SKRIPSI POLRI - Unhas

109
SKRIPSI TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PENANGGULANGAN AKSI UNJUK RASA OLEH ANGGOTA POLRI Oleh AGRYAN PIKARSA B 111 08 431 PROGRAM KEKHUSUSAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Transcript of SKRIPSI POLRI - Unhas

Page 1: SKRIPSI POLRI - Unhas

SKRIPSI

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP

PENANGGULANGAN AKSI UNJUK RASA OLEH ANGGOTA

POLRI

Oleh

AGRYAN PIKARSA

B 111 08 431

PROGRAM KEKHUSUSAN PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

Page 2: SKRIPSI POLRI - Unhas

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PENAGGULANGAN

AKSI UNJUK RASA OLEH ANGGOTA POLRI

Oleh:

AGRYAN PIKARSA

B 111 08 431

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka Penyelesaian

Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

Page 3: SKRIPSI POLRI - Unhas

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segal limpahan berkat dan karunia-Nya yang senantiasa memberi

petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada

jenjang Strata Satu (S1) pada Fakultas hukum Universitas Hasanuddin.

Penulis sangat bersyukur karena penyusunan skripsi ini dapat

diselesaikan sesuai dengan rencana dan harapan sekalipun harus

melewati berbagai macam rintangan dan kesulitan. Selesainya skripsi ini

tidak terlepas dari bentuan dan dorongan serta motivasi yang besar dari

berbagai pihak yang diberikan kepada penulis. Maka dari itu dengan

penuh rasa hormat, cinta, dan kasih sayang penulis mengucapkan terima

kasih kepada ayahanda Hanz Berch dan ibunda Sarlotha Kadarma yang

senantiasa merawat, mendidik, dan memotivasi penulis dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang dari kecil hingga saat ini, serta kakanda

Virdian Manasye dan adinda Septian Darma dan Rischi Ireine Putri.

Kepada para sahabat yang sangat setia menemani penulis dalam

perkuliahan di Fakultas Hukum Unhas, baik suka maupun duka. Mulai dari

semester pertama sampai sekarang. Terima kasih untuk semuanya.

Page 4: SKRIPSI POLRI - Unhas

v

Terima kasih pula penulis haturkan kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya;

2. Dekan dan Wakil Dekan I, I, dan III fakultas Hukum Universitas

Hasanudin dan segenap jajarannya;

3. Ketua Bagian, Sekretaris Bagian Hukum Pidana, para dosen di

Bagian Hukum Pidana serta segenap dosen pada Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin;

4. Bapak Prof Dr. Andi Sofyan, S.H.,M.H selaku Pembimbing I dan

Bapak Amir Ilyas, S.H.,M.H selaku Pembimbing II di tengah-tengah

kesibukan dan aktivitasnya, beliau telah bersedia menyediakan

waktunya membimbing dan menyemangati penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.S., DFM, Bapak Prof. Dr. M. Syukri

Akub, S.H., M.H, dan Ibu Dara Indrawati, S.H., M.H selaku Tim

Penguji, terima kasih atas segala saran dan masukannya yang

sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Ruslan Hambali, S.H., M.H sebagai Penasehat Akademik

yang bersedia meluangkan waktunya membimbing penulis selama

berada di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Kepada Kepala Akademik beserta sebagian besar jajarannya

dengan perkataan dan perbuatannya yang aneh dan terkdang tidak

masuk akal,sering melatih dan/atau menguji penulis untuk

mengontrol emosi dan selalu bersikap sabar sehingga tidak anarkis.

Page 5: SKRIPSI POLRI - Unhas

vi

8. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

haturkan kepada aparat dan staf Polrestabes Makassar dan

Kepolisian Daerah Sulselbar yang sudah menerima penulis dengan

ramah, memberi data, dan bersedia meluangkan waktunya untuk

diwawancarai oleh penulis.

9. Secara spesial ucapan terima kasih juga bagi Giri Dari Dewi yang

telah menemani penulis dalam suka & duka sampai sekarang serta

sabar memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Terima kasih bagi seluruh kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik

PMK FH-UH yang telah menjadi rumah dan keluarga kedua bagi

penulis.

JBU all...

11. Terima kasih bagi seluruh anggota UKM Resimen Mahasiswa

Satuan 701 Unhas yang selama ini telah membantu dalam

pembinaan karakter bagi penulis agar menjadi lebih baik.

12. Semua teman-teman Angkatan Notaris ’08.

13. Keluarga KKN Reguler Angkatan ’80 Desa Bonto Tiro, Kecamatan

Sinoa, Kabupaten Bantaeng, terima kasih atas segala kisah dan

kebersamaan yang pernah tercipta.

14. Juga untuk semua pihak yang telah banyak membantu penulis tapi

tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan membalasnya.

Namun demikian, sebagai manusia yang tentunya memiliki

keterbatasan, tidak menutup kemungkinan masih ditemukan kekurangan

Page 6: SKRIPSI POLRI - Unhas

vii

dan kelemahan dalam penulisan skrisi ini. Oleh karena itu, segala

masukan dalam berntuk kritik dan saran yang sifatnya membangun

senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan dan penulisan di masa

yang akan datang. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas

pengorbanan tulus yang telah diberikan dengan segala limpahan berkat

dan karunia-Nya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita

semua. Amin.

Makassar, Juli 2012

Penulis

Page 7: SKRIPSI POLRI - Unhas

iii

ABSTRAK

“Tinjauan Kriminologis Terhadap Penanggulangan Aksi Unjuk Rasa Oleh Anggota Polri” oleh Agryan Pikarsa (B 111 08 431), yang dibimbing oleh Andi Sofyan dan Amir Ilyas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tindakan yang seharusnya dilakukan serta upaya yang telah dilakukan oleh anggota Polri dalam rangka mengurangi adanya tindakan kekerasan oleh pihak kepolisian dalam pelayanan terhadap aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini kerap berakhir bentrok dengan massa pengunjuk rasa.

Penelitian ini dilaksanakan di Polrestabes Makassar dan Polda Sulselbar. Data yang diperoleh adalah data Primer dan data Sekunder melalui penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian yang diperoleh, baik melalui wawancara maupun analisis kepustakaan menunjukkan bahwa terjadinya tindakan represif anggota kepolisian berupa tindak kekerasan disebabkan oleh faktor adanya penyerangan massa terhadap aparat yang memancing emosi dari pihak kepolisian yang melakukan pengamanan, adanya anggota polisi yang tidak mengikuti perintah pimpinan dan SOP yang berlaku, serta rendahnya pengetahuan aparat terhadap referensi peraturan dalam penanggulangan aksi unjuk rasa.

Adapun upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani tindak kekerasan tersebut tidak jauh berbeda dengan kejahatan lainnya, dari tahap penyelidikan sampai penyelesaian berkas perkara dan jika terbukti melakukan pelanggaran, maka anggota Polri tersebut dikenakan sanksi berdasarkan pelanggaran yang dilakukan baik pelanggaran disiplin, kode etik, dan pelanggaran pidana. Selain itu, upaya pencegahan (preventif) yang dilakukan oleh aparat kepolisian berupa pembinaan mental, kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi bagi setiap anggota Polri secara rutin, pemberian arahan pimpinan sebelum melakukan pengamanan, serta mengutamakan negosiasi dengan massa pengunjuk rasa.

Page 8: SKRIPSI POLRI - Unhas

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................... 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian

A. Kriminologi a. Kriminologi ......................................................................... 10 b. Objek Studi Kriminologi .................................................... 12 c. Manfaat Mempelajari Kriminologi ..................................... 13

B. Penyampaian Pendapat Di Muka Umum a. Penyampaian Pendapat Di Muka Umum ........................... 15 b. Jenis Penyampaian Pendapat .......................................... 15 c. Pengertian Unjuk Rasa atau Demonstrasi ........................ 16 d. Asas Penyampaian Pendapat Di Muka Umum ................ 17 e. Tujuan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum .............. 17 f. Tata Cara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum .......... 18

C. Anarki ...................................................................................... 18 D. Kekerasan

a. Kekerasan ......................................................................... 20 b. Jenis - Jenis Kekerasan .................................................... 23

E. Kepolisian a. Kepolisian ......................................................................... 25 b. Anggota Kepolisian .......................................................... 28 c. Tugas dan Fungsi Kepolisian ........................................... 29

F. Teori – Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan a. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Psikologis ..... 34 b. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Sosiologis ..... 36 c. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Lain ................ 39

G. Teori – Teori Tentang Penanggulangan Kejahatan a. Teori Penanggulangan Kejahatan .................................... 40 b. Tujuan Pemidanaan ........................................................... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ..................................................................... 43 B. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 43

Page 9: SKRIPSI POLRI - Unhas

x

C. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 44 D. Analisis Data ........................................................................... 45

BAB IV PEMBAHASAN

A. Prosedur dan Tindakan yang Seharusnya Dilakukan Oleh Polri dalam Menanggulangi Aksi Unjuk Rasa ........................ 47

B. Data Penanganan Demonstrasi Anarkis .................................... 55 C. Faktor-Faktor Penyebab Aparat Kepolisian Melakukan

Tindakan Kekerasan Yang Melawan Hukum Dalam Mengamankan Massa Pengunjuk Rasa ................................. 66

D. Upaya Penanggulangan Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak Kepolisian Untuk Mengurangi Kekerasan Dalam Mengamankan Aksi Unjuk Rasa .............................................. 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 80 B. Saran ....................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 10: SKRIPSI POLRI - Unhas

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA

DAERAH SULAWESI SELATAN

DIREKTORAT SAMAPTA BHAYANGKARA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

TENTANG

PENGENDALIAN MASSA

Makassar, April 2012

Page 11: SKRIPSI POLRI - Unhas

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAERAH SULAWESI SELATAN

DIREKTORAT SAMAPTA BHAYANGKARA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

TENTANG

PENGENDALIAN MASSA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Umum a. Perkembangan situasi global mempengaruhi semua aspek kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sampai pada lingkup regional memunculkan beragam feed back dari berbagai golongan maupun kelompok masyarakat, baik yang bersifat pro maupun kontra produktif.

b. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara secara bebas dan bertanggung jawab sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

c. Sesuai dengan perkembangaan situasi, khususnya di wilayah hukum Polda Jatim, bahwa kegiatan unjuk rasa masyarakat mengalami peningkatan angka kegiatan yang cukup signifikan. Untuk itu pelayanan dan pengendalian massa yang dilakukan perlu disikapi dengan arif, bijaksana, tegas konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;

d. Menyikapi hal tersebut, kiranya perlu dibentuk suatu Standar Operasional

Prosedur (SOP) dalam pengendalian massa sehingga dapat terwujud profesionalisme penanganan unjuk rasa yang proposional, humanis, tegas dan terukur.

Page 12: SKRIPSI POLRI - Unhas

2. Dasar :

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Undang-Undang nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

c. Peraturan Kapolri nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa.

d. Keputusan Kapolri Nomor Kep/53/I/2010 tentang Renstra Polri Tahun

2010-2014. 3. Maksud dan tujuan.

a. Maksud

Sebagai pedoman bagi personil Polri pengemban fungsi pengendalian massa, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan diharapkan tidak ada keraguan, proposional dalam segala tindakan, tetap humanis dan tegas serta melakukan tindakan secara terukur sehingga pelayanan Polri dalam pengamanan unjuk rasa dapat terlaksana dengan baik dan profesional.

b. Tujuan

Untuk menyamakan persepsi sehingga terjadi keseragaman tata cara dan cara bertindak anggota di lapangan dalam pelaksanaan tugas pengendalian massa.

4. Pengertian-pengertian

a. Pengendalian Massa yang selanjutnya disebut Dalmas adalah kegiatan

yang dilakukan oleh satuan Polri dalam rangka menghadapi massa

pengunjuk rasa.

b. Dalmas Awal adalah Satuan Dalmas yang tidak dilengkapi dengan alat-

alat perlengkapan khusus Kepolisian, digerakkan dalam menghadapi

kondisi massa masih tertib dan teratur/situasi hijau.

c. Dalmas Lanjut adalah Satuan Dalmas yang dilengkapi dengan alat-alat

perlengkapan khusus Kepolisian, digerakkan dalam menghadapi kondisi

massa sudah tidak tertib/situasi kuning.

d. Lapis Ganti adalah kegiatan peralihan kendali dari satuan Dalmas Awal

ke Dalmas Lanjut.

Page 13: SKRIPSI POLRI - Unhas

e. Lintas Ganti adalah kegiatan peralihan kendali dari satuan Kompi Dalmas

Lanjut kepada satuan Kompi/Detasemen Penanggulangan Huru - Hara

Brimob.

f. Negosiator adalah seorang anggota Polri yang melaksanakan

perundingan dengan cara tawar menawar untuk mendapatkan

kesepakatan bersama melalui komunikasi.

g. Penanggulangan Huru - Hara yang selanjutnya disebut PHH adalah

rangkaian kegiatan atau proses/cara dalam mengantisipasi atau

menghadapi terjadinya kerusuhan massa atau huru hara guna melindungi

warga masyarakat dan ekses yang ditimbulkan.

h. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian

jalan, termasuk bangunan, pelengkap dan perlengkapannya yang

diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di

atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, dan atau air, serta di

atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

i. Gedung/Bangunan Penting adalah bangunan yang meliputi ruangan,

halaman, dan sekitarnya yang digunakan untuk melakukan kegiatan

pemerintah, kegiatan usaha, dan gedung-gedung/bangunan lainnya yang

digunakan sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan secara umum (vital)

yang menjadi sara unjuk rasa.

j. Lapangan/Lahan Terbuka adalah tempat tertentu yang digunakan sebagai

sarana oleh massa dalam melakukan unjuk rasa.

k. Kendali adalah kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Kapolisian Sektor,

(Kapolsek), Kepala Kepolisian Sektor Kota (Kapolsek Urban), Kepala

Kepolisian Sektor Metropolitan (Kapolsek Metro), Kepala Kepolisian

Resort (Kapolres), Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta), Kepala

Kepolisian Resort Metropolitan (Kapolres Metro), Kepala Kepolisian Kota

Besar (Kapoltabes), Kepala Kepolisian Resort Kota Besar

(Kapolrestabes), Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) untuk mengatur

segala tindakan pasukan di lapangan pada lokasi unjuk rasa atau areal

tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.

l. Alih Kendali adalah peralihan kendali dari Kapolsek/Kapolsekta

Urban/Kapolsek Metro kepada Kapolres/Kapolresta/Kapolres

Metro/Kapolrestabes, dari Kapolres/Kapolresta/Kapolres Metro kepada

Kapolwil/Kapolwiltabes/Kapolda.

Page 14: SKRIPSI POLRI - Unhas

m. Kendali Taktis adalah pengendalian oleh Kapolsek, Kapolsekta Urban,

Kapolsek Metro, Kapolres, Kapolresta, Kapolres Metro, Kapolrestabes,

Kapolwil, Kapolwiltabes, Kapolda yang berwenang mengatur segala

tindakan pasukan di lapangan pada lokasi unjuk rasa atau.

n. Kendali Teknis adalah pengendalian oleh pejabat pembina fungsi atau

pimpinan pasukan dan atau perwira lapangan di kesatuan masing -

masing yang bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan tugas semua

anggota yang menjadi tanggung jawabnya.

o. Kendali umum adalah pengendalian oleh Kapolda untuk mengatur seluruh

kekuatan dan tindakan pasukan di lapangan dalam unjuk rasa pada

kondisi di mana massa pengunjuk rasa sudah melakukan tindakan-

tindakan melawan hukum dalam bentuk pengancaman, pencurian dengan

kekerasan, perusakan, pembakaran, penganiayaan berat, teror,

intimidasi, penyanderaan, dan lain sebagainya selanjutnya disebut dalam

situasi merah.

5. Tugas Pokok :

a. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia 1) Pasal 13 :

(a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

(b) Menegakkan hukum;

(c) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada

masyarakat.

2) Pasal 14 (1) :

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolsian Negara Republik Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia;

b. Satuan kewilayahan yang bertanggungjawab atas Dalmas mulai tingkat

Polsek/Polsek Urban/Polsek Metro, Polres/Polresta/Polres Metro/Polrestabes dan Polda adalah Satuan Samapta Bhayangkara.

Page 15: SKRIPSI POLRI - Unhas

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap

sekelompok masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat atau menyampaikan aspirasinya di depan umum demi terpeliharanya ketertiban umum.

6. Sistematika dalam penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) ini

meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

1. Umum 2. Dasar 3. Maksud dan tujuan 4. Pengertian-pengertian 5. Tugas pokok 6. Sistematik

BAB II TAHAP PERSIAPAN BAB III TAHAP PELAKSANAAN

1. Cara bertindak 2. Mekanisme tindakan laporan via telpon 3. Mekanisme tindakan laporan langsung 4. Instruksi, Koordinasi, Komando/Pengendalian dan Pembiayaan

BAB IV TAHAP PENGAKHIRAN BAB V PENUTUP

Page 16: SKRIPSI POLRI - Unhas

BAB II TAHAP PERSIAPAN

1. Setiap menerima pemberitahuan akan dilaksanakan unjuk rasa, maka lakukan

kegiatan persiapan, yaitu :

a. Siapkan surat perintah;

b. Siapkan kekuatan Dalmas yang memadai dengan jumlah dan karakteristik massa;

c. Lakukan pengecekan personel, perlengkapan/peralatan Dalmas, konsumsi dan kesehatan.

d. Siapkan rute pasukan Dalmas menuju obyek dan rute penyelamatan (escape) menentukan route berangkat dan route kembali;

e. Siapkan sistem komunikasi seluruh unit satuan Polri yang dilibatkan;

f. Berikan APP yang jelas kepada anggota khususnya tentang karakteristik massa, jumlah massa, tuntutan massa, situasi obyek tempat unjuk rasa serta rencana urutan langkah dan tindakan yang akan dilakukan Satuan Dalmas dalam menghadapi para demonstran.

2. Mengingatkan kembali kepada personel dalmas tentang larangan dan

kewajiban yang harus dilakukan selama menghadapi unjuk rasa. Adapun larangan dan kewajiban yang dimaksud, adalah: a. Larangan

1) Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa;

2) Melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur;

3) Membawa peralatan diluar peralatan Dalmas;

4) Membawa senjata tajam dan peluru tajam;

5) Keluar dari ikatan/Formasi dan lakukan pengejarn massa secara perorangan;

6) Mundur membelakangi massa pengunjuk rasa;

7) Mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual dan memaki pengunjuk rasa;

8) Melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.

b. Kewajiban

1) Menghormati hak asasi mannusia dari setiap oranng yang melakukan unjuk rasa;

2) Melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan.

3) Setiap pergerakan Pasukan Dalmas selalu dalam ikatan kesatuan

4) Melindungi jiwa dan harta benda.

Page 17: SKRIPSI POLRI - Unhas

5) Tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai.

6) Patuh dan taat kepada perintah kepala kesatuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya.

Page 18: SKRIPSI POLRI - Unhas

BAB III TAHAP PELAKSANAAN

1. Cara bertindak Dalmas pada situasi tertib/hijau adalah :

a. Pada saat massa unjuk rasa bergerak dan/atau pawai, dilakukan

pelayanan melalui pengawalan dan pengamanan oleh anggota

Sabhara/Lantas;

b Satuan Dalmas dan/atau satuan pendukung memberikan himbauan

kepolisian;

c. Pada saat massa unjuk rasa tidak bergerak/mogok, Komandan Kompi

(Danki) dan/atau Komandan Peleton (Danton) Dalmas Awal membawa

pasukan menuju objek dan turun dari kendaraan langsung membentuk

formasi dasar bersaf satu arah dengan memegang tali Dalmas yang

sudah direntangkan oleh petugas tali Dalmas.

d. Petugas yang telah ditunjuk merekam jalannya unjuk rasa dari situasi

umum sampai khusus selama unjuk rasa berlangsung;

e. Negosiator berada di depan pasukan Dalmas Awal, melakukan

perundingan/negosiasi dengan Koordinator Lapangan (Korlap) untuk

menampung dan menyampaikan aspirasi;

f. Negosiator melaporkan kepada Kapolsek dan atau Kapolres tentang

tuntutan pengunjuk rasa untuk diteruskan kepada pihak yang dituju;

g. Negosiator dapat mendampingi perwakilan pengunjuk rasa menemui

pihak yang dituju untuk menyampaikan aspirasi;

h. Apabila massa pengunjuk rasa tuntutannya meminta kepada pimpinan

instansi/pihak yang dituju untuk datang di tengah-tengah massa

pengunjuk rasa guna memberikan penjelasan, maka negosiator

melaporkan kepada Kapolsek/Kapolsek Urban,

Kapolres/Kapolreta/Kapolrestabes, dan Kapolda meminta agar pimpinan

instansi/pihak yang dituju dapat memberikan penjelasan di tengah-tengah

pengunjuk rasa;

Page 19: SKRIPSI POLRI - Unhas

i. Kapolsek/Kapolsek Urban, Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes, dan

Kapolda dan negosiator mendampingi pimpinan instansi/pihak yang dituju

atau yang mewakili pada saat memberikan penjelasan;

j. mobil Penerangan Dalmas berada di belakang pasukan Dalmas Awal

untuk melakukan himbauan kepolisian oleh Kapolsek/Kapolsek Urban

selaku pengendali taktis;

k. Danton dan/atau Danki Dalmas melaporkan setiap perkembangan situasi

kepada Kapolsek/Kapolsekta Urban, Kapolres/Kapolrestabes, dan

Kapolda;

l. Apabila situasi meningkat dari tertib/hijau ke tidak tertib/kuning, maka

dilakukan lapis ganti dengan Dalmas Lanjut.

2. Cara bertindak pada Dalmas untuk situasi tidak tertib/kuning adalah :

a. Pada saat massa menutup jalan dengan cara duduk-duduk, tidur-tiduran,

aksi teatrikal, dan aksi sejenisnya, maka pasukan Dalmas Awal

membantu menertibkan, mengangkat dan memindahkan ke tempat yang

netral dan atau lebih aman dengan cara persuasif dan edukatif;

b. Negosiator tetap melakukan negosiasi dengan Korlap semaksimal

mungkin;

c. Dapat menggunakan unit satwa dengan formasi bersaf di depan Dalmas

Awal untuk melindungi saat melakukan proses lapis ganti dengan Dalmas

Lanjut;

d. Atas perintah Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes Pasukan Dalmas Lanjut

maju dengan cara lapis ganti dan membentuk formasi bersaf di belakang

Dalmas Awal, kemudian saf kedua dan ketiga Dalmas Awal membuka

ke kanan dan kiri untuk mengambil perlengkapan Dalmas guna

melakukan penebalan kekuatan Dalmas Lanjut, diikuti saf kesatu

untuk melakukan kegiatan yang sama setelah tali Dalmas digulung;

e. Setelah Dalmas Lanjut dan Dalmas Awal membentuk formasi lapis

bersaf, unit Satwa ditarik ke belakang menutup kanan dan kiri Dalmas;

Page 20: SKRIPSI POLRI - Unhas

f. Apabila pengunjuk rasa semakin memperlihatkan perilaku

menyimpang maka Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes memberikan

himbauan kepolisian.

g. Apabila eskalasi meningkat dan/atau massa melempari petugas dengan

benda keras, Dalmas lanjut melakukan sikap berlindung, selanjutnya

Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes memerintahkan Danki Dalmas Lanjut

untuk melakukan tindakan hukum sebagai berikut:

1) Kendaraan taktis pengurai massa bergerak maju melakukan

tindakan mengurai massa, bersamaan dengan itu Dalmas Lanjut

maju melakukan pendorongan massa;

2) Petugas pemadam api dapat melakukan pemadaman api

(pembakaran ban, spanduk, bendera dan alat peraga lainnya) dan;

3) Melakukan pelemparan dan penembakan gas air mata.

h. Evakuasi terhadap VIP/pejabat penting lainnya dapat menggunakan

kendaraan taktis penyelamat;

i. Danki Dalmas melaporkan setiap perkembangan situasi kepada

Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes; dan

j. Apabila situasi meningkat Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes melaporkan

kepada Kapolda selaku pengendali umum agar dilakukan lintas ganti

dengan Detasemen/Kompi Penanggulangan Huru-Hara (PHH) Brigade

Mobil (Brimob).

3. Cara bertindak pada PHH dalam situasi melanggar hukum/merah adalah:

a. Kapolda memerintahkan Kepala Detasemen/Kompi PHH Brimob

untuk lintas ganti dengan Dalmas Lanjut;

b. Detasemen/Kompi PHH Brimob maju membentuk formasi bersaf

sedangkan pasukan Dalmas Lanjut melakukan penutupan serong kiri dan

kanan (situasional) terhadap pasukan Detasemen/Kompi PHH Brimob

dan diikuti Unit Satwa, Rantis Pengurai Massa Samapta membentuk

formasi sejajar dengan Rantis Pengurai Massa Detasemen PHH

Brimob;

j/ Apabila …..

Page 21: SKRIPSI POLRI - Unhas

c. Dalmas Lanjut dan Rantis Pengurai Massa Samapta bergerak

mengikuti aba-aba dan gerakan Detasemen/Kompi PHH Brimob;

d. Apabila pada satuan kewilayahan yang tidak ada Detasemen/Kompi PHH Brimob, maka Kapolda selaku pengendali umum memerintahkan Kapolres/Kapolresta menurunkan Peleton Penindak Sabhara untuk melakukan penindakan hukum yang didukung oleh satuan Dalmas Lanjut Polres/Polresta/Polrestabes terdekat.

Page 22: SKRIPSI POLRI - Unhas

BAB IV TAHAP PENGAKHIRAN

Konsolidasi :

1. Konsolidasi dilakukan oleh satuan Dalmas dalam rangka mengakhiri kegiatan Dalmas dengan melakukan pengecekan kekuatan personel dan peralatan serta melakukan analisa evaluasi pelaksanaan tugas;

2. Dalam rangka konsolidasi pelaksanaan apel dilakukan oleh:

a. Kapolsek/Kapolsek Urban dalam situasi hijau; b. Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes dalam situasi kuning dan; c. Kapolda selaku pengendali umum, dalam situasi merah.

3. Setelah selesai pelaksanaan tugas, satuan Dalmas kembali ke kesatuan masing-masing dengan tertib.

Page 23: SKRIPSI POLRI - Unhas

BAB V PENUTUP

Demikian Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pengendalian massa ini dibuat, untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas di lapangan khususnya bagi personel Samapta Bhayangkara se-jajaran Polda Sulsel.

Dikeluarkan di : Makassar pada tanggal : April 2012

DIREKTUR SABHARA POLDA SULSEL

Drs.BAMBANG PRAYITNO, SH KOMISARIS BESAR POLISI NRP 60081061

Page 24: SKRIPSI POLRI - Unhas

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah

hak asasi manusia dijamin oleh UUD 1945 dan deklarasi universal hak-

hak asasi manusia. Kemerdekaan setiap warga negara untuk

menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan

demokrasi dalam tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan

bernegara.

Dalam membangun sebuah negara demokrasi yang

menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia,

diperlukan adanya sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang

aman, tertib, dan damai. Hak menyampaikan pendapat di muka umum

dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum serta

sebuah negara yang berdasarkan demokrasi pancasila.1 Bahwa

Undang-undang memberikan perlindungan kepada setiap warga

Negara dalam kewenangannya untuk mengemukakan pendapat

sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 28 UUD 1945, yang

1 Mustafa Kemal Pahsa dan kawan-kawan, Pancasila dalam Tinjauan Historis dan Filosofis Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2003, hlm 108.

