wrap up 1 - pilek pagi hari (fix) new.doc

54
LO.1 Memahami dan menjelaskan anatomi secara makroskopik dan mikroskopik saluran pernapasan atas Makroskopik Berdasarkan anatomi sistem pernapasan terdiri dari dua bagian : 1. saluran napas ( mulai dari hidung sampai bronchiolus terminalis ) 2. kedua organ paru ( ductus alveolaris dan alveoli ) Sistem respiratorius Skematis proses pernapasan luar Pada waktu inspirasi udara ditarik masuk rongga hidung melalui nares anterior → vestibulum nasi → cavum nasi → masuk ke nares posterior ( choanae ) → nasopharynx → oropharynx ( epiglotis membuka aditus laryngis / pintu larynx ) → daerah larynx → trachea Pernapasan dalam Trachea → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchiolus segmentalis ( tersier ) → bronchiolus terminalis → organ paru melalui bronchiolus respiratorius → ductus alveolaris → alveoli → terjadi difusi pertukaran CO 2 yang dibawa A.pulmonalis dan O 2 masuk ke dalam vena pulmonalis → masuk 2

Transcript of wrap up 1 - pilek pagi hari (fix) new.doc

LO.1 Memahami dan menjelaskan anatomi secara makroskopik dan mikroskopik

saluran pernapasan atas

Makroskopik

Berdasarkan anatomi sistem pernapasan terdiri dari dua bagian :

1. saluran napas ( mulai dari hidung sampai bronchiolus terminalis )

2. kedua organ paru ( ductus alveolaris dan alveoli )

Sistem respiratorius

Skematis proses pernapasan luar

Pada waktu inspirasi udara ditarik masuk rongga hidung melalui nares anterior →

vestibulum nasi → cavum nasi → masuk ke nares posterior ( choanae ) → nasopharynx

→ oropharynx ( epiglotis membuka aditus laryngis / pintu larynx ) → daerah larynx →

trachea

Pernapasan dalam

Trachea → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchiolus segmentalis ( tersier )

→ bronchiolus terminalis → organ paru melalui bronchiolus respiratorius → ductus

alveolaris → alveoli → terjadi difusi pertukaran CO2 yang dibawa A.pulmonalis dan O2

masuk ke dalam vena pulmonalis → masuk ke atrium sinistra → ventrikel sinistra →

dipompakan melalui aorta ascendens → masuk sirkulasi sistemik → oksigen

didistribusikan ke seluruh sel dan jaringan tubuh.

Hidung

Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas.

Dua buah nares anterior = apertura nasalis anterior ( lubang hidung )

Vestibulum nasi: tempat muara nares anterior pada mucusa hidung, terdapat silia

yang kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.

2

Cavum nasi: bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan, mulai dari

nares anterior sampai ke nares posterior ( choanae ) dilanjutkan ke daerah

nasopharynx.

Septum nasi: sekat antara kedua rongga hidung dibatasi oleh dinding yang berasal

dari tulang dan mucusa. Dibentuk oleh tulang – tulang sebagai berikut:

1. cartilago septi nasi

2. os vomer

3. lamina parpendicularis ethmoidalis

Dinding superior: rongga hidung sangat sempit dibentuk oleh lamina cribroformis

ethmoidalis, yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung → tempat

keluarnya N.olfactorius → masuk mucusa hidung.

Dinding inferior: dibentuk oleh os maxilla dan os palatinum.

Dalam cavum nasi pada sisi lateral terdapat concha – concha nasalis yang terbentuk dari

tulang tipis dan ditutupi mucusa yang dapat mengeluarkan lendir dan pada sisi medial

terlihat dinding septum nasi.

Ada tiga buah concha nasalis, yaitu:

1. concha nasalis superior

2. concha nasalis media

3. concha nasalis inferior

Tiga buah saluran keluar cairan melalui hidung yaitu:

1. meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)

2. meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)

3. meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla)

Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan sinus paranasalis,

antara lain:

1. sinus sphenoidalis, mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior

2. sinus frontalis, ke meatus media.

3. sinus ethmoidalis, ke meatus superior dan media

3

4. sinus maxillaries, ke meatus media.

Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui ductus

nasolacrimalis, tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada

nasopharynx terdapat hubungan antara hidung dengan rongga telinga melalui Osteum

Pharyngeum Tuba Audtiva (OPTA), torus tubarius.

4

Persarafan hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung:

1. Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensorik dari cabang

nervus opthalmicus (N V1)

2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi oleh ganglion

sfenopalatinum.

3. Daerah nasopharynx dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari

cabang ganglion pterygopalatinum.

Nervus olfactorius (Nervus I): memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman yang

terletak pada 1/3 bagian atas depan mucusa hidung, septum dan conchae nasalis. Masuk

cavum nasi melalui Lamina cribrosa os ethmoidalis.

Vaskularisasi hidung

Berasal dari cabang – cabang Arteri opthalmica dan Arteri Maxillaris Interna

1. Arteria ethmoidalis anterior dengan cabang-cabangnya sebagai berikut: arteri

nasalis externa dan lateralis, arteri septalis anterior.

2. arteria ethmoidalis posterior dengan cabang-cabangnya: arteri nasalis posterior,

lateralis dan septal, arteri palatinus majus.

3. arteria sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna.

Ketiga pembuluh darah di atas pada mucusa hidung membentuk anyaman kapiler

pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh

trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung terutama

pada anak).

Larynx

Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid.

5

Rangka larynx terbentuk oleh tulang dan tulang rawan

1. berbentuk tulang adalah os hyoid (1 buah) dapat diraba di daerah batas atas leher

dengan batas bawah dagu.

2. berbentuk tulang rawan adalah: thyroid (1 buah), arytenoid (2 buah), epiglotis (1

buah) → pada arytenoid bagian ujung (apex) terdapat tulang rawan kecil cartilago

cornuculata dan cuneiforme (sepasang).

Larynx merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas, menyerupai limas

disebut cavum laryngis → bagian atas adalah aditus laryngis (pintu) lebih besar dari

bagian bawah yaitu cartilago cricoid yang berbentuk lingkaran.

Os Hyoid (1 buah)

terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda

mempunyai 2 buah cornu-cornu majus dan minus

dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu

berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid

6

Cartilago thyroid (1 buah)

terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan

prominen’s laryngis atau adam’s apple, dalam kehidupan sehari-hari disebut

jakun, lebih jelas pada laki – laki.

Melekat ke atas dengan os hyoid dan ke bawah dengan cartilago cricoid, ke

belakang dengan arytenoid.

Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.

Mempunyai cornu superior dan cornu inferior

Pendarahan dari arteri thyroidea superior dan inferior.

Cartilago arytenoid (2 buah)

Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan di atas dari cartilago cricoid.

Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan

cuneiforme.

Kedua arytenoid dihubungkan oleh m. arytenoideus transversus.

Epiglotis (1 buah)

Tulang rawan berbentuk sendok

Melekat di antara kedua cartilago arytenoid

Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis

Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m. aryepiglotica

Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis menutup

aditus laryngis → supaya makanan jangan masuk ke larynx.

Cartilago cricoid

Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)

Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.

cricothyroid medial lateral

Batas bawah adalah cincin pertama trachea

Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m. cricoarytenoideus

posterior dan lateralis.

7

Pada bagian posterior akan terlihat: cartilago arytenoideus, cartilago cornuculata, dan

ligamentum vocalis di posisi atas cartilago cricoid.

Pada posisi lateral regio larynx akan terlihat: linea obliq cartilage thyroid, ligamentum

cricothyroid medial dan lateral.

Otot – otot Larynx

I. Otot ekstrinsik larynx

1. m. cricothyroideus

2. m. thyroepigloticus

II. Otot intrinsik larynx

1. m. cricoarytenoideus posterior

2. m. cricoarytenoideus lateralis

3. m. arytenoideus transversus dan arytenoideus obliq

4. m. vocalis

5. m. aryepiglotica

6. m. thyroarytenoideus

8

Dalam cavum laryngis terdapat :

Plica vocalis adalah pita suara asli, sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu.

Plica vocalis merupakan pita suara yang terbentuk dari lipatan mucusa ligamentum

vocale dan ligamentum ventricularis.

Bidang antara pilca vocalis kiri dan kanan disebut dengan rima glotis, sedangkan

antara kedua plica ventriculi disebut rima ventriculi.

Pada rima glotis terdapat m. vocalis, m. cricoarytenoideus posterior, dan di

sampingnya m. thyroarytenoideus.

