“MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MAKAM SYEKH BURHANUDDIN SEBAGAI KAWASAN RELIGI”
BAB IV - SMARTCAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of BAB IV - SMARTCAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
57
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti ingin memaparkan dari apa yang tertera dalam
pertanyaan penelitian, maka dalam hal ini yang dilakukan peneliti yaitu
menganalisa terlebih dahulu, dan yang akan menjadi objek penelitannya yaitu
tentang puisi yang berjudul Cirebon, 360 Tahun Kemudian karya Ahmad
Syubbanuddin Alwy. Sementara itu untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini,
maka digunakan Metode Kualitatif dengan Pendekatan Analisis Teks Hayden
White. Dimana White dapat mengidentifikasi masalah dengan memandang lima
faktor yaitu: pertama, medium utamanya adalah basaha. kedua, menampilkan
dengan genre yang berkaitan dengan sejarah. Ketiga memanfaatkan cerita dan
tokoh sebagai unsur utama. keempat, validasi sastra dan sejarah adalah keyakinan
dan imajinasi. Kelima, memandang masa lampau. Adanya hal ini maka
Pembahasan akan diawali dengan kutipan puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian.
Dan yang akan dianalisis pada puisi tersebut yaitu bait/larik pertama sampai
bait/larik ke lima
4.1 Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Karya Ahmmad Syubbanuddin
Alwy
Pohon-pohon Api Pohon-pohon api, rumpun padang ilalang, debur laut bukit karang tepian samudera muara jati bercerita, seperti lelah sembahyang pucuk daun-daun melinjo serta situs sejarah bersujud dalam nestapa melukiskan rajah, kaligrafi kuno, ratusan artefak, jejak sandi para raja tangis keris, kemat jaran guyang, kuburan tak bernama, lingkar kesunyian bercampur debu, kembang setaman yang mengabadikan harum mitos-mitos dari selat kesumat, dari semenanjung murung, dari kehidupan yang chaos derap roda pedati gede itu, membawaku ziarah dan bertapa di lahar gunung menjangkau lambaian sorban yang diterbangkan kepak sayap lelaki agung Langit meditasi bianglala ekstasi
58
matahari menari para empu bernyanyi dan amarah sembunyi Dari buritan pantai yang koyak, kapal-kapal layar Laksamana Cheng Ho bertolak, menyusuri jejak kaki ribuan mil puteri kaisar Cina Ong Tien Nio para perajurit dengan seragam menyala, membenamkan malam di atas pundak burung-burung bangau, anak-anak rantau, hutan jati serta gemuruh geladak angin risau, uap air kemarau, empat ratus tahun dari 1600 masehi yang kelam gerimis menetes di masjid tua, abdi-dalem duduk bersila, batuk-batuk dan semedi menuangkan perih doa, menaburkan sesaji pada pintu gapura yang terkunci seperti seorang sunan yang gelisah, kususun kembali retak-retak sejarah di antara tembikar, pelepah lontar, dan kitab-kitab yang bertuliskan darah Lautan abrasi rembulan sunyi jalanan berduri para wali mengungsi dan mata-angin bersaksi Di tengah sayatan suluk dandanggula yang bergetar, dukamu berlayar ribuan kelelawar terbang dari remang keraton, udara gusar, pecahan marmar alun-alun merah kesumba membelit langit bagai ular, meniti gulungan primbon keramik guci, bongkahan terasi, sumur tujuh, dan rusuh babad tanah Cerbon menghunjam di pematang cakrawala, menuruni aras tangga-tangga pendakian lima abad silam: khutbah, jubah dan terompah sunan, terlepas dari gurat waktu gugusan lapis pualam, uang logam, kelir hitam dan riang selendang ratu menjemputku di riuh subuh, menari serimpi, mengusir arwah peri dengan sekerat jimat, gema shalawat yang telah melampaui pusaran bumi Hujan besi desis perigi gerhana matahari para paderi mengaji dan gigil hati menyusun sunyi Lelaki bertopeng kelana, liong dan barongsai, gembyung yang merana membelah lengking seruling, sandiwara raja-raja, dan keheningan luka batik lurik, batu akik, derap kuda yang meringkik, juga debur pelabuhan melewati gedung Hindia-Belanda yang kelak diruntuhkan, panji-panji sultan dan biji-biji ketan yang ditaburkan, tumbuh runcing di amis sebilah keris senjata para raden, pusaka juru kuncen, belantara persembunyian Siliwangi
59
mengambang dicemas perahu nelayan, jalan setapak, daun-daun trembesi prasasti—seperti katamu, telah menghapus perjalanan sakral, dendam kekal mengabadikan juntaian usia serta pori-pori musim pancaroba menjadi kanal Jerit paksi percikan merkuri liang-lahat menepi para bidadari berdiri dan sungai memeluk galaksi Tembok-tembok kuta bekas pertempuran, vihara abad 16, tempekong Budha serpihan airmata, relief-relief huruf sangsakerta, menggenang penuh cahaya kereta kencana, tombak bambu, baju perang, ufuk fajar yang tenggelam ke palung malam, ke penjuru kelam, ke dasar reruntuhan ceruk kolam seperti deras hari-hari membasahi halaman sejarah, akar pohonan dan uban menjadi palawija yang disebarkan burung gereja di hamparan baluwarti ritus kabut, pertemuan langit dengan bumi, pertapaan api dan gong sekati menyimpan percakapan raja-raja, tembakau cerutu, senjakala yang piatu berhamburan di pelipis kanak-kanak, semak-semak perdu serta busur kayu Garis hati lecutan cemeti gugusan bimasakti para pujangga memekik nyeri dan mega-mendung menyemaikan melati Dalam kusam tulisan yang hampir sirna, kehilangan suara, dipiring porselin lantai dingin, kata-kata itu bergema: menyimpan tajug dan riuh fakir-miskin dari balik bukit jauh, juga gemuruh takbir, menyepuh berhelai-helai sukma gemerincing seperti guguran batu yang dijatuhkan dari kedalaman lorong gua memantulkan obor raksasa, jembatan airmata, serta puisi yang berkilauan memenuhi udara pagi, memenuhi separuh sore, belerang dan ladang tebu berkilatan ke langit, menyusun hutan bambu menjadi rumpun sembilu dari ubun-ubun serta sumsum tubuhku, angin menuliskan jejak para wali yang menandai kisah peperangan, ledakan topan, segores misteri dan tragedi Tabir mimpi kabut misteri lambaian hari para sufi menepi dan laut bersimpuh gusti Di seberang samudera yang berapi, di tapal bagang sunyi, purnama mati
60
semua berkabung, mendekat ke arah matahari, merambat ke denah perigi camar-camar mengarak ikan, alunan gamelan, akar rumputan dan debur lautan mencelup asin tubuh para buruh yang menghadang bulan di altar pelabuhan perahu-perahu melaju beku, langit membasahi urat darah, sejarah tanpa ujung sebagian ditulis di atas batu, sebagian diiris di ruas empedu, dalam napasmu berkelebat perih menjadi puncak pertapaan para empu, yang tak tercatat buku situs perjalanan kami ditumbuhi batang-batang jerami, dihanguskan percik bara temaram dalam lorong senja, mengingatkan istana tanpa celah pintu dan jendela Lengking banaspati lengkung bumi frustrasi kampung-kampung ngeri para pemuda membakar diri dan sultan yang agung menyepi Derap lari penunggang kuda yang terluka, melintasi rawa-rawa yang beracun di tepian muara, di tepian pantai utara, bahkan diretakan cokelat tanah gurun rasi bintang, sudut galaksi, pecahan gerhana, menaburkan pasir-pasir garam membelah perbatasan pesisir yang anyir serta labirin pasundan yang asam dan nyeri khatulistiwa, kembali dipenuhi bercak hitam darah pertempuran barisan kompeni itu, melubangi dada kami, menjelajahi usus duabelas jari merangkai-rangkai jalur dermaga, menyiram arak, dan menelisik peta negeri dengan lempengan besi, dengan serpihan api, dengan asap serbuk mesiu menerobos paru-paru dan membakar rumah-rumah atap rumbia yang tersedu Denting kecapi kepak sayap rajawali genderang perang paderi para prajurit penuh misteri dan orang-orang melesat berlari Gemerincing pedang yang terasah waktu, gemetar menyentuh alismu dengan tirai sabda, jerit perisai yang menganga, bendera lawon blacu suara gaduh dari huruf-huruf kitab tua, halilintar di belahan balairung tenggelam dalam lembaran hikayat, silsilah raja-raja yang terselubung menuntun jiwaku memasuki puisi, memasuki lorong panjang serat api para pujangga yang menulis kisah-kisah purba itu, masih diam bertapa masih khusyuk berdoa, para nayaga menyanyikan suluk dandanggula meski tak henti menguraikan airmata, membasahi lengan baju pangeran dari padang Kurusetra, dari medan peperangan, dari napsu pertempuran
61
Gemuruh hati perjalanan tanpa henti berdentang tebing sunyi para kafilah menyusuri puncak duri dan jalan-jalan berasap memisahkan diri Kereta kencana berangkat dalam diri, dicelah resah potongan sejarah ceceran noda tinta, kata-kata murung tak terbaca, abad yang bergetah singgasana raja, potret pudar kesatria, lapis karat senjata, terhunus nyeri mengalirkan urat darah ke denyut nadi, ke jejak para prajurit sembunyi di lubang gua, di sungai terluka, di senjakala yang melambaikan rintihan mengirimkan duka-cita, mengirimkan pesan-pesan dari padang sabana tahun-tahun berlepasan, hari-hari merengkuh separuh riwayat inci samudera ulu-hatimu, seperti kapal tongkang Kaisar China membawa geliat naga emas Sultan Mataram yang ragu berkemas, dan saudagar Arab mengerat cemas Betapa abadi pendakian di balik jeruji berjatuhan dari sebilah belati para penjelajah mengasah nyali dan sejarah bergegas kehilangan tepi 2. Ilalang-ilalang sembilu Ilalang-ilalang sembilu, gugusan bintang koyak, kepak burung hantu bukit kapur, parit-parit lumpur, jalan lingkar yang memotong tanganmu berputar dari kening masa-lalu, berpencar ke dinding gua yang berasap pagar-pagar hutan lenyap, juntaian krikil-krikil sihir melayang ke atap menaburkan gerimis cuka, menyebarkan cemas cuaca, ratap langit liar seratus lonceng berdentang dari gendang telinga, aras cakrawala terkelupas melumuri wajahku dengan magma, dupa, bunga. Dan, situs-situs tak berbekas silsilah raja pada kayu nisan, kamboja renta, getar laut serta ruas mata-angin menembus rusuk dan tulang-belulang waktu, remah hujan juga kabut dingin Darah biru menetes ragu dari kerat jantungmu para Rahwana berganti baju dan keris berontak membuka kelambu Tersingkaplah, gapura yang berlapis-lapis, tahta yang kian layu berbaris Hijib para tabib, teluh dari megatruh, kelak dermaga persinggahan kikis di sebalik rajah yang menyerupai lekuk peta, juga silang cerita masih menyala
62
pada sesobek kertas lusuh cokelat tembaga, patahan-patahan gosong bianglala beratus kuda melintas dari tenggara kepundan, dari kelam kabut masa-silam seorang puteri bermata liris setipis bulan—bahkan katamu, berparas bidadari menuliskan historiografi dengan relief mega-mendung, cinta dan sepucuk duri yang ditisik pada selendang, kain kebaya, batu-batu cincin serta piring porselin almanak menyusut beku, gurat luka menyusun penjuru angin dan kelok labirin Tombak bambu melesat hingga ulu dari gerbang pintu fana itu para serdadu lebam membiru dan laut melukiskan selat darahmu Hulubalang raja-raja menyeberangi becek rawa-rawa, memetik tangkai api membidik tungkai kaki, samudera menyerpih seperti lukisan perih bimasakti seorang pertapa menyusun biografi naga dan paksi dengan sayatan airmata kelebat keraton melintasi purnama masehi: langit gading tua merengkuh kota gending tetabuhan candi-candi tumpang-tindih, sandi-sandi rumpang berselisih dari selat lukamu yang terbelah, laut berkisah, tahta berlayar ke sebilah keris juga lengking jerit-dendam teriris, menuruni pasir tanah datar yang dikikis-habis sejarah dan tetirah, abad dan babad, jejak Belanda dan tahi kuda: berceceran memenuhi garis silsilah di telapak tanganku, berlumur tinta darah pertempuran Beterbanganlah batu-batu mengepung belantara perdu dari semak-belukar mahkotamu para arkeolog menyelam ke dasar waktu dan bertahun-tahun kabut datang menderu Daun-daun berserakan seperti reruntuhan musim semi, juga kebimbangan membentuk bulan sabit yang merana, batang-batang jerami dan keheningan menyeruak masuk ke pusat perapian. Laut riuh melambai, juga sungai-sungai berkelebatan dalam kelir di semenanjung luka, di senandung samudera pasai tiga abad kami mengembara ke muara kegelapan, menyusun arsitektur sejarah dari karat senjata-senjatamu, kitab-kitab yang berjamur, inti filsafat yang terkubur anatomi wajah para raja yang uzur, ritus yang melambangkan arwah para leluhur jalan berbatu ke puncak sunyi gunung itu, menembus rongga paru dan ubun-ubun melewati pesisir hingga pelipis, sepasang alis sampai bola matamu yang mulai rabun
63
Guguran jiwaku menggenang berkeping beku memenuhi helai-helai rambutmu para pengembara menyanyikan keroncong waktu dan memahat puisi pada ranting kamboja juga nisan kayu Dari ufuk sore yang jauh, ilalang tumbuh pada betismu, juga perasaan ragu merambat pada serat darahmu.
