Zaifbio. 2010. - Bersama MENYEHATKAN INDONESIA Web viewDemam Berdarah dibawa ke Indonesia melalui...
Transcript of Zaifbio. 2010. - Bersama MENYEHATKAN INDONESIA Web viewDemam Berdarah dibawa ke Indonesia melalui...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit tahunan endemis di
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan dibawa melalui
perantara vektor nyamuk Aedes, utamanya Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Demam Berdarah dibawa ke Indonesia melalui transportasi laut
sebelum akhirnya berkembang dan menyebar ke seluruh Indonesia.
Demam berdarah merupakan penyakit tahunan dan endemis, yang
menyebabkan banyak angka kesakitan pada setiap periode tertentu pada setiap
tahunnya, disertai dengan angka kematian yang tinggi dan bahkan dengan
status Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah. Pada tahun 2010, angka
kematian akibat demam berdarah bahkan melebihi angka 1300 jiwa dan
merupakan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Pencegahan merupakan salah satu cara yang penting dan efektif untuk
memperkecil kemungkinan terserang demam berdarah. Ada banyak metode
yang dapat diaplikasikan, termasuk dengan menggunakan abate untuk
memutus alur hidup nyamuk vektor demam berdarah. Penggunaan abate ini
terutama dapat diaplikasikan pada bak penampungan yang jarang dibersihkan,
melebihi atau mendekati waktu rata-rata dari jentik untuk bertranformasi
menjadi dewasa yaitu selama 9 hari.
Abate merupakan nama lain dari temephos yang merupakan salah satu
jenis insektisida organofosfat. Penggunaan abate telah dinyatakan aman oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Melalui pengukuran dan uji
1
coba, kemungkinan fatal yaitu kematian akan terjadi jika individu dengan
berat badan 10 kilogram mengkonsumsi air abate sesuai dengan jumlah yang
disarankan, sebanyak 860 liter air. Padahal, konsumsi air per individu dengan
jumlah seperti itu dapat dikatakan sangat jarang. Meskipun begitu, keamanan
abate temephos ini masih sering menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat
awam oleh karena kesan bahan pembentuknya merupakan bahan kimia.
Dewasa ini, untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap
penggunaan abate, maka dilakukan formulasi abate dengan menggunakan
bahan nabati sehingga terkesan lebih alami. Salah satu cara tersebut adalah
dengan menggunakan daun jeruk nipis. Daun jeruk nipis dipertimbangkan
penggunaannya karena selain faktor kemampuannya untuk memutus rantai
hidup nyamuk, daun jeruk nipis juga tersebar luas di Indonesia, sehingga
memungkinkan penggunaannya sebagai alternatif abate yang terjangkau,
efektif dan memiliki daya terima publik yng lebih besar.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah cara pembuatan larvasida alami dari maserat daun jeruk
nipis?
b. Bagaimanakan tingkat efektivitas larvasida alami dari maserat daun jeruk
nipis jika dibandingkan dengan abate kimia (temephos)?
1.3 Tujuan
a. Mendemonstrasikan metode abate yang berasal dari bahan nabati atau
alam yang memiliki kemungkinan daya terima yang lebih besar di
masyarakat
b. Melakukan pembuatan larvasida dengan maserat daun jeruk nipis.
2
c. Mengetahui tingkat efektivitas larvasida alami dari maserat daun jeruk
nipis jika dibandingkan dengan abate kimia temephos.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini adalah:
a. Mahasiswa mempraktekkan cara pembuatan abate nabati dengan
menggunakan daun jeruk nipis.
b. Mahasiswa memahami teknik penggunaan yang benar dalam
menggunakan abate daun jeruk nipis.
c. Memberikan alternatif bagi masyarakat akan abate, terutama bagi daerah
yang tidak memiliki pasokan abate yang adekuat.
d. Meningkatkan daya terima masyarakat akan penggunaan abate.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Vektor Penyakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010 tentang
Pengendalian Vektor menyatakan bahwa vektor merupakan arthropoda yang
dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit
pada manusia. Sedangkan menurut Nurmaini (2001), vektor adalah arthropoda
yang dapat memindahkan atau menularkan suatu infectious agent dari sumber
infeksi kepada induk semang yang rentan.
