perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/skripsi zainal.docx · Web...
Transcript of perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/skripsi zainal.docx · Web...
43
PERBANDINGAN PENGGUNAAN PAC DAN ALUM SEBAGAI KOAGULAN PADA AIR LIMBAH INDUSTRI PT NALCO INDONESIA
SKRIPSI
Disusun Oleh :
ZAENAL ABIDIN
062108025
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
B O G O R
2012
PERBANDINGAN PENGGUNAAN PAC DAN ALUM SEBAGAI KOAGULAN PADA AIR LIMBAH INDUSTRI PT NALCO INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains,
Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Pakuan Bogor
Disusun Oleh :
ZAENAL ADIBIN
062108025
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
B O G O R
2012
Zaenal Abidin. 062108025. 2012. COMPARISON OF COAGULAN PAC AND ALUM AS A INDUSTRIAL WASTE WATER IN PT NALCO INDONESIA. Under the guidance of Dra. Ani Iryani, M.Si. and Ade Heri Mulyati, M.Si.
SUMMARY
Waste is the residue of an activity or the production process that can make the environment damaged, dangerous, and pollutied because of its nature and concentration. An important step in waste water treatment to produce clean water is the process of coagulation by the addition of coagulant. The jar test can be done to determine the optimum dose of waste water coagulation proces. The study was conducted to determine the ability of the PAC and Alum coagulants in treating waste of PT. Nalco Indonesia with several parameters such as turbidity, pH, COD, TDS, and TSS.
The waste water sample is introduced into 4 cups of 1 litre each. Then coagulants with various concentrations of PAC, namely, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm are added to cups. The same action was also performed by adding the coagulant of alum with the same concentration. The jar test equipment is operated at the speed of 100 rpm for 1 minute (coagulation process) followed by slow stirring at 40 rpm for 10 min (flocculation process). After this the stirring was stopped for 10 minutes to make the flock settle (sedimentation). The sample of water from the jar test result are tested according to the parameter of turbidity, pH, COD, TDS and TSS.
The waste water of PT. Nalco Indonesia before jar test exceeds the quality standard of parameters except for the TDS. After the test of jar test waste water of PT. Nalco Indonesia has met the quality standard of parameters except COD. The production cost of PAC in the dose of 2.500 ppm is more efficient than the dose of 3.000 ppm of alum per month in the 30.000 Liters of waste water discharge. The use of PAC coagulant is 500 ppm less than alum and it is more economical because it can save Rp. 345.000,- per month.
Key words: liquid waste, Jar Test, Coagulation, PAC, Alum.
Zaenal Abidin. 062108025. 2012. PERBANDINGAN PENGGUNAAN PAC DAN ALUM SEBAGAI KOAGULAN PADA AIR LIMBAH INDUSTRI PT NALCO INDONESIA. Dibimbing oleh Dra. Ani Iryani, M.Si. dan Ade Heri Mulyati, M.Si.
RINGKASAN
Limbah merupakan bahan sisa pada suatu kegiatan atau proses produksi karena sifat, konsentrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, membahayakan, dan mencemarkan lingkungan hidup. Langkah penting dalam pengolahan air limbah untuk menghasilkan air bersih yaitu dengan proses koagulasi dengan penambahan koagulan. Untuk menentukan dosis optimum proses koagulasi dari air limbah dapat dilakukan uji Jar Test. Penelitian dilakukan untuk menentukan kemampuan dari koagulan PAC dan Alum dalam mengolah limbah PT. Nalco Indonesia dengan beberapa parameter seperti kekeruhan, pH, COD, TDS, dan TSS.
Sampel air limbah dimasukkan ke dalam 4 piala gelas masing-masing sebanyak 1 liter. Kemudian diberikan koagulan PAC dengan ragam konsentrasi yaitu, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm. Dilakukan juga terhadap koagulan Alum dengan konsentrasi yang sama. Alat uji jar dioperasikan dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit (proses koagulasi) kemudian dilanjutkan dengan pengadukan lambat dengan kecepatan 40 rpm selama 10 menit (proses flokulasi), setelah itu pengadukan dihentikan selama 10 menit untuk pengendapan flok (proses sedimentasi). Selanjutnya sampel air hasil jar test dari setiap gelas piala dilakukan pengujian dilakukan terhadap kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS.
Air Limbah PT. Nalco Indonesia sebelum diuji jar test telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan kecuali pada parameter TDS, dan setelah dilakukan uji jar test air limbah PT. Nalco Indonesia telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan kecuali pada parameter COD. Koagulan PAC lebih efisien dibandingkan dengan alum dengan selisih 500 ppm dan dari segi ekonomi PAC lebih unggul dari alum dengan biaya produksi perbulan dengan dosis PAC 2500 ppm dan dosis alum 3000 ppm dengan debit air limbah 30.000 Liter memiliki selisih sebesar Rp. 345.000.
Kata Kunci : Limbah cair, Jar Test, Koagulasi, PAC, Alum.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Perbandingan Penggunaan Polyaluminium Chlorida (PAC) dengan Aluminium Sulfat (Alum) Sebagai Koagulan Pada Air Limbah Industri PT Nalco Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains, Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua dan adik-adikku yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya serta memberikan dorongan materil dan moril, harapan serta doanya.
2. Ibu Dr. Prasetyorini selaku Dekan FMIPA Universitas Pakuan Bogor.
3. Bapak Drs. Husain Nashrianto, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia FMIPA.
4. Ibu Ade Heri Mulyati, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Kimia FMIPA, Universitas Pakuan dan sekaligus pembimbing 2 yang selalu memberikan masukan dan saran dalam pembuatan makalah ini.
5. Ibu Dra. Ani Iryani, M.Si. selaku pembimbing 1 yang telah berkenan membimbing dan memberikan masukan dan saran dalam proses pembuatan makalah ini.
6. Seluruh Dosen dan staff sekretariat FMIPA Universitas Pakuan Bogor.
7. Bapak Iwan Kurniawan S.Si, selaku Kepala Laboratorium QC PT. Nalco Indonesia yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.
8. Teman-teman kimia angkatan 2008 yang selama ini selalu bersama, semoga persahabatan kita tetap terjaga (Dea, Oskar, Amen, Shelvi, Novi, Siska, Tiar, Retno, Dharma, agung, Desi, Anggun, Kania, dan Grya).
9. Semua yang turut serta dalam terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor , Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISIiii
DAFTAR TABELv
DAFTAR GAMBARvi
DAFTAR LAMPIRANvii
BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Tujuan2
1.3 Manfaat Penelitian2
1.4 Hipotesis2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA3
2.1 Limbah3
2.2 Karakteritik Limbah3
2.3 Proses Pengolahan Limbah cair di PT Nalco Indonesia4
2.4 Koagulasi5
2.4.1 Koagulan6
2.5.2 Mekanisme Koagulasi7
2.5 Jar Test10
2.6 Parameter Air Limbah11
2.6.1 Kekeruhan11
2.6.2 pH11
2.6.3 COD11
2.6.4 TDS12
2.6.5 TSS12
2.7 Turbidimeter13
2.8 Spektrofotometri13
BAB III METODE PENELITIAN16
3.1Tempat dan Waktu Penelitian16
3.2 Bahan dan Alat16
3.2.1 Bahan16
3.2.2 Alat16
3.3 Metode Penelitian16
3.3.1 Teknik Jar Test17
3.3.2 Penetapan Kekeruhan17
3.3.3 Penetapan pH17
3.3.4 Pengukuran COD18
3.3.5 Pengukuran TDS18
3.3.6 Pengukuran TSS18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN20
4.1Hubungan Dosis Koagulan Dengan Kekeruhan20
4.2Hubungan Dosis Koagulan Dengan pH21
4.3Hubungan Dosis Koagulan Dengan COD22
4.4Hubungan Dosis Koagulan Dengan TDS 23
4.5Hubungan Dosis Koagulan Dengan TSS24
4.6Data Hasil Keseluruhan25
4.6 Biaya Produksi26
BAB V KESIMPULAN27
5.1 Kesimpulan27
5.2 Saran27
DAFTAR PUSTAKA28
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas3
Tabel 2. Sifat-sifat Biologi, Kimia, dan Fisik Air Limbah4
Tabel 3. Karakteristik Alum Koagulan PAC dan Alum6
Tabel 4. Karakteristik Alum10
Tabel 5. Analisis Air Limbah Pada Berbagai Dosis Koagulan25
Tabel 6. Biaya Produksi26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Netralisasi Muatan Setelah Penambahan Koagulan8
Gambar 2. Intensitas Cahaya Yang Melewati Suatu Larutan15
Gambar 3. Hubungan Dosis Koagulan Dengan Kekeruhan20
Gambar 4. Hubungan Dosis Koagulan Dengan pH21
Gambar 5. Hubungan Dosis Koagulan Dengan COD22
Gambar 6. Hubungan Dosis Koagulan Dengan TDS23
Gambar 7. Hubungan Dosis Koagulan Dengan TSS24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Baku Mutu Air Limbah30
Lampiran 2. Diagram alir Penelitian31
Lampiran 3. Diagram Alir Uji Jar Test32
Lampiran 4. Pengukuran Kekeruhan33
Lampiran 5. Pengukuran pH34
Lampiran 6. Pengukuran COD35
Lampiran 7. Pengukuran TDS36
Lampiran 8. Pengukuran TSS37
Lampiran 9. Data Pengukuran Kekeruhan38
Lampiran 10. Data Pengukuran pH39
Lampiran 11. Data Pengukuran COD40
Lampiran 12. Data Pengukuran TDS41
Lampiran 13. Data Pengukuran TSS42
Lampiran 14. Perhitungan Biaya Produksi43
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara berkembang yang selalu melakukan pembangunan di berbagai bidang, salah satunya adalah pembangunan di bidang industri. Meningkatnya pertumbuhan di bidang industri, maka kebutuhan akan air bersih menjadi hal yang sangat penting baik sebagai sumber untuk proses produksi maupun untuk kebutuhan domestik. Saat ini keberadaan air bersih semakin sulit, sehingga air limbah dari proses produksi harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan bebas atau dapat digunakan kembali untuk proses produksi. Air limbah yang dihasilkan pada umumnya mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya, maka perlu adanya pengolahan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan sehingga dapat memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan.
Salah satu langkah penting dalam pengolahan air limbah untuk mendapatkan air bersih adalah dengan menghilangkan kekeruhan dari air limbah tersebut. Kekeruhan disebabkan karena adanya partikel kecil dan koloid yang berukuran 10 nanometer sampai 10 mikrometer. Partikel-partikel tersebut adalah kuarsa,bahan organik dan bahan mineral. Kekeruhan dapat dihilangkan dengan proses koagulasi dengan penambahan koagulan Poly Alumunium Chlorida (PAC) atau Alumunium Sulfat (Alum).
Secara teoritis partikel-partikel halus yang menyebabkan kekeruhan itu dapat diendapkan dengan cara biasa (tanpa penambahan koagulan), tetapi cara tersebut memakan waktu yang cukup lama, sehingga tidak mungkin dilakukan produksi secara besar-besaran. Agar partikel-partikel kecil dapat digumpalkan secara singkat maka salah satu cara dengan pembubuhan koagulan PAC atau Alum (Sumarni,1988).
Penentuan dosis optimum pada proses koagulasi dan flokulasi dari air limbah dapat dilakukan Jar Test. Jar Test pada air baku di laboratorium dapat dilakukan dengan cara pembubuhan PAC dan Alum dengan konsentrasi yang berbeda-beda, sehingga dapat memberikan perbedaan dosis PAC dan Alum
1
sehingga dosis optimum dalam proses koagulasi air limbah dapat diketahui. Hasil Jar Test dapat ditentukan melalui pengujian kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk menentukan kemampuan koagulan PAC dan Alum dalam mengolah limbah PT. Nalco Indonesia dengan beberapa parameter seperti kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dosis optimum koagulan sehingga dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak yang memanfaatkan serta mengelola pengolahan limbah cair.
1.4 Hipotesis
Koagulan PAC dan Alum dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah cair PT. Nalco Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah
Berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 pasal 1, limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan atau proses produksi karena sifat, konsentrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, membahayakan, dan mencemarkan lingkungan hidup, sedangkan menurut Sutopo (1991), limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga) yang kehadirannya tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas limbah yaitu, volume limbah, kandungan bahan pencemar dan frekuensi pembuangan limbah. Air limbah adalah air terpolusi, sifat-sifat air telah mengalami penyimpangan dari keadaan normal akibat adanya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil aktivitas manusia dan memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan, sehingga air tidak dapat digunakan secara maksimal.
Berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2001, Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Tabel 1. Kriteria Mutu Air Limbah Berdasarkan Kelas
Parameter
Unit
Standar
I
II
Kekeruhan
ppm
5
20
pH
-
6
9
COD
ppm
100
300
TDS
ppm
2000
4000
TSS
ppm
-
60
2.2 Karakteristik Limbah
Perencanaan suatu unit pengolahan air buangan perlu mengetahui karakteristiknya baik kualitas maupun kuantitasnya, juga untuk kualitas air buangan yang memenuhi syarat untuk dapat dibuang sehingga dapat meminimalisasi biaya peralatan dan operasi suatu unit pengolahan limbah cair.
3
Berdasarkan sumber asalnya, limbah industri dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu biologi, kimia, dan fisika.
Tabel 2. Sifat-sifat Biologi, Kimia, dan Fisik Air Limbah serta sumber asalnya
Sifat-sifat air limbah
Sumber asal air limbah
Kandungan biologis :
Binatang
Tumbuh-tumbuhan
Protista
Virus
Saluran terbuka dan bangunan pengolahan.
Saluran terbuka dan bangunan pengolahan.
Air limbah rumah tangga dan bangunan pengolahan.
Air limbah rumah tangga.
Kandungan bahan kimia:
Organik ;
Karbohidrat
Minyak, lemak, gemuk
Pestisida
Fenol
Protein
Detergen
Lain-lain
Anorganik :
Kesadahan
Klorida
Logam berat
Nitrogen
Fosfor
Belerang
Bahan-bahan beracun
Air limbah rumah tangga, perdagangan serta limbah industri.
Air limbah rumah tangga, perdagangan serta limbah industri.
Air limbah pertanian.
Air limbah industri.
Air limbah rumah tangga, perdagangan.
Air limbah rumah tangga, industri.
Bangkai bahan organik alamiah.
Air limbah dan air minum rumah tangga serta rembesan air tanah.
Air limbah dan air minum rumah tangga, rembesan air dan pelunak air.
Air limbah industri.
Air limbah rumah tangga dan pertanian.
Air limbah rumah tangga dan industri serta pelimpahan air hujan.
Air limbah dan air minum rumah tangga serta air limbah industri.
Air limbah industri.
Sifat Fisik :
Warna
Bau
Endapan
Temperatur
Air buangan rumah tangga dan industri serta bangkai benda organik.
Pembusukan air limbah dan limbah industri.
Penyediaan air minum, air limbah rumah tangga dan industri, erosi tanah, aliran air rembesan.
Air limbah rumah tangga dan industri.
Sumber : Metcalf dan Eddy, 1981
2.3 Proses Pengolahan Limbah Cair di PT Nalco Indonesia
Proses pengolahan limbah PT Nalco Indonesia secara garis besar dibagi dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap Pendahuluan
Limbah yang berasal dari laboratorium, air cucian produksi, dan drum bekas pakai ditampung dalam bak penampung yang berukuran 20 m3. Hal ini dimaksudkan untuk menghomogenkan dan menyamakan debit limbah yang masuk ke dalam bak sedimentasi.
2. Proses Sedimentasi
Limbah yang berasal dari bak penampung dialirkan menuju bak sedimentasi tangki flokulan yang berukuran 30 m3. Proses pada bak sedimentasi ini terjadi proses koagulasi flokulasi, kemudian lumpur dibawa ke filter press yang bertujuan untuk mengurangi kadar air, selanjutnya dilakukan pencampuran dengan senyawa polimer untuk memperoleh lumpur yang lebih padat dan stabil, kemudian dikeringkan dalam dryer container.
