TUGAS SEJARAH

download TUGAS SEJARAH

of 30

Transcript of TUGAS SEJARAH

TUGAS SEJARAH

Disusun oleh : SRI LATIFA RIZKI Kelas X.5

AJUNA WIWAHADiceritakan bahwa setelah kalah dalam permainan judi (yang curang) melawan Kurawa, Pendawa yang terdiri dari 5 bersaudara (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa) telah kehilangan hak atas kerajaan Amertha dan harus hidup di pengasingan selama 12 tahun dan 1 tahun hidup dalam penyamaran total sebagai Pandawa. Setelah itu mereka baru berhak kembali atas kerajaannya. Dalam persiapan merebut kembali kerajaan Amertha, Arjuna diperintahkan oleh

Yudhistira agar memohon senjata-senjata sakti dewa Siwa. Untuk maksud tersebut, Arjuna akan melakukan samadha di gunung Indrakila, sebuah bukit dipegunungan Himalaya. Ditempat lain diceritakan bahwa ada seorang raja raksasa sakti mandraguna bernama Niwatakawaca. Raja tersebut telah mendengar tentang adanya seorang bidadari yang cantik luar bisa bernama Suprabha. Kemudian berangkatlah ia ke kahyangan tempat kerajaan dewa Indra untuk meminta Suprabha menjadi istrinya. Para dewa dan dewa Indra tentu saja marah atas permintaan ini karena tidak sesuai kodrat dan juga martabat. Namun mereka juga sadar bahwa raja Niwatakawaca memiliki kesaktian luar biasa dan bahkan para dewa tidak mampu mengalahkannya. Mereka akhirnya melaporkan permintaan ini kepada dewa Siwa. Oleh Siwa dijelaskan bahwa itu semua memang sudah merupakan takdir dan jalan sejarah yang harus ditempuh. Niwatakawaca tidak bisa dikalahkan oleh siapapun termasuk para dewa. Namun takdir pulalah yang mengatakan bahwa raja raksasa maha sakti hanya dapat dikalahkan oleh seorang insan. Oleh karena itu yang dapat mereka lakukan sekarang adalah memperpanjang waktu agar supaya ketika waktunya tiba maka jagoan para dewa nantinya sudah dapat ditemukan dan dengan demikian dia akan dapat menghadapi serta mengalahkan Niwatakawaca. Selanjutnya kepada sang raja diberitahu bahwa nanti pada saatnya bidadari Suprabha akan diserahkan kepadanya karena sekarang mereka akan mempersiapkannya sebaik-baiknya supaya nanti tidak akan mengecewakan raja tersebut. Untuk sementara untuk mengobati kekecewaan sang raja, dia diberi beberapa apsara (mahluk wanita setengah dewi) lain. Sang raja Niwatakawaca menyanggupi hal itu dan kemudian kembali kerajaanya. Dalam kebingungan ketika para dewa mencari jagoan yang diharapkan, kahyangan diterpa kegaduhan karena goncangan hebat akibat yoga tapa seorang insan di bumi. Setelah dilihat ternyata Arjuna penyebab kegaduhan semua ini. Arjuna melakukan samadhi tersebut dengan segala kemampuan dan yoga-nya yang dahsyat. Mereka pun kemudian berharap bahwa Arjuna-lah yang nantinya merupakan jagoan yang dicari-cari tersebut. Untuk itu maka Indra memutuskan untuk menguji ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya sungguh akan membawa hasil seperti yang diharapkan. Maka diutuslah 2 orang bidadari yang kecantikannya menakjubkan yakni Tilotama dan Suprabha untuk mengujinya. (konon setelah mereka diciptakan mereka menghormati para dewa dengan melakukan pradaksina, para dewa demikian terpesonanya sehingga Brahma mengenakan 4 muka dan Indra seribu mata agar selalu dapat mengamati kemana keduanya tanpa merugikan martabatnya denga berputar-putar juga : dalam cerita Sansekerta Siwalah yang ber caturmuka, sementara Brahma tetap tenang). Sebagai satriya pilihan, maka Arjuna sangat tabah dan tahan dengan godaan tersebut. Walau kedua bidadari tersebut menggunakan segala akal dan upaya yang dapat mereka pikirkan, tetap saja Arjuna bergeming dan usaha mereka sia-sia. Bahkan konon dalam beberapa versi diceritakan Suprabha justru jadi jatuh hati dengan Arjuna. Dengan rasa kecewa akhirnya mereka pulang ke kahyangan dan melaporkan hal ini kepada Indra. Bagi para dewa kegagalan ini justru merupakan suatu berita gembira karena dengan demikian terbuktilah salah satu syarat calon

mereka. Mengetahui hal ini, selanjutnya Siwa memutuskan untuk turun sendiri kedunia. Kali ini dia berwujud sebagai seorang pemburu.

Sementara itu tempat lain, para raja raksasa disekitar pertapaan Arjuna mendengar berita apa yang telah terjadi di gunung Indrakila. Kemudian mereka mengutus seorang raksasa bernama Muka untuk mengusik Arjuna dan membatalkan yoga-nya. Dengan berwujud seekor babi hutan, ia mengacaukan tempat pertapaan Arjuna. Terkejut oleh segala hiruk pikuk, Arjuna keluar dari pertapaannya dan mengangkat senjata. Dengan sekali panah maka babi hutan itupun mati tertikam oleh panah Arjuna. Tanpa diduga sama sekali ternyata ketika didekati, tubuh babi hutan tersebut telah tertancap 2 buah panah. Ternyata pada saat bersamaan sang pemburu, yang aslinya adalah Siwa, juga berhasil menancapkan panahnya. Terjadilah perselisihan diantara keduanya atas siapa yang berhak menuntut binatang tersebut. Perselisihan memuncak hingga diputuskan beradu menggunakan panah. Panah-panah sakti Siwa berhasil dipatahkan kekuatannya oleh Arjuna. Akhirnya bertempuran dilanjutkan dengan berkelahi. Arjuna hampir kalah, memegangi kaki lawannya (atau bahkan Arjuna akan membanting tubuh pemburu), dan sang pemburu-pun lenyap. Yang muncul selanjutnya adalah Siwa, bersemayam selaku ardhanariswara (setengah pria setengah wanita diatas bunga padma). Arjuna kemudian memujanya dengan suatu wadah pujian yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala bentuk. Siwa kemudian menghadiahkan Arjuna sebuah panah yang maha sakti dan tidak dapat dipatahkan oleh apapun juga, namanya Pasupati. Sekaligus diberikan pengetahuan bagaimana cara menyimpannya secara gaib dan menggunakannya kelak. Sesudah itu Siwa lenyap. Ketika Arjuna bersiap-siap kembali kepada saudara-saudaranya dan berniat memberitahkan keberhasilannya dalam memperoleh senjata maha sakti dari Siwa, datanglah 2 orang dewi utusan Indra. Mereka memberitahukan Arjuna supaya menghadap Indra untuk membantu para dewa dalam membunuh raja raksasa maha sakti Niwatakawaca. Untuk sesaat Arjuna merasa ragu-ragu karena jika ia mengabulkan permintaan tersebut maka ia akan lebih lama lagi terpisah dari saudarasaudaranya. Namun akhirnya ia menyetujui. Ketika sampai di kahayangan, Arjuna disambut dengan riang gembira. Para bidadari menjadi semakin tergila-gila dengan kehadiran Arjuna dikahyangan, demikian pula dengan Suprabha. Indra

menjelaskan keadaan yang tidak menguntungkan karena adanya permintaan dan niat jahat dari raja Niwatakawaca. Dan sudah menjadi garis takdirnya bahwa raja tersebut hanya dapat dikalahkan oleh seorang manusia terpilih. Namun mereka juga harus dapat menemukan pusat kesaktian raja tersebut, sehingga nanti dari situlah dia dapat dikalahkan. Setelah menerima semua penjelasan tersebut Arjuna menyetujui untuk membantu. Kemudian disusunlah suatu strategi untuk tujuan itu semua. Walau agak malu-malu namun dalam hatinya senang, karena tugas itu pula maka Suprabha jadi semakin dekat dengan Arjuna. Disetujui bahwa Suprabha akan diserahkan kepada Niwatakawaca. Namun sebagai pendamping disertakan juga Arjuna dengan sembunyi-sembuny. Tugas utama Suprabha nantinya adalah merayu sang raja supaya mau membocorkan rahasia kekuatannya. Ketika sampai di kerajaan Niwatakawaca, Suprabha sempat ragu-ragu apakah dia nanti akan mampu menjalankan tugas yang diembannya. Arjuna memberi semangat dan dorongan bahwa terpujilah dia yang mendapat tugas mulia tersebut demi kesejateraan dan kedamaian para dewa serta jagat raya. Arjuna akhirnya meyakinkan Suprabha bahwa dia akan berhasil asal ia menggunakan segala rayuan seperti yang ia perlihatkannya ketika Arjuna sdang bertapa didalam gua, biarpun waktu itu sia-sia. Setibanya di kerajaan Niwatakawaca, Suprabha disambut oleh para bidadari yang dulu mengenalinya. Mereka menanyakan bagaimana keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri karena tahu bahwa kahyangan akan dihancurkan. Maka sebelum semua itu terjadi ddan dia menjadi barang rampasan perang, ia memutuskan untuk menyebrang ke raja Niwatakawaca. Suprabha selanjutnya dibawa menghadap sang raja.

