Warisan Dan Pewarisan Budaya Warisan Budaya Besama Asia Tenggara Warisan Dinasti Sailendra Belahan...

16

Click here to load reader

description

Warisan Dan Pewarisan Budaya Warisan Budaya Besama Asia Tenggara Warisan Dinasti Sailendra Belahan Barat Nusantara

Transcript of Warisan Dan Pewarisan Budaya Warisan Budaya Besama Asia Tenggara Warisan Dinasti Sailendra Belahan...

  • 1

    WARISAN DINASTI SAILENDRA DI ASIA TENGGARA, BELAHAN BARAT NUSANTARA

    Bambang Budi Utomo

    Abstrak:

    Masyarakat di kawasan Asia Tenggara secara umum mempunyai budaya yang sama,

    terutama pada kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal berbatasan dengan Laut

    Tiongkok Selatan. Kesamaan itu dapat diketahui dari bentuk-bentuk rumah tinggal, teknologi

    pertanian sawah, dan teknologi pembangunan perahu.

    Pada masa lampau ketika salah satu unsur kebudayaan India berkembang di kawasan Asia

    Tenggara, pada awalnya masyarakat dan kerajaan disitu menganut ajaran Hindu. Sejalan

    dengan perkembangan perdagangan antarkerajaan, pada akhirnya masyarakat Asia Tenggara

    memeluk ajaran Buddha aliran Mahayana. Sekarang ini keadaan sudah berbeda. Masyarakat

    di Asia Tenggara daratan memeluk ajaran Buddha Hinayana (Terawada), sedangkan di

    Nusantara memeluk agama Islam.

    Makalah ini menginformasikan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara dalam kurun waktu

    abad ke-8-10 Masehi ketika Dinasti Sailendra berkuasa di Jawa dan Sumatra. Data yang

    dipakai untuk kajian adalah data arkeologi yang ditemukan di kawasan sebelah barat

    Nusantara dan Asia Tenggara daratan.

    Kata Kunci: Sailendra, Buddha Mahayana, perahu, sawah, tembikar.

    Makalah pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2013. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan,

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Yogyakarta 8-11 Oktober 2013.

    Kerani Rendahan pada Pusat Arkeologi Nasional, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

  • 2

    Pengantar

    Ketika saya masih duduk di bangku Universitas, seorang guru yang pakar sejarah Asia Tenggara pernah berkata: Akibat dari hubungan perdagangan pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara sangat luas, tidak terbatas pada hegemoni politik saja, tetapi juga tukar menukar kebudayaan.

    Sejak awal millenium pertama tarikh Masehi, bangsa-bangsa di Asia Tenggara telah menjalin hubungan ekonomi, religi, dan akhirnya politik. Dimulai dari hubungan perdagangan kemudian disusul dengan hubungan keagamaan dan politik antar kerajaan-kerajaan. Ada kalanya hubungan antarkerajaan mengalami sandungan-sandungan. Namun itu semua tidak berlangsung lama, karena disebabkan ambisi politik seorang penguasa dalam kerajaan itu. Sementara itu bangsanya (rakyat) tidak bermusuhan.

    Adanya hubungan antar samudera dan antar benua, ternyata telah menimbulkan kesejajaran di dalam pertumbuhan sejarah kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Sebagai akibat perkembangan pelayaran dan perdagangan, pada kurun abad ke-7-9 Masehi telah timbul pusat-pusat kekuasaan dengan kerajaan-kerajaan Sriwijaya (Sumatra), Mataram (Jawa), Angkor (Kamboja dan Vietnam), Dwarawati (Thailand) dan Pagan (Myanmar). Kemudian pada abad ke-10-11 Masehi, pasangan kesejajaran ini meliputi Pagan (Myanmar), Angkor (Kamboja), Campa (Vietnam), Sriwijaya (Sumatra), Mataram dan Kadiri (Jawa). Demikianlah seterusnya pasangan kesejajaran ini berubah-ubah sampai kedatangan kolonialisme barat.

    1. Kerajaan-Kerajaan di Asia Tenggara

    Dimulai dari abad ke-3 Masehi, di kawasan sebelah timur Semenanjung Indocina yang sekarang termasuk wilayah Vietnam, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Lin-yi. Pusat pemerintahannya kira-kira di selatan kota Hue. Pada perkembangannya, kerajaan ini kemudian menjadi Kerajaan Campa dengan mayoritas penduduknya menganut ajaran Hindu aliran Siwa. Wilayahnya menjadi luas pada sekitar abad ke-7-8 Masehi, mulai dari batas utara hingga batas selatan Vietnam.

    Pada waktu mencapai puncak kejayaannya, kerajaan ini menguasai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara, khususnya di Laut Tiongkok Selatan. Kapal-kapal dagangnya banyak menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dan pesisir Asia Tenggara daratan. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Menurut kronik Vietnam dan Berita Tionghoa, pada tahun 767 daerah delta Semenanjung Indocina telah diserbu oleh pasukan yang datang dari Jawa. Berita mengenai serangan dari selatan ini juga terdapat dalam prasasti yang ditemukan dari kawasan Kamboja.

    Pada sekitar abad ke-7 Masehi, di wilayah Kamboja terdapat Kerajaan Chen-la dengan rajanya Jayawarman I (650-681). Ia adalah seorang raja yang mahir dalam peperangan. Sumber Tionghoa menyebutkan bahwa pada tahun 650-656 raja ini menyerbu kerajaan di Laos. Selain kuat dalam peperangan, Chen-la juga kuat dalam perdagangan dan pelayaran. Kota pelabuhannya yang terkenal pada waktu itu adalah Oc-eo. Melaui pelabuhan ini komoditi perdagangan disalurkan ke tempat-tempat lain.

  • 3

    Ketika Chen-la menguasai Asia Tenggara Daratan, seorang bangsawan dari Kamboja berhasil meloloskan diri ke Jawa. Kemudian setelah mendapat pendidikan dan matang di Jawa, pada tahun 790 bangsawan ini kembali ke Kamboja. Ketika kembali ke negeri asalnya, kerajaan di Jawa sedang guncang dan Chen-la sudah terpecah-pecah. Pada akhir abad ke-8 itulah ia menyatukan seluruh Kamboja, mendirikan Kerajaan Angkor, dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Jayawarman II (790-850 Masehi). Pada masa pemerintahannya antara lain ia mendirikan Angkor Wat.

    Pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, Jawa telah dapat menanamkan kekuasaannya di Kamboja hingga beberapa waktu lamanya. Akibat dari pengaruh budaya itu, terdapat pula perubahan gaya seni pada bangunan yang didirikan semasa pemerintahan Jayawarman II, misalnya bangunan-bangunan di Phnom Kulen.

    Bermula dari pecahnya Chen-la kemudian muncul sebuah kerajaan baru yang letaknya di sebelah selatan Kerajaan Sambhupura. Kerajaan yang baru muncul ini dalam sejarah Kamboja dikenal dengan nama Kerajaan Angkor/Indrapura dengan rajanya Jayawarman II sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Preah Theat Preah Srei (770 Masehi) dari Provinsi Sambor. Prasasti-prasasti lain yang dikeluarkan oleh raja ini adalah Prasasti Lobok Srot (781 Masehi), Prasasti Tuol Kok Prasat, dan Prasasti Sambor. Dua prasasti yang terakhir tidak berangka-tahun, namun berdasarkan paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi.

    Dari beberapa buah prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, agaknya Prasasti Sdok Kak Thom (802 Masehi) yang isinya penting dalam kaitannya pertalian sejarah antara Kamboja dan Jawa. Prasasti Sdok Kak Thom pada bagian yang berbahasa Khmer menyebutkan: Yang Mulia Parameswara telah datang dari Jawa kemudian menjadi raja di Kerajaan Indrapura (bait 61-62). Pada bait lain (71-72) disebutkan: Yang Mulia Brahmana Hiranyadama yang ahli dalam ilmu gaib telah datang dari Janapada karena Paduka Yang Mulia Parameswara telah mengundangnya untuk mengadakan upacara religi, agar daerah Kamboja tidak lagi tergantung kepada Jawa, oleh karena Yang Mulia telah menjadi cakrawarti (Cds 1970, 96-97).

    Kata Jawa tidak hanya ditemukan di dalam Prasasti Sdok Kak Thom saja, tetapi ditemukan juga di dalam Prasasti Vat Samrong dalam kalimat: Yang Mulia, yang telah pergi ke tempat Parameswara (maksudnya mangkat) pergi ke Rdval, mempercayakan kepada Mratan Sri Prathivinarendra untuk mengadakan ritual guna mencegah daerah Kamboja dikuasai Jawa. Dari keterangan kedua prasasti tersebut, dapat diduga bahwa pada masa itu Kamboja berada di bawah kekuasaan atau sekurang-kurangnya pengaruh Jawa, dan ritual yang mengandung kekuatan gaib dapat dikatakan merupakan suatu pernyataan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa.

    Selain prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, prasasti lain yang menyebutkan jawa adalah Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun 799 Masehi. Isinya mengenai peringatan selesainya pemugaran kuil Bhadradhipatiswara yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh sepasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi Campa juga pernah mendapat serangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.

    Peristiwa penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyat Kamboja, sehingga menjadi sumber cerita orang-orang Khmer yang disampaikan kepada saudagar Arab ketika ia berkunjung pada tahun 851 Masehi. Saudagar Arab yang bernama Sulaeman

  • 4

    menceriterakan tentang kekalahan yang diderita oleh raja Khmer akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Sri Maharaja dari negeri Zabag. Nama Sri Maharaja disebutkan juga di dalam beberapa prasasti dari abad ke-8 Masehi, baik yang ditemukan di Jawa (Prasasti Kalasan, 778 Masehi) dan Tanah Genting Kra (Prasasti Ligor B, 775 Masehi).

    Antara Kerajaan Angkor/Indrapura, Sriwijaya, dan Mataram mungkin terdapat pertalian darah yang berasal dari dinasti yang sama, yaitu Sailendra (=Raja Gunung). Menurut kronik di Asia Tenggara, dinasti ini masih keturunan dari Fu-nan yang juga menyatakan diri sebagai Raja Gunung.

    Di Nusantara, Dinasti Sailendra berkuasa di dua tempat yaitu Sriwijaya (Sumatra) dan Mataram (Jawa). Pada satu masa (paruh kedua abad ke-8 Masehi), agaknya kekuasaan dipegang oleh raja Rakai Panamkaran Sang Ratu Sanjaya. Menurut prasasti Nalanda (abad ke-8), Prasasti Ligor, (775 Masehi), dan Prasasti Kalasan (778 Masehi), raja ini menjalin hubungan politik dan religi dengan India, Thailand, dan Melayu Tua (di Semenanjung Tanah Melayu). Diberitakan bahwa raja ini membangun salah satu asrama pelajar di kompleks Nalanda, Trisamaya Caitya di Ligor (Tanah Genting Kra), dan Kalasan (Jawa Tengah).

    Pengaruh Sailendra di Asia Tenggara daratan tampak dari arca-arca Bodhisattwa yang ditemukan di Thailand dan di Bidor, Malaysia. Juga dalam gaya seni bangunan ditemukan di bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Angkor. Gaya seni Jawa tampak kental pada hiasan kala yang terdapat pada ambang pintu.

    Kesejajaran pertumbuhan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, tentu saja berakibat pada kebudayaan bangsa-bangsa tersebut. Sebagai contoh, misalnya masuknya politik yuridis Jawa di Kamboja pada sekitar abad ke-8--9 Masehi mengakibatkan masuknya pengaruh budaya Jawa. Pada gaya seni bangunan (arsitektur) tampak pada bangunan Phnom Kulen dari jaman Jayawarman II, kuil Preah Ko dari kelompok bangunan Roluos yang dibangun oleh Raja Indrawarman I (877-889 Masehi), dan bangunan-bangunan yang dibuat semasa pemerintahan Jayawarman V dari abad ke-10 Masehi (Syafei 1977, 433).

    2. Dinasti Sailendra

    Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sansekerta Sailendra karena di dalam prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta atau bahasa Tamil di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi (Boechari 1966, 141-151).

    Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthirangga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Di sebutkan pula bahwa Sanjaya memerintah Jawa

  • 5

    menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sanjaya.1

    Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Medang (Mataram), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya mulai berkuasa di Medang pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.

    Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Raja Mandiminyak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandiminyak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandiminyak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandiminyak.

    Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Simo). Ratu ini memerintah dengan baik (Groeneveldt 1960: 14). Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperolehi urutan raja-raja yang memerintah di Medang, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Simo (674-703 Masehi), Mandiminyak (703-710 Masehi), R.Sanna (710-717 Masehi), R.Sanjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Panamkaran (746-784 Masehi).

    2.1 Rakai Panamkaran

    Sanjaya memerintah di Kerajaan Medang (Mataram) sampai tahun 745 Masehi. Berdasarkan tafsiran dari Prasasti Raja Sangkhara, ia mangkat karena sakit selama 8 hari. Anaknya yang bernama Sangkhara karena takut akan ajaran sang guru yang dianggapnya tidak benar kemudian meninggalkan ajaran Siwa, menjadi pemeluk ajaran Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur (Poesponegoro 1984: 109). Di dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia II, Raja Sangkhara disamakan dengan Panamkaran. Oleh Poerba-tjaraka, Panamkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahiyangan.

    Apabila berpedoman bahwa sebuah naskah atau prasasti disebut sejauh apa yang diketahui penulis, maka Carita Parahiyangan ditujukan kepada R. Panaraban (R.Tamperan) dan Prasasti Raja Sangkhara ditujukan kepada Panamkaran dyah Sangkhara. Jadi, Panaraban tidak identik dengan Panamkaran separti yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Apalagi di 1 Di dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Raja Sanna mangkat, dan dunia ini terpecah dan kebingungan

    karena kehilangan pelindungnya. Di dalam Ceritera Parahiyangan disebutkan bahwa kerajaan Sanna diserang oleh Purbasora, kemudian Sanna melarikan diri ke Gunung Merapi. Dari dua sumber itu dapat disimpulkan bahwa pada waktu Sanna memerintah telah terjadi penyerangan terhadap kerajaannya. Setelah kerajaan Sanna hancur, kemudian muncul Sanjaya sebagai penggantinya. Sebagai tanda penyatuan kerajaan, Sanjaya mendirikan lingga di bukit Sthirangga.

  • 6

    dalam Prasasti Wanua Tengah III disebutkan Panaraban berkuasa setelah Panamkaran, yaitu pada tahun 784 Masehi (Djoko Dwijanto 1986: 96). Dengan demikian, dapat diduga bahwa Sanjaya mempunyai 2 isteri yang berasal dari daerah yang berbeda. Isteri pertama berasal dari Jawa yang menurunkan Sangkhara (Panamkaran), sedangkan isteri kedua berasal dari Sunda yang menurunkan R. Panaraban (R. Tamperan).2

    Prasasti Wanua Tengah III menyebutkan bahwa Panamkaran naik takhta pada tanggal 7 Oktober 746 Masehi. Menurut de Casparis raja ini adalah raja bawahan Sailendra yang tidak disebut namanya dalam Prasasti Kalasan. Pendapat ini dikemukakan juga oleh van Naerssen yang menyatakan bahwa Panamkaran adalah seorang raja Jawa yang menurut Prasasti Kalasan bertugas menjalankan perintah salah seorang raja Sailendra (van Naerssen 1947: 249). Dalam Prasasti Kalasan, bait ke-2 dan ke-3 disebutkan Para guru raja Sailendra mohon kepada Maharaja Dyah Pancapana Panamkaran agar beliau membangun candi Tara, lengkap dengan arcanya, .... Sementara itu, Cds mengajukan pendapat bahwa raja Sailendra berasal dari Funan di Asia Tenggara daratan dan menganut ajaran Buddha (1934: 66-70). Ia kemudian berhasil menaklukan raja dari wangsa Sanjaya yang telah berkuasa di Jawa Tengah dan menganut ajaran Siwa (de Casparis 1956).

    Seandainya dugaan van Naerssen dan de Casparis bahwa Rakai Panamkaran seorang raja bawahan itu benar, mengapa sebagai raja bawahan ia menggunakan gelar Sri Maharaja yang artinya raja besar, padahal gelar yang biasa dipakai oleh raja bawahan adalah haji atau samyahaji (Edhie Wuryantoro 1983: 606) Pendapat dari de Casparis ini didasarkan atas hasil pembacaan Prasasti Kalasan yang mengindikasikan adanya dua raja, yaitu seorang raja Sailendra yang tidak diketahui namanya, dan Maharaja dyah Pancapana Panamkaran.

    Dari Prasasti Kalasan kalimat Para guru raja Sailendra mohon kepada.... dapat dimengarti mengapa de Casparis sampai kepada kesimpulan adanya dua raja yang disebut dalam Prasasti Kalasan. Pertanyaannya adalah mengapa para guru itu tidak langsung saja memohon kepada raja Sailendra, tidak kepada Maharaja dyah Pancapana Panamkaran. Apakah raja Sailendra tidak mempunyai kemampuan untuk membangun atau ada hal lain. Dari kalimat itu dapat diyakini bahwa Panamkaran itu adalah raja Sailendra, dan para guru yang memohon itu adalah para guru Panamkaran juga, karena Panamkaran adalah salah seorang raja dari keluarga Sailendra.

