Urtikaria

32
I. PENDAHULUAN Kulit merupakan salah satu organ imunologi terbesar di dalam tubuh yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekternal. Salah satu penyakit kulit yang dimediasi oleh sistem imun adalah urtikaria dan angioedema. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit yang ditandai dengan adanya edema dengan ukuran yang bervariasi yang cepat timbul dan menghilang perlahan – lahan, berwarna pucat kemerahan, meninggi di permukaan kulit dengan atau tanpa eritema disekitarnya. Biasanya kulit akan kembali normal dalam waktu 1 – 24 jam. Keluhan yang tampak biasanya gatal, rasa tersengat dan tertusuk Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik tergantung dari durasi munculnya lesi tersebut. Jika lesi tersebut berlangsung < 6 minggu termasuk urtikaria akut. Urtikaria akut lebih sering terjadi dibandingkan dengan urtikaria kronis dan insidennya meningkat pada seseorang yang memiliki riwayat atopik. Penyebab tersering dari urtikaria akut adalah infeksi, obat – obatan dan makanan. 1 Sedangkan urtikaria kronis seringkali sulit dievaluasi dan diobati karena hanya kurang dari 20% pasien yang dapat diketahui penyebabnya 2 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 20 % populasi selama hidupnya pernah mengalami urtikaria, angioedema atau keduanya. Ditemukan 40% bentuk urtikaria disertai dengan angioedema, 40% urtikaria tanpa angioedema dan 11% - 20%

Transcript of Urtikaria

Page 1: Urtikaria

I. PENDAHULUAN

Kulit merupakan salah satu organ imunologi terbesar di dalam tubuh yang dipengaruhi

oleh faktor internal dan faktor ekternal. Salah satu penyakit kulit yang dimediasi oleh

sistem imun adalah urtikaria dan angioedema. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit

yang ditandai dengan adanya edema dengan ukuran yang bervariasi yang cepat timbul

dan menghilang perlahan – lahan, berwarna pucat kemerahan, meninggi di permukaan

kulit dengan atau tanpa eritema disekitarnya. Biasanya kulit akan kembali normal dalam

waktu 1 – 24 jam. Keluhan yang tampak biasanya gatal, rasa tersengat dan tertusuk

Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik tergantung dari durasi

munculnya lesi tersebut. Jika lesi tersebut berlangsung < 6 minggu termasuk urtikaria

akut. Urtikaria akut lebih sering terjadi dibandingkan dengan urtikaria kronis dan

insidennya meningkat pada seseorang yang memiliki riwayat atopik. Penyebab tersering

dari urtikaria akut adalah infeksi, obat – obatan dan makanan.1 Sedangkan urtikaria kronis

seringkali sulit dievaluasi dan diobati karena hanya kurang dari 20% pasien yang dapat

diketahui penyebabnya 2

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 20 % populasi selama hidupnya pernah

mengalami urtikaria, angioedema atau keduanya. Ditemukan 40% bentuk urtikaria

disertai dengan angioedema, 40% urtikaria tanpa angioedema dan 11% - 20%

angioedema tanpa urtikaria.1 Urtikaria kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa dan

sekitar 75% dijumpai pada wanita. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes

laboratorium dan tes provokatif. Urtikaria kronik dibedakan menjadi urtikaria yang

dimediasi oleh Immunoglobulin E (IgE) sebesar 1% - 5%, urtikaria fisik sebesar 20% dan

urtikaria idiopatik sebesar 75% - 80%.3 Sekitar 25% pasien dengan urtikaria akut akan

berlanjut menjadi urtikaria kronis. Urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih

dalam dari pada dermis, seperti submukosa atau di sub kutis, pada saluran nafas, saluran

cerna dan organ kardiovaskuler disebut angioedema. Biasanya kulit akan kembali normal

dalam 72 jam 1 Jika distensi jaringan melibatkan nervus sensoris, angioedema akan terasa

sangat nyeri atau parestesia.4 Manajemen yang paling ideal pada kasus urtikaria adalah

dengan mengatasi faktor penyebabnya, sedangkan peranan farmakoterapi adalah untuk

mengatasi gejala dengan cara mengontrol degranulasi sel mast dan menghambat efek

mediator sel mast pada sel target. Meskipun secara umum urtikaria dan angioedema akut

Page 2: Urtikaria

dapat sembuh secara spontan dan hilang dalam beberapa hari, namun pada beberapa

kasus diperlukan perhatian yang khusus ketika urtikaria dihubungkan dengan anafilaksis

dan angioedema pada saluran nafas yang memerlukan penangan secara kedaruratan.1

Oleh karena itu penting halnya untuk mengetahui urtikaria dan angioedema secara lebih

detail, agar kita dapat mengenali gejala klinis secara dini sehingga kita dapat memberikan

penangan secara cepat dan adekuat.

II. ETIOLOGI

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.

Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain

2.1 Obat

Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun

non-imunologik.5 Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara

imunologik dan non imunologik. Secara imunologik contohnya ialah aspirin, obat

anti inflamasi non steroid, penisilin, sepalosporin, diuretik, dan alkohol.

Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk

melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras. Aspirin menimbulkan

urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin di asam arakidonat. 6,7,8

2.2 Makanan

Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat

reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan yang dicampurkan ke

dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering

menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering menimbulkan

urtikaria pada orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri,

coklat, arbei, keju. Urtikaria ini merupakan reaksi imunologi yang dimediasi oleh

IgE. Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan produk susu, telur,

tepung, dan buah-buah sitrus (jeruk).9

2.3 Gigitan atau sengatan serangga

Page 3: Urtikaria

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya

hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE hipersensitivitas tipe I dan

hipersensitivitas tipe IV. Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula

mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, kutu,dan serangga lainnya

menimbulkan urtikaria bentuk papular di sekitar tempat gigitan, biasanya

berlokasi pada ekstrimitas bawah pada anak-anak dan sembuh sendiri setelah

beberapa hari, minggu, atau bulan.9

2.4 Bahan fotosensitizer

Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan

kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.9

2.5 Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,

dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik.9

2.6 Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,

air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect

repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan

bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.9

2.7 Infeksi dan infestasi

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,

virus, jamur, maupun infeksi parasit.

- Infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi dan

sinusitis.

- Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah

dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang

idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis.5,9

Page 4: Urtikaria

- Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab

urtikari. Infeksi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga

Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria. Infeksi

parasit biasanya paling sering pada daerah beriklim tropis.9

2.8 Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan

permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Penyelidikan memperlihatkan bahwa

hipnosis menghambat eritema dan urtikaria, pada percobaan induksi psikis,

ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.9

2.9 Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang

menunjukkan penurunan autosomal dominan.9

2.10 Trauma Fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan oleh

- Faktor dingin, yaitu berenang atau memegang benda dingin.

- Faktor panas, yaitu sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran.5

- Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes

atau semprotan air. Fenomena ini disebut Dermografisme atau fenomena

Darier.9

2.11 Penyakt sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi

lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Contoh penyakit

sistemik yang sering menyebabkan urtikaria yaitu, sistemik lupus eritematosa

(SLE) sekitar 7-9 %,9 penyakit serum, hipetiroid, penyakit tiroid autoimun,

karsinoma, limfoma, penyakit rheumatoid arthritis, leukositoklast vaskulitis,

polisitemia vera (urtikaria akne-urtikaria papul melebihi vesikel), demam

reumatik, dan reaksi transfusi darah.5

Page 5: Urtikaria

III. PATOGENESIS

Urtikaria dan angioedema merupakan reaksi vaskularisasi yang terjadi akibat pelepasan

vasoaktif dan mediator-mediator dari sel mast dan basofil. Pada urtikaria, degranulasi sel

mast menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma di permukaan dermis. Sedangkan

pada angioedema, reaksi inflamasi melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam dari dermis,

bisa mengenai submukosa atau bahkan subkutis.9,10

3.1 Urtikaria

Sangat penting untuk diketahui mekanisme terjadinya urtikaria agar dapat membantu

pemeriksaan yang rasional.9 Sel efektor primer pada urtikaria adalah sel mast, yang

banyak terdapat di seluruh tubuh, termasuk jaringan subkutan. Sel mast yang telah

teraktivasi melepaskan histamin, heparin, asam hidrolase, protease, eosinofil, dan

neutrofil yang disimpan di dalam granul. Selain itu sel mast juga melepas prostaglandin

(PGD2), leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4), platelet activating factor (PAF), dan sitokin

lainnya.9,11

Mediator yang paling dominan pada urtikaria adalah histamin. Histamin memiliki

2 reseptor, yaitu H1 dan H2, yang ada pada beberapa tipe sel. Aktivasi reseptor histamin

H1 pada endothelial dan sel otot polos dapat meningkatkan permeabilitas kapiler.

Sedangkan aktivasi reseptor histamin H2 menyebabkan terjadinya vasodilatasi arteri dan

vena 9,10,11 Vasodilatasi yang disertai peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan

transudasi cairan yang berakibat pengumpulan cairan setempat. Oleh karena itu secara

klinis tampak edema disertai kemerahan.9 Mediator pro-inflammatory yang diaktivasi dan

dilepas oleh sel mast dapat dipengaruhi oleh mekanisme imunologi (alergi) atau non-

imunologi (non-alergi) 9 (Gambar 5.).

