V. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Untuk mengetahui keanekaragaman jenis...

19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo 5.1.1. Keanekaragaman Jenis Primata Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili. Dari famili Cercopithecidae (3 jenis) terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Dari famili Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Hasil ini lebih banyak dibanding Ditjend PHKA (2007) yang menyebutkan bahwa ada 3 jenis primata di TNTN antara lain antara lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di areal penelitian TNTN disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN No. Nama lokal Nama ilmiah Famili 1. Owa ungko Hylobates agilis Hylobatidae 2. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Cercopithecidae 4. Lutung simpai Presbytis melalophos Cercopithecidae 5. Siamang Hylobates syndactylus Hylobatidae Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti dapat diperoleh dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis. Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata di areal studi, diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon Wiener sebesar 0,99 mendekati 1. Hal ini berarti di areal perbatasan TN Tesso Nilo yang menjadi areal studi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong sedang. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Walaupun kondisi habitat hutan sekunder satwa primata telah terganggu oleh berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan hutan, perburuan satwaliar, dan perambahan hutan, tetapi jenis-jenis satwa primata yang terdapat di TNTN

Transcript of V. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Untuk mengetahui keanekaragaman jenis...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo

5.1.1. Keanekaragaman Jenis Primata

Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional

Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili. Dari famili Cercopithecidae (3 jenis)

terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng

(Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Dari famili

Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan

siamang (Hylobates syndactylus). Hasil ini lebih banyak dibanding Ditjend PHKA

(2007) yang menyebutkan bahwa ada 3 jenis primata di TNTN antara lain antara

lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk

(Macaca nemestrina). Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di areal

penelitian TNTN disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN

No. Nama lokal Nama ilmiah Famili

1. Owa ungko Hylobates agilis Hylobatidae

2. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae

3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Cercopithecidae

4. Lutung simpai Presbytis melalophos Cercopithecidae

5. Siamang Hylobates syndactylus Hylobatidae

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti

dapat diperoleh dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis. Berdasarkan

hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata di areal studi,

diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon – Wiener

sebesar 0,99 mendekati 1. Hal ini berarti di areal perbatasan TN Tesso Nilo yang

menjadi areal studi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata

yang tergolong sedang. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa

ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan

bertambah.

Walaupun kondisi habitat hutan sekunder satwa primata telah terganggu

oleh berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan hutan, perburuan satwaliar,

dan perambahan hutan, tetapi jenis-jenis satwa primata yang terdapat di TNTN

32

telah beradaptasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan ditemukannya satwa

primata berdasarkan perjumpaan langsung

5.1.2. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi adalah suatu besaran populasi dalam suatu unit ruang,

biasanya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam suatu unit volume atau luas

(Alikodra, 1990). Menurut Tarumingkeng (1994), kepadatan populasi adalah

jumlah individu dalam satuan ekologis (daerah, luasan, dan lain-lain). Sepanjang

kehidupan satwaliar, kepadatan populasi selalu berubah tergantung keadaan

lingkungan (ruang dan waktu).

Kawasan hutan perbatasan ini merupakan kawasan atau area koridor

(ekoton) satwaliar yang diperkirakan memiliki tingkat keanekaragaman satwa

yang sangat tinggi. Karena kawasannya yang merupakan penghubung dua edge

(tipe vegetasi) yang berbeda antara hutan dengan perkebunan kelapa sawit.

Diperkirakan sampai saat ini luas kawasan konservasi ini sudah banyak

berkurang. Berkurangnya luas kawasan ini disebabkan oleh pembukaan areal yang

dilakukan oleh peladang-peladang liar, areal yang habis terbakar, dan penebangan

liar. Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan populasi.

Populasi dugaan jenis-jenis primata di areal perbatasan TN Tesso Nilo disajikan

dalam Tabel 4.

Tabel 4. Pendugaan populasi beberapa satwa primata yang diamati TN Tesso Nilo

No. Jenis Primata Kepadatan Populasi

Rata-rata (ekor/ha)

Dugaan Populasi

Seluruh Areal

(ekor)

Persentase Luas

(ha)

1. Owa ungko 0,1429 1.929 12,27%

13.500

2. Monyet ekor

panjang

0,1429 1.929 12,27%

3. Lutung budeng 0,80 10.800 68,70%

4. Lutung simpai 0,0643 868 5,52%

5. Siamang 0,0143 193 1,23%

Total 1,1644 15.719 100,00%

Dari hasil pengamatan didapatkan spesies primata yang memiliki populasi

dugaan terbesar per luasan 13.500 ha adalah jenis lutung budeng dengan populasi

dugaan sebesar 10.800 ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,80 ekor/ha atau 80

ekor/km2. Owa ungko dan monyet ekor panjang memiliki kepadatan populasi

33

yang sama yaitu 1.929 ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,1429 ekor/ha atau

14,29 ekor/km2. Kepadatan populasi lutung simpai lebih kecil dari ketiga jenis

primata diatas dengan populasi sebesar 868 ekor atau kerapatan rata-ratanya

0,0643 ekor/ha atau 6,43 ekor/km2. Sedangkan jenis primata yang memiliki

kepadatan populasi terkecil adalah jenis siamang dengan populasi sebesar 193

ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,0143 ekor/ha atau 1,43 ekor/km2.

Gambar 5. Diagram persentase kepadatan populasi ke lima jenis primata yang

berada di dalam kawasan TNTN

5.1.3. Sebaran dan Aktivitas

Sebaran yang dimaksud adalah sebaran spasial yaitu sebaran menurut

ruang dalam skala yang tertentu. Sebaran spasial adalah sebaran individu dan

kelompok dalam populasi jenis satwaliar. Pola penyebaran ini merupakan strategi

individu dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990).

Individu dalam populasi menyebar menurut tiga pola yaitu pola acak

(random), pola mengelompok (agregatif), dan pola merata (uniform). Pola

sebaran acak menunjukkan adanya keseragaman habitat dan adanya perilaku non

selektif dari spesies tersebut terhadap lingkungannya. Pola sebaran merata

disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makan diantara individu, dan

pola mengelompok disebabkan oleh sifat spesies yang suka menggerombol dan

12.27% 12.27%

68.70%

5.52%1.23%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Pers

en

tase

Ungko M.e. panjang L. budeng L. simpai Siamang

Jenis

12.27% 12.27%

68.70%

5.52%1.23%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Pers

en

tase

Ungko M.e. panjang L. budeng L. simpai Siamang

Jenis

34

adanya keragaman habitatnya (Tarumingkeng, 1994). Sebaran populasi jenis-jenis

primata di areal studi seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi TNTN

No. Jenis Primata Populasi

Dugaan (ekor)

Parameter Pola Sebaran

X * 2

XS ** XS ***

1. Owa ungko 1.929 0,14 4,81 0,83 Mengelompok

2. Monyet ekor

panjang 1.929 0,14 26,48 1,94 Mengelompok

3. Lutung budeng 10.800 0,8 302,6 6,58 Mengelompok

4. Lutung simpai 868 0,06 4,90 0,84 Mengelompok

5. Siamang 193 0,01 0,24 0,18 Mengelompok Ket : *= rata-rata populasi yang teramati; **= keragaman populasi; ***= keragaman rata-rata

populasi

Pola sebaran dari seluruh jenis primata di areal studi menunjukan

sebarannya mengelompok karena keragaman rata-rata populasi dari masing-

masing jenis primata nilainya lebih besar dari rata-rata populasi. Hal ini sesuai

dengan pola sebaran spesies primata yang mengelompok secara alami karena pola

sebaran mengelompok menunjukan sifat spesies yang suka menggerombol

(agregatif) dan adanya keragaman habitat di seluruh areal studi. Lutung budeng

mempunyai penyebaran individu jenis primata yang paling tinggi dengan

kepadatan populasi sebesar 10.800 ekor. Sedangkan sebaran populasi jenis

primata yang paling rendah yaitu terdapat pada jenis siamang dengan kepadatan

populasi sebesar 193 ekor.

Setiap jenis makhluk hidup akan selalu berinteraksi dengan lingkungan

atau habitat sekitarnya, baik habitat yang masih alami maupun sudah terganggu

dan beberapa jenis satwaliar dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan, salah

satunya dengan mengubah perilakunya. Faktor lingkungan seperti faktor fisik

(iklim, air, dan substrat) dan faktor biotik (vegetasi dan makanan) merupakan

faktor yang mempengaruhi penyebaran mamalia besar (Vaughan, 1985).

Pola aktivitas setiap jenis satwa primata yang ditemukan, berada

berdasarkan waktu aktivitas yang umumnya dilakukan oleh satwa primata ini

dikategorikan berdasarkan pengamatan di lapangan. Terbagi menjadi beberapa

kategori, yaitu aktivitas bersuara, bergerak, makan, berkelahi dan lainnya.

