up 2 blok 11

18
Learning Objective : 1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis? 2. Apa saja agen penyebab mastitis beserta ciri- cirinya? 3. Bagaimana cara mendiagnosa adanya mastitis? Pembahasan : 1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis? A. Klasifikasi mastitis Mastitis adalah reaksi radang jaringan ambing oleh bakterial, mikroorganisme lain, kimia, cedera karena suhu atau mekanikal. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah mencemari kapan dan dimana saja sepanjang penanganan susu tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada susu sudah terjadi sejak proses pemerahan dan dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, ember, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu : 1

description

lap tutorial

Transcript of up 2 blok 11

Page 1: up 2 blok 11

Learning Objective :

1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis?

2. Apa saja agen penyebab mastitis beserta ciri-cirinya?

3. Bagaimana cara mendiagnosa adanya mastitis?

Pembahasan :

1. Apa saja klasifikasi, patogenesis, gejala klinis dari mastitis?

A. Klasifikasi mastitis

Mastitis adalah reaksi radang jaringan ambing oleh bakterial,

mikroorganisme lain, kimia, cedera karena suhu atau mekanikal. Susu

merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan

dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang

mudah mencemari kapan dan dimana saja sepanjang penanganan susu

tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada susu sudah terjadi

sejak proses pemerahan dan dapat berasal dari berbagai sumber seperti

kulit sapi, ambing, ember, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara.

Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu :

1) Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas

susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas,

merah, bengkak, fungsi abnormal, serta timbul rasa sakit bila

dipalpasi.

a) Hiperakut : Karakteristik dari mastitis hiperakut adalah

terjadi peradangan ambing secara mendadak yang disertai

dengan reaksi sistemik dari dalam tubuh dan berlangsung

sangat cepat. Mastitis gangrenosa merupakan salah satu

bentuk mastitis klinis per akut yang kebanyakan disebabkan

oleh S. aureus. Selain mastitis gangrenosa juga dijumpai

ada toksemia mastitis dengan gejala depresi, nafsu makan

turun, suhu tubuh meningkat, otot lemah, pembengkakan

kelenjar mamae disertai kelainan air susu yang dihasilkan.

1

Page 2: up 2 blok 11

Efek toksemia mastitis antara lain menyebabkan kematian

kambing atau sapi yang didahului dengan gejala dehidrasi,

depresi, koma dan akhirnya mati (Suwito dan Indarjulianto,

2013).

b) Akut: radang (bengkak), panas dalam rabaan, rasa sakit,

warna yang kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu

jadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin,

reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Konsistensi air

susu jadi lebih encer dan warnanya juga jadi agak kebiruan

atau putih yang pucat. Kadang proses akut berlangsung

dengan cepat dan hebat. Tanda-tanda lain yang ditemukan

adalah anoreksia, kelesuan, toksemia, dan sering disertai

dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto,2003).

c) Subakut: ditandai dengan gejala sama seperti akut tetapi

dengan derajat yang lebih ringan. Hewan masih mau makan

dan suhu tubuhnya masih dalam batas normal. Perubahan

radang dari ambing kadang samar-samar tetapi air susunya

jelas mengalami perubahan. Pada inspeksi dari samping dan

belakang, ambing tampak asimetris (Subronto,2003).

d) Kronik: pada kondisi kronik bisa di lihat dengan cara

perabaan pada ambing dan strecping di mana susu yang

didapatkan tidak normal. Pada infeksi kronik berakhir

dengan atrofi kelenjar. Ambing yang mengalami gangren

yang tampak perubahan seperti ambing terasa dingin, air

susu lebih encer kadang bercampur darah dan warna kulit

ambing biru lebam. Hewan tidak sanggup berdiri lagi,

ambruk dan dapat mati dalam beberapa hari. Macam-

macam kondisi kronik antara lain  : T1 apabila terdapat

gumpalan kecil-kecil pada susu ; T2 apabila terdapat

gumpalan yang lebih besar pada susu ;  T3 apabila terdapat

gumpalan yang lebih besar dari T1 dan T2; Chung apabila

2

Page 3: up 2 blok 11

susu sudah berubah menjadi nanah; Watery apabila bila di

streeping susu sudah tidak keluar melainkan hanya air yang

keluar dari susu; Blood apabila bila distreeping keluar darah

(Rahayu, 2010;Subronto,2003).

2) Mastitis subklinis terjadi tanpa adanya perubahan secara fisik pada

eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan

pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan berupa

perubahan kualitas dan kuantitas serta ditemukannya kuman

patogen pada susu.

3) Mastitis non spesifik merupakan kejadian mastitis akibat trauma

pada ambing (Subronto, 2003).

B. Patogenesis Mastitis

Patogenesis secara klinis terbagi

menjadi tiga, yaitu fase invasi,

infeksi, dan selanjutnya infiltrasi.

Pada fase invasi merupakan fase

masuknya mikroorganisme ke

dalam puting. Tidak jarang

mikroorganisme patogen sudah

lama berada di bawah bagian

puting. Kebanyakan proses invasi

terjadi karena terbukanya lubang

saluran puting, terutama sesudah

pemerahan. Invasi yang terjadi pada

masa kering tidak segera menyebabkan radang akut. Prosesnya

kebanyakan berlangsung secara subklinis yang pada suatu saat biasanya

sesudah waktu kelahiran berubah menjadi radang subakut, akut, atau

perakut. Invasi dipermudah dengan adanya keadaan lingkungan yang

3

Page 4: up 2 blok 11

jelek, populasi kuman patogen yang tinggi, adanya lesi pada putingatau

bila daya tahan sapi menurun, misalnyya sehabis sakit atau stress.

Fase infeksi ditandai setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam

kelenjar, mikroerganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu

singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme

sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan

leukosit. Mobilisasi leukosit dipermudah mengingat bahwa kelenjar susu

dialiri darah yang relatif besar dalam tiap satuan waktu.    

Fase Infiltrasi dimulai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar,

tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang.

Adanya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu,

sehingga sifat fisik seta susunan susu mengalami perubahan (Subronto,

2003).

Peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam

ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama,

pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan

aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat

disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi, seperti

prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang

dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan

ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi

diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh

darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan

penghancuran bakteri. 

C. Gejala Klinis Mastitis

Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali

apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas.

Kelenjar ambing membengkak, oedematus berisi cairan eksudat disertai

tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa

sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui

4

Page 5: up 2 blok 11

kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis

sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya

dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu

(Bramley 1991).

Secara klinis, proses mastitis dapat berlangsung akut, subakut dan kronik.

Radanng subklinis merupakan radang yang tidak menimbulkan gejala-

gejala klinis pada saat pemeriksaan ambing. Adanya kuman-kuman pada

ambing tanpa diikuti perubahan fisik ambing dan air susunya dapat

dikatakan sebagai infeksi laten. Secara histopatologi, pada mastitis

subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada

parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan

adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang, 1984),

deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti

polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang,

1984).

PROSES AKUT PROSES SUBAKUT

1. Adanya kebengkakan

2. Terasa panas saat di palpasi

3. Adanya rasa sakit

4. Warnanya kemerahan

5. Adanya gangguan fungsi

6. Air susu pecah bercampur

gumpalan protein

7. Air susu menjadi encer

1. Ditandai dengan gejala akut yang

lebih ringan.

2. Hewan masih mau makan

3. Suhu tubuh normal

4. Air susu mengalami perubahan

dan ambing jarang terlihat

perubahan

5. Ambing berbentuk asimetris

5

Page 6: up 2 blok 11

8. Air susu kebiruan / putih pucat

9. Hewan mengalami anoreksia

10. Hewan terlihat lesu

11. Toksemia

12. Kenaikan suhu tubuh

6. Adanya kebengkakan

7. Adanya lesi pada putting

8. Adanya radang gangrenous yang

kemerahan atau biru lebam.

9. Radang yang melanjut akan

terdapat jaringan ikat pada

kuartir, sehingga masing-masing

kuartir mengalami kehilangan

fungsi.

2. Apa saja agen penyebab mastitis beserta ciri-cirinya?

Apabila jumlah kuman susu lebih dari 200.000 colony forming unit (CFU)

per ml menunjukkan kondisi ambing abnormal dan apabila melebihi

standar tersebut dapat dinyatakan sapi menderita mastitis. Standar yang

berlaku di Indonesia (SNI) yaitu harus kurang dari 1x106 CFU/ml.

Mastitis dapat disebabkan karena keradangan biasa atau oleh agen infeksi

seperti bakteri dan jamur. Sebagai penyebab utama radang pada sapi

adalah kuman-kuman Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,

Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus

pyogenes, Mycobacterium paratubercolosis. Selain itu juga bisa

disebabkan oleh P. aeruginosa, C. pyogenes, Actynomyces bovis, Brucella

abortus (Subronto, 2003), Micrococcus ascoformans (Ressang, 1984),

Selain itu juga dapat disebabkan oleh bakteri dari jenis koliform contohnya

Escherechia coli dan Bacillus.

A. Staphylococcus

Staphylococcus merupakan bakteri

Gram positif, berbentuk kokus,

diameter 1 µm, tidak motil, facultative

anaerob, catalase positif, dapat tumbuh

pada media yang kurang

menguntungkan, dapat menyebabkan

6

Page 7: up 2 blok 11

infeksi pyogenic. Habitat staphylococcus,hidup normal pada kulit

hewan dan manusia. Mereka sering ditemukan pada membrane

mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran urogenital serta

saluran pencernaan.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis

pada sapi perah dengan turunnya produksi susu. Patogenisitas dan

virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi-substansi yang

diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler

yang dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcus aureus

memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama

yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase,

stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin

misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock

syndrome toxin-1 (TSST-1). Sitolitik toksin yang dihasilkan oleh S.

aureus adalah α, β, δ, dan γ-hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini

kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam menyokong nutrisi

untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan dalam

menimbulkan berbagai penyakit.

B. Streptococcus

Bakteri ini merupakan bakteri Gram

positif. Streptococcus agalactiae secara

khas merupakan β hemolitik dan

membentuk daerah hemolisis yang hanya

sedikit lebih besar dari koloni (bergaris

tengah 1-2 mm, memberi respons positif

pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap

basitrasin.

Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam

temperature tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan

fagositosis. Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul

polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan

7

Page 8: up 2 blok 11

glukosa, berkombinasi dengan 2-acetamido-2-deoxyglucose, N-

acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang

memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan

faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut menghalangi

fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi.

3. Bagaimana cara mendiagnosa adanya mastitis?

A. Inspeksi dan palpasi

Diagnosa adanya mastitis diawali dengan pemeriksaan fisik kelenjar

susu dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Perubahan-perubahan

yang terdapat pada kulit dan puting sulit diamati. Ambing yang

menderita mastitis mengalami kebengkakan, menjadi asimetris,

ditemui lesi-lesi dan bila dipalpasi ditemui adanya jaringan yang

mengeras.Palpasi kelenjar air susu dilakukan setelah pemerahan.

Dalam palpasi diperhatikan konsistensi kelenjar bentukan-bentukan

abnormalitas pada putting (Subronto, 2003).

B. Diagnosa mastitis pengujian susu

Diagnosa ini digunakan untuk mengetahui lebih lanjut kandungan susu

yang dihasilkan apakah terdapat sel radang akibat bakteri atau mikosis

yang mengindikasikan mastitis.

1) CMT (Californian Mastitis Test)

Cara melakukan uji CMT. Kedalam keempat telapa yang khusus

dibuat untuk pengujian, dimasukkan air susu dalam curahan

pertama pada masing-masing puting untuk 1 telapa, sebanyak 2 ml.

8

Page 9: up 2 blok 11

Selanjutnya ditambahkan reagen antara lain alkyl aryl sulfonate,

NaOH 1,5%, dan Broom kresol purple, dengan enceran terakhir

1:10.000, jumlahnya tidak boleh kurang dari air susu dalam tiap

telaga. Apabila kurang, reaksi akan jadi kurang peka. Selanjutnya

telapa diputar dengan tangan selama 10 detik. Pada akhir putaran

reaksi diamati dan nilai-nilai N (negative), T (Trace), Pos 1, Pos 2

dan Pos 3 digunakan, berdasarkan atas pembentukan gel pada dasar

dari larutan. Gumpalan dari jonjot merupakan hasil reaksi antara

sel-sel dalam air susu dengan reagen, berwarna putih abu-abu

dalam larutan yang berwarna ungu (Subronto, 2003). 

