BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA

15
Putu Diah Sastri Pitanatri 1 BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA PUTU DIAH SASTRI PITANATRI The Earth has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed. ~Mahatma Gandhi 1. Pendahuluan Pariwisata sebagai bread and breath of Bali secara positif berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan devisa serta rendahnya tingkat pengangguran. Pengaruh positif pariwisata terhadap perekonomian sebuah destinasi didapatkan dari pendapatan nilai tukar valuta asing, pembangunan infrastruktur pariwisata yang turut dinikmati oleh masyarakat lokal, dan generator pemberdayaan perekonomian masyarakat lokal. Secara signifikan, Bali berhasil mencapai tingkat pertumbuhan kedatangan wisatawan mancanegara sebesar 14,89% jauh diatas ratarata nasional yang hanya mencapai di angka 7,2%. Dari tahun 2010 yang hanya 2.385.122 wisman menjadi 3.766.638 wisman pada tahun 2014. Namun secara kontradiktif, lama tinggal (length of stay) wisatawan ternyata 3 hari. Untuk hotel bintang 1 dan 2, ratarata tinggal bahkan hanya 2 hari saja. Dilemanya adalah tingkat pertumbuhan hotel di Bali sangat tinggi. Tercatat di akhir tahun 2014 terdapat 249 hotel berbintang dengan jumlah kamar tersedia adalah sebanyak 42.872 atau meningkat sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Gambar 1 Banyaknya Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Berbintang di Bali Sumber: BPS Provinsi Bali 2014 2013 2012 2011 2010 Bintang 5 18637 17738 16311 15084 16067 Bintang 4 13893 10955 12029 10816 9691 Bintang 3 7522 6347 5448 4703 3800 Bintang 2 2125 2056 1929 2033 2682 Bintang 1 695 1077 1120 1275 652 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 Total Kamar

Transcript of BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA

Putu Diah Sastri Pitanatri 1

BALI TANPA PENCAKAR LANGIT: MENCIPTAKAN HOSPITABLE DESTINATION MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA

PUTU DIAH SASTRI PITANATRI The Earth has enough for everyone's need,

but not enough for everyone's greed. ~Mahatma Gandhi

1. Pendahuluan

Pariwisata sebagai bread and breath of Bali secara positif berimplikasi terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan devisa serta rendahnya tingkat

pengangguran. Pengaruh positif pariwisata terhadap perekonomian sebuah destinasi

didapatkan dari pendapatan nilai tukar valuta asing, pembangunan infrastruktur

pariwisata yang turut dinikmati oleh masyarakat lokal, dan generator pemberdayaan

perekonomian masyarakat lokal.

Secara signifikan, Bali berhasil mencapai tingkat pertumbuhan kedatangan

wisatawan mancanegara sebesar 14,89% jauh diatas rata-­‐rata nasional yang hanya

mencapai di angka 7,2%. Dari tahun 2010 yang hanya 2.385.122 wisman menjadi

3.766.638 wisman pada tahun 2014. Namun secara kontradiktif, lama tinggal (length of

stay) wisatawan ternyata 3 hari. Untuk hotel bintang 1 dan 2, rata-­‐rata tinggal bahkan

hanya 2 hari saja. Dilemanya adalah tingkat pertumbuhan hotel di Bali sangat tinggi.

Tercatat di akhir tahun 2014 terdapat 249 hotel berbintang dengan jumlah kamar

tersedia adalah sebanyak 42.872 atau meningkat sekitar 14% dari tahun sebelumnya.

Gambar 1 Banyaknya Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Berbintang di Bali

Sumber: BPS Provinsi Bali

2014% 2013% 2012% 2011% 2010%Bintang%5% 18637% 17738% 16311% 15084% 16067%

Bintang%4% 13893% 10955% 12029% 10816% 9691%

Bintang%3% 7522% 6347% 5448% 4703% 3800%

Bintang%2% 2125% 2056% 1929% 2033% 2682%

Bintang%1% 695% 1077% 1120% 1275% 652%

0%

2000%

4000%

6000%

8000%

10000%

12000%

14000%

16000%

18000%

20000%

Total&K

amar&

Putu Diah Sastri Pitanatri 2

Di penghujung akhir tahun 2016, persaingan tersebut akan lebih diperketat

dengan rampungnya 67 pembangunan hotel baru di Bali. Tampak pada gambar 2

dibawah ini, gelombang ekspansi investasi pada usaha akomodasi di Bali didukung tidak

hanya oleh rantai manajemen hotel internasional, namun juga rantai domestik dan

investor independen. Pasokan hotel di Bali yang meningkat sebesar 14% pada tahun

2014, akan mengalami peningkatan sekitar 10% pada tahun 2015 untuk 290 hotel dan

5% di 2016 sehingga menjadi 300 hotel hanya dalam 3 tahun terakhir.

