up 6 b 22.pdf

7
Tugas Individu Kunjungan ke Farm Burung Unit Pembelajaran VI Blok 22 STEPHANI LETICIA 10/300640/KH/06677 Kelompok 7 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

Transcript of up 6 b 22.pdf

Tugas Individu

Kunjungan ke Farm Burung

Unit Pembelajaran VI

Blok 22

STEPHANI LETICIA

10/300640/KH/06677

Kelompok 7

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

1

LEARNING OBJECTIVES

1. Mengetahui standar biosecurity pada pemeliharaan burung

2. Mengetahui manajemen pemeliharaan pada burung

3. Mengetahui tentang Avian Influenza meliputi etiologi, patogenesis,

gejala klinis, diagnosa, dan terapi

4. Mengetahui pada burug selain Avian Influenza meliputi etiologi,

patogenesis, gejala klinis, diagnosa, dan terapi

1. Standar Biosecurity pada Pemeliharaan Burung

Biosecurity adalah semua tindakan yang merupakan pertahana

pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah

kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit. Secara umum

biosekuriti memiliki tiga prinsip, yaitu isolasi, pengaturan lalu lintas, serta

sanitasi dan desinfeksi. Isolasi atau pemisahan burung merupakan tindakan

untuk menciptakan lingkungan dimana burung terlindung dari pembawa

penyakit seperti burung liar, hewan lain, dan manusia. Tindakan isolasi

bisa dilakukan dengan memisahkan burung yang sakit dari yang sehat,

menjauhkan burung dari hewan peliharaan lain, dan memasukan burung ke

dalam kandang. Pada burung yang baru dibeli sebaiknya dipisahkan dulu

selama 21 hari atau tiga minggu sebelum bergabung dengan burung

lainnya. Prinsip biosekuriti yang kedua adalah pengendalian lalu lintas,

yaitu upaya untuk mencegah orang yang tidak berkepentingan masuk ke

area kandang. Pengendalian ini meliputi pengendalian lalu lintas manusia,

hewan, peralatan, dan kendaraan yang keluar masuk ke area kandang.

Prinsip ini terutama dilakukan pada penangkaran burung yang besar

(Nugroho, 2011). Prinsip biosekuriti yang ketiga adalah sanitasi dan

desinfeksi, prinsip ini merupakan hal yang paling penting. Kandang

burung harus dibersihkan dari kotoran (feses, makanan, dan minuman

yang tumpah) minimal sehari sekali. Tempat pakan dan minum juga harus

dicuci setiap hari. Desinfeksi kandang dilakukan setiap minggu

2

menggunakan desinfektan yang tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak

bersifat korosif. Desinfektan yang biasanya digunakan adalah alkohol

70%, ammonium kuartener, dan natrium hipoklorit 1% (pemutih)

(Harrison dan Lightfoot, 2006).

2. Manajemen Pemeliharaan Burung

A. Kandang

Burung yang sering dipelihara adalah kenari. Pada

umumnya kandang kenari terbuat dari bahan kayu berbentuk

persegi panjang dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm, dan

tinggi 40 cm untuk menampung sepasang burung kenari. Di dalam

kandang harus disediakan tempat bertengger minimal 1 buah.

Tenggeran yang baik dibuat dari kayu yang kulitnya agak kasar.

Tempat pakan dan minum dapat terbuat dari bahan plastik dan

harus diletakan agak berjauhan agar makanan tidak mudah terkena

air ketika burung mandi dan minuman juga tidak mudah kotor oleh

sisa-sisa makanan (Sridadi, 2001). Untuk burung-burung

Psittacine, seperti kakatua, ukurna kandang harus disesuaikan

dengan jangkauan sayapnya. Misalnya untuk burung makaw

dengan jangakauan sayap 90 cm maka ukuran kandan minimum

adalah 90 x 90 x 90 cm (Brown dan Chitty, 2004).

B. Pakan

Pakan burung disesuaikan dengan jenis burungnya. Burung

karnivora seperti elang dan rajawali bisa diberikan daging sapi, kelinci,

tikus, atau ayam. Untuk pemakan serangga bisa diberikan kroto (larva

semut). Untuk burung herbivora dapat diberikan sayuran, buah-

buahan, dan biji-bijian (Harrison dan Lightfoot, 2006).

3. Avian Influenza

Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksius pada unggas

yang disebabkan oleh virus dari genus Influnzavirus A yang merupakan

anggota famili Orthonyxoviridae yang merupakan negative-sense ssRNA.

Permukaan virus ini memiliki dua jenis spike glikoprotein yaitu protein

3

hemaglutinin (HA) dan protein neuroamidase (NA) (MacLahlan dan

Dubovi, 2011). Infeksi virus dimulai ketika virus memasuki sel hospes

setelah terjadi penempelan spike virion dengan reseptor spesifik yang ada

di permukaan sel hospesnya. Spike HA dari virus ini akan beritan dengan

reseptor yang mengandung sialic acid (SA) pada permukaan sel hospes.

Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan

materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya dan bereplikasi membentuk

virion-virion baru yang akan menginfeksi kembali sel-sel di sekitarnya.

Virus bereplikasi di saluran pernapasan, pecernaan, renal, dan organ

reproduksi (Radji, 2006). Pada burung-burung peliharaan yang terinfeksi

AI biasanya tidak menunjukan gejala tetapi menjadi carrier yang

mengeluarkan virus dari nares, mulut, konjunctiva, dan kloaka. Pada

unggas produksi seperti ayam gejala yang terlihat adalah gangguan pada

saluran respirasi (batuk, bersin, ngorok, lakrimasi berlebih), pencernaan

(letargi, diare, penurunan nafsu makan dan minum), urinari, dan organ

reproduksi. Untuk diagnosa dapat menggunakan uji serologis seperti

ELISA dan belum ada pengobatan unutk penyakit ini (Saif et al., 2008).

4. Penyakit pada Burung

A. Canary Pox

Canary pox disebabkan oleh avian pox virus dari genus

Avipoxvirus yang merupakan anggota famili Poxviridae yang memiliki

genom dsDNA (MacLahlan dan Dubovi, 2011). Transmisi penyakit ini

bisa secara kontak langsung dengan burung yang terinfeksi atau secara

tidak langsung dari benda yang terkontaminasi. Selain itu transmisi

juga bisa terjadi melalui nyamuk. Masuknya virus ke tubuh hewan bisa

dengan dua cara yaitu melalui kulit yang terluka atau gigitan nyamuk

dan melalui inhalasi. Penyakit ini memiliki dua bentuk yaitu bentuk

kutaneus dan bentuk diphteritik (pernapasan). Virus yang masuk

melalui jalur kulit biasanya menyebabkan infeksi dalam bentuk

kutaneus, sedangkan yang masuk melalui jalur inhalasi biasanya

menyebabkan bentuk diphteritik. Pada bentuk kutaneus akan terlihat

4

bentukan lesi pada daerah-daerah yang tidak ditumbuhi bulu, seperti di

sekitar mata, kaki, nares, dan paruh. Lesi tersebut berupa papula

dengan diameter 2-4 mm yang kemudian akan berubah menjadi

vesikula yang akan pecah secara spontan kemudian mengering dan

membentuk krusta. Burung yang terinfeksi bentuk kutaneus ini sering

menggarukkan daerah sekitar mata dan paruhnya ke tenggeran, mereka

juga akan mematuk lesi di kakinya hingga berdarah. Pada bentuk

diphteritik, lesi terlihat di mukosa lidah, faring dan laring. Lesi

fibrinosa berwarna abu-abu hingga coklat dan bersifat kaseous. Pada

kasus yang parah, burung akan mengalami kesulitan unutkng menelan

dan mengalami dispnoe. Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat

gejal klinis, pemeriksaan histopatologis dimana akan terlihat

hiperplasia pada epidermal serta adanya benda inklusi intrasitoplasmik

yang bersifat eosinofilik (merah). Selain itu juga bisa dengan metode

serologis seperti ELISA dan metode molekuler seperti PCR (Saif et al.,

2008). Untuk tereapi, karena infeksi ini disebabkan oleh virus, maka

belum ada terapi kausatif yang dapat digunakan. Terapi yang biasanya

hanya terapi suportif seperti pemberian antibiotik, pemberian iodin

pada lesi kutaneus dan mukosa, serta pemberian multivitamin

(Harrison dan Lightfoot, 2006).

