Urtikaria
Transcript of Urtikaria
I. PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ imunologi terbesar di dalam tubuh yang dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor ekternal. Salah satu penyakit kulit yang dimediasi oleh
sistem imun adalah urtikaria dan angioedema. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit
yang ditandai dengan adanya edema dengan ukuran yang bervariasi yang cepat timbul
dan menghilang perlahan – lahan, berwarna pucat kemerahan, meninggi di permukaan
kulit dengan atau tanpa eritema disekitarnya. Biasanya kulit akan kembali normal dalam
waktu 1 – 24 jam. Keluhan yang tampak biasanya gatal, rasa tersengat dan tertusuk
Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik tergantung dari durasi
munculnya lesi tersebut. Jika lesi tersebut berlangsung < 6 minggu termasuk urtikaria
akut. Urtikaria akut lebih sering terjadi dibandingkan dengan urtikaria kronis dan
insidennya meningkat pada seseorang yang memiliki riwayat atopik. Penyebab tersering
dari urtikaria akut adalah infeksi, obat – obatan dan makanan.1 Sedangkan urtikaria kronis
seringkali sulit dievaluasi dan diobati karena hanya kurang dari 20% pasien yang dapat
diketahui penyebabnya 2
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 20 % populasi selama hidupnya pernah
mengalami urtikaria, angioedema atau keduanya. Ditemukan 40% bentuk urtikaria
disertai dengan angioedema, 40% urtikaria tanpa angioedema dan 11% - 20%
angioedema tanpa urtikaria.1 Urtikaria kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa dan
sekitar 75% dijumpai pada wanita. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes
laboratorium dan tes provokatif. Urtikaria kronik dibedakan menjadi urtikaria yang
dimediasi oleh Immunoglobulin E (IgE) sebesar 1% - 5%, urtikaria fisik sebesar 20% dan
urtikaria idiopatik sebesar 75% - 80%.3 Sekitar 25% pasien dengan urtikaria akut akan
berlanjut menjadi urtikaria kronis. Urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih
dalam dari pada dermis, seperti submukosa atau di sub kutis, pada saluran nafas, saluran
cerna dan organ kardiovaskuler disebut angioedema. Biasanya kulit akan kembali normal
dalam 72 jam 1 Jika distensi jaringan melibatkan nervus sensoris, angioedema akan terasa
sangat nyeri atau parestesia.4 Manajemen yang paling ideal pada kasus urtikaria adalah
dengan mengatasi faktor penyebabnya, sedangkan peranan farmakoterapi adalah untuk
mengatasi gejala dengan cara mengontrol degranulasi sel mast dan menghambat efek
mediator sel mast pada sel target. Meskipun secara umum urtikaria dan angioedema akut
dapat sembuh secara spontan dan hilang dalam beberapa hari, namun pada beberapa
kasus diperlukan perhatian yang khusus ketika urtikaria dihubungkan dengan anafilaksis
dan angioedema pada saluran nafas yang memerlukan penangan secara kedaruratan.1
Oleh karena itu penting halnya untuk mengetahui urtikaria dan angioedema secara lebih
detail, agar kita dapat mengenali gejala klinis secara dini sehingga kita dapat memberikan
penangan secara cepat dan adekuat.
II. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain
2.1 Obat
Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik.5 Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara
imunologik dan non imunologik. Secara imunologik contohnya ialah aspirin, obat
anti inflamasi non steroid, penisilin, sepalosporin, diuretik, dan alkohol.
Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk
melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras. Aspirin menimbulkan
urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin di asam arakidonat. 6,7,8
2.2 Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan yang dicampurkan ke
dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering
menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering menimbulkan
urtikaria pada orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri,
coklat, arbei, keju. Urtikaria ini merupakan reaksi imunologi yang dimediasi oleh
IgE. Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan produk susu, telur,
tepung, dan buah-buah sitrus (jeruk).9
2.3 Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya
hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE hipersensitivitas tipe I dan
hipersensitivitas tipe IV. Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, kutu,dan serangga lainnya
menimbulkan urtikaria bentuk papular di sekitar tempat gigitan, biasanya
berlokasi pada ekstrimitas bawah pada anak-anak dan sembuh sendiri setelah
beberapa hari, minggu, atau bulan.9
2.4 Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.9
2.5 Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik.9
2.6 Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect
repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan
bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.9
2.7 Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infeksi parasit.
- Infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi dan
sinusitis.
- Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah
dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang
idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis.5,9
- Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab
urtikari. Infeksi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga
Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria. Infeksi
parasit biasanya paling sering pada daerah beriklim tropis.9
2.8 Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Penyelidikan memperlihatkan bahwa
hipnosis menghambat eritema dan urtikaria, pada percobaan induksi psikis,
ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.9
2.9 Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominan.9
2.10 Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh
- Faktor dingin, yaitu berenang atau memegang benda dingin.
- Faktor panas, yaitu sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran.5
- Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes
atau semprotan air. Fenomena ini disebut Dermografisme atau fenomena
Darier.9
2.11 Penyakt sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Contoh penyakit
sistemik yang sering menyebabkan urtikaria yaitu, sistemik lupus eritematosa
(SLE) sekitar 7-9 %,9 penyakit serum, hipetiroid, penyakit tiroid autoimun,
karsinoma, limfoma, penyakit rheumatoid arthritis, leukositoklast vaskulitis,
polisitemia vera (urtikaria akne-urtikaria papul melebihi vesikel), demam
reumatik, dan reaksi transfusi darah.5
III. PATOGENESIS
Urtikaria dan angioedema merupakan reaksi vaskularisasi yang terjadi akibat pelepasan
vasoaktif dan mediator-mediator dari sel mast dan basofil. Pada urtikaria, degranulasi sel
mast menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma di permukaan dermis. Sedangkan
pada angioedema, reaksi inflamasi melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam dari dermis,
bisa mengenai submukosa atau bahkan subkutis.9,10
3.1 Urtikaria
Sangat penting untuk diketahui mekanisme terjadinya urtikaria agar dapat membantu
pemeriksaan yang rasional.9 Sel efektor primer pada urtikaria adalah sel mast, yang
banyak terdapat di seluruh tubuh, termasuk jaringan subkutan. Sel mast yang telah
teraktivasi melepaskan histamin, heparin, asam hidrolase, protease, eosinofil, dan
neutrofil yang disimpan di dalam granul. Selain itu sel mast juga melepas prostaglandin
(PGD2), leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4), platelet activating factor (PAF), dan sitokin
lainnya.9,11
Mediator yang paling dominan pada urtikaria adalah histamin. Histamin memiliki
2 reseptor, yaitu H1 dan H2, yang ada pada beberapa tipe sel. Aktivasi reseptor histamin
H1 pada endothelial dan sel otot polos dapat meningkatkan permeabilitas kapiler.
Sedangkan aktivasi reseptor histamin H2 menyebabkan terjadinya vasodilatasi arteri dan
vena 9,10,11 Vasodilatasi yang disertai peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
transudasi cairan yang berakibat pengumpulan cairan setempat. Oleh karena itu secara
klinis tampak edema disertai kemerahan.9 Mediator pro-inflammatory yang diaktivasi dan
dilepas oleh sel mast dapat dipengaruhi oleh mekanisme imunologi (alergi) atau non-
imunologi (non-alergi) 9 (Gambar 5.).
Faktor Imunologi
Faktor imunologi lebih berperan pada urtikaria yang bersifat akut daripada yang kronik.