Gambar 2 67 Hotel Baru di Bali Sampai Akhir 2016

Sumber: HVS Indonesia Hotel Watch 2014. 45-­‐46

Hampir dua-­‐pertiga dari pasokan tersebut diperkirakan akan memasuki pasar

kelas atas dengan penambahan 5.900 kamar di 31 hotel baru. Pada tingkat ini, berbagai

merek hotel dan manajemen perusahaan diwakili, dengan Accor, Hyatt, Starwood,

Marriott, FRHI dan InterContinental membuka beberapa hotel sampai akhir tahun 2016

nanti.

ŶƚŝĐ ƉĂƚĞĚKƉĞŶŝŶŐ WƌŽƉŽƐĞĚ,ŽƚĞů >ŽĐĂƟŽŶ

EŽŽĨZŽŽŵƐ;ƐƚͿ

2014 Ramada Hotel & Suites Sakala Tanjung Benoa 241Courtyard bLJDĂƌrioƩ Bali Seminyak Seminyak 300Centara Grand Nusa Dua Resort & Villas Nusa Dua 82WesƟnhbud Resort & Spa hbud 100Alila Seminyak Seminyak 72Hilton Garden Inn Bali Ngurah Rai Kuta 292Ritz Carlton Bali Tanjung Benoa 313Novotel Bali Ngurah Rai Airport Denpasar 188Renaissance Balihluwatu Resort & Spa hluwatu 207

2015 Ritz Carlton Reservehbud Bali hbud ϲϬLuxury CollecƟon The SarasǀĂƟ Seminyak ϲϰDercure Bali Legian Kuta 299Amari Pecatu Bali hluwatu 435Hotel Indigo Bali Seminyak Seminyak 280Dercure Bali Jimbaran Jimbaran 220Dovenpick Resort & Spa Jimbaran Bay Jimbaran 270The Chedi Nusa Dua Nusa Dua 100Jumeirah Bali Jimbaran 110

ϮϬϭϲ AloŌHotel Balihbud hbud 138AloŌHotel Bali Sanur Sanur 100Andaz Bali Sanur 144DGallery Awahita Retreat hbud 70Dercure Bali Echo Beach Badung 138Fairmont Bali Bukit Peninsula 170Raŋes Bali Bukit Peninsula 80DĂndarin Oriental Bali Bukit Peninsula 121Novotel Bali Semintak Seminyak 294InterConƟnental Bali Canggu Resort Kuta 170Hilton Garden Inn Bali Kuta Kuta 125ShangriͲLa Nusa Dua Nusa Dua 310ParkRoyal Pecatu Bali Kuta 445

dŽƚĂůWƌŽƉŽƐĞĚZŽŽŵ^ƵƉƉůLJ;/ŶĚŝĐĂƚŝ ĞͿ ϱϵϯϴ

^ŽƵƌĐĞ,s^ZĞƐĞĂƌĐŚ

EtEdZEd^;hW^>E>hyhZzͿ

ŶƚŝĐŝƉĂƚĞĚKƉĞŶŝŶŐ WƌŽƉŽƐĞĚ,ŽƚĞů >ŽĐĂƚŝŽ

EŽŽĨZŽŽŵƐ;ƐƚͿ

2014 YELLO Hotel Benoa Bali Tanjung Benoa 300&ĂŝƌĮĞůĚ/ŶŶĂůŝ>ĞŐŝĂŶ Legian 82

2015 YELLO Hotel 99 Echo Beach Canggu 124POP! Hotel Dewi Sri Bali Kuta ϭϯϲPOP! Hotel Singaraja Bali Singaraja 120Harris Hotel Seminyak Seminyak 220Premier Inn Denpasar Bali Denpasar 80Harris Hotel Sanur Bali Sanur 80YƵŝŶĐLJŽƵƟƋƵĞ,ŽƚĞůĂůŝ Jimbaran 200POP! Hotel Drupadi Seminyak Bali Seminyak 120Harris Resort Benoa Bali Tanjung Benoa 180Harris Resort Beach Cove Jimbaran Bali Jimbaran 300Ibis Styles Bali Jimbaran Jimbaran 150

ϮϬϭϲ Holiday Inn Express Baruna Bali Tuban 200/ďŝƐ^ƚLJůĞƐĂůŝWĞƟƚĞŶŐĞƚ Seminyak 148Ibis Bali Legian Legian 110Ibis Styles Bali Airport Kuta 180

