BAB IV - SMARTCAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

29
57 BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti ingin memaparkan dari apa yang tertera dalam pertanyaan penelitian, maka dalam hal ini yang dilakukan peneliti yaitu menganalisa terlebih dahulu, dan yang akan menjadi objek penelitannya yaitu tentang puisi yang berjudul Cirebon, 360 Tahun Kemudian karya Ahmad Syubbanuddin Alwy. Sementara itu untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, maka digunakan Metode Kualitatif dengan Pendekatan Analisis Teks Hayden White. Dimana White dapat mengidentifikasi masalah dengan memandang lima faktor yaitu: pertama, medium utamanya adalah basaha. kedua, menampilkan dengan genre yang berkaitan dengan sejarah. Ketiga memanfaatkan cerita dan tokoh sebagai unsur utama. keempat, validasi sastra dan sejarah adalah keyakinan dan imajinasi. Kelima, memandang masa lampau. Adanya hal ini maka Pembahasan akan diawali dengan kutipan puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian. Dan yang akan dianalisis pada puisi tersebut yaitu bait/larik pertama sampai bait/larik ke lima 4.1 Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Karya Ahmmad Syubbanuddin Alwy Pohon-pohon Api Pohon-pohon api, rumpun padang ilalang, debur laut bukit karang tepian samudera muara jati bercerita, seperti lelah sembahyang pucuk daun-daun melinjo serta situs sejarah bersujud dalam nestapa melukiskan rajah, kaligrafi kuno, ratusan artefak, jejak sandi para raja tangis keris, kemat jaran guyang, kuburan tak bernama, lingkar kesunyian bercampur debu, kembang setaman yang mengabadikan harum mitos-mitos dari selat kesumat, dari semenanjung murung, dari kehidupan yang chaos derap roda pedati gede itu, membawaku ziarah dan bertapa di lahar gunung menjangkau lambaian sorban yang diterbangkan kepak sayap lelaki agung Langit meditasi bianglala ekstasi

Transcript of BAB IV - SMARTCAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

57

BAB IV

HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti ingin memaparkan dari apa yang tertera dalam

pertanyaan penelitian, maka dalam hal ini yang dilakukan peneliti yaitu

menganalisa terlebih dahulu, dan yang akan menjadi objek penelitannya yaitu

tentang puisi yang berjudul Cirebon, 360 Tahun Kemudian karya Ahmad

Syubbanuddin Alwy. Sementara itu untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini,

maka digunakan Metode Kualitatif dengan Pendekatan Analisis Teks Hayden

White. Dimana White dapat mengidentifikasi masalah dengan memandang lima

faktor yaitu: pertama, medium utamanya adalah basaha. kedua, menampilkan

dengan genre yang berkaitan dengan sejarah. Ketiga memanfaatkan cerita dan

tokoh sebagai unsur utama. keempat, validasi sastra dan sejarah adalah keyakinan

dan imajinasi. Kelima, memandang masa lampau. Adanya hal ini maka

Pembahasan akan diawali dengan kutipan puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian.

Dan yang akan dianalisis pada puisi tersebut yaitu bait/larik pertama sampai

bait/larik ke lima

4.1 Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Karya Ahmmad Syubbanuddin

Alwy

Pohon-pohon Api Pohon-pohon api, rumpun padang ilalang, debur laut bukit karang tepian samudera muara jati bercerita, seperti lelah sembahyang pucuk daun-daun melinjo serta situs sejarah bersujud dalam nestapa melukiskan rajah, kaligrafi kuno, ratusan artefak, jejak sandi para raja tangis keris, kemat jaran guyang, kuburan tak bernama, lingkar kesunyian bercampur debu, kembang setaman yang mengabadikan harum mitos-mitos dari selat kesumat, dari semenanjung murung, dari kehidupan yang chaos derap roda pedati gede itu, membawaku ziarah dan bertapa di lahar gunung menjangkau lambaian sorban yang diterbangkan kepak sayap lelaki agung Langit meditasi bianglala ekstasi

58

matahari menari para empu bernyanyi dan amarah sembunyi Dari buritan pantai yang koyak, kapal-kapal layar Laksamana Cheng Ho bertolak, menyusuri jejak kaki ribuan mil puteri kaisar Cina Ong Tien Nio para perajurit dengan seragam menyala, membenamkan malam di atas pundak burung-burung bangau, anak-anak rantau, hutan jati serta gemuruh geladak angin risau, uap air kemarau, empat ratus tahun dari 1600 masehi yang kelam gerimis menetes di masjid tua, abdi-dalem duduk bersila, batuk-batuk dan semedi menuangkan perih doa, menaburkan sesaji pada pintu gapura yang terkunci seperti seorang sunan yang gelisah, kususun kembali retak-retak sejarah di antara tembikar, pelepah lontar, dan kitab-kitab yang bertuliskan darah Lautan abrasi rembulan sunyi jalanan berduri para wali mengungsi dan mata-angin bersaksi Di tengah sayatan suluk dandanggula yang bergetar, dukamu berlayar ribuan kelelawar terbang dari remang keraton, udara gusar, pecahan marmar alun-alun merah kesumba membelit langit bagai ular, meniti gulungan primbon keramik guci, bongkahan terasi, sumur tujuh, dan rusuh babad tanah Cerbon menghunjam di pematang cakrawala, menuruni aras tangga-tangga pendakian lima abad silam: khutbah, jubah dan terompah sunan, terlepas dari gurat waktu gugusan lapis pualam, uang logam, kelir hitam dan riang selendang ratu menjemputku di riuh subuh, menari serimpi, mengusir arwah peri dengan sekerat jimat, gema shalawat yang telah melampaui pusaran bumi Hujan besi desis perigi gerhana matahari para paderi mengaji dan gigil hati menyusun sunyi Lelaki bertopeng kelana, liong dan barongsai, gembyung yang merana membelah lengking seruling, sandiwara raja-raja, dan keheningan luka batik lurik, batu akik, derap kuda yang meringkik, juga debur pelabuhan melewati gedung Hindia-Belanda yang kelak diruntuhkan, panji-panji sultan dan biji-biji ketan yang ditaburkan, tumbuh runcing di amis sebilah keris senjata para raden, pusaka juru kuncen, belantara persembunyian Siliwangi

