UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official...
Transcript of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official...
i
ABSTRAK
Nadiyah Ulfah
REPRESENTASI GENDER DALAM FILM SITI
Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa dipandang
mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dan juga
berperan aktif dalam mempengaruhi aspek afektif, kognitif, dan behavioral
seseorang. Film juga dianggap sebagai alat untuk mengkosntruksi suatu paham
ideologi kelompok tertentu diantaranya kelompok patriarki. Film menjadi suatu
alat medium untuk menyampaikan opini, salah satunya opini akan perempuan.
Dalam media sering kita melihat bahwa perempuan dikonstruksi sesuai akan
peran gendernya yang identik dengan feminin. Film Siti hadir dengan tema
perempuan dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya serta peran gender
yang melekat padanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan ini untuk
menjawab pernyataan penelitian yakni bagaimana representasi gender
diproduksi dalam film Siti?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori gender yaitu konteks
yang menjadi permasalahan pada penelitian dan merupakan salah satu bentuk.
Peneliti juga menggunakan teori film dan feminisme dikarenakan pada saat ini
masih banyak terlihat bahwa film dijadikan alat oleh kelompok paham patriarki
untuk menyampaikan atau membangun pola pikir kepada masyarakat tentang
penggambaran yang timpang terhadap perempuan.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif dan
paradigma konstruktivis dengan metode analisis naratif struktural aktansial A.J
Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Untuk menentukan tokoh serta peran
dan fungsinya melalui analisis naratif struktural aktansial, dan sebagai data
pendukung untuk menemukan makna dilakukan dengan membongkar tanda dan
teks dengan semiotika. Dua hal ini dilakukan karena untuk menemukan relasi
makna diantara keduanya.
Pada film Siti memiliki enam aktan dimana memiliki peran dan
fungsinya masing-masing yang membangun jalannya cerita. Selain itu, film Siti
menkontruksi perempuan bahwa perempuan mengalami bias gender atau
ketidakadilan akibat budaya patriarki yang mencerminkan realitas sosial yang
terjadi pada lingkungan Siti tinggal. Perempuan juga digambarkan dengan sosok
yang tidak bisa mengutarakan isi hatinya, sosok penghibur, dan seksualitas
karena menjadi alat laki-laki untuk mencari kesenangan.
Keywords. Gender, Feminisme, Film, Perempuan, Naratif Struktural
Aktansial, dan Semiotika.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alaamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah Swt., Tuhan yang Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta bimbingan-Nya kepada penulis sehingga dengan ridha-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, serta seluruh keluarga, para sahabat,
dan para pengikutnya yang beriman hingga hari akhirat. Atas rahmatnya, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam
Film Siti”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan
dan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari, selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, hingga
masa penyelesaian skripsi ini tidaklah dapat berjalan baik tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang turut mendukung dan membantu
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
2. Drs. Masran, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
beserta Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fita
Fathurokhmah, M.Si, atas segala bantuan dan bimbingannya selama ini.
3. Bintan Humeira, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang bersedia memberi
arahan, masukan, dan ilmu kepada penulis dengan segala kebaikan hati,
keramahanan, dan kesabarannya dalam membimbing penulis.
iii
4. Dr. Roudhonah, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akaemik yang bersedia
memberi arahan pada proses penulisan skripsi.
5. Staf PH Fourcolours Film, selaku rumah produksi dari film Siti dan Ibu Narina
yang telah memberikan skrip film Siti.
6. Suherman dan Siti Maryam, kedua orang tua penulis yang sangat disayangi,
yang tidak pernah berhenti menasihati, menyayangi, dan mendo’akan penulis
untuk menyelesaikan skripsi.
7. Fazri Ramadhan dan Syabillah Azzahra, adik-adik penulis yang selalu
memberikan dukungan dan doa’a dalam penyelesaian skripsi.
8. Teman-teman satu jurusan Komunikasi Penyiaran Islam 2013.
9. Sahabat-sahabat, Faizah, Nita, Tasya, Mayani, Puri, Imah, Afifah dan Icha
yang mendukung, memberikan arahan, dan mendo’akan penulis dalam
penyelesaian skripsi.
Penulis berharap semoga dukungan, bimbingan, dan amal kebaikan dari berbagai
pihak tersebut, selalu mendapatkan rahmat dari Allah Swt,. Dan semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat dalam khazanah keilmuan komunikasi bagi para
pembacanya. Aamiin.
Jakarta, 22 Mei 2018
Penulis
Nadiyah Ulfah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6
1. Batasan Masalah.............................................................................6
2. Rumusan Masalah..........................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6
1. Tujuan Penelitian.........................................................................6
2. Manfaat Penelitian.......................................................................6
D. Metodologi Penelitian.........................................................................7
1. Paradigma Penelitian...................................................................7
2. Pendekatan Penelitian..................................................................8
3. Metode Penelitian........................................................................8
4. Teknik Pengumpulan Data...........................................................9
5. Teknik Analisis Data.................................................................10
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Gender ................................................................................ 16
1. Marginalisasi .............................................................................. 18
2. Subordinasi.................................................................................19
3. Streotipe......................................................................................20
4. Kekerasan....................................................................................20
5. Beban ganda atau Beban Kerja...................................................20
B. Teori Feminisme .............................................................................. 21
1. Pengertian Feminisme ............................................................ 21
2. Jenis-jenis Feminisme ............................................................ 25
v
C. Analisis Naratif ................................................................................ 33
1. Pengertian Narasi ................................................................... 33
2. Analisis Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas ................ 35
D. Film Sebagai Media Komunikasi Massa dan Representasi ............. 37
BAB III GAMBARAN UMUM FILM SITI
A. Gambaran Umum Film Siti............................................................41
B. Sinopsis Film Siti...........................................................................43
C. Profil Sutradara/naskah Film Siti...................................................46
D. Profil Produser Film Siti................................................................46
BAB IV PEMBAHASAN
A. Menentukan Tokoh melalui Analisis Struktur Aktansial .............. 48
B. Bentuk Percakapan yang Representatif Beban Ganda...................53
C. Materealisasi Objek ....................................................................... 71
D. Interprestasi ................................................................................... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 85
B. Saran .............................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 87
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerangka Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas ................. 36
2. Gambar 4.1 Kerangka Analisis Struktural Aktansial Film Siti ..................... 48
3. Gambar 4.2 Siti dan Darmi yang Berbincang ................................................ 54
4. Gambar 4.3 Karyo yang Menagih Hutang Kepada Siti ................................. 58
5. Gambar 4.4 Sri yang Mengajarkan Siti untuk Melepas Beban...................... 60
6. Gambar 4.5 Bagas yang Mengajak Siti untuk Bermain................................. 62
7. Gambar 4.6 Siti Membantu Bagas Belajar .................................................... 65
8. Gambar 4.7 Siti dan Temannya Menari dengan Gemulai.......................... ....66
9. Gambar 4.8 Sarko Menawari Siti Minuman...................................................67
10. Gambar 4.9 Gatot Memohon Kepada Siti Meninggalkan Suaminya
.........................................................................................................................69
11. Gambar 4.10 Tampak Dapur dan Halaman Rumah Siti.................................72
12. Gambar 4.11 Siti Menginjak Cucian Pakaian degan Keras............................73
13. Gambar 4.12 Siti Merokok untuk Melepas Beban..........................................74
14. Gambar 4.13 Siti yang meluapkan Emosi dengan berteriak...........................74
15. Gambar 4.14 Siti yang Mabuk........................................................................74
16. Gambar 4.15 Siti yang Berselingkuh dengan Gatot........................................75
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 Siti dan Darmi yang sedang Bercengkrama ................................... 54
2. Tabel 4.2 Karyo yang Menagih Hutang kepada Siti ...................................... 58
3. Tabel 4.3 Sri yang Mengajarkan Siti cara Melepas Beban yang Dialami ..... 60
4. Tabel 4.4 Siti yang Bercengkrama dengan Bagas di Tepi Pantai .................. 62
5. Tabel 4.5 Siti yang Menemani Anaknya Belajar ........................................... 65
6. Tabel 4.6 Siti dan Temannya sebagai Pemandu Karaoke...............................66
7. Tabel 4.7 Perbincangan Siti dengan Sarko tentang Pinjaman Uang...............67
8. Tabel 4.8 Gatot dan Siti yang Berbicara Mengenai Masa Depan Mereka......69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media massa adalah sarana penunjang bagi manusia untuk memenuhi
kebutuhan akan informasi maupun hiburan. Saat ini begitu banyak media
massa yang kita kenal baik itu media cetak seperti surat kabar, majalah,
tabloid, maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Media
massa setidaknya memiliki empat fungsi utama, yaitu menginformasikan (to
inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to
persuade), dan menghibur (to entertain).1 Pada era ini media massa sangat
penting untuk menunjang kehidupan manusia. Manusia tidak bisa lepas dari
media massa karena berbagai fungsi yang diberikannya.
Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa dipandang
mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dan juga
berperan aktif dalam mempengaruhi aspek afektif, kognitif, dan behavioral
seseorang. Melalui film, pesan sosial, budaya, politik, atau lainnya dapat
dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Film meningkatkan daya imajinasi
dan emosional penontonnya lebih tinggi. Film juga seringkali menjadi
cerminan suatu bangsa karena mempresentasikan budaya yang ada dan
mempengaruhi kebudayaan negara tersebut.
Melalui film masyarakat dapat melihat bagaimana kejadian nyata yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat pada era tertentu. Oleh karenanya, film
berperan dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai suatu ide
1 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 54.
2
gagasan atau ideologi tertentu. Turner berpendapat makna film merupakan
representasi dari realitas masyarakat yang berbeda dengan film sebagai
refleksi dari realitas. Representasi dari realitas memiliki artian bahwa film
membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan.2
Film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan
pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Dengan kata lain, film tidak bisa
dipisahkan dari konteks masyarakat yang memproduksi dan
mengkonsumsinya. Film yang memiliki makna sebagai representasi dari
realitas juga mengandung muatan ideologi pembuatnya sehingga sering
digunakan sebagai alat propaganda.
Sering kita melihat bahwa perempuan dilihat secara timpang oleh media
massa, salah satunya melalui film. Media massa sering menganggap
perempuan sebagai subjek manusia yang ditindas oleh laki-laki, dan sering
pula dihadirkan sebagai mesin operasional, objek pemberitaan, objek fatish,
objek peneguhan pola kerja patriarki, objek seksis, bahkan bisa jadi sebagai
objek pelecehan dan kekerasan. Media seolah tidak memberikan ruang secara
adil terhadap perempuan karena kuasa patriarki di dalamnya. Otoritas kuasa,
dan kontrol laki-laki atas media juga dirasakan lebih dominan karena laki-laki
lebih dahulu memasuki wilayah tersebut.3
Konstruksi sosial dan kebudayaan yang mengkristal mengakibatkan
adanya ideologi yang bias gender. Hal ini mengakibatkan persoalan posisi
2 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 127-128. 3 Mustain, Sisi Lain Perempuan dalam Sorotan Media; Tinjauan Teori Kelompok
Bungkam (Muted Group Theory), JSGI Vol. 04, no. 01 (Agustus 2013): h. 66.
3
perempuan yang selalu berada di bawah laki-laki. Bias gender dan budaya
patriarki seakan tidak bisa lepas dari pesan-pesan yang disampaikan oleh
media. hal ini semakin memperteguh bahwa media massa yang dikuasai
kelompok dan ideologi tertentu bahwa memang benar ada kontruksi
perempuan yang timpang atau ketidakadilan gender dalam media massa.
Film di Indonesia sering mengangkat permasalahan gender, atau
diskriminasi gender. Seperti yang selama ini kita kenal bahwa kehidupan
perempuan pada umumnya selalu dikonstruksi dalam film sebagai
pendamping laki-laki yang selalu menjadi pemanis atau pemeran tambahan
atau adakalanya digambarkan secara timpang. Perempuan juga sering
ditampilkan sedemikian rupa untuk menarik perhatian penonton entah dari
segi seksualitas maupun kelemahannya.
Pernyataan akan banyaknya film atau media di Indonesia yang
mengkontruksi perempuan secara timpang dapat dilihat dari berbagai
penelitian ilmiah. Diantaranya adalah dikutip dari (Nurul Islam, 2008)
perempuan dalam media seakan-akan harus bernilai dagang, perempuan
divisualisasikan dengan pakaian yang minim untuk melanggengkan pesan
dalam mempengaruhi khalayak. Hal tersebut dikarenakan media yang
menganut paham kapitalis yang mengkontruksi isi media massa ke dalam
budaya pragmatisme profit.
Perempuan dalam film Sang Penari dikutip dari (Tiara Pudyadhita, 2012)
menemukan bahwa perempuan Jawa dalam film tersebut ditampilkan dengan
streoripe yang negatif memiliki pekerjaan sebagai penari ronggeng. Dalam
film tersebut juga menggambarkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai
4
penari ronggeng menganggap adanya pelecehan seksual kepada mereka
bukanlah sebuah musibah karena penari ronggeng sendirilah yang di cap
sebagai korban dan pelakunya.
Lain halnya dengan hasil penelitian perempuan dalam film Mihrab Cinta
(Nining Umi Salmah, 2014) yang digambarkan sebagai perempuan yang
moderat, dikatakan moderat karena perempuan diperbolehkan untuk bekerja
tetapi masih dalam batasan sebagai pendidik. Dan masih adanya streotipe
bahwa perempuan digambarkan sebagai makhluk yang cengeng dan lemah
sedangkan laki-laki digambarkan sebagai penolong dan pelindung. Dari
berbagai penelitian yang membahas adanya ketimpangan pada perempuan
dalam media atau film, hal ini yang menjadi acuan peneliti untuk mengangkat
tema ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam film Siti.
Film Siti merupakan salah satu dari sekian banyaknya film di Indonesia
yang mengangkat tema perempuan. Mengangkat tema perempuan terutama
perempuan pesisir Jawa yang mewakilkan sebagai sosok perempuan dari
golongan bawah, film ini memperoleh banyak penghargaan. Film Siti sendiri
memperoleh banyak penghargaan di Internasional maupun lokal. Di ajang
internasional, Festival Film Internasional Shanghai 2015, Siti menerima
penghargaan untuk sinematografi terbaik dan naskah film terbaik untuk
kategori New Asia Talent Competition. Dan di Indonesia, Siti memperoleh
tiga piala citra yaitu kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik,
dan Penata Musik Terbaik.4
4 Eri, 4 Fakta Film Siti Pemenang Film Terbaik FFI 2015, artikel diakses
pada 30 Januari 2017 dari https://www.hitsss.com/4-fakta-film-siti-pemenang-
film-terbaik-ffi-2015/
5
Berangkat dari permasalahan adanya anggapan bahwa kaum perempuan
memiliki sifat memelihara dan rajin yang mengakibatkan semua pekerjaan
domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Sehingga konsekuensinya
perempuan harus bekerja keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian
rumah tangganya; mulai dari mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari
air untuk mandi hingga memelihara anak.5 Sedangkan pada posisi harus
mempertahankan asap dapur rumah tangga agar tetap mengepul, perempuan
ini harus bertanggungjawab terhadap pekerjaan domestiknya dan harus
bekerja publik untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan rumah
tangganya. Dengan kata lain perempuan sering dikaitkan dengan peran
gender yang melekat padanya.
Pernyataan tersebut terwakilkan pada film Siti. Representasi gender akan
sosok Siti sangat menarik untuk penulis teliti karena lagi-lagi terdapat film
yang membahas tentang gender pada perempuan. Selain itu, yang membuat
penulis tertarik untuk mengkanji permasalahan ini karena pada era modern ini
masih banyak paham bahwa perempuan memang identik akan peran gender
perempuan atau biasa disebut dengan feminin. Maka berdasarkan latar
belakang masalah di atas, penulis memberikan judul penelitian ini
“REPRESENTASI GENDER DALAM FILM SITI”.
5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:
INSISTPress, 2008), h. 21.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membatasi ruang
lingkup pada permasalahan penilitian yaitu ketidakadilan gender dalam
film Siti. Peneliti hanya melakukan penelitian pada penentuan tokoh
cerita dan peran serta fungsinya pada film Siti, bentuk percakapan yang
representatif representasi gender pada film Siti, materealisasi objek, dan
interpretasi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka perumusan masalahnya
adalah bagaimana representasi gender diproduksi dalam film Siti?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui representasi gender yang diproduksi dalam film
Siti.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
positif bagi pengembangan keilmuan komunikasi terutama mengenai
penelitian komunikasi dengan metode analisis struktural Greimas
tentang gejala sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Selain itu juga, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
bahan kajian tambahan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa
7
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran islam mengenai Strategi Komunikasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para
praktisi komunikasi, khususnya dalam memahami beban ganda pada
perempuan yang diproduksi oleh media. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para akademisi,
praktisi, dan para pembaca serta dapat memberikan manfaat bagi
seluruh lapisan masyarakat.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivis
menganggap kenyataan itu hanya bisa dipahami dalam bentuk jamak,
berupa konstruksi mental yang tidak dapat diraba, berbasis sosial dan
pengalaman yang bersifat lokal dan spesifik (ontologi). Peneliti dan
subyek yang diteliti terkait erat secara timbal balik, sehingga penemuan
dicipta seperti yang dikehendaki peneliti (epistimologi).6
Konstruktivisme memandang bahwa aktivitas manusia itu merupakan
aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran
yang tetap, tetapi selalu berkembang terus. Hal ini berarti, realitas itu
merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan
6 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif (Malang: UIN-
Maliki Press, 2010), h. 151.
8
nilai, jadi tidak mungkin bebas nilai, dan pengetahuan hasil konstruksi
manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus.7
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami
suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara
peneliti dengan fenomena yang diteliti.8 Pada penelitian kualitatif, data
dihasilkan secara deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran
secara objektif dengan menggambarkan pesan-pesan secara simbolis
dalam film Siti.
3. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode analisis naratif model A.J.
Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Naratif (narasi) adalah
representasi dari peristiwa-peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-
peristiwa. Penggabungan berbagai peristiwa menjadi satu jalinan cerita
yang sebenarnya terdapat nilai-nilai dan ideologi yang ingin ditonjolkan.
Sebuah cerita, sebuah dongeng. Di dalam cerita ada plot, adegan, tokoh,
dan karakter.9 Analisis naratif membantu peneliti untuk memahami
bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi dan disebarkan
dalam masyarakat. Analisis naratif juga memungkinkan untuk menyelidiki
7 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 49. 8 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 9. 9 Eriyanto, Analisis Naratif : Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks
Berita Media, (Jakarta: Kencana. Prenada Media Group, 2013), h. 9.
9
hal-hal yang tersembunyi dan laten dari suatu teks media. Untuk
mendukung data yang ada, dikarenakan narasi Greimas hanya membahas ,
peneliti menggunakan semiotika sebagai data pendukung untuk mencari
relasi dan makna teks pada keduanya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam tahap-tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode
berikut:
a. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang
berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang.10
Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut panjang
subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis
atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.11
Pada penelitian ini, penulis melakukan dokumentasi untuk
menggali informasi terkait permasalahan perempuan, diantaranya
beban ganda. Serta mengenai analisis semiotik narasi struktural
aktansial A.J. Greimas yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal.
10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 176. 11
Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 143.
10
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis naratif struktural
aktansial A.J Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Greimas
mengembangkan teori struktural Vladimir Propp dengan mengembangkan
teori struktural tersebut menjadi 6 aktan Penelitian ini menggunakan
teknik analisis naratif menurut A.J Greimas, yaitu dengan menganalisis
peran dan aktan dalam teks. Model narasi Greimas menganalogikan narasi
sebagai suatu struktur makna (semantic structure). Sebuah kalimat yang
terdiri atas rangkaian kata-kata, setiap kata dalam kalimat menempati
posisi dan fungsinya masing-masing. Kata yang satu juga mempunyai
relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheran
dan mempunyai makna.12
Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Gerimas dari gagasan
Propp. Greimas hanya menawarkan sebuah penghalusan atas Teori Propp.
Sementara Propp memusatkan pada sebuah jenis tunggal, Greimas
berusaha sampai pada tata bahasa naratif yang universal dengan
menerapkan adanya analisis semantik atas struktur kalimat. Teori
strukturalisme Greimas digunakan untuk menganalisis struktur sehingga
terfokus pada ekplorasi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai
peristiwa. Jadi, hubungan antartokoh dalam cerita dapat dianalisis
menggunakan skema aktan, sehingga dapat menemukan struktur utama
cerita. Berikut bagan dari analisis semiotik naratif struktural dan aktansial
Greimas:
12
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks
Berita Media, h. 95.
11
Untuk menganalisis dalam menentukan tokoh-tokoh serta peran dan
fungsinya, peneliti menggunakan analisis struktural aktansial A.J Greimas.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Greimas membentuk struktur
narasi yang menentukan peran dan fungsi tokoh dari film tersebut. Untuk
mendukung data dari analisis struktural aktansial A.J. Greimas, peneliti
menggunakan analisis semiotika pada analisis teks dan gambar.
Menggunakan semiotika untuk mengkaji tanda, dimana tanda tersebut
menyampaikan informasi secara verbal dan non-verbal.
Greimas membentuk pada struktur narasi tentang peran dan fungsi
tokoh. Hal demikian penting dilakukan karena membahas bagaimana cara
membangun makna relasi antar keduanya. Menggunakan semiotika juga
dapat membantu peneliti untuk membedah teks dan tanda karena teks dan
tanda tidak bisa diabaikan untuk menemukan makna pada wacana yang
ada. Oleh karenanya, peneliti perlu membedah makna dengan semiotika.
Selanjutnya, adanya materealisasi objek untuk mengidentifikasi
tanda-tanda, simbol-simbol yang membentuk suatu materi dalam film.
Perlunya dianalisis untuk mengidentifikasi hal-hal yang non-teks. Hal-hal
tersebut dimaterealisasikan dalam alur cerita dengan gambar, objek, dan
hal lainnya yang dilihat penulis mempunyai makna yang mendukung
kontruksi dari pemaknaan gambar atau objek tersebut.
12
D. Tinjauan Pustaka
Untuk tinjauan pustaka pada penyusunan skripsi ini, peneliti merujuk
pada beberapa skripsi mengenai perempuan dan analisis naratif A.J. Greimas
sebagai tinjauan penyusunan skripsi, diantaranya sebagai berikut:
1. Ika Istiani (109501000001) Jurusan Komunikasi Penyiatan Islam, Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Analisis Narasi Pertentangan Feminisme dalam Novel Ratu yang
Bersujud”.
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ika Istiani, yakni dengan menggunakan teori yang sama
yaitu feminisme dan membahas isu tentang perempuan. Perbedaan
penelitian Ika Istiani dengan penelitian penulis adalah teknik analisis
yang digunakan berbeda walau sama-sama narasi, dan penelitiannya
fokus pada pertentangan feminisme yang dikontruksi dalam novel
tersebut..
2. Ahmad Zainuddin Syah (1112051000089) Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. “Analisis Semiotika Naratif Pesan Politik
Doa H.R. Muhammad Syafi’i dalam Rapat Paripurna Pembukaan
Masa Persidangan I DPR RI 2016-2017”.
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad Zainuddin Syah, yakni meneliti dengan
menggunakan metode analisis naratif A.J Greimas. Perbedaan penelitian
Ahmad Zainuddin Syah dengan penelitian penulis yaitu fokus penelitian
13
yang dilakukannya adalah peran dan aktan dalam doa H.R. Muhammad
Syafi’i, narasi pesan politik yang disampaikan lewat doa, dan ideologi
yang ada dalam doa tersebut.
3. La Ode Chusnul Huluk (10951000058) Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. “Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan
Pesan Dakwah dalam Baris 332-383”
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh La Ode Chusnul Huluk, yakni meneliti dengan
menggunakan metode analisis naratif A.J. Greimas. Perbedaan penelitian
La Ode Chusnul Huluk dengan penelitian penulis yaitu fokus penelitian
yang dilakukannya adalah narasi aktan pada kitab Bula Malino dan
pesan-pesan dakwah yang disampaikan pada kitab tersebut.
4. Virgina Putri Mahardika (D1214078) Jurusan ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. “Representasi
Sikap Nrimo Perempuan Jawa dalam Film Siti”
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Virgina Putri Mahardika, yakni sama-sama meneliti film
Siti. Perbedaannya adalah fokus penelitian Virginia Mahardika pada
analis sikap Nrimo perempuan Jawa dalam Film Siti berdasarkan realitas
sosial dengan menggunakan semiotika Pierce.
5. Kurniawan Andre Prasetyo (20120530153) Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah
14
Yogyakarta. “Representasi Perempuan Jawa Pesisir dalam Film Siti
(Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Film Siti)”
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kurniawan Andre Prasetyo, yakni sama-sama meneliti
film Siti dan menggunakan metode semiotika Roland Barthes.
Perbedaannya adalah fokus penelitian Kurniawan Andre Prasetyo
membahas bahwa perempuan pesisir Jawa identik dengan masyarakat
kalangan bawah dan memiliki peran ganda.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis mengelompokkan
pembahasan ke dalam bab-bab, diantaranya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya
penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian (paradigma penelitian, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan
data, teknik analisis data), tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini berisi pemahaman umum tentang representasi, konsep
gender, feminisme, analisis narasi struktural aktansial A.J Greimas dan film
sebagai media komunikasi massa.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM SITI
Pada bab ini membahas sekilas tentang film Siti, sinopsis film Siti, profil
sutradara serta penulis dan produser film Siti.
15
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menggambarkan hasil temuan dan analisis teks dan
gambar dalam fim Siti. Untuk mengetahuinya, diperlukan empat tahapan
yaitu menetukan tokoh menentukan bentuk percakapan dan menentukan yang
representatif beban ganda, menentukan materealisasi objek, dan melakukan
interpretasi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan akhir atau penutup bagian skripsi ini, yang berisi
kesimpulan atas rumusan masalah penelitian serta diikuti dengan saran-saran
dari penulis.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Gender
Gender merupakan kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara
kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Teori feminis kontemporer
sangat berhati-hati dalam membedakan antara jenis kelamin
(sex) dan gender.13
Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan
gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami
persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang terjadi pada perempuan.14
Seks
membedakan manusia laki-laki dengan perempuan secara biologis, sebagai
kodrat ilahi, sedangkan gender membedakan laki-laki (maskulin) dan
perempuan (feminin) secara sosial, mengacu pada unsur emosional, kejiwaan,
bukan kodrat, tetapi sebagai proses belajar.15
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan
kata sex atau jenis kelamin. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis
yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa jenis laki-laki
adalah jeni manusia yang memiliki atau bersifat seperti laki-laki adalah
manusia yang memiliki penis, memiliki jakun dan memproduksi sperma.
Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat
untuk menyusui. Artinya secara biologis dan secara permanen alat-alat
13
Maggie Humm, Ensilokpedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2007), h. 177. 14
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:
INSISTPress, 2008), h. 8 15
Maggie Humm, Ensilokpedia Feminisme, h. 177-178.
17
tersebut tidak bisa berubah dan dipertukarkan karena itu merupakan ketentuan
Tuhan atau kodrat.16
Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender, yang menjadi
masalah adalah kerancuan dan pemutarbalikkan makna tentang apa yang
disebut dengan seks dan gender. Pemahaman masyarakat tentang gender saat
ini telah dianggap sebagai sebuah kodrat Tuhan yang berarti tidak bisa diubah
lagi. Hal in karena proses sosialisasi dan konstruksi mengenai persoalan
gender telah berlangsung mapa, lama, dan terpola. Misalnya seperti mendidik
anak, merawat, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga atau
urusan domestik sering dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal, laki-laki
juga bisa melakukan pekerjaan tersebut. Oleh karenanya, selama jenis
pekerjaan tersebut masih bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal,
seperti dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga,
itu disebut sebagai gender.17
Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial, maupun kultural.
Misalnya, bahwa perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap dengan kuat, rasional,
jantan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang
dipertukarkan atau dalam hal lain ada laki-laki yang lemah lembut,
emosional, dan keibuan, semetara juga ada perempuan yang rasional, kuat,
dan perkasa. Dari hal tersebut bisa dikatan bahwa konsep gender antara sifat
16
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. V;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 7-8. 17
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 10-11.
18
perempuan dan laki-laki bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya.
Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh
banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksi secara sosial atau nkultural melalui ajaran keagamaan atau
negara. Sehingga hal tersebut dianggap menjadi ketentuan tuhan yang seolah-
olah tidak dapat diubah lagi dan perbedaan-perbedaan gender tersebut
dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.18
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi suatu masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,
baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Berikut
lima ketidakadilan gender:19
1. Marginalisasi
Marginalisasi seringkali dimaknai sebagai peminggiran perempuan
dari akses ekonomi dan pendidikan. Peminggiran akses pendidikan
terhadap perempuan pada gilirannya nanti akan berimplikasi pada
pemiskinan perempuan di masa depan. Perempuan yang tidak sekolah,
maka mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan akhirnya
sulit untuk memperoleh pendapatan yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sementara itu di sektor ekonomi,
marginalisasi ekonomi terjadi pada proses peminggiran akibat perbedaan
18
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 7-8. 19
Ida Rosyidan dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-agama, (Banten:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 25-27.
19
jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan dan penyebabnya dapat
muncul oleh berbagai kejadian, salah satunya kebijakan pembangunan.
Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir
keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang
tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris
atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah laki-laki. Seorang
perempuan yang melakukan pekerjaan domestik, tidak dianggap bekerja
karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap
tidak produktif secara ekonomis. Namun, perempuan yang bekerja di
sektor publik juga mengalami marginalisasi baik dari pendapatan,
maupun promosi jabatan. Dari sisi pendapatan, penghasilan perempuan
hanya dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja. Penghasilan
suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal perempuan lebih
sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada laki-laki. Dan dari
sisi karir, kehadiran perempuan kurang diperhintungkan untuk
menduduki posisi strategis.
2. Subordinasi
Subordinasi merupakan diskriminasi perempuan dalam kekuasaan
dan pengambilan keputusan. Diskriminasi ini menyebabkan perempuan
dipandang the second sex dan berada di bawah dominasi laki-laki.
Perempuan juga tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) baik
dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Persepsi keliru
tentang perempuan seperti perempuan lemah atau ada di bawah laki-laki
juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak
20
permulaaan lahirnya filsafat di dunia barat. Teori ini sudah menjadi
kodrat wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung
kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.
3. Streotipe
Streotipe pada gender adalah pelabelan negatif terhadap jenis
kelamin tertentu umumnya pada perempuan. Streotipe umumnya
dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan
sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok
atas kelompok lainnya. Stereotipe juga menunjukan adanya relasi
kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk
menaklukan atau menguasai pihak lain.
4. Kekerasan
Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya
erjadi pada perempuan yang disebabkan perbedaan gender. Kekerasan
mulai dari fisik (pemerkosaan, maupun pembunuhan) sampai kepada
kekerasan yang lebih halus (pelecehan seksual dan penciptaan
ketergantungan).
5. Beban Ganda atau Beban Kerja
Beban ganda (double burden) beban pekerjaan yang diterima salah
satu jenis kelamin lebih banyak dibandingakan jenis kelamin lainnya
dalam hal ini ialah perempuan. Peran perempuan yang mengelola rumah
tangga, maka perempuan banyak menanggung beban domestik lebih
banyak dan lama. Perempuan bertugas menjaga dan memelihara kerapian
dan pemeliharaan dalam rumah tangga. Sosialisasi peran gender tersebut
21
menyebabkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak melaksanakannya.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak merasa itu tanggung jawabnya, atau
bahkan ada tradisi yang melarang laki-laki untuk terjun pada sektor
domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat terlebih bagi
kauum perempuan yang bekerja di luar rumah. Perempuan yang bekerja
di luar juga masih dituntut bertanggung jawab akan keseluruhan
pekerjaan domestik.
B. Teori Feminisme
1. Pengertian Feminisme
Feminisme mulai muncul di Eropa pada saat terjadi revolusi Perancis
di Abak ke-XVIII, kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan ke
negara-negara di seluruh dunia. Kaum Sejarawan umunya mengatakan
bahwa Gerakan Revolusi ini menandakan awalnya Era Reinasance yang
turut serta memberikan pengaruh dalam membidani gerakan feminis.
Feminisme mulai menyebar ke berbagai negara di dunia menjelang abad
ke 19. Feminisme lahir sebagai gerakan atas respon akan pemasungan
hak-hak kebebasan perempuan yang bersumber dari paham
fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap
kaum perempuan.20
Fenomena bias gender yang terjadi ditengah masyarakat menjadi
motivasi dan stimulus utama untuk berkembangnya paham feminisme
didunia masyarakat modern. Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan
sekaligus pendekatan yang berusaha merombak struktur yang ada karena
20
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 41-42.
22
dianggap telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Pendekatan feminisme berusaha merombak cara pandang kita terhadap
terhadap dunia dan berbagai aspek kehidupannya.21
Isu-isu yang diperjuangkan dikalangan feminisme adalah
ketimpangan gender, peran gender, identitas gender, dan seksualitas.
Selain itu, hak-hak perempuan seperti hak dalam bidang pendidikan,
politik, ekonomi, kesehatan, terutama kesehatan reproduksi,
perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan, traficking, dan lain-
lain juga menjadi isu yang secara masif disuarakan oleh feminis. Gerakan
feminisme identik dengan gerakan pembebasan perempuan yang
bersinggungan dengan beragam isu, seperti rasisme, streotipe, seksisme,
dan penidasan perempuan.22
Secara etimologis, feminisme berasal dari bahasa latin yaitu femina
yang artinya seseorang yang memiliki sifat kewanitaan23
. Dalam bahasa
inggris diterjemahkan menjadi femenine, yang artinya memiliki sifat
seperti perempuan. Kemudian kata tersebutkan ditambahkan “ism”
menjadi Feminism yang berarti hal ikhwal tentang perempuan atau
paham mengenai perempuan.
Secara istilah, Lisa Tuttle mendefinisikan feminisme sebagai
advokasi mengenai hak-hak perempuan yang didasarkan sebuah
kepercayaan mengenai persamaan seksis dan itu merujuk kepada
21
Rian Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 61-62 22
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 42. 23
Euis Amalia. Dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita
Syarif Hidayatullah, 2003), h. 86.
23
siapapun yang sadar untuk mengakhiri adanya subordinasi terhadap
perempuan dengan cara apa pun dan alasan apa pun.24
Di lain sisi, Magie
dan Humm memaknai feminisme sebagai sebuah ideologi yang
membebaskan perempuan karena semua pendekatannya terkait dengan
ketidakadilan yang dialami perempuan berdasarkan jenis kelaminnya
sebagai perempuan. Kamla Basin berpendapat feminisme ialah suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat baik di tempat kerja maupun di dalam keluarga, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut.25
Tiga konsep utama yang dapat ditarik dari feminisme yang
dijelaskan di atas yaitu (1) kesadaran adanya penindasan, eksploitasi,
marginalisasi, subordinasi, dan lain-lain baik yang berbentuk manifes dan
laten; (2) ranah penindasan bisa berlokasi di dalam keluarga, di tempat
kerja, di masyarakat termasuk di lingkungan tempat peribadatan, dan
lain-lain; (3) adanya keinginan dan tindakan secara sadar yang dilakukan
aktor untuk melakukan perubahan terhadap situasi yang tidak
menguntungkan.26
Mansour Faqih mendefinisikan feminisme adalah suatu gerakan dan
kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan
mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi
24
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 43. 25
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 43-44. 26
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 44.
24
tersebut.27
Ratna Megawangi berpendapat bahwa feminisme merupakan
penolakan ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak
sejarah, dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki.28
Dari
berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan
suatu pemikiran dan gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan
kaumnya dari belenggu gender yang bersumber pada budaya patriarki
untuk medapat persamaan hak dalam segala bidang.
Selain dilihat sebagai gerakan atau doktrin, feminis juga dapat dilihat
dari sisi teoritis yaitu sebagai sebuah generalisasi dari berbagai sistem
dan gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang
dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Bahkan
lebih jauh feminisme dinilai sebagai ideologi, berbeda dari konsepsi
gender yang lebih bersifat wacana. Gagasan ini mengilustrasikan
feminisme sebagai konsep perlawanan, anti dan bebas penindasan,
dominasi, hegemoni, ketidakadilan, praktik kekerasan.
Ketidakadilan gender akibat dominasi dan hegemoni patriarki yang
berimplikasi pada pemasungan hak-hak kaum perempuan yang tertindas
menjadi sorotan utama gerakan kaum feminis melalui model pendekatan
mata, hati dan tindakan. Ketidakadilan itu ditemukan melalui cara
menyadari, melihat dan mengalami adanya penindasan, hegemoni,
diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan sekaligus
27
Mansour Faqih, dkk, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan dari
Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,
(Surabaya:Risalah Gusti, 2003), h. 67. 28
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 45.
25
mempertanyakan, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah
keadaan tersebut.29
Patriarki sendiri adalah struktur yang menempatkan peran laki-laki
sebagai penguasa tunggal
Tujuan utama feminisme adalah membongkar relasi kuasa yang
tidak seimbang (unequal). Secara umum gerakan feminis berakar pada
prinsip pengalaman kaum perempuan dalam dunia patriarki, suatu
kondisi sosial dan budaya yang tidak berpihak pada perempuan sebagai
subjek utuh. Oleh karena itu, gerakan feminis berupaya mengubah
tatanan sosial baru dan relasi kuasa yang lebih seimbang sehingga
perempuan menjadi otonom dalam membuat keputusan. Hal yang
menarik dengan feminisme adalah bahwa ia ternyata dapat membebaskan
peran laki-laki di sektor publik yang selama ini dijalaninya. Dalam arti
dengan hadirnya feminisme, laki-laki pun akan berperan di sektor
domestik.
2. Jenis-jenis Feminisme
Dengan berjalannya waktu, banyak gerakan yang muncul dengan
mengatasnamakan akan kepedulian terhadap perempuan dari dominasi
laki-laki. Hal tersebut dikenal dengan aliran-aliran feminisme. Teori
feminis juga beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “a persuasive
category for un derstanding human experience”. Gender merupakan
konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan
29
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 44-45.
26
cenderung opresif terhadap wanita. Dalam feminisme terdapat beberapa
jenis teori feminis (Rosemary Putnam Tong: 2010):
1) Teori Feminisme Liberal
Teori ini mengenai kebebasan individu perempuan. Teori ini
merupakan salah satu dari arus utama teori sosial dan politik feminis
dan mempunyai sejarah dalam jangka waktu yang paling lama. Para
pemikir feminis liberal, termasuk diantaranya Mary Wollstonecraft,
John Stuart Mill, Harriet Taylor, dan Betty Friedan.
Dasar pemikiran kelompok ini adalah sesama manusia, laki-laki
dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak
terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Secara ontologis
keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi
hak perempuan. Walau dikatakan feminisme liberal, namun
kelompok ini tetap menolak persamaan secara penyeluruh terutama
pada sistem reproduksi karena organ reproduksi bukanlah
penghambat peran-peran yang ada dalam struktur masyarakat.
Isu yang diperjuangkan femisme liberal adalah kesempatan dan
perlakuan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai
aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi (upah), hukum, politik
(hak suara), dan lain-lain. Perjuangan feminisme liberal acapkali
dilakukan melalui kerjasama dengan laki-laki untuk mencapai
kesetaraan dalam sistem yang sudah ada.30
30
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 27
27
Secara garis besar tujuan keseluruhan dari feminisme liberal
adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang saling mengasihi
dimana terdapat kebebasan yang dirasakan oleh semua orang, karena
hanya dalam masyarakat yang seperti itu laki-laki dan perempuan
dapat hidup makmur dan sejahtera.
2) Teori Feminisme Radikal
Feminisme radikal muncul karena ketidakpuasan terhadap ide-
ide dan agenda-agenda perjuangan feminisme liberal. Feminisme
radikal beranggapan bahwa seluruh perempuan di dunia ini ditindas
oleh sistem patriarki. Penindasan perempuan berasal dari
penempatan terhadap perempuan ke dalam kelas inferior
dibandingkan dengan kelas “laki-laki” dengan menggunakan basis
gender. Feminisme ini beraliran radikal karena ia memfokuskan pada
akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penidasan
adalah perpanjangan dan supremasi laki-laki.
Feminisme radikal ini merupakan reaksi karena muncul
anggapan bahwa keadaan biologis perempuan yang berbeda dari
laki-laki adalah kehendak alam dan tidak dapat diubah, merupakan
takdir atau kodrat. Feminisme radikal berpendapat bahwa
keteratuaran alamiah tidak perlu dipertahankan karena hal itu hanya
akan menghambat kemajuan perempuan. Dikatakan bahwa
feminisme radikal adalah feminisme lesbian karena menolak institusi
keluarga yang berbalik dengan feminisme liberal yang mendukung
adanya institusi keluarga. Permasalahan ini pada akhirnya
28
memunculkan dualitas antagonis yakni maskulinitas dan feminitas.31
Feminisme radikal menyatakan bahwa patriarki adalah karateristik
yang ada dalam masyarakat kita, dimana sentral dan aliran ini adalah
keyakinan bahwa keterpusatan pada perempuan bisa menjadi basis
masyarakat di masa depan.
3) Teori Feminisme Marxis
Feminisme marxis meletakan kerangka pikirnya dalam relasi
ekonomi yang menekankan pada latar historis sebagai akar
penindasan perempuan. Gagasan Marx tentang dialektika
materealistik yang mengategorikan masyarakat ke dalam kelas
borjuis dan ploretariat menggambarkan faktor dominasi dan alienasi
terhadap relasi keduanya. Pertentangan kelas tersebut kemudian
diadopsi dalam struktur relasi laki-laki dan perempuan dimana
perempuan sebagai objek dominatif dan eksploitatif.
Argumuen dasar dari feminiseme marxis adalah bahwa kaum
laki-laki diyakini sebagai aktor borjuasi yang menguasi sektor
ekonomi yang mengakibatkan perempuan mengalami
ketergantungan secara total dan membentuk relasi yang tidak
setara.32
Feminisme Marxis berpendapat ketertinggalan yang dialami
oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu yang
disengaja, tetapi akibat struktur sosial, politik, dan ekonomi yang
erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Hal ini berbanding terbalik
31
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 62. 32
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 67.
29
dengan feminis sosialis yang lebih menekankan pada penindasan
gender disamping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari
penindasan terhadap perempuan.
Dalam sistem kapitalisme bagi kaum Marxis adalah sebuah
sistem hubungan kekuasaan yang bersifat eksploitatif, pekerjaan
laki-laki memproduksi barang dikategorikan sebagai pekerjaan
produktif dan perempuan hanya memproduksi barang yang bernilai
guna sederhana (simple use value). Feminis Marxis menuntut agar
perempuan diberi kesempatan untuk berperan dalam kegiatan
ekonomi. Bagaimana mengeluarkan perempuan dari
ketertindasannya ialah dengan memberika upah atas pekerjaan
rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dengan alasan bahwa
pekerjaan rumah tangga itu produktif.
4) Teori Feminisme Sosialis
Femisme Sosialis muncul sebagai respon terhadap feminisme
marxis yang dianggap sex blind (buta seks), karena terlalu
menekankan kepada sistem kapitalisme sebagai penyebab utama
ketimpangan gender dan mengabaikan sistem patriaki sebagai faktor
penyebab utamanya. Feminisme sosialis tidak hanya melihat sistem
hubungan produksi atau kapialisme tetapi juga sistem patriarki yang
mengakar di masyarakat yang turut menjembatani praktik opresi
tersebut. Feminisme ini berkeyakinan tindakan opresi bukan sebagai
faktor kesengajaan yang dilakukan oleh masing-masing individu
30
melainkan dipengaruhi atau dipaksa oleh realitas eksternal seperti
struktur politik, sosial, dan ekonomi.33
Isu utama dalam feminisme sosialis adalah merujuk pada relasi
hubungan kerja domestik dan kerja publik yang pada umumnya
mendapat upah, atau antara keluarga dan dunia kerja. Kerja domestik
perempuan telah membatasi perempuan untuk meningkatkan skill
dan pendidikannya bahkan tugas perempuan di sektorr domestik
lebih banyak menyita waktu yang seharusnya mereka bisa
manfaatkan untuk melakukan aktifitas ekonomi. Dan melalui budaya
patriarki peran perempuan di ranah domestik terus dilanggengkan
dengan menekan isu feminitas. Dan peran perempuan di ranah
publik dianggap rendah dikarenakan adanya pandangan seksis dan
streotipe “kerja perempuan” yang dinilai lebih rendah dari kerja laki-
laki.34
Isu yang diperjuangkan feminisme sosialis diantaranya yaitu (1)
penolakan pada kapitalisme dunia yang tidak hanya menyebabkan
ketimpangan negara maju dan terbelakang, tetapi juga menyebabkan
feminisasi of poverty pada banyak kalangan perempuan, terutama
perempuan di negara-negara berkembang; (2) Feminisme ini
menuntut penerapan sistem ekonomi yang lebih setara dan adil
melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemerataan
sistem ekonomi/modal/kreasi; (3) Isu-isu terkait prostitusi,
33
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 71. 34
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 74.
31
perdagangan dan komersialisasi tubuh perempuan seharusnya
menjadi isu-isu prioritas yang harus diperjuangkan oleh negara dan
masyarakat pada umumnya.35
Dari berbagai penjelasan jenis-jenis feminisme di atas, Islam
memiliki perspektif sendiri mengenai feminisme. Feminisme dalam
Islam tentu saja tidak menyetujui setiap konsep atau pandangan feminis
yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki
sebagai lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya
untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dengan laki-laki
yang terabaikan di kalangan tradisional konservatif, yang menganggap
perempuan sebagai subordinat laki-laki.36
Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang disebut
Riffat Hassan sebagai “Islam pasca-patriarki”, yang tidak lain adalah
dalam bahasa Riffat sendiri “Islam Qur’ani” yang sangat memperhatikan
pembebasan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan
tradisionalisme, otoritarianisme (agama, politik, ekonomi atau yang
lainnya), tribalisme, rasisme, seksisme, perbudakan atau yang lain-lain
yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi Qur’ani, tentang
tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan klasik kepada
Allah lah mereka kembali.37
35
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2013), h. 74. 36
Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.
24. 37
Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.
24-25.
32
Jalaluddin Rakhmat berpendapat mengenai kesimpulan berbagai
gerakan dan visi feminisme yaitu “Walhasil, Islam sangat memuliakan
perempuan. Orang Islam harus berjuang memuliakan mereka. Bila
keadaan perempuan sekarang ini belum mulia, maka kaum muslim wajib
mengubah masyarakat sehingga posisi mereka menjadi mulia. Jadi
sampai disini orang Islam boleh dikatakan feminis.”38
Yvonne Yazbeck Haddad yang menegaskan bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan
gender dalam sejarah panjang umat manusia. Diantara kebudayaan dan
peradaban dunia yang hidup pada masa turunannya Al-Qur’an, seperti
Yahudi, Romawi, Cina, India, Persia, Kristen, dan Arab pra Islam, tidak
satu pun yang menempatkan perempuan lebih bermartabat dan lebih
terhormat daripada nila-nilai yang diperkenalkan oleh Al-Qur’an.39
38
Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.
26-27. 39
Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012,
h. 27.
33
C. Analisis Naratif
1. Pengertian Narasi
Menurut Gerald Ganette, narasi adalah representasi dari sebuah
peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa. Sedangkan menurut Gerald
Prince narasi adalah representasi dari satu atau lebih peristiwa nyata atau
fiktif yang dikomunikasikan oleh satu, dua atau beberapa narator untuk
satu, dua atau beberapa naratee.
Dari defenisi narasi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,
terdapat kesimpulan bahwa narasi adalah representasi dari peristiwa-
peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa. Narasi yang berasal
dari kata Latin narre, yang artinya “membuat tahu.” Dengan demikian,
narasi berkaitan dengan upaya memberitahu sesuatu atau peristiwa.
Sebuah teks baru bisa disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa
peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa.40
Narasi yang mengisahkan peristiwa maka perbuatan atau tindakan
menjadi unsur penting dalam sebuah narasi. Esensi dari narasi adalah
plot, karakter, dan setting. Plot pada dasarnya adalah apa yang
diceritakan oleh narasi itu sendiri, ini adalah “makro referen” dimana
narasi sebagai teks menarik perhatian. Karakter mengacu pada orang atau
makhluk lainnya yang diceritakan oleh kisah tersebut. Tiap-tiap karakter
merupakan sebuah tanda yang mewakili suatu jenis kepribadian,
pahlawan, pengecut, pecinta, teman dan lainnya. Setting adalah lokasi
dan waktu plot terjadi. Yang bercerita dalam kisah itu disebut narator.
40
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis
Teks Berita Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 1-2.
34
Narator bisa saja karakter dalam narasi, penulis teks, orang atau entitas
lainnya.41
Sebuah teks dapat dikategorikan sebagai narasi apabila memiliki
ciri-ciri sebagai berikut, yaitu42
: a. Adanya rangkaian peristiwa, sebuah
narasi terdiri atas dua atau lebih peristiwa dimana peristiwa satu dan yang
lainnya dirangkai. b. Rangkaian (sekunsial), pristiwa tersebut tidaklah
rundown (acak) tetapi mengikuti logika tertentu sehingga peristiwa
berkaiatan secara logis.
Secara umum, analisis naratif mengharuskan kita mengungkap
struktur benda-benda kultural. Menaruh perhatian pada narasi
mensyaratkan kita tidak “terseret” oleh kisah tersebut, tetapi tetap tidak
menolak sikap untuk mempercayainya. Kita menginterupsi kisah guna
menganalisis dan menyelidikinya. Sebuah kisah yang baik selalu
menyembunyikan mekanismenya sehingga jangan sampai teks membuat
kita lupa bahwa yang kita hadapi adalah sebuah narasi. Dalam analisis,
kita perlu mengadopsi satu jarak kritis agar dapat memahami lebih baik
bagaimana sebuah kisah dibangun.43
Analisis naratif membantu memahami bagaimana pengetahuan,
makna dan nilai diproduksi dan disebarkan di masyarakat. Memahami
bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu
yang dapat membantu mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang
41
Marcel Denasi, Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 164. 42
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1997), h. 2. 43
Jane Stokes, How to media and Cultural Studies: Panduan untuk
Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang
Pustaka, 2007), h. 73.
35
dominan dalam masyarakat. Banyak cerita (seperti narasi sejarah) lebih
merepresntasikan kekuatan dominan, kelompok berkuasa yang ada dalam
masyarakat.Versi cerita dalam kelompok berkuasa lebih terlihat dalam
narasi dibandingkan kelompok yang tidak berkuasa. Karena itu, lewat
analisis naratif bisa mengetahui kekuatan-kekuatan sosial dan politik
yang berkuasa dan bagaimana kekuasaan tersebut bekerja.44
Secara sederhana analisis naratif adalah analisis mengenai narasi
yang terdapat pada sebuah cerita, baik cerita fiksi maupun nonfiksi.
Analisis naratif melihat teks dalam bentuk sebuah cerita yang dibangun
oleh beberapa unsur cerita yaitu, plot, setting, tokoh,sudut penggambaran
dan karakter. Analisis naratif menempatkan narasi sebagai kajian pokok,
dimana setiap unsur yang terkandung dalam narasi menjadi objek
kajiannya.
2. Analisis Naratif Aktansial Struktural
Struktur naratif A.J Greimas dibangun dengan asumsi dasar bahwa
teks naratif tersusun dari analogi-analogi diadik struktural dalam
linguistik yang bersumber dari Ferdinand de Saussure di satu sisi, serta
teori naratif dongeng Vladimir Propp di sisi lain. Naratif Greimas fokus
kepada relasi dan fungsi aktan.45
Aktan adalah sesuatu yang abstrak, tentang cinta, kebebasan atau
sekelompok tokoh. Aktan adalah satuan naratif terkecil yang dikaitkan
dengan satuan sintaksis naratif. Aktan berarti unsur sintaksis yang
44
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis
Teks Berita Media, h. 10. 45
Kukuh Yudha Karnanta, Struktural (Dan) Semantik: Teropong Struktualisme
dan Aplikasi Teori Naratif A.J Greimas, (Surabaya: Universitas Airlangga, Vol 18, No 2
edisi Desember 2015), h. 175.
36
memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sedangkan fungsi adalah satuan dasar
cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang membentuk
narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur cerita
energi terpenting yang menggerakkan cerita, sehingga menjadi
penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan,
komplikasi dan penyelesaian.46
Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut oleh
Greimas sebagai aktan dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan
jalannya cerita. Analisis Greimas kerap juga disebut sebagai model
aktan.47
Aktan yang dikembangkan Greimas merupakan pendekatan pada
alur cerita. Aktan adalah figur-figur yang berperan dalam satu peristiwa,
dan aktan dapat menduduki fungsi ganda bergantung pada siapa yang
menduduki fungsi subjek. Berikut struktur aktan pada analisis naratif
sktasial struktural Greimas:
Gambar 2.1 Kerangka Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas
46
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 139. 47
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisi Teks
Berita Media, h. 96.
37
Keenam aktan diatas menempati posisi dan fungsinya masing-
masing. Pertama, subjek. Subjek menduduki peran utama sebuah cerita,
tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita dan memiliki porsi
terbesar dalam cerita. Kedua Objek, objek merupakan tujuan dan
keinginan yang dicapai subjek. Ketiga, pengirim (Adjuvant) adalah
penentu arah atau penggerak cerita yang memberikan ide atau aturan-
aturan dalam narasi dan pada umumnya tidak bergerak secara langsung.
Keempat, penerima (Receiver) adalah aktan yang berfungsi sebagai
pembawa nilai dari pengirim yang mengacu pada objek tempat dimana
pengirim menempatkan nilai. Kelima, pendukung (Adjuvant) adalah
aktan yang berfungsi mendukung subjek dalam upayanya mencapai
objek. Keenam, penghalang (Traitor) aktan yangberfungsi menghambat
subjek dalam mencapai tujuan.48
D. Film Sebagai Media Komunikasi Massa dan Representasi
Kehadiran media massa tidak dapat dipandang dengan sebelah mata
dalam proses pemberian makna terhadap realitas sosial, salah satunya melalui
media film. Produk-produk media telah berhasil memberikan dan membentuk
realitas lain yang dihadirkan di masyarakat, yaitu realitas simbolik, yang
celakanya banyak diterima mentah-mentah oleh masyarakat sebagai bentuk
kebenaran. Film sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang
sangat besar. Perkembangan film di Indonesia sendiri mengalami pasang
48
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisi Teks
Berita Media h, 96.
38
surut yang sangat berarti, namun media film di Indonesia tercatat mampu
memberikan efek signifikan dalam penyampain pesan.49
Film sebagai media komunikasi massa memiliki fungsi untuk dapat
menyampaikan pesan informasi, edukasi, dan hiburan melalui cerita dan
gambaran yang disajikan kepada khalayak (penonton). Film memiliki daya
tarik berbeda dari media komunikasi massa lain karena media massa tak
memiliki esensi hiburan semata, tetapi juga dapat mempengaruhi imajinasi
khalayak. Tidak jauh berbeda dengan berita, novel, dan jenis media
komunikasi massa lainnya, film juga memiliki kepentingan ekonomi-politik
yang mana memiliki kepentingan dan kekuasaan dalam menentukan arah
cerita film tersebut.
Film menjadi alat representasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang
lebih tua, menawarkan cerita, drama, humor, panggung, musik, dan trik teknis
bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang
sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam
jumlah yang besar dan cepat. Fenomena perkembangan film yang begitu
cepat dan tidak terprediksikan, membuat film kini disadari sebagai fenomena
budaya yang progresif. Pencirian film sebagai bisnis pertunjukan dalam
bentuk baru bagi pasar yang meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Elemen
penting lain dalam sejarah film adalah penggunaan film untuk propaganda
sangatlah signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau
49
Rivers dan Peterson, Media Massa & Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana,
2008), h. 252.
39
kebangsaan, berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak
emosional, dan popularitas.50
John Fiske berpendapat saat menampilkan suatu objek peristiwa,
gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang
dihadapi, yaitu sebagai berikut:51
1. Realitas
Pada level pertama adalah peristiwa yang ditandakan sebagai realitas.
Bagaimana peristiwa dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Biasanya
berkaitan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan
ekspresi. Pada hal ini, realitas diartikan sebagai realitas.
2. Representasi
Pada level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai realitas,
pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Di sini
menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa gambar, alat teknis
tersebut berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian
kata-kata, kalimat, atau preposisi tertentu yang membawa makna tertentu
ketika diterima khalayak.
3. Ideologi
Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam
konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode
representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial
50
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Salemba Humanika,
2011), h. 35. 51
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: Lkis,
2001), h. 114.
40
seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam
masyarakat.
Representasi sendiri memiliki makna penggambaran. Secara sederhana
dapat diartikan sebagai penggambaran mengenai suatu hal atau fenomena
yang terjadi di masyarakat yang digambarkan melalui media. Dalam film,
memiliki pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat film.
Film berupaya menggambarkan suatu hal atau realitas sosial yang terjadi di
masyarakat. Hal tersebutlah yang dinamakan representasi dimana media film
melalui adegan, percakapan, dan lainnya dapat menyampaikan suatu nilai
atau ideologi tertentu kepada masyarakat.
Sebagai media komunikasi massa yang menyajikan konstruksi dan
representasi sosial yang ada di dalam masyarakat, film memiliki beberapa
fungsi komunikasi diantaranya: Pertama, sebagai sarana hiburan yaitu
memberikan hiburan kepada khalayaknya dengan isi cerita film, geraknya,
keindahannya, suara, dan lain sebagainya agar penonton mendapat kepuasan
secara psikologis. Kedua, sebagai penerangan yaitu memberikan penjelasan
atau paham tentang apa yang disampaikan oleh film. Ketiga, sebagai
propaganda yaitu untuk mempengaruhi khalayak atau penontonnya agar
mereka mau menerima atau menolak pesan yang sesuai dengan keinginan
pembuat film.
41
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM SITI
A. Gambaran Umum Film Siti
Siti adalah film independen Indonesia yang disutradarai oleh Eddie
cahyono, yang merupakan salah satu pendiri Four Colours Film, dan salah
satu rumah produksi perfilman indie di Indonesia. Film drama ini
mengisahkan tentang sosok Siti seorang perempuan penjual peyek jingkrik di
pantai parangtritis dan juga seorang pemandu karoeke di malah hari.
Pekerjaan Siti tersebut dilakukan setelah suaminya lumpuh akibat kecelakaan
kapal yang menegelamkan kapalnyayang dialaminya saat mencari nafkah.
Sebagai film independen, Siti tidak ditayangkan melalui bioskop berjaringan
di Indonesia. Film Siti justru pertama kali tayang di Jogja-Netpac Asian Film
Festival 2014.
Film Siti sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa. Film Siti juga
merupakan salah satu film low budget yang hanya menghabiskan sekitar 150
juta dalam proses produksinya. Film ini berdurasi 88 menit, dan Eddie
Cahyono, sang pembuat film menghabiskan waktu sekitar dua bulan untuk
membuat skrip film Siti. Eddie mendapat inspirasi membuat filmnya dari apa
yang ia lihat di kawasan pantai parangtritis.
Proses pengambilan gambar dilakukan dengan cepat, hanya
membutuhkan waktu enam hari. Lokasi syuting sendiri berada di kawasan
pantai Parangtritis, Yogyakarta. Penggunaan teknik sinematografi dengan
adegan panjang tanpa putus yang bergerak mengikuti pergerakan para
lakonnya sengaja dilakukan agar menonjolkan emosi berderak dari peran Siti.
42
Film ini mengangkat tema warna hitam dan putih serta rasio 4:3 agar lebih
mendekatkan kehidupan Siti dengan penontonnya, sekaligus menonjolkan
batasnya pilihan-pilihan hidup Siti. Berikut para pemain dari film Siti:
1) Sekar Sari sebagai Siti
2) Haydar Saliz sebagai Gatot
3) Ibnu Widodo sebagai Bagus
4) Bintang Timur Widodo sebagai Bagas
5) Titi Dibyo sebagai Darmi
6) Agus Lemu Radia sebagai Sarko
Berikut berbagai nominasi dan penghargaan yang di dapatkan oleh film Siti:
Penghargaan Tanggal Kategori Penerima Hasil
Singapore
International Film
Festival 2014
13
Desember
2014
Best Performance
for Silver Screen
Award
Sekar Sari Menang
"Asian New Talent
Award" Shanghai
International Film
Festival 2015
20 Juni
2015
Best Scriptwriter Eddie
Cahyono
Menang
Best
Cinematographer
Ujel
Bausad
Nominasi
17th Taiwan
International Film
Festival 2015
Juli 2015 International New
Talent Competition
Siti Nominasi
23rd Filmfest
Hamburg 2015
Oktober
2015
NDR Young Talent
Award
Siti Nominasi
Apresiasi Film 24 Oktober Film Fiksi Panjang Siti Menang
43
Indonesia 2015 2015 Terbaik
Poster Film Terbaik Siti Menang
19th Toronto Reel
Asian International
Film Festival 2015
8
November
2015
Honourable Feature
Mention
Siti Menang
9th Warsaw Five
Flavours Film
Festival 2015
20
November
2015
Special Mention Siti Menang
Festival Film
Indonesia 2015
23
November
2015
Film Terbaik Siti Menang
Penulis Skenario
Asli Terbaik
Eddie
Cahyono
Menang
Penata Musik
Terbaik
Krisna
Purna
Menang
Sutradara Terbaik Eddie
Cahyono
Nominasi
Sinematografi
Terbaik
Ujel
Bausad
Nominasi
B. Sinopsis Film Siti
Siti, perempuan berusia 24 tahun. Dia adalah ibu rumah tangga muda
yang hidup bersama suaminya Bagus, ibu mertuanya Darmi, dan anak semata
wayangnya Bagas. Keluarga Siti adalah keluarga miskin yang tinggal di
pinggir pantai Parangtritis. Bagus berprofesi sebagai seorang nelayan yang
membeli perahu baru dengan cara berutang dan berharap dengan adanya
44
perahu baru dapat meningkatkan perekonomian mereka. Namun, nasib sial
menimpa keluarga Siti. Bagas mengalami kecelakaan saat melaut,
melenyapkan perahu serta membuat Bagus lumpuh dan tidak bisa mencari
nafkah dan tidak mampu melunasi utangnya.
Akibat kecelakaan itu, Siti dan Darmi bekerja sebagai
penjual peyek jingking untuk wisatawan di pantai Parangtritis. Di malam hari,
Siti juga bekerja menjadi pemandu karoeke di salah satu tempat karaoke
ilegal.
Kehidupan Siti mulai berubah ketika ia menjadi pemandu karoeke.
Bermula dari tempat karoeke di mana ia mencari nafkah digrebek dan ditutup.
Kemudian suaminya, Bagus yang tidak mau berbicara dan marah karena
profesi Siti yang menjadi pemandu karoeke milik Sarko. Siti terpaksa bekerja
pada malam hari sebagai pemandu karaoke demi melunasi utang milik Bagus.
Siti yang kesal akhirnya ikut bersama dengan Sarko dan beberapa karyawan
karaoke lainnya melakukan unjuk rasa di depan kantor polisi setempat.
Di sanalah Siti bertemu dengan Gatot, salah satu polisi tampan yang
ikut menjaga unjuk rasa. Siti dan Gatot mulai terlihat saling jatuh cinta dan
terlibat dalam hubungan gelap. Walau saat itu Siti merasa apa yang
dilakukannya adalah salah. Teman-teman sesama pemandu karaokenya mulai
membujuk Siti untuk segera meninggalkan Bagus dan menikah dengan Gatot
yang lebih mapan.
Siti menjadi semakin frustrasi ketika sang penagih utang kembali
datang pada suatu pagi dan memberikan tenggat waktu 3 hari bagi Siti untuk
melunasi utang suaminya sebesar lima juta rupiah. Dan apabila tidak dilunasi
45
dalam waktu tiga hari, perkara tersebut akan dilaporkan kepada kepolisian.
Sementara itu, Bagas menjadi malas belajar dan beberapa kali melawan
perintah Siti. Secara bersamaan, Sarko mengundang Siti untuk datang lagi ke
tempat karaoke, karena Sarko sedang berusaha menyogok polisi dengan
memberikan layanan karaoke gratis malam itu agar tempat karaokenya dapat
kembali dibuka. Siti dan teman-temannya bertugas menjadi pramuria,
menggoda para polisi, tidak terkecuali Gatot yang hadir malam itu. Di ruang
karaoke, Siti yang frustrasi berat merokok dan minum bir hingga mabuk. Siti
yang mulai tidak terkendali akhirnya mulai mendekati Gatot.
Siti yang terpojok dalam situasi menjadi galau dan melepaskan
frustrasinya dengan mendekam di dalam kamar mandi, ketika tiba-tiba Gatot
masuk ke dalam kamar mandi. Pada saat itu Gatot merasa, Siti bukanlah Siti
yang biasanya. Namun, setelah Gatot kembali menanyakan apakah Siti akan
menerima lamarannya, Siti diam seakan diamnya adalah jawaban
memutuskan untuk tetap bersama dengan Bagus sekalipun ia terbelit utang.
Gatot pun memberikan uang untuk membantu melunasi utangnya.
Siti yang mabuk berat hingga tidak mampu berdiri terpaksa pulang
sambil dipandu kedua temannya pada dini hari. Siti kemudian berjalan
tertatih-tatih menuju kamar suaminya untuk menunjukkan bahwa ia telah
membawa uang untuk melunasi utang, sekaligus menceritakan ada seseorang
yang mengajaknya menikah. Mendengar hal itu, Bagus hanya mengucapkan
"Pergi" dengan nada yang berat. Mendengar hal itu, Siti marah karena siti
berharap suaminya melarangnya dan tetap terus bersamanya seperti yang
diinginkan oleh Siti. Dan film diakhiri dengan adegan Siti pergi keluar rumah
46
dan berjalan menuju pantai saat subuh, terus berjalan menuju ombak lautan
dengan keadaan yang frustasi.
C. Profil Sutradara dan Penulis Naskah Film Siti
Eddie Cahyono lahir di Jogjakarta. Dia lulus dari Fakultas Seni Rekaman
Media, Universitas Seni Indonesia. Dia adalah salah satu anggota tim yang
mendirikan Fourcolours Film pada tahun 2001. Dia memulai karirnya dengan
membuat sebuah film pendek berjudul DI ANTARA MASA LALU DAN
MASA SEKARANG (Between Past dan Present) yang mendapatkan banyak
penghargaan, sebagai The Best Short Fiction Film di Festival Film
Independen. Pada tahun 2003, film pendek lainnya BEDJO VAN DERLAAK
meraih Film Pendek Terbaik di Festival Film Internasional Bali. Diikuti
JALAN SEPANJANG KENANGAN (Road Along Memories) yang meraih
penghargaan sebagai Film Terbaik di Festival Film Konfiden 2007.
Pada tahun 2010, ia membuat film panjang pertamanya yang berjudul
LET'S DANCE! Diikuti tahun 2014, dengan film keduanya, SITI. Film ini
memenangkan penghargaan Best Performance di Singapore International
Film Festival dan Best Scriptwriter Asian New Talents award di Shanghai
International Film Festival. SITI juga bermain di Festival Film Internasional
Rotterdam, Festival Film Udine Far East dan Festival Film Internasional
Taipei 2015. IMAH adalah proyek film panjangnya yang ketiga.
D. Profil Produser Film Siti
Ifa Isfansyah, lahir di Yogyakarta, 16 Desember 1979, umur 38 tahun..
Ifa adalah salah satu sineas di Indonesia. Ifa menyelesaikan studinya di
Jurusan Televisi Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 2007. Ifa
47
memulai karir di bioskop sebagai produser dan director dari beberapa film
pendek, diantaranya Be Quiet, Exam in Progress! (yang mengikuti ajang
kompetensi Tokyo ShortShort tahun 2006), dan Half Teaspoon (yang
mengikuti Grand Prize Hong Kong Independent Film Video Award &
Competion, IFFR tahun 2008)
Pada tahun 2001, ia memulai perusahaan Fourcolours Films dengan
pembuat film lokal lainnya. Mereka membangun perusahaan tersebut untuk
memproduksi dan mendukung pembuat film Indonesia. Dia juga dipilih oleh
Akademi Film Asia Busan pada tahun 2006 dan mendapat beasiswa di sana
yaitu di Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts, Korea. Ia kembali
ke Indonesia untuk mengarahkan film pertamanya, yaitu Garuda di Dadaku
tahun 2009, film tersebut mengalami kesuksesan komersial yang besar. Film
keduanya, The Dancer tahun 2011 dianugerahi Best Director and Best
Picture di Festival Film Indonesia. Sejak itu, beliau telah menghasilkan
karya-karya lainnya, seperti One Day When Rain Falls (IFFR 2013), SITI
(IFFR 2015), dan Co-Produced MASKED MONKEY (Ismail Fahmi LUBISH,
IFFR 2014). Ifa Isfansyah juga merupakan pendiri Festival Film Asia
JOGJA-NETPAC yang dimulai pada tahun 2006 dan pendiri JOGJA FILM
ACADEMY, yang didirikan pada tahun 2014.
48
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Menentukan Tokoh melalui Analisis Struktural Aktansial
Dalam film Siti, diperlukan analisis struktural aktansial untuk mengetahui
kisah sebagaimana diceritakan. Pelaku-pelaku berkembang, bertemu,
berjuang, dan bertarung. Dimana analisis struktur merupakan
pengorganisasian para pelaku dan peran-peran mereka. Berikut analisis
struktur aktansial film Siti berdasarkan model A. J. Greimas:
Gambar 4.1. Skema Analisis Struktural Aktansial Siti
PENGIRIM
1. Suami yang
lumpuh
2. Hutang
kapal yang
belum lunas
OBJEK
1. Bekerja untuk
mencukupi
kebutuhan dan
melunasi hutang
2. Mencari kesenangan
sesaat untuk
melepas beban
PENERIMA
1. Keluarga
Siti
KONTRAK
SUBJEK
Siti
PENOLONG
1. Ajakan untuk
berunjuk rasa
membuka
kembali tempat
karoeke
2. Uang dari ibu
mertua dan Sri
3. Rokok dan
minuman
beralkohol
4. Mas Gatot
PENGHALANG
1. Ajakan Bagas
(anak Siti) untuk
bermain dan
mengajarinya
matematika
2. Kenangan Siti
akan keluarganya
dulu yang bahagia
sebelum suaminya
lumpuh
49
Pada skema aktansial diatas menunjukan bahwa ada relasi peran dan fungsi
antara subjek dan objek. Relasi subjek dan objek tersebut dapat dilihat dari
bagaimana peran tokoh dan situasi yang dinarasikan dalam film. Subjek adalah
seseorang atau sesuatu yang diposisikan mempunyai peran penting dan
menggangap bahwa telah menjadi tugasnya untuk mendapatkan objek. Objek
adalah tujuan yang ingin didapatkan subjek karena adanya latar belakang untuk
mendapatkan tujuan tesebut. Pengirim adalah Peran subjek didorong oleh suatu
kondisi atau seseorang untuk mencapai tujuan (objek).
Dalam film ini, subjek diperankan oleh sosok Siti, seorang istri yang
memutuskan untuk bekerja untuk melunasi hutang dan mencukupi kebutuhan
sehari-hari namun tetap menjadi sosok ibu rumah tangga yang telaten. Peran Siti
dalam bekerja ia gunakan juga sebagai media melepaskan beban yang selama ini
ia pikul yaitu beban melunasi hutang, beban menjadi istri dan ibu. Oleh karena itu,
Siti yang bekerja untuk melunasi hutang dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-
hari, serta menceri kesenangan saat ia bekerja untuk melepaskan beban
dikategorikan sebagai objek dalam cerita.
Dalam cerita, dorongan untuk subjek (Siti) untuk bekerja melunasi hutang
dan mencukupi kebutuhan, serta mencari kesenangan untuk melepaskan beban
yang dipikul dimunculkan dari dua situasi, yaitu 1) adegan suami Siti yang selalu
terbaring dikasur karena lumpuh akibat kecelakaan saat melaut, dan 2) adegan
Karyo yang menagih hutang kepada Siti agar segera dilunaskan hutangnya dalam
jangka waktu tiga hari. Dua kondisi tersebut kategorikan sebagai pengirim karena
keadaan Siti untuk mendapatkan objek dilatar belakangi dengan keadaan suami
yang lumpuh, sehingga menyebabkan tidak adanya lagi sosok pencari nafkah
50
dalam keluarganya. Keadaan suami Siti yang lumpuh akibat kecelakaan saat
melaut, juga menyebabkan tidak bisa melunasi hutang kapal yang telah dijanjikan
suaminya sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebutlah yang menyebabkan
pengirim mengerakkan subjek (Siti) untuk menggapai objek.
Adapun Penerima adalah seseorang atau sesuatu yang menerima dampak
dari objek yang didapatkan oleh subjek. Dalam film ini, penerima adalah keluaga
Siti, diidentifikasikan sebagai penerima karena setelah subjek (Siti) mendapatkan
objek yang ia inginkan, keluarga Siti seakan terlepas dari beban hutang yang
dialami karena beban tersebut telah ditanggung oleh sosok Siti. Pernyataan
tersebut dimunculkan pada situasi Darmi (Ibu mertua Siti) yang berterima kasih
karena Siti telah sabar dalam menjalankan rumah tangganya dan telah mengurus
anaknya dengan telaten walau sudah lumpuh.
Penolong adalah seseorang atau sesuatu yang menolong subjek untuk
menggapai objek yang diinginkannya. Pada skema di atas menunjukan adanya
seseorang atau situasi yang membantu atau menolong subjek (Siti) dalam
mencapai objek. Dalam film ini, yang diidentifikasikan sebagai penolong adalah
berupa kondisi dan tokoh, yaitu 1) ajakan berunjuk rasa untuk membuka kembali
tempata karaoke, 2) Uang yang diberikan oleh ibu mertua dan Sri untuk
membantu melunasi hutang, 3) minuman berakohol dan rokok, dan 4) dan
kehadiran sosok Gatot. Hal-hal tersebut dikatakan sebagai penolong karena
keberhasilan subjek untuk bekerja mencari nafkah dan melunasi hutang tidak
lepas dari penolong pertama, kedua, ketiga dan keempat. Ajakan berunjuk rasa
untuk membuka kembali tempat karoeke sebagai wadah dimana Siti dapat bekerja
kembali menjadi pemandu karoeke sehingga dapat membantu melunasi hutang.
51
Uang yang diberikan oleh ibu mertua dan Sri juga menjadi salah satu tambahan
bantuan yang Siti dapatkan untuk melunasi hutangnya. Rokok dan minuman keras
menjadi alat perantara Siti dalam melepas tanggungan beban ganda yang
dialaminya yang menghantarkan Siti kepada kesenangan sesaat. Kehadiran sosok
Gatot menjadi tempa bagi Siti untuk berbagi kisah dan mecari kesenangan akan
perhatian dan kasih sayang yang suaminya sudah tidak berikan lagi.
Penghalang adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi subjek untuk
menggapai objek yang diinginkannya. Pada skema di atas adanya penghalang
subjek (Siti) untuk menggapai objek yang diinginkannya. Keinginan subjek (Siti)
atas objek yang dinginkannya mendapat halangan dari berbagai ajakan Bagas
untuk menemaninya ataupun mengajarinya dan juga kenangan kebahagiaan
keluarga Siti saat dahulu. Bagas, anak Siti menjadi penghalang akan keputusan
Siti dikarenakan Bagas yang selalu merasa kurang dengan kehadiran Siti yang
selalu sibuk bekerja. Dimanapun ada kesempatannya, Bagas akan selalu mengajak
Siti untuk menemaninya bermain dan meminta Siti untuk mengajarinya pelajaran
sekolah. Ingatan Siti akan masa lalu rumah tangganya juga menjadi penghalang
dikarenakan Siti yang selalu mengingkan keadaan itu kembali. Dengan terpaksa
atau tidak Siti merawat suaminya yaitu Bagus, berharap agar ia mau berbicara
kembali dan setidaknya hubungan dalam keluarganya menjadi sejuk kembali.
Dalam setiap pencarian yang dilakukan subjek untuk mendapatkan objek,
selalu dimulai dengan adanya kontrak awal antara pengirim-subjek dan berakhir
dengan sanksi atau tes pujian terhadap kinerja subjek atau tokoh utama. Kontrak
menjelaskan bahwa pengirim mau memicu hasrat kepada subjek untuk bertindak
52
atau mempercayakan misi kepada subjek. Kontrak dengan tiga tes yang
merupakan cermin logika dasar tindakan manusia.
Pertama, tes kualifikasi subjek yang dilakukan untuk mengidentifikasi subjek
karena dianggap mempunyai kompetensi yang dibutuhkan untuk memenuhi
sesuatu yang diusulkan oleh pengirim. Adapun tes kualifikasi subjeknya adalah
Siti. Dalam film ini, Siti dikualifikasi sebagai subjek karena memiliki kompetensi
untuk meraih objek yang di dorong dari adanya 1) Lumpuh dan diamnya
suaminya Siti saat Siti menanyakan bagaimana solusi atau hal yang harus Siti
lakukan demi keutuhan keluarganya dan untuk melunasi hutang, dan 2) Karyo
yang menagih hutang kapal kepada Siti untuk segera dilunaskan. Dua kondisi ini
dikatakan sebagai tes kualifikasi subjek karena memiliki kompetensi sebuah
dorongan untuk meraih objek.
Kedua, tes pokok menyangkut bagaimana membawa ke penerimaan objek.
Tes ini sering dalam bentuk konfrotansi, konflik, atau perjuangan subjek. Adapun
tes pokoknya tampak pada perjuangan subjek dalam film ini 1) perjuangan Siti
menjadi sosok ibu rumah tangga sekaligus sosok tulang punggung keluarga, dan
2) perjuangan Siti yang ingin lepas dari beban yang ia pikulnya dengan
berselingkuh bersama Gatot saat ia bekerja serta dengan mengkonsumsi minum-
minuman keras. Dua kondisi ini dikatakan sebagai tes pokok karena dilihat oleh
peneliti, subjek (Siti) merupakan tokoh yang diidentifikasi melakukan tes
perjuangan dalam meraih objek yaitu bekerja untuk mencukupi kebutuhan dan
melunasi hutang.
Ketiga, tes pujian atau sanksi mengambil bentuk suatu pengakuan sosial
terhadap subjek atas keberhasilan atau kegagalan sehingga subjek akan dipuji atau
53
dihukum, kinerja subjek dievaluasi atau ditafsirkan maknanya. Pada film ini
menunjukan tes sanksi yang terkait dengan reward atau kinerja subjek yang di
evaluasi pada akhir kisah film, yaitu 1) Siti yang diam saat ditanyakan Gatot
untuk mau menikahinya dan meninggalkan suaminya, 2) Bagas yang merelakan
kepergian Siti namun Siti menunjukan rasa kesal dan kekecewannya dengan
memukul dada Bagus yang akhirnya berbicara dan memberikannya jawaban, dan
3) Siti yang kecewa akan semua hal yang dialaminya memilih untuk pergi ke laut
dengan keadaan yang terlihat sangat frustasi. Dengan demikian, keputusan Siti
untuk bersenang-senang dengan berselingkuh bersama Gatot saat bekerja
membuatnya mendapatkan sanksi berupa kerelaan suaminya untuk ia pergi serta
rasa sakit yang ia terima akibat jawaban suaminya akan perilaku Siti. Jadi akhir
kisah film ini menunjukan bahwa Siti akan terus menanggung rasa frustasi dan
bersalah akan tindakan yang ia pilih seperti yang ditunjukan dengann adegan Siti
yang berjalan ke arah pantai dengan rasa sakit dan kekecewaan.Dari ketiga tes itu
tampak bahwa pemilihan Siti sebagai subjek cukup beralasan karena lolos dari
ketiga tesnya.
B. Bentuk Percakapan yang Representatif “Ketidakadilan Gender”
Setelah menganalisis menentukan tokoh utama yang dilakukan melalui
analisis struktur aktansial, tahap selanjutnya adalah menganalisis bentuk
percakapan yang bersifat representatif dan juga praktik non-diskursif yang ada
pada film Siti. Analisis ini bertujuan untuk menemukan percakapan dan
gambar yang representatif. Berikut potongan adegan pada film Siti yang
menyangkut ketidakadilan gender pada perempuan:
54
Tabel 4.1 Siti dan Darmi yang sedang Bercengkrama
Scene Visual Percakapan
Scene 1
Gambar 4.2 Siti dan Darmi
yang berbincang
Darmi : Mbok duit ki ra
diobong Ti. (Uang kok kamu
bakar Ti...)
Darmi : Kowe ra nggolek
gawean liyo Ti? Mumpung
saiki Bagas wes iso ditinggal.
(Kamu tidak cari pekerjaan
lain? Mumpung Bagas sudah
bisa ditinggal.)
Siti : Gawean opo mbok?
(Kerja apa bu?)
Darmi : Yo golek-golek. Kae si
Ratih dadi pegawai negeri.
Trus si imah kerjo neng
Taiwan dadi TKW. Gajine
limang yuto. (Ya carilah! Itu
seperti ratih sekarang jadi
pegawai negeri. Terus sih
Imah, dia kerja di Taiwan
menjadi TKW. Katanya
gajinya lima juta.)
Siti : Lha aku ki SMA ora
tamat kok arep dadi pegawai
negeri. Dadi TKI ki yo ra
gampang. Nganggo pelatihan,
trus mesti ngenei duit panjer.
Duit administrasi nganti
puluhan yuto. Kuwi kudu
dibayar seko gaji bulanan.
(Aku ini SMA saja tidak lulus
55
kok disuruh jadi pegawai
negeri. Jadi TKI juga sulit.
Ada pelatihannya, ada uang
mukanya juga. Uang
administrasinya juga sampai
puluhan juta. Itu semua harus
dibayar dari gaji bulanan.)
Darmi : Trus kowe arep ngono
kuwi terus metu pendak
mbengi. (Terus apa kamu mau
bekerja seperti ini terus
selamanya? Setiap malam
keluar.)