TŽƚĂůWƌŽƉŽƐĞĚZŽŽŵ^ƵƉƉůLJ;/ŶĚŝĐĂƟǀĞͿ 2,730

^ŽƵƌĐĞ,s^ZĞƐĞĂƌĐŚ

EtEdZEd^;D/Ͳ^>Eh'dͿ

Putu Diah Sastri Pitanatri 3

Pada tingkat menengah dan ekonomis, 17 hotel baru akan bersaing dengan

penambahan jumlah kamar sebanyak 2.730 kamar. Tauzia Hotel Management

mendominasi pipa pasokan di tingkat ini, dengan delapan hotel baru yang sedang

dikembangkan, di bawah brand Yello, POP! dan Harris. Yang mengikuti adalah Accor

dengan empat hotel baru di bawah brand Ibis dan Ibis Styles.

Sayang sekali pembangunan sarana akomodasi ini tidak merata di semua

daerah. Perkembangan Hotel baru tidak eksklusif untuk daerah tunggal atau zona,

tetapi mencakup beberapa tujuan dalam Bali. Lokasi yang menjadi hotspot investor

adalah seperti Seminyak, Jimbaran dan Kuta. Hal ini tentu memperdalam jurang

pemisah antara Badung dengan provinsi lainnya di Bali. Badung misalnya sudah

tercatat memiliki 164 hotel berbintang di tahun 2014 namun Bangli bahkan tidak

memiliki hotel berbintang satupun.

Tentu saja yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah hotel-­‐hotel

tersebut mampu mendapatkan keuntungan maksimal dengan ketatnya persaingan?

Bagaimana dengan lama tinggal wisatawan? Tidakah nantinya malah berpotensi untuk

mempersingkat lama tinggal? Melihat permasalah tersebut paper ini akan membahas

salah satu alternatif strategi mengurai benang kusut pada industry hospitality melalui

salah satu kearifan lokal Bali “Asta Kosala Kosali”

2. Over Carrying Capacity

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pariwisata sangat rentan terhadap

berbagai permasalahan; sosial budaya, lingkungan, kebocoran devisa; tergantung dari

perspektif mana kita melihat. Pembangunan hotel yang terlalu pesat justru berpotensi

ketidakmampuan daya dukung Bali terhadap laju pariwisata atau yang sering disebut

sebagai over carrying capacity.

Carrying capacity atau daya dukung merupakan jumlah maksimum individu

yang dapat didukung atau dilayani oleh sumber daya yang ada di dalam suatu

ekosistem. Dalam hal ini carrying capacity Bali adalah kemampuan lingkungan Bali

(ekosistem) dalam mendukung kehidupan semua makhluk yang ada di dalamnya secara

berkelanjutan. Konsep iniawal mulanya diperkenalkan oleh Thomas Robert Malthus

yang di dalam essaynya berjudul the Principle of Population menyatakan bahwa

Putu Diah Sastri Pitanatri 4

pertumbuhan penduduk akan melebihi produksi makanan sehingga akan terjadi

kelaparan di mana-­‐mana.

Menurut Liu (1994), terdapat tiga tipe carrying capacity yang dapat

diaplikasikan pada pengembangan destinasi pariwisata yaitu:

a. Physical carrying capacity

Merupakan kemampuan suatu kawasan alam atau destinasi wisata

untuk menampung wisatawan, penduduk asli, aktifitas/kegiatan wisata,

dan fasilitas penunjangnya. Konsep ini sangat penting mengingat

sumber daya alam dan infrastruktur yang sangat terbatas sehingga

sering mengalami clichéd. Pemanfaatan kawasan yang melebihi daya

dukung fisiknya dapat menyebabkan degradasi sumber daya alam,

penurunan kualitas hidup komunitas di sekitarnya, overcrowding, dan

sebagainya sehingga mengakibatkan pengalaman dan kesan buruk bagi

wisatawan. Pemakaian standar daya dukung fisik bagi destinasi wisata

mampu menghindarkan pembangunan kawasan yang terlalu cepat dan

tidak terkendali yang justru akan merugikan pengembangan destinasi

tersebut.

b. Biological carrying capacity

Konsep ini merefleksikan interaksi destinasi pariwisata dengan

ekosistem flora dan fauna. Adakalanya wisatawan pergi ke destinasi

wisata untuk menikmati pengalaman interaksinya ekosistem flora dan

fauna tersebut. Konsekuensinya, sangat penting untuk melindungi dan

menjaga ekosistemnya agar sejauh mungkin tetap seperti kehidupan di

habitat aslinya. Diperlukan peran pemerintah untuk membuat kawasan

lindung dan konservasi serta pemberlakuan peraturan yang melarang

perilaku destruktif seperti perburuan, penebangan hutan, peracunan

biota laut, dan sejenisnya. Tetapi, sejauh mungkin diusahakan agar

peraturan ini tidak mengintervensi way of life penduduk asli.