    2 Dalam kitab Pustaka Rajyawarnana i Bhumi Nusantara disebutkan bahwa Sanjaya mempunyai dua isteri,

    yaitu Dewi Sekarkancana dari Sunda dan Dewi Sudhiwara dari Keling (Jawa). Dewi Sekarkancana dengan Sanjaya mempunyai anak R.Panaraban (R.Tamperan) yang kemudian berkuasa di Sunda, sedangkan Dewi Sudhiwara dengan Sanjaya mempunyai anak Panangkaran yang kemudian berkuasa di Medang (Ayatrohadi, 1986, Hubungan Keluarga antara Sanjayawangsa dan Sailendrawangsa, dalam Romantika Arkeologi. hlm. 4-7. Jakarta: Keluarga Mahasiswa Arkeologi FSUI.). Rupa-rupanya kekuasaan masing-masing anak menurut asal ibunya dan lagi Sanjaya dikatakan pernah berkuasa di Sunda (723-732 Masehi) dan berkuasa di Jawa (732-754 Masehi). Kami masih meragukan keotentikan naskah itu karena demikian lengkapnya menguraikan kejadian sejarah separti yang telah diuraikan dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Sebagai contoh, nama Panunggalan. Nama itu hanya ada di dalam Prasasti Mantyasih dan telah ditulis dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Di dalam Prasasti Mantyasih ia disebut setelah Panamkaran. Dari Prasasti Wanua Tengah III nama Panunggalan tidak disebut, sedang yang disebut adalah Panaraban. Apabila kita menganggap prasasti merupakan data sejarah yang otentik, mengapa nama Panunggalan tidak disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III ? Mungkinkah prasasti itu ditulis oleh salah seorang penguasa yang tidak suka kepada Panunggalan. Kalau demikian mengapa di situ juga disebutkan nama-nama pemberontak ?

  • 7

    Dalam Prasasti Kalasan Panamkaran disebut dengan nama Maharaja dyah Pancapana Panamkaran, sedangkan di dalam Prasasti Mantyasih (907 Masehi) disebut Sri Maharaja rakai Panamkaran. Dari dua nama itu yang menarik adalah penyebutkan gelar Maharaja. Gelar ini disebutkan juga di dalam Prasasti Ligor B dan Prasasti Nland. Di dalam kedua prasasti itu disebutkan juga nama Sailendra dan julukan yang artinya pembunuh musuh-musuh yang gagah perkasa (viravairimathana). Nama Sailendra dan julukan itu ditemukan juga dalam Prasasti Kelurak dan Kalasan. Tetapi dalam Prasasti Kelurak ditemukan nama Dharanindra (dharanindranamna) yang mempunyai julukan Sriviravairivaraviravimardana (Bosch 1925: 504-521). Pada daftar berikut dapat dilihat beberapa kesamaan gelar dan julukan dari berbagai prasasti yang pada akhirnya menunjuk pada seorang tokoh. Titik temunya terletak pada nama keluarga, yaitu keluarga Sailendra.

    Di dalam Prasasti Kelurak disebutkan pembangunan sebuah bangunan suci untuk Majuri atas perintah Dharanindra pada tahun 782 Masehi. Nama raja ini disebutkan juga dalam Prasasti Ligor B. Prasasti Nland menyebut nama dan gelar Sailendravamsatilaka Sri Viravairimathana yang berarti mustika keluarga Sailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira, sedangkan pada Prasasti Kelurak mendapat julukan vairivaraviramardhana pembunuh pahlawan terkemuka musuh. Di dalam Prasasti Ligor B disebut nama Wisnu yang mempunyai julukan sesasavvarimadavimathana pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa dan karena ia keturunan keluarga Sailendra, maka ia bergelar Sri Maharaja. Dalam Prasasti Nland ia disebut kakek dari Balaputra(dewa) yang menjadi raja di Jawa, mustika keluarga Sailendra, dan dijuluki Sri Viravairimathana. Ia beranak Samaratungga yang kawin dengan Tara, anak Dharmasetu dari keluarga Soma. Dharmasetu dan Tara disebutkan juga dalam Prasasti Nland dan dalam Prasasti Ligor A disebutkan sebagai raja Sriwijaya.

    Berdasarkan beberapa kesamaan yang telah dikemukakan itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Sri Maharaja Rake Panamkaran yang namanya disebut dalam Prasasti Mantyasih (907 Masehi) dan Wanua Tengah III adalah seorang raja dari keluarga Sailendra yang namanya disebut dalam Prasasti Kalasan (778 Masehi). Nama ini disesuaikan dengan raja Dharanindra yang disebutkan dalam Prasasti Kelurak (782 Masehi) dan Prasasti Ligor B (775 Masehi), sedangkan dalam Prasasti Raja Sangkhara menyebut nama Sangkhara. Prasasti Nland (abad ke-9 Masehi) menyebutnya sebagai Sailendravamsatilaka mustika keluarga Sailendra dan memperoleh julukan Sri Viravairimathana pembunuh pahlawan musuh. Julukannya yang artinya sama terdapat pada Prasasti Kelurak adalah vairivaraviramardhana pembunuh pahlawan terkemuka musuh dan pada Prasasti Ligor B adalah 'sesasavvarimadavimathana pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa.

    2.2 Balaputra(dewa)

    Rakai Panamkaran memerintah di Medang cukup lama, sekurang-kurangnya selama 38 tahun. Dari Prasasti Karangtengah (824 Masehi) dijumpai nama Samaratungga dengan putrinya bernama Pramodawarddhani. Dalam Prasasti Sri Kahulunnan yang berangka tahun 842 Masehi, terdapat nama seorang putri Sailendra. Oleh Bosch putri Sailendra yang bernama Sri Kahulunnan itu disamakan dengan Pramodawarddhani (Bosch 1975: 17). Putri ini diberitakan membangun jinalaya yang sangat indah. Untuk kelangsungan bangunan jinalaya itu oleh Rakarayan Patapan pu Palar dihadiahi sawah. Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaragrawira dan cucu raja yang menjadi

  • 8

    permata keluarga Sailendra dan yang mempunyai julukan pembunuh musuh-musuhnya yang gagah berani alias Rakai Panamkaran. Ibunya bernama Tara anak dari Dharmasetu dari keluarga Soma. Jika Balaputra adalah cucu dari Panamkaran, maka Samaragrawira tidak lain adalah Samaratungga. Dengan demikian Samaratungga paling tidak mempunyai dua anak dari dua isteri, yaitu Pramodawarddhani dari permaisuri sebagai putri mahkota dan Balaputra dari Tara anak Dharmasetu.

    Sumber lain menyebutkan nama Rakarayan Patapan pu Palar. Ia agaknya merupakan raja ba-wahan Samaratungga yang juga berambisi menjadi raja di Medang. Mungkin karena takut oleh pengaruh pu Palar, kemudian Samaratungga mengawinkan Pramodawarddhani dengan Pikatan, anak pu Palar. Di kemudian hari, setelah Samaratungga mangkat yang menjadi raja di Medang adalah Pikatan.

    Penobatan Pikatan menjadi raja di Medang agaknya tidak disukai oleh Balaputra. Ia merasa berhak atas mahkota Medang. Oleh sebab itu ia mengadakan pemberontakan melawan kakak iparnya sebagaimana tercantum dalam Prasasti Siwagha yang berangkatahun 12 November 856 Masehi (de Casparis 1956: 280-330). Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa Balaputra (valaputra) membuat tempat pengungsian yang terdiri dari beratus-ratus batu. Tempat pengungsian ini sekarang dikenal dengan nama Bukit Ratu Baka di sebelah selatan kompleks percandian Prambanan.

    Rupa-rupanya pertahanan Balaputra tidak berlangsung lama. Ia kemudian dapat dikalahkan oleh Pikatan dan pindah ke Sumatra, tempat ibunya berasal. Karena ia masih mempunyai hak atas tahta kerajaan dari Dharmasetu, kemudian ia berhasil menjadi raja di Sumatra, dan mengadakan hubungan dengan India (Prasasti Nalanda) dan Thailand Selatan (Prasasti Ligor).

    Masalah hubungan keluarga antara keluarga kerajaan di Jawa dan di Sumatra hingga kini masih belum terpecahkan karena data tertulis yang sampai kepada kita masih sangat terbatas. Semua yang telah dikemukakan itu masih bersifat dugaan. Dalam masalah keluarga Sailendra yang pernah berkuasa di Medang masih juga belum terpecahkan. Prasasti tertua yang menyebutkan Dapunta Selendra hanya menyebutkan nama. Prasasti itu tidak menyebutkan asal dari keluarga yang menurunkan raja-raja di Medang. Demikian juga mengenai masalah Balaputra (dewa). Sumber tertulis yang menyebutkan ia melarikan diri ke Suwarnnadwipa (Sumatra) hanya berasal dari satu pihak, dalam hal ini hanya berasal dari Jawa. Masalah tersebut mungkin dapat terpecahkan bila ditemukan sumber bertulis yang jelas menyebutkan bahwa Balaputra(dewa) melarikan diri ke Suwarnnadwipa, dan sumber tersebut ditemukan di Sumatra atau di tempat lain yang ada kaitannya dengan masalah itu.

    3. Keadaan Masyarakat

    Gambaran masyarakat di masa lampau pada masa Dinasti Sailendra berkuasa (abad ke-8-10 Masehi) dapat diketahui dari prasasti dan relief bangunan suci. Pada relief bangunan suci yang cukup lengkap memberikan gambaran kehidupan masyarakat adalah pada Borobudur. Borobudur merupakan gunung kosmos, punden berundak untuk memuja arwah nenek moyang dan juga bangunan suci utama dari dinasti Sailendra yang berkuasa di Tanah Jawa pada abad ke-8-10 Masehi. Ini mengindikasikan bahwa meskipun pada Borobudur kental

  • 9

    dengan unsur budaya India, namun unsur budaya lokal tidak ditinggalkan. Arsitektur punden berundak merupakan unsur budaya lokal.

    Bangunan Borobudur bukan saja merupakan contoh arsitektur yang unik, tetapi juga dapat dianggap sebagai perwujudan konsep ajaran Buddha dalam batu. Penguasa Sailendra mewariskan kepada kita suatu dokumentasi kehidupan keseharian masyarakat pada abad ke-8 Masehi yang ceria dan damai. Meskipun rangkaian cerita yang dipahatkan pada dinding bagunan dan dinding pagar berasal dari India, namun setting-nya adalah keadaan masyarakat di sekitar Borobudur khususnya, dan di Nusantara pada umumnya. Misalnya dapat disaksikan bentuk-bentuk rumah tinggal, perahu khas Asia Tenggara ada yang bercadik dan ada pula yang tidak, sistem pertanian sawah, membuat barang tembikar, dan aktivitas pande logam di bengkelnya. Pesan yang hendak disampaikan melalui penggambaran relief adalah hidup damai dan saling tolong menolong antar umat manusia.

    Dalam berbagai relief Borobudur, digambarkan aktivitas pelayaran di laut dengan menggunakan kapal besar yang bercadik dan tidak; penyeberangan sungai dan danau dengan menggunakan perahu tanpa cadik; aktivitas menggarap sawah dan ladang; panen padi dan palawijaya; dan kegiatan jual beli di pasar..

    Relief Maha Karmawibhangga lebih gamblang lagi dalam menggambarkan kehidupan masyarakat apa adanya. Dalam relief digambarkan kehidupan para bangsawan, kehidupan rakyat jelata, aktivitas jual beli di pasar, menangkap/menjala ikan, dan beberapa adegan perkelahian, dan abortus (menggugurkan kandungan).

    Borobudur dengan relief ceritanya bak sebuah buku best seller yang kandungan isinya baik dan dianjurkan dibaca untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya, kitab yang baik itu tidak atau kurang disertai dengan resensi yang baik serta kurang disosialisasikan pada masyarakat pewarisnya. Akibatnya, calon pembacanya hanya melihat fisiknya, tidak membacanya dengan seksama, apalagi mengimplementasikan dalam kehidupan kesehariannya.

    3.1 Pelayaran dan Perdagangan

    Posisi silang kawasan Asia Tenggara menyebabkan perairan Asia Tenggara ramai dilayari kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Pada millenium pertama tarikh Masehi, dominasi pelayaran dan perdagangan dikuasai oleh pelaut-pelaut Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan dagang yang pada waktu itu ramai disinggahi kapal-kapal dagang, misalnya Moulmein (Pagan), Kedah, Takuapa, Grahi, dan Ligor (Semenanjung Tanah Melayu), dan Oc-eo (Angkor dan Campa). Berbagai barang komoditi yang laku dijual dipasaran sebagian besar diperoleh dari kawasan Asia Tenggara, misalnya Kapur Barus dari Sumatra, keramik dari Martaban (Thailand), Tiongkok dan Vietnam, batu-batu permata dari Pagan dll.

    Dalam usaha mengarungi samudera, masyarakat maritim yang hidup di sekitar perairan Asia Tenggara mengembangkan teknologi perkapalan. Di dalam arkeologi maritim, teknologi perkapalan yang dikenal di perairan Asia Tenggara adalah teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn-plank and lashed-lug technique). Teknologi ini hingga sekarang masih dipakai oleh masyarakat maritim yang hidup di perairan Asia Tenggara. Beberapa contoh

  • 10

    runtuhan perahu yang dibangun dengan teknologi tradisi Asia Tenggara, misalnya yang ditemukan di Situs Pontian (Malaysia), perahu balangai (Filipina), dan Situs Sambirejo (Palembang). Dari runtuhan perahu-perahu ini dapat diketahui teknologi pembuatannya. Sisa perahu yang ditemukan di Situs Punjulharjo, Rembang merupakan salah satu contoh teknologi perahu Asia Tenggara.

    Runtuhan perahu yang tenggelam di perairan Cirebon pada abad ke-10 Masehi, merupakan runtuhan perahu Asia Tenggara. Muatannya berbagai barang komoditi yang berasal dari Timur Tengah berupa kaca, manik-manik batu dan kaca, dan cetakan dari batu sabak; dari Tiongkok berupa keramik, cermin perunggu, dan barang-barang rumah tangga dari perunggu, dan dari tempat lain yang tidak diketahui berupa barang-barang tembikar. Ini membuktikan bahwa ketika itu saudagar asing yang hendak berdagang ke Nusantara harus menggunakan kapal Asia Tenggara (mungkin kapal Sriwijaya). Demikianlah ketentuan perdagangan laut yang dikeluarkan oleh Sriwijaya.

    3.2 Ajaran Buddha

    Ajaran Buddha meluas pemeluknya terjadi pada abad ke-7-10 Masehi. Pada waktu itu sebuah kerajaan yang kuat dan berpengaruh di Asia Tenggara adalah Sriwijaya, dan mungkin juga Mataram (Medang). Kerajaan ini selain dikenal sebagai kerajaan maritim, juga dikenal sebagai kerajaan yang andilnya cukup besar dalam perkembangan ajaran Buddha. Bhiksu Buddha dari berbagai bangsa datang ke Sriwijaya untuk mempelajari tata-bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan pelajarannya ke Nalanda di India. Bahkan Atisa, seorang pendeta Buddha dari Tibet menyempatkan diri untuk memperdalam ajaran Buddha di Sriwijaya.

    Pada sekitar tahun 775 Masehi, seorang raja dari Dinasti Sailendra yang memerintah di Kerajaan Medang yang dikenal dengan julukan Pembunuh musuh-musuh yang gagah berani, mendirikan Trisamaya Caitya untuk pemujaan kepada Padmapani, Sakyamuni, dan Wajrapani di Ligor (Thailand Selatan). Pengaruh Sriwijaya di Thailand Selatan cukup kuat. Hal ini tampak pada gaya seni arca yang ditemukan dari kawasan ini. Banyak arca Buddha dan Bodhisattwa yang dikatakan berlanggam Sailendra, Sriwijaya, atau kadang-kadang disebut berlanggam Semenanjung.

    Ketika belahan barat Nusantara berkembang ajaran Buddha Mahayana (abad ke-7-9 Masehi), di Asia Tenggara daratan sebagian besar masyarakatnya memeluk ajaran Hindu aliran Siwa. Ajaran Buddha mulai berkembang pada sekitar abad ke-11 Masehi. Ketika itu di Burma terdapat kerajaan Dwarawati dengan rajanya Anoratha. Raja ini memerintahkan pembangunan kompleks pagoda di Pagan untuk ajaran Buddha Theravada. Di kompleks itu tinggal para bhiksu dan bhiksuni.

    Di Kerajaan Angkor, ketika diperintah oleh Suryawarman I (1002-1050 Masehi) (seorang Pangeran Ligor, Dwarawati), pintu perkembangan ajaran Buddha (aliran Mahayana) terbuka lebar. Secara pribadi ia pemeluk ajaran Siwa yang melanjutkan kultus dewaraja seperti para pendahulunya. Pada masa pemerintahannya ajaran Buddha berkembang secara luas di Asia Tenggara daratan.

  • 11

    3.3 Sukubangsa Maritim

    Tidak ada sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa Laut, atau kadang-kadang disebut Suku Bajau. Sukubangsa ini mendiami daerah muara sungai-sungai dan hutan bakau di pantai timur Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Thailand hingga Campa. Cara hidup yang khas dalam rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka orang laut dalam arti sesungguhnya. Di duga pada masa perairan sekitar Selat Melaka dan Teluk Siam didominasi oleh Sriwijaya, merekalah yang memegang peranan penting. Mereka mempunyai kemahiran kebaharian yang tidak dimiliki oleh sukubangsa-sukubangsa lain. Mungkin kemahiran dalam bidang kebaharian hanya dapat ditandingi oleh orang-orang Campa. Orang-orang Campa diketahui juga menetap di daerah Thailand Selatan. Pada masa kini mereka merupakan mayoritas penduduk yang beragama Islam di Thailand Selatan.

    3.4 Sistem Pertanian

    Wuga pu Mangnb menetapkan sima (semacam daerah bebas pajak) berupa sawah dan kebun di desa Kamalagi...

    Itulah sepenggal kalimat yang dituliskan pada Prasasti Kamalagi yang bertarikh 30 April 821 Masehi (Goris 1930, 157-170). Masih banyak lagi sistem pertanian sawah yang disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Jawa Tengah, seperti pada Prasasti Kayumwungan (26 Mei 824) (de Casparis 1950, 24-50), Prasasti Tri Tpusan (11 November 842) (de Casparis 1950, 73-95), Prasasti Wanua Tengah I (785) dan II (10 Juni 863) (Brandes 1913), dan Prasasti Mantyasih I (11 April 907) (Stutterheim 1927, 172-215). Prasasti-prasasti tersebut menunjukkan pada kita bahwa sawah telah ada pada masa Jawa Kuno.

