Al-Sya'i Ma Lam Yajib

12

Transcript of Al-Sya'i Ma Lam Yajib

al-Syai’ Ma Lam Yajib Lam Yujad(Sesuatu yang belum sampai pada tingkat wajib

tidak akan terwujud)

Merupakan kaidah yang menggambarkan kemunculan wujud mumkin dari keadaan aslinya yang berada dalam relasi kesetaraan antara Wujud dan ‘Adam, sehingga kita dapat maknai adalah tidak mungkin sesuatu (wujud al-mumkin) dapat keluar (Mewujud) kecuali setelah sampai pada level wajib.

Mengingat quiditas/mumkin secara esensial bukanlah sesuatu dan memiliki relasi yang setara antara Wujud dan ‘Adam

Quiditas/MumkinWujud ‘Adam

Bagi para filosof Quiditas/mumkin untuk dapat wujud haruslah memiliki sebab sempurna sehingga wujud baginya menjadi wajib

Wajib dalam makna Dharurah al-Wujud

Pandangan ini adalah pandangan yang didasarkan pada kaidah :

“al-Tarjih bila Murajih Muhall”

(Preferensi without Justification)

Penjelasan kaidah tersebut sebagai berikut :

Segala bentuk yang berada dalam kesetaraan relasi dengan keberadaan atau ketiadaan tentu saja tidak dapat mengeluarkan dirinya sendiri mengingat dirinya bukanlah sesuatu, penyandaran sebab pada ketiadaan adalah mustahil. Prinsip ini disebut sebagai al-Tarjih bila Murajih.

Penjelasan Kaidah;

“Quiditas untuk dapat mewujud atau meniada tiada membutuhkan sandaran (murajih) eksternal yang disebut sebagai sebab, tanpa sebab tersebut berdasarkan kaidah Tarjih bila Murajih adalah mustahil bagi mumkin.”

Relasi antara akibat dan sebab adalah relasi fundamental (Dharuri). Dalam kondisi sebab telah sampai pada level sebab sempurna maka wujud bagi akibat adalah wajib, karenanya bagi tidak ada kemungkinan lain selain mewujud. Hal ini tentu msaja merupakan kaidah yang berakah pada prinsip kausalitas.

Awlawiyyah Pandangan ini berasal dari sebagian teolog* yang menyatakan bahwa sebab tidak memiliki keharusan dalam mewujudkan akibat sehingga menyebabkan akibat sampai pada level keharusan (Dharuri), akan tetapi wujud memiliki keutamaan dibandingkan ketiadaan sehingga mencukupi untuk menarik mumkin untuk keluar dari kesetaraan relasinya dan mungkin juga di dalam diri mumkin ada kecenderungan pada salah satu di antara dua keadaan (Wajib dan ‘Adam).

*al-Fakhrurozi; Mabahits al-Masyriqiyyah J 2 hal. 131

Dalam pandangan ini relasi antara akibat dengan sebabnya bukanlah relasi keharusan (dharuri) akan tetapi relasi awlawiyyah (keutamaan) dan kita dapat membaginya menjadi dua bagian yaitu; al-Awlawiyyah bi Zat dan al-Awlawiyyah bi Ghairih, pandangan ini didasari bahwa sekiranya adanya keharusan pada keberadaan mungkin maka hal tersebut menyebabkan Tuhan terpaksa dalam tindakan-Nya.

Penolakan terhadap Awlawiyyat;

Sekiranya akibat belum sampai pada level keharusan (dharuri) untuk mewujud maka ketiadaan masih terbuka bagi quiditas tersebut sehingga memungkinkan bagi quiditas untuk tiada, jika kemungkinan ini masih ada maka quiditas/mumkin masih dalam relasi kesetaraannya antara ketiadaan dan keberadaan, karenanya awlawiyyat semata tidak mungkin dapat mengeluarkan quiditas/mumkin untuk dapat mewujud dan hal tersebut sama saja menerima mungkinnya tarjih bila murajih, padahal tarjih bila murajih muhall.

Ibn Sina maupun Mulla Sadra memandang prinsip ini sebagai prinsip yang sangat mendasar karena menjadi prinsip bagi banyak pandangan-pandangan filsafat mereka, kita dapat menarik kesimpulan tentang prinsip ini sebagai berikut :

“Quiditas/mumkin atau segala bentuk mumkin lainnya selama sebabnya belum sampai pada tingkat sempurna maka quiditas tersebut tidak akan sampai pada tingkat wajib dan sekiranya quiditas/mumkin belum sampai pada tingkat wajib maka tidak akan pernah wujud”