Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

38
UPAYA PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN DI KOTA MALANG AKIBAT PELAKSANAAN OPERASI PREMANISME (Studi kasus tentang terjadinya kekerasan terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang dalam pelaksanaan operasi premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang) I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Di dalam tubuh Polri sudah lazim dikenal adanya istilah ”Ganti Pimpinan, Ganti Kebijakan” dan memang hingga saat ini hal tersebut masih terbukti terjadi di tubuh Polri. Kebijakan maupun program baru tersebut biasanya digagas oleh seorang pimpinan Polri di berbagai level, termasuk para Kapolri, yang dilaksanakan pada saat awal menjabat dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran satuan kerja Polri di kewilayahan. Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat misalnya di awal era kepemimpinan Jenderal Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri, Sh, MH, yang menjadi prioritas kebijakan atau program kerja adalah pemberantasan premanisme. Sebagaimana yang dilansir Polri secara resmi di berbagai media pada saat awal pelaksanaan operasi premanisme yang dimulai sejak tanggal 2 November 2008, dinyatakan bahwa dalam sepuluh hari pertama Polri telah berhasil menangkap 5.012 preman yang melakukan berbagai kejahatan jalanan, diantaranya dengan modus

description

Paper tentang viktimisasi struktural yang terjadi akibat pelaksanaan operasi premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang terhadap para anak jalanan di kota malang yang mencari nafkah sebagai pengamen dan/atau pengemis berikut konsepsi resolusinya

Transcript of Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

Page 1: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

UPAYA PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN DI KOTA MALANG

AKIBAT PELAKSANAAN OPERASI PREMANISME

(Studi kasus tentang terjadinya kekerasan terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang dalam pelaksanaan operasi premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang)

I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Di dalam tubuh Polri sudah lazim dikenal adanya istilah ”Ganti Pimpinan,

Ganti Kebijakan” dan memang hingga saat ini hal tersebut masih terbukti terjadi di

tubuh Polri. Kebijakan maupun program baru tersebut biasanya digagas oleh seorang

pimpinan Polri di berbagai level, termasuk para Kapolri, yang dilaksanakan pada saat

awal menjabat dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran satuan kerja Polri di

kewilayahan. Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat misalnya di awal era

kepemimpinan Jenderal Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri, Sh, MH, yang menjadi

prioritas kebijakan atau program kerja adalah pemberantasan premanisme.

Sebagaimana yang dilansir Polri secara resmi di berbagai media pada saat awal

pelaksanaan operasi premanisme yang dimulai sejak tanggal 2 November 2008,

dinyatakan bahwa dalam sepuluh hari pertama Polri telah berhasil menangkap 5.012

preman yang melakukan berbagai kejahatan jalanan, diantaranya dengan modus

operandi pencopetan, penjambretan, perjudian, dan menebar paku di jalanan umum1.

Memang operasi premanisme tersebut bertujuan baik yaitu dalam rangka

terwujudnya tugas pokok Polri sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara optimal, yaitu : 1)

melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; 2) memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat; dan 3) menegakkan hukum. Namun seringkali yang terjadi di

lapangan tidak selalu selaras dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam

pelaksanaan suatu program maupun kebijakan dimaksud, seperti misalnya yang

terjadi dalam pelaksanaan operasi premanisme yang merupakan salah satu operasi

kepolisian dalam ruang lingkup penegakan hukum, semula ditujukan untuk

memberantas berbagai tipikal kejahatan jalanan, pada praktiknya justru menimbulkan

1 Diakses dari situs : http://batampos.co.id/index.php?Itemid=38&id=3915&option=com_content&task=view, pada tanggal 24 Desember 2009.

Page 2: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

permasalahan yang kontra produktif dengan timbulnya korban dari pihak masyarakat

yang dijadikan target dalam suatu operasi premanisme.

Fenomena kontra produktif dalam pelaksanaan operasi premanisme tersebut

dapat dijumpai masyarakat di berbagai daerah dengan berbagai bentuknya,

sebagaimana contoh nyata yang terjadi Kota Malang dimana para petugas kepolisian

dari Satuan Samapta Polresta Malang menjadikan anak-anak jalanan yang mecari

nafkah dengan menjadi pengamen maupun pengemis sebagai target dari operasi

premanisme dan melanjutkan proses hukum atas anak-anak tersebut hingga ke

pengadilan dalam perkara tindak pidana ringan berupa pengemisan2 di tempat umum

maupun mengganggu ketertiban umum3. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan

tindakan petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang yang kerap

memperlakukan anak-anak jalanan tersebut secara tidak manusiawi, antara lain

melakukan kekerasan dengan cara menabrak anak-anak jalanan dengan sepeda motor

saat melakukan operasi premanisme, melakukan kekerasan fisik maupun psikis

terhadap anak-anak jalanan tersebut, antara lain dengan mengatakan bahwa ”terhadap

anak-anak jalanan tidak berlaku undang-undang perlindungan anak”, dll. Tindakan

para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang itu pun sempat

mendapat protes keras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari ”Komunitas

Aku Juga Anak Bangsa” , ”Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur” dan ”Lembaga

Perlindungan Anak Kota Malang”4. Dari sudut pandang viktimologi, maka penulis

berpendapat bahwa dalam fenomena tersebut telah terjadi suatu viktimisasi struktural5

akibat pelaksanaan kebijakan atau program operasi premanisme oleh Satuan Samapta

Polresta Malang yang justru menimbulkan korban yaitu para anak-anak jalanan yang

mayoritas mencari nafkah dengan menjadi pengamen maupun pengemis di Kota

Malang.

Selanjutnya dalam paper ini, penulis hendak melakukan analisis terkait dengan

berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya viktimisasi struktural dalam fenomena

2 Vide Pasal 504 KUHP : 1.Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. ; 2.Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

3 Vide Perda Kota Malang Nomor 11 Tahun 1984 tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota.4 Diakses dari situs : http://akujugaanakbangsa2.blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html ;

http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02167.html ; http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg02250.html dan http://www.polri.go.id/index.php?op=bukutamu& pagenow=19&bln=01&thn_val=2009, pada tanggal 25 Desember 2009.

5 Dr. Arif Gosita, SH, Masalah Korban Kejahatan, Bhuana Ilmu Populer, 2004, hal. 140 dan hal. 147. Viktimisasi struktural yaitu suatu viktimisasi (mental, fisik dan sosial) yang diakibatkan oleh ada dan tidak adanya unsur-unsur struktur sosial tertentu serta pelaksanaannya. Sedangkan istilah viktimisasi sendiri dirumuskan sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Sementara itu, pengertian struktural dalam viktimisasi struktural adalah luas, meliputi kebudayaan, hal-hal yang berkaitan dengan suatu sistem tertentu (metode, peraturan, tatanan, dan asas-asas) dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh kebijakan penguasa tertentu (luas atau sempit), berdasarkan hukum tertentu ( tertulis dan tidak tertulis).

2

Page 3: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

tersebut diatas berdasarkan sudut pandang disiplin ilmu viktimologi. Fenomena

tersebut menarik untuk dikaji oleh penulis mengingat pengalaman penulis yang

pernah berdinas di Polresta Malang sehingga penulis pun mengetahui betul

bagaimana tindak-tanduk para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta

Malang terutama dalam melakukan penegakan hukum terhadap anak-anak jalanan

yang melakukan pengemisan maupun mengamen di tempat-tempat umum di Kota

Malang.

2. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam

pembahasan paper ini adalah : ”Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi

struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang yang terjadi akibat pelaksanaan

operasi premanisme oleh petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?”

3. PERSOALAN-PERSOALAN

a. Bagaimana kondisi riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak

jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi Premanisme oleh petugas

kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?

b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya viktimisasi struktural

terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi

Premanisme oleh petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?

c. Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi struktural terhadap anak-anak

jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi Premanisme oleh petugas

kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang ?

II. PEMBAHASAN

1. Kondisi riil

Secara umum penulis telah mengemukakan dalam uraian di atas tentang fakta

riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang oleh

petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang saat pelaksanaan operasi

premanisme. Namun secara lebih spesifik, terkait dengan fakta riil dimaksud dapat

dilihat dalam pengaduan tertulis oleh beberapa LSM atas beberapa tindakan petugas

kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang yang sewenang-wenang terhadap

anak-anak jalanan di Kota Malang ketika pelaksanaan operasi premanisme

sebagaimana dikutip penulis, antara lain dari website http://akujugaanakbangsa2.

3

Page 4: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html, yang diakses pada tanggal 25

Desember, sebagai berikut :

PERNYATAAN SIKAP

KOMUNITAS AKU JUGA ANAK BANGSA

JARINGAN KEMANUSIAAN JAWA TIMUR

LEMBAGA PERLINDUNGAN ANAK KOTA MALANG

Menindaklanjuti rencana kunjungan rombongan KPAI dalam rangka audiency

kepada bapak Kapolresta Malang. Untuk mensikapi informasi yang kami berikan

pada KPAI terkait terjadinya bebera pelanggaran terkait etik dalam mensikapi dan

menangani anak anak jalanan, terkait digelarnya operasi preman. Beberapa hal

terkait dengan apa yang terjadi sesuai dari laporan / informasi / pengaduan yang

diberikan oleh anak anak jalanan korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh

aparat polisi yang bertugas. Dengan alasan apapun, tidak dibenarkan polisi untuk

melakukan tindakan penganiyaan fisik apalagi dengan melakukan tindakan yang

mengabaikan pentingnya menjaga peran POLRI sebagai pengayom dan pelindung

masyarakat. Demi penegakkan citra POLRI dimata masyarakat kami sebagai bagian

dari elemen masyarakat peduli dalam hal ini melakukan AKSI Protes Keras kepada

bapak KAPOLRI cq Kapolresta Malang dan segenap jajarannya untuk mensikapi

positif aksi tersebut. Kami bukan mencari dan hanya semata melihat kesalahan

sebagai kesalahan, akan tetapi kesalahan adalah kekurangan yang harus dibenahi

baik dalam pemahaman dan penegakkan hukum yang berlaku di Indonesia terkait

UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan penegakkan UUD 1945 pasal

34 yang mengatur bahwa masyarakat miskin adalah tanggung jawab Negara.

Dimana masih banyak Undang Undang yang perlu dimenangkan untuk membantu

pemerintah dalam rangka mengupayakan pengentasan masyarakat miskin. Bukan

dengan harus menindas, menyakiti dan mengabaikan pentingnya penghargaan dan

penghormatan hak hak hidup mereka masyarakat miskin. beberapa informasi

perlakuan aparat kepolisian yang bertugas dijajaran Samapta Polresta Malang

adalah :

1. Terjadi pemukulan yang kerap tidak manusiawi terhadap mereka anak anak

jalanan yang seharusnya dibina dan dilindungi.

2. Terjadi perlakuan yang tidak manusiawi, saat aparat polisi menangkap beberapa

anak jalanan. Dengan jalan menabrakkan sepeda motor trail mereka seperti

layaknya koboi, kepada anak anak jalanan. Sampai sampai tidak sedikit dari

4

Page 5: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

mereka tersungkur dan apabila dirasa mereka tampak terluka aparat justru

melarikan diri dari tanggung jawab. Yang lebih memprihatinkan ternyata yang

kerap ditabrak oleh aparat tersebut adalah anak-anak dibawah umur, yang

tidak memiliki orang tua dan tumbuh besar dijalanan. Kalau polisi memang

sebagai pengayom dan Pembina masyarakat, apalagi sebagai penegak hukum.

Seharusnya bijak dalam menangani persoalan tersebut. Perlu digaris bawahi

angka kemiskinan kedepan sepertinya bukan semakin berkurang. Melainkan

semakin bertambah. Kita semua harus memfikirkan secara bijak pola

penanganan yang berpihak pada perlindungan hak hidup masyarakat miskin

dan mereka anak anak dibawah umur. Mereka adalah Korban bukan penjahat.

Kalaupun sampai melakukan kejahatan mereka lakukan itu karena factor

kebutuhan yang harus kita lihat secara jernih, agar tidak salah kita dalam

mensikapi kekurangan yang mereka lakukan. Azas praduga tidak bersalah

haruslah ditegakkan.

3. Ketika aparat polisi yang menangkap anak anak dibawah umur, yang kerap

dikatakan sebagai pengamen jalanan memiliki KTA dari rumah bina anak anak.

Dimana dibelakangnya tertera ada UU yang melindungi mereka anak anak dan

sebagai bagian dari masyrakat miskin. Ternyata yang justru dilakukan oleh

petugas adalah mengatakan bahwa anak tersebut tidak dilindungi oleh

undang undang apapun. Kemudian sampai terjadi perlakuan setelah anak

anak tersebut disakiti secara fisik, petugas tersebut mengancam dengan akan

membunuh anak tersebut apabila masih terlihat dijalanan. Saran kami dari

pada polisi tersebut, jangan hanya menghina mereka anak miskin yang mencari

makan dengan mengamen. Tetapi tankaplah mereka yang sekarang ini senang

korupsi dan memperdaya masyarakat miskin.

4. Mengkaji polemik terkait digelarnya operasi preman, perlu ada garis tegas

yang tidak diskriminasi dan menghormati hak hidup masyarakat miskin. Yang

kerap jadi sasaran dari stigma istilah preman yang tidak jelas parameternya.

Apa jadinya kalau bangsa ini semudah itu dalam minilai seseorang hanya dari

tampilan fisik dan cara berpakaian. Ini sangat mahfum. Coba kita tengok, yang

menjadikan bangsa ini semakin terpuruk bukan mereka orang miskin yang

berpakaian lusuh dan kumuh. Melainkan mereka mereka yang katanya

berpenampilan rapi, intelek dan katanya beragama.

5

Page 6: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

5. Dari kota Malang kami menghimbau kepada masyarakat dimanapun berada.

Mari kita selamatkan mereka anak bangsa dari ketidakadilan. Mari kita lihat

semua permasalahan terkait kesenjangan social yang terjadi dimasyarakat

dewasa ini, dengan hati yang tulus dengan tidak hanya melihat suatu implikasi

yang ditimbulkan oleh semata faktor kebutuhan pemenuhan atas keterbatasan

suatu proses berbangsa. Kita coba memenangkan UU no 23 tahun 2002 terkait

perlindungan anak-anak. Demi terciptanya generasi penerus yang

terselamatkan secara mental,moral dan intelektual.

6. POLISI bukan musuh masyarakat . Parameter keberhasilan suatu instansi

terkait penegak hukum. Bukan dari banyaknya tahanan yang harus mendekam

dipenjara, melainkan semakin sedikit tahanan yang ada. Merupakan gambaran

keberhasilan pola pembinaan dan perlindungan keamanan atas masyarakat

tanpa terkecuali.

Demikian surat ini kami buat sebagai bentuk protes keras atas sikap yang tidak

berwibawa yang dilakukan oleh oknum aparat yang bertugas dibawah kendali

POLRESTA malang. Kami berencana untuk membawa semua anak anak

jalanan yang menjadi korban kekerasan oknum aparat, akan tetapi karena misi

kami bukan untuk mencari kesalahan ataupun berkehendak menghakimi. Kami

hanya akan mempertemukan mereka anak-anak jalanan lainnya, yang secara

psikologis banyak yang merasa memiliki ketakutan berlebihan pada polisi.

Dimana kami menangkap adanya gejala traumatik atas apa yang mereka alami

terkait dari tindakan kesewenangan polisi.

Malang , 4 Desember 2008

Yang bertanda tangan

Ag Tedja G K Bawana

Ketua Komunitas Aku Juga Anak Bangsa

Ketua Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Malang

CATATAN DOKUMENTASI : Kapolresta Malang ternyata bernyali kecil.

Hanya untuk menemui anak anak kecil yang dipikir hanya pengamen dan orang

miskin saja tidak mau. Kapolresta berjanji akan menemui anak-anak pada team

ketua KPAI dan mendengar pengaduan mereka atas penganiayaan yang terjadi

atas mereka. Dimana dilakukan oleh oknum petugas dibawah tanggung

jawabnya, ternyata jangankan muncul, malah anak-anak dipersulit oleh

6

Page 7: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

bawahannya hanya dibenturkan dengan prosedur yang tidak bisa dimaklumi.

KAPOLRESTA SEMACAM ITU HARUS DIPECAT. CONTOH KETIDAK

PROFESIONALAN POLRI YANG TERJADI DI DAERAH.

Dalam pernyataan tertulis yang dibuat oleh beberapa LSM tersebut nampak

dengan jelas tentang berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh

petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang. Pelaksanaan operasi

premanisme yang semula ditujukan untuk menindak berbagai macam kejahatan

jalanan justru menimbulkan korban yaitu anak-anak jalanan yang mencari nafkah

sebagai pengamen maupun pengemis yang mendapat perlakuan secara tidak

manusiawi dari para petugas kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung,

pengayom dan pelayan masyarakat.

Anak-anak jalanan tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan

terhadap para petugas kepolisian dimaksud hingga akhirnya pembelaan terhadap

mereka muncul dari beberapa LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak.

Dalam hal ini para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang telah

menjadi penimbul korban (victimizer) bagi anak-anak jalanan tersebut yang

merupakan korban (victim) dalam pelaksanaan operasi premanisme di Kota Malang.

Oleh karena itu fenomena tersebut layak dianggap sebagai viktimisasi struktural

akibat terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (victimization caused by

power abused). Dalam pandangan lebih luas, selaku victimizer tidak hanya dapat

ditujukan terhadap para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang,

namun juga Polri secara organisasional, mengingat operasi premanisme merupakan

”kebijakan publik” yang dicetuskan secara organisaional oleh Polri yang kemudian

dilaksanakan oleh keseluruhan jajaran satuan kewilayahan Polri.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Berdasarkan kondisi riil terjadinya viktimisasi struktural terhadap anak-anak

jalanan di Kota Malang akibat penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang oleh

petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang tersebut diatas, maka

dimungkinkan terjadinya viktimisasi struktural dimaksud diakibatkan oleh pengaruh

beberapa faktor berupa unsur-unsur struktur sosial6 sebagai berikut :

a. Kepentingan

Unsur kepentingan dalam fenomena viktimisasi struktural tersebut diatas

adalah berupa tugas pokok Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 2

6 Ibid., hal. 140-147.

7

Page 8: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

Tahun 2002, yaitu : 1) melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; 2)

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; dan 3) menegakkan hukum.

Dalam pelaksanaan tugas pokok dimaksud, khususnya dalam hal penegakan

hukum atas tindak pidana ringan berupa pengemisan dan mengamen (Vide

Pasal 504 KUHP dan Perda Kota Malang No. 11 Tahun 1984 tentang

Ketertiban dan Kebesihan Kota) yang dilaksanakan melalui suatu operasi

premanisme, patugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang hanya

memandang bahwa pencapaian kondisi masyarakat Kota Malang yang akan

menjadi tertib akan dapat terwujud dengan cara mempertahankan kepentingan

Polri berupa pemenuhan tugas pokoknya yang dalam hal ini diwujudkan dalam

bentuk suatu operasi premanisme dan menghilangkan atau mengurangi

pemenuhan kepentingan anak-anak jalanan yang mencari nafkah dengan jalan

mengamen dan mengemis.

Sebagian besar masyarakat yang berada di luar unsur Polri, dalam hal ini

khususnya Satuan Samapta Polresta Malang maupun diluar anak-anak jalanan

tersebut tidak akan merasakan terjadinya suatu viktimisasi struktural dalam

pelaksanaan operasi premanisme tersebut. Justru sebagian besar masyarakat

tersebut kemungkinan besar akan mendukung pelaksanaan operasi premanisme

dimaksud tanpa memikirkan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh

aparat kepolisian terhadap orang-orang yang menjadi target dalam operasi

dimaksud, termasuk terjadinya suatu viktimisasi struktural, karena kepentingan

sebagian besar masyarakat tersebut dirasakan telah tercapai dengan

dilaksanakannya operasi premanisme.

b. Lembaga-lembaga sosial

Polri yang merupakan lembaga sosial dalam tatanan pemerintahan negara

RI dapat dianggap telah menyebabkan terjadinya viktimisasi struktural terhadap

anak-anak jalanan di Kota Malang karena Polri telah menetapkan suatu

kebijakan publik atas dasar legitimasi undang-undang untuk melaksanakan

suatu operasi premanisme hingga akhirnya terjadi ekses-ekses negatif berupa

tindakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap anak-anak jalanan dimaksud

oleh para petugas kepolisian dari Satuan samapta Polresta Malang yang

menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya.

