UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM EKSTRAK...
Transcript of UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM EKSTRAK...
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM
EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU (Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr.)
SKRIPSI
PUTRI WULANDARI
1112102000072
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2016
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM
EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU (Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr.)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
PUTRI WULANDARI
1112102000072
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2016
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Putri Wulandari
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Krim Ekstrak Etanol
Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
Tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata diketahui memiliki aktivitas antioksidan
karena memiliki kandungan diantaranya senyawa flavonoid dan fenolat. Senyawa
tersebut diketahui dapat mencegah radikal bebas yang menyebabkan penuaan dini.
Pada penelitian ini ekstrak etanol Nephrolepis falcata diformulasi menjadi sediaan
krim antioksidan dengan variasi konsentrasi emulgator asam stearat yaitu F1 (12%),
F2 (13%), dan F3 (14%). Konsentrasi asam stearat yang dapat menghasilkan
kestabilan krim belum diketahui, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi asam stearat sebagai emulgator untuk dapat menghasilkan krim yang
stabil secara fisik dan kimia. Uji kestabilan fisik dilakukan pada suhu + 250C dan
400C . Penentuan evaluasi stabilitas kimia dilakukan dengan metode peredaman
DPPH dengan menghitung persen inhibisinya. Evaluasi karakteristik mutu fisik krim
meliputi organoleptik, homogenitas, pH, daya sebar, viskositas, dan uji mekanik
(sentrifugasi) pada hari ke-0 dan ke-21. Hasil pengamatan organoleptik menunjukan
adanya perubahan warna krim F1 dan F2 pada hari ke-21 penyimpanan suhu 400C,
terjadi perubahan warna krim F1 setelah pengujian cycling test, ketiga krim memiliki
kestabilan pada penyimpanan suhu ruang dan uji mekanik. Hasil pengukuran pH krim
F1, F2, dan F3 menunjukan adanya perubahan namun masih berada dalam rentang
pH normal kulit,4,5-8. Pengukuran persen inhibisi krim dilakukan pada penyimpanan
hari ke-1 dan hari ke-22, uji statistik t-test meunjukan bahwa krim F1 dan F2
menunjukan adanya penurunan yang bermakna dengan nilai P< 0,05, sedangkan F3
tidak terjadi penurunan bermakna dengan nilai P> 0,05. Hal ini menunjukan sediaan
yang memnuhi stabilitas mutu fisik dan kimia krim yaitu F3 dengan menggunakan
emulgator asam stearat konsentrasi 14%.
Kata Kunci : Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata, krim antioksidan, persen inhibisi,
DPPH, asam stearat
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Putri Wulandari
Title : Stability Test of Physical and Chemical Cream Ethanol
Extracts Fern (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
Fern species Nephrolepis falcata have powerful antioxidant activity because it
contains flavonoid and fenolat compound. These compounds are known to prevent
and inhibit the formation of free radical that cause premature aging. In this research
ethanolic extract of Nephrolepis falcata formulated into antioxidant cream have been
done by applying variation of stearic acid emulgator. The variation were F1 (12%),
F2 (13%), and F3 (14%). The concentration of stearic acid to produce the stability of
the cream unknown, the study aims to determine the concentration of stearic acid as
an emulsifier to produce a cream which is stable physically and chemically. Physical
stability test conducted by keeping those three concentration of creams at two
temperature conditions : in + 250C and 40
0C. Determination of antioxidant activity
was done based on DPPH method. evaluation on physical characteristics was done
based on organoleptic test, homogenity, pH, dispersive ability, viscosity and
mechanical test (centrifugation). Observation was done during 21 days. This research
showed their organoleptic cream color of F1 and F2 were change on the 21st day at
400C storage temperature, the color changes of cream F1 after testing the cycling test,
the three creams stable at room temperature and mechanical tests. Results of pH
measurement cream F1, F2, and F3 show the changes but still in normal pH of the
skin, from 4.5 to 8. while DPPH reduce percent of F1, F2 and F3 made on 1st day and
22nd
day. the result test statistic of T-test showed that cream F1 and F2 was
significant decrease in the value of P <0.05, while F3 does not decrease significantly
with P > 0.05. Our result showed that cream F3 using stearic acid emulsifier
concentration of 14% was stable in physical and chemical during storage.
Key word : Ethanol extract Nephrolepis falcata, antioxidant creams, percent
inhibition, DPPH, stearic acid
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Krim Ekstrak Etanol
Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)”. Shalawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penulis skripsi ini
dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan
terima kasih banyak kepada :
1. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt, dan Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D. Apt, selaku
pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu, masukan,
dukungan, dan semangat kepada penulis,
2. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Supandi, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan berjalan
5. Kedua orang tua tercinta, mamah dan papah yang senantiasa memberikan
kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil, serta doa tanpa henti
yang selalu menyertai setiap langkah penulis
6. Orang terdekat Martin Darmawan, Vemy Suci A, Ranu Andika, Fahmi Adam
yang selalu memberikan dukungan dan doa
7. Seluruh keluarga besar yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
dukungannya kepada penulis
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis
9. Teman-teman seperjuangan di laboratorium Khoirun Nisak, Risha Natasha,
Annisa F M, Nisa Utami, Nurul Fitri, Fenny Delfiyanti, Siti Windi yang telah
memberikan motivasi selama penelitian dan dukungan dari awal hingga akhir
penyelesaian skripsi ini
10. Sahabat Cetar; Bella Alkaff, Nursetyowati Rahayu, Rouli Meparia, Mauliana,
Pipit Fitriah yang telah memberikan motivasi, dukungan, dan tempat berbagi
suka duka.
11. Sahabat Cera Alba (Ami Indil, Endang, Moethia, Zakiyah jeki, Intan,
Ichamar, Laila lele, Risha, Icak ikan, ibu Nunud, dan Dian) yang telah
menjadi sahabat sehati sejak awal perkuliahan hingga membantu dalam
selesainya penelitian ini
12. Sahabat seperbudutan (Feby Fitriani, Chairinaya, Hanny, Elis) yang telah
memberikan motivasi dari jauh dan tempat berbagi cerita.
13. Teman-teman Cabe Farmasi 2012 AC atas persaudaraan dan kebersamaan
yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan
skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan
14. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah
skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua bantuan
dan dukungan yang diberikan Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran
serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
HALAMAN PERSYARATAN ORISINALITAS ................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2. 1. Kosmetik .............................................................................................. 4
2. 2. Kulit ..................................................................................................... 4
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ....................................................... 4
2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit ...................................................... 8
2.2.3 Faktor yang Mmempengaruhi Penetrasi .................................... 9
2. 3. Krim ..................................................................................................... 9
2.3.1 Pengertian Krim ......................................................................... 9
2.3.2 Tipe Krim ................................................................................... 10
2.3.3 Komponen Krim ........................................................................ 10
2.3.3.1 Setil Alkohol .................................................................. 10
2.3.3.2 Gliserin .......................................................................... 11
2.3.3.3 Metil Paraben ................................................................ 11
2.3.3.4 Propil Paraben ............................................................... 11
2.3.3.5 Trietanolamin ................................................................ 11
2.3.3.6 Asam Stearat .................................................................. 12
2.3.3.7 Akuadest ........................................................................ 12
2.3.4 Stabilitas Emulsi ........................................................................ 12
2.3.4.1 Kriming dan Sedimentasi .............................................. 14
2.3.4.2 Flokulasi ........................................................................ 14
2.3.4.3 Koalesen ........................................................................ 14
2. 4. Tumbuhan Paku .................................................................................. 14
2.4.1 Penyebaran Tumbuhan Paku ....................................................... 15
2.4.2 Ciri Umum Tumbuhan Paku ....................................................... 15
2. 5. Nephrolepis falcata ............................................................................. 16
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.1 Taksonomi ................................................................................... 16
2.5.2 Sinonim ....................................................................................... 16
2.5.3 Deskripsi .................................................................................... 17
2.5.4 Distribusi dan Habitat ................................................................ 17
2.5.5 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi ................................... 18
2. 6. Antioksidan dan Radikal Bebas .......................................................... 18
2. 7. Tekhnik Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa ...................................... 20
2.7.1 Tinjauan Ekstraksi ...................................................................... 20
2.7.1.1 Pengertian Ekstraksi ...................................................... 20
2.7.1.2 Metode Ekstraksi ........................................................... 21
2.7.1.3 Proses Pembuatan Ekstrak ............................................. 23
2.7.2 Identifikasi Senyawa .................................................................. 24
2.7.2.1 Skrining Fitokimia ......................................................... 24
2.7.2.2 Uji Kadar Air ................................................................. 26
2.7.3 Senyawa Flavonoid Ekstrak ....................................................... 27
2. 8. Spektrofotometri UV-Vis ..................................................................... 27
BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 30
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 30
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .................................................................... 30
3.2.1 Alat Penelitian ............................................................................. 30
3.2.2 Bahan Penelitian ........................................................................... 30
3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................... 30
3.3.1 Penyiapan Simplisia ..................................................................... 30
3.3.2 Ekstraksi Tanaman Nephrolepis falcata ...................................... 31
3.3.3 Rancangan Formulasi Krim ......................................................... 31
3.3.4 Proses Pembuatan Krim ............................................................... 32
3.4 Evaluasi Fisik Sediaan Krim ................................................................ 32
3.4.1 Pengamatan Organoleptis Krim.................................................... 32
3.4.2 Pengujian Homogenitas Krim ..................................................... 32
3.4.3 Pengukuran pH ............................................................................ 32
3.4.4 Pengukuran Viskositas ................................................................ 33
3.4.5 Pengukuran Daya Sebar .............................................................. 33
3.5 Pengujian Stabilitas Krim .................................................................... 33
3.5.1 Metode cycling test ....................................................................... 33
3.5.2 Stabilitas pada Suhu 400C ............................................................ 34
3.5.3 Stabilitas pada Suhu +250C .......................................................... 34
3.5.4 Uji Mekanik (sentrifugasi) ........................................................... 34
3.5.5 Uji Perenedeman DPPH Krim ..................................................... 34
3.6 Alur Penelitian ..................................................................................... 36
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37
4.1 Ekstraksi ............................................................................................... 38
4.2 Pengujian Perendeman DPPH Krim ...................................................... 39
4.3 Evaluasi Krim ....................................................................................... 42
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Hasil Pengamatan ................................................................................. 43
4.4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis ................................................... 43
4.4.2 Hasil Pemeriksaan pH .................................................................. 45
4.4.3 Hasil Pengamatan Daya Sebar ..................................................... 46
4.4.4 Hasil Pengukuran Sifat Alir ......................................................... 47
4.4.5 Hasil Pengujian cycling test ......................................................... 48
4.4.6 Hasil Uji Mekanik ........................................................................ 49
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 51
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 51
5.2 Saran ...................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52
LAMPIRAN ...................................................................................................... 59
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Tipe Emulsi .......................................................................................... 12
Tabel 2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak ................................................................... 18
Tabel 2.3 Penapisan Fitokimia Ekstrak Pelarut N-heksan .................................... 26
Tabel 3.1 Formula Krim Ekstrak Nephrolepis falcata .......................................... 31
Tabel 4.1 Karakteristik Ekstrak Nephrolepis falcata ............................................ 38
Tabel 4.2 Rata-rata Persen Inhibisi Krim .............................................................. 40
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik Krim .................................................. 43
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH ........................................................................... 45
Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Daya Sebar .............................................................. 46
Tabel 4.6 Hasil Pengamatan cycling test............................................................... 48
Tabel 4.7 Hasil Pengamatan uji mekanik .............................................................. 49
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Kulit Manusia ........................................................................ 5
Gambar 2.2 Ketidak Stabilan Sediaan Emulsi ........................................................ 13
Gambar 2.3 Nephrolepis falcata ............................................................................. 16
Gambar 2.4 Kerangka Flavonoid ............................................................................ 27
Gambar 2.5 Spektrofotometri UV-Vis .................................................................... 28
Gambar 4.1 Ekstrak Nephrolepis falcata ................................................................ 38
Gambar 4.2 Mekanisme DPPH Akseptor ............................................................... 39
Gambar 4.3 Grafik Persen Peredaman .................................................................... 42
Gambar 4.4 Sifat Alir Krim .................................................................................... 47
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Bahan Krim ..................................................................... 59
Lampiran 2. Skema Pengujian Persen Inhibisi Krim ................................................ 60
Lampiran 3. Gambar Hasil Pengamatan .................................................................. 61
Lampiran 4. Nilai Viskositas Krim .......................................................................... 65
Lampiran 5. Perhitungan Persen Inhibisi Krim ........................................................ 67
Lampiran 6. COA Asam Stearat .............................................................................. 71
Lampiran 7. COA Setil Alkohol .............................................................................. 72
Lampiran 8. COA Trietanolamin ............................................................................. 73
Lampiran 9. COA Gliserin ....................................................................................... 74
Lampiran 10. COA methanol for analysys ............................................................... 75
Lampiran 11 .Hasil Identifikasi Tanaman ................................................................ 76
Lampiran 12. Hasil Uji Statistik................................................................................ 77
1
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nephrolepis falcata merupakan salah satu dari jenis tanaman paku
yang mudah ditemukan pada daerah beriklim tropis atau negara yang
memiliki hutan tropis seperti Indonesia. Selain digunakan sebagai tanaman
hias Nephrolepis falcata diketahui memiliki aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi (Komala, 2015). Berdasarkan studi fitokimia tumbuhan paku
jenis Nephrolepis falcata memiliki aktivitas farmakologi dengan kandungan
senyawa diantaranya golongan flavonoid, terpenoid, senyawa fenol, dan
saponin (Komala, 2015).
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik yang terdiri atas
gugus hidroksil (R-O-H) dan gugus karbonil (R-CO-R’). Flavonoid berperan
sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya (Redha,
2010). Penelitian in vitro yang sebelumnya telah dilakukan menunjukan
bahwa esktrak etanol Nephrolepis falcata memiliki potensi antioksidan
dengan nilai IC50 yang dimiliki sebesar 25,8+3,5 ppm dan nilai indeks
aktivitas antioksidan (AAI) 3,8+0,3 (Komala, 2015) sehingga berpotensi
untuk dikembangkan menjadi sediaan antioksidan, namun demikian, belum
ditemukan pemanfaatan ekstrak Nephrolepis falcata dalam sediaan semi
solid seperti krim, gel, maupun salep.
Krim merupakan bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi kental
mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Terdapat dua macam sistem dispersi sediaan krim, fase air yang terdispersi
dalam fase minyak (A/M) dan fase minyak yang terdispersi dalam fase air
(M/A) (Lachman et al., 1994). Sediaan krim dipilih karena memiliki beberapa
keuntungan diantaranya; mudah diaplikasikan karena bentuknya yang semi
2
padat, mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu
cukup lama, lebih nyaman digunakan pada wajah, tidak lengket, serta lebih
mudah dibersihkan dengan air bila dibanding sediaan gel, salep, atau pasta
(Sharon, et al., 2013). Sediaan krim dengan tipe emulsi minyak dalam air
(m/a) lebih disukai dibanding tipe emulsi air dalam minyak (a/m), karena
lebih tidak terasa lengket atau berlemak, mudah dicuci, tidak meninggalkan
bekas pada kulit atau pakaian dan menimbulkan rasa nyaman dan dingin
(Lachman et al., 1994).
Berdasarkan penelusuran literatur (Allen, 2009), formulasi sediaan
krim dengan penggunaan emulgator asam stearat dan TEA dapat berpengaruh
terhadap kekentalan dan pH sediaan. Pada jurnal dari sumber berbeda,
disebutkan perlakuan variasi emulgator asam stearat : TEA dapat
mempengaruhi kekerasan krim serta mempengaruhi stabilitas sediaan krim
secara fisik yang meliputi organoleptik, pH, viskositas, dan secara kimia
(Sharon et al., 2013).
Syarat yang harus dipenuhi sediaan krim yang stabil adalah stabil
dalam batas yang masih diterima selama periode waktu penyimpanan, baik
secara fisik dan komponen kimia. Berdasarkan uraian diatas maka perlu
dilakukan penelitian untuk membuat sediaan krim antioksidan ekstrak etanol
tanaman paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr tipe emulsi (m/a) yang
memenuhi syarat kestabilan fisik krim dan secara komponen kimia dengan
membandingkan konsentrasi emulgator asam stearat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata dapat
diformulasikan menjadi sediaan krim yang stabil selama proses
penyimpanan?
2. Berapa konsentrasi emulgator asam stearat yang dapat menghasilkan
sediaan krim Nephrolepis falcata yang stabil secara kimia?
3. Berapa konsentrasi emulgator asam stearat yang dapat menghasilkan
sediaan krim Nephrolepis falcata yang stabil secara fisik?
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Memformulasi sediaan krim yang stabil dari ekstrak tanaman paku
Nephrolepis falcata selama proses penyimpanan
2. Mencari konsentrasi emulgator asam stearat yang stabil terhadap
stabilitas kimia sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata selama
periode penyimpanan
3. Mencari konsentrasi emulgator asam stearat yang stabil terhadap
stabilitas fisik sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata selama
periode penyimpanan
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pemanfaatan ekstrak tanaman paku Nephrolepis falcata dalam sediaan krim
serta pengaruh perbedaan konsentrasi emulgator asam stearat terhadap
stabilitas sediaan krim selama penyimpanan.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kosmetik
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan
dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud
untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa,
melindungi supaya tetap dalam keadaan baik memperbaiki bau badan tetapi
tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit..
(Depkes RI, Undang-undang tentang Kosmetika dan Alat Kesehatan, 1976).
Tujuan pemakaian kosmetik dimaksudkan untuk melindungi tubuh dari
lingkungan luar, panas, sinar matahari, maupun kekeringan. Akan tetapi
semakin berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi pemakaian kosmetik
saat ini dapat digunakan juga untuk meningkatkan daya tarik seperti
pemakaian make up, meningkatkan kepercayaan diri, serta melindungi kulit
dari sinar UV, polutan dan penuaan dini (Tranggono & Latifah, 2007)
2.2 Kulit
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ terbesar tubuh yang membentuk sekitar 15%
berat badan orang dewasa dan melapisi semua bagian tubuh. Kulit memiliki
beberapa fugsi vital diantaranya sebagai penghalang fisik dari lingkungan
luar, pencegahan kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan dalam
termoregulasi, memberikan perlindungan terhadap mikro-organisme, radiasi
ultraviolet, serta paparan agen beracun. Kulit merupakan organ dinamis
karena sifatnya yang dapat mengalami perubahan sel secara konstan, dimana
sebagai sel dari lapisan luar kulit akan digantikan secara kontinu oleh sel-sel
5
6
sintetis keratin dan kemudian mengalami fase degradatif (Chu,
2008).
Stratum basale
Merupakan lapisan terdalam epidermis yang terletak
berdekatan dengan lapisan dermis. Terdapat keratinosit
berbentuk kolom pada lapisan ini, dimana keratinosit
membedakan antara stratum basal dengan bagian
bawahnya. Hal lain yang membedakan lapisan basal adalah
sel yang ber bentuk oval atau memanjang terdapat inti,
warnanya yang gelap serta adanya pigmen warna atau
melanin yang memproduksi melanosit. Melanin akan
terakumulasi dalam melanosom untuk dihantarkan ke
keratinosit. Pigmen melanin berfungsi memberikan
perlindungan terhadap paparan radiasi ultraviolet (UV);
paparan kronis sinar akan meningkatkan rasio melanosit ke
keratinosit, sehingga lebih banyak ditemukan di kulit wajah
dibandingkan dengan punggung bawah dan lebih banyak di
lengan luar dibandingkan dengan lengan bagian dalam
(Chu, 2008).
Stratum spinosum
Seperti pada lapisan basal, sel, sel-sel pada lapisan ini
tumbuh membentuk sel baru dengan bergerak menuju
lapisan luar kulit dengan membentuk spinosum stratum dan
dihantarkan ke ruang antara, untuk menghubungkan antar
sel terdapat jembatan desmosom atau penghubung
desmosome sebagai penghubung ruang-ruang antar sel.
Lapisan ini memiliki fungsi sebagai penahan gesekan dari
luar (Chu, 2008). Pada lapisan ini terdapat Sel Langerhans
yang merupakan makrofag turunan dari sumsum tulang,
berfungsi sebagai perangsang sel Limfosit T, mengikat,
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel
Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.
Stratum granulosum
Merupakan lapisan paling dangkal dari epidermis. Pada
lapisan ini terdapat lapisan granular atau stratum
granulosum dengan sel berbentuk gepeng, sitoplasmanya
berisikan granul keratohialin. Sel-sel ini bertanggung jawab
dalam sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam
keratinisasi (Chu, 2008). Ketebalan lapisan granular
bervariasi sesuai dengan lapisan sel tanduk pada bagian
atasnya.
Stratum korneum
Lapisan ini berfungsi emberikan perlindungan mekanik
untuk epidermis sebagai penghalang untuk mencegah
kehilangan air dan invasi dari zat asing. tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin (Chu, 2008).
2. Lapisan Dermis
Dermis terdiri dari fibroblas, yang memproduksi kolagen, elastin
dan proteoglikan structural, mengakomodasi stimulus saraf dan
jaringan pembuluh darah, makrofag,serta sel mast. Lapisan dermis
berfungsi dalam melindungi tubuh dari cedera mekanis, mengikat
air, membantu dalam regulasi termal, dan termasuk reseptor dalam
rangsang sensorik. Kolagen, elastin dan serat merupakan
komponen utama dermis. Berfungsi dalam memberikan kekuatan
dan fleksibilitas pada kulit. Usia serta radiasi sinar UV merupakan
faktor utama penyebab berkurangnya produksi kolagen dan elastin
sehingga menyebabkan menurunnya fleksibilitas, pengembangan
keriput dan kendur kulit (Tortora dan Grabowski 2000).
8
3. Lapisan Subkutan
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar dan lemak. Pada
embrio lapisan subkutan mulai berkembang pada bulan ke 5, pada
lobulus ini sel-sel lemak dan kolagen dipisahkan oleh septa fibrosa
dari pembuluh darah. Jaringan subkutan berfungsi dalam
penyediaan energi (James et al., 2006).
2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit
Proses penetrasi melalui stratum korneum dapat terjadi dengan adanya
proses difusi melalui dua mekanisme:
A. Absorbsi transepidermal
Merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang dapat
terjadi melalui dua jalur yakni jalur transeluler yang berarti
proses difusi terjadi melalui protein dalam sel serta melewati
daerah kaya akan lipid atau bersifat lipofil, dan jalur
paraseluler yang berarti proses difusi berlangsung melalui
ruang antar sel. Penetrasi berlangsung melalui dua tahap:
pertama pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum,
tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa serta stratum
korneum, kedua difusi melalui epidermis dan dermis dibantu
oleh aliran pembuluh darah dermis (Banker & Rhode 2002).
B. Absorbsi transappendageal
Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan
kelenjar keringat melalui pori-pori, sehingga memungkinkan
obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal
lebih baik dari jalur ini, dikarenakan luas permukaan jalur
transappendageal lebih kecil (Banker & Rhode 2002).
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetrasi
Usia - penetrasi lebih baik pada bayi baru lahir dan anak-
anak dibandingkan pada orang dewasa.
Kondisi kulit - penetrasi kulit lebih baik pada permukaan
kulit yang terluka atau terkelupas.
Hidrasi kulit - penetrasi lebih baik pada kulit terhidrasi dari
pada kulit kering. Hidrasi dapat meningkatkan
permeabilitas stratum korneum sebab air merupakan
peningkat penetrasi yang efektif.
Jenis pembawa - pembawa pada sediaan topikal dapat
mempengaruhi penetrasi dan penyerapan obat pada
permukaan kulit. Hal ini tergantung pada jenis pembawa
yang digunakan dan kondisi kulit.
Hiperemia - vasodilatasi pembuluh darah dapat meningkat
penetrasi lokal atau sistemik (Banker & Rhode 2002).
2.3 Krim
2.3.1 Pengertian Krim
Krim merupakan suatu bentuk sediaan setengah padat yang
mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
dasar yang sesuai (FI Edisi IV). Mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar tubuh (FI Edisi III). Krim merupakan
bentuk emulsi dengan konsistensi semisolida sehingga mempunyai viskositas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan likuida. Pada umumnya
sediaan krim dibagi menjadi dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air
(O/W) terdiri dari tetes-tetes kecil minyak (fase internal) yang terdispersi
dalam air (fase eksternal), dan sebaliknya pada krim air dalam minyak (W/O)
(Huczko, 1999). Krim dengan basis minyak dalam air memiliki sifat yang
lebih nyaman dan cenderung disukai oleh masyarakat, karena memberikan
10
konsistensi yang berminyak dan cenderung lengket, akan tetapi banyak bahan
aktif yang bersifat hidrofobik yang pelepasannya lebih mudah, dan
meningkatkan konsentrasi bahan larut air jika menggunakan basis jenis ini .
Krim tipe air dalam minyak sering digunakan untuk memberikan efek emolien
pada kulit, digunakan sebagai ointment dan lebih mudah menyebar saat
dioleskan (Nayank, 2004).
2.3.2 Tipe Krim
Sediaan krim dapat dibuat dua tipe emulsi yakni fase minyak yang
terdispersi dalam air (m/a) dan fase air yang terdispersi dalam minyak (a/m).
Sediaan krim tipe minyak dalam air (m/a) megandung fase minyak yang
terdispersi dalam fase air yang bertindak sebagai fase kontinu, digunakan
sebagai pembersih dan pelembab kulit, meninggalkan lapisan berminyak atau
film pada kulit. Pada krim tipe (m/a) fase kontinu akan menguap dan
meningkatkan konsentrasi obat larut air yang terikat dalam film sehingga
meningkatkan konsentrasi obat di stratum korneum, krim tipe ini bersifat non-
oklusif karena tidak mendeposit film terus menerus namun dapat mendeposit
lipid dan bahan pelembab lainnya pada stratum korneum,. Pada sediaan krim
tipe (a/m) dimana fase air terdispersi dalam fase minyak sebagai fase kontinu
digunakan sebagai ointment atau salep karena kandungan mineral oil yang
besar sehingga dapat digunaan untuk kulit yang meradang (Nayank, 2004).
2.3.3 Komponen Krim
2.3.3.1 Setil alkohol
Dalam krim setil alcohol digunakan karena mempunyai sifat
pengemulsi. Hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur,
dan juga meningkatkan konsistensin sediaan krim. Sifat emolien dimaksudkan
karena penyerapan dan retensi setil allkohol pada epidermis yang dapat
meminyaki dan melembutkan kulit. Konsentrasi yang digunakan untuk
emollient yaitu 2 - 10 % sedangkan sebagai pengemulsi konsentrasi yang
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan yaitu 2 – 5 %. Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol 95%
dan eter. Kelarutan dapat dipercepat jika suhu dinaikan (Wade dan Weller,
1994).
2.3.3.2 Gliserin
Gliserin banyak digunakan dalam formulasi farmasi dan topical
sebagai humektan dan emolien. Gliserin larut dalam pelarut air, methanol,
etanol, tidak larut dalam benzene dan kloroform. Konsentrasi yang digunakan
sebagai humektan 1 – 30 %.
2.3.3.3 Metil Paraben
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi. Metil paraben dapat
digunakan baik sendiri, dalam kombinasi dengan paraben lain, atau dengan
agen antimikroba lain. Pada produk kosmetik, metil adalah yang paling sering
digunakan dalam pengawet antimikroba. Mempunyai aktivitas mikroba antara
pH 4 – 8. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,02 – 0,3 %.
2.3.3.4 Propil Paraben
Propil paraben digunakan juga sebagai antimikroba dalam produkn
farmasi. Mempunyai aktivitas antimikroba pada rentang pH 4 – 8. Konsentrasi
yang digunakan sebagai antimikroba adalah 0,01 – 0,6 %.
2.3.3.5 Trietanolamin
Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal,
terutama dalam pembentukan emulsi. Trietanolamin terbentuk sebagai cairan
kental yang jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, dan berbau sedikit
amoniak. Trietanolamin merupakan emulgator yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan dua fase sehingga bersifat sebagai
surfaktan, juga untuk menstabilkan tingkat pH. Larut dalam 95% etanol,
methanol, air (Rowe, et al., 2009).
12
2.3.3.6 Asam Stearat
Berbentuk padatan Kristal berwarna putih atau sedikit kuning,
mengkilat, praktis tidak larut air, berfungsi sebagai emulsifying agent (Rowe,
et al., 2009).
2.3.3.7 Aquadest
Aquadest merupakan air murni yang diperoleh dengan penyulingan.
Perolehan air murni yaitu dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis
terbalik atau cair lain yang sesuai. Air murni bebas dari kotoran dan mikroba
dibanding dengan air biasa. Air murni banyak digunakan dalam bentuk-
bentuk sediaan yang mengandung air, kecuali dimaksud untuk pemberian
parenteral (Ansel, 1989).
2.3.4 Stabilitas Emulsi
Emulsi terdiri atas dua cairan berupa tetesan kecil atau droplet yang
tidak bercampur. Emulsi diklasifikasikan menjadi dua jenis; emulsi minyak
dalam air (O/W) dimana tetesan minyak terdispersi dalam media air, emulsi
air dalam minyak (W/O) dimana tetesan air terdispersi dalam media minyak
(Dalgleish, 2006). Berdasarkan ukuran droplet, emulsi dibedakan menjadi 3
jenis:
Tabel 2.1 Tipe Emulsi
Jenis Emulsi Ukuran Droplet
Makroemulsi tipe O/W dan W/O 0.1–5μm
Nanoemulsi 20–100nm
Mikroemulsi 5–50nm
(Wiley, 2013 )
13
14
2.3.4.1 Kriming dan Sedimentasi
Kriming dan sedimentasi merupakan perubahan ketidakstabilan emulsi
yang dapat terlihat secara kasat mata, ditandai dengan warna keputihan yang
berkumpul di lapisan atas emulsi ataupun terdapat dilapisan bawah yang
disebut sedimentasi (Pichot, 2010). Proses ini terjadi akbit gaya gravitasi dan
sentrifugal, gradient konsentrasi akan menumpuk pada lapisan atas emulsi
karena droplet bergerak naik jika densitasnya lebih rendah dari medium
pendispersi. Gradient konsentrasi akan menumpuk bergerak ke lapisan bawah
sediaan jika densitas droplet lebih besar dibanding medium (Wiley, 2013).
2.3.4.2 Flokulasi
Metode termudah untuk mengamati flokulasi droplet dengan
menggunakan mikroskop. Flokulasi adalah efek antagonis dalam stabilitas
emulsi. Proses flokulasi terbentuk akibat gaya tarik vander walls,
menyebabkan agregasi droplet tanpa perubahan ukuran droplet. Pembentukan
droplet flokulasi mempengaruhi laju kriming sediaan. Dalam emulsi encer,
interaksi antar droplet hanya sedikit atau tidak terjadi sama sekali sehingga
cenderung meningkatkan laju kriming karena dentitas media yang lebih kecil
dibanding droplet menyebabkan droplet berkumpul di lapisan atas. Adanya
flokulasi dapat meningkatkan viskositas sediaan emulsi (Pichot, 2010).
2.3.4.3 Koalesen
Koalesen merupakan bergabungnya dua droplet atau lebih membentuk
satu kesatuan menjadi lebih besar, sehingga terbentuk lapisan minyak
dibagian atas emulsi. Hal tersebut terjadi akibat adanya penipisan atau
pecahnya lapisan film antar droplet sehingga terbentuk kesatuan antar droplet
(Wiley, 2013).
2.4 Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku memiliki keaneka ragaman tinggi dan merupakan
vegetasi yang lebih mudah ditemui di daerah dataran tinggi. Secara ekologis
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tumbuhan paku memiliki fungsi sebagai penyeimbang ekosistem karena dapat
mencegah erosi, pengaturan tata air, juga membantu dalam proses pelapukan
serasah hutan (Arini, 2009) . dalam kegunaannya terhadap manusia tumbuhan
paku dapat dimanfaatkan menjadi sayur-sayuran, kerajinan tangan, tanaman
hias, serta obat-obatan tradisional (Rismunandar dan Ekowati, 1991). Berbeda
dengan lumut, tumbuhan paku (Pteridophyta) memiliki ukuran lebih besar
dengan panjang daun mencapai 3 m dan terdapat jaringan pembuluh berupa
xilem dan floem. Pada sporofit dewasa tumbuhan ini telah memiliki akar,
batang, dan daun sejati (Hartini, 2006).
2.4.1 Penyebaran Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku dapat tumbuh pada daerah dataran tinggi maupun
rendah, lebih banyak ditemukan pada dataran tinggi dan tempat lembab, ada
pula yang bersifat epifit. Pola penyebaran tumbuhan paku umumnya
tergantung pada faktor lingkungan dan keistimewaan biologis yang terdapat
pada setiap jenis tumbuhan ini. (Sastrapradja, 1979 dalam Haryadi, 2000).
2.4.2 Ciri Umum Tumbuhan Paku
Umunya berupa kormus karena memiliki akar, batang, dan daun sejati.
Berkembang biak dengan spora. Akar tumbuhan paku berfungsi sebagai
penahan tumbuhan di dalam tanah, menyerap air dan mineral dari dalam
tanah. Pada bawah permukaan daun dewasa sering dijumapi bitnik hitam yang
disebut sorus, dibagian dalamnya terdapat kumpulan spora yang dilindungi
suatu selaput disebut indusium. Bentuk indusium berbeda-beda pada setiap
jenisnya, sehingga dapat membedakan antara satu jenis tumbuhan paku
dengan tumbuhan paku jenis lainnya (Hartini,2006).
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fishtail swordfern
Aspidium biserratum var. furcans
Aspidium gibbosum
Nephrolepis davallioides var. furcans
Nephrolepis biserrata var. furcans
Tectaria falcata
2.5.3 Deskripsi
Nephrolepis falcata memiliki stolon yang menyebar dengan ketebalan
1-1,5 mm. Memiliki cabang dengan sudut sempit. Pada paku dengan spesies
ini jarang ditemukan sisik yang terdapat pada stolon. Panjang daun + 65-200
cm, lebar + 7-10 cm. Pinnae pada bagian tengahnya melengkung sampai
berbentuk bulan sabit. Sisik yang terdapat pada lamina berbeda-beda, dapat
tersebar pada seluruh pemukaan daun, ada pula yang hanya tersebar pada
titik tertentu. Sorus atau kantung spora berbetuk bulat menyerupai bitnik
hitam, marginal membentuk 19-29 pasang pinnae yang berfungsi dalam
fertilisasi. Memiliki indusium berbetuk ginjal (Hovenkamp & Miyamoto
2005).
2.5.4 Distribusi dan Habitat Nephrolepis falcata
Tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata dilaporkan tersebar dari
daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan ketinggian 300-2500 m.
mudah ditemui pada daerah lembab, dibebatuan, ada pula yang menempel di
pohon (Hovenkamp dan Miyamoto, 2005). Tumbuhan paku ini memiliki
penyebaran yang relative cepat. Penyebarannya dapat ditukan di hutan tropis
Amerika terutama Florida dan Hawai, Filipina, tersebar di wilayah Asia, juga
di daerah perairan seperti Australia dan Papua nugini (Wunderlin dan
Hansen, 2000; Wilson, 2002).
18
2.5.5 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi
Telah dilakukan penelitian sebelumnya yang mempublikasikan
kandungan kimia dan aktivitas biologi Nephrolepis falcata. Hasil uji aktivitas
tumbuhan paku menunjukan, Nephrolepis falcata memiliki aktivitas sebagai
antioksidan dan antiinflamasi, dengan kandungan kimia antara lain senyawa
fenolat dan flavonoid (Komala, 2015).
Table 2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Nephrolepis falcata
No Kandungan Kimia Nephrolepis falcata
MeOH EtOAc
1 Alkaloid - -
2 Flavonoid + +
3 Triterpenoid - +
4 Steroid
- -
5 Fenol + -
6 Saponin + -
(Komala, 2015)
2.6 Antioksidan dan Radikal Bebas
Antioksidan merupakan suatu zat yang berperan dalam perlindungan
terhadap sel-sel tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh molekul tidak
stabil yakni radikal bebas dengan cara berinteraksi dan menstabilkan radikal
bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel. Antioksidan adalah
molekul yang dapat mencegah ataupun memperlambat oksidasi molekul lain.
Oksigen merupakan suatu atom sangat reaktif yang berpotensi merusak
molekul atau disebut radikal bebas. Radikal bebas mampu menyerang sel-sel
tubuh normal, menyebabkan sel berubah struktur maupun fungsinya dan
merupakan faktor utama penyebab penuaan, dan timbulnya penyakit
degeneratif seperti kanker (Sies, 1997).
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Radikal bebas merupakan molekul bermuatan berfragmen, yang memiliki satu
atau lebih elektron bebas pada orbit terluarnya dan cenderung mencari
elektron dari zat lain untuk dapat berikatan dan membentuk reaksi berantai
(Valko et al., 2007). Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah istilah yang
meliputi semua molekul mengandung oksigen yang bersifat reaktif, termasuk
molekul, termasuk radikal bebas. (Menurut Mark Percival dalam clinical
nutrition insights, Antioxidant) terdapat beberapa jenis ROS, termasuk radikal
hidroksil, anion radikal superoksid , hidrogen peroksida, singlet oksigen,
radikal nitrat oksida, radikal hipoklorit, dan berbagai lipid peroksida. Semua
ROS tersebut dapat bereaksi dengan membran lipid, asam nukleat, protein dan
enzim, serta molekul kecil lainnya, sehingga mengakibatkan kerusakan sel.
Berdasarkan mekanismenya, reaksi rantai melibatkan radikal bebas dibagi dua
tahapan yakni inisiasi dan propagasi. Menurut Gordon (1990), antioksidan
fenol memiliki aktivitas yang dapat menghentikan atau menghambat tahapan
inisiasi dengan cara bereaksi dengan radikal asam lemak atau menghambat
tahapan propagasi dengan cara bereaksi dengan radikal peroksi atau radikal
alkoksi, dengan reaksi berikut :
Tahapan Reaksi Inisiasi dan Propagasi:
Inisiasi : AH + R* A* + RH merupakan tahap awal pembentukan
radikal bebas.
Propagasi : AH + ROO* A* + ROOH merupakan pemanjangan rantai
radikal bebas.
AH + RO* A* +ROH
Radikal bebas antioksidan kemudian akan menginterferensi reaksi tahapan
propagasi dengan membentuk komponen antioksidan peroksida sebagai
berikut :
A* + ROO ROO (non radikal)
20
A* + ROO ROA (non radikal)
(Menurut Hamid et al dalam jurnalnya yang berjudul Antioxidants: Its
medicinal and pharmacological applications) Klasifikasi antioksidan
berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan menjadi dua:
Antioksidan primer (antioksidan alami)
Merupakan antioksidan yang memiliki gugus fenolik pada umunya,
meliputi mineral antioksidan, vitamin antioksidan, dan senyawa fitokimia.
Senyawa fitokimia merupakan senyawa fenolik dan bukan termasuk
dalam jenis mineral ataupun vitamin yang banyak terdapat pada tumbuhan
contohnya flavonoid, katekin, karotenoid, dan lycopene.
Antioksidan sekunder (antioksidan buatan)
Merupakan senyawa fenolik yang mampu menghambat atau
menghentikan reaksi rantai radikal bebas. yang termasuk kedalam jenis ini
adalah Butylated hydroxyl anisole (BHA), Butylated hydroxyrotoluene
(BHT), Propyl gallate (PG) dan metal chelating agent (EDTA).
(Hurrell, 2003)
2.7 Tekhnik Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa
2.7.1 Tinjauan Ekstraksi
2.7.1.1 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan bahan dari campurannya
yang dimaksudkan untuk menarik senyawa tertentu dengan menggunakan
pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode yang
berbeda-beda sesuai dengan sifat dan tujuan dari ekstraksi.(Mukhriani, 2014).
Proses ekstraksi pada awalnya terjadi gumpalan ekstrak dalam pelarut. Terjadi
pengendapan masa pada bidang antar muka secara difusi yang disebabkan
adanya kontak antar muka antara bahan dengan pelarut. Pelarut menembus
kapiler dalam suatu bahan padat dan melarutkan masa dengan konsentrasi di
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bagian dalam bahan ekstraksi lebih tinggi. Serta dengan cara difusi akan
terjadi suatu kesetimbangan konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi senyawa dalam bahan (Bernasconi, et al., 1995).
2.7.1.2 Metode Ekstraksi
Beberapa macam metode ekstraksi:
A. Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengdukan pada temperature ruangan
(kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat oleh pelarut,
dengan prinsip meode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Remaserasi adalah pengulangan dalam penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat, dan seterusnya (Depkes RI, 1995). Metode ini dilakukan
dengan memasukan simplisia dan pelarut yang sesuai kedalam wadah gelap
bersifat inert dan tertutup rapat. Selama proses maserasi atau perendaman
dilakukan pengocokan berulang ulang, upaya ini menjamin keseimbangan
konsentrasi senyawa bahan ekstraksi dan pelarut cepat tercapai (Mukhriani,
2014).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah metode ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang.
Prinsip perkolasi adalah menempatkan simplisia pada bejana berbentuk
silinder, yang pada bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses perkolasi
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 1995).
22
B. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan
adanya pendinginan balik (Depkes RI, 1995).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan alat khusus sampai terjadi ekstraksi kontinu,
dengan jumlah pelarut yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik
(Depkes RI, 1995). Keuntungan metode ini adalah proses ekstraksi yang
kontinu, sampel terekstraksi dari pelarut murni hasil kondensasi, sehingga
tidak membutuhkan banyak pelarut dan waktu pengerjaan relatif singkat.
Kerugian metode ini adalah dapat senyawa termolabil dapat terdegradasi,
karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih
(Mukhriani, 2014).
3. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperature yang
lebih tinggi dari temperature kamar, yaitu secara umum dilakukan pada suhu
40-500C (Depkes RI, 1995).
4. Infus
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperature penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 900C)
selama 15 menit (Depkes RI, 1995).
5. Dekok
Dekok adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur terukur
900C selama 30 menit (Depkes RI, 1995).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7.1.3 Proses Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak melalui tahapan-tahapan berikut:
a. Pembasahan
Pembasahan serbuk dilakukan pada tahap penyarian, dimaksudkan agar cairan
penyari dapat memasuki pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah
tahap penyarian berikutnya (Depkes RI, 2000).
b. Penyari/Pelarut
Cairan penyari yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah penyari yang
baik untuk menarik senyawa yang terkandung dalam bahan. Faktor utama
dalam pemilihan cairan penyari adalah selektifitas, ekonomis, kemudahan
bekerja, ramah lingkungan, dan aman. Dalam keamanan untuk manusia atau
hewan uji, cairan pelarut yang digunakan harus memenuhi syarat kefarmasian
(pharmaceutical grade). Pelarut yang aman dalam penggunaannya antara lain
air, alkohol (etanol) atau campuran keduanya (air dan alkohol) (Depkes RI,
1995; Depkes RI, 2000).
c. Pemisahan dan Pemurnian
Tujuan dari pemisahan adalah untuk memisahkan (menghilangkan) senyawa
yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa mempengaruhi kandungan
senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni.
Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak
bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, serta proses absorpsi dan
penukaran ion (Depkes RI, 2000).
d. Pemekatan/Penguapan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solut (senyawa terlarut),
dengan cara penguapan pelarut sampai ekstrak menjadi kental/pekat (Depkes
RI, 2000).
24
2.7.2 Identifikasi Senyawa
2.7.2.1 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan metabolit sekunder yang
terkandung dalam suatu tanaman. Telah dilakukan identifikasi parameter
standar ekstrak Nephrolepis falcata pada penelitian sebelumnya. Metabolit
yang diuji keberadaannya yaitu; alkaloid, flavonoid, saponin, fenol, steroid,
terpenoid, asam lemak, kumarin dan tanin.
1.Uji Alkaloid
Ekstrak dilarutkan dalam HCl encer kemudian disaring.
Tes Mayer: filtrat ditambahkan reagen mayer ( potassium Mercuric Iodide ).
Terjadinya endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya senyawa
alkaloid (Tiwari, et al., 2011)
Tes Dragendorf: filtrat ditambahkan reagen dragendorf ( Solution of
Potassium Bismuth Iodide ). Terjadinya endapan berwarna merah
mengindikasikan adanya senyawa alkaloid (Tiwari, et al., 2011).
2.Uji Flavonoid
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air, didihkan selama 5 menit lalu
disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg secukupnya, 1 mL asam klorida
pekat dan 2 mL etanol. Dikocok kuat dan dibiarkan terpisah. Terbentuk
warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan etanol, mengindikasikan
adanya senyawa flavonoid (Tiwari, et al., 2011).
3. Uji Saponin
Tes busa: ekstrak dilarutkan dalam 20 mL aquades, kemudian larutan
dikocok dalam labu ukur selama 15 menit. Terbentuknya lapisan busa
setinggi 1 cm mengindikasikan adanya senyawa saponin (Tiwari, et al.,
2011).
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Uji Steroid dan Terpenoid
Tes Salkowski: ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian
ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna
kuning emas mengindikasikan adanya senyawa triterpen.
Tes Lieberman Buchard: ekstrak dilarutkan dalam kloroform lalu disaring,
ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat, kemudian dipanaskan dan
didinginkan. Ditambahkan beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin
coklat mengindikasikan adanya senyawa phytosterol (Tiwari, et al., 2011).
5. Uji Fenol
Ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3. Terbentuknya warna
hitam kebiruan mengindikasikan adanya senyawa fenol (Tiwari, et al.,
2011).
6. Uji Tanin
Tes Gelatin: ke dalam sejumlah ekstrak, ditambahkan larutan gelatin yang
mengandung natrium hidroksida. Terbentuknya endapan putih
mengindikasikan adanya senyawa tannin (Tiwari, et al., 2011).
7. Uji Kumarin
Sejumlah 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2,5 mL kloroform kemudian
dipanaskan selama 10 menit, selanjutnya didinginkan dan disaring. Filtrat
diuapkan kemudian ditambahkan 10 mL air panas lalu didinginkan.
Tambahkan 0,5 mL ammonia 10%. Adanya kumarin ditunjukan dengan
adanya flourosensi hijau/biru pada sinar UV (panjang gelombang 365 nm)
(Tiwari, et al., 2011).
26
8. Uji Asam Lemak
0,5 gram ekstrak dicampur dengan 5 mL eter, tuang larutan diatas kertas
saring lalu biarkan sampai mengering. Munculnya transparan diatas kertas
saring menunjukan adanya asam lemak (Kumari, et al., 2012).
Tabel 2.3 Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak n-Heksan Tanaman Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
No Kandungan Kimia Pengamatan Sampel
Ekstrak n-Heksan
1 Alkaloid -
2 Flavonoid -
3 Tanin -
4 Saponin -
5 Steroid +
6 Terpenoid +
7 Kumarin -
8 Fenol -
9 Asam Lemak +
.
(Skripsi Siti Zamilatul Azkiyah, 2013)
2.7.2.2 Uji Kadar Air
1 gram ekstrak ditimbang saksama dalam wadah kosong yang telah ditara,
keringkan pada suhu 1050C selama 5 jam lalu ditimbang. Lanjutkan
pengeringan dan timbang dalam jarak 1 jam, sampai perbedaan antara dua
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Tiwari, et al., 2011).
Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan
pemanasan, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar air yang
27
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan hukum Lambert Beer,
menyatakan hubungan linearitas antara konsentrasi sampel dengan energi
absorpsi. Jika radiasi monokromatis melewati larutan mengandung zat yang
dapat menyerap, radiasi ini akan dipantulkan, diabsorbsi oleh zatnya, dan
sisanya ditransmisikan. Lambert Beer telah menurunkan secara empirik
hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan konsentrasi,
dalam persamaan (Harmita, 2006):
Dimana: A = Serapan
Io = Intensitas sinar datang
It = Intensitas sinar diteruskan
= Absorbtivitas molekuler (mol.cm.It-1
)
a = daya serap (g.cm.It-1
)
b = tebal kuvet
c = konsentrasi (g. It-1
.mg.ml-1
)
30
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II FKIK,
Laboratorium PDR FKIK, Laboraturium PNA FKIK, dan Labolatorium
Kimia Obat FKIK, Laboratorium Biologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berlangsung sejak bulan Januari 2015 - Mei 2016.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan gelas,
vacuum rotary evaporator, timbangan analitik (and GH-202), hotplate,
homogenizer (Nissei), viskometer (Haake viscoTester 6R), pH meter digital
(Horba), sentrifugator (Hettich Zentrifugen D-78532), vortex (Wiggen
Hauser), mikroskop, spektrofotometer UV-Vis
3.2.2 Bahan Penelitian
Ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata, etanol 70%, setil
alkohol, gliserin, trietanolamin, asam stearat, metil paraben, propil paraben,
pengaroma, aquadest, metanol pro-analysis, DPPH (Sigma), standar vitamin
C (Sigma)
3.3 Prosedur Penelitian
Formulasi krim ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata dan
evaluasi fisik sediaan dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi :
3.3.1 Penyiapan Simplisia
Pada tahap ini dilakukan pencarian tanaman paku Nephrolepis falcata
di daerah Balitro Bogor pada bulan Desember, diambil tanaman segar sampai
ke bagian batang lalu dilakukan sortasi basah dengan pencucian menggunakan
air mengalir untuk memisahkan dari kotoran atau bahan asing lainnya,
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian dilakukan pengeringan tanpa terkena sinar matahari secara
langsung hanya dikering anginkan dalam suhu ruangan, setelah itu dilakukan
sortasi kering untuk memisahkan kotoran atau benda asing yang masih
tertinggal, simplisia di haluskan dengan cara di blender sampai menjadi
serbuk kering. Selanjutnya serbuk kering ditimbang menggunakan timbangan
analitik (Kristiana, 2012).
