Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri
-
Upload
handik-zusen -
Category
Documents
-
view
1.769 -
download
2
description
Transcript of Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri
UPAYA PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN DI KOTA MALANG
AKIBAT PELAKSANAAN OPERASI PREMANISME
(Studi kasus tentang terjadinya kekerasan terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang dalam pelaksanaan operasi premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang)
I. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Di dalam tubuh Polri sudah lazim dikenal adanya istilah ”Ganti Pimpinan,
Ganti Kebijakan” dan memang hingga saat ini hal tersebut masih terbukti terjadi di
tubuh Polri. Kebijakan maupun program baru tersebut biasanya digagas oleh seorang
pimpinan Polri di berbagai level, termasuk para Kapolri, yang dilaksanakan pada saat
awal menjabat dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran satuan kerja Polri di
kewilayahan. Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat misalnya di awal era
kepemimpinan Jenderal Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri, Sh, MH, yang menjadi
prioritas kebijakan atau program kerja adalah pemberantasan premanisme.
Sebagaimana yang dilansir Polri secara resmi di berbagai media pada saat awal
pelaksanaan operasi premanisme yang dimulai sejak tanggal 2 November 2008,
dinyatakan bahwa dalam sepuluh hari pertama Polri telah berhasil menangkap 5.012
preman yang melakukan berbagai kejahatan jalanan, diantaranya dengan modus
operandi pencopetan, penjambretan, perjudian, dan menebar paku di jalanan umum1.
Memang operasi premanisme tersebut bertujuan baik yaitu dalam rangka
terwujudnya tugas pokok Polri sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara optimal, yaitu : 1)
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; 2) memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; dan 3) menegakkan hukum. Namun seringkali yang terjadi di
lapangan tidak selalu selaras dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan suatu program maupun kebijakan dimaksud, seperti misalnya yang
terjadi dalam pelaksanaan operasi premanisme yang merupakan salah satu operasi
kepolisian dalam ruang lingkup penegakan hukum, semula ditujukan untuk
memberantas berbagai tipikal kejahatan jalanan, pada praktiknya justru menimbulkan
1 Diakses dari situs : http://batampos.co.id/index.php?Itemid=38&id=3915&option=com_content&task=view, pada tanggal 24 Desember 2009.
permasalahan yang kontra produktif dengan timbulnya korban dari pihak masyarakat
yang dijadikan target dalam suatu operasi premanisme.
Fenomena kontra produktif dalam pelaksanaan operasi premanisme tersebut
dapat dijumpai masyarakat di berbagai daerah dengan berbagai bentuknya,
sebagaimana contoh nyata yang terjadi Kota Malang dimana para petugas kepolisian
dari Satuan Samapta Polresta Malang menjadikan anak-anak jalanan yang mecari
nafkah dengan menjadi pengamen maupun pengemis sebagai target dari operasi
premanisme dan melanjutkan proses hukum atas anak-anak tersebut hingga ke
pengadilan dalam perkara tindak pidana ringan berupa pengemisan2 di tempat umum
maupun mengganggu ketertiban umum3. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan
tindakan petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang yang kerap
memperlakukan anak-anak jalanan tersebut secara tidak manusiawi, antara lain
melakukan kekerasan dengan cara menabrak anak-anak jalanan dengan sepeda motor
saat melakukan operasi premanisme, melakukan kekerasan fisik maupun psikis
terhadap anak-anak jalanan tersebut, antara lain dengan mengatakan bahwa ”terhadap
anak-anak jalanan tidak berlaku undang-undang perlindungan anak”, dll. Tindakan
para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang itu pun sempat
mendapat protes keras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari ”Komunitas
Aku Juga Anak Bangsa” , ”Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur” dan ”Lembaga
Perlindungan Anak Kota Malang”4. Dari sudut pandang viktimologi, maka penulis
berpendapat bahwa dalam fenomena tersebut telah terjadi suatu viktimisasi struktural5
akibat pelaksanaan kebijakan atau program operasi premanisme oleh Satuan Samapta
Polresta Malang yang justru menimbulkan korban yaitu para anak-anak jalanan yang
mayoritas mencari nafkah dengan menjadi pengamen maupun pengemis di Kota
Malang.
Selanjutnya dalam paper ini, penulis hendak melakukan analisis terkait dengan
berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya viktimisasi struktural dalam fenomena
2 Vide Pasal 504 KUHP : 1.Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. ; 2.Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
3 Vide Perda Kota Malang Nomor 11 Tahun 1984 tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota.4 Diakses dari situs : http://akujugaanakbangsa2.blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html ;
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02167.html ; http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg02250.html dan http://www.polri.go.id/index.php?op=bukutamu& pagenow=19&bln=01&thn_val=2009, pada tanggal 25 Desember 2009.
5 Dr. Arif Gosita, SH, Masalah Korban Kejahatan, Bhuana Ilmu Populer, 2004, hal. 140 dan hal. 147. Viktimisasi struktural yaitu suatu viktimisasi (mental, fisik dan sosial) yang diakibatkan oleh ada dan tidak adanya unsur-unsur struktur sosial tertentu serta pelaksanaannya. Sedangkan istilah viktimisasi sendiri dirumuskan sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Sementara itu, pengertian struktural dalam viktimisasi struktural adalah luas, meliputi kebudayaan, hal-hal yang berkaitan dengan suatu sistem tertentu (metode, peraturan, tatanan, dan asas-asas) dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh kebijakan penguasa tertentu (luas atau sempit), berdasarkan hukum tertentu ( tertulis dan tidak tertulis).
2
tersebut diatas berdasarkan sudut pandang disiplin ilmu viktimologi. Fenomena
tersebut menarik untuk dikaji oleh penulis mengingat pengalaman penulis yang
pernah berdinas di Polresta Malang sehingga penulis pun mengetahui betul
bagaimana tindak-tanduk para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta
Malang terutama dalam melakukan penegakan hukum terhadap anak-anak jalanan
yang melakukan pengemisan maupun mengamen di tempat-tempat umum di Kota
Malang.
2. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
pembahasan paper ini adalah : ”Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi
struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang yang terjadi akibat pelaksanaan
operasi premanisme oleh petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?”
3. PERSOALAN-PERSOALAN
a. Bagaimana kondisi riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak
jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi Premanisme oleh petugas
kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya viktimisasi struktural
terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi
Premanisme oleh petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?
c. Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi struktural terhadap anak-anak
jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi Premanisme oleh petugas
kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?
II. PEMBAHASAN
1. Kondisi riil
Secara umum penulis telah mengemukakan dalam uraian di atas tentang fakta
riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang oleh
petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang saat pelaksanaan operasi
premanisme. Namun secara lebih spesifik, terkait dengan fakta riil dimaksud dapat
dilihat dalam pengaduan tertulis oleh beberapa LSM atas beberapa tindakan petugas
kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang yang sewenang-wenang terhadap
anak-anak jalanan di Kota Malang ketika pelaksanaan operasi premanisme
sebagaimana dikutip penulis, antara lain dari website http://akujugaanakbangsa2.
