BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA
Transcript of BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA
Putu Diah Sastri Pitanatri 1
BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA
PUTU DIAH SASTRI PITANATRI The Earth has enough for everyone's need,
but not enough for everyone's greed. ~Mahatma Gandhi
1. Pendahuluan
Pariwisata sebagai bread and breath of Bali secara positif berimplikasi terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan devisa serta rendahnya tingkat
pengangguran. Pengaruh positif pariwisata terhadap perekonomian sebuah destinasi
didapatkan dari pendapatan nilai tukar valuta asing, pembangunan infrastruktur
pariwisata yang turut dinikmati oleh masyarakat lokal, dan generator pemberdayaan
perekonomian masyarakat lokal.
Secara signifikan, Bali berhasil mencapai tingkat pertumbuhan kedatangan
wisatawan mancanegara sebesar 14,89% jauh diatas rata-‐rata nasional yang hanya
mencapai di angka 7,2%. Dari tahun 2010 yang hanya 2.385.122 wisman menjadi
3.766.638 wisman pada tahun 2014. Namun secara kontradiktif, lama tinggal (length of
stay) wisatawan ternyata 3 hari. Untuk hotel bintang 1 dan 2, rata-‐rata tinggal bahkan
hanya 2 hari saja. Dilemanya adalah tingkat pertumbuhan hotel di Bali sangat tinggi.
Tercatat di akhir tahun 2014 terdapat 249 hotel berbintang dengan jumlah kamar
tersedia adalah sebanyak 42.872 atau meningkat sekitar 14% dari tahun sebelumnya.
Gambar 1 Banyaknya Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Berbintang di Bali
Sumber: BPS Provinsi Bali
2014% 2013% 2012% 2011% 2010%Bintang%5% 18637% 17738% 16311% 15084% 16067%
Bintang%4% 13893% 10955% 12029% 10816% 9691%
Bintang%3% 7522% 6347% 5448% 4703% 3800%
Bintang%2% 2125% 2056% 1929% 2033% 2682%
Bintang%1% 695% 1077% 1120% 1275% 652%
0%
2000%
4000%
6000%
8000%
10000%
12000%
14000%
16000%
18000%
20000%
Total&K
amar&
Putu Diah Sastri Pitanatri 2
Di penghujung akhir tahun 2016, persaingan tersebut akan lebih diperketat
dengan rampungnya 67 pembangunan hotel baru di Bali. Tampak pada gambar 2
dibawah ini, gelombang ekspansi investasi pada usaha akomodasi di Bali didukung tidak
hanya oleh rantai manajemen hotel internasional, namun juga rantai domestik dan
investor independen. Pasokan hotel di Bali yang meningkat sebesar 14% pada tahun
2014, akan mengalami peningkatan sekitar 10% pada tahun 2015 untuk 290 hotel dan
5% di 2016 sehingga menjadi 300 hotel hanya dalam 3 tahun terakhir.
Gambar 2 67 Hotel Baru di Bali Sampai Akhir 2016
Sumber: HVS Indonesia Hotel Watch 2014. 45-‐46
Hampir dua-‐pertiga dari pasokan tersebut diperkirakan akan memasuki pasar
kelas atas dengan penambahan 5.900 kamar di 31 hotel baru. Pada tingkat ini, berbagai
merek hotel dan manajemen perusahaan diwakili, dengan Accor, Hyatt, Starwood,
Marriott, FRHI dan InterContinental membuka beberapa hotel sampai akhir tahun 2016
nanti.
ŶƚŝĐ ƉĂƚĞĚKƉĞŶŝŶŐ WƌŽƉŽƐĞĚ,ŽƚĞů >ŽĐĂƟŽŶ
EŽŽĨZŽŽŵƐ;ƐƚͿ
2014 Ramada Hotel & Suites Sakala Tanjung Benoa 241Courtyard bLJDĂƌrioƩ Bali Seminyak Seminyak 300Centara Grand Nusa Dua Resort & Villas Nusa Dua 82WesƟnhbud Resort & Spa hbud 100Alila Seminyak Seminyak 72Hilton Garden Inn Bali Ngurah Rai Kuta 292Ritz Carlton Bali Tanjung Benoa 313Novotel Bali Ngurah Rai Airport Denpasar 188Renaissance Balihluwatu Resort & Spa hluwatu 207
2015 Ritz Carlton Reservehbud Bali hbud ϲϬLuxury CollecƟon The SarasǀĂƟ Seminyak ϲϰDercure Bali Legian Kuta 299Amari Pecatu Bali hluwatu 435Hotel Indigo Bali Seminyak Seminyak 280Dercure Bali Jimbaran Jimbaran 220Dovenpick Resort & Spa Jimbaran Bay Jimbaran 270The Chedi Nusa Dua Nusa Dua 100Jumeirah Bali Jimbaran 110
ϮϬϭϲ AloŌHotel Balihbud hbud 138AloŌHotel Bali Sanur Sanur 100Andaz Bali Sanur 144DGallery Awahita Retreat hbud 70Dercure Bali Echo Beach Badung 138Fairmont Bali Bukit Peninsula 170Raŋes Bali Bukit Peninsula 80DĂndarin Oriental Bali Bukit Peninsula 121Novotel Bali Semintak Seminyak 294InterConƟnental Bali Canggu Resort Kuta 170Hilton Garden Inn Bali Kuta Kuta 125ShangriͲLa Nusa Dua Nusa Dua 310ParkRoyal Pecatu Bali Kuta 445
dŽƚĂůWƌŽƉŽƐĞĚZŽŽŵ^ƵƉƉůLJ;/ŶĚŝĐĂƚŝ ĞͿ ϱϵϯϴ
^ŽƵƌĐĞ,s^ZĞƐĞĂƌĐŚ
EtEdZEd^;hW^>E>hyhZzͿ
ŶƚŝĐŝƉĂƚĞĚKƉĞŶŝŶŐ WƌŽƉŽƐĞĚ,ŽƚĞů >ŽĐĂƚŝŽ
EŽŽĨZŽŽŵƐ;ƐƚͿ
2014 YELLO Hotel Benoa Bali Tanjung Benoa 300&ĂŝƌĮĞůĚ/ŶŶĂůŝ>ĞŐŝĂŶ Legian 82
2015 YELLO Hotel 99 Echo Beach Canggu 124POP! Hotel Dewi Sri Bali Kuta ϭϯϲPOP! Hotel Singaraja Bali Singaraja 120Harris Hotel Seminyak Seminyak 220Premier Inn Denpasar Bali Denpasar 80Harris Hotel Sanur Bali Sanur 80YƵŝŶĐLJŽƵƟƋƵĞ,ŽƚĞůĂůŝ Jimbaran 200POP! Hotel Drupadi Seminyak Bali Seminyak 120Harris Resort Benoa Bali Tanjung Benoa 180Harris Resort Beach Cove Jimbaran Bali Jimbaran 300Ibis Styles Bali Jimbaran Jimbaran 150
ϮϬϭϲ Holiday Inn Express Baruna Bali Tuban 200/ďŝƐ^ƚLJůĞƐĂůŝWĞƟƚĞŶŐĞƚ Seminyak 148Ibis Bali Legian Legian 110Ibis Styles Bali Airport Kuta 180
TŽƚĂůWƌŽƉŽƐĞĚZŽŽŵ^ƵƉƉůLJ;/ŶĚŝĐĂƟǀĞͿ 2,730
^ŽƵƌĐĞ,s^ZĞƐĞĂƌĐŚ
EtEdZEd^;D/Ͳ^>Eh'dͿ
Putu Diah Sastri Pitanatri 3
Pada tingkat menengah dan ekonomis, 17 hotel baru akan bersaing dengan
penambahan jumlah kamar sebanyak 2.730 kamar. Tauzia Hotel Management
mendominasi pipa pasokan di tingkat ini, dengan delapan hotel baru yang sedang
dikembangkan, di bawah brand Yello, POP! dan Harris. Yang mengikuti adalah Accor
dengan empat hotel baru di bawah brand Ibis dan Ibis Styles.
Sayang sekali pembangunan sarana akomodasi ini tidak merata di semua
daerah. Perkembangan Hotel baru tidak eksklusif untuk daerah tunggal atau zona,
tetapi mencakup beberapa tujuan dalam Bali. Lokasi yang menjadi hotspot investor
adalah seperti Seminyak, Jimbaran dan Kuta. Hal ini tentu memperdalam jurang
pemisah antara Badung dengan provinsi lainnya di Bali. Badung misalnya sudah
tercatat memiliki 164 hotel berbintang di tahun 2014 namun Bangli bahkan tidak
memiliki hotel berbintang satupun.
Tentu saja yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah hotel-‐hotel
tersebut mampu mendapatkan keuntungan maksimal dengan ketatnya persaingan?
Bagaimana dengan lama tinggal wisatawan? Tidakah nantinya malah berpotensi untuk
mempersingkat lama tinggal? Melihat permasalah tersebut paper ini akan membahas
salah satu alternatif strategi mengurai benang kusut pada industry hospitality melalui
salah satu kearifan lokal Bali “Asta Kosala Kosali”
2. Over Carrying Capacity
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pariwisata sangat rentan terhadap
berbagai permasalahan; sosial budaya, lingkungan, kebocoran devisa; tergantung dari
perspektif mana kita melihat. Pembangunan hotel yang terlalu pesat justru berpotensi
ketidakmampuan daya dukung Bali terhadap laju pariwisata atau yang sering disebut
sebagai over carrying capacity.
Carrying capacity atau daya dukung merupakan jumlah maksimum individu
yang dapat didukung atau dilayani oleh sumber daya yang ada di dalam suatu
ekosistem. Dalam hal ini carrying capacity Bali adalah kemampuan lingkungan Bali
(ekosistem) dalam mendukung kehidupan semua makhluk yang ada di dalamnya secara
berkelanjutan. Konsep iniawal mulanya diperkenalkan oleh Thomas Robert Malthus
yang di dalam essaynya berjudul the Principle of Population menyatakan bahwa
Putu Diah Sastri Pitanatri 4
pertumbuhan penduduk akan melebihi produksi makanan sehingga akan terjadi
kelaparan di mana-‐mana.
Menurut Liu (1994), terdapat tiga tipe carrying capacity yang dapat
diaplikasikan pada pengembangan destinasi pariwisata yaitu:
a. Physical carrying capacity
Merupakan kemampuan suatu kawasan alam atau destinasi wisata
untuk menampung wisatawan, penduduk asli, aktifitas/kegiatan wisata,
dan fasilitas penunjangnya. Konsep ini sangat penting mengingat
sumber daya alam dan infrastruktur yang sangat terbatas sehingga
sering mengalami clichéd. Pemanfaatan kawasan yang melebihi daya
dukung fisiknya dapat menyebabkan degradasi sumber daya alam,
penurunan kualitas hidup komunitas di sekitarnya, overcrowding, dan
sebagainya sehingga mengakibatkan pengalaman dan kesan buruk bagi
wisatawan. Pemakaian standar daya dukung fisik bagi destinasi wisata
mampu menghindarkan pembangunan kawasan yang terlalu cepat dan
tidak terkendali yang justru akan merugikan pengembangan destinasi
tersebut.
b. Biological carrying capacity
Konsep ini merefleksikan interaksi destinasi pariwisata dengan
ekosistem flora dan fauna. Adakalanya wisatawan pergi ke destinasi
wisata untuk menikmati pengalaman interaksinya ekosistem flora dan
fauna tersebut. Konsekuensinya, sangat penting untuk melindungi dan
menjaga ekosistemnya agar sejauh mungkin tetap seperti kehidupan di
habitat aslinya. Diperlukan peran pemerintah untuk membuat kawasan
lindung dan konservasi serta pemberlakuan peraturan yang melarang
perilaku destruktif seperti perburuan, penebangan hutan, peracunan
biota laut, dan sejenisnya. Tetapi, sejauh mungkin diusahakan agar
peraturan ini tidak mengintervensi way of life penduduk asli.
c. Social/cultural carrying capacity
Merefleksikan dampak pengunjung/wisatawan pada lifestyle komunitas
lokal. Kemampuan sebuah komunitas untuk mengakomodasi
Putu Diah Sastri Pitanatri 5
keberadaan wisatawan beserta gaya hidupnya di komunitas tertentu
sangat bervariasi dari suatu budaya dengan budaya lain, dan dari suatu
wilayah dengan wilayah lain. Wisatawan umumnya mempunyai tingkat
pendidikan lebih baik dan ingin mendapatkan pengalaman berinteraksi
dengan penduduk lokal dengan adat atau kebiasaan uniknya. Sebaiknya,
jumlah wisatawan dibatasi jumlahnya dalam suatu kawasan agar konsep
untuk menghormati norma, nilai, dan budaya asli komunitas lokal dapat
berjalan baik. Oleh karenanya kemungkinan kegiatan pariwisata
melewati daya dukung sosial/budaya dapat dikendalikan. Contohnya,
pengunjung ingin menginap dan tinggal dalam akomodasi bergaya lokal
yang dikelola oleh orang lokal, makan berbagai variasi makanan lokal,
dan terlibat dalam cara hidup orang lokal. Namun, penilaian yang
proaktif diperlukan untuk memastikan terjadinya interaksi positif dan
meminimalisasi gangguan sosial. Materi pembelajaran dan pendidikan
harus disediakan untuk mengajari wisatawan bagaimana berperilaku
yang menghormati adat dan budaya lokal.
Bagi masyarakat lokal Bali, pembangunan hotel yang semakin pesat semestinya
berdampak searah positif terhadap sektor pertanian yang merupakan pelestari alam
dan budaya Bali. Semestinya bertambahnya hotel dan restoran memerlukan logistik
bahan baku untuk pariwisata Bali akan meningkat, namun peningkatan tersebut belum
mampu diperankan oleh sektor pertanian Bali, secara kontradiktif kenyataan yang
terjadi adalah semakin menyempitnya lahan produktif, dan minimnya minat generasi
muda Bali terhadap sektor pertanian. BUkan tidak mungkin Bali akan mengalami over
carrying capacity baik dari segi physical, biological maupun social-‐cultural sebagai
implikasi negatif pembangunan hotel yang tidak terarah.
3. Tri Hita Karana
Saat ini sektor pariwisata telah dicatat mulai memunculkan berbagai konflik
sosial. Tak jarang kita melihat dan membaca wacana publik di kalangan masyarakat Bali
bahwa kegiatan kepariwisataan dianggap merusak. Kebudayaaan Bali, lingkungan alam
Putu Diah Sastri Pitanatri 6
Bali, dan manusia-‐manusia Bali adalah 3 hal yang dianggap rusak akibat pariwisata.
Tahapan keadaan seperti ini oleh Butler (1980) dan Doxey (l975) dalam Erawan (2004)
(dalam Windia, 2007) dianggap sebagai tahapan kejenuhan masyarakat (saturation)
atau tahap permusuhan (antagonism) oleh masyarakat lokal. Dalam tahapan ini
kejengkelan masyarakat lokal mulai dikemukakan secara terbuka dan diekpresikan
dalam berbagai cara yang mungkin cenderung eksplosif. Di Bali, tercatat munculnya
berbagai kasus yang berkaitan dengan pembangunan dan kegiatan pariwisata seperti di
Hotel Ritz Carlton di Jimbaran, Hotel Le Meridian di Tanah Lot-‐ Tabanan, serta Hotel
Four Season dan Hotel Alila di Gianyar
Untuk menghindari masalah di atas, diperlukan suatu usaha untuk
mengakomodasi nilai-‐ nilai budaya lokal yang dianut masyarakat dalam usaha
pengembangan pariwisata. Usaha ini salah satunya dengan melakukan pengembangan
pariwisata yang berwawasan budaya. Pariwisata budaya adalah suatu pola
pengembangan pariwisata dalam keterkaitan fungsional dengan kebudayaan dan
lingkungan secara serasi, selaras, seimbang, sehingga pariwisata dan kebudayaan dapat
berkembang secara berkelanjutan (Margi, 2005). Dari pengertian ini, jelas terihat
bahwa pariwisata haruslah mampu mengakomodir kebudayaan setempat, begitu juga
sebaliknya, budaya harus dipertahankan untuk kelanjutan perkembangan dan
pengembangan pariwisata.
Nilai kearifan lokal yang akrab dianut masyarakat bisa dipergunakan sebagai
tameng dalam menjaga budaya. Salah satu kearifan lokal di Bali yang bisa dipergunakan
sebagai pijakan dalam usaha mewujudkan pengembangan pariwisata budaya adalah Tri
Hita Karana. Konsep ini merupakan sebuah konsep yang didasarkan atas prinsip
keselarasan atau keharmonisan hidup yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait
satu sama lain. Ketiga unsur itu adalah, parahyangan yang mengacu pada
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang
Hyang Widhi), pawongan yaitu keharmonisan hubungan dengan sesama manusia,
palemahan yaitu keharmonisan hubungan dengan lingkungan, alam sekitar (Manao,
2005; Windia, 2007; Wastika, 2007).