Salah satu fungsi dari larynx adalah membantu respirasi dengan mengatur besar kecilnya

rima glotis, bila m. cricoarytenoideus berkontraksi akan menyebabkan processus

cartilago arytenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka yang disebut dengan

abduksi plica vocalis, sedangkan sebaliknya bila m. cricoartenoideus posterior relaksasi

terjadi adduksi plica vocalis dan rima glotis menutup.

Persarafan daerah larynx adalah oleh serabut nervus cranialis X ( N. vagus) → dengan

cabang ke larynx sebagai n. laryngis superior dan n. recurrent (inferior). Paralisis pita

suara dapat disebabkan gangguan fungsi m. intrinsik larynx yang sering dijumpai pada

klinis THT. Plica vocalis berfungsi juga untuk menentukan tinggi rendahnya nada suara,

9

kalau pita suara mengendor bisa suara parau atau serak. Radang daerah larynx dinamakan

laryngitis.

Trachea

Terdiri dari tulang rawan dan otot yang berbentuk pipa yang terletak di tengah – tengah

leher sampai incisura jugularis di belakang manubrium sternum masuk mediastinum

superior.

Dimulai dari bagian bawah cartilago cricoid setinggi cervical V1 sampai bercabang

menjadi bronchus dextra dan sinistra setinggi vertebrae thoracal ke IV – V. Percabangan

tersebut dikenal dengan bifurcatio trachea.

Panjang trachea (10-12 cm), pria (12 cm), dan wanita (10 cm) yang terdiri dari (16-20

cincin) yang berbentuk lingkaran, berhubungan dengan daerah larynx melalui cartilago

cricoid dengan ligamentum cricotrachealis. Diantara tulang rawan terdapat jaringan ikat

”ligamentum intertrachealis (ligamentum annulare)”.

Trachea adalah saluran napas yang penting dalam penyumbatan saluran napas terutama

daerah larynx dengan membuat tracheostomi ( membuat lubang pada trachea terutama

obstruksi larynx mendadak ) 1-2 cm di atas incisura jugularis sterni.

Secara mikroskopis

10

Hidung merupakan bangunan berongga dibagi 2 bagian :

1. Vestibulum eksterna

- Bagian paling anterior dan paling lebar dari rongga hidung

- Kulit luar hidung memasuki nares (cuping hidung) dan berlanjut ke dalam vestibulum

- Pada permukaan dalam nares :

Kelenjar sebasea dan kelenjar keringat

Rambut tebal pendek / vibrissa

2. Fosa nasal interna

- Di dalam tengkorak 2 bilik kavernosa yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa

- Dinding lateral menonjol

- 3 tonjolan mirip rak® konka

1. konka superior

2. konka media

3. konka inferior

• Konka media dan konka inferior ditutupi oleh epitel respirasi

• Konka superior ® epitel olfaktorius (bertingkat silindris)

• Epitel olfaktorius disusun oleh :

1. sel penyokong

2. sel basal

3. sel olfaktorius

11

Di dalam lamina propria konka terdapat pleksus venosa besar yang dikenal

sebagai badan pengembang (Suell Bodies)

Reaksi alergi dan inflamasi dapat menyebabkan pengembangan badan – badan

pengembang secara abnormal dalam kedua fosa dan berakibat sangat

menghambat aliran udara

Nasofaring adalah bagian pertama faring yang ke arah kaudal berlanjut sebagai bagian

oral organ ini yaitu orofaring. Dilapisi oleh epitel jenis respirasi (bagian yang kontak

dengan palatum mole).

Laring adalah tabung tak teratur yang menghubungkan faring dengan trakea.

Di lamina propria terdapat sejumlah tulang rawan laringeal :

- Tulang rawan yang lebih besar:

Tiroid

Krikoid tulang rawan hialin

Aritenoid

- Tulang rawan yang kecil :

Epiglotis

12

Kuneiform tulang rawan elastis

Kornikulata

Ujung aritenoid

Tulang rawan – tulang rawan tersebut diikat oleh ligamen, kebanyakan berarti kulasi oleh

otot intrinsik laring, yang merupakan otot rangka.

