BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI - UMY ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI - UMY ...
4
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai analisis beton prategang sudah banyak diteliti,
diantaranya adalah penelitian tentang perencanaan struktur jembatan prategang
yang telah diteliti oleh (Santosa dkk., 2015; Wicaksono dkk., 2016; Trianida,
2016; Hardwiyono dkk., 2014; Prasetya dkk., 2016; Meidiansyah dkk, 2016; Putra
dkk., 2017), dan penelitian tentang tegangan dan lendutan yang terjadi pada
struktur jembatan prategang (Wakid dkk., 2014; Leo dan Agung, 2017; Hady
dkk., 2017).
2.1.1. Peneitian Tentang Beton Prategang
Santosa dkk., (2015) melakukan penelitian tentang perencanaan jembatan
Suru yang menghubungkan daerah Kesesi dan daerah Bantar Bolang dengan
panjang bentang 144 m diatas Sungai Suru sudah melampaui umur rencana.
Rangka baja jembatan yang sudah berkarat serta lebar efektif jembatan yang tidak
memenuhi standar untuk melayani kebutuhan trasportasi menjadi faktor dalam
perancangan untuk pergantan suru dengan struktur beton prategang. Perencanaan
ini menggunakan SKBI 1.3.28.1987 Dirjen Bina Marga untuk standar
perencananaan pembuatan jembatan jalan raya, SNI 03-2847-2013 tata cara
perhitungan struktur beton untuk gedung, SNI 03-1726-2012 tentang tata cara
perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung dan non gedung. Dari hasil
perencanaan jembatan Suru dengan struktur beton praegang didapatkan dengan
spesifikasi bentang jembatan = 144 m, (2 abutmen dan 3 pilar), bentang antara
abutmen-pilar = 3 m. jenis jembatan = Beton Prategang, lebar jembatan = 9 m,
lebar lajur = 2 x 3,5 m. lebar Trotoar = 2 m, sumuran abutmen diameter 1,75 m
dipakai tulangan D10-100 dan 8–200, sumuran pilar diameter 2 m dipakai
tulangan D10 - 100 dan 8–200.
Wicaksono dkk., (2016) melakukan penelitian tentang perencanaan struktur
jembatan slab on pile Sungai Brantas dengan menggunakan metode pracetak pada
Proyek Tol Solo – Kertosono Sta. 176+050-Sta. 176+375 untuk membandingkan
5
tegangan yang terjadi dengan tegangan izin yang ditetapkan. Perencanaan
berdasarkan kekuatan batas layan (teori kekuatan elastik), Jika tegangan lebih
kecil dari tegangan izin maka struktur dinyatakan aman. Perencanaan batas layan
ini, digunakan untuk mengantisipasi batas layan yang terdiri dari tegangan kerja,
momen retak dan deformasi permanen. Pemodelan dan analisis struktur dalam
penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yang pertama pada saat struktur sudah
berfungsi, yang kedua pada saat pengangkatan elemen pelat pracetak prategang
dan yang terakhir pada saat pemasangan elemen pelat pracetak prategang. Analisis
menggunakan bantuan program SAP 2000. Beban yang direncanakan pada
struktur jembatan slab on pile dihitung berdasarkan tata cara pembebanan yang
tercantum pada SNI T-2-2005. Elemen plat jembatan yang direncanakan
menggunakan plat pracetak jenis full slab dengan penulangan prategang. Sistem
penulangan prategang ini bertujuan untuk menahan momen positif pada daerah
lapangan, sedangkan momen negatif pada daerah tumpuan yang di tahan oleh
sistem penulangan konvensional. Hasil analisis penelitian pada struktur jembatan
sungai Brantas didapatkan tebal rencana full slab adalah 350 mm, mengunakan 14
strand diameter 12,7 mm dengan tambahan 14 Tulangan D13 untuk menahan
momen positif, sedangkan untuk menahan momen negatif menggunakan tulangan
18 D25 + 18 D16. 3 dan tulangan susut arah melintang pelat yang digunakan
adalah tulangan dengan diameter 13 dan jarak 200 mm.
Trianida (2017) melakukkan penelitian tentang perhitungan struktur
jembatan prategang pada Jalan Muallaf menuju km.12 Jalan Poros Kota Bangun.
Jembatan ini direncanakan dengan bentang lebar 20 m dan bentang 30 m, slab
lantai 30 cm, trotoar dengan tebal 30 cm dan lebar 200 cm, jarak antara tiang
railing 2 m, menggunakan balok prategang I girder 10 buah dan baja prategang
yang diggunakan strands uncoated 7 wire super strands ASTM A-416 Grade 270,
menggunakan 3 tendon dengan 19 strands per-tendon dan jenis pondasi tiang
pancang dengan kedalaman 36 m. Hasil dari perencanaan jembatan Jalan Muallaf
menuju km.12 jalan poros didapatkan, jembatan ini direncanakan dengan bentang
30 m dan lebar 20 m, slab lantai kendaraan dengan ketebalan 20 cm, penulangan
arah x D13-100, arah y D13-200 dengan mutu yang digunakan beton K-350 serta
mutu baja U-39, tebal dari trotoar 30 cm, lebar 200 cm, tulangan yang digunakan
6
slab trotoar adalah D13-150, menggunakan mutu beton K-350 serta baja U-39
dan jarak antar tiang raling 2 m.
Hardwiyono dkk., (2013) tentang perancangan ulang struktur atas jembatan
Gajah Wong Yogyakarta dengan menggunakan box girder. Jembatan Gajah Wong
Yogyakarta memiliki panjang bentang 40 m yang berada di jalan Selokan
Mataram, yang menghubungkan Jalan Gejayan dan area Seturan. Jembatan ini
menggunakan I girder dalam perencanaannya tetapi didalam penelitian ini
digunakan box girder prestressed concrete tipe trapezium menggunakan peraturan
Bridge Management System (BMS-1992). Penelitian ini menggunakan Excel
untuk mengnalisis strukturnya, AutoCAD 2010 digunakan untuk menggambar
desain jembatan. Metode perancangan yang pertama dilakukan adalah dengan
mengumpulkan data jembatan Gajah Wong, penentuan spesifikasi struktur
jembatan, perhitungan beban-beban yang bekerja berdasarkan Bridge
Management System (BMS) 1992, menganalisis struktur dengan menggunakan
Microsoft Excel, perancangan elemen-elemen struktur dengan beton bertulang dan
beton prategang, lalu diakhiri dengan menyimpulkan hasil rancangan. Dari
perancangan jembatan Gajah Wong didapatkan tegangan beton yang terjadi pada
saat layan yang terjadi pada serat atas ft =12,597 MPa lebih kecil dari tegangan
yang diijinkan fcs = -22,5 MPa dan pada serat bawah fb = -2,527 MPa lebih kecil
dari tegangan yang diijinkan fcs = -22,5MPa, maka struktur beton prategang
dinyatakan aman.
Prasetya dkk., (2016) melakukan penelitian tentang perhitungan jembatan
layang (flyover) dengan tipe box girder beton prategang (prestressed concrete)
pada pertemuan jalan Mayor Aliyang dan jalan Soekarno-Hatta kabupaten Kubu
Raya. Perencanaan flyover dengan menggunakan box girder ini dimulai dari
(preliminary design) yaitu mendefinisikan problem secara umum. Berisi
gambaran umum mengenai jembatan layang box girder dengan struktur beton
prategang yang akan direncanakan beserta spesifikasi yang digunakan, data umum
jembatan (panjang jembatan, kelas jembatan, panjang bentang, dan lain-lain), data
box girder, data strand cable, dan data sekunder jembatan seperti mutu beton
hingga divisualisasikan dalam bentuk gambar kerja. Dari hasil analisis didapatkan
nilai gaya prategang awal sebesar 85290,81 kN, box girder mengalami total
7
kehilangan prategang sebesar 22,02 % sehingga tegangan efektif menjadi
50128,16 kN dari gaya prategang akibat jacking force sebesar 64285,74 kN.
Putra dkk., (2017) melakukan penelitian tentang studi perbandingan
penggunaan PCU Girder dan PCI Girder pada struktur atas jembatan Jurang
Gempal, Wonogiri. Penelitian ini dilakukan kajian perbandingan penggunaan
material beton PCU Girder dan PCI Girder untuk menggantikan struktur atas
yang bermaterial baja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan
hasil desain terkait kebutuhan total girder, kebutuhan tendon dan penulangan pada
struktur atas Jembatan Gempal. Dari hasil penelitian didapatkan struktur atas
jembatan dengan menggunakan PCU Girder didesain menggunakan 4 girder
sebesar 5,1192 m2 sedangkan struktur PCI Girder menggunakan 5 girder dan
mempunyai luas total 3,7615 m2. Jumlah tendon PCU Girder 32 buah sedangkan
PCI Girder memiliki 20 buah tendon. Dengan jenis yang sama yaitu ASTM A416
grade 270. Jumlah tulangan pokok dan geser PCU Girder lebih banyak
dibandingkan dengan PCI Girder, sehinga lebih mahal.
Meidiansyah dkk., (2016) melakukan peneltian tentang analisis box girder
fly over Rawabuaya Sisi Barat terhadap gempa. Pembebanan fly over Rawabuaya
mengacu pada RSI T-02-2005. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis
ketahanan terhadap gempa pada jembatan Rawabuaya yang mengacu pada RSNI
03-1726-2010 dan peta zonasi Gempa Indonesia tahun 2010. Tahapan
pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap, yaitu pemodelan komputer,
pembebana npada pemodelan komputer dan kontrol gaya dalam. Pemodelan
komputer dibantu menggunakan program komputer Csi Bridge 15 yaitu program
komputer yang dibuat khusus oleh Computer and Structure, Inc yang khusus
dimodelkan untuk analisis jembatan. Tahap kontrol gaya dalam untuk
membandingkan nilai dari analisis struktur permodelan komputer yaitu gaya
dalam maksimum dari hasil kombinasi beban ultimit dengan nilai gaya dalam
nominal. Tata cara kontrol gaya dalam ini mengacu (BSN,2002) tentang Tata
Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung” dan (BSN,2004)
tentang Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan. Kontrol gaya dalam meliputi
gaya aksial, gaya geser dan momen, nilai dari hasil analisis gaya aksial, gaya
geser, dan momen adalah 191132 kN, 85636,3 kN, dan 640142 kNm. Terdapat 29
8
kombinasi dengan sembilan beban ultimit yang bekerja pada struktur box girder.
Nilai maksimum tersebut terjadi pada kombinasi 5. Adanya kombinasi arah x dan
y pada beban gempa menyebabkan struktur beban lebih besar hingga dua kali lipat
tanpa beban gempa. Hasil perbandingan gaya-gaya dalam maksimum pada
kombinasi beban ultimit dengan gaya-gaya dalam nominal menunjukkan jembatan
Rawabuana memiliki beban gempa dengan selisih 10%, yang artinya struktur
dapat menahan 90% beban gempa ultimit. Sehingga perlu tambahan tulangan
pada box girder untuk menambah kekuatan tekan dan tarik beton.
Hady dkk., (2017) meneliti tentang tinjauan ulang two cell box girder beton
prategang pada perencanaan pembangunan flyover di kota Banda Aceh. Tujuan
penilitian ini untuk meninjau ulang two cell box girder dari nilai momen dan
lendutan (segi keamanan), volume beton, dan luasan penampang box girder (segi
ekonomis) terhadap kapasitas daya dukung beban lalu lintas. Kekuatan batas yang
digunakan dalam analisis hubungan momen dan kelengkungan adalah dari hasil
perkiraan dari peraturan ACI (318-11). Nilai distribusi momen akibat kombinasi
beban ultimit maksimum didapatkan sebesar 134638,3 kNm, sedangkan dari
analisis momen kelengkungan didapatkan nilai kapasitas momen ultimit sebesar
211679,11 kNm. Sehingga rasio kapasitas momen lentur (Mu/𝜑Mn) didapat 0,71
≤ 1, jadi disimpulkan momen letur pada penampang two cell akibat beban ultimit
masih memenuhi persyaratan. Nilai lendutan akibat kombinasi pembebanan
adalah 0,009064 m < L/250 (Direktorat Bina Marga, 2004) = 45/250 = 0,18 m,
jadi penampang two cell aman. Rasio kapasitas geser kondisi ultimit masih
memenuhi persyaratan Vu/𝜑Vn < 1 disepanjang bentang balok.
Leo dan MH., (2017) melakukan penelitian tentang kajian efisiensi blub-tee
shape and half slab girder dengan blister tunggal terhadap PC-I girder. Pada
penelitian ini bertujuan untuk membandingkan girder prategang Bulb-tee shape
and Half-slab girder (BH girder) dengan gelagar I (PC-I girder) yang umumnya
sering digunakan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode post tension
yang menggunakan PC-I girder dan BH girder dengan blister tunggal sebagai
struktur gelagar utamanya. Dasar perencanaan girder ini mengacu pada
Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan (SK.SNI T-12-2004), Pembebanan
untuk Jembatan (SK.SNI T-02-2005) dan Bridge Management System (BMS-92).
9
Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa volume beton yang diperlukan BH-
Girder lebih besar dibandingkan dengan volume PC-I girder per jembatan balok
gelagar dengan tinggi yang sama, dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berat strand
yang diperlukan BH-girder lebih kecil dibandingkan dengan PC-I girder dan
persentase efisiensi tersebut cenderung meningkat sebanding dengan bentang
girder dari 30,60 m sampai dengan 35,60 m dapat dilihat Pada Gambar 2.2 dan
Gambar 2.3. Hasil perhitungan tegangan lentur kondisi-kondisi tersebut pada
bentang 31.60 m dapat dilihat pada Gambar 2.4 sampai dengan Gambar 2.7.
Sistem BH girder dengan blister tunggal lebih efisien dari segi tegangan dan
volume strands yang diperlukan, walaupun volume betonnya lebih besar 6.6%
dari pada system I girder.
