Warta tenure edisi 9

24
DINAMIKA WG TENURE 4 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011 Dukungan WG-Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia Emila Widawati Menyongsong diimplementasikannya REDD secara penuh 2012, semestinya masalah land tenure men‐ jadi salah satu prioritas untuk dibenahi. Kejelasan dan keamanan land tenure bagi semua pihak sampai saat ini belum terealisasikan dengan baik. Tumpang tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi ‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai pengelolaan hutan di Indonesia. Terjadinya konflik tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Di lain sisi keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak terelakkan, baik masyarakat adat, masyarakat lokal, dan banyak di‐ jumpai pula masyarakat pendatang. Dengan fokus kegiatan yang selama ini digeluti WG‐ Tenure antara lain melakukan study, share learning disamping fokus lainnya, WG‐Tenure berharap bisa berperan mendukung DKN dalam hal ini desk resolusi konflik untuk penyelesaian konflik‐konflik yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land tenure assessment. Kegiatan ini didukung pen‐ danaanya oleh ICCO (InterChurch Organization for Development). Land Tenure assessment dilakukan dengan menggunakan metode RATA (Rapid Land Tenure Assessment), sebuah metode yang dikembangkan oleh ICRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐ perkuat basic klaim dari masing‐masing pihak yang sedang berkonflik. Sementara itu bentuk‐bentuk dan kronologis konflik yang terjadi didokumentasikan dalam database konflik yang berbasis window yang dikembangkan oleh Perkumpulan HuMa dengan label Huma‐win. Sementara itu gaya para pihak dalam menghadapi sengketa akan dianalisis dengan meng‐ gunakan perangkat AGATA (Analisis Gaya Pihak Bersengketa) yang dikembangkan oleh Samdhana Institute. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap sehingga dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐ saian konflik tersebut. Land Tenure assessment dilakukan pada kasus Agroforestry Kemenyan dan sengketa lahan pertanian masyarakat di lokasi HTI PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), Sumatera Utara. Assessment dilakukan antara lain untuk (a) Identifikasi penguasaan lahan/land tenure (tata kuasa), yaitu gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐ kat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak‐ pihak lainnya dalam suatu wilayah; (b) Identifikasi alokasi lahan (tata kelola), analisa ini untuk mema‐ hami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐ cana pengelolaan wilayah tersebut; (c) Identifikasi ijin‐ ijin (tata ijin), yaitu ijin yang dikeluarkan di wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah dan bahkan oleh masyarakat setempat. Pertemuan Anggota WGTenure Working Group on Forest Land Tenure terbentuk pada pelaksanaan Workshop “Masalah Penguasaan Lahan di Kawasan Hutan” tanggal 27‐28 November 2001, hampir menginjak berusia 10 tahun. Untuk lebih menguatkan kelembagaan dan mempertajam peran‐peran WG‐Tenure sesuai dengan visi dan misinya WG‐Tenure akan mengadakan Pertemuan Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada BULAN SEPTEMBER 2011. Saat tulisan ini diturunkan WG‐Tenure sedang melakukan evaluasi kelembagaan sebagai persiapan penyelenggaraan pertemuan anggota tersebut. Evaluasi dilakukan oleh evaluator dengan melakukan wawancara baik lang‐ sung maupun tidak langsung terhadap perwakilan anggota dan beberapa mitra strategis WGTenure. ***

Transcript of Warta tenure edisi 9

Page 1: Warta tenure edisi 9

DINAMIKA WG TENURE

4 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Dukungan WG-Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia

Emila Widawati

Menyongsong  diimplementasikannya  REDD  secara penuh  2012,    semestinya masalah  land  tenure  men‐jadi  salah  satu  prioritas  untuk  dibenahi.    Kejelasan dan keamanan  land  tenure bagi  semua pihak sampai saat  ini  belum  terealisasikan  dengan  baik.  Tumpang tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai pengelolaan  hutan  di  Indonesia.  Terjadinya  konflik tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan hutan  lestari.   Di  lain  sisi  keberadaan masyarakat di dalam  dan  sekitar  hutan  tidak  terelakkan,  baik masyarakat  adat,  masyarakat  lokal,  dan  banyak  di‐jumpai pula masyarakat pendatang.    Dengan  fokus  kegiatan  yang  selama  ini  digeluti WG‐Tenure  antara  lain melakukan  study,  share  learning disamping  fokus  lainnya,  WG‐Tenure  berharap  bisa berperan  mendukung  DKN  dalam  hal  ini  desk         resolusi  konflik  untuk  penyelesaian  konflik‐konflik yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land tenure  assessment.    Kegiatan  ini  didukung  pen‐danaanya  oleh    ICCO  (Inter­Church  Organization  for Development).    Land  Tenure  assessment    dilakukan  dengan        menggunakan  metode  RATA  (Rapid  Land  Tenure   Assessment), sebuah metode yang dikembangkan oleh ICRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐perkuat  basic  klaim  dari  masing‐masing  pihak  yang sedang berkonflik.  Sementara itu bentuk‐bentuk dan kronologis  konflik  yang  terjadi  didokumentasikan dalam  database  konflik  yang  berbasis  window  yang dikembangkan oleh Perkumpulan HuMa dengan label Huma‐win.    Sementara  itu  gaya  para  pihak  dalam menghadapi  sengketa  akan  dianalisis  dengan meng‐gunakan  perangkat  AGATA  (Analisis  Gaya  Pihak Bersengketa)  yang  dikembangkan  oleh  Samdhana Institute.  Hasil  dari  kegiatan  ini  diharapkan  dapat 

memberikan  gambaran  yang  lebih  lengkap  sehingga dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐saian konflik tersebut.  Land  Tenure  assessment  dilakukan  pada  kasus   Agroforestry  Kemenyan  dan  sengketa  lahan            pertanian  masyarakat  di  lokasi  HTI  PT.  Toba  Pulp Lestari  (PT.  TPL),  Sumatera  Utara.    Assessment       dilakukan  antara  lain  untuk  (a)  Identifikasi             penguasaan  lahan/land  tenure  (tata  kuasa),  yaitu gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐kat,  pemerintah,  pemerintah  daerah, maupun pihak‐pihak  lainnya  dalam  suatu  wilayah;  (b)  Identifikasi alokasi  lahan  (tata    kelola),  analisa  ini  untuk mema‐hami  alokasi  menurut  tataruang  wilayah  dan  juga menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐cana  pengelolaan  wilayah  tersebut;  (c)  Identifikasi  ijin‐  ijin  (tata  ijin),  yaitu  ijin  yang  dikeluarkan  di wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah dan bahkan oleh masyarakat setempat. 

 Pertemuan Anggota WG­Tenure 

Working  Group  on  Forest  Land  Tenure  terbentuk pada  pelaksanaan  Workshop  “Masalah  Penguasaan Lahan  di  Kawasan  Hutan”  tanggal  27‐28  November 2001,  hampir  menginjak  berusia  10  tahun.    Untuk lebih  menguatkan  kelembagaan  dan  mempertajam peran‐peran  WG‐Tenure  sesuai  dengan  visi  dan    misinya  WG‐Tenure  akan  mengadakan  Pertemuan Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada BULAN  SEPTEMBER  2011.    Saat  tulisan  ini             diturunkan  WG‐Tenure  sedang  melakukan  evaluasi kelembagaan  sebagai  persiapan  penyelenggaraan pertemuan anggota tersebut.  Evaluasi dilakukan oleh evaluator  dengan  melakukan  wawancara  baik  lang‐sung  maupun  tidak  langsung  terhadap  perwakilan anggota  dan  beberapa  mitra  strategis  WG­Tenure.  *** 

Page 2: Warta tenure edisi 9

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

KAJIAN DAN OPINI

5

Posisi Masyarakat terhadap REDD: “Perundingan REDD Harus Perkuat Kemampuan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat” 

Oleh: Asep Yunan Firdaus

Masyarakat  khususnya yang hidup di  dalam dan  seki‐tar hutan seharusnya menjadi aktor kunci dalam upaya memitigasi  dan  mengadapatasi  dampak‐dampak      perubahan  iklim. Namun demikian,  faktanya pelibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan Pemerintah yang merespon perubahan iklim masih minim.   Keresahan  atas  situasi  tersebut  direspon  oleh  Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dengan mengkonsolidasikan  perwakilan‐perwakilan  masyara‐kat  dari  berbagai  wilayah  di  Indonesia  dalam  rang‐kaian  workshop  di  daerah  dan  berpuncak  di  Jakarta pada  1‐2  Desember  2010  untuk  merumuskan  posisi bersama  masyarakat  terhadap  isu  Perubahan  Iklim khususnya  skema  REDD.  Kamar  Masyarakat  DKN    menyatakan  bahwa  kertas  posisi  ini  disusun  guna  merespon  berbagai  perdebatan  politik  dan  produksi kebijakan  yang  merespon  isu  perubahan  iklim  yang dinilai  berpotensi  merugikan  dan  mempersulit          kehidupan masyarakat.  Dalam putaran workshop yang diorganisir oleh Kamar Masyarakat  DKN  di  Ngata  Toro,  Kabupaten  Sigi, Sulawesi  Tengah  (23‐24  September),  Putussibau, Kapuas  Hulu,  Kalimantan  Barat  (28‐30  September), Waingapu,  Sumba  (21‐22  Oktober),  Muluy,  Paser, Kalimantan  Timur  (24  November)  menemukan  fakta bahwa  perubahan  iklim  sudah  mengakibatkan penurunan  hasil  panen  hampir  100%.  Di  beberapa komunitas  di  Kabupaten  Kapuas  Hulu,  hasil  panen dalam  sepuluh  tahun  terakhir  berkurang  drastis  dari 1000  gantang  berkurang  hanya  menjadi  200  –  300 gantang1.  Di Sumba, Nusa Tenggara Timur hasil panen jagung mengalami  penurunan  akibat  pola  hujan  tidak jelas. Hingga November 2010, hasil padi  ladang orang 

Muluy  di  Kabupaten  Paser  Kalimantan  Timur  makin menurun  dibanding  tahun‐tahun  sebelumnya.  Dari sembilan  belas  kelompok  (kelompok  terdiri  dari gabungan  kepala  keluarga  dari  satu  keluarga  inti.   Total  KK‐nya  35  KK)  yang  buka  ladang,  hanya  ada  5 kelompok yang memperoleh hasil 50 kg, itupun dengan jumlah  benih  lebih  dari  sekaleng.  Pada  1999, mereka hanya  mengeluarkan  benih  1  kaleng.  Dua  kelompok, sama  sekali  tidak  mendapat  hasil.  Ada  8  kelompok hanya memperoleh  hasil  kurang  dari  10  kaleng. Hasil itu  tidak  akan  mampu  mencukupi  kebutuhan  hidup sehari‐hari dimana pemanenan hanya dilakukan sekali dalam setahun.   Kamar Masyarakat DKN juga merujuk kepada berbagai laporan  internasional  yang  menunjukkan  betapa rentannya  masyarakat  terhadap  dampak‐dampak perubahan  iklim.  Laporan  Pembangunan  Manusia 2007/2008  Badan  Pembangunan  PBB  (UNDP), menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan yang  paling  rentan  atas  dampak  perubahan  iklim. Temuan  dan  analisis  serupa  juga  muncul  dalam laporan  UNFCCC  (2007)  mengenai  Dampak, Kerentanan  dan  Adaptasi  di  Negara‐negara Berkembang. Seorang pakar perubahan iklim, Maarten K.  van  Aalst  (2006)  dari  Lembaga  Palang  Merah Belanda  untuk  Perubahan  Iklim  dan  Kesiapsiagaan Bencana  memprediksi  skenario‐skenario  buruk penurunan hasil  pangan yang  sangat  signifikan  akibat perubahan  iklim.  Sebuah  laporan  yang  lain  mengenai Asesmen  Dampak  dan  Adaptasi  terhadap  Perubahan Iklim  (2006)2,  mencatat  penurunan  produksi  hingga 100 % (gagal panen) di beberapa komunitas di Filipina.   

_____________________________________ 1 gantang = 10 kaleng susu = 2,5 kg  2 Rodel D. Lasco dari University of the Philippines Los Baños College, Laguna, Philippines dan Rizaldi Boer dari IPB, Bogor, (2006)  

Page 3: Warta tenure edisi 9

KAJIAN DAN OPINI

6 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Semua  fakta  di  atas  menggambarkan  komunitas‐komunitas  yang  hidup  di  dalam  dan  sekitar  kawasan hutan.  Mereka  merupakan  bagian  dari  puluhan  juta masyarakat yang telah hidup secara  turun temurun di dalam  dan  sekitar  kawasan  hutan.  Sebagian  besar  di antara  mereka  telah  membuktikan  dirinya  mampu menjaga  hutan  secara  lestari.  Bahkan,  komunitas sungai  utik  di  Kapuas  Hulu  mendapat  sertifikat pengelolaan  hutan  lestari  dari  Menteri  Kehutanan. Namun,  fakta‐fakta  menunjukan  bahwa  dalam beberapa  tahun  terakhir,  hutan‐hutan  tersebut semakin rentan karena perubahan iklim.  Di  sisi  lain,  pemerintah  mendorong  kebijakan  dan proyek  REDD  menjadi  euforia  nasional  dan  menjadi salah  satu  agenda  pokok  pemerintah  saat  ini.  Namun kebijakan  ini  sama  sekali  tidak  memiliki  hubungan dengan upaya masyarakat untuk bertahan dan mampu beradaptasi  termasuk  mengelola  hutannya  sendiri secara  lestari.  Kebijakan‐kebijakan  ini  lebih mengutamakan promosi peningkatan stok karbon yang akan masuk skema pasar pasca 2012.   Meskipun  skema  REDD  belum  begitu  jelas,  namun berbagai  kebijakan  instan  Kementerian  Kehutanan dalam  merespon  REDD  menunjukan  bahwa  hak  atas karbon  hutan  akan  mengacu  pada  hak  negara  atas kawasan  hutan.  Hak  masyarakat  atas  hutan  belum diakui.  Di  sisi  lain,  secara  saintifik,  REDD merupakan skema  yang  menjaga  hutan  sedemikian  rupa  untuk menghindari  kebocoran  karbon.  Artinya,  di  lokasi proyek  REDD,  banyak  pembatasan  akses  ke  dalam kawasan hutan akan diberlakukan.   Saat  ini,  sebagian  pilot  proyek  REDD  beroperasi  di kabupaten  atau  provinsi  tempat  hidup  komunitas‐komunitas  yang  disebut  di  atas.  Bagaimana  mungkin komunitas  di  sekitar  dan  dalam  kawasan  hutan  yang sudah  rentan  karena  perubahan  iklim  justru  harus dibatasi  demi  kepentingan  stok  karbon  yang  akan dijual ke negara‐negara utara.   Pertanyaannya, REDD untuk  siapa? Untuk masyarakat atau para pemburu sertifikat karbon dari perusahaan‐

perusahaan  eksploitatif  yang  telah  menghancurkan sumber daya alam?   Dalam pernyataannya, Kamar Masyarakat DKN  secara tegas  memosisikan  dirinya  mengkritik  pendekatan pemerintah  dalam merespon  isi  Perubahan  Iklim  dan meminta  kepada  pemerintah  untuk  lebih  menjamin dan  melindungi  hak‐hak  masyarakat  baik  atas kepemilikan/akses  terhadap  hutan  maupun  dalam proses pembentukan kebijakan.  Untuk  meluruskan  kembali  pendekatan  Pemerintah dalam  merespon  isu  perubahan  iklim,  Kamar Masyarakat DKN mendesakkan beberapa usulan antara lain  (1)  Pemerintah  harus  mengamandemen  seluruh kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan  sekitar  kawasan  hutan;  (2)  Pemerintah  harus memberikan  perlindungan  terhadap  inisiatif‐inisiatif adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan,  termasuk  juga memberikan dukungan yang  memadai  yang  meliputi  bantuan  teknis  dan pendampingan‐pendampingan  yang  reguler;  (3) Mendesak  semua  pihak  yang  terlibat  dalam  proses pembuatan  kebijakan  dan  proyek‐proyek penanggulangan  perubahan  iklim,  terutama  REDD untuk menghormati,  melindungi,  dan memenuhi  hak‐hak  dan  kebebasan  dasar  masyarakat  yang  hidup  di dalam  dan  sekitar  kawasan  hutan,  termasuk mengadopsi  prinsip  dan  norma  hak  asasi  manusia nasional  dalam  kebijakan‐kebijakan  baru  di  bidang  penanggulangan  perubahan  iklim;  (4)  Sesegera mungkin meratifikasi Konvensi ILO No.169. ***     

(sumber: Sendirian Menghadapi Iklim yang Berubah, kertas posisi Masyarakat DKN terhadap kebijakan Miti­

gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim).  