Seketika ia bangun dan bergegas menuju tamansari. Suprabha menolak segala desakan dan bujuk rayu penuh birahi sang raja. Dia menjelaskan agar sang raja bersabar hingga fajar menyingsing. Ia justru sekarang merayunya sambil memuji-muji kekuatan dan kesaktian sang raja yang tak terkalahkan itu. Ia terus berusaha mengorek keterangan bagaimana yoga Niwatakawaca dulu berhasil memperoleh restu dan kesaktian laur biasa dari dewa Rudra. Sang raja akhirnya terjebak oleh bujuk rayu dan kecantikan Suprabha dan membuka rahasianya. Dikatakan bahwa ujung lidahnya adalah tempat kesaktiannya.

Mendengar berita itu, Arjuna segera meninggalkan tempat persembuyiannya dan mulai mengadakan kegaduhan di istana raja. Niwatakawaca terkejut oleh kekacauan dahsyat mendadak tersebut. Dia segera mencari tahu apa gerangan penyebabnya. Dilain pihak suasana itu justru dimanfaatkan oleh Suprabha untuk melarikan diri bersama Arjuna. Meluaplah amarah sang raja dan segera menyadari bahwa ia telah tertipu. Segera ia memerintahkan pasukannya untuk mempersiapkan diri meyerbu kahyangan tempat para dewa. Di kahyangan suasana menjadi cerah dengan datangnya kembali Arjuna dan Suprabha dengan selamat. Segera pula didakan persiapan dan taktik untuk menyambut serangan pasukan raja Niwatakawaca. Sementara hanya Arjuna dan dibantu oleh Indra yang nanti bertugas untuk membunuh Niwatakawaca dengan senjata pamungkas karena ucapan sang raja yang kurang hatihati. Tentara para dewa, apsara dan gandarwa menuju medan pertempuran di lereng sebelah selatan pegunungan Himalaya dan mengatur barisan dalam sebuah posisi disebut makara (berbentuk seperti udang raksasa). Akhirnya pertempuranpun tak terelakkan dan terjadi dengan sengit sampai-sampai Niwatakawaca sendiri terjun ke medan tersebut dan mencerai-beraikan pasukan para dewa. Mereka terpaksa segera mengundurkan diri. Karena juga sebagai taktik, Arjuna yang bertempur dibagian dibelakang pura-pura terhanyut dalam pasukan yang lari terbirit-birit tersebut tapi dengan busur dan panah sakti yang telah disiapkannya. Ketika pasukan musuh terus memburu dan raja Niwatakawaca berteriak-teriak dengan seagala amarah dan sumpah serapahnya, Arjuna manarik busurnya. Melesat lurus dan langsung menembus ujung lidah sang raja. Seketika itu pula ia tersungkur dan mati. Para pasukan raksasa segera melarikan diri atau dibunuh. Para dewa, apsara, dan gandarwa yang mati kemudian dihidupkan kembali dengan cipratan air suci amertha dan kembali ke kahyangan. Atas segala upaya dan keberhasilan Arjuna, maka dia menerima penghargaan dari dewa Indra. Selama tujuh hari tujuh malam dia menikmati kenikmatan surgawi (setara dengan tujuh bulan di dunia) atas tindakannya yang penuh kejantanan (?). Ia bersemayam bagaikan seorang raja di atas tahta Indra dan bersanding dengan bidadari cantik jelita Suprabha. Namun seiring bergulirnya waktu, Arjuna semakin gelisah dan rindu akan saudara-saudaranya. Akhirnya dengan ijin Indra, maka Arjuna kembali lagi ke dunia dan menmui saudara-saudaranya tanpa menceritakan hadiah surgawi yang diterimanya kecuali hadiah senjata panah maha sakti Pasupati hasil tapa bratanya di gunung Indrakila.

Hari WangsaKakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi

Sri.Hariwangsa secara harafiah berarti silsilah atau garis keturunan sang Hari atau Wisnu. Di India Harivam.a dalam bahasa Sansekerta memang sebuah karya sastra mengenai Wisnu dan garis keturunannya di mana cerita pernikahan Kresna dan Rukmini adalah sebuah bagian kecil daripadanya. Namun untuk kasus kita ini, sebenarnya nama ini kurang cocok karena kakawin ini hanya mencakup sebuah bagian kecil saja.Sang Kresna yang sedang berjalan-jalan di taman, mendapat kunjungan batara Narada yang berkata kepadanya bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Kundina. Sedangkan Kresna yang merupakan titisan batara Wisnu harus menikah dengannya. Titisan Dewa Sri bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri prabu Bismaka. Tetapi prabu Jarasanda sudah berkehendak untuk mengkawinkannya dengan raja Cedi yang bernama prabu Cedya. Maka prabu Kresna ingin menculik Dewi Rukmini. Lalu pada saat malam sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, Kresna datang ke Kundina dan membawa lari Rukmini. Sementara itu para tamu dari negeri-negeri lain banyak yang sudah datang. Prabu Bismaka sangat murka dan beliau langsung berrembug dengan raja-raja lainnya yang sedang bertamu. Mereka takut untuk menghadapi Kresna karena terkenal sangat sakti. Kemudian Jarasanda memiliki sebuah siasat untuk memeranginya, yaitu dengan meminta tolong Yudistira dan para Pandawa lainnya untuk membantu mereka.

Kemudian utusan dikirim ke prabu Yudistira dan beliau menjadi sangat bingung. Di satu sisi adalah kewajiban seorang ksatria untuk melindungi dunia dan memerangi hal-hal yang buruk. Kresna adalah sahabat karib para Pandawa namun perbuatannya adalah curang dan harus dihukum. Kemudian ia setuju. Namun Bima marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda tetapi dicegah Arjuna. Selang beberapa lama, mereka mendapat kunjungan duta prabu Kresna yang meminta bantuan mereka. Namun karena sudah berjanji duluan, Yudistira terpaksa menolak sembari menitipkan pesan kepada sang duta supaya prabu Kresna hendaknya tak usah khawatir karena beliau sangat sakti. Lalu para Pandawa lima berangkat ke negeri Karawira tempat prabu Jarasanda berkuasa kemudian bersama para Korawa mereka menyerbu Dwarawati, negeri prabu Kresna. Sementara itu Kresna sudah siap-siap menghadapi musuh, dibantu kakaknya sang Baladewa. Berdua mereka membunuh banyak musuh. Jarasanda, para Korawa, Bima dan Nakula dan Sahadewa pun sudah tewas semua. Prabu Yudistira dibius oleh Kresna tidak bisa bergerak. Kemudian Kresna diperangi oleh Arjuna dan hampir saja beliau kalah. Maka turunlah batara

Wisnu dari surga. Kresna sebagai titisan Wisnu juga berubah menjadi Wisnu, sementara Arjuna yang juga merupakan titisan Wisnu berubah pula menjadi Wisnu. Yudistira lalu siuman dan meminta Wisnu supaya menghidupkan kembali mereka yang telah tewas di medan peperangan. Wisnu setuju dan Beliau pun menghujankan amerta, lalu semua ksatria yang telah tewas hidup kembali, termasuk Jarasanda. Semuanya lalu datang ke pesta pernikahan prabu Kresna di Dwarawati.Tema yang dibahas dalam kakawin Kresnyana ini mirip dengan tema yang dibahas dalam kakawin Hariwangsa. Para pakar sastra Jawa Kuna berpendapat bahwa kakawin Hariwangsa lebih berhasil dalam menggarap tema yang sama ini. Kakawin Hariwangsa lebih muda daripada Kresnyana jadi kemungkinan mpu Panuluh menggubah ulang sebuah cerita yang sudah ada entah alasan apa. Ada kemungkinan ia diperintah oleh prabu Jayabaya atau memang karena hasrat jiwanya sendiri. Di dalam kakawinnya sendiri tertulis bahwa mpu Panuluh menulisnya karena: tambenya pangiketkw apt laleh, atau maksudnya: alasannya menggubah syair ialah mencari capai. Hal ini oleh para pakar ditafsirkan bahwa kakawin ini hanyalah bahan coba-cobaan saja. Mpu Panuluh juga terkenal dengan kakawin Bharatayuddhanya yang ia karang bersama mpu Sedah. Kemudian ada hal yang sekaligus menarik dan janggal terjadi dalam kakawin ini, yaitu bagaimana para Pandawa bisa-bisanya yang dilukiskan memerangi prabu Kresna, sekutu mereka yang paling setia bersama-sama dengan para Korawa yang merupakan musuh bebuyutan para Pandawa. Namun semuanya berakhir dengan baik bagi segala pihak. Hal seperti ini tidak muncul dalam sastra epis (wiracarita) di India dan ini menunjukkan sifat Indonesiawi dari kakawin ini. Bahkan ada pakar yang menduga bahwa kakawin ini sebenarnya adalah sebuah naskah lakon yang maksudnya dipentaskan untuk pertunjukan wayang. ATAR BELAKANG : Kakawin Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, pada tahun 1135-1157. Cerita ini bisa dikatakan beraroma khas Nusantara, karena banyak hal yang berbeda dengan kisah aslinya di India. Ada hal yang sekaligus menarik dan janggal terjadi dalam kakawin ini, yaitu bagaimana para Pandawa bersama-sama dengan para Korawa yang merupakan musuh bebuyutan para Pandawa bisa-bisanya dilukiskan memerangi prabu Kresna, sekutu mereka yang paling setia. Barangkali ada maksud tertentu mengapa Pandawa bisa memerangi Prabu Kresna, mengapa musuh bebuyutan Prabu Kresna bisa berdamai dan semuanya berakhir baik bagi segala pihak. Hal seperti ini tidak muncul dalam sastra epis (wiracarita) di India dan ini menunjukkan sifat Indonesiawi dari kakawin ini. Bahkan ada pakar yang menduga bahwa kakawin ini sebenarnya adalah sebuah naskah lakon yang maksudnya dipentaskan untuk pertunjukan wayang. Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Sedangksn Hariwangsa sendiri bermakna wangsa Hari, Garis Keturunan Wisnu. Akan tetapi Kakawin Hariwangsa hanya berupa petikan tentang perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Dimana Dewi Rukmini adalah titisan Dewi Sri yang merupakan istri dari betara Wisnu. ISI CERITA