    Pengelolaan dan penggarapan sawah di masa Jawa Kuno tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Gambaran penggarapan sawah irigasi boleh jadi tidak jauh berbeda dengan yang ada di Bali sekarang ini (subak). Petak-petak sawah dibuat bersengked-sengked agar tanah tidak longsor dan memudahkan pengaturan air. Pada awal penggarapan, untuk membalikkan tanah digunakan bajak yang ditarik oleh kerbau atau sapi. Lahan siap ditanami padi ketika tanah sudah dibalik dan permukaannya diratakan untuk dibuat garis-garis lurus saling berpotongan. Pada perpotongan garis, di situlah bibit padi ditanam oleh beberapa penduduk desa yang turut bergotongroyong.

    Pekerjaan selanjutnya adalah menjaga dan memelihara lahan sawah yang telah ditanami padi. Air yang mengalir di lahan persawahan, semasa padi tumbuh harus tetap terjaga. Tidak boleh terlampau banyak, dan tidak boleh tergenang agar pertukaran oksigen tetap terjaga. Sesekali petani menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh pada dinding pematang sawah dan di sekitar tanaman padi. Sampai waktunya padi mulai menguning pasokan air mulai dikurangi.

    Bukti-bukti arkeologis menguatkan dugaan bahwa sistem pertanian sawah irigasi telah ada sejak jaman dulu. Pada relief Candi Borobudur yang berasal dari abad ke-9 Masehi, dalam rangkaian ceritera Awadana dan Jataka, terdapat relief yang menggambarkan seorang petani sedang membajak sawah. Tangan kirinya memegang tangkai bajak yang ditarik sepasang kerbau/sapi. Tangan kanannya memegang kayu untuk menghalau kedua ternak tersebut. Pada panil lain tampak digambarkan keluarga petani sedang menunggu tanaman padi dan petani

  • 12

    sedang memikul padi. Relief ini membuktikan bahwa di sekitar Candi Borobudur terdapat kelompok masyarakat yang hidup dari tanah-tanah pertanian sawah. Tidak mungkin seniman yang memahatkan relief tersebut menggambarkan sesuatu tanpa melihat visualnya.

    Pertanian dengan sistem sawah irigasi makin lama terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Kalau pada jaman Mataram Kuno pengairan diperoleh dari sungai yang ada di dekat areal persawahan, pada jaman Airlangga di Jawa Timur sudah lebih maju lagi. Prasasti Harinjing dari 19 September 921, yang ditemukan di Pare (Kediri), menye-butkan tentang penggalian sungai Harinjing untuk kepentingan pengairan sawah dan penanggulangan bahaya banjir (Callenfels 1934). Begitu juga Prasasti Kamalagyan dari 11 September 1037 Masehi yang dikeluarkan oleh Airlangga menyebutkan tentang pembangunan dawuhan (pintu air) di Waringin Sapta untuk keperluan pengairan sawah dan pengendalian banjir (Sutjipto 1958, 72).

    Relief-relief pada dinding candi-candi di Jawa Timur banyak yang menggambarkan desa yang dikelilingi oleh areal persawahan. Di lingkungan desa tersebut juga terdapat sungai kecil dengan titiannya, yang mengalir ke daerah persawahan yang ada di tepian desa. Ada juga adegan yang menggambarkan penduduk desa sedang memanen padi di sawah.

    Pada masa yang hampir bersamaan dengan di Jawa, di Bali sistem persawahan dengan teknik irigasi berkembang pada abad ke-11 pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Prasasti Pandak Bandung (1071 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu menyebut pembelian sawah seluas tiga tambuku galleng di Kasowakan. Dalam Prasasti Kelungkung (1072 Masehi) dari raja Anak Wungsu menyebutkan tigapuluhan subak dengan nama-nama pejabat yang terkait dengan urusan pertanian, seperti senapati danda, sang admak danda, purusakara, dan kadahuluan.

    Sistem pertanian sawah dengan teknik irigasi di Sumatra agaknya mulai dikembangkan sejak Adityawarmman memerintah di Pagarruyung (abad ke-14), Sumatra Barat. Ia adalah seorang bangsawan putra Melayu yang dibesarkan di Majapahit. Setelah saatnya tiba, ia kembali ke kampung halamannya untuk memerintah. Dengan pengetahuan dan pengalaman selama di Majapahit, ia mengembangkan teknik-teknik pertanian di Minangkabau.

    Sebuah prasasti yang dipahatkan pada dinding batu dekat saluran kuno, menyebutkan bahwa dityawarmman memerintahkan membuat saluran air untuk mengairi sawah-sawah yang ada di wilayah kekuasaannya. Prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Bandar Bapahat ini ditulis dalam aksara Jawa Kuno dan berbahasa Sansekerta serta Melayu Kuno. Dipahatkan pada dinding batu dekat saluran air kuno di Surawasa (Krom 1912, 33-52). Saluran air yang diperintahkan buat tersebut, memotong dinding batu sepanjang lereng bukit, dan pada saat ini masih berfungsi untuk mengaliri sawah di sekitar Surawasa.

    3.5 Ramayana

    Pada masa sekarang, jauh setelah kejayaan kerajaan-kerajaan (kecuali Kerajaan Thailand yang masih eksist) berlalu, meskipun sebagian besar masyarakatnya menganut ajaran Buddha Therawada namun ceritera yang populer di masyarakat adalah Ramayana. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara Daratan, seorang raja dianggap sebagai penjelmaan Wisnu. Karena itulah timbul kultus Dewaraja, yaitu suatu kultus di mana seorang

  • 13

    raja yang memerintah adalah merupakan sesosok dewa yang ada di dunia. Raja-raja Thailand, meskipun penganut Buddha ia dianggap sebagai titisan Wisnu. Karena itulah mereka menggunakan gelar Rama (diambil dari tokoh Rama jelmaan Dewa Wisnu dari ceritera Ramayana), misalnya Raja Rama I untuk gelar Raja Thailand.

    Di Asia Tenggara daratan banyak kuil ajaran Buddha yang pada bagian dindingnya terdapat relief yang menggambarkan ceritera Ramayana. Dalam hal seni pertunjukan wayang dan sendratari masyarakat di Asia Tenggara Daratan lebih mengenal ceritera Ramayana daripada Mahabharata. Beberapa gerakan tari masa kini mirip dengan penggambaran tarian pada relief yang dipahatkan pada dinding kuil (wat). Demikian juga dalam hal pertunjukan wayang kulit, mereka hanya mengenal ceritera Ramayana dengan tokoh-tokohnya Rama, Laksmana, dan Hanuman.

    Ketika Dinasti Sailendra berkuasa di belahan barat Nusantara, perselisihan antar keyakinan (Buddha dan Hindu) tidak pernah terjadi, bahkan keduanya saling membantu. Dapat dikemukakan sebagai contoh adalah pembangunan kompleks Prambanan, Sewu dan Plaosan di Jawa Tengah. Di Sumatra ditemukan sebuah arca Bodhisattwa yang dibuat oleh seorang pendeta Hindu Dang Acaryya Syuta.

    4. Penutup

    Dengan berakhirnya Perang Dingin konsep yang dianut oleh negara-negara besar adalah memaksakan sistem nilai (value system) mereka untuk dianut juga oleh negara-negara lain. Dengan demikian kemungkinan terjadinya konflik kebudayaan seperti yang ditengarai Samuel Huntington makin lama makin mendekati kenyataan. Konflik antar kerajaan di Asia Tenggara Daratan pada masa lampau yang didalangi oleh Kekaisaran Tiongkok karena tidak adanya saling pengertian dan saling menghargai di antara berbagai kebudayaan.

    Apa yang ditengarai Huntington tersebut terjadi di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara pada masa lampau, terutama kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara daratan. Laos merupakan salah satu contoh kerajaan yang tidak berdaya menghadapi dominasi kerajaan besar, Tiongkok dan Viet Nam (Campa). Apalagi kedudukan geografisnya yang terkurung. Kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih beruntung karena geografisnya merupakan kepulauan, sehingga agak menyulitkan kekuatan lain untuk menguasainya.

    Pada tahun 1405-1433 Chng Ho melakukan misi kebudayaan secara besar-besaran untuk memperkenalkan budaya Tiongkok ke kerajaan-kerajaan di luar Kekaisaran Tiongkok. Tujuannya agar kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya mau datang ke Tiongkok. Dalam misi muhibahnya, Chng Ho tidak menggunakan kekerasan seperti yang dilakukan Tiongkok masa sebelumnya. Belajar dari pengalaman itu, manusia modern harus belajar dari diplomasi kebudayaan yang dipraktekkan Chng Ho pada awal abad ke-15 atau 600 tahun yang silam.

    Untuk Indonesia yang kondisi geografisnya merupakan kepulauan, pemaksaan sistem nilai secara menyeluruh agaknya kurang berhasil. Kalaupun terjadi dengan sendirinya dapat dilokalisir hanya pada satu kerajaan, dan itupun hanya terjadi di sebuah pulau. Karena itulah kondisi yang terjadi untuk Indonesia adalah keragaman budaya (multy culture) pada penduduk di Nusantara. Di negara kepulauan seperti Indonesia inilah segala macam bentuk-

  • 14

    bentuk kebudayaan mulai dari bentuk kebudayaan timur hingga kebudayaan barat dapat ditemukan. Bukan merupakan hal yang aneh apabila Indonesia menyatakan diri sebagai pusat kebudayaan Asia Tenggara.

    Demikianlah beberapa hal yang dapat saya kemukakan. Apabila mengingat apa yang pernah dikemukakan guru saya, mungkin dalam kesempatan ini Indonesia melalui Diplomasi Kebudayaan dapat mengambil peranan penting dalam usaha menciptakan perdamaian dan ketenteraman di Asia Tenggara daratan. Zaman sudah berubah di mana perdamaian tidak perlu lagi dengan senjata perangkat keras, melainkan dengan Diplomasi Kebudayaan.

    ----------------

  • 15

    Bacaan

    Ayatrohadi, 1986, Hubungan Keluarga antara Sanjayawangsa dan Sailendrawangsa, dalam Romantika Arkeologi. hlm. 4-7. Jakarta: Keluarga Mahasiswa Arkeologi FSUI.

    Boechari, 1966, Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sodjomerto, dalam MISI No. 3 (2-3); hlm 141-151

    Brandes, J.L.A., 1913, Oud-Javaansche Oorkonden, dalam VBG VIII

    Briggs, L.P., 1951, The Ancient Khmer Empire, Philadelphia: The American Philosophical Society, hlm. 67.

    Cady, John F., 1964, Southeast Asia, its historical development. Ohio, hlm. 14, 17, 18

    Callenfels, P.V. van Stein, 1934, De inscriptie van Soekaboemi, dalam MKAW-L 78, Seri B No. 4.

    de Casparis, J.G., 1950, Inscripties uit de ailendra-tijd, Prasasti Indonesia I. hlm. 24-50

    Cds, G, 1970, the Making of Southeast Asia, London: Routledge & Kegan Paul, hlm. 96-97

    Goris, R., 1930, De Inscriptie van Koeboeran Tjandi, dalam TBG 70: 157-170

    Groslier, Bernard Philippe, 2002, Indochina: Persilangan Kebudayaan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 282-283.

    Huntington, Samuel P., 2005, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

    Krom, N.J., 1912, Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden, dalam Oudheidkundige Verslag 1912, Bij. G-H, hlm. 33-52

    Ma Huan. 1433, Ying-yai Shng-lan. Translated by J.V.G. Mills, entitled The Overall Survey of The Ocean Shores. London: Cambridge at the University Press.

    Majumdar, R.C., 1933, Les rois ailendra de Suvarnadvipa, in BEFEO 33: 121-141.

    Stutterheim, W.F., 1927, Een belangrijke oorkonde uit de Kedoe, dalam TBG 67: 172-215.

    Sutjipto Wirjosuparto, 1958, Apa sebabnya daerah Kadiri dan daerah sekitarnja tampil ke muka dalam sedjarah?, dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetaguan Nasional Pertama 5 (D): 72.

    Syafei, Soewadji, 1977, Kesejajaran dalam Sejarah Asia Tenggara Kuno dan Akibat-akibatnya in Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm. 424--442.

  • 16

    Wolters, O.W., 1974, Early Indonesian Commerce: A Study of the origins of Srivijaya. Ithaca and London: Cornell University Press, Map. 4