up 2 blok 11
-
Upload
tyastrisedyarenaning -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
description
Transcript of up 2 blok 11
Learning Objective :
1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis?
2. Apa saja agen penyebab mastitis beserta ciri-cirinya?
3. Bagaimana cara mendiagnosa adanya mastitis?
Pembahasan :
1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis?
A. Klasifikasi mastitis
Mastitis adalah reaksi radang jaringan ambing oleh bakterial,
mikroorganisme lain, kimia, cedera karena suhu atau mekanikal. Susu
merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan
dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang
mudah mencemari kapan dan dimana saja sepanjang penanganan susu
tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada susu sudah terjadi
sejak proses pemerahan dan dapat berasal dari berbagai sumber seperti
kulit sapi, ambing, ember, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara.
Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu :
1) Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas
susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas,
merah, bengkak, fungsi abnormal, serta timbul rasa sakit bila
dipalpasi.
a) Hiperakut : Karakteristik dari mastitis hiperakut adalah
terjadi peradangan ambing secara mendadak yang disertai
dengan reaksi sistemik dari dalam tubuh dan berlangsung
sangat cepat. Mastitis gangrenosa merupakan salah satu
bentuk mastitis klinis per akut yang kebanyakan disebabkan
oleh S. aureus. Selain mastitis gangrenosa juga dijumpai
ada toksemia mastitis dengan gejala depresi, nafsu makan
turun, suhu tubuh meningkat, otot lemah, pembengkakan
kelenjar mamae disertai kelainan air susu yang dihasilkan.
1
Efek toksemia mastitis antara lain menyebabkan kematian
kambing atau sapi yang didahului dengan gejala dehidrasi,
depresi, koma dan akhirnya mati (Suwito dan Indarjulianto,
2013).
b) Akut: radang (bengkak), panas dalam rabaan, rasa sakit,
warna yang kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu
jadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin,
reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Konsistensi air
susu jadi lebih encer dan warnanya juga jadi agak kebiruan
atau putih yang pucat. Kadang proses akut berlangsung
dengan cepat dan hebat. Tanda-tanda lain yang ditemukan
adalah anoreksia, kelesuan, toksemia, dan sering disertai
dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto,2003).
c) Subakut: ditandai dengan gejala sama seperti akut tetapi
dengan derajat yang lebih ringan. Hewan masih mau makan
dan suhu tubuhnya masih dalam batas normal. Perubahan
radang dari ambing kadang samar-samar tetapi air susunya
jelas mengalami perubahan. Pada inspeksi dari samping dan
belakang, ambing tampak asimetris (Subronto,2003).
d) Kronik: pada kondisi kronik bisa di lihat dengan cara
perabaan pada ambing dan strecping di mana susu yang
didapatkan tidak normal. Pada infeksi kronik berakhir
dengan atrofi kelenjar. Ambing yang mengalami gangren
yang tampak perubahan seperti ambing terasa dingin, air
susu lebih encer kadang bercampur darah dan warna kulit
ambing biru lebam. Hewan tidak sanggup berdiri lagi,
ambruk dan dapat mati dalam beberapa hari. Macam-
macam kondisi kronik antara lain : T1 apabila terdapat
gumpalan kecil-kecil pada susu ; T2 apabila terdapat
gumpalan yang lebih besar pada susu ; T3 apabila terdapat
gumpalan yang lebih besar dari T1 dan T2; Chung apabila
2
susu sudah berubah menjadi nanah; Watery apabila bila di
streeping susu sudah tidak keluar melainkan hanya air yang
keluar dari susu; Blood apabila bila distreeping keluar darah
(Rahayu, 2010;Subronto,2003).
2) Mastitis subklinis terjadi tanpa adanya perubahan secara fisik pada
eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan
pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan berupa
perubahan kualitas dan kuantitas serta ditemukannya kuman
patogen pada susu.
3) Mastitis non spesifik merupakan kejadian mastitis akibat trauma
pada ambing (Subronto, 2003).
B. Patogenesis Mastitis
Patogenesis secara klinis terbagi
menjadi tiga, yaitu fase invasi,
infeksi, dan selanjutnya infiltrasi.
Pada fase invasi merupakan fase
masuknya mikroorganisme ke
dalam puting. Tidak jarang
mikroorganisme patogen sudah
lama berada di bawah bagian
puting. Kebanyakan proses invasi
terjadi karena terbukanya lubang
saluran puting, terutama sesudah
pemerahan. Invasi yang terjadi pada
masa kering tidak segera menyebabkan radang akut. Prosesnya
kebanyakan berlangsung secara subklinis yang pada suatu saat biasanya
sesudah waktu kelahiran berubah menjadi radang subakut, akut, atau
perakut. Invasi dipermudah dengan adanya keadaan lingkungan yang
3
jelek, populasi kuman patogen yang tinggi, adanya lesi pada putingatau
bila daya tahan sapi menurun, misalnyya sehabis sakit atau stress.
Fase infeksi ditandai setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam
kelenjar, mikroerganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu
singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme
sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan
leukosit. Mobilisasi leukosit dipermudah mengingat bahwa kelenjar susu
dialiri darah yang relatif besar dalam tiap satuan waktu.
Fase Infiltrasi dimulai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar,
tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang.
Adanya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu,
sehingga sifat fisik seta susunan susu mengalami perubahan (Subronto,
2003).
Peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam
ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama,
pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan
aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat
disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi, seperti
prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang
dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan
ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi
diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh
darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan
penghancuran bakteri.
C. Gejala Klinis Mastitis
Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali
apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas.
Kelenjar ambing membengkak, oedematus berisi cairan eksudat disertai
tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa
sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui
4
kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis
sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya
dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu
(Bramley 1991).
Secara klinis, proses mastitis dapat berlangsung akut, subakut dan kronik.
Radanng subklinis merupakan radang yang tidak menimbulkan gejala-
gejala klinis pada saat pemeriksaan ambing. Adanya kuman-kuman pada
ambing tanpa diikuti perubahan fisik ambing dan air susunya dapat
dikatakan sebagai infeksi laten. Secara histopatologi, pada mastitis
subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada
parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan
adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang, 1984),
deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti
polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang,
1984).
PROSES AKUT PROSES SUBAKUT
1. Adanya kebengkakan
2. Terasa panas saat di palpasi
3. Adanya rasa sakit
4. Warnanya kemerahan
5. Adanya gangguan fungsi
6. Air susu pecah bercampur
gumpalan protein
7. Air susu menjadi encer
1. Ditandai dengan gejala akut yang
lebih ringan.
2. Hewan masih mau makan
3. Suhu tubuh normal
4. Air susu mengalami perubahan
dan ambing jarang terlihat
perubahan
5. Ambing berbentuk asimetris
5
8. Air susu kebiruan / putih pucat
9. Hewan mengalami anoreksia
10. Hewan terlihat lesu
11. Toksemia
12. Kenaikan suhu tubuh
6. Adanya kebengkakan
7. Adanya lesi pada putting
8. Adanya radang gangrenous yang
kemerahan atau biru lebam.
9. Radang yang melanjut akan
terdapat jaringan ikat pada
kuartir, sehingga masing-masing
kuartir mengalami kehilangan
fungsi.
2. Apa saja agen penyebab mastitis beserta ciri-cirinya?
Apabila jumlah kuman susu lebih dari 200.000 colony forming unit (CFU)
per ml menunjukkan kondisi ambing abnormal dan apabila melebihi
standar tersebut dapat dinyatakan sapi menderita mastitis. Standar yang
berlaku di Indonesia (SNI) yaitu harus kurang dari 1x106 CFU/ml.
Mastitis dapat disebabkan karena keradangan biasa atau oleh agen infeksi
seperti bakteri dan jamur. Sebagai penyebab utama radang pada sapi
adalah kuman-kuman Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus
pyogenes, Mycobacterium paratubercolosis. Selain itu juga bisa
disebabkan oleh P. aeruginosa, C. pyogenes, Actynomyces bovis, Brucella
abortus (Subronto, 2003), Micrococcus ascoformans (Ressang, 1984),
Selain itu juga dapat disebabkan oleh bakteri dari jenis koliform contohnya
Escherechia coli dan Bacillus.
A. Staphylococcus
Staphylococcus merupakan bakteri
Gram positif, berbentuk kokus,
diameter 1 µm, tidak motil, facultative
anaerob, catalase positif, dapat tumbuh
pada media yang kurang
menguntungkan, dapat menyebabkan
6
infeksi pyogenic. Habitat staphylococcus,hidup normal pada kulit
hewan dan manusia. Mereka sering ditemukan pada membrane
mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran urogenital serta
saluran pencernaan.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis
pada sapi perah dengan turunnya produksi susu. Patogenisitas dan
virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi-substansi yang
diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler
yang dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcus aureus
memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama
yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase,
stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin
misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock
syndrome toxin-1 (TSST-1). Sitolitik toksin yang dihasilkan oleh S.
aureus adalah α, β, δ, dan γ-hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini
kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam menyokong nutrisi
untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan dalam
menimbulkan berbagai penyakit.
B. Streptococcus
Bakteri ini merupakan bakteri Gram
positif. Streptococcus agalactiae secara
khas merupakan β hemolitik dan
membentuk daerah hemolisis yang hanya
sedikit lebih besar dari koloni (bergaris
tengah 1-2 mm, memberi respons positif
pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap
basitrasin.
Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam
temperature tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan
fagositosis. Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul
polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan
7
glukosa, berkombinasi dengan 2-acetamido-2-deoxyglucose, N-
acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang
memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan
faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut menghalangi
fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi.
3. Bagaimana cara mendiagnosa adanya mastitis?
A. Inspeksi dan palpasi
Diagnosa adanya mastitis diawali dengan pemeriksaan fisik kelenjar
susu dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Perubahan-perubahan
yang terdapat pada kulit dan puting sulit diamati. Ambing yang
menderita mastitis mengalami kebengkakan, menjadi asimetris,
ditemui lesi-lesi dan bila dipalpasi ditemui adanya jaringan yang
mengeras.Palpasi kelenjar air susu dilakukan setelah pemerahan.