3. Proses Biologis
Limbah yang tidak terendapkan pada proses sedimentasi dialirkan menuju anaerobik pond. Proses ini dilakukan dengan bantuan mikroorganisme pada kondisi tanpa udara. Proses pada tahap ini, limbah mengalami proses pengolahan secara aerob, bakteri ditumbuhkan dalam bak aerasi sehingga bakteri dan air limbah bercampur dengan udara.
4. Proses Lanjutan
Limbah pada proses biologis diolah kembali dengan penambahan senyawa polimer agar bahan organik terlarut dan bakteri berbahaya dapat terendapkan.
2.4 Koagulasi
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan dalam bentuk koloid yang terdapat pada limbah, dengan menambahkan koagulan. Proses koagulasi menyebabkan partikel-partikel koloid akan saling tarik menarik dan menggumpal membentuk flok (Karamah EF, 1998). Menurut pendapat lain, koagulasi adalah proses kerusakan kestabilan oleh penambahan koagulan yang diikuti dengan pengadukan secara cepat untuk menetralkan muatan koloid dan menggumpal membentuk endapan berukuran besar. Sifat koloid yang terdispersi dalam air disebabkan koloid memiliki sifat kestabilan. Kestabilan koloid ini dipengaruhi oleh dua gaya, yaitu gaya tarik menarik antar partikel yang disebut gaya Van der Waals dan gaya tolak menolak yang disebabkan oleh tumpang tindihnya lapisan ganda listrik yang bermuatan sama. Gaya tarik menarik cenderung membentuk agregat sedangkan gaya tolak menolak akan menyebabkan timbulnya kestabilan dispersi koloid. Sifat kestabilan koloid dapat dihilangkan dengan menambahkan sejumlah tertentu koagulan yang muatan elektrolitnya berlawanan dengan muatan koloid (Sutopo,1991).
2.4.1 Koagulan
Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel sehingga membentuk flok atau gumpalan. Koagulan dapat bersifat asam, basa atau garam dengan bobot jenis rendah (Hammer, 1986).
Ada 2 jenis bahan kimia koagulan yang umum dipakai, yaitu:
1. Koagulan garam organik seperti alumunium sulfat/Alum/Tawas (Al3(SO4)2.18H2O), Ferri Chloride (FeCl3), Ferro Chloride (FeCl2) dan Ferri Sulfat Fe2(SO4)3. Namun koagulan umum dipakai adalah alumunium Sulfat/alum/tawas, sedangkan ferri Chloride dan Ferri Sulfat adalah koagulan yang baik tetapi jarang digunakan di suatu instalasi pengolahan air di Indonesia.
2. Koagulan polimer seperti Polyaluminium Chloride (PAC), Chitosan dan Curie Flok. Koagulan yang umum dipakai adalah PAC yang merupakan polimerisasi dari alumunium chloride karena sifat kelarutan di dalam air dan tingkat pembentukan floknya yang lebih baik maka dari itu koagulan PAC banyak digunakan di suatu instalasi pengolahan air di Indonesia. Karakteristik koagulan PAC dan Alum pada Tabel 3.
Tabel 3. Karekteristik koagulan PAC dan Alum
Koagulan
Fasa
Rumus
BM
Density (Kg/M3)
Al2O3 (%)
PAC
Liquid
Alm(OH)nCl(3m-n)
-
1.190
10-13
Alum
Solid
(Al3(SO4)2.18H2O)
594
960
17,1
Sumber : PT Nalco Indonesia
2.4.2 Mekanisme Koagulasi
Menurut McGhee (1991) koagulasi adalah proses kimia terjadinya proses destabilisasi partikel koloid. Koagulasi merupakan proses kimia fisik dengan menambahkan bahan kimia koagulan pada proses pengolahan dan diikuti dengan pengadukan cepat yang menyebabkan terjadinya interaksi antara ion positif dan ion negatif. Perbedaan ion positif dan ion negatif menyebabkan terbentuknya medan elekrostatik. Potensial ini yang menentukan gerakan koloid dan interaksi antar koloid. Potensial menentukan gerakan dan interaksi antar koloid ini disebut potensial zeta.
Partikel koloid umumnya bermuatan negative di dalam air. Hal ini mengakibatkan partikel-partikel tersebut menarik ion-ion bermuatan positif dan menolak ion-ion negatif dalam air. Ion-ion positif membentuk suatu lapisan di dekat suatu permukaan partikel. Lapisan tersebut dikelilingi ion-ion negatif bergabung sedikit demi sedikit dengan ion-ion positif sampai membentuk partikel netral. Lapisan ion positif tersebut dikenal sebagai lapisan stabil atau lapisan stren, sedangkan lapisan ion negatif yang tersebar di sekeliling lapisan stabil dikenal dengan lapisan baur (diffused layer) yang tersusun oleh ion-ion yang mudah bergerak. Lapisan baur ini terdapat bidang geser yang merupakan batas ion lawan masih dapat tertarik ke permukaan partikel (Viessman dan Hammer, 1985).
Suspensi atau koloid bisa dikatakan stabil jika gaya tolak menolak antara partikel lebih besar dari gaya tarik massa, sehingga dalam waktu tertentu tidak terjadi agregasi. Cara untuk menghilangkan kondisi yang stabil, yaitu dengan mengubah gaya interaksi antar partikel dengan pembubuhan zat kimia (koagulan) sebagai donor muatan positif agar gaya tarik menarik menjadi lebih besar sehingga terjadi destabilisasi muatan negatif partikel oleh muatan positif dengan pembubuhan koagulan.
( Koloid )
(+ - - - - - - + - -+ --+----+ --- + --+--+--+ -+ -+-+- - + - - -+ - -+ - -+ + + + + + _ - _ - - + - _ +- -+-+--+--+--++++) (+ - - + - + --- + - +- -+ -+ -+ -- -+ -++ - - +-- - -+-+ - -+ -+ -+ +- + -+- - + - + + + +- -++-+-+-+-+-+)
(-+-+-+-+-+ - + -+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-++++++++++) (+--+-+-+-+-++-+-+-++-++-+-+-+++++++)
(+-+-+-+-+-+-++) (+-+-+-+-+-++)
(……..)Gambar
Gambar 1. Netralisasi Muatan Setelah Penambahan
Koagulan (Kemmer, 1985).
Proses koagulasi membentuk partikel-partikel yang terdestabilisasi dapat saling bertumbukan membentuk agregat sehingga terbentuk flok dengan ukuran yang lebih besar (makroflok) yang memungkinkan untuk dipisahkan oleh sedimentasi dan filtrasi (Balai Penelitian Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Bekasi, 2008).
a. Polyaluminium Chlorida (PAC)
Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang terkandung dalam air kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan). Kekeruhan dalam air dapat dihilangkan melalui penambahan sejenis bahan kimia yang disebut koagulan. Umumnya bahan seperti Alumunium Sulfat (Alum), Polyaluminium Chlorida (PAC) dapat digunakan sebagai koagulan. Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga membentuk flok atau gumpalan. Koagulan dapat bersifat asam, basa atau garam dengan bobot yang rendah.
PAC adalah senyawa garam dari aluminium klorida yang dirancang untuk memperbesar daya koagulasi dibandingkan dengan garam besi dan garam aluminium lainnya. PAC mempunyai rumus umum Alm(OH)nCl(3m-n). PAC sangat baik digunakan untuk air dengan alkalinitas rendah. Secara umum PAC dapat digunakan untuk mengolah air permukaan maupun air tanah untuk memperoleh air bersih ataupun air minum. Beberapa keunggulan dari PAC adalah selain sangat baik untuk menghilangkan kekeruhan dan warna, juga efektif pada range pH yang luas, aktifitas tidak dipengaruhi oleh suhu, kekeruhan tidak akan bertambah dengan dosis yang berlebihan, dan bereaksi lebih cepat. Penentuan dosis koagulan dapat ditentukan dari nilai kekeruhan, pH dan waktu sedimentasinya.
b. Aluminium Sulfat (Alum)
Alum dengan nama umum aluminium sulfat (Al2(SO4)3.18H2O) telah digunakan secara luas sebagai koagulan dalam pengolahan limbah cair. Pada penggunaan koagulan ini akan menghasilkan lebih banyak sludge dibandingkan koagulan lainnya. Selain itu, untuk memperoleh hasil yang optimum dibutuhkan konsentrasi yang cukup pekat. Reaksi hidrolisis alum dalam air, sebagai berikut :
Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3↓ + 6H+ + 3SO42-
Flok aluminium hidroksida yang terbentuk bersifat gel yang akan mengadsorpsi partikel dan mengendapkannya.
