak = 0

55

56

cabang II mengelompokkan individu salak Sidempuan daging buah merah yang

berasal dari satu lokasi. Kedua cabang mengindikasikan adanya kemiripan ciri

morfologi pada individu salak Sidempuan yang berasal dari lokasi yang sama.

Cabang II menunjukkan kemiripan yang tinggi dibandingkan dengan cabang I,

ditandai oleh penyatuan individu salak Sidempuan daging buah merah pada nilai

koefisien kemiripan 0.79. Cabang III dan cabang IV menyatukan individu salak

Sidempuan daging buah merah, sebagian merah, dan putih, yang berasal dari

beberapa lokasi perkebunan. Namun, penyatuan individu-individu yang berbeda

pada cabang III dan IV berada pada nilai koefisien kemiripan yang rendah yaitu

0.37 dan 0.38. Jika cabang I dan II dibandingkan dengan cabang III dan IV maka

dapat disimpulkan bahwa penyatuan individu yang berasal dari lokasi yang sama

memiliki tingkat keanekaragaman morfologi yang rendah, sebaliknya penyatuan

individu yang berasal dari beberapa lokasi menunjukkan tingkat keanekaragaman

morfologi yang tinggi.

Gambar 10 Dendrogram ciri kuantitatif dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah

Koefisien Kemiripan0.28 0.36 0.43 0.50 0.57 0.64 0.71 0.79 0.86 0.93 1.00

memerah29MW

merah27 merah47 merah48 merah51 merah53 merah57 merah60 merah61 memerah38 memerah41 memerah46 memerah49 memerah29 memerah30 memerah54 memerah55 memerah56 putih37 putih40 putih43 merah28 memerah32 memerah33 putih44 putih50 putih45 putih52 putih59 putih67 putih58 putih66 putih31 putih34 memerah62 memerah68 memerah65 memerah70 merah63 merah69 merah64 merah35 merah36 merah39 merah42

III

IV

II

I

57

Warna daging buah merupakan ciri yang menonjol pada salak Sidempuan

dibandingkan dengan ciri lainnya. Secara agronomi ciri pada buah adalah ciri

yang paling mudah dilihat konsumen dalam memilih buah yang disukai. Buah

salak Sidempuan berbeda dengan buah salak budi daya lainnya (Salacca zalacca)

pada ukuran buah lebih besar dan warna daging buah merah.

Ciri kuantitatif lebih banyak ditemukan pada tanaman salak Sidempuan

dibandingkan ciri kualitatif. Pada kategori infraspesies banyak ditemukan variasi

pada ukuran dibandingkan bentuk dan struktur (Radford 1986). Kebanyakan ciri

kuantitatif bersifat kontinyu namun pada salak Sidempuan ciri kualitatif pun

menunjukkan sifat yang kontinyu pula. Ciri yang kontinyu sangat penting untuk

memberikan informasi yang mendalam menyangkut filogenetik sehingga tidak

ada alasan untuk menghilangkannya dari analisis data (Goloboff et al. 2006,

Henderson 2006). Kontinyuitas juga mengindikasikan adanya keterkaitan antara

satu ciri dengan ciri lainnya. Kontinyuitas ciri adalah salah satu masalah pada

konsep jenis sejumlah jenis komplek pada tumbuhan (Rustiami 2009).

Kontinyuitas ciri sebagian besar disebabkan oleh besarnya variasi morfologi

khususnya untuk takson infraspesies.

Pemilahan dilakukan pada ciri kuantitatif dan ciri kualitatif untuk

mendapatkan ciri yang terkait dengan warna daging buah pada salak Sidempuan.

Hasil analisis fenetik pada ciri kuantitatif tidak menemukan ciri yang terkait

dengan warna daging buah sehingga tidak menghasilkan dendrogram yang

mengelompokkan kultivar salak Sidempuan sesuai dengan warna daging buah.

Analisis fenetik dari pemilahan ciri kualitatif menghasilkan dendrogram yang

menunjukkan pengelompokan kultivar salak Sidempuan berdasarkan warna

daging buah (Gambar 11). Ciri morfologi yang dianalisis dari data kualitatif dan

kuantitatif dapat memperlihatkan gambaran kedekatan individu salak Sidempuan.

Kedua kelompok data tersebut pada dasarnya memberikan kontribusi dalam

memahami variasi yang ada dalam kategori infraspesies (Biye 2013).

Dendrogram yang dihasilkan dari analisis data kualitatif memiliki kisaran

nilai koefisien kemiripan dari 0.55 hingga 1. Nilai koefisien 1 menunjukkan

individu yang identik karena paling banyak memiliki kesamaan dari ciri yang

dianalisis. Pada nilai koefisien 0.68 tanaman salak Sidempuan dapat

mengelompok dalam tiga cabang. Cabang I menyatukan seluruh salak Sidempuan

dengan warna daging buah putih, berjumlah 13 tanaman pada nilai koefisien

kemiripan 0.8. Cabang II menyatukan seluruh salak Sidempuan dengan warna

daging buah sebagian merah, berjumlah 16 tanaman pada nilai koefisien

kemiripan 0.8. Cabang III menyatukan seluruh salak Sidempuan dengan warna

daging buah merah, berjumlah 15 tanaman pada nilai koefisien kemiripan 0.7.

Salak Sidempuan dapat mengelompok ke dalam tiga cabang disebabkan oleh

adanya tiga ciri yang terkait dengan warna daging buah. Tiga ciri tersebut adalah

kerapatan indumentum pada 1 cm dari pangkal duri, warna duri berbeda pada dua

sisi, dan rasa buah. Pengelompokkan salak Sidempuan dengan warna daging buah

merah memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi dibandingkan dengan warna

daging buah sebagian merah dan putih.

Petani memperbanyak salak Sidempuan melalui biji sehingga buah yang

dihasilkan tidak seragam. Kultivar salak Sidempuan tidak dapat diakui jika buah

yang dihasilkan tidak seragam. Syarat penentuan kultivar tanaman adalah

menunjukkan ciri berbeda (Distinct), hasil yang seragam (Uniform) dan stabil

57

58

(Stable) yang disingkat DUS (PPVT 2006, Brickell et al. 2009). Untuk

mendapatkan hasil yang memenuhi syarat kultivar maka perbanyakan kultivar

salak Sidempuan harus dilakukan melalui tunas. Penggunaan bibit vegetatif juga

memiliki keuntungan lain yaitu dapat diketahui jenis kelamin tanaman dan sifat

unggul dari pohon induk (Kriswiyanti et al. 2008).

Gambar 11 Dendrogram ciri kualitatif terpilih dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah

4.3.6 Analisis kemiripan molekuler salak Sidempuan

Visualisasi data molekuler AFLP berupa elektrofenogram yang

menggambarkan fragmen DNA pada panjang basa tertentu. Fragmen DNA

dengan panjang basa tertentu pada elektrofenogram mewakili satu lokus yang

dianggap sebagai satu ciri. Penanda AFLP menggunakan kombinasi dua primer,

EcoRI-ACT dan MseI-CAT dan EcoRI-ACC dan MseI-CTT, telah menghasilkan

607 ciri molekuler yang bersifat polimorfik. Kombinasi kedua primer memiliki

fragmen pada panjang basa 38 hingga 628. Salah satu kelebihan dari metode

AFLP adalah mampu menghasilkan ciri polimorfik dalam jumlah banyak

(Lucchini 2003).