Keberadaan Polri, dalam hal ini Polresta Malang, khususnya Satuan

Samapta Polresta Malang sebagai lembaga sosial yang merupakan pihak yang

8

Page 9: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

“berkuasa” untuk melakukan penegakan hukum, termasuk dalam bentuk

pelaksanaan operasi premanisme telah merugikan hak-hak anak-anak jalanan

yang diproses secara hukum dalam perkara tindak pidana ringan tanpa

memberikan ganti kerugian dalam bentuk apapun. Dengan diprosesnya anak-

anak jalanan tersebut secara hukum, maka mereka menjadi terhambat dalam

usahanya untuk mencari nafkah, untuk mencari sesuap nasi untuk mereka

bahkan keluarganya. Dalam hal ini Polri, termasuk pemerintah hanya

memikirkan tercapainya ketertiban tanpa memikirkan dampak kerugian yang

diterima anak-anak jalanan tersebut.

c. Nilai-nilai sosial

Nilai sosial yang ditafsirkan, dikembangkan serta diamalkan masyarakat

terkait dengan berbagai perilaku yang dikategorikan sebagai tindakan

premanisme yang dianggap sebagai perbuatan yang meresahkan dan

mengganggu ketentraman masyarakat pada akhirnya disikapi oleh Polri dengan

menyelenggarakan suatu operasi premanisme yang tujuannya adalah untuk

mengeliminasi hal-hal yang dapat menyebabkan masyarakat menjadi resah dan

tidak terganggu ketentramannya. Namun sayang, dalam pelaksanaan operasi

premanisme sebagaimana yang dilaksanakan oleh petugas kepolisian dari

Satuan Samapta Polresta Malang, anak-anak jalanan yang melakukan

pengemisan dan mengamen untuk mencari nafkah turut dijadikan target utama

dalam operasi dimaksud hingga melakukan proses hukum terhadap anak-anak

tersebut sampai ke pengadilan yang berakibat terhadap anak-anak jalanan

tersebut mendapat sanksi dari hakim yang mengadilinya, baik berupa denda

atau kurungan-jika tidak mampu membayar denda.

Melalui pelaksanaan proses penghukuman tersebut memang diharapkan

timbul deterrence effect bagi anak-anak jalanan tersebut agar tidak mengulangi

perbuatannya lagi di kemudian hari, namun di sisi lain penghukuman tersebut

belum tentu manusiawi walaupun oleh hakim telah dianggap adil dan

seimbang, karena seringkali penghukuman tersebut tidak sesuai dengan

kemampuan anak-anak jalanan tersebut dalam menerima hukuman dimaksud.

d. Norma-norma

Norma dalam hal ini berupa adalah peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan berbagai kejahatan jalanan, seperti penjambretan, pemerasan,

pencopetan, pencurian, dll, termasuk pula pelanggaran berupa tindak pidana

9

Page 10: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

ringan dengan melakukan pengemisan maupun mengamen telah dikategorikan

oleh Polri, dalam hal ini Polresta Malang, khususnya Satuan Samapta, sebagai

target dalam pelaksanaan operasi premanisme.

Oleh karena itu, hukum sebagai norma, dalam hal ini peraturan

perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum penindakan premanisme telah

menyebabkan timbulnya penderitaan bagi anak-anak jalanan yang mencari

nafkah dengan jalan mengamen maupun mengemis dikarenakan memang secara

formil perbuatan anak-anak jalanan tersebut memenuhi delik formil

sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 504 KUHP serta Perda Kota

Malang No. 11 Tahun 1984 tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota, namun

ternyata menimbulkan derita tersendiri akibat tindakan kekerasan yang

dilakukan petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang dalam

menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut dimana dalam peraturan

perundang-undangan itu sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian

kerugian akibat derita dimaksud. Jadi peraturan perundang-undangan tersebut

fokusnya hanya ditujukan dalam rangka melaksanakan aspek penghukuman

tanpa memikirkan ekses-ekses negatifnya berupa pemberian ganti rugi akibat

timbulnya penderitaan terhadap orang-orang yang dijadikan sebagai subyek

hukum atau pelaku tindak pidana atas peraturan perundang-undangan dimaksud.

e. Status

Polri, dalam hal ini para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta

Malang telah menjadi victimizer dikarenakan statusnya yang mewajibkannya

untuk melaksanakan operasi premanisme hingga terjadi viktimisasi terhadap

anak-anak jalanan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan para petugas

kepolisian tersebut. Para petugas kepolisian tersebut seolah lupa bahwa dengan

statusnya selaku anggota Polri yang seharusnya menjadi pelindung, pengayom

dan pelayan masyarakat justru akibat tindakannya mengakibatkan terjadinya

viktimisasi dimaksud.

Hal sebaliknya terjadi dimana beberapa LSM yang bergerak di bidang

perlindungan anak justru bertindak memperjuangkan hak-hak anak-anak jalanan

tersebut dikarenakan terjadinya viktimisasi oleh para petugas kepolisian. Dalam

hal ini, beberapa LSM dimaksud, dengan statusnya yang merupakan lembaga

sosial yang bergerak di bidang perlindungan anak justru berpartisipasi dalam

10

Page 11: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

melakukan pencegahan serta penyelesaian atas permasalahan viktimisasi

terhadap anak-anak jalanan tersebut.

Seharusnya para petugas kepolisian yang menyandang status sebagai

pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat saling bekerja sama dengan

berbagai pihak termasuk LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak

untuk mencegah serta menyelesaikan berbagai permasalahan viktimisasi yang

rentan menimpa anak-anak, termasuk anak-anak jalanan.

f. Peran

Pelaksanaan peran Polri sebagai aparat negara yang bertanggung jawab

atas keamanan dalam negeri7 merupakan peran positif dalam hal mencegah

terjadinya suatu viktimisasi dalam kehidupan sosial, termasuk viktimisasi

struktural, namun peran yang dinilai positif tersebut dapat menjadi dinilai

negatif oleh publik manakala terjadi penyimpangan oleh para petugas kepolisian

di lapangan sebagaimana yang dilakukan para petugas kepolisian dari Satuan

Samapta Polresta Malang yang memperlakukan anak-anak jalanan yang

ditangkap dalam operasi premanisme dengan tindakan kekerasan.

Dan ternyata tidak banyak masyarakat yang menaruh kepedulian akan

terjadinya viktimisasi dimaksud kecuali beberapa LSM di bidang perlindungn

anak yang tergerak menjalankan perannya dalam mencegah berlanjutnya

viktimisasi dimaksud serta menyelesaikannya secara normatif dengan pihak

Polresta Malang.

3. Upaya penanggulangan

Penanggulangan terhadap suatu permasalahan viktimisasi struktural tidaklah

mudah oleh karena eksistensi unsur-unsur struktur sosial yang negatif dalam

mempengaruhi orang untuk melakukan suatu viktimisasi sulit untuk diubah8,

sebagaimana halnya juga dalam rangka penanggulangan terhadap fenomena

viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang akibat tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta

Malang saat pelaksanaan operasi premanisme.

Permasalahan viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan tersebut tidak

dapat begitu saja diselesaikan dengan adanya sikap pro aktif dari beberapa LSM yang

bergerak di bidang perlindungan anak yang senantiasa membela dan

memperjuangkan perlindungan atas hak-hak anak, tetapi lebih dari sekedar itu, dalam 7 Vide TAP MPR No. VII/MPR/2000, tentang Peran TNI dan Polri.8 Dr. Arif Gosita, SH, op. cit., hal. 147.

11

Page 12: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

penanggulangan permasalahan dimaksud diperlukan partisipasi dari berbagai

komponen sosial yang ada, mulai dari pihak masyarakat yang harus memiliki

sensitivitas sosial yang tinggi serta jiwa kesukarelaan (voluntarisme) untuk turut

peduli mengatasi permasalahan dimaksud hingga pihak pemerintah yang harus lebih

optimal dalam menyelenggarakan perlindungan atas hak-hak anak-anak jalanan

tersebut dan dilandasi dengan adanya kesediaan serta semangat bekerja sama,

koordinasi maupun keterpaduan pandangan antara berbagai elemen masyarakat dan

pemerintah yang terkait dengan penanggulangan permasalahan struktural dimaksud

sehingga dapat tercipta suatu situasi dan kondisi yang dapat memperlancar upaya

penanggulangan permasalahan viktimisasi struktural tersebut. Keseluruhan upaya

dimaksud harus dilakukan dalam satu bingkai yang terintegrasi dengan baik antara

satu dengan yang lainnya.baik dalam tataran konseptual, perencanaan, strategi dan

taktik pelaksanannya9.

Langkah-langkah riil, dalam pandangan penulis, yang dapat dilakukan dalam

menanggulangi permasalahan viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan

dimaksud, antara lain sebagai berikut :

a. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh Polri c.q. Polresta Malang

1) Redefinisi arti ”tindakan premanisme”

Menurut pendapat penulis, salah satu faktor penyebab terjadinya

viktimisasi struktural terhadap anak-anak jalanan tersebut adalah akibat

tidak jelasnya definisi dari ”tindakan premanisme” oleh Polri. Dalam

berbagai literatur legal formal tidak didapati pemahaman tentang

kejahatan yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme”. Dengan

tidak adanya kejelasan definisi tersebut dari Mabes Polri c.q. Bareskrim,

menimbulkan ketidakpastian terkait dengan sasaran operasi premanisme

itu sendiri, sebagaimana halnya yang dialami oleh anggota kepolisian di

wilayah10 maupun terjadi polemik juga dalam masyarakat tentang

kejelasan definisi ”premanisme” itu sendiri11. Output dari ketidakjelasan

9 Dr. Arif Gosita, SH, loc. cit.10 Diakses dari situs : http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/16183395/polres.jombang.tanyakan.definisi.preman., pada tanggal

25 Desember 2009. Berita Kompas digital berjudul ”Polres Jombang Tanyakan Definisi Preman”, Kasat Samapta Polres Jombang, AKP Sugeng Widodo di Jombang, Senin mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi dengan jajaran di atasnya terkait razia preman. Sebab, mereka belum mendapat kepastian dalam mendefinisikan arti preman secara keseluruhan.

11 Diakses dari situs : http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7269&page=19, pada tanggal 25 Desember 2009. Wawancara Radio Mas FM Malang dengan Kepala Lembaga Perlindungan Anak Kota Malang, Teja, menghimbau kepada pihak Polri untuk lebih selektif dalam melakukan penangkapan preman, karena selama ini definisi preman sendiri masih belum jelas. Sampai saat ini pihak kepolisian sering menangkap anak jalanan yang hanya sekedar mengamen untuk membantu ekonomi keluarganya. Menurut laporan anak jalanan yang tergabung dalam lembaganya, Teja memberitahukan bahwa anak-anak itu juga sering mendapatkan perlakuan tidak baik seperti dipukul dan dimintai uang.

12

Page 13: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

definisi tersebut salah satunya mengakibatkan para petugas kepolisian

melakukan definisi tentang kategori ”tindakan premanisme”

sebagaimana yang terjadi pada Satuan Samapta Polresta Malang yang

mendefinisikan bahwa perbuatan anak-anak jalanan yang mencari

nafkah melalui pengemisan dan mengamen merupakan ”tindakan

premanisme”.

Oleh karena itulah, Polri perlu melakukan redefinisi tentang

arti kata ”premanisme” tersebut, termasuk perbuatan-perbuatan

melawan hukum yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme”.

Polri tidak seyogyanya menutup diri terhadap berbagai sikap kritis

masyarakat yang mempertanyakan definisi dari perbuatan-perbuatan

yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme” dengan mengajukan

berbagai alasan, antara lain yaitu tidak adanya manfaat yang didapat

terkait dengan perdebatan masalah definisi ”premanisme” antara Polri

dengan masyarakat karena hal tersebut akan membuang-buang waktu

Polri dalam pelaksanaan operasi premanisme12. Sebenarnya Polri justru

harus merespon dengan baik sikap masyarakat yang demikian kritis

karena hal tersebut sebagai wujud social control bagi Polri mengingat

baik buruknya polisi pada suatu negara adalah cerminan baik buruknya

masyarakat dan demikian juga sebaliknya, sebagaimana yang dinyatakan

oleh Sir Robert Peel dalam Principle of Policing (Peelian Principles)

yaitu ”The police are the public and the public are the police; the

police being only members of the public who are paid to give full

time attention to duties which are incumbent on every citizen in the

interests of community welfare and existence”13.

Sebagai bahan literatur, penulis menyajikan definisi ”premanisme”

sebagaimana yang dikutip penulis dari situs

12 Diakses dari situs : http://batakpos-online.com/content/view/991/1/, pada tanggal 25 Desember 2009. Berita Batak Pos digital, ”Polri Tidak Akan Ributkan Definisi Preman”, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Irjen Susno Duadji menyatakan, tidak perlu meributkan definisi preman seperti yang diributkan sejumlah pakar, sebelum melaksanakan operasi pembersihan premanisme dan kejahatan jalanan lainnya. Pasalnya, selain membutuhkan waktu berdebat, sehingga mengganggu kerja operasi, istilah preman tidak terdapat dalam perundangan. Para preman yang ditangkap akan dijerat dengan pasal perundangan sesuai tindak pidana yang mereka lakukan. Seperti, pemerasan, pencurian, dan sebagainya. ''Kita tidak perlu mendifinisikan apa-apa, yang kita tindak adalah pelanggar pasal-pasal,'' ujar Susno.

13 Diakses dari situs : http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles dan http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpeel260231.html, pada tanggal 25 Desember 2009.

13

Page 14: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

http://www.ajrc-aceh.org/file/Premanisme%5B1%5D.ppt., sebagai

berikut14 :

Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dengan Tema Optimalisasi

Fungsi Aparat Penegak Hukum Terhadap Premanisme di NAD. 27 Des

2008, oleh MOHD. DIN, SH.,MH.

Asal kata preman dari bahasa Inggris “freeman” yang artinya

manusia bebas.

Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3

arti kata preman, yaitu:  

a) swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil.

b) sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan

kejahatan)

c) kuli yang bekerja menggarap sawah.

Namun khusus kata premanisme, dipakai arti kata yang kedua, yaitu

sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan,

bisa juga disebut sifat semau gue.

Arti lain Premanisme, berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang

bebas, merdeka dan isme = aliran

Premanisme adalah sebutan yang sering digunakan untuk merujuk

kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya

terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.

Dalam pandangan penulis, Polri yang merupakan lembaga negara

yang memiliki peran utama dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat seharusnya lebih mampu mendefinisikan berbagai perbuatan

yang dikategorikan sebagai ”tindakan premanisme” sebelum menggelar

suatu operasi yang bertajuk ”operasi pemberantasan premanisme”.

2) Menentukan target operasi premanisme secara riil

Apabila definis tentang ”tindakan premanisme” telah ditentukan

oleh Polri, maka Polri juga harus menentukan target operasi (TO)

premanisme tersebut sehingga tidak terjadi penentuan TO secara parsial

oleh satuan-satuan kewilayahan Polri yang pada akhirnya menjadi faktor

viktimogin15 sebagaimana yang dilakukan oleh Satuan Samapta Polresta

14 Ulasan tentang definisi “Premanisme” antara lain juga terdapat dalam situs : http://lembarlawas.wordpress.com/2008/11/26/menggugat-definisi-preman/ dan http://benwal.multiply.com/journal/item/21.

15 Diakses dari situs : http://www.bphn.go.id/puslitbang/index.php?action=scientific&cat_pref=res_compen&year=2006#200803271354583, pada tanggal 25 Desember 2009. Viktimogin berarti secara potensial

14

Page 15: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

Malang yang menjadikan anak-anak jalanan yang mencari nafkah

dengan mengemis maupun mengamen sebagai TO dalam operasi

premanisme.

Dalam penentuan TO tersebut, Polri harus melakukannya secara

riil terkait dengan tindak pidana apa saja yang dijadikan TO dalam

operasi premanisme. Sebagaimana yang disaksikan penulis saat berdinas

di Polresta Malang bahwa dalam penentuan TO dimaksud tidak ada

standarisasi yang jelas karena memang tidak adanya petunjuk dari

Mabes Polri tentang hal tersebut sehingga berbagai hasil ungkap kasus

kejahatan jalanan atau pelanggaran oleh satuan-satuan fungsi

operasional Polresta Malang dilaporkan sebagai hasil atau keberhasilan

dalampelaksanaan operasi premanisme, seperti pencurian dalam

kendaraan bermotor, pencurian yang dilakukan di rumah-rumah kosong,

perbuatan mabuk-mabukan dengan minuman keras, penadahan,

perjudian dll. Sehingga yang terjadi adalah dark number keberhasilan

operasi premanisme yang memang tidak qualified dalam hal

perencanannya atau dengan kata lain yaitu jumlah kejahatan (crime

total) yang berhasil diungkap Polri dalam operasi premanisme adalah

tidak mutlak benar adanya tetapi semu, terkesan terjadi fenomena ”asal

masyarakat senang” dengan hasil operasi premanisme Polri karena

”tingginya angka” kasus premanisme yang berhasil diungkap Polri.

Oleh karena itu, penentuan TO dimaksud haruslah riil dan jelas

berupa tindak pidana-tindak pidana yang hendak diungkap Polri melalui

operasi Premanisme tersebut, misalnya tindak pidana pemerasan dengan

ancaman kekerasan (vide pasal 368 KUHP), pemerasan dengan

ancaman pencemaran nama baik melalui lisan atau tulisan (vide pasal

369 KUHP), dll, sehingga tidak terjadi kerancuan antara TO dalam

operasi premanisme dengan operasi kepolisian, seperti halnya operasi

”SIKAT” yang sasarannya adalah kejahatan dengan kekerasan seperti

perampokan, pembunuhan, dll. Jadi pada intinya, yang terpenting dalam

penentuan TO pada suatu operasi kepolisian adalah terkait dengan

tindak pidana apa saja (dalam ruang lingkup legal formal) yang

termasuk dalam kategori yang akan diungkap melalui operasi kepolisian

dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan.

15

Page 16: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

dimaksud, bukan sekedar mementingkan ”istilah komersil”16 dari suatu

operasi itu sendiri yang akhirnya terjadi salah kaprah penentuan TO oleh

satuan-satuan kewilayahan Polri.

3) Melakukan internalisasi nilai-nilai filosofi universal tugas-tugas

kepolisian bagi para petugas kepolisian

Filosofi universal tugas kepolisian adalah ”to fight crime, to help

delinquent, and to love humanity”, berbeda halnya dengan filosofi

universal tugas tentara, yaitu ”to kill, to defeat, and to destroy the

enemies”. Nilai-nilai filosofi universal tugas kepolisian tersebut harus

terinternalisasi dalam sanubari segenap anggota Polri sehingga dalam

melaksanakan tugas-tugasnya tidak akan terjadi penyalahgunaan

wewenang atau kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, yang

seharusnya bertindak sebagai pelindung, pengayom dan pelayan

masyarakat, justru menjadi ”musuh / lawan masyarakat”.

Sehubungan dengan terjadinya tindakan kekerasan yang dialami

oleh anak-anak jalanan di Kota Malang akibat pelaksanaan operasi

premanisme oleh Satuan Samapta Polresta Malang, dalam pandangan

penulis, hal tersebut dimungkinkan terjadi karena para petugas

kepolisian tersebut tidak mengilhami makna dan pentingnya filosofi

universal tugas kepolisian tersebut. Oleh karena itu, sebagai salah satu

langkah perbaikan terhadap hal tersebut, perlu kiranya dilakukan

internalisasi filosofi tugas kepolisian bagi para petugas kepolisian dari

Satuan Samapta Polresta Malang tersebut pada khususnya dan seluruh

anggota Polri pada umumnya.

Disamping itu, telah jelas dinyatakan dalam UUD Negara RI 1945,

pasal 34 ayat (1), bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara

oleh negara. Sehubungan dengan ketentuan undang-undang tersebut,

jika dihubungkan dengan filosofi tugas universal kepolisian, maka

mutlak wajib hukumnya, bagi polisi sebagai pelindung, pengayom dan

pelayan masyarakat untuk turut menyelenggarakan perlindungan yang

16 Yang dimaksud penulis dengan “istilah komersil” yaitu terkait dengan berbagai sandi operasi kepolisian, misalnya operasi Sikat (Mabes Polri), operasi Jaran (Polwil Malang), operasi Pekat (Mabes Polri), dll, yang dibuat seolah dengan tujuan ”menarik” bahkan ”meyakinkan” masyarakat tentang keseriusan atau bahkan kedahsyatan suatu operasi kepolisian, padahal nyatanya TO dalam beberapa operasi ada kesamaan, lalu apa bedanya penggunaan sandi-sandi tersebut, padahal dilaksanakannya suatu operasi kepolisian dikarenakan adanya kebutuhan khusus terhadap pengungkapan kasus-kasus tertentu secara lebih terfokus dalam wadah operasi dibandingkan kegiatan pengungkapan kasus diluar wadah operasi kepolisian sehingga diharapkan antara suatu operasi kepolisian satu dengan lainnya terjadi spesifikasi TO yang saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak sekedar bertujuan ”menjual nama”.

16

Page 17: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

optimal terhadap anak-anak, termasuk di dalamnya anak-anak jalanan

tersebut. Polisi tudak seyogyanya begitu saja, dengan berpandangan

legal sentris, membawa anak-anak jalanan tersebut masuk ke dalam

suatu sistem peradilan pidana, karena hal tersebut justru akan

menjadikan anak-anak rentan menjadi pelaku kejahatan bahkan sebagai

criminal career.

4) Menentukan SOP dalam pelaksanaan operasi premanisme

Adanya SOP (standard operational procedure) dalam operasi

kepolisian adalah mutlak diperlukan sehingga para petugas kepolisian di

lapangan dapat bertindak sesuai SOP dimaksud dan apabila terjadi

kesalahan prosedur maka ada standar yang dapat digunakan sebagai

acuan dalam menilai sejauh mana kesalahan tersebut.

Demikian halnya dalam operasi premanisme, SOP mutlak

diperlukan, terkait dengan berbagai mekanisme penindakan terhadap TO

dalam operasi premanisme sehingga tidak terjadi penangkapan-

penangkapan terhadap masyarakat yang dikategorikan sebagai preman

oleh petugas kepolisian di lapangan hanya berdasarkan determinan-

determinan tertentu, misalnya determinan fisik dalam wujud banyaknya

tato di badan seseorang atau determinan sosial, misalnya kemiskinan

yang wujudnya antara lain orang yang melakukan pengemisan atau

mengamen untuk mencari nafkah, dll.

5) Memberikan sanksi tegas terhadap petugas kepolisian yang melakukan

penyimpangan / pelanggaran

Mekanisme reward and punishment yang jelas dan tegas bagi

anggota Polri penting untuk dilaksanakan sehingga bagi anggota yang

berprestasi mendapatkan imbalan yang sesuai dengan adanya reward

yang layak dan terhadap anggota Polri yang melakukan penyimpangan

atau pelanggaran juga mendapat punishment yang setimpal. Sebagai

contoh, yaitu yang dilakukan oleh para petugas kepolisian dari Satuan

Samapta Polresta Malang terhadap anak-anak jalanan berupa tindakan

kekerasan baik fisik maupun psikis, maka para petugas kepolisan

tersebut layak menadapatkan punishment secara organisasional oleh

Polri c.q. Polresta Malang.

6) Menerapkan prinsip-prinsip good governance

17

Page 18: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

Masyarakat saat ini semakin kritis terhadap pelaksanaan tugas-

tugas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga

negara, tak terkecuali pelayanan publik oleh oleh Polri. Oleh karena

itulah, Polri harus menyikapinya menerapkan prinsip-prinsip good

governance17 secara profesional dan proporsional sesuai dengan ruang

lingkup tugas pokok dan wewenang Polri. Misalnya dalam hal

penerapan prinsip tranparansi, jika dilaksanakan dengan benar, maka

tidak akan terjadi ”kebohongan publik” oleh Polri terkait dengan hasil

atau keberhasilan dalam suatu operasi kepolisian, termasuk operasi

premanisme, termasuk pula di dalamnya jika terjadi suatu kesalahan

prosedur atau pelanggaran oleh anggota Polri seperti yang dilakukan

oleh para petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang

terhadap anak-anak jalanan sebagaimana diuraikan diatas, Polri tidak

akan menutupinya dari publik, bahkan mengakuinya dan melakukan

tindak lanjut untuk menyelidiki kebenarannya sampai dengan

memprosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7) Menyelenggarakan mekanisme pemberian kompensasi, rehabilitasi dan

restitusi

Kompensasi, rehabilitasi dan restitusi adalah bentuk-bentuk

perlindungan oleh negara terhadap kejahatan, penyimpangan atau

kekeliruan tindakan aparat negara18. Oleh karena yang terjadi pada

anak-anak jalanan tersebut diatas adalah akibat kekeliruan aparat negara

dalam hal ini petugas kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang,

maka sudah seharusnya negara c.q. Polri c.q. Polresta Malang

memberikan suatu bentuk kompensasi, misalnya dengan menanggung

biaya pengobatan terhadap anak-anak jalanan yang mengalami luka fisik

akibat razia premanisme tersebut maupun pemulihan trauma psikis

akibat operasi premanisme berupa ketakutan terhadap aparat kepolisian.

Disamping itu, rehabilitasi juga harus diberikan terkait dengan

pemulihan hak-hak dan status anak-anak jalanan tersebut yang telah

dianggap sebagai preman oleh polisi hanya karena mencari nafkah

17 Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 25 Desember 2009. Prinsip-prinsip dalam good governance yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.

18 Prof. Drs. Adrianus Meliala, MSc., Msi., Ph.D., “Korban Kejahatan Non Kekerasan”, diakses dari situs : http://www.adrianusmeliala.com/ index.php?kat=4&hal=lecture, pada tanggal 26 Desember 2009.

18

Page 19: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

dengan mengamen maupun mengemis, maka seyogyanya polisi

mencabut statement bahwa anak-anak jalanan yang mengemis dan

mengamen termasuk berbuat tindakan premanisme. Restitusi berupa

pengembalian barang-barang milik anak-anak jalanan yang disita polisi

karena dianggap sebagai barang bukti seperti uang hasil mengemis dan

mengamen maupun gitar sebagai alat mengamen juga harus

dikembalikan kepada anak-anak jalanan tersebut.

b. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh Pemerintah RI c.q. Pemkot

Malang

1) Mengupayakan peningkatan taraf kesejahteraan terhadap masyarakat

kelompok miskin

Sebagai penyelenggara pemerintahan pada tataran lokal, Pemkot

Malang dengan statusnya tersebut dapat berperan mencegah dan

menyelesaikan permasalahan viktimisasi struktural dengan

mengupayakan peningkatan taraf kesejahteraan terhadap masyarakat

Kota Malang yang masih termasuk dalam kelompok miskin, diantaranya

dengan mengupayakan perluasan lapangan pekerjaan, meningkatkan

standar upah minimum, dll. Sehingga dengan hal tersebut, dalam

pandangan penulis, akan berpengaruh dalam mengurangi terjadinya

pencarian nafkah oleh masyarakat kelompok miskin dengan mengamen

maupun mengemis.

2) Menyelenggarakan sistem pendidikan gratis bagi anak-anak dari

keluarga tidak mampu

Ketidakmampuan secara ekonomi yang dialami kelompok

masyarakat miskin seringkali berdampak pada anak-anaknya yang tidak

dapat melanjutkan sekolahnya lagi bahkan lebih jauh akhirnya anak-

anak tersebut terpaksa membantu memenuhi kebutuhan ekonomi

keluarga dengan mencari nafkah, antara lain dengan jalan mengamen

maupun mengemis. Disinilah dibutuhkan campur tangan Pemkot Kota

Malang untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang ”benar-

benar gratis” bagi anak-anak tersebut, tidak hanya gratis dalam arti

bebas SPP, tetapi terkait dengan pengadaan buku pelajaran, seragam

sekolah, dll.Jika hal tersebut terwujud, maka jumlah anak-anak yang

mencari nafkah di jalanan akan berkurang sehingga mengurangi

19

Page 20: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

kerentanan (vulnerability) yang berpotensi menjadikan anak tersebut

sebagai korban (victim) dari suatu viktimisasi struktural sebagaimana

yang terjadi dalam pelaksanaan premanisme tersebut.

3) Mengupayakan MOU perlindungan anak dengan pihak kepolisian

Pemkot Malang dan masyarakat Kota Malang termasuk sebagai

stakeholder dari pihak kepolisian, dalam hal ini Polresta Malang. Oleh

karena itu dalam rangka menanggulangi bersama permasalahan

viktimisasi struktural yang terjadi terhadap anak-anak jalanan tersebut,

dapatlah kiranya dibuat suatu Nota Kesepahaman atau MOU (Memory

of Understanding) antara Pemkot Malang, Polresta Malang dan elemen

Masyarakat Kota Malang-dalam hal ini bisa diwakili LSM yang

bergerak di bidang perlindungan anak-yang berisi tentang kebijakan-

kebijakan lokal yang hendak diterapkan di Kota Malang terkait dengan

perwujudan dan perlindungan atas hak-hak anak.