Tabel 4. Karakteristik Alum
Nampak
Bubuk Putih
Al2O3 (%)
17,1
Berat Molekul
594
Kelarutan dalam air (gr/100ml)
8,7 pada 20oC
Sumber : PT.Nalco Indonesia
2.5 Jar Test
Menurut Alearts dan Sartika (1987), untuk menentukan dosis optimum dari koagulan dan nilai parameter seperti pH, dilakukan uji jar test. Jar test adalah suatu metode untuk mengevaluasi proses-proses koagulasi dan flokulasi. Proses kerja jar test terdiri dari 3 tahap, yaitu:
1. Pelarutan reagent melalui pengadukan cepat ( 1 menit; 100 rpm).
2. Pengadukan lambat (10 menit; 40 rpm), yaitu untuk membentuk flok-flok karena pengadukan yang terlalu cepat dapat merusak flok yang telah terbentuk.
3. Sedimentasi (10 menit; 0 rpm), yaitu mengendapkan flok-flok yang telah terbentuk.
Koagulasi dapat terjadi jika dilakukan pengadukan cepat agar diperoleh campuran yang homogen antara koagulan dan larutan, yang dilanjutkan dengan pengadukan lambat agar partikel yang mengalami destabilisasi dapat saling mendekat untuk membentuk flok, setelah itu campuran contoh air limbah dan koagulan dibiarkan tanpa pengadukan untuk memberikan kesempatan bagi flok untuk mengendap.
Proses pengadukan cepat dan pengadukan lambat dapat dilakukan dalam seperangkat alat jar test yang terdiri dari beberapa motor yang dapat diatur kecepatannya. Proses koagulasi dan flokulasi dengan penambahan koagulan ke dalam air yang mengandung koloid yang bermuatan negatif akan menyebabkan terbentuknya flok setelah diaduk dengan cepat. Flok-flok ini bertambah besar dengan pengadukan lambat sehingga setelah didiamkan flok akan mengendap.
2.6 Parameter air Limbah
2.6.1 Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran pembiasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu zat pencemaran yang terkandung dalam air, seperti adanya endapan lumpur, plankton dan organisme mikroskopik lainnya. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Namun, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Effendi, 2003). Pengukuran kekeruhan membantu menentukan jumlah bahan kimia yang dibutuhkan dalam pengolahan air. Pengukuran kekeruhan air sebelum penyaringan berguna untuk mengontrol dosis dan bahan kimia yang digunakan (Saeni, 1989).
2.6.2 pH (Derajat Keasaman)
Istilah pH diperkenalkan pada tahun 1909 oleh Sorensen, yang mendefinisikan pH sebagai log negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Nilai pH yang rendah sesuai dengan konsentrasi H+ yang tinggi, sedangkan nilai pH yang tinggi sesuai dengan konsentrasi H+ yang rendah (Murray, dkk. 1999).
Pengukuran pH dapat dilakukan dengan teknik kolorimetri dan potensiometri (elektrometri). Teknik kolorimetri menggunakan indikator (celupan) selama suatu titrasi asam basa, teknik potensiometri menggunakan pH-meter bersama elektrodanya. Pengukuran pH secara potensiometri dilakukan melalui pembacaan potensial dari elektroda dengan referensi (sensitif terhadap suhu) dan pH-meter harus dikalibrasi ulang sebelum digunakan (Alearts, G dan santika, 1987).
2.4.3 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD)
Chemical Oksigen Demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik dan anorganik. Namun, yang lebih banyak terdegradasi ialah senyawa organik. Jumlah oksigen ini ekuivalen dengan jumlah bahan organik yang terdapat di dalam sampel. Efektifitas koagulasi berdasarkan pengurangan COD menyatakan persen selisih senyawa-senyawa organik akibat proses koagulasi (Karamah EF, 1998).
2.6.4 TDS (Total Dissolved Solid)
Padatan terlarut (Dissolved solid) adalah padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut di dalamnya ( Fardiaz, 1992 ). Penetapan TDS (Total Dissolved Solid) dilakukan berdasarkan metode konversi. Prinsip metode ini, nilai TDS (perkiraan) diperoleh dari konversi pengukuran DHL (Daya Hantar listrik) dengan menggunakan rasio (TDS/DHL) yang ditetapkan. Selain itu penetapan TDS dapat dilakukan dengan metode gravimetri yaitu contoh yang sudah diaduk sempurna diuapkan, ditimbang dan dikeringkan dalam oven 103oC-105oC. Penambahan bobot pinggan menunjukkan jumlah zat padat terlarut (Fardiaz, 1992).
2.6.5 TSS (Total Suspended Solid)
Analisis zat padat dalam air, terutama padatan tersuspensi dan padatan terlarut merupakan analisis yang umum dilakukan pada sampel air minum maupun air limbah. Tujuannya adalah untuk mengkaji pemakaian air dan untuk mencari jenis proses yang paling cocok untuk pengolahan air limbah.
Dalam metode analisis zat padat, pengertian zat padat total (total solid=TS) adalah semua zat yang tersisa sebagai residu, setelah sampel air atau air limbah diuapkan dan dikeringkan pada suhu tertentu. Zat padat total ini dapat dibagi lagi menjadi bagian yang dapat disaring dan bagian yang tidak dapat disaring, dan melewati sejumlah sampel air melalui membran filter. Bagian yang bisa melalui membrane filter terdiri dari partikel koloid dan padatan terlarut. Bagian yang tidak dapat melewati membran filter disebut dengan padatan tersuspensi. Nilai padatan tersuspensi atau Total Suspended Solids (TDS) ditentukan dengan menyaring sejumlah sampel air kemudian membran filter dikeringkan pada suhu 105oC. Berat residu sesudah pengeringan merupakan TSS, dinyatakan dengan satuan mg/L.
2.7 Turbidimeter
Turbiditas merupakan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang tiba. Metode turbiditas dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu pengukuran perbandingan intensitas cahaya yang dihamburkan terhadap intensitas cahaya yang datang, pengukuran perbandingan cahaya yang diteruskan terhadap cahaya yang akan datang dan pengukuran efek ekstingsi. Turbidimeter meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Turbiditas berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan (Basset, 1993).
2.8 Spektrofotometri
Spektrometer absorbsi adalah sebuah instrumen untuk mengukur absorbsi cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh suatu atom atau molekul. Untuk daerah ultraviolet sampai cahaya tampak, nilai panjang gelombang berkisar antara 160-780 nm. Kemampuan suatu senyawa mampu menyerap radiasi sinar UV-Vis yaitu adanya spesi pengabsopsi yang disebut dengan kromofor. Kromofor merupakan gugus fungsional yang dapat menyerap radiasi UV-Vis.
Instrument spektrofotometer secara sederhana terdiri dari sumber cahaya, monokromator yang berfungsi sebagai penyeleksi cahaya dengan panjang gelombang (energi) tertentu, kompartemen sample, detektor, dan pengukur intensitas cahaya (Skoog et al 2004). Berikut penjelasan empat bagian penting dari spektrofotometri, yaitu:
a. Sumber Cahaya
Sumber cahaya pada spektrofotometer, harus memiliki pancaran radiasi yang stabil dan intensitas tinggi. Sumber energi cahaya yang biasa untuk daerah tampak, ultraviolet dekat, dan infra merah dekat adalah sebuah lampu pijar dengan kawat terbuat dari wolfram (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa, daerah panjang gelombang adalah 350-2200 nm. Lampu tabung tidak bermuatan (discas) hidrogen (deuterium) 175 ke 375 atau 400 nm. Lampu hidrogen atau lampu deuterium digunakan untuk sumber pada daerah ultraviolet.
b. Monokromator
Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis) yang berbeda (terdispersi). Ada dua macam monokromator, yaitu prisma dan grating (kisi difraksi). Cahaya monokromatis ini dapat dipilih panjang gelombang tertentu yang sesuai untuk kemudian dilewatkan melalui celah sempit yang disebut slit. Ketelitian monokromator juga dipengaruhi oleh lebar celah (slit width) yang dipakai.
c. Kuvet
Kuvet Spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat contoh atau cuplikan yang akan dianalisis. Kuvet biasanya terbuat dari kwarsa, kaca, plastik dengan bentuk tabung empat persegi 1 x 1cm dan tinggi 5 cm. Pada pengukuran di daerah ultraviolet dipakai kuvet kwarsa atau plexiglass, sedangkan kuvet dari kaca tidak dapat dipakai karena kaca mengabsorbsi sinar UV. Semua macam kuvet dapat dipakai untuk pengukuran di daerah sinar tampak (Visible).
d. Detektor
Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum penunjuk atau angka digital. Detektor yang biasa digunakan untuk spektrofotometer UV-Vis adalah detektor Photo tube, Barrier Layer Cell, dan Photo Multiplier Tube.
e. Recorder
Sinyal yang telah terdeteksi oleh detektor, agar dapat ditangkap dengan baik oleh rekorder perlu diperkuat dengan suatu sistem penguat untuk kemudian secara spesifik besarnya nilai absorbansi dari suatu larutan sampel dapat ditunjukkan oleh sistem penampil data, baik berupa jarum penunjuk ataupun digital.
Absorbansi adalah radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombang dan dialirkan oleh suatu perekam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang berbeda. Absorbansi sinar oleh larutan mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu :
I0 I1
Intensitas cahaya yang masuk Larutan Intensitas cahaya yang diteruskan
Gambar 2. Intensitas cahaya yang melewati suatu larutan
(M.Anwar dan Hendra, 1989)
Keterangan:
I0 = Intensitas sinar datang
I1 = Intensitas sinar yang diteruskan
Hukum yang mendasari spektrofotometri adalah Lambert-beer. Bila sebagian cahaya monokromator melalui suatu media transparan maka bertambah turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan bertambah tebal dan kepekatan suatu media.
(A = ε . b . C)
Keterangan :
A= Absorbans
ε= Konstanta disebut absorptivitas (cm-1.mg-1.L)
b= Tebal larutan (cm)
C= Konsentrasi larutan (ppm)
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dilaboratorium QC di PT Nalco Indonesia, Jalan Pahlawan Desa Karang Asem Timur, Citeureup-Bogor. Dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2012.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan uji dan bahan kimia. Bahan uji berupa limbah cair PT Nalco Indonesia, sedangkan bahan kimia terdiri dari koagulan PAC 10%, alumunium 10%, larutan COD, buffer 4, buffer7 dan buffer 10.
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi labu takar 100 mL, gelas piala 1 Liter, pipet, turbidimeter 2100P, reaktor COD, spekrofotometer UV-Vis DR-2800, pH-meter, neraca analitik, tabung HACH, jar mixer, kuvet dan alat penyuntik.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu, tahap pengambilan sampel, tahap pengujian dengan jar test, dan tahap analisis data. Pengambilan sample diambil pada bak ekualisasi, yakni bak sebelum koagulasi dan flokulasi. Sebelum dan sesudah jar test dilakukan pengujian terhadap parameter limbah seperti kekeruhan, pH, COD, TDS, dan TSS. Pengujian kekeruhan dengan metode turbidimetri, pH dengan metode potensiometri, COD dilakukan secara spektrofotometri dengan metode refluks tertutup, TDS dilakukan dengan metode konduktometri, dan TSS dilakukan dengan metode gravimetri.
16
3.3.1 Teknik Jar Test
Penelitian ini menggunakan 2 jenis Koagulan yaitu Alum dan PAC. Masing-masing dibuat dalam konsentrasi 10% yaitu dengan menimbang 10 gram lalu diencerkan sampai 100 mL dengan menggunakan air dalam labu takar 100 mL. Koagulan tersebut diuji pada berbagai konsentrasi yaitu 1000, 1500, 2000, 2500, 3000, 3500 dan 4000 dengan menambahkan larutan induk sebanyak 10 mL, 15 mL, 20 mL, 25 mL, 30 mL, 35 mL, dan 40 mL ke dalam 1 L air limbah . Jar test dilakukan setiap minggu selama 2 bulan.
Sampel air limbah dimasukkan kedalam 4 piala gelas masing-masing 1 liter. Pengaduk alat jar test diturunkan kemudian diaduk sebentar agar endapan atau kotoran merata, kemudian diberikan koagulan PAC dan alum dengan ragam konsentrasi yang sama. Alat jar test dioperasikan dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit (proses koagulasi) kemudian dilanjutkan dengan pengadukan lambat dengan kecepatan 40 rpm selama 10 menit (proses flokulasi), setelah itu pengadukan dihentikan selama 10 menit untuk pengendapan flok (proses sedimentasi), selanjutnya sampel air hasil jar test dari setiap gelas piala dilakukan pengujian dilakukan terhadap kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS.
3.3.2Pengukuran kekeruhan
Turbidimeter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang mempunyai nilai kekeruhan antara 0,1 NTU, 0-10 NTU dan 0,100 NTU sesuai dengan kebutuhan. Sebanyak 10 mL sampel air yang akan ditetapkan, dimasukkan ke dalam kuvet yang telah dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam turbidimeter. Hasil dapat langsung dibaca pada alat turbidimeter.
3.3.3Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH ke dalam sampel limbah, sebelum digunakan pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan buffer 4, buffer 7 dan buffer 10.
3.3.4Pengukuran COD
Sampel yang telah disaring dipipet sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan air demin sampai tanda tera dan dihomogenkan. Sebanyak 2,5 mL contoh air limbah dipipet dan dimasukan ke dalam tabung yang telah terisi larutan COD (Ag2SO4, H2SO4, K2Cr2O7), tabung refluks ditutup, kemudian direfluks selama dua jam. Setelah dua jam larutan dalam tabung tersebut didinginkan di dalam gelas piala sampai suhu normal, kemudian sampel tersebut diukur dengan spektrofotometer DR 2800 pada panjang gelombang 600 nm.
Dilakukan penetapan blanko dengan cara kerja yang sama seperti terhadap sampel, sampel air limbah diganti dengan air demin.
Perhitungan :
COD (mg/L) = A x Fp
Keterangan :
A: Konsentrasi COD yang terbaca pada alat (mg/L)
Fp: Faktor pengenceran
3.3.5Pengukuran TDS
Penetapan Total Dissolved Solid (TDS) pada penelitian ini dilakukan berdasarkan Metode Konversi dengan menggunakan alat yang bernama TDS meter yaitu suatu alat yang digunakan untuk mengukur kapasitas ion total dari larutan sampel yang konsentrasi pengukurannya dinyatakan dalam mg/L dari ion-ionnya. Sampel yang akan diukur dimasukkan ke dalam piala gelas lalu dimasukkan elektroda yang telah dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan tissu. Angka yang muncul di dalam alat TDS meter kemudian dicatat.
3.3.6 Pengukuran TSS
Dipanaskan kertas saring di dalam oven dengan temperatur 103-105oC selama 1 jam. Didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Diambil sampel air limbah sebanyak 100 mL, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring ke dalam cawan penguapan. Kertas saring diambil dengan hati-hati dan ditempatkan pada oven dengan temperatur 103-105oC selama 1 jam. Didinginkan di dalam desikator dam kemudian ditimbang.
Perhitungan :
TSS (mg/L) = (A-B) x 1000
C
Keterangan:
A = berat saringan dan residu (mg)
B = berat saringan (mg)
C = volume saringan (mL)
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan air limbah PT. Nalco Indonesia dengan 2 jenis koagulan yaitu PAC dan alum. Kedua jenis koagulan tersebut masing-masing diuji kemampuannya melalui jar test pada berbagai konsentrasi yaitu 1000, 1500, 2000, 2500, 3000, 3500 dan 4000 ppm. Selanjutnya sampel air hasil jar test diuji melalui berbagai parameter yaitu kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS.
4.1 Hubungan Dosis Koagulan Dengan Kekeruhan
Analisis kekeruhan dilakukan terhadap air limbah hasil jar test pada berbagai dosis koagulan baik dengan menggunakan PAC maupun alum, dengan baku mutu dibawah 20 NTU.