c. Social/cultural carrying capacity

Merefleksikan dampak pengunjung/wisatawan pada lifestyle komunitas

lokal. Kemampuan sebuah komunitas untuk mengakomodasi

Putu Diah Sastri Pitanatri 5

keberadaan wisatawan beserta gaya hidupnya di komunitas tertentu

sangat bervariasi dari suatu budaya dengan budaya lain, dan dari suatu

wilayah dengan wilayah lain. Wisatawan umumnya mempunyai tingkat

pendidikan lebih baik dan ingin mendapatkan pengalaman berinteraksi

dengan penduduk lokal dengan adat atau kebiasaan uniknya. Sebaiknya,

jumlah wisatawan dibatasi jumlahnya dalam suatu kawasan agar konsep

untuk menghormati norma, nilai, dan budaya asli komunitas lokal dapat

berjalan baik. Oleh karenanya kemungkinan kegiatan pariwisata

melewati daya dukung sosial/budaya dapat dikendalikan. Contohnya,

pengunjung ingin menginap dan tinggal dalam akomodasi bergaya lokal

yang dikelola oleh orang lokal, makan berbagai variasi makanan lokal,

dan terlibat dalam cara hidup orang lokal. Namun, penilaian yang

proaktif diperlukan untuk memastikan terjadinya interaksi positif dan

meminimalisasi gangguan sosial. Materi pembelajaran dan pendidikan

harus disediakan untuk mengajari wisatawan bagaimana berperilaku

yang menghormati adat dan budaya lokal.

Bagi masyarakat lokal Bali, pembangunan hotel yang semakin pesat semestinya

berdampak searah positif terhadap sektor pertanian yang merupakan pelestari alam

dan budaya Bali. Semestinya bertambahnya hotel dan restoran memerlukan logistik

bahan baku untuk pariwisata Bali akan meningkat, namun peningkatan tersebut belum

mampu diperankan oleh sektor pertanian Bali, secara kontradiktif kenyataan yang

terjadi adalah semakin menyempitnya lahan produktif, dan minimnya minat generasi

muda Bali terhadap sektor pertanian. BUkan tidak mungkin Bali akan mengalami over

carrying capacity baik dari segi physical, biological maupun social-­‐cultural sebagai

implikasi negatif pembangunan hotel yang tidak terarah.

3. Tri Hita Karana

Saat ini sektor pariwisata telah dicatat mulai memunculkan berbagai konflik

sosial. Tak jarang kita melihat dan membaca wacana publik di kalangan masyarakat Bali

bahwa kegiatan kepariwisataan dianggap merusak. Kebudayaaan Bali, lingkungan alam

Putu Diah Sastri Pitanatri 6

Bali, dan manusia-­‐manusia Bali adalah 3 hal yang dianggap rusak akibat pariwisata.

Tahapan keadaan seperti ini oleh Butler (1980) dan Doxey (l975) dalam Erawan (2004)

(dalam Windia, 2007) dianggap sebagai tahapan kejenuhan masyarakat (saturation)

atau tahap permusuhan (antagonism) oleh masyarakat lokal. Dalam tahapan ini

kejengkelan masyarakat lokal mulai dikemukakan secara terbuka dan diekpresikan

dalam berbagai cara yang mungkin cenderung eksplosif. Di Bali, tercatat munculnya

berbagai kasus yang berkaitan dengan pembangunan dan kegiatan pariwisata seperti di

Hotel Ritz Carlton di Jimbaran, Hotel Le Meridian di Tanah Lot-­‐ Tabanan, serta Hotel

Four Season dan Hotel Alila di Gianyar

Untuk menghindari masalah di atas, diperlukan suatu usaha untuk

mengakomodasi nilai-­‐ nilai budaya lokal yang dianut masyarakat dalam usaha

pengembangan pariwisata. Usaha ini salah satunya dengan melakukan pengembangan

pariwisata yang berwawasan budaya. Pariwisata budaya adalah suatu pola

pengembangan pariwisata dalam keterkaitan fungsional dengan kebudayaan dan

lingkungan secara serasi, selaras, seimbang, sehingga pariwisata dan kebudayaan dapat

berkembang secara berkelanjutan (Margi, 2005). Dari pengertian ini, jelas terihat

bahwa pariwisata haruslah mampu mengakomodir kebudayaan setempat, begitu juga

sebaliknya, budaya harus dipertahankan untuk kelanjutan perkembangan dan

pengembangan pariwisata.

