Unud 789 830426399 Tesis Tb, Study Casecontrol

download Unud 789 830426399 Tesis Tb, Study Casecontrol

of 63

Transcript of Unud 789 830426399 Tesis Tb, Study Casecontrol

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

    kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah

    kesehatan global dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah HIV. WHO

    memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 8,7 juta kasus baru tuberkulosis (13%

    merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena

    tuberkulosis (WHO, 2012).

    Di Indonesia setiap tahunnya kasus tuberkulosis paru bertambah seperempat

    juta kasus baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Indonesia

    termasuk 10 negara tertinggi penderita kasus tuberkulosis paru di dunia. Menurut

    WHO (2012) dalam laporan Global Report 2011 bahwa prevalensi tuberkulosis

    diperkirakan sebesar 289 kasus per 100.000 penduduk, insidensi tuberkulosis

    sebesar 189 kasus per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 kasus

    per 100.000 penduduk.

    Penderita tuberkulosis paru yang tertinggi berada pada kelompok usia

    produktif (15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang pasien tuberkulosis dewasa

    diperkirakan akan kehilangan rata-rata waku kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat

    pada kehilangan pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang

    meninggal akibat tuberkulosis, maka dia akan kehilangan pendapatannya sekitar

    15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis juga memberikan

    dampak buruk lainnya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO, 2012).

  • 2

    Di Provinsi NTB setiap tahunnya ditemukan rata-rata 3000 kasus tuberkulosis

    BTA+ baru dengan rata-rata kematian akibat tuberkulosis per tahun 130 kasus.

    Sesuai hasil survei prevalensi tuberkulosis Paru tahun 2004 di Provinsi NTB

    perkiraan jumlah kasus tuberkulosis paru dengan estimasi insidensi kasus

    tuberkulosis BTA+ adalah 210 kasus per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan

    Provinsi NTB, 2010).

    Kota Mataram sebagai kota provinsi di NTB merupakan salah satu

    kabupaten/kota yang menyumbang angka prevalensi tuberkulosis tertinggi

    dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pada tahun 2009, jumlah kasus

    tuberkulosis paru di Kota Mataram adalah sebesar 280 orang dengan prevalensi 79

    per 100.000 penduduk, pada tahun 2010 jumlah kasus sebesar 254 kasus dengan

    prevalensi 63 per 100.000 penduduk, sedangkan tahun 2011 menjadi 264 kasus

    dengan prevalensi 65 per 100.000 penduduk. Tuberkulosis paru juga menjadi

    penyebab kematian urutan ke tiga yaitu sebesar 6,2% dari 15 penyebab kematian di

    Kota Mataram pada tahun 2011 (Balitbangkes RI, 2012). Prevalensi tertinggi kasus

    tuberkulosis paru di Puskesmas pada wilayah Kota Mataram adalah Puskesmas

    Karang Taliwang yaitu pada tahun 2010 sebesar 294 per 100.000 penduduk,

    karena adanya penambahan Puskesmas baru dan salah satu wilayah kerja

    Puskesmas Karang Taliwang yang merupakan lingkungan endemis tuberkulosis

    masuk dalam wilayah kerja Puskesmas baru tersebut, sehingga prevalensinya

    menjadi 173 per 100.000 penduduk pada tahun 2011, dan menjadi 202 per 100.000

    pada tahun 2012. Data prevalensi tuberkulosis paru ini berdasarkan kunjungan

  • 3

    kasus ke Puskesmas Karang Taliwang dan bukan merupakan hasil survei rumah

    tangga (Dikes Kota Mataram, 2011).

    Menurut Supari (2005), faktor fisik rumah (ventilasi, pencahayaan alami,

    kepadatan hunian, dan lantai rumah) memiliki hubungan terhadap kejadian

    tuberkulosis paru di Karang Jati Kecamatan Ngawi. Hal ini didukung pula oleh

    hasil penelitian Jelalu (2008) tentang faktor-raktor risiko kejadian tuberkulosis

    paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang menemukan bahwa ada pengaruh

    tingkat ekonomi, kebiasaan merokok, kepadatan hunian, dan kelembaban rumah

    terhadap kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa. Menurut Fatimah (2008)

    selain faktor kesehatan lingkungan rumah (pencahayaan, ventilasi, dan

    kelembaban), status gizi juga berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru.

    Kondisi sosial ekonomi suatu keluarga sangat berkaitan dengan kemampuan

    untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi dan sanitasi rumah. Puskesmas Karang

    Taliwang sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan di Kecamatan

    Cakranegara Kota Mataram, memiliki 5 (lima) Kelurahan sebagai wilayah

    kerjanya dan dengan jumlah penduduk pada tahun 2012, yaitu Kelurahan Cakra

    Barat dengan jumlah penduduk 6.268 jiwa, Kelurahan Cakra Utara sebesar 5.270

    jiwa, Kelurahan Karang Taliwang 5.570 jiwa, Kelurahan Cilinaya 5.864 jiwa, dan

    Kelurahan Sapta Marga 5.926 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 531

    jiwa/km2. Proporsi penduduk menurut jenis kelamin tiap kelurahan adalah rata-rata

    sebesar 14.547 (50,4%) wanita dan 14.288 (49,6%) pria. Jumlah keluarga miskin

    pada tiap Kelurahan menunjukkan jumlah yang tidak berbeda pada tiga Kelurahan

    (Cakra Barat, Cilinaya, dan Sapta Marga) yaitu rata-rata 24% dari jumlah

  • 4

    penduduk, dan dua Kelurahan lainnya (Cakra Utara dan Karang Taliwang) 50%

    dari jumlah penduduknya adalah keluarga miskin. Cakupan rumah sehat pada

    wilayah Puskesmas Karang Taliwang untuk 3 tahun terakhir, belum memenuhi

    target 80% rumah sehat, yaitu pada tahun 2010 sebesar 72,70%, tahun 2011

    sebesar 73,43%, dan tahun 2012 menjadi 75%. Kasus gizi buruk juga ditemukan di

    Puskesmas Karang Taliwang yaitu pada tahun 2010 adalah sebesar 1,62%,

    meningkat menjadi 4,18% pada tahun 2011, kemudian menjadi 0,2% pada tahun

    2012 (Puskesmas Karang Taliwang, 2011).

    Cakupan rumah sehat yang belum memenuhi 80% dari target Nasional,

    masalah gizi buruk, dan masih ditemukannya kasus tuberkulosis paru di Kota

    Mataram khususnya Puskesmas Karang Taliwang, sebagai dasar penelitian ini

    dilakukan, sehingga diketahuinya faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di

    Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram, dan dijadikan masukan untuk

    tindakan penanggulangan dan pemberantasan tuberkulosis di Kota Mataram

    khususnya di Puskesmas Karang Taliwang.

    1.2 Perumusan Masalah

    Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam

    penelitian ini adalah apakah faktor sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

    pencahayaan, dan padat hunian), sosial ekonomi, status gizi, paparan asap rokok,

    penyakit penyerta, dan status imunisasi merupakan faktor risiko kejadian

    tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB?

  • 5

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Umum

    Mengetahui faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang

    Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun 2013.

    1.3.2 Khusus

    a. Mengetahui risiko faktor sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

    pencahayaan, dan padat hunian) terhadap kejadian tuberkulosis paru di

    Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    b. Mengetahui risiko faktor sosial ekonomi terhadap kejadian tuberkulosis

    paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram.

    c. Mengetahui risiko faktor status gizi terhadap kejadian tuberkolosis paru di

    Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram.

    d. Mengetahui risiko faktor paparan asap rokok terhadap kejadian

    tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    e. Mengetahui risiko faktor penyakit penyerta terhadap kejadian tuberkulosis

    paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    f. Mengetahui risiko faktor status imunisasi terhadap kejadian tuberkulosis

    paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat akademis, sebagai tambahan pengalaman dan mengembangkan teori

    di lapangan, serta menambah wawasan tentang program tuberkulosis paru.

  • 6

    Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang akan

    datang.

    1.4.2 Manfaat praktis yaitu bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat

    memberikan masukan dalam menyusun langkah dan strategi pencegahan dan

    pemberantasan penyakit tuberkulosis.

    1.4.3 Untuk masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberi pemahaman pada

    masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian

    tuberkulosis paru, dan mau memeriksakan diri sedini mungkin dan mendapat

    pengobatan.

  • 7

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Epedemiologi Penyakit Tuberkulosis

    Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

    Mycobaclerium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh

    manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian menyebar dari paru ke

    organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa,

    melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian

    lainnya. Tuberkulosis paru pada manusia dapat dijumpai dalam 2 bentuk,

    yaitu: a) Tuberkulosis primer: bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali;

    b) Tuberkulosis paska primer: bila penyakit timbul setelah beberapa waktu

    seseorang terkena infeksi dan sembuh. Tuberkulosis paru ini merupakan bentuk

    yang paling sering ditemukan. Dengan ditemukannya kuman dalam dahak,

    penderita adalah sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).

    Kuman Mycobacterium tuberculosa ditemukan pertama kali oleh Robert Koch

    pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret

    1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tuberkulosis

    (Notoatmodjo, 2007). Kuman Mycobacterium tuberculosis mempunyai ukuran

    0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak

    bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan

    luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Kuman Mycobacterium

    tuberculosis dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol,

    sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan zat fisik,

  • 8

    serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama)

    dan aerob (Depkes RI, 2002).

    Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau

    pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30

    detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap

    bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.

    Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara

    bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara

    per jam (Widoyono, 2008)

    Penularan penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun

    tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien

    tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh

    orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA

    positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang

    lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat,

    serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe

    atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

    percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).

    Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat

    baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut

    Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan

    dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga

    yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab di daerah endemis

  • 9

    penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan tempat percikan

    dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah

    percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

    Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan

    dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan

    risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif.

    Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of

    Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi

    tuberkulosis selama satu tahun. Di Indonesia angka risiko penularan bervariasi

    antara 1 dan 3%. Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi

    tuberculin negatif menjadi positif. Pada daerah dengan ARTI 1%, diperkirakan di

    antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 kasus tuberkulosis dan 10% di

    antaranya akan menjadi penderita tuberkulosis setiap tahunnya dan

    sekitar 50 di antaranya adalah pasien tuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2008).

    Menurut Depkes RI (2008) riwayat alamiah pasien tuberkulosis yang tidak

    diobati, setelah 5 tahun sebesar 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri

    dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap

    menular.

    2.2 Aspek Klinis dan Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

    a. Aspek klinis penyakit tuberkulosis

    Gejala klinis pasien tuberkulosis paru menurut Depkes RI (2008), adalah

    1) batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih; 2) dahak bercampur darah;

    3) batuk berdarah; 4) sesak napas; 5) badan lemas; 6) nafsu makan menurun;

  • 10

    7) berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik; 8) demam meriang lebih dari satu

    bulan. Sedangkan menurut strategi yang baru DOTS (directly observed treatment

    shortcourse), gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus

    selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah

    dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak

    penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).

    Kegiatan penemuan pasien terdiri atas penjaringan suspek, diagnosis,

    penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan

    langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan tuberkulosis. Penemuan

    dan penyembuhan pasien tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat

    menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, penularan tuberkulosis di

    masyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan tuberkulosis

    yang paling efektif di masyarakat.

    Strategi penemuan pasien tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi

    aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,

    didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

    masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien

    tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien tuberkulosis, terutama mereka

    yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukkan gejala sama,

    harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap

    tidak cost efektif (Depkes RI, 2008).

    Tuberkulosis pada anak sulit dilakukan diagnosis, sehingga sering terjadi

    misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak, batuk

  • 11

    bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,

    maka diagnosis tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem

    skor yang dilakukan dokter dengan parameter: kontak tuberkulosis, uji tuberkulin,

    berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar

    limfe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto

    thoraks (Depkes RI, 2008).

    b. Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru

    Penyakit tuberkulosis paru, berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes

    RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) tuberkulosis paru BTA positif; 2)

    tuberkulosis paru BTA negatif.

    Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan

    sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a) baru; b) kambuh (Relaps); c)

    pengobatan setelah putus berobat (Default); d) gagal (Failure); e) pindahan

    (Transfer In); f) lain-lain.

    2.3 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

    Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap

    orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya

    penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang

    mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau

    tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2007).

    Upaya pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara efektif diuraikan

    sebagai berikut: 1) melenyapkan sumber infeksi, dengan: a) penemuan penderita

    sedini mungkin; b) isolasi penderita sedemikian rupa selama masa

    penularan/penderita tersebut masih dapat menular; c) segera diobati;

  • 12

    2) memutuskan mata rantai penularan; 3) pendidikan kesehatan kepada masyarakat

    tentang penyakit tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008).

    Untuk memberantas penyakit tuberkulosis paru yang perlu dilakukan adalah

    mengendalikan keseimbangan unsur-unsur seperti manusia, sumber penyakit, dan

    lingkungan, serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut. Menurut

    Entjang (2000), keberhasilan dari usaha pemberantasan tuberkulosis paru

    tergantung juga pada: 1) keadaan sosial ekonomi rakyat: makin buruk keadaan

    sosial ekonominya, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang

    mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka, makin mudah ia menjadi sakit

    bila tertular tuberkulosis; 2) kesadaran berobat si penderita: kadang-kadang

    walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak

    mau mencari pengobatan; 3) pengetahuan penderita, keluarga, dan masyarakat

    pada umumnya rendah tentang penyakit tuberkulosis: makin rendah pengetahuan

    penderita tentang bahaya penyakit tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan

    masyarakat sekitarnya, makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber

    penularan penyakit, baik dirumah maupun di tempat pekerjaannya, untuk keluarga

    dan orang di sekitarnya.

    2.4 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

    Teori John Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999)

    mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga

    faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

    Beberapa faktor risiko pada penyakit tuberkulosis paru adalah:

  • 13

    a. Jenis kelamin

    WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-

    laki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu

    antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung

    meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis

    paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-

    laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

    terjangkitnya tuberkulosis paru.

    Hasil penelitian mengenai risiko jenis kelamin dan infeksi tuberkulosis masih

    bervariasi, seperti penelitian Feng et al (2012) yang menunjukkan bahwa di

    Taiwan Cina, jenis kelamin pria merupakan faktor risiko independen untuk

    terinfeksi tuberkulosis (OR, 1,96, 95% CI, 1,12-3,41) karena memiliki kebiasaan

    merokok. Sedangkan penelitian Zhenhua (1996-2000) di Arkansas Amerika

    Serikat menunjukkan bahwa perempuan (OR, 1,98, 95% CI, 1,25-3,13), non-

    Hispanik kulit hitam (OR, 2,38, 95% CI , 1,42-3,97), dan HIV-positif (OR, 4,93,

    95% CI, 1,95-12,46) memiliki risiko lebih tinggi untuk tuberkulosis paru daripada

    laki-laki, kulit putih non-Hispanik, dan HIV-negatif.

    b. Umur

    Faktor umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil

    penelitian Rusnoto dan kawan-kawan tentang faktor-faktor yang Berhubungan

    dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di BP4 Pati tahun 2006, dari

    karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang tuberkulosis

  • 14

    paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari usia antara 15

    45 tahun (37,7 %).

    Menurut Haryani tahun 2007 bahwa tuberkulosis paru pada anak biasanya

    bersumber dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif, yaitu penderita

    dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Frekuensi anak mengalami tuberkulosis

    tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber

    penularan, lama kontak dengan sumber penularan, dan umur anak. Meskipun risiko

    terbesar anak tertular tuberkulosis dari kontak serumah dengan penderita

    tuberkulosis, namun tidak tertutup kemungkinan anak mendapatkan infeksi dari

    sumber penular yang asalnya di luar rumah.

    c. Kondisi sosial ekonomi

    WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia

    menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

    Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2012), mengukur

    kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic

    needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-

    mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan

    makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah

    penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis

    kemiskinan.

    Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian

    tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan

    antara pendapatan yang rendah dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003;

  • 15

    Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Lebih jauh lagi Coker (2003) dan Leadefoget et

    al. (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian

    tuberkulosis.

    d. Kekebalan

    Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan.

    Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis

    paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan

    diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin).

    Tetapi bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah

    menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.

    Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis menurut

    Soysal et al. (2005) bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali

    untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p = 0,003), dibandingkan dengan

    anak-anak yang belum divaksin. Ditegaskan oleh Setiarini (2008) bahwa

    walaupun imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat

    mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan

    tuberkulosis milier.

    e. Status gizi

    Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang

    tidak seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi.

    Gizi kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan

    tubuh. Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah

    terkena penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang

  • 16

    yang menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru, umumnya status gizinya

    mengalami penurunan.

    Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru

    ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5

    porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi

    status gizi kurus.

    Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan makro-

    defisiensi) meningkatkan risiko tuberkulosis karena adanya respon kekebalan yang

    terganggu. Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri

    karena penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses metabolisme.

    Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan dengan uji vaksin

    BCG yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan

    bahwa anak-anak kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit

    tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik.

    Menurut Supariasa (2011) pengukuran status gizi yang sesuai dengan standar

    antropometri salah satunya adalah dengan mengukur Indek Masa Tubuh (IMT).

    Parameter yang harus ada dalam mengukur IMT adalah berat badan dan tinggi

    badan. IMT adalah perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan

    individu, dan merupakan alat yang sederhana memantau status gizi orang dewasa

    khususnya yang berkaitan dengan kekurangan atau kelebihan berat badan.

    Kelebihan menggunakan pengukuran status gizi dengan IMT adalah tidak

    memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan. Sedangkan

  • 17

    kekurangan IMT adalah membutuhkan dua jenis alat ukur, pengukurannya lebih

    lama, dan saat prakteknya sulit melakukan pengukuran pada balita.

    Menurut Fatimah (2008) dan Rusnoto et al (2005), ada hubungan antara status

    gizi dan kejadian tuberkulosis paru.

    g. Perilaku merokok

    Rokok atau tembakau sebutan lainnya merupakan faktor risiko ke empat

    timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit tuberkulosis paru, hal

    ini didukung dari penelitian Wijaya (2012), bahwa merokok meningkatkan risiko

    infeksi Mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan penyebab

    kematian pada penderita tuberkulosis.

    Menurut Sajinadiyasa et al. (2010) dalam penelitiannya di Poliklinik Paru

    Rumah Sakit Sanglah didapatkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih

    tinggi dan sebagian besar pasien adalah bekas perokok. Risiko mendapat penyakit

    paru cenderung lebih besar pada pasien yang terpapar rokok.

    Menurut Priyadi (2001) bahwa adanya hubungan yang bermakna antara

    kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru dan tidak ada hubungan

    yang bermakna antara jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis

    rokok yang dihisap dengan kejadian tuberkulosis paru.

    h. Penyakit Penyerta (Infeksi HIVdan DM)

    Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis

    adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

    malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor

    risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit

  • 18

    tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

    seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunity),

    seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

    bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)

    Seseorang yang hidup dengan HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis

    akan lebih cenderung mengembangkan penyakit tuberkulosis dibandingkan mereka

    yang HIV negatif. Pada tahun 1980 hingga tahun 2004, epidemic HIV

    menyebabkan peningkatan jumlah kasus tuberkulosis dan kematian akibat

    tuberkulosis pada banyak negara, terutama di Afrika Selatan dan AfrikaTimur.

    Pada tahun 2011, 1,1juta (13%) dari 8,7 juta orang yang mengembangkan

    tuberkulosis di seluruh dunia adalah HIV positif, 79% dari kasus tuberkulosis HIV

    positif berada di Negara Afrika. Diperkirakan 0,4 juta kematian HIV karena

    tuberkulosis pada tahun 2011, dengan angka kira-kira sama antara pria dan wanita.

    WHO telah menetapkan target angka kematian akibat tuberkulosis separuh antara

    orang yang HIV positif pada tahun 2015, dibandingkan dengan tahun 2004 (tahun

    di mana angka kematian tuberkulosis pada orang HIV positif diperkirakan telah

    mencapai puncaknya) (WHO, 2012).

    Menurut Widyasari et al (2011) bahwa seseorang dengan riwayat penyakit

    diabetes mellitus (DM) memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi

    tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat penyakit

    DM. Hal ini didukung oleh penelitian Nasution (2007), bahwa ada hubungan

    antara kadar gula darah (KGD) puasa dengan BTA sputum.

  • 19

    g. Kepadatan Penghuni Rumah

    Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan luas lantai bangunan

    rumah, dimana luas lantai bangunan rumah yang sehat harus cukup untuk penghuni

    didalamnya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya

    akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat, sebab disamping

    meyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, jika salah satu anggota keluarga

    terkena penyakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang

    lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2

    untuk setiap orang (tiap anggota keluarga) (Soekidjo, 2007).

    Menurut Kepmen Pemukiman dan Prasarana (2002) bahwa Kebutuhan ruang

    perorang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas

    seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci

    dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang

    adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 m.

    Sedangkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI)

    No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan sederhana

    sehat minimum 8 m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang.

    Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak

    dibawah dua tahun.

    Hasil penelitian Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna

    antara kepadatan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983).

  • 20

    h. Kelembaban rumah

    Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban

    udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan

    kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.

    Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap

    atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk

    mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan normal bagi penghuni dalam

    melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara

    volume udara yang masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan

    dengan perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi

    sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah,

    2002).

    Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi

    dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu

    panas akan berdampak pada cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk

    istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan

    pada orang orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan

    karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya

    mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme

    tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang

    tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

    kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999).

  • 21

    Pengukuran kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer dengan

    standar kelembaban ruangan minimal 40%70%, dan suhu ruangan dengan suhu

    ideal antara 180C 300C. Pengukuran dilakukan pada ruang keluarga yang lebih

    banyak digunakan aktivitas dan pada jam 09.00-12.00. Saat pengukuran alat

    diletakkan pada permukaan ruangan yang akan diukur kelembabannya pada posisi

    horizontal, kemudian tunggu 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya. Selama

    pembacaan haruslah diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat tersebut, hal ini

    dapat dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI, 1995).

    Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan melihat

    kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat dirasakan

    dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa basah saat dipegang

    dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995).

    Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

    kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-14,971).

    Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian

    tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh

    4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.

    i. Ventilasi

    Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran

    udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-

    bakteri, terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang

    terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu

    dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan

  • 22

    menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses

    penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi akan

    menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri

    patogen termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007).

    Ventilasi yang baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang angin yang

    berseberangan sehingga pertukaran udara akan berjalan terus dan ruangan menjadi

    segar, atau jendela yang dapat dibuka sehingga udara segar dan sinar matahari

    dapat masuk. Cara praktis untuk memperoleh ventilasi alami adalah jika dengan

    ventilasi tetap/lubang angin minimal 5% dari luas lantai, sedangkan jika

    menggunakan ventilasi variabel/jendela juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes

    RI, 1995).

    Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan antara luas

    ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut

    indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan

    adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

    kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari

    luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya

    konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

    racun bagi penghuninya (Kepmenkes, 1999).

    Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa adanya hubungan yang bermakna

    antara luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru, didapatkan hasil odds ratio

    (OR) sebesar 16,9 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,121 134,641, dengan

    nilai p = 0,001.

  • 23

    Hasil penelitian Dahlan (2001) menunjukkan bahwa untuk ventilasi rumah

    merupakan variabel yang paling memberikan kontribusi yang mengatur kualitas

    suhu kamar untuk kejadian tuberkulosis paru, secara statistik menunjukkan

    hubungan yang signifikan p

  • 24

    dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh

    ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

    Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai

    dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan alat luxmeter, yang

    diukur pada tengah-tengah ruangan dan pada tempat setinggi < 84 cm dari

    lantai (Nurhidayah et al., 2007).

    Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati

    bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan panas api. Rumah yang tidak

    masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita tuberkulosis 3-7 kali

    dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Depkes, 2008).

    Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

    pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru dengan nilai odds ratio

    (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129 20,080).

    Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen retak

    juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes, 2012).

    k. Lantai rumah

    Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan

    tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan,

    bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman

    bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997).

    Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru,

    melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan

    kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat

  • 25

    menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini

    didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang

    berlantai tanah memiliki hubungan bemakna dengan kejadian tuberkulosis paru

    dengan OR 2,2 (1,135;4,269).

    l. Dinding

    Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin

    serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan

    (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu,

    pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan

    tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok

    (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah

    dibersihkan (Ditjen Cipta Karya, 1997).

  • 26

    BAB III

    KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berfikir

    Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah :

    Gambar 3.1.

    Kerangka teori penelitian dikembangkan dari Depkes RI (2008)

    dan John Gordon (1950).

    Kerangka pikir dari penelitian ini mengutip konsep faktor risiko kejadian

    tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008) dan keseimbangan faktor epidemiologi

    (John Gordon, 1950), yaitu faktor host/pejamu, environment/lingkungan, dan

    agent/penyakit terhadap timbulnya suatu penyakit.

    Faktor pejamu dalam penelitian ini adalah karakteristik individu (umur, jenis-

    kelamin, tempat tinggal, dan kekebalan/imunitas), sosial ekonomi (

    Kejadian

    TB paru

    Faktor Lingkungan

    Ventilasi

    Kepadatan hunian dalam ruangan

    Kelembaban

    Pencahayaan

    Merokok

    Faktor Sosial Ekonomi

    Pendapatan

    Pekerjaan

    Pendidikan

    Akses ke fasilitas kesehatan

    Penyakit Penyerta

    Malnutrisi

    Infeksi HIV

    Penyakit DM

    Faktor Karakteristik

    Individu

    Umur

    Jenis Kelamin

    Tempat tinggal

    Kekebalan (imunisasi)

  • 27

    pendapatan/tingkat pengeluaran, pekerjaan, pendidikan, dan akses sarana fasilitas

    kesehatan), dan penyakit penyerta (malnutrisi, HIV, dan DM). Faktor lingkungan

    adalah sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban, pencahayaan, padat hunian) dan

    paparan asap rokok. Sedangkan faktor peneybab penyakit adalah merupakan

    Mycobacterium tuberculosis).

    3.2 Kerangka konsep penelitian

    Berdasarkan uraian kerangka pikir diatas, dan karena kemampuan serta

    keterbatasan penelitian tidak semua faktor risiko di teliti, maka kerangka konsep

    yang diajukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

    : variabel dependen

    : variabel independen

    : variabel confounding

    Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian

    Lingkungan

    - Sanitasi rumah (ventilasi,

    kelembaban,

    pencahayaan, suhu,

    padat hunian)

    - Perilaku merokok

    Kejadian

    TB paru

    Karakteristik Individu

    (Umur, jenis kelamin, tempat

    tinggal )

    Sosial Ekonomi

    (Pendapatan, pekerjaan,

    pendidikan, akses ke fasilitas

    kesehatan)

    Penyakit Penyerta

    (Infeksi HIV, penyakit DM)

    Status Imunisasi (BCG)

  • 28

    Variabel independen penelitian ini adalah sanitasi rumah (ventilasi,

    kelembaban, pencahayaan, dan kepadatan hunian), faktor sosial ekonomi (tingkat

    pengeluaran), status gizi, paparan asap rokok, penyakit penyerta (HIV dan DM),

    dan status imunisasi (BCG), yang merupakan faktor risiko terhadap kejadian

    tuberkulosis paru (varibel dependen), dan sebagai variabel confounding adalah

    karakteristik individu (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal).

    3.3 Hipotesis Penelitian

    Dari uraian tersebut maka hipotesis yang dapat dibangun adalah:

    Faktor sanitasi rumah, sosial ekonomi, status gizi, paparan asap rokok,

    penyakit penyerta, dan status imunisasi merupakan faktor risiko kejadian

    tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB.

  • 29

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini adalah jenis penelitian analitik dengan menggunakan metode

    case control, untuk mempelajari faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di Kota

    Mataram Provinsi NTB. Sedangkan rancangan penelitiannya adalah sebagai

    berikut :

    Gambar 4.1 Rancangan penelitian case control

    Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penelitian ini meneliti dan

    membandingkan riwayat paparan yang dialami oleh kelompok kasus (penderita

    tuberkulosis) dengan kelompok kontrol (bukan penderita tuberkulosis) di masa lalu

    dan saat penelitian.

    Penderita

    TB paru

    paru

    Terpapar faktor risiko

    Tidak terpapar faktor risiko

    Bukan penderita

    TB paru

    Terpapar faktor risiko

    Tidak terpapar faktor risiko

  • 30

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    4.2.1 Lokasi penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Kota Mataram khususnya di Puskesmas Karang

    Taliwang Provinsi Nusa Tenggara Barat

    4.2.2 Waktu penelitian

    Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Agustus 2013.

    4.3 Definisi Kasus dan Kontrol

    Kelompok kasus dalam penelitian ini adalah penderita yang dinyatakan

    tuberkulosis paru oleh Puskesmas Karang Taliwang, yang berusia 15 dan tercatat

    di register TB UPK di Kota Mataram.

    Kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah pengunjung rawat jalan di

    Puskesmas wilayah Kota Mataram yang berusia 15 dan tidak sedang menderita

    tuberkulosis paru.

    4.4. Populasi Penelitian

    4.4.1 Populasi kasus

    Populasi kasus pada penelitian ini adalah seluruh penderita yang dinyatakan

    tuberkulosis paru yang berusia 15 dan tercatat di register TB UPK Puskesmas

    Karang Taliwang sampai bulan Mei 2013. Kriteria inklusi kasus dalam penelitian

    ini adalah a) bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

    persetujuan yang telah disediakan (informed consent); b) dinyatakan tuberkulosis

    paru oleh Puskesmas; dan c) berdomisili di wilayah Puskesmas Karang Taliwang.

  • 31

    4.4.2 Populasi kontrol

    Populasi kontrol diperoleh dari register pengunjung rawat jalan di Puskesmas

    Karang Taliwang tahun 2012, yang berusia 15-80 tahun, dengan kriteria inklusi

    adalah a) bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

    persetujuan yang telah disediakan (informed consent); b) tercatat di register

    sebagai pasien rawat jalan dan bukan sedang menderita penyakit tuberkulosis paru

    dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA); c) Berdomisili di wilayah Puskesmas

    Karang Taliwang.

    4.5. Sampel Penelitian

    4.5.1 Besar sampel

    Besar sampel dihitung dengan rumus :

    { Z (1+1/c) pq + Z(p1q1 + p0q0/c)}2

    n =

    (p1-p0)2

    Keterangan :

    Z = (0.05)= 1,96

    = power (80%) = 0,20

    f = proporsi rumah tidak sehat = 27,57% (30%)

    c = 2 (jumlah kontrol)

    R = 3

    Dengan menggunakan R terkecil dari variabel sanitasi rumah (ventilasi: 4,5;

    pencahayaan: 6,9; kelembaban: 3,2; dan kepadatan: 3) pada penelitian sebelumnya

    (Priyadi, 2003; Ruswanto, 2010), maka diperoleh besar sampel yaitu sebesar 46,

  • 32

    dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:2, sehingga besar kontrol adalah

    2x46 = 92. Jadi jumlah sampel yang diperlukan adalah 138 sampel.

    4.5.2 Tehnik pemilihan sampel kasus dan kontrol

    Pemilihan sampel kasus diambil dari register TB UPK Puskesmas Tahun 2012

    sampai dengan Mei 2013, yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu penderita berumur

    15 tahun, sampai dengan jumlah sampel kasus terpenuhi. Sampel kontrol diambil

    dari register pengunjung rawat jalan Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    tahun 2012 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang berusia 15-80 tahun

    dan tidak sedang menderita tuberkulosis paru serta ISPA. Karakterisitik kontrol

    mirip dengan kasus menurut umur dan jenis kelamin.

    4.6 Cara Pengumpulan Data Faktor Risiko

    Pengumpulan data faktor risiko dilakukan dalam beberapa cara, yaitu

    wawancara, pengukuran, observasi, dan test HIV, dengan hasil data yang

    dikumpulkan seperti yang diuraikan sebagai berikut.

    a. Wawancara

    Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden

    dan di rumah responden, yaitu dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang

    dilakukan untuk memperoleh data faktor risiko seperti variabel sanitasi rumah,

    sosial ekonomi, paparan asap rokok, karakterisitik individu, penyakit penyerta, dan

    status imunisasi.

    b. Pengukuran

    Pengumpulan data dengan pengukuran yaitu dengan menggunakan roll meter

    untuk memperoleh data luas ventilasi dan luas ruangan, hygrometer untuk tingkat

  • 33

    kelembaban, luxmeter untuk tingkat pencahayaan dalam rumah, dan penimbangan

    berat badan merek Yamamoto Giken dengan tingkat ketelitian akurasi per

    kilogram untuk mendapatkan berat badan responden, serta meteran dan mistar

    untuk mengukur tinggi badan responden.

    c. Observasi

    Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung pada rumah untuk

    memperoleh data tentang ada tidaknya ventilasi/jendela, kelembaban rumah secara

    fisik, pencahayaan, dan kepadatan hunian, sedangkan untuk status imunisasi yaitu

    dengan melihat scar imunisasi BCG pada lengan kanan atas responden saat

    wawancara.

    d. Test HIV

    Tes HIV disarankan pada responden saat wawancara, jika belum pernah atau

    belum dinyatakan menderita HIV, sebelumnya responden dikonseling terlebih

    dahulu oleh konselor voluntary counseling and testing (VCT), jika bersedia

    kemudian dilakukan test HIV, dan jika tidak bersedia tidak dipaksa.

    4.7 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel

    4.7.1 Variabel penelitian

    Variabel independen adalah sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

    pencahayaan, dan kepadatan hunian), status sosial ekonomi, status gizi, paparan

    asap rokok, penyakit penyerta, dan status imunisasi.

    Variabel dependen adalah kejadian tuberkulosis paru.

    Variabel confounding adalah umur dan jenis kelamin.

  • 34

    4.7.2 Definisi Operasional

    1. Kejadian tuberkulosis paru adalah penderita yang dinyatakan tuberkulosis paru

    oleh Puskesmas dan tercatat di register TB UPK Puskesmas Karang Taliwang

    Kota Mataram tahun 2012, dengan kategori: a) penderita tuberkulosis paru,

    kode 0; b) bukan penderita tuberkulosis paru, kode 1.

    2. Ventilasi rumah adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik

    ventilasi tetap maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana pertukaran

    udara sehingga ruangan menjadi menyenangkan dan menyehatkan dan diukur

    dengan mengukur perbandingan luas ventilasi dan luas lantai dengan

    menggunakan roll meter, dengan kategori: a) tidak memenuhi syarat (TMS),

    luas ventilasi < 10%, kode 0, b) memenuhi syarat (MS), luas ventilasi 10%,

    kode 1.

    3. Kelembaban ruangan adalah kelembaban udara dalam kamar responden yang

    dihitung dalam persentase kandungan jumlah air dalam ruangan dengan

    menggunakan alat hygrometer. Pengukuran dilakukan jam 09.00-12.00, dengan

    kategori: a) tidak memenuhi syarat (TMS), kelembaban ruangan hasilnya

    70%, kode 0; b) memenuhi syarat (MS), kelembaban ruangan

    hasilnya 40%-70%, kode 1.

    4. Pencahayaan ruangan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari

    matahari pagi yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin,

    jendela, genteng kaca, dan pintu kedalam rumah, yang diukur dengan

    menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00 12.00, dengan kategori: a)

  • 35

    tidak memenuhi syarat (TMS), tingkat pencahayaan < 60 lux atau > 300 lux,

    kode 0; b) memenuhi syarat (MS), tingkat pencahayaan 60-300 lux, kode 1.

    5. Kepadatan hunian rumah adalah perbandingan antara luas ruangan yang

    tersedia, dengan jumlah anggota keluarga yang berada dalam rumah responden.

    Diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian waktunya

    dirumah yaitu kamar tidur, ruang keluarga atau ruang istirahat keluarga, yaitu

    dengan menggunakan roll meter, dengan kategori: a) tidak memenuhi syarat

    (TMS) < 9 m2, kode 0; b) memenuhi syarat (MS) 9 m2, kode 1.

    6. Sosial ekonomi adalah rata-rata tingkat pengeluaran perkapita responden

    perorang, yang diketahui dengan melakukan wawancara langsung, dan

    dibandingkan dengan standar pengeluaran perkapita dibawah garis kemiskinan

    (BPS RI, 2012). Kategorinya antara lain: a) miskin, pengeluaran

    perkapita/orang/bulan Rp. 270.652.-, kode 0; b) tidak miskin, pengeluaran

    perkapita/orang/bulan > Rp. 270.652.-, kode 1.

    7. Status Gizi adalah status gizi responden berdasarkan pengukuran Indeks Masa

    Tubuh (IMT) yang diukur dengan perhitungan berat badan dan kuadrat tinggi

    badan responden yaitu dengan menggunakan penimbangan berat badan,

    meteran, dan mistar (WHO, 2005), dengan kategori: a) kurang, < 18,5 kg/m2

    (usia 18 tahun), dan untuk anak-anak usia < 18 tahun adalah < 14,1 kg/m2,

    kode 0; b) normal, 18,5 kg/m2 (usia 18 tahun), dan untuk anak-anak usia

    < 18 tahun adalah 14,1 kg/m2, kode 1.

    8. Paparan asap rokok adalah jika responden atau salah satu anggota keluarga ada

    memiliki kebiasaan merokok yang akan diketahui dengan melakukan

  • 36

    wawancara langsung, dengan kategori: a) ada paparan asap rokok, kode 0; b)

    tidak ada paparan asap rokok, kode 1.

    9. Penyakit Penyerta adalah penyakit lain yang diderita responden seperti HIV,

    dan DM, yaitu dengan melakukan wawancara langsung dan melihat status

    kesehatan responden, dengan kategori: a) ada penyakit penyerta, kode 0; b)

    tidak ada penyakit penyerta, kode 1.

    10. Status Imunisasi adalah riwayat imunisasi BCG responden yang diketahui dari

    hasil wawancara dan observasi, dengan melihat scar BCG pada lengan kanan,

    dan status kesehatan responden, dengan kategori: a) tidak imunisasi/tidak ada

    scar BCG, kode 0; b) sudah imunisasi/ada scar BCG, kode 1.

    4.8 Prosedur Penelitian

    Penelitian telah dilaksanakan di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

    Provinsi NTB. Penelitian ini telah memiliki persetujuan laik etik dari Komisi Etik

    Universitas Udayana, dan surat ijin mengadakan penelitian dari Pemda Kota

    Mataram dengan tembusan ke Dinas Kesehatan Kota Mataram dan Dinas

    Kesehatan Provinsi NTB. Sebelum pengumpulan data ke lokasi penelitian telah di

    adakan tatap muka atau sosialisasi tentang tujuan diadakannya penelitian di Dinas

    Kesehatan Kota Mataram, dan pelatihan petugas wawancara di Puskesmas Karang

    Taliwang. Penelitian dilaksanakan oleh peneliti dan dibantu oleh programer TB

    dan sanitarian Puskesmas Karang Taliwang di Kota Mataram, yang telah dilatih.

    saat wawancara, pendekatan informal pada responden dilakukan terlebih dahulu

    untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, memberikan lembar persetujuan

  • 37

    sebagai responden (informed consent) jika repsonden bersedia, dan jika menolak

    peneliti tidak memaksa dan menghormati hak responden.

    Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung di rumah

    responden, dibantu oleh petugas Sanitarian dan petugas TB Puskesmas.

    Pengukuran berat badan responden dilakukan dengan cara meletakkan alat

    penimbangan pada lantai yang rata, kemudian meminta responden naik pada alat

    penimbangan berat badan, tanpa menggunakan alas kaki, dan berdiri tegak,

    selanjutnya skala pengukuran pada penimbangan dibaca. Sedangkan untuk

    pengukuran tinggi badan, responden diminta berdiri tegak tanpa alas kaki pada

    dinding rumah yang rata, dengan kepala, tumit, dan pantat menmpel di dinding.

    Kemudian mistar diletakkan tepat di atas kepala, pada bagian mistar yang

    menempel di dinding diberi tanda dengan spidol, dan dilakukan pengukuran

    dengan roll meter dari batas tanda pada dinding, sampai batas tumit responden

    menempel di antara dinding dan lantai. Selanjutnya membaca skala pengukuran

    pada roll meter yang menyatakan tinggi responden dalam senti meter.

    4.9 Pengolahan dan Analisis Data

    4.9.1 Pengolahan data

    Setelah pengumpulan data, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap

    yaitu meliputi editing, coding, scoring, entry data, dan tabulasi data.

    4.9.2 Analisis data

    Analisis data dilakukan dengan 2 proses yaitu analisis deskriptif dan analisis

    hubungan antar variabel. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui proporsi

  • 38

    dari masing-masing kondisi responden, ada tidaknya perbedaan antara kelompok

    kasus dan kontrol.

    Sedangkan analisis hubungan antara variabel untuk melihat hubungan masing-

    masing variabel bebas dengan variabel terikat menggunakan analisis bivariat dan

    analisis multivariat.

    Analisis bivariat dilakukan dengan tabel silang 2x2 untuk menghitung nilai

    crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik yang

    digunakan adalah OR = 1, jika variabel independent bukan merupakan faktor

    risiko, sedangkan OR 1, adalah variabel independent merupakan faktor risiko.

    Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan menggunakan power

    sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan ( = 0,05). Sedangkan analisis multivariat

    dilakukan untuk mengetahui peran variabel pengganggu terhadap hubungan

    variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik,

    dengan melihat hasil analisis bivariat yang mempunyai kemaknaan statistik

    (P < 0,25). Untuk uji kemaknaan kaitan antara variabel yang diteliti terhadap

    variabel terpengaruh dilihat dari pvalue < 0,05. Selanjutnya untuk memperkirakan

    besarnya risiko variabel bebas terhadap variabel terikat dilaksanakan penghitungan

    adjusted odds ratio (OR).

  • 39

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    5.1 Komparasi Karakteristik Kasus dan Kontrol

    Penelitian ini menggunakan besar sampel sebanyak 138, yang terdiri dari 46

    sampel adalah penderita tuberkulosis paru, dan 92 sampel adalah pasien

    kunjungan rawat jalan puskesmas yang tidak tuberkulosis paru dan ISPA. Data

    dikumpulkan sesuai pedoman wawancara yang dilakukan di rumah responden.

    Dalam penelitian ini tidak ada responden yang drop-out, seperti yang terlihat pada

    Tabel 5.1

    Tabel 5.1

    Komparasi Karakteristik responden Kasus dan Kontrol

    Karakteristik Kasus Kontrol P

    % %

    Umur

    15-55 tahun

    56-80 tahun

    33 (71,7)

    13 (28,3)

    66 (71,7)

    26 (28,3)

    1,000

    Jenis kelamin

    Laki-laki

    Perempuan

    33 (71,7)

    13 (28,3)

    64 (69,6)

    28 (30,3)

    0,792

    Status perkawinan

    Tidak menikah

    Menikah

    18 (38,1)

    28 (60,9)

    19 (20,7)

    73 (79,3)

    0,021

    Kelurahan

    Karang Taliwang

    Cakra Barat

    Cakra Utara

    Cilinaya

    Sapta Marga

    14 (30,4)

    11 (23,9)

    10 (21,7)

    6 (13,1)

    5 (10,9)

    39 (42,4)

    13 (14,1)

    26 (28,3)

    12 (13,0)

    2 (2,2)

    0,095

    Tingkat Pendidikan

    Rendah

    Tinggi

    31 (67,4)

    15 (32,6)

    63 (68,5)

    29 (31,5)

    0,897

    Pekerjaan

    Tidak bekerja

    Bekerja

    14 (30,4)

    32 (69,6)

    30 (32,6)

    62 (67,4)

    0,796

  • 40

    Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik kelompok kasus dan kelompok

    kontrol tidak berbeda (sudah komparabel) dalam variabel-variabel umur, jenis

    kelamin, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan, tetapi ada perbedaan

    bermakna (tidak komparabel) dalam hal variabel status perkawinan.

    Sampel kelompok umur 15-55 lebih banyak ditemukan baik pada

    kelompok kasus maupun kontrol dibandingkan dengan kelompok umur 56-80,

    sedangkan untuk jenis kelamin, sampel berjenis kelamin laki-laki juga lebih

    banyak baik itu pada kasus maupun pada kontrol. Pada status perkawinan

    ditemukan juga lebih banyak jumlah sampel yang sudah menikah pada kasus dan

    kontrol. Distribusi sampel penderita tuberkulosis paru lebih banyak ditemukan di

    Kelurahan Karang Taliwang, kemudian Kelurahan Cakra Barat, dan Cakra Utara.

    Sedangkan untuk tingkat pendidikan jumlah sampel lebih banyak ditemukan pada

    tingkat pendidikan yang rendah baik pada kasus maupun pada kontrol. Jumlah

    sampel yang bekerja juga ditemukan lebih banyak dari pada yang tidak bekerja

    pada kasus dan kontrol.

    5.2 Crude Odds Ratio

    Crude odds ratio (OR) atau OR kasar adalah besarnya risiko variabel bebas

    terhadap variabel terikat, dan besaran nilai OR didapat dengan melakukan analisis

    bivariat, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemaknaannya dengan melakukan

    uji chi-square. Hasil analisis bivariat dengan nilai crude OR masing-masing faktor

    risiko seperti yang disajikan pada Tabel 5.2.

  • 41

    Tabel 5.2

    Crude Odds Ratio (OR) Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Suhu,

    Kepadatan Hunian, Sosial Ekonomi, Status Gizi, Perilaku Merokok, Penyakit

    Penyerta (DM), dan Status Imunisasi terhadap Tuberkulosis Paru

    Faktor Risiko Kasus (%)

    Kontrol (%)

    Crude OR

    95%CI P

    Ventilasi TMS (< 10%) MS ( 10%)

    38 (82,6) 8 (17,4)

    53 (57,6) 39 (42,4)

    3,495

    1,47-8,32

    0,003

    Kelembaban TMS ( >70 %) MS (40-70 %)

    38 (82,6) 8 (17,4)

    51 (55,4) 41 (44,6)

    3,819

    1,61-9,08

    0,002

    Pencahayaan TMS (< 60 lux) MS ( 60 lux)

    39 (84,8) 7 (15,2)

    53 (57,6) 39 (42,4)

    4,100

    1,66-10,13

    0,001

    Suhu TMS ( > 30oc) 26 (56,6) 34 (37,0) 2,218 1,08-4,56 0,029 MS ( 18-30 oc) 20 (43,4) 68 (63,0) Kepadatan Hunian TMS (< 9 M2) MS ( 9 M2)

    25 (54,3) 21 (45,7)

    50 (54,3) 42 (45,7)

    1,000

    0,49-2,03

    1,000

    Pengeluaran perkapita Rp. 270.652.- > Rp.270.652.- Kepesertaan Jamkesmas Tidak dapat Dapat

    23 (50,0) 23 (50,0)

    10 (21,7) 36 (78,3)

    28 (30,4) 64 (69,6)

    31 (33,7) 61 (66,3)

    2,286

    1,830

    1,10-4,74

    0,80-4,17

    0,025

    0,147

    Status Gizi Kurang Normal

    29 (63,0) 17 (37,0)

    24 (26,1) 68 (73,9)

    4,833

    2,26-10,32

    0,000

    Merokok Ada Tidak

    29 (63,0) 17 (37,0)

    62 (67,4) 30 (32,6)

    0,825

    0,39-1,73

    0,611

    Penyakit Penyerta (DM) Ada Tidak ada

    5 (10,9) 41 (89,1)

    1 (1,1)

    91 ( 98,9)

    11,098

    1,26-98,02

    0,008

    Statusimunisasi (BCG) Tidak imunisasi Imunisasi

    32 (69,6) 14 (30,4)

    52 (56,5) 40 (43,5)

    1,758

    0,83-3,73

    0,139

  • 42

    Pada Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa variabel sanitasi rumah (ventilasi,

    kelembaban, pencahayaan, suhu, dan kepadatan hunian), sosial ekonomi,

    kepesertaan jamkesmas, status gizi, paparan asap rokok, penyakit penyerta, dan

    status imunisasi merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru.

    Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa varibel yang berisiko secara statistik

    terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah variabel sanitasi rumah (ventilasi,

    kelembaban, tingkat pencahayaan, suhu ruangan), sosial ekonomi, status gizi, dan

    penyakit penyerta.

    Sanitasi rumah secara statistik menunjukkan sebagai salah satu faktor risiko

    kejadian tuberkulosis paru (OR: 12,578; 95%CI: 3,64-43,46; p = 0,000), dengan

    beberapa komponen rumah yang paling berperan yaitu luas ventilasi, kelembaban,

    pencahayaan, dan suhu yang tidak memenuhi syarat. Responden dengan luas

    ventilasi rumah < 10% dari luas lantai berisiko 3 kali lebih besar untuk terinfeksi

    tuberkulosis paru daripada responden dengan rumah yang memiliki luas ventilasi

    10% (OR: 3,495; 95%CI: 1,47-8,32). Rumah dengan tingkat kelembaban > 70%

    berisiko menjadi tempat berkembangnya kuman tuberkulosis paru sebesar 3 kali

    lebih besar dibandingkan rumah dengan tingkat kelembaban diantara 40-70%

    (OR: 3,819; 95%CI: 1,61-9,08), demikian juga responden yang memiliki rumah

    dengan tingkat pencahayaan < 60 lux memiliki risiko terinfeksi tuberkulosis paru

    sebesar 4 kali lebih besar di bandingkan responden yang memiliki rumah dengan

    tingkat pencahayaan 60 lux (OR: 4,100 95%CI: 1,66-10,13). Suhu rumah > 30oc

    juga memberikan risiko 2 kali lebih besar terhadap penghuninya untuk terinfeksi

    tuberkulosis paru daripada rumah dengan suhu 18oC-30

    oC. Tingkat pengeluaran

  • 43

    responden juga berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru yaitu pada responden

    dengan rata-rata pengeluaran perkapita Rp. 270.652.- akan berisiko 2 kali lebih

    besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden dengan rata-rata pengeluaran

    perkapita > Rp. 270.652.- (OR: 2,286; 95%CI: 1,10-4,74). Responden dengan

    status gizi yang kurang akan berisiko 4 kali lebih besar terinfeksi tuberkulosis paru

    dibandingkan responden dengan status gizi normal (OR: 4,833; 95%CI: 2,26-

    10,32). Responden dengan penyakit penyerta DM memiliki risiko 11 kali lebih

    besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden yang tidak sedang menderita

    DM (OR: 11,098; 95%CI: 1,26-98,02). Untuk penyakit penyerta HIV, tidak semua

    responden mau melakukan tes HIV, dimana dari 138 responden, yang mau

    melakukan tes HIV adalah 38 orang (27,5%), yang terdiri dari 35 orang (76,1%)

    kelompok kasus dan 3 orang (3,3%) dari kelompok kontrol, dengan hasil

    keseluruhan adalah 100% non reaktif (NR). Sedangkan faktor risiko kepadatan

    hunian, kepesertaan Jamkesmas, paparan asap rokok, dan status imunisasi tidak

    menunjukkan sebagai faktor risiko.

    Nilai crude OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah murni

    sebagai faktor risiko, namun masih ada pengaruh dari variable confounding,

    sehingga faktor risiko yang memenuhi nilai kemaknaan p < 0,25 diikutkan dalam

    analisis multivariat. Variabel tersebut adalah ventilasi, kelembaban, pencahayaan,

    suhu, sosial ekonomi, kepesertaan Jamkesmas, status gizi, penyakit penyerta DM,

    dan status imunisasi.

  • 44

    5.3 Adjusted Odds Ratio

    Adjusted Odds Ratio dipakai untuk mengetahui faktor risiko yang berperan

    terhadap kejadian tuberkulosis paru, dan besarnya didapat dengan analisis

    multivariat, melalui uji regresi logistik terhadap variabel yang dianalisis. dan hasil

    selengkapnya seperti yang disajikan pada Tabel 5.3.

    Tabel 5.3

    Adjusted Odds Ratio (OR) Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Suhu, dan

    Status Gizi, terhadap Tuberkulosis Paru

    Faktor Risiko

    Adjusted OR 95%CI P

    Ventilasi

    Kelembaban

    Pencahayaan

    2,872

    3,905

    4,456

    1,01-8,20

    1,28-11,89

    1,34-14,85

    0,049

    0,017

    0,015

    Suhu 5,411 1,90-15,39 0,002

    Status Gizi 6,736 2,52-18,02 0,000

    Pada Tabel 5.3 hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa ada lima

    variabel yang berperan bersama-sama sebagai faktor risiko terhadap kejadian

    tuberkulosis paru, variabel tersebut dari yamg memiliki OR terbesar adalah status

    gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar daripada status gizi normal

    (OR: 6,736; 95%CI: 2,52-18,02), suhu rumah lebih dari 30oC berisiko juga

    meningkatkan kejadian tuberkulosis paru 5 kali lebih besar daripada rumah dengan

    suhu 18oC-30

    oC (OR: 5,431; 95%CI: 1,90-15,39), tingkat pencahayaan kurang dari

    60 lux meningkatkan risiko 4 kali lebih besar terhadap terjadinya tuberkulosis paru

    daripada tingkat pencahayaan 60 lux (OR: 4,456; 95%CI: 1,34-14,85), tingkat

    kelembaban lebih dari 70% meningkatkan risiko 3 kali lebih besar daripada tingkat

    kelembaban 40%-70% (OR: 3,255; 95%CI: 1,04-10,20), dan terakhir adalah luas

    ventilasi rumah kurang dari 10% meningkatkan risiko terhadap kejadian

  • 45

    tuberkulosis paru 2 kali lebih besar daripada rumah dengan ventilasi 10%

    (OR: 2,872; 95%CI: 1,01-8,20). Setelah mempertimbangkan kelima variabel

    diperoleh nilai R = 48,9%. Hal ini berarti kemungkinan terjadinya tuberkulosis

    paru adalah 48,9% ditentukan oleh kelima faktor tersebut dan sekitar 51,1% di

    tentukan oleh faktor lain.

  • 46

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    6.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

    Perbandingan karakteristik responden untuk umur, jenis kelamin, tempat

    tinggal, tingkat pendidikan, dan pekerjaan responden tidak berbeda, namun ada

    perbedaan status perkawinan antara sampel kasus dan kontrol, sehingga mungkin

    berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru.

    Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari sebelas variabel bebas yang

    bermakna terhadap kejadian tuberkulosis paru, dan dengan nilai p < 0,05 adalah

    variabel ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu rumah, sosial ekonomi,

    status gizi, dan penyakit penyerta. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh

    variabel yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis

    paru yaitu variabel sanitasi rumah seperti variabel ventilasi, kelembaban,

    pencahayaan, dan suhu, serta status gizi. Kelima variabel tersebut menentukan

    kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang sebesar 48,9%, dan

    sisanya 51,1% disebabkan oleh faktor lain.

    Sanitasi rumah secara umum berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru

    dengan nilai OR: 12, 578; dan 95%CI: 3,64-43,46, namun komponen rumah yang

    paling berperan berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah ventilasi

    rumah, kelembaban, pencahayaan, dan suhu dalam rumah. Orang yang tinggal di

    rumah yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat berisiko 2 kali lebih

    besar untuk terinfeksi tuberkulosis paru daripada orang yang tinggal pada rumah

    yang memiliki ventilasi memenuhi syarat, dengan nilai OR: 2,872;

  • 47

    95%CI: 1,01-8,20, tingkat pencahayaan tidak memenuhi syarat meningkatkan

    risiko 4 kali lebih besar terhadap kejadian tuberkulosis paru dengan nilai

    OR: 4,456; 95%CI: 1,34-14,85.. Pencahayaan dan ventilasi merupakan indikator

    untuk memperoleh suhu dan kelembaban ruangan yang dapat diterima tubuh

    maupun dalam kemampuan membunuh kuman dalam rumah. Dalam penelitian ini

    kelembaban yang dihasilkan adalah rumah dengan kelembaban > 70% yang

    menunjukkan risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru sebesar 3 kali lebih

    besar daripada rumah dengan kelembaban 40%-70%, dengan nilai OR: 3,905;

    95%CI: 1,28-11,89, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berisiko bagi

    penghuninya untuk terinfeksi tuberkulosis paru sebesar 5 kali lebih besar daripada

    rumah dengan suhu yang memenuhi syarat (18oC-30

    oC), dengan nilai OR: 5,411;

    95%CI: 1,90-15,39. Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

    menunjukkan bahwa kejadian tuberkulosis paru akan berisiko pada rumah dengan

    ventilasi < 10% (OR: 29,994; 95%CI: 3,39-265,51), kelembaban > 70% (OR:

    9,299; 95%CI: 2,29-37,84), pencahayaan yang tidak memenuhi syarat (OR:

    4,923) dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat (OR: 3,471) (Rusnoto et al.,

    2005; Ruswanto, 2010). Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara

    dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh normal manusia. Suhu

    udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan

    pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan

    terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam

    ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator

    kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan

  • 48

    pencahayaan rumah (Kepmenkes RI, 1999). Ventilasi pada rumah memiliki banyak

    fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar juga

    membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen,

    karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah

    untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum.

    Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan peningkatan kelembaban

    ruangan karena terjadinya proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit.

    Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

    berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis

    (Notoatmodjo, 2007). Kuman tuberkulosis mampu bertahan hidup di tempat yang

    gelap dan lembab, dan akan dormant di tempat kering dan dingin. Bakteri

    tuberkulosis paru akan mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit, atau pada

    suhu 60oC selama 30 menit. Kemampuan bakteri tuberkulosis berkembang pada

    suhu 35oC-37

    oC, tidak tumbuh pada suhu 25

    oC atau lebih dari 40

    oC, dan bakteri

    tuberkulosis akan hidup subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, karena

    air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan media yang

    paling baik untuk pertumbuahan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan

    Brooker, 2003) .

    Status gizi juga berperan sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.

    Status gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar terhadap tuberkulosis

    paru dibandingkan dengan status gizi normal, dengan nilai OR = 6,736; 95%CI =

    2,52-18,02. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian terdahulu yang

    menunjukkan bahwa orang dengan IMT < 18,5 mempunyai risiko 11,31 kali lebih

  • 49

    besar untuk menderita tuberkulosis paru dibanding orang dengan IMT 18,5

    dengan nilai OR: 11,331; dan 95%CI: 4,05

  • 50

    kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena

    penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota

    keluarga lain (Notoatmodjo, 2007).

    Menurut hasil analisis terhadap variabel kepadatan hunian dengan tingkat

    pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dan suhu, yang menunjukkan siginifikan

    merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah rumah dengan

    tingkat padat hunian dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat dengan nilai

    OR = 4,472; 95%CI = 1,34-22,50, sedangkan rumah dengan padat hunian dan suhu

    yang tidak memenuhi syarat juga menunjukkan berisiko terhadap kejadian

    tuberkulosis, dengan nilai OR = 2,912; 95%CI = 1,08-7,85. Hal ini sesuai dengan

    sifat kuman tuberkulosis yang mampu bertahan hidup di tempat gelap dan lembab

    selama berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran

    udara (penghawaan). Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh

    penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan dan pencahayaan yang memenuhi

    syarat berfungsi dalam mencegah terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru,

    dan dapat diperoleh jika luas ventilasi memenuhi syarat, sehingga dapat

    melakukan pertukaran udara secara teratur, dan memberi peluang sinar matahari

    masuk ke dalam rumah, sehingga suhu dan kelembaban ruangan tidak berisiko

    sebagai media berkembang biaknya kuman tuberkulosis paru (Soekidjo, 2007).

    Tingkat kepadatan penduduk adalah salah satu indikator pemicu munculnya

    masalah sosial yaitu sulitnya mendapat pekerjaan, pendidikan, dan layanan

    kesehatan, yang berdampak juga pada masalah ekonomi atau kemiskinan. Makin

    buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, berakibat pada makin buruk juga nilai

  • 51

    gizi dan sanitasi lingkungannya, yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, dan

    makin rentan menjadi sakit (Entjang, 2000). Kemiskinan digambarkan dalam

    ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan

    bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah

    penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis

    kemiskinan (BPS RI, 2012). Hasil analisis bivariat menunjukkan responden dengan

    pengeluaran rata-rata perkapita Rp. 270.652.- sebagai faktor risiko kejadian

    tuberkulosis paru, namun setelah masuk dalam analisis multivariat, rata-rata

    tingkat pengeluaran responden adalah bukan sebagai faktor risiko kejadian

    tuberkulosis paru. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

    Priyadi (2003) yang menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran tidak berhubungan

    dengan kejadian tuberkulosis paru, namun beberapa penelitian menunjukkan

    adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dengan kejadian tuberkulosis

    paru (Coker, 2003; Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Hasil pengumpulan data

    menunjukkan proporsi yang sama pada responden yang dapat kartu Jamkesmas

    yaitu sebesar 78,3% pada kasus dan 66,3% pada kontrol, dan karena populasi

    sampel dari penelitian ini adalah seluruh pengunjung rawat jalan Puskesmas

    Karang Taliwang, dengan jumlah penduduk yang berobat menggunakan

    Jamkesmas adalah sebesar 539 jiwa (60%), sisanya adalah pasien ASKES dan

    umum, sedangkan jumlah keluarga miskinnya adalah 9764 jiwa (34%) dari jumlah

    pendduduk. Dengan demikian tingkat pengeluaran masih memungkinan sebagai

    faktor risiko kejadian tuberkulosis paru, dan ditemukan juga ada hubungan

    bermakna antara rata-rata pengeluaran perkapita penduduk di wilayah Puskesmas

  • 52

    Karang Taliwang dengan kepesertaan Jamkesmas yaitu dengan nilai OR : 4,032;

    95%CI: 1,63-9,98.

    Paparan asap rokok juga tidak terbukti secara statistik sebagai faktor risiko

    terjadinya tuberkulosis paru. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang

    dilakukan Wijaya (2012), yang menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan

    risiko infeksi tuberkulosis paru, risiko perkembangan penyakit, dan penyebab

    kematian pada penderita tuberkulosis. Hasil analisis pada lamanya responden

    merokok, dan jumlah rokok yang dihisap dalam sehari, juga tidak menunjukkan

    sebagai faktor risiko. Lama merokok lebih atau sama dengan 10 tahun

    menunjukkan 0,4 kali berisiko terinfeksi tuberkulosis (95%CI: 0,19-0,98),

    demikian juga dengan jumlah rokok yang dihisap lebih dari tiga batang perhari

    menunjukkan 0,7 kali berisiko terinfeksi tuberkulosis paru (95%CI: 0,36-1,59).

    Dari hasil pengumpulan data, proporsi antara kelompok kasus dan kontrol sama-

    sama lebih besar pada adanya paparan asap rokok dalam keluarga yaitu 63% pada

    kasus dan 67,4% pada kontrol. Hasil Survey Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

    menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga sehat dengan indikator tidak merokok

    baru mencapai 42,5%, belum mencapai 80% target Nasional (Dikes Kota Mataram,

    2012). Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan

    respirasi, hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukosa dan

    menurunkan pergerakan silia, sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan

    mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri, termasuk kuman

    tuberkulosis, dan berakibat pada rentannya tubuh pada infeksi tuberkulosis paru

    (Aditama, 2003).

  • 53

    Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis

    adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

    malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor

    risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit

    tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

    seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunity),

    seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

    bisa mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2008). Dalam penelitian ini penyakit-

    penyakit yang biasa menyertai dan memperburuk kondisi penderita tuberkulosis

    paru adalah DM dan HIV. Hasil analisis bivariat dari 138 responden, hanya 38

    orang (27%) responden yang mau mengikuti screening HIV dan hasilnya 100%

    non reaktif, karena proporsi sampel yang mau di tes HIV hasilnya sama yaitu non

    reaktif, sehingga tidak dilakukan analisis bivariat maupun multivariat. Sedangkan

    untuk penyakit penyerta DM menunjukkan bahwa penyakit penyerta DM

    berhubungan terhadap kejadian tuberkulosis paru pada analisis bivariat, namun

    pada analisis multivariat tidak menunjukkan sebagai faktor risiko. Penelitian ini

    tidak sesuai dengan penelitian yang dahulu yang menunjukkan bahwa orang

    dengan penyakit diabetes mellitus memiliki risiko 2,66 kali terinfeksi tuberkulosis

    paru (Coker et al, 2005). Hal ini disebabkan karena proporsi sampel dengan

    penyakti penyerta DM sangat kecil. Proporsi responden dengan penyakit penyerta

    DM pada penelitian ini adalah 10,9% (5 orang) pada kasus, dan 1,1% (1 orang)

    pada kontrol, dan penyakit penyerta DM masih memungkinkan sebagai faktor

    risiko kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang.

  • 54

    Status imunisasi bukan sebagai faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru.

    Hasil ini sama dengan hasil peneiltian terdahulu yang menyatakan bahwa status

    imunisasi tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian tuberkulosis paru

    (Retnaningsih et al., 2010), lebih lanjut dijelaskan meskipuan vaksinasi BCG tidak

    mencegah infeksi tuberkulosis, namun mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti

    meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008). Namun berbeda

    dengan yang ditemukan Soysal et al. (2005) bahwa anak yang mendapatkan

    vaksinasi BCG memiliki risiko lebih rendah terinfeksi tuberkulosis, dibandingkan

    dengan anak yang tidak mendapatkan imunisasi BCG. Pada populasi dengan

    prevalensi tuberkulosis yang tinggi, imunisasi BCG tidak bisa untuk memproteksi

    risiko terinfeksi tuberkulosis pada orang dewasa, namun imunisasi BCG dapat

    memberi proteksi yang cukup/hampir di atas 50% pada anak. Karena itu pada

    daerah dengan prevalensi tuberkulosis tinggi imunisasi BCG diberikan pada anak

    sejak baru lahir, agar sedini mungkin memiliki kekebalan terhadap tuberkulosis

    paru. Pada penelitian ini status imunisasi tidak terbukti sebagai faktor risiko

    kejadian tuberkulosis, karena sampel penelitian berumur 15 tahun hingga 80 tahun,

    dan pengukuran berdasarkan melihat scar BCG, terkadang ada beberapa scar BCG

    tidak terlihat, dan untuk menggali langsung pada responden faktor lupa tidak bisa

    dihindari pada kelompok kontrol karena kejadian yang sudah lama, sedangkan

    pada kelompok kasus bisa dilihat juga dari status kesehatannya. Selain itu proporsi

    yang hampir sama pada responden yang sudah diimunisasi BCG yaitu sebesar

    30,4% pada kasus dan 43,5% pada kontrol, atau lebih banyak pada responden yang

    tidak imunisasi BCG.

  • 55

    6.2 Kelemahan Penelitian

    1. Penelitian ini menggunakan studi case control yang mempunyai kelemahan

    dalam pengendalian recall bias yaitu pada saat mencari data tentang imunisasi

    BCG, dan data status gizi responden. Strategi pengendalian yang dilakukan adalah

    dengan melibatkan anggota keluarga lain, dan dukungan bukti keterangan dari

    status kesehatan responden.

    2. Adanya kemungkinan terjadi missclasifikasi dalam pengukuran status gizi

    responden, yaitu dalam memasukkan IMT responden, apakah kategori gizi kurang

    atau normal.

    3. Pendekatan penelitian menggunakan Hospital based, sehingga kemungkinan

    responden yang diperoleh hanya yang berdomisili disekitar sarana kesehatan, dan

    kemungkinan memiliki karakteristik yang hampir mirip khususnya dalam hal sosial

    ekonomi, yang menyebabkan variabel sosial ekonomi dalam penelitian ini tidak

    terbukti sebagai faktor risiko.

    4. Kontrol dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan, yang pada saat

    penelitian dinyatakan bukan sebagai penderita tuberkulosis paru, tidak dengan

    pemeriksaan laboratorium.

  • 56

    BAB VII

    SIMPULAN DAN SARAN

    7.1 Simpulan

    Setelah melakukan penelitian tentang faktor risiko terhadap kejadian

    tuberkulosis paru dengan studi case control di wilayah kerja Puskesmas Karang

    Taliwang Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka dapat disimpulkan

    bahwa variabel yang merupakan faktor risiko determinan terhadap kejadian

    tuberkulosis paru adalah faktor ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu

    rumah, dan status gizi. Kelima variabel tersebut 48,9% merupakan faktor risiko

    terhadap kejadian tuberkulosis paru. Sedangkan kepadatan hunian, sosial ekonomi,

    paparan asap rokok, penyakit penyerta, dan status imuniasi bukan merupakan

    faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota

    Mataram.

    7.2 Saran

    7.2.1 Untuk penentu kebijakan, disarankan: a) perlunya upaya perbaikan sosial

    ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung akan berdampak pada

    kemampuan memenuhi kebutuhan sanitasi rumah dan gizi keluarga; b)

    mengintensifkan layanan konseling di Puskesmas dan penyuluhan kesehatan

    tentang rumah sehat, asupan gizi, dan bahaya asap rokok bagi perokok aktif

    dan perokok pasif; c) mengadakan pendekatan pada instansi terkait yang

    menangani masalah rehabilitasi rumah, khsusnya untuk penderita

    tuberkulosis paru, agar dapat perbaikan rumah terutama untuk perbaikan

  • 57

    ventilasi/jendela/genteng kaca, karena luas ventilasi rumah yang kurang dari

    10% luas lantai menyebabkan tidak maksimalnya sinar matahari masuk

    kedalam rumah, dan berakibat juga pada kelembaban, serta suhu rumah yang

    tidak memenuhi syarat.

    7.2.2 Pada penelitian berikut dianjurkan, untuk meningkatkan keterwakilan

    kontrol di populasi agar memilih kontrol pada populasi, dan terhadap kontrol

    juga dilakukan pemeriksaan dahak, untuk memastikan bahwa kontrol benar-

    benar tidak sedang menderita tuberkulosis.

  • 58

    DAFTAR PUSTAKA

    Aditama, T.Y. 2003. Rokok dan Tuberkulosis Paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi

    dan Kedokteran Respiratori FKUI.

    Azwar, A. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara

    Sumber Widya.

    Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi . Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

    Agustin, H. 2011. Tuberkulosis Pada HIV/AIDS. J Respir Indo Vol. 31: No. 3, Juli 2011.

    Abdusalam, A. 2011, Juli 27, HIV dan Tuberkulosis Derita Indonesia, Kompasiana Tersedia di http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/27. diakses

    pada tanggal 22 Feruari 2013.

    Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2012. Sosial dan Kependudukan. BPS. Tersedia di http:// www. bps.go.id/ menutab.php? tabel=1&kat=1&id -

    subyek=23. Diakses pada tanggal 29 April 2013.

    Balitbangkes RI, 2012. Profil Konsumsi Sumber Antioksidan Alami, Status Gizi,

    Gaya Hidup, dan Sanitasi Lingkungan pada Daerah-Daerah dengan TB Paru

    Tinggi di Indonesia. Tersedia di grey.litbang.depkes.go.id. Diakses pada

    tanggal 21 Februari 2013.

    Bappeda Kota Mataram. 2011. Mataram Dalam Angka 2011. Mataram: Setda Kota

    Mataram.

    Bappeda Kota Mataram. 2012. Mataram Dalam Angka 2012. Mataram: Setda Kota

    Mataram.

    Coker, R.; Reader; McKee, M.; Atun, R.; Dimitrova, B.; Dodonova, E.;

    Kuznetsov, S.; Drobniewski, F. 2005. Risk factors for pulmonary tuberculosis in Russia: case-control study. BMJ. 2006:332:85. Tersedia di http:// www. bmj. com/ content/332/7533/85. Diakses pada tanggal 4 Februari

    2013.

    Dahlan, A. 2001. Faktor-Faktor Risiko Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru BTA(+) (studi kasus kontrol) di Kota

    Jambi Tahun 2000-2001 (tesis). Jakarta: UI.

    Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis,cetakan kedua, 2008.Jakarta: Depkes RI.

  • 59

    Departeman Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta:

    Kemenkes RI.

    Departemen Kesehatan RI, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

    Jakarta: Kemenkes RI.

    Dinas Kesehatan Provinsi NTB. 2010. Laporan Evaluasi Kegiatan TB Paru

    Provinsi NTB. Mataram: Bidang P2 Dinas Kesehatan Provinsi NTB.

    Dinas Kesehatan Kota Mataram. 2012. Profil Dinas Kesehatan Kota Mataram.

    Mataram: Dikes Kota Mataram.

    Dirjen PPM & PLP. 1995. Lembar Bacaan Dan Penugasan Modul Pelatihan

    Pengawasan Kualitas Lingkungan Permukiman Bagi Petugas Kesehatan

    Lingkungan Tingkat Puskesmas. Jakarta: Depkes RI.

    Dirjen Bina Gizi dan KIA, 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

    Anak. Jakarta: Kemenkes RI.

    Ditjen Cipta K