Tugas Pratikum Geotek.docx
-
Upload
marcos-de-deus -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of Tugas Pratikum Geotek.docx
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi
menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem banyak digunakan
oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, ini di desain untuk memberikan posisi dan
kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh
dunia. Ionosfer adalah bagian dari lapisan atas atmosfer di mana terdapat sejumlah elektron dan ion
bebas yang mempengaruhi perambatan gelombang radio.
Lapisan terletak kira-kira antara 60 sampai 1000 km diatas permukaan bumi. Jumlah
elektron dan ion bebas pada lapisan ionosfer tergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari
serta densitas gas pada lapisan tersebut. Sinyal dari satelit GPS, yang terletak kira-kira 20.000 km
diatas permukaan bumi, harus melalui lapisan ionosfer untuk sampai ke antena di permukaan bumi.
Ion-ion bebas (elektron) dalam lapisan ionosfer akan mempengaruhi propagasi sinyal GPS. Dalam
hal ini ionosfer akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal GPS.
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan
Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini
sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan,
terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan
Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan di sepanjang kaki
pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang cara ploting lokasi
dengan menggunakan GPS, serta Geologi Ragional Yogyakarta, Sedangkan tujuanya
adalah untuk membantu seorang geologist dalam menentukan posisi/lokasi.
I.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain :
1. Bagaimanakah Cara Plotting Lokasi Dengan Menggunakan GPS?
2. Geologi Ragional Yogyakarta
BAB IIPEMBAHASAN
II.1 Cara Plotting Lokasi Dengan Menggunakan GPS
1. Pengertian Global Positioning System (GPS)
GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan
satelit. Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and
Ranging Global Positioning System). GPS didesain untuk memberikan informasi
posisi, kecepatan dan waktu.
Pada dasarnya GPS terdiri atas 3 segmen utama, yaitu:
a. Segmen angkasa (space segment)
Terdiri dari 24 satelit yang terbagi dalam 6 orbit dengan inklinasi 55° dan
ketinggian 20200 km dan periode orbit 11 jam 58 menit.
b. Segmen sistem control (control system segment)
Mempunyai tanggung jawab untuk memantau satelit GPS supaya
satelit GPS dapat tetap berfungsi dengan tepat. Misalnya untuk sinkronisasi waktu,
prediksi orbit dan monitoring “kesehatan” satelit.
c. Segmen pemakai (user segment)
Segmen pemakai merupakan pengguna, baik di darat, laut maupun udara,
yang menggunakan receiver GPS untuk mendapatkan sinyal GPS sehingga dapat
menghitung posisi, kecepatan, waktu dan parameter lainnya.
2. Metode Penentuan Posisi dengan GPS
Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan
ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa
satelitGPS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah
posisi 3 dimensi (x,y,z atau j,l,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic
System) 1984, sedangkan inggi yang diperoleh adalah tinggi ellipsoid.
Adapun pengelompokan metode penentuan posisi dengan GPS berdasarkan
mekanisme pengaplikasiannya dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 2.)
Tabel Metode Penentuan Posisi dengan GPS
Metode Absolute(1 receiver)
Differensial(min 2 receiver)
Titik Receiver
Static V V Diam Diam
Kinematik V V Bergerak Bergerak
Rapid static V Diam Diam (singkat)
Pseudeo kinematik
V Diam Diam & bergerak
Stop and go V Diam Diam & bergerak
3. Penentuan Posisi dengan Metode Survei Rapid Static
Metode penentuan posisi dengan survei static singkat (Rapid static) pada
dasarnya adalah survei statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat, yaitu 5-20
menit. Prosedur operasional lapangan pada survei statik singkat adalah sama seperti
pada survei statik, hanya selang waktu pengamatannya yang lebih singkat. Oleh sebab
itu disamping memerlukan perangkat lunak yang handal dan canggih, metode statik
singkat juga memerlukan geometri pengamatan yang baik, tingkat residu kesalahan
dan bias yang relatif rendah, serta lingkungan pengamatan yang relatif tidak
menimbulkan multipath.
Terdapat beberapa hal yang perlu di catat yaitu :
a. Survei statik singkat mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi, karena
waktu pengamatan satu sesi relative singkat.
b. Metode survei statik singkat memerlukan receiver GPS serta piranti lunak
pemrosesan data yang lebih canggih dan lebih modern.
c. Metode survei statik singkat relatif kurang fleksibel dalam hal spesifikasi
pengamatan
d. Metode survei statik singkat relatif lebih rentan terhadap efek kesalahan dan bias
4. Ketelitian Penentuan Posisi dengan GPS
Ketelitian posisi yang didapat dari pengamatan GPS secara umum bergantung
pada 4 faktor:
a. Ketelitian data
1. Tipe data yang digunakan
2. Kualitas receiver GPS
3. Level dari kesalahan dan bias
b. Geometri satelit
1. Jumlah satelit
2. Lokasi dan distribusi satelit
3. Lama pengamatan
c. Metode penentuan posisi
1. Absolute dan differensial positioning
2. static, rapid static, pseudo-kinematic, stop and go, kinematic
3. one dan multi monitor station
d. Strategi pemrosesan data
1. real-time dan post processing
2. strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias
3. metode estimasi yang digunakan
4. pemrosesan baseline dan perataan jarring
5. Kesalahan dan Bias
Kesalahan dan bias yang mempengaruhi sinyal GPS dapat dikelompokkan
menjadi :
a. kesalahan ephemeris (orbit)
b. bias ionosfer
c. bias troposfer
d. multipath
e. ambiguitas fase (cycle ambiguity)
f. cycle slips
g. selective availability
h. anti spoofing
i kesalahan jam satelit dan receiver
Kesalahan dan bias harus diperhitungkan secara benar karena akan
mempengaruhi ketelitian data yang diperoleh (posisi, kecepatan, percepatan, waktu)
serta proses penentuan ambiguitas fase sinyal. Adapun cara yang dapat diterapkan
dalam menghadapi kesalahan dan bias GPS adalah:
a. Menerapkan mekanisme differencing data
b. Estimasi parameter kesalahan dan bias dalam hitung perataan
c. Menghitung besarnya kesalahan dan bias berdasarkan data ukuran langsung
d. Menghitung besarnya kesalahan dan bias berdasarkan model
e. Menggunakan strategi pengamatan yang tepat
f. Menggunakan strategi pengolahan data yang tepat
g. Mengabaikan kesalahan dan bias
II.2 Geologi Ragional Yogyakarta
1. Fisiografi
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga
Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan
di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah.
Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava
andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah
berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan,
barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki
gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan
Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan
Yogyakarta.
Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api
(Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan sinder
yang tersingkap di Cepogo,aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak ±42.000
tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di Gunung Bibi, aktivitas
gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di sebelah selatan dan
kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah
datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan
bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi
yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung
hitam.
Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan
gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan
lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470
tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam
di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi.
Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh
pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo
(Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar
berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi
daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.
Gambar sketsa peta fisiografi sebagian pulau Jawa dan Madura (Bammelen 1949)
2. Fisiografi dan Geomorfologi Regional
Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan
sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal
sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat
daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara. Di bagian
utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan
dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut
pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.
Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah
tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah
tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan
gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api
yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian selatan. Kegiatan
gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit
hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian inti. Setelah
kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai
terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek
pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit
augit hornblen, kemudian dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang
datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral
dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di
sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi
Jonggrangan. Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan
bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-
gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah
alluvial Magelang.
3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo
Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan
Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon
Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal
dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-
batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang menurut Van Bemmmelen
(1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang sama, keduanya
hanya berbeda faises.
1) Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah
pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi
Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur
dari Pegunungan Kulon Progo. Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono
Raharjo dkk (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran,
Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir
dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan
formasi ini adalah 30 meter.
Marks (1957) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan olh Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka
formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas
adalah sebagai berikut:
a. Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi
Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit, kemudian
tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan
Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini
mencapai 40 m.
b. Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini adalah
Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang bersifat
gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan
Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae (MARTIN),
bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.
Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari
bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin
ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari
bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 meter. Berdasarkan pada
studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur
antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono
Raharjo dkk, 1977).
2) Formasi Andesit Tua
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili,
Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit
hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977). Formasi
Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang
tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari
kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di
daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai
Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di
bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di
bagian utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian
tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.
Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon
Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit
hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang
kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung
Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul
oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit.
Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan
telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi.
Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua,
dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan
fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli,
Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow.
Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.
Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi
Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)
menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap
Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.
Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai
kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono
Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua
diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut
Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini
adalah Oligosen.
3) Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa
Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut
dan disebut sebagai Plato Jonggrangan. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari
Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan
sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral
(Wartono rahardjo, dkk, 1977)
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi
Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter
(van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598)
menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya
merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen
Tengah.
4) Formasi Sentolo
Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari
Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis
dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur
yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi
Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar
(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta
CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo.
Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk,
1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut
Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian
terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara Miosen Awal sampai
Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar
950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977). Dari uraian di atas terlihat stratigrafi
daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara
formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh
adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena
sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar
penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik
sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya
perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di
daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.
4. Geologi Lokal Daerah Yogyakarta
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997
dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian
utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-
Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ±
737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah,
yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini
membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi
200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian
tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini
dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah
selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di
daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak. Sebagai
endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba,
sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan
ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng
(sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai
bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian
barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut
Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2(Lehmann.
1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping
(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa
antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Selain itu terdapat kawasan ekosistem gumuk pasir yang terletak di Daerah
Parangtritis, sekitar 28 kilometer dari kraton Yogyakarta ke arah selatan. Secara
admistratif masuk wilayah Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat
berbatasan dengan Kali Opak. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Donotirto
Kecamatan Pundong, sedang sebelah timur Kecamatan Panggang, Kabupaten
Gunungkidul. Di desa itu terdapat sekitar 190 buah gumuk pasir yang terdiri dari jenis
barchan, longitudinal, parabolik dan sisir. Masing-masing jenis gumuk pasir tersebut
mempunyai cara pembentukan yang berbeda, dan dikontrol oleh faktor-faktor yang
berbeda-beda pula.
Gumuk pasir merupakan akumulasi pasir lepas berupa gundukan teratur hasil
kerja dan pengaruh komponen-komponen :
1. jumlah pasir yang diendapkan teratur ke laut,
2. ombak yang memindahkan pasir dari laut ke darat,
3. intensitas sinar matahari yang mengeringkan pasir di pantai,
4. intensitas dan kemenerusan angin yang memindahkan pasir,
5. tebing penghambat gerak angin dan sebaran pasir,
6. vegetasi, dan dinamika budaya masyarakat.
Di Parangtritis terdapat sekitar 190 bentukan gumuk pasir, yang terdiri dari
jenis-jenis barchan 70 buah, longitudinal 80 buah, parabolik 30 buah dan sisir 10 buah.
Masing-masing bentuk tersebut mempunyai cara dan faktor pengontrol pembentukan
yang berbeda. Bentuk parabolik dan sisir dipengaruhi oleh vegetasi yang memotong
arah angin sehingga kecepatan angin di belakang vegetasi kurang. Bentuk barchan dan
longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas angin yang bertiup kuat. Barchan mempunyai
proses pembentukan menarik. Mulanya terbentuk gumukpasir longitudinal yang
mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah angin. Berikutnya tubuh gumuk pasir
semakin tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perputara air di belakang
gumuk, yang menyebabkan terjadinya penggerusan di belakang gumuk. Penggerusan
yang semakin kuat menjadikan penggerusan semakin intensif sehingga dimensi lebar
seimbang dengan dimensi panjang.
Gumuk pasir Parangtritis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar :
pasif dan aktif. Gumuk pasir aktif menempati sisi timur pada luasan sekitar 70 hektar.
Di sini proses-proses pembentukan gumuk pasir longitudinal dan barchan oleh aktivitas
angin yang bertiup kuat dapat diamati dan dipelajari dengan baik, misalnya struktur
pengendapan permukaan riple mark. Gumuk pasir pasif menempati sisi barat dan
selatan sampai muara Kali Opak pada luasan sekitar 175 hektar. Di sini berkembang
gumuk pasir parabolik dan sisir. Vegetasi yang memotong arah angin tenggara-barat
laut menyebabkan berkurangnya kecepatan angin di belakang vegetasi sehingga terjadi
sedimentasi.
BAB IIIPENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa:
GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.
Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging
Global Positioning System). GPS didesain untuk memberikan informasi posisi,
kecepatan dan waktu.
Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan
ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa
satelitGPS yang koordinatnya telah diketahui.
Metode penentuan posisi dengan survei static singkat (Rapid static) pada
dasarnya adalah survei statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat, yaitu 5-20
menit. Prosedur operasional lapangan pada survei statik singkat adalah sama seperti
pada survei statik, hanya selang waktu pengamatannya yang lebih singkat.
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno.
DAFTAR PUSTAKA
http://belajargeomatika.wordpress.com/2011/12/23/penentuan-posisi-dengan-gps/
http://ahmadlatikss.blogspot.com/2012/06/geologi-regional-lokal-daerah.html
http://tryfor3.wordpress.com/2013/11/22/geologi-regional-d-i-yogyakarta/