Kombinasi primer EcoRI-ACT dan MseI-CAT menghasilkan ciri sebanyak

296 (48.8 %), sedangkan kombinasi primer EcoRI-ACC dan MseI-CTT

menghasilkan ciri sebanyak 311 (51.2 %). Kombinasi primer EcoRI-ACC dan

MseI-CTT lebih efisien dibandingkan kombinasi primer EcoRI-ACT dan MseI-

CAT. Tanaman salak Sidempuan dengan warna daging buah putih yang berasal

Koefisien Kemiripan0.55 0.66 0.77 0.89 1.00

memerah29MW

merah27 merah28 merah36 merah39 merah42 merah47 merah48 merah51 merah53 merah57 merah60 merah61 merah35 merah64 merah63 merah69 memerah29 memerah32 memerah41 memerah46 memerah49 memerah70 memerah30 memerah33 memerah38 memerah54 memerah55 memerah56 memerah62 memerah65 memerah68 putih31 putih34 putih44 putih45 putih50 putih52 putih58 putih59 putih66 putih67 putih37 putih40 putih43

III

I

II

59

dari Batubujur, memiliki ciri paling banyak pada kedua kombinasi primer yaitu

263 (43.3 %) dibandingkan dengan 43 tanaman salak Sidempuan lainnya.

Analisis kemiripan molekuler 44 tanaman salak Sidempuan diperoleh dari

607 ciri polimorfik dalam bentuk dendrogram (Gambar 12). Dendrogram yang

dihasilkan memiliki nilai koefisien kemiripan dengan kisaran 0.56 hingga 0.90.

Nilai koefisien kemiripan yang hanya mencapai 0.90 menunjukkan bahwa tidak

ada tanaman yang benar-benar sama dari data molekuler yang dianalisis,

disebabkan nilai koefisien tidak mencapai 1.00. Kemiripan genetik di antara

tanaman salak Sidempuan tergolong tinggi karena nilai koefisien kemiripan

berkisar di atas 50 %.

Dua cabang utama memisah pada nilai koefisien kemiripan 0.56. Kedua

cabang menyatukan individu salak Sidempuan yang memiliki warna daging buah

merah, sebagian merah, dan putih. Tidak terdapat cabang dari dendrogram yang

menggabungkan individu salak Sidempuan berdasarkan warna daging buah

maupun lokasi pengambilan sampel salak. Analisis fenetik berdasarkan data

molekuler dan data morfologi pada kelompok ciri kualitatif tanaman salak

Sidempuan menunjukkan hasil yang mirip karena berada pada nilai koefisien

kemiripan 0.56 dan 0.55. Keduanya berbeda dengan hasil analisis fenetik data

kuantitatif yang berada pada nilai koefisien kemiripan 0.28. Nilai koefisien

kemiripan yang rendah pada data kuantitatif menunjukkan bahwa variasi ciri antar

individu sangat beraneka ragam dibandingkan variasi ciri pada data kualitatif dan

data molekuler.

Hasil analisis fenetik dari data morfologi maupun dari data molekuler yang

menunjukkan penggabungan individu dengan warna daging buah disebabkan oleh

penanaman salak Sidempuan di lokasi sampel berasal dari biji bukan anakan.

Perkembangbiakan melalui biji akan menghasilkan variasi secara genetik dan

morfologi karena penyerbukan tanaman salak merupakan penyerbukan silang.

Cara perkembangbiakan inilah yang menyebabkan hasil analisis data molekuler

pada salak Sidempuan menunjukkan keanekaragaman genetik yang lebih tinggi

dibandingkan dengan salak Jawa dan salak Bali. Proses penyerbukan silang pada

tanaman salak dibantu oleh serangga (Mogea 1978). Variasi morfologi yang

kontinyu merefleksikan adanya aliran gen yang sedang berlangsung secara terus

menerus sebagai hasil interaksi antara genetik dan lingkungannya (Biye 2013).

Perbedaan hasil analisis antara ciri morfologi dari data kualitatif dan data

molekuler pada salak Sidempuan adalah hal yang umum ditemukan pada tanaman

lainnya. Hasil yang sama juga ditemukan pada kajian tanaman sagu di Papua Niu

Guini. Analisis ciri genetik tidak berkorelasi dengan ciri morfologi (Kjær et al.

2004).

Dua kultivar salak Sidempuan, mengacu pada penamaan kultivar lokal yang

telah dikenal oleh masyarakat, ditemukan pada lima perkebunan salak milik

masyarakat yaitu ‘Sidempuan merah’ dan ‘Sidempuan putih’. Penamaan keduanya

didasarkan pada warna daging buah. Variasi warna daging buah tersebut

ditemukan secara acak pada kelima lokasi. Penyebaran kedua kultivar di lima

lokasi perkebunan salak disebabkan karena penanaman salak berasal dari biji

sehingga variasi yang muncul beraneka ragam termasuk warna daging buah.

Tidak ditemukan lokasi perkebunan salak yang didominasi oleh satu warna daging

buah. Pengenalan petani salak terhadap kedua kultivar terbatas, hanya dapat

diketahui jika kulit buah salak dibuka dan terlihat warna daging buahnya.

59

60

Pemerintah telah melepas tiga kultivar salak yaitu salak ‘Sidempuan merah’,

‘Sidempuan putih’, dan ‘Sibakua’. Kultivar ‘Sidempuan putih’ dan ‘Sidempuan

merah’ dilepas oleh pemerintah pada tahun 1999 memiliki ciri warna daging buah

yang sama pada deskripsinya yaitu putih semburat merah. Perbedaan kedua

kultivar hanya dibedakan pada ukuran panjang seludang bunga, kultivar

‘Sidempuan putih’ panjangnya 25-30 cm sedangkan pada ‘Sidempuan merah’

panjangnya 60 cm. Pemerintah juga telah melepas tahun 2002 kultivar ‘Sibakua’

dengan ciri warna daging buah merah (PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015).

Dari deskripsi masing-masing kultivar diketahui bahwa ketiganya berasal dari

Tapanuli Selatan.

Gambar 12 Dendrogram ciri molekuler dari 44 tanaman salak Sidempuan

(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah

Pada dasarnya pelepasan kultivar salak yang telah dilakukan oleh

pemerintah belum mengikuti acuan kultivar tanaman yang ditetapkan di dunia

internasional. Urutan tata nama yang berlaku secara internasional khususnya

International Code of Nomenclature for Cultivated Plants (ICNCP) nama kultivar

haruslah mencantumkan nama jenis tanaman terlebih dahulu diikuti oleh tanda

petik tunggal lalu nama kultivar yang dimulai dengan huruf capital (Brickell et al.

2009). Tata nama yang benar untuk kultivar ‘Sidempuan merah’ dan ‘Gula pasir’

seharusnya ditulis: S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. zalacca ‘Gula pasir’.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka konsep dan tatanama kultivar salak

‘Sidempuan putih’, ‘Sidempuan merah’, dan ‘Sibakua’ perlu diperbaiki.

Koefisien Kemiripan0.56 0.59 0.63 0.66 0.70 0.73 0.76 0.80 0.83 0.87 0.90

memerah29MW

merah27 merah28 merah42 merah36 memerah41 putih34 memerah30 putih37 memerah33 memerah32 putih40 putih52 memerah29 putih31 merah35 memerah38 merah39 putih43 merah47 putih44 memerah46 putih45 merah48 memerah49 putih50 merah51 merah53 putih66 memerah56 memerah54 merah63 memerah65 merah61 memerah62 merah64 putih67 memerah68 merah69 memerah70 memerah55 merah57 putih58 merah60 putih59

I

II

61

Berdasarkan ciri buah maka kultivar ‘Sidempuan putih’ dan ‘Sidempuan merah’

memiliki kesamaan pada seluruh ciri yang dideskripsikan. Buah salak Sidempuan

yang sesuai dengan warna daging buah pada masing-masing kultivar hanya dapat

diperoleh melalui perbanyakan dengan tunas atau anakan tetapi tidak melalui biji.

Perbanyakan dengan tunas akan menghasilkan buah yang sesuai dengan induknya

sedangkan perbanyakan dengan biji akan menghasilkan buah yang bervariasi.

Definisi kultivar mengacu pada deskriptor salak (PPVT 2006) dan ICNCP

(Brickell et al. 2009). Pada artikel 2.3 ICNCP, kultivar adalah tanaman yang telah

diseleksi untuk memperoleh ciri khusus atau kombinasi ciri tertentu yang ditandai

oleh keberbedaan, keseragaman, dan kestabilan cirinya, dan dapat diperbanyak

dengan cara yang tepat untuk mempertahankan ciri tersebut.

Pengembangan kultivar salak Sidempuan tidak hanya terbatas pada kultivar

yang telah dilepas yaitu salak ‘Sibakua’, salak ‘Sidempuan merah’, dan salak

‘Sidempuan putih’ yang kepemilikannya telah disahkan menjadi hak Bupati

Tapanuli Selatan (PPVT 2013), tetapi lebih luas dapat dihasilkan kultivar-kultivar

lainnya. Pengembangan kultivar salak Sidempuan di masa yang akan datang

sebaiknya didasarkan pada warna dan rasa daging buah sebagai ciri khasnya.

Pengenalan keanekaragaman salak seluruhnya berujung pada upaya

pengembangan kultivar salak unggul Indonesia. Pengembangan salak potensial di

Indonesia penting karena salak telah menjadi buah nasional. Berdasarkan data

hasil produksi salak Tahun 2013, lima daerah penghasil salak di Indonesia adalah

Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur (BPS

2014). Pengenalan kultivar salak potensial dibahas pada subbab berikut.

4.4 Pencarian Salak Potensial

Identifikasi salak potensial diamati pada lima jenis salak budi daya yaitu S.

affinis, S. glabrescens, S. sumatrana, S. wallichiana, dan S. zalacca. Lima jenis

tersebut adalah salak yang telah dibudidayakan sejak lama di Asia

Tenggara(Hambali et al. 1989, Polprasid dan Salakphetch 1989, Polprasid 1992).

Secara tradisional S. affinis dan S. glabrescens telah dimanfaatkan buahnya oleh

masyarakat di Indonesia (Heyne 1950) dan S. wallichiana adalah jenis salak

budidaya di Thailand (Polprasid 1992). Masing-masing jenis diwakili oleh

beberapa kultivar dengan jumlah individu: S. zalacca 26 individu, S. sumatrana

14 individu, S. affinis 12 individu, S. wallichiana 6 individu, dan S. glabrescens 3

individu. Total sampel berjumlah 61 tanaman dan diamati warna daging buah,

rasa buah, kadar gula dan kandungan tanin pada buah.

Lima jenis salak budi daya memperlihatkan variasi warna daging buah dan

rasa buah (Tabel 10). Gradasi warna daging buah salak adalah putih, kekuningan,

kuning jingga, jingga, kemerahan, dan merah. Variasi rasa buah berkisar dari

hambar, sedikit sepat, sepat, asam sepat, manis sepat, asam, asam manis, dan

manis. Warna, ketebalan daging buah, cita rasa manis yang ditunjukkan melalui

kadar gula, dan sedikit rasa sepat yang ditandai oleh kandungan tanin adalah

beberapa persyaratan mutu buah yang disukai konsumen (Santosa dan Hulopi

2011; Mogea 1990).

61

62

No Nama Jenis Nama

Kultivar

Asal

Koleksi

Kadar

Tanin

Kadar

Gula

(%)

Rasa Warna Daging

Buah

1. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 18 Manis Putih

2. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 17.4 Manis Putih

3. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 13.8 Manis Putih

4. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 16 Manis Putih

5. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 18 Manis Putih

6. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 17.6 Manis Putih

7. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 18.6 Manis Putih

8. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 16.9 Manis Putih

9. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 19.4 Asam manis Putih

10. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 19.1 Manis Putih

11. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 18.5 Manis Putih

12. S. zalacca Kate GG Hambali - 17.3 Asam sepat Kekuningan

13. S. zalacca Mawar GG Hambali +++++ 17.1 Asam manis Putih

14. S. zalacca Jawa lokal GG Hambali ++++ 20.6 Manis sepat Kekuningan

15. S. zalacca Bali GG Hambali ++ 18.8 Manis Kekuningan

16. S. zalacca Bali GG Hambali +++++ 15.9 Manis sepat Putih

17. S. zalacca Bali GG Hambali +++++ 20.3 Manis sepat Putih

18. S. zalacca Gading GG Hambali +++++ 15.5 Manis Putih

19. S. zalacca Kurang

Duri

GG Hambali ++ 15 Asam sepat Kekuningan

20. S. zalacca Batujajar GG Hambali ++++ 16.6 Manis Kekuningan

21. S. zalacca Gula pasir GG Hambali +++ 17.7 Manis Putih

22. S. zalacca Boni GG Hambali ++++ 17.7 Asam manis Sebagian merah

23. S. zalacca Kate GG Hambali +++ 17.3 Asam sepat Putih

24. S. zalacca Kate GG Hambali ++++ 16.3 Asam sepat Kekuningan

25. S. zalacca Mawar GG Hambali ++++ 19.3 Manis Putih

26. S. zalacca Madu GG Hambali ++++ 20.2 Manis Putih

27. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.3 Sedikit sepat Jingga

28. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.3 Sedikit sepat Jingga

29. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.4 Sedikit sepat Jingga

30. S. wallichiana Kuning Mekar Sari + 10.9 Hambar Jingga

31. S. wallichiana Kuning Mekar Sari + 12.6 Hambar Jingga

32. S. wallichiana Kuning Mekar Sari +++ 14.1 Hambar Jingga

33. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 19.9 Asam manis Kuning jingga

34. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 21 Asam manis Kuning jingga

35. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 23.2 Asam manis Kuning jingga

36. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 18.2 Asam sepat Jingga

37. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 17.3 Asam sepat Jingga

38. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 17.8 Asam sepat Jingga

39. S. affinis Merah Mekar Sari - 20.5 Asam manis Kekuningan

40. S. affinis Merah Mekar Sari - 20.4 Asam manis Kekuningan

41. S. affinis Merah Mekar Sari + 19.4 Asam manis Kekuningan

42. S. affinis Lonjong Mekar Sari - 22.8 Manis Kekuningan

43. S. affinis Lonjong Mekar Sari - 23.2 Manis Kekuningan

44. S. affinis Lonjong Mekar Sari + 24.5 Manis Kekuningan

45. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut ++++ 20.4 Manis sepat Merah

46. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut +++ 20.6 Asam sepat Sebagian merah

47. S. sumatrana Sidempuan

putih

Sumut +++++ 22.1 Manis sepat Putih

48. S. sumatrana Sidempuan

putih

Sumut ++++ 20.5 Manis sepat Putih

49. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut +++ 17.7 Manis sepat Sebagian merah

50. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut ++++ 18.2 Manis sepat Sebagian merah

51. S. sumatrana Sidempuan

putih

Sumut +++ 20.6 Manis sepat Putih

Tabel 10 Variasi kadar gula dan kandungan tanin buah pada lima jenis salak budi daya

63

Tabel 10 (Lanjutan)

No Nama Jenis Nama

Kultivar

Asal

Koleksi

Kadar

Tanin

Kadar

Gula

(%)

Rasa Warna Daging

Buah

52. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut +++++ 19.8 Manis sepat Sebagian merah

53. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut ++++ 19.4 Asam sepat Sebagian merah

54. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut ++++ 21.4 Asam sepat Sebagian merah

55. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut +++++ 21.3 Manis sepat Merah

56. S. sumatrana Sidempuan

merah

Sumut ++++ 19 Manis sepat Merah

57. S. sumatrana Sidempuan

merah

KRB ++ 16.7 Manis sepat Sebagian merah

58. S. sumatrana Sidempuan

hibrid

GG Hambali ++++ 17.7 Manis sepat Kekuningan

59. S. glabrescens Hitam GG Hambali ++++ 19.7 Asam Kekuningan

60 S. glabrescens Hitam GG Hambali ++++ 19.9 Asam Kekuningan

61 S. glabrescens Hitam GG Hambali + 20.4 Sepat Kekuningan

Keterangan: - = tidak ada kandungan tanin; + = kandungan tanin rendah;

++, +++ = kandungan tanin sedang; ++++, +++++ = kandungan tanin tinggi

Kadar gula dan kandungan tanin pada lima jenis salak budi daya bervariasi.

Dari 61 tanaman salak, kadar gula memiliki kisaran nilai 10.9 – 24.5 % sedangkan

kandungan tanin dari tidak ada (-) hingga paling tinggi (+++++). Kadar gula

paling tinggi dimiliki S. affinis kultivar ‘Lonjong’ (24.5 %) sedangkan kadar gula

paling rendah dimiliki S. wallichiana kultivar ‘Kuning’ (10.9 %). Kadar tanin

paling tinggi dimiliki S. zalacca kultivar ‘Pondoh’, ‘Mawar’, ‘Bali’, ‘Gading’ dan

S. sumatrana kultivar ‘Sidempuan merah’, ‘Sidempuan putih’ sedangkan yang

tidak mengandung tanin dimiliki S. zalacca kultivar ‘Kate’, dan S. affinis kultivar

‘Kehitaman’, Merah’, ‘Lonjong’. Kandungan tanin menyebabkan rasa sepat

(Farida et al., 2000) pada buah salak dan merupakan salah satu mekanisme

pertahanan diri terhadap serangan luar dari hewan atau manusia. Rasa tidak enak

yang disebabkan oleh kandungan tanin juga dimiliki oleh biji buah merah

(Sundari, 2010), jambu mete (Artati et al., 2007) dan buah mahkota dewa

(Widowati, 2005).

Rasa buah manis dimiliki oleh S. zalacca kultivar ‘Pondoh’, ‘Bali’,

‘Gading’, ‘Batujajar’, ‘Gula pasir’, ‘Mawar’, ‘Madu’, dan S. affinis kultivar

‘Lonjong’. Rasa buah pada S. zalacca memiliki variasi paling beragam

dibandingkan jenis budi daya lainnya, yaitu rasa manis, manis sepat, asam sepat,

dan asam manis. Keunggulan rasa buah dari S. zalacca khususnya pada kultivar

‘Pondoh’ yang manis dan intensitas aromanya yang sangat kuat diduga karena

adanya komponen kimia penyebab aroma yaitu asam karboksilat dan metil ester

(Wijaya et al. 2005). Aroma bunga masing-masing jenis salak berbeda.

Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Gregori Garnadi Hambali (2014) aroma

bunga yang tercium dari salak Sidempuan seperti mangga, salak Jawa seperti jahe,

sedangkan salak Bali seperti kamfer.

Pada salak Sidempuan yang telah matang, rasa manis tetap memiliki rasa

sepat. Rasa sepat yang dimiliki buah matang lebih sedikit bila dibandingkan

dengan buah yang masih muda. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan kadar

tanin dari buah yang muda ke buah matang pada salak Sidempuan. Pada S.

63

64

zalacca, kadar gula khususnya gula dan fruktosa, vitamin C, dan tanin pada buah

salak akan semakin menurun sesuai dengan kematangan buah (Supriyadi et al.

2002, Santosa dan Hulopi 2011). Kultivar ‘Pondoh’ dari 11 sampel yang diuji 10

sampel memiliki rasa manis pada buahnya namun data menunjukkan seluruh

sampel mengandung kadar tanin dengan kategori tinggi yaitu (+++) hingga

(+++++). Pada dasarnya buah salak yang memiliki kandungan tanin yang tinggi

ketika buah matang akan mengalami penurunan kandungan taninnya sehingga

rasanya akan tetap enak. Penurunan kadar tanin secara alami pada buah salak

dapat dilakukan melalui penyilangan dengan salak yang memiliki kadar tanin

rendah. Hal ini telah berhasil dilakukan pada persilangan kultivar ‘Bali’ dan

‘Pondoh’ (Purnomo dan Dzanuri 1996). Penurunan kadar tanin secara kimiawi

pada buah salak dapat dilakukan dengan menggunakan ethanol baik berupa

larutan maupun uap (Utama et al. 2014). Demikian juga dengan rasa asam pada S.

affinis, dapat dikurangi bahkan dihilangkan melalui cara penyilangan dengan S.

zalacca. Penyilangan kedua jenis tersebut telah berhasil dilakukan di Taman Buah

Mekar Sari dan menghasilkan beberapa hibrid yang memiliki rasa yang manis.

Warna daging buah S. sumatrana memiliki gradasi kisaran paling luas

dibandingkan jenis budi daya lainnya, yaitu warna putih, kekuningan, sebagian

merah, dan merah. Hubungan antara ciri kadar gula, kandungan tanin, rasa buah,

dan warna daging buah dianalisis menggunakan Uji Kendall (Tabel 11). Warna

daging buah dan rasa merupakan sifat dominan pada salak (Sudjijo 2009).

Kadar Gula Kandungan

Tanin

Rasa Buah Warna

Daging Buah

Kadar Gula -0.061 0.213 -0.242*

Kandungan Tanin 0.021 0.041

Rasa Buah -0.456**

Angka di atas diagonal menunjukkan Koefisien Korelasi Kendall

* Peluang dengan taraf uji 95 %; ** Peluang dengan taraf uji 99 %

Masyarakat Sumatra Utara menyebutkan bahwa salak Sidempuan dengan

warna daging buah merah dan sebagian merah memiliki rasa asam sedangkan

warna daging buah putih memiliki rasa manis. Pernyataan tersebut ternyata tidak

benar karena pada kenyataannya salak Sidempuan dengan warna daging buah

sebagian merah dan merah juga memiliki rasa manis sebagaimana ditemukan pada

warna daging buah putih. Koefisien korelasi Kendall menunjukkan angka yang

tinggi (-0.456) antara rasa dan warna daging buah. Ada hubungan yang bersifat

negatif antara warna daging buah dan rasa buah, yang ditunjukkan oleh nilai

peluang sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99 % (< 0.001). Semakin menuju

merah warna daging buah salak maka rasa semakin hambar kebalikannya semakin

menuju putih warna daging buah salak maka rasa semakin manis. Buah salak yang

memiliki rasa manis memiliki kandungan senyawa bioaktif dan antioksidan tinggi

(Leontowicz et al. 2006).

Hubungan yang bersifat negatif juga terdapat antara kadar gula dan warna

daging buah. Koefisien korelasi Kendall menunjukkan angka yang tinggi (-0.242)

antara kadar gula dan warna daging buah dengan peluang nyata pada tingkat

kepercayaan 95 %. Semakin menuju merah warna daging buah salak maka kadar

Tabel 11 Nilai korelasi antara empat ciri terpilih pada buah salak budi daya

65

gula semakin rendah kebalikannya semakin menuju putih warna daging buah

salak maka tinggi kadar gulanya.

Salacca affinis ‘Lonjong’ memiliki semua sifat ideal dari ciri buah salak

yang dianalisis yaitu kadar gula tinggi hingga 24.5 %, kandungan tanin sedikit

sekali bahkan tidak ada, warna daging buah kekuningan, dan rasa buah manis.

Kelebihan lain pada kultivar ini adalah sisik kulit buah yang tidak berduri, warna

kulit buah jingga, dan tekstur daging buah yang sangat lembut karena kandungan

airnya tinggi. Namun sifat terakhir memiliki kendala yaitu masa penyimpanan

yang singkat karena kadar air yang tinggi akan menyebabkan buah cepat

mengalami pembusukan. Kultivar ini merupakan hasil seleksi dari induk liarnya

sehingga rasa asam yang berasal dari ciri induk liarnya berubah menjadi manis,

sedangkan tekstur daging buah dan sisik pada kulit buah yang tidak berduri tetap

sama dengan ciri pada induk liarnya.

Warna daging buah yang menarik dimiliki oleh S. sumatrana ‘Sidempuan

merah’ yaitu merah sebagai warna daging buah yang paling cerah. Secara

perawakan S. zalacca ‘Kate’ memiliki bentuk yang unik karena sangat pendek,

kurang dari 75 cm. Kultivar ini tidak hanya sebagai tanaman salak yang buahnya

dapat dimakan tetapi juga memiliki peluang sebagai tanaman hias yang dapat

ditanam dalam pot. Salacca zalacca ‘ Batujajar’ adalah salah satu salak potensial

karena memiliki sedikit duri pada pelepah dan tangkai daun. Kultivar ini juga

memiliki rasa manis dengan tekstur daging buah yang kering (karena mengandung

sedikit air) sehingga masa penyimpanannya dapat bertahan lama.

Puluhan kultivar lokal salak Bali dan salak Jawa masih mungkin untuk

diusulkan pelepasannya kepada pemerintah dengan ciri DUS (distinct, uniform,

stable) sebagai kultivar baru. Rancangan pemuliaan dapat dilakukan pada salak

Bali yang memiliki karakteristik buah besar, daging buah tebal, namun rasanya

manis agak sepat dengan salak Jawa yang memiliki rasa manis namun daging

buah tipis. Persilangan keduanya diharapkan memunculkan kultivar baru yang

memiliki buah salak yang rasanya manis dan daging buah tebal. Konsumen

umumnya menyukai buah salak yang berdaging tebal, cita rasa manis,

sedikit/tidak ada rasa sepat, harum, dan daya simpannya lama. Kultivar salak saat

ini belum memenuhi semua kriteria yang diinginkan konsumen. Kultivar ‘Pondoh’

memiliki rasa buah manis dan tidak sepat tetapi daging buahnya tipis. Salak

‘Sidempuan’, salak ‘Suwaru’, dan salak ‘Bali’, buahnya berukuran besar,

dagingnya tebal, tetapi rasanya manis agak sepat, terutama bila buah dipetik saat

matangnya belum optimal. Terkait dengan ciri buah salak yang ideal, perlu dirakit

kultivar salak yang buahnya manis, tidak sepat walaupun masih muda, dan

berdaging tebal (Rizky et al. 2012).

Penyilangkan S. zalacca dengan S. sumatrana untuk mendapatkan salak

unggul yang memiliki rasa manis dengan daging buah tebal telah berhasil

dilakukan GG Hambali. Hasil nyata telah ditidaklanjuti oleh peneliti BPTP Riau

melalui pelepasan kultivar ‘Sari Kampar’ (Ditbenih Hortikultura 2015). Demikian

juga persilangan S. affinis dan S. zalacca telah menghasilkan salak dengan rasa

buah yang enak dengan warna yang cerah (jingga). Kemampuan bersilang antar

jenis salak adalah peluang mengembangkan berbagai kultivar salak di Indonesia

sebagai salah satu pusat kenekaragaman salak dunia.

Pengembangan tanaman salak telah dilakukan oleh peneliti namun

masyarakat selama ini juga telah ikut melakukannya. Penemuan kultivar lokal

65

66

oleh masyarakat maupun peneliti harus didorong untuk dapat ditetapkan sebagai

kultivar yang mengikuti acuan nama secara internasional. Peluang penemuan

kultivar salak unggul di masa mendatang sangat besar didukung oleh sumber

plasma nutfah salak yang terbanyak ada di wilayah Indonesia. Budi daya salak

perlu terus dikembangkan di masa yang akan datang secara lebih luas karena

tanaman ini sangat banyak kegunaannya. Pengembangan nilai ekonomi tanaman

salak perlu ditingkatkan dari berbagai manfaat pada organ tanamannya.

67

5 KESIMPULAN

5.1 Simpulan

Jumlah salak (Salacca) yang ada di dunia saat ini adalah 23 jenis, tersebar

dari Burma hingga Jawa. Marga Salacca terbagi ke dalam dua seksi. Seksi

Leiosalacca terdiri atas dua jenis yaitu S. affinis dan S. ramosiana. Seksi Salacca

terdiri atas 21 jenis, yaitu S. acehensis, S. bakeriana, S. clemensiana, S.

dolicholepis, S. dransfieldiana, S. flabellata, S. glabrescens, S. graciliflora, S.

griffithii, S. lophospatha, S. magnifica, S. minuta, S. multiflora, S. rupicola, S.

sarawakensis, S. secunda, S. stolonifera, S. sumatrana, S. vermicularis, S.

wallichiana, dan S. zalacca. Salacca acehensis adalah jenis baru yang ditemukan

di Sumatra, khususnya Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dalam penelitian ini.

Borneo memiliki 11 jenis salak dan merupakan pusat keanekaragaman salak

dunia. Jenis yang paling kecil perawakannya adalah S. zalacca dan yang paling

besar perawakannya adalah S. wallichiana.

Salacca zalacca adalah jenis yang paling luas sebarannya dan pusat

keanekaragamannya terdapat di Jawa. Jenis ini terdiri atas dua varietas yaitu S.

zalacca var. zalacca dan S. zalacca var. amboinensis. Beberapa ciri morfologi

pada perawakan, duri, bunga, dan biji menunjukkan bahwa salak Bali berbeda

dengan salak Jawa. Secara molekuler salak Bali memberikan indikasi pemisahan

dengan salak Jawa melalui penanda AFLP.

Salacca sumatrana memiliki banyak variasi ciri morfologi. Ciri perawakan

dan duri yang paling besar serta daging buah berwarna merah adalah ciri khas

yang ada pada S. sumatrana. Ciri dan sifat ciri yang terdapat pada S. sumatrana

menunjukkan adanya kontinuitas ciri. Ciri paling bervariasi ditemukan pada duri

karena paling banyak ciri yang dapat diperbandingkan antara individu salak

Sidempuan. Ciri yang paling menonjol dari salak Sidempuan terdapat pada warna

daging buah. Hanya ada tiga ciri morfologi yang terkait dengan warna daging

buah salak Sidempuan yaitu kerapatan indumentum pada 1 cm dari pangkal duri,

warna duri berbeda pada dua sisi, dan rasa buah. Variasi warna daging buah salak

Sidempuan adalah putih, sebagian merah, dan merah. Pengembangan kultivar

salak Sidempuan yaitu S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. sumatrana

‘ Sidempuan putih’ hanya dapat dilakukan melalui anakan bukan melalui biji.

Penanda AFLP mampu menghasilkan banyak data fragmen yang bersifat

polimorfik pada S. sumatrana dan S. zalacca. Kombinasi primer EcoRI- ACC dan

Mse1-CTT lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan

Mse1-CAT. Analisis fenetik data molekuler S. sumatrana dan S. zalacca

menggambarkan tingkat kemiripan yang tinggi antara individu salak.

Identifikasi salak potensial menunjukkan bahwa Salacca affinis ‘Lonjong’

memiliki ciri yang ideal. Kultivar ini adalah hasil seleksi dari induk liarnya,

memiliki ciri kadar gula tinggi, kandungan tanin rendah, rasa manis, warna daging

buah kekuningan, warna kulit buah jingga, dan tekstur daging buah lembut karena

kandungan airnya tinggi. Kultivar salak dapat dijamin keseragaman, keunikan dan

kestabilan cirinya melalui perbanyakan dengan anakan bukan melalui biji.

Pengembangan kultivar baru salak Indonesia sangat besar peluangnya di masa

68

yang akan datang yang dapat disesuaikan dengan pasar nasional maupun

internasional.

5.2 Saran

Secara umum diketahui bahwa terjadi penyerbukan silang pada salak,

namun belum diketahui berapa persentase persilangan tersebut. Oleh karena itu

perlu dilakukan pengamatan pada perbungaan salak untuk mengetahui persentase

persilangannya. Pengamatan perbungaan pada salak Bali juga perlu dilakukan

untuk membuktikan apakah terjadi penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri

pada bunga salak Bali.

Penanda AFLP dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan Mse1-CAT, dan

kombinasi primer EcoRI- ACC dan Mse1-CTT mampu menghasilkan data

polimorfik pada salak namun keduanya belum mampu menunjukkan pemisahan

yang jelas antara salak Jawa dan salak Bali. Pemisahan secara molekuler

keduanya mungkin dapat diperjelas melalui rancangan kombinasi primer AFLP

yang terpaut dengan tanaman salak.

69

DAFTAR PUSTAKA

Andersen JR, Lübberstedt T. 2003. Functional markers in plants. Pl. Science

8(11): 554-560.

Artati, Kriswiyanti E, Fadilah. 2007. Pengaruh kecepatan putar pengadukan dan

suhu operasi pada ekstraksi tanin dari jambu mete dengan pelarut aseton.

Ekuilibrium 6(1): 33-38.

Backer CA, Bakhuizen van den Brink RC Jr. 1968. Flora of Java III. Netherlands

(NL): Wolter Noordhoff NV Groningen.

Beccari O. 1886. Palme Asiatiche. Malesia 3: 66.

Beccari O. 1909. Notes on Philippine Palms II. Philipp. J. Science C 4: 618.

Beccari O. 1918. Asiatic palms — Lepidocaryeae. Part III. Annals of the Royal

Botanic Garden 12(2). Calcutta (IN): The Bengal Secretariat Book Depot.

Biye EH. 2013. Sustaining Gnetum L. (Gnetaceae) in Africa through improved

taxonomy and domestication [Internet]. [Diacu 2 Maret 2014]. Tersedia dari:

http: //wiredspace. wits.ac.za/ bitstream/handle/10539/13690/Biye_ Thesis.pdf.

[BPS]. 2014. Produksi buah-buahan menurut provinsi, 2013 [Internet]. [Diacu 28

Maret 2014].Tersedia dari: www.bps.go.id.

Brickell CD, Alexander C, David JC, Hetterscheid WLA, Leslie AC, Malecot V,

Xiaobai Jin, (Editorial Committee). 2009. International Code of Nomenclature

for Cultivated Plants. Eight Edition. Belgium (BE): ISHS (International

Society for Horticultural Science).

Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Product of Malay Peninsula. Vol.

II. London (GB): Millbank.

Burret. 1942. Neue Palmen aus der Gruppe der Lepidocaryoideae. Notizbl. Bot.

Gart. Mus. Berlin-Dahlem 15: 728-755.

Cabrita LF, Aksoy, Hepaksoy, Eitao JL. 2001. Suitability of isozyme, RAPD and

AFLP markers to assess genetic differences and relatedness among Fig (Ficus

carica L.) clones. Hort. Science (87): 261-273.

Cai Q, Aitken KS, Fan YH, Piperidis G, Jackson P, McIntyre CA. 2005. A

preliminary assessment of the genetic relationship between Erianthus rockii

and the Saccharum complex using microsatellite (SSR) and AFLP markers. Pl.

Science (169): 976-984.

Cao BR, Chao CCT. 2002. Identification of date cultivars in California using

AFLP markers. Hort. Science 37(6): 966-968.

Chikmawati T, Scovmand B, Gustafson JP. 2005. Phylogenetic relationships

among Secale species revealed by amplified fragment length polymorphisms.

Genome (48): 792-801.

Darmadi AAK, Hartana A, Mogea JP. 2002. Catatan penelitian perbungaan salak

Bali. Hayati 9(2) : 59 - 61.

Damayanti CS. 2007. Peranan studi genetik dalam kegiatan konservasi [Internet].

[Diacu 11 Oktober 2014]. Tersedia dari: http: //vetopia. wordpress.com /2007

/11/02/ peranan-studi-genetik-dalam-kegiatan-konservasi/.

[Ditbenih Hortikultura]. 2015. Database varietas terdaftar hortikultura [Internet].

[Diacu 2 Februari 2015]. Tersedia dari: http://varitas.net/dbvarietas/.

Dewi KP. 2008. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Berdasarkan Karakter Bunga dan DNA Menggunakan Teknik Amplified

70

Fragment Length Polymorphism (AFLP). [Thesis]. Bogor (ID): Program

Pascasarjana IPB.

Dransfield J. 1980. A new species of Salacca Reinn. from the limestone of

Gunung Mulu National Park. In Notulae et Nuvitates Muluenses. Bot. J. Linn.

Soc. 81: 1-46.

Dransfield J, Mogea JP. 1981. A reassessment of the genus Lophospatha Burret.

Principes 25: 178-180.

Dransfield J, Uhl NW, Asmussen CB, Baker WJ, Harley MM, Lewis CE. 2008.

Genera Palmarum. The Evolution and Clasification of Palms. Kew (GB):

Royal Botanical Garden.

Dransfield J. 2009. A new species of Salacca from Sarawak. Palms (53): 167–170.

Farida WR, Praptiwi, Semiadi W. 2000. Tanin dan Pengaruhnya pada Ternak. J.

Pet. dan Lingk. (6): 66-71.

Fitmawati. 2008. Biosistematika Mangga Indonesia. [Disertasi]. Bogor (ID):

Program Pascasarjana IPB.

Furtado CX. 1949. Palmae Malesicae-X. The Malayan species of Salacca. Gard.

Bull. Sing. 12: 378-403.

Gari NM. 2011. Multivariate analysis of bali salak cultivars (Salacca zalacca var.

amboinensis (Becc.) Mogea) based on leaf micromorphological characters. J.

Biologi XV (1): 15-18.

Goloboff PA, Mattoni CI, Quinteros AS. 2006. Continuous characters analyzed

as such. Cladistics 22(6): 589-601.

Govaerts R, Dransfield J, Zona, SF, Hodel DR, Henderson A. 2013. World

checklist of Arecaceae [internet]. [Diacu 4 Juni 2013]. Tersedia dari:

http://apps.kew.org/wcsp/.

Griffith W. 1845. The palms of British East India. Calc. J. Nat. His. and Misc. of

the arts and sciences in India (5): 1–103.

Hadiati S, Susiloadi A, Budiyanti T. 2008. Hasil persilangan dan pertumbuhan

beberapa genotipe salak. Bul. Plasma Nutfah 14(1): 26-32.

Hadiati S, Susiloadi A, Budiyanti T. 2012. Pertumbuhan populasi pemuliaan salak

di Kabupaten Kampar. Agrin 16(1): 58-65.

Hambali GG, Mogea JP, Yatazawa M. 1989. Salacca germplasm for potential

economic use. Proceedings of the first PROSEA International Symposium.

