wrap up 1 - pilek pagi hari (fix) new.doc
-
Upload
andhani-putrik -
Category
Documents
-
view
235 -
download
2
Transcript of wrap up 1 - pilek pagi hari (fix) new.doc
LO.1 Memahami dan menjelaskan anatomi secara makroskopik dan mikroskopik
saluran pernapasan atas
Makroskopik
Berdasarkan anatomi sistem pernapasan terdiri dari dua bagian :
1. saluran napas ( mulai dari hidung sampai bronchiolus terminalis )
2. kedua organ paru ( ductus alveolaris dan alveoli )
Sistem respiratorius
Skematis proses pernapasan luar
Pada waktu inspirasi udara ditarik masuk rongga hidung melalui nares anterior →
vestibulum nasi → cavum nasi → masuk ke nares posterior ( choanae ) → nasopharynx
→ oropharynx ( epiglotis membuka aditus laryngis / pintu larynx ) → daerah larynx →
trachea
Pernapasan dalam
Trachea → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchiolus segmentalis ( tersier )
→ bronchiolus terminalis → organ paru melalui bronchiolus respiratorius → ductus
alveolaris → alveoli → terjadi difusi pertukaran CO2 yang dibawa A.pulmonalis dan O2
masuk ke dalam vena pulmonalis → masuk ke atrium sinistra → ventrikel sinistra →
dipompakan melalui aorta ascendens → masuk sirkulasi sistemik → oksigen
didistribusikan ke seluruh sel dan jaringan tubuh.
Hidung
Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas.
Dua buah nares anterior = apertura nasalis anterior ( lubang hidung )
Vestibulum nasi: tempat muara nares anterior pada mucusa hidung, terdapat silia
yang kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.
2
Cavum nasi: bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan, mulai dari
nares anterior sampai ke nares posterior ( choanae ) dilanjutkan ke daerah
nasopharynx.
Septum nasi: sekat antara kedua rongga hidung dibatasi oleh dinding yang berasal
dari tulang dan mucusa. Dibentuk oleh tulang – tulang sebagai berikut:
1. cartilago septi nasi
2. os vomer
3. lamina parpendicularis ethmoidalis
Dinding superior: rongga hidung sangat sempit dibentuk oleh lamina cribroformis
ethmoidalis, yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung → tempat
keluarnya N.olfactorius → masuk mucusa hidung.
Dinding inferior: dibentuk oleh os maxilla dan os palatinum.
Dalam cavum nasi pada sisi lateral terdapat concha – concha nasalis yang terbentuk dari
tulang tipis dan ditutupi mucusa yang dapat mengeluarkan lendir dan pada sisi medial
terlihat dinding septum nasi.
Ada tiga buah concha nasalis, yaitu:
1. concha nasalis superior
2. concha nasalis media
3. concha nasalis inferior
Tiga buah saluran keluar cairan melalui hidung yaitu:
1. meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)
2. meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)
3. meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla)
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan sinus paranasalis,
antara lain:
1. sinus sphenoidalis, mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior
2. sinus frontalis, ke meatus media.
3. sinus ethmoidalis, ke meatus superior dan media
3
4. sinus maxillaries, ke meatus media.
Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui ductus
nasolacrimalis, tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada
nasopharynx terdapat hubungan antara hidung dengan rongga telinga melalui Osteum
Pharyngeum Tuba Audtiva (OPTA), torus tubarius.
4
Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung:
1. Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensorik dari cabang
nervus opthalmicus (N V1)
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi oleh ganglion
sfenopalatinum.
3. Daerah nasopharynx dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari
cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius (Nervus I): memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman yang
terletak pada 1/3 bagian atas depan mucusa hidung, septum dan conchae nasalis. Masuk
cavum nasi melalui Lamina cribrosa os ethmoidalis.
Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang – cabang Arteri opthalmica dan Arteri Maxillaris Interna
1. Arteria ethmoidalis anterior dengan cabang-cabangnya sebagai berikut: arteri
nasalis externa dan lateralis, arteri septalis anterior.
2. arteria ethmoidalis posterior dengan cabang-cabangnya: arteri nasalis posterior,
lateralis dan septal, arteri palatinus majus.
3. arteria sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna.
Ketiga pembuluh darah di atas pada mucusa hidung membentuk anyaman kapiler
pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh
trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung terutama
pada anak).
Larynx
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid.
5
Rangka larynx terbentuk oleh tulang dan tulang rawan
1. berbentuk tulang adalah os hyoid (1 buah) dapat diraba di daerah batas atas leher
dengan batas bawah dagu.
2. berbentuk tulang rawan adalah: thyroid (1 buah), arytenoid (2 buah), epiglotis (1
buah) → pada arytenoid bagian ujung (apex) terdapat tulang rawan kecil cartilago
cornuculata dan cuneiforme (sepasang).
Larynx merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas, menyerupai limas
disebut cavum laryngis → bagian atas adalah aditus laryngis (pintu) lebih besar dari
bagian bawah yaitu cartilago cricoid yang berbentuk lingkaran.
Os Hyoid (1 buah)
terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda
mempunyai 2 buah cornu-cornu majus dan minus
dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu
berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid
6
Cartilago thyroid (1 buah)
terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan
prominen’s laryngis atau adam’s apple, dalam kehidupan sehari-hari disebut
jakun, lebih jelas pada laki – laki.
Melekat ke atas dengan os hyoid dan ke bawah dengan cartilago cricoid, ke
belakang dengan arytenoid.
Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan cornu inferior
Pendarahan dari arteri thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid (2 buah)
Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan di atas dari cartilago cricoid.
Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan
cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan oleh m. arytenoideus transversus.
Epiglotis (1 buah)
Tulang rawan berbentuk sendok
Melekat di antara kedua cartilago arytenoid
Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m. aryepiglotica
Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis menutup
aditus laryngis → supaya makanan jangan masuk ke larynx.
Cartilago cricoid
Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)
Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.
cricothyroid medial lateral
Batas bawah adalah cincin pertama trachea
Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m. cricoarytenoideus
posterior dan lateralis.
7
Pada bagian posterior akan terlihat: cartilago arytenoideus, cartilago cornuculata, dan
ligamentum vocalis di posisi atas cartilago cricoid.
Pada posisi lateral regio larynx akan terlihat: linea obliq cartilage thyroid, ligamentum
cricothyroid medial dan lateral.
Otot – otot Larynx
I. Otot ekstrinsik larynx
1. m. cricothyroideus
2. m. thyroepigloticus
II. Otot intrinsik larynx
1. m. cricoarytenoideus posterior
2. m. cricoarytenoideus lateralis
3. m. arytenoideus transversus dan arytenoideus obliq
4. m. vocalis
5. m. aryepiglotica
6. m. thyroarytenoideus
8
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis adalah pita suara asli, sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu.
Plica vocalis merupakan pita suara yang terbentuk dari lipatan mucusa ligamentum
vocale dan ligamentum ventricularis.
Bidang antara pilca vocalis kiri dan kanan disebut dengan rima glotis, sedangkan
antara kedua plica ventriculi disebut rima ventriculi.
Pada rima glotis terdapat m. vocalis, m. cricoarytenoideus posterior, dan di
sampingnya m. thyroarytenoideus.
Salah satu fungsi dari larynx adalah membantu respirasi dengan mengatur besar kecilnya
rima glotis, bila m. cricoarytenoideus berkontraksi akan menyebabkan processus
cartilago arytenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka yang disebut dengan
abduksi plica vocalis, sedangkan sebaliknya bila m. cricoartenoideus posterior relaksasi
terjadi adduksi plica vocalis dan rima glotis menutup.
Persarafan daerah larynx adalah oleh serabut nervus cranialis X ( N. vagus) → dengan
cabang ke larynx sebagai n. laryngis superior dan n. recurrent (inferior). Paralisis pita
suara dapat disebabkan gangguan fungsi m. intrinsik larynx yang sering dijumpai pada
klinis THT. Plica vocalis berfungsi juga untuk menentukan tinggi rendahnya nada suara,
9
kalau pita suara mengendor bisa suara parau atau serak. Radang daerah larynx dinamakan
laryngitis.
Trachea
Terdiri dari tulang rawan dan otot yang berbentuk pipa yang terletak di tengah – tengah
leher sampai incisura jugularis di belakang manubrium sternum masuk mediastinum
superior.
Dimulai dari bagian bawah cartilago cricoid setinggi cervical V1 sampai bercabang
menjadi bronchus dextra dan sinistra setinggi vertebrae thoracal ke IV – V. Percabangan
tersebut dikenal dengan bifurcatio trachea.
Panjang trachea (10-12 cm), pria (12 cm), dan wanita (10 cm) yang terdiri dari (16-20
cincin) yang berbentuk lingkaran, berhubungan dengan daerah larynx melalui cartilago
cricoid dengan ligamentum cricotrachealis. Diantara tulang rawan terdapat jaringan ikat
”ligamentum intertrachealis (ligamentum annulare)”.
Trachea adalah saluran napas yang penting dalam penyumbatan saluran napas terutama
daerah larynx dengan membuat tracheostomi ( membuat lubang pada trachea terutama
obstruksi larynx mendadak ) 1-2 cm di atas incisura jugularis sterni.
Secara mikroskopis
10
Hidung merupakan bangunan berongga dibagi 2 bagian :
1. Vestibulum eksterna
- Bagian paling anterior dan paling lebar dari rongga hidung
- Kulit luar hidung memasuki nares (cuping hidung) dan berlanjut ke dalam vestibulum
- Pada permukaan dalam nares :
Kelenjar sebasea dan kelenjar keringat
Rambut tebal pendek / vibrissa
2. Fosa nasal interna
- Di dalam tengkorak 2 bilik kavernosa yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa
- Dinding lateral menonjol
- 3 tonjolan mirip rak® konka
1. konka superior
2. konka media
3. konka inferior
• Konka media dan konka inferior ditutupi oleh epitel respirasi
• Konka superior ® epitel olfaktorius (bertingkat silindris)
• Epitel olfaktorius disusun oleh :
1. sel penyokong
2. sel basal
3. sel olfaktorius
11
Di dalam lamina propria konka terdapat pleksus venosa besar yang dikenal
sebagai badan pengembang (Suell Bodies)
Reaksi alergi dan inflamasi dapat menyebabkan pengembangan badan – badan
pengembang secara abnormal dalam kedua fosa dan berakibat sangat
menghambat aliran udara
Nasofaring adalah bagian pertama faring yang ke arah kaudal berlanjut sebagai bagian
oral organ ini yaitu orofaring. Dilapisi oleh epitel jenis respirasi (bagian yang kontak
dengan palatum mole).
Laring adalah tabung tak teratur yang menghubungkan faring dengan trakea.
Di lamina propria terdapat sejumlah tulang rawan laringeal :
- Tulang rawan yang lebih besar:
Tiroid
Krikoid tulang rawan hialin
Aritenoid
- Tulang rawan yang kecil :
Epiglotis
12
Kuneiform tulang rawan elastis
Kornikulata
Ujung aritenoid
Tulang rawan – tulang rawan tersebut diikat oleh ligamen, kebanyakan berarti kulasi oleh
otot intrinsik laring, yang merupakan otot rangka.
Tulang-tulang rawan tersebut berfungsi :
1. sebagai penyokong (menjaga agar jalan nafas tetap terbuka)
2. sebagai katup (untuk mencegah makanan atau cairan yang ditelan memasuki trakea
3. Sebagai alat penghasil nada untuk fonasi
Epiglotis
- Menjulur keluar dari tepian laring, meluas ke dalam faring
- Memiliki permukaan lingual dan laringeal
- Seluruh permukaan laryngeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati
basis epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel
bertingkat silindris bersilia
Di bawah epiglotis, mukosa membentuk 2 pasang lipatan yang meluas ke dalam
lumen laring
13
Pasangan atas membentuk pita suara palsu ( plika vestibularis ) yang ditutupi oleh
epitel respirasi biasa dan di bawahnya terdapat banyak kelenjar serosa di L.
propria
Pasangan lipatan bawah membentuk pita suara sejati.
Berkas – berkas besar serat elastin secara paralel yang membentuk ligamen vokal
berada di dalam pita suara. Paralel dengan ligamen terdapat berkas otot rangka,
yang disebut M. vokalis, yang mengatur ketegangan lipat-lipat itu serta
ligamennya.
Jika udara dipaksakan diantara lipatan-lipatan itu, maka otot-otot ini membantu
terbentuknya suara dengan berbagai frekuensi.
Trakea
Merupakan tabung berdinding tipis dengan diameter 10 cm
Meluas dari pangkal laring ke titik yang bercabang dua menjadi 2 bronkus primer
Dilapisi oleh mukosa respirasi, epitel bertingkat silindris
16-20 cincin tulang rawan hialin berbentuk C, yang terdapat di dalam L. propria,
berfungsi menjaga agar lumen trakea tetap terbuka.
Ujung terbuka dari cincin berbentuk C terletak di permukaan posterior trakea
14
Ligamen
fibroelastis
dan
berkas-
berkas otot
polos (M.
trakealis)
terikat
pada
periostium dan menjembatani kedua ujung bebas tulang rawan berbentuk C ini.
Ligamen mencegah over distensi dari lumen, sedangkan muskulus memungkinkan
lumen menutup.
Kontraksi otot dan penyempitan lumen trakea akibat bekerjanya refleks batuk.
LO.2 Memahami dan menejelaskan mekanisme pernapasan
FISIOLOGI MEKANISNE SISTEM PERNAFASAN
Mekanisme Pernafasan :
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan
tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan atas 2 jenis,
yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam.
Pernapasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus
dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah pernapasan yang
terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh.
15
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan
pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam,
yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara
bersamaan.
Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.
Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga
dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada
tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.
Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang
rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada
menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar
daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya karbondioksida
keluar.
Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktivitas otot-
otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.
Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar,
akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.
Fase Ekspirasi. Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali
ke posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi
lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.
Volume Udara Pernafasan
Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500 cc. Udara ini
dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia.
16
Besarnya volume udara pernapasan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain ukuran alat pernapasan, kemampuan dan kebiasaan bernapas, serta kondisi
kesehatan.
Pertukaran O2 dan CO2 Dalam Pernafasan:
Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan
hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah
maupun jenis bahan makanan yang dimakan.
Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau
sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara
inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen
udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah
berkurang. Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang
menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah
atau pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh.Secara
sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb4 + O2 4 Hb O2
Gambar: respirasi pada manusia
17
LO.3 Memahami dan menjelaskan Rhinitis Alergi
Pengertian rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
18
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
Insiden dan Epidemiologi
Rinitis tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di
daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin,
dan musim semi. Di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian
besar orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk sedikit dan
terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada
anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan
bertambahnya umur.
Rinitis merupakan salah satu penyakit paling umum yang terdapat di amerika Serikat,
mempengaruhi lebih dari 50 juta orang. Keadaan ini sering berhubungan dengan kelainan
pernapasan lainnya, seperti asma. Rhinitis memberikan pengaruh yang signifikan pada
kualitas hidup. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kondisi lainnya seperti masalah
pada sinus, masalah pada telinga, gangguan tidur, dan gangguan untuk belajar. Pada
pasien dengan asma, rinitis yg tidak terkontrol dapat memperburuk kondisi asmanya.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
19
Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban
udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang
dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
20
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
•Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
21
Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama
dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,
dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
22
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini,
selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
23
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan
penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan
mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.
Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu:
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity)
tipe 2 atau reaksi sitotoksik
tipe 3 atau reaksi kompleks imun
tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
24
Gejala klinik rinitis alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga
terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung
melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan
edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet,
Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak
khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus
dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang
25
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau
polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis
dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
26
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama
5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
Terapi :
1. Menghindari kontak dengan allergen penyebab (terapi ideal)
2. Simtomatik Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 (lini pertama atau
kombinasi dekongestan oral). Obat Kortikosteroid, gejala utama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
27
3. Tindakan Operasi (konkotomi) jika tidak berhasil memotong konka nasi inferior
yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi
inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat
4. Penggunaan Imunoterapi Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi
inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi ingestan.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
1.Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian
pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4.Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan
adanya efek samping sistemik
Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak)
1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4kali/hari
2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5
mg/dosis,1kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.
5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
7. Kortikosteroid intranasal
28
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah.
Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4tahun :
1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-
11tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,1
kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6tahun :
1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang
rendah dan keamanannya lebih baik.
8. Leukotrien antagonis
- Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam
reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada
pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot
polos, dan otak.
Antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua.
Perbedaan menonjol, terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan
selektivitas/spesifisitas :
AH1 bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak,
yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi.
AH2 :
- generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik
yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa.
- mempunyai efek antialergi (menghambat pelepasan histamin, prostaglandin,
kinin, dan leukotrien ) dan antiinflamasi (dapat mengurangi ekspresi ICAM-1
pada epitel konjungtiva)
29
Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik.
Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi
dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap) efek antiinflamasi
jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan
hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal menghambat fase cepat dan lambat dari
rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan
migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-
CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis
dan apoptosis eosinofil 1.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Studi oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998,
menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini
pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya.
Dekongestan
Dekongestan mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi
melalui reseptor adrenergik alfa.
Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam.
Es : rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum.
Terakhir jarang terjadi adalah Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis
medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka
panjang.
Efek preparat oral setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih
lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained
30
release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit
kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikatefektif mengontrol gejala rinitis
dengan efek samping minimal. Tetapi, terapi hanya dapat digunakan sebagai
preventif.
Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan
menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi.
Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga
mempengaruhi kepatuhan pasien.
Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam
menekan gejala rinitis mengurangi
jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel
mast, dan limfosit T dalam peredaran
darah.
Salah satu contoh preparat ini
adalah omalizumab merupakan
antibodi anti-IgE monoklonal yang
bekerja dengan mengikat IgE
dalam darah.
Penelitian omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala
rinitis. Uji klinis fase II memaparkan
Dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,
immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+. Dengan
demikian, produksi IgE pun akan berkurang.
31
Fototerapi
Alternatif bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan
terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk
seperti dikutip dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology 2005.
Dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit
kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini
membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas
rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi gejala rinitis.
Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis
inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali
pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06
J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
Menghindari Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari
alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu
primer, sekunder dan tersier.
- Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal
yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan
maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan
padat sehingga pemberian ASI lebih lama
- Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari
alergen dan terapi medikamentosa.
- Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau
berlanjutnya penyakit. Pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh
dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan
kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat
diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant
32
inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi.
Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa
yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat
terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang
optimal.
Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy efektif apabila
diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap satu atau
sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task
Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI)
yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia.
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih
meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan kadar
IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro.
TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF-
memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin
tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4 dan IgA.
Anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, deraja tmild-persistent atau moderate-
severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk -
serbuk bunga, yang mengalami kegagalan olehpengobatan medikamentosa dan telah
bergejala lebih dari setahun, perludianjurkan untuk menjalani TIAS.
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
33
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.
Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa
oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah (Durham, 2006).
Prognosis
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya
pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang
menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan
lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah
perburukan kualitas hidup.
Pencegahan
Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan agar tak merangsang kambuhnya rinitis alergi.
1. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi.
2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu hewan.
3. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu minggu,
jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan
pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.
5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin.
6. Jangan mengunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam debu
kamar.
7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker ketika
sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.
8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.
34
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.
Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa
oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah (Durham, 2006).
Prognosis
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya
pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang
menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan
lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah
perburukan kualitas hidup.
Pencegahan
Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan agar tak merangsang kambuhnya rinitis alergi.
1. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi.
2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu hewan.
3. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu minggu,
jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
35
4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan
pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.
5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin.
6. Jangan menggunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam debu
kamar.
7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker ketika
sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.
8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.
LO.4 Memahami dan menjelaskan anatomi pernapasan menurut Islam
Surat Al-Maidah ayat 45
�ا �ن �ب �ت �هم� و�ك �ي �ن� فيه�ا ع�ل �ف�س� أ �ف�س الن الن �ن� ب �ع�ي �ن و�ال �ع�ي ال �ف� ب �ن �ف و�األ� �ن األ� �ذ�ن� ب ذ�ن و�األ�� األ� ب
ن� ن� و�الس� الس� وح� ب ��ج�ر و�ال
�ص�د�ق� ف�م�ن� قص�اص$ ه ت ة$ ف�ه�و� ب �ف�ار� �ه� ك �م� و�م�ن� ل �م� ل �ح�ك م�ا ي ل� ب �ز� �ن �ه� أ ك� الل �8ئ �ول ه�م� ف�أ
م�ون� الظ�ال
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan
(hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
36
Surat Yusuf ayat 94
�م�ا �عير� ف�ص�ل�ت و�ل �وه�م� ق�ال� ال ب� �ي أ ن د� إ �ج �وس�ف� ريح� أل� � ي �و�ال ل
�ن �د�ون أ �ف�ن ت
Tatkala kafilah itu telah keluar (darinegeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya
aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu
membenarkan aku)".
37
DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Inmar Raden, Ms,PA. 2001. Anatomi Kedokteran.
http://arbaa-fivone.blogspot.com/2009/02/rinitis.html (diakses tanggal 16 Februari 2012)
http://www.balipost.com/mediadetail.php?
module=detailberitaminggu&kid=24&id=36126 (Diakses tanggal 16 Februari 2012)
http://indonesiaindonesia.com/r/alquran/surah-Yusuf-12/index7.html (Diakses tanggal 15 Februari 2012)
http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/08/03/rinitis-alergi/ (Diakses tanggal 15
Februari 2012)
Lawrence, E. 1991. Henderson’s Dictionary of : Biological Terms Tenth Edition.
Longman Scientific & Technical. Longman Group UK Limited-England.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/.../Chapter%20II.pdf (Diakses tanggal 16 Februari 2012)
38