Penularan penyakit yang disebabkan oleh vektor kepada manusia dapat
dibedakan atas dua cara, yakni (Azwar, 1995):
a. Penyebaran secara biologi, yang disebut pula penyebaran aktif. Disini bibit
penyakit hidup serta berkembang biak di dalam tubuh vektor dan jika
vektor tersebut menggigit manusia, maka bibit penyakit masuk ke dalam
tubuh sehingga timbul penyakit. Contoh : nyamuk.
b. Penyebaran secara mekanik, disebut juga penyebaran pasif, yakni
pindahnya bibit penyakit yang dibawa vektor kepada bahan-bahan yang
digunakan manusia (umumnya makanan), dan jika makanan tersebut
dimakan oleh manusia maka timbul penyakit. Contoh : lalat
Penyakit yang ditularkan melalui vektor ini dikenal sebagai arthropod-
borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector–borne diseases. Di
Indonesia penyakit ini seringkali bersifat endemis yang dapat menimbulkan
wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat. Penyakit endemis yang ditimbulkan tersebut antara lain:
4
a. Demam Berdarah Dengue (DBD), malaria, kaki gajah, Chikungunya yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti.
b. Penyakit disenteri, kolera, demam tifoid dan paratyphoid yang ditularkan
secara mekanis oleh lalat rumah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran vektor
tersebut (Menkes, 2010).
2.1.1 Pengendalian Vektor Penyakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010 tentang
Pengendalian Vektor mendefinisikan bahwa pengendalian vektor
merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan
populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi
beresiko untuk terjadinya penularan penyakit di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan
penyakit yang dibawa oleh vektor dapat dicegah.
Prinsip dasar dalam melakukan pengendalian vektor adalah sebagai
berikut :
a. Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara
pengendalian agar vektor tetap berada di bawah garis batas yang tidak
merugikan atau membahayakan.
b. Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan
ekologi terhadap tata lingkungan hidup. (Nurmaini, 2001)
Menurut Afrizal, berikut merupakan jenis-jenis pengendalian vektor :
5
a. Pengendalian secara alamiah (naturalistic control) yaitu dengan
memanfaatkan kondisi alam yang dapat mempengaruhi kehidupan
vektor. Hal ini dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama.
b. Pengendalian terapan (applied control) yaitu dengan memberikan
perlindungan bagi kesehatan manusia dari gangguan vektor. Namun, hal
ini hanya dapat dilakukan sementara.
1) Upaya peningkatan sanitasi lingkungan (environmental sanitation
improvement).
2) Pengendalian secara fisik-mekanik (physical-mechanical control)
yaitu dengan modifikasi atau manipulasi lingkungan.
3) Pengendalian secara biologis (biological control) yaitu dengan
memanfaatkan musuh alamiah atau pemangsa atau predator,
fertilisasi.
4) Pengendalian dengan pendekatan perundang-undangan (legal
control) yaitu dengan karantina.
5) Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (chemical control)
Teknologi yang tepat dan sesuai perlu diterapkan dalam pengendalian
vektor agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor
dapat mencapai hasil yang baik. Namun, sampai saat ini masalah yang
dihadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia yaitu dikarenakan factor
terkait kondisi geografis dan demografi yang memungkinkan adanya
keragaman vektor, belum teridentifikasinya spesies vektor (pemetaan
sebaran vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan
penggunaan pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi
6
resisten beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, keterbatasan
sumberdaya baik tenaga, logistik maupun biaya operasional dan kurangnya
keterpaduan dalam pengendalian vektor.
2.2 Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk merupakan spesies dari arthropoda yang berperan sebagai
vector penyakit arthropod-borne disease. Salah satu spesies nyamuk yang
berperan sebagai vektor penyakit tersebut adalah Aedes aegypti (Ae.aegypti).
Nyamuk Ae. Aegypti berperan sebagai vektor penyakit demam berdarah
dengue (Wakhyulianto. 2005).
Nyamuk Ae. aegypti terdapat pada daerah tropis dan subtropis di
seluruh dunia dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS, dengan ketinggian
wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Nyamuk Ae.
aegypti berasal dari Afrika, khususnya Ethiopia. Penyebaran nyamuk Ae.
aegypti ke seluruh dunia terjadi pada abad ke 19, yang disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan kapal dagang dalam perdagangan antar benua.
Nyamuk Ae. aegypti pada awalnya hanya hidup di daerah tepi pantai, tetapi
kemudian menyebar ke daerah pedalaman (Sumarmo, 1988).
2.2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) karena mengalami empat tahap dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan. Tahapan yang dialami oleh nyamuk yaitu telur, larva, pupa
dan dewasa. Telur nyamuk akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari
pada suhu 20-40°C. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh suhu, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang
7
ada di tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi
pupa dalam waktu 4-9 hari dan pada kondisi ini nyamuk tidak makan tapi
tetap membutuhkan oksigen yang diambilnya melalui tabung pernafasan
(breathing trumpet) , kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-
3 hari sehingga waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa yaitu 7-14
hari (Lestari,2010).
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti. Pada umumnya
nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20 – 30ºC.
Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. telur nyamuk
tampak telah mengalami embriosasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam
temperatur udara 25 - 30ºC. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan
nyamuk adalah 25 – 27ºC dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali
bila suhu kurang dari 10ºC atau lebih dari 40ºC (Yudhastuti, 2005).
Kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang
dapat mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti.
kelembaban udara yang berkisar 81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang
optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk.
2.2.2 Bionomik Nyamuk Aedes Aegypti
Bionomik vektor (nyamuk Aedes Aegypti) meliputi kesenangan
tempat perindukan nyamuk, kesenangan nyamuk menggigit, kesenangan
nyamuk istirahat, lama hidup dan jarak terbang ( Anonim, 2009) :
a. Kesenangan Tempat Perindukan Nyamuk
8
Tempat perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang
tertampung disuatu tempat atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat
berkembangbiak digenangan air yang langsung bersentuhan dengan
tanah. Genangannya yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk
ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasanya
disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di
tanah.
Survei yang telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa tempat perindukan yang paling potensial adalah
TPA (Tempat Penampungan Air) yang digunakan sehari–hari seperti
drum, tempayan, bak mandi, bak WC, dan ember. Namun ada pula TPA
alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung
kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, dan potongan
bambu. Tempat perindukan tambahan nyamuk aedes lainnya disebut
sebagai non-TPA, seperti tempat minuman hewan, vas bunga,
perangkap semut dan lain-lainnya.
Nyamuk Aedes aegypti lebih tertarik untuk meletakkan telurnya
pada TPA berair yang berwarna gelap seperti warna hitam, terbuka
lebar, dan terutama yang terletak di tempat-tempat yang terlindung dari
sinar matahari langsung.
b. Kesenangan Nyamuk Menggigit
Menurut Sumarmo, sifat dari nyamuk Ae. Aegypti betina dalam
menggigit dan menghisap darah adalah sebagai berikut:
9
1. Bersifat anthropofilik, karenanya lebih menyukai darah manusia
daripada darah binatang.
2. Menghisap darah dengan tujuan mematangkan telur dalam
tubuhnya.
3. Mempunyai kebiasaan menggigit beberapa orang secara bergantian
dalam waktu singkat (multiple bites). Hal tersebut disebabkan, pada
siang hari saat nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah
manusia dalam keadaan aktif bekerja atau bergerak sehingga
nyamuk tidak dapat menghisap darah dengan tenang sampai
kenyang pada satu individu.
4. Biasanya menggigit di dalam rumah dengan aktivitas menggigit
antara pukul 09.00-10.00 dan pukul 16.00-17.00.
5. Pada malam hari nyamuk Ae.aegypti (betina maupun jantan)
beristirahat di dalam rumah pada benda-benda yang tergantung
seperti pakaian, kelambu, kopiah, dan pada tempat-tempat gelap di
dalam rumah.
Adapun faktor yang berpengaruh pada aktifitas nyamuk mencari
makan, yaitu : bau yang dipancarkan oleh inang, temperatur,
kelembaban, kadar karbon dioksida dan warna. Untuk jarak yang lebih
jauh, faktor bau memegang peranan penting bila dibandingkan dengan
faktor lainnya.
c. Kesenangan Nyamuk Istirahat
Kebiasaan istirahat nyamuk Aedes aegypti lebih banyak di dalam
rumah pada benda-benda yang bergantung, berwarna gelap, dan di
10
tempat-tempat lain yang terlindung. Di tempat-tempat tersebut nyamuk
menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses
pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di
dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±
2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina
dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur tersebut dapat
bertahan sampai berbulan-bulan bila berada di tempat kering dengan
suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila di tempat tersebut tergenang air atau
kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat ( Anonim,
2009 ).
d. Jarak Terbang
Penyebaran nyamuk Aedes Aegypti betina dewasa dipengaruhi
oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah,
tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi
kemunculan. Akan tetapi penelitian terbaru di Puerto Rico
menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat menyebar sampai lebih dari 400
meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat
berlangsung melalui telur dan larva yang ada di dalam penampung.
e. Lama Hidup
Nyamuk Aedes Aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup 8
hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang,
risiko penyebaran virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan
11
lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami Aedes Aegypti
dalam berbagai kondisi.( Anonim, 2009 )
2.3 Pengendalian Vektor Aedes Aegypti
Menurut data dari Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, keberhasilan pencegahan penyakit
DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu Ae. Aegypti
(Bermawie, 2006).
Kegiatan pemberantasan nyamuk Aedes yang dapat dilaksanakan
dengan dua cara yaitu:
a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara :
1) Pengasapan (Fogging)
Pengasapan atau fogging dengan menggunakan jenis insektisida
misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic
(Supartha,2008). Contohnya, malathion dan fenthoin, dosis yang
dipakai adalah 1 liter malathion 95% EC + 3 liter solar. Pengasapan
dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan sore antara jam 15.00-
17.00 secara serempak (Depkes RI,2004). Penyemprotan dilakukan dua
siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan pertama, semua
nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infentif) dan nyamuk
lainnya akan mati. Penyemprotan kedua bertujuan agar nyamuk baru
yang infektif akan terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang
lain. Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi
penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan
12
terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan
serendah – rendahnya (Chahaya,2005).
Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara
penyemprotan pada dinding (residual spraying) karena nyamuk
Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-
benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung
(Supartha,2008).
2) Repelen
Repelen, yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat
mengganggu kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan dari
hewan atau manusia. Dengan kata lain, bahan itu berkhasiat mencegah
nyamuk hinggap dan menggigit. Bahan tersebut memblokir fungsi
sensori pada nyamuk. Jika digunakan dengan benar, repelen nyamuk
bermanfaat untuk memberikan perlindungan pada individu pemakainya
dari gigitan nyamuk selama jangka waktu tertentu (Kardinan,2007).
Nyamuk dalam mengincar mangsanya lebih mengandalkan daya
cium dan panas tubuh calon korbannya. Daya penciuman itulah yang
menjadi target dalam menghalau nyamuk (Rahayu ,2008).
Salah satu cara yang lebih ramah lingkungan adalah memanfaatkan
tanaman antinyamuk (insektisida hidup pengusir nyamuk). Tanaman
hidup pengusir nyamuk adalah jenis tanaman yang dalam kondisi hidup
mampu menghalau nyamuk. Cara penempatan tanaman ini bisa
diletakkan di sudut-sudut ruangan dalam rumah, sebagai media untuk
mengusir nyamuk. Jumlah tanaman dalam ruangan tergantung luas
13
ruangan. Sementara, untuk penempatan diluar rumah atau pekarangan
sebaiknya diletakkan dekat pintu, jendela atau lubang udara lainnya,
sehingga aroma tanaman terbawa angin masuk ke dalam ruangan.
Contoh tanaman anti nyamuk yang gampang ditemui antara lain:
Tembelekan (Lantana camera L), Bunga Tahi ayam atau Tahi Kotok
(Tagetes patula), Karanyam (Geranium spp), Sereh Wangi
(Andropogonnardus atau Cymbopogon nardus), Selasih (Ocimum spp),
Suren (Toona sureni, Merr), Zodia (Evodia suaveolens, Scheff),
Geranium (Geranium homeanum, Turez) dan Lavender (Lavandula
latifolia,Chaix) (Rahayu ,2008).
3) Teknik Serangga Mandul (TSM)
Radiasi dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor yaitu untuk
membunuh secara langsung dengan teknik desinfestasi radiasi dan
membunuh secara tidak langsung yang lebih dikenal dengan Teknik
Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik pengendalian vektor yang
potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompatibel
dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu
membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique).
Teknik Jantan Mandul atau TJM merupakan teknik pemberantasan
serangga dengan jalan memandulkan serangga jantan. Radiasi untuk
pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron,
namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar
gamma (Nurhayati,2005).
14
b. Pemberantasan jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan
istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara :
1) Fisik
Cara ini dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi
tempat-tempat perindukkan. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau mencegah agar
nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini dapat dilakukan dengan
(Chahaya,2011):
a) Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air
sekurangkurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama
7-10 hari.
b) Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan
tempat air lain
c) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung
sekurangkurangnya seminggu sekali
d) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang
bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi
sarang nyamuk.
e) Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon
dengan tanah
f) Membersihkan air yang tergenang diatap rumah
g) Memelihara ikan
15
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya, untuk
memberantas jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat
berkembang biak. Mengingat Ae.aegypti tersebar luas, maka
pemberantasannya perlu peran aktif masyarakat khususnya
memberantas jentik Ae.aegypti di rumah dan lingkungannya masing-
masing. Cara ini adalah suatu cara yang paling efektif dilaksanakan
karena (Chahaya,2011):
a) tidak memerlukan biaya yang besar,
b) bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih,
c) menjadikan lingkungan bersih,
d) budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong,
e) dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang
diakibatkan oleh lingkungan yang kotor akan berkurang.
