0 BAB II KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN

30
10 BAB II KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN A. Penyesuaian Sosial Sebagai makhluk sosial, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi kesehatan mental individu, karena salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mental adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan (Kartono, 2000:259). Pada kenyataannya, banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagian dalam hidup karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang banyak orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan dalam penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh dengan tekanan. Bagi seorang individu yang baru menginjak masa remaja, akan mengalami beberapa transisi; yaitu transisi fisik, sosial, dan emosi. Beberapa transisi tersebut terkadang menimbulkan masalah bagi remaja. Oleh sebab itu remaja harus bisa menyesuaikan diri dengan beberapa transisi yang terjadi pada diri remaja. Penyesuaian penting dilakukan oleh remaja agar terjadi keseimbangan antara

Transcript of 0 BAB II KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN

10

BAB II

KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN

A. Penyesuaian Sosial

Sebagai makhluk sosial, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan.

Individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul

sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dan mampu menampilkan diri

sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.

Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi kesehatan

mental individu, karena salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mental

adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri

secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan (Kartono,

2000:259). Pada kenyataannya, banyak individu yang menderita dan tidak mampu

mencapai kebahagian dalam hidup karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan

diri, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat

pada umumnya. Tidak jarang banyak orang mengalami stres dan depresi

disebabkan oleh kegagalan dalam penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh

dengan tekanan.

Bagi seorang individu yang baru menginjak masa remaja, akan mengalami

beberapa transisi; yaitu transisi fisik, sosial, dan emosi. Beberapa transisi tersebut

terkadang menimbulkan masalah bagi remaja. Oleh sebab itu remaja harus bisa

menyesuaikan diri dengan beberapa transisi yang terjadi pada diri remaja.

Penyesuaian penting dilakukan oleh remaja agar terjadi keseimbangan antara

11

tuntutan diri dan lingkungan, sehingga remaja dapat diterima di lingkungan sosial

temapt remaja berinteraksi.

1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Pembahasan tentang penyesuaian sosial tidak akan terlepas dari konsep

penyesuaian diri, karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian

diri. Schneiders membagi penyesuaian diri menjadi empat aspek, yaitu:

penyesuaian diri personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan, dan

penyesuaian vokasional atau jabatan. Pada pembahasan akan dijelaskan terlebih

dahulu tentang konsep penyesuaian diri.

Schneiders (1964:21) mengemukakan penyesuaian diri dapat diartikan

sebagai proses individu dalam merespon sesuatu, baik yang bersifat behavioral

maupaun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam diri,

tegangan emosional, frustasi dan konflik, dan mememelihara keharmonisan antara

pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan norma masyarakat.

J.P Chaplin dalam Kamus Psikologi, mengartika adjusment (penyesuaian

diri) sebagai 1) variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan

dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. 2) menegakkan hubungan yang harmonis

dengan lingkungan fisik dan sosial. Kedua pengertian tersebut mengandung

makna bahwa proses penyesuaian diri pada individu merupakan proses

pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah melalui perilaku yang diubah-

ubah sehingga mencapai kepuasan terhadap lingkungan sosialnya. (Kartono,

2000:11)

12

Penyesuaian diri bersifat dinamis, proses ini akan akan berlangsung terus-

menerus sepanjang rentan kehidupan manusia. Pada dasarnya penyesuaian diri

melibatkan individu dengan lingkungan. Lingkungan yang dapat menciptakan

penyesuaian diri yang sehat bagi remaja antara lain lingkungan keluarga,

lingkungan teman sebaya, dan lingkungan sekolah.

Penyesuaian sosial merupakan aspek penyesuaian diri yang berkaitan

dengan interaksi individu dengan lingkungan sosial, penyesuian sosial bertujuan

untuk mencapai kesesuaian antara kebutuhan diri individu dengan keadaan

lingkungan dimana individu berada dan berinteraksi. Schneiders (1964:454-455)

mengartikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk memberikan

reaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan hubungan sosial

yang sesuai dengan tuntutan norma masyarakat.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial

Keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial tidak lepas

dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian sosial erat kaitannya dengan penyesuaian diri karena

penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri.

Alexander Schneiders (1964:122) mengelompokan faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut:

a. Physical condition (kondisi jasmaniah), yang meliputi

1) Pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah

Beberapa ciri kepribadian memiliki hubungan dengan struktur jasmaniah

yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan. Pada beberapa hal

13

kecenderungan salah suai (maladjustment) dapat diwariskan secara genetis

terutama dengan perantara temperamen. Sebagai komponen primer dalam

kepribadian, termperamen menentukan karakteristik yang berkenaan

dengan penyesuaian diri. Secara tidak langsung pembawaan merupakan

kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri.

2) Kesehatan dan kondisi jasmaniah

Kualitas penyesuaian diri yang baik dapat diperoleh dan dipelihara dalam

kondisi kesehatan jasmani yang sehat. Orang yang memiliki penyakit

jasmani kemungkinan memiliki kurang percaya diri, perasaan rendah diri,

ketergantungan, dan perasaan ingin diperhatikan oleh orang lain. Namun

tidak semua orang yang memiliki penyakit jasmani tidak dapat

menyesuaiakan diri dengan baik.

b. Development dan maturation (perkembangan dan kematangan)

Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan

proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan

banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.

Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang

bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan

pengalaman. Dengan berrtambahnya usia anak juga matang untuk melakukan

respon, proses ini menentukan pola-pola penyesuaian diri.

c. Psychological condition (kondisi psikologis)

Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian

diri. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan

14

lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam

penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola

respon yang akan membentuk kepribadian

d. Environmental condition (kondisi lingkungan)

1) Pengaruh rumah dan keluarga.

Lingkungan rumah dan keluarga merupakan faktor lingkungan yang paling

besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri individu. Hal ini karena

keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan

individu. Seorang individu akan banyak mempelajari adat dan kebiasaan

dari anggota keluarga lain, adat dan kebiasaan tersebut akan sangat

berperan dalam proses penyesuaian diri. Beberapa karakteristik kehidupan

keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri seorang individu seperti:

susunan keluarga, peranan sosial dalam keluarga, kohesi keluarga,

hubungan orang tua dengan anak, hubungan saudara, kondisi sosial

ekonomi, dan lain sebagainya. Fahmi Mustafa (1982:121) mengemukakan

bahwa dalam lingkungan keluarga anak memperoleh sejumlah kebiasaaan

penyesuaian diri yang memungkinkan untuk dapat menyesuaiakan diri

dengan situasi sehari-hari.

2) Pengaruh masyarakat.

Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan

melakukan peranan sosial. Sehingga individu sedikit banyak akan

terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat merupakan

kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri.

15

Pergaulan yang kurang sehat akan mempengaruhi tingkah laku seseorang

dan dapat berpengaruh pada pola-pola penyesuaian diri.

3) Pengaruh sekolah

Sekolah mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola

penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai peran sebagai medium

untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial dan moral siswa,

sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan kemampuan

menyesuaikan diri dalam segala aspek.

e. Culture and religion (budaya dan agama)

1) Pengaruh budaya

Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan watak

dan tingkah laku individu yang diperoleh melalui media pendidikan dalam

keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh

faktor-faktor kebudayaan. Budaya yang sehat dalam suatu lingkungan

masyarakat akan memberikan pengaruh yang baik kepada anggota

masyarakatnya, begitu pula sebaliknya budaya yang tidak sehat akan

mempengaruhi perilaku anggota yang ada di lingkungan tersebut.

2) Pegaruh agama

Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku

yang akan memberikan arti, tujuan, dan kestabilan hidup kepada umat

manusia. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam

mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya kemudian

memberikan suasana tenang dan damai.

16

3. Kematangan dan Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri memiliki hubungan yang erat dengan kematangan

seseorang. Penyesuaian meliputi usaha seseorang dalam menghadapi tuntutan

dalam diri dan lingkungan dengan cara yang efisien dan sehat. Setiap tahapan usia

akan akan memberikan tuntutan-tuntutan yang baru dalam hal fisik, intelektual,

sosial, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Kematangan adalah faktor yang menyuplai

organisme dalam berbagai keterampilan, sikap atau respon yang sesuai untuk

menghadapi semua tuntutan. Kematangan bukanlah satu tolak ukur yang berdiri

sendiri namun ditentukan banyak faktor. Tiga faktor yang paling menentukan

adalah kematangan fisik, kematangan intelektual, dan kematangan emosi.

Kematangan fisik dan intektual merupakan pondasi dasar yang harus dimiliki

individu untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik. Bila individu

terhambat dalam mengembangkan kematangan fisik dan intektual, maka

penyesuaian diri akan sulit dilakukan. Selain dua faktor tersebut kematangan

emosional juga tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan perkembangan seseorang.

a. Kematangan fisik

Meliputi setidaknya pertumbuhan yang normal dalam hal ukuran tinggi dan

berat badan, tingkat kekuatan, keterampilan yang dimiliki, koordinasi organ-organ

tubuh, dan beberapa perkembangan fisiologis yang diperlukan untuk

mempertahankan kesehatan, stamina, dan energi.

b. Kematangan intelektual

Meliputi tingkat perkembangan seseorang yang harus dipenuhi agar ia

mampu untuk mengikuti serangkaian pendidikan melalui proses pembelajaran

17

serta pengalaman. Di samping itu meliputi kemampuan mengeluarkan pendapat

dan mampu melakukan penilaian secara objektif terhadap suatu permasalahan.

Bila salah satu tidak dimiliki individu, maka dapat dikatakan secara pribadi tidak

memiliki kematangan intelektual, namun hanya sebagian kecil dari kematangan

intelektual yang harus dimiliki seseorang, karena manusia manusia melibatkan

berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti emosi, sosial, moral, religi, dan

perekonomian.

c. Kematangan emosi

Kematangan emosional menekankan pada perkembangan individu adekuat

dan bagaimana usaha dalam mengontrol perasaan serta emosi yang ada. Kedua hal

itu merupakan dasar dari penyesuaian diri yang baik. Di sini terlihat hubungan

yang erat antara kematangan emosi dengan penyesuaian diri seseorang. Seseorang

yang memiliki temperamen yang buruk, pencemburu, pembenci, mudah gugup,

pemalu, penakut bisa dikatakan tidak matang secara emosi dan sulit melakukan

penyesuaian diri.

4. Penyesuaian Diri yang Normal

Penyesuaian diri bergerak dalam rentang dengan kontium dari penyesuaian

diri yang normal (well adjusted) ke penyesuaian diri yang menyimpang

(maladjusted). Schneiders (1964:274-276) menyatakan penyesuaian diri

ditekankan pada bagaimana individu dapat tetap dan terus berusaha

menyelaraskan diri dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapi, oleh karena itu

penyesuaian diri mengandung dua proses, yaitu:

18

a. Menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada

b. Mengubah keadaan sesuai dengan keadaan individu

Secara umum idividu yang penyesuaian dirinya normal adalah individu

yang dapat mengatasi konflik, frustasi, dan menyesuikan kesulitan dalam diri

maupun kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan. Schneiders (1964: 274)

mengemukakan individu yang memiliki penyesuaian diri normal adalah individu

yang dapat membentuk respon yang matang, bermanfaat, dan efisien, dan

memuaskan. Efisien disini berarti dalam mencapai keinginan, tidak membuang

banyak energi, waktu, dan melakukan sedikit kesalahan. Maksud bermanfaat

adalah repson individu ditunjukkan pada lingkungan, sehingga orang lain dapat

merasakan manfaatnya.

Penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders memiliki karakteristik

sbb:

a. Absence of excessive emotionality. Penyesuaian diri yang normal; ditandai

tidak ada emosi yang berlebihan dan tidak terdapat gangguan dalam hal emosi.

Individu yang memiliki kontrol emosi yang baik, maka dapat mengatasi situasi

dengan baik. Sebaliknya individu yang kurang tanggap atau terlalu berlebihan

dalam menganggapi sesuatu atau situasi tertentu akan menunjukkan kontrol

emosi yang tidak baik dan mengarah pada penyesuaian diri yang buruk.

b. Absence of psychological mechanism. Penyesuaian diri yang normal ditandai

dengan tidak terdapat mekanisme psikologis yang berlebihan. Artinya,

individu yang dapat memberi reaksi yang wajar terhadap masalah yang

dihadapi. Seorang yang ketika mengahadapi masalah akan melakukan

19

rasionalisasi, proyeksi, dan kompensasi maka, individu tersebut dapat

dikatakan memiliki penyesuaian diri yang buruk.

c. Absence of sense of personal frustration. Penyesuaian diri yang normal

ditandai dengan tidak ada frustasi yang dapat membuat individu mengalami

kesulitan untuk bereasi secara wajar terhadap situasi atau masalah yang

dihadapi.

d. Relation deliberation and self direction. Penyesuaian diri yang normal

ditandai dengan kemampuan untuk berfikir secara rasional untuk dapat

mengarahkan diri dengan baik. Individu yang tidak mampu

mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam

penyesuaian diri

e. Ability to learn. Penyesuaian diri dengan normal ditandai oleh sejumlah

perkembangan yang berkaitan dengan cara individu belajar mengatasi situasi

tanpa menimbulkan konflik, frutasi dan stres. Melalui belajar secara terus

menerus individu akan mengembangkan kualitas diri, terutama dalam

mengahadapi tuntutan hidup sehari-hari

f. Utilization of past experience. Penyesuaian diri dengan normal ditandai oleh

kesediaan individu untuk belajar dari pengalaman, hal ini penting untuk

tercapainya penyesuaian diri yang normal. Jika individu tidak mampu

memanfaatkan pengalaman maka individu akan kesulitan untuk menghadapi

situasi dan kondisi dengan sama.

g. Realistic objective attitude. penyesuaian diri normal ditandai dengan sikap

realistis dan objektif sehingga individu dapat menilai suatu masalah atau

20

kekurangan secara objektif. Kegagalan dalam menilai kualitas diri yang tidak

terlepas dari perasaan curiga akan mempersulit individu dalam bereaksi secara

normal dalam situasi dengan dihadapi.

5. Penyesuaian Diri yang Menyimpang

Schneiders (1964: 289) mengemukakan beberapa respon yang menandai

penyesuaian diri yang menyimpang, antara lain:

a. Defense mecanisms (mekanisme pertahanan diri), yaitu respon yang tidak

disadari yang berkembang dalam struktur kepribadian individu, dan menjadi

menetap sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat

memuaskan tuntutan penyesuaian diri

b. Agresive reaction (reaksi menyerang), yaitu bentuk respon untuk mereduksi

ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku merusak, berkuasa, dan

mendominasi.

c. Withdrawal reaction and flight from reality (reaksi melarikan diri dari

kenyataan), yaitu perlawanan terhadap terhadap tuntutan dan ancaman dari

lingkungan dalam bentuk melarikan diri dari tuntutan dan ancaman tersebut.

d. Flight into ilness (penyesuaian yang bersifat patologis), individu yang

mengalami penyesuaian patologis memerlukan perawatan khusus karena

penyesuaian tersebut bersifat klinis.

Lazarus (1976: 14) mengklasifikasikan karakteristik penyesuaian yang

menyimpang (maladjustment) ke dalam empat kriteria, yaitu:

a. Ketidaknyamanan psikologis, yang ditandai dengan kecemasan yang

berlebih/depresi

21

b. Inefisiensi kognitif, yaitu ketidakmampuan untuk berfikir jernih

c. Ganguan fungsi fisik, seperti gejala-gejala psikosomatis (nafsu makan

berkurang, tekanan darah tinggi, migrain, dan lain sebagainya)

d. Perilaku yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat

6. Penyesuaian Sosial di Sekolah

Penyesuaian sosial siswa di sekolah secara umum diartikan sebagai

kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu

dalam lingkungan sekolah secara efektif dan sehat, sehingga dapat memperoleh

kepuasan dalam upaya memenuhi kebutuhan yang dapat dirasakan diri dan

lingkungan.

Aspek-aspek penyesuaian sosial di sekolah menurut Schneiders (1964:454)

adalah sebagi berikut:

a. Kemampuan melakukan hubungan interpersonal dengan teman, guru baik

guru bidang studi maupun guru pembimbing, wali kelas, dan staf tata usaha,

yang ditandai dengan kemampuan siswa menjalin hubungan tersebut.

b. Kemampuan melaksanakan penyesuaian terhadap tata tertib sekolah yang

ditandai dengan adanya perilaku siswa yang mengarah pada ketaatan terhadap

tata tertib sekolah

c. Partisipasi dalam kegiatan kelompok belajar yang ditandai dengan adanya

partisipasi aktif siswa dalam kegiatan kelompok belajar

d. Berpastipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, yang ditandai dengan adanya

partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

22

B. Konsep Pesantren

1. Pengertian Pesantren

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana pengetahuan-

pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam diharapkan dapat diperoleh

di lingkungan pesantren.

Pondok pesantren merupakan merupakan lembaga pendidikan Islam yang

dilaksanakan dengan sistem asrama atau pondok dengan kyai sebagai sentra

utama dan masjid sebagai pusat lembaganya. (Arifin, 1993: 3). Dalam

melaksanakan fungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pondok pesantren

merupakan sub sistem pendidikan nasional yang tercantum dalam pasal 30 ayat 4

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, yang

menyatakan “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,

pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Berarti, pendidikan

pondok pesantren pada saat ini sama dan sejajar dengan pendidikan formal

lainnya. Oleh sebab itu tidak mengherankan ketika pondok pesantren saat ini

bersentuhan dengan madrasah/sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi

(Mahpuddin Noor: 2006: 4).

Jamali (Fitri Faridah 2005: 61) mengemukakan definisi pesantren sebagai

berikut: Kata ”pesantren” merupakan kata benda bentukan dari ”santri” yang

mendapat awalan ”pe” dan akhiran”-an”, sehingga menjadi bentukan baru

”pesantrian” (orang jawa mengucapkannya ”pesantren”). Dengan demikian

pesantren adalah sebuah tempat di mana para santri menginap dan menuntut ilmu.

23

Syarif (Arifin, 1993:3) mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan

Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama, dengan kyai sebagai sentra utama

dan masjid sebagai pusat lembaga.

Menurut Abdurrahman Wahid (Fitri Faridah 2005: 61) pondok pesantren

merupakan suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Terdapat tiga elemen

penting yang membentuk suatu pondok pesantren, yaitu 1) pola kepemimpinan

yang mandiri; 2) kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad;

3) sistem nilai yang digunakan yang merupakan bagian dari masyarakat luas.

2. Unsur-Unsur Dasar Pesantren

Menurut Dhofier (Arifin, 1993: 5) terdapat lima unsur yang harus ada untuk

memahami keaslian suatu pondok pesantren. Kelima unsur tersebut antara lain:

a. Kyai

Sebutan kyai diberikan kepada pendiri atau pimpinan pondok pesantren, yang

sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidup untuk Allah serta

menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran Islam melalui kegiatan

pendidikan. (Arifin, 1993: 14). Kyai merupakan elemen yang esensial dari suatu

pesantren. Horikosih (Arifin, 1993: 14) menganggap bahwa fungsi keulamaan

kyai dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut: 1) sebagai pemangku masjid dan

madrasah, 2) sebagai pengajar dan pendidik, 3) sebagai ahli hukum Islam. Misi

utama dari kyai adalah sebagai pendidik dan penganjur dakwah Islam dengan

baik. Kyai juga mengambil peran lanjut dari orangtua. Kyai merupakan guru

sekaligus pemimpin rohaniah keagamaan serta bertanggung jawab untuk

perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmani anak didiknya.

24

b. Santri

Siradj (Arifin, 1993: 12-13) mengartikan santri sebagai sebutan bagi

siswa yang mendalami agama di pesantren. Kata ”santri” berasal dari kata

”chantrik”, yang berarti orang yang sedang belajar kepada guru. Kemudian bahasa

itu diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi ”santri”

Dhofier (Arifin, 1993: 12-13) membagi santri menjadi dua kelompok sesuai

dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:

1) Santri mukim, santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang

jauh dan menetap dalam kelompok. Santri mukim yang paling lama tinggal di

pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang bertanggung

jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga bertanggung

jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

2) Santri kalong, santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa di

sekeliling pesantren, dan biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk

mengikuti pelajaran di pesantren, santri kalong biasanya pulang pergi dari

rumah masing-masing.

Sementara Arifin (1993:13) mengemukakan bentuk lain dari kelompok

santri yaitu:

1) Santri alumnus, yaitu santri yang sudah tidak aktif dalam kegiatan pesantren,

namun masih sering datang pada acara-acara insidental yang diadakan

pesantren. Mereka masih memiliki komitmen hubungan dengan pesantren,

terutama dengan kyai pesantren.

25

2) Santri luar, yaitu santri yang tidak terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak

mengikuti kegiatan di pesantren sebagaimana santri mukim dan santri kalong,

tetapi mereka memiliki hubungan yang dekat dengan kyai, sewaktu-waktu

mereka bisa mengikuti pengajian-pengajian agama yang diberikan oleh kyai.

c. Pondok

Dhofier (Arifin, 1993:6) mendefinisikan pondok sebagai sebuah asrama

pendidikan Islam tradisional dimana para siswa (santri) tinggal bersama di bawah

bimbingan guru atau lebih dikenal dengan sebutan ”kyai”. Setiap pondok

pesantren biasanya memiliki asrama untuk tempat tinggal para santri. Biasanya

asrama ini terdiri dari kamar-kamar yang disediakan oleh pesantren untuk tempat

tinggal para santri selama belajar di pesantren. Beberapa pesantren yang

menerima santri putra dan santri putri akan memisahkan asrama berdasarkan jenis

kelamin dengan peraturan yang ketat.

d. Masjid

Sejak jaman nabi Muhammad SAW. masjid sudah dijadikan sebagai pusat

pendidikan Islam. Begitu juga dengan pesantren, masjid merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga

dijadikan pusat kegiatan pendidikan dan bimbingan oleh kyai terhadap santri-

santrinya. Kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di dalam masjid

antara lain, kegiatan mengaji kitab, praktek ibadah shalat, majlis ta’lim dan lain

sebagainya.

e. Pengajaran kitab-kitab klasik

26

Pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan

tujuan utama pesantren, yaitu mencetak calon-calon ulama yang setia kepada

paham Islam. Pada pesantren-pesantren tradisional (salaf) pendekatan melalui

sistem sorogan dengan pengajaran kitab-kitab kuning merupakan suatu hal yang

rutin.

Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak bermunculan

pesantren-pesantren modern, yaitu tipe pondok pesantren yang memasukkan

unsur-unsur di luar pesantren menjadi bagian dari pesantren. Kurikulum yang

digunakan memadukan antara kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang

dibuat pesantren. Selain itu kegiatan ekstrakurikuler para siswa lebih beragam,

bidang ektrakurikuler tersebut diantaranya seni, olahraga, dan keterampilan-

keterampilan yang ditujukan untuk perkembangan para santri.

3. Pola-Pola Pondok Pesantren

Hasil penelitian LP3ES (Arifin, 19993:7) menemukan 5 macam pola fisik

pondok pesantren yaitu:

a. Pola pertama. Terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pondok pesantren semacam

ini masih bersifat sederhana, dimana kyai mempergunakan masjid atau

rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pondok pesantren tipe ini

santri hanya datang dari darah sekitar pesantren itu sendiri.

b. Pola kedua. Terdiri dari masjid, rumah kyai dan pondok (asrama) untuk

tempat menginap para santri yang datang dari daerah yang cukup jauh.

27

c. Pola ketiga. Terdiri dari masjid, rumah kyai dan pondok (asrama) dengan

sistem wetonan dan sorogan, pondok pesantren tipe ketiga ini telah

menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah.

d. Pola keempat. Pondok pesantren tipe keempat ini selain memiliki komponen-

komponen fisik seperti poal ketiga, juga memiliki tempat untuk pendidikan

keterampilan seperti kerajinan, perbengkelan, toko koperasi, sawah, ladang,

dan sebagainya.

e. Pola kelima. Dalam pola ini pondok pesantren telah berkembang dan bisa

disebut pondok pesantren modern atau pondok pesantren pembangunan. Di

samping masjid, rumah kyai/ustadz, pondok (asrama), madrasah dan atau

sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lainnya lain seperti: (1)

perpustakaan, (2) dapur umum, (3) ruang makan, (4) kantor administrasi, (5)

toko, (6) rumah penginapan tamu, (7) ruang operasional lainnya.

4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem

sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau

wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap

murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau

pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-

murid yang telah menguasai pembacaan Al-qur’an dan kenyataan merupakan

bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan

dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan

28

ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Mahpuddin

Noor, 2006:43).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem

bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan

seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam

dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah

yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru

(Mahpuddin Noor, 2006:43). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren

tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu

pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren

tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan

pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok

pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan

secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal seperti madrasah.

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk

menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini

pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka

renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan

yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk mulai akrab dengan metodologi

ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, kegiatan di

pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat

pengembangan masyarakat (Mahpuddin Noor, 2006:89 )

29

5. Karakteristik Santri

Santri merupakan sebutan bagi siswa yang belajar mendalami agama di

pesantren (Arifin, 1993:11). Para santri tinggal di asrama yang telah disediakan

oleh pesantren. Di lingkungan pesantren santri dibiasakan untuk hidup mandiri

mereka mengurusi segala keperluan mereka sendiri. Mulai dari menyuci pakaian

sendiri, memasak, dan mengurusi diri mereka sendiri. Namun seiring dengan

perkembangan zaman pesantren mulai menyediakan makanan untuk santri,

menyediakan laundry dan berbagai fasilitas untuk kemudahan santri. Santri

memiliki cara hidup yang sederhana, mereka dibekali nilai-nilai keagamaan

seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong-menolong), ittihad (persatuan),

menuntut ilmu, ikhlas, jihad, taat kepada Allah, Rasul, ulama atau kyai sebagai

pewaris nabi, dan kepada para pemimpin. Para santri memiliki iklim sosial yang

sama derajatnya dan saling membantu, mereka memiliki solidaritas yang tinggi

karena sama-sama merasa jauh dari keluarga.

6. Potensi dan Masalah yang Dimiliki Santri

Sistem pendidikan yang dimiliki pondok pesantren yang tidak hanya

mengedepankan sisi intelektual tetapi juga akhlak membuat para santri memiliki

potensi positif yang harus terus dikembangkan, diantaranya a) para santri dibekali

ilmu agama yang cukup banyak sehingga mereka memiliki pemahaman

keagamaan yang baik, b) para santri memiliki penyesuaian diri yang positif dan

mengundang kekaguman sebagian besar masyarakat karena mereka mampu

menempatkan diri pada situasi yang betul-betul dibutuhkan masyarakat, c) para

santri memiliki disiplin yang baik karena selama hidup di pesantren santri harus

30

menaati peraturan dan jadwal kegitan sehari-hari yang telah ditentukan oleh

pondok pesantren. d) para santri memiliki kemadirian yang lebih baik karena

mereka dilatih untuk dapat mengurusi kebutuhan mereka sendiri. e) para santri

memiliki sopan santun dalam bergaul terutama kepada orang yang lebih dewasa

dan patuh terhadap pimpinan pondok dan para ustadz. f) para santri memiliki

kreatifitas, terutama para santri yang berasal dari pondok modern mereka

diberikan kebebasan berekspresi selama tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Selain potensi yang dimiliki, para santri juga tidak lepas dari berbagai

masalah yang dihadapi, diantaranya a) tidak tahan dengan disiplin pondok

pesantren yang telalu ketat, a) merasa jenuh dengan aktifitas di pondok pesantren,

c) konflik dengan teman atau dengan ustadz, d) tidak betah e) tidak mampu

membayar biaya sekolah dan asrama e) sering sakit, dan lain sebagainya (Arifin,

1993:11.

C. Bimbingan dan Konseling Pribadi Sosial untuk Penyesuaian Sosial Santri

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan menurut Uman Suherman (2007:10) merupakan proses

bantuan kepada individu (konseli) sebagai bagian dari program pendidikan yang

dilakukan oleh tenaga ahli (konselor) agar individu (konseli) mampu memahami

dan mengembangkan potensinya sesuai dengan tuntutan lingkungannya.

Konseling menurut Uman Suherman (2007:16) merupakan salah satu

hubungan yang bersifat membantu konseli agar dapat tumbuh ke arah yang

dipilihnya agar dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

31

Bimbingan dan Konseling menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006):

Merupakan suatu proses yang berkesinambungan bukan suatu kegiatan yang

seketika atau kebetulan yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada peserta

didik dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau mengambil keputusan

sehingga peserta didik mampu mengenal dan memahami diri; berani menerima

kenyataan secara objektif; mengarahkan diri sesuai dengan kemampuan,

kesempatan dan sistem nilai; melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas

tanggung jawab sendiri.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling

Tujuan konseling menurut Shertzer & Stone (Uman Suherman, 2007:

14-16) yaitu :

a. Adanya perubahan perilaku

b. Kesehatan mental

c. Pemecahan masalah

d. Keefektifan pribadi

e. Pengambilan keputusan

Tujuan bimbingan dan konseling menurut Uman Suherman (2007:16) agar

individu (konseli) mampu memahami dan mengembangkan potensinya secara

optimal sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Tujuan bimbingan dan konseling

tersebut dijabarkan agar individu dapat :

1) memahami dan menerima diri secara obyektif dan konstruktif, baik yang

terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis

32

2) memahami tentang kondisi, tuntutan dan irama kehidupan lingkungan yang

fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu

meresponnya secara positif sesuai dengan norma pribadi, sosial, dan ajaran

agama yang dianut

3) merencanakan aktivitas penyelesaian studi, perencanaan karir serta

kehidupannya di masa yang akan datang

4) mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan

kekuatan lingkungan secara optimal

5) menyesuaikan diri, baik dengan tuntutan lingkungan pendidikan, masyarakat,

pekerjaan, serta agama yang dianutnya

6) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapinya dalam studi, penyesuaian

dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, pekerjaan maupun dalam

melakukan penghambaan kepada Tuhan-Nya.

Menurut Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

dalam Jalur Pendidikan Formal, tujuan bimbingan dan konseling agar konseli

dapat :

a) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta

kehidupannya di masa yang akan datang

b) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal

mungkin

c) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat dan lingkungan

kerjanya

33

d) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian

dengan lingkungan pendidikan, masyarakat maupun lingkungan kerja

Tujuan khusus dari layanan bimbingan dan konseling menurut Dewa Ketut

Sukardi (2008:44) adalah untuk membantu para siswa agar dapat mencapai tugas-

tugas perkembangan meliputi aspek pribadi-sosial, belajar, dan karier.

3. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:16-17) sejalan dengan Rambu-

rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan

Formal, fungsi bimbingan dan konseling, sebagai berikut:

a. Pemahaman, yaitu membantu peserta didik (siswa) agar memiliki pemahman

terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan

norma agama), sehingga dapat mengembangkan potensi secara optimal dan

menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai

masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegah supaya peserta

didik tidak mengalaminya.

c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya menciptakan lingkungan

belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor

bekerjasama dengan para personil sekolah lainnya dalam melaksanakan

program bimbingan dan konseling agar siswa mampu mencapai tugas-tugas

perkembangannya.

34

d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif yang

memberikan bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah baik

menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar maupun karir.

e. Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa memilih kegiatan

ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan

karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahliandan ciri-ciri

kepribadian lainnya.

f. Adaptasi, yaitu fungsi membantu konselor, guru atau dosen untuk

mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan,

minat, kemampuan dan kebutuhan individu (siswa).

g. Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar

dapat menyesuaikan diri terhadap program pendidikan, peraturan sekolah atau

norma agama.

4. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling

Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:17-19) sejalan dengan Rambu-

rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan

Formal, prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, sebagai berikut:

a. Bimbingan diperuntukkan bagi semua individu (guidance is for all

individuals), artinya bimbingan diberikan kepada semua individu (siswa), baik

yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria ataupun wanita;

baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.

35

b. Bimbingan bersifat individualisasi, membantu individu memaksimalkan

potensinya sebagai individu yang unik yang berfokus pada individu meskipun

bimbingannya menggunakan teknik kelompok.

c. Bimbingan menekankan hal yang positif, meluruskan persepsi negatif siswa

terhadap bimbingan dan konseling. Karena bimbingan sebenarnya merupakan

proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan

merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri

sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.

d. Bimbingan merupakan usaha bersama, dimana konselor tidak bekerja

sendirian saja, tapi harus dapat bekerjasama dengan para personil sekolah

lainnya.

e. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan,

bimbingan diarahkan untuk membantu individu agar dapat melakukan pilihan

dan mengambil keputusan.

f. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan, tidak

hanya berlangsung di sekolah tetapi juga di lingkungan keluarga,

perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat

pada umumnya.

5. Asas Bimbingan dan Konseling

Keberhasilan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh

diwujudkannya asas-asas yang ada. Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:22-

24) asas-asas bimbingan dan konseling, sebagai berikut:

36

a. Rahasia, yaitu menjaga data atau keterangan mengenai peserta didik yang

menjadi sasaran layanan sehingga tidak diketahui oleh orang lain.

b. Sukarela, yaitu adanya kesukaan atau kerelaan peserta didik (konseli)

mengikuti/menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan baginya.

c. Terbuka, yaitu menghendaki adanya keterbukaan dan tidak berpura-pura dari

peserta didik (konseli) ketika memberikan keterangan atau informasi baik

mengenai dirinya ataupun orang lain.

d. Kegiatan, yaitu menghendaki agar konseli ikut berpartisipasi dalam

penyelenggaraan kegiatan bimbingan

e. Mandiri, yaitu mengarahkan individu (konseli) agar dapat mandiri dalam

mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

f. Kini, yaitu menghendaki adanya permasalahan konseli dalam kondisinya

sekarang. Kondisi konseli masa depan ataupun masa lampau dilihat sebagai

dampak dan atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat

sekarang.

g. Dinamis, menghendaki agar layanan bimbingan yang diberikan kepada konseli

selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta

berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan konseli dari

waktu ke waktu.

h. Terpadu, adanya koordinasi yang dilakukan oleh konselor baik dengan

konselor lainnya ataupun dengan personil sekolah lainnya.

i. Harmonis, kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma dan nilai

yang ada, tidak boleh bertentangan satu sama lainnya.

37

j. Ahli, penyelenggaraan bimbingan dan konseling didasarkan atas dasar kaidah-

kaidah profesional.

k. Alih Tangan Kasus (Referal), menghendaki agar pihak-pihak yang tidak

mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan

tuntas atas suatu permasalahan konseli mengalihtangankan permasalahan

kepada pihak yang lebih ahli.

l. Tut Wuri Handayani, menghendaki kegiatan bimbingan dan konseling dapat

menciptakan suasana yang memberikan rasa aman (mengayomi),

mengembangkan keteladanan, memberikan rangsangan dan dorongan serta

kesempatan kepada peserta didik agar maju.

D. Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Penyesuaian Sosial

Santri

Bimbingan sosial-pribadi membantu peserta didik dalam mengahadapi dan

mengatasi masalah-masalah sosial-pribadi, seperti masalah pergaulan,

penyelesaian konflik, dan penyesuaian diri (Juntika Nurihsan, 2006:14)

Bimbingan sosial-pribadi merupakan upaya pengembangan kemampuan

peserta didik untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah sosial pribadi

dengan cara menciptkan lingkungan interaksi pendidikan yang kondusif,

mengembangkan sistem pemahaman diri, dan sikap-sikap positif, serta dengan

mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial-pribadi. (Syamsu Yusuf:

2005:12)

38

Dewa Ketut Sukardi (2008: 53) mengartikan bimbingan dan konseling

pribadi sosial sebagai upaya membantu siswa untuk mengembangkan pribadi yang

beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri serta

sehat jasmani dan rohani.

Bimbingan sosial-pribadi diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan

mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah

dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian

pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi

serta ragam permasalahan yang dialami individu. Bimbingan pribadi-sosial

diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi

pendidikan yang akrab, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikap-sikap

yang positif, serta keterampilan-keterampilan pribadi-sosial yang tepat

Tujuan dari bimbingan dan konseling pribadi sosial ialah agar individu

dapat:

1. Memahami tentang kondisi, tuntutan dan irama kehidupan lingkungan yang

fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu

meresponnya secara positif sesuai dengan norma pribadi, sosial, dan ajaran

agama yang dianut.

2. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai keimanan dan

ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dalam kehidupan pribadi,

keluarga, pertemanan, sekolah, tempat bekerja maupun kehidupan masyarakat

pada umumnya.

39

3. Memiliki sikap toleransi terhadap orang lain dan saling menghormati dan

memelihara hak dan kewajiban masing-masing.

4. Memiliki sikap respek terhadap orang lain, menghargai dan menghormati

orang lain, serta tidak melecehkan harkat, martabat dan harga diri orang lain.

5. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara positif, objektif dan

konstruktif, baik yang berkaitan dengan keunggulan maupun kelemahan, baik

fisik maupun psikis.

6. Memiliki kemampuan pilihan dan membuat keputusan secara sehat dan

efektif.

7. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang diwujudkan dalam bentuk

persahabatan, persaudaraan, atau silaturahmi dengan sesama manusia.

8. Memiliki kemampuan interpersonal, baik dalam menyelesaikan konflik yang

bersifat internal maupun dengan orang lain.