Tulang-tulang rawan tersebut berfungsi :

1. sebagai penyokong (menjaga agar jalan nafas tetap terbuka)

2. sebagai katup (untuk mencegah makanan atau cairan yang ditelan memasuki trakea

3. Sebagai alat penghasil nada untuk fonasi

Epiglotis

- Menjulur keluar dari tepian laring, meluas ke dalam faring

- Memiliki permukaan lingual dan laringeal

- Seluruh permukaan laryngeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati

basis epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel

bertingkat silindris bersilia

Di bawah epiglotis, mukosa membentuk 2 pasang lipatan yang meluas ke dalam

lumen laring

13

Pasangan atas membentuk pita suara palsu ( plika vestibularis ) yang ditutupi oleh

epitel respirasi biasa dan di bawahnya terdapat banyak kelenjar serosa di L.

propria

Pasangan lipatan bawah membentuk pita suara sejati.

Berkas – berkas besar serat elastin secara paralel yang membentuk ligamen vokal

berada di dalam pita suara. Paralel dengan ligamen terdapat berkas otot rangka,

yang disebut M. vokalis, yang mengatur ketegangan lipat-lipat itu serta

ligamennya.

Jika udara dipaksakan diantara lipatan-lipatan itu, maka otot-otot ini membantu

terbentuknya suara dengan berbagai frekuensi.

Trakea

Merupakan tabung berdinding tipis dengan diameter 10 cm

Meluas dari pangkal laring ke titik yang bercabang dua menjadi 2 bronkus primer

Dilapisi oleh mukosa respirasi, epitel bertingkat silindris

16-20 cincin tulang rawan hialin berbentuk C, yang terdapat di dalam L. propria,

berfungsi menjaga agar lumen trakea tetap terbuka.

Ujung terbuka dari cincin berbentuk C terletak di permukaan posterior trakea

14

Ligamen

fibroelastis

dan

berkas-

berkas otot

polos (M.

trakealis)

terikat

pada

periostium dan menjembatani kedua ujung bebas tulang rawan berbentuk C ini.

Ligamen mencegah over distensi dari lumen, sedangkan muskulus memungkinkan

lumen menutup.

Kontraksi otot dan penyempitan lumen trakea akibat bekerjanya refleks batuk.

LO.2 Memahami dan menejelaskan mekanisme pernapasan

FISIOLOGI MEKANISNE SISTEM PERNAFASAN

Mekanisme Pernafasan :

Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan

tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.

Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan atas 2 jenis,

yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam.

Pernapasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus

dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah pernapasan yang

terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh.

15

Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan

pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam,

yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara

bersamaan.

Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.

Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga

dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada

tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.

Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang

rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada

menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar

daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya karbondioksida

keluar.

Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktivitas otot-

otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.

Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar,

akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.

Fase Ekspirasi. Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali

ke posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi

lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.

Volume Udara Pernafasan

Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500 cc. Udara ini

dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia.

16

Besarnya volume udara pernapasan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain ukuran alat pernapasan, kemampuan dan kebiasaan bernapas, serta kondisi

kesehatan.

Pertukaran O2 dan CO2 Dalam Pernafasan:

Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan

hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah

maupun jenis bahan makanan yang dimakan.

Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau

sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara

inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen

udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah

berkurang. Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang

menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah

atau pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh.Secara

sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb4 + O2 4 Hb O2

Gambar: respirasi pada manusia

17

LO.3 Memahami dan menjelaskan Rhinitis Alergi

Pengertian rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala

18

bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen

yang diperantarai oleh IgE.

Insiden dan Epidemiologi

Rinitis tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di

daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin,

dan musim semi. Di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian

besar orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk sedikit dan

terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada

anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan

bertambahnya umur.

Rinitis merupakan salah satu penyakit paling umum yang terdapat di amerika Serikat,

mempengaruhi lebih dari 50 juta orang. Keadaan ini sering berhubungan dengan kelainan

pernapasan lainnya, seperti asma. Rhinitis memberikan pengaruh yang signifikan pada

kualitas hidup. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kondisi lainnya seperti masalah

pada sinus, masalah pada telinga, gangguan tidur, dan gangguan untuk belajar. Pada

pasien dengan asma, rinitis yg tidak terkontrol dapat memperburuk kondisi asmanya.

Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,

Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan

rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

19

Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang

dari 4 minggu.

Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4

minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

(Bousquet et al, 2001).

Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi

rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada

anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan

gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.

Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis

alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu

tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban

udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang

dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

20

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang.

•Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin

atau sengatan lebah.

• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi

alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

21

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama

dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan

membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II

membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang

kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas

sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi

menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,

dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi

darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau

basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi

22

yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah

tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen

spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat

terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama

histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain

prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,

Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar

mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat

sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1

(ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai

disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.

Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti

eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan

sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor

(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau

hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari

granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein

(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini,

selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang

tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

23

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran

sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan

penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan

mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.

Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi

terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan

yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi

berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi

pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari

sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu:

tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity)

tipe 2 atau reaksi sitotoksik

tipe 3 atau reaksi kompleks imun

tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,

Kasakayan, Rusmono, 2008).

24

Gejala klinik rinitis alergi

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya

lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga

sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus

(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-

kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga

terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung

melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering

menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan

edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai

dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti

konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk

retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba

eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa

jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet,

Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak

khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus

dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah

marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

Diagnosis rinitis alergi

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang

25

khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)

yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung

tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien

(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,

menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor

genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap

pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan

berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali

setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,

dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa

garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung

yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan

rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka

edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau

polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula

ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis

dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan

nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna

26

adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno

Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan

diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam

jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan

adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,

2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada

Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama

5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali

dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

Penatalaksanaan rinitis alergi

Terapi :

1. Menghindari kontak dengan allergen penyebab (terapi ideal)

2. Simtomatik Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 (lini pertama atau

kombinasi dekongestan oral). Obat Kortikosteroid, gejala utama sumbatan hidung akibat

respon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain

27

3. Tindakan Operasi (konkotomi) jika tidak berhasil memotong konka nasi inferior

yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi

inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat

4. Penggunaan Imunoterapi Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi.

Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi

inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum

memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi ingestan.

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :

1.Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.

2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian

pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

4.Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan

adanya efek samping sistemik

Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak)

1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4kali/hari

2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5

mg/dosis,1kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1

kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30mg/hari, 2

kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.

5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2

kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15mg/hari, 4

kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60mg/hari 4 kali/hari.

Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

7. Kortikosteroid intranasal

28

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah.

Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4tahun :

1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-

11tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,1

kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6tahun :

1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang

rendah dan keamanannya lebih baik.

8. Leukotrien antagonis

- Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Antihistamin

Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam

reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada

pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot

polos, dan otak.

Antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua.

Perbedaan menonjol, terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan

selektivitas/spesifisitas :

AH1 bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak,

yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi.

AH2 :

- generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik

yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa.

- mempunyai efek antialergi (menghambat pelepasan histamin, prostaglandin,

kinin, dan leukotrien ) dan antiinflamasi (dapat mengurangi ekspresi ICAM-1

pada epitel konjungtiva)

29

Kortikosteroid

Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik.

Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi

dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap) efek antiinflamasi

jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan

hidung yang timbul pada fase lambat.

Efek spesifik kortikosteroid topikal menghambat fase cepat dan lambat dari

rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,

mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan

migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-

CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di

mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis

dan apoptosis eosinofil 1.

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada

penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.

Studi oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998,

menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini

pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya.

Dekongestan

Dekongestan mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi

melalui reseptor adrenergik alfa.

Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam.

Es : rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum.

Terakhir jarang terjadi adalah Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis

medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka

panjang.

Efek preparat oral setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih

lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained

30

release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit

kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.

Penstabil Sel Mast

Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikatefektif mengontrol gejala rinitis

dengan efek samping minimal. Tetapi, terapi hanya dapat digunakan sebagai

preventif.

Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan

menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi.

Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga

mempengaruhi kepatuhan pasien.

Immunoterapi

Mekanisme immunoterapi dalam

menekan gejala rinitis mengurangi

jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel

mast, dan limfosit T dalam peredaran

darah.

Salah satu contoh preparat ini

adalah omalizumab merupakan

antibodi anti-IgE monoklonal yang

bekerja dengan mengikat IgE

dalam darah.

Penelitian omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala

rinitis. Uji klinis fase II memaparkan

Dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.

Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,

immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+. Dengan

demikian, produksi IgE pun akan berkurang.

31

Fototerapi

Alternatif bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan

terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk

seperti dikutip dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology 2005.

Dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit

kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini

membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas

rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi gejala rinitis.

Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis

inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali

pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06

J/cm2.

Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah

eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar

ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.

Menghindari Alergen

Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari

alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu

primer, sekunder dan tersier.

- Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal

yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan

maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan

padat sehingga pemberian ASI lebih lama

- Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari

alergen dan terapi medikamentosa.

- Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau

berlanjutnya penyakit. Pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh

dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan

kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat

diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant

32

inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi.

Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa

yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat

terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang

optimal.

Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy efektif apabila

diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap satu atau

sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task

Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI)

yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia.

Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih

meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan kadar

IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro.

TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF-

memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin

tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4 dan IgA.

Anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, deraja tmild-persistent atau moderate-

severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk -

serbuk bunga, yang mengalami kegagalan olehpengobatan medikamentosa dan telah

bergejala lebih dari setahun, perludianjurkan untuk menjalani TIAS.

Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi

sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),

hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan

33

sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.

Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan

akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa

oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis

akan semakin parah (Durham, 2006).

Prognosis

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya

pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang

menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan

lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah

perburukan kualitas hidup.

Pencegahan

Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan agar tak merangsang kambuhnya rinitis alergi.

1. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi.

2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu hewan.

3. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu minggu,

jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.

4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan

pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.

5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin.

6. Jangan mengunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam debu

kamar.

7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker ketika

sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.

8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.

34

Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi

sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),

hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan

sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.

Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan

akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa

oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis

akan semakin parah (Durham, 2006).

Prognosis

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya

pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang

menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan

lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah

perburukan kualitas hidup.

Pencegahan

Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan agar tak merangsang kambuhnya rinitis alergi.

1. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi.

2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu hewan.

3. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu minggu,

jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.

35

4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan

pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.

5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin.

6. Jangan menggunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam debu

kamar.

7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker ketika

sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.

8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.

LO.4 Memahami dan menjelaskan anatomi pernapasan menurut Islam

Surat Al-Maidah ayat 45

�ا �ن �ب �ت �هم� و�ك �ي �ن� فيه�ا ع�ل �ف�س� أ �ف�س الن الن �ن� ب �ع�ي �ن و�ال �ع�ي ال �ف� ب �ن �ف و�األ� �ن األ� �ذ�ن� ب ذ�ن و�األ�� األ� ب

ن� ن� و�الس� الس� وح� ب ��ج�ر و�ال

�ص�د�ق� ف�م�ن� قص�اص$ ه ت ة$ ف�ه�و� ب �ف�ار� �ه� ك �م� و�م�ن� ل �م� ل �ح�ك م�ا ي ل� ب �ز� �ن �ه� أ ك� الل �8ئ �ول ه�م� ف�أ

م�ون� الظ�ال

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa

(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,

gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan

(hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka

mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

36

Surat Yusuf ayat 94

�م�ا �عير� ف�ص�ل�ت و�ل �وه�م� ق�ال� ال ب� �ي أ ن د� إ �ج �وس�ف� ريح� أل� � ي �و�ال ل

�ن �د�ون أ �ف�ن ت

Tatkala kafilah itu telah keluar (darinegeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya

aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu

membenarkan aku)".

37

DAFTAR PUSTAKA

Dr.H.Inmar Raden, Ms,PA. 2001. Anatomi Kedokteran.

http://arbaa-fivone.blogspot.com/2009/02/rinitis.html (diakses tanggal 16 Februari 2012)

http://www.balipost.com/mediadetail.php?

module=detailberitaminggu&kid=24&id=36126 (Diakses tanggal 16 Februari 2012)

http://indonesiaindonesia.com/r/alquran/surah-Yusuf-12/index7.html (Diakses tanggal 15 Februari 2012)

http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/08/03/rinitis-alergi/ (Diakses tanggal 15

Februari 2012)

Lawrence, E. 1991. Henderson’s Dictionary of : Biological Terms Tenth Edition.

Longman Scientific & Technical. Longman Group UK Limited-England.

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/.../Chapter%20II.pdf (Diakses tanggal 16 Februari 2012)

38