Mekanisme yang paling berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi pada obat, inhalan dan makanan (Gambar 1). IgE terikat pada permukaan
sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai
berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga sel mast melepaskan
mediator-mediatornya.9,10,12 Aktivasi el mast dan basofil terjadi sebagai hasil ikatan antara
dua subunit alfa pada reseptor IgE afinitas tinggi di permukaannya oleh antigen spresifik
atau hapten. Ikatan tersebut juga dapat terjadi melalui adanya autoantibodi langsung pada
IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau terhadap subunit alfa reseptor tersebut.2
Pada pasien atopic yang diperkirakan mengalami reaksi IgE dependent, terjadinya
urtikaria akut sering diikuti oleh eksaserbasi asma, rinitis dan eksim.15 Pasien ini ini
biasanya memiliki riwayat asma, rinitis, atau eksim pada dirinya maupun keluarganya
(Gambar 5).13
Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Aktivasi komplemen juga ikut berperan, bisa melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif yang akan melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang dapat memacu
degranulasi sel mast dan basofil untuk menghasilkan histamin. (UI) Aktivasi jalur
alternatif dipacu oleh berbagai agen seperti endotoksin (lipopolysaccharides bakteri),
inulin, zymosin, racun kobra, dan gabungan imunoglobulin dari kelas IgA. Ikatan
komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik (reaksi hipersensitivitas
tipe II) dan kompleks imun (reaksi hipersensitivitas tipe III), pada keadaan ini juga
dilepaskan zat anafilatoksin (Gambar 5).9,10
Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh sitotoksik sel T yang menyebabkan
deposit immunoglobulin, komplemen, dan fibrin pada pembuluh darah. Ini menyebabkan
terjadinya urticarial vasculitis (Gambar 2). Reaksi hipersensitivitas tipe III melibatkan
penyakit kompleks imun seperti systemic lupus erythematosus dan penyakit autoimun
lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria (Gambar 3).9,10,12 Urtikaria akibat kontak
(reaksi hipersensitivitas tipe IV) juga bisa terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan
penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin, pasien menderita urtikaria
(Gambar 4). Urtikaria akut yang dimediasi komplemen terjadi pada pasien dengan C1
esterase inhibitor yang abnormal, serum sickness dan bentuk urtikarial vaskulitis lain
(Gambar 5).9,11
Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Faktor Non-Imunologi
Pada mekanisme non-imunologi, cyclic adenosine monophosphate (CAMP) memiliki
peranan yang penting dalam pelepasan histamin. Beberapa bahan kimia seperti amin,
derivate amidin, dan berbagai obat yang digunakan pada praktik klinik seperti morfin ,
kodein, d-tubocurarine, antibiotik polimiksin, tiamin, stilbamidine, kuinin, dan
papaverine hydrochloride ikut berperan dalam keadaan ini.9,10
Histamin yang dilepas oleh faktor non-imunologi juga dapat merupakan efek
langsung dari faktor fisik, seperti panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan.
Pada beberapa keadaan, seperti demam, panas, emosi, dan penggunaan alkohol dapat
merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.9,11 Bahan kolinergik injeksi, misalnya asetilkolin, dilepaskan
saraf kolinergik kulit secara tidak diketahui mekanismenya langsung dapat
mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator (Gambar 5).9
Obat golongan opiat dan bahan kontras (terutama lewat intravena) secara
langsung memacu sel mast sehingga terjadi pelepasan mediator, dan terjadi vasodilatasi
disertai peningkatan permeabilitas kapiler.9 Bahan-bahan tersebut juga mengaktifkan
jalur komplemen alternatif dengan menurunkan level komplemen serum dan
meningkatkan level histamin serum.Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme
arakidonat seperti aspirin, NSAID. Urtikaria sebagai respon terhadap aspirin dan NSAID
lain dapat terjadi pada individu normal atau pasien engan rinitis alergi dan atau asma
bronkiale. Manifestasi klinis muncul 15 – 20 menit setelah minum dikonsumsi.
Walaupun awalnya reaksi ini dianggap imunologis, reaksi terhadap aspirin dan NSAID
lain menggambarkan hambatan of prostaglandin endoperoxide synthase/1 (PGHS-
1,cyclooxygenase 1). Skin prick test tidak bernilai diagnostik, tidak ditemukan IgE
maupun IgG (Gambar 5).13
Trauma fisik juga dapat menyebabkan urtikaria (Gambar 5). Dermografisme
merupakan bentuk trauma fisik yang paling banyak menyebabkan urtikaria.
Dermografisme tampak sebagai edema linier dengan kemerahan pada sisi dimana kulit
mengalami gesekan baju atau garukan. Pada percobaan penggoresan, terdapat
peningkatan histamin, triptase dan substansi P pada beberapa pasien.13 Rangsangan
dingin dan panas dapat mengakibatkan urtikaria dalam hitungan menit setelah terpapar
cairan atau makanan mingin, begitu juga yang panas. Pada penelitian, didapatkan
histamin, faktor kemotaksis untuk neutrofil, PGD2, cysteinyl leukotrienes,dan platelet-
activating factor yang dikeluarkan ke sirkulasi. Histamin dan faktor kemotaksis untuk
eosinofil dan neutrofil terdeteksi dalam darah setelah terpapar UVB dan UVA.13
Gambar 5.9 Faktor Imunologik dan Nonimunologik yang Menimbulkan Urtikaria
Berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal urtikaria
imunologik, non-imunologik, dan idiopatik. 9
I. Urtikaria atas dasar reaksi imunogenik
II. a. Bergantung pada IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I)
1. Pada atopik
2. Antigen spesifik (obat, polen)
b. Ikut sertanya komplemen
1. Pada reaksi sitotoksik (reaksi hipersensitivitas tipe II)
2. Pada reaksi imun kompleks (reaksi hipersensitivitas tipe III)
3. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (urtikaria kontak)
III. Urtikaria atas dasar reaksi non-imunogenik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator
(misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya
aspirin, obat NSAID, golongan azodyes).
