Tugas Nutrisi Karis

16
Hubungan Nutrisi Terhadap Fistula Enterokutan TUGAS UJIAN MAYOR PENGUJI: dr. Toni Agus Setiono, Sp.B Oleh: Karis Amalia Derina 108103000030 KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

description

tugas

Transcript of Tugas Nutrisi Karis

Page 1: Tugas Nutrisi Karis

Hubungan Nutrisi Terhadap Fistula Enterokutan

TUGAS UJIAN MAYOR

PENGUJI:

dr. Toni Agus Setiono, Sp.B

Oleh:

Karis Amalia Derina

108103000030

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013

Page 2: Tugas Nutrisi Karis

PENDAHULUAN

Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ dalam

atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula enterokutaneous adalah

suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit.

Fistula enterokutaneous dapat timbul secara spontan dan akibat komplikasi

postaoperasi. Penyebab utama fistula ini adalah akibat komplikasi postoperasi. Faktor

penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor

pasien dan faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan

hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan preoperasi.

Selain itu nutrisi juga berperan dalam penatalaksanaan fistula enterokutaneous.

Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous merupakan komponen kunci

penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula enterokutaneous dapat menimbulkan

malnutrsi pada pasien karena intake nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan

banyaknya komponen usus kaya protein yang keluar melalui fistulla.

Page 3: Tugas Nutrisi Karis

TINJAUAN PUSTAKA

Fistula Enterokutaneous

1. Definisi

Secara definisi Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ

berongga internal atau antara organ internal dengan tubuh bagian luar. Entero-enteral atau

enterocutaneous adalah petikan yang abnormal kebocoran isi perut atau usus (usus besar atau

kecil) ke organ lain, biasanya bagian dari usus (entero-enteral) atau kulit (enterocutaneous).

Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ dalam

atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula enterokutaneous adalah

suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit.

II. Klasifikasi dan etiologi

Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi, fisiologi dan

etiologi, yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula

internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan antara dua

viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara

viscera dengan kulit.

2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu high-

output, moderate-output dan low output.

Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan intestinal ke dunia

luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit, mineral dan protein

sehingga dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu terjadi ketidak-seimbangan

elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Fistula dengan high-output

apabila pengeluaran cairan intestinal sebanyak >500ml perhari, moderate-output

sebanyak 200-500 ml per hari dan low-output sebanyak <200 ml per hari.

3. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula

yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.

Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh fistula

enterokutaneous. Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama pada kanker dan

Page 4: Tugas Nutrisi Karis

penyakit radang pada usus. Selain itu dapat juga disebabkan oleh radiasi, penyakit

divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskhemi pada usus.

Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi postoperasi (sekitar

75-85%). Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat postoperasi dapat

disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau

sepsis, anemia, dan hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan

preoperasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi

pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL,

rendahnya kadar transferin dan total limposit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula

enterokutaneous. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya

vaskularisasi pada daerah operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan

membuat anastomosis dari usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya fistula,

keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran oksigen menjadi lebih optimal.

Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya

infeksi dan abses yang dapat menimbulkan fistula.

III. Gejala/manifestasi klinis

Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis, prolonged ileus,

rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka. Diagnosis menjadi jelas bila

didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen.

Gejala tergantung pada kekhususan defek. Pus atau feses dapat bocor secara konstan

dari lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung

kemih, tergantung pada saluran fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan infeksi

sistemik disertai gejala yang berhubungan.

IV. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:

a. Test methylen blue

b. USG

c. Fistulogram

d. Barium enema

e. CT scan

Page 5: Tugas Nutrisi Karis

V. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu

stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.

1. Stabilization

Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of sepsis,

nutritional support, control of fistula drainage

a. Identification

Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan fistula

enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan tanda-tanda demam

dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka. Luka akan terbuka dan terdapat

drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang

disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat

menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang rendah.

b. Resuscitation

Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi. Pada tahap ini,

pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi. Transfusi sel darah

merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan pemberian infuse albumin

dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.

c. Control of sepsis

Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis dengan pemberian

obat antibiotik.

d. Nutritional support

Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous merupakan komponen

kunci penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula enterokutaneous dapat menimbulkan

malnutrisi pada pasien karena intake nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan

banyaknya komponen usus kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula

enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio

kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg perhari. Jalur pemberian nutrisi

ini dilakukan melalui parenteral. Selain itu, perlu diberikan elektrolit dan vitamin seperti

vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat.

e. Control of fistula drainage

Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase fistula yaitu

simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter. Selain itu, untuk

mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan fistula, dapat diberikan karaya

Page 6: Tugas Nutrisi Karis

powder, stomahesive atau glyserin. Beberapa penulis melaporkan keberhasilan menggunakan

Vacuum Assisted Closure (VAC) system untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous.

Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga diberikan untuk

menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus biliaris.

