Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi...

35
1 RINGKASAN SKRIPSI JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG MENJADI OBYEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1. Permasalahan: Latar Belakang dan Rumusan Utang piutang dalam bidang usaha memiliki peranana sangat penting, yang dapat menunjang pembangunan bangsa terutama dalam segi ekonomi, baik utang yang menggunakan jaminan maupun utang tanpa jaminan. 1 Pemberian utang dengan jaminan merupakan hal yang telah lama dilakukan dalam sistem hukum di Indonesia, bahkan dalam sistem hukum dunia. Secara umum, ketentuan tentang pemberian jaminan diatur dalam ketentuan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata). 2 Peraturan perbankan memberikan definisi yang berbeda antara jaminan dan agunan. Jaminan adalah suatu keyakinan kreditur atas kesanggupan debitur untuk melunasi prestasi sesuai yang dijanjikan, sedangkan Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3 KUHPerdata secara umum melakukan klasifikasi 1 Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Petra Surabaya, Maret 2001, Vol. 3 No. 1, hal. 3 2 Yunanto, Aspek-Aspek Hukum Jaminan, Makalah, disampaikan pada Diskusi bagian Hukum Perdata, Semarang, Univ. Diponegoro, 2003, hal. 1 3 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet. V, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2009, hal. 73

Transcript of Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi...

Page 1: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

1

RINGKASAN SKRIPSI

JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG MENJADI OBYEK JAMINAN

HAK TANGGUNGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4

TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

1. Permasalahan: Latar Belakang dan Rumusan

Utang piutang dalam bidang usaha memiliki peranana sangat penting, yang

dapat menunjang pembangunan bangsa terutama dalam segi ekonomi, baik utang

yang menggunakan jaminan maupun utang tanpa jaminan.1 Pemberian utang

dengan jaminan merupakan hal yang telah lama dilakukan dalam sistem hukum di

Indonesia, bahkan dalam sistem hukum dunia. Secara umum, ketentuan tentang

pemberian jaminan diatur dalam ketentuan Buku II Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata).2

Peraturan perbankan memberikan definisi yang berbeda antara jaminan dan agunan. Jaminan adalah suatu keyakinan kreditur atas kesanggupan debitur untuk melunasi prestasi sesuai yang dijanjikan, sedangkan Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.3

KUHPerdata secara umum melakukan klasifikasi terhadap pranata hukum

jaminan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jaminan perseorangan dan jaminan

kebendaan.4 Jaminan perseorangan dilakukan dengan cara adanya seseorang yang

sanggup untuk membayar atau memenuhi prestasi apabila debitur wanprestasi,

sedangkan jaminan kebendaan adalah adanya benda tertentu yang dijadikan

jaminan.5

Salah satu jaminan yang banyak digunakan di Indonesia adalah jaminan

menggunakan hak atas tanah melalui pembebanan hak tanggungan. 1 Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen

& Kewirausahaan, Petra Surabaya, Maret 2001, Vol. 3 No. 1, hal. 32 Yunanto, Aspek-Aspek Hukum Jaminan, Makalah, disampaikan pada Diskusi bagian

Hukum Perdata, Semarang, Univ. Diponegoro, 2003, hal. 13 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet. V, Jakarta, Kencana Prenada

Media Grup, 2009, hal. 734 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2000, hal. 805 Ibid

Page 2: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

2

Perkembangan jaminan utang dengan pembebanan hak tanggungan cukup pesat,

sehingga pada tanggal 9 April 1996 dikeluarkan undang-undang yang mengatur

hak atas tanah yang dikenal dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disingkat UUHT), yang disahkan melalui

Lembaran Negara No. 42 Tahun 1996 dan Tambahan Lembaran Negara

No. 3632. Berdasarkan pengesahan UUHT tersebut, hak tanggungan menjadi

satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dalam hukum tertulis Indonesia.6

Ketentuan pembebanan hak tanggungan yang sudah diatur secara khusus

dalam praktik masih sering timbul beberapa masalah yang menjadi persoalan

pembebanan hak tanggungan, baik dalam proses kredit, proses pendaftaran hak

tanggungan, hingga proses eksekusi terhadap obyek hak tanggungan sendiri.

Permasalahan kredit macet cukup banyak terjadi, baik disebabkan karena kondisi

perekonomian debitur yang menurun atau karena faktor-faktor lain yang

menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kepada kreditur.

Solusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan

melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan hak tanggungan secara langsung

(parate eksekusi), namun perlu dicari solusi yang lebih tepat untuk mengatasi

masalah tersebut secara kekeluargaan, agar permasalahan tersebut dapat diterima

dengan baik oleh para pihak. Salah satu yang sering dijalankan di masyarakat

adalah melakukan oper kredit kepada pihak lain atas utang yang menjadi

tanggungan debitur kepada kreditur atau dengan cara menjual obyek jaminan hak

tanggungan kepada pihak lain. Pengoperan terhadap kredit atau utang debitur

kepada pihak lain secara khusus belum diatur dalam UUHT, meskipun ketentuan-

ketentuan umum tentang hal itu telah diatur dalam KUHPerdata. Solusi kedua

dengan cara menjual obyek jaminan hak tanggungan untuk melunasi hutang

debitur kepada kreditur, akan tetapi cukup mengandung resiko yang tinggi sebab

dapat menimbulkan sengketa antara para pihak dikemudian hari, sehingga harus

dilakukan secara cermat dan tertib.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka kemudian timbullah

rumusan masalah yang diambil dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :

6 Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia, Jakarta, Djembatan, 1999, hal. 402

Page 3: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

3

1. Apakah hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan dapat

dijual kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur pemegang hak

tanggungan ?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah

yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan

tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan ?

2. Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif, yaitu penulisan yang

dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan pada seperangkat norma

yang telah ada,7 berupa norma undang-undang atau peraturan perundang-

undangan8 yang berupa Undang-undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disingkat

UUD 1945), KUHPerdata, UUPA, UUHT, KUHD dan Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta beberapa peraturan lain

yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan

masalah “statute approach”. Statute approach adalah pendekatan yang dilakukan

dengan cara melakukan identifikasi serta membahas peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas

dalam penulisan ini.9

3. Hasil Pembahasan

3.1. Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Menjadi Obyek Jaminan Hak

Tanggungan Kepada Pihak Ketiga

Hak tanggungan merupakan bagian dari pranata hukum perikatan, yang

masuk dalam kategori perjanjian dengan jaminan benda tertentu, berupa benda

tidak bergerak yaitu tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Ketentuan Pasal 4 UUHT menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani

hak tanggungan tterbatas pada 3 (tiga) jenis, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan

hak guna bangunan, dan Pasal 4 Ayat (2) UUPA menentukan yang dapat menjadi objek hak

7 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. VII, Malang, Bayumedia, 2013, hal. 57

8 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung, Refika Aditama, 2009, hal. 279 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302

Page 4: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

4

tanggungan adalah Hak  Pakai Atas Tanah Negara. Menurut  penjelasan Pasal 4 ayat (1)

UUPA, terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak

Tanggungan adalah sebagai berikut :

a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum,dalam

hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (pref-

eren) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap

kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut

pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap

orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).  

b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga apabila

diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang dijamin

pelunasannya”.

Obyek jaminan hak tanggungan merupakan bagian benda dalam hukum

kebendaan yaitu masuk sebagai benda tidak bergerak, sedangkan pembebanan

tanah dan benda-benda di atasnya ke dalam jaminan utang tertentu melalui

pembebanan hak tanggungan merupakan salah satu bentuk jaminan dari hak atas

tanah yang bersangkutan sebagai bagian dari hak kebendaan, dan bukan

merupakan peralihan atas obyek tersebut. Jual beli atas obyek hak tanggungan

pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum dalam

jual beli, namun juga harus dilakukan secara hati-hati sebab hal itu menyangkut

kepentingan pihak ketiga yang bukan sebagai penjual dan pembeli.

Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang telah diatur dalam

KUHPerdata, sehingga secara umum pelaksanaan jual beli termasuk jual beli atas

obyek hak tanggungan juga mengikuti asas dan syarat perjanjian yang diatur

dalam KUHPerdata. Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang berlaku

sebagai aturan, namun secara umum asas-asas perjanjian tersebut dapat

disimpulkan dalam 5 (lima) asas, yaitu sebagai berikut :10

1. Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal

1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat

10 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 9

Page 5: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

5

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

2. Asas konsensualisme. Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320

Ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu

syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah

pihak.11 Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu

perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup

dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan

persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat

(1) KUHPerdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat

kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak

tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut

mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas iktikad baik (Goede Trouw). Perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik (Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua

yaitu :12

1. Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.2. Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.

5. Asas kepribadian. Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan

perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam

pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.

Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual

beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata

menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Syarat pertama untuk sahnya

suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para

pihak. Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam

perjanjian. Kesepakatan menentukan bahwa dalam perjanjian tidak boleh 11 Ibid12 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hal. 45

Page 6: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

6

ada unsur paksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya.

Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah

pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian

yang diadakan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Cakap artinya adalah kemampuan

untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah

membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang

dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan

adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun sesuai dengan Pasal 330

KUHPerdata.

3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu disebut juga dengan obyek perjanjian.

Obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat

berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu,

atau juga biasa disebut dengan prestasi. Prestasi terdiri atas :13

1. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.

2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.

3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.

4. Suatu sebab yang halal. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan

pengertian sebab yang halal. Maksud dari sebab yang halal adalah bahwa isi

perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif karena berkaitan

dengan subyek perjanjian serta syarat ketiga dan keempat merupakan syarat

obyektif karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan

syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya.

Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau

13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 69

Page 7: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

7

pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.14 Sedangkan apabila syarat

ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut

batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama

sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di

kemudian hari.

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana

antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang

menjadi obyek jual beli. Berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli

menganut asas konsensualisme sehingga perjanjian jual beli adalah sah dan

dianggap telah terjadi seketika setelah tercapai kesepakatan antara kedua belah

pihak atas benda obyek jual beli dan harganya, meskipun benda obyek jual beli

tersebut belum diserahkan oleh penjual atau harga jual beli tersebut belum dibayar

oleh pembeli.15 Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam

Pasal 1458 yang berbunyi sebagai berikut : “jual beli dianggap sudah terjadi

antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang

barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya

belum dibayar”.16

Para pihak yang terlibat dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Jual

beli karena merupakan perbuatan hukum maka membawa konsekwensi akan

menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi kedua belah pihak atau

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu.17 Secara lebih terperinci, proses

terjadinya jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, antara lain :18

1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang,

walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganyapun belum

dibayar, perjanjian jual beli ini dianggap sudah jadi;

2. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara;

3. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang

14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1982, hal. 2015 Rahayu Hartini, Aspek Hukum Bisnis, Cet. V, Malang, UMM Press, 2007, hal. 3716 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 217 CST. Cansil, Hukum Perdata I (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), Jakarta, Pradnya

Paramita, 1991, hal. 23818 Ibid

Page 8: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

8

muka.

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain

yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli

tetap terjadi karena telah terjadi kesepakatan tentang unsur “essensialia”

perjanjian. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur “essensialia”

dari perjanjian jual beli tersebut dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,

maka klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan

ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan

(KUHPerdata) atau biasa disebut unsur “naturalia”.19

Berdasarkan asas konsensualisme, jual beli telah terjadi seketika setelah ada

kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga. Ketentuan

tersebut mengandung konsekwensi walaupun telah terjadi persesuaian antara

kehendak dan pernyataan (jual beli telah terjadi), namun belum tentu barang itu

menjadi milik pembeli, karena jual beli tersebut harus diikuti oleh proses

penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya.20

Penyerahan benda memiliki cara yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis benda

yang menjadi obyek jual beli, antara lain dibedakan sebagai berikut :21

1. Benda bergerak, penyerahannya dilakukan melalui penyerahan nyata dan

kunci atas benda tersebut.

2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh, penyerahannya dilakukan

melalui sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.

3. Benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan

akta yang bersangkutan, di kantor penyimpan hipotek.

Berdasarkan tinjauan definisi jual beli sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang

disampaikan oleh para ahli hukum tersebut, jual beli terhadap hak atas tanah yang

masih dibebani dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak

tanggungan pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara

penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau

19 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 12720 Salim H.S., Loc.Cit21 Ibid

Page 9: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

9

penyerahan barang belum dilakukan.

Jual beli obyek jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan

ditinjau dari pendapat yang disampaikan oleh Salim HS., maka hal tersebut telah

memenuhi 3 (tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian yaitu adanya subyek hukum

antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli

tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut menimbulkan hak dan kewajiban

antara pihak penjual dan pembeli untuk membayar harga dan menyerahkan obyek

jual beli.

Kewajiban pihak pembeli setelah terjadi jual beli adalah membayar harga

barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat dan memikul biaya

yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan

sebagainya kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Setelah itu hak dari pembeli

adalah menerima barang yang telah dibayarnya dari penjual. Hak dari Penjual

adalah menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai

dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak, sedangkan kewajiban penjual

adalah menyerahkan barang dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang

tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.

Penyerahan barang yang wajib dilakukan oleh penjual kepada pembeli

dilakukan sesuai dengan jenis obyek jual beli, yang dapat diuraikan sebagai

berikut :22

1. Penyerahan benda bergerak. Berdasarkan ketentuan Pasal 612 KUHPerdata,

penyerahan kebendaan bergerak kecuali yang tak bertubuh dilakukan

dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama

pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana

kebendaan itu berada.

2. Penyerahan benda tidak bergerak. Ketentuan Pasal 616-620 KUHPerdata

menyatakan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan

balik nama. Proses balik nama untuk tanah dilakukan dengan akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disingkat PPAT) dan didaftarkan

pada kantor pertanahan, sedangkan balik nama untuk benda selain tanah

22 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 128

Page 10: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

10

dilakukan dengan akta notaris.

3. Penyerahan benda tidak bertubuh. Ketentuan Pasal 613 KUHPerdata

menyatakan bahwa penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan

akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada

debitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang

karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-

tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai

dengan endosemen.

Berdasarkan jenis-jenis penyerahan tersebut, meskipun jual beli terhadap

obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan

telah terjadi dengan adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang

barang dan harga, namun proses penyerahan atas obyek jual beli tersebut belum

terjadi sebelum dilakukan melalui akta PPAT. Masalah yang timbul dari jual beli

tanah yang dibebani hak tanggungan adalah pada proses penyerahan, sebab

penyerahan atas obyek tersebut tidak akan dapat dilakukan oleh PPAT. Masalah

penyerahan atas obyek jual beli berupa tanah yang masih dibebani hak

tanggungan akan mengandung resiko yang cukup besar, sebab dalam obyek

tersebut masih ada hak pihak lain yaitu penerima hak tanggungan sebagai kreditur

preferen.

Menurut Adrian Sutadi, syarat sah jual beli tanah dibedakan dalam 2 (dua)

macam yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berisi tentang

kecakapan para pihak dalam melakukan jual beli dan keabsahan obyek jual beli,

sedangkan syarat formil adalah syarat yang ditentukan oleh Pasal 37 Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 bahwa jual beli atas tanah harus dibuat oleh dan

dihadapan PPAT. Jual beli yang dilakukan bukan oleh dan tidak di hadapan PPAT

tetap sah, karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA) dan

telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan jual beli KUHPerdata.23

3.2. Kedudukan Hukum Pembeli (Pihak Ketiga) Obyek Jaminan Hak

Tanggungan Yang Dijual Belikan Tanpa Persetujuan Kreditur

Hak milik atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi 23 Wiwin Eka Emawati, Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan,

Tesis, Denpasar, Univ. Udayana, 2014, hal. 85

Page 11: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

11

milik debitur (pemberi hak tanggungan), dan kepemilikan hak atas tanah tersebut

tidak beralih kepada kreditur (penerima hak tanggungan), sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 UUHT. Pendapat seperti ini disampaikan juga oleh Yunanto sebagai

berikut :

Dalam kaitannya dengan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengikat bahwa penjualan obyek hak tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi hak tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum.24

Ketentuan yang menunjukkan bahwa obyek jaminan hak tangungan masih

menjadi milik pemberi hak tanggungan dan tidak beralih kepada penerima hak

tanggungan diatur dalam Pasal 12 UUHT, bahkan ketentuan Pasal 12 UUHT

tersebut melarang peralihan hak atas obyek jaminan hak tanggungan dari pemberi

hak tanggungan kepada penerima hak tanggungan secara langsung tanpa melalui

proses dan prosedur yang sah, dengan menyatakan sebagai berikut: “Janji yang

memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki

obyek jaminan hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum”.

Ketentuan Pasal 12 UUHT ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas obyek

yang dibebani hak tanggungan masih menjadi milik pemberi hak tanggungan,

selain itu Pasal 12 juga menunjukkan bahwa UUHT juga melindungi kepentingan

hukum pihak pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan secara adil

dan berimbang, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 UUHT yeng

menyatakan sebagai berikut : “Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi

kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai

obyek jaminan hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang

hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek jaminan

hak tanggungan karena debitur cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang

bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli obyek jaminan hak 24 Yunanto, Op. Cit., hal. 10

Page 12: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

12

tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20”.

Ketentuan Pasal 20 UUHT menentukan bahwa penjualan obyek jaminan hak

tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) cara, yaitu obyek jaminan hak

tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang atau

dengan cara kedua yaitu atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan,

penjualan obyek jaminan hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan

jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak.

Status obyek jaminan hak tanggungan yang masih menjadi milik debitur

memberikan hak bagi debitur untuk melakukan perbuatan hukum atas obyek

jaminan hak tanggungan tersebut, meskipun bila dijanjikan dalam akta

pembebanan hak tanggungan, debitur tidak boleh mengalihkan obyek jaminan hak

tanggungan tersebut kepada pihak ketiga. Beberapa kasus yang terjadi dalam

masyarakat dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur atas obyek

jaminan hak tanggungan, debitur menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada

pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan, baik

persetujuan tersebut dalam bentuk lisan atau persetujuan dalam bentuk tertulis.

Kasus penjualan obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh

debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur tersebut dilakukan

karena beberapa alasan, antara lain karena debitur sebagai pemberi hak

tanggungan ada yang merasa tidak mampu lagi untuk memberikan atau melunasi

prestasi yang harus dibayarkan kepada kreditur sebagai pemegang hak

tanggungan, sedangkan setiap saat mereka didatangi dan ditagih oleh para penagih

utang (debt collector) yang datang atas perintah kreditur. Menghadapi situasi

seperti itu, debitur sering kali merasa tidak nyaman dan tidak mau melakukan

komunikasi dengan kreditur, sehingga menjual obyek jaminan hak tanggungan

kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur dianggap sebagai solusi yang cepat

dan tepat untuk menutup kewajiban kepada kreditur.25

25 Wawancara dengan Winanik Yuliati, Debitur Pemberi Hak Tanggungan pada BRI Unit Kartini Gresik.

Page 13: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

13

Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan

pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur sebagai penerima hak tanggungan

memberikan konsekwensi bahwa jual beli tersebut dilakukan di bawah tangan dan

tidak mungkin melalui prosedur yang benar berdasarkan ketentuan Pasal 37

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah yang

menentukan bahwa jual beli atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT. Jual beli

obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga

tanpa persetujuan kreditur hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan.

Jual beli menurut hukum perdata adalah suatu perjanjian, dimana satu pihak

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya membayar

harga yang telah ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada saat pihak

pemilik obyek jaminan hak tanggungan telah sepakat untuk menjual obyek

jaminan hak tanggungan kepada pihak lain dengan harga tertentu, dan pihak lain

tersebut telah sepakat untuk membeli obyek yang dijual oleh pemilik obyek

tersebut dengan harga tertentu, pada saat itulah terjadi jual beli obyek jaminan hak

tanggungan oleh debitur kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur penerima

hak tanggungan.

Konsekwensi dari pembelian tanah yang masih menjadi obyek jaminan hak

tanggungan melalui perjanjian di bawah tangan walaupun pembelian tersebut

telah dilakukan secara lunas dan sah, adalah tidak dimilikinya kepastian akan

status kepemilikan tanah dan bangunan tersebut bagi pihak pembeli, karena bukti

kepemilikan hak atas tanah masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank),

sehingga penyerahan atas obyek jual beli tersebut tidak dapat dilakukan secara

yuridis. Kedudukan tidak memiliki kekuatan yuridis atas kepemilikan benda yang

telah dibeli tersebut, membuat pembeli (pihak ketiga) berada dalam resiko yang

sangat berat, sebab bila kreditur penerima hak tanggungan menjalankan eksekusi

atas obyek jual beli, pembeli (pihak ketiga) berada dalam posisi yang tidak

dilindungi secara hukum.

Resiko yang timbul akibat jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang

dilakukan oleh debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur juga

dapat diderita oleh kreditur sebagai penerima hak tanggungan. Resiko yang dapat

Page 14: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

14

terjadi pada kreditur adalah kemungkinan akan mengalami suatu hambatan

dalam melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan apabila

debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan kepada pihak lain, sedangkan

pihak lain yang merasa telah membayar lunas obyek jaminan hak tanggungan

tersebut tetap ingin memiliki dan tidak mau menyerahkan obyek jaminan hak

tanggungan kepada debitur. Kreditur dalam hal ini sebagai penerima hak

tanggungan memang memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap obyek

tersebut meski berada di tangan siapapun, namun perpindahan penguasaan benda

tersebut tentu memberikan kesulitan baru bagi kreditur.

Jual beli atas obyek jaminan hak tanggungan yang telah terjadi namun

penyerahan atas oyek tersebut belum dapat dilakukan sehingga kepemilikan hak

atas obyek yang belum beralih kepada pembeli, mengandung resiko yang bisa

membawa dampak negatif bagi perjanjian jual beli yang dilakukan oleh para

pihak. Dampak negatif yang dapat muncul adalah bahwa pembeli telah membayar

harga atas obyek tersebut baik dalam jumlah sebagian atau penuh, namun dapat

muncul resiko bahwa hak atas tanah sebagai obyek jual beli tidak dapat berpindah

kepada pembeli karena masih dibebani dengan hak tanggungan. Berdasarkan

Pasal 6 UUHT, konsekwensi yuridis adalah penerima hak tanggungan memiliki

hak untuk melakukan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan apabila

debitur tidak membayar utangnya sesuai dengan apa yang dijanjikan.

Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada

kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari

penjualan tersebut, kemudian hak tanggungan juga tetap membebani objek hak

tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada. Ketentuan ini menunjukkan

bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda

tersebut, walaupun telah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain (droit de

suite). Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan ini merupakan kedudukan

yang sangat istimewa yaitu dengan diberinya kedudukan yang diutamakan serta

dilindungi oleh adanya sifat (droit de suite) yaitu hak tanggungan tetap melekat

pada obyek jaminan hak tanggungan dalam tangan siapapun obyek tersebut

berada.

Page 15: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

15

Upaya hukum melalui jalur litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditur

penerima hak tanggungan atas dijualnya obyek jaminan hak tanggungan adalah

dengan mengajukan “actio pauliana”, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan

seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan dalam hal terjadinya

pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur.26

Bahwa apabila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh debitur dengan

pengalihan tanpa sepengetahuan kreditur, maka kreditur memperoleh hak untuk

membatalkan segala tindakan hukum debitur yang dianggap merugikan kreditur.

Dengan demikian, dalam perjanjian jaminan pihak kreditur tetap diberikan hak-

hak yang dapat menghindarkan dari praktik-praktik nakal debitur atau kelalaian

debitur. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak

tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih

dahulu dari pihak pemberi hak tanggungan, selain itu pihak kreditur dapat pula

mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh

debitur tanpa izin kreditur.

Meskipun demikian, apabila obyek telah dikuasai oleh pihak lain, tentu

penerima hak tanggungan akan memerlukan tenaga dan biaya lebih untuk

melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan tersebut. Berdasarkan

kondisi tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah dan upaya-upaya secara

damai yang tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Terjadinya

sengketa yang timbul karena adanya itikad tidak baik dari debitur yaitu

wanprestasi terhadap bank dan wanprestasi terhadap pembeli tanah yang telah

membayar lunas tanah dan rumah tersebut dapat diselesaikan melalui jalur

pengadilan maupun luar pengadilan, yang lazim disebut Alternative Dispue

Resolution (ADR) atau Alternatif Pengelesaian Sengketa. Pembuatan perjanjian-

perjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan

timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut

haruslah memberikan kepastian hukum diantara mereka yang membuat perjanjian

agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terkait.

Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh debitur sebagai pemilik tanah

26 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 84

Page 16: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

16

dengan pembeli hanya dapat dilakukan di bawah tangan dengan tanda bukti

kwitansi bukti lunas pembayaran sejumlah uang atas pembelian tanah dan rumah

dapat diselesaikan apabila debitur menggunakan uang hasil penjualan tersebut

untuk membayar sisa utangnya pada penerima hak tanggungan. Hal tersebut akan

menyebabkan perjanjian pokok selesai sehingga hak tanggungan juga akan

berakhir. Debitur/pemilik tanah bila menjual obyek jaminan hak tanggungan

kemudian tidak menggunakan hasil penjualan tanah tersebut untuk melunasi

utangnya, menyebabkan debitur/pemberi hak tanggungan tanah wanprestasi pada

kreditur/penerima hak tanggungan. Karena perjanjian jual beli hanya dilakukan

dengan dibuatnya perjanjian di bawah tangan dengan tidak terjadi dihadapan

pejabat yang berwenang mengenai hal tersebut, maka hal ini tidak memiliki

kekuatan serta kepastian hukum dan dianggap tidak termasuk di dalam jual beli

benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak yang

pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli (Pasal 19 UUHT).

Kedudukan pembeli obyek jaminan hak tanggungan yang tidak mempunyai

perlindungan hukum harus disadari oleh pihak pembeli, sehingga sebelum jual

beli dilaksanakan, pihak pembeli harus memeriksa berkas atau obyek jual beli

secara cermat, agar tidak membeli obyek jaminan hak tanggungan secara bawah

tangan sehingga tidak mengalami kerugian dikemudian hari. Akan tetapi apabila

pihak pembeli yang sudah mengetahui bahwa obyek jual beli adalah obyek

jaminan hak tanggungan dan dia tetap membeli obyek tersebut secara bawah

tangan, maka pihak yang membeli tersebut harus rela untuk menerima eksekusi

atas obyek yang telah dibelinya secara bawah tangan.

Jual beli obyek hak tanggungan tersebut tidak memberi kepastian hukum

mengenai kedudukan pihak pembeli tanah. Berdasarkan hal tersebut, mengenai

kepastian keamanan, pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah dan

bangunan berdasarkan perjanjian di bawah tangan tidak memiliki kepastian

hukum di dalam kedudukannya untuk mempertahankan status tanah dan bangunan

yang telah dibelinya. Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pihak

adalah pihak pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur untuk

melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan.

Page 17: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

17

Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, debitur/pemilik

tanah melepas tanggungjawabnya, pihak pembeli obyek jaminan hak tanggungan

tanpa persetujuan penerima hak tanggungan benar-benar berada dalam posisi yang

lemah dibanding pihak penerima hak tanggungan. Langkah untuk mengamankan

posisinya, biasanya pihak pembeli tanah yang merasa posisinya terdesak bersedia

untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur/pemilik tanah. Itikad baik

pembeli tanah untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur, merupakan solusi

bagi semua pihak, sebab pihak penerima hak tanggungan dapat memberikan

kebijakan dengan adanya penggantian perjanjian kredit lama dengan yang baru,

kemudian diikuti dengan pelaksanaan roya terhadap sertifikat hak tanggungan,

dengan konsekwensi apabila pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang

debitur sebagian, maka dia akan mendapatkan haknya yaitu diberikan sertifikat

hak atas tanah untuk menjalankan proses balik nama.

Pihak ketiga sebagai pembeli obyek hak tanggungan tentu memiliki

keinginan untuk menyelamatkan benda yang telah dibeli tersebut agar tidak

dieksekusi oleh penerima hak tanggungan, dan salah satu cara untuk mencapai hal

tersebut adalah pihak pembeli dapat membayar lunas utang debitur kepada

kreditur, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf “a” UUHT, hak

tanggungan akan hapus dengan hapusnya utang yang menjadi perjanjian pokok.

Kondisi seperti itu telah diatur dalam ketentuan Pasal 1382 Ayat (2) KUHPerdata

yang menyatakan bahwa “suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh

seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak

ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika

ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si

berpiutang”.

Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.

Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 Ayat (3) bahwa

“persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Artinya dalam

pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi

perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau

kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah

Page 18: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

18

satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam

pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat

perlindungan hukum.

Adanya itikad baik pihak pembeli tanah yang bersedia membayar sebagian

hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, maka dalam perlindungannya

tercantum dalam Pasal 1491 KUHPerdata memberikan perlindungan berupa

penanggungan bahwa “penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap

pembeli, adalah untuk menjamin 2 (dua) hal, yaitu pertama penguasaan benda

yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang

tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan

untuk pembatalan pembeliannya”.

Itikad baik juga harus ditunjukkan oleh pihak kreditur penerima hak

tanggungan, dengan melakukan cara represif guna menyelesaikan persengketaan

dengan menempuh jalur kekeluargaan yaitu pendekatan-pendekatan dengan para

pihak yang terkait, sehingga muncul itikad baik dari pihak pembeli tanah yang

bersedia membayar hutang debitur sebagian, dan tidak dilanjutkannya proses

pengeksekusian yang mengakibatkan hilangnya tanah dan bangunan yang telah

dibeli pihak pembeli. Dengan demikian perlindungan terhadap kedudukan yang

dapat diperoleh pihak pembeli yang telah beritikad baik berdasarkan ketentuan-

ketentuan tersebut setelah dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli

memiliki hak untuk mendapatkan bukti sertifikat hak milik atas tanah untuk

dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang

berwenang; serta pihak pembeli berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur

konkuren karena hanya termasuk dalam perjanjian jual beli secara umum) dalam

hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian hutang

debitur/pemilik tanah kepada bank.

Salah satu hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan pembayaran

utang debitur/pemberi hak tanggungan oleh pihak ketiga adalah adanya tunggakan

dan bunga atau denda yang harus ditanggung oleh debitur. Untuk menyelesaikan

masalah tersebut, dapat dilakukan beberapa cara, salah satunya melalui negosiasi.

Page 19: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

19

Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan perundingan atau

pertemuan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa

keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang

secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar, sehingga

menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa tentunya

telah berdiskusi atau bermusyawarah sedimikian rupa agar kepentingan-

kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan

bersama para pihak yang bersengketa. Intisari dari pada kredit adalah

kepercayaan, maka menurut falsafah perkreditan yang asli dimana unsur

kepercayaan itu sebagai benang merah untuk melintasi pertimbangan perkreditan,

maka jaminan kredit bukan merupakan syarat mutlak dalam perkreditan.

Penyelesaian sengketa melalui cara negosiasi yang dilakukan oleh kreditur

kepada debitur dan pihak lain yang terlibat merupakan cara yang efektif untuk

menyelesaikan sengketa jual beli obyek jaminan hak tanggungan dibawah tangan

dan tanpa persetujuan dari kreditur, sehingga perjanjian pokok yang dijamin

dengan hak tanggungan dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang

berkepentingan dapat terpenuhi secara kekeluargaan. Dengan demikian perjanjian

kredit atau utang-piutang dan perjanjian jaminan tidak kehilangan unsur

validitasnya, sedangkan adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak

kreditur telah membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam

perjanjian kredit maupun utang piutang dan UUHT adalah norma yang valid

untuk diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.

4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

a. Hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi

milik debitur (pemberi hak tanggungan), tidak beralih kepada kreditur

(penerima hak tanggungan). Berdasarkan ketentuan Pasal 1457

KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para

ahli hukum, jual beli terhadap hak atas tanah yang masih dibebani

dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan

pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara

Page 20: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

20

penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau

penyerahan barang belum dilakukan. Jual beli tersebut telah memenuhi 3

(tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian jual beli, yaitu adanya subyek

hukum antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual

dan pembeli tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut

menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak penjual dan pembeli untuk

membayar harga dan menyerahkan obyek jual beli. Meskipun jual beli

obyek jaminan hak tanggungan adalah sah, namun hak atas tanah tersebut

tidak serta merta beralih kepada pembeli sebab proses penyerahan atas

obyek jual beli tersebut belum terjadi sampai dilakukan melalui akta

PPAT.

b. Kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah yang menjadi

obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan tanpa

persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan yakni berada dalam

posisi yang sangat lemah, sebab jual beli tersebut hanya dapat dilakukan

di bawah tangan dan pembeli tidak memiliki hak istimewa sehingga

rawan dieksekusi oleh penerima hak tanggungan.

Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pihak adalah melalui

penyelesaian secara kekeluargaan atau mediasi dengan tujuan pihak

pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur untuk

melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan.

Pelunasan utang debitur kepada kreditur akan menghapus perjanjian

pokok, sehingga perjanjian hak tanggungan akan ikut menjadi hapus,

dengan demikian dapat dilakukan roya terhadap sertifikat hak

tanggungan.

4.2. Saran

a. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan harus dilakukan berdasarkan

kesepakatan semua pihak secara tertulis, sehingga hal tersebut akan

memberikan kekuatan hukum baik bagi kreditur, debitur atau pihak

ketiga (pembeli obyek jaminan hak tanggungan). Kekuatan hukum bagi

kreditur adalah dia dapat melakukan pengawasan terhadap proses

Page 21: Universitas Narotamakaryailmiah.narotama.ac.id/files/DEKRIMINALISASI UPAYA... · Web viewSolusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi

21

penjualan obyek tersebut, sehingga setelah proses jual beli terjadi dapat

langsung diambil hasil penjualan tersebut untuk memenuhi utang debitur.

Kekuatan hukum bagi pembeli adalah secepat mungkin dapat menerima

penyerahan obyek dari penjual, sehingga peralihan kepemilikan atas

obyek jual beli dapat terjadi tanpa menimbulkan resiko kerugian.

b. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan tanpa

persetujuan kreditur menyebabkan pihak pembeli berada dalam posisi

yang sangat lemah dan beresiko besar kehilangan obyek yang telah

dibayarnya. Oleh karena itu pembeli obyek jaminan hak tanggungan

harus memeriksa berkas obyek yang hendak dibeli agar terhindar dari

masalah sengketa dengan pihak lain. Apabila jual beli tersebut telah

terlanjur dilaksanakan, pembeli harus membantu penjual (debitur) untuk

segera melunasi utang kepada kreditur dan meningkatkan langkah-

langkah kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Pemerintah

dapat membantu kedudukan para pihak dengan menerbitkan peraturan

yang mengatur bahwa pengalihan obyek jaminan hak tanggungan harus

dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak, serta adanya sanksi

baik administratif atau pidana bagi pihak-pihak yang melanggarnya.

Dengan demikian akan tercipta tertib hukum agraria secara maksimal.