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan mingin, panas atau sinar, dan
bahan kolinergik
III. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.9
3.2 Angioedema
Angioedema atau quincke edema merupakan suatu pembengkakan cepat (rapid swelling)
yang terjadi pada dermis, jaringan subkutan, mukosa, dan jaringan submukosa. Biasanya
angioedema terjadi bersamaan dengan akut urtikaria, dimana gejala ini sering sekali
terjadi pada anak-anak maupun dewasa muda. Proses patogenesisnya pun hampir sama
dengan patogenesis munculnya urtikaria.10,11,12
Banyak dilaporkan bahwa kasus angioedema ini terjadi karena proses alergi yang
disebabkan oleh efek samping dari penggunaan obat-obatan, terutama ACE inhibitor.
Angioedema sendiri dapat dibagi menjadi angioedema didapat dan herediter. 11,12
Angioedema Didapat
Angioedema didapat (AED) sering juga disebut dengan acquired C1 inhibitor deficiency.
Ini merupakan penyakit yang jarang terjadi, yang biasanya nampak dalam dua bentuk,
yaitu AED tipe 1 dan AED tipe 2. AED tipe 1 berkaitan dengan keganasan, kanker
payudara, kerusakan sel-B, dan lain-lain; sedang AED tipe 2 merupakan bentuk autoimun
tubuh pasien. Pasien dengan AED tipe 2 memiliki C1 INH autoantibodi (Tabel 1.7).9,10
Tabel 1.7 Angioedema didapat.
Angioedema Didapat
Defisiensi C1 inhibitor yang didapat
Pembengkakan jaringan subkutan, organ abdominal, dan saluran nafas atas
Onset usia pertengahan
Etiologi C1-INH (produksi normal) (level
rendah)
AED-I Penyakit yang berhubungan
Penyakit limfoproliferasi sel B
Oher cancers
(angioedema precedes neoplasms)
Penyakit jaringan ikat
Infeksi
Peningkatan katabolisme
AED-II Antibodi terhadap molekul C1-INH Autoantibodi Cleaves
C1-INH
Blok kapasitas hambatan C1-INH
C1-INH, hambatan C1
Angioedema Herediter
Angioedema herediter atau yang juga dikenal dengan inherited C1 inhibitor
deficiency, merupakan bawaan autosomal dominant yang berkaitan dengan mutasi pada
gen C1 inhibitor (C1 INH).9,10,11,12
Dilaporkan, kasus ini kebanyakan terjadi pada akhir masa anak-anak atau awal
dewasa muda. Orang dengan angioedema herediter memiliki satu gen C1 INH normal
dan satu yang abnormal. Trauma minor, stres mental, dan lainnya diketahui sebagai
faktor pemicu pelepasan peptida vasoaktif yang dapat menghasilkan pembengkakan
episodik. Histamin tidak berperan pada edema tipe ini.11,12
Bradikinin memiliki peranan yang sangat penting dalam semua bentukan
angioedema herediter. Peptida ini merupakan vasodilator potensial yang dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga menyebabkan akumulasi cairan
yang cepat di interstitium. Gejala ini tampak paling jelas pada bagian wajah, dimana kulit
wajah relatif memiliki sedikit jaringan ikat sehingga udim mudah sekali terbentuk pada
area ini.9,11,12
Pada angioedema herediter, pelepasan bradikinin disebabkan oleh aktivasi
berkelanjutan dari sistem komplemen yang berkaitan dengan kurangnya satu dari
inhibitor utama, yaitu C1 esterase (C1 inhibitor atau C1 INH). Ada tiga tipe angioedema
herediter:
1. Tipe I
Adanya penurunan level C1 INH
2. Tipe II
Level C1 INH-nya normal, tetapi terdapat penurunan fungsi C1 INH
3. Tipe III
Tidak terdeteksi ketidaknormalan C1 INH; terjadi kebanyakan pada x-linked
dominant, yang berarti kebanyakan terdapat pada wanita; kondisi ini dapat
diperburuk dengan adanya kehamilan atau penggunaan kontrasepsi
hormonal.9,10,11,12
Banyak obat-obatan medis seperti aspirin, NSAID, dan penisillin, dapat
menyebabkan terjadinya urtikaria dan angioedema. Satu hal yang pasti, angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) merupakan satu-satunya obat yang diketahui
dapat menyebabkan pembentukan angioedema tanpa weal dan obat ini bekerja dengan
memanfaatkan efek potensiasi atau prolongasi bradikinin.9,11
IV. Manifestasi Klinis
Urtikaria dan angioedema merupakan suatu sindrom yang luas dan ditandai
dengan pembengkakan terlokalisir yang paling sering mengenai kulit. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa sekitar 20% populasi umum dapat mengalami urtikaria,
angioedema atau keduanya. Gambaran lesi urtikaria harus dijelaskan secara kritis oleh
pemeriksa, antara lain meliputi morfologi, distribusi dan progresi lesi tersebut. Hal ini
dilakukan agar dapat membedakan urtikaria dengan lesi yang lainnya. Gambaran lesi
urtikaria dan angioedema akut maupun kronik tidak menunjukkan perbedaan. Lesi
urtikaria dan angioedema akut dan kronik dibedakan berdasarkan durasinya. Lesi
urtikaria akut berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronik lebih dari 6
minggu.1,3
Secara klinis urtikaria tampak sebagai suatu peninggian kulit dengan ukuran yang
bervariasi disertai atau tanpa dikelilingi eritema, ada gatal atau terkadang terasa seperti
terbakar dan kulit kembali normal dalam 1-24 jam.1 Urtikaria dapat berbentuk sirkuler
atau serpiginosa (merambat).3 Sekitar 40% dengan lesi urtikaria juga disertai angioedema.
Predileksi lesi urtikaria umumnya meliputi ekstremitas dan trunkus.4
Angioedema didefinisikan sebagai pembengkakan kasar di subdermis dan
subkutis, terkadang nyeri atau gatal, umumnya melibatkan membran mukosa dan
biasanya kulit kembali normal dalam 72 jam.1 Jika distensi jaringan melibatkan nervus
sensori maka angioedema akan terasa sangat nyeri atau parestesia.4 Lesi ini disebabkan
oleh substansi vasoaktif yang mengakibatkan peningkatan sementara permeabilitas
endotel.1 Sekitar 10%, angioedema muncul tanpa disertai urtikaria.3 Sedangkan predileksi
angioedema meliputi area yang memiliki jaringan konektif longgar seperti pada wajah,
kelopak mata atau membran mukosa seperti bibir, tenggorokan, atau traktus
gastrointestinal.1
Pada berbagai bentuk klinis urtikaria, gambaran klinis terkadang digunakan
sebagai petunjuk awal untuk menegakkan diagnosa etiologi. Pada urtikaria
dermatografisme tampak edema yang linear di daerah yang terkena gesekan baju atau di
tempat garukan. Lesi urtikaria kolinergik berupa edema kecil berdiameter 1-3 mm
dengan bercak eritema yang besar di sekitarnya. Lesi kulit yang terbatas pada daerah
paparan sinar atau termal mengarah pada diagnosis heat atau cold urticaria. Cold
urticaria ditandai dengan lesi papula eritematosa yang terasa membakar (tidak gatal).
Tiga puluh menit hingga 4 jam setelah paparan dingin dapat disertai demam, atralgia dan
leukositosis.5
Gambar 11 Urtikaria
V. Diagnosis
5.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan lini pertama yang kita lakukan dalam mendiagnosa urtikaria
dan angiedema. Melalui anamnesis kita dapat mengetahui onset, etiologi dan progresi
lesi yang dialami pasien. Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dalam anamnesis
terkait etiologi :
- Apakah pasien mengkonsumsi obat - obatan, obat apa saja yang dikonsumsi dan
apakah lesinya muncul pada waktu pasien mengkonsumsi obat tersebut
- Makanan apa saja yang pasien makan sebelum lesi ini muncul, dan berapa lama
onset munculnya gejala
- Apa pekerjaan pasien atau aktivitas apa yang dilakukan (berhubungan dengan bahan
kontaktan) sebelum munculnya lesi
- Apakah pasien terkena sengatan atau gigitan serangga sebelumnya
Dalam anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat alergi baik dari pasien sendiri
ataupun keluarga. Jangan lupa menanyakan riwayat penyakit sistemik pada pasien.
