BAB III AUTOBIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ...

31
41 BAB III AUTOBIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I A. Imam Abu Hanifah 1. Biografi Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah bersamaan (659 Masehi). Sebagaian para ahli sejarah mengatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 61 Hiriyah, pendapat ini sangat tidak berdasar, karena yang sebenarnya ialah pada tahun 80 Hijiryah (659 Masehi) menurut pendapat yang pertama. 1 Nama asli Imam Hanafi adalah Abu Hanafi An-Nu‟man dan keturunan beliau adalah Tsabit, Zuta, Maah, Muli Taimullah dan akhirnya Tsa‟labah, ahli sejarah adapula yang berpendapat bahwa Imam Hanafi berasal dari bangsa Arab suku Bani Yahya bi n As‟ad dan da pula yang mengatakan ia berasal dari keturunan Ibnu Rasyd al-Anshari. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan dari bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bansa Arab), dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persia. Pada masa beliau dilahirkan, pemerintahan Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul malik bin Marwan (Raja dari Bani Umayyah yang kelima). Menurut riwayat: bahwa ayah beliau (Tsabit) dikala kecilnya pernah diajak datang berziarah oleh ayahnya (Zautha) kepada Ali bin Abi Thalib r.a, maka dikala itu di do‟akan oleh beliau (Sahabat Ali) : Mudah-mudahan dari antara keturunannya ada yang menjadi orang dari golongan orang yang baik-baik serta luhur. Imam Abu Hanifah sesudah berputra beberapa orang putra, yang di antaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka dari karenanya beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Ini, menurut satu riwayat, dan menurut riwayat yang lain. Sebabnya beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena beliau adalah seorang yang rajin 1 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta, Bumi Aksara. 1993), hlm. 14

Transcript of BAB III AUTOBIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ...

41

BAB III

AUTOBIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I

A. Imam Abu Hanifah

1. Biografi Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah bersamaan

(659 Masehi). Sebagaian para ahli sejarah mengatakan bahwa ia dilahirkan

pada tahun 61 Hiriyah, pendapat ini sangat tidak berdasar, karena yang

sebenarnya ialah pada tahun 80 Hijiryah (659 Masehi) menurut pendapat

yang pertama.1 Nama asli Imam Hanafi adalah Abu Hanafi An-Nu‟man

dan keturunan beliau adalah Tsabit, Zuta, Maah, Muli – Taimullah dan

akhirnya Tsa‟labah, ahli sejarah adapula yang berpendapat bahwa Imam

Hanafi berasal dari bangsa Arab suku Bani Yahya bin As‟ad dan da pula

yang mengatakan ia berasal dari keturunan Ibnu Rasyd al-Anshari.

Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan dari bangsa Arab asli,

tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bansa Arab), dan beliau dilahirkan

ditengah-tengah keluarga bangsa Persia. Pada masa beliau dilahirkan,

pemerintahan Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul malik bin Marwan

(Raja dari Bani Umayyah yang kelima). Menurut riwayat: bahwa ayah

beliau (Tsabit) dikala kecilnya pernah diajak datang berziarah oleh

ayahnya (Zautha) kepada Ali bin Abi Thalib r.a, maka dikala itu di

do‟akan oleh beliau (Sahabat Ali) : Mudah-mudahan dari antara

keturunannya ada yang menjadi orang dari golongan orang yang baik-baik

serta luhur.

Imam Abu Hanifah sesudah berputra beberapa orang putra, yang di

antaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka dari karenanya beliau

mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Ini,

menurut satu riwayat, dan menurut riwayat yang lain. Sebabnya beliau

mendapat gelar Abu Hanifah, karena beliau adalah seorang yang rajin

1 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta,

Bumi Aksara. 1993), hlm. 14

42

melakukan ibadah kepada Allah SWT dan sungguh-sungguh mengerjakan

kewajiban dalam agama. Selanjutnya, setalah ijtihad dan buah

penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui serta diikuti

oleh orang banyak, maka ijtihad beliau itu dikenal orang dengan sebutan

“Madzhab Imam Hanafi.”2

2. Pendidikan Imam Abu Hanifah

Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah tengah melintasi rumah

Imam Sya‟bi, seorang ulama terpelajar dari Kufah, Sya‟bi keliru

menganggapnya sebagai pelajar dan bertanya : “Hendak kemana engkau,

hai anak muda ?” Imam Abu Hanifah lalu menyebutkan seorang saudagar

yang hendak ditemuinya. Maksud pertanyaanku, lanjut Sya‟bi, “Siapa

namamu ?” Jawab Imam Abu Hanifah, “tidak seorang pun”. Kemudian

Sya‟bi berkata : “Aku melihat tanda-tanda kecerdasan yang ada pada

dirimu, maka seyogyanya engkau duduk bersama-sama orang yang

terpelajar”. Pertanyaan Sya‟bi itu seakan-akan memercikan cahaya baru di

hati sanubari Imam Abu Hanifah, setelah itu dia pun mulai giat belajar

sehingga menjadi salah satu seorang Imam besar di lapangan fiqih dan

hadits.3

Imam Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’az,

hadits, nahwu, sastra, syi‟ir, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada

masa itu. Diantara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah teologi, sehingga ia

menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena

ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan

Khawarij yang di doktrin ajarannya sangat ekstrim.

Selanjutnya, Imam Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah

yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqh yang

cenderung rasional, di Irak terdapat madrasah Kufah, yang dirintis oleh

2 Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta, Bulan

Bintang, 1990), hlm. 19 3A. Rahman, I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah),

(Jakarta, PT, Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 121

43

Abdullah bin Mas‟ud (wafat 63 H/682 M). Kepemimpinan madrasah

Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha‟i, lalu Hammad ibn Abi

Sulaiman al-Asy‟ari (wafat 120 H). Hammad ibn Sulaiman adalah salah

seorang imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari „Alqamah ibn

Qais al-Qadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pikir fiqh yang

terkenal di Kufah dari golongan Tabi‟in. Dari Hammad ibn Abi Sulaiman

itulah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits.4

Setalah itu, Imam Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk

mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di

Kufah. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat

Imam Hanafi menjadi kepala Madrasah. Selama ini ia mengabdi dan

banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu

merupakan dasar utama dari pemikiran madzhab Hanafi yang dikenal

sekarang ini. Imam Abu Hanifah berhasil mendidik dan menimpa ratusan

murid yang memiliki pandangan luas dalam masalah fiqh. Puluhan dari

muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti

Abbasiyah, Saljuk, „Utsmani dan Mughal.5

3. Guru dan Murid Imam Abu Hanifah

a) Guru-Guru Imam Abu Hanifah

Adapun guru-guru beliau pada waktu itu kebanyakannya ialah

para ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in diantaranya ialah:

a) Abdullah bin Mas‟ud (Kufah)

b) „Ali Abi Thalib (Kufah)

c) Ibrahim Al-Nakhai (wafat 95 H)

d) Amir bin Syarahil Al-Sya‟bi (wafat 104 H)

e) Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau

adalah orang alim ahli fiqh yang paling mashur pada masa itu

4 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 96 5 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 97

44

Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18

tahun lamanya.

f) Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)

g) Imam Nafi‟ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)

h) Imam Salamah bin Kuhail

i) Imam Qatadah

j) Imam Rabi‟ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-

ulama besar lainnya6.

b) Murid-Murid Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah seorang yang cerdas, karya-

karyanya sangat terkenal dan mengagumkan bagi setiap pembacanya,

maka banyak murid-murid yang belajar kepadanya hingga mereka

dapat terkenal kepandaianya dan diakui oleh dunia Islam. Murid-murid

Imam Abu Hanifah yang paling terkenal yang pernah belajar

dengannya di antaranya ialah:

a) Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibarahim Al-Anshary, dilahirkan

pada tahun 113 H. beliau ini setelah dewasa lalu belajar macam-

macam ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan urusan

keagamaan, kemudian belajar menghimpun atau mengumpulkan

hadist dari Nabi SAW. Yang diriwayatkan dari Hasyim bin Urwah

Asy-Syaibani, Atha bin As-Saib dan lainnya. Imam Abu Yusuf

termasuk golongan ulama ahli hadist yang terkemuka. Beliau wafat

pada tahun 183 H.

b) Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibany, dilahirkan

dikota Irak pada tahun 132 H. Beliau sejak kecil bertempat tinggal

dikota Kufah, lalu pindah kekota Baghdad dan berdiam disana.

Beliaulah seorang alim yang bergaul rapat dengan kepala Negara

Harun Ar-Rasyid di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 189 H di

kota Ryi.

6 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafy, Maliki,

Syafi’iy, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang,1955), cet ke-2, hlm. 23.

45

c) Imam Zafar bin Hudzail bin Qias Al-Kufy, dilahirkan pada tahun

110 H. Mula-mula beliau ini belajar dan rajin menuntut ilmu

hadist, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu

akal atau ra’yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang

yang suka belajar dan mengajar. Maka akhirnya beliau kelihatan

menjadi seorang dari murid Imam Abu Hanafi yang dikenal dengan

qiyas. Beliau wafat lebih dahulu dari yang lainnya pada tahun 158

H.

d) Imam Hasan bin Ziyad Al-Luluy, beliau ini seorang murid Imam

Abu Hanifah yang terkenal seorang alim besar ahli fiqh. Beliau

wafat pada tahun 204 H19.

Empat orang itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah

yang terakhirnya menyiarkan dan mengembangkan aliran dan buah

ijtihad beliau yang utama, dan mereka itulah yang mempunyai

kelebihan besar dalam memecahkan atau mengupas soal-soal

hukum yang bertalian dengan agama.

4. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Dalam

menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an

ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan

ra’yi dan khabar had. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau

menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.7

Meskipun demikian, telah diriwayatkan dari Imam Hanafi

pendapat-pendapat yang menunjukkan garis besar metode istinbathnya dan

dalil-dalil yang digunakannya. Di antaranya ia berkata, “Aku berpegang

pada kitab Allah jika aku dapati hukum padanya. Jika tidak maka aku

berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika aku tidak mendapatinya dalam

kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang pada ucapan sahabat,

7 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 98

46

aku berpegang pada ucapan sahabat yang aku kehendaki dan aku

tinggalkan siapa yang aku kehendaki, dan aku tidak keluar dari ucapan

mereka kepada ucapan selian mereka. Namun ketika sampai pada masa

Ibrahim, asy-Sya‟bi, Ibnu Sirrin, „Atha‟, dan Sa‟id bin Musayyib (para

mujtahid dari tabi‟in), aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”8

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan

mazhab Hanafi adalah:

a. Al-Qur‟an

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa pesan al-Qur‟an

tidak semuanya qath’i dalalah9. Ada beberapa hal yang memerlukan

interpretasi terhadap hukum yang ditunjukkan oleh al-Qur‟an, terutama

terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah umum antar

manusia10

, dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah

tersebut, porsi penggunaan akal dalam mencari hukum terhadap suatu

masalah lebih besar. Hal itu karena di buktikan baik oleh Imam Abu

Hanifah sendiri maupun murid-muridnya dan karena itu juga sebagai

mahzab yang Umari, mazhab liberalis dan rasionalis11

.

Dalam memahami al-Qur‟an, ulama Hanafiyah tidak hanya

melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi

mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘am dan khas ayat al-

Qur‟an tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-

8 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),

cet. ke-1, hlm. 201 9Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al Fiqh di

Mesir bahwa qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak

mengandung kemungkinan makna lain, sedangkan zanni adalah dalil (ayat atau hadis)

yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain. Baca lanjut : Aziz

Dahlan, Ensinklopedi Hukum Islam, julid 5, Cet. V, (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Houve,

2001), hlm, 1454 10

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 159. 11

Jalaludin Rahmat, Dari Mazhab Skripturalisme Ke Mazhab Liberal Dalam

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 159

47

ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama

Hijaz yang semazhab dengan mereka12

.

b. Al-Sunnah

Dasar kedua yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah al-

Sunnah. Martabat al-Sunnah yang terletak di bawah al-Qur‟an. Imam

Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih

alim tentang menafsirkan hadits dari pada Imam Abu Hanifah. Ia

adalah seorang yang mengerti tentang penyakitpenyakit hadits dan

menta’dil dan mentarjih hadits13

. Tentang dasar yang kedua ini,

Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan al-Sunnah yang mutawatir14

,

masyhur15

, dan shahih16

. Hanya saja Imam Abu Hanifah dan begitu

juga ulama Hanafiyah agak selektif dalam menetapkan syarat-syarat

yang dipergunakan untuk menerima hadits ahad17

.

Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad18

apabila berlawanan

dengan al-Qur‟an baik makna yang diambil dari nash atau yang

12

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 160. 13

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafy, Maliki,

Syafi’iy, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang,1955), cet ke-2, hlm. 57 14

Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi

yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untu berdusta. Baca lanjut :

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 2 15

Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih

serta belum mencapai derajat mutawatir. Baca lanjut : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,

(Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 2 16

Para ulama hadits memberikan definisi hadits shahih sebagai “hadits yang

sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama,

sampai berakhir pada Rasulullah Saw. atau kepada sahabat atau kepada tabiin, bukan

hadits yang syadz (controversial) dan terkena illat, yang menyebabkan cacat dalam

penerimannya. Baca lanjut : Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1997), 132 17

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafy, Maliki,

Syafi’iy, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang,1955), cet ke-2, hlm. 57 18

Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih,

yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur dan hadits mutawatir. Baca

lanjut : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010), hlm.

107

48

diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abdul al-Qadir mengatakan,

“Musuh-musuh Imam Abu Hanifah (yang tidak senang dengan Imam

Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar

terhadap hadits, ia memprioritaskan ra’yu (logika)”. Abu Salih al-Fura

menuturkan, “Aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Imam Abu

Hanifah menolak 400 hadits19

.

Terhadap hadits mutawatir Imam Abu Hanifah menerimanya

tanpa syarat karena tingkat kehujjahannya qath’i, meskipun terdapat

pertentangan antara hadits mutawatir dengan akal, beliau

mendahulukan hadits mutawatir. Hal ini berbeda dengan hadits ahad,

beliau menerima dan mengamalkan hadits ahad apabila hadits tersebut

memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

Orang yang meriwayatkan tidak boleh berfatwa yang bertentangan

dengan hadits yang diriwayatkannya.

Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum yang sering

terjadi, sebab kalau menyangkut persoalan yang sering terjadi

mestinya hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi.20

Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah umum atau

dasardasar kulliyah21

.

c. Qaul al-Shahabah

Imam Abu Hanifah sangat mengahargai para sahabat. Dia

menerima, mengambil serta mengharuskan umat Islam

mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah beberapa Qaul al-

Shahabah maka ia mengambil salah satunya, jika tidak ada qaul al-

Shahabah pada suatu masalah tersebut maka ia berijtihad dan tidak

mengikuti pendapat tabi‟in. Menurut Imam Abu Hanifah Ijma‟

19

Jalaludin Rahmat, Dari Mazhab Skripturalisme Ke Mazhab Liberal Dalam

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 295 20Perawi adalah tiap-tiap yang menjadi perantara penyampaian matan. Baca

lanjut : A. Qadir Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1984), hlm. 43 21

A. Qadir Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1984), hlm. 43.

49

sahabat ialah kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di suatu

masa sesudah Nabi SAW atas suatu urusan22

.

Ta’rif itulah yang disepakati ulama ahl-al-Ushul. Ulama

Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ itu dijadikan sebagai hujjah.

Mereka menerima ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Mereka

menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu

urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat

hukum baru adalah menyalahi ijma’. Ada tiga alasan dalam

menerima ijma’ sebagai hujjah yaitu:

a) Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang

timbul. Umar bin Khattab dalam menghadapi suatu masalah

sering memanggil para sahabat untuk memanggil para sahabat

untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila

dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan maka Umar

pun melaksanakannya.

b) Para Imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan yang telah

diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang

ganjil dan tidak dipandang menyalahi aturan hukum. Imam

Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah di

fatwakan oleh ulama-ulama Kufah.

c) Adanya sebuah hadits yang menunjukkan keharusan

menghargai ijma’ seperti:

ن ال ه ل ل ه ل م م ام م ه .حم م ن ل لنل م فم ه م حم م

“Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka

dianggap baik pula di sisi Allah SWT”.23

Dengan demikian jelaslah bahwa ulama Hanafiyah

menetapkan bahwa ijma’ merupakan satu di antaranya hujjah

22

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 162. 23

M. Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),

Cet. ke-5, hlm. 153.

50

dalam beragama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka

tidak membedakan antara macam-macam ijma’, oleh karena itu

apapun bentuk kesepakatan para ulama itu berhak atas

penetapan hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum24

.

d. Al-Qiyas

Al-Qiyas adalah “Penjelasan dan penetapan suatu hukum

tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain yang

jelas hukumnya dalam kitabullah, sunnah ataupun ijma’ karena

kesamaan illat”25

. Yang menjadi pokok pegangan dalam

menjalankan qiyas adalah bahwa segala hukum syara’ ditetapkan

untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun

di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertian-pengertian

dan hikmah-hikmah yang menghasilkan kemaslahatan baik yang

diperintah maupun yang dilarang, atau yang dibolehkan maupun

yang dimakruhkan, semuanya demi kemaslahatan ummat26

.

Walaupun demikian, tidak berarti semua masalah yang baru

timbul dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur‟an , al-Sunnah dan

ijma’ boleh di qiyaskan begitu saja atas dalih kemaslahatan umum,

ada beberapa syarat dan rukun yang harus di penuhi untuk

melakukan qiyas, antara lain:

1. Ashal, yaitu sesuatu yang sudah dinashkan hukumnya yang

menjadi tempat mengqiyaskan atau dalam istilah ushul disebut

al-ashli (al maqis alaih).

2. Cabang (furu’), yaitu sesuatu peristiwa yang tidak ada nashnya

dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan

24

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 163. 25

Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT.

Al- Ma‟arif, 1997), hlm. 66. 26

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 164

51

hukumnya dengan ashalnya, atau dalam istilah ushul disebut

juga al-maqis.

3. Hukum Ashal, yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok

yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.

4. Illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan

atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum, dan

illat inilah yang menjadi titik tolak serta pijakan dalam

melaksanakan qiyas27

.

d) Al-Istihsan

Al-Istihsan merupakan pola istinbath hukum Imam Abu

Hanifah, istihsan secara terminologi difahami dengan pindahnya

para fuqaha dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khafi

(tersembunyi)28

. Imam Abu Hanifah banyak menetapkan hukum

dengan istihsan tapi tidak memberikan penjelasan bagaimana

sesungguhnya maksud dari pada tulisan istihsan tersebut. Ketika

menetapkan hukum dengan cara istihsan, beliau hanya mengatakan

“astahsin” artinya saya menanggap baik29

. Imam Abu Hanifah

beserta pengikutnya membagikan teori istihsan ini kepada enam

bentuk, yaitu:

1. Istihsan bi al-Nash, yaitu yang berdasarkan ayat atau hadits,

maksudnya ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus

yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum,

2. Istihsan bi al-Ijma’, yaitu istihsan yang berdasarkan pada ijma’,

maksudnya meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada

suatu kasus karena adanya ijma’,

3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi, istihsan ini memalingkan suatu

masalah dari ketentuan hukum qiyas jali kepada qiyas khafi,

27

Nazar Bakri, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Bandung: Rajawali Press, 1993), hlm. 47. 28

Romli, Muqaranah Mazahib fi Al-Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999),

hlm. 79. 29

Iskandar Usman, Istihsan dan Pemahaman Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1994), hlm. 6.

52

tetapi keberadaannya lebih tepat untuk diamalkan, misalnya

wakaf dalam pertanian.

4. Istihsan bi al-Maslahah, yaitu istihsan yang berdasarkan

kepada kemaslahatan.

5. Istihsan bi al-‘Urf, yaitu terhadap ketentuan hukum yang

bertentangan dengan qiyas karena adanya ‘urf yang biasa

dipraktekkan oleh masyarakat.

6. Istihsan bi al-Dharurah, yaitu istihsan yang berdasarkan

keadaan darurat, maksudnya karena adanya keadaan darurat

yang menyebabkan seorang mujtahid untuk memberlakukan

kaidah umum atau qiyas.

e. Al-„Urf

Kata ‘urf secara terminologi berarti “Sesuatu yang

dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara

terminologi seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan

adalah:

ل حم م ال ل ل ل فم ل ل م ل ل ل ل م مال م ه ال ه ل م م ه م ل م اه ه م م ام م م ل ل ل

“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat

karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan

kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun

perbuatan”30

.

Istilah „urf dalam pengertian tersebut sama dengan

pengertian al-‘adah (adat istiadat). Seluruh ulama mazhab

termasuk Imam Hanafi menerima dan menjadikan ‘urf sebagai

dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash

menjelaskan suatu masalah yang di hadapi. Adapun ‘urf yang

dijadikan sebagai hujjah adalah ‘urf yang tidak bertentangan

dengan syara‟, baik berupa perkataan dan perbuatan maupun ‘urf

yang menyangkut kebiasaan yang bersifat umum dan khusus atau

30

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 153.

53

biasa disebut dengan ‘urf shahih (yaitu ‘urf yang tidak

bertentangan dengan syari‟at)31

.

5. Karya Imam Abu Hanifah

Sebagai ulama yang terkemuka dan banyak memberi fatwa, Imam

Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah pikiran. Sebagaian ide

dan buah fikirannya dituliskan dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan

dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab

yang dituliskan sendiri antara lain:

1. Al-fara’id : yang khusus membicarakan masalah waris dan segala

ketentuan menurut hukum Islam.

2. Asy-syurut : yang membahas tentang perjanjian.

3. Al-fiqh al-akbar : yang membahas tentang ilmu kalam atau teologi dan

memberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Manshur Muhammad Al-

Maturidi dan Imam Abu Al-Muntha Al-Maula Ahmad bin Muhammad

Al-Maghnisawi.

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak,

didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Imam Abu Hanifah. semua

kitab itu kemudian jadi pegangan pengikut Mazhab Imam Hanafi. Ulama

Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab kepada tiga tingkatan.

Pertama, tingkat masail-masail al-Ushul (maslah-masalah pokok),

yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah langsung yang

diriwayatkan Imam Abu Hanifah dan sahabatnya, kitab dalam kategori

ini biasanya disebut Zahir ar-Riwayah, (teks riwayat) yang terdiri atas

lima kitab yaitu:

Al-mabsuth : (Syamsuddin Al-Syarkasyi).

Al-jami’ as-Shagir : (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

Al-jami’ al-Kabir : (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

As-sair as-Saghir : (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

31 Nasroen Harun, Ushul Fiqh, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 142.

54

As-sair al-Kabir : (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

Kedua, tingkat masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai

nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang kedua ini

adalah:

Haran-Niyah : ( niat yang murni)

Jurj an-Niyah : ( rusaknya hati )

Qais an-Niyah : ( kadar hati )

Ketiga, tingkat al-Fatwa wa al-Faqi’at. (fatwa-fatwa dalam

permasalahan), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fiqih

yang berasal dari istimbath (pengambilan hukum dan penetapannya)

ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana), dari Imam Abdul Lais as-

Samarqandi32

.

Adapun ciri khas fiqh Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepada

kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa

manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam

pandangan syari‟at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia

sangat ektrim menilainya sehingga beranggapan Imam Abu Hanifah

mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW.

Melalui mimpi atau pertemuan fisik. Mereka beranggapan bahwa

beliau telah keluar dari agama. Perbedaan pendapat yang ektrim dan

bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana

Imam Hanafi hidup. Orangorang pada waktu itu menilai beliau

berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang

kontroversial, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara

maksimal, dan dalam hal itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang

lain33

. Imam Abu Hanifah wafat didalam penjara ketika berusia 70 tahun

tepatnya pada bulan rajab

32

Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensik Lopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru

Van Hoeve,1996), cet ke-1, hlm. 81. 33

Abdurahman Asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran Dan Perjuangan Lima

Imam Mazhab Terkemuka, (Bandung: Al-Bayan, 1994), cet ke-1, hlm. 49.

55

B. Imam Syafi’i

1. Biografi Imam Syafi’i

Imam Syafi‟i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris

ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟i ibn As-Sa‟ib ibn „Ubaid ibn „Abd

Yazid Ibn Hasyim ibn „Abd Al-Muthalib ibn Abd Manaf. Lahir di Gaza,

Palestina pada tahun 150 Hijriyah (767-820 M), berasal dari keturunan

bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh dari Rasulullah saw. Dari

ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga

Rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib

r.a.34

Adapun dari pihak ibunya Imam Syafi‟i bin Fatimah binti Abdillah

bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dikenal dengan

panggilan al-Syafi‟i karena dinisbat dari kakeknya yang ketiga yaitu syaf‟i

bin al-Sa‟ib.35

Karena Imam Syafi‟i ditinggal oleh bapaknya sejak bayi, maka

beliau diasuh oleh ibunya dalam keadaan serba kekurangan. Setelah usia

Imam Syafi‟i 2 tahun, ia dibawa oleh ibunya kembali ke Makkah al-

Mukarromah, yaitu kampung halaman beliau, dan tinggal di Makkah

sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun 170 H.36

Hal ini dilakukan agar

nasab al-Syafi‟i dapat tetap terjaga serta dapat berkumpul dengan keluarga

ibunya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Wahb :

مللمقي : هال لته بل ال م م ل مخم م ل ه يل م مى اضل فل مةل فم م م : فم ه ل ه ي مل ل ه الل ل ل : م م ل بل ل مهلبل م م ثفل م همل بلأمهل لكم فم مكه ل ه ل

Artinya : “Dari ibn Wahb, ia (telah) berkata, saya (telah) mendengar al-

Syafi’i berkata: Aku dilahirkan di Yaman, ibuku khawatir kehilangan

34

Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), cet ke-I, hlm. 118 35

Edy Setyawan, Perbandingan Madzhab (ikhtiar Dinamisasi Pemahaman Fikih

Modern), (Cirebon; CV Hikmah, 2010) cet ke-I, hlm. 85-86 36

Siradjuddin, Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta;

Pustaka Tarbiyah Baru, 2007), cet ke-XV, hlm.21

56

(nasab), maka ia berkata engkau harus bergabung dengan keluargamu

agar menjadi seperti mereka.”37

Imam Syafi‟i lahir pada zaman Bani Abas, tepatnya pada

kekuasaan Abu Ja‟far, Al Manshur (137-159 H/754-774 M) sampai

Khalifah Al Makmun (198-218 H/813-833 M). Sejak usia sembilan tahun

ia telah hafal al-Qur‟an dan banyak Hadits. Setelah beliau berumur 15

tahun, oleh para gurunya beliau diberi izin untuk mengajar dan member

fatwa kepada khalayak ramai. Beliau pun tidak keberatan menduduki

jabatan guru besar dan mufti di dalam masjid Al Haramdi Mekkah dan

sejak saat itulah beliau terus member fatwa. Tetapi walaupun demikian

beliau tetap belajar ilmu pengetahuan di Mekkah.38

Pada usia 20 tahun, ia

pergi ke HIjaz untuk belajar hadits dan fiqh kepada Imam Malik,

kemudian pergi ke Irak untuk mempelajari fiqh kepada murid-muridnya

Abu Hanifah. Ia pernah melawat ke Yaman dan mengajar di sana. Harun

Al-Rasyid pernah mendengar kehebatan beliau, kemudian dipanggil ke

Baghdad untuk mengajar. Di Baghdad inilah, beliau mengeluarkan qaul

Qadim-nya. Kemudian ia hijrah ke Mesir dan mengajar di masjid Amru

bin Ash. Di Mesir beliau merevisi pemikirannya yang disebut qaul

Jadid.39

Pada usia 30 tahun, Imam Syafi‟i menikah dengan seorang wanita

dari Yaman bernama Hamidah binti Nafi‟ seorang putrid dari keturunan

khalifah Utsman bin Affan (sahabat dan khalifah yang kedua). Dari

pernikahannya, ia mendapat tiga orang anak; 1 orang anak laki-laki dan

dua orang anak perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama Muhammad

