Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

20
Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong Praja di Satpol PP DKI Jakarta Meutia Aulia Rahmi dan Mohammad Kemal Dermawan Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email : [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang bagaimana viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta, sejak petugas memilih untuk bekerja di Satpol PP hingga selama menjalankan tugas di lapangan. Satpol PP sebagai aparat penegak peraturan daerah dihadapkan dengan kondisi yang dilematis. Disatu sisi, petugas lapangan harus menegakan Perda. Disisi lain, petugas dihadapkan dengan permasalahan dan perlawanan oleh masyarakat dalam menjalankan tugasnya. Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori penegakan hukum, within the job troble dan on the job trouble. Metode yang digunakan adalah mixed method dengan menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif melalui kuesioner dan teknik pengumpulan data kulitatif melalui wawancara tidak berstruktur. Kata Kunci: Viktimisasi Pekerjaan, Satpol PP, Within The Job Trouble dan On The Job Trouble, Mixed Method Risk of Job Victimization on Satpol PP Field Officer in Satpol PP DKI Jakarta Abstract This mini thesis discussed about how risk of job victimization which is experienced by Satpol PP field officer, ever since that officers chose to work at Satpol PP until did their duty on the field. Satpol PP as a local law enforcer is faced by a dilemmatic condition. On one side, they have to uphold local law and on the other side, they are confronted by problems and oppositions from society when doing their job. The theories that had been used in this research were law enforcement theories, within the job trouble, and on the job trouble. The mixed method was applied in this research due to its purpose for reconfirming the results from different data sources by combining data collecting both quantitative approach and non structure interview technique with qualitative approach. Keywords : Victimization on job, Within The Job Trouble and On The Job Trouble, Mixed Method Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Transcript of Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

Page 1: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong Praja di Satpol

PP DKI Jakarta

Meutia Aulia Rahmi dan Mohammad Kemal Dermawan

Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak Skripsi ini membahas tentang bagaimana viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP

DKI Jakarta, sejak petugas memilih untuk bekerja di Satpol PP hingga selama menjalankan tugas di lapangan.

Satpol PP sebagai aparat penegak peraturan daerah dihadapkan dengan kondisi yang dilematis. Disatu sisi,

petugas lapangan harus menegakan Perda. Disisi lain, petugas dihadapkan dengan permasalahan dan perlawanan

oleh masyarakat dalam menjalankan tugasnya. Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori penegakan

hukum, within the job troble dan on the job trouble. Metode yang digunakan adalah mixed method dengan

menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif melalui kuesioner dan teknik pengumpulan data kulitatif

melalui wawancara tidak berstruktur.

Kata Kunci:

Viktimisasi Pekerjaan, Satpol PP, Within The Job Trouble dan On The Job Trouble, Mixed Method

Risk of Job Victimization on Satpol PP Field Officer in Satpol PP DKI Jakarta

Abstract

This mini thesis discussed about how risk of job victimization which is experienced by Satpol PP field officer,

ever since that officers chose to work at Satpol PP until did their duty on the field. Satpol PP as a local law

enforcer is faced by a dilemmatic condition. On one side, they have to uphold local law and on the other side,

they are confronted by problems and oppositions from society when doing their job. The theories that had been

used in this research were law enforcement theories, within the job trouble, and on the job trouble. The mixed

method was applied in this research due to its purpose for reconfirming the results from different data sources by

combining data collecting both quantitative approach and non structure interview technique with qualitative

approach.

Keywords : Victimization on job, Within The Job Trouble and On The Job Trouble, Mixed Method

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 2: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

2    

Pendahuluan

DKI Jakarta yang merupakan ibukota provinsi Indonesia mengalami peningkatan

jumlah penduduk sangat pesat setiap tahunnya. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010

jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 9,87 juta jiwa. Pada tahun 2013 diproyeksikan

meningkat menjadi 10,09 juta jiwa atau meningkat sebanyak 303.611 jiwa (Badan Pusat

Statistik , 2013). Meningkatnya jumlah penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya juga diikuti

dengan meningkatnya jumlah pendatang di DKI Jakarta. Menurut Purba Hutapea yang

merupakan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pada tahun 2013 pendatang di

Jakarta mengalami peningkatan sebesar 12, 6 persen sebanyak 6.925 orang dibandingkan

pada tahun 2012 lalu. Jumlah pendatang sebanyak 54.757 orang, sedangkan tahun lalu

jumlahnya hanya 47.832 orang (Khairany, 2013).

Meningkatnya jumlah pendatang di DKI Jakarta dikarenakan Jakarta dianggap sebagai

kota yang mampu memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat Indonesia, sehingga

masyarakat Indonesia beramai-ramai datang ke ibukota untuk dapat bekerja baik di sektor

formal maupun informal. Salah satu bentuk pekerjaan sektor informal tersebut adalah

pedagang kaki lima (PKL), yaitu bagian dari usaha yang umumnya mempunyai sifat

menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya

menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum yang

bukan milikinya, kecuali pada lokasi resmi (Andrianingsih, 2008).

Berkembangnya sektor informal yang begitu pesat menciptakan ketidaktertiban karena

mengganggu masyarakat lain, seperti pejalan kaki. Permasalahan DKI Jakarta yang begitu

kompleks menyebabkan perlu dibentuknya aturan untuk meminimalisasi atau mengendalikan

berbagai permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kota Jakarta

yang lebih nyaman, aman, bersih, dan tertib. Aturan tersebut berguna untuk menjaga

ketertiban umum, menjaga ketentraman masyarakat, serta melindungi prasarana kota.

Aturan tersebut diwujudkan melalui peraturan daerah DKI Jakarta salah satunya, yaitu

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Ibukota Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang

Ketertiban Umum. Sejak dibentuknya Satpol PP hingga saat ini, Satpol PP telah menghadapi

berbagai permasalahan baik secara struktural, maupun masalah di lapangan (Satpol PP dan

Linmas, 2012). Selama ini petugas lapangan Satpol PP dikenal sebagai aparat pemerintah

daerah yang selalu melakukan tindakan represif dalam melaksanakan tugasnya dan petugas

yang melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat. Karakteristik Satpol PP yang demikian

terbentuk karena pemberitaan media yang selama ini selalu memberitakan tindakan anarkis

petugas lapangan Satpol PP terhadap masyarakat. Pemberitaan tersebut pada akhirnya

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 3: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

3    

membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap Satpol PP, sehingga dalam pelaksanaan

tugasnya petugas lapangan telah dipandang negatif oleh masyarakat (Thamrin, 2009).

Adanya pandangan negatif masyarakat tersebut berpotensi bagi masyarakat

memberikan perlawanan kepada petugas. Ketika petugas dihadapkan dengan perlawanan

maka petugas lapangan tidak mungkin hanya diam, petugas memberikan reaksi terhadap

perlawanan tersebut. Dalam hal ini petugas lapangan sebenarnya mengalami kondisi dilema

karena juga dihadapkan dengan masyarakatnya sendiri. Westley (Weisburd, Greenspan,

Hamilton, Bryant, & Williams, 2001) menyebutkan bahwa sikap warga negara mempengaruhi

perilaku polisi. Sikap tidak sopan atau bermusuhan yang ditampilkan oleh warga negara akan

mempengaruhi saat pertemuan antara polisi dan warga negara.

Setiap harinya pelangggaran ketertiban umum yang meliputi tugas dari Satpol PP

dapat ditemukan di wilayah DKI Jakarta. Hampir setiap pelaksanaan tugas petugas lapangan

Satpol PP berujung pada bentrok yang akhirnya menimbulkan korban dari pihak masyarakat

sebagai pihak yang ditertibkan dan dari pihak petugas lapangan Satpol PP sebagai pihak yang

menertibkan. Masyarakat seringkali menjadi korban dari tindakan yang dilakukan oleh

petugas lapangan Satpol PP saat menjalankan tugasnya. Namun, ternyata petugas lapangan

Satpol PP juga berisiko menjadi korban dari tindakan masyarakat dalam pelaksanaan

tugasnya. Sebagai contoh, tahun 2010 yang lalu terjadi bentrok antara petugas Satpol PP dan

warga dalam kisruh makam Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad atau yang kita kenal

dengan Mbah Priok yang bertempat di Koja, Jakarta Utara. Kedua belah pihak saling

menyerang tanpa ada satu pihak pun yang ingin mengalah. Korban berjatuhan mulai luka

ringan, luka berat, cacat fisik bahkan terenggutnya nyawa seseorang. Jumlah korban

meninggal sebanyak 231 orang dengan 20 korban anak dibawah usia 17 tahun dan sisanya

berasal dari petugas Satpol PP, anggota kepolisian dan masyarakat umum (BeritaJakarta,

2010).

Contoh lain petugas Satpol PP menjadi korban dari tindakan masyarakat saat

melaksanakan tugasnya adalah kasus penyiraman air panas yang dilakukan oleh pedagang

kaki lima terhadap petugas Satpol PP dikawasan Monas (Republika, 2010). Kejadian ini

berawal saat petugas melakukan penertiban pedagang kopi yang berada disekitaran Monas,

petugas menegur para pedagang untuk tidak berjualan disekitaran Monas. Namun, saat

menegur tiba-tiba para pedagang melemparkan batu kepada para petugas. Saat petugas

menghindar pedagang lain datang dan langsung menyiramkan air panas yang ada di dalam

termos kepada petugas Satpol PP sehingga wajah petugas langsung melepuh.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 4: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

4    

Melihat dari beberapa contoh kasus diatas, petugas lapangan Satpol PP ternyata juga

berisiko menjadi korban pada saat mereka melaksanakan pekerjaannya. Sebuah buku yang

berjudul Evolution of Use of Force by Police in the Canadian Context menyebutkan

penggunaan kekerasan oleh polisi menimbulkan cedera baik terhadap petugas ataupun

masyarakat. Namun, cedera yang dialami oleh petugas cenderung kecil seperti patah tulang

atau luka tembak (Beahen, 2008).

Dalam hal ini, kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan petugas lapangan Satpol PP

sama-sama menjadi korban dan sama-sama memiliki kepentingan. Disatu sisi, penertiban

yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP terhadap para pedagang kaki lima

menyebabkan para pedagang kehilangan pekerjaan mereka, karena tempat mereka bekerja di

tertibkan. Disisi lain, petugas lapangan Satpol PP yang merupakan aparat penegak Perda juga

harus melaksanakan tugasnya untuk mencapai dan menciptakan ketertiban bagi masyarakat.

Risiko yang dihadapi oleh petugas lapangan Satpol PP tidak hanya saat petugas berada

di lapangan tapi ketika petugas berada di lingkungan Satpol PP petugas juga berisiko.

Viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP tidak hanya berhenti

ketika mereka menjadi korban dalam melaksanakan tugansya. Akan tetapi, saat mereka

menjadi korban petugas lapangan tidak diberikan perawatan dan perlindungan dari risiko

pekerjaanya oleh Satpol PP. Sehingga, perlu dijelaskan bagaimana risiko viktimisasi

pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta dalam melaksanakan

tugasnya

Tinjauan Teoritis

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah risiko penegakan hukum, viktimisasi

pekerjaan, penegakan ketertiban, tindak kekerasan dan persepsi petugas. Sedangkan, kerangka

teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum dan within the job

trouble dan on the job trouble.

Risiko dapat dianggap sebagai bahaya fisik, kerusakan pada salah satu diri sendiri atau

yang lain, baik melalui tindakan atau kelambanan. Risiko juga nyata tapi kadang-kadang tidak

berwujud membahayakan sebuah organisasi. Risiko bukan hanya tindakan diri tapi kadang

juga berasal dari tindakan lain (Hutto, 2009). Risiko petugas lapangan Satpol PP tidak hanya

dihadapkan pada risiko atau bahaya fisik pada diri mereka tapi juga bisa risiko terhadap

serangan properti yang mereka gunakan saat di lapangan. Namun, risiko yang dihadapi oleh

petugas lapangan Satpol PP lebih cenderung dihadapkan pada bahaya fisik yang pada

akhirnya mengakibatkan cedera.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 5: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

5    

Jika seseorang bekerja atau bertugas dan menjadi korban maka kejadian tersebut dapat

dianggap sebagai viktimisasi di tempat kerja. Korban di tempat kerja dapat berupa kekerasan

mulai dari ancaman dan pembunuhan hingga tindakan tanpa kekerasan seperti pencurian

(Doener & Steven, 2011). Risiko yang paling berbahaya yang akan dihadapi oleh aparat

penegak hukum adalah risiko pembunuhan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Orang

yang bekerja di pekerjaan pemerintah juga berisiko kekerasan di tempat kerja (Doener &

Steven, 2011).

Menurut Walker ketertiban umum merupakan suatu hal yang penting untuk

diwujudkan agar keselamatan dan ketenangan bagi masyarakat tercapai. Namun, dalam

menjaga ketertiban polisi seringkali dihadapkan dengan potensi ketegangan seperti bentrok

(Walker, 2000). Menurut Reiner pemeliharaan ketertiban (order maintenance) merupakan

pekerjaan polisi yang meliputi aspek-aspek pekerjaan polisi yang berorientasi pada non

penegakan hukum (Pike, 2005). Aturan dapat ditegakan jika adanya kekuatan yang memaksa

dari seorang individu atau kelompok yang memiliki hak istimewa yang diakui secara sosial

sehingga berhak untuk bertindak. Kekuatannya berwujud hukum yang dapat ditindak dengan

penerapan kekuatan fisik yang dalam hal ini disebut sebagai norma sosial (Hoebel, 2006).

Weber mendefinisikan tatanan hukum sebagai pesanan mencapai setidaknya sebagian oleh

probabilitas bahwa "aparat koersif" akan dimobilisasi untuk menjatuhkan hukuman, baik fisik

maupun psikologis, sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma, dan hanya karena norma

dilanggar, bukan untuk mencapai keuntungan material lainnya. Aparat koersif dipahami oleh

(Weber, 1978) sebagai :

"satu orang atau lebih yang memiliki tugas khusus untuk siap menerapkan pemaksaan

(pemaksaan hukum) untuk tujuan penegakan norma hukum, dan mampu menahan diri

untuk memahami bahwa tujuan “pemaksaan hukum”, tidak selalu “monopoli

masyarakat politik”

Terkait persepsi petugas, maka persepsi petugas lapangan Satpol PP diartikan sebagai

bagaimana seorang petugas melihat situasi yang ada dengan tindakan yang mereka lakukan.

Kemampuan seorang petugas dalam pengambilan situasi di lapangan akan mempengaruhi

tindakan yang akan mereka lakukan saat di lapangan. Persepsi petugas lapangan dapat dilihat

melalui bagaimana petugas lapangan Satpol PP memandang pekerjaan mereka.

Chaterton, P.A.J Waddington menyebutkan jika lembaga kepolisian membuat diri

mereka merasa takut terhadap ancaman masalah yang dihadapi dalam keseharianya. Masalah

tersebut muncul dalam dua bentuk masalah, yaitu; on the job (pada pekerjaan) dan in the job

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 6: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

6    

(dalam pekerjaan). Dalam konteks ketertiban umum, masalah on the job dihadapkan pada

ancaman terhadap gangguan, minimal saat petugas dihadapkan pada masalah saat melakukan

negosiasi. Sedangan, masalah in the job muncul saat melakukan operasi di lapangan dan

menjelaskan tindakan tersebut (Waddington, 1998). Petugas Satpol PP yang bertugas untuk

menegakan peraturan daerah dihadapkan pada kondisi yang dilematis dalam melaksanakan

tugasnya yang berhubungan dengan on the job trouble dan within the job trouble.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed method). Mixed

method digunakan dengan alasan untuk memperluas pemahaman mengenai berbagai metode

serta mengkonfirmasi temuan dari sumber data berbeda yang didapatkan baik melalui

kualitatif maupun kuantitatif. Mixed method merupakan jenis penelitian dimana peneliti

menggabungkan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam penelitian dengan tujuan

memperoleh kedalaman pemahaman dan pembuktian (Creswell & Clark, 2011).

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data primer,

data sekunder dan observasi. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui dua tahap :

tahap pertama, penelitian kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada petugas lapangan

Satpol PP DKI Jakarta yang kemudian diolah melalui SPSS. Tahap kedua, penelitian

kualitatif dengan melakukan wawancara tidak terstruktur petugas lapangan Satpol PP DKI

Jakarta, pejabat Satpol PP DKI Jakarta dan pedagang kaki lima yang berada di kawasan

Monas.

Data sekunder didapatkan melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara

melakukan penelusuran dan membaca literatur-literatur ilmiah yang didapatkan peneliti dari

berbagai jurnal internasional, buku dan artikel-artikel yang relevan dengan tema penelitian ini.

Selain itu, peneliti juga melakukan penelusuran dan membaca skripsi-skripsi terdahulu yang

berkaitan dengan tema penelitian serta dari berbagai media internet yang diakases oleh

peneliti. Upaya untuk melengkapi data penelitian peneliti juga melakukan observasi di

lapangan. Observasi dilakukan peneliti pada Juni 2013 melalui kegiatan Magang. Saat itu

peneliti di tempatkan pada Bidang Penegakan Hukum Satpol PP DKI Jakarta. Observasi yang

dilakukan peneliti mulai dari melalukan pengamatan, melakukan wawancara tidak terstruktur

kepada petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta hingga turut terlibat langsung dalam kegiatan

Satpol PP. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti ini disebut dengan observasi partisipatoris.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 7: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

7    

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai risiko viktimisasi pekerjaan yang dialami

oleh petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta. Risiko viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh

petugas lapangan Satpol PP dapat dijelaskan dengan menggunakan teori within the job trouble

dan on the job trouble.

Tindakan petugas lapangan Satpol PP yang selama ini di anggap kasar oleh

masyarakat sering menimbulkan pandangan negatif oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat

tidak dengan mudah begitu saja percaya dengan apa yang dilakukan oleh petugas lapangan

Satpol PP. Hal ini disebabkan karena selama ini masyarakat mengenal Satpol PP sebagai

aparat yang suka melakukan penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran rumah,

penertiban gelandangan dan lain-lain. Berkembanganya reputasi buruk petugas lapangan

Satpol PP juga disebabkan karena media yang selalu menyuguhkan dan memberitakan hal-hal

buruk petugas Satpol PP seperti petugas Satpol PP tidak memihak kepada kepentinga

masyarakat, dan sebagainya.

Reputasi terhadap Satpol PP yang tidak baik ini kemudian memunculkan

ketidakpercayaan masyarakat akan tugas seorang petugas Satpol PP. Padahal ketertiban dan

ketentraman kota Jakarta akan dirasakan oleh seluruh masyarakat jika adanya kerjasama

antara masyarakat dan petugas Satpol PP. Kerjasama dapat berjalan jika kepercayaan

masyarakat kepada Satpol PP telah tumbuh. Kepercayaan masyarakat terhadap polisi

didefinisikan sebagai sejauh mana anggota masyarakat memiliki kepercayaan atau

mengandalkan polisi dalam berbagai situasi (Cohen, Plecas, & McCormick, 2006).

Kepercayaan masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP tentunya sejauhmana

masyarakat mempercayai dan mengandalkan petugas lapangan Satpol PP dalam menangani

berbagai operasi kegiatan yang berhubungan dengan tugas pokok Satpol PP khusunya dalam

operasi penertiban.

Terlepas dari itu semua tentunya juga terdapat pandangan positif terhadap Satpol PP.

Pandangan positif muncul jika Satpol PP berhasil melaksanakan tugasnya seperti Satpol PP

melakukan penertiban pedagang kaki lima diwilayah Pasar Minggu dan Tanah Abang.

Sebagian masyarakat ada yang memberikan apresiasi kepada Satpol PP karena cukup berhasil

melakukan penertiban pedagang kaki lima tersebut, sehingga pada wilayah tersebut tidak lagi

macet seperti biasanya.

Hasil penelitian menemukan bahwa dari 27 petugas lapangan yang mengetahui bahwa

pandangan masyarakat terhadap Satpol PP sering bertentangan dengan masyarakat banyak

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 8: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

8    

dari petugas yang merasa prihatin dengan pandangan tersebut. Sehingga, ada petugas

lapangan yang justru memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai tugas-tugas Satpol

PP dengan adanya pandangan negatif tadi. Namun, sebagian petugas tidak terpengaruh

bahkan tidak menanggapi pandangan negatif tersebut.

Tabel 1. Tantangan yang Dihadapi Dalam Menjalankan Tugas

Tantangan Frekuensi Persentase Penuh dengan risiko keselamatan 40 80.0

Sering membutuhkan tindakan represif 5 10.0 Provokasi 1 2.0 Teritorial 1 2.0

Bertentangan dengan hati nurani 1 2.0 Pendekatan persuasif pada masyarakat 1 2.0

Tidak Tahu 1 2.0 Total 50 100.0

Sumber : Data Primer Peneliti

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada situasi tertentu petugas lapangan bekerja dengan

menggunakan tindakan represif. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus dimana

Satpol PP sering menggunakan tindakan represif dalam melaksanakan tugasnya seperti saat

melakukan penertiban pedagang kaki lima. Disisi lain, meskipun petugas lapangan bekerja

dengan penuh risiko dan melakukan tindakan represif, bagi sebagian petugas tantangan yang

terbesar di Satpol PP adalah karena sering bertentangan dengan hati nurani mereka. Sebagai

contoh saat melakukan penertiban pedagang, beberapa petugas lapangan merasa tidak tega

menertibkan para pedagang karena mereka menganggap bahwa masyarakat atau dalam hal ini

pedagang selaku yang ditertibkan juga merupakan bagian dari mereka yang juga mencari

kebutuhan ekonomi.

Hasil penelitian menemukan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi petugas

lapangan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya adalah penuh dengan risiko kesalamatan di

lapangan sebesar 80%, tantangan kedua yang dihadapi adalah bahwa bekerja di Satpol PP

membutuhkan tindakan represif sebesar 10%. Tantangan lain yang dihadapi oleh petugas

lapangan adalah adanya tindakan provokasi, territorial, bertentangan dengan hati nurani, dan

akan melakukan pendekatan persuasif pada masyarakat dan tidak tahu masing-masing sebesar

2%. Tabel 2. Merasa Terancam Dalam Melaksanakan Tugas Dan Bentuk Ancaman Yang Dibayangkan

Perasaan Terancam Ancaman yang dibayangkan Total Luka fisik

Luka non fisik

Tidak relevan

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 9: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

9    

Merasa terancam dalam melaksanakan

tugas

Terancam 10 3 1 14 Tidak

terancam 0 1 1 2

Biasa saja 28 3 3 34 Total 38 7 5 50

Sumber : Data Primer Peneliti

Dalam menjalankan tugasnya petugas lapangan Satpol PP juga dihadapkan dengan

berbagai ancaman mulai dari ancaman fisik, non fisik. Dari tabel diatas terlihat bahwa dari 50

petugas lapangan Satpol PP, 34 petugas diantaranya merasa biasa saja dalam melaksanakan

tugas, sedangkan 14 petugas lapangan lainnya merasa terancam dalam melaksanakan

tugasnya dan 2 petugas lapangan lainnya merasa tidak terancam dalam melaksanakan

tugasnya. Dari 34 petugas lapangan yang merasa biasa saja dalam melaksanakan tugasnya, 28

petugas diantaranya membayangkan ancaman luka fisik saat melaksanakan tugasnya, 3

petugas membayangkan ancaman luka non fisik dan 3 petugas lainnya tidak relevan dengan

ancaman yang dirasakan dalam melaksanakan tugas.

Tempat kerja tidak selalu memberikan rasa aman bagi para pekerjanya, terdapat

beberapa pekerjaan yang justru mengancam pekerjanya. Satpol PP merupakan salah satu

pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman bagi para petugasnya. Rasa aman tersebut juga

meliputi ancaman yang ditimbulkan dalam pekerjaan. Pekerjaan Satpol PP tidak hanya

memberikan ancaman terhadap pekerjaannya tapi juga memiliki risiko bahaya yang cukup

tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Petugas lapangan Satpol PP dihadapkan pada kondisi “within the job trouble” dan “on

the job trouble” yang dikemukakan oleh Chatterton (1978). Masalah within the job

berhubungan dengan sifat pekerjaan yang ada di dalam pekerjaan petugas lapangan Satpol PP.

Petugas lapangan Satpol PP yang sudah memilih untuk bekerja di Satpol PP sudah

dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti; sifat pekerjaan yang berisiko dan

pandangan negatif masyarakat. Masalah yang dihadapi oleh petugas lapangan ini dapat

digolongkan pada viktimisasi pekerjaan.

Sedangkan, masalah on the job berhubungan jika petugas lapangan berada di

lapangan. Saat bertugas di lapangan petugas dihadapkan dengan berbagai perlawanan dari

masyarakat. Adanya perlawanan tersebut berakhir pada bentrok antara petugas lapangan

Satpol PP dan masyarakat yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Namun, saat

petugas lapangan menjadi korban dalam pelaksanaan tugasnya petugas lapangan seringkali

tidak mendapatkan perawatan dari Satpol PP. Atau, Satpol PP seringkali abai terhadap

petugas lapangan yang setiap harinya berhadapan dengan masyarakat.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 10: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

10    

Tabel 3. Pihak Yang Potensial Mengancam Dalam Bertugas

Pihak Potensial Mengancam Frekuensi Persentase Pedagang kaki lima 15 30.0

PMKS 1 2.0 Masyarakat biasa 3 6.0

Ormas 26 52.0 Tidak tahu 1 2.0

Tidak relevan 4 8.0 Total 50 100.0

Sumber : Data Primer Peneliti

Dari hasil wawancara terstrusktur yang telah dilakukan kepada 50 petugas lapangan

Satpol PP DKI Jakarta terlihat bahwa pihak yang paling berpotensial mengancam petugas

lapangan saat bertugas adalah organisasi masyarakat (Ormas) yaitu sebanyak 52% yaitu 26

petugas lapangan menjawab hal tersebut. Sedangkan, sebanyak 30% yaitu 15 petugas merasa

bahwa pihak yang lebih berpotensial mengancam saat melaksanakan tugas di lapangan adalah

pedagang kaki lima. Sedangkan, sebanyak 6% yaitu 3 petugas merasa bahwa yang

berpotensial mengancam saat melaksanakan tugas di lapangan adalah masyarakat biasa.

Sebesar 2% yaitu 1 petugas masing-masing petugas menjawab bahwa PMKS lah yang

berpotensial mengancam kepada petugas saat di lapangan sedangakan 1 petugas lagi

menjawab tidak tahu.

