Usulan Penelitian
-
Upload
fanky-soehyono -
Category
Documents
-
view
58 -
download
8
description
Transcript of Usulan Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan
sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan
kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan
(growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Kegiatan pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan melalui tiga
program, yaitu: 1) program peningkatan ketahanan pangan; 2) program
pengembangan agribisnis; dan 3) program peningkatan kesejahteraan petani.
operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui
peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan
halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan
sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program
peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan,
1
2
pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan
promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005).
Pembangunan pertanian harus mengantisipasi tantangan demokratisasi dan
globalisasi. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan
pembangunan nasional. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pembangunan
pertanian di Indonesia adalah: 1) potensi sumberdayanya yang besar dan seragam; 2)
pangsa terhadap pendapatan nasional cukup banyak; 3) besarnya pangsa terhadap
ekspor nasional; 4) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian; 5) perannya dalam penyediaan pangan masyarakat; 6) menjadi basis
pertumbuhan di perdesaan (Hanani dkk, 2003).
Dengan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang bernaung di bawah
sektor pertanian, dengan tingkat pendidikan rata-rata dan produktivitas yang relatif
rendah dan skala lahan yang terbatas serta tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi
dibanding sektor lain, hal ini merupakan tantangan yang sangat besar. Selain itu,
pembangunan yang bertumpu pada sumber daya alam saja akan mempunyai tingkat
pengembangan yang sangat terbatas dan tidak dapat menciptakan increment sebesar
yang dapat diberikan oleh sektor manufaktur dan sektor jasa. Diversifikasi usaha
dapat menstabilkan pendapatan dari sektor pertanian yang fluktuatif dan relatif
dipengaruhi musim, namun tetap belum dapat menghasilkan lonjakan nilai tambah
yang dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Jika sektor pertanian masih
3
bergerak di tingkat primer (on-farm) semata-mata, maka akan sulit untuk dapat
menjadikan pertanian sebagai prime mover pertumbuhan ekonomi nasional. Strategi
yang dapat diterapkan adalah pengolahan produk-produk pertanian melalui
agroindustri.
Walaupun industrialisasi di bidang pertanian terus meningkat, namun pasokan
input dari sektor pertanian dalam negeri masih sangat terbatas, baik kualitas dan
jumlah pasokan yang masih belum konsisten, maupun kontinuitas pasokan, serta
ketepatan waktu. Hal ini terlihat pada salah satu produk hasil pertanian yaitu kacang
kedelai. Kebutuhan dan produksi kacang kedelai di Indonesia dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Produksi dan Jumlah Konsumsi Kacang Kedelai di Indonesia Tahun 2009-2013
TahunProduksi
(Ton)Konsumsi(Juta Ton)
2009 974.512 2,2952010 907.031 2,6522011 851.286 2,4582012 843.153 2,9512013 807.568 2,924
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi kacang kedelai nasional dari tahun
2009 sampai dengan tahun 2013 mengalami penurunan. Jumlah produksi kacang
kedelai nasional pada tahun 2013 yang sebesar 807.568 ton, belum dapat mencukupi
tingkat konsumsi kedelai nasional sebesar 2,924 juta ton pada tahun yang sama.
4
Untuk memenuhi kekurangan ketersediaan kedelai tersebut, pemerintah Indonesia
mengimpor kacang kedelai dari sejumlah negara.
Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam rilisnya yang berjudul Pandangan
Petani Atas Kebijakan Pertanian Pemerintah Tahun 2008 menyatakan persoalan
utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia diantaranya adalah gagal
panen, menciutnya lahan tanaman pangan, bencana alam, dan keengganan petani
menanam kedelai. Namun penyebab yang paling utama adalah masuknya kedelai
impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal sehingga produksi dalam
negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya
kalah bersaing (Serikat Petani Indonesia, 2009).
Salah satu subsektor yang sangat penting dikembangkan untuk mendukung
pembangunan pertanian adalah industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri).
Pengembangan industri makanan diharapkan akan mampu menyerap hasil pertanian
yang diproduksi oleh petani, memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian,
membuka kesempatan kerja, dan sumber devisa sekaligus menyediakan produk
pangan yang semakin beragam.
Salah satu produk agroindustri yang sudah merakyat di masyarakat Indonesia
yang berbahan baku kacang kedelai adalah tempe. Tidak seperti makanan kedelai
tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari
Indonesia. Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
5
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat
pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat
dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala
kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan
semua umur (http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe).
Berdasarkan data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
(Disperindagkop) Kota Banjar (2013), usaha agorindustri tempe paling banyak
terdapat di Kecamatan Banjar. Lebih jelasnya jumlah unit usaha dan kapasitas
produksi usaha agroindustri tempe di Kota Banjar dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Unit Usaha dan Kapasitas Produksi Tempe di Kota Banjar Tahun 2013
Kecamatan Jumlah Unit UsahaKapasitas Produksi
(Kg/Bulan)Banjar 118 90.915Pataruman 4 2.625Purwaharja 1 25Langensari 3 250Jumlah 126 93.815
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Banjar, 2013
Berdasarkan tabel 2, agroindustri tempe di Kota Banjar terpusat di wilayah
Kecamatan Banjar. Bahkan ada satu daerah/blok di wilayah Kecamtan Banjar ini
yang terkenal dengan nama “Blok Tempe” yang terletak di Lingkungan Parunglesang
Kelurahan Banjar. Nama “Blok Tempe” digunakan karena jumlah agroindustri tempe
6
yang paling banyak terdapat di wilayah Kelurahan Banjar. Jumlah perajin
agroindustri tempe di Kecamatan Banjar bisa dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Jumlah Unit Usaha dan Kapasitas Produksi Tempe di Kelurahan Banjar Tahun 2013
Desa/Kelurahan Jumlah Unit UsahaKapasitas Produksi
(Kg/Bulan)Banjar 108 43.700Mekarsari 8 4.300Balokang 2 111Jumlah 118 48.111
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Banjar, 2013
Tabel 3 menunjukkan bahwa sentra usaha agroindustri tempe Kota Banjar
Terdapat di wilayah Kelurahan Banjar dengan jumlah perajin agroindustri tempe
sebanyak 108 orang dan kapasitas produksinya sebanyak 43.700 Kg/bulan.
Sebagian besar pelaku agroindustri di Indonesia terutama agroindustri skala
kecil, jarang memperhitungkan secara terperinci biaya yang dikeluarkan dalam
usahanya. Hal ini menyebabkan besarnya pendapatan sebenarnya yang mereka
peroleh tidak bisa diketahui secara pasti. Bahkan banyak pelaku agroindustri
mencampur keuangan perusahaan dengan keuangan rumah tangganya.
Sehubungan dengan hal itu, maka penulis merasa tertarik untuk melaksanakan
penelitian mengenai Analisis Usaha dan Nilai Tambah Agroindustri Tempe yang
akan dilaksanakan pada usaha agroindustri tempe yang merupakan suatu kasus di
Kelurahan Banjar Kecamatan Banjar Kota Banjar.
7
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah yang dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Berapa besarnya biaya, penerimaan, pendapatan dan R/C agroindustri tempe di
Kelurahan Banjar Kota Banjar ?
2. Berapa besarnya nilai tambah agroindustri tempe di Kelurahan Banjar Kota
Banjar?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Besarnya biaya, penerimaan, pendapatan dan R/C agroindustri tempe di
Kelurahan Banjar Kota Banjar.
2. Besarnya nilai tambah agroindustri tempe di Kelurahan Banjar Kota Banjar.
8
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut :
1. Bagi petani yang mengusahakan kacang kedelai, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pertimbangan untuk mengolah hasil usahanya menjadi produk lain
sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.
2. Bagi perajin tempe, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi mengenai nilai tambah yang diperoleh dari agroindustri tempe.
3. Bagi pemerintah Kota Banjar, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam menentukan kebijakan terhadap
pengembangan agroindustri tempe.
4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
melaksanakan penelitian lebih lanjut.
1.5 Kerangka Pemikiran
Indonesia sampai saat ini masih ketergantungan impor kedelai dan belum
mampu untuk menyediakan sendiri kebutuhan kedelai lokal. Padahal kedelai di
Indonesia adalah hasil pangan penting mengingat Indonesia sebagian besar
masyarakatnya gemar mengkonsumsi tahu dan tempe. Ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab rendahnya produksi kedelai lokal di Indonesia. Di antaranya
sebagai berikut: 1) Minimnya lahan untuk menanam kedelai; 2) Rendahnya
9
produktivitas kedelai lokal; 3) Harga kedelai rendah; 4) Tanaman dipanen muda
(http://finance.detik.com/kenapa-indonesia-ketergantungan-impor-kedelai).
Penekanan pada pembangunan agroindustri di perdesaan mengandung arti
strategis. Di Indonesia, selama ini industrialisasi pada umumnya berlangsung di
sekitar kota-kota besar dengan pertimbangan ketersediaan infrastruktur (prasarana)
yang memadai, padahal agroindustri sendiri merupakan industri yang memerlukan
pasokan hasil pertanian, karena sebagian besar bahan baku agroindustri umumnya
dihasilkan di daerah perdesaan. Tujuan pengembangan agroindustri adalah : 1) untuk
meningkatkan nilai tambah hasil panen, baik untuk konsumsi langsung maupun untuk
bahan baku agroindustri lanjutan (sekunder); 2) meningkatkan jaminan mutu dan
harga sehingga tercapai efisiensi kegiatan agribisnis; 3) mengembangkan diversifikasi
produk sebagai upaya penanggulangan kelebihan produksi atau kelangkaan
permintaan pada periode tertentu serta 4) sebagai wahana pengenalan, penguasaan
dan pemanfaatan teknologi sekaligus wahana peran serta masyarakat dalam budaya
industri, mulai dari penciptaan dan wirausaha baru dan swadaya pertanian (Saliah,
2005).
Pembangunan pertanian dilakukan dengan pendekatan agribisnis secara
keseluruhan. Agribisnis yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem usaha yang
saling terkait, saling tergantung dan saling berpengaruh mulai dari subsistem hulu,
usahatani dan hilir serta jasa penunjang. Semua subsistem tersebut harus
10
dikembangkan secara simultan, serasi dan seimbang untuk menghasilkan berbagai
produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi, baik di
pasar domestik maupun pasar internasional. Agroindustri merupakan salah satu
subsistem agribisnis yang strategis, di mana dari pengembangannya diharapkan
terjadi peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui pemanfaatan, pengembangan
dan penguasaan teknologi pengolahan. Agroindustri dapat dipandang sebagai langkah
awal menuju industrialisasi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan
kapasitas produksi berbagai produk pertanian.
Suratiyah (2006) menyatakan, bahwa sikap petani memperhitungkan biaya
dan penerimaan merupakan dasar dari perkembangan usahatani komersil. Biaya total
produksi merupakan keseluruhan jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses
produksi. Biaya ini diperoleh dengan menjumlahkan biaya tetap total dan biaya
variabel total.
Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang besar kecilnya tidak dipengaruhi
oleh besar kecillnya produksi. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi dan sifatnya habis dalam satu kali
proses produksi (Soekartawi, 2002).
Penerimaan adalah nilai semua produk yang dihasilkan dari suatu usahatani
dalam satu periode tertentu, misalnya satu Musim Tanam (MT), atau dalam satuan
tahun kegiatan usaha. Sedangkan pendapatan usahatani digambarkan sebagai sisa
11
pengurangan nilai-nilai penerimaan usahatani dengan biaya yang dikeluarkan, yang
mana penerimaan adalah hasil perkalian dari jumlah total produksi dengan harga
produk, sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan sarana
produk dan lain-lain yang diperlukan atau dibebankan kepada proses produksi yang
bersangkutan (Soekartawi, 2002).
Suratiyah (2006) menyatakan bahwa, untuk menganalisis suatu cabang
usahatani, pendapatan yang diterima oleh petani adalah selisih pendapatan dari hasil
pengurangan antara jumlah penerimaan dengan biaya produksi. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Soekartawi (2002) menyatakan bahwa pendapatan petani adalah
selisih antara penerimaan dengan semua biaya.
Kelayakan suatu usaha dapat dilihat melalui R/C. R/C dapat diketahui dari
hasil perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu kali proses
produksi. Indikator keberhasilan usaha dapat dilihat dari R/C. R/C melihat seberapa
besar pengeluaran memberikan manfaat (penerimaan). Semakin tinggi nilai R/C,
menunjukkan semakin menguntungkan usaha tersebut dilakukan. Jika R/C > 1, maka
usaha layak dilakukan karena dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari
pengeluarannya. R/C < 1 maka usaha yang dilakukan tidak layak dijalankan karena
kegiatan usaha yang dilakukan tidak dapat memberikan penerimaan yang lebih besar
dari pengeluaran. R/C = 1, maka kegiatan usaha tidak memberikan keuntungan dan
tidak mengalami kerugian.
12
Pada agroindustri, melalui proses produksinya diutamakan untuk memperoleh
nilai tambah dari produksi yang dihasilkan. Lebih lanjut Hayami dalam Suprapto
(2007) mengemukakan bahwa nilai tambah adalah selisih antara output yang
mendapat perlakuan pada tahap tertentu dengan nilai bahan baku serta korbanan lain
yang digunakan selama proses produksi berlangsung.
Berdasarkan hasil penelitian Andini Tribuana Tunggadewi (2009) biaya total
yang dikeluarkan untuk usaha agroindustri tempe di Cilendek Timur Kota Bogor
dalam satu kali produksi adalah sebesar Rp 2.829.132,-, penerimaan sebesar Rp
7.417.132,-, pendapatan sebesar Rp. 4.588.000,- dan besarnya R/C adalah 2,62.
Berdasarkan perhitungan tersebut, usaha agroindustri tempe di Cilendek Timur Kota
Bogor layak untuk dilaksanakan. Sedangkan nilai tambah yang diperoleh dari
pengolahan kacang kedelai menjadi produk tempe sebesar Rp 4.947,-/Kg.
Dananjoyo, A. (2005), melakukan penelitian di Kota Bogor Provinsi Jawa
Barat dengan judul “Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tempe”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usaha agroindustri tempe biasa dan tempe Malang di Kota
Bogor layak untuk diusahakan, hal ini dapat dilihat dengan analisis kriteria kelayakan
berikut : NPV pengrajin tempe biasa bernilai positif yaitu sebesar Rp 8.805.006,00
dan NPV pengrajin tempe Malang Rp 7.157.760,00; IRR pengrajin tempe biasa dan
tempe Malang lebih tinggi dari tingkat diskonto 13 persen yaitu 35 persen pada tempe
13
biasa dan 32 persen untuk tempe Malang; Net B/C Ratio pada tempe biasa dan tempe
Malang yaitu 1,59 untuk tempe biasa dan 1,47 untuk tempe Malang.
Sinaga (2008) melakukan penelitian tentang nilai tambah dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor menggunakan
metode Hayami dan analisis Policy Analysis Matrix. Hasil penelitian menunjukkan
nilai faktor konversi industri tempe sebesar 1,6 dimana tiap satu kilogram kedelai
yang diolah menghasilkan 1,6 kilogram tempe, dengan nilai tambah yaitu Rp
2.198,91 per kilogram input kedelai dan rasio nilai tambah sebesar 21,14 persen.
Tenaga kerja memiliki nilai koefisien sebesar 0,02 yang menandakan bahwa untuk
memproduksi satu kilogram kedelai menjadi tempe membutuhkan 0,02 HOK (Hari
Orang Kerja).
Berdasarkan analisis R/C serta nilai tambah yang akan dilakukan pada usaha
tempe, akan diketahui sampai sejauh mana usaha agroindustri tempe di Kelurahan
Banjar telah mencapai tujuannya terutama dalam memperoleh keuntungan. Secara
ringkas alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1
sebagai berikut :
14
Tujuan Usaha :Memperoleh Laba
Analisis Nilai Tambah
Produktivitas Nilai Output Nilai Tambah Balas Jasa Tenaga
Kerja
Metode Hayami
R/C
Biaya Volume Penjualan Harga Jual
Analisis Biaya
Agroindustri Tempe
Pendapatan
Konsumsi kedelai nasional lebih besar daripada produksi kedelai nasional
Sebagian besar persediaan kedelai nasional berasal dari impor
Keterangan :: Alur Pemikiran: Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Pada Perajin Tempe