Dalam palpasi diperhatikan konsistensi kelenjar bentukan-bentukan
abnormalitas pada putting (Subronto, 2003).
B. Diagnosa mastitis pengujian susu
Diagnosa ini digunakan untuk mengetahui lebih lanjut kandungan susu
yang dihasilkan apakah terdapat sel radang akibat bakteri atau mikosis
yang mengindikasikan mastitis.
1) CMT (Californian Mastitis Test)
Cara melakukan uji CMT. Kedalam keempat telapa yang khusus
dibuat untuk pengujian, dimasukkan air susu dalam curahan
pertama pada masing-masing puting untuk 1 telapa, sebanyak 2 ml.
8
Selanjutnya ditambahkan reagen antara lain alkyl aryl sulfonate,
NaOH 1,5%, dan Broom kresol purple, dengan enceran terakhir
1:10.000, jumlahnya tidak boleh kurang dari air susu dalam tiap
telaga. Apabila kurang, reaksi akan jadi kurang peka. Selanjutnya
telapa diputar dengan tangan selama 10 detik. Pada akhir putaran
reaksi diamati dan nilai-nilai N (negative), T (Trace), Pos 1, Pos 2
dan Pos 3 digunakan, berdasarkan atas pembentukan gel pada dasar
dari larutan. Gumpalan dari jonjot merupakan hasil reaksi antara
sel-sel dalam air susu dengan reagen, berwarna putih abu-abu
dalam larutan yang berwarna ungu (Subronto, 2003).
Kriteria hasil CMT, jumlah 1 sel per ml air susu dan persentase
PMN adalah sebagai berikut:
(Subronto, 2003)
2) Whiteside Test
Pengujian dengan menggunakan larutan NaOH yang dicampur
dengan sampel susu. Indikator yang dilihat berdasarkan ada
tidaknya pembentukan endapan atau benang-benang halus.
3) Aulendorfer Mastitis Probe (AMP)
Sebanyak 3 ml sampel susu dimasukkan dalam tabung reaksi
(kapasitas 10 ml), kemudian ditambah pereaksi AMP sebanyak 3
ml dikocok pelan-pelan sampai homogen. Diinkubasikan pada
suhu kamar (25-30°C) selama 16-24 jam. Interpretasi, adanya
reaksi perubahan yang terjadi dalam tabung dari awal adalah
terjadinya suspensi yang bersifat gelatinous terbentuk dalam dasar
9
tabung, berwarna putih yang naik ke atas, bagian bawah menjadi
agak jernih. Intensitas reaksi yang terbentuk dari amteri gelatinous
tersebut berupa DNA dari sel somatik yang lisis karena pereaksi
atau senyawa-senyawa protein yang sangat komplek yang
disekresikan dalam susu. Bahan gelatinous tersebut secara
proporsional sebanding dengan intensitas peradangan atau
inflamntory respon dari sel kelenjar susu. Cara pembacaan reaksi
AMP: Dibuat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8
setinggi campuran susu dan pereaksi tersebut masing-masing unit
sepanjang satu sentimeter. Skala garis-garis sejajar tersebut
diletakkan dibelakang tabung, nilai sel radang yang paling tinggi 8
hampir seluruh tabung tampak berisi suspensi gelatinous warna
putih, sedangkan yang paling rendah nilainya 1 (hampir seluruh
tabung warna jernih). Dengan demikian nilai uji metode deteksi
mastitis dapat dibedakan dari 1 sampai 8. Nilai 1-2 mengandung
sel somatik kurang dari 500.000 sel/ml, hewan sehat; nilai 3-5
mengandung sel setara dengan 500.000-1.000.000 sel/ml, hewan
menderita MSK sedang dan nilai 6-8 menunjukkan diatas
1.000.000 sel/ml, hewan menderita MSK berat atau mendekati
klinis
4) Uji CAMP (Christie Atkins Muence Petersen)
Uji standar yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri
Streptococcus agalactiae melalui reaksi CAMP yang terlihat. Uji
CAMP dikembangkan untuk mengidentifikasi karakteristik bakteri
terhadap sifat melisiskan darah. Uji CAMP menggunakan bakteri
Staphylococcus aureus (beta hemolisis) dan Streptococcus
agalactiae yang bersifat CAMP positif.
5) Uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara langsung dengan
menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed
Prinsip kerja : Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada
reaksi reagen yang berikatan dengan inti DNA dari sel somatis
10
sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin. Masa yang
terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan
makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu.
Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis
subklinis memiliki pH yang tidak stabil, perubahan pH
menyebabkan pereaksi tidak bekerja secara optimal (Subronto,
2003)
11
DAFTAR PUSTAKA
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor Press:
Bogor
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak Mamalia I. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Suwito, W., Indarjulianto. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis pada
Kambing Peranakan Etawah ; Epidemiologi, Sifat Klinis, Patogenesis, Diagnosis
dan Pengendalian. WARTAZOA Vol. 23 No. 1:1-7.
Rahayu, I. I. 2010. Mastitis pada Sapi Perah. Malang : UMM Press.
Akoso, T.B. 1996. Kesehatan Sapi. Yogyakarta : Kanisius.
12