wrap up rona merah di pipi
-
Upload
mettytusiana -
Category
Documents
-
view
297 -
download
3
description
Transcript of wrap up rona merah di pipi
SKENARIO 3
RONA MERAH DI PIPI
Seorang perempuan berusia 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan markerautoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
Langkah pertama1
Kata-kata sulit
1. Autoimun : kondisi dimana suatu kelainan dari system imun yang dikarateristikkan oleh produksi abnormal dari antibody
2. Malarrash : ruam merah berbintik seperti kupu-kupu 3. Marker autoimun : penanda adanya autoantibodi4. Systemic Lupus Eritematosis (SLE) : penyakit inflamasi yang menyerang jaringan
pengikat kolagen pada berbagai system organ tubuh5. Suhu subfebris : suhu tubuh rata-rata 37˚-38˚C
Pertanyaan
1. Apakah SLE hanya menyerang wanita?2. Factor penyebab terjadinya SLE?3. Apakah peranan ds-DNA terhadap SLE? Bias turun-menurun atau tidak?4. Apakah malarrsh hanya timbul diwajah?5. Bagaimana jika pasien tidak meneruskan pengobatan?6. Apakah sinar matahari dapat memperparah SLE?7. Kenapa suhu sufebris,konjungtiva pusat, terdapat sariawan dibawah mulut?8. Jenis-jenis pemeriksaan penunjang SLE?9. Apakah penderita SLE bisa sembuh?10. Apakah ada kriteria diagnosis yang spesifik untuk SLE?11. Apakah ada penyakit autoimun lainnya?12. Dalam kondisi apakah demam bisa hilang timbul13. Apakah pandangan islam untuk penyakit SLE?
Jawaban
1. Mayoritas menyerang wanita, karena adanya hormone estrogen yang menambah resiko SLE
2. Genetic,hormone,lingkungan,sinar UV, imunitas, obat3. Bisa turun menurun4. Tidak, bisa di lipatan tubuh, tapi yang yang seperti kupu-kupu hanya diwajah5. Keadaan semakin memburuk6. Bisa mempengaruhi SLE7. 8. Hematologi, urin dan marker autoimun9. Tidak bisa, hanya bisa bertahan10. Malarrash11. Ada hipertiroidism, diabetes mellitus 1,arthritis reumatoiditis, vitiligo, sclerosis multiple12.
2
13. Banyak ikhtiar,tawakal,sabar , berdoa
Hipotesa
Sasaran belajar
3
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Penyakit AutoimunLO 1.1 Definisi LO 1.2 EtiologiLO 1.3 PatofisiologiLO 1.4 Faktor-faktor yang berperanLO 1.5 Klasifikasi
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Sistemik Lupus EritemitosisLO 2.1 DefinisiLO 2.2 EpidemiologiLO 2.3 EtiologiLO 2.4 Patogenesis dan PatofisiologiLO 2.5 Manifestasi KlinisLO 2.6 Diagnosis dan Diagnosis bandingLO 2.7 PenataklasanaanLO 2.8 KomplikasiLO 2.9 Prognosis
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan LaboratoriumLO 3.1 ANALO 3.4 Anti ds-DNALO 3.5 KomplemenLO 3.6 Interpretasi Hasil
LI.4 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam untuk Penyakit SLE
SASARAN BELAJARLI.1 Memahami dan Menjelaskan Penyakit AutoimunLO 1.1 Definisi
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh
mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T
atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun.
LO 1.2 EtiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun
1. GenetikBeberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen
Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai
4
risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan
estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan
obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
LO 1.3 Patofisiologi
TOLERANSI IMUN
5
Toleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.
I.Toleransi T
A. Toleransi sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptide asal protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis seleksi, yaitu seleksi positif dan seleksi negative.
Seleksi positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan diapoptosis.
Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena itu, sel-sel tersebut harus disingkirkan.
Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa hal, sel T atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.
B. Toleransi perifer
Merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klonsel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic seperti sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ avaskular. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosi treaktif pada kondisi normal. Namun, akibat infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan dan menimbulkan respon imun.
Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah self-antigen terpajan dengan APC, sisa degradasi jaringan harus disingkirkan dengan apoptosis melibatkan system komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagositosis dapat berhubungan dengan autoimunitas.