(Acute Urticaria/Angioedema)
5.2 Pemeriksaan Fisik
Komponen penting dalam pemeriksaan fisik ialah melakukan pemeriksaan kulit
secara keseluruhan dan pemeriksaan limfe nodi, liver dan limpa. Secara spesifik,
gambaran lesi yang dilaporkan meliputi morfologi (meliputi warna, bentuk, batas dan
susunannya), distribusi dan progresi lesinya. Dalam melakukan pemeriksaan
diperlukan penerangan yang baik. Biasanya pasien yang datang dengan asimtomatik
mendokumentasikan lesinya melalui foto.1
Gambaran klinis yang tampak pada urtikaria ialah peninggian kulit dengan ukuran
bervariasi, disertai atau tanpa eritema, dapat berbentuk sirkuler atau serpiginosa
(merambat). Warna merah pada lesi apabila ditekan akan berwarna putih. Sedangkan
angioedema merupakan lesi yang lebih luas dari urtikaria. Lesi pada angioedema akan
tampak sebagai peninggian kulit kasar yang dapat disertai nyeri atau gatal yang
biasanya mengenai membran mukosa, wajah atau kelopak mata.1
5.3 Pemeriksaan Penunjang
Bila melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis belum dapat ditegakkan etiologinya,
maka dapat dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium, skin prick test dan biopsy kulit.
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan bahwa erythrocyte
sedimentation rate (ESR) meningkat pada utikaria vaskulitis, tapi biasanya normal
pada kasus urtikaria idiopatik. Apabila ditemukan peningkatan level IgE atau
eosinofilia maka kemungkinan disebabkan oleh infeksi parasit. Pada kasus systemic
lupus erythematosus, 7 - 9% pasien memiliki lesi urtikaria. Dalam pemeriksaan
laboratorium ditemukan peningkatan (ESR).5
Pada pasien yang menderita angioedema tanpa urtikaria maka pikirkan
penyebabnya adalah obat - obatan dan C1 esterase inhibitor (C1 INH) deficiency.
Obat - obatan yang berpengaruh seperti ACE inhibitor, angiotensin II reseptor
antagonist, agen fibrinolitik, estrogen dan NSAID. Pengukuran komplemen C4 dalam
serum untuk menskrining C1 INH deficiency.1Biopsi kulit dapat dipakai sebagai
diagnosis konfirmasi pada kasus urtikaria vaskulitis. Pada pemeriksaan mikroskopik
ditemukan gambaran histology yang khas berupa kerusakan sel endotel,
leukositoklasia dan deposit fibrin.5
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
skin prick test, pemeriksaan IgE spesifik melalui radioallergosorbent test (RAST)
yang mempunyai makna sama. Skin prick test dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi pada urtikaria kontak ataupun karena alergi makanan. Pada prinsipnya
pemerikasaan ini hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas
tipe I.4 Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.9 Tes fisik lain
yang dapat dilakukan ialah dengan es atau air hangat apabila dicurigai alergi terhadap
suhu tertentu.3
VI. Terapi
6.1 Tujuan
Tujuan terapi di sini adalah untuk mengurangi gejala urtikaria dan angioedema,
mencegah degranulasi sel mast yang berkelanjutan, serta menghambat efek mediator-
mediator sel mast pada jaringan target.1,5
6.2 Non-medikamentosa
Prinsip penanganan non-medikamentosa pada urtikaria dan/atau angioedema
adalah dengan menghindari faktor alergen berupa makanan, obat-obatan, atau trauma
pada pasien yang memiliki riwayat defisiensi C1 esterase herediter atau didapat. Obat
atau bahan kimia yang dapat dihindari antara lain aspirin, anti inflamasi non steroid,
captopril, penisilin, cepalosforin, diuretik, alkohol, opium, dan zat kontras. Bahan
makanan yang dapat dihindari pada pasien urtikaria dan/atau angioedema antara lain
protein, zat pewarna makanan, penyedap rasa, dan bahan pengawet. Pada orang dewasa
ada beberapa jenis makanan yang dapat dihindari untuk mencegah timbulnya urtikaria
dan/atau angioedema, yaitu ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri, coklat, dan
keju. Sedangkan pada bayi dan anak-anak, susu, telur, tepung, serta buah sitrus bisa
dihindari untuk mencegah timbulnya urtikaria dan/atau angioedema.1,6,7,9
Selain menghindari faktor alergen obat dan makanan, pasien dengan