3
blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html, yang diakses pada tanggal 25
Desember, sebagai berikut :
PERNYATAAN SIKAP
KOMUNITAS AKU JUGA ANAK BANGSA
JARINGAN KEMANUSIAAN JAWA TIMUR
LEMBAGA PERLINDUNGAN ANAK KOTA MALANG
Menindaklanjuti rencana kunjungan rombongan KPAI dalam rangka audiency
kepada bapak Kapolresta Malang. Untuk mensikapi informasi yang kami berikan
pada KPAI terkait terjadinya bebera pelanggaran terkait etik dalam mensikapi dan
menangani anak anak jalanan, terkait digelarnya operasi preman. Beberapa hal
terkait dengan apa yang terjadi sesuai dari laporan / informasi / pengaduan yang
diberikan oleh anak anak jalanan korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh
aparat polisi yang bertugas. Dengan alasan apapun, tidak dibenarkan polisi untuk
melakukan tindakan penganiyaan fisik apalagi dengan melakukan tindakan yang
mengabaikan pentingnya menjaga peran POLRI sebagai pengayom dan pelindung
masyarakat. Demi penegakkan citra POLRI dimata masyarakat kami sebagai bagian
dari elemen masyarakat peduli dalam hal ini melakukan AKSI Protes Keras kepada
bapak KAPOLRI cq Kapolresta Malang dan segenap jajarannya untuk mensikapi
positif aksi tersebut. Kami bukan mencari dan hanya semata melihat kesalahan
sebagai kesalahan, akan tetapi kesalahan adalah kekurangan yang harus dibenahi
baik dalam pemahaman dan penegakkan hukum yang berlaku di Indonesia terkait
UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan penegakkan UUD 1945 pasal
34 yang mengatur bahwa masyarakat miskin adalah tanggung jawab Negara.
Dimana masih banyak Undang Undang yang perlu dimenangkan untuk membantu
pemerintah dalam rangka mengupayakan pengentasan masyarakat miskin. Bukan
dengan harus menindas, menyakiti dan mengabaikan pentingnya penghargaan dan
penghormatan hak hak hidup mereka masyarakat miskin. beberapa informasi
perlakuan aparat kepolisian yang bertugas dijajaran Samapta Polresta Malang
adalah :
1. Terjadi pemukulan yang kerap tidak manusiawi terhadap mereka anak anak
jalanan yang seharusnya dibina dan dilindungi.
2. Terjadi perlakuan yang tidak manusiawi, saat aparat polisi menangkap beberapa
anak jalanan. Dengan jalan menabrakkan sepeda motor trail mereka seperti
layaknya koboi, kepada anak anak jalanan. Sampai sampai tidak sedikit dari
4
mereka tersungkur dan apabila dirasa mereka tampak terluka aparat justru
melarikan diri dari tanggung jawab. Yang lebih memprihatinkan ternyata yang
kerap ditabrak oleh aparat tersebut adalah anak-anak dibawah umur, yang
tidak memiliki orang tua dan tumbuh besar dijalanan. Kalau polisi memang
sebagai pengayom dan Pembina masyarakat, apalagi sebagai penegak hukum.
Seharusnya bijak dalam menangani persoalan tersebut. Perlu digaris bawahi
angka kemiskinan kedepan sepertinya bukan semakin berkurang. Melainkan
semakin bertambah. Kita semua harus memfikirkan secara bijak pola
penanganan yang berpihak pada perlindungan hak hidup masyarakat miskin
dan mereka anak anak dibawah umur. Mereka adalah Korban bukan penjahat.
Kalaupun sampai melakukan kejahatan mereka lakukan itu karena factor
kebutuhan yang harus kita lihat secara jernih, agar tidak salah kita dalam
mensikapi kekurangan yang mereka lakukan. Azas praduga tidak bersalah
haruslah ditegakkan.
3. Ketika aparat polisi yang menangkap anak anak dibawah umur, yang kerap
dikatakan sebagai pengamen jalanan memiliki KTA dari rumah bina anak anak.
Dimana dibelakangnya tertera ada UU yang melindungi mereka anak anak dan
sebagai bagian dari masyrakat miskin. Ternyata yang justru dilakukan oleh
petugas adalah mengatakan bahwa anak tersebut tidak dilindungi oleh
undang undang apapun. Kemudian sampai terjadi perlakuan setelah anak
anak tersebut disakiti secara fisik, petugas tersebut mengancam dengan akan
membunuh anak tersebut apabila masih terlihat dijalanan. Saran kami dari
pada polisi tersebut, jangan hanya menghina mereka anak miskin yang mencari
makan dengan mengamen. Tetapi tankaplah mereka yang sekarang ini senang
korupsi dan memperdaya masyarakat miskin.
4. Mengkaji polemik terkait digelarnya operasi preman, perlu ada garis tegas
yang tidak diskriminasi dan menghormati hak hidup masyarakat miskin. Yang
kerap jadi sasaran dari stigma istilah preman yang tidak jelas parameternya.
Apa jadinya kalau bangsa ini semudah itu dalam minilai seseorang hanya dari
tampilan fisik dan cara berpakaian. Ini sangat mahfum. Coba kita tengok, yang
menjadikan bangsa ini semakin terpuruk bukan mereka orang miskin yang
berpakaian lusuh dan kumuh. Melainkan mereka mereka yang katanya
berpenampilan rapi, intelek dan katanya beragama.
5
5. Dari kota Malang kami menghimbau kepada masyarakat dimanapun berada.
Mari kita selamatkan mereka anak bangsa dari ketidakadilan. Mari kita lihat
semua permasalahan terkait kesenjangan social yang terjadi dimasyarakat
dewasa ini, dengan hati yang tulus dengan tidak hanya melihat suatu implikasi
yang ditimbulkan oleh semata faktor kebutuhan pemenuhan atas keterbatasan
suatu proses berbangsa. Kita coba memenangkan UU no 23 tahun 2002 terkait
perlindungan anak-anak. Demi terciptanya generasi penerus yang
terselamatkan secara mental,moral dan intelektual.
6. POLISI bukan musuh masyarakat . Parameter keberhasilan suatu instansi
terkait penegak hukum. Bukan dari banyaknya tahanan yang harus mendekam
dipenjara, melainkan semakin sedikit tahanan yang ada. Merupakan gambaran
keberhasilan pola pembinaan dan perlindungan keamanan atas masyarakat
tanpa terkecuali.