4) Menyelenggarakan pusat pelayanan korban (Korban Kejahatan / Korban

Abuse of Power)

Selama ini, dalam sistem peradilan pidana, pihak pelaku kejahatan

mendapatkan perhatian yang begitu besar terkait dengan hak-haknya

yang harus dipenuhi oleh pemerintah, namun di satu sisi, korban

menjadi pihak yang terlupakan (the neglegted player) terkait dengan

hak-haknya yang harus dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu sebagai

wujud nyata untuk memenuhi hak-hak tersebut dan sebagai salah satu

solusi dari viktimisasi terhadap anak-anak jalanan di Kota Malang,

Pemkot Malang dapat membangun sebuah pusat pelayanan bagi anak-

anak jalanan tersebut untuk mengadukan penyalahgunaan wewenang

atau kekuasaan oleh aparat kepolisian, termasuk bagi korban-korban lain

dalam permasalahan yang sama maupun korban kejahatan lainnya.

c. Langkah-langkah riil yang dapat dilakukan oleh elemen masyarakat

1) Meningkatkan ikatan-ikatan sosial (social bonds) dalam masyarakat

Ikatan-ikatan sosial yang kuat di dalam masyarakat dapat

menumbuhkan saling kepedulian (awareness) antara satu elemen

masyarakat dengan elemen masyarakat lainnya sebagaimana yang

ditunjukkan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang perlindungan

20

Page 21: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

anak di Kota Malang yang merespon dengan cepat atas suatu kejadian

viktimisasi terhadap anak-anak jalanan tersebut diatas.

Kepedulian sosial semacam itu seharusnya tidak hanya diperankan

oleh LSM-LSM tersebut saja, tetapi juga elemen-elemen lain di dalam

masyarakat, sehingga masyarakat dengan mekanisme alaminya, dapat

memperjuangkan keadilan manakala tertindas oleh suatu kekuasaan

yang disalahgunakan.

2) Meningkatkan peran masyarakat sebagai elemen kontrol sosial (social

control) terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian

Kepedulian sosial dari LSM-LSM di bidang perlindungan anak di

Kota Malang yang melancarkan protes keras terhadap tindakan aparat

kepolisian dari Satuan Samapta Polresta Malang merupakan suatu

bentuk kontrol sosial (social control) bagi pihak kepolisian Polresta

Malang yang dimaksudkan agar penyalahgunaan kekuasaan atau

wewenang yang dilakukan aparat kepolisian terhadap anak-anak jalanan

tersebut dapat ditindak dengan tegas sesuai dengan mekanisme yang

berlaku serta agar tidak terulang lagi menimpa kelompok masyarakat

lainnya.

Kontrol sosial semacam ini harus ditingkatkan eksistensinya oleh

masyarakat sendiri, karena dengan kontrol sosial tersebutlah, berarti

bahwa telah terjadi pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan

tugas-tugas kepolisian setempat secara real time, disamping memang

telah ada lembaga-lembaga negara yang berfungsi untuk itu, seperti

Kompolnas dan Ombudsman RI.

III. KESIMPULAN

Permasalahan viktimisasi struktural sebagaimana yang terjadi terhadap anak-anak

jalanan di Kota Malang tersebut di atas bukanlah permasalahan yang mudah diatasi.

Diperlukan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat maupun pemerintah,

khususnya masyarakat dan pemerintah setempat untuk bekerja sama dan saling koordinasi

untuk menyelesaikannya serta mencegah berulangnya hal tersebut dengan pendekatan yang

bersifat integralistik, tidak parsial.

Eksistensi unsur-unsur struktur sosial yang negatif maupun positif dalam masyarakat

tidak dapat dielakkan perannya dalam suatu viktimisasi struktural. Oleh karena itulah, yang

21

Page 22: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

harus diwujudkan secara bersama-sama antara elemen masyarakat Kota Malang, Pemkot

Malang dan Polresta Malang adalah meminimalisisr eksistensi unsur-unsur struktur sosial

yang negatif dalam masyarakat serta mengoptimalkan unsur-unsur struktur sosial yang

positif, diantaranya dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana diuraikan penulis

di atas.

Dalam rangka mewujudkan suatu mekanisme penanggulangan dan penyelesaian

permasalahan viktimisasi struktural secara optimal, perlu diupayakan penyebaran

pandangan maupun pemikiran viktimologi yang non korban sentris di berbagai bidang.

Disamping itu, perlu dikembangkan suatu perspektif kepentingan yang diatur / dilayani,

bukan perspektif kepentingan yang mengatur / melayani19. Upaya-upaya dimaksud secara

keseluruhan harus dilandaskan pada Pancasila dan UUD Negara RI 1945 untuk mencagah

berlanjutnya viktimisasi dimaksud20.

Jakarta, 26 Desember 2009

Penulis

HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877

19 Yang dimaksud dengan perspektif dimaksud yaitu dalam hal menanggulangi permasalahan viktimisasi, pihak-pihak berkompeten yang terkait dalam penanggulangannya, harus lebih mengedepankan perspektif dari sisi para korban (victim) dalam suatu viktimisasi, bukan sekedar dari sisi sebagai penimbul korban (victimizer).

20 Dr. Arif Gosita, SH., op. cit., hal. 152-154.

22

Page 23: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana).

3. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

4. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

5. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

6. Pemerintah Daerah Tingkat II Kodya Malang. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1984

tentang Ketertiban dan Kebersihan Kota.

7. Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) , PT Bhuana Ilmu

Populer, Jakarta, 2004.

8. Meliala, Adrianus, Korban Kejahatan Non Kekerasan, diakses dari situs :

http://www.adrianusmeliala. com/ index.php?kat=4&hal=lecture, pada tanggal 5

Januari 2010.

9. http://batampos.co.id/index.php?Itemid=38&id=3915&option=com_content&task=view,

diakses pada tanggal 24 Desember 2009.

10. http://akujugaanakbangsa2.blogspot.com/2008/12/keprihatinan-anak-bangsa.html, diakses

pada tanggal 25 Desember 2009.

11. http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02167.html, diakses

pada tanggal 25 Desember 2009.

12. http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg02250.html, diakses

pada tanggal 25 Desember 2009.

13. http://www.polri.go.id/index.php?op=bukutamu&pagenow=19&bln=01&thn_val=2009,

diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

23

Page 24: Viktimisasi Struktural Dalam Pelaksanaan Operasi Premanisme oleh Polri

14. http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/16183395/polres.jombang.tanyakan.definisi.

preman., diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

15. http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7269&page=19, diakses pada

tanggal 25 Desember 2009.

16. http://batakpos-online.com/content/view/991/1/, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

17. http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

18. http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpeel260231.html, diakses pada tanggal

25 Desember 2009.

19. http://lembarlawas.wordpress.com/2008/11/26/menggugat-definisi-preman/, diakses pada

tanggal 25 Desember 2009.

20. http://benwal.multiply.com/journal/item/21., diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

21. http://www.bphn.go.id/puslitbang/index.php?action=scientific&cat_pref=res_compen&

year=2006#200803271354583, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

22. http://www.governanceindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=

74, diakses pada tanggal 25 Desember 2009.

24