Page 25: SKRIPSI POLRI - Unhas

2

menyatakan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan Undang-undang”

Namun dengan adanya ketentuan tersebut menimbulkan asumsi

atau persepsi masyarakat yang lebih luas, sehingga pada zaman

reformasi akhir - akhir ini terjadi Unjuk Rasa di mana - mana di seluruh

nusantara, bahkan dalam melakukan aksinya pun tanpa mengontrol

diri, yang akhirnya menuju pada anarki yakni penjarahan, pembakaran,

pembunuhan dan pemerkosaan yang akibatnya dirasakan oleh

masyarakat itu sendiri.2

Tahun 1998 hingga awal 2000-an, kata demonstrasi seperti tak

pernah pergi menghiasi media cetak maupun elektronik. Sebab di

tahun – tahun ini, aksi unjuk rasa atau demonstrasi seperti tengah

menjadi trend, terlebih di kalangan mahasiswa.3 Bermula dari

ketidakstabilannya perekonomian Indonesia tahun 1997, yang

merupakan dampak dari krisis ekonomi di Kawasan Asia Pasifik.

Akibatnya, harga Sembilan bahan pokok terus melambung rupiah pada

masa itu sempat bertengger dikisaran Rp. 17.000,- per $.1 Amerika.

Krisis tersebut banyak menimbulkan kerugian besar di perusahaan-

perusahaan nasional. Bahkan banyak diantara mereka yang gulung

tikar. Buntutnya jumlah pengangguran semakin meningkat, yang

berasal dari karyawan-karyawan yang bekerja sebelumnya. Kondisi 2 Kunarto, Merenungi Kiprah Polri menghadapi Gelora Anarkhi 2, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hlm 113

3 http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakti.html.

Page 26: SKRIPSI POLRI - Unhas

3

demikian menyulut berbagai aksi protes masyarakat, yang dimotori

oleh mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah segera mengatasi krisis

itu. Tetapi pada saat itu, pemerintah Orde Baru sangat represif

terhadap aksi-aksi massa. Bahkan sebelumnya, para aktivis yang

menggelar aksi Unjuk Rasa kerap diidentikkan dengan Gerakan

Pengacau Keamanan (GPK). Banyak aktivis yang mengalami

penganiayaan bahkan penculikan dan pemenjaraan dengan dalih

menjaga kestabilan nasional. Finalnya, sebagai puncak dari

kegeraman mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998, setelah empat

mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru aparat saat

berdemonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan presidennya.4

Dalam perkembangannya, peralihan kekuasaan menyebabkan

ketidakstabilan dalam pemerintahan. Hal tersebut semakin memicu

maraknya aksi demonstrasi menuntut terealisasinya kebebasan pers

serta kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan

mengusung Reformasi, pemerintah yang baru semakin kewalahan

menanggulangi aksi unjuk rasa yang mengkritik kebijakan yang diambil

oleh pemerintah, yang mana dianggap oleh masyarakat sebagai

kebijakan yang salah dan tidak pro-rakyat.

Selanjutnya demonstrasi mahasiswa dalam rangka menolak

kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga telah menyeret kaum

intelektual kita ke arah anarkisme. Tidak hanya di ibukota tindakan

4 http://www.indonesiakemarin.blogspot.com/2007/05/tragedi-trisakti-12-mei-1998.htm

Page 27: SKRIPSI POLRI - Unhas

4

anarkis ini terjadi, tapi merembet juga ke Indonesia Timur, khusunya

Makassar.5

Mengapa anarki menjadi pilihan, karena tindakan anarki lebih

gampang menarik perhatian. Lihat saja, betapa stasiun televisi

baramai-ramai meliput aksi bakar-bakaran mahasiswa dan aksi saling

lempar batu antara mahasiswa dan aparat. Tidak hanya dalam sekilas

berita, bahkan dijadikan laporan investigasi. Atas nama

memperjuangkan rakyat, para kaum anarki ini sering kali lupa bahwa

tindakan anarki mereka malah sebaliknya menyengsarakan rakyat.

Dalam mengamankan Unjuk Rasa dari tindakan yang melanggar

hukum tersebut, upaya Polri dan masyarakat di Tanah Air sangatlah

penting demi ketenteraman Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan

dikeluarkannya Undang Undang No. 9 Tahun 1998 tanggal 16 Oktober

1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka

Umum”, maka Polri diharapkan mampu menangnani maraknya unjuk

rasa dewasa ini.

Efektivitas berlakunya undang - undang ini sangatlah tergantung

pada seluruh jajaran instansi yang langsung dengan para pengunjuk

rasa tersebut yakni Polri serta para penegak hukum lainnya. Di sisi

lain, hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran

masyarakat guna menegakkan kewajiban hukum dan khususnya

terhadap Undang Undang No. 9 Tahun 1998. Untuk itu peran serta

5http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/27/05430352/jalan.di.uki.diblokir.muacettt.deh

Page 28: SKRIPSI POLRI - Unhas

5

Polri bersama masyarakat sangat penting dalam manangani Unjuk

Rasa demi menjamin ketenteraman dan keamanan untuk seluruh

rakyat Republik Indonesia.

Kita masih ingat beberapa kasus Unjuk Rasa yang apabila tidak

tertangani dengan baik maka akan menjadi kekacauan yang yang

mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit yaitu korban luka dan

korban harta benda bahkan kerap mengakibatkan korban jiwa.

Sebagai contoh, pada tahun 2008, terjadi demonstrasi di beberapa

wilayah di Indonesia termasuk Makassar yang mana menuntut

dibatalkannya kebijakan pemerintah dalam hal subsidi pendidikan yang

tercantum dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena

undang - undang tersebut dianggap membatasi hak rakyat untuk

menikmati pendidikan.6 Dalam aksi unjuk rasa di Kampus Unhas,

Makassar terjadi aksi saling lempar antara aparat dan mahasiswa,

serta kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian yang

menyebabkan korban luka baik pada polisi maupun mahasiswa yang

melakukan aksi unjuk rasa. Selain itu, kekerasan anggota kepolisian

juga terjadi pada aksi unjuk rasa di Kabupaten Mamasa pada Sabtu,

10 Maret 2012 yang mengakibatkan korban luka bukan hanya pada

massa pendemo melainkan juga pada pihak kepolisian.7

Menyikapi hal tersebut, Polri telah melakukan upaya-upaya baik

dalam tatanan pembenahan instrument maupun tatanan operasional

6 http://tolak-bhp-mahasiswa-unhas-polisi.html

7 295110-bentrok--puluhan-di-mamasa-polisi-terluka.htm

Page 29: SKRIPSI POLRI - Unhas

6

untuk meredam keganasan unjuk rasa yang bersifat anarkis tersebut.

Sehingga tahun 2006 Polri mengeluarkan peraturan tentang

pengendalian unjuk rasa yaitu Peraturan Kapolri No.16 Tahun 2006

tentang “Pedoman Pengendalian Massa” yang sering disebut dengan

Protap Dalmas, guna menyelaraskan prosedur dan tindakan setiap

satuan Polri dalam menanggulangi unjuk rasa. Selain itu, pada tahun

2008 Polri juga mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008

tentang “Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan Dan

Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum”.

Kendati telah adanya aturan baku tentang tata cara

penanggulangan serta tindakan yang harus dilakukan dalam

menanggulangi aksi unjuk rasa yang telah dikeluarkan oleh Kapolri

tersebut, namun dalam praktek penyelenggaraan pelayanan

pengamanan serta pengendalian massa unjuk rasa, anggota Polri

kerap bertindak tidak berdasarkan peraturan yang telah dibentuk

tersebut. Dalam hal ini anggota kepolisian sering kali bukan melakukan

pengamanan dan meredam aksi massa, melainkan anggota kepolisian

juga tidak dapat menngendalikan emosi dan ikut terpancing. Hal

tersebut menimbulkan sikap arogan dan emosional polisi yang

langsung mengejar, membalas melempar pelaku aksi demonstrasi,

bahkan melakukan penangkapan pelaku unjuk rasa dengan cara

kekerasan seperti menganiaya dan memukul. Dalam bukunya yang

berjudul Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Drs. Adami Chazawi,

Page 30: SKRIPSI POLRI - Unhas

7

S.H mengutip defenisi yang dikemukakan oleh Satochid Kertanegara

yang menyatakan bahwa penganiayaan diartikan sebagai perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn)

atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.8 Berdasarkan defenisi

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dan penganiayaan

yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalm aksi unjuk rasa tersebut

adalah tindakan yang melawan hukum. Penggunaan kekerasan dalam

penanggulangan demonstrasi juga jelas tidak diperbolehkan

sebagaimana dalam Protap Dalmas maupun Peraturan Kapolri No. 9

Tahun 2008, namun anggota kepolisian melakukan penangkapan

dengan menggunakan kekerasan tersebut dengan dalih menerapkan

upaya paksa. Dalam Pasal 24 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2008,

ditegaskan bahwa dalam penerapan upaya paksa harus dihindari

adanya tindakan yang kontra produktif seperti membalas melempar

pelaku, mengejar dan menangkap dengan kasar, menganiaya, dan

memukul, serta tindakan aparat yang melakukan kekerasan,

penganiayaan, pelecehan, dan pelanggaran HAM. Selain itu dalam

Pasal 11 Ayat (1) huruf (d), Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009

dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya stiap petugas/anggota

Polri dilarang melakukan penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak

manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Pasal 11 Ayat (2)

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Anggota

8 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 10

Page 31: SKRIPSI POLRI - Unhas

8

Polri yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib

mempertanggungjawabkan sesuai dengan Kode Etik Profesi

Kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku”.

Selain aturan tersebut, dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 9

Tahun 1998, dinyatakan bahwa kewajiban tanggung jawab aparat

negara dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat

di muka umum adalah :

1. Melindungi Hak Asasi Manusia;

2. Menghargai asas legalitas;

3. Menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan

4. Menyelenggarakan pengamanan.

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas, Penulis

kemudian tertarik untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul

“Tinjauan Kriminologis Terhadap Penanggulangan Aksi Unjuk

Rasa Oleh Anggota POLRI”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi

permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prosedur dan tindakan yang seharusnya dilakukan,

oleh Polri dalam menanggulangi aksi unjuk rasa anarkis?

Page 32: SKRIPSI POLRI - Unhas

9

2. Apakah faktor-faktor penyebab aparat Kepolisian melakukan

tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam mengamankan

massa pengunjuk rasa?

3. Apakah upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh pihak

kepolisian untuk mengurangi kekerasan dalam aksi unjuk rasa?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan

penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tindakan yang

seharusnya dilakukan dalam menanggulangi unjuk rasa.

2. Untuk mengetahui penyebab aparat kepolisian menggunakan

kekerasan dalam mengamankan massa pengunjuk rasa.

3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang telah dilakukan

oleh Polri untuk mengurangi kekerasan dalam pengamanan aksi

unjuk rasa.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah

1. Memberikan masukan atau kontribusi bagi pemerintah, aparat

penegak hukum, dan masyarakat dalam hal penyelenggaraan

pelayanan penyampaian pendapat di muka umum.

2. Menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum, khususnya

pihak kepolisian dalam melakukan penyelenggaraan pengamanan

terhadap aksi unjuk rasa agar tetap menghargai hak-hak asasi para

pengunjuk rasa.

Page 33: SKRIPSI POLRI - Unhas

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kriminologi

a. Pengertian

Menurut P. Topinard (1980-1911) seorang antropolog Perancis,

kriminologi berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau

penjahat, dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan; maka

kriminologi dapar berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau

penjahat.9

Adapun beberapa tokoh yang memberikan defenisi tentang

kriminologi, antara lain sebagai berikut :

a) Edwin H. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge regarding crime as a social phenomenon).10

b) Sebagaimana dikutip oleh T. Effendi (2009:3), Manheimm melihat kriminologi dari sisi yang berbeda, yaitu kriminologi dapat dikategorikan secara luas ataupun secara sempit. Secara luas yaktni mempelajari penology dan metode-metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah pencegahan kejahatan dengan tindakan yang bersifat non punit, sedangkan dalam arti sempit kriminologi hanya mempelajari tentang kejahatan. Oleh karena mempelajari kejahatan, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif, kausalitas, dan normatif.

c) Selanjutnya menurut J. Constant, kriminologi adalah “ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor

9 Yesmil A. & Adang “Kriminologi”, Refika Aditama, Bandung, 2010

10 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 10

Page 34: SKRIPSI POLRI - Unhas

11

yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat”.11

d) WME. Noach mendefenisikan kriminologi sebagai “ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkahlaku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya”.12

e) Bonger memberikan defenisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas – luasnya. Melalui defenisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup :13 1. Antropologi Kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang

manusia yang jahat (somatis). Ilmu ini menberika jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda – tanda seprti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.

2. Sosiologi Kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang jehatan sebagai suatu gejala masnyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab–sebab kejahatan dalam masyarakat.

3. Psikologi Kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

5. Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.

Di samping itu, terdapat kriminologi terapan yang berupa:14 1. Higiene Kriminal, usaha yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya kejahatan. 2. Politik Kriminal, usaha penanggulangan kejahatan di

mana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini, dilihat sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.

3. Kriminalistik, merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

11

Yesmil A & Adang, Op.cit 12

Ibid. 13

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Op.cit, hal. 9 14

Ibid.

Page 35: SKRIPSI POLRI - Unhas

12

b. Objek Studi Kriminologi

Menurut Wolfgang, Savitz & Johnson dalam The Sociology of

Crime and Delidquency, objek studi kriminologi melingkupi :15

a) Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan

Untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan ada

tujuh unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi,

yaitu :16

1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm). 2. Kerugian tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). 3. Harus ada perbuatan (criminal act). 4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea). 5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan

jahat. 6. Harus ada perbauran antara keruguan yang telah

diatur dalam KUHP dengan perbuatan. 7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan

tersebut.

b) Pelaku kejahatan

Bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan

untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang

telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan.

Objek penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang

mereka yang telah melakukan kejahatan.

15

Ibid. hal. 12 16

A.S. Alam,”Pengantar Kriminologi”, Pustaka Refleksi Books, Makassar, 2010, hal. 18

Page 36: SKRIPSI POLRI - Unhas

13

c) Reaksi masyarakat yang bertujuan baik terhadap perbuatan

maupun terhadap pelakunya

Aliran kriminologi lahir dari pemikiran yang bertolak belakang

pada anggapan bahwa perilaku menyimpang yang disebut

sebagai kejahatan, harus dijelaskan dengan melihat pada

kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat. Ukuran

menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan

oleh nilai-nilai dan norma yang dianggap sah oleh mereka yang

duduk sebagai penguasa, melainkan oleh besar kecilnya

kerugian atau keparahan sosial.

Ketiganya ini tidak dapat dipisahkan. Suatu perbuatan baru

dapat diartikan sebagi kejahatan bila perbuatan tersebut

mendapat reaksi dari masyarakat.

c. Manfaat mempelajari kriminologi

Secara sederhana dapat diketahui penyebab orang melakukan

kejahatan. Dengan kriminologi, dapat diperoleh pengertian yang

lebih mendalam mengenai perilaku manusia dan lembaga-lembaga

masyarakat yang mempengaruhi kecenderungan dan

penyimpangan norma-norma hukum. Terhadap hukum pidana,

kriminologi dapat berfungsi sebagai tinjauan terhadap hukum

pidana yang berlaku, dan memberiakan rekomendasi guna

pembaharuan hukum pidana. Bagi sistem peradilan pidana,

Page 37: SKRIPSI POLRI - Unhas

14

kriminologi berguna sebagai sarana kontrol bagi jalannya peradilan.

Adapun beberapa manfaat kriminologi, antara lain :

Hasil penyeliidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dan

penegak hukum untuk mengungkap kejahatan;

Membantu untuk melakukan kriminalisasi dalam produk

perundang-undangan pidana;

Kriminologi juga (khususnya kriminologi kritis) hasil

penelitiannya dapat memperbaiki kinerja aparatur hukum, serta

malakukan perbaikan bagi undang-undang pidana itu sendiri.

Kejahatan sudah dikenal sejak adanya peradaban manusia. Makin tinggi peradaban, makin banyak aturan, dan makin banyak pula pelanggaran. Sering disebut bahwa kejahatan merupakan bayangan peradaban (crime is a shadow of civilization) kejahatan adalah bayangan peradaban.

Kriminologi memberikan sumbangannya dalam penyusunan perundang-undangan baru (proses kriminalisasi), menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (etioogi kriminal) yang pada akhirnya menciptakan upaya-upaya pencegahan terjadinya kejahatan (criminal prevention).17

Maka dengan demikian, tujuan atau manfaat kriminologi adalah

sebagai “Science for the interest of the power elite” atau kriminologi

dapat dikatakan sebagai control sosial terhadap pelaksanaan hukum

pidana.18

17

Ibid. hal.15 18

Yesmil A. & Adang, Op.cit hal. 56

Page 38: SKRIPSI POLRI - Unhas

15

B. Penyampaian Pendapat Di Muka Umum

a. Pengertian

Dalam negara hukum diakui adanya Hak Asasi Manusia (HAM),

yang mana merupakan hak - hak dasar yang harus ditegakkan dan

tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Salahsatu hak yang

merupakan hak dasar tersebut adalah hak untuk menyampaikan

pendapat di muka umum.

Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998

menyatakan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat

adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran

dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan

bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Berdasarkan penetapan undang - undang

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Negara menjamin hak

dan kewenangan setiap warga Negara dalam hal menyampaikan

pendapatnya. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak,

atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan

atau dilihat setiap orang.

b. Jenis Penyampaian Pendapat

Berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun

1998 menyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum

dapat dibagi menjadi beberapa cara, yaitu :

Page 39: SKRIPSI POLRI - Unhas

16

a) Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka hukum.

b) Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.

c) Rapat Umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.

d) Mimbar Bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

c. Pengertian Unjuk Rasa atau Demonstrasi

Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998

dinyatakan bahwa “Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan

yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan

pikiran”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Demonstrasi” berarti

penyataan protes yang dikemukakan secara massal (unjuk rasa).

“Mendemostrasi”, berarti menentang suatu pihak atau seseorang

dengan cara berdemonstrasi.19

Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan

sekumpulan orang dihadapan umum. Unjuk rasa biasanya

dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau

menentang kebijakan pemerintah.

Demonstrasi merupakan elemen komunikasi yang umumnya

digunakan untuk mengangkat suatu isu supaya menjadi perhatian

publik. Biasanya demonstrasi juga bertujuan untuk menekan

19

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 250

Page 40: SKRIPSI POLRI - Unhas

17

pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda ataupun

menolak kebijakan yang akan dilakukan oleh pembuat keputusan.

Dalam menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan

dengan berdemonstrasi merupakan salahsatu cara dalam

menyampaikan keinginan kepada pemerintah. Tapi kadangkala

pendapat yang disampaikan tersebut tidak didengar ataupun

mendapat tanggapan yang tidak sesuai dengan harapan. Keadaan

seperti ini ditambah dengan adanya faktor-faktor lain seperti

adanya hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan

anarki, ataupun karena adanya persaan frustasi akibat suatu

keadaan, maka timbullah anarki.

d. Asas Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Pada Pasal 3 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998

dikemukakan bahwa penyampaikan pendapat di muka umum harus

dilakukan dengan berlandaskan pada :

1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; 2. Asas musyawarah dan mufakat; 3. Asas kepastian hukum dan keadilan; 4. Asas proporsionalitas; dan 5. Asas manfaat

e. Tujuan Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Tujuan utama dari aksi penyampaian pendapat di muka umum

adalah menarik simpati massa dalam rangka pencapaian tujuan

yaitu terlaksananya hal yang menjadi tuntutan. Dalam

Page 41: SKRIPSI POLRI - Unhas

18

menyampaikan tuntutannya terhadap kebijakan pemerintah yang

dianggap tidak pro-rakyat, masyarakat Indonesia lebih cenderung

menyampaikan tuntutannya dengan cara unjuk rasa atau

demonstrasi.

f. Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Dalam hal tata cara penyampaian pendapat di muka umum

diatur dalam Pasal 10 - 14 UU Nomor 9 Tahun 1998. Prosedur

sebelum melakukan aksi unjuk rasa, yaitu penanggung jawab aksi

wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak kepolisian

dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan

dimulai.

Selanjutnya, setelah menerima surat pemberitahuan tersebut

maka polisi wajib memprosesnya dan menyelenggarakan

pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum

sesuai dengan prosedur yang berlaku.

C. Anarki

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Anarki” berarti hal

tidak adanya pemerintah, undang-undang, peraturan, atau ketertiban

dan kekacauan (dalam suatu negara). Sedangkan “Anarkis” artinya

penganjur (penganut) paham anarkisme atau orang yang melakukan

tindakan anarki.20

20

Ibid. hal. 44

Page 42: SKRIPSI POLRI - Unhas

19

Anarki terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk

melakukan tindakan kekerasan, biasanya sebagai tindakan

pembalasan terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun

sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu. Alasan yang sering

menjadi penyebab anarki misalnya kesejahteraan masyarakat yang

tidak terpenuhi, kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat,

dan lain sebagainya.

Anarki berkaitan erat dengan istilah kekerasan. Istilah kekerasan

digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang secara terbuka

atau tertutup, serta yang bersifat menyerang atau bertahan, yang

disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.21 Anarki adalah

kekacauan fisik dalam masyarakat sipil yang berupa bentrokan,

perkelahian massal, pembunuhan, penjarahan, dan perusakan sarana

dan prasarana umum, maupun fasilitas pribadi ataupun tindak pidana

lainnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

dampak anarki bukanlah perubahan yang positifmelainkan

menimbulkan kerusakan fisik dan ketakutan dalam masyarakat.

Anarkisme merupakan suatu ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara, ataupun dapat diartikan suatu teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang. Tokoh utama kaum anarkisme adalah Mikhail Bakunin, seorang bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat. Ia memimpin kelompok anarkis dalam konverensi besar Kaum Sosialis sedunia dan terlibat pertengkaran dan perdebatanbesar dengan Marx. Bakunin akhirnya dikeluarkan dari kelompok Marxis

21

Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 11

Page 43: SKRIPSI POLRI - Unhas

20

Mainstream dan dan perjuangan kaum anarkis dianggap bukan perjaungan kaum sosialis.22

Sejak Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang mengutamakan kekerasan dan pembunuhan sebagai basis perjuangan mereka. Pembunuhan kepala Negara, pemboman atas gedung-gedung milik Negara, dan perbuatan terorisme lainnya dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk memberontak.

D. Kekerasan

a. Pengertian

Arti kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah 1.

Perihal (yang bersifat/berciri) keras; 2. Perbuatan seseorang atau

sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang

lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; 3.

Paksaan.23 Dapat dikatakan bahwa kata kekerasan dalam bahasa

Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik.

Jadi tindakan kekerasan (perbuatan yang menyebabkan

cedera/luka/mati/kerusakan) sangat dekat dengan perbuatan yang

mengandung sifat penyiksaan (torture) dan pengenaan penderitaan

atau rasa sakit yang sangat berat (severe pain or suffering).24

Kekerasan menurut KUHP hanya didefenisikan sebagai

kekerasan fisik sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 89. Pasal

89 KUHP, menentukan bahwa yang dimaksud dengan melakukan

kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tak berdaya lagi.

22

http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme#Anarkisme_dan_kekerasan 23

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit hal. 45 24

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 20

Page 44: SKRIPSI POLRI - Unhas

21

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa melakukan

kekerasan ialah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani

sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan

tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,

menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang yang

terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit yang sangat. Dalam

pasal ini, melakukan kekerasan disamakan dengan membuat orang

pingsan atau tidak berdaya. Orang yang tidak berdaya ini masih

dapat mengetahui yang terjadi atas dirinya.

Menurut Soedarto, kekerasan dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik terhadap orang atau barang sedemikian rupa, sehingga cukup membahayakan benda hukum yang dilindungi oleh ketentuan pidana yang bersangkutan, daya kekuatan itu harus cukup kuat intensitasnya. Mengenai ancaman kekerasan idapat dikemukan bahwa selalu harus ditinjau sifat dari perbuatan yang dilakukan, juga diperhatikan pula bagaimana pandangan dari orang yang mendapat ancaman itu.25

Pendapat lain mengatakan bahwa kekerasan adalah setiap

pebuatan yang mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan.

Tenaga badan adalah kekerasan fisik. Penggunaan kekerasan

terwujud dalam memukul dengan tangan saja, memukul dengan

senjata, menyekap, mengikat, menahan dan sebaginya.26

25

Lamber Missa, Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis, UNDIP, Semarang, 2010 hal. 35

26 HAK Mochammad Anwar (Dading), Hukum PIdana Bagian Khusus KUHP Buku II, Jilid

I, Alumni Bandung, 1986, hal. 25

Page 45: SKRIPSI POLRI - Unhas

22

Ada beberapa pendapat para sarjana yang memberikan defenisi

tentang kejahatan kekerasan. Menurut Hudioro, kejahatan

kekerasan adalah27:

a) Tindak pidana yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan terhadap orang dengan objek kejahatn berupa barang atau orang (dengan sengaja untuk mendapatkan barang orang lain secara tidak sah atau mencederai dan/atau membunuh orang).

b) Suatu tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 89 KUHP yaitu secara kekerasan membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya, maka perbuatan ini bersifat fisik.

c) Tindak pidana yang bersifat psikis, sehingga menyebabkan orang lain tidak berdaya atau mengalami tekanan-tekanan yang sangat merugikan, malahan berakibat fatal.

Selanjutnya, sebagaimana dikutip oleh Lamber Missa

mengambil defenisi kekerasan dari Johan Galtung, yang menyatakan bahwa kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Galtung dalam mendefenisikan kekerasan sangat luas karena Galtung tidak hanya melihat konsep kekerasan sebagai penghancuran kemampuan somatik seseorang atau dalam bentuk ekstrimnya membunuh seseorang, tetapi kekerasan menurut Galtung lebih ditentukan pada segi akibat atau pengarunya bagi manusia.28

Menurut para ahli kriminologi, kekerasan yang mengakibatkan

terjadinya kerusakan fisik adalah kekerasan fisik adalah kekerasan

yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan

merupakan kejahatan.

27

Huriodo, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Di Wilayah Perkotaan, Makalah dalam Seminar Kriminologi, FISIP UI, hal. 4

28 Lamber Missa,Op.cit. hal. 36

Page 46: SKRIPSI POLRI - Unhas

23

Dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009, kekerasan didefenisikan

sebagai tindakan atau ancaman yang mengakibatkan hilangnya

nyawa, cedera fisik, psikologis, seksual atau ekonomi.

b. Jenis-Jenis Kekerasan

Berdasarkan defenisi yang telah dipaparkan di atas tentang

kekerasan, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum terdapat

2 (dua) jenis kekerasan yaitu kekerasan secara fisik dan kekerasan

secara psikologis.

Berdasarkan pelakunya, kekerasan dapat dibagi menjadi

beberapa jenis, antara lain :29

1. Kekerasan yang dilakukan perorangan, yaitu perlakuakn kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan) oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.

2. Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang oleh Max Weber didefenisikan sebagai “monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah” yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salahsatu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain genosida, dll).

3. Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik, yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis).

4. Kekerasan dalam politik, umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatasnamakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan,hak untuk memberintak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan

29

Kekerasan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Page 47: SKRIPSI POLRI - Unhas

24

kekeraan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.

5. Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power), merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan cultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.

Selain itu, dalam bukunya yang berjudul Teori Teori Kekerasan,

Thomas Santoso mengemukakan bahwa pengertian kekerasan

dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kekerasan sebagai

tindakan aktor atau kelompok aktor,kekerasan sebagai produk dari

struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan

struktur.30

Kelompok pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau

kelompok aktor. Tulisan II oleh James Gilligan memaparkan

kekerasan sebagai tragedi. Kekerasan dimulai oleh aktor dalam

keluarga. Dan acapkali upaya untuk menghindari kekerasan juga

menggunakan cara-cara kekerasan. Tulisan III oleh Ted Robert

Gurr mendefenisikan kekerasan sebagai tindakan aktor atau

kelompok aktor yang menentang rezim yang berkuasa. Dalam hal

ini kekerasan dilihat dalam pertautannya dengan deprivasi relatif.

Deprivasi Relatif didefenisikan sebagai persepsi aktor ekspektasi

nilai dan kapabilitas nilainya. Ekspektasi nilai adalah barang dan

30

Thomas Santoso, Op.cit

Page 48: SKRIPSI POLRI - Unhas

25

kondisi kehidupan yang oleh manusia diyakini sebagai haknya.

Kapabilitas nilai adalah barang dan kondisi yang dianggap bias

diperoleh dan dipelihara. Tulisan IV oleh Charles Tilly yang

menambahkan bahwa kekerasan akan berhasil apabila aktor

mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi politik.

Kelompok kedua, kekerasan sebagai tindakan yang terkait

dengan struktur. Johan Galtung (1975) mendefinisikan kekerasan

sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk

mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kekerasan struktural

yang dikemukakan oleh Galtung menunjukkan bentuk kekerasan

tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas

tertentu. Dengan demikian, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh

aktor atau kelompok aktor semata, tetapi juga oleh struktur seperti

aparatur negara.

Kelompok ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan

struktur. Asumsi dari kelompok ini adalah menganggap konflik

sebagai sesuatu yang ditentukan.

E. Kepolisian

a. Pengertian Kepolisian

Kata polis berasal dari bahasa Yunani “Politeia” yang berarti

seluruh pemerintaha negara kota. Di negara Belanda pada zaman

dahulu istilah Polisi dikenal melalui konsep Catur Praja dan Van

Page 49: SKRIPSI POLRI - Unhas

26

Vollenhonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat)

bagian, yaitu Bestuur, Politie, Rechtspraak, dan Regelling.31

Dengan demikian Politie dalam pengertian ini sudah dipisahkan

dari Bestuur dan merupakan bagian pemerintahan tersendiri. Pada

pengertian ini Polisi termasuk organ-organ pemerintahan yang

mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap

kewajiban-kewajiban.

Menurut Charles Reith, dalam bukunya The Blind Eye Of History

mengemukakan pengertian polisi dengan terjemahan ke dalam

Bahasa Indonesia sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau

menertibkan susunan kehidupan masyarakat.32

Di dalam Encyclopedia and Social Science dikemukakan bahwa

pengertian Polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas, yang

digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek dari pada

pengawasan keseharian umum.

Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita

dikemukakan bahwa Istilah Polisi mengandung pengertian

merupakan badan pemerintah yang bertugas memelihara

keamanan dan ketertiban umum, dan merupakan pegawai negeri

yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.

31

E. Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Dengan Indonesia, PT. Balai Buku, Jakarta, 1953, hal. 5

32 STR John May Lam, “The Police Of Briatai”, Majalah Bhayangkara, Terjemahan,

Jakarta: Bhayangkara. hal. 4

Page 50: SKRIPSI POLRI - Unhas

27

Dalam pengertian ini istilah Polisi mengandung 2 (dua)

pengertian ini makna polisi tugas dan sebagai organnya.33

Polisi adalah aparat penegak hukum dan menjaga kamtibmas

yang setipa saat harus berhubungan dnegan masyarakat luas.

Dalam hubungan dengan masyarakat itu polisi mengharapkan

kesadaran hukum dan sikap tertib dari masyarakat. Sebaliknya,

masyarakat menghendaki agar kepolisian selalu bijaksana dan

cepat dalam bertindak dan senantiasa berpegang teguh pada

hukum tanpa mengabaikan kepentingan dan perasaan masyarakat.

Dengan kata lain, kesadaran hukum dan sikap tertib masyarakat

untuk sebagian besar tergantung sejauhmana kewibawaan

kepolisian. Semakin nyata kewibawaan itu akan semakin kuat

kesadaran hukum dan semakin kabur kewibawaan kepolisian, akan

semakin lemah kesadaran hukum dan sikap tertib masyarakat.

Kata Polri adalah singkatan dari Polisi Republik Indonesia.

Sekarang yang dikatakan Polisi adalah badan pemerintah yang

bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.

Pembentukan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang

lazim disebut POLRI yaitu berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut UU Kepolisian.

Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan

33

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit. hal. 549

Page 51: SKRIPSI POLRI - Unhas

28

bahwa yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal-ikhwal

yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

b. Anggota Kepolisian

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun

2002, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal

20 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan Pegawai Negeri pasa

Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas :

a) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan

b) Pegawai Negeri Sipil.

Namun pada pegawai negeri sipil berlaku perundang-undangan di

bidang kepegawaian.

Dalam hal perekrutan, pengangkatan, dan pembinaan anggota

kepolisian dilakukan menurut Pasal 21 - 22 UU Kepolisian dan

Keputusan Kapolri. Pejabat Kepolisian diatur dalam Pasal 1 Ayat

(3) UU Nomor 2 Tahun 2002, yaitu bahwa Pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki

wewenang umum kepolisian.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam masyarakat,

Polri dipimpin oleh pimpinan pusat yang disebut Kapolri. Dalam UU

Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa Kepala Kepolisian

Page 52: SKRIPSI POLRI - Unhas

29

Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah

pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung

jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.

c. Tugas dan Fungsi Kepolisian

a) Tugas

Sebagaimana dalam Bab III Undang-Undang Nomor 2 tahun

2002 tentang Tugas dan Wewenang, dinyatakan bahwa tugas

pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.

Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002,

menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya,

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas di jalan;

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan

umum;

Page 53: SKRIPSI POLRI - Unhas

30

6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

7. Melakukan pnyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia;

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Fungsi

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat

Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Sebagaimana penetapan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002

bahwa ”Fungsi Kepolisian adalah salahsatu fungsi

pemerintahan negara yaitu dalam hal pemeliharaan keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, dan

pelayanan kepada masyarakat”.

Page 54: SKRIPSI POLRI - Unhas

31

Selain fungsi tersebut, terdapat juga tujuan pembentukan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat

pada Pasal 4 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu

“Mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan

tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya

ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia”.

Pasal 3 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengatur

tentang pengemban fungsi kepolisian, di mana kepolisian dalam

melaksanakan fungsinya dibantu oleh :

1. Kepolisian khusus;

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan/atau

3. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Ketiga pengemban fungsi kepolisian tersebut dalam

melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-

masing.

Guna mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsinya,

Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi wewenang yang

diatur dalam :

Page 55: SKRIPSI POLRI - Unhas

32

Pasal 15 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Ayat (1) 1. Menerima laporan dan/atau pengaduan; 2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga

masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum; 3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit

masyarakat; 4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan

perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; 8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta

memotret seseorang; 9. Mencari keterangan dan barang bukti; 10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; 11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan

yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan

pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Ayat (2)

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : 1. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian

umum dan kegiatan masyarakat lainnya; 2. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi

kendaraan bermotor; 3. Memberikan surat izin kendaraan bermotor; 4. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; 5. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata

api, bahan peladak dan senjata tajam; 6. Memberikan izin operasional dan melakukan

pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

7. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

Page 56: SKRIPSI POLRI - Unhas

33

8. Melakukan kerjasama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

9. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi dengan instansi terkait;

10. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

11. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Dalam rangka penyelenggaraan tugas di bidang proses

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang

Undang Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik

Indonesia berwenang untuk :

1. Melakukan penangakapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

2. Melarang setiap orang meninggalkan dan/atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memetiksa tanda pengenal diri;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8. Mengadakan penghentian penyidikan; 9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada

pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta mennerima hasil

Page 57: SKRIPSI POLRI - Unhas

34

penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam penyelenggaraan tugas dan wewenangnya, pihak

kepolisian harus senantiasa memperhatikan peraturan

perundang - undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan juga bertindak berdasarkan

norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan,

kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 – 19 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002.

F. Teori - Teori Tentang Penyebab Terjadinya Kejahatan

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Kriminologi, A.S. Alam

mengemukakan bahwa penyebab terjadinya kejahatan dalam

masyarakat dapat dapat ditinjau dari perspektif psiokologi, perspektif

sosiologis, dan ada pula perspektif lain berdasarkan pendapat para ahli

yang juga mengemukakan penyebab dari terjadinya kejahatan.

a. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Psikologis

Dalam perspektif psikologis dikemukakan beberapa dasar

pemikiran tentang penyebab kejahatan, yaitu :

Page 58: SKRIPSI POLRI - Unhas

35

1. Teori Psikoanalisis

Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang tidak tertahan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum.34 Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.

2. Kekacauan Mental (Mental Disorder)

Tokoh – tokoh yang berpendapat bahwa salahsatu

penyebab terjadinya kejahatan adalah kekacauan mental,

antara lain Phillipe Pinel seorang dokter Perancis yang

menyebutnya sebagai manie sans delire (madness without

confusion), James C. Prichard seorang dokter Inggris

menyebutnya sebagai moral incanilty, dan Gina Lambrosso-

Ferrero sebagai irresistible atavistic impulses.35 Kekacauan

mental tersebutlah yang kemudian disebut dengan antisocial

personality atau psychopathy. Menurut psikiatr Hervey Clecke

para psychopath terlihat mempunyai kesehatan mental yang

yang sangat bagus, tetapi apa yang kita saksikan itu

sebenarnya hanyalah suatu mask of sanity atau topeng

kewarasan.36

34

A.S. Alam, Op.cit. hal. 40 35

Ibid. hal. 41 36

Ibid. hal. 42

Page 59: SKRIPSI POLRI - Unhas

36

3. Pengembangan Moral (Development Theory)

Lawrence Kohlberg menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tahap preconventional stage atau tahap pra-konvensional, di mana aturan moral dan nilai – nilai moral terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Menurut teori ini, anak di bawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya berfikir pada tingkatan pra-konvensional ini.37

Menurut Bowlby, orang yang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memiliki ketidakmampuan membentuk ikatan kasih sayang.

4. Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)

Teori pembelajaran sosial berpendirian bahwa perilaku

delinquent dipelajari melalui proses psikologis yang sama

sebagaimana semua prilaku non-delinquent. Ada bebepara cara

mempelajari tingkah laku, antara lain :

a. Observational Learning

b. Direct Expirience

c. differential Association Reinforcement

b. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Berbeda dengan teori - teori sebelumnya, teori - teori sosiologis

mencari alasan - alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di

dalam lingkungan sosial. Secara umum teori ini dapat dibagi

menjadi :

37

Ibid.

Page 60: SKRIPSI POLRI - Unhas

37

1. Anomie (ketiadaan norma) atau Strain (ketegangan)

Teori anomie berpendapat bahwa kelas sosial dan tingkah

laku kriminal saling berhubungan. Para penganut anomie

beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti

seperangkat nilai – nilai budaya, yaitu nilai – nilai budaya kelas

menengah, yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya

terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi.

2. Cultural Deviance (penyimpangan budaya)

Cultural Deviance Theories menandang kejahatan sebagai

seperangkat nilai – nilai yang khas pada lower class.

Tiga teori utama dari cultural deviance theories, adalah :

a) Social Disorganization Theory

Teori ini memfokuskan pada perkembangan area – area

yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan

disintegrasi nilai – nilai konvensional yang disebabkan oleh

industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan

urbanisasi.

b) Differential Association

E.H. Sutherland mencetuskan teori yang disebut Differential Association Theory sebagai teori penyebab kejahatan.38 Makna teori Sutherland merupakan pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan masyarakatnya, karena pengalaman – pengalamannya tumbuh menjadi penjahat. Dan bahwa ada individu atau kelompok individu yang

38

Ibid. hal. 56

Page 61: SKRIPSI POLRI - Unhas

38

secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena adanya dorongan posesif mengungguli dorongan kreatif yang untuk itu dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi posesifnya.

c) Culture Conflict Theory

Teori ini menjelaskan keadaan masyarakat dengan ciri –

ciri sebagai berikut :

1) Kurangnya ketetapan dalam pergaulan hidup.

2) Sering terjadinya pertemuan norma – norma dari

berbagai daerah yang satu sama lain berbeda, bahkan

ada yang saling bertentangan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Thorsten Sellin, setiap

kelompok masyarakat memiliki conduct norms-nya sendiri

dan bahwa conduct norms dari satu kelompok mungkin

bertentangan dengan conduct norms kelompok lain.39

3. Control Social Theory

Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ikhwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquence dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel – variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok domain.

39

Ibid. hal. 59

Page 62: SKRIPSI POLRI - Unhas

39

c. Teori Penyebab Kejahatan dari Perspektif Lain

1. Teori Labeling

Teori labeling menilai kejahatan berdasarkan penilaian

masyarakat. Pemberian label kepada seseorang yang sering

melakukan kenakalan atau kejahatan dari tiap kelompok

memiliki standar yang berbeda. Menurut Howard, pemberian

label/cap tersebut dapat memperbesar penyimpangan tingkah

laku dan membentuk karir kriminal seseorang. Hal tersebut

dikarenakan kewaspadaan orang terhadap dirinya yang

menyebabkan tidak ada lagi orang yang mempercayainya.40

2. Teori Konflik (Conflict Theory)

Teori konflik lebih mempertanyakan proses pembuatan

hukum. Pertarungan (struggle) untuk kekuasaan merupakan

suatu gambaran dasar eksistensi manusia. Dalam arti

pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok

kepentingan berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan

hukum.

3. Teori Radikal (Kriminologi Kritis)

Pada dasarnya perspektif kriminologi yang mengetengahkan

teori radikal yang berpendapat bahwa kapitalisme sebagai

kausa kriminalitas yang dapat dikatakan sebagai aliran Neo-

Marxis. Dalam hal ini, teori radikal berpendapat bahwa adanya

40

Ibid. hal. 68

Page 63: SKRIPSI POLRI - Unhas

40

hubungan antara kejahatan dan kapitalisme. Di mana kejahatan

merupakan akibat dari adanya kapitalisme.

G. Teori – Teori Tentang Penanggulangan Kejahatan

a. Teori Penanggulangan Kejahatan

Secara Empirik, penanggulangan kejahatan terdiri atas tiga

bagian pokok, yaitu :41

a) Pre-Emtif

Upaya Pre-Emtif adalah upaya – upaya awal yang

dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya

tindak pidana. Usaha yang dilakukan dalam penanggulangan

kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai –

nilai/norma – norma yang baik sehingga norma – norma

tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Hal tersebut

menyebabkan faktor niat menjadi hilang meskipun ada

kesempatan.

b) Preventif

Upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari

upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan

sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang

ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk

dilakukannya kejahatan.

41

Ibid. hal. 79

Page 64: SKRIPSI POLRI - Unhas

41

c) Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak

pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum

(law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

b. Tujuan Pemidanaan

Adapun tujuan dijatuhkannya hukuman (tujuan pemidanaan)

pada tahap represif, yaitu :42

a) Teori Pembalasan (Vergelding Theorie/Retribusi)

E. Kant mengemukakan bahwa teori balas dendam “siapa

yang membunuh harus dibunuh pula”.43 Menurut teori

pembalasan ini, orang yang berbuat jahat harus dipidanadengan

jalan menyiksa fisiknya, agar ia menjadi jera.

b) Teori Penjeraan (Afschriking/Deterrence)

Teori ini sering disebut juga “teori menakut – nakuti”.

Feurbach berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti

orang supaya jangan berbuat jahat.44

c) Teori Penutupan (Onschadelik/Incarceration)

Pengasingan (penutupan) adalah suatu doktrin yang

menyatakan tindakan karantina memang sangat penting dan

diperlukan dalam pelaksanaan pidana untuk mencegah

pengulangan kejahatan oleh penjahat – penjahat yang

berbahaya. 42

Ibid. hal. 80 43

Ibid. hal 81 44

Ibid..

Page 65: SKRIPSI POLRI - Unhas

42

d) Teori Memperbaiki (Verbeterings/Rehabilitasi)

Teori ini beranggapan bahwa tujuan dijatuhkannya pidana

kepada para pelanggar hukum adalah untuk memperbaiki si

terhukum itu sendiri. Proses ini disebut rehabilitasi, resosialisasi,

atau pemasyarakatan.

Page 66: SKRIPSI POLRI - Unhas

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kantor Kepolisian Daerah Sulselbar

dan Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar. Dengan

melakukan penelitian di lokasi tersebut, penulis berharap dapat

memperoleh data yang akurat sehingga dapat memperoleh hasil

penelitian yang objektif dan komprehensif.

Adapun pertimbangan dipilihnya lokasi penelitian tersebut karena

penulis ingin mengetahui kesiapan dan upaya-upaya yang telah

dilakukan para penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian

terhadap aksi unjuk rasa yang mengarah kepada aksi anarki sesuai

dengan masalah penelitian.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang akan digunakan yaitu :

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan

penelitian secara langsung dengan pihak-pihak terkait sehingga

dapat memperoleh data-data yang konkret mengenai masalah

penelitian.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan terhadap berbagai macam literatur yang berkaitan

Page 67: SKRIPSI POLRI - Unhas

44

dengan tujuan penelitian seperti, dokumen, artikel, buku, dan

sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan

penelitian.

Sumber data dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai

buku, Koran, situs internet, majalah, dan artikel yang berkaitan

dengan masalah dan tujuan penelitian.

2. Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data

dengan mengamati secara sistematis terhadap fenomena-

fenomena yang diselidiki.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :

1. Metode penelitian kepustakaan, penelitian ini penulis lakukan

dengan membaca serta mengkaji berbagai literatur yang relevan

dan berhubungan langsung dengan masalah penelitian yang

dijadikan sebagai landasan teoritis.

2. Metode penelitian lapangan, dilakukan dengan cara wawancara

atau pembicaraan langsung dan terbuka dalam bentuk tanya jawab

terhadap narasumber, dalam hal ini petugas kepolisian.

Page 68: SKRIPSI POLRI - Unhas

45

D. Analisis Data

Data-data yang telah diperoleh baik data primer maupun data

sekunder kemudian akan dioleh dan dianalisis untuk menghasilkan

kesimpulan. Kemudian disajikan secara deskriptif guna memberikan

pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian nantinya.

Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya

memberikan gambaran seecara jelas dan konkret terhadap masalah

penelitian yang dibahas secara kualitatif dan kuantitatif, dan

selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif, yaitu

menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya denga penelitian ini.

Page 69: SKRIPSI POLRI - Unhas

46

BAB IV

PEMBAHASAN

Perkembangan dalam mengakses informasi di Indonesia yang

didukung oleh adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang

menjamin kebebasan berpendapat di muka umum menyebabkan semakin

banyaknya aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah yang

dianggap tidak memihak pada rakyat. Namun dalam penyampaiannya

tersebut, masyarakat sebagai pendemo kerap kali tidak menghiraukan

kepentingan orang lain serta berlaku anarkis. Hal tersebut dibuktikan

dengan terjadinya penutupan jalan, perusakan sarana-prasarana umum,

serta penjarahan yang jelas merugikan orang lain serta melanggar hukum.

Pihak kepolisian sebagai aparat yang bertugas memelihara keamanan

nasional wajib menghentikan segala perbuatan yang melawan hukum dan

merugikan kepentingan umum. Dalam hal ini, pihak kepolisian juga berhak

menghentikan aksi pengunjuk rasa yang bersifat anarkis tersebut. Namun

dalam mengamankan aksi unjuk rasa, aparat kepolisian kerap ikut

terpancing dengan perbuatan demonstran yang kemudian berujung

dengan bentrok.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

terjadinya bentrok dalam aksi unjuk rasa disebabkan oleh kurangnya

pengendalian diri baik dari pihak pengunjuk rasa yang tuntutannya tidak

tercapai dan juga pihak kepolisian yang melakukan terpancing untuk tercapai dan juga pihak kepolisian yang terpancing untuk

Page 70: SKRIPSI POLRI - Unhas

47

melakukan kekerasan saat pengamanan terhadap aksi unjuk rasa

tersebut.

A. Prosedur dan Tindakan yang Seharusnya Dilakukan Oleh Polri

dalam Menanggulangi Aksi Unjuk Rasa

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis,

melalui proses wawancara dengan para penyidik dan pihak dalmas

baik yang ada di POLDA SULSELBAR yang dalam hal ini diwakili

oleh AKP MUSBAGH NIAM (07 Mei 2012) maupun di

POLRESTABES MAKASSAR, KOMPOL Drs. H. Sainuddin (03 Juli

2012), guna memperoleh informasi dari penyidik berdasarkan

pengalaman selama menangani kasus penanggulangan aksi unjuk

rasa anarkis. Menurut pihak penyidik Polda Sulselbar, prosedur dan

tindakan yang seharusnya dilakukan dalam melaksanakan

pengamanan terhadap aksi unjuk rasa secara umum adalah :

1. Melakukan negosiasi dengan korlap tentang pelaksanaan unjuk

rasa agar dapat berjalan tenang dan tanpa aksi anarkis.

2. Jika dengan proses negosiasi tidak efektif, maka pimpinan

anggota kepolisian di lapangan memerintahkan pembubaran

terhadap aksi unjuk rasa tersebut.

Page 71: SKRIPSI POLRI - Unhas

48

3. Terhadap pelaku tindakan anarkis yang melawan hukum akan

ditindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Selain itu, penulis juga melakukan wawancara terhadap pihak

dalmas selaku pihak yang bertugas melakukan pengamanan di TKP

dalam hal ini diwakili oleh Kompol Drs. H. Sainuddin (03 Juli 2012)

menyatakan bahwa prosedur yang dilakukan dalam melakukan

pengamanan unjuk rasa sejak tahap persiapan hingga pengaman di

TKP yaitu :

1. Membuat Rencana Pengamanan,

2. Persiapan anggota, yang juga meliputi pemberian arahan serta

pembagian tugas oleh pimpinan,

3. Melakukan pengamanan di TKP. Proses pengaman di TKP

dibagi menjadi 3 (tiga) zona pengaman yang didasarkan pada

tindakan massa pengunjuk rasa, yaitu :

a. Zona Hijau Pasal 1 Ayat 25, Zona hijau merupakan kondisi di

mana massa pengunjuk rasa masih tertib dan teratur.45

b. Zone Kuning Pasal 1 Ayat 26, Situasi kuning adalah kondisi

dimana massa pengunjuk rasa mulai tidak mengindahkan himbauan petugas dan melakukan perbuatan melanggar peraturan yang berlaku.46

45

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2010 tentang “Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-Hara”

46 Ibid.

Page 72: SKRIPSI POLRI - Unhas

49

c. Zona Merah

Pasal 1 Ayat 27, Situasi merah adalah kondisi dimana massa pengunjuk rasa sudah melakukan tindakan melawan hukum dalam bentuk pengancaman, pencurian dengan kekerasan, perusakan, pembakaran, penganiayaan berat, teror, intimidasi, penyanderaan, dan lain sebagainya.47

Dalam melaksanakan tugasnya mengamankan aksi unjuk rasa,

pihak kepolisian senantiasa berpedoman pada SOP (Standar

Operasional Prosedur) tentang Pengendalian Massa Tahun 2012.

Berdasarkan SOP tersebut, prosedur dan tindakan yang seharusnya

dilakukan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi unjuk

rasa terbagi dalam 3 tahap yaitu :

a. Tahap Persiapan48 1. Setiap menerima pemberitahuan akan dilaksanakan

unjuk rasa, maka lakukan kegiatan persiapan, yaitu : a) Siapkan surat perintah; b) Siapkan kekuatan Dalmas yang memadai dengan

jumlah dan karakteristik massa; c) Lakukan pengecekan personel,

perlengkapan/peralatan Dalmas, konsumsi dan kesehatan.

d) Siapkan rute pasukan Dalmas menuju obyek dan rute penyelamatan (escape) menentukan route berangkat dan route kembali;

e) Siapkan sistem komunikasi seluruh unit satuan Polri yang dilibatkan;

f) Berikan APP yang jelas kepada anggota khususnya tentang karakteristik massa, jumlah massa, tuntutan massa, situasi obyek tempat unjuk rasa serta rencana urutan langkah dan tindakan yang akan dilakukan Satuan Dalmas dalam menghadapi para demonstran.

2. Mengingatkan kembali kepada personel dalmas tentang larangan dan kewajiban yang harus dilakukan selama

47

Ibid. 48

Standar Operasional Prosedur tentang “Pengendalian Massa”, Makassar, 2012

Page 73: SKRIPSI POLRI - Unhas

50

menghadapi unjuk rasa. Adapun larangan dan kewajiban yang dimaksud, adalah: a) Larangan

1) Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa;

2) Melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur;

3) Membawa peralatan diluar peralatan Dalmas; 4) Membawa senjata tajam dan peluru tajam; 5) Keluar dari ikatan/Formasi dan lakukan

pengejarn massa secara perorangan; 6) Mundur membelakangi massa pengunjuk rasa; 7) Mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan

seksual dan memaki pengunjuk rasa; 8) Melakukan perbuatan lainnya yang melanggar

peraturan perundang-undangan. b) Kewajiban

1) Menghormati hak asasi mannusia dari setiap orang yang melakukan unjuk rasa;

2) Melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan.

3) Setiap pergerakan Pasukan Dalmas selalu dalam ikatan kesatuan

4) Melindungi jiwa dan harta benda. 5) Tetap menjaga dan mempertahankan situasi

hingga unjuk rasa selesai. 6) Patuh dan taat kepada perintah kepala

kesatuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya.

b. Tahap Pelaksanaan

1. Cara bertindak Dalmas pada situasi tertib/hijau adalah : a) Pada saat massa unjuk rasa bergerak dan/atau

pawai, dilakukan pelayanan melalui pengawalan dan pengamanan oleh anggota Sabhara/Lantas;

b) Satuan Dalmas dan/atau satuan pendukung memberikan himbauan kepolisian;

c) Pada saat massa unjuk rasa tidak bergerak/mogok, Komandan Kompi (Danki) dan/atau Komandan Peleton (Danton) Dalmas Awal membawa pasukan menuju objek dan turun dari kendaraan langsung membentuk formasi dasar bersaf satu arah dengan memegang tali Dalmas yang sudah direntangkan oleh petugas tali Dalmas.

Page 74: SKRIPSI POLRI - Unhas

51

d) Petugas yang telah ditunjuk merekam jalannya unjuk rasa dari situasi umum sampai khusus selama unjuk rasa berlangsung;

e) Negosiator berada di depan pasukan Dalmas Awal, melakukan perundingan/negosiasi dengan Koordinator Lapangan (Korlap) untuk menampung dan menyampaikan aspirasi;

f) Negosiator melaporkan kepada Kapolsek dan atau Kapolres tentang tuntutan pengunjuk rasa untuk diteruskan kepada pihak yang dituju;

g) Negosiator dapat mendampingi perwakilan pengunjuk rasa menemui pihak yang dituju untuk menyampaikan aspirasi;

h) Apabila massa pengunjuk rasa tuntutannya meminta kepada pimpinan instansi/pihak yang dituju untuk datang di tengah-tengah massa pengunjuk rasa guna memberikan penjelasan, maka negosiator melaporkan kepada Kapolsek/Kapolsek Urban, Kapolres/Kapolreta/Kapolrestabes, dan Kapolda meminta agar pimpinan instansi/pihak yang dituju dapat memberikan penjelasan di tengah-tengah pengunjuk rasa;

i) Kapolsek/Kapolsek Urban, Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes, dan Kapolda dan negosiator mendampingi pimpinan instansi/pihak yang dituju atau yang mewakili pada saat memberikan penjelasan;

j) Mobil Penerangan Dalmas berada di belakang pasukan Dalmas Awal untuk melakukan himbauan kepolisian oleh Kapolsek/Kapolsek Urban selaku pengendali taktis;

k) Danton dan/atau Danki Dalmas melaporkan setiap perkembangan situasi kepada Kapolsek/Kapolsekta Urban, Kapolres/Kapolrestabes, dan Kapolda;

l) Apabila situasi meningkat dari tertib/hijau ke tidak tertib/kuning, maka dilakukan lapis ganti dengan Dalmas Lanjut.

