UAS Historiografi

18
1. Dasar filosofis historiografi modern dan historiografi post modern. a. Dasar filosofis historiografi modern Modernisme merupakan gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung), dan mengabadikan dirinya hingga hari ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996: 29). Dasar filosofis dari modernisme menurut Wora (2006: 3) diantaranya bahwa "Materi dan pikiran adalah dua entitas yang berbeda," kata Descartes dalam teori "cogito ergo sum"-nya, lagi pula lanjut Descartes, karena saya berpikir maka saya ada, maka tidak ada satu pun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati kecuali pikiran. Dengan demikian, dalam dikotomi antara pikiran dan materi tadi, yang sungguh-sungguh eksis hanyalah pikir- an. Dengan kata lain, pikiran berada di atas materi. Konsep Descartes inilah yang menjadi perintis terjadinya dikotomi antara manusia dan alam, yang selanjutnya melegitimasi kekuasaan dan eksploitasi manusia atas alam. Gagasan Descartes tentang keutamaan rasionalitas ini, yang selanjutnya semakin diradikalkan oleh berbagai pemikir modern, terutama mereka yang bergerak di dalam bidang filsafat sekular dan sains, ternyata

Transcript of UAS Historiografi

Page 1: UAS Historiografi

1. Dasar filosofis historiografi modern dan historiografi post modern.

a. Dasar filosofis historiografi modern

Modernisme merupakan gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang

awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan

(Enlightenment/Aufklarung), dan mengabadikan dirinya hingga hari ini melalui

dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996: 29).

Dasar filosofis dari modernisme menurut Wora (2006: 3) diantaranya bahwa

"Materi dan pikiran adalah dua entitas yang berbeda," kata Descartes dalam teori

"cogito ergo sum"-nya, lagi pula lanjut Descartes, karena saya berpikir maka saya

ada, maka tidak ada satu pun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati

kecuali pikiran. Dengan demikian, dalam dikotomi antara pikiran dan materi tadi,

yang sungguh-sungguh eksis hanyalah pikiran. Dengan kata lain, pikiran berada di

atas materi. Konsep Descartes inilah yang menjadi perintis terjadinya dikotomi

antara manusia dan alam, yang selanjutnya melegitimasi kekuasaan dan

eksploitasi manusia atas alam.

Gagasan Descartes tentang keutamaan rasionalitas ini, yang selanjutnya

semakin diradikalkan oleh berbagai pemikir modern, terutama mereka yang

bergerak di dalam bidang filsafat sekular dan sains, ternyata punya andil yang

sangat besar dalam menciptakan krisis kedirian manusia. Rasio atau akal adalah

segala-galanya bagi manusia, meski rasio ini sendiri sangat terbatas. Dengan kata

lain, satu-satunya jalan yang benar untuk memahami realitas kehidupan dan

kedirian manusia hanyalah melalui akal. Ada berbagai aspek lain yang sebenarnya

juga ada di dalam alam dan dalam diri manusia, tersisihkan oleh rasio manusia,

bukan karena mereka tidak eksis, melainkan karena rasio itu sendiri tidak mampu

menjangkau mereka. Dengan demikian, manusia modern sebenarnya bisa

dikatakan hidup tidak di dalam kepenuhannya. Terlalu banyak hal yang terabaikan

yang sebenarnya sangat vital bagi keutuhan diri manusia itu sendiri.

Bagi kaum modernis, ilmu dipandang sebagai awal dan akhir, bukan hanya

yang terpenting melainkan juga puncak dari modernitas (Sugiharto, 1996: 29)

sehingga kaum modernis percaya dengan apa yang disebut dengan kebenaran

universal. Hal ini membawa konsekwensi dalam memandang informasi,

Page 2: UAS Historiografi

pandangan modernis, menurut Subekti (2006: 5-10) tidak dapat memahami

bahwa informasi yang menarik akan menghasilkan lebih banyak informasi. Bagi

mereka, informasi yang bermakna adalah informasi yang diletakkan pada akhir

suatu tulisan. Mereka tidak dapat menjelaskan secara tepat perihal yang dapat

diperdebatkan sebagai landasan bagi kemajuan ilmu, sebagaimana dikemukakan

oleh Bachelard, manakah di antara fakta-fakta yang dapat diperdebatkan itu

merupakan fakta-fakta yang benar.