2. Investigation

Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula. Ada beberapa

cara yang dapat dilakukan yaitu:

a. Test methylen blue

b. USG

c. Fistulogram

d. Barium enema

e. CT scan

3. Decision

Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu pada pasien

dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari sepsis. Penutupan spontan dapat terjadi

pada sekitar 30% kasus. Fistula yang terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of Treiz

memiliki kemampuan yang rendah untuk menutup secara spontan. Hal ini berlaku juga pada

fistula dengan keadaan terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur usus,

diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut, apabila fistula tidak

menutup (output tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka dapat direncanakan untuk

melakukan operasi reseksi. Pada rencana melakukan tidakan operasi, ahli bedah harus

mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan memberikan nutrisi secara

adekuat, kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan

digunakan.

4. Definitive therapy

Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula enterokutaneous yang

tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan yang tepat. Sebelumnya, pasien harus

dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas dari sepsis.

Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi secara transversal pada

abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan. Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah

membebaskan usus sampai rektum dari ligamentum Treiz. Kemudian melakukan eksplorasi

Page 7: Tugas Nutrisi Karis

pada usus untuk menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan

dalam melakukan anastomosis.

Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada segmen tersebut

merupakan tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat digunakan tehnik

exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches. Namun tindakan- tindakan

tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer, interrupted,

end-to-end anastomosis menggunakan segmen usus yang sehat dapat meningkatkan

kemungikan anastomosis yang aman.

5. Healing

Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus terus

dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan dinding abdomen.

Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini membutuhkan keseimbangan

nitrogen, pemberian kalori dan protein yang adekuat untuk meningkatkan proses

penyembuhan dan penutupan luka.

VI. Komplikasi

Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat ditimbulkan

oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya elektrolit dan cairan

tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan, karena TPN dapat

meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang membutuhkan penutupan

fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status nutrisi sehingga dapat

mempertahankan kontinuitas usus dengan cara meningkatkan proses penyembuhan luka dan

meningkatkan system imun.

VII. Prognosis

Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%, lebih banyak

disebabkan karena sepsis. Namun, sebanyak 50% kasus fistula dapat menutup secara spontan.

Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan spontan fistula yaitu FRIEND (Foreign

body didalam traktus fistula, Radiasi enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula,

Epithelisasi pada traktus fistula, Neoplasma pada sumber fistula, Distal obstruction pada

usus).

Page 8: Tugas Nutrisi Karis

Pengaruh Protein terhadap Fistula Enterokutan

Deplesi protein dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Terjadi peningkatan

kebutuhan akan protein saat terjadinya luka. Peningkatan kebutuhan tersebut diperlukan

untuk proses inflamasi, imun, dan perkembangan jaringan granulasi. Protein utama yang

disintesis selama fase penyembuhan luka adalah kolagen. Kekuatan kolagen menentukan

kekuatan kulit luka seusai sembuh. Kekurangan intake protein prabedah, secara signifikan

menunda penyembuhan luka pascabedah. Salah satu protein yang sangat dibutuhkan adalah

albumin. Albumin akan merangsang obat-obatan dan memperpendek waktu paruh obat

tersebut sehingga mudah terserap ke dalam tubuh sehingga luka akan cepat sembuh. Albumin

juga berfungsi mengikat Zn, yaitu mineral yang sangat penting bagi proses penyembuhan

luka. Kekurangan protein dapat menghambat proses penyembuhan luka dan dapat berakibat

pada komplikasi salah satunya timbulnya fistula enterokutan. Fistula enterokutan yang

terbentuk dapat menyebabkan hilangnya protein karena adanya hubungan antara sistem

pencernaan dengan dunia luar sehingga dapat terjadi malnutrisi pada pasien. Oleh karena itu

pada penatalaksanaan fistula enterokutan juga tidak kalah penting diperlukan asupan protein

yang adekuat. Asupan protein yang diperlukan pada pasien fistula enterokutan sekitar 1.5-2.5

g/Kg bb/hari.

Pengaruh Karbohidrat terhadap Fistula Enterokutan

Sebagai bagian dari proses penyembuhan tubuh memasuki fase hipermetabolik, di

mana ada peningkatan permintaan untuk karbohidrat. Aktivitas selular didorong oleh

adenosin trifosfat (ATP) yang berasal dari glukosa, menyediakan energi untuk terjadinya

respon inflamasi. Jika intake karbohidrat berkurang maka tubuh akan memecah protein untuk

dijadikan kalori. Jika ini terjadi maka akan mengganggu fungsi utama protein sebagai

pembentuk jaringan baru pada luka Dengan kata lain, sedikitnya karbohidrat berpeluang membuat

semakin sedikitnya protein. Pasien dengan fistula enterokutaneous membutuhkan kalori total

sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1

Pengaruh Lemak dan Obesitas terhadap Fistula Enterocutaneus

Lemak memiliki peran penting dalam struktur dan fungsi membran sel. Asam lemak

esensial tidak bias disintesis oleh tubuh, sehingga harus didapatkan dari diet keseharian.