Faktor Imunologi

Faktor imunologi lebih berperan pada urtikaria yang bersifat akut daripada yang kronik.

Mekanisme yang paling berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis),

misalnya alergi pada obat, inhalan dan makanan (Gambar 1). IgE terikat pada permukaan

sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai

berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga sel mast melepaskan

Page 6: Urtikaria

mediator-mediatornya.9,10,12 Aktivasi el mast dan basofil terjadi sebagai hasil ikatan antara

dua subunit alfa pada reseptor IgE afinitas tinggi di permukaannya oleh antigen spresifik

atau hapten. Ikatan tersebut juga dapat terjadi melalui adanya autoantibodi langsung pada

IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau terhadap subunit alfa reseptor tersebut.2

Pada pasien atopic yang diperkirakan mengalami reaksi IgE dependent, terjadinya

urtikaria akut sering diikuti oleh eksaserbasi asma, rinitis dan eksim.15 Pasien ini ini

biasanya memiliki riwayat asma, rinitis, atau eksim pada dirinya maupun keluarganya

(Gambar 5).13

Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Aktivasi komplemen juga ikut berperan, bisa melalui jalur klasik maupun jalur

alternatif yang akan melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang dapat memacu

degranulasi sel mast dan basofil untuk menghasilkan histamin. (UI) Aktivasi jalur

alternatif dipacu oleh berbagai agen seperti endotoksin (lipopolysaccharides bakteri),

inulin, zymosin, racun kobra, dan gabungan imunoglobulin dari kelas IgA. Ikatan

komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik (reaksi hipersensitivitas

tipe II) dan kompleks imun (reaksi hipersensitivitas tipe III), pada keadaan ini juga

dilepaskan zat anafilatoksin (Gambar 5).9,10

Page 7: Urtikaria

Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Page 8: Urtikaria

Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh sitotoksik sel T yang menyebabkan

deposit immunoglobulin, komplemen, dan fibrin pada pembuluh darah. Ini menyebabkan

terjadinya urticarial vasculitis (Gambar 2). Reaksi hipersensitivitas tipe III melibatkan

penyakit kompleks imun seperti systemic lupus erythematosus dan penyakit autoimun

lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria (Gambar 3).9,10,12 Urtikaria akibat kontak

(reaksi hipersensitivitas tipe IV) juga bisa terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan

penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin, pasien menderita urtikaria

(Gambar 4). Urtikaria akut yang dimediasi komplemen terjadi pada pasien dengan C1

esterase inhibitor yang abnormal, serum sickness dan bentuk urtikarial vaskulitis lain

(Gambar 5).9,11

Page 9: Urtikaria

Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Faktor Non-Imunologi

Pada mekanisme non-imunologi, cyclic adenosine monophosphate (CAMP) memiliki

peranan yang penting dalam pelepasan histamin. Beberapa bahan kimia seperti amin,

derivate amidin, dan berbagai obat yang digunakan pada praktik klinik seperti morfin ,

kodein, d-tubocurarine, antibiotik polimiksin, tiamin, stilbamidine, kuinin, dan

papaverine hydrochloride ikut berperan dalam keadaan ini.9,10

Histamin yang dilepas oleh faktor non-imunologi juga dapat merupakan efek

langsung dari faktor fisik, seperti panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan.

Pada beberapa keadaan, seperti demam, panas, emosi, dan penggunaan alkohol dapat

merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas.9,11 Bahan kolinergik injeksi, misalnya asetilkolin, dilepaskan

saraf kolinergik kulit secara tidak diketahui mekanismenya langsung dapat

mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator (Gambar 5).9

Obat golongan opiat dan bahan kontras (terutama lewat intravena) secara

langsung memacu sel mast sehingga terjadi pelepasan mediator, dan terjadi vasodilatasi

disertai peningkatan permeabilitas kapiler.9 Bahan-bahan tersebut juga mengaktifkan

jalur komplemen alternatif dengan menurunkan level komplemen serum dan

meningkatkan level histamin serum.Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme

arakidonat seperti aspirin, NSAID. Urtikaria sebagai respon terhadap aspirin dan NSAID

Page 10: Urtikaria

lain dapat terjadi pada individu normal atau pasien engan rinitis alergi dan atau asma

bronkiale. Manifestasi klinis muncul 15 – 20 menit setelah minum dikonsumsi.

Walaupun awalnya reaksi ini dianggap imunologis, reaksi terhadap aspirin dan NSAID

lain menggambarkan hambatan of prostaglandin endoperoxide synthase/1 (PGHS-

1,cyclooxygenase 1). Skin prick test tidak bernilai diagnostik, tidak ditemukan IgE

maupun IgG (Gambar 5).13

Trauma fisik juga dapat menyebabkan urtikaria (Gambar 5). Dermografisme

merupakan bentuk trauma fisik yang paling banyak menyebabkan urtikaria.

Dermografisme tampak sebagai edema linier dengan kemerahan pada sisi dimana kulit

mengalami gesekan baju atau garukan. Pada percobaan penggoresan, terdapat

peningkatan histamin, triptase dan substansi P pada beberapa pasien.13 Rangsangan

dingin dan panas dapat mengakibatkan urtikaria dalam hitungan menit setelah terpapar

cairan atau makanan mingin, begitu juga yang panas. Pada penelitian, didapatkan

histamin, faktor kemotaksis untuk neutrofil, PGD2, cysteinyl leukotrienes,dan platelet-

activating factor yang dikeluarkan ke sirkulasi. Histamin dan faktor kemotaksis untuk

eosinofil dan neutrofil terdeteksi dalam darah setelah terpapar UVB dan UVA.13

Page 11: Urtikaria

Gambar 5.9 Faktor Imunologik dan Nonimunologik yang Menimbulkan Urtikaria

Berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal urtikaria

imunologik, non-imunologik, dan idiopatik. 9

I. Urtikaria atas dasar reaksi imunogenik

II. a. Bergantung pada IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I)

1. Pada atopik

2. Antigen spesifik (obat, polen)

b. Ikut sertanya komplemen

1. Pada reaksi sitotoksik (reaksi hipersensitivitas tipe II)

2. Pada reaksi imun kompleks (reaksi hipersensitivitas tipe III)

3. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)

c. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (urtikaria kontak)

III. Urtikaria atas dasar reaksi non-imunogenik

Page 12: Urtikaria

a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator

(misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras).

b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya

aspirin, obat NSAID, golongan azodyes).

c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan mingin, panas atau sinar, dan

bahan kolinergik

III. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.9

3.2 Angioedema

Angioedema atau quincke edema merupakan suatu pembengkakan cepat (rapid swelling)

yang terjadi pada dermis, jaringan subkutan, mukosa, dan jaringan submukosa. Biasanya

angioedema terjadi bersamaan dengan akut urtikaria, dimana gejala ini sering sekali

terjadi pada anak-anak maupun dewasa muda. Proses patogenesisnya pun hampir sama

dengan patogenesis munculnya urtikaria.10,11,12

Banyak dilaporkan bahwa kasus angioedema ini terjadi karena proses alergi yang

disebabkan oleh efek samping dari penggunaan obat-obatan, terutama ACE inhibitor.

Angioedema sendiri dapat dibagi menjadi angioedema didapat dan herediter. 11,12

Angioedema Didapat

Angioedema didapat (AED) sering juga disebut dengan acquired C1 inhibitor deficiency.

Ini merupakan penyakit yang jarang terjadi, yang biasanya nampak dalam dua bentuk,

yaitu AED tipe 1 dan AED tipe 2. AED tipe 1 berkaitan dengan keganasan, kanker

payudara, kerusakan sel-B, dan lain-lain; sedang AED tipe 2 merupakan bentuk autoimun

tubuh pasien. Pasien dengan AED tipe 2 memiliki C1 INH autoantibodi (Tabel 1.7).9,10

Tabel 1.7 Angioedema didapat.

Angioedema Didapat

Defisiensi C1 inhibitor yang didapat

Pembengkakan jaringan subkutan, organ abdominal, dan saluran nafas atas

Onset usia pertengahan

Etiologi C1-INH (produksi normal) (level

rendah)

Page 13: Urtikaria

AED-I Penyakit yang berhubungan

Penyakit limfoproliferasi sel B

Oher cancers

(angioedema precedes neoplasms)

Penyakit jaringan ikat

Infeksi

Peningkatan katabolisme

AED-II Antibodi terhadap molekul C1-INH Autoantibodi Cleaves

C1-INH

Blok kapasitas hambatan C1-INH

C1-INH, hambatan C1

Angioedema Herediter

Angioedema herediter atau yang juga dikenal dengan inherited C1 inhibitor

deficiency, merupakan bawaan autosomal dominant yang berkaitan dengan mutasi pada

gen C1 inhibitor (C1 INH).9,10,11,12

Dilaporkan, kasus ini kebanyakan terjadi pada akhir masa anak-anak atau awal

dewasa muda. Orang dengan angioedema herediter memiliki satu gen C1 INH normal

dan satu yang abnormal. Trauma minor, stres mental, dan lainnya diketahui sebagai

faktor pemicu pelepasan peptida vasoaktif yang dapat menghasilkan pembengkakan

episodik. Histamin tidak berperan pada edema tipe ini.11,12

Bradikinin memiliki peranan yang sangat penting dalam semua bentukan

angioedema herediter. Peptida ini merupakan vasodilator potensial yang dapat

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga menyebabkan akumulasi cairan

yang cepat di interstitium. Gejala ini tampak paling jelas pada bagian wajah, dimana kulit

wajah relatif memiliki sedikit jaringan ikat sehingga udim mudah sekali terbentuk pada

area ini.9,11,12

Pada angioedema herediter, pelepasan bradikinin disebabkan oleh aktivasi

berkelanjutan dari sistem komplemen yang berkaitan dengan kurangnya satu dari

inhibitor utama, yaitu C1 esterase (C1 inhibitor atau C1 INH). Ada tiga tipe angioedema

herediter:

1. Tipe I

Page 14: Urtikaria

Adanya penurunan level C1 INH

2. Tipe II

Level C1 INH-nya normal, tetapi terdapat penurunan fungsi C1 INH

3. Tipe III

Tidak terdeteksi ketidaknormalan C1 INH; terjadi kebanyakan pada x-linked

dominant, yang berarti kebanyakan terdapat pada wanita; kondisi ini dapat

diperburuk dengan adanya kehamilan atau penggunaan kontrasepsi

hormonal.9,10,11,12

Banyak obat-obatan medis seperti aspirin, NSAID, dan penisillin, dapat

menyebabkan terjadinya urtikaria dan angioedema. Satu hal yang pasti, angiotensin

converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) merupakan satu-satunya obat yang diketahui

dapat menyebabkan pembentukan angioedema tanpa weal dan obat ini bekerja dengan

memanfaatkan efek potensiasi atau prolongasi bradikinin.9,11

IV. Manifestasi Klinis

Urtikaria dan angioedema merupakan suatu sindrom yang luas dan ditandai

dengan pembengkakan terlokalisir yang paling sering mengenai kulit. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa sekitar 20% populasi umum dapat mengalami urtikaria,

angioedema atau keduanya. Gambaran lesi urtikaria harus dijelaskan secara kritis oleh

pemeriksa, antara lain meliputi morfologi, distribusi dan progresi lesi tersebut. Hal ini

dilakukan agar dapat membedakan urtikaria dengan lesi yang lainnya. Gambaran lesi

urtikaria dan angioedema akut maupun kronik tidak menunjukkan perbedaan. Lesi

urtikaria dan angioedema akut dan kronik dibedakan berdasarkan durasinya. Lesi

urtikaria akut berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronik lebih dari 6

minggu.1,3

Secara klinis urtikaria tampak sebagai suatu peninggian kulit dengan ukuran yang

bervariasi disertai atau tanpa dikelilingi eritema, ada gatal atau terkadang terasa seperti

terbakar dan kulit kembali normal dalam 1-24 jam.1 Urtikaria dapat berbentuk sirkuler

atau serpiginosa (merambat).3 Sekitar 40% dengan lesi urtikaria juga disertai angioedema.

Predileksi lesi urtikaria umumnya meliputi ekstremitas dan trunkus.4

Page 15: Urtikaria

Angioedema didefinisikan sebagai pembengkakan kasar di subdermis dan

subkutis, terkadang nyeri atau gatal, umumnya melibatkan membran mukosa dan

biasanya kulit kembali normal dalam 72 jam.1 Jika distensi jaringan melibatkan nervus

sensori maka angioedema akan terasa sangat nyeri atau parestesia.4 Lesi ini disebabkan

oleh substansi vasoaktif yang mengakibatkan peningkatan sementara permeabilitas

endotel.1 Sekitar 10%, angioedema muncul tanpa disertai urtikaria.3 Sedangkan predileksi

angioedema meliputi area yang memiliki jaringan konektif longgar seperti pada wajah,

kelopak mata atau membran mukosa seperti bibir, tenggorokan, atau traktus

gastrointestinal.1

Pada berbagai bentuk klinis urtikaria, gambaran klinis terkadang digunakan

sebagai petunjuk awal untuk menegakkan diagnosa etiologi. Pada urtikaria

dermatografisme tampak edema yang linear di daerah yang terkena gesekan baju atau di

tempat garukan. Lesi urtikaria kolinergik berupa edema kecil berdiameter 1-3 mm

dengan bercak eritema yang besar di sekitarnya. Lesi kulit yang terbatas pada daerah

paparan sinar atau termal mengarah pada diagnosis heat atau cold urticaria. Cold

urticaria ditandai dengan lesi papula eritematosa yang terasa membakar (tidak gatal).

Tiga puluh menit hingga 4 jam setelah paparan dingin dapat disertai demam, atralgia dan

leukositosis.5

Gambar 11 Urtikaria

Page 16: Urtikaria

V. Diagnosis

5.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan lini pertama yang kita lakukan dalam mendiagnosa urtikaria

dan angiedema. Melalui anamnesis kita dapat mengetahui onset, etiologi dan progresi

lesi yang dialami pasien. Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dalam anamnesis

terkait etiologi :

- Apakah pasien mengkonsumsi obat - obatan, obat apa saja yang dikonsumsi dan

apakah lesinya muncul pada waktu pasien mengkonsumsi obat tersebut

- Makanan apa saja yang pasien makan sebelum lesi ini muncul, dan berapa lama

onset munculnya gejala

- Apa pekerjaan pasien atau aktivitas apa yang dilakukan (berhubungan dengan bahan

kontaktan) sebelum munculnya lesi

- Apakah pasien terkena sengatan atau gigitan serangga sebelumnya

Dalam anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat alergi baik dari pasien sendiri

ataupun keluarga. Jangan lupa menanyakan riwayat penyakit sistemik pada pasien.

(Acute Urticaria/Angioedema)

5.2 Pemeriksaan Fisik

Komponen penting dalam pemeriksaan fisik ialah melakukan pemeriksaan kulit

secara keseluruhan dan pemeriksaan limfe nodi, liver dan limpa. Secara spesifik,

gambaran lesi yang dilaporkan meliputi morfologi (meliputi warna, bentuk, batas dan

susunannya), distribusi dan progresi lesinya. Dalam melakukan pemeriksaan

diperlukan penerangan yang baik. Biasanya pasien yang datang dengan asimtomatik

mendokumentasikan lesinya melalui foto.1

Gambaran klinis yang tampak pada urtikaria ialah peninggian kulit dengan ukuran

bervariasi, disertai atau tanpa eritema, dapat berbentuk sirkuler atau serpiginosa

(merambat). Warna merah pada lesi apabila ditekan akan berwarna putih. Sedangkan

angioedema merupakan lesi yang lebih luas dari urtikaria. Lesi pada angioedema akan

tampak sebagai peninggian kulit kasar yang dapat disertai nyeri atau gatal yang

biasanya mengenai membran mukosa, wajah atau kelopak mata.1

5.3 Pemeriksaan Penunjang

Page 17: Urtikaria

Bila melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis belum dapat ditegakkan etiologinya,

maka dapat dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium, skin prick test dan biopsy kulit.

Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan bahwa erythrocyte

sedimentation rate (ESR) meningkat pada utikaria vaskulitis, tapi biasanya normal

pada kasus urtikaria idiopatik. Apabila ditemukan peningkatan level IgE atau

eosinofilia maka kemungkinan disebabkan oleh infeksi parasit. Pada kasus systemic

lupus erythematosus, 7 - 9% pasien memiliki lesi urtikaria. Dalam pemeriksaan

laboratorium ditemukan peningkatan (ESR).5

Pada pasien yang menderita angioedema tanpa urtikaria maka pikirkan

penyebabnya adalah obat - obatan dan C1 esterase inhibitor (C1 INH) deficiency.

Obat - obatan yang berpengaruh seperti ACE inhibitor, angiotensin II reseptor

antagonist, agen fibrinolitik, estrogen dan NSAID. Pengukuran komplemen C4 dalam

serum untuk menskrining C1 INH deficiency.1Biopsi kulit dapat dipakai sebagai

diagnosis konfirmasi pada kasus urtikaria vaskulitis. Pada pemeriksaan mikroskopik

ditemukan gambaran histology yang khas berupa kerusakan sel endotel,

leukositoklasia dan deposit fibrin.5

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan

skin prick test, pemeriksaan IgE spesifik melalui radioallergosorbent test (RAST)

yang mempunyai makna sama. Skin prick test dapat digunakan untuk mengetahui

etiologi pada urtikaria kontak ataupun karena alergi makanan. Pada prinsipnya

pemerikasaan ini hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas

tipe I.4 Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.9 Tes fisik lain

yang dapat dilakukan ialah dengan es atau air hangat apabila dicurigai alergi terhadap

suhu tertentu.3

VI. Terapi

6.1 Tujuan

Tujuan terapi di sini adalah untuk mengurangi gejala urtikaria dan angioedema,

mencegah degranulasi sel mast yang berkelanjutan, serta menghambat efek mediator-

mediator sel mast pada jaringan target.1,5

Page 18: Urtikaria

6.2 Non-medikamentosa

Prinsip penanganan non-medikamentosa pada urtikaria dan/atau angioedema

adalah dengan menghindari faktor alergen berupa makanan, obat-obatan, atau trauma

pada pasien yang memiliki riwayat defisiensi C1 esterase herediter atau didapat. Obat

atau bahan kimia yang dapat dihindari antara lain aspirin, anti inflamasi non steroid,

captopril, penisilin, cepalosforin, diuretik, alkohol, opium, dan zat kontras. Bahan

makanan yang dapat dihindari pada pasien urtikaria dan/atau angioedema antara lain

protein, zat pewarna makanan, penyedap rasa, dan bahan pengawet. Pada orang dewasa

ada beberapa jenis makanan yang dapat dihindari untuk mencegah timbulnya urtikaria

dan/atau angioedema, yaitu ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri, coklat, dan

keju. Sedangkan pada bayi dan anak-anak, susu, telur, tepung, serta buah sitrus bisa

dihindari untuk mencegah timbulnya urtikaria dan/atau angioedema.1,6,7,9

Selain menghindari faktor alergen obat dan makanan, pasien dengan

urtikariadan/atau angioedema dapat juga menghindari faktor alergen inhalan seperti

serbuk sari bunga, spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan aerosol. Bahan kontaktan

seperti kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan,

serta bahan kosmetik juga perlu dihindari pada pasien dengan riwayat herediter urtikari

dan/atau angioedema. Trauma fisik yang bisa dihindari pada pasien ini antara lain

berenang, paparan sinar matahari, paparan radiasi, panas pembakaran, goresan benda

tajam, pakaian ketat, dan pemakaian ikat pinggang.1,6,8,9

6.3 Medikamentosa

Pada prinsipnya pengobatan penyakit alergi adalah mengobati penyebab dan

menghindari paparan terhadap alergen. Tetapi jika dengan terapi non-medikamentosa

tidak dapat mengurangi gejala pada pasien maka terapi medikamentosa menjadi pilihan

selanjutnya. Adapun beberapa obat yang dapat memperburuk kondisi urtikaria adalah

aspirin dan codeine. Sedang pemakaian ACE inhibitor sudah dapat dipastikan akan

menyebabkan angioedema pada pasien dengan riwayat defisiensi C1 inhibitor. Cooling

antipruritic lotions, seperti menthol 1% dalam bentuk krim dan calamine lotion dapat

meringankan keluhan pasien. Obat - obatan lain yang dapat digunakan dalam menangani

kasus ini meliputi :

Page 19: Urtikaria

1. Antihistamin

Antihistamin oral digunakan sebagai obat lini pertama dalam mengontrol gejala

pasien dengan urtikaria akut. Peran antihistamin dapat terlihat melalui keterlibatannya

dalam pelepasan sitokin dari sel mast. Terapi antihistamin dimulai dari yang tidak

memiliki efek sedatif atau yang memiliki efek sedatif kecil, seperti fexofenadine,

cetirizine, loratadine, dan mizolastine. Obat-obatan ini diberikan hanya pada pagi

hari.1,5

Mizolastine kontraindikasi pada pasien gagal jantung dan apabila ditemukan

pemanjangan interval Q-T pada pemeriksaan EKG. Hindari kombinasi mizolastine

dengan obat-obatan yang bekerja menghambat metabolisme hepatik melalui

cytochrome P450 (seperti antibiotik macrolide dan antifungal imidazole) dan dengan

obat-obatan yang berpotensi menyebabkan aritmia (seperti tricyclic antidepressant).1,5

Jika setelah 1-2 minggu gejala pasien tidak mengalami perbaikan maka

pengobatan diganti dengan antihistamin yang memiliki efek sedatif, seperti

chlorpheniramine 4-12 mg atau hydroxyzine 10-50 mg. Kedua obat ini diminum pada

malam hari sebelum tidur. Antihistamin dihindari pada wanita hamil, khususnya pada

trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Beberapa data menyebutkan

bahwa cetirizine, loratadine, dan mizolastine sebaiknya dihindari pada kehamilan dan

saat menyusui. Chlorpheniramine seringkali dipilih apabila terapi antihistamin

diperlukan.1,5

2. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid oral dapat memperpendek durasi urtikaria akut seperti

prednisolone 50 mg per hari selama 3 hari untuk dewasa. Kortikosteroid oral jangka

panjang sebaiknya tidak digunakan pada urtikaria kronis, kecuali dibawah pengawasan

spesialis. Kortikosteroid oral seringkali digunakan untuk mengobati gejala urtikaria

kronis apabila terapi antihistamin tidak efektif.1,5

3. Epinephrine

Page 20: Urtikaria

Epinephrine intramuskular atau subkutaneus dapat digunakan untuk

menyelamatkan nyawa pasien dengan laryngeal angioedema yang berat, tetapi

pemakaianya harus diperhatikan karena berbahaya pada pasien dengan riwayat

hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Dosis obat tergantung pada berat badan

pasien. Menurut The British National Formulary, dosis ephinephrine intramuskular

untuk pasien dewasa adalah 300 μg dan untuk anak-anak adalah 150 μg untuk berat

badan 15-30 kg. Epinephrine tidak banyak membantu meredakan angioedema yang

disebabkan oleh defisiensi C1 inhibitor.5

KESIMPULAN

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai baik secara akut maupun

kronis dan dapat terjadi pada semua umur terutama usia dewasa. Urtikaria dapat

disebabkan oleh banyak faktor seperti obat, makanan, infeksi, penyakit sistemik maupun

pengaruh lingkungan.

Biasanya urtikaria terjadi akibat reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kulit,

yang ditandai dengan adanya edema cepat timbul, hilang perlahan, warna pucat

kemerahan, meninggi di permukaan kulit dan atau tanpa eritema. Urtikaria yang meluas

lebih dalam daripada dermis, seperti di sub mukosa, atau sub kutis, pada saluran napas,

saluran cerna dan kardiovaskuler disebut angioedema. Keluhan penderita biasanya gatal,

rasa tertusuk, dan rasa tersengat.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan faktor penting untuk menegakkan

diagnosis sehingga dapat diberikan terapi yang tepat, cepat, dan adekuat. Disamping

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga diperlukan tes penunjang misalnya tes

kulit, pemeriksaan kadar IgE spesifik, maupun pemeriksaan darah lengkap dan

sebagainya untuk mengetahui etiologi terjadinya urtikaria pada penderita.

Terapi utama penderita urtikaria adalah antihistamin H1 misalnya

dyphenhydramine dan hidroxizine yang bekerja cepat dengan harga terjangkau. Obat lain

yang bisa digunakan seperti antihistamin H2 yang biasanya dikombinasikan dengan

antihistamin H1. Obat dari golongan beta adrenergik (epinephrine, efedrin) yang baik

digunakan pada urtikaria kronik. Obat dari golongan kortikosteroid yang baik digunakan

pada urtikaria akut berat yang biasanya tidak memberikan respon pada pemberian

Page 21: Urtikaria

antihistamin H1. Plasma fresh frozen yang mengandung C1 esterase inhibitor baik

digunakan pada penderita urtikaria akibat gigitan serangga. Pengobatan dengan anti

plasmin kadang juga dapat digunakan untuk menekan aktivitas plasmin yang timbul pada

reaksi antigen antibodi.

.

Page 22: Urtikaria

Daftar pustaka

1. Evangelo Frigas and Miguel A. Park. 2009. Acute Urticaria and Angioedema,

Diagnostic and Treatment Considerations. Mayo Clinic College of Medicine; 10

(4) : 239.250

2. Uthman, M.A.E. 2005. Current Concepts in the Pathogenesis and Management of

Urticaria and Angioedema. Bahrain Medical Bulletin vol. 27.

3. Fonancier S, Dreskin C, Donald M. 2009. Allergic Skin Diseases. Amerika.

American Academy of Allergy, Asthma & Immunology;125:138-147.

4. Anonim. 2000. Part 1: Acute Urticaria/Angioedema. Annals of Allergy, Asthma

& Immunology;85:525-529.

5. C.Grattan, S.Powell and F.Humphreys. 2001. Management and diagnostic

guidelines for urticaria and angio-oedema. British Journal of Dermatology; 144:

708-714.

6. Kidon M.I., Kang L.W., Chin C.W.,Hoon L.S., See Y. et al. 2005. Early

Presentation With Angioedema and Urticaria in Cross-reactive Hypersensitivity

to Nonsteroidal Antiinflammatory Drug Among Young, Asian, Atopic Children.

American Academy of Pediatric Vol. 116: e675-680.

7. Kang L.W., Kidon M.I, Chin C.W., Hoon L.S., Hwee C.Y., Chong N.K. 2007.

Severe Anaphylactic Reaction to Ibuprofen in a Child With Recurrent Urticaria.

American Academy of Pediatric Vol. 120 : e742-e744.

8. Shah K.N., Honig P.J., Yan A.C. 2007.Urticaria Multiforme : A Case Series and

Review of Acute Annular Urticarial Hypersensitivity Syndromes in Children.

American Academy of Pediatric Vol.119 : e1177-e1183.

9. Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan

Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

10. Grattan, C.E.F. and Humpreys, F. 2007. Guidelines for Evaluation and

Management of Urticaria in Adults and Children. British Journal of Dermatology;

157:1116-1123.

11. Uthman, M.A.E. 2005. Current Concepts in the Pathogenesis and Management of

Urticaria and Angioedema. Bahrain Medical Bulletin vol. 27.

Page 23: Urtikaria

12. Teo, T.K. and Greaves, M.W. 2005. Angioedema and Urticaria Due to Drugs.

SGH Dermatology Unit vol. 14.

13. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, et al. Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine Fifth Edition. New York: McGraw-Hill. p.1-

30.