Selanjutnya dalam hal penggunaan gaya bahasa, bagi para modernis, gaya

pengungkapan itu dipandang tidak relevan, kurang penting, yang penting adalah

isi. Dan bagi para modernis, bukti adalah sesuatu terjadi di masa lalu. Sejarawan

modernis mengikuti suatu alur penalaran dari sumber-sumbernya, dan bukti atas

suatu realitas sejarah tersembunyi di belakang sumber-sumber .

Dapat kita katakan bahwa dasar filosofis historiografi modern menggunakan

paradigma Positivis dalam penulisan sejarah. Karakternya menjadi empiris-skeptis

karena menggunkan pendekatan teori kebenaran korespondensi. Sehingga

penulisan sejarah berpusat pada pelaku dan peristiwanya serta fokus pada

kesinambungan antar periode.

b. Dasar filosofis historiografi postmodern

Postmodernisme secara harafiah berarti "pasca modernisme/sebuah "isme"

yang menggantikan modernisme. Asal usulnya adalah dari wilayah seni, dan dari

situ merembet menjadi istilah dalam ilmu-ilmu lain (Barker, 2003:228). Akhirnya

istilah itu oleh filosof Perancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam

kawasan filsafat dan sejak itu dipergunakan sebagai sebuah "isme" baru.

Walaupun pemikiran postmodernisme ini berbeda-beda tapi mereka tetap

mempunyai kesamaan, yaitu penolakan terhadap kediktatoran dalam konsep-

konsep. Dengan kata lain, menurut Magnis-Suseno (2005: 229), postmodernisme

melawan pemikiran totaliter dan filsafat identitas. Postmodernisme, ia

melanjutkan, curiga terhadap prinsip-prinsip universal sebagai sarana dominasi.

Dengan kata lain, menurut istilah Lyotard, postmodernisme menolak "cerita besar"

demi "cerita-cerita kecil”. Untuk melawan itu semua, para postmodernis

Page 3: UAS Historiografi

mengajukan hak realitas individual dan konkret, hak realitas setempat, pluralitas

sikap, paham, cara berpikir, dan model penghayatan kemanusiaan.

Sementara itu, menurut Schroeder (2005: 323), postmodernisme berusaha

untuk mengklarifikasi ciri-ciri unik zaman ini. Klaim sentral postmodernisme

adalah bahwa zaman ini (yang dianggap mulai pada 1945, setelah Perang Dunia

II, atau pada 1960 dengan datangnya abad generasi baru) secara kuantitatif

berbeda dari zaman terdahulu (modernitas). Beberapa postmodernis, khususnya

Lyotard dan Rorty, mengamati perubahan-perubahan dalam asumsi-asumsi

filosofis dan ilmiah. Postmodernis lain, khususnya Baudrillard dan Jameson,

menjelaskan perubahan dalam kebudayaan, khususnya seni, kehidupan sosial, dan

teknologi.

Menurut Sjamsuddin (2007: 335), istilah postmodernisme merupakan konsep

yang cukup sulit untuk ditangkap maknanya. Oleh sebab itu, makna istilah

"postmodemisme" memang lebih ambigu lagi; ia menjadi sekedar istilah yang

memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain

bisa sangat berbeda (Sugiharto, 1996: 28). Dengan kata lain, istilah postmodern

secara filosofis menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-

paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.

Dasar filosofis historiografi postmodern bisa dilihat dari pandangannya

terhadap ilmu dan informasi. Bagi postmodernisme (Subekti, 2006: 5), ilmu dan

informasi merupakan objek kajian independen yang mempunyai kaidah sendiri.

Kaidah prinsip pertama dari teori informasi postmodernis bahwa informasi

berkembang-biak. Salah satu karakteristik paling fundamental dari informasi

bahwa informasi yang benar-benar penting tidak pernah merupakan akhir dari

suatu genealogi informasi, melainkan arti pentingnya dalam fakta yang dinilai

secara intelektual a posteriori. Karya-karya besar sejarah tentang historiografi,

seperti Tocqueville, Marx, Burcardt, Weber, Huizuinga, maupun Braudel,

membuktikan berulang-kali menjadi perangsang kuat bagi gelombang baru

publikasi. Secara paradoks, jika suatu interpretasi lebih kuat dan otoritatif, maka

akan lebih banyak penulisan yang dihasilkan.

