UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official Website...
Transcript of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official Website...
v
ABSTRAK
MUHAMMAD ALJABBAR PUTRA, NIM 11150480000049,
PENERAPAN UJI TUNTAS HAM PADA KORPORASI DALAM SEKTOR
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA DAN KALIMANTAN,
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Uji tuntas HAM yang
dilakukan oleh Koporasi dalam Bidang Kelapa Sawit di Sumatera dan
Kalimantan. Penelitian ini berisi analisis dan kritik atas Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 1 Tahun 2015 tentang Indonesian Suistanable Palm Oil yang
dianggap mengalami kegagalan dalam mengatur dan meregulasi prinsip-prinsip
uji tuntas HAM sehingga berdampak terhadap tidak efektifnya pelaksanaan uji
tuntas HAM. Bentuk kelemahan dalam peraturan a quo dibuktikan dengan
adanya kekuatan berlebih dari Komisi ISPO yang menyebabkan tidak adanya
checks and balancesi terkait pelaksaan Uji tuntas.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan pendekatan
penelitian normatif-doktriner, di mana terdapat unsur pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach)
yang digunakan untuk mengetahui mekanisme ideal penerapan Uji tuntas HAM
terhadap Korporasi bidang kelapa sawit.
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan uji tuntas HAM saat ini masih
perlu dilakukan berbagai penyempurnaan karena mekanisme saat ini belum
mengakomodir prinsip transparansi, adanya super power kewenangan dari
Komisi ISPO, terciptanya praktik depedensi dalam internal ISPO. Absolutisme
kewenangan oleh komisi ISPO dapat menggangu netralitas dan profesionalitas
penerapan uji tuntas HAM. Hal demikian menyebabkan banyak nya korporasi
yang tidak taat atas Uji tuntas dan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah
pelanggaran HAM oleh korporasi.
Kata Kunci : Uji Tuntas HAM, Korporasi, Indonesian Suistanable Palm Oil.
Pembimbing skripsi : Dr.Alfitra, S.H, M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1958 sampai tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Allhamdulilahirabbil’aalamin, peneliti menyampaikan segala puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan
Inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada
baginda Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat
serta umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT, peneliti beryukur mampu menyelesaikan
penelitian skripsi ini dengan judul “PENERAPAN UJI TUNTAS HAM PADA
KORPORASI DALAM SEKTOR PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
SUMATERA DAN KALIMANTAN”, sebagai salah satu persyaratan yang
diwajibkan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
dukungan, nasihat, dan motivasi yang peneliti dapatkan dari berbagai pihak di sekitar
peneliti. Oleh karenanya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekeretaris Prodi Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Dr. Alfitra, S.H, M.Hum. Selaku dosen pembimbing peneliti, yang dengan ramah
hati rela mengorbankan ilmu dan waktunya untuk berdiskusi dan membantu
peneliti guna menyelesaikan skripsi.
5. Pihak Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Pusat Perpustakaan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan berbagai macam fasilitas kepada peneliti dalam rangka melakukan
studi kepustakaannya.
6. Keluarga tercinta, yaitu Alm Yarto (Ayahanda), Umi Yuliati S.H (Ibunda) dan
Adam Dharmawan Putra S.kom (Kakak) yang selalu memberikan kasih sayang
dan dukungannya kepada peneliti serta memberikan kehangatan dalam keluarga
kita sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi dengan baik. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada almarhum Ayah,
Bunda, dan Keluarga Besar yang peneliti cintai.
7. Kepada keluarga Besar Moot Court Community yang telah banyak memberikan
ilmu, pengalaman dan kehangatan keluarga dalam dunia akademisi, sehingga
peneliti mampu merasakan atmosfer perlombaan dalam kancah nasional.
8. Kepada senior Moot court community, muh reza baehaki, muh rizki ramadhan,
iqra fadhila ramadhan, muh edi, anggit handoyo, martunis, naufal, hamalatul
qurani, dalilah dan yang lainya terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang
senantiasa diberikan kepada peneliti selama perkuliahan.
9. Kepada Ilmu Hukum kelas A 2015 yang telah menemani masa perkuliahan
peneiti semenjak mahasiswa baru hingga bersama-sama tertatih dalam pergulatan
penelitian pembuatan skripsi.
10. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT memberikan
berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka semua.
viii
Demikianlah yang dapat peneliti sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pihak pembacanya, dan berkontribusi bagi kemajuan hukum ketatanegaraan
di Indonesia agar menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, 21 Agustus 2019
Peneliti,
Muhammad Aljabbar Putra
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii
LEMBAR ORISINALITAS ..................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................. 6
C.Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D. Metode Penelitian .................................................................................... 9
F. Sistematika Penelitian ............................................................................ 12
BAB II KORPORASI DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual............................................................................. 32
B. Kerangka Teori ...................................................................................... 44
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................................... 48
BAB III TINJAUAN UMUM HUMAN RIGHT DUE DILLIGENCE DALAM
UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLES ON BUSSINES ON
HUMAN RIGHT
A. Esensi Human Right Due Dilligence Dalam United Nations Guiding
Principles On Bussines And Human Right ............................................ 50
B. Aspek-Aspek dalam United Nastionss Guiding Principles .................. 51
C.Indonesian Sustainable Of Palm Oil Sebagai Uji Tuntas HAM............. 63
BAB IV PENERAPAN UJI TUNTAS HAM DALAM KORPORASI
A. Isu Aktual Pelanggaran HAM oleh Korporasi Sektor Kelapa Sawit di
Sumatera dan Kalimantan ...................................................................... 64
B. Isu Aktual Pelanggaran HAM di Sumatera dan Kalimantan ................. 66
x
C. Kajian Kritis Implementasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) . 73
D. Hambatan Implementasi Penegakan HAM oleh Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO) ..................................................................................... 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 87
B.Rekomendasi ........................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 90
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsekuensi yuridis suatu negara menganut prinsip negara hukum baik
secara rule of law ataupun rechtstaat menurut albert van dicey ialah wajib
menjunjung tinggi HAM disamping supremacy of law dan equality before the
law.1 Sehingga secara mutatis mutandis Indonesia berkewajiban untuk
menghormati (to respect), memulihkan (remedy), dan melindungi (to protect)
HAM. Norma regulasi terkait HAM kemudian diterjemahkan dalam narasi
konstitusi Pasal 28 Huruf A s/d 28 Huruf J UUD NRI 1945 dan diatribusikan
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Implementasi
negara akan nilai HAM termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 dengan narasi :
“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan.”.
Pengakuan negara terhadap HAM merupakan hal fundamental karena
menjadi dasar bagi kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melindungi,
memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM warga negara. Proses
perlindungan HAM menjadi penting guna mencegah pemerintah dan pemegang
kekuasan bertindak semena-mena terhadap masyarakat luas. Bahkan secara
historical contecs dalam narasi konstitusi baik UUD NRI 1945 sampai dengan
naskah UUD NRI 1945 pasca perubahan.2
Namun ibarat dua sisi mata uang yang berlainan penghayatan HAM sulit
diwujudkan dalam sektor bisnis. Bisnis merupakan kegiatan berdimensi profit
1 A.V Dicey, An Introducingof To The Study Of Law Of The Constitutions, (London: Mc
Millan, 1982), h. 98 2Soetandyo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia, Konsep dasar dan Perkembangan
Pengertianya dari Masa ke Masa (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h.76
2
1
oriented yang memiliki dasar pemikiran bahwa orang yang terjun ke dalam
dunia bisnis maka tidak punya keinginan lain selain mencari keuntungan.3
Meskipun dalam sisi lainya bisnis juga memiliki potensi yang baik bagi
pembangunan ekonomi nasional. Namun dalam upaya menjalankan fungsinya
sebagai roda penggerak perekonomian, merupakan keniscayaan bisnis dan
korporasi untuk cenderung melakukan pengabaian atas HAM.4 Bentuk
pengabaian HAM dapat berupa kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi
kultural ataupun kelalaian pelaku bisnis yang dengan sengaja merusak
lingkungan. Bentuk lainya dapat berupa pengabaian HAM terhadap pekerja
atau karyawan serta pelanggaran HAM terhadap masyarakat sekitar.
Hal tersebut terbukti dalam data Komisi Nasional HAM sepanjang tahun
2015 dan 2016 terdapat sedikitnya 2.261 perkara laporan pengaduan
pelanggaran HAM oleh korporasi dan sekaligus menempatkan korporasi
sebagai institusi kedua pelanggar HAM terbanyak di Indonesia. Data sejumlah
tersebut jika dirincikan secara matematis Komisi Nasional HAM menerima 3-4
laporan pengaduan pelanggaran HAM oleh korporasi dalam sehari.5 Sama
halnya dalam catatan ELSAM korporasi dilaporkan 5.767 kali oleh masyarakat
karena kasus pelanggaran HAM sepanjang tahun 2010-2014.
Disamping data yang dilansir oleh Komisi Nasional HAM, instansi lainya
seperti kepolisian, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Komisi
Nasional Perempuan ataupun berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dibidang HAM juga menyimpan sejumlah pengaduan pelanggaran
HAM atas korporasi. Namun banyak korban pelanggaran HAM tidak
melaporkan peristiwa yang menimpa mereka dikarenakan ketidaktahuan akan
kemana mereka melapor, terlebih dalam konteks pelanggar HAM adalah
korporasi yang membuat korban merasa enggan untuk melapor.
3 Sony Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), (Yogyakarta : Kanisius, 1998), h.48
4 Radu Vranceanu, Corporate Profit, Entrepreneurship Theory and Business Ethics, (Paris:
ESSEC, 2013), h.2 5 Komisi Nasional HAM, Laporan Data Pengaduan Tahun 2016 Subbagian Penerimaan
dan Pemilahan Pengaduan, (Jakarta: Komisi Nasional HAM Press, 2016), h.7
3
1
Terkait permsalahan tersebut, muncul resolusi dewan PBB mengenai
masalah HAM dan bisnis dengan diwujudkan oleh rumusan the guideline
principles on business and human right, yaitu suatu resolusi Dewan HAM PBB
Nomor 17/4 pada tanggal 16 juni 2011.6 Prinsip tersebut adalah produk dari
suborgan sekretariat PBB yaitu United Nations High Commissioner for
Human Rights (UNHCHR).7 Sebagai aksi nyata dari prinsip tersebut adalah
pengaturan perusahaan untuk mengeluarkan kebijakan dan menerapkan human
right due dilligence (uji tuntas HAM). Uji tuntas aspek perlindungan HAM
dapat berupa pemeriksaan, investigasi maupun kinerja yang harus dilakukan
demi memenuhi suatu “standard of care” tertentu dalam kebijakan atau hukum
tertentu.
Produk resolusi PBB tentang uji tuntas HAM tersebut kemudian dibahas
melalui simposium nasional mengenai bisnis dan HAM yang diprakarsai oleh
Kementrian Luar Negeri RI. Simposium dilakukan guna memperoleh masukan
dan rekomendasi mengenai berbagai hambatan dan tantangan serta upaya
penguatan kebijakan dan mekanisme terkait dengan implementasi un guiding
principles on business and human rights di Indonesia. 8
Uji tuntas HAM dianggap sebagai langkah efektif untuk menekan pihak
korporasi untuk bisa tunduk terhadap penghormatan atas HAM serta mereduksi
kemungkinan penyebab maraknya pelanggaran HAM oleh korporasi. Selama
ini problematika HAM dan bisnis merupakan persoalan yang sulit dipecahkan
karena melibatkan pihak yang tidak sepadan (unequal case) yakni antara
korporasi dengan warga masyarakat biasa. Hal demikian menyebabkan uji
tuntas HAM bagi korporasi dianggap sebagai milestone penting sejarah HAM
dan bisnis di dunia internasional. Tokoh penting dalam dalam penyusunan uji
6 Surya Deva, Guiding Principles on Business and Human Rights: Implications for
Companies, European Company Law Vol 9 Nomor 2, 2012, h. 22 7 UNHCHR, Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United
Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework, (New York: United Nations, 2011), h. 4
8 Kementrian Luar Negeri akan mengadakan Simposium mengenai bisnis dan HAM, pikiran
rakyat, 4 September 2015, berita diakses pada 12 Oktober 2019 pukul 21.20 BBWI dari
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/09/04341142/kemlu-akan-gelar-simposium-
nasional-mengenai-bisnis-dan-ham
4
1
tuntas HAM adalah Jhon Ruggie sehingga lazim dikenal dengan nomenklatur
Ruggie’s Principle.9
Sejatinya regulasi terkait HAM dan bisnis telah banyak dibuat oleh
pemerintah untuk mengatasi permasalahan dalam bidang perkebunan kelapa
sawit.10
Instrumen hukum terkait HAM dan bisnis oleh korporasi telah banyak
di regulasikan atas upaya afeksi negara memberikan perlindungan atas HAM.11
Sebut saja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan.
Lebih lanjut, aturan terkait HAM dan bisnis kemudian ditransformasikan
kedalam beberapa peraturan menteri yang terbagi secara sektoral pada tiap-tiap
sektor bisnis. Setidaknya prinsip uji tuntas terdapat dalam sektor perikanan
yakni Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 /PERMEN-KP/2015
tentang Sistem Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan, ISPO
pada industri kelapa sawit, SVLK atau sistem verifikasi legalitas kayu.
Penegakan HAM oleh korporasi yang bersifat sporadis dan atas prinsip
kesukarelaan hal tersebut secara nyata telah membuat penghormatan HAM
gagal dipahami sebagai sesuatu yang vital. Meskipun telah banyak regulasi
terkait hukum bisnis dan korporasi yang menganut prinsip perlindungan HAM
namun secara realitas masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM oleh
korporasi.12
9 Robert C. Blitt, Beyond Ruggie’s Guiding Principles on Business and Human Rights:
Charting an Embracive Approach to Corporate Human Rights Compliance, Texas International
Law Journal No. 48, 2012 , h. 35 10
Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD Due Diligence
Guidance for Responsible Supply Chains of Minerals from Conflict-Affected and High-Risk Areas,
(Paris, OECD Publishing, 2013), h. 15 11
Amirullah Imam Hardjanto, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Graha Ilmu 2005), h.2 12
Imam Prihandono dan Rully Sandra, Menuju Implementasi Prinsip-Prinsip Panduan HAM
PBB tentang Bisnis dan HAM di Indonesia, (Jakarta, INFID, 2018), h. 23
5
1
Namun terkait dengan uji tuntas HAM sektor perkebunan sawit (Indonesian
Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO) yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem sertifikasi
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia dianggap belum berjalan secara efektif.
Regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait ISPO masih menimbulkan
persoalan lanjutan seperti lingkungan, HAM, legalitas, dan ketidakadilan
dalam penguasaan sumber daya alam dan ekonomi. Perlu ada pemantauan
independen terhadap sistem sertifikasi ISPO, serta perlindungan hutan dan
gambut. Prinsip ketelusuran dan HAM sangat penting dalam sistem sertifikasi
ISPO mengingat sering terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan
yang mengelola perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial
atau lingkungan. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit 11,4 juta hektar
persegi, Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian pada tahun 2012
mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik
perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%) sengketa
non lahan sebanyak 185 kasus (25,05%) dan sengketa dengan kehutanan
sebanyak 15 kasus (2%).13
Selain itu studi dan temuan yang dipublikasikan oleh organisasi-organisasi
internasional menunjukkan keadaan yang kurang mendukung industri kelapa
sawit. Laporan amnesti internasional tahun 2016 misalnya, menemukan adanya
pelanggaran atas peraturan ketenagakerjaan seperti pelanggaran upah lembur,
jam kerja, pekerja paksa, sampai dengan masih berjalannya praktik pekerja
anak-anak.14
Demikian juga studi yang dilakukan oleh Rainforest Action
Network (RAN) pada tahun 2015 menunjukan masih terdapat pembukaan
hutan lindung oleh perusahaan besar perkebunan sawit. Keadaan ini memicu
13
Ditjenbun Kementrian Pertanian merilis data statistik perkebunan Kelapa sawit
https://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/SAWIT%202013%202015.
pdf diakses pada 19 oktober 2019 pukul 13.00 BBWI 14
Amnesty International, “The Great Palm Oil Scandal: Labour Abuses Behind Big Brand
Names” 2016 dalam Imam Prihandono, Kertas Kebijakan Menuju Implementasi Prinsip-Prinsip
Panduan PBB tentang Bisnis dan Ham Di Indonesia, h.24
6
1
konflik lahan dengan masyarakat adat, kebakaran hutan, emisi gas karbon, dan
hilangnya habitat bagi orang utan.15
Atas dasar itulah pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan perkebunan
kelapa sawit untuk memiliki sertifikat ISPO demi menerapkan sistem yang
menjamin produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Namun pada kenyataanya
hingga tenggat waktu pendaftaran ini habis, hanya ada 225 dari 2.302
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah bersertifikat ISPO dengan
total luas 1,5 juta hektare, dan total jumlah produksi CPO 7,4 juta ton.16
Berdasarkan kondisi demikian diperlukan evaluasi kembali perihal sistem
sertifikasi HAM (Uji Tuntas) oleh korporasi di bidang kelapa sawit. Sehingga
dalam upaya memberikan sumbangsih pemikiran dalam kerangka problematika
demikian peneliti hendak berfokus terhadap implementasi uji tuntas HAM oleh
Indonesia Sertification Of Palm Oil (ISPO) dan menganalisis penyebab banyak
nya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Dari latar belakang
permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji dan menuangkannya
dalam penelitian ini dengan judul “PENERAPAN UJI TUNTAS HAM PADA
KORPORASI DALAM SEKTOR PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
SUMATERA DAN KALIMANTAN”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah, maka identifikasi masalahnya sebagai berikut :
a. Tanggung jawab yang dibebankan kepada perusahaan terkait dengan
permasalahan hak asasi manusia dalam hukum internasional dalam hal
ini adalah United Nations on Guiding Principles on Bussiness and
Human Rights.
15
Rainforest Action Network, “Palm Oil Sustainability Assessment”, 2015, h. 22-31 16
Soelthon Nanggara dkk, 6 Tahun ISPO Kajian Terkait Penguatan Instrumen ISPO Dalam
Merespon Dampak Dampak Negatif Seperti Deforestasi, Kerusakan Ekosistem, Gambut,
Kebakaran Hutan Dan Lahan, Serta Konflik Tenurial, Forest Watch Indonesia, 2017, h. 54
7
1
b. Regulasi pemerintah terhadap uji tuntas HAM atau human rights due
diligence diatur dalam berbagai segmentasi seperti regulasi uji tuntas
HAM di bidang kelapa sawit diatur dalam Permentan Nomor Tahun 2017
tentang ISPO, SVLK, Perikanan
c. Banyaknya kasus pelanggaran HAM dalam korporasi di Wilayah
Sumatera dan Kalimantan menunjukan adanya problematika dalam
pelaksanaan uji tuntas HAM di bidang Kelapa Sawit sekaligus
menjadikan dua pulau tersebut sebagai daerah tertinggi pelanggaran
HAM.
d. Implementasi Uji Tuntas HAM atau human right due dilligence di
korporasi di Indonesia diwujudkan dalam Indonesian Suistanable Palm
Oil/ISPO
e. Pemutakhiran uji tuntas HAM atau human right due dilligence dalam
sektor perkelapa sawit perlu dilakukan kembali demi terciptanya sistem
yang efektif dan efisien
f. Pelaksanaan uji tuntas ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) belum
berjalan secara maksimal karena masih banyaknya pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh korporasi.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahaan yang telah
diungkapkan di atas maka pembahasan ini berfokus pada satu titik
permasalahan, peneliti ingin menganalisis permasalahan uji tuntas HAM
dalam korporasi dalam sektor perkelapasawitan di sumatera dan kalimantan
karena dua daerah tersebut menyimpan pelanggaran HAM paling banyak di
Indonesia. Berdasarkan kondisi demikian hendaknya diberikan pembatasan
masalah yakni sebagai berikut
a. Uji tuntas HAM dibatasi pada sektor perkebunan kelapa sawit karena
fokus pembahasan yang tertuang dalam judul skripsi ialah penerapan
Indonesian suistanable palm oil (ISPO)
b. Korporasi dibatasi pada daerah sumatera selatan dan kalimantan tengah
8
1
karena luas pertumbuhan luasan perkebunan di dua daerah tersebut
menempati posisi paling tinggi dan hal demikian juga berkaitan dengan
angka pelanggaran HAM yang terjadi di dua daerah tersebut.
c. Data yang diteliti dibatasi pada tahun 2017 karena data termutakhir
paling efisien untuk diakses dan dijadikan sebagai data penelitian terbatas
dalam 5 tahun terkahir.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang
telah dijabarkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu:
Penerapan Uji Tuntas HAM Pada Korporasi Dalam Sektor Perkebunan
Kelapa Sawit di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan perumusan masalah
di atas maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Apa sajakah hambatan pelaksanaan uji Tuntas Hak asasi Manusia pada
sektor kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan ?
b. Bagaimana Mekaniseme Ideal Uji Tuntas Hak asasi Manusia pada sektor
kelapa sawit?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti mendalilkan tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan uji
tuntas Hak Asasi Manusia (HAM) di Sumatera dan Kalimantan
2. Untuk mendeskripsikan mekaniseme ideal uji tuntas hak asasi manusia
pada sektor kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan
2..Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu dibidang HAM dan membuktikan secara
9
1
nyata bahwa kewajiban HAM terhadap korporasi bukan merupakan
suatu kewajiban yang memaksa (mandatory) melainkan hanya sebatas
voluntary. Sehingga dengan adanya human right due diligence
diharapkan akan memperbaiki sistem pengamalan HAM dengan metode
mengevaluasi, menganalisis dan yang paling urgent ialah mencegah
korporasi dalam dunia bisnis melakukan mengabaikan terhadap
perlindungan HAM.
4. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mampu mengurangi
pengaduan pelaranggaran pengaduan kepada Komisi Nasional HAM
maupun instansi terkait yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia. Juga
sebagai sumbangsih pemikiran untuk kemajuan pengaturan HAM oleh
negara dan korporasi.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif yuridis. Pendekatan tersebut mengacu kepada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma yang ada dalam masyarakat.17
Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statue approach) yakni pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi, dan pendekatan konsep
(conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang
ada.18
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
menggunakan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini menekankan
pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat didalam
17
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayumedia
Publishing, 2006 ) h.46
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005) h. 178
10
1
perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi
penelitiannya sebagai sumber data. Maksudnya adalah data dan informasi
kepustakaan ditarik maknanya dan konsepnya melalui pemaparan deskriptif
analitik.
3. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab
masalah penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti gunakan untuk
menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundang-undangan19.
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas norma hukum yang diberikan atas kepentingan
penelitian.20
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum berupa
laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian. Bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk
memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.
4. Sumber Data
a. Data Primer
Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer ialah
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
19 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), h. 11 20
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001) h. 40
11
1
Undang-Undang Nomor 39 Tahunn 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Peraturan menteri pertanian Nomor 1 Tahun 2015 tentang Sertifikasi
Indonesia Suistanable Palm Oil.
b. Data Sekunder
Dalam hal ini berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum dalam
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas norma hukum dan lain-lain. Data sekunder diperoleh
melalui hasil studi kepustakaan yaitu pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan
secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu
melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara
membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan
sekunder dan bahan primer dan sumber-sumber sejenis yang diakses
melalui internet.
d. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan
melalui studi pustaka baik berupa informasi ataupun dokumen hukum.
Dalam menyusun dan menganalisis data, peneliti menggunakan
penalaran penulisan secara deduktif dengan metode deskriptif.21
Setelah
proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik dan
menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian untuk kemudian
dielaborasi dalam struktur pembahasan yang analitis. Berikutnya ditarik
simpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal
21
Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35
12
1
sebagai upaya transfer gagasan yang diakhiri dengan kesimpulan analisis
pemberian gagasan dalam sebuah rekomendasi.
e. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penelitian
yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui permasalahan penerapan uji tuntas HAM terhadap
korporasi dalam bidang perkelapa sawitan di Indonesia
f. Pedoman Penelitian
Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing
bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang menjadi
objek penelitian. Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Membahas mengenai latar belakang penelitian yang
melatarbelakangi penulisan, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KORPORASI DI INDONESIA
Dalam bab ini akan membahas kajian pustaka yang berisi teori-
teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterprestasikan
13
1
data penelitian. Kajian pustaka diawali dengan pemaparan
kerangka konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari
kerangka teori. Kajian pustaka akan membantu peneliti dalam
merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu, juga
terdapat review hasil studi terdahulu pada sub bab kedua dari bab
II, di mana peneliti menelusuri dan mendeskripsikan hasil
penelusurannya terhadap penelitian terdahulu yang relevan.
BAB III KETENTUAN HUMAN RIGHT DUE DILLIGENCE
Bab ini berisi data-data yang hendak digunakan, dalam hal ini data
tersebut meliputi substansi dari kesepakatan united nations guiding
principles on business and human rights mengingat segala
ketentuan dalam kewajiban human right due dilligence atau uji
tuntas HAM bermula. Selanjutnya dilakukan penginputan data dari
fakta kasus pelanggaran HAM oleh korporasi sektor kelapa sawit di
Indonesia.
BAB IV ANALISIS YURIDIS PENERAPAN UJI TUNTAS HAM
DALAM KORPORASI
Bab IV adalah analisis tentang skema penerapan uji tuntas HAM
atau human right due dilligence di Indonesia seperti halnya
penerapan uji tuntas di sektor perikanan. Dalam Bab IV juga akan
dilakukan jawaban atas rumusan penelitian yang diajukan sehingga
menemukan konklusi yang solutif dalam sektor HAM dan bisnis.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika
penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
beberapa kesimpulan dari penelitian untuk menjawab perumusan
masalah serta memberikan rekomendasi yang membangun skripsi.
32
BAB II
TINJAUAN UMUM KORPORASI DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
1. Esensi Perseroan Terbatas (PT) dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan
masyarakat modern, karena merupakan salah satu pusat kegiatan manusia
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Secara yuridis definisi mutlak dari
perseroan terbatas diatur dalam pasal 1 angka 1 poin ketentuan umum
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan:
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Dalam perspektif hukum perseroan, perusahaan terbatas dipersepsikan
serupa dengan subjek hukum lainya, yakni memiliki hak dan kewajiban
untuk bertindak atas dasar hukum, memiliki aset kekayaan serta hak hukum
yang dijamin sebagai subjek hukum lainya.1 Begitu pun apabila terjadi
tindakan yang diambil oleh pengurus dalam internal suatu perseroan maka
hal tersebut sejatinya merupakan kehendak perseroan terbatas sehingga
konsekuensi dan tanggung jawab yang ada terletak dalam ranah internal.
Pola ketentuan demikian berdasarkan atas konsep limitative liability yang
terdapat dalam doktrin dan teori hukum perseroan.2
Secara konseptual dalam disiplin ilmu hukum apa yang dimaksud dengan
persoon (orang) meliputi manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum
(legal entity, persona moralis, legal persoon, recht persoon). Atas dasar
tersebut maka secara mutatis mutandis keduanya memiliki peran yang sama
1 Ridwan Khairandy, Hukum Perseroan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014 ), h. 89
2 C.S.T Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), h. 23
33
dalam proses berhukum dan sama-sama memiliki hak dan kewajiban dimata
hukum. Badan hukum atau persona ficta adalah orang yang diciptakan oleh
hukum sebagai persona (orang fiktif). Hal ini seperti pandangan yang dianut
oleh C.W Opzoomer, AN. Houwing, dan Langemeyer yang memandang
bahwa badan hukum itu hanyalah fiksi hukum, yaitu merupakan buatan
hukum yang diciptakan sebagai bayangan manusia yang ditetapkan oleh
hukum negara. Oleh karena itu, dalam berbagai literatur, aliran pandangan
yang demikian ini disebut sebagai teori fiktif atau teori fiksi.3
Teori fiksi4 berpendapat, bahwa badan hukum semata-mata adalah buatan
negara saja. Secara alamiah hanya manusia sebagai subyek hukum yang
dapat bertindak di dalam lalu lintas hukum. Badan hukum sebenarnya
adalah suatu fiksi, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi diciptakan
sebagai pelaku hukum dan diperlakukan layaknya sama dengan manusia.
Berdasarkan atas hal tersebut maka teori fiksi adalah landasan badan hukum
untuk
Perseroan sebagai badan hukum merupakan konsep dasar pemahaman
subjek hukum yang berbeda dari subjek hukum natural (manusia). Seperti
yang dijelaskan oleh M.S Oliver dan E.A Marshall
“the corporate legal person is very different from natural or human legal
person. It has neither body, mind, nor soul. It was said that it is
ingvisible, immortal and rest only in intendment law and consideration of
the law.5
Lebih lanjut dikatakan:
“they were nor born and so cannot die. They have been created by a
procces of law and can only be destroyed by a procces of law. They will
exist even if all their human members are dead (propertual succesion),
3 C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2002), h. 14 4 R. Ali Ridho, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, (Jakarta, Alumni 1977), h.15 5 M.S Oliver dan E.A Marshall, Company Law: Handbook, Twelve Eddition (Singapore
pitman publishing , 1994), h. 11
34
for every corporation is seperate legal person from those legal persons
who compose it.6
Terbentuknya prinsip badan hukum (rechtspersoonlijkheid) pertama-
tama terdorong dari pemahaman bahwa manusia di dalam hubungan hukum
privat tidak hanya berhubungan dengan sesama manusia saja tetapi juga
dengan kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan, yakni badan
hukum. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri
seperti manusia. Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang
alamiah, maka diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk
menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga.7
Oleh karena itu perumus naskah undang-undang perseroan terbatas
menempatkan sejumlah organ yang dapat menggerakan perseroan terbatas
berupa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), direksi, dan dewan
komisaris. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus
melandaskan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2
(dua) prinsip dasar yaitu pertama kepercayaan yang diberikan perseroan
kepadanya (fiduciary duty) dan kedua prinsip yang merujuk pada
kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care).8
Kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati dan
disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.9
Badan hukum perseroan di Indonesia adalah badan hukum yang memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum sebagaimana subjek hukum
yang lain. Perbuatan hukum itu, antara lain melakukan penandatanganan
6 M.S Oliver dan E.A Marshall, company law: Handbook, twelve eddition (Singapore
Pitman Publishing ,1994), h. 11 7 Manusia mempunyai kemauan/keinginan, perasaan dan organ tubuh untuk melaksanakan
kemauan/keinginan tersebut. Lain halnya dengan badan hukum yang tidak mempunyai sifat-sifat
tersebut, sehingga badan hukum harus bertindak melalui organ-organnya, karena tidak mungkin
untuk tiap tindakan hukum dilakukan secara bersama-sama. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie,
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta, Sekjen dan
Kepaniteraan MKRI 2004), h. 69 8 Janet Dine, Company Law, (London, Macmillan Press Ltd, 1998), h. 179
9 Kurniawan, “Tanggung Jawab Direksi dalam Kepailitan Perseroan Terbatas”, Mimbar
Hukum, Volume 24, Nomor 2, 2012, h. 217
35
suatu kontrak perjanjian dengan pihak ketiga dimana perseroan diwakili
oleh direksi. Perbuatan hukum perseroan yang diwakilkan direksi sebagai
pengurus perseroan dapat saja menyimpang dari apa yang telah ditentukan
oleh anggaran dasar perseroan, yang disetujui oleh rapat umum pemegang
saham (RUPS). Dengan catatan, perbuatan itu dilakukan demi kepentingan
dan kebaikan perseroan dan bukan merupakan suatu perbuatan melawan
hukum atau perbuatan lain yang diancam pidana.10
a. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam disiplin ilmu
hukum telah mengenal berbagai macam subjek hukum yang salah
satunya adalah badan hukum (legal entity). Namun terhadap badan
hukum tersebut tidak seluruh perseroan terbatas dalam menyandang
predikat sebagai badan hukum. Karena secara yuridis dalam Pasal 7 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa suatu perseroan berubah status menjadi badan hukum
manakala telah mendaftarkan perusahaan dan mendapatkan Surat
Keputusan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Adapun syarat – syarat
sahnya pendirian suatu perseroan terbatas di Indonesia yang diatur dalam
Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.
Pertama, terdapatnya Akta Pendirian sebagaimana diatur dalam pasal
7 s/d 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Menurut Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas dikatakan bahwa perseroan didirikan
minimal oleh 2 ( dua ) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat
dalam bahasa Indonesia. Menjadi sebuah problematika karena menurut
Pasal 7 Ayat ( 7 ) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, ketentuan
pemegang saham minimal 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi
perseroan yang sahamnya dimiliki oleh negara atau perseroan yang
10
Adrian Sutedi, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta, Raih Asa Sukses 2015),
h. 6
36
mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur
dalam ketentuan tentang pasar modal.
Kedua, terkait dengan syarat harus mendapatkan pengesahan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam mendirikan perseroan
terbatas tidak cukup dengan cara membuat akta pendirian yang dilakukan
dengan akta otentik. Akan tetapi harus diajukan pengesahan kepada
menteri, guna memperoleh status badan hukum. Pengajuan pengesahan
dapat dilakukan oleh direksi atau kuasanya. Jika dikuasakan hanya boleh
kepada seorang notaris dengan hak substitusie. Agar Perseroan diakui
secara resmi sebagai badan hukum, akta pendirian dalam bentuk akta
notaris tersebut harus diajukan oleh para pendiri secara bersama-sama
melalui sebuah permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri
(Menteri Hukum dan HAM ) mengenai pengesahan badan hukum
perseroan.
Ketiga, tentang pendaftaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang melakukan pendaftaran
setelah diperoleh pengesahan dibebankan kepada direksi perseroan maka
di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas ini maka yang menyelenggarakan daftar perseroan setelah
diperoleh pengesahan adalah menteri yang memberikan pengesahan
badan hukum dan memasukkan data perseroan secara langsung.
Daftar perseroan memuat data tentang Perseroan yang meliputi: a.
Nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha. b.
Nomor dan tanggal akta pendirian dan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum perseroan. c. Nomor dan tanggal akta
perubahan anggaran dasar dan persetujuan menteri. d. Nomor dan tanggal
akta perubahan anggaran dasar dan tanggal penerimaan pemberitahuan
oleh menteri. e. Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta
37
pendirian dan akta perubahan anggaran dasar. f. Nama lengkap dan
alamat pemegang saham, anggota direksi dan anggota dewan komisaris
perseroan. g. Nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan
tanggal penetapan pengadilan tentang pembubaran perseroan yang telah
diberitahukan kepada menteri. i. Berakhirnya status badan hukum
perseroan. h. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang
bersangkutan bagi perseroan yang wajib diaudit, jangka waktu pendirian,
dan permodalan.
Status hukum perseroan apabila telah didaftarkan dan resmi berstatus
sebagai badan hukum dalam Kementrian Hukum dan HAM maka
selanjutnya perseroan, secara hukum pada prinsipnya harta benda
perseroan terpisah dari harta benda pendiri/pemiliknya, karena itu
tanggung jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi
pemilik perusahaan yang berbentuk badan hukum. Dengan demikian,
apabila perseroan melakukan suatu perbuatan dengan pihak lain, maka
tanggung jawabnya berada di pihak perseroan tersebut dan hanya sebatas
harta benda yang dimiliki perseroan dan harta pemilik/pendiri tidak dapat
ikut disita atau dibebankan untuk tanggung jawab peseroan.