Demikian surat ini kami buat sebagai bentuk protes keras atas sikap yang tidak
berwibawa yang dilakukan oleh oknum aparat yang bertugas dibawah kendali
POLRESTA malang. Kami berencana untuk membawa semua anak anak
jalanan yang menjadi korban kekerasan oknum aparat, akan tetapi karena misi
kami bukan untuk mencari kesalahan ataupun berkehendak menghakimi. Kami
hanya akan mempertemukan mereka anak-anak jalanan lainnya, yang secara
psikologis banyak yang merasa memiliki ketakutan berlebihan pada polisi.
Dimana kami menangkap adanya gejala traumatik atas apa yang mereka alami
terkait dari tindakan kesewenangan polisi.
Malang , 4 Desember 2008
Yang bertanda tangan
Ag Tedja G K Bawana
Ketua Komunitas Aku Juga Anak Bangsa
Ketua Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Malang
CATATAN DOKUMENTASI : Kapolresta Malang ternyata bernyali kecil.
Hanya untuk menemui anak anak kecil yang dipikir hanya pengamen dan orang
miskin saja tidak mau. Kapolresta berjanji akan menemui anak-anak pada team
ketua KPAI dan mendengar pengaduan mereka atas penganiayaan yang terjadi
atas mereka. Dimana dilakukan oleh oknum petugas dibawah tanggung
jawabnya, ternyata jangankan muncul, malah anak-anak dipersulit oleh
6
bawahannya hanya dibenturkan dengan prosedur yang tidak bisa dimaklumi.
KAPOLRESTA SEMACAM ITU HARUS DIPECAT. CONTOH KETIDAK
PROFESIONALAN POLRI YANG TERJADI DI DAERAH.
Dalam pernyataan tertulis yang dibuat oleh beberapa LSM tersebut nampak
dengan jelas tentang berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang. Pelaksanaan operasi
premanisme yang semula ditujukan untuk menindak berbagai macam kejahatan
jalanan justru menimbulkan korban yaitu anak-anak jalanan yang mencari nafkah
sebagai pengamen maupun pengemis yang mendapat perlakuan secara tidak
manusiawi dari para petugas kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat.
Anak-anak jalanan tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan
terhadap para petugas kepolisian dimaksud hingga akhirnya pembelaan terhadap
mereka muncul dari beberapa LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak.
Dalam hal ini para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang telah
menjadi penimbul korban (victimizer) bagi anak-anak jalanan tersebut yang
merupakan korban (victim) dalam pelaksanaan operasi premanisme di Kota Malang.
Oleh karena itu fenomena tersebut layak dianggap sebagai viktimisasi struktural
akibat terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (victimization caused by
power abused). Dalam pandangan lebih luas, selaku victimizer tidak hanya dapat
ditujukan terhadap para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang,
namun juga Polri secara organisasional, mengingat operasi premanisme merupakan
”kebijakan publik” yang dicetuskan secara organisaional oleh Polri yang kemudian
dilaksanakan oleh keseluruhan jajaran satuan kewilayahan Polri.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Berdasarkan kondisi riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak
jalanan di Kota Malang akibat penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang oleh
petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang tersebut diatas, maka
dimungkinkan terjadinya viktimisasi struktural dimaksud diakibatkan oleh pengaruh
beberapa faktor berupa unsur-unsur struktur sosial6 sebagai berikut :
a. Kepentingan
Unsur kepentingan dalam fenomena viktimisasi struktural tersebut diatas
adalah berupa tugas pokok Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 2
6 Ibid., hal. 140-147.
7
Tahun 2002, yaitu : 1) melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; 2)
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; dan 3) menegakkan hukum.
Dalam pelaksanaan tugas pokok dimaksud, khususnya dalam hal penegakan
hukum atas tindak pidana ringan berupa pengemisan dan mengamen (Vide
Pasal 504 KUHP dan Perda Kota Malang No. 11 Tahun 1984 tentang
Ketertiban dan Kebesihan Kota) yang dilaksanakan melalui suatu operasi
premanisme, patugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang hanya
memandang bahwa pencapaian kondisi masyarakat Kota Malang yang akan
menjadi tertib akan dapat terwujud dengan cara mempertahankan kepentingan
Polri berupa pemenuhan tugas pokoknya yang dalam hal ini diwujudkan dalam
bentuk suatu operasi premanisme dan menghilangkan atau mengurangi
pemenuhan kepentingan anak-anak jalanan yang mencari nafkah dengan jalan
mengamen dan mengemis.
Sebagian besar masyarakat yang berada di luar unsur Polri, dalam hal ini
khususnya Satuan Samapta Polresta Malang maupun diluar anak-anak jalanan
tersebut tidak akan merasakan terjadinya suatu viktimisasi struktural dalam
pelaksanaan operasi premanisme tersebut. Justru sebagian besar masyarakat
tersebut kemungkinan besar akan mendukung pelaksanaan operasi premanisme
dimaksud tanpa memikirkan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh
aparat kepolisian terhadap orang-orang yang menjadi target dalam operasi
dimaksud, termasuk terjadinya suatu viktimisasi struktural, karena kepentingan
sebagian besar masyarakat tersebut dirasakan telah tercapai dengan
dilaksanakannya operasi premanisme.
b. Lembaga-lembaga sosial
Polri yang merupakan lembaga sosial dalam tatanan pemerintahan negara
RI dapat dianggap telah menyebabkan terjadinya viktimisasi struktural terhadap
anak-anak jalanan di Kota Malang karena Polri telah menetapkan suatu
kebijakan publik atas dasar legitimasi undang-undang untuk melaksanakan
suatu operasi premanisme hingga akhirnya terjadi ekses-ekses negatif berupa
tindakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap anak-anak jalanan dimaksud
oleh para petugas kepolisian dari Satuan samapta Polresta Malang yang
menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya.
Keberadaan Polri, dalam hal ini Polresta Malang, khususnya Satuan
Samapta Polresta Malang sebagai lembaga sosial yang merupakan pihak yang
8
“berkuasa” untuk melakukan penegakan hukum, termasuk dalam bentuk
pelaksanaan operasi premanisme telah merugikan hak-hak anak-anak jalanan
yang diproses secara hukum dalam perkara tindak pidana ringan tanpa
memberikan ganti kerugian dalam bentuk apapun. Dengan diprosesnya anak-
anak jalanan tersebut secara hukum, maka mereka menjadi terhambat dalam
usahanya untuk mencari nafkah, untuk mencari sesuap nasi untuk mereka
bahkan keluarganya. Dalam hal ini Polri, termasuk pemerintah hanya
memikirkan tercapainya ketertiban tanpa memikirkan dampak kerugian yang
diterima anak-anak jalanan tersebut.
c. Nilai-nilai sosial
Nilai sosial yang ditafsirkan, dikembangkan serta diamalkan masyarakat
terkait dengan berbagai perilaku yang dikategorikan sebagai tindakan
premanisme yang dianggap sebagai perbuatan yang meresahkan dan
mengganggu ketentraman masyarakat pada akhirnya disikapi oleh Polri dengan
menyelenggarakan suatu operasi premanisme yang tujuannya adalah untuk
mengeliminasi hal-hal yang dapat menyebabkan masyarakat menjadi resah dan
tidak terganggu ketentramannya. Namun sayang, dalam pelaksanaan operasi
premanisme sebagaimana yang dilaksanakan oleh petugas kepolisian dari
Satuan Samapta Polresta Malang, anak-anak jalanan yang melakukan
pengemisan dan mengamen untuk mencari nafkah turut dijadikan target utama
dalam operasi dimaksud hingga melakukan proses hukum terhadap anak-anak
tersebut sampai ke pengadilan yang berakibat terhadap anak-anak jalanan
tersebut mendapat sanksi dari hakim yang mengadilinya, baik berupa denda
atau kurungan-jika tidak mampu membayar denda.