Page 4: UAS Historiografi

Menurut postmodernisme, ilmu bersifat “tidak mapan” yang berada di luar

pusat dirinya. Reversibilitas pola-pola pemikiran dan kategori-kategori pemikiran

ditekankan, tanpa menyarankan alternatif tertentu yang bersifat definitif.

Rasionalitas ilmiah bukan merupakan aufgehoben dalam artian Hegelian terhadap

rasionalitas lain, setiap pandangan tidak secara otomatis menimbulkan

antitesisnya; melainkan dianggap setiap pandangan memiliki sisi luar yang lepas

dari catatan ilmu, di samping sisi dalam yang diteguhkan secara ilmiah.

Wittgenstein dalam karyanya Tractatus menyarankan sesuatu yang serupa dengan

setiap alur penalaran yang valid. Faktanya, alur penalaran yang valid menjadikan

penalaran berlebihan, maka selalu merupakan suatu perjalanan menghindarkan

jalur yang tidak benar, yaitu perjalanan dari kesalahan awal ke pemahaman yang

benar. Konsekuensinya, apa yang benar senantiasa dinodai oleh apa yang tidak

benar.

Subekti (2006: 7) juga berpendapat bahwa ilustrasi dari tesis postmodernis

dalam historiografi, yakni bahwa interpretasi-interpretasi sejarah atas masa lalu

pertama-tama dapat dikenali melalui pertentangan dengan interpretasi-interpretasi

lainnya. Misalnya bagi seseorang yang hanya mengetahui satu interpretasi tentang

Perang Dingin, ia tidak akan mengetahui seluruh interpretasi fenomena tersebut.

Oleh karena itu, setiap pemahaman sejarah mempunyai sifat paradoksal secara

intrinsik. Hayden White dalam karyanya Metahistory memiliki penalaran yang

sama ketika menyifatkan bahwa semua penulisan sejarah sebagai ironis secara

fundamental.

Selanjutnya, pergerakan dalam kesadaran sejarah dapat digambarkan dengan

tamsilan sejarah seperti sebuah pohon. Perhatian historisisme dan historiografi

ilmiah modernis difokuskan pada apa yang terjadi di masa lalu serta kekurang-

penerimaannya terhadap skema-skema a priori yang disituasikan dalam cabang-

cabang pohon. Sementara pilihan historiografi postmodernis tidak jatuh pada

batang maupun cabang-cabang, melainkan pada dedaunan pohon. Pandangan

sejarah postmodernis bukan berpusat pada integrasi, sintetis, dan totalitas;

melainkan potongan-potongan sejarah. (Subekti, 2006: 13).

Page 5: UAS Historiografi

Historiografi dengan menggunakan paradigma Postmodern memiliki ciri khas

kontekstualisasi-dekontekstualisasi-rekontekstualisasi dalam penulisan sejarah.

Historiografi post modern ini menggunakan pendekatan multiperspektif

sehingga sejarah tidak hanya ditulis dari satu sudut pandang, melainkan banyak

alternative. Berbeda dengan historiografi modern, historiografi modern fokus

pada ketidak-sinambungan daengan melihat perbedaan antara satu periode dengan

periode lain.

2. Metahistory dan poetic history dan hubungannya dengan Narrative turn

dan/atau linguistic turn.

Metahistory dan Poetic History

Menurut White (dalam Sjamsuddin, 2007: 346), metahistory adalah sejarah itu

sendiri. Hal ini karena dalam penulisan sejarah tidak bisa dihindari ‘kiasan’

(troping) bagian-ke-seluruh (parts-to whole) dan seluruh-ke-bagian (whole-to-

parts), maka kisah sejarah akhirnya merupakan metafora (methaporical). White

sendiri mendefinisikan karya sejarah sebagai suatu struktur verbal dalam bentuk

wacana prosa naratif yang mengklasifikasikan struktur-struktur masa lalu dan

proses-proses untuk menjelaskan apa mereka itu dulu dengan merepresentasikan

mereka sebagai model.

Dengan adanya kiasan-kiasan (tropes) ini yang merupakan elemen puitis

masuk ke dalam sejarah, maka sejarah disebut juga “puisi sejarah” (the poetic of

history). Carrad (dalam Sjamsuddin, 2007: 347) mengilustrasikan “puisi” (poetic)

[sejarah] sebagai kajian tentang aturan-aturan, kode-kode dan prosedur-prosedur

yang beroperasi di dalam serangkaian teks-teks tertentu. Hal ini menujukkan bahwa

“Sejarah Baru” dari mazhab Annales di dalamnya adalah “puitis”.

Berbeda dengan sejarawan dan ahli filsafat ejarah Prancis, Philip Charrad

(dalam Sjamsuddin, 2007: 347), mengartikan metahistories itu sebagai “karya-

karya [sejarah] yang tujuannya bukan untuk membuat informasi baru tentang

objek tertentu, tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-

interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang

telah membuat mungkin interpretasi ini.

Page 6: UAS Historiografi

Bisa kita lihat bahwa White lebih menekankan pada aspek metafora sehingga

karya sejarah iu disebut sebagai metahistory, maka Carrad tampaknya

menekankan kepada interpretasi-interpretasi terhadap karya-karya yang sudah

pernah ada.

Hubungan Metahistory dan Poetic History dengan Narrative turn dan/atau

Linguistic Turn

Perkembangan filsafat selama abad ke-20 dicirikan, salahsatunya oleh

penekanannya terhadap aspek linguistik (Schroeder, 2005: 323). Istilah linguistic

turn (kembali ke linguistik/kembali ke kebudayaan) mempunyai karakteristik

utama memusatkan diri pda filsafat, dan akibatnya juga pada ilmu-ilmu sosial.

Para sejarawan, ahli-ahli sosiologi, ahli-ahli ilmu politik mengarahkan perhatian

mereka kepada masalah-masalah bahasa, identitas, simbol-simbol dan konstruksi-

konstruksi sosial dengan mulai meninggalkan penjelasan-penjelasan materi yang

menggunakan hitungan atau angka-angka (quantifable). Mereka melihat kajian

bahasa sebagai fondasi disiplin ilmu (Sjamsuddin, 2007: 339-340).

Dalam wacana sejarah, kekuatan bahasa ini secara khusus ditunjukkan oleh

hasil kajian “arti kiasan-kiasan retorik” dari Hayden White. Maka linguistic turn

dan kelanjutannya, narrative turn (kembali ke naratif) menjadi trend dalam

memahami sejarah. Dalam hal ini White melakukan pendekatan-pendekatan

linguistik dalam memahami sejarah. Oleh karena itu, muncul konsep Metahistory

dan Poetic History yang sangat memperhatikan aspek analisis linguistik dalam

sejarah.

3. Kaitan ideologi dengan perubahan sosial dalam historiografi postmodern

Proses perubahan sosial dalam masyarakat berlangsung sejalan dengan

perjalanan sejarah umat manusia, dari generasi ke generasi. Perubahan sosial

muncul karena lahirnya ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, sebagai upaya

manusia untuk mengatasi hambatan-hambatan serta keinginan untuk

mempertahankan masa depannya.

Page 7: UAS Historiografi

Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan

dalam sutu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk sikap,

nili-nilai, pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat (Iskandar,

2003: 349) termsuk didalamnya ideologi. Proes perkembangan masyarakat

sebagai suatu proses evolusi, seperti proses pertumbuhan yang bertambah

kompleks fungsi dan strukturnya berdiferensi, serta ketergantungan bagian yang

lainnya.

Salah satu tema pengaruh ideologi terhadap perubahan sosial kaum post

modernisme selain teoi kekuasaan adalah tentang disiplin tubuh (tema ini di

usung oleh slaha satu tokoh postmodernisme, Faucault). Ideologi tidak hanya

bermain dalam ranah konsep-konsep, perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran kita,

tetapi ideologi bekerja melalui tubuh kita –sebab kita memang bukan hidup dalam

tubuh tetapi sebagai tubuh (Marleau Ponty)-. Pendisiplinan tubuh dilakukan

melalui tubuh sebagai objek pengetahuan (psikologi, sosiologi,kedokteran),

ataupun oleh institusi-institusi sosial (sekolah, penjara, rumah sakit, bahkan tata

kota). Michael Foucault tertarik bagaimana pendisiplinan tubuh dalam dunia barat

bergeser dari drama tontonan (penyiksaan, pemenggalan dll) ke dalam institus-

institusi. Bahkan Michael Foucault menyebutkan konsep Panopticon yaitu

bagaimana subjek-subjek mengambil jarak mental bagi dirinya sendiri, sehingga

dia menjadi sipir bagi tubuhnya sendiri (Fakih, 2002:172-179).

Begitupun dalam historiografi postmodern. Konsep panopticon ini sangat

berpengaruh dalam bagaimana membaca sejarah. Sihingga dengn konsep ini

perubahan sosial sangat mungkin dan bahkan akan terjadi sejauh ideologi-

ideologi ini berperan.

4. Latihan

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang

telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak

jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat

candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka

akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses

Page 8: UAS Historiografi

pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah

terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian,

banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan

hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah

membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul

dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-

asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu

ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal

(Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat

daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang

dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang

melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga

zaman kemerdekaan seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada

setiap fase tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada

prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan

kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-

kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten

dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif

untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama

kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan

Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan

saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu

Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama

juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali

konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.

Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita

kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah

Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko

Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu

Page 9: UAS Historiografi

Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan

Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai

terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah

posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi

dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap

manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi

embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi

jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikemudian

hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi

telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.

Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh

Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-

tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan

daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat

kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan

orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah

territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk

memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk

memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.

Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila,

dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu.

Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan

“Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah

menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si

penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak

oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan

posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para

penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan

hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan

menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya

Page 10: UAS Historiografi

seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi

bertahan hidup (Survival).

Ketiga, Fase Zaman Kemerdekaan. Fase perkembangan praktek korupsi di

zaman kemerdekaan seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa

Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh

penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang

tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut

tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan bahkan anggota-anggota

DPR/DPRD kita. Budaya seperti ini telah dimulai di era Orde lama Soekarno,

yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde

Baru Soeharto hingga Orde Reformasi saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan

yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi

praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah

menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan

hingga saat ini.

5. Manfaat dan mudarat pembelajaran sejarah di kelas perspektif

postmodernisme

Pada jawaban nomor 3, saya telah menjelaskan tentang konsep panopticon.

Dalam dunia pendidikan, konsep panopticon Foucault kita bisa lihat relevansinya.

Bagaimana murid atau siswa merasa diawasi dan berusaha mendisiplinkan diri,

walaupun sipir sekolah (guru, kepsek, mandor sekolah) tidak sedang

mengawasinya. Murid/siswa merasa ada “mata mistis” yang terus-menerus

mengawasi tingkah lakunya. Lalu kita bisa lihat arsitektural atau semiotika tata

lingkungan sekolah tidak ada bedanya dengan penjara, mereka dikelas-kelaskan

agar pengontrolan lebih mudah (karena menurut psikologi anak setiap umur

“kenakalannya” berbeda), militerisasi sekolah seperti apel pagi atau pulang,

upacara dan lain-lain, ini semua dalam rangka pengawasan dan pendisiplinan.

Dalam konteks ini, pembelajaran sejarah di kelas jelas sangat berpengaruh

terhadap bagaimana seorang siswa menjadi sipir dirinya sendiri untuk belajar

sejarah sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai.

Page 11: UAS Historiografi

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2003. Cultural Studies: Theory and Practice, Second Edition,

London: Sage Publications.

Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:

Pstaka Pelajar.

Iskandar, Jusman. 2003. Teori Sosial, Garut: PPs Universitas Garut.

Magnis-Suseno, Frans. 2005. Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Schroeder, William R. 2005. Continental Philosophy: A Critical Approach,

Blackwell Publishing.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak.

Subekti, Slamet. 2006. Bagaimana Menyikapi Overproduksi Historiografi dalam

Era Postmodern: Pembelajaran dari Perspektif F.R. Ankersmit untuk

Proyeksi Diri Keindonesiaan, Makalah disampaikan pada Konferensi

Nasional Sejarah VIII di Jakarta 14-17 Nopember 2006.

Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat,

Yogyakarta: Kanisius.

Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan

Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius.