BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI - UMY ...

33
4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai analisis beton prategang sudah banyak diteliti, diantaranya adalah penelitian tentang perencanaan struktur jembatan prategang yang telah diteliti oleh (Santosa dkk., 2015; Wicaksono dkk., 2016; Trianida, 2016; Hardwiyono dkk., 2014; Prasetya dkk., 2016; Meidiansyah dkk, 2016; Putra dkk., 2017), dan penelitian tentang tegangan dan lendutan yang terjadi pada struktur jembatan prategang (Wakid dkk., 2014; Leo dan Agung, 2017; Hady dkk., 2017). 2.1.1. Peneitian Tentang Beton Prategang Santosa dkk., (2015) melakukan penelitian tentang perencanaan jembatan Suru yang menghubungkan daerah Kesesi dan daerah Bantar Bolang dengan panjang bentang 144 m diatas Sungai Suru sudah melampaui umur rencana. Rangka baja jembatan yang sudah berkarat serta lebar efektif jembatan yang tidak memenuhi standar untuk melayani kebutuhan trasportasi menjadi faktor dalam perancangan untuk pergantan suru dengan struktur beton prategang. Perencanaan ini menggunakan SKBI 1.3.28.1987 Dirjen Bina Marga untuk standar perencananaan pembuatan jembatan jalan raya, SNI 03-2847-2013 tata cara perhitungan struktur beton untuk gedung, SNI 03-1726-2012 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung dan non gedung. Dari hasil perencanaan jembatan Suru dengan struktur beton praegang didapatkan dengan spesifikasi bentang jembatan = 144 m, (2 abutmen dan 3 pilar), bentang antara abutmen-pilar = 3 m. jenis jembatan = Beton Prategang, lebar jembatan = 9 m, lebar lajur = 2 x 3,5 m. lebar Trotoar = 2 m, sumuran abutmen diameter 1,75 m dipakai tulangan D10-100 dan 8–200, sumuran pilar diameter 2 m dipakai tulangan D10 - 100 dan 8–200. Wicaksono dkk., (2016) melakukan penelitian tentang perencanaan struktur jembatan slab on pile Sungai Brantas dengan menggunakan metode pracetak pada Proyek Tol Solo – Kertosono Sta. 176+050-Sta. 176+375 untuk membandingkan

Transcript of BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI - UMY ...

4

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai analisis beton prategang sudah banyak diteliti,

diantaranya adalah penelitian tentang perencanaan struktur jembatan prategang

yang telah diteliti oleh (Santosa dkk., 2015; Wicaksono dkk., 2016; Trianida,

2016; Hardwiyono dkk., 2014; Prasetya dkk., 2016; Meidiansyah dkk, 2016; Putra

dkk., 2017), dan penelitian tentang tegangan dan lendutan yang terjadi pada

struktur jembatan prategang (Wakid dkk., 2014; Leo dan Agung, 2017; Hady

dkk., 2017).

2.1.1. Peneitian Tentang Beton Prategang

Santosa dkk., (2015) melakukan penelitian tentang perencanaan jembatan

Suru yang menghubungkan daerah Kesesi dan daerah Bantar Bolang dengan

panjang bentang 144 m diatas Sungai Suru sudah melampaui umur rencana.

Rangka baja jembatan yang sudah berkarat serta lebar efektif jembatan yang tidak

memenuhi standar untuk melayani kebutuhan trasportasi menjadi faktor dalam

perancangan untuk pergantan suru dengan struktur beton prategang. Perencanaan

ini menggunakan SKBI 1.3.28.1987 Dirjen Bina Marga untuk standar

perencananaan pembuatan jembatan jalan raya, SNI 03-2847-2013 tata cara

perhitungan struktur beton untuk gedung, SNI 03-1726-2012 tentang tata cara

perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung dan non gedung. Dari hasil

perencanaan jembatan Suru dengan struktur beton praegang didapatkan dengan

spesifikasi bentang jembatan = 144 m, (2 abutmen dan 3 pilar), bentang antara

abutmen-pilar = 3 m. jenis jembatan = Beton Prategang, lebar jembatan = 9 m,

lebar lajur = 2 x 3,5 m. lebar Trotoar = 2 m, sumuran abutmen diameter 1,75 m

dipakai tulangan D10-100 dan 8–200, sumuran pilar diameter 2 m dipakai

tulangan D10 - 100 dan 8–200.

Wicaksono dkk., (2016) melakukan penelitian tentang perencanaan struktur

jembatan slab on pile Sungai Brantas dengan menggunakan metode pracetak pada

Proyek Tol Solo – Kertosono Sta. 176+050-Sta. 176+375 untuk membandingkan

5

tegangan yang terjadi dengan tegangan izin yang ditetapkan. Perencanaan

berdasarkan kekuatan batas layan (teori kekuatan elastik), Jika tegangan lebih

kecil dari tegangan izin maka struktur dinyatakan aman. Perencanaan batas layan

ini, digunakan untuk mengantisipasi batas layan yang terdiri dari tegangan kerja,

momen retak dan deformasi permanen. Pemodelan dan analisis struktur dalam

penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yang pertama pada saat struktur sudah

berfungsi, yang kedua pada saat pengangkatan elemen pelat pracetak prategang

dan yang terakhir pada saat pemasangan elemen pelat pracetak prategang. Analisis

menggunakan bantuan program SAP 2000. Beban yang direncanakan pada

struktur jembatan slab on pile dihitung berdasarkan tata cara pembebanan yang

tercantum pada SNI T-2-2005. Elemen plat jembatan yang direncanakan

menggunakan plat pracetak jenis full slab dengan penulangan prategang. Sistem

penulangan prategang ini bertujuan untuk menahan momen positif pada daerah

lapangan, sedangkan momen negatif pada daerah tumpuan yang di tahan oleh

sistem penulangan konvensional. Hasil analisis penelitian pada struktur jembatan

sungai Brantas didapatkan tebal rencana full slab adalah 350 mm, mengunakan 14

strand diameter 12,7 mm dengan tambahan 14 Tulangan D13 untuk menahan

momen positif, sedangkan untuk menahan momen negatif menggunakan tulangan

18 D25 + 18 D16. 3 dan tulangan susut arah melintang pelat yang digunakan

adalah tulangan dengan diameter 13 dan jarak 200 mm.

Trianida (2017) melakukkan penelitian tentang perhitungan struktur

jembatan prategang pada Jalan Muallaf menuju km.12 Jalan Poros Kota Bangun.

Jembatan ini direncanakan dengan bentang lebar 20 m dan bentang 30 m, slab

lantai 30 cm, trotoar dengan tebal 30 cm dan lebar 200 cm, jarak antara tiang

railing 2 m, menggunakan balok prategang I girder 10 buah dan baja prategang

yang diggunakan strands uncoated 7 wire super strands ASTM A-416 Grade 270,

menggunakan 3 tendon dengan 19 strands per-tendon dan jenis pondasi tiang

pancang dengan kedalaman 36 m. Hasil dari perencanaan jembatan Jalan Muallaf

menuju km.12 jalan poros didapatkan, jembatan ini direncanakan dengan bentang

30 m dan lebar 20 m, slab lantai kendaraan dengan ketebalan 20 cm, penulangan

arah x D13-100, arah y D13-200 dengan mutu yang digunakan beton K-350 serta

mutu baja U-39, tebal dari trotoar 30 cm, lebar 200 cm, tulangan yang digunakan

6

slab trotoar adalah D13-150, menggunakan mutu beton K-350 serta baja U-39

dan jarak antar tiang raling 2 m.

Hardwiyono dkk., (2013) tentang perancangan ulang struktur atas jembatan

Gajah Wong Yogyakarta dengan menggunakan box girder. Jembatan Gajah Wong

Yogyakarta memiliki panjang bentang 40 m yang berada di jalan Selokan

Mataram, yang menghubungkan Jalan Gejayan dan area Seturan. Jembatan ini

menggunakan I girder dalam perencanaannya tetapi didalam penelitian ini

digunakan box girder prestressed concrete tipe trapezium menggunakan peraturan

Bridge Management System (BMS-1992). Penelitian ini menggunakan Excel

untuk mengnalisis strukturnya, AutoCAD 2010 digunakan untuk menggambar

desain jembatan. Metode perancangan yang pertama dilakukan adalah dengan

mengumpulkan data jembatan Gajah Wong, penentuan spesifikasi struktur

jembatan, perhitungan beban-beban yang bekerja berdasarkan Bridge

Management System (BMS) 1992, menganalisis struktur dengan menggunakan

Microsoft Excel, perancangan elemen-elemen struktur dengan beton bertulang dan

beton prategang, lalu diakhiri dengan menyimpulkan hasil rancangan. Dari

perancangan jembatan Gajah Wong didapatkan tegangan beton yang terjadi pada

saat layan yang terjadi pada serat atas ft =12,597 MPa lebih kecil dari tegangan

yang diijinkan fcs = -22,5 MPa dan pada serat bawah fb = -2,527 MPa lebih kecil

dari tegangan yang diijinkan fcs = -22,5MPa, maka struktur beton prategang

dinyatakan aman.

Prasetya dkk., (2016) melakukan penelitian tentang perhitungan jembatan

layang (flyover) dengan tipe box girder beton prategang (prestressed concrete)

pada pertemuan jalan Mayor Aliyang dan jalan Soekarno-Hatta kabupaten Kubu

Raya. Perencanaan flyover dengan menggunakan box girder ini dimulai dari

(preliminary design) yaitu mendefinisikan problem secara umum. Berisi

gambaran umum mengenai jembatan layang box girder dengan struktur beton

prategang yang akan direncanakan beserta spesifikasi yang digunakan, data umum

jembatan (panjang jembatan, kelas jembatan, panjang bentang, dan lain-lain), data

box girder, data strand cable, dan data sekunder jembatan seperti mutu beton

hingga divisualisasikan dalam bentuk gambar kerja. Dari hasil analisis didapatkan

nilai gaya prategang awal sebesar 85290,81 kN, box girder mengalami total

7

kehilangan prategang sebesar 22,02 % sehingga tegangan efektif menjadi

50128,16 kN dari gaya prategang akibat jacking force sebesar 64285,74 kN.

Putra dkk., (2017) melakukan penelitian tentang studi perbandingan

penggunaan PCU Girder dan PCI Girder pada struktur atas jembatan Jurang

Gempal, Wonogiri. Penelitian ini dilakukan kajian perbandingan penggunaan

material beton PCU Girder dan PCI Girder untuk menggantikan struktur atas

yang bermaterial baja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan

hasil desain terkait kebutuhan total girder, kebutuhan tendon dan penulangan pada

struktur atas Jembatan Gempal. Dari hasil penelitian didapatkan struktur atas

jembatan dengan menggunakan PCU Girder didesain menggunakan 4 girder

sebesar 5,1192 m2 sedangkan struktur PCI Girder menggunakan 5 girder dan

mempunyai luas total 3,7615 m2. Jumlah tendon PCU Girder 32 buah sedangkan

PCI Girder memiliki 20 buah tendon. Dengan jenis yang sama yaitu ASTM A416

grade 270. Jumlah tulangan pokok dan geser PCU Girder lebih banyak

dibandingkan dengan PCI Girder, sehinga lebih mahal.

Meidiansyah dkk., (2016) melakukan peneltian tentang analisis box girder

fly over Rawabuaya Sisi Barat terhadap gempa. Pembebanan fly over Rawabuaya

mengacu pada RSI T-02-2005. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis

ketahanan terhadap gempa pada jembatan Rawabuaya yang mengacu pada RSNI

03-1726-2010 dan peta zonasi Gempa Indonesia tahun 2010. Tahapan

pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap, yaitu pemodelan komputer,

pembebana npada pemodelan komputer dan kontrol gaya dalam. Pemodelan

komputer dibantu menggunakan program komputer Csi Bridge 15 yaitu program

komputer yang dibuat khusus oleh Computer and Structure, Inc yang khusus

dimodelkan untuk analisis jembatan. Tahap kontrol gaya dalam untuk

membandingkan nilai dari analisis struktur permodelan komputer yaitu gaya

dalam maksimum dari hasil kombinasi beban ultimit dengan nilai gaya dalam

nominal. Tata cara kontrol gaya dalam ini mengacu (BSN,2002) tentang Tata

Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung” dan (BSN,2004)

tentang Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan. Kontrol gaya dalam meliputi

gaya aksial, gaya geser dan momen, nilai dari hasil analisis gaya aksial, gaya

geser, dan momen adalah 191132 kN, 85636,3 kN, dan 640142 kNm. Terdapat 29

8

kombinasi dengan sembilan beban ultimit yang bekerja pada struktur box girder.

Nilai maksimum tersebut terjadi pada kombinasi 5. Adanya kombinasi arah x dan

y pada beban gempa menyebabkan struktur beban lebih besar hingga dua kali lipat

tanpa beban gempa. Hasil perbandingan gaya-gaya dalam maksimum pada

kombinasi beban ultimit dengan gaya-gaya dalam nominal menunjukkan jembatan

Rawabuana memiliki beban gempa dengan selisih 10%, yang artinya struktur

dapat menahan 90% beban gempa ultimit. Sehingga perlu tambahan tulangan

pada box girder untuk menambah kekuatan tekan dan tarik beton.

Hady dkk., (2017) meneliti tentang tinjauan ulang two cell box girder beton

prategang pada perencanaan pembangunan flyover di kota Banda Aceh. Tujuan

penilitian ini untuk meninjau ulang two cell box girder dari nilai momen dan

lendutan (segi keamanan), volume beton, dan luasan penampang box girder (segi

ekonomis) terhadap kapasitas daya dukung beban lalu lintas. Kekuatan batas yang

digunakan dalam analisis hubungan momen dan kelengkungan adalah dari hasil

perkiraan dari peraturan ACI (318-11). Nilai distribusi momen akibat kombinasi

beban ultimit maksimum didapatkan sebesar 134638,3 kNm, sedangkan dari

analisis momen kelengkungan didapatkan nilai kapasitas momen ultimit sebesar

211679,11 kNm. Sehingga rasio kapasitas momen lentur (Mu/𝜑Mn) didapat 0,71

≤ 1, jadi disimpulkan momen letur pada penampang two cell akibat beban ultimit

masih memenuhi persyaratan. Nilai lendutan akibat kombinasi pembebanan

adalah 0,009064 m < L/250 (Direktorat Bina Marga, 2004) = 45/250 = 0,18 m,

jadi penampang two cell aman. Rasio kapasitas geser kondisi ultimit masih

memenuhi persyaratan Vu/𝜑Vn < 1 disepanjang bentang balok.

Leo dan MH., (2017) melakukan penelitian tentang kajian efisiensi blub-tee

shape and half slab girder dengan blister tunggal terhadap PC-I girder. Pada

penelitian ini bertujuan untuk membandingkan girder prategang Bulb-tee shape

and Half-slab girder (BH girder) dengan gelagar I (PC-I girder) yang umumnya

sering digunakan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode post tension

yang menggunakan PC-I girder dan BH girder dengan blister tunggal sebagai

struktur gelagar utamanya. Dasar perencanaan girder ini mengacu pada

Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan (SK.SNI T-12-2004), Pembebanan

untuk Jembatan (SK.SNI T-02-2005) dan Bridge Management System (BMS-92).

9

Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa volume beton yang diperlukan BH-

Girder lebih besar dibandingkan dengan volume PC-I girder per jembatan balok

gelagar dengan tinggi yang sama, dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berat strand

yang diperlukan BH-girder lebih kecil dibandingkan dengan PC-I girder dan

persentase efisiensi tersebut cenderung meningkat sebanding dengan bentang

girder dari 30,60 m sampai dengan 35,60 m dapat dilihat Pada Gambar 2.2 dan

Gambar 2.3. Hasil perhitungan tegangan lentur kondisi-kondisi tersebut pada

bentang 31.60 m dapat dilihat pada Gambar 2.4 sampai dengan Gambar 2.7.

Sistem BH girder dengan blister tunggal lebih efisien dari segi tegangan dan

volume strands yang diperlukan, walaupun volume betonnya lebih besar 6.6%

dari pada system I girder.

Gambar 2.1 Perbandingan volume beton tiap jembatan (Leo dan Agung, 2017)

Gambar 2.2 Perbandingan berat strand tiap jembatan (Leo dan Agung, 2017)

10

Gambar 2.3 Persentase efisiensi berat strand BH girder terhadap PC-I girder (Leo dan Agung, 2017)

Gambar 2.4 Tegangan lentur kondisi transfer PC-I girder bentang 31.60 meter (Leo dan Agung, 2017)

Gambar 2.5 Tegangan lentur kondisi service PC-I girder bentang 31.60 m (Leo dan Agung, 2017)

11

Gambar 2.6 Tegangan lentur kondisi transfer BH girder bentang 31.60 meter (Leo dan Agung, 2017)

Gambar 2.7 Tegangan lentur kondisi service BH girder bentang 31.60 m (Leo dan Agung, 2017)

Wakid dkk., (2014) melakukan penelitian tentang perkuatan struktur atas

jembatan komposit dengan metode prategang eksternal. Jembataan Gandong yang

berlokasi di Kabupaten Magetan saat ini mengalami defleksi 5 cm. Asesmen

terhadap jembatan ini memberikan rekomendasi untuk dilakukan perkuatan

dengan sistem Prategang Eksternal. Perkuatan jembatan dengan metode prategang

external merupakan alternatif yang efektif dan ekonomis untuk memperkuat atau

merehabilitasi jembatan yang ada, sehingga tidak diperlukan penggantian atau

pembangunan jembatan yang baru. Prinsip dasar perkuatan prategang eksternal

12

adalah menerapkan beban aksial yang dikombinasikan dengan gaya angkat untuk

meningkatkan kapasitas lentur dan geser dari struktur balok atau komponen,

meningkatkan kapasitas dan umur layan. Metode yang dilakukan dalam penelitian

ini adalah dengan meninjau lokasi jembatan, melakukan pengumpulan data-data

dari dinas pekerjaan umum kabupaten Magetan berupa gambar rencana yang

sudah dibuat, melakukan investigasi lapangan, studi literature tentang perkuatan

jembatan yang mendukung penelitian ini, dan analisis prategang eksternal. Dari

hasil penelitian didapatkan kapasitas existing penampang komposit adalah:

Tegangan pada lantai beton = 230,02 kg/cm2 > tegangan ijin 135,00 kg/cm2,

Tegangan lentur = 3.538,14 kg/cm2 > tegangan lentur ijin = 1.392,0 kg/cm2.

Tegangan geser = 5.006,53 kg/cm2 > tegangan geser ijin = 392,0 kg/cm2. dan

Lendutan = 8,09 cm > lendutan ijin 4 cm.

Nurrianto dkk., (2013) meneliti tentang perhitungan perancangan jalan

layang akses terminal A Mangkang Semarang. Jalan layang ini diharapkan dapat

memperlancar arus lalu lintas menuju dan dari terminal A Mangkang tanpa

menganggu lalu lintas pada jalan Urip Sumoharjo. Perencanaan jembatan layang

diawali tahap persiapan data, selanjutnya pengumpulan data (data primer dan

sekunder). Data primer meliputi data hasil pengamatan langsung dilapangan,

sedangkan data sekunder (LHR, topografi, data tanah, geometri dan alinyemen)

yang didapdatkan dari instansi terkait. Dilanjutkan perhitungan detail jembatan.

Dari hasil analisis desain kontruski jembatan layang yaitu direncanakan

menggunakan PCI Girder dengan lantai dari beton bertulang dengan bentang 52

m. kontruksi ditumpu abutmen pada kedua ujungnya yang terbuat dari beton

bertulang, lebar jalur untuk lalu lintas 2 x 3,5 m, kontruksi jalannya menggunakan

plat beton yang permukaannya dilapisi aspal setebal 20 cm, dua buah pengaman

selebar 0,2 m dan pelat lantai jembatan setebal 20 cm.

Suangga dkk., (2014) melakukan penelitian tentang penilaian kondisi

jembatan PCI-Girder dari hasil reduksi gaya prategang. PCI-Girder banyak

digunakan dalam konstruksi jembatan, dermaga, dan jembatan layang. Dalam

penelitian ini menggunakan gelagar dengan bentang 40 m. Data geometri dimensi

gelagar jembatan, material gelagar, dan material kabel prategang, akan di analisis

untuk menghitung frekuensi alami dan kapasitas momen menggunakan program

13

elemen hingga (midas/civil program). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa

frekuensi alami single girder lebih baik dari multi girder, perbandingan antara

reduksi gaya prategang dan frekuensi alami berbanding lurus dan hasil ini juga

sama untuk frekuensi alami dan momen kapasitas. Jembatan PCI akan collapse

ketika reduksi gaya prategang yang 45% menjadi 50% dari total kehilangan

prategang.

Setyawan dan Sulistyo, (2012) meneliti tentang analisis nonlinier tegangan

dan deformasi struktur jembatan beton prategang pada tahap konstruksi dengan

metode balanced cantilever dengan menggunakan program SAP2000. Hasil

analisis dari program SAP2000 yang diperoleh adalah gaya-gaya dalam, yang

digunakan sebagai dasar perhitungan dalam menentukan tegangan yang terjadi.

Hasil analisis SAP2000 ini tidak bisa diketahui perilaku strukturnya. Untuk

mengetahui hasil perilaku struktur jembatan segmental beton prategang

pendekatan analisis secara numerik dapat menggunakan analisis nonlinier elemen

hingga menggunakan program ATENA. Hasil nilai tegangan dari kedua program

memiliki perbedaan karena perbedaan pendekatan model analisis. Pada program

SAP2000 (analisis linier elastic) di peroleh analisis berupa momen kemudian

untuk memperoleh nilai tegangannya dihitung secara manual. Sedangkan program

ATENA (analisis nonlinier) dapat menghasilkan output nilai tegangan yang terjadi

setiap nodal elemen. Hasil analisis lendutan pada tinjauan 1/3 bentang hasil

program SAP2000 mengalami deformasi ke bawah sedangkan pada program

ATENA box girder mengalami deformasi ke atas. Pada hasil analisis beban runtuh

setelah pembebanan mencapai 360 kN dan lendutan mencapai 180 mm model

struktur atas box girder mengalami keruntuhan. Sedangkan untuk hasil pola retak,

retak pertama terjadi pada pembebanan 270 kN, meningkatnya pembebanan

hingga 360 KN struktur box girder mengalami keruntuhan.

Syaifullah dkk., (2016) meneliti tentang studi parametrik pengaruh kuat

tekan beton dan gaya prategang awal terhadap dimensi penampang T balok beton

prategang (studi kasus Hotel Alila, Surakarta. Penelitian ini juga bertujuan

mengkaji lebih jauh tentang pengaruh fc dan P terhadap teknik optimasi yang

diaplikasikan dalam perancangan penampang T balok beton prategang. Metode

penelitian yang digunakan adalah metode perencanaan dan perhitungan. Data

14

awalnya diperoleh dari proyek Hotel Alila Surakarta, seperti fc dan P (gaya

prategang). Elemen yang dikaji adalah elemen balok prategang dengan bentang 42

m dengan fungsi batasan yang diperoleh berdasarkan batasan SNI 7833 2012 dan

SNI 2847 2002. Setelah semua fungsi diolah dengan program MATLAB 2012b,

dengan nilai fc 35 Mpa dan Pi 12.762.386 N diperoleh nilai A 2.750.360 mm2 dari

nilai A awal 3.000.000 mm2. Kesimpulan dari penelitian ini, diperoleh nilai

dimensi baru yang lebih optimal dengan nilai fc dan P yang sama yaitu dengan

luas 2,835 m2 dan diperoleh keuntungan sebesar 8,330% dari dimensi awal

penampang.

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Prinsip Dasar Beton Prategang

Beton merupakan material yang kuat dalam menahan gaya tekan, tetapi

lemah dalam kondisi tarik. Kuat tarik bervariasi dari 8 persen hingga 14 persen

dari kuat tekannya. Untuk mengatasi masalah tersebut diberikan gaya prategang

secara longitudinal sejajar sumbu komponen struktur atau dikenal sebagai

pemberian prategang linier. Pemberian gaya prategang dapat dilakukan sebelum

pengecoran atau disebut dengan sistem pratarik (pre-tension) dan sesudah

pengecoran atau disebut dengan sistem pasca-tarik (post-tension).

Menurut Nawy dkk., (2001) balok persegi panjang yang ditumpu sederhana

yang mengalami gaya prategang P kosentris mempunyai tegangan tegangan tekan

yang seragam dan mempunyai intesitas. Rumus tegangan dapat digunakan dalam

Persamaan 2.1:

𝑓 = − ……………………………….. (2.1)

dimana Ac = b x h, adalah luas penampang balok dengan b adalah lebar dan h

adalah tingginya. Tanda minus digunakan untuk menentukan kondisi tekan dan

plus untuk tarik. Jika beban transfersal bekerja di balok yang menimbulkan

momen M di tengah bentang, maka tegangan pada serat atas dapat dilihat pada

Persamaan 2.2a:

𝑓 = − − …………………………….. (2.2a)

dan tegangan pada serat bawah dapat dilihat pada Persamaan 2.2b:

15

𝑓 = − + …………..………………… (2.2b)

dengan: f t = tegangan serat atas

fb = tegangan serat bawah

c = h/2, untuk penampang persegi panjang

Ig = bh3/12, untuk momen inersia bruto penampang

Persamaan 2.2b menunjukkan adanya tegangan tekan prategang –P/A mengurangi

tegangan lentur tarik Mc/l sebesar yang dikehendaki didalam desain. Tegangan

tekan di Persamaan 1.2a di serat atas balok digabungkan dengan tegangan akibat

pembebanan –Mc/l, seperti terlihat dalam Gambar 2.8(b). Dengan demikian,

kapasitas tegangan tekan balok dalam menahan beban luar akan jauh berkurang

dengan pemberian gaya prategang konsetris.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 2.8 Distribusi tegangan serat beton pada balok persegi panjang dengan tendon lurus. (a) Tendon kosentris, hanya prategang. (b) Tendon kosentris, berat

sendiri ditambahkan. (c) Tendon eksentris, hanya prategang. (d) Tendon eksentris, berat sendiri ditambahkan (Nawy dkk., 2001)

Tendon prategang diletakkan secara eksentris dibawah sumbu netral di tengah

bentang, agar timbul tegangan tarik di serat atas akibat prategang, seperti terlihat

dalam Gambar 2.8(c) dan (d). Jika tendon diletakkan eksentris maka timbul

momen Pe dan tegangan di tengah bentang. Tegangan yang terjadi dapat

menggunakan Persamaan 2.3:

16

𝑓 = − + − ….…………………………………….. (2.3a)

𝑓 = − − + ………………...………………..…….. (2.3b)

Dikarena penampang tumpuan balok yang ditumpu sederhana tidak memikul

momen akibat beban luar transversal, maka tegangan serat tarik yang besar pada

serat bagian atas akibat gaya prategang eksentris. Maka garis cgc di penampang

tumpuan dibuat lebih kecil dibanding dengan penampang lapangan, atau tidak

sama sekali, atau di atas garis cgc.

2.2.2. Metode Prategang

Dalam memasang baja prategang atau tendon terdapat 2 metode pemberian

gaya prategang yang dapat digunakan, yaitu:

a. Pratarik (Pre-Tension Method)

Tendon diberikan gaya prategang terlebih dahulu sebelum beton segar

dimasukan kedalam cetakan. Penjelasan terdapat pada Gambar 2.9

(a)

(b)

(c)

Gambar 2.9 Metode pratarik (Sulistyo, 2014)

1) Tahap 1: Kabel tendon diberikan gaya tarik, kemudian diangker pada atau

blok - blok pengangkeran. Pada baja prategang terjadi tegangan po = Po /

Ap. (Gambar 2.9 (a)).

17

2) Tahap 2: Kemudian beton dicor pada cetakan (framework) dan dilakukan

perawatan s/d beton mengering dan umur beton sesuai dengan yang

direncanakan. (Gambar 2.9 (b)).

3) Tahap 3: Selanjutnya angker penahan gaya prategang pada blok-blok

pengangkeran dilepas dan terjadi transfer gaya prategang dari baja

prategang kepada beton melalui lekatan. Akibatnya beton memendek

elastis, gaya tarik pada baja prategang dan gaya desak yang ditransfer

kepada beton sedikit berkurang menjadi Pi, terjadi tegangan desak pada

beton (ci). Transfer gaya prategang dari baja prategang kepada beton

terjadi melalui lekatan antara baja prategang dengan beton disekitarnya.

(Gambar 2.9 (c)).

b. Pascatarik (Post-Tension Method)

Baja prategang ditarik/ditegangkan pada beton yang sudah dicetak dan

mempunyai saluran untuk tendon yang nanti dimasukkan ke dalam beton,

kemudian diangker terhadap beton itu sendiri. Adapun tahap pekerjaan pada

metode ini adalah sebagai berikut:

(a)

(b) (c)

Gambar 2.10 Metode pascatarik (Sulistyo, 2014)

1) Tahap 1: Persiapkan bekisting, tulangan non prategang, selubung tendon

(ducting) dengan strand dan sistim angkernya (angker hidup dan mati).

Tendon dapat bergerak bebas di dalam ducting. (Gambar 2.10 (a)).

18

2) Tahap 2: Beton dicor dan dilakukan perawatan s/d beton mencapai umur

dan kekuatan yang direncanakan (Gambar 2.10 (b)).

3) Tahap 3: Kemudian baja prategang ditarik/ditegangkan Po dan diangker

terhadap beton itu sendiri. Terjadi transfer gaya prategang dari baja

prategang melalui sistim pengangkerannya. Akibatnya beton memendek

elastis, pada baja prategang

4) Terdapat gaya tarik Pi dan tegangan pi, terjadi tegangan desak pada beton:

ci. Transfer gaya prategang dari baja prategang kepada beton terjadi

melalui sistim pengakeran baja prategang (angker mati & hidup) (Gambar

2.10 (c).

2.2.3. Kelebihan dan Kelemahan Beton Prategang

Menurut Nawy dkk., (2001) keuntungan dan kekurangan penggunaan

prategang antara lain sebagai berikut:

Keuntungan

1) Mempunyai tinggi yang lebih kecil dibanding dengan beton bertulang dalam

kondisi beban dan bentang yang sama sehingga dapat menghemat material

betonnya, dan dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan.

2) Penghematan jangka panjang penggunaan beton prategang cukup besar,

karena dibutuhkan perawatan yang lebih sedikit. Daya guna beton prategang

lebih lama karena kontrol kualitasnya lebih baik yaitu penggunaan material

yang bermutu tinggi.

3) Di gunakan dalam pembuatan jembatan dengan bentang yang panjang, karena

beton prategang menghasilkan komponen yang lebih ringan, sehingga

rangkak dan susut jangka panjang tidak dapat berperilaku dengan baik.

Kelemahan

1) Pemberian prategang dan material mutu tinggi menjadikan beton prategang

memiliki tambahan biaya

2) Perbedaan harga awal dengan beton bertulang (tanpa memperhatikan biaya

material dan pemberian tegangan) biasanya tidak terlalu besar.

3) Pelaksanaan beton prategang ini memerlukan orang dengan kemampuan

keahlian khusus.

19

2.3. Pembebanan Jembatan

Pembebanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan

tegangan dan lendutan pada jembatan. Perhitungan ini adalah dasar dalam

menentukan beban dan gaya-gaya yang terjadi pada beton prategang. Standar

yang digunakan untuk perhitungan pembebanan jembatan yaitu menggunakan

Standar Pembebanan Untuk Jembatan (BSN, 2016) dan dengan rumus acuan

(Direktorat Bina Marga, 2005). Didalam peraturan pembebanan terdiri dari:

2.3.1. Beban Mati

Beban mati jembatan terdiri dari berat setiap komponen struktural maupun

non-truktural yang menjadi satu kesatuan aksi yang tidak bisa dipisahkan.

a. Berat sendiri (MS)

Berat sendiri adalah berat bahan dari jembatan dan elemen-elemen

struktural bagian dari jembatan yang dipikulnya, ditambah dengan beban dari

elemen non-struktural yang dianggap tetap.

Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri (BSN, 2016)

Tipe Beban

Faktor Beban ( 𝛾 )

Keadaan Batas Layan (𝛾 ) Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )

Bahan Biasa Terkurangi

Tetap

Baja 1,00 1,10 0,90

Aluminium 1,00 1,10 0,90

Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85

Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75

Kayu 1,00 1,40 0,70

1) Berat Diafragma

Berat diafragma dapat dicari dengan Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5.

Berat 1 buah diafragma (w) : Wdiafragma = V × Wc …….……… (2.4)

Berat diafrgama : Wn = n × W …………………… (2.5)

Momen maksumum di tengah bentang L dapat dihitung dengan

Persamaan 2.6.

Mmaks = × 𝑛 × 𝑋 − 𝑋 − 𝑋 × 𝑊 ……………………..... (2.6)

Berat diafragma ekivalen dapat dihitung dengan Persamaan 2.7

Qdiafragma = 8 × Mmaks / L2 …………………………………….. (2.7)

20

2) Berat Balok Prategang

Berat balok perategang prategang dapat dihitung dengan Persamaan 2.8

dan Persamaan 2.9.

Wbalok = 10% × A × L × Wc ……………………….................. (2.8)

Qbalok = Wbalok / L ……………………….................................. (2.9)

3) Gaya geser dan momen akibat berat sendiri (MS)

Gaya geser dan momen akibat berat sendiri dapat dihitung dengan

Persamaan 2.10 sampai Persamaan 2.12

Beban : Qms = A × W ………………………................ (2.10)

Gaya geser : VMS = × QMS × L ………………………...... (2.11)

Momen : MMS = × QMS × L2 …………………………. (2.12)

b. Berat mati tambahan (MA)

Berat mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu

beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan beasarnya dapat

berubah selama umur jembatan.

Tabel 2.2 Faktor beban untuk beban mati tambahan (BSN, 2016)

1) Lapisan aspal dan overlay

Berat jenis aspal (Was) = 22 kN/m3

Beban aspal dan overlay dapat dihitung dengan Persamaan 2.13.

Qas = Aas × Was ………………………...….. (2.13)

2) Berat air hujan

Berat jenis air (Wah) = 9,80 kN/m3

Beban air hujan dapat dihitung dengan Persamaan 2.14.

Qah = Aah × Wah ………………………...…. (2.14)

3) Gaya geser dan momen akibat beban mati tambahan (MA) dapat

dihitung dengan Persamaan 2.15 sampai Persamaan 2.17.

Tipe Beban

Faktor Beban ( 𝛾 )

Keadaan Batas Layan (𝛾 ) Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )

Keadaaan Biasa Terkurangi

Tetap Baja 1,00(1) 2,00 0,70 Aluminium 1,00 1,40 0,80

Catatan (1): Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk besar utilitas

21

Beban : QMA = Qas + Qah ………………………........... (2.15)

Gaya geser : VMA = × QMA × L ………………………...... (2.16)

Momen : MMA = × QMA × L2 ……………………….... (2.17)

2.3.2. Beban Hidup (Beban Lalu Lintas)

Beban lalu lintas merupakan beban lajur yang terdiri dari beban terbagi

merata (BTR), uniformly distributed load (UDL), dan beban garis (BGT) beban

hidup (beban lalu lintas) terdiri dari beban truk “TT” dan beban lajur “TD”

sebagai berikut:

a. Beban lajur (TD)

Beban lajur bekerja di seluruh lebar jalur kendaraan yang terdiri atas beban

terbagi merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT), seperti yang

terlihat pada Gambar 2.11. Beban terbagi merata (BTR) mempunyai intensitas q

kPa dengan besaran q tergantung pada panjang total L yang dibebani, dan

dinyatakan dalam ketentuan sebagai berikut:

q = 9,0 kPa untuk L ≤30 m

q = 9,0 (0,5 + ) kPa untuk L > 30 𝑚

Tabel 2.3 Faktor beban lajur “TD” (BSN, 2016)

Beban garis terpusat (BGT) dengan intesitas p kN/m tegak lurus terhadap arah

lalu lintas, dan mempunyai intensitas sebesar 49,0 kN/m.

Gambar 2.11 Beban lajur “D” (BSN, 2016)

Tipe Beban

Jembatan

Faktor Beban ( 𝛾 )

Keadaan Batas Layan (𝛾 )

Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )

Transien Beton 1,00 1,80

Box Girder Baja

1,00 2,00

22

1) Beban merata pada balok dapat dicari dengan Persamaan 2.19

QTD = q × s ………………………....................................... (2.19)

2) Beban terpusat pada balok dapat dihitung menggunakan Persamaan

2.20.

PTD = (1 + DLA) × p × (B + 5,5) / 2 ………………………. (2.20)

3) Gaya geser akibat beban lajur D dihitung dengan Persamaan 2.21.

Gaya geser : VMA = × QTD × L ………………… (2.21)

4) Momen maksimum pada balok akibat beban lajur D dihitung dengan

Persamaan 2.22.

Momen : MMA = × QTD × L2 ………………. (2.22)

b. Beban Truk (TT)

Beban truk adalah beban lalu lintas lainnya selain beban lalu lintas. Beban

truk tidak dapat digunakan digunakan bersamaan dengan beban lalu lintas. Secara

umum beban truk digunakan untuk perhitungan struktur dengan bentang pendek.

Factor beban untuk beban truk di sajikan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Faktor beban truk (BSN, 2016)

Tipe

Beban Jembatan

Faktor Beban ( 𝛾 )

Keadaan Batas

Layan (𝛾 )

Keadaan Batas

Ultimit (𝛾 )

Transien Beton 1,00 1,80

Box Girder Baja 1,00 2,00

Gambar 2.12 Pembebanan truk “TT” 500 kN (BSN, 2016)

23

2.3.3. Gaya Rem (TB)

Gaya rem diambil yang terbesar dari 25% dari berat gandar truk desain atau,

5% dari berat truk rencana di tambah beban lajur terbagi merata BTR. Pengaruh

pengereman diasumsikan bekerja pada jarak 1.80 m di atas permukaan lantai

jembatan. Dalam menghitung gaya rem yang terjadi dapat digunakan Persamaan

2.23 sampai dengan Persamaan 2.27.

a) Gaya rem

TTD = 5% × T + QTD ………………………........................ (2.23)

b) Lengan terhadap titik berat balok

Y = 1,80 + ha + yac ………………………....................... (2.24)

c) Beban momen akibat gaya rem

M = TTB × Y ……………………….................................. (2.25)

d) Gaya geser beban rem

Gaya geser : VTB = MTB / L ………………………........... (2.26)

e) Momen maksimum pada balok akibat beban rem

Momen : MTB = ½ × MTB ………………………......... (2.27)

2.3.4. Pembebanan untuk pejalan kaki (TP)

Pada pembebanan untuk pejalan kaki semua komponen trotoar yang lebih

besar dari 600 mm harus direncanakan untuk memikul beban pejalan kaki dengan

intensitas 5 kPa dan dianggap bekerja secara bersamaan dengan beban kendaraan

pada masing-masing lajur kendaraan.