Alkisah di Negeri Dwarawati Sang Kresna yang telah beranjak dewasa dan berkeinginan untuk mencari istri namun tidak ada satupun berkenan dihati. Kresna yang merupakan titisan Wisnu sangat merindukan titisan Dewi Sri yang tidak diketahui dimana dan siapa namanya. Untuk menentramkan hatinya yang sedang kasmaran, maka berjalan-jalanlah dia ke taman di belakang istana. Ketika di taman tersebut Kresna mendapat kunjungan batara Narada. Batara Narada mengatakan bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Bismaka. Titisan Dewi Sri tersebut bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri prabu Bismaka. Akhirnya Kresna merasa girang karena apa yang selama ini ada dalam mimpinya sebentar lagi menjadi kenyataan. Dia memikirkan cara yang paling baik untuk mendapat Dewi Rukmini. Terbersit dalam benaknya untuk datang menghadap ke Negeri Bismaka dan menyampaikan lamaran kepada Prabu Bismaka. Namun diurungkan karena takut kalau ditolak, betapa malu hatinya. Kalau dengan jalan perang juga tidak berkenan dihatinya. Akhirnya Kresna memutuskan membuat surat kepada Sang Prabu untuk meminang Dewi Rukmini dan mengutus pengasuhnya yang bernama I Priambada. Sesampainya di puri Bismaka I Priambada minta tolong kepada Ni Kesari yang merupakan dayang kesayangan Sang Dewi. Ni Kesari menghadap Dewi Rukmini dan menyampaikan bunga cempaka dan cincin yang bermata mutu manikam titipan dari Prabu Kresna. Ni kesari lupa menyampaikan surat cinta dari Sri Kresna akhirnya surat itu diletakkan di bawah cermin tempat sang dewi berhias. Surat yang berisi segala bujuk rayu dari Kresna membuat hati sang Dewi menjadi gundah gulana dan gelisah sepanjang hari. Wajah Kresna seperti terbayang-bayang di pelupuk mata. Di lain tempat diceritakan Hyang Bhagawan Narada turun ke kerajaan Kundina. Beliau memberi kabar kepada Raja Jarasanda bahwa Kresna mempunyai niat akan menculik diah Rukmini. Raja Jarasanda diperintahkan menyampaikan kabar ini kepada Raja Bismaka. Akhirnya Prabu Jarasanda menyampaikan hal itu dan menghasut prabu Bismaka agar menikahkan sang Dewi dengan Prabu Cedi. Prabu Bismaka setuju dengan perjodohan itu. Setelah perundingan selesai Prabu Jarasanda memberitahu Prabu Cedi akan perjodohannya dengan Dewi Rukmini. Raja Cedi kaget dan girang bukan kepalang bagaikan kejatuhan bulan karena dulu lamarannya ditolak oleh sang Dewi akhirnya akan bersanding pula dengan sang Dewi. Pesta pernikahan disiapkan dengan meriah dan para tamu dari negeri tetangga dan para raja telah hadir. Diceritakan Dewi Rukmini bersedih hati karena tidak setuju dengan perjodohannya. Hampir saja dia bunuh diri. Akan tetapi dicegah oleh dayangnya dan diingatkan tentang surat dari Kresna yang belum dibalas. Akhirnya dewi Rukmini membalas surat Sri Kresna dan berniat untuk melarikan diri bersama Kresna. Sehari sebelum hari pernikahannya Dewi Rukmini melarikan diri dengan Sri Kresna atau yang sering disebut Sang Hyang Hari. Seisi puri menjadi gempar. Raja Jarasanda murka, akhirnya dia membuat siasat untuk memerangi Kresna. Semua raja-raja diajak bersekutu termasuk Korawa. Dia juga minta pertolongan kepada Para Pandawa dan mengutus Sang Citrasena. Dengan berat hati Raja Yudhistira menyanggupi untuk membantu walaupun ditentang mati-matian oleh Bimasena. Setelah utusan Jarasanda pergi datanglah utusan Sri Kresna sang Udawa yang menyampaikan kepada Raja Yudhistira agar tidak ikut berperang karena Sri Kresna tidak pernah takut oleh musuh siapapun dan tidak akan mengampuni siapapun. Prabu Yudhistira sangat bingung ia merasa menyesal karena tidak bisa

menuruti nasehat Sri Kresna yang merupakan sahabat setia dan yang membantu Yudhistira menjadi raja. Dengan berat hati ia menyampaikan akan tetap ke medan laga karena sudah terikat janji dengan Prabu Jarasanda. Sang Udawa merasa sedih dengan jawaban sang Yudhistira dengan berat hati dia melaporkannya kepada Sri Kresna. Pada akhirnya perang tak dapat dielakkan lagi, tempat perang tanding berubah menjadi lautan darah. Raja-raja sekutu Jarasanda semua gugur, bahkan Jarasanda sendiripun gugur. Begitu juga Sang Kurupati, Prabu Bismaka, Sang Bagadata, Sang Karna, Prabu Cedi, Sang Nakula, Sahadewa, Sang Bima gugur pula. Karena melihat adik-adiknya tewas Sang Yudhistira pun ikut berperang. Namun Sri Kresna mengeluarkan senjata yang sangat sakti sehingga Yudistira pingsan roboh jatuh ke ibu pertiwi. Melihat kakaknya pingsan Arjuna membalas dengan mengeluarkan berbagai macam senjata sakti. Begitu pula dengan Kresna. Perang senjata, perang ilmu kanuragan tiada henti. Akhirnya mereka ingat mereka adalah titisan Sang Hyang Narayana. Keduanya berubah bertangan empat, menjadi wisnu murti. Untuk memisahkan mereka Betara Wisnu turun dari sorga diiringi oleh para Dewata-Dewati dan Para Resi di langit. Pada saat itu Yudhistira sudah siuman dan menyembah serta memohon kepada Dewa Wisnu agar keadaan berubah seperti sediakala dan menghidupkan kembali yang gugur dalam perang. Dewa Wisnu akhirnya mengembalikan keadaan semula semua yang mati dihidupkan kembali dan bahkan mereka memiliki sikap welas asih menjadi lebih baik perselisihan pun terselesaikan dengan baik. Diakhir cerita diceritakan semua hidup kembali serta memiliki sikap welas asih dan mereka bersama-sama menghadiri pernikahan Sang Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini di Puri Dwarawati TOKOH-TOKOH : Prabu Kresna, Dewi Rukmini, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sahadewa, Prabu Bismaka, Prabu Cedi, Prabu Jarasanda, Bhagawan Narada. Betara Wisnu, Baladewa, Sang Duryodana dan para Korawa, Sang Karna, Citrasena, Udawa, Ni Kesari dan I Priambada. TEMA Kakawin Hariwanga, menceritakan perjalanan hidup Wisnu dalam bentuk Awatara Kresna, dan mengisahkan perkawinan Kresna dan Rukmini (abad 12, mpu Panuluh jaman Jayabaya 1135-1157 M). Adapun tema dari kekawin ini adalah Sebagai seorang kesatria harus selalu menegakkan dharma tanpa memandang resiko terhadap dirinya. Contohnya dalam kakawin ini adalah sikap Prabu Yudhistira yang seorang kesatria mau membantu Prabu Jarasanda dan bergabung dengan Korawa musuh bebuyuta mereka untuk memerangi Kresna yang merupakan sahabat setia mereka dan pelindung mereka. Isi cerita versi 2: Sang Kresna yang sedang berjalan-jalan di taman, mendapat kunjungan batara Narada yang berkata kepadanya bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun

ke dunia di negeri Kundina. Sedangkan Kresna yang merupakan titisan batara Wisnu harus menikah dengannya. Titisan Dewa Sri bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri prabu Bismaka. Tetapi prabu Jarasanda sudah berkehendak untuk mengkawinkannya dengan raja Cedi yang bernama prabu Cedya. Maka prabu Kresna ingin menculik Dewi Rukmini. Lalu pada saat malam sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, Kresna datang ke Kundina dan membawa lari Rukmini. Sementara itu para tamu dari negeri-negeri lain banyak yang sudah datang. Prabu Bismaka sangat murka dan beliau langsung berrembug dengan raja-raja lainnya yang sedang bertamu. Mereka takut untuk menghadapi Kresna karena terkenal sangat sakti. Kemudian Jarasanda memiliki sebuah siasat untuk memeranginya, yaitu dengan meminta tolong Yudistira dan para Pandawa lainnya untuk membantu mereka. Kemudian utusan dikirim ke prabu Yudistira dan beliau menjadi sangat bingung. Di satu sisi adalah kewajiban seorang ksatria untuk melindungi dunia dan memerangi hal-hal yang buruk. Kresna adalah sahabat karib para Pandawa namun perbuatannya adalah curang dan harus dihukum. Kemudian ia setuju. Namun Bima marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda tetapi dicegah Arjuna. Selang beberapa lama, mereka mendapat kunjungan duta prabu Kresna yang meminta bantuan mereka. Namun karena sudah berjanji duluan, Yudistira terpaksa menolak sembari menitipkan pesan kepada sang duta supaya prabu Kresna hendaknya tak usah khawatir karena beliau sangat sakti. Lalu para Pandawa lima berangkat ke negeri Karawira tempat prabu Jarasanda berkuasa kemudian bersama para Korawa mereka menyerbu Dwarawati, negeri prabu Kresna. Sementara itu Kresna sudah siap-siap menghadapi musuh, dibantu kakaknya sang Baladewa. Berdua mereka membunuh banyak musuh. Jarasanda, para Korawa, Bima dan Nakula dan Sahadewa pun sudah tewas semua. Prabu Yudistira dibius oleh Kresna tidak bisa bergerak. Kemudian Kresna diperangi oleh Arjuna dan hampir saja beliau kalah. Maka turunlah batara Wisnu dari surga. Kresna sebagai titisan Wisnu juga berubah menjadi Wisnu, sementara Arjuna yang juga merupakan titisan Wisnu berubah pula menjadi Wisnu. Yudistira lalu siuman dan meminta Wisnu supaya menghidupkan kembali mereka yang telah tewas di medan peperangan. Wisnu setuju dan Beliau pun menghujankan amerta, lalu semua ksatria yang telah tewas hidup kembali, termasuk Jarasanda. Semuanya lalu datang ke pesta pernikahan prabu Kresna di Dwarawati.

KAKAWIN BHARATAYUDHAKakawin ini diterbitkan oleh J. G. H Gunning pada tahun 1903. cara penerbitannya dicetak dengan huruf jawa baru dengan beberapa perubahan karena penyesuaian penulisan ejaan.penertibatan naskah ini didasarkan pada beberapa naskah, diantaranya yang telah diperiksa Raffles pada tahun 1817 seperti yang disebutkan dalam karangan nya : Histori of Java yang terbit pada tahun 1830. Kakawin Barathayudha ini pernah diterjemahkan dan dimuat dalam majalah Djawa no 14 tahun 1934, sebagai hasil karya Prof RM.NG. Poerbacaraka bersama Dr. C Hooykaas.

RINGKASAN CERITA : Pada hakikatnya isi cerita kakaein Barathayudha ini menceritakan tentang peperangan antara keluarga pandawa melaean keluarga kurawa. Sebenarnya kedua duanya ( pandawa dan kurawa ) adalah satu keluarga yaitu keluarga Bharata, maka peperangan diantara mereka itu dinamakan perang Bharatayudha. Dua keluarga tersebut dikatakan keluarga Bharata karena berdasarkan pada garis keturunan sampai pada Bhisma yang menjadi Brahmacarin. Sumber cerita Bharatayuudha ini kemungkinan besar tidak langsung dari sloka Mahabarta Sansekerta. , tetapi kemungkinan besar justru mengambil dari kitab kitab parwa dalam bahasa Jawa Kuna sebelumnya, salinan yang berbahasa prosa dari Jaman Dharmawangsa Teguh. Mahabharata terkenal pula dengan nama Astadasaparwa. Oleh karena kitab itu terbagi atas 18 parwa. Adapun isi kakawin Bharatayudha ada hubunganya dengan kitab kita parwa yang diambil sebagai sumbernya adalah sebagai berikut : Pupuh 1 8 : dimulai dengan cerita kunjungan Kresna kepada Kurawa di hastina untuk mengadakan perundingan ;kemungkinan ada perdamaian atau terpaksa berperang, cerita ini dapat kita cari sumbernya di dalam Udyogaparwa. Pupuh 9 : melukiskan persiapan perang . Pupuh 10 : penggangkatan Bhisma menjadi panglima Kurawa yang pertama. Didalam pupuh ini terdapat 1 bait lukisan tentang saran Kresna terhadap rasa terharunya Arjuna ini biasanya dihubungkan dengan Bhagawagita. Kemudian dilanjutkan dengan lukisan pertempuran yang pertama tama. Pupuh 11 12 : cerita tentang Bhisma jatuh terbaring di medan perang terkena anak panah Srikandi. Pupuh 13 cerita tentang gugurnya Abhimanyu , diteruskan dengan lukisan berkabungnya para Pandawa. Pupuh 9 -13 : ini isinya dapat dikembalikan kepada isi Bhismaparwa, meskipun banyak cerita dari Bhismaparwa tersebut tidak terdapat dalam pupuh pupuh tersebut. Pupuh 14 : ratap tangis keluarga pandawa karena gugurnya Abhianyu Pupuh 15 17 : lukisan tentang gugurnya Bhurisrawa

Pupuh 18 : perkelahian antara Karna dengan Ghatotkaca Pupuh 19 : Ghatitkkaca gugur Pupuh 20 : cerita gugurnya Drona oleh Dhrstadyuma, setelahh diipu Kresna bahwa Aswattama mati , padahal yang bernama Aswattama itu seekor gajah , oleh Drona dikira anaknya. Dari pupuh 14 20 ini isi ceritanya dapat dikembalikan kepada Dronaparwa. Pupuh 21 : pelantikkan Karna menjadi senopati Pupuh 22 : pandawa berkabung atas gugurnya Drona Pupuh 23 : pandawa mengunjungi Bhisma Pupuh 24 : Bhisma menghibur Pandawa dengan nasihat nasihat Pupuh 25 : Salya menjadi sais Karna Pupuh 26 29 : lukisan tentang keberanian Karna Pupuh 30 : lukisan peperangan Karna melawan Arjuna Pupuh 31 : Karna gugur Pupuh 32, 33 : kurawa berkabung atau gugurnya Karna. Dari pupuh 21 33 ini isinya dapat diruntu kembali dalam Karnaparwa. Dalam Karnaparwa Pupuh 34 36 : Salya dilantik senapati Puuh 37 39 : lukisan romantisme Salya Satyawati Pupuh 40 : Salya berangkat ke medan perang Pupuh 41 : lukisan di peperangan Pupuh 42 : Salya gugur setelah berhadapan dengan Yudhistira. Pupuh 43 : peperangan Sakuni melawan Bhima Pupuh 44 , 45 : ratap tangis Satyawati mencari Salya di medan perang Pupuh 46 48 : lukisan pertempuran Bhima melawan Duryudhana

Pupuh 49 : Duryodhana gugur Dari pupuh 34 49 ini isinya sejalan dengan Salyaparwa Pupuh 50 : cerita ketika para pandawa berziarah ke petirtaan petirtaan. Pada saat ini para keluarga Pandawa yang tinggal di pesanggrahan dibunuh oleh Aswattama yang mengamuk di waktu malam hari. Pupuh 51 : Aswattama gugur Kedua pupuh ini ( 50 , 51 ) isiya sejalan dengan Sauptikaparwa. Pupuh 52 : merupakan pupuh tersendiri , karena ada hubungannya dnegan Bhatara Haji Jayabhaya. Dengan demikian dari sejumlah 18 parwa Astadasaparwa yang dipergunakan sebagai sumber kakawin Bharatayudha hanyalah 6 parwa, ialah : 1 ) udyogaparwa 2 ) Bhismaparwa 3 ) Dronaparwa 4 ) Karnaparwa 5) Salyaparwa dan 6) Suptikaparwa. Penulis dan masa Penulisannya Kitab kakawin Bharatayudda ini ditulis oleh 2 orang Mpu yaitu : Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Bagian pada permulaan sampai pada munculnya Prabu Salya ke medan perang adalah karya Mpu Sedah, sedangkan lanjutanya Mpu Panuluh. Kitab Ini ditulis pada jaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kadiri dengan ciri tahun sanga kuda suddha candrama = 1079 saka atau 1157 M . ( dikutip dari buku Sejarah Sastra Jawa karya Dra. Endang Siti Saparinah dan Dra. Sundari ) Kakawin Bharata Yudha, buah karya Pujangga Besar Empu Sedah dan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri itu, hingga sekarang masih tetap menjadi pusat perhatian kaum cerdik cendikiawan dan para sarjana dari luar maupun dalam negeri yang ingin memperdalam bahasa serta kesusasteraan Jawa. Isi kakawin tersebut, menceritakan perangnya keluarga Pandawa melawan Kurawa. Karena kedua belah pihak masih darah daging, yaitu rumpun Bharata Yudha. Kakawin tersebut termasuk kitab Jawa Kuna disusun dengan sekar ( puisi ) dan ( digubah berdasarkan kitab Maha Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab Astadasa Parwa ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.

Karena buku itu memuat cerita perang, maka isinya untuk sebagian besar adalah soal pertempuran, dengan korban-korban berguguran. Kecuali Kakawin Bharata Yudha sendiri , juga kitab Jawa yang

bernama Adi Parwa menyebutkan, bahwa perang besar itu hanyalh berlangsung 18 malam saja. Meskipun demikian menurut cerita itu , korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatangbinatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya, menurut kata-kata aslinya jumlah itu ialah : Sangang yuta limang keti, tigang leksa sangan ewu langkung seket.

Pertempuran yang terlam 10 hari, yang tersingkat setengah hari saja. Tadi telah disebutkan, bahwa Kakawin itu menggubah parwa-parwa atau bagian.

Adapun yang dipetik oleh Kakawin itu ialah : 1. Udyoga parwa, babakan ini menceritakan ketika prabu Kresna, penasehat agung Pandawa, melaksanakan tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk menyodorkan Claim atas negara Astina kepada sang Kurupati benggol Kurawa yang menduduki negara tersebut. 2. Bhisma Parwa, menceritakan ketika Resi ( Pandita ) Bhisma maju memimpin peperangan sebagai panglima besar dari tentara Kurawa. Babakan perang ini berlangsung 10 hari ( jadi lebih dari separo lamanya dari perang Bharata Yudha itu sendiri ). Akhirnya pandita tersebut gugur karena panah Srikandi, seorang perwira wanita. 3. Drona parwa, mennceritakan waktu Pandita Drona, penasehat Kurawa memimpin pertempuran sebagai panglima tentara Kurawa. Ia gugur pula, putus lehernya oleh Sang Drestadyumna. Lamanya pertempuran ini 5 hari. 4. Karna Parwa, menceritakan waktu Sang Karna, panglima perang tertinggi tentara Kurawa maju perang meminpin dan memegang sendiri komando pertempuran. Lama pertempuran hanya 2 hari saja dengan berakhir gugurnya sang Karna karena kesaktian Sang Arjuna. 5. Salya Parwa, menceritakan ketika Sang Salya, sesepuh Kurawa meminpin pertempuran. Pertempuran hanya berlangsung setengah hari saja dengan berakhir gugurnya sang Salya oleh Puntadewa dengan ajimat Kalimahosadhanya. 6. Gada Parwa, mengkisahkan waktu Sang Duryudana bertempur melawan Sang Bima. Duryudana menemui kekalahannya karena kena pukul pada betisnya oleh Bima dengan gada yang dinamakan Lohitamuka. Gada ini beratnya bukan alang kepalang karena berkepalakan besi massif. Dalam cerita wayang gada ini sangat terkenal yang oleh Ki Dalang disebut gada Rujak Polo ( polo artinya otak ). Meskipun Duryudana telah remuk dan cacad, tetapi ia tidak juga mati. Ia telah bersumpah, sebelum mati akan membersihkan telapak kakinya pada kepala-kepala para Pandwa ( kesed )

7. Sauptika parwa, mengkisahkan ketika Aswatama bersama resi Krepa dan Kartamarma sebagai orang-orang Kurawa yang telah kehilangan akal, melakukan serangan pembalasan secara pengecut dengan meninggalkan aturan umum pertempuran. Dengan muslihatnya yang licik itu pada suatu malam mereka telah merunduk ke perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh dengan cara yang tidak ksatria perwira-perwira Pandawa serta kelima putra Yudhistira sesepuh Pandawa. Sebagaimana diketahui, malam itu para Pandawa bersam Kresna sedang melakukan anjangsana kedesa-desa. Mereka meninggalkan perkemahan dengan hati yang resah karena memikirkan sumpah Duryudana tadi.

Bharata Yudha dianggap keramat di Jawa. Pertunjukan ( wayang ) dengan cerita Bharata Yudha yang mengasyikkan itubuat masyarakat di Jawa pada umumnya masih dianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat dan waktu. Menurut kepercayaan yang masih tetap berlaku, kalau dilanggar bisa menimbulkan bencana yang tidak diduga-duga. Biasanya lakon Bharata Yudha hanya dipertunjukkan pada saatsaat upacara bersih desa yang hanya berlangsung setahun sekali di desa-desa. Dan pertunjukkan ( wayang ) itu dilakukan ditengah sawah. bersih Dusun atau merti dusun ( asal kata Jawa kuno Pitro berarti metathesis. Dengan merti dusun penduduk memberi sesaji kepada roh-roh leluhur, dan adat tata cara merti dusun itu kini tidak lagi terdapat di kota-kota. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang, dengan lakon Bharata Yudha itu hampir tidak pernah dilakukan dikota. ( sekarang sudah banyak dipentaskan oleh wayang orang dan disiarkan oleh radio red ) Bharata Yudah di Bali. Berlainan dengan di Jawam maka Bharata Yudha di Bali tidaklah dianggap keramat dan luar biasa. Disana kitab atau cerita yang dianggap tidak baik akibatnya ialah Serat Kidung Rangga Lawe, yang mengkisahkan memberontaknya Ki Rangga Lawe dari Tuban terhadap keprabuan Majapahit, disamping itu jugs kitab-kitab lain seperti cerita Jayaprana, suatu cerita yang hampir mirip dengan cerita Pranacitra untuk masyarakat Jawa. Di Bali kitab Bharata Yudha menjadi bacaan umum, terutama bagi mereka yang memperdalam kesusasteraan. Masyarakat Bali umumnya hafal diluar kepala, kebanyakan bait-bait yang tersurat dalam kitab tersebut, dan oleh karenanya banyak disitir dalam pelbagai percakapan.

Salah satu bait yang sangat populer dari Kakawin itu, ialah bait ke I Sekar Puspatagra, yang diucapkan dengan intonasi khusus pada waktu mereka berjalan mengiring jenazah yang akan diperabukan. Bunyinya bait itu adalah sebagai berikut : Ri pati sang Abimanyu ring ranangga, Tenuh araras kadi sewaleng tahan mas, Hanan angaraga kalaning pajang lek, cinacah alindi sahantimun genenten

Terjemahannya Ke I sebagai berikut : Gugurnya Sang Abimanyu dimedan perang, Hancur remuk tetapi malahan nampak indah, bak lumut laut di atas piring kencana ukiran. Sebentar ( luka Itu ) nampak seperti lubang, keranjang kena sinar rembulan purnama, Terkeping-keping halus bak timu dicacah. Itulah bait yang sedikit banyak menggambarkan peperangan dengan korbannya dan watak-watak pelakunya. Sebagai tambahan, dibawah ini di kutip lagi bait yang melukiskan keindahan malam serta pemujaan atas seorang wanita. Bagian ini terdapat pada Sekar Sardulawikridita bait ke I : Leng leng ramya nikang sasangka kumenyar mangrongga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas Iwir murub ring langit. Tekwan sarwwa manik tawingnya sinawang saksat sekar ning suji, Unggawa Bhanumati yanamron alngo mwang natha Duryudana

Adapun maknanya Ke. I adalah sebagau berikut : Menggairahkan keindahan bulan purnama raya, menambah indah sinarnya puri, Kian tanpa tanding indahnya wism kencana, bak nyala dilangit. Dan bertahtakan Zamrud memancar laksana untaian kembang, Diditulah sang Ratna Banuwati biasa bercengkarama bersama Sang Duryudana. Itulah petikan dari Kakawin Bharata Yudha, yang banyak difahami dan diperdalam oleh masyarakat Bali disamping pementasan lakon-lakon dari Bharata Yudha itu sendiri.

BaratayudhaKakawin Bharata Yudha, buah karya Pujangga Besar Empu Sedah dan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri itu, hingga sekarang masih tetap menjadi pusat perhatian kaum cerdik cendikiawan dan para sarjana dari luar maupun dalam negeri yang ingin memperdalam bahasa serta kesusasteraan Jawa.

Isi kakawin tersebut, menceritakan perangnya keluarga Pandawa melawan Kurawa.

Karena kedua belah pihak masih darah daging, yaitu rumpun Bharata Yudha. Kakawin tersebut termasuk kitab Jawa Kuna disusun dengan sekar ( puisi ) dan ( digubah berdasarkan kitab Maha

Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab 'Astadasa Parwa' ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.

Karena buku itu memuat cerita perang, maka isinya untuk sebagian besar adalah soal pertempuran, dengan korban-korban berguguran. Kecuali Kakawin Bharata Yudha sendiri , juga kitab Jawa yang bernama Adi Parwa menyebutkan, bahwa perang besar itu hanyalh berlangsung 18 malam saja. Meskipun demikian menurut cerita itu , korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatangbinatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya, menurut kata-kata aslinya jumlah itu ialah : Sangang yuta limang keti, tigang leksa sangan ewu langkung seket.

Pertempuran yang terlam 10 hari, yang tersingkat setengah hari saja. Tadi telah disebutkan, bahwa Kakawin itu menggubah parwa-parwa atau bagian.

Adapun yang dipetik oleh Kakawin itu ialah :

1. Udyoga parwa, babakan ini menceritakan ketika prabu Kresna, penasehat agung Pandawa, melaksanakan tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk menyodorkan Claim atas negara Astina kepada sang Kurupati benggol Kurawa yang menduduki negara tersebut.

2. Bhisma Parwa, menceritakan ketika Resi ( Pandita ) Bhisma maju memimpin peperangan sebagai panglima besar dari tentara Kurawa. Babakan perang ini berlangsung 10 hari ( jadi lebih

dari separo lamanya dari perang Bharata Yudha itu sendiri ). Akhirnya pandita tersebut gugur karena panah Srikandi, seorang perwira wanita.

3. Drona parwa, mennceritakan waktu Pandita Drona, penasehat Kurawa memimpin pertempuran sebagai panglima tentara Kurawa. Ia gugur pula, putus lehernya oleh Sang Drestadyumna. Lamanya pertempuran ini 5 hari.

4. Karna Parwa, menceritakan waktu Sang Karna, panglima perang tertinggi tentara Kurawa maju perang meminpin dan memegang sendiri komando pertempuran. Lama pertempuran hanya 2 hari saja dengan berakhir gugurnya sang Karna karena kesaktian Sang Arjuna.

5. Salya Parwa, menceritakan ketika Sang Salya, sesepuh Kurawa meminpin pertempuran. Pertempuran hanya berlangsung setengah hari saja dengan berakhir gugurnya sang Salya oleh Puntadewa dengan ajimat Kalimahosadhanya.

6. Gada Parwa, mengkisahkan waktu Sang Duryudana bertempur melawan Sang Bima. Duryudana menemui kekalahannya karena kena pukul pada betisnya oleh Bima dengan gada yang dinamakan Lohitamuka. Gada ini beratnya bukan alang kepalang karena berkepalakan besi massif. Dalam cerita wayang gada ini sangat terkenal yang oleh Ki Dalang disebut gada Rujak Polo ( polo artinya otak ). Meskipun Duryudana telah remuk dan cacad, tetapi ia tidak juga mati. Ia telah bersumpah, sebelum mati akan membersihkan telapak kakinya pada kepala-kepala para Pandwa ( kesed )

7. Sauptika parwa, mengkisahkan ketika Aswatama bersama resi Krepa dan Kartamarma sebagai orang-orang Kurawa yang telah kehilangan akal, melakukan serangan pembalasan secara pengecut dengan meninggalkan aturan umum pertempuran. Dengan muslihatnya yang licik itu pada suatu malam mereka telah merunduk ke perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh dengan cara yang tidak ksatria perwira-perwira Pandawa serta kelima putra Yudhistira sesepuh Pandawa. Sebagaimana diketahui, malam itu para Pandawa bersam Kresna sedang melakukan anjangsana kedesa-desa. Mereka meninggalkan perkemahan dengan hati yang resah karena memikirkan sumpah Duryudana tadi.

Bharata Yudha dianggap keramat di Jawa.

Pertunjukan ( wayang ) dengan cerita Bharata Yudha yang mengasyikkan itubuat masyarakat di Jawa pada umumnya masih dianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat dan waktu. Menurut kepercayaan yang masih tetap berlaku, kalau dilanggar bisa menimbulkan bencana yang tidak diduga-duga. Biasanya lakon Bharata Yudha hanya dipertunjukkan pada saatsaat upacara bersih desa yang hanya berlangsung setahun sekali di desa-desa. Dan pertunjukkan ( wayang ) itu dilakukan ditengah sawah.

bersih Dusun atau merti dusun ( asal kata Jawa kuno Pitro berarti metathesis. Dengan merti dusun penduduk memberi sesaji kepada roh-roh leluhur, dan adat tata cara merti dusun itu kini tidak lagi terdapat di kota-kota. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang, dengan lakon Bharata Yudha itu hampir tidak pernah dilakukan dikota. ( sekarang sudah banyak dipentaskan oleh wayang orang dan disiarkan oleh radio red )

Bharata Yudah di Bali.

Berlainan dengan di Jawam maka Bharata Yudha di Bali tidaklah dianggap keramat dan luar biasa. Disana kitab atau cerita yang dianggap tidak baik akibatnya ialah Serat Kidung Rangga Lawe, yang mengkisahkan memberontaknya Ki Rangga Lawe dari Tuban terhadap keprabuan Majapahit, disamping itu jugs kitab-kitab lain seperti cerita Jayaprana, suatu cerita yang hampir mirip dengan cerita Pranacitra untuk masyarakat Jawa. Di Bali kitab Bharata Yudha menjadi bacaan umum, terutama bagi mereka yang memperdalam kesusasteraan. Masyarakat Bali umumnya hafal diluar kepala, kebanyakan bait-bait yang tersurat dalam kitab tersebut, dan oleh karenanya banyak disitir dalam pelbagai percakapan.

Salah satu bait yang sangat populer dari Kakawin itu, ialah bait ke I Sekar Puspatagra, yang diucapkan dengan intonasi khusus pada waktu mereka berjalan mengiring jenazah yang akan diperabukan. Bunyinya bait itu adalah sebagai berikut :

Ri pati sang Abimanyu ring ranangga, Tenuh araras kadi sewaleng tahan mas, Hanan angaraga kalaning pajang lek, cinacah alindi sahantimun genenten

Terjemahannya Ke I sebagai berikut :

Gugurnya Sang Abimanyu dimedan perang, Hancur remuk tetapi malahan nampak indah, bak lumut laut di atas piring kencana ukiran. Sebentar ( luka Itu ) nampak seperti lubang, keranjang kena sinar rembulan purnama, Terkeping-keping halus bak timu dicacah.

Itulah bait yang sedikit banyak menggambarkan peperangan dengan korbannya dan watak-watak pelakunya. Sebagai tambahan, dibawah ini di kutip lagi bait yang melukiskan keindahan malam serta pemujaan atas seorang wanita. Bagian ini terdapat pada Sekar Sardulawikridita bait ke I :

Leng leng ramya nikang sasangka kumenyar mangrongga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas Iwir murub ring langit. Tekwan sarwwa manik tawingnya sinawang saksat sekar ning suji, Unggawa Bhanumati yanamron alngo mwang natha Duryudana

Adapun maknanya Ke. I adalah sebagau berikut :

Menggairahkan keindahan bulan purnama raya, menambah indah sinarnya puri, Kian tanpa tanding indahnya wism kencana, bak nyala dilangit. Dan bertahtakan Zamrud memancar laksana untaian kembang, Diditulah sang Ratna Banuwati biasa bercengkarama bersama Sang Duryudana.

Itulah petikan dari Kakawin Bharata Yudha, yang banyak difahami dan diperdalam oleh masyarakat Bali disamping pementasan lakon-lakon dari Bharata Yudha itu sendiri.

HariwangsaHariwangsa (Dewanagari: IAST: Harivaa; "garis keturunan Hari [Wisnu]") adalah suatu karya penting dalam kesusastraan Sanskerta, mengandung 16.374 sloka, sebagian besar dalam matra Anutubha. Kitab tersebut juga dikenal sebagai Harivaa Puraa 'Hariwangsapurana'. Kitab tersebut dipercaya sebagai suatu khila (tambahan atau pendukung) wiracarita Mahabharata da secara tradisional dianggap bahwa kitab itu disusun oleh Kresna Dwaipayana Weda Byasa. Menurut tradisi yang disebutkan dalam Mahabharata (Adiparwa, II:69:233), Hariwangsa dibagi menjadi dua parwa, yakni Hariwangsaparwa dan Bhawisyaparwa. Namun pada kitab yang tersisa sekarang ini terkandung tiga bagian (disebut parwa), yakni Hariwangsaparwa, Wisnuparwa, dan Bhawisyaparwa. Buku pertama menjelaskan penciptaan alam semesta dan kisah legendaris para raja dari Dinasti Surya dan Candra sampai kelahiran Kresna. Buku berikutnya menceritakan sejarah Kresna sebelum kejadian dalam Mahabharata. Bagian terakhir memuat daftar para raja di masa depan dan deskripsi zaman Kaliyuga. Maka dari itu buku tersebut memuat sejarah universal umat Hindu.

LATAR BELAKANG : Kakawin Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, pada tahun 1135-1157. Cerita ini bisa dikatakan beraroma khas Nusantara, karena banyak hal yang berbeda dengan kisah aslinya di India. Ada hal yang sekaligus menarik dan janggal terjadi dalam kakawin ini, yaitu bagaimana para Pandawa bersama-sama dengan para Korawa yang merupakan musuh bebuyutan para Pandawa bisa-bisanya dilukiskan memerangi prabu Kresna, sekutu mereka yang paling setia. Barangkali ada maksud tertentu mengapa Pandawa bisa memerangi Prabu Kresna, mengapa musuh bebuyutan Prabu Kresna bisa berdamai dan semuanya berakhir baik bagi segala pihak. Hal seperti ini tidak muncul dalam sastra epis (wiracarita) di India dan ini menunjukkan sifat Indonesiawi dari kakawin ini. Bahkan ada pakar yang menduga bahwa kakawin ini sebenarnya adalah sebuah naskah lakon yang maksudnya dipentaskan untuk pertunjukan wayang. Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Sedangksn Hariwangsa sendiri bermakna wangsa Hari, Garis Keturunan Wisnu. Akan tetapi Kakawin Hariwangsa hanya berupa petikan tentang perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Dimana Dewi Rukmini adalah titisan Dewi Sri yang merupakan istri dari betara Wisnu. ISI CERITA Alkisah di Negeri Dwarawati Sang Kresna yang telah beranjak dewasa dan berkeinginan untuk mencari istri namun tidak ada satupun berkenan dihati. Kresna yang merupakan titisan Wisnu sangat merindukan titisan Dewi Sri yang tidak diketahui dimana dan siapa namanya. Untuk menentramkan hatinya yang sedang kasmaran, maka berjalan-jalanlah dia ke taman di belakang istana. Ketika di taman tersebut Kresna mendapat kunjungan batara Narada. Batara Narada mengatakan bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Bismaka. Titisan Dewi Sri tersebut bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri prabu Bismaka. Akhirnya Kresna merasa girang karena apa yang selama ini ada dalam mimpinya sebentar lagi menjadi kenyataan. Dia memikirkan cara yang paling baik untuk mendapat Dewi Rukmini. Terbersit dalam benaknya untuk datang menghadap ke Negeri Bismaka dan menyampaikan lamaran kepada Prabu Bismaka. Namun diurungkan karena takut kalau ditolak, betapa malu hatinya. Kalau dengan jalan perang juga tidak berkenan dihatinya. Akhirnya Kresna memutuskan membuat surat kepada Sang Prabu untuk meminang Dewi Rukmini dan mengutus pengasuhnya yang bernama I Priambada.

Sesampainya di puri Bismaka I Priambada minta tolong kepada Ni Kesari yang merupakan dayang kesayangan Sang Dewi. Ni Kesari menghadap Dewi Rukmini dan menyampaikan bunga cempaka dan cincin yang bermata mutu manikam titipan dari Prabu Kresna. Ni kesari lupa menyampaikan surat cinta dari Sri Kresna akhirnya surat itu diletakkan di bawah cermin tempat sang dewi berhias. Surat yang berisi segala bujuk rayu dari Kresna membuat hati sang Dewi menjadi gundah gulana dan gelisah sepanjang hari. Wajah Kresna seperti terbayang-bayang di pelupuk mata. Di lain tempat diceritakan Hyang Bhagawan Narada turun ke kerajaan Kundina. Beliau memberi kabar kepada Raja Jarasanda bahwa Kresna mempunyai niat akan menculik diah Rukmini. Raja Jarasanda diperintahkan menyampaikan kabar ini kepada Raja Bismaka. Akhirnya Prabu Jarasanda menyampaikan hal itu dan menghasut prabu Bismaka agar menikahkan sang Dewi dengan Prabu Cedi. Prabu Bismaka setuju dengan perjodohan itu. Setelah perundingan selesai Prabu Jarasanda memberitahu Prabu Cedi akan perjodohannya dengan Dewi Rukmini. Raja Cedi kaget dan girang bukan kepalang bagaikan kejatuhan bulan karena dulu lamarannya ditolak oleh sang Dewi akhirnya akan bersanding pula dengan sang Dewi. Pesta pernikahan disiapkan dengan meriah dan para tamu dari negeri tetangga dan para raja telah hadir. Diceritakan Dewi Rukmini bersedih hati karena tidak setuju dengan perjodohannya. Hampir saja dia bunuh diri. Akan tetapi dicegah oleh dayangnya dan diingatkan tentang surat dari Kresna yang belum dibalas. Akhirnya dewi Rukmini membalas surat Sri Kresna dan berniat untuk melarikan diri bersama Kresna. Sehari sebelum hari pernikahannya Dewi Rukmini melarikan diri dengan Sri Kresna atau yang sering disebut Sang Hyang Hari. Seisi puri menjadi gempar. Raja Jarasanda murka, akhirnya dia membuat siasat untuk memerangi Kresna. Semua raja-raja diajak bersekutu termasuk Korawa. Dia juga minta pertolongan kepada Para Pandawa dan mengutus Sang Citrasena. Dengan berat hati Raja Yudhistira menyanggupi untuk membantu walaupun ditentang mati-matian oleh Bimasena. Setelah utusan Jarasanda pergi datanglah utusan Sri Kresna sang Udawa yang menyampaikan kepada Raja Yudhistira agar tidak ikut berperang karena Sri Kresna tidak pernah takut oleh musuh siapapun dan tidak akan mengampuni siapapun. Prabu Yudhistira sangat bingung ia merasa menyesal karena tidak bisa menuruti nasehat Sri Kresna yang merupakan sahabat setia dan yang membantu Yudhistira menjadi raja. Dengan berat hati ia menyampaikan akan tetap ke medan laga karena sudah terikat janji dengan Prabu Jarasanda. Sang Udawa merasa sedih dengan jawaban sang Yudhistira dengan berat hati dia melaporkannya kepada Sri Kresna. Pada akhirnya perang tak dapat dielakkan lagi, tempat perang tanding berubah menjadi lautan darah. Raja-raja sekutu Jarasanda semua gugur, bahkan Jarasanda sendiripun gugur. Begitu juga Sang Kurupati, Prabu Bismaka, Sang Bagadata, Sang Karna, Prabu Cedi, Sang Nakula, Sahadewa, Sang Bima gugur pula. Karena melihat adik-adiknya tewas Sang Yudhistira pun ikut berperang. Namun Sri Kresna mengeluarkan senjata yang sangat sakti sehingga Yudistira pingsan roboh jatuh ke ibu pertiwi. Melihat kakaknya pingsan Arjuna membalas dengan mengeluarkan berbagai macam senjata sakti. Begitu pula dengan Kresna. Perang senjata, perang ilmu kanuragan tiada henti. Akhirnya mereka ingat mereka adalah titisan Sang Hyang Narayana. Keduanya berubah bertangan empat, menjadi wisnu murti. Untuk memisahkan mereka Betara Wisnu turun dari sorga diiringi oleh para Dewata-Dewati dan Para Resi di langit.

Pada saat itu Yudhistira sudah siuman dan menyembah serta memohon kepada Dewa Wisnu agar keadaan berubah seperti sediakala dan menghidupkan kembali yang gugur dalam perang. Dewa Wisnu akhirnya mengembalikan keadaan semula semua yang mati dihidupkan kembali dan bahkan mereka memiliki sikap welas asih menjadi lebih baik perselisihan pun terselesaikan dengan baik. Diakhir cerita diceritakan semua hidup kembali serta memiliki sikap welas asih dan mereka bersama-sama menghadiri pernikahan Sang Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini di Puri Dwarawati TOKOH-TOKOH : - Prabu Kresna, Dewi Rukmini, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sahadewa, Prabu Bismaka, Prabu Cedi, Prabu Jarasanda, Bhagawan Narada. Betara Wisnu, Baladewa, Sang Duryodana dan para Korawa, Sang Karna, Citrasena, Udawa, Ni Kesari dan I Priambada. TEMA Kakawin Hariwanga, menceritakan perjalanan hidup Wisnu dalam bentuk Awatara Kresna, dan mengisahkan perkawinan Kresna dan Rukmini (abad 12, mpu Panuluh jaman Jayabaya 1135-1157 M). Adapun tema dari kekawin ini adalah Sebagai seorang kesatria harus selalu menegakkan dharma tanpa memandang resiko terhadap dirinya. Contohnya dalam kakawin ini adalah sikap Prabu Yudhistira yang seorang kesatria mau membantu Prabu Jarasanda dan bergabung dengan Korawa musuh bebuyuta mereka untuk memerangi Kresna yang merupakan sahabat setia mereka dan pelindung mereka.

