Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab ...
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 17
BAHASA TABU DALAM MASYARAKAT GAYO
DI KABUPATEN BENER MERIAH
oleh
Silfita Yani*, Rajab Bahry**, & Ramli**
Email:[email protected].,[email protected].,
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener
Meriah”. Masalah dalam penelitian ini adalah apa saja kata tabu dilihat dari pengolongan dan
konteks saat menuturkanya dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah. Tujuan
penelitian untuk mendeskripsikan apa saja bahasa tabu dalam masyarakat Gayo di Kabupaten
Bener Meriah. Sumber data penelitian adalah masyarakat penutur Gayo yang ditunjuk sebagai
informan. Teknik pengumpulan data yang diambil adalah teknik simak libat cakap catat dan
rekam sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan mengelompokan data ke dalam kategori
penggolongan bahasa tabu kemudian ditemukan jumlah bahasa tabu secara keseluruhan dan
jumah kata tabu dalam setiap katagori dalam Masyarakat Gayo di Kabupaten Bener Meriah.
Setelah analisis data dilakukan, ditemukan hasil akhir penelitian yaitu keseluruhan kata 41 kata
tabu, terdiri dari (1) tabu menyebut nama orang 15 kata, (2) tabu menyebut nama binatang 4
kata, (3) tabu menyebut nama anggota tubuh 3 kata, (4) tabu menyebut nama penyakit 4 kata, (5)
tabu menyebut kata-kata tertentu 6 kata, dan (5) tabu menyebut sumpah serapah 9 kata.
Kata Kunci: Masyarakat Gayo, Bahasa Tabu
This research is entitled "Tabu Language in the Gayo Society in Bener Meriah Regency".
The problem in this research is what taboo words are seen from the help and context when
speaking in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The research objective is to describe
what is taboo language in the Gayo community in Bener Meriah Regency. The source of
research data is the Gayo-speaking community appointed as informants. The data collection
technique taken is the technique of referring skillfully to record and record while the data
analysis technique is done by grouping data into categories of taboo language classification and
then found the number of taboo languages as a whole and taboo words in each category in the
Gayo Community in Bener Meriah Regency. After the data analysis was carried out, the final
results of the study were found, namely all 41 words taboo, consisting of (1) taboo mentioning
15 words, (2) taboo mentioning 4 word animal names, (3) taboo names of 3 words, ( 4) taboo
mentions the name of the disease 4 words, (5) taboo refers to certain words 6 words, and (5)
taboos call expletives 9 words.
Keywords: Gayo Society, Tabu Language.
18 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
Pendahuluan
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Hal itu berkaitan
dengan posisi manusia sebagai makhluk
sosial. Interaksi yang terjadi antarmanusia
menggunakan bahasa sebagai prantaranya.
Bahasa yang juga berfungsi sebagai sarana
komunikasi digunakan baik antarindividu
maupun antarkelompok manusia. Oleh
karena itu, wajarlah bahwa bahasa menjadi
potensi utama yang harus dikuasai setiap
individu. Menurut Chaer, (2006:1) bahasa
adalah lambang bunyi arbitrer yang
digunakan oleh suatu kelompok masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi,
berkomunikasi dan mengidentifikasi diri.
Bahasa yang digunakan biasanya
dapat mengambarkan bentuk prilaku sosial
individu atau kolompok individu. Pada
dasarnya, satu kata dalam bahasa dapat
menjadi benar dalam kelompok masyarakat
A, tetapi dapat dipandang salah dalam
kelompok masyarakat B. Penomena
semacam itu disebut sosiopramatik
(sosiolinguistik dan pragmatik). Menurut
Chaer (2010:4), sosiolinguistik adalah
cabang ilmu linguistik yang bersifat
interdisipliner dengan ilmu sosiologi dengan
objek penelitian hubungan antara bahasa
dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu
masyarakat tutur. Selanjutnya, Menurut Mey
1993 (dalam Rahardi 2003:15), pragmatik
adalah ilmu bahasa yang mempelajari
pemakaian atau penggunaan bahasa yang
pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh
konteks situasi tutur di dalam masyarakat
dan wahana kebudayaan yang mewadahi
dan melatarbelaknginya. Maka, dapat
disimpulkan bahwa kajian sosiopragmatik
ini berkaitan erat dengan penggunaan bahasa
suatu kelompok masyarakat dan
pengaruhnya dengan konteks saat terjadinya
tindak tutur.
Bahasa tabu adalah kata yang
dilarang atau tidak sepatutnya diucapkan.
Bahasa tabu menjadi satu hal yang harus
dihindari dalam pengunaan bahasa (tidak
boleh digunakan). Setiap bahasa pasti
terdapat kata atau hal yang menjadi larangan
untuk diucapan bahkan dilakukan. Kata tabu
antara bahasa yang satu dengan bahasa lain
juga tidak pernah sama persis karena
biasanya hal tersebut bergantung dengan
konteks penututran, adat istiadat, dan
kepercayaan masyarakat penutur bahasa itu
sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kelima (KBBI:V) tabu
adalah hal yang tidak boleh disentuh,
diucapkan, dan sebagainya kerena berkaitan
dengan kekuatan supernatural yang
berbahaya (ada resiko kutukan).
Masyarakat Gayo atau suku Gayo
adalah kelompok etnik yang mendiami
provinsi Aceh. Penutur mayoritas bahasa
Gayo itu sendiri tersebar dalam tiga
kabupaten besar yaitu Kabupaten Bener
Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, dan
Kabupaten Gayo Lues. Kabupaten Bener
Meriah merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Aceh Tengah dengan jumlah
penduduk tersebar dalam sepuluh
kecamatan yaitu Kecamatan (1) Timang
Gajah yang terdiri atas 30 kampung, (2)
Gajah Putih yang terdiri atas 10 kampung,
(3) Pintu Rime Gayo yang terdiri atas 23
kampung, (4) Bukit yang terdiri atas 40
kampung, (5) Wih Pesam yang terdiri atas
27 kampung (6) Bandar yang terdiri atas 35
kampung, (7) Bener Kelipah yang terdiri
atas 12 kampung, (8) Syiah Utama yang
terdiri atas 14 kampung, (9) Mesidah yang
terdiri atas 15 kampung, dan (10) Permata
yang terdiri atas 27 kampung (BPS Bener
Meriah 2018).
Berdasarkan paparan di atas, maka
peneliti ingin melihat apa saja pengolongan
bahasa tabu dalam masyarakat Gayo di
Kabupaten Bener Meriah jika dillihat
berdasarkan konteks saat menuturkanya.
Ketertarikan peneliti terhadap topik
penelitian adalah rasa ingin tahu peneliti
yang begitu besar terhadap bahasa tabu
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 19
dalam bahasa Gayo yang juga merupakan
bahasa ibu peneliti. Ketertarikan tersebut
juga didasari atas penomena yang terjadi
dalam masyarakat Gayo sendiri yaitu
minimnya pengetahuan masyarakat terhadap
kata tabu jika dilihat berdasarkan konteks
saat menuturkanya. Selain itu, berdasarkan
hasil penelusuran peneliti, penelitian dengan
subjek bahasa, Bahasa Gayo belum pernah
dilakukan penelitan mengenai bahasa tabu.
Berdasarkan uraian di atas, yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apa saja kata tabu dilihat dari
pengolongan dan konteks saat menuturkanya
dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener
Meriah ?.
Sesuai dengan rumusan masalah
yang dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan penggolongan
bahasa tabu dalam masyarakat Gayo dilihat
dari konteks saat menuturkanya di
Kabupaten Bener Meriah.
Manfaat dari penelitian ini berupa
manfaat praktis dan teoretis. Manfaat praktis
diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan
informasi tambahan untuk menghindari
terjadinya pengucapan bahasa tabu dalam
berinteraksi, khusunya bagi penutur bahasa
Gayo di Kabupaten Bener Meriah.