Nilai kearifan lokal yang akrab dianut masyarakat bisa dipergunakan sebagai

tameng dalam menjaga budaya. Salah satu kearifan lokal di Bali yang bisa dipergunakan

sebagai pijakan dalam usaha mewujudkan pengembangan pariwisata budaya adalah Tri

Hita Karana. Konsep ini merupakan sebuah konsep yang didasarkan atas prinsip

keselarasan atau keharmonisan hidup yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait

satu sama lain. Ketiga unsur itu adalah, parahyangan yang mengacu pada

keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang

Hyang Widhi), pawongan yaitu keharmonisan hubungan dengan sesama manusia,

palemahan yaitu keharmonisan hubungan dengan lingkungan, alam sekitar (Manao,

2005; Windia, 2007; Wastika, 2007).

Berdasarkan pembuktian kuantitatif melalui metode regresi multivariat, Anak

Agung Gde Agung membuktikan bahwa falsafah hidup Bali Tri Hita Karana merupakan

Putu Diah Sastri Pitanatri 7

wahana terbaik untuk melestarikan tradisi, adat-­‐istiadat, kebudayaan, dan alam Bali.

Selain berporos kuat pada agama Hindu-­‐Bali, Tri Hita Karana memiliki kepercayaan

kosmologi yang jelas mengenai posisi manusia dalam alam semesta dan hubungannya

dengan unsur-­‐unsur lain dari alam semesta tersebut. Lebih lanjut, ia menjelaskan

bahwa Tri Hita Karana adalah wahana terbaik untuk mengadaptasi secara fleksibel

pengaruh globalisasi, sembari mengkonservasi secara optimum jati diri, tradisi dan

kebudayaan masyarakat Bali

Tri Hita Karana sjatinya merupakan konsep yang melandasi terbentuknya

susunan makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit). Adapun konsep

tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu atma (jiwa), prana (tenaga), dan angga (fisik).

Dasar konsep tersebut bersumber dari lontar Asta Kosala-­‐Kosali dan Asta Gumi.

Parwata (2011) menjelaskan bahwa penjabaran ajaran Tri Hita Karana dan kaitannya

dengan konsep Tri Mandala adalah hubungan manusia dengan Tuhannya yang

dilakukan dalam dimensi ruang Utama Mandala. Hubungan manusia dengan

sesamanya dilakukan dalam dimensi ruang Madya Mandala. Sedangkan dimensi Nista

Mandala merupakan hubungan manusia dengan lingkungannya.

Gambar 2 Konsep Tri Mandala

Sumber : Eko Budihardjo dalam Suharjanto, 2011

Putu Diah Sastri Pitanatri 8

Mengacu pada konsep tersebut, wilayah peruntukan selalu terletak di antara

pura (sebagai hulu) dan setra (sebagai hilir). Masyarakat Bali juga telah membuat

aturan yang jelas bagi wilayah peruntukan dan wilayah yang tidak boleh ditempati

(sebagai misal untuk pura, wantilan dan pasar). Karenanya, wilayah peruntukan (desa)

dapat diibaratkan sebagai gabungan dari beberapa organisme dimana setiap individu

adalah tubuh, sedangkan setiap institusi adalah organ. Jantung dari sebuah desa

tersebut terletak pada areal tengah, dimana merupakan pusat magis dari segala

kegiatan. Berdasarkan pada konsep di atas, masyarakat Bali juga yakin bahwa jiwa

seseorang dapat menjadi sakit dan mudah terserang penyakit, jika ketiga faktor di atas

tidak berada dalam kondisi setimbang. Masyarakat Bali juga meyakini, bahwa baik

faktor natural maupun supra natural (kesalahan dalam upacara, disalahkan oleh

leluhur) dapat mengakibatkan kondisi sakit tersebut.

Komunitas tradisional di Bali selalu dikaitkan dengan hal -­‐ hal yang berbau

magis, dan sebagai konsekuensinya maka pola pikir tradisional menjadi kurang begitu

atraktif di jaman kini. Hal ini terjadi, karena sulitnya menjelaskan arti harfiah dari pola

pikir tersebut. Maka, hal ini pulalah yang mengakibatkan semakin banyaknya

interpretasi dalam upaya memahami arti dari pola pikir tradisional tersebut.

Propinsi Bali kini telah banyak mengalami perubahan, khususnya bila ditinjau

dari segi kebudayaan, karakter dan kenyamanan hidup masyarakat. Propinsi Bali

sebagai propinsi dengan budi daya yang tinggi memerlukan perhatian dan penataan

yang sedemikian rupa karena telah terjadi keberagaman kultural dalam masyarakat

yang heterogen. Perhatian dan penataan ini harus dijabarkan dalam konteks budaya

yang multikultural dan majemuk, sehingga bisa membuat seluruh kota -­‐ kota di

propinsi Bali lebih hidup, memiliki daya tarik visual (karena kekayaan seni dan

budayanya), memiliki daya tarik sosial (karena toleransi masyarakatnya yang tinggi),

sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatkan penerimaan dari sektor

pariwisata yang tengah mengalami kelesuan.

Propinsi Bali dalam perkembangannya dipenuhi oleh pendatang luar, baik yang

menetap sebagai pemukim-­‐pemukim liar sehingga menciptakan kesemrawutan dalam

tata ruang dan mengakibatkan kumuhnya tatanan kota, maupun karena meningkatnya

Putu Diah Sastri Pitanatri 9

laju urbanisasi dan pariwisata yang berdampak pada tingginya kebutuhan dan

pemakaian energi dan meningkatnya pencemaran yang terjadi.

Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan

Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-­‐filsafati, (2)

empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk

ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan

prinsip seperti berikut:

Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering

dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di

Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari

pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku

pembangunan.

Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju

pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang

harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak

teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang

sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.

Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan

Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan,

namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk

mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan

lingkungan, belum optimal.

Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring

dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul

beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses

pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.

Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat

mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena

bergesernya nilai -­‐ nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih

banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan,

sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan

Putu Diah Sastri Pitanatri 10

jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan

pengembangan Bali secara berkesinambungan.

Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan

suatu local genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran

dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di

Bali.

Walaupun didasarkan atas konsep agama Hindu di Bali, konsep Tri Hita Karana

ini telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai konsep yang universal. Konsep THK

tampaknya sesuai dengan Kode Etik Pariwisata Dunia yang dikembangkan World

Tourism Organization (WTO), yang dalam pengembangan sektor pariwisata ingin

mengembangkan konsep interaksi antar manusia dengan manusia, dengan lingkungan,

dan dengan budaya. Berdasarkan Kode Etik Pariwisata Dunia ini diharapkan dapat

dikembangkan konsep pariwisata berkelanjutan, di mana manfaat kegiatan pariwisata

itu dapat terbagi secara merata antara semua sektor masyarakat, dalam ruang lingkup

ekonomi internasional yang bebas dan terbuka. Konsep inipun kemudian akan diadopsi

untuk kemudian dijadikan acuan bagi pelaksanaan operasional hotel dan

penyelenggaraan penghargaan sejenis tingkat nasional dan dunia.

4. Quality Tourism

Penerapan konsep Tri Hita Karana pada destinasi wisata diharapkan mampu

menciptakan pariwisata yang berkualitas. Sinergi dan keharmonisan elemen-­‐elemen

pendukung kepariwisataan adalah hal yang terpenting dalam kepariwisataan. Dalam

konteks pesatnya sektor perhotelan di Bali, konsep Tri Hita Karana dapat menjadi

remedy atau penawar dari benang kusut pengembangan pariwisata di Bali.

Pengelolaan Bali sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas sangat mendesak

untuk diterapkan karena pembangunan Bali telah sangat tergantung terhadap sektor

pariwisata. Model ideal peningkatan kualitas Destinasi Pariwisata Bali dapat

digambarkan dengan konsep 4A+CI (attraction, amenity, accessibelity, ancilary,

community involment) yang mengimplementasikan nilai-­‐nilai Tri Hita Karana seperti

yang tampak pada gambar 3 di bawah ini.

Putu Diah Sastri Pitanatri 11

Gambar 3 Elemen Penentu Kesuksesan Sebuah Destinasi

Dalam model, lingkaran dalam adalah destinasi pariwisata Bali yang merupakan

atraksi yang akan ditawarkan, sementara amenitas, ansilari, aksesibelitas adalah

pendukung dan pembentuk totalitas dari produk pariwisata Bali. Semua faktor

pembentuk totalitas produk pariwisata tersebut harus melibatkan masyarakat lokal

dalam berbagai lini. Ada tiga pihak yang berkepentingan terhadap kualitas totalitas

produk pariwisata tersebut, diantaranya: masyarakat sepakat membangun pariwisata

untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sementara wisatawan berhak mendapatkan

kualitas wisata yang diharapkannya, sementara investor (pemerintah maupun swasta)

berkepentingan mendapatkan profit yang berkualitas.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, dalam penelitian yang dilakukan Pasuraman,

Zeitham, dan Berry Tjiptono (1996) disebutkan bahwa hubungan manusia dengan

manusia (palemahan) merupakan faktor utama yang menentukan kualitas jasa.