3.3.2 Ekstraksi tanaman Nephrolepis Falcata
Serbuk kering tanaman paku Nephrolepis falcata dimaserasi dengan
menggunakan pelarut etanol 70%, serbuk kering dimaserasi dengan pelarut
etanol selama 4 × 24 jam, penambahan etanol dilaukan sampai simplisia
terendam dan berada 5-10 cm diatasnya. Hasil maserasi selanjutnya disaring
menggunakan kapas lalu di filtrasi menggunakan kertas saring. Dilakukan
beberapa kali hingga berwarna jernih. Filtrat yang diperoleh dipekatkan
dengan menggunakan vaccum rotary evaporator, selanjutnya dihitung untuk
mengetahui hasil rendemennya:
3.3.3 Rancangan Formula Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata
Tabel 3.1 Formula Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata
(Sharon et al., 2013, dengan modifikasi)
Bahan Konsentrasi (%)
F1 F2 F3
Ekstrak 0,25 0,25 0,25
Setil alkohol 0,2 0,2 0,2
Asam stearat
12 13 14
Trietanolamin 2 2 2
Gliserin 10 10 10
Metil paraben 0,1 0,1 0,1
Propil paraben 0,08 0,08 0,08
Vitamin E 0,02 0,02 0,02
Aquadest Ad 100% Ad 100% Ad 100%
32
3.3.4 Proses Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata
Proses diawali dengan penimbangan bahan-bahan yang akan
digunakan. Basis krim yang dibuat terdiri dari dua fase, yaitu fase minyak
(asam stearat, setil alkohol) dan fase air (trietanolamin, gliserin, metil
paraben, propil paraben, aquadest). Setiap fase dipanaskan hingga suhu 70º C
diatas penangas air. Fase air dipindahkan ke dalam lumpang panas dan
tambahkan fase minyak, diaduk sampai dingin hingga terbentuk masa krim.
Langkah berikutnya adalah pembuatan krim dari ekstrak dengan cara
mencampurkan basis krim dengan ekstrak etanol Nephrolepis falcata.
Prosedur kerja dilanjutkan dengan pengujian kelayakan sediaan krim dengan
menggunakan beberapa pengujian meliputi evaluasi fisik sediaan yang
diantranya adalah uji organoleptik, uji pH sediaan, uji homogenitas, uji daya
sebar, sifat alir, serta dilakukan pengujian stabilitas krim dengan metode
cycling test dan pengaruh penyimpanan suhu + 250C dan 40
0C (Agral et al.,
2013).
3.4 Evaluasi Fisik Sediaan Krim
3.4.1 Pengamatan Organoleptik Krim
Uji organoleptik dilakukan dengan melihat perubahan warna, bau
tengik, dan adanya pemisahan fase (Elya et al., 2013).
3.4.2 Pengujian Homogenitas Krim
Homogenitas dan konsistensi krim diamati dengan memeriksa ukuran
partikel diatas kaca objek untuk melihat adanya partikel kasar (Elya et al.,
2013).
3.4.3 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. Sebelumnya pH
meter dikalibrasi dengan larutan standar buffer pada pH 4 dan 7 (Elya et al.,
2013).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4 Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer
brokfield, yaitu dengan memasang spindle yang sesuai pada alat kemudiaan
dicelupkan kedalam sediaan sampai batas tertentu, alat dinyalakan dan
kecepatannya 2, 4, 10, 20 rpm, kemudian kecepatannya dibalik secara
berturut-turut. Tiap masing-masing pengukuran dibaca skalanya ketika jarum
merah yang bergerak telah stabil. Nilai viskositas (n) dalam centipoise (cps)
diperoleh dari hasil perkalian dial reading dengan faktor koreksi khusus pada
masing-masing kecepatan spendel. Sifat aliran dapat diperoleh dengan
membuat kurva antara tekanan geser (sharing stress (F/A)) terhadap
kecepatan geser (rate of shear (dv/dr)) (Rieger M, 2000).
3.4.5 Daya Sebar
Sebanyak 0,5 g krim ditimbang diletakan ditengah alat kaca, dan
kaca penutup yang mula – mula sudah ditimbang bobotnya, kemudian
diletakan diatas basis, dibiarkan selama 1 menit. Diameter penyebaran krim
diukur setalah satu menit dengan mengambil panjang rata – rata diameter dari
beberapa sisi, beban ditambahkan seberat 20 g kemudian dilakukan
pengukuran kembali setelah satu menit, dilakukan penambahan bobot tiap 20
g sampai bobot yang ditambahkan kurang dari 150 g, dicatat diameter
penyebarannya setiap penambahan bobot (Shovyana, 2013)
3.5 Pengujian Stabilitas Krim
10g sampel krim ditempatkan dalam tabung sentrigugasi (diameter 1
cm) dan disentrifugasi 3750 rpm selam 5 jam atau 5000-10000 rpm selama
30 menit. Kemudian terjadi pemisahan fase (Handali, et al., 2011).
3.5.1 Metode Cycling Test
Dimana satu siklus sediaan krim disimpan pada suhu 40 C selama 24
jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40 + 20 C selama 24 jam.
Percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus. Kondisi fisik krim dibandingkan
34
selama percobaan dengan sediaan sebelumnya (ASEAN Guideline on Stability
Studi of Drug Product, 2005).
3.5.2 Uji Stabilitas pada Suhu (400C)
Stabilitas krim meliputi bau, warna, kejernihan, dan pH dievaluasi
pada suhu 40 + 20 C selama 21 hari dengan pengamatan hari ke-0 dan hari ke-
21 (Sharon et al., 2013).
3.5.3 Penyimpanan pada Suhu Kamar (+ 250C)
Sampel krim dievaluasi pada suhu kamar antara 270 – 28
0 C selama 21
hari dan dilakukan pengamatan organoleptis yaitu bau, warna, kejernihan, pH,
daya sebar, dan viskositas nya pada hari ke-0 dan hari ke-21 (Sharon et al.,
2013).
3.5.4 Uji Mekanik (sentrifugasi)
Sampel krim disentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm pada radius
sentrifugasi selama 5 jam karena hasilnya ekivalen dengan efek gravitasi
selama 1 tahun. Setelah disentrifugasi, diamati bila terjadi perubahan fase
antara fase air dan fase minyak (ASEAN Guideline on Stability Studi of Drug
Product, 2005).
3.5.5 Uji Perendeman DPPH Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata
1) Pembuatan Larutan DPPH 0,25 mM
Timbang saksama DPPH sebanyak 4,9 mg (BM 394,32), kemudian
dilarutkan dengan metanol pro analisis hingga 50 mL kedalam labu ukur yang
ditempatkan dalam tempat gelap dan dikocok homogen (Komala et al., 2015).
2) Pembuatan Larutan Blanko dan Optimasi Panjang Gelombang
Dipipet 1 mL larutan DPPH 0,25 mM kedalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan 4 mL metanol, tutup mulut tabung dengan alumunium
foil dan di homogenkan dengan vortex, selanjutnya diinkubasi dalam ruang
gelap selama 30 menit 370C. Tentukan spektrum serapannya menggunakan
spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 400-800 nm dan tentukan
panjang gelombang maksimumnya.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3) Pembuatan Larutan Vitamin C
Timbang saksama 25 mg vitamin C pro-analisis, kemudian dilarutkan
dengan metanol pro-analisis hingga 25 mL (1000 ppm), dipipet sebanyak 5
mL larutan induk 1000 ppm dan ditambahkan metanol hingga 25 mL (200
ppm). Dipipet sebanyak 4 mL larutan uji ditambahkan 1 mL larutan DPPH
0,25 mM, dilakukan sebanyak tiga kali ke dalam tabung reaksi kemudian di
vortex hingga homogen dan inkubasi selama 30 menit pada ruang gelap 370C.
Selanjutnya larutan uji diukur serapannya pada panjang gelombang 515 nm.
4) Pembuatan Larutan Uji Krim
Timbang saksama 50 mg krim, kemudian dilarutkan dengan metanol
pro-analisis hingga 50 mL (1000 ppm), dipipet sebanyak 5 mL larutan induk
1000 ppm dan ditambahkan metanol hingga 25 mL (200 ppm). Dipipet
sebanyak 4 mL larutan uji ditambahkan 1 mL larutan DPPH 0,25 mM,
dilakukan sebanyak tiga kali ke dalam tabung reaksi kemudian di vortex
hingga homogen dan inkubasi selama 30 menit pada ruang gelap 370C.
Selanjutnya larutan uji diukur serapannya pada panjang gelombang 515 nm.
36
3.6 Alur Penelitian
Formulasi Krim ekstrak
etanol Nephrolepis falcata
dalam beberapa konsentrasi
Pembuatan Krim
Ekstraksi Tanaman
Nephrolepis falcata
Sediaan Krim ekstrak
Nephrolepis falcata tipe O/W
Uji Stabilitas Krim Evaluasi Fisik Sediaan
Uji Pendahuluan Krim tipe
O/W dengan optimasi
emulgator konsentrasi sesuai
Penyiapan Simplisia
Analisa Data
Perhitungan %
inhibisi metode
DPPH
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan
stabilitas sediaan krim ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata secara fisik
dan kimia dengan konsentrasi asam stearat yang berbeda-beda. Perbedaan
konsentrasi asam stearat sebagai emulgator dimaksudkan untuk melihat dan
membandingkan perbedaan stabilitas fisik dan stabilitas kimia sediaan dengan
melihat nilai persen inhibisi dalam masing-masing krim, dimana akhirnya
akan didapatkan formula yang memiliki stabilitas fisik dan kimia paling baik.
Formula krim dibuat dan dikembangkan dari riset Sharon, et al., 2013
yang telah disesuaikan dengan ketersediaan bahan yang mudah diperoleh,
kesesuaian zat aktif, dengan bahan sediaan krim seperti, emulgator, humektan,
stiffening agent, pengawet, antioksidan tambahan, dan akuades. Zat
pengemulsi atau emulgator berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan,
lapisan pelindung antar muka, dan membentuk laipsan film disekeliling
lapisan terdispersi untuk mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya dua
fase (Purwani, 2002). Krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
dibuat menggunakan kombinasi asam stearat dan trietanolamin sebagai
emulgator. Pada sediaan krim F1 dibuat dengan konsentrasi asam stearat 12%,
F2 dengan konsentrasi asam stearat 13%, dan F3 dengan konsentrasi asam
stearat 14%.
38
4.1 Hasil Ekstraksi
Tabel 4.1 karakterisasi ekstrak etanol Nephrolepis falcata
Cara pembuatan ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata adalah
menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%. Simplisia
tumbuhan paku Nephrolepis falcata yang didapat sebanyak 736,55 g
ditambahkan etanol 70% sampai terendam + 3 cm diatas simplisia, lalu di
kocok-kocok, dibiarkan selama 3 hari, kemudian di filtrasi menggunakan
kapas selanjutnya filtrat disaring dengan kertas saring, filtrat yang didapat
dikumpulkan dan diuapkan sampai menjadi ekstrak kental dan didapat bobot
ekstrak sebanyak 58,75 g. Setelah didapatkan ekstrak, didapatkan total
rendemen ekstrak etanol Nephrolepis falcata sebesar 7,97 % dan perolehan
kadar air 6,45 %, kadar air ekstrak telah memenuhi syarat yang diharapkan
secara umum yaitu tidak lebih dari 10% (Depkes, 2010).
Gambar 4.1 Ekstrak Nephrolepis falcata
(sumber: foto pribadi)
Uji Bobot Awal Bobot Akhir Perolehan
Rendemen 736,55 g (simplisia) 58,75 g (ekstrak) 7,97 %
Kadar Air 36,1 g 33,77 g 6,45 %
Organoleptik
Warna: hijau tua, Bau: khas, Bentuk: ekstrak kental
39
40
agar dapat menyatakan kestabilan sediaan krim pada hari ke-0 dan hari ke-21
secara kimia. Hasil absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 5.
Dalam formula krim terdapat senyawa yang mempunyai aktivitas
antioksidan yaitu vit E, namun dalam pengukuran ini krim vit E dijadikan
sebagai blanko sehingga dapat dilihat perbandingan persen inhibisi dalam
sediaan krim dengan vit E saja. Selain itu digunakan juga vit C pro-analisis
sebagai blanko positif. Perolehan nilai persen inhibisi dapat dilihat pada Tabel
4.2
Tabel 4.2 Rata-rata Persen Inhibisi Krim Ekstrak Nephrolepis falcata
Krim
Konsentrasi
Rata – rata persen inhibisi (%)
Blanko Uji ke- 1 Uji ke- 22 Vit C
F1
200 ppm
63,88 +
0,008
87,26 +
0,052
69,59 +
0,002
97,9 +
0,002 F2 61,99 +
0,005
80,35 +
0,026
64,41 +
0,007
F3 58,95 +
0,004
74,02 +
0,020
69,39 +
0,022
Keterangan : *blanko = basis krim tanpa ekstrak
-nilai persen inhibisi diatas merupakan nilai rata-rata
dari tiga kali replikasi + SD
Hasil rata-rata perhitungan persen inhibisi dari blanko menunjukan
adanya potensi antioksidan krim F1 sebesar 63,88%, F2 sebesar 61,99%, F3
sebesar 58,95%, adanya potensi antioksidan dikarenakan adanya penambahan
vit E pada basis krim, penambahan vit E dilakukan akibat adanya perubahan
warna yang terjadi selama proses penyimpanan, keadaan tersebut tidak baik
dilihat dari nilai estetika. Dari data hasil pengamatan menunjukan sediaan
krim F1, F2, F3 memiliki persen inhibisi 87,26%, 80,35%, 74,02% secara
berturut – turut pada hari ke-0.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata memiliki kandungan salah
satunya senyawa flavonoid pada Tabel 2.2. Sifat antioksidan dari flavonoid
berasal dari kemampuan untuk mentransfer sebuah elektron ke senyawa
radikal bebas. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang menghambat
reaksi oksidasi. Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan
superhidroksi, sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang
merusak. Semakin banyak subtitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka
aktivitas antiradikalnya semakin besar (Yuhernita, 2011).
Ketiga sediaan krim mengalami penurunan setelah penyimpanan
selama 21 hari, sediaan krim F1 mengalami penurunan persen inhibisi sebesar
17,67%, F2 mengalami penurunan sebesar 15,94%, F3 mengalami penurunan
sebesar 4,63%, namun pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian lebih
lanjut untuk mengetahui penyebab penurunan persen inhibisi krim ekstrak
Nephrolepis falcata.
Untuk mengetahui apakah penurunan persen inhibisi yang terjadi
selama penyimpanan hari ke-0 sampai ke-21 bermakna atau tidak maka
dilakukan uji statistik menggunakan paired sample T -test . Pemilihan uji ini
berdasarkan varian yang diuji homogen, data terdistribusi normal, dan jenis
data yang dihubungkan numerik dan kategori (Hastono, 2007). Hasil
pengukuran dengan uji paired sample T -test ini yaitu data terdistribusi
normal, homogen, dan H ≠ 0 (ditolak). Hasil analisis statistik T –test terhadap
penurunan persen inhibisi pada masing – masing sediaan krim menunjukan
krim F2 dan F1 memiliki penurunan yang persen inhibisi bermakna dengan P
<0,05 sedangkan krim F3 menunjukan penurunan persen inhibisi yang tidak
signifikan dengan nilai P >0,05. Hasil data uji statistik dapat dilihat pada
Lampiran 12.
42
Gambar 4.3 Grafik Persen Peredaman krim selama pennyimpanan
Hal ini menunjukan bahwa sediaan krim F3 lebih stabil secara kimia
dibanding krim F1 dan F2 karena penurunan persen inhibisi sebelum dan
setelah penyimpanan selama 21 hari tidak menunjukan adanya penurunan
yang bermakna.
4.3 Evaluasi Krim Ekstrak Nephrolepis falcata
Pembuatan krim dilakukan menggunakan homogenizer dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dimana pemilihan kecepatan ini
didasarkan kecepatan pengadukan yang lazim digunakan dalam pembuatan
sediaan krim. Bahan aktif yang digunakan dalam krim antioksidan ini adalah
ekstrak tanaman paku spesies Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. dengan
bahan tambahannya terdiri dari setil alkohol asam stearat, trietanolamin,
gliserin, metil paraben, propil paraben, aquadest (Sharon, 2013), dimana
bahan ini sering digunakan dalam formulasi krim. Pada pembuatan krim,
ekstrak Nephrolepis falcata ditambahkan setelah basis krim terbentuk dan
suhu basis sudah mulai menurun, dengan tujuan agar senyawa aktif
antioksidan ekstrak tidak hilang atau rusak.
Fase minyak yang dipilih dalam formulasi ini adalah asam stearat dan
setil alkohol karena memiliki karakteristik pembentuk basis dan emolien yang
baik dalam pembuatan krim. Emulgator yang digunakan berupa asam stearat
dan trietanolamin karena aman penggunaannya untuk kulit sehingga sering
digunakan sebagai emulsifier dasar sediaan krim. Metil paraben dan propil
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%
F1 F2 F3
Persentase Inhibisi Krim hari ke-1 hari ke-21
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paraben berfungsi sebagai antimikroba. Gliserin digunakan sebagai humektan,
dan vit E digunakan sebagai antioksidan untuk menunda atau mencegah
oksidasi lemak dalam krim (Scalia, 2013, Wade & Weller, 1994).
Setelah terbentuk krim, dilakukan evaluasi fisik yang dilakukan
dengan parameter-parameter pengujian meliputi pengamatan organoleptis,
pengukuran pH, homogenitas, uji daya sebar, pengukuran viskositas
konsistensi, dan uji sentrifugasi. Uji stabilitas fisik krim dilakukan
penyimpanan pada suhu 400C, suhu kamar, dan cycling test, pengamatan
dilakukan pada hari ke 0 dan 21. Tahap selanjutnya dilakukan pengujian
stabilitas kimia dengan melihat perubahan nilai % inhibisi antioksidan dengan
metode DPPH, pengamatan dilakukan pada hari ke-1 dan hari ke-22.
4.4 Hasil Pengamatan
Pada uji stabilitas krim ekstrak Nephrolepis falcata dilakukan
pengamatan organoleptis, homogenitas, pH, uji daya sebar, dan viskositas
pada penyimpanan suhu ruang (250C), penyimpanan suhu 40
0C, cycling test,
dan uji mekanik.
4.4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis
Tabel 4.3 Pengamatan Organoleptis Krim Ekstrak Nephrolepis falcata
Krim
Hari Ke-
Pengamatan
Warna Bau Homogenitas
F1
0 Putih
kekuningan
Tidak
berbau
Homogen
21 (250C) Putih
kekuningan
Tidak
terjadi
perubahan
Homogen
21 (400C) Kekuningan* Tidak
terjadi
perubahan
Homogen
F2
0 Putih
kekuningan
Tidak
berbau
Homogen
21 (250C) Putih
kekuningan
Tidak
terjadi
Homogen
44
perubahan
21 (400C) Kekuningan* Tidak
terjadi
perubahan
Homogen
F3
0 Putih
kekuningan
Tidak
berbau
Homogen
21 (250C) Putih
kekuningan
Tidak
terjadi
perubahan
Homogen
21 (400C) Putih
kekuningan
Tidak
terjadi
perubahan
Homogen
Keterangan : *= Terjadi perubahan
Pemeriksaan organoleptis awal tidak menunjukan adanya perbedaan
warna pada sediaan krim F1, F2, dan F3, ketiganya memiliki warna putih
kekuningan disebabkan dari ekstrak Nephrolepis falcata. Ketiga krim yang
dihasilkan tidak menimbulkan bau. memiliki tekstur yang lembut, mudah
menyebar, membentuk konsistensi setengah padat, dan tidak terasa lengket.
Pada suhu penyimpanan yang berbeda suhu ruang (250C) dan 40
0C,
ketiga sediaan krim ekstrak Nephrolepis facata tidak menimbulkan bau
tengik, Perubahan bau atau ketengikan dapat disebabkan oleh oksigen dari
udara yang mengoksidasi lemak atau minyak, selain itu cahaya merupakan
salah satu katalisator yang juga dapat menimbulkan reaksi oksidasi, sehingga
dapat disimpulkan bahwa fase minyak yang terdapat didalam sediaan krim
tidak mengalami oksidasi (Tiwari, 2014).
Setelah penyimpanan 21 hari ketiga krim ekstrak Nephrolepis falcata
pada suhu kamar tidak menimbulkan perubahan warna, hal ini menunjukan
kestabilan pada tiga sediaan krim. Perubahan warna terjadi pada sediaan krim
F1 dan F2 penyimpanan suhu 400C yang menunjukan perubahan warna
menjadi kekuningan, hal ini dapat disimpulkan faktor suhu mempengaruhi
kestabilan krim, karena disebabkan pada setiap kenaikan suhu sebesar 100C
dapat meningkatkan laju reaksi menjadi dua kali lipat (Rufiati, 2011).
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemeriksaan homogenitas pada ketiga krim bertujuan untuk
mengamati adanya partikel-partikel kasar pada kaca objek. Hasil pengamatan
menunjukan ketiga sediaan krim homogen secara fisik baik sebelum dan
setelah penyimpanan, hal ini menunjukan bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan krim tercampur sempurna.
4.4.2 Hasil Pemeriksaan pH
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH suhu 250C, dan suhu 40
0
Keterangan : nilai pH diatas merupakan pH rata-rata dari tiga kali
Pengulangan + simpangan deviasi
pH yang terukur dari ketiga formula krim F1 sebesar 7,50; F2 sebesar
7,43; F3 sebesar 7,19 pada hari ke-0. Ketiga krim menunjukan semakin tinggi
konsentrasi asam stearat dapat menurunkan nilai pH karena banyaknya gugus
asam yang terkandung dalam asam stearat. Nilai pH masih berada dalam
kisaran pH krim ideal. Menurut SNI 16-4399-1996 dalam (Astikah, 2015), pH
krim yang ideal adalah sesuai dengan pH kulit, yaitu berkisar 4,5 - 8,0. Jika
pH krim tidak sesuai dengan pH kulit maka akan menyebabkan iritasi kulit.
Hasil pengukuran pH pada penyimpanan 21 hari suhu ruang 250C ketiga
sediaan krim menunjukan nilai pH yang mengalami kenaikan, ini disebabkan
reaksi oksidasi senyawa fenol yang terdapat dalam krim ekstrak Nephrolepis
falcata. Pada suhu 400C ketiga sediaan krim mengalami penurunan pH,
namun perubahan pH masih dalam rentang pH kulit (Tranggono, 2007). Hal
ini menunjukan adanya pengaruh suhu terhadap pH krim.
Formula Hari ke-0 Hari ke-21
(suhu 250C)
Hari ke-21
(suhu 400C)
F1 7,50 + 0,011 7,740 + 0,004 7,480 + 0,015
F2 7,43 + 0,015 7,719 + 0,032 7,420 + 0,005
F3 7,19 + 0,011 7,629 + 0,027 7,042 + 0,001
46
4.4.3 Hasil Pengamatan Daya Sebar
Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan basis menyebar pada
permukaan kulit ketika diaplikasikan. Kemampuan penyebaran basis yang
baik akan memberikan kemudahan saat sediaan krim diaplikasikan ke kulit.
Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Daya Sebar Krim Ekstrak Nephrolepis falcata
Selama 21 Hari
K
e
t
e
keterangan : nilai daya sebar diatas merupakan nilai rata-rata dari tiga kali
pengulangan + simpangan deviasi (SD)
Hasil pengamatan menunjukan krim F1 memiliki nilai daya sebar lebih
besar dibanding F2, dan F3. Hal ini menunjukan semakin besar konsentrasi
asam stearat, semakin kecil luas area penyebaran yang dihasilkan karena
adanya peningkatan viskositas. Semakin luas area penyebaran yang dihasilkan
oleh suatu krim maka krim tersebut akan mempunyai kemampuan penyebaran
yang lebih baik saat dioleskan. Pengujian daya sebar krim ekstrak Nephrolepis
falcata hari ke-0 dan hari ke-21 memperlihatkan hasil yang sama pada ketiga
sediaan krim dilihat dari penurunan dan peningkatan luas yang tidak jauh
berbeda. Sehingga dapat dikatakan ketiga krim ekstrak Nephrolepis falcata
memiliki daya sebar yang stabil.
Luas (cm2)
Beban
(g)
F1 F2 F3
Hari ke-
0
Hari ke-
21
Hari ke-
0
Hari ke-
21
Hari ke-
0
Hari ke-
21 65,5 4,6 +
0,264
4,5 +
0,132
4,5 +
0,250
4,45 +
0,180
4 +
0,300
3,85 +
0,134
85,5 5,3 +
0,150
5,2 +
0,200
5,2 +
0,284
5,2 +
0,200
4,6 +
0,224
4,5 +
0,200
105,5 5,65 +
0,300
5,55 +
0,288
5,55 +
0,225
5,3 +
0,200
5,5 +
0,284
5,35 +
0,214
125,5 6,2 +
0,300
6,05 +
0,229
6,1 +
0,152
6,1 +
0,278
5,8 +
0,186
5,7 +
0,134
145,5 6,5 +
0,132
6,55 +
0,229
6,4 +
0,132
6,35 +
0,264
6,15 +
0,254
6,0 +
0,180
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
0
20
40
60
80
100
0 10 20 30
F3
4.4.4 Hasil Pengukuran Sifat Alir
Pengukuran viskositas krim ekstrak Nephrolepis falcata bertujuan
untuk mengetahui besar tahanan yang dihasilkan krim. Pengukuran sifat alir
ketiga krim menggunakan viskometer brookfield spindel R5. Hasil
pengukuran viskositas dapat dilihat pada Tabel 4.8- 4.9.
Gambar 4.4 Sifat alir krim ekstrak Nephrolepis falcata
Sifat alir ketiga sediaan krim yaitu pseudoplastis tiksotropik.
Berdasarkan grafik terlihat bahwa sediaan krim memiliki nilai viskositas lebih
rendah pada setiap harga kecepatan geser dari kurva yang menurun
dibandingkan dengan kurva yang menaik. Hal tersebut lebih dikenal dengan
sebutan tiksotropotik karena adanya pemecahan struktur yang tidak terbentuk
kembali dengan segera jika tekanan tersebut dihilangkan atau dikurangi.
Tiksotropotik merupakan suatu alir yang mempunyai konsistensi tinggi dalam
wadah namun dapat dengan mudah dituang dari wadah dan juga mudah
tersebar, hal tersebut yang diharapkan dalam tipe sediaan krim. Hasil
pengukuran ketiga formula menunjukan krim F1 dan F2 mengalami
perubahan kurva sifat alir yang lebih terlihat pada pengukuran hari ke-0 dan
hari ke-21 dibandingkan krim F3, namun dari hasil pengukuran sifat alir
ketiga sediaan krim tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap memiliki
Hari ke-0
Hari ke-21
0
20
40
60
80
100
0 20 40
F2
0
20
40
60
80
100
0 20 40
F1
48
sifat alir tiksotropik. Perubahan viskositas dapat dipengaruhi beberapa hal
seperti pencampuran, pengadukan, pemilihan surfaktan, emulgator, dan
proporsi fase terdispersi (Alfred et al., 1993).
4.4.5 Hasil Pengujian Cycling test
Pengujian cycling test dilakukan dengan tujuan untuk menguji kestabilan
emulsi dalam sediaan krim uji ini dilakukan untuk melihat adanya kristalisasi
atau berawan dan untuk menguji emulsi dan krim sebagai indikator kestabilan
emulsi (Rieger, 2000).
Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Cycling test
Pengamatan
Krim Pengamatan warna Pemisahan fase
Awal Siklus ke-6
F1 Putih kekuningan kekuningan* Tidak terjadi pemisahan
F2 Putih kekuningan Putih kekuningan Tidak terjadi pemisahan
F3 Putih kekuningan Putih kekuningan Tidak terjadi pemisahan
Keterangan : *= terdapat perubahan
Pengujian dilakukan dengan menyimpan krim pada suhu 4ºC selama
24 jam kemudian dipindahkan kedalam oven pada suhu 40ºC selama 24 jam.
Perlakuan ini di sebut satu siklus, siklus ini dilakukan sebanyak 6 kali untuk
memperjelas perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil pengamatan cycling
test yang dilakukan sebanyak 6 siklus, pada krim F1 terlihat adanya
perubahan warna pada penyimpanan ke-0 menunjukan warna putih
kekuningan, setelah 6 siklus menjadi kekuningan, hal ini menunjukan terjadi
ketidak stabilan sediaan krim F1 selama penyimpanan 6 siklus. Gambar hasil
pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 2, dari hasil pengamatan
menunjukan tidak adanya pemisahan fase, hal ini menunjukan sediaan krim
bersifat stabil. Hal ini disebabkan, setelah sediaan krim didinginkan akan
terjadi pelepasan air pada sediaan krim, namun film pengemulsi ketiga
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sediaan krim dapat bekerja kembali dibawah tekanan yang diinduksi oleh es
sehingga tidak terjadi pemisahan fase dan sistem emulsi dikatakan stabil.
4.4.6 Hasil Uji Mekanik
Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Uji Mekanik 250C dan 40
0C (uji sentrifugasi)
Krim Awal Akhir 250C Akhir 40
0C
F1 Tidak terjadi
pemisahan fase
Tidak terjadi
pemisahan fase
Tidak terjadi
pemisahan fase
F2 Tidak terjadi
pemisahan fase
Tidak terjadi
pemisahan fase
Tidak terjadi
pemisahan fase
F3 Tidak terjadi
pemisahan fase Tidak terjadi
pemisahan fase Tidak terjadi
pemisahan fase
Uji mekanik dilakukan dengan menggunakan alat sentrifugasi, krim
dimasukan ke tabung eppendorf dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit
yang ekivalen dengan efek gravitasi selama 1 tahun. Pengujian ini dilakukan
dengan tujuan untuk melihat kestabilan krim setelah pengocokan dengan
kecepatan tinggi. Pada penyimpanan hari ke-21 suhu 250C dan suhu 40
0C
tidak menunjukan adanya pemisahan fase pada ketiga sediaan krim F1, F2,
dan F3.
Dari keseluruhan pengamatan, nilai persen inhibisi menunjukan daya
antioksidan sediaan krim F1 dan F2 yang lebih besar dibanding krim F3, hal
ini ditunjukan pula oleh nilai persen inhibisi basis krim F1 dan F2 yang lebih
dari F3 sebelum adanya penambahan ekstrak Nephrolepis falcata.
Antioksidan sendiri memiliki sifat mudah teroksidasi dan pengaruh
penyimpanan suhu 400C dapat mempercepat laju reaksi sediaan krim (Rufiati,
2011), sehingga pada krim F1 dan F2 yang memiliki persen daya lebih tinggi
lebih mudah teroksidasi dan menimbulkan perubahan warna. Hal tersebut
menunjukan kemampuan penghambatan radikal bebas juga dipengaruhi oleh
50
jumlah emulgator dalam sediaan. Semakin besar konsentrasi emulgator yang
digunakan dalam sediaan krim, aktivitas antioksidan mengalami penurunan,
disebabkan karena akan lebih banyak emulgator yang dilindungi terhadap
oksidasi oleh antioksidan ekstrak yang kemudian bereaksi dengan radikal
bebas DPPH dan menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata dengan konsentrasi
asam stearat 14% (F3) dapat diformulasi menjadi sediaan krim yang
memenuhi syarat kestabilan fisik selama 21 hari penyimpanan.
2. Krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata dengan konsentrasi emulgator
asam stearat 14% (F3) stabil secara fisik dan kimia dibandingkan krim
F1 (12%) dan F2 (13%) dengan penurunan persen inhibisi yang tidak
bermakna selama penyimpanan.
3. Variasi emulgator asam stearat berpengaruh terhadap stabilitas sediaan
krim. Konsentrasi asam stearat 12% dan 13% mengalami perubahan
warna setelah penyimpanan yang merupakan indikator ketidak stabilan
sediaan krim.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor yang
menyebabkan penurunan nilai persen inhibisi ketiga sediaan krim
selama penyimpanan
2. Perlu dilakukan formulasi sediaan krim dengan meningkatkan
konsentrasi ekstrak etanol Nephrolepis falcata
3. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk uji aktivitas antioksidan
krim ekstrak Nephrolepis falcata secara in-vivo
52
Daftar Pustaka
Allen, L. V., 2009, in Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Quinn, M. E., Handbook of
Pharmaceutical Excipients, 6th, 697-699, Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Association, USA
Alfred, M., James, S., Arthur, C. (1993). 1. Farmasi Fisik, Dasar-dasar Kimia Fisik
dalam Ilmu Farmasetik. Jilid III. (Yoshita). Jakarta: UI Press
Agral, O., Fatimawali, Yamlean, P., Sri, H. 2013. Formulasi dan Uji Kelayakan
Sediaan Krim Anti Inflamasi Getah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia
tirucalli L). Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 2 No. 03
Anief, Moh, 1999, Ilmu Meracik Obat, Cetakan Ke-7, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Arini, D.I.D dan Kinho, J. 2009. Keragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di
Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara (Jurnal). Info BPK Manado
Volume 2 No 1, Juni 2012. Di akses 1 Maret 2013.
Anderson, C., Daniels, E. 2003. Emulsion Polymerisation and Latex Applications (in
Pichot, Roman. 2010. Stability and Characterisation of Emulsions in the
presence of Colloidal Particles and Surfactants. Department of Chemical
Engineering School of Engineering The University of Birmingham)
Anonim. 2007. The Significance of Surface pH in Chronic Wounds. Wounds uk.3 (3)
hal 53
Astikah, R. 2015. Optimasi Formula Krim Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis.
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Banker, S Gilbert., Rhodes, T Christhoper. (2002) Modern Pharmaceutics Fourth
Edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bernasconi, G. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, H. Schneifer, H. 1995. Teknologi
Kimia. Bagian 2. Penerjemah: Handojo L. Pradnya Paramita. Jakarta.
Chu, D.H. (2008). Overview of biology, development, and structure of skin. In K.
Wolff, L.A. Goldsmith, S.I. Katz, B.A. Gilchrest, A.S. Paller, & D.J. Leffell
(Eds.), Fitzpatrick’s dermatology in general medicine (7th ed., pp. 57–73).
New York: McGraw-Hill.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Jiid VI. Depkes RI.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Cetakan I.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional, Jakarta, 17, 31-32
Dalgleish, D. (2006), Food emulsions - their structures and structure-forming
properties. Food Hydrocolloids, 20, pp. 415 – 422 (in Pichot, Roman. 2010.
Stability and Characterisation of Emulsions in the presence of Colloidal
Particles and Surfactants. Department of Chemical Engineering School of
Engineering The University of Birmingham)
Dickinson, E. 2009. Hydrocolloids and Emulsion Stability, Chap. 2, in: Handbook of
Hydrocolloids (Second Edition). Edited by G. O. Phillips and P. A. Williams,
CRC Press (in Pichot, Roman. 2010. Stability and Characterisation of
Emulsions in the presence of Colloidal Particles and Surfactants. Department
of Chemical Engineering School of Engineering The University of
Birmingham)
54
Elya, Berna., Dewi, R., Haqqi, M Budiman. 2013. Antioxidant Cream of Solanum
lycopersicum L. International Journal of PharmTech Research. West Java,
University of Indonesia.
Gordon, M. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in Vitro. Di dalam:
Hudson, B. J. F. (Ed.) Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. New
York. Hal: 1-18.
Giovanni, A. 2012. Flavonoids As Antioxidant in Plants: Locations and Fungsional
Significance. Plants Science 196: 67-76
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan: Padmawinata, K dan Soediro, I.
Institut Teknologi Bandung, Bandung
Hastono, P. 2007. Analisis Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Hal
107
Handali, S., Hosseini, Hyam., Ameri, Abdulghani., Moghimipour, E. 2011.
Formulation and evaluation of an antibacterial cream from Oxalis corniculata
aqueous extract. Medicinal Plant Research Center, Ahvaz Jundishapur
University of Medical Sciences, Ahvaz, Iran.
Huczko A, Lange H. Fullerenes: experimental evidence for a null risk of skin
irritation and allergy. Fullerene Sci Technol 7:935-9 (1999)
Hurrell R (2003). Influence of vegetable protein sources on trace element and mineral
bioavailability. J. Nutr., 133(9): 2973S–2977S.
Hamid, A. 2010. Antioxidants: Its medicinal and pharmacological applications.
African Journal of Pure and Applied Chemistry Vol. 4(8), pp. 142-151.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hartini, S. 2006. Spore germination and life cycle of paku kidang (Dicksonia blumei
Moore) on the various growing media. Biodiversitas Volume 7, Nomor 1
Januari 2006 Halaman: 85-89
Hovenkamp PH, Miyamoto F, 2005. A conspectus of the native and naturalized
species of Nephrolepis (Nephrolepidaceae) in the world. Blumea, 50(2):279-
322
Hamid, H. 2007. PHARMACEUTICAL ANALYSIS: Ultraviolet and Visible
Spectrophotometry. Dept of Chemistry Faculty of Science Jamia Hamdard.
New Delhi, 110062
Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok : Departemen Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. hal:
15-22
James, W.D., Berger, T.G., & Elston, D.M. (2006). Andrews’ diseases of the skin:
Clinical dermatology (10th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders
Juniarti, Osmeli dan Yuhernita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji Toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan Dari Ekstrak Daun Saga.
Makara Sains: 13 (1). 50-54
Komala, Ismi dkk. 2015. Antioxidant and Anti Inflamatory Activity of Nephrolepis
falcata and Pyrrosia lanceolata. International Journal of Pharmacy Volume 7
Kurniati, Novi. 2011. Uji Stabilitas Fisik Dan Aktivitas Antioksidan Formula Krim
Mengandung Ekstrak Kulit Buah Delima (Punica granatum L). Skripsi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Kanitakis, J. (2002). Anatomy, histology and immunohistochemistry of normal
human skin. European Journal of Dermatology, 12(4), 390–401
56
Kristiana, H.D., Ariviani, S., Khasanah, L.U. 2012. Ekstraksi Pigmen Antosianin
Buah Senggani (Melastoma malabathricum Auct. non Linn) dengan Variasi
Jenis Pelarut, J.Teknosains Pangan 1(1) : 105-109
Kumar, S. 2006. ORGANIC CHEMISTRY: Spectroscopy of Organic Compounds.
Dept. of Chemistry Guru Nanak Dev University Amritsar
Lubis, S.R. 2009. Keanekaragaman Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku di Hutan
Wisata Alam Taman Edeng Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera
Utara [Tesis]. Universitas Sumatera Utara, Medan.1-142.
Lachman, L., Lieberman, H.A., & Kanig, J., 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri Terjemahan Siti Suyatmi Edisi Ketiga, Jakarta, Universitas Indonesia
Press, 1091-1095
Miller, H.E., Rigelhof, F., Marquart, L., Prakash, A., and Kanter, M. (2000) J. Am.
Coll. Nutr. 19(3), 312S-319S.
Mukhriani. 2014. Estraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Jurnal Kesehatan Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Alauddin Makassar. Volume VII No. 2
Nayank S.H., Nkhat P.D., and Yeole P.G., “The Indian Pharmacist”, Vol. III, No. 27,
Sept. 2004, 7-14
Purwani, M.V., Bintari, A.N., Subagiono R. 2002. Pengaruh Emulgator Terhadap
Kestabilan Emulsi H3PO4 dalam Topo dan Efisiensi Ekstraksi. Puslitbang
BATAN. Yogyakarta
Pratimasari, D. “Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Carica papaya L. Dengan
Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik Serta Flavonoid Totalnya.”
Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2009
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Queen, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Exipients. 6th
edition. London: Pharmaceutical Press
Rismunandar dan Ekowati, M., 1991, Tanaman Hias Paku-Pakuan, Penebar Swadaya,
Jakarta
Rieger, M. (2000). Harry’s Cosmeticology (8th Edition). New York: Chemical
Publishing Co Inc
Redha, A. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif Dan Peranannya Dalam
Sistem Biologis. Vol. 9 No. 2: 196 – 202
Rufiati, E. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi. Universitas Airlangga
Scalia, S., Marchetti, N., Bianchi, A. 2013. Comparative Evaluation of Different Co-
Antioxidants. Department of Chemical and Pharmaceutical Sciences:
University of Ferrara
Sharon, N., Anam, S., Yuliet. 2013. Formulasi Krim Ekstrak Etanol Bawang Hutan
(Eleutherine palmifolia L. Merr). Online Journal of Natural Science, vol 2(3):
111-122
Sies H (1997). Oxidative stress: oxidants and antioxidants. Exp. Physiol., 82(2): 291
295
Smith A.R., Pryer, K.M., Schuettpletz E., Korall P, Schneider H., Wolf P. G. 2006. A
Classification for extant Fern. Taxon.
Sastrapradja, D.S, Adisoemarsono, S, Kartawinata, S., dan Rifai, MA, 1980, Jenis
Paku Indonesia, Bogor, Lembaga Biologi Nasioanal, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
58
Tortora G, Grabowski S (2000) Principles of Anatomy and Physiology. Ninth edition.
New York NY, John Wiley
Tranggono, RI & Latifah, F. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2007: 6 – 7
Tiwari, P. Kumar, B. Kaur, G. Kaur H. 2011. Phytochemical screening and
extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol.1, Issue,I.
Valko, M., Leibfritz, D., Monco, J., Cronin, Mark T D., Mazur, A., Telser, J. 2007.
The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 39 (2007) 44–84
Wardah dan Wiriadinata, H. 2000. Lycopodium, Potensinya sebagai tanaman hias.
balitbang botani, Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor. 329-333.
Wade, A & Weller, PJ (1994). Handbook of Pharmaceutical Excipient, second
edition. London: The Pharmaceutical Press
Wilson KA, 2002. Continued pteridophyte invasion of Hawaii. American Fern
Journal, 92(2):179-183.
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. 2013. Emulsion Formation and Stability,
First Edition. Edited by Tharwat F. Tadros
Yuhernita, juniarti, 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Metanol
Daun Surian yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Departemen Biokimia
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta 10510, Indonesia.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1.
Perhitungan Bahan krim
- Setil Alkohol = 0,2 % × 250 = 0,5 b/b
- Asam Stearat = 12 % × 250 = 30 b/b Formula 1
- Asam Stearat = 13 % × 250 = 32,5 b/b Formula 2
- Asam Stearat = 14 % × 250 = 35 b/b Formula 3
- Trietanolamin = 2 % × 250 = 5 b/b
- Gliserin = 10 % × 250 = 25 b/b
- Metil paraben = 0,1 % × 250 = 0,25 b/b
- Propil paraben = 0,08 % × 250 = 0,2 b/b
- Vitamin E = 0,02 % × 250 = 0,05 b/b
- Ekstrak = 0,25% × 250 = 0,625 b/b
- Aquadest = 250 – 61,625 = 188,375 Formula 1
- Aquadest = 250 – 64,125 = 185,875 Formula 2
- Aquadest = 250 – 66,625 = 183,375 Formula 3
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2.
Skema Pengujian Persen Inhibisi Krim Ekstrak Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata
Pengujian Aktivitas Antioksidan
dengan metode DPPH
Krim Ekstrak 25 mg
ad 25 ml metanol
5 ml ad 25 ml
metanol
200 µg/ml
(triplo)
Krim Blanko 25 mg
ad 25 ml metanol
5 ml ad 25 ml
metanol
200 µg/ml
(triplo)
DPPH 0,25 mM (4,9
mg ad 50 ml metanol)
Absorbansi (4ml
sampel: 1ml dpph)
Persen inhibisi
Analisis data
61
62
63
64
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Nilai Viskositas Krim ekstrak Nephrolepis falcata
hari ke-0 pada berbagai kecepatan (rpm)
Krim ekstrak
Nephrolepis
falcata
Spindel rpm cPs %T
F1 (12%)
R5
2 62320 31,1%
4 31340 31,3%
10 14010 35,0%
20 7360 36,8%
10 3740 9,3%
4 4390 4,3%
2 6380 3,1%
F2 (13%)
R5
2 64840 32,4%
4 40160 37,2%
10 18470 46,1%
20 10960 54,6%
10 11150 16,5%
4 11500 11,5%
2 19630 9,8%
F3 (14%)
R5
2 71480 35,7%
4 56850 56,8%
10 30490 76,2%
20 17680 87,0%
10 18480 33,7%
4 24200 24,2%
2 38190 19,0%
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nilai Viskositas Krim ekstrak Nephrolepis falcata hari ke-21 pada berbagai
kecepatan (rpm)
Krim ekstrak
Nephrolepis
falcata
Spindel rpm cPs %T
F1 (12%)
R5
2 69780 34,8%
4 51970 51,9%
10 26070 65,1%
20 15440 77,2%
10 17060 30,1%
4 22600 22,6%
2 36660 18,3%
F2 (13%)
R5
2 83630 41,6%
4 55420 55,4%
10 26700 66,7%
20 16230 81,1%
10 17320 30,8%
4 22750 22,7%
2 36190 19,1%
F3 (14%)
R5
2 103430 51,7%
4 52870 52,8%
10 26050 65,1%
20 16280 81,4%
10 17900 34,7%
4 24050 24,0%
2 37550 18,7%
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Perhitungan % inhibisi krim
Tanpa ekstrak (blanko)
Pengujian
Absorbansi (Abs)
Rata-rata Inhibisi
(%) DPPH SAMPEL
Blanko (asam stearat 12%) 200 ppm
I
0,648
0,240
63,88% II 0,238
III 0,224
Blanko (asam stearat 13%) 200 ppm
I
0,648
0,253
61,99% II 0,244
III 0,242
Blanko (asam stearat 14%) 200 ppm
I
0,648
0,266
58,95% II 0,270
III 0,262
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perhitungan % inhibisi krim ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata metode
DPPH hari ke-1 panjang gelombang 515 nm
Pengujian
Absorbansi (Abs)
Rerata Inhibisi
(%) DPPH SAMPEL
F1 (asam stearat 12%) 200 ppm
I
0,648
0,174
87,26%
II 0,081
III 0,084
F2 (asam stearat 13%) 200 ppm
I
0,648
0,155
80,35%
II 0,124
III 0,103
F3 (asam stearat 14%) 200 ppm
I
0,648
0,192
74,02%
II 0,160
III 0,153
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perhitungan % inhibisi krim ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata metode
DPPH hari ke 21 panjang gelombang 515 nm
Pengujian
Absorbansi (Abs)
Rerata Inhibisi
(%) DPPH SAMPEL
F1 (asam stearat 12%) 200 ppm
I
0,662
0,201
69,59% II 0,204
III 0,199
F2 ((asam stearat 13%) 200 ppm
I
0,662
0,228
64,41% II 0,243
III 0,236
F3 (asam stearat 14%) 200 ppm
I
0,662
0,227
69,39% II 0,197
III 0,184
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perhitungan persen inhibisi Vit C (blanko +)
Pengujian
Absorbansi Rata-rata Inhibisi
(%) DPPH Vit C
I
0,648
0,011
97,901 II 0,014
III 0,016
Perhitungan persen inhibisi metode perendaman DPPH
Contoh :
% inhibisi Vit C =
=
= 97,901 %
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Certificate of Analysys (COA) Asam Stearat
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Certificate of Analysys (COA) Setil Alkohol
One Way Anova
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Certificate of Analysys (COA) Trietanolamin
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Certificate of Analysys (COA) Gliserin
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Certificate of Analysys (COA) Methanol for analysys
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Surat Hasil Identifikasi Tanaman
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Uji Statistik T-test Penurunan Nilai Persen Inhibisi hari ke-1 dan hari
ke-22
Tujuan : Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna pada penurunan
persen inhibisi pada masing-masing formula krim ekstrak Nephrolepis
falcata
Hipotesis :
H0 = Tidak ada perbedaan bermakna pada penurunan persen inhibisi selama
penyimpanan krim ekstrak Nephrolepis falcata
H1 = Ada perbedaan bermakna pada penurunan persen inhibisi selama penyimpanan
krim ekstrak Nephrolepis falcata
Level signifikansi : 0,05
Taraf kepercayaan sampel T-test : 95%
Kriteria pengujian : H0 ditolak dan H1 diterima jika signifikansi < 0,05
Keputusan : Krim F1 ada perbedaan bermakna selama penyimpanan
F1
78
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Krim F3 tidak mengalami perbedaan bermakna selama penyimpanan
F3