bin Syafi‟i yang menjadi qadhi di jazirah Arab (w.240 H). setelah 6 tahun

tinggal di Mesir mengembangkan madzhabnya dengan jalan lisan dan

37

Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib juz VII, (Beirut Dar al-Fikr, 1995),

hlm. 24 38

M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1995), hlm. 205 39

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok;

Gramedia Publishing, 2010), hlm. 122

57

tulisan dan sesudah mengarang kitab Ar-Risalah (dalam ushul fiqh) dan

beberapa kitab lainnya, ia meninggal dunia pada tahun 204 H, pada usia 54

tahun, bertepatan dengan 28 Juni 819 M.40

2. Pendidikan Imam Syafi’i

Sejak dini, pada diri Imam Syafi‟i telah nampak bakat yang luar

biasa untuk menjadi seorang ilmuwan. Masa kanak-kanak dan masa

remaja dilalui Imam Syafi‟i dibawah asuhan ibunya dalam lingkungan

Bani Muthalib. Sesuai dengan tujuan kepindahannya ke Mekkah, masa ini

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk pendidikan, pembentukan

pribadi dan penguasaan ilmu pengetahuan.

Pendidikan Imam Syafi‟i diawali dengan belajar al-Qur‟an.

Dengan usaha dan bimbingan ibunya, Imam Syafi‟i telah menghapal al-

Qur‟an dalam usia yang masih sangat muda.41

Karena kecerdasan otaknya

yang ditopang dengan kemauan keras membuat Imam Syafi‟i mampu

menguasai berbagai cabang ilmu (terutama ilmu agama) dengan baik.

Bahkan beliau mampu menghapal semua pelajaran yang sedang didiktekan

pada anak-anak yang lain.42

Pelajaran bacaan al-Qur‟an diperolehnya dengan rangkaian sanad

dari Ismail ibn Qastantin dari Syibl, dari Abdullah ibn Katsir dari Mujahid

dari Ibnu „Abbas dari Ubay ibn Ka‟ab dari Rasulullah SAW. Setelah itu, ia

melengkapi ilmunya dengan mempelajari bahasa dan sastra Arab. Untuk

itulah ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan suku Hudzail, suku

bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah Imam Syafi‟i

secara berkelanjutan selama dua puluh tahun.43

40

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 108-110. 41

Menurut al-Muzanni, al-Syafi‟i pernah menyatakan bahwa ia telah menghapal

al-Qur‟an ketika berumur tujuh tahun. Tahzib al-Tahzib juz VII, hlm 25 42

Imam al-Syafi‟i, Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut : Muassasah al Kutub al Tsaqafiyyah

,1985), hlm. 20 43

Syekh Muhammad al-Khudhori Biek. Ushul Fiqh, terj. Zaid H. al- Hamid,

(Pekalongan Raja Murah, 1992), hlm. 252

58

Setelah itu, Imam Syafi‟i pun kemudian memusatkan perhatian

pada pelajaran hadis. Pada masa Imam Syafi‟i menjalani pendidikan

awalnya, khususnya di Mekkah dan Madinah, al-Qur‟an dan hadislah yang

menjadi tumpuan bagi hampir semua ilmu pengetahuan umat waktu itu.

Bahkan, seseorang hanya akan dianggap sebagai alim bila ia menguasai

banyak pengetahuan tentang keduanya karena kata ilmu ketika itu

digunakan untuk menyebutkan kedua pengetahun tersebut.44

Imam Syafi‟i mempelajari hadits dari dua tokoh ahli hadits yang

ada di Hijaz yaitu Sufyan ibn Uyainah yaitu seorang ahli hadits Mekkah

dan Malik ibn Anas seorang ahli hadits Madinah.45

Dengan kekuatan

ingatan yang sebelumnya telah terlatih menghapal al-Qur‟an dan syair-

syair, sangat mendukung keberhasilannya dalamk menghapal hadits-hadits

yang diajarkan oleh gurunya.

Setelah menghapal al-Qur‟an, hadits dan bahasa, Imam Syafi‟i pun

kemudian mulai mempelajari fikih. Ketiga ilmu yang telah dipelajari

sebelumnya tersebut sangat membantu beliau dalam penguasaan tafsir dan

hadits-hadits hukum yang sangat penting sebagai bahan kajian dan

sandaran fatwa dalam ilmu fikih. Dan dengan kecerdasannya tersebut, ia

segera menguasai metode istinbath aliran ahl al-hadits. Pelajar fikih mula-

mula ia peroleh dari Muslim ibn Khalid al-Zanji yaitu seorang mufti.

Disamping itu, Imam Syafi‟i juga mempelajari fikih dari ulama

Hijaz lainnya yang terkenal sebagai pusat fikih ahl al-hadits yaitu Imam

Anas ibn Malik di Madinah. Bahkan, sebelum datang menghadap sang

imam, Imam Syafi‟i telah menghapal kitab al-Mawathttha yang

merupakan kitab fikih berdasarkan hadits yang disusun oleh Imam Anas

ibn Malik. Pada tahun 179 H, Imam Malik meninggal dunia. Hal ini sangat

berpengaruh terhadap proses pendidikan Imam Syafi‟i. Beliau mulai

44

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i,

(Bandung Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 31-32 45

Syekh Muhammad al-Khudhori Biek. Ushul Fiqh, terj. Zaid H. al- Hamid,

(Pekalongan Raja Murah, 1992), hlm. 252

59

memikirkan sumber penghidupannya. Atas bantuan orang-orang Quraisy,

ia diterima oleh wali negeri Yaman yang sedang berkunjung ke Madinah

untuk kerja di wilayahnya.46

Akan tetapi, periode bekerja di Yaman ini tidak berlangsung lama.

Sebab, tidak lama kemudia ia dituduh trelibat dalam kegiatan politik

kelompok ‘Alawi, yaitu partai oposisi bani „Abbas, sehingga ia dikirm ke

Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Namun,

berkat kecerdikannya ia bisa bebas dari tuduhan.47

Kehadirannya di ibu kota itu memberinya kesempatan baik untuk

berkenalan dan belajar dengan tokoh ulama Hanafiyah. Di Baghdad inilah

al-Syafi‟i berjumpa dengan sejumlah ulama, sahabat dan murid Imam Abu

Hanifah seperti Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani.48

Dengan al-

Syaibani inilah Imam Syafi‟i mempelajari pokok-pokok pikiran madzhab

Hanafi serta membaca dan menelaah berbagai kitan ulama Irak dan

membandingkannya dengan pola pemikitan ulama Hijaz. Dengan

demikian, Imam Syafi‟i dapat melihat dengan jelas semua kelebihan dan

kelemahan yang terdapat pada kedua aliran tersebut.

Era Imam Syafi‟i memang merupakan era berkembangnya

pemikiran fikih secara luas dan mendalam. Tidak heran, bahwa beliau

mempunyai wawasan yang luas dan analisa yang tajam terhadap berbagai

masalah hukum. Sehingga, ia mengerti letak kelemahan dan keuatan, luas

dan sempitnya pandangan masing-masing madzhab yang ada. Setelah

belajar di Baghdad selama dua tahun lamanya, Imam Syafi‟i kembali ke

Mekkah sebagai ulama besar. Ia mengajar di masjid al-Haram dan

berdiskusi dengan para ulama yang banyak datang ke sana teruatama pada

46

Ahmad Nahrawi, al-Syafi’i fi Madzhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, hlm. 58 47

Dede Rosyadan, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta. Raja Grafindo

Persada 1996), hlm. 149 48

Romli SA, Muqaranah Madzhab fi al-Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama,

1999), hlm. 27

60

musim haji.49

Tidak kurang sembilan tahun lamanya Imam Syafi‟i

menetap di Mekkah dan selama ini pila beliau berhadapan dengan

persoalan-persoalan yang beragam yang tidak jarang melahirkan

perbedaan satu sama lainnya. Namun, dengan modal pengetahuan yang

luas dan dalam terhadap fikih dari berbagai sumber-sumber seperti

Mekkah, Mdinah, Yaman dan Irak beliau dapat menelaah berbagai

pendapat tersebut dan mengadakan penilaian, bahkan menyusun kaidah-

kaidah untuk menjadi dasar bagi madzhab baru yang akan dibangunnya

diantaranya kedua aliran ahl al-hadits dan ahl al-ra’yu.

Dengan kata lain, Imam Syafi‟i mulai melakukan perbandingan

dan berusaha membuat metode atau kaidah-kaidah istinbath tersendiri

setelah menelaah berbagai persoalan dari dua corak pemikiran fikih yang

berbeda yang telah ada sebelumnya dan mempelajari dasar-dasar

pijakannya masing-masing. Corak pemikiran hukum yang dirumuskan

Imam Syafi‟i memang berbeda dengan yang sudah ada. Perbedaan ini

bersifat fundamental, karena itu tidak dapat disejajarkan dengan madzhab-

madzhab terdahulu.50

Periode mengajar di Mekkah, merupakan penyempurnaan kegiatan

belajar Imam Syafi‟i, dismaping itu pula, masa ini juga mempunyai arti

yang penting bagi persiapan lahirnya madzhab Imam Syafi‟i. karena,

tanggung jawab sebagai pengajar dan juga kegiatannya dala diskusi-

diskusi dengan ulama yang datang ke Mekkah merupakan salah satu faktor

yang penting bagi perkembangan pemikiran hukum Imam Syafi‟i.

49

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i,

(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 22 50

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, diterjemahkan oleh Agah

Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 167

61

3. Guru dan Murid Imam Syafi’i

a. Guru-guru Imam Syafi’i

Imam Syafi‟i mempelajari ilmu tafsir, fiqih dan hadits

kepada banyak guru, yang negerinya antara satu dengan yang lain

berjauhan.

1) Di Mekkah

Muslim bin Khalid al-Zanji, Sufyan bin „Uyainah, Sa‟ad

bin Abi Salim al Qaddah, Daud bin „Abd al-Rahman al-„Athar,

„Abd al-Hamid bin „Abd al-„Aziz bin Abi Zuwad, Isma‟il bin

Qusthantein.

2) Di Madinah

Imam Malik bin Anas (pembangun mazhab Maliki),

Ibrahim Ibnu Sa‟ad al-Anshari, Abdul „Aziz bin Muhammad

al-Dahrawardi, Ibrahim Ibnu Abi Yahya al-Islami, Muhammad

bin Sa‟id, Abdullah bin Nafi‟.

3) Di Yaman

Muharraf bin Mazim, Hisyam bin Abi Yusuf, Umar bin Abi

Salamah (pembangun mazhab al-Auza‟i), Yahya bin Hasan

(pembangun mazhab Laits)

4) Di Iraq

Waki‟ bin Jarrah, Humad bin Usmah, Isma‟il bin Ulyah,

Abdul Wahab bin abdul Madjid, Muhammad bin Hasan, Qadhi

bin Yusuf.

Demikian daftar nama-nama guru Imam Syafi‟i. dari nama-

nama tersebut dapat diketahui bahwa Imam Syafi‟i telah

menghimpun fiqh ahli Mekkah, Fiqih Madinah, Fiqih Yaman, dan

Fiqih Iraq.51

51

Siradjuddin, Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta;

Pustaka Tarbiyah Baru, 2007), cet ke-XV, hlm.153-154

62

b. Murid-murid Imam Syafi’i

1) Murid-murid Imam Syafi‟i di Baghdad

Murid-murid Imam Syafi‟i di Baghdad banyak sekali, tetapi

yang besar-besar yang menjadi penyambung lidah utama dari

Imam Syafi‟i adalah Abu Ali al Hasan as Shabah az Za‟faran,

(wafat 260 H), Husein bin „Ali al Karabisi, (wafat 240 H), Imam

Ahmad Hanbal, (wafat 240 H), Abu Tsur al Kalabi, (wafat 240 H),

Ishak bin Rahuyah, (wafat 277 H), Ar Rabi‟ bin Sulaiman al

Muradi, (wafat 270 H), Abdullah bin Zubair al Humaidi, (wafat

219 H), Ibn Hanbal al Buthi, Al-Muzani, Abd „Ubaid Al-Qasim

Ibn Salam Al-Luqawi.52

2) Murid-murid Imam Syafi‟i di Mesir

Mereka adalah Ar-Rabi‟i bin Sulaiman al Muradi yang

datang bersama-sama Imam Syafi‟i dari Baghdad, (wafat 270 H),

Abdullah bin Zuber al Humaidi, yang juga datang bersama beliau

dari Baghdad (wafat 219 H), Al Buwaithi nama lengkapnya Abu

Yak‟ub Yusuf Ibnu Yahya al Buwaithi (wafat 232 H), Al Muzany,

nama lengkapnya Abu Ibrahim Isma‟il bin ahya al Muzani (wafat

264 H), Al Rabi‟i bin Sulaeman al Jizi (wafat 256 H), Harmalah

bin Yahya al Tujibi (wafat 243 H), Yunus bin Abdil A‟ala (wafat

264 H), Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (wafat 268

H), Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (wafat 268 H),

Abu Bakar al Humaidi (wafat 129 H), Abdul Aziz bin Umar (wafat

234 H), Abu Utsman Muhammad bin Syafi‟i (anak kandung Imam

Syafi‟i) (wafat 232 H), Abu Hanifah al Aswani orang Mesir berasal

dari Qibth (wafat 271 H), dan lain-lain.

52

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 257.

63

4. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i

Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu

hukum, Imam Syafi‟i memakai empat dasar yaitu: al- Quran, al-Sunnah,

Ijma‟ dan qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam kitabnya, al-

Risalah sebagai berikut:

محم ل ل م ل فم ه لمم م ام ل م ل رممن حل ل م ل : م ل ل بم ل ل الكل م بل ل ل ل ل مةل ل حم ا لنلةل م ل ل م ال ل لمل م ل مةل للمبمل ل ال ل م ال الل لم ال م ل

Artinya: “Tidaklah seorang mengatakan dalam hukum selamanya ini

halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan

itu adalah kitab suci al-Qur‟an, al-Sunnah, al-Ijma‟, dan al- Qiyas.”

Adapun penjelasan dari masing-masing pokok pegangan yang

digunakan Imam Syafi‟i dalam membina madzhabnya adalah sebagai

berikut:

a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah lafadz Arab yang diturunkan kepada

Sayyidina Muhammad SAW. Untuk direnungkan dan diingat, yang

diriwayatkan secara mutawatir. Mulai dengan surat al-Fatihah dan

diakhiri dengan surat al-Nas bahasa Arab adalah bagian dari keaslian,

terjemahanya tidak dikatakan al-Qur‟an sehingga apabila seseorang

membaca terjemahnya dalam sholatnya tidaklah sah.53

Para ulama

sepakat menetapkan bahwa al-Qur‟an adalah sumber pertama segala

sumber hukum Islam. Mereka berselisih pendapat, hanya tentang

kedudukan al-Sunnah, apakah dia dapat mendatangkan hukum-hukum

yang tidak ada pokoknya dalam al-Qur‟an ataukah tidak, Imam Syafi‟i

menegaskan bahwa al-sunnah berhak mendatangkan hukum yang tidak

ada pokoknya dalam al-Qur‟an.54

Imam Syafi‟i mengkaji al-Qur‟an secara mendalam dan

mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam bentuk „amm dan

53

Syekh Muhammad al-Khudhori Biek. Ushul Fiqh, terj. Zaid H. al- Hamid,

(Pekalongan: Raja Murah, 1992), hlm. 50. 54

M. Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),

Cet. ke-5, hlm. 277.

64

khas, beliau juga mengatakan bahwa di dalam al- Qur‟an ada

pernyataan-pernyataan tertentu yang bersifat umum di dalam al-Qur‟an

yang mengandung sebagai pernyataan „amm dan khas. Karena

kedudukan al-Qur‟an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi

penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum

suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari

jawaban penyelesaian dari al-Qur‟an, selain hukumnya dapat

disesuaikan dengan al-Qur‟an maka ia tidak boleh mencari jawaban

lain di luar al-Qur‟an.55

b. Sunnah

Sandaran kedua dari madzhab Syafi‟i adalah sunnah.

Menurutnya orang tidak mungkin berpindah dari sunnah selama

sunnah masih ada, mengenai hadits ahad, Imam Syafi‟i tidak

mewajibkan syarat kemasyhuran sebagaimana yang berlaku pada

madzhab Hanafi. Tidak pula mewajibkan persyaratan yang ditetapkan

oleh Imam Maliki, yaitu harus ada perbuatan yang memperkuatnya.

Menurut Imam Syafi‟i hadits itu sendiri tanpa lainnya sudah dianggap

cukup, baginya hadits ahad tidak masalah untuk dijadikan sandaran,

selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti, dan selama

hadits itu muttasil (sanadnya bersambung) kepada Rasulullah. Jadi

beliau tidak mengharuskan hanya mengambil hadits mutawatir saja.56

Imam Syafi‟i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan

sebagai berikut:

Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang

tidak terpercaya.

Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.

Perawinya dhabit (kuat ingatannya)

55

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 73 56

Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1997), hlm. 116

65

Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang

yang menyampaikan kepadanya.

Perawi itu tidak menyalahkan para ahli ilmu yang juga

meriwayatkan hadits itu.57

Imam Syafi‟i menempatkan as-sunnah sejajar dengan al-

Qur‟an, karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al-Qur‟an dan

hadits mutawatir. Disamping itu, al-Qur‟an dan sunnah keduanya

adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat

seperti al-Qur‟an. Mengenai kedudukan as-sunnah Imam Syafi‟i

mengungkapkan bahwa kedudukan sunnah terhadap al-Qur‟an adalah

sebagai berikut :58

Menerangkan kemujmalan al-Qur‟an, seperti menerangkan

kemujmalan ayat tentang shalat dan puasa.

Menerangkan khash al-Qur‟an yang dikehendaki „amm dan „amm

yang dikehendaki khas.

Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur‟an.

c. Ijma‟

Jumhur ulama berpendapat, bahwa kedudukan ijma‟

menempati salah satu sumber dalil hukum sesudah al-Qur‟an dan

sunnah, berarti ijma‟ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan

wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam

al-Qur‟an maupun sunnah, untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur

mengemukakan beberapa ayat al-Qur‟an diantaranya adalah surat an-

Nisa ayat 115,59

adalah sebagai berikut:

57

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 129 58

M. Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),

Cet. ke-5, hlm. 250-251 59

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 73

66

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul Rasul sudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang

bukan jalan orang-orang mu‟min, kami biarkan ia leluasa

terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami

masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-

buruk tempat kembali. (Q.S. an-Nisa: 115)60

Dalam ayat di atas “jalan-jalan orang mukmin” diartikan

sebagai apa-apa yang disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah

yang disebut ijma‟ kaum mukminin.61

Imam Syafi‟i mengatakan,

bahwa ijma‟ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma‟ ini sesudah al-

Qur‟an, as-sunnah sebelum qiyas.62

Ijma‟ yang dimaksudkannya ialah

suatu hasil kesepakatan para sahabat secara integral mengenai hukum

suatu masalah. Kesepakatan ini harus diperoleh secara jelas. Ijma‟

yang dipakai Imam Syafi‟i sebagai dalil hukum itu adalah ijma‟ yang

disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah

SAW. Secara tegas ia mengatakan bahwa ijma‟ yang berstatus dalil

hukum itu adalah ijma‟ sahabat.63

Imam Syafi‟i hanya mengambil

ijma‟ sharih yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum

suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan

pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hakim.