35

Aktivitas berkelahi merupakan kegiatan satwa dalam mempertahankan daerah

teritorinya dari individu atau kelompok lainnya.

Satwaliar pada umumnya ada yang bersifat diurnal dan juga nokturnal.

Satwa yang aktif pada pagi dan sore hari tergolong satwa yang bersifat diurnal,

sedangkan satwa yang aktif di malam hari adalah satwa nokturnal. Dalam

melakukan aktivitasnya, jenis-jenis satwa primata seperti owa ungko, lutung

budeng, monyet ekor panjang, lutung simpai, dan siamang yang ditemukan

umumnya melakukan aktivitasnya lebih banyak pada pagi hari sampai sore hari

(bersifat diurnal). Satwaliar yang aktif di malam hari umumnya ditemukan secara

tidak langsung atau melalui jejak dan kotoran, seperti jejak kaki harimau sumatera

serta jejak kaki dan kotoran gajah sumatera.

Gambar 6. Owa ungko (Hylobates agilis)

Perbedaan pada total individu jenis satwa primata dalam aktivitas di pagi

dan sore hari disajikan dalam persentase. Total individu setiap jenis yang

melakukan aktivitas di pagi sampai siang hari sebesar 62,79 %, sedangkan yang

memanfaatkan pada sore hari sebesar 37,21 %. Pada waktu pagi, satwa primata

sebagian besar melakukan aktivitas untuk bergerak. Aktivitas bergerak

diantaranya seperti bersuara, melompat dan berjalan-jalan mencari makan, pada

saat siang hari digunakan untuk istirahat dan berteduh.

Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar,

dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi tajuk hutan yaitu sebagai

satwa arboreal dan terestrial. Vieira dan Filho (2003) menyatakan bahwa

36

perubahan ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi

dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola

pemanfaatan habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. (1998) menyatakan

bahwa kekayaan jenis vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur

kompleks dari hutan.

Setiap strata tajuk hutan memilki kemampuan dalam mendukung

kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu (Alikodra, 1990). Soerianegara dan

Indrawan (2002) membagi strata hutan atas strata A (>30 m), strata B (20-30 m),

strata C (4-20 m), strata D (1-4 m), dan strata E (0-1 m). Pemanfaatan strata hutan

oleh masing-masing jenis satwa primata disajikan dalam Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata

No. Nama Lokal Nama Ilmiah Strata Hutan

A B C D E

1. Owa ungko Hylobates agilis √ √ - - -

2. Monyet ekor

panjang

Macaca fasicularis √ √ √ √ √

3. Lutung budeng Trachypithecus auratus √ √ √ - -

4. Lutung simpai Presbytis malalophos √ √ √ - -

5. Siamang Hylobates syndactylus - √ - - -

Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa monyet

ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas dibanding seluruh jenis

satwa primata lainnya. Monyet ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan

yang telah dibagi. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan monyet ekor panjang untuk

tidak memilih sumberdaya pakan tertentu.

Jenis-jenis satwa primata yang memanfaatkan strata A yaitu monyet ekor

panjang, owa ungko, lutung budeng dan lutung simpai. Santoso (1983)

menyatakan bahwa pola aktivitas monyet ekor panjang di Pulau Tinjil yang

banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya

pakannya sedang berlimpah pada stratifkasi atas.

37

Gambar 7. Monyet ekor panjang yang memiliki sebaran vertikal lebih luas

Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pohon

pada strata A dan strata B. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian ini tersedia

sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun, dan

serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih

mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau stara C.

Gambar 8. Lutung budeng (Trachypithecus auratus)

Lutung budeng dan simpai lebih banyak memanfaatkan strata A dibanding

jenis mamalia lainnya karena kebutuhan pakan akan daun muda atau pucuk daun.

Seperti halnya pernyataan Santoso (1983), lutung budeng juga lebih banyak

38

memanfaatkan strata hutan A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang

terdapat di tajuk pohon teratas.

Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti

penting dalam kehidupan di alam. Keberadaan primata tidak hanya sebagai

penghias alam, namun penting artinya dalam regenerasi hutan tropik. Tingginya

tingkat gangguan habitat akibat penebangan liar, menurunnya potensi pakan,

timbulnya kebisingan akibat pengoperasian gergaji mesin, perambahan hutan, dan

perpindahan satwa ketempat-tempat lain yang baru yang masih menyediakan

pakan yang berlimpah di habitat tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup

satwa tersebut dapat menyebabkan penyebaran populasi satwa primata semakin

berkurang. Berkurangnya populasi satwa primata di hutan alam nantinya

diprediksi akibat dari perburuan satwaliar dan juga sebagai tanda perpindahan

satwa tersebut ke habitat baru berupa perkebunan kelapa sawit.

5.1.4. Komposisi Vegetasi

Vegetasi hutan di Taman Nasional Tesso Nilo yang menjadi areal

penelitian merupakan vegetasi hutan dataran rendah. Dari hasil analisis vegetasi

didapatkan komposisi jenis vegetasi yang sangat beragam. Ditemukan 111 jenis

tumbuhan dari 43 famili. Jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan

adalah dari famili Myrtaceae, Sapotaceae, Burseraceae, Anacardiaceae, Fabaceae

dan Dipterocarpaceae. Berikut merupakan diagram rekapitulasi 10 famili

terbanyak yang diperoleh (Gambar 9).

Jenis tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae adalah jenis yang paling

banyak ditemukan di kawasan hutan ini. Sedikitnya dengan jumlah jenis

tumbuhan sebanyak 25 jenis. Sedangkan untuk famili Anacardiaceae dan

Fabaceae ditemukan jumlah jenis tumbuhan sebanyak 7 jenis. Untuk famili

Burseraceae 6 jenis tumbuhan, famili Sapotaceae 5 jenis tumbuhan, dan famili

Myrtaceae sebanyak 4 jenis tumbuhan. Famili Euphorbiaceae, Ebenaceae,

Moraceae dan Myristicaceae masing-masing memiliki jumlah jenis tumbuhan

yang sama yaitu sebanyak 3 jenis tumbuhan.

39

Gambar 9. Rekapitulasi 10 famili tumbuhan terbanyak yang terdapat di TNTN

Areal studi penelitian di Taman Nasional Tesso Nilo yang dekat dengan

perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur terbagi ke dalam 7 jalur.

Vegetasi tumbuhan yang dapat ditemukan di hutan daratan rendah pada umumnya

tumbuhan berkayu, tumbuhan rambat, terna, pencekik, saprofit, dan parasit. Jenis-

jenis tumbuhan berkayu yang banyak ditemukan di hutan TNTN diantaranya

antara lain: kelat (Gonystylus forbesii), meranti kunyit (Shorea conica), medang

keladi (Talauma gigantifolia), benau (Mangifera spp.), meranti sepat (Shorea

macrantha), resak (Vatica spp.), meranti bunga (Shorea platycarpa), jejambu

(Eugenia spp.), medang (Diospyros curranii), mahang (Macaranga sp.), sendok-

sendok (Endospermum diadenum), bintangur (Calophyllum soulattri), tapak-tapak

(Sindora wallichii), nasi-nasi (Anisophyllea disticha), kulim (Scorodocarpus

bracteatus), dan gerunggang (Cratoxylon spp.). Berikut jenis-jenis tumbuhan yang

ada di Taman Nasional Tesso Nilo yang mendominasi di setiap jalurnya di sajikan

dalam Tabel 7 berikut:

3 3 3 34

56 7 7

25

0

5

10

15

20

25

Ju

mla

h

Eupho

rbiace

ae

Ebena

ceae

Mor

acea

e

Myr

istic

acea

e

Myr

tace

ae

Sapot

aceae

Burse

race

ae

Anaca

rdia

cea

Fabac

eae

Dip

tero

carp

acea

e

Family

3 3 3 34

56 7 7

25

0

5

10

15

20

25

Ju

mla

h

Eupho

rbiace

ae

Ebena

ceae

Mor

acea

e

Myr

istic

acea

e

Myr

tace

ae

Sapot

aceae

Burse

race

ae

Anaca

rdia

cea

Fabac

eae

Dip

tero

carp

acea

e

Family

40

Tabel 7. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) terbesar dari tumbuhan di setiap

jalur penelitian.

Tingkat Jalur Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

Semai 1. Nasi-nasi Anisophyllea disticha Rhizophoraceae 20.12

2. Meranti

bunga

Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae 26.20

3. Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae 39.51

4. Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae 84.81

5. Sendok-

sendok

Endospermum

diadenum

Euphorbiaceae 40.13

6. Kulim Scorodocarpus

bracteatus

Moraceae 74.66

7. Gerunggang Cratoxylon spp. Hypericaceae 48.08

Pancang 1. Tapak-tapak Sindora wallichii Fabaceae 22.50

2. Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae 31.76

3. Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae 40.48

4. Jejambu Eugenia sp Myrtaceae 38.11

5. Sendok-

sendok

Endospermum

diadenum

Euphorbiaceae 33.44

6. Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae 56.14

7. Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae 57.98

Tiang 1. Meranti

bunga

Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae 47.09

2. Arang-arang Eugenia sp. Myrtaceae 43.17

3. Medang Diospyros curranii Ebenaceae 51.18

4. Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae 80.97

5. Sendok-

sendok

Endospermum

diadenum

Euphorbiaceae 72.38

6. Bintangur Calophyllum soulattri Guttaceae 79.58

7. Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae 80.61

Pohon 1. Kelat Gonystylus forbesii Thymeliaceae 44.84

2. Meranti

kunyit

Shorea conica Diptrerocarpaceae 32.25

3. Medang

keladi

Talauma gigantifolia Magnoliaceae 36.31

4. Benau Mangifera sp. Anacardiacea 27.46

5. Meranti sepat Shorea macrantha Diptrerocarpaceae 37.37

6. Resak Vatica sp. Diptrerocarpaceae 61.31

7. Resak Vatica spp. Diptrerocarpaceae 57.15

5.1.5. Kondisi Habitat

Hampir disetiap jalur, kegiatan manusia di kawasan ini cukup intensif,

terlihat dengan sering ditemukannya bekas-bekas aktivitas mereka. Aktivitas yang

dijumpai di kawasan ini adalah penebangan hutan, perambahan hutan, dan

perburuan satwaliar baik dengan senjata api maupun dengan pemasangan jerat

41

yang banyak ditemukan di dalam kawasan ini. Pada jalur 1, terdapat beberapa

aktivitas manusia yang dapat mengganggu dan mengancam kelestarian flora dan

fauna yaitu dengan adanya keberadaan beberapa lahan garapan berupa kebun

kelapa sawit milik masyarakat. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan,

pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Nasi-nasi (Anisophyllea

disticha) dengan INP sebesar 20,12%.

Untuk tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh Tapak-tapak

(Sindora wallichii) dengan INP sebesar 22,50%. Meranti bunga (Shorea

platycarpa) mendominasi pada tingkat pertumbuhan tiang dengan INP sebesar

47,09%, sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Kelat

(Gonystylus forbesii) dengan INP sebesar 44,84%.

Beberapa areal kawasan hutan yang berada di sekitar jalur 2 ini telah

terbuka, bekas tebangan oleh masyarakat yang akan dijadikan kebun kelapa sawit.

Selain itu juga terdapat bekas potongan kayu yang telah menjadi balok-balok, dan

terdengar suara mesin pemotong kayu (chain saw) yang jaraknya dekat dengan

areal penelitian. Didalam kawasan hutan ini terdapat aliran sungai dan sebagian

besar terendam oleh air.

Gambar 10. Kayu balok bekas penebangan liar di dalam kawasan Taman

Nasional Tesso Nilo

Berdasarkan data hasil analisis vegetasi, jenis-jenis yang dominan di

kawasan ini untuk vegetasi tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Meranti

bunga (Shorea platycarpa) dengan INP sebesar 26,20%. Vegetasi tingkat

pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Euginia sp.) dengan INP sebesar

42

22,50 %. Vegetasi tingkat pertumbuhan tiang yang mendominasi adalah Arang-

arang (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 43,17%. Sedangkan vegetasi tingkat

pertumbuhan pohon didominasi oleh Meranti kunyit (Shorea conica) dengan INP

sebesar 32,25%.

Jalur 3 dan 4 merupakan areal lokasi penelitaian yang cukup jauh dengan

pemukiman. Kawasan ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian 62-78

m dpl. Untuk jalur 3, pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang

mendominasi yaitu Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=39,51%). Pada tingkat

pertumbuhan pancang juga didominasi oleh Kelat (Gonystylus forbesii) dengan

INP sebesar 40,48%. Untuk tingkat tiang yang mendominsasi jenis Petaling gajah

(Homalium longifolium) dengan INP sebesar 41,28%. Sedangkan pada tingkat

pohon jenis yang mendominasi yaitu jenis Medang keladi (Lalauma gigantifolia)

dengan INP sebesar 36,31%.

Jenis tumbuhan di jalur 4 yang mendominasi untuk tingkat semai yaitu

Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=84,81%). Pada tingkat pertumbuhan pancang,

didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 29,52%. Untuk

tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP

sebesar 80,97%. Sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh

Benau (Mangifera sp.) dengan INP sebesar 27,46%.

Gambar 11. Areal bekas perambahan hutan didalam kawasan Taman Nasional

Tesso Nilo

Jalur 5 dan 6 merupakan jalur dimana terdapat banyak bekas kotoran dan

jejak gajah. Di jalur ini sering terjadi masuknya gajah-gajah liar kedalam kebun

43

kelapa sawit dan merusaknya. Hal ini bisa disebabkan kawasan hutan yang

semakin menyempit akibat konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit. Di jalur 5,

untuk tingkat pertumbuhan semai didominsi oleh Sendok-sendok (Endospermum

diadenum) dengan INP sebesar 40,13%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang juga

didominasi oleh sendok-sendok dengan INP sebesar 33,44%. Pada tingkat

pertumbuhan tiang didominasi oleh Meranti bunga (Shorea platycarpa) dengan

INP sebesar 32,94%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon didominasi

oleh jenis Meranti sepat (Shorea macrantha).

Sendok-sendok merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup pada tegakan

yang terbuka. Dominasi tumbuhan sendok-sendok pada hutan dataran rendah

menunjukkan bahwa kondisi hutan dataran rendah tergolong terganggu. Kondisi

hutan yang terganggu dapat juga diketahui dengan interaksi masyarakat yang

berbatasan dengan hutan dataran rendah penebangan liar, perburuan satwaliar,

mencari rotan ataupun kayu bakar.

Untuk jalur 6, tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Kulim

(Scorodocarpus bracteatus) dengan INP sebesar 74,66%. Untuk vegetasi tingkat

pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar

56,14%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang jenis didominasi oleh Bintangur

(Colopyhllum soulattri) dengan INP sebesar 79,58%. Sedangkan untuk vegetasi

tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Resak (Vatica sp.) dengan INP

sebesar 61,31%.

Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di jalur 7, diperoleh jenis-

jenis yang mendominasi pada habitat jalur VII. Pada tingkat pertumbuhan semai

didominasi oleh Gerunggang dengan INP sebesar 48,08%. Pada tingkat

pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar 57,98%. Pada

tingkat pertumbuhan tiang juga didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar

80,61%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon jenis yang mendominasi

yaitu Resak dengan INP sebesar 57,15%. Jenis.

Habitat jalur ini memiliki topografi yang bergelombang, dengan kondisi

habitat sebagian hutan rawa. Kondisi habitat di jalur ini keadaan hutannya lebih

baik dibandingkan dengan jalur-jalur lainnya. Vegetasi hutan di jalur ini memiliki

tingkat kerapatan yang tergolong tinggi dan belum tersentuh oleh adanya kegiatan

44

manusia. Akan tetapi kerusakan dan gangguan habitat di jalur ini masih bisa

terjadi, karena seiring dengan berjalannya waktu dimana aktivitas manusia bukan

tidak mungkin akan masuk ke habitat ini. Sehingga perlu dilakukan pengawasan

dan perlindungan terhadap sumber daya hayati dan ekosistemnya yang masih

alami demi tercapainya keseimbangan ekologi hutan.

Gambar 12. Kondisi hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang belum terganggu

Seiring dengan perkembangan kondisi kawasan, habitat satwaliar di

Taman Nasional Tesso Nilo banyak mengalami perubahan. Sebagai kesatuan

ekosistem, apabila ada perubahan kondisi suatu bagian dari kawasan, yang

merupakan juga habitat satwaliar akan membawa pengaruh dan perubahan pada

satwaliar tersebut. Perubahan habitat tersebut bisa berupa berubahnya tipe

penutupan lahan maupun tipe vegetasi dan terjadinya fragmentasi habitat.

Pembalakan intensif sangat berpengaruh terhadap kerusakan struktur hutan

terutama di kawasan hutan yang persentase komersialnya tinggi (Whitmore, 1982

dalam Yusuf, 1998). Haryanto (1987) dalam Yusuf (1998) berpendapat kegiatan

pembalakan dengan sistem mekanis dengan intensif menyebabkan tumbuhnya

jenis-jenis pionir secara dominan, seperti Macaranga spp., Mollatus spp., dan

Anthhocephalus spp. Hal ini berarti menandakan rusaknya struktur hutan, yang

berarti rusaknya habitat berbagai jenis satwaliar yang ada didalamnya.

Pengaruh perubahan kondisi habitat akibat pembalakan terhadap satwaliar

bervariasi menurut tingkat perubahan dan kemampuan beradaptasi jenis. Di areal

bekas pembalakan yang bebas dari gangguan memegang peranan penting dalam

memperkecil pengaruh negatif tersebut. Rinaldi (1985) dalam Yusuf (1998)

45

berpendapat di Way Kambas menunjukan bahwa siamang dapat beradapatasi

dengan baik pada kondisi vegetasi tanpa strata A yang didominasi oleh jenis-jenis

yang berfamili non-Dipterocarpaceae. Begitu juga hasil penelitian Haryanto

(1987) dalam Yusuf (1998) Hylobates muelleri dan Presbytis rubicunda yang

sanggup beradaptasi dengan baik pada areal dengan strata yang lengkap.

Secara keseluruhan keadaan hutan sebagai habitat satwaliar terancam

mengalami kerusakan. Kerusakan habitat satwaliar di kawasan ini terjadi karena

kondisi habitat telah banyak mengalami gangguan. Gangguan itu sendiri

disebabkan oleh adanya kegiatan manusia seperti maraknya kegiatan penebangan

liar. Ditambah dengan kawasannya yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit,

sehingga banyak perladangan liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar dengan

cara merambah hutan untuk ditanami dengan tanaman perkebunan tersebut yaitu

kelapa sawit.

Hal ini bila dibiarkan terus menerus akan dapat berakibat pada

penurunan/degradasi populasi satwaliar terutama primata yang ada disekitarnya

dan dapat mengancam akan keberadaan dan kelestariannya. Bahkan bila gangguan

habitat tersebut terus terjadi lagi, selain dapat merusak habitat primata secara fisik

juga dapat mengakibatkan terjadinya efek fragmentasi habitat dan kematian satwa

primata serta migrasi satwaliar terutama primata.

5.2. Komunitas Primata di Dalam Kawasan Lindung

5.2.1. Keanekaragaman Jenis Primata

Jenis primata yang ditemukan di areal kawasan lindung yang berada di

dalam perkebunan kelapa sawit yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

dan beruk (Macaca nemestrina). Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis

dan individu satwa primata diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata

menurut Shannon – Wiener sebesar 0,69. Hal ini berarti di areal kawasan lindung

ini memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong rendah.

Tabel 8. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di kawasan lindung

perkebunan kelapa sawit

No. Nama lokal Nama ilmiah Famili

1. Monyet ekor panjang Macaca fasicularis Cercopithecidae

2. Beruk Macaca nemestrina Cercopithecidae

46

Keanekaragaman jenis satwaliar bergantung pada luasan habitatnya,

semakin besar atau luas suatu habitat maka kemungkinan ditemukannya jumlah

jenis satwaliar semakin besar juga. Serupa dengan Soerianegara & Indrawan

(2002) yang menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar

menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah.

Gambar 13. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kawasan

lindung perkebunan kelapa sawit

5.2.2. Kepadatan Populasi

Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan

populasi. Jumlah jenis primata monyet ekor panjang yang ditemukan sebanyak 13

ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis monyet ekor panjang

sebesar 41,17 ekor perluasan 3,8 ha. Jumlah jenis primata beruk yang ditemukan

sebanyak 11 ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis beruk sebesar

34,83 ekor perluasan 3,8 ha. Keberadaan satwa primata di kawasan lindung ini

sangat rentan terhadap ancaman keberadaan manusia sehingga mengancam

terhadap kemerosotan populasinya. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan

lindung perkebunan kelapa sawit disajikan dalam Tabel berikut ini.

47

Tabel 9. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan

kelapa sawit

No

. Jenis Primata

Kepadatan Populasi

Rata-rata (ekor/ha)

Dugaan

Populasi

Seluruh Areal

Persentase Luas

(ha)

1. Monyet ekor

panjang 10,83 41,17 54,17%

3,8

2. Beruk 9,17 34,83 45,83%

Total 20 76 100.00%

5.2.3. Perilaku dan Aktivitas

Monyet ekor panjang dan beruk yang ditemukan di kawasan lindung yang

ada di dalam perkebunan kelapa sawit hidup dalam kelompok. Monyet ekor

panjang membentuk kelompok dengan jumlah individu yang ditemukan sebanyak

13 ekor dan beruk hidup membentuk kelompok dengan jumlah individu 11 ekor.