59

mengambang dicemas perahu nelayan, jalan setapak, daun-daun trembesi prasasti—seperti katamu, telah menghapus perjalanan sakral, dendam kekal mengabadikan juntaian usia serta pori-pori musim pancaroba menjadi kanal Jerit paksi percikan merkuri liang-lahat menepi para bidadari berdiri dan sungai memeluk galaksi Tembok-tembok kuta bekas pertempuran, vihara abad 16, tempekong Budha serpihan airmata, relief-relief huruf sangsakerta, menggenang penuh cahaya kereta kencana, tombak bambu, baju perang, ufuk fajar yang tenggelam ke palung malam, ke penjuru kelam, ke dasar reruntuhan ceruk kolam seperti deras hari-hari membasahi halaman sejarah, akar pohonan dan uban menjadi palawija yang disebarkan burung gereja di hamparan baluwarti ritus kabut, pertemuan langit dengan bumi, pertapaan api dan gong sekati menyimpan percakapan raja-raja, tembakau cerutu, senjakala yang piatu berhamburan di pelipis kanak-kanak, semak-semak perdu serta busur kayu Garis hati lecutan cemeti gugusan bimasakti para pujangga memekik nyeri dan mega-mendung menyemaikan melati Dalam kusam tulisan yang hampir sirna, kehilangan suara, dipiring porselin lantai dingin, kata-kata itu bergema: menyimpan tajug dan riuh fakir-miskin dari balik bukit jauh, juga gemuruh takbir, menyepuh berhelai-helai sukma gemerincing seperti guguran batu yang dijatuhkan dari kedalaman lorong gua memantulkan obor raksasa, jembatan airmata, serta puisi yang berkilauan memenuhi udara pagi, memenuhi separuh sore, belerang dan ladang tebu berkilatan ke langit, menyusun hutan bambu menjadi rumpun sembilu dari ubun-ubun serta sumsum tubuhku, angin menuliskan jejak para wali yang menandai kisah peperangan, ledakan topan, segores misteri dan tragedi Tabir mimpi kabut misteri lambaian hari para sufi menepi dan laut bersimpuh gusti Di seberang samudera yang berapi, di tapal bagang sunyi, purnama mati

60

semua berkabung, mendekat ke arah matahari, merambat ke denah perigi camar-camar mengarak ikan, alunan gamelan, akar rumputan dan debur lautan mencelup asin tubuh para buruh yang menghadang bulan di altar pelabuhan perahu-perahu melaju beku, langit membasahi urat darah, sejarah tanpa ujung sebagian ditulis di atas batu, sebagian diiris di ruas empedu, dalam napasmu berkelebat perih menjadi puncak pertapaan para empu, yang tak tercatat buku situs perjalanan kami ditumbuhi batang-batang jerami, dihanguskan percik bara temaram dalam lorong senja, mengingatkan istana tanpa celah pintu dan jendela Lengking banaspati lengkung bumi frustrasi kampung-kampung ngeri para pemuda membakar diri dan sultan yang agung menyepi Derap lari penunggang kuda yang terluka, melintasi rawa-rawa yang beracun di tepian muara, di tepian pantai utara, bahkan diretakan cokelat tanah gurun rasi bintang, sudut galaksi, pecahan gerhana, menaburkan pasir-pasir garam membelah perbatasan pesisir yang anyir serta labirin pasundan yang asam dan nyeri khatulistiwa, kembali dipenuhi bercak hitam darah pertempuran barisan kompeni itu, melubangi dada kami, menjelajahi usus duabelas jari merangkai-rangkai jalur dermaga, menyiram arak, dan menelisik peta negeri dengan lempengan besi, dengan serpihan api, dengan asap serbuk mesiu menerobos paru-paru dan membakar rumah-rumah atap rumbia yang tersedu Denting kecapi kepak sayap rajawali genderang perang paderi para prajurit penuh misteri dan orang-orang melesat berlari Gemerincing pedang yang terasah waktu, gemetar menyentuh alismu dengan tirai sabda, jerit perisai yang menganga, bendera lawon blacu suara gaduh dari huruf-huruf kitab tua, halilintar di belahan balairung tenggelam dalam lembaran hikayat, silsilah raja-raja yang terselubung menuntun jiwaku memasuki puisi, memasuki lorong panjang serat api para pujangga yang menulis kisah-kisah purba itu, masih diam bertapa masih khusyuk berdoa, para nayaga menyanyikan suluk dandanggula meski tak henti menguraikan airmata, membasahi lengan baju pangeran dari padang Kurusetra, dari medan peperangan, dari napsu pertempuran

61

Gemuruh hati perjalanan tanpa henti berdentang tebing sunyi para kafilah menyusuri puncak duri dan jalan-jalan berasap memisahkan diri Kereta kencana berangkat dalam diri, dicelah resah potongan sejarah ceceran noda tinta, kata-kata murung tak terbaca, abad yang bergetah singgasana raja, potret pudar kesatria, lapis karat senjata, terhunus nyeri mengalirkan urat darah ke denyut nadi, ke jejak para prajurit sembunyi di lubang gua, di sungai terluka, di senjakala yang melambaikan rintihan mengirimkan duka-cita, mengirimkan pesan-pesan dari padang sabana tahun-tahun berlepasan, hari-hari merengkuh separuh riwayat inci samudera ulu-hatimu, seperti kapal tongkang Kaisar China membawa geliat naga emas Sultan Mataram yang ragu berkemas, dan saudagar Arab mengerat cemas Betapa abadi pendakian di balik jeruji berjatuhan dari sebilah belati para penjelajah mengasah nyali dan sejarah bergegas kehilangan tepi 2. Ilalang-ilalang sembilu Ilalang-ilalang sembilu, gugusan bintang koyak, kepak burung hantu bukit kapur, parit-parit lumpur, jalan lingkar yang memotong tanganmu berputar dari kening masa-lalu, berpencar ke dinding gua yang berasap pagar-pagar hutan lenyap, juntaian krikil-krikil sihir melayang ke atap menaburkan gerimis cuka, menyebarkan cemas cuaca, ratap langit liar seratus lonceng berdentang dari gendang telinga, aras cakrawala terkelupas melumuri wajahku dengan magma, dupa, bunga. Dan, situs-situs tak berbekas silsilah raja pada kayu nisan, kamboja renta, getar laut serta ruas mata-angin menembus rusuk dan tulang-belulang waktu, remah hujan juga kabut dingin Darah biru menetes ragu dari kerat jantungmu para Rahwana berganti baju dan keris berontak membuka kelambu Tersingkaplah, gapura yang berlapis-lapis, tahta yang kian layu berbaris Hijib para tabib, teluh dari megatruh, kelak dermaga persinggahan kikis di sebalik rajah yang menyerupai lekuk peta, juga silang cerita masih menyala

62

pada sesobek kertas lusuh cokelat tembaga, patahan-patahan gosong bianglala beratus kuda melintas dari tenggara kepundan, dari kelam kabut masa-silam seorang puteri bermata liris setipis bulan—bahkan katamu, berparas bidadari menuliskan historiografi dengan relief mega-mendung, cinta dan sepucuk duri yang ditisik pada selendang, kain kebaya, batu-batu cincin serta piring porselin almanak menyusut beku, gurat luka menyusun penjuru angin dan kelok labirin Tombak bambu melesat hingga ulu dari gerbang pintu fana itu para serdadu lebam membiru dan laut melukiskan selat darahmu Hulubalang raja-raja menyeberangi becek rawa-rawa, memetik tangkai api membidik tungkai kaki, samudera menyerpih seperti lukisan perih bimasakti seorang pertapa menyusun biografi naga dan paksi dengan sayatan airmata kelebat keraton melintasi purnama masehi: langit gading tua merengkuh kota gending tetabuhan candi-candi tumpang-tindih, sandi-sandi rumpang berselisih dari selat lukamu yang terbelah, laut berkisah, tahta berlayar ke sebilah keris juga lengking jerit-dendam teriris, menuruni pasir tanah datar yang dikikis-habis sejarah dan tetirah, abad dan babad, jejak Belanda dan tahi kuda: berceceran memenuhi garis silsilah di telapak tanganku, berlumur tinta darah pertempuran Beterbanganlah batu-batu mengepung belantara perdu dari semak-belukar mahkotamu para arkeolog menyelam ke dasar waktu dan bertahun-tahun kabut datang menderu Daun-daun berserakan seperti reruntuhan musim semi, juga kebimbangan membentuk bulan sabit yang merana, batang-batang jerami dan keheningan menyeruak masuk ke pusat perapian. Laut riuh melambai, juga sungai-sungai berkelebatan dalam kelir di semenanjung luka, di senandung samudera pasai tiga abad kami mengembara ke muara kegelapan, menyusun arsitektur sejarah dari karat senjata-senjatamu, kitab-kitab yang berjamur, inti filsafat yang terkubur anatomi wajah para raja yang uzur, ritus yang melambangkan arwah para leluhur jalan berbatu ke puncak sunyi gunung itu, menembus rongga paru dan ubun-ubun melewati pesisir hingga pelipis, sepasang alis sampai bola matamu yang mulai rabun

63

Guguran jiwaku menggenang berkeping beku memenuhi helai-helai rambutmu para pengembara menyanyikan keroncong waktu dan memahat puisi pada ranting kamboja juga nisan kayu Dari ufuk sore yang jauh, ilalang tumbuh pada betismu, juga perasaan ragu merambat pada serat darahmu.

Mengenai puisi Cirebon, 360 tahun kemudian, merupakan Dalam teknik

penulisan puisi diatas merupakan perpaduan antara teknik jurnalistik yaitu ilmu

terapan yang digunakan sebagai pewarta berita, yang dipadu dengan unsur-unsur

keindahan sastrawi.

Dan puisi tersebut merupakan pencapaian yang paling penting Mas

Alwy Dari sekian karya-karyanya, puisi Cirebon, 630 Tahun Kemudian_lah yang

menjadi master piece yang dilahirkan Mas Alwy. Puisi Epik ini mengisahkan

sejarah ataupun biografi daerah Kota Cirebon semenjak kali pertama munculnya

pedukuhan Caruban hingga situasi terakhir saat Alwy masih menuliskannya. Dan

diakhir hayatnya, sebagai salah satu jalan untuk melakukan penelitian dan menulis

sejarah Cirebon secara komprehensif, Ahmad Syubbanuddin Alwy masih tercatat

sebagai mahasiswa Pasca Sarjana, Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran

Bandung. Senyampang menyelesaikan antologi puisi panjang dan utuh, yang

mulai ditulis dan dicitakan sejak tahun 2000, dengan judul: Cirebon, 360 Tahun

Kemudian.

4.2 Pandangan jurnalisme dan sastra terhadap Puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian karya Ahmad Syubbanuddin Alwy Bait/larik Pertama

sampai Kelima

4.2.1 Pandangan dari Aspek Jurnalisme

Kalau puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian masuk kedalam kategori

jurnalistik, maka puisi tersebut termasuk kedalam kategori jurnalistik apa?

Apakah tergolong kedalam kategori jurnalistik beritakah, feature, tajuk, opini,

64

atau apa? Dan misal puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian masuk kedalam kategori

sastra, maka puisi tersebut tergolong kategori sastra apa? Sajak kah, prosa, puisi,

atau apa?

Tabel 4.1

Unsur-Unsur Dasar Kaidah Jurnalistik

Kaidah jurnalistik Hasil penelitian

What

(apa yang terjadi?)

pada puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian

ini menceritakan/mengisahkan sejarah

asal muasal daerah Cirebon.

Who

(siapa pelakunya?)

Yang mana disini menerangkan tentang

kiprahnya seorang Laksamana Cheng HO,

dan seorang putri dari kaisar Cina yaitu

Ong Tien Nio.

Why

(kenapa hal itu bisa terjadi?)

Karena pada saat itu yang menjadi lalu

lintas perdagangan dunia adalah jalur

lautan.

Demikian juga cirebon dibangun dari

peradaban lautan/maritim, ini ditandai

oleh dibangunnya pelabuhan Muara Jati

yang semula bernama Tanjung Mas.

Pelabuha ini juga menandakan bahwa

pendaratan Angkatan Laut Kaisar Cina

pada tahun 1600an yang pada waktu itu

dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho.

Dari sinilah kebudayaan Cirebon dan

kebudayaan Cina menyatu melalui

peradaban Maritim.

Where Di daerah Cirebon

65

(di mana kejadiannya?)

When

(kapan kejadianya?)

Dalam puisi ini, kejadiannya dari mulai

abad 16 sejak mendaratnya Laksamana

Cheng Ho di pelabuhan Muarajati hingga

sampai Cirebon Era modern sekarang ini.

How

(bagaimana kronologi hal itu

bisa terjadi dan apa motif

yang melatar belakanginya?)

cirebon dibangun dari peradaban

lautan/maritim ditandai oleh

dibangunnya pelabuhan muara jati yang

semula bermula bernama tanjung mas.

pelabuhan adanya pelabuhan ini

menandakan bahwa pendaratan angkatan

laut Kaisar Cina pada tahun 1600-an

yang di pimpin oleh Laksamana Cheng-

Ho.