Ternyata pihak yang paling berpotensi mengancam petugas lapangan Satpol PP adalah

ormas. Hal ini berbeda dengan asumsi peneliti selama ini yang menganggap pedagang kaki

lima yang paling berpotensi mengancam petugas lapangan Satpol PP. Meskipun, ormas bukan

pihak yang termasuk dalam sasaran penertiban petugas lapangan Satpol PP tapi keberadaan

ormas sering muncul di saat penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Keberadaan ormas

disini cenderung melakukan tindakan provokasi terhadap sasaran penertiban yang pada

akhirnya berujung pada perlawanan dan bentrok.

Dari hasil wawancara terstruktur yang dilakukan ditemukan bahwa dari 50 petugas

lapangan Satpol PP, sebanyak 28 petugas lapangan menjawab bahwa adanya perlawanan dari

masyarakat kepada petugas lapangan disebabkan karna adanya provokasi, sebanyak 16

petugas lapangan menjawab bahwa perlawanan dari masyarakat kepada petugas lapangan

disebabkan karena ketidakpuasan masyarakat terhadap aturan khusunya Peraturan Daerah,

dan 6 petugas lapangan lainnya menjawab bahwa adanya perlawanan dari masyarakat kepada

petugas lapangan disebabkan karena masyarakat menstigma buruk kinerja petugas Satpol PP.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 11: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

11    

Tabel di bawah menjelaskan tentang kenapa perlawanan masyarakat kepada petugas lapangan

bisa terjadi.

Tabel 4. Perlawanan Masyarakat Kepada Petugas Lapangan

Perlawanan Masyarakat Frekuensi Persentase Ketidakpuasan terhadap aturan / Perda 16 32.0

Menstigma buruk kinerja petugas Satpol PP 6 12.0 Provokasi 28 56.0

Total 50 100.0 Sumber : Data Primer Peneliti

Menurut Kahan dalam Teori Penegakan Hukum terdapat tiga tugas penegakan hukum

yaitu pertama, mengklarifikasi isi larangan; kedua, pencegahan pelanggaran terhadap larangan

dan ketiga, konsekuensi ketika pelanggaran tetap terjadi. Pada tugas yang kedua, sebenarnya

Satpol PP telah melakukan berbagai cara sebelum mereka melakukan operasi di lapangan.

Sebagai contoh, saat melakukan penertiban pedagang kaki lima, sebelumnya Satpol PP telah

memberikan berbagai peringatan bahkan sosialisasi kepada para pedagang bahwa pada

wilayah-wilayah tertentu tidak diperbolehkan untuk berdagang. Peringatan dilakukan untuk

mengurangi peluang bagi para pelanggar untuk melanggar serta untuk mengurangi bentrok

antara petugas dan pedagang. Peringatan tidak hanya berupa peringatan secara tertulis tetapi

juga peringatan secara lisan.

Cara petugas lapangan Satpol PP dalam mengurangi peluang bagi calon pelanggar

untuk melakukan pelanggaran telah dilakukan sesuai dengan tiga tugas penegakan hukum

yang dikemukakan oleh Kahan. Petugas lapangan Satpol PP telah melakukan tindakan

antisipatif seperti memberikan peringatan dan melakukan patroli. Saat pelanggaran tersebut

sedang berlangsung petugas lapangan juga melakukan tindakan antisipatif memberikan

peringatan langsung kepada pelanggar.

Terkait dengan perlawanan yang dilakukan pedagang kaki lima ketika diadakan

penertiban, Bapak Nana menjelasakan :

“Ya udahlah. Disana kan udah nggak boleh tapi mereka tetap aja disana, kan itu

bandel, itu juga bukan sekali dua kali, emang di situ itu emang nggak

boleh”(Wawancara Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014 di Kantor Satpol

PP).

Pedagang selaku pihak yang ditertibkan juga turut membenarkan bahwa sebelum

ditertibkan pihak Satpol PP telah memberikan peringatan kepada para pedagang. Peringatan

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 12: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

12    

oleh pihak Satpol PP ada yang dilakukan secara langsung kepada para pedagang ada juga

yang langsung kepada para agen penyedia barang. Jika Satpol PP memberikan peringatan

pada agen penyedia barang maka mereka langsung yang memberitahukan kepada para

pedagang. Pedagangpun juga sadar bahwa tindakan mereka yang masih berdagang di wilayah

tertentu merupakan sebuah pelanggaran. Terkait dengan hal tersebut, Ibu Nunung

mengatakan:

“Ada, ada dikasih tau tapi kan bandel. Disuruh keluar nggak mau. Udah di bilang

nggak boleh masuk tapi pedagang masih suka masuk, abis orang pada mau nyari duit

coba kalau nggak pada nyari duit. Kalau sama dia nggak boleh apa-apa”.(Wawancara

Pedagang Ibu Nunung, 27 April 2014 di Monas).

Mencermati hal di atas, Sosiolog Giovanni Sartor dalam The Loss of Public Trust in

Law Enforcement (Frazier, 2007) menyebutkan, bahwa:

if there was no trust, co-operation would end, and the whole fabric of society would

collapse.

Pendapat Sartor (2007) tersebut dapat menjelaskan bahwa memang bagaimanapun

Satpol PP sebagai aparat penegak Perda harus menegakkan aturan khususnya dalam

pemeliharaan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Untuk menegakkan hal ini maka juga

diperlukan kerjasama dengan masyarakat agar ketertiban tersebut bisa terwujud. Tanpa

adanya dukungan dan kerja sama masyarakat, ketertiban dan ketentaraman tidak akan dapat

terwujud. Selain itu, juga diperlukannya kepercayaan masyarakat kepada para petugas

lapangan Satpol PP. Jika kepercayaan masyarakat sudah tumbuh petugas Satpol PP mau tidak

mau pasti juga akan berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam rangka mewujudkan kota

Jakarta yang tertib dan tentram.

Dalam The Principle of Good Policing (Perez & Walsh, 2006) disebutkan bahwa dari

perspektif kepolisian, keberhasilan tujuan dari aparat penegak hukum harus memiliki dua

manfaat utama. Pertama, meningkatkan keselamatan para petugas. Kedua, menumbuhkan

kerjasama dan saling menghormati antar polisi dan orang-orang yang mereka layani yaitu

masyarakat. Sama halnya dengan Satpol PP, kinerja mereka akan dinilai berhasil jika dalam

pelaksanaan tuganya tidak lagi menimbulkan korban baik dari pihak masyarakat ataupun dari

petugas lapangan Satpol PP. Keselamatan dalam setiap pelaksanaan tugasnya tidak hanya

berkaitan dengan keselamatan petugas lapangan Satpol PP tapi juga harus memberikan

keselamatan bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya kerjasama oleh masyarakat dan

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 13: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

13    

perlu adanya saling menghormati antar sesama petugas lapangan Satpol PP dan saling peduli

antar sesama petugas.