Berdasarkan pembuktian kuantitatif melalui metode regresi multivariat, Anak
Agung Gde Agung membuktikan bahwa falsafah hidup Bali Tri Hita Karana merupakan
Putu Diah Sastri Pitanatri 7
wahana terbaik untuk melestarikan tradisi, adat-‐istiadat, kebudayaan, dan alam Bali.
Selain berporos kuat pada agama Hindu-‐Bali, Tri Hita Karana memiliki kepercayaan
kosmologi yang jelas mengenai posisi manusia dalam alam semesta dan hubungannya
dengan unsur-‐unsur lain dari alam semesta tersebut. Lebih lanjut, ia menjelaskan
bahwa Tri Hita Karana adalah wahana terbaik untuk mengadaptasi secara fleksibel
pengaruh globalisasi, sembari mengkonservasi secara optimum jati diri, tradisi dan
kebudayaan masyarakat Bali
Tri Hita Karana sjatinya merupakan konsep yang melandasi terbentuknya
susunan makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit). Adapun konsep
tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu atma (jiwa), prana (tenaga), dan angga (fisik).
Dasar konsep tersebut bersumber dari lontar Asta Kosala-‐Kosali dan Asta Gumi.
Parwata (2011) menjelaskan bahwa penjabaran ajaran Tri Hita Karana dan kaitannya
dengan konsep Tri Mandala adalah hubungan manusia dengan Tuhannya yang
dilakukan dalam dimensi ruang Utama Mandala. Hubungan manusia dengan
sesamanya dilakukan dalam dimensi ruang Madya Mandala. Sedangkan dimensi Nista
Mandala merupakan hubungan manusia dengan lingkungannya.
Gambar 2 Konsep Tri Mandala
Sumber : Eko Budihardjo dalam Suharjanto, 2011
Putu Diah Sastri Pitanatri 8
Mengacu pada konsep tersebut, wilayah peruntukan selalu terletak di antara
pura (sebagai hulu) dan setra (sebagai hilir). Masyarakat Bali juga telah membuat
aturan yang jelas bagi wilayah peruntukan dan wilayah yang tidak boleh ditempati
(sebagai misal untuk pura, wantilan dan pasar). Karenanya, wilayah peruntukan (desa)
dapat diibaratkan sebagai gabungan dari beberapa organisme dimana setiap individu
adalah tubuh, sedangkan setiap institusi adalah organ. Jantung dari sebuah desa
tersebut terletak pada areal tengah, dimana merupakan pusat magis dari segala
kegiatan. Berdasarkan pada konsep di atas, masyarakat Bali juga yakin bahwa jiwa
seseorang dapat menjadi sakit dan mudah terserang penyakit, jika ketiga faktor di atas
tidak berada dalam kondisi setimbang. Masyarakat Bali juga meyakini, bahwa baik
faktor natural maupun supra natural (kesalahan dalam upacara, disalahkan oleh
leluhur) dapat mengakibatkan kondisi sakit tersebut.
Komunitas tradisional di Bali selalu dikaitkan dengan hal -‐ hal yang berbau
magis, dan sebagai konsekuensinya maka pola pikir tradisional menjadi kurang begitu
atraktif di jaman kini. Hal ini terjadi, karena sulitnya menjelaskan arti harfiah dari pola
pikir tersebut. Maka, hal ini pulalah yang mengakibatkan semakin banyaknya
interpretasi dalam upaya memahami arti dari pola pikir tradisional tersebut.
Propinsi Bali kini telah banyak mengalami perubahan, khususnya bila ditinjau
dari segi kebudayaan, karakter dan kenyamanan hidup masyarakat. Propinsi Bali
sebagai propinsi dengan budi daya yang tinggi memerlukan perhatian dan penataan
yang sedemikian rupa karena telah terjadi keberagaman kultural dalam masyarakat
yang heterogen. Perhatian dan penataan ini harus dijabarkan dalam konteks budaya
yang multikultural dan majemuk, sehingga bisa membuat seluruh kota -‐ kota di
propinsi Bali lebih hidup, memiliki daya tarik visual (karena kekayaan seni dan
budayanya), memiliki daya tarik sosial (karena toleransi masyarakatnya yang tinggi),
sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatkan penerimaan dari sektor
pariwisata yang tengah mengalami kelesuan.