Dari sinilah kebudayaan Cina dan

Cirebon menyatu dari mulai peradaban

Maritim.

Dari isi tabel di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwasannya, puisi

Cirebon, 360 Tahun Kemudian karya mas Alwy telah memenuhi unsur-unsur

dasar dari jurnalistik yang berupa 5W+1H.

Selain dari unsur jurnalistik 5W+IH karya tulis Cirebon, 360 Tahun

Kemudian bisa dilihat dari segi Cover Both Side untuk membuktikan bahwa karya

tulis yang di gagas oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy bisa dikatakan sebagai karya

jurnalistik. Dalam menulis berita, juga dikenal adanya istilah Cover both side

yang artinya dalam rangka memberitakan pada para jurnalis menjadi sebuah

prinsip yang berhubungan dengan perlakuan adil terhadap sebuah pihak yang

menjadi objek (berita) dengan melibatkan semua yang terlibat dalam sebuah

peristiwa, atau disebut juga dengan pemberitaan yang berimbang dan harus

menampilkan semua fakta. Adapun ketentuan dalam pemberitaan yang

berimbang, untuk lebih jelasnya peneliti dapat memberikan bukti bahwa dalam

66

pemberitaan dan penulisan pada karya Cirebon, 360 Tahun Kemudian bisa

memenuhi ketentuan (kreteria) Cover Both Side antara lain;

Tabel 4.2

Cover Both Side

Kaidah cover both side Hasil penelitian

Pemberitaan fakta Pada penulisan karya sastra puisi

Cirebon, 360 tahun kemudian

menampilkan fakta-fakta sejarah,

bisa dibuktikan dari pembahasan

asal-muasalnya sejarah daerah

Cirebon dari mulai abad 16

sampai menjadi Cirebon modern

sekarang ini.

Tidak memuat informasi yang tidak

relevan

Penulisan karya sastra yang di

gagas oleh Ahmad Syubbanudin

Alwy dalam bentuk puisinya

yang berjudul Cirebon 360,

Tahun Kemudian selalu memuat

hal-hal yang berbau informasi,

seperti kebudayaan, sosial dan

politik.

Tidak menipu Pada karya sastra yang ber genre

puisi epik (puisi sejarah)

menampilkan keterangan-

keterangan atau rujukan seperti

menampilkan footnote.

Tidak memasukan opini Pada puisi Cirebon 360, Tahun

Kemudian yang di gagas oleh

Mas Alwy tidak memasukan

67

pendapat dalam penulisannya

Menampilkan sudut pandang yang

relevan

Dari keseluruhan bait/lariknya

pada puisi Cirebon, 360 Tahun

kemudian selalu menampilkan

sudut pandang yang relevan.

Dari isi tabel di atas peneliti menarik kesimpulan bahwa karya sastra yang

di gagas oleh Ahmad syubbanuddin Alwy yang bergenre Puisi Epik tersebut

selaras dengan unsur jurnalisme cover both side yaitu sebagai berikut:

1) pemberitaan dalam karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian

menampilkan fakta dari masalah pokok yaitu sejarah muasalnya daerah

Cirebon dari mulai abad 16 sampai modern

2) Penulisan dalam karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian tidak memuat

informasi yang tidak relevan.

3) Pemberitaan tidak menyesatkan atau menipu pada khalayak.

4) Dalam pemberitaannya tidak memasukan opini atau emosi, tetapi ditulis

seakan-akan sebagai fakta

5) Semu bait/lariknya menampilkan sudut pandang yang relevan dari

masalah yang diberitakan.

Oleh sebab itu secara literatur atau secara linguistik puisi tersebut berupa

karya sastra, dan dalam kasus puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian ini juga bisa

dikategorikan/dikatakan sebagai puisi jurnalistik.

4.2.2 Pandangan dari Aspek Sastra

Karya sastra dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Puisi ( disusun berdasarkan bait ).

2. Prosa ( disusun berdasarkan paragraf ).

3. Drama ( disusun berdasarkan dialog ).

Unsur-unsur karya sastra terdiri dari Intrinsik dan Ekstrinsik. Intrinsik

terdiri dari tema, diksi, alur, tokoh, latar, sudut pandang dan amanat. Sedangkan

68

Ekstrinsik terdiri dari daftar riwayat hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya,

atau kehidupan sipengarang tersebut.

Secara garis besar larik aksara Ceribon, 360 Tahun Kemudian, merupakan

bentuk karya sastra yang berupa puisi. Adapun unsur-unsur puisi dalam tulisan di

atas terdiri dari: 1. Diksi, 2. Larik, 3. Bait, 4. Bunyi, dan 5. Makna. Kelima unsur

ini saling mempengaruhi keutuhan puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian. Untuk

lebih mempermudah penjelasan kelima unsur di atas penulis akan

menerangkannya di bawah tabel berikut ini:

Tabel: 4.3

Unsur-unsur pembangun puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian

Kata/diksi Pemilihan kata atau diksi yang tepat

sangat menentukan kesatuhan dan

keutuhan unsu-unsur yan lain. Dari

kata-kata yang sudah dipilih tersebut

kemudian akan menjadi sebuah larik.

Larik/baris Larik mempunyai pengertian yang

berbeda dengan kalimat. Larik bisa

berupa satu kata, satu frase, bisa pula

terdiri dari satu kalimat yang utuh. pada

puisi lama jumlah kata dalam sebuah

larik biasanya terdiri dari empat kata.

Tetapi di dalam puisi modrn jumlah

kata dalam larik tidak terbatas.

Bait Kumpulan larik yang tersusun

harmonis. Pada bait inilah biasanya ada

kesatuan makna. Pada puisi lama

jumlah larik dalam sebuah bait,

biasanya terdiri dari empat baris, tetapi

di dalam puisi modern tidak di batasi.

69

Rima/bunyi Rima persajakan adalah bunyi-bunyi

yang ditimbulkan oleh huruf maupun

kata-kata dalam larik dan bait.

Irama Pergantian tinggi rendah, panjang

pendek, dan keras lembut, ucapan

bunyi puisi. Timbulnya irama

disebabkan oleh perulangan bunyi

secara berturut-turut dan berfariasi,

tekanan-takanan kata yang bergantian

atau panjang pendek sebuah kata.

Dari semua penjelasan kelima unsur puisi diatas sudah sangat terang

benderang bahwa karya tulis Cirebon, 360 Tahun Kemudian merupakan bentuk

puisi modern yang pemilihan diksi, larik, bait, rima, dan iramanya memakai

standardisasi puisi modern yang biasa kita temui dalam karya para penyair-

penyair muda seperti M. Khoirul Anwar KH dan M. Aan Mansyur.

4.3 Analisis Teks Haiden White Terhadap Puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian Bait/Larik Pertama Sampai Bait/Larik Ke Lima Karya

Ahmmad Syubbanuddin Alwy

Kajian teks tentang puisi karya Ahmad Syubbanuddin Alwy yang berjudul

Cirebon, 360 Tahun Kemudian baik secara jurnalistik maupun secara sastra.

Misalkan secara jurnalistik, apakah teks Cirebon, 360 Tahun Kemudian sudah

memenuhi kaidah jurnalistik yaitu berupa 5W+1H yang merupakan akronim yang

berisi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: what (berupa apa kejadiannya?),

who (siapa pelakunya?), why (kenapa hal itu bisa terjadi?), where (di mana

kejadiannya?), when (kapan terjadinya?), dan how (bagaimana kronalogi hal itu

bisa terjadi dan apa motif yang melatar belakanginya) atau belum?

Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas maka peneliti ingin

mengutarakannya lewat tabel dibawah ini:

70

Tabel 4.4

Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Pertama

Sub Judul: Pohon-Pohon Api

Bait/Larik Isi Puisi

Pertama Poho-pohon api, rumpun padang ilalang,debur laut butir

karang

Kedua Tepian samudra Muarajati (adalah pelabuhan cirebon

sekarang, yang semula bernama Tanjung Mas, dengan

mengambil konteks historis pendaratan Angkatan Laut

Kaisar Cina tahun 1600-an, yang lokasinya diperkirakan

disekitar pantai desa gunung jati) bercerita, seperti lelah

sembayang

Ketiga Pucuk daun-daun melinjo serta situs sejarah bersujud dalam

nestapa

Keempat Melukiskan rajah, kaligrafi kuno, ratusan artefak, jejak sandi

para raja

Kelima Tangis keris, kemat jaran guyang (sejenis mantra yang

memberikan unsur magime pada seorang laki-laki, agar

memiliki daya tarik dan menumbuhkan perasaan cinta

seorang perempuan, atau sebaliknya. Di Cirebon dikenal

kisah percintaan Baridin dan Ratminah, yang menggunakan

mantera tersebut, keduanya berakhir gila. Hampir seperti

kisah Romeo dan Juliet kemudian Laila Majenun), kuburan

tak bernama lingkar kesunyian

Keenam Bercampur debu, kembang setaman yang mengabadikan

harum mitos-mitos

Ketujuh Dari selat kesumat, dari semenanjung murung, dari

kehidupan yang chaos

Kedelapan Derap roda pedati gede (nama andong (pedati besar) yang

seluruhnya terbuat dari kayu, dikenal sebagai kendaraan

71

semasa Waliyulloh Syekh Sunan Gunungjati dalam

menyebarkan ajaran Islam kewilayah Cirebon dan

sekitarnya pada kurun 1600-an, hingga kini kerangkanya

yang asli masih disimpan disatu daerah Pekalangan Kota

Cirebon) itu, membawaku ziarah dan bertapa di lahar

gunung

Kesembilan Menjangkau lambaian sorban yang diterbangkan kepak

sayap lelaki agung

Banyaknya peradaban di dunia ini berawal dari tepian air. Tepian air dapat

terwujud tepi telaga, tepi oase, tepi paya-paya, tepi sungai, tepi danau, maupun

tepi pantai. Karena faktor iniah kemudian mereka bertemu, berkumpul lalu

membentuk komunitas yang pada akhirnya terbangun suatu kebudayaan dan

peradaban diantara mereka. Demikian juga di Cirebon, secara teritorial geografis

terletak di tepian pantai utara (pantura), yang dilengkapi dengan sungai-sungai

yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi ke pedalaman yang

letaknya disekitar pelabuhan Cirebon yaitu; Sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean,

dan Cilosari. Karena dengan keberadaannya yang strategis itu mampu mengikuti

gejala umum kota-kota tua yang letaknya di tepian air. Cirebon yang dulunya

dikenal dengan nama Caruban Nagari yang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang

artinya campuran. Dalam konteks sejarah Cirebon sendiri daerah untuk

bercampurnya penduduk yang berasal dari berbagai wilayah nusantara dan luar

nusantara dalam prses akulturasi kebudayaan, interaksi yang sangat intensif

tersebut dimungkinkan di Cirebon pada masa itu, karena lokasinya yang sangat

setrategis baik dari jalur pelayaran antar pantai dan juga perjalanan darat dari

Jawa Tengah ke Jawa Barat.

Sedangkan Cirebon sendiri berasal dari kata Ci yang berarti air atau aliran

sungai, dan dari kata Rebon yang berarti ikan atau nama dari udang kecil.

Kemudian menampakan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika

pengaruh islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa.

(masduki, 2011:2)

72

Tabel 4.5

Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Kedua

Sub Judul: Pohon-Pohon Api

Bait/Larik Isi Puisi

Pertama Dari butiran pantai yang berkoyak, kapal-kapal layar

Laksamana Cheng Ho (salah seorang Panglima Angkatan

Laut tentara Kaisar Cina yang dinilai sebagai “peletak”

simbol-simbol akulturasi budaya Cina dengan tradisi

Cirebon)

Kedua Bertolak, menyusuri jejak kaki ribuan mil putri Kasar Cina

Ong- Tien Nio (adalah Putri Kaisar Cina yang dinikahi

Syekh Sunan Gunungjati)

Ketiga Para prajurit dengan seragam menyala, membenamkan

malam diatas pundak

Keempat Burung-burung bangau, anak-anak rantau, hutan jati serta

gemuruh geladak

Kelima Angin risau, uap air kemarau, empat ratus tahun dari 1600

masehi yang kelam

Keenam Gerimis menetes di masjid tua, abdi-dalem duduk bersila,

batuk-batuk dan semedi

Ketujuh Menuangkan perih doa, menabur sesaji pada pintu gapura

yang terkunci

Kedelapan Seperti seorang sunan yang gelisah, kususun kembali retak-

retak sejarah

Kesembilan Diantara tembikar, pelapah lontar, dan kitab-kitab yang

bertuliskan darah

Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Dukuh

Pasembangan yang berasal dari kata Sambang yang berarti datang atau

berkunjung, yang sekarang menjadi komplek Astana Gunung Jati. Di Dukuh

73

pasembangan inilah setiap hari ramai dikunjungi orang untuk keperluan

berdagang. Di sebelah timur komplek pemakaman terdapat Pelabuhan Cirebon

pertama yang dibri nama Muara Jati. Pelabuhan ini ramai di singgahi oleh perahu-

perahu dagang dari berbagai negara antara lain; dari Cina, Arab, Parsi, Bagdad,

India, Malaka, Tumasik (Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang.

Hilir-mudiknya perahu dagang dari berbagai negara dan dari berbagai wilayah

menyebabkan Dukuh Pesambangan menjadi lebih ramai dan keadaan

masyarakatnya makmur dan sejahtera.

Tabel.4.6

Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Ke Tiga

Sub Judul: Pohon-Pohon Api

Bait/Larik Isi Puisi

Pertama Di tengah sayatan suluk dandanggula yang bergetar, dukamu

berlayar

Kedua Ribuan kelelawar terbang dari remang keraton, udara gusar,

pecahan marmar

Ketiga Alun-alun merah kesumba membelit langit bagai ular, meniti

gulungan primbon

Keempat Kramik guci, bongkahan terasi, sumur tujuh,dan rusuh babad

tanah Cerbon (salah satu buku mengenai muasal tanah

Cirebon yang dominan mengungkap “sisi gelap”sejarah

cirebon dengan perspektif mitologis dan mistis)

Kelima Menghujam di pematang cakrawala,menuruni aras tangga-

tangga pendakian

Keenam Lima abad silam: khutbah, jubah, dan terompah sunan,

trlepas dari gurat waktu

Ketujuh Gugusan lapis pualam, uang logam, kelir hitam dan riang

selendang ratu

Kedelapan Menjemputku di riuh subuh, menari serimpi, mengusir arwah

74

peri

Kesembilan Dengan sekerat jimat, gema shalawat yang telah melampaui

pusaran bumi

Dalam Babad Negara Kretabhumi ada seorang tokoh bernama Ki

Pangalang-alang ditunjuk oleh warga Dukuh Pesambangan sebagai Kuwu dan Ki

Shomadulloh sebagai Raksabumi (wakil kuwu). Tidak lama setelah itu Dukuh

Pesambangan dan Muara Jati berubah menjadi Kebon Pesisir dan kemudian

berdirilah desa Cirebon disitu, karena Ki Gede Alang-alang dan Ki Shomadullah

(Walangsungsang)bermata pencaharian membuat lauk pauk dari tumbukan ikan

dan udang kecil (rebon) dicampur dengan terasi, sejak saat itulah Dukuh tersebut

dikenal dengan sebutan Cai-Rebon, dengan rincian sukunya sebagai berikut; 196

orang Sunda, 16 orang dari Swarnabhumi (sumatera), 4 orang dari Semenanjung

Malaya, 11 orang dari Arabia, 6 orang dari Cina, dan 3 orang dari Siam.

Tabel: 4.7

Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Keempat

Sub Judul: Pohon-Pohon Api

Bait/Larik Isi Puisi

Pertama Lelaki bertopeng kelana, liong dan barongsai, gembyung

(jenis seni tradisi Cirebon berupa musik genrjing yang

diiringi dengan pembacaan teks suluk dan shalawat. Salah

satu genre dari seni tradisi daerah ini, yang berangsur-

angsur mulai punah) yang merana

Kedua Membelah lengking seruling, sandiwara raja-raja, dan

keheningan luka

Ketiga Batik lurik, batu akik, derap kuda yang meringkik juga debur

pelabuhan

Keempat Melewati gedung Hindia-Belanda yang kelak diruntuhkan,

panji-panji sultan

75

Kelima Dan biji-biji ketan yang ditaburkan, tumbuh runcing di amis

sebilah keris

Keenam senjata para raden, pusaka juru kuncen, belantara

persembunyian Siliwangi

Ketujuh Mengambang dicemas diperahu nelayan, jalan setapak,

daun-daun trembesi

Kedelapan Prasasti-seperti katamu, telah menghapus perjalanan sakral,

dendam kekal

Kesembilan Mengabadkan juntaian usia serta poripori musimpancaroba

menjadi kanal

Islam sebagai agama baru di tanah Cirebon telah di kenalkan beberapa saat

sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati. Tokoh yang mengawali

memperkenalkan islam di wilayah Cirebon diantaranya Adalah H. Purwa (1337

M), beliau merupakan pemeluk islam pertama di Cirebon dan menyebarkannya di

daerah Cirebon Girang. Kemudian Islam mengalami perkembangan sangat pesat

dan menggembirakan ketika penyebarannya dilakukan oleh Syeikh Syarif

Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Selama

masa pemerintahan Sunan Gunung Jati yaiu pada abad ke-16 terjadi proses

transformasi yang luar biasa dibidang kebudayaan di kota-kota pelabuhan di Jawa

yang ketika itu merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-ide yang menarik minat

orang-orang Jawa yang berbakat. Beliau memimpin pembangunan seperti, masjid-

masjid dan dan makam-makam dibangun dengan perpaduan batu bata dangan seni

hias yang sangat indah.

Tabel: 4.8

Isi Puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Bait/Larik Kelima

Sub Judul: Pohon-Pohon Api

Bait/Larik Isi Puisi

Pertama Tembok-tembok kuta bekas pertempuran, vihara abad 16,

76

tempekong Budha

Kedua Serpihan air mata, relief-relief huruf sangsakerta,

menggenang penuh cahaya

Ketiga Keraton kencana, tembok bambu, baju perang, ufuk fajar

yang tenggelam

Keempat Kepalung malam, kepenjuru kelam, kedasar reruntuhan

ceruk kolam

Kelima Seperti deras hari-hari membasahi halaman sejarah, akar

pohon dan uban

Keenam Menjadi palawija yang disebarkan burung gereja di

hamparan baluwarti (dinding tembok atau benteng yang

terbuat dari batu-batu atau bata di lingkungan istana atau

keraton)

Ketujuh Ritus kabut, pertemuan langit dengan bumi pertapaan api dan

gong sekati (nama perangkat gamelan kuno yang ditabuh

pada rangkaian upacara tradisi muludan yang diperingati

dua keraton Cirebon yakni kesepuhan dan kanoman, setiap

maulid Nabi Muhammad SAW dengan upacara alegris

panjang-jimat)

Kedelapan Menyimpan percakapan raja-raja, tembakau cerutu, senjakala

yang piatu

Kesembilan Berhamburan di pelipis kanak-kanak, semak-semak perdu

serta busur kayu

Langkah awal yang paling bersejarah yang diambil oleh Sunan Gunung Jati

adalah pada tahun 1483 menghentikan pengiriman upeti garam dan terasi kepada

Ibu Kota Pakuan Pajajaran, sejak saat itu Cirebon di bawah kepemimpinan Sunan

Gunung Jati untuk menjadi negara yang merdeka. Untuk mengantisipasi serangan

dari Pajajaran maka dibutuhkan pasukan keamanan yang disebut dengan pasukan

Djaya Baya. (Masduqi, 2011:3). Diantara bangunan-bangunan peninggalan Sunan

Gunung Jati yang hingga kini masih kokoh adalah sebagai berikut; Masjid Agung

77

Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1480, yang dalam bangunannya dibuat oleh

Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dengan Arsiteknya yang bernama Raden

Sepat, mantan arsitek kraton Majapahit, pembangunan pangkalan perahu kerajaan

lengkap dengan gapuranya di tepi sungai Kriyan, istal kuda-kuda kerajaan dan

pos-pos penjagaan, penyempurnaan fasilitas pelayaran di pelabuhan Muara Jati

seperti mercusuar, dan bengkel pembuatan dan perbaikan kapal. Dalam

pembuatan mercusuar pada awalnya didirikan oleh rombongan Laksamana Cheng

Ho atau Sam Po Tay Kam dari Dinasti Ming dengan kaisarnya Yung Lo dalam

waktu tujuh hari pada masa pemerintahan Ki Gedheng Tapa sebagai penguasa

pelabuhan Muara Jati. (masdiqi, 2011:3)

4.3.1 Identivikasi Masalah dalam puisi Cirebon 360,Tahun Kemudian karya

Ahmad Syubbanuddin Alwy menurut Analisis Teks Hayden White

Menurut White untuk memahami teks itu melalui perspektif sejarahnya, dan

hubungan antara sastra dengan sejarah sangatlah dekat. Dalam hal ini White

menampakan, paling sedikit yang dapat diidentifikasi melalui lima faktor yaitu:

Tabel 4.9

Intifikasi Masalah Menurut Hayden White

Identifikasi Masalah

no Identifikasi Hasil Penemuan

1 Medium utama sastra dan

sejarah adalah bahasa

Mengenai Medium Dalam Karya Sastra

Cirebon, 360 Tahun Kemudian

semuanya mengandung bahasa yang

selalu memerlukan imajinasi khalayak

yang membacanya.

2 Menampilkan genre

sejarah

Sudah terang benderang karya tulis yang

bergenre puisi epik memaparkan sejarah

asal-muasalnya daerah Cirebon.

3 Memanfaatkan cerita dan Dari hasil penemuan peneliti, yang

78

tokoh-tokoh sebagai

unsur utama

terpampang dalam karya ilmiah Cirebon,

360 Tahun Kemudian pada bait/larik

pertama sampai kelima menemukan

beberapa tokoh yang tersohor

diantaranya Sunan Gunung Jati,

Laksamana Cang Ho dan putri Cina

Ong- Tien Nio

4 Validitas sastra dan

sejarah adalah keyakinan

dan imajinasi

Karya sastra dalam puisi Cirebon, 360

Tahun Kemudian ini penuh dengan

imajinasi, tetapi perlu didasari bahwa

unsur-unsur imajinasi dapat dipahami

semata-mata dalam kaitannya dengan

latar belakang sosialnya. Seperti pada

bait/larik keempat terdapat lirik

Lelaki bertopeng berkelana, liong dan

barongsai, gembyung yang merana

Membelah lengking seruling, sandiwara

raja-raja, dan keheningan luka

Dalam hal ini Imajinasi, bukan khayalan

kosong sebagai imajinasi harus dapat

diimajinasikan orang lain.

5 Sastra dan sejarah

memandang masa

lampau

Bisa kita lihat dan imajinasikan dengan

fakta pada bait/larik kelima terdapat lirik

tembok-tembok kuta bekas pertempuran,

vihara abad 16, tempekong budha

Serpihan air mata, relief huruf

sangsakerta, mengenang penuh cahaya

Ini adalah sebagai bukti bahwa visi

sastra dan sejarah adalah memandang

masa lampau.

79

4.3.2 kerangka Analisis Teks Heyden White Terhadap Puisi Cirebon, 360

Tahun Kemudian

Tabel 4.9

Kerangka Analisis

Puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian

mimetik objektif

Sosiologi sastra strukturalisme

Fakta cerita

Sarana cerita

keorganisasian

Tema cerita

Sejarah dan bahasa

Kesimpulan dari penelitian

80

Tabel 4.10

Keterangan Kerangka Analisis Hayden White

Mimetik dalam hal ini puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian menggambarkan adanya

anggapan bahwa puisi merupakan tiruan

alam atau penggambaran dunia dan

kehidupan di semesta raya ini. Bisa

dibuktikan adanya bahasa pohon-pohon

api, rumpun padang ilalang, debur laut

bukit karang

tepian samudra muarajati dan seperti

bahasa lelah sembahyang

kemudian pada bait/larik ke tiga dengan

adanya bahasa pucuk daun-daun

melinjoserta pucuk situs sejarah bersujud

dalam nestapa.

Di tambah lagi pada bait kedua larik

pertama dan ke dua adanya bahasa dari

butiran pantai yang berkoyak, kapal-

kapal layar laksamana Ceng Ho

Bertolak menyusuri jejak kaki ribuan mil

putri kaisar Cina Ong- Tien Nio

Ada juga pada bait ketiga larik pertama

dan kedua yang dalam bahasanya

ditengah sayatan suluk dandang gula

yang bergetar, dukamu berlayar

Ribuan kelelawar terbang dari remang

keraton, udara gusar, pecahan marmar.

Sosiologi sastra karya tulis puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian terdapat Pemahaman karya

81

sastra dengan aspek kepada

masyarakatnya dalam hal ini penulisan

karya tulis puisi tersebut memberikan

rujukan seperti halnya karya ilmiah

lainnya

kemudian terdapat pula pemahaman

terhadap totalitas karya sastra yang

disertai dengan aspek kemasyarakatan

yang terkandung di dalamnya, seperti

yang digambarkan pada bait/larik kelima

dimana bunyi liriknya sabagai berikut:

menyimpan percakapan raja-raja,

tembakau cerutu, sanjakala yang piatu

berhamburan dipelipis kanak-kanak,

semak-semak perdu dan busur kayu

terdapat pula jejak hubungan dua arah

antara sastra dengan masyarakat seperti

yang dipaparkan dalam kaidah jurnalistik

yang berupa 5W+1H

dari pemahaman lirik tersebut jejak lain

dalam karya sastra ini sekaligus

mendapatkan adanya hubungan dengan

masyarakat yang melatar belakanginya

Strukturalisme fungsi utama dalam karya sastra ini untuk

melukiskan, mencerminkan, kehidupan

manusia, sedangkang kehidupan manusia

itu sendiri selalu mengalami perubahan.

82

Objektif Penggunaan khasanah dan budaya lokal

dalam puisi-puisi alwy merupakan ciri

khas dan nilai lebih tersendiri yang tidak

terdapat pada umumnya sebuah puisi. Ini

bertujuan agar pembaca sanggup

mencerna kebudayaan lokalnya sebagai

basis inspirasi kehidupan maupun ilmu

pngetahuan.

Fakta cerita Karya jurnalisme sastra yang di gagas

Alwy dalam Puisinya Cirebon, 360

Tahun kemudian mendelegasikan

beberapa fakta cerita yaitu:

Tokoh karakter

alur

latar

Sarana cerita Dewasa ini karya sastra jurnalisme yang

digagas Alwy berupa puisi Cirebon, 360

Tahun Kemudian dalam memahami

khalayak pembaca, memberikan sarana

cerita diantaranya mencakup:

Judul

Sudut pandang

Gaya dan tone

Simbolisme

Ironi

Tema cerita Tema-tema dalam puisi Alwy begitu luas,

puspa ragam, lintas dimensi, dan multi

disiplin. Kita akan menemukan tema-tema

seperti politik, kebudayaan, ekonomi,

kritik sosial, dan bahkan sejarah sekalipun

83

dalam setiap deret puisi-puisi Alwy. Ini

membuktikan bahwa Alwy merupakan

sesosok figur yang multi interdisipliner

dan menguasai banyak sekali dalam

bidang pengetahuan. Ini juga menunjukan

bahwa puisi tidak selalu berhubungan

dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan

tidak bisa dipahami. Melalui puisi

Cirebon, 360 Tahun Kemudian Alwy

membuktikan bahwa puisi juga bisa

membahas sejarah dan fenomena sosial.

Keorganisasian Interpretasi yang baik hendaknya selalu

mempertimbangkan berbagai detail

menonjoldalam sebuah cerita.

Interpretai tidak terpengaruh oleh berbagai

detail cerita yang saling berkontradiksi

Tidak bergantung pada bukti-bukti yang

tidak secara jelas di utarakan

Diujarkan secara jelas oleh cerita yang

bersangkutan

Kesimpulan penelitian

Dari segi genre atau jenis puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian merupakan

puisi dengan genre lirisisme (puisi liris). Lazimnya puisi demikian merupakan

puisi yang pertama kali di jajaki oleh para penyair pemula. Dan pecentusnya atau

pelopor puisi bergenre lirisisme adalah Sapardi Djoko Damono. Di kalangan para

penyair, Sapardi Djoko Damono merupakan sosok dewa puisi lirisisme. Ahmad

Syubbanuddin Alwy tidak berlebihan jika dikatakan sebagai penerus Sapardi

84

dalam bidang puisi. Hanya saja dalam puisi-puisi Alwy, ia tak hanya

mengandalkan rasa, imajinasi, maupun fantasi dalam melahirkan puisi-puisinya.

Melainkan lebih dari itu, Alwy membuat puisi seperti halnya membuat

karya ilmiah untuk jurnal-jurnal internasional. Ini bisa dibuktikan mulai dari:

1. Penggunaan footnote (catatan kaki) untuk setiap istilah maupun

momentum sejarah yang sulit dilacak. Ini bertujuan tentu saja untuk

memudahkan pembaca dalam memahami puisi-puisinya.

2. Penggunaan khasanah dan budaya lokal dalam puisi-puisi alwy

merupakan ciri khas dan nilai lebih tersendiri yang tidak terdapat pada

umumnya sebuah puisi. Ini bertujuan agar pembaca sanggup mencerna

kebudayaan lokalnya sebagai basis inspirasi kehidupan maupun ilmu

pngetahuan.

3. Pemakaian sumber data (referensi) yang begitu banyak akan dengan

mudah kita temui dalam puisi-puisi Ahmad Syubbanuddin Alwy. Ini

menandakan bahwa Alwy begitu tertib ilmiah dalam berkarya, bahkan

dalam membuat puisi sekalipun. Tujuannya agar puisinya bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah di hadapan sidang pembaca.

4. Tema-tema dalam puisi Alwy begitu luas, puspa ragam, lintas dimensi,

dan multi disiplin. Kita akan menemukan tema-tema seperti politik,

kebudayaan, ekonomi, kritik sosial, dan bahkan sejarah sekalipun dalam

setiap deret puisi-puisi Alwy. Ini membuktikan bahwa Alwy merupakan

sesosok figur yang multi interdisipliner dan menguasai banyak sekali

dalam bidang pengetahuan. Ini juga menunjukan bahwa puisi tidak

selalu berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan tidak bisa

dipahami. Melalui puisi Cirebon, 360 Tahun Kemudian Alwy

membuktikan bahwa puisi juga bisa membahas sejarah dan fenomena

sosial.

Setelah kita mengetahui bahwa ternyata puisi Cirebon, 360 Tahun

Kemudian memenuhi kaidah jurnalistik maupun sastra, lalu lebih bermanfaat

manakah kedua model karya tersebut dihadapan para pembaca, apakah dengan

karya jurnalistik? Ataukah dengan karya sastra?

85

lazimnya bahwa karya sastra jauh lebih bisa menyerap di hati dan benak

kepada para pembaca, ketimbang dengan karya jurnalistik, mungkin dikarenakan

karya sastra disamping menggunakan fakta sebagai dasar tulisan juga

menggunakan empati dan rasa. Ini berbeda dengan karya jurnalistik, yang hanya

menggunakan fakta semata. Buktinya lebih banyak manakah orang yang

berlangganan koran ketimbang membeli karya TERELIE maupun ANDREA

HIRATA. Ini adalah bukti kuat bahwa karya sastralah lebih bisa diterima oeh

masyarakat tenimbang dengan karya jurnalistik. Oleh karena itu dengan penelitian

ini, sudah saatnya untuk memadukan jurnalistik dan sastra, tujuannya agar karya

jurnalistik lebih enak dibaca oleh masyarakat seperti halnya karya sastra. Dan

itulah yang penulis katakan bahwa jurnalistik dengan sastra sebagai genre/jenis

jurnalisme baru, yaitu jurnalisme sastra.