Gambar 3. Hubungan Dosis Koagulan Dengan Kekeruhan
Gambar 3 menunjukkan bahwa koagulan PAC mampu menurunkan kekeruhan pada dosis optimum 2500 ppm dengan nilai kekeruhan 19,1 NTU sedangkan alum pada dosis optimum 3000 ppm dengan nilai kekeruhan 18,9 NTU.
Penggunaan koagulan PAC lebih baik daripada koagulan alum karena koagulan PAC dalam proses koagulasi dapat membentuk flok-flok dan mampu
20
mengendap lebih cepat dibandingkan dengan koagulan alum. Hal ini disebabkan karena gugus aktif aluminat yang mampu bekerja efektif dalam mengikat koloid dan diperkuat dengan rantai polimer dari gugus polielektrolit sehingga gumpalan floknya lebih padat. Pada kondisi kekeruhan yang tinggi, PAC memberikan penurunan kekeruhan yang signifikan karena mampu bekerja pada range yang lebih luas (Saeni, 1989). Air limbah hasil olahan sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang terdapat pada Lampiran 1.
4.2 Hubungan Dosis Koagulan Dengan pH
Penambahan koagulan PAC atau Alum akan mempengaruhi pH air limbah, semakin banyak dosis koagulan yang diberikan maka pH akan mengalami penurunan. Gambar 4 dapat dilihat hubungan antara dosis koagulan PAC dan Alum dengan pH.
Gambar 4. Grafik hubungan Dosis Koagulan Dengan pH
Gambar 4 dapat dilihat perbedaan penurunan nilai pH dari masing-masing koagulan. Koagulan PAC pada dosis optimum 2500 ppm memiliki nilai pH 7,37 sedangkan koagulan alum pada dosis optimum 3000 ppm memiliki nilai pH 6,02. Penurunan nilai pH pada penggunaan koagulan alum sangat tinggi, semakin banyak dosis alum yang ditambahkan maka semakin besar penurunan nilai pH, namun pada koagulan PAC penurunan nilai pH tidak terlalu tinggi.
Air hasil olahan dengan menggunakan koagulan alum memiliki pH yang lebih rendah. Menurut Murray (1999), hal ini disebabkan karena Alum dapat terhidrolisis dan mudah terionisasi dalam air, sedangkan PAC dalam air limbah akan terhidrolisis membentuk flok dan ion klorida yang terlepas akan bergabung dengan flok, sehingga terhindar dari terbentuknya HCl sebagai produk samping yang dapat menurunkan pH. Penurunan pH tersebut disebabkan karena adanya reaksi sebagai berikut:
AL2(SO4)3 + 6H2O2Al(OH)3 ↓ + 3H2SO4
3H2SO46H+ + 3SO42-
Berdasarkan reaksi tersebut, terlihat bahwa pembubuhan koagulan alumunium sulfat ke dalam air limbah menyebabkan reaksi hidrolisis yang disertai pelepasan ion hidrogen sehingga terjadi penurunan pH air. Kondisi pH air hasil olahan masih berada dalam kisaran netral yaitu 6-9 dan memenuhi batas baku mutu kualitas air limbah berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang terdapat pada Lampiran 1.
4.3 Hubungan Dosis Koagulan Dengan COD
Nilai COD menyatakan banyaknya kandungan zat organik yang ada pada air limbah yang dioksidasi oleh oksigen. Data hasil pengukuran COD pada masing-masing koagulan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan Dosis Koagulan Dengan COD
Gambar 5 menunjukkan bahwa penggunaan koagulan PAC dan alum mampu menurunkan nilai COD, namun masih melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena banyaknya kandungan zat organik yang terdapat di dalam air limbah tersebut yang belum terendapkan, tetapi penurunan nilai COD pada proses koagulasi dan flokulasi dapat membantu pada proses selanjutnya agar dapat menurunkan nilai COD secara maksimum.
4.4 Hubungan Dosis Koagulan Dengan TDS
Gambar 6 menunjukkan setelah jar test air limbah dengan penambahan koagulan PAC dan Alum mempunyai konsentrasi TDS yang lebih besar dari air limbah sebelum uji jar. Hal ini terjadi karena ion-ion dari koagulan yang terlarut di dalam air limbah yang tidak bereaksi dengan koloid sehingga terjadi proses destabilisasi.
Gambar 6. Hubungan Dosis Koagulan Dengan TDS
Berdasarkan Gambar 6, koagulan PAC memiliki dosis optimum pada 2500 ppm dengan nilai TDS 1952 ppm, sedangkan alum pada dosis optimum 3000 ppm dengan nilai TDS 2331 ppm. Setelah jar test, air baku yang ditambahkan koagulan PAC diketahui memiliki konsentrasi TDS yang lebih kecil dibandingkan dengan air limbah yang ditambahkan koagulan Alum. Koagulan PAC terdapat kandungan ion klorida dan koagulan alum terdapat ion sulfat yang disebabkan oleh reaksi reaksi hidrolisis yang disertai dengan pelepasan ion hidrogen. Kandungan ion-ion pada koagulan alum yang lebih besar jika dibandingkan koagulan PAC merupakan penyebab dari tingginya konsentrasi TDS pada air limbah yang ditambahkan koagulan alum dibandingkan koagulan PAC. Namun konsentrasi TDS masih memenuhi standar baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
4.5 Hubungan Dosis Koagulan Dengan TSS
Nilai TSS mengalami penurunan setelah proses pengolahan dengan pembubuhan koagulan PAC maupun Alum.
Gambar 7. Hubungan Dosis koagulan Dengan TSS
Berdasarkan Gambar 7, koagulan PAC mencapai dosis optimum 2500 ppm dengan nilai TSS 55 ppm sedangkan alum pada dosis optimum 3000 ppm dengan nilai TSS 52,8 ppm. Nilai TSS ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan yang ditambahkan, maka semakin banyak flok yang terbentuk sehingga mampu mengendapkan partikel-partikel yang terdapat dalam sampel air limbah (Fardiaz, 1992).
4.6 Data Hasil Keseluruhan
Analisis air limbah dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa karakteristik air limbah yang meliputi kekeruhan, pH, COD, dan TSS masih melebihi batas baku mutu yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2001 Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pada Lampiran 1.
Tabel 5. Data Hasil Analisis Air Limbah Pada Berbagai Dosis Koagulan
Dosis Koagulan
(ppm)
Parameter
pH
Kekeruhan
(NTU)
COD
(ppm)
TDS
(ppm)
TSS
(ppm)
PAC
Alum
PAC
Alum
PAC
Alum
PAC
Alum
PAC
Alum
0
9,43
9,43
322,8
322,8
5656,1
5656,1
1744,7
1744,7
219
219
1000
9,04
8,39
213,5
233,5
5059,1
5136
1763,1
1825,8
189,7
193,1
1500
8,62
8,04
135,2
155,2
4273,1
4419
1817,5
1937,1
115,2
128,1
2000
7,91
7,18
91
106,5
3148,1
3296
1852,5
2068,5
87,7
104
2500
7,36
6,79
19,1
70
2482,4
2885
1952,2
2184,2
55
79,7
3000
7,15
6,02
15,3
18,8
1956,4
2235
2160,8
2331,3
46,5
52,8
3500
6,88
5,39
11,1
12,3
1713,7
1956
2264,2
2449
39,7
42,2
4000
6,55
4,58
8,7
24,7
1484,7
1607
2354,1
2528,6
26,8
35,2
Air limbah yang dianalisis setiap saat dapat mengalami perubahan, misalnya kekeruhan yang selalu naik turun dan juga beberapa parameter seperti pH, COD, TDS dan TSS. Hal ini tergantung pada kondisi air limbah yang masuk ke dalam tangki IPAL PT. Nalco Indonesia.
4.7 Biaya Produksi
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengolahan air limbah selain kualitas air limbah yang dihasilkan yaitu biaya produksi. Penggunaan koagulan PAC pada dosis optimum 2500 ppm lebih efisien dibandingkan dengan koagulan Alum pada dosis optimum 3000 ppm dan dilihat dari segi ekonomi (biaya) PAC lebih murah dibandingkan koagulan Alum. Tabel 6 menunjukkan selisih biaya PAC dan Alum yang harus dikeluarkan per bulan untuk mengolah air limbah dengan tingkat kekeruhan 332 NTU dengan debit air limbah yang diolah sebesar 30.000 Liter.