Gambar 2.1 Perbandingan volume beton tiap jembatan (Leo dan Agung, 2017)
Gambar 2.2 Perbandingan berat strand tiap jembatan (Leo dan Agung, 2017)
10
Gambar 2.3 Persentase efisiensi berat strand BH girder terhadap PC-I girder (Leo dan Agung, 2017)
Gambar 2.4 Tegangan lentur kondisi transfer PC-I girder bentang 31.60 meter (Leo dan Agung, 2017)
Gambar 2.5 Tegangan lentur kondisi service PC-I girder bentang 31.60 m (Leo dan Agung, 2017)
11
Gambar 2.6 Tegangan lentur kondisi transfer BH girder bentang 31.60 meter (Leo dan Agung, 2017)
Gambar 2.7 Tegangan lentur kondisi service BH girder bentang 31.60 m (Leo dan Agung, 2017)
Wakid dkk., (2014) melakukan penelitian tentang perkuatan struktur atas
jembatan komposit dengan metode prategang eksternal. Jembataan Gandong yang
berlokasi di Kabupaten Magetan saat ini mengalami defleksi 5 cm. Asesmen
terhadap jembatan ini memberikan rekomendasi untuk dilakukan perkuatan
dengan sistem Prategang Eksternal. Perkuatan jembatan dengan metode prategang
external merupakan alternatif yang efektif dan ekonomis untuk memperkuat atau
merehabilitasi jembatan yang ada, sehingga tidak diperlukan penggantian atau
pembangunan jembatan yang baru. Prinsip dasar perkuatan prategang eksternal
12
adalah menerapkan beban aksial yang dikombinasikan dengan gaya angkat untuk
meningkatkan kapasitas lentur dan geser dari struktur balok atau komponen,
meningkatkan kapasitas dan umur layan. Metode yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah dengan meninjau lokasi jembatan, melakukan pengumpulan data-data
dari dinas pekerjaan umum kabupaten Magetan berupa gambar rencana yang
sudah dibuat, melakukan investigasi lapangan, studi literature tentang perkuatan
jembatan yang mendukung penelitian ini, dan analisis prategang eksternal. Dari
hasil penelitian didapatkan kapasitas existing penampang komposit adalah:
Tegangan pada lantai beton = 230,02 kg/cm2 > tegangan ijin 135,00 kg/cm2,
Tegangan lentur = 3.538,14 kg/cm2 > tegangan lentur ijin = 1.392,0 kg/cm2.
Tegangan geser = 5.006,53 kg/cm2 > tegangan geser ijin = 392,0 kg/cm2. dan
Lendutan = 8,09 cm > lendutan ijin 4 cm.
Nurrianto dkk., (2013) meneliti tentang perhitungan perancangan jalan
layang akses terminal A Mangkang Semarang. Jalan layang ini diharapkan dapat
memperlancar arus lalu lintas menuju dan dari terminal A Mangkang tanpa
menganggu lalu lintas pada jalan Urip Sumoharjo. Perencanaan jembatan layang
diawali tahap persiapan data, selanjutnya pengumpulan data (data primer dan
sekunder). Data primer meliputi data hasil pengamatan langsung dilapangan,
sedangkan data sekunder (LHR, topografi, data tanah, geometri dan alinyemen)
yang didapdatkan dari instansi terkait. Dilanjutkan perhitungan detail jembatan.
Dari hasil analisis desain kontruski jembatan layang yaitu direncanakan
menggunakan PCI Girder dengan lantai dari beton bertulang dengan bentang 52
m. kontruksi ditumpu abutmen pada kedua ujungnya yang terbuat dari beton
bertulang, lebar jalur untuk lalu lintas 2 x 3,5 m, kontruksi jalannya menggunakan
plat beton yang permukaannya dilapisi aspal setebal 20 cm, dua buah pengaman
selebar 0,2 m dan pelat lantai jembatan setebal 20 cm.
Suangga dkk., (2014) melakukan penelitian tentang penilaian kondisi
jembatan PCI-Girder dari hasil reduksi gaya prategang. PCI-Girder banyak
digunakan dalam konstruksi jembatan, dermaga, dan jembatan layang. Dalam
penelitian ini menggunakan gelagar dengan bentang 40 m. Data geometri dimensi
gelagar jembatan, material gelagar, dan material kabel prategang, akan di analisis
untuk menghitung frekuensi alami dan kapasitas momen menggunakan program
13
elemen hingga (midas/civil program). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
frekuensi alami single girder lebih baik dari multi girder, perbandingan antara
reduksi gaya prategang dan frekuensi alami berbanding lurus dan hasil ini juga
sama untuk frekuensi alami dan momen kapasitas. Jembatan PCI akan collapse
ketika reduksi gaya prategang yang 45% menjadi 50% dari total kehilangan
prategang.
Setyawan dan Sulistyo, (2012) meneliti tentang analisis nonlinier tegangan
dan deformasi struktur jembatan beton prategang pada tahap konstruksi dengan
metode balanced cantilever dengan menggunakan program SAP2000. Hasil
analisis dari program SAP2000 yang diperoleh adalah gaya-gaya dalam, yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam menentukan tegangan yang terjadi.
Hasil analisis SAP2000 ini tidak bisa diketahui perilaku strukturnya. Untuk
mengetahui hasil perilaku struktur jembatan segmental beton prategang
pendekatan analisis secara numerik dapat menggunakan analisis nonlinier elemen
hingga menggunakan program ATENA. Hasil nilai tegangan dari kedua program
memiliki perbedaan karena perbedaan pendekatan model analisis. Pada program
SAP2000 (analisis linier elastic) di peroleh analisis berupa momen kemudian
untuk memperoleh nilai tegangannya dihitung secara manual. Sedangkan program
ATENA (analisis nonlinier) dapat menghasilkan output nilai tegangan yang terjadi
setiap nodal elemen. Hasil analisis lendutan pada tinjauan 1/3 bentang hasil
program SAP2000 mengalami deformasi ke bawah sedangkan pada program
ATENA box girder mengalami deformasi ke atas. Pada hasil analisis beban runtuh
setelah pembebanan mencapai 360 kN dan lendutan mencapai 180 mm model
struktur atas box girder mengalami keruntuhan. Sedangkan untuk hasil pola retak,
retak pertama terjadi pada pembebanan 270 kN, meningkatnya pembebanan
hingga 360 KN struktur box girder mengalami keruntuhan.
Syaifullah dkk., (2016) meneliti tentang studi parametrik pengaruh kuat
tekan beton dan gaya prategang awal terhadap dimensi penampang T balok beton
prategang (studi kasus Hotel Alila, Surakarta. Penelitian ini juga bertujuan
mengkaji lebih jauh tentang pengaruh fc dan P terhadap teknik optimasi yang
diaplikasikan dalam perancangan penampang T balok beton prategang. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode perencanaan dan perhitungan. Data
14
awalnya diperoleh dari proyek Hotel Alila Surakarta, seperti fc dan P (gaya
prategang). Elemen yang dikaji adalah elemen balok prategang dengan bentang 42
m dengan fungsi batasan yang diperoleh berdasarkan batasan SNI 7833 2012 dan
SNI 2847 2002. Setelah semua fungsi diolah dengan program MATLAB 2012b,
dengan nilai fc 35 Mpa dan Pi 12.762.386 N diperoleh nilai A 2.750.360 mm2 dari
nilai A awal 3.000.000 mm2. Kesimpulan dari penelitian ini, diperoleh nilai
dimensi baru yang lebih optimal dengan nilai fc dan P yang sama yaitu dengan
luas 2,835 m2 dan diperoleh keuntungan sebesar 8,330% dari dimensi awal
penampang.
2.2. Dasar Teori
2.2.1. Prinsip Dasar Beton Prategang
Beton merupakan material yang kuat dalam menahan gaya tekan, tetapi
lemah dalam kondisi tarik. Kuat tarik bervariasi dari 8 persen hingga 14 persen
dari kuat tekannya. Untuk mengatasi masalah tersebut diberikan gaya prategang
secara longitudinal sejajar sumbu komponen struktur atau dikenal sebagai
pemberian prategang linier. Pemberian gaya prategang dapat dilakukan sebelum
pengecoran atau disebut dengan sistem pratarik (pre-tension) dan sesudah
pengecoran atau disebut dengan sistem pasca-tarik (post-tension).
Menurut Nawy dkk., (2001) balok persegi panjang yang ditumpu sederhana
yang mengalami gaya prategang P kosentris mempunyai tegangan tegangan tekan
yang seragam dan mempunyai intesitas. Rumus tegangan dapat digunakan dalam
Persamaan 2.1:
𝑓 = − ……………………………….. (2.1)
dimana Ac = b x h, adalah luas penampang balok dengan b adalah lebar dan h
adalah tingginya. Tanda minus digunakan untuk menentukan kondisi tekan dan
plus untuk tarik. Jika beban transfersal bekerja di balok yang menimbulkan
momen M di tengah bentang, maka tegangan pada serat atas dapat dilihat pada
Persamaan 2.2a:
𝑓 = − − …………………………….. (2.2a)
dan tegangan pada serat bawah dapat dilihat pada Persamaan 2.2b:
15
𝑓 = − + …………..………………… (2.2b)
dengan: f t = tegangan serat atas
fb = tegangan serat bawah
c = h/2, untuk penampang persegi panjang
Ig = bh3/12, untuk momen inersia bruto penampang
Persamaan 2.2b menunjukkan adanya tegangan tekan prategang –P/A mengurangi
tegangan lentur tarik Mc/l sebesar yang dikehendaki didalam desain. Tegangan
tekan di Persamaan 1.2a di serat atas balok digabungkan dengan tegangan akibat
pembebanan –Mc/l, seperti terlihat dalam Gambar 2.8(b). Dengan demikian,
kapasitas tegangan tekan balok dalam menahan beban luar akan jauh berkurang
dengan pemberian gaya prategang konsetris.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.8 Distribusi tegangan serat beton pada balok persegi panjang dengan tendon lurus. (a) Tendon kosentris, hanya prategang. (b) Tendon kosentris, berat
sendiri ditambahkan. (c) Tendon eksentris, hanya prategang. (d) Tendon eksentris, berat sendiri ditambahkan (Nawy dkk., 2001)
Tendon prategang diletakkan secara eksentris dibawah sumbu netral di tengah
bentang, agar timbul tegangan tarik di serat atas akibat prategang, seperti terlihat
dalam Gambar 2.8(c) dan (d). Jika tendon diletakkan eksentris maka timbul
momen Pe dan tegangan di tengah bentang. Tegangan yang terjadi dapat
menggunakan Persamaan 2.3:
16
𝑓 = − + − ….…………………………………….. (2.3a)
𝑓 = − − + ………………...………………..…….. (2.3b)
Dikarena penampang tumpuan balok yang ditumpu sederhana tidak memikul
momen akibat beban luar transversal, maka tegangan serat tarik yang besar pada
serat bagian atas akibat gaya prategang eksentris. Maka garis cgc di penampang
tumpuan dibuat lebih kecil dibanding dengan penampang lapangan, atau tidak
sama sekali, atau di atas garis cgc.
2.2.2. Metode Prategang
Dalam memasang baja prategang atau tendon terdapat 2 metode pemberian
gaya prategang yang dapat digunakan, yaitu:
a. Pratarik (Pre-Tension Method)
Tendon diberikan gaya prategang terlebih dahulu sebelum beton segar
dimasukan kedalam cetakan. Penjelasan terdapat pada Gambar 2.9
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.9 Metode pratarik (Sulistyo, 2014)
1) Tahap 1: Kabel tendon diberikan gaya tarik, kemudian diangker pada atau
blok - blok pengangkeran. Pada baja prategang terjadi tegangan po = Po /
Ap. (Gambar 2.9 (a)).
17
2) Tahap 2: Kemudian beton dicor pada cetakan (framework) dan dilakukan
perawatan s/d beton mengering dan umur beton sesuai dengan yang
direncanakan. (Gambar 2.9 (b)).
3) Tahap 3: Selanjutnya angker penahan gaya prategang pada blok-blok
pengangkeran dilepas dan terjadi transfer gaya prategang dari baja
prategang kepada beton melalui lekatan. Akibatnya beton memendek
elastis, gaya tarik pada baja prategang dan gaya desak yang ditransfer
kepada beton sedikit berkurang menjadi Pi, terjadi tegangan desak pada
beton (ci). Transfer gaya prategang dari baja prategang kepada beton
terjadi melalui lekatan antara baja prategang dengan beton disekitarnya.
(Gambar 2.9 (c)).
b. Pascatarik (Post-Tension Method)
Baja prategang ditarik/ditegangkan pada beton yang sudah dicetak dan
mempunyai saluran untuk tendon yang nanti dimasukkan ke dalam beton,
kemudian diangker terhadap beton itu sendiri. Adapun tahap pekerjaan pada
metode ini adalah sebagai berikut:
(a)
(b) (c)
Gambar 2.10 Metode pascatarik (Sulistyo, 2014)
1) Tahap 1: Persiapkan bekisting, tulangan non prategang, selubung tendon
(ducting) dengan strand dan sistim angkernya (angker hidup dan mati).
Tendon dapat bergerak bebas di dalam ducting. (Gambar 2.10 (a)).
18
2) Tahap 2: Beton dicor dan dilakukan perawatan s/d beton mencapai umur
dan kekuatan yang direncanakan (Gambar 2.10 (b)).
3) Tahap 3: Kemudian baja prategang ditarik/ditegangkan Po dan diangker
terhadap beton itu sendiri. Terjadi transfer gaya prategang dari baja
prategang melalui sistim pengangkerannya. Akibatnya beton memendek
elastis, pada baja prategang
4) Terdapat gaya tarik Pi dan tegangan pi, terjadi tegangan desak pada beton:
ci. Transfer gaya prategang dari baja prategang kepada beton terjadi
melalui sistim pengakeran baja prategang (angker mati & hidup) (Gambar
2.10 (c).
2.2.3. Kelebihan dan Kelemahan Beton Prategang
Menurut Nawy dkk., (2001) keuntungan dan kekurangan penggunaan
prategang antara lain sebagai berikut:
Keuntungan
1) Mempunyai tinggi yang lebih kecil dibanding dengan beton bertulang dalam
kondisi beban dan bentang yang sama sehingga dapat menghemat material
betonnya, dan dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan.
2) Penghematan jangka panjang penggunaan beton prategang cukup besar,
karena dibutuhkan perawatan yang lebih sedikit. Daya guna beton prategang
lebih lama karena kontrol kualitasnya lebih baik yaitu penggunaan material
yang bermutu tinggi.
3) Di gunakan dalam pembuatan jembatan dengan bentang yang panjang, karena
beton prategang menghasilkan komponen yang lebih ringan, sehingga
rangkak dan susut jangka panjang tidak dapat berperilaku dengan baik.
Kelemahan
1) Pemberian prategang dan material mutu tinggi menjadikan beton prategang
memiliki tambahan biaya
2) Perbedaan harga awal dengan beton bertulang (tanpa memperhatikan biaya
material dan pemberian tegangan) biasanya tidak terlalu besar.
3) Pelaksanaan beton prategang ini memerlukan orang dengan kemampuan
keahlian khusus.
19
2.3. Pembebanan Jembatan
Pembebanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan
tegangan dan lendutan pada jembatan. Perhitungan ini adalah dasar dalam
menentukan beban dan gaya-gaya yang terjadi pada beton prategang. Standar
yang digunakan untuk perhitungan pembebanan jembatan yaitu menggunakan
Standar Pembebanan Untuk Jembatan (BSN, 2016) dan dengan rumus acuan
(Direktorat Bina Marga, 2005). Didalam peraturan pembebanan terdiri dari:
2.3.1. Beban Mati
Beban mati jembatan terdiri dari berat setiap komponen struktural maupun
non-truktural yang menjadi satu kesatuan aksi yang tidak bisa dipisahkan.
a. Berat sendiri (MS)
Berat sendiri adalah berat bahan dari jembatan dan elemen-elemen
struktural bagian dari jembatan yang dipikulnya, ditambah dengan beban dari
elemen non-struktural yang dianggap tetap.
Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri (BSN, 2016)
Tipe Beban
Faktor Beban ( 𝛾 )
Keadaan Batas Layan (𝛾 ) Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap
Baja 1,00 1,10 0,90
Aluminium 1,00 1,10 0,90
Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85
Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75
Kayu 1,00 1,40 0,70
1) Berat Diafragma
Berat diafragma dapat dicari dengan Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5.
Berat 1 buah diafragma (w) : Wdiafragma = V × Wc …….……… (2.4)
Berat diafrgama : Wn = n × W …………………… (2.5)
Momen maksumum di tengah bentang L dapat dihitung dengan
Persamaan 2.6.
Mmaks = × 𝑛 × 𝑋 − 𝑋 − 𝑋 × 𝑊 ……………………..... (2.6)
Berat diafragma ekivalen dapat dihitung dengan Persamaan 2.7
Qdiafragma = 8 × Mmaks / L2 …………………………………….. (2.7)
20
2) Berat Balok Prategang
Berat balok perategang prategang dapat dihitung dengan Persamaan 2.8
dan Persamaan 2.9.
Wbalok = 10% × A × L × Wc ……………………….................. (2.8)
Qbalok = Wbalok / L ……………………….................................. (2.9)
3) Gaya geser dan momen akibat berat sendiri (MS)
Gaya geser dan momen akibat berat sendiri dapat dihitung dengan
Persamaan 2.10 sampai Persamaan 2.12
Beban : Qms = A × W ………………………................ (2.10)
Gaya geser : VMS = × QMS × L ………………………...... (2.11)
Momen : MMS = × QMS × L2 …………………………. (2.12)
b. Berat mati tambahan (MA)
Berat mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan beasarnya dapat
berubah selama umur jembatan.
Tabel 2.2 Faktor beban untuk beban mati tambahan (BSN, 2016)
1) Lapisan aspal dan overlay
Berat jenis aspal (Was) = 22 kN/m3
Beban aspal dan overlay dapat dihitung dengan Persamaan 2.13.
Qas = Aas × Was ………………………...….. (2.13)
2) Berat air hujan
Berat jenis air (Wah) = 9,80 kN/m3
Beban air hujan dapat dihitung dengan Persamaan 2.14.
Qah = Aah × Wah ………………………...…. (2.14)
3) Gaya geser dan momen akibat beban mati tambahan (MA) dapat
dihitung dengan Persamaan 2.15 sampai Persamaan 2.17.
Tipe Beban
Faktor Beban ( 𝛾 )
Keadaan Batas Layan (𝛾 ) Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )
Keadaaan Biasa Terkurangi
Tetap Baja 1,00(1) 2,00 0,70 Aluminium 1,00 1,40 0,80
Catatan (1): Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk besar utilitas
21
Beban : QMA = Qas + Qah ………………………........... (2.15)
Gaya geser : VMA = × QMA × L ………………………...... (2.16)
Momen : MMA = × QMA × L2 ……………………….... (2.17)
2.3.2. Beban Hidup (Beban Lalu Lintas)
Beban lalu lintas merupakan beban lajur yang terdiri dari beban terbagi
merata (BTR), uniformly distributed load (UDL), dan beban garis (BGT) beban
hidup (beban lalu lintas) terdiri dari beban truk “TT” dan beban lajur “TD”
sebagai berikut:
a. Beban lajur (TD)
Beban lajur bekerja di seluruh lebar jalur kendaraan yang terdiri atas beban
terbagi merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT), seperti yang
terlihat pada Gambar 2.11. Beban terbagi merata (BTR) mempunyai intensitas q
kPa dengan besaran q tergantung pada panjang total L yang dibebani, dan
dinyatakan dalam ketentuan sebagai berikut:
q = 9,0 kPa untuk L ≤30 m
q = 9,0 (0,5 + ) kPa untuk L > 30 𝑚
Tabel 2.3 Faktor beban lajur “TD” (BSN, 2016)
Beban garis terpusat (BGT) dengan intesitas p kN/m tegak lurus terhadap arah
lalu lintas, dan mempunyai intensitas sebesar 49,0 kN/m.
Gambar 2.11 Beban lajur “D” (BSN, 2016)
Tipe Beban
Jembatan
Faktor Beban ( 𝛾 )
Keadaan Batas Layan (𝛾 )
Keadaan Batas Ultimit (𝛾 )
Transien Beton 1,00 1,80
Box Girder Baja
1,00 2,00
22
1) Beban merata pada balok dapat dicari dengan Persamaan 2.19
QTD = q × s ………………………....................................... (2.19)
2) Beban terpusat pada balok dapat dihitung menggunakan Persamaan
2.20.
PTD = (1 + DLA) × p × (B + 5,5) / 2 ………………………. (2.20)
3) Gaya geser akibat beban lajur D dihitung dengan Persamaan 2.21.
Gaya geser : VMA = × QTD × L ………………… (2.21)
4) Momen maksimum pada balok akibat beban lajur D dihitung dengan
Persamaan 2.22.
Momen : MMA = × QTD × L2 ………………. (2.22)
b. Beban Truk (TT)
Beban truk adalah beban lalu lintas lainnya selain beban lalu lintas. Beban
truk tidak dapat digunakan digunakan bersamaan dengan beban lalu lintas. Secara
umum beban truk digunakan untuk perhitungan struktur dengan bentang pendek.
Factor beban untuk beban truk di sajikan dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Faktor beban truk (BSN, 2016)
Tipe
Beban Jembatan
Faktor Beban ( 𝛾 )
Keadaan Batas
Layan (𝛾 )
Keadaan Batas
Ultimit (𝛾 )
Transien Beton 1,00 1,80
Box Girder Baja 1,00 2,00
Gambar 2.12 Pembebanan truk “TT” 500 kN (BSN, 2016)
23
2.3.3. Gaya Rem (TB)
Gaya rem diambil yang terbesar dari 25% dari berat gandar truk desain atau,
5% dari berat truk rencana di tambah beban lajur terbagi merata BTR. Pengaruh
pengereman diasumsikan bekerja pada jarak 1.80 m di atas permukaan lantai
jembatan. Dalam menghitung gaya rem yang terjadi dapat digunakan Persamaan
2.23 sampai dengan Persamaan 2.27.
a) Gaya rem
TTD = 5% × T + QTD ………………………........................ (2.23)
b) Lengan terhadap titik berat balok
Y = 1,80 + ha + yac ………………………....................... (2.24)
c) Beban momen akibat gaya rem
M = TTB × Y ……………………….................................. (2.25)
d) Gaya geser beban rem
Gaya geser : VTB = MTB / L ………………………........... (2.26)
e) Momen maksimum pada balok akibat beban rem
Momen : MTB = ½ × MTB ………………………......... (2.27)
2.3.4. Pembebanan untuk pejalan kaki (TP)
Pada pembebanan untuk pejalan kaki semua komponen trotoar yang lebih
besar dari 600 mm harus direncanakan untuk memikul beban pejalan kaki dengan
intensitas 5 kPa dan dianggap bekerja secara bersamaan dengan beban kendaraan
pada masing-masing lajur kendaraan.
Perhitungan pembebanan untuk pejalan kaki dapat menggunakan Persamaan 2.28
sampai Persamaan 2.31.
a) Luas bidang trotoar
A = bt × L ……………………………………………………... (2.28)
b) Beban jembatan untuk trotoar
QTP = q × bt ………………………............................................. (2.29)
c) Gaya geser beban pejalan kaki
VTP = ½ × QTP × L ……………………….................................. (2.30)
d) Momen maksimum
MTP = 1/8 × QTP × L2 ……………………….............................. (2.31)
24
2.3.5. Beban angin (EW)
Jembatan harus mampu memimikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan
dimana tekanan tersebut harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46
N/mm tegak lurus dan bekerja 1,8 m di atas permukaan jalan. Beban angin dapat
dicari dengan Persamaan 2.32 sampai Persamaan 2.34.
a) Transfer beban angin ke lantai jembatan:
QEW = (1/2 × h/x × TEW) × 2 ………………………............. (2.32)
b) Gaya geser akibat beban angin
VTP = ½ × QEW × L ……………………….......................... (2.33)
c) Momen maksimum
MTP = 1/8 × QEW × L2 ………………………....................... (2.34)
2.3.6. Beban Gempa (EQ)
Dalam menghitung beban gempa ada beberapa tahap yang harus dilakukan
pada perencanaan jembatan.
a. Menentukan Faktor Situs
Dalam menentukan faktor situs, hal pertama yang harus dilakukan
menentukan jenis tanah yang akan dibangun jembatandan menentukan level
gempa. Nilai percepatan puncak batuan dasar (FPGA) ditentukan pada Tabel 2.5
yang mengacu pada peta gempa Indnesia 2010 dan nilai paramater respons
spektral percepatan gempa (SS) untuk periode pendek (T = 0,2 detik) pada Tabel
2.6 mengacu pada peta gempa Indonesia 2010.
Tabel 2.5 Faktor nilai amplifiksasi untuk periode 0 detik dan 0,2 detik (FPGA/Fa) (BSN, 2012)
Kelas Situs PGA ≤ 0,1
Ss ≤ 0,25
PGA = 0,2
Ss = 0,5
PGA = 0,3
Ss = 0,75
PGA = 0,4
Ss = 1,0
PGA > 0,5
Ss ≥ 1,25
Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah Keras (SC) 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
Tanah Sedang (SD) 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
Tanah Lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
25
Parameter respons spektral percepatan gempa (SS) untuk periode 1 detik
mengacu pada peta gempa Indonesia 2010.
Tabel 2.6 Faktor nilai amplifiksasi untuk periode 1 detik (Fv) (BSN, 2012)
Kelas Situs S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 Ss = 0,3 Ss = 0,4 Ss ≥ 0,5
Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah Keras (SC) 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
Tanah Sedang (SD) 2,4 2,0 1,8 1,6 1,5
Tanah Lunak (SE) 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
b. Respons spektrum rencana
Respons spektrum adalah nilai yang menggambarkan respons maksimum
dari sistem berderajat-kebebasan-tunggal pada berbagai frekuensi alami teredam
akibat suatu goyangan tanah (BSN, 2012). Perhitungan respons spektrum rencana
dapat dicari dengan Persamaan 2.35 sampai Persamaan 2.37.
As = FPGA × PGA ………………………................................ (2.35)
SDS = Fa × Ss ………………………................……………… (2.36)
SD1 = Fv × S1 ………………………........................................ (2.37)
c. Mencari respon gempa elastik (Csm)
Nilai respons gempa elastic dapat dicari dengan Persamaan 2.38 dan
Persamaan 2.39.
TS = SD1 / SDS ………………….................. (2.38)
T0 = 0,2 × TS ………………….................. (2.39)
dengan:
SD1 = nilai spektra permukaan tanah pada periode 1,0 detik
SDS = nilai spektra permukaan tanah pada periode pendek (T=0,2 detik)
Fv = nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik
Fa = nilai faktor amplifikasi untuk periode pendek (T=0,2 detik)
FPGA = nilai faktor amplifikasi untuk 0 detik
S1 = parameter respon spektral percepatan gempa (1 detik)
26
Ss = parameter respon spektral percepatan gempa untuk periode
pendek (T=0,2 detik)
As = koefisien percepatan puncak muka tanah (g)
TS = periode getar puncak
T0 = periode getar awal
Gambar 2.13 Bentuk tipikal respon spektra di permukaan tanah (BSN, 2012)
Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0 dan lebih kecil atau sama dengan
Ts, respon spektra percepatan, Csm adalah sama dengan SDS.
d. Beban gempa (gaya horizontal)
Gaya gempa horizontal dapat dicari dengan Persamaan 2.40.
EQ = × Wt ………………………........... (2.40)
dengan:
EQ = gaya gempa horizonta statis (kN)
Csm = koefisien respon gempa elastik pada mode getar ke-m
R = faktor modifikasi respon
Wt = berat total struktur (beban mati dan beban hidup) (kN)
2.4. Kombinasi Tegangan
Beban yang sudah dihitung dimasukan kedalam kombinasi yang sudah di
tentukan pada SNI 1725-2016 tentang pembebanan jembatan. Jembatan harus
direncakanan sesuai dengan keadaan batas yang disyaratkan untuk mencapai
target pembangunan. Penjelasan kombinasi yang digunakan adalah sebagai
berikut:
27
a. Kuat I: Kombinasi yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul pada
jembatan dalam keadaan normal dan beban angin diabaikan.
b. Kuat II : Kombinasi yang berkaitan dengan penggunaan jembatan untuk
memikul beban kendaraan khusus yang di tentukan pemilik tanpa
memperhitungkan beban angin.
c. Kuat III : Kombinasi jembatan dikenai beban angin berkecepatan 90 km/jam
hingga 126 km/jam.
d. Kuat IV : Kombinasi untuk memperhitungkan kemungkinan adanya rasio
beban mati dengan beban hidup yang besar.
e. Kuat V : Kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal
jembatan dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam
hingga 126 km/jam.
f. Ekstrem I: Kombinasi pembebanan gempa. Faktor beban hidup yang
mempertimbangkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa berlangsung
harus ditentukan berdasarkan kepentingan jembatan.
g. Ekstrem II: Kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban
hidup terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal,
tumbukan kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainya kecuali untuk kasus
pembebanan akibat tumbukan kendaraan.
h. Layan I : Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan operasional
jembatan dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta
memperhitungkan adanya beban angina berkecepatan 90 km/jam hingga
126 km/jam. Kombinasi ini juga digunakan untuk mengontrol mengontrol
lebar retak struktur beton bertulang.
i. Layan II: Kombinasi yang ditujukan untuk mencegah terjadinya pelelehan
pada struktur baja dan selip sambungan akibat beban kendaraan.
j. Layan III: Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada
arah memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol
besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari jembatan
beton segmental.
k. Layan IV: Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada
kolom beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol besarnya retak.
28
Tabel 2.7 Tabel kombinasi pembebanan
2.5. Posisi Tendon
Lintasan tendon berupa garis melengkung, berarti arah tangennya pada
setiap titik berubah arah, akibatnya pada setiap titik dalam lintasan tersebut timbul
gaya pada arah radial. Untuk lintasan berbelok (curved lay out) parabolik pangkat
dua yang langsing, maka sebagai pendekatan dapat digunakan Persamaan 2.41
lintasan tendon:
𝑦 = 4 × 𝑓 × × (𝐿 − 𝑋) ……………………...... (2.41)
Dengan:
f = es (eksentrisitas) (m)
X = jarak lintasan tendon (m)
L = panjang balok (m)
2.6. Pemeriksaan Tegangan
Seluruh penampang girder akan memikul setiap tegangan yang terjadi
dengan menganggap penampang bebas retak pada tingkat beban kerja, sehingga
seluruh permukaan beton dapat diperhitungkan untuk menentukan pusat berat dan
momen inersianya. Pola tegangan diperiksa/ditinjau pada dua keadaan yang
berbeda, yaitu pada kondisi awal (saat transfer) dan kondisi akhir.
a. Kondisi awal (saat transfer)
Tegangan pada saat pelimpahan gaya prategang (penarikan tendon pada
sistem pasca tarik atau pemotongan tendon pada sistem pratarik). Gaya dan
beban yang bekerja:
1) Gaya prategang Pi dengan eksentrisitas e.
Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Ekstrim Ekstrim Layan Layan Layan Layan
I II III IV V I II I II III IV
MS √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
MA √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
PR √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
TD √ √ √ √ √ √ √
TB √ √ √ √ √ √ √
TP √ √ √ √ √ √ √
EWs √ √ √ √
EWL √ √
EQ √
Aksi / Beban
29
2) Beban mati (DL) berupa berat sendiri balok yang aktif masih bekerja
akibat ke atas akibat gaya prategang yang eksentris.
Untuk mencari besaran gaya prategang awal Pi, dapat digunakan Persamaan
2.42 dan Persamaan 2.43.
Tegangan serat atas : 0,25 𝑓𝑐𝑖 = +×
− ……... (2.42)
Tegangan serat bawah : −0,6𝑓𝑐𝑖 = −×
− ……….. (2.43)
b. Kodisi akhir (saat service)
Pemeriksaan tegangan saat keadaan akhir (layan) / pada saat seluruh beban
transvesal sudah bekerja. Gaya dan beban yang bekerja:
1) Gaya prategang Pi berkurang akibat LOP menjadi Pe dengan
eksentrisitas tetap e.
2) Beban mati (DL), beban mati tambahan / finishing (ADL), beban hidup
(LL) dan beban-beban lain.
Tegangan yang terjadi pada balok prategang dapat dicari dengan Persamaan
2.44 dan Persamaan 2.45.
Diserat atas : −0,45𝑓𝑐𝑖 = +×
− − ……….. (2.44)
Diserat bawah : 0,50 𝑓𝑐𝑖 = −×
− + ……... (2.45)
dengan:
Peff = gaya prategang efektif
A = luas penampang balok
es = eksentrisitas
Mbs = momen akibat berat sendiri
Wa = tahanan momen seart atas (m3)
Wb = tahanan momen serat bawah (m3)
MTD = momen maksimum pada balok akibat beban lajur "TD"
2.7. Kehilangan Prategang (Loss of Prestress)
Menurut Nawy dkk., (2001) kehilangan sebagian prategang adalah suatu
kenyataan bahwa gaya prategang awal yang diberikan keelemen beton mengalami
proses reduksi yang progresif selama kurun waktu lima tahun, reduksi gaya
prategang dikelompokkan ke dalam dua kategori: (1) kehilangan elastis segera,
30
terjadi pada saat proses pabrikasi atau konstruksi, termasuk perpendekan beton
secara elastis, kehilangan diakibatkan pengangkeran dan kehilagan akibat
gesekan, (2) kehilagan yang bergantung waktu, susut dan kehilangan karena efek
temperatur dan relaksasi baja, dan kesemuanya dapat ditentukan saat kondisi limit
tegangan akibat beban bekerja di dalam elemen beton prategang. Banyak metode
yang dapat digunakan untuk menentukan perhitungan kehilangan sebagian
prategang ini. Dalam penelitian ini menggunakan rumus-rumus empiris dari cara
komite gabungan ACI-ASCE untuk menentukan perhitungan kehilangan sebagian
prategang (Nawy dkk., 2001).
2.6.1. Kehilangan Tegangan Akibat Dudukan Angker (A)
Kehilangan akibat dudukan angker disebabkan karena adanya blok-blok
pada angker pada saat gaya jacking terjadi pada angker. Cara mudah untuk
mengatasi hal ini adalah dengan pemberian kelebihan tegangan. Kehilangan
tegangan akibat dudukan angker dapat dihitung dengan Persamaan 2.46:
𝛥𝑓 =∆
𝐸 ……………………………. (2.46)
dengan:
ΔA = besar gelincir (m)
L = panjang tendon (m)
Eps = modulus elastisitas strand (MPa)
2.6.2. Kehilangan Tegangan Akibat Perpendekan Elastis Beton (ES)
Beton memendek pada saat gaya prategang diberikan. Hal ini terjadi ketika
strand diberikan gaya jacking, dimana beton akan tertekan oleh gaya jacking yang
ditransfer secara simultan kepada tendon. Perpendekan satuan pada beton dapat
dicari dengan Persamaan 2.47 dan Persamaan 2.48.
∈ =∆
……………………………….. (2.47)
∈ = = …………………………….. (2.48)
Dikarenakan tendon prategang mengalami perpendekan yang sama, maka dapat
dihitung juga dengan Persamaan 2.49.
31
∆ = 𝐸 ∈ =
= = 𝑛𝑓 ……………………. (2.49)
Tegangan di beton yang terjadi di pusat berat tendon akibat prategang awal dapat
dihitung dengan Persamaan 2.50. Jika tendon memiliki eksentrisitas dan momen
akibat berat sendiri diperhitungkan maka tegangan yang terjadi beton pada pusat
berat tendon baja prategang dapat dihitung dengan Persamaan 2.51.
𝑓 = − ……………………….............. (2.50)
𝑓 = − 1 + + ………………………... (2.51)
2.6.3. Kehilangan Tegangan Akibat Rangkak Beton (CR)
Nawy dkk., (2001) mengungkapkan aliran pada material terjadi di sepanjang
waktu, apabila ada beban atau tegangan longitudinal, deformasi atau aliran lateral
yang terjadi disebut rangkak (creep) dan dapat dihitung dengan Persamaan 2.52.
∆𝑓 = 𝐶 𝑓 ………………………..... (2.52)
Pada struktur pascatarik nonbonded, kehilangan tegangan ditandai seragam di
sepanjang bentangnya. Persamaan 2.53 dan Persamaan 2.54 dapat dipakai untuk
menghitung tegangan yang terjadi.
∆𝑓 = 𝐾 (𝑓̅ − 𝑓̅ ) ………………………... (2.53)
atau
∆𝑓 = 𝑛 𝐾 (𝑓̅ − 𝑓̅ ) ………………………..... (2.54)
dengan:
KCR = 2,0 untuk komponen struktur pratarik atau1,60 untuk komponen
struktur pascatarik
fcs = tegangan pada beton di pusat berat tendon setelah transfer
fcsd = tegangan pada beton di pusat berat tendon akibat semua beban
iiimati tambahan setelah prategang diberikan
n = rasio modulus
2.6.4. Kehilangan Tegangan Akibat Susut (SH)
Untuk kehilangan tegangan akibat susut pada balok prategang, Besar susut
beton dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proporsi campuran, tipe semen,
32
tipe agragat, waktu perawatan, waktu antara akhir perawatan dan pemberian
tegangan, ukuran komponen struktur dan kondisi lingkungan. Untuk struktur
pascatarik, kehilangan tegangan akibat susut agak lebih kecil, karena sebagian
susut telah terjadi sebelum pemberian tegangan. Rumus umum tegangan susut
dapat dicari pada Persamaan 2.55. Pada perhitungan kehilangan tegangan akibat
susut memiliki koefisien untuk komponen struktur pascatarik yang dapat diambil
pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik (Prestressed Concrete Institute, 1999)
Waktu dari akhir perawatan basah
hingga pemberian prategang, hari
1 3 5 7 10 20 30 60
KSH 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
∆𝑓 = 8,2 × 10 𝐾 𝐸 1 − 0,06 (100 − 𝑅𝐻) ………. (2.55)
dengan:
KSH = koefisien untuk komponen struktur pascatarik
Eps = modulus elastisitas baja pratregang
V/S = rasio volum-permukaan
RH = persen kelembaban relative
2.6.5. Kehilangan Tegangan Akibat Relaksasi Baja (R)
Kehilangan tegangan pada tendon sress-relieved sebagai akibat dari
perpanjangan konstan terhadap waktu. Metode ini menggunakan konstribusi
terpisah antara perpendekan elastis rangkak dan susut dalam evaluasi kehilangan
tegangan akibat relaksasi baja, dengan Persamaan 2.56:
∆𝑓𝑝𝑅 = [𝐾𝑟𝑒 – 𝐽 (𝑓𝑝𝐸𝑆 + 𝑓𝑝𝐶𝑅 + 𝑓𝑝𝑆𝐻)] 𝑥 𝐶 ……………………….. (2.56)
dengan:
nilai koefisien KRE dan J diambil pada Tabel 2.9
nilai koefisien C diambil pada Tabel 2.10
fpES = kehilangan tegangan akibat elastis beton
33
fpCR = kehilangan tegangan akibat rayapan
fpSH = kehilangan tegangan akibat susut
Tabel 2.9 Nilai KRE dan J (Post-Tensioning Institute, 2000)
Jenis tendona KRE J
Kawat atau stress-relieved strand mutu 270 20000 0,15
Kawat atau stress-relieved strand mutu 250 18500 0,14
Kawat stress-relieved strand mutu 240 atau 350 17600 0,13
Strand relaksasi rendah mutu 270 5000 0,04
Kawat relaksasi rendah mutu 250 4630 0,037
Kawat relaksasi rendah mutu 240 atau 235 4400 0,035
Batang stress-relieved mutu 145 atau 160 6000 0,05
Tabel 2.10 Nilai C (Post-Tensioning Institute, 2000)
fpi/fpu Kawat atau strand
stressrelieve
Kawat atau strand relaksasi rendah atau batang stress-
relieved
0,80 1,28
0,79 1,22
0,78 1,16
0,77 1,11
0,76 1,05
0,75 1,45 1,00
0,74 1,36 0,95
0,73 1,27 0,90
0,72 1,18 0,85
0,71 1,09 0,80
0,70 1,00 0,75
0,69 0,94 0,70
0,68 0,89 0,66
0,67 0,83 0,61
0,66 0,78 0,57
0,65 0,73 0,53
0,64 0,68 0,49
0,63 0,63 0,45
0,62 0,58 0,41
0,61 0,53 0,37
0,60 0,49 0,33
34
2.6.6. Kehilangan Tegangan Akibat Friksi (F)
Kehilangan tegangan akibat friksi pada struktur pascatarik terjadi
dibebabkan adanya gesekan antara tendon dan beton yang berada di sekililingya.
Kehilangan tegangan ini merupakan fungsi dari alinyemen tendon yang disebut
efek kelengkungan. Sedangkan deviasi lokal di dalam alinyemen tendonnya
disebut efek wobble. Efek wobble adalah hasil dari penyimpangan alinyemen
yang tak dapat dihindari atau disengaja karena saluran tidak dapat diletakkan
secara sempurna. Kehilangan tegangan akibat friksi maksimum terjadi pada ujung
balok. Dengan demikian kehilangan tegangan ini akan bervariasi di sepanjang
bentang linier balok. Koefisien efek kelengkungan dan efek wobble dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.11 Koefisien gesek kelengkungan dan wobble (Prestress Concrete Institute, 1999)
Jenis Tendon Koefisien
wobble (K)
Koefisien
kelengkungan (µ)
Tendon diselubungi metal fleksibel
Tendon kawat
Strand 7 kawat
Batang mutu tinggi
0,0010-0,0015
0,0005-0,0020
0,0001-0,0006
0,15-0,25
0,15-0,25
0,08-0,30
Tendon di saluran metal yang rigid
Strand 7 kawat
0,0002
0,15-0,25
Tendon yang dilapisi mastic
Tendon kawat dan strand 7 kawat
0,0010-0,0020
0,05-0,25
Tendon yang dilumasi dahulu
Tendon kawat dan strand 7 kawat
0,0003-0,0020
0,05-0,15
Kehilangan tegangan ∆𝑓𝑝F akibat gesekan dapat dinyatakan dengan
Persamaan 2.57.
∆𝑓 = −𝑓 (𝜇𝑎 + 𝐾𝐿)…………………………….. (2.57)
dengan:
f1 = tegangan yang terjadi akibat gaya prategang awal Pi
µ = koefisien kelengkungan
K = koefisien wobble
35
2.8. Tegangan Pada Penampang Balok
Dalam menghitung tegangan yang terjadi pada beton prategang ada dua
kondisi yang harus diperhatikan yaitu kondisi saat transfer dan kondisi saat beban
layan.
2.7.1.Keadaan Awal (Saat Transfer)
Menurut (BSN, 2002) tegangan beton sesaat setelah penyaluran gaya
prategang (sebelum terjadi kehilangan prategang) memiliki tegangan ijin yaitu:
a) Tegangan serat tekan terluar harus ≤ 0,60 fci’
b) Tegangan serat tarik terluar harus ≤ 0,25 𝑓 ′
Tegangan pada saat transfer dapat dihitungan dengan Persamaan 2.58 dan
Persaaman 2.59.
Tegangan beton serat atas : 𝑓 = +×
− ………… (2.58)
Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = −×
+ ………… (2.59)
2.7.2 Keadaan Setelah Loss of Prestress
Tegangan beton yang terjadi pada kondisi beban layan (setelah
memperhitungkan semua kehilangan tegangan) tidak boleh melebihi nilai sebagai
berikut.
a) Tegangan serat tekan terluar akibat pengaruh prategang, beban mati, dan
beban hidup harus ≤ 0,45 fc’
b) Tegangan serat tarik terluar yang pada awalnya mengalami tekan yaitu
harus ≤ 0,5 fc’
Tegangan pada saat transfer dapat dihitungan dengan Persamaan 2.60 dan
Persaaman 2.61.
Tegangan beton serat atas : 𝑓 = +×
− ……….. (2.60)
Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = −×
+ ………. (2.61)
2.9. Tegangan Akibat Beban
Untuk mencari tegangan akibat beban dapat menggunakan Persamaan 2.62
untuk tegangan betaon serat atas dan persamaan 2.63 untuk tegangan beton yang
terjadi pada serat bawah.
36
Tegangan beton pada serat atas : 𝑓 = − ……………………..……. (2.62)
Tegangan beton serat bawah : 𝑓 = + ………………………..… (2.63)
dengan:
M = momen maksimum akibat pembebanan (kNm)
sWa = tahanan momen sisi atas (m3)
Wb = tahanan momen sisi bawah (m3)
2.10. Lendutan Pada Beton Prategang
Dasar mekanika bahan untuk menghitung defleksi tengah bentang pada
balok yang ditumpu sederhana yang dibebani terbagi merata dengan
menggunakan Persamaan 2.64 dan lendutan maksimum yang di izinkan nilai
kurang dari L/240.
𝛿 =
………………………………… (2.64)
dengan:
𝛿 = defleksi (m)
w = beban (kN/m)
l = panjang bentang (m)
EC = modulus elastisitas beton (kPa)
Ix = momen inersia efektif untuk penampang defleksi (m4)