Dari 50 petugas lapangan di temukan bahwa 19 petugas lapangan pernah beberapa kali

mengalami kekerasan dalam melaksanakan tugasnya dimana 16 di antaranya mengalami

kekerasan fisik, 2 petugas lapangan mengalami kekerasan non fisik dan 1 petugas lapangan

lainnya menjawab tidak relevan, 18 petugas lapangan tidak pernah mengalami kekerasan

dalam melaksanakan tugasnya, 7 petugas lapangan mengaku pernah mengalami kekerasan

setiap operasi lapangan dan sebanyak 6 petugas lapangan mengaku pernah sekali mengalami

kekerasan dalam melaksnakan tugasnya.

Luka fisik yang pernah di alami oleh salah satu petugas lapangan Satpol PP yaitu

dialami oleh Bapak Nana saat ia masih bertugas di Satpol PP wilayah. Ia mengalami luka fisik

saat melakukan pengosongan tanah di wilayah Pasar Gembrong. Terkait dengan hal ini,

Bapak Nana menjelaskan:

“Pasar gembrong. Jari ini patah lima lima nya, digebuk sepuluh orang gua pake balok,

kepala enam jahitan, gigi patah, jidad 2 jahitan”. “Iya satu orang doang. Tapi yang satu

orang doang enggak keliatan cuma dijahit doang kalau saya kan enggak udah kepala,

kening, tanganpun di gips. Saya disuruh pulang sama dokter, pulang aja nggak apa apa

pak. Jadi waktu pulang saya udah kayak orang mabok terasa mau pingsannya.

Kejadiannya dua puluh enam September dua ribu enam. Saya dua bulan dua gips cuma

nggak rata. Itupun saya berenti digebukin karena saya pura-pura mati” (Wawancara

Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014 di Kantor Satpol PP)

Tabel di bawah menjelaskan tentang apakah petugas lapangan pernah

mengalami kekerasan dalam melaksanakan tugasnya dan bentuk kekerasan yang

dialami oleh petugas lapangan.

Tabel 5. Mengalami Kekerasan Dalam Melaksanakan Tugas Terhadap Bentuk Kekerasan Yang

Dialami

Pengalaman Kekerasan Bentuk kekerasan yang dialami Total Fisik Non fisik Tidak

relevan Mengalami

kekerasan dalam melaksanakan

tugas

Pernah, setiap operasi

lapangan

6 0 1 7

Pernah, beberapa kali

16 2 1 19

Pernah sekali 4 2 0 6 Tidak pernah 3 2 13 18

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 14: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

14    

Total 29 6 15 50 Sumber : Data Primer Peneliti

Ketika ditanyakan tentang apakah pada situasi tertentu petugas lapangan memerlukan

tindak kekerasan, sebanyak 58% yaitu 29 petugas lapangan menjawab bahwa petugas

lapangan tidak memerlukan tindak kekerasan pada situasi tertentu. Sedangkan, sebanyak 36%

yaitu 18 petugas lapangan menjawab bahwa pada situasi tertentu petugas lapangan juga

memerlukan tindak kekerasan. Dan sebanyak 6% yaitu sebanyak 3 petugas lapangan

menjawab tidak relevan jika menggunakan tindak kekerasan pada situasi tertentu.

Artinya, bahwa pandangan yang selama ini yang menyebutkan bahwa petugas Satpol

PP sering melakukan kekerasan. Bagi petugas sendiri merasa tindakan kekerasan itu memang

tidak diperlukan. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP selama

ini terjadi karena berbagai tindakan sebelum operasi lapangan tidak lagi ditanggapi oleh

sasaran operasi. Tindakan kekerasan akan terjadi jika adanya perlawanan dari masyarakat atau

dalam hal ini sasaran operasi. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Kukuh menjelaskan :

“Tidak. Karena kami tidak akan melakukan kekerasan. Kalau orangnya nggak mau ya

kita tetep nggak mau melakukan kekerasan. Misalnya nih, kalau dia nggak mau

digusur tapi dia nggak mau ya kita tangkap aja. Kita nggak mau, kalau misalnya dia

meronta-ronta ya kita gotong. Misalnya kayak penertiban di Pluit ada yang di gotong

karena dia ngerangkul mobil itu. Kalau ke geser kan bisa kena, oleh Polisi diangkat

nggak mau ya dirangkul sama Satpol, kalau nggak mau juga ya kita gotong. Tidak

akan kita hajar tidak, itu tidak perlu”. (Wawancara KaSatpol PP DKI Jakarta Bapak

Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol PP).

Tabel 6. Pada Situasi Tertentu Perlukan Tindak Kekerasan

Perlu/Tidak Kekerasan Frekuensi Persentase Iya 18 36.0

Tidak 29 58.0 Tidak relevan 3 6.0

Total 50 100.0 Sumber : Data Primer Peneliti

Aparat penegak hukum khususnya polisi atau dalam hal ini Satpol PP pada di situasi

tertentu memerlukan tindakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya. Tindakan kekerasan

bagi aparat penegak memang diperbolehkan selama masih dibutuhkan atau sewajarnya.

Tindakan kekerasan yang digunakan tidak boleh berlebihan seperti selama ini petugas

lapangan Satpol PP banyak yang menyalahgunakan tindakan kekerasan tersebut.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 15: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

15    

Kenneth Adam tahun 1995 dalam buku Police Coercion Application of The Force

Continuum menyebutkan: penggunaan kekuatan yang berlebihan (use of excessive force)

dapat didefinisikan sebagai kekuatan lebih yang dibutuhkan untuk memperoleh kepatuhan

dalam insiden tertentu, sementara berlebihan menggunakan kekuatan (excessive use of force)

dapat didefinisikan sebagai menggunakan kekuatan yang terlalu banyak dalam insiden

(Terrill, 2001). Penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP

selama ini memang lebih cenderung excessive use of force atau menggunakan kekuatan secara

berlebihan. Kekuatan tersebut digunakan tidak hanya pada situasi yang dibutuhkan tapi juga

disaat yang tidak dibutuhkan. Penggunaan kekuatan tersebut pada akhirnya bukan

menciptakan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan tapi justru menciptakan perlawanan

masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP.

Satpol PP dalam setiap pelaksanaan tugasnya berusaha tidak menggunakan kekerasan.

Untuk itu, Kepala Satpol PP sendiri tidak lagi memperbolehkan para anggotanya di lapangan

untuk menggunakan senjata seperti pentungan ataupun tameng. Karena dengan adanya senjata

ini tidak menutup kemungkinan bahwa petugas akan menggunakannya sebagai alat untuk

mempertahankan dirinya pada sitausi yang darurat. Pelarangan penggunaan tameng dan

pentungan ini baru dijalankan sejak setahun yang lalu. Pelarangan penggunaan tameng dan

pentungan ini juga untuk mengurangi pandangan negatif masyarakat bahwa petugas Satpol PP

sering melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata yang dibekali kepada mereka.

Untuk lebih jelas, kita simak penuturan Bapak Kukuh :

“Dalam satu tahun ini anggota Saya tidak Saya bekali dengan pentungan, tidak Saya

bekali dengan tameng, hanya dengan tangan kosong. Tentunya banyak risiko-risiko

yang tidak terungkap seperti anggota saya dilempar terus kepalanya bocor, anggota

Saya disiram air panas tapi semua tidak terekspos dan semua tidak kita lakukan

penuntutan karna keberadaan kita memang sebagai abdi masyarakat tadi

“.(Wawancara KaSatpol PP DKI Jakarta Bapak Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol

PP)

Berbagai cara dilakukan petugas untuk tidak menggunakan kekerasan dalam

melaksanakan tugasnya. Sebagai contoh, dalam rangka menegakan Perda maka Satpol PP

Solo mengedepankan tindakan persuasif saat di lapangan dengan menggunakan buku catatan.

Jadi ketika petugas menemukan pelanggaran maka pelanggar akan diberikan buku catatan dan

buku panduan. Buku tersebut merupakan salah satu peringatan dari petugas Satpol PP Solo.

Beda halnya dengan apa yang dilakukan oleh Satpol PP Surabaya. Satpol PP Surabaya

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 16: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

16    

merekrut petugas lapangan Satpol PP cantik atau yang disingkat dengan Satpoltik. Satpoltik

ini dibentuk sejak tahun 2011 yang ditugaskan untuk melakukan pendekatan kepada anak-

anak dan perempuan.

Cara pendekatan yang dilakukan oleh Satpol PP ini merupakan salah satu langkah

untuk mewujudkan agar masyarakat taat pada aturan, mengubah pandangan negatif

masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP selama ini yang dikenal kasar. Tindakan

persuasif dan humanis memang harus diutamakan agar tugas Satpol PP untuk menciptakan

ketertiban dapat terwujud. Bagaimanapun terlepas dari petugas menggunakan kekerasan atau

tidak di lapangan apapun keputusan yang diambil oleh petugas selalu dipandang negatif oleh

masyarakat karena merugikan mereka. Semua tindakan yang dilakukan petugas hanyalah

dalam rangka menegakan Perda.

Terkait dengan uraian di atas, penulis mengacu pendapat Novak dalam bukunya Civil

Liability and Aggressive Policing menyebutkan (Novak, Smith, & Frank, 2003) :

“Citizens continue to demand that officers be held accountable for their behaviours

and they insist that police organizations be accountable for reducing crime in their

communities”

Terjemahan bebas : warga terus menuntut bahwa petugas bertanggung jawab atas

perilaku mereka dan mereka bersikeras bahwa organisasi kepolisian bertanggung

jawab untuk mengurangi kejahatan di masyarakat.

Langkah apapun yang diambil petugas lapangan selama menjalankan tugasnya akan

selalu dianggap tidak baik bagi masyarakat. Petugas lapangan dihadapkan pada situasi yang

serba salah. Pada sisi lain, masyarakat menuntut suatu kondisi yang tertib tapi pada sisi lain

masyarakat justru tidak mendukung tegaknya aturan yang ditunjukkan dengan adanya

perlawanan saat petugas lapangan melakukan operasi kegiatan.

Dari 50 petugas lapangan, sebanyak 21 petugas menjawab bahwa jika petugas

lapangan menjadi korban dalam bertugas di lapangan maka instansi akan menjamin

perawatan dengan baik. Dimana, 11 petugas lapangan diantaranya merasa puas dengan repson

instansi, 10 petugas lainnya merasa biasa saja dengan respon instansi tersebut. Sementara itu,

sebanyak 13 petugas menjawab bahwa jika petugas lapangan menjadi korban dalam

melaksanakn tugasnya di lapangan maka instansi tidak memberikan respon yang begitu

berarti bagi para petugas lapangan. Sedangkan, sebanyak 6 petugas lapangan menjawab jika

petugas lapangan menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya maka instansi akan

memberikan kompensasi bagi para petugas lapangan.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 17: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

17    

Tabel di bawah menjelaskan tentang respon yang diberikan instansi saat petugas

lapangan menjadi korban dalam bertugas di lapangan dan apakah petugas lapangan puas

dengan respon instansi tersebut.

Tabel 7. Respon Instansi Saat Petugas Lapangan Menjadi Korban Dan Respon Pertugas Terhadap

Respon Instansi

Respon Petugas

Apakah merasa puas dengan respon instansi

Total

Puas Biasa saja

Tidak puas

Tidak relevan

Respon instansi saat petugas lapangan menjadi korban

dalam bertugas di lapangan

Menjamin perawatan

dengan baik

11 10 0 0 21

Memberikan kompensasi

1 4 1 0 6

Tidak memberikan respon yang

berarti

1 2 10 0 13

Tidak relevan 2 3 2 3 10 Total 15 19 13 3 50

Sumber : Data Primer Peneliti

Dari hasil wawancara yang telah di lakukan kepada Kasi Penertiban Umum Bapak

Darwis ia mengatakan bahwa jika saat operasi di lapangan ada petugas lapangan yang

mengalami rriko seperti luka fisik maka petugas lapangan akan langsung di obatin dan di

bawa ke rumah sakit,meskipun semua tanggungannya di tanggung sendiri oleh pimpinan yang

bertanggung jawab saat melakukan penertiban pada saat itu. Beliau mengatakan petugas

dengan status kepegawaian PNS memang ada jaminan keselamatan tapi harus melalui proses

yang begitu panjang seperti pengurusan Jamkesmas dan lainnya tapi jika petugas lapangan

dengan dengan status kepegawaian tidak memiliki jaminan kesehatan yang di tanggung oleh

pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Pukka menjelaskan :

“Kalau yang masih honor itu enggak tapi kalau yang udah PNS mereka ini kan mereka

ngingkutin kesehatan DKI”. “Iya tanggung sendiri-sendiri”. (Wawancara Petugas

Lapangan Bapak Pukka, 24 April 2014 di Kantor Satpol PP)

Meskipun petugas banyak yang menjawab bahwa instansi akan memberikan

perawatan yang baik kepada petugas lapangan yang menjadi kroban. Namun, beda halnya

dengan apa yang dialami oleh Bapak Nana. Saat ia menjadi korban pengosongan tanah dia

tidak mendapatkan santunan sama sekali bahkan instansi juga tidak memberikan perawatan

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 18: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

18    

yang baik kepadanya. Meskipun pada saat ia menjadi korban ia masih di Satpol PP Jakarta

Timur. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Nana menjelaskan :