Maksudnya bahwa setiap mujtahid, mengeluarkan pernyataan

atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas sebagai

60

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan

Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur‟an, 1971), hlm. 140-141 61

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 118 62

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 130 63

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 103

67

dalil hukum dan menolak ijma‟ sukuti yaitu sebagian dari mujtahid

suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai

suatu kasus, baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa

dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut,

baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah

dikemukakan atau menentang pendapat itu menjadi dalil hukum.

Alasannya menerima ijma‟ sharih karena kesepakatan itu disandarkan

kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas

sehinnga tidak mengandung kerugian mujtahid. Diamnya sebagian

mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.

Adapun yang pertama, yaitu ijma‟ sharih, maka itulah ijma‟

hakiki, dan ini merupakan hujjah syar‟iyah dalam madzhab jumhur

ulama, sedangkan yang kedua yaitu ijma‟ sukuti, maka ia adalah ijma‟

I’tbar (anggapan) karena sesungguhnya orang yang diam saja tidak ada

kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian

mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma‟ dan karena

inilah, ia masih dipertentangkan kehujjahannya, jumhur ulama

berpendapat bahwa ijma‟ sukuti bukanlah hujjah. Bahwa ijma‟ tersebut

tidak lebih dari keadaannya sebagai pendapat dari individu para

mujtahid. Dalam definisi ijma‟64

menurut Imam Syafi‟i adalah

kesepakatan para mujtahid di suatu masa, yang bilamana benar-benar

terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin, oleh karena ijma baru

masyarakat bilamana disepakati seluruh mujtahid di suatu masa, maka

dengan gigih Imam Syafi‟i menolak ijma penduduk Madinah (amal

ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari

ulama mujtahid yang ada pada saat itu.65

d. Qiyas

64

Menurut Abdul Wahab Khallaf, Ijma‟ Menurut Istilah Para Ahli Ushul Fiqh

adalah: Kesepakatan para Mujtahid Dikalangan Umat Islam pada Suatu Masa Setelah

Rasulullah SAW Wafat atas Hukum Syara‟ Mengenai suatu Kejadian. Abd al-Wahhab

Khalaf, Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam 1978), hlm. 45. 65

Imam Syafi‟i, al-Risalah, (Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H), hlm. 32

68

Dari segi bahasa, qiyas ialah mengukur sesuatu atas lainnya

dan mempersamakannya.66

Sedangkan menurut istilah ahli ushul ialah:

م لرل لللم اه م لرل مل آ ل م ل ال ل لةل فم م ل م ل ل للهكل مل ل م ال ل خمرم ل للهكل

Artinya: “Menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada

orang lain, karena kedua pekerjaan itu sebabnya sama yang

menyebabkan hukumnya juga sama.”67

Sesuai dengan ta’rif tersebut di atas, apabila ada suatu

peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat

hukumnya telah diketahui menurut satu cara dari cara-cara mengetahui

illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang

hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah

mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang tidak ada nashnya ini

disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya

persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu tidak akan ada

sekiranya tidak ada illat-illatnya.68

Pendirian Imam Syafi‟i tentang hukum qiyas sangat hati-hati

dan sangat keras, karena menurutnya qiyas dalam soal-soal keagamaan

itu tidak begitu perlu diadakan kecuali jika memang keadaan

memaksa, berikut beberapa perkataan beliau tentang hukum qiyas.69

Imam Ahmad Ibn Hambal pernah berkata: “Saya pernah berkata

kepada Imam Syafi‟i tentang hal qiyas, maka beliau berkata: “Di

kala keadaan darurat.” Artinya, bahwa beliau mengadakan

hukum secara qiyas jika memang keadaan memaksa.

66

Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1989), hlm. 128 67

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 200. 68

Muctar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: al-

Maarif, 1997), hlm. 66 69

Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),

hlm. 209.

69

Imam Syafi‟i pernah berkata: “Saya tidak akan meninggalkan

hadits Rasul karena akan memasukkan hukum qiyas, dan tidak

ada tempat bagi qiyas beserta sunnah Rasulullah.”

Selanjutnya beliau berkata: “Tiap-tiap sesuatu yang menyalahi

perintah Rasulullah tentulah jatuh dengan sendirinya dan tidak

akan dapat berdiri tegak, juga qiyas tidak akan dapat tegak

selama ada sunnah.”

Selain daripada itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah

hukum-hukum yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada

pokoknya tidak dapat dipikirkan sebabsebabnya seperti, ibadah shalat

dan puasa. Oleh karena itu beliau berkata: “Tidak ada qiyas dalam

hubungan ibadah karena sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan

ibadah itu telah cukup sempurna dari al-Qur‟an dan as-Sunnah.” Dari

uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa cara Imam Syafi‟i

mengambil atau mendatangkan hukum qiyas itu adalah sebagai

berikut:

Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja.

Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari

nash al-Qur‟an atau dari hadits yang shahih.

Cara beliau mengqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera

dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan dari hadits Nabi.

Oleh sebab itu Imam Syafi‟i tidak sembarangan mendatangkan

atau mengambil hukum qiyas dan beliau merencanakan beberapa

peraturan yang rapi bagi siapa yang hendak beristidlal (mengambil)

dengan cara qiyas, sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau

mendasarkan pada firman Allah dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat

59.70

70

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hlm. 131

70

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan

ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian

jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (al- Qur’an) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa‟: 59).71

Rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut:56

Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, ia disebut

juga maqis‟alah (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul‟alaih

(yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang

diserupakan dengannya).

Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, ia juga

disebut: al-Maqis (yang diqiyaskan), al-Mahmul (yang

dipertanggungjawabkan), dan al-Musyabbah (yang

disempurnakan).

Hukum Ashl, yaitu: hukum syara‟ yang ada nashnya pada al-

ashl (pokok), dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada

al- Far’u (cabangnya).

Al-Illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk

membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya kebenaran

sifat itu pada cabang (far‟u), maka ia disamakan dengan

pokoknya dan segi hukumnya.

71

Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV Pusaka

Agung Harapan, 2006), hlm. 80

71

5. Karya Imam Syafi’i

Kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi‟i ketika di Mesir,

di antaranya Ar Risalah dalam ilmu ushul fiqih, Kitab Ahkamil Qur’an,

Kitab Ikhtilafi Hadits, Kitab Ibtalul Istihsan, Kitab Jima’ul ‘Ilmi, Kitab

Al-Qiyas, Kitab Al-‘Umm dalam ilmu fiqih, Kitab Al Musnad, Kitab Al

Mukhtasar Al Muzani, Kitab Harmalah, Kitab Jami’al Muzani al

Kabir, Kitab Jami’al Muzani as Sagir, Kitab Istiqbalul Qibiatain,

Kitab Mukhtasar al Buwaithi, Kitab Al Amali, Kitab al Qassamah,

Kitab Al Jizyah, Kitab Qital Ahlil Bagyi.72

72

Siradjuddin, Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta;

Pustaka Tarbiyah Baru, 2007), cet ke-XV, hlm. 182