Perhitungan pembebanan untuk pejalan kaki dapat menggunakan Persamaan 2.28

sampai Persamaan 2.31.

a) Luas bidang trotoar

A = bt × L ……………………………………………………... (2.28)

b) Beban jembatan untuk trotoar

QTP = q × bt ………………………............................................. (2.29)

c) Gaya geser beban pejalan kaki

VTP = ½ × QTP × L ……………………….................................. (2.30)

d) Momen maksimum

MTP = 1/8 × QTP × L2 ……………………….............................. (2.31)

24

2.3.5. Beban angin (EW)

Jembatan harus mampu memimikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan

dimana tekanan tersebut harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46

N/mm tegak lurus dan bekerja 1,8 m di atas permukaan jalan. Beban angin dapat

dicari dengan Persamaan 2.32 sampai Persamaan 2.34.

a) Transfer beban angin ke lantai jembatan:

QEW = (1/2 × h/x × TEW) × 2 ………………………............. (2.32)

b) Gaya geser akibat beban angin

VTP = ½ × QEW × L ……………………….......................... (2.33)

c) Momen maksimum

MTP = 1/8 × QEW × L2 ………………………....................... (2.34)

2.3.6. Beban Gempa (EQ)

Dalam menghitung beban gempa ada beberapa tahap yang harus dilakukan

pada perencanaan jembatan.

a. Menentukan Faktor Situs

Dalam menentukan faktor situs, hal pertama yang harus dilakukan

menentukan jenis tanah yang akan dibangun jembatandan menentukan level

gempa. Nilai percepatan puncak batuan dasar (FPGA) ditentukan pada Tabel 2.5

yang mengacu pada peta gempa Indnesia 2010 dan nilai paramater respons

spektral percepatan gempa (SS) untuk periode pendek (T = 0,2 detik) pada Tabel

2.6 mengacu pada peta gempa Indonesia 2010.

Tabel 2.5 Faktor nilai amplifiksasi untuk periode 0 detik dan 0,2 detik (FPGA/Fa) (BSN, 2012)

Kelas Situs PGA ≤ 0,1

Ss ≤ 0,25

PGA = 0,2

Ss = 0,5

PGA = 0,3

Ss = 0,75

PGA = 0,4

Ss = 1,0

PGA > 0,5

Ss ≥ 1,25

Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Tanah Keras (SC) 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0

Tanah Sedang (SD) 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0

Tanah Lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9

Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS

25

Parameter respons spektral percepatan gempa (SS) untuk periode 1 detik

mengacu pada peta gempa Indonesia 2010.

Tabel 2.6 Faktor nilai amplifiksasi untuk periode 1 detik (Fv) (BSN, 2012)

Kelas Situs S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 Ss = 0,3 Ss = 0,4 Ss ≥ 0,5

Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Tanah Keras (SC) 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3

Tanah Sedang (SD) 2,4 2,0 1,8 1,6 1,5

Tanah Lunak (SE) 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4

Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS

b. Respons spektrum rencana

Respons spektrum adalah nilai yang menggambarkan respons maksimum

dari sistem berderajat-kebebasan-tunggal pada berbagai frekuensi alami teredam

akibat suatu goyangan tanah (BSN, 2012). Perhitungan respons spektrum rencana

dapat dicari dengan Persamaan 2.35 sampai Persamaan 2.37.

As = FPGA × PGA ………………………................................ (2.35)

SDS = Fa × Ss ………………………................……………… (2.36)

SD1 = Fv × S1 ………………………........................................ (2.37)

c. Mencari respon gempa elastik (Csm)

Nilai respons gempa elastic dapat dicari dengan Persamaan 2.38 dan

Persamaan 2.39.

TS = SD1 / SDS ………………….................. (2.38)

T0 = 0,2 × TS ………………….................. (2.39)

dengan:

SD1 = nilai spektra permukaan tanah pada periode 1,0 detik

SDS = nilai spektra permukaan tanah pada periode pendek (T=0,2 detik)

Fv = nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik

Fa = nilai faktor amplifikasi untuk periode pendek (T=0,2 detik)

FPGA = nilai faktor amplifikasi untuk 0 detik

S1 = parameter respon spektral percepatan gempa (1 detik)

26

Ss = parameter respon spektral percepatan gempa untuk periode

pendek (T=0,2 detik)

As = koefisien percepatan puncak muka tanah (g)

TS = periode getar puncak

T0 = periode getar awal

Gambar 2.13 Bentuk tipikal respon spektra di permukaan tanah (BSN, 2012)

Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0 dan lebih kecil atau sama dengan

Ts, respon spektra percepatan, Csm adalah sama dengan SDS.

d. Beban gempa (gaya horizontal)

Gaya gempa horizontal dapat dicari dengan Persamaan 2.40.

EQ = × Wt ………………………........... (2.40)

dengan:

EQ = gaya gempa horizonta statis (kN)

Csm = koefisien respon gempa elastik pada mode getar ke-m

R = faktor modifikasi respon

Wt = berat total struktur (beban mati dan beban hidup) (kN)

2.4. Kombinasi Tegangan

Beban yang sudah dihitung dimasukan kedalam kombinasi yang sudah di

tentukan pada SNI 1725-2016 tentang pembebanan jembatan. Jembatan harus

direncakanan sesuai dengan keadaan batas yang disyaratkan untuk mencapai

target pembangunan. Penjelasan kombinasi yang digunakan adalah sebagai

berikut:

27

a. Kuat I: Kombinasi yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul pada

jembatan dalam keadaan normal dan beban angin diabaikan.

b. Kuat II : Kombinasi yang berkaitan dengan penggunaan jembatan untuk

memikul beban kendaraan khusus yang di tentukan pemilik tanpa

memperhitungkan beban angin.

c. Kuat III : Kombinasi jembatan dikenai beban angin berkecepatan 90 km/jam

hingga 126 km/jam.

d. Kuat IV : Kombinasi untuk memperhitungkan kemungkinan adanya rasio

beban mati dengan beban hidup yang besar.

e. Kuat V : Kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal

jembatan dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam

hingga 126 km/jam.

f. Ekstrem I: Kombinasi pembebanan gempa. Faktor beban hidup yang

mempertimbangkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa berlangsung

harus ditentukan berdasarkan kepentingan jembatan.

g. Ekstrem II: Kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban

hidup terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal,

tumbukan kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainya kecuali untuk kasus

pembebanan akibat tumbukan kendaraan.

h. Layan I : Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan operasional

jembatan dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta

memperhitungkan adanya beban angina berkecepatan 90 km/jam hingga

126 km/jam. Kombinasi ini juga digunakan untuk mengontrol mengontrol

lebar retak struktur beton bertulang.

i. Layan II: Kombinasi yang ditujukan untuk mencegah terjadinya pelelehan

pada struktur baja dan selip sambungan akibat beban kendaraan.

j. Layan III: Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada

arah memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol

besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari jembatan

beton segmental.

k. Layan IV: Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada

kolom beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol besarnya retak.

28

Tabel 2.7 Tabel kombinasi pembebanan

2.5. Posisi Tendon

Lintasan tendon berupa garis melengkung, berarti arah tangennya pada

setiap titik berubah arah, akibatnya pada setiap titik dalam lintasan tersebut timbul

gaya pada arah radial. Untuk lintasan berbelok (curved lay out) parabolik pangkat

dua yang langsing, maka sebagai pendekatan dapat digunakan Persamaan 2.41

lintasan tendon:

𝑦 = 4 × 𝑓 × × (𝐿 − 𝑋) ……………………...... (2.41)

Dengan:

f = es (eksentrisitas) (m)

X = jarak lintasan tendon (m)

L = panjang balok (m)

2.6. Pemeriksaan Tegangan

Seluruh penampang girder akan memikul setiap tegangan yang terjadi

dengan menganggap penampang bebas retak pada tingkat beban kerja, sehingga

seluruh permukaan beton dapat diperhitungkan untuk menentukan pusat berat dan

momen inersianya. Pola tegangan diperiksa/ditinjau pada dua keadaan yang

berbeda, yaitu pada kondisi awal (saat transfer) dan kondisi akhir.

a. Kondisi awal (saat transfer)

Tegangan pada saat pelimpahan gaya prategang (penarikan tendon pada

sistem pasca tarik atau pemotongan tendon pada sistem pratarik). Gaya dan

beban yang bekerja:

1) Gaya prategang Pi dengan eksentrisitas e.

Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Ekstrim Ekstrim Layan Layan Layan Layan

I II III IV V I II I II III IV

MS √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

MA √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

PR √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

TD √ √ √ √ √ √ √

TB √ √ √ √ √ √ √

TP √ √ √ √ √ √ √

EWs √ √ √ √

EWL √ √

EQ √

Aksi / Beban

29

2) Beban mati (DL) berupa berat sendiri balok yang aktif masih bekerja

akibat ke atas akibat gaya prategang yang eksentris.

Untuk mencari besaran gaya prategang awal Pi, dapat digunakan Persamaan

2.42 dan Persamaan 2.43.

Tegangan serat atas : 0,25 𝑓𝑐𝑖 = +×

− ……... (2.42)

Tegangan serat bawah : −0,6𝑓𝑐𝑖 = −×

− ……….. (2.43)

b. Kodisi akhir (saat service)

Pemeriksaan tegangan saat keadaan akhir (layan) / pada saat seluruh beban

transvesal sudah bekerja. Gaya dan beban yang bekerja:

1) Gaya prategang Pi berkurang akibat LOP menjadi Pe dengan

eksentrisitas tetap e.

2) Beban mati (DL), beban mati tambahan / finishing (ADL), beban hidup

(LL) dan beban-beban lain.

Tegangan yang terjadi pada balok prategang dapat dicari dengan Persamaan

2.44 dan Persamaan 2.45.

Diserat atas : −0,45𝑓𝑐𝑖 = +×

− − ……….. (2.44)

Diserat bawah : 0,50 𝑓𝑐𝑖 = −×

− + ……... (2.45)

dengan:

Peff = gaya prategang efektif

A = luas penampang balok

es = eksentrisitas

Mbs = momen akibat berat sendiri

Wa = tahanan momen seart atas (m3)

Wb = tahanan momen serat bawah (m3)

MTD = momen maksimum pada balok akibat beban lajur "TD"

2.7. Kehilangan Prategang (Loss of Prestress)

Menurut Nawy dkk., (2001) kehilangan sebagian prategang adalah suatu

kenyataan bahwa gaya prategang awal yang diberikan keelemen beton mengalami

proses reduksi yang progresif selama kurun waktu lima tahun, reduksi gaya

prategang dikelompokkan ke dalam dua kategori: (1) kehilangan elastis segera,

30

terjadi pada saat proses pabrikasi atau konstruksi, termasuk perpendekan beton

secara elastis, kehilangan diakibatkan pengangkeran dan kehilagan akibat

gesekan, (2) kehilagan yang bergantung waktu, susut dan kehilangan karena efek

temperatur dan relaksasi baja, dan kesemuanya dapat ditentukan saat kondisi limit

tegangan akibat beban bekerja di dalam elemen beton prategang. Banyak metode

yang dapat digunakan untuk menentukan perhitungan kehilangan sebagian

prategang ini. Dalam penelitian ini menggunakan rumus-rumus empiris dari cara

komite gabungan ACI-ASCE untuk menentukan perhitungan kehilangan sebagian

prategang (Nawy dkk., 2001).

2.6.1. Kehilangan Tegangan Akibat Dudukan Angker (A)

Kehilangan akibat dudukan angker disebabkan karena adanya blok-blok

pada angker pada saat gaya jacking terjadi pada angker. Cara mudah untuk

mengatasi hal ini adalah dengan pemberian kelebihan tegangan. Kehilangan

tegangan akibat dudukan angker dapat dihitung dengan Persamaan 2.46:

𝛥𝑓 =∆

𝐸 ……………………………. (2.46)

dengan:

ΔA = besar gelincir (m)

L = panjang tendon (m)

Eps = modulus elastisitas strand (MPa)

2.6.2. Kehilangan Tegangan Akibat Perpendekan Elastis Beton (ES)

Beton memendek pada saat gaya prategang diberikan. Hal ini terjadi ketika

strand diberikan gaya jacking, dimana beton akan tertekan oleh gaya jacking yang

ditransfer secara simultan kepada tendon. Perpendekan satuan pada beton dapat

dicari dengan Persamaan 2.47 dan Persamaan 2.48.

∈ =∆

……………………………….. (2.47)

∈ = = …………………………….. (2.48)

Dikarenakan tendon prategang mengalami perpendekan yang sama, maka dapat

dihitung juga dengan Persamaan 2.49.

31

∆ = 𝐸 ∈ =

= = 𝑛𝑓 ……………………. (2.49)

Tegangan di beton yang terjadi di pusat berat tendon akibat prategang awal dapat

dihitung dengan Persamaan 2.50. Jika tendon memiliki eksentrisitas dan momen

akibat berat sendiri diperhitungkan maka tegangan yang terjadi beton pada pusat

berat tendon baja prategang dapat dihitung dengan Persamaan 2.51.

𝑓 = − ……………………….............. (2.50)

𝑓 = − 1 + + ………………………... (2.51)

2.6.3. Kehilangan Tegangan Akibat Rangkak Beton (CR)

Nawy dkk., (2001) mengungkapkan aliran pada material terjadi di sepanjang

waktu, apabila ada beban atau tegangan longitudinal, deformasi atau aliran lateral

yang terjadi disebut rangkak (creep) dan dapat dihitung dengan Persamaan 2.52.

∆𝑓 = 𝐶 𝑓 ………………………..... (2.52)

Pada struktur pascatarik nonbonded, kehilangan tegangan ditandai seragam di

sepanjang bentangnya. Persamaan 2.53 dan Persamaan 2.54 dapat dipakai untuk

menghitung tegangan yang terjadi.