B. Avian Chlamydophylosis

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Chlamydophila pittaci, yaitu

bakteri gram negatif dan hanya dapt bereplikasi secara intraselular.

Bakteri ini memeliki 3 bentuk yang secara morfologis berbeda yaitu

elementary body (EB), reticulate body (RB), dan intermediete body

(IB). EB merupakan bentuk infeksius yang berada di luar sel. EB

berukuran kecil sekitar 200-300 nm dan setiap EB dilapisi oleh

membran sitoplasmik,ruang periplasmik, dan lapisan terluar yang

mengandung lipopolisakarida. EB memasuki sel hospes secara

endositosis dan berubah menjadi RB yang memiliki diameter 1 µm.

RB akan melalukan pembelahan biner di dalam endosom dan

5

mengalami maturasi menjadi IB dengan diameter sekitar 0.3-1.0 mm,

sebelum kemudian menjadi EB kembali dan melisiskan sel hospes.

Bakteri ini masuk ke dalam tubuh hospes melalui inhalasi lalu EB akan

menginvasi sel-sel di saluran pernapasan dan didistribusikan melalui

darah ke organ-organ lain (Quinn et al., 2002). Gejala klinis yang

terlihat bervariasi dan tidak ada gejala yang patognomonik. Pada

kebanyakan kasus infeksi terjadi secara laten tanpa adanya gejala klinis

dan hewan yang terinfeksi akan menjadi carrier. Pada burung yang

terinfeksi parah gejala yang mungkin terlihat adalah bulu kusam,

depresi dan anoreksia. Pada kasus kronis akan terlihat penurunan berat

badan. Gejala awal yang mungkin terdeteksi adalah adanya

konjunctivitis, rhinitis, dan sinusitis dengan leleran jernih, bila terjadi

infeksi sekunder leleran akan menjadi purulen. Selain itu mungkin

teramati dispnoe. Gejala-gejala ini sering kali diikuti dengan feses

yang berwarna hijau terang atau diare yang berwarna hijau

kekuningan. Perubahan patologi yang terjadi adalah pembesaran limpa,

perikarditis, hepar sangat membesar dan biasanya terdapat nekrotik

foki yang kecil, serta pada serosa saluran pernapasan menunjukan

adanya eksudat putih kekuningan. Diagnosa dapat dengan melakukan

radiografi pada hewan untuk melihat adanya pembesaran limpa, hepar,

dan ginjal. Selain itu bisa juga dengan pemeriksaan serologis (ELISA),

isolasi bakteri, dan identifikasi bakteri dengan sampel dari swab

konjunctiva (Brown dan Chitty, 2004). Untuk terapi dapat diberi

antibiotik seperti doxycycline yang dicampur dengan air minum

dengan dosis 280 mg/L air atau disuntikan secara IM dengan dosis 100

mg/kg BB sekali seminggu (Harrison dan Lightfoot, 2006).

6

Daftar Pustaka

Brown, N. Chitty, J. 2004. BSAVA Manual of Psittacine Bird 2nd

Edition.

British Small Animal Veterinary Association. England

Harrison, G. J. Lightfoot, T. L. 2006. Clinical Avian Medicine. Spix

Publishing: Florida

MacLahlan, J. Dubovi, E. 2011. Fenner Veterinary Virology 4th

Edition.

Elsevier. United Kingdom

Nugroho, D. T. 2011. Prinsip Biosecurity. http://pustakavet.wordpress.com

/2011/02/16/prinsip-biosecurity.html [Diakses pada hari Senin, 24

Maret 2014]

Quinn, P. Markey, B. Carter, M. Donnelly, W. Leonard, F. 2002. Veterinary

Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science. USA

Saif, Y. Fadly, A. Glisson, J. McDougald, L. Nolan, L. Swayne, D. 2008.

Disease of Poultry 12th

Edition. Blackwell Publishing. Iowa

Sridadi. 2001. Beternak Kenari dan Permasalahannya. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta