Manasik Haji dan Umrah dan Beberapa Kesalahan yang Dilakukan Sebagian Jamaah
BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA Salacca (Arecaceae)
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA Salacca (Arecaceae)
BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA
Salacca (Arecaceae)
ZUMAIDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Beberapa Gatra
Biosistematika Salacca (Arecaceae) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Zumaidar
NIM G363100021
RINGKASAN
ZUMAIDAR. Beberapa Gatra Biosistematika Salacca (Arecaceae). Dibimbing
oleh TATIK CHIKMAWATI, ALEX HARTANA, MIEN A RIFAI, dan SOBIR.
Salak adalah tumbuhan asli daerah tropis yang tergolong ke dalam marga
Salacca. Marga ini tersebar di Burma, Indocina, Thailand, Semenanjung Malaya,
Sumatra, Borneo, Philipina, dan Jawa. Berdasarkan struktur pada kulit buah yang
bersisik, maka marga ini dianggap berada pada tahap yang lebih primitif
dibandingkan Calamus, Daemonorops, dan marga lain dari Lepidocaryeae.
Namun sampai saat ini belum ada literatur yang mendeskripsikan seluruh jenis
salak yang tersebar di dunia. Peluang besar untuk mendapatkan jenis baru dari
salak disebabkan karena perbungaan salak dioesis sehingga proses spesiasi diduga
masih terus berlangsung hingga saat ini. Penelitian mengenai keanekaragaman
salak yang ada di Indonesia juga masih terbatas.
Penelitian ini mencakup jenis salak liar dan budi daya. Tujuan penelitian ini
adalah menyajikan deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia dan
persebarannya serta membuat kunci identifikasi jenis dan kultivar; menganalisis
keanekaragaman molekuler salak Jawa dan salak Bali; menganalisis
keanekaragaman morfologi dan molekuler salak Sidempuan; dan mengidentifikasi
salak potensial di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan khususnya penemuan jenis baru dan
deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia. Jenis-jenis salak liar merupakan
sumber plasma nutfah bagi pengembangan salak budi daya. Keanekaragaman
morfologi dan genetik salak Sidempuan (Salacca sumatrana) serta genetik salak
Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) dan salak Bali (Salacca zalacca var.
amboinensis) dapat menggambarkan variasi dari kultivar kedua jenis tersebut.
Hasil analisis molekuler diharapkan dapat memberikan indikasi ada tidaknya
pemisahan antara salak Jawa dan salak Bali.
Revisi marga salak didasarkan pada pengamatan spesimen herbarium yang
mewakili 19 jenis salak yang berasal dari Herbarium Bogoriense, Bogor;
Herbarium Leiden, Belanda; Herbarium Kewense, Inggris dan pustaka jenis-jenis
salak. Keanekaragaman salak budi daya diamati pada dua jenis yaitu S. zalacca
dan S. sumatrana, sedangkan pencarian salak potensial diamati pada lima jenis
salak budi daya. Pengamatan morfologi pada seluruh tanaman salak meliputi
karakter organ vegetatif dan generatif. Pengamatan molekuler dilakukan dalam
beberapa tahapan yang terdiri atas isolasi, restriksi dan ligasi, preamplifikasi, dan
amplifikasi menggunakan penanda AFLP dengan dua kombinasi primer yaitu
EcoRI- ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya yaitu EcoRI- ACC dan
Mse1-CTT. Analisis data morfologi dan molekuler diolah dengan menggunakan
metode UPGMA melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and
Multivariate System) versi 2.02. Data mengenai rasa, warna daging buah, kadar
gula dan kandungan tanin dianalisis dengan menggunakan Program R.3.0.
Jumlah salak (Salacca) yang terdapat di dunia saat ini adalah 23 jenis yang
terbagi ke dalam dua seksi dari marga Salacca. Seksi Leiosalacca terdiri atas dua
jenis dan seksi Salacca terdiri atas 21 jenis. Salacca acehensis adalah jenis baru
yang ditemukan di Sumatra, khususnya Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Borneo
memiliki 11 jenis salak dan merupakan pusat keanekaragaman salak dunia. Jenis
yang paling kecil perawakannya adalah S. acehensis dan yang paling besar
perawakannya adalah S. wallichiana. Salacca zalacca adalah jenis yang paling
luas sebarannya dan pusat keanekaragamannya terdapat di Jawa. Jenis ini terdiri
atas dua varietas yaitu S. zalacca var. zalacca dan S. zalacca var. amboinensis.
Beberapa ciri morfologi pada perawakan, duri, bunga, dan biji menunjukkan
bahwa salak Bali berbeda dengan salak Jawa. Secara genetik salak Bali
memberikan indikasi pemisahan dengan salak Jawa melalui penanda AFLP.
Salacca sumatrana memiliki banyak variasi ciri morfologi. Ciri perawakan
dan duri yang paling besar serta daging dari buah berwarna merah adalah ciri khas
yang dimiliki oleh S. sumatrana. Karakter yang paling menonjol dari salak
Sidempuan terdapat pada warna daging buah. Pengembangan kultivar salak
Sidempuan yaitu S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. sumatrana ‘ Sidempuan
putih’ hanya dapat dilakukan melalui anakan bukan melalui biji.
Penanda AFLP mampu menghasilkan banyak data fragmen yang bersifat
polimorfik pada S. sumatrana dan S. zalacca. Kombinasi primer EcoRI- ACC dan
Mse1-CTT lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan
Mse1-CAT. Kemampuan bersilang tanaman salak tidak hanya terjadi di dalam
jenis bahkan antar jenis dengan bantuan manusia. Salacca affinis ‘Lonjong’,
mewakili salak potensial yang memiliki ciri yang ideal. Kultivar ini memiliki ciri
kadar gula tinggi, kandungan tanin rendah, rasa manis, warna daging buah
kekuningan, warna kulit buah jingga, dan tekstur daging buah lembut karena
kandungan airnya tinggi.
Kata kunci: jenis baru, kultivar, morfologi, penanda AFLP, Salacca
SUMMARY
ZUMAIDAR. Several Aspecs of Salacca (Arecaceae) Biosystematic. Supervised
by TATIK CHIKMAWATI, ALEX HARTANA, MIEN A RIFAI, dan SOBIR.
Salak is a tropical plant that belongs to the genus Salacca. This genus
distributed in Burma, Indochina, Thailand, Malay Peninsula, Sumatra, Borneo,
Philippines, and Java. Based on the scale structure of the fruit skin, this genus was
considered to be more primitive compared to Calamus, Daemonorops, and other
genera of Lepidocaryeae. However until now there was no literature describing all
species of salak. Since salak has dioecious inflorescence it is a big chance to get
new species of salak so it is expected that speciation process still on going now a
days. However, research on the salak diversity in Indonesia was still limited.
This study covers the wild and cultivated salak. The study aimed to present
a species description of salak that exists in the world and its distribution, and to
construct identification key of salak species and cultivars; analyze molecular
diversity of salak Jawa and salak Bali; analyze the morphological and molecular
diversity of salak Sidempuan; and identify salak potential in Indonesia. Results of
this study will benefit to provide a new contribution to science, especially the
discovery of new species and species descriptions of salak in the world. The wild
salak is a source of germplasm for the development of salak cultivation. The
morphological and genetic diversity of salak Sidempuan (Salacca sumatrana),
salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) and salak Bali (Salacca zalacca var.
amboinensis) could show a variety of cultivars of both species. Molecular analysis
results were expected to provide an indication of whether there was a genetic
separation between salak Jawa and salak Bali.
Revision of Salacca was based on observations of 19 salak species of
herbarium specimens deposited at Herbarium Bogoriense, Bogor; Herbarium
Leiden, the Netherlands; Herbarium Kewense, England. Diversity of cultivated
salak was observed on two species: S. zalacca and S. sumatrana, while searching
of potential salak was observed from five species of cultivated salak.
Morphological observation on the entire salak plant included vegetative and
generative organ characters. Molecular observations were carried out in several
stages consisting of DNA isolation, restriction and ligation, preamplification, and
amplification. Salak DNS was amplified using AFLP marker with two primer
combinations: EcoRI-ACT and Mse1-CAT and also EcoRI- ACC and Mse1-CTT.
Morphological and molecular data analysis were processed using UPGMA
method performed with NTSYS program (Numerical Taxonomy and Multivariate
System) version 2:02. Data of flavor, flesh color, sugar, and tannin content were
analyzed using R.3.0 Program.
There are 23 species of Salacca in the world that were classified into two
sections: Leiosalacca section consisted of two species and Salacca section
consisted of 21 species. Salacca acehensis was a new species found in Sumatra,
particularly in the province of Aceh and North Sumatra. Borneo has 11 salak
species and is considered as central of diversity. Salacca acehensis was the most
dwarf habit, while S. wallichiana was the biggest habit. Salacca zalacca was the
most widespread species, and its center diversity was in Java. This species has
two varieties namely S. zalacca var. zalacca and S. zalacca var. amboinensis.
Some morphological characters of habit, thorns, flowers, and seeds of salak Bali
are different from salak Jawa. Based on AFLP markers, salak Bali are genetically
separated from salak Jawa. Salacca sumatrana has many morphological
variations. The largest habit and thorn, fruit with red sarcotesta are typical
characters of S. sumatrana. The most prominent character of salak Sidempuan is
in sarcotesta color. Cultivar development of salak Sidempuan namely S.
sumatrana 'Sidempuan merah' and S. sumatrana 'Sidempuan putih' can only be
propagated through bud.
AFLP markers resulted a lot of data fragments that are polymorphic in S.
sumatrana and S. zalacca. The primer combinations of EcoRI-ACC and Mse1-
CTT was more effective than the primer combination of EcoRI-ACT and Mse1-
CAT. Crossing ability of salak plant was not only occurred within species but also
between species with human assistance. Salacca affinis 'Lonjong', was a result of
representing a potential salak that has ideal characteristic for consumers. This
cultivar is characterized by high sugar content, low tannin content, sweet taste,
yellowish flesh color, orange fruit skin, and soft sarcotesta.
Keywords: AFLP markers, cultivar, morphological, new species, Salacca
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
BEBERAPA GATRA BIOSISTEMATIKA
Salacca (Arecaceae)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ZUMAIDAR
viii
Penguji pada Ujian Tertutup dan Promosi Terbuka:
1. Dr Ir Utut Widyastuti, MSi
2. Dr Himmah Rustiami, SP MSc
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah
keanekaragaman salak, dengan judul Beberapa Gatra Biosistematika Salacca
(Arecaceae).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati MSi, Prof Dr
Ir Alex Hartana MSc, Prof Dr Mien A Rifai, dan Prof Dr Ir Sobir MSi selaku
pembimbing; Pihak Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kesempatan
untuk menempuh Program Doktoral; Dikti sebagai penyandang dana BPPS
selama empat tahun menempuh studi; Pembimbing penelitian pada Program
Sandwich: Dr Finn Borchsenius dari Science Museums Universtitas Aarhus
Denmark, Dr John Dransfield dan Dr William J Baker dari Herbarium Kewense,
Inggris, dan Dr Peter van Welzen dari Herbarium Leiden, Belanda; Dr Rugayah
MSc, Dr Elizabeth Widjaja MSc, Dr Himmah Rustiami MSc, Dr Marlina Ardiani
MSc, dan Dr Kusumadewi Sri Yulita MSc untuk waktu diskusi dan idenya; Dr.
Fitmawati MSi, Tri Harsono MSi, dan Dr Saleha Hanum MSi untuk segala
kebaikannya dalam membantu koleksi dan diskusi yang mencerahkan. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Gregory Garnadi Hambali dan
staf di Taman Buah Mekar Sari, Pihak Herbarium Bogoriense dan Kebun Raya
Bogor, Bapak Camat Krido beserta staf di Kebun Salak Nusantara yang telah
membantu selama pengumpulan koleksi dan penyimpanan spesimen salak.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada seluruh
keluarga besar, ibu, ayah, mertua, kakak, adik, khususnya suami dan anak-anak
atas segala doa dan kasih sayangnya; guru dan teman-teman UKA 301, Program
Doktoral BOT angkatan 2010 khususnya Dr Etti Sartina Siregar MSi, Priyanti,
MSi, Dr M Alfarabi MSi, Retno Lestari MSi, Siti Ifadatin MSi, Pieter Riupassa,
MSi, Asri Pirade MSi, teman-teman BOT dan BSH angkatan 2011, adik-adik
Program Master di Lab. Taksonomi Tumbuhan dan yang lainnya, Sulasih MP.
dan Pipit di Lab. PKHT IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Zumaidar
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3
1.3 Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Jenis-Jenis Salak 5
2.2 Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca) 7
2.3 Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) 8
2.4 Salak Sidempuan (Salacca sumatrana) 9
2.5 Penggunaan Data Morfologi dan Molekuler 10
2.6 Kegunaan Salak 12
3 METODE 13
3.1 Bahan Tanaman 13
3.2 Prosedur Penelitian 16
3.2.1 Pengamatan morfologi 16
3.2.2 Pengamatan karakter molekuler 16
3.2.3 Pengujian rasa buah 19
3.2.4 Pengujian kadar gula buah 19
3.2.5 Pengujian kandungan tanin buah 19
3.2.6 Kriteria warna daging buah 20
3.3 Analisis Data 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
4.1 Revisi Marga Salacca 21
4.1.1 Morfologi marga Salacca 21
4.1.2 Persebaran jenis salak 25
4.1.3 Deskripsi marga Salacca 26
4.1.4 Deskripsi jenis Salacca 28
4.2 Kekerabatan Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)
dan Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) 42
4.2.1 Ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali 42
4.2.2 Ciri molekuler salak Jawa dan salak Bali 46
4.2.3 Analisis fenetik 47
4.3 Keanekaragaman Morfologi dan Molekuler Salak Sidempuan
(Salacca sumatrana) 49
4.3.1 Perawakan 49
4.3.2 Daun 49
4.3.3 Perbungaan 51
xii
4.3.4 Buah 52
4.3.5 Analisis kemiripan morfologi salak Sidempuan 54
4.3.6 Analisis kemiripan molekuler salak Sidempuan 58
4.4 Pencarian Salak Potensial 61
5 KESIMPULAN 67
5.1 Simpulan 67
5.2 Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 75
RIWAYAT HIDUP 91
vi
xiii
DAFTAR TABEL
1 Spesimen salak yang diamati 13
2 Nomor dan asal koleksi Salacca zalacca yang diamati 14
3 Nomor dan asal koleksi Salacca sumatrana yang diamati 15
4 Jenis dan asal koleksi buah salak yang digunakan untuk identifikasi
salak potensial 16
5 Perbedaan ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali 43
6 Data molekuler salak Jawa dan salak Bali 47
7 Perbedaan ciri morfologi Salacca sumatrana dan Salacca zalacca 54
8 Daftar ciri kuantitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak
Sidempuan (Salacca sumatrana) 55
9 Daftar ciri kualtitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak
Sidempuan (Salacca sumatrana) 55
10 Variasi kadar gula dan kandungan tanin buah pada lima jenis salak budi
daya 62
11 Nilai korelasi antara empat ciri terpilih pada buah salak budi daya 64
xiv
DAFTAR GAMBAR
1 Contoh elektrofenogram data genetik Salacca zalacca dari metode
AFLP 19
2 Perawakan salak: a) batang tegak, b) batang merunduk, c) akar udara 22
3 Persebaran jenis salak di dunia 25
4 Variasi ciri morfologi salak Jawa: a) tangkai daun berduri, b) tangkai
daun tidak berduri, c) perbungaan jantan d) rakila bunga jantan, e) diad
rakila bunga jantan: 1-2=bunga jantan, f) perbungaan betina, g) rakila
bunga betina, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga betina, 2=bunga
jantan, i-j) perbuahan, k-l) buah, m-n) warna daging buah, o-p) biji 43
5 Variasi ciri morfologi salak Bali: a) duri, b) perbungaan jantan, c)
rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’, d) diad rakila bunga jantan kultivar
‘Kate’: 1-2=bunga jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina,
g, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga betina, 2=bunga jantan, i)
bagian-bagian bunga betina, j) bagian-bagian bunga jantan, k) warna
daging buah, l) tonjolan pada biji 45
6 Warna daging buah salak Sidempuan (Salacca sumatrana): a) warna
daging buah utuh, b) bagian buah yang dipotong 46
7 Dendrogram data molekuler kultivar salak Jawa dan salak Bali (Salacca
zalacca) menggunakan metode UPGMA, kelompok kultivar salak Bali
ditandai angka 1, 2, 3 48 8 Ciri organ vegetatif salak Sidempuan (S. sumatrana): a) alur jelas, b)
alur tidak jelas, c) duri soliter, d) duri berkelompok, e) warna duri:
1=abaksial duri berwarna abu-abu, 2=adaksial duri berwarna keputihan,
f) indumentum bersisik warna kehitaman, g) indumentum berambut
warna coklat, h) indumentum bersisik warna keputihan, i) anak daun
berhadapan, j) anak daun berseling, k) 8 anak daun menyatu, l) 3 anak
daun menyatu, m) 5 anak daun menyatu 50 9 Ciri organ generatif salak Sidempuan (S. sumatrana): a) perbungaan
jantan, b) rakila bunga jantan, c) bunga jantan pada rakila, d) bunga
jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina, g) bunga betina
tersusun diad, h) pasangan bunga betina, i) bakal buah, j-m) variasi
warna daging buah, n) buah masir, o) buah tidak masir, p) permukaan
daging buah, q) bentuk buah, r) duri pada buah, s-u) bentuk biji.
1=bunga jantan mekar, 2=braktea pasangan bunga jantan, 3=kelopak
bunga jantan, 4=mahkota bunga jantan, 5=bunga jantan, 6=bunga
hermafrodit, 7=alur duri lurus, 8=alur duri spiral, 9=duri pada buah 53 10 Dendrogram ciri kuantitatif dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 56
11 Dendrogram ciri kualitatif terpilih dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 58
12 Dendrogram ciri molekuler dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah 60
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salak adalah tumbuhan asli daerah tropis yang tergolong ke dalam marga
Salacca. Jumlah spesies salak terbanyak dan keanekaragaman morfologi terbesar
ditemukan di wilayah Semenanjung Malaya dan Borneo (Dransfield et al. 2008).
Sejak tahun 1605, Clusius telah mendeskripsikan buah salak yang berasal dari
Bali (Mogea 1978). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa budi daya
tanaman salak telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat di Indonesia.
Marga Salacca pertama sekali dideskripsikan oleh Reinwardt (1825). Marga
ini terdapat di Burma, Indocina, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo,
Filipina, dan Jawa (Dransfield et al. 2008). Beberapa jenis ditemukan tersebar
luas, seperti S. affinis Griffith dan S. zalacca (Gaertn.) Voss, namun kebanyakan
jenis salak ditemukan pada daerah yang terbatas (Dransfield 2009).
Berdasarkan struktur sisik kulit buah yang berduri, maka marga ini dianggap
berada pada tahap yang lebih primitif dibandingkan dengan Calamus,
Daemonorops, dan marga lain dari Lepidocaryeae. Berdasarkan struktur buah
daging buah marga ini lebih tebal dan dapat dimakan. Dari eksplorasinya,
Rhumpius menemukan tanaman ini di Indonesia bagian timur dan menduga
tanaman ini didatangkan dari Bali bukan merupakan tanaman asli dari Ambon.
Sejauh ini tidak juga terdapat bukti bahwa jenis ini tumbuh liar di Celebes
(Furtado 1949).
Secara umum daun salak merupakan daun majemuk menyirip dengan ujung
yang berbentuk kipas, namun ditemukan juga daun majemuk yang seluruhnya
menyirip hingga ke ujung daun, atau daun tunggal berbentuk kipas (Dransfield et
al. 2008, Mogea 1980). Perbungaan salak seluruhnya adalah pleonantik, hanya
dua jenis yang bersifat hapaksantik yaitu S. secunda dan S. griffithii (Henderson
2008). Ciri yang paling unik dari marga ini adalah perbungaan muncul menembus
bagian abaksial pelepah sehingga pangkal pelepah terbelah (Dransfield et al.
2008). Perbungaan salak berumah dua (dioesis) sehingga perbungaan jantan
terdapat pada pohon yang berbeda dengan perbungaan betina. Oleh karenanya
penyerbukan yang terjadi pada salak adalah penyerbukan silang. Beberapa salak
memiliki perbungaan yang panjang, misalnya pada perbungaan jantan S. flabellata
mencapai 2 m (Furtado 1949). Perbungaan panjang dan menjulur di tanah, serta
berfungsi sebagai stolon, terdapat pada S. stolonifera (Hodel 1997).
Peluang untuk mendapatkan jenis baru dari marga ini masih sangat besar
(Uhl dan Dransfield 1987, Dransfield et al. 2008) karena perbungaan salak yang
bersifat dioesis menyebabkan proses spesiasi diduga masih terus berlangsung
hingga saat ini. Penelitian mengenai keanekaragaman salak yang ada di Indonesia
masih terbatas. Pengenalan jenis salak penting dilakukan, khususnya pada salak
liar yang merupakan sumber plasma nutfah yang sangat dibutuhkan guna merakit
bibit unggul salak Indonesia.
Di dalam buku Genera Palmarum: A Classification of Palms disebutkan
bahwa Salacca memiliki 15 jenis yang tersebar di dunia (Uhl dan Dransfield
1987). Lebih dari dua dekade berikutnya, jumlah jenis marga ini telah meningkat
namun dengan catatan masih banyak jenis yang belum dideskripsikan (Dransfield
2
et al. 2008, Dransfield 2009). Hingga saat ini belum ada sebuah literatur yang
menyajikan perincian seluruh jenis salak yang tersebar di dunia. Penelitian ini
perlu dilakukan untuk membuat konspektus jenis salak beserta deskripsi jenis dan
kunci identifikasinya. Berdasarkan spesimen salak yang terdapat di Herbarium
Bogoriense, masih banyak koleksi yang belum diidentifikasi. Saat ini jumlah jenis
marga ini diduga masih mungkin meningkat karena besarnya peluang menemukan
jenis baru. Penelitian tentang taksonomi Salacca perlu dilakukan untuk
mengetahui jumlah jenis, persebaran jenis, dan menemukan jenis baru salak yang
masih tersebar di wilayah Indonesia.
Di antara jenis salak yang ada di Indonesia, dua jenis budi daya telah
dikenal oleh masyarakat yaitu Salacca zalacca dan S. sumatrana. Budi daya
Salacca zalacca saat ini telah tersebar di seluruh pulau di Indonesia dari Sumatra
hingga Ambon (Mogea 1978).
Salacca zalacca terdiri atas dua varietas yaitu varietas zalacca dan varietas
amboinensis. Oleh masyarakat di pulau Jawa khususnya varietas zalacca disebut
salak Jawa, disebabkan domestikasinya tersebar di daerah Jawa. Penyematan
nama amboinensis dideskripsikan dari spesimen yang berasal dari Ambon. Salak
yang proses pengembangan budi dayanya terdapat di pulau Bali kemudian dikenal
sebagai salak Bali, yang memiliki banyak kemiripan morfologi dengan salak yang
berasal dari Ambon (Mogea 1982).
Pusat keanekaragaman S. zalacca terdapat di Jawa dan Bali karena variasi
morfologi jenis ini banyak ditemukan di kedua wilayah tersebut. Sejak lama di
beberapa daerah di Indonesia, masyarakat secara tradisional telah mengenal
tumbuhan salak dengan baik. Melalui pengetahuan tradisional sebagian
masyarakat telah membudidayakan dan telah dapat membedakan salak dalam
beberapa kultivar lokal. Di Bali, masyarakat mengenal 12 kultivar lokal dengan
ciri khas masing-masing (Suter 1988). Masyarakat Madura mengenal sebanyak 12
kultivar salak yang dibedakan berdasarkan karakter buahnya (Harsono dan
Hartana 2003).
Perbedaan antara salak Jawa dan salak Bali secara tradisional telah dikenal
oleh masyarakat melalui pengetahuan lokalnya. Secara morfologi terlihat adanya
perbedaan antara salak Bali dan salak Jawa seperti pada ukuran dan warna buah.
Variasi morfologi sangat erat kaitannya dengan variasi genetik untuk menentukan
ciri-ciri penanda khusus suatu takson. Secara molekuler menggunakan penanda
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), antara kultivar salak Jawa dan
salak Bali menunjukkan tidak adanya pemisahan yang jelas. Variasi genetik dari
kultivar S. zalacca di Jawa juga sudah dideskripsikan dengan menggunakan
penanda molekuler RAPD (Kaidah 1999; Nandariyah et al. 2004), tetapi penanda
RAPD memiliki kelemahan, di antaranya adalah hasil amplifikasi yang kurang
konsisten dan sedikit peluang mendapatkan data polimorfik (Kaidah 1999). Kajian
molekuler menggunakan penanda lain yang memberikan peluang hasil lebih baik
perlu dilakukan pada salak Jawa dan salak Bali, untuk mengetahui ada tidaknya
pemisahan yang lebih meyakinkan. Selama ini penanda AFLP belum digunakan
untuk menggambarkan keanekaragaman genetik pada tanaman salak,
pemanfaatannya perlu dilakukan pada S. zalacca untuk mengetahui
keanekaragaman genetik antara kultivar dan melihat perbedaan kultivar salak Bali
dan salak Jawa secara genetik.
3
Informasi salak budi daya jenis S. sumatrana lebih sedikit dibandingkan
dengan S. zalacca. Salacca sumatrana dikenal sebagai salak Sidempuan dan
menjadi salah satu jenis dari 21 jenis yang tergolong seksi Salacca karena
memiliki ciri bunga betina yang tersusun secara diad dengan bunga jantan dan
sisik pada kulit buah berduri. Jenis ini telah dibudidayakan di Sumatra Utara,
dengan daerah pengembangan budi dayanya terletak di Kabupaten Tapanuli
Selatan dan Kota Padang Sidempuan. Budi daya salak Sidempuan telah dilakukan
selama hampir 2 abad (Mogea 1978). Masyarakat Sumatra Utara menamakan
kultivar lokal salak berdasarkan lokasi penanamannya, yaitu salak Sitinjak, salak
Hutalambung, salak Sibakua, salak Siamporit, salak Hutakonje, salak
Sibongbong, dan salak Lobulayan (Jenimar 1995). Masyarakat mengenal jenis ini
melalui daging buah yang tebal dan memiliki warna daging buah yang berbeda
dibandingkan dengan salak lainnya, karena salak Sidempuan biasanya berwarna
kemerahan (Mogea 1978).
Mengingat lamanya waktu budi daya salak Sidempuan dan didukung oleh
sistem penyerbukan silang pada tanaman salak, munculnya variasi ciri morfologi
diduga sangat mungkin terjadi. Pengenalan fenetik maupun genetik penting
dilakukan untuk memperjelas batasan konsep antara satu jenis dengan jenis
lainnya (Rustiami et al. 2011) atau satu kultivar salak dengan kultivar lainnya.
Makin banyak kultivar salak yang dikenal makin beraneka ragam ciri fenetik yang
diperoleh. Keanekaragaman ciri fenetik merupakan bahan baku yang sangat
berguna bagi para pemulia tanaman salak. Oleh karena itu penelitian tentang
variasi morfologi dan molekuler salak Sidempuan perlu dilakukan untuk
mengenal kultivar salak Sidempuan.
Saat ini salak Jawa, salak Bali, dan salak Sidempuan telah memiliki nilai
ekonomi tinggi. Buah salak merupakan salah satu komoditas buah unggulan
nasional. Produksi buah salak menempati urutan kelima setelah pisang, mangga,
nanas, dan jeruk (BPS 2014). Pada umumnya mutu buah ditentukan oleh beberapa
persyaratan yaitu ukuran, warna, bentuk, kondisi, tekstur, citarasa, dan nilai nutrisi
(Santosa dan Hulopi 2011). Buah salak yang disukai konsumen adalah berdaging
tebal, citarasa manis, sedikit rasa sepat, waktu penyimpanan lama, dan sisik pada
kulit buah tidak berduri atau gundul (Mogea 1990). Warna daging buah yang
menarik juga akan mempengaruhi keinginan konsumen. Daging buah dari salak
Jawa dan salak Bali berwarna putih, kekuningan hingga merah (Schuiling dan
Mogea 1992, Harsono dan Hartana 2003, Sudjijo 2009) sedangkan salak
Sidempuan berwarna putih hingga merah (Mogea 1978, Harsono 1994, Jenimar
1995). Berdasarkan beberapa persyaratan mutu buah maka perlu dilakukan kajian
identifikasi salak potensial menyangkut kadar gula, kandungan tanin, warna
daging buah, dan rasa buah.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mencakup jenis salak liar dan budi daya. Tujuan penelitian ini
adalah menyajikan deskripsi jenis-jenis salak yang ada di dunia dan
persebarannya serta membuat kunci identifikasi jenis dan kultivar; menganalisis
keanekaragaman molekuler salak Jawa dan salak Bali; menganalisis
3
4
keanekaragaman morfologi dan molekuler salak Sidempuan; dan mengidentifikasi
salak potensial di Indonesia.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baru bagi
ilmu pengetahuan khususnya penemuan jenis baru dan deskripsi jenis-jenis salak
yang ada di dunia. Jenis-jenis salak liar merupakan sumber plasma nutfah bagi
pengembangan salak budi daya. Keanekaragaman morfologi dan genetik salak
Sidempuan (Salacca sumatrana) serta genetik salak Jawa (Salacca zalacca var.
zalacca) dan salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis) dapat menggambarkan
variasi dari kultivar kedua jenis tersebut. Hasil analisis molekuler diharapkan
dapat memberikan indikasi ada tidaknya pemisahan antara salak Jawa dan salak
Bali untuk menguatkan takson keduanya pada tingkat varietas.
Pencarian salak potensial menyajikan informasi menyangkut syarat mutu
buah yang didasarkan pada kebutuhan konsumen. Informasi tersebut diharapkan
dapat memudahkan pemulia tanaman dalam merakit bibit unggul salak Indonesia
yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar nasional maupun internasional.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis-Jenis Salak
Salak adalah tumbuhan palem yang tergolong ke dalam marga Salacca,
anak suku Calamoideae, suku Arecaceae. Marga ini dideskripsikan oleh
Reinwardt (1825) didasarkan pada jenis Salacca edulis. Sebelumnya di tahun
1791 Gaertner mendeskripsikan Calamus zalacca berdasarkan organ buah dari
koleksi Thunberg yang ternyata adalah S. edulis Reinw. (Mogea 1982). Nama
Salacca Reinw. merupakan publikasi yang valid untuk marga salak namun pada
beberapa publikasi lainnya nama marga ini seringkali masih ditulis Zalacca.
Sebanyak lima jenis Salacca Reinw. yang disebutkan Burkill (1935)
memiliki buah dapat dimakan, empat jenis berupa tumbuhan liar dan satu jenis
merupakan tanaman budi daya. Kelima jenis tersebut tersebar dari timur laut India
ke Semenanjung Malaya. Dari lima jenis tersebut, satu jenis bukan jenis salak
tetapi merupakan kerabatnya, yang dikenal dengan nama daerah asam payo
(Sumatra), yaitu Eleiodoxa conferta (Griff.) Burret, ditemukan di Sumatra,
Semenanjung Malaya, dan Borneo. Empat jenis lainnya adalah: Salacca affinis
Blume dengan nama daerah linsum (Sumatra), ditemukan di Sumatra, dan
Semenanjung Malaya; S. edulis Reinw. dengan nama daerah salak pasir (Jawa),
sebagai jenis yang dibudidayakan atau sebagai tumbuhan liar, ditemukan di
Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya; S. glabrescens Griff. dengan nama
daerah pokok rengam (Melayu), ditemukan di Pulau Penang, Negeri Sembilan;
dan S. wallichiana Mart. dengan nama daerah salak kumbar (Melayu), ditemukan
dari Myanmar, Thailand hingga ke selatan Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Enam jenis Salacca dideskripsikan oleh Whitmore (1973) dalam Palms of
Malaya beserta daerah sebarannya. Empat jenis yang disebutkan Burkill (1953)
juga terdapat dalam buku tersebut kecuali S. wallichiana, dan tambahan dua jenis
lain yaitu S. flabellata Furtado dan S. conferta. Di antara enam jenis, hanya dua
jenis yang tidak disebut salak dalam bahasa daerah, yang secara tersirat oleh
Whitmore dianggap sebagai jenis yang tidak dapat dimakan buahnya. Dari enam
jenis yang disebutkannya hanya empat jenis yang sekarang dianggap tergolong
marga salak yaitu S. affinis, S. edulis, S. flabellata, dan S. glabrescens.
