Two Concepts of Accountability

36
Two Concepts of Accountability: Accountability as a Virtue and as a Mechanism (Mark Bovens, 2010) Dalam lingkungan akademis khususnya ilmu politik di Amerika, “akuntabilitas” seringnya digunakan sebagai suatu konsep normatif, sebagai seperangkat standar untuk mengevaluasi perilaku aktor/pelaku publik. Akuntabilitas, atau persisnya “menjadi akuntabel”, dipandang sebagai suatu sifat baik, kualitas positif dari suatu organisasi atau personal. Karenanya, studi tentang akuntabilitas sering berfokus pada: isu normatif, standar, atau pada penilaian mengenai perilaku aktif dan aktual aktor/pelaku publik (Considine, 2002; Klingner et al, 2001, Koppell, 2005, O’Connell, 2005, Wang, 2002). Di Inggris, Australia, Canada, dan debat akademis di semenanjung Eropa, “akuntabilitas” digunakan dalam pengertian yang lebih sempit dan deskriptif, yaitu sebagai suatu mekanisme sosial, sebagai suatu kaitan atau pengaturan institusional dimana suatu agent dapat dianggap sebagai akuntabel oleh agent atau institusi lain (Aucoin and Jarvis 2005; Bovens 2007b; Day and Klein 1987; Goodin 2003; Mulgan 2003; Philp 2009; Scott 2000). Karenanya, studi tentang akuntabilitas bukanlah pada perilaku agent, namun pada bagaimana institusi tersebut mengelola operasional. Dan fokus studi tentang akuntabilitas bukan pada bagaimana agar agent dapat bertindak dengan cara-cara yang akuntabel, namun apakah/kapankah agent telah bertindak secara akuntabel, dalam suatu penilaian kemudian (ex post facto) oleh suatu forum akuntabilitas.

description

Accountability

Transcript of Two Concepts of Accountability

Page 1: Two Concepts of Accountability

Two Concepts of Accountability: Accountability as a Virtue and as aMechanism (Mark Bovens, 2010)

Dalam lingkungan akademis khususnya ilmu politik di Amerika, “akuntabilitas” seringnya digunakan sebagai suatu konsep normatif, sebagai seperangkat standar untuk mengevaluasi perilaku aktor/pelaku publik. Akuntabilitas, atau persisnya “menjadi akuntabel”, dipandang sebagai suatu sifat baik, kualitas positif dari suatu organisasi atau personal. Karenanya, studi tentang akuntabilitas sering berfokus pada: isu normatif, standar, atau pada penilaian mengenai perilaku aktif dan aktual aktor/pelaku publik (Considine, 2002; Klingner et al, 2001, Koppell, 2005, O’Connell, 2005, Wang, 2002).

Di Inggris, Australia, Canada, dan debat akademis di semenanjung Eropa, “akuntabilitas” digunakan dalam pengertian yang lebih sempit dan deskriptif, yaitu sebagai suatu mekanisme sosial, sebagai suatu kaitan atau pengaturan institusional dimana suatu agent dapat dianggap sebagai akuntabel oleh agent atau institusi lain (Aucoin and Jarvis 2005; Bovens 2007b; Day and Klein 1987;Goodin 2003; Mulgan 2003; Philp 2009; Scott 2000). Karenanya, studi tentang akuntabilitas bukanlah pada perilaku agent, namun pada bagaimana institusi tersebut mengelola operasional. Dan fokus studi tentang akuntabilitas bukan pada bagaimana agar agent dapat bertindak dengan cara-cara yang akuntabel, namun apakah/kapankah agent telah bertindak secara akuntabel, dalam suatu penilaian kemudian (ex post facto) oleh suatu forum akuntabilitas.

Baik konsep akuntabilitas yang lebih luas, yang memandang akuntabilitas sebagai suatu sifat baik (virtue) dari suatu organisasi atau personal, atau pun yang memandang akuntabilitas sebagai konsep yang lebih sempit, yaitu sebagai suatu hubungan sosial atau mekanisme, digunakan dalam studi atau debat mengenai governance. Kedua konsep akuntabilitas tersebut sebaiknya dibedakan satu sama lain, karena masing-masing menggunakan standar, framework, dan dimensi analitis yang berbeda.

Page 2: Two Concepts of Accountability

Accountability Sebagai Suatu Virtue

Melvin Dubnick (2007a, 8) melakukan sebuah survey mengenai legislasi yang diajukan Kongres Amerika Serikat antara tahun 2001-20061. Kata “accountability” digunakan dalam sekitar 50-70 judul/nama rancangan legislasi, fokus dari rancangan legislasi ini sangat luas:

Accountability for Accountant Act Accountability for Presidential Gifts Act Arafat Accountability Act Syria Accountability Act Polluter Accountability Act United Nation Voting Accountability Act.

Namun kata “accountability” digunakan sebatas nama/judul legislasi tersebut. Di sebagian besar legislasi tersebut, jarang sekali istilah “accountability” disebut di dalamnya, apalagi diberi definisi. “Accountability” dapat dikatakan menjadi alat retorika untuk memberi kesan (image) good governance dan untuk memperoleh/meraih pendukung (rally supporters) (McGee, 1980).

Sementara itu European Commission (2001, 2003) dalam White Paper on Governance dan beberapa dokumen terkait, menggunakan kata “accountability” secara lebih bebas/longgar. “Accountability” kadang digunakan sebagai sinonim untuk:

Clarity Transparency Responsibility

Namun kadang digunakan juga untuk konsep yang lebih luas seperti: Involvement Deliberation Participation.

“Accountability” juga kadang didefinisikan secara longgar. Dari berbagai variasi definisi, “accountability” umumnya dipandang sebagai “suatu kualitas yang diinginkan (desirable quality) dari seorang PNS/pejabat (officials), institusi pemerintah (government agencies), atau perusahaan/lembaga (firm) (Dubnick, 2007b)2.

“Accountability” digunakan sebagai suatu konsep normatif, sebagai seperangkat standar perilaku pelaku publik, atau sebagai suatu desirable state of affairs.

1 Dubnick, Melvin J. (2007a). ‘Situating Accountability: Seeking Salvation for the Core Concept of Modern Governance’, unpublished paper, available at http://mjdubnick.dubnick.net/papers/salvation.htm 2 Dubnick, Melvin J. (2007b). ‘Sarbanes-Oxley and the Search for Accountable Corporate Governance’, GovNet eJournal, 1:2, 140–72.

Page 3: Two Concepts of Accountability

Seringnya, “accountable” sebagai suatu kata kerja, digunakan dalam hal “kami/kita menginginkan PNS/pejabat public (public officials) untuk akuntabel”, “accountable governance”, atau “government harus berperilaku dengan cara-cara yang akuntabel (behave in accountable manner)”. “Accountability” sebagai suatu konsep sifat baik (virtue) digunakan sebagai norma substantif atas perilaku pelaku publik. Misalnya: Canadian Federal Accountability Act menyediakan aturan-aturan (rules) dalam hal:

Conflict of interest Pembatasan untuk pendanaan/sumbangan pemilu Ukuran transparansi “administrasi publik” dan “oversight”.

“Accountability” sebagai suatu sifat baik/virtue mudah digunakan, namun tidak mudah didefinisikan secara substantif. Sebab tidak ada konsensus mengenai standar perilaku yang standar, atau karena standar tersebut berbeda-beda, tergantung pada:

Peran (role) Konteks institusional Era Perspektif politik.

Misalnya dalam sistem parlementer di Eropa, standar perilaku yang akuntabel bagi politisi cukup berbeda dengan standar bagi PNS (public servant). Politisi diminta (supposed to) untuk responsif pada parlemen, pada media, dan pada bermacam stakeholders. Sementara bagi public servant, diminta untuk terutama loyal pada pemimpin politik (political principal) mereka (pemimpin partai) dan untuk menahan diri dari/saat tampil di depan publik (to refrain from public appearances). Namun standar ini berubah-ubah waktu demi waktu dan bervariasi tergantung pada perspektif dan afiliasi politik.

Koppell (2005) membedakan ke dalam lima dimensi “accountability” sebagai virtue3:

Transparency Liability Controlability Responsibility Responsiveness.

Elemen-elemen “accountability” seperti transparency, responsibility, responsiveness, umumnya masih merupakan “konsep umum” (umbrella concept) dan masih memerlukan operasionalisasi yang ekstensif, dan seringnya tidak dapat diukur dengan menggunakan skala yang sama. Karena sulitnya, dan dapat dikatakan tidak mungkin untuk memperoleh definisi tunggal bagi

3 Koppell, Jonathan G.S. (2005). ‘Pathologies of Accountability: ICANN and the Challenge of ‘‘Multiple Accountabilities Disorder’’’, Public Administration Review, 65:1. 94–107.

Page 4: Two Concepts of Accountability

“accountability” sebagai virtue, maka standarnya akan bervariasi tergantung pada organisasi politik, sistem politik, dan perspektif politik.

Accountability Sebagai Suatu Mekanisme

Secara historis dan semantik, kata “accountability” sangat terkait dengan kata “akuntansi” (accounting) dan juga “pembukuan” (bookkeeping). Dubnick (2007a, 13-16) menelusuri akar konsep “accountability” tersebut hingga ke masa William I, yaitu pada dekade setelah tahun 1066 Norman menguasai Inggris. Pada tahun 1085 Norman meminta para pemilik properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat “perhitungan” (a count) atas apa saja yang nereka miliki. Pemilikan tersebut kemudian dinilai (assessed) dan dibuat daftar (listed) oleh agen kerajaan (royal agent) ke dalam suatu “Buku Perhitungan” (Domesday Books). Buku ini mencatat apa saja yang dikuasai oleh raja, bahkan juga termasuk sumpah setia pemilik lahan (landowners) terhadap raja yang berkuasa. Menurut Dubnick, hal ini merupakan dampak (effect) dari pengakuan oleh raja bahwa para pemilik properti merupakan agen otonom (autonomous agent) yang “bisa/sanggup” (able) dan “mau/bersedia” (will) untuk teguh/setia/taat (adhere) akan tanggung jawab moral (moral obligation) mereka untuk memperhitungkan (to account for) tindakan (actions) mereka jika diminta untuk itu (called upon to do so).

“Memberi perhitungan” (giving a count) mungkin merupakan satu bentuk konsep tradisional dari “accountability”, yang menunjukkan hubungan antara pemegang kedaulatan (sovereign) dan pelaksana (subject ) atau apa yang sering dikenal sebagai hubungan antara principle dan agent atau forum dan aktor. Mendekati (staying close) dengan istilah akar istilah etimologis dan historisnya, “accountability” juga dapat didekati sebagai suatu hubungan sosial atau mekanisme yang melibatkan suatu “kewajiban” (obligation) untuk “memberi penjelasan” (to explain) dan “memberi justifikasi hal-hal yang telah dilakukan” (justify conduct). Hal ini berimplikasi pada hubungan (relationship) antara seorang aktor/pelaku, yang memberi perhitungan (accounter) dengan suatu forum, yang diberi/memegang perhitungan (account holder atau accountee) (Pollitt 2003:89)4. Hal ini tidak hanya melibatkan pemberian informasi mengenai kinerja, namun juga membuka/memberi kemungkinan untuk debat, pertanyaan yang diajukan oleh forum dan jawaban yang diberikan oleh aktor/pelaku. Penilaian/pertimbangan (judgement) juga berimplikasi pada pemberian sanksi formal atau pun informal jika aktor/pelaku tidak/kurang

4 Pollitt, Christopher (2003). The Essential Public Manager. London: Open University Press/McGraw-Hill.

Page 5: Two Concepts of Accountability

berkinerja (malperformance) dan juga pemberian penghargaan (reward) jika berkinerja cukup/baik (adequate performance) (Bovens 2007b:450)5.

“Aktor/pelaku” (actor) dapat berupa “individu/seseorang”, misalnya seorang pegawai atau pejabat pemerintah (official or civil servant), namun dapat juga berupa “suatu institusi”, misalnya lembaga/badan (public institution or agency). Sedangkan “forum akuntabilitas” dapat juga berupa “individu/orang tertentu”, (misalnya: atasan/superior, menteri, atau jurnalis), dapat juga berupa “suatu institusi” (misalnya: parlemen, pengadilan, atau kantor audit). Hal itulah yang juga disebut sebagai “passive accountability” sebab aktor/pelaku berakuntabilitas pada suatu forum, atas apa yang dilakukan, setelah dilakukan (ex post facto).

Hubungan antara aktor dan forum dapat diasumsikan sebagai suatu bentuk relasi agent-principal. Forum, yang sebagai “principal” (misalnya parlemen) mendelegasikan suatu otoritas kepada menteri, yang sebagai agen, yang akan memperhitungkan (account for) kinerjanya. Hal tersebut biasanya merupakan bentuk akuntabilitas politik (Przeworski et al. 1999; Strom 2000). Namun di banyak hubungan akuntabilitas, “forum” bukanlah “principal” dari suatu “actor”, misalnya “court” (dalam hal “legal accountability”), atau organisasi profesi (dalam hal “professional accountability”).

Hubungan antara “actor” dan “forum”, biasanya minimal terdiri atas tiga elemen atau tingkat.

Pertama-tama, sebelum suatu hubungan dapat disebut/dikualifikakan sebagai suatu hubungan akuntabilitas, adalah krusial bahwa “actor” tersebut merasakan (feels) adanya “suatu kewajiban untuk memberi informasi kepada “forum” mengenai apa saja yang telah dilakukannya” (obliged to inform the forum about his or her conduct), dengan menyediakan berbagai jenis data mengenai:

kinerja penugasan (performance of tasks), outcomes, procedures.

Seringnya, khususnya dalam hal terdapat “kesalahan/kekeliruan” (failures) atau “insiden” (incident), juga melibatkan pemberian “penjelasan” (explanation) atau “pembenaran” (justification).

Kedua, terdapat kebutuhan akan terdapatnya kemungkinan untuk menginterogasi para aktor dan mempertanyakan (to question) kecukupan informasi atau legitimasi atas apa saja yang telah dilakukan – dan karenanya

5 Bovens, Mark (2007b). ‘Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework’, European Law Journal, 13:4, 447–68.

Page 6: Two Concepts of Accountability

terdapat kedekatan semantik antara “accountability” dan “answerability” (kemampuan menjawab).

Ketiga, forum dapat memberikan “pertimbangan/penilaian” (judgement) mengenai apa saja yang telah dilakukan (conduct) para aktor. Judgement tersebut dapat berupa:

persetujuan atas “perhitungan tahunan” (annual account) denounce (?) suatu kebijakan publicly condemn perilaku seorang PNS (official) atau suatu institusi

(agency).Dalam hal memberikan judgement negatif, forum juga memberikan (impose) sanksi kepada aktor/pelaku. Sebagian memberikan argumen bahwa “pemberian pertimbangan oleh forum”, bahkan meski hanya satu tahap dari pelaporan (reporting), pembenaran (justifying), dan debat (debating), sudah cukup untuk disebut berkualifikasi sebagai sebagai suatu hubungan (relation) yang menunjukkan mekanisme akuntabilitas.

Bovens penulis artikel ini setuju dengan Mulgan (2003:9) dan Strom (200:62) bahwa terdapatnya “kemungkinan” (possibility) pemberian sanksi sebagai salah satu elemen pembentuk akuntabilitas sebagai suatu mekanisme dan karenanya harus dimasukkan dalam definisi akuntabilitas sebagai suatu mekanisme. Kemungkinan dari pemberian sanksi (the possibility of sanction) – bukan pengenaan aktual sanksi itu sendiri (actual imposition of sanction) – membuat perbedaan antara “tidak mampu memenuhi syarat/komitmen informasi yang diminta” (non-committal provision of information) dengan “telah cukup memberi perhitungan” (being held to account). Namun, “sanksi” dapat berkonotasi formal maupun informal. Pemberian sanksi dapat mengecualikan forum-forum akuntabilitas, misalnya ombudsman, dimana di banyak negara tidak diberi wewenang untuk mengenakan sanksi formal, namun mungkin sangat efektif dalam mengamankan redress of reparation. (?)

Namun banyak pula pengaturan akuntabilitas tidak berfokus pada menemukan kesalahan (finding fault) dari para aktor/pelaku – forum juga sering memberi pertimbangan positif mengenai tindakan para aktor/pelaku dan mungkin malah memberikan penghargaan (reward) bagi aktor/pelaku.

Bovens penulis artikel ini menggunakan ekspresi yang lebih netral, yaitu bahwa para aktor/pelaku mungkin menghadapi “konsekuensi” (face consequences). Konsekuensi tersebut mungkin sangat formal, misalnya:

denda (fines) ukuran/hukuman disiplin (discipline measures)

Page 7: Two Concepts of Accountability

civil remedies (?) penal sanction (?)

Namun “konsekuensi” dapat juga berdasarkan pada aturan informal, seperti dalam kasus akuntabilitas formal dari menteri ke parlemen, dimana konsekuensinya dapat berupa permintaan agar menteri tersebut mengundurkan diri. Kadang “konsekuensi negatif” hanya bersifat implisit atau informal, misalnya:

having to render account (?) di depan kamera televisi tercemarnya nama baik yang mempengaruhi karir (disintegration of

public image and career) (?) yang merupakan publisitas negatif yang terjadi karena proses/mekanisme (March and Olson 1995:97)6.

Definisi “accountability” yang sempit dan retrospektif menggambarkan (encompasses) berbagai variasi hubungan akuntabilitas. Institusi publik umumnya secara berkala diminta untuk memperhitungkan apa yang telah mereka lakukan (to account for their conduct) dalam berbagai forum (to various forums) dan dengan berbagai cara (in a variety of ways).

Hubungan akuntabilitas sebagai suatu mekanisme dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga pertanyaan.

Pertanyaan pertama selalu, “kepada siapa (to whom) akuntabilitas itu ditujukan?” Pertanyaan tersebut akan menghasilkan klasifikasi berdasarkan jenis forum dimana para aktor/pelaku tersebut diminta untuk memberikan perhitungan (to account). Dalam hal ditujukan kepada forum politik, maka seseorang dapat berbicara mengenai “political accountability”.

Sebagai reaksi atas munculnya persepsi kurangnya kepercayaan (lack of trust) kepada pemerintahan, muncul gerakan di negara-negara demokrasi barat terhadap akuntabilitas yang lebih “langsung” (direct) dan “eksplisit” antara institusi pemerintah (public agency) di satu sisi, dengan:

klien warga negara (citizen) masyarakat sipil (civil society)

di sisi lain (Mc Candless, 2001). Hal tersebut dapat disebut sebagai “social accountability”7. Contoh dari mekanisme “social accountability” adalah:

institusi pelaporan publik (institution of public reporting) citizen and stakeholder panel reviu eksternal (external reviews).

6 March, James G., and Johan P. Olson (1995). Democratic Governance. New York: The Free Press.7 McCandless, Henry E. (2001). A Citizen’s Guide to Public Accountability: Changing the Relationship between Citizens and Authorities. Victoria, BC: Trafford.

Page 8: Two Concepts of Accountability

Pertanyaan kedua, “pada siapa seharusnya perhitungan ditujukan?” (who should render account). “siapa aktor yang seharusnya diminta tampil di forum”. Dalam hubungan sosial yang biasa antar warga negara (citizen), biasanya jelas aktor/pelaku mana yang akan diminta untuk memberi perhitungan. Namun pertanyaan ini akan lebih rumit dijawab jika berkenaan dengan organisasi publik (public organisation). Dalam prosedur hukum (legal procedures), seringnya organisasi sebagai suatu bentuk perusahaan diminta untuk memberikan perhitungan (to account), hal ini dapat disebut “corporate accountability” atau “organisational accountability”.

Dalam “political accountability”, biasanya hanya pucuk pimpinan organisasi yang diminta memberikan perhitungan kepada eksternal (to account externally). Hal ini dapat disebut “hierarchical accountability”.

Pertanyaan lainnya adalah “mengapa aktor tersebut merasa harus membuat perhitungan” (why render account). Hal ini terkait dengan sifat hubungan antara aktor dengan forum, khususnya pada pertanyaan mengapa aktor/pelaku tersebut memiliki kewajiban (has an obligation) untuk membuat perhitungan. Hal ini akan mengarah pada klasifikasi berdasarkan sifat dari kewajiban (obligation), misalnya:

kewajiban yang muncul dari hubungan hirarkis agent-principal kontrak kerja sama (contractual agreement) pelaksanaan kewajiban secara sukarela (voluntarily entered into).