Tabel 6. Biaya Produksi
Koagulan
Pemakaian Koagulan (mg/L)
Kebutuhan Per minggu (kg/ minggu)
Kebutuhan Per Bulan (kg/bulan)
Harga Koagulan Per Kg
Biaya Produksi
Per Bulan
PAC
2500
75 kg
300 kg
Rp. 3650
Rp.1.095.000,-
Alum
3000
90 kg
360 kg
Rp. 4000
Rp.1.440.000,-
Selisih Biaya
Rp. 345.000,-
Tabel 6 menunjukkan bahwa dari segi ekonomi (biaya) sangat terlihat jelas bahwa koagulan PAC lebih hemat dibandingkan dengan koagulan alum, sehingga selisih biaya produksi sebesar Rp.345.000,-.
26
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan pengolahan data yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Koagulan PAC dan alum dapat digunakan untuk mengolah air limbah PT. Nalco Indonesia karena dapat menurunkan parameter kekeruhan, pH dan TSS sesuai memenuhi baku mutu Pemerintah.
2. Penggunaan koagulan PAC (Poly Aluminium Chloride) optimum pada konsentrasi 2500 ppm sedangkan alum pada konsentrasi 3000 ppm pada pengolahan limbah cair PT Nalco Indonesia
3. Biaya produksi yang dikeluarkan per bulan untuk PAC 2500 ppm sebesar Rp. 1.905.000,- sedangkan alum 3000 ppm sebesar Rp. 1.440.000,- dengan debit air limbah 30.000 L. Memiliki selisih biaya sebesar Rp. 345.000,- sehingga penggunaan koagulan PAC lebih unggul dari alum.
5.2 Saran
PT. Nalco Indonesia sebaiknya memilih PAC sebagai koagulan dalam proses penjernihan air limbah. Namun karena parameter COD belum memenuhi baku mutu yang disyaratkan, maka sebaiknya pada tahap berikutnya dilakukan upaya untuk penurunan nilai COD.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan S.S santika. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya : Usaha National.
Basset J. 1993. Analisis Kimia kuantitatif anorganik. Seriono L, penerjemah. Jakarta : EGC.
Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Balai Penelitian Air Bersih dan Penyehatan lingkungan Bekasi Tentang Pengolahan dan Standar Kualitas Air.
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. Hal 11, 27-28.
Fardiaz, S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Hal 19-28.
Hammer, M.J. 1986. Water and Wastewater Technology. Prentice-Hall int. Icn. New Jersey. Hal 22-23.
Hammer, M.J dan Viessmen. 1985. Water supply and pollution Control. Fourth Edition. Harper an Row Publisher. New York.
Karamah, EF, Lubis AO. 1998. Perlakuan Koagulasi dalam Proses Pengolahan Air dengan Membran : Pengaruh Pengadukan Pelan Koagulan Aluminium Sulfat terhadap Kinerja Membran [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia.
Kemmer FN. 1985. The Nalco Water Handbook, Second Edition. New York : Mc Graw Hill.
Metcalf dan Eddy, Icn. 1981. Waste Water Engineering Treatment Disposal Revse. 2nd ed. MC Graw-Hill, Icn. New York. Hal 40-57.
McGhee, T, J.1991. Water Supplay and sewerage. 6 th edition. McGraw-Hill international Edition. Singapore.p. 184-186.
Murray, dkk. 1999. Biokim Haper. Edisi Ke-24. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal: 18-19.
Nur, M. A dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Spektroskopi Dalam Analisis Biologis. IPB. Hal : 12-23.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Bahaya Limbah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemar Air.
28
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat antar hayal Ilmu Hayat IPB. Bogor. Hal : 16-17, 43-45.
Skoog DA, West DM, Holler FJ, Crouch SR. 2004. Fundamentals of Analytical Chemistry eighth edition. UK : Thomson Brooks.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-PRESS.
Sumarni. 1989. Analisis Alumunium Sulfatdan Air Kapur serta Perbandingan Metodenya Pada Penjernihan Air di Krenceng Pt. Krakatau Steel Cilegon Akademi Kimia Analisis. Bogor
Sutopo. 1991. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisinus. Yogyakarta.
29
Lampiran 1. Baku Mutu Air Limbah
Parameter
Baku Mutu
pH
6.0-9.0
COD
100-300 mg/L
TDS
2000-4000 mg/L
TSS
60 mg/L
Kekeruhan
5-20 NTU
Sumber : Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 Tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Lampiran 2. Diagram Alir Penelitian
(PT. Nalco Indonesia)
(Air Limbah) (Pengujian awal : Kekeruhan, pH, COD, TDS,TSS) (Limbah Cair)
(Tangki Koagulasi dan Flokulasi)
(Lumpur)
(Proses lanjut di PPLI )
(Pengecekan nilai TDS) (Pengecekan nilai TSS) (Pengecekan nilai COD) (Pengecekan nilai Kekeruhan) (Pengecekan nilai pH)
Lampiran 3. Diagram alir Jar Test
(1 L sampel air limbah + koagulan)
(Uji Jar TestKec. 100 rpm t = 1 menitKec. 40 rpm t = 10 menitKec. 0 rpm t = 10 menit)
(Pengujian terhadap kekeruhan, pH, COD, TDS dan TSS)
(Pengolahan data)
Lampiran 4. Pengukuran Kekeruhan
(Alat dikalibrasi menggunakan standar turbiditas yang tersedia)
(Sampel dihomogenkan, kemudian dimasukkan ke dalam kuvet)
(diukur nilai kekeruhan sampel dalam satuan NTU.)
Lampiran 5. Pengukuran pH
(pH meter dikalibrasi dengan Buffer 4, buffer 7 dan buffer 10)
(Dibilas dengan air suling)
(Elektroda dicelupkan ke dalam sampel limbah cair)
(Baca nilai pH)
Lampiran 6. Pengukuran COD
(Sampel yang telah disaring dipipet sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL,)
(kemudian ditambahkan air demin sampai tanda tera dan dihomogenkan.)
(Sebanyak 2,5 mL contoh air limbah )
(dimasukkan ke dalam tabung yang telah terisi larutan COD (Ag2SO4, H2SO4, K2Cr2O7))
(Direfluks selama 2 jam.)
(didinginkan di dalam gelas piala sampai suhu normal,)
(diukur dengan spektrofotometer DR 2800 pada panjang gelombang 600 nm.)
Lampiran 7. Pengukuran TDS
(TDS meter dikalibrasi dengan larutan standar)
(Dibilas dengan air suling)
(Elektroda dicelupkan ke dalam sampel limbah cair)
(Dicatat nilai TDS)
Lampiran 8. Pengukuran TSS
(kertas saring dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 103-105oC selama 1 jam.)
(Didinginkan dalam deksikator dan kemudian ditimbang.)
(Diambil contoh air limbah sebanyak 100 mL, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring ke dalam cawan penguapan.)
(Dimasukkan dalam oven dengan temperatur 103-105oC selama 1 jam.)
(Didinginkan di dalam desikator)
(Pengolahan data)
Lampiran 9. Data Pengukuran Kekeruhan (NTU)
a. Koagulan PAC
Minggu Ke-
Sebelum jar test
Setelah jar test (dosis PAC mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
322
212
134
89
19
14
10
8
2.
326
216
138
99
20
15
9
7
3.
321
211
133
88
18
13
13
11
4.
323
213
135
90
18
16
9
7
5.
325
215
137
92
19
20
16
11
6.
324
219
139
94
20
19
11
9
7.
319
209
131
86
19
11
10
8
8.
323
213
135
90
20
15
11
9
Rata-Rata
322,8
213,5
135,2
91
21,1
15,3
11,1
8,75
b. Koagulan Alum
Minggu ke-
Sebelum jar test
Setelah jar test (dosis alum mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
322
231
153
102
66
19
12
24
2.
326
235
157
111
75
18
11
23
3.
321
230
152
101
65
18
11
26
4.
323
232
160
109
73
17
14
26
5.
325
239
161
110
70
19
12
24
6.
324
233
155
104
68
21
14
26
7.
319
228
150
112
76
19
12
24
8.
323
232
154
103
67
20
13
25
Rata-Rata
322,8
232,5
155,2
106,5
70
18,8
12,3
24,7
Lampiran 10. Data Pengukuran PH
a. Koagulan PAC
Minggu ke-
Sebelum jar test
Setelah jar test (dosis PAC mg/L
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
9,11
8,87
8,46
7,78
7.18
7,02
6,78
6,4
2.
9,23
8,91
8,49
7,8
7.21
7,05
6,8
6,39
3.
9,28
8,94
8,53
7,5
7.26
7,11
6,83
6,44
4.
9,34
9
8,6
7,88
7.3
7,14
6,88
6,57
5.
9,42
9,08
8,64
7,91
7.38
7,17
6,9
6,62
6.
9,58
9,12
8,69
7,97
7.43
7,21
6,92
6,64
7.
9,72
9,17
8,77
8,04
7.58
7,27
6,95
6,7
8.
9,76
9,24
8,78
8,1
7.64
7,29
6,99
6,71
Rata-Rata
9,43
9,04
8,62
7,91
7.37
7,15
6,88
6,55
b. Koagulan Alum
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis alum mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
9,11
8,26
7,94
7,11
6,74
5,98
534
4,54
2.
9,23
8,28
7,96
7,15
6,74
5,98
5,35
4,55
3.
9,28
8,31
7,99
7,17
6,76
5,99
5,36
4,55
4.
9,34
8,36
8,03
7,18
6,77
6,01
5,38
4,57
5.
9,42
8,4
8,07
7,2
6,79
6,03
5,4
4,59
6.
9,58
8,47
8,09
7,22
6,81
6,04
5,41
4,6
7.
9,72
8,53
8,12
7,23
6,84
6,06
5,43
4,62
8.
9,76
8,56
8,16
7,25
6,87
6,07
5,45
4,63
Rata-Rata
9,43
8,39
8,04
7,18
6,79
6,02
5,39
4,58
Lampiran 11. Data Pengukuran COD (ppm)
a. Koagulan PAC
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis PAC mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
5710
5113
4327
3202
2544
2018
1773
1544
2.
5243
4646
3860
2735
2077
1551
1306
1077
3.
5837
5240
4454
3329
2671
2145
1900
1671
4.
5573
4976
4190
3065
2407
1881
1636
229
5.
5718
5121
4335
3210
2552
2026
1781
1552
6.
5735
5138
4352
3227
2569
2043
1798
1569
7.
5652
5055
4269
3144
2486
1960
1715
1486
8.
5781
5184
4398
3273
2615
2089
1860
1631
Rata-Rata
5656,1
5059,1
4273,1
3148,1
2482,4
1956,4
1713,7
1484,7
b. Koagulan Alum
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis alum mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
5710
5218
4501
3378
2967
2317
2038
1689
2.
5243
4526
3809
2686
2275
1625
1346
997
3.
5837
5345
4628
3505
3094
2444
2165
1816
4.
5573
5081
4364
3241
2830
2180
1901
1552
5.
5718
5226
4509
3386
2975
2325
2046
1697
6.
5735
5243
4526
3403
2992
2342
2063
1714
7.
5652
5160
4443
3320
2909
2259
1980
1631
8.
5781
5289
4572
3449
3038
2388
2109
1760
Rata-Rata
5656,1
5136
4419
3296
2885
2235
1956
1607
Lampiran 12. Data Pengukuran TDS (ppm)
a. Koagulan PAC
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesedah jar test (dosis PAC mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
1714
1781
1812
1883
1921
2123
2278
2383
2.
1731
1772
1821
1812
1938
2153
2288
2372
3.
1743
1787
1816
1834
1972
2186
2222
2337
4.
1745
1771
1827
1824
1948
2163
2287
2332
5.
1750
1778
1819
1889
1974
2183
2283
2374
6.
1754
1719
1814
1842
1947
2166
2239
2375
7.
1759
1716
1815
1893
1936
2146
2243
2327
8.
1762
1781
1816
1843
1982
2167
2274
2333
Rata-Rata
1744,7
1763,1
1817,5
1852,5
1952,2
2160,8
2264,2
2354,1
b. Koagulan Alum
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis alum mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
1714
1806
1924
2067
2193
2321
2448
2521
2.
1731
1810
1934
2072
2188
2329
2439
2528
3.
1743
1823
1948
2068
2172
2332
2442
2525
4.
1745
1826
1929
2079
2182
2328
2447
2538
5.
1750
1829
1936
2059
2190
2336
2458
2535
6.
1754
1834
1946
2076
2184
2342
2452
2519
7.
1759
1838
1939
2066
2178
2325
2450
2529
8.
1762
1841
1941
2061
2187
2338
2456
2534
Rata-Rata
1744,7
1825,8
1937,1
2068,5
2184,2
2331,3
2449
2528,6
Lampiran 13. Data Pengukuran TSS (ppm)
a. Kogulan PAC
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis PAC mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
197
173
102
79
48
40
29
21
2.
206
178
107
82
51
43
33
23
3.
212
187
112
84
54
46
39
26
4.
219
189
114
86
55
46
40
26
5.
227
194
117
89
56
47
42
27
6.
228
194
118
91
58
49
43
29
7.
230
201
125
94
59
50
45
30
8.
233
202
127
97
59
51
47
33
Rata-Rata
219
189,7
115,2
87,7
55
46,5
39,7
26,8
b. Koagulan Alum
Minggu ke-
Sebelum jar test
Sesudah jar test (dosis alum mg/L)
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1.
197
176
114
97
70
44
34
27
2.
206
180
116
99
75
47
35
28
3.
212
191
129
103
79
53
41
34
4.
219
193
130
104
80
54
43
36
5.
227
199
132
104
81
55
44
37
6.
228
199
134
106
83
55
46
38
7.
230
203
137
109
85
57
47
40
8.
233
204
139
110
85
58
48
42
Rata-Rata
219
193,1
128,8
104
79,7
52,8
42,2
35,2
Lampiran 14. Perhitungan Biaya Produksi
a. Koagulan PAC
Jumlah koagulan hasil tes laboratorium = 2500 mg/L
Kapasitas Tangki = 30 m3 = 30.000 L
Dosis koagulan untuk 30 m3?
Dosis = Jumlah Koagulan x kg x kapasitas tangki
106 mg
= 2500 mg x 1 kg x 30.000 L = 75 Kg
L 106 mg
b. Koagulan Alum
Jumlah koagulan hasil tes laboratorium = 3000 mg/L
Kapasitas Tangki = 30 m3 = 30.000 L
Dosis koagulan untuk 30 m3?
Dosis = Jumlah Koagulan x kg x kapasitas tangki
106 mg
= 3000 mg x 1 kg x 30.000 L = 90 Kg
L 106 mg
PAC01000150020002500300035004000322.89999999999969213.5135.199999999999999119.10000000000000115.411.69.2000000000000011Alum01000150020002500300035004000322.89999999999969231.5153.19999999999999106.57018.89999999999999915.427.7Baku Mutu Maksimum010001500200025003000350040002020202020202020Baku Mutu Minimum0100015002000250030003500400055555555
Dosis (ppm)
Kekeruhan (NTU)
PAC010001500200025003000350040009.439.04000000000000098.6200000000000017.917.377.14999999999999956.886.55alum010001500200025003000350040009.438.398.04000000000000097.186.796.025.394.58Baku Mutu Maksimum0100015002000250030003500400099999999Baku Mutu Minimum0100015002000250030003500400066666666
Dosis (ppm)
pH
PAC0100015002000250030003500400056565059427331482482195617131484Alum0100015002000250030003500400056565136441932962885223519561607Baku Mutu Maksimum01000150020002500300035004000300300300300300300300300
Dosis (ppm)
COD (ppm)
PAC0100015002000250030003500400017441763181718521952216022642354Alum0100015002000250030003500400017441825193720682184233124492528Baku Mutu Maksimum0100015002000250030003500400040004000400040004000400040004000Baku Mutu Minimum0100015002000250030003500400020002000200020002000200020002000
Dosis (ppm)
TDS (ppm)
PAC01000150020002500300035004000219189.7115.287.75546.539.70000000000000326.8Alum01000150020002500300035004000219193.1128.8000000000000110479.752.842.235.200000000000003Baku Mutu Maksimum010001500200025003000350040006060606060606060
Dosis (ppm)
TSS (ppm)