Mengenai puisi Cirebon, 360 tahun kemudian, merupakan Dalam teknik
penulisan puisi diatas merupakan perpaduan antara teknik jurnalistik yaitu ilmu
terapan yang digunakan sebagai pewarta berita, yang dipadu dengan unsur-unsur
keindahan sastrawi.
Dan puisi tersebut merupakan pencapaian yang paling penting Mas
Alwy Dari sekian karya-karyanya, puisi Cirebon, 630 Tahun Kemudian_lah yang
menjadi master piece yang dilahirkan Mas Alwy. Puisi Epik ini mengisahkan
sejarah ataupun biografi daerah Kota Cirebon semenjak kali pertama munculnya
pedukuhan Caruban hingga situasi terakhir saat Alwy masih menuliskannya. Dan
diakhir hayatnya, sebagai salah satu jalan untuk melakukan penelitian dan menulis
sejarah Cirebon secara komprehensif, Ahmad Syubbanuddin Alwy masih tercatat
sebagai mahasiswa Pasca Sarjana, Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran
Bandung. Senyampang menyelesaikan antologi puisi panjang dan utuh, yang
mulai ditulis dan dicitakan sejak tahun 2000, dengan judul: Cirebon, 360 Tahun
Kemudian.
4.2 Pandangan jurnalisme dan sastra terhadap Puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian karya Ahmad Syubbanuddin Alwy Bait/larik Pertama
sampai Kelima
4.2.1 Pandangan dari Aspek Jurnalisme
Kalau puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian masuk kedalam kategori
jurnalistik, maka puisi tersebut termasuk kedalam kategori jurnalistik apa?
Apakah tergolong kedalam kategori jurnalistik beritakah, feature, tajuk, opini,
64
atau apa? Dan misal puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian masuk kedalam kategori
sastra, maka puisi tersebut tergolong kategori sastra apa? Sajak kah, prosa, puisi,
atau apa?
Tabel 4.1
Unsur-Unsur Dasar Kaidah Jurnalistik
Kaidah jurnalistik Hasil penelitian
What
(apa yang terjadi?)
pada puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian
ini menceritakan/mengisahkan sejarah
asal muasal daerah Cirebon.
Who
(siapa pelakunya?)
Yang mana disini menerangkan tentang
kiprahnya seorang Laksamana Cheng HO,
dan seorang putri dari kaisar Cina yaitu
Ong Tien Nio.
Why
(kenapa hal itu bisa terjadi?)
Karena pada saat itu yang menjadi lalu
lintas perdagangan dunia adalah jalur
lautan.
Demikian juga cirebon dibangun dari
peradaban lautan/maritim, ini ditandai
oleh dibangunnya pelabuhan Muara Jati
yang semula bernama Tanjung Mas.
Pelabuha ini juga menandakan bahwa
pendaratan Angkatan Laut Kaisar Cina
pada tahun 1600an yang pada waktu itu
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho.
Dari sinilah kebudayaan Cirebon dan
kebudayaan Cina menyatu melalui
peradaban Maritim.
Where Di daerah Cirebon
65
(di mana kejadiannya?)
When
(kapan kejadianya?)
Dalam puisi ini, kejadiannya dari mulai
abad 16 sejak mendaratnya Laksamana
Cheng Ho di pelabuhan Muarajati hingga
sampai Cirebon Era modern sekarang ini.
How
(bagaimana kronologi hal itu
bisa terjadi dan apa motif
yang melatar belakanginya?)
cirebon dibangun dari peradaban
lautan/maritim ditandai oleh
dibangunnya pelabuhan muara jati yang
semula bermula bernama tanjung mas.
pelabuhan adanya pelabuhan ini
menandakan bahwa pendaratan angkatan
laut Kaisar Cina pada tahun 1600-an
yang di pimpin oleh Laksamana Cheng-
Ho.
Dari sinilah kebudayaan Cina dan
Cirebon menyatu dari mulai peradaban
Maritim.
Dari isi tabel di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwasannya, puisi
Cirebon, 360 Tahun Kemudian karya mas Alwy telah memenuhi unsur-unsur
dasar dari jurnalistik yang berupa 5W+1H.
Selain dari unsur jurnalistik 5W+IH karya tulis Cirebon, 360 Tahun
Kemudian bisa dilihat dari segi Cover Both Side untuk membuktikan bahwa karya
tulis yang di gagas oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy bisa dikatakan sebagai karya
jurnalistik. Dalam menulis berita, juga dikenal adanya istilah Cover both side
yang artinya dalam rangka memberitakan pada para jurnalis menjadi sebuah
prinsip yang berhubungan dengan perlakuan adil terhadap sebuah pihak yang
menjadi objek (berita) dengan melibatkan semua yang terlibat dalam sebuah
peristiwa, atau disebut juga dengan pemberitaan yang berimbang dan harus
menampilkan semua fakta. Adapun ketentuan dalam pemberitaan yang
berimbang, untuk lebih jelasnya peneliti dapat memberikan bukti bahwa dalam
66
pemberitaan dan penulisan pada karya Cirebon, 360 Tahun Kemudian bisa
memenuhi ketentuan (kreteria) Cover Both Side antara lain;
Tabel 4.2
Cover Both Side
Kaidah cover both side Hasil penelitian
Pemberitaan fakta Pada penulisan karya sastra puisi
Cirebon, 360 tahun kemudian
menampilkan fakta-fakta sejarah,
bisa dibuktikan dari pembahasan
asal-muasalnya sejarah daerah
Cirebon dari mulai abad 16
sampai menjadi Cirebon modern
sekarang ini.