2. Cara bertindak pada Dalmas untuk situasi tidak tertib/kuning adalah : a) Pada saat massa menutup jalan dengan cara

duduk-duduk, tidur-tiduran, aksi teatrikal, dan aksi sejenisnya, maka pasukan Dalmas Awal membantu menertibkan, mengangkat dan memindahkan ke tempat yang netral dan atau lebih aman dengan cara persuasif dan edukatif;

Page 75: SKRIPSI POLRI - Unhas

52

b) Negosiator tetap melakukan negosiasi dengan Korlap semaksimal mungkin;

c) Dapat menggunakan unit satwa dengan formasi bersaf di depan Dalmas Awal untuk melindungi saat melakukan proses lapis ganti dengan Dalmas Lanjut;

d) Atas perintah Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes Pasukan Dalmas Lanjut maju dengan cara lapis ganti dan membentuk formasi bersaf di belakang Dalmas Awal, kemudian saf kedua dan ketiga Dalmas Awal membuka ke kanan dan kiri untuk mengambil perlengkapan Dalmas guna melakukan penebalan kekuatan Dalmas Lanjut, diikuti saf kesatu untuk melakukan kegiatan yang sama setelah tali Dalmas digulung;

e) Setelah Dalmas Lanjut dan Dalmas Awal membentuk formasi lapis bersaf, unit Satwa ditarik ke belakang menutup kanan dan kiri Dalmas;

f) Apabila pengunjuk rasa semakin memperlihatkan perilaku menyimpang maka Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes memberikan himbauan kepolisian.

g) Apabila eskalasi meningkat dan/atau massa melempari petugas dengan benda keras, Dalmas lanjut melakukan sikap berlindung, selanjutnya Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes memerintahkan Danki Dalmas Lanjut untuk melakukan tindakan hukum sebagai berikut: 1) Kendaraan taktis pengurai massa bergerak

maju melakukan tindakan mengurai massa, bersamaan dengan itu Dalmas Lanjut maju melakukan pendorongan massa;

2) Petugas pemadam api dapat melakukan pemadaman api (pembakaran ban, spanduk, bendera dan alat peraga lainnya) dan;

3) Melakukan pelemparan dan penembakan gas air mata.

h) Evakuasi terhadap VIP/pejabat penting lainnya dapat menggunakan kendaraan taktis penyelamat;

i) Danki Dalmas melaporkan setiap perkembangan situasi kepada Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes; dan

j) Apabila situasi meningkat Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes melaporkan kepada Kapolda selaku pengendali umum agar dilakukan lintas ganti dengan Detasemen/Kompi

Page 76: SKRIPSI POLRI - Unhas

53

Penanggulangan Huru-Hara (PHH) Brigade Mobil (Brimob).

3. Cara bertindak pada PHH dalam situasi melanggar hukum/merah adalah: a) Kapolda memerintahkan Kepala

Detasemen/Kompi PHH Brimob untuk lintas ganti dengan Dalmas Lanjut;

b) Detasemen/Kompi PHH Brimob maju membentuk formasi bersaf sedangkan pasukan Dalmas Lanjut melakukan penutupan serong kiri dan kanan (situasional) terhadap pasukan Detasemen/Kompi PHH Brimob dan diikuti Unit Satwa, Rantis Pengurai Massa Samapta membentuk formasi sejajar dengan Rantis Pengurai Massa Detasemen PHH Brimob;

c) Dalmas Lanjut dan Rantis Pengurai Massa Samapta bergerak mengikuti aba-aba dan gerakan Detasemen/Kompi PHH Brimob;

d) Apabila pada satuan kewilayahan yang tidak ada Detasemen/Kompi PHH Brimob, maka Kapolda selaku pengendali umum memerintahkan Kapolres/Kapolresta menurunkan Peleton Penindak Sabhara untuk melakukan penindakan hukum yang didukung oleh satuan Dalmas Lanjut Polres/Polresta/Polrestabes terdekat.

c. Tahap Pengakhiran

Konsolidasi : 1. Konsolidasi dilakukan oleh satuan Dalmas dalam

rangka mengakhiri kegiatan Dalmas dengan melakukan pengecekan kekuatan personel dan peralatan serta melakukan analisa evaluasi pelaksanaan tugas;

2. Dalam rangka konsolidasi pelaksanaan apel dilakukan oleh: a) Kapolsek/Kapolsek Urban dalam situasi hijau; b) Kapolres/Kapolresta/Kapolrestabes dalam situasi

kuning dan; c) Kapolda selaku pengendali umum, dalam situasi

merah. 3. Setelah selesai pelaksanaan tugas, satuan Dalmas

kembali ke kesatuan masing-masing dengan tertib.

Page 77: SKRIPSI POLRI - Unhas

54

Menurut Kompol Drs. H. Sainuddin (03 Juli 2012), dalam

pengamanan aksi unjuk rasa, kerap terjadi perbedaan antara

tindakan yang diatur dalam SOP dengan kenyataan yang terjadi di

lapangan. Hal tersebut dikarenakan faktor kondisi tempat yang tidak

memungkinkan untuk mengambil tindakan tersebut, sebagai contoh

penggunaan tali dalmas pada tahap zona hijau dalam aksi unjuk rasa

yang terjadi di tempat terbuka kerap tidak digunakan seperti aksi

demonstrasi di Fly Over Makassar.

B. Data Penanganan Demonstrasi Anarkis

Page 78: SKRIPSI POLRI - Unhas

55

Page 79: SKRIPSI POLRI - Unhas

56

Page 80: SKRIPSI POLRI - Unhas

57

Page 81: SKRIPSI POLRI - Unhas

58

Page 82: SKRIPSI POLRI - Unhas

59

Page 83: SKRIPSI POLRI - Unhas

60

Page 84: SKRIPSI POLRI - Unhas

61

Page 85: SKRIPSI POLRI - Unhas

62

Page 86: SKRIPSI POLRI - Unhas

63

Page 87: SKRIPSI POLRI - Unhas

64

Page 88: SKRIPSI POLRI - Unhas

65

Page 89: SKRIPSI POLRI - Unhas

66

C. Faktor-Faktor Penyebab Aparat Kepolisian Melakukan Tindakan

Kekerasan Yang Melawan Hukum Dalam Mengamankan Massa

Pengunjuk Rasa

Tugas utama kepolisian adalah menjaga keamanan dan

ketertiban nasional. Guna mencapai tujuan terciptanya keamanan

dan ketertiban nasional tersebut pihak kepolisian diberi wewenang

dan larangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta

peraturan-peraturan teknis lainnya yang menjabarkan undang-

undang kepolisian ini. Dalam hal ini, penulis memfokuskan perhatian

terhadap tindakan polisi yang bersifat arogan dalam menjalankan

tugasnya khususnya saat mengamankan aksi unjuk rasa.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Direktorat

Reskrim Polda Sulselbar dan Direktorat Sabhara Polrestabes

Makassar ( 07 Mei 2012 dan 03 Juli 2012) diperoleh informasi bahwa

adanya tindakan represif dari pihak kepolisian pada saat

mengamankan massa pengunjuk rasa dipengaruhi oleh beberapa

faktor, antara lain :

a) Faktor dari pihak kepolisian

1. Adanya pihak kepolisian yang terpancing oleh massa

pengunjuk rasa sebagai bentuk kurangnya penguasaan diri

dari anggota kepolisian;

Page 90: SKRIPSI POLRI - Unhas

67

2. Adanya anggota kepolisian yang tidak mematuhi perintah

pimpinan di lapangan dan melakukan tindakan individual

yang bersifat anarkis;

3. Rendahnya pengetahuan aparat terhadap referensi

peraturan dalam peanggulangan aksi unjuk rasa;

4. Adanya polisi yang tidak mengikuti Standar Opersional

Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan oleh pihak kepolisian

dalam penanggulangan aksi unjuk rasa.

b) Selain faktor yang berasal dari pihak kepolisian, juga terdapat

faktor lain yang berasal dari massa pengunjuk rasa yaitu :

1. Pihak pengunjuk rasa tidak melakukan aksinya sesuai

dengan aturan yang telah ditetapkan;

2. Pengunjuk rasa melakukan aksi yang menggangu ketertiban

umum, dan hak-hak orang lain;

3. Pengunjuk rasa kerap kali melakukan penyerangan terhadap

polisi yang melakukan pengamanan;

4. Aksi massa pengunjuk rasa tidak dapat dikendalikan dan

mengarah pada tindakan anarkis.

Page 91: SKRIPSI POLRI - Unhas

68

D. Upaya Penanggulangan Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak

Kepolisian Untuk Mengurangi Kekerasan Dalam Mengamankan

Aksi Unjuk Rasa

Tindakan represif polisi yang bersifat anarkis dalam melakukan

pelayanan pengamanan aksi unjuk rasa yang kerap berakhir bentrok

dengan massa pengunjuk rasa merupakan tindakan yang dapat saja

merusak citra dan wibawa kepolisian di masyarakat. Oleh karena itu,

guna mengurangi pelanggaran tersebut maka anggota kepolisian

yang terbukti melakukan pelanggaran dapat diproses dan dihukum

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Upaya yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian guna

mengurangi pelanggaran anggota polisi dalam melaksanakan

pengamanan aksi unjuk rasa. Menurut AKP. Musbagh Niam (07 Mei

2012), upaya yang telah dilakukan guna mengurangi tindakan

represif anggota kepolisan dapat berupa :

a) Pembinaan dan pelatihan

1. Diadakannya pelatihan terhadap anggota kepolisian tentang

tata cara penanggulangan unjuk rasa;

2. Dilakukannya pembinaan mental terhadap petugas yang

melakukan pengamanan terhadap aksi unjuk rasa;

Page 92: SKRIPSI POLRI - Unhas

69

3. Pemberian arahan pimpinan terhadap anggotanya sebelum

menangani aksi unjuk rasa.

b) Sanksi Hukuman

Dalam hal terjadinya pelanggaran oleh pihak kepolisian,

maka anggota kepolisian tersebut tetap diproses dan diberi

sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelanggaran

dalam tugas kepolisian dapat berupa :

1. Pelanggaran Peraturan Disiplin

a) Jenis-Jenis Pelanggaran dan Sanksi Disiplin

Pelanggaran peraturan disiplin anggota polri adalah

ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Polri yang

melanggar peraturan disiplin.49 Proses hukum terhadap

pelanggaran peraturan disiplin diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan

Disiplin Anggota Polri dan SK Kapolri No. Pol.

KEP/43/IX/2004.

Jenis-jenis larangan dalam pelaksanaan tugas

kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan

Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 yaitu :

49

SK Kapolri No. Pol. : KEP/43/IX/2004 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Polri

Page 93: SKRIPSI POLRI - Unhas

70

Anggota kepolisian dilarang : a. Membocorkan rahasia operasi kepolisian; b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin

pimpinan; c. Menghindarkan tanggung jawab dinas; d. Menggunakan fasilitas negara untuk

kepentingan pribadi; e. Menguasai barang milik dinas yang bukan

diperuntukkan baginya; f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas; g. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit; h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak

berhak; i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan

pribadi; j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang

ditangani; k. Memanipulasi perkara; l. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja,

pimpinan, dan/atau kesatuan; m. Mengurusi, mensponsori, dan/atau

mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara;

o. Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;

p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

q. Menyalahgunakan wewenang; r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas

kedinasan; s. Bertindak sewenang-wenang terhadap

bawahan; t. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat

berharga milik dinas; u. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,

menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah;

Page 94: SKRIPSI POLRI - Unhas

71

v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;

w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;

x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003,

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi

sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman

disiplin.50

Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau

tindakan fisik.51 Dalam Pasal 13 SK Kapolri No. Pol. :

KEP/43/IX/2004, penjatuhan hukuman disiplin dilakukan

oleh Ankum dan/atau Atasan Ankum kepada anggota

Polri yang melanggar disiplin melalui sidang disiplin.

Hukuman disiplin dapat berupa :52

Pasal 9 a. Teguran tertulis; b. Mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu)

tahun; c. Kenaikan gaji berkala; d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling

lama 1 (satu) tahun;

50

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri 51

Ibid. 52

Ibid.

Page 95: SKRIPSI POLRI - Unhas

72

e. Mutasi yang bersifat demosi; f. Pembebasan dari jabatan; g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama

21 (dua puluh satu) hari.

b) Penyelesaian Perkara Pelanggaran Disiplin

Sidang disiplin bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum dan rasa keadilan atas pelanggaran

disiplin yang dilakukan oleh oleh anggota Polri.53 SK

Kapolri No. Pol. : KEP/44/IX/2004 :

Pasal 4 (1) Penentuan penyelesaian pelanggaran disiplin

melalui sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum.

(2) Materi perkara yang diperiksa dan diputuskan melalui sidang disiplin merupakan perkara yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia.

Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin yang

dilakukan oleh anggota Polri dilaksanakan melalui

beberapa tahapan :54

1. Penerimaan Laporan;

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan

oleh penulis dengan AKP. H. Ridwan, S.H ( 22 Juni

53

SK Kapolri No. Pol. : KEP/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri

54 SK Kapolri No. Pol. : KEP/43/IX/2004, Op.Cit.

Page 96: SKRIPSI POLRI - Unhas

73

2012) dapat disimpulkan bahwa masuknya laporan

kepolisian dapat melaui 3 cara, yaitu :

- Laporan;

- Pengaduan;

- Ditemukan langsung oleh petugas yang

kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan

penyelidikan.

Sebagai contoh, kasus penanganan aksi unjuk

rasa Eksekusi tanah oleh anggota Polri dengan

mahasiswa Unasman Kabupaten Polman. Masuknya

laporan kepolisian terhadap pelanggaran disiplin

yang dilakukan oleh anggota Polri berdasarkan

temuan langsung oleh pihak kepolisian yang

kemudian menindaklanjuti temuan tersebut dan

menetapkan 19 anggota Polri terlibat melakukan

Pelanggaran Disiplin dan telah dijatuhi hukuman

disiplin.

2. Pemeriksaan

Pasal 22 Pemeriksaan pelanggaran disiplin

merupakan tindak lanjut dari adanya penerimaan laporan, tertangkap tangan, dan

Page 97: SKRIPSI POLRI - Unhas

74

temuan oleh petugas dalam bentuk kegiatan berupa :55 a. Pemanggilan Terperiksa dan Saksi; b. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan; c. Pemeriksaan Saksi Ahli.

3. Sidang Disiplin

Pasal 29 (1) Penentuan penyelesaian pelanggaran

disiplin melalui sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum.

(2) Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima berkas perkara pelanggaran dari Provos, Ankum harus menyelenggarakan sidang disiplin.

(3) Untuk menyelenggarakan sidang disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Ankum menetapkan perangkat sidang dan waktu pelaksanaan sidang.

4. Penjatuhan Hukuman

Pasal 31 (1) Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan

dalam sidang disiplin. (2) Setelah mendengarkan dan/atau

memeperhatikan keterangan Saksi, Terperiksa, Saksi Ahli, Pendamping Terperiksa serta barang bukti, Ankum menjatuhkan putusan hukuman disiplin.

(3) Putusan hukuman yang dijatuhkan oleh Ankum tidak menghapus tuntutan pidana atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Terhukum.

Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman

disiplin adalah :56

55

Ibid.

Page 98: SKRIPSI POLRI - Unhas

75

a. Ankum, dan/atau;

b. Atasan Ankum.

Penggolongan Ankum yang berhak menjatuhkan

hukuman disiplin diatur dalam SK Kapolri No. Pol. :

KEP/42/IX/2004 :57

Pasal 1 (6) Ankum yang berwenang penuh adalah

Ankum yang mempunyai wewenang menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin.

(7) Ankum yang berwenang terbatas adalah Ankum yang mempunyai wewenang menjatuhkan sebagian jenis hukuman disiplin.

(8) Ankum yang berwenang sangat terbatas adalah Ankum yang mempunyai wewenang menjatuhkanhukuman disiplin berupa teguran tertulis.

5. Pelaksanaan Hukuman

Pasal 32 Tata cara pelaksanaan hukuman disiplin

dilakukan sebagai berikut : a. Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 huruf a, dicantumkan dalam surat keputusan hukuman disiplin, yang aslinya diberikan kepada terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos, dan Atasan Ankum.

b. Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, c, dan d, dicantumkan dalam surat keputusan

56

SK Kapolri No. Pol. : KEP/42/IX/2004 tentang Atasan Yang Berhak Menjatuhkan Hukuman Disiplin Di Lingkungan POLRI

57 Ibid.

Page 99: SKRIPSI POLRI - Unhas

76

hukuman disiplin dengan menyebutkan waktu penundaan yang jelas dan tidak melebihi masa 1 (satu) tahun, yang aslinya diberikan kepada Terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos, dan Atasan Ankum.

c. Putusan sidang disiplin sebagimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, harus sudah ditindaklanjuti dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, yang tembusan surat keputusan disampaikan kepada Ankum.

d. Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf e dan f, dicantumkan dalam surat keputusan hukuman disiplin, yang aslinya diberikan kepada Terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos, dan Atasan Ankum.

e. Putusan sidang disiplin sebagaimana dimaksud dalam huruf d, harus sudah ditindaklanjuti senagn surat keputusan oleh pejabat yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, yang tembusan surat keputusan disampaikan kepada Ankum.

f. Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dicantumkan dalam surat keputusan hukuman disiplin, yang aslinya diberikan kepada Terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos, dan Atasan Ankum.

g. Putusan sidang disiplin sebagimana dimaksud dalam huruf f, pelaksanaannya diserahkan kepada Provos.

6. Pencatatan Data Personel Perseorangan

Pasal 36 (1) Setiap penjatuhan tindakan disiplin

maupun hukuman disiplin dilakukan pencatatan dalam buku Pencatatan Data

Page 100: SKRIPSI POLRI - Unhas

77

Personel Perseorangan, yang selanjutnya dijadikan masukan bagi pengisian Riwayat Hidup Personel Perseorangan (RHPP).

(2) Pencatatan penjatuhan hukuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh fungsi Personel, Provos, Paminal dan Ankum Pelanggar.

2. Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri

Dalam Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 14

Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Sidang Komisi Kode Etik Polri dilakukan

terhadap pelanggaran :58

a. Kode Etik Profesi Polri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini;

b. Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri;

c. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Kewenangan memberhentikan anggota Polri dari tugas

dinas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah 1

Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia dilakukan oleh :59

Pasal 15 a. Presiden Republik Indonesia untuk pejabat

dengan pangkat Komisaris Besar Polisi atau yang lebih tinggi;

58

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

59 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia

Page 101: SKRIPSI POLRI - Unhas

78

b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pejabat berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) atau yang lebih rendah.

Selain sanksi pemberhentian dengan tidak hormat

tesebut, terdapat juga sanksi lain sebagaimana diatur dalam

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 yaitu :60

Pasal 21 1. Anggota Polri yang dinyatakan melakukan

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 diekanakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa : c. Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai

perbuatan tercela; d. Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf

secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;

e. Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;

f. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;

g. Dipindahtugaskan ke fungsi yang berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (tahun);

h. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau

i. PTDH sebagai anggota Polri.

Dalam hal terjadi pelanggaran kumulatif antara

pelanggaran disiplin dengan Kode Etik Profesi Polri, maka

penyelesaiannya dilakukan dalam sidang disiplin atau sidang

60

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Op.Cit

Page 102: SKRIPSI POLRI - Unhas

79

Komisi Kode Etik Polri berdasarkan pertimbangan Atasan

Ankum dari terperiksa dan pendapat serta saran hukum dari

Pengemban Fungsi Pembinaan Hukum sebagaimana diatur

dalam Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun

2011.

3. Pelanggaran Pidana

Tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana diproses

sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku terhadap tindak

pidana. Dalam hal ini, jika oknum polisi tersebut melakukan

pelanggaran disiplin yang juga berdampak terjadinya

pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dan adanya tindak

pidana maka akan diproses sesuai dengan prosedur dalam

sidang kode etik dan prosedur penanganan tindak pidana.

Pasal 28 Ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011

menegaskan bahwa penjatuhan sanksi Kode Etik Profesi

Polri tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata.

Page 103: SKRIPSI POLRI - Unhas

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis berkesimpulan

bahwa :

1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kantor

POLDA SULSELBAR dan Kantor POLRESTABES MAKASSAR,

prosedur dan tindakan yang seharusnya dilakukan dalam

menanggulangi aksi unjuk rasa adalah :

j. Membuat rencana pengamanan,

k. Persiapan anggota dan pemberian arahan pimpinan,

l. Melakukan pengamanan, yang meliputi 3 zona yaitu zona

hijau, zona kuning, dan zona merah.

2. Berdasarkan hasil penelitian penulis, faktor-faktor penyebab

aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan yang melawan

hukum dalam mengamankan massa pengunjuk rasa antara lain

karena :

a. Aksi massa yang tidak sesuai aturan dan mengarah pada

tindakan anarkis yang melawan hukum,

b. Penyerangan massa pengunjuk rasa terhadap anggota Polri,

c. Kurangnya pengendalian diri dari anggota Polri sehingga

terpancing melakukan kekerasan,

Page 104: SKRIPSI POLRI - Unhas

81

d. Rendahnya pengetahuan aparat terhadap referensi peraturan

dalam penanggulangan aksi unjuk rasa.

3. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Polri untuk mengurangi

kekerasan dalam melakukan pengamanan terhadap aksi unjuk

rasa adalah melakukan negosiasi dengan massa pengunjuk rasa

dalam tiap tahapan zona pengamanan aksi unjuk rasa sebelum

melakukan tindakan represif. Selain itu, pihak kepolisian juga

melakukan upaya penanggulangan yang berpusat pada intern

polri yaitu dengan :

a. Melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap anggota

kepolisian tentang tata cara penaggulangan unjuk rasa,

b. Melakukan pembinaan mental terhadap petugas yang

melakukan pengamanan aksi unjuk rasa,

c. Dalam hal terjadinya pelanggaran, maka anggota kepolisian

yang terbukti melakukan pelanggaran dapat diproses dan

diberi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan

beberapa hal sebagai berikut :

a. Meningkatkan Sumber Daya Manusia personil POLRI dengan

mengikuti kursus mengenai pengendalian diri.

Page 105: SKRIPSI POLRI - Unhas

82

b. Memberikan sosialiasai mengenai tata cara aksi unjuk rasa sesuai

peraturan yang berlaku terhadap masyarakat, serta tata cara

penanggulangan aksi unjuk rasa terhadap anggota Polri.

c. Memperbanyak pengetahuan anggota Polri terhadap referensi

penanggulangan aksi unjuk rasa guna mengurangi adanya

tindakan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Page 106: SKRIPSI POLRI - Unhas

83

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

A.S. Alam, “Pengantar Kriminologi”, Pustaka Refleksi Books, Makassar, 2010.

Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005.

E. Utrech, “Pengantar Hukum Administrasi Dengan Indonesia”, PT. Balai Buku, Jakarta, 1953.

HAK Mochammad Anwar, “Hukum PIdana Bagian Khusus KUHP Buku II, Jilid I”, Alumni Bandung, 1986.

Huriodo, “Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Di Wilayah Perkotaan”, Makalah dalam Seminar Kriminologi, FISIP UI.

Kunarto, “Merenungi Kiprah Polri menghadapi Gelora Anarkhi 2”, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999.

Lamber Missa, ”Studi kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur”, Tesis, UNDIP, Semarang, 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri

Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa”.

Mustafa Kemal Pahsa dan kawan-kawan, Pancasila dalam Tinjauan Historis dan Filosofis Citra, Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2003.

Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-Hara

Page 107: SKRIPSI POLRI - Unhas

84

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

SK Kapolri No. Pol. : KEP/42/IX/2004 tentang Atasan Yang Berhak Menjatuhkan Hukuman Disiplin Di Lingkungan POLRI

SK Kapolri No. Pol. : KEP/43/IX/2004 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Polri

SK Kapolri No. Pol. : KEP/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri

Standar Operasional Prosedur tentang Pengendalian MassaTahun 2012

STR John May Lam, “The Police Of Briatai”, Majalah Bhayangkara, Terjemahan, Jakarta: Bhayangkara.

Thomas Santoso, “Teori Teori Kekerasan”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Topo Santoso & Eva A., “Kriminologi”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Undang Undang Repubilk Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubilk Indonesia.

Yesmil A. & Adang, “Kriminologi”, Refika Aditama, Bandung, 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme#Anarkisme_dan_kekerasan (akses tanggal 18 Maret 2012).

http://tolak-bhp-mahasiswa-unhas-polisi.html (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakt.html (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.indonesiakemarin.blogspot.com/2007/05/tragedi-trisakti-12-mei-1998.htm (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/27/0543035/jalan.di.uki.diblokir.muacetttt.deh (akses tanggal 07 Maret 2012).

Page 108: SKRIPSI POLRI - Unhas

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

A.S. Alam, “Pengantar Kriminologi”, Pustaka Refleksi Books, Makassar, 2010.

Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005.

E. Utrech, “Pengantar Hukum Administrasi Dengan Indonesia”, PT. Balai Buku, Jakarta, 1953.

HAK Mochammad Anwar, “Hukum PIdana Bagian Khusus KUHP Buku II, Jilid I”, Alumni Bandung, 1986.

Huriodo, “Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Di Wilayah Perkotaan”, Makalah dalam Seminar Kriminologi, FISIP UI.

Kunarto, “Merenungi Kiprah Polri menghadapi Gelora Anarkhi 2”, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999.

Lamber Missa, ”Studi kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur”, Tesis, UNDIP, Semarang, 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri

Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa”.

Mustafa Kemal Pahsa dan kawan-kawan, Pancasila dalam Tinjauan Historis dan Filosofis Citra, Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2003.

Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-Hara

Page 109: SKRIPSI POLRI - Unhas

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

SK Kapolri No. Pol. : KEP/42/IX/2004 tentang Atasan Yang Berhak Menjatuhkan Hukuman Disiplin Di Lingkungan POLRI

SK Kapolri No. Pol. : KEP/43/IX/2004 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Polri

SK Kapolri No. Pol. : KEP/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri

Standar Operasional Prosedur tentang Pengendalian MassaTahun 2012

STR John May Lam, “The Police Of Briatai”, Majalah Bhayangkara, Terjemahan, Jakarta: Bhayangkara.

Thomas Santoso, “Teori Teori Kekerasan”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Topo Santoso & Eva A., “Kriminologi”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Undang Undang Repubilk Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubilk Indonesia.

Yesmil A. & Adang, “Kriminologi”, Refika Aditama, Bandung, 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme#Anarkisme_dan_kekerasan (akses tanggal 18 Maret 2012).

http://tolak-bhp-mahasiswa-unhas-polisi.html (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakt.html (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.indonesiakemarin.blogspot.com/2007/05/tragedi-trisakti-12-mei-1998.htm (akses tanggal 07 Maret 2012).

http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/27/0543035/jalan.di.uki.diblokir.muacetttt.deh (akses tanggal 07 Maret 2012).