∆𝑓 = 𝐾 (𝑓̅ − 𝑓̅ ) ………………………... (2.53)

atau

∆𝑓 = 𝑛 𝐾 (𝑓̅ − 𝑓̅ ) ………………………..... (2.54)

dengan:

KCR = 2,0 untuk komponen struktur pratarik atau1,60 untuk komponen

struktur pascatarik

fcs = tegangan pada beton di pusat berat tendon setelah transfer

fcsd = tegangan pada beton di pusat berat tendon akibat semua beban

iiimati tambahan setelah prategang diberikan

n = rasio modulus

2.6.4. Kehilangan Tegangan Akibat Susut (SH)

Untuk kehilangan tegangan akibat susut pada balok prategang, Besar susut

beton dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proporsi campuran, tipe semen,

32

tipe agragat, waktu perawatan, waktu antara akhir perawatan dan pemberian

tegangan, ukuran komponen struktur dan kondisi lingkungan. Untuk struktur

pascatarik, kehilangan tegangan akibat susut agak lebih kecil, karena sebagian

susut telah terjadi sebelum pemberian tegangan. Rumus umum tegangan susut

dapat dicari pada Persamaan 2.55. Pada perhitungan kehilangan tegangan akibat

susut memiliki koefisien untuk komponen struktur pascatarik yang dapat diambil

pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik (Prestressed Concrete Institute, 1999)

Waktu dari akhir perawatan basah

hingga pemberian prategang, hari

1 3 5 7 10 20 30 60

KSH 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45

∆𝑓 = 8,2 × 10 𝐾 𝐸 1 − 0,06 (100 − 𝑅𝐻) ………. (2.55)

dengan:

KSH = koefisien untuk komponen struktur pascatarik

Eps = modulus elastisitas baja pratregang

V/S = rasio volum-permukaan

RH = persen kelembaban relative

2.6.5. Kehilangan Tegangan Akibat Relaksasi Baja (R)

Kehilangan tegangan pada tendon sress-relieved sebagai akibat dari

perpanjangan konstan terhadap waktu. Metode ini menggunakan konstribusi

terpisah antara perpendekan elastis rangkak dan susut dalam evaluasi kehilangan

tegangan akibat relaksasi baja, dengan Persamaan 2.56:

∆𝑓𝑝𝑅 = [𝐾𝑟𝑒 – 𝐽 (𝑓𝑝𝐸𝑆 + 𝑓𝑝𝐶𝑅 + 𝑓𝑝𝑆𝐻)] 𝑥 𝐶 ……………………….. (2.56)

dengan:

nilai koefisien KRE dan J diambil pada Tabel 2.9

nilai koefisien C diambil pada Tabel 2.10

fpES = kehilangan tegangan akibat elastis beton

33

fpCR = kehilangan tegangan akibat rayapan

fpSH = kehilangan tegangan akibat susut

Tabel 2.9 Nilai KRE dan J (Post-Tensioning Institute, 2000)

Jenis tendona KRE J

Kawat atau stress-relieved strand mutu 270 20000 0,15

Kawat atau stress-relieved strand mutu 250 18500 0,14

Kawat stress-relieved strand mutu 240 atau 350 17600 0,13

Strand relaksasi rendah mutu 270 5000 0,04

Kawat relaksasi rendah mutu 250 4630 0,037

Kawat relaksasi rendah mutu 240 atau 235 4400 0,035

Batang stress-relieved mutu 145 atau 160 6000 0,05

Tabel 2.10 Nilai C (Post-Tensioning Institute, 2000)

fpi/fpu Kawat atau strand

stressrelieve

Kawat atau strand relaksasi rendah atau batang stress-

relieved

0,80 1,28

0,79 1,22

0,78 1,16

0,77 1,11

0,76 1,05

0,75 1,45 1,00

0,74 1,36 0,95

0,73 1,27 0,90

0,72 1,18 0,85

0,71 1,09 0,80

0,70 1,00 0,75

0,69 0,94 0,70

0,68 0,89 0,66

0,67 0,83 0,61

0,66 0,78 0,57

0,65 0,73 0,53

0,64 0,68 0,49

0,63 0,63 0,45

0,62 0,58 0,41

0,61 0,53 0,37

0,60 0,49 0,33

34

2.6.6. Kehilangan Tegangan Akibat Friksi (F)

Kehilangan tegangan akibat friksi pada struktur pascatarik terjadi

dibebabkan adanya gesekan antara tendon dan beton yang berada di sekililingya.

Kehilangan tegangan ini merupakan fungsi dari alinyemen tendon yang disebut

efek kelengkungan. Sedangkan deviasi lokal di dalam alinyemen tendonnya

disebut efek wobble. Efek wobble adalah hasil dari penyimpangan alinyemen

yang tak dapat dihindari atau disengaja karena saluran tidak dapat diletakkan

secara sempurna. Kehilangan tegangan akibat friksi maksimum terjadi pada ujung

balok. Dengan demikian kehilangan tegangan ini akan bervariasi di sepanjang

bentang linier balok. Koefisien efek kelengkungan dan efek wobble dapat dilihat

pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.11 Koefisien gesek kelengkungan dan wobble (Prestress Concrete Institute, 1999)

Jenis Tendon Koefisien

wobble (K)

Koefisien

kelengkungan (µ)

Tendon diselubungi metal fleksibel

Tendon kawat

Strand 7 kawat

Batang mutu tinggi

0,0010-0,0015

0,0005-0,0020

0,0001-0,0006

0,15-0,25

0,15-0,25

0,08-0,30

Tendon di saluran metal yang rigid

Strand 7 kawat

0,0002

0,15-0,25

Tendon yang dilapisi mastic

Tendon kawat dan strand 7 kawat

0,0010-0,0020

0,05-0,25

Tendon yang dilumasi dahulu

Tendon kawat dan strand 7 kawat

0,0003-0,0020

0,05-0,15

Kehilangan tegangan ∆𝑓𝑝F akibat gesekan dapat dinyatakan dengan

Persamaan 2.57.

∆𝑓 = −𝑓 (𝜇𝑎 + 𝐾𝐿)…………………………….. (2.57)

dengan:

f1 = tegangan yang terjadi akibat gaya prategang awal Pi

µ = koefisien kelengkungan

K = koefisien wobble

35

2.8. Tegangan Pada Penampang Balok

Dalam menghitung tegangan yang terjadi pada beton prategang ada dua

kondisi yang harus diperhatikan yaitu kondisi saat transfer dan kondisi saat beban

layan.

2.7.1.Keadaan Awal (Saat Transfer)

Menurut (BSN, 2002) tegangan beton sesaat setelah penyaluran gaya

prategang (sebelum terjadi kehilangan prategang) memiliki tegangan ijin yaitu:

a) Tegangan serat tekan terluar harus ≤ 0,60 fci’

b) Tegangan serat tarik terluar harus ≤ 0,25 𝑓 ′

Tegangan pada saat transfer dapat dihitungan dengan Persamaan 2.58 dan

Persaaman 2.59.

Tegangan beton serat atas : 𝑓 = +×

− ………… (2.58)

Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = −×

+ ………… (2.59)

2.7.2 Keadaan Setelah Loss of Prestress

Tegangan beton yang terjadi pada kondisi beban layan (setelah

memperhitungkan semua kehilangan tegangan) tidak boleh melebihi nilai sebagai

berikut.

a) Tegangan serat tekan terluar akibat pengaruh prategang, beban mati, dan

beban hidup harus ≤ 0,45 fc’

b) Tegangan serat tarik terluar yang pada awalnya mengalami tekan yaitu

harus ≤ 0,5 fc’

Tegangan pada saat transfer dapat dihitungan dengan Persamaan 2.60 dan

Persaaman 2.61.

Tegangan beton serat atas : 𝑓 = +×

− ……….. (2.60)

Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = −×

+ ………. (2.61)

2.9. Tegangan Akibat Beban

Untuk mencari tegangan akibat beban dapat menggunakan Persamaan 2.62

untuk tegangan betaon serat atas dan persamaan 2.63 untuk tegangan beton yang

terjadi pada serat bawah.

36

Tegangan beton pada serat atas : 𝑓 = − ……………………..……. (2.62)

Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = + ………………………..… (2.63)

dengan:

M = momen maksimum akibat pembebanan (kNm)

sWa = tahanan momen sisi atas (m3)

Wb = tahanan momen sisi bawah (m3)

2.10. Lendutan Pada Beton Prategang

Dasar mekanika bahan untuk menghitung defleksi tengah bentang pada

balok yang ditumpu sederhana yang dibebani terbagi merata dengan

menggunakan Persamaan 2.64 dan lendutan maksimum yang di izinkan nilai

kurang dari L/240.

𝛿 =

………………………………… (2.64)

dengan:

𝛿 = defleksi (m)

w = beban (kN/m)

l = panjang bentang (m)

EC = modulus elastisitas beton (kPa)

Ix = momen inersia efektif untuk penampang defleksi (m4)