2. Perseroan Terbatas Non Badan Hukum
Badan usaha bukan badan hukum adalah bentuk usaha yang didirikan
berdasarkan perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih yang
mengikatkan diri untuk bekerja sama secara terus menerus dengan
memberikan pemasukan berupa uang, barang, tenaga, keahlian dan/atau
klien/pelanggan guna diusahakan bersama. Badan usaha bukan badan
hukum mempunyai nama dan tempat kedudukan tetap dengan tujuan
mencari dan membagi bersama keuntungan yang diperoleh. Lingkup
yang teradapat dalam badan usaha bukan badan hukum mencakup
persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer. 11
11
Ratnawati Prosodjo, RUU tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan
Hukum, disampaikan pada acara sosialisasi RUU Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan
38
Persekutuan perdata adalah badan usaha bukan hukum yang setiap
sekutunya bertindak atas nama sendiri serta bertanggungjawab sendiri
terhadap pihak ketiga didirikan berdasarkan perjanjian persekutuan
perdata. Persekutuan perdata dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
Indonesia dan akan mulai berlaku sejak tanggal akta notaris atau tanggal
yang ditentukan dalam akta notaris tersebut. Dalam substansi akta
perjanjian persekutuan perdata tersebut memuat paling sedikit nama
perskutuan, tempat tinggal, kewarganegaraan, pekerjaan para sekutu
perseorangan atau nama, tempat kedudukan dan status badan hukum bagi
sekutu yang berbadan hukum, nama persekutuan, tempat kedudukan
persekutuan, jangka waktu perjanjian persekutuan, kegiatan usaha
persekutuan, pemasukan para sekutu, cara pembagian laba dan beban
kerugian persekutuan.12
Pada perusahaan bukan badan hukum, yang bertindak sebagai subjek
hukum adalah orang-orangnya dan bukan perkumpulannya sehingga
yang dituntut adalah orang-orangnya oleh pihak ketiga. Harta kekayaan
dalam perusahaan yang tidak berbadan hukum adalah dicampur, artinya
bila terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi
/pelunasan utang maka harta kekayaan pribadi dapat menjadi
jaminannya. Dengan kata lain, pertanggung jawabannya pribadi untuk
keseluruhan. Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para
pengurus/anggotanya. Akibatnya jika perusahaannya pailit, maka harta
pengurus/anggotanya ikut tersita juga.
Menurut van ophuijsen, seorang notaris di Batavia, didalam buku
abdul kadir muhamad yang berjudul hukum perikatan, tanggung jawab
para sekutu terhadap pihak ketiga tidak dilaksanakan secara langsung.
Artinya segala utang firma dipenuhi lebih dahulu dari uang kas firma.
Badan Hukum diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum dan HAM RI Di Hotel Kartika Chandra- Jakarta, tgl 21 Maret 2007. 12
I.G. Rai Widjaya.. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. (Kesaint Blanc, Jakarta,
2000) h. 7.
39
Apabila uang kas tidak mencukupi, barulah diberlakukan Pasal 18 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang bahwa kekayaan pribadi masing-
masing sekutu dipertanggung jawabkan sampai utang terpenuhi
semuanya.13
Selain itu dengan perseroan terbatas tidak berbadan hukum memiliki
implikasi yuridis yang berbeda dengan perseroan terbatas berbadan
hukum. Paling tidak aspek yang berbeda diantaranya perihal sarana
perlindungan hukum bagi internal perseroan terbatas itu sendiri.
Perseroan dalam menghadapi permasalahan hukum akan sulit
menyelesaikan secara legal karena kondisi yang tidak berbadan hukum.
Dengan mendirikan badan usaha berarti bisnis pelaku usaha telah
memiliki izin usaha. Dengan izin usaha, seorang pengusaha telah sedini
mungkin menjauhkan kegiatan usahanya dari tindakan pembongkaran
dan penertiban. Hal tersebut berefek memberikan rasa aman dan nyaman
akan keberlangsungan usahanya. Legalisasi merupakan sarana yang
disediakan oleh pemerintah agar kenyamaan dalam melakukan kegiatan
usaha dirasakan oleh para pelakunya.
2. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas
a. Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas
Proses tanggung jawab anggota direksi dalam perseroan terbatas yang
memiliki status badan hukum apabila ditelisik secara yuridis maka
sejatinya tanggung jawab direksi hanyalah sebatas terkait kepemilikan
modal (separate and distinct from its owner).14
Dalam hal ini apa yang
telah diperbuat oleh direksi dapat diartikulasikan sebagai tindakan resmi
yang dilakukan oleh perseroan terbatas. Oleh karena itu pemahaman
yang berkembang yakni suatu perusahaan yang telah dinyatakan pailit
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung,: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 92 14
Yahya harahap, Hukum Perseroan, Cetakan Ketiga, Edisi Ketujuh, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2011), h.157
40
dan gagal dalam melaksanakan prestasinya terhadap debitur maka dewan
direksi selaku pengelola suatu perseroan terbatas tetap terbebas dari
segala kewajiban yang berkaitan dengan perseroan terbatas.
Namun, meskipun terdapat perlindungan secara hukum terhadap
direksi dalam mengelola perseroan terbatas dewan direksi tetap harus
melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan cara-cara yang baik,
layak dan beritikad baik dan penuh tanggung jawab. Karena jelas direksi
merupakan badan perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak
dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas
nama perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan
bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan.
Namun tidak dalam setiap kondisi dewan direksi dapat terbebas dari
pertanggung jawaban terhadap perseroan terbatas sebagaimana konsep
limited liability. Terdapatnya perlindungan yang dimiliki oleh direksi
akan menghilang manakala dihadapkan dalam prinsip piercing of
corporate veil. Organ perseroan akan dimintai pertanggung jawaban jika
organ tersebut bertindak melebihi kewenangannya atau telah berbuat abai
dan sengaja untuk merugikan keuangan korporasi.15
Dalam paradigma civil law maupun common law memandang tugas
dan fungsi direksi dalam suatu perseroan terbatas yakni sebagai fiduciary
duties dan dutie of skill and test yang artinya dewan anggota direksi
bekerja harus berdasarkan kemampuan dan profesionalitas. Konsepsi
demikian memunculkan perspektif limited liability yang mengharuskan
pemegang saham, direksi, dan komisaris dapat dengan pasti membedakan
mana tindakan sebagai organ perseroan dan mana tindakan yang
perseorangan. Semua tindakan pemegang saham, direksi, atau komisaris
15
Jerat pidana terhadap direksi dan komisaris dalam korporasi (corporate veil) dibatasi atas
adanya pelanggaran duty of care, duty of loyality, Munir Fuady, Perseroan Terbatas- Paradigma
Baru, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003) h. 67
41
suatu perseroan telah ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan
dan AD/ART perseroan terbatas dan tidak diperbolehkan melakukan
tindakan di luar kewenangan yang telah ditentukan tersebut.16
Adapun
secara umum tanggung jawab perseroan terbatas dalam perspektif hukum
terbagi menjadi dua yakni tanggung pidana dan perdata.
b. Tanggung Jawab Pidana Korporasi
Kewajiban dan tanggung jawab perseroan bukan kewajiban dan
tanggung jawab pemegang saham. Jika seperti itu halnya, perseroan
sebagai badan hukum adalah mahkluk hukum (a creature of the law).
Aktivitas berhukum yang mungkin dilakukan oleh perseroan terbatas
meliputi kekuasaan (power) dan kapasitas yang di berikan hukum
kepadanya dan berwenang berbuat dan bertindak sesuai dengan
kewenangan yang diberikan sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar
(AD). Mempunyai kekuasaan diatur secara tegas (express power) seperti
untuk memiliki kekayaan, menggugat dan digugat atas nama perseroan.17
Tetapi ada juga kekuasaan yang tidak bersifat tegas melainkan hanya
bersifat implisit belaka (implicit power) yakni berwenang melakukan apa
saja asal dilakukan secara beralasan dan penting (reasonably necessary)
untuk perseroan seperti menguasi atau mentransfer barang,
meminjamkan uang, memberi sumbangan dan sebagainya.
Proses demikian menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang
tidak luput dari adanya pertanggung jawaban pidana atas tindakan yang
dilakukan oleh perseroan. Pelanggaran pidana korporasi dapat berbentuk
seperti pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan hidup,
pelanggaran hak asasi manusia akibat dari usaha bisnis korporasi,
pelanggaran terhadap masyarakat sekitar dan pekerja internal dari
16
Siti Hpsah, Tanggung Jawab Direksi Pereroan Terbatas atas Pelanggaran Fiduciary Duty,
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 1 2015, h. 173 17
Bismar Nasution, “Tanggung Jawab Direksi dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas”
diakses dalam https//bismar.wordpress.com/ diakses pada 17 oktober 2019 pukul 18.09 BBWI.
42
korporasi itu sendiri dan lain sebagainya. Korporasi disini sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya yakni memiliki tanggung jawab atas dirinya
sendiri (dalam hal ini adalah tindakan korporasi) karena terdapatnya
prinsip separate liability.
Adapun dalam konsep teori hukum pidana berlaku asas tiada pidana
tanpa kesalahan dan tiada kesalahan tanpa pertanggung jawaban pidana.
Apabila korporasi terbukti telah melakukan kesalahan sebagaimana yang
diatur dalam regulasi hukum pidana baik secara generalis maupun
spesialis maka harus dibuktikan dan dipertanggung jawabkan secara
hukum dalam lingkup peradilan.
Terdapat tiga (3) teori utama pertanggungjawaban yang dapat
dibebankan terhadap korporasi. Pertama, korporasi merupakan aktor
utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi
tindakan-tindakan aktor rasional korporasi.18
Kedua, keuntungan yang
diterima oleh korporasi dan kerugian yang diderita oleh rakyat sangat
tidak sebanding, sehingga menjadi tidak efektif apabila korporasi hanya
dijatuhkan sanksi keperdataan.19
Ketiga, kegiatan operasi korporasi
melalui agen-agennya seringkali menimbulkan kerugian yang mendalam
bagi masyarakat, sehingga pembebanan sanksi pidana dapat menjadi
fungsi pencegahan dalam hal pengulangan terhadap tindakannya yang
merugikan.20
Menjadi pertanyaan bagaimana sebuah badan (perseroan) yang
merupakan rechtpersoon, no body to kick, dapat dijerat dengan
pertanggung jawaban pidana? Von Gierke telah menjelaskan dalam teori
18
Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, American Criminal Law
Review, 2007, h.128 19
Beth Stephens, The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights,
Berkeley Journal of International Law, 2002, h. 46 20
Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, Journal of
Business & Technology Law, 2007, h. 27
43
organ,21
bahwa keberadaan perseoran yang bersifat artifisial dijalankan
oleh organ-organ seperti direksi, komisaris, dan pemegang saham yang
bersifat real sebagai otak yang menentukan dan menjalankan perseoran
lah sebagai pihak yang dapat dibebani tanggungjawab pidana yang
bersifat penjara. Sedangkan untuk perseoran itu sendiri sebagai badan
hukum dapat dikenakan denda yang diambil langsung dari harta
kekayaan perseroan.
Pesan yang coba disampaikan di atas adalah bahwa usaha untuk
menarik pertanggungjawaban korporasi ke ranah pidana sudah
disuarakan demi meningkatkan fungsi pencegahan pelanggaran HAM
yang dilakukan korporasi, karena jika hanya membebankan pada ranah
perdata, dengan modal luar biasa yang dimiliki korporasi, tentu hal itu
tidak akan menjadi peringatan bagi korporasi untuk kembali dan terus
melakukan pelanggaran HAM.
c. Tanggung Jawab Perdata Perseroan Terbatas
Sebagaimana yang dipaparkan diatas terkait dengan tanggung jawab
korporasi atas pelanggaran HAM dalam perspektif pidana (crime
corporation). Korporasi juga dapat dimintai pertanggung jawaban dalam
konteks perdata apabila dianggap telah melakukan pelanggaran atas
HAM yang dilakukan korporasi dan menimbulkan kerugian materiel
terhadap korban.22
Bentuk pertanggung jawaban yang dapat dilakukan oleh korporasi
secara perdata dapat dilakukan secara langsung terhadap korporasi dalam
arti kelembagaan (Perseroan Terbatas). Hal tersebut sesuai dengan
konsep pemisahan pertanggung jawaban antara dewan direksi/ komisaris
dengan pertanggung jawaban korporasi. Bentuk bentuk sanksi perdata
berbeda dengan sanksi pidana yang meliputi ancaman hukuman ataupun
pemberian denda. Dalam sanksi perdata karena berjenis hukum privat
21
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Ikrar
Mandiri, 2011), h. 123 22
Munir Fuady, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, (Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003) h. 67
44
maka bentuk penjatuhan hukuman berkaitan dengan uang ataupun harta.
Secara umum sanksi perdata terhadap korporasi terbagi menjadi dua
yakni sanksi atas tindakan melawan hukum dan sanksi atas tindakan
wanprestasi.
B. Kerangka Teori
1. Bisnis dan Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Albert Von
Dicey dalam An Introduction to the Study of The Law of the Constitution
menyebutkan HAM sebagai salah satu unsur fundamental rule of law.23
Hak Asasi Mnusia merupakan sejumlah hak yang melekat secara naluriah
dalam setiap insan manusia dan negara dalam hal ini wajib untuk
menjunjung tinggi HAM. Jika dikontekstualisasikan lagi dengan Indonesia,
Steenbeek memaparkan bahwa jaminan terhadap HAM dan warga negara
merupakan satu dari tiga pokok materi muatan UUD NRI 1945.24
Sementara itu, bisnis merupakan aktivitas dan institusi yang memproduksi
barang dan jasa dalam kehidupan sehari-hari. Bisnis pada dasarnya terikat
dengan prinsip-prinsip HAM atau disebut juga dengan istilah embedded
human rights in business practice.25
Keterkaitan yang erat antara HAM dan
bisnis juga dipengaruhi dengan besarnya tingkat pelanggaran HAM baik
secara aktual maupun potensial pada dunia bisnis. Bisnis yang berorientasi
23
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), h. 24 24
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Rajawali Press,
2006), h. 343 25
UNGC dan OHCHR, Embedding Human Rights into Business Practice II (Geneva: UN
Global Compact dan OHCHR, 2007), h. 32
45
terhadap profit (profit oriented) acapkali menkhianati prinsip pengamalan
atas HAM. Atas dasar kesadaran tersebut, muncul berbagai pertemuan serta
lahir berbagai instrumen terkait. Salah satunya adalah united nations
guiding principles on business and human rights sebagai sebuah remedy
framework.
2. Prinsip Uji Tuntas HAM sebagai Generasi Keempat Hak Asasi Manusia
Perkembangan pemikiran HAM menunjukkan adanya kesinambungan
gagasan terhadap pentingnya perlindungan dan pemenuhan HAM.
Setidaknya dikenal tiga bahkan empat generasi HAM. Generasi HAM
pertama adalah hak-hak sipil dan politik yang berasal dari teori-teori
reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang sangat tajam
menyoroti revolusi-revolusi di Inggris, Amerika dan Perancis. Pada HAM
generasi pertama ideologi politik individualisme liberal dan doktrin
ekonomi dan sosial laissez-faire amat menonjol. HAM pada generasi
pertama lebih diartikan sebagai yang bersifat negatif (freedom from)
ketimbang bersifat positif (right to). Itu artinya, HAM dipahami sebagai
pola abstensi negara dalam pencarian martabat manusia.26
Hal demikian
menggambarkan bahwa pola relasi negara dalam masa itu hanya
mengedepankan prinsip-prinsip minimal HAM.
Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat
global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang
melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui resolusi
majelis umum 220 A (XXI) tanggal 16 desember 1966 lahirlah dua buah
kovenan, yakni pertama International Covenant on Civil and Political
Rights/ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik/Kovenan Sipol). Kovenan ini terdiri atas 6 bagian dan 53 pasal.
Kovenan kedua adalah International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights/ICESCR (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
26
Knut D Asplund, Hukum Hak Asasi Manusia,.( Jogjakarta: Pusham UII 2008), h. 87
46
Sosial dan Budaya/Kovenan Ekosob). Kovenan ini terdiri atas 5 bagian dan
31 pasal.
Perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah
kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum
dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk pembangunan (the
right to development). Inilah generasi HAM ketiga. Hak untuk
pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang
berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup
sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak ini meliputi hak untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan sekaligus menikmati hasil-hasil
pembangunan tersebut.27
Menurut Prof Jimly Asshidiqie hak asasi manusia dalam perjalanannya
memiliki sejumlah langkah dan tahapan penyempurnaan atau biasa dikenal
dengan generasi HAM. Namun pada pokoknya keseluruhan generasi
tersebut memiliki karakteristik yang sama yaitu dipandang sebagai konteks
relasi kekuasaaan yang vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu
negara.
Secara aktual jimly meyebutkan bahwa konsep HAM hanya berkaitan
antara perbuatan yang telah dilakukan oleh negara terhadap warga negara.
Hal demikian menjadi sedikit problematika karena berbicara terkait HAM
sejatinya bukan semata persoalan relasi vertikal bawahan dan atasan. Jauh
dari pada itu HAM juga berbicara terkait relasi hubungan secara horizontal.
Antara kelompok masyarakat, golongan rakyat, dan bahkan antar
masyarakat negara dengan masyarakat negara lainya dalam kerangka warga
dunia.
Sebagai sebuah proses dialektika, konsepsi HAM akhirnya memasuki
babakan baru dengan munculnya generasi HAM keempat. Jimly asshiddiqie
menyebutkan ada empat faktor yang fenomenal sekaligus memengaruhi
lahirnya konsepsi generasi HAM keempat, yaitu: (a) konglomerasi raksasa
27
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi...,
h 221
47
dalam bentuk multi national corporations/MNC atau disebut juga dengan
Transational Corporations/ TNC; (b) fenomena nations without states; (c)
global citizen yang berimplikasi lahirnya kelas sosial tersendiri; dan (d)
pengaturan entitas baru yang bersifat otonom dalam bentuk corporate
federalism.28
Sekalipun demikian, negara tetap bertanggungjawab penuh menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM (the duty bearer). Menjadi realitas
kekinian bahwa dalam ranah kehidupan publik, sebagian peran-peran
strategis negara juga diperankan korporasi.29
Regulasi negara merupakan
alat untuk ”menekan” dan memastikan agar korporasi benar-benar
melakukan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dalam aktivitas
bisnisnya. In the end, however, the enforcement of standards – and the
working out of sensible compromises between different national practices –
depend on the construction of stable, responsible governments demikian
tegas Mayall dan Lyons.
Negara tetap memikul kewajiban utamanya (primary responsibility)
untuk menentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh korporasi.
Manakala ada pelanggaran HAM, maka negara dan korporasi berkewajiban
menyediakan akses yang lebih efektif bagi upaya-upaya perbaikan (more
effective access to remedy) terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang
terjadi. Inilah yang dipertegas dalam protect, respect and remedy framework
sebagai bagian dalam sinergi antara negara dan korporasi dalam
pengahayatan atas upaya perlindungan HAM di Indonesia. Perlindungan
dan penegakan hukum dan HAM menjadi skema yang baik manakala
terdapat perpaduan yang konkret antara peran serta negara diimbangi
dengan kehadiran korporasi dalam membuka kesempatan dan melakukan
28
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 223-225. 29
UNGC dan OHCHR, Embedding Human Rights into Business Practice (Geneva: 2006),
h. 15
48
kegiatan bisnis sesuai dengan standar minimal pelayanan Hak Asasi
Manusia.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat
beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu:
1. Skripsi ini ditulis oleh Muhamad Raziv Barokah mahasiswa Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2016.30
Perbedaan peneliti membahas
lebih mengerucut dari salah satu prinsip United Nations Guiding Principles
on Business and Human Rights berupa adanya kewajiban uji tuntas HAM
yang dilakukan entitas bisnis sebagai wujud pelaksanaan prinsip itu
disandingkan dengan implementasi dalam perseroan terbatas. Persamaan
yang terdapat antara peneliti dan raziv barokah ialah terkait pola
pembahasan yakni membahas mekanisme human right due diligence yang
telah diratifikasi dalam peraturan perundang-undangan nasional.
2. Buku ini ditulis oleh Seriyati Pulu 31
dan diterbitkan oleh Konsil LSM
Indonesia atas dukungan ICCO ini berfokus terhadap prosedur-prosedur
pengimplementasian uji tuntas HAM dalam dunia bisnis. Perbedaan yang
peneliti tekankan terhadap buku tersebut yakni peneliti lebih menekankan
terkait aspek implementasi dan tanggung jawab korporasi dalam bidang
bisnis terbatas terhadap sektor perkebunan kelapa sawit. Persamaannya
yakni sama-sama membahas terkait dengan uji tuntas HAM dalam dunia
bisnis dan korporasi.
30
Muhamad Raziv Barokah, Formulasi Adopsi United Nations Guiding Principles on Bussiness and Human Rgiht dalam Good Corporate Govenrance, Skripi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016
31 Seriyati Pulu, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia Kerangka PBB
Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan, (Jakarta: Konsil LSM Indonesia dan ICCO, 2017)
49
3. Jurnal yang ditulis oleh Indah Amaretasari dari Fakultas Hukum Universitas
Negeri Medan ini32
memiliki perbedaan dengan skripsi ini adalah, peneliti
tidak hanya menjelaskan latar belakang lahirnya united nations guiding
principles on business and human rights, tetapi juga menjelaskan lebih
dalam terkait kewajiban uji tuntas HAM atau human rights due diligence
dalam united nations guiding principles on business and human right.
Persamaan yang terkandung dalam penelitian kali ini terdapat dalam
kacamata pembahasan yang sama dalam membahas pola perlindungan
HAM korporasi.
32
Indah Amaretasari Tanggung jawab korporasi terkait HAM: Tinjuan terhadap prinsip PBB mengenai panduan untuk bisnis dan HAM. Artikel ini ditulis oleh Indah Amaretasari dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Medan
50
BAB III
TINJAUAN UMUM HUMAN RIGHT DUE DILLIGENCE DALAM
UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLES ON BUSSINES AND HUMAN
RIGHT
A. Esensi Human Right Due Dilligence dalam United Nations Guiding
Principles on Bussines and Human Right
Pelapor khusus untuk perserikatan bangsa-bangsa, John Ruggie, mengakui
dalam human right due dilligence, bahwa kegiatan usaha dalam bentuk apapun
dapat memengaruhi HAM.1 Prinsip Ketujuhbelas United Nations Guiding
Principle memberikan parameter umum untuk human right due dilligence,
sementara komponen-komponen penting lainnya yang perlu diperhatikan
terdapat pada Prinsip Kedelapanbelas sampai dengan Prinsip Keduapuluh satu.
Penjelasan Prinsip Ketujuhbelas menyatakan bahwa human right due dilligence
seyogyanya dilakukan seawal mungkin dalam suatu kegiatan atau hubungan
bisnis, menilai risiko terhadap HAM dapat saja meningkat atau bahkan dapat
dimitigasikan sedari tahap perancangan kontrak, atau dapat saja diwariskan
melalui penggabungan dan akuisisi korporasi.
Langkah pertama dalam menyusun human right due dilligence adalah
pengidentifikasian dan penilaian dampak penting terhadap HAM yang aktual
dan potensial dari suatu kegiatan usaha korporasi. Tujuan dari tahap ini adalah
untuk mengerti dampak tertentu terhadap orang-orang tertentu, dalam konteks
kegiatan usahanya masing-masing. Adapun faktor yang dipertimbangkan
dalam tahap ini adalah: (1) siapa saja yang terpengaruh, (2) pengkategorian
standar dan isu HAM, (3) proyeksi risiko terkait HAM dalam kegiatan usaha.2
1 United Nations General Assembly, Report of the Special Representative of the Secretary
General on the Issue of Human Rights and Transnational Coporations and Other Business
Enterprises, John Ruggie, (New York, United Nations, 2010), h. 11 2 Wahyu Wagiman (ed), Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi
Manusia:Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan,
(ELSAM, Jakarta, 2014), h. vi
51
Dalam konteks lokal di Indonesia penerapan UNGP pada tahun 2011
bersamaan dengan diadopsinya prinsip-prinsip panduan, dewan HAM PBB
juga membentuk badan khusus untuk mendorong implementasi dan diseminasi
prinsip-prinsip panduan. Indonesia sebagai salah satu negara yang dipenuhi
oleh perusahaan multinasional dan transnasional memiliki beragam
kepentingan untuk sesegera mungkin menerapkan prinsip-prinsip terkait.
Secara aktual hal demikian disadari oleh organisasi masyarakat sipil untuk
menerapkan uji tuntas demikian, walaupun masih bersifat secara voluntary agar
tetap memiliki kerangka hukum yang valid. Inisiatif muncul dari Komisi
Nasional HAM dan ELSAM yang menempatkan Indonesia sebagai negara
pertama di Asia Tenggara yang menetapkan RAN HAM oleh beragam NHRIs
(National human rights Institusion). RAN HAM tersebut kemudian tertuang
dalam Peraturan Komisi Nasional HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Pengesahan Aksi Nasional Bisnis dan HAM yang sudah dicatat dalam
lembaran negara Nomor 856.
B. Aspek-Aspek dalam United Nastionss Guiding Principles
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam United Nations guiding principles on
business and Human Rights (UNGP) dirumuskan oleh Pelapor Khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie.3 Pada
dasarnya, prinsip yang termaktub dalam UNGP dilandasi dari pengakuan
terhadap4
a. States’ existing obligations to respect, protect and fulfil human rights and
fundamental freedoms;
b. The role of business enterprises as specialized organs of society
performing specialized functions, required to comply with all applicable
laws and to respect human rights
3 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, “Terms of Reference (TOR) Konferensi
Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia...,” h. 1. 4 United Nations High Commissioner for Human Rights, Guiding Principles on Business
and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy”..., h. 1
52
c. The need for rights and obligations to be matched to appropriate and
effective remedies when breached.
Prinsip-prinsip panduan untuk bisnis dan HAM ini berlaku bagi seluruh
negara dan korporasi tanpa memandang ukuran, sektor, lokasi, kepemilikan
dan struktur dari korporasi tersebut.5 Prinsip-prinsip ini adalah standar global
bagi korporasi tentang bagaimana mereka harus menghormati dan melindungi
HAM yang berlaku di suatu negara dimana korporasi itu beroperasi.6 Rugies
principles mendasari beberapa panduan untuk kegiatan bisnis dan HAM
kedalam beberapa poin rekomendasi tiga pilar yakni perlindungan,
penghormatan serta pemulihan atas Hak Asasi Manusia.
1. Beban Perlindungan atas HAM Terhadap Negara
Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
jelas mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM jelas menyatakan bahwa
negara mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar
manusia, dengan rumusan sebagai berikut :
“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada
dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan.”
Menurut Rahayu, pengakuan negara terhadap HAM adalah penting
karena menjadi dasar bagi kewajiban dan tanggung jawab negara untuk
melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM warganya.
Upaya perlindungan dan penegakkan HAM dapat dilakukan negara dengan
memberlakukan langkah implementatif efektif dan konkrit atas berbagai
instrumen hukum maupun kebijakan di bidang HAM, baik dari segi hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan segi lain yang terkait. Negara
5 United Nations High Commissioner for Human Rights, Guiding Principles on Business
and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy”..., h. 2 6 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, “Terms of Reference (TOR) Konferensi
Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia,,,,” h. 1
53
berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin agar semua hak dan
kebebasan warga negara dihormati dan dipenuhi sebaik-baiknya.7 Jaminan
perlindungan atas terpenuhinya hak-hak konstitusional tersebut tentu harus
dipahami sebagai hak dari setiap warga negara tanpa ada diskriminasi
apapun.
Prinsip prinsip dasar human right due dilligence menegaskan bahwa
negara harus melindungi dari pelanggaran HAM oleh perusahaan bisnis, di
dalam wilayah dan atau yurisdiksi. Stakeholder terkait harus memiliki
langkah-langkah strategis untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan
memulihkan pelanggaran tersebut melalui kebijakan, legislasi, peraturan,
dan sistem peradilan yang efektif. Kewajiban negara untuk memberikan
perlindungan mencakup tindakan-tindakan pengembangan reformasi hukum
dan penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap
penghormatan terhadap HAM.
Hal ini berarti reformasi hukum merupakan prasyarat (kondisionalitas)
untuk mengartikulasikan prinsip-prinsip panduan PBB mengenai bisnis dan
HAM. Namun demikian prinsip-prinsip panduan menetapkan bahwa hukum
dan kebijakan yang dikembangkan tersebut tidak menghambat perusahaan
dalam menjalani operasionalnya. Di samping itu, negara juga harus
memberikan panduan yang efektif bagi perusahaan bagaimana cara
menghormati HAM dalam pelaksanaan operasi mereka.
Dengan demikian, negara menjadi faktor determinan penting untuk
menegakan perlindungan HAM terhadap dampak operasional korporasi.
Pilar ini memperlihatkan bahwa negara memiliki peran utama (primary
role) untuk mencegah dan menyasar operasional, baik produk jasa atau
barang maupun jalinannya dengan pihak yang lain yang berpotensi
melanggar HAM.
7 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2012), h. 150
54
Langkah reformasi hukum yang dikembangkan untuk mengatur relasi
bisnis dan HAM semestinya juga diarahkan untuk memperkuat dan
menjalani komitmen pemerintah Indonesia terhadap hukum HAM
internasional yang telah diratifikasi. Berdasarkan doktrin hukum
internasional, tindakan ratifikasi perlu ditindak lanjuti dengan transformasi
prinsip dan norma yang ada ke dalam peraturan perundang-undangan untuk
mengefektifkan berlakunya prinsip-prinsip dan norma-norma yang diatur
dalam perjanjian internasional.
Dalam tatanan hukum internasional, resolusi adalah suatu rekomendasi
dari suatu masalah yag telah disetujui melalui konsensus maupun
pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditatapkan oleh
organisasi internasional atau badan bersangkutan. Istilah “resolusi’
sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki arti yang luas, yakni tidak
hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga keputusan.
berbeda dengan deklarasi yang keberlakuanya menuntut adanya proses
ratifikasi oleh negara, resolusi yang dikeluarkan dewan HAM ini bersifat
morally binding yang kekuatannya baru mengikat apabila negara yang
bersangkutan menyatakan diri mendukung resolusi ke dalam sistem hukum
nasional. Sesuai dengan konvensi Wina yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982, maka dokumen
internasional yang disepakati oleh negara berlaku mengikat secara moral
menjadi hukum kebiasaan internasionl (Jus Cogen/ Peremptory Norm) dan
keberlakuanya tidak menuntut adanya ratifikasi.8
Upaya transformasi semestinya diorientasikan dan dikonstruksikan
menuju skema dan mekanisme perlindungan warga negara dari operasional
korporasi yang berdampak terhadap HAM yang dilakukan oleh entitas
bisnis karena seluruh kerangka kebijakan ini secarayuridis juga akan
8 Jus cogen meupakan norma hukum yang di dalam hukum internasional telah disepakati,
diterima dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai
sebuah norma yang tidak dapat dilanggar, dikurangi dan upaya perubahannya harus didahului oleh
kesepakatan, negara-negara yang telah menerima, mengakui norma hukum terkait. Lihat dalam
Vienna Convention On The Law and Treatis, 1958, pasal 53
55
mengikat setiap subyek hukum, baik individu sebagai para warga negara
maupun entitas badan hukum, termasuk korporasi. Langkah reformasi
hukum tersebut semestinya dimanifesatasikan melalui upaya harmonisasi
hukum. Harmonisasi hukum ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa
hukum nasional dan peraturan administrasi yang terkait dengan isu
mengenai bisnis dan HAM secara penuh sesuai instrumen hukum HAM
internasional yang telah diratifikasi.
Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki
kewajiban untuk mengeluarkan kebijakan publik, dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, anggaran publik, program maupun perencanaan
pembangunan guna menjamin pemenuhan HAM.Pada titik ini diperlukan
upaya harmonisasi eksternal (external harmonization) melalui penyesuaian
hukum nasional dan regulasi yang masih berlaku (existing) dengan prinsip-
prinsip dan norma-norma hukum HAM internasional, termasuk prinsip-
prinsip panduan. harmonisasi hukum nasional mungkin memerlukan upaya
untuk mengubah (amandemen) ketentuan yang ada atau pengenalan
ketentuan baru. Sementara itu, harmonisasi internal difokuskan untuk
menghilangkan inkonsistensi, kontradiksi atau kesenjangan, baik pada
seluruh ketentuan hukum nasional yang ada maupun peraturan daerah,
ketentuan adat, tradisional atau hukum agama dengan ketentuan hukum
nasional.9
Upaya harmonisasi kebijakan, baik secara horisontal maupun vertikal
juga ditegaskan dalam komentar prinsip-prinsip panduan yang menyatakan
negara perlu untuk mengambil sebuah pendekatan yang luas untuk mengatur
bisnis dan agenda HAM. Pendekatan ini bertujuan untuk lebih memastikan
bahwa kebijakan domestik yang ada koheren secara vertikal dan horizontal
untuk senantiasa memberikan kebijakan-kebijakan yang berdasarkan atas
pengukuhan Hak Asasi Manusia.
9 Jaap E Doek, Harmonisation of National Laws With the Convention on the Rights of the
Child: Some Observations and Suggestions (Addis Ababa: The African ChildPolicy Forum, 2007),
h. 2
56
Berangkat dari postulat value tersebut negara dalam hal ini merupakan
entitas penting untuk menyelenggarakan perlindungan atas HAM yang
dilakukan oleh korporasi. Negara wajib membentuk aturan hukum yang
melindungi HAM, disamping harus memastikan korporasi bertindak tidak
menciderai adanya pengakuan atas HAM tersebut.
Dalam prinsip utama human rights due dilligence yang digagas oleh
dewan Khusus PBB menetapkan peran negara sebagai pilar utama tegaknya
perlindungan atas HAM dalam dunia bisnis. Negara harus mengambil
langkah- langkah progresif untuk melindungi dari pelanggaran HAM oleh
perusahaan bisnis yang dimiliki atau dikontrol oleh negara atau yang
menerima dukungan substansial dan layanan jasa dari badan-badan negara.
Seperti badan kredit ekspor dan badan penjaminan atau asuransi investasi
resmi, termasuk, ketika pantas, dengan mensyaratkan uji tuntas hak asasi
manusia.
Negara harus melaksanakan pengawasan yang memadai dalam rangka
untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum HAM internasional
ketika mereka bekerjasama melalui kontrak dengan, atau mengatur,
perusahaan bisnis untuk menyediakan layanan yang mungkin dapat
memiliki dampak pada penikmatan hak asasi manusia.
Karena resiko pelanggaran berat HAM lebih besar dalam wilayah yang
terkena konflik, negara-negara harus membantu memastikan bahwa
perusahaan bisnis beroperasi dalam konteks tersebut tidak terlibat
pelanggaranpelanggaran tersebut, termasuk dengan cara.10
a. Terlibat sejak awal dengan perusahaan bisnis untuk membantu mereka
mengidentifikasi,
b. Mencegah, dan mengurangi resiko yang terkait dengan HAM dari
aktivitas dan hubungan bisnis mereka;
10
Fitriani Sunarto dan Fahd Riyadi, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi
Manusia Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan¸ dan
Pemulihan”, (Jakarta, Konsil LSM Indonesia, 2018), h, 23
57
c. Memberikan bantuan secukupnya kepada perusahaan bisnis untuk
menilai dan mengatasi
d. Peningkatan resiko terjadinya pelanggaran, dengan memperhatikan
secara khusus kepada. kekerasan seksual dan berbasis jender;
e. Menolak akses pada dukungan dan layanan publik bagi sebuah
perusahaan bisnis yang terlibat dalam pelanggaran berat HAM dan
menolak untuk bekerjasama mengatasi keadaan;
f. Memastikan bahwa kebijakan, legislasi, peraturan, dan usaha-usaha
penegakan mereka efektif mengatasi resiko keterlibatan bisnis dalam
pelanggaran berat hak asasi manusia.
Selain itu negara juga berkewajiban untuk memastikan adanya
keterpaduan kebijakan yang akan diambil antar lembaga, badan
pemerintahan terkait yang berkaitan langsung dengan mekanisme bisnis.
Seperti memastikan bahwa departemen, badan pemerintah, dan lembaga
lainnya yang berbasis negara yang melakukan aktivitas bisnis menyadari
dan melaksanakan kewajiban HAM. Memenuhi mandat-mandat mereka
masing-masing, termasuk dengan memberikan mereka informasi yang
relevan, pelatihan, dan dukungan negara juga wajib memberikan ruang
kebijakan domestik yang memadai untuk memenuhi kewajiban HAM ketika
mengejar tujuan kebijakan yang terkait dengan bisnis dengan Negara lain
atau perusahaan bisnis sebagai contoh melalui traktat atau kontrak investasi.
2. Penghormatan atas HAM oleh Korporasi
Keberadaan korporasi di Indonesia memiliki peran yang besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga mempengaruhi setiap aspek
kehidupan masyarakat sehari-hari. Korporasi menciptakan lapangan
pekerjaan, menghasilkan produk barang maupun jasa, dan meningkatkan
kesejahteraan bagi karyawan dan para pemegang saham. Namun demikian,
di sisi yang lain keberadaan korporasi juga memiliki dampak yang
merugikan masyarakat secara luas maupun individu. Pencemaran dan
58
kerusakan lingkungan, produksi barang dan layanan jasa yang merugikan
konsumen, penggusuran, konflik sumber daya alam memperlihatkan adanya
konflik antara bisnis dan HAM.
Seiring dengan menguatnya peran korporasi dalam era globalisasi
ekonomi, korporasi juga bertanggung jawab untuk menghormati HAM
karena keberadaannya berpotensi melanggar HAM. Prinsip-prinsip panduan
PBB mengenai bisnis dan HAM yang telah mendapatkan dukungan
sepenuhnya dari dewan HAM PBB pada 2011 merupakan instrumen hukum
internasional yang inovatif yang bertujuan untuk menempatkan korporasi
sebagai aktor baru untuk mengemban peran untuk bertanggung jawab dalam
pemajuan HAM.
Tanggungjawab perusahaan bisnis untuk menghormati HAM mengacu
pada HAM yang diakui secara internasional dengan pengertian, setidaknya,
sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Internasional tentang HAM
(International Bill of Human Rights) dan prinsip-prinsip mengenai hak-hak
dasar yang terdapat dalam deklarasi.
Korporasi dilekati tanggung jawab untuk menghormati HAM merujuk
pada norma dasar yang termuat dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia). Deklarasi tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa
setiap organ masyarakat (every organ of society) terikat untuk menaati
ketentuan substantif HAM. Pemaknaan frasa tersebut diperluas sehingga
meliputi entitas yang tidak termasuk dalam individu perorangan atau negara
yakni korporasi.11
Tanggungjawab untuk menghormati HAM mengharuskan perusahaan
bisnis untuk, menghindari terjadinya atau terlibat pada dampak yang
merugikan HAM yang terjadi karena aktivitas mereka sendiri, dan
mengatasi dampak-dampak tersebut ketika muncul. Berusaha untuk
11
Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat
HAM, (Jakarta: Penerbit Fikahati Aneska, 2012), h. 17-18
59
mencegah atau menangani dampak HAM yang merugikan yang secara
langsung berkaitan dengan kegiatan, produk, atau jasa mereka oleh
hubungan bisnis mereka, meskipun mereka tidak terlibat pada dampak-
dampak tersebut.
Tanggungjawab perusahaan bisnis untuk menghormati HAM berlaku
pada seluruh perusahaan terlepas dari ukuran, sektor, konteks kegiatan,
kepemilikian, dan struktur yang mereka miliki. Namun demikian, skala dan
kompleksitas dari cara-cara perusahaan tersebut memenuhi
tanggungjawabnya dapat beragam berdasarkan faktor-faktor tersebut dan
dengan tingkat keburukan dari dampak yang merugikan HAM dari
perusahaan.
Dalam rangka memenuhi tanggungjawab mereka untuk menghormati
HAM, perusahaan bisnis harus memiliki kebijakan dan proses yang pantas
sesuai dengan ukuran dan keadaan. Kebijakan yang diambil harus
berkomitmen untuk memenuhi tanggungjawab untuk menghormati hak asasi
manusia,menerapkan uji tuntas hak asasi manusia untuk mengidentifikasi,
mencegah, melakukan mitigasi, dan melakukan pertanggungjawaban atas
cara mereka mengatasi dampak-dampak pada HAM. Terdapatnya proses-
proses untuk melakukan pemulihan atas setiap dampak buruk terhadap hak
asasi manusia yang merugikan yang mereka hasilkan atau ketika mereka
terlibat.
Sekalipun beban perlindungan HAM kepada seluruh masyrakat dalam
UNGP digariskan sebagai pilar utama adalah negara. Namun tanggung
jawab perusahaan tetap dibutuhkan sebagai bentuk pertanggung jawaban
yang dimaksud dalam program human right due dilligence. Bahkan ketika
tidak diundangkannya peraturan yang mewajibkan untuk itu perseroan tetap
wajib menjamin adanya perlindungan atas HAM dan tidak melakukan bisnis
yang melanggar HAM. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan saat ini
telah banyak diterima oleh sektor bisnis dengan alasan-alasan: (1) bisnis
60
adalah bagian dari masyarakat; (2) perusahaan adalah institusi bisnis dan
juga institusi sosial; (3) selain ada risiko, bisnis mendapat untung dari
masyarakat.
Prinsip-prinsip tanggung jawab sosial perusahaan telah diatur melalui
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perusahaan
seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan mineral, dan
Batubara, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup keseluruhan peraturan
perundang-undangan tersebut menggariskan tentang tanggung jawab
perusahaan secara kelembagaan.12
2. Aspek Restitusi dan pemulihan Korban HAM
Secara umum kewajiban negara untuk melindungi masyarakat atas HAM
yang terlanggar oleh pihak ketiga (korporasi) menyiratkan 3 hal yakni
1. Kewajiban substantif untuk memastikan perlindungan HAM melalui
kebijakan legislasi serta menjamin perlindungan kelompok atau individu
yang rentan, seperti anak-anak, perempuan, masyarakat adat, buruh
migran, penyandang disabilitas, LGBT, orang tua, dan kelompok rentan
lainnya.
2. Kewajiban prosedural untuk menyelidiki, menghukum, dan memulihkan
pelanggaran HAM yang potensial yang terjadi.
3. Kewajiban untuk menginformasikan dan memantau aktivitas korporasi
yang berisiko tinggi. 13
12
Abdul Hakim G. Nusantara, et. al.,Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi
HAM: Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia (Jakarta:
Komisi Nasional HAM Cetakan Kedua, 2013), h. 40 13
Stéphanie Lagoutte, Unpacking Pillar 1 And 3 Of The Un Guiding Principles on Human
Rights and Business, (Copenhagen: The Danish Institute for Human Rights, 2014), h. 13
61
Selanjutnya menurut Hukum HAM Internasional, negara memiliki
kewajiban internasional untuk menyediakan setiap korban untuk mengakses
pemulihan akibat pelanggaran HAM tersebut. Kewajiban negara ini meliputi
beberapa hal berikut.14
yakni investigasi atas dugaan penyalahgunaan,
kemungkinan untuk menetapkan tanggung jawab hukum, mekanisme yang
efektif dan independen / persidangan yang adil, sanksi, reparasi.
Dengan demikian, setiap terjadi peristiwa pelanggaran dan
penyalahgunaan HAM, hukum internasional menyatakan bahwa pelaku
harus bertanggung jawab sehingga tidak terjadi praktik impunitas.
Sedangkan korban dari peristiwa tersebut memiliki hak untuk mengakses
pemulihan yang efektif.
Elemen kunci agar para korban dapat mengakses keberadaan mekanisme
pemulihan dengan cara meningkatkan kesadaran mereka. Negara
seharusnyamemfasilitasi kesadaran publik dan pemahaman mengenai
mekanisme ini, baik berdasarkan mekanisme berbasis negara dan
mekanisme berbasis non-negaraserta memberikan informasi tentang
bagaimana mekanisme yang tersedia tersebut dapat diakses. Berkaitan
dengan mekanisme pemulihan perhatian khusus harus diberikan kepada
kelompok rentan dan kelompok lain yang mengalami kesulitan untuk
mengakses mekanisme tersebut karena fakror kendala bahasa, keterpencilan
geografis, dan lain-lain.15
Prinsip-prinsip panduan PBB mengenai bisnis dan HAM menegaskan
bahwa negara harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk
memastikan, melalui cara-cara yudisial, administratif, legislatif atau lainnya,
ketika pelanggaran HAM terjadi di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi
mereka. Lebih jauh prinsip-prinsip panduan menyatakan bahwa setiap
korban pelanggaran HAM yang terkena dampak operasional perusahaan
14
Stéphanie Lagoutte, Unpacking Pillar 1 And 3 Of The Un Guiding Principles on Human
Rights and Business.., h. 13 15
Stéphanie Lagoutte, Unpacking Pillar 1 And 3 Of The Un Guiding Principles on Human
Rights and Business..., h.34
62
memiliki akses atas pemulihan yang efektif. Akses pemulihan telah diakui
secara eksplisit melalui berbagai mekanisme di bawah mekanisme badan
PBB, termasuk konteks regional.
Akses pemulihan dapat menjadi efektif, apabila mekanisme yang tersedia
mampu mengarah pada upaya penyelidikan yang secara menyeluruh dan
tidak memihak, penghentian pelanggaran jika sedang berlangsung, dan
perbaikan yang memadai, termasuk restitusi, kompensasi, kepuasan,
rehabilitasi, dan jaminan ketidakberulangan. Jaminan akses pemulihan bagi
korban pelanggaran dan penyalahgunan HAM berasal dari kewajiban negara
di bawah hukum internasional untuk mengatur perilaku pihak swasta atau
individu, termasuk badan usaha, untuk memastikan perbuatan mereka tidak
melanggar HAM. Hukum internasional juga membebankan suatu kewajiban
bagi negara untuk menjamin akses pemulihan yang efektif tersedia bagi
korban. Kewajiban ini juga diberlakukan pada konteks transnasional untuk
mencakup setiap tindakan entitas bisnis yang beroperasional di luar wilayah
negara tersebut.16
Komentar prinsip-prinsip panduan menguraikan terdapat 2 (dua) aspek
untuk mengakses hak atas pemulihan yang efektif, yaitu aspek prosedural
dan aspek substantif. Aspek substantif ditujukan secara umum, akan
meniadakan atau menyelesaikan kerugian HAM yang telah terjadi.
Sedangkan aspek prosedur bagi ketentuan pemulihan harus imparsial,
dilindungi dari korupsi dan bebas dari usaha politik atau apapun untuk
mempengaruhi hasil.17
Pemulihan dapat termasuk permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi,
kompensasi finansial atau non-finansial dan sanksi hukuman (baik pidana
16
Gwynne Skinner, Robert McCorquodale, and Olivier De Schutter, The Third Pillar:
Access to Judicial Remedies for Human Rights Violations by Transnational Business, (The
International Corporat Accountability Roundtable (ICAR), CORE, The European Coalition for
Corporate Justice (ECCJ), 2013), h. 25 17
Amnesty International, Incorporated Corporate Abuses and The Human Right To
Remedy, (London: Amnesty International Ltd, 2014), h. 11
63
atau administratif, seperti denda), serta pencegahan dari kerugian melalui,
misalnya, penjaminan untuk tidak diulangi. Prosedur bagi ketentuan
pemulihan harus imparsial, dilindungi dari korupsi dan bebas dari usaha
politik atau apapun untuk mempengaruhi hasil.
Sebagai bagian dari kewajiban untuk memberikan perlindungan di bawah
hukum internasional, negara dipersyaratkan untuk mengambil
langkahlangkah untuk menginvestigasi, menghukum, dan memberikan ganti
rugi terkait penyalahgunaan HAM yang terjadi dalam wilayah atau
yurisdiksi. Kewajiban ini dimaknai sebagai kewajiban untuk menyediakan
akses untuk mendapatkan pemulihan (access to remedy).18
Theo Van Boven
mengajukan pengertian pemulihan sebagai segala jenis ganti rugi yang
bersifat material maupun non-material bagi para korban pelanggaran HAM,
yang meliputi aspek-aspek hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.19
Hak untuk memperoleh pemulihan yang efektif mencakup hak korban
untuk.20
C. Indonesian Suistanable Of Palm Oil Sebagai Uji Tuntas HAM
Di dalam Permentan No 11 Tahun 2015, Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia dimaksudkan untuk mengatur dan memastikan agar
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan usaha kebun kelapa sawit
menerapkan prinsip dan kriteria ISPO secara benar dan konsisten, sehingga
menghasilkan produk minyak kelapa sawit berkelanjutan. Sebagai sebuah
18
John Gerard Ruggie, Just Business: Multinational Corporation and Human Rights,
(New York: Norton Company, 2013), h. 102 19
Abdul Haris Samendawai, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat: (Tinjauan
Hukum Internasional dan Nasional, Jurnal Hukum Nomor 2 Volume. 16 Tahun 2009, h. 256 20
Abdul Haris Samendawai, menyatakan beberapa hak pokok korban yang harus dijamin
dan dilindungi oleh negara yakni: (1) hak korba atas tersedianya mekanisme keadilan dan
memperoleh ganti rugi dengan segera (baik berupa kompensasi maupun restitusi); (2) hak atas
informasi mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh informasi
kemajuan proses hukum yang berjalan termasuk ganti kerugian;(3) hak untuk menyatakan
pandangan dan memberikan pendapat;(4) hak atas tersedianya bantuan selama proses hukuman
dijalankan; (5) hak atas perlindungan dari gangguan/intimidasi/ tindakan balasan dari pelaku,
perlindungan kebebasan pribadi dankeselamatan baik pribadi maupun keluarganya, dan Keenam,
hak atas mekanisme/ proses keadilan yang cepat dan sederhana/ tidak adanya penundaan. Lihat
Abdul Haris Samendawai, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat ..., h. 256
64
sistem, maka di dalam ISPO ada komponen kelembagaan yang
menjalankannya, serta prosedur-prosedur yang harus dipenuhi untuk
mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tersebut.
Sebagai instrumen yang harus menjaga kredibilitasnya, maka prinsip-prinsip
tata kelola yang baik juga perlu diadopsi oleh sistem ini. Tata kelola yang baik
akan mencakup proses yang terbuka, tersedianya ruang bagi publik untuk
berpartisipasi, jaminan akan adanya koordinasi di antara pemangku
kepentingan, hingga pengambilan keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Prinsip-prinsip ini sudah seharusnya terakomodir
pada setiap tahapan penilaian untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
Sebagai landasan kebijakan untuk mengimplementasikan inisiatif ini, maka
Kementerian Pertanian mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) Nomor 19 Tahun 2011 junto Permentan Nomor 11 Tahun 2015
tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. Bagi
perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ini, maka akan diberikan sanksi
administrasi, mulai dari penurunan “kelas kebun” sampai pencabutan izin
usaha. Pengajuan permohonan sertifikasi harus dilaksanakan paling lambat
pada akhir September 2015.21
Sebagaimana diatur pada Permentan Nomor 07
Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan, setiap perkebunan
kelapa sawit dalam tahap operasional akan diklasifikasikan ke dalam Kelas I,
II, III, IV, dan V.
Persyaratan sertifikat ISPO meliputi kepatuhan aspek hukum, ekonomi,
lingkungan, dan sosial, sebagaimana diatur peraturan perundangan yang
berlaku, beserta bentuk sanksi bagi mereka yang melanggar. Ketentuan ini
merupakan serangkaian persyaratan yang terdiri dari prinsip dan kriteria,
panduan untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, dan pabrik
kelapasawit.
21
Paparan Sekretariat Komisi ISPO, Standardisasi ISPO sebagai Penunjang Industri
Kelapa Sawit yang Berkelanjutan, Jak\arta 24 Mei, 2016
64
BAB IV
PENERAPAN UJI TUNTAS HAM DALAM KORPORASI
A. Isu Aktual Pelanggaran HAM oleh Korporasi Sektor Kelapa Sawit di
Indonesia
Seperti memiliki dua wajah, korporasi memberikan sumbangsih besar dalam
pembangunan namun memiliki konsekuensi pada meningkatnya kasus
pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak tahun 2013, korporasi secara konsisten
menjadi pihak terbanyak kedua dilaporkan kepada Komisi Nasional HAM atas
pelanggaran HAM. Dari segi angka, jumlah laporan tersebut terus meningkat
seperti data berikut.
Grafik.1: Jumlah pengaduan ke Komisi Nasional HAM mengenai pelanggaran HAM oleh
korporasi tahun 2013-2017 (disarikan dari laporan tahunan Komisi Nasional HAM
2013,2014,2015, 2016, 2017)
Dilihat dari tipologi pengaduan, perkara pelanggaran HAM yang
dilaporkan masyarakat juga beragam. Sebagai gambaran, dapat dilihat
dalam grafik berikut:
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
2013 2014 2015 2016 2017 2018
Pelangggaran HAM oleh Korporassi
65
Grafik.2: Tipologi Pengaduan ke Komisi Nasional HAM mengenai Pelanggaran HAM oleh
Korporasi Tahun 2015 (sumber: Laporan Tahunan Komisi Nasional HAM 2015)
Terdapat lima perkara dengan tingkat pengaduan tertinggi pada tahun 2015,
yaitu sengketa dan/atau konflik pertanahan, sengketa ketenagakerjaan,
pemenuhan hak atas perumahan, pencemaran dan perusakan lingkungan, dan
buruh migran. Perkara tersebut secara konsisten menjadi masalah dengan
pengaduan tertinggi di Indonesia jika diperbandingkan dengan data Komisi
Nasional HAM pada tahun 2011 serta tahun 2013.1 Sehingga terdapat urgensi
besar untuk menyelesaikan permasalahan HAM oleh korporasi terutama terkait
enam hal tersebut.
Regulasi negara merupakan alat untuk menekan dan memastikan agar
korporasi benar-benar melakukan upaya penghormatan dan perlindungan HAM
dalam aktivitas bisnisnya. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi
yang memiliki materi penegakan HAM dalam bisnis. Sebagai contoh, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang memang secara menyeluruh mengatur
HAM, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) yang secara menyeluruh
menggariskan penegakan terhadap hak atas lingkungan yang baik; Undang-
1 Komisi Nasional HAM, Laporan Data Pengaduan Tahun 2016, (Jakarta: Komisi Nasional
HAM, 2017), h, 15
9%
5%
41%
6%
36%
lain-lain pemenuhan atas hak perumahan
konflik agraria pencemaran lingkungan
sengketa ketenaga kerjaan
66
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU 13/2003)
misalnya dalam Pasal 6, 11, serta Pasal 18; Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan (UU 39/2014) misalnya pada Pasal 12 serta 17.
Selain itu, uji tuntas HAM telah diadopsi di Indonesia dalam kontruksi
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah misalnya pada Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 35/Permen-KP/2015 tentang Sistem Dan
Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan (Permen-KP 35/2015). Selain itu, inti
dari uji tuntas HAM juga telah diterapkan beberapa korporasi yang
berkedudukan di Indonesia. Sehingga, mekipun intensi untuk menerapkannya
di Indonesia telah mulai muncul, pelaksanaanya masih bersifat parsial,
sektoral, sporadis, serta atas kesukarelaan.
Angka pelanggaran HAM oleh korporasi yang masih tinggi dan terus
mengalami peningkatan tiap tahun menunjukkan regulasi yang ada serta
penerapan HRDD yang sifatnya sektoral, tidak terstruktur, dan didasarkan pada
kesukarealaan korporasi, tidak efektif menurunkan pelanggaran HAM itu
sendiri. Karena itu mekanisme baru yang mampu menjawab permasalahan
tersebut sangat diperlukan.
B. Isu Aktual Pelanggaran HAM di Kalimantan dan Sumatera
Secara kumulatif luasan tanah di Indonesia seluas 807.177,613 hektar
mengalami konflik agraria. Dari sekitar 800-an ribu hektar tersebut, 73 %
diantaranya terjadi di sektor perkebunan dengan luasan 591.640,32 hektar.
Angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan luasan di sektor lainnya.
Sebut saja, sektor kehutanan dengan luas 65.669,52 hektar, disusul dengan
pesisir/kelautan seluas 54.052,6 hektar, pertambangan 49.692,6 hektar, properti
13.004,763 hektar dan terakhir, infrastruktur dengan luasan 4.859,32 hektar.2
Sedangkan dari besaran jumlah konflik perkebunan tersebut, tercatat
pembangunan perkebunan sawit menguasai 14.309.256 hektar tanah di
2 Konsorsium Pembaharuan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2018 “Masa Depan Reforma
Agraria Melampaui Tahun Politik” (Jakarta: KPA, 2018) h.17
67
Indonesia.3 Luasan konflik agraria bidang perkebunan kelapa sawit menjadikan
korporasi swasta sebagai penguasa tanah sekitar 13 juta hektar, atau sama
dengan luas pulau Jawa. Dengan penguasaan tanah seluas itu, tidaklah
mengherankan jika sektor perkebunan, utamanya sawit konflik agraria akibat
perkebunan komoditas sawit akan tetap tinggi di Indonesia.4
Dalam sub bagian kali ini akan dibahas luas konflik agraria sektor
perkebunan kelapa sawit di Sumatera ... dan Kalimantan ... yang melakukan
pelanggaran terhadap HAM. 1.Lampung 180.000 Ha 2.Bengkulu 19.000 Ha
3.Sumsel 140.000 4.Bangka belitung 1000 5.Jambi 18.000 6.Sumbar 20.000
7.Kepri 5000 8.Riau 60.000 9.Sumatera utara 55.000 10.Aceh 18.000.
Sedangkan dalam catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria angka
kumulatif jumlah pelanggaran HAM pada tahun 2018, perkebunan kembali
menempati posisi tertinggi sebagai sektor penyumbang konflik agraria dengan
144 kasus (35%) letusan konflik, sektor properti 137 kasus (33%), sektor
pertanian 53 kasus (13%), pertambangan 29 kasus (7%), sektor kehutanan 19
kasus (5%) konflik, sektor infrastruktur 16 kasus (4%) dan terakhir sektor
pesisir/kelautan dengan 12 kasus (3%).
Dari 144 ledakan konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan
sepanjang tahun ini, sebanyak 83 kasus atau 60 % -nya terjadi di perkebunan
komoditas kelapa sawit. Sementara menurut data yang dihimpun oleh Komisi
Nasional HAM sepanjang caturwulan pertama tahun 2019 jumkah pengaduan oleh
masyarakat berturut-turut, korporasi dengan sebaran, Sumatera Utara (30 Kasus),
dan Kalimantan Barat (27 Kasus). Sepanjang tahun 2017, konflik meletus secara
menyeluruh di semua wilayah dan provinsi di Indonesia. Konflik agraria
membentang dari bumi Aceh hingga tanah Papua di ujung timur . Di Pulau
3 Konsorsium Pembaharuan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2018 “Masa Depan Reforma
Agraria Melampaui Tahun Politik” (Jakarta: KPA, 2018) h. 20 4 Komisi Nasional HAM dan ELSAM, Kertas Kebijakan Urgensitas Penyusunan dan
Pengembangan Rencana Aksi Nasional dan Bisnis di Indonesia, (Jakarta: Komisi Nasional HAM
dan ELSAM, 2018) h.34
68
Sumatra, sedikitnya terjadi 266 konflik yang meletus di seluruh Provinsi.
Kalimantan, konflik tersebar di seluruh provinsi dengan 142 konflik agraria.
Menurut Ombudsman RI, lembaga negara independen yang menyelidiki
keluhan terhadap administrasi, perkebunan kelapa sawit berkontribusi terhadap
jumlah konflik tertinggi di semua sektor pada 2016 dan 2017.5 Pada 2017,
Ombudsman menerima 450 laporan konflik terkait lahan—163 konflik di
antaranya melibatkan perkebunan kelapa sawit.6 Pada 2018, lembaga ini
mencatat lebih dari 1.000 pengaduan tanah oleh masyarakat, termasuk oleh
masyarakat adat terhadap perusahaan.7
Grafik 3 Sebaran wilayah pelanggaran HAM oleh korporasi di Indonesia
5 Ombudsman Republik Indonesia, Data Penyelesaian Laporan Masyarakat Tahun 2016
(Periode 1 Jan –31 Desember 2016), (Jakarta: Ombusdsman RI, 2016); Ombudsman Republik
Indonesia, Data Penyelesaian Laporan Masyarakat Triwulan IV Tahun 2017 (Periode1 Oktober–
Desember 2017), (Jakarta: Ombudsman RI, 2017). Dokumen telah disimpan Human Rights Watch 6 Ombudsman RI, Data Penyelesaian Laporan Masyarakat Triwulan IV Tahun 2017
(Periode1 Oktober–Desember 2017). Dokumen telah disimpan Human Rights Watch. 7 Ombudsman RI, Laporan Tahunan 2018 Ombudsman Republik Indonesia, (Jakarta:
Ombudsman RI, Februari 2019), http://ombudsman.go.id/produk?c=19 (diakses pada 18 April
2019).
69
Dalam tempo satu tahun kalender pada 2017 provinsi sumatera utara
mencatat tahun 2017 masih berada dalam kategori mengkhawatirkan. Sama
seperti tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran yang berhasil ditabulasi
Kontras masih terbilang tinggi. Sepanjang tahun 2017, Kontras mencatat
terjadi 118 kasus pelanggaran HAM oleh korporasi yang dialami masyarakat
sipil Sumatera Utara. Seabrek kasus pelanggaran HAM ini menyebabkan 94
orang terluka, dan 21 orang dikriminalisasi. Jumlah tersebut tidak jauh
berbeda dari tahun lalu, dimana dalam catatan kami terjadi 123 kasus
pelanggaran HAM. Sedangkan dalam tahun yang sama pada wilayah
kalimantan tengah besaran konflik HAM yang dilakukan oleh korporasi
sebanyak 59 kasus. Dimana data kalimantan tengah lebih besar dibanding
wilayah kalimantan utara dan kalimantan selatan.
Gesekan antara masyarakat dengan korporasi dalam hal sengketa lahan
dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya (i) tumpang tindihnya
klaim kepemilikan atau pengelolaan atas lahan usaha; (ii) sengketa pembayaran
kompensasi lahan milik warga yang terkena proyek perluasan usaha sebuah
korporasi;dan (iii) penggunaan ‗jasa‘ aparat keamanan oleh korporasi dengan
dalih pengamanan obyek vital baik untuk sekedar memberikan efek rasa takut
bagi warga atau sampai melakukan kekerasan fisik.
1. Isu Aktual Pelanggaran HAM di Kalimantan
Kasus yang terjadi di sektor industri kelapa sawit, ditemukan telah
banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) seperti realitas yang terjadi
di Kalimantan. Dalam kajian sawit watch pada tahun 2015 ditemukan
praktik yang terindikasi melaksanakan kerja paksa di perkebunan sawit di
Kalimantan. Buruh diberikan upah yang murah, beban kerja tinggi,
pemberian sanksi denda, intimidasi dan tekanan apabila mendirikan serikat
kerja tidak dilengkapi alat kerja dan alat pelindung keselamatan diri yang
cukup, terisolasi dalam camp (barak) dengan pengawasan ketat, minimnya
fasilitas air bersih dan kesehatan, informalisasi hubungan kerja serta
70
pelibatan istri dan bekerja tanpa di bayar. Jumlah buruh perkebunan
mencapai 600.000 orang, sebagian besar merupakan buruh migran dari
Jawa, Sulawesi dan NTT yang di datangkan melalui program transmigrasi
atau melalui penyalur tenaga kerja resmi dan tidak resmi. Dari kasus ini
sudah melanggar hak-hak dasar yang dimiliki oleh para pekerja kelapa
sawit.
Buruh perempuan di perkebunan sawit Kalimantan Tengah bekerja di
bagian pemupukan, penyemprotan, perintis (pembabat), cuci karung pupuk,
menjaga tempat penitipan anak, perawatan jalan dan wilayah sekitar barak.
Diluar itu, buruh perempuan terlibat dalam pekerjaan memanen, namun
tidak menerima upah. Beberapa perkebunan menetapkan kebijakan
mewajibkan buruh pemanen membawa istri ke ancak (tempat kerja). Bila
buruh pemanen tidak membawa istri, buruh dinyatakan mangkir. Pilihan
lain adalah mandor akan mendatangkan kernet yang upahnya harus dibayar
sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan. Tidak cukup sampai disitu,
buruh perempuan diberikan tugas menyemprot 20 Kg pestisidadan alat
semprot mengelilingi ancak yang ditentukan. Sebelumnya, mandor terlebih
dahulu mencampur pestisida dengan air dalam dosis tertentu dan
menyerahkannya kepada menyemprot di luas yang ditentukan. Rata-rata
buruh penyemprot diharuskan menghabiskan 6-10 (alat semprot) setiap
harinya. Perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri yang memadai.
Begitu pula dalam melakukan mediasi menjadi hal yang sulit jika
perkaranya menyangkut korporasi. Misalnya, kegiatan bisnis korporasi yang
berdampak pada tergusurnya lahan petani. Walau segala upaya telah
ditempuh, tidak mudah meminta korporasi untuk mengembalikan lahan
garapan petani. Hasilnya, tidak banyak proses mediasi yang berhasil. Ada
korporasi yang tidak mau mengembalikan lahan kepada petani tapi
memberikan kompensasi dalam bentuk uang. Bagi Komisi Nasional HAM
itu tidak tepat karena yang harus diberikan kembali mestinya lahan untuk
petani.
71
2. Isu aktual Pelanggaran HAM di Sumatera
Proses pelanggaran HAM yang terjadi terbagi menjadi dua, secara
dominan klasifikasi pelanggaran HAM oleh korporasi di bidang kelapa
sawit terbagi menjadi pelanggaran internal dan pelanggaran eksternal.
Pelanggaran internal dapat berupa pelanggaran atas hak tenaga kerja yang
dilakukan sewang-wenang seprti kriminalisasi, jam kerja, upah murah dan
pelibatan anak usia dini. Sedangkan pelanggaran eksternal dapat berupa
pelarangan aktivitas warga dalam memperoleh pekerjaan, konfik lahan,
konflik dengan lingkungan dan lainya.
Berdasarkan analisis peneliti dalam hal ini telah menemukan pelanggaran
yang dilakukab oleh PT. Lonsum di sumatera utara terhadap masyarakat dan
tenaga kerja diantaranya sebagai berikut
1. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan pertanian dan tempat tinggal
dengan kekerasan Hampir sebagain besar pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi setiap periode adalah pengusiran penduduk dari lahan-lahan
pertanian dan tempat tinggal mereka yang disertai dengan kekerasan.
Sulit sekali untuk mendapatkan jumlah korban pasti dari tindakan ini,
mengingat sebagian besar dari para korban telah bermigrasi ke sejumlah
daerah. Namun, diperkirakan lebih dari 10.000 orang telah menjadi
korban atas tindakan ini. Dengan mengerahkan satuan keamanan
perusahaan, orang-orang bayaran dan back-up penuh dari pihak militer
dan kepolisian, perusahaan mengusir paksa penduduk dari tempat
tinggal dan atau lahan-lahan pertaniannya dengan alasan penduduk
mendiami lahan-lahan yang masuk dalam hak guna usaha mereka secara
ilegal.
Dalam setiap kejadian pengusiran paksa ini, tidak sedikit penduduk
menjadi korban tindak kekerasan dari satuan pengaman perusahaan,
orang-orang bayaran dan satuan-satuan pengendali massa kepolisian
lokal yang dilibatkan perusahaan untuk mengamankan proses pengusiran.
Dalam banyak kasus, terutama di masa periode pertama dan kedua,
hampir sebagian besar penduduk yang menolak pergi dari lahan-lahan
72
pertanian mereka, ditangkap oleh aparat militer/kepolisian dengan
tuduhan sebagai anggota PKI. Sementara pada periode ketiga, tindakan-
tindakan penangkapan dan penahanan menggunakan tuduhan melakukan
tindak pengerusakan atau pun tindak penyerangan terhadap pegawai
perkebunan.
2. Pelarangan sejumlah mata pencaharian tertentu Pelanggaran dominan lain
adalah praktik-praktik pelarangan aktivitas ekonomi penduduk.
Pelanggaran ini terjadi pada periode kedua dan ketiga di mana setelah
mengambilalih semua lahan-lahan yang dahulunya dikelola oleh
penduduk, kemudian perusahaan memberlakukan sejumlah aktivitas-
aktivitas ekonomi penting penduduk seperti aktivitas mencari daun
kering kelapa sawit yang jatuh dari pohon dan menggembala ternak
dengan dalih aktivitas-aktivitas tersebut dapat menurunkan produktifitas
kebun. Penduduk yang tetap menjalankan aktivitas tersebut akan
ditangkap dan diserahkan ke polisi dengan tuduhan mencuri atau
merusak aset perusahaan.
3. Menghalang-halangi aktivitas berladang penduduk Selain
memberlakukan pelarangan terhadap sejumlah aktivitas mencari nafkah
yang telah lama dilakukan oleh penduduk, perusahaan juga kerap
menghalang-halangi aktivitas berladang dengan cara memblokade jalan-
jalan utama menuju lahan-lahan pertanian penduduk yakni dengan
membuat parit yang mengelilingi areal perkebunan mereka dengan lebar
3 meter dan kedalaman 4 meter. Tindakan ini terjadi pada periode ketiga
ketika aksi-aksi menuntut pengembalian tanah oleh penduduk semakin
membesar.
4. Pelanggaran hak atas pekerjaan dan hak di dalam pekerjaan Perusahaan
juga kerap melakukan pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan dan hak
di dalam pekerjaan, terutama kepada para Buruh Harian Lepas (BHL)
dan Tenaga Lepas (TL). Tindakan-tindakan pelanggaran tersebut
meliputi: memberhentikan BHL/TL secara sewenang-wenang,
73
menghilangkan fasilitas-fasilitas pelindung/keselamatan buruh pada saat
beraktivitas, menghilangkan jaminan kesehatan kerja dan berbagai
tunjangan penting BHL/TL.
5...Dugaan kejahatan pelecehen seksual terhadap BHL/TL perempuan
Berdasarkan pengakuan beberapa korban, sistem kerja di perkebunan
kelapa sawit PT PP Lonsum Tbk-Sumatera Utara sangatlah tidak
memberikan perlindungan yang memadai bagi BHL/TL perempuan dari
tindak kejahatan pelecehan seksual. Masih berdasarkan pengakuan
tersebut, praktik-praktik pelecehan seksual ini kerap terjadi dalam proses
penerimaan BHL/TL. Dalam proses penerimaan, para mandor kerap
meminta imbalan kepada perempuan yang ia sukai jika ingin diterima
sebagai BHL/TL atau jika ingin kontraknya sebagai BHL/TL tetap
dipertahankan.
6...Penggunaan Buruh Anak Praktik pelanggaran lain yang cukup serius
dan menonjol adalah praktik-praktik pembiaran kepala kebun, para
asisten kebun, dan mandor terhadap keterlibatan anak-anak antara usia
11-17 tahun sebagai tenaga pembantu orang tua mereka yang bertindak
sebagai BHL/TL penerima Kontrak Kerja di perkebunan.
C. Kajian Kritis Implementasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Pada bulan Maret 2011, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pertanian, meluncurkan Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO). Melalui ISPO, Pemerintah
Indonesia ingin mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi
kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi dan
mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan
tuntutan pasar, juga untuk mendukung komitmen Presiden Republik Indonesia
mengurangi emisi gas rumah kaca dan penghayatan atas Hak Asasi Manusia.
Sebagai sebuah peraturan Pemerintah Indonesia, ISPO berlaku wajib
(mandatory) bagi perusahaan perkebunan (tapi bersifat sukarela bagi usaha
74
perkebunan kecil). Ini membedakannya dengan Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela (voluntary). Pada bulan Maret 2015,
Kementerian Pertanian melakukan pembaharuan dengan mengeluarkan
peraturan tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System-ISPO).
Penelitian skripsi ini akan membahas tentang pemberlakuan ISPO yang
belum menunjukkan kinerja memuaskan dalam upaya pembangunan
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Penerapan ISPO ternyata belum
mampu merespon dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat
pembangunan kelapa sawit selama ini, terutama pada aspek lingkungan, sosial
dan hak asasi manusia kepada masyarakat.
Sistem sertifikasi yang diharapkan menjadi pintu masuk perbaikan tata
kelola kebun dan lahan, dirasakan hanya sebatas sebuah instrumen untuk
mendapat pengakuan di pasar internasional. Bahkan sampai saat ini pun, para
pemangku kepentingan masih terus memperdebatkan apakah ISPO mampu
menjadi jawaban terhadap tuntutan pemenuhan prinsip-prinsip keberlanjutan
atau tidak. Dalam konteks yang lebih luas, sebagian pihak juga meragukan
ISPO akan mampu menyentuh akar persoalan demi mendorong perbaikan tata
kelola HAM dan Bisnis di Indonesia.
Modalitas untuk menjalankan sistem ISPO hampir dikatakan cukup. Mulai
dari pembentukan kelembagaan, panduan standar penilaian dan verifikasi,
hingga aturan teknis terkait ISPO. Namun hingga kini sistem sertifikasi ini
diterapkan, kinerjanya belum juga dapat dibanggakan. Penerapan sistem ISPO
rasanya belum mampu menyentuh akar persoalan dalam mendorong perbaikan
tata kelola hutan dan lahan di Indonesia.
Demi menerapkan sistem yang menjamin produksi kelapa sawit yang
berkelanjutan, pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan perkebunan kelapa
sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dengan batas akhir 31 Desember 2014.
Batas waktu tersebut kemudian diperpanjang sampai September 2015. Namun
hingga tenggat waktu perpanjangan ini habis, hanya ada 225 dari 2.302
75
perusahaan perkebunan kelapa sawit8 yang sudah bersertifikat ISPO dengan
total luas 1,5 juta hektare, dan total jumlah produksi 7,4 juta ton minyak sawit.
Kebanyakan perusahaan sawit masih kesulitan mengikuti sistem ini. Salah satu
kendalanya adalah pada aspek legalitas, karena perusahaan yang ingin
mendapatkan sertifikat ISPO diwajibkan memiliki sertifikat Hak Guna Usaha
(HGU).
Saat ini dari 11,6 juta hektare luas total perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, hanya ada 1,5 juta hektare area yang telah berupaya menerapkan
prinsip keberlanjutan di bawah sistem ISPO. Perkebunan yang sudah
menerapkan sistem ISPO pun, ternyata belum dapat dijamin telah terbebas dari
deforestasi dan konflik sosial. Inilah ironi karena area perkebunan kelapa sawit
yang belum memperoleh sertifikat ISPO jauh lebih luas, yaitu 10,1juta hektare.
Artinya, potensi kehancuran hutan alam dan eskalasi konflik sosial pada sektor
pembangunan kelapa sawit di Indonesia masih tidak akan berubah secara
signifikan.
Sementara itu dalam konteks respon terhadap deforestasi, kehadiran
perkebunan kelapa sawit yang dalam satu dekade terakhir telah menyita 11,6
juta hektare lahan di Indonesia juga telah berperan besar sebagai penyumbang
terjadinya deforestasi. Dalam periode 2009-2013, setidaknya 516 ribu hektare
8 Mongabay. Indonesia. 2016. Aturan ISPO Bakal jadi Perpres, Bagaimana Soal
Penguatan Standar? www.mongabay.co.id/2016/08/12/aturan-ispo-bakal-jadi-perpres-bagaimana-
soal-penguatan-standar/ diakses pada 21 september 2019 pukul 23.00 BBWI
10 40
142 184
225
0
50
100
150
200
250
2013 2014 2015 2016 2017
76
lahan terdeforestasi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit atau 22 persen
dari total deforestasi di dalam wilayah konsesi. Padahal pada periode itu pula
ISPO dibentuk (2009), diperkenalkan (2011), dan mulai diterapkan sejak tahun
2012.
Sampai saat ini, implementasi sistem ISPO dinilai masih berjalan sangat
lambat. Sampai tahun 2016, sekitar 800 perusahaan perkebunan kelapa sawit
masih dalam tahap pendaftaran, sementara 115 perusahaan lainnya masih
dalam proses penilaian. Banyaknya perusahaan yang belum mendapatkan
sertifikat ISPO diperkirakan karena permohonan atau pengajuan sertifikat
banyak menumpuk di sekretariat ISPO.9
D. Hambatan Implementasi Penegakan HAM oleh Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO)
Dalam sistem sertifikasi ini faktor dominan yang menghambat efektifitas
dan keberhasilan dalam implementasi sertifikasi ISPO yakni karena
terdapatnya kewenangan Komisi ISPO yang superpower. Komisi ISPO
memiliki wewenang mulai dari membentuk Sekretariat ISPO, Tim Penilai,
Komite Penyelesaian Keluhan Sertifikasi, sampai membentuk panel arbitrasi.
Komisi ISPO juga berwenang untuk memastikan segala hal tentang personil
lembaga sertifikasi, lembaga konsultan, lembaga pelatihan, auditor, dan
konsultan pendamping. Hal paling utama, Komisi ISPO bahkan berwenang
untuk menetapkan dan memutuskan hasil sertifikasi ISPO.
Kewenangan dan beban kerja Komisi ISPO yang luar biasa besar dan luas
ini pada akhirnya mempengaruhi kinerjanya dan menjadikannya lamban.
Selain itu kewenangan yang begitu besar juga menyulitkan sistem ini dalam
mempertahankan independensi dan kredibilitasnya. Ibarat cameo power tends
to corrupt absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung
disalahgunakan kekuasaaan yang absolut pasti disalahgunakan) besarnya
wewenang tanpa adanya pengawasan dikwatirkan akan membentuk
9BeritaSatu. 2014. Permentan Tentang Sertifikat ISPO Akan DIperbaharui
https://www.beritasatu.com/kesra/232286-permentan-tentang-sertifikat-ispo-akan-diperbarui.html
77
persengkokolan dan menurunkan kemungkinan penylahgunaan (abuse) dalam
suatu institusi.
Sertifikasi ISPO merupakan kebijakan mandatory yang harus diikuti oleh
setiap perusahan perkebunan di Indonesia. Dengan lingkup kerja yang sangat
besar, maka kejelasan posisi dan peran masing-masing aktor di kelembagaan
dan pada setiap proses sertifikasi menjadi syarat mutlak. Selain akan menjaga
kredibilitas sistem, kejelasan posisi dan pembagian kewenangan akan
mempersempit perilaku oportunistik dan penyimpangan kekuasaan yang
berujung pada munculnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menyebabkan peluang penyalahgunaan
semakin besar, dan menjadikan sumber terjadinya berbagai penyimpangan.
Makin besar kekuasaan, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan
korupsi.10
1. Besarnya Kewenangan Komisi ISPO
Besarnya kewenangan Komisi ISPO yang sangat besar akan membuka
ruang bagi praktik-praktik transaksi yang sarat kepentingan, dengan demikian
menjadikannya sangat rentan terhadap penyimpangan.11
Di samping itu, aturan
terkait kualifikasi dan kompetensi orang yang ditunjuk di dalam Komisi ISPO
saat ini hanya menetapkan bahwa Komisi ISPO diketuai oleh pejabat setingkat
eselon I yang ditetapkan oleh menteri. Artinya Ketua Komisi ISPO adalah
seorang pejabat struktural di bidang perkebunan, yang tentu saja memiliki
tugas dan tanggung jawab utamanya sendiri, yaitu sebagai seorang Direktur
Jenderal (Dirjen). Di dalam pasal 9 Permentan No. 11 Tahun 2015 disebutkan
bahwa Dirjen Perkebunan bertanggung jawab untuk membina kebun plasma
dan kebun swadaya agar bisa mengikuti sistem ISPO. Namun pada saat yang
10
https://iainptk.ac.id/penyalahgunaan-wewenang-jabatan-abuse-of-power/ diakses pada
13 september 2019 pukul 1.00 BBWI 11
S.F Marbun, Pemerintahan Berdasarkan Kekuasaan dan Otoritas, Jurnal Hukum No 6
Vol 3 Tahun`1996, h.29
78
sama, Dirjen Perkebunan juga berperan sebagai Ketua Komisi ISPO yang
wewenangnya adalah menilai dan memberi sertifikat ISPO. Kewenangan untuk
membina dan satu lagi kewenangan untuk menilai kinerja usaha perkebunan,
merupakan dua kewenangan yang tidak mungkin dilimpahkan kepada satu
orang. Selain itu besarnya kewenangan yang terdapat dalam Komisi ISPO
terurai dalam narasi berikut:
a. Kewenangan dalam menentukan keterlibatan aktor lain.
Komisi ISPO memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menentukan
bisa atau tidaknya aktor lain terlibat dalam sistem ISPO. Setiap Lembaga
Sertifikasi, Lembaga Konsultan, dan Lembaga Pelatihan yang ingin terlibat,
harus terlebih dahulu menyampaikan permohonan kepada Komisi ISPO,
dengan melampirkan dokumen persyaratan. Sekretariat Komisi ISPO
kemudian akan memeriksa kelengkapan dan menilai dokumen permohonan
tersebut. Khusus untuk LS, bila permohonan dinyatakan lengkap maka akan
diumumkan melalui laman resmi ISPO untuk meminta tanggapan publik
dalam jangka waktu satu bulan.12
Hasil penilaian dokumen dan tanggapan publik kemudian disampaikan
oleh Sekretariat Komisi ISPO kepada Tim Penilai untuk dilakukan
verifikasi. Tim Penilai akan mengeluarkan rekomendasi terhadap Lembaga
Sertifikasi, Lembaga Konsultan, dan Lembaga Pelatihan kepada Komisi
ISPO, untuk kemudian diberikan pengakuan atau persetujuan. Lembaga
Sertifikasi, Lembaga Konsultan, dan Lembaga Pelatihan yang dinyatakan
lulus akan diumumkan melalui laman resmi ISPO. Pengakuan dari Komisi
ISPO ini adalah untuk periode lima tahun. Bila ingin diperpanjang, maka
Lembaga Sertifikasi, Lembaga Konsultan, dan Lembaga Pelatihan harus
12
BAB III Tentang Lembaga Sertifikasi ISPO bagian Lembaga Konsultasi tentang Syarat
dan Ketentutan Lembaga Konsultan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015
Tentang Indonesian Suistanable Palm Oil h.15
79
mengajukan permohonan lagi setahun sebelum berakhirnya masa
pengakuan.13
Selain itu, Komisi ISPO juga memiliki kewenangan dalam memberikan
sanksi pembekuan dan/atau pencabutan pengakuan akreditasi bagi Lembaga
Sertifikasi, Lembaga Konsultan, dan Lembaga Pelatihan dan auditor,
apabila dinyatakan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di
dalam ISPO.
b. Kewenangan dalam proses sertifikasi
Komisi ISPO memiliki peranan kunci dalam menilai, menimbang dan
memutuskan hasil audit yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi (LS).
Hasil audit Lembaga Sertifikasi disampaikan kepada Komisi ISPO melalui
Sekretariat Komisi ISPO. Sekretariat Komisi ISPO kemudian melakukan
verifikasi terhadap kelengkapan laporan audit. Laporan audit yang sudah
lengkap kemudian diteruskan ke Tim Penilai ISPO untuk dinilai. Dalam
melakukan penilaian laporan audit maka Tim Penilai ISPO dapat
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, antara lain dari masyarakat
lokal/adat, asosiasi, pejabat pemerintah setempat, LSM, karyawan
perusahaan yang di audit, dan sumber-sumber lainnya.14
Pada akhirnya, Tim Penilai akan menyampaikan rekomendasinya kepada
Komisi ISPO dan Komisi ISPO-lah yang akan memberikan pengakuan
(approval) kelulusan kepada perusahaan perkebunan, dan diumumkan
kepada publik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan, sistem sertifikasi ISPO adalah sebuah sistem sertifikasi yang
proses pengambilan keputusannya berpusat di Komisi ISPO. Termasuk
13
BAB III Tentang Lembaga Sertifikasi ISPO bagian Lembaga Sertifikasi tentang Masa
Berlaku pengakuan Auditor oleh Komisi ISPO dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11
Tahun 2015 Tentang Indonesian Suistanable Palm Oil, h.15 14
Perusahaan Perkebunan yang telah memenuhi persyaratan angka 5 (lima) di atas
mengajukan permohonan sertifikasi ISPO kepada salah satu Lembaga Sertifikasi yang telah
mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun
2015 h, 22
80
dalam memutuskan lulus atau tidak lulusnya perusahaan dan mendapatkan
atau tidak mendapatkan sertifikat.
c. Kewenangan dalam penyelesaian keluhan (keberatan) dan banding.
Komisi ISPO memiliki kewenangan dalam mengeluarkan keputusan atas
permohonan gugatan dan banding, terkait dengan ISPO. Gugatan dalam hal
ini terkait: interpretasi terhadap persyaratan ISPO atau penerapan kriteria
ISPO; konflik antara Lembaga Sertifikasi dengan pihak perusahaan;
keputusan Komisi ISPO dan prosedur ISPO; maupun antara masyarakat
dengan komponen lainnya. Berdasarkan lingkup gugatan (dan banding) di
atas, maka dapat dilihat bahwa Komisi ISPO berperan seperti sebagai
mediator konflik sekaligus arbitrator yang memutuskan hasil akhir di sebuah
gugatan.15
Dalam mekanisme penyelesaian gugatan, para pihak harus mengajukan
permohonan gugatan kepada Komisi ISPO melalui Sekretariat Komisi
ISPO. Sekretariat Komisi ISPO kemudian melakukan verifikasi gugatan,
terkait kesesuaian dengan ketentuan ISPO. Selanjutnya Komite
Penyelesaian Keluhan Sertifikasi akan memproses gugatan tersebut, dan
hasilnya akan diberikan kepada Komisi ISPO untuk diputuskan. Komisi
ISPO memiliki pengaruh yang besar di dalam tubuh Komite Penyelesaian
Keluhan Sertifikasi. Hal ini dikarenakan komposisi keanggotaan pada
komite ini terdiri dari dua (2) orang yang mewakili Komisi ISPO dan satu
orang ahli.
Komisi ISPO juga menjadi aktor kunci dalam menyelesaikan banding.
Panel Arbitrase (banding) beranggotakan tiga (3) orang dan dibentuk oleh
Komisi ISPO berdasarkan hasil rapat komisi. Komposisi keanggotaannya
adalah: dua (2) orang anggota Komisi ISPO atau anggota Tim Penilai
Independen dan satu orang lagi merupakan tenaga ahli dari luar. Selain itu,
15
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Indonesian
Suistanable Palm Oil pada bagian penyelesaian sengketa disebutkan ―Gugatan disampaikan
kepada Ketua Komisi ISPO melalui Sekretariat Komisi ISPO‖ ,h.32
81
Ketua Komisi ISPO juga akan menugaskan seorang anggota Sekretariat
Komisi ISPO sebagai Sekretaris Panel, walaupun tidak memiliki hak suara.
Dengan komposisi seperti ini, Komisi ISPO tetap saja akan menjadi aktor
kunci karena memiliki suara terbesar untuk menentukan hasil putusan atas
banding yang bersifat final.
Sebelum proses banding, pihak pengaju banding harus menyerahkan
terlebih dahulu deposit biaya perkara yang ditetapkan oleh Komisi ISPO.
Apabila dinyatakan kalah maka deposit biaya perkara tersebut akan
disetorkan ke Kas Negara.
2. Depedensi sertifikasi ISPO
Disamping itu dalam hal sertifikasi lembaga korporasi pada ISPO terdapat
adanya depedensi dalam mengeluarkan sertifikasi tersebut. Lembaga sertifikasi
hanya dapat mengeluarkan sertifikasi ISPO apabila ada pengakuan (approval)
dari Komisi ISPO. Mekanisme pengambilan keputusan sertifikasi dimulai
setelah Lembaga Sertifikasi menyampaikan laporan hasil audit kepada Komisi
ISPO, melalui Sekretariat ISPO. Sekretariat ISPO akan melakukan verifikasi
awal yang hasilnya akan diteruskan ke Tim Penilai. Tim Penilai kemudian
melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi kepada Komisi ISPO,
untuk diakui atau ditolak. Artinya dalam hal ini terdapat adanya peran tunggal
Komisi ISPO untuk menerbitkan adanya sertifikasi karena pada akhirnya setiap
mekanisme sertifikasi akan berujung kepada meja Komisi ISPO. 16
Mekanisme tersebut berbeda dengan sistem sertifikasi RSPO ataupun
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dimana LS di dua sistem sertifikasi
ini adalah pihak ketiga independen dalam melakukan audit, dengan demikian
16
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Indonesian
Suistanable Palm Oil pada lampiran 1 poin h dan j menjelaskan.Hasil penilaian/laporan audit
tahap II Lembaga Sertifikasi terhadap Perusahaan Perkebunan yang telah memenuhi persyaratan
ISPO disampaikan kepada Komisi ISPO melalui Sekretariat Komisi ISPO paling lama 2 (dua)
bulan sejak penutupan audit (closing audit). Sekretariat Komisi ISPO melakukan verifikasi
terhadap laporan audit yang disampaikan Lembaga Sertifikasi dalam waktu 2 (dua) bulan sejak
tanggal diterima surat permohonan sesuai dengan stempel pos., h.24
82
memiliki kendali penuh atas keputusan hasil sertifikasi, berdasarkan audit yang
telah dilakukannya.
3. Rendahnya Partisipasi Publik
Partisipasi Publik merupakan salah satu prinsip dari tata kelola yang baik.
ISPO sebagai salah satu instrumen tata kelola dalam perkebunan kelapa sawit,
belum mengakomodasi dengan baik ruang-ruang bagi publik untuk
berpartisipasi. Di dalam permentan tentang ISPO, tidak tertulis dengan jelas
bagaimana publik17
dapat berpartisipasi aktif melakukan pemantauan dalam
setiap proses sertifikasi. Permentan No. 11 tahun 2015 hanya mengatur bahwa
ada peranan publik pada proses Audit I, dimana Lembaga Sertifikasi bisa
melibatkan para pemangku kepentingan dengan memintanya sebagai
narasumber.
Sebelum Audit II, Lembaga Sertifikasi juga diminta menyampaikan
pengumuman kepada publik tentang pelaksanaan audit melalui laman resmi
ISPO. Namun apabila ditelisik melalui laman resmi Sekretariat ISPO
(www.ispo-org.or.id), juga tidak terdapat informasi yang memadai terkait
proses sertifikasi yang akan dilakukan. Pengumuman di laman tersebut hanya
mencantumkan nama perusahaan, lokasi perusahaan, waktu pelaksanaan audit,
serta nama lembaga sertifikasinya. Tidak ada informasi tentang konsultasi
publik atau undangan terbuka yang berisi lokasi konsultasi dan waktu
pelaksanaannya.
Publik memang dimungkinkan terlibat ketika Tim Penilai melakukan
penilaian terhadap hasil laporan audit dari Lembaga Sertifikasi, hanya saja
konsultasi publik untuk mengumpulkan masukan dari masyarakat ini tidak
menjadi keharusan untuk diselenggarakan. Ruang bagi publik lainnya adalah
dalam bentuk penyampaian keluhan ataupun banding, terhadap keputusan
17
Proses pengawasan terhadap publik dalam sertifikasi ISPO diberlakukan terbatas pada
pengauditan pada tahap 1, lihat Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015
Tentang Indonesian Suistanable Palm Oil pada lampiran 1 ―Sebelum melaksanakan audit tahap II
(on site audit), Lembaga Sertifikasi wajib menyampaikan pengumuman publik melalui Sekretariat
Komisi ISPO paling kurang 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan audit”.h.23
83
sertifikasi. Sudah seharusnya ruang bagi keterlibatan publik bisa diatur lebih
jelas di dalam sistem ISPO, termasuk disediakannya mekanisme check and
balance oleh publik, khususnya bagi Penyediaan informasi publik di dalam
sistem sertifikasi ISPO hanya melalui media yang terbatas dengan jenis
informasi yang terbatas pula.
Informasi penting seperti: prosedur penetapan dan kompetensi perangkat
komisi ISPO, risalah hasil penilaian, dasar dan pertimbangan keputusan, serta
perkembangan sengketa, malah belum disajikan secara lengkap di dalam laman
resmi Sekretariat ISPO. Padahal ketersediaan informasi mendorong partisipasi
publik dalam mengawal penyelenggaraan sistem ISPO yang bersih dan
kredibel. Selain itu, ISPO juga seharusnya mematuhi kaidah penyajian
informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik(KIP)36. Jelaslah bahwa Kementerian
Pertanian dan Komisi ISPO sebagai badan publik, mempunyai kewajiban untuk
membuka akses informasi bagi publik sebagaimana yang dimandatkan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa
mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka merupakan tanggung jawab
negara dan menjadi salah satu hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi menjadi sangat
penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik,
makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh
nformasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan publik
Permentan No. 11 Tahun 2015 mengakomodasi adanya keluhan dan
gugatan banding atas putusan keluhan. Bila ada keluhan (keberatan), Komisi
ISPO akan membentuk Komite Penyelesaian Keluhan yang komposisinya
adalah dua orang dari perwakilan Komisi ISPO dan satu tenaga ahli untuk
84
memberikan pertimbangan. Sedangkan bila ada gugatan (banding) atas
keputusan yang menjawab sebuah keluhan, maka Komisi ISPO akan
membentuk Panel Arbritase (banding) yang beranggotakan dua anggota
Komisi ISPO atau dari anggota Tim Penilai Independen, dan satu orang lagi
merupakan tenaga ahli dari luar.
Melihat kewenangan Komisi ISPO yang sangat besar dalam keseluruhan
tahapan dan proses penyelenggaraan sistem ISPO, sangat sulit menemukan
independensi dari komite dan panel dalam menangani sebuah keluhan atau
banding. Karena materi keluhan atau pun banding yang diajukan sangat
dimungkinkan sebagian besarnya menyangkut putusan-putusan yang
diterbitkan Komisi ISPO sendiri. Ini adalah contoh konflik kepentingan yang
paling nyata karena keluhan atau keberatan terhadap Komisi ISPO kemudian
pada dasarnya ditangani dan diputuskan oleh Komisi ISPO sendiri.
Sebagai perbandingan, pada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang
sama-sama bersifat mandatory tersedia mekanisme yang sangat jelas untuk
penanganan keluhan (complaint handling) yang diajukan oleh kelompok
masyarakat ataupun para pemegang izin usaha. Jika keluhan berisi tentang
ketidakpuasan kinerja perusahaan maka keluhan disampaikan kepada Lembaga
Sertifikasi. Keluhan atas kinerja Lembaga Sertifikasi akan disampaikan kepada
Komite Akreditasi Nasional (KAN) selaku pemberi akreditasi bagi Lembaga
Sertifikasi, sedangkan keluhan atas kinerja KAN disampaikan kepada
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
4. Kurangnya keterbukaan dalam proses penilaian
Agar kredibilitas sistem ini terjaga, ISPO harus memiliki mekanisme yang
terbuka dan memberikan ruang yang cukup bagi publik untuk terlibat dalam
setiap proses penilaian, maupun ketika menyampaikan keberatan atas hasil
penilaian. Tidak adanya kewajiban bagi Lembaga Sertifikasi untuk
mempublikasikan resume hasil penilaian mengindikasikan ketertutupan proses
sertifikasi ISPO dalam hal mengakomodasi masukan berbagai pihak. Resume
85
penilaian sangat penting bagi publik untuk digunakan sebagai acuan melihat
bagaimana proses sertifikasi ISPO dilakukan. Termasuk dalam hal ini adalah
untuk melakukan pengajuan komplain (keluhan) kepada Komisi ISPO atas
sertifikasi yang telah diberikan kepada sebuah perusahaan.
Selain itu, sangat penting juga untuk membuka akses terkait data dan
informasi perizinan di sektor perkebunan. Kementerian Pertanian sebagai
pemilik sistem harus membuka akses terhadap data dan informasi tersebut agar
mendorong partisipasi para pihak untuk mengawasi implementasi sistem ISPO.
Dengan demikian, ISPO bisa menjadi sebuah sistem yang transparan dan
akuntabel sehingga mendapatkan legitimasi dari semua pihak pemangku
kepentingan.
5. Sertifikasi Minim pengawasan dari pihak yang independen.
Sistem sertifikasi ISPO tidak didukung dengan mekanisme pengawasan
yang sistematis dalam proses-proses yang dilakukan pada setiap tahapan.
Ruang pengawasan publik pun hanya diatur melalui mekanisme konsultasi
terkait hasil putusan dalam proses sertifikasi dan dilakukan melalui media yang
terbatas (laman resmi Sekretariat ISPO). Sebagai sebuah sistem yang kredibel,
sudah seharusnya ISPO memiliki komponen yang secara independen dapat
melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan sistem sertifikasi.
Keberadaan pihak pemantau yang independen sangat dibutuhkan sebagai
mekanisme check and balance. Dari hasil-hasil pemantauan dapat menjadi
rekomendasi dalam pengambilan keputusan sertifikasi yang dijalankan
Lembaga Sertifikasi, penyelesaian sengketa sertifikasi di Komite Sengketa
Sertifikasi, akreditasi Lembaga Sertifikasi oleh KAN dan bahkan rekomendasi
untuk perbaikan sistem ISPO itu sendiri. Pemerintah pun sebenarnya sudah
memiliki contoh sistem sertifikasi lainnya (SVLK) yang juga mandatory dan
telah mengakomodasi keberadaan pemantau independen. Keberadaan
pemantau independen dalam SVLK pun menjadi salah satu jaminan untuk
kredibilitas SVLK di mata dunia. Berkaca pada hal ini, sistem ISPO yang
86
memberikan ruang untuk pemantau independen diharapkan dapat terjaga
akuntabilitas dan kredibilitasnya serta pada akhirnya akan meningkatkan
keberterimaan pasar dunia terhadap ISPO
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab diatas maka peneliti menarik beberapa
kesimpulan yakni sebagai berikut :
1. Penerapan Uji Uji Tuntas United Nations guiding principles on business
and Human Rights atau dalam hal ini adalah Indonesian Suistanable Palm
Oil/ISPO masih memiliki sejumlah kelemahan dalam pelaksanaannya. Bukti
konkrit kelemahan mekanisme uji tuntas (ISPO) berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria ngka kumulatif jumlah
pelanggaran HAM pada tahun 2018, perkebunan kembali menempati posisi
tertinggi sebagai sektor penyumbang konflik agraria dengan 144 (35%)
letusan konflik, sektor properti 137 (33%), sektor pertanian 53 (13%),
pertambangan 29 (7%), sektor kehutanan 19 (5%) konflik, sektor
infrastruktur 16 (4%) dan terakhir sektor pesisir/kelautan dengan 12 (3%).
Dari 144 ledakan konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan
sepanjang tahun ini, sebanyak 83 kasus atau 60 % -nya terjadi di
perkebunan komoditas kelapa sawit.
2. Hambatan dalam pelaksanaan Uji Tuntas United Nations guiding principles
on business and Human Rights atau dalam hal ini adalah Indonesian
Suistanable Palm Oil/ISPO belum menunjukkan kinerja yang memadai
dalam kaitan pencapaian tujuan pembangunannya sebagai sebuah sistem
sertifikasi menuju perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Penerapan
ISPO ternyata belum mampu merespon dampak-dampak negatif yang
ditimbulkan akibat pembangunan kelapa sawit selama ini, terutama pada
aspek lingkungan, sosial dan hak asasi manusia kepada masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis peneliti telah menemukan hambatan pelaksanaan
ISPO karena secara regulasi proses Sertifikasi uji tuntas HAM tersebut
dilakukan dengan minim pengawasan dari pihak yang independen atau
88
pihak ketiga yang profesional. Disamping itu juga karena tidak adanya
keterbukaan dalam proses penilaian yang dilakukan oleh komisi ISPO, serta
tertutup nya Partisipasi Publik untuk terlibat dalam tahapan sertifikasi uji
tuntas HAM, terakhir karena adanya depedensi sertifikasi ISPO yang
tertutup dari akses pengawasan oleh pihak yang berkompeten, dan
terdapatnya kewenangan yang terlampau besar Komisi ISPO yang disinyalir
akan menyebabkan abuse of power.
3. Mekanisme dalam uji tuntas HAM korporasi bidang Kelapa Sawit atau
ISPO memiliki sejumlah hambatan. Baik hambatan yang bersifat internal
maupun eksternal yang mengakibatkan kesuksesan implementasi uji tuntas
menjadi terhambat. Hambatan dalam melakukan uji tuntas berimplikasi
terhadap peningkatan kasus pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan
Hak tenaga Kerja. Oleh karena itu mekanisme lama dalam implementasi uji
tuntas HAM perlu diperbaiki dengan suatu mekanisme baru yang lebih
efektif. Mekanisme ideal dapat berupa merampingkan tugas dari Komisi
ISPO agar tidak tercipta super power dari komisi tersebut. Dalam ketentuan
Permentan Nomor 1 Tahun 2015 diatur peran Komisi ISPO meliputi
Kewenangan dalam menentukan keterlibatan aktor lain. Kewenangan dalam
proses sertifikasi. Kewenangan dalam penyelesaian keluhan (keberatan) dan
banding. Dimana terlampau besarnya kewenangan demikian dianggap
sebagai penyebab terhambat nya peran uji tuntas.
B..Rekomendasi
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan peneliti dalam penelitian terkait
implementasi uji tuntas HAM atau dalam bidang kelapa sawit yakni Indonesia
suistanable palm oil maka diperlukan beberapa revisi terkait dengan regulasi
dan mekanisme pengajuan dalam proses sertifikasi Indonesia suistanable palm
oil yakni :
1. Perlu adanya revisi terkait regulasi tentang uji tuntas HAM bidang kelapa
sawit/ Indonesian Suistanable Palm Oil yakni dalam Peraturan Menteri
89
Pertanian Nomor 11 Tahun 2015. Adapun poin yang perlu direvisi yakni
terkait reformulasi kewenangan yang dimiliki oleh komite ISPO karena
dinilai terlalu besar, memberikan perluasan partisipasi publik sebagai
upaya pengawasan eksternal, meningkatkan indepedensi dalam proses
sertifikasi melalui proses yang independent.
2. Memberikan ekstra punishment karena regulasi uji tuntas HAM bidang
kelapa sawit/ Indonesian Suistanable Palm Oil merupakan kewajiban
korporasi yang bersifat mandatory. Bentuk sanksi yang dapat diberlakukan
yakni sanksi pidana, perdata, dan administrasi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung,: Citra Aditya Bakti, 1992)
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005)
----------------- Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Rajawali
Press, 2006)
----------------- Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI 2004)
E Doek, Jaap, Harmonisation of National Laws With the Convention on the Rights
of the Child: Some Observations and Suggestions (Addis Ababa: The African
ChildPolicy Forum, 2007)
El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005)
Fuady, Munir, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, (Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2003)
Hakim G, Abdul, Nusantara, et. al.,Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Berdimensi HAM: Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan
Implementasinya di Indonesia (Jakarta: Komisi Nasional HAM Cetakan
Kedua, 2013)
Hanitijo, Ronny Soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998)
Harahap, Yahya, hukum perseroan, Cetakan Ketiga, Edisi Ketujuh, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2011)
Ibrahim Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang,
Bayumedia Publishing, 2006)
Imam, Amirullah Hardjanto, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Graha Ilmu 2005)
International, Amnesty, Incorporated Corporate Abuses and The Human Right To
Remedy, (London: Amnesty International Ltd, 2014)
Janet, Dine, Company Law, (London, Macmillan Press Ltd, 1998)
Kansil, C.S.T, Hukum Perusahaan Indonesia, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1995)
91
---------------. dan Cristine S.T. kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 2002)
Keraf, Sony. Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), (Yogyakarta: Kanisius,
1998)
Khairandy, Ridwan, Hukum Perseroan, (Yogyakarta, FH UII Press, 2014 )
Lagoutte, Stéphanie, Unpacking Pillar 1 And 3 Of The Un Guiding Principles on
Human Rights and Business, (Copenhagen: The Danish Institute for Human
Rights, 2014)
M. Rizki, Rudi, Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran
Berat HAM, (Jakarta: Penerbit Fikahati Aneska, 2012)
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005)
Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005)
Oliver, M.S dan E.A Marshall, Company Law: Handbook, Twelve Eddition
(Singapore pitman publishing , 1994)
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2012)
Ridho, R. Ali, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan,
Koperasi, Yaymasan, Wakaf, (Jakarta, Alumni 1977)
Skinner, Gwynne, Robert McCorquodale, and Olivier De Schutter, The Third
Pillar: Access to Judicial Remedies for Human Rights Violations by
Transnational Business, (The International Corporat Accountability
Roundtable (ICAR), CORE, The European Coalition for Corporate Justice
(ECCJ), 2013)
Sunarto, Fitriani dan Fahd Riyadi, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak
Asasi Manusia Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan,
Penghormatan¸ dan Pemulihan”, (Jakarta, Konsil LSM Indonesia, 2018)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001)
Sutedi, Adrian, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta, Raih Asa
Sukses 2015)
Vranceanu, Radu. Corporate Profit, Entrepreneurship Theory and Business
Ethics, (Paris: ESSEC, 2013)
92
Wagiman, Wahyu (ed), Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi
Manusia:Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan,
Penghormatan, dan Pemulihan, (ELSAM, Jakarta, 2014)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran
Negara Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756
Vienna Convention On The Law and Treatis, 1958
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang Indonesian
Suistanable Palm Oil Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
432
Jurnal
Beth Stephens, The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human
Rights, Berkeley Journal of International Law, 2002
Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, Journal
of Business & Technology Law, 2007
Kurniawan, “Tanggung Jawab Direksi dalam Kepailitan Perseroan Terbatas”,
Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 2, 2012
Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, American Criminal
Law Review, 2007
Robert C. Blitt, Beyond Ruggie’s guiding principles on business and Human
Rights: Charting an Embracive Approach to Corporate Human Rights
Compliance, Texas International Law Journal No. 48, 2012
Samendawai, Abdul Haris, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat:
(Tinjauan Hukum Internasional dan Nasional, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16
April 2009
93
Siti Hapsah, Tanggung Jawab Direksi Pereroan Terbatas atas Pelanggaran
Fiduciary Duty, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomoe 1 2015
Surya Deva, guiding principles on business and Human Rights: Implications for
Companies, European Company Law Vol 9 Nomor. 2, 2012
Website
https://www.beritasatu.com/kesra/232286-permentan-tentang-sertifikat-ispo-akan-
diperbarui.html
https://iainptk.ac.id/penyalahgunaan-wewenang-jabatan-abuse-of-power/
https://www.mongabay.co.id/2016/08/12/aturan-ispo-bakal-jadi-perpres-
bagaimana-soal-penguatan-standar/