urtikariadan/atau angioedema dapat juga menghindari faktor alergen inhalan seperti
serbuk sari bunga, spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan aerosol. Bahan kontaktan
seperti kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan,
serta bahan kosmetik juga perlu dihindari pada pasien dengan riwayat herediter urtikari
dan/atau angioedema. Trauma fisik yang bisa dihindari pada pasien ini antara lain
berenang, paparan sinar matahari, paparan radiasi, panas pembakaran, goresan benda
tajam, pakaian ketat, dan pemakaian ikat pinggang.1,6,8,9
6.3 Medikamentosa
Pada prinsipnya pengobatan penyakit alergi adalah mengobati penyebab dan
menghindari paparan terhadap alergen. Tetapi jika dengan terapi non-medikamentosa
tidak dapat mengurangi gejala pada pasien maka terapi medikamentosa menjadi pilihan
selanjutnya. Adapun beberapa obat yang dapat memperburuk kondisi urtikaria adalah
aspirin dan codeine. Sedang pemakaian ACE inhibitor sudah dapat dipastikan akan
menyebabkan angioedema pada pasien dengan riwayat defisiensi C1 inhibitor. Cooling
antipruritic lotions, seperti menthol 1% dalam bentuk krim dan calamine lotion dapat
meringankan keluhan pasien. Obat - obatan lain yang dapat digunakan dalam menangani
kasus ini meliputi :
1. Antihistamin
Antihistamin oral digunakan sebagai obat lini pertama dalam mengontrol gejala
pasien dengan urtikaria akut. Peran antihistamin dapat terlihat melalui keterlibatannya
dalam pelepasan sitokin dari sel mast. Terapi antihistamin dimulai dari yang tidak
memiliki efek sedatif atau yang memiliki efek sedatif kecil, seperti fexofenadine,
cetirizine, loratadine, dan mizolastine. Obat-obatan ini diberikan hanya pada pagi
hari.1,5
Mizolastine kontraindikasi pada pasien gagal jantung dan apabila ditemukan
pemanjangan interval Q-T pada pemeriksaan EKG. Hindari kombinasi mizolastine
dengan obat-obatan yang bekerja menghambat metabolisme hepatik melalui
cytochrome P450 (seperti antibiotik macrolide dan antifungal imidazole) dan dengan
obat-obatan yang berpotensi menyebabkan aritmia (seperti tricyclic antidepressant).1,5
Jika setelah 1-2 minggu gejala pasien tidak mengalami perbaikan maka
pengobatan diganti dengan antihistamin yang memiliki efek sedatif, seperti
chlorpheniramine 4-12 mg atau hydroxyzine 10-50 mg. Kedua obat ini diminum pada
malam hari sebelum tidur. Antihistamin dihindari pada wanita hamil, khususnya pada
trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Beberapa data menyebutkan
bahwa cetirizine, loratadine, dan mizolastine sebaiknya dihindari pada kehamilan dan
saat menyusui. Chlorpheniramine seringkali dipilih apabila terapi antihistamin
diperlukan.1,5
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral dapat memperpendek durasi urtikaria akut seperti
prednisolone 50 mg per hari selama 3 hari untuk dewasa. Kortikosteroid oral jangka
panjang sebaiknya tidak digunakan pada urtikaria kronis, kecuali dibawah pengawasan
spesialis. Kortikosteroid oral seringkali digunakan untuk mengobati gejala urtikaria
kronis apabila terapi antihistamin tidak efektif.1,5
3. Epinephrine
Epinephrine intramuskular atau subkutaneus dapat digunakan untuk
menyelamatkan nyawa pasien dengan laryngeal angioedema yang berat, tetapi
pemakaianya harus diperhatikan karena berbahaya pada pasien dengan riwayat
hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Dosis obat tergantung pada berat badan
pasien. Menurut The British National Formulary, dosis ephinephrine intramuskular
untuk pasien dewasa adalah 300 μg dan untuk anak-anak adalah 150 μg untuk berat
badan 15-30 kg. Epinephrine tidak banyak membantu meredakan angioedema yang
disebabkan oleh defisiensi C1 inhibitor.5
KESIMPULAN
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai baik secara akut maupun
kronis dan dapat terjadi pada semua umur terutama usia dewasa. Urtikaria dapat
disebabkan oleh banyak faktor seperti obat, makanan, infeksi, penyakit sistemik maupun
pengaruh lingkungan.