6
Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi sel B atausel T. Karena stimulasi sel T tanpa molekul konstimulatormenyebabkan apoptosis. Untukmemulasiresponimun, sel CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen spesifikdari TCR dan sinyal konstimulator non spesifik.
II. Toleransi sel B
a. Toleransi sentral
Seleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.
b. Toleransi perifer
Setelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak berfungsi.
LO 1.4 Faktor-faktor yang berperan1. Infeksi dan Kemiripan Molekular
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun
tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri.
Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan
terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi
autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan.
Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respon
imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh
kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok,
disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis.
7
2. Sequestered Antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya,
tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti
inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan
sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal.
Contohnya protein intraoktakular pada sperma.
3. Kegagalan Autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan
dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar
sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan respon terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila
terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
menimbulkan autoimunitas.
4. Aktivasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus
(EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai
autoantibodi.
5. Obat-obatan
Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia
dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya.
Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit
autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada
umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid
8
dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa LES. Antibodi
menghilang bila obat dihentikan.
6. Faktor Keturunan
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun
sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi
bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga
terjadi atas pengaruh beberapa gen. (Imunologi Dasar FK UI )
LO1.5 Klasifikasi Penyakit autoimun menurut mekanisme :
a. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi Anemia hemolitik autoimun Limfopeni Sindrom goodpasture Penyakit grave Granulomatosis wegener Miastenia gravis
b. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T Sistemiko Artritis reumatoido LES
Organ atau jaringanspesifiko Sindrom Sjogreno Sklerosis multipleo Sindrom guillain-bare
c. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-Ab Diabetes tipe I LES
d. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Penyakit autoimun menurut sistem organ
a. Penyakit autoimun hematologib. Penyakit saluran cerna Anemia pernisiosa Gastritis antral difus Hepatitis autoimun
9
c. Penyakit autoimun jantung Miokarditis Kardiomiopati
d. Penyakit autoimun ginjal Glomerulonefritis Sindrom goodpasture
e. Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare Vaskulitis saraf perifer
f. Penyakit autoimun endokrin Penyakit grave Tiroiditis primer
g. Penyakit autoimun otot Miastenia gravis Polimiositis-dermatomiositis
h. Penyakit autoimun reproduksi Granulomatosa wegener Sarkoidosis
i. Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan
Penyakit autoimmun nonorgan spesifik/sistemik
a. Lupus eritematosus sistemik a. Sklerodermab. Sindrom sjogrenc. Artritis reumatoidd. Sistitis anterstisiale. Sindrom antibodi antifosfolipidf. Vaskulitis
LI 2 Memahami dan Menjelaskan Sistemik Lupus EritematosisLO 2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi yang
berlebih terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan
patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE
10
bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh matahari),
genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan hormon testosteron dan LH untuk
laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita).
Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang
mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya
SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper,
terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2
menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.
LO 2.2 Epidemiologi
Statistik Amerika SerikatKejadian rata-rata SLE 5 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan kisaran antara 1,8 dan 7,6 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat.Yayasan Lupus Amerika memperkirakan prevalensi menjadi hingga 1,5 juta kasus, yang mungkin mencerminkan terjadinya bentuk ringan dari penyakit ini. Berdasarkan sebuah laporan dari Kelompok Kerja Nasional Arthritis data 2008, terdapat sekitar 250.000 orang Amerika terkena SLE.Frekuensi SLE bervariasi menurut ras dan etnis, tingkat kejadian tinggi dilaporkan pada orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di Rochester, Minnesota, dan 100 per 100.000 Hispanik di Nogales, Arizona. Insiden SLE pada wanita kulit hitam adalah sekitar 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih. SLE juga lebih sering terjadi pada wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.
Statistik InternasionalDi seluruh dunia, prevalensi SLE bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia. Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pemicu lingkungan, serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi di Inggris.
Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usiaDi seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras. Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Terjadinya kontras dilaporkan antara tingkat rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris menunjukkan
11
bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan kemudian perempuan kulit putih.Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dan keterlibatan kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian di Asia.
Rasio perempuan dan laki-lakiLebih dari 90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia subur. Penggunaan hormon eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, yang menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY), yang lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal. Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki tingkat yang lebih parah dari SLE daripada perempuan, tetapi tingkat kurang parah daripada orang lain. Rasio perempuan dan laki-laki yaitu 11:1 selama tahun-tahun subur. Terdapat korelasi antara usia dan kejadian SLE selama tahun puncak produksi hormon seks perempuan. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya pada usia 20-an dan 30-an, dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan. Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak memiliki onset berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar 1,89-25,7 per 100.000. Prevalensi SLE tertinggi pada wanita berusia 14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada laki-laki, meskipun harus diperhatikan bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, rasio perempuan ke laki-laki jatuh. Efek ini mungkin karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.
LO 2.3 EtiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun
GenetikBeberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan
gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada
12
yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan
atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan
estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa),
dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
LO 2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis
1.Kerusakan akibat destruksi sel
13
Kerusakan jaringan disebabkan karena reaksi autoantibodi dengan struktur
permukaan sel baik yang utuh maupun yang telah berubah atau mengalami modifikasi
atau terhadap komponen seluler tertentu.
Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen (seperti pada anemia
hemolitik) atau mungkin melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi
(ADCC). Terkadang autoantibodi terhadap reseptor merangsang atau mneghambat
fungsi sel tanpa merusaknya.
2. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali dengan
pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang kemudian
menyulut aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen ditandai
dengan penurunan jumlah komplemen yang akan mneyebabkan kerusakan jaringan
sistemik.
3.Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel
atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut
respon inflamasi.
Mekanisme terjadi melalui sitotoksisitas sel T dengan cara : 1) eksositosis granula
yang mengandung perforin yang menyebabkan pengrusakan sel sasaran. 2) pengikatan
Fas dengan FasL yang terdapat pada membran sel sasaran atau yang dilepaskan oleh
sel sasaran. Interaksi ini menyebabkan sitotoksisitas sel tanpa melalui MHC.
14
PATOGENESIS SLE
15
Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal
Tenaga pendorong abnormal sel T CD 4+
Hilangnya self tolerance sel T
Muncul sel T autoreaktif
Induksi dan ekspansi sel B
Produksi autoantibodi
Untuk antigen nukleoplasma (DNA, protein histon, non histon) tidak tissue specific meningkat
komponen integral semua jenis sel
Autoantibodi terhadap eritropoiten
1. Penurunanan produksi eritropoiten2. Resistensi eritropoiten pada sel
eritroid3. Besi terikat dengan besi pengikat4. Penurunan respon eritropoiten5. Efek supresif IL terhadap eritropoises
Penurunan Hb
ANEMIA
Membentuk kompleks DNA (ANA) yang akan memasuki sirkulasi
ANA mengendap di berbagai macam organ, terutama membran basal glomerulus
Terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut
Aktivasi komplemen mengerahkan granulosit
Aktivasi C 5 a
Timbul reaksi radang/inflamasi
Gangguan fungsi ginjal
Mukosa bibir inflamasi
stomatitis
Pajanan matahari muka menjadi merah
Folikel menyempit rambut rontokAktivasi komplemen
LANJUTAN
16
Gangguan fungsi ginjal
Gangguan pada kapiler glomerulus
Selektivitas dinding glomerulus menurun
Albumin, globulin protein dengan berat molekul besar menembus
dinding glomerulus
Kebocoran protein plasma dalam urine
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Tekanan osmotik plasma menurun
Volume plasma menurun
Sistem reninangiotensin
Aldosteron
Retensi Na
EDEMA
ADH meningkat
Retensi Air
Defek intrinsik eksresi natrium dan
air
Proteinuria hipoalbuminemia penurunan volume darah
arteri efektif
Retensi Na dan air oleh ginjal
Buang air kecil <<<
Hipertensi
Nadi meningkat Tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan onkotik menurun
Cairan masuk ke jaringan interstitial
Ekstremitas, asites, palpebral, dan anasarca
Ket :
Radikal O2 depolimerisasi hyaluronate penurunan viskositas cairan sendi
merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Kompleks imun mengendap sel T masuk membran synovial terbentuk pannus
(elemen dekstruktif pada arthritis) menghancurkan sendi
17
Aktivasi komplemen C 5 a
Permeabilitas vaskular meningkat Menarik sel PMN yang memfagositosis ANA
Degranulasi mast cell dan pembebasan radikal O2, leukotrin,
enzim lisosomal, prostaglandin, collagenous, dan stromlysin
Inflamasi dan kerusakan jaringan (erosi rawan sendi dan tulang)
Patofisiologi
Sel T yang abnormal
– Limfopenia
– Penurunan subset supressor
– Penurunan naif sel
– Penurunan memori sel
– Penurunan aktivitas sel suppressor (CD8+)
– Peningkatan aktivitas sel helper (CD4+)
Sel B
– Fungsi sel B yang abnormal
– Aktivasi dari poliklonal sel B
– Sel B intrinsik yang abnormal
– Peningkatan respon terhadap stimulun sitokin
Sistemik Kelainan mendasar pada lupus eritematosus sistemik adalah kegagalan
mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang
dapat merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.
Telah diidentifikasi bahwa antibodi tersebut melawan komponen nuklear dan sitoplasma sel
seorang pejamu yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies. Suatu kelompok lain
antibodi diarahkan untuk melawan antigen permukaan sel unsur darah, sementara yang lain
diarahkan untuk melawan protein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid (antibodi
antifosfolipid). Antibodi antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan
beberapa antigen nukleus dan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori :
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nukleolus
Mekanisme jejas jaringan, tanpa memperhatikan urutan pasti terbentuknya
autoantibodi, yang jelas autoantibodi tersebut merupakan mediator untuk jejas jaringan.
18
Sebagian besar lesi viseral diperantarai oleh kompleks imun (reaksi hipersensitivitas III).
Sebagai contoh, kompleks DNA/anti-DNA dapat dideteksi dalam glomerulus. Terdapatnya
kadar komplemen serum yang rendah yang disertai dengan deposit granula dalam
glomerulus lebih lanjut akan memberikan dukungan terhadap sifat kompleks imun pada
penyakit tersebut. Selain itu, autoantibodi yang melawan eritrosit, leukosit, dan trombosit
akan memerantarai efeknya melalui hipersensitivitas tipe II. Dalam jaringan, nukleus sel
yang mengalami kerusakan akan bereaksi dengan ANA, kehilangan pola kromatinnya dan
menjadi homogen, untuk menghasilkan badan LE atau badan hematoksilin. Hasil hubungan
in vitronya adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag yang telah memakan nukleus yang
berdenaturasi pada sel lain yang mengalami jejas.
Sebagai rangkuman, Lupus eritematosus sistemik adalah suatu penyakit kompleks
yang penyebabnya multifaktorial (termasuk faktor genetik, hormonal dan lingkungan), yang
mengakibatkan aktivasi sel-T dan sel-B yang berpuncak pada produksi beberapa jenis
autoantibodi.
19
Produksi autoantibodi IgG
Antigen-diri yang dikendalikan
Individu yang rentan secara genetik Gen yang terlibat :
MHC kelas II, komplemen, gen yang tak teridentifikasi lainnya.
Daya kendali sel T
tergantung CD4 (reaktif terhadap peptida-diri)
Pemicu lingkungan
(tidak diketahui)
Manifestasi klinis yang diperantarai autoantibodi
LO 2.5 Manifestasi klinis
Gejala Konstitusional1. Kelelahan
Merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
2. Penurunan Berat BadanKeluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
3. DemamDemam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Lain-lainDapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakit seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Gejala Klinik
1. Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
2. Serositis (pleuritis dan perikarditis).
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
3. Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
20
4. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia.
Gejala yang lain:1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %2. Demam di atas 38 NC 90 %3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %5. Ruam pada kulit 74 %6. Anemia 71 %7. Gangguan ginjal 50 %8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %11. Rambut rontok 27 %12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %14. Stroke 15 %15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %16. Selera makan hilang > 60 %
LO 2.6 Diagnosis dan Diagnosis bandingKarena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala yang
sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian
tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis
lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.
Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas.
Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak
pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun
setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis
lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus
eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana
hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang
lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
21
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar (butterfly rash)
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisikataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukanataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat
22
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas
Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat membantu
mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk menentukan
keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju
endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta
biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu
diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)
Diagnosis banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES
23
mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
LO 2.7 Penataklasanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam
penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus
merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan
ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-
strategi pencegahan seperti :
Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)
Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)
Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita
mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)
Evaluasi serta terapi terhadap infeksi
Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara
rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi,
terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita
SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :
Terapi konservatif
Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat
diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.
Arthritis, arthralgia, myalgia
Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan
seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi
pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat
keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal
sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik
dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :
24
Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon
baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan
klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik
terhadap retina.
Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu)
dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.
Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan merupakan
bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami
osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal,
sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional,
sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.
Lupus kutaneus
Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila
penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan
sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (ρ-
aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya
dapat menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan
berkeringat).
Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada
dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi
(atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid
untuk kulit :
Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi
(hidrokortison)]
25
Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat
dan triamsinolon asetonid)]
Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid
berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan
cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan
rendah)
OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid.
OAM mempunyai efek :
o Sunblocking
Mengikat melanin
o Antiinflamasi
o Imunosupresan
Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga
mengganggu metabolisme rantai α dan β HLA II.
o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh makrofag, IL-2 dan IFN-γ
oleh sel T.
Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid
sistemik dan obat eksperimental lainnya.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :
o Methemoglobinemia
o Sulfhemoglobinemia
o Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)
Fatigue dan keluhan sistemik
Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat
badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin.
Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu 26
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat
dipertimbangkan.
Serositis (radang membran serosa)
Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi
dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari).
Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.
Terapi agresif
Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius
SLE dan mengancam nyawa, misalnya :
Vaskulitis
Lupus kutaneus berat
Poliartritis
Poliserositis
Miokarditis pneumonitis lupus
Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Sindrom otak organik
Defek kognitif berat
Mielopati
Neuropati perifer
Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan
jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena
berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk
27
mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi
hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama
3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat
terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE
merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.
Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus
dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul
ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis
dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari,
penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis
hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.
Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi
agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2
dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :
Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)
Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi
Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang
lama atau berulang
Glomerulonefritis difus awal
SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-
faktor ekstrarenal lainnya.
SLE dengan manifestasi SSP
28
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau
jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan
dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan,
kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan,
dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi :
Nausea
Vomitus alopesia
Sistitis hemoragika
Keganasan kulit
Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia
Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari
siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini
dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan
perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :
Penekanan sistem hemopoetik
Peningkatan enzim hati
Mencetuskan keganasan
Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar
29
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka
dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :
Terapi hormonal
Imunoglobulin
Afaresis
o Plasmafaresis
o Leukofaresis
o Kriofaresis
Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat
mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.
Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400
mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan
untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita
defisiensi IgA pada penderita SLE.
Penatalaksanaan SLE keadaan khusus
Trombosis
Merupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin)
dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3–3,5, terutama
pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat
resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.
Abortus berulang pada SLE
Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk
menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin
kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk
30
aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan
untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan
mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan
terapi :
Aspirin dosis rendah
Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang
Glukokortikoid dosis tinggi
Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin
Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)
Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna,
pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.
Lupus neonatal
Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE.
Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini
berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan
yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita
hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.
Trombositopenia
Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :
Efek samping obat
Purpura trombositopenia trombotik
Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)
Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)
Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit
< 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit >
50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig
atau splenektomi.
31
Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor
dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.
SLE pada susunan saraf pusat
Penderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu :
Penderita dengan strok
Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian
imunosupresan
Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas
Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan
utama.
Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat
diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa
manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat
diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara
bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif
dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.
Nefritis lupus
Penatalaksanaan umum :
1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi
ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi
penatalaksanaan lebih lanjut.
2. Kurangi asupan :
a. Garam (bila ada hipertensi)
b. Lemak (bila ada dislipidemia)
c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)
2. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid
3. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema
32
4. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS
5. Terapi agresif terhadap hipertensi
6. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan
ginjal
7. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan
OAM
8. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :
a. Tekanan darah
b. Sedimen urin
c. Kreatinin serum
d. Albumin serum
e. Protein urin 24 jam
f. Komplemen C3
g. Anti DNA
LO 2.8 KomplikasiLO 2.9 Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
Infeksi penyakit
Nefritis lupus
Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
Penyakit kardiovaskular
Lupus sistem saraf pusat
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
33
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan LaboratoriumAUTO ANTIBODY
NON SPESIFIK SPESIFIK
ANA ANCA ANTI-FOSFOLIPID TIROID HATI
C-ANCA P-ANCA ANTI-TPO TRAB anti-Tg
ACA LA SMA ANTI-ACTIN AMA
TSAB TBAB
NON SPESIFIK
1.ANA (ant nuclear antibody)
Antibody terhadap komponen inti sel misal: DNA, RNA, histon, dan centromere Dapat dilakukan dengan cara IFA atau ELISA ANA sensitive tapi tidak spesifik, dapat juga ditemukan pada penyaki tautoimun(SLE,
RA, hepatitisautoimun) Titer rendah dapat ditemukan pada orang normal, tua wanita>60th, penyakit infeksi
(hepatitis lepra). Keganasan (leukemia, limfoma). Sirosisbilier. Titer ANA tidak berhungan dengan aktifitas penyakit, tidak dianjurkan untuk menilai
beratnya penyakit. Terdiri dari berbagai pola: homogen, perifer, speckled, nuclear, centromer
2. ANCA (ANTI NEUTROFIL CYTOPLASMIC)
Antibody terhadap antigen sitoplasma neutrophil Ada 2 tipe: cytoplasmic (c-anca) dan perinuclear (p-anca) Dapat dijumpai pada Wegener’s granulomatosis polyarthritis nodusa, crescentic
glomerulonephritis, Chron’s disease,ulcerative, primary sclerosing cholangitis
34
3. Anti-fosfolipid
Ada 2 : anti-cardiopilin(ACA) dan lupus antikoagulan (LA) ACA : - paling sensitive untuk sindroma anti fosfolipid, tapi tidak spesifik LA : erat hubungannya dengan tormbosis
SPESIFIK
1. AUTOANTIBODY HATI ANTI-TIROPEROKSIDASE (anti-TPO)
Paling sensitive untukdeteksipenyakittiroidautoimun ANTI RESEPTOR TSH (TRAb)
TSH RESEPTOR STIMULATING ANTIBODY (TSAb) = HYPERTIROIDTSH RESEPTOR BLOCKING ANTIBODY (TBAb) = HYPOTIROID
ANTI TIROGLOBULIN (ANTI-Tg)- berguna untuk deteksi penyakit tiroid autoimun pada penderita dengan goiter noduler- untuk memantau terapi dijumpada goiter endemic
2. AUTOANTIODY HATI
ANTI SMOOTH MUSCLESensitive untuk deteksi hepatitis auto imun tapi tidak sensitive karena dapat dijumpai pada beberapa penyakit hepar dan non hepar
Anti-actin-Lebih spesifik untuk hepatitis imun-Dapat digunakan untuk menentukan prognosis
ANTI MITOCHONDRIAL ANTIBODIES (AMA)Spesifik untuk sirosis hati primer
LI.4 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam untuk Penyakit SLE1. SABAR
Definisi sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah
berfirman:
35
والعشي بالغداة ربهم يدعون الذين مع نفسك واصبر
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi
dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:
ربهم وجه ابتغاء صبروا والذين
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).
Macam – macam sabar
Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2) sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3) sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
2. IKHLAS
Definisi ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal
yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas
namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang
mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau
arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari
komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka
engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah
36
perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang
memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu
untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim,
hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga
aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan
perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah
kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).
3. RIDHO
Definisi ridho
Ridho ( (ر$ض" berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan
qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang
menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun
yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi
hamba-Nya.
Macam – macam ridho
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah
terbagi menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan
segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang
37
sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-
Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama
mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun
jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba.
Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela
terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi
syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal
yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan
kemungkaran di muka bumi.
Ayat al-quran tentnag ridho
$ن% (د' الد)ين' إ ن %ه$ ع$ م, الل ال' $س( اإل(
“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)
'ق'د( 'ان' ل ,م( ك 'ك س,ول$ ف$ي ل %ه$ ر' و'ة6 الل س(, 'ة6 أ ن $م'ن( ح'س' 'ان' ل ج,و ك 'ر( %ه' ي 'و(م' الل (ي 'خ$ر' و'ال 'ر' اآل( %ه' و'ذ'ك ا الل $ير" 'ث ك
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21)
38
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#aw2aab6b2b4
Price,Sylvia.1995.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta.EGC
Robbins.1995.Buku Ajar Patologi.Jakarta.EGC
W.Sudoyo Ari,dkk.2006.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
39