Asuhan Keperawatan Kejang Pada Pasien Stroke Dengan Perawatan
sarafambarawa.files.wordpress.com€¦ · Web viewtidak mengalami kejang, ia mengatakan bahwa...
Transcript of sarafambarawa.files.wordpress.com€¦ · Web viewtidak mengalami kejang, ia mengatakan bahwa...
LAPORAN KASUS
EPILEPSI
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp.S, M.Sc
Disusun oleh:
Nilamsari Dara
1820221126
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2019
1
I. IDENTITAS PASIENNo. RM : 145xxx-20xx
Nama : Nn. D
Tanggal Lahir : 20 April 2002
Umur : 17 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Tempuran 03/05, Jambu
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMP
Status : Belum menikah
Tanggal Periksa: 1 Juli 2019
Ruangan : Poliklinik Saraf
II. ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis dengan ayah dan kakak pasien,
serta dari catatan rekam medik, tanggal 5 Juli 2019 di poliklinik saraf dan rumah pasien yang
terletak di Desa Tempuran, Jambu.
Keluhan Utama:
Kejang dan penurunan kesadaran.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Saraf RSUD Ambarawa pada tanggal 1 Juli diantar oleh
kakak dan ayahnya dengan keluhan post kejang beberapa jam sebelum periksa ke rumah sakit.
Sebelum kejang pasien mengakui bahwa kepalanya sangat pusing dan nyeri, pandangan kabur
dan tidak bisa melihat apa-apa. Lalu pasien terjatuh dan mengalami kejang. Nyeri kepala dan
kejang terjadi secara tiba-tiba. Ketika terjatuh kepala pasien bagian belakang sempat terbentur
lantai. Kejang terjadi selama kurang lebih 5 menit, kejang terjadi pada tangan kanan dan terlihat
kaku, pasien mengeluarkan busa dari mulutnya. Kakak pasien mengatakan bahwa kaki pasien
2
tidak mengalami kejang, ia mengatakan bahwa kakinya langsung diluruskan oleh kakak pasien.
Menurut keluarga pasien kejang kali ini terlihat paling parah. Setelah kejang, pasien mengakui
bahwa ia tidak mengingat apa-apa. BAB dan BAK normal, muntah (-). Pasien tidak mengalami
gangguan tidur.
Kejang terjadi tiba-tiba, seringkali saat beraktivitas dan lebih sering kejang jika pasien
kelelahan atau stress. Selama kejang mata mendelik ke atas. Saat kejang pasien mengalami
penurunan kesadaran kemudian sadar lagi, namun tidak mengingat kejadian apa-apa yang terjadi
ketika pasien kejang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya. Pasien pertama kali mengalami kejang pada
usia 10 tahun. Kadang kejang terjadi 3 bulan sekali, kadang seminggu 2x. Menurut ayahnya,
pasien dahulu sering mengalami demam tinggi ketika kecil, lalu hanya diberikan obat penurun
panas saja. Riwayat batuk pilek (-), nyeri tenggorokan (-) demam (-), pasien juga memiliki
riwayat nyeri kepala sebelum terjadi kejang, riwayat batuk lama (-), riwayat sesak napas (-),
riwayat infeksi sinus (-) riwayat infeksi telinga (-), riwayat trauma kepala (-), riwayat diare lama
(-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa (-), riwayat DM (-), riwayat batuk lama (-).
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien pernah berobat ke spesialis saraf namun sudah lama tidak kambuh
yaitu selama kurang lebih 6 bulan, tidak rutin meminum obat.
Riwayat Pribadi Dan Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien telah lama hidup tanpa ibunya. Sejak
kecil ibunya pergi bekerja di luar negeri. Pasien tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol,
dan jarang berolahraga.
3
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (+), muntah (-), riwayat penurunan kesadaran (+)
kelemahan anggota gerak (-), perubahan tingkah laku (-), wajah
merot (-), bicara susah (-), kesemutan/baal (-), BAB dan BAK
tidak ada gangguan
Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-) riwayat sakit jantung (-) nyeri dada (-)
Sistem Respirasi : Sesak napas (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-) muntah (-) diare (-) makan minum (+) BAB (+)
Sistem Neurologi : Kelemahan anggota gerak (-)
Sistem Urogenital : BAK (+), sulit berkemih (-) nyeri berkemih (-)
Resume Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pasien berumur 17 tahun.
Pasien datang ke Poliklinik Saraf RSUD Ambarawa pada tanggal 1 Juli diantar oleh kakak dan
ayahnya dengan keluhan post kejang beberapa jam sebelum kontrol ke rumah sakit. Sebelum
kejang pasien mengakui bahwa kepalanya sangat pusing dan nyeri, pandangan kabur dan tidak
bisa melihat apa-apa. Lalu pasien terjatuh dan mengalami kejang. Kejang terjadi selama kurang
lebih 5 menit, kejang terjadi pada tangan kanan dan terlihat kaku, pasien mengeluarkan busa dari
mulutnya. Setelah kejang, pasien mengakui bahwa ia tidak mengingat apa-apa. BAB dan BAK
normal, muntah (-). Pasien tidak mengalami gangguan tidur.
Pasien pertama kali mengalami kejang pada usia 10 tahun. Kadang kejang terjadi 3 bulan
sekali, kadang seminggu 2x. Menurut ayahnya, pasien dahulu sering mengalami demam tinggi
ketika kecil, lalu diberikan obat penurun panas saja. Kejang terjadi tiba-tiba, seringkali saat
beraktivitas dan lebih sering kejang jika pasien kelelahan atau stress. Kejang terjadi + 3 bulan
sekali tapi terkadang juga 2x dalam seminggu, dan biasanya berlangsung+ 3-5 menit, saat kejang
pasien mengalami penurunan kesadaran + 10-30 menit, kemudian sadar lagi, namun tidak
mengingat kejadian apa-apa yang terjadi ketika pasien kejang.
Diskusi I
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak perempuan berusia 17 tahun mengalami
kejang. Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
4
aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau fokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau
umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak
yang terkena.
Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara yang menyebabkan
aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz &
Sowden; 2002). Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang ditandai
oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2003). Lepas muatan listrik tersebut
terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan fisiologis, biokimia, anatomis, atau
gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang mengganggu fungsi otak baik kelainan
lokal maupun umum, dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan epilepsi (Lumbantobing, 2000).
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut
yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan
tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang
(obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu
tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenal bermacam jenis epilepsi.
5
Etiologi
Epilepsi bukan suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala dan tanda akibat berbagai
etiologi yang berbeda. Sebagian besar kasus epilepsi (70%) etiologinya tidak diketahui atau
idiopatik. Penderita biasanya tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tingkat
intelegensianya normal (Cornaggia dkk, 2006; Lumbantobing, 2000). Pada pencitraan juga tidak
dijumpai adanya kelainan struktural otak (Parton dan Cockerell, 2003; Lumbantobing, 2000).
Sedangkan sisanya diketahui penyebabnya atau simtomatik. Epilepsi simtomatik disebabkan oleh
(Parton dan Cockerell, 2003). Kasus-kasus perinatal yaitu malformasi atau disgenesis, misalnya
sklerosis lobus temporal, ensefalopati iskemik hipoksik akibat asfiksia berat, dan perdarahan
serebral pada bayi-bayi prematur. Infeksi : infeksi kongenital yang disebabkan oleh bakteri
maupun virus (TORCH); meningitis bakterial, ensefalitis virus, abses intraserebral,
tuberkuloma.Trauma kepala : luka panetrasi, perdarahan; Tumor otak; Penyakit serebrovaskular :
stroke, malformasi arteriovenosus, trombosis sinus venosus.
Patofisiologi
Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi dan inhibisi.
Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan neurotransmiter inhibisi
utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi sehingga potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada
keadaan dimana eksitasi meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi
(potensial membran menjadi lebih positif). Jika potensial membran mencapai ambang tertentu,
terjadilah lepas muatan listrik (Stafstrom, 1998; Manford, 2003). Pada hipoparatiroid, kadar
kalsium dalam darah akan rendah, sehingga saraf yang terpapar konsentrasi kalsium darah yang
rendah dalam waktu lama akan memperlihatkan penurunan ambang eksitasi, respon yang
berturut-turut terhadap satu rangsangan, dan pada kasus yang khusus, aktivitas yang terus
menerus.
6
Klasifikasi Epilepsi (The International League Against Epilepsy /ILAE, 1981)
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:
1. Bangkitan Umum
1.1. Tonik – klonik
1.2. Absans
1.3. Klonik
1.4. Tonik
1.5. Atonik
1.6. Mioklonik
2. Bangkitan parsial
2.1. Parsial sederhana
2.2. Parsial kompleks
2.3. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi
Gejala-gejala kejang epilepsi antara lain:
Diagnosis Sementara
Diagnosis Klinis : Kejang dengan penurunan kesadaran
Diagnosis Topis : Intrakranial
Diagosis Etiologis : hiperaktivitas kelistrikan sel saraf otak
EPILEPSI
DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh
7
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut
yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan
tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang
(obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu
tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenal bermacam jenis epilepsi.
EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya
bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi,
infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur
berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara
umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak insidensi
terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.
ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%
kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30%
yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala,
infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik.
Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya
8
serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam
kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya
dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi
frekuensi serangan epilepsi.
Epilepsi mungkin disebabkan oleh:
aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada saat
lahir atau cedera lain
pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau infeksi
pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, sedangkan pada anak umur
5-6 tahun disebabkan karena febris
pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala maupun tumor
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-
obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alkohol, atau mengalami
cidera.
2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis
dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.
9
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
1. kurang tidur
2. stress emosional
3. infeksi
4. obat-obat tertentu
5. alkohol
6. perubahan hormonal
7. terlalu lelah
8. fotosensitif
KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-
sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan
ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya
hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Klasifikasi Umum
10
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya
ada dua kategori utama, yaitu
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak.
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan kejadian lain. Terjadi
pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang
umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan
kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua
belahan otak. Kesadaran akan terganggu pada awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi
diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan
kejang umum tonik-klonik sekunder
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan,
namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis
epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan
akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang
menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali
bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu
menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama
dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun
mendatang
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG)
PATOFISIOLOGI
11
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.
Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi
yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron
berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan
bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini
adalah:
Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan
peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu
penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls
di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut
sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau
kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak.
Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah
yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA
yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang
rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial
post sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls
(eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat
12
di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di
otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang
sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan
bangkitan.
Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik
berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan
kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya
untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan
herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi
berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan
pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-
lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis,
mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak
dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan
serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri,
thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave
yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan
sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam
laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls
13
dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut
status epileptikus.
MANIFESTASI KLINIK
Serangan Fokal/Partial
PARSIAL SEDERHANA: Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi
sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran,
dengan durasi kurang dari satu menit.
PARSIAL KOMPLEKS: Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong, kehilangan
ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak
merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum termasuk
mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari
30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat
apa-apa tentang kejang.
Serangan Umum/General
TONIK – KLONIK (GRAND MAL)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering
penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti
sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir dan
kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah
jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya
berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan,
agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.4
ABSENS (PETIT MAL)
14
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada orang dewasa),
seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam
keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,
menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata
ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak
biasanya teratasi seiring dengan pubertas.4
MIOKLONIK
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi pada anggota
tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu.
Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika
beberapa episode terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang
tonik-klonik.4
TONIK
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh, menyebabkan orang
menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang
terjadi dapat bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur
ATONIK
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita lemas dan terjatuh
jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda
kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera
TATALAKSANA
15
Obat-obat anti epilepsi
1. Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat
antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang
lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi
dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk
yang minimal.
2. Medikamentosa
a. OAE yang menginaktivasi kanal Na+.
Inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan saraf unruk menghantarkan
muatan listrik. Contoh obatnya adalah, fenitoin, karbamazepin, lamotrigin,
okskarbazepin, dan valproat.
- Karbamazepin untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk
kejang absens. Dapat memperburuk kejang myoklonik. Dosis total 600-1200 mg
dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.
- Fenitoin 300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis
- Lamotrigin efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis 100-200
mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-400 mg bila
digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepine.
- Asam valproat efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang
absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari
b. OAE yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAergik
- Gabapentin: Dosis awal: 300 mg secara oral pada hari pertama, 300 mg secara
oral 2 kali sehari pada hari kedua, lalu 300 mg secara oral 3 kali sehari pada hari
ketiga. Dosis dapat ditambah 300 mg hingga kontrol antiepilepsi tercapai.
Dosis rumatan: 900-3600 mg secara oral dalam 3 dosis terbagi.