Kriteria hasil CMT, jumlah 1 sel per ml air susu dan persentase

PMN adalah sebagai berikut: 

(Subronto, 2003) 

2) Whiteside Test

Pengujian dengan menggunakan larutan NaOH yang dicampur

dengan sampel susu. Indikator yang dilihat berdasarkan ada

tidaknya pembentukan endapan atau benang-benang halus.

3) Aulendorfer Mastitis Probe (AMP)

Sebanyak 3 ml sampel susu dimasukkan dalam tabung reaksi

(kapasitas 10 ml), kemudian ditambah pereaksi AMP sebanyak 3

ml dikocok pelan-pelan sampai homogen. Diinkubasikan pada

suhu kamar (25-30°C) selama 16-24 jam. Interpretasi, adanya

reaksi perubahan yang terjadi dalam tabung dari awal adalah

terjadinya suspensi yang bersifat gelatinous terbentuk dalam dasar

9

Page 10: up 2 blok 11

tabung, berwarna putih yang naik ke atas, bagian bawah menjadi

agak jernih. Intensitas reaksi yang terbentuk dari amteri gelatinous

tersebut berupa DNA dari sel somatik yang lisis karena pereaksi

atau senyawa-senyawa protein yang sangat komplek yang

disekresikan dalam susu. Bahan gelatinous tersebut secara

proporsional sebanding dengan intensitas peradangan atau

inflamntory respon dari sel kelenjar susu. Cara pembacaan reaksi

AMP: Dibuat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8

setinggi campuran susu dan pereaksi tersebut masing-masing unit

sepanjang satu sentimeter. Skala garis-garis sejajar tersebut

diletakkan dibelakang tabung, nilai sel radang yang paling tinggi 8

hampir seluruh tabung tampak berisi suspensi gelatinous warna

putih, sedangkan yang paling rendah nilainya 1 (hampir seluruh

tabung warna jernih). Dengan demikian nilai uji metode deteksi

mastitis dapat dibedakan dari 1 sampai 8. Nilai 1-2 mengandung

sel somatik kurang dari 500.000 sel/ml, hewan sehat; nilai 3-5

mengandung sel setara dengan 500.000-1.000.000 sel/ml, hewan

menderita MSK sedang dan nilai 6-8 menunjukkan diatas

1.000.000 sel/ml, hewan menderita MSK berat atau mendekati

klinis

4) Uji CAMP (Christie Atkins Muence Petersen)

Uji standar yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri

Streptococcus agalactiae melalui reaksi CAMP yang terlihat. Uji

CAMP dikembangkan untuk mengidentifikasi karakteristik bakteri

terhadap sifat melisiskan darah. Uji CAMP menggunakan bakteri

Staphylococcus aureus (beta hemolisis) dan Streptococcus

agalactiae yang bersifat CAMP positif.

5) Uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara langsung dengan

menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed

Prinsip kerja : Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada

reaksi reagen yang berikatan dengan inti DNA dari sel somatis

10

Page 11: up 2 blok 11

sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin. Masa yang

terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan

makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu.

Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis

subklinis memiliki pH yang tidak stabil, perubahan pH

menyebabkan pereaksi tidak bekerja secara optimal (Subronto,

2003)

11

Page 12: up 2 blok 11

DAFTAR PUSTAKA

Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor Press:

Bogor

Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak Mamalia I. Gadjah Mada University Press:

Yogyakarta

Suwito, W., Indarjulianto. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis pada

Kambing Peranakan Etawah ; Epidemiologi, Sifat Klinis, Patogenesis, Diagnosis

dan Pengendalian. WARTAZOA Vol. 23 No. 1:1-7.

Rahayu, I. I. 2010. Mastitis pada Sapi Perah. Malang : UMM Press.

Akoso, T.B. 1996. Kesehatan Sapi. Yogyakarta : Kanisius.

12