Melalui pelaksanaan proses penghukuman tersebut memang diharapkan
timbul deterrence effect bagi anak-anak jalanan tersebut agar tidak mengulangi
perbuatannya lagi di kemudian hari, namun di sisi lain penghukuman tersebut
belum tentu manusiawi walaupun oleh hakim telah dianggap adil dan
seimbang, karena seringkali penghukuman tersebut tidak sesuai dengan
kemampuan anak-anak jalanan tersebut dalam menerima hukuman dimaksud.
d. Norma-norma
Norma dalam hal ini berupa adalah peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan berbagai kejahatan jalanan, seperti penjambretan, pemerasan,
pencopetan, pencurian, dll, termasuk pula pelanggaran berupa tindak pidana
9
ringan dengan melakukan pengemisan maupun mengamen telah dikategorikan
oleh Polri, dalam hal ini Polresta Malang, khususnya Satuan Samapta, sebagai
target dalam pelaksanaan operasi premanisme.
Oleh karena itu, hukum sebagai norma, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum penindakan premanisme telah
menyebabkan timbulnya penderitaan bagi anak-anak jalanan yang mencari
nafkah dengan jalan mengamen maupun mengemis dikarenakan memang secara
formil perbuatan anak-anak jalanan tersebut memenuhi delik formil
sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 504 KUHP serta Perda Kota
Malang No. 11 Tahun 1984 tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota, namun
ternyata menimbulkan derita tersendiri akibat tindakan kekerasan yang
dilakukan petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang dalam
menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut dimana dalam peraturan
perundang-undangan itu sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian
kerugian akibat derita dimaksud. Jadi peraturan perundang-undangan tersebut
fokusnya hanya ditujukan dalam rangka melaksanakan aspek penghukuman
tanpa memikirkan ekses-ekses negatifnya berupa pemberian ganti rugi akibat
timbulnya penderitaan terhadap orang-orang yang dijadikan sebagai subyek
hukum atau pelaku tindak pidana atas peraturan perundang-undangan dimaksud.
e. Status
Polri, dalam hal ini para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta
Malang telah menjadi victimizer dikarenakan statusnya yang mewajibkannya
untuk melaksanakan operasi premanisme hingga terjadi viktimisasi terhadap
anak-anak jalanan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan para petugas
kepolisian tersebut. Para petugas kepolisian tersebut seolah lupa bahwa dengan
statusnya selaku anggota Polri yang seharusnya menjadi pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat justru akibat tindakannya mengakibatkan terjadinya
viktimisasi dimaksud.
Hal sebaliknya terjadi dimana beberapa LSM yang bergerak di bidang
perlindungan anak justru bertindak memperjuangkan hak-hak anak-anak jalanan
tersebut dikarenakan terjadinya viktimisasi oleh para petugas kepolisian. Dalam
hal ini, beberapa LSM dimaksud, dengan statusnya yang merupakan lembaga
sosial yang bergerak di bidang perlindungan anak justru berpartisipasi dalam
10
melakukan pencegahan serta penyelesaian atas permasalahan viktimisasi
terhadap anak-anak jalanan tersebut.
Seharusnya para petugas kepolisian yang menyandang status sebagai
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat saling bekerja sama dengan
berbagai pihak termasuk LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak
untuk mencegah serta menyelesaikan berbagai permasalahan viktimisasi yang
rentan menimpa anak-anak, termasuk anak-anak jalanan.
f. Peran
Pelaksanaan peran Polri sebagai aparat negara yang bertanggung jawab
atas keamanan dalam negeri7 merupakan peran positif dalam hal mencegah
terjadinya suatu viktimisasi dalam kehidupan sosial, termasuk viktimisasi
struktural, namun peran yang dinilai positif tersebut dapat menjadi dinilai
negatif oleh publik manakala terjadi penyimpangan oleh para petugas kepolisian
di lapangan sebagaimana yang dilakukan para petugas kepolisian dari Satuan
Samapta Polresta Malang yang memperlakukan anak-anak jalanan yang
ditangkap dalam operasi premanisme dengan tindakan kekerasan.
Dan ternyata tidak banyak masyarakat yang menaruh kepedulian akan
terjadinya viktimisasi dimaksud kecuali beberapa LSM di bidang perlindungn
anak yang tergerak menjalankan perannya dalam mencegah berlanjutnya
viktimisasi dimaksud serta menyelesaikannya secara normatif dengan pihak
Polresta Malang.
3. Upaya penanggulangan
Penanggulangan terhadap suatu permasalahan viktimisasi struktural tidaklah
mudah oleh karena eksistensi unsur-unsur struktur sosial yang negatif dalam
mempengaruhi orang untuk melakukan suatu viktimisasi sulit untuk diubah8,
sebagaimana halnya juga dalam rangka penanggulangan terhadap fenomena
viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang akibat tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta
Malang saat pelaksanaan operasi premanisme.
Permasalahan viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan tersebut tidak
dapat begitu saja diselesaikan dengan adanya sikap pro aktif dari beberapa LSM yang
bergerak di bidang perlindungan anak yang senantiasa membela dan
memperjuangkan perlindungan atas hak-hak anak, tetapi lebih dari sekedar itu, dalam 7 Vide TAP MPR No. VII/MPR/2000, tentang Peran TNI dan Polri.8 Dr. Arif Gosita, SH, op. cit., hal. 147.
11
penanggulangan permasalahan dimaksud diperlukan partisipasi dari berbagai
komponen sosial yang ada, mulai dari pihak masyarakat yang harus memiliki
sensitivitas sosial yang tinggi serta jiwa kesukarelaan (voluntarisme) untuk turut
peduli mengatasi permasalahan dimaksud hingga pihak pemerintah yang harus lebih
optimal dalam menyelenggarakan perlindungan atas hak-hak anak-anak jalanan
tersebut dan dilandasi dengan adanya kesediaan serta semangat bekerja sama,
koordinasi maupun keterpaduan pandangan antara berbagai elemen masyarakat dan
pemerintah yang terkait dengan penanggulangan permasalahan struktural dimaksud
sehingga dapat tercipta suatu situasi dan kondisi yang dapat memperlancar upaya
penanggulangan permasalahan viktimisasi struktural tersebut. Keseluruhan upaya
dimaksud harus dilakukan dalam satu bingkai yang terintegrasi dengan baik antara
satu dengan yang lainnya.baik dalam tataran konseptual, perencanaan, strategi dan
taktik pelaksanannya9.
Langkah-langkah riil, dalam pandangan penulis, yang dapat dilakukan dalam
menanggulangi permasalahan viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan
dimaksud, antara lain sebagai berikut :
a. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh Polri c.q. Polresta Malang
1) Redefinisi arti ”tindakan premanisme”
Menurut pendapat penulis, salah satu faktor penyebab terjadinya
viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan tersebut adalah akibat
tidak jelasnya definisi dari ”tindakan premanisme” oleh Polri. Dalam
berbagai literatur legal formal tidak didapati pemahaman tentang
kejahatan yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme”. Dengan
tidak adanya kejelasan definisi tersebut dari Mabes Polri c.q. Bareskrim,
menimbulkan ketidakpastian terkait dengan sasaran operasi premanisme
itu sendiri, sebagaimana halnya yang dialami oleh anggota kepolisian di
wilayah10 maupun terjadi polemik juga dalam masyarakat tentang
kejelasan definisi ”premanisme” itu sendiri11. Output dari ketidakjelasan
9 Dr. Arif Gosita, SH, loc. cit.10 Diakses dari situs : http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/16183395/polres.jombang.tanyakan.definisi.preman., pada tanggal
25 Desember 2009. Berita Kompas digital berjudul ”Polres Jombang Tanyakan Definisi Preman”, Kasat Samapta Polres Jombang, AKP Sugeng Widodo di Jombang, Senin mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi dengan jajaran di atasnya terkait razia preman. Sebab, mereka belum mendapat kepastian dalam mendefinisikan arti preman secara keseluruhan.
11 Diakses dari situs : http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7269&page=19, pada tanggal 25 Desember 2009. Wawancara Radio Mas FM Malang dengan Kepala Lembaga Perlindungan Anak Kota Malang, Teja, menghimbau kepada pihak Polri untuk lebih selektif dalam melakukan penangkapan preman, karena selama ini definisi preman sendiri masih belum jelas. Sampai saat ini pihak kepolisian sering menangkap anak jalanan yang hanya sekedar mengamen untuk membantu ekonomi keluarganya. Menurut laporan anak jalanan yang tergabung dalam lembaganya, Teja memberitahukan bahwa anak-anak itu juga sering mendapatkan perlakuan tidak baik seperti dipukul dan dimintai uang.
12
definisi tersebut salah satunya mengakibatkan para petugas kepolisian
melakukan definisi tentang kategori ”tindakan premanisme”
sebagaimana yang terjadi pada Satuan Samapta Polresta Malang yang
mendefinisikan bahwa perbuatan anak-anak jalanan yang mencari
nafkah melalui pengemisan dan mengamen merupakan ”tindakan
premanisme”.
Oleh karena itulah, Polri perlu melakukan redefinisi tentang
arti kata ”premanisme” tersebut, termasuk perbuatan-perbuatan
melawan hukum yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme”.
Polri tidak seyogyanya menutup diri terhadap berbagai sikap kritis
masyarakat yang mempertanyakan definisi dari perbuatan-perbuatan
yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme” dengan mengajukan
berbagai alasan, antara lain yaitu tidak adanya manfaat yang didapat
terkait dengan perdebatan masalah definisi ”premanisme” antara Polri
dengan masyarakat karena hal tersebut akan membuang-buang waktu
Polri dalam pelaksanaan operasi premanisme12. Sebenarnya Polri justru
harus merespon dengan baik sikap masyarakat yang demikian kritis
karena hal tersebut sebagai wujud social control bagi Polri mengingat
baik buruknya polisi pada suatu negara adalah cerminan baik buruknya
masyarakat dan demikian juga sebaliknya, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Sir Robert Peel dalam Principle of Policing (Peelian Principles)
yaitu ”The police are the public and the public are the police; the
police being only members of the public who are paid to give full
time attention to duties which are incumbent on every citizen in the
interests of community welfare and existence”13.
Sebagai bahan literatur, penulis menyajikan definisi ”premanisme”
sebagaimana yang dikutip penulis dari situs
12 Diakses dari situs : http://batakpos-online.com/content/view/991/1/, pada tanggal 25 Desember 2009. Berita Batak Pos digital, ”Polri Tidak Akan Ributkan Definisi Preman”, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Irjen Susno Duadji menyatakan, tidak perlu meributkan definisi preman seperti yang diributkan sejumlah pakar, sebelum melaksanakan operasi pembersihan premanisme dan kejahatan jalanan lainnya. Pasalnya, selain membutuhkan waktu berdebat, sehingga mengganggu kerja operasi, istilah preman tidak terdapat dalam perundangan. Para preman yang ditangkap akan dijerat dengan pasal perundangan sesuai tindak pidana yang mereka lakukan. Seperti, pemerasan, pencurian, dan sebagainya. ''Kita tidak perlu mendifinisikan apa-apa, yang kita tindak adalah pelanggar pasal-pasal,'' ujar Susno.
13 Diakses dari situs : http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles dan http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpeel260231.html, pada tanggal 25 Desember 2009.
13
http://www.ajrc-aceh.org/file/Premanisme%5B1%5D.ppt., sebagai
berikut14 :
Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dengan Tema Optimalisasi
Fungsi Aparat Penegak Hukum Terhadap Premanisme di NAD. 27 Des
2008, oleh MOHD. DIN, SH.,MH.
Asal kata preman dari bahasa Inggris “freeman” yang artinya
manusia bebas.
Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3
arti kata preman, yaitu:
a) swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil.
b) sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan
kejahatan)
c) kuli yang bekerja menggarap sawah.
Namun khusus kata premanisme, dipakai arti kata yang kedua, yaitu
sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan,
bisa juga disebut sifat semau gue.
Arti lain Premanisme, berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang
bebas, merdeka dan isme = aliran
Premanisme adalah sebutan yang sering digunakan untuk merujuk
kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya
terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dalam pandangan penulis, Polri yang merupakan lembaga negara
yang memiliki peran utama dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat seharusnya lebih mampu mendefinisikan berbagai perbuatan
yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme” sebelum menggelar
suatu operasi yang bertajuk ”operasi pemberantasan premanisme”.
2) Menentukan target operasi premanisme secara riil
Apabila definis tentang ”tindakan premanisme” telah ditentukan
oleh Polri, maka Polri juga harus menentukan target operasi (TO)
premanisme tersebut sehingga tidak terjadi penentuan TO secara parsial
oleh satuan-satuan kewilayahan Polri yang pada akhirnya menjadi faktor
viktimogin15 sebagaimana yang dilakukan oleh Satuan Samapta Polresta
14 Ulasan tentang definisi “Premanisme” antara lain juga terdapat dalam situs : http://lembarlawas.wordpress.com/2008/11/26/menggugat-definisi-preman/ dan http://benwal.multiply.com/journal/item/21.
