Tugas Pratikum Geotek.docx

24
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem banyak digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, ini di desain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia. Ionosfer adalah bagian dari lapisan atas atmosfer di mana terdapat sejumlah elektron dan ion bebas yang mempengaruhi perambatan gelombang radio. Lapisan terletak kira-kira antara 60 sampai 1000 km diatas permukaan bumi. Jumlah elektron dan ion bebas pada lapisan ionosfer tergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari serta densitas gas pada lapisan tersebut. Sinyal dari satelit GPS, yang terletak kira-kira 20.000 km diatas permukaan bumi, harus melalui lapisan ionosfer untuk sampai ke antena di permukaan bumi. Ion-ion bebas (elektron) dalam lapisan ionosfer akan mempengaruhi propagasi sinyal GPS. Dalam hal ini ionosfer akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal GPS. Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini sebagai

Transcript of Tugas Pratikum Geotek.docx

Page 1: Tugas Pratikum Geotek.docx

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi

menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem banyak digunakan

oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, ini di desain untuk memberikan posisi dan

kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh

dunia. Ionosfer adalah bagian dari lapisan atas atmosfer di mana terdapat sejumlah elektron dan ion

bebas yang mempengaruhi perambatan gelombang radio.

Lapisan terletak kira-kira antara 60 sampai 1000 km diatas permukaan bumi. Jumlah

elektron dan ion bebas pada lapisan ionosfer tergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari

serta densitas gas pada lapisan tersebut. Sinyal dari satelit GPS, yang terletak kira-kira 20.000 km

diatas permukaan bumi, harus melalui lapisan ionosfer untuk sampai ke antena di permukaan bumi.

Ion-ion bebas (elektron) dalam lapisan ionosfer akan mempengaruhi propagasi sinyal GPS. Dalam

hal ini ionosfer akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal GPS.

Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan

Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini

sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan,

terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan

Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan  di sepanjang kaki

pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. 

I.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang cara ploting lokasi

dengan menggunakan GPS, serta Geologi Ragional Yogyakarta, Sedangkan tujuanya

adalah untuk membantu seorang geologist dalam menentukan posisi/lokasi.

I.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain :

1. Bagaimanakah Cara Plotting Lokasi Dengan Menggunakan GPS?

2. Geologi Ragional Yogyakarta

Page 2: Tugas Pratikum Geotek.docx

BAB IIPEMBAHASAN

II.1 Cara Plotting Lokasi Dengan Menggunakan GPS

1. Pengertian Global Positioning System (GPS)

GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan

satelit. Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and

Ranging Global Positioning System). GPS didesain untuk memberikan informasi

posisi, kecepatan dan waktu.

Pada dasarnya GPS terdiri atas 3 segmen utama, yaitu:

a. Segmen angkasa (space segment)

Terdiri dari 24 satelit yang terbagi dalam 6 orbit dengan inklinasi 55° dan

ketinggian 20200 km dan periode orbit 11 jam 58 menit.

b. Segmen sistem control (control system segment)

Mempunyai tanggung jawab untuk memantau satelit GPS supaya

satelit GPS dapat tetap berfungsi dengan tepat. Misalnya untuk sinkronisasi waktu,

prediksi orbit dan monitoring “kesehatan” satelit.

c. Segmen pemakai (user segment)

Segmen pemakai merupakan pengguna, baik di darat, laut maupun udara,

yang menggunakan receiver GPS untuk mendapatkan sinyal GPS sehingga dapat

menghitung posisi, kecepatan, waktu dan parameter lainnya.

2. Metode Penentuan Posisi dengan GPS

Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan

ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa

satelitGPS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah

posisi 3 dimensi (x,y,z atau j,l,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic

System) 1984, sedangkan inggi yang diperoleh adalah tinggi ellipsoid.

Adapun pengelompokan metode penentuan posisi dengan GPS berdasarkan

mekanisme pengaplikasiannya dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 2.)

Page 3: Tugas Pratikum Geotek.docx

Tabel Metode Penentuan Posisi dengan GPS

Metode Absolute(1 receiver)

Differensial(min 2 receiver)

Titik Receiver

Static V V Diam Diam

Kinematik V V Bergerak Bergerak

Rapid static V Diam Diam (singkat)

Pseudeo kinematik

V Diam Diam & bergerak

Stop and  go V Diam Diam & bergerak

3. Penentuan Posisi dengan Metode Survei Rapid Static

Metode penentuan posisi dengan survei static singkat (Rapid static) pada

dasarnya adalah survei statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat, yaitu 5-20

menit. Prosedur operasional lapangan pada survei statik singkat adalah sama seperti

pada survei statik, hanya selang waktu pengamatannya yang lebih singkat. Oleh sebab

itu disamping memerlukan perangkat lunak yang handal dan canggih, metode statik

singkat juga memerlukan geometri pengamatan yang baik, tingkat residu kesalahan

dan bias yang relatif rendah, serta lingkungan pengamatan yang relatif tidak

menimbulkan multipath.

Terdapat beberapa hal yang perlu di catat yaitu :

a. Survei statik singkat mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi, karena

waktu pengamatan satu sesi relative singkat.

b. Metode survei statik singkat memerlukan receiver GPS serta piranti lunak

pemrosesan data yang lebih canggih dan lebih modern.

c. Metode survei statik singkat relatif kurang fleksibel dalam hal spesifikasi

pengamatan

d. Metode survei statik singkat relatif lebih rentan terhadap efek kesalahan dan bias

Page 4: Tugas Pratikum Geotek.docx

4. Ketelitian Penentuan Posisi dengan GPS

Ketelitian posisi yang didapat dari pengamatan GPS secara umum bergantung

pada 4 faktor:

a. Ketelitian data

1. Tipe data yang digunakan

2. Kualitas receiver GPS

3. Level dari kesalahan dan bias

b. Geometri satelit

1. Jumlah satelit

2. Lokasi dan distribusi satelit

3. Lama pengamatan

c. Metode penentuan posisi

1. Absolute dan differensial positioning

2. static, rapid static, pseudo-kinematic, stop and go, kinematic

3. one dan multi monitor station

d. Strategi pemrosesan data

1. real-time dan post processing

2. strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias

3. metode estimasi yang digunakan

4. pemrosesan baseline dan perataan jarring

5. Kesalahan dan Bias

Kesalahan dan bias yang mempengaruhi sinyal GPS dapat dikelompokkan

menjadi :

a. kesalahan ephemeris (orbit)

b. bias ionosfer

c. bias troposfer

d. multipath

e. ambiguitas fase (cycle ambiguity)

f. cycle slips

g. selective availability

h. anti spoofing

i kesalahan jam satelit dan receiver

Page 5: Tugas Pratikum Geotek.docx

Kesalahan dan bias harus diperhitungkan secara benar karena akan

mempengaruhi ketelitian data yang diperoleh (posisi, kecepatan, percepatan, waktu)

serta proses penentuan ambiguitas fase sinyal. Adapun cara yang dapat diterapkan

dalam menghadapi kesalahan dan bias GPS adalah:

a. Menerapkan mekanisme differencing data

b. Estimasi parameter kesalahan dan bias dalam hitung perataan

c. Menghitung besarnya kesalahan dan bias berdasarkan data ukuran langsung

d. Menghitung besarnya kesalahan dan bias berdasarkan model

e. Menggunakan strategi pengamatan yang tepat

f. Menggunakan strategi pengolahan data yang tepat

g. Mengabaikan kesalahan dan bias

Page 6: Tugas Pratikum Geotek.docx

II.2 Geologi Ragional Yogyakarta

1. Fisiografi

Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan

Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses

tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan

Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga

Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan 

di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah.

Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava

andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah

berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan,

barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki

gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan

Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan

Yogyakarta.

Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api

(Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan sinder

yang tersingkap di Cepogo,aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak ±42.000

tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di Gunung Bibi, aktivitas

gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di sebelah selatan dan

kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah

datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan

bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi

yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung

hitam.

Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan

gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan

lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470

tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam

di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi.

Page 7: Tugas Pratikum Geotek.docx

Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh

pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo

(Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar

berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi

daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.

Gambar sketsa peta fisiografi sebagian pulau Jawa dan Madura (Bammelen 1949)

2. Fisiografi dan Geomorfologi Regional

Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan

sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal

sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat

daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara. Di bagian

utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan

dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut

pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.

Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah

tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah

tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan

gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api

yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian selatan. Kegiatan

gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit

Page 8: Tugas Pratikum Geotek.docx

hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian inti. Setelah

kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai

terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek

pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit

augit hornblen, kemudian dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.

Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang

datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral

dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di

sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi

Jonggrangan. Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan

bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-

gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah

alluvial Magelang.

3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo

Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan

Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon

Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal

dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-

batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang menurut Van Bemmmelen

(1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang sama, keduanya

hanya berbeda faises.

1) Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah

pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi

Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur

dari Pegunungan Kulon Progo. Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono

Raharjo dkk (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran,

Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir

dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan

formasi ini adalah 30 meter.

Page 9: Tugas Pratikum Geotek.docx

Marks (1957) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang

dilakukan olh Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka

formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas

adalah sebagai berikut:

a. Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi

Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit, kemudian

tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan

Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini

mencapai 40 m.

b. Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini adalah

Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang bersifat

gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan

Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae (MARTIN),

bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari

bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin

ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari

bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 meter. Berdasarkan pada

studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur

antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono

Raharjo dkk, 1977).

2) Formasi Andesit Tua

Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili,

Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit

hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977). Formasi

Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang

tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari

kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di

daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai

Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di

Page 10: Tugas Pratikum Geotek.docx

bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di

bagian utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian

tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.

Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon

Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit

hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang

kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung

Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul

oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan

telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi.

Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua,

dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan

fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli,

Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow.

Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi

Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)

menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap

Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.

Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai

kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono

Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua

diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut

Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini

adalah Oligosen.

Page 11: Tugas Pratikum Geotek.docx

3) Formasi Jonggrangan

Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa

Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut

dan disebut sebagai Plato Jonggrangan. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari

Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan

sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral

(Wartono rahardjo, dkk, 1977)

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi

Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter

(van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598)

menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya

merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen

Tengah.

4) Formasi Sentolo

Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari

Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis

dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur

yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi

Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar

(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta

CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo.

Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk,

1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut

Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian

terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara Miosen Awal sampai

Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar

950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977). Dari uraian di atas terlihat stratigrafi

daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara

formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh

Page 12: Tugas Pratikum Geotek.docx

adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena

sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar

penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik

sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya

perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di

daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

4. Geologi Lokal Daerah Yogyakarta

Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona

Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997

dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian

utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-

Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ±

737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah,

yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini

membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi

200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.

Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian

tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini

dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah

selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di

daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak. Sebagai

endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba,

sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.

Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu

bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan

ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng

(sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai

bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian

barat hingga Pacitan di sebelah timur.

Page 13: Tugas Pratikum Geotek.docx

Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut

Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2(Lehmann.

1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping

(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa

antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

Selain itu terdapat kawasan ekosistem gumuk pasir yang terletak di Daerah 

Parangtritis, sekitar 28 kilometer dari kraton Yogyakarta ke arah selatan. Secara

admistratif masuk wilayah Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat

berbatasan dengan Kali Opak. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Donotirto

Kecamatan Pundong, sedang sebelah timur Kecamatan Panggang, Kabupaten

Gunungkidul. Di desa itu terdapat sekitar 190 buah gumuk pasir yang terdiri dari jenis

barchan, longitudinal, parabolik dan sisir. Masing-masing jenis gumuk pasir tersebut

mempunyai cara pembentukan yang berbeda, dan dikontrol oleh faktor-faktor yang

berbeda-beda pula.

Gumuk pasir merupakan akumulasi pasir lepas berupa gundukan teratur hasil

kerja dan pengaruh komponen-komponen :

1. jumlah pasir yang diendapkan teratur ke laut,

2. ombak yang memindahkan pasir dari laut ke darat,

3. intensitas sinar matahari yang mengeringkan pasir di pantai,

4. intensitas dan kemenerusan angin yang memindahkan pasir,

5. tebing penghambat gerak angin dan sebaran pasir,

6. vegetasi, dan dinamika budaya masyarakat.

Di Parangtritis terdapat sekitar 190 bentukan gumuk pasir, yang terdiri dari

jenis-jenis barchan 70 buah, longitudinal 80 buah, parabolik 30 buah dan sisir 10 buah.

Masing-masing bentuk tersebut mempunyai cara dan faktor pengontrol pembentukan

yang berbeda. Bentuk parabolik dan sisir dipengaruhi oleh vegetasi yang memotong

arah angin sehingga kecepatan angin di belakang vegetasi kurang. Bentuk barchan dan

longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas angin yang bertiup kuat. Barchan mempunyai

proses pembentukan menarik. Mulanya terbentuk gumukpasir longitudinal yang

Page 14: Tugas Pratikum Geotek.docx

mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah angin. Berikutnya tubuh gumuk pasir

semakin tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perputara air di belakang

gumuk, yang menyebabkan terjadinya penggerusan di belakang gumuk. Penggerusan

yang semakin kuat menjadikan penggerusan semakin intensif sehingga dimensi lebar

seimbang dengan dimensi panjang.

Gumuk pasir Parangtritis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar :

pasif dan aktif. Gumuk pasir aktif menempati sisi timur pada luasan sekitar 70 hektar.

Di sini proses-proses pembentukan gumuk pasir longitudinal dan barchan oleh aktivitas

angin yang bertiup kuat dapat diamati dan dipelajari dengan baik, misalnya struktur

pengendapan permukaan riple mark. Gumuk pasir pasif menempati sisi barat dan

selatan sampai muara Kali Opak pada luasan sekitar 175 hektar. Di sini berkembang

gumuk pasir parabolik dan sisir. Vegetasi yang memotong arah angin tenggara-barat

laut menyebabkan berkurangnya kecepatan angin di belakang vegetasi sehingga terjadi

sedimentasi.

Page 15: Tugas Pratikum Geotek.docx

BAB IIIPENUTUP

III.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa:

GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging

Global Positioning System). GPS didesain untuk memberikan informasi posisi,

kecepatan dan waktu.

Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan

ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa

satelitGPS yang koordinatnya telah diketahui.

Metode penentuan posisi dengan survei static singkat (Rapid static) pada

dasarnya adalah survei statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat, yaitu 5-20

menit. Prosedur operasional lapangan pada survei statik singkat adalah sama seperti

pada survei statik, hanya selang waktu pengamatannya yang lebih singkat.

Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan

Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses

tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan

Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan

hingga Gantiwarno dan Baturetno.

Page 16: Tugas Pratikum Geotek.docx

DAFTAR PUSTAKA

http://belajargeomatika.wordpress.com/2011/12/23/penentuan-posisi-dengan-gps/

http://ahmadlatikss.blogspot.com/2012/06/geologi-regional-lokal-daerah.html

http://tryfor3.wordpress.com/2013/11/22/geologi-regional-d-i-yogyakarta/