Siti : Mau bengi tempat
karoekena digrebek polisi.
(Tadi malem, karoekenya
digrebek polisi.)
Darmi : Ya Allah. Lha kok iso?
(Ya Allah, kok bisa?)
Siti : Penertiban. Kabeh
peralatan karoeke disita
polisi. Trus omben-ombenane
yo digowo. Saiki wes ora oleh
ono karoekenan. Karoekene
ditutup. (Ya penertiban.
Semua peralatan karoeke
disita polisi, minumnya juga
dibawa semua. Sekarang tidak
boleh ada karoekean.
Karoekenya ditutup.)
Darmi : Alhamdulillah…
Siti : Ibu ini loh..
56
Tabel 4.1 di atas menjelaskan sikap Siti yang berani untuk merokok di
hadapan Darmi tanpa ada rasa senggan di hadapain ibu mertua. Latar yang
berlangsung adalah di ruang keluarga dengan Siti dan Darmi yang sedang
membungkus peyek untuk berjualan. Menanggapi sikap Siti, Darmi
memberikan saran kepada Siti untuk mencari pekerjaan lain agar bisa
mendapatkan uang yang lebih banyak.
“Yo golek-golek. Kae si Ratih dadi pegawai negeri. Trus si imah kerjo
neng Taiwan dadi TKW. Gajine limang yuto. (Ya carilah! Itu seperti ratih
sekarang jadi pegawai negeri. Terus sih Imah, dia kerja di Taiwan
menjadi TKW. Katanya gajinya lima juta).”
Dari kutipan pernyataan Darmi yang menuntut Siti untuk mencari
pekerjaan lain, terlihat bahwa Siti semakin tertekan dengan ditunjukan selain
Siti yang merokok sebagai bentuk penolakan juga dengan menjawab
pernyataan Darmi bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk bisa bekerja
seperti apa yang disarankan oleh Darmi.
Lha aku ki SMA ora tamat kok arep dadi pegawai negeri. Dadi TKI ki yo
ra gampang. Nganggo pelatihan, trus mesti ngenei duit panjer. Duit
administrasi nganti puluhan yuto. Kuwi kudu dibayar seko gaji bulanan.
(Aku ini SMA saja tidak lulus kok disuruh jadi pegawai negeri. Jadi TKI
juga sulit. Ada pelatihannya, ada uang mukanya juga. Uang
administrasinya juga sampai puluhan juta. Itu semua harus dibayar dari
gaji bulanan.)
Pernyataan Siti akan kondisinya yang tidak bisa mencari pekerjaan lain
karena faktor pendidikan dikatakan bahwa Siti mengalami marginalisasi.
Marginalisasi adalah adanya proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin. Marginalisasi adalah peminggiran perempuan dari akses ekonomi dan
57
pendidikan. Siti yang tidak sekolah, maka akan sulit mendapatkan pekerjaan
yang layak dan akhirnya sulit untuk memperoleh pendapatan yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Marginalisasi pada Siti karena adanya asumsi peran gender yang hanya
menganggap pekerjaan perempuan hanya tambahan walau telah bekerja dari
pagi hingga malam. Oleh karenanya, penghasilan yang di dapatkan tidak bisa
dinikmati sendiri namun dibagi bersama keluarga atau untuk kepentingan
keluarga. Selain itu karena dianggap sebagai pekerja tambahan upah yang
didapat juga tidak akan pernah mencukupi sebagai nafkah utama. Marginalisasi
pada Siti memilik empat bentuk yaitu:52
pertama, proses pengucilan
perempuan, perempuan dikucilkan dalam hal pekerjaan atau upah dalam hal
ini Siti tidak bisa memilih pekerjaan yang lebih layak dikarenakan faktor
pendidikan. Kedua, proses pergeseran perempuan ke pinggiran dari pasar
tenaga kerja, ke pekerjaan yang tidak stabil, upahnya rendah dan dinilai kurang
terampil. Hal ini ditunjukan dengan pekerjaan Siti sebagai pemandu karaoke
yang tidak stabil dimana suatu saat tempat karaoke tersebut dapat ditutup
kembali. Ketiga, proses feminitas atau segresi, pemusatan perempuan pada
jenis pekerjaan tertentu dimana tugas pemandu karaoke identik dengan
perempuan, oleh karenanya Siti bekerja sebagai pemandu karaoke. Keempat,
proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk perbedaan
upah dimana upah Siti saat bekerja sebagai pemandu karaoke tidak cukup
untuk melunasi hutang.
52
Khusnul Khotimah, Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan dalam Sektor
Pekerjaan, Jurnal Studi Gender Anak, Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2009, h. 4.
58
Tabel 4.2 Karyo yang Menagih Hutang Kepada Siti
Scene Visual Percakapan
Scene 2
Gambar 4.3 Karyo yang menagih
hutang kepada Siti
Karyo : Ndi duitku?! (Mana
uangku?!)
Siti : Kulo gareng gadah pak.
(Saya belum punya pak)
Karyo : Piye to?! (Bagaimana
ini?)
Siti : Saestu pak kulo dareng
gadah. (Sungguh pak, saya
belum punya)
Karyo : Lah trus aku kudu
piye? Mbiyen bojomu sing
mekso-mekso ngutang tuku
kapal! (Terus aku harus
bagaimana? Dulu suamimu
yang memaksa pinjam uang
untuk membeli kapal)
Siti : Kulo nggih ngertos pak.
(Saya juga tahu pak)
Karyo : Iki wes meh setahun!!
Aku wes ngenehi dalam penak.
Nyicil endak wulan. Sak yuto.
Kurang apa aku coba?! (Ini
sudah mau setahun. Kamu
sudah kuberi jalan keluar yang
mudah. Kamu bisa
mengangsur tiap bulan satu
juta. Kurang baik bagaimana
aku ?!)
Siti : Nggih pak... (Ya, pak)
Karyo : Kowe bulan wingi
59
njanjeni arep nglunasi.
Limong yuto! (Kamu kemarin
sudah janji akan melunasi
bulan ini. Lima juta!)
Karyo : Yo wes. Tak nei wektu
telung ndino yo ti. Pokoke
kudu dibayar! Nek ora
urusane karo polisi ki! (Ya
sudah! pokoknya harus
dibayar, kalau tidak urusannya
dengan polisi. Ku beri waktu
tiga hari)
Tabel 4.2 di atas menjelaskan potongan adegan yang menggambarkan
keadaan Siti yang tertekan dan tidak bisa berkutik karena Karyo sedang
menagih hutang kepadanya. Siti terlihat menatap Karyo dengan kebingungan
saat Karyo mulai menjelaskan masalah hutang suaminya. Siti juga terlihat
memakai pakaian yang lusuh berbanding terbalik dengan keadaan Karyo yang
menggunakan kemeja dan terlihat lebih rapi dibandingkan Siti.
“Yo wes. Tak nei wektu telung ndino yo ti. Pokoke kudu dibayar! Nek ora
urusane karo polisi ki! (Ya sudah! pokoknya harus dibayar, kalau tidak
urusannya dengan polisi. Ku beri waktu tiga hari)”
Kutipan akan ucapan Karyo kepada Siti agar segera melunasi hutangnya,
menandakan bahwa Siti memiliki beban hutang yang harus segera ia lunasi.
Pada adegan tersebut juga terlihat seakan tidak adanya koordinasi antara suami
istri dalam menjalankan perannya atau dalam pengambilan keputusan untuk
mencari cara melunasi hutang tersebut. Dalam hal ini, sosok Siti mengalami
60
subordinasi dimana Siti tidak bisa melakukan posisi tawar dengan Karyo untuk
melunasi hutang tersebut.
Subordinasi yang dialami pada Siti juga terlihat dengan asumsi bahwa
perempuan lemah sehingga laki-laki kuat, dalam hal ini Karyo dengan
ucapannya yang keras mendoktrin Siti yang lemah untuk melunasi hutangnya
dalam jangka waktu tiga hari.
Tabel 4.3 Sri yang Mengajarkan Siti Cara Melepas Beban yang Dialami
Scene Visual Percakapan
Scene 3
Gambar 4.4 Sri yang
mengajarkan Siti untuk
berteriak
Sri : Lalu, suamimu? Sampai
sekarang masih belum mau
bicara Sit?
Siti : Belum, sejak aku kerja di
karoeke. Lama-lama tidak mau
bicara. Marah. Entahlah Sri,
pusing aku!
Siti : Harusnya yang marah itu
aku.
Sri : Ya marah saja! Cuma
marah kok bingung.
Siti : Aku tidak bisa marah.
Sri : Sekarang aku berperan
menjadi suamimu, kamu
sekarang marah ya? Ayo cepat
marah! Ayo marah!
Siti : Mas, kamu kok tidak mau
bicara? Aku lelah melihatmu
seperti itu! Aku kamu anggapp
apa? Harusnya aku yang malas
bicara denganmu! Asu!
Bagaimana marahku?
61
Sri : Kayak gitu kok marah?
Sini lihat aku. Asuuuuuuuuu!
Begitu, ayo dicoba!
Siti : Asuuu.
Sri : Yang keras!
Siti : Asssuu! Assuuu! Assuu!
Pada tabel 4.3 di atas, terlihat Siti dan Sri yang berada dipinggir pantai
dengan raut muka Siti yang terlihat tertekan setelah Siti bercerita kepada Sri
bahwa Siti merasa pusing akan sikap suaminya kepadanya.
“Belum, sejak aku kerja di karoeke. Lama-lama tidak mau bicara. Marah.
Entahlah Sri, pusing aku!”
Ucapan Siti tersebut menandakan bahwa Siti akhirnya bisa bercerita
kepada Sri bahwa selama ini suaminya masih tidak mau berbicara kepadanya.
Sri kesal dengan apa yang disampaikan oleh Siti sehingga ia memerintahkan
Siti untuk meluapkan rasa ketertekanannya.
“Mas, kamu kok tidak mau bicara? Aku lelah melihatmu seperti itu! Aku
kamu anggapp apa? Harusnya aku yang malas bicara denganmu! Asu!”
Tindakan Siti untuk berteriak dilakukan oleh Siti setelah ia mencurahkan
isi hatinya kepada Sri bahwa Siti selama ini merasa tertekan akan tindakan
suaminya. Sri menyarankan Siti dengan berteriak agar Siti bisa merasa bisa
terlepas dari beban. Siti yang terlihat stress dan terlihat memiliki tekanan yang
berat disarankan untuk berteriak karena Siti perlu mengeluarkan apa yang
menjadi keluh kesahnya selama ini. Dari adegan tersebut bahwa sosok Siti
ialah sosok yang tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya atau
62
kemarahan akan rasa tertekannya. Dalam mengekspresikan perasaan yang
dialami oleh Siti diperlukan Stimulus atau tindakan pendorong yang dilakukan
Sri. Hal ini menunjukan bahwa Siti seakan mengalami muted group theory.
Sosok Siti yang tidak bisa marah ini berkaitan dengan muted group
theory. Muted group theory adalah wanita, dan anggota dari kelompok
subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa yang ingin mereka
katakan, kapan, dan dimana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka
gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria. (Ratna 2014,
119) dalam lingkungan Siti, perempuan didoktrin sebagai wantita yang penurut
dengan suaminya. Oleh karenanya tidak berhak untuk membantah laki-laki.
Dalam hal ini, sosok laki-laki (Bagus) seakan mengkontrol Siti untuk tetap
diam. Dan karenanya di hadapan Bagus, Siti tidak bisa mencurahkan isi
hatinya, Siti lebih memilih menutupi rasa kekecewannya tersebut.
Tabel 4.4 Siti yang Bercengkrama dengan Bagas di Tepi Pantai
Scene Visual Percakapan
Scene 4
Gambar 4.5 Bagas yang
mengajak Siti untuk bermain
Bagas : Ayo sido ra bu? (Jadi
tidak bu?)
Siti : Sido opa? (Jadi apa?)
Bagas : Jare arep dolanan
layangan karo aku. (Katanya
mau main layang-layang
denganku)
Siti : Mbok dolan dewe karo
kancamu kono. (Main sana
dengan temanmu)
Bagas : Moh... (Tidak mau!)
Siti : Lah ibu kudu ngolek duit.
63
(Ibu kan harus cari uang)
Bagas : Golek duit terus! Rasah
nggolek duit! Pokoke kancani
aku dolanan. (Mencari uang
terus! Tidak usah cari uang
terus! Pokoknya temani aku
bermain).
Siti : Trus.. Munder meneh. (
Mundur Gas!)
Siti : Nyoh dicekel. (Ini
dipegang!)
Siti : Ipiye sekolahmu mau Gas?
(Sekolahmu tadi bagaimana
Gas?)
Bagas : Bijiku apik loh bu...
entuk limo! (Aku tadi dapat nilai
bagus. Dapat nilai 5.)
Siti : Biji limo kok apik!
Pelajaran opo? (Nilai 5 kok
bagus, pelajaran apa?)
Bagas : Matematika
Siti : Dadi pilot ki matematika
kudu apik. (Kalau mau jadi pilot
nilai matematikanya harus
bagus!)
Bagas : Aku mengko diajari yo
bu..? (Nanti aku diajari ya bu)
Siti : Ya...
Bagas : Bu... Setanne mau
wegah metu. (Bu, tadi hantunya
tidak mau keluar loh)
Siti : Kok iso? (Kok bisa?)
64
Bagas : Setanne wedi aku
nganggo seragam anyar.
Arrrggh! (Hantunya takut
karena aku pakai seragam baru)
Tabel 4.4 di atas menjelaskan scene Bagas yang merengek meminta Siti
untuk menemaninya bermain saat Siti sedanga berjualan peyek Jingking di
pinggir pantai. Bagas merasa waktu Siti selalu habis dengan bekerja dan tidak
ada waktu bermain lagi dengannya.
“Golek duit terus! Rasah nggolek duit! Pokoke kancani aku dolanan.
(Mencari uang terus! Tidak usah cari uang terus! Pokoknya temani aku
bermain).”
Sikap Bagas dengan ditunjukan oleh rengekannya tersebut menandakan
bahwa Bagas bersikeras menetang Siti untuk bekerja. Hal ini menandakan
bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik tidak bisa mninggalkan begitu
saja peran domestiknya atau dalam hal ini peran Siti menemani Bagas bermain.
Adegan tersebut seakan mempersentasikan bahwa perempuan memiliki
beban kerja ganda dimana perempuan yang mengalami hal tersebut dapat
dengan baik memanagenya namun tidak bisa meninggalkan peran domestiknya
karena sudah menjadi realitas sosial bahwa perempuan identik dengan peran
gender yang apik dalam mengurus rumah tangga.
65
Tabel 4.5 Siti yang Menemani Anaknya Belajar
Scene Visual Percakapan
Scene 6
Gambar 4.6 Siti yang sedang
mengajari belajar Bagas yang
kemudian diganggu dengan
kedatangan Sri
Sri : Ayo..
Siti : Sik tak ngajari anakku
dilit. (Sebentar, aku mengajari
anakku dulu sebentar)
Sri : Welaah.. wes dienteni iki.
(Ayo sudah ditunggu teman-
teman yang lain. Ayo cepat!)
Siti : Gas... aku tak metu sik
ya... (Gas, ibu keluar dulu
sebentar ya)
Bagas : (Terlihat kesal dengan
membanting pensilnya
kemudian berjalan mendekati
sepeda)
Siti : Areng neng ndi Gas?
(Kamu mau kemana?)
Bagas : Arep nonton sorot
neng lapangan! (Mau nonton
layar tancap di lapangan)
Siti : Mbok sinau! Jare arep
dadi pilot! (Katanya mau jadi
pilot)
Bagas : Moh dadi pilot iso
tibo... (Jadi pilot bisa jatuh)
Tabel 4.5 diatas menjelaskan adegan dan wacana percakapan di atas
menjelaskan Siti yang sedang mengajari anaknya, kemudian teman Siti yaitu
Sri menganggu dengan mengajak Siti untuk segera pergi bekerja. Siti
memberitahu temannya untuk menunggu. Namun, Sri tetap memaksa dan pada
66
akhirnya Siti menyetujui ajakan temannya. Siti terlihat merasa bersalah karena
meninggalkan Bagas. Terlihat juga Siti yang hanya diam saja ketika Bagas
lebih memilih bermain dibandingkan belajar.
Kekecawaan Bagas sering sekali disampaikan dengan tegas, pada adegan
ini disampaikan dengan Bagas yang membanting pensilnya dan berjalan
menuju sepeda. Kekecewaan Bagas akan Siti juga disampaikan dengan
pernyataan berikut:
“Moh dadi pilot iso tibo... (Jadi pilot bisa jatuh)”
Siti tahu bahwa tugasnya mendidik dan mengurus anaknya tidak bisa ia
lepas begitu saja. Dikala ia bekerja, ia dihadapkan dengan anaknya yang
mengajaknya untuk ditemani. Dan dikala ia menemani anaknya dan melakukan
kerjaan rumah, ia dihadapkan dengan tanggung jawabnya mencari nafkah yang
menantinya. Siti merasa tanggung jawabnya tersebut tidak bisa digantikan
orang lain. Dengan berbagai peran ganda ia jalani, tanpa disadari beban ganda
telah dialami Siti. Ia tidak bisa memilih satu peran saja yang ia ingin jalani di
waktu tertentu.
Tabel 4.6 Siti dan Temannya sebagai Pemandu Karaoke
Scene Visual Percakapan
Scene 7
Gambar 4.7 Siti dan temannya
yang terlihat gemulai menari
sebagai pemandu karaoke
Siti : Ikut ituloh, apa mau
dinyanyikan?
Sarko : Sri ayuk temenin
bapak di dapur.
Pelanggan : jangan lupa
cemilannya pak.
Sarko: Mas Wahyo ini cerdas,
iya cemilan.
67
Teman Siti : Nah sekarang
mau nyanyi lagu apa...
Siti : Yaudah sama Wati
duluan yah nyanyinya...
Tabel 4.6 diatas menggambarkan Siti dan temannya Wati yang sedang
menghibur para pelanggan dengan menyanyi sambil menari. Terlihat dari
ekspresi Siti dan Wati yang terlihat menikmatinya. Dalam film ini seperti
digambarkan bahwa sosok perempuan di sektor publik ialah sebagai penghibur.
Hal ini didukung dengan Siti yang menikmati musik dan menari dengan
gerakan gemulai. Dan juga digambarkan bahwa perempuan sebagai objek
seksualitas yaitu sebagai pendamping laki-laki dalam mencari hiburan.
Tabel 4.7 Perbincangan Siti dengan Sarko tentang Pinjaman Uang
Scene Visual Percakapan
Scene 8
Gambar 4.8 Sarko yang meracik
minuman di hadapin Siti dan
menawari Siti minuman serta
Siti yang merokok memohon
untuk dipinjami uang
Sarko : Kowe ki kenopo je..?
(Kamu ini sebenarnya kenapa,
Ti?)
Siti : Aku nyilih duit ono ra
pak? (Aku boleh minjem
uang, pak?)
Sarko : Walah.. kowe kan
ngerti industri karokene
awakke dewe macet.. ngene,
ndelok mengko ya Ti.. coba
kae diseneng-senengke ben
duite metu okeh .... yoh? (Siti,
kamu tahu sendiri bisnis
karaoke kita ini sedang macet)
68
Sarko : Tak ndono sik.. ora
suwi-suwi neng kene... (Tapi
kamu tidak usah khawatir,
yang penting tamu kita tadi
kamu buat senang. Nanti bisa
keluar uang banyak, iya kan?)
Tabel 4.7 di atas menjelaskan menjelaskan keadaan Siti yang amat frustasi
dengan terlihat lagi ia sedang merokok dan raut wajahnya yang terlihat gelisah,
serta bicaranya yang mulai gagap. Ia berbicara kepada Sarko untuk
meminjaminya uang. Namun, Sarko menjawabnya dengan pernyataan berikut:
“Tak ndono sik.. ora suwi-suwi neng kene... (Tapi kamu tidak usah
khawatir, yang penting tamu kita tadi kamu buat senang. Nanti bisa keluar
uang banyak, iya kan?)”
Mendengar ucapan Sarko akan membuat pelanggan senang dan keluar
uang banyak, Siti menaikan alisnya dan memasang muka yang terlihat
mengerut. Ekspresi tersebut seakan memperlihatkan bahwa Siti tidak menyukai
apa yang diperintahkan oleh Sarko, walau Sarko merupakan pemilik tempat
karoeke dimana Siti bekerja.
Pada adegan tersebut juga menjelaskan adanya marginalisasi terhadap
perempuan dimana adanya perlakuan tidak adil oleh pemilik karaoke kepada
pekerjanya yaitu Siti. Selain mengalami beban kerja ganda, perempuan
menjadi pekerja kelas dua karena anggapan-anggapan yang diberikan pada
pekerja perempuan membuat posisi perempuan menjadi terbelakang dan akan
terus menjadi pihak yang bergantungan dengan laki-laki.
69
Perempuan yang termarginalisasi dalam hal ini terpinggirkan, dimana hak-
hak perempuan yang harusnya didapatkan tetapi tidak didapatkan demi
mengambil keuntungan. Dalam hal ini, perlakuan Karyo kepada Siti yang
semena-mena karena menganggap Siti hanyalah pekerja kelas dua dimana ia
bebas diperintahkan apa saja dan juga Karyo merasa bahwa ia pemilik tempat
karaoke dimana Siti bekerja sehingga ia bebas memperintahkan Siti untuk
melakukan yang ia inginkan demi memperoleh keuntungan yang lebih banyak.
Tabel 4.8 Gatot dan Siti yang Berbicara Mengenai Masa Depan Mereka
Scene Visual Percakapan
Scene 9
Gambar 4.9 Gatot yang memohon
dan menekankan Siti
meninggalkan suaminya dan
menikahinya
Gatot : Aku... aku pengen
nikah karo kowe Ti. (Aku
ingin menikah denganmu)
Gatot : Wes pirang wulan
awakke dewe koyo ngene? Aku
wes ora betah. Kowe kudu
ninggalkan bojomu. (Sudah
berapa bulan kita begini Ti.
Aku tidak betah. Kamu harus
meninggalkan suamimu)
Gatot : Kowe dewe sing
omong wes ora betah karo
bojomu dudu aku! (Kamu
sendiri yang bilang kalau
sudah tidak betah dengan
suamimu, bukan aku!)
Gatot : Siti....!
Gatot : Ti.. mbok ora meneng
wae. (Jangan diam saja)
70
Tabel 4.8 di atas menjelaskan sosok Siti yang hanya bisa diam saja saat
ditanya Gatot untuk meninggalkan suaminya dan menikahinya. Gatot merasa
lelah dengan hubungan mereka yang begini saja tidak menentu. Gatot ingin
segera menikahi Siti, namun apalah daya Siti masih mengharapkan
kebahagiaan rumah tangganya yang dahulu kembali.
“Wes pirang wulan awakke dewe koyo ngene? Aku wes ora betah. Kowe
kudu ninggalkan bojomu. (Sudah berapa bulan kita begini Ti. Aku tidak
betah. Kamu harus meninggalkan suamimu)”
Siti yang terpengaruh alkohol hanya bisa diam ketika diberikan pertanyaan
bertubi-tubi oleh Gatot. Ia tidak bisa memberikan jawaban yang Gatot
inginkan. Siti juga merasa masih berat untuk meninggalkan suaminya.
Walaupun suaminya memperlakukannya dengan tidak wajar. Pertanyaan yang
bertubi-tubi dari Gatot semakin membuat Siti diam tidak berkutik dan
mengkerutkan keningnya seperti banyak hal yang dipikirkan walau ia tidak
mau memikirkannya.
Dalam adegan ini kembali dijelaskan keadaan Siti yang hanya bisa diam
bila di depan laki-laki. Selain diamnya Siti karena pengaruh alkohol, namun
diamnya Siti juga menandakan bahwa Siti tidak memiliki jawaban pasti. Hal
ini menggambarkan adanya stigma membungkan yang ditampilkan oleh sosok
Siti apabila berhadapan dengan laki-laki. Stigma membungkam itu sendiri
seperti sudah dijelaskan yaitu muted group theory. Sosok Siti seakan
dibungkam dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Gatot.
71
C. Materealisasi Objek
Pada materealisasi objek, penulis tidak bisa langsung membongkar atau
memberi makna pada suasana, tempat, benda, perasaan, yang ditampilkan
dalam film. Terdapat cara yang tidak langsung untuk membangun kembali
pengetahuan menjadi bentuk materialisasi.53
Untuk menganalisis materealisasi
objek, peneliti menjelaskan temuan berdasarkan hasil yang diperoleh melalui
analisis teks dan gambar pada potongan film.
Pada film Siti, latar belakang yang ditampilkan adalah rumah-rumah di
pinggir pantai Parangtritis, dan lingkungan, serta kehidupan yang ada di
sekitar pantai Parangtritis. Materalisasi dalam film ini berkaitan dengan
bagaimana suasana masyarakat golongan bawah Pantai Parangtritis tinggal,
terutama sosok Siti yang miskin mengalami beban ganda. Siti menjadi sosok
tulang punggung keluarga, sosok pelunas hutang, namun tetap menjadi sosok
istri serta ibu. Oleh sebab itu, ditampilkan suasana rumah yang kumuh, pantai
parangtritis dimana tempat Siti berjualan, tempat karoeke dimana Siti bekerja
di malam hari yang identik dengan hiburan golongan masyarakat menengah ke
bawah, serta pakaian-pakaian yang kumal.
Materealisasi pada film ini menjelaskan kehidupan nelayan pantai
Parangtritis terutama para perempuan yang diwakilkan oleh sosok Siti.
Kehidupan nelayan di Indonesia identik dengan kemiskinan. Oleh disebabnya
ditampilkan rumah-rumah kumuh khas pinggir pantai serta kebutuhan, gaya
hidup masyarakat pesisir. Dan materealisasi tersebut dapat dilihat sebagai
berikut:
53
Haryatmoko, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis Landasan
Teori, Metodologi, dan Penerapan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016), h. 135
72
Gambar 4.10 Tampak dapur dan halaman depan rumah Siti
Tampak ruangan dapur rumah Siti dengan banyak tungku serta panci
hitam dan juga lantai yang beralaskan tanah. Kemudian, tampak depan rumah
Siti yang terlihat hanya terbuat beberapa bilah bambu dan anyaman bambu.
Penggambaran tersebut menandakan bahwa Siti berasal dari golongan bawah
dan betapa susahnya kehidupan Siti. Walaupun terlihat banyak kekurangan
dari rumah tersebut, bagi Siti dan keluarganya, rumahnya tetap rumah dengan
kenyamanan yang diberikan seperti rumah lainnya.
Tanda-tanda kultural yang ditampilkan menjadikan identifikasi bahwa
masyarakat pesisir Jawa merupakan masyarakat golongan bawah
dibandingkan dengan masyarakat agraris. Hal ini dikarenakan pendapatan
masyarakat pesisir yang tidak menentu, karena pekerjaan mereka berdasarkan
cuaca. Adapun masyarakat agraris yang pendapatannya berasal dari cocok
tanam yang sudah memiliki siklusnya sendiri.
Sebagian besar masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di desa-desa
pantai umumnya memiliki taraf kesejahteraan hidup sangat rendah dan tidak
menentu. Kesulitan mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari dan kemiskinan di
desa-desa pantai telah menjadikan penduduk di wilayah ini harus
menanggung beban kehidupan yag berat, berkutat dengan perangkap hutang
73
yang sepertinya tak ada habis-habisnya, dan tidak dapat pula dipastikan kapan
berakhirnya (Suyanto, 2013:48)
Tanda Siti yang sedang dilanda tertekan akan beban kerja atau beban
ganda yang ia jalani, terlihat dari sosok Siti yang sering meluapkan
kekesalannya pada aktifitas yang dilakukannya. Manisfestasinya bisa dilihat
dari Siti yang menginjak-injak pakaian dengan cepat saat mencuci, Siti yang
merokok, Siti yang berteriak dengan kasar untuk suaminya di pantai, mabuk-
mabukan, dan juga selingkuh. ketika Siti menginjak-injak dengan keras
cucian baju dan juga saat ia merokok ataupun mabuk-mabukan. Siti selalu
menyalurkan rasa ketertekan akan beban ganda yang ia alaminya melalui hal
tersebut. Maka, berikut potongan-potongan foto yang sangat representatif
menunjukan manisfestasi yang dilukiskan sebagai tanda Siti sedang
mengalami beban ganda:
Gambar 4.11 Siti yang menginjak-injak dengan kencang cucian yang
sedang ia kerjakan untuk meluapkan rasa kekecewaannya akan suaminya yang
tidak membalas pembicaraannya
74
Gambar 4.12 Siti yang selalu merokok dikala ia memiliki banyak pikiran,
atau merasa tertekan dengan beban ganda yang ia alami serta perilaku
suaminya yang mengacuhkan dirinya
Gambar 4.13 Siti yang meluapkan segala emosinya selama ini dengan
berkata kasar, yang selama ini emosinya ia pendam di depan suaminya
Gambar 4.14 Siti yang mencoba minuman alkohol untuk mabuk agar bisa
melupakan sesaat utang yang mesti ia lunasi
75
Gambar 4.15 Siti yang ingin mencari kesenangan agar lupa akan
masalahnya dengan berselingkuh dengan Gatot
Tanda lain dari Siti yang mengalami beban kerja ganda, terlihat saat Siti
harus tetap menemani Bagas untuk bermain walau sedang perjualan peyek
Jingking. Dan saat Siti yang menemani Bagas belajar harus segera bersiap
untuk pergi bekerja menjadi pemandu karoeke. Beban tambahan yang tiba-tiba
dialami Siti sehingga menambah beban ganda yang dipikulnya, terlihat saat
Karyo menagih hutang kepada Siti.
Situasi Siti saat teringat masa lalunya yang bahagia, Siti yang berdemo
bersama pegawai karoeke lainnya untuk menuntut kembali di bukanya tempat
karoeke, suasana meriah saat karoeke adalah bentuk materalisasi situasi
dimana Siti mengalami beban ganda.
D. Interpretasi
Konstruksi akan kaum perempuan ini sudah cukup banyak
diperbincangkan di media massa Indonesia, salah satunya melalui dunia
perfilman. Film Siti adalah salah satu dari banyaknya film yang mengangkat
tema perempuan. Film ini seakan menjadi konstruksi kepada yang melihatnya
bahwa perempuan digambarkan dengan perannya yang selalu berada di sektor
domestik yang berhubungan dengan adanya peran gender namun perempuan
tetap berperan aktif dalam wilayah publik. Media film dalam hal ini Film Siti
76
memiliki peran sebagai alat untuk kelompok tertentu dimana diduga dalam
kelompok bersifat patriarkis untuk menkonstruksi adanya peran gender serta
ketidakadilan yang dialami
Dalam budaya masyarakat patriarki perempuan dianggap makhluk kedua,
dimana perempuan tetap didominasi dan disubordinasi oleh produk budaya
masyarakat. Kuasa laki-laki memperingatkan akan ketidakbermaknaan
perempuan. Perempuan menjadi bagian dari realitas penindasan dan
dehumanisasi pada masyarakat patriarkhal. Namun seiiring dengan
perkembangan zaman realitas akan perempuan yang bekerja adalah menjadi
keputusannya. Perempuan yang bekerja juga harus bisa membagi waktunya
dengan baik untuk mengurus rumah tangganya dalam hal ini pekerjaannya di
sektor domestik. Realitas itulah yang saat ini biasa kita jumpai.
Berdasarkan analisis naratif dan analisis semiotika yang meneguhkan
data naratif, menunjukan bahwa film ini membentuk suatu alur cerita bahwa
perempuan digambarkan secara timpang, yaitu mengalami beban kerja,
subordinasi, marginalisasi. Selain itu perempuan digambarkan sebagai sosok
penghibur dan sesksualitas karena selalu menemani laki-laki dalam mencari
kebahagiaan mereka. Namun, terlepas dari semua itu perempuan dalam film
ini juga digambarkan sangat luwes dalam memikul beban kerjanya, Siti dapat
menempatkan posisi dirinya dengan baik apabia berada di sektor domestik
atau publik, walau terkadang ia harus memilih memprioritaskan salah
satunya.
Subordinasi, marginalisasi, beban kerja ganda sendiri merupakan hasil
dari ketimpangan gender. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan
77
(diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dan tidak adanya
kesetaraan dan keadilan di dalam pembagian peran, tanggung jawab, hak dan
kewajiban serta fungsi sebagai anggota keluarga maupun masyarakat yang
akhirnya tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Bias gender dalam film Siti dipengaruhi dengan adanya ideologi patriarki
akan kontruksi sosial bahwa laki-laki sebagai pusat dan perempuan hanya
bayang-bayang. Laki-laki menempati dominasi seluruh ruang-ruang publik.