Hal ini menghasilkan klasifikasi berdasarkan metafora spasial: vertical accountability horizontal accountability diagonal accountability.

Pentingnya Akuntabilitas

Mengapa repot-repot dengan akuntabilitas? Setiap dari dua konsep akuntabilitas relevan dengan governance yang demokratis, namun untuk alasan yang berbeda.

Akuntabilitas sebagai virtue adalah relevan, sebab hal itu menyediakan legitimasi bagi pegawai pemerintah (public official) dan organisasi publik (public organisation). Pemerintahan di dunia/masyarakat barat menghadapi meningkatnya kritikan publik. Maka penerapan (exercise) dari publik sebagai

Page 9: Two Concepts of Accountability

otoritas tidak dapat diabaikan. Kepercayaaan publik terhadap penerintah sangat rentan dan sejumlah negara industri yang demokratis menghadapi fluktuasi baik pada kepercayaan publik maupun menurunnya secara jangka panjang dukungan politik (Dalton 2004, Dogan 2005, Pharr and Putnam 2000, Stimson 2004).

Akuntabilitas publik, dalam bentuk (sense) pemerintah yang transparan, responsif, dan responsibel, ditujukan untuk (meant to):

menjamin (assure) kepercayaan publik terhadap pemerintah menjembatani gap antara warganegara (citizen) dan DPR

(representatives) dan antara yang diperintah (governed) dengan yang memerintah (government) (Aucoin and Heintzman 2000:49-52)8.

Pertama-tama, proses pemberian “public account” dapat memiliki fungsi ritual yang penting dan menjernihkan (purifying) – yang dapat membantu “public catharsis”. Hal ini terutama penting dalam hal terjadi insiden:

tragedi/tragis fiasco (?) kegagalan (failure)

Pemberian “public account” dapat membantu membawa periode tragedi/tragis tersebut berakhir, sebab dapat membantu menyediakan platform bagi para korban untuk menyuarakan derita mereka, dan bagi yang mendapat manfaat (perpetrators) (?) dapat memperhitungkan diri mereka, dan untuk menjustifikasi atau menjadi pembenaran apa yang mereka lakukan.

Hal ini dapat membawa pada dampak “sekunder” yang penting dari: parliementary inquiries official investigations public hearings

misalnya dalam kasus: bencana alam (natural disaster) jatuhnya pesawat terbang (plane crash) kecelakaan kereta api (railroad accidents).

Pemberian “public account” bahkan lebih penting sebagai suatu mekanisme untuk secara kolektif:

mengidentifikasi (identify) memberi perhatian (address)

pada ketidakadilan (injustify) dan kewajiban (obligations), dengan tujuan untuk: memperbaiki hal yang salah (to right the wrongs) untuk menyembuhkan dan menyehatkan (to heal and put things right)

(Braithwaite 2006:35)9.

8 Aucoin, Peter, and Ralph Heintzman (2000). ‘The Dialectics of Accountability for Performance in Public Management Reform’, International Review of Administrative Sciences, 66, 45–55.

Page 10: Two Concepts of Accountability

Akuntabilitas terhadap forum legal dan administratif – seperti: pengadilan, auditor, ombudsman, inspektorat, dan controllers – merupakan suatu mekanisme yang penting – untuk mencegah (prevent) dan mendeteksi (detect) – korupsi (corruption) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of public powers).

Forum akuntabilitas yang otonom atau semi-otonom menyediakan mekanisme check and balances yang beroperasi secara independen dari proses politik. Good governance muncul dari keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) antar berbagai kekuatan. Kekuatan hukum yang independen (independent judicial power) – misalnya ombudsman – dapat menjadi pelengkap (complementary) bagi – pemilih (voter), parlemen, dan pengamat politik (political watchdog).

Terakhir, mekanisme akuntabilitas juga dapat menjadi alat bagi “pembelajaran dan refleksi” (reflection and learning) – sebagai suatu mekanisme umpan balik (feedback) yang dapat membuat dan menjaga (make and keep) pemerintah, badan pemerintah (agency) dan pegawai pemerintah (individual officers) – menyampaikan/memberikan secara efektif apa yang telah mereka janjikan (effective in delivering on their promises).

Akuntabilitas dapat membawa (induce) (?) para eksekutif untuk mendapat pembelajaran (learning) dan untuk meningkatkan kinerja mereka, sebab hal itu memungkinkan/menyediakan feedback dari pihak eksternal mengenai dampak yang diinginkan maupun tidak diinginkan (intended and unintended effects) dari kebijakan (policies) mereka. Proses akuntabilitas mengajarkan mereka yang berada pada posisi yang sama mengenai:

apa yang diharapkan/diekspektasikan dari mereka, apa yang berhasil/berjalan lancar (works). dan apa yang tidak berhasil/tidak berjalan lancar (doesn’t work).

Beda agenda riset, beda defisit – akuntabilitas sebagai virtue

Kedua konsep akuntabilitas tersebut tidak hanya berbeda secara semantik, etimologis, dan tujuan/objektif, namun juga berbeda dalam agenda riset dan tujuan studi.

Studi akuntabilitas sebagai virtue, berfokus pada kinerja aktual dari pegawai pemerintah atau badan pemerintah (official or agents). Studi tersebut secara

9 Braithwaite, John (2006). ‘Accountability and Responsibility through Restorative Justice’, in M. Dowdle (ed.), Public Accountability: Designs, Dilemmas and Experiences. Cambridge: Cambridge University Press, 33–51.

Page 11: Two Concepts of Accountability

implisit atau pun eksplisit memformulasikan seperangkat standar substantif untuk good governance, dan menilai apakah pegawai pemerintah atau badan pemerintah memenuhi/menaati (comply) dengan standar tersebut (Considine 2002, Koppell 2005, O’Connell 2005, Wang 2002).

Salah satu agenda dari riset ini adalah evaluasi terhadap perilaku pada aktor/pelaku dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Studi yang mempelajari akuntabilitas sebagai virtue, pada umumnya/dasarnya (basically) mempelajari mengenai GPG atau pun GCG, dan bagaimana cara mencapainya.

Dalam riset akuntabilita sebagai virtue, akuntabilitas merupakan variabel dependen, sebagai suatu outcome dari interaksi antar berbagai faktor, aktor/pelaku, dan variabel.

Dalam studi jenis ini, defisit akuntabilitas dimanisfestasikan sebagai “perilaku yang tidak layak” (inappropriate behavior) atau “bad governance” yang:

tidak responsif opaque irresponsible ineffective deviant.

Beda agenda riset, beda defisit – akuntabilitas sebagai mekanisme

Di sisi lain, akuntabilitas sebagai mekanisme berfokus pada hubungan antara badan pemerintah (agents) dengan forum. Sebagian dari studi ini pada dasarnya bersifat deskriptif, mengenai pengaturan (arrangement) akuntabilitas di antara aktor/pelaku publik modern (Scott 2000)10. Studi lainnya menilai (assess) bagaimana pengaturan akuntabilitas tersebut berjalan/beroperasi dan apa dampak yang dihasilkan (Day and Klein 1987, Schillemans 2007).

Mahasiswa jurusan hukum misalnya, akan tertarik pada: pemilikan (propierty) dari mekanisme akuntabilitas tertentu suatu proses (tertentu) akuntabilitas yang spesifik dan konkret apakah forum-forum telah cukup independen dari para aktor/pelaku? apakah forum-forum telah cukup menjadi serious inquisitive and

sanctioning powers (?) apakah forum-forum tersebut impartial (?) dan telah menyediakan due

process (?)

10 Scott, Colin (2000). ‘Accountability in the Regulatory State’, Journal of Law and Society, 27:1, 38–60.

Page 12: Two Concepts of Accountability

Mahasiswa jurusan politik atau manajemen publik mungkin akan tertarik dengan:

dampak pengaturan akuntabilitas tersebut pada cara/praktek/operasi aktor/pelaku publik

apakah mekanisme akuntabilitas telah mendorong (enhance) pengendalian yang demokratis (democratic control) terhadap eksekutif>

apakah telah tersedia mekanisme check and balances? apakah mekanisme akuntabilitas telah mendorong (induce) organisasi

publik untuk meningkatkan kinerja?

Agenda utama dari riset akuntabilitas sebagai mekanisme adalah: evaluasi terhadap mekanisme tersebut dampak positif dan negatif yang mungkin dari mekanisme tersebut

Pada dasarnya mempelajari mengenai pengendalian politik dan pengendalian sosial.Pada studi mengenai akuntabilitas sebagai mekanisme, akuntabilitas nerupakan variabel independen, sebagai faktor yang mungkin berdanpak atau pun tidak berdampak pada perilaku para aktor/pelaku.

Defisit akuntabilitas dalam riset mekanisme ini didefinisikan sebagai adanya celah (loopholes) dalam mekanisme pengendalian. Area penting riset mekanisme ini antara lain:

formidable growth in formal powers jumlah staf kompleksitas organisasi eksekutif/pemerintah dibandingkan dengan

organisasi legislatif(Behn 2001: 76; Day and Klein 1987: 33–4; Mulgan 2003: 74).Studi lainnya secara khusus menekankan pada area yang perlu diperhatikan atas:

newly emerging theatres practices of networked governance

Hal ini mencakup praktik governance multilateral dan multilevel, serta meningkat/bertumbuhnya “acountability gap” (Arnull and Wincott 2001; Benz 2007; Bergman and Damgaard 2000; Curtin 2004, 2007; Fisher 2004; Harlow 2002; Papadopoulos 2007; Schmitter 2000),

Di sisi lain, berbagai studi lebih menekankan pada “accountability overloads”. Kewajiban akuntabilitas meningkat hingga pada titik menurun (deminishing returns). Atau pada “accountability dillema” yang muncul pada pembuat kebijakan kontemporer/saat ini (contemporary policy maker) (Behn 2001:11-13)11.

11 Behn, Robert D. (2001). Rethinking Democratic Accountability. Washington, DC: Brookings Institution Press.

Page 13: Two Concepts of Accountability

Halachmi (2002a, 2002b), Jos and Tompkins (2004), and Dubnick (2005) mengingatkan kita akan “accountability paradox”, bahwa makin banyak pengaturan akuntabilitas (accountability arrangement) tidak selalu menghasilkan pemerintah yang lebih baik.

Juga terdapat sinyal mengenai “accountability trap”, dimana administrator scrutinized more frequently and intensely, dimana administrator lebih baik dalam memenuhi permintaan forum akuntabilitas, namun bukan berarti/tidak selalu berkinerja lebih baik di dunia nyata dalam pembuatan kebijakan (policy making) dalan penyampaian layanan publik (public service delivery) (Meyer and O’Shaughnessy 1993; Van Thiel and Leeuw 2003).

Bagaimana kita dapat melangkah lebih jauh dari konseptual dan teoritikal analisis dan melibatkan diri dalam riset empiris yang kumulatif dan komparatif> untuk itu kita memerlukan kerangka kerja yang sistematis dan parsiminous –dimana akuntabilitas baik sebagai virtue atau pun mekanisme – dioperasionalisasi.

------------------------------------------

What Is Accountability, Really (Winning With Accountability)

Akuntabilitas seharusnya tidak didefinisikan sebagai respon menghukum terhadap kesalahan yang terjadi.

Kamus Webster mendefinisikan akuntabilitas sebagai “kualitas (quality) atau pernyataan mengenai bersedia akuntabel (state of being accountable), suatu kewajiban (obligation) atau kehendak (willingness) untuk menerima tanggung jawab (accept responsibility) atas suatu tindakan (action)”.

Perhatikan bahwa definisi kamus Webster tersebut menyebutkan: quality obligation willingness responsibility.

Apakah tidak terdengar sebagai respon menghukum atas kesalahan yang terjadi? Tentu saja tidak. Akuntabilitas berarti “mencegah agar tidak terjadi kesalahan” (preventing something from going wrong).

Maka, langkah pertama untuk menciptakan budaya akuntabilitas adalah kita harus meredefinisi dan merampingkan “akuntabilitas” menjadi lebih

Page 14: Two Concepts of Accountability

berkonotasi positif – akuntabilitas adalah komitmen yang jelas (clear commitment) - yang menurut pandangan/anggapan orang lain (in the eyes of others) – tetap terjaga (have been kept)”.

Orang lain berurusan dengan kita karena/berdasarkan apa yang mereka pikirkan tentang kita, bukan apa yang menurut kita (harus) mereka pikirkan. Maka ketika membuat komitmen, kita harus memenuhi komitmen tersebut berdasarkan pandangan/anggapan orang lain. Tidak cukup kita bisa memenuhi komitmen itu berdasarkan pandangan/anggapan kita sendiri. Inilah jebakannya (tricky part).

Ketika kita akuntabel, adalah penting bagi kita untuk pergi/menemui pelanggan kita, pemasok kita, atau orang-orang kepada siapa kita bekerja, dan orang-orang yang bekerja bersama kita – bagaimana pekerjaan kita menurut mereka? (how am i doing).

Akuntabilitas adalah – yang pertama-tama dan terutama – adalah menjadi “dapat dipercaya” (reliable). “Dapatkah orang yakin pada saya (count on me) bahwa saya akan melakukan apa yang saya katakan”.

Menciptakan budaya akuntabilitas adalah mengenali bahwa dimanapun engkau/saya berada dalam struktur organisasi, orang lain meyakini/menjaga agar/bahwa kita tetap akuntabel.

Akuntabel adalah mengenai kinerja yang tinggi dan bukan takut atau stress. Akuntabilitas adalah mengenai kehendak untuk memenuhi standard tertentu yang membuktikan kinerja organisasi kita, dan juga bersedia menerima orang lain menjaga kita tetap akuntabel.