Di dalam Flora of Java, Salacca edulis Reinw. disebut sebagai jenis yang
dibudidayakan karena buahnya dapat dimakan (Backer dan Bakhuizen van den
Brink 1968). Jenis ini dikaji aspek fenologinya secara mendalam dari koleksi
hidup di Kebun Raya Bogor, Pasar Rebo Jakarta, dan Manonjaya Jawa Barat
(Mogea 1973). Empat jenis salak juga disebutkan oleh Heyne (1950) telah
dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia khususnya organ daun, buah, dan biji.
Penelitian tentang salak yang bernilai ekonomi telah dilakukan di wilayah
Asia Tenggara (Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, Jawa, Madura,
dan Bali). Lima jenis Salacca telah dibudidayakan yaitu S. zalacca (Gaertn.) Voss,
S. sumatrana Becc., S. affinis Griff., S. glabrescens Griff., dan S. wallichiana
Mart. Dua jenis yang dibudidayakan pada kondisi semi liar adalah Salacca
wallichiana dan S. affinis. Jenis yang secara sporadik dibudidayakan di Thailand
bagian selatan adalah S. wallichiana sehingga jenis ini hanya populer di Thailand.
Salacca affinis juga dibudidayakan di bagian timur Semenanjung Malaya dan
6
Borneo. Dua jenis yang secara tradisional dibudidayakan sangat intensif di
Sumatra Utara (Padang Sidempuan) dan Semenanjung Malaya (Trengganu)
adalah S. sumatrana dan S. glabrescens (Hambali et al. 1989, Polprasid dan
Salakphetch 1989, Polprasid 1992).
Salacca zalacca tidak diketahui daerah asalnya namun tumbuh liar di Jawa
Barat Daya dan Sumatra Selatan. Jenis ini juga dibudidayakan di Thailand,
Malaysia, Indonesia, dan telah diintroduksikan ke New Guinea, Philipina,
Queensland (Australia), Pulau Ponape (Kepulauan Caroline), dan Pulau Fiji
(Schuiling dan Mogea 1992). Jenis ini memiliki daerah budi daya paling luas
(Hambali et al. 1989). Kultivar lokal jenis ini yang sudah dikenal oleh masyarakat
di Jawa dan Bali berjumlah lebih dari dua puluh.
Jumlah jenis dari marga ini yang telah dikenal sekitar 20 jenis dan masih
banyak jenis yang belum dideskripsikan (Dransfield et al. 2008, Dransfield 2009).
Catatan tentang banyaknya jenis dari marga ini yang belum dideskripsikan di
dalam Genera Palmarum A Classification of Palms dan Genera Palmarum The
Evolution and Classification of Palms mengindikasikan adanya peluang besar
untuk menemukan jenis baru dari marga ini. Kajian taksonomi marga salak perlu
dilakukan untuk merinci nama-nama jenis yang telah divalidasi dan membuat
kunci identifikasi jenis.
Beberapa ciri dapat digunakan untuk membedakan jenis salak. Daun pada
bentuk dan warna permukaan daun bagian atas dan bawah, perbungaan jantan
tegak atau panjang, perbungaan betina tersusun soliter atau diad, bentuk buah dan
keberadaan duri pada sisik kulit buah digunakan oleh Beccari (1918) sebagai
penciri untuk membedakan 13 jenis yang dideskripsikannya. Ukuran daun dan
ukuran perbungaan jantan menjadi dasar pengenalan jenis-jenis salak berdaun
kipas yang terdapat di Borneo dan Semenanjung Malaya (Mogea 1980).
Perbungaan salak sangat unik dan tidak ditemukan pada tanaman lain.
Perbungaan muncul pada ketiak daun namun menembus pelepah daun yang
mengapitnya sehingga pangkal pelepah terbelah di bagian tengahnya karena
perbungaan menembus bagian adaksial hingga ke bagian abaksial pelepah. Secara
umum perbungaan pada salak bersifat dioesis karena terpisah antara tanaman
jantan dan tanaman betina. Pada tanaman jantan maupun tanaman betina, pada
rakilanya bunga tersusun diad namun bedanya pada tanaman jantan tersusun dari
dua bunga jantan sedangkan pada tanaman betina tersusun dari satu bunga
hermafrodit dan satu bunga jantan. Oleh karenanya tanaman betina adalah
andromonoesis (Mogea 1973, Schuiling dan Mogea 1992, Darmadi et al. 2002,
Dransfield et al. 2008).
Di Indonesia tiga salak yang terkenal karena buahnya yang enak dimakan
adalah salak Jawa, salak Bali, dan salak Sidempuan. Ketiga salak tersebut sejak
lama telah dibudidayakan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat
di Indonesia. Beberapa daerah perkebunan ketiga salak tersebut terdapat di
Sumatra Utara (Padangsidempuan), Jawa (Condet, Depok, Batujajar, Manonjaya,
Sleman, Pasuruan, dan Bangkalan-Madura), Sulawesi Utara (Pangu dan
Pagulandang), dan Bali (Karang Asem) (Mogea 1978).
7
2.2 Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)
Perkebunan salak Jawa (S. zalacca var. zalacca) ditemukan di Sumatra,
Jawa, Madura, Kalimantan, dan Sulawesi. Varietas ini disebut sebagai salak Jawa,
disebabkan domestikasinya terutama tersebar di daerah Jawa. Pusat
keanekaragaman jenis ini berada di pulau Jawa ditandai oleh berkembangnya
kultivar salak Jawa yang banyak ditemukan di daerah ini. Dari 27 varietas salak
yang telah dilepas oleh pemerintah, 23 varietas berasal dari jenis S. zalacca.
Berdasarkan banyaknya variasi jenis ini yang ditemukan di Jawa maka dapat
disimpulkan bahwa jenis ini berasal dari Jawa.
Salak Jawa yang dikenal oleh Masyarakat Madura berjumlah 12 kultivar,
meliputi ‘Sinase’, ‘Kerbau’, ‘Penjalin’, ‘Nenas’, ‘Apel’, ‘Manggis’, ‘Air’,
‘Manalagi’, ‘Cocor’, ‘Pisang’, ‘Rasyid’ dan ‘Doren’. Kultivar lokal tersebut
dibedakan berdasarkan karakter buahnya yaitu warna kulit, ukuran, rasa, aroma,
dan tekstur daging buah yang masir dan tidak masir. Munculnya variasi-variasi
tersebut semata-mata didasarkan pada ciri morfologi dan organoleptik yang
seringkali bersifat subjektif. Penamaan salak lokal oleh masyarakat berbeda
dengan penelitian ilmiah yang mengunakan dasar-dasar yang lebih konsisten dan
objektif. Berdasarkan analisis gabungan ciri morfologi, anatomi, dan pola pita
isozim, 12 kultivar lokal salak yang dikenal Masyarakat Madura dapat
dikelompokkan menjadi 9 kultivar yaitu ‘Penjalin’, ‘Apel’, ‘Manalagi’, ‘Kerbau’,
‘Rasyid’, ‘Air’, ‘Sinase’, ‘Manggis’, dan ‘Nenas’ (Harsono dan Hartana 2003).
Penelitian tentang perbungaan salak Jawa memberikan informasi bahwa
waktu mekar antara satu bunga dengan yang lainnya tidak bersamaan, tergantung
pada umur dan posisi bunga. Bunga pada bagian pangkal akan lebih dahulu
mekar dibandingkan dengan bunga yang terletak di ujung rakila. Bunga salak
mekar setelah muncul pada rakila selama 2-3 hari, sekitar pukul 02.00-05.00 pagi.
Bunga jantan mekar dengan waktu yang lebih lama hingga pukul 09.00 pagi.
Perbedaan waktu mekar ini karena adanya hubungan antara kelembaban dan
bentuk hiasan bunga. Bunga betina lebih besar dan lebih tebal sehingga
memerlukan kelembaban yang tinggi untuk mekar sedangkan bunga jantan, hiasan
bunganya lebih tipis sehingga untuk mekar tidak memerlukan kelembaban yang
tinggi seperti halnya bunga betina. Kepala putik masih tampak segar selama 1-3
hari setelah mekar sehingga waktu ini diperkirakan sebagai waktu reseptif bagi
kepala putik. Adanya air hujan yang mengenai kepala putik sering menyebabkan
kebusukan. Setelah masa mekar selesai kepala putik menjadi kaku dan kering.
Salak mulai berbunga setelah berumur 3-4 tahun. Perbungaan salak sepanjang
tahun setidaknya 4 kali secara teratur dengan puncak panen pada bulan Desember
sampai Februari, musim menengah pertama pada bulan Maret sampai Mei, bulan
Juni sampai Agustus, dan musim panen kedua pada bulan September hingga
November. Hal ini memberi peluang besar secara ekonomi untuk memperoleh
hasil produksi yang optimal sepanjang tahun (Mogea 1973).
Serangga yang ditemukan pada perbungaan salak Jawa adalah Trigona sp.
(Hymenoptera), Rhynchophora palmarum L. (Coleoptera), kumbang kecil
berukuran panjang 1 mm, dan kumbang curculionid (Curculionidae). Diptera
ditemukan sepanjang hari hanya pada perbungaan jantan tetapi tidak ditemukan
pada perbungaan betina pada saat mekar. Serangga bergerak aktif dari satu
perbungaan ke perbungaan lainnya antara pukul 07.00 dan 21.00. Serangga
7
8
paling banyak ditemui antara pukul 19.00 dan 21.00 terkait dengan saat mekar
bunga betina. Bunga betina mekar sepanjang malam dimulai dari matahari
tenggelam pukul 18.00 hingga pagi dini hari. Serangga mengisap sekresi yang
mirip madu dari bagian dasar mahkota, menyebabkan mahkota bunga betina
menjadi rusak. Jumlah serangga semakin menurun seiring dengan jumlah bunga
yang rusak (Mogea 1978).
Jumlah kromosom pada S. zalacca adalah n=14 (Sarkar 1970). Dari bibit
salak ‘Pondoh’ yang berasal dari Kecamatan Turi kabupaten Sleman, Yogyakarta
diperoleh jumlah kromosomnya 2n=28 (Parjanto et al. 2003) sehingga sama
dengan sitologi marga Salacca 2n=28 (Dransfield et al. 2008) dan kultivar salak
Madura (Harsono 1994). Panjang kromosom salak berkisar antara 1.15 ± 0.13 µm
sampai dengan 2.38 ± 0.24 µm. Lengan pendek kromosom berkisar antara 0.36 ±
0.06 µm sampai dengan 1.11 ± 0.15 µm. Lengan panjang kromosom berkisar
antara 0.08 ± 0.07 µm sampai dengan 1.27 ± 0.12 µm. Pada sel yang berbeda
dapat terjadi perbedaan ukuran panjang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat
kondensasi kromosom (Parjanto et al. 2003).
2.3 Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis)
Salak di Indonesia telah dibudidayakan sejak lama, bahkan tahun 1605
Clusius telah mendeskripsikan buah salak yang sampai di Eropa, yang berasal dari
Bali (Mogea 1982). Salacca zalacca var. amboinensis (Becc.) Mogea dikenal
sebagai salak Bali karena pengembangan budi dayanya terluas terdapat di pulau
Bali. Varietas ini juga dibudidayakan di Ambon dan beberapa pulau di sebelah
timur Bali (Hambali et al. 1989).
Berdasarkan pengetahuan lokal, sebagian masyarakat yang
membudidayakan salak telah membedakan salak Bali ke dalam beberapa kultivar
lokal. Di Bali, masyarakat mengenal 12 kultivar lokal salak Bali dengan ciri khas
masing-masing, yaitu ‘Nenas’, ‘Nangka’, ‘Maong’, ‘Putih’, ‘Gula pasir’,
‘Gondok’, ‘Sepet’, ‘Boni’, ‘Cengkeh’, ‘Nyuh’, ‘Injin’, dan ‘Pada’. Kultivar-
kultivar salak tersebut terdapat di perkebunan salak milik masyarakat yang
tersebar di daerah Banjar Dukuh, Delod Wates, Karang Anyar, dan Telaga yang
termasuk Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karang Asem, Bali
(Suter 1988, Darmadi et al. 2002).
Petani salak di Bali mengenal salak Muani yang berarti salak dengan
kelamin jantan. Pada setiap perkebunan salak Bali, masyarakat mengenal adanya
tanaman salak Muani. Pengetahuan ini diperoleh petani salak di Bali secara turun
temurun, sehingga diketahui pula bahwa pola menanam salak Muani ini tidak
sebanyak jenis salak yang berkelamin betina. Petani lokal mengetahui bahwa
salak Muani tidak pernah menghasilkan buah. Secara morfologi perbungaan salak
Muani yang bersifat steril tidak berbeda dengan perbungaan pada tanaman salak
fertil lainnya (Darmadi et al. 2002).
Pada bunga salak Bali tidak ditemukan serangga, sehingga tidak ada
polinator yang membantu proses penyerbukan (Hutauruk 1999). Informasi ini
memunculkan dugaan terjadi agamospermi pada salak Bali. Biji yang dihasilkan
salak Bali bukan berasal dari hasil proses fertilisasi. Hal ini terbukti dengan
adanya embrio dalam bakal biji bunga betina sebelum mekar dan tidak adanya
serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Bukti tersebut menunjukkan
9
bahwa reproduksi salak Bali selain secara aseksual dengan tunas juga dengan biji
tanpa dibuahi (agamospermi). Embrio dalam biji berasal dari reproduksi aseksual
atau apomiksis, dan diduga apomiksis yang terjadi adalah apomiksis sporofitik
yaitu embrio berasal dari perkembangan jaringan nuselus dekat mikrofil. Pendapat
ini didasarkan pada tidak adanya kantong embrio lebih dari satu dan
perkembangan telur lebih lanjut pada kantong embrio (Kriswiyanti et al. 2008).
Masa pembentukan buah salak Bali dari bunga sampai menghasilkan buah masak,
berlangsung selama enam bulan (Hutauruk 1999).
Perkebunan salak Bali di sebagian besar daerah kecamatan Bebandem dan
kabupaten Karang Asem menggunakan biji untuk perbanyakannya. Reproduksi
secara vegetatif menggunakan tunas yang tumbuh pada ketiak dari pelepah daun.
Pohon salak dewasa menghasilkan 2-7 tunas. Umumnya tunas tidak digunakan
sebagai bibit tetapi dibiarkan tumbuh dan digunakan sebagai penyangga bakal
buah sampai bakal buah benar-benar kuat untuk tumbuh menjadi buah, kemudian
tunas akan dipotong. Apabila bunga tidak menjadi buah maka tunas sering
dipotong dan digunakan untuk sayur oseng-oseng (Kriswiyanti et al. 2008).
2.4 Salak Sidempuan (Salacca sumatrana)
Di Sumatra Utara, jenis salak yang dikenal oleh masyarakat adalah salak
Sidempuan (Salacca sumatrana Becc.) telah lama dibudidayakan (Mogea 1978),
khususnya di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan.
Masyarakat mengenal salak Sidempuan pada karakter ukuran dan warna daging
buah. Salak Sidempuan memiliki ukuran buah paling besar dibanding dengan
salak lainnya. Warna daging buah salak Sidempuan berkisar dari putih hingga
merah (Mogea 1978; Harsono 1994; Jenimar 1995). Sumatra Utara merupakan
daerah kedua yang memproduksi salak di Indonesia setelah Jawa Tengah (BPS
2014).
Jika pada salak Bali dan salak Jawa dikenal beberapa kultivar lokal maka
informasi keberadaan kultivar lokal salak Sidempuan juga dapat diperoleh dari
masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal mengenai salak Sidempuan di
antaranya adalah bahwa salak Sidempuan memiliki daging buah yang berwarna
putih dan merah yang disebut salak Sidempuan putih dan salak Sidempuan merah.
Selain salak Sidempuan putih, masyarakat juga mengenal salak Sibakua yang
memiliki warna daging buah putih. Tiga kultivar lokal salak tersebut berasal dari
daerah Tapanuli Selatan dan satu kultivar salak lain, yaitu salak Deli serdang
berasal dari Deli Serdang, Sumatra Utara yang telah dilepas oleh pemerintah
(PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015). Salak dengan daging buah berwarna
putih memiliki rasa lebih manis dibandingkan salak dengan daging buah berwarna
merah atau sebagian merah. Informasi sebaliknya adalah bahwa salak Sidempuan
dengan daging buah berwarna merah memiliki rasa yang lebih asam dibandingkan
salak dengan daging buah berwarna sebagian merah atau putih. Pengetahuan lokal
petani terhadap ciri khas kultivar tersebut hanya dapat dikenal jika buah dibuka,
tetapi belum dikenal dari ciri luar buah lainnya seperti warna kulit buah, sisik
pada kulit buah, ukuran dan bentuk buah. Berbeda dengan salak Jawa dan salak
Bali, variasi morfologi dan kultivar salak Sidempuan masih sangat sedikit
diungkapkan.
9
10
Penelitian mengenai pengenalan salak Sidempuan yang berasal dari tiga
desa di Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa tingkat kemiripannya
secara morfologi tinggi yaitu pada nilai koefisien kemiripan 63.7 %. Dari 22 ciri
yang diamati, 12 ciri memiliki variasi dan sisanya 10 ciri memiliki kesamaan.
Dari 12 ciri yang menunjukkan variasi, hanya empat ciri kualitatif yaitu bentuk
buah, rasa buah, tekstur buah dan warna daging buah, sisanya delapan ciri
kuantitatif (Harahap et al. 2013)
Pengembangan budi daya salak Sidempuan masih dilakukan dengan cara
yang sederhana dan belum menerapkan teknik budi daya yang lebih baik. Petani
menanam salak melalui biji sehingga rasio tumbuh individu betina dan jantan
tidak dapat diperkirakan. Sampai saat ini tumbuhan jantan atau betina belum dapat
ditentukan pada tahap pembibitan. Banyak tumbuhan jantan salak Sidempuan
ditebang ketika sudah mencapai tahap perbungaan. Perbanyakan salak Sidempuan
melalui biji juga menghasilkan buah yang beraneka ragam (Jenimar 1995).
2.5 Penggunaan Data Morfologi dan Molekuler
Pengenalan kultivar salak melalui ciri morfologi yang mudah dilihat
merupakan hal penting bagi petani, konsumen, bahkan peneliti. Meskipun ciri
morfologi kurang efektif dibandingkan ciri molekuler pada kajian filogenetik
namun variasi morfologi merupakan cerminan banyak gen yang dipengaruhi oleh
lingkungannya. Variasi morfologi mendasari pemahaman bagaimana tumbuhan
dapat hidup dan bereproduksi di lingkungannya (Stueessy dan Funk 2013),
sehingga beberapa jenis salak ditemukan pada daerah yang terbatas persebarannya
(Dransfield 2009).
Pengenalan konsep di bawah jenis seperti kultivar salak tidak mudah
dilakukan secara morfologi. Analisis fenetik salak Sidempuan perlu dilakukan
untuk dapat menjelaskan pertanyaan yang menyangkut variasi salak Sidempuan
pada tingkat spesies maupun populasi. Analisis fenetik idealnya mengungkapkan
sejumlah karakter dengan pembobotan yang sama dari beberapa pendekatan untuk
mengidentifikasi spesies dan mengindikasikan kemiripan antar jenis yang dapat
menggambarkan hubungan kekerabatannya (Sokal dan Crovello 1970). Analisis
fenetik dapat menggunakan data kualitatif maupun data kuantitatif. Hasil yang
diperoleh akan dapat menggambarkan kedekatan hubungan di antara takson atau
individu didasarkan pada kemiripan karakter (Rustiami et al. 2011). Studi
mikromorfologi daun tidak cukup baik ketika digunakan untuk memisahkan 13
kultivar salak Bali meskipun dapat menggambarkan dua pengelompokan yang
terdiri dari 9 kultivar dan 4 kultivar lainnya (Gari 2011).
Penggunaan data molekuler berfungsi mendukung data morfologi
khususnya untuk kategori infraspesies. DNA plastid dari suku Arecaceae secara
evolusi diketahui berkembang dengan perlahan (Wilson et al. 1990). Penggunaan
penanda RAPD telah dilakukan pada sepuluh genotipe salak dari empat jenis salak
yaitu S. sumatrana, S. zalacca, S. sarawakensis, dan S. multiflora. Sepuluh
genotipe salak tersebut dapat dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok yang
berbeda menggunakan tujuh primer pada tingkat kemiripan 0.75 (Kaidah 1999).
Penanda Amplified Fragment Length Polymorfism (AFLP) merupakan salah
satu penanda DNA yang dapat digunakan untuk mengenali hubungan kekerabatan
11
antar genotipe yang sangat dekat, perbedaan antar klon dalam satu kultivar,
melihat variasi di dalam dan antar jenis, keanekaragaman yang disebabkan oleh
mutasi yang sangat sedikit atau adanya perbedaan genetik yang sangat kecil
(Cabrita et al. 2001, Mueller dan Wolfenbarger 1999, Cai et al. 2005), juga untuk
melihat variasi genetik secara alami dan pada populasi tanaman budi daya
(Andersen dan Lübberstedt 2003). Sistem penanda pada AFLP dapat
memperlihatkan data polimorfik yang dapat membedakan setiap kultivar. Penanda
AFLP dianjurkan penggunaannya untuk mengidentifikasi kultivar, duplikasi dan
campuran individu, pemisahan kekerabatan genetik di antara sumber gen yang
diintroduksikan, kajian ulang identitas genetik, dan kajian strain genetik dalam
kultivar yang sama (Cao and Chao 2002).
Penanda AFLP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penanda
molekuler lainnya. Kelebihan AFLP di antaranya adalah tidak memerlukan
informasi urutan DNA dari setiap organisme yang diteliti, kaya informasi karena
kemampuannya menganalisis sejumlah besar lokus polimorfik secara bersamaan
dengan kombinasi primer pada gen tunggal dibandingkan dengan RAPD, RFLP
dan mikrosatelit (Semagn et al. 2006).
Identifikasi keanekaragaman tanaman dengan menggunakan AFLP telah
banyak dilakukan, di antaranya keanekaragaman genetik nenas dan jarak pagar.
Pada tanaman nenas, penanda AFLP dan gabungan data morfologi menghasilkan
tingkat kemiripan 67 %, tingginya nilai tersebut disebabkan oleh tanaman nenas
yang diperbanyak melalui organ vegetatif (Surtiningsih 2008). Analisis penanda
AFLP dapat menghasilkan dua kelompok jarak pagar yang berasal dari 10 individu
pada koefisien kemiripan 0.66 (Dewi 2008).
Penanda AFLP juga telah digunakan untuk melihat keanekaragaman genetik
pada sejumlah tanaman palem. Penanda AFLP berhasil mengenali variasi
morfologi dan genetik dari tanaman sagu (Metroxylon sagu) yang membentuk
pola distribusi secara geografis di Papua Niu Guini (Kjær et al. 2004). Penanda
AFLP juga telah berhasil mengenal sejumlah kultivar dari Phoenix dactylifera di
California (Cao dan Chao 2002).
Penggunaan penanda molekuler AFLP pada salak Bali, salak Jawa, dan
salak Sidempuan diharapkan dapat memberikan informasi keanekaragaman
genetik pada tanaman salak. Data molekuler dari penanda AFLP juga dapat
digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan dari kultivar lokal salak
Sidempuan. Pada salak Jawa dan salak Bali, data AFLP dapat digunakan untuk
menganalisis hubungan kekerabatan kultivar-kultivar yang dapat mendukung
pengungkapan pemisahan salak Bali dan salak Jawa (Zumaidar et al. 2015).
Keanekaragaman morfologi dan genetik dalam populasi salak sangat
penting dipahami dan dipertahankan dalam upaya konservasi plasma nutfah salak
Indonesia. Keanekaragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu
populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya (Damayanti 2007). Informasi mengenai hubungan kekerabatan dari
kultivar lokal salak Sidempuan diharapkan dapat menunjang dan mempercepat
proses perbaikan salak Sidempuan di masa yang akan datang.
Pengetahuan tentang keanekaragaman genetik tanaman dapat digunakan
untuk keperluan evaluasi dan seleksi tanaman yang akan dibudidayakan.
Informasi filogeni berdasarkan data molekuler sangat penting dalam rangka
memperjelas kedudukan sistematika (klasifikasi), konservasi, dan menjadi data
11
12
dasar keanekaragaman genetik untuk penangkar tanaman dalam rangka perakitan
tanaman unggul Indonesia (Fitmawati 2008).
2.6 Kegunaan Salak
Beberapa pemanfaatan salak telah dilakukan oleh masyarakat di Indonesia
pada S. sumatrana dan S. zalacca karena buahnya yang enak dimakan sehingga
memiliki nilai jual tinggi, Salacca glabrescens di Burma dan S. wallichiana di
Thailand juga bernilai ekonomi (Mogea 1984). Salak tidak hanya dimakan sebagai
buah segar pencuci mulut, tetapi saat ini juga sudah dikembangkan lebih
bervariasi. Diversifikasi pemanfaatan salak dapat berupa dodol salak, manisan,
asinan salak baik dalam bentuk basah maupun kering (Mogea 1973). Di Bali,
salak juga dibuat menjadi minuman (Nazaruddin dan Kristiawati 1996).
Pemanfaatan tanaman salak dapat dilakukan pada semua organ tanaman.
Buah yang belum matang dapat digunakan dalam rujak, yaitu semacam salad
pedas terdiri dari campuran buah-buahan yang belum matang. Di Tapanuli Selatan
buah salak digunakan sebagai obat diare (Nazaruddin dan Kristiawati 1996). Biji
salak Pondoh yang masih muda dapat dimakan. Di Cina, bunga dari tanaman
salak digunakan sebagai obat batuk (Burkill 1935).
Batang pohon salak dapat disusun dan ditanam dalam jarak yang rapat
sehingga membentuk pagar pelindung yang tidak tergoyahkan. Daunnya yang
tajam dan runcing juga dapat digunakan dalam pembuatan pagar. Masyarakat
tradisional di Thailand memanfaatkan daun salak sebagai bahan untuk pembuatan
atap rumah. Tangkai daun salak dipakai sebagai bahan yang dapat dianyam untuk
pembuatan tikar secara tradisional (Mogea 1973, Schuiling dan Mogea 1992,
Dransfield et al. 2008). Kulit buah salak yang selama ini terbuang juga telah
dimanfaatkan pada produk keramik dan kerajinan seni lainnya (Hendri 2012,
Hendri dan Arianingrum 2010).
Masyarakat Desa Condet, Pasar Rebo, Jakarta, menanam salak bersama-
sama dengan jenis tumbuhan lain di antaranya Sandoricum koetjape, Arenga
pinnata, Lansium domesticum, Parkia speciosa, Durio zibethinus, Gnetum
gnemon, Artocarpus heterophyllus. Demikian juga halnya dengan Masyarakat
Desa Cilangkap, Manonjaya, Tasikmalaya Jawa Barat, menanam salak dengan
beberapa jenis lainnya di antaranya Durio zibethinus, Moringa oleifera,
Artocarpus heterophyllus (Mogea 1973). Ditinjau dari segi konservasi jenis,
sistem pengembangan perkebunan salak secara tumpangsari sangat
menguntungkan bagi ketahanan jenis tanaman khususnya terhadap serangan hama
dan penyakit. Selain itu sistem tumpangsari juga berguna bagi konservasi lahan,
karena serapan hara tidak hanya didominasi oleh unsur tertentu saja tetapi
bervariasi selaras dengan jumlah jenis tanaman yang ada. Bahkan jika
memungkinkan sistem tumpangsari tanaman salak ini dikembangkan sebagai
model perkebunan di daerah konservasi khususnya untuk daerah penyangga yang
tidak hanya menguntungkan untuk perlindungan daerah inti tetapi juga
mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan.
13
3 METODE
3.1 Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini berupa spesimen
herbarium salak yang berasal dari Herbarium Bogoriense, Bogor; Herbarium
Leiden, Belanda; dan Herbarium Kewense, Inggris; tanaman salak yang dikoleksi
dari Aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi
Utara, koleksi hidup dari Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekar Sari, dan kebun
pribadi Gregory Garnadi Hambali.
Bahan yang digunakan untuk merevisi marga Salacca adalah seluruh
spesimen herbarium salak yang berasal dari tiga herbarium, berjumlah 500 lembar
mewakili 19 jenis salak dari 22 jenis salak yang pernah dilaporkan sebelumnya
(Tabel 1); dan tanaman salak yang dikoleksi untuk pembuatan herbarium yang
berasal dari enam provinsi. Tiga jenis salak tidak ditemukan spesimen
herbariumnya yaitu Salacca flabellata, S. sarawakensis, dan S. stolonifera
sehingga pengamatan dilakukan pada gambar tipe dari protolog, yang secara
taksonomi telah diterima oleh para peneliti Arecaceae.
Tabel 1 Spesimen salak yang diamati No Nama Jenis Daerah Koleksi Asal Herbarium
1 S. affinis Sumatra, Semenanjung Malaya,
Jawa, Borneo
Bogoriense
2 S. bakeriana Borneo Kewense
3 S. clemensiana Mindanao Kewense
4 S. dolicholepis Borneo Bogoriense
5 S. dransfieldiana Borneo Bogoriense
6 S. glabrescens Semenanjung Malaya Bogoriense, Kewense
7 S. graciliflora Semenanjung Malaya Bogoriense
8 S. griffithii Thailand Kewense
9 S. lophospatha Borneo Kewense, Leiden
10 S. magnifica Borneo Bogoriense
11 S. minuta Semenanjung Malaya Kewense
12 S. multiflora Semenanjung Malaya Kewense
13 S. ramosiana Borneo Bogoriense
14 S. rupicola Borneo Kewense
15 S. scunda India Kewense
16 S. sumatrana Jawa, Sumatra Bogoriense, Kewense, Leiden
17 S. vermicularis Borneo Bogoriense
18 S. wallichiana Thailand Bogoriense
19 S. zalacca Jawa Bogoriense
Pengoleksian sampel salak budi daya yaitu Salacca sumatrana dan S.
zalacca berasal dari Aceh (Aceh Tenggara), Sumatra (Padang Sidempuan dan
Tapanuli Selatan), Jawa Barat (Bogor, Tasikmalaya, Sumedang), Yogyakarta
(Sleman), Jawa Tengah (Magelang), dan Sulawesi (Minahasa). Spesimen tanaman
salak yang dikoleksi seluruhnya disimpan di Herbarium Bogoriense, LIPI
Cibinong. Pemilihan individu salak yang dikoleksi untuk pembuatan spesimen
herbarium mewakili kultivar yang dimaksud oleh petani. Masing-masing kultivar
salak diambil sebanyak 3 individu pada setiap lokasi.
14
Bahan tanaman S. zalacca digunakan untuk menganalisis molekuler salak
Jawa dan salak Bali, dikoleksi dari lapangan dan berjumlah 91 individu meliputi
kultivar lokal berasal dari Jawa Barat: Bogor (Kebun Raya Bogor, Kebun Pribadi
Gregory Hambali, dan Taman Buah Mekar Sari), Sumedang, Tasikmalaya; Jawa
Tengah, Yogyakarta, Sulawesi, dan Aceh (Tabel 2). Dari 91 individu salak,
seluruhnya termasuk dalam 22 kultivar, terdiri atas 11 kultivar yang telah dilepas
dan 11 kultivar lokal. Adapun kultivar yang telah dilepas adalah Condet, Salak
Tanpa Duri, Pondoh, Gading, Slebong, Jawa Lokal, Nglumut, Gula pasir, Bali,
Manggala, dan Madu (Kaidah 1999, PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015).
Dari 22 kultivar tersebut, 6 kultivar termasuk dalam kelompok salak Bali dan 16
kultivar termasuk dalam kelompok salak Jawa.
No Nomor Koleksi Nama Kultivar Asal Koleksi
Desa Kecamatan Kabupaten/
Kota
Provinsi
1 ZM 01 Bongkok Bongkok Paseh Sumedang Jawa Barat
2 ZM 02-ZM03 Slebong Bongkok Paseh Sumedang Jawa Barat
3 ZM 04 Manonjaya Lokal Cilangkap Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat
4 ZM 05 Pontas Cilangkap Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat
5 ZM 08 Kembang Arum Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
6 ZM 09 Tanpa Duri Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
7 ZM 10 Gading Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
8 ZM 11 Manggala Hijau Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
9 ZM 12 Ciamis Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
10 ZM 13 Bali Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
11 ZM 14 Totok Lebar Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
12 ZM 15 Totok Kecil Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
13 ZM 16 Gula pasir Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
14 ZM 17 Super Hijau Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
15 ZM 18; ZM 22 –
ZM 23
Pondoh Kuning Taman Salak
Nusantara
Turi Sleman Yogyakarta
16 ZM 19 Nglumut Nglumut Magelang Jawa Tengah
17 ZM 20-ZM 21 Madu Baleranti Turi Sleman Yogyakarta
18 ZM 24 Jawa Lokal Babatan Turi Sleman Yogyakarta
19 ZM 25 Pondoh Kuning Babatan Turi Sleman Yogyakarta
20 ZM 26 Pondoh Hitam Babatan Turi Sleman Yogyakarta
21 ZM 27-ZM 28 Madu Soko Turi Sleman Yogyakarta
22 ZM 43-ZM 47 Bali Jawa Taman Buah Mekar
Sari
Cileungsi Bogor Jawa Barat
23 ZM 48-ZM 49 Condet Taman Buah Mekar
Sari
Cileungsi Bogor Jawa Barat
24 ZM 61-ZM 63;
ZM 126
Pondoh - - Minahasa Sulawesi
25 ZM 69-ZM 73 Pondoh - - Aceh
Tenggara
Aceh
26 ZM 77-ZM 78 Jawa Kebun Raya Bogor Bogor Utara Bogor Jawa Barat
27 ZM 80-ZM 83 Gading Kebun Raya Bogor Bogor Utara Bogor Jawa Barat
Tabel 2 Nomor dan asal koleksi Salacca zalacca yang diamati
15
Bahan tanaman S. sumatrana digunakan untuk menganalisis
keanekaragaman morfologi dan molekuler, berasal dari Aceh yaitu Aceh
Tenggara; Jawa Barat di Bogor yaitu di Taman Buah Mekar Sari, Kebun Raya
Bogor, Kebun GG Hambali; Sumatra Utara yaitu di Kota Padang Sidempuan dan
Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 5 desa yaitu Desa Sitaratoit, Batubujur,
Sigemuruh, Sitinjak dan Sabungan Jae. Di Sumatra Utara, masing-masing desa
diwakili oleh satu perkebunan salak Sidempuan milik masyarakat dan dianggap
sebagai satu populasi. Masing-masing populasi diwakili oleh 8-10 individu.
Pemilihan individu sebagai sampel salak yang dikoleksi untuk pembuatan
spesimen herbarium didasarkan pada warna buah yang mewakili kultivar yang
dimaksud oleh petani. Masing-masing kultivar warna buah salak diambil
sebanyak 3-5 individu pada setiap populasi. Tanaman salak Sidempuan yang
dikoleksi berjumlah 91 individu (Tabel 3).
Tabel 2 (Lanjutan)
No Nomor Koleksi Nama
Kultivar
Asal Koleksi
Desa Kecamatan Kabupaten/
Kota
Provinsi
28 ZM 84-ZM 86 Jawa Lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
29 ZM 87-ZM 89 Bali Sedikit
Duri
Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
30 ZM 90-ZM 92 Kate Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
31 ZM 93- ZM 95 Bali Lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
32 ZM 96-ZM 98 Gula pasir Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
33 ZM 99-ZM 101 Gading Bali Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
34 ZM 102-ZM 103 Sedikit Duri
Asal Batujajar
Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
35 ZM 104-ZM 109 Mawar Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
36 ZM 110-ZM 112;
ZM 185-ZM 195
Pondoh Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
37 ZM 113-ZM 114 Gading Jawa Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
38 ZM 115 Jawa lokal Kebun GG Hambali Bogor Timur Bogor Jawa Barat
Tabel 3 Nomor dan asal koleksi Salacca sumatrana yang diamati
No Nomor Koleksi Status
Salak
Jumlah
tanaman
Asal Koleksi
Desa Kecamatan Kabupa
ten/Kota
1 ZM29-ZM 42 Budi daya 14 Taman Buah
Mekar Sari
Cileungsi Bogor
2 ZM 52–ZM 60 Budi daya 9 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang
Sidempuan
3 ZM64-ZM 68 Budi daya 5 - - Aceh Tenggara
4 ZM 74–ZM 76 Budi daya 3 Kebun Raya
Bogor
Bogor Utara Bogor
5 ZM116-ZM 117 Budi daya 2 Kebun GG
Hambali
Bogor Timur Bogor
6 ZM 127- ZM 135 Budi daya 9 Sitaratoit Angkola Barat Tapanuli Selatan
7 ZM 136- ZM 143 Budi daya 8 Batubujur Angkola Barat Tapanuli Selatan
8 ZM 144- ZM 151 Budi daya 8 Sigumuru Angkola Barat Tapanuli Selatan
9 ZM 152- ZM 161 Budi daya 10 Sitinjak Angkola Barat Tapanuli Selatan
10 ZM 162- ZM 170 Budi daya 9 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang
Sidempuan
11 ZM 171-ZM 172 Budi daya 2 Taman Buah
Mekar Sari
Cileungsi Bogor
12 ZM 173-ZM 184 Budi daya 12 Sabungan Jae Hutaimbaru Padang
Sidempuan
15
16
Bahan tanaman berupa buah salak segar dari lima jenis salak budi daya
digunakan untuk mengidentifikasi salak potensial, berasal dari Sumatra Utara dan
Jawa Barat. Buah salak segar yang diamati berjumlah 61 (Tabel 4).
Tabel 4 Jenis dan asal koleksi buah salak yang digunakan untuk identifikasi salak
potensial Nama Jenis Nama Kultivar Asal Koleksi Jumlah
Koleksi Lokasi Daerah
S. affinis Kehitaman Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
Kuning Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
Merah Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
Lonjong Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
S. glabrescens Hitam Kebun GG Hambali Jawa Barat 3
S. sumatrana Sidempuan putih Padang Sidempuan Sumatra Utara 3
Sidempuan merah Padang Sidempuan Sumatra Utara 10
Sidempuan hibrid Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
S. wallichiana Hibrid Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
Kuning Taman Buah Mekar Sari Jawa Barat 3
S. zalacca Pondoh Pasar Bogor Jawa Barat 11
Kate Kebun GG Hambali Jawa Barat 3
Mawar Kebun GG Hambali Jawa Barat 2
Jawa lokal Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Bali Kebun GG Hambali Jawa Barat 3
Gading Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Kurang duri Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Batujajar Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Gula pasir Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Boni Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
Madu Kebun GG Hambali Jawa Barat 1
3.2 Prosedur Penelitian
3.2.1 Pengamatan morfologi
Pengamatan morfologi dilakukan untuk merevisi marga salak, mengetahui
perbedaan morfologi salak Jawa dan salak Bali, dan menganalisis
keanekaragaman morfologi salak Sidempuan. Ciri morfologi pada seluruh
tanaman salak mengacu pada kriteria yang digunakan oleh Rifai (1976), Vogel
(1987), Sculling dan Mogea (1992), Haris dan Haris (2013), PPVT (2006), dan
Dransfield et al. (2008).
Tahapan pengerjaan revisi (Vogel (1987): seluruh spesimen salak
dikelompokkan berdasarkan kemiripan morfologi; masing-masing kelompok
dianggap sebagai satu takson; setiap takson dirinci ciri morfologinya khususnya
ciri generatif jika tersedia tanpa melihat nama yang ada pada label spesimen;
analisis didasarkan pada deskripsi pada pengukuran, perawakan dan bagian bunga,
persebaran, catatan ekologi dan kolektor; ciri yang dideskripsikan menjadi acuan
untuk merujuk pada publikasi jenis salak yang sudah divalidasi di World Checklist
of Selected Plant Families; ciri morfologi pada takson yang tidak merujuk pada
jenis yang sudah divalidasi merupakan peluang untuk mendapatkan jenis baru.
Pembuatan kunci identifikasi didasarkan pada ciri pembeda antar jenis salak.
17
3.2.2 Pengamatan molekuler
Pengamatan molekuler dilakukan dengan menganalisis kekerabatan salak
Jawa dan salak Bali, dan keanekaragaman salak Sidempuan. Beberapa tahapan
dilakukan pada pengamatan molekuler, terdiri atas isolasi, restriksi dan ligasi,
preamplifikasi, dan amplifikasi. Primer yang digunakan adalah kombinasi EcoRI-
ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya yaitu EcoRI- ACC dan Mse1-CTT.
1. Isolasi DNA
Isolasi genom DNA seluruh sampel salak menggunakan E.Z.N.A TM SP
Plant DNA Mini Kit Product No. D5511-00 5 preps, D5511-01 50 preps, D5511-
02 200 preps Juni 2008. Isolasi sampel DNA dikerjakan dengan memotong
sampel daun kering atau segar sebanyak 10-30 mg dan selanjutnya digerus hingga
halus menggunakan mortal. Daun yang telah halus selanjutnya ditambahkan
Buffer SP1 sebanyak 600 μl, dituangkan ke dalam tabung ukuran 1.5 ml yang
sebelumnya telah diberi nomor sampel dan dimasukkan Rnase sebanyak 5 μl.
Tabung dikocok menggunakan tangan atau pipet sehingga larutan dapat tercampur
dengan baik. Selanjutnya tabung berisi sampel daun dicampur dengan
menggunakan vortex selama 10 detik dan dimasukkan ke dalam inkubator pada
suhu 65 oC selama 60 menit, dan setiap 15 menit larutan dalam tabung dicampur
dengan menggunakan vortex, sehingga selama satu jam larutan dalam tabung
dicampur dengan menggunakan vortex sebanyak 4-5 kali.
Setelah satu jam diinkubator, tabung sampel ditambah 210 μl Buffer SP2
lalu dikocok dan diletakkan di atas es selama 5 menit, selanjutnya larutan
dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 10
menit. Secara hati-hati supernatan diambil lalu dipindahkan ke dalam tabung
Omega Homogenizer Column yang ditempatkan dalam tabung koleksi 2 ml, dan
larutan dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm
selama 2 menit.
Tabung HiBind DNA Mini Column disiapkan dan ditempatkan dalam
tabung koleksi 2 ml, ditambahkan 200 μl Equilibration Buffer lalu larutan
dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 30-
60 detik. Tabung sampel 1.5 ml diberi nomor sampel lalu supernatan dimasukkan
sebanyak 600 μl lalu ditambahkan 900 μl Buffer SP3 dan dikocok segera dengan
tangan agar larutan menjadi homogen. Larutan sebanyak 700 μl dimasukkan ke
dalam HiBind DNA Mini Column lalu larutan dipisahkan dengan menggunakan
sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.
Larutan pada bagian bawah tabung dibuang lalu ditambahkan lagi sisa
larutan dari tabung sampel sebanyak 800 μl dan selanjutnya larutan dipisahkan
dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.
Larutan di bagian atas dipindahkan ke dalam tabung baru kemudian ditambah 650
μl larutan SPW Wash Buffer yang sudah dielusi dengan etanol, lalu larutan
dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 1
menit. Larutan di dasar tabung dibuang lalu ditambahkan lagi 650 μl larutan SPW
Wash Buffer, lalu larutan dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada
kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Larutan di dasar tabung kembali dibuang
selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000
rpm selama 2 menit.
Tahapan terakhir isolasi adalah tabung HiBind DNA Mini Column
ditempatkan pada tabung sampel 1.5 ml lalu dimasukkan 60 μl Elution Buffer
17
18
yang telah terlebih dahulu disimpan di inkubator pada suhu 65 oC. Tabung larutan
dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 2
menit. DNA yang berada dalam tabung sampel 1.5 ml siap digunakan.
2. Proses restriksi dan ligasi
Proses selanjutnya adalah pemotongan DNA dengan enzim EcoRI dan MseI.
Adaptor yang disiapkan adalah adaptor untuk enzim EcoRI dan MseI. Campuran
reaksi restriksi dan ligasi untuk 10 sampel terdiri atas: 22.62 μl H2O, 10 μl 5x
ligase buffer, 10 μl NaCl 0.5 M, 2.5 μl EcoRI adaptor, 2.5 μl MseI adaptor, 0.63
μl EcoRI (20 U/μl), 1.25 μl MseI (10 U/μl), 0.5 μl T4 DNA Ligase (400 U/μl)
sehingga volume campuran berjumlah 50 μl. Setelah dicampur diatas es maka
disiapkan tabung yang berisi 5 μl sampel DNA ditambah 5 μl campuran enzim
sehingga total volume tabung 10 μl, diinkubasi selama semalam.
3. Proses Preamplifikasi
Pada proses ini primer EcoRI ditambah satu selektif basa A dan primer
Mse1 ditambahkan satu selektif basa C. Campuran untuk preamplifikasi 10
sampel adalah 100 μl master mix merah, 10 μl primer EcoRI-A, 10 μl primer
Mse1-C, dan 60 μl H2O. Campuran preamplifikasi sebanyak 18 μl dan 2 μl DNA
restriksi dan ligasi diamplikasi menggunakan PCR dengan tahapan sebagai
berikut: 72 °C selama 2 detik, dan 20 siklus terdiri atas: 94 °C selama 1 detik,
56 °C selama 30 detik, 72 °C selama 2 detik dan yang terakhir 60 °C selama 30
detik.
4. Proses Amplifikasi
DNA hasil preamplifikasi digunakan sebagai cetakan dengan campuran
bahan dan volume yang sama namun dengan penambahan 3 selektif basa pada
masing-masing primer yaitu EcoRI- ACT dan Mse1-CAT serta kombinasi lainnya
yaitu EcoRI- ACC dan Mse1-CTT. Amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR
berlangsung dengan tahapan sebagai berikut. Tahap preamplifikasi 5 menit pada
suhu 96oC, tahap pemisahan utas 1 menit pada suhu 96
oC, tahap penempelan
primer 1 menit pada suhu 47oC, tahap sintesis 1 menit pada suhu 72
oC, tahap
pasca amplifikasi 10 menit pada suhu 72oC (Trout et al. 1997) dengan sedikit
modifikasi pada suhu penempelan primer. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35
siklus.
5. Visualisasi
Fragmen DNA hasil amplifikasi dilapis pada gel poliakrilamida
menggunakan mesin sekuen ABI 377, yang dapat membedakan tiga label yang
berbeda pada primer. Penempelan primer memungkinkan sinar laser dalam mesin
sekuen mengukur kekuatan floresensi pada ukuran tertentu untuk masing-masing
sampel. Tampilan floresensi pada ukuran tertentu dari kedua kombinasi primer
disebut elektrofenogram (Gambar 1).
Pembacaan elektrofenogram pada sisi kiri menunjukkan nomor koleksi
salak. Secara vertikal pada setiap baris, ada tidaknya puncak pada panjang basa
tertentu menjadi dasar penentuan ciri molekuler untuk setiap nomor koleksi. Jika
pada baris di setiap satu nomor koleksi terdapat puncak maka diberi lambang
angka 1 dan jika tidak ada puncak diberi lambang angka 0. Lambang angka 1 dan
0 dari seluruh ciri molekuler pada setiap nomor koleksi disusun dalam bentuk
matrik.
19
Gambar 1 Contoh elektrofenogram data molekuler Salacca zalacca dari metode
AFLP
3.2.3 Pengujian rasa buah
Uji rasa buah salak dilakukan pada 61 sampel buah salak segar dari lima
jenis salak untuk mengidentifikasi salak potensial. Pengujian rasa buah
menggunakan responden sebanyak 3 orang. Setiap sampel salak yang dikoleksi
diuji rasa buahnya oleh masing-masing responden. Buah salak yang dirasa adalah
buah yang telah matang ditandai oleh susunan sisik yang jarang pada kulit buah.
Kriteria rasa buah salak adalah manis, manis sepat, sepat, sedikit sepat, asam,
asam sepat, asam manis, hambar. Rasa buah selanjutnya dikuantitatifkan dengan
angka, hambar = 0; sepat = 1; asam = 2; manis sepat, sedikit sepat, asam sepat,
dan asam manis = 3; manis = 4.
3.2.4 Pengujian kadar gula buah
Pengujian kadar gula dilakukan untuk mengidentifikasi salak potensial.
Secara kualitatif kadar gula ditentukan dengan menggunakan metode/ alat uji Brix
pada 61 sampel buah salak. Buah segar yang matang digerus sehingga berair, air
buah tersebut diteteskan sebanyak dua tetes di atas kolom Brix yang telah
dihidupkan sebelumnya. Kadar gula dibaca pada monitor Brix dalam bentuk
persentase.
3.2.5 Pengujian kandungan tanin buah
Kandungan tanin diuji secara kualitatif pada 61 sampel buah salak untuk
mengidentifikasi salak potensial. Buah segar yang matang digerus sehingga berair
dan ditambahkan air sebanyak 2 ml, karena tanin dapat larut dalam air (Sax &
Lewis 1989, Farida et al. 2000). Air buah sebanyak 3 ml dimasukkan ke dalam
tabung reaksi lalu diteteskan FeCl3 0.5 M sebanyak 5 μl. Hasil uji dengan warna
hijau kebiruan menunjukkan adanya kandungan tanin. Data tanin ditandai dengan
- = tidak ada kandungan tanin; + = kandungan tanin rendah; ++, +++ = kandungan
tanin sedang; ++++, +++++ = kandungan tanin tinggi. Kandungan tanin yang
memiliki kategori sama namun kode berbeda disebabkan karena warna yang
19
20
muncul pada sampel berbeda. Kandungan tanin dikuantitatifkan dengan angka, - =
0, + = 1, ++ = 2, +++ = 3, ++++ = 4, +++++ = 5.
3.2.6 Kriteria warna daging buah
Warna daging buah didata dari 61 sampel buah salak segar untuk
mengidentifikasi salak potensial. Gradasi warna daging buah dikuantitatifkan
dengan angka, putih = 0, kekuningan =1, kuning jingga = 2, jingga = 3, sebagian
merah = 4, dan merah =5.
3.3 Analisis Data
Analisis data morfologi dan molekuler diolah dengan menggunakan
program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate System) versi 2.02.
Matrik data kualitatif disusun dalam bentuk NT Edit (Rohlf 1998). Analisis
kemiripan data dilakukan dengan menggunakan prosedur SIMQUAL (Similarity
for Qualitative Data) dan menggunakan koefisien SM (Simple Matching).
Dendrogram dihasilkan dari analisis dengan SAHN (sequential agglomerative
hierarchical and Nested Clustering) dan metode UPGMA (Unweighted Pair-
Group Method Arithmetic Average).
Data menyangkut rasa, kadar gula, kandungan tanin, dan warna daging buah
dibuat dalam bentuk matrik. Data matrik dianalisis dengan menggunakan Uji
Korelasi Kendall pada Program R.3.0 (Ihaka dan Gentleman 1996).
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini hasil penelitian yang diperoleh berupa batasan marga, seksi,
dan jenis-jenis salak yang ada di dunia. Cakupan tersebut diuraikan pada subbab
Revisi marga Salacca. Revisi marga Salacca dibuat berdasarkan pengamatan
terhadap 22 jenis salak yang sudah divalidasi namanya dan satu jenis baru yang
sudah dipublikasikan. Seluruh spesimen yang diamati berasal dari tiga herbarium
yaitu Herbarium Bogoriense, Herbarium Leiden, dan Herbarium Kewense,
berjumlah 500 lembar. Pada subbab-subbab berikutnya dibahas hasil penelitian
mengenai salak budidaya yaitu salak Jawa dan salak Bali, salak Sidempuan, dan
identifikasi salak potensial.
4.1 Revisi Marga Salacca
Tiga anak marga yang diusulkan oleh Beccari (1918) yaitu Euzalacca,
Leiozalacca, dan Eleiodoxa, menjadi dasar pengelompokan Salacca ke dalam dua
seksi (Dransfield et al. 2008), yaitu seksi Salacca dan Leiosalacca. Seksi Salacca
memiliki ciri bakal buah dan buah yang ditutupi sisik dengan ujung berduri, rakila
bunga betina tersusun diad yang terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu
bunga jantan; seksi Leiosalacca dengan ciri bakal buah dan buah yang ditutupi
sisik tanpa duri, dan rakila bunga betina hanya terdiri atas satu bunga betina.
Jumlah jenis Salacca saat ini berdasarkan validasi nama yang sah adalah 22
jenis (Govaerts et al. 2013) dan satu jenis baru (Zumaidar et al. 2014), sehingga
jenis salak yang ada di dunia saat ini berjumlah 23 jenis. Dari hasil penelitian
revisi marga Salacca telah diusulkan Salacca acehensis Zumaidar & Mogea
sebagai jenis baru yang ditemukan di Sumatra, khususnya di daerah Aceh
Tenggara dan Sumatera Utara yang berada di kawasan Ekosistem Leuser.
Berdasarkan hasil pengamatan seluruh spesimen herbarium marga Salacca, jenis
ini sangat spesifik karena bentuknya yang kerdil sehingga berbeda dengan jenis-
jenis salak lainnya. Nama jenis baru tersebut telah disematkan oleh Johanes Palar
Mogea pada spesimen herbarium yang dikoleksi oleh dirinya sendiri maupun
koleksi J. Dransfield, namun belum pernah dipublikasikan. Peneliti yang paling
banyak menyumbang karyanya mengenai keberadaan jenis-jenis salak adalah Dr.
J.P. Mogea.
Pembagian seksi Salacca pada subbab di bawah ini mengacu pada dua seksi
yang diusulkan oleh Uhl dan Dransfield (1987). Pengamatan 23 jenis salak
menghasilkan pengelompokkan bahwa hanya dua jenis yang dikelompokkan ke
dalam seksi Leiosalacca dan 21 jenis dikelompokkan ke dalam seksi Salacca
termasuk di dalamnya jenis baru.
4.1.1 Morfologi marga Salacca
Habitat
Dari 14 jenis salak yang diteliti dan satu jenis baru, ditemukan bahwa
habitat salak bervariasi. Salak ditemukan di punggung bukit, sisi bukit atau
lembah hutan dipterocarpa dataran rendah, bukit batu kapur, juga daerah rawa,
mata air, dan aliran sungai. Pada daerah danau juga ditemukan salak (Beccari,
22
1909). Habitat salak memiliki kisaran ketinggian yang luas dari 10-1700 m dpl,
namun kebanyakan terdapat pada dataran rendah. Salacca affinis adalah jenis
yang berada pada ketinggian paling rendah sedangkan S. dolicholepis ditemukan
pada daerah paling tinggi dari permukaan laut. Jenis yang memiliki kisaran
ketinggian paling luas adalah S. dolicholepis dan S. acehensis yaitu pada
ketinggian 200-1700 m dpl dan 200-1200 m dpl. Salak juga ditemukan di daerah
terbuka dari hutan sekunder atau hutan yang terganggu hingga hutan primer, dari
daerah batu kapur, tanah alluvial, hingga tanah humus yang sangat subur. Di hutan,
daun muda dari tanaman salak menjadi makanan yang diincar oleh gajah.
Perawakan
Semua jenis salak tumbuh berkelompok, tidak berbatang pada sebagian
jenis salak, jika ada batang sangat pendek ditutupi oleh pelepah daun, namun pada
pohon yang berumur lebih dari 25 tahun batang tegak (Gambar 2a) atau merunduk
(Gambar 2b). Bentuk batang yang pendek atau merunduk pada pohon yang
berumur lebih tua juga ditemui pada S. lophospatha (Dransfield dan Mogea 1981).
Diameter batang berkisar dari 3-60 cm termasuk pelepah. Diameter batang paling
besar dimiliki oleh S. ramosiana. Batang memiliki jarak antar ruas 3-5 cm,
sebagian batang dengan akar udara yang mencolok (Gambar 2c). Tinggi pohon
berkisar dari 0.75 m hingga 16 m. Pohon yang sangat pendek adalah S. zalacca
sedangkan yang sangat tinggi adalah S. wallichiana. Salacca acehensis memiliki
perawakan yang sangat kecil sehingga sangat berbeda dibandingkan dengan jenis
lainnya.
Gambar 2 Perawakan salak, a) batang salak: 1= tegak, 2= batang merunduk,
b) akar udara
Daun
Daun berukuran kecil hingga besar, berjumlah 5-21 per pohon, berupa daun
majemuk berbentuk menyirip atau dengan ujung berbentuk kipas, atau daun
tunggal berbentuk kipas. Daun terdiri atas anak daun yang banyak pada dua
sisinya. Daun memiliki panjang 0.6-18 m. Daun yang paling pendek dimiliki oleh
a b
1
2
23
S. dolicholepis sedangkan daun yang paling panjang dimiliki oleh S. wallichiana.
Daun dari jenis baru, S. acehensis, sangat mirip dengan S. rupicola yaitu anak
daun menyirip dengan ujung menyatu. Perbedaan keduanya terdapat pada jumlah
anak daun yang menyatu diujung daun, 2 anak daun pada S. acehensis dan 8 anak
daun pada S. rupicola.
Pelepah daun memeluk batang, panjang 0.05-1.4 m, terbuka di bagian
tengah hingga ujung pada daun yang dewasa, membulat dan bulat hanya pada
dasar, hijau muda, padat ditutupi indumentum, tersusun membentuk saluran di
atas pangkal, berwarna coklat pucat hingga coklat, beralur dekat pangkal, bundar
pada potongan melintang di bagian distal, permukaan berkerut, bagian abaksial
berduri. Bekas menempel duri saat daun muda disebut ridges, sangat jelas karena
adanya indumentum pada pelepah. Indumentum akan semakin berkurang seiring
bertambahnya umur tanaman. Pelepah maupun tangkai daun jika dipotong akan
mengeluarkan getah yang berwarna kekuningan.
Panjang tangkai daun berkisar 0.12-1.5 m, diameter 1-2 cm, dengan
indumentum sama seperti pada pelepah. Bagian tengah tangkai daun pada
potongan melintang berbentuk bulat berdiameter 2.5 cm, pada sisi yang lebih
rendah agak pipih berduri.
Helaian daun berukuran panjang 0.4-6 m. Pada daun majemuk maupun daun
tunggal bagian paling lebar terdapat di bagian tengah, namun pada daun tunggal
bagian paling lebar juga ditemukan di bagian ujung daun. Permukaan atas daun
berwarna hijau mengkilap, permukaan bawah berwarna keputihan atau agak abu-
abu. Helaian daun berbentuk kipas berukuran panjang 80-120 cm, lebar 40-70 cm,
memiliki lekukan di ujung daun, panjang sekitar 4 cm. Rakis daun memiliki
indumentum yang sama seperti pada pelepah, panjang rakis mencapai 4.5 m,
diameter pangkal rakis 1-2.5 cm, bagian abaksial berduri tetapi bagian adaksial
tidak berduri, berbentuk elip pada potongan melintang di bagian pangkal.
Duri terdapat pada pelepah, tangkai daun, bahkan di bagian pinggir daun
dan beberapa pada tulang daun bagian atas. Ukuran duri bervariasi dari pendek
hingga panjang, kisaran panjang 0.2-12 cm, lebar 0.5-2 cm, dan tebal 0.3 mm,
soliter atau berkelompok dalam susunan yang tidak beraturan, pada rakis biasanya
soliter atau berkelompok dengan jumlah 2-4 kadang berupa kait, dengan jarak 7
cm. Jumlah duri berkelompok pada pelepah berkisar 4-17, juga terdapat duri
soliter. Ukuran duri terpanjang biasanya terdapat di daerah pangkal hingga bagian
tengah pelepah dengan panjang berkisar 3-10 cm dan lebar 0.2-1.5 cm.
Anak daun berjumlah 15-50 pada sisi rakis, tersusun berseling dan atau
berhadapan, bahkan ada yang terdapat di bagian atas rakis. Anak daun memiliki
ukuran yang berbeda pada bagian pangkal, tengah dan ujung daun, berukuran
panjang 14-90 cm, lebar 1.5-8 cm, anak daun biasanya soliter di bagian pangkal
atau ujung, atau berkelompok 2-4 di bagian tengah, biasanya di bagian ujung
berbentuk kipas dengan 2-10 lekukan. Urat daun sangat jelas dan terang. Tepi
anak daun berduri kecil yang berbentuk kait dengan ukuran panjang 2-3 mm
berjarak 3-10 mm.
Perbungaan
Perbungaan jantan memiliki posisi tegak, muncul dari ketiak daun, kadang
melengkung, bahkan menjulur di atas permukaan tanah seperti cambuk, berstolon,
bercabang atau tidak. Perbungaan jantan berukuran panjang 7-400 cm, lebar 4 cm,
23
24
termasuk braktea, kadang menghasilkan tumbuhan baru, berakar dan tumbuh di
bagian ujung perbungaan, membentuk koloni dengan jarak 2-4 m, berdiameter 3-4
mm dengan jarak panjang antar buku 5-10 cm. Perbungaan biasanya dilindungi
oleh braktea yang saling menindih namun juga ada perbungaan yang tidak saling
menyatu dalam braktea. Tangkai perbungaan jantan berukuran panjang 1-15 cm,
berdiameter 0.2-10 cm. Satu perbungaan terdiri atas 2-25 rakila, silindris,
berukuran panjang 1.5-24 cm, lebar 1.5-11 cm, berdiameter 0.4-1.5 cm dengan
tangkai rakila yang pendek. Brakteola berjumlah 2-3, memiliki sedikit rambut
hingga banyak di bagian abaksial, panjang 3 cm. Bunga jantan tersusun sepasang
dalam brakteola yang lebar di bagian dasar dan pipih, tinggi hingga 0.75 mm,
berukuran panjang 6 mm dan lebar 4 mm, dengan sekelompok rambut yang
transparan berukuran panjang 1-2 mm dari pinggir brakteola. Bunga tersusun
sangat rapat sehingga letaknya yang pertama tidak jelas, kuncup di bagian ujung
ada yang tidak berkembang. Bunga jantan berukuran panjang 5-8 mm, lebar 2-4
mm, daun kelopak berjumlah 3 saling lepas atau menyatu pada pangkal hingga ¾,
tinggi 3 mm, berukuran panjang 4-5 mm dan lebar 1 mm, mahkota panjang 5 mm,
menyatu di bagian pangkal hingga 3 mm; daun mahkota berjumlah 3 saling
berlekatan dari pangkal hingga setengah bagian panjangnya; benang sari
berjumlah 6, 3 melekat di bagian tengah masing-masing daun mahkota dan 3
lainnya terletak di antara daun mahkota yang saling berlekatan, tangkai sari
berwarna merah, berukuran panjang 6 mm dan lebar 2 mm, berwarna putih,
kepala sari berwarna kuning berukuran panjang 1 mm. Bunga mekar dimulai dari
bagian pangkal menuju bagian ujung rakila.
Perbungaan betina memiliki posisi tegak, bentuk lebih atau sedikit silindris,
lebih pendek, sama, atau lebih panjang dari perbungaan jantan; berukuran panjang
15-200 cm, lebar 5.5-7 cm, berjumlah 2-7 pada satu pohon. Perbungaan betina
yang panjang dan menjulur di atas permukaan tanah tidak menghasilkan
tumbuhan baru di bagian ujungnya. Braktea berjumlah lebih dari satu, semakin ke
dalam semakin panjang ukurannya, berbentuk perahu, berukuran panjang 2.5-40
cm, di bagian pangkal lebarnya 7 cm. Tangkai perbungaan berukuran panjang 8
cm, diameter 1.5 cm tertutup oleh braktea. Rakila berjumlah 1-10, berukuran
panjang 1.5-17 cm, lebar 1.3-3 cm, diameter 10-35 mm. Bunga berjumlah 15-40
pada rakila, tersusun soliter yaitu satu bunga hermafrodit atau diad terdiri atas satu
bunga jantan dan satu bunga hermafrodit dalam satu atau dua brakteola yang
saling menindih. Brakteola pasangan bunga berukuran panjang 8-9 mm dan lebar
5-6 mm, permukaan abaksial kasar karena adanya alur-alur yang lurus dari
pangkal hingga ujung brakteola dan memiliki indumentum berupa sisik atau
rambut berwarna putih hingga coklat, sedangkan bagian adaksial licin. Bunga
hermafrodit berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan bunga jantan. Bakal
buah ditutupi oleh sisik seperti duri yang berjumlah sangat banyak lebih dari 40.
Catatan: Perbungaan pada salak disebut dioesis karena bunga jantan dan
bunga betina terdapat pada tanaman yang berbeda. Umumnya pengertian yang
dimaksud tanaman berbeda pada dioesis adalah pada satu tanaman terdapat bunga
dengan kelamin betina saja sedangkan pada tanaman lain terdapat bunga dengan
kelamin jantan saja. Kenyataannya pada salak tidaklah demikian. Perbungaan
betina yang umum dikenal pada tanaman salak sebenarnya adalah bunga
andromonoesis, tersusun diad terdiri atas bunga hermafrodit dan bunga jantan,
benangsari pada kedua bunga bersifat steril karena tidak menghasilkan serbuksari.
25
Pada perbungaan jantan bunga tersusun diad terdiri atas dua bunga jantan yang
menghasilkan serbuksari. Jika istilah dioesis masih digunakan pada tanaman salak
maka pengertiannya diarahkan untuk menunjukkan bahwa bunga yang berfungsi
sebagai kelamin betina dan kelamin jantan berada pada tanaman yang berbeda.
Perbungaan betina juga tepat digunakan jika masih menggunakan istilah dioesis.
Jika perbungaan betina diganti dengan andromonoesis maka istilah dioesis tidak
tepat digunakan. Saat ini belum ada istilah lain yang dapat digunakan
menggambarkan perbungaan tanaman yang memiliki kelamin jantan dan
andromonoesis pada tanaman yang berbeda.
Buah
Buah bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna kulit, keberadaan duri pada
sisik, susunan sisik, dan jumlah biji. Buah berbentuk bulat, membulat, atau
lonjong, berukuran panjang 4-8 cm, berdiameter 3-8 cm. Kulit buah berwarna
hitam, coklat, coklat kemerahan, jingga, atau kekuningan. Sisik pada kulit buah
tidak berduri atau berduri, dengan arah susunan vertikal atau spiral. Biji berjumlah
1-3 dalam satu buah.
4.1.2 Persebaran jenis salak
Salak tersebar dari Burma, di bagian tengah dan selatan Thailand, dan di
banyak provinsi di Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa, Bali, Borneo,
Sulawesi, Ambon, hingga Filipina (Gambar 3). Borneo adalah daerah paling
tinggi keanekaragaman jenis salak, ditemukan 11 jenis salak. Urutan kedua
ditemukan di daerah Semenanjung Malaya sebanyak 8 jenis. Setengah dari jumlah
jenis salak yang terdapat di Semenanjung Malaya sangat penting dikonservasi
untuk keberlangsungan plasma nutfah salak karena tersebar pada daerah yang
terbatas yaitu S. flabellata, S. minuta, S. multiflora, dan S. graciliflora. Jenis yang
paling luas sebarannya karena dibudidayakan adalah S. zalacca.
Gambar 3 Persebaran jenis salak di dunia
25
26
4.1.3 Deskripsi marga Salacca
Salacca Reinw.
Salacca Reinw., Syll. Ratisb. 2: 3 (1826 [‘1828’]). Tipe: S. edulis Reinw. =
Salacca zalacca (Gaertn.) Voss.
Lophospatha Burret, Notizbl. Bot. Gart. Berlin-Dahlem 15: 752 (1942).
Tipe: Lophospatha borneensis Burret (= Salacca lophospatha J. Dransf. &
Mogea).
Tumbuhan berkelompok, dioesis atau monoesis, pleonantik atau
hapaksantik, batang pendek, berduri. Batang banyak buku, permukaan kasar agak
keras, coklat muda keputih-putihan. Daun tunggal bentuk kipas atau majemuk
menyirip atau dengan ujung bentuk kipas; pelepah daun saling menindih
membentuk tabung; tangkai daun membulat di bagian abaksial, adaksial dan
abaksial berduri; rakis bentuk segitiga; anak daun kadang soliter di pangkal atau
ujung, berkelompok di tengah, atau menyatu diujung; tulang utama anak daun 1-3,
tulang halus banyak; warna permukaan atas dan bawah daun sama atau berbeda,
jika berbeda, di bagian atas hijau sampai hijau tua, bagian bawah keputih-putihan.
Perbungaan muncul dari tengah-tengah adaksial hingga menembus abaksial,
membelah pangkal pelepah, bercabang, tegak, menjuntai atau menjulur di atas
permukaan tanah, jika menjuntai bersifat sebagai stolon atau tidak; rakila bunga
jantan lebih ramping dan lebih panjang dari rakila bunga betina; bunga tersusun
diad dalam 2 brakteola tertutup indumentum bagian abaksial, daun kelopak 3,
daun mahkota 3, benang sari 6, putik 1, kepala putik 3. Buah bulat, membulat,
atau lonjong; bagian dasar meruncing, bagian ujung membulat, terdapat bekas
kepala putik; kulit buah bersisik, berduri tajam atau tumpul, kekuning-kuningan
hingga coklat kehitaman, daging buah putih, kekuningan, jingga hingga merah.
Biji keras, coklat kehitam-hitaman, bentuk menyerupai segitiga hingga bulat, 1-3.
Kunci seksi Salacca
A. Perbungaan betina tersusun soliter yaitu bunga hermafrodit, sisik pada kulit
buah tanpa duri, permukaan sisik halus….............................Seksi Leiosalacca
B. Perbungaan betina tersusun diad terdiri atas bunga hermafrodit dan bunga
jantan, sisik pada kulit buah berduri, permukaan sisik kasar……Seksi Salacca
A. Seksi Leiosalacca (Beccari) Uhl & Dransfield
Seksi Leiosalacca (Beccari) Uhl & Dransfield, Genera Palmarum, 251
(1987). Tipe: Salacca affinis Griff.
Seksi ini terdiri atas dua jenis yaitu S. affinis dan S. ramosiana yang tersebar
di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Borneo. Ciri yang menyatukan seksi ini
adalah rakila bunga hermafrodit tersusun soliter; kulit buah tersusun dari sisik
dengan ujung yang tumpul, permukaan sisik halus dan mengkilat.
Kunci jenis seksi Leiosalacca
1. Anak daun dengan ujung berlekuk…………………………….S. ramosiana
2. Anak daun dengan ujung tidak berlekuk …………………………..S. affinis
27
B. Seksi Salacca
Uhl & Dransfield, Genera Palmarum, 251 (1987). Tipe: Salacca zalacca
(Gaertn.) Voss.
Seksi ini terdiri atas 21 jenis yaitu S. acehensis, S. bakeriana, S.
clemensiana, S. dolicholepis, S. dransfieldiana, S. flabellata, S. glabrescens, S.
graciliflora, S. griffithii, S. lophospatha, S. magnifica, S. minuta, S. multiflora, S.
rupicola, S. sarawakensis, S. secunda, S. stolonifera, S. sumatrana, S.
vermicularis, S. wallichiana, dan S. zalacca. Jenis-jenis ini tersebar dari Cina,
Myanmar, Thailand, India, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa, Bali,
Borneo, Sulawesi, Ambon, hingga ke Filipina. Ciri yang menyatukan seksi ini
adalah perbungaan bunga betina tersusun diad, terdiri atas satu bunga hermafrodit
dan satu bunga jantan; kulit buah tersusun dari sisik dengan ujung runcing yang
melengkung seperti duri, permukaan sisik kasar.
Kunci jenis seksi Salacca
1 a Daun majemuk 2
b Daun tunggal 16
2 a Perawakan kerdil, tinggi batang ≤ 15 cm 3
b Perawakan sedang hingga besar, tinggi batang ≥ 20 cm 4
3 a Anak daun di ujung menyatu hingga 10 bagian S rupicola
b Anak daun di ujung menyatu hanya 2 bagian S acehensis
4 a Perbungaan hapaksantik 5
b Perbungaan pleonantik 6
5 a Anak daun berseling S. secunda
b Anak daun berhadapan S. griffithii
6 a Perbungaan berfungsi sebagai stolon 7
b Perbungaan tidak berfungsi sebagai stolon 8
7 a Batang tinggi hingga 70 cm, diameter 5-8 cm S. stolonifera
b Batang tinggi hanya 20 cm, diameter 2.5 cm S. graciliflora
8 a Terdapat anak daun di atas rakis S. wallichiana
b Tidak terdapat anak daun di atas rakis 9
9 a Perbungaan jantan menjulur di tanah S. bakeriana
b Perbungaan jantan menjuntai atau tegak 10
10 a Perbungaan jantan menjuntai S. glabrescens
b Perbungaan jantan tegak 11
11 a Brakteola berambut 12
b Brakteola bersisik 13
12 a Brakteola berambut jarang S. lopospatha
b Brakteola berambut banyak 14
13 a Rakila bunga jantan ≥ 15 S. vermicularis
b Rakila bunga jantan ≤ 13 15
14 a Panjang rakila bunga jantan 5-7 cm S. clemensiana
b Panjang rakila bunga jantan 12 cm S. dolicholepis
15 a Tinggi pohon hingga 10 m, panjang anak daun
hingga 110 cm
S. sumatrana
b Tinggi pohon hingga 8 m, panjang anak daun
hingga 69 cm
S. zalacca
27
28
16 a Perawakan besar, tinggi pohon hingga 6.5 m,
panjang daun hingga 6 m
S. magnifica
b Perawakan sedang, tinggi pohon hingga 3 m,
panjang daun kurang dari 3 m
17
17 a Permukaan daun bawah dan atas berwarna sama S. sarawakensis
b Permukaan daun bawah dan atas berbeda warna 18
18 a Perbungaan jantan menjulur di tanah 19
b Perbungaan jantan tegak 20
19 a Panjang perbungaan jantan hingga 2 m S. flabellata
b Panjang perbungaan jantan 1.5 m S. minuta
20 a Perbungaan jantan memiliki rakila berukuran ≤ 2.5 cm S. multiflora
b Perbungaan jantan memiliki rakila berukuran 7 cm S. dransfieldiana
4.1.4 Deskripsi jenis Salacca
1. Salacca acehensis Zumaidar & Mogea sp. nov.
Salacca acehensis Zumaidar & Mogea, Phytotaxa 159(4): 287-290 (2014).
Tipe: Indonesia, Sumatra, Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Tenggara, Gunung
Kemiri, lereng hutan dipterocarpa, 900 m dpl., 18 November 1975, J.P.Mogea
568 (Holotipe BO!; Isotipe K!, L!).
Pohon kerdil, pleonantik, dioesis, berkelompok, tinggi 1.5–2 m. Batang,
panjang 10–15 cm, diameter 3–5 cm, jelas terlihat bekas daun. Daun 5–12 per
batang, panjang 1–2.5 m; pelepah 5–6 cm lebar di dasar, abaksial tertutup
indumentum coklat, bagian tengah dikelilingi duri berbentuk sisir, setiap
kelompok 4–5 duri, segitiga, kekuningan, panjang 25 mm, lebar 2 mm di dasar,
duri pendek juga terdapat dalam kelompok; semua duri tertutup indumentum di
adaksial; tangkai daun pipih, panjang 75–125 cm, diameter 9 mm di dasar,
diameter 5 mm di tengah, segitiga, tertutup indumentum, coklat pucat hingga
coklat gelap, duri berkelompok atau soliter; anak daun 10–12 di tiap sisi daun,
berseling, berkelompok 2–3 dekat dasar, pangkal membulat, ujung meruncing,
tepi daun terdapat duri, panjang 0.5 mm, jarak 3–5 mm, ujung melengkung,
adaksial hijau gelap, tertutup indumentum coklat, abaksial kuning keabuan,
indumentum coklat gelap di dasar dan tepi; anak daun di bagian tengah panjang
32 cm, lebar 6 cm, dengan 3 tulang daun, jarak 1–2 cm, tulang halus 4–7, adaksial
dengan tulang vena, jelas; ujung anak daun lebar 10 cm di tiap sisi, gabungan 2
anak daun. Perbungaan di ketiak daun, muncul dari daun pelepah. Perbungaan
jantan panjang 7 cm, ramping, tegak, satu hingga 3 cabang, panjang 5 cm, bunga
diad, brakteola pendek; bunga jantan dengan daun kelopak 3, berambut, panjang 3
mm, lebar 2 mm, bagian dasar menyatu, tertutup indumentum rapat; daun
mahkota 3, m, kemerahan di bagian luar, menyatu di setengah bagian, abaksial
memutih, panjang 2 mm, lebar 1 mm; benang sari 6, panjang 1 mm, tangkai sari
merah, kepala sari panjang 1 mm, serbuk sari kuning. Perbuahan muda panjang
10 cm, cabang 1 atau 2, tertutup beberapa braktea; buah muda panjang 7 mm,
lebar 8 mm, tertutup sisik, panjang 3.5 mm, lebar 1 mm.
Persebaran: Sumatra.
Habitat: Dataran rendah hutan dipterocarpa, ketinggian 200-1200 m dpl.
29
Spesimen yang diamati: Sumatra; Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh
Tenggara, Gunung Kemiri, dekat bukit hutan dipterocarpa dan hutan dataran
rendah, dekat sungai, 1200 m dpl., 27 August 1971, J. Dransfield and D. Saerudin
1983 (K); lokasi yang sama, dekat bukit hutan dipterocarpa, 900 m dpl., 18
November 1975, J.P. Mogea 569 (BO), 570 (BO), 572 (BO), 573 (BO), 574
(BO); Provinsi Sumatra Utara, Bukit Lawang Bahorok, Langkat, dekat bukit
hutan dipterocarpa, 200 m dpl., 25 February 1973, J. Dransfield 3310 (BO)
Catatan: Jenis ini sangat mirip dengan S. rupicola dari Borneo. Perbedaan
keduanya terdapat pada perawakan, penyatuan anak daun di ujung daun, dan
perbungaan. Namun S. acehensis memiliki perawakan yang kerdil, penyatuan
anak daun di ujung lebih sedikit jumlahnya, dan ukuran perbungaan lebih pendek
dibandingkan dengan S. rupicola. Jenis ini memiliki perawakan paling kecil di
antara jenis salak lainnya yang berdaun majemuk. Publikasi lengkap dari jenis ini
terdapat pada Lampiran 1.
2. Salacca affinis Griff.
Salacca affinis Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 9 (1845). Tipe: Semenanjung
Malaya, Ching dekat Malaka Emanuel Fernandez sn. (K!).
Salacca affinis var. borneensis (Becc.) Furtado, Gard. Bull. Singapore 12:
399 (1949). Tipe: Borneo, Sarawak, Kuching, Beccari sn. (SING).
Pohon tumbuh berkelompok. Daun berukuran panjang 3.6-8 m; pelepah
daun panjang hingga 1-2 m, duri yang tersusun melingkar dan ditutupi
indumentum berwarna coklat; tangkai daun panjang 3 m, dipenuhi duri; helaian
daun panjang 1.75-4 m; anak daun berjumlah 50 pasang, berkelompok 2-4,
berukuran panjang 35-45 cm, lebar 6-10 cm; duri sangat panjang, soliter atau
berkelompok dalam susunan yang tidak beraturan, berwarna coklat kekuningan.
Perbungaan jantan panjang 50-100 cm; perbungaan betina panjang 30-50 cm.
Sisik pada buah tidak berduri dengan arah susunan vertikal, rasa buah sangat asam.
Biji berjumlah 1-3 dalam satu buah.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Ching dekat Malaka, Borneo, Sumatra.
Habitat: Hutan primer, hutan primer dipterocarpa dataran rendah, dekat
sungai, rawa-rawa hutan sekunder, hutan hujan tropis, ketinggian10-500 m dpl.
Nama daerah: Salak batool, salak utan, salak hutan, buah salak, pokok
ramgam (Melayu).
Spesimen yang diamati. Jawa, Bogor: Kebun Raya Bogor, 1910, CHB
VG.22 Beccari 271 (BO); lokasi yang sama, April-Mei 1936, C.X. Furtado sn.
(BO, K); Borneo, Kalimantan Timur: Kutai Barat, 16 September 1925, Endert
3353 (BO); Camp Tikah ACTR Longbagun, 30 Juni 1975, 100 m dpl., Harry
Wiriadinata 697 (BO); Tabang, Tapele, di kaki Gunong Batukenye sepanjang
Sungai Belayan, 10 Januari 1979, 120 m dpl., J.P. Mogea: JPM 1592, JPM 1595
(BO); Sakatak, Tarakan Barat, 2 Februari 1979, J.P. Mogea, Gen Murata, Kunio
Iwatsuki & Masahiro Kato: B 1645 (BO); 3 Desember 1979, Afandi Ma’roef: AM
318; Balik Papan, LPH Wanariset, 16 September 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea:
JPM 2587 (BO); Ma Ancalong, Ma Lun, Sungai Kelinjau, September 1980, 150
m dpl., J.P. Mogea: JPM 2673 (BO); Kabupaten Pujungan, Cagar Alam Kayan
Mentarang, Sungai Gong, 25 Juni 1992, 425-450 m dpl., J.A. Mc Donald &
Ismail: 3465 (BO); Kalimantan Selatan: Kiu Pegunungan Meratus, Gunung
Besar Barabai, 2 Oktober 1972, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 2794 (BO); lokasi
29
30
yang sama, 14 Oktober 1972, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 2793 (BO); Sumatra,
Sumatra Selatan: Palembang, Koeboertreken, 1917, W. Grashoff: W 630 (BO);
Rasau, Wai Kambas, 13 Februari 1971, 10 m dpl., J. Dransfield: JD 1248 (BO);
Batu Seburong, Negeri Batin, Muara dua, 15 Maret 1972, 350 m dpl., J.
Dransfield & D. Saerudin: 2449, 2450 (BO); Sumatra Barat: Padang, Hutan
Lindung Panti, 2 November 1975, 50 m dpl., J.P. Mogea: JPM 419 (BO); Jambi:
Kaki Gunung Penetai, sepanjang Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, 21 Juli 1972,
300 m dpl., J. Dransfield: JD 2609 (BO); lokasi yang sama, 500 m dpl., 23 Juli
1972, 500 m dpl., J. Dransfield: JD 2648 (BO); Semenanjung Malaya, Malaysia
Timur: Kedah, Sungai Labong, 31 Mei 1959, C.X. Furtado: 33058 (BO).
Catatan: Jenis ini merupakan tipe dari seksi Leiosalacca. Ciri yang ada pada
jenis ini sangat spesifik khususnya ketiadaan duri di ujung sisik pada kulit buah.
3. Salacca bakeriana J. Dransf.
Salacca bakeriana J. Dransf., Palms 53: 168 (2009). Tipe: Borneo,
Sarawak: Kuching Division, Baker & J. Dransfield WJB 724 (Holotipe: K!;
Isotipe: KEP, SAN, SAR, SING).
Perawakan sedang, pohon berkelompok, berduri, dioesis, pleonantik. Batang
diameter 6 cm. Daun tegak, panjang 3.5 m; pelepah diameter sekitar 12 cm, anak
daun tersusun pada sisi rakis. Perbungaan jantan dan betina sama panjang hingga
1.2 m; tangkai perbungaan jantan panjang 2 cm, diameter 0.7 cm, menjulur di atas
permukaan tanah, bunga jantan tersusun sepasang. Rakila perbungaan betina
berukuran panjang hingga 5 cm, lebar 1.3 cm; tersusun diad terdiri dari satu bunga
jantan dan satu bunga hermafrodit.
Persebaran: Borneo, Sarawak, Kuching Selatan.
Habitat: Tepi curam di atas sungai dari hutan yang terganggu.
Spesimen yang diamati: Borneo, Sarawak: Kuching Division, Baker & J.
Dransfield WJB 724 (K).
Catatan: Kata penunjuk jenis salak ini berasal dari nama kolektor spesimen
yang juga ahli palem yaitu William J Baker yang disematkan oleh J Dransfield.
Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. stolonifera dan S. graciliflora pada
perbungaannya yang panjang. Namun perbungaan pada S. bakeriana tidak
berfungsi sebagai stolon.
4. Salacca clemensiana Becc.
Salacca clemensiana Becc., Philipp. J. Sci., C 4: 618 (1909). Tipe:
Mindanao, Danau Lanao, Camp Keithley, Mary Strong Clemen 1109, Juni 1907
(F).
Perawakan besar, pleonanik. Daun berukuran sangat besar hingga lebih dari
5 m; bagian tangkai daun penuh dengan duri; anak daun tersusun dalam kelompok
3-4, berukuran panjang 65 cm, lebar 6-6.5 cm, sisi anak daun bagian tengah
hingga ke ujung memiliki duri, permukaan bagian bawah anak daun berwarna
keputihan. Perbungaan jantan berukuran panjang 60-90 cm, dengan beberapa
cabang terdiri atas 7-8 rakila, tegak; rakila berukuran 5-7 cm, lebar 10-11 cm
dengan tangkai rakila yang pendek, rakila tidak saling menyatu dalam braktea.
Perbungaan betina lebih pendek dari perbungaan jantan, rakila panjang 3-4 cm.
Persebaran: Filipina, Mindanao, Borneo Utara.
Habitat: Danau, dekat aliran sungai, ketinggian 1000 m dpl.
31
Spesimen yang diamati: Filipina, Mindanao: Danau Lanao, Camp Keithley,
Mary Strong Clemen 1109, Juni 1907 (K).
Catatan: Kata penunjuk jenis salak ini berasal dari nama kolektor spesimen
yaitu Mary Strong Clemen yang disematkan oleh Beccari. Salacca clemensiana
sangat mirip dengan S. lopospatha, perbedaan keduanya hanya terdapat pada
brakteola. Salacca clemensiana memiliki rambut yang sangat banyak pada
brakteola sedangkan S. lopospatha memiliki rambut yang jarang.
5. Salacca dolicholepis Burret
Salacca dolicholepis Burret, Notizbl. Bot. Gart. Berlin-Dahlem 15: 731
(1942). Tipe: Borneo, Kinabalu, Tenompok 5.000 FuB J. et M. S. Clemens n.
28819 (F).
Perawakan sedang, pleonantik. Daun berukuran panjang 60 cm, lebar 4.5 cm,
anak daun tersusun 2-3 dalam kelompok pada sisi rakis. Perbungaan tidak
berfungsi sebagai stolon. Rakila pada perbungaan jantan berukuran panjang 11.5
cm, diameter 1.5 cm, tegak. Buah berbentuk bulat, panjang 4 cm. Biji berjumlah 2
dalam satu buah.
Persebaran: Borneo, Kinabalu.
Habitat: hutan pegunungan dataran rendah, lembah, ketinggian 20-1700 m
dpl.
Nama daerah: Tarintin (Kadazan).
Spesimen yang diamati. Borneo, Kinabalu: Tenompok, 27 Maret 1932,
500 kaki, J & M.S. Clemens: 24191(BO); Sabah, Kinabalu, Ranau, Liwagu, 28
September 1979, 1700 m dpl., J. Dransfield et al.: JD 5704 (BO).
Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. clemensiana pada brakteola
yang berambut banyak. Perbedaan keduanya terdapat pada perbungaan jantan, S.
dolicholepis memiliki rakila bunga jantan yang lebih panjang dibandingkan S.
clemensiana.
6. Salacca dransfieldiana Mogea
Salacca dransfieldiana Mogea, Reinwardtia 9: 463 (1980). Tipe: Borneo,
Kalimantan Selatan, Datar Alai, Pegunungan Meratus di kaki Gunung Besar,
lembah bawah hutan dipterocarpa dataran rendah tanah alluvial, ketinggian 350 m
dpl. (Isotipe: BO!, K!, L!; Ekotipe: BO!).
Pohon berkelompok, tinggi 1.5 m. Batang sangat pendek, diameter 3 cm.
Daun seluruhnya berbentuk kipas dan berduri, berjumlah 8, panjang 1.3 m;
pelepah panjang 20 cm; tangkai daun panjang sekitar 40-125 cm, diameter 1 cm;
helaian daun panjang 68-80 cm, bagian yang paling lebar terdapat di ujung
berukuran 24-40 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilap, permukaan
bawah berwarna keputihan; duri panjang hingga 3.5 cm, lebar 0.5 mm, dan tebal
0.3 mm, tersebar di pelepah, soliter atau tersusun dua tetapi pada rakis daun soliter
dengan jarak 7 cm. Perbungaan jantan tegak, kadang melengkung, panjang 20 cm
hingga 3 m, bagian ujung tumbuh tunas, di dekat dasar termasuk braktea lebar 1
cm; rakila berbentuk silindris, berjumlah 1-6, berukuran panjang 7 cm, diameter
10 mm; tangkai perbungaan panjang 1 cm, diameter 2 mm, tertutup oleh braktea.
Satu populasi berjumlah 20-30 pohon.
Persebaran: Borneo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan.
31
32
Habitat: Tanah aluvial di lembah hutan dipetocarpa dataran rendah, dekat
sungai, ketinggian 150-500 m dpl.
Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Timur: Ma Ancalong, Ma
Lun, Sungai Kelinjau,10 September 1980, J.P. Mogea: JPM 2725 (BO); lokasi
yang sama, 29 September 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea: JPM 2627 (BO); lokasi
yang sama, 4 Oktober 1980, 150 m dpl., J.P. Mogea: JPM 2718 (BO);
Kalimantan Selatan: Barabai, Datar Alai, Batang Alai, 5 Juli 1976, 350 m dpl.,
J.P. Mogea: JPM 749 (BO); di kaki Gunong Besar, Ratan Aral, 500 m dpl., 20
Februari 1979, J.P. Mogea, Gen Murata & Masahiro Kato: 1702, 1703, 1704 (BO).
Catatan: Kata penunjuk jenis dari salak ini diambil dari nama ahli palem
John Dransfield yang disematkan oleh JP Mogea sebagai penghormatan. Salacca
dransfieldiana merupakan salah satu jenis salak yang memiliki daun tunggal
berbentuk kipas. Jenis ini memiliki kemiripan ciri dengan S. multiflora pada
perbungaan jantannya namun S. dransfieldiana memiliki ukuran perbungaan
jantan lebih panjang.
7. Salacca flabellata Furtado
Salacca flabellata Furtado, Gard. Bull. Singapore 12: 387 (1949). Tipe:
Malaya, Kemaman, Sungei Nipah, di sisi bukit dan rawa dekat sungai, Corner
30.525 (SING).
Perawakan sedang, pleonantik. Batang kecil. Daun dengan ukuran pelepah
yang pendek hanya 5 cm; tangkai daun panjang 1-2.3 m; helaian daun berbentuk
kipas dangan ukuran panjang 80-100 cm, lebar 40-45 cm, permukaan daun bawah
dan atas berbeda warna. Perbungaan jantan panjang 1-2 m, kadang di bagian
ujung menghasilkan tumbuhan baru, diameter 3-4 mm dengan jarak panjang antar
buku 5-10 cm; rakila berjumlah 2-4, panjang 1.5-3 cm, diameter 10-12 mm;
tangkai perbungaan panjang 4-5 cm, diameter 1 mm. Perbungaan betina seperti
perbungaan jantan tetapi tidak menghasilkan tumbuhan baru di bagian ujungnya;
rakila panjang 2 cm, diameter 10-12 mm; bunga betina berjumlah 15-20 pada
rakila.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Kemaman, Sungei Nipah.
Habitat: Sisi Bukit dan rawa dekat sungai.
Nama daerah: Salak chabang.
Catatan: Berdasarkan pengamatan pada gambar tipe, jenis ini merupakan
kelompok salak yang memiliki daun tunggal berbentuk kipas, sangat mirip dengan
S. minuta. Perbedaan keduanya terdapat pada perbungaan jantan. Salacca
flabellata memiliki ukuran perbungaan jantan lebih pendek dari S. minuta.
8. Salacca glabrescens Griff.
Salacca glabrescens Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 14 (1845). Tipe:
Semenanjung Malaya, Penang Lewis sn. (K!).
Perawakan besar, tinggi pohon 7 m, pleonantik. Batang berukuran pendek.
Daun sangat besar, panjang 4-5 m; tangkai daun panjang 1-1.25 m; duri pada
pelepah panjang 3-5 cm; anak daun berkelompok 2-3, paling besar berukuran
panjang 30-35 cm, lebar 5-6.5 cm, tersusun pada sisi rakis. Perbungaan jantan
panjang 25-40 cm, tidak berfungsi sebagai stolon. Perbungaan betina lebih pendek
dan kecil, berukuran panjang 7-13 cm, lebar 2-2.25 cm. Buah panjang 4-5 cm,
diameter 3-4 cm. Biji berjumlah 2-3 dalam satu buah.
33
Persebaran: Semenanjung Malaya, Penang.
Habitat: Dataran rendah.
Nama daerah: Zalak utan, buah salak, buah kumbah, pokok kumbah
(Melayu).
Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Pahang: Gunong Senyum,
28 Juli 1929, Henderson: 22224 (BO); Singapore, Lawn, 27 Februari 1935, C.X.
Furtado: 20417 (K); Padang Chong, Kroh F.R., 23 Mei 1937, C.X. Furtado:
33.006 (BO); Perak, Kroh, 24 Mei 1937, C.X. Furtado: SFN 33.017 (BO); Kedah,
Weng, 1 Juni 1937, C.X. Furtado: 33062 (BO).
Catatan: Jenis ini adalah satu-satunya jenis salak yang memiliki perbungaan
menjuntai.
9. Salacca graciliflora Mogea
Salacca graciliflora Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 6 (1984).
Tipe: Johor, Hutan lindung Labis, Ulu Endau G. Janing, hutan dipterocarpa
ketinggian 300 m dpl., J. Dransfield 5086 (Holotipe: KEP; Isotipe: K!).
Perawakan sedang, pohon berkelompok, tinggi 1.3 m, pleonantik. Batang
tinggi 20 cm, diameter 2.5 cm. Daun majemuk panjang 1.25 m; pelepah panjang
15 cm; tangkai daun panjang 50-60 cm; anak daun berjumlah 15 pada sisi rakis,
pada pangkal anak daun berukuran panjang 14-18 cm, lebar 1.5-2 cm, pada bagian
tengah rakis anak daun berukuran panjang 21-24 cm, lebar 2.5 cm. Perbungaan
jantan menjulur di atas permukaan tanah, tidak bercabang, panjang hingga 70 cm,
tidak berfungsi sebagai stolon; rakila bunga jantan berukuran panjang 2 cm,
diameter 0.4 cm.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Johor.
Habitat: Lereng bukit, ketinggian 60-300 m dpl.
Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Johor: Ulu Endau,
Gunung Janing, 5 Februari 1986, J.D. Dransfield: JD 6241 (BO).
Catatan: Jenis ini merupakan jenis salak yang memiliki perbungaan yang
menjulur di atas permukaan tanah, memiliki kemiripan dengan S. stolonifera.
Perbedaan keduanya terdapat pada ciri perawakan, S. graciliflora memiliki
perawakan yang lebih kecil dibandingkan dengan S. stolonifera.
10. Salacca griffithii A. J. Hend.
Salacca griffithii A.J. Hend., Makinoa, n.s., 7: 88 (2007 publ. 2008). Tipe:
Thailand, Mae Hong Son: Mae Hong Son, 500 m dpl., 29 Jul 1997, C.
Niyomdham 5120B (Holotipe: BKF; Isotipe: AAU, K!).
Perawakan sedang, pohon berkelompok, hapaksantik. Batang pendek,
tertutup oleh dasar daun. Daun berjumlah 5-15 per batang; pelepah dan tangkai
daun tidak berbeda, panjang hingga 2.9 m, tertutup indumentum pada bagian
abaksial; duri berwarna coklat terang panjang hingga 3 cm, tersebar dalam bentuk
kipas pada arah yang berbeda; rakis daun panjang 4.5 m; anak daun 35-42 pada
tiap sisi daun, berhadapan, anak daun bagian tengah rakis panjang 83-125 cm,
lebar 4-7 cm. Perbungaan jantan panjang 1 m, bercabang dua, tertutup oleh
braktea yang saling menindih; rakila jantan panjang 13-24 cm, diameter 1.5 cm;
bunga jantan tersusun diad. Perbungaan betina terdapat beberapa pada batang,
panjang 30-40 cm; rakila betina panjang 8-12 cm, diameter 2 cm, berjumlah 7-10;
bunga betina tersusun diad terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga
33
34
jantan yang dilindungi oleh dua brakteola yang saling menindih. Bakal buah
tertutup oleh sisik seperti duri. Buah berbentuk obovoid, panjang 6 cm, diameter
6-8 cm. Biji berjumlah 1-3 pada satu buah.
Persebaran: Cina (Yunnan), Myanmar (Kachin), dan Thailand Utara.
Habitat: Hutan dataran rendah atau lebih sering pada daerah yang terganggu,
ketinggian 60-300 m dpl.
Nama daerah: Yone (Myanmar), Kaan haan, Kaa haan, Kha han (Thailand).
Kegunaan: Daun biasanya digunakan untuk atap.
Spesimen yang diamati: Thailand, Mae Hong Son: Mae Hong Son, 500 m
dpl., 29 Jul 1997, C. Niyomdham 5120B (K).
Catatan: Kata penunjuk jenis dari salak ini diambil dari nama ahli palem
Griffith yang disematkan oleh AJ Henderson sebagai penghormatan. Jenis ini
adalah salah satu jenis salak yang memiliki perbungaan hapaksantik.
11. Salacca lophospatha J. Dransf. & Mogea
Salacca lophospatha J. Dransf. & Mogea, Principes 25: 180 (1981). Tipe:
Borneo. Sabah, J. & M.S. Clemens 26380 (Holotipe B(?); Isotipes BM, BO!, K!,
L!, SING).