15 Diakses dari situs : http://www.bphn.go.id/puslitbang/index.php?action=scientific&cat_pref=res_compen&year=2006#200803271354583, pada tanggal 25 Desember 2009. Viktimogin berarti secara potensial
14
Malang yang menjadikan anak-anak jalanan yang mencari nafkah
dengan mengemis maupun mengamen sebagai TO dalam operasi
premanisme.
Dalam penentuan TO tersebut, Polri harus melakukannya secara
riil terkait dengan tindak pidana apa saja yang dijadikan TO dalam
operasi premanisme. Sebagaimana yang disaksikan penulis saat berdinas
di Polresta Malang bahwa dalam penentuan TO dimaksud tidak ada
standarisasi yang jelas karena memang tidak adanya petunjuk dari
Mabes Polri tentang hal tersebut sehingga berbagai hasil ungkap kasus
kejahatan jalanan atau pelanggaran oleh satuan-satuan fungsi
operasional Polresta Malang dilaporkan sebagai hasil atau keberhasilan
dalampelaksanaan operasi premanisme, seperti pencurian dalam
kendaraan bermotor, pencurian yang dilakukan di rumah-rumah kosong,
perbuatan mabuk-mabukan dengan minuman keras, penadahan,
perjudian dll. Sehingga yang terjadi adalah dark number keberhasilan
operasi premanisme yang memang tidak qualified dalam hal
perencanannya atau dengan kata lain yaitu jumlah kejahatan (crime
total) yang berhasil diungkap Polri dalam operasi premanisme adalah
tidak mutlak benar adanya tetapi semu, terkesan terjadi fenomena ”asal
masyarakat senang” dengan hasil operasi premanisme Polri karena
”tingginya angka” kasus premanisme yang berhasil diungkap Polri.
Oleh karena itu, penentuan TO dimaksud haruslah riil dan jelas
berupa tindak pidana-tindak pidana yang hendak diungkap Polri melalui
operasi Premanisme tersebut, misalnya tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan (vide pasal 368 KUHP), pemerasan dengan
ancaman pencemaran nama baik melalui lisan atau tulisan (vide pasal
369 KUHP), dll, sehingga tidak terjadi kerancuan antara TO dalam
operasi premanisme dengan operasi kepolisian, seperti halnya operasi
”SIKAT” yang sasarannya adalah kejahatan dengan kekerasan seperti
perampokan, pembunuhan, dll. Jadi pada intinya, yang terpenting dalam
penentuan TO pada suatu operasi kepolisian adalah terkait dengan
tindak pidana apa saja (dalam ruang lingkup legal formal) yang
termasuk dalam kategori yang akan diungkap melalui operasi kepolisian
dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan.
15
dimaksud, bukan sekedar mementingkan ”istilah komersil”16 dari suatu
operasi itu sendiri yang akhirnya terjadi salah kaprah penentuan TO oleh
satuan-satuan kewilayahan Polri.
3) Melakukan internalisasi nilai-nilai filosofi universal tugas-tugas
kepolisian bagi para petugas kepolisian
Filosofi universal tugas kepolisian adalah ”to fight crime, to help
delinquent, and to love humanity”, berbeda halnya dengan filosofi
universal tugas tentara, yaitu ”to kill, to defeat, and to destroy the
enemies”. Nilai-nilai filosofi universal tugas kepolisian tersebut harus
terinternalisasi dalam sanubari segenap anggota Polri sehingga dalam
melaksanakan tugas-tugasnya tidak akan terjadi penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, yang
seharusnya bertindak sebagai pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, justru menjadi ”musuh / lawan masyarakat”.
Sehubungan dengan terjadinya tindakan kekerasan yang dialami
oleh anak-anak jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi
premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang, dalam pandangan
penulis, hal tersebut dimungkinkan terjadi karena para petugas
kepolisian tersebut tidak mengilhami makna dan pentingnya filosofi
universal tugas kepolisian tersebut. Oleh karena itu, sebagai salah satu
langkah perbaikan terhadap hal tersebut, perlu kiranya dilakukan
internalisasi filosofi tugas kepolisian bagi para petugas kepolisian dari
Satuan Samapta Polresta Malang tersebut pada khususnya dan seluruh
anggota Polri pada umumnya.
Disamping itu, telah jelas dinyatakan dalam UUD Negara RI 1945,
pasal 34 ayat (1), bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara. Sehubungan dengan ketentuan undang-undang tersebut,
jika dihubungkan dengan filosofi tugas universal kepolisian, maka
mutlak wajib hukumnya, bagi polisi sebagai pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat untuk turut menyelenggarakan perlindungan yang
16 Yang dimaksud penulis dengan “istilah komersil” yaitu terkait dengan berbagai sandi operasi kepolisian, misalnya operasi Sikat (Mabes Polri), operasi Jaran (Polwil Malang), operasi Pekat (Mabes Polri), dll, yang dibuat seolah dengan tujuan ”menarik” bahkan ”meyakinkan” masyarakat tentang keseriusan atau bahkan kedahsyatan suatu operasi kepolisian, padahal nyatanya TO dalam beberapa operasi ada kesamaan, lalu apa bedanya penggunaan sandi-sandi tersebut, padahal dilaksanakannya suatu operasi kepolisian dikarenakan adanya kebutuhan khusus terhadap pengungkapan kasus-kasus tertentu secara lebih terfokus dalam wadah operasi dibandingkan kegiatan pengungkapan kasus diluar wadah operasi kepolisian sehingga diharapkan antara suatu operasi kepolisian satu dengan lainnya terjadi spesifikasi TO yang saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak sekedar bertujuan ”menjual nama”.
16
optimal terhadap anak-anak, termasuk di dalamnya anak-anak jalanan
tersebut. Polisi tudak seyogyanya begitu saja, dengan berpandangan
legal sentris, membawa anak-anak jalanan tersebut masuk ke dalam
suatu sistem peradilan pidana, karena hal tersebut justru akan
menjadikan anak-anak rentan menjadi pelaku kejahatan bahkan sebagai
criminal career.
4) Menentukan SOP dalam pelaksanaan operasi premanisme
Adanya SOP (standard operational procedure) dalam operasi
kepolisian adalah mutlak diperlukan sehingga para petugas kepolisian di
lapangan dapat bertindak sesuai SOP dimaksud dan apabila terjadi
kesalahan prosedur maka ada standar yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam menilai sejauh mana kesalahan tersebut.
Demikian halnya dalam operasi premanisme, SOP mutlak
diperlukan, terkait dengan berbagai mekanisme penindakan terhadap TO
dalam operasi premanisme sehingga tidak terjadi penangkapan-
penangkapan terhadap masyarakat yang dikategorikan sebagai preman
oleh petugas kepolisian di lapangan hanya berdasarkan determinan-
determinan tertentu, misalnya determinan fisik dalam wujud banyaknya
tato di badan seseorang atau determinan sosial, misalnya kemiskinan
yang wujudnya antara lain orang yang melakukan pengemisan atau
mengamen untuk mencari nafkah, dll.
5) Memberikan sanksi tegas terhadap petugas kepolisian yang melakukan
penyimpangan / pelanggaran
Mekanisme reward and punishment yang jelas dan tegas bagi
anggota Polri penting untuk dilaksanakan sehingga bagi anggota yang
berprestasi mendapatkan imbalan yang sesuai dengan adanya reward
yang layak dan terhadap anggota Polri yang melakukan penyimpangan
atau pelanggaran juga mendapat punishment yang setimpal. Sebagai
contoh, yaitu yang dilakukan oleh para petugas kepolisian dari Satuan
Samapta Polresta Malang terhadap anak-anak jalanan berupa tindakan
kekerasan baik fisik maupun psikis, maka para petugas kepolisan
tersebut layak menadapatkan punishment secara organisasional oleh
Polri c.q. Polresta Malang.
6) Menerapkan prinsip-prinsip good governance
17
Masyarakat saat ini semakin kritis terhadap pelaksanaan tugas-
tugas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
negara, tak terkecuali pelayanan publik oleh oleh Polri. Oleh karena
itulah, Polri harus menyikapinya menerapkan prinsip-prinsip good
governance17 secara profesional dan proporsional sesuai dengan ruang
lingkup tugas pokok dan wewenang Polri. Misalnya dalam hal
penerapan prinsip tranparansi, jika dilaksanakan dengan benar, maka
tidak akan terjadi ”kebohongan publik” oleh Polri terkait dengan hasil
atau keberhasilan dalam suatu operasi kepolisian, termasuk operasi
premanisme, termasuk pula di dalamnya jika terjadi suatu kesalahan
prosedur atau pelanggaran oleh anggota Polri seperti yang dilakukan
oleh para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang
terhadap anak-anak jalanan sebagaimana diuraikan diatas, Polri tidak
akan menutupinya dari publik, bahkan mengakuinya dan melakukan
tindak lanjut untuk menyelidiki kebenarannya sampai dengan
memprosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7) Menyelenggarakan mekanisme pemberian kompensasi, rehabilitasi dan
restitusi
Kompensasi, rehabilitasi dan restitusi adalah bentuk-bentuk
perlindungan oleh negara terhadap kejahatan, penyimpangan atau
kekeliruan tindakan aparat negara18. Oleh karena yang terjadi pada
anak-anak jalanan tersebut diatas adalah akibat kekeliruan aparat negara
dalam hal ini petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang,
maka sudah seharusnya negara c.q. Polri c.q. Polresta Malang
memberikan suatu bentuk kompensasi, misalnya dengan menanggung
biaya pengobatan terhadap anak-anak jalanan yang mengalami luka fisik
akibat razia premanisme tersebut maupun pemulihan trauma psikis
akibat operasi premanisme berupa ketakutan terhadap aparat kepolisian.
Disamping itu, rehabilitasi juga harus diberikan terkait dengan
pemulihan hak-hak dan status anak-anak jalanan tersebut yang telah
dianggap sebagai preman oleh polisi hanya karena mencari nafkah
17 Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 25 Desember 2009. Prinsip-prinsip dalam good governance yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.
18 Prof. Drs. Adrianus Meliala, MSc., Msi., Ph.D., “Korban Kejahatan Non Kekerasan”, diakses dari situs : http://www.adrianusmeliala.com/ index.php?kat=4&hal=lecture, pada tanggal 26 Desember 2009.
18
dengan mengamen maupun mengemis, maka seyogyanya polisi
mencabut statement bahwa anak-anak jalanan yang mengemis dan
mengamen termasuk berbuat tindakan premanisme. Restitusi berupa
pengembalian barang-barang milik anak-anak jalanan yang disita polisi
karena dianggap sebagai barang bukti seperti uang hasil mengemis dan
mengamen maupun gitar sebagai alat mengamen juga harus
dikembalikan kepada anak-anak jalanan tersebut.
b. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh Pemerintah RI c.q. Pemkot
Malang
1) Mengupayakan peningkatan taraf kesejahteraan terhadap masyarakat
kelompok miskin
Sebagai penyelenggara pemerintahan pada tataran lokal, Pemkot
Malang dengan statusnya tersebut dapat berperan mencegah dan
menyelesaikan permasalahan viktimisasi struktural dengan
mengupayakan peningkatan taraf kesejahteraan terhadap masyarakat
Kota Malang yang masih termasuk dalam kelompok miskin, diantaranya
dengan mengupayakan perluasan lapangan pekerjaan, meningkatkan
standar upah minimum, dll. Sehingga dengan hal tersebut, dalam
pandangan penulis, akan berpengaruh dalam mengurangi terjadinya
pencarian nafkah oleh masyarakat kelompok miskin dengan mengamen
maupun mengemis.
2) Menyelenggarakan sistem pendidikan gratis bagi anak-anak dari
keluarga tidak mampu
Ketidakmampuan secara ekonomi yang dialami kelompok
masyarakat miskin seringkali berdampak pada anak-anaknya yang tidak
dapat melanjutkan sekolahnya lagi bahkan lebih jauh akhirnya anak-
anak tersebut terpaksa membantu memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga dengan mencari nafkah, antara lain dengan jalan mengamen
maupun mengemis. Disinilah dibutuhkan campur tangan Pemkot Kota
Malang untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang ”benar-
benar gratis” bagi anak-anak tersebut, tidak hanya gratis dalam arti
bebas SPP, tetapi terkait dengan pengadaan buku pelajaran, seragam
sekolah, dll.Jika hal tersebut terwujud, maka jumlah anak-anak yang
mencari nafkah di jalanan akan berkurang sehingga mengurangi
19
kerentanan (vulnerability) yang berpotensi menjadikan anak tersebut
sebagai korban (victim) dari suatu viktimisasi struktural sebagaimana
yang terjadi dalam pelaksanaan premanisme tersebut.
3) Mengupayakan MOU perlindungan anak dengan pihak kepolisian
Pemkot Malang dan masyarakat Kota Malang termasuk sebagai
stakeholder dari pihak kepolisian, dalam hal ini Polresta Malang. Oleh
karena itu dalam rangka menanggulangi bersama permasalahan
viktimisasi struktural yang terjadi terhadap anak-anak jalanan tersebut,
dapatlah kiranya dibuat suatu Nota Kesepahaman atau MOU (Memory
of Understanding) antara Pemkot Malang, Polresta Malang dan elemen
Masyarakat Kota Malang-dalam hal ini bisa diwakili LSM yang
bergerak di bidang perlindungan anak-yang berisi tentang kebijakan-
kebijakan lokal yang hendak diterapkan di Kota Malang terkait dengan
perwujudan dan perlindungan atas hak-hak anak.
4) Menyelenggarakan pusat pelayanan korban (Korban Kejahatan / Korban
Abuse of Power)
Selama ini, dalam sistem peradilan pidana, pihak pelaku kejahatan
mendapatkan perhatian yang begitu besar terkait dengan hak-haknya
yang harus dipenuhi oleh pemerintah, namun di satu sisi, korban
menjadi pihak yang terlupakan (the neglegted player) terkait dengan
hak-haknya yang harus dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu sebagai
wujud nyata untuk memenuhi hak-hak tersebut dan sebagai salah satu
solusi dari viktimisasi terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang,
Pemkot Malang dapat membangun sebuah pusat pelayanan bagi anak-
anak jalanan tersebut untuk mengadukan penyalahgunaan wewenang
atau kekuasaan oleh aparat kepolisian, termasuk bagi korban-korban lain
dalam permasalahan yang sama maupun korban kejahatan lainnya.
c. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh elemen masyarakat
1) Meningkatkan ikatan-ikatan sosial (social bonds) dalam masyarakat
Ikatan-ikatan sosial yang kuat di dalam masyarakat dapat
menumbuhkan saling kepedulian (awareness) antara satu elemen
masyarakat dengan elemen masyarakat lainnya sebagaimana yang
ditunjukkan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang perlindungan
20
anak di Kota Malang yang merespon dengan cepat atas suatu kejadian
viktimisasi terhadap anak-anak jalanan tersebut diatas.
Kepedulian sosial semacam itu seharusnya tidak hanya diperankan
oleh LSM-LSM tersebut saja, tetapi juga elemen-elemen lain di dalam
masyarakat, sehingga masyarakat dengan mekanisme alaminya, dapat
memperjuangkan keadilan manakala tertindas oleh suatu kekuasaan
yang disalahgunakan.
2) Meningkatkan peran masyarakat sebagai elemen kontrol sosial (social
control) terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian
Kepedulian sosial dari LSM-LSM di bidang perlindungan anak di
Kota Malang yang melancarkan protes keras terhadap tindakan aparat
kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang merupakan suatu
bentuk kontrol sosial (social control) bagi pihak kepolisian Polresta
Malang yang dimaksudkan agar penyalahgunaan kekuasaan atau
wewenang yang dilakukan aparat kepolisian terhadap anak-anak jalanan
tersebut dapat ditindak dengan tegas sesuai dengan mekanisme yang
berlaku serta agar tidak terulang lagi menimpa kelompok masyarakat
lainnya.
Kontrol sosial semacam ini harus ditingkatkan eksistensinya oleh
masyarakat sendiri, karena dengan kontrol sosial tersebutlah, berarti
bahwa telah terjadi pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan
tugas-tugas kepolisian setempat secara real time, disamping memang
telah ada lembaga-lembaga negara yang berfungsi untuk itu, seperti
Kompolnas dan Ombudsman RI.
III. KESIMPULAN
Permasalahan viktimisasi struktural sebagaimana yang terjadi terhadap anak-anak
jalanan di Kota Malang tersebut di atas bukanlah permasalahan yang mudah diatasi.
Diperlukan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat maupun pemerintah,
khususnya masyarakat dan pemerintah setempat untuk bekerja sama dan saling koordinasi
untuk menyelesaikannya serta mencegah berulangnya hal tersebut dengan pendekatan yang
bersifat integralistik, tidak parsial.
Eksistensi unsur-unsur struktur sosial yang negatif maupun positif dalam masyarakat
tidak dapat dielakkan perannya dalam suatu viktimisasi struktural. Oleh karena itulah, yang
21
harus diwujudkan secara bersama-sama antara elemen masyarakat Kota Malang, Pemkot
Malang dan Polresta Malang adalah meminimalisisr eksistensi unsur-unsur struktur sosial
yang negatif dalam masyarakat serta mengoptimalkan unsur-unsur struktur sosial yang
positif, diantaranya dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana diuraikan penulis
di atas.
Dalam rangka mewujudkan suatu mekanisme penanggulangan dan penyelesaian
permasalahan viktimisasi struktural secara optimal, perlu diupayakan penyebaran
pandangan maupun pemikiran viktimologi yang non korban sentris di berbagai bidang.
Disamping itu, perlu dikembangkan suatu perspektif kepentingan yang diatur / dilayani,
bukan perspektif kepentingan yang mengatur / melayani19. Upaya-upaya dimaksud secara
keseluruhan harus dilandaskan pada Pancasila dan UUD Negara RI 1945 untuk mencagah
berlanjutnya viktimisasi dimaksud20.
Jakarta, 26 Desember 2009
Penulis
HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877
19 Yang dimaksud dengan perspektif dimaksud yaitu dalam hal menanggulangi permasalahan viktimisasi, pihak-pihak berkompeten yang terkait dalam penanggulangannya, harus lebih mengedepankan perspektif dari sisi para korban (victim) dalam suatu viktimisasi, bukan sekedar dari sisi sebagai penimbul korban (victimizer).
20 Dr. Arif Gosita, SH., op. cit., hal. 152-154.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
3. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
4. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
6. Pemerintah Daerah Tingkat II Kodya Malang. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1984
tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota.
7. Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) , PT Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2004.
8. Meliala, Adrianus, Korban Kejahatan Non Kekerasan, diakses dari situs :
http://www.adrianusmeliala. com/ index.php?kat=4&hal=lecture, pada tanggal 5
Januari 2010.
9. http://batampos.co.id/index.php?Itemid=38&id=3915&option=com_content&task=view,
diakses pada tanggal 24 Desember 2009.
10. http://akujugaanakbangsa2.blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html, diakses
pada tanggal 25 Desember 2009.
11. http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02167.html, diakses
pada tanggal 25 Desember 2009.
12. http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg02250.html, diakses
pada tanggal 25 Desember 2009.
13. http://www.polri.go.id/index.php?op=bukutamu&pagenow=19&bln=01&thn_val=2009,
diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
23
14. http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/16183395/polres.jombang.tanyakan.definisi.
preman., diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
15. http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7269&page=19, diakses pada
tanggal 25 Desember 2009.
16. http://batakpos-online.com/content/view/991/1/, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
17. http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
18. http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpeel260231.html, diakses pada tanggal
25 Desember 2009.
19. http://lembarlawas.wordpress.com/2008/11/26/menggugat-definisi-preman/, diakses pada
tanggal 25 Desember 2009.
20. http://benwal.multiply.com/journal/item/21., diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
21. http://www.bphn.go.id/puslitbang/index.php?action=scientific&cat_pref=res_compen&
year=2006#200803271354583, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
22. http://www.governanceindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=
74, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.
24