Biasanya urtikaria terjadi akibat reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kulit,
yang ditandai dengan adanya edema cepat timbul, hilang perlahan, warna pucat
kemerahan, meninggi di permukaan kulit dan atau tanpa eritema. Urtikaria yang meluas
lebih dalam daripada dermis, seperti di sub mukosa, atau sub kutis, pada saluran napas,
saluran cerna dan kardiovaskuler disebut angioedema. Keluhan penderita biasanya gatal,
rasa tertusuk, dan rasa tersengat.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan faktor penting untuk menegakkan
diagnosis sehingga dapat diberikan terapi yang tepat, cepat, dan adekuat. Disamping
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga diperlukan tes penunjang misalnya tes
kulit, pemeriksaan kadar IgE spesifik, maupun pemeriksaan darah lengkap dan
sebagainya untuk mengetahui etiologi terjadinya urtikaria pada penderita.
Terapi utama penderita urtikaria adalah antihistamin H1 misalnya
dyphenhydramine dan hidroxizine yang bekerja cepat dengan harga terjangkau. Obat lain
yang bisa digunakan seperti antihistamin H2 yang biasanya dikombinasikan dengan
antihistamin H1. Obat dari golongan beta adrenergik (epinephrine, efedrin) yang baik
digunakan pada urtikaria kronik. Obat dari golongan kortikosteroid yang baik digunakan
pada urtikaria akut berat yang biasanya tidak memberikan respon pada pemberian
antihistamin H1. Plasma fresh frozen yang mengandung C1 esterase inhibitor baik
digunakan pada penderita urtikaria akibat gigitan serangga. Pengobatan dengan anti
plasmin kadang juga dapat digunakan untuk menekan aktivitas plasmin yang timbul pada
reaksi antigen antibodi.
.
Daftar pustaka
1. Evangelo Frigas and Miguel A. Park. 2009. Acute Urticaria and Angioedema,
Diagnostic and Treatment Considerations. Mayo Clinic College of Medicine; 10
(4) : 239.250
2. Uthman, M.A.E. 2005. Current Concepts in the Pathogenesis and Management of
Urticaria and Angioedema. Bahrain Medical Bulletin vol. 27.
3. Fonancier S, Dreskin C, Donald M. 2009. Allergic Skin Diseases. Amerika.
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology;125:138-147.
4. Anonim. 2000. Part 1: Acute Urticaria/Angioedema. Annals of Allergy, Asthma
& Immunology;85:525-529.
5. C.Grattan, S.Powell and F.Humphreys. 2001. Management and diagnostic
guidelines for urticaria and angio-oedema. British Journal of Dermatology; 144:
708-714.
6. Kidon M.I., Kang L.W., Chin C.W.,Hoon L.S., See Y. et al. 2005. Early
Presentation With Angioedema and Urticaria in Cross-reactive Hypersensitivity
to Nonsteroidal Antiinflammatory Drug Among Young, Asian, Atopic Children.
American Academy of Pediatric Vol. 116: e675-680.
7. Kang L.W., Kidon M.I, Chin C.W., Hoon L.S., Hwee C.Y., Chong N.K. 2007.
Severe Anaphylactic Reaction to Ibuprofen in a Child With Recurrent Urticaria.
American Academy of Pediatric Vol. 120 : e742-e744.
8. Shah K.N., Honig P.J., Yan A.C. 2007.Urticaria Multiforme : A Case Series and
Review of Acute Annular Urticarial Hypersensitivity Syndromes in Children.
American Academy of Pediatric Vol.119 : e1177-e1183.
9. Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan
Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Grattan, C.E.F. and Humpreys, F. 2007. Guidelines for Evaluation and
Management of Urticaria in Adults and Children. British Journal of Dermatology;
157:1116-1123.
11. Uthman, M.A.E. 2005. Current Concepts in the Pathogenesis and Management of
Urticaria and Angioedema. Bahrain Medical Bulletin vol. 27.
12. Teo, T.K. and Greaves, M.W. 2005. Angioedema and Urticaria Due to Drugs.
SGH Dermatology Unit vol. 14.
13. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, et al. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine Fifth Edition. New York: McGraw-Hill. p.1-
30.