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup dalam kelompok yang

terdiri dari banyak jantan dan betina dewasa. Jumlah individu setiap kelompok

berbeda-beda. Di hutan bakau umumnya berjumlah antara 10-20 ekor, sedangkan

di hutan primer bisa mencapai 20-30 ekor. Sedangkan beruk hidup berkelompok

berjumlah sekitar 3-15 ekor pada hutan yang sudah terganggu, sedangkan pada

hutan yang belum terganggu bisa mencapai 40-an ekor. Struktur organisasinya

adalah multimale-multifemale atau banyak jantan dan betina dewasa.

Monyet ekor panjang dan beruk dalam melakukan aktivitasnya, lebih

banyak dilakukan pada pagi hari sampai sore hari (diurnal). Di pagi hari, monyet

dan beruk mencari makan di dalam kawasan lindung berupa buah-buahan.

Kadang-kadang ke daerah perkebunan kelapa sawit dengan melompat melewati

sungai melalui dahan yang paling atas yang menjorok ke arah luar ke pelepah

sawit untuk mencari pakan berupa buah kelapa sawit yang masih muda, dan

kembali lagi ke dalam kawasan lindung pada sore hari. Kadang-kadang dijumpai

di siang hari, kedua jenis primata ini kembali ke kawasan lindung untuk

beristirahat dan berteduh.

5.2.4. Karakteristik Habitat

Vegetasi di areal cadangan (hutan lindung) yang berada di dalam

perkebunan kelapa sawit mempunyai habitat yang cukup unik, karena hampir

48

sebagian besar didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan. Dari hasil analisis

vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang ditemukan yaitu 17 jenis

tumbuhan. Komponen vegetasi jenis tumbuhan untuk di areal ini diantaranya

adalah balam, cempedak, duku, durian, jeruk, kapau, kopi, laban, mangga,

manggis, mata kucing, medang, mentaling, mindi, mundu, rambutan, dan rauh.

Gambar 14. Kondisi vegetasi di areal kawasan lindung perkebunan kelapa

sawit.

Untuk tingkat semai jenis yang paling mendominasi adalah dari jenis

tumbuhan kopi (Coffea spp.) dengan INP sebesar 79,65 %, sedangkan untuk

tingkat pancang didominasi oleh tumbuhan jenis rambutan (Nephellium

lappceum) dengan INP sebesar 44,44 %. Jenis tumbuhan untuk tingkat tiang

didominasi oleh jenis laban (Vitex gamosepala) dengan INP sebesar 76,30 %,

sedangkan untuk tingkat pohon jenis yang paling banyak ditemukan adalah jenis

durian (Durio zibethinus) dengan INP sebesar 58,18 %. Berikut tabel dari INP

untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.

Tabel 10. INP untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon

No. Tingkat Jenis Nama Latin INP

1. Semai Kopi Coffea spp. 79,65 %

2. Pancang Rambutan Nephellium lappceum 44,44 %

3. Tiang Laban Vitex gamosepala 76,30 %

4. Pohon Durian Durio zibethinus 58,18 %

49

Kondisi habitat kawasan lindung di dalam perkebunan kelapa sawit ini

yang didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan menjadi pakan untuk jenis

primata yang ada didalamnya. Kawasan tersebut dekat dengan sumber air

(sempadan sungai), dan keadaan topografinya yang landai.

Gambar 15. Kondisi sempadan sungai di areal kawasan lindung perkebunan

kelapa sawit.

Kawasan lindung dengan luasan areal kurang lebih 3,8 ha ini tidak sesuai

dengan daya dukung habitat untuk primata tersebut. Karena luas kawasan yang

sempit sering kali primata mencari makan di luar kawasan lindung yaitu

perkebunan kelapa sawit. Sehingga, perlu dilakukan usaha penambahan luas

kawasan guna tercapainya daya dukung habitat primata tersebut. Kondisi vegetasi

di kawasan lindung memiliki tingkat kerapatan yang sedang. Seiring dengan

perkembangan zaman kawasan tersebut sangat rentan akan gangguan aktivitas

dari manusia seperti aktivitas pekerja buruh kebun kelapa sawit dan perburuan liar

terhadap satwa primata.