2) Kimia
Dikenal sebagai Larvasidasi atau Larvasiding yakni cara
memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik (larvasida). Larvasida yang biasa
digunakan antara lain adalah temephos yang berupa butiran – butiran
(sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1
sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos
ini mempunyai efek residu selama 3 bulan (Depkes RI,2004). Nama
merek dagang temefos adalah abate.
Abate merupakan senyawa fosfat organik yang mengandung gugus
phosphorothioate. Bersifat stabil pada pH 8, sehingga tidak mudah larut
16
dalam air dan tidak mudah terhidrolisa. Abate murni berbentuk kristal
putih dengan titik lebur 300 – 30,50 C. Mudah terdegradasi bila terkena
sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva nyamuk
tergantung dari degradasi tersebut. Gugus phosphorothioate (P=S)
dalam tubuh binatang diubah menjadi fosfat (P=O) yang lebih potensial
sebagai anticholinesterase. Kerja anticholinesterase adalah menghambat
enzim cholinesterase baik pada vertebrata maupun invertebrata
sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena
tertimbunnya acetylcholin pada ujung syaraf tersebut. Hal inilah yang
mengakibatkan kematian (Fahmi,2006).
Larva Aedes aegypti mampu mengubah P=S menjadi P=O ester
lebih cepat dibandingkan lalat rumah, begitu pula penetrasi abate ke
dalam larva berlangsung sangat cepat dimana lebih dari 99% abate
dalam medium diabsorpsi dalam waktu satu jam setelah perlakuan.
Setelah diabsorpsi, abate diubah menjadi produk-produk
metabolisme,sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan ke
dalam air (Fahmi,2006)
Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan
nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak
begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula
diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya
(Chahaya,2011).
17
3) Biologi
Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup,
baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan
vertebrata. Organisme tersebut dapat berperan sebagai patogen, parasit
atau pemangsa. Beberapa jenis ikan pemangsa yang cocok untuk larva
nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax panchax), ikan gabus
(Gambusia affinis) dan ikan gupi lokal seperti ikan P.reticulata
(Gandahusada,1998). Menurut penelitian Widyastuti (2011) model
pengendalian vektor DBD Ae.aegypti dapat menggunakan predator
M .aspericornis lebih efisien daripada menggunakan predator Ikan
Cupang.
Selain cara diatas, ada pengendalian legislatif untuk mencegah
tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke daerah lain atau dari luar
negeri ke Indonesia, diadakan peraturan dengan sanksi pelanggaran oleh
pemerintah. Pengendalian karantina di pelabuhan laut dan pelabuhan udara.
Demikian pula penyemprotan insektisida di kapal yang berlabuh atau kapal
terbang yang mendarat di pelabuhan udara. Keteledoran oleh karena tidak
melaksanakan peraturan-peraturan karantina yang menyebabkan
perkembangbiakan vektor nyamuk dan lalat, dapat dihukum menurut undang-
undang (Gandahusada,1998).
2.3.1 Maserat Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) sebagai Larvasida
Lebih dari 2400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 255 famili
dilaporkan mengandung bahan pestisida, salah satunya adalah jeruk nipis
(Citrus aurantifolia. Jeruk nipis mengandung bahan beracun yang disebut
18
limonoida (Kardinan,2001). Senyawa dengan golongan terpenoid yaitu
limonoida yang berfungsi sebagai larvasida (Ferguson, 2002).
Penggunaan toksin yang berasal dari tanaman dapat digunakan untuk
pemberantasan larva nyamuk Aedes aegypti karena di dalam suatu ekstrak
tumbuhan tersebut selain terdapat beberapa senyawa aktif utama biasanya juga
banyak terdapat senyawa lain yang kurang aktif, tetapi keberadaannya dapat
meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi). Hal ini
memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten, karena kemampuan
serangga membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang
berbeda secara bersamaan lebih kecil daripada senyawa insektisida tunggal.
Senyawa limonoid merupakan teranoriterpen yang terdapat dalam daun
jeruk nipis (Robinson,1994) yang berpotensi sebagai antifeedant terhadap
serangga, zat pengatur tumbuh dan zat toksik pada kutu beras, larvasida, anti
mikroba, penolak serangga (repellent) dan penghambat reproduksi
(Jiaxing,2001). Senyawa limonoida merupakan analog hormon juvenille pada
serangga yang berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan kutikula larva
(Ruberto,2002).