Bersedia menerima masukan (feedback) dan percaya bahwa orang lain peduli/memperhatikan dan bermaksud baik.

Ketika anda melakukan kesalahan dan orang lain tidak ada yang mengatakan apapun pada anda mengenai hal itu, itu menandakan mereka telah menyerah dengan diri anda (Randy Pausch, pengarang The Last Lecture).

Jika anda dipersepsikan sebagai orang hipokrit, itu karena terdapat gap antara yang anda katakan dengan yang anda lakukam. Hipokrit tercipta dalam jarak antara perkataan anda dengan tindakan anda.

How to front-load accountability

Untuk mendapatkan front-load accountability dalam organisasi anda, anda harus spesifik, hal ini termasuk ekspektasi/harapan yang jelas (clear).

Page 15: Two Concepts of Accountability

Jika tim anda dapat menyampaikan kembali pada anda esensi dari apa yang anda katakan kepada mereka, maka berarti ekspektasi anda telah dapat anda sampaikan dengan jelas. Jika apa yang mereka refleksikan tidak mencerminkan apa yang anda upayakan untuk dicapai, maka anda perlu menjelaskan lagi. Anda bisa menanyakan, “apa interpretasi anda mengenai ucapan saya barusan?” (intinya, tanpa perlu persis kata demi kata). Cara lainnya bisa dengan meminta mereka mengulang kembali persis seperti yang anda ucapkan (paraphrase).

Front-loading accountability dimulai dengan ekspektasi yang jelas (detil, terukur) – baik dari pengirim pesan maupun penerima pesan – dan kejelasan itu merupakan tanggung jawab bersama

Anda dapat memintanya lebih diperjelas, dengan menanyakan “apa yang anda maksud dengan bekerja baik?” (what does a good job look like) atau “apa yang anda maksudkan saat anda mengatakan “bekerja baik”? (what does it mean when you say, “good job”).

The benefits of front-load accountability

Istilah “accountability” dapat berkonotasi negatif jika digunakan sebagai suatu hukuman (punitive way). Dan di budaya Western, kita cenderung menggunakan akuntabilitas untuk menentukan siapa yang akan dihukum jika terjadi kesalahan.

Rasa takut, stres, dan tidak nyaman ketika kita ditanya tentang akuntabilitas, merupakan hal yang disebut “relationship breakers”. Maka jika akuntabilitas muncul di akhir proses bisnis, kita menghancurkan apa yang menjadi bahan bakar yang baik: hubungan (relationship).

Dalam front-load accountability, hubungan (relationship) dibangun (built), dipadukan (solidified), dan diperkuat (strengthened)

Dalam front-load accountability, anda membuat komitmen yang spesifik.

Front-load accountability juga merupakan fungsi mempekerjakan (hiring function). Banyak organisasi unggul (winning organization) menggunakan akuntabilitas sebagai bagian dari proses mempekerjakan (hiring process) mereka, yang secara spesifik menyebutkan/menekankan (address) akuntabilitas personal saat interview. Organisasi tersebut memiliki kebijakan untuk hanya merekrut dan mempertahankan pegawai yang mengemban akuntabilitas sebagai bagian dari nilai pribadi (personal values).

Page 16: Two Concepts of Accountability

Dalam menjelaskan akuntabilitas ke tiap pegawai baru, manajer HRD mengatakan hal ini “akuntabilitas dalam organisasi kami diartikan sebagai melakukan apa anda katakan akan dilakukan. Hal itu merupakan level kinerja minimum yang dapat diterima (minimum acceptance performance level). Itulah cara kita, dan itu standar yang tinggi”.

Dengan front-load accountability: kinerja meningkat sumber daya dialokasikan lebih baik – pegawai tidak perlu menebak-

nebak kepuasan kerja meningkat hubungan (relationship) diperkuat hasil (results) diperbaiki, terutama meningkatkan penghasilan (revenues)

dan laba (profitability)

----------------------------------------------

A Cross-Disciplinary Review of the Concept of Accountability: A Survey of The Literature (Nick Papanikolaou, Siani Pearson, 2011)

Pertama-tama kita akan mempertimbangkan definisi tingkat tinggi (high-level) dan perspektif akuntabilitas menurut ilmu sosial dan politik, yang dapat membantu kita dalam membingkai akuntabilitas ke dalam makna seluas mungkin.

Kemudian, kita akan menuju kerangka kerja yang mengatur (regulatory framework) yang membumikan istilah tersebut (make use of the term), dan menguji relevansi akuntabilitas dengan penanganan data personal (handling of personal data) dalam organisasi. Di bagian berikutnya akan didiskusikan akuntabilitas dari perspektif manajemen IT, dan hal ini mengarahkan kita pada bagian berikutnya, yang akan berfokus pada ilmu komputer dan akan menyajikan interpretasi terhadap akuntabilitas dalam ilmu komputer, khususnya dikaitkan dengan implementasinya dalam sistem akuntabilitas.

High level definition dan perspektif ilmu sosial politik

Kamus Webster 1828 mendefinisikan akuntabilitas sebagai:

1. The state of being liable to answer for one's conduct; liability to give account,and to receive reward or punishment for actions.

2. Liability to the payment of money or of damages; responsibility for a trust.

Page 17: Two Concepts of Accountability

Definisi Webster terutama memuat atribut: responsibility (being liable to answer for......) giving explanation menerima pinalti/hukuman untuk tiap kesalahan (khususnya, being

financially liable for damages)

Definisi Webster tersebut telah berubah dalam edisi terakhir kamus tersebut untuk mengecualikan aspek “reward and punishment”.

Muatan definisi Webster tersebut mirip dengan definisi Schedler (1999)12:

A is accountable to B when A is obliged to inform B about A’s (past or future) actions and decisions, or justify them and to be punished in the case of misconduct.

A akuntable pada B jika A wajib menginformasikan B mengenai tindakan dan keputusan A (di masa lalu maupun yang akan datang), atau memberikan pembenaran/justifikasi atas tindakan dan keputusan itu dan dihikum jika terjadi kesalahan)

Koppell (2005) mengidentifikasi lima dimensi akuntabilitas13:1. Transparansi – apakah organisasi telah membuka fakta mengenai

kinerjanya? (reveal the facts)2. Kewajiban (liability) – apakah organisasi telah menghadapi konsekuensi

atas kinerjanya? (face the consequences)3. Dapat dikendalikan (controlability) – apakah organisasi telah melakukan

apa yang diinginkan prinsipal?4. Tanggung jawab (responsibility) – apakah organisasi telah mengikuti

aturan?5. Responsif (responsiveness) – apakah organisasi telah memenuhi

ekspektasi seara substantif?

Perlu dicatat bahwa definisi Koppell mengidentifikasi “kinerja” (performance) sebagai keinginan prinsipal (principal concern) terkait (around).

Tompkins (2004) menjelaskan bahwa proses akuntabilitas dapat14: berbasis kinerja (performance based) berbasis ketaatan (compliance based)

12 Schedler, A. (1999). Self-Restraining State: Power and Accountability in New Democracies. Lynne Reiner Publishers, pp. 13–28.13 Koppell, J. (2005) “Public administration review,” Public Administration Review, vol. 65, pp. 94–108.14 Jos, P. and Tompkins, M. “The Accountability Paradox in an Age of Reinvention: The Perennial Problem.” Administration & Society 36 (2004): 255.

Page 18: Two Concepts of Accountability

sebagian besar definisi yang menarik bagi penulis mengarah ke ketaatan (compliance) pada peraturan perundangan.

Batasan antara “akuntabilitas” dan “responsibilitas” didefinisikan oleh Galway (2009)15:

Accountability is the obligation and / or willingness to demonstrate and take responsibility for performance in light of agreed upon expectations.

Accountability goes beyond responsibility by obligating an organization to be answerable for its actions.

Akuntabilitas adalah kewajiban atau keinginan untuk menunjukkan/mendemonstrasikan kinerja dan mengemban tanggung jawab atas kinerja sesuai (in light of) ekspektasi yang telah disepakati sebelumnya (agreed upon expectations).

Akuntabilitas lebih tinggi/luas (goes beyond) dari responsibilitas dengan mewajibkan suatu organisasi untuk dapat menjawab tindakan-tindakannya.

Definisi Galway tentang akuntabilitas merujuk khususnya pada “penanganan data personal” (handling of personal data).

Accountability is the obligation to act as a responsible steward of the personal information of others, to take responsibility for the protection and appropriate use of that information beyond mere legal requirements,and to be accountable for any misuse of that information

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk bertindak, sebagai suatu pertanggungjawaban pemberian layanan (responsible steward) informasi personal orang lain, untuk mengemban tanggung jawab melindungi dan menggunakan secara layak informasi personal tersebut sesuai dengan aturan hukum, dan untuk akuntabel atas penyalahgunaan informasi.

Galway/Paris Project dimulai dengan para regulator di bidang privasi dan para profesional di bidang privasi, telah mendefinisikan konsep akuntabilitas dalam empat tahun terakhir dalam konteks regulasi terbaru (CIPL, 2009), serta memperbaiki (refining):

implementasi

15 Center for Information Policy Leadership (CIPL) (2009) ‘Data protection accountability: the essential elements. A document for discussion’, available at http://www.huntonfiles.com/files/webupload/CIPL_Galway_Accountability_Paper.pdf

Page 19: Two Concepts of Accountability

pengukuran (measurement) -> apa bedanya dengan scalability? penskalaannya (scalability).

Definisi akuntabilitas berorientasi privasi diberikan oleh ISO 29100 (2011)16:

Accountability: document policies, procedures and practices, assign the duty to implement privacy policies to specified individuals in the organization, provide suitable training, inform about privacy breaches, give access to effective sanctions and procedures for compensations in case of privacy breaches.

Akuntabilitas: dokumen kebijakan, prosedur, dan praktik, yang memberi tugas (assign the duty) untuk mengimplementasikan kebijakan privasi kepada individu tertentu dalam organisasi, memberikan pelatihan yang tepat (suitable training), menginformasikan mengenai pelanggaran privasi (privacy breaches), memberi akses yang efektif bagi pemberian sanksi dan prosedur kompensasi dalam hal terjadi pelanggaran privasi.

Definisi ISO 29100 tersebut dengan jelas menyebutkan (picks out) pelanggaran privasi sebagai problem yang menentukan/ditekankan (address) dalam akuntabilitas secara keseluruhan, dan mengidentifikasi secara spesifik cara untuk merespon problem tersebut. Definisi tersebut juga memberikan pedoman yang jelas mengenai bagaimana mengaktualisasikan akuntabilitas, yaitu menghindari pelanggaran privasi tersebut. Secara jelas juga diinginkan (desirable) untuk mengkombinasikan beberapa aspek operasional dengan suatu deskripsi konseptual level tinggi (high level conceptual description), dengan tujuan untuk menghasilkan definisi yang dapat memenuhi kebutuhan peneliti dan praktisi.

Konsep akuntabilitas berevolusi sebagai kerangka kerja atau aturan yang berlaku sekarang, yang merespon globalisasi dan teknologi baru, seperti:

draft proposal EU Data Protection Regulation (EC, 2012)17

US Consumer Bill of Rights (The White House, 2012)18

16 ISO/IEC 29100. (2011). Information technology – Security techniques – Privacy framework. Technical report, ISO JTC 1/SC 27.17 European Commission (EC) (2012) ‘Proposal for a directive of the European Parliament and of the council on the protection of individuals with regard to the processing of personal data by competent authorities for the purposes of prevention, investigation, detection or prosecution of criminal offences or the execution of criminal penalties, and the free movement of such data’, January, available at http://ec.europa.eu/justice/dataprotection/document/review2012/com_2012_10_en.pdf (accessed on 2 July 2012). 18 White House (2012). Consumer Data Privacy in a Networked World: A Framework for Protecting Privacy and Promoting Innovation in the Global Digital Economy. Available at http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/privacy-final.pdf

Page 20: Two Concepts of Accountability

Alat ketaatan regional (region block compliance tools), seperti: EU’s Binding Corporate Rules (BCRs) (ICO, 2012)19

APEC’s Cross Border Privacy Rules (CBPRs) (APEC data privacy sub-group, 2011)20

Dikembangkan untuk menyediakan pendekatan yang lebih kohesif dan praktis bagi proteksi data (data protection) di berbagai sistem aturan yang terpisah (Moered, 2011)21.

Regulatory Frameworks

Akuntabilitas telah menjadi alat yang digunakan oleh semakin banyak regulator di seluruh penjuru dunia, terutama ketika pengaaturan privasi diberlakukan atau diubah sebagai respon atas perubahan teknis dan globalisasi.

Akuntabilitas semakin populer pada yurisdiksi common law (?) seperti Australia, Canada, dan Amerika Serikat, dan telah mendapat perhatian (visibility) dan penerimaan (acceptance) yang meningkat di negara-negara yang diatur oleh civil law (?).

Akuntabilitas disebut dalam pedoman seperti: OECD (1980) APEC (APEC data privacy sub-group, 2011) PIPEDA (2000).

---------------------------------------------

Public Accountability: A framework for The Analysis and Assessment of Accountability Arrangements in the Public Domain (Mark Bovens)

Kata “accountability” berasal dari Anglo-Norman, bukan Anglo-Saxon. Secara historis dan semantik, kata akuntabilitas terkait erat dengan kata “accounting” dan literal dengan “bookkeeping” (Dubnick, 2002:7-9)22.

19 Information Commissioner’s Office (ICO) (2012) Guidance on the Use of Cloud Computing, available athttp://www.ico.org.uk/for_organisations/guidance_index/~/media/documents/library/Data_Protection/Practical_application/cloud_computing_guidance_for_organisations.ashx 20 APEC Data Privacy Sub-Group (2011) ‘Cross-border privacy enforcement arrangement’, San Francisco, 18 September, available at http://aimp.apec.org/Documents/2011/ECSG/DPS2/11_ecsg_dps2_010.pdf (accessed on 2July 2012).21 Moerel, L. (2011) ‘Binding corporate rules’, PhD thesis, Tilburg University.

22 Dubnick, M. J., 2002, ‘Seeking Salvation for Accountability’, paper presented at the 2002 Annual Meeting of the American Political Science Association, Boston.

Page 21: Two Concepts of Accountability

Sejak akhir abad ke-20, akuntabilitas bertransformasi dari fungsi pembukuan trandisional (traditional bookeeping) dalam admimistrasi public (public administration), menjadi bentuk yang lebih luas dari “public accountability” (Harlow, 2002)23. Pergerakan/perubahan (shift) dari akuntansi finansial ke akuntabilitas publik pararel dengan diperkenalkannya New Public Management oleh pemerintahan Margaret Thatcher di Inggris dan Reinventing Government oleh administrasi Bill Clinton-Al Gore di Amerika Serikat. Kedua reformasi tersebut memperkenalkan serangkaian gaya manajemen dan instrumen sektor privat ke dalam sektor publik (Pollitt & Bouckaert 2005)24, termasuk manajemen kontrak di dalam dan di luar sektor publik, penggunaan indikator kinerja dan benchmark untuk mengevaluasi dan membandingkan efisiensi dan afektivitas badan publik (public agencies). Sebagian besar dari instrumen tersebut memerlukan audit yang ekstensif agar efektif.

Pergerakan/perubahan dari akuntansi finansial ke audit kinerja dan akuntabilitas publik juga dapat diobservasi di kontinen Eropa, meski kecepatan dan lingkupnya berbeda-beda. Negara-negara yang kuat dengan tradisi hukum administrasi dan Rechstaat yang kuat, seperti Perancis, Jerman, dan Itali, umumnya lambat mengadaptasi gaya manajemen baru baru tersebut. Sedangkan Belanda, Swedia, dan Finlandia lebih cepat (Pollitt et al. 1999: 197; Pollitt & Bouckaert 2005: 98-99).

Perubahan akuntabilitas dari pembukuan berasal dari fenomena di Anglo-Amerika – hal ini hanya disebabkan bahasa lainnya, seperti Perancis, Portugis, Spanyol, Jerman, Belanda, atau Jepang, tidak memiliki kata yang persis dan tidak pula membedakan secara semantik antara “responsibility” dan “accountability” (Mulgan 2000; Harlow 2002:14-15; Dubnick 2002):

In Germanic languages, such as Dutch, there is a distinction between verantwoordelijkheid and verantwoording, which to some extent resembles the contemporary distinction between ‘responsibility’ and ‘accountability’. But even here, both obviously are semantically closely related, they are derived from antwoorden, and therefore closely connected to ‘responsibility’. In Dutch policy discourse, ‘accountability’ is, therefore, often left untranslated, because it is taken to stand for a broad, loosely defined trend towards a more managerial approach in the public sector. In Dutch the word rekenschap (Rechenschaft in German) comes closest to the original, auditory meaning of accountability.

23 Harlow, C., 2002, Accountability in the European Union, Oxford: Oxford University Press.24 Pollitt, Christopher & Geert Bouckaert, 2005, Public Management Reform: A Comparative Analysis, Second Edition, Oxford: OUP.

Page 22: Two Concepts of Accountability

-------------------------------------------

Civil Service Accountability: Challenge and Change (MacCartaigh and Boyle, 2014)

Defisit akuntabilitas diidentifikasi sebagai akar penyebab dari kegagalan dalam sistem governance di Irish, khususnya krisis finansial dan ekonomi. Adalah penting untuk dikatakan sejak awal tiap diskusi akuntabilitas bahwa tidak ada sistem akuntabilitas, baik bagi layanan publik (civil service) dan sebaliknya, dapat menjamin melawan kegagalan atau krisis di masa depan. Namun bagaimanapun terdapat dimensi pembelajaran penting dari akuntabilitas untuk upaya mengurangi kemungkinan kegagalan akuntabilitas, dan keberhasilan sistem demokrasi pemerintahan umumnya berbasis pembelajaran.

Meningkatkan pengaturan akuntabilitas bukanlah tugas yang mudah (straightforward). Lebih banyak akuntabilitas namun dengan jenis yang salah dapat membawa masalah tersendiri. Flinders (2002) mengingatkan bahwa di antara meningkatnya mekanisme akuntabilitas, dapat terjadi menurunnya tingkat kepercayaan publik atas politik25.

Baroness Onora O’Neill (2002) juga membuat observasi serupa bahwa tidak terdapat hubungan positif antara kenaikan level akuntabilitas dengan kepercayaan (trust)26. Namun berbeda dengan kebalikannya, ketiadaan akuntabilitas merupakan penyebab utama ketidakpercayaan pada public governance.

Banyak dari analisis mengenai akuntabilitas politik cenderung berfokus pada hubungan antara legislatif-eksekutif (MacCartaigh 2005, Hardiman 2012), sebagaimana kemampuan dan efek warga negara (citizen) pada perilaku eksekutif. Banyak akademisi dan praktisi membahas kompleksitas ini, sementara lainnya mencoba memahami dan mendemonstrasikan penggunaan (utility) jaringan akuntabilitas (Scott 2006, Hodge and Coghill 2007).

Sebagian besar dari literatur pengaturan akuntabilitas kontemporer menaruh perhatian pada model hubungan principal-agent. Dalam model ini, penugasan (tasks and duties) didelegasikan oleh satu aktor/pelaku (a principal) ke aktor/pelaku lainnya (an agent), dan principal harus melindungi kepentingannya dan menemukan cara agar agen tidak meremehkan kepentingan itu.

25 Flinders, M. (2001) The Politics of Accountability in the Modern State (London: Ashgate).26 O’Neill, Baroness O. (2002) ‘A Question of Trust’, Reith Lecture Series.

Page 23: Two Concepts of Accountability

Hal yang serupa dalam tabel di atas adalah: (1) dalam semua kasus, akuntabilitas adalah konsep hubungan/relasional, yaitu bahwa satu aktor akuntabel pada aktor lainnya (sebagai individu atau institusi), (2) melibatkan perhitungan atas dilakukannya atau tidak dilakukannya suatu tindakan (actions or inaction), (3) melibatkan pengenaan sanksi atas perilaku.

Bentuk akuntabilitas di Irlandia

Page 24: Two Concepts of Accountability

Mekanisme akuntabilitas berganda di Irlandia dapat dipandang terdiri atas elemen:

Top down Horizontal Bottom up

.....................................................

-------------------------------------------------------------

Ensuring Accountability in SOE (Odainkey and Simpson, 2010)