Terdapat sepuluh faktor utama yang harus diperhatikan bagi pengelolaan hotel

maupun destinasi wisata meliputi: (1) Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu

konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal

ini berarti perusahaan memberikan jasa pelayanan secara tepat dan sesuai dengan

yang dijanjikan. (2) Responsiveness, yaitu kemauan dan kesiapan dari karyawan untuk

memberikan jasa yang dibutuhkan oleh pelanggan. (3) Competence, artinya setiap

orang dalam suatu perusahaan memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang

dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. (4) Access, meliputi kemudahan

untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau,

Putu Diah Sastri Pitanatri 12

saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi dan lain-­‐lain. (5) Courtesy, meliputi

sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan. (6) Communication, artinya

memberikan informasi dalam bahasa yang jelas, dimengerti, dan selalu menerima

saran atau keluhan dari pelanggan. (7) Credibility, yaitu sifat jujur dapat dipercaya.

Kredibilitas mencakup nama baik perusahaan, reputasi, karakteristik pribadi. (8)

Security, yaitu rasa aman, jauh dari keragu-­‐raguan. (9) Understanding, mengerti

kemauan pelanggan dan memahaminya. (10) Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa bisa

berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan dan lain-­‐lain.

Lebih lanjut dikatakan, dari sepuluh faktor di atas dapat dirangkum menjadi

lima faktor pokok penentu kualitas jasa. Kelimanya disajikan secara berurutan

berdasarkan nilai pentingnya menurut pelanggan yaitu: (1) Bukti langsung (tangibles),

meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. (2) Keandalan

(reliability), yakni kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan

segera, akurat, dan memuaskan. (3) Daya tanggap (responsiveness), kemampuan untuk

membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. (4) Jaminan (assurance)

mencakup pengetahuan, kesopanan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan

keparcayaan dan keyakinan. (5) Empathy, meliputi kemudahan dalam melakukan

hubungan, komunikasi yang baik, perhatian, dan memahami kebutuhan pelanggan.

Poin-­‐poin tersebut diatas juga dapat diadopsi dan diadaptasikan dari tiga unsur

utama Tri Hita Karana: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Poin Parahyangan

mengacu pada usaha hotel dan lokasi wisata dalam menyelaraskan aktivitasnya dengan

konsep-­‐konsep keTuhanan yang diterapkan di Bali, poin Pawongan mengacu pada

keselarasan para pelaku pariwisata di hotel dan lokasi wisata, sedangkan poin yang

terakhir, Palemahan, mengharuskan pelaku pariwisata di hotel dan lokasi wisata untuk

mencintai dan menjaga alam (selaras dengan alam/ tanpa gedung-­‐gedung pencakar

langit). Dengan mengikuti konsep ini, diyakini keselarasan dan keharmonisan dalam

hidup (dalam hal ini pariwisata) dapat terjaga dengan baik.

5. Kesimpulan

Pengelolaan Bali sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas sangat mendesak

untuk diterapkan karena pembangunan Bali telah sangat tergantung terhadap sektor

Putu Diah Sastri Pitanatri 13

pariwisata. Model ideal peningkatan kualitas Destinasi Pariwisata Bali yang

merefleksikan konsep-­‐konsep Tri Hita Karana dapat diaplikasikan dalam 4A+CI

(attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment).

Oleh sebab itu peningkatan kualitas pariwisata Bali, dapat menggunakan

pendekatan lima dimensi kualitas yang harus tetap diperhatikan oleh para pengelola

pariwisata Bali, kelimanya disajikan secara berurutan berdasarkan nilai pentingnya

menurut pelanggan yaitu: (1) bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik,

kelestarian alam Bali perlu dipertahankan karena persepsi wisatawan terhadap alam

Bali hampir mendekati harapan wisatawan, manifestasi budaya Bali juga masih sangat

relevan untuk dipertahankan kualitasnya dengan mempertahankan keunikan dan

keragamannya, begitu juga dengan pengelolaan daya tarik pantai harus terus

ditingkatkan. (2) keandalan (reliability), yakni kemampuan untuk memberikan

pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan yakni Citra (image)

atau nama besar sesuai dengan harapan wisatawan. (3) daya tanggap (responsiveness),

kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat sehingga

kenyamanan berwisata di Bali, dan kesempatan luas untuk relaksasi sesuai harapan

wisatawan. (4) jaminan (assurance) mencakup pengetahuan, kesopanan dan

kemampuan mereka untuk menimbulkan keparcayaan dan keyakinan, dan pada

destinasi Bali ditemukan bahwa harga-­‐harga produk wisata termasuk produk barang

dan pelayanan telah sesuai dengan harapan wisatawan. (5) empathy, meliputi

kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian, dan

memahami kebutuhan pelanggan, di mana keramahan penduduk Bali adalah bentuk

empati destinasi Bali yang dianggap telah semakin memudar dan perlu untuk dilakukan

perbaikan.

Berhubungan dengan usaha mewujudkan pengalaman yang berkualitas bagi

wisatawan sebagai pelanggan (quality of experinces), pada tingkatan korporasi, dapat

dilakukan dengan menyelenggarakan program-­‐program peningkatan empati seperti

menjadi filosopi hidup masyarakat Bali yang lebih dikenal dengan istilah “hukum

karma”. Analoginya adalah, jika perusahaan ingin mendapatkan karyawan yang

berkualitas maka perusahaan harus mampu memberikan pendapatan dan fasilitas yang

berkualitas pula. Analogi selanjutnya adalah, karyawan yang berkualitas akan mampu

Putu Diah Sastri Pitanatri 14

menjadi pekerja yang berkualitas serta produktif untuk dapat mewujudkan kepuasan

pelanggannya. Analogi berikutnya, pelanggan yang puas akan cenderung menjadi

pelanggan yang loyal, dan akhirnya pelanggan yang loyal akan berkontribusi terhadap

profit perusahaan secara berkesinambungan (quality of profit). Oleh sebab itu ijin

pembanguan hotel sudah sepatutnya memperhatikan aspek-­‐aspek

Pada tingkatan Macro Bali, kemajuan Pariwisata Bali mestinya dapat

mewujudkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat Bali yang lebih baik, secara

kuantitatif dapat ditunjukkan oleh besarnya angka penyerapan tenaga kerja oleh sektor

pariwisata. Kebijakan pemerintah berhubungan dengan pengupahan tenaga kerja

khususnya sektor pariwisata mesti disesuaikan setiap saat seiring dengan laju inflasi

dan pertimbangan kondisi maro lainnya seperti kenaikan harga akibat nilai kurs rupiah

yang melemah. Lebih lanjut lagi penyaluran dan subsidi dari pendapatan sektor

Pariwisata Bali terutama dari sektor perhotelan, seharusnya dapat diarahkan untuk

melakukan preservasi dan konservasi serta keberlanjutan sektor pendukung pariwisata

seperti misalnya sektor pertanian, dan industri kreatif lainnya.

Putu Diah Sastri Pitanatri 15

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2015. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Nusantara yang langsung datang ke Bali. (Laporan) BPS Prov Bali.

-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐. Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas Hotel. Diunduh dari http://bali.bps.go.id pada 16 Mei 2015.

-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐. PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2009 -­‐ 2014 (milyar rupiah). Diunduh dari http://bali.bps.go.id pada 16 Mei 2015.

Budihardjo, R. (2013). Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri. Jurnal Nalars Vol. 12 No. 01

Butler, R. W. 1980. “The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources.” The Canadian Geographer 24(1), p. 8.

Disparda. 2015a. Data Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2014. Denpasar: Disparda Provinsi Bali.

Disparda. 2015b. BALI, Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2014. (Buku panduan pramuwisata). Denpasar: Disparda Provinsi Bali.

Parwata, I.W. (2011). Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan Antropometri. Jurnal Mudra Vo. 26 No. 01

Pitana, I Gde. 2005. Sosiologi Pariwisata, Kajian Sosiologis terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-­‐dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

HVS. Indonesia Hotel Watch 2014. Diunduh dari http://www.hvs.com/ pada 16 Mei 2015.

Suharjanto, G. (2011). Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur Vernakular : Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali. Jurnal Comtech Vol. 02 No. 02

Suradnya, I Made 2005. “Analisis Faktor-­‐Faktor Daya Tarik Wisata Bali dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali”: Soca Jurnal Sosial dan Ekonomi. Udayana University Bali

Tjiptono, Fandy. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta. Adi Yogyakarta.United Nation Toth, R. 2000. Implementing a Worldwide Sustainable Tourism Certification System.

Alexandria, Va.: R.B. Toth Associates. World Tourism Organization (2015), Tourism Highlight 2014. UN-­‐WTO, Madrid.