Wageningen (NL): Pudoc Wageningen.

Harahap HMY, Bayu ES, Siregar LAM. 2013. Identifikasi karakter morfologis

salak Sumatera Utara (Salacca sumatrana Becc.) di beberapa daerah

Kabupaten Tapanuli Selatan. Agroekoteknologi 1(3) 833-841.

Haris JG, Haris MW. 2013. Plant Identification Terminology. An Illustration

Glossary. Utah (US): Spring Like Publishing.

Harsono T. 1994. Salak dan keanekaragamannya [Studi Pustaka]. Pertemuan

plasma nutfah di Ula Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi

Perkebunan Bogor, Tanggal 30 Maret 1994. Bogor (ID).

Harsono T, Hartana A. 2003. Biosistematika kultivar salak di Bangkalan Madura.

Floribunda 2(4): 89 – 116.

Henderson AJ. 2006. Traditional morphometrics in plant systematics and its role

in palm systematic. Bot. J. Linn. Soc. (151): 103-111.

Henderson AJ. 2008. A new species of Salacca (Palmae) from Southeast Asia.

Bull. Mak. Bot. Garden (7): 87-92.

71

Hendri Z, Arianingrum R. 2010. Penerapan teknologi pemanfaatan kulit salak

untuk bahan produk seni kerajinan. J. Pen. Saintek 15(2): 35-47.

Hendri Z. 2012. Penerapan teknologi pemanfaatan kulit salak pada produk

keramik guna peningkatan usaha kerajinan keramik di kecamatan Jetis,

kabupaten Bantul [internet]. [Diacu 4 Juni 2013]. Tersedia dari:

http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/3816.

Heyne K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesië. Vol. I. Bandung (ID): van

Hoeve.

Hodel DR. 1997. New species of palms from Thailand. Palm J. 134: 28-37.

Hooker JD. 1894. Flora of British India. Vol. VI. London (GB): L Reeve & Co.

Hutauruk D. 1999. Pembentukan Biji Salak Bali (Salacca zalacca var.

amboinensis). [Thesis]. Bogor (ID): Program pascasarjana IPB.

Ihaka R, Gentleman R. 1996. R: A language for data analysis and graphics. J.

Comp. Graph. Statistics 5: 299-314.

Jenimar. 1995. Analisis keragaman morfologi, anatomi, dan sitogenetika salak

padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.) [Studi Pustaka]. Seminar

Bioteknologi dan pelatihan DNA di Medan, Tanggal 21-26 Agustus 1995.

Bogor (ID).

Kaidah S. 1999. Analisis Keragaman Genetik Tanaman Salak (Salacca sp.)

Indonesia dengan Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).

[Thesis]. Bogor (ID): Program pascasarjana IPB.

Kimsri C. 1997. Studies on floral biology, pollination and fruit seed of "Nern

Wong Salak" (Salacca sp). Agris Record no.2000001856. Thailand (TH): Univ

Bangkok.

Kjær A, Barfod AS, Asmussen CB, Seberg O. 2004. Investigation of genetic and

morphological variation in the sago palm (Metroxylon sagu; Arecaceae) in

Papua New Guinea. Ann. Botany (94): 109-117.

Kriswiyanti E, Muksin IK, Watiniasih L, Suartini M. 2008. Pola reproduksi pada

salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis (Becc.) Mogea). J. Biologi 11(2):

78 - 82.

Leontowicz H, Leontowicz M, Drzewiecki J, Haruenkit R, Poovarodom S, Seo

Park Y, Teck Jung S, Gook Kang S, Trakhtenberg S, Gorinstein S. 2006.

Bioactive properties of Snake fruit (Salacca edulis Reinw) and Mangosteen

(Garcinia mangostana) and their influence on plasmalipid profile and

antioxidant activity in rats fed cholesterol. Eur. Food Res. Technol. (223): 697–

703.

Lucchini V. 2003. AFLP: a useful tool for biodiversity conservation and

management. C. R. Biologies (326): S43–S48.

Martius C. 1838. Historia Naturalis Palmarum 3. Part 7.Ed. 1. Leipzig (DE).

Matthes M, Singh R, Cheah SC, Karp A. 2001. Variation in oil palm (Elaeis

guineensis Jacq.) tissue culture-derived regenerants revealed by AFLPs with

methylation-sensitive enzymes. Theo. App. Genetics (102): 971-979.

Mogea JP. 1973. Beberapa Aspek Fenologi Salacca edulis Reinwardt. [Thesis

Sarjana Biologi]. Bandung (ID): ITB.

Mogea JP. 1978. Pollination in Salacca edulis. Principes 22(2): 56-63.

Mogea JP. 1980. The flabellate-leaved species of Salacca (Palmae). Reinwardtia

9(4): 461-479.

71

72

Mogea JP. 1982. Salacca zalacca, the correct name for salak palm. Principes

26(2): 70-72.

Mogea JP. 1984. Three new species of Salacca (Palmae) from the Malay

Peninsula. Fed. Mus. J. (KualaLumpur) 29: 1–19.

Mogea JP. 1986. A new species in genus Salacca. Principes 3(4): 161-164.

Mogea JP. 1990. The salak palm species in Indonesia. Voice of Nat. (85):42-62.

Mueller UG, Wolfenbarger LL. 1999. AFLP genotyping and fingerprinting. Eco.

Evol. (14): 389-394.

Nandariyah, Soemartono, Artama WT, Taryono. 2004. Keragaman kultivar salak

(Salacca zalacca (Gaertner). Agrosains 6(2): 75-79.

Nazaruddin, Kristiawati R. 1996. 18 Varietas Salak. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Parjanto, Moeljopawiro S, Artama WT, Purwanto A. 2003. Kariotip kromosom

salak. Zuriat 14(2): 21-28.

Polprasid P, Salakphetch S. 1989. Improvement of Salacca spp. In Thailand.

Proceedings of the first PROSEA International Symposium. Wageningen (NL):

Pudoc Wageningen.

Polprasid P. 1992. Salacca wallichiana C. Martius. Plants Resources of South

East Asia Edible Fruit and Nuts. PROSEA. Bogor Indonesia (2): 278–281.

[PPVT]. 2006. Panduan Pengujian Individual Tanaman Salak. Jakarta (ID):

Deptan RI.

[PPVT]. 2013. Daftar Pendaftaran Varietas Lokal Tahun 2005-2012 [Internet].

[Diacu 23 Februari 2014]. Tersedia dari: http://ppvt. setjen. pertanian. go.id

/ppvtpp/hasil-pencarian.html.

Purnomo S, Dzanuri. 1996. Analisis heterosis dan teknik produksi benih hibrida

F1 persilangan antar varietas salak Bali dengan salak Pondoh. J. Hort. 6(3):

233-241.

Radford AE. 1986. Fundamentals of Plants Systematics. New york (US): Harper

and Row Publishers Inc.

Reinwardt CGC. 1825. Novae plantarum species in horto botanico Bonnensi

cultae. In C F Hornschuch, Sylloge Plantarum Novarum Itemque Minus

Cognitarum a Praestantissimis Botanicis adhuc Viventibus Collecta et a

Societate Regia Botanica Ratisbonensi Edita. Vol. 2. Regensburg (DE):

Societate Regia Botanica.

Rifai MA. 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Nasional.

Mimeograf. Bogor [ID]: LIPI.

Rizky AA, Indallah AM, Dwi FP, Sholikah A. 2012. Hibridisasi salak pondoh dan

salak bali. [Studi Pustaka] Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Silang. Malang

(ID): Unbraw.

Rohlf FJ. 1998. NTSys-pc. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis

System.Versi 2.02. New York (US): Exerter Software.