Page 4: Warta tenure edisi 9

7

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Moratorium Oslo  adalah istilah populer untuk menyebut Letter of Intent (LoI) Kerjasama 

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) antara pemerintah Indonesia dan  Norwegia  yang  ditandatangani  di  Oslo  pada  26 Mei  2010.  Implementasi  LoI  ini  dibagi  dalam  tiga tahap  yakni  persiapan,  transformasi  dan  kontribusi.  Saat ini  Moratorium Oslo telah memasuki babak baru yakni  fase  transformasi,  mulai  Januari  2011  sampai dengan Desember 2013.   

 Miskonsepsi Moratorium Oslo 

Dalam LoI  istilah moratorium merujuk pada kegiatan penundaan izin konversi hutan alam dan lahan gambut dalam  jangka  waktu  dua  tahun.  Batasan  hutan  alam sendiri  menimbulkan  ambiguitas  karena  hutan  alam adalah  istilah  teknis  terkait  asal  usul  pembentukan hutan  yang  definisinya  tidak  diatur  dalam  peraturan perundang‐undangan.  Jika  memperhatikan  LoI  butir VII.c.ii,  dimana  aktivitas  pembangunan  ekonomi diarahkan di areal hutan yang telah terdegradasi maka dapat  ditafsirkan  bahwa  hutan  alam  yang  dimaksud dalam  LoI  tersebut  adalah  hutan  primer  (primary    forest).    Masalahnya,  moratorium  yang  diarahkan  pada  hutan primer  dalam  rangka  mereduksi  emisi  karbon          sebenarnya  secara konseptual  tidak  tepat.   Mengapa?  Karbondioksida diserap oleh  tumbuhan dalam proses fotosintesis.    Proses  fotosintesis  ini  lebih  efektif        dilakukan  oleh  pohon‐pohon  muda  yang  masih  ber‐tumbuh.  Sementara,  hutan  primer  yang  tidak  pernah ditebang  umumnya  banyak  ditumbuhi  pohon‐pohon tua  dan  mengarah  pada  ekosistem  klimaks  yang     jumlah penyerapan dan pengeluaran karbonnya relatif seimbang (net balance).   Dengan  demikian  jelas  bahwa  dalam  hal  penyerapan karbon,  hutan  primer  sebenarnya  bukan  “carbon 

sinker” yang baik.  Namun, bukan berarti hutan primer boleh  dikonversi  seenaknya  karena  terlepas  dari keterbatasannya  menyerap  karbon,  hutan  primer    diyakini memiliki manfaat  ekologi  yang  sangat  besar, baik  yang  terkait  dengan  fungsi  tata  air,  keaneka‐ragaman  hayati,  penyedia  hasil  hutan  non‐kayu,    keindahan alam maupun fungsi lingkungan lainnya.   Demikian  pula  dengan  moratorium  konversi  lahan gambut.    Diakui  bahwa  lahan  gambut  merupakan penyimpan  karbon  yang  sangat  efektif.    Namun,  ma‐salah  kerusakan  dan  perusakan  lahan  gambut  tentu tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberlakukan moratorium  konversi.    Manajemen  pengelolaan     gambut  yang  lestari  tidak  cukup  hanya  memperhati‐kan  aspek  teknis  tetapi  juga memerlukan  lingkungan sosial dan ekonomi yang kondusif.    Oleh karena itu, LoI tidak dapat mengatur moratorium konversi  lahan gambut secara parsial karena masalah pengelolaan lahan gambut tidak dapat dipisahkan dari ketentuan‐ketentuan yang telah ada, misalnya Undang Undang  Kehutanan  Nomor  41  Tahun  1999,  Undang Undang  Perlindungan  dan  Pengelolaan  Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990. Dalam peraturan  tersebut di‐antaranya telah diatur tentang masalah penetapan dan pengelolaan hutan  lindung dan kawasan  lindung,  ter‐masuk  lahan  gambut.    Dengan  demikian,  dalam  ke‐rangka  peraturan  perundang‐undangan  moratorium hutan  alam  dan  lahan  gambut  harus  dikonstruksikan sebagai  bagian  dari  pengelolaan  hutan  lindung  (di dalam kawasan hutan) dan/atau kawasan  lindung  (di luar kawasan hutan).    Moratorium  konversi  tidak  dapat  hanya  bersandar pada  ketentuan  LoI,  tetapi  harus  memiliki  payung   hukum  yang  kuat  dan  tidak  bertentangan  dengan peraturan  yang  lebih  tinggi.    Perlu  digarisbawahi bahwa  kebijakan  moratorium  yang  tidak  terarah     

BABAK BARU MORATORIUM OSLO  Oleh: Dodik Ridho Nurrochmat*

*) Penulis adalah Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB dan alternate International Council IUFRO (International Union of Forest Research Organizations) periode 2010­2014.  

Page 5: Warta tenure edisi 9

8

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

justru  akan  membahayakan  lingkungan  karena  akan memicu  kelangkaan  pasokan  kayu  yang  bermuara pada maraknya pasar kayu gelap dan illegal logging. 

 Dekonstruksi Etika Perdagangan Karbon 

Pola  pikir  yang  mereduksi  fungsi  lingkungan  hutan sekedar  sebagai  penyerap  karbon  tidak  hanya    me‐lenceng  secara  ilmiah, tetapi  juga  sangat  berba‐haya  bagi  lingkungan  itu sendiri.    Skema  pengu‐rangan  emisi  dari  de‐forestasi  dan  degradasi hutan  (REDD)  yang  pada mulanya  (diharapkan) berpijak  pada  upaya  per‐baikan  lingkungan,  ter‐nyata  dalam  perkem‐bangannya  (lebih)  sarat muatan politik.  Negara‐negara  industri menyodorkan skema ban‐tuan dana kepada negara‐negara  berkembang     untuk menurunkan  emisi dengan  mengerem  laju deforestasi.    Tentu  saja tidak  ada  skema  pen‐danaan  yang  gratis, skema tersebut (dapat) di‐klaim  negara‐negara pemberi  dana  sebagai capaian  yang  meri‐ngankan  kewajibannya menurunkan  emisi  kar‐bon dari  industri mereka.  Skema semacam  ini dike‐nal sebagai “carbon offset”.     Alur  pikir  skema  ini  mirip  “jual  beli  surat  penebus dosa”.    Artinya,  walaupun  mereka  berbuat  banyak dosa (menggelontorkan emisi)  tidak masalah, asalkan mereka beramal  kepada  si‐miskin  (mengurangi  emisi di negara berkembang pemilik hutan).  

Di  sisi  lain,  sangat penting untuk diperhatikan bahwa harga  karbon  tidak  boleh  hanya  diperbandingkan  dengan  variabel  harga  semata‐mata  dari  komoditas kayu,  hasil  pertanian  atau  hasil  perkebunan.    Konse‐kuensi  logis  dari moratorium konversi  adalah pengu‐rangan penebangan kayu dan/atau pembatasan pem‐bangunan  pertanian  termasuk  perkebunan.  Diban‐

dingkan dengan 34 sek‐tor  perekonomian  yang lain,  keterkaitan  ke  de‐pan  (forward  linkage) sektor  pertanian, perkebunan  dan  kehu‐tanan  adalah  yang tertinggi.    Demikian  pula  efek pengganda  (multiplier effect)  baik output mul­tiplier,  income  multi­plier,  dan  employment multiplier  dari  ketiga sektor  tersebut  juga sangat  besar.    Artinya, jika  tidak  dilakukan secara  cermat  dan  ter‐ukur,  skema  perda‐gangan  karbon  dapat mematikan  tidak hanya sektor  hulu  tetapi  juga akan  memberikan  efek domino  yang  memukul keberlangsungan  hidup sektor  hilir,  mencipta‐kan  lebih  banyak  pe‐ngangguran,  dan  me‐merosotkan  kese‐jahteraan masyarakat.  

 Skema  perdagangan  karbon  hanya  akan  bermanfaat dan  bermartabat  jika  memperhatikan  tidak  hanya “leakages” tetapi juga “linkages” terhadap kepentingan yang lebih luas.  Oleh karena itu, praktik perdagangan karbon  yang  hanya  berlandaskan  pada  politik  ke‐pentingan tidak akan pernah dapat menyelesaikan ma‐salah  sehingga  mekanisme  seperti  ini  harus  diper‐

Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus dapat memanfaatkan momentum fase transformasi LoI ini untuk 

mengalokasikan areal terdegradasi bagi kepentingan pembangunan, membenahi 

peraturan dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat penyelesaian rencana tata ruang wilayah. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi adalah LoI harus ditempatkan sebagai bagian dari 

strategi pembangunan nasional berkelanjutan dan bukan 

sebaliknya.

Page 6: Warta tenure edisi 9

9

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

juangkan  untuk  didekonstruksi  menjadi  (lebih)  adil dan bermartabat.  

Beberapa Catatan untuk Fase Transformasi LoI Memasuki  babak  baru  LoI  ada  beberapa  hal  penting yang  harus  diperhatikan.    Pertama,  perlu  adanya     kejelasan  lokasi  dan  luas  areal  moratorium.    Total dana  1  milyar  USD  yang  dijanjikan,  sesungguhnya nilainya  sangat  kecil  jika  konsekuensinya  mencakup keseluruhan 132  juta hektar hutan  Indonesia.    Peme‐rintah  Indonesia  sendiri  terlihat  gagap  dalam menin‐daklanjuti kesepakatan ini.   Dalam  LoI  disebutkan  bahwa  seluruh  perangkat      organisasi  dan  payung  hukum  bagi  pelaksanaan       kesepakatan ini sudah harus tuntas akhir tahun 2010. Faktanya,  tarik  menarik  kepentingan  sangat  kuat    sehingga  sampai  dengan  bulan  ketiga  tahun  2011    payung  hukum  yang  ditunggu  tak  kunjung  keluar.   Pemerintah  terjerat keraguan dan kegamangan untuk melangkah.   Demikian  pula  dengan  penetapan  lokasi  pilot  REDD.  Walaupun dalam kerangka pelaksanaan LoI pemerin‐tah  telah  menetapkan  provinsi  Kalimantan  Tengah sebagai  lokasi  pilot  REDD,  namun  sederet  potensi hambatan  telah  menunggu.  Barangkali  secara  fisik provinsi  Kalimantan  Tengah  memang  sangat  sesuai sebagai  lokasi  pilot REDD karena di wilayah  tersebut terdapat  hutan  alam  dan  lahan  gambut  yang  cukup luas.    Namun,  dari  sisi  efektifitas  pemilihan  provinsi          Kalimantan Tengah yang sarat dengan konflik tenurial patut dipertanyakan. Di provinsi ini, tercatat lebih dari tiga  juta hektar kawasan hutan  tumpang  tindih peng‐gunaannya dengan  sektor  lain,  baik perkebunan,  per‐tanian,  pemukiman,  bahkan  desa  dan  kota.    Padahal, moratorium  konversi  hutan  hanya  akan  efektif  di‐terapkan  jika  telah  ada  tata  ruang  yang  definitif      dengan tingkat konflik minimal.   Dari aspek hukum,  implementasi LoI  juga memuncul‐kan  beragam  interpretasi  yang  memicu  ketidak‐pastian.    Moratorium  yang  sebenarnya  hanya  dituju‐kan bagi izin‐izin baru, ternyata diusulkan oleh semen‐tara  kalangan  untuk  juga  mengevaluasi  seluruh  ijin 

termasuk  yang  sudah  berjalan.  Tentu  saja  hal  se‐macam  ini  akan  menimbulkan  masalah  ketidak‐pastian hukum dan mengganggu iklim berusaha.   Selain  itu,  diperlukan  pula  kejelasan  batasan  hutan alam  dan  lahan  gambut  yang  dimoratorium.    Selain berpotensi  mendongkrak  pasar  kayu  gelap,            moratorium  tanpa  batasan  wilayah  yang  jelas  juga akan  bermuara  pada  situasi  “open  access”  kawasan hutan.    Pada  situasi demikian, hutan  cenderung men‐jadi  barang  publik  yang  bebas  dijarah  dan  dirambah siapa  saja,  sehingga  dapat  dipastikan  eskalasi  ke‐rusakan  hutan  akan  terjadi  jauh  lebih  cepat  dan       semakin  luas  dari  sebelumnya.    Thesa  Garret  Hardin “the tragedy of the commons” yang meramalkan kehan‐curan  sumberdaya  alam  sebagai  barang  publik  yang open akses akan menemukan pembenaran empiris di negeri ini.      Akhirnya,  harus  dapat  dipastikan  bahwa  dana  yang dijanjikan  terealisasi  sesuai  dengan  skema.  Hal  ini  sangat penting diangkat karena pencairan dana hanya dapat dilakukan atas persetujuan parlemen Norwegia dan  pengelolaannya  hanya  dapat  dilakukan  oleh      lembaga  keuangan  internasional,  sehingga  perlu  ada kejelasan bagaimana mekanisme distribusi dan peng‐gunaannya  agar  dana  tersebut  dapat  bermanfaat     untuk  menyejahterakan  masyarakat,  terutama masyarakat sekitar hutan.   Pemerintah  Indonesia  tidak  boleh  terjebak  pada     urusan  moratorium  saja,  tetapi  secara  paralel  harus dapat  memanfaatkan  momentum  fase  transformasi LoI  ini untuk mengalokasikan areal  terdegradasi bagi kepentingan  pembangunan,  membenahi  peraturan dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat penyelesaian  rencana  tata  ruang  wilayah.  Hal  ter‐penting  yang  perlu  digarisbawahi  adalah  LoI  harus ditempatkan  sebagai  bagian  dari  strategi  pemban‐gunan nasional berkelanjutan dan bukan sebaliknya.***  

ALAMAT KONTAK: DR. IR. DODIK RIDHO NURROCHMAT, M.ScF 

Laboratorium Politik Ekonomi & Sosial Kehutanan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB 

Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel/Fax: 0251 8623805, 8623327 

Hp: 081314845101 Email: [email protected] 

Page 7: Warta tenure edisi 9

10

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Apa kata mereka tentang “Persepsi Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD” Tahun 2012 disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh (full implementation) dari REDD.  Pembicaraan perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nam‐paknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri.  Sejauh mana masyarakat  sipil memahami REDD dan  bagaimana merespon  serta memaknainya?  Kami memberikan  ruang kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat  individu.    Simak opini mereka!! 

Jago Bukit BPSE Yasanto 

Merauke, Papua  Di  Papua  pada  umumnya, khususnya  Papua  Selatan, masyarakat  sipil  apakah  itu masyarakat adat atau masyarakat umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu ten‐tang  REDD.  Mereka  jarang  sekali  mendengar  REDD, mereka  juga  tidak  tahu  apa  itu  hubungan  antara masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian besar  dari  mereka  tidak  tahu  apa  itu  REDD  ?    Skema REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan saja,  namun  aktifis  LSM  juga  memiliki  keterbatasan dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyara‐kat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak ulayat atas  tanah dan hutan belum tahu tentang skema REDD.  Jika skema REDD benar2 diimplementasikan se‐cara  konsisten  dan  bertanggung  jawab  ditambah  lagi pemahaman masyarakat  adat  tentang  skema REDD cu‐kup  memadai,  maka  diyakini  bahwa  masyarakat  adat akan  memilih  skema  Redd  ketimbang  menyerahkan tanah  dan  hutan  kepada  investor.  Tantangan  bagi  kita pemerhati skema REDD.  Proyek  Mifee  Merauke  yang  akan  membuka  jutaan    hektar  hutan  di  kabupaten Merauke  sama  sekali  tidak memperhitungkan  dampak‐dampak  pembukaan  lahan 

secara  besar‐besaran  terhadap  kerusakan  lingkungan dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampai‐kan  masukan‐masukan  tentang  kerusakan  lingkungan dan perubahan  iklim pada moment pertemuan  tentang Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggu‐brisnya  dan  mereka  lebih  mengutamakan  perolehan PAD  Merauke  dan  kepentingan  lainnya.  Kelihatannya satu  dua  LSM  saja  di  Merauke  yang  berkoar‐koar  ten‐tang  dampak  pembukaan  hutan  terhadap  perubahan iklim  dan  skema  REDD.  Stakeholder  yang  lain  tam‐paknya masa bodoh dengan perubahan iklim.  Yasanto  bekerjasama  dengan  Samdhana  untuk  tahun 2011  akan  melakukan  sejumlah  kegiatan  yang  terkait dengan masyarakat adat dan perubahan iklim, termasuk kegiatan mensosialisasikan perubahan iklim dan skema REDD  kepada  masyarakat  umum.  Mudah2an  melalui kerjasama 1 tahun ini, semakin banyak masyarakat sipil di  Selatan  Papua  tahu  tentang  perubahan  iklim  dan skema REDD. Kemudian yang juga menjadi tanda tanya adalah  semakin  hari    semakin  berkurang  orang  bicara tentang skema REDD (mungkin pendapat ini salah) dan semakin  sedikit  stakeholder  yang  concern  terhadap  perubahan  iklim.  Perubahan  iklim  dan  skema  REDD yang  cukup  gencar  digaungkan  oleh  banyak  lembaga atau  organisasi  beberapa  tahun  lalu,  belakangan  ini cenderung menurun menurut kacamata kami – mungkin salah.  Mudah2an  penilaian  ini  salah.  Selamat  berjuang menjadi pahlawan REDD.  * 

Page 8: Warta tenure edisi 9

11

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA Plantation Director of PT MHP  REDD  merupakan  isu  terbaru  dalam mitigasi  perubahan  iklim  yang  akan diterapkan  secara  penuh  pada  tahun 2012.  Ini  berarti  merupakan  peluang sekaligus  tantangan  bagi  kita,  untuk 

mampu  memanfaatkannya.  Hutan  Indonesia  adalah penghasil  “green­products”  yang  sangat  besar.  Karena  itu pengurangan  emisi  dengan  mencegah  terjadinya deforestasi  dan  degradasi  hutan,  serta  upaya  lain  dalam penerapan  pengelolaan  hutan  lestari,  menjadi  keharusan untuk  diimplementasikan.  Bila  hal  ini  dapat  dilakukan secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan insentif  yang  cukup  memadai  untuk  terus  melanjutkan pengelolaan  hutan  secara  lestari  serta  mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.   Bagaimana  peranan  masyarakat  yang  hidup  di  pinggir‐pinggir  hutan?  Jawabannya,  mereka  adalah  stakeholders terdekat  yang  harus  dilibatkan  sejak  dini  dalam  proses implementasi  skema  REDD.  Mereka  berperan  sebagai penjaga  hutan  dari  kemungkinan  terjadinya  kerusakan 

(deforestasi  dan  degradasi  hutan).  Karena  itu  mereka berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai regulasi,  kelembagaan,  serta  mekanisme  implementasi REDD  yang  terang,  agar  keterlibatannya  betul‐betul didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan secara  lestari  dan  berkelanjutan.  Mereka  berhak mendapatkan  porsi  kompensasi  yang  layak  agar  mereka memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih sejahtera  dan terbebas dari persoalan kemiskinan.  Masyarakat  sipil  (civil­society),  perlu  mengawal  agar proses  implementasi  REDD    dapat  berlangsung  dalam tatakelola  (governance) yang  benar. Masyarakat  tempatan (indegenuous­people) sebagai  komponen  masyarakat  sipil yang  “terlemah”,  sekali  lagi  harus  diprakondisikan  untuk siap  melaksanakan  implementasi  REDD  melalui pengelolaan  hutan  yang  bersifat  kolaboratif  dan multipihak.  Bahkan  kini  masyarakat  lokal  bersama  dunia usaha  kehutanan  lain  perlu  membulatkan  tekad  untuk membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam wadah Hutan Rakyat  (HR), Hutan Plasma, maupun Hutan Tanaman  Rakyat  (HTR)  pada  lahan  yang  terdegradasi, kurang  produktif,  serta  memiliki  legalitas  tenurial  yang pasti. * 

Narasumber   :  ROSA GAZPER (koordinator VOWE*) Pewawancara   :  Andi Saragih (Mnukwar Papua)  Menurut  anda,  apakah  REDD  itu  telah  terkomunikasi­kan  dengan  baik  di  tingkat  masyarakat  di  Papua Barat?.  Fakta  yang  harus  diakui  saat  ini  adalah,  hampir sebagian  besar  masyarakat  tidak  pernah  mendengar  apa yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpen‐didikan  yang  tinggal  di  kotapun pasti masih  banyak  yang belum  pernah  mendengarnya.  Saya  beruntung  karena mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini.   Apakah  REDD  ini  bisa  menjadi  sebuah  peluang  yang bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?.  Seba‐gai  masyarakat,  yang  pertama  dan  terpenting  bagi  kami adalah  dampak  apa  yang  kami  dapat  dari  keadaan  ini. REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyara‐kat  di  papua.  Dari  langkah  awal  saat  ini  di  lakukan  oleh pemerintah daerah saja  sudah ada masalah,    sebagai  con‐toh seperti  yang  saya  sebutkan diatas, bahwa masyarakat belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan ten‐tang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman‐teman  di  luar  pemerintah,  artinya  apa?!  Dari  masalah sosialisasipun  pemerintah  tidak  mampu menjalankannya, apalagi dalam  tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami  le‐bih tidak tahu lagi.   

Menurut  anda,  bagaimana sebaiknya  langkah  yang perlu  dilakukan?  Menurut saya,  jika  keadaannya demikian  lebih  baik  kita  tidak usah  menerima  program  ini, karena saya kawatir kita tidak akan  mendapatkan  manfaat‐nya nanti. Untuk kepentingan mengurangi    kecepatan pe‐rubahan  iklim  saya  pikir  kita  perkuat  dan  pertegas  saja kearifan  lokal  yang  memang  sudah  ada  selama  ini  di masing‐masing  masyarakat,  karena  dalam  sejarahnyapun aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua memiliki  banyak  kearifan  lokal  yang  bisa  dikembangkan untuk  pelestarian  lingkungan.  Tidak  harus  menggunakan konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti masyarakat  dapat  memperoleh  manfaatnya  baik  secara langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep yang  saya  pikir  memiliki  fungsi  ganda,  yakni  fungsi  eko‐nomi  kalau  kompensasi  itu  diperoleh masyarakat  pemilik hak ulayat dan fungsi lingkungan.   *VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010, kehadiran pemuda­pemudi yang bersemangat ini, tidak ter­lepas dengan pola pendekatan, pembinaan dari beberapa 

teman­teman NGO lokal di manokwari.  

Page 9: Warta tenure edisi 9

Ormelling  (1955)  memberi  catatan  sejarah  bahwa  pada pertengahan  abad  18  (tahun  1769  M)  Gubernur  Hindia Belanda  yang  berkedudukan  di  Batavia  memerintahkan penduduk  Pulau  Timor  menanam  tanaman  jagung  (Zea mays)  sebagai  tanaman  budidaya  sebagai  cara  untuk mengatasi  masalah  kegagalan  panen  dan  kelaparan  yang kerap  melanda  daerah  ini.  Masyarakat  menerimanya  dan sejak  saat  itu  tanaman  jagung  berkembang  menjadi tanaman  pokok  bagi  penduduk  di  Timor  dan  bahkan  lalu menyebar  ke  berbagai  pulau  lain  di  NTT.  Pada  awal  abad 20,  Pemerintah  kolonial  Belanda  mengintrodusir  ternak sapi  Bali  (Bos Javanicus  syn.  Bos sundaicus)  sebagai  cara untuk  meningkatkan  pendapatan  rakyat  di  Timor. Masyarakat  juga  menerimanya  dan  bahkan  menjadi  salah satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa Tenggara  Timur.  Jadi,  menurut  sejarahnya,  kedua komoditas  pokok  di  NTT  tersebut  adalah  hasil  introduksi dari  luar  sistem  kemasyarakatan  di  Timor  dan  atau  Nusa Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak ada  catatan  bahwa  upaya  introdusir  tersebut  didahului dengan adanya proses  sosialisasi  yang makan waktu  lama. Mengapa  masyarakat  dapat  menerima  jenis‐jenis introdusiran  tersebut  dan  lalu  mengusahakannya?  Selain karena  kemungkinana  ada  sifat memaksa  dari  pemerintah kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena dua  komoditas  tersebut  memang  menjawab  kebutuhan masyarakat.  Masyarakat  mengalami  kelaparan  dan berpendapatan  sangat  rendah  lalu  ada    solusi  yang  terang benderang. Maka jadilah apa yang dimaui. 

Isu tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan di  Nusa  Tenggara  Timur  tetapi  bahkan  sampai  dengan tahun  2010,  yaitu  ketika  Forum  DAS  NTT  melakukan sosialisasi  tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat yang memahami  bahwa  efek  rumah  kaca  disebabkan  oleh banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang terbuat  dari  kaca.  Alih‐alih,  banyak  pula  stakeholder  dari kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik  dari  masayarakat  desa  memahami  bahwa  REDD sesuatu  yang  bertalian  dengan  warna  merah.  Jika memahami  REDD  saja  masih  merupakan  suatu  kesulitan besar maka mudah  diduga  apa  yang  terjadi  ketika  kepada berbagai  stekholder  yang  ada  di  NTT  disodori  konsep adaptasi  dan  mitigasi  yang  terkait  perubaan  iklim  global. Tidak  semua  stakeholder  memberi  respons  seperti  yang dikemukakan  tadi.  Beberapa  di  antara  mereka  memiliki paham  tentang  REDD  akan  tetapi mereka  dibingungankan dengan  persamaan  dan  perbedaan  di  antara  beberapa varian  terminologi REDD, REDD‐I  dan REDD+. Akan  tetapi dengan  beberapa  penjelasan  tentang  hal‐hal  yang 

membingungkan  tersebut  maka  timbul  beberapa pertanyaan  baru,  antara  lain,  kapan  REDD  mulai  bisa dilakukan  karena  menanam  bukan  hal  asing  bagi masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang pertanyaan  lainnya  yang  terkait  dengan  cara  bagaimana REDD  akan  diimplementasikan.  Pada  pokok  pertanyaan ikutan  ini  maka  beberapa  kegamangan  mulai  terjadi  dan lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik. 

Bagaimana  memahami  dua  kontras  situasi  yang diungkapkan  di  atas.  Di  masa  lalu,  introduksi  jagung  dan sapi  diberi  respons  sangat  positif  oleh masyarakat  di NTT tanpa  perlu  waktu  yang  lama.  Pertama  adalah  adanya kebutuhan  yang  mendasar.  Lalu  kebutuhan  tersebut direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun mereka,  ketika  itu.  Poerwanto  (2004)  menyatakan  bahwa perubahan  sosial  selalu  berasal  dari  2  arah.  Masyarakat akan  berubah  ketika  mereka  sadar  akan  keperluan  untuk berubah  (imanen) dan  atau masyarakat  akan berubah  jika pihak  luar  mampu  meyakinkan  bahwa  mereka  perlu berubah  dan  lalu  menjamin  cara  melakukan  perubahan dimaksud  (kontak).  Itulah  yang  terjadi  dalam  sejarah keberhasilan  introduksi  jagung  dan  sapi  ke  Timor,  NTT. Bagaimana  dengan  introduksi  gagasan  tentang  REDD sekarang  ini.  Di  masa  milenum  baru.  Bahwa  ancaman pemanasan  global  adalah  suatu  perkara  yang  perlu diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat memahami  itu  dan  bahkan  beberapa  filosofi  yang terkandung  dalam  gagasan  REDD  inheren  dalam  budaya tradisi  mereka.  Akan  tetapi  ketika  terhadap  beberapa pertanyaan  tentang  apa,  siapa,  kapan,  dan  bagaimana gagasan  tersebut  akan  diimplementasikan  belum memiliki jawaban  yang  jelas maka  tak  pelak  lagi  idea  bahwa  tahun 2012  adalah  tahun  tinggal  landas  bagi  pelaksanaan penuh (full  implementation)  dari  REDD  sungguh  suatu  utopia. Masalahnya  ada  di  mana?  Menurut  hemat  penulis,  akar masalahnya  ada  pada  tata  kelola  pemerintahan  yang  baik (good governance)  yang  belum  berjalan  efektif  dan  efisien. Selalu  ada  tiga  pihak,  yaitu  pemerintah,  swasta  dan masyarakat  tetapi  adalah  pemerintah  yang  diberi  mandat untuk  memerintah.  Lalu,  bagaimana  perintahmu  wahai pemerintah? *

12

KAJIAN DAN OPINI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Perspektif Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD

(Catatan Dari Nusa Tenggara Timur)

 

Oleh: Michel Riwu 

Page 10: Warta tenure edisi 9

13

EVENT

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Indonesia  dalam  hal  ini  Kementerian  Kehutanan menjadi tuan rumah dalam Konferensi Internasional sebagai tindak lanjut dari konferensi   sebelumnya yang diadakan di Acre, Brasil pada Bulan Juli 2007 dan di Yaoundè Kamerun pada Bulan Mei  2009.    Kementerian  Kehutanan  bersama  ITTO dan RRI mengusung  tema  “The International Conference on  Forest Land Tenure, Governance and Enterprise: Ex­periences and Opportunities for Asia in a Changing Con­text”. Konferensi diadakan di Villa Santosa Hotel & Resort, Senggigi Lombok pada tanggal 11‐15 Juli 2011. Konferensi ini    didukung  dan  bekerjasama  dengan  sejumlah  elemen masyarakat  sipil,  dan  WG‐Tenure  menjadi  bagian  dari kepanitiaan tersebut. 

Konferensi dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Boediono dan dihadiri oleh sekitar 300 peserta yang berasal  dari  berbagai  penjuru  dunia.  Unit  Kerja  Presiden Bidang  Pengawasan  dan  Pengendalian  Pembangunan (UKP4) merupakan salah satu pembicara kunci pada acara ini.  Ketua UKP4, Dr. Kuntoro Mangkusubroto mempresen‐tasikan  film  pendek  dan  keynote  speech  dengan  judul 

“Importance  of  Land  and  Forest  Tenure  Reforms  in           Implementing  a  Climate  Change  Sensitive  Development Agenda”  (“Pentingnya  Reformasi  Penguasaan  Hutan  Dan Lahan  Dalam  Mengimplementasikan  Agenda  Pemban‐gunan  Yang  Peka  Terhadap  Perubahan  Iklim”) yang  dise‐but  sebagai  buah  pemikiran  bersama  dengan  beberapa pihak.    Keynote  speech  yang  disampaikan  oleh  UKP4      sangat menarik  dan merupakan  arahan  baru  penyelesain konflik tanah dikawasan hutan yang diharapkan bisa men‐jadi tonggak sejarah bagi terbangunnya safeguard bagi hak hak  masyarakat  yang  ada  di  dalam  dan  sekitar  kawasan hutan selama ini. 

Dr.  Kuntoro  Mangkusubroto  menyampaikan  sebagai  unit kerja Presiden dituntut  untuk dapat  memandang berbagai isu  melalui  perspektif  lintas  sektor,  melampaui  dinding‐dinding birokrasi baik secara literal dan harfiah, untuk me‐mastikan  bahwa  berbagai  kegiatan  berjalan  di  lapangan. Juga  untuk  memastikan  bahwa  pemerintah  mengerjakan layanan publik sesuai dengan komitmen Presiden. 

 

Konferensi Internasional

“Forest Tenure, Governance, and Enterprise” Oleh: Emila & Martua

Page 11: Warta tenure edisi 9

14

EVENT

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Disampaikan  oleh  UKP4  bahwa  salah  satu  komitmen      Presiden  adalah  menurunkan  emisi  sebesar  26%  apabila tidak  ada  campur  tangan  internasional  dan  sebesar  41% apabila  ada  dukungan  dari  komunitas  internasional  pada tahun 2020.    Sekarang  lebih  dari  60% emisi  di  Indonesia berasal  dari  penggunaan  lahan  dan  sector  kehutanan,  di‐mana  diprediksi  akan  terus  terus  bertambah  sampai     dengan  tahun  2020  mendatang.  Untuk  itu  maka  penge‐lolaan  sumberdaya  alam  dan  penggunaan  lahan  me‐mainkan  peran  yang  sangat  vital  untuk  mewujudkan       komitmen Presiden tersebut. 

Selaras dengan komitmen  ini,  Indonesia  juga menetapkan target  lainnya  yaitu    7%  pertumbuhan  ekonomi.  Untuk mencapainya Pemerintah  Indonesia    sudah melansir mas­ter plan  ekonomi  untuk  menciptakan  6  (enam)  koridor ekonomi. Untuk mewujudkan keseimbangan antara komit‐men penurunan emisi dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi  tersebut  Pemerintah  bertekad  untuk  mewujud‐kan  pembangunan  ekonomi  berkelanjutan  dengan  penge‐lolaan sumberdaya alam sebagai asset bangsa. 

Pada  tahun  2010  sektor  Kehutanan  berkontribusi  pada GDP sebesar 0.1%.   Meskipun bukan sebagai penyumbang devisa  yang  besar,  tetapi  berjuta  masyarakat  bergantung hidupnya pada hutan dan hasil hutan, termasuk di dalam‐nya masyarakat adat dengan adat istiadatnya. Isu land ten‐ure  merupakan  keniscayaan  dalam  pengelolaan  sumber‐daya  alam  secara  nasional  sebagai  respon  dari  tantangan perubahan  iklim  dan  manfaat bagi  masyarakat  yang  hidup  di dalam  dan  sekitar  hutan.  Per‐baikan  tata  kelola  kehutanan dan  land  tenure  sejalan dengan usaha  pemerintah  dalam upaya mengurangi  kemiskinan,  di mana  terdapat  sedikitnya  10 juta  orang  yang  menggantung‐kan hidup dari  hutan berada di bawah garis kemiskinan. 

Pengelolaan  sumberdaya  alam yang  lestari  tidak bisa diwujud‐kan  jika    tidak  bicara  secara tepat masalah  land  tenure yang sangat  kompleks.    Bagaimana akses  dijamin  dalam  hal  hak menggunakan,  mengontrol, serta  hak  mengalihkan  tanah; seperti  dijelaskan  sebagai     kesatuan  kewajiban  dan  ken‐dala‐kendala. Ditegaskan bahwa 

pengaturan  land  tenure  yang  tepat  adalah  syarat  utama dalam mewujudkan  pembangunan  dan  kehidupan  berke‐lanjutan. 

Sejarah panjang  penguasaan hutan dan tanah telah mem‐bawa  negara  ini  pada  suatu  titik  dengan  dua  tantangan yang  mendesak.  Yang  pertama,  dualisme  pendefinisian hutan  sebagai  kategori  biofisik  dan  administratif.  Indone‐sia  memiliki  hutan  yang  luas,  bahkan  termasuk  hutan primer, yang mencapai 15 juta hektar di luar wilayah yang diklasifikasikan  sebagai  Kawasan  Hutan.  Pada  saat  yang sama,  terdapat  26  juta  hektar  lahan  tidak  berhutan  di dalam  Kawasan  Hutan.  Situasi  ini  menyebabkan  adanya hutan‐hutan  yang  berisiko  terhadap  pemanfaatan  yang tidak berkelanjutan dan  terbatasnya  akses  untuk mengel‐ola  lahan  untuk  penggunaan  yang  optimal  dan  terbaik. Yang kedua, hak‐hak pribadi yang belum diakui, termasuk tanah adat, dalam Kawasan Hutan.   Terdapat 33.000 desa (sesuai dengan pernyataan Menteri Kehutanan pada pidato pembukaan Konferensi)  yang sekarang berlokasi di dalam atau sekitar Kawasan Hutan. Karenanya terdapat argumen bahwa desa‐desa  tersebut  ilegal karena mereka  tinggal di wilayah Negara, namun masyarakat desa ini tentunya akan mengklaim  bahwa  mereka  telah  mendiami  selama  be‐berapa  generasi.  Oleh  karena  itulah  konflik  penguasaan tanah  terjadi  dan  bisa  menciptakan  ketidakpastian kegiatan pembangunan. 

Page 12: Warta tenure edisi 9

15

EVENT

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Selain  itu  disampaikan  bahwa  Presiden  Yudhoyono  baru‐baru  ini  telah  menerbitkan  instruksi  “moratorium”  yaitu untuk  menunda  penerbitan  izin  baru  di  hutan  dan  lahan gambut selama dua tahun. Seperti yang dimandatkan oleh Instruksi  Presiden  ini,  berbagai  tindakan  harus  diambil dalam  kerangka  penyempurnaan  tata  kelola  hutan  dan lahan gambut. Dua tindakan  harus segera dilakukan, yaitu (1)  adalah menciptakan One Map  (Peta  Tunggal).  Peta  ini akan menjadi satu‐satunya peta yang digunakan oleh selu‐ruh  kementerian  dan  lembaga  pemerintah  sebagai  dasar pengambilan  keputusan.  Peta  yang  terintegrasi  ini  harus memiliki  definisi  yang  kokoh  dan  menerapkan  metode serta  teknik  terkini  untuk  mengidentifikasi  posisi  dan ukuran  hutan,  dari  ujung  ke  ujung,  di  seluruh  wilayah     Indonesia.  Para  pemangku  kepentingan,  termasuk masyarakat  adat,  akan  didorong  untuk  memberikan        masukan melalui suatu proses yang transparan dan partisi‐patif.  (2)  Harus  mempercepat  proses  pengukuhan           Kawasan  Hutan,  termasuk  melalui  pemetaan  partisipatif berbasis  masyarakat.  Sebagian  besar  Kawasan  Hutan      masih dalam fase penunjukan, dan hanya 14,2  juta hektar atau 12% telah dikukuhkan sampai sekarang. Pengukuhan Kawasan Hutan akan mengidentifikasi hak‐hak privat yang ada  sehingga  hal  itu  harus  dilakukan  secara  bersamaan dengan pendaftaran tanah adat. Penggunaan wilayah hutan hanya bisa dilakukan setelah pengukuhan untuk menjamin bahwa hak‐hak adat telah diakui. 

Satu hal lagi yang disinggung UKP4 adalah komitmen Indo‐nesia  terhadap  reformasi  hutan  dan  penguasaan  lahan dalam  jangka  panjang.  TAP  MPR  No.  9/2001  mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam – yang  merupakan  hukum  tertinggi  –  telah  memandatkan peninjauan dan revisi pada semua peraturan sumber daya alam  dan  keagrarian  untuk  sinkronisasi  multi‐sektor.  Ini bisa mencakup Undang‐Undang Kehutanan 1999 dan per‐aturan  operasional  Undang‐Undang  Pokok  Agraria  1960. Melalui TAP MPR ini juga diinstruksikan pelaksanaan  land reform dengan  pertimbangan  pada  resolusi  konflik  dan mengatasi  ketidaksetaraan  lahan  untuk  masyarakat  kecil yang  tidak memiliki  lahan; untuk mengembangkan  inven‐tarisasi dan pendaftaran penguasaan lahan secara kompre‐hensif dan sistematis; untuk mengatasi dan mengantisipasi konflik‐konflik penguasaan  lahan dan manajemen sumber daya  alam; dan  seluruhnya harus diimplementasikan ber‐dasarkan prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak adat. 

 

Pameran 

Dalam forum ini juga diselenggarakan exhibition/pameran yang  diikuti  oleh  berbagai  lembaga  dan  instansi  dengan menampilkan  publikasi‐publikasi  serta  kegiatan‐kegiatan terutama yang berhubungan dengan isu land tenure dalam pengelolaan hutan di  Indonesia.   WG‐Tenure bekerjasama dengan HuMA, Lifemosaic, ICRAF, dan Epistema mengikuti 

pameran ini dengan mengangkat topic  “Making  Forest  Tenure    Reform  Works  for  People”.      Publikasi  berupa  buku,  leaflet, poster,  serta  pemutaran  be‐berapa  film  coba  ditampilkan dalam  pameran  ini.  Dengan me‐ngadakan  pameran  ini  diharap‐kan  dapat  memperkuat  pema‐haman  para  pihak  terhadap  isu land  tenure  dalam  pengelolaan hutan  di  Indonesia  juga            kaitannya dengan REDD. *** 

 

Sumber: Keynote Speech Dr. Kuntoro Mangkusubroto pada International Land Tenure Conference, Lombok 

2011 dan Terjemahannya  

Page 13: Warta tenure edisi 9

16

PROSES PEMBELAJARAN

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

POTENSI KARBON SEBAGAI ALAT NEGOSIASI MEMPEROLEH HAK AKSES Membangun Model REDD berbasis masyarakat, Di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung, Wilayah Kelola Kelompok SHK Lestari 2010 – 2011 Oleh: Kurniadi

Di  Provinsi  Lampung,  Kawasan  Taman  Hutan  Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman seluas 22.249,31 Ha adalah salah  satu  kawasan  vital  sebagai  penyangga  kehidupan ekonomi,  sosial,  dan  ekologis,  khususnya  Kota  Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Bentang kawasan ini dikelilingi  oleh  sebanyak  36  desa  sehingga  kinerja pengelolaan  ekosistem  di  dalam  kawasan  turut dipengaruhi  oleh  aktifitas  penduduk  desa‐desa  tersebut atau sekitar 5.000 KK berketergantungan dengan kawasan hutan  tersebut.  Pada  saat  ini  kondisi  pengelolaan sumberdaya  alam  Tahura  Wan  Abdul  Rachman  syarat dengan berbagai persoalan yang terutama konflik tenurial (sengketa  kepemilikan  lahan,  pengelolaan  dan  sengketa tapal  batas),  degradasi  dan  deforestasi.  Hasil  taksiran tutupan  lahan  peta  quickbird  Dinas  Kehutanan  Provinsi Lampung  ‐  ICRAF,  hingga  tahun  2008  sebesar  ±  61  % kawasan  Tahura  ini mengalami  deforestasi menjadi  lahan pertanian dan perkebunan rakyat.   Salah  satu  kelompok  masyarakat  yang  memiliki  konflik tenurial  di  kawasan  Tahura  Wan  Abdul  Rachman  yakni kelompok  Sistem  Hutan  Kerakyatan  (SHK)  Lestari.  Kelompok  ini  mengklaim  diri  mengelola  wilayah  seluas 962,95  ha  dengan  jumlah  anggota  sebanyak  384  kk.  Kelompok SHK Lestari berusaha memperjuangkan prinsip‐prinsip  kelestarian  alam  dan  keadilan  bagi  masyarakat sekitar  untuk  mendapatkan  manfaat  secara  langsung, dengan sistem kebun campuran atau agroforest. Tata guna lahan  yang  dibangun  SHK  Lestari  di  wilayah  kelolanya menyebutkan bahwa hutan  alam seluas ±  150 Ha  sebagai habitat  hidup  flora  dan  satwa  liar  yang mesti  dijaga.  Saat ini,  kebun  campuran  yang  dikelola  masyarakat  sebagian telah  mampu  menjadi  koridor  (penghubung)  bagi  satwa liar dari satu habitat ke habitat yang lain. Program  Membangun Model  Pelaksanaan  REDD  Berbasis Masyarakat di Wilayah Kelola Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan kelompok SHK Lestari ditujukan untuk meyakinkan  pemerintah  setempat  soal  kemampuan masyarakat  mengelola  kawasan  konservasi,  juga  dalam upaya  memperoleh  pengakuan  bahwa  kegiatan  yang dilakukan kelompok merupakan contoh praktik bagaimana REDD  dilakukan  oleh masyarakat  dan  terkait  dengan  isu‐

isu  yang b e r k a i t a n dengan  hak kepemil ikan k a r b o n b e r b a s i s masyarakat . K e g i a t a n 

pengembangan model yang dilaksanakan oleh SHK Lestari mendapat bantuan dana hibah NORAD.  Bagaimanakah anggota SHK Lestari dapat memperoleh 

pemahaman yang memadai terkait dengan skema REDD?  

