Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab ...

20
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo(Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 17 BAHASA TABU DALAM MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN BENER MERIAH oleh Silfita Yani*, Rajab Bahry**, & Ramli** Email:[email protected] .,[email protected] ., [email protected] . ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah”. Masalah dalam penelitian ini adalah apa saja kata tabu dilihat dari pengolongan dan konteks saat menuturkanya dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan apa saja bahasa tabu dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah. Sumber data penelitian adalah masyarakat penutur Gayo yang ditunjuk sebagai informan. Teknik pengumpulan data yang diambil adalah teknik simak libat cakap catat dan rekam sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan mengelompokan data ke dalam kategori penggolongan bahasa tabu kemudian ditemukan jumlah bahasa tabu secara keseluruhan dan jumah kata tabu dalam setiap katagori dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah. Setelah analisis data dilakukan, ditemukan hasil akhir penelitian yaitu keseluruhan kata 41 kata tabu, terdiri dari (1) tabu menyebut nama orang 15 kata, (2) tabu menyebut nama binatang 4 kata, (3) tabu menyebut nama anggota tubuh 3 kata, (4) tabu menyebut nama penyakit 4 kata, (5) tabu menyebut kata-kata tertentu 6 kata, dan (5) tabu menyebut sumpah serapah 9 kata. Kata Kunci: Masyarakat Gayo, Bahasa Tabu This research is entitled "Tabu Language in the Gayo Society in Bener Meriah Regency". The problem in this research is what taboo words are seen from the help and context when speaking in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The research objective is to describe what is taboo language in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The source of research data is the Gayo-speaking community appointed as informants. The data collection technique taken is the technique of referring skillfully to record and record while the data analysis technique is done by grouping data into categories of taboo language classification and then found the number of taboo languages as a whole and taboo words in each category in the Gayo Community in Bener Meriah Regency. After the data analysis was carried out, the final results of the study were found, namely all 41 words taboo, consisting of (1) taboo mentioning 15 words, (2) taboo mentioning 4 word animal names, (3) taboo names of 3 words, ( 4) taboo mentions the name of the disease 4 words, (5) taboo refers to certain words 6 words, and (5) taboos call expletives 9 words. Keywords: Gayo Society, Tabu Language.

Transcript of Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab ...

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 17

BAHASA TABU DALAM MASYARAKAT GAYO

DI KABUPATEN BENER MERIAH

oleh

Silfita Yani*, Rajab Bahry**, & Ramli**

Email:[email protected].,[email protected].,

[email protected].

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener

Meriah”. Masalah dalam penelitian ini adalah apa saja kata tabu dilihat dari pengolongan dan

konteks saat menuturkanya dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah. Tujuan

penelitian untuk mendeskripsikan apa saja bahasa tabu dalam masyarakat Gayo di Kabupaten

Bener Meriah. Sumber data penelitian adalah masyarakat penutur Gayo yang ditunjuk sebagai

informan. Teknik pengumpulan data yang diambil adalah teknik simak libat cakap catat dan

rekam sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan mengelompokan data ke dalam kategori

penggolongan bahasa tabu kemudian ditemukan jumlah bahasa tabu secara keseluruhan dan

jumah kata tabu dalam setiap katagori dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah.

Setelah analisis data dilakukan, ditemukan hasil akhir penelitian yaitu keseluruhan kata 41 kata

tabu, terdiri dari (1) tabu menyebut nama orang 15 kata, (2) tabu menyebut nama binatang 4

kata, (3) tabu menyebut nama anggota tubuh 3 kata, (4) tabu menyebut nama penyakit 4 kata, (5)

tabu menyebut kata-kata tertentu 6 kata, dan (5) tabu menyebut sumpah serapah 9 kata.

Kata Kunci: Masyarakat Gayo, Bahasa Tabu

This research is entitled "Tabu Language in the Gayo Society in Bener Meriah Regency".

The problem in this research is what taboo words are seen from the help and context when

speaking in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The research objective is to describe

what is taboo language in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The source of

research data is the Gayo-speaking community appointed as informants. The data collection

technique taken is the technique of referring skillfully to record and record while the data

analysis technique is done by grouping data into categories of taboo language classification and

then found the number of taboo languages as a whole and taboo words in each category in the

Gayo Community in Bener Meriah Regency. After the data analysis was carried out, the final

results of the study were found, namely all 41 words taboo, consisting of (1) taboo mentioning

15 words, (2) taboo mentioning 4 word animal names, (3) taboo names of 3 words, ( 4) taboo

mentions the name of the disease 4 words, (5) taboo refers to certain words 6 words, and (5)

taboos call expletives 9 words.

Keywords: Gayo Society, Tabu Language.

18 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

Pendahuluan

Bahasa tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia. Hal itu berkaitan

dengan posisi manusia sebagai makhluk

sosial. Interaksi yang terjadi antarmanusia

menggunakan bahasa sebagai prantaranya.

Bahasa yang juga berfungsi sebagai sarana

komunikasi digunakan baik antarindividu

maupun antarkelompok manusia. Oleh

karena itu, wajarlah bahwa bahasa menjadi

potensi utama yang harus dikuasai setiap

individu. Menurut Chaer, (2006:1) bahasa

adalah lambang bunyi arbitrer yang

digunakan oleh suatu kelompok masyarakat

untuk bekerja sama, berinteraksi,

berkomunikasi dan mengidentifikasi diri.

Bahasa yang digunakan biasanya

dapat mengambarkan bentuk prilaku sosial

individu atau kolompok individu. Pada

dasarnya, satu kata dalam bahasa dapat

menjadi benar dalam kelompok masyarakat

A, tetapi dapat dipandang salah dalam

kelompok masyarakat B. Penomena

semacam itu disebut sosiopramatik

(sosiolinguistik dan pragmatik). Menurut

Chaer (2010:4), sosiolinguistik adalah

cabang ilmu linguistik yang bersifat

interdisipliner dengan ilmu sosiologi dengan

objek penelitian hubungan antara bahasa

dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu

masyarakat tutur. Selanjutnya, Menurut Mey

1993 (dalam Rahardi 2003:15), pragmatik

adalah ilmu bahasa yang mempelajari

pemakaian atau penggunaan bahasa yang

pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh

konteks situasi tutur di dalam masyarakat

dan wahana kebudayaan yang mewadahi

dan melatarbelaknginya. Maka, dapat

disimpulkan bahwa kajian sosiopragmatik

ini berkaitan erat dengan penggunaan bahasa

suatu kelompok masyarakat dan

pengaruhnya dengan konteks saat terjadinya

tindak tutur.

Bahasa tabu adalah kata yang

dilarang atau tidak sepatutnya diucapkan.

Bahasa tabu menjadi satu hal yang harus

dihindari dalam pengunaan bahasa (tidak

boleh digunakan). Setiap bahasa pasti

terdapat kata atau hal yang menjadi larangan

untuk diucapan bahkan dilakukan. Kata tabu

antara bahasa yang satu dengan bahasa lain

juga tidak pernah sama persis karena

biasanya hal tersebut bergantung dengan

konteks penututran, adat istiadat, dan

kepercayaan masyarakat penutur bahasa itu

sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia Edisi Kelima (KBBI:V) tabu

adalah hal yang tidak boleh disentuh,

diucapkan, dan sebagainya kerena berkaitan

dengan kekuatan supernatural yang

berbahaya (ada resiko kutukan).

Masyarakat Gayo atau suku Gayo

adalah kelompok etnik yang mendiami

provinsi Aceh. Penutur mayoritas bahasa

Gayo itu sendiri tersebar dalam tiga

kabupaten besar yaitu Kabupaten Bener

Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, dan

Kabupaten Gayo Lues. Kabupaten Bener

Meriah merupakan hasil pemekaran dari

Kabupaten Aceh Tengah dengan jumlah

penduduk tersebar dalam sepuluh

kecamatan yaitu Kecamatan (1) Timang

Gajah yang terdiri atas 30 kampung, (2)

Gajah Putih yang terdiri atas 10 kampung,

(3) Pintu Rime Gayo yang terdiri atas 23

kampung, (4) Bukit yang terdiri atas 40

kampung, (5) Wih Pesam yang terdiri atas

27 kampung (6) Bandar yang terdiri atas 35

kampung, (7) Bener Kelipah yang terdiri

atas 12 kampung, (8) Syiah Utama yang

terdiri atas 14 kampung, (9) Mesidah yang

terdiri atas 15 kampung, dan (10) Permata

yang terdiri atas 27 kampung (BPS Bener

Meriah 2018).

Berdasarkan paparan di atas, maka

peneliti ingin melihat apa saja pengolongan

bahasa tabu dalam masyarakat Gayo di

Kabupaten Bener Meriah jika dillihat

berdasarkan konteks saat menuturkanya.

Ketertarikan peneliti terhadap topik

penelitian adalah rasa ingin tahu peneliti

yang begitu besar terhadap bahasa tabu

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 19

dalam bahasa Gayo yang juga merupakan

bahasa ibu peneliti. Ketertarikan tersebut

juga didasari atas penomena yang terjadi

dalam masyarakat Gayo sendiri yaitu

minimnya pengetahuan masyarakat terhadap

kata tabu jika dilihat berdasarkan konteks

saat menuturkanya. Selain itu, berdasarkan

hasil penelusuran peneliti, penelitian dengan

subjek bahasa, Bahasa Gayo belum pernah

dilakukan penelitan mengenai bahasa tabu.

Berdasarkan uraian di atas, yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah apa saja kata tabu dilihat dari

pengolongan dan konteks saat menuturkanya

dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener

Meriah ?.

Sesuai dengan rumusan masalah

yang dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah

untuk mendeskripsikan penggolongan

bahasa tabu dalam masyarakat Gayo dilihat

dari konteks saat menuturkanya di

Kabupaten Bener Meriah.

Manfaat dari penelitian ini berupa

manfaat praktis dan teoretis. Manfaat praktis

diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan

informasi tambahan untuk menghindari

terjadinya pengucapan bahasa tabu dalam

berinteraksi, khusunya bagi penutur bahasa

Gayo di Kabupaten Bener Meriah.

Selanjutnya, manfaat teoretis diharapkan

mampu memberikan kontribusi dan

sumbangan ilmu dalam kajian linguistik

serta dapat dijadikan rujukan untuk

penelitan lain yang serupa.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dan jenis penelitian

deskriptif. Menurut Moleong (2007:4)

metodologi kualitatif yaitu penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati. Dalam

penelitian kualitatif ini, peneliti harus

mampu menjadi istrumen kunci dalam

mengembangakan uraian atau informasi

topik penelitian. Menurut Sugiyono, (2011:

223) dalam penelitian kualitatif, instrumen

utamanya adalah peneliti sendiri, namun

setelah fokus penelitian menjadi jelas,

kemungkinan akan dikembangkan instrumen

penelitian sederhana. Oleh karna itu,

Kecakapan dan ketelitian peneliti dalam

mencari data di lapangan dapat dijadikan

tolak ukur dalam pelaporan penelitian yang

akan dibuat setelahnya.

Jenis penelitian deskriptif

menekankan pada pengambaran suatu objek

secara jelas dan dituangkan dalam bentuk

tulisan. Menurut Sukardi (2003:163),

penelitian deskriptif yaitu metode penelitian

yang berusaha menggambarkan objek atau

subjek yang diteliti sesuai apa adanya,

dengan tujuan menggambarkan secara

sistematis fakta dan karakteristik objek yang

diteliti secara tepat. Di samping itu, Genzuk

(dalam Emzir, 2013:174) menambahan,

deskriptif dapat ditulis dalam bentuk narasi

dengan tujuan melengkapi gambaran

menyeluruh tentang apa yang terjadi dalam

aktivitas atau peristiwa yang dilaporkan.

Sumber data dalam penelitian ini

diperoleh dari informan yang telah

ditetapkan di lokasi penelitian yaitu

Kecamatan Bukit, Kecamatan Wih Pesam

dan Kecamatan Permata. Menurut Mahsun

(2005:135), pada setiap daerah penelitian

dibutuhkan paling sedikit tiga orang

informan. Berdasarkan pendapat tersebut,

maka peneliti akan memilih 3 orang dari

setiap kecamatan sebagai informan. Jumlah

informan seluruhnya terdiri dari 9 orang.

Kriteria orang yang dapat dijadikan

informan dalam penelitian Bahasa menurut

Mahsun (2005:135), adalah sebagai berikut.

1) Berjenis kelamin pria dan wanita

2) Berusia antara 25-65 tahun (tidak

pikun)

3) Orang tua, istri atau informan lahir dan

dibesarkan di desa tersebut serta tidak

atau jarang pindah dari desanya serta

20 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

jarang atau tidak pernah meninggalkan

desanya

4) Bependidikan maksimal tamat

pendidikan dasar (SD-SLTP)

5) Berstatus sosial menengah (tidak

rendah atau tidak tinggi)

6) Pekerjaannya tani atau buruh

7) Memiliki kebanggaan terhadap

isoleknya

8) Dapat berbahasa Indonesia

9) Sehat jasmani dan rohani

Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan teknik

simak, libat cakap dan catat. Teknik simak

adalah teknik yang dilakukan dengan cara

menyimak pengunaan bahasa yang

sesungguhnya. Teknik cakap merupakan

teknik penyedian data yang dilakukan

dengan cara mengadakan percakapan.

Metode libat cakap ini juga sering disebut

metode wawancara atau interview.

Selanjunya, metode catat merupakan metode

lanjutan yang akan dilakukan dengan cara

mencatat (dalam Rahardi 2009:33). Untuk

menghindari kisalapan dalam penulisan

maka teknik rekam juga akan dilakukan

secara bersamaan.

Adapun langkah-langkah pengumpulan data

yang akan dilakukan peneliti adalah sebagai

berikut.

1) Peneliti terlebih dahulu menyiapkan

alat atau perlengkapan yang diperlukan

untuk wawacaran yaitu lembar

wawancara, alat tulis dan perekam.

2) Menemui informan yang sudah dipilih

di lapangan. ,,

3) Mencatat biodata informan di lembar

wawancara yang sudah disediakan.

4) Alat perekam di aktifkan kemudian

peneliti memulai wawancara dengan

informan dan melontarkan beberapa

pertanyaan yang sudah disediakan.

5) Menanyakan satu demi satu pertanyaan

sampai selesai (setelah peneliti selesai

membaca satu pertanyaan maka

informan langsung memberikan

jawaban atas pertanyaan tersebut).

6) Mencatat informasi berupa jawaban

dari informan di lembar yang

disediakan.

7) Menutup wawancara setelah semua

pertanyaan dijawab oleh informan dan

mematikan alat perekam yang

sebelumnya dihidupkan.

Analisi data adalah kegiatan

mengelompokan data dalam satu tataran

yang sama. Analisis data dilakukan setelah

data yang dibutuhkan terkumpul. Langkah-

langkah analisis data dalam penelitian ini

dapat dirincikan sebagai berikut.

1) Peneliti menyatukan semua data yang

didapat dari 9 informan.

2) Peneliti mengelompokan kata ke dalam

penggolongan bahasa tabu.

3) Peneliti mendesripsikan kata bahasa tabu

yang didapat.

4) Peneliti mengambil kesimpulan berapa

kata yang ada dalam setiap pengolongan

kata tabu yang ada dalam masyarakat

Gayo di Kabupaten Bener Meriah.

Hasil Penelitian

Setelah analisis data dilakukan,

ditemukan hasil akhir peneltian yaitu

sebagai berikut.

Tabel 4.1 Pengolongan Bahasa Tabu

Masyarakat Gayo di Bener Meriah

No Kata Tabu Pengganti Kata

(Eufemisme)

Tabu Menyebut Nama Orang

1. Ama Reje/ Reje

Kampung

Geucik

2. Banta Sekertaris Desa

3. Ine -

4. Ama -

5. Aman Mayak -

6. Inen Mayak -

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 21

7. Peraman/perinen

(Aman/Inen )

Aman/Inen Nuwin

atau Aman/Inen

ipak

8. Perasin Oteh, Item, Onot

9. Rawan Merjak

10. Banan Nomang

11. Kil- Ibi -

12. Cik- Mak Cik -

13. Pun- Mak Pun -

14. Lakun Peraman/Perinen

15. Ume -

Tabu Menyebut Nama Binatang

16. Kule Pake Regom

17. Gajah Reje

18. Tikus -

19. Asu -

Tabu Menyebut Nama Anggota Tubuh

20. Utuh -

21. Tinik/ Etet -

22. Kesut -

Tabu Menyebut Nama Penyakit

23. Buduk -

24. Supak

25. Tongkek -

26. Busung -

Tabu Menyebut Kata-kata Tertentu

27. Sotot -

28. Mutube Minih

29. Lembide -

30. Sepah -

31. Nik -

32. Micing -

Tabu Sumpah Serapah

33. Demalah -

34. Berniet -

35. Benatang -

36. Kafir -

37. Jalang -

38. Pekak -

39. Udel -

40. Durel -

41. Dangkalen -

Pendeskripsian lebih rinci mengenai

kata tersebut adalah sebagai berikut.

1) Tabu Nama Orang

(1) Ama reje (Geucik Kampung)

Ama reje atau reje kampung

merupakan seseorang yang

memiliki jabatan tinggi dalam

daerah dan termasuk orang yang

sangat dihormati. Ama berarti bapak

dan reje berarti raja. Ama reje

dapat diartikan sebagai geucik atau

Pak RT

Ama Reje biasanya dipakai

dan disebutkan dalam acara formal

seperti acara adat pernikahan,

sedangkan sebutan reje kampung

dipakai dalam kehidupan sehari-

hari. Sebutan tersebut harus dipakai

dan dipertahankan selama ia masih

menjabat. Oleh karena itu, nama

asli orang yang menjabat menjadi

Reje Kampung tidak boleh lagi

diucapkan dalam tuturan karena

dianggap tidak sopan dan tidak lagi

menghormati beliau.

Misalnya,

“Ara ke Pak Amir i kantoro seni?”

(Adakah Pak Amir di kantornya

sekarang?).

Kata tersebut menjadi tabu

karena sudah menyebut nama asli

Pak Geucik. Kalimat yang lebih

tepat diucapkan adalah “Ara ke Pak

Geucik i kantoro seni?“ (Adakah

Pak Geucik di kantornya

sekarang?), atau “Arak ke Pak

Geucik Amir I kantoro seni?”

(Adakah Pak Gaucik Amir di

kantornya sekarang?).

(2) Banta (Sekertaris Kampung)

Banta disebut juga sekertaris

desa. Posisi Banta berada di bawah

naungan Reje Kampung artinya

Banta juga merupakan orang yang

dianggap penting dan dihormati.

Nama asli yang menjabat sebagai

22 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

Banta juga tidak boleh disebutkan

dalam tuturan karena akan

mengurangi rasa hormat seseorang

kepada beliau.

Misalnya,

“Urusen suret ta laporen nye ku

Pak Budi o”

(Urusan surat itu laporkan saja terus

ke Pak Budi).

Kalimat tersebut menjadi

kurang sopan karena menyebut nama

asli Banta. Kalimat yang lebih tepat

diucapkan adalah “Urusen suret ta

laporen nye ku Pak Sekertaris o”

(urusan surat itu laporkan saja ke Pak

Sekertaris) atau “Urusen suret ta

laporen nye ku Pak Sekertaris Budi

o” (Urusan surat itu laporkan saja

terus ke Pak Sekertaris Budi).

(3) Ine (Ibu)

Orang tua merupakan orang

yang sangat dihormati dalam

keluarga. Seorang anak harus

mampu menjaga sikap dan bicara

kepada kedua orang tuanya karena

jika tidak dia akan menjadi anak

durhaka. Panggilan untuk Ibu

misalnya, dalam masyarakat Gayo

panggilan untuk ibu adalah Ine,

walaupun sebagianya ada yang

menyebut Mamak. Masyarakat

Gayo menganggap sebutan Ine lebih

mulia dibandingkan Mamak. Oleh

karena itu, panggilan Ine sangat

dipertahankan oleh masyarakat

Gayo. Hal yang menjadi tabu adalah

menyebut nama asli mamak secara

langsung.

Misalnya,

“Engi orom aku anak ni Salma”

(adik dan aku anaknya Salma).

Jika kalimat seperti itu

diucapkan oleh sesama anak mereka

dengan tujuan mengejek atau

semacamnya, itu akan menjadi tabu.

Kalimat yang lebih tepat diucapkan

adalah “Engi orom aku anak ni Ine”

(Adik dan Aku adalah anak Ibu).

(4) Ama (Ayah)

Ama diartikan juga sebagai

ayah. Sama halnya seperti sebutan

Ine, dalam masyarakat Gayo

sebutan Ama dianggap lebih mulia

dari pada bapak. Oleh karena itu,

sebutan Ama harus bisa dipertahan

dan dilestarikan oleh masyarakat

Gayo. Seorang anak pun tidak boleh

memanggil sembarang sebutan ayah

atau ibu jika sudah ditetapkan

sesuai adat yang berlaku dalam

masyarakat. Apalagi, sampai

memanggil ayahnya dengan nama

asli yang dimiliki sang ayah, Jika

hal tersebut terjadi ia akan dicap

sebagai anak durhaka bahkan dapat

dikucilkan dalam masyarakat

karena dianggap tidak wajar. Oleh

karena itu, memanggil orang tua

dengan nama aslinya menjadi hal

yang harus dihindari agar tidak

terjadi malapetaka atau musibah

lainnya.

Minsalnya,

“Aku anak ni Samran”

(Aku anaknya Samran)

Kalimat tersebut menjadi

tabu karena mengucapkan nama asli

ayah. Kalimat yang lebih tepat

diucapkan adalah “Aku anak ni

Ama” (aku anaknya bapak).

(5) Inen Mayak (Pengantin Perempuan)

Inen Mayak diartikan juga

sebagai pengantin wanita. Dalam

masyarakat Gayo jika seseorang

sudah menikah disebut juga Mayak.

Sebutan Inen Mayak dipakai sampai

mereka sudah mendapat

momongan. Jika mereka sudah

memiliki keturunan sebutan Inen

Mayak tidak lagi dipakai dalam

koteks apapun, tetapi jika belum

memiliki momongan panggilan itu

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 23

harus dipakai dalam konteks apa

pun, sekali pun pasangan tersebut

sudah menikah berpuluh-puluh

tahun lamannya. Oleh karena itu

sebutan Inen Mayak harus dipakai

setelah akad nikah dilakukan. Tidak

boleh lagi seorang pengantin

dipanggil dengan nama aslinya

sendiri melainkan dengan sebutan

Inen Mayak.

Misalnya,

“Salmi ne isi nge?”

(Salmi tadi dimana sudah?)

Kalimat tersebut menjadi

tabu karena masih memanggil nama

asli dari penganti. Kalimat yang

lebih tepat diucapkan adalah “Inen

Mayak ne isi nge” (Penganti wanita

tadi dimana sudah?)

(6) Aman Mayak (Pengantin Laki-laki)

Aman Mayak diartikan juga

sebagai pengantin pria. Sama

halnya seperti sebutan Inen Mayak,

sebutan Aman Mayak juga didapat

setelah ijab kabul dilakukan.

Pemakaian sebutan ini pun

berlangsung sampai ia memiliki

keturunan. Sebutan ini berlaku

kepada semua kalangan, baik anak-

anak, remaja bahkan orang tua

sekali pun harus menyebutnya

dengan sebutan Aman Mayak. Tidak

boleh dan dilarang menyebut atau

memanggil nama asli penganti baru

saat memanggilnya karena hal

tersebut sangat berkaitan dengan

adat dalam masyarakat Gayo. Jika

dilakukan atau dilanggar dianggap

melanggar adat dan dicap sebagai

orang yang tidak tau adat dan sopan

santun.

Misalnya,

“Kune keber ni Ridho ne?”

(Bagaimana kabar Si Ridho?)

Kalimat tersebut menjadi

tabu karena masih memanggil nama

aslinya. Kalimat yang lebih tepat

digunakan dalam konteks ini adalah

“Kune keber ni Aman Mayak ne?”

(Bagaimana kabar pengantin pria?).

(7) Peraman/perinen (Sebutan untuk

orang yang sudah memiliki anak)

Masyarakat Gayo

mengartikan Peraman/perinen

sebagai sebutan untuk seseorang

yang sudah memiliki anak.

Peraman/perinen merupakan

pengalihan sebutan dari Inen Mayak

dan Aman Mayak. Sebutan tersebut

berkaitan dengan nama anak

pertama. Misalnya, ibu Aminah

melahirkan anak pertamanya dan

diberi nama Lukman. Maka,

sebutan Peraman suami ibu Aminah

adalah “Aman Lukman” (Bapak

Lukman) sedangkan sebutan

Perinen ibu Aminah sendiri adalah

Inen Lukman (Ibu Lukman). Selain

itu, Peraman/perinen lain yang

dapat diucap berkaitan dengan jenis

kelamin anak pertama. Misalnya,

seorang ibu melahirkan anak

pertama berjenis kelami laki-laki

maka, Peraman/perinen orang

tuanya adalah Aman Nuwin dan

Inen Nuwin. Sebaliknya, jika

seorang ibu melahirkan anak

pertama berjenis kelamin

perempuan maka Peraman/perinen

orang tuanya adalah Aman Ipak dan

Inen Ipak.

Sebutan Peraman/perinen

tersebut akan tetap sama sampai

mereka tua bahkan jika memiliki

anak kembali. Dalam hal ini, yang

dapat menjadi tabu untuk

disebutkan adalah jika sebutan

tersebut tidak dituturkan secara

benar. Misalnya, mengubah

Peraman/perinen dari nama anak

pertama ke anak ke-dua, ke-tiga

atau selanjutnya. Juga dapat

24 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

menjadi tabu jika nama asli orang

tersebut diujarkan bukan

Peraman/perinen yang sudah

melekat pada dirinya. Jika masih

saja dilanggar biasannya orang

tersebut disebut jengkat (tidak tau

adat)

Misalnya

“Bang Ramlan ne kusi kak?”

(Bang Ramlan kemana kak?)

Kata Ramlan dalam kalimat

tersebut mengacu kepada seorang

laki-laki yang sudah memiliki

anak. Kalimat tersebut menjadi

tabu karena sudah menyebut nama

asli seseorang yang sudah memilki

anak bukan dengan menyebut

Peramanya. Kalimat lain yang bisa

dipakai adalah “Aman Toni ne kusi

kak?” (Bapak Toni kemana kak?).

Toni yang dimaksud mengarah

pada nama anak pertama karena

yang menjadi sebutan unuk

Peraman/Perinen adalah nama

anak pertamnya atau jenis kelamin

anak seperti yang dipaparkan di

atas sebelumnya.

(8) Perasin (Julukan)

Perasin merupakan nama lain

yang dibuat sebagai julukan bahkan

bisa menjadi panggilan tetap untuk

menandai seseorang. Perasin dalam

hal ini biasanya berkaitan dengan

ciri fisik anak minsalnya, Oteh

(putih), Onot (pendek), Item

(hitam), dan lain sebagainya.

Perasin seperti yang diatas tidak

apa-apa jika disebutkan tetapi, yang

menjadi larangan untuk disebutkan

adalah Perasin yang mengarah pada

keburukan si anak. Misalnya,

“Wen degil ne kusi beluh e”

(Anak laki-laki yang nakal

keterlaluan kemana perginya?),

Sebutan semacam itu tidak

boleh dituturkan karena bisa

menjadikan anak tersebut menjadi

seperti yang dijuluki atau dalam

isitilah Gayo disebut juga tunung

cerak (diikuti perkataan).

(9) Rawan (Laki-laki)

Dalam bahasa Gayo Rawan

berarti sebutan untuk laki-laki.

Selain Rawan ada juga yang disebut

Win. Kedua sebutan tersebut

sebenarnya memilki arti yang sama.

Hanya saja, tingkat

kesopanannyalah yang menjadi

perbedaan. Dalam konteks tertentu

sebutan Rawan bisa menjadi

dilarang pengucapanya karena

dianggap kasar. Oleh karena itu,

alangkah baiknya sebutan tersebut

digantikan dengan kata lain yang

lebih sopan. Kata Rawan menjadi

tabu diucapkan saat menyebutkan

jenis kelamin anak bayi yang baru

lahir. Saat seorang ibu melahirkan

seorang anak, biasanya yang

pertama kali ditanyakan adalah jenis

kelamin anak tersebut. Maka dalam

hal ini sebutan untuk anak laki-laki

yaitu Rawan dianggap kasar untuk

menjawab pertanyaan semacam itu.

Minsalnya,

“Kumpuni Mak Romi ne rawan”

(Cucunya Mak Romi laki-laki)

Kalimat tersebut dianggap

kasar karena menyebut kata rawan.

Jadi kalimat lain yang patut

disebutkana adalah “Kumpuni Mak

Romi ne kin Jamu merjak te”

(Cucunya Mak Romi untuk

karyawan membajak sawah kita).

(10) Banan (Perempuan)

Banan sama halnya dengan

ipak yang merujuk pada perempuan.

Perbedaan keduanya ialah, Banan

biasanya ditujukan untuk permpuan

yang lebih tua dari yang bertutur,

sedangkan Ipak ditujukan untuk

perempuan yang lebih muda dari si

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 25

penutur seperti panggilan ayah atau

ibu untuk anak perempuanya, atau

panggilan kakak atau abang untuk

adik perempuanya. Namun, Banan

bisa menjadi tabu jika dikatakan

dalam konteks tertentu. Misalnya,

saat menyebutkan jenis kelamin

anak bayi perempuan tidak boleh

Banan tetapi diganti dengan sebutan

nomang (menanam padi). Jika

sebutan tersebut terlanjur diucapkan

biasanya penutur langsung

memperbaiki kata dengan sebutan

lain yang dianggap lebih sopan.

Minsalnya,

“Anakni lakun te ne banan”

(Anaknya ipar kita perempuan)

Kalimat tersebut dianggap

kasar karena menyebut kata banan.

Jadi kalimat lain yang patut

disebutkana adalah “Anakni lakun ne

pong kin nomang te” (Anaknya ipar

kita kawan untuk menanam padi)

(11) Kil- Ibi (Bibik-Suami Bibik)

Kil- Ibi merupakan sapaan

untuk kekerabatan dalam

masyarakat Gayo. Ibi sebutan untuk

anak perempuan baik kakak atau

adik dari ayah atau ibu, sedangkan

Kil sebutan untuk suami Ibi. Dalam

bahasa Indonesia Ibi dikenal juga

dengan sebutan Bibik dan Kil

berarti suami bibik. Oleh karena itu,

seorang anak harus menyapa adik

atau kakak perempuan dari ayah

atau ibu dengan sebutan Kil- Ibi.

Jika mereka dipanggil dengan

menyebut nama asli tanpa diikuti

sapaan kekerabatan itu adalah hal

yang harus dihindari. Apalagi jika

sapaan tersebut tidak dipakai

dengan benar.

Misalnya,

“Cicik ne hi Bik?

(Paman tadi dimana Bik?)

Menyebut suami dari Ibi

dengan panggilan Pun atau Cik

tersebut adalah hal yang harus

dihindari. Orang yang tidak

menyapa kerabatnya dengan benar

maka dicap sebagai orang yang

tidak tau tutur. Biasanya jika

kesalahan penuturan itu terjadi,

orang yang paham tutur secara

langsung akan menasehati dan

memberitahukan sapaan yang benar

kepada yang melakukan kesalahan.

(12) Cik- Mak Cik (Paman-Istri

Paman)

Dalam masyarakat Gayo Cik-

Mak Cik juga merupakan sapaan

kekerabatan yang harus benar-benar

dipahami agar tidak terjadi

kesalahan sapaan. Cik adalah

sapaan untuk adik atau abang dari

pihak ayah, sedangkang Mak Cik

adalah istri dari Cik. Jika keduanya

tidak diucap secara benar atau

bahkan menyebut nama kerabat

dengan nama aslinya, maka orang

tersebut juga akan dicap sebagai

orang yang tidak tau tutur. Hal

semacam itu juga disebut sebagai

salah satu pantangan yang harus

dihindari oleh masyarakat Gayo.

Pencegahan atas kesalahan tersebut

juga dilakuakan dengan menasehati

si penutur.

(13) Pun- Mak Pun (Paman- Istri

Paman)

Pun merupakan sapaan

kekerabatan yang ditujukan kepada

adik atau abang laki-laki dari pihak

Ibu, sedangkan Mak Pun adalah istri

dari Pun. Seorang anak harus tahu

dan mengerti dalam mengunakan

tuturan agar tidak terjadi kesalahan

dalam menyapa. Hal semacam ini

juga dapat menjadi tabu jika salah

menyebut nama kerabat dengan

nama aslinya atau dengan sebutan

26 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

lain yang bukan sebutanya. Minsal,

seorang ibu memiliki adik laki-laki

yang sudah menikah, tetapi anak

dari ibu tersebut menyebut

kerabatnya dengan sapaan Cik dan

Mak Cik. Sebutan tersebut sudah

salah digunakan karena sebutan Cik

dan Mak Cik adalah sebutan untuk

adik atau abang laki-laki dari pihak

ayah.

(14) Lakun (Ipar)

Lakun adalah panggilan

untuk sesama ipar dari pihak suami

dan istri. Ipar yang dimaksud tidak

hanya sebatas keluarga dekat kedua

pihak. Akan tetapi, keluarga jauh

suami atau istri sekali pun jika

bertemu dengan keluarga suami

atau istri maka harus dipanggil

dengan sebutan Lakun. Kata yang

menjadi tabu dalam hal ini adalah

menyebut nama aslinya. Jika nama

asli ipar tersebut diucapkan tanpa

diikuti sapaan kerabatan Lakun,

orang tersebut akan dicap sebagai

orang yang tidak tau tutur dan

dianggap tidak sopan. Untuk

menghindari penyebutan nama asli

ipar tersebut maka dapat diganti

dengan menyebut Peraman/

Perinennya jika memang ia sudah

menikah. Akan tetapi, jika belum

menikah bisa disebut dengan

menyebut nama asli tapi harus

diikuti sapaan kekerabatan.

Misalnya,

“Kak Raudah ne ara acara lang”

(Raudah ada acara besok)

Kata Raudah dalam kalimat

merujuk kepada nama asli ipar. Oleh

karena itu, kata tersebut sudah

menjadi tabu karena dianggap tidak

sopan. Kalimat perbaikanya adalah

“Kak Lakun Raudah ne ara acara

lang” (Kak Ipar Raudah ada acara

besok).

(15) Ume (Besan)

Ume berarti besan. Sesama

besan dalam masyarakat Gayo

dipanggil dengan sebutan Ume

sedangkan, jika anak-anaknya

memanggil dengan sebutan Mak

Ume (Mamak Besan) dan Pak Ume

(Bapak Besan). Sebutan tersebut

tidak bisa diganti dengan

Peraman/Perinennya atau sebutan

lain. Oleh karena itu, yang menjadi

tabu adalah jika menyebut nama asli

besan tersebut baik itu sesama

besan atau anaknya karena dianggap

tidak sopan dan dipandang tidak

menghargainya.

Misalnya,

“Mak Ume Arami lang ngeh kini”

(Mamak Besan Arami besok datang

ke sini)

Kata Arami dalam kalimat

tersebut menjadi tabu karena sudah

menyebut nama asli besan. Kata

tersebut sebenarnya dapat diubah

dengan menyebut Peraman/Perinen

anak yang dinikahkanya seperti

“Mak Ume Aman Nora lang ngeh

kini” (Mamak Besan Bapak Nora

besok datang ke sini) atau dengan

menyebut tempat tinggal besan

seperti “Mak Ume Ramung lang

ngeh kini” (Mamak Besan Ramung

besok datang ke sini).

2) Tabu Nama Hewan

(16) Kule (Harimau)

Kule artinya harimau.

Masyarakat Gayo menyakini

sebutan kule tidak boleh dikatakan

saat sedang di dalam hutan karena

menimbulkan rasa ngeri dan takut

bahkan mampu membuat harimau

tersebut menghampiri yang

memanggilnya. Jika memang hewan

tersebut harus disebutkan maka

dapat diganti dengan panggilan

Pake Regom.

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 27

Misalnya,

“Arake penge ko leng kule oyane?”

(adakah kamu dengar suara

harimau tadi?)

Kalimat tersebut tidak boleh

diucapkan di dalam hutan karena

menyebut kata kule secara

langsung. Kalimat yang pengganti

yang tepat digunakan adalah “Arake

penge ko leng pake regom a

oyane?” (adakah kamu dengar

suara harimau tadi?).

(17) Gajah (Gajah)

Gajah juga pantang

diucapkan saat sedang di dalam

hutan. Sama hal nya seperti kule,

gajah juga sangat ditakuti oleh

masyarakat Gayo. Ketakutan

mengucapkan gajah juga

dipengaruhi oleh sejarah pada

zaman kerajaan linge di Gayo. Oleh

karena itu, pengganti kata untuk

mengungkakan kata tersebut

dipanggil dengan Reje.

Misalnya,

“Enti kiruh, kahe geh gajah kini”

(Jangan rebut, nanti datang gajah ke

sini).

Kata penganti untuk kalimat

tersebut adalah “Enti kiruh, kahe geh

reje kini”

(18) Tikus (Tikus)

Dalam masyarakat Gayo

binatang Tikus dapat menjadi

pantang diucapkan jika seseorang

sedang berada di sawah. Hal

tersebut dipantangkan karena

keyakinan masyarakat Gayo jika

kata diucapkan maka tikus akan

berdatangan ke sawah. Setiap

hewan tersebut diucapkan maka,

seolah tikus diundang untuk ke

sawah. Oleh karena itu, petani tidak

boleh menyebutkanya saat sedang

bersawah.

Misalnya,

“Nengone nge meh pangan tikus

rom ku ni”

(Kelihatanya padi ku sudah habis

dimakan tikus)

(19) Asu (Anjing)

Dalam masyarakat Gayo Asu

berarti anjing. Asu juga bisa

menjadi pantang jika disebutkan.

Namun, tidak semua konteks

menyebut nama asu menjadi tabu.

Kata asu dapat menjadi tabu jika

ditujukan kepada lawan bicara.

Apalagi jika lawan bicara lebih tua

dari pada kita, kata asu tersebut

bukanlah hal yang sopan untuk

diucapkan. Lebih-lebih lagi jika itu

dilontarkan kepada orang tua

sendiri. Kata tersebut sering kali

disebutkan saat seseorang sedang

merasa kesal atau marah.

Misalnya,

“Asu memang ko jema”

(Anjing memang kamu orang)

3) Tabu Nama Anggota Tubuh

(20) Utuh (Alat Kelamin Laki-

Laki)

Utuh adalah nama bagian

anggota tubuh yang tidak boleh

disebutkan dalam konteks apa pun.

Utuh berarti alat kelamin laki-laki.

Biasanya kata tersebut terlanjur

diucapkan karena pelampiasan

emosi seseorang baik itu rasa kesal,

marah atau semacamnya.

Misalnya,

“Utuh ni amamu ara ke”

(alat kelamin bapak mu ada).

(21) Tenek/etet (Alat Kelamin

Perempuan)

Sama halnya seperti utuh,

tenek/etet juga tidal boleh

diucapkan dalam kontes apapun

karena sama sekali tidak pantas

untuk diucapakan. Tenek/etet berarti

alat kelamin perempuan. Oleh

28 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

karena itu, kata tenek/etet harus

dihindari pengucapanya.

Minsalnya,

“Etet ma jege I ipak”

(Alat kelamin mu dijaga anak

perempuan).

(22) Kesut (Anus)

Kesut merupakan salah satu

anggota tubuh manusia yang tidak

boleh diucapkan. Kata kesut dalam

bahasa Indonesia berarti lubang

anus. Sama halnya seperti nama

anggota tubuh yang dipaparkan

sebelumnya. Kata kesut juga tidak

boleh dikatakan dalam konteks dan

situasi apa pun karena kata tersebut

memang tidak pantas untuk

diucapkan.

Misalnya,

“lagu bau kesut leh” (seperti bau

lubang anus lah).

4) Tabu Nama Penyakit

(23) Buduk (Kusta)

Buduk adalah penyakit yang

sangat menjijikan dan susah untuk

disembuhkan. Pada zaman dulu,

seseorang yang menderita penyakit

ini biasanya diasingkan dari

masyarakat karena diyakini bisa

menular. Jika dikaitkan dengan ilmu

medis penyakit Buduk ini hampir

seperti penyakit kusta. Selain

penyakitnya yang menjijikan

penyebutan nama penyakitnya juga

menjadi dilarang untuk diucapakan.

Jika ada orang yang menanyakan

tentang penyakit tersebut, langkah

yang baik untuk dilakukan adalah

menyuruh si penanya tersebut untuk

melihat atau mengecek sendiri ke

rumah si penderita. Hal tersebut

dilakukan karena ketakutan yang

luar biasa terhadap penyakit yaitu

berupa keyakinan akan tertular.

Misalnya,

“Mupenyakit buduk leh kengon

anita ne”

(Ku lihat Anita ada penyakit kusta)

(24) Supak (Penyakit Kelainan

Kulit)

Supak merupakan salah satu

penyakit kulit yang ditandai dengan

bulatan putih pada seluruh kulit

seperti luka bakar. Penyakit tersebut

biasanya bisa bawaan dari lahir atau

sebab lainya. Masyarakat Gayo

menyakini penyakit susah bahkan

tidak dapat disembuhnkan. Penyakit

tersebut tidak boleh disebutkan

karna dapat menyingung perasaan

penderita jika dia mendengarnya.

Misalnya,

“Anak beru ni Pak Dul o

Musupak”

(Anak gadis Pak Dul terkena

peyakit supak).

(25) Tongkek (Telinga Berair)

Tongkek adalah penyakit

pada telinga yang mengeluarkan

nanah dan berbau amis. Si penderita

penyakit ini biasanya akan malu

jika penyakitnya diketahui banyak

orang karena penyakit ini adalah

penyakit yang menjijikan. Penyakit

tersebut juga dilarang penuturanya

saat sedang dalam situasi

menyantap makanan karena akan

mengurangi napsu makan seseorang

bahkan bisa saja seseorang muntah

saat mendegarnya kerena tidak

sopan dan tidak pantas untuk

diucapakan.

Misalnya,

“Mice di tongkek ni Agus o”

(Jijik sekali nanah yang ada dalam

telinga Agus).

(26) Busung (Busung)

Busung adalah salah satu

penyakit aneh yang diyakni oleh

masyarakat Gayo. Penderita

penyakit busung ini ditandai dengan

membuncitnya perut seseorang

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 29

tanpa sebab, tetapi dan jika

dilakukan pengecekan secara medis

isi dari perut yang membuncit tidak

terlihat (kosong). Penderita penyakit

ini biasanya akan merasa malu jika

penyakitnya diketahui banyak

orang. Masyarakat meyakini

penyakit semacam ini jarang terjadi

dan jikalau pun terjadi pasti karena

penderita pernah melakukan

kesalahan baik dalam hal ucapan

atau perbuatannya. Penyakit ini lah

yang dianggap azab atas

perbuatanya. Oleh karena itu,

pengucapan nama penyakit ini

dilarang diucapan karena berkaitan

dengan aib seseorang.

Misalnya,

“Mak Una o lagu mupenyakit

busung leh kupenge”

(Mak Una sepertinya ada penyakit

busung ku dengar)

5) Tabu Kata-kata tertentu

(27) Sotot (Berhubungan Badan)

Dalam bahasa Gayo kata

Sotot merupakan kata yang harus

dihindari pengucapanya karena kata

tersebut sama sekali tidak patut

untuk diujarkan dalam konteks

apapun. Sotot memiliki arti

berhubungan badan atau dapat

dikatakan sebagai aktivitas seksual.

Orang yang mengatakan hal

semacam itu biasanya akan dicap

sebagai orang cabul.

Misalnya,

“Tengah besotot nengone Aman

Mayak ne”

(Sedang berhubungan badan

sepertinya pengantin laki-laki itu).

(28) Mutube (Peracun)

Mutube adalah pekerjaan

yang dianggap hina dan ditakuti

oleh masyarakat Gayo. Pekerjaan

tersebut berkaitan dengan ilmu jahat

yang dapat merugikan minsalnya,

santet atau semacamnya. Mutube

disebut juga orang yang

menyebarkan racun kepada orang

lain yang tidak disukainya.

Biasanya racun tersebut berbentuk

zambi-zambi yang dibuat dalam

hidangan. Oleh karena itu, kata

mutube sangat dihindari

pengucapanya apalagi jika kita

berada di kampung orang lain. Hal

tersebut perlu dilakukan untuk

menghindarkan diri dari santet si

pemilik ilmu jahat. Masyarakat

meyakini jika si pemilik ilmu jahat

tersebut mendengar kata yang

dimaksutkan, akan menyingungnya

kemungkinan besar dia akan

membalas orang yang menyebutkan

kata itu dengan disantet atau

semacamnya yang dapat merugikan

si penutur.

Misalnya,

“Kebere isen ara jema mutube”

(kabarnya di sini ada orang yang

memiliki ilmu jahat/peracun).

(29) Lembide (Makhluk Gaib)

Bukti sejarah mengenai

lembide memang tidak ditemukan

dalam kehidupan masyarakat Gayo.

Namun, lembide tersebut diyakini

keberadaannya oleh masyarakat

sampai sekarang pun. Lembide

berkaitan dengan hal mistis dan

gaib karena sampai saat ini bentuk

atau rupa lembide sendiri tidak

diketahui seperti apa. Akan tetapi,

bukti yang meyakini keberadaan

lembide terus saja terlihat dengan

adanya korban tengelam tanpa

sebab di danau Laut Tawar. Oleh

karena itu, kata lembide tersebut

menjadi dilarang untuk diucapkan

jika kita sedang berada di sekitaran

danau Laut Tawar karena diyakini

dapat mengudangnya untuk datang

dan dapat menimbulkan kengerian

30 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

yang luar biasa bagi yang

menyebutkan.

Misalnya,

“Enti niri ku lah a, sangkan lembide

kahe ko”

(Jangan mandi ke tengah, nanti

kamu dilarikan lembide).

(30) Sepah (Memperkosa atau

Berkelahi)

Kata sepah dapat mengarah

pada dua hal yaitu tetang pekelahian

dan hal pornograpi. Kata tersebut

akan tetap menjadi tabu jika

dikatakan dalam konteks dan situasi

apapun karena berkaitan dengan hal

yang tidak pantas diucapkan.

Biasanya orang mengatakan itu

dengan tujuan menakut-nakuti

lawan bicaranya. Jika kata tersebut

diucapkan seorang laki-laki dengan

lawan bicara perempuan berarti

sepah yang dimaksud adalah

memperkosa. Akan tetapi, jika kata

tersebut diucapkan kepada sesama

laki-laki berarti sepah yang

dimaksud adalah melakukan

perkelahian atau serangan.

Misalya,

“Beb ko, ku sepahen baro beteh ko”

(Berani kamu, ku pukul baru tau

kamu.

(31) Nik (Nikah tidak dengan cara

baik-baik)

Dalam masyarakat Gayo kata

nik terdiri dari dua arti. Nik yang

pertama berarti naik sedangkan, ke

dua bermakna pernikahan yang

tidak baik disebabkan oleh

tertangkap mesum atau hamil di

luar nikah. Pernikahan tersebut

dilakukan dengan cara orang tua

anak perempuan meminta

pertangungjawaban kepada pihak

laki-laki. Arti pertama merupakan

kata sehari-hari yang biasa

diucapkan oleh masyarakat Gayo.

Namun, arti kedua merupakan kata

yang sangat dihindari pengucapanya

karena berkaitan dengan

kehormatan keluarga. Kata tersebut

tidak boleh diucapkan saat ada

seseorang yang menanyakan prihal

peristiwa yang terjadi karena jika

itu dikatakan maka pihak keluarga

akan merasa sangat malu berada

dalam lingkungan masyarakat. Oleh

karena itu, untuk menjaga perasaan

keluarga yang mengalami peristiwa

alangkah baiknya kata itu tidak

dikatakan sama sekali. Jika memang

ada yang mempertanyakan hal

tersebut, lebih baik sarankan untuk

menemui pihak yang bersangkutan.

Misalnya,

“Anak ni Mak Pinte o nik kelemne”

(Anak Mak Pinte tadi malam

dinikahkan secara tidak baik-baik).

(32) Micing (Buang Air Besar)

Dalam bahasa Gayo kata

micing berarti buang air besar. Kata

tersebut dapat menjadi tabu saat

sedang menyantap makanan.

Apalagi jika dalam ruangan tersebut

dihadiri tamu atau ada orang yang

sangat dihormati. Jika kata tersebut

terlanjur diucap biasanya akan

mengurangi nafsu makan karena

merasa tidak nyaman lagi bahkan

dapat membuat tamu berhenti

menyantap makanannya.

Misalnya,

“Aku kenak e micing”

(Aku ingin buang air besar).

6) Tabu Sumpah Serapah

(33) Demalah (Demi Allah)

Dalam bahasa Indonesia kata

Demalah dapat diartikan dengan

kata demi Allah. Kata Demalah

sering kali dipakai untuk

meyakinkan seseorang atas

sesuatau. Padahal pada dasarnya

kata tersebut tidak boleh diucapkan

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 31

karena itu sangat berhubungan

dengan tangungjawab manusia

kepada Sang Penguasa. Apalagi

yang dikatakan tidak benar adanya

maka seseorang sudah membohongi

Allah dan mendapat dosa besar.

Misalnya,

“Demalah ku leh, Gere ku cogahi

kam”

(Demi Allah, tidak ku bohongi

kalian).

(34) Berniet (Berniat)

Berniet sebenarnya tidak

boleh diucapkan sebelum sesuatu

itu belum jelas keberadaanya.

Misalnya, seseorang mengatakan

setelah saya menikah saya akan

menjamu anak yatim sebanyak 1000

orang. Padahal dia menikah sekitar

dua sampai tiga tahun setelahnya.

Niat seperti itu sepatutnya tidak

boleh diucapkan sebelum dia

menikah, tetapi bisa diucapkan

setelah menikah. Dalam masyarakat

Gayo sering kali niat yang sudah

lama diniatkan dalam hati akan

terlupakan karena sudah terlalu

lama diniatkan. Padahal niat

semacam itu harus benar dilakukan,

jika tidak akan mendatangkan

penyakit (tube diri) kepada si

pembuat niat. Tube diri berarti

penyakit yang dibuat oleh diri

sendiri. Untuk menghindari Tube

diri maka, sebaiknya niat yang

diucapkan tidak terlampau jauh dari

apa yang ingin dicapai atau bahkan

tidak perlu diucapkan.

Misalnya,

“Ike mujadi anak ku mehne masjid

mi we ku bangun I kampung ni”

(jika anakku semuanya sukses

masjid lagi yang akan ku bangun di

kampung ini).

(35) Benatang (Binatang)

Benatang merupakan makian

dalam masyarakat gayo yang

biasanya diucapkan ketika sedang

marah atau kesal. Benatang sama

saja halnya menyamakan seseorang

dengan binatang. Pengucapan kata

benatang akan tabu jika diarahkan

kepada lawan bicara. Kata benatang

tersebut menjadi tabu karena tidak

sopan dan tidak pantas diucapkan.

Misalnya,

“Benatang memang ko”

(Binatang memang kamu).

(36) Jalang (Liar)

Jalang yang dimaksud dalam

bahasa Gayo sama halnya dengan

kata jalang dalam Bahasa Indonesia

yang berarti liar. Kata tersebut

menjadi tabu karena dianggap tidak

pantas untuk diucapkan. Selain itu,

jalang juga mengarah pada

kelakuan pelacur. Kata biasanya

terlanjur diucapkan karena perasaan

kesal dan marah terhadap sesuatu.

Sering kali kata jalang itu juga

dikaitkan dengan sebutan orang tua.

Minsalnya,

“Jalangni inemu” atau “Jalangni

amamu”

(ibu mu liar) atau (bapak mu liar).

Kata tersebut sungguh tidak

bermanfaat untuk dikatakan dalam

tuturan. Oleh karena itu, seseorang

perlu mengontrol emosi sebaik

mungkin agar tidak terjadi

kesalahan ucapan yang lebih banyak

mudarat dari pada manfaat.

(37) Kafir (Kafir)

Kafir biasanya terlanjur

diucapkan karena melihat tingkah

atau perilaku seseorang yang

tercela. Biasanya masyarakat Gayo

menuturkan itu karena marah dan

kesal. Kemudian perilaku seorang

yang tidak senonoh itu digambarkan

seperti orang kafir. Kata tersebut

32 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

seharusnya tidak boleh diucap

karena tidak sopan dan secara tidak

langsug sudah menghakimi

seseorang layaknya orang kafir.

Misalnya,

“Kafir betul ko”

(Kafir memang kamu).

(38) Pekak (Bodoh)

Pekak menurut bahasa Gayo

berarti bodoh. Kata tersebut sering

kali diucapkan saat seseorang

merasa kesal dan kecewa karena

harapan dan keinginan yang sangat

diharapan dari orang lain tidak

tercapai. Selain itu, Pekak juga

pernah diucap kepada seseorang

yang lalai dalam melakukan

pekerjaan. Misalnya, seorang ibu

menginginkan anaknya meraih juara

di sekolah, tetapi anak tersebut

malah jauh dari harapan ibunya.

Perasaan kesal dan marah ibu

tersebut kepada anak akhirnya

dilampiaskan dengan mengatakan

hal yang buruk.

Misalnya,

“Beta pekak ke leh ko”

(segitu bodohnya kok kamu).

Kata tersebut tidak boleh

dikatakan sama sekali karena

dipercaya dapat menjadi benar-benar

nyata atau dalam istilah Gayo

disebut tunung cerak.

(39) Udel (Sangat bodoh)

Udel sama halnya seperti

Pekak. Hanya saja, Udel berarti

orang yang sangat bodoh. Kata

tersebut juga sering kali diucapkan

jika sesuatu yang diharapkan tidak

tercapai. Udel juga menjadi

ungkapan kemarahan seseorang

karena malu dan mengecewakan.

Kata tersebut sebenarnya tidak

boleh ditujukan kepada lawan

bicara karena dapat menyingung

perasaan dan menyakitinya. Apalagi

jika seorang ibu mengatakan kata

tersebut kepada anaknya. Perkataan

ibu tersebut dianggap sebagai do’a

kepada Tuhan dan apa yang

dikatakan bisa saja terjadi kepada

anaknya (tunung cerak). Misalnya,

“Olok udel ko wen”

(Betul-betul sangat bodoh kamu

anak laki-laki).

(40) Durel (Bodoh keterlaluan)

Kata durel juga memiliki arti

yang sama dengan pekak dan udel.

Namun, makna kata durel melebihi

kata yang sebelumnya dijelaskan

dengan kata lain kata tersebut

memiliki arti bodoh yang sangat

keterlaluan. Ketiga kata tersebut

bahkan sering dikatakan sekaligus

saat sesorang sedang merasa kesal

dan marah yang luar biasa.

Misalnya, “durel memang ko”

(bodoh sekali memang kamu)

Padahal kata tersebut sama sekali

tidak boleh diikatakan karena

berkaitan dengan perkataan buruk.

Jika kata itu diucapkan pada lawan

bicara maka, akan membuatnya

merasa tersinggung bahkan bisa

berujung pada perkelahian secara

fisik atau adu mulut.

(41) Dangkalen (Nakal

ketelaluan)

Dangkalen berarti bandel

yang luar biasa. Kata tersebut dapat

menjadi tabu jika diucapkan oleh

ibu-ibu hamil. Ibu hamil sebenarnya

harus menghindari semua kata yang

bermakna buruk karena diyakini

dapat menurun kepada anak yang

dikandungnya termasuk kata

dangkalen.

Misalnya,

“Anak sahen key a dangkalen di”

(Anak siapakah itu bandel sekali).

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 33

Pembahasan

Konsep tabu dalam masyarakat Gayo

dikenal dengan istilah sumang. Jika dikaji ke

dalam makna harfiah Indonesia kata sumang

sama dengan kata sumbang yang berarti

melanggar adat, kurang sopan, atau janggal.

Jika dikaji lebih dalam lagi kata sumang

tersebut diartikan sebagai peraturan yang

bebentuk larangan oleh masyarakat Gayo.

Oleh karena itu, segala bentuk larangan

yang tertera dalam kajian sumang tidak

boleh dilanggar dan harus dihindari. Pada

dasarnya sumang dibagi menjadi empat

golongan besar yaitu sumang penengonen

(peraturan larangan dalam penglihatan,

sumang pelangkahen (peraturan larangan

dalam perlangkahan atau perjalanan),

sumang kenonolen (peraturan larangan

dalam posisi duduk) dan sumang peceraken

(peraturan larangan dalam berbicara).

Berkaitan dengan hal ini, maka bahasa tabu

disebut juga sebagai sumang peceraken

yakni berkaitan dengan apa yang diucapkan

baik itu dalam bentuk kata, frasa, atau

kalimat.

Pertama, kata tabu yang berkenaan

dengan nama orang. Dalam masyarakat

Gayo tabu semacam ini sangat erat kaitanya

dengan sistem sapaan kakerabatan. Sapaan

kekerabatan dalam masyarakat Gayo

dipandang sebagai salah satu adat yang perlu

dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan.

Oleh karena itu, pelanggaran atau kesalahan

dalam penyebutan kata sapaan dipandang

sebagai hal yang tabu dan tidak dapat

ditoleransi karena merupakan pelanggaran

adat. Kata sapaan kekerabatan dalam

masyarakat Gayo dengan dengan sebutan

tutur atau petalun. Tutur yang dimaksud

bukan arti tutur dalam bahasa Indonesia

yaitu megucapkan atau mengujarkan kata.

Akan tetapi, tutur berarti sistem panggilan

kekerabatan Gayo. Orang yang melakukan

kesalahan dalam bertutur biasanya akan

dicap sebagai orang yang tidak tau tutur

(gere betih tutur). Jika kata tersebut sampai

dilontarkan kepada penutur asli Gayo, itu

termaksud penghinaan yang akan membuat

penutur akan merasa malu.

Berdasarktan analisis data yang

sebelumnya dipaparkan ditemukan beberapa

kata tabu terkait sapaan atau panggilan nama

orang dalam masyarakat Gayo yang harus

dihindari penyebutannya yaitu, (1)

penyebutan nama asli sesorang yang

memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan.

Bagi seseorang yang memiliki jabatan

tinggi, penyebutan panggilan dianggap

sesuatu hal yang sangat penting karena

dipandang sebagai bentuk rasa hormat

seseorang kepadanya. Jika pelanggaran

sapaan itu terjadi, mereka merasa tidak lagi

dihargai dan dihormati oleh masyaraktanya.

(2) penyebutan nama asli orang yang

memiliki sapaan kekerabatan atau

berhubungan darah.

Kedua, tabu berkaitan dengan nama

binatang. Dalam masyarakat Gayo nama

binatang tertentu bahkan bisa menjadi

dilarang pengucapanya secara langsung.

Larangan tersebut sebenarnya berkaitan

dengan kepercayaan masyarakat terhadap

mitos-mitos yang tumbuh di zaman dulu.

Nama binatang tersebut dilarang diucap

karena diyakini dapat menimbulkan

ketakutan dan kengerian yang luar biasa

bagi si penutur. Namun, mitos semacam itu

di masa sekarang tidak lagi begitu diyakini

oleh sebagian masyarakat Gayo mengingat

pola pikir masyarakat yang sudah berbeda.

Oleh karena itu, banyak generasi yang baru

tumbuh tidak banyak mengetahui nama

biantang tersebut dilarang untuk diucapakan

karena dianggap remeh dan bukan susuatu

hal yang penting.

Ketiga, kata tabu yang berkaitan

dengan menyebut anggota tubuh. Menyebut

anggota tubuh tertentu menjadi tabu untuk

diucapkan karena tidak pantas dan tidak

sopan untuk diucap. Dalam masyarakat

Gayo kata yang mengarah pada anggota

badaniah tertentu diangap tidak pantas sama

34 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

sekali diucapkan dalam konteks dan situasi

apapun karena dapat membuat orang yang

mendengar atau mengucapkanya

memikirkan bahkan berbuat hal-hal kotor

yang mengarah ke hal yang bersifat

pornografi.

Keempat, tabu yang berkaitan

dengan menyebut nama penyakit. Penyakit

yang dialami seseorang bukanlah sesuatu

yang diminta atau diinginkan. Oleh karena

itu, sebagian penyakit yang dialami

seseorang dapat menjadi aib baginya karena

menjijikan atau sebagainya. Penyebutan

sebagain nama penyakit diyakini dapat

tertular dan bisa menyingung perasaan

penderitanya.

Kelima, tabu berkaitan dengan kata-

kata tertentu. Kata-kata tertentu yang

dimaksud berkaitan dengan hal yang bersifat

mistis atau gaib. Selian itu kata tertentu

tersebut juga berkaitan dengan aktivitas-

aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari.

Alasan ketabuan kata tersebut pun

bermacam-macam. Bisa karena ketakutan

terjadi sesuatu, kenyamana, bahkan tingkat

kesopananya.

Keenam, tabu yang berkaitan dengan

sumpah serapah yaitu terdiri dari makian

dan kutukan. Kata makian merupakan kata

tabu yang sering kali tidak dapat dihindari

pengucapanya oleh masyarakat Gayo. Kata

makian tersebut bahkan sudah menjadi

santapan sehari-hari. Setiap harinya pasti

ada saja orang yang mengatakan kata

tersebut. Seseorang sering sekali tidak sadar

dengan apa yang dia ucapkan karena

dorongan psikologis emosinya yang kurang

terkontrol. Tabu sejenis ini juga berkaitan

dengan pelampiasan emosi seseorang

terhadap sesuatu.

Pendeskripsian alasan yang

melatarbelakangi keseluruhan kata yang

menjadi tabu dalam Masyarakat Gayo yang

sebelumnya dijelaskan dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel. 4.2 Kata Tabu Berdasarkan Alasan

Terjadinya Kata Tabu

Taboo of

fear

Taboo

of

delicac

y

Taboo of

propriety

Perinta

h

Agama

Kule Perasi

n

Reje kampung Ama

Gajah Buduk Banta Ine

Tikus Supak Inen mayak Demala

h

Mutube Tongke

k

Aman mayak

Lembide Busun

g

Peraman/perin

en

Berniet Nik Rawan

Dangkal

en

Micing Banan

Kil-Ibi

Pun-Mak Pun

Cik-Mak Cik

Lakun

Ume

Asu

Utuh

Tenek/etet

Kesut

Sotot

Sepah

Binatang

Jalang

Kafir

Pekak

Udel

Durel

Simpulan

Berdasarkan data hasil penelitian

yang didapatkan, dapat diambil kesimpulan

bahwa pengolongan bahasa tabu dalam

masyarakat Gayo di Bener Meriah terdiri

dalam enam gelongan besar. Kata tabu yang

ditemukan berkaitan dengan tabu menyebut

nama diri 15 kata, tabu menyebut nama

Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 35

binatang 4 kata, tabu menyebut nama

anggota tubuh 6 kata, tabu menyebut nama

penyakit 4 kata, tabu menyebut kata-kata

tertentu 6 kata dan tabu menyebut sumpah

serapah 9 kata. Secara keseluruhan kata tabu

yang ditemukan adalah 41 kata.

Saran Berdasarkan hasil analisis data yang

dilakukan mengenai bahasa tabu dalam

masyarakat Gayo di Kabupaten Bener

Meriah peneliti memberi saran agar

masyarakat khususnya Gayo dapat

menghindari bahasa tabu di dalam betutur

agar tidak terjadi hal-hal yang dapat

merugikan diri sendiri, masyarakat, bangsa,

bahkan negara.

Daftar Pustaka

Affini, Laily, Nur. 2001. Analisis Kata Tabu

dan Klasifkasinya dalam Lirik Lagu

Eminem pada Album The Marshal

Mathers LP. Jurnal Kajian

Kebahasaan, Kesusatraan dan Budaya.

Volume 7, Nomor 1 Halaman: 95

Almos, Rona. 2009. Makna Pantang dalam

Bahasa Minangkabau. Jurnal Linguistik

Kultural. Volume 9, Nomor 2 Halaman:

241-260.

Chaer, Abdul. 2006. Linguistik Umum.

Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Emzir. 2013. Metodolog Penelitian

Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrapindo

Persada.

Hamidiyah, Husnul. 2013. Tuturan Tabu

dalam Film Jepang tentang Remaja.

Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra dan

Pembelajaranya. Volume 1, Nomor 1,

Halaman 54.

Jannah, Aimadul dkk. 2017. Bentuk dan

Kata Makian di Terminal Purabaya

Surabaya. Jurnal Ilmiah Fenomena.

Volume 4, Nomor 2, Halaman 48-49.

KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI). [online] Available

at:http/kbbi.web.id/pasca-.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa.

Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.

Moleong, Lexsy J. 2007. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik.

Jakarta: Kesaint Blanc.

Rahardi, Kunjana. 2003. Perkenalan dengan

Ilmu Bahasa Pragmatik. Yogyakarta:

Dioma.

Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik.

Yogyakarta: Erlangga.

Ristanto, dkk. 2012. Tabu dalam Bahasa

Baku. Antologi Hasil Penelitian Bahasa

dan Sastra. Cetakan Pertama.

Rosikh, Fahrur. 2014. Eufemisme dan Tabu

dalam Bahasa Arab. Jurnal Ummu Qura.

Volume 6, Nomor 2, Halaman 81-83.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metode Penelitian

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutarman. 2013. Tabu Bahasa dan

Eufemisme. Surakarta: Yuma Pustaka.

36 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019

Triadi, Bagus Rai. Penggunaan Makna

Bahasa Indonesia pada Media Sosial

Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Sasindo

Unpam. Volume 5, Nomor 2, Halaman

:4.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2002.

Majas dan Pembentukanya. Jurnal

Makara Sosial Humaniora. Volume 6

(2):49