Cara kerja (metode of action) insektisida nabati dalam membunuh atau
mengganggu pertumbuhan hama sasaran adalah:
a. mengganggu/mencegah perkembangan telur, larva dan pupa,
b. mengganggu/mencegah aktifitas pergantian kulit dari larva,
c. mengganggu proses komunikasi seksual dan kawin pada serangga,
d. Meracun larva dan serangga dewasa imago,
e. Mengganggu/mencegah makan serangga,
19
f. menghambat proses metamorfosis pada berbagai tahap,
g. menolak serangga larva dan dewasa, dan
h. menghambat pertumbuhan penyakit. (Anonymous dalam Saraswati
(2004).
2.3.2 Abate Kimia
Abate Kimia adalah sejenis obat untuk membunuh jentik nyamuk. Obat
ini aman digunakan dan sudah mendapat izin resmi dari WHO dan Depkes
RI. Aturan pakai bubuk abate ini adalah 10 gr setiap 100 liter air dan mampu
bertahan hingga 3 bulan. Abate kimia ini lebih disarankan digunakan
ditempat-tempat yang sulit dilakukan pengurasan karena untuk tempat yang
mudah dikuras lebih dianjurkan untuk dilakukan pengurasan daripada ditaburi
dengan bubuk abate ini.
20
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Metode Praktikum
Praktikum pengendalian vector nyamuk Aedes aegepty yang kami lakukan
menggunakaan daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) sebagai larvasida alami.
Hal ini kami pilih dengan alasan karena :
a. Metode yang paling efektif untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegepty
dengan cara membunuh jentik-jentik
b. Membunuh jentik nyamuk yang aman adalah dengan bahan alami dari
tumbuhan contohnya daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) karena sifatnya
yang mudah terurai di alam
c. Daun jeruk nipis merupakan tanaman yang mudah didapatkan di
Indonesia.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan praktikum pengendalian vector nyamuk Aedes Aegepty
meliputi:
a. Tempat penampungan air yang berjentik
b. Gelas plastik
c. Tampah
d. Alat penumbuk (cobek dan ulekan)
e. Panci
f. Kompor
g. Pengaduk
h. Gelas ukur
21
i. Pipet
j. Timbangan kue
k. Kain putih 50 x 50 cm
l. 300 gr daun jeruk nipis
m. Pelarut etanol 96 %
n. Bubuk Abate Kimia
o. Alat tulis
3.3 Prosedur Kerja
Ada beberapa tahap yang kami lakukan dalam praktikum ini yaitu:
a. Pembuatan Larvasida Daun Jeruk Nipis dan Abate Kimia
1) Menimbang daun jeruk nipis seberat ± 300 g
2) Mencuci daun jeruk nipis sampai bersih kemudian mengeringkannya
dibawah sinar matahari
3) Menumbuk daun jeruk nipis yang sudah kering sampai menjadi serbuk
kering
4) Maserasi serbuk bahan dengan etanol 96%, maserat diambil setiap 24
jam atau setiap hari dan maserasi dihentikan apabila larutan
memberikan maserat yang agak jernih.
5) Menguapkan maserat yang sudah didapatkan dengan menggunakan
pemanasan diatas air panas sampai kental atau pekat.
6) Setelah selesai, ”crude extract” disimpan di dalam lemari es dan siap
digunakan.
7) Siapkan Abate Kimia
22
b. Pra Pemberian Larvasida Daun Jeruk Nipis dan Abate Kimia
1) Mencari bak mandi yang mengandung jentik nyamuk
2) Menyiapkan 3 gelas plastik
3) Menghitung jumlah jentik yang ada di permukaan air bak mandi
dengan menjaringnya menggunakan kain putih yang sudah disiapkan
dan mencatatnya pada table hasil pengamatan.
4) Masing-masing gelas plastik diberi jentik sebanyak 30 jentik
c. Pelaksanaan Pemberian Larvasida Jeruk Nipis dan Abate Kimia
1) Memasukan ”crude extract” daun jeruk nipis sebagai larvasida dengan
konsentrasi 100 ppm (100 mg maserat daun jeruk nipis per 1 liter air)
ke dalam gelas plastik 1 yang sudah terdapat jentik.
2) Memasukkan Abate Kimia kedalam gelas plastik 2 yang sudah
terdapat jentik.
3) Mengamati perubahan pada semua gelas plastik tersebut setiap
jamnya.
d. Pasca Pemberian Larvasida Jeruk Nipis dan Abate Kimia
1) Menghitung jumlah jentik yang ada di permukaan semua gelas plastik
dengan menjaringnya menggunakan kain putih yang sudah disiapkan
dan mencatatnya pada table hasil pengamatan
2) Membandingkan jumlah jentik dalam 3 gelas plastik sebelum dan
sesudah pemberian larvasida daun jeruk nipis dan abate kimia,
kemudian menarik kesimpulan.
3.4 Lokasi Praktikum
23
Lokasi praktikum dilakukan di kost salah satu anggota kelompok yang
berlokasi di Sutorejo 26 Surabaya karena terdapat jentik nyamuk pada
penampungan airnya serta terdapat tempat yang memadai untuk proses
pembuatan larvasida daun jeruk nipis.
3.5 Waktu Pelaksanaan Praktikum
Tabel 1. Waktu Pelaksanaan Praktikum
No Kegiatan Tanggal
1. Pembuatan larvasida daun jeruk nipis dan abate
kimia
15-17 Maret 2013
2. Pra pemberian larvasida daun jeruk nipis dan
abate kimia
23 Maret 2013
3. Pemberian larvasida kedalam 2 gelas plastik
dan pengamatan
23 Maret 2013
4. Menghitung dan membandingkan jumlah jentik
dalam 3 gelas plastik pasca pemberian
larvasida
23 Maret 2013
5. Analisis hasil praktikum 23 Maret 2013
3.6 Timeline Kegiatan
Tabel 2. Tabel Timeline Kegiatan
No KegiatanHari
1 2 3 4
1. Menyiapkan maserat daun jeruk nipis dan abate
2. Mencari dan menghitung jentik
24
3. Memberikan larvasida ke 2 gelas plastik
4 Menghitung dan membandingkan jumlah jentik
dari 3 gelas plastik yang berbeda perlakuannya
5 Menganalisis hasil praktikum
3.7 Rincian Biaya
Rincian biaya dari praktikum yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
a. 300 gr daun jeruk nipis Rp 3000
b. Bubuk Abate Rp 5000
c. Pelarut etanol 96 % Rp 23.000 +
Rp 31.000
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian abate jeruk nipis secara efektif dapat melumpuhkan jentik
nyamuk. Hal ini dikarenakan daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) mengandung
suatu senyawa bernama limonoida yang bersifat larvasida. Disamping itu,
limonoida ini juga memiliki fungsi anti bakteri, antivirus, anti jamur dan
insektisida. Zat limonoida ini banyak terdapat di berbagai tanaman jeruk,
termasuk di antaranya pada tanaman jeruk nipis. Berikut merupakan hasil
pengamatan praktikum pengendalian nyamuk aedes aegypty kelompok kami :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Praktikum
NO PERLAKUAN JAM HASIL
1 200 ml air + 30
jentik nyamuk
+ 20 ml abate
jeruk nipis
11.00 WIB jentik nyamuk masih bergerak aktif
12.00 WIB
± 80 % atau sekitar 24 jentik nyamuk
mati
13.00 WIB seluruh jentik mati
2 200 ml air + 30
jentik nyamuk
+ 20 mg abate
biasa
11.00 WIB jentik nyamuk masih bergerak aktif
12.00 WIB jentik nyamuk masih bergerak aktif
13.00 WIB jentik nyamuk masih bergerak aktif
14.00 WIB 40 % jentik nyamuk mati
3 200 ml air + 30
jentik nyamuk
11.00 WIB -
16.00 WIB
tidak ada perubahan yang terjadi, jentik
masih aktif bergerak
26
Efektivitas dari abate jeruk nipis terbukti pada pemberian 20ml air jeruk
pada 200 ml air yang telah di berikan jentik nyamuk. Pada percobaan
didapatkan abate ini mampu melumpuhkan pergerakan jentik pada
pengamatan satu jam awal setelah pemberian yaitu sebanyak 80% dari jumlah
jentik (30 ekor).
Sedangkan efektivitas dari abate kimia yang tersebar di masyarakat, pada
pemberian sekitar 20 mg abate pada 200 ml air dapat melumpuhkan jentik
nyamuk pada jam ketiga pengamatan dan hanya sekitar 40% dari jumlah
jentik saja yang mati. Sedangkan pada jam pertama dan kedua pengamatan,
diamati jentik masih dapat melakukan pergerakan. Abate kimia tersebut
sebenarnya berisi bubuk organofosfat bernama temephos, yang berperan
mengganggu kerja dari sistem saraf sentral dengan inhibisi chiolinesterase.
Dari kedua percobaan ini, yaitu penggunaan abate organik dari daun
jeruk nipis dan abate temephos, sama-sama menunjukkan efektivitasnya
sebagai larvasida. Abate organik dari daun jeruk nipis dengan perbandingan
1:10 terbukti mampu melumpuhkan jentik nyamuk dalam waktu satu jam.
Penggunaan daun jeruk nipis ini terbukti dapat dimanfaatkan sebagai abate
alternatif bagi masyarakat untuk mencegah perkembangbiakan vektor
nyamuk serta penularan berbagai penyakit yang dapat dibawanya.
Penggunaan abate daun jeruk nipis ini pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan daya penerimaan dari masyarakat akan abate yang mana pada
akhirnya tujuan dari penggunaan abate itu sendiri, yaitu pemutusan rantai
siklus hidup vektor penyakit dapat diaplikasikan.
27
Table 5.Perbedaan antara Abate Daun Jeruk Nipis dengan Abate Kimia Biasa
No ABATE KIMIA BIASA ABATE DAUN JERUK NIPIS
1 abate berbentuk serbuk sehingga mudah dibawa dan disimpan
abate berbentuk larutan sehingga tidak cukup efisien dalam pengemasan atau penyimpanan
2 serbuk abate tidak membuat air berubah warna
larutan abate berwarna hijau tua sehingga dapt mengubah warna air
3 serbuk abate tidak memberi perubahan bau pada saat bercampur dengan air
larutan abate memberi bau khas jeruk nipis pada saat bercampur dengan air
4 pemberian abate kimia dapat bertahan lama dalam bak mandi tanpa perubahan
pemberian abate daun jeruk tidak bertahan lama dalam bak mandi atau perlu penggantian yang lebih sering
5 serbuk abate tidak mengalami pembusukan larutan abate memiliki efek pembusukan karena berasal dari bahan alami (tumbuhan)
Table 6 Perbedaan Warna Antara Abate Kimia Biasa Dengan Abate Daun Jeruk
ABATE KIMIA BIASA ABATE DAUN JERUK NIPIS
28
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penggunaan abate organik dari daun jeruk nipis dan abate temephos,
sama-sama menunjukkan efektivitasnya sebagai larvasida. Abate organik dari
daun jeruk nipis dengan perbandingan 1:10 terbukti mampu melumpuhkan
jentik nyamuk dalam waktu satu jam. Sehingga Abate Organik Daun Jeruk
Nipis ini dapat dimanfaatkan sebagai abate alternatif bagi masyarakat dalam
pemutusan rantai siklus hidup vektor penyakit.
4.2 Saran
a. Penggunaan daun jeruk nipis dapat diterima dan dimanfaatkan sebagai
abate alternatif bagi masyarakat untuk mencegah perkembangbiakan
vektor nyamuk serta penularan berbagai penyakit yang dapat dibawanya.
b. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai abate alami dari maserat daun
jeruk nipis ini agar dapat diproduksi secara massal.
29
LAMPIRAN
Gambar 1. Menghaluskan Jeruk Nipis Gambar 2. Bahan yang digunakan
Gambar 3. Daun Jeruk Nipis sudah dihaluskan Gambar 4. Daun Jeruk Nipis+Alkohol
30
Gambar 5. Maserat Daun Jeruk Nipis Gambar 6. Mencari Jentik Nyamuk
Gambar 7. Jentik Nyamuk 1 Gambar 8. Alat yang digunakan
Gambar 9. Memanasi Abate Daun Jeruk Nipis
31
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Agnesa. 2011. Makalah Nyamuk Aedes Aegepty dan Pengendaliannya.
http://www.kesmas-unsoed.info/2011/04/makalah-nyamuk-aedes-dan.html.
Diakses tanggal 6 Maret 2013.
Adnan Agnesa. 2011. Makalah Vektor Penyakit. http://www.kesmas-
unsoed.info/2011/03/makalah-vektor-penyakit.html. Diakses 6 Maret 2013.
Host. 2013. Morfologi Nyamuk. http://caramencegah.com/morfologi-
nyamuk#.UTdD0tZgcVI. Diakses 7 Maret 2013.
Zaifbio. 2010. PEMANFAATAN DAUN JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia)
SEBAGAI LARVASIDA UNTUK PEMBERANTASAN NYAMUK
Aedes aegepty. http://zaifbio.wordpress.com/2010/04/16/pemanfaatan-daun-
jeruk-nipis-citrus-aurantifolia-sebagai-larvasida-untuk-pemberantasan-nyamuk-
aedes-aegepty/. Diakses 7 Maret 2013.
Wikipedia. 2013. Demam Berdarah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Demam_berdarah. Diakses 7 Maret 2013.
Uyung Pramudiarja. 2011. Indonesia Juara Demam Berdarah.
http://health.detik.com/read/2011/02/18/163159/1573796/763/indonesia-juara-
demam-berdarah-di-asean. Diakses, 7 Maret 2013.
32
33