Pertama,  pemahaman  anggota  kelompok  SHK  Lestari tentang cadangan karbon dan perannya dalam mengurangi gas  rumah kaca  serta merta mengikuti  dibenaknya begitu mengikuti  dengan  tekun  aktifitas  riset  tentang  carbon stock.    Kegiatan  riset  partisipatoris  tentang  cadangan karbon  di  wilayah  kelola  SHK  Lestari  melibatkan anggotanya  dalam  jumlah  besar  dari  perwakilan subkelompok  untuk  penentuan  sampel  dan  mengambil data dari 60 plot penelitian yang telah ditentukan dibantu oleh pakar dari Forest Watch Indonesia (FWI) Bogor untuk penghitungan cadangan karbon. 

“Saya  baru  tahu walaupun  bentuknya  pohon  kecil ternyata punya peran dalam menyimpan cadangan karbon”  (demikian  penuturan  Sdr.  Pardi  dari subkelompok Talang Pelita.)    

Setelah memperoleh hasil perbandingan cadangan karbon dan  biomassa  dari  berbagai  tipe  tutupan  lahan  juga diperoleh pemahaman yang baik bahwa tipe tutupan lahan agroforest yang  selalu diremajakan, kopi  atau kakao yang dipakas  atau  tanam  baru,  kurang  mampu  menghasilkan cadangan  karbon  yang  besar  dibandingkan  belukar sekalipun.  Proses  diskusi  yang  terjadi  selama  proses penentuan plot, pengambilan data dan  sampel,  input data secara  manual  dan  digital,  serta  pembahasan  hasil perhitungan  cadangan  karbon  memungkinkan  terjadi proses  pertukaran  pengetahuan  dan  pengalaman  seputar pemanasan global akibat efek gas rumah kaca dan peranan 

Page 14: Warta tenure edisi 9

konservasi  melalui  pengelolaan  hutan  lestari  untuk meningkatkan cadangan karbon.  Pengalaman  riset  ini  menambah  perbendaharaan  riset baru  dengan  pengetahuan  dan  metodologi  baru  dimana sebelumnya  kelompok  SHK  Lestari  telah  pula  mengenal dan  melakukan  riset  tentang  keanekaragaman  hayati seperti:  melakukan  inventarisasi  tumbuhan  liar, pengamatan  satwa  liar  jenis mamalia,  reptil  dan    burung. Pengetahuan  dan  pengalaman  baru  ini  kemudian disebarluaskan kepada anggota SHK Lestari  lainnya  lewat diskusi  komunitas  setiap  bulannya  dan  disiarkan  melalui radio komunitas Gema Lestari 107,7 FM.   Kedua, kegiatan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan luas wilayah  atau  hamparan  yang  dikelola  oleh  kelompok SHK  lestari.  Kegiatan  ini  melibatkan  anggota  kelompok sebagai  team  pemetaan  didukung  oleh  mitra  kerja  dari Perkumpulan  KAWAN  TANI  dan  satu  orang  tenaga  ahli pemetaan digital.     Hasil pemetaan diperoleh data terbaru soal luasan wilayah kelola SHK Lestari yakni seluas 962,95 Ha,  dengan  tataguna  lahan  sekitar  172,88  Ha  untuk konservasi  (areal  perlindungan),  berupa  kebun agroforest seluas 767,45 Ha, berupa sungai‐sungai,  jalan setapak dan bekas pemukiman yang belum ditanami seluas 23 Ha.  Data lama  menyebutkan  bahwa  luasan  wilayah  kelola  SHK Lestari  hanya  sekitar  637,25  Ha  (pemetaan  partisipatif tahun  2002)    karena  adanya  penambahan  anggota  2 subkelompok yaitu Way Tabu dan Penibungan.      Kegiatan pemetaan  kedua  kali  ini  tetap memberikan manfaat  yang berharga  bagi  penguasaan  bentang  alam  dan  potensi wilayah  kelola  kelompok  terutama  bagi  pemuda  atau anggota yang baru terlibat sebagai team kerja komunitas. 

Ketiga,  Kegitan  riset/ kajian  nilai  tambah ekologi,  ekonomi  dan komunitas  (sosial)  di wilayah  kelola  SHK Lestari  yang  juga melibatkan  sekitar  8 orang  team  kajian komunitas dan 2 orang team  riset  dari Perkumpulan  KAWAN TANI  sebagai  fasilitator dan  penulis.  Pada kajian  ini,  team  riset komunitas  banyak m e n d a p a t k a n pengetahuan  seputar manfaat  ekonomi  yang selama  ini  diperoleh 

dari  mengelola  kawasan  Tahura  Wan  Abdul  Rachman, memahami  mata  rantai  perdagangan  beserta  nilai  lebih yang masih dinikmati oleh pihak pedagang diluar anggota kelompok  SHK  Lestari,    dan  memahami  peluang  income lain  seperti:  penangkaran  satwa  liar,  penanaman  empon‐emponan atau tanaman herbal di bawah tegakan tanaman kopi,  kakao  atau  melinjo  untuk  mengurangi  pengunaan herbisida  pada  saat  penyiangan  rumput/  alang‐alang  dan lain‐lain.  Berdasarkan hasil kajian diperoleh data bahwa  jika hanya mengandalkan  produksi  kebun  campuran  (agroforest) maka  tingkat  kesejahteraan  petani  di  kelompok  SHK Lestari sebanyak 61,54% tergolong berpenghasilan rendah atau  miskin,  34,62%  tergolong  berpenghasilan  cukup/hidup  sederhana dan  sisanya 3,85% berpenghasilan  lebih atau  mampu.  Untuk  menutupi  kekurangan  bagi penghidupan  di  kawasan  hutan,  mereka  setidaknya memiliki 14 macam model penghasilan ekonomi dari mulai upahan  tenaga  kasar,  guru,  tukang  kayu,  warung,  ojeg motor  dan  lain‐lain.  Sementara  itu,  tanaman  kopi  dan kakao masih memonopoli sumber penghasilan keluarga di kelompok  SHK  Lestari  (  >  250  juta/tahun),  sementara dibawah  jauh  baru  menyusul  produk  melinjo,  durian, cengkeh dan jahe ( < 30 juta/tahun).   Dari data terlihat bahwa anggota kelompok belum mampu menemukan  komposisi  tanaman  bernilai  ekonomi  tinggi yang  tepat  di  kebun  campuran  menuju  masa  depan agroforest tua, sebagaimana keberhasilan masyarakat adat pesisir Krui dengan repong damarnya.    Pilihannya adalah terus  menerus  melakukan  peremajaan  tanaman  kopi, kakao  dan  melinjo  dan  melakukan  penjarangan  kanopi atau  batang  tanaman  pelindung  (tajuk  tinggi).  Ini  juga diperkuat  dengan  data  mengenai  persepsi  anggota kelompok  SHK  Lestari  terhadap  kondisi  kebun  campuran 10  tahun  mendatang  yakni  58,97%  masih  menginginkan tetap  kebun  campuran  muda.  Sedangkan  yang  optimis bahwa masa depan kebun berasal dari repong atau kebun tua  dengan  penghasilan  utama  dari  tajuk  tinggi  buah‐buahan  dan  getah  sebanyak  35,90%.  Sisanya,  ragu‐ragu dan  tidak  tahu  terhadap  masa  depan  kebun  campuran yakni masing‐masing sebesar 2,56% saja. Alasan  utama  keengganan  petani  untuk  menyiapkan lahannya  menuju  agroforest  tua  (repong)  karena  belum ada kejelasan legal status tentang hak kelola masyarakat di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman.   Kepastian  tenurial ini  juga  selaras  dengan  strategi  komunitas  lokal  (SHK Lestari)  untuk  mendapatkan  kemungkinan  mendapatkan imbal  jasa  lingkungan  atau  model  skema  REDD  yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia.    

17

PROSES PEMBELAJARAN

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Page 15: Warta tenure edisi 9

18

PROSES PEMBELAJARAN

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Bagaimanakah meyakinkan pemerintah setempat bahwa pengelolaan hamparan tersebut sesuai dengan substansi Skema REDD yang merupakan bagian dari agenda adaptasi dan mitigasi pengurangan dampak  

perubahan iklim ?  Upaya menyebarluaskan wacara skema REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation)  sebagai  in‐strumen  insentif  bagi  pengurangan  dampak  perubahan iklim  kepada  stakeholder  pemerhati  kehutanan  dan  pe‐merintah Provinsi Lampung dilakukan dengan cara diskusi, seminar dan workshop. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) yang dikolaborasikan dengan manfaat‐manfaat  tambahan  seperti  konservasi keanekaragaman  hayati,  pengelolaan  hutan  secara  lestari dan  peningkatan  stok  karbon melalui  aforestasi  (REDD+), menawarkan  pendanaan  potensial  yang  belum  pernah terjadi  sebelumnya  untuk  konservasi  hutan  dan keanekaragaman hayati terkait.   Dalam  kegiatan  Publikasi  Hasil  Kajian  Ekologi,  Ekonomi dan  Komunitas  serta  Cadangan  Karbon  di  Tahura  Wan Abdul Rachman wilayah kelola SHK Lestari Juni 2011, yang dihadiri  UPTD  Tahura  dan  stakeholder  kehutanan didiskusikan  tentang  masa  depan  sumber  pembiayaan petani, selain hasil agroforest tua berupa buah‐buahan dan getah,  yakni  jasa  lingkungan,  perlindungan  Daerah  Aliran Sungai,  berjalannya  mekanisme  penyerapan  karbon (carbon sequestration)  untuk  mitigasi  dampak  perubahan iklim,  terjaminnya  carbon stock,  fungsi  rekreasi  alam  dan keanekaragaman hayati dari hutan. Skema jasa lingkungan, CDM atau REDD hanya akan  menguntungkan komunitas di  dalam  dan  sekitar  kawasan  hutan  jika  persoalan  tenure  diintegrasikan  dalam proposal  dan  ditindaklanjuti  dalam  bentuk  pengukuhan  kawasan  milik masyarakat.   Terkait hal  tersebut,  pihak  Dinas  Kehutanan  Provinsi  Lampung merespon pendataan penggarap di kawasan Tahura dalam rangka  mempersiapkan  kemungkinan  perubahan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi.  Kegiatan reli‐reli diskusi dengan pengambil kebijakan dan stakeholder terkait Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan berkaitan  erat  dengan  upaya  mengaktifkan  kembali advokasi  kolaborasi  managemen/  pengelolaan  kawasan Tahura Wan  Abdul  Rachman  dengan  pelibatan  kelompok masyarakat penggarap dan pemerhati masalah lingkungan dan  hutan  di  Lampung.    Advokasi  ini  sudah  berjalan  dari tahun  2004  dan  mengalami  stagnan  hingga  tahun  2007 karena asumsi menunggu kebijakan peraturan pemerintah tentang Hkm di kawasan konservasi, mandat dari PP No. 6 tahun 2007  tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan  Hutan,  serta  Pemanfaatan  Hutan.  Padahal hingga  saat  ini  (tahun  2011)  peraturan  pemerintah  yang 

dimaksud belum juga dikeluarkan oleh pemerintah.  Dari  beberapa  pertemuan  stakeholder  yang  bergiat  dan pemerhati  di  Tahura  Wan  Abdul  Rachman,  diperoleh  ga‐gasan  untuk  mendorong  pembuatan  raperda  “Kolaborasi Pengelolaan  Tahura  Wan  Abdul  Rachman”  sebagai  solusi kebijakan bagi pemerintah Provinsi Lampung  sebelum PP dimaksud  dikeluarkan  resmi  oleh  pemerintah  pusat.  Naskah akademik dan rancangan perda dipersiapkan oleh tim yang berjumlah 11 orang terdiri dari unsur ornop, or‐ganisasi rakyat (kelompok tani), Dinas Kehutanan Provinsi Lampung,  dan  akademisi  Universitas  Lampung.    Raperda yang diusung menjadi perda inisiatif DPRD Lampung untuk memudahkan  dalam pembahasan  dan meringankan  biaya pembuatan raperda tersebut, dan telah masuk dalam pro‐gram  legislasi  daerah  (prolegda) Provinsi  Lampung  tahun 2011.   

Langkah­langkah apa saja yang dilakukan oleh SHK Lestari untuk meyakinkan pemerintah setempat bahwa kelompok dan kegiatannya merupakan contoh praktik 

bagaimana REDD dilakukan oleh masyarakat ? Agenda  pertama  yang  dilakukan  yaitu  melanjutkan kebijakan SHK Lestari  soal penurunan pemukiman secara bertahap  di  wilayah  kelola  Tahura  Wan  Abdul  Rachman Desa  Hurun  Kec.  Padangcermin.  Perencanaan  tersebut dimulai  sejak  tahun  2002  tercatat  berjumlah  226  gubuk, tahun  2004  berangsur  berkurang  menjadi  149  gubuk, tahun  2006  berkurang  menjadi  95  gubuk,  tahun  2008 menjadi 90 gubuk, dan tahun 2010 berkurang menjadi 53 gubuk  yang  tersebar  di  dekat  kebun  agroforest  tetapi bukan  lagi berupa talang atau pemukiman.     Saat  ini, para anggota  SHK  Lestari  yang  bermukim  di  kampung  luar kawasan  sebagian  besar  sudah  memiliki  rumah  beserta tanahnya dari hasil panen kebun agroforest, sebagian kecil lagi masih menumpang  tinggal di  tanah atau  rumah milik orang lain. 

Page 16: Warta tenure edisi 9

19

PROSES PEMBELAJARAN

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Agenda  kedua  yang  dilakukan  SHK  Lestari  yaitu  penana‐man tajuk tinggi yang massif di wilayah kelola SHK Lestari. Program kerja SHK Lestari yang satu ini sempat melambat laju  penanamannya,  tidak massif  gerakannya    dan  kurang perhatian  menanam  tajuk  tinggi  yang  bernilai  ekonomi karena kekurangan biaya untuk mengolah  lahan, membeli bibit  dan  merawat  menanam.  Oleh  karena  itu,  pengurus SHK  Lestari  berinisiatif  menggunakan  momentum  pelak‐sanaan proyek Rehabilitasi  Lahan Hutan  (RHL) milik pro‐gram Dinas Kehutanan Provinsi Lampung untuk memper‐cepat  laju  penanaman  tajuk  tinggi  di  wilayah  kelola  SHK Lestari.    Hal  ini  juga  merupakan  bentuk  kompromi  dan akomodatif  di  lapangan  dengan  otorita  setempat  yakni UPTD Tahura Wan Abdul Rachman meskipun ada sikap pro dan kontra dari anggota terhadap kebijakan pengurus SHK Lestari.  Ini  dapat  dimaklumi  karena  sejak  awal  berdiri kelompok SHK Lestari dibangun dengan prinsip kemandi‐rian dan kerap kritis terhadap program Dinas Kehutanan.  Kedekatan  hubungan  dengan  Dinas  Kehutanan  Provinsi Lampung  terjalin  juga  karena  menyadari  rekam  jejak kepala dinas yang baru yakni Ir. Warsito seorang tokoh re‐formis  kehutanan  sewaktu  di  kabupaten  Lampung  Barat.  Pada  bulan  September  2010,  Kelompok  SHK  Lestari mengelar acara Talkshow Radio Komunitas “Gema Lestari” membincang  Peran  Kelompok  SHK  Lestari  Dalam  Upaya Mengurangi  Laju Degradasi Dan Deforestasi Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman yang dikemas dalam bentuk sare‐sehan  mengajak  Ir.  Warsito  Kadishut  Provinsi  Lampung sebagai narasumber, bersama Samdhana Fellow Bp. Gamal Pasya dan Agus Guntoro dari SHK Lestari.   Dalam berbagai kesempatan  diskusi,  Kadishut memberikan  tantangan  un‐tuk menjadikan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai model percontohan  untuk  dasar  argumentasi  penyusunan  pera‐turan  pemerintah  akses  di  kawasan  konservasi,  sebagai‐mana  Lampung  Barat  menjadi  pembelajaran  penerapan Hkm di Indonesia. Agenda  lain  terkait  dengan  kesiapan  skema  REDD  yang dikerjakan kelompok SHK Lestari adalah merealiasasi per‐baikan  bangunan  sekretariat  menjadi  bangunan  kantor SHK Lestari dan bangunan sekolah komunitas.   Dalam pe‐rencanaan,  tahun  ajaran 2011/2012  akan dimulai  dengan 

kursus  kewirausahaan  bagi  remaja  putus  sekolah  dan  ta‐hun  ajaran  2012/2013  akan  resmi menjadi  sekolah  keju‐ruan tingkat SLTA.   Tujuan pendirian sekolah alternatif ini adalah  untuk  memberikan  pembekalan  pengetahuan  dan keterampilan  pemuda  dari  keluarga  SHK  Lestari  agar  di kemudian  hari  berkurang  tekanan  terhadap  akses  peng‐gunaan  lahan  di  kawasan  Tahura  Wan  Abdul  Rachman.  Para siswa kursus dan sekolah kejuruan yang dibayangkan akan  mendapatkan  kegiatan  intrakurikuler  dan ekstrakurikuler  khusus  seputar  pengetahuan  dan keterampilan  melakukan  kajian  sosial  dan  ekonomi, inventarisasi  tumbuhan  liar,  pengamatan  satwa  liar, mengelola  radio  komunitas  dan  lain‐lain  sebagaimana layaknya  kaderisasi  yang  dilakukan  di  kelompok  SHK Lestari  selama  ini.  Dengan  begitu,  pengurus  SHK  Lestari tidak  perlu  mengalami  kendala  regenerasi  penggiat  dan kepemimpinan di kelompok.     

Rekomendasi Untuk memberikan gambaran kemajuan cadangan karbon yang  dihasilkan  di  wilayah  kelola  kelompok  SHK  Lestari, perlu  dilakukan  kembali  pengambilan  data  berdasarkan plot  penelitian  karbon  permanen.  Tidak  ada  salahnya untuk  meniru  kebiasaan  baik  lembaga  riset  mapan  yang mempertahankan plot  penelitian  di  kawasan  hutan  untuk diupdate  secara  berkala  data  cadangan  karbon  dan biomassanya  atau  tutupan  lahan  hutannya.    Peningkatan grafik  cadangan  karbon  di wilayah  kelola  dapat  dijadikan argumentasi tutupan hutan semakin baik dan berguna bagi pengurangan dampak perubahan iklim.  Demikian  pula  dengan  sampel  kajian  sosial  dan  ekonomi, menarik  jika dilakukan  survey  lagi pada orang yang sama dan  secara  berkala  untuk  dilihat  kemajuan  dan  pembela‐jarannya.    Kajian  ini  berguna  sekali  untuk  memotret  ke‐siapan masyarakat  terhadap  skema REDD atau  imbal  jasa lingkungan lainnya. Selain  percepatan  tutupan  lahan  hutan  yang  mengalami deforestasi  akibat  pembukaan  lahan  untuk  perkebunan rakyat  dan  pertanian,  hal  yang  juga  perlu  diperhatikan adalah  pemulihan  jalur  satwa  liar  dengan  membangun koridor antara habitat yang satu dengan yang lainnya.  Na‐mun,  hal  itu  membutuhkan  kerjasama  yang  apik (kolaborasi) antara pemerintah dalam hal  ini Dinas Kehu‐tanan  Provinsi  Lampung  dengan  petani  penggarap  kawa‐san  Tahura  Wan  Abdul  Rachman  dalam  hal  menetapkan batas‐batas koridor bagi satwa liar, melakukan penanaman dan memelihara secara bersama.  *** 

Page 17: Warta tenure edisi 9

20

SERI DISKUSI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

REDD  (Reducing Emission from Deforestation and Degra­dation)  adalah  topik  pembicaraan  terhangat  dalam  be‐berapa  tahun  terakhir  ini  khususnya  setelah  COP  13  di Bali  tahun 2007 yang  lalu. Tidak  terkecuali di  Indonesia fokus  dan  energi  banyak  tersalurkan  terkait  konteks REDD.  Dalam  strategic  approach  yang  disusun pemerintah,  tahun  2009  sampai  dengan  tahun  2012 adalah  readiness phase, dimana  Pemerintah  menyusun strategi  yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang  intervensi  kebijakan  yang  diperlukan  dalam upaya  menangani  penyebab  mendasar  deforestasi  dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam  implementasi  REDD/REDD  plus.  Strategi readiness  ini mencakup  baik  aspek metodologi maupun aspek  kebijakan,  serta  kegiatan  pendukung  yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi para pihak.  WG‐Tenure  menempatkan  isu  atau  topik  REDD  dalam kaitannya  dengan  kepastian  land  tenure,  khususnya masyarakat  di  dalam  dan  di  sekitar  hutan.    Seperti diketahui  bersama  bahwa  kepastian  land  tenure  dalam pengelolaan hutan di  Indonesia masih menjadi masalah, sementara  tampaknya  hal  tersebut  menjadi  prasyarat dalam implementasi REDD.  Bagaimana dengan masyara‐kat  yang  nantinya  akan  terlibat  dalam  skema  REDD, benefit  apa  saja  yang  akan  diperoleh,  atau  bahkan dimungkinkan akan terkena dampak (dirugikan) sebagai konsekuensi implementasi skema REDD?  

Mitra Samdhana Institute di 5 (lima) regio telah melaku‐kan  berbagai  kegiatan  dalam  rangka  melihat  kesiapan dan  kewaspadaan  masyarakat  dalam  merespon  skema REDD.  Berbagai  temuan  dan  pembelajaran  lapangan dirasakan penting untuk dirajut di  tingkat nasional agar dapat  memberikan  kontribusi  terhadap  upaya  penyu‐sunan  kerangka  kebijakan  dan  pelaksanaan  yang  sung‐guh‐sungguh memberikan manfaat bagi masyarakat dan keberlanjutan  fungsi‐fungsi hutan dari skema REDD dan mitigasi perubahan iklim nasional.  Seminar  Nasional ini diadakan untuk merajut benang‐benang pembelajaran di tingkat lapangan dan menggali rekomendasi.  Seminar  yang  didukung  pendanaannya  oleh  Samdhana Institute  ini  diselenggarakan  pada  5  Agustus  2010 bertempat di Grand Jaya Raya Hotel, Jl. Raya Puncak KM 17,  Cipayung  Bogor.  Seminar  dibuka  dengan  sambutan pengarahan  dari  Dirjen  BPK  yang  dalam  diwakili  oleh Direktur  Bina  Rencana  Pemanfaatan  Hutan  Produksi (BRPHP) Dr.  Iman Santoso, MSc. yang  juga menjabat se‐bagai  Koordinator  Pengurus  WG‐Tenure.  Saat  ini  Dr. Iman Santoso, MSc. Menjabat sebagai Dirjen BUK.  Dalam  sambutannya  Dirjen  BPK  menyampaikan  komit‐men  politik  Presiden  RI  untuk  menurunkan  emisi  26% bahkan  sampai  40%  dengan  bantuan  pihak  lain  harus ditangani dengan  serius dan menyeluruh. Termasuk ba‐gaimana mengatasi masalah sosial dan hal‐hal yang berk‐

Page 18: Warta tenure edisi 9

21

SERI DISKUSI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

enaan  dengan  hak‐hak  masyarakat.  Juga  mengenai  hal‐hal yang  sebenarnya  terjadi,  respon,  serta dampak yang akan  diterima  oleh  masyarakat,  karena  sebenarnya masyarakat sudah terinformasikan mengenai REDD.  Beberapa  kegiatan  sudah  ada  di  lapangan  tetapi  belum bisa  menyatukan  dalam  satu  gerakan  yang  sama,  se‐hingga diperlukan  koordinasi  yang  intensif.   Hal  ini  ter‐masuk  inisiatif  apa  saja  yang  sudah  dilakukan  dalam merespon REDD+, termasuk legal konteks di masyarakat, sehingga terlihat apa saja yang perlu diperbaiki.  Harapan‐nya seminar  ini bisa menjadi  forum yang menghasilkan rekomendasi  terutama  berdasarkan  pengamatan  dan pengalaman di lapangan.  Seminar  dipandu  oleh  moderator  Iwan  Nurdin (Konsorsium  Pembaruan  Agraria)  dan  menghadirkan  4 (empat)  orang  narasumber  masing‐masing  Ibu  Niken Sakuntaladewi  (Puslit  Sosek Kebijakan Kementerian Ke‐hutanan),  Bapak  Farid  (Anggota  Taskforce  LULUCF, DNPI),  Bapak  Adi  Achmad  Pribadi  (The Nature Conser­vancy/TNC), Bapak Michael Riwu (Forum DAS NTT) yang mewakili mitra Samdhana.    Beberapa rekomendasi Seminar adalah sebagai berikut: 1.  Diperlukan  sosialisasi  dan  penyampaian  informasi 

yang  tepat  dan  mudah  dimengerti  oleh  masyarakat terkait dengan REDD.  

2.  Insentif  yang  akan didapat dari  implementasi REDD seyogyanya digunakan antara lain untuk menyelesai‐

kan tunggakan‐tunggakan masalah dalam pengelola‐an hutan antara lain masalah land tenure. 

3.  Masyarakat menuntut  kepastian hak  atas  tanah dan sumberdaya  alam.  Masyarakat  telah  melakukan    banyak  kegiatan  yang  mencegah  degradasi  dan     deforestasi  bukan  karena  REDD  dan  skema  pem‐biayaan  lainnya  namun  karena  hutan  adalah  ruang hidup, sumber penghidupan, dan ruang budaya bagi mereka. 

4.  Usulan‐usalan  (yang  disampaikan  mitra  Samdhana dari  hasil‐hasil  kerja  dengan  masyarakat)  adalah   sebagai berikut: ‐.  Kepastian tata ruang  ‐.  Kepastian Hak Masyarakat  ‐.  Menjamin  agar pengetahuan, pengalaman, siasat 

masyarakat  (kearifan  local)  dalam  mengurus tanah  dan  kekayaan  alam    yang  masih  efektif tidak dinegasikan dalam implementasi REDD 

‐.  Pembenahan  governansi  (tata  pemerintahan)  di berbagai  aspek  dan  tingkatan  terkait  dengan implementasi REDD 

‐.  Safeguarding  masyarakat  dan  lingkungan    ==> kewaspadaan  dini  ==>  rincian  pilihan  pendeka‐tan  dan  syarat  (FPIC,  Pemetaan  &  Perencanaan Partisipatif, pembinaan dan pemberdayaan dll)  

5.  Komitmen  pemerintah  dalam  upaya  Mitigasi  dan Adaptasi  Perubahan  Iklim  yang  salah  satunya    me‐lalui  LOI  harus  bisa menjawab  kebutuhan masyara‐kat  akan  kepastian  hak  atas  tanah  dan  Kekayaan Alam.  

*** 

Page 19: Warta tenure edisi 9

22

SEPUTAR KASUS TENURE

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Agroforestry Kemenyan dalam Hutan Tanaman Industri: Masyarakat Pandumaan-Sipituhutan dan PT TPL

Ditulis oleh: Martua Sirait, Emila (WG-Tenure) , Syaifullah ZA (Kawan Tani) dengan kontribusi Didin Suryadin (HuMA), Harizajudin (JKPP), Andiko (HuMA-Desk Konflik DKN), dan Asep Yunan F (HuMA)*

Tumpang tindih alokasi  lahan dalam pengelolaan hutan di Indonesia  sudah  menjadi  issue  dan  topik  pembicaraan yang  seolah  tidak  berujung.    Praktik  pengusahaan  hutan oleh perusahaan (IUPHHK‐HA/HTI) yang terganggu aktivi‐tas  masyarakat  di  dalamnya  atau  sebaliknya  keberadaan suatu  ijin  pengusahaan  hutan  pada  wilayah  kelola masyarakat  mewarnai  hampir  seluruh  praktik  pengusa‐haan  hutan  skala  besar  di  Indonesia.    Perusahaan  ber‐pegang  pada  ijin  konsesi  yang  dikantonginya  sementara masyarakat  berbekal  pada  fakta  kesejarahan mereka  atas wilayah tersebut.  

Diawali  oleh  aktivitas  perusahaan  PT.  Toba  Pulp  Lestari (PT. TPL) melakukan penebangan di areal RKT 2009 yang diyakini masyarakat masuk  dalam wilayah  kelola mereka dan masih pada kesaksian masyarakat pula  termasuk me‐nebang  pohon  kemenyan. Gambar  1. Memperlihatkan  po‐hon‐pohon  hasil  tebangan  yang  dilakukan  oleh  Perusa‐haan.  Situasi  ini  telah  berkembang  pada  konflik  terbuka antara masyarakat  dan  pihak  perusahaan.  Kasus  ini  pada saat  tulisan  ini  disiapkan,  sedang  difasilitasi  penyele‐saiannya  oleh  Desk  Resolusi  Conflict  Dewan  Kehutanan Nasional  (DKN).  WG‐Tenure  dengan  dukungan  dana  dari Interchurch  Organization  for  Development  Cooperation (ICCO) melakukan  land  tenure  assessment  untuk mendu‐kung  Desk  Resolusi  Konflik  DKN mengurai  akar  masalah 

konflik  yang  terjadi,  se‐hingga  dapat  dipergunakan untuk  menyusun  rekomen‐dasi  penyelesaian  konflik tersebut. 

Bagaimana  konflik  ini  dapat dimediasi  untuk  memberi‐kan  win‐win  solusion  bagi para pihak? Bagaimana kon‐flik ini dilihat dari kaca mata mitigasi  perubahan  iklim? Bagaimana  agar  hal‐hal seperti  ini  tidak  lagi  terjadi di  masa  depan?  Tulisan  ini mencoba memaparkan jawa‐ban‐jawaban  atas  perta‐

nyaan‐pertanyaan  tersebut  sehingga  proses  pembela‐jarannya dapat menjadi pegangan bagi kasus kasus serupa di tempat lain. 

PT.  Toba  Pulp  Lestari  (PT.  TPL)  adalah  perusahaan IUPHHK‐HT  yang  mengantongi  ijin  SK  MENHUT  No: SK.493/Kpts‐II/1992  dengan  periode  ijin mulai  tanggal  1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43 tahun). Luas areal pen‐gusahaan  269.060 ha, di mana areal kerjanya tesebar di 11 Kabupaten,  yaitu  (i)  Simalungun,  (ii)  Asahan,  (iii)  Toba Samosir,  (iv)  Samosir,  (v)  Dairi,  (vi)  Tapanuli  Utara,  (vii) Tapanuli  Selatan,  (viii)  Tapanuli  Tengah,  (ix)  Pakpak Bharat, (x) Padang Lawas Utara, dan (xi) Humbang Hasun‐dutan.  SK  ini  kemudian  di‐addendum  dengan SK.351/Menhut‐II/2004  sehubungan  adanya  perubahan nama  pada  tanggal  28  September  2004.    Seperti  praktik pengusahaan  hutan  pada  umumnya,  areal  kerja  PT.  TPL pun  berbenturan  dengan  wilayah  kelola  masyarakat,  ter‐masuk di dalamnya “tombak haminjon” (hutan kemenyan). 

 “Tombak Haminjon”  di  desa  Sipituhuta  dan  Pandumaan, dua desa yang wilayah kelolanya masuk dalam areal kerja PT. TPL. Gambar 2. menunjukkan tegakan kemenyan dalam areal kerja PT. TPL.  Mulai dari nenek moyang masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta selain berladang dan bersawah, mereka  juga mencari  hasil  hutan,  salah  satu  di  antaranya adalah  haminjon  (kemenyan).  Leluhur  mereka memberikan  nama  tombak  (wanatani)  tersebut,  antara lain: 1.  Tombak  Haminjon  Dolog  Ginjang  (kebun  wanatani  

kemenyan  yang  berada  di  areal  Dolok  Ginjang).  Disebut  Dolok  Ginjang  karena  merupakan  puncak tertinggi dari semua tombak yang ada di sana.  

2.  Tombak  Haminjon  Lombang  Na  Bagas.  Disebut Lombang Na Bagas, karena dikelilingi  lembah/  jurang yang dalam. 

3.  Tombak  Haminjon  Sipitu  Rura.  Disebut  Sipitu  Rura karena kalau menuju tombak ini dari desa Pandumaan, harus melalui tujuh rura (sungai). 

Ketiga areal tombak di atas seluas sekitar 4100 ha dikelola secara  adat  oleh  masyarakat  adat  desa  Pandumaan  dan Sipituhuta  sejak  masa  leluhur  mereka  hingga  sekarang. Gambar 1. Pohon hasil tebangan  

Page 20: Warta tenure edisi 9

23

SEPUTAR KASUS TENURE

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Wilayah  tombak m a s y a r a k a t d e s a Pandumaan  dan S i p i t u h u t a sebelah  barat b e r b a t a s a n dengan  tombak m i l i k m a s y a r a k a t d e s a S im a t a n i a r i ; sebelah  timur b e r b a t a s a n 

dengan  desa  Pandumaan;  sebelah  selatan  berbatasan dengan  tombak  milik  masyarakat  adat  Aek  Nauli;  serta sebelah utara berbatasan dengan tombak milik masyarakat desa Pancur Batu. 

Penguasaan  wilayah  kelola  masyarakat  tidak  ditemukan benturan secara horisontal antar masyarakat.  Batas‐batas wilayah  kelola  dipahami  oleh  masing‐masing  desa. Penentuan  batas‐batas  kepemilikan  tombak  disepakati berdasarkan  tumbuhnya  jenis  tanaman  tertentu.  Sebagai contoh batas tombak desa pandumaan sipituhutan  dengan tombak  desa  Simataniari,  sejak  dahulu  sudah  disepakati: Hatubuan hotang lamosik ma tombak ni Toba (Pandumaan dan  Sipituhuta,  kecamatan  Pollung),  artinya  hutan  yang ditumbuhi  sejenis  rotan  lamosik  sebagai  pertanda  bahwa hutan  tersebut  milik  Pandumaan  dan  Sipituhuta. 

Sedangkan  Hatubuan  hotang  pulogos  tombak  ni Simataniari,  kecamatan  Parlilitan,    artinya  hutan  yang ditumbuhi  sejenis  rotan  pulogos  tandanya  hutan  tersebut milik desa Simataniari,  kecamatan Parlilitan. Kesepakatan tersebut masih berlaku sampai dengan saat ini. 

Pola  wana  tani  kemenyan  atau  dikenal  dengan  Tombak Haminjon  sudah dikenal  sejak abad ke XVI yang ditanami di  pekarangan  dan  ladang,  serta  terus  berkembang  di tanam  petani  di  wilayah  kampunya  (Foresta  dkk  2000). Pola ini mencoba membudidayakan Kemenyan (Sytrax sp.) dikenal  dengan  nama  perdagangan  Benzoin  ditanam dengan  jenis  jenis  pohon  lainnya,  tidak  berbeda  jauh dengan  pola  wanatani  Repong  Damar  (Shorea  sp.)  atau dikenal  dengan  nama  perdagangan  damar  mata  kucing yang mendominasi  dominasi  repong  damar  di    Lampung Barat, tumbuh berkelompok hingga mencapai kurang lebih 50.000 hektar didalam dan diluar kawasan hutan.    

Pola  wanatani  ini  tentunya merupakan  suatu  sumbangan rakyat  atas  agenda  mitigasi  perubahan  iklim  yang  telah dilakukan  jauh  sebelum  agenda  REDD  dipikiran  oleh UNFCC,  tetapi  juga  sebagai  suatu  usaha  ekonomi  rumah tangga yang sudah dijalankan secara turun temurun hingga sekarang.  Sungguh  mengherankan  pola‐pola  ini  tidak banyak didalami oleh para ahli kehutanan Indonesa, justru banyak  menjadi  inspirasi  bagi  peneliti  luar  negeri.  Pola pola  ini  terancam  keberadaannya  dengan  perubahan penggunaan  bagi  usaha  kehutanan  dan  perkebunan  serta pertambangan skala besar.  

Gambar 2. Agroforestry Kemenyan di areal PT. TPL 

Gambar 3. (Kiri) Photo udara yang  menunjukkan canopy kemenyan Gambar 4. (Kanan) Peta Tumpang tindih wilayah kelola masyarakat (peta partisipatif), Peta Penunjukan Kawasan Hutan SK 44 Tahun 2005, Peta 

BATB tahun 1940, Peta Areal HPHTI PT. TPL (belum ditata batas),  peta tata ruang HPHTI (kemenyan insitu), dan Peta Blok RKT PT. TPL tahun 2011.  Sumber: hasil overlay dari yang berhasil diolah Desk Konflik yang bersumber dari para pihak  

Page 21: Warta tenure edisi 9

24

SEPUTAR KASUS TENURE

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Assessment  dilakukan  untuk  memperjelas  dasar‐dasar klaim  dari  masing‐masing  pihak.  Masing‐masing  asesor mewakili  kamar/pihak  yaitu  kamar  Pemerintah  (Ditjen BUK), Kamar Bisnis  (Anggota WG‐Tenure dari APHI), dan kamar Masyarakat dan Ornop (diwakili oleh Sdr. Syaifullah ZA)  melakukan  assesment  pada  wilayah  “kamar”nya masing  masing.  Metode  RATA  (Rapid Land Tenure Assess­ment)  dipakai  sebagai  pendekatan  assessment.  Berbagai peta  dari  berbagi  sumber  dicoba  untuk  dioverlay  untuk melihat  tumpang  tindih  penguasaan  lahan  pada  kasus tersebut.  Dengan kerjasama masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta, Ornop pendamping (KSPPM, Pengda GKPI dll) , PT  TPL,  Kementrian  Kehutanan,  Pemda  Kabupaten  Hum‐bang Hasundutan serta assessor dari berbagai pihak serta Desk  Penanganan  Konflik  DKN  serta  lembaga  pendu‐kungnya  yang  turut  mengolah  data  (HuMa,  JKPP,  Dirjen Planologi Kehutanan),  dapatlah di  tunjukkan dengan  jelas objek  yang  dipersengketakan  serta  luasannya,  demikian pula  dari  sana  dapat  diperdalam  siapa  subjek  yang bersengketa. 

Dari Gambar 4 di atas terlihat irisan seluas sekitar 986,399 hektar wilayah  tombak haminjon  yang masuk dalam RKT HPHTI PT. TPL tahun 2011. Sementara itu Gambaran citra satelit  di  atas  (Gambar  3)  menunjukkan  kerapatan  tajuk kebun  kemenyan  yang  perlu  dipertahankan  ke‐beradaannnya bagi jaminan ekonomi rakyat dan juga guna mendukung agenda mitigasi perubahan iklim. 

Sebagian dari pada itu rupanya telah ditatabas pada jaman pendudukan  Belanda  di  tahun  1940  (garis  warna  merah dalam Gambar 4) dikenal sebagai register 41 Hoetagaleong akan tetapi pada tahun 1980an dengan adanya TGHK ter‐jadi  perluasan  penunjukkan  kawasan  hutan  melalui  SK 44/2005  (ditunjukkan  dalam  Gambar  4.  Warna  Kuning untuk  Hutan  Produksi  dan  warna  hijau  untuk  hutan lindung)  serta pemberian  ijin PT TPL diluar wilayah yang telah ditata batas. Dari sana didapatkanlah beberapa irisan irisan yang membuka opsi opsi penyelesaian konflik yang berbeda  di  sana.  Sebagaimana  kita  ketahui win win  solu‐tion  tidaklah  mungkin  memberikan  kepuasan  kepada  se‐mua  pihak  yang  bersengketa,  tetapi  memberikan  ke‐sepatan kepada para pihak untuk saling berbagi dan men‐cari  pola  pola  penyelesaian  yang  memungkinkan  dengan data data yang lebih kuat dan dikumpulkan para pihak. 

Dari  hasil  assessment dan pengolahan peta‐peta,  SC Desk Konflik DKN melakukan pertemuan pertemuannya diskusi yang  difasilitasi  oleh  Kementerian  Kehutanan.  Dengan mempertimbangkan data‐data yang ada, pada area konflik yang sudah ditata batas alternative solusi konflik yang di‐coba untuk ditawarkan oleh SC Desk Konflik DKN kepada 

para  pihak  adalah,  kemitraan  plus    pemberian  ijin  usaha HKm  atau  Hutan  Desa  yang  sudah  tersedia  aturan  pelak‐sanaannya; mempertahankan hak‐hak adat  sesuai dengan hak hak konstitusionalnya, yang saat ini belum ada aturan pelaksanaannya  serta  mengusahakan  kebijakan  transisi dengan menggunakan kebijakan yang ada  terlebih dahulu seperti HKM dan Hutan Desa,  sambil  terus memperjuang‐kan Hak Hak Adat secara Konstitusional yang belum diatur dalam  kebijakan  pelaksanaannya.  Beberapa  proses mendiskusikannya  dengan  para  pihak  sebagai  proses    mediasi sedang berlangsung dan diharapkan akan didapat‐kan opsi ospi yang dapat diterima para pihak. 

Sedangkan  untuk  wilayah  yang  belum  ditatabatas  masih terbuka  peluang  opsi‐opsi  lain,  dan    juga  diperlukan ketegasan  pada  RKT  yang masuk  rencana  tahun  2011  ini untuk  tidak dijalankan di wilayah konflik  ini,  karena kon‐flik baru berkaitan dengan RKT tahun 2011 dapat menye‐babkan  konflik  merebak  kembali  dan  menghancurkan proses yang telah dijalankan selama ini. 

Nampak  jelas  dari  perjalanan  fasilitasi    proses  penyele‐saian konflik merupakan jalan panjang terutama terhadap konflik konflik terbuka yang menyebabkan perasaan tidak percaya  yang  dalam  dari  para  pihak  yang  berakibat  pan‐jang.  Pengembangan  opsi  opsi  penyelesaianpun  tidak  da‐pat  dilakukan  langsung,  diperlukan assesment para pihak untuk  menyampaikan  data  data  dan  argumentasinya masing  masing.  Pilihan  Opsi  opsi  ini  kembali  harus didiskuaiksn  dengan  para  pihak  dengan  menjelaskan segala  konsekwensi  hukumnya  dan  diharapkan  didapkan opsi  opsi  yang  dapat  diterima  para  pihak.  Sementara proses untuk memicu  terjadinya konflik  sangatlah mudah terjadi,  dengan  terbitnya  ijin  ijin  baru,  RKT  baru,  sikap‐sikap represif dll. Untuk fasilitasi proses penyelesaian kon‐flik  yang  tuntas  nampaknya  diperlukan  langkah‐langkah yang berani dan konsisten. Penerbitan ijin RKT pada lokasi yang  sedang  berkonflik  perlu  mendapatkan  perhatian serius  oleh  Pemerintah  maupuan  oleh  Perusahan  yang diperbolehkan menerbitkan RKTnya  sendiri  (Self approval RKT).  Proses tata batas juga harus menjadi agenda penting yang harus segera diselesaikan sehingga dapat memperje‐las  status kawasan hutan yang dapat meminimalkan kon‐flik‐konflik. Demikian pula perlunya kebijakan khusus un‐tuk mengakomodir pola pola wanatani  asli  oleh masyara‐kat  yang merupakan model model  pengelolaan  hutan  asli Indonesia yang terbukti   berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat  serta  berkontribusi menjaga  Carbon Stock dan menyerap  emisi  sebagai  salah  satu  langkah  mitigasi        perubahan Iklim. *** 

Page 22: Warta tenure edisi 9

25

RESENSI BUKU

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam REDD+: Prinsip dan Pendekatan untuk Kebijakan dan Proyek Pembangunan

Oleh: Tim Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Pada  1  Maret  2011  Deutsche  Gesellschaft  für  Inter­nationale  Zusammenarbeit (GIZ) dan Center  for  People and  Forests  (RECOFTC) meluncurkan Panduan tentang "Free,  Prior  and  Informed  Consent (FPIC) dalam REDD+: Prinsip  dan  Pendekatan  untuk  Kebijakan  dan  Proyek Pembangunan"  pada  konferensi  regional  GIZ  di  Bang‐kok.  

Publikasi  tersebut  disusun  bersama  oleh  GIZ  Sektor  Jaringan  Sumber  Daya  Alam  dan  Pembangunan  Pede‐saan  ‐  Asia  dan  RECOFTC  Program  Pengembangan     Kapasitas  Akar  Rumput  untuk  Pengurangan  Emisi  dari Deforestasi  dan  Degradasi  Hutan  (REDD)  di  Wilayah Asia‐Pasifik  dengan  keterlibatan  konsorsium  LSM  dan kelompok masyarakat madani  yang menangani  proyek REDD+ atau hak masyarakat adat di wilayah tersebut. 

Sederhananya, "Free, Prior and  Informed Consent" (FPIC) adalah hak masyarakat adat untuk mengatakan "ya, dan bagaimana"  atau  "tidak"  untuk  pembangunan  yang mempengaruhi  sumber  daya  dan  wilayah  mereka.  Hal ini  berbasis  pada  hukum  internasional  dan  hukum na‐sional di beberapa negara.  

Status  hukumnya  telah  diperkuat  melalui  adopsi  dari Deklarasi PBB  tentang Hak Masyarakat Adat  (UNDRIP) pada  tahun  2008.  Konsep  FPIC  berasal  dari  hak masyarakat  adat  untuk  menentukan  nasib  sendiri, kemudian  semakin  diperluas  ke  semua  masyarakat lokal dengan hubungan historis atau adat atas tanah dan sumber daya yang mereka gunakan.  

Di  Indonesia, konsep  ini  sebenarnya bukan merupakan konsep  yang  baru  karena  berbagai  regulasi  sudah mengadopsi  konsep  penghormatan  terhadap  hak‐hak masyarakat  (adat  dan  lokal).  Dalam  buku  ini,  FPIC dibahas  sebagai  salah satu dari beberapa perlindungan untuk REDD+. Meski demikian FPIC ini sebenarnya bisa diterapkan  untuk  perlindungan  terhadap  masyarakat  dalam  pembangunan  yang  berpotensi  menimbulkan dampak  seperti  pembangunan  di  sektor  perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lain‐lain.  

Buku  panduan  ini menjelaskan  apa yang  diperlukan untuk menghormati h a k   a t a s persetujuan  bebas, didahulukan  dan diinformasikan  (Free, Prior  and  Informed Consent‐FPIC)  dalam proyek  dan  program REDD+ .   Karena pengalaman  penerapan FPIC  dalam  REDD+  di Asia  Pasifik  masih terbatas,  beberapa contoh  penerapan  FPIC  diambilkan  dari  kasus penerapan FPIC dalam pembangunan di sektor lain.   

Bersamaan dengan acara peluncuran buku, praktisi GIZ, staf  anggota  RECOFTC  dan  perwakilan  program  UN‐REDD global di Bangkok mendiskusikan tantangan yang dihadapi  dalam  melaksanakan  suatu  pendekatan  ber‐basis  hak  dengan  pertanyaan  berpusat  di  sekitar  pada tingkat apa proses untuk menghormati hak untuk FPIC layak dan bagaimana mereka berhubungan dengan ker‐angka hukum nasional.  

Pada saat  ini banyak penolakan dari kalangan LSM dan masyarakat  adat  terhadap  REDD+,  karena  adanya kekuatiran  yang  sangat  besar  bahwa  kepentingan masyarakat  adat  akan  terpinggirkan  oleh  adanya implementasi  program  REDD+.  Di  sisi  lain,  isu  REDD+ terus  bergulir  di  level  nasional  dan  internasional. Konsep FPIC ini diharapkan nantinya bisa menjadi salah satu  pendekatan  win‐win  solution  dimana  program REDD+  sebagai  upaya  perbaikan  kondisi  lingkungan dapat  diimplementasikan  dengan  baik,  dan  di  sisi  lain masyarakat adat (dan lokal) dan pemerintah juga dapat memperoleh manfaat sosial, ekonomis dan ekologis dari program tersebut. *** 

Page 23: Warta tenure edisi 9

26

RESENSI BUKU

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

Pengalaman Berharga REDD Preparedness dari Wilayah Bukan Target REDD 1

Oleh Martua T. Sirait 2

Biasanya  pengalaman  best practices  lahir  dari  wilayah  di‐mana investasi proyek skala besar dan dukungan kegiatan lapangan  banyak  dilakukan.  Akan  tetapi  kebijakan  dan pengalaman dalam bidang kehutanan berbeda. Proses pen‐galaman  dan  kebijakan  perhutanan  sosial  justru  lahir  di‐mana  kondisi  hutan  sudah  tidak  terlalu  prima,  pengor‐ganisasian  masyarakat  sudah  cukup  kaya  dengan  penga‐laman  jatuh‐bangun,  dan  pengambil  kebijakan  lokal men‐dukung  proses  pemulihan  Lingkungan  dan  tidak  lagi  ter‐goda  untuk  memprioritaskan  usaha  usaha  skala  besar. Pengalaman  serupa  secara  global  terjadi  di  India3  dan Filipina4,  dan  bersamaan  terjadi  juga  di  Indonesia,  salah satunya di Propinsi Lampung khususnya Kabupaten Lam‐pung  Barat,  dimana  pengelolaan  sudah  dijalankan  oleh masyarakat di dalam dan diluar kawasan hutan sejak turun temurun,  maupun  dikelola  masyarakat  dengan  inisiatif baru.  Saat ini sudah hampir 30.000 hektar kawasan hutan dikelola  dalam  bentuk  perhutanan  sosial,  oleh  berbagai kelompok  tani,  proses  ini  akan  terus  berkembang  sejalan dengan pencadangan 85.000 hektar kawasan hutan di Pro‐pinsi Lampung untuk  Hutan Kemasyarakatan.  Buku  ini  bercerita  tentang pendampingan Watala ditahun 2009‐2010  terhadap  masyarakat  Pekon  Bakhu‐Bedudu‐Sukarami, kecamatan Belalu dan Pekon Sukaraja, kecama‐tan  Batu  Brak,  yang  telah  mengelola  hutan  adat  yang berada diluar kawasan hutan (yang dikenal dengan sebut‐an hutan/tanah marga) sejak  tahun 1928.   Melalui proses diskusi  secara  mendalam  ditataran  masyarakat  pekon serta  pengurus  adat  serta  dilanjutkan  dengan  diskusi    dengan  pemerintah  daerah  Kabupaten  Lampung  Barat, dipelajarilah  akan peluang dan ancaman REDD. Hasil kerja pendampingan dan diskusi ini ditulis menjadi buku dengan judul    Ketika  Adat  Mengelola  Hutan;  REDD  menjadi Suatu Pilihan. Buku  ini  menjadi  suatu  pengalaman  ber‐harga  dalam  melihat  kesiapan  (prepardness)  masyarakat dan pemerintah daerah akan peluang dan ancaman REDD5.  Pengalaman  ini  disajikan  dalam  tulisan  bersama                 Dr. Christine Wulandari6 staff pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan  Kehutanan  pada  Universitas  Lampung  bersama     Ir.  Nurka  Cahyaningsih,  M.A7  anggota Watala  yang  sudah malang‐melintang  mendampingi  dan  menganalisa  ke‐beradaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hu‐tannya.  Tulisan  yang  dalam  dan  luas,  ini  juga  didukung oleh  beberapa  kontribusi  pemikiran  dan  tulisan  yang     sangat berharga dari  staff Watala  lainnya antara  lain; Eko Sulistiantoro, Ismaison, Galih dan Dedi Effsetiawan.  Dari  pengalaman  mendiskusikan  secara  mendalam  pe‐luang  dan  ancaman  REDD,  timbul  pertanyaan  pembaca,  dapatkah  kebijakan  nasional  REDD  menjadi  dasar pengembangan  REDD  di  Hutan/Tanah  Marga  di      

Lampung  maupun  di  tem­pat lain?   Nampaknya hal  ini dijawab  secara  gamblang oleh  penulis  (halaman  32‐48),  dengan mengedepankan perlunya mendudukan REDD dengan  segala  insentifnya, sebagai  nilai  tambah bagi masyarakat,  dan bukan  sebagai penghalang   atas akses dan kontrol masyarakat atas sum‐ber daya alamnya. Pesan ini sangat jelas disampaikan oleh masyarakat  dari  beberapa  Pekon,  akan  tetapi  pengakuan subjek (masyarakat adatnya) dan objek (tanah marganya) demikian  juga  proses  Free, Prior and Informed Consent  un‐tuk dapat lolos dari kriteria dan standar pengelolaan REDD (misal CCBA) belum terlihat. Kebijakan lokal belum menga‐komodir 3 hal penting ini dalam kebijakan daerah;   • belum adanya pengakuan masyarakat adat dalam ben‐

tuk Peraturan Daerah, akan tetapi masih dalam bentuk  Surat Keputusan Gubernur, 

• pengakuan  hutan/tanah  masih  terkendala,  dimana Kantor Pertanahan Kabupaten masih mencari cari pa‐yung hukum yang tepat untuk memberikan kepastian penguasaan atas  tanah  (diluar kawasan hutan) untuk tanah yang berbentuk hutan/wanatani   yang dikuasai secara bersama oleh anggota masyarakatnya,  

• proses  FPIC masih  belum  diterjemahkan  dalam  kebi‐jakan pusat maupun  daerah, dan masih sangat terba‐tas pada proses sosialisasi.          

Nampaknya  secercah  harapan  pembenahan  kelembagaan dan kebijakan ada di sana, tetapi diperlukan kesabaran dan kejelian  yang  luar  biasa  dalam  mengikuti  perkembangan lokal,  nasional  maupun  global  atas  REDD  ini.    Demikian pula harus dilakukan pendampingan terhadap masyarakat supaya  tetap melihat  REDD  sebagai  suatu  model  pemba‐ngunan  berbasis  lingkungan  yang  berakar  pada  apa  yang telah  dilakukan  selama  ini  (endo­development),  bukan  se‐suatu  yang  datang  dari  luar  (exo­development).  Semoga model  model  pengelolaan  sumber  daya  hutan  ini  dapat menjadi  jembatan  bagi  terbentuknya  pembangunan  yang rendah emisi karbon di propinsi Lampung.  

Buku ini patut dibaca oleh mereka yang aktif mendampingi masyarakat  dilapangan  dalam  berhadapan  dengan  para pihak yang menawarkan program REDD,  juga dibaca para 

Bersambung ke halaman 21

Page 24: Warta tenure edisi 9

21

SERI DISKUSI

Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011

pihak  yang  terlibat  dalam  reformulasi  kebijakan  bidang kehutanan  maupun  pertanahan  ditingkat  lokal  maupun nasional,  juga  para  pihak  yang  peduli  dengan  pemban‐gunan pedesaan dan lingkungan.  

Buku ini tersedia dalam bentuk cetakan, dapat diperoleh di sekretariat Watala, Jln Teuku Umar no 54/64  Bandar Lam‐pung  Tel.  0721‐705068,  Fax.  0721‐771538  atau  email  ke [email protected] atau diunduh langsung melalui website Watala www.watala.org *** 

 

Footnote 1 Dicuplik  dari  Buku  Wulandari  &  Cahyaningsih  2010.  Ketika  Adat Mengelola  Hutan;  REDD  menjadi  Suatu  Pilihan.  Watala‐Pemerintah Daerah  Kabupaten  Lampung  Barat‐The  Samdhana  Institute,  Bandar Lampung

2 Peneliti  ICRAF‐SEA,  Samdhana  Institute  Fellow,  Staf  Pengajar  FISIPOL‐UKI Jakarta, email [email protected]

3 Hobley Mary,   2007. Where in the world is there pro‐poor forest policy and tenure reform? Right Resource Initiatives, Washington DC.

4 Moniaga  &Sirait,  2001  Community  Forestry  Pengalaman  dari  Filipina. Laporan FF, Jakarta

5 Secara khusus yang dimaksud dengan REDD disini adalah REDD ++ yang mencakup semua jenis bentang alam, termasuk hutan,  yang dapat men‐yerap dan menyimpan Carbon. 

6 Dr  Christine  Wulandari  dikenal  dengan  panggilan  Ibu  Christine  aktif dalam  berbagai  lembaga  yang  bergerak  dibidang  pengelolaan  sumber daya alam berbasis masyarakat seperti FKKM dll

7 Ir.  Nurka  Cahyaningsih,  M.A  yang  dikenal  juga  dengan  panggilan  Mba Yaya,  sejak  tahun  2000  hingga  tahun  2009  bergabung  sebagai  peneliti ICRAF‐SEA  yang   mendampingi  berbagai  kelompok  tani  dan  gabungan kelompok  tani di Kabupaten Lampung Barat,  untuk berkerjasama den‐gan  petani  dan  bernegosiasi  dengan  pemerintah  daerah  memfasilitasi kelompok tani mendapatkan ijin HKm.

Sambungan dari halaman 27