Dari mulai pengambil keputusan dan kebijakan aktor utama, tempat di depan,
kesempatan yang luas, dan ketersedian waktu bagi laki-laki. Jika seluruh
masalah menempatkan laki-laki sebagai aktor dan pemilik akses yang paling
dominan, maka perempuan secara tidak sadar telah mengalami
pembungkaman. Oleh sebabnya, sosok Siti seakan diam dengan segala beban
ganda yang telah ia alami. Siti tidak bisa marah kepada suaminya atas beban
ganda yang dia jalankan.
Budaya patriarki adalah budaya dominasi atas laki-laki terhadap
perempuan. Dalam konteks masyarakat patriarki, perempuan adalah warga
kelas dua yang berada di wilayah domestik (reproduktif) dan laki-laki ada di
wilayah publik (produktif). Kondisi tersebut seakan menjadi kodrat dalam
realitas pola relasi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ketika
seorang perempuan bekerja atau melakukan kegiatan di ranah publik untuk
mencari uang, maka dia masih wajib melakukan pekerjaan rumah tangga
(tanggungjawab rumah tangga masih menjadi beban perempuan).
Perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang merupakan
peran mutlak yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam kultur masyarakat
78
kita yang patriarkis. Bahkan secara tidak langsung setiap perempuan pasti
akan menjadi ibu rumah tangga dan memiliki jiwa keibuan. Oleh karena itu,
ketika perempuan bekerja, maka yang terjadi adalah mereka tetap melakukan
perannya sebagai ibu rumah tangga.
Banyak penelitian yang meneguhkan bahwa budaya patriarki menjadi
salah satu latar belakang adanya ketidakadilan gender yang dialami
perempuan, diantaranya penelitian yang berjudul Representasi Patriarki
dalam film Cinta Suci Zahrana (Agus Taufik, 2017) bahwa pada film
tersebut laki-laki mempunyai kuasa untuk menentukan masa depan anaknya,
otoritas laki-laki mempunyai kekuatan untuk menyudutkan posisi anak, ibu
sebagai pendukung patriarki juga melakukan hal yang sama, adanya
kekerasan psikis yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya, dan karena
sistem ekonomi yang kapitalis dan merasa bercukupun menjadi seorang
laki-laki berhak dan berkuasa untuk merendahkan derajat perempuan,
akrena sistem kapitalis juga laki-laki berhak melakukan penyalahgunaan
wewenang dalam dunia kerja.
Lain halnya dengan penelitian yang berjudul Representasi Patriarki
dalam Film Batas (Fanny Gabriella Adipoetra, 2016) dalam hasil
penelitiannya menemukan bahwa perempuan yang berada pada budaya
patriarki tidak bisa keluar dari ranah yang sudah dibangun dalam
masyarakat yaitu ranah domestik. Bahkan ketika perempuan beraktivitas,
perempuan tetap harus bertanggung jawab dengan urusan rumah tangganya
seperti mengurus anak. Perempuan juga tidak memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Perempuan juga
79
digambarkan dengan sosok lemah dan identik dengan pelecehan seksual.
Perempuan juga digambarkan dengan selalu bergantung kepada laki-laki
pada setiap aspek kehidupan kecuali dalam ranah domestik.
Sosok Siti yang mengalami bias gender, seakan tidak bisa mencurahkan
segala emosinya. Siti seakan dibungkam oleh suaminya dan Gatot sehingga
ia tidak bisa meluapkan emosinya. Perempuan yang seakan diam dalam
tindakan laki-laki dijelaskan pada muted group theory. Asumsi pertama dari
muted theory group sendiri adalah perempuan rnempersepsikan dunia secara
berbeda dengan laki-laki karena pengalaman perempuan dan laki-laki yang
berbeda serta adanya kegiatan yang berakar pada pembagian pekerjaan.
Asumsi ini berdasarkan pada perbedaan persepsi gender. Asumsi ini dimulai
dari premis adalah bahwa dunia adalah tempat yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Selain itu asumsi ini juga memberikan penjelasan bagi
pembagian pekerjaan yang rnengalokasikan pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin, misalnya perempuan bertanggung jawab terhadap pekerjaan di
dalam rumah dan laki-laki bertanggung jawab pada pekerjaan di luar rumah.
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan juga menyebabkan lensa
polarisasi gender yang menjadikan orang melihat perempuan dan laki-laki
sebagai dua orang yang berbeda satu sama lain. Asumsi kedua, karena
dominasi politik laki-laki, sistem persepsi laki-laki dominan, menghambat
ekspresi bebas dari model alternatif perempuan mengenai dunia. Asumsi ini
lebih tegas lagi kelompok dominan adalah laki-laki.
Pada film Siti perempuan dikonstruksi sebagai perempuan akan
mengalami peran gender berdasarkan situasi budaya yang ada di sekitarnya.
80
Selain itu, nampak pada film Siti bahwa perempuan bekerja juga mengalami
marginalisasi dalam artian terpinggirkan akibat adanya anggapan bahwa
perempuan hanyalah pekerja kelas dua karena adanya perbedaan gender,
sehingga yang harusnya hak-hak pekerja perempuan dapat diperoleh diambil
keuntungannya oleh mereka yang memperkerjakan perempuan. Dengan
adanya marginalisasi bahwa perempuan lebaih baik bekerja di domestik,
maka apabila perempuan bekerja di wilayah publik, selanjutnya ia akan
mengalami ketidakadilan gender lainnya yaitu beban ganda. Selain itu, dalam
film ini memperlihatkan bahwa perempuan mengalami subordinasi dimana
adanya asumsi bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki dan laki-laki
adalah sosok kuat, sehingga laki-laki seakan mengontrol dalam pengambilan
keputusan yang dilakukan perempuan.
Adanya bias gender pada perempuan memunculkan kehadiran gerakan
feminisme. Feminisme mengusung adanya keadilan gender. Menurut Ratna
(2007:201), kata feminis yang berasal dari kata femme yang berarti
perempuan. Gerakan yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan disebut feminis. Masalah-masalah yang diusung oleh gerakan
ini sangat beragam, mulai dari patriarki hingga wilayah politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, feminisme liberal berpendapat bahwa
ketimpangan gender yang terjadi di keluarga, dilihat dari pembagian kerja
yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Pada umumnya,
perempuan memiliki peran dan tanggungjawab yang lebih besar di ranah
domestik. Pekerjaan pengasuhan anak dan kerja rumah tangga menghabiskan
81
waktu yang jauh lebih lama dibandingkan kerja publik.54
Berdasarkan
feminisme liberal pula, untuk mengatasi ketimpangan gender ini dibutuhkan
pendekatan yang bersifat interpersonal, perempuan atau seorang istri ada
baiknya bernegoisasi dengan suami, agar suami juga mau terlibat dalam peran
domestik.55
Feminisme sosialis sendiri berpendapat mengenai bias gender yang
dialami perempuan dikarenakan pekerjaan domestik perempuan yang dengan
sendirinya membatasi pekerjaan publik perempuan. Pekerjaan domestik
perempuan juga membatasi skill dan pendidikannya bahkan tugas perempuan
di sektor domestik lebih banyak menyita waktu yang seharusnya mereka bisa
manfaatkan untuk melakukan aktifitas ekonomi. Dan melalui budaya
patriarki, peran perempuan di ranah domestik seakan terus dilanggengkan
dengan menekankan pada isu feminitas bahwa perempuan lebih penyayang,
lebih sensitif, lebih baik dalam mengasuh anak dan sebagainya, sehingga
aturan-aturan simbolis ini dengan sendirinya menempatkan perempuan pada
sektor non-publik. Keterlibatan perempuan dalam sektor non-publik juga
tidak terlepas dari permasalahan. Pandangan seksis dan stereotype terhadap
perempuan menyebakan “kerja perempuan” dinilai lebih rendan dibandingkan
kerja laki-laki.56
Oleh sebabnya dalam ranah publik, laki-laki seakan bebas
menekan perempuan.
54
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama,
(Banten: UIN Jakarta Press, 2013), h. 59. 55
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama, h. 59. 56
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama, h. 74.
82
Menurut persepektif feminis secara umum, seharusnya ada kerjasama atau
komunikasi antar laki-laki dan perempuan dalam menentukan atau
mengambil keputusan antara peran domestik atau publik sehingga tidak ada
salah satu pihak yang diberatkan atau lebih mereasa tertekan. Hal ini sesuai
dengan gerakan feminisme yang akan pembebasan perempuan atas segala isu
ketimpangan yang mereka alami.
Dalam islam perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama,
tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin mereka dan tidak ada bias
gender. Islam mendudukan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama
dan kemuliaan yang sama. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Surah Al-
Hujarat ayat 13 yang berbunyi sebagai berikut:
ها ٱلناس إىا خلقنلم ن يأ كرنلم ي
إن أ ىث وجعلنلم شعوبا وقبائل لعارفوا
و ذكر وأ
عليم خبير لم إن ٱلل تقى أ عيد ٱلل
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dan selanjutnya perbuatan yang dilakukan oleh perempuan setara dengan apa
yang dilakukan oleh laki-laki, amal-amal masing dihargai allah berdasarkan Surah
Al-Imran ayat 195:
83
هل نيلم نو ذكر ضيع عهل عن ل أ
بعضلم نو بعض فٱستجاب لهم ربهم أ ىث
و أ
أ
كفرن عيهم ل وقتلوا تلوا ف سبيل وق وذوا
نو ديرهم وأ خرجوا
وأ يو هاجروا اتهم س فٱل
ىهر ثوابا ن ت تري نو تتها ٱل دخليهم جن
عيدهۥ حسو ٱلثواب ول وٱلل و عيد ٱلل
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang
diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang
baik".
Dua ayat di ayat di atas menjelaskan bahwa islam sendiri tidak
membedakan laki-laki dan wanita, yang membedakan antara mereka adalah
ketaqwaannya. Islam mendudukan wanita dan laki-laki pada tempatnya.
Tidak dibenarkan dengan budaya patriarki yang menganggap bahwa
perempuan berada di kelas dua dan memiliki derajat yang lebih rendah. Dari
dua ayat tersebut dan banyak ayat lainnya bahwa banyak ayat yang
memuliakan dan mengangkat derajat perempuan baik sebagai ibu, anak, istri,
atau sebagai anggota masyarakat. Tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan dalam islam.
84
Kenyataanya saat modernisasi ini, perempuan dapat memilih apakah ia
akan memilih mengalami ketimpangan gender atau tidak karena perempuan
pada era sat ini, merasa bahwa mereka bisa mandiri, dengan mengerjakan
segala kebutuhan rumah tangga dan juga mencari nafkah sebagai pembantu
ekonomi keluarga atau untuk kebutuhannya sendiri. Tapi perempuan tetap
saja akan berada pada sektor domestik dan karena sudah menjadi kewajiban
dan sudah menjadi konstrksi bahwa hal tersebut identik dengan peran gender
perempuan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa film bisa menjadi suatu
medium dalam menyampaikan suatu ideologi kelompok tertentu, dalam hal
ini adalah paham patriarkis dilihat dari pembuat film tentang perempuan yang
digarap oleh laki-laki. Perempuan dalam Film Siti seakan dikontruksi bahwa
mereka yang berada dalam budaya patriarki terlihat seakan tidak bisa lepas
dari kontrol laki-laki. Mereka tidak bisa memilih untuk menikmati
kehidupannya sebagai perempuan. Gerak-gerik mereka seakan selalu
diperhatikan dan keputusan yang mereka ambil juga seakan atas peran laki-
laki. Hal-hal tersebut sangat terlihat dari pesan yang disampaikan oleh film
Siti.
85
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai
representasi gender dalam film Siti, maka dapat ditarik kesimpulan berikut:
1. Berdasarkan penelitian menggunakan model narasi aktansial A.J Greimas
terhadap film Siti terdapat enam aktan dalam satu struktural. Aktan
pengirim diisi oleh dua situasi yaitu Suami yang lumpuh dan hutang
kapal yang belum lunas. Sebagaimana diketahui, aktan pengirim
memiliki kuasa dalam struktur cerita karena pengirim menggerakkan
subjek kepada tujuannya, yaitu objek dan penerima. Dari dua aktan
pengirim tersebut menunjukan keberhasilan subjek untuk mendapatkan
objek yaitu Siti yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan dan melunasi
hutang serta mencari kesenangan sesaat untuk melepas beban dan
memberikan dampak kepada penerima yaitu keluarga Siti karena hutang
keluarga mereka telah lunas. Walau dalam pencapaiaan subjek kepada
objek adanya penolong dan penghalang. Hal ini menandakan bahwa
keenam aktan tersebut menjelaskan peran dan fungsinya masing-masing
sehingga membentuk suatu alur cerita.
2. Berdasakan hasil penelitian dari penelitian semiotika alur dalam film Siti
menceritakan sosok Siti yang mengalami bias gender, diantaranya
subordinasi, marginalisasi, beban kerja ganda, selain itu perempuan juga
dikonstruksi sebagai makhluk yang hanya bisa diam dihadapan laki-laki
yang berkaitan dengan muted group theory. Dan secara keseluruhan
86
pesan yang seakan digambarkan dalam film ini adalah bahwa perempuan
memiliki beban kerja ganda. Selain itu, perempun dalam film ini
dikontruksi sebagai sosok yang lemah tidak bisa mengutarakan isis
hatinya, gemulai, dan pada sektor publik dikontruksi sebagai sosok
penghibur serta sensualitas karena menjadi objek laki-laki untuk
bersenang-senang.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap ketidakadilan Gender
dalam film Siti kepada para pembaca dan masyarakat, di antaranya:
1. Apa yang disampaikan atau digambarkan oleh film janganlah dikonsumsi
secara mentah-mentah, namun harus kita pahami makna yang
tersembunyi dibaliknya sehingga menjadi pembelajaran bagi kita. Film
hendaknya memperhatikan norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
Dan film hendaknya tidak hanya sebagai media hiburan namun juga
sebagai media pembelajaran dan teladan bagi masyarakat.
2. Penonton harus lebih selektif dan mampu memfilter adegan-adegan yang
ditampilkan dalam film sehingga penonton mampu menangkap pesan
yang disampaikan secara matang.
3. Akademisi yang hendak meneliti film, sebaiknya memahami metodologi
analisis dan teori yang digunakan sehingga tidak ada kerancuan dan juga
dapat mengkritisi pesan-pesan yang disampaikan melalui film.
87
DAFTAR PUSTAKA
A. Muniarti, Nunuk. Getar Gender Buku Kedua: Perempuan Indonesia dalam
Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesia Tera, 2004.
Amalia, Euis. dkk. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita Syarif
Hidayatullah, 2003.
Arivia, Gadis. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Buku Kompas, 2003.
Denesi, Marcel. Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
Denzin, Norman K dan Guba, Egon. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Eriyanto. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks
Berita Media. Jakarta: Kencana. Prenada Media Group, 2013.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis,
2001
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTPress, 2008.
Fakih, Mansour. dkk. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan dari
Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender
Perspektif Islam. Surabaya:Risalah Gusti, 2003.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Haryatmoko. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Landasan
Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016.
Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika, 2012.
Humm, Magie. Ensilokpedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007.
88
Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia, 1986.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2011
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender. Indonesia Heritage Foundation, 2014.
Mosse Cleves, Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Narko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Nugroho, Rian. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Peterson, dan River. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana,
2008.
Ratna, Kutha Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Rosyidah, Ida dan Hermawati. Relasi gender dalam Agama-agama. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2013.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, cet. ke-5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Stokes, Jane. How to media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang Pustaka,
2007.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
89
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semitotika Komunikasi – aplikasi praktis bagi
penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media,
2013.
JURNAL
Hidayati, Nurul. Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan
Publik). Volume 7, no. 2 (Desember 2015): h. 109-110.
Suryorini, Ariana. Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2 (April
2012): h. 24.
Dwi Edi. Peran Ganda Perempuan dan kesetaraan gender, Volume 3, no. 1, (Juli
2011): h. 357.
Yudha Karnanta, Yudha Kukuh. Struktural (Dan) Semantik: Teropong
Struktualisme dan Aplikasi Teori Naratif A.J Greimas. Surabaya:
Universitas Airlangga, Vol 18, No 2 edisi Desember 2015: h. 175.
WEBSITE
Eri. 4 Fakta Film Siti Pemenang Film Terbaik FFI 2015. Artikel diakses pada 30
Januari 2017 dari https://www.hitsss.com/4-fakta-film-siti-pemenang-film-
terbaik-ffi-2015/
Bariyah, Khairul. Peran Ganda dalam Menunjang Perekonomian Keluarga.
Diakses pada 20 Maret 2018 dari
https://www.kompasiana.com/kerol/59a029a251e03909e51dc942/pera-
ganda-wanita-dalam-menunjang-perekonomian-keluarga