Page 9: Tugas Nutrisi Karis

Peran asam lemak esensial untuk penyembuhan luka masih belum begitu dimengerti, tetapi

diketahui bahwa lemak berperan untuk sintesis sel baru.Kekurangan lemak tubuh dapat

menunda penyembuhan luka. Omega-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) diketahui lebih

bermanfaat ketimbang omega-6 PUFAs. Omega-3s merupakan anti-inflamasi yang berguna

untuk penyembuhan luka, tetapi pemakaiannya dapat menghambat pembekuan darah,

sehingga dinilai merugikan. Pada pasien fistula enterokutan terjadi proses metabolik yaitu

glukoneogenesis, lipolisis dan proteolisis. Oleh sebab itu asupan lemak yang cukup juga

diperlukan dalam tatalaksana fistula enterokutan. Kebutuhan lemak yang diperlukan pada

pasien dengan fistula enterokutan sekitar 30 g/1000 ml/hari.

Pengaruh Vitamin terhadap Fistula Enterocutaneus

Vitamin B kompleks merupakan kofaktor sejumlah fungsi metabolik termasuk

penyembuhan luka. Selain vitamin B, yang berperan dalam penyembuhan luka ialah vitamin

K. Vitamin K merupakan kofaktor enzim karboksilase yang mengubah residu protein berupa

asam glutamat (glu) menjadi gamma-karboksiglutamat (gla). Gla disebut juga gla-protein.

Gla protein dapat mengikat ion kalsium, yang mana kinerja ini merupakan langkah yang

esensial untuk pembekuan darah. Ion kalsium berguna untuk mengaktifkan faktor

pembekuan. Kekurangan vitamin K menyebabkan faktor pembekuan tidak aktif (darah tidak

dapat menggumpal), sehingga menyebabkan perdarahan pada luka (operasi). Vitamin A juga

terlibat dalam silang kolagen dan proliferasi sel epitel. Vitamin C memiliki peran penting

dalam sintesis kolagen, dalam pembentukan ikatan antara helai serat kolagen, membantu

memberikan kekuatan ekstra dan stabilitas. Ada banyak bukti yang menunjukkan

meningkatnya kebutuhan untuk vitamin C selama cedera, stres dan sepsis, tetapi tidak ada

bukti bahwa dosis mega meningkatkan hasil klinis. Pasien dengan fistula enterokutan

dianjurkan diberikan vitamin C 10 kali dalam sehari, sedangkan utuk vitamin lainnya

dianjurkan diberikan 2x dlam sehari. Hal ini berkaitan dengan malnutrisi dan gangguan

elektrolit yang dapat dialami pasien dengan fistula enterokutan.

Page 10: Tugas Nutrisi Karis

Pengaruh Mineral terhadap terhadap Fistula Enterocutaneus

Mineral yang diketahui bermanfaat untuk penyembuhan luka ialah besi dan seng. Besi

berfungsi sebagai kofaktor pada sintesis kolagen, sehingga defisiensi besi membuat

penyembuhan luka tertunda. Seng juga berperan dalam penyembuhan luka.Seng dan zinc

dibutuhkan untuk sintesis protein dan juga merupakan co-faktor dalam reaksi enzimatik. Ada

peningkatan permintaan untuk seng selama proliferasi sel dan sekresi protein. Seng juga

memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan bakteri, dan terlibat dalam respon imun. Zat

Besi/Fe adalah co-faktor dalam sintesis kolagen, jika terjadi defisiensi fe maka berpengaruh

terhadap penundaan penyembuhan luka. Tembaga juga terlibat dalam sintesis kolagen. Pada

pasien fistula enterokutan penting diperiksa kadar transferin (Fe), karena kadar transferin

yang rendah bisa berakibat Hb rendah sehingga proses oksiegenasi ke daerah fistel tidak baik

yang nantinya berpengaruh pada penutupan spontan fistel yang semakin lama. Oleh karena

itu, seperti halnya vitamin dosis pemebrian minimal juga ditingkatkan pada pasien dengan

fistula enterokutan. Pemberian mineral yang direkomendasikan yaitu seng, zinc dan Fe

dianjurkan diberikan sampai 10 kali per hari.

Page 11: Tugas Nutrisi Karis

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC

2. Galie K.E., 2006. Postoperative Enterocutaneous Fistula: When to Reoperate and How to Succeed. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780112/

3. Polk TM., 2012. Metabolic and nutritional support of the enterocutaneous fistula patient: a three-phase approach. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22033622

4. Kozell K and Martin L., 1999. Managing the Challenges of Enterocutaneous Fistula.

Available from www.cawc.net/open/wcc/1-1/Kozell.pdf

5. Evenson A. R et al., 2006. Current Management of Enterocutaneous Fistula. Available

from http://www.ptolemy.ca /members/archives/ 2006/Fistula/evenson2006.pdf.

6. Stein D. E. 2013. Enterocutaneous Fistulas. Available from http://emedicine.medscape. com/article/179444-diagnosis