Kakawin Arjunawiwaha

Kakawin adalah sebuah bentuk syair dalam bahasa Jawa Kuna dengan metrum yang berasal dari India. Sebuah kakawin dalam metrum tertentu terdiri dari minimal satu bait. Setiap bait kakawin memiliki empat larik dengan jumlah suku kata yang sama. Lalu susunan apa yang disebut guru laghu juga sama. Guru laghu adalah aturan kuantitas sebuah suku kata. Suku kata bisa panjang atau pendek. Sebuah suku kata panjang adalah suku kata yang memuat vokal panjang atau sebuah suku kata yang memuat sebuah vokal yang berada di depan dua buah konsonan. Berikut ini adalah kakawin arjunawiwaha. Kakawin arjunawiwaha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030. Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka

berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini. Oleh para pakar ditengarai bahwa kakawin Arjunawiwaha berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga Mahbharata.

Ikhtisar cerita Dua lembaran lontar kakawin Arjunawiwha. Niwtakawaca, seorang raksasa (daitya) mempersiapkan diri untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan Batara Indra. Karena raksasa itu tak dapat dikalahkan, baik oleh seorang dewa maupun oleh seorang raksasa, maka Batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari seorang manusia. Pilihan tidak sukar dan jatuh pada sang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakla. Namun sebelum Arjuna diminta bantuannya, terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya benarbenar membawa hasil seperti yang diharapkan. Maka tujuh orang bidadari yang kecantikannya sungguh menakjubkan dipanggil. Kedua bidadari yang terpenting bernama Suprabh dan Tilottam, mereka semua diperintahkan untuk mengunjungi Arjuna lalu mempergunakan kecantikan mereka untuk merayunya. Maka berjalanlah para bidadari melalui keindahan alam di gunung Indrakla menuju tempat bertapanya sang Arjuna. Mereka beristirahat di sebuah sungai lalu menghias diri dan membicarakan bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka. Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk, terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala kecantikan mereka dan mempergunakan segala akal yang dapat mereka pikirkan guna menggodanya, tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke kahyangan dan

melapor kepada batara Indra. Namun bagi para dewa kegagalan mereka merupakan suatu sumber kegembiraan, karena dengan demikian terbuktilah kesaktian Arjuna. Tertinggallah hanya satu hal yang masih disangsikan: apakah tujuan Arjuna dengan mengadakan yoga semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak menghiraukan keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan menyamar sebagai seorang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Sang resi tua ini berpura-pura batuk dan lalu disambut dengan penuh hormat oleh sang Arjuna yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi falsafi yang menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan di sorga, kekuasaan dan nikmat termasuk dunia semu dan ilusi; karena hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari Yang Mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan, jangan sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh Arjuna. Ia menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata ialah memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia sebenarnya dan meramalkan, bahwa Batara Siwa akan berkenan kepada Arjuna, lalu pulang. Arjuna meneruskan tapa-bratanya. Dalam pada itu raja para raksasa telah mendengar berita apa yang terjadi di gunung Indrakila. Ia mengutus seorang raksasa lain yang bernama Mka untuk membunuh Arjuna. Dalam wujud seekor babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna, terkejut oleh segala hiruk-pikuk, mengangkat senjatanya dan keluar dari guanya. Pada saat yang sama dewa Siwa, yang telah mendengar bagaimana Arjuna melakukan yoga dengan baik sekali tiba dalam wujud seorang pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu suku Kira. Pada saat yang sama masing-masing melepaskan panah dan babi hutan tewas karena lukanya. Kedua anak panah ternyata menjadi satu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kira itu, siapa yang telah membunuh binatang itu. Perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Panah-panah Siwa yang penuh sakti itu semuanya ditanggalkan kekuatannya dan akhirnya busurnya pun dihancurkan. Mereka lalu mulai berkelahi. Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri. Batara Siwa bersemayam selaku ardhanarwara 'setengah pria, setengah wanita' di atas bunga padma. Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala sesuatu. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah yang kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya Pasupati. Sekaligus diberikan kepadanya pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu. Sesudah itu Siwa lenyap. Tengah Arjuna memperbincangkan, apakah sebaiknya ia kembali ke sanak saudaranya, datanglah dua apsara 'makhluk setengah dewa setengah manusia', membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta agar Arjuna bersedia menghadap, membantu para dewa dalam rencana mereka untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena ini berarti bahwa ia lebih lama lagi terpisah dari saudara-saudaranya, tetapi akhirnya ia setuju. Ia mengenakan sebuah kemeja ajaib bersama sepasang sandal yang dibawa oleh kedua apsara, dan lewat udara menemai mereka ke kahyangan batara Indra. Ia disambut dengan riang gembira dan para bidadari merasa tergila-gila.

Indra menerangkan keadaan yang tidak begitu menguntungkan bagi para dewa akibat niat jahat Niwatakawaca. Raksasa itu hanya dapat ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus menemukan titik lemahnya. Sang bidadari Suprabha yang sudah lama diincar oleh raksasa itu, akan mengunjunginya dan akan berusaha untuk mengatahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna. Arjuna menerima tugas itu dan mereka turun ke bumi. Suprabha pura-pura malu karena hubungan mereka nampak begitu akrab, akibat tugas yang dibebankan kepada mereka. Dalam kepolosannya Suprabha tidak menghiraukan kata-kata manis Arjuna dan berusaha membelokkan percakapan mereka ke hal-hal lain. Waktu sore hari mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa; di sana tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para dewata. Sang Suprabha, sambil membayangkan bagaimana ia akan diperlakukan oleh Niwatakawaca, merasa tidak berani melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya, tetapi ia diberi semangat oleh Arjuna. Ia pasti akan berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang diperlihatkan ketika Arjuna sedang bertapa di dalam gua, biarpun pada waktu itu tidak membuahkan hasil. Suprabha menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-tengah halaman istana. Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun Arjuna memiliki aji supaya ia tidak dapat dilihat orang. Itulah sebabnya mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar bulan purnama, hanya melihat Suprabha. Beberapa dayang-dayang yang dulu diboyong ke mari dari istana Indra, mengenalinya dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan bagaimana keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan, bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri, karena tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia bersama dengan segala barang rampasan ditawan, ia menyeberang ke Niwatakawaca. Dua orang dayang-dayang menghadap raja dan membawa berita yang sudah sekian lama dirindukannya. Seketika ia bangun dan menuju ke taman sari. Niwatakawaca pun menimang dan memangku sang Suprabha. Suprabha menolak segala desakannya yang penuh nafsu birahi dan memohon agar sang raja bersabar sampai fajar menyingsing. Ia merayunya sambil memuji-muji kekuatan raja yang tak terkalahkan itu, lalu bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa oleh Rudra. Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Suprabha dan membeberkan rahasianya. Ujung lidahnya merupakan tempat kesaktiannya. Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut oleh kegaduhan yang dahsyat itu; Suprabha mempergunakan saat itu dan melarikan diri bersama Arjuna. Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah tertipu; ia memerintahkan pasukan-pasukannya agar seketika berangkat dan berbaris melawan para dewa-dewa. Kahyangan diliputi suasana gembira karena Arjuna dan Suprabha telah pulang dengan selamat. Dalam suatu rapat umum oleh para dewa diperbincangkan taktik untuk memukul mundur si musuh, tetapi hanya Indra dan Arjuna yang mengetahui senjata apa telah mereka miliki karena ucapan Niwatakawaca yang kurang hati-hati. Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya. Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai Niwatakawaca terjun ke medan laga dan mencerai-beraikan barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang bertempur di belakang barisan tentara yang sedang mundur, berusaha menarik perhatian Niwatakawaca. Pura-pura ia terhanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya. Ketika raja para raksasa mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan amarahnya,

Arjuna menarik busurnya, anak panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri atau dibunuh, dan para dewa yang semula mengundurkan diri, kini kembali sebagai pemenang. Mereka yang tewas dihidupkan dengan air amrta dan semua pulang ke sorga. Di sana para istri menunggu kedatangan mereka dengan rasa was-was jangan-jangan suami mereka lebih suka kepada wanita-wanita yang ditawan, ketika mereka merampas harta para musuh. Inilah satu-satunya awan yang meredupkan kegembiraan mereka. Kini Arjuna menerima penghargaan bagi bantuannya. Selama tujuh hari (menurut perhitungan di sorga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar oleh Menaka, mereka memasuki ruang mempelai. Yang pertama datang ialah Suprabha, sesudah perjalanan mereka yang penuh bahaya, dialah yang mempunyai hak pertama. Kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu per satu; nama mereka tidak disebut. Hari berganti hari dan Arjuna mulai menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya yang ditinggalkannya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Yang terakhir ini berdiri di balik sebatang pohon dan mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran dalam menggubah baris penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu. Maka setelah tujuh bulan itu sudah lewat, Arjuna berpamit kepada Indra; ia diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta sorgawi. Kakawin ini ditutup dengan keluh kesah para bidadari yang ditinggalkan di sorga dan sebuah kolofon mpu Kanwa.