Tidak memuat informasi yang tidak
relevan
Penulisan karya sastra yang di
gagas oleh Ahmad Syubbanudin
Alwy dalam bentuk puisinya
yang berjudul Cirebon 360,
Tahun Kemudian selalu memuat
hal-hal yang berbau informasi,
seperti kebudayaan, sosial dan
politik.
Tidak menipu Pada karya sastra yang ber genre
puisi epik (puisi sejarah)
menampilkan keterangan-
keterangan atau rujukan seperti
menampilkan footnote.
Tidak memasukan opini Pada puisi Cirebon 360, Tahun
Kemudian yang di gagas oleh
Mas Alwy tidak memasukan
67
pendapat dalam penulisannya
Menampilkan sudut pandang yang
relevan
Dari keseluruhan bait/lariknya
pada puisi Cirebon, 360 Tahun
kemudian selalu menampilkan
sudut pandang yang relevan.
Dari isi tabel di atas peneliti menarik kesimpulan bahwa karya sastra yang
di gagas oleh Ahmad syubbanuddin Alwy yang bergenre Puisi Epik tersebut
selaras dengan unsur jurnalisme cover both side yaitu sebagai berikut:
1) pemberitaan dalam karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian
menampilkan fakta dari masalah pokok yaitu sejarah muasalnya daerah
Cirebon dari mulai abad 16 sampai modern
2) Penulisan dalam karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian tidak memuat
informasi yang tidak relevan.
3) Pemberitaan tidak menyesatkan atau menipu pada khalayak.
4) Dalam pemberitaannya tidak memasukan opini atau emosi, tetapi ditulis
seakan-akan sebagai fakta
5) Semu bait/lariknya menampilkan sudut pandang yang relevan dari
masalah yang diberitakan.
Oleh sebab itu secara literatur atau secara linguistik puisi tersebut berupa
karya sastra, dan dalam kasus puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian ini juga bisa
dikategorikan/dikatakan sebagai puisi jurnalistik.
4.2.2 Pandangan dari Aspek Sastra
Karya sastra dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Puisi ( disusun berdasarkan bait ).
2. Prosa ( disusun berdasarkan paragraf ).
3. Drama ( disusun berdasarkan dialog ).
Unsur-unsur karya sastra terdiri dari Intrinsik dan Ekstrinsik. Intrinsik
terdiri dari tema, diksi, alur, tokoh, latar, sudut pandang dan amanat. Sedangkan
68
Ekstrinsik terdiri dari daftar riwayat hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya,
atau kehidupan sipengarang tersebut.
Secara garis besar larik aksara Ceribon, 360 Tahun Kemudian, merupakan
bentuk karya sastra yang berupa puisi. Adapun unsur-unsur puisi dalam tulisan di
atas terdiri dari: 1. Diksi, 2. Larik, 3. Bait, 4. Bunyi, dan 5. Makna. Kelima unsur
ini saling mempengaruhi keutuhan puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian. Untuk
lebih mempermudah penjelasan kelima unsur di atas penulis akan
menerangkannya di bawah tabel berikut ini:
Tabel: 4.3
Unsur-unsur pembangun puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian
Kata/diksi Pemilihan kata atau diksi yang tepat
sangat menentukan kesatuhan dan
keutuhan unsu-unsur yan lain. Dari
kata-kata yang sudah dipilih tersebut
kemudian akan menjadi sebuah larik.
Larik/baris Larik mempunyai pengertian yang
berbeda dengan kalimat. Larik bisa
berupa satu kata, satu frase, bisa pula
terdiri dari satu kalimat yang utuh. pada
puisi lama jumlah kata dalam sebuah
larik biasanya terdiri dari empat kata.
Tetapi di dalam puisi modrn jumlah
kata dalam larik tidak terbatas.
Bait Kumpulan larik yang tersusun
harmonis. Pada bait inilah biasanya ada
kesatuan makna. Pada puisi lama
jumlah larik dalam sebuah bait,
biasanya terdiri dari empat baris, tetapi
di dalam puisi modern tidak di batasi.
69
Rima/bunyi Rima persajakan adalah bunyi-bunyi
yang ditimbulkan oleh huruf maupun
kata-kata dalam larik dan bait.
Irama Pergantian tinggi rendah, panjang
pendek, dan keras lembut, ucapan
bunyi puisi. Timbulnya irama
disebabkan oleh perulangan bunyi
secara berturut-turut dan berfariasi,
tekanan-takanan kata yang bergantian
atau panjang pendek sebuah kata.
Dari semua penjelasan kelima unsur puisi diatas sudah sangat terang
benderang bahwa karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian merupakan bentuk
puisi modern yang pemilihan diksi, larik, bait, rima, dan iramanya memakai
standardisasi puisi modern yang biasa kita temui dalam karya para penyair-
penyair muda seperti M. Khoirul Anwar KH dan M. Aan Mansyur.
4.3 Analisis Teks Haiden White Terhadap Puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian Bait/Larik Pertama Sampai Bait/Larik Ke Lima Karya
Ahmmad Syubbanuddin Alwy
Kajian teks tentang puisi karya Ahmad Syubbanuddin Alwy yang berjudul
Cirebon, 360 Tahun Kemudian baik secara jurnalistik maupun secara sastra.
Misalkan secara jurnalistik, apakah teks Cirebon, 360 Tahun Kemudian sudah
memenuhi kaidah jurnalistik yaitu berupa 5W+1H yang merupakan akronim yang
berisi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: what (berupa apa kejadiannya?),
who (siapa pelakunya?), why (kenapa hal itu bisa terjadi?), where (di mana
kejadiannya?), when (kapan terjadinya?), dan how (bagaimana kronalogi hal itu
bisa terjadi dan apa motif yang melatar belakanginya) atau belum?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas maka peneliti ingin
mengutarakannya lewat tabel dibawah ini:
70
Tabel 4.4
Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Pertama
Sub Judul: Pohon-Pohon Api
Bait/Larik Isi Puisi
Pertama Poho-pohon api, rumpun padang ilalang,debur laut butir
karang
Kedua Tepian samudra Muarajati (adalah pelabuhan cirebon
sekarang, yang semula bernama Tanjung Mas, dengan
mengambil konteks historis pendaratan Angkatan Laut
Kaisar Cina tahun 1600-an, yang lokasinya diperkirakan
disekitar pantai desa gunung jati) bercerita, seperti lelah
sembayang
Ketiga Pucuk daun-daun melinjo serta situs sejarah bersujud dalam
nestapa
Keempat Melukiskan rajah, kaligrafi kuno, ratusan artefak, jejak sandi
para raja
Kelima Tangis keris, kemat jaran guyang (sejenis mantra yang
memberikan unsur magime pada seorang laki-laki, agar
memiliki daya tarik dan menumbuhkan perasaan cinta
seorang perempuan, atau sebaliknya. Di Cirebon dikenal
kisah percintaan Baridin dan Ratminah, yang menggunakan
mantera tersebut, keduanya berakhir gila. Hampir seperti
kisah Romeo dan Juliet kemudian Laila Majenun), kuburan
tak bernama lingkar kesunyian
Keenam Bercampur debu, kembang setaman yang mengabadikan
harum mitos-mitos
Ketujuh Dari selat kesumat, dari semenanjung murung, dari
kehidupan yang chaos
Kedelapan Derap roda pedati gede (nama andong (pedati besar) yang
seluruhnya terbuat dari kayu, dikenal sebagai kendaraan
71
semasa Waliyulloh Syekh Sunan Gunungjati dalam
menyebarkan ajaran Islam kewilayah Cirebon dan
sekitarnya pada kurun 1600-an, hingga kini kerangkanya
yang asli masih disimpan disatu daerah Pekalangan Kota
Cirebon) itu, membawaku ziarah dan bertapa di lahar
gunung
Kesembilan Menjangkau lambaian sorban yang diterbangkan kepak
sayap lelaki agung
Banyaknya peradaban di dunia ini berawal dari tepian air. Tepian air dapat
terwujud tepi telaga, tepi oase, tepi paya-paya, tepi sungai, tepi danau, maupun
tepi pantai. Karena faktor iniah kemudian mereka bertemu, berkumpul lalu
membentuk komunitas yang pada akhirnya terbangun suatu kebudayaan dan
peradaban diantara mereka. Demikian juga di Cirebon, secara teritorial geografis
terletak di tepian pantai utara (pantura), yang dilengkapi dengan sungai-sungai
yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi ke pedalaman yang
letaknya disekitar pelabuhan Cirebon yaitu; Sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean,
dan Cilosari. Karena dengan keberadaannya yang strategis itu mampu mengikuti
gejala umum kota-kota tua yang letaknya di tepian air. Cirebon yang dulunya
dikenal dengan nama Caruban Nagari yang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang
artinya campuran. Dalam konteks sejarah Cirebon sendiri daerah untuk
bercampurnya penduduk yang berasal dari berbagai wilayah nusantara dan luar
nusantara dalam prses akulturasi kebudayaan, interaksi yang sangat intensif
tersebut dimungkinkan di Cirebon pada masa itu, karena lokasinya yang sangat
setrategis baik dari jalur pelayaran antar pantai dan juga perjalanan darat dari
Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Sedangkan Cirebon sendiri berasal dari kata Ci yang berarti air atau aliran
sungai, dan dari kata Rebon yang berarti ikan atau nama dari udang kecil.
Kemudian menampakan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika
pengaruh islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa.
(masduki, 2011:2)
72
Tabel 4.5
Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Kedua
Sub Judul: Pohon-Pohon Api
Bait/Larik Isi Puisi
Pertama Dari butiran pantai yang berkoyak, kapal-kapal layar
Laksamana Cheng Ho (salah seorang Panglima Angkatan
Laut tentara Kaisar Cina yang dinilai sebagai “peletak”
simbol-simbol akulturasi budaya Cina dengan tradisi
Cirebon)
Kedua Bertolak, menyusuri jejak kaki ribuan mil putri Kasar Cina
Ong- Tien Nio (adalah Putri Kaisar Cina yang dinikahi
Syekh Sunan Gunungjati)
Ketiga Para prajurit dengan seragam menyala, membenamkan
malam diatas pundak
Keempat Burung-burung bangau, anak-anak rantau, hutan jati serta
gemuruh geladak
Kelima Angin risau, uap air kemarau, empat ratus tahun dari 1600
masehi yang kelam
Keenam Gerimis menetes di masjid tua, abdi-dalem duduk bersila,
batuk-batuk dan semedi
Ketujuh Menuangkan perih doa, menabur sesaji pada pintu gapura
yang terkunci
Kedelapan Seperti seorang sunan yang gelisah, kususun kembali retak-
retak sejarah
Kesembilan Diantara tembikar, pelapah lontar, dan kitab-kitab yang
bertuliskan darah
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Dukuh
Pasembangan yang berasal dari kata Sambang yang berarti datang atau
berkunjung, yang sekarang menjadi komplek Astana Gunung Jati. Di Dukuh
73
pasembangan inilah setiap hari ramai dikunjungi orang untuk keperluan
berdagang. Di sebelah timur komplek pemakaman terdapat Pelabuhan Cirebon
pertama yang dibri nama Muara Jati. Pelabuhan ini ramai di singgahi oleh perahu-
perahu dagang dari berbagai negara antara lain; dari Cina, Arab, Parsi, Bagdad,
India, Malaka, Tumasik (Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang.
Hilir-mudiknya perahu dagang dari berbagai negara dan dari berbagai wilayah
menyebabkan Dukuh Pesambangan menjadi lebih ramai dan keadaan
masyarakatnya makmur dan sejahtera.
Tabel.4.6
Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Ke Tiga
Sub Judul: Pohon-Pohon Api
Bait/Larik Isi Puisi
Pertama Di tengah sayatan suluk dandanggula yang bergetar, dukamu
berlayar
Kedua Ribuan kelelawar terbang dari remang keraton, udara gusar,
pecahan marmar
Ketiga Alun-alun merah kesumba membelit langit bagai ular, meniti
gulungan primbon
Keempat Kramik guci, bongkahan terasi, sumur tujuh,dan rusuh babad
tanah Cerbon (salah satu buku mengenai muasal tanah
Cirebon yang dominan mengungkap “sisi gelap”sejarah
cirebon dengan perspektif mitologis dan mistis)
Kelima Menghujam di pematang cakrawala,menuruni aras tangga-
tangga pendakian
Keenam Lima abad silam: khutbah, jubah, dan terompah sunan,
trlepas dari gurat waktu
Ketujuh Gugusan lapis pualam, uang logam, kelir hitam dan riang
selendang ratu
Kedelapan Menjemputku di riuh subuh, menari serimpi, mengusir arwah
74
peri
Kesembilan Dengan sekerat jimat, gema shalawat yang telah melampaui
pusaran bumi
Dalam Babad Negara Kretabhumi ada seorang tokoh bernama Ki
Pangalang-alang ditunjuk oleh warga Dukuh Pesambangan sebagai Kuwu dan Ki
Shomadulloh sebagai Raksabumi (wakil kuwu). Tidak lama setelah itu Dukuh
Pesambangan dan Muara Jati berubah menjadi Kebon Pesisir dan kemudian
berdirilah desa Cirebon disitu, karena Ki Gede Alang-alang dan Ki Shomadullah
(Walangsungsang)bermata pencaharian membuat lauk pauk dari tumbukan ikan
dan udang kecil (rebon) dicampur dengan terasi, sejak saat itulah Dukuh tersebut
dikenal dengan sebutan Cai-Rebon, dengan rincian sukunya sebagai berikut; 196
orang Sunda, 16 orang dari Swarnabhumi (sumatera), 4 orang dari Semenanjung
Malaya, 11 orang dari Arabia, 6 orang dari Cina, dan 3 orang dari Siam.
Tabel: 4.7
Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Keempat
Sub Judul: Pohon-Pohon Api
Bait/Larik Isi Puisi
Pertama Lelaki bertopeng kelana, liong dan barongsai, gembyung
(jenis seni tradisi Cirebon berupa musik genrjing yang
diiringi dengan pembacaan teks suluk dan shalawat. Salah
satu genre dari seni tradisi daerah ini, yang berangsur-
angsur mulai punah) yang merana
Kedua Membelah lengking seruling, sandiwara raja-raja, dan
keheningan luka
Ketiga Batik lurik, batu akik, derap kuda yang meringkik juga debur
pelabuhan
Keempat Melewati gedung Hindia-Belanda yang kelak diruntuhkan,
panji-panji sultan
75
Kelima Dan biji-biji ketan yang ditaburkan, tumbuh runcing di amis
sebilah keris
Keenam senjata para raden, pusaka juru kuncen, belantara
persembunyian Siliwangi
Ketujuh Mengambang dicemas diperahu nelayan, jalan setapak,
daun-daun trembesi
Kedelapan Prasasti-seperti katamu, telah menghapus perjalanan sakral,
dendam kekal
Kesembilan Mengabadkan juntaian usia serta poripori musimpancaroba
menjadi kanal
Islam sebagai agama baru di tanah Cirebon telah di kenalkan beberapa saat
sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati. Tokoh yang mengawali
memperkenalkan islam di wilayah Cirebon diantaranya Adalah H. Purwa (1337
M), beliau merupakan pemeluk islam pertama di Cirebon dan menyebarkannya di
daerah Cirebon Girang. Kemudian Islam mengalami perkembangan sangat pesat
dan menggembirakan ketika penyebarannya dilakukan oleh Syeikh Syarif
Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Selama
masa pemerintahan Sunan Gunung Jati yaiu pada abad ke-16 terjadi proses
transformasi yang luar biasa dibidang kebudayaan di kota-kota pelabuhan di Jawa
yang ketika itu merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-ide yang menarik minat
orang-orang Jawa yang berbakat. Beliau memimpin pembangunan seperti, masjid-
masjid dan dan makam-makam dibangun dengan perpaduan batu bata dangan seni
hias yang sangat indah.
Tabel: 4.8
Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Kelima
Sub Judul: Pohon-Pohon Api
Bait/Larik Isi Puisi
Pertama Tembok-tembok kuta bekas pertempuran, vihara abad 16,
76
tempekong Budha
Kedua Serpihan air mata, relief-relief huruf sangsakerta,
menggenang penuh cahaya
Ketiga Keraton kencana, tembok bambu, baju perang, ufuk fajar
yang tenggelam
Keempat Kepalung malam, kepenjuru kelam, kedasar reruntuhan
ceruk kolam
Kelima Seperti deras hari-hari membasahi halaman sejarah, akar
pohon dan uban
Keenam Menjadi palawija yang disebarkan burung gereja di
hamparan baluwarti (dinding tembok atau benteng yang
terbuat dari batu-batu atau bata di lingkungan istana atau
keraton)
Ketujuh Ritus kabut, pertemuan langit dengan bumi pertapaan api dan
gong sekati (nama perangkat gamelan kuno yang ditabuh
pada rangkaian upacara tradisi muludan yang diperingati
dua keraton Cirebon yakni kesepuhan dan kanoman, setiap
maulid Nabi Muhammad SAW dengan upacara alegris
panjang-jimat)
Kedelapan Menyimpan percakapan raja-raja, tembakau cerutu, senjakala
yang piatu
Kesembilan Berhamburan di pelipis kanak-kanak, semak-semak perdu
serta busur kayu
Langkah awal yang paling bersejarah yang diambil oleh Sunan Gunung Jati
adalah pada tahun 1483 menghentikan pengiriman upeti garam dan terasi kepada
Ibu Kota Pakuan Pajajaran, sejak saat itu Cirebon di bawah kepemimpinan Sunan
Gunung Jati untuk menjadi negara yang merdeka. Untuk mengantisipasi serangan
dari Pajajaran maka dibutuhkan pasukan keamanan yang disebut dengan pasukan
Djaya Baya. (Masduqi, 2011:3). Diantara bangunan-bangunan peninggalan Sunan
Gunung Jati yang hingga kini masih kokoh adalah sebagai berikut; Masjid Agung
77
Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1480, yang dalam bangunannya dibuat oleh
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dengan Arsiteknya yang bernama Raden
Sepat, mantan arsitek kraton Majapahit, pembangunan pangkalan perahu kerajaan
lengkap dengan gapuranya di tepi sungai Kriyan, istal kuda-kuda kerajaan dan
pos-pos penjagaan, penyempurnaan fasilitas pelayaran di pelabuhan Muara Jati
seperti mercusuar, dan bengkel pembuatan dan perbaikan kapal. Dalam
pembuatan mercusuar pada awalnya didirikan oleh rombongan Laksamana Cheng
Ho atau Sam Po Tay Kam dari Dinasti Ming dengan kaisarnya Yung Lo dalam
waktu tujuh hari pada masa pemerintahan Ki Gedheng Tapa sebagai penguasa
pelabuhan Muara Jati. (masdiqi, 2011:3)
4.3.1 Identivikasi Masalah dalam puisi Cirebon 360,Tahun Kemudian karya
Ahmad Syubbanuddin Alwy menurut Analisis Teks Hayden White
Menurut White untuk memahami teks itu melalui perspektif sejarahnya, dan
hubungan antara sastra dengan sejarah sangatlah dekat. Dalam hal ini White
menampakan, paling sedikit yang dapat diidentifikasi melalui lima faktor yaitu:
Tabel 4.9
Intifikasi Masalah Menurut Hayden White
Identifikasi Masalah
no Identifikasi Hasil Penemuan
1 Medium utama sastra dan
sejarah adalah bahasa
Mengenai Medium Dalam Karya Sastra
Cirebon, 360 Tahun Kemudian
semuanya mengandung bahasa yang
selalu memerlukan imajinasi khalayak
yang membacanya.
2 Menampilkan genre
sejarah
Sudah terang benderang karya tulis yang
bergenre puisi epik memaparkan sejarah
asal-muasalnya daerah Cirebon.
3 Memanfaatkan cerita dan Dari hasil penemuan peneliti, yang
78
tokoh-tokoh sebagai
unsur utama
terpampang dalam karya ilmiah Cirebon,
360 Tahun Kemudian pada bait/larik
pertama sampai kelima menemukan
beberapa tokoh yang tersohor
diantaranya Sunan Gunung Jati,
Laksamana Cang Ho dan putri Cina
Ong- Tien Nio
4 Validitas sastra dan
sejarah adalah keyakinan
dan imajinasi
Karya sastra dalam puisi Cirebon, 360
Tahun Kemudian ini penuh dengan
imajinasi, tetapi perlu didasari bahwa
unsur-unsur imajinasi dapat dipahami
semata-mata dalam kaitannya dengan
latar belakang sosialnya. Seperti pada
bait/larik keempat terdapat lirik
Lelaki bertopeng berkelana, liong dan
barongsai, gembyung yang merana
Membelah lengking seruling, sandiwara
raja-raja, dan keheningan luka
Dalam hal ini Imajinasi, bukan khayalan
kosong sebagai imajinasi harus dapat
diimajinasikan orang lain.
5 Sastra dan sejarah
memandang masa
lampau
Bisa kita lihat dan imajinasikan dengan
fakta pada bait/larik kelima terdapat lirik
tembok-tembok kuta bekas pertempuran,
vihara abad 16, tempekong budha
Serpihan air mata, relief huruf
sangsakerta, mengenang penuh cahaya
Ini adalah sebagai bukti bahwa visi
sastra dan sejarah adalah memandang
masa lampau.
79
4.3.2 kerangka Analisis Teks Heyden White Terhadap Puisi Cirebon, 360
Tahun Kemudian
Tabel 4.9
Kerangka Analisis
Puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian
mimetik objektif
Sosiologi sastra strukturalisme
Fakta cerita
Sarana cerita
keorganisasian
Tema cerita
Sejarah dan bahasa
Kesimpulan dari penelitian
80
Tabel 4.10
Keterangan Kerangka Analisis Hayden White
Mimetik dalam hal ini puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian menggambarkan adanya
anggapan bahwa puisi merupakan tiruan
alam atau penggambaran dunia dan
kehidupan di semesta raya ini. Bisa
dibuktikan adanya bahasa pohon-pohon
api, rumpun padang ilalang, debur laut
bukit karang
tepian samudra muarajati dan seperti
bahasa lelah sembahyang
kemudian pada bait/larik ke tiga dengan
adanya bahasa pucuk daun-daun
melinjoserta pucuk situs sejarah bersujud
dalam nestapa.
Di tambah lagi pada bait kedua larik
pertama dan ke dua adanya bahasa dari
butiran pantai yang berkoyak, kapal-
kapal layar laksamana Ceng Ho
Bertolak menyusuri jejak kaki ribuan mil
putri kaisar Cina Ong- Tien Nio
Ada juga pada bait ketiga larik pertama
dan kedua yang dalam bahasanya
ditengah sayatan suluk dandang gula
yang bergetar, dukamu berlayar
Ribuan kelelawar terbang dari remang
keraton, udara gusar, pecahan marmar.
Sosiologi sastra karya tulis puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian terdapat Pemahaman karya
81
sastra dengan aspek kepada
masyarakatnya dalam hal ini penulisan
karya tulis puisi tersebut memberikan
rujukan seperti halnya karya ilmiah
lainnya
kemudian terdapat pula pemahaman
terhadap totalitas karya sastra yang
disertai dengan aspek kemasyarakatan
yang terkandung di dalamnya, seperti
yang digambarkan pada bait/larik kelima
dimana bunyi liriknya sabagai berikut:
menyimpan percakapan raja-raja,
tembakau cerutu, sanjakala yang piatu
berhamburan dipelipis kanak-kanak,
semak-semak perdu dan busur kayu
terdapat pula jejak hubungan dua arah
antara sastra dengan masyarakat seperti
yang dipaparkan dalam kaidah jurnalistik
yang berupa 5W+1H
dari pemahaman lirik tersebut jejak lain
dalam karya sastra ini sekaligus
mendapatkan adanya hubungan dengan
masyarakat yang melatar belakanginya
Strukturalisme fungsi utama dalam karya sastra ini untuk
melukiskan, mencerminkan, kehidupan
manusia, sedangkang kehidupan manusia
itu sendiri selalu mengalami perubahan.
82
Objektif Penggunaan khasanah dan budaya lokal
dalam puisi-puisi alwy merupakan ciri
khas dan nilai lebih tersendiri yang tidak
terdapat pada umumnya sebuah puisi. Ini
bertujuan agar pembaca sanggup
mencerna kebudayaan lokalnya sebagai
basis inspirasi kehidupan maupun ilmu
pngetahuan.
Fakta cerita Karya jurnalisme sastra yang di gagas
Alwy dalam Puisinya Cirebon, 360
Tahun kemudian mendelegasikan
beberapa fakta cerita yaitu:
Tokoh karakter
alur
latar
Sarana cerita Dewasa ini karya sastra jurnalisme yang
digagas Alwy berupa puisi Cirebon, 360
Tahun Kemudian dalam memahami
khalayak pembaca, memberikan sarana
cerita diantaranya mencakup:
Judul
Sudut pandang
Gaya dan tone
Simbolisme
Ironi
Tema cerita Tema-tema dalam puisi Alwy begitu luas,
puspa ragam, lintas dimensi, dan multi
disiplin. Kita akan menemukan tema-tema
seperti politik, kebudayaan, ekonomi,
kritik sosial, dan bahkan sejarah sekalipun
83
dalam setiap deret puisi-puisi Alwy. Ini
membuktikan bahwa Alwy merupakan
sesosok figur yang multi interdisipliner
dan menguasai banyak sekali dalam
bidang pengetahuan. Ini juga menunjukan
bahwa puisi tidak selalu berhubungan
dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan
tidak bisa dipahami. Melalui puisi
Cirebon, 360 Tahun Kemudian Alwy
membuktikan bahwa puisi juga bisa
membahas sejarah dan fenomena sosial.
Keorganisasian Interpretasi yang baik hendaknya selalu
mempertimbangkan berbagai detail
menonjoldalam sebuah cerita.
Interpretai tidak terpengaruh oleh berbagai
detail cerita yang saling berkontradiksi
Tidak bergantung pada bukti-bukti yang
tidak secara jelas di utarakan
Diujarkan secara jelas oleh cerita yang
bersangkutan
Kesimpulan penelitian
Dari segi genre atau jenis puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian merupakan
puisi dengan genre lirisisme (puisi liris). Lazimnya puisi demikian merupakan
puisi yang pertama kali di jajaki oleh para penyair pemula. Dan pecentusnya atau
pelopor puisi bergenre lirisisme adalah Sapardi Djoko Damono. Di kalangan para
penyair, Sapardi Djoko Damono merupakan sosok dewa puisi lirisisme. Ahmad
Syubbanuddin Alwy tidak berlebihan jika dikatakan sebagai penerus Sapardi
84
dalam bidang puisi. Hanya saja dalam puisi-puisi Alwy, ia tak hanya
mengandalkan rasa, imajinasi, maupun fantasi dalam melahirkan puisi-puisinya.
Melainkan lebih dari itu, Alwy membuat puisi seperti halnya membuat
karya ilmiah untuk jurnal-jurnal internasional. Ini bisa dibuktikan mulai dari:
1. Penggunaan footnote (catatan kaki) untuk setiap istilah maupun
momentum sejarah yang sulit dilacak. Ini bertujuan tentu saja untuk
memudahkan pembaca dalam memahami puisi-puisinya.
2. Penggunaan khasanah dan budaya lokal dalam puisi-puisi alwy
merupakan ciri khas dan nilai lebih tersendiri yang tidak terdapat pada
umumnya sebuah puisi. Ini bertujuan agar pembaca sanggup mencerna
kebudayaan lokalnya sebagai basis inspirasi kehidupan maupun ilmu
pngetahuan.
3. Pemakaian sumber data (referensi) yang begitu banyak akan dengan
mudah kita temui dalam puisi-puisi Ahmad Syubbanuddin Alwy. Ini
menandakan bahwa Alwy begitu tertib ilmiah dalam berkarya, bahkan
dalam membuat puisi sekalipun. Tujuannya agar puisinya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah di hadapan sidang pembaca.
4. Tema-tema dalam puisi Alwy begitu luas, puspa ragam, lintas dimensi,
dan multi disiplin. Kita akan menemukan tema-tema seperti politik,
kebudayaan, ekonomi, kritik sosial, dan bahkan sejarah sekalipun dalam
setiap deret puisi-puisi Alwy. Ini membuktikan bahwa Alwy merupakan
sesosok figur yang multi interdisipliner dan menguasai banyak sekali
dalam bidang pengetahuan. Ini juga menunjukan bahwa puisi tidak
selalu berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan tidak bisa
dipahami. Melalui puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Alwy
membuktikan bahwa puisi juga bisa membahas sejarah dan fenomena
sosial.
Setelah kita mengetahui bahwa ternyata puisi Cirebon, 360 Tahun
Kemudian memenuhi kaidah jurnalistik maupun sastra, lalu lebih bermanfaat
manakah kedua model karya tersebut dihadapan para pembaca, apakah dengan
karya jurnalistik? Ataukah dengan karya sastra?
85
lazimnya bahwa karya sastra jauh lebih bisa menyerap di hati dan benak
kepada para pembaca, ketimbang dengan karya jurnalistik, mungkin dikarenakan
karya sastra disamping menggunakan fakta sebagai dasar tulisan juga
menggunakan empati dan rasa. Ini berbeda dengan karya jurnalistik, yang hanya
menggunakan fakta semata. Buktinya lebih banyak manakah orang yang
berlangganan koran ketimbang membeli karya TERELIE maupun ANDREA
HIRATA. Ini adalah bukti kuat bahwa karya sastralah lebih bisa diterima oeh
masyarakat tenimbang dengan karya jurnalistik. Oleh karena itu dengan penelitian
ini, sudah saatnya untuk memadukan jurnalistik dan sastra, tujuannya agar karya
jurnalistik lebih enak dibaca oleh masyarakat seperti halnya karya sastra. Dan
itulah yang penulis katakan bahwa jurnalistik dengan sastra sebagai genre/jenis
jurnalisme baru, yaitu jurnalisme sastra.