Lophospatha borneensis Burret in Notizbl. Bot.Gart. Mus. Berlin-Dahlem
15:753. 1942 (non Salacca borneensis Becc. 1886). Tipe: Borneo. Dalas, Sabah, J.
& M.S. Clemens 26380 1931/32. Holotipe B(?); Isotipes BM, BO, K, L, SING.
Perawakan sedang, pohon berkelompok. Batang sangat pendek, pada pohon
lain batang sebagian merunduk atau tegak. Daun panjang 4 m; pelepah dan
tangkai daun tertutup duri hitam; anak daun dengan perbedaan warna mencolok,
adaksial hijau gelap, abaksial keputihan; tersusun pada sisi rakis, ujung daun
dengan dua anak daun menyatu. Perbungaan muncul dari adaksial pelepah, tidak
berfungsi sebagai stolon. Perbungaan betina tidak berbeda dengan jenis Salacca
lainnya. Perbungaan jantan dengan tangkai pendek dalam braktea, tegak, bunga
merah jambu saat antesis.
Persebaran: Borneo, Sabah
Habitat: Perbukitan, Hutan dipterocarpa dataran rendah, 1000 m dpl.
Spesimen yang diamati: Borneo, Sabah: J. & M.S. Clemens 26380 (K).
Catatan: Jenis ini sebelumnya dimasukkan ke dalam marga Lopospatha,
namun karena cirinya sangat mirip dengan salak khususnya pada ciri buah tertutup
sisik dengan ujung berduri, sehingga akhirnya ditetapkan sebagai salah satu jenis
salak. Kata penunjuk jenis adalah nama marga sebelumnya. Salacca lopospatha
sangat mirip dengan S. clemensiana pada braktea rakila bunga jantan. Salacca
lopospatha memiliki braktea dengan sedikit rambut sedangkan S. clemensiana
memiliki braktea dengan banyak rambut.
12. Salacca magnifica Mogea
Salacca magnifica Mogea, Reinwardtia 9: 468 (1980). Tipe: S. 19777
Ashton (L; Holotipe: K!, SAR).
Pohon dengan batang sangat pendek, tegak, tinggi sekitar 6.3 m. Daun kipas,
panjang 6 m; pelepah panjang sekitar 1.3 m, tersusun membentuk saluran di atas
pangkal; tangkai daun panjang sekitar 70 cm, bagian tengah pada potongan
melintang berbentuk bulat, diameter 2.5 cm, pada sisi yang lebih rendah agak
pipih berduri; rakis panjang sekitar 3.5 m, pada pangkal diameter 1.2-1.7 cm;
35
helaian daun bentuk kipas, lekukan di ujung helaian daun sangat dalam, panjang
sekitar 4 cm, bagian paling lebar di bagian atas, panjang 70 cm. Perbungaan
jantan tegak atau kadang-kadang melengkung, bercabang satu hingga tiga,
berukuran panjang 45 cm, lebar 9.5 cm; rakila pada satu perbungaan berjumlah 4-
9, berbentuk silindris, panjang 11-15 cm, diameter (11-)12-13 (-18) mm; tangkai
perbungaan panjang 7-10 cm, diameter 0.4 cm, kadang-kadang tertutup oleh
braktea; bunga jantan pada setiap rakila berukuran panjang 6 cm, lebar 3 mm.
Perbungaan betina tegak, lebih atau sedikit silindris, berukuran panjang 30 cm,
lebar 7 cm; braktea berbentuk perahu panjang 27 cm, di bagian pangkal lebar 7
cm, rakila berjumlah satu pada setiap perbungaan, panjang 11.5 cm, diameter 35
mm; panjang tangkai perbungaan 8 cm, diameter 1.5 cm, tertutup oleh braktea.
Persebaran: Borneo, Sarawak
Habitat: Mata air dekat Rhyodacite pada ketinggian 900 m dpl.
Nama daerah: Lium (Iban); Baroh (Kelabit).
Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Timur: Tarakan, Sekatak,
U.I.F.L., 3 November 1979, J.P. Mogea: JPM 1649, JPM 1650 (BO).
Catatan: Jenis ini merupakan salak berdaun tunggal yang memiliki
perawakan paling besar sehingga menjadi nama penunjuk jenisnya.
13. Salacca minuta Mogea
Salacca minuta Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 11 (1984). Tipe:
Johor, J. Dransfield 5076 (Holotipe: KEP).
Perawakan sedang, pohon tinggi 1 m. Batang sangat pendek bahkan kadang-
kadang tidak berbatang. Daun berbentuk kipas, panjang 0.9 m, di permukaan
bawah daun terdapat indumentum berwarna coklat, permukaan atas berwarna
hijau; pelepah panjang 10 cm, tertutup indumentum yang sangat rapat; duri pada
tangkai daun berukuran kecil dengan jarak 2-3 cm, sangat tajam. Perbungaan
jantan panjang 1.5 m, menjulur di atas permukaan tanah, pada bagian ujung
terdapat tanaman baru; rakila jantan panjang 10 cm, diameter 4 mm.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Johor.
Habitat: Lembah bawah bukit hutan dipterocarpa, ketinggian 200 m dpl.
Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Johor: Labis F.R., Ulu
Endau, Gunung Janing, 16 Juni 1977, 200 m dpl., J. Dransfield: JD 5079 (K).
Catatan: Salacca minuta adalah jenis salak yang sangat berbeda
perawakannya dengan S. magnifica. Perawakannya yang kecil, di antara jenis
salak lain yang berdaun tunggal, menjadi sebab penamaan penunjuk jenis ini.
14. Salacca multiflora Mogea
Salacca multiflora Mogea, Fed. Mus. J. (Kuala Lumpur) 29: 13 (1984).
Tipe: Trengganu, Besut, Hutan Lindung Ulu Setiu, J. Dransfield 5135
(Holotipe: KEP; Isotipe: K!)
Pohon tegak, tinggi hingga 3.2 m. Daun berbentuk kipas, panjang hingga
3.1 m, lebar 25 cm; pelepah panjang hingga 40 cm; tangkai daun panjang 12-30
cm dengan duri berwarna hijau pucat yang tersusun secara horizontal; helaian
daun panjang 2-2.5 m dengan ujung berlekuk. Perbungaan jantan panjang 25 cm,
bercabang 3; rakila jantan berjumlah hingga 17, panjang 1.5-2.5 cm, diameter 3-6
mm. Perbungaan betina tegak, panjang 5 cm; rakila betina tidak lebih dari 10,
35
36
panjang 1.5 cm, diameter 1 cm; tangkai perbungaan panjang 3 cm, diameter 3 mm,
tertutup oleh braktea.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Trengganu.
Habitat: Lembah bawah dekat aliran sungai, hutan dipterocarpa dataran
rendah pada ketinggian 50 m dpl.
Spesimen yang diamati: Semenanjung Malaya, Selangor: Besut, Ulu Setiu
FR, kaki Gunung Lawit, 3 Agustus 1977, 50 m dpl., J. Dransfield: JD 5137 (K).
Catatan: Jenis ini merupakan salak yang memiliki daun tunggal dengan
perawakan sedang dan sangat mirip dengan S. dransfieldiana. Perbedaan
keduanya terdapat pada ukuran rakila perbungaan jantan.
15. Salacca ramosiana Mogea
Salacca ramosiana Mogea, Principes 30: 161 (1986). Tipe: Borneo: Sabah,
Sandakan, Elmer 20110 (Holotipe: BO!).
Pohon tinggi 8 m. Batang memiliki ukuran keliling hingga 60 cm termasuk
pelepah. Daun panjang 2.7-5.5 m; pelepah berwarna coklat tertutup indumentum
berwarna coklat pucat; duri panjang, banyak, berwarna coklat; tangkai daun
panjang 1-2 m, beralur dekat pangkal, bundar di bagian distal, diameter 2 cm,
permukaan berkerut, bagian abaksial berduri; rakis panjang sekitar 2.4-4.2 m, di
bagian pangkal berbentuk elip, diameter 2.5 cm, bagian abaksial berduri; anak
daun pada tiap sisi rakis berjumlah hingga 40, tersusun berseling, khusus pada
bagian pangkal terdapat anak daun yang berada di sisi atas rakis, berjarak (2.5-) 4-
8(-11) cm; tepi anak daun berduri kecil, bentuk kait, panjang 2 mm, jarak 3-10
mm; pada pangkal rakis anak daun berukuran panjang 11-15 cm, lebar 2.5-4 cm
dengan 3 lekukan, anak daun dalam kelompok berjumlah 3-4, tersusun berseling,
di ujung rakis anak daun berukuran panjang 35-46 cm, lebar 8-10 cm dengan
jumlah lekukan 5-9. Perbungaan jantan panjang sekitar 30-80 cm, lebar 4 cm,
tegak, bercabang 3; termasuk braktea diameter tangkai perbungaan 1 cm; rakila
berjumlah 25. Perbungaan betina panjang 45-70 cm, lebar 5.5 cm termasuk
braktea, braktea berjumlah banyak, bercabang tiga; rakila panjang 10-16 cm;
bunga betina tersusun soliter. Buah bentuk lonjong, panjang 6 cm, lebar 3 cm;
sisik tidak berduri, ketika masih segar buah berwarna coklat kemerahan
kekuningan.
Persebaran: Borneo, Sabah; Filipina.
Habitat: Rawa air tawar di dataran rendah, hutan mangrove,
ketinggian 50 m dpl.
Nama daerah: Sumsum (Kedayan).
Spesimen yang diamati: Borneo, Sandakan: Sepilok Laut, 4 Oktober 1976,
Ejan Gakial: San. 83454 (BO); Sep-Des. 1920, M. Ramos:1915 (BO); 19 Oktober
1979, 50 m dpl., J. Dransfield: JD 5777 (BO).
Catatan : Jenis ini adalah salah satu dari dua jenis yang termasuk ke dalam
seksi Leiosalacca, sangat mirip dengan S. affinis. Perbedaan kedua jenis tersebut
terdapat pada anak daun, S. ramosiana memiliki anak daun dengan ujung berlekuk
sedangkan S. affinis memiliki anak daun dengan ujung tidak berlekuk.
16. Salacca rupicola J. Dransf.
Salacca rupicola J. Dransf., Bot. J. Linn. Soc. 81: 36 (1980). Tipe: Borneo,
Sarawak: 4th Division, Taman Nasional G. Mulu, Tebing batu kapur dekat G.
37
Buda di ketinggian 300 m dpl, Dransfield, JD 5307 (Holotipe: K!; Isotipes: BH,
L!, SAN, SAR).
Pohon berkelompok, berduri. Batang berdiameter 3.5 cm tanpa pelepah, 7
cm termasuk pelepah, tinggi 8 cm. Daun panjang 2.25 m; tangkai daun panjang 1
m; anak daun berjumlah 15 pada sisi rakis, tersusun 2-3 anak daun dalam satu
kelompok, ujung daun bentuk kipas hingga 10 anak daun yang menyatu, anak
daun di pangkal soliter berukuran panjang 17 cm, lebar 2,2 cm. Perbungaan jantan
panjang 15 cm, satu perbungaan memiliki tiga rakila, panjang 7 cm, lebar 8 mm.
Braktea merah saat antesis.
Persebaran: Borneo, Sarawak.
Habitat: Bukit batu kapur.
Spesimen yang diamati: Borneo, Sarawak: Ditanam di Arboretum
Semengoh, 22 April 1996, W. Baker: WJB710 (K).
Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. acehensis. Jika dilihat pada
bentuk daunnya, bagian daun dari pangkal hingga tengah memiliki anak daun
sedangkan bagian tengah hingga ujung daun memiliki anak daun yang menyatu,
maka jenis ini berada di antara jenis salak berdaun tunggal dan jenis salak yang
berdaun majemuk.
17. Salacca sarawakensis Mogea
Salacca sarawakensis Mogea, Reinwardtia 9: 473 (1980). Tipe: S. 27306
Anderson & Whitmore (Holotipe: SAR).
Perawakan sedang, pleonantik. Daun bentuk kipas, bagian tabung pelepah
panjang sekitar 40 cm; tangkai daun panjang sekitar 87 cm; rakis daun panjang
72.5 cm, pangkal berdiameter 10 mm, tidak berduri; helaian daun panjang 120 cm,
bagian terlebar ada di ujung, berukuran 66 cm, warna permukaan daun bagian atas
dan bawah sama. Perbungaan jantan tidak diketahui. Perbungaan betina
melengkung pada percabangan pertama, panjang 17-20 cm; braktea panjang 2.5-
6.5 cm; rakila pada perbungaan berjumlah 1-2, panjang 2.5 cm, diameter 12 mm;
bunga sekitar 40 pada setiap rakila, tersusun dua, terdiri atas satu bunga
hermafrodit dan satu bunga jantan.
Persebaran: Borneo, Sarawak.
Habitat: Sisi bukit di hutan kerangas.
Catatan: Nama penunjuk jenis salak ini berasal dari daerah saat dikoleksi
spesimennya yaitu Sarawak. Jenis ini merupakan salah satu jenis salak yang
memiliki daun tunggal berbentuk kipas.
18. Salacca secunda Griff.
Salacca secunda Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 12 (1845). Tipe: India,
Upper Assam, Pegunungan Mishmee Griffith sn. (K!).
Perawakan sedang, pohon berkelompok. Daun majemuk; anak daun
berseling. Perbungaan hapaksantik; perbungaan jantan berukuran panjang 60 cm;
rakila panjang 7.5-9 cm, diameter 1.5 cm; braktea bagian luar tertutup rambut-
rambut; bunga tersusun sangat rapat sehingga letak bunga pertama tidak jelas,
kuncup di bagian ujung tidak berkembang.
Persebaran: India.
Habitat: Dataran rendah.
37
38
Spesimen yang diamati: India, Upper Assam: Pegunungan Mishmee,
Griffith sn. (K).
Catatan: Jenis ini merupakan salah satu dari dua jenis salak yang memiliki
perbungaan hapaksantik. Salacca secunda sangat mirip dengan S. griffithii,
perbedaan keduanya hanya terletak pada susunan anak daun. Salacca secunda
memiliki susunan anak daun berseling sedangkan S. griffithii memiliki susunan
anak daun berhadapan.
19. Salacca stolonifera Hodel
Salacca stolonifera Hodel, Palm J. 134: 35 (1997). Tipe: Thailand,
Narathiwat Baratdaya, 600 m dpl, D.R. Hodel, P & R. Vatcharakorn 1629
(Holotipe: BK).
Pohon berkelompok, pleonantik, menyebar melalui perbungaan seperti
cambuk, memiliki stolon, panjang 4 m, berakar dan tumbuh di bagian ujung
perbungaan, membentuk koloni dengan jarak 2-4 m. Batang tinggi 70 cm,
diameter 5-8 cm, merayap pendek hingga tegak; jarak antar ruas 3-5 cm; akar
udara mencolok. Daun berjumlah 6-9, menyirip, panjang hingga 3.5 m; pelepah
panjang 30-60 cm, membulat atau bulat hanya pada dasar, hijau muda, padat
tertutup indumentum; terdapat duri ramping berwarna hitam, panjang sampai 4 cm,
terletak pada garis horizontal, jumlah 3-7, berkelompok atau soliter pada tangkai
daun; tangkai daun panjang hingga 1,2 m, dengan indumentum seperti pada
pelepah; rakis daun panjang 2-2.5 m, dengan indumentum seperti pada pelepah;
duri soliter atau berpasangan, panjang 1.5 cm, memiliki jarak 4-6 cm di
permukaan abaksial; anak daun jumlah 17 setiap sisi rakis, berkelompok,
berbentuk kipas, dalam kelompok anak daun berjumlah 2-3, berukuran panjang 50
cm, lebar 5 cm. Perbungaan jantan panjang hingga 4 m, seperti cambuk; tangkai
perbungaan panjang 15 cm; braktea berjumlah 2-3, panjang 3 cm; rakila panjang 6
cm, bunga jantan tersusun diad dalam brakteola yang lebar di bagian dasar dan
berbentuk pipih, panjang hingga 0.75 mm dengan sekelompok rambut yang
transparan, terletak 1-2 mm dari pinggir brakteola; bunga jantan panjang 5 cm,
lebar 2 mm, kelopak panjang 3 mm, daun kelopak menyatu pada pangkal hingga
¾, mahkota panjang 5 mm, menyatu di bagian pangkal hingga 3 mm, benang sari
6.
Persebaran: Semenanjung Selatan Thailand.
Habitat: Bukit.
Catatan: Berdasarkan pengamatan pada gambar spesimen tipenya, jenis ini
memiliki perbungaan yang dapat berfungsi sebagai stolon sehingga dapat
menghasilkan anakan. Oleh karenanya, penamaan penunjuk jenis disematkan
karena stolon yang terdapat pada perbungaannya. Jenis ini sangat mirip dengan S.
graciliflora, perbedaan keduanya terdapat pada batang. Salacca stolonfera
memiliki batang yang lebih besar dibandingkan dengan S. graciliflora.
20. Salacca sumatrana Becc.
Salacca sumatrana Becc., Ann. Roy. Bot. Gard. (Calcutta) 12(2): 80 (1918).
Tipe: Sumatra Barat Daya di Air Mancur pada ketinggian 360 m dpl. di Provinsi
Padang, Beccari No. 2029 Agustus 1878 (F).
Pohon tinggi antara 6-10 m; tajuk lebar 2-3 m, pleonantik. Batang tegak
atau merunduk pada pohon yang sudah berumur lebih dari 25 tahun. Daun sangat
39
besar, panjang 8-9 m; pelepah panjang 1-1.75 m, warna pelepah kekuningan,
coklat kekuningan hingga coklat gelap; tangkai daun panjang 2.5 m, beralur dan
berduri, ukuran tidak sama, panjang 3-5 cm, lebar 5-10 mm; anak daun sangat
banyak, 50-70 pada kedua sisi rakis, panjang 50-110 cm, lebar 4-7.5 cm, tersusun
dalam kelompok 3-4, setiap kelompok terdiri atas 2-11 anak daun dengan susunan
anak daun berhadapan atau berseling, permukaan bawah anak daun keputihan,
tulang anak daun utama biasanya tiga berada di tengah dan bagian tepi anak daun,
tulang lebih halus 7-16; ujung daun bifid dengan 2-8 anak daun yang menyatu.
Perbungaan jantan panjang mencapai 90 cm, tegak; braktea pada pangkal
perbungaan panjang hingga 38 cm, rakila pada satu perbungaan jantan 13,
silindris, panjang hingga 27 cm, dengan panjang tangkai 7 cm. Bunga mekar
dimulai dari bagian ujung rakila menuju bagian pangkal, brakteola bersisik.
Perbungaan betina dengan rakila panjang 12 cm. Buah panjang 6-7 cm, diameter
4-4.5 cm. Biji 3 pada satu buah.
Persebaran: Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat.
Habitat: Hutan dipterocarpa campuran, dekat sungai, ketinggian 250-700
m dpl.
Nama daerah: Salak sidempuan, salak gunung.
Spesimen yang diamati: Sumatra, Sumatra Barat: Muara Kulampi, 25
Februari 1974, 300 m dpl., J.P. Mogea: JPM 202 (BO); Sumatra Utara:
Sibolangit, 26 November 1927, 250-600 m dpl., Lorzing: 12492 (BO); Sekitar 15
km dari Utara Prapat, 12 Agustus 1971, 800 m dpl., J. Dransfield & D. Saerudin:
1808 (BO); Padang Sidempuan, Kampung Hutakodje, 1 November 1975, 280 m
dpl., J.P. Mogea: JPM 412 (BO); Sibolangit, 3 November 1975, 700 m dpl., J.P.
Mogea: JPM 437 (BO); Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Angkola Barat,
Desa Sitaratoit, dibudidayakan di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM
127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135 (BO); Desa Batubujur, dibudidayakan
di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM 136, 137, 138, 139, 140, 141,
142, 143 (BO); Desa Sigemuruh, dibudidayakan di kebun petani,16 Februari 2013,
Zumaidar: ZM 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151 (BO); Desa Sitinjak,
dibudidayakan di kebun petani, 16 Februari 2013, Zumaidar: ZM 152, 153, 154,
155, 156, 157, 158, 159, 160, 161 (BO); Kota Padang Sidempuan, Kecamatan
Hutaimbaru, Desa Sabungan Jae, dibudidayakan di kebun petani, 17 Februari
2013, Zumaidar: ZM 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170 (BO); Aceh:
Aceh Tenggara, Kutacane, Kubur Panjang, 28 Februari 1980, 400 m dpl., J.P.
Mogea: JPM 2090 (BO); Jawa, Jawa Barat: Cileungsi, Taman Buah Mekar Sari,
3 April 2013, Zumaidar: ZM 171, 172 (BO).
Catatan: Jenis ini memiliki perawakan yang besar. Kata penunjuk jenis
merupakan daerah asal dari salak ini yaitu Sumatra khususnya Sumatra Utara.
Jenis ini memiliki warna daging buah menarik yaitu merah dan kemerahan.
21. Salacca vermicularis Becc.
Salacca vermicularis Becc., Malesia 3: 66 (1886). Tipe: Borneo, Hutan
primer di Sarawak, tanah yang sangat subur di Kaki Gunung Mattang, Becc. P.B.
No. 2011 (F).
Perawakan besar, pohon berkelompok, pleonantik. Batang dengan akar
tambahan. Daun besar, panjang 7.5 m; pelepah panjang 2.5 m, tertutup
indumentum coklat; tangkai daun panjang 2-3.5 m, ujung tangkai daun duri
39
40
kehitaman, tersebar berpasangan atau tunggal ditepi tangkai daun; permukaan atas
anak daun hijau mengkilap, permukaan bawah anak daun keputihan atau keabu-
abuan, jumlah anak daun 40 pada sisi rakis, berkelompok membentuk kipas,
jumlah 3-5 anak daun, bagian tengah anak daun paling lebar, panjang hingga 90
cm, lebar 7-8 cm; urat daun sangat jelas dan terang. Perbungaan jantan tegak,
muncul dari ketiak daun, panjang sekitar 35 cm, bercabang hingga 7; braktea
paling bawah 12-15 cm; rakila panjang 8-12 cm, lebar 10-11 cm, jumlah lebih dari
15 pada satu perbungaan; bunga jantan panjang 5 mm, brakteola bersisik.
Perbungaan betina lebih pendek dari perbungaan jantan; braktea paling besar
panjang 35-40 cm; rakila panjang 8-10 cm, lebar 2.5 cm.
Persebaran: Borneo (Gunung Kinabalu).
Habitat: Tanah yang sangat subur di hutan primer, ketinggian 100-1250
m dpl.
Nama daerah: Salak hutan.
Spesimen yang diamati: Borneo, Kalimantan Selatan: 10 November 1971,
100 m dpl., J. Dransfield & D. Saerudin: 2093, 2094 (BO); 14 November 1972,
200 m dpl., J. Dransfield: 2790 (BO); Barabai, 30 Juni 1976, 350 m dpl., J.P.
Mogea: JPM 729 (BO); Kalimantan Timur: Tarakan, Nunukan, Nonember 1945,
W. Meyer: 2140 (BO).
Catatan: Jenis ini memiliki kemiripan dengan S. clememsiana dan S.
dolicholepis pada ciri perbungaan jantan. Namun S. vermicularis memiliki jumlah
rakila bunga jantan yang lebih banyak.
22. Salacca wallichiana Mart.
Salacca wallichiana Mart., Hist. Nat. Palm.3: 201 (1838). Tipe: Tab. 118-
119 et 136.
S. beccari Hook. f. Fl. Brit. India 6: 474 (1894). Tipe: Myanmar, Rangoon,
Mc Lelland sn (K!).
S. macrostachya Griff., Calcutta J. Nat. Hist. 5: 13 (1845). Tipe:
Semenanjung Malaya, Ching dekat Malaka Griffith sn. (K!).
Perawakan besar, pleonantik, tinggi pohon hingga 8 m. Daun panjang 16-18
m; tangkai daun panjang 4-6 m; anak daun bagian tengah panjang 3-4 m dengan
tiga tulang utama, tersusun di sisi dan bagian adaksial rakis. Perbungaan jantan
panjang 1-2 m, benang sari 6, tangkai sari putih. Perbungaan betina panjang 2 m.
Persebaran: Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Singapura.
Habitat: Daerah rawa-rawa.
Nama daerah: Salak kumbar.
Spesimen yang diamati: Thailand, Rayong: Baneselui, Barat Daya
Bangkok, Agustus 1975, J.P. Mogea: JPM 401, 402, 403, 404 (BO).
Catatan: Jenis ini adalah satu-satunya jenis salak yang memiliki anak daun
yang tersusun tidak hanya di sisi rakis tetapi juga di bagian adaksialnya. Jenis ini
juga memiliki perawakan yang yang besar dengan perbungaan yang panjang dan
menjulur di tanah.
23. Salacca zalacca (Gaertn.) Voss
Salacca zalacca (Gaertn.) Voss, Vilm. Blumengärtn. ed. 3, 1: 1152 (1895).
Calamus zalacca Gaertn. Fruct. Sem. Pl. 2 ;267 (1791). Tipe: T. 139 a.
41
Salacca edulis Reinw., Syll. Pl. Nov. 2: 3 (1825). Tipe: A. Cl. Thurnberg sn
(BO!).
Perawakan kecil hingga besar, tinggi pohon 0.75-8 m, pleonantik; tajuk
lebar 2-6 m. Batang tegak atau merunduk pada pohon yang sudah berumur lebih
dari 25 tahun. Daun majemuk menyirip, jumlah 5-21; pelepah panjang 0.12-1.3 m,
ridges sangat jelas, tertutup indumentum, kehitaman, coklat muda, keputihan,
pelepah maupun tangkai daun bergetah kekuningan; duri terdapat di pelepah
hingga ujung daun, soliter maupun berkelompok, duri berkelompok pada pelepah
berkisar 4-17, duri terpanjang biasanya terdapat di pangkal hingga bagian tengah
pelepah, panjang berkisar 3-10 cm, lebar 0.2-1.5 cm; tangkai daun panjang 5-85
cm, diameter 0.6-4.3 cm, hijau, hijau kehitaman, hingga coklat; helaian daun
panjang 0.6-6 m; anak daun 50-100 pada dua sisi rakis. Perbungaan jantan
panjang 15-100 cm, tegak; rakila silindris, panjang 7-13 cm, lebar 1.5-1.8 cm,
jumlah rakila 9-11 pada satu perbungaan; brakteola panjang 6 mm, lebar 4 mm,
brakteola pasangan bunga jantan bagian abaksial tertutup indumentum coklat;
bunga jantan panjang hingga 8 mm, lebar 4 mm; daun kelopak 3, saling lepas,
panjang 4-5 mm, lebar 1 mm; daun mahkota 3, saling berlekatan dari pangkal
hingga setengah bagian panjangnya, merah, panjang 6 mm, lebar 2 mm; benang
sari 6, 3 melekat di bagian tengah masing-masing daun mahkota dan 3 lainnya di
antara daun mahkota yang berlekatan; tangkai sari merah seperti daun mahkota,
panjang 1 mm; kepala sari berwarna kuning, panjang 1 mm. Perbungaan betina
pada satu pohon 2-7, panjang 15-40 cm, percabangan 2-3 rakila; rakila panjang
hingga 17 cm, lebar 3 cm; braktea semakin ke dalam semakin panjang hingga
mencapai 20 cm, brakteola pasangan bunga panjang 8-9 mm, lebar 5-6 mm,
permukaan abaksial brakteola agak kasar dengan alur-alur yang lurus dari pangkal
hingga ujung, bagian adaksial licin; bunga hermafrodit lebih besar dari bunga
jantan.
Persebaran: Jawa, Sumatra, Bali, Ambon, Sulawesi.
Habitat: Dataran rendah hingga dataran tinggi, ketinggian 5-300 m dpl.
Nama daerah: Salak.
Spesimen yang diamati: Jawa, Jakarta: Batavia, November 1904, C.A.
Backer: 34441 (BO); Jawa Barat: 5 April 1928, 250 m dpl., R.C. Bachuizen van
den Brink: 7416 (B)); Tasikmalaya, Cisalanak, Cibatujah, 25 Januari 1971, 5 m
dpl., J. Dransfield: JD 1193 (BO); Gunung Tukung Gede, 3 Oktober 2009, 300 m
dpl., Tuti D. M. Amir & Supriatna: TD 1498 (BO); Sumedang, Kecamatan Paseh,
Desa Bongkok, dibudidayakan di kebun petani, 7 April 2012, Zumaidar: ZM 01.
02 (BO); Tasikmalaya, Kecamatan Manonjaya, Desa Cilangkap, dibudidayakan di
kebun petani, 8 April 2012, Zumaidar: ZM 04, 05 (BO); Bogor, Cileungsi, Taman
Buah Mekar Sari, 20 Juli 2012, Zumaidar: ZM 44, 45, 47, 48, 77, 80, (BO);
Kebun Raya Bogor, 22 Juli 2012, Zumaidar: ZM 77, 80, (BO); Bogor, Kebun GG
Hambali, 3 Agustus 2012, Zumaidar: ZM 84, 87, 88, 90, 91, 93, 94, 96, 97, 99,
101, 102, 103, 112, 113, 115 (BO); Yogyakarta, Kabupaten Sleman:
Kecamatan Turi, Taman Salak Nusantara, 28 April 2012, Zumaidar: ZM 08, 09,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, (BO); Desa Baleranti, dibudidayakan di kebun
petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 19 (BO); Desa Babatan, dibudidayakan di
kebun petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 24, 25, 26 (BO); Desa Soko,
dibudidayakan di kebun petani, 29 April 2012, Zumaidar: ZM 27 (BO); Jawa
41
42
Tengah: Magelang, Desa Nglumut, dibudidayakan di kebun petani, 29 April 2012,
Zumaidar: ZM 19 (BO).
Kunci varietas Salacca zalacca
1. Tinggi pohon mulai 4 m, pangkal duri saling menyatu hingga satu per empat
dari bagian panjangnya, terdapat tonjolan pada biji………………var. zalacca
2. Tinggi pohon mulai 0.75 m, pangkal duri saling menyatu hingga empat per
lima dari bagian panjangnya, tidak terdapat tonjolan pada
biji…………………………………………………………...var. amboinensis
4.2 Kekerabatan Salak Jawa (Salacca zalacca var. zalacca)
dan Salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis)
Dari 23 jenis Salacca, tiga jenis di antaranya telah lama dibudidayakan,
yaitu S. wallichiana di Thailand, S. zalacca dan S. sumatrana di Indonesia.
Kekerabatan salak Jawa dan salak Bali berdasarkan data molekuler menggunakan
penanda AFLP dibahas secara rinci pada subbab ini. Ciri morfologi didasarkan
pada pengamatan 91 tanaman S. zalacca yang terdiri atas 63 tanaman salak Jawa
dan 28 tanaman salak Bali.
4.2.1 Ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali
Secara morfologi salak Jawa dan salak Bali berbeda pada beberapa organ
tanaman. Salak Jawa (Gambar 4) lebih bervariasi ciri morfologinya daripada salak
Bali. Berdasarkan pengamatan pada 91 individu S. zalacca maka perawakan salak
Jawa umumnya sama dengan salak Bali, tinggi pohon berkisar dari 4-8 m. Satu
kultivar salak Bali sangat berbeda perawakannya dengan kultivar lainnya adalah
kultivar ‘Kate’ yang memiliki perawakan kecil dan kerdil dengan tinggi pohon
hanya 0.75 m. Jumlah daun yang dimiliki salak Jawa lebih sedikit dibandingkan
dengan salak Bali. Salak Jawa umumnya memiliki 5-10 daun pada setiap pohon
sedangkan salak Bali memiliki 8-21 daun pada setiap pohon. Jumlah anak daun
salak Jawa memiliki kisaran yang lebih sempit dibandingkan salak Bali, salak
Jawa berkisar 30-40 pada setiap sisi daun sedangkan salak Bali berkisar 25-50
pada setiap sisi daun. Helaian daun salak Jawa memiliki ukuran lebih panjang
dibandingkan dengan salak Bali, berkisar 2-4 m sedangkan salak Bali berkisar
0.6-3.75 m. Anak daun yang menyatu di ujung daun salak Jawa memiliki kisaran
jumlah yang lebih banyak (2-6) dibandingkan salak Bali (2-4). Duri pada salak
Jawa memiliki ukuran lebih panjang (10 cm) dibandingkan salak Bali (7 cm).
Warna duri salak Bali lebih gelap dibandingkan salak Jawa (Gambar 5a), kecuali
kultivar ‘Gading’ berwarna kekuningan. Secara morfologi terdapat beberapa
perbedaan yang mencolok antara salak Jawa dan salak Bali (Tabel 5).
Beberapa ciri morfologi bunga dan buah salak Bali menunjukkan variasi
yang tidak ditemukan pada salak Jawa. Daun mahkota pada kultivar ‘Kate’
mengalami perubahan jumlah yang biasanya hanya 3 menjadi 7 (Gambar 5i).
Daging buah salak Bali juga ada yang berwarna kemerahan (Gambar 5k). Pada
salak Bali juga ditemukan perkembangan pada biji berupa tonjolan di dekat
embrio, seperti pada kultivar ‘Boni’, kultivar ‘Gula pasir’, dan kultivar ‘Kate’
(Gambar 5l). Kultivar lokal ‘Kate’ adalah kultivar yang belum diusulkan kepada
pemerintah untuk dilepas. Kultivar ini sangat unik dengan bentuknya yang kerdil
sehingga dapat juga dikembangkan sebagai tanaman hias.
43
Tabel 5 Perbedaan ciri morfologi salak Jawa dan salak Bali
No Ciri Morfologi Salak Jawa Salak Bali 1 Perawakan ≤ 75 cm Tidak ada Ada
2 Jumlah daun pada pohon 5-10 8-21
3 Jumlah anak daun pada satu
sisi daun
30-40 25-50
4 Panjang helaian daun (m) 2-4 0.6-3.75
5 Jumlah anak daun menyatu di
ujung daun
2-6 2-4
6 Warna duri Kekuningan-
coklat kehitaman
Kekuningan-hitam
7 Ukuran duri terpanjang (cm) 10 7
8 Daun mahkota 3 3-7
9 Warna daging buah Putih, kekuningan Putih, kekuningan, sebagian merah
10 Tonjolan pada biji Tidak ada Ada
Gambar 4 Variasi ciri morfologi salak Jawa, a) tangkai daun berduri, b) tangkai
daun tidak berduri, c) perbungaan jantan d) rakila bunga jantan, e)
diad rakila bunga jantan: 1-2=bunga jantan, f) perbungaan betina, g)
rakila bunga betina, h) diad rakila bunga betina: 1=bunga hermafrodit,
2=bunga jantan, i-j) perbuahan, k-l) buah, m-n) warna daging buah,
o-p) biji
43
2
1
2
1
a
a
b
a
c
a
d
a
e
a
f
a
g
a
h
a
i
a
j
a
k
a
l
a
m
a
n
a
o
a
p
a
44
Salak Bali memperlihatkan perkembangan yang berbeda dengan salak Jawa.
Ciri salak Jawa pada perawakan yang besar, jumlah daun mahkota lebih sedikit,
warna daging buah hanya berwarna putih hingga kekuningan, dan tidak ada
tonjolan pada biji, mengindikasikan bahwa salak Jawa merupakan tetua dari salak
Bali karena memiliki ciri yang lebih primitif.
Secara umum diketahui bahwa perbungaan salak bersifat dioesis, namun
perbungaan salak Bali bersifat monoesis sedangkan salak Jawa dioesis (Schuiling
dan Mogea 1992). Pada satu pohon terdapat perbungaan jantan dengan rakila
jantan tersusun diad dan terdiri atas dua bunga jantan yang menghasilkan serbuk
sari (Gambar 5d). Pada pohon yang lain terdapat perbungaan betina dengan rakila
betina tersusun diad namun berbeda dengan rakila jantan, karena rakila betina
terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga jantan yang tidak menghasilkan
serbuk sari (Gambar 5g). Bunga betina memiliki bakal buah dan juga benang sari
namun tidak juga menghasilkan serbuk sari.
Di Bali masyarakat mengenal salak jantan sebagai salak ‘Muani’. Pola dan
bentuk perbungaan salak Muani sama dengan perbungaan salak Bali yang
menghasilkan buah atau sama dengan perbungaan betina seperti yang terdapat
pada salak ‘Condet’. Salak Bali termasuk tanaman andromonoesis karena
memiliki bunga hermafrodit dan bunga jantan dalam satu tanaman (Darmadi et al.
2002). Pada dasarnya semua jenis salak yang termasuk seksi Salacca memiliki
perbungaan betina seperti halnya salak Bali, yaitu bunga tersusun diad terdiri dari
bunga hermafrodit dan bunga jantan. Istilah perbungaan betina digunakan pada
salak bukan andromonoesis sehingga istilah dioesis tetap tepat untuk dipakai.
Karakteristik karangan bunga salak Bali berumah satu terdapat pada
perbungaan betina. Perbungaan betina adalah bunga majemuk terdiri dari 1-7
rakila, namun yang bertahan hidup dan menjadi buah 1-3 rakila. Masing-masing
rakila ditemukan bunga jantan yang tersusun atas tiga daun kelopak, tiga daun
mahkota, dan enam benang sari, dan bunga hermafrodit tersusun atas tiga daun
kelopak, tiga daun mahkota; dan tiga benang sari dengan tangkai melekat pada
mahkota, tiga benang sari melekat pada perlekatan antara dua daun mahkota, dan
satu putik dengan kepala putik bercabang tiga. Setiap rakila terdiri dari 91-214
bunga, 33-93 bunga hermafrodit, dan 50- 125 bunga jantan (Kriswiyanti et al.
2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan bunga jantan lebih banyak
dari bunga betina, berbeda dengan hasil penelitian salak ‘Bangkok’ ('Nern Wong'
salak) yang menunjukkan perbandingan bunga jantan dan hermafrodit adalah
sama 1:1 (Kimsri 1997).
Penelitian pada kultivar ‘Gading’ dan ‘Gula pasir’ menunjukkan bahwa
proses penyerbukan dan pembuahan terjadi pada salak Bali. Pembentukan buah
terjadi pada kedua kultivar melalui penyerbukan alami dan penyerbukan buatan.
Pada penyerbukan buatan kedua kultivar mampu meningkatkan persentase
pembentukan buahnya (Zaimudin 2002). Kemampuan bersilang secara buatan
salak Bali dan salak Jawa juga terbukti pada beberapa kultivar yang telah dilepas
oleh pemerintah yang berasal dari BPTBT Riau yaitu kultivar ‘Sari Intan 295’
Tahun 2010, ‘Sari Intan 48’ Tahun 2009, dan ‘Sari intan 541’ Tahun 2009
(Ditbenih Hortikultura 2015).
45
Gambar 5 Variasi ciri morfologi salak Bali, a) duri pada tangkai daun, b)
perbungaan jantan, c) rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’, d) diad
rakila bunga jantan kultivar ‘Kate’: 1-2=bunga jantan, e) perbungaan
betina, f) rakila bunga betina, g-h) diad rakila bunga betina: 1=bunga
hermafrodit, 2=bunga jantan, i) bagian-bagian bunga betina, j) bagian-
bagian bunga jantan, k) warna daging buah, l) tonjolan pada biji
Warna daging buah yang kemerahan pada salak Bali berbeda dengan warna
kemerahan pada salak Sidempuan. Jika pada salak Bali warna kemerahan hingga
ke bagian dalam daging buah tetapi pada salak Sidempuan warna kemerahan
hanya sedikit, terdapat pada bagian dalam daging buah (Gambar 6).
1
2
1
2
1
2
45
a
a
b
a
c
a
d
a
e
a
f
a
g
a
h
a
i
a
j
a
k
a
l
a
46
Gambar 6 Warna daging buah salak Sidempuan (Salacca sumatrana)
a) warna daging buah utuh, b) bagian buah yang dipotong
4.2.2 Ciri molekuler salak Jawa dan salak Bali
Dari 91 individu S. zalacca yang diuji DNAnya, hanya 38 individu
menghasilkan data yang dapat dibaca pada elektrofenogram. Seluruh individu
yang memiliki data molekuler terdiri atas 23 individu salak Jawa dan 15 individu
salak Bali.
Penggunaan penanda AFLP pada salak Jawa dan salak Bali dengan dua
kombinasi primer berbeda, primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT, dan EcoRI-ACC
dan Mse1-CTT, telah menghasilkan 531 ciri molekuler yang bersifat polimorfik.
Individu lainnya tidak memberikan hasil yang baik pada elektrofenogram.
Kombinasi kedua primer memiliki fragmen pada panjang basa 140 hingga 489
pada kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT, dan 140 hingga 447 pada
kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT. Dari total data polimorfik,
kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT menghasilkan runutan data
polimorfik sebanyak 260 (49 %) sedangkan kombinasi primer EcoRI-ACC dan
Mse1-CTT menghasilkan runutan data polimorfik sebanyak 271 (51 %).
Kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT menghasilkan data polimorfik
yang lebih banyak dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-
CAT. Pada tanaman salak kombinasi primer EcoRI-ACC dan Mse1-CTT
dianggap lebih efisien dibandingkan kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-
CAT. Primer yang menghasilkan data polimorfik dalam jumlah banyak, lebih
efisien dibandingkan primer yang menghasilkan data polimorfik sedikit
(Chikmawati et al. 2005).
Salak Jawa memiliki data polimorfik lebih banyak dibandingkan dengan
salak Bali (Tabel 6). Pada kedua kombinasi primer, salak Jawa juga memiliki data
polimorfik lebih banyak dibandingkan dengan salak Bali. Data polimorfik yang
banyak pada salak Jawa menunjukkan bahwa keanekaragaman molekuler salak
Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan salak Bali menggunakan penanda AFLP.
Keanekaragaman genetik yang tinggi pada salak Jawa disebabkan oleh
kemampuan bersilang salak Jawa karena perbungaannya yang bersifat dioesis.
Perbungaan salak Bali yang bersifat monoesis menyebabkan terjadinya
penyerbukan sendiri pada salak Bali, diduga mengakibatkan keanekaragaman
genetiknya lebih rendah dibandingkan dengan salak Jawa.
Kultivar Kembang Arum memiliki data polimorfik paling banyak (53 %)
pada kombinasi primer EcoRI-ACT dan Mse1-CAT sedangkan kultivar Bongkok
a
a
b
a
47
memiliki data polimorfik paling banyak (52 %) pada kombinasi primer EcoRI-
ACC dan Mse1-CTT. Dari seluruh data polimorfik, gabungan kedua kombinasi
primer, maka kultivar Bongkok memiliki data polimorfik paling banyak (52 %)
dibandingkan kultivar lainnya.
Tabel 6 Data molekuler salak Jawa dan salak Bali Takson Total Data
Mono
morfik
Data Polimorfik
Data Jumlah % ACT-CAT ACC-CTT
Molekuler Jumlah % Jumlah %
Salak Jawa 531 31 500 94.1 243 45.8 257 48.3
Salak Bali 531 93 438 82.4 198 37.2 240 45.2
4.2.3 Analisis fenetik
Analisis kemiripan genetik dari S. zalacca menghasilkan dendrogram
dengan nilai koefisien kemiripan berkisar dari 0.61 hingga 0.94. Nilai kemiripan
tersebut menunjukkan tingkat kemiripan genetik yang tinggi antara salak Jawa
dan salak Bali karena nilai koefisiennya di atas 50 %. Nilai koefisien yang tidak
mencapai angka 1 menggambarkan bahwa tidak ada satu individu pun yang
memiliki data genetik yang identik dengan individu lainnya. Hanya ada satu
cabang yang menunjukkan data genetik paling mirip pada nilai koefisien 0.94
yaitu dua individu kultivar ‘Kate’ (Gambar 7).
Pada nilai koefisien kemiripan 0.64 dendrogram terbagi atas tiga cabang: A,
B, dan C. Pada cabang B dan C, beberapa kultivar salak Bali memisah dengan
kultivar salak Jawa yaitu kelompok 1 pada nilai koefisien kemiripan 0.84,
kelompok 2 pada nilai koefisien kemiripan 0.83, dan kelompok 3 pada nilai
koefisien kemiripan 0.84. Kelompok 1 terdiri atas tiga kultivar yang berasal dari
Kebun GG Hambali yaitu dua kultivar ‘Gula pasir’ dan satu kultivar ‘Bali Lokal’.
Kelompok 2 terdiri atas tiga kultivar salak ‘Kate’ yang berasal dari lokasi yang
sama yaitu Kebun GG Hambali. Kelompok 3 terdiri atas dua kultivar salak ‘Bali
Sedikit Duri’ dan dua kultivar ‘Gading Bali’ yang berasal dari Kebun GG
Hambali, satu kultivar ‘Gula pasir’ yang berasal dari Taman Salak Nusantara dan
satu kultivar ‘Bali Lokal’ dari Taman Buah Mekar Sari. Pengelompokan ini
menunjukkan adanya kemiripan sejumlah gen yang dimiliki oleh kultivar salak
Bali meskipun berasal dari lokasi yang berbeda.
Dari sepuluh lokasi perkebunan Salacca zalacca yang diteliti pada
penelitian ini, tiga lokasi ditanami salak Bali yaitu Taman Buah Mekar Sari,
Kebun GG Hambali, dan Taman Salak Nusantara. Pada tiga lokasi tersebut salak
Bali ditanam bersama dengan salak Jawa pohon jantan dan pohon betina. Hal ini
semakin menguatkan bahwa pembuahan salak Bali tidak terjadi secara apomiksis.
Penyerbukan silang yang terjadi pada salak Bali pada ke tiga lokasi penelitian
menyebabkan kultivar salak Bali belum dapat memisah dari salak Jawa sebagai
cabang tersendiri pada dendrogram. Namun pemisahan tiga kelompok salak Bali
dari salak Jawa mengindikasikan adanya peluang pemisahan secara genetik antara
salak Bali dan salak Jawa. Kajian secara molekuler pada tanaman palem, kelapa
sawit, mengemukakan penanda AFLP telah menjadi alat yang berharga untuk
membedakan pada tingkat populasi dan individu (Matthes et al. 2001). Secara
agronomi saat ini masyarakat mengenal perbedaan antara salak Jawa dan salak
Bali khususnya untuk kultivar yang bernilai ekonomi tinggi seperti kultivar
47
48
‘Pondoh’, ‘Gading’, dan ‘Gula pasir’ melalui ukuran, warna, dan rasa buah. Dari
delapan varietas, salak ‘Pondoh’ di Sleman yang mempunyai nilai jual tertinggi
adalah varietas ‘Gading’ dan ‘Manggala’. Kedua varietas tersebut memiliki
ukuran buah relatif lebih besar, rasanya lebih manis dan belum banyak
dikembangkan oleh masyarakat sehingga terkesan eksklusif (Suskendriyati et al.
2000).
Gambar 7 Dendrogram data molekuler kultivar salak Jawa dan salak Bali (Salacca
zalacca) menggunakan metode UPGMA, kelompok kultivar salak Bali
ditandai angka 1, 2, 3
Dengan menggunakan dua kombinasi primer, penanda AFLP telah
mengindikasikan pemisahan salak Bali dan salak Jawa dengan data fragmen
polimorfik yang banyak. Pada kajian tanaman palem lainnya, Metroxylon sagu,
kurangnya data fragmen polimorfik dari penanda AFLP, menyebabkan
pengelompokan 76 individu yang diteliti kurang mampu dikenali (Kjær et al.
2004). Seluruh kultivar salak Bali memang belum mengelompok secara terpisah
dari salak Jawa diduga karena penggunaan primer yang bersifat umum dan
kombinasi primer yang hanya berjumlah dua dianggap belum cukup sehingga
diperlukan rancangan kombinasi primer AFLP yang terpaut dengan tanaman salak.
Analisis molekuler pada salak Sidempuan juga belum mampu memisahkan
kultivarnya. Secara rinci pembahasan keanekaragaman salak Sidempuan diuraikan
pada subbab berikut.
Koefisien Kemiripan0.61 0.69 0.77 0.86 0.94
BalikitGMW
BaliTN BajaMS madusoko condet CiamisTN ponhitjo jakalPG jakalPG GusirTN BaliMS BalikitG BalikitG GadBaPG GadBaPG Jakitjar Jakitjar bongkok pontas gadingTN ManggTN perjauTN nglumut baleran jowoJog bajaMS jawaKRB pondohPG sulawesi gadjaPG kate kate kate Karum baliloPG gulpaPG gulpaPG ponkunjo bongkok
A
B
C
1
3
2
49
4.3 Keanekaragaman Morfologi dan Molekuler Salak Sidempuan
(Salacca Sumatrana)
Variasi morfologi salak Sidempuan didasarkan pada koleksi tanaman yang
berjumlah 91 individu yang berasal dari Aceh, Sumatra Utara, dan Jawa Barat.
Berdasarkan hasil pengamatan koleksi spesimen Salacca sumatrana di
Herbarium Bogoriense, jenis ini tersebar dari Aceh bagian tenggara, Sumatra
Utara hingga Sumatra Barat.
Secara morfologi salak Sidempuan bervariasi pada perawakan; daun
meliputi pelepah, tangkai daun, anak daun, duri, dan indumentum; bunga meliputi
tangkai perbungaan, rakila, braktea, kelopak, mahkota, dan putik; buah meliputi
bentuk, duri pada sisik kulit buah, warna dan tebal daging buah, permukaan buah,
dan biji. Duri memiliki variasi karakter yang paling banyak diamati dibandingkan
dengan yang lainnya.
4.3.1 Perawakan
Salak Sidempuan (S. sumatrana) memiliki perawakan yang besar serupa
dengan S. walichiana dan S. affinis; pohon memiliki ukuran tinggi antara 6-10 m;
lebar tajuk berukuran 2-3 m. Batang sangat pendek dikelilingi daun yang sangat
rapat, namun pada pohon yang sudah berumur lebih dari 25 tahun sebagian batang
dengan buku-buku bekas daun, merunduk di atas tanah. Ukuran tinggi pohon 7 m
dimiliki oleh 17 sampel salak Sidempuan dan diikuti oleh ukuran tinggi pohon10
m yang dimiliki oleh 16 sampel. Hanya satu tanaman yang memiliki ukuran tinggi
pohon 6 m.
4.3.2 Daun
Daun salak Sidempuan berupa daun lengkap yang terdiri atas pelepah,
tangkai dan helaian daun. Daun majemuk berbentuk menyirip, terdiri atas anak
daun yang banyak pada dua sisinya.
Panjang pelepah 1-1.75 m; warna pelepah kekuningan, coklat kekuningan
hingga coklat gelap; terdapat ridges (Gambar 8a-b) yang sangat jelas karena
adanya indumentum. Sebanyak 27 sampel memiliki alur yang sangat jelas pada
pelepah.
Duri terdapat di pelepah hingga ujung daun, soliter maupun berkelompok 3,
4, dan 8 (Gambar 8c-d). Sebanyak 13 sampel memiliki duri berkelompok 4.
Kerapatan duri pada pangkal pelepah pada ukuran pandang 3 cm2 berjumlah 8-16.
Kerapatan duri pada ujung pelepah pada ukuran pandang 3 cm2 lebih banyak
dibandingkan pada pangkal pelepah, yaitu berjumlah 8-23. Duri terpanjang
biasanya terdapat di daerah pangkal hingga bagian tengah pelepah dengan ukuran
panjang berkisar 5-12 cm dan lebar 0.4-2 cm, sedangkan duri terpendek biasanya
terdapat di ujung pelepah hingga bagian tangkai daun dengan ukuran 1-3 mm.
Duri pada abaksial tangkai daun mengarah ke bagian pangkal, tengah dan ujung
daun dengan jarak duri berkisar 2-12 cm. Duri pada tepi daun biasanya berukuran
1 mm tetapi sebagian sampel memiliki duri pada tepi daun yang berukuran > 2
mm.
Warna duri bervariasi, coklat keputihan, coklat keabuan, coklat kekuningan,
coklat kehijauan, dan coklat pucat. Warna duri juga memiliki perbedaan pada
kedua sisi berupa warna abu-abu dan keputihan (Gambar 8e). Warna keputihan
49
50
pada bagian adaksial duri yang terletak di pelepah disebabkan karena adanya
indumentum. Mekanisme pertahanan secara fisik tanaman salak Sidempuan
dimulai sejak tanaman masih muda terlihat oleh adanya duri yang dimiliki mulai
dari pelepah hingga ujung daun. Duri salak Sidempuan berukuran besar, ukuran
panjang berkisar 5-12 cm dan pada bagian pangkal lebar 0.4-2 cm, jika
dibandingkan dengan salak jenis lain misalnya S. zalacca (Mogea 1973) dan S.
acehensis (Zumaidar et al. 2014).
Permukaan organ daun (khususnya bagian pelepah, tangkai daun dan duri),
dan organ perbungaan (khususnya braktea dan brakteola) tertutup oleh
indumentum. Indumentum bervariasi pada tipe, kerapatan, dan warnanya. Tipe
indumentum ada yang berambut dan bersisik. Indumentum yang terdapat pada
organ tanaman yang muda sangat rapat, dan sebagian akan rontok seiring dengan
bertambah umur organ tanaman tersebut. Pada tanaman dewasa, indumentum
yang masih rapat ditemukan pada pelepah maupun pada pangkal duri khususnya
duri dengan ukuran besar. Warna indumentum bervariasi yaitu kehitaman, coklat,
coklat gelap, dan keputihan (Gambar 8f-h).
Bentuk tangkai daun secara umum membulat pada bagian abaksial dan
membentuk segitiga pada bagian adaksial. Tangkai daun berukuran panjang 50-
175 cm; diameter 1.4-2.5 cm. Warna tangkai daun kekuningan hingga coklat pada
spesimen yang sudah dikeringkan.
Panjang helaian daun 6-7 m dengan jumlah anak daun banyak mencapai 50-
70 pada kedua sisi daun. Anak daun berukuran panjang 50-110 cm dan lebar 4-
Gambar 8 Ciri organ vegetatif salak Sidempuan (S. sumatrana) a) alur jelas, b)
alur tidak jelas, c) duri soliter, d) duri berkelompok, e) warna duri:
1=abaksial duri berwarna abu-abu, 2=adaksial duri berwarna keputihan,
f) indumentum bersisik warna kehitaman, g) indumentum berambut
warna coklat, h) indumentum bersisik warna keputihan, i) anak daun
berhadapan, j) anak daun berseling, k) 8 anak daun menyatu, l) 3 anak
daun menyatu, m) 5 anak daun menyatu
1 2
a b c d
e f g h
i j k l m
51
7.5 cm. Anak daun tersusun dalam kelompok 3-5 dengan susunan anak daun
sebagian besar tanaman berhadapan tetapi pada sebagian tanaman berseling
(Gambar 8i-j). Jumlah tulang anak daun utama biasanya tiga berada di tengah dan
bagian tepi anak daun, sedangkan tulang yang lebih halus berjumlah 7-16; ujung
daun berbentuk bifid dengan 2-8 anak daun yang menyatu (Gambar 8k-m).
4.3.3 Perbungaan
Perbungaan salak Sidempuan bersifat dioesis, yaitu perbungaan jantan dan
perbungaan betina terdapat pada pohon yang berbeda. Pada perbungaan jantan dan
betina, bunga tersusun diad sehingga satu brakteola melindungi dua bunga.
Perbedaan susunan bunga pada perbungaan jantan dan betina adalah pada
perbungaan jantan brakteola melindungi dua bunga jantan fertil sedangkan pada
perbungaan betina, brakteola melindungi satu bunga jantan dan satu bunga
hermafrodit.
Perbungaan jantan berukuran panjang mencapai 90 cm (Gambar 9a).
Ukuran ini lebih pendek dibandingkan pada S. walichiana mencapai 1 m
(Polprasid 1992) bahkan pada S. bakeriana mencapai 1,2 m (Dransfield 2009).
Perbungaan salak Sidempuan memiliki braktea bunga yang panjang hingga
menutup seluruh perbungaan meskipun saat bunga mekar rakila masih tertutup
oleh pelepah. Berbeda halnya dengan S. zalacca yang memiliki pelepah terbuka
hingga rakila terlihat utuh saat bunga mekar. Secara umum perbungaan pada salak
dibantu penyerbukannya oleh kelompok serangga yang tergolong ke dalam famili
Curculionidae (Mogea 1978). Namun diduga jenis kumbang yang menyerbuki
salak Sidempuan berbeda dengan kumbang yang menyerbuki salak Jawa. Bentuk
perbungaan yang tertutup oleh pelepah pada salak Sidempuan sangat membatasi
proses penyerbukannya sehingga hanya dilakukan oleh jenis kumbang tertentu.
Braktea pada pangkal perbungaan memiliki panjang hingga 38 cm. Jumlah
rakila pada satu perbungaan jantan mencapai 13. Rakila berbentuk silindris
berukuran panjang hingga 27 cm, dengan panjang tangkai 7 cm. Bunga mekar
dimulai dari bagian ujung rakila menuju bagian pangkal (Gambar 9b).
Bunga jantan pada rakila tersusun diad terdiri atas pasangan bunga jantan
dalam brakteola. Brakteola berukuran lebar 6 mm dan panjang 8 mm. Brakteola
pada bagian abaksial dipenuhi indumentum berwarna coklat dan pada saat bunga
mekar maka warna kuning serbuk sari menempel pada indumentum (Gambar 9c).
Bunga jantan berukuran panjang 5-6 mm dan lebar 2 mm; daun kelopak
berjumlah 3 saling lepas berukuran panjang 5-6 mm dan lebar 1 mm; daun
mahkota berjumlah 3 saling berlekatan hingga setengah bagian panjangnya,
berwarna merah, berukuran panjang 6 mm dan lebar 2 mm, benang sari 6
berwarna kuning berukuran panjang 2-3 mm, 3 melekat di bagian tengah masing-
masing daun mahkota dan 3 lainnya terletak di antara daun mahkota (Gambar 9d).
Perbungaan betina berukuran panjang 35-40 cm dengan percabangan 2-3
rakila (Gambar 9e). Bunga pada perbungaan betina tersusun diad seperti pada
perbungaan jantan. Berbeda dengan susunan pada perbungaan jantan, perbungaan
betina terdiri atas satu bunga hermafrodit dan satu bunga jantan.
Satu rakila berukuran panjang hingga 14 cm (Gambar 9f). Braktea pada
perbungaan betina berjumlah 3 dengan ukuran semakin ke dalam semakin panjang.
Braktea terluar di pangkal perbungaan berukuran kecil panjang 5 cm, sedangkan
braktea kedua berukuran panjang 10 cm dan braktea terdalam berukuran hingga
52
15 cm. Brakteola pasangan bunga berjumlah dua, berukuran panjang 12-13 mm
dan lebar 10 mm yang melindungi satu bunga jantan dan satu bunga hermafrodit
(Gambar 9g).
Bunga hermafrodit berada dalam 2 brakteola yang saling berlekatan di
pangkal, berukuran panjang 9 mm dan lebar 6 mm. Bagian abaksial brakteola
tertutup rambut-rambut berwarna coklat. Bunga hermafrodit berukuran panjang
13-15 mm dan lebar 10 mm. Kelopak berjumlah 3 saling berlekatan pada pangkal,
berukuran panjang 11 mm dan lebar 4-5 mm. Mahkota tersusun atas 3 daun
mahkota, memiliki struktur yang lebih tebal dibandingkan daun kelopak dan sama
seperti pada bunga jantan, berukuran panjang 13-15 mm dan lebar 5-6 mm, daun
mahkota saling berlekatan dari bagian pangkal hingga dua pertiga bagian
panjangnya. Bakal buah berukuran panjang 15 mm dan di bagian pangkal lebar 8
mm, stigma berjumlah 3, berwarna putih dengan permukaan abaksial yang terdiri
atas bulir-bulir kelenjar (Gambar 9i). Rambut pada bakal buah berjumlah sangat
banyak lebih dari 30, berukuran panjang 6-7 mm dan lebar 2 mm. Rambut akan
berkembang menjadi sisik pada kulit buah seperti yang terdapat pada buah muda S.
acehensis (Zumaidar et al. 2014).
Bunga jantan dilindungi oleh 2 brakteola berukuran panjang 9 mm, lebar 2-
3 mm, dan pada bagian ujung berwarna kemerahan (Gambar 9h). Daun kelopak
bunga jantan berjumlah 3, berukuran panjang 11 mm, lebar pada pangkal 2-3 mm,
dan lebar bagian tengah daun kelopak mencapai 5 mm, dari bagian pangkal
hingga sepertiga panjang, daun kelopak saling berlekatan. Struktur daun kelopak
bunga jantan lebih tipis dari daun mahkota. Daun mahkota berjumlah 3, berukuran
panjang 14-16 mm dan bagian tengah lebih lebar (4 mm) dari bagian pangkal (2
mm), berwarna kemerahan. Benang sari steril berjumlah 6, 3 melekat pada bagian
tengah dari masing-masing daun mahkota dan 3 lainnya terletak di antara daun
mahkota.
4.3.4 Buah
Bentuk buah salak Sidempuan bervariasi, bulat, sebagian bulat dan yang
lainnya lonjong (Gambar 9q). Jumlah buah pada satu tangkai mencapai 20 buah
dengan rasa buah asam sepat hingga manis sepat. Alur duri pada kulit buah
tersusun lurus dan spiral ke arah pangkal buah. Warna daging buah bervariasi
yaitu putih, sebagian merah, merah, dan gabungan warna merah dan putih pada
satu buah (Gambar 9j-m). Buah berukuran panjang 3.9-7.3 cm dan lebar 3.4- 6 cm
dengan ukuran panjang duri pada buah 1-4 mm (Gambar 9r), dan tebal daging
buah 4-13 mm. Daging buah salak Sidempuan ada yang masir dan ada yang tidak
masir (Gambar 9n-o). Permukaan daging buah ada yang rata dan ada yang tidak
rata (Gambar 9p). Pada buah salak yang siap dipasarkan duri biasanya telah
dihilangkan dengan menggunakan alat perontok duri, karena buah tanpa duri pada
kulit lebih menarik bagi konsumen di pasaran dan lebih mudah untuk dikonsumsi.
53
Gambar 9 Ciri organ generatif salak Sidempuan (S. sumatrana), a) perbungaan
jantan, b) rakila bunga jantan, c) bunga jantan pada rakila, d) bunga
jantan, e) perbungaan betina, f) rakila bunga betina, g) bunga betina
tersusun diad, h) pasangan bunga betina, i) bakal buah, j-m) variasi
warna daging buah, n) buah masir, o) buah tidak masir, p) permukaan
daging buah, q) bentuk buah, r) duri pada buah, s-u) bentuk biji.
1=bunga jantan mekar, 2=braktea pasangan bunga jantan, 3=kelopak
bunga jantan, 4=mahkota bunga jantan, 5=bunga jantan, 6=bunga
hermafrodit, 7=alur duri lurus, 8=alur duri spiral, 9=duri pada buah
5
3
4
1
6
2
2
9
7 8
5
6
53
a b
c d
e f g h i
j k l m n
o p q
r s t u
54
Berdasarkan warna daging buah dari lima lokasi tanaman yang dikoleksi di
daerah Sumatra Utara diperoleh tiga variasi. Adapun warna daging buah tersebut
adalah merah, sebagian merah, dan putih. Namun yang menarik adalah di antara
buah dengan daging buah putih terdapat bagian buah berwarna merah yang tidak
berkembang dengan baik karena ukurannya kecil dan tidak mengandung biji
(Gambar 9m). Pada buah salak Sidempuan putih lainnya ditemukan bercak
sebagian merah pada bagian daging buahnya. Belum ditemukan warna daging
buah merah atau sebagian merah dengan bagian buah yang putih. Ini
mengindikasikan bahwa warna daging buah merah pada salak Sidempuan lebih
dominan dibandingkan warna daging buah putih. Warna daging buah salak
Sidempuan menunjukkan adanya variasi yang kontinyu. Ciri warna daging buah
adalah ciri yang paling mudah dilihat dibandingkan dengan ciri morfologi lainnya.
Kelebihan yang ada pada ciri morfologi selain cepat dalam proses pengamatan
juga mudah dilakukan dengan menggunakan alat sederhana. Hal ini pula yang
menjadikan ciri morfologi tetap akan menjadi primadona bagi taksonomi
meskipun perkembangan dari kajian lainnya juga terus diadopsi (Zumaidar 2011).
Jumlah biji salak Sidempuan berkisar 1-3, dan jumlah ini umum ditemukan
pada tanaman salak bahkan pada salak liar yang tergolong seksi Leiosalacca
(Henderson 2008). Bentuk biji bervariasi dari bentuk bulat, lonjong bahkan
gepeng (Gambar 9s-u), dengan ukuran panjang 1.7-2.9 cm dan lebar 1.5.-2.4 cm.
Perawakan pohon salak Sidempuan sangat berbeda bila dibandingkan
dengan jenis salak budi daya lainnya (S. zalacca) yang memiliki perawakan lebih
kecil (Tabel 7). Ciri tersebut berkorelasi dengan daun yang berukuran besar pada
salak Sidempuan, daun berjumlah banyak, duri berukuran lebar hingga 8, dan
perbungaan besar dan panjang. Ukuran tanaman yang lebih besar (tinggi tanaman,
panjang tangkai, panjang dan lebar thothok, panjang dan lebar lamina) juga
ditemui pada sejumlah individu salak Sidempuan di Kabupaten Kampar, Sumatra
Barat (Hadiati et al. 2008, Hadiati et al. 2012).
Tabel 7 Perbedaan ciri morfologi Salacca sumatrana dan Salacca zalacca
No Ciri Morfologi Salacca sumatrana Salacca zalacca
1 Perawakan Besar Kecil hingga besar
2 Tinggi pohon (m) 6-10 0.75-7
3 Panjang daun (m) 7-9 3-4
4 Jumlah daun per pohon 8-10 5-7
5 Lebar duri pada pangkal (mm) 8 5
6 Rakila bunga jantan (cm) 27 13
4.3.5 Analisis kemiripan morfologi salak Sidempuan
Sampel salak yang digunakan untuk analisis morfologi maupun molekuler
berjumlah 44 individu. Seluruh sampel berasal dari lima perkebunan salak di
Sumatra Utara yaitu sembilan sampel dari desa Sitaratoit, delapan sampel dari
desa Batubujur, delapan sampel dari desa Sigumuru, sepuluh sampel dari desa
Sitinjak, dan sembilan sampel dari desa Sabungan Jae (Tabel 3). Pengamatan
morfologi menghasilkan ciri yang dapat dikelompokkan pada ciri kuantatif (Tabel
8) dan ciri kuantitatif (Tabel 9).
55
Analisis fenetik dari data kuantitatif salak Sidempuan yang berjumlah 44
individu yang didasarkan warna daging buah telah menghasilkan dendrogram
yang menunjukkan rentang nilai koefisien kemiripan dari 0.28 hingga 1. Nilai
koefisien 1 menunjukkan individu yang memiliki morfologi identik karena tidak
terdapat perbedaan ciri (Gambar 10). Pada nilai koefisien kemiripan 0.36,
dendrogram terbagi ke dalam empat cabang. Kultivar salak Sidempuan tidak
mengelompok pada satu cabang berdasarkan warna daging buah. Cabang I dan
Tabel 8 Daftar ciri kuantitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak
Sidempuan (Salacca sumatrana)
No Ciri No Ciri
1 Tinggi pohon 6-10 m 14 Panjang duri di pelepah 5-12 cm
2 Panjang pelepah 1-1.75 m 15 Lebar duri di pelepah 0.4-2 cm
3 Panjang tangkai daun 0.5-1.75 m 16 Ukuran duri terpendek 1-3 mm
4 Diameter tangkai daun 1.4-2.5 cm 17 Jarak duri pada rakis daun 2-12 cm
5 Panjang helaian daun 6-7 m 18 Panjang duri pada sisik kulit buah 1-4 mm
6 Panjang anak daun 50-110 cm 19 Kadar glukosa15.8-23.2 %
7 Lebar anak daun 4-7.5 cm 20 Panjang buah 3.9-7.3 cm
8 Jumlah anak daun dalam kelompok 3-5 21 Lebar buah 3.4-6 cm
9 Jumlah anak daun menyatu pada ujung
daun 2-8
22 Tebal daging buah 4-13 mm
10 Jumlah tulang halus pada anak daun 7-16 23 Jumlah biji1-3
11 Jumlah duri pada ukuran 3cm2 pada
pangkal pelepah 8-16
24 Panjang biji 1.7-2.9 cm
12 Jumlah duri pada ukuran 3 cm2 pada ujung
pelepah 8-23
25 Lebar biji 1.5-2.4 cm
13 Jumlah duri berkelompok terbanyak di
pelepah 3-8
Tabel 9 Daftar ciri kualitatif yang digunakan untuk analisis fenetik salak
Sidempuan (Salacca sumatrana)
No Ciri Sifat Ciri dan kode
1 Warna pelepah coklat gelap = 1; kekuningan-coklat
kekuningan = 0
2 Indumentum rapat pada 1 cm2 di pelepah ya = 1; tidak = 0
3 Keberadaan rambut pada pelepah ada = 1; tidak = 0
4 Alur pada pelepah ada = 1; tidak = 0
5 Kejelasan alur pada pelepah ya = 1; tidak = 0
6 Susunan anak daun dalam kelompok berseling = 1; berhadapan = 0
7 Bentuk indumentum berambut =1; bersisik = 0
8 Warna indumentum coklat gelap =1; coklat kekuningan = 0
9 Indumentum rapat pada 1 cm2 di pangkal duri ya = 1; tidak = 0
10 Keberadaan rambut di pangkal duri ada = 1; tidak = 0
11 Warna duri berbeda pada dua sisi ya = 1; tidak = 0
12 Warna duri pada pelepah dan tangkai daun coklat kekuningan = 1; coklat = 0
13 Arah duri pada abaxial tangkai daun distal = 1; basal = 0
14 Duri pada tepi anak daun > 2 mm ya = 1; tidak = 0
15 Rasa buah manis sepat = 1; asam sepat = 0
16 Daging buah berwarna ya = 1; tidak = 0
17 Warna daging buah seluruhnya merah ya = 1; tidak = 0
55
56
cabang II mengelompokkan individu salak Sidempuan daging buah merah yang
berasal dari satu lokasi. Kedua cabang mengindikasikan adanya kemiripan ciri
morfologi pada individu salak Sidempuan yang berasal dari lokasi yang sama.
Cabang II menunjukkan kemiripan yang tinggi dibandingkan dengan cabang I,
ditandai oleh penyatuan individu salak Sidempuan daging buah merah pada nilai
koefisien kemiripan 0.79. Cabang III dan cabang IV menyatukan individu salak
Sidempuan daging buah merah, sebagian merah, dan putih, yang berasal dari
beberapa lokasi perkebunan. Namun, penyatuan individu-individu yang berbeda
pada cabang III dan IV berada pada nilai koefisien kemiripan yang rendah yaitu
0.37 dan 0.38. Jika cabang I dan II dibandingkan dengan cabang III dan IV maka
dapat disimpulkan bahwa penyatuan individu yang berasal dari lokasi yang sama
memiliki tingkat keanekaragaman morfologi yang rendah, sebaliknya penyatuan
individu yang berasal dari beberapa lokasi menunjukkan tingkat keanekaragaman
morfologi yang tinggi.
Gambar 10 Dendrogram ciri kuantitatif dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah
Koefisien Kemiripan0.28 0.36 0.43 0.50 0.57 0.64 0.71 0.79 0.86 0.93 1.00
memerah29MW
merah27 merah47 merah48 merah51 merah53 merah57 merah60 merah61 memerah38 memerah41 memerah46 memerah49 memerah29 memerah30 memerah54 memerah55 memerah56 putih37 putih40 putih43 merah28 memerah32 memerah33 putih44 putih50 putih45 putih52 putih59 putih67 putih58 putih66 putih31 putih34 memerah62 memerah68 memerah65 memerah70 merah63 merah69 merah64 merah35 merah36 merah39 merah42
III
IV
II
I
57
Warna daging buah merupakan ciri yang menonjol pada salak Sidempuan
dibandingkan dengan ciri lainnya. Secara agronomi ciri pada buah adalah ciri
yang paling mudah dilihat konsumen dalam memilih buah yang disukai. Buah
salak Sidempuan berbeda dengan buah salak budi daya lainnya (Salacca zalacca)
pada ukuran buah lebih besar dan warna daging buah merah.
Ciri kuantitatif lebih banyak ditemukan pada tanaman salak Sidempuan
dibandingkan ciri kualitatif. Pada kategori infraspesies banyak ditemukan variasi
pada ukuran dibandingkan bentuk dan struktur (Radford 1986). Kebanyakan ciri
kuantitatif bersifat kontinyu namun pada salak Sidempuan ciri kualitatif pun
menunjukkan sifat yang kontinyu pula. Ciri yang kontinyu sangat penting untuk
memberikan informasi yang mendalam menyangkut filogenetik sehingga tidak
ada alasan untuk menghilangkannya dari analisis data (Goloboff et al. 2006,
Henderson 2006). Kontinyuitas juga mengindikasikan adanya keterkaitan antara
satu ciri dengan ciri lainnya. Kontinyuitas ciri adalah salah satu masalah pada
konsep jenis sejumlah jenis komplek pada tumbuhan (Rustiami 2009).
Kontinyuitas ciri sebagian besar disebabkan oleh besarnya variasi morfologi
khususnya untuk takson infraspesies.
Pemilahan dilakukan pada ciri kuantitatif dan ciri kualitatif untuk
mendapatkan ciri yang terkait dengan warna daging buah pada salak Sidempuan.
Hasil analisis fenetik pada ciri kuantitatif tidak menemukan ciri yang terkait
dengan warna daging buah sehingga tidak menghasilkan dendrogram yang
mengelompokkan kultivar salak Sidempuan sesuai dengan warna daging buah.
Analisis fenetik dari pemilahan ciri kualitatif menghasilkan dendrogram yang
menunjukkan pengelompokan kultivar salak Sidempuan berdasarkan warna
daging buah (Gambar 11). Ciri morfologi yang dianalisis dari data kualitatif dan
kuantitatif dapat memperlihatkan gambaran kedekatan individu salak Sidempuan.
Kedua kelompok data tersebut pada dasarnya memberikan kontribusi dalam
memahami variasi yang ada dalam kategori infraspesies (Biye 2013).
Dendrogram yang dihasilkan dari analisis data kualitatif memiliki kisaran
nilai koefisien kemiripan dari 0.55 hingga 1. Nilai koefisien 1 menunjukkan
individu yang identik karena paling banyak memiliki kesamaan dari ciri yang
dianalisis. Pada nilai koefisien 0.68 tanaman salak Sidempuan dapat
mengelompok dalam tiga cabang. Cabang I menyatukan seluruh salak Sidempuan
dengan warna daging buah putih, berjumlah 13 tanaman pada nilai koefisien
kemiripan 0.8. Cabang II menyatukan seluruh salak Sidempuan dengan warna
daging buah sebagian merah, berjumlah 16 tanaman pada nilai koefisien
kemiripan 0.8. Cabang III menyatukan seluruh salak Sidempuan dengan warna
daging buah merah, berjumlah 15 tanaman pada nilai koefisien kemiripan 0.7.
Salak Sidempuan dapat mengelompok ke dalam tiga cabang disebabkan oleh
adanya tiga ciri yang terkait dengan warna daging buah. Tiga ciri tersebut adalah
kerapatan indumentum pada 1 cm dari pangkal duri, warna duri berbeda pada dua
sisi, dan rasa buah. Pengelompokkan salak Sidempuan dengan warna daging buah
merah memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi dibandingkan dengan warna
daging buah sebagian merah dan putih.
Petani memperbanyak salak Sidempuan melalui biji sehingga buah yang
dihasilkan tidak seragam. Kultivar salak Sidempuan tidak dapat diakui jika buah
yang dihasilkan tidak seragam. Syarat penentuan kultivar tanaman adalah
menunjukkan ciri berbeda (Distinct), hasil yang seragam (Uniform) dan stabil
57
58
(Stable) yang disingkat DUS (PPVT 2006, Brickell et al. 2009). Untuk
mendapatkan hasil yang memenuhi syarat kultivar maka perbanyakan kultivar
salak Sidempuan harus dilakukan melalui tunas. Penggunaan bibit vegetatif juga
memiliki keuntungan lain yaitu dapat diketahui jenis kelamin tanaman dan sifat
unggul dari pohon induk (Kriswiyanti et al. 2008).
Gambar 11 Dendrogram ciri kualitatif terpilih dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah
4.3.6 Analisis kemiripan molekuler salak Sidempuan
Visualisasi data molekuler AFLP berupa elektrofenogram yang
menggambarkan fragmen DNA pada panjang basa tertentu. Fragmen DNA
dengan panjang basa tertentu pada elektrofenogram mewakili satu lokus yang
dianggap sebagai satu ciri. Penanda AFLP menggunakan kombinasi dua primer,
EcoRI-ACT dan MseI-CAT dan EcoRI-ACC dan MseI-CTT, telah menghasilkan
607 ciri molekuler yang bersifat polimorfik. Kombinasi kedua primer memiliki
fragmen pada panjang basa 38 hingga 628. Salah satu kelebihan dari metode
AFLP adalah mampu menghasilkan ciri polimorfik dalam jumlah banyak
(Lucchini 2003).
Kombinasi primer EcoRI-ACT dan MseI-CAT menghasilkan ciri sebanyak
296 (48.8 %), sedangkan kombinasi primer EcoRI-ACC dan MseI-CTT
menghasilkan ciri sebanyak 311 (51.2 %). Kombinasi primer EcoRI-ACC dan
MseI-CTT lebih efisien dibandingkan kombinasi primer EcoRI-ACT dan MseI-
CAT. Tanaman salak Sidempuan dengan warna daging buah putih yang berasal
Koefisien Kemiripan0.55 0.66 0.77 0.89 1.00
memerah29MW
merah27 merah28 merah36 merah39 merah42 merah47 merah48 merah51 merah53 merah57 merah60 merah61 merah35 merah64 merah63 merah69 memerah29 memerah32 memerah41 memerah46 memerah49 memerah70 memerah30 memerah33 memerah38 memerah54 memerah55 memerah56 memerah62 memerah65 memerah68 putih31 putih34 putih44 putih45 putih50 putih52 putih58 putih59 putih66 putih67 putih37 putih40 putih43
III
I
II
59
dari Batubujur, memiliki ciri paling banyak pada kedua kombinasi primer yaitu
263 (43.3 %) dibandingkan dengan 43 tanaman salak Sidempuan lainnya.
Analisis kemiripan molekuler 44 tanaman salak Sidempuan diperoleh dari
607 ciri polimorfik dalam bentuk dendrogram (Gambar 12). Dendrogram yang
dihasilkan memiliki nilai koefisien kemiripan dengan kisaran 0.56 hingga 0.90.
Nilai koefisien kemiripan yang hanya mencapai 0.90 menunjukkan bahwa tidak
ada tanaman yang benar-benar sama dari data molekuler yang dianalisis,
disebabkan nilai koefisien tidak mencapai 1.00. Kemiripan genetik di antara
tanaman salak Sidempuan tergolong tinggi karena nilai koefisien kemiripan
berkisar di atas 50 %.
Dua cabang utama memisah pada nilai koefisien kemiripan 0.56. Kedua
cabang menyatukan individu salak Sidempuan yang memiliki warna daging buah
merah, sebagian merah, dan putih. Tidak terdapat cabang dari dendrogram yang
menggabungkan individu salak Sidempuan berdasarkan warna daging buah
maupun lokasi pengambilan sampel salak. Analisis fenetik berdasarkan data
molekuler dan data morfologi pada kelompok ciri kualitatif tanaman salak
Sidempuan menunjukkan hasil yang mirip karena berada pada nilai koefisien
kemiripan 0.56 dan 0.55. Keduanya berbeda dengan hasil analisis fenetik data
kuantitatif yang berada pada nilai koefisien kemiripan 0.28. Nilai koefisien
kemiripan yang rendah pada data kuantitatif menunjukkan bahwa variasi ciri antar
individu sangat beraneka ragam dibandingkan variasi ciri pada data kualitatif dan
data molekuler.
Hasil analisis fenetik dari data morfologi maupun dari data molekuler yang
menunjukkan penggabungan individu dengan warna daging buah disebabkan oleh
penanaman salak Sidempuan di lokasi sampel berasal dari biji bukan anakan.
Perkembangbiakan melalui biji akan menghasilkan variasi secara genetik dan
morfologi karena penyerbukan tanaman salak merupakan penyerbukan silang.
Cara perkembangbiakan inilah yang menyebabkan hasil analisis data molekuler
pada salak Sidempuan menunjukkan keanekaragaman genetik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan salak Jawa dan salak Bali. Proses penyerbukan silang pada
tanaman salak dibantu oleh serangga (Mogea 1978). Variasi morfologi yang
kontinyu merefleksikan adanya aliran gen yang sedang berlangsung secara terus
menerus sebagai hasil interaksi antara genetik dan lingkungannya (Biye 2013).
Perbedaan hasil analisis antara ciri morfologi dari data kualitatif dan data
molekuler pada salak Sidempuan adalah hal yang umum ditemukan pada tanaman
lainnya. Hasil yang sama juga ditemukan pada kajian tanaman sagu di Papua Niu
Guini. Analisis ciri genetik tidak berkorelasi dengan ciri morfologi (Kjær et al.
2004).
Dua kultivar salak Sidempuan, mengacu pada penamaan kultivar lokal yang
telah dikenal oleh masyarakat, ditemukan pada lima perkebunan salak milik
masyarakat yaitu ‘Sidempuan merah’ dan ‘Sidempuan putih’. Penamaan keduanya
didasarkan pada warna daging buah. Variasi warna daging buah tersebut
ditemukan secara acak pada kelima lokasi. Penyebaran kedua kultivar di lima
lokasi perkebunan salak disebabkan karena penanaman salak berasal dari biji
sehingga variasi yang muncul beraneka ragam termasuk warna daging buah.
Tidak ditemukan lokasi perkebunan salak yang didominasi oleh satu warna daging
buah. Pengenalan petani salak terhadap kedua kultivar terbatas, hanya dapat
diketahui jika kulit buah salak dibuka dan terlihat warna daging buahnya.
59
60
Pemerintah telah melepas tiga kultivar salak yaitu salak ‘Sidempuan merah’,
‘Sidempuan putih’, dan ‘Sibakua’. Kultivar ‘Sidempuan putih’ dan ‘Sidempuan
merah’ dilepas oleh pemerintah pada tahun 1999 memiliki ciri warna daging buah
yang sama pada deskripsinya yaitu putih semburat merah. Perbedaan kedua
kultivar hanya dibedakan pada ukuran panjang seludang bunga, kultivar
‘Sidempuan putih’ panjangnya 25-30 cm sedangkan pada ‘Sidempuan merah’
panjangnya 60 cm. Pemerintah juga telah melepas tahun 2002 kultivar ‘Sibakua’
dengan ciri warna daging buah merah (PPVT 2013, Ditbenih Hortikultura 2015).
Dari deskripsi masing-masing kultivar diketahui bahwa ketiganya berasal dari
Tapanuli Selatan.
Gambar 12 Dendrogram ciri molekuler dari 44 tanaman salak Sidempuan
(S. sumatrana) berdasarkan warna daging buah
Pada dasarnya pelepasan kultivar salak yang telah dilakukan oleh
pemerintah belum mengikuti acuan kultivar tanaman yang ditetapkan di dunia
internasional. Urutan tata nama yang berlaku secara internasional khususnya
International Code of Nomenclature for Cultivated Plants (ICNCP) nama kultivar
haruslah mencantumkan nama jenis tanaman terlebih dahulu diikuti oleh tanda
petik tunggal lalu nama kultivar yang dimulai dengan huruf capital (Brickell et al.
2009). Tata nama yang benar untuk kultivar ‘Sidempuan merah’ dan ‘Gula pasir’
seharusnya ditulis: S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. zalacca ‘Gula pasir’.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka konsep dan tatanama kultivar salak
‘Sidempuan putih’, ‘Sidempuan merah’, dan ‘Sibakua’ perlu diperbaiki.
Koefisien Kemiripan0.56 0.59 0.63 0.66 0.70 0.73 0.76 0.80 0.83 0.87 0.90
memerah29MW
merah27 merah28 merah42 merah36 memerah41 putih34 memerah30 putih37 memerah33 memerah32 putih40 putih52 memerah29 putih31 merah35 memerah38 merah39 putih43 merah47 putih44 memerah46 putih45 merah48 memerah49 putih50 merah51 merah53 putih66 memerah56 memerah54 merah63 memerah65 merah61 memerah62 merah64 putih67 memerah68 merah69 memerah70 memerah55 merah57 putih58 merah60 putih59
I
II
61
Berdasarkan ciri buah maka kultivar ‘Sidempuan putih’ dan ‘Sidempuan merah’
memiliki kesamaan pada seluruh ciri yang dideskripsikan. Buah salak Sidempuan
yang sesuai dengan warna daging buah pada masing-masing kultivar hanya dapat
diperoleh melalui perbanyakan dengan tunas atau anakan tetapi tidak melalui biji.
Perbanyakan dengan tunas akan menghasilkan buah yang sesuai dengan induknya
sedangkan perbanyakan dengan biji akan menghasilkan buah yang bervariasi.
Definisi kultivar mengacu pada deskriptor salak (PPVT 2006) dan ICNCP
(Brickell et al. 2009). Pada artikel 2.3 ICNCP, kultivar adalah tanaman yang telah
diseleksi untuk memperoleh ciri khusus atau kombinasi ciri tertentu yang ditandai
oleh keberbedaan, keseragaman, dan kestabilan cirinya, dan dapat diperbanyak
dengan cara yang tepat untuk mempertahankan ciri tersebut.
Pengembangan kultivar salak Sidempuan tidak hanya terbatas pada kultivar
yang telah dilepas yaitu salak ‘Sibakua’, salak ‘Sidempuan merah’, dan salak
‘Sidempuan putih’ yang kepemilikannya telah disahkan menjadi hak Bupati
Tapanuli Selatan (PPVT 2013), tetapi lebih luas dapat dihasilkan kultivar-kultivar
lainnya. Pengembangan kultivar salak Sidempuan di masa yang akan datang
sebaiknya didasarkan pada warna dan rasa daging buah sebagai ciri khasnya.
Pengenalan keanekaragaman salak seluruhnya berujung pada upaya
pengembangan kultivar salak unggul Indonesia. Pengembangan salak potensial di
Indonesia penting karena salak telah menjadi buah nasional. Berdasarkan data
hasil produksi salak Tahun 2013, lima daerah penghasil salak di Indonesia adalah
Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur (BPS
2014). Pengenalan kultivar salak potensial dibahas pada subbab berikut.
4.4 Pencarian Salak Potensial
Identifikasi salak potensial diamati pada lima jenis salak budi daya yaitu S.
affinis, S. glabrescens, S. sumatrana, S. wallichiana, dan S. zalacca. Lima jenis
tersebut adalah salak yang telah dibudidayakan sejak lama di Asia
Tenggara(Hambali et al. 1989, Polprasid dan Salakphetch 1989, Polprasid 1992).
Secara tradisional S. affinis dan S. glabrescens telah dimanfaatkan buahnya oleh
masyarakat di Indonesia (Heyne 1950) dan S. wallichiana adalah jenis salak
budidaya di Thailand (Polprasid 1992). Masing-masing jenis diwakili oleh
beberapa kultivar dengan jumlah individu: S. zalacca 26 individu, S. sumatrana
14 individu, S. affinis 12 individu, S. wallichiana 6 individu, dan S. glabrescens 3
individu. Total sampel berjumlah 61 tanaman dan diamati warna daging buah,
rasa buah, kadar gula dan kandungan tanin pada buah.
Lima jenis salak budi daya memperlihatkan variasi warna daging buah dan
rasa buah (Tabel 10). Gradasi warna daging buah salak adalah putih, kekuningan,
kuning jingga, jingga, kemerahan, dan merah. Variasi rasa buah berkisar dari
hambar, sedikit sepat, sepat, asam sepat, manis sepat, asam, asam manis, dan
manis. Warna, ketebalan daging buah, cita rasa manis yang ditunjukkan melalui
kadar gula, dan sedikit rasa sepat yang ditandai oleh kandungan tanin adalah
beberapa persyaratan mutu buah yang disukai konsumen (Santosa dan Hulopi
2011; Mogea 1990).
61
62
No Nama Jenis Nama
Kultivar
Asal
Koleksi
Kadar
Tanin
Kadar
Gula
(%)
Rasa Warna Daging
Buah
1. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 18 Manis Putih
2. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 17.4 Manis Putih
3. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 13.8 Manis Putih
4. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 16 Manis Putih
5. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 18 Manis Putih
6. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 17.6 Manis Putih
7. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 18.6 Manis Putih
8. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 16.9 Manis Putih
9. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 19.4 Asam manis Putih
10. S. zalacca Pondoh Bogor ++++ 19.1 Manis Putih
11. S. zalacca Pondoh Bogor +++++ 18.5 Manis Putih
12. S. zalacca Kate GG Hambali - 17.3 Asam sepat Kekuningan
13. S. zalacca Mawar GG Hambali +++++ 17.1 Asam manis Putih
14. S. zalacca Jawa lokal GG Hambali ++++ 20.6 Manis sepat Kekuningan
15. S. zalacca Bali GG Hambali ++ 18.8 Manis Kekuningan
16. S. zalacca Bali GG Hambali +++++ 15.9 Manis sepat Putih
17. S. zalacca Bali GG Hambali +++++ 20.3 Manis sepat Putih
18. S. zalacca Gading GG Hambali +++++ 15.5 Manis Putih
19. S. zalacca Kurang
Duri
GG Hambali ++ 15 Asam sepat Kekuningan
20. S. zalacca Batujajar GG Hambali ++++ 16.6 Manis Kekuningan
21. S. zalacca Gula pasir GG Hambali +++ 17.7 Manis Putih
22. S. zalacca Boni GG Hambali ++++ 17.7 Asam manis Sebagian merah
23. S. zalacca Kate GG Hambali +++ 17.3 Asam sepat Putih
24. S. zalacca Kate GG Hambali ++++ 16.3 Asam sepat Kekuningan
25. S. zalacca Mawar GG Hambali ++++ 19.3 Manis Putih
26. S. zalacca Madu GG Hambali ++++ 20.2 Manis Putih
27. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.3 Sedikit sepat Jingga
28. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.3 Sedikit sepat Jingga
29. S. wallichiana Hibrid Mekar Sari ++ 13.4 Sedikit sepat Jingga
30. S. wallichiana Kuning Mekar Sari + 10.9 Hambar Jingga
31. S. wallichiana Kuning Mekar Sari + 12.6 Hambar Jingga
32. S. wallichiana Kuning Mekar Sari +++ 14.1 Hambar Jingga
33. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 19.9 Asam manis Kuning jingga
34. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 21 Asam manis Kuning jingga
35. S. affinis Kehitaman Mekar Sari - 23.2 Asam manis Kuning jingga
36. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 18.2 Asam sepat Jingga
37. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 17.3 Asam sepat Jingga
38. S. affinis Kuning Mekar Sari ++++ 17.8 Asam sepat Jingga
39. S. affinis Merah Mekar Sari - 20.5 Asam manis Kekuningan
40. S. affinis Merah Mekar Sari - 20.4 Asam manis Kekuningan
41. S. affinis Merah Mekar Sari + 19.4 Asam manis Kekuningan
42. S. affinis Lonjong Mekar Sari - 22.8 Manis Kekuningan
43. S. affinis Lonjong Mekar Sari - 23.2 Manis Kekuningan
44. S. affinis Lonjong Mekar Sari + 24.5 Manis Kekuningan
45. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut ++++ 20.4 Manis sepat Merah
46. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut +++ 20.6 Asam sepat Sebagian merah
47. S. sumatrana Sidempuan
putih
Sumut +++++ 22.1 Manis sepat Putih
48. S. sumatrana Sidempuan
putih
Sumut ++++ 20.5 Manis sepat Putih
49. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut +++ 17.7 Manis sepat Sebagian merah
50. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut ++++ 18.2 Manis sepat Sebagian merah
51. S. sumatrana Sidempuan
putih
Sumut +++ 20.6 Manis sepat Putih
Tabel 10 Variasi kadar gula dan kandungan tanin buah pada lima jenis salak budi daya
63
Tabel 10 (Lanjutan)
No Nama Jenis Nama
Kultivar
Asal
Koleksi
Kadar
Tanin
Kadar
Gula
(%)
Rasa Warna Daging
Buah
52. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut +++++ 19.8 Manis sepat Sebagian merah
53. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut ++++ 19.4 Asam sepat Sebagian merah
54. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut ++++ 21.4 Asam sepat Sebagian merah
55. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut +++++ 21.3 Manis sepat Merah
56. S. sumatrana Sidempuan
merah
Sumut ++++ 19 Manis sepat Merah
57. S. sumatrana Sidempuan
merah
KRB ++ 16.7 Manis sepat Sebagian merah
58. S. sumatrana Sidempuan
hibrid
GG Hambali ++++ 17.7 Manis sepat Kekuningan
59. S. glabrescens Hitam GG Hambali ++++ 19.7 Asam Kekuningan
60 S. glabrescens Hitam GG Hambali ++++ 19.9 Asam Kekuningan
61 S. glabrescens Hitam GG Hambali + 20.4 Sepat Kekuningan
Keterangan: - = tidak ada kandungan tanin; + = kandungan tanin rendah;
++, +++ = kandungan tanin sedang; ++++, +++++ = kandungan tanin tinggi
Kadar gula dan kandungan tanin pada lima jenis salak budi daya bervariasi.
Dari 61 tanaman salak, kadar gula memiliki kisaran nilai 10.9 – 24.5 % sedangkan
kandungan tanin dari tidak ada (-) hingga paling tinggi (+++++). Kadar gula
paling tinggi dimiliki S. affinis kultivar ‘Lonjong’ (24.5 %) sedangkan kadar gula
paling rendah dimiliki S. wallichiana kultivar ‘Kuning’ (10.9 %). Kadar tanin
paling tinggi dimiliki S. zalacca kultivar ‘Pondoh’, ‘Mawar’, ‘Bali’, ‘Gading’ dan
S. sumatrana kultivar ‘Sidempuan merah’, ‘Sidempuan putih’ sedangkan yang
tidak mengandung tanin dimiliki S. zalacca kultivar ‘Kate’, dan S. affinis kultivar
‘Kehitaman’, Merah’, ‘Lonjong’. Kandungan tanin menyebabkan rasa sepat
(Farida et al., 2000) pada buah salak dan merupakan salah satu mekanisme
pertahanan diri terhadap serangan luar dari hewan atau manusia. Rasa tidak enak
yang disebabkan oleh kandungan tanin juga dimiliki oleh biji buah merah
(Sundari, 2010), jambu mete (Artati et al., 2007) dan buah mahkota dewa
(Widowati, 2005).
Rasa buah manis dimiliki oleh S. zalacca kultivar ‘Pondoh’, ‘Bali’,
‘Gading’, ‘Batujajar’, ‘Gula pasir’, ‘Mawar’, ‘Madu’, dan S. affinis kultivar
‘Lonjong’. Rasa buah pada S. zalacca memiliki variasi paling beragam
dibandingkan jenis budi daya lainnya, yaitu rasa manis, manis sepat, asam sepat,
dan asam manis. Keunggulan rasa buah dari S. zalacca khususnya pada kultivar
‘Pondoh’ yang manis dan intensitas aromanya yang sangat kuat diduga karena
adanya komponen kimia penyebab aroma yaitu asam karboksilat dan metil ester
(Wijaya et al. 2005). Aroma bunga masing-masing jenis salak berbeda.
Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Gregori Garnadi Hambali (2014) aroma
bunga yang tercium dari salak Sidempuan seperti mangga, salak Jawa seperti jahe,
sedangkan salak Bali seperti kamfer.
Pada salak Sidempuan yang telah matang, rasa manis tetap memiliki rasa
sepat. Rasa sepat yang dimiliki buah matang lebih sedikit bila dibandingkan
dengan buah yang masih muda. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan kadar
tanin dari buah yang muda ke buah matang pada salak Sidempuan. Pada S.
63
64
zalacca, kadar gula khususnya gula dan fruktosa, vitamin C, dan tanin pada buah
salak akan semakin menurun sesuai dengan kematangan buah (Supriyadi et al.
2002, Santosa dan Hulopi 2011). Kultivar ‘Pondoh’ dari 11 sampel yang diuji 10
sampel memiliki rasa manis pada buahnya namun data menunjukkan seluruh
sampel mengandung kadar tanin dengan kategori tinggi yaitu (+++) hingga
(+++++). Pada dasarnya buah salak yang memiliki kandungan tanin yang tinggi
ketika buah matang akan mengalami penurunan kandungan taninnya sehingga
rasanya akan tetap enak. Penurunan kadar tanin secara alami pada buah salak
dapat dilakukan melalui penyilangan dengan salak yang memiliki kadar tanin
rendah. Hal ini telah berhasil dilakukan pada persilangan kultivar ‘Bali’ dan
‘Pondoh’ (Purnomo dan Dzanuri 1996). Penurunan kadar tanin secara kimiawi
pada buah salak dapat dilakukan dengan menggunakan ethanol baik berupa
larutan maupun uap (Utama et al. 2014). Demikian juga dengan rasa asam pada S.
affinis, dapat dikurangi bahkan dihilangkan melalui cara penyilangan dengan S.
zalacca. Penyilangan kedua jenis tersebut telah berhasil dilakukan di Taman Buah
Mekar Sari dan menghasilkan beberapa hibrid yang memiliki rasa yang manis.