Selanjutnya, manfaat teoretis diharapkan
mampu memberikan kontribusi dan
sumbangan ilmu dalam kajian linguistik
serta dapat dijadikan rujukan untuk
penelitan lain yang serupa.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan jenis penelitian
deskriptif. Menurut Moleong (2007:4)
metodologi kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Dalam
penelitian kualitatif ini, peneliti harus
mampu menjadi istrumen kunci dalam
mengembangakan uraian atau informasi
topik penelitian. Menurut Sugiyono, (2011:
223) dalam penelitian kualitatif, instrumen
utamanya adalah peneliti sendiri, namun
setelah fokus penelitian menjadi jelas,
kemungkinan akan dikembangkan instrumen
penelitian sederhana. Oleh karna itu,
Kecakapan dan ketelitian peneliti dalam
mencari data di lapangan dapat dijadikan
tolak ukur dalam pelaporan penelitian yang
akan dibuat setelahnya.
Jenis penelitian deskriptif
menekankan pada pengambaran suatu objek
secara jelas dan dituangkan dalam bentuk
tulisan. Menurut Sukardi (2003:163),
penelitian deskriptif yaitu metode penelitian
yang berusaha menggambarkan objek atau
subjek yang diteliti sesuai apa adanya,
dengan tujuan menggambarkan secara
sistematis fakta dan karakteristik objek yang
diteliti secara tepat. Di samping itu, Genzuk
(dalam Emzir, 2013:174) menambahan,
deskriptif dapat ditulis dalam bentuk narasi
dengan tujuan melengkapi gambaran
menyeluruh tentang apa yang terjadi dalam
aktivitas atau peristiwa yang dilaporkan.
Sumber data dalam penelitian ini
diperoleh dari informan yang telah
ditetapkan di lokasi penelitian yaitu
Kecamatan Bukit, Kecamatan Wih Pesam
dan Kecamatan Permata. Menurut Mahsun
(2005:135), pada setiap daerah penelitian
dibutuhkan paling sedikit tiga orang
informan. Berdasarkan pendapat tersebut,
maka peneliti akan memilih 3 orang dari
setiap kecamatan sebagai informan. Jumlah
informan seluruhnya terdiri dari 9 orang.
Kriteria orang yang dapat dijadikan
informan dalam penelitian Bahasa menurut
Mahsun (2005:135), adalah sebagai berikut.
1) Berjenis kelamin pria dan wanita
2) Berusia antara 25-65 tahun (tidak
pikun)
3) Orang tua, istri atau informan lahir dan
dibesarkan di desa tersebut serta tidak
atau jarang pindah dari desanya serta
20 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
jarang atau tidak pernah meninggalkan
desanya
4) Bependidikan maksimal tamat
pendidikan dasar (SD-SLTP)
5) Berstatus sosial menengah (tidak
rendah atau tidak tinggi)
6) Pekerjaannya tani atau buruh
7) Memiliki kebanggaan terhadap
isoleknya
8) Dapat berbahasa Indonesia
9) Sehat jasmani dan rohani
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik
simak, libat cakap dan catat. Teknik simak
adalah teknik yang dilakukan dengan cara
menyimak pengunaan bahasa yang
sesungguhnya. Teknik cakap merupakan
teknik penyedian data yang dilakukan
dengan cara mengadakan percakapan.
Metode libat cakap ini juga sering disebut
metode wawancara atau interview.
Selanjunya, metode catat merupakan metode
lanjutan yang akan dilakukan dengan cara
mencatat (dalam Rahardi 2009:33). Untuk
menghindari kisalapan dalam penulisan
maka teknik rekam juga akan dilakukan
secara bersamaan.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data
yang akan dilakukan peneliti adalah sebagai
berikut.
1) Peneliti terlebih dahulu menyiapkan
alat atau perlengkapan yang diperlukan
untuk wawacaran yaitu lembar
wawancara, alat tulis dan perekam.
2) Menemui informan yang sudah dipilih
di lapangan. ,,
3) Mencatat biodata informan di lembar
wawancara yang sudah disediakan.
4) Alat perekam di aktifkan kemudian
peneliti memulai wawancara dengan
informan dan melontarkan beberapa
pertanyaan yang sudah disediakan.
5) Menanyakan satu demi satu pertanyaan
sampai selesai (setelah peneliti selesai
membaca satu pertanyaan maka
informan langsung memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut).
6) Mencatat informasi berupa jawaban
dari informan di lembar yang
disediakan.
7) Menutup wawancara setelah semua
pertanyaan dijawab oleh informan dan
mematikan alat perekam yang
sebelumnya dihidupkan.
Analisi data adalah kegiatan
mengelompokan data dalam satu tataran
yang sama. Analisis data dilakukan setelah
data yang dibutuhkan terkumpul. Langkah-
langkah analisis data dalam penelitian ini
dapat dirincikan sebagai berikut.
1) Peneliti menyatukan semua data yang
didapat dari 9 informan.
2) Peneliti mengelompokan kata ke dalam
penggolongan bahasa tabu.
3) Peneliti mendesripsikan kata bahasa tabu
yang didapat.
4) Peneliti mengambil kesimpulan berapa
kata yang ada dalam setiap pengolongan
kata tabu yang ada dalam masyarakat
Gayo di Kabupaten Bener Meriah.
Hasil Penelitian
Setelah analisis data dilakukan,
ditemukan hasil akhir peneltian yaitu
sebagai berikut.
Tabel 4.1 Pengolongan Bahasa Tabu
Masyarakat Gayo di Bener Meriah
No Kata Tabu Pengganti Kata
(Eufemisme)
Tabu Menyebut Nama Orang
1. Ama Reje/ Reje
Kampung
Geucik
2. Banta Sekertaris Desa
3. Ine -
4. Ama -
5. Aman Mayak -
6. Inen Mayak -
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 21
7. Peraman/perinen
(Aman/Inen )
Aman/Inen Nuwin
atau Aman/Inen
ipak
8. Perasin Oteh, Item, Onot
9. Rawan Merjak
10. Banan Nomang
11. Kil- Ibi -
12. Cik- Mak Cik -
13. Pun- Mak Pun -
14. Lakun Peraman/Perinen
15. Ume -
Tabu Menyebut Nama Binatang
16. Kule Pake Regom
17. Gajah Reje
18. Tikus -
19. Asu -
Tabu Menyebut Nama Anggota Tubuh
20. Utuh -
21. Tinik/ Etet -
22. Kesut -
Tabu Menyebut Nama Penyakit
23. Buduk -
24. Supak
25. Tongkek -
26. Busung -
Tabu Menyebut Kata-kata Tertentu
27. Sotot -
28. Mutube Minih
29. Lembide -
30. Sepah -
31. Nik -
32. Micing -
Tabu Sumpah Serapah
33. Demalah -
34. Berniet -
35. Benatang -
36. Kafir -
37. Jalang -
38. Pekak -
39. Udel -
40. Durel -
41. Dangkalen -
Pendeskripsian lebih rinci mengenai
kata tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tabu Nama Orang
(1) Ama reje (Geucik Kampung)
Ama reje atau reje kampung
merupakan seseorang yang
memiliki jabatan tinggi dalam
daerah dan termasuk orang yang
sangat dihormati. Ama berarti bapak
dan reje berarti raja. Ama reje
dapat diartikan sebagai geucik atau
Pak RT
Ama Reje biasanya dipakai
dan disebutkan dalam acara formal
seperti acara adat pernikahan,
sedangkan sebutan reje kampung
dipakai dalam kehidupan sehari-
hari. Sebutan tersebut harus dipakai
dan dipertahankan selama ia masih
menjabat. Oleh karena itu, nama
asli orang yang menjabat menjadi
Reje Kampung tidak boleh lagi
diucapkan dalam tuturan karena
dianggap tidak sopan dan tidak lagi
menghormati beliau.
Misalnya,
“Ara ke Pak Amir i kantoro seni?”
(Adakah Pak Amir di kantornya
sekarang?).
Kata tersebut menjadi tabu
karena sudah menyebut nama asli
Pak Geucik. Kalimat yang lebih
tepat diucapkan adalah “Ara ke Pak
Geucik i kantoro seni?“ (Adakah
Pak Geucik di kantornya
sekarang?), atau “Arak ke Pak
Geucik Amir I kantoro seni?”
(Adakah Pak Gaucik Amir di
kantornya sekarang?).
(2) Banta (Sekertaris Kampung)
Banta disebut juga sekertaris
desa. Posisi Banta berada di bawah
naungan Reje Kampung artinya
Banta juga merupakan orang yang
dianggap penting dan dihormati.
Nama asli yang menjabat sebagai
22 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
Banta juga tidak boleh disebutkan
dalam tuturan karena akan
mengurangi rasa hormat seseorang
kepada beliau.
Misalnya,
“Urusen suret ta laporen nye ku
Pak Budi o”
(Urusan surat itu laporkan saja terus
ke Pak Budi).
Kalimat tersebut menjadi
kurang sopan karena menyebut nama
asli Banta. Kalimat yang lebih tepat
diucapkan adalah “Urusen suret ta
laporen nye ku Pak Sekertaris o”
(urusan surat itu laporkan saja ke Pak
Sekertaris) atau “Urusen suret ta
laporen nye ku Pak Sekertaris Budi
o” (Urusan surat itu laporkan saja
terus ke Pak Sekertaris Budi).
(3) Ine (Ibu)
Orang tua merupakan orang
yang sangat dihormati dalam
keluarga. Seorang anak harus
mampu menjaga sikap dan bicara
kepada kedua orang tuanya karena
jika tidak dia akan menjadi anak
durhaka. Panggilan untuk Ibu
misalnya, dalam masyarakat Gayo
panggilan untuk ibu adalah Ine,
walaupun sebagianya ada yang
menyebut Mamak. Masyarakat
Gayo menganggap sebutan Ine lebih
mulia dibandingkan Mamak. Oleh
karena itu, panggilan Ine sangat
dipertahankan oleh masyarakat
Gayo. Hal yang menjadi tabu adalah
menyebut nama asli mamak secara
langsung.
Misalnya,
“Engi orom aku anak ni Salma”
(adik dan aku anaknya Salma).
Jika kalimat seperti itu
diucapkan oleh sesama anak mereka
dengan tujuan mengejek atau
semacamnya, itu akan menjadi tabu.
Kalimat yang lebih tepat diucapkan
adalah “Engi orom aku anak ni Ine”
(Adik dan Aku adalah anak Ibu).
(4) Ama (Ayah)
Ama diartikan juga sebagai
ayah. Sama halnya seperti sebutan
Ine, dalam masyarakat Gayo
sebutan Ama dianggap lebih mulia
dari pada bapak. Oleh karena itu,
sebutan Ama harus bisa dipertahan
dan dilestarikan oleh masyarakat
Gayo. Seorang anak pun tidak boleh
memanggil sembarang sebutan ayah
atau ibu jika sudah ditetapkan
sesuai adat yang berlaku dalam
masyarakat. Apalagi, sampai
memanggil ayahnya dengan nama
asli yang dimiliki sang ayah, Jika
hal tersebut terjadi ia akan dicap
sebagai anak durhaka bahkan dapat
dikucilkan dalam masyarakat
karena dianggap tidak wajar. Oleh
karena itu, memanggil orang tua
dengan nama aslinya menjadi hal
yang harus dihindari agar tidak
terjadi malapetaka atau musibah
lainnya.
Minsalnya,
“Aku anak ni Samran”
(Aku anaknya Samran)
Kalimat tersebut menjadi
tabu karena mengucapkan nama asli
ayah. Kalimat yang lebih tepat
diucapkan adalah “Aku anak ni
Ama” (aku anaknya bapak).
(5) Inen Mayak (Pengantin Perempuan)
Inen Mayak diartikan juga
sebagai pengantin wanita. Dalam
masyarakat Gayo jika seseorang
sudah menikah disebut juga Mayak.
Sebutan Inen Mayak dipakai sampai
mereka sudah mendapat
momongan. Jika mereka sudah
memiliki keturunan sebutan Inen
Mayak tidak lagi dipakai dalam
koteks apapun, tetapi jika belum
memiliki momongan panggilan itu
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 23
harus dipakai dalam konteks apa
pun, sekali pun pasangan tersebut
sudah menikah berpuluh-puluh
tahun lamannya. Oleh karena itu
sebutan Inen Mayak harus dipakai
setelah akad nikah dilakukan. Tidak
boleh lagi seorang pengantin
dipanggil dengan nama aslinya
sendiri melainkan dengan sebutan
Inen Mayak.
Misalnya,
“Salmi ne isi nge?”
(Salmi tadi dimana sudah?)
Kalimat tersebut menjadi
tabu karena masih memanggil nama
asli dari penganti. Kalimat yang
lebih tepat diucapkan adalah “Inen
Mayak ne isi nge” (Penganti wanita
tadi dimana sudah?)
(6) Aman Mayak (Pengantin Laki-laki)
Aman Mayak diartikan juga
sebagai pengantin pria. Sama
halnya seperti sebutan Inen Mayak,
sebutan Aman Mayak juga didapat
setelah ijab kabul dilakukan.
Pemakaian sebutan ini pun
berlangsung sampai ia memiliki
keturunan. Sebutan ini berlaku
kepada semua kalangan, baik anak-
anak, remaja bahkan orang tua
sekali pun harus menyebutnya
dengan sebutan Aman Mayak. Tidak
boleh dan dilarang menyebut atau
memanggil nama asli penganti baru
saat memanggilnya karena hal
tersebut sangat berkaitan dengan
adat dalam masyarakat Gayo. Jika
dilakukan atau dilanggar dianggap
melanggar adat dan dicap sebagai
orang yang tidak tau adat dan sopan
santun.
Misalnya,
“Kune keber ni Ridho ne?”
(Bagaimana kabar Si Ridho?)
Kalimat tersebut menjadi
tabu karena masih memanggil nama
aslinya. Kalimat yang lebih tepat
digunakan dalam konteks ini adalah
“Kune keber ni Aman Mayak ne?”
(Bagaimana kabar pengantin pria?).
(7) Peraman/perinen (Sebutan untuk
orang yang sudah memiliki anak)
Masyarakat Gayo
mengartikan Peraman/perinen
sebagai sebutan untuk seseorang
yang sudah memiliki anak.
Peraman/perinen merupakan
pengalihan sebutan dari Inen Mayak
dan Aman Mayak. Sebutan tersebut
berkaitan dengan nama anak
pertama. Misalnya, ibu Aminah
melahirkan anak pertamanya dan
diberi nama Lukman. Maka,
sebutan Peraman suami ibu Aminah
adalah “Aman Lukman” (Bapak
Lukman) sedangkan sebutan
Perinen ibu Aminah sendiri adalah
Inen Lukman (Ibu Lukman). Selain
itu, Peraman/perinen lain yang
dapat diucap berkaitan dengan jenis
kelamin anak pertama. Misalnya,
seorang ibu melahirkan anak
pertama berjenis kelami laki-laki
maka, Peraman/perinen orang
tuanya adalah Aman Nuwin dan
Inen Nuwin. Sebaliknya, jika
seorang ibu melahirkan anak
pertama berjenis kelamin
perempuan maka Peraman/perinen
orang tuanya adalah Aman Ipak dan
Inen Ipak.
Sebutan Peraman/perinen
tersebut akan tetap sama sampai
mereka tua bahkan jika memiliki
anak kembali. Dalam hal ini, yang
dapat menjadi tabu untuk
disebutkan adalah jika sebutan
tersebut tidak dituturkan secara
benar. Misalnya, mengubah
Peraman/perinen dari nama anak
pertama ke anak ke-dua, ke-tiga
atau selanjutnya. Juga dapat
24 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
menjadi tabu jika nama asli orang
tersebut diujarkan bukan
Peraman/perinen yang sudah
melekat pada dirinya. Jika masih
saja dilanggar biasannya orang
tersebut disebut jengkat (tidak tau
adat)
Misalnya
“Bang Ramlan ne kusi kak?”
(Bang Ramlan kemana kak?)
Kata Ramlan dalam kalimat
tersebut mengacu kepada seorang
laki-laki yang sudah memiliki
anak. Kalimat tersebut menjadi
tabu karena sudah menyebut nama
asli seseorang yang sudah memilki
anak bukan dengan menyebut
Peramanya. Kalimat lain yang bisa
dipakai adalah “Aman Toni ne kusi
kak?” (Bapak Toni kemana kak?).
Toni yang dimaksud mengarah
pada nama anak pertama karena
yang menjadi sebutan unuk
Peraman/Perinen adalah nama
anak pertamnya atau jenis kelamin
anak seperti yang dipaparkan di
atas sebelumnya.
(8) Perasin (Julukan)
Perasin merupakan nama lain
yang dibuat sebagai julukan bahkan
bisa menjadi panggilan tetap untuk
menandai seseorang. Perasin dalam
hal ini biasanya berkaitan dengan
ciri fisik anak minsalnya, Oteh
(putih), Onot (pendek), Item
(hitam), dan lain sebagainya.
Perasin seperti yang diatas tidak
apa-apa jika disebutkan tetapi, yang
menjadi larangan untuk disebutkan
adalah Perasin yang mengarah pada
keburukan si anak. Misalnya,
“Wen degil ne kusi beluh e”
(Anak laki-laki yang nakal
keterlaluan kemana perginya?),
Sebutan semacam itu tidak
boleh dituturkan karena bisa
menjadikan anak tersebut menjadi
seperti yang dijuluki atau dalam
isitilah Gayo disebut juga tunung
cerak (diikuti perkataan).
(9) Rawan (Laki-laki)
Dalam bahasa Gayo Rawan
berarti sebutan untuk laki-laki.
Selain Rawan ada juga yang disebut
Win. Kedua sebutan tersebut
sebenarnya memilki arti yang sama.
Hanya saja, tingkat
kesopanannyalah yang menjadi
perbedaan. Dalam konteks tertentu
sebutan Rawan bisa menjadi
dilarang pengucapanya karena
dianggap kasar. Oleh karena itu,
alangkah baiknya sebutan tersebut
digantikan dengan kata lain yang
lebih sopan. Kata Rawan menjadi
tabu diucapkan saat menyebutkan
jenis kelamin anak bayi yang baru
lahir. Saat seorang ibu melahirkan
seorang anak, biasanya yang
pertama kali ditanyakan adalah jenis
kelamin anak tersebut. Maka dalam
hal ini sebutan untuk anak laki-laki
yaitu Rawan dianggap kasar untuk
menjawab pertanyaan semacam itu.
Minsalnya,
“Kumpuni Mak Romi ne rawan”
(Cucunya Mak Romi laki-laki)
Kalimat tersebut dianggap
kasar karena menyebut kata rawan.
Jadi kalimat lain yang patut
disebutkana adalah “Kumpuni Mak
Romi ne kin Jamu merjak te”
(Cucunya Mak Romi untuk
karyawan membajak sawah kita).
(10) Banan (Perempuan)
Banan sama halnya dengan
ipak yang merujuk pada perempuan.
Perbedaan keduanya ialah, Banan
biasanya ditujukan untuk permpuan
yang lebih tua dari yang bertutur,
sedangkan Ipak ditujukan untuk
perempuan yang lebih muda dari si
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 25
penutur seperti panggilan ayah atau
ibu untuk anak perempuanya, atau
panggilan kakak atau abang untuk
adik perempuanya. Namun, Banan
bisa menjadi tabu jika dikatakan
dalam konteks tertentu. Misalnya,
saat menyebutkan jenis kelamin
anak bayi perempuan tidak boleh
Banan tetapi diganti dengan sebutan
nomang (menanam padi). Jika
sebutan tersebut terlanjur diucapkan
biasanya penutur langsung
memperbaiki kata dengan sebutan
lain yang dianggap lebih sopan.
Minsalnya,
“Anakni lakun te ne banan”
(Anaknya ipar kita perempuan)
Kalimat tersebut dianggap
kasar karena menyebut kata banan.
Jadi kalimat lain yang patut
disebutkana adalah “Anakni lakun ne
pong kin nomang te” (Anaknya ipar
kita kawan untuk menanam padi)
(11) Kil- Ibi (Bibik-Suami Bibik)
Kil- Ibi merupakan sapaan
untuk kekerabatan dalam
masyarakat Gayo. Ibi sebutan untuk
anak perempuan baik kakak atau
adik dari ayah atau ibu, sedangkan
Kil sebutan untuk suami Ibi. Dalam
bahasa Indonesia Ibi dikenal juga
dengan sebutan Bibik dan Kil
berarti suami bibik. Oleh karena itu,
seorang anak harus menyapa adik
atau kakak perempuan dari ayah
atau ibu dengan sebutan Kil- Ibi.
Jika mereka dipanggil dengan
menyebut nama asli tanpa diikuti
sapaan kekerabatan itu adalah hal
yang harus dihindari. Apalagi jika
sapaan tersebut tidak dipakai
dengan benar.
Misalnya,
“Cicik ne hi Bik?
(Paman tadi dimana Bik?)
Menyebut suami dari Ibi
dengan panggilan Pun atau Cik
tersebut adalah hal yang harus
dihindari. Orang yang tidak
menyapa kerabatnya dengan benar
maka dicap sebagai orang yang
tidak tau tutur. Biasanya jika
kesalahan penuturan itu terjadi,
orang yang paham tutur secara
langsung akan menasehati dan
memberitahukan sapaan yang benar
kepada yang melakukan kesalahan.
(12) Cik- Mak Cik (Paman-Istri
Paman)
Dalam masyarakat Gayo Cik-
Mak Cik juga merupakan sapaan
kekerabatan yang harus benar-benar
dipahami agar tidak terjadi
kesalahan sapaan. Cik adalah
sapaan untuk adik atau abang dari
pihak ayah, sedangkang Mak Cik
adalah istri dari Cik. Jika keduanya
tidak diucap secara benar atau
bahkan menyebut nama kerabat
dengan nama aslinya, maka orang
tersebut juga akan dicap sebagai
orang yang tidak tau tutur. Hal
semacam itu juga disebut sebagai
salah satu pantangan yang harus
dihindari oleh masyarakat Gayo.
Pencegahan atas kesalahan tersebut
juga dilakuakan dengan menasehati
si penutur.
(13) Pun- Mak Pun (Paman- Istri
Paman)
Pun merupakan sapaan
kekerabatan yang ditujukan kepada
adik atau abang laki-laki dari pihak
Ibu, sedangkan Mak Pun adalah istri
dari Pun. Seorang anak harus tahu
dan mengerti dalam mengunakan
tuturan agar tidak terjadi kesalahan
dalam menyapa. Hal semacam ini
juga dapat menjadi tabu jika salah
menyebut nama kerabat dengan
nama aslinya atau dengan sebutan
26 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
lain yang bukan sebutanya. Minsal,
seorang ibu memiliki adik laki-laki
yang sudah menikah, tetapi anak
dari ibu tersebut menyebut
kerabatnya dengan sapaan Cik dan
Mak Cik. Sebutan tersebut sudah
salah digunakan karena sebutan Cik
dan Mak Cik adalah sebutan untuk
adik atau abang laki-laki dari pihak
ayah.
(14) Lakun (Ipar)
Lakun adalah panggilan
untuk sesama ipar dari pihak suami
dan istri. Ipar yang dimaksud tidak
hanya sebatas keluarga dekat kedua
pihak. Akan tetapi, keluarga jauh
suami atau istri sekali pun jika
bertemu dengan keluarga suami
atau istri maka harus dipanggil
dengan sebutan Lakun. Kata yang
menjadi tabu dalam hal ini adalah
menyebut nama aslinya. Jika nama
asli ipar tersebut diucapkan tanpa
diikuti sapaan kerabatan Lakun,
orang tersebut akan dicap sebagai
orang yang tidak tau tutur dan
dianggap tidak sopan. Untuk
menghindari penyebutan nama asli
ipar tersebut maka dapat diganti
dengan menyebut Peraman/
Perinennya jika memang ia sudah
menikah. Akan tetapi, jika belum
menikah bisa disebut dengan
menyebut nama asli tapi harus
diikuti sapaan kekerabatan.
Misalnya,
“Kak Raudah ne ara acara lang”
(Raudah ada acara besok)
Kata Raudah dalam kalimat
merujuk kepada nama asli ipar. Oleh
karena itu, kata tersebut sudah
menjadi tabu karena dianggap tidak
sopan. Kalimat perbaikanya adalah
“Kak Lakun Raudah ne ara acara
lang” (Kak Ipar Raudah ada acara
besok).
(15) Ume (Besan)
Ume berarti besan. Sesama
besan dalam masyarakat Gayo
dipanggil dengan sebutan Ume
sedangkan, jika anak-anaknya
memanggil dengan sebutan Mak
Ume (Mamak Besan) dan Pak Ume
(Bapak Besan). Sebutan tersebut
tidak bisa diganti dengan
Peraman/Perinennya atau sebutan
lain. Oleh karena itu, yang menjadi
tabu adalah jika menyebut nama asli
besan tersebut baik itu sesama
besan atau anaknya karena dianggap
tidak sopan dan dipandang tidak
menghargainya.
Misalnya,
“Mak Ume Arami lang ngeh kini”
(Mamak Besan Arami besok datang
ke sini)
Kata Arami dalam kalimat
tersebut menjadi tabu karena sudah
menyebut nama asli besan. Kata
tersebut sebenarnya dapat diubah
dengan menyebut Peraman/Perinen
anak yang dinikahkanya seperti
“Mak Ume Aman Nora lang ngeh
kini” (Mamak Besan Bapak Nora
besok datang ke sini) atau dengan
menyebut tempat tinggal besan
seperti “Mak Ume Ramung lang
ngeh kini” (Mamak Besan Ramung
besok datang ke sini).
2) Tabu Nama Hewan
(16) Kule (Harimau)
Kule artinya harimau.
Masyarakat Gayo menyakini
sebutan kule tidak boleh dikatakan
saat sedang di dalam hutan karena
menimbulkan rasa ngeri dan takut
bahkan mampu membuat harimau
tersebut menghampiri yang
memanggilnya. Jika memang hewan
tersebut harus disebutkan maka
dapat diganti dengan panggilan
Pake Regom.
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 27
Misalnya,
“Arake penge ko leng kule oyane?”
(adakah kamu dengar suara
harimau tadi?)
Kalimat tersebut tidak boleh
diucapkan di dalam hutan karena
menyebut kata kule secara
langsung. Kalimat yang pengganti
yang tepat digunakan adalah “Arake
penge ko leng pake regom a
oyane?” (adakah kamu dengar
suara harimau tadi?).
(17) Gajah (Gajah)
Gajah juga pantang
diucapkan saat sedang di dalam
hutan. Sama hal nya seperti kule,
gajah juga sangat ditakuti oleh
masyarakat Gayo. Ketakutan
mengucapkan gajah juga
dipengaruhi oleh sejarah pada
zaman kerajaan linge di Gayo. Oleh
karena itu, pengganti kata untuk
mengungkakan kata tersebut
dipanggil dengan Reje.
Misalnya,
“Enti kiruh, kahe geh gajah kini”
(Jangan rebut, nanti datang gajah ke
sini).
Kata penganti untuk kalimat
tersebut adalah “Enti kiruh, kahe geh
reje kini”
(18) Tikus (Tikus)
Dalam masyarakat Gayo
binatang Tikus dapat menjadi
pantang diucapkan jika seseorang
sedang berada di sawah. Hal
tersebut dipantangkan karena
keyakinan masyarakat Gayo jika
kata diucapkan maka tikus akan
berdatangan ke sawah. Setiap
hewan tersebut diucapkan maka,
seolah tikus diundang untuk ke
sawah. Oleh karena itu, petani tidak
boleh menyebutkanya saat sedang
bersawah.
Misalnya,
“Nengone nge meh pangan tikus
rom ku ni”
(Kelihatanya padi ku sudah habis
dimakan tikus)
(19) Asu (Anjing)
Dalam masyarakat Gayo Asu
berarti anjing. Asu juga bisa
menjadi pantang jika disebutkan.
Namun, tidak semua konteks
menyebut nama asu menjadi tabu.
Kata asu dapat menjadi tabu jika
ditujukan kepada lawan bicara.
Apalagi jika lawan bicara lebih tua
dari pada kita, kata asu tersebut
bukanlah hal yang sopan untuk
diucapkan. Lebih-lebih lagi jika itu
dilontarkan kepada orang tua
sendiri. Kata tersebut sering kali
disebutkan saat seseorang sedang
merasa kesal atau marah.
Misalnya,
“Asu memang ko jema”
(Anjing memang kamu orang)
3) Tabu Nama Anggota Tubuh
(20) Utuh (Alat Kelamin Laki-
Laki)
Utuh adalah nama bagian
anggota tubuh yang tidak boleh
disebutkan dalam konteks apa pun.
Utuh berarti alat kelamin laki-laki.
Biasanya kata tersebut terlanjur
diucapkan karena pelampiasan
emosi seseorang baik itu rasa kesal,
marah atau semacamnya.
Misalnya,
“Utuh ni amamu ara ke”
(alat kelamin bapak mu ada).
(21) Tenek/etet (Alat Kelamin
Perempuan)
Sama halnya seperti utuh,
tenek/etet juga tidal boleh
diucapkan dalam kontes apapun
karena sama sekali tidak pantas
untuk diucapakan. Tenek/etet berarti
alat kelamin perempuan. Oleh
28 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
karena itu, kata tenek/etet harus
dihindari pengucapanya.
Minsalnya,
“Etet ma jege I ipak”
(Alat kelamin mu dijaga anak
perempuan).
(22) Kesut (Anus)
Kesut merupakan salah satu
anggota tubuh manusia yang tidak
boleh diucapkan. Kata kesut dalam
bahasa Indonesia berarti lubang
anus. Sama halnya seperti nama
anggota tubuh yang dipaparkan
sebelumnya. Kata kesut juga tidak
boleh dikatakan dalam konteks dan
situasi apa pun karena kata tersebut
memang tidak pantas untuk
diucapkan.
Misalnya,
“lagu bau kesut leh” (seperti bau
lubang anus lah).
4) Tabu Nama Penyakit
(23) Buduk (Kusta)
Buduk adalah penyakit yang
sangat menjijikan dan susah untuk
disembuhkan. Pada zaman dulu,
seseorang yang menderita penyakit
ini biasanya diasingkan dari
masyarakat karena diyakini bisa
menular. Jika dikaitkan dengan ilmu
medis penyakit Buduk ini hampir
seperti penyakit kusta. Selain
penyakitnya yang menjijikan
penyebutan nama penyakitnya juga
menjadi dilarang untuk diucapakan.
Jika ada orang yang menanyakan
tentang penyakit tersebut, langkah
yang baik untuk dilakukan adalah
menyuruh si penanya tersebut untuk
melihat atau mengecek sendiri ke
rumah si penderita. Hal tersebut
dilakukan karena ketakutan yang
luar biasa terhadap penyakit yaitu
berupa keyakinan akan tertular.
Misalnya,
“Mupenyakit buduk leh kengon
anita ne”
(Ku lihat Anita ada penyakit kusta)
(24) Supak (Penyakit Kelainan
Kulit)
Supak merupakan salah satu
penyakit kulit yang ditandai dengan
bulatan putih pada seluruh kulit
seperti luka bakar. Penyakit tersebut
biasanya bisa bawaan dari lahir atau
sebab lainya. Masyarakat Gayo
menyakini penyakit susah bahkan
tidak dapat disembuhnkan. Penyakit
tersebut tidak boleh disebutkan
karna dapat menyingung perasaan
penderita jika dia mendengarnya.
Misalnya,
“Anak beru ni Pak Dul o
Musupak”
(Anak gadis Pak Dul terkena
peyakit supak).
(25) Tongkek (Telinga Berair)
Tongkek adalah penyakit
pada telinga yang mengeluarkan
nanah dan berbau amis. Si penderita
penyakit ini biasanya akan malu
jika penyakitnya diketahui banyak
orang karena penyakit ini adalah
penyakit yang menjijikan. Penyakit
tersebut juga dilarang penuturanya
saat sedang dalam situasi
menyantap makanan karena akan
mengurangi napsu makan seseorang
bahkan bisa saja seseorang muntah
saat mendegarnya kerena tidak
sopan dan tidak pantas untuk
diucapakan.
Misalnya,
“Mice di tongkek ni Agus o”
(Jijik sekali nanah yang ada dalam
telinga Agus).
(26) Busung (Busung)
Busung adalah salah satu
penyakit aneh yang diyakni oleh
masyarakat Gayo. Penderita
penyakit busung ini ditandai dengan
membuncitnya perut seseorang
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 29
tanpa sebab, tetapi dan jika
dilakukan pengecekan secara medis
isi dari perut yang membuncit tidak
terlihat (kosong). Penderita penyakit
ini biasanya akan merasa malu jika
penyakitnya diketahui banyak
orang. Masyarakat meyakini
penyakit semacam ini jarang terjadi
dan jikalau pun terjadi pasti karena
penderita pernah melakukan
kesalahan baik dalam hal ucapan
atau perbuatannya. Penyakit ini lah
yang dianggap azab atas
perbuatanya. Oleh karena itu,
pengucapan nama penyakit ini
dilarang diucapan karena berkaitan
dengan aib seseorang.
Misalnya,
“Mak Una o lagu mupenyakit
busung leh kupenge”
(Mak Una sepertinya ada penyakit
busung ku dengar)
5) Tabu Kata-kata tertentu
(27) Sotot (Berhubungan Badan)
Dalam bahasa Gayo kata
Sotot merupakan kata yang harus
dihindari pengucapanya karena kata
tersebut sama sekali tidak patut
untuk diujarkan dalam konteks
apapun. Sotot memiliki arti
berhubungan badan atau dapat
dikatakan sebagai aktivitas seksual.
Orang yang mengatakan hal
semacam itu biasanya akan dicap
sebagai orang cabul.
Misalnya,
“Tengah besotot nengone Aman
Mayak ne”
(Sedang berhubungan badan
sepertinya pengantin laki-laki itu).
(28) Mutube (Peracun)
Mutube adalah pekerjaan
yang dianggap hina dan ditakuti
oleh masyarakat Gayo. Pekerjaan
tersebut berkaitan dengan ilmu jahat
yang dapat merugikan minsalnya,
santet atau semacamnya. Mutube
disebut juga orang yang
menyebarkan racun kepada orang
lain yang tidak disukainya.
Biasanya racun tersebut berbentuk
zambi-zambi yang dibuat dalam
hidangan. Oleh karena itu, kata
mutube sangat dihindari
pengucapanya apalagi jika kita
berada di kampung orang lain. Hal
tersebut perlu dilakukan untuk
menghindarkan diri dari santet si
pemilik ilmu jahat. Masyarakat
meyakini jika si pemilik ilmu jahat
tersebut mendengar kata yang
dimaksutkan, akan menyingungnya
kemungkinan besar dia akan
membalas orang yang menyebutkan
kata itu dengan disantet atau
semacamnya yang dapat merugikan
si penutur.
Misalnya,
“Kebere isen ara jema mutube”
(kabarnya di sini ada orang yang
memiliki ilmu jahat/peracun).
(29) Lembide (Makhluk Gaib)
Bukti sejarah mengenai
lembide memang tidak ditemukan
dalam kehidupan masyarakat Gayo.
Namun, lembide tersebut diyakini
keberadaannya oleh masyarakat
sampai sekarang pun. Lembide
berkaitan dengan hal mistis dan
gaib karena sampai saat ini bentuk
atau rupa lembide sendiri tidak
diketahui seperti apa. Akan tetapi,
bukti yang meyakini keberadaan
lembide terus saja terlihat dengan
adanya korban tengelam tanpa
sebab di danau Laut Tawar. Oleh
karena itu, kata lembide tersebut
menjadi dilarang untuk diucapkan
jika kita sedang berada di sekitaran
danau Laut Tawar karena diyakini
dapat mengudangnya untuk datang
dan dapat menimbulkan kengerian
30 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
yang luar biasa bagi yang
menyebutkan.
Misalnya,
“Enti niri ku lah a, sangkan lembide
kahe ko”
(Jangan mandi ke tengah, nanti
kamu dilarikan lembide).
(30) Sepah (Memperkosa atau
Berkelahi)
Kata sepah dapat mengarah
pada dua hal yaitu tetang pekelahian
dan hal pornograpi. Kata tersebut
akan tetap menjadi tabu jika
dikatakan dalam konteks dan situasi
apapun karena berkaitan dengan hal
yang tidak pantas diucapkan.
Biasanya orang mengatakan itu
dengan tujuan menakut-nakuti
lawan bicaranya. Jika kata tersebut
diucapkan seorang laki-laki dengan
lawan bicara perempuan berarti
sepah yang dimaksud adalah
memperkosa. Akan tetapi, jika kata
tersebut diucapkan kepada sesama
laki-laki berarti sepah yang
dimaksud adalah melakukan
perkelahian atau serangan.
Misalya,
“Beb ko, ku sepahen baro beteh ko”
(Berani kamu, ku pukul baru tau
kamu.
(31) Nik (Nikah tidak dengan cara
baik-baik)
Dalam masyarakat Gayo kata
nik terdiri dari dua arti. Nik yang
pertama berarti naik sedangkan, ke
dua bermakna pernikahan yang
tidak baik disebabkan oleh
tertangkap mesum atau hamil di
luar nikah. Pernikahan tersebut
dilakukan dengan cara orang tua
anak perempuan meminta
pertangungjawaban kepada pihak
laki-laki. Arti pertama merupakan
kata sehari-hari yang biasa
diucapkan oleh masyarakat Gayo.
Namun, arti kedua merupakan kata
yang sangat dihindari pengucapanya
karena berkaitan dengan
kehormatan keluarga. Kata tersebut
tidak boleh diucapkan saat ada
seseorang yang menanyakan prihal
peristiwa yang terjadi karena jika
itu dikatakan maka pihak keluarga
akan merasa sangat malu berada
dalam lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, untuk menjaga perasaan
keluarga yang mengalami peristiwa
alangkah baiknya kata itu tidak
dikatakan sama sekali. Jika memang
ada yang mempertanyakan hal
tersebut, lebih baik sarankan untuk
menemui pihak yang bersangkutan.
Misalnya,
“Anak ni Mak Pinte o nik kelemne”
(Anak Mak Pinte tadi malam
dinikahkan secara tidak baik-baik).
(32) Micing (Buang Air Besar)
Dalam bahasa Gayo kata
micing berarti buang air besar. Kata
tersebut dapat menjadi tabu saat
sedang menyantap makanan.
Apalagi jika dalam ruangan tersebut
dihadiri tamu atau ada orang yang
sangat dihormati. Jika kata tersebut
terlanjur diucap biasanya akan
mengurangi nafsu makan karena
merasa tidak nyaman lagi bahkan
dapat membuat tamu berhenti
menyantap makanannya.
Misalnya,
“Aku kenak e micing”
(Aku ingin buang air besar).
6) Tabu Sumpah Serapah
(33) Demalah (Demi Allah)
Dalam bahasa Indonesia kata
Demalah dapat diartikan dengan
kata demi Allah. Kata Demalah
sering kali dipakai untuk
meyakinkan seseorang atas
sesuatau. Padahal pada dasarnya
kata tersebut tidak boleh diucapkan
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 31
karena itu sangat berhubungan
dengan tangungjawab manusia
kepada Sang Penguasa. Apalagi
yang dikatakan tidak benar adanya
maka seseorang sudah membohongi
Allah dan mendapat dosa besar.
Misalnya,
“Demalah ku leh, Gere ku cogahi
kam”
(Demi Allah, tidak ku bohongi
kalian).
(34) Berniet (Berniat)
Berniet sebenarnya tidak
boleh diucapkan sebelum sesuatu
itu belum jelas keberadaanya.
Misalnya, seseorang mengatakan
setelah saya menikah saya akan
menjamu anak yatim sebanyak 1000
orang. Padahal dia menikah sekitar
dua sampai tiga tahun setelahnya.
Niat seperti itu sepatutnya tidak
boleh diucapkan sebelum dia
menikah, tetapi bisa diucapkan
setelah menikah. Dalam masyarakat
Gayo sering kali niat yang sudah
lama diniatkan dalam hati akan
terlupakan karena sudah terlalu
lama diniatkan. Padahal niat
semacam itu harus benar dilakukan,
jika tidak akan mendatangkan
penyakit (tube diri) kepada si
pembuat niat. Tube diri berarti
penyakit yang dibuat oleh diri
sendiri. Untuk menghindari Tube
diri maka, sebaiknya niat yang
diucapkan tidak terlampau jauh dari
apa yang ingin dicapai atau bahkan
tidak perlu diucapkan.
Misalnya,
“Ike mujadi anak ku mehne masjid
mi we ku bangun I kampung ni”
(jika anakku semuanya sukses
masjid lagi yang akan ku bangun di
kampung ini).
(35) Benatang (Binatang)
Benatang merupakan makian
dalam masyarakat gayo yang
biasanya diucapkan ketika sedang
marah atau kesal. Benatang sama
saja halnya menyamakan seseorang
dengan binatang. Pengucapan kata
benatang akan tabu jika diarahkan
kepada lawan bicara. Kata benatang
tersebut menjadi tabu karena tidak
sopan dan tidak pantas diucapkan.
Misalnya,
“Benatang memang ko”
(Binatang memang kamu).
(36) Jalang (Liar)
Jalang yang dimaksud dalam
bahasa Gayo sama halnya dengan
kata jalang dalam Bahasa Indonesia
yang berarti liar. Kata tersebut
menjadi tabu karena dianggap tidak
pantas untuk diucapkan. Selain itu,
jalang juga mengarah pada
kelakuan pelacur. Kata biasanya
terlanjur diucapkan karena perasaan
kesal dan marah terhadap sesuatu.
Sering kali kata jalang itu juga
dikaitkan dengan sebutan orang tua.
Minsalnya,
“Jalangni inemu” atau “Jalangni
amamu”
(ibu mu liar) atau (bapak mu liar).
Kata tersebut sungguh tidak
bermanfaat untuk dikatakan dalam
tuturan. Oleh karena itu, seseorang
perlu mengontrol emosi sebaik
mungkin agar tidak terjadi
kesalahan ucapan yang lebih banyak
mudarat dari pada manfaat.
(37) Kafir (Kafir)
Kafir biasanya terlanjur
diucapkan karena melihat tingkah
atau perilaku seseorang yang
tercela. Biasanya masyarakat Gayo
menuturkan itu karena marah dan
kesal. Kemudian perilaku seorang
yang tidak senonoh itu digambarkan
seperti orang kafir. Kata tersebut
32 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
seharusnya tidak boleh diucap
karena tidak sopan dan secara tidak
langsug sudah menghakimi
seseorang layaknya orang kafir.
Misalnya,
“Kafir betul ko”
(Kafir memang kamu).
(38) Pekak (Bodoh)
Pekak menurut bahasa Gayo
berarti bodoh. Kata tersebut sering
kali diucapkan saat seseorang
merasa kesal dan kecewa karena
harapan dan keinginan yang sangat
diharapan dari orang lain tidak
tercapai. Selain itu, Pekak juga
pernah diucap kepada seseorang
yang lalai dalam melakukan
pekerjaan. Misalnya, seorang ibu
menginginkan anaknya meraih juara
di sekolah, tetapi anak tersebut
malah jauh dari harapan ibunya.
Perasaan kesal dan marah ibu
tersebut kepada anak akhirnya
dilampiaskan dengan mengatakan
hal yang buruk.
Misalnya,
“Beta pekak ke leh ko”
(segitu bodohnya kok kamu).
Kata tersebut tidak boleh
dikatakan sama sekali karena
dipercaya dapat menjadi benar-benar
nyata atau dalam istilah Gayo
disebut tunung cerak.
(39) Udel (Sangat bodoh)
Udel sama halnya seperti
Pekak. Hanya saja, Udel berarti
orang yang sangat bodoh. Kata
tersebut juga sering kali diucapkan
jika sesuatu yang diharapkan tidak
tercapai. Udel juga menjadi
ungkapan kemarahan seseorang
karena malu dan mengecewakan.
Kata tersebut sebenarnya tidak
boleh ditujukan kepada lawan
bicara karena dapat menyingung
perasaan dan menyakitinya. Apalagi
jika seorang ibu mengatakan kata
tersebut kepada anaknya. Perkataan
ibu tersebut dianggap sebagai do’a
kepada Tuhan dan apa yang
dikatakan bisa saja terjadi kepada
anaknya (tunung cerak). Misalnya,
“Olok udel ko wen”
(Betul-betul sangat bodoh kamu
anak laki-laki).
(40) Durel (Bodoh keterlaluan)
Kata durel juga memiliki arti
yang sama dengan pekak dan udel.
Namun, makna kata durel melebihi
kata yang sebelumnya dijelaskan
dengan kata lain kata tersebut
memiliki arti bodoh yang sangat
keterlaluan. Ketiga kata tersebut
bahkan sering dikatakan sekaligus
saat sesorang sedang merasa kesal
dan marah yang luar biasa.
Misalnya, “durel memang ko”
(bodoh sekali memang kamu)
Padahal kata tersebut sama sekali
tidak boleh diikatakan karena
berkaitan dengan perkataan buruk.
Jika kata itu diucapkan pada lawan
bicara maka, akan membuatnya
merasa tersinggung bahkan bisa
berujung pada perkelahian secara
fisik atau adu mulut.
(41) Dangkalen (Nakal
ketelaluan)
Dangkalen berarti bandel
yang luar biasa. Kata tersebut dapat
menjadi tabu jika diucapkan oleh
ibu-ibu hamil. Ibu hamil sebenarnya
harus menghindari semua kata yang
bermakna buruk karena diyakini
dapat menurun kepada anak yang
dikandungnya termasuk kata
dangkalen.
Misalnya,
“Anak sahen key a dangkalen di”
(Anak siapakah itu bandel sekali).
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 33
Pembahasan
Konsep tabu dalam masyarakat Gayo
dikenal dengan istilah sumang. Jika dikaji ke
dalam makna harfiah Indonesia kata sumang
sama dengan kata sumbang yang berarti
melanggar adat, kurang sopan, atau janggal.
Jika dikaji lebih dalam lagi kata sumang
tersebut diartikan sebagai peraturan yang
bebentuk larangan oleh masyarakat Gayo.
Oleh karena itu, segala bentuk larangan
yang tertera dalam kajian sumang tidak
boleh dilanggar dan harus dihindari. Pada
dasarnya sumang dibagi menjadi empat
golongan besar yaitu sumang penengonen
(peraturan larangan dalam penglihatan,
sumang pelangkahen (peraturan larangan
dalam perlangkahan atau perjalanan),
sumang kenonolen (peraturan larangan
dalam posisi duduk) dan sumang peceraken
(peraturan larangan dalam berbicara).
Berkaitan dengan hal ini, maka bahasa tabu
disebut juga sebagai sumang peceraken
yakni berkaitan dengan apa yang diucapkan
baik itu dalam bentuk kata, frasa, atau
kalimat.
Pertama, kata tabu yang berkenaan
dengan nama orang. Dalam masyarakat
Gayo tabu semacam ini sangat erat kaitanya
dengan sistem sapaan kakerabatan. Sapaan
kekerabatan dalam masyarakat Gayo
dipandang sebagai salah satu adat yang perlu
dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, pelanggaran atau kesalahan
dalam penyebutan kata sapaan dipandang
sebagai hal yang tabu dan tidak dapat
ditoleransi karena merupakan pelanggaran
adat. Kata sapaan kekerabatan dalam
masyarakat Gayo dengan dengan sebutan
tutur atau petalun. Tutur yang dimaksud
bukan arti tutur dalam bahasa Indonesia
yaitu megucapkan atau mengujarkan kata.
Akan tetapi, tutur berarti sistem panggilan
kekerabatan Gayo. Orang yang melakukan
kesalahan dalam bertutur biasanya akan
dicap sebagai orang yang tidak tau tutur
(gere betih tutur). Jika kata tersebut sampai
dilontarkan kepada penutur asli Gayo, itu
termaksud penghinaan yang akan membuat
penutur akan merasa malu.
Berdasarktan analisis data yang
sebelumnya dipaparkan ditemukan beberapa
kata tabu terkait sapaan atau panggilan nama
orang dalam masyarakat Gayo yang harus
dihindari penyebutannya yaitu, (1)
penyebutan nama asli sesorang yang
memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan.
Bagi seseorang yang memiliki jabatan
tinggi, penyebutan panggilan dianggap
sesuatu hal yang sangat penting karena
dipandang sebagai bentuk rasa hormat
seseorang kepadanya. Jika pelanggaran
sapaan itu terjadi, mereka merasa tidak lagi
dihargai dan dihormati oleh masyaraktanya.
(2) penyebutan nama asli orang yang
memiliki sapaan kekerabatan atau
berhubungan darah.
Kedua, tabu berkaitan dengan nama
binatang. Dalam masyarakat Gayo nama
binatang tertentu bahkan bisa menjadi
dilarang pengucapanya secara langsung.
Larangan tersebut sebenarnya berkaitan
dengan kepercayaan masyarakat terhadap
mitos-mitos yang tumbuh di zaman dulu.
Nama binatang tersebut dilarang diucap
karena diyakini dapat menimbulkan
ketakutan dan kengerian yang luar biasa
bagi si penutur. Namun, mitos semacam itu
di masa sekarang tidak lagi begitu diyakini
oleh sebagian masyarakat Gayo mengingat
pola pikir masyarakat yang sudah berbeda.
Oleh karena itu, banyak generasi yang baru
tumbuh tidak banyak mengetahui nama
biantang tersebut dilarang untuk diucapakan
karena dianggap remeh dan bukan susuatu
hal yang penting.
Ketiga, kata tabu yang berkaitan
dengan menyebut anggota tubuh. Menyebut
anggota tubuh tertentu menjadi tabu untuk
diucapkan karena tidak pantas dan tidak
sopan untuk diucap. Dalam masyarakat
Gayo kata yang mengarah pada anggota
badaniah tertentu diangap tidak pantas sama
34 JIM PBSI Vol. 4 No 3, 2019
sekali diucapkan dalam konteks dan situasi
apapun karena dapat membuat orang yang
mendengar atau mengucapkanya
memikirkan bahkan berbuat hal-hal kotor
yang mengarah ke hal yang bersifat
pornografi.
Keempat, tabu yang berkaitan
dengan menyebut nama penyakit. Penyakit
yang dialami seseorang bukanlah sesuatu
yang diminta atau diinginkan. Oleh karena
itu, sebagian penyakit yang dialami
seseorang dapat menjadi aib baginya karena
menjijikan atau sebagainya. Penyebutan
sebagain nama penyakit diyakini dapat
tertular dan bisa menyingung perasaan
penderitanya.
Kelima, tabu berkaitan dengan kata-
kata tertentu. Kata-kata tertentu yang
dimaksud berkaitan dengan hal yang bersifat
mistis atau gaib. Selian itu kata tertentu
tersebut juga berkaitan dengan aktivitas-
aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari.
Alasan ketabuan kata tersebut pun
bermacam-macam. Bisa karena ketakutan
terjadi sesuatu, kenyamana, bahkan tingkat
kesopananya.
Keenam, tabu yang berkaitan dengan
sumpah serapah yaitu terdiri dari makian
dan kutukan. Kata makian merupakan kata
tabu yang sering kali tidak dapat dihindari
pengucapanya oleh masyarakat Gayo. Kata
makian tersebut bahkan sudah menjadi
santapan sehari-hari. Setiap harinya pasti
ada saja orang yang mengatakan kata
tersebut. Seseorang sering sekali tidak sadar
dengan apa yang dia ucapkan karena
dorongan psikologis emosinya yang kurang
terkontrol. Tabu sejenis ini juga berkaitan
dengan pelampiasan emosi seseorang
terhadap sesuatu.
Pendeskripsian alasan yang
melatarbelakangi keseluruhan kata yang
menjadi tabu dalam Masyarakat Gayo yang
sebelumnya dijelaskan dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel. 4.2 Kata Tabu Berdasarkan Alasan
Terjadinya Kata Tabu
Taboo of
fear
Taboo
of
delicac
y
Taboo of
propriety
Perinta
h
Agama
Kule Perasi
n
Reje kampung Ama
Gajah Buduk Banta Ine
Tikus Supak Inen mayak Demala
h
Mutube Tongke
k
Aman mayak
Lembide Busun
g
Peraman/perin
en
Berniet Nik Rawan
Dangkal
en
Micing Banan
Kil-Ibi
Pun-Mak Pun
Cik-Mak Cik
Lakun
Ume
Asu
Utuh
Tenek/etet
Kesut
Sotot
Sepah
Binatang
Jalang
Kafir
Pekak
Udel
Durel
Simpulan
Berdasarkan data hasil penelitian
yang didapatkan, dapat diambil kesimpulan
bahwa pengolongan bahasa tabu dalam
masyarakat Gayo di Bener Meriah terdiri
dalam enam gelongan besar. Kata tabu yang
ditemukan berkaitan dengan tabu menyebut
nama diri 15 kata, tabu menyebut nama
Bahasa Tabu dalam Masyarakat Gayo… (Silfita Yani, Rajab Bahry, & Ramli) 35
binatang 4 kata, tabu menyebut nama
anggota tubuh 6 kata, tabu menyebut nama
penyakit 4 kata, tabu menyebut kata-kata
tertentu 6 kata dan tabu menyebut sumpah
serapah 9 kata. Secara keseluruhan kata tabu
yang ditemukan adalah 41 kata.
Saran Berdasarkan hasil analisis data yang
dilakukan mengenai bahasa tabu dalam
masyarakat Gayo di Kabupaten Bener
Meriah peneliti memberi saran agar
masyarakat khususnya Gayo dapat
menghindari bahasa tabu di dalam betutur
agar tidak terjadi hal-hal yang dapat
merugikan diri sendiri, masyarakat, bangsa,
bahkan negara.
Daftar Pustaka
Affini, Laily, Nur. 2001. Analisis Kata Tabu
dan Klasifkasinya dalam Lirik Lagu
Eminem pada Album The Marshal
Mathers LP. Jurnal Kajian
Kebahasaan, Kesusatraan dan Budaya.
Volume 7, Nomor 1 Halaman: 95
Almos, Rona. 2009. Makna Pantang dalam
Bahasa Minangkabau. Jurnal Linguistik
Kultural. Volume 9, Nomor 2 Halaman:
241-260.
Chaer, Abdul. 2006. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Emzir. 2013. Metodolog Penelitian
Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrapindo
Persada.
Hamidiyah, Husnul. 2013. Tuturan Tabu
dalam Film Jepang tentang Remaja.
Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra dan
Pembelajaranya. Volume 1, Nomor 1,
Halaman 54.
Jannah, Aimadul dkk. 2017. Bentuk dan
Kata Makian di Terminal Purabaya
Surabaya. Jurnal Ilmiah Fenomena.
Volume 4, Nomor 2, Halaman 48-49.
KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). [online] Available
at:http/kbbi.web.id/pasca-.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa.
Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.
Moleong, Lexsy J. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik.
Jakarta: Kesaint Blanc.
Rahardi, Kunjana. 2003. Perkenalan dengan
Ilmu Bahasa Pragmatik. Yogyakarta:
Dioma.
Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik.
Yogyakarta: Erlangga.
Ristanto, dkk. 2012. Tabu dalam Bahasa
Baku. Antologi Hasil Penelitian Bahasa
dan Sastra. Cetakan Pertama.
Rosikh, Fahrur. 2014. Eufemisme dan Tabu
dalam Bahasa Arab. Jurnal Ummu Qura.
Volume 6, Nomor 2, Halaman 81-83.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2003. Metode Penelitian
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sutarman. 2013. Tabu Bahasa dan
Eufemisme. Surakarta: Yuma Pustaka.