Rustiami H. 2009. Konsep jenis palem: sebuah pengantar. Berita Biologi 9(5):

459-463.

Rustiami H, Mogea JP, Tjitrosoedirdjo SS. 2011. Revision of the rattan genus

Daemonorops (Palmae: Calamaoideae) in Sulawesi using a phenetic analysis

approach. Gard. Bull. Singapore 63(1 dan 2): 17-30.

73

Santosa B, Hulopi F. 2011. Penentuan masak fisiologis dan pelapisan lilin sebagai

upaya menghambat kerusakan buah salak kultivar gading selama penyimpanan

pada suhu ruang. J. Tek. Pertanian 12(1): 40-48.

Sarkar SK. 1970. Palmales. Research Bull. Univ. of Calcutta, Dept of Botany,

Cytogenetics Lab. 2:22-23.

Sax I, Lewis RJ. 1989. Condensed Chemical Dictionary. 11th

Ed. New York (US):

Van Nostrand Reinhold Company.

Schuiling DL, Mogea JP. 1992. Salacca zalacca (Gaerner) Voss. Plants Resources

of South East Asia Edible Fruit and Nuts. PROSEA 2: 281 – 284.

Semagn K, Bjørnstad Å, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular

marker methods for plants. Afr. J. Biotechnology 5(25): 2540-2568.

Sokal RR, Crovello TJ. 1970. The biological species concept: A critical

evaluation. Am. Nature (104): 107 – 123.

Stuessy TF, Funk VA. 2013. New trends in plant systematics-introduction. Taxon

62(5): 873-875.

Sudjijo. 2009. Karakterisasi dan evaluasi 10 individu salak di Sijunjung Sumatra

Barat. B. Plasma Nutfah 15(2): 75-79.

Sundari I. 2010. Identifikasi senyawa dalam ekstrak etanol biji buah merah

(Pandanus conoideus Lamk.). [Skripsi]. Surakarta (ID): FMIPA Universitas

Sebelas Maret.

Supriyadi, Suhardi, Suzuki M, Yoshida K, Muto T, Fujita A, Watanabe N. 2002.

Changes in the volatile compounds and in the chemical and physical properties

of snake fruit (Salacca edulis Reinw.) cv Pondoh during maturation. J. Agric.

Food Chem. (50): 7627-7633.

Surtiningsih P. 2008. Keragaman Genetik Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.)

Berdasarkan Penanda Morfologi dan Amplified Fragment Length

Polymorphism (AFLP). [Thesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB.

Suskendriyati H, Wijayati A, Nur Hidayah, Cahyuningdari D. 2000. Studi

morfologi dan hubungan kekerabatan varietas salak Pondoh (Salacca zalacca

(Gaert.) Voss) di dataran tinggi Sleman. Biodiversitas1(2): 59-64.

Suter IK. 1988. Telaah Sifat Buah Salak Bali sebagai Dasar Pembinaan Mutu

Buah. [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB.

Trout Cl, Ristaino JB, Madritch M, Wangsomboonde T. 1997. Rapid detection of

Phytophthora infestans in late blight potatoes and tomatoes using PCR. Plant

Dis. (81): 1042-1048.

Uhl NW, Dransfield J. 1987. Genera Palmarum.A Classification of Palms.

Kansas (US): Allen Press.

Utama IMS, Gunadnya IBP, Wrasiati LP. 2014. Pengaruh ethanol terhadap

kesepatan buah salak [Internet]. [Diacu 28 Maret 2014]. Tersedia dari:

www.ikatepayana.org/wp-content/uploads/.../ethanol-salak-suparta.pdf.

Vogel EF de. 1987. Guideline for the preparation of revision. Di dalam Vogel EF

de, Edisi 9.Manual Herbarium Theory and Practice. Jakarta (ID): UNESCO.

Voss A. 1895. Vilmorin's Blumengärtnerei Beschreibung, Kultur und Verwendung

des Gesamten Pflanzenmaterials fur Deutsche Garten. Dritte, neubearbeite

Auflage. Part 1. Berlin (BJ).

Whitmore TC. 1973. Palms of Malaya. London (GB): Oxford University Press.

Widowati L. 2005. Kajian hasil penelitian mahkota dewa. J. Bah. Alam Indonesia

4(1): 223-227.

73

74

Wijaya CH, Ulrich D, Lestari R, Schippel K, Ebert G. 2005. Identification of

potent odorants in different cultivars of snake fruit [Salacca zalacca

(Gaert.)Voss] using gas chromatography-olfactometry. J. Agri. Food Chem.

(53):1637-1641.

Wilson MA, Gaut B, Clegg MT. 1990. Chloroplast DNA evolves slowly in the

palm family (Arecaceae). Mol. Biol. Evol. 7(4):303-314.

Zaimudin A. 2002. Pengaruh Penyerbukan dan Varietas Sumber Serbuk Sari

Terhadap Produksi Buah dan Viabilitas Benih Salak Bali. [Skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Zumaidar. 2011. Melacak jejak evolusi anak suku Calamoideae. Rampak

Serantau (18): 313-322.

Zumaidar, Chikmawati T, Hartana A, Sobir, Mogea JP, Borchsenius F. 2014.

Salacca acehensis (Arecaceae), a new species from Sumatra, Indonesia.

Phytotaxa 159(4): 287-290.

Zumaidar, Chikmawati T, Hartana A, Sobir. 2015. Keanekaragaman genetik

Salacca zalacca berdasarkan penanda AFLP. Floribunda 5(2): 60-70.

91

RIWAYAT HIDUP

Zumaidar dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 29 Januari 1972,

merupakan putri pertama dari empat bersaudara, pasangan M. Yusuf dan Zuriah.

Pada tanggal 10 November 1995 menikah dengan Drs Yusri Zulkifli, MH dan

dikaruniai tiga orang anak yaitu Khalilurrahman yang lahir pada tanggal 27

September 1996, Ahmad Fathin yang lahir pada tanggal 16 Mei 2002, dan Hilma

Shabirah yang lahir pada tanggal 23 Juni 2005. Sejak tahun 1997 menjadi staf

pengajar di Jurusan Biologi FMIPA UNSYIAH, dengan alamat Jl. Syech

Abdurrauf No.3 Darussalam Banda Aceh. Pendidikan S1 diterima di Jurusan

Biologi FMIPA UNSYIAH tahun 1990 dan lulus tahun 1995, pernah

mendapatkan beasiswa Supersemar tahun 1992, Pertamina tahun 1993, dan

Tunjangan Ikatan Dinas tahun 1994. Pendidikan S2 diterima di Jurusan Biologi

FMIPA IPB tahun 1998 melalui dana Dikti dan lulus tahun 2001. Pendidikan S3

diterima di Jurusan Biologi Program Studi Biologi Tumbuhan IPB tahun 2010

melalui beasiswa BPPS Dikti. Selama menempuh studi Program Doktor pernah

mendapatkan dana lainnya dari Dikti berupa Program Sandwich tahun 2012,

Penelitian Fundamental tahun 2013, dan Penelitian Disertasi Doktor 2014.

Publikasi yang dihasilkan selama menempuh studi Program Doktor adalah:

Melacak Jejak Evolusi Anak Suku Calamoideae (2011), Rampak Serantau 18

ISSN: 0853-8484; Klasifikasi Tradisional Buah-buahan di Aceh (2012), Widya

28:313; Salacca acehensis (Arecaceae), A New Species From Sumatra, Indonesia

(2014), Phytotaxa 159(4): 287-290; dan Keanekaragaman Genetik Salacca

zalacca Berdasarkan Penanda AFLP (2015), Floribunda 5(1).