Warna daging buah S. sumatrana memiliki gradasi kisaran paling luas
dibandingkan jenis budi daya lainnya, yaitu warna putih, kekuningan, sebagian
merah, dan merah. Hubungan antara ciri kadar gula, kandungan tanin, rasa buah,
dan warna daging buah dianalisis menggunakan Uji Kendall (Tabel 11). Warna
daging buah dan rasa merupakan sifat dominan pada salak (Sudjijo 2009).
Kadar Gula Kandungan
Tanin
Rasa Buah Warna
Daging Buah
Kadar Gula -0.061 0.213 -0.242*
Kandungan Tanin 0.021 0.041
Rasa Buah -0.456**
Angka di atas diagonal menunjukkan Koefisien Korelasi Kendall
* Peluang dengan taraf uji 95 %; ** Peluang dengan taraf uji 99 %
Masyarakat Sumatra Utara menyebutkan bahwa salak Sidempuan dengan
warna daging buah merah dan sebagian merah memiliki rasa asam sedangkan
warna daging buah putih memiliki rasa manis. Pernyataan tersebut ternyata tidak
benar karena pada kenyataannya salak Sidempuan dengan warna daging buah
sebagian merah dan merah juga memiliki rasa manis sebagaimana ditemukan pada
warna daging buah putih. Koefisien korelasi Kendall menunjukkan angka yang
tinggi (-0.456) antara rasa dan warna daging buah. Ada hubungan yang bersifat
negatif antara warna daging buah dan rasa buah, yang ditunjukkan oleh nilai
peluang sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99 % (< 0.001). Semakin menuju
merah warna daging buah salak maka rasa semakin hambar kebalikannya semakin
menuju putih warna daging buah salak maka rasa semakin manis. Buah salak yang
memiliki rasa manis memiliki kandungan senyawa bioaktif dan antioksidan tinggi
(Leontowicz et al. 2006).
Hubungan yang bersifat negatif juga terdapat antara kadar gula dan warna
daging buah. Koefisien korelasi Kendall menunjukkan angka yang tinggi (-0.242)
antara kadar gula dan warna daging buah dengan peluang nyata pada tingkat
kepercayaan 95 %. Semakin menuju merah warna daging buah salak maka kadar
Tabel 11 Nilai korelasi antara empat ciri terpilih pada buah salak budi daya
65
gula semakin rendah kebalikannya semakin menuju putih warna daging buah
salak maka tinggi kadar gulanya.
Salacca affinis ‘Lonjong’ memiliki semua sifat ideal dari ciri buah salak
yang dianalisis yaitu kadar gula tinggi hingga 24.5 %, kandungan tanin sedikit
sekali bahkan tidak ada, warna daging buah kekuningan, dan rasa buah manis.
Kelebihan lain pada kultivar ini adalah sisik kulit buah yang tidak berduri, warna
kulit buah jingga, dan tekstur daging buah yang sangat lembut karena kandungan
airnya tinggi. Namun sifat terakhir memiliki kendala yaitu masa penyimpanan
yang singkat karena kadar air yang tinggi akan menyebabkan buah cepat
mengalami pembusukan. Kultivar ini merupakan hasil seleksi dari induk liarnya
sehingga rasa asam yang berasal dari ciri induk liarnya berubah menjadi manis,
sedangkan tekstur daging buah dan sisik pada kulit buah yang tidak berduri tetap
sama dengan ciri pada induk liarnya.
Warna daging buah yang menarik dimiliki oleh S. sumatrana ‘Sidempuan
merah’ yaitu merah sebagai warna daging buah yang paling cerah. Secara
perawakan S. zalacca ‘Kate’ memiliki bentuk yang unik karena sangat pendek,
kurang dari 75 cm. Kultivar ini tidak hanya sebagai tanaman salak yang buahnya
dapat dimakan tetapi juga memiliki peluang sebagai tanaman hias yang dapat
ditanam dalam pot. Salacca zalacca ‘ Batujajar’ adalah salah satu salak potensial
karena memiliki sedikit duri pada pelepah dan tangkai daun. Kultivar ini juga
memiliki rasa manis dengan tekstur daging buah yang kering (karena mengandung
sedikit air) sehingga masa penyimpanannya dapat bertahan lama.
Puluhan kultivar lokal salak Bali dan salak Jawa masih mungkin untuk
diusulkan pelepasannya kepada pemerintah dengan ciri DUS (distinct, uniform,
stable) sebagai kultivar baru. Rancangan pemuliaan dapat dilakukan pada salak
Bali yang memiliki karakteristik buah besar, daging buah tebal, namun rasanya
manis agak sepat dengan salak Jawa yang memiliki rasa manis namun daging
buah tipis. Persilangan keduanya diharapkan memunculkan kultivar baru yang
memiliki buah salak yang rasanya manis dan daging buah tebal. Konsumen
umumnya menyukai buah salak yang berdaging tebal, cita rasa manis,
sedikit/tidak ada rasa sepat, harum, dan daya simpannya lama. Kultivar salak saat
ini belum memenuhi semua kriteria yang diinginkan konsumen. Kultivar ‘Pondoh’
memiliki rasa buah manis dan tidak sepat tetapi daging buahnya tipis. Salak
‘Sidempuan’, salak ‘Suwaru’, dan salak ‘Bali’, buahnya berukuran besar,
dagingnya tebal, tetapi rasanya manis agak sepat, terutama bila buah dipetik saat
matangnya belum optimal. Terkait dengan ciri buah salak yang ideal, perlu dirakit
kultivar salak yang buahnya manis, tidak sepat walaupun masih muda, dan
berdaging tebal (Rizky et al. 2012).
Penyilangkan S. zalacca dengan S. sumatrana untuk mendapatkan salak
unggul yang memiliki rasa manis dengan daging buah tebal telah berhasil
dilakukan GG Hambali. Hasil nyata telah ditidaklanjuti oleh peneliti BPTP Riau
melalui pelepasan kultivar ‘Sari Kampar’ (Ditbenih Hortikultura 2015). Demikian
juga persilangan S. affinis dan S. zalacca telah menghasilkan salak dengan rasa
buah yang enak dengan warna yang cerah (jingga). Kemampuan bersilang antar
jenis salak adalah peluang mengembangkan berbagai kultivar salak di Indonesia
sebagai salah satu pusat kenekaragaman salak dunia.
Pengembangan tanaman salak telah dilakukan oleh peneliti namun
masyarakat selama ini juga telah ikut melakukannya. Penemuan kultivar lokal
65
66
oleh masyarakat maupun peneliti harus didorong untuk dapat ditetapkan sebagai
kultivar yang mengikuti acuan nama secara internasional. Peluang penemuan
kultivar salak unggul di masa mendatang sangat besar didukung oleh sumber
plasma nutfah salak yang terbanyak ada di wilayah Indonesia. Budi daya salak
perlu terus dikembangkan di masa yang akan datang secara lebih luas karena
tanaman ini sangat banyak kegunaannya. Pengembangan nilai ekonomi tanaman
salak perlu ditingkatkan dari berbagai manfaat pada organ tanamannya.
67
5 KESIMPULAN
5.1 Simpulan
Jumlah salak (Salacca) yang ada di dunia saat ini adalah 23 jenis, tersebar
dari Burma hingga Jawa. Marga Salacca terbagi ke dalam dua seksi. Seksi
Leiosalacca terdiri atas dua jenis yaitu S. affinis dan S. ramosiana. Seksi Salacca
terdiri atas 21 jenis, yaitu S. acehensis, S. bakeriana, S. clemensiana, S.
dolicholepis, S. dransfieldiana, S. flabellata, S. glabrescens, S. graciliflora, S.
griffithii, S. lophospatha, S. magnifica, S. minuta, S. multiflora, S. rupicola, S.
sarawakensis, S. secunda, S. stolonifera, S. sumatrana, S. vermicularis, S.
wallichiana, dan S. zalacca. Salacca acehensis adalah jenis baru yang ditemukan
di Sumatra, khususnya Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dalam penelitian ini.
Borneo memiliki 11 jenis salak dan merupakan pusat keanekaragaman salak
dunia. Jenis yang paling kecil perawakannya adalah S. zalacca dan yang paling
besar perawakannya adalah S. wallichiana.
Salacca zalacca adalah jenis yang paling luas sebarannya dan pusat
keanekaragamannya terdapat di Jawa. Jenis ini terdiri atas dua varietas yaitu S.
zalacca var. zalacca dan S. zalacca var. amboinensis. Beberapa ciri morfologi
pada perawakan, duri, bunga, dan biji menunjukkan bahwa salak Bali berbeda
dengan salak Jawa. Secara molekuler salak Bali memberikan indikasi pemisahan
dengan salak Jawa melalui penanda AFLP.
Salacca sumatrana memiliki banyak variasi ciri morfologi. Ciri perawakan
dan duri yang paling besar serta daging buah berwarna merah adalah ciri khas
yang ada pada S. sumatrana. Ciri dan sifat ciri yang terdapat pada S. sumatrana
menunjukkan adanya kontinuitas ciri. Ciri paling bervariasi ditemukan pada duri
karena paling banyak ciri yang dapat diperbandingkan antara individu salak
Sidempuan. Ciri yang paling menonjol dari salak Sidempuan terdapat pada warna
daging buah. Hanya ada tiga ciri morfologi yang terkait dengan warna daging
buah salak Sidempuan yaitu kerapatan indumentum pada 1 cm dari pangkal duri,
warna duri berbeda pada dua sisi, dan rasa buah. Variasi warna daging buah salak
Sidempuan adalah putih, sebagian merah, dan merah. Pengembangan kultivar
salak Sidempuan yaitu S. sumatrana ‘Sidempuan merah’ dan S. sumatrana
‘ Sidempuan putih’ hanya dapat dilakukan melalui anakan bukan melalui biji.
Penanda AFLP mampu menghasilkan banyak data fragmen yang bersifat
polimorfik pada S. sumatrana dan S. zalacca. Kombinasi primer EcoRI- ACC dan
Mse1-CTT lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan
Mse1-CAT. Analisis fenetik data molekuler S. sumatrana dan S. zalacca
menggambarkan tingkat kemiripan yang tinggi antara individu salak.
Identifikasi salak potensial menunjukkan bahwa Salacca affinis ‘Lonjong’
memiliki ciri yang ideal. Kultivar ini adalah hasil seleksi dari induk liarnya,
memiliki ciri kadar gula tinggi, kandungan tanin rendah, rasa manis, warna daging
buah kekuningan, warna kulit buah jingga, dan tekstur daging buah lembut karena
kandungan airnya tinggi. Kultivar salak dapat dijamin keseragaman, keunikan dan
kestabilan cirinya melalui perbanyakan dengan anakan bukan melalui biji.
Pengembangan kultivar baru salak Indonesia sangat besar peluangnya di masa
68
yang akan datang yang dapat disesuaikan dengan pasar nasional maupun
internasional.
5.2 Saran
Secara umum diketahui bahwa terjadi penyerbukan silang pada salak,
namun belum diketahui berapa persentase persilangan tersebut. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengamatan pada perbungaan salak untuk mengetahui persentase
persilangannya. Pengamatan perbungaan pada salak Bali juga perlu dilakukan
untuk membuktikan apakah terjadi penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri
pada bunga salak Bali.
Penanda AFLP dengan kombinasi primer EcoRI- ACT dan Mse1-CAT, dan
kombinasi primer EcoRI- ACC dan Mse1-CTT mampu menghasilkan data
polimorfik pada salak namun keduanya belum mampu menunjukkan pemisahan
yang jelas antara salak Jawa dan salak Bali. Pemisahan secara molekuler
keduanya mungkin dapat diperjelas melalui rancangan kombinasi primer AFLP
yang terpaut dengan tanaman salak.
69
DAFTAR PUSTAKA
Andersen JR, Lübberstedt T. 2003. Functional markers in plants. Pl. Science
8(11): 554-560.
Artati, Kriswiyanti E, Fadilah. 2007. Pengaruh kecepatan putar pengadukan dan
suhu operasi pada ekstraksi tanin dari jambu mete dengan pelarut aseton.
Ekuilibrium 6(1): 33-38.
Backer CA, Bakhuizen van den Brink RC Jr. 1968. Flora of Java III. Netherlands
(NL): Wolter Noordhoff NV Groningen.
Beccari O. 1886. Palme Asiatiche. Malesia 3: 66.
Beccari O. 1909. Notes on Philippine Palms II. Philipp. J. Science C 4: 618.
Beccari O. 1918. Asiatic palms — Lepidocaryeae. Part III. Annals of the Royal
Botanic Garden 12(2). Calcutta (IN): The Bengal Secretariat Book Depot.
Biye EH. 2013. Sustaining Gnetum L. (Gnetaceae) in Africa through improved
taxonomy and domestication [Internet]. [Diacu 2 Maret 2014]. Tersedia dari:
http: //wiredspace. wits.ac.za/ bitstream/handle/10539/13690/Biye_ Thesis.pdf.
[BPS]. 2014. Produksi buah-buahan menurut provinsi, 2013 [Internet]. [Diacu 28
Maret 2014].Tersedia dari: www.bps.go.id.
Brickell CD, Alexander C, David JC, Hetterscheid WLA, Leslie AC, Malecot V,
Xiaobai Jin, (Editorial Committee). 2009. International Code of Nomenclature
for Cultivated Plants. Eight Edition. Belgium (BE): ISHS (International
Society for Horticultural Science).
Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Product of Malay Peninsula. Vol.
II. London (GB): Millbank.
Burret. 1942. Neue Palmen aus der Gruppe der Lepidocaryoideae. Notizbl. Bot.
Gart. Mus. Berlin-Dahlem 15: 728-755.
Cabrita LF, Aksoy, Hepaksoy, Eitao JL. 2001. Suitability of isozyme, RAPD and
AFLP markers to assess genetic differences and relatedness among Fig (Ficus
carica L.) clones. Hort. Science (87): 261-273.
Cai Q, Aitken KS, Fan YH, Piperidis G, Jackson P, McIntyre CA. 2005. A
preliminary assessment of the genetic relationship between Erianthus rockii
and the Saccharum complex using microsatellite (SSR) and AFLP markers. Pl.
Science (169): 976-984.
Cao BR, Chao CCT. 2002. Identification of date cultivars in California using
AFLP markers. Hort. Science 37(6): 966-968.
Chikmawati T, Scovmand B, Gustafson JP. 2005. Phylogenetic relationships
among Secale species revealed by amplified fragment length polymorphisms.
Genome (48): 792-801.
Darmadi AAK, Hartana A, Mogea JP. 2002. Catatan penelitian perbungaan salak
Bali. Hayati 9(2) : 59 - 61.
Damayanti CS. 2007. Peranan studi genetik dalam kegiatan konservasi [Internet].
[Diacu 11 Oktober 2014]. Tersedia dari: http: //vetopia. wordpress.com /2007
/11/02/ peranan-studi-genetik-dalam-kegiatan-konservasi/.
[Ditbenih Hortikultura]. 2015. Database varietas terdaftar hortikultura [Internet].
[Diacu 2 Februari 2015]. Tersedia dari: http://varitas.net/dbvarietas/.
Dewi KP. 2008. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Berdasarkan Karakter Bunga dan DNA Menggunakan Teknik Amplified
70
Fragment Length Polymorphism (AFLP). [Thesis]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana IPB.
Dransfield J. 1980. A new species of Salacca Reinn. from the limestone of
Gunung Mulu National Park. In Notulae et Nuvitates Muluenses. Bot. J. Linn.
Soc. 81: 1-46.
Dransfield J, Mogea JP. 1981. A reassessment of the genus Lophospatha Burret.
Principes 25: 178-180.
Dransfield J, Uhl NW, Asmussen CB, Baker WJ, Harley MM, Lewis CE. 2008.
Genera Palmarum. The Evolution and Clasification of Palms. Kew (GB):
Royal Botanical Garden.
Dransfield J. 2009. A new species of Salacca from Sarawak. Palms (53): 167–170.
Farida WR, Praptiwi, Semiadi W. 2000. Tanin dan Pengaruhnya pada Ternak. J.
Pet. dan Lingk. (6): 66-71.
Fitmawati. 2008. Biosistematika Mangga Indonesia. [Disertasi]. Bogor (ID):
Program Pascasarjana IPB.
Furtado CX. 1949. Palmae Malesicae-X. The Malayan species of Salacca. Gard.
Bull. Sing. 12: 378-403.
Gari NM. 2011. Multivariate analysis of bali salak cultivars (Salacca zalacca var.
amboinensis (Becc.) Mogea) based on leaf micromorphological characters. J.
Biologi XV (1): 15-18.
Goloboff PA, Mattoni CI, Quinteros AS. 2006. Continuous characters analyzed
as such. Cladistics 22(6): 589-601.
Govaerts R, Dransfield J, Zona, SF, Hodel DR, Henderson A. 2013. World
checklist of Arecaceae [internet]. [Diacu 4 Juni 2013]. Tersedia dari:
http://apps.kew.org/wcsp/.
Griffith W. 1845. The palms of British East India. Calc. J. Nat. His. and Misc. of
the arts and sciences in India (5): 1–103.
Hadiati S, Susiloadi A, Budiyanti T. 2008. Hasil persilangan dan pertumbuhan
beberapa genotipe salak. Bul. Plasma Nutfah 14(1): 26-32.
Hadiati S, Susiloadi A, Budiyanti T. 2012. Pertumbuhan populasi pemuliaan salak
di Kabupaten Kampar. Agrin 16(1): 58-65.
Hambali GG, Mogea JP, Yatazawa M. 1989. Salacca germplasm for potential
economic use. Proceedings of the first PROSEA International Symposium.
Wageningen (NL): Pudoc Wageningen.
Harahap HMY, Bayu ES, Siregar LAM. 2013. Identifikasi karakter morfologis
salak Sumatera Utara (Salacca sumatrana Becc.) di beberapa daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan. Agroekoteknologi 1(3) 833-841.
Haris JG, Haris MW. 2013. Plant Identification Terminology. An Illustration
Glossary. Utah (US): Spring Like Publishing.
Harsono T. 1994. Salak dan keanekaragamannya [Studi Pustaka]. Pertemuan
plasma nutfah di Ula Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
Perkebunan Bogor, Tanggal 30 Maret 1994. Bogor (ID).
Harsono T, Hartana A. 2003. Biosistematika kultivar salak di Bangkalan Madura.
Floribunda 2(4): 89 – 116.
Henderson AJ. 2006. Traditional morphometrics in plant systematics and its role
in palm systematic. Bot. J. Linn. Soc. (151): 103-111.
Henderson AJ. 2008. A new species of Salacca (Palmae) from Southeast Asia.
Bull. Mak. Bot. Garden (7): 87-92.
71
Hendri Z, Arianingrum R. 2010. Penerapan teknologi pemanfaatan kulit salak
untuk bahan produk seni kerajinan. J. Pen. Saintek 15(2): 35-47.
Hendri Z. 2012. Penerapan teknologi pemanfaatan kulit salak pada produk
keramik guna peningkatan usaha kerajinan keramik di kecamatan Jetis,
kabupaten Bantul [internet]. [Diacu 4 Juni 2013]. Tersedia dari:
http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/3816.
Heyne K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesië. Vol. I. Bandung (ID): van
Hoeve.
Hodel DR. 1997. New species of palms from Thailand. Palm J. 134: 28-37.
Hooker JD. 1894. Flora of British India. Vol. VI. London (GB): L Reeve & Co.
Hutauruk D. 1999. Pembentukan Biji Salak Bali (Salacca zalacca var.
amboinensis). [Thesis]. Bogor (ID): Program pascasarjana IPB.
Ihaka R, Gentleman R. 1996. R: A language for data analysis and graphics. J.
Comp. Graph. Statistics 5: 299-314.
Jenimar. 1995. Analisis keragaman morfologi, anatomi, dan sitogenetika salak
padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.) [Studi Pustaka]. Seminar
Bioteknologi dan pelatihan DNA di Medan, Tanggal 21-26 Agustus 1995.
Bogor (ID).
Kaidah S. 1999. Analisis Keragaman Genetik Tanaman Salak (Salacca sp.)
Indonesia dengan Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
[Thesis]. Bogor (ID): Program pascasarjana IPB.
Kimsri C. 1997. Studies on floral biology, pollination and fruit seed of "Nern
Wong Salak" (Salacca sp). Agris Record no.2000001856. Thailand (TH): Univ
Bangkok.
Kjær A, Barfod AS, Asmussen CB, Seberg O. 2004. Investigation of genetic and
morphological variation in the sago palm (Metroxylon sagu; Arecaceae) in
Papua New Guinea. Ann. Botany (94): 109-117.
Kriswiyanti E, Muksin IK, Watiniasih L, Suartini M. 2008. Pola reproduksi pada
salak Bali (Salacca zalacca var. amboinensis (Becc.) Mogea). J. Biologi 11(2):
78 - 82.
Leontowicz H, Leontowicz M, Drzewiecki J, Haruenkit R, Poovarodom S, Seo
Park Y, Teck Jung S, Gook Kang S, Trakhtenberg S, Gorinstein S. 2006.
Bioactive properties of Snake fruit (Salacca edulis Reinw) and Mangosteen
(Garcinia mangostana) and their influence on plasmalipid profile and
antioxidant activity in rats fed cholesterol. Eur. Food Res. Technol. (223): 697–
703.
Lucchini V. 2003. AFLP: a useful tool for biodiversity conservation and
management. C. R. Biologies (326): S43–S48.
Martius C. 1838. Historia Naturalis Palmarum 3. Part 7.Ed. 1. Leipzig (DE).
Matthes M, Singh R, Cheah SC, Karp A. 2001. Variation in oil palm (Elaeis
guineensis Jacq.) tissue culture-derived regenerants revealed by AFLPs with
methylation-sensitive enzymes. Theo. App. Genetics (102): 971-979.
Mogea JP. 1973. Beberapa Aspek Fenologi Salacca edulis Reinwardt. [Thesis
Sarjana Biologi]. Bandung (ID): ITB.
Mogea JP. 1978. Pollination in Salacca edulis. Principes 22(2): 56-63.
Mogea JP. 1980. The flabellate-leaved species of Salacca (Palmae). Reinwardtia
9(4): 461-479.
71
72
Mogea JP. 1982. Salacca zalacca, the correct name for salak palm. Principes
26(2): 70-72.
Mogea JP. 1984. Three new species of Salacca (Palmae) from the Malay
Peninsula. Fed. Mus. J. (KualaLumpur) 29: 1–19.
Mogea JP. 1986. A new species in genus Salacca. Principes 3(4): 161-164.
Mogea JP. 1990. The salak palm species in Indonesia. Voice of Nat. (85):42-62.
Mueller UG, Wolfenbarger LL. 1999. AFLP genotyping and fingerprinting. Eco.
Evol. (14): 389-394.
Nandariyah, Soemartono, Artama WT, Taryono. 2004. Keragaman kultivar salak
(Salacca zalacca (Gaertner). Agrosains 6(2): 75-79.
Nazaruddin, Kristiawati R. 1996. 18 Varietas Salak. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Parjanto, Moeljopawiro S, Artama WT, Purwanto A. 2003. Kariotip kromosom
salak. Zuriat 14(2): 21-28.
Polprasid P, Salakphetch S. 1989. Improvement of Salacca spp. In Thailand.
Proceedings of the first PROSEA International Symposium. Wageningen (NL):
Pudoc Wageningen.
Polprasid P. 1992. Salacca wallichiana C. Martius. Plants Resources of South
East Asia Edible Fruit and Nuts. PROSEA. Bogor Indonesia (2): 278–281.
[PPVT]. 2006. Panduan Pengujian Individual Tanaman Salak. Jakarta (ID):
Deptan RI.
[PPVT]. 2013. Daftar Pendaftaran Varietas Lokal Tahun 2005-2012 [Internet].
[Diacu 23 Februari 2014]. Tersedia dari: http://ppvt. setjen. pertanian. go.id
/ppvtpp/hasil-pencarian.html.
Purnomo S, Dzanuri. 1996. Analisis heterosis dan teknik produksi benih hibrida
F1 persilangan antar varietas salak Bali dengan salak Pondoh. J. Hort. 6(3):
233-241.
Radford AE. 1986. Fundamentals of Plants Systematics. New york (US): Harper
and Row Publishers Inc.
Reinwardt CGC. 1825. Novae plantarum species in horto botanico Bonnensi
cultae. In C F Hornschuch, Sylloge Plantarum Novarum Itemque Minus
Cognitarum a Praestantissimis Botanicis adhuc Viventibus Collecta et a
Societate Regia Botanica Ratisbonensi Edita. Vol. 2. Regensburg (DE):
Societate Regia Botanica.
Rifai MA. 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Nasional.
Mimeograf. Bogor [ID]: LIPI.
Rizky AA, Indallah AM, Dwi FP, Sholikah A. 2012. Hibridisasi salak pondoh dan
salak bali. [Studi Pustaka] Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Silang. Malang
(ID): Unbraw.
Rohlf FJ. 1998. NTSys-pc. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis
System.Versi 2.02. New York (US): Exerter Software.
Rustiami H. 2009. Konsep jenis palem: sebuah pengantar. Berita Biologi 9(5):
459-463.
Rustiami H, Mogea JP, Tjitrosoedirdjo SS. 2011. Revision of the rattan genus
Daemonorops (Palmae: Calamaoideae) in Sulawesi using a phenetic analysis
approach. Gard. Bull. Singapore 63(1 dan 2): 17-30.
73
Santosa B, Hulopi F. 2011. Penentuan masak fisiologis dan pelapisan lilin sebagai
upaya menghambat kerusakan buah salak kultivar gading selama penyimpanan
pada suhu ruang. J. Tek. Pertanian 12(1): 40-48.
Sarkar SK. 1970. Palmales. Research Bull. Univ. of Calcutta, Dept of Botany,
Cytogenetics Lab. 2:22-23.
Sax I, Lewis RJ. 1989. Condensed Chemical Dictionary. 11th
Ed. New York (US):
Van Nostrand Reinhold Company.
Schuiling DL, Mogea JP. 1992. Salacca zalacca (Gaerner) Voss. Plants Resources
of South East Asia Edible Fruit and Nuts. PROSEA 2: 281 – 284.
Semagn K, Bjørnstad Å, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular
marker methods for plants. Afr. J. Biotechnology 5(25): 2540-2568.
Sokal RR, Crovello TJ. 1970. The biological species concept: A critical
evaluation. Am. Nature (104): 107 – 123.
Stuessy TF, Funk VA. 2013. New trends in plant systematics-introduction. Taxon
62(5): 873-875.
Sudjijo. 2009. Karakterisasi dan evaluasi 10 individu salak di Sijunjung Sumatra
Barat. B. Plasma Nutfah 15(2): 75-79.
Sundari I. 2010. Identifikasi senyawa dalam ekstrak etanol biji buah merah
(Pandanus conoideus Lamk.). [Skripsi]. Surakarta (ID): FMIPA Universitas
Sebelas Maret.
Supriyadi, Suhardi, Suzuki M, Yoshida K, Muto T, Fujita A, Watanabe N. 2002.
Changes in the volatile compounds and in the chemical and physical properties
of snake fruit (Salacca edulis Reinw.) cv Pondoh during maturation. J. Agric.
Food Chem. (50): 7627-7633.
Surtiningsih P. 2008. Keragaman Genetik Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.)
Berdasarkan Penanda Morfologi dan Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP). [Thesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB.
Suskendriyati H, Wijayati A, Nur Hidayah, Cahyuningdari D. 2000. Studi
morfologi dan hubungan kekerabatan varietas salak Pondoh (Salacca zalacca
(Gaert.) Voss) di dataran tinggi Sleman. Biodiversitas1(2): 59-64.
Suter IK. 1988. Telaah Sifat Buah Salak Bali sebagai Dasar Pembinaan Mutu
Buah. [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB.
Trout Cl, Ristaino JB, Madritch M, Wangsomboonde T. 1997. Rapid detection of
Phytophthora infestans in late blight potatoes and tomatoes using PCR. Plant
Dis. (81): 1042-1048.
Uhl NW, Dransfield J. 1987. Genera Palmarum.A Classification of Palms.
Kansas (US): Allen Press.
Utama IMS, Gunadnya IBP, Wrasiati LP. 2014. Pengaruh ethanol terhadap
kesepatan buah salak [Internet]. [Diacu 28 Maret 2014]. Tersedia dari:
www.ikatepayana.org/wp-content/uploads/.../ethanol-salak-suparta.pdf.
Vogel EF de. 1987. Guideline for the preparation of revision. Di dalam Vogel EF
de, Edisi 9.Manual Herbarium Theory and Practice. Jakarta (ID): UNESCO.
Voss A. 1895. Vilmorin's Blumengärtnerei Beschreibung, Kultur und Verwendung
des Gesamten Pflanzenmaterials fur Deutsche Garten. Dritte, neubearbeite
Auflage. Part 1. Berlin (BJ).
Whitmore TC. 1973. Palms of Malaya. London (GB): Oxford University Press.
Widowati L. 2005. Kajian hasil penelitian mahkota dewa. J. Bah. Alam Indonesia
4(1): 223-227.
73
74
Wijaya CH, Ulrich D, Lestari R, Schippel K, Ebert G. 2005. Identification of
potent odorants in different cultivars of snake fruit [Salacca zalacca
(Gaert.)Voss] using gas chromatography-olfactometry. J. Agri. Food Chem.
(53):1637-1641.
Wilson MA, Gaut B, Clegg MT. 1990. Chloroplast DNA evolves slowly in the
palm family (Arecaceae). Mol. Biol. Evol. 7(4):303-314.
Zaimudin A. 2002. Pengaruh Penyerbukan dan Varietas Sumber Serbuk Sari
Terhadap Produksi Buah dan Viabilitas Benih Salak Bali. [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Zumaidar. 2011. Melacak jejak evolusi anak suku Calamoideae. Rampak
Serantau (18): 313-322.
Zumaidar, Chikmawati T, Hartana A, Sobir, Mogea JP, Borchsenius F. 2014.
Salacca acehensis (Arecaceae), a new species from Sumatra, Indonesia.
Phytotaxa 159(4): 287-290.
Zumaidar, Chikmawati T, Hartana A, Sobir. 2015. Keanekaragaman genetik
Salacca zalacca berdasarkan penanda AFLP. Floribunda 5(2): 60-70.
91
RIWAYAT HIDUP
Zumaidar dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 29 Januari 1972,
merupakan putri pertama dari empat bersaudara, pasangan M. Yusuf dan Zuriah.
Pada tanggal 10 November 1995 menikah dengan Drs Yusri Zulkifli, MH dan
dikaruniai tiga orang anak yaitu Khalilurrahman yang lahir pada tanggal 27
September 1996, Ahmad Fathin yang lahir pada tanggal 16 Mei 2002, dan Hilma
Shabirah yang lahir pada tanggal 23 Juni 2005. Sejak tahun 1997 menjadi staf
pengajar di Jurusan Biologi FMIPA UNSYIAH, dengan alamat Jl. Syech
Abdurrauf No.3 Darussalam Banda Aceh. Pendidikan S1 diterima di Jurusan
Biologi FMIPA UNSYIAH tahun 1990 dan lulus tahun 1995, pernah
mendapatkan beasiswa Supersemar tahun 1992, Pertamina tahun 1993, dan
Tunjangan Ikatan Dinas tahun 1994. Pendidikan S2 diterima di Jurusan Biologi
FMIPA IPB tahun 1998 melalui dana Dikti dan lulus tahun 2001. Pendidikan S3
diterima di Jurusan Biologi Program Studi Biologi Tumbuhan IPB tahun 2010
melalui beasiswa BPPS Dikti. Selama menempuh studi Program Doktor pernah
mendapatkan dana lainnya dari Dikti berupa Program Sandwich tahun 2012,
Penelitian Fundamental tahun 2013, dan Penelitian Disertasi Doktor 2014.
Publikasi yang dihasilkan selama menempuh studi Program Doktor adalah:
Melacak Jejak Evolusi Anak Suku Calamoideae (2011), Rampak Serantau 18
ISSN: 0853-8484; Klasifikasi Tradisional Buah-buahan di Aceh (2012), Widya
28:313; Salacca acehensis (Arecaceae), A New Species From Sumatra, Indonesia
(2014), Phytotaxa 159(4): 287-290; dan Keanekaragaman Genetik Salacca
zalacca Berdasarkan Penanda AFLP (2015), Floribunda 5(1).