Propinsi Bali dalam perkembangannya dipenuhi oleh pendatang luar, baik yang
menetap sebagai pemukim-‐pemukim liar sehingga menciptakan kesemrawutan dalam
tata ruang dan mengakibatkan kumuhnya tatanan kota, maupun karena meningkatnya
Putu Diah Sastri Pitanatri 9
laju urbanisasi dan pariwisata yang berdampak pada tingginya kebutuhan dan
pemakaian energi dan meningkatnya pencemaran yang terjadi.
Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan
Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-‐filsafati, (2)
empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk
ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan
prinsip seperti berikut:
Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering
dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di
Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari
pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku
pembangunan.
Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju
pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang
harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak
teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang
sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.
Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan
Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan,
namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk
mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan
lingkungan, belum optimal.
Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring
dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul
beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses
pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat
mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena
bergesernya nilai -‐ nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih
banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan,
sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan
Putu Diah Sastri Pitanatri 10
jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan
pengembangan Bali secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan
suatu local genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran
dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di
Bali.
Walaupun didasarkan atas konsep agama Hindu di Bali, konsep Tri Hita Karana
ini telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai konsep yang universal. Konsep THK
tampaknya sesuai dengan Kode Etik Pariwisata Dunia yang dikembangkan World
Tourism Organization (WTO), yang dalam pengembangan sektor pariwisata ingin
mengembangkan konsep interaksi antar manusia dengan manusia, dengan lingkungan,
dan dengan budaya. Berdasarkan Kode Etik Pariwisata Dunia ini diharapkan dapat
dikembangkan konsep pariwisata berkelanjutan, di mana manfaat kegiatan pariwisata
itu dapat terbagi secara merata antara semua sektor masyarakat, dalam ruang lingkup
ekonomi internasional yang bebas dan terbuka. Konsep inipun kemudian akan diadopsi
untuk kemudian dijadikan acuan bagi pelaksanaan operasional hotel dan
penyelenggaraan penghargaan sejenis tingkat nasional dan dunia.
4. Quality Tourism
Penerapan konsep Tri Hita Karana pada destinasi wisata diharapkan mampu
menciptakan pariwisata yang berkualitas. Sinergi dan keharmonisan elemen-‐elemen
pendukung kepariwisataan adalah hal yang terpenting dalam kepariwisataan. Dalam
konteks pesatnya sektor perhotelan di Bali, konsep Tri Hita Karana dapat menjadi
remedy atau penawar dari benang kusut pengembangan pariwisata di Bali.
Pengelolaan Bali sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas sangat mendesak
untuk diterapkan karena pembangunan Bali telah sangat tergantung terhadap sektor
pariwisata. Model ideal peningkatan kualitas Destinasi Pariwisata Bali dapat
digambarkan dengan konsep 4A+CI (attraction, amenity, accessibelity, ancilary,
community involment) yang mengimplementasikan nilai-‐nilai Tri Hita Karana seperti
yang tampak pada gambar 3 di bawah ini.
Putu Diah Sastri Pitanatri 11
Gambar 3 Elemen Penentu Kesuksesan Sebuah Destinasi
Dalam model, lingkaran dalam adalah destinasi pariwisata Bali yang merupakan
atraksi yang akan ditawarkan, sementara amenitas, ansilari, aksesibelitas adalah
pendukung dan pembentuk totalitas dari produk pariwisata Bali. Semua faktor
pembentuk totalitas produk pariwisata tersebut harus melibatkan masyarakat lokal
dalam berbagai lini. Ada tiga pihak yang berkepentingan terhadap kualitas totalitas
produk pariwisata tersebut, diantaranya: masyarakat sepakat membangun pariwisata
untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sementara wisatawan berhak mendapatkan
kualitas wisata yang diharapkannya, sementara investor (pemerintah maupun swasta)
berkepentingan mendapatkan profit yang berkualitas.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, dalam penelitian yang dilakukan Pasuraman,
Zeitham, dan Berry Tjiptono (1996) disebutkan bahwa hubungan manusia dengan
manusia (palemahan) merupakan faktor utama yang menentukan kualitas jasa.
Terdapat sepuluh faktor utama yang harus diperhatikan bagi pengelolaan hotel
maupun destinasi wisata meliputi: (1) Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu
konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal
ini berarti perusahaan memberikan jasa pelayanan secara tepat dan sesuai dengan
yang dijanjikan. (2) Responsiveness, yaitu kemauan dan kesiapan dari karyawan untuk
memberikan jasa yang dibutuhkan oleh pelanggan. (3) Competence, artinya setiap
orang dalam suatu perusahaan memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. (4) Access, meliputi kemudahan
untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau,
Putu Diah Sastri Pitanatri 12
saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi dan lain-‐lain. (5) Courtesy, meliputi
sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan. (6) Communication, artinya
memberikan informasi dalam bahasa yang jelas, dimengerti, dan selalu menerima
saran atau keluhan dari pelanggan. (7) Credibility, yaitu sifat jujur dapat dipercaya.
Kredibilitas mencakup nama baik perusahaan, reputasi, karakteristik pribadi. (8)
Security, yaitu rasa aman, jauh dari keragu-‐raguan. (9) Understanding, mengerti
kemauan pelanggan dan memahaminya. (10) Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa bisa
berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan dan lain-‐lain.
Lebih lanjut dikatakan, dari sepuluh faktor di atas dapat dirangkum menjadi
lima faktor pokok penentu kualitas jasa. Kelimanya disajikan secara berurutan
berdasarkan nilai pentingnya menurut pelanggan yaitu: (1) Bukti langsung (tangibles),
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. (2) Keandalan
(reliability), yakni kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, dan memuaskan. (3) Daya tanggap (responsiveness), kemampuan untuk
membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. (4) Jaminan (assurance)
mencakup pengetahuan, kesopanan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan
keparcayaan dan keyakinan. (5) Empathy, meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik, perhatian, dan memahami kebutuhan pelanggan.
Poin-‐poin tersebut diatas juga dapat diadopsi dan diadaptasikan dari tiga unsur
utama Tri Hita Karana: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Poin Parahyangan
mengacu pada usaha hotel dan lokasi wisata dalam menyelaraskan aktivitasnya dengan
konsep-‐konsep keTuhanan yang diterapkan di Bali, poin Pawongan mengacu pada
keselarasan para pelaku pariwisata di hotel dan lokasi wisata, sedangkan poin yang
terakhir, Palemahan, mengharuskan pelaku pariwisata di hotel dan lokasi wisata untuk
mencintai dan menjaga alam (selaras dengan alam/ tanpa gedung-‐gedung pencakar
langit). Dengan mengikuti konsep ini, diyakini keselarasan dan keharmonisan dalam
hidup (dalam hal ini pariwisata) dapat terjaga dengan baik.
5. Kesimpulan
Pengelolaan Bali sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas sangat mendesak
untuk diterapkan karena pembangunan Bali telah sangat tergantung terhadap sektor
Putu Diah Sastri Pitanatri 13
pariwisata. Model ideal peningkatan kualitas Destinasi Pariwisata Bali yang
merefleksikan konsep-‐konsep Tri Hita Karana dapat diaplikasikan dalam 4A+CI
(attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment).
Oleh sebab itu peningkatan kualitas pariwisata Bali, dapat menggunakan
pendekatan lima dimensi kualitas yang harus tetap diperhatikan oleh para pengelola
pariwisata Bali, kelimanya disajikan secara berurutan berdasarkan nilai pentingnya
menurut pelanggan yaitu: (1) bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik,
kelestarian alam Bali perlu dipertahankan karena persepsi wisatawan terhadap alam
Bali hampir mendekati harapan wisatawan, manifestasi budaya Bali juga masih sangat
relevan untuk dipertahankan kualitasnya dengan mempertahankan keunikan dan
keragamannya, begitu juga dengan pengelolaan daya tarik pantai harus terus
ditingkatkan. (2) keandalan (reliability), yakni kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan yakni Citra (image)
atau nama besar sesuai dengan harapan wisatawan. (3) daya tanggap (responsiveness),
kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat sehingga
kenyamanan berwisata di Bali, dan kesempatan luas untuk relaksasi sesuai harapan
wisatawan. (4) jaminan (assurance) mencakup pengetahuan, kesopanan dan
kemampuan mereka untuk menimbulkan keparcayaan dan keyakinan, dan pada
destinasi Bali ditemukan bahwa harga-‐harga produk wisata termasuk produk barang
dan pelayanan telah sesuai dengan harapan wisatawan. (5) empathy, meliputi
kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian, dan
memahami kebutuhan pelanggan, di mana keramahan penduduk Bali adalah bentuk
empati destinasi Bali yang dianggap telah semakin memudar dan perlu untuk dilakukan
perbaikan.
Berhubungan dengan usaha mewujudkan pengalaman yang berkualitas bagi
wisatawan sebagai pelanggan (quality of experinces), pada tingkatan korporasi, dapat
dilakukan dengan menyelenggarakan program-‐program peningkatan empati seperti
menjadi filosopi hidup masyarakat Bali yang lebih dikenal dengan istilah “hukum
karma”. Analoginya adalah, jika perusahaan ingin mendapatkan karyawan yang
berkualitas maka perusahaan harus mampu memberikan pendapatan dan fasilitas yang
berkualitas pula. Analogi selanjutnya adalah, karyawan yang berkualitas akan mampu
Putu Diah Sastri Pitanatri 14
menjadi pekerja yang berkualitas serta produktif untuk dapat mewujudkan kepuasan
pelanggannya. Analogi berikutnya, pelanggan yang puas akan cenderung menjadi
pelanggan yang loyal, dan akhirnya pelanggan yang loyal akan berkontribusi terhadap
profit perusahaan secara berkesinambungan (quality of profit). Oleh sebab itu ijin
pembanguan hotel sudah sepatutnya memperhatikan aspek-‐aspek
Pada tingkatan Macro Bali, kemajuan Pariwisata Bali mestinya dapat
mewujudkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat Bali yang lebih baik, secara
kuantitatif dapat ditunjukkan oleh besarnya angka penyerapan tenaga kerja oleh sektor
pariwisata. Kebijakan pemerintah berhubungan dengan pengupahan tenaga kerja
khususnya sektor pariwisata mesti disesuaikan setiap saat seiring dengan laju inflasi
dan pertimbangan kondisi maro lainnya seperti kenaikan harga akibat nilai kurs rupiah
yang melemah. Lebih lanjut lagi penyaluran dan subsidi dari pendapatan sektor
Pariwisata Bali terutama dari sektor perhotelan, seharusnya dapat diarahkan untuk
melakukan preservasi dan konservasi serta keberlanjutan sektor pendukung pariwisata
seperti misalnya sektor pertanian, dan industri kreatif lainnya.
Putu Diah Sastri Pitanatri 15
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2015. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Nusantara yang langsung datang ke Bali. (Laporan) BPS Prov Bali.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas Hotel. Diunduh dari http://bali.bps.go.id pada 16 Mei 2015.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2009 -‐ 2014 (milyar rupiah). Diunduh dari http://bali.bps.go.id pada 16 Mei 2015.
Budihardjo, R. (2013). Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri. Jurnal Nalars Vol. 12 No. 01
Butler, R. W. 1980. “The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources.” The Canadian Geographer 24(1), p. 8.
Disparda. 2015a. Data Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2014. Denpasar: Disparda Provinsi Bali.
Disparda. 2015b. BALI, Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2014. (Buku panduan pramuwisata). Denpasar: Disparda Provinsi Bali.
Parwata, I.W. (2011). Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan Antropometri. Jurnal Mudra Vo. 26 No. 01
Pitana, I Gde. 2005. Sosiologi Pariwisata, Kajian Sosiologis terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-‐dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.
HVS. Indonesia Hotel Watch 2014. Diunduh dari http://www.hvs.com/ pada 16 Mei 2015.
Suharjanto, G. (2011). Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur Vernakular : Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali. Jurnal Comtech Vol. 02 No. 02
Suradnya, I Made 2005. “Analisis Faktor-‐Faktor Daya Tarik Wisata Bali dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali”: Soca Jurnal Sosial dan Ekonomi. Udayana University Bali
Tjiptono, Fandy. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta. Adi Yogyakarta.United Nation Toth, R. 2000. Implementing a Worldwide Sustainable Tourism Certification System.
Alexandria, Va.: R.B. Toth Associates. World Tourism Organization (2015), Tourism Highlight 2014. UN-‐WTO, Madrid.