“Saya ditanyain pun enggak. Saya ditanya sama Kasi OP saya “dikira cuma luka

doang”. Kan goblok banget. Ya Alhamdulillah, ya Alhamdulillah ditanya aja enggak

apalagi duit gimana sih”. (Wawancara Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014

di Kantor Satpol PP)

Untuk itu, dalam rangka melindungi keselamatan para petugas lapangan Satpol PP di

lapangan maka para petugas diwajibkan untuk membekali diri mereka dengan mengikuti

berbagai kegiatan bela diri. Kegiatan bela diri tersebut diantaranya seperti tarung drajat,

merpati putih, silat dan karate. Hal ini dilakukan agar petugas lapangan bisa melindungi diri

mereka selama di lapangan. Petugas lapangan Satpol PP yang tidak lagi dibekali dengan

senjata seperti tameng dan pentungan maka jika pada saat tertentu dihadapkan dengan situasi

yang berbahaya maka mereka bisa melindungi diri mereka dengan bela diri tadi. Tindakan ini

merupakan salah satu langkah preventif yang dilakukan oleh Satpol PP dalam melindungi

petugas di lapangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh KaSatpol PP DKI Jakarta bahwa saat

ini ia mewajibkan seluruh petugas Satpol PP mengikuti kegiatan bela diri :

“Satpol PP itu kebetulan ada dibawah Pemda DKI dan Pemda DKI alhamdulillah ada

biaya. Setiap Selasa saya perintahkan untuk harus dan wajib ikut bela diri mulai dari

karate. Ya Satpol PP jago karate. Tarung drajat, empunya ada disini. Pencak silat,

juaranya ada disini. Setiap Kamis latihan. Merpati putih pun juga. Setiap Satpol PP

Saya perintahkan dan wajib punya keterampilan”. (Wawancara KaSatpol PP DKI

Jakarta Bapak Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol PP)

Kesimpulan

Petugas lapangan Satpol PP yang merupakan aparat penegak peraturan daerah dalam

menjalankan tugasnya dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi, petugas lapangan

harus menegakan aturan Peraturan Daerah agar suasana tertib dan tentram dapat tercipta. Di

sisi lain, penertiban yang dilakukan oleh petugas lapangan menyebabkan kerugian dan

kehilangan pekerjaan oleh pedagang. Dalam menjalankan tugasnya, petugas lapangan Satpol

PP tidak selalu dihadapkan pada situasi yang aman, petugas lapangan Satpol PP juga

dihadapkan dengan berbagai perlawanan dari masyarakat. Perlawanan oleh masyarakat

tersebut merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap suatu aturan. Perlawanan yang terjadi

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 19: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

19    

selalu berujung pada bentrok yang pada akhirnya berujung pada timbulnya korban baik dari

pihak masyarakat maupun dari petugas lapangan Satpol PP.

Petugas dihadapakan pada kondisi within on the job trouble dan kondisi on the job

trouble. Kondisi within the job trouble berhubungan dengan sifat pekerjaan petugas yang

memiliki masalah. Sedangkan, kondisi on the job trouble berhubungan ketika petugas

lapangan dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang ada di lapangan.Petugas lapangan

Satpol PP berisiko menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya. Petugas lapangan juga

mengalami luka fisik, cedera dan hilangnya nyawa petugas lapangan. Ketika petugas

lapangan Satpol PP menjadi korban petugas lapangan juga tidak mendapatkan perlindungan

dan perawatan oleh Pemerintah Daerah khususnya Satpol PP

Saran

1. Terciptanya kondisi DKI Jakarta yang tertib dan tentram maka diperlukannya

kerjasama antar pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan

masyarakat.

2. Perlunya keterlibatan langsung petugas lapangan Satpol PP dan masyarakat dalam

membuat sebuah aturan agar kedua belah pihak sama-sama mengetahui tugas dan

kewajiban mereka

3. Permberian dana kompenasi dan perawatan yang baik bagi para petugas lapangan

yang menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya. Khususnya bagi petugas

lapangan Satpol PP yang masih berstatus PTT (Pegawai Tidak Tetap)

Daftar Referensi

Andhi Ismawan, D. (2008). Kajian Kerentanan Kawasan Permukiman Padat Terhadap Bencana Kebakaran di Kecamatan Tambora - Jakarta Barat. Semarang: Universitas Diponegoro.

Andrianingsih, S. (2008). Implementasi Kebijakan. Depok: Universitas Indonesia.

Badan Pusat Statistik . (2013). Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2013. Jakarta: BPS.

Cohen, D. I., Plecas, D. D., & McCormick, A. (2006). Public Safety, Victimization, and Perceptions of the Police in 8 RCMP Jurisdictions in British Columbia.

Creswell, J. W., & Clark, V. L. (2011). Designing and Conducting Mixed Method Research. In J. W. Creswell, & V. L. Clark, Designing and Conducting Mixed Method Research (p. 4). US: Sage Publications.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014

Page 20: Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong ...

20    

Doener, W. G., & Steven, P. (2011). Victimization at School and Work. In W. G. Doener, & S. P, Victimology (p. 412). Sagepub.

Frazier, s. L. (2007). The Loss of Public Trust in Law Enforcement. Madera Police Department .

Hoebel, A. E. (2006). The Law of Primitive Ma : A Study in Comparative Legal Dynamics. Cambridge: Harvard University Press.

Hutto, J. (2009). Risk Management in Law Enforcemet : A Model Assessment Tool. Texas State University.

Novak, K. J., Smith, B. W., & Frank, J. (2003). Strange Bedfellows: Civil Liability and Aggressive Policing. USA: Policing: An International Journal of Police Strategies & Management.

Perez, J. G., & Walsh, M. A. (2006). Principle of Good Policing: Avoiding Violence Between Police Citizens. Washington DC: U.S Department of Justice.

Pike, F. (2005). The Public Order Policing of Community Based Events. England, UK: University of Surrey.

Satpol PP dan Linmas. (2012). Satpol PP dan Linmas. Retrieved March 14, 2014, from Satpol PP dan Linmas: http://www.pplinmas.tanahbumbukab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=96:sejarah-satpolpp&catid=45:artikel&Itemid=107

Terrill, W. (2001). Police Coercion Application of The Force Continuum. New York: LFB Scholarly Publishing LLC.

Thamrin, I. M. (2009). Bubarkan Satpol PP . T-Ras PUSHAM UII , 1-44.

Waddington, P. (1998). Both Arms of the Law: Institutionalised Protest and the Policing of Public Order. England: British Society of Criminology.

Walker, N. (2000). Policing in a Changing Constitutional Order. London: Sweet Maxwell.

Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Barkeley: University of California Press.

Weisburd, D., Greenspan, R., Hamilton, E., Bryant, K., & Williams, H. (2001). The Abuse of Police Authority. Washington DC: The Police Faoundation.

Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014