Dosis maksimal: 4800 mg dalam sehari
III. PEMERIKSAAN FISIK
16
Keadan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Status Gizi : Kesan cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 22x/menit
Suhu :36,2 oC
Kepala : Normocephal
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
THT : Normotia, discharge dari telinga/hidung (-), faring hiperemis (-) tonsil
T1-T1 tenang
Leher : KGB membesar (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : normochest, gerakan dada simetris pada keadan statis dan dinamis,
retraksi (-)
Palpasi : Vocal dan Taktil fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat pada ICS V midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV parasternal dekstra
Batas jantung kiri : ICS IV agak ke medial 2 jari midclavicularis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS III parasternal sinistra
Auskultasi : BJ 1-2 reguler +, Gallop -, Murmur -
17
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU +
Palpasi : supel +, hepatosplenomegali -
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Ektremitas
Superior :akral hangat +/+, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat +/+, CRT < 2 detik, edema -/-
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan Abnormal : Tidak ada
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk :(-)
Brudzinky I :(-)
Brudzinky II :(-)
Laseque :(-/-)
Kernig :(-/-)
NERVUS PEMERIKSAAN KANAN KIRI
N. I Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II Optikus
Daya penglihatan N N
Penglihatan warna N N
Lapang pandang N N
N. III Okulomotorius Ptosis – –
Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
18
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung N N
Refleks cahaya konsensuil N N
Strabismus divergen – –
N. IV Trokhlearis
Gerakan mata ke lateral bawah N N
Strabismus konvergen – –
Menggigit N N
Membuka mulut N N
N. V Trigeminus
Sensibilitas muka N N
Refleks kornea N N
Trismus – –
N. VI AbdusensGerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen – –
N. VII Fasialis
Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 depan Tidak dilakukan
N. VIII Vestibulo- Mendengar suara berbisik + +
19
kokhlearis
Mendengar detik arloji + +
Tes Rinne Tidak dilakukan
(keterbatasan alat)Tes Schwabach
N.IX Glossofaringeus
Arkus faring Simetris
Daya kecap lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak Dilakukan
Sengau –
Tersedak –
N. X Vagus
Denyut nadi 90 x/menit, reguler, kuat angkat
Arkus faring Simetris
Bersuara N
Menelan N
N. XI Aksessorius
Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu N N
N. XII Hipoglossus Sikap lidah N
Artikulasi N
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah Simetris
20
Trofi otot lidah -
Fasikulasi lidah -
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUMTidak dilakukan.
IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan CT Scan Kepala Axial tanpa Kontras
Tak tampak lesi hipodens, hiperdens, maupun kalsifikasi multipel pada parenkim
otak
Sulci corticalis dan fissure sylvii kanan kiri normal
21
Differensiasi white-grey matter jelas
Tak tampak midline shifting
System ventrikel laatreal kanan, kiri, III, IV normal
Sisterna perimensefalic normal
Batang otak baik dan serebelum normal
Tak tampak kesuraman/penebalan mukosa sinus paranasales dan mastoid air cells
Kesan:
Tak tampak kalsifikasi maupun gambaran massa parenkim otak
Tak tampak tanda peningkatan tekanan intrakranial
Usul: MRI
DISKUSI II
Pada gambaran CT Scan, ditemukan gambaran normal
Metode Diagnostik
Tomografi Komputer/ CT-Scan
Ini merupakan metode terpilih untuk melokalisasi dan menemukan perluasan kalsifikasi serebral.
Wilayah yang paling sering terkena adalah nucleus lentikular, khususnya globus palidus internal
dimana girus cerebellum, batang otak, sentrum semiovale, dan white matter subkorteks juga
terpengaruh. Kalsifikasi pada putamen, thalamus, kaudatus dan nucleus dentate juga sering.
Kadang, deposit kalsium dimulai atau lebih banyak pada region diluar ganglia bangsalis.
Kalsifikasi tampak bertahap dan progresif.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Wilayah yang terkalsifikasi pada ganglia basalis memberikan sinyal dengan intensitas rendah
pada gambaran T2 dan intensitas rendah atau tinggi pada gambaran T1. Lesi cerebellum nampak
lebih heterogen.
Radiografi Tengkorak Polos
22
Radiografi tengkorak polos merupakan modalitas pencitraan untuk kepentingan diagnostic.
Kalsifikasi muncul sebagai titik atau bercak yang terdistribusi simetris diatas sella tursika dan
lateral ke garis tengah, sementara kalsifikasi subkortikal dan serebellum tampak berombak.
V. DIAGNOSIS AKHIRDiagnosis Klinis : Epilepsi general tonik
Diagnosis Topis : intracranial
Diagnosis Etiologi : hiperaktivitas kelistrikan sel saraf otak
VI. PENATALAKSANAANAlogaritma penatalaksanaan kejang pada dewasa antara lain:
Stadium I (0-10 menit)
Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah yang paling utama. Harus dipatikan
bahwa jalan napas pasien tidak terganggu. Dapat pula diberikan oksigen. Jika diperlukan
resusitasi dapat dilakukan
Stadium II (10-60 menit)
Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status neurologis dan tanda vital. Selain itu, perlu
juga dilakukan monitoring terhadap status metabolik, analisa gas darah dan status
hematologi. Pemeriksaan EKG jika memungkinan juga perlu dilakukan .
Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila direncakanan akan digunakan
2 macam obat anti epilepsi, dapat dipakai 2 jalur infus. Darah sebanyak 50-100 cc perlu diambil
untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar AED).
Pemberian OAE emergensi berupa:
Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV lalu evaluasi kejang 5 menit
jika masih kejang ulangi pemberian diazepam.
23
Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus dipastikan.
Stadium III (60-90 menit)
Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:
Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan darah dan EKG perlu
dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika masih kejang, dapat diberikan fenitoin tambahan 5-
10 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut, berikan phenobarbital 20 mg/kgbb dengan kecepatan
pemberian 50-75 mg/menit (monitor pernapasan saat permberian phenobarbital). Pemberian
phenobarbital dapat diulang 5-10 mg/kgbb. Pada pemberian phenobarbital, fasilitas intubasi
harus tersedia karena resikonya dalam menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat
dipertimbangkan apakah diperlukan pemberian vasopressor (dopamin).
Stadium IV (>90 menit)
Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita perlu mendapatkan perawatan di
ICU. Pasien diberi propofol (2mg/kgBB bolus IV) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopentone (100-250 mg bolus IV pemberian dalam 20
menit dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan
klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu lakukan tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan
monitoring bangkitan EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian OAE dosis rumatan.
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus antara lain:
P.O phenitoin 2x100 mg (jam 07.00 dan 19.00)
P.O asam folat 2x0,4 mg (jam 07.00 dan 19.00)
P.O phenobarbital 2x30 mg (jam 06.00 dan 18.00)
a. Fenitoin
Obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi. Adanya gugus fenil atau aromatik
lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; Fenitoin
berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Dosis
toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat
24
antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke
bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada
saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem
konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindah anion melintasi membran
sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-
klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik
dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin
b. Asam Folat
Asam folat membantu pembuatan zat-zat di dalam otak yang penting untuk
menyimpan memori dalam daya ingat. Kekurangan asam folat semasa hamil dapat
menyebabkan kelainan bawaan pada otak, tulang kepala dan sumsum tulang belakang
(neural tube defect) yang dijumpai sebagai anensefalus, hidrosefalus, mikrosefalus, dan
spina bifida. Setelah bayi lahir, asam folat dibutuhkan untuk pembentukan selubung saraf
otak. Selain itu juga berperan dalam aktifitas dan metabolism sel-sel tulang. Vitamin B12
juga dibutuhkan untuk melepaskan folat, sehingga dapat membantu pembentukan sel-sel
darah merah (Katzung, 2010).
c. Fenobarbital
Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan
barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan channel Cl, mengurangi aliran Na
dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan OAE
spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder. Obat
ini digunakan sebagai second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan
penurunan daya kognitif. Namun pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai
first drug.
VII. PROGNOSIS
Didapat kesan prognosis pada pasien ini:
Death : ad bonam
Desease : ad bonam
25
Dissability : ad bonam
Discomfort : dubia ad malam
Dissatisfaction : dubia ad bonam
Distitution : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and
Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
26
Ali. RA. Aetiology of the Epilepsy. Epilepsi .2001; (6) 1 : 13 – 18
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Bate L, Gardiner M. Moleculer Genetics of Human Epilepsies. 1999 URL
http : //www.ermm.cbcu.cam.uk.
Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from :
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.
Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Han P, Trinidad B, Shi J (2015). Hypocalemia Induced Seizure: Demystifying The Calcium
Paradox, American Society For Neurochemistry
Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press. 1996
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Laidlaw J, dan Richens A. A Texbook of Epilepsy. 2nd ed. New York. Churchill Livingstone.
1982.
Lumbantobing SM. 2000. Etiologi dan faal sakitan epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS,Ismael
S,penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi kedua.Jakarta:BPIDAI.H:179203.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2003. Neurologi klinis dasar. Edisi ke9.Jakarta: Dian
Rakyat.
27
Pengcheng Han dkk (2015). Hypocalcemia-Induced Seizure: Demystifying The Calcium
Paradox. American Society For Neurochemistry
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam
Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi Dari Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2011
Prasad A, Prasad C, stafstrom CE. Recent Advances in the Guidlines of Epilepsy. Insight from
human and animal studies. Epilepsia.1999; 40 (10) :1329-1352.
Saleem, S. (2013). Fahr’s Syndrome: Literature Review Of Current Evidence. Orphanet Journal
Of Rare Disease. Available on www.ojrd.com
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10: 30-35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation
and Natural Histor
